Ringkasan Tesis
LIMA KASUS PEREMPUAN KORBAN TINDAK KEKERASAN DARI RIFKA ANNISA W.C.C. : STUDI ANTROPOLOGI FEMINISME
1
oleh: Nurcahyo Tri Arianto
Abstract The aim of this research is to explain and analysis of five cases and stories of women as a victims of violent behavior in domestic settings and various of thoughts and acts of Rifka Annisa Women’s Crisis Center’s (WCC) in Yogyakarta. This research has been conducted in two steps: from October until December 1998, and from September until December 2000. The interview with two activists is important to cover the data of: their analysis of five cases and stories of women as a victims of violent behavior in domestic settings; and the thoughts, acts, and wisdoms of Women’s NGOs as a place of their activities. The data collection is conducted through indepth interview and investigation of the documents and publications. The technique of data analysis is done through comparative, gender, and interpretative analysis. The result of this research show three problems that relation with thoughts and acts of Rifka Annisa WCC’s: (1) the problems that women cope (system, discrimination, culture, structure, and the limitation of women’s roles), (2) the violent behavior against women in the five cases has covered phicical, psychology, sexual, and economic violences, and (3) the main violent behavior against women is caused by unbalanced power relation, gender difference and patriarchal ideology, cultural sosialization, and imitated behavior. Keywords: Women as a Victims of Violent Behavior, Anthropology Feminism A. Pendahuluan A.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat, tindak kekerasan terhadap perempuan meningkat sejalan dengan meningkatnya berbagai bentuk kekerasan yang lain (Moore 1996: 77), yang merupakan tanda dari proses sosial yang sedang berlangsung, dan merupakan konsekuensi dari krisis dalam representasi yang bersifat individu maupun sosial (Moore 1994a: 69). Perempuan yang dianggap sebagai korban terbanyak dari tindak kekerasan itu mulai banyak diperhatikan. Salah satu lembaga pemerhati perempuan korban tindak kekerasan di Yogyakarta adalah LSM Perempuan Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC ). 1
Tulisan ini merupakan ringkasan Tesis penulis, pada Program Studi Antropologi, Jurusan Ilmuilmu Humaniora, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Perempuan Korban Tindak Kekerasan: Lima Kasus dari Rifka Annisa WCC”, yang telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 5 Pebruari 2002. Diterbitkan dalam Majalah FISIP Unair “Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik” tahun 2004.
1
Penelitian mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan di lingkup domestik di Yogyakarta nampaknya belum dapat memberi gambaran mengenai latar belakang dan masalah yang dihadapi oleh perempuan korban tindak kekerasan. Studi mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan di lingkup rumah tangga di Yogyakarta menyebutkan bahwa kekerasan oleh suami terhadap istri terjadi dalam bentuk tindak kekerasan verbal maupun fisik, antara lain tindakan pemukulan dan penganiayaan. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakpuasan suami terhadap perkawinannya (Rifka Annisa WCC 1995; Dewi 1996). Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk memahami lima kasus perempuan korban tindak kekerasan dalam lingkup domestik, khususnya lingkup masa pacaran dan rumah tangga dari persepsi LSM Perempuan Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC ). Dengan menganalisis lima kasus perempuan korban tindak kekerasan yang dipublikasikan oleh Rifka Annisa WCC , akan dapat dipahami keadaan yang sebenarnya yang dihadapi oleh perempuan korban tindak kekerasan serta pemikiran dan tindakan Rifka Annisa WCC dalam pemberdayaan, sosialisasi, dan advokasi terhadap perempuan korban tindak kekerasan. A.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang dan asumsi mengenai nasib perempuan korban tindak kekerasan tersebut, maka permasalahan penelitian mengenai lima kasus perempuan korban tindak kekerasan di lingkup domestik ini adalah: bagaimana pemikiran dan tindakan Rifka Annisa WCC dalam menangani perempuan korban tindak kekerasan, khususnya dalam pemberdayaan, sosialisasi, dan advokasi? Untuk menjawab permasalahan ini diajukan tiga pertanyaan penelitian, yaitu: 1. bentuk tindak kekerasan apa saja yang ada dalam kelima kasus perempuan korban tindak kekerasan, yang ditangani oleh Rifka Annisa WCC ?; 2. pemikiran dan tindakan apa saja yang dilakukan oleh Rifka Annisa WCC dalam menangani kelima kasus perempuan korban tindak kekerasann tersebut?; 3. alasan apa saja yang mendasari pemikiran dan tindakan Rifka Annisa WCC dalam menangani kelima kasus perempuan korban tindak kekerasan tersebut? Proses pembentukan LSM Perempuan Rifka Annisa WCC itu sendiri dilatarbelakangi oleh adanya ide, pandangan, sikap, dan tindakan tertentu terhadap perempuan korban tindak kekerasan, yang menjadi dasar bagaimana konsep kekerasan itu dikonstruksi oleh Rifka Annisa WCC . Dengan memahami kelima kasus yang ditanganinya beserta analisisnya, dapat dipahami pemikiran yang menjadi dasar bagi tindakan Rifka Annisa WCC . A.3. Ladasan Teori Antropologi merupakan suatu bidang ilmu yang berusaha melakukan eksplorasi mengenai fenomena kebudayaan, perwujudan simbol-simbol dalam
2
