LOKAKARYA NASIONAL PENGAKUAN STUDI WANITA SEBAGAI BIDANG ILMU
ANALISIS FILSAFAT ILMU TERHADAP KAJIAN WANITA SEBAGAI BIDANG ILMU
By: Tri Lisiani Prihatinah, SH,MA,Ph.D. Law Faculty of Jenderal Soedirman University (UNSOED)
[email protected]
27 – 28 Oktober 2010 Program Magister Kajian Wanita Program Pascasarjana Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan LPPM Universitas Brawijaya - Malang
1
Tri Lisiani Prihatinah, SH,MA,Ph.D.
ANALISIS FILSAFAT ILMU TERHADAP KAJIAN WANITA SEBAGAI BIDANG ILMU Law Faculty of Jenderal Soedirman University
[email protected]
ABSTRACT It cannot be denied that women’s studies have already widespread academically in Indonesia and overseas. It position as a science, however, is questioned not only by feminists but also by nonfeminists. This paper constructs on how the traits of philosophy of science can be applied into women’s studies domain. To do this construction, I used feminist approach as a critical tool for analysis. I investigate whether it is possible women’s studies can be a science or it is only a knowledge. The result showed that although there is pros and cons on the existence of women’s studies, three core of philosophy rightness namely ontology, epistemology and axiology, as well as legal acknowledgement from Indonesian Government support women’s studies become a science. Key words: philosophy, women’s studies, science ABSTRAK Tidak dapat ditolak bahwa Kajian Wanita sudah tersebar luas secara akademik baik di Indonesia maupun di luar negeri. Hanya saja posisi Kajian Wanita sebagai bidang ilmu masih dipertanyakan oleh para feminis dan non-feminis. Artikel ini mengkonstruksikan bagaimana sifat-sifat filsafat ilmu terdapat dalam bidang Kajian Wanita. Untuk melakukan konstruksi itu, saya menggunakan pendekatan feminis sebagai alat kritis dalam menganalisis permasalahan ini. Saya meneliti kemungkinannya Kajian Wanita digolongkan sebagai ilmu atau hanya sebatas pengetahuan saja. Hasilnya adalah bahwa meskipun terdapat silang pendapat terhadap keberadaan Kajian Wanita tersebut, kebenaran filsafat ilmu baik berupa kebenaran ontology, epistemology maupun aksiologi begitu juga pengakuan hukum Pemerintah Indonesia mendukung Kajian Wanita sebagai bidang ilmu. Kata kunci: filsafat ilmu, Kajian Wanita, ilmu pengetahuan
2
I.
PENDAHULUAN
Dilemparkannya pertanyaan apakah Kajian Wanita sebenarnya merupakan suatu bidang ilmu atau sekedar sebuah pengetahuan merupakan hal yang patut dijelaskan dengan baik karena esensi dari ilmu adalah dapat diberikannya alasan-alasan secara akademik. Pertanyaan tersebut tidak hanya dilemparkan oleh mereka yang berada di luar bidang Kajian Wanita, tetapi bahkan diperdebatkan juga dikalangan sarjana yang sudah bergelut dalam Kajian Wanita itu sendiri. Secara tradisi perempuan dari awal diberi jarak dari ilmu pengetahuan karena perempuan selalu dikonsepsikan memiliki sifat-sifat alamiah yang bias laki-laki. Menurut Otto Weininger dalam bukunya Sex and Character yang menjadi masterpiece era ilmu pengetahuan moderen di awal abad 20 mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan bahwa perempuan berada di luar ilmu pengetahuan karena ilmuwan selalu merindukan kebenaran, sedangkan perempuan hanya menginginkan kebalikan dari kebenaran, yaitu penderitaan.. (Otto Weininger, 1906, hal. 194). Senada dengan Weininger, lebih jauh dikatakan oleh Sigmund Freud seperti dikutip oleh Mariana Amiruddin bahwa ‘anatomi adalah takdir’ yang mengeluarkan perempuan dari seluruh proses penjelasan tentang kediri-annya, sehingga perempuan hanya menjadi obyek studi.