KONSTITUSI April 2013
55
KONSTITUSI juni 2013
i
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA tim penelitian unggulan strategis nasional dikti ri 2012 Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Pembangunan Karakter Bangsa pada Generasi Muda dalam Era Informatika
universitas gadjah mada
lembaga penelitian & pengabdian masyarakat universitas multimedia nusantara ii
KONSTITUSI juni 2013
Edisi Juni 2013 No.76
Daftar Isi
14
Ruang Sidang
Ikut Caleg, Mantan Napi Harus Tunggu Lima Tahun
Jejak konstitusi
laporan utama 8
Hutan Adat, Bukan Hutan Negara
45
I Ketut Pudja Kata Tuhan Dalam Pembukaan
Lirin Colen Dingit, Yoseph Danur, Jilung, Jamaludin, Kaharudin, dan Jailan tahu rasanya bagaimana tergusur di tanah sendiri. Mereka tahu bagaimana pedihnya tanah leluhur dirampas, dibabat, dan dikuras atas nama negara dan hukum. Mereka adalah saksi perselingkuhan antara oknum negara dan pengusaha dalam pengelolaan hutan di negeri ini.
KONSTITUSI MAYA
5
www.hanura.com Dirintis Wiranto dan Kelompok Purnawirawan Jenderal www.bulan-bintang.org Tiga Kali Pemilu, Mengidentikkan Penerus Masyumi Konstitusi Maya 5
Catatan Perkara 57
Konstitusiana 80
Opini 6
Jejak Konstitusi 61
Pustaka Klasik 81
Laporan utama 8
Aksi 64
Pustaka 83
profil Hakim MK 12
Cakrawala 76
Kamus Hukum 85
Ruang Sidang 15
Ragam Tokoh 79
Catatan MK 87
Kilas Perkara 54 KONSTITUSI juni 2013
Cover: Hermanto
1
Salam Redaksi
Dewan Pengarah: M. Akil Mocthar Achmad Sodiki Harjono Maria Farida Indrati Muhammad Alim Ahmad Fadlil Sumadi Hamdan Zoelva Anwar Usman Arief Hidayat Penanggung Jawab: Janedjri M. Gaffar Pemimpin Redaksi: Budi A. Djohari Wakil Pemimpin Redaksi: Heru Setiawan Redaktur Pelaksana: Ardli Nuryadi Redaktur: Miftakhul Huda Nano Tresna Arfana Nur Rosihin Ana Achmad Dodi Haryadi Reporter: Abdullah Yazid Lulu Anjarsari P Yusti Nurul Agustin Utami Argawati Dedy Rahmadi Rahmat Hidayat Hanna Juliet Ilham Wiryadi Panji Erawan Fotografer: Gani Andhini Sayu Fauzia Fitri Yuliana Annisa Lestari Kencana Suluh H. Kontributor: Rita Triana M. Mahrus Ali Fitri Yuliana Andhini Sayu Fauzia Desain Visual: Herman To Rudi Nur Budiman Teguh Distribusi: Fitri Y Utami Argawati
Alamat Redaksi: Gedung MK Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Telp. (021) 2352 9000 Fax. 3520 177 email:
[email protected] www. mahkamahkonstitusi.go.id
2
H
utan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” dan bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Itulah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 41/1999 tentang Kehutanan - Perkara No. 35/PUU-X/2012 - pada Kamis (16/5). Dalam pertimbangan putusan PUU Kehutanan tersebut, Mahkamah berpendapat, Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 telah memberikan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Berita putusan terhadap PUU Kehutanan a quo, menurut tim redaksi Majalah KONSTITUSI, layak dijadikan ‘Laporan Utama’ untuk Edisi Juni 2013. Selain berita tersebut, ada berita berjudul “Pemerintah dan DPR: Peninjauan Kembali Satu Kali Jamin Kepastian Hukum”. Berita ini Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menegaskan bahwa ketentuan yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali, telah sejalan dengan konstitusi. Sesuai dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian ada berita “Ahli: UU Dikti Singkirkan Mahasiswa Miskin” yang menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) wajib dibiayai sepenuhnya oleh negara sehingga PTN tidak mencari dana sendiri yang berpotensi akan mengikat dan membatasi otonominya. Sedangkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai mitra PTN, mempunyai otonomi akademik dan pengelolaan karena PTS harus menghidupi dirinya sendiri. Pengelolaan biaya akademik dan biaya nonakademik secara terpisah dalam UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) berimplikasi tersingkirnya mahasiswa dari kalangan keluarga miskin. Hal ini tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang memberikan hak yang sama kepada semua warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan. Hal itu terungkap dalam persidangan Perkara No. 33/PUU-XI/2013 ihwal uji materi UU Dikti yang digelar pada Kamis (30/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Itulah sejumlah berita-berita menarik dari Ruang Sidang MK. Lainnya, seperti biasa kami menyajikan informasi-informasi penting lainnya lewat rubrik ‘Editorial’, ‘Aksi’, ‘Cakrawala’, ‘Catatan MK’, ‘Pustaka’, ‘Jejak Konstitusi’ dan lainnya. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca. Kritik dan saran yang membangun kami tunggu!