masyarakat, pencarian makna-makna, hubungan tersembunyi, dan pemahaman yang lebih dalam, daripada menghadirkan bukti-bukti temuan etnografi (Keesing 1987: 161-162). Menurut Ward Goodenough (dalam Keesing 1987: 46), kebudayaan sebagai sistem pengetahuan (kognitif) merupakan pemikiran manusia atau modelmodel pengetahuan yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan menafsirkan fenomena material (benda-benda, tingkah laku manusia, dan emosi manusia). Pendekatan antropologi feminisme yang dipergunakan untuk memahami masalah tindak kekerasan sebagai fenomena kebudayaan ini berkaitan dengan pendekatan antropologi simbolik dan teori antropologi struktural-fungsional. Antropologi feminisme melihat tindak kekerasan sebagai suatu fenomena kebudayaan, yang muncul sebagai akibat dari hegemoni maskulinitas dan rasial yang menyebabkan perbedaan dan hubungan gender dalam suatu masyarakat dan kebudayaan. Perbedaan gender muncul sebagai akibat adanya perbedaan kekuasaan antar kelompok maupun individu, yang dalam berbagai konteks gender itu dikonstruksi berdasarkan referensi wacana perbedaan rasial (Moore 1994b: 62-63; Walter 1994: 276; Lamphere 1996: 489). Antropologi feminisme juga melihat masalah kekerasan dalam hubungannya dengan identitas, subyektivitas, dan kekuasaan. Kajian hubungan semacam ini akan memungkinkan memberikan kesan adanya hubungan antara rintangan (thwarting) beberapa posisi subyek berdasarkan gender dengan kekerasan antar individu. Rintangan dapat dipahami sebagai ketidakmampuan subyek meneruskan posisinya berdasarkan gender, yang menyebabkan krisis yang nyata maupun tak nyata dari penghadiran diri dan/atau evaluasi sosial (Mokhopadhyay dan Higgins 1988: 466; Moore 1994b: 66-67; Jennaway 1990: 171). Untuk membantu menganalisis data penelitian, dipergunakan dua teori antropologi, yaitu: (1) teori simbolik, untuk menjelaskan persepsi Rifka Annisa WCC mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan, dan (2) teori strukturalfungsional dari Radcliffe-Brown, untuk menjelaskan kelima kasus tindak kekerasan serta tindakan Rifka Annisa WCC dalam pemberdayaan, sosialisasi, dan advokasi terhadap perempuan korban tindak kekerasan. Kedua teori ini sangat membantu dalam menganalisis dan menginterpretasi data mengenai pemikiran dan tindakan Rifka Annisa WCC yang pada dasarnya berperspektif feminisme, yaitu cara pandang yang meletakkan perempuan sebagai pusat atau subyek serta kepedulian dan keberpihakannya pada kebutuhan dan kepentingan perempuan (Poerwandari 1996: 330). B. Metode Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di LSM Perempuan Rifka Annisa WCC di kota Yogyakarta, yang pemilihannya didasarkan atas dua pertimbangan. Pertama, LSM Perempuan Rifka Annisa WCC merupakan satu-satunya Women’s Crisis Center (WCC ) di Yogyakarta. Keberadaan suatu WCC di suatu wilayah sangat besar pengaruhnya terhadap intensitas dan efektifitas pemberdayaan, sosialisasi, 3
dan advokasi terhadap perempuan korban tindak kekerasan di wilayah tersebut. Kedua, pengalaman yang cukup lama dari Rifka Annisa WCC dalam program pemberdayaan, sosialisasi, dan advokasi terhadap perempuan korban tindak kekerasan. Penelitian ini merupakan usaha untuk memahami tindak kekerasan terhadap perempuan lewat pendekatan kualitatif. Oleh karena itu, pengumpulan data melalui wawancara dengan dua aktivis Rifka Annisa WCC , penggunaan bahan-bahan dokumen (publikasi), serta analisis mendalam atas data yang terseleksi merupakan metode yang sangat penting dalam penelitian ini. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth interview); sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran publikasi Rifka Annisa WCC mengenai kisah perempuan korban tindak kekerasan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi atas dua tahap yang saling berkaitan, yaitu: bulan Oktober hingga Desember 1998 dan bulan September hingga Desember 2000. Unit yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kelima kasus perempuan korban tindak kekerasan, yang telah dipublikasikan. Data hasil wawancara maupun dari publikasi, kemudian dianalisis dengan teknik analisis komparatif dan gender serta menggunakan metode interpretasi (cf. Abdullah 1998: 5). C. Hasil dan Pembahasan C.1. Lima Kasus Perempuan Korban Tindak Kekerasan Kelima kasus perempuan korban tindak kekerasan di lingkup rumah tangga dan masa pacaran diambil dari dua buku publikasi dari Rifka Annisa WCC , yang berjudul: “Derita di balik Cinta” (Rifka Annisa WCC ttb) dan “Janji Gombal” (Rifka Annisa WCC 1999). Kasus 1, 2, dan 3 menyajikan kisah di lingkup rumah tangga, sedangkan kasus 4 dan 5 menyajikan kisah di lingkup masa pacaran. Kelima kasus tersebut disajikan dalam bentuk kisah penuturan secara langsung oleh perempuan korban tindak kekerasan kepada aktivis Rifka Annisa WCC yang menanganinya, yang direkam, ditranskrip, dianalisis, dan kemudian dipublikasikan. Secara ringkas, pentingnya meneliti kelima kasus ini dapat dikemukakan sebagai berikut. 2 Pertama, kasus 1 berisi kisah Dewi, merupakan kasus tindak kekerasan fisik, psikologi, dan ekonomi dalam rumah tangga, yang menunjukkan adanya slklus tindak kekerasan. Kedua, kasus 2 berisi kisah Jeni, merupakan kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang melibatkan tindak kekerasan fisik dan psikologi, serta dengan munculnya siklus tindak kekerasan. Ketiga, kasus 3 berisi kisah Narti, merupakan kasus yang cukup unik, karena meliputi tindak kekerasan psikologi atau emosional, fisik, dan seksual, yang dimulai dari masa pacaran hingga rumah tangga. Keempat, kasus 4 berisi kisah Tina, 2
Mengingat keterbatasan tempat dalam tulisan ini, maka kisah masing-masing kasus secara lengkap tidak dikemukakan di sini.
