LOKASI PUSAT PERBELANJAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP NILAI TANAH DI SURABAYA: Analisis SIG dan Data Panel, 1996 – 2001 Oleh: Purwantohadi Staf DJP Sulawesi Selatan dan Tenggara
Mudrajad Kuncoro Fakultas Ekonomi UGM
ABSTRACT This paper examines the location of five shopping centres (malls) in Surabaya City using Geograhic Information System. Having identified various locations of land price in every sub-districts, it scrutinizes some key determinants of land value. We used panel data over the period of 1996 to 2001. The data are mainly taken from the Sismiopi database that have been compiled by KPPBB Surabaya Satu, KPPBB Surabaya Dua, KPPBB Surabaya Tiga, and BPS Surabaya. Empirical results show that five malls tended to locate in the city centre: seven out of nine kelurahan having very high land value were in Surabaya Pusat (around Plasa Tunjungan anda Plasa Surabaya), meanwhile the rest chosed to locate around Plasa Jembatan Merah. The value of lands around Mal Galaksi is found far higher than those of surrounding areas. Regression analysis indicates that number of office buildings and number of shops influenced land values positively; on the other hand, distance to malls and number of workshops/warehouses/agriculture affected land value negatively. The one year-lagged of land value also influenced the current value of land significantly.
1. Latar Belakang Perkembangan penduduk Kota Surabaya -yang mempunyai predikat Kota Industri, Dagang, Maritim, dan Pendidikan (Indamardi)- berjalan sangat pesat. Sensus Penduduk tahun 1980, 1990, dan 2000 menunjukkan telah terjadi peningkatan sebesar rata-rata 2% - 3% setiap tahunnya. Perkembangan yang demikian itu, mengakibatkan meningkatnya kebutuhan tanah untuk pemukiman maupun untuk sarana penunjang lainnya. Salah satu sarana kegiatan sosial dan ekonomi yang dibutuhkan masyarakat adalah tersedianya pusat perbelanjaan. Keberadaannya dianggap mempunyai daya
1
2
tarik dan sebagai tambahan fasilitas yang dapat dinikmati oleh masyarakat di sekitarnya. Akibatnya, nilai tanah pada lokasi tertentu yang mempunyai kemudahan mencapai sarana kegiatan tersebut akan mengalami perubahan. Pusat Data Bisnis Indonesia (1997) mencatat bahwa pada tahun 1995 di Surabaya terdapat sebelas pusat perbelanjaan. Sementara itu pula dicatat bahwa antara tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 telah direncanakan untuk dikembangkan lagi sepuluh pusat perbelanjaan. Di antara sekian banyak pusat perbelanjaan, ada lima pusat perbelanjaan yang sangat dikenal oleh masyarakat, yaitu Plasa Tunjungan, Plasa Surabaya, Plasa Jembatan Merah, Mal Surabaya, dan Mal Galaksi. Banyaknya pusat perbelanjaan di Surabaya bisa menimbulkan dugaan bahwa tiap pusat perbelanjaan itu akan mempunyai pengaruh terhadap nilai tanah rata-rata di kelurahan sekitarnya, yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan tipe pusat perbelanjaan itu. Akibatnya adalah nilai tanah pada suatu kelurahan yang dekat dengan beberapa pusat perbelanjaan relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai tanah pada suatu kelurahan yang dekat dengan satu pusat perbelanjaan. Namun, mengingat kompleknya aktifitas perekonomian di Surabaya, patut pula diduga bahwa pengaruh itu dapat diakibatkan oleh pengaruh variabel lain yang lebih dominan dalam wilayah kelurahan itu. Berdasarkan uraian di atas, maka pengaruh keberadaan pusat-pusat perbelanjaan tersebut terhadap nilai tanah di kelurahan sekitarnya di Surabaya, merupakan hal yang menarik untuk diteliti dan dipelajari. Demikian pula halnya dengan pengaruh kepadatan penduduk dan jumlah tiap jenis bangunan terhadap nilai tanah di Kota Surabaya.
3
Tujuan
yang
hendak
dicapai
melalui
penelitian
ini
adalah:
(1)
mengidentifikasikan lokasi pusat-pusat perbelanjaan yang ada dalam masing-masing kelurahan di Kota Surabaya; (2) mengidentifikasikan lokasi nilai tanah yang ada di dalam masing-masing kelurahan di Kota Surabaya; (3) meneliti seberapa jauh pengaruh jarak ke pusat perbelanjaan, kepadatan penduduk, dan kepadatan tiap jenis bangunan terhadap nilai tanah di Kota Surabaya. 2. Survei Literatur Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai tanah dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu faktor fisik, lingkungan, dan lokasi, faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor hukum, pemerintahan, dan politik (IAAO, 1990: 180 – 181). Selain itu, dalam teori penggunaan tanah, penggunaan tanah perkotaan terutama sebagai fungsi dari nilai tanah perkotaan. Selanjutnya, nilai tanah sangat ditentukan oleh biaya transportasi. Pada sebuah model sederhana dengan penggunaan tunggal, digunakan dua kelompok asumsi untuk penyederhanaannya, yaitu asumsi lingkungan dan asumsi perilaku (Levy, 1985: 69). Reksohadiprodjo
dan
Karseno
(2001:
23)
menyatakan
bahwa
pola