KONSTITUSI juni 2013
Editorial
Edisi No.76 - Juni 2013
“Al-'âdah Muhakkamah” Adat kebiasaan itu dapat menjadi dasar dalam penetapan hukum. (Kaidah Ushul Fikih)
Hutan Adat dalam Daulat Masyarakat Hukum Adat
F
akta sejarah me nunjukkan bahwa sebelum ada kerajaan, imperium, dan sebelum ada negara-negara nasional, telah ada terlebih dahulu kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang lahir dan tumbuh secara alamiah pada sebuah kawasan. Kesatuankesatuan masyarakat adat ini adalah penduduk asli (indigenous peoples) di kawasan yang bersangkutan. Batas antara wilayah suatu kesatuan masyarakat adat dengan wilayah masyarakat adat lainnya lazim disepakati bersama dengan menggunakan batas-batas alam, seperti sungai, gunung, pohon, atau laut. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat menghormati dan mengakui hak kesatuan masyarakat adat tanpa syarat. Namun menjadi ironi ketika hak masyarakat adat justru dikebiri oleh pemerintah NKRI melalui berbagai kondisionalitas. Tanah ulayat kesatuan masyarakat adat yang dikuasai negara, bukannya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi diserahkan kepada perusahaan-perusahaan besar swasta dengan tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kehutanan, menunjukkan UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat
KONSTITUSI juni 2013
hukum adat atas kawasan hutan adatnya. Selama lebih dari 10 tahun sejak diberlakukan, UU Kehutanan menjadi alat negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya. Selanjutnya, hutan adat yang telah berubah menjadi hutan negara, diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Akibatnya, terjadi konflik berkepanjangan antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengusaha yang memanfaatkan hutan adat mereka. Praktik ini kian menyebar pada sebagian besar wilayah NKRI. Kasus Bentian, Manggarai, Mesuji, dan Pulau Padang, merupakan beberapa contoh kasus tanah masyarakat adat yang dimasukkan dalam izin hutan tanam industri yang diberikan oleh menteri. Menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Sebab, keberadaan hutan adat dalam wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, diakui dan dilindungan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Hal ini merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Kecuali jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara. Sudah saatnya mengembalikan hutan adat dalam daulat masyarakat hukum adat yang diakui eksistensinya dalam konstitusi. Maka sudah selayaknya jika ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan harus dimaknai “Hutan adat bukan hutan negara.”
3
Suara Pembaca
MK Tidak Berwenang Adili Anggota DPRD yang Tidak Mau Lengser Salam, Mahkamah Konstitusi yang terhormat, saya mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah termasuk korupsi bagi anggota DPRD yang pindah partai dari partai asal yang tidak ikut pemilu lalu mereka mengisi formulir BB5 (formulir pengunduran diri anggota legislatif) tapi tidak mau melepaskan jabatannya sebagai anggota DPRD? Apakah juga bisa melakukan gugatan ke MK tentang anggota DPRD tersebut karena ada pembiaran dari partai asal yang tidak melakukan pergantian antar waktu (PAW)? Mohon jawabannya. Terima kasih. Etha Yunita (Via laman Mahkamah Konstitusi) Jawaban Yang Terhormar Saudara Etha Yunitha, Terima kasih atas pertanyaan dan perhatian saudara kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C UUD
1945, Mahkamah Konstitusi RI mempunyai empat kewenangan sebagai berikut. 1.