4
merupakan kasus tindak kekerasan yang cukup unik pula, karena melibatkan tindak kekerasan fisik, psikologi, dan seksual dalam lingkup masa pacaran. Kelima, kasus 5 bersisi kisah Sita, merupakan kasus tindak kekerasan dalam lingkup masa pacaran, yang hanya melibatkan satu bentuk tindakan kekerasan, yaitu psikologi atau emosional yang implisit dan tersembunyi. C.2. Analisis Perbandingan Lima Kasus Perempuan Korban Tindak Kekerasan C.2.1. Bentuk Tindak Kekerasan Tabel 1 menunjukkan adanya beberapa variasi bentuk tindak kekerasan, yaitu: (1) fisik, psikologi, dan seksual (kasus 3 dan 4), (2) fisik, psikologi, dan ekonomi (kasus 1 dan 2), dan (3) kasus 5 hanya psikologi saja. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di lingkup domestik (masa pacaran dan rumah tangga), seringkali terjadi tiga bentuk tindak kekerasan sekaligus, yang saling berkaitan atau saling mempegaruhi. Beberapa hal yang menarik berkaitan dengan bentuk tindak kekerasan pada kelima kasus di atas dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, kekuasaan dan kontrol yang dimiliki oleh laki-laki (terutama dalam kasus 1, 2, dan 3) memegang peranan yang penting bagi terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan (istri). Antropologi feminisme melihat dua hal penting mengenai fenomena tindak kekerasan pada kasus 1, 2, dan 3 itu, yaitu: (1) tindak kekerasan merupakan fenomena kebudayaan, yang muncul sebagai akibat dari hegemoni maskulinitas, yang menyebabkan perbedaan dan hubungan gender yang hirarkhis dalam kehidupan masyarakat, dan (2) tindak kekerasan berhubungan dengan masalah identitas, subyektivitas, dan kekuasaan laki-laki. Dalam budaya di mana kekuasaan dan kontrol dianggap positif dan dianjurkan, maka benih-benih tindak kekerasan akan menjadi subur. Kedua, relasi antara tindak kekerasan atau penganiayaan fisik dengan berbagai bentuk tindak kekerasan psikologi, seksual, dan ekonomi. Kasus 1-4 menunjukkan adanya bentuk tindak kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi yang berakibat pada munculnya bentuk tindak kekerasan psikologi bagi perempuan korban tindak kekerasan. Kasus 3 dan 4 menunjukkan adanya tindak kekerasan seksual (perkosaan), baik perkosaan pada masa pacaran (kasus 4) maupun perkosaan pada kehidupan rumah tangga (kasus 3). Studi etnografis di kebanyakan negara berkembang, seperti India, Bangladesh, dan Timur Tengah, menunjukkan adanya kepercayaan kultural mengenai nasib perempuan yang telah terdefinisikan secara inferior, dan hak mendominasi mereka merupakan bagian yang esensial dari laki-laki (Dobash dan Dobash 1994: 33; Hammer dan Maynard 1989: 64-66; Heise, Pitanguy, dan Germain 1994: 28-29). Oleh karena itu, strategi untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan harus dimulai dengan menanggalkan kepercayaan kultural dan mendekonstruksi paham-paham maskulinitas yang melayani dan memuaskan kebutuhan seksual laki-laki. Masyarakat dengan seperangkat nilai, norma, dan pranatanya yang sudah terinternalisasi, apabila terjadi tindak kekerasan (perkosaan) akan cenderung 5
menyalahkan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan dari pada pelakunya. Kaum feminis menganggap hal ini sebagai fenomena ketidakadilan dan merendahan perempuan. Dalam pandangan antropologi feminisme, internalisasi nilai dan peran perempuan dapat dilihat sebagai bentuk penyesuaian diri dalam sistem sosial yang patriarkal (Moore 1994a: 69). Dalam pandangan antropologi feminisme, sistem sosial dalam masyarakat jarang sekali mendukung atau membantu perempuan korban tindak kekerasan, apalagi bila tindak kekerasan terjadi dalam lingkup domestic (masa pacaran dan rumah tangga). C.2.2. Penyebab Tindak Kekerasan Kelima kasus menunjukkan adanya penderitaan perempuan akibat tindak kekerasan, yang disebabkan oleh: (1) perempuan berada dalam situasi yang penuh konflik, (2) perempuan mengalami tekanan mental-emosional, sehingga membentuk siklus tindak kekerasan, (3) perempuan selalu disalahkan setiap kali muncul konflik, dan (4) keinginan laki-laki untuk selalu berkuasa dan mengontrol sikap dan tindakan perempuan (terutama kasus 1, 2, dan 3). Tindak kekerasan fisik berkorelasi dengan tindak kekerasan psikologi, seksual, dan ekonomi. Tabel 1. Analisis Perbandingan Lima Kasus Perempuan Korban Tindak Kekerasan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
Kasus Bentuk
Penyebab
1. Dewi (Rumah Tangga)
fisik (pukul, cekik, dorong, tampar, seret, sekap, tidak memberi makan); psikologi/emosional (ancaman, teror, siksaan batin); ekonomi (tidak memberi uang belanja).
