Lenyapnya Tugas Demokratik Kelas Pekerja dari Analisis Kelas KEN NDARU·2016 年 11 月 18 日 https://www.facebook.com/notes/ken-ndaru/lenyapnya-tugas-demokratik-kelas-pekerja-dari-analisis-kelas/10154173153028196
Pembuka Beruntung sekali aku menunda keluarnya tulisan ini, tulisan yang kerangkanya sudah kupersiapkan semenjak sebelum aksi sayap kanan tanggal 4 November lalu. Apa yang terjadi pasca 4 November, termasuk komentar-komentar dan pernyataan sikap dari organisasi sayap kiri terkait aksi tersebut, memberi banyak data baru mengenai tesis yang aku terakan dalam judul tulisan ini. Dan apa yang aku temui pasca 4 November menguatkan hipotesisku mengenai lenyapnya tugas demokratik kelas pekerja dari analisis kelas. Mari aku perlihatkan bagaimana Tugas Demokratik ini absen dalam analis kelas, berangkat dari tulisan-tulisan yang akan aku bedah di sini. Satu Pertama, tulisan Ian Wilson yang berjudul Making Enemies out of Friend. Sementara tulisan ini dengan tepat menunjuk rejim penataan kota borjuis, yang dipimpin Ahok, sebagai sumber ketidakpuasan yang membludak dalam aksi 4 November, penulisnya gagal memahami bahwa ketidakpuasan ini bukan hanya terjadi di Ibukota. Penting dipahami bahwa dinamika arus bawah sampai ke pelosok-pelosok Indonesia sekarang ini sudah dikuasai oleh propaganda ekstrim kanan. Pembicaraan di kampung-kampung di Sumatera, Jawa, Kalimantan mengenai penodaan agama ini berlangsung keras dan seru. Grup WhatsApp di komplek-komplek baik yang kelas atas maupun RSSS dipenuhi pertikaian antar warga mengenai apakah Ahok memang menghina agama. Massa sedang bicara politik. Politik dan ideologi tengah diperdebatkan dengan hangat oleh orang-orang yang selama ini hanya tahu bekerja dan bekerja; lahir, sekolah, kawin, punya anak, lalu mati. Sebagai orang yang mengusung politik kelas, fakta ini yang seharusnya menjadi fokus. Ini peluang kita. Susah mengajak orang berminat pada soal-soal politik. Sekarang, pertarungan antar faksi borjuasi mengantar rakyat berminat secara spontan pada politik. Di sinilah kesiapan organisasi diuji. Jika ia senantiasa menyiapkan diri untuk bicara politik kelas, ia akan siap memanfaatkan peluang yang 1
datang spontan seperti ini. Dan, krutacking flaaknard, momen ini justru menunjukkan bahwa gerakan kiri tidak siap mengusung politik kelas. Kegagapannya akan aku kupas di bagian interlude. Dan Ian Wilson lupa (aku berbaik sangka) menyebutkan bahwa pada saat ini praktis diskursus politik dan ideologi telah dikuasai oleh kelompok kanan. Ian Wilson juga lupa menyebutkan bahwa pada saat ini, massa rakyat sampai di kampung-kampung tengah bicara politik. Pada titik inilah aku akan mengingatkan bahwa gerakan kelas pekerja memiliki TUGAS DEMOKRATIK. Tugas Demokratik merupakan bagian integral dari perjuangan kelas pekerja; karena ialah kelas yang berkepentingan paling besar bagi terciptanya demokrasi sepenuh-penuhnya. Tanpa demokrasi, kekuatan produktif akan terus digerogoti korupsi, pungutan paksa dan bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Tanpa demokrasi dan transparansi, kekuatan produktif akan diselewengkan sehingga merusak lingkungan dan memelihara diskriminasi berdasar gender atau identitas.
sanakmemperhatikan nasib mereka yang tergusur? Really? Atau kita serukan agar gerakan kiri makin getol memperjuangkan nasib mereka yang tergusur? Kedua jalan ini sama-sama mengabaikan Tugas Demokratik. Tugas menjaga dan memperluas demokrasi. Pengabaian terhadap tugas demokratik inilah salah satu ciri pokok EKONOMISME (yang per definisi adalah “pemisahan antara tugas social ekonomi dan tugas social demokrasi”). Dalam kerja social-ekonomi, kita melakukan kerja memperluas ruang demokrasi. Sebaliknya, dalam kerja demokratik, kita perluas hak ekonomi rakyat. Tulisan Ian Wilson juga abai menganalisa: siapa di antara kedua faksi yang tengah bertarung di momen 4 November ini yang paling berbahaya bagi demokrasi. Bahaya dari pendekatan seperti ini adalah kemungkinan timbulnya pemikiran di kalangan kiri bahwa demi “melawan rejim penggusuran” bergabung dengan ekstrimis kanan dapat dibenarkan. Aku belum menemukan jejak dokumen yang menunjukkan adanya kelompok di kiri yang bergabung dengan aksi 4 November. Namun, pertukaran pendapat individual menunjukkan bahwa pemikiran itu telah muncul di kalangan yang mengaku kiri.
