V. PEMBAHASAN UMUM
Lesi mukosa akut lambung akibat efek samping OAINS/Aspirin merupakan kelainan yang sering ditemukan. Prevalensi kelainan ini sekitar 70 persen sedangkan pada 30 persen kasus tidak didapatkan gejala klinik maupun kelainan endoskopi saluran cerna bagian atas. Lokasi lesi mukosa dapat terjadi sepanjang traktus gastrointestinal, dengan kelainan terbanyak pada lambung. Masalah yang didapatkan di klinik adalah perubahan morfologi lambung yang berakibat timbulnya tanda dan gejala dini dari kelainan traktus gastrointestinalis. Efek samping pada lambung akan menimbulkan gejala klinik sindroma dispepsia yaitu rasa nyeri atau tidak nyaman pada daerah epigastrium disertai mual dan kadang kadang muntah. Gejala klinik tersebut terjadi akibat perubahan dari morfologi atau reaksi seluler pada mukosa lambung. Menentukan etiologi pada manusia terhadap perubahan yang terjadi tidak mudah sebab tidak dapat melakukan pengamatan secara menyeluruh. Oleh sebab itu dengan memakai hewan coba dalam hal ini tikus putih galur Sprague-Dawley akan dapat dilakukan nekropsi sehingga pengamatan makroskopik maupun mikroskopik dapat dilakukan secara jelas. Tidak terjadinya lesi mukosa pada sebagian kasus yang mengkonsumsi OAINS/Aspirin
pada hewan coba dapat dilakukan pengamatan secara
histopatologik. Peran sel pada mukosa lambung yang tergolong faktor defensif maupun faktor agresif akan dapat diketahui secara jelas. Selain itu peran prostaglandin sebagai komponen dalam ketahanan mukosa dapat diketahui melalui mekanisme kerja isoenzim cyclooxygenase COX-1 dan COX-2 pada hewan coba yang mempunyai lesi mukosa lambung. Gejala klinik dispepsia merupakan tanda dini terjadinya efek samping obat Aspirin pada lambung Penelitian dengan hewan coba didapatkan dilatasi lambung, yang mana pada manusia hal ini sulit untuk diketahui. Dilatasi lambung akan berakibat gangguan motilitas dalam bentuk dismotilitas. Kondisi ini akan mengganggu pengosongan lambung dengan akibat kontak obat akan lebih lama pada daerah Antrum/Pilorus.
Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh efek sistemik Aspirin. Efek topikal bila terjadi kontak langsung antara Aspirin dengan epitel mukosa lambung. Hal ini terjadi akibat rusaknya lapisan pre-epitel yaitu mukus yang merupakan sawar terdepan dari mukosa lambung. Kerusakan dari lapisan mukus ini akan banyak didapatkan pada regio Antrum dibandingkan Korpus. Kondisi mukosa Antrum/Pilorus biasanya sudah dalam kondisi peradangan kronik, sehingga akan mempengaruhi terhadap ketahanan mukosa. Oleh sebab itu kelainan pada Antrum akan lebih sering didapatkan bila dibandingkan dengan Korpus. Struktur sel pada daerah korpus juga berbeda dalam kualitas maupun kuantitias dengan daerah Antrum. Jumlah sel mukus, sel parietal dan sel chief pada daerah Korpus lebih banyak dibandingkan daerah Antrum. Sel mukus merupakan komponen faktor defensif sedangkan sel parietal dan sel chief merupakan komponen faktor agresif, dalam keadaan normal berada dalam keseimbangan. Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin terjadi akibat penurunan faktor defensif dalam bentuk penipisan lapisan mukus akibat pengaruh topikal isi lambung maupun sistemik dalam bentuk hambatan produksi prostaglandin. Produksi mukus sesuai dengan aktifitas sel mukus yang digambarkan dari jumlah sel mukus. Prostaglandin merupakan komponen utama dalam mengatur produksi mukus. Meskipun ada komponen lain yang juga berperan dalam produksi mukus adalah Epidermal Growth Factor (EGF), yang akan mempengaruhi sel mukus permukaan. Letak dari EGF ini pada permukaan epitel. Sel mukus lain adalah sel mukus leher yang mana produksi mukus sel ini dikendalikan oleh isoenzim COX-1. Lesi mukosa pada Aspirin gastropati meskipun terdapat hambatan COX-1 secara sistemik, secara histopatologik masih didapatkan peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat diketahui dari distribusi COX-1 pada mukosa lambung dengan pemeriksaan imunohistokimia. Distribusi COX-1 pada mukosa normal tidak sampai pada epitel permukaan, melainkan hanya pada bagian kelenjar. Keadaan ini menunjukkan bahwa penurunan kemampuan faktor defensif dalam produksi mukus akibat efek sistemik Aspirin tidak bersifat total, melainkan hambatan COX-1 hanya mempengaruhi aktifitas sel mukus leher.