2. Jeni (Rumah Tangga)
fisik (pukul, seret, tampar, dorong, lempar batu); psikologi (kata-kata kasar,caci maki, usir, hina); ekonomi (tidak memberi uang belanja).
ketergantungan ekonomi dan psikologi istri kepada suami; suami berkuasa/dominan, pengatur, dan pengontrol terhadap istri, diperkuat dengan pemberian hukuman; istri tidak mengikuti aturan main suami; ketidakmampuan suami berkomunikasi (self esteem rendah); sikap istri lemah, tidak tegas, gampang iba; istri ingin mandiri. tuduhan istri pada suami; kesalahan istri (suka menuntut dan cerewet; kehendak suami untuk selalu mengontrol istri; suami selalu cemburu pada istri; sikap keluarga/masyarakat: konflik sebagai masalah interen.
Proses
Akibat
siklus tindak kekerasan;
perceraian (lewat Pengadilan Agama)
konflik(cecok, bertengkar); siklus tindak kekerasan (pemukulan sebagai cara untuk menghentikan konflik)
perceraian (lewat Pengadilan Agama); istri pulang ke rumah orang tua.
6
3. Narti (Masa Pacaran/ Rumah Tangga)
psikologi/emosi-onal (kata-kata kasar, ancam, teror); fisik (pukul, cekik, dorong); seksual (perkosaan)
keberanian istri menentang dan mengingatkan suami; kehamilan anak pertama dan suami belum bekerja; keinginan suami untuk selalu mengontrol istri; suami selalu menyalahkan istri; kemampuan komunikasi suami yang rendah.
dimulai sejak masa pacaran; suami berlaku kasar bila ada konflik.
istri diam, gelisah, pasrah, dan berkorban demi anak pengaruh buruk bagi anak(peniruan)
4. Tina (Masa Pacaran)
fisik (sekap, pukul, tendang); psikologi (bentak, maki, tekanan, ancaman); seksual(perkosaan)
penolakan melayani hubungan seks; kehamilan.
rayuan (janji akan menikahi)
sakit fisik dan mental; kehamilan dan aborsi; ganti rugi; lapor ke Polisi dan Rifka Annisa
5. Sita (Masa Pacaran)
psikologi yang implisit dan tersembunyi (ketergantungan emosional, iso-lasi).
keluarga Sita marah dan malu atas kehamilan Sita yang membawa aib keluarga; keluarga Sita tidak mau menerima bayinya.
pujian/rayuan kehamilan; pengucilan dan penolakan
pacar lakilaki tidak bertanggung jawab.
C.2.3. Proses Tindak Kekerasan Dari Tabel 1 tampak bahwa pada kasus 1 dan 2 terdapat model siklus tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang dapat dijelaskan melalui Gambar 1.