2
Dua Kedua, tulisan kawan Dicky Dwi Ananta yang berjudul Merebut Hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri. Tulisan ini dengan rapi mendokumentasikan perlawanan warga Pos Duri yang menghadapi penggusuran. Sebagai sebuah dokumentasi, ini lebih dari memadai. Tapi, sebagai tulisan politik, pertanyaannya adalah: pelajaran apa yang dapat dipetik dari kekalahan perlawanan Pos Duri? Sebuah catatan sejarah bagi kita bukan sekadar administrasi, ia adalah bekal untuk membenahi apa yang masih kurang dan memperkuat daya dobrak. Salah satu tradisi yang luar biasa dari kapitalisme adalah bahwa mereka punya catatan sejarah yang lengkap, yang senantiasa mereka pelajari. Dengan demikian, kapitalisme terus-menerus dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Dengan terus belajar dari kekalahan dan kesalahan, kapitalisme bisa maju terus—bahkan membalik kekalahan menjadi kemenangan. Tentu saja catatan sejarah itu tidak mereka buka pada massa, sehingga massa rakyat tidak dapat ikut belajar bersama mereka. Ini jelas berlawanan dengan apa yang kita yakini: bahwa massa rakyat harus dapat belajar dan melahirkan ilmu pengetahuannya sendiri. Dan persis di sini, tulisan kawan Dicky timpang. Ia hanya merupakan catatan kronologis, tanpa evaluasi mengenai kesalahan ataupun ketepatan taktik. Ia tidak menunjukkan arah ke depan, kecuali mengajak untuk mengulangi langkah yang sama dengan yang pernah ditempuh—dan gagal. Satu-satunya petunjuk mengenai visi ideologis adalah “hak untuk kota harus direbut”, titik. Berhenti pada slogan. Kita tidak tahu kenapa kalah, lalu mengeluarkan slogan sebagai jawaban. Padahal persis di sini ada peluang kita untuk bicara politik pada rakyat yang sedang berlawan. Apa itu hak, siapa yang merumuskan hak? Kalau apa yang kita anggap sebagai hak belum tercantum dalam UU atau peraturan lain, apa yang harus kita lakukan? Kalau sudah tercantum tapi tidak dilaksanakan, bagaimana? Karena kita tidak pernah belajar dari kekalahan, kita terjebak dalam siklus aksi-kalah-jalur hukum-kalah lagi. Atau kalaupun menang di jalur hukum, keputusan pengadilan tetap tidak dijalankan. Berapa kali sudah siklus ini terjadi dalam semua kasus perjuangan rakyat di Indonesia dalam kurun pasca Orde Baru? Satu kutipan yang diatribusikan pada Einstein (walau mungkin bukan dia yang mengatakannya) bilang begini: “Mengulang-ulang hal yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah kegilaan.” Ini kutanya sungguh-sungguh: berapa persen peluang 3
kemenangan perjuangan rakyat ketika siklus aksi-kalah-gugatan hukum dijalankan? I AM GROOT! Kita harus bongkar siklus ini. Harus kita preteli. Lalu kita susun ulang dengan injeksi elemen baru—yang akan memungkinkan massa rakyat melangkah mengatasi dan melampaui (above and beyond) kepentingan sektoralnya sendiri. Dalam pengertian paling praktis, melatih gerakan rakyat untuk mulai mengambil semua ruang kekuasaan yang tersedia—mulai dari RT/RW, musrenbang, dewan pengupahan, dewan ini-itu, bahkan sampai ke dewan gereja dan dewan kesejahteraan masjid. Tugas organisasi politiklah untuk merumuskan elemen ini. Slogan penting. Namun, ini musti kita camkan baik-baik, slogan adalah perintah tempur. Ia tidak mengatakan “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, melainkan “merdeka atau mati!”