(2006, hal. 18). Dalam konsepsi yang bias gender ini, warna eksistensi hidup perempuan ditentukan oleh lakilaki. Latar belakang inilah yang merupakan salah satu alasan lahirnya pemikiran feminis dengan melakukan argumen bahwa warna hidup perempuan lebih baik kalau ditentukan oleh perempuan sendiri, bukan oleh laki-laki. Inspirasi ini menimbulkan lahirnya gelombang gerakan perempuan secara universal termasuk dinamika kehidupan akademik. Tulisan ini menjelaskan beberapa hal yang menjawab keraguan dimasukkannya Kajian Wanita sebagai bidang ilmu. Dalam awal tulisan ini dipaparkan persoalan esensi dari ilmu itu sendiri. Dilanjutkan dengan pemahaman bersama tentang Wanita dalam kedudukannya sebagai suatu kajian. Di bab terakhir dipaparkan juga dialog mencari benang merah antara Kajian Wanita dengan bidang ilmu itu sendiri. Guna memperjelas beberapa uraian tersebut, disampaikan juga kebenaran ontologis, epistemologis dan aksiologis sebagai fokus dari Kajian Wanita sebagai suatu bidang ilmu. II. RUMUSAN PERMASALAHAN Dengan mendasarkan pada pendahuluan yang sudah disebut di muka, maka rumusan permasalahan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimana analisis filsafat ilmu terhadap Kajian Wanita sebagai suatu bidang ilmu? III. METODOLOGI Penulisan dalam penelitian ini menggunakan analisis filsafat ilmu untuk membedah eksistensi Kajian Wanita sehingga diperoleh gambaran yang jelas posisinya dalam bidang ilmu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan feminis dengan melakukan literatur-review termasuk didalamnya melakukan analisis kritis terhadap pendapat dan argumen yang dimunculkan. Meskipun data yang digunakan adalah data sekunder, tetapi dipilih data yang terdapat didalamnya suatu fakta empiris dari perkembangan keberadaan Kajian Wanita di Indonesia.
3
IV. KERANGKA TEORI DAN PEMBAHASAN A. Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan Pengetahuan sebetulnya berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan karena ilmu yang lebih luas cakupannya dari pengetahuan karena ilmu merupakan akumulasi dari pengetahuan. (Beni Ahmad Saebani, 2009, hal. 34). Ilmu (pengetahuan) harus dibedakan dengan pengetahuan bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya. (The Liang Gie, 1998, hal.104). Sedangkan ilmu (pengetahuan) adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. Ini berarti pengetahuan lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu pengetahuan lebih sistematis dan reflektif. (A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, 2001, hal.22). Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang membahas secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri khusus tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namum karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsip antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. (Yuyun S Suriasumantri, 2007, hal. 33.). Dibanding dengan pengetahuan, maka ilmu pengetahuan atau biasa disingkat dengan ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologism, epistemologis dan aksiologisnya telah lebih berkembang dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Dari pengertian inilah sebenarnya berkembang pengertian ilmu sebagai disiplin yakni pengetahuan yang berkembang dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggungjawab dan kesungguhan. Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengethuan yang lainnya, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologism)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? (Yuyun S Sumantri, Filsafat Ilmu, 2007, hal. 35). Pertanyaanpertanyaan ini memberikan kita gambaran kriteria untuk dikatakan sebagai ilmu. Sementara Gunawan Setiardja menarik memberikan beberapa garis besar yang melekat pada ilmu atau ilmu pengetahuan, yaitu: 1. sistematis 2. bercorak universal, 3. berbahasa ilmiah, 4. observasi ilmiah, 5. obyektivitas dan intersubyektivitas 6. bercorak progresif termasuk sifat kritis didalamnya, 7. mengandung aspek transendensi, dapat dipergunakan berkaitan dengan teori dan praktis. (Gunawan Setiardja, 2000, hal. 48).