pemanfaatan tanah di kota-kota mempunyai ciri-ciri: bahwa pemanfaatan tanah ditentukan oleh scale economies dan aglomerasi; orang lebih suka pada tempat yang dekat pada semua kegiatan karena ongkos angkut tergantung pada jarak dan berbagai kesenangan; dan orang juga tergantung pada sifat tetangganya. Jarang ditemui tipe kota yang bagian luarnya kurang kepadatannya. Nilai tanah yang ideal adalah nilai tanah yang dapat mencerminkan kedudukannya sebagai penggunaan yang tertinggi dan terbaik. Appraisal Institute (2001: 305) memberikan definisi sebagai penggunaan yang paling memungkinkan
4
dan diijinkan atas suatu tanah kosong atau yang sudah ada bangunannya, memungkinkan secara fisik, tidak melanggar peraturan, dan layak dalam hal pendanaannya dan menghasilkan nilai tertinggi. IAAO (1990: 179) menyebutkan bahwa prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik berarti bahwa
nilai pasar suatu
properti tergantung pada penggunaan yang lebih potensial daripada penggunaannya saat ini. Standar Penilaian Indonesia 2002 memberikan definisi pada penggunaan tertinggi dan terbaik sebagai penggunaan yang paling layak dan optimal dari suatu aset, yang secara fisik dimungkinkan, dapat dibenarkan secara wajar, secara hukum sah, secara finansial layak, dan menghasilkan nilai tertinggi. Ada enam kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan tipe pusat perbelanjaan, adalah luas lantai yang disewakan (Gross Leasable Area = GLA), penyewa utama (anchor tenant), jenis barang dagangan, luas tanah, jarak dan waktu tempuh, dan basis customer. The Urban Land Institute and the International Council of Shopping Center membedakan tipe pusat perbelanjaan tersebut berdasarkan tiga kriteria, yaitu penyewa utama, produk yang dijual, dan luas keseluruhan lantai yang disewakan. Tipe pusat perbelanjaan yang dimaksud adalah neighborhood center, community center, regional center, dan superregional center (Vernor dan Rabianski, 1993: 6 – 11). Tabel 1 Tipe Pusat Perbelanjaan Tipe
Cakupan Jumlah Penduduk
Penyewa Utama
GLA (m2)
Radius (km)
1
2
3
4
5
6
7
2.787 - 9.290
2,41
5 - 10
1,22 - 4
Toserba dan supermarket 9.290 - 27.870
8,05
10 - 20
4 - 12
Neighborhood center Community
3.000 - 40.000 Satu supermarket 40.000 -
Waktu Luas tanah tempuh Minimum (ha) (menit)
5
center Regional center Superregional center
150.000 > 150.000 > 300.000
Satu atau dua yang menyewa penuh satu lantai (<9.290m2). Tiga toserba masingmasing <9.290m2.
27.870 – 83.610
12,87
20
4 - 24,3
46.450 – 139.350 atau lebih
19,31
30
6 – 40
Sumber: Dimodifikasi dari Vernor dan Rabianski (1993: 6–11)
Beberapa penelitian, pernah dilakukan berkaitan dengan keberadaan pusat perekonomian. Syah (1997) mengkaji pengaruh konsentrasi pertokoan terhadap nilai tanah di Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur, menggunakan analisis persebaran. Hasilnya adalah nilai skala penyebaran pertokoan, jarak ke pusat kegiatan usaha, dan kepadatan rumah penduduk berpengaruh signifikan terhadap nilai tanah. Crafts (1998) yang meneliti dampak pengembangan tanah komersil terhadap properti perumahan yang berbatasan di Kota Henniker, New Hampshire. Analisis yang digunakan adalah analisis penjualan (sales analysis), analisis assessment (assessment analysis) dan analisis stratifikasi pasar
(market stratification analysis). Kesimpulannya adalah
pengembangan tanah komersil di Henniker tidak mempunyai pengaruh yang dapat diukur terhadap properti perumahan yang berdekatan yang dinilainya kurang dari $100.000,00. Eppli (1998) meneliti alokasi nilai pada wilayah sekitar pusat-pusat perbelanjaan dengan mengkuantifikasi pengaruh perilaku belanja konsumen terhadap jumlah penjualan dari penyewa nonanchor di wilayah pusat-pusat perbelanjaan. Hasilnya adalah pengaruh lokasi, perbandingan berbelanja (comparison shopping), dan kesan (image) tiap bagian pertokoan merupakan hal yang penting dalam memperkirakan pelanggan pusat perbelanjaan dan pedagang eceran. Diindikasikan
6
pula bahwa nilai sebuah pusat perbelanjaan dapat dialokasikan terhadap nilai real estat dan non-real estat. Penelitian tentang nilai tanah di Indonesia mulai bermunculan. Hidayati (1999) meneliti pengaruh pusat kegiatan ekonomi terhadap nilai tanah di Yogyakarta. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier dengan metode kuadrat terkecil dan analisis trend surface. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa jarak ke pusat kegiatan ekonomi, kepadatan penduduk, dan rasio kepadatan bangunan berpengaruh signifikan terhadap nilai tanah. Dan Noegroho (2001), mengkaji pengaruh penyebaran pertokoan terhadap nilai tanah di Wilayah Jatinegara Jakarta Timur, menggunakan analisis regresi. Hasilnya menunjukkan bahwa penyebaran pertokoan, jarak ke pusat kota dan koefisien lantai bangunan berpengaruh terhadap nilai tanah. 3. Metodologi Pembahasan terhadap permasalahan dilakukan dengan dua cara, yaitu melakukan identifikasi lokasi dengan analisis SIG dan mencari faktor-faktor penentu nilai tanah di Surabaya dengan analisis regresi dengan data panel (lihat Gambar 1). Dari dua analisis itu akan diambil kesimpulan dari penelitian ini.
