Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013
LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK S.U. Utami1, C.Y. Yatini2,*, J.A. Utama1,* 1
Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Liputan Awan Total di Kawasan Sekitar Khatulistiwa Selama Fase Aktif dan Tenang Matahari Siklus 21 & 22 dan Korelasinya dengan Intensitas Sinar Kosmik Telah dilakukan analisis korelasi antara liputan awan total di kawasan sekitar khatulistiwa (100 LU – 120 LS dan 900 BT – 1420 BT) dan intensitas sinar kosmik memanfaatkan data liputan awan total yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta data sinar kosmik bulanan dari stasiun Huancayo, Peru. Pengolahan data dilakukan dengan membagi lintang geografis yang dicakup ke dalam grid dengan interval dua derajat. Untuk memperoleh nilai koefisien korelasi terbaik telah dilakukan teknik pergeseran waktu kejadian liputan awan total terhadap sinar kosmik dalam rentang 2 – 7 bulan dan hanya meninjau puncak fase aktif dan tenang Matahari yang bersesuaian dengan siklus Matahari ke-21 dan 22. Melalui teknik di atas dapat diperoleh nilai koefisien korelasi dalam kisaran 0,04 – 0,63 (tidak ada korelasi hingga korelasi dalam tingkat sedang). Studi yang dilakukan ini hanya memperhitungkan kontribusi sinar kosmik tanpa menyertakan faktor letak geografis wilayah yang ditinjau, apakah kawasan benua ataukah maritim. Kata kunci : Aktivitas Matahari, Liputan Awan Total, Sinar Kosmik.
ABSTRACT Total Cloud Coverage on Equator Region in Solar Active and Quiet Phase of 21st & 22nd Cycle and Its Correlation with Cosmic Ray Intensity We have analyzed the correlation between total cloud cover in the area around equator (100 N – 120 S and 900 E – 1420 E) with the intensity of cosmic rays by using data obtained from Indonesian Meteorological, Climatological and Geophysical Agency (BMKG) as well as monthly cosmic ray data from Huancayo station in Peru. Data processing has been done by dividing the covered geographical latitude into grids of two degrees intervals. To obtain the best value of the correlation coefficient we have employed time shift technique on the incident of total cloud cover to cosmic rays in the range of 2 – 7 months and only consider peak of active and quite phase of the Sun *
Penulis penanggung jawab
2
S.U. Utami, dkk, -Liputan Awan Total… during 21th and 22nd solar cycle. By using this technique we can obtain correlation coefficient in the range of 0.04 to 0.63 (no correlation to moderate correlation). In the study we have conducted, we only take into account the contribution of cosmic ray without including geographic location factors such as, whether the region being investigated is at continental or maritime region. Keywords : Solar Activity, Total Cloud Coverage, Cosmic Ray.
Matahari sebagai bintang induk dalam Tata Surya merupakan sumber energi bagi kehidupan di Bumi, sekaligus dapat mempengaruhi iklim global dan temperatur planet ini melalui aktivitas 11 tahunannya yang dikenal sebagai Siklus Matahari (Solar Cycle). Dinamika atmosfer, seperti pembentukan awan yang berkenaan dengan cuaca, dipengaruhi oleh energi Surya yang diterima Bumi. Permukaan Bumi yang dilindungi oleh atmosfer setiap saat dibombardir oleh sinar kosmik yang tidak lain adalah radiasi partikel berenergi tinggi (elektron, proton maupun inti atom seperti besi atau bahkan yang lebih berat) yang berasal dari prosesproses katastropik seperti supernova (Mursula dan Usoskin, 1998 dalam Baskoro et al., 2006). Partikel-partikel bermuatan ini dapat menembus atmosfer Bumi sehingga mempengaruhi sistem kelistrikan dan medan magnet Bumi. Pembentukan awan dapat dipercepat oleh fenomena kelistrikan dan termodinamika awan. Saat aktivitas Matahari minimum, yang ditandai dengan sedikitnya jumlah bintik hitam (sunspot) di fotosfer Matahari, intensitas sinar kosmik yang diterima Bumi menjadi lebih besar dan liputan awan pun menjadi meningkat. Peningkatan liputan awan ini akan berpengaruh terhadap banyaknya radiasi Matahari yang sampai ke permukaan Bumi. Sebaliknya ketika aktivitas Matahari maksimum, ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah bintik Matahari, intensitas sinar kosmik yang tiba di Bumi menjadi berkurang yang memicu pula penurunan liputan awan. Intensitas sinar kosmik yang diterima Bumi
dan jumlah bilangan bintik Matahari memiliki hubungan antikorelasi. Friis-Christensen dan Svensmark (1997) mendapati adanya korelasi antara liputan awan di Bumi dan sinar kosmik. Kecenderungan awan total mengikuti pola sinar kosmik pada kurun waktu 1983 – 1991 juga diperoleh Palle Bago dan Buttler (2000). Sinar kosmik yang berinteraksi dengan partikel-partikel di atmosfer atas akan menghasilkan partikel sekunder yang pada umumnya partikel bermuatan hasil interaksi tersebut tidak dapat menembus sampai ke atmosfer bawah. Partikelpartikel seperti netron dan muon dapat menembus hingga ke atmosfer bawah (mencapai ketinggian ~ 6 km) dan ketika kedua partikel ini berinteraksi dengan molekul udara atau molekul air, maka molekul menjadi ion bermuatan yang merupakan inti-inti kondensasi. Dalam penelitian ini ingin diketahui kehadiran pola tersebut di atas untuk kawasan di sekitar khatulistiwa sebagai fungsi dari lintang geografis. METODE Data liputan awan total dalam penelitian ini dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk kawasan 100 LU – 120 LS dan 900 BT – 1420 BT. Dalam kurun waktu yang sama diperoleh data sinar kosmik dari situs http://www.ngdc.noaa.gov/stp/solar/cosmic .html, yang berupa data bulanan bersumber dari stasiun Huancayo di Peru. Terdapat kekosongan data pada bulan Mei dan Juni tahun 1984, bulan Maret, April, Mei, Agustus, dan September 1985, serta bulan Juni dan Juli tahun 1995.
Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013
Data selanjutnya dikelompokkan ke dalam grid dengan rentang dua derajat menurut lintang geografis. Sebagai informasi pendukung turut digunakan data bilangan bintik Matahari (sunspot number) harian dalam kurun waktu 1979 – 1995 yang diperoleh dari situs beralamat di www.ngdc.noaa.gov/stp/solar/ssndata.html. Data bilangan bintik Matahari kemudian dirata-ratakan secara bulanan menyamai ketersediaan data sinar kosmiknya. Data yang telah disiapkan di atas selanjutnya dicari korelasinya. Guna memperoleh nilai koefisien korelasi yang
3
relatif baik, diterapkan teknik pergeseran waktu kejadian liputan awan total terhadap sinar kosmik dalam rentang 2 – 7 bulan dan hanya meninjau puncak fase aktif dan tenang Matahari yang bersesuaian dengan siklus Matahari ke-21 dan 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Antikorelasi antara sinar kosmik dengan bilangan bintik Matahari serta pola perubahan liputan awan total ditunjukkan dalam gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Rajah bilangan bintik Matahari, sinar kosmik, dan liputan awan total (lintang 20 LS) tahun 1979 – 1995 Menurut hasil rajah dalam gambar 1 saat bilangan bintik Matahari meningkat, terjadi penurunan intensitas sinar kosmik yang mencapai Bumi. Sebaliknya pada saat bilangan bintik Matahari berkurang, intensitas sinar kosmik yang terukur justru meningkat. Pada saat aktifitas Matahari mencapai maksimum, intensitas sinar kosmik yang diterima Bumi akan berkurang karena pengaruh medan magnet Matahari yang menghalau datangnya sinar kosmik. Ketika aktivitas Matahari sedang menurun, intensitas sinar kosmik yang terukur mencapai maksimumnya sehingga liputan awan turut menjadi maksimum
yang dipicu oleh banyaknya pembentukan inti-inti kondensasi. Baskoro et al. (2006) mendapati bahwa keterkaitan antara sinar kosmik dengan liputan awan atas dan awan total hanya memiliki koefisien korelasi yang kecil, yaitu dalam rentang -0,10 – 0,09 untuk sinar kosmik dan liputan awan atas dan rentang -0,11 – 0,14 untuk sinar kosmik dan liputan awan total. Berangkat dari hal ini, dalam penelitian ini digunakan rentang waktu yang lebih pendek yang mengacu kepada siklus 11 tahunan Matahari. Artinya, korelasi diperoleh dengan cukup meninjau data sinar kosmik dan liputan awan total pada saat puncak
4
S.U. Utami, dkk, -Liputan Awan Total…
fase tenang (1985 – 1986 dan 1994 – 1995) dan puncak fase aktif (1979 – 1980 dan 1990 – 1991) Matahari selama siklus ke-21 dan 22. Selain itu, analisis korelasi dilakukan dengan mengasumsikan bahwa
intensitas sinar kosmik untuk masingmasing grid adalah sama. Tabel 1 dan gambar 2 serta gambar 3 memperlihatkan hasil yang diperoleh.