4
Dari sudut yang berbeda menurut Benard Arief Sidharta mendefinisikan ilmu mengandung dua makna yakni sebagai produk dan sebagai proses. (1999, hal.4). Sebagai produk ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu system. Menurut asal usulnya kata “science” berasal dari kata latin “scientia” yang berarti pengetahuan. Pada kelanjutannya kata ini berasal dari bentuk kata kerja “scire” yang artinya mempelajari, mengetahui. Cakupan ilmu yang pertama dan tertua sesuai asal usul kata “science” ini mengacu pada pengetahuan semata-mata mengenai apa saja. Istilah “science” atau “ilmu” dalam pengertiannya yang lengkap dan menyeluruh adalah serangkaian kegiatan manusia dengan pikirannya dan menggunakan berbagai tatacara sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang teratur mengenai gejala-gejala alami, kemasyarakatan dan perorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan atau melakukan penerapan. (The Liang Gie, 1998, hal.19). Sementara sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan mengkaji gejala-gejala yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau dilazimkan dalam lingkungan komunitas sekeahlian dalam bidang yang bersangkutan. Aspek ilmu sebagai produk dan proses dikemukakan oleh C.A. van Peursen seperti dikutip The Liang Gie yang sekaligus menampilkan fungsinya, bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan, sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan, yang dijalankan orang terhadap (berkenaan) dengan kenyataannya. (The Liang Gie, 1998, hal.104). B. Kajian Wanita Sejak kelahirannya, ilmu (khususnya ilmu sosial dan humaniora) ditandai bias laki-laki. Bahkan sejak berabad-abad wacana ilmu khususnya riset tentang masalah perempuan dirancang, diinterpretasikan dan dianalisis berdasarkan cara pandang yang maskulin, tidak berakar pada pengalaman hidup perempuan itu sendiri. (Sulistyowati Irianto, & Shidarta, 2009, 247, Shulamith Reinharz, 1992 dan Jalaludin Rahmat, 1994). Bahkan sejak 485 SM dikatakan oleh Protagoras yang mengatakan bahwa ”man is the measure of all things” termasuk pengukuran ilmu itu sendiri yang semuanya tergantung pada laki-laki dengan pengalaman uniknya sendiri. (Carol Travis,1992). Oleh karena itu, para sarjana feminis melakukan gerakan untuk merevisi ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi sejak pemikiran feminisme memasuki wacana dunia perguruan tinggi. (Sulistyowati Irianto dan Shidarta, 2009, 247) Cara melakukan revisi ini dilakukan dengan mengakui adanya eksistensi perempuan dalam kehidupan. Untuk itu Sandra Harding dalam setiap kajian dan analisis ilmu pengetahuan harus dilakukan dengan ” menambahkan perempuan” (adding women). Hal ini dilakukan karena menguniversalkan pengalaman perempuan sama dengan lakilaki dalam semua aspek adalah merupakan refleksi bias gender. (dalam Elli Nur Hayati, 2006, hal. 11). Menurut Dorothy Smith, feminisme adalah sebuah teori, gerakan, epistemologi dan praktek yang sangat merindukan kebenaran. Senada dengan Dorothy Smith, Kum-Kum Bhavnani seperti dikutip oleh Mariana Aminuddin yang menyatakan perempuan menginginkan konsep yang mengakui keberadaan dirinya, sehingga nantinya
5
keputusan-keputusan perempuan menjadi keputusan-keputusan yang berangkat dari nilai dan pengetahuan yang dicapai perempuan sendiri, bukan dari orang lain. (2006, hal.24). C. Benang Merah Kajian Wanita dengan Bidang Ilmu Sementara kalau esensi pemahaman ilmu dipakai sebagai alat analisis untuk menentukan apakah “Kajian Wanita” merupakan ilmu atau sekedar pengetahuan, maka harus dikaji dulu Kajian Wanita itu dari esensi ilmu yaitu dari tiga sudut pandang kebenaran ilmu yaitu kebenaran ontologism, epistemologis dan aksiologis. Dari sudut ontologism,….Hal ini membahas mengenai apa yang ingin diketahui, seberapa jauh ingin mengetahui atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Ontologis yaitu bagaimana kita memandang realitas kehidupan. Ontologis berasal dari kata ontos berarti ada, dan logos berarti ilmu. Tujuan dari kebenaran ontologism ini yaitu untuk mencapai ultimate reality. Sementara