7
Perumusan Masalah
Identifika-si Lokasi
Faktor penentu nilai tanah
Analisis SIG
Analisis Regresi dengan Data Panel
Kesimpulan
Gambar 1. Alat analisis dan Kerangka Penelitian
Danoedoro (1996: 173) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografi(s) dalam arti luas adalah sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan,
mengelola,
dan
menghasilkan
informasi
yang
mempunyai rujukan spasial atau geografis. Aronoff (1989: 39) membatasi pengertian SIG sebagai “suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan, pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, serta keluaran”. Juppenlatz dan Tian (1996: bab1), sebagaimana dikutip Kuncoro (2002: 59), menyebutkan bahwa SIG pada dasarnya adalah jenis khusus sistem informasi, yang memperhatikan representasi dan manipulasi realita geografi. SIG mentransformasikan data menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung
8
pengambilan keputusan. Budiyanto (2002: 3) menyatakan bahwa basis analisis SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi. Alat analisis ini digunakan untuk mengetahui lokasi pusat perbelanjaan, penyebaran nilai tanah, kepadatan penduduk, dan jumlah bangunan suatu kawasan. Lokasi suatu obyek di atas peta ditunjukkan dengan koordinat peta, sehingga lokasi pusat sampel penelitian (kantor kelurahan dan pusat perbelanjaan) akan ditunjukkan dengan koordinat peta. Selain untuk menunjukkan lokasi obyek di atas peta, koordinat peta juga akan digunakan untuk menentukan jarak antar pusat sampel1. Setiap sampel kelurahan dikelompokkan berdasarkan nilai tanah maupun variabel lain. Melalui pengelompokan ini, dapat diketahui arah kecenderungan kenaikan nilai masingmasing variabel. Kombinasi variabel juga dapat ditampilkan, sehingga dapat diketahui pula hubungan antara variabel tersebut. Kuncoro (2002: 59) menyatakan bahwa SIG merupakan alat analisis yang bermanfaat untuk: (1) mengidentifikasi lokasi industri; (2) di daerah mana mereka cenderung mengelompok secara spasial. Penelitian ini menggunakan peta digital dengan bantuan seperangkat komputer. Perangkat lunak yang digunakan adalah MapInfo Professional versi 6.0. Tahapan penyusunan dan penggunaan SIG meliputi perolehan data, pemrosesan data awal, membangun data base, pencarian dan analisis spasial, serta penampilan dan interprestasi secara grafik (Kuncoro, 2002: 10). Peta dasar yang digunakan adalah peta Surabaya dengan skala 1:28.000 terbitan ElSena Surabaya. Pembuatan peta digital dimulai dengan melakukan scanning terhadap peta dasar dan registrasi peta hasil scan tersebut ke perangkat lunak. Selanjutnya dilakukan digitasi on screen terhadap setiap obyek. Masing-masing obyek digitasi diberi kode 1
Menggunakan distance theorem (DeMers, 1997: 34): d =
( X 2 − X 1 )2 + (Y2 − Y1 )2
9
dan ditempatkan dalam tampilan tersendiri, sehingga akan diperoleh tampilan wilayah kelurahan, tampilan wilayah kecamatan, tampilan wilayah administrasi pemerintahan, dan seterusnya. Jumlah wilayah yang digunakan adalah jumlah wilayah tahun 2000, yaitu 163 kelurahan, 28 kecamatan, dan 5 wilayah pembantu walikota. Untuk melengkapi data peta yang ada, digunakan pula peta Surabaya skala 1:30.000 terbitan Bina Citra, Bogor. Setelah digitasi obyek selesai, langkah selanjutnya adalah melakukan penggabungan data numerik (yang berisi data variabel-variabel penelitian) dengan data grafis. Sebaran tiap jenis data numerik di atas data grafis tersebut dapat ditampilkan sebagai peta tematik, yaitu suatu peta yang mempunyai tujuan utama untuk menampilkan lokasi sebuah atribut atau hubungan antara beberapa atribut yang dipilih (DeMers, 1997: 476). Analisis regresi dipergunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih, dan menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Tujuan utamanya adalah untuk mengestimasi fungsi regresi populasi berdasarkan fungsi regresi sampel (Kuncoro, 2001: 93). Model regresi yang akan diestimasi adalah: NTi = b0 + b1Pdd + b2rPP1 + b3Rmh + b4Pkt + b5Pbk + b6Tk + b7Gd + ei ..... (1) NTi = b0 + b1Pdd + b2rPP2 + b3Rmh + b4Pkt + b5Pbk + b6Tk + b7Gd + ei ..... (2) NTi = b0 + b1Pdd + b2rPP3 + b3Rmh + b4Pkt + b5Pbk + b6Tk + b7Gd + ei ..... (3) NTi = b0 + b1Pdd + b2rPP4 + b3Rmh + b4Pkt + b5Pbk + b6Tk + b7Gd + ei ..... (4) NTi = b0 + b1Pdd + b2rPP5 + b3Rmh + b4Pkt + b5Pbk + b6Tk + b7Gd + ei ..... (5) Notasi:
NTi b0 b1 – b7
= = =
Estimasi nilai tanah (dalam ribuan rupiah); Konstanta; Parameter;
10
b1,b5,b7 < 0, b2,b3,b4,b6 > 0 = Kepadatan penduduk (jiwa/km2); Pdd = Jarak ke Plasa Tunjungan (km); PP1 = Jarak ke Plasa Surabaya (km); PP2 = Jarak ke Plasa Jembatan Merah (km); PP3 = Jarak ke Mal Surabaya (km); PP4 = Jarak ke Mal Galaksi (km); PP5 = Jumlah bangunan rumah (unit); Rmh = Jumlah bangunan kantor (unit); Pkt = Jumlah bangunan pabrik (unit); Pbk = Jumlah bangunan toko (unit); Tk = Jumlah bangunan bengkel/gudang/pertanian (unit); Gd = Faktor pengganggu. ei 3.1 Definisi operasional 1. Pusat perbelanjaan yang dimaksud adalah pusat perbelanjaan menurut pengertian dan yang telah dikenal masyarakat Surabaya pada umumnya (mal atau plasa), yaitu Plasa Tunjungan, Plasa Jembatan Merah, Plasa Surabaya, Mal Surabaya, dan Mal Galaksi. 2. Nilai tanah yang dimaksud adalah nilai indikasi rata-rata, yaitu nilai pasar rata-rata yang dapat mewakili nilai tanah dalam suatu zona nilai tanah. 3. Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk setiap kilometer persegi, yang diperoleh dari pembagian antara jumlah penduduk kecamatan hasil registrasi dengan luas wilayah kecamatan yang bersangkutan. 4. Luas wilayah kecamatan yang dimaksud adalah luas wilayah kecamatan pada saat sebelum terjadinya pemecahan wilayah, atau sesuai kondisi pada tanggal 19 September 1992 (dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 59 tahun 1992). 5. Jarak yang dimaksud adalah jarak radius suatu tempat terhadap tempat lainnya. Jarak diukur dari setiap pusat perbelanjaan sebagaimana dimaksud di atas ke setiap kantor kelurahan (sebagai titik pusat sampel) yang berada dalam radius area perdagangan tiap pusat perbelanjaan.
