sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XVII, Nomor 3 : 111-121
ISSN 0216 -1877
LEMBAGA PERIKANAN INTERNASIONAL DAN PERMASALAHANNYA oleh
O.H. Arinardi *) ABSTRACT INTERNATIONAL FISHERIES COMMISSIONS AND THEIR PROBLEMS. Several international fisheries commissions have been established to cooperate in research and to overcome conflicts that may occur among members. However, problems still exist due to various conflicting interests of the countries. This paper describes the history and the problems faced by the commissions. tingkat international. Pada abad 20 ini usaha perikanan tetap pada tingkat pengelolaan yang primitif yaitu sebagian besar masih berupa penangkapan ikan dan persediaan (stock) di alam. Sedang ikan-ikan itu selalu bergerak tergantung pada musim dan kondisi perairannya, sehingga tidak mungkin dikurung pada perairan tertentu atau ditandai sebagai milik individu atau milik negara tertentu, Oleh karena itu sumberdaya perikanan dianggap sebagai milik bersama dan dapat dieksploitasi oleh pribadi-pribadi atau satuan-satuan ekonomi. Namun karena motivasinya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya maka manusia saling berkompetisi untuk menangkap sebanyak-banyaknya. Akibatnya penangkapan ikan di satu perairan sering mempengaruhi kelimpahan ikan di perairan lainnya dan penangkapan satu species akan mempengaruhi persediaan ikan lainnya (KASAHARA 1972)
PENDAHULUAN
Dengan makin majunya teknologi dan makin bertambahnya kebutuhan dalam segala bidang menyebabkan setiap negara memberi perhatian lebih besar ke laut, Tampaknya laut mengandung potensi sumberdaya yangbelum sepenuhnya diekspoitasi (kecuali sumberdaya perikanan) seperti mineral, minyak dan sumberdaya lainnya yang terkandung di bawah permukaan laut. Dalam pertahanan negara, setiap bangsa juga memanfaatkan laut untuk keperluan militer. Semua itu menyebabkan timbulnya persoalan international dan mendorong negara-negara yang berkepentingan untuk mencari penyelesaian melalui berbagai cara. Dalam pengelolaan perikanan banyak faktor yang sering menyebabkan terjadinya pertentangan baik tingkat nasional maupun
*) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.
111
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Industri perikanan juga tidak selalu mempunyai fasilitas penangkapan ikan yang seragam. Di negara dengan teknologi maju masih banyak nelayan yang menangkap ikan dengan metoda tidak berbeda dari beberapa ratus tahun lalu. Sedangkan perusahaan-perusahaan besar dengan armada perikanannya dapat menangkap ikan ke perairan yang cukup jauh atau bahkan menangkap ikan ke perairan yang dikhususkan untuk nelayan artisanal sehingga terjadi bentrokan fisik. Makalah ini memaparkan sejarah didirikan serta peran beberapa lembaga perikanan international dalam menanggulangi pertentangan negara-negara anggotanya.
hasil tangkapan herring oleh nelayan Belanda dapat mencapai 2,0 juta poundsteiiing (LEORNARD 1944 dalam KASAHARA 1972). Perselisihan ini berlangsung cukup lama yaitu dimulai pada pertengahan abad ke 17 sampai dengan permulaan abad ke 18. Akhirnya Belanda terpaksa mengalah karena ketika itu daratan Eropah dilanda peperangan. Contoh lain mengenai pertentangan hak penangkapan ikan di perairan pantai adalah antara Jepang dan Rusia. Sesudah perang Jepang — Rusia usai dengan kemenangan di pihak Jepang, sebagai hasil dari salah satu perundingan, Rusia mengakui hak Jepang untuk menangkap ikan di perairan teritorial Rusia yaitu di Laut Jepang, Laut Okhotsk dan Laut Berring (TREATY 1907) termasuk seluruh pantai Kamchatka (penghasil utama ikan salmon di Asia). Namun sesudah tahun 1941 ketika pecah Perang ,Dunia II, persetujuan penangkapan salmon tersebut dikurangi secara drastis dan berakhir pada tahun 1944, ketika Jepang menyerah kepada pihak Sekutu (KASAHARA 1972).