. Persoalan “Rakyat punya hak atas kota” merupakan hal yang harus dibahas di rapat-rapat organisasi; tapi sebuah tulisan politik harus lebih spesifik: “rebut musrenbang”, atau semacamnya. Sekali lagi, Tugas Demokratik tidak boleh dipisahkan dari Tugas Sosial-Ekonomi. Mengulang lagi untuk kesekian kalinya: pemisahan antara Tugas Demokratik dan Tugas Sosial-Ekonomi adalah ciri dasar EKONOMISME. Tiga Interlude. Sebelum melangkah ke tulisan lainnya, aku mau berjeda sejenak untuk lebih mencermati Ekonomisme. Ekonomisme adalah istilah yang dicetuskan Lenin dalam perdebatannya dengan Karl Kautsky mengenai TUGAS, dalam pengertian tindakan organisasional, sebuah partai kelas pekerja. Kautsky (dan pengikutnya di Rusia) menandaskan bahwa partai kelas hanya perlu memperjuangkan upah dan kesejahteraan—bahwa jika gerakan kesejahteraan ini sudah cukup besar, kesadaran sosialis akan tumbuh dengan sendirinya. Kautsky percaya bahwa “lompatan kesadaran” akan terjadi jika aksi-aksi social-ekonomi dapat didorong ke puncaknya. Lenin, di lain pihak, mengakui watak ganda dari serikat rakyat. Di satu sisi, serikat rakyat pekerja adalah lapangan di mana perjuangan kolektif dapat ditumbuhkan. Sekalipun dalam keadaan terpukul, serikat rakyat adalah bentuk pertahanan terakhir rakyat pekerja terhadap penindasan. Namun, ini yang perlu kita perhatikan, Lenin memahami juga bahwa sebagus-bagusnya sebuah serikat, ia hanya dapat bekerja di dalam BATASAN KAPITALISME. Bukankah kontradiktif ketika kita memperjuangkan agar upah terus naik, padahal kita sedang memperjuangkan penghapusan upah? Bukankah kontradiktif ketika kita 4
memperjuangkan agar orang dapat memiliki tanah, padahal kita tengah memperjuangkan agar tanah menjadi alat produksi yang dimiliki bersama? Lenin memecahkan kontradiksi ini dengan konsep “injeksi kesadaran”. Di sinilah TUGAS DEMOKRATIK kelas pekerja menjadi koentji. Dengan “memaksa” kader-kader termaju dari kelas pekerja untuk keluar dari zona nyamannya, untuk mengurusi hal-hal yang tidak ada kaitanya langsung dengan upah dan tanah. Dalam Tugas Demokratik ini, kader-kader partai menggunakan isu-isu social ekonomi untuk menjelaskan isu-isu demokratik: kekebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dll. Menggemakan apa yang dilakukan Marx di tahun 1848, Lenin percaya bahwa hanya kelas pekerjalah satu-satunya kekuatan yang mampu memperjuangkan demokrasi sampai tuntas. Faksi-faksi progresif borjuasi dan kelas menengah adalah kelompok yang rentan goyah, karena mereka tidak hendak memberi demokrasi sepenuhnya pada kelas pekerja. Bahkan, karena situasi khusus kesejarahan Rusia, Lenin mengatakan bahwa beban demokratisasi Rusia harus dipanggul oleh kelas pekerja. Namun, bersetia dengan watak dialektik dari perjuangan kelas, Lenin juga mengatakan bahwa, sebagai bagian dari kerja harian (hanya dalam tataran taktis, sementara dan dalam isu tertentu) kelas pekerja harus memberi dukungan pada borjuasi progresif untuk melawan borjuasi reaksioner. Dukungan ini diberikan TANPA mengharapkan balasan atau kompromi, dan dalam kebebasan sepenuhnya untuk terus menghajar borjuasi progresif dalam isu lainnya. Inilah TUGAS DEMOKRATIK kelas pekerja. Yang dipahami benar oleh Lenin, sehingga dia memerintahkan partainya untuk berada di garda depan ketika Jenderal Kornilov hendak menggulingkan pemerintah sementara pimpinan Kerensky di bulan Agustus 1917—padahal Kerensky telah melakukan begitu banyak penangkapan dan pembunuhan terhadap kader Bolsheviks, sejak dia berkuasa pasca Revolusi Oktober. Demikian juga Mao Tse Tung mengadakan gencatan senjata sepihak, lalu beraliansi dengan Chiang Kai Sek, demi mengusir fasis Jepang dari tanah Tiongkok. Padahal seluruh badan Chiang Kai Sek, sampai ke bulu-bulunya, bersimbah darah kader partai komunis. Mao sendiri nyaris gugur apabila dia telat 10 menit saja untuk meloloskan diri. I AM GROOT! Inilah Tugas Demokratik yang dipahami sempurna oleh dua pemimpin besar kelas pekerja ini. (Edit: Kerensky berkuasa sejak Revolusi Februari 1917, bukan Revolusi Oktober. Maap.) Dan, untuk memberi contoh negative, kita cukup menengok kembali penolakan KPD (Partai Komunis Jerman) untuk bersekutu dengan SPD (Partai Sosdem Jerman) demi membendung naiknya Hitler. KPD dengan ngawur menunjuk semua pihak yang berada di 5