11
6. Jumlah bangunan yang dimaksud adalah jumlah obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang berupa bangunan, yang diperoleh dari JPB yang pertama. 7. Peta Digital adalah peta yang mempunyai format digital, mempunyai besaran vektor, dan tersimpan dalam media komputer. 8. Sistem Informasi Geografis adalah sistem yang mengintegrasikan data grafis dengan data numerik. 3.2 Data dan perolehannya Data dihimpun di himpun dari BPS Surabaya dan BPS Jawa Timur, serta dari tiga Kantor Pelayanan PBB di Surabaya. Metode yang digunakan adalah metode pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling) di Kota Surabaya, karena lebih memenuhi tujuan pengambilan sampel, adanya kendala waktu dan biaya, serta dapat mencakup lebih banyak sampel yang dikehendaki. Selain itu juga karena penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir hasilnya. Kriteria yang digunakan adalah kelurahan yang pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 mempunyai tanah yang digunakan untuk bangunan rumah, kantor, pabrik, toko, dan bengkel/gudang/ pertanian. Semua kriteria tersebut harus dipenuhi oleh data yang akan digunakan untuk analisis regresi. Untuk analisis SIG, ketersediaan data untuk setiap kriteria tersebut bersifat alternatif, artinya kriteria itu tidak harus selalu ada pada setiap kelurahan sampel. Perbedaan ini dikarenakan basis analisis yang digunakan oleh kedua alat analisis tersebut juga berbeda. Analisis SIG berbasis data spasial, sedangkan analisis regresi berbasis data numerik. Untuk mengetahui radius area perdagangan tiap pusat perbelanjaan, digunakan data luas tiap pusat perbelanjaan. Luas pusat perbelanjaan itu kemudian dibandingkan dengan kriteria tipe pusat perbelanjaan berdasarkan luasnya. Uraian tipe pusat perbelanjaan telah disebutkan di bagian muka (tabel 1).
12
Plasa Surabaya mempunyai luas 14.000 m2, dikelompokkan pada tipe Community Center, karena terletak antara 9.290 – 27.870 m2, sehingga mempunyai radius sampai 8,05 km. Mal Surabaya mempunyai luas 31.216 m2, dikelompokkan pada tipe Regional Center, sehingga mempunyai radius sampai 12,87 km. Plasa Jembatan Merah mempunyai luas 37.775 m2, dikelompokkan pada tipe Regional Center, sehingga mempunyai radius sampai 12,87 km. Mal Galaksi mempunyai luas 52.000 m2, dikelompokkan pada tipe Regional Center, sehingga mempunyai radius sampai 12,87 km. Plasa Tunjungan sampai tahun 1997 mempunyai luas 81.504 m2, dikelompokkan pada tipe Regional Center, sehingga mempunyai radius sampai 12,87 km. Pada tahun 1998 luas Plasa Tunjungan mencapai 121.404, sehingga terjadi perubahan kelompok tipe menjadi Superregional Center, dan radiusnya menjadi 19,31 km.
13
4. Hasil Analisis dan Pembahasan 4.1 Analisis Spasial (SIG) Identifikasi lokasi pusat perbelanjaan didasarkan pada pembagian wilayah yang mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 59 tahun 1992 yang disesuaikan dengan data yang tersedia (28 kecamatan). Kota Surabaya dibagi menjadi lima wilayah pembantu walikota, yaitu wilayah pembantu walikota Surabaya Utara, wilayah pembantu walikota Surabaya Timur, wilayah pembantu walikota Surabaya Selatan, wilayah pembantu walikota Surabaya Barat, dan wilayah pembantu walikota Surabaya Pusat. Masing-masing wilayah pembantu walikota membawahi beberapa kecamatan. Ada 28 kecamatan dan 163 kelurahan dalam wilayah Kota Surabaya.
Gambar 2 Lokasi Lima Pusat Perbelanjaan Sampel
14
Peta yang menggambarkan lokasi lima pusat perbelanjaan tampak pada gambar 2. Tiga dari lima pusat perbelanjaan, yaitu Mal Surabaya, Plasa Tunjungan, dan Plasa Surabaya letaknya relatif berdekatan. Mal Surabaya terletak di Kelurahan Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Surabaya Timur. Plasa Tunjungan terletak di Kelurahan Kedung Doro, Kecamatan Tegalsari, Surabaya Pusat, dan Plasa Surabaya terletak di Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Surabaya Pusat. Pusat perbelanjaan lainnya, relatif jauh dari pusat kota. Plasa Jembatan Merah terletak di wilayah Surabaya Utara, tepatnya di Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan, dan Mal Galaksi terletak di wilayah Surabaya Timur, tepatnya di Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Mulyorejo. Untuk mengetahui pada daerah mana kelurahan berdasarkan data variabel tertentu berkelompok, diperlukan pengelompokan data. Data yang digunakan pada analisis SIG adalah data tahun 2001 yang ringkasannya tampak pada tabel 2. Statistik tersebut menunjukkan bahwa distribusi data masing-masing variabel adalah tidak normal. Tabel 2 Statistik Deskriptif SIG, 2001 N
Valid Missing
Mean Median Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis Range Minimum Maximum
NIR 163 0 413,98 310,05 2,38 0,19 7,96 0.38 2.513,22 32,78 2.546,00
Pdd/km 163 0 11.346,40 7.684,88 1,19 0,19 0,78 0,38 39.796,00 1,147,00 40.943,00
JPB_1 163 0 2.648,48 2.445 1,77 0,19 5,68 0,38 13.016,00 9,00 13.025,00
JPB_2 134 29 27,46 10,1 4,61 0,21 27,51 0,42 412,00 1,00 413,00
JPB_3 JPB_4 JPB_8 147 147 101 16 16 62 23,65 94,07 14,75 13,44 30,8 3,32 3,02 4,94 8,94 0,20 0,20 0,24 13,62 34,21 85,21 0,40 0,40 0,48 215,00 1.606,00 632,00 1,00 1,00 1,00 216,00 1.607,00 633,00
15
Setelah diketahui distribusi datanya, selanjutnya dilakukan pengelompokan kelurahan berdasarkan nilai data tiap variabel menjadi lima kelas, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Pengelompokan menjadi lima kelas ini dimaksudkan agar dapat diketahui pula kelompok antara kelas ekstrim (sangat tinggi dan sangat rendah) dengan kelas tengah (sedang). Metode yang digunakan Quantile. Prahasta (2002: 52) menjelaskan bahwa pada metode quantile, setiap kelas ditandai dengan jumlah unsur-unsur peta yang sama. Nilai-nilai atribut unsur peta diurutkan (dari kiri ke kanan) mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Kemudian nilai-nilai atribut ini dibagi menjadi kelas-kelas. Misalnya lima nilai atribut poligon unsur peta yang terrendah (paling kiri) pada kelas pertama, lima nilai atribut poligon berikutnya pada kelas kedua, dan seterusnya.
