Lembaga Tahkim
Abd. Halim Talli
LEMBAGA TAHKIM Abd. Halim Talli Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Abstract In the context of the Indonesian, the application of arbitration institutions and the alternative institutions in disputing resolution have lasted long enough, though in a very simple pattern. Looking at the pre-independence era, since coming to Indonesia, which carries with it the enactment of Islamic law, the dispute resolution of marriage and inheritance among Muslims, generally resolved through tahkim, especially in an era of empowerment of ulama or fuqaha. In that such society, institutions of tahkim become a media and a means for the community to resolve disputes in the field of marriage, grants, endowments and heritage which are oriented on the doctrine of Syafi’i. The birth of tahkim agencies was informally, but it is growing and evolving in accommodating the needs of society. In a further development, this institution became the forerunner of the birth of the Islamic judiciary in Indonesia. Kata Kunci : Tahkim, Arbitrase
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
333
Lembaga Tahkim dalam Perspektif Fuqaha
Abd. Halim Talli
PENDAHULUAN
K
erapnya terjadi perselisihan dan persengketaan antara individu maupun kelompok dalam berbagai aspek kehidupan manusia merupakan persoalan tersendiri yang dihadapi bangsa ini. Dalam dunia perdata misalnya , khususnya perdagangan dan komersial menjadi alot perbincangannya di berbagai media dengan berbagai perselisihan dan persengketaannya. Peradilan telah dikenal dan diadakan sejak dahulu karena merupakan kebutuhan hidup masyarakat. Suatu pemerintahan tidak dapat berdiri tegak tanpa adanya peradilan. Ia adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, karena di dalam peradilan itu terkandung amar makruf nahi munkar, menyampaikan hak kepada mereka yang berhak menerimanya dan menghalangi orang yang zalim dari berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum.1 Menghadapi persengketaan dan perselisihan dalam sektor perdata khususnya perdagangan tersebut, tanpaknya lembaga peradilan tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan tempat penyelesaian sengketa. Dewasa ini peranan lembaga tahkim atau arbitrase sektor komersial semakin penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. Karena itu, tidak mengherankan jikalau lembaga arbitrase tumbuh pesat dewasa ini. Sesungguhnya, dalam sejarah perjalanan penyelenggaraan peradilan dalam naungan kekuasaan politik Islam, telah dikenal adanya beberapa lembaga di samping pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat. Salah satu lembaga dimaksud adalah lembaga tahkim. Memperhatikan penjelasan di atas, penulis tertarik melakukan analisis lebih jauh dan mendalam tentang lembaga tahkim ini, sebagai salah satu institusi penegakan hukum. Karena itu, dalam tulisan ini penulis mengemukakan pokok permasalahan, yaitu: “Bagaimana perpektif fuqaha dan perundang-undangan RI terhadap lembaga tahkim”. Dari sini, maka penekanan kajian ini meliputi gambaran pendapat fuqaha tentang lembaga tahkim, serta pengaturannya dalam perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia. Kajian ini dimaksudkan mengungkap kedudukan lembaga tahkim dalam penyelesaian perkara dalam masyarakat baik menurut perspektif fuqaha maupun menurut perundang-undangan Negara Republik Indonesia sebagai salah satu institusi penegakan hukum yang telah lama dikenal keberadaannya. Selanjutkan, akan memberikan pemahaman yang jelas bagi pembaca mengenai kedudukan lembaga ini dalam masyarakat Indonesia.
1
h. 7.