kanan mereka, dalam spectrum politik, sebagai fasis: NAZI sebagai fasis borjuis, SPD sebagai fasis social, dll dsb. SPD memang telah mengkhianati rakyat pekerja dengan menerapkan kebijakan pengetatan ekonomi—yang sangat memukul kelas pekerja dan mendorong banyak orang ke pelukan NAZI. Namun, NAZI adalah bahaya yang lebih besar daripada SPD, sehingga KPD seharusnya menyisihkan dulu pertikaiannya dengan SPD demi membendung Hitler. Akibatnya, KPD adalah yang pertama dihancurkan oleh Hitler dan tidak bisa bangun lagi sampai sekarang. Itu dulu. Mudah-mudahan uraian serba ringkas ini bisa memicu keingintahuan lebih sehingga diskusinya bergulir. Kita kembali ke tulisan-tulisan yang harus dibedah. Empat Tulisan ketiga yang harus kita bahas adalah karya Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka Fahriza, di situs Islam Bergerak, yang berjudul Mendudukkan Kembali Prasangka Negatif atas Gerakan Islam. Tulisan ini lebih sulit dibahas, justru karena kita belum pernah secara serius memperbincangkan kedudukan agama dalam perjuangan kelas, baik dalam kerangka tugas social-demokratik ataupun dalam tugas politiknya. Aku pernah bingung, kenapa Marx memilih kata “candu bagi rakyat” (das Opium des Volkes) untuk menggambarkan agama. Seakan-akan Marx adalah orang yang tidak punya kepekaan politik, masa dia tidak tahu bahwa “ayat” ini akan dipelintir oleh musuh-musuh gerakan rakyat? Ternyata, menimbang konteks sejarahnya, juga keseluruhan tulisan di mana “ayat” itu termaktub, pemilihan kata “opium” itu sangat tepat. Jadi begini: opium itu dalam kadar tertentu adalah obat. Ia dapat meredakan rasa sakit, ia bahkan dapat menyembuhkan sama sekali beberapa penyakit. Di samping itu, para seniman secara regular menggunakan opium sebagai sumber inspirasi. Marx sendiri adalah pengguna opium. Dia menggunakan opium agar dapat terus bekerja menulis Das Kapital. Opium memberinya kejelasan pikiran, imajinasi dan visi besarnya. Perumpamaan agama sebagai “candu bagi rakyat” adalah pengungkapan watak kontradiktif agama. Di satu sisi, agama adalah suara rakyat yang ditindas dan ekspresi keinginan untuk bebas dari penindasan. Di sisi lain, agama digunakan oleh kelas berkuasa untuk meninabobokan massa rakyat agar lupa pada penindasan yang dialaminya. Nampaknya, tulisan ini mengarah ke sisi pertama, yakni satu upaya untuk menggali sisi emansipatoris dari sebuah agama. Mudah-mudahan dugaan ini benar, dan Islam dapat menjadi sekutu gerakan rakyat dalam meraih keadilan dan demokrasi.
6
Namun demikian, watak kontradiktif agama tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam serikat buruh, setiap orang (setidaknya dalam prinsip) memiliki hak yang sama untuk memimpin dan dipimpin. Demikian pula dengan serikat-serikat lain, baik kaum miskin kota, perempuan, atau lainnya. Tiap rujukan tekstual dapat diperdebatkan makna dan tafsir kontemporernya. Bisakah ini terjadi di dalam kelompok Islam politik? Inilah pertanyaan utama ketika orang mengusung identitas agama untuk berpolitik: bisakah demokrasi internal diterapkan (setidaknya secara prinsip) dari atas sampai ke bawah? Bisakah tafsir diperdebatkan oleh rank and file? Kita tahu, mustahil menerapkan demokrasi 100%; kapasitas kepemimpinan dan intelektual harus dibangun sebelum demokrasi bisa mencapai kedewasaan. Namun, secara prinsip, secara konstitusional, hak untuk setara dalam kesempatan memimpin dan dipimpin, serta untuk mempertanyakan dan menggugat keputusan (=tafsir) pemimpin harus dijamin. Bisakah ini berlangsung dalam sebuah organisasi yang menggunakan agama sebagai identitas politik? Lima Tulisan keempat… sebenarnya aku sudah capek. Tapi kita sekarang ada di persimpangan jalan. Yang satu mengarah ke rimba lebat, yang satu lagi mengarah ke padang rumput luas. Keduanya mengandung bahayanya sendiri tapi dulu, dulu