dalam penelitian feminis mengakui subyektivitas, memprioritaskan women’s ways of knowing, dan menggunakan berbagai macam metode untuk mengakses isu yang sensitive bagi perempuan dan mengkinikan pengalaman perempuan. (Wolf, 1996). Tetapi dengan caracara seperti inilah realitas sesungguhnya kehidupan perempuan dapat diketahui. Dilihat dari cara mendapatkannya, maka Kajian Wanita,….. Hal ini mengatur tentang bagaimana cara mendapatkan obyek kajian merupakan ranah epistemology yaitu teori pengetahuan. Jurnal hal 14. jurnal hal.13: Dari sudut metodologi feminis adalah epistemology. Maka dalam penelitian feminis harus memakai pengalaman hidup, pemikiran, refleksi, interpretasi dan formulasi pengalaman perempuan sebagai titik tolak pijakan riset. Intersubyektivitas, bersama-sama menggunakan pengetahuan dan pengalaman sangat mungkin disarankan baik untuk peneliti maupun untuk informan. (Vickie Rutledge Shields dan Brenda Dervin, 1993, hal 65-81). Sementara dari sudut aklsiologi, Kajian Wanita berguna …. Hal ini untuk menjawab pertanyaan nilai kegunaan pengetahuan tersebut. (Yuyun S Suriasumantri, 1984, hal. 4). Nilai pengetahuan berdasarkan landasan aksiologi bagi kepentingan hidup manusia yaitu nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan? Sedangkan aksiologi adalah bagaimana nilai-nilai yang kita miliki mempengaruhi penelitian kita. (Jurnal, hal. 14)
Penelitan berasal dari kata teliti yang artinya mempelajari sesuatu secara teliti dan mendalam. Kegiatan ”meneliti” dan mencoba dengan kemungkinan gagal (trial and error). Dalam bahasa Inggris penelitian dikenal dengan istilah research. Definisi Research adalah,”systematic investigation to establish facts atau a search for knowledge”. Jadi titik tekan suatu penelitian adalah menemukan secara sistematis faktafakta untuk menyusun pengetahuan. Fakta artinya “a concept whose truth can be proved”, suatu konsep yang membuktikan suatu kebenaran. Sedangkan pengetahuan artinya “the psychological result of perception and learning and reasoning”, buah dari persepsi, belajar dan pertimbangan yang sehat secara akal budi. Kesimpulannya penelitian adalah proses mencari bukti-bukti kebenaran lewat persepsi, belajar dan berfikir sehingga tertanamlah dalam jiwa kita suatu keyakinan yang kuat. Penelitian Ilmiah adalah suatu proses pemecahan masalah dengan menggunakan prosedur yang sistematis, logis, dan empiris sehingga akan ditemukan suatu kebenaran. Hasil penelitian ilmiah adalah kebenaran atau pengetahuan ilmiah, Penelitian ilmiah yang
6
selanjutnya disebut penelitian atau riset (research) memiliki ciri sistematis, logis, dan empiris. Sistematis artinya memiliki metode yang bersistem yakni memiliki tata cara dan tata urutan serta bentuk kegiatan yang jelas dan runtut. Logis artinya menggunakan perinsip yang dapat diterima akal. Empiris artinya berdasarkan realitas atau kenyataan. Jadi penelitian adalah proses yang sistematis, logis, dan empiris untuk mencari kebenaran Banyak yang mengatakan bahwa feminisme semata-mata ideologi yang mendorong gerakan sosial untuk memperjuangkan status perempuan, artinya sangat politis (dan tidak akademis). Karena sifat politisnya, maka feminis dianggap sebuah cara pandang atau perspektif yg berpihak pada perempuan, sangat subyektif, berlawanan dengan syarat ilmu pengetahuan yang obyektif. Sehingga baik laki-laki maupun perempuan yang tidak feminis, maka dinilai tidak obyektif. (Mariana Amiruddin, 2006, hal. 19). Ketidakobyektifan ini menjadikan ketidaksetujuan menjadikan Kajian Wanita menjadi sebuah disiplin ilmu. Tetapi hal ini ditampik ilmuwan feminis dengan mengajukan argumentasi bahwa seorang peneliti bisa obyektif kalau subyek penelitiannya adalah juga manusia seperti dirinya. (Sulistyowati, 2009, hal, 250). Hal ini dikarenakan subyek penelitian perempuan akan dapat memungkinkan tergalinya kebenaran-kebenaran sesungguhnya yang muncul saat dilakukan pengambilan informasi. Tetapi patut untuk dikembalikan pada analisis bahwa feminis memberi sumbangan positif bagi ilmu pengetahuan dengan salah satunya mengadakan