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Memutus pembubaran partai politik, dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Menanggapi pertanyaan saudara, dapat kami sampaikan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, apabila terdapat undang-undang yang dianggap merugikan hak-hak konstitusional Saudara, dapat diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Demikian terima kasih.
Kami Mengundang Anda
Redaksi Majalah Konstitusi (yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi RI) mengundang pakar, intelektual dan warga masyarakat untuk menyumbangkan tulisan dalam rubrik “Opini”, “Suara Pembaca” dan “Pustaka”. Rubrik “Opini”, merupakan rubrik yang berisikan pendapatpendapat berbentuk opini yang mendalam terhadap kajian Konstitusi dan Hukum Tata Negara. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter. Rubrik “Suara Pembaca” merupakan rubrik yang berisikan komentar-komentar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 2000 karakter. Rubrik “Pustaka” merupakan rubrik yang berisikan resensi bukubuku baru hukum dan Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter. Tulisan dapat dikirimkan dengan menyertakan data diri, alamat yang jelas, dan foto melalui pos/fax/email ke Redaksi Majalah Konstitusi: Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Telp. (021) 23529000 ext. 18242; Fax. (021) 3520177; atau E-mail :
[email protected] Untuk rubrik Pustaka harap menyertakan tampilan cover buku yang diresensi. Tulisan yang dimuat akan mendapat honorarium.
4
KONSTITUSI juni 2013
Konstitusi Maya
www.bulan-bintang.org
Tiga Kali Pemilu, Mengidentikkan Penerus Masyumi
P www.hanura.com
Dirintis Wiranto dan Kelompok Purnawirawan Jenderal
P
endirian Partai HANURA dirintis oleh Wiranto bersama tokoh-tokoh nasional yang menggelar pertemuan di Jakarta pada tanggal 13-14 November 2006. Forum tersebut melahirkan delapan kesepakatan penting. Delapan kesepakatan itu kemudian ditindaklanjuti dalam wadah partai politik bernama Partai Hati Nurani Rakyat, disingkat Partai HANURA. Pendeklarasian partai ini diselenggarakan pada tanggal 21 Desember 2006 di Jakarta. Komposisi dewan pendiri Partai HANURA di antaranya adalah: Jend. TNI (Purn) Wiranto, Yus Usman Sumanegara, Dr. Fuad Bawazier, Dr. Tuti Alawiyah AS., Jend. TNI (Purn) Fachrul Razi, Laks TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, Prof. Dr. Achmad Sutarmadi, Prof. Dr. Max Wullur, Prof. Dr. Azzam Sam Yasin, Jend. TNI (Purn) Subagyo HS., Jend. Pol (Purn) Chaeruddin Ismail, Samuel Koto, Letjen. TNI (Purn) Suaidi Marasabessy, Marsdya TNI (Purn) Budhy Santoso, Djafar Badjeber, Uga Usman Wiranto, Letjen. TNI (Purn) Ary Mardjono, Elza Syarief, Nicolaus Daryanto, Anwar Fuadi, Dr. Teguh Samudra dan lain-lain. Visi Partai Hanura adalah kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat. Sementara misinya, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui penyelenggaraan negara yang demokratis, transparan, akuntabel, dengan senantiasa berdasar pada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, misi lain adalah melahirkan pemimpin yang bertakwa, jujur, berani, tegas, dan berkemampuan, yang dalam menjalankan tugas selalu mengedepankan hati nurani. Penegakan hak dan kewajiban asasi manusia dan supremasi hukum yang berkeadilan secara konsisten, sehingga dapat menghadirkan kepastian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga menjadi visi