334
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: Al-Ma’arif, 1964,
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Lembaga Tahkim
Abd. Halim Talli
PEMBAHASAN 1. Lembaga Tahkim Istilah tahkim berasal dari bahasa Arab artinya menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan itu. Menurut istilah leksikal, tahkim ialah dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum .syara’ atas sengketa mereka itu. Kamus bahasa Indonesia mengartikannya: perihal menjadikan hakim; mempergunakan hakim (dalam persengketaan).2 Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih. Hasbi Ash Shiddieqy mendefenisikan: menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah pihak.3 Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan. Orang yang ditunjuk untuk memutus sengketa tersebut disebut hakam atau muhakkam. Lembaga tahkim seperti ini sesungguhnya telah dikenal oleh bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Masa itu, apabila terjadi suatu sengketa, hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Dengan demikian, para pihak yang bersengketa pergi kepada hakam. Di dalam syari’at Islam, dasar hukum yang membenarkan lembaga tahkim ialah firman Allah dalam Q.S. al-Nisa (4): 35; . ان يريدا اصالحـا يوفق اهلل بينهمـا، فابعـثوا حكمـا من اهـلـه و حكمـا من اهـلهـا Artinya: Maka angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam dari keluarga si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada keduanya.4 Diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah saw. bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara. Lalu mereka datang kepadanya, dan dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu, Nabi saw. bersabda: Alangkah baiknya. Demikian pula riwayat menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menerima putusan sa’ad bin Mu’az terhadap Bani Quraidah tatkala orang-orang Yahudi sepakat dan rela menerima tahkim dari Sa’ad kepada mereka. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 884. 3 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 59. 4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQur’an, 1989), h. 123 2
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
335
Lembaga Tahkim dalam Perspektif Fuqaha
Abd. Halim Talli
Menurut Ibnu Qudamah, jenis-jenis perkara yang diselesaikan melalui tahkim adalah segala macam perkara kecuali untuk urusan nikah, li’an, qazaf, dan qisas. Bidang-bidang ini harus ditangani oleh penguasa atau hakim yang harus memutuskannya. Sedang Ibnu Fahrun menyebutkan bahwa perkara-perkara yang diselesaikan secara tahkim adalah bidang-bidang harta, kafalah dan jual beli, kecuali bidang pidana, li’an, qisas, qazaf, talak atau menentukan keturunan. Ahli fiqh menetapkan bahwa seorang hakam hendaklah seorang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat diajukan sebagai saksi baik laki-laki ataupun perempuan, dan benar-benar mempunyai keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan. Adapun kekuatan hukum keputusan tahkim terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa putusan yang diberikan oleh hakam harus dijalani oleh pihak yang bersangkutan, meskipun pihak-pihak yang berperkara boleh menolak tahkim sebelum hakam mengeluarkan putusannya. Sedang ada pula pendapat menyebutkan bahwa hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh pihak yang berperkara. Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan pendapat Sahnun sebagaimana pula dalam mazhab Maliki, bahwa masing-masing pihak dapat menarik pentahkimannya selama belum ada putusan. Apabila pihak yang perperkara sudah diputuskan perkaranya oleh seorang hakam, kemudian mengajukan lagi perkaranya kepada hakam lain dan diberikan putusan yang berlawanan dengan yang pertama karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya putusan sebelumnya, maka perkara itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim hendaknya mentanfizkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula membatalkan putusan itu jika berlawanan dengan pendapatnya. Kedudukan tahkim dibanding dengan qadha’ berada pada tingkat bawah. Mengingat tahkim ini terjadi atas kesepakatan secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Putusan seorang hakam dapat diterima oleh para pihak, dan dapat pula menolaknya. Berbeda dengan keputusan qadha’, senang atau tidak senang kepada keputusan qadha’ tersebut, harus diterima dan ditaati. 2. Isntitusi Tahkim dalam Perundang-undangan di Indonesia Memperhatikan penjelasan di atas, institusi tahkim dapat dipersamakan dengan lembaga arbitrease atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.5 Di Indonesia, arbitrase ini diwujudkan dalam bentuk lembaga. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 3 5
336
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Lembaga Tahkim
Abd. Halim Talli
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.6 Selain lembaga arbitrase, undang-undang ini membenarkan pula penyelesaian kasus melalui lembaga alternatif penyelesaian kasus, sebagaimana ditunjuk dalam angka 10 pasal 1, berbunyi: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.7 Kedua lembaga ini pada prinsipnya tidak jauh beda. Keduanya merupakan jalan penyelesaian sengketa keperdataan yang terjadi di luar pengadilan. Perbedaannya adalah, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih dahulu dinyatakan dalam sebuah perjanjian sebelum terjadinya sengketa. Sementara penyelesaian melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan setelah terjadinya sengketa melalui kesepakatan kedua belah pihak. Baik putusan arbitrase maupun kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah putusan final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengucapan putusan/penandatanganan kesepakatan tersebut. Keberadaan lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai media penyelesaian sengketa keperdataan di luar pengadilan telah dilegislasi oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan.8 Hanya saja, putusan arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin eksekusi dari pengadilan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengingat para pihak. Satu-satunya jalan menolak putusan arbitrase apabila alasannya terpenuhi adalah mengajukan permohonan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus untuk tingkat pertama dan terakhir. Sebagaimana konsep sebagian fuqaha tentang tahkim, perkara-perkara yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa ini hanya sengketa keperdataan misalnya dibidang perdagangan dan Ibid Ibid. 8 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 6 7
