LGBT, SYARIAH & HAM: Catatan Praktisi Media Oleh Asrori S. Karni Pengantar
Isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) menjadi polemik publik pada triwulan pertama tahun 2016 ini, sebenarnya bukan diskursus publik pertama di Indonesia tentang tema ini. Tetapi, kontroversi LGBT yang mencuat sejak Januari 2016 kali ini tampak memiliki bobot publik dan implikasi yang berbeda pada berbagai pemangku kepentingan dibandingkan polemik serupa pada masa-masa sebelumnya.
Kasus awal 2016 ini bukan kali pertama, pada September 2015, Bali dihebohkan foto perayaan perkawinan sesama pria (berorientasi seksual gay), di Hotel Four Season, Ubud, Gianyar, Bali, antara Tiko Mulyawarko (41), warga Indonesia dan Joseph Michael Tully (52) warga Amerika Serikat. Kasus ini menuai reaksi luas. Mulai rakyat kebanyakan, pemuka adat, tokoh agama Hindu, pejabat dari bupati sampai Gubernur Bali, menyuarakan keberatan. Bahwa Hindu tidak membenarkan perkwinan sejenis. Dalam foto itu, tampak sosok berkostum rohaniawan Hindu (Pemangku), sehingga seolah-olah perkawinan sejenis direstui adat Bali dan disahkan ajaran Hindu. Kasus ini berujung penjeratan pasal penodaan agama pada penyelenggara acara.1
Bulan September juga, tahun 2003, isu homoseksual mencuat (saat itu belum kondang sebutan LGBT), ketika digelar pesta perkawinan terbuka, perkawinan pasangan gay, William Johanes (saat itu 59 tahun), asal Belanda, dan Philip Iswardono (saat itu 37 tahun), asli Yogyakarta, di Planet Pyramid, restoran di Jalan Parangtritis, Yogyakarta, 6 September 2003. Ini disebutsebut sebagai kasus pertama pesta perkawinan terbuka pasangan gay di Indonesia.2 Sorotan publik juga mengemuka.
Awal 2016, isu LGBT kembali memanas, dengan angle: LGBT masuk Kampus. Hal itu tersulut pernyataan Menristekdikti, M. Nasir di portal berita Detik.com, 24 Januari 2016, yang akan melarang LGBT masuk semua perguruan tinggi di bawah Kemenristekdikti. Pernyataan Menristekdikti sebagai respons atas beredarnya surat klarifikasi pimpinan UI dan UIN Jakarta, pada 21 Januari 2016, yang menyatakan SGRC UI dan SGRC UIN, bukan bagian dari kampus tersebut. SGRC (Support Group & Researc Center)
Redaktur Majalah GATRA Jakarta. Wakil Ketua Bidang Qanuniyah Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Wakil Ketua Komisi Infokom MUI. 1 Asrori S. Karni dkk, "Kawin Sejenis Menodai Hindu", Majalah GATRA, Edisi 50/XXI 21 Oktober 2015. 2 Hidayat Gunadi dkk, “Jalan Berliku Kaum Homo Menuju Pelaminan”, Majalah GATRA, edisi 46/IX, 4 Oktober 2003.
1
memberi layanan LGBT peer support network. Kasus ini membangun kesan bahwa gerakan pro LGBT di kampus sudah sedemikian rupa berkembang.3 Bobot dan Implikasi Polemik LGBT
Bobot kontroversi polemik “LGBT Masuk Kampus” kali ini terasa lebih. Menristekdikti menuai kecaman luas. Baik di media konvensional maupun media sosial. Sebagian pejabat negara mendukung sikap Menristekdikti, seperti Mendikbud Anies Baswedan, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan beberapa anggota DPR. Kontroversi makin memanas. Muncul surat gugatan pada tujuh pejabat negara itu, yang dinilai menyulut kebencian melakukan pelanggaran HAM terhadap LGBT. Muncul pula petisi tandingan dari pihak kontra LGBT yang membela tujuh pejabat negara itu. Mantan Ketua MK, Mahfud MD pun ikut masuk dalam perdebatan di dunia maya. KPAI masuk dengan perspektif perlindungan anak. Komnas HAM masuk dengan titik tolak perlindungan HAM.