sekali, nenek-moyang manusia memilih keluar dari hutan dan memasuki padang rumput. Sebagai konsekuensi pilihan itu, mereka berevolusi menjadi manusia. Sekian banyak tulisan yang harus dibahas ini menunjukkan keengganan untuk meninggalkan hutan, memiih bergelayutan daripada berjalan tegak. Karena nyaman. Aku menunggu orang lain untuk mengingatkan, dan tidak ada yang muncul. Jadi… sehabis curhat colongan ini…. Tulisan keempat berasal dari Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati, yang berjudul Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif. Pertama kali membaca tulisan ini, aku senang. Akhirnya ada tulisan yang cukup dalam membahas gejala yang ada di depan mata. Sayangnya, begitu aku menamatkan baca, aku malah merasa tidak puas. Berkali-kali aku baca tulisan itu untuk menemukan sumber ketidakpuasanku. Dan, setelah lebih dari sepuluh kali baca, aku menemukan setidaknya dua masalah dalam tulisan ini. 1) Penggolongan FPI, HTI, dll sebagai “sectarian”. Istilah ini terlalu umum. Semua kelompok yang memandang dirinya sebagai paling benar, dan menolak bergaul dengan kelompok lain yang dia pandang hina, adalah sectarian. Tapi tidak semua sectarian berbahaya bagi demokrasi. Kita kenal, dari Islam sendiri, ada Ahmadiyah atau Darul Arqam, yang sangat sectarian. Tapi mereka tidak berbahaya bagi demokrasi. Mereka mengurusi dirinya sendiri, dan puas dengan versi mereka sendiri tentang kebenaran. Ini
7
sangat berbeda dengan FPI, HTI dan sejenisnya. Mereka agresif menyebarkan versi mereka tentang kebenaran, lewat represi dan supresi terhadap siapapun yang berani menentang mereka. Pembedaan ini penting, karena tindakan politik yang dibutuhkan untuk menangani ideologi sectarian berbeda dengan yang dibutuhkan untuk melawan ideologi kebencian. Tulisan ini, di bagian akhir, mengakui bahwa FPI berwatak fundamentalis-vigilantis. Namun, karena terlambat datangnya pengakuan ini, tidak ada uraian yang memadai mengenainya. Pada gilirannya, anjuran yang dibuat juga tidak lengkap. Menghadapi ideologi sectarian, kita perlu merangkul. Kita perlu membangun dialog, agar mereka membuka selubung yang memagari cara pandang mereka; mendorong mereka membuka diri, sekaligus melatih semua orang lain untuk menerima mereka. Ideologi kebencian tidak bisa hanya dirangkul. Ia harus juga dibentur. Tidak ada ceritanya, dari catatan sejarah dunia selama berabad-abad, bahwa kebencian bisa dilunakkan hanya dengan cinta. Kebencian harus dikalahkan terlebih dahulu; setelah tulang punggung mereka lumpuh, baru kita ulurkan tangan dan kita sentuh dengan kasih dan logika. Tapi, sebelum kebencian dikalahkan, logika sebagus apapun atau kasih setulus apapun akan memantul saja pada perisai ideologi mereka yang kebal akal sehat. ((Catatan: Aku tidak setuju dengan istilah fundamentalis-vigilantis, aku berpendapat mereka bukan sekedar preman bayaran melainkan ideologis. Sehingga kesimpulanku adalah: mereka ini fasis-klergi. Tapi mari kita cari data lebih jauh untuk memastikan mana kategorisasi yang lebih tepat.)) 2) Persoalan lain terletak pada uraian tentang kontradiksi, di mana dinyatakan bahwa “antagonisme sosial hanya terjadi akibat pertentangan kepentingan antara kelas yang menindas dan kelas yang ditindas.” Secara umum, ini benar. Namun, kita juga musti ingat bahwa di dalam tiap keumuman ada kekhususan. Mao Zedong-lah yang menguraikan soal kekhususan kontradiksi ini secara terperinci. Di dalam pertentangan antara kelas penindas dan kelas tertindas ada pertarungan antara borjuasi “bersih” dengan borjuasi korup, pertarungan antara metode akumulasi modern dengan akumulasi rente, pertarungan antar pekerja untuk mengisi lowongan pekerjaan, pertarungan antara kaum perempuan yang menginginkan emansipasi dengan pertarungan rebutan basis antar dua serikat buruh.