KONFLIK
4
BULAN MADU
1 CINTA, HARAPAN, dan TEROR
KEKERASAN
2
3 REDA Gambar 1. Model Siklus Tindak Kekerasan (Sumber: Rifka Annisa WCC 1997)
Menurut Rifka Annisa WCC (1998: 2-4), model siklus tindak kekerasan dalam rumah tangga didasarkan pada teori lingkaran kekerasan, yang terdiri dari 7
empat fase atau tahap, yaitu: (1) konflik (munculnya ketegangan), (2) kekerasan (pemukulan atau kekerasan akut), (3) reda, dan (4) bulan madu. Fase pertama adalah tahap munculnya ketegangan (konflik), yang disebabkan oleh cekcok yang terus-menerus atau sikap 'cuek' masing-masing, atau kombinasi keduanya. Fase kedua adalah tahap kekerasan akut (fisik), yang dapat dilakukan dengan meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, dan menyerang dengan senjata. Fase ketiga adalah reda, yang disusul dengan fase keempat (bulan madu), di mana laki-laki seringkali menyesali tindakannya. Bentuknya biasanya berupa rayuan, sikap mesra, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi, dan perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Suasana ini menjadi semangat bagi perempuan yang mencemaskan dirinya, kegagalan perkawinannya, dan takut karena tidak punya keterampilan kerja. Tahap ini akhirnya pudar dan ketegangan muncul lagi, menyulut kekerasan, dan selanjutnya terjadi bulan madu kembali. Demikian seterusnya lingkaran kekerasan ini berputar secara jalin-menjalin sepanjang waktu. Pada bagian tengah Gambar 1 terdapat tiga hal pokok, yaitu cinta, harapan, dan teror, yang dapat mempengaruhi empat komponen siklus tindak kekerasan, yaitu: konflik, kekerasan, reda, dan bulan madu. Cinta adalah rasa cinta dan sayang kepada pasangan (suami), memaklumi, dan mencoba untuk mengerti. Harapan adalah keinginan agar suami berubah menjadi baik. Teror adalah ancaman setiap saat akan dipukul, ditinggal, dan tidak dapat menjalani hidup sendirian, yang berakibat pada rasa ketakutan dan sakit hati atas perlakuan pasangan atau suami. Teori lingkaran kekerasan ini dapat membantu menjelaskan mengapa perempuan yang mengalami penganiayaan seakan-akan menyediakan diri untuk mendapat tindak kekerasan dari pasangannya. C.2.4. Akibat Tindak Kekerasan Kasus 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan adanya akibat tindak kekerasan fisik, seksual, maupun ekonomi terhadap keadaan psikologis atau emosional perempuan sebagai pacar atau istri (lihat sub-bab C.2.1. tentang Bentuk Tindak Kekerasan). Persamaan kasus 1 dan kasus 3 adalah adanya perceraian sebagai akibat tindak kekerasan. Dalam hal ini, Rifka Annisa WCC melihat bahwa perceraian itu adalah alternatif terakhir, yang walau dalam agama Islam dibolehkan, tetapi dibenci Allah. Dengan perceraian berarti sebuah hubungan keluarga yang dijalin atas nama Allah harus diputuskan. Akibat perceraian bagi anak-anak adalah keburukan dan penderitaan. Perceraian yang manipulatif itu pada dasarnya sulit dilakukan dan akan menimbulkan keguncangan. Anak-anak akan menjadi korban penderitaan (langsung maupun tidak langsung) dan sekaligus saksi terhadap tindak kekerasan dalam keluarganya. Persamaan dari akibat tindak kekerasan yang lain adalah masalah suami (dalam kasus 2) dan pacar laki-laki (dalam kasus 5) yang tidak bertanggung jawab. Dalam antropologi feminisme, penghindaran dari tanggung jawab ini mempunyai makna sebagai refleksi dari bentuk dominasi 8
dan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Perbedaan akibat tindak kekerasan pada kasus 1, 2, dan 3, menunjukkan adanya sikap istri yang lebih aktif dalam menanggapi tindak kekerasan yang dialaminya, dari pada berdiam diri (pasif). C.3. Masyarakat, Tindak Kekerasan, dan Pelanggengan Patriarkal Tindak kekerasan pada kelima kasus merupakan hal yang biasa terjadi dalam masyarakat. Antropologi feminisme melihat bahwa masyarakat cenderung bersikap diam, karena menganggap tindak kekerasan yang terjadi adalah urusan interen keluarga yang mengalami konflik. Keluhan perempuan korban tindak kekerasan justru disebarluaskan oleh tetangganya dan menjadi bahan omongan masyarakat, sehingga menjadikan korban kemudian lebih memilih untuk diam (dalam kasus 4). Secara struktural-fungsional, tindak kekerasan dalam lingkup domestik sebenarnya merupakan masalah masyarakat, karena keluarga adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Namun dekikian, penolakan masyarakat untuk ikut memikul tanggung jawab atas tindak kekerasan ini telah memungkinkan terus berlangsungnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Antropologi feminisme juga melihat bahwa dalam sistem patriarkal yang telah terinternalisasi, yang menyebabkan pandangan masyarakat yang bias, tidak adil, serta merendahkan perempuan, seringkali terefleksikan pada cara masyarakat menanggapi tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu dengan menyalahkan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan. Sikap masyarakat yang dilandasi oleh simtem patriarkal itu, justru dilanggengkan pula oleh perempuan dengan cara mengadopsi maupun mereproduksinya C.4. Bentuk-bentuk Pemikiran Rifka Annisa WCC