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
337
Lembaga Tahkim dalam Perspektif Fuqaha
Abd. Halim Talli
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase pada sengketa atau perkara pidana yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Guna menjamin obyektifitas dan proporsionalitas putusan arbitrase, seseorang yang dapat diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat-syarat: 1) cakap melakukan tindakan hukum, 2) berumur minimal 35 tahun, 3) tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihay bersengketa, 4) tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase, dan 5) memiliki pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Dalam kaitan ini, hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak diperkenankan diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya obyektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter. Perlu ditambahkan, bahwa persyaratan jenis kelamin untuk dapat diangkat arbiter tidak disebutkan dalam undang-undang arbitrase. Ini menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki dapat diangkat arbiter sepanjang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Ketentuan tersebut berbeda dengan apa yang disebutkan dalam pasal 617 ayat (2) Regleman Acara Perdata yang melarang wanita sebagai arbiter. 3. Pendayagunaan Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Mencermati kondisi lembaga peradilan di Indonesia yang tak dapat disangkal, bahwa lembaga peradilan telah mendapat kritik tajam yang meragukan eksistensinya. Salah satu hal yang selalu disoroti oleh banyak pihak adalah penundaan sidang di pengadilan tanpa alasan jelas sehingga terjadi penumpukan perkara. Tumpukan perkara bukan saja terjadi pada peradilan tingkat pertama, tetapi hampir pada semua jenjang peradilan di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan antrian panjang yang melelahkan dan membosankan dalam penyelesaian perkara-perkara tersebut. Akibatnya, asas penyelenggaraan peradilan “sederhana, cepat dan biaya ringan” tinggal sekedar simbol. Kenyataan istitusi peradilan Indonesia seperti diungkapkan di atas serta seiring dengan perkembangan teknologi lalu lintas perekonomian dewasa ini, tuntutan masyarakat akan perwujudan kepastian hukum serta penyelesaian sengketa atau perbedaan-perbedaan pendapat secara cepat, sederhana dan biaya ringan di kalangan masyarakat tidak dapat dihindarkan lagi. Untuk itu, kehadiran institusi-institusi penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan seperti lembaga arbitrase dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa tersebut, tidak dapat ditunda lagi.
338
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Lembaga Tahkim
Abd. Halim Talli
Bila dibandingkan dengan lembaga pengadilan, pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain: 1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; 5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.9 Memperhatikan kelebihan lembaga arbitrase tersebut maka tentu sangat wajar kalau dewasa ini, hampir seluruh sengketa keperdataan misalnya dalam kontrak perdagangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang berskala nasional dan internasional diselesaikan melalui lembaga arbitrase. PENUTUP Kemajuan teknologi informasi telah memberi pengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam sektor ekonomi dan perdagangan. Dalam melakukan hubungan kerjasama atau kontrak misalnya, masyarakat baik secara personal maupun lembaga kerap sekali terjadi kesalahpahaman atau persengketaan. Tuntutan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara cepat, sederhana dan biaya ringan senantiasa menjadi idaman masyarakat. Karena itu, efektifitas dan fungsionalitas secara maksimal lembaga tahkim atau arbitrase dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa sangat diharapkan. Tentu saja efektifitas dan fungsionalitas lembaga-lembaga tersebut pada akhirnya kembali kepada pengguna lembaga tersebut yaitu masyarakat itu sendiri.
Lihat Penjelasan atas UU RI No. 30 Tahun 1999 (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 36. Lihat pula Haula Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 1-3. 9
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
339
Lembaga Tahkim dalam Perspektif Fuqaha
Abd. Halim Talli
DAFTAR PUSTAKA
Adollf, Haula, Hukum Arbitrase Komersial internasional (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: AlMa’arif, 1964. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1989). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990). Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, dialihbahasakan oleh H. Zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan Agama Islam di Indonesia: Studi tentang Landasan Polotik lembagalembaga Hukum (Cet. II; Jakarta: PT Intermasa, 1986). Noeh, Zaini Ahmad, Sebuah Perspektif Sebuah Lembaga Islam di Indonesia (Bandung: Al-Maarif, 1980). Undang Undang RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang RI No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2000). Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: PT Al-Maarif, 1979).
340
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010