Kelompok: Sangat tinggi; Tinggi; Sedang; Rendah; Sangat rendah.
Jumlah kelurahan. Range nilai.
Gambar 3 Kelurahan Berdasarkan Nilai Tanah per meter persegi Gambar 3 memperlihatkan bahwa ada 9 kelurahan yang mempunyai nilai tanah sangat tinggi, 18 kelurahan nilai tanahnya tinggi, 15 kelurahan nilai tanahnya
16
sedang, 45 kelurahan nilai tanahnya rendah, dan 76 kelurahan nilai tanah sangat rendah. Kelurahan yang nilai tanahnya sangat tinggi cenderung berada di pusat kota, sedang yang nilai tanahnya sangat rendah cenderung menyebar di pinggiran kota. Ini menunjukkan bahwa semakin jauh dari CBD, nilai tanah semakin menurun. Kelurahan yang nilai tanahnya yang sangat rendah itu berada di bagian barat, timur laut, tenggara, dan barat daya kota. Kelurahan tempat di mana pusat perbelanjaan itu berada, nilai tanahnya relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai tanah kelurahan sekitarnya, kecuali pada Kelurahan Tambaksari (Mal Surabaya).
Gambar 4 Perbandingan Nilai Tanah di Sekitar Mal Surabaya Pada gambar 4 tampak bahwa di sekitar Kelurahan Tambaksari (Mal Surabaya), ada lima kelurahan yang berbatasan langsung, yaitu Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Ketabang, Kelurahan Kapasari, Kelurahan Tambak Rejo, dan Kelurahan Ploso. Kelurahan Ketabang tergolong sangat tinggi (Rp1.317.760,00),
17
Kelurahan Tambak Rejo tergolong tinggi (Rp868.720,00), Kelurahan Kapasari tergolong sedang (Rp582.740,00), dan lainnya (Kelurahan Tambaksari, Kelurahan Pacar Keling dan Kelurahan Ploso) tergolong rendah (masing-masing Rp481.760,00, Rp435.350,00, dan Rp354.390,00). Pada gambar 5 telah tampak adanya 9 kelurahan yang mempunyai nilai tanah sangat tinggi. Dari 9 kelurahan itu dapat pula diketahui nilai tanah dan jumlah bangunan yang ada di tiap kelurahan tersebut. Perbandingan nilai tanah dan jumlah bangunan di tiga kelurahan yang sangat tinggi nilai tanahnya, yaitu Kelurahan Embong Kaliasin, Kelurahan Genteng, dan Kelurahan Kedung Doro ditunjukkan oleh gambar 4.
Gambar 5 Perbandingan Nilai Tanah Tertinggi 4.2 Analisis regresi linier Model fungsi secara umum seperti pada persamaan (1). Berdasarkan model fungsi umum itu, kemudian dibuat lima model fungsi estimasi, sesuai dengan jumlah pusat perbelanjaaan, seperti pada persamaan (2) sampai dengan persamaan (6). Tiaptiap model diuji dan dianalisis untuk mendapatkan model yang paling baik.
18
Selanjutnya untuk memudahkan, persamaan (2) disebut Model 1, persamaan (3) disebut Model 2, persamaan (4) disebut Model 3, persamaan (5) disebut Model 4, persamaan (6) disebut Model 5.
Tabel 4 Analisis Deskripsi dan Perbandingan Bentuk Variabel Model 1 Bentuk Selisih Variabel Mean : Median 1
2
Rasio Skew. 3
NIR 101.72 12.31 LNIR -0.01 -4.03 PDD 4357.33 8.15 LPDD 0.03 -4.78 RPT 0.55 7.47 LRPT -0.03 -6.02 PRMH 427.95 17.94 LPRMH -0.02 -5.18 PKT 21.22 37.00 LPKT 0.09 2.97 PBK 10.69 23.29 LPBK -0.05 -3.40 TK 71.29 38.54 LTK -0.08 -1.69 GD 2.93 39.52 LGD 0.04 7.14 Sumber: Lampiran 5.