Sel radang berfungsi sebagai faktor defensif, dan dapat berubah menjadi faktor agresif bila terjadi suatu proses inflamasi yang berlebihan. Pada keadaan ini terjadi pelepasan mediator inflamasi secara berlebihan dan akan menurunkan ketahanan mukosa. Aktifitas sel netrofil akibat pemberian Aspirin, melalui efek sistemik akan menghamabat COX-2. Akibatnya akan terjadi peningkatan penempelan netrofil pada dinding endotel vaskuler disertai aktifasi dalam bentuk pelepasan mediator inflamasi. Hambatan total terhadap aktifitas enzim COX-2, akan memperlambat perbaikan lesi mukosa. Hal ini berhubungan dengan penurunan produksi nitrikoksida yang berfungsi meningkatkan ketahanan mukosa. Jadi jumlah COX-2 yang berlebihan maupun sangat kurang merupakan keadaan yang menghambat proses penyembuhan lesi mukosa. Sel parietal menghasilkan asam lambung dan sel chief menghasilkan pepsinogen merupakan komponen faktor agrasif. Kerusakan epitel mukosa lambung akibat asam lambung atau pepsin akan terjadi bila kedua zat tersebut dapat menembus lapisan mukus. Oleh sebab itu asam lambung dan pepsin merupakan kontributor untuk terjadinya lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin. Produksi asam lambung berbanding lurus dengan jumlah sel parietal. Efek topikal Aspirin pada mukosa lambung akan berakibat difusi balik ion hidrogen ke dalam mukosa, selanjutnya terjadi perubahan perbedaan potensial pada sel epitel, akan berakibat kerusakan sel tersebut. Aktifitas sel chief berhubungan dengan keasaman lambung. Keasaman lambung yang rendah akan berakibat pembentukan pepsin dari pepsinogen akan meningkat. Pepsinogen yang dihasilkan oleh sel chief pada regio Fundus/Korpus adalah Pepsinogen 1 (PG1),
sedangkan pada regio Antrum/Pilorus adalah
Pepsinogen 2 (PG 2). Penurunan PG1 dan rasio PG1 dan PG2, akan memperberat proses inflamasi pada daerah Antrum. Hal ini menunjukkan ketahanan mukosa lambung regio Fundus/Korpus lebih baik di bandingkan regio Antrum/Pilorus. Isoenzim Cyclooxygenase COX-1 dan COX-2 merupakan zat yang berperan dalam produksi prostaglandin melalui metabolisme asam arachidonat. Hambatan kedua enzim ini oleh Aspirin akan menurunkan atau menghambat produksi prostaglandin dengan akibat menurunkan ketahanan muksa lambung. Dari penelitian ini dibuktikan bahwa bila hambatan kedua isoenzim ini secara
seimbang, lesi mukosa yang terjadi akan lebih ringan. Sebaliknya hambatan yang berlebihan pada salah satu COX akan berakibat lesi mukosa yang terjadi lebih berat. Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin akan merubah morfologi lambung dan aktifitas seluler mukosa lambung. Pada kondisi awal terjadinya lesi mukosa adalah terdapatnya gangguan pada lapisan mukus epitel lambung. Mukus merupakan lapisan pre-epitel dan berfungsi sebagai sawar terdepan dalam menangkal pengaruh isi lumen lambung. Gangguan lapisan mukus akan berakibat terjadinya efek topikal Aspirin pada epitel mukosa lambung. Reaksi antara Aspirin dengan dinding epitel akan menurunkan ketahanan epitel, selanjutnya terjadi penetrasi Aspirin dalam bentuk tidak terionisasi ke dalam sel epitel bersamaan dengan difusi balik ion hidrogen akan berakibat terperangkap