Perdebebatan publik terus meluas. Baik dengan perpektif HAM, hukum, agama, psikologi maupun psikiatri. Normal tidaknya LGBT, mental disorder atau bukan, juga jadi perdebatan para psikiater. Polemik di ranah agama juga memanas, terlebih ketika bergulir interpretasi keislaman non-mainstream yang lebih friendly pada LGBT, mempersoalkan larangan perkawinan sejenis dan orientasi seksual homo. Respons baliknya, desakan ke arah kriminalisasi LGBT bergulir, sebagai tandingan atas desakan legalisasi perkawinan sejenis.
Implikasi polemik LGBT “edisi” awal 2016 ini pada berbagai pemangku kepentingan juga terasa lebih. Pemerintah sampai menggelar Rakor LGBT pada 25 Februari 2016 (persis sehari setelah pernyataan kontra LGBT dari Menristekdikti), melibatkan Kemenlu, Kemenag, Kemendagri, Kemensos, KPPPA, Kominfo, KPAI dan KPI. Sebuah tim kecil menindaklanjuti Rakor dengan terus bekerja merumuskan sikap pemerintah menghadapi fenomena LGBT. KPI kembali menegaskan larangan tanyangan banci dan meniru banci di televisi. Dalam ranah fatwa agama, meski sudah fatwa MUI tentang Lesbian, Gay, Pencabulan dan Sodomi pada Desember 2015 dan fatwa MUI tentang Kedudukan Waria pada November 1997, kini Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dikabarkan tengah menyelesaikan drafting akhir fatwa tentang LGBT. Bahtsul Masail PBNU juga tengah menyiapkan pembahasan ke arah rekomendasi larangan hubungan seks sejenis dan perkawinan sejenis.
Perjuangan kalangan pro LGBT yang intinya untuk perlindungan hak-hak dasar kaum LGBT, seperti hak kesehatan, hak pendidikan, hak pekerjaan, serta perlindungan dari diskriminasi, stigmatiasi dan perendahan martabat, menjadi bias dan menuai resistensi keras ketika lebih dilihat sebagai upaya legalisasi perkawinan sejenis, termasuk hubungan seks sejenis. Sisi lain, respons kalangan agama yang esensinya sebagai bentuk penegakan keyakinan agama (sepertinya haramnya nikah sejenis dan hubungan seks sejenis)
Asrori S. Karni dkk, “Arus LGBT Masuk Kampus”, Majalah GATRA, edisi 14/XXII, 10 Februari 2016. 3
2
kemudian lebih dibaca sebagai sikap konservatif, intoleran dan diskriminatif. Dua aspek ini termasuk yang mengeruhkan polemik LGBT dari sisi agama.
Catatan Untuk Pengkaji Hukum Islam
Kasus LGBT terkini ini menjadi salah satu model kasus aktual berdimensi agama pada era dengan kebebasan ekspresi dan kemajuan teknologi informasi ini, memiliki karakteristik khas: kompleks. Diperlukan pemahaman mendalam dan komprehensif terhadap masalah yang dikaji. Diperlukan pelibatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Jenis respons hukum Islam yang diperlukan tidak sekadar berupa status hukum (untuk kepastian hukum), seperti penyataan LGBT itu haram. Tapi juga dibutuhkan pedoman penanganan, baik fase pencegahan, maupun tahap pemulihan. Ini demi fungsi hukum akan kemanfaatan dan keadilan. Dengan demikian, tripod fungsi hukum (kepastian, kemanfaatan dan keadilan) bisa simultan diwujudkan. Fatwa MUI tentang Lesbian, Gay, Pencabulan dan Sodomi tahun 2014 sudah memperlihatkan model respons hukum Islam yang lebih komprehensif tadi, dibandingkan Fatwa MUI tahun 1997 tentang Waria yang disajikan sederhana.