SEJARAH TERJADINYA PERSETUJUAN PERIKANAN
Pertentangan internasional dalam didang perikanan mempunyai sejarah yang panjang. Umumnya orang menganggap bahwa persetujuan perikanan (fishery agreements) di masa lalu hanya berkaitan dengan persoalan konservasi. Namun dari sejarah perikanan tentang persetujuan itu menunjukkan bahwa beberapa di antaranya pada mulanya berlandaskan politik dan ekonomi. Persetujuan perikanan dalam tahun-tahun terakhir baru berlandaskan konservasi (KASAHARA1972). Sebagian besar perselisihan mengenai perikanan dimulai pada abad ke 17. Salah satu perselisihan yang tertua adalah ketika Inggris secara sepihak membatasi penangkapan herring oleh para nelayan Belanda di sepanjang pantai Scotland dan England. Hal ini dilakukan Inggris karena hasil seluruh ekspor komoditinya hanya 2,5 juta poundsterling sedangkan nilai kotor (gross value)
Dari contoh di atas jelas bahwa persetujuan tersebut sama sekali tidak terkait dengan persoalan konservasi. Persoalan itu hanya berdasarkan bangsa suatu negara melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan negara lain dengan motivasi ekonomi dan politik. Persoalan penangkapan ikan di luar laut teritorial suatu negara juga bukan merupakan hal baru. Seperti misalnya pertentangan yang timbul pada awal abad ke 19 antara nelayan Inggris dan nelayan Perancis di Selat Inggris (English Channel) sehingga dibuat konvensi dalam tahun 1839. Persetujuan tersebut mengakui batas wilayah 3 mil laut sebagai hak eksklusif suatu bangsa.
112
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
national Commission for the Scientific Exploration of the Mediterranean Sea (ICSEM). 2. Lembaga perikanan yang berfungsi merumuskan cara konservasi berdasarkan penelitian ilmiah tetapi penelitian itu tidak dilakukan oleh staf lembaga terse but, misalnya International North Pacific Fisheries Commission (INPFC), Joint Commission for the Black Sea Fisheries dan North-east Atlantic Fisheries Commission (NEAFC). 3. Lembaga perikanan dengan tugas memformulasikan cara-cara konservasi ber dasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh stafnya sendiri. Sebagai contoh adalah Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC), International Pacific Salmon Fi sheries Commission (IPSFC) dan Internatio nal Pacific Halibut Commission (IPHC). Pada umumnya cara konservasi yang direkomendasikan oleh lembaga perikanan internasional itu lebih ditekankan pada larangan dan pembatasan dengan diadakannya musim penangkapan atau perairan terbuka dan tertutup untuk eksploitasi;ukuran minimum mata jaring; dan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap. Ada pula cara konservasi yang dinyatakan dalam batas maksimum penangkapan seperti International Commission for the North-west Atlantic Fisheries dan International Whaling Commission. Rekomendasi lainnya adalah
Peristiwa ini dianggap sebagai perintis dalam pengakuan kedaulatan teritorial secara moderen di bidang perikanan dalam dunia internasional (LEONARD 1944 dalam KASAHARA1972). Persetujuan internasional pertama dengan penekanan pada masalah konservasi ialah ketika dalam 1900-an, populasi anjing laut sangat menu run. Atas prakarsa Amerika Serikat lalu diadakan konperensi yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan Jepang di Amerika (Washington D.C.). Pada tahun 1911 dihasilkan peraturan dengan tujuan melindungi anjing laut dari bahaya kepunahan (KASAHARA 1972). LEMBAGA PERIKANAN INTERNASIONAL DAN PERANNYA Umumnya Iembaga4embaga perikanan internasional dibentuk dari hasil konvensi sesudah Perang Dunia ke II, lima di antaranya disposori oleh FAO seperti Indo-Pacific Fisheries Counsil (IPFC), General Fisheries Counsil for the Mediterranean (GFCM), Regional Fisheries Commission for Western Africa (RFCWA) dan Regional Fisheries Advisory Commission for the South-West Atlantic. Sebagian besar lembaga itu menangani masalah perikanan laut (GULLAND andCARROZ 1968). Pada dasarnya lembaga perikanan internasional dapat dibedakan sesuai dengan fungsinya dalam menangani tersedianya ikan di laut yaitu :
pembatasan usaha tangkapan (limitation of effort), pembiakan secara artifisial (artificial propagation) dan memindahkan biota muda ke tempat lain (transplantation). Walaupun lembaga perikanan internasional sudah terbentuk tetapi lembaga itu menghadapi banyak hambatan sehingga tidak berfungsi sebagai yang dinarapkan. Hambatan yang menonjol antara lain (KaSAHARA1972):
1. Lembaga perikanan yang berfungsi untuk membantu meningkatkan dan mengkoordinasi penelitian para negara anggota dan lalu merekomendasi konservasi. Contohnya adalah International Counsil for the Exploration of the Sea (ICES) dan Inter-