laki-laki
patriarkis,
bahkan
Seringkali, kontradiksi yang non-pokok ini bersifat dangkal dan tidak penting tapi terjadi secara antagonistic—menimbulkan rasa permusuhan yang mendalam di antara kubu-kubu yang bertarung. Jakmania kontra Viking, atau OI vs Punk adalah contoh yang baik untuk
8
kontradiksi yang tak penting ini. Walau tidak penting, kontradiksi ini nyata ada. Sekali waktu, di antara kontradiksi non-pokok ini muncul pertikaian yang penting. Kita lihat bagaimana borjuasi lama, yang akumulasinya terutama berdasarkan rente, bertarung dengan borjuasi yang baru naik, yang akumulasinya berdasarkan rejim infrastruktur. Keduanya adalah penindas. Kita harus berbuat apa? Duduk saja di pinggir lapangan menunggu siapa yang akan menang? Atau kita harus memilih mana faksi yang lebih berbahaya dan menyingkirkannya dulu? Sekian banyak pertanyaan mungkin tidak relevan untuk diajukan sekaligus. Hanya saja, pada hematku, perkenalan terhadap kompleksitas kontradiksi seharusnya dilakukan sedini mungkin. Ini untuk mencegah pemahaman yang one-sided, mencegah orang melihat kontradiksi dengan kacamata kuda dan, yang terpenting, mencegah orang agar tidak berusaha memecahkan kontradiksi dengan memakai template. 3) Poin ketiga mirip dengan poin pertama di atas: apa yang dinyatakan di badan tulisan berbeda dengan yang dinyatakan di bagian akhirnya. Di badan tulisan dinyatakan bahwa Islam Politik didominasi oleh aspek habluminallah, hanya menyisakan sedikit ruang bagi habluminannas. Sementara di bagian akhir justru dinyatakan bahwa kita harus menggerus narasi “keadilan social semu” yang kini mendominasi Islam Politik. Aku jadi sempat berspekulasi bahwa tulisan ini dibagi dua, dengan bagian awal dan akhir ditulis oleh orang yang berbeda—sehingga ada ketidaksepakatan mengenai kategorisasi yang dipergunakan. Aku bersepakat dengan apa yang dinyatakan di bagian akhir, dengan catatan. Dari apa yang aku lihat, kelompok fundamentalis bisa mendominasi wacana Islam Politik saat ini karena ia menyajikan sebuah cara pandang atas dunia yang komprehensif. Tidak selalu konsisten, banyak dangkal dan ngawur, tapi menyentuh nyaris semua aspek kehidupan. Dari mulai cara berpakaian sampai tata-cara ML, dari mulai pemisahan tempat duduk saat kuliah sampai doa setelah kencing, semua diatur lewat aturan moral yang ketat. Kita seringkali mengernyit mendengar “pengaturan moral”. Namun, analisis materialis sekalipun akan setuju bahwa moral adalah bagian integral dari sebuah struktur social masyarakat. Moralitas adalah pranata social bagi masyarakat untuk mengejawantahkan cara pandangnya atas dunia. Tanpa moralitas, tatanan social akan runtuh. Identifikasi mengenai watak narasi yang dikembangkan oleh kelompok fundamentalis-vigilantis ini penting karena kita harus menandinginya. Apabila identifikasinya tepat, maka adu narasi tidak akan menggoyahkan posisi ideologis anggota mereka. Yang kita butuhkan adalah pertarungan pembentukan moral baru—moral yang 9
berkeadilan, moral demokratis, moral anti-penindasan dan kediktatoran. Seperti apa wujudnya? Mari kita bicarakan. Dan dalam hal ini, Islam Bergerak ada dalam posisi yang menguntungkan untuk bicara soal moral. Bisakah kita membuat pembahasan khusus mengenai “moral pembebasan” dari sudut pandang Islam? Enam Setelah dirangkumkan, kegamangan dalam menempatkan kelompok sayap kanan secara tepat dalam konstelasi politik berakibat kurang tajamnya kesimpulan mengenai TUGAS DEMOKRATIK yang harus diemban oleh Islam progresif. Tulisan ini tidak berani secara tegas mengatakan bahwa fundamentalisme sayap kanan ini harus dihancurkan. Tulisan ini juga tidak sampai pada seruan yang, pada hematku, akan memberi Islam progresif kesempatan memberi sumbangan tak ternilai pada gerakan kelas: pembangunan struktur moral pembebasan. Dan, setelah empat tulisan, kita ternyata selalu kembali pada tema pokok: lenyapnya TUGAS DEMOKRATIK dari Analisa Kelas yang kita lakukan. Analisis kelas kita masih tajam, malah makin kaya dengan data. Sayangnya, justru ada komponen yang lenyap. Analisis kelas itu jadi timpang, tertatih-tatih terseret ke pinggir jurang EKONOMISME. Kita semua mengejar kesejahteraan. Yang perlu kita lakukan adalah ingat bahwa DIALEKTIKA mendiktekan bahwa segala sesuatu yang didorong ke titik ekstrim, atau diperlakukan secara sepihak, akan berbalik kualitasnya. Mendorong perjuangan social ekonomi