dalam sel epitel. Keadaan ini akan berlanjut dengan kerusakan sel epitel disertai dengan proses inflamasi jaringan. Proses inflamasi akibat infiltrasi sel netrofil dengan pelepasan mediator inflamasi akan berakibat edematus mukosa. Kondisi ini akan berakibat perubahan morfologi lambung. Efek sistemik Aspirin melalui hambatan isoenzim COX dalam memproduksi prostaglandin akan menurunkan motilitas lambung. Perubahan morfologi dan dismotilitas lambung akan terjadi dilatasi lambung. Manifestasi klinik dari keadaan ini adalah didapatkan sindroma dispepsia. Dilatasi lambung akan memperlambat pengosongan lambung, sehingga kontak isi lambung termasuk Aspirin akan lebih lama. Keadaan ini akan berakibat bertambah beratnya lesi mukosa terutama pada daerah Antrum/Pilorus. Proses inflamasi mukosa akan mempengaruhi aktifitas sel parietal dalam bentuk terjadinya kerusakan sel (piknosis) dan penurunan aktifitas sel chief dalam pembentukan PG1 dan penurunan rasio PG1 dan PG2. Hal ini menunjukkan peran asam lambung dan pepsinogen hanya merupakan kontributor dalam terjadinya lesi mukosa akut lambung oleh Aspirin. Pada penelitian ini peran COX dinilai pada kelompok Perlakuan Lesi Positif (PLP). Pemilihan untuk kelompok ini berdasarkan bahwa ekspresi COX akan lebih jelas, sehingga peran COX-1 dan COX-2 dalam terjadinya lesi mukosa akan dapat diketahui. COX-1 sebagai faktor konstitutif dan COX-2 sebagai faktor inflamatif pada tingkat berat dan ringannya lesi mukosa, berada dalam keadaan
seimbang. Gangguan dalam keseimbangan pada kedua COX ini akan berakibat lesi yang terjadi akan lebih berat. Ekspresi COX-1 terbanyak adalah pada daerah kelenjar mukosa lambung. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas sel mukus leher sebagai sawar kedua sesudah sel mukus permukaan, akan mencegah perberatan atau perluasan lesi yang sudah terjadi. Disamping itu ekspresi COX-2 yang negatif akan berakibat perlambatan penyembuhan lesi mukosa. Ekspresi COX-2 akan terlihat jelas pada daerah sekitar sub-mukosa, hal ini menunjukkan pengendalian aktifitas lekosit dan angiogenesis juga merupakan peranan COX-2 dalam membantu penyembuhan lesi mukosa. Aktifitas seluler mukosa lambung ditentukan
dengan pemeriksaan
histopatologi dengan pewarnaan umum Hematoxylin-Eosin dan pewarnaan khusu mukus dengan PAS-Alcian Blue. Dengan perwarnaan ini akan dapat dihitung jumlah sel tersebut. Aktifitas yang meningkat paralel dengan proliferasi sel-sel tersebut. Ekspresi isoenzim Cyclooxygenase COX-1 dan COX-2 menunjukkan aktifitasnya dalam memproduksi prostaglandin melalui metabolisme asam arachidonat. Pewarnaan yang dilakukan dengan imunohistokimia, monoklonal antibodi. Ekspresi positif akan terlihat warna coklat pada lapisan mukosa lambung. Hasil dari penelitian ini membuktikan peran faktor defensif sangat penting dalam terjadinya lesi mukosa akut lambung, Pertahanan secara bertingkat mulai dari lapisan pre-epitel, epitel dan sub-epitel merupakan mekanisme pencegahan primer maupun sekunder. Perubahan secara anatomik sampai dengan perubahan histopatologik merupakan keadaan patologik yang berhubungan dengan mekanisme perubahan ketahanan mukosa lambung.
.