Tabel 1. Korelasi Sinar Kosmik dan Liputan Awan Total pada Puncak Fase Tenang dan Puncak Fase Aktif Matahari Selama Siklus ke-21 dan 22
Lintang Geografis 10N 8N 6N 4N 2N EQ 2S 4S 6S 8S 10S 12S
Fase Tenang ke-21 Korelasi 0,31 0,26 0,20 -0,01 0,03 -0,03 -0,25 -0,28 -0,45 -0,53 -0,54 -0,50
Siklus Matahari Fase Aktif Fase Tenang ke-21 ke-22 Korelasi Korelasi -0,52 0,25 -0,50 0,25 -0,44 0,23 -0,25 0,20 -0,08 0,11 0,04 0,10 0,14 0,04 0,20 -0,06 0,36 -0,16 0,36 -0,20 0,35 -0,27 0,30 -0,28
Fase Aktif ke-22 Korelasi -0,18 -0,14 -0,03 0,23 0,47 0,58 0,63 0,58 0,49 0,43 0,35 0,31
Gambar 2. Rajah bilangan bintik Matahari, sinar kosmik, dan liputan awan total pada saat puncak fase tenang Matahari siklus ke-21 (lintang 100 LU)
Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013
Berdasarkan Tabel 1 di atas, nilai koefisien korelasi yang didapat bervariasi terhadap lintang geografis, berkisar antara 0,04 sampai 0,63 dengan nilai korelasi terbesarnya berada di lintang 20 LS yang bersesuaian dengan puncak fase aktif Matahari siklus ke-22. Dari tabel yang sama pula diperoleh bahwa saat puncak fase tenang untuk siklus Matahari yang berbeda, pada mayoritas grid yang dihasilkan untuk belahan utara Bumi liputan awan total memberikan respon positif atas sinar kosmik (koefisien korelasi cenderung meningkat dengan semakin menjauhi wilayah khatulistiwa), demikian pula untuk belahan selatan Bumi sinar kosmik direspon negatif oleh liputan awan total (antikorelasi cenderung meningkat
5
dengan semakin menjauhi wilayah khatulistiwa). Hal yang sebaliknya terjadi selama puncak fase aktif Matahari untuk kedua belahan Bumi; liputan awan total di belahan utara Bumi merespon negatif sinar kosmik (antikorelasi), sementara sinar kosmik direspon positif oleh liputan awan total di belahan selatan Bumi. Pada saat puncak fase tenang siklus ke-21 (gambar 2), liputan awan total terlihat mengalami peningkatan. Hal ini karena pada saat kekuatan pengaruh medan magnet Matahari melemah, sinar kosmik yang terdeteksi berhasil menembus atmosfer Bumi semakin meningkat sehingga tersedia cukup banyak inti-inti kondensasi untuk pembentukan awan.
Gambar 3. Rajah bilangan bintik Matahari, sinar kosmik, dan liputan awan total pada saat puncak fase aktif Matahari siklus ke-22 (lintang 100 LU) Gambar 3 memperlihatkan kondisi sebaliknya dari yang ditunjukkan dalam gambar 2. Pada saat Matahari berada di puncak fase aktif siklus ke-22, pengaruh medan magnet Matahari yang mencapai hingga ruang antarplanet mampu menghalau sinar kosmik sehingga intensitas sinar kosmik yang diterima atmosfer Bumi menjadi berkurang. Sebagai akibatnya, liputan awan pun berkurang dengan sedikitnya ketersediaan inti-inti kondensasi.
KESIMPULAN Dengan asumsi bahwa respon yang diberikan oleh liputan awan total tidak terjadi bersamaan dengan kejadian bombardir sinar kosmik, telah dilakukan pergeseran waktu atas kejadian liputan awan total terhadap sinar kosmik dalam rentang 2 – 7 bulan dan hanya meninjau puncak fase aktif dan tenang Matahari yang bersesuaian dengan siklus Matahari ke-21 dan 22. Nilai korelasi yang didapat bervariasi bergantung grid lintang
6
geografis dalam rentang 0,04 hingga 0,63, yang menunjukkan bahwa liputan awan total dan sinar kosmik memiliki keterkaitan yang moderat. Disarankan untuk turut memperhitungkan pula faktor letak geografis wilayah yang ditinjau, yaitu apakah kawasan benua ataukah maritim, terkait studi hubungan liputan awan total dan sinar kosmik ini. DAFTAR PUSTAKA Baskoro, A.A., Yatini, C.Y., & Herdiwijaya, D. (2006). Pengaruh sinar kosmik terhadap pembentukan awan total dan awan atas wilayah indonesia dalam periode 1979 1995. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, 1, 7-17. Friis-Christensen, E. & Svensmark, H. (1997). What do we really know about the sun-climate connection?. Advances in Space Research, 20, 913-921. Palle Bago, E. & Buttler, C.J. (2000). The influence of cosmic rays on terrestrial clouds and global warming. Astronomy and Geophysics, 41, 18-22.
S.U. Utami, dkk, -Liputan Awan Total…