tanpa menunaikan tugas demokratik, adalah resep pasti menuju bencana. Tujuh-1 Di bagian terakhir ini, aku mau bandingkan dua pernyataan sikap mengenai pemboman gereja Oikomene Samarinda, yang dikeluarkan oleh KPRI dan KPO-PRP, dua dari beberapa organisasi yang mengaku sebagai representasi dari politik kelas di Indonesia. Pertama kita bedah dulu pernyataan sikap KPRI, sebuah organisasi kelas yang telah melahirkan banyak konsep dan tengah mempersiapkan pembangunan satu partai politik berbasis kelas. Pernyataan sikap yang dimuat di website KPRI ini berjudul Mengutuk Keras Tindakan Peledakan Bom Molotov di Gereja Oikumene, Samarinda. Pertama-tama, rasanya tidak akan ada orang yang mengaku kiri tapi menolak pernyataan
10
bahwa vigilantisme adalah alat kelas berkuasa untuk memuluskan program politik dan ekonomi mereka. Maaf, kalimatnya panjang. Panjangnya kalimat ini adalah alat bantu, untuk menekankan: betapa sulitnya bagi massa rakyat untuk menerima kebenaran pernyataan itu. Bukan sekedar panjangnya kalimat, massa yang melihat FPI sebagai “pembela agama” akan serta-merta menolak pernyataan bernada buruk tentang organisasi idola mereka. Kita perlu fakta. Dan, sejauh aku tahu, belum ada satu basis data nasional yang mendokumentasikan peran FPI, atau organisasi sejenis, dalam perampasan tanah rakyat, dalam penyerangan terhadap serikat buruh, atau pelanggaran hak rakyat lainnya. Datanya ada, terserak. Sebagai gerakan yang mendapuk diri sebagai “ilmiah”, basis data sangatlah penting. Pertama dan terutama adalah untuk mempertanggungjawabkan pernyataan kita sendiri. Selanjutnya adalah untuk meyakinkan orang-orang baik yang selama ini dibodohi pakai tampilan religius. Tentu kita tidak dapat menjangkau “steel hardened cadres”, yang sudah mematikan akal-budi mereka lewat kebencian. Tapi banyak orang baik, yang hanya tersesat karena tidak ada fakta tandingan untuk meruntuhkan hoax yang selama ini mereka makan melalui grup WA, media social, pengajian, obrolan di posyandu, dll. Kedua, pernyataan “Mengutuk keras berbagai tindakan teror dan kekerasan yang dilakukan oleh siapapun dan atas nama apapun (cetak miring dariku)”, bagiku, adalah pernyataan yang bermasalah. Apakah sudah ada kesepakatan ideologis bahwa gerakan kelas pekerja akan menjadi gerakan ala Gandhi? Gandhi sekalipun menyatakan “jika saya harus memilih antara menjadi pengecut atau melakukan kekerasan, saya akan memilih melakukan kekerasan.” Menjadi korban kekerasan itu menjatuhkan moral. Traumatik. Sampai sekarang pun aku senantiasa dihantui bayangan penyiksaan yang kualami selama dalam penahanan intelijen, pasca 27 Juli 1996. Kenangan itu kini ada di pojok benak, tapi ia selalu kembali ketika melihat terjadinya kekerasan. Namun, bukan kekerasannya semata yang memunculkan trauma, tapi kenyataan bahwa kita tidak berdaya di hadapan kekerasan. Kita tidak bisa balas menyerang. Rasa tidak berdaya ini, menurut hematku, menghasilkan persekutuan antara buruh dengan fundamentalis—sebagaimana aku jabarkan di bagian berikutnya. Bolehkah gerakan kelas pekerja melakukan kekerasan, sedikitnya secara defensif? Ini pertanyaan yang butuh perdebatan panjang dan lama; yang tidak akan selesai-selesai karena tidak pernah kita mulai. Kedua masalah yang aku jabarkan di atas adalah bagian dari TUGAS DEMOKRATIK. Kita harus mengulurkan tangan menyelamatkan saudara-saudara kita, terutama di kalangan
11
gerakan rakyat pekerja sendiri, yang mungkin termakan oleh propaganda kebencian. Pada mereka, haram bagi kita untuk memperlakukan mereka sebagai orang bodoh atau gila. Mereka tersesat, hanya itu, dan tugas organisasi kelas pekerja untuk menyelamatkan mereka. Di pihak lain, kita harus mencegah terjadinya demoralisasi di tengah serikat-serikat karena terus-menerus jadi korban kekerasan tanpa bisa melawan balik. Orang trauma mudah terseret ke dalam kebencian. Kita harus bicara serius mengenai filsafat dan prinsip ideologis mengenai penggunaan kekerasan—karena yang kita hadapi adalah kekuatan reaksioner yang tidak berpikir dua kali sebelum menggunakan kekerasan. Tujuh-2 KPO-PRP, di lain pihak, tidak mengeluarkan pernyataan sikap nasional—hanya ada satu tulisan di kolom Perspektif dalam bulletin Arah Juang di website mereka—yang berjudul Lawan Politik Rasis Dengan Politik Sosialis. Sepintas, tulisan ini sangat tajam menganalisa persoalan rasisme dan fundamentalisme di