LGBT dan HAM
Dokumen “Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia” (Usaid, 2014), hasil Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia, pada 13-14 Juni 2013, di Bali memberi rekomendasi untuk organisasi dan komunitas LGBT di Indonesia, agar advokasi HAM LGBT dijadikan salah satu strategi utama di setiap organisasi. Bekerja dengan pendekatan berbasis HAM dinilai penting.Gay, Lesbian dan Biseksual, sebagai orientasi seksual, dan Transgender, sebagai identitas gender, diletakkan sebagai bagian hak asasi setiap manusia.
“Orientasi seksual” dimaknai sebagai kapasitas setiap orang akan ketertarikan emosional, kasih-sayang, seksualnya juga hubungan seksual dan intimnya secara mendalam terhadap individu dari gender yang berbeda atau sesama gender atau lebih dari satu gender. “Identitas gender” merujuk kepada pengalaman gender setiap orang yang dirasakan secara mendalam yang mungkin atau tidak berhubungan dengan jenis kelamin yang ditetapkan ketika lahir termasuk perasaan pribadi akan ketubuhannya yang mungkin melibatkan, jika dipilih dengan merdeka, perubahan penampakan atau fungsi tubuh melalui cara-cara medis, operasi atau lainnya serta ekspresi gender lain seperti cara berpakaian, cara bertutur-kata dan lagak-lagu.4
Definisi ini diambil dari Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas HAM yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender (2006). 4
3
Komnas HAM menyatakan, komunitas LGBT mengalami beragam diskriminasi dan stigma. Dalam penelitian Komnas HAM tahun 2015, Komunitas LGBT terutama mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang adil, dan hak atas kebebasan berekspresi. Untuk mendorong terpenuhinya hak-hak dasar Kelompok LGBT, Komnas HAM merujuk pada Prinsip-Prinsip Yogyakarta (2006), hasil kesepakatan 29 pakar terkemuka bidang HAM dari 25 negara, dalam pertemuan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanggal 6 - 9 November 2006. Prinsip Yogyakarta dinilai Komnas HAM sebagai panduan universal untuk menerapkan hukum HAM internasional untuk pelanggaran yang dialami kelompok seksual minoritas.5
Penelitian Arus Pelangi tahun 2013 melaporkan, 89,3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan; 79,1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46,3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26,3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45,1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63,3% dalam bentuk kekerasan budaya. Dari sekian kasus kekerasan, 65,2% mencari bantuan ke teman dan 17,3% pernah mencoba bunuh diri. Dari peta ini, diperlukan kehadiran negara untuk melindungi hak-hak dasar komunitas LGBT sebagai warga negara.
Prinsip Yogyakarta menandaskan, bahwa hukum internasional tentang HAM menjatuhkan larangan mutlak terhadap praktek diskriminasi berkaitan dengan nikmat karunia sepenuhnya atas seluruh hak asasi manusia: sipil, kebudayaan, ekonomi, politik dan sosial; yang menghormati hak-hak seksualitas; orientasi seksual dan identitas gender menyatu-padu dengan perwujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Prinsip Yogyakarta terdiri 29 prinsip berikut: (1) Hak Atas Nikmat Karunia Hak-Hak Asasi Manusia Universal, (2) Kesetaraan Dan Non-Diskriminasi, (3) Pengakuan Hukum, (4) Kehidupan, (5) Rasa Aman, (6) Ruang Privat (Privasi), (7) Kemerdekaan Dari Pencabutan Kebebasan Secara SewenangWenang, (8) Pemeriksaan Pengadilan Secara Adil, (9) Perlakuan Manusiawi Selama Dalam Tahanan, (10) Kebebasan dari Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, (11) Perlindungan Dari Semua Bentuk Eksploitasi, Jual-Beli Dan Perdagangan Manusia, (12) Pekerjaan, (13) Jaminan Sosial Dan Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya, (14) Standard Hidup Yang Layak, (15) Pemukiman Yang Layak, (16) Pendidikan, (17) Standard Kesehatan Tertinggi Yang Dapat Dicapai, (18) Perlindungan Dari Penyalah-Gunaan Medis, (19) Kemerdekaan Berpendapat Dan Berekspresi, (20) Kemerdekaan Berkumpul Dan Berorganisasi Dengan Damai, (21) Kemerdekaan Pikiran, Hati Nurani Dan Agama, (22) Kemerdekaan Berpindah-Tempat, (23) Mencari Tempat Perlindungan (Suaka), (24) Membangun Keluarga, (25) Berperan-Serta Dalam Kehidupan Bermasyarakat, (26) Berperan-Serta Dalam Berkebudayaan, (27) Memperjuangkan Hak Asasi Manusia, (28), Memperoleh Pengobatan Dan Penggantian Kerugian Yang Efektif, (29) Akuntabilitas.