penyelidikan sejarah pengetahuan yang tidak melibatkan perempuan-perempuan yang akibatnya hanya membuat kehidupan perempuan menjadi lebih sulit. (Mariana Amiruddin, 2006, hal. 1725). Ternyata sebagai ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai pada kritik ketidakmelibatkan perempuan dan akibat negatif pada kehidupan perempuan saja. Berkat sejumlah argumentasi ilmiahnya, sejumlah universitas baik di dalam maupun di luar negeri, akhirnya mau mendirikan program studi bernama Women’s Studies atau biasa disebut Kajian Perempuan atau Kajian Feminis atau Kajian Gender. Kajian ini merupakan suatu bentuk kajian yang relatif baru, menggunakan kerangka berpikir kritik dalam paradigma ilmu-ilmu sosial. (Mariana Amiruddin, 2006, hal. 21). Di Indonesia sendiri, kajian ini di universitas baru berkembang tahun 1990, salah satu diantaranya menjadi program pasca sarjana di Universitas Indonesia. Pusat Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia (PSKW UI) adalah pendidikan magister yg selama hampir 20 tahun sejak berdirinya masih merupakan program pendidikan magister kajian perempuan pertama di Indonesia. Kajian perempuan dan jender, juga memiliki ciri khusus yang berbeda dengan bidangbidang ilmu lain yang mengusung sifat-sifat kemapanan, yakni kritis dan diarahkan pada upaya pemampuan masyarakat khususnya bagi perempuan. Lebih jauh lagi program studi Kajian Wanita di bawah Program Pascasarjana Universitas Indonesia ini sudah diakui eksistensinya secara hukum dengan diresmikan program ini dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 24/DIKTI/Kep/1994 tanggal 28 Januari 1994.
7
V. KESIMPULAN Setiap bentuk pemikiran manusia pada intinya dapat dikembalikan dalam dasardasar suatu ilmu baik dari sudut ontologI, epistemologI dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Dengan bertolak pada ketiga landasan tersebut dan dengan mendasarkan pada fakta empiris berkembangnya Kajian Wanita baik sebagai gerakan sosial politis maupun akademis, maka dapat dipahami bahwa Kajian Wanita dikategorikan sebagai kajian ilmu. Apalagi negara juga sudah melegitimasi keberadaan Kajian Wanita sebagai bidang ilmu dengan dikeluarkannya Keputusan Dari Dirjen Tinggi Depdikbud tahun 1994 yang melegalkan keberadaan Bidang Studi Kajian Wanita UI di tingkat pasca sarjana. DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, Mariana, 2006, “Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran”, dalam Jurnal Perempuan, No. 48, hal. 17-25. Gie, The Liang, 1998, Sejarah Ilmu-Ilmu dari Masa Kuno Sampai Zaman Modern, Yogyakarta, Penerbit PUBIB & Sabda Persada, hal.104 Hayati, Elli Nur, 2006, ”Ilmu Pengetahua + Perempuan = …”, dalam Jurnal Perempuan, No. 48, hal. 7-16. Irianto, Sulistyowati, 2009, ”Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal” dalam Selistyowati Irianto dan Shidarta (Eds.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Indonesia. Keraf, A. Sony dan Dua, Mikhael, 2001, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hal.22 Saebani, Beni Ahmad, 2009, Filsafat Ilmu-Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung, Pustaka Setia, hal. 34. Setiardja, Gunawan, 2000, Manusia dan Ilmu Telaah Filsafati atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan, Semarang, Penerbit Magister Ilmu Hukum UNDIP, hal. 48 Shields, Vickie Rutledge dan Dervin, Brenda, 1993, “Sense-making in Feminist Social Science Research: A call to Enlarge the Methodological Options of Feminist Studies,” dalam Women’s Studies International Forum, 16(1), hal 65-81 Sidharta, Bernard Arief, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hal.4. Suriasumantri, Yuyun S, 2007, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hal. 33. ----------------, Yuyun S, 1984, Ilmu dalam Perspektif, Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan LEKNAS-LIPI, Jakarta. Travis, Carol, 1992, The Mismeasure of Woman, New York, Simon & Schuster. Weininger, Otto, 1906, Sex and Character, G.P. Putnam’s Sons, New York, hal. 194. Wolf, D. (Ed.), 1996, Feminist Dilemmas in Fieldwork, Boulder CO,Westview Press.
8