Indonesia. Solusi yang diajukan juga terbaca sangat revolusioner dan “politically correct”. Sampai kita menyadari bahwa tulisan ini adalah persis template dari solusi Trotsky untuk menghadapi Fasis Jerman. Karena ditulis mengikuti resep, tulisan ini abai mengidentifikasi agensi. Siapa yang akan “melancarkan mobilisasi massa untuk mempertahankan diskusi, seminar, ruang-ruang demokrasi serta tempat-tempat ibadah yang diserang”? Pada kenyataannya, rumah-rumah ibadah minoritas saat ini sudah banyak dijaga oleh GP ANSOR, sayap paramiliter dari NU. Kemampuan menggerakan kekuatan pemukul, yang sanggup melakukan kekerasan di mana perlu, adalah syarat untuk dapat secara efektif menjaga diri dari serangan. Dan, mari kita bersikap objektif. Sudah berapa kali serikat buruh di Indonesia melakukan mobilisasi untuk membela kepentingan kelompok lain? Yang kumaksud bukan aksi solidaritas, atau partisipasi dalam Hari Tani/Hari Nelayan/Hari Pendidikan Nasional; melainkan benar-benar mobilisasi untuk ikut berjaga dalam mencegah penggusuran, untuk mengepung kampus tertentu agar seorang aktivis tidak jadi di-DO, atau untuk membela hak LGBT? Aku tidak dapat menghitungnya, karena aku tidak pernah dengar tentang ini. Tapi mungkin aku salah. I AM GROOT! Bagaimana mungkin kelas pekerja bisa ujug-ujug melakukan mobilisasi demi membela kebebasan beragama, ketika ia tidak pernah dilatih untuk mempraktekkan kepedulian pada isu selain upah dan persoalan pabrik? Apalagi tulisan KPO-PRP ini hanya bersifat “perspektif”, bukan pernyataan sikap—apalagi instruksi.
12
Tulisan ini juga abai membahas satu fenomena yang berkembang di beberapa basis serikat buruh. Aku belum tahu apakah ini adalah gejala umum, atau secara khusus hanya berlaku di serikat tertentu di wilayah geopolitik Jabodetabek: terjalinnya persekutuan antara gerakan buruh dengan premanisme. Aku memahami latar belakang gejala ini: serikat buruh seringkali berhadapan dengan represi perusahaan yang menggunakan preman untuk mengintimidasi buruh, atau bahkan dari komandan-komandan keamanan setempat. Untuk meringankan represi, serikat buruh mendekati para pemimpin preman lokal, menjalin kedekatan kultural agar mereka tidak terlalu galak ketika disewa perusahaan untuk mengintimidasi buruh. Tapi di beberapa tempat, serikat buruh mengambil langkah mendekati preman berjubah—dengan harapan preman berjubah ini dapat menangkal ancaman preman local. Jika gejala ini terbukti sebagai sebuah gejala nasional, bagaimana kita harapkan serikat buruh bisa jadi garda depan melawan kekuatan fundamentalis yang, harap digarisbawahi, banyak merekrut preman sebagai pemukul utamanya? Dan di sanalah kita dapati kemunculan sebuah kepala yang bertanduk dan bermuka jelek: tidak sejalannya teori dan praktek. Teori revolusioner ndakik-ndakik, tapi tidak dipraktekkan. Aku berusaha objektif dan melihat bahwa ini kesalahan semua orang—termasuk aku sendiri—di mana kita tidak pernah cukup berusaha untuk menjembatani teori dan praktek melalui operable concept. Pada prakteknya, operable concept seringkali diturunkan lagi dalam bentuk framework sebelum bisa dioperasikan dalam uji coba. Jika sebuah framework memberi hasil baik dalam uji coba, ia boleh dijadikan prosedur standar. Sampai hari ini, organisasi politik kelas punya banyak teori hebat tapi prakteknya dangkal dan ekonomis. Tapi aku masih memberi poin pada KPO-PRP. Setidaknya mereka tidak secara terbuka menganjurkan agar serikat buruh tidak ikut campur dalam “politik elit”. Sebagai kalangan yang mengaku memeluk filsafat ilmiah sebagai pegangan hidup, kita seharusnya malu karena tidak pernah menghasilkan telaah yang operasional untuk kekhususan Indonesia. Ada begitu banyak dokumen MIRI, yang pada dasarnya sama dengan perspektif KPO-PRP ini: menyalin resep tradisional nenek-moyang. I AM GROOT! Tidak heran gerakan kiri terus mengalami kemunduran pasca 1998. Penutup Aku kira aku sudah cukup perlihatkan bagaimana gerakan kelas pekerja lalai mengikutkan TUGAS DEMOKRATIK dalam Analisa Ekonomi-Politik maupun Panduan Prakteknya. Aku menyerukan agar kita balikkan arah pendulum, agar kita semua bersedia belajar lagi.
13
Belajar lagi berarti mengosongkan cawan, kembali menjadi murid, dan berusaha memahami TUGAS DEMOKRATIK kelas pekerja dengan rasa ingin tahu dan kegembiraan seorang murid yang tengah menimba ilmu maha kaya. I AM GROOT! Jakarta, 18 November 2016
14