113
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
a. Wewenang lembaga perikanan internasional sangat terbatas. Sebagian besar komisi perikanan hanya dapat memberikan rekomendasi kepada negara anggota mengenai cara konservasi. Namun rekomendasi yang berdasarkan fakta flmiah itu tidak dijamin harus ditaati. Selain itu badan-badan internasional itu juga kurang mampu menyelesaikan masalah secara cepat. b. Lembaga perikanan internasional tidak dapat mencegah negara bukan anggotanya memasuki perairan tertentu sehingga menyulitkan kesepakatan yang ada. Beberapa komisi terbuka untuk menerima anggota baru sedang lainnya tidak. Bagi komisi yang dapat menerima anggota baru maka kuota tangkapanpun harus dibagi-bagi di suatu perairan yang sudah ditentukan. Hal ini jelas mengurangi jatah tangkapan anggota terdahulu. c. Untuk perikanan di laut teritorial, peraturan internasional yang sudah ada tidak mencukupi. Oleh karena peraturan itu umumnya hanya bertujuan memaksimisasi hasil secara fisik dan stok atau per airan tertentu. d. Pada umumnya jumlah staf peneliti lem baga perikanan internasional sangat terbatas. Kekurangan peneliti ini disebabkan sebagian besar negara anggotanya kurang berminat untuk membantu mengkaryakan penelitinya dalam Iembaga4embaga itu dan juga persoalan dana yang terbatas. e. Banyak negara anggota yang tidak melaksanakan peraturan perikanan internasional apabila pelanggar itu dilakukan oleh kapal dengan bendera negaranya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum laut tidak pernah cukup untuk menanggulangi problema perikanan internasional yang rumit. Sedang lembaga perikanan internasional tidak mampu memaksakan peraturan-peraturan yang ada.
PERIKANAN LAUT DI INDONESIA 1.
Sejarah perikanan di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua fase yaitu perkembangan sebelum tahun 1968 dan sesudahnya (ZACHMAN 1973). Kegiatan sebelum 1968 adalah perikanan artisanal. Pada waktu itu keadaan politik dan ekonomi nasional tidak stabil serta problema perikanan artisanal cukup rumit sehingga peranan perikanan dalam pembangunan ekonomi nasional dapat dikatakan tidak ada. Komoditi perikanan .sebagian besar merupakan hasil pengolahan secara tradisional seperti dikeringkan, diasin dan cara-cara lainnya. Kualitas hasil pengolahan juga jauh di bawah baku internasional. Selain itu ikan yang diolah dengan cara tradisional juga tidak membutuhkan kualitas tinggi dan ini tidak merangsang produsen (nelayan tradisional) untuk meningkatkan metode penangkapan dan pengolahannya. Akibatnya rata-rata pendapatan para nelayan tetap rendah. Fase sesudah 1968 adalah berupa kebijaksanaan dan strategi baru untuk persiapan PELITA I (1969 - 1974). Karakteristika utama fase ini adalah pendekatan ekonomi dan pemasaran karena produksi perikanan tidak terlepas dari aspek pemasaran dan merupakan aktivitas perdagangan. Strategi perkembangan didasarkan untuk menciptakan iklim yang baik untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan sehingga memenuhi sasaran perkembangan ekonomi nasional seperti penambahan devisa, peningkatan GNP dan penyediaan protein hewani. Dalam rangka investasi modal ini peranan pemerintah sangat menentukan seperti penelitian, survei, penataran untuk mendapatkan tenaga yang terampil dan pengembangan sarana dan prasarana perikanan.
114
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
Sejarah perikanan laut di Indonesia.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
2.
ploitasi udang dan tuna. Kerjasama ini terpaksa dilaksanakan karena Indonesia sangat membutuhkan modal untuk dana pembangunan sehingga segala material capital sedapat mungkin dijadikan liquid capital (ANWAR 1979). Sementara usaha perikanan rakyat pada umumnya masih merupakan usaha kecil4cecilan dan bersifat usaha rumah tangga dengan kemampuan operasi relatif terbatas. Dengan adanya pelbagai macam investasi seperti PMA dan PMDN dan usaha-usaha nasional lainnya dimaksudkan untuk meningkatkan laju pembangunan perikanan (DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN 1976). Usaha bersama itu sebenarnya merupakan cara paling efisien, cepat dan efektif untuk memajukan industri perikanan di negara berkembang seperti persediaan modal, perlengkapan, keterampilan dan kesempatan kerja bagi penduduk setempat serta memberikan devisa (HONDA 1973).Namun oleh karena usaha bersama itu selalu didasarkan pada usaha perdagangan dengan tujuan utama keuntungan maka perselisihanpun tidak dapat dihindarkan.