C.4.1. Masalah Perempuan Bentuk-bentuk pemikiran Rifka Annisa WCC , berkisar pada masalah atau persoalan perempuan pada umumnya dan tindak kekerasan terhadap perempuan pada khususnya. Menurut Rifka Annisa WCC , masalah perempuan Indonesia yang utama dapat dikategorikan menjadi tiga masalah, yaitu: (1) sistem, (2) subordinasi dan diskriminasi, dan (3) peran domestik dan publik. Berkaitan dengan masalah sistem yang ‘besar’, Rifka Annisa WCC mengemukakan bahwa masalah perempuan dari dulu sampai kini sebetulnya sama, yaitu sistem yang ‘besar’, antara lain sistem patriarkal, sistem hukum, dan sistem nilai-nilai, yang sebetulnya sudah mensistimatisir sangat kuat dan sangat keras selama berabad-abad. Hanya saja bentuknya biasanya berubah, tetapi isinya tetap sama. Berkaitan dengan masalah subordinasi terhadap perempuan, Rifka Annisa WCC mengemukakan bahwa masalah perempuan itu berhubungan dengan masalah masih tersubordinasinya perempuan. Dari pandangan subordinasi ini lalu muncul pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin, sehingga terjadi stereotipe. Di sini orang mulai membedakan jenis kelaminnya, bukan
9
kemampuannya. Setelah stereotipe, lalu muncul beban ganda untuk perempuan, sehingga merugikan perempuan karena subordinasi. Kemudian muncul marginalisasi terhadap perempuan, yang mengakibatkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap perempuan ini, Rifka Annisa WCC juga mengemukakan bahwa dari dulu sampai sekarang ini masih terjadi diskriminasi. Diskriminasi ini mengakibatkan ketidakadilan, misalnya ketidakadilan terhadap perempuan yang berdasarkan seks disebut dengan ketidakadilan gender. Oleh karena itu, masalah perempuan juga berkaitan dengan masalah budaya masyarakat, yaitu nilai, adat, dan norma-norma masyarakat yang masih mendiskriminasi perempuan. Rifka Annisa WCC juga melihat bahwa masalah yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dari dulu hingga kini adalah dibatasinya pengertian tentang perempuan pada peran-peran di lingkup domestik atau privat. Meskipun saat ini sudah banyak perempuan Indonesia yang berperan di lingkup publik, tetapi tetap saja ukuran perempuan yang benar dan baik adalah mereka yang mengutamakan peran-perannya di lingkup domestik. Posisi seperti ini terasa betul implikasi negatifnya, ketika perempuan mulai beraktivitas di lingkup publik. Misalnya saja, upah perempuan hampir selalu lebih rendah dari pada upah laki-laki, karena perempuan bukan dilihat sebagai pencari nafkah utama. Kondisi dan situasi seperti ini, dari dulu hingga sekarang masih tetap dialami oleh kaum perempuan Indonesia, yaitu dibatasinya peran-perannya pada peran-peran yang stereotipikal atau tradisional perempuan. C.4.2. Konsep Tindak Kekerasan Rifka Annisa WCC (tta: 2, 1997: 4-6) mengemukakan mengenai konsep tindak kekerasan secara umum sebagai serangan terhadap fisik ataupun mental seseorang. Secara lebih khusus, tindak kekerasan terhadap perempuan menurut Rifka Annisa WCC merupakan tindakan yang menimbulkan rasa sakit atau kurang enak pada korban, baik yang fisik, psikhis, seksual, maupun ekonomi. Oleh karena itu, tindak kekerasan merupakan tindakan yang merugikan bagi pihak yang terkena, baik secara fisik maupun psikhis. Dari kelima kasus perempuan korban tindak kekerasan, ternyata kesemuanya mengalami tindak kekerasan psikologi atau emosional, terutama sebagai akibat tindak kekerasan yang lain (fisik, seksual, dan/atau ekonomi). Dari pandangan Rifka Annisa WCC mengenai konsep kekerasan tersebut, dapat dilihat beberapa unsur yang dapat dipakai untuk mengkonsepkan atau mendefinisikan tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu: (1) tindakan pemaksaan oleh pelaku terhadap korban, (2) akibat yang ditimbulkan, dan (3) menyangkut berbagai bentuk tindak kekerasan.
10
C.4.3. Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Berbagai bentuk tindak kekerasan telah berkembang di ruang atau tingkat tingkat rumah tangga. Rifka Annisa WCC mengidentifikasi adanya dua kategori bentuk tindak kekerasan, yaitu: (1) kekerasan fisik, yang meliputi: pemukulan, pelecehan seksual (meraba, mencolek), perempuan sebagai target KB secara paksa, dan sunat untuk anak perempuan (memotong klitoris menyebabkan perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual), dan (2) kekerasan nonfisik (psikologis atau emosional, seksual, ekonomi, dan sosial), yang meliputi: pelecehan seksual (direndahkan, dianggap tidak mampu, atau dicap tidak cantik atau bodoh), dan janji palsu (untuk menikah). Empat bentuk tindak kekerasan di lingkup masa pacaran dan rumah tangga (domestik) dalam penelitian ini, yaitu kekerasan fisik, psikologi, seksual, dan ekonomi, dapat dicermati pada kelima kasus dan kisah tersebut di atas. C.4..4. Penyebab Tindak Kekerasan Menurut Rifka Annisa WCC (tta: 5-9), tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya di lingkup domestik (masa pacaran dan rumah tangga), dimungkinkan terjadi karena tiga faktor yang amat luas dan kompleks, yaitu: (1) gender dan patriarkal, (2) relasi kekuasaan yang timpang, dan (3) perilaku hasil meniru (role modeling). Pertama, gender dan patriarchal, yang menyebabkan perbedaan tanggapan dan perlakuan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan, yang keduanya (terutama perempuan) dapat menjadi korban. Kedua, ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu sistem sosial akan mendorong perempuan (istri) untuk tergantung pada laki-laki (suami). Ketiga, perilaku hasil meniru, yang dilakukan oleh anak, dimungkinkan terjadi karena anak sering menyaksikan tindak kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya pada ibunya. Dari kelima kasus yang diteliti, nampaknya relasi kekuasaan yang timpang merupakan penyebab utama terjadinya tindak kekerasan di masa pacaran maupun rumah tangga. Rifka Annisa WCC mengemukakan bahwa penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan lebih dilihatnya sebagai tidak setaranya relasi kekuasaan (power) antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan hubungan ini muncul dari adanya pandangan atau nilai yang dipercayai sebagai faktor yang alamiah, yaitu bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda perannya. Pandangan atau nilai itu merupakan faktor yang dibentuk atau dipelajari oleh manusia. Kepentingan dari kelompok masyarakat yang diuntungkan dari pembentukan peran itu membuat pandangan dan nilai-nilai tersebut menjadi lestari hidup di masyarakat. Oleh karena itu, intinya laki-laki tetap ingin menguasai perempuan, dan adanya itu karena tidak setaranya relasi ini; dan kekerasan itu muncul karena ada power yang lebih dari siapa pun. Sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang mengedepankan laki-laki atau suami sebagai pencari nafkah utama dan kepala keluarga, misalnya, telah mendorong perempuan atau isteri untuk tergantung kepada laki-laki atau 11
suami, khususnya dalam masalah ekonomi. Keadaan ini membuat perempuan atau isteri berada di bawah kekuasaan (tersubordinasi) laki-laki atau suami, sehingga mengakibatkan relasi kekuasaan menjadi timpang atau tidak setara. Kondisi semacam inilah yang memicu munculnya tindak kekerasan. Pendekatan budaya dalam studi antropologi, lebih melihat masalah perempuan berdasarkan: (1) konstruksi sosial dari peran perempuan dan (2) subordinasi perempuan. Pendekatan budaya telah dipergunakan oleh kaum feminis untuk memperlemah atau meniadakan pendekatan yang menitikberatkan determinasi biologis (cf. Saptari 1997: 59). Rifka Annisa WCC juga mengemukakan bagaimana kekerasan ini bisa dimungkinkan muncul oleh adanya kekuasaan dan kontrol. Laki-laki memang merasa diuntungkan dengan kelebihan kekuasaan itu atas perempuan. Ia dilatih untuk merasa berkuasa atas dirinya dan perempuan. Adanya perasan lebih atas kekuasaannya itu, menyebabkan laki-laki merasa mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan. Namun sayangnya, di sini sering terjadi kekaburan antara kekuasan diri (personal power) dan kekuasaan atas orang lain (power over others). Kekuasaan menjadi negatif manakala orang merasa membutuhkan kekuasaan atas orang lain untuk mendapatkan kekuasaan diri, sehingga yang terjadi adalah kekuasaan menjadi tindak kekerasan. Oleh karena itu, tindak kekerasan itu muncul dari desakan untuk mengendalikan dan mendominasi orang lain. Pemikiran Rifka Annisa WCC tersebut menunjukkan bahwa apabila kekuasaan dan kontrol dipositifkan atau menjadi kebaikan, maka kekerasan akan dimungkinkan menjadi budaya, sehingga muncul dan berkembanglah apa yang disebut dengan budaya kekerasan. Oleh karena itu, tindak kekerasan digunakan sebagai cara yang khusus untuk melanggengkan kekuasaan dan pengendalian sosial. Tindak kekerasan akan terus muncul manakala cara penyelesaian suatu masalah dengan berbagai cara sudah dianggap tidak memuaskan. C.5. Bentuk-bentuk Sikap dan Tindakan Rifka Annisa WCC Rifka Annisa WCC secara tegas bersikap menolak tindak kekerasan yang dialami perempuan serta menolak penetapan peran-peran perempuan yang stereotype dan tradisional dengan menunjukkan sikap penolakan secara terbuka. Caranya dengan aktif bergabung dengan sesama teman (LSM Perempuan) yang prihatin terhadap situasi itu. Rifka Annisa WCC juga secara tegas mengemukakan sikap dan tindakannya terhadap masalah perempuan lewat lembaganya. Ada dua hal yang harus dilakukan dalam membantu perempuan korban tindak kekerasan, yaitu: (1) mendampingi dalam memproses kasusnya secara hukum, dan (2) memperkenalkan juga kepadanya secara personal tentang realitas ketidakadilan yang mereka alami dan kaitannya dengan hal lain, karena pada umumnya mereka seringkali menyalahkan diri sendiri. Realitasnya memang ada keterkaitannya antara masalah pribadi dengan nasib perempuan pada umumnya, dan dengan menggunakan kasus itu juga untuk melakukan pendidikan masyarakat. Hal ini 12