partai ini. Persiapan Hanura menuju kontestasi Pemilihan Umum 2014 menjadi makin kuat setelah pada 17 Februari 2013, Hanura mendapat tambahan kekuatan partai menyusul bergabungnya pengusaha sekaligus Bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo. Mantan politisi Nasdem itu dianggap mampu untuk membangun citra Partai Hanura lewat kekuatan media yang dimilikinya. Pada tanggal 10 Maret 2013, sepuluh partai politik yang gagal dalam verifikasi administrasi menyatakan bergabung dengan Hanura, yaitu: Partai Kedaulatan, Partai Republika Nusantara (RepublikaN), Partai Nasional Republik (Nasrep), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Kongres, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI). Pada Pemilu 2014 nanti, Partai Hanura bernomor urut 10. KONSTITUSI Juni 2013
artai Bulan Bintang (PBB) adalah sebuah partai politik Indonesia yang berasaskan Islam dan menganggap dirinya sebagai partai penerus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang pernah jaya pada masa Orde Lama. Partai Bulan Bintang didirikan pada 17 Juli 1998. Partai ini telah ikut pemilu selama tiga kali yaitu pada Pemilu tahun 1999, 2004 dan Pemilu tahun 2009. Pada Pemilu tahun 1999, Partai Bulan Bintang mampu meraih 2.050.000 suara atau sekitar 2% dan meraih 13 kursi DPR RI. Sementara pada Pemilu 2004 memenangkan suara sebesar 2.970.487 pemilih (2,62%) dan mendapatkan 11 kursi di DPR. Partai ini sebelumnya diketuai oleh Yusril Ihza Mahendra, tokoh yang pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara di masa Presiden SBY, Tokoh ini mempunyai ciri tahi lalat di wajahnya dan dikenal sebagai tokoh yang memelopori Amandemen Konstitusi Pasca Reformasi, di tengah tuntutan Federalisme dari beberapa tokoh. Berikutnya MS Kaban dipilih sebagai ketua umum pada 1 Mei 2005. MS Kaban ketika itu menjabat Menteri Kehutanan di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Dalam Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009, partai ini memeroleh suara sekitar 1,8 juta yang serata dengan 1,7% yang berarti tidak mampu meraih perolehan suara melebihi parliamentary threshold 2,5% sehingga berakibat pada tidak memiliki wakil seorang pun di DPR RI, meski di beberapa daerah pemilihan beberapa calon anggota DPR RI yang diajukan memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Anggota DPR RI. Namun, partai yang memperjuangkan syariat Islam masuk dalam sistem hukum di Indonesia sebagai ikon perjuangannya ini, masih memiliki sekitar 400 Anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Sejak Muktamar ke-3, April 2010 di Medan, partai ini telah menetapkan kembali MS Kaban sebagai Ketua Umum. Sedangkan BM Wibowo Hadiwardoyo mantan Sekjen Organisasi massa Islam Hidayatullah diangkat sebagai Sekretaris Jenderal dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc. sebagai Ketua Majelis Syura, DR Fuad Amsyari sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai. Pada 7 Maret 2013, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan Partai Bulan Bintang yang mengajukan gugatan untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 2014. Putusan sidang menyatakan mengabulkan seluruh permohonan penggugat untuk menjadi peserta pemilu 2014. Selain itu, putusan tersebut mewajibkan KPU mencabut Keputusan KPU No 5 tertanggal 8/01/2013 tentang verifikasi faktual. Partai ini kemudian diloloskan KPU sebagai peserta pemilu 2014 dan mendapat nomor urut 14.