Model 2
Model 3
Selisih Selisih Rasio Di Rasio Rasio Di Rasio Mean : Mean : Kurt. pilih Skew. Kurt. pilih Skew. Median Median 4
6.47 0.61 0.69 -1.37 2.18 1.38 28.03 4.69 91.28 -0.35 43.01 -0.67 105.31 -0.94 92.33 4.03
5
6
7
8
9
10
11
Model 4
Selisih Rasio Di Rasio Mean : Kurt. pilih Skew. Median 12
13
14
15
Model 5
Selisih Rasio Di Rasio Rasio Di Mean : Kurt. pilih Skew. Kurt. pilih Median 16
17
18
19
20
21
. 106.71 11.27 5.15 . 101.89 12.18 6.29 . 101.89 12.18 6.29 . 100.13 12.11 6.16 . V 0.02 0.27 -1.15 V -0.01 -3.22 1.01 V -0.01 -3.22 1.01 V 0.00 -1.53 -0.22 V . 1278.75 6.46 -0.15 . 738.05 7.86 0.55 . 738.05 7.86 0.55 . 1049.96 7.73 0.51 . V -0.07 -3.45 -3.04 V -0.11 -4.20 -1.82 V -0.11 -4.20 -1.82 V -0.09 -2.80 -3.36 V . 0.20 1.91 -2.88 . 0.15 2.71 -5.33 . 1.02 4.20 -3.92 . -0.07 3.21 -0.41 . V -0.03 -8.38 3.56 V -0.11 -5.78 -2.40 V 0.00 -7.19 1.84 V -0.04 -8.05 4.72 V . 483.21 18.58 30.16 . 457.38 17.86 28.01 . 457.38 17.86 28.01 . 478.70 17.90 27.91 . V 0.00 -3.28 6.44 V -0.01 -5.70 6.51 V -0.01 -5.70 6.51 V 0.00 -3.35 4.35 V . 19.71 32.03 73.05 . 21.05 35.97 87.40 . 21.05 35.97 87.40 . 20.82 35.10 84.16 . V 0.00 1.58 0.42 V 0.07 2.49 -0.34 V 0.07 2.49 -0.34 V 0.05 2.14 -0.19 V . 9.33 20.08 34.72 . 11.30 22.61 41.22 . 11.30 22.61 41.22 . 10.98 22.14 40.06 . V -0.09 -4.80 0.02 V -0.04 -3.69 -0.61 V -0.04 -3.69 -0.61 V -0.05 -4.17 -0.07 V . 78.35 35.23 92.07 . 74.62 37.51 101.11 . 74.62 37.51 101.11 . 76.82 36.67 97.70 . V 0.01 0.33 -0.12 V -0.05 -1.57 -0.84 V -0.05 -1.57 -0.84 V -0.02 -0.23 -1.27 V . 3.12 34.54 74.05 . 3.01 38.31 87.88 . 3.01 38.31 87.88 . 2.95 37.76 85.67 . V 0.03 7.18 3.85 V 0.04 6.87 3.44 V 0.04 6.87 3.44 V 0.03 7.24 3.95 V
Analisis deskriptif diperlukan untuk mengetahui distribusi data tiap variabel pada tiap model, sehingga dapat diperkirakan pula bentuk model yang sebaiknya akan digunakan. Apabila distribusi data mempunyai kecondongan, baik positif maupun negatif, transformasi data perlu dilakukan agar distribusinya bisa mendekati normal. Dengan transformasi, umumnya hasil analisisnya secara substansial menjadi lebih baik (Kuncoro, 2001: 60).
19
Tabel 5 Perhitungan Bentuk Log-log pada Model 1 Variabel
Koefisien
t-Statistik
Uji t
1
2
3
4
C LOG(PDD?) LOG(RPP?) LOG(PRMH?) LOG(PKT?) LOG(PBK?) LOG(TK?) LOG(GD?) R-squared Adjusted R-squared
5,224791 14,921149 Sigf. 0,130534 3,890097 Sigf. -0,500418 -13,357800 Sigf. -0,059422 -1,915612 Tdk.Sigf. 0,203180 10,731662 Sigf. -0,104818 -4,913926 Sigf. 0,126937 7,347117 Sigf. -0,135834 -7,381661 Sigf. 0,773002F-statistic 233,507787 0,769691F-tabel 2,01
Penentuan bentuk fungsi model regresi yang baik didasarkan pada bentuk variabel hasil analisis deskripsi seperti pada tabel 4, kemudian dilakukan pengujian secara statistik. Pengujian statistik meliputi uji statistik t, uji statistik F, dan uji koefisien determinasi R2 maupun Adjusted R2. Hasil yang diperoleh dalam analisis deskripsi, sebagaimana terangkum pada tabel 4, diterapkan dalam analisis regresi. Hasil ringkasnya seperti pada tabel 5. Tabel 6 Penerapan Model Autoregresif Tingkat 1 pada Model 1 (Plasa Tunjungan) Variabel
Koefisien
t-Statistik
Uji t
Keterangan
1
2
3
4
5
C LOG(PDD?) LOG(RPP?) LOG(PRMH?) LOG(PKT?) LOG(PBK?) LOG(TK?) LOG(GD?) AR(1)
6,012853 -0,005355 -0,391274 0,0907784 0,2140654 -0,159486 0,0498832 -0,167938 0,9130053
Sumber: Lampiran 6 (diolah).
9,258717 Sigf. t tabel -0,201814 Tdk.Sigf. R-squared -3,097323 Sigf. Adj. R-sq 0,796094 Tdk.Sigf. F-statistic 3,158387 Sigf. F tabel -1,610884 Tdk.Sigf. 3,339480 Sigf. -2,074496 Sigf. 49,964795 Sigf.