memang menyangkut kasus per kasus, tetapi bukan tidak mungkin terjadi dimana-mana. Oleh karena itu, Rifka Annisa WCC mengadvokasikannya lewat publikasi, lewat seminar, dan sekaligus menjadikan kasus itu data penguat untuk mengusulkan perubahan hkum. D. Kesimpulan Berdasarkan lima kasus perempuan korban tindak kekerasan yang diteliti, dapat diketahui beberapa hal yang menarik. Pertama, tindak kekerasan terhadap perempuan dimungkinkan terjadi karena beberapa faktor yang amat luas dan kompleks. Pertama, ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan atau kekuasaan dan kontrol yang dimiliki oleh laki-laki (kasus 1, 2, dan 3). Antropologi feminisme melihat masalah tindak kekerasan yang terjadi pada kasus 1, 2, dan 3 itu berhubungan erat dengan tiga masalah, yaitu: (1) tindak kekerasan sebagai suatu fenomena kebudayaan, yang muncul sebagai akibat dari hegemoni maskulinitas yang menyebabkan perbedaan dan hubungan gender yang hirarkhis dalam masyarakat dan kebudayaan, dan (2) tindak kekerasan berhubungan dengan masalah identitas, subyektivitas, dan kekuasaan laki-laki. Kedua, perbedaan gender dan ideologi patriarkal, baik di tingkat keluarga maupun masyarakat (kelima kasus). Ketiga, budaya sosialisasi dan perilaku meniru (kasus 3). Strategi untuk mencegah tindak kekerasan semacam ini, menurut Rifka Annisa WCC , yaitu harus dimulai dengan menanggalkan kepercayaan kultural lokal yang merugikan perempuan. Kedua, adanya relasi antara tindak kekerasan fisik dengan berbagai bentuk tindak kekerasan psikologi, seksual, dan ekonomi. Keempat kasus (kasus 1-4) menunjukkan adanya bentuk tindak kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi yang berakibat pada munculnya bentuk tindak kekerasan psikologi bagi perempuan korban tindak kekerasan. Kasus 3 dan 4 menunjukkan adanya tindak kekerasan seksual, yaitu dalam bentuk perkosaan, baik perkosaan pada masa pacaran (kasus 4) maupun perkosaan pada kehidupan rumah tangga (kasus 3). Ketiga, dari kelima kasus nampak bahwa masyarakat dengan seperangkat nilai, norma, dan pranatanya yang sudah terinternalisasi, apabila terjadi tindak kekerasan, terutama perkosaan cenderung menyalahkan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan dari pada pelakunya. Rifka Annisa WCC menganggap hal ini sebagai ketidakadilan dan merendahan perempuan. Dalam pandangan antropologi feminisme, internalisasi nilai dan peran perempuan dapat dilihat sebagai bentuk penyesuaian diri dalam sistem sosial-budaya lokal yang patriarkal. Sistem sosial-budaya dalam masyarakat jarang sekali mendukung atau membantu perempuan korban tindak kekerasan, apalagi bila tindak kekerasan terjadi dalam lingkup domestik (masa pacaran maupun rumah tangga).
13
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan 1998 “Rekonstruksi Gender terhadap Realitas Wanita”. Dalam Hj. Bainar, ed. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Pustaka Cidesindo, hal. 3-9. Dewi, Sinta Ratna 1996 Kekerasan Suami pada Istri di Masyarakat Perkotaan Yogyakarta. Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Dobash, Emerson R. dan Russel P. Dobash 1994 Women, Violence, and Social Change. London: Routledge. Hanmer, Jalna dan Mary Maynard 1989 Women,Violence, and Social Control. New Jersey: Humanities Press. Heise, Lori L., J. Pitanguy dan A. Germain 1994 Violence Against Women: The Hidden Health Burden. Washington DC: World Bank Discution Paper. Jennaway, Megan 1990 "Paradigms, Postmodern Epistimologies, and Paradoxes: The Place of Feminism in Anthropology”. Anthropological Forum, 6(2): 167-189. Keesing, Roger M. 1987 “Anthropology as Interpretive Quest”. Current Anthropology, 28 (2): 161-176. Lamphere, Louise 1996 “Feminist Anthropology”. Encyclopedia of Cultural Anthropology, 2: 488493. Moore, Henrietta L. 1994a Feminism and Anthropology. Minneapolis: University of Minnesota Press. 1994b
A Passion for Difference: Essays in Anthropology and Gender. Cambridge: Polity Press.
1996
"The Changing Nature of Anthropological Knowledge: an Introduction". Dalam Henrietta L. Moore, ed. The Future of Anthropological Knowledge. London: Routledge, hal. 1-15.
Mokhopadhay, Carol C. dan Patricia J. Higgins 1998 “Anthropological Studies of Women’s Status Revisited: 1977-1987”. Annual Review of Anthropology, 17: 461-495.
14
Poerwandari, E. Kristi 1996 "Organisasi Wanita Kristen di Indonesia: Dari Politik ke Kerja Sosial". Dalam Mayling Oey-Gardiner, et al., eds. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia, hal. 311-331. Rifka Annisa Women’s Crisis Centre (WCC ) tta Kekerasan di Balik Cinta. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC dan UNICEF. ttb
Derita di Balik Harmoni. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC Foundation.
dan Asia
1995
Laporan Hasil Penelitian Kekerasan terhadap Perempuan. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC .
1997
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
1998
Benarkah Kita Mencintai Isteri Kita? Yogyakarta: Rifka Annisa WCC dan The Ford Foundation.
1999
Janji Gombal. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC dan UNICEF.
Saptari, Ratna 1997 "Studi Perempuan: Sebuah Pengantar". Dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial. Jakarta: Grafiti, hal. 44-105. Walter, Lynn 1994 "Feminist Anthropology”. Gender & Society, 9(3): 272-288.
----- @ -----
15