5
Opini Menyelesaikan Sengketa Hasil Verifikasi Partai Politik Oleh Ahmad Irawan Peneliti Constitutional and Electoral Reform Centre (Correct)
K
omisi Pemilihan Umum telah menetapkan sepuluh partai politik yang lolos tahap verifikasi melalui Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 05/KPTS/KPU/2013 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014, yang berarti konsekuensinya kesepuluh parpol tersebut memiliki hak menjadi peserta pemilu. Dari beberapa pelaksanaan pemilu sebelumnya yang dilakukan pada masa reformasi, jumlah tersebut lebih sedikit. 48 parpol pada pemilu 1999, 24 parpol pada pemilu 2004 dan 38 parpol pada pemilu 2009. Kondisi ini tentu memberikan sinyal berupa kemudahan kepada calon pemilih untuk menilai dan memilih parpol dan calon yang diajukan. Hanya seperti biasanya, perdebatan persyaratan parpol dan penetapan jumlah parpol untuk bisa menjadi peserta pemilu banyak waktu dan energi yang dihabiskan. Seperti persyaratan verifikasi faktual yang harus dilakukan oleh KPU kepada calon peserta pemilu sebagai sebuah sistem yang diwajibkan oleh undangundang untuk dilaksanakan. Sebuah fase yang telah dilewati dan
6
menyisakan sengketa, karena beberapa partai yang tidak memenuhi syarat, tidak puas dan keberatan terhadap keputusan KPU. Secara singkat dapat dikatakan telah terjadi sengketa pemiu, dan kini penyelesaian sengketa tersebut berada di tangan bawaslu dan bagi parpol yang mendalilkan keberatan wajib membuktikan alasanalasan keberatannya. Sengketa Pemilu Te n t u n y a semua menyadari bahwa keputusan mengenai jumlah peserta pemilu pasti akan memunculkan keberatan dan ketidakpuasan. Oleh karena itu pembuat undangundang menyediakan mekanisme pengaduan keberatan tersebut. Sekarang sengketa pemilu tak dapat dihindari, karena di berbagai media massa parpol-parpol yang tidak memenuhi syarat menyatakan akan menempuh jalur hukum untuk melaporkan pelanggaran pemilu. Maka menjadi penting sekarang adalah bagaimana Bawaslu menangani sengketa tersebut. Perlu diketahui bahwa hal pokok dari keberadaan Bawaslu adalah mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran. Untuk itu Bawaslu
KONSTITUSI juni 2013
diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Kewenangan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. Dalam pandangan saya, maka pada tahap ini Bawaslu memainkan peran yang sangat penting untuk menjamin bahwa tahapan pemilu selanjutnya dapat dilanjutkan dan dilaksanakan secara aman, adil, dan akuntabel. Hal yang perlu diketahui juga bahwa sengketa pemilu mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu diselesaikan terlebih dahulu di Bawaslu, tetapi dapat juga gugatan tersebut
Sengketa hasil verifikasi partai politik mustahil tercapai kata mufakat dan sama seperti keputusan KPU, keputusan Bawaslu juga akan sulit diterima oleh pemohon sengketa pemilu dalam hal ini partai politik calon peserta pemilu.
berlanjut ke pengadilan tinggi tata usaha negara dan kasasi di Mahkamah Agung jika sengketa tersebut tidak dapat terselesaikan. Proses ini berlaku juga dalam hal daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dua bentuk sengketa pemilu ini yang prosesnya berbeda dari yang lainnya, karena keputusan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat (Vide Pasal 73 ayat 4 huruf C Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Juncto Pasal 259 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
KONSTITUSI juni 2013
Walaupun sebenarnya pokok persoalan munculnya sengketa tersebut adalah sama yakni: Pertama perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu yang berkaitan dengan suatu masalah fakta kegiatan, peristiwa dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilu antar peserta pemilu; Kedua, keadaan di mana pengakuan atau pendapat dari salah satu peserta pemilu mendapatkan penolakan, pengakuan yang berbeda, dan/atau penghindaran dari peserta pemilu yang lain; atau Ketiga, Keputusan KPU, KPU/KIP Provinsi, dan KPU/KIP Kabupaten/Kota. Mustahil Untuk Mufakat Mengenai penyelesaian sengketa pemilu ini, khususnya terkait dengan sengketa hasil verifikasi partai politik mustahil tercapai kata mufakat dan sama seperti keputusan KPU, keputusan Bawaslu juga akan sulit diterima oleh pemohon sengketa pemilu dalam hal ini partai politik calon peserta pemilu. Hal ini didasarkan pada kepentingan dan tuntutan pemohon vis a vis dengan integritas dan akuntabilitas hasil verifikasi faktual yang dilakukuan oleh KPU. Sehingga sulit bagi KPU untuk memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian hal ini masih terhitung cukup lama yakni sekitar 76 hari kerja. Tahapan yang dimulai dengan penerimaan laporan atau temuan, pengkajian, musyawarah yang diharapkan tercapai kata mufakat pasti akan berlanjut ke pengadilan tinggi tata usaha negara dan terakhir kasasi di Mahkamah Agung yang mana KPU wajib menindaklanjuti putusan, karena sifatnya yang terakhir dan mengikat dan tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum yang lain. Karena proses penyelesaian sengketa ini sangat strategis, maka menjadi kewajiban semuanya untuk menjamin bahwa seluruh proses dapat dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan diperlukan hasil pengkajian yang objektif, musyawarah yang tertib dan menghasilkan mufakat, serta pihak yang memutus dapat berlaku jujur, adil, tidak memihak dan mengerti perannya.