Masalah perikanan dan usaha bersama
Pengelolaan perikanan di Indonesia cukup sulit karena seperti juga perairan tropika lainnya, ikan-ikan di perairan Indonesia terdiri dari macam-macam jenis tetapi masing-masing jenis mempunyai jumlah individu yang tidak terlampau banyak. Oleh karenanya pengelolaan secara konvensional seperti dilakukan di negara beriklim sedang agak kurang tepat (MARR 1976). Untuk memaksimisasi hasil tangkapan yang lestari dari suatu jenis hampir tidak mungkin karena ikan yang tertangkap merupakan campuran dari berbagai jenis. Seperti misalnya untuk menangkap udang, mata jaring harus diperkecil tetapi ternyata ikan jenis lain juga akan tertangkap dalam jumlah relatif besar. Dari ikan yang tertangkap itu mungkin akan lebih menguntungkan kalau ditangkap dalam ukuran lebih besar atau berumur lebih dewasa. Kesulitan lain adalah kurangnya pengetahuan tentang sumberdaya perikanan seperti distribusinya, misalnya ada jenis ikan yang tersebar dari Indonesia sampai ke Taiwan. Apakah sebaran itu disebabkan oleh migrasi? Jika benar, maka apa yang terjadi dengan perikanan di Taiwan (seperti overfishing) sudah tentu akan mempengaruhi perikanan di Indonesia dan sebaliknya. Dalam keadaan demikian, pengelolaannya harus dilaksanakan secara baik antara kedua negara dan negara yang dilalui oleh ikan tersebut. Kesulitan ini menjadi makin terasa karena seperti juga negara lain di dunia, di Indonesia tenaga ahli yang terampil dan cakap dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sangat kurang. Dalam penanaman modal asing di bidang perikanan, umumnya merupakan usaha bersama antara pengusaha Indonesia dan Jepang dan terutama ditujukan untuk eks-
3. Indonesia dan lembaga perikanan internasional.
Lembaga perikanan internasional yang tugasnya berkaitan dengan pengelolaan perikanan di Laut Cina Selatan umumnya dan Asia Tenggara khususnya ada tiga yaitu : a. Indo—Pacific Fisheries Council (IPFC). Lembaga ini merupakan International Agreement yang dibentuk pada tahun 1948 dan disponsori oleh FAO. Kegiatan sekretariat dilakukan di Markas Besar FAO di Roma dan regional office untuk Asia dan Timur Jauh berkedudukan di Bangkok (Thailand). Anggota IPFC ialah Amerika Serikat, Australia, Belanda, Burma, Filipina, India, Indone-
115
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sia, Inggeris, Jepang, Khmer, Korea Selatan, Malaysia, Pakistan, Perancis, Selandia Baru, Srilangka, Thailand dan Vietnam. Perairan yang dikelola adalah wilayah Indo-Pacific dengan segala sumberdayanya. Tujuan didirikan IPFC adalah untuk memformulasikan segala aspek masalah pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya; mengadakan penelitian dan pengembangan; dan mengumpulkan dan menyebarkan informasi. Sejauh ini tampaknya IPFC kurang berhasil dalam menanggulangi persoalan perikanan di Laut Cina Selatan karena (MARR 1976). 1) Beberapa negara anggota berada sangat jauh dari Laut Cina Selatan sehingga negara-negara anggota yang letaknya di sekitar laut ini cenderung tidak rela per soalan pengelolaan perikanannya dilimpahkankeDPFC. 2) Selama beberapa tahun, FAO kurang memberikan tanggapan atas permohonan IPFC yang ditujukan ke alamatnya de ngan alasan anggaran terbatas. 3) Anggota sekretariat IPFC merupakan sebagian dari staf FAO.
c. South-east Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC). Anggota lembaga perikanan ini adalah Filipina, Jepang, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam Selatan. Lembaga ini umumnya bergerak dalam bidang penataran seperti Fishermen's Training Center di Thailand, Research Training Center di Singapura dan Aquaculture Training Center di Filipina.
KESIMPULAN DAN PENUTUP.