1,96 0,977242 0,976783 2.130,915519 2,01
20
Pada Model 1 tersebut dapat ditingkatkan lagi kemampuan prediksinya dengan menggunakan model autoregresif, yaitu model yang menunjukkan bahwa nilai Y saat ini merupakan fungsi linier dari sejumlah Y aktual sebelumnya (Kuncoro, 2001: 109,178). Karena itu, pada Model 1 diterapkan model autoregresif tingkat 1, artinya model yang mengandung autokorelasi antara nilai tanah saat ini dengan nilai tanah satu tahun yang lalu. Tabel 6 adalah ringkasan hasil perhitungan model autoregresif tingkat 1 pada Model 1: Penerapan model autoregresif tingkat 1 terbukti dapat meningkatkan kemampuan prediksi yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai R2 dari 0,7730 menjadi 0,9772 dan nilai adjusted R2 dari 0,7697 menjadi 0,9768. Dampak lain adalah pada nilai uji statistik, yaitu adanya tiga variabel bebas yang tidak signifikan sebagai variabel penjelas bagi variabel terikat, yaitu variabel kepadatan penduduk, jumlah bangunan rumah, dan jumlah bangunan pabrik, karena nilai t statistiknya lebih kecil daripada nilai t tabel. Namun karena nilai F statistik signifikan (2.130,92 > 2,01), maka variabel tersebut tetap diperhitungkan. Jadi model yang baik untuk Model 1 adalah bentuk double log dengan autoregresif tingkat 1. Cara yang telah diterapkan pada Model 1, diterapkan pula pada model yang lain. Nilai koefisien tiap-tiap model seperti pada tabel 7. Variabel-variabel yang tidak signifikan pengaruhnya terhadap nilai tanah adalah variabel kepadatan penduduk, jumlah bangunan rumah, dan jumlah bangunan pabrik. Untuk Model 3 dan Model 5, selain tiga variabel tersebut, satu variabel lainnya yang juga tidak signifikan, yaitu variabel jarak ke pusat perbelanjaan. Walaupun variabel-variebel tersebut tidak signifikan, tetapi perlu tetap diperhitungkan karena nilai F yang dihasilkan pada tiaptiap model tersebut signifikan (F-statistik > F-tabel), yang berarti bahwa semua
21
variabel bebas mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat nilai tanah. Pada umumnya ada keseragaman hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variabel terikat pada ke lima model tersebut, kecuali pada variabel jumlah bangunan rumah, dengan elastisitas yang berbeda-beda yang ditunjukkan oleh nilai koefisiennya. Variabel jumlah bangunan rumah mempunyai hubungan positif dengan nilai tanah pada Model 1, Model 3, dan Model 4, sedangkan pada Model 2 dan Model 5 mempunyai hubungan negatif. Tabel 7 Perbandingan Hubungan Variabel Bebas dan Terikat Tiap Model Variabel
1
C LOG(PDD?) LOG(RPP?) LOG(PRMH?) LOG(PKT?) LOG(PBK?) LOG(TK?) LOG(GD?) AR(1) R2 Adjusted R2 F statistik * Signifikan di alfa = 1%; ** Signifikan di alfa = 5%;
Model 1 Plasa Tunjungan
Model 2 Plasa Surabaya
Koefisien Model 3
Model 4
Plasa J. Merah Mal Surabaya
Model 5 Mal Galaksi
6,012853* -0,005355*** -0,391274* 0,090778*** 0,214065* -0,159486*** 0,049883* -0,167938** 0,913005*
3 7,118465* -0,025152*** -0,314757** -0,085778*** 0,226938* -0,014070*** 0,050963* -0,209466** 0,919368*
4 5,730269* -0,004219*** -0,144222*** 0,094099*** 0,247269* -0,175239*** 0,045187* -0,202864** 0,918463*
5 5,887058* -0,005837*** -0,206140** 0,078330*** 0,235749* -0,159394*** 0,046348* -0,187504** 0,914077*
6 6,838077* -0,019793*** -0,119456*** -0,078112*** 0,260906* -0,037448*** 0,046109* -0,195668** 0,925810*
0,9772
0,9686
0,9744
0,9744
0,9731
0,9679 0,9738 1.314,7399 1.833,4413 *** Tidak signifikan.
0,9739 1.838,6807
0,9725 1.701,1097
2
0,9768 2.130,9155
Selain ketujuh variabel tersebut, ternyata nilai tanah saat ini juga dipengaruhi oleh nilai tanah satu tahun sebelumnya. Ini terlihat dari adanya variabel autoregresif tingkat 1 yang harus ditambahkan untuk mendapatkan model yang baik, sehingga model tersebut menjadi model autoregresif tingkat 1. Hal ini sesuai dengan kenyataan
22
di masyarakat yang menunjukkan bahwa nilai tanah tahun sebelumnya selalu dijadikan pedoman dalam menentukan nilai tanah saat ini, kemudian menyusul variabel lain. Walaupun tanah di suatu lokasi tidak diusahakan, nilai tanahnya akan mengalami kenaikan pada tahun berikutnya. Ini karena bekerjanya variabel-variabel di luar nilai tanah itu, yang turut berpengaruh terhadap nilai tanah. 5.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Hasil analisis SIG menunjukkan adanya kecenderungan mengelompoknya pusat perbelanjaan di pusat kota dan di sekitarnya. Plasa Tunjungan dan Plasa Surabaya saling berdekatan (0,9 km), berada di tengah wilayah Surabaya Pusat, tempat pusat pemerintahan kota. Plasa Jembatan Merah di Surabaya Utara, terletak relatif dekat ke pusat kota (2,9 km dari Plasa Tunjungan), Mal Surabaya dan Mal Galaksi terletak berjauhan di Surabaya Timur. Mal Surabaya dekat ke pusat kota (1,3 km dari Plasa Surabaya), sedangkan Mal Galaksi relatif jauh dari pusat kota ke arah tenggara (3,7 km dari Plasa Surabaya); 2. ada
sembilan
kelurahan
yang
mempunyai
nilai
tanah
sangat
tinggi
(Rp1.200.000,00 – Rp2.600.000,00), tujuh di antaranya terletak di Surabaya Pusat, sekitar Plasa Tunjungan dan Plasa Surabaya, sedangkan dua lainnya terletak di sekitar Plasa Jembatan Merah (ke arah pusat kota), Surabaya Utara. Nilai tanah kelurahan tempat Mal Galaksi, masuk pada kelompok tinggi (Rp600.000,00 – Rp1.200.000,00). Nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai tanah kelurahan di sekitarnya;
23