7
Laporan Utama
Hutan Adat, Bukan Hutan Negara Ketentuan yang menyebutkan hutan adat adalah hutan negara membawa implikasi negatif. Melahirkan perselingkuhan oknum aparatur negara dengan pengusaha. MK berkesimpulan ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi. Dibutuhkan peraturan lebih lanjut.
Pemohon Prinsipal dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, Bustamir, didampingi para kuasa hukumnya, tampak serius memperhatikan paparan ahli yang dihadirkan dalam sidang Perkara Nomor 35/PUU-X/2012, Kamis (14/6/2012) di Ruang Sidang Pleno MK.
L
irin Colen Dingit, Yoseph Danur, Jilung, Jamaludin, Kaharudin, dan Jailan tahu rasanya bagaimana tergusur di tanah sendiri. Mereka tahu bagaimana pedihnya tanah leluhur dirampas, dibabat, dan dikuras atas nama negara dan hukum. Mereka adalah saksi perselingkuhan antara oknum negara dan pengusaha dalam pengelolaan hutan di negeri ini. Namun mereka tak tinggal diam. Mereka memilih berteriak lantang dan berjuang. Hingga akhirnya menang. Perjuangan Lirin Colen Dingit dkk, tak sia-sia. Lirin seorang warga pada Komunitas Masyarakat Adat
8
Bentian, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, telah bersusah payah berangkat dari tanah leluhurnya ke Mahkamah Konstitusi. Dia hadir sebagai saksi dalam permohonan uji materi Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 ayat (1) dan (2), serta Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal-pasal ini pada intinya mengatur tentang hutan adat yang dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara. Adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu yang mengajukan uji materil terhadap ketentuan tersebut. Permohonan mereka teregistrasi dengan
Humas MK/GANIE
nomor 35/PUU-X/2012 di MK. Lirin dan lima nama lainnya hadir memberi kesaksian akan perampasan dan perusakan “secara legal” atas hutan adat yang terjadi diberbagai pelosok negeri ini. Mereka mengungkap fakta tentang hutanhutan adat yang telah dicaplok atas nama negara dan hancur akibat keserakahan manusia. Padahal bagi masyarakat hukum adat seperti mereka, hutan adat adalah anugerah yang harus dijaga. Hutan adat layaknya rumah bagi mereka. Bahkan pada titik tertentu, hutan adat bisa menjadi sesuatu yang sakral, sehingga harus dirawat sepanjang hayat. Yoseph Danur benar-benar menjiwai hal itu. Dia yang berasal dari Kampung
KONSTITUSI juni 2013
Biting, Desa Ulu Wae, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengutarakan, dalam filosofi Manggarai terdapat istilah gendang one, lingko pe’ang menjadi dasar keberadaan masyarakat adat dan penguasaan wilayah adat. Gendang one, lingko pe’ang menjelaskan makna menyatunya antara masyarakat dengan tanah. Artinya, tidak ada masyarakat tanpa kebun atau tanah, begitu juga sebaliknya. Sayangnya dalam praktik, Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, yang menyebutkan bahwa hutan adat adalah hutan negara, seringkali disalahgunakan oleh oknum aparat pemerintah. Di mana ketentuan ini telah dijadikan sebagai alat oleh negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara. Selanjutnya, atas nama negara diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perijinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Hingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya konflik antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengusaha yang memanfaatkan hutan adat mereka.