Dari perkembangan sejarah persetujuan perikanan ternyata bahwa baik yang bilateral maupun multilateral umumnya bertitik tolak dari masalah ekonomi, politik dan konservasi. Masalah ekonomi timbul karena adanya persaingan antara nelayan dari berbagai bangsa yang menangkap ikan di perairan yang sama atau nelayan suatu negara menangkap ikan di perairan pantai negara lain. Untuk melindungi hasil tangkapan bagi nelayannya sendiri maka negaranegara yang berkepentingan mengadakan persetujuan. Mengenai masalah politik adalah dengan penetapan batas perairan suatu negara dengan tujuan melindungi kekayaan sumberdaya hayatinya dari pengeksploitasian negara lain. Sedang masalah konservasi biasanya berlaku pada perairan di luar laut teritorial. Caranya dengan persetujuan bilateral atau multilateral dengan penentuan fixed quota yang dikombinasikan dengan sistem closed season atau dengan prinsip keabstenan. Prinsip ini menetapkan bahwa apabila suatu stock ikan telah dieksploitasi secara penuh dengan landasan tangkapan maksimum lestari maka negara yang tidak turut dalam persetujuan dilarang memasuki perairan itu (BAYITCH 1956 dalam WIDODO 1973).
Jelas negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan tidak ikhlas untuk memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada mereka yang tidak dapat diawasi itu. b. UND/FAO South China Sea fisheries Development and Coordinating Programme. Lembaga ini antara lain bertujuan untuk membantu pengelolaan stock secara rasional dan membatasi alat penangkapan yang berlebih (overcapitalization). Tidak semua negara yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan menjadi anggotanya seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Laos, RRC, Taiwan dan Vietnam Utara. Staf lembaga ini dibayar dari anggaran UNDP/FAO dan tidak di bawah pengawasan negara-negara di sekitar laut itu. 116
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
DAFTAR PUSTAKA
Pada umumnya lembaga perikanan internasional itu dibentuk sesudah Perang Dunia II dan sebagian besar menangani perikanan laut. Sungguhpun lembaga perikanan itu sudah terbentuk tetapi dalam kenyataan kurang berfungsi seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan lembaga perikanan itu tidak mempunyai kekuasaan atau tenaga ekskutif untuk melaksanakan peraturan yang ada; adanya kecurigaan dan persaingan antar negara; kerusakan sumberdaya perikanan tidak segera disadari karena teijadi di bawah permukaan air; dan banyak berdiri perusahaan perikanan baru (Me CONNAUGHEY1978). Untuk pengelolaan perikanan di tingkat internasional, cara yang paling sederhana adalah dengan persetujuan bilateral. Dalam persetujuan ini, kedua negara dapat menentukan pengelolaan sumberdaya perikanan tertentu atau sumberdaya perikanan di perairan tertentu. Dengan demikian informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan dapat segera diperoleh. Persetujuan bilateral ini dapat ditingkatkan menjadi multilateral apabila dirasakan memang bermanfaat (MARR 1976). Betapapun baiknya segala rencana dan peraturan yang ada, semua itu tidak akan mencapai sasaran apabila tidak disertai kesadaran dan itikad yang luhur. Sedang itikat itu mudah luntur kalau motivasinya keuntungan. Jadi yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah mengelola manusia yang teriibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri.
ANWAR, A. 1979. Ekonomi sumberdaya. Bahan kuliah Pasca Sarjana — IPB. CHAPMAN WJVI. 1970. Some problems and programmes in fishery oceanography. In "Fisheries oceanography" (T. LAEVASTU & I. HELA, eds.). New Ocean Environmental Services. Fishing News (books) Ltd., London : 238 p. DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN 1976. Laut sebagai sumberdaya hayati ditinjau dari aspek kelembagaan dan management. Proceeding Seminar Pencemaran Laut, Buku II: 142-149. GULLAND, J.A. and J.E. CARROZ 1968. Management of fishery resources. Adv. Mar. Biol 6 : 1 -71. GULLAND, J.A. 1974. The management of marine fisheries. Univ. Wash. Press, Seattle : 198 p. HONDA, K. 1973. Fishery joint ventures in developing countries. J. Fish. Res. Board Canada 30 (12) : 2328 - 2332. KASAHARA, H. 1972. International fishery dispute. In "World fisheries policy" (B.J. ROTHSCHILD ed.). Univ. Washing. Press : 14-34. MARR, J.C. 1976. Fishery resource management in South-east Asia. RFF/PISKA Paper 1 : 62 p. WIDODO, R. 1973. Komisi-komisi perikanan internasional. Tesis Sarjana Perikanan, Fak. Perikanan - EPB : 28 hal. ZACHMAN, N. 1973. Fisheres development and management in Indonesia. J. Fish. Res. Board Canada 30 (12) : 2335-2340.
117
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Lampiran 1.
Lembaga perikanan internasional yang mengeloia perikanan laut menurut geografi dan fungsinya (CHAPMAN 1970 dan GULLAND 1974).
A. Samudera Atlantik
118
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
119
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
E. Samudera Pasifik
120
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
E. Samudera Pasifik (Sambungan)
F. Untuk Seluruh Samudera
121
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992