Siaran Pers, Pernyataan Sikap Komnas HAM Atas Situasi Yang Dialami Komunitas LGBT, Jakarta 4 Februari 2016. 5
4
Titik krusial, antara lain, ada pada Prinsip 6: Hak Atas Ruang Privat (Privasi), karena ada kewajiban negara untuk mengesahkan hubungan seks sejenis: (B) Mencabut seluruh hukum yang mengkriminalkan aktivitas seksual sukasama-suka di antara orang-orang sesama-jenis yang telah dewasa, dan (C) Menjamin bahwa penerapan umum dari ketetapan hukum pidana dan ketetapan hukum lain tidak diberlakukan secara de facto terhadap kegiatan seksual suka-sama-suka sesama-jenis bagi mereka yang telah dewasa;
Begitu pun pada Prinsip 24: Hak Untuk Membangun Keluarga, karena ada agenda legalisasi perkawinan sejenis. Negara wajib: (E) Mengambil seluruh tindakan legislatif, administratif dan tindakan-tindakan lain yang penting untuk menjamin bahwa di dalam Negara yang mengakui perkawinan sesamajenis atau perjodohan tercatat;
LGBT dan Syariah
Sorotan syariah pada isu LGBT yang paling krusal adalah pada hubungan seksual sejenis dan perkawinan sejenis. Pandangan hukum Islam anutan tiga ormas Islam mainstream di Indonesia: NU, Muhammadiyah dan MUI, mengharamkan hubungan seks sejenis dan perkawian sejenis. Ada upaya membangun interpretasi baru dari beberapa pemikir, untuk membuka ruang pembenaran pada perkawinan sejenis atau orientasi seks sejenis, yang disambut baik komunitas LGBT, dan sisi lain, hal itu malah memperkuat resistensi kontra LGBT. Ada pula pikiran untuk memilah respons hukum Islam terhadap “orientasi seks sejenis” yang masih di ranah pikiran, dengan “hubungan seks sejenis” yang sudah di tingkat aksi.
Ke depan, diperlukan dialog yang jernih dan sehat antara gerakan pro LGBT dengan perspektif HAM yang menekankan pencegahan diskriminasi dan kekerasan pada komunitas LGBT sebagai manusia dan warga negara, dengan kalangan kontra LGBT berpersketif syariah mainstream, yang menghendaki penghormatan atas ajaran agama yang diyakini, dan tidak begitu saja diabaikan atas nama HAM. Di luar isu perkawinan sejenis dan hubungan seks sejenis, sebenarnya ada ruang terbuka untuk membangun titik temu, kerja sama, dan semacamnya, dalam menyikapi komunitas LGBT yang rentan tersudut secara sosial dan memerlukan pendampingan.
Agenda rehabilitasi bagi LGBT yang secara sukarela ingin “normal” adalah salah satu bidang garap dan concern yang bisa melibatkan berbagai pihak, termasuk sinergi penganut perspektif HAM dan syariah, dengan dukungan penyelenggara negara. Maka itu,kegaduhan isu ini tidak sekadar pertarungan pemikiran di menara gading, tapi juga memiliki efek manfaat yang membumi bagi bagi komunitas LGBT.
Masih terbatasnya kajian hukum Islam tentang LGBT menjadi ruang terbuka bagi dunia perguruan tinggi Islam untuk terus memperkaya riset sekaligus sebagai basis pengembangan pusat-pusat konsultasi dan rehabilitasi bagi 5
LGBT muslim yang, satu sisi, ingin menjalani hidup sesuai syariah, dan sisi lain, hak-hak dasar manusiawinya terpenuhi. ***
6