3. hasil regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu nilai tanah di Kota Surabaya adalah nilai tanah tahun sebelumnya, jumlah bangunan perkantoran, jumlah bangunan toko, jarak ke pusat perbelanjaan, dan jumlah bangunan bengkel/gudang/pertanian. Namun jarak ke Plasa Jembatan Merah dan Mal Galaksi bukan merupakan faktor penentu nilai tanah yang signifikan. Nilai tanah tahun sebelumnya sangat besar pengaruhnya bila dibandingkan dengan variabel lainnya, kemudian jumlah bangunan perkantoran dan jumlah bangunan toko. Ini berarti bahwa para pelaku pasar memberikan perhatian yang sangat besar pada nilai tanah tahun sebelumnya dalam menentukan nilai tanah saat ini. Semua faktor penentu nilai tanah tersebut di atas pada umumnya bersifat konsisten untuk semua pusat perbelanjaan (tidak ada variasi antar pusat perbelanjaan). 6. Saran Hal yang dapat disarankan berkaitan dengan penelitian ini adalah: 1. perumusan rencana umum tataruang wilayah Surabaya dapat memperhatikan hasil penelitian ini. Misalnya dalam memberikan Ijin Mendirikan Bangunan pusat perbelanjaan, hendaknya diarahkan pada kelurahan yang mempunyai nilai tanah rendah (umumnya di pinggiran kota) dengan jumlah penduduk dan jumlah bangunan rumah yang tinggi (mencerminkan pangsa pasar). Melalui penelitian ini diketahui bahwa semakin dekat suatu lokasi ke pusat perbelanjaan, nilai tanahnya semakin tinggi, sementara kepadatan penduduk dan jumlah bangunan rumah tidak signifikan berpengaruh terhadap nilai tanah. Dengan demikian nilai tanah di kelurahan tersebut dapat naik; 2. peningkatan potensi Pajak Bumi dan Bangunan di suatu kelurahan dapat dilihat melalui hasil penelitian ini, yaitu dengan membandingkan antara potensi yang
24
telah diketahui dengan hasil estimasi nilai tanah. Jika hasil estimasi lebih besar, berarti ada potensi penerimaan PBB yang belum digali di kelurahan itu. Misalnya telah diketahui nilai tanah di suatu kelurahan adalah Rp500.000,00 per meter persegi, padahal hasil estimasi nilai tanah di kelurahan tersebut mencapai Rp550.000,00 per meter persegi, berarti ada potensi sebesar Rp50.000,00 permeter persegi yang dapat digali untuk meningkatkan penerimaan PBB; 3. penelitian yang lebih rinci oleh peneliti selanjutnya berkaitan dengan kasus serupa, terutama dengan penggunaan Analisis Spasial (SIG) karena analisis tersebut sangat bermanfaat bagi kegiatan penilaian properti dalam memahami lokasi suatu obyek terhadap obyek lainnya; 4. penggunaan alat analisis lainnya, misalnya analisis logit, atau analisis gravitasi, ataupun menggabungkan kelima model regresi menjadi satu model regresi, dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dari hasil penelitian ini; 5. penggunaan data berdasarkan nilai pasar atau penggunaan rata-rata tertimbang nilai tanah dapat merefleksikan variasi nilai tanah yang mendekati kenyataan dan gambaran kenaikan nilai tanah yang bervariasi dari tahun ke tahun antara satu daerah penelitian dengan daerah penelitian lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Appraisal Institute, 1993, The Dictionary of Real Estate Appraisal, 3rd ed., Chichago. Appraisal Institute, 2001, The Appraisal of Real Estate, 12th edition, Appraisal Institute, Chicago. Aronoff, 1989, Geographic Information System; A Management Perspective, WDL Publications, Ottawa. Boedijoewono, 2001, Pengantar Statistik Ekonomi dan Perusahaan 2, Edisi Revisi, AMP YKPN, Yogyakarta. BPS Surabaya, 1996 – 2001, Surabaya dalam Angka, Surabaya. Budiyanto, Eko, 2002, Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS, Andi, Yogyakarta. Crafts, John M., 1998, “Impact of Commercial Development on Adjancent Residential Properties”, The Appraisal Journal, January 1998, 6 – 10. Cooper, John M., 2002, Assets Appraisal/Valuation for Financial Restructuring, IASTP-II. Danoedoro, Projo, 1996, Pengolahan Citra Digital, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Dasso, Jerome J., 1995. Real Estate, 12th edition, Prentice Hall, New Jersey. DeMers, Michael N., 1997, Fundamental of Geographic Information Systems, John Wiley & Sons, Singapore. Eckert, Josep K., Gloudemans and Almy Richard R., 1990. Property Appraisal and Assessment Administration, The International Association of Assessing Officer, Chicago, Illinois. Eppli, Mark J., 1998, “Value Allocation in Regional Shopping Centers”, The Appraisal Journal, April, 198 – 206. Figueroa, Roberto A.,1999, “Modeling the Value of Location in Regina Using GIS and Spatial Autocorrelation Statistics”, Assessment Journal, November/ December, 29 – 37. Gujarati, Damodar, 1995, Basic Econometrics, 3rd ed., McGraw-Hill Inc., Singapore.
1
2
Hearn, Joy, 1999, “How to Analyze Land Values in the Luxury Market”, The Appraisal Journal, Juli, 238 – 245. Hidayati, Wahyu, 1999, Pengaruh Pusat Kegiatan Ekonomi terhadap Nilai Tanah di Yogyakarta, Tesis S2, Program Pascasarjana UGM, (tidak dipublikasikan). IAAO, 1990, Property Appraisal and Assessment Administration, Chicago, Illinois. Insukindro, 2001, Ekonometrika Dasar dan Penyusunan Indikator Unggulan Ekonomi, Modul Lokakarya Ekonomtrika dalam Rangka Penjajakan Leading Indikator Export di KTI, 3-6 September 2001, Makassar. Kuncoro, Mudrajad, 2001, Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, AMP YKPN, Yogyakarta. Kuncoro, Mudrajad, 2002, Analisis Spasial dan Regional, AMP YKPN, Yogyakarta. Levy, John M., 1985. Urban and Metropolitan Economics, McGraw-Hill, New York. Noegroho, Pantja Edi, 2001, Pengaruh Pola Penyebaran Pertokoan terhadap Nilai Tanah, Tesis S2, Program Pascasarjana UGM, (tidak dipublikasikan). Prahasta, Eddy, 2002, Sistem Informasi Geografi: Tutorial ArcView, Informatika, Bandung. Pusat Data Bisnis Indonesia, 1997, Properti Indonesia, edisi 4, Jakarta. Reksohadiprodjo, Sukanto, dan Karseno, A.R., 2001, Ekonomi Perkotaan, edisi 4, BPFE, Yogyakarta. Santoso, Singgih, 2001, SPSS versi 10, Elex Media Komputindo, Jakarta. Sumodiningrat, Gunawan, 2001, Ekonometrika Pengantar, BPFE, Yogyakarta. Syah, Alfian, 1997, Pengaruh Konsentrasi Pertokoan terhadap Nilai Tanah: Studi Kasus di Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur, Tesis S-2, Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan). Vernor, James D., 1993. Shopping Center Appraisal and Analysis, Appraisal Institute, Chicago, Illinois. Ward, Richard D; Weaver, James R; German, Jerome C.,1999, Improving CAMA Models Using Geographic Information Systems / Response Surface Analysis Location Factors, Assessment Journal, Januari/Februari, 30 – 38.