Ilustrasi: Hutan Adat
KONSTITUSI juni 2013
Marjinalisasi Masyarakat Adat Dalam UU Kehutanan, terdapat tiga subjek hukum, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan. Dengan kata lain, UU Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan, berbeda dengan subjek hukum yang lain. Dengan adanya perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasuskasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya. Hal ini menyebabkan masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dilakukan dengan cara sewenang-wenang, sehingga
tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Menurut AMAN dkk selaku Pemohon, masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara yang memiliki hak menguasai sangat kuat. Seharusnya, menurut para Pemohon, penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, para Pemohon juga berpandangan, UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan hutan adatnya. Hal ini dikarenakan UU Kehutanan tidak memperhatikan aspek historis dari klaim kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya. Menurut mereka, kesatuan masyarakat hukum adat telah ada jauh sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia. Salah satu ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan, Dr. Safroedin Bahar, mengemukakan bahwa
sapulidinews.com
9
Laporan Utama pada saat ini walaupun secara de jure telah terdapat beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan yang secara legal formal menghormati, melindungi, memajukan, ataupun memenuhi hak asalusul dari kesatuan masyarakat adat, namun secara de facto telah terjadi pelanggaran hak kesatuan masyarakat adat secara berkelanjutan, yang telah menimbulkan konflik vertikal antara kesatuan masyarakat adat dengan instansi Pemerintahan di berbagai daerah. Dengan kata lain, Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan yang menjadi dasar dari bebeberapa ketentuan terkait hutan adat, telah membuka pintu penyimpangan. Ahli Pemohon lainnya, Noer Fauzi Rachman menyatakan, negaraisasi tanah adat haruslah diralat. “Meralat Negaraisasi Tanah Adat,” tulisanya dalam judul makalahnya. “Negaraisasi adalah proses di mana tanah kekayaan alam dan wilayah adat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kategori khusus tanah negara, hutan negara, yang kemudian atas dasar kewenangan legalnya, Pemerintah Pusat memberikan konsesi-konsesi dengan asumsi pada badan usaha-usaha konservasi produksi maupun ekstraks.” Prof. Hariadi Kartodihardjo berkesimpulan, rumusan “hutan adat sebagai hutan negara” tidak dimaknai sebagai upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hutan adat oleh negara, karena hutan adat tetap termarjinalkan, dibiarkan bersaing dengan para pemegang ijin dan pengelola hutan dengan tanpa mendapat kepastian hukum. “Lemahnya penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat bukan sekedar implikasi pada tataran operasional melainkan embodied dalam norma, pemaknaan dan landasan berfikir dalam pengelolaan hutan,” paparnya. Bukan Hutan Negara Hingga pada akhirnya, pada 16 Mei 2013, MK menggelar sidang pengucapan putusan dalam perkara ini. MK menyatakan, mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. “Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Ketua MK M. Akil Mochtar di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusannya MK berpendapat, keberadaan hutan adat dalam kesatuannya
10
dengan wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law. Selain termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat pasca-perubahan UUD 1945 tersebar di berbagai undang-undang selain UU Kehutanan. Menurut MK, hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak ulayat. Dalam wilayah hak ulayat, terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan yang dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Keberadaan hak perseorangan tidak bersifat mutlak, sewaktuwaktu haknya dapat menipis dan menebal. Jika semakin menipis dan lenyap akhirnya kembali menjadi kepunyaan bersama. “Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat bersifat lentur. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah,” ungkap MK. Wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Dengan cara demikian, menurut MK, tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan hutan. Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat. Berdasarkan hal tersebut, maka diatur hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, menurut MK, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan. “Para warga suatu masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka
hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, tidak dimungkinkan hak yang dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat tersebut ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,” tulis MK dalam putusannya. Setelah ditentukan pembedaan antara hutan negara, hutan hak, maupun hutan adat, maka lanjut MK, tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara, atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak sebagaimana dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan. Sehingga menjadi jelas status dan letak hutan ulayat dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara. “Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat,” tegas MK. Selain menjatuhkan putusan terhadap status hutan adat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, MK juga telah menjatuhkan putusan terhadap beberapa pasal serta penjelasannya yang saling berkaitan, yakni terhadap pemaknaan Pasal 4 ayat (3) serta Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) beserta penjelasannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Petikan Amar Putusan 35/ PUU-X/2012. Achmad Dodi Haryadi
KONSTITUSI juni 2013
Ketentuan yang Diuji Oleh Pemohon dalam UU Kehutanan: Pasal 1 angka 6 Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 5 (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : a. Hutan Negara, dan b. Hutan hak. (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Petikan Amar Putusan 35/PUU-X/2012 Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
KONSTITUSI juni 2013
11
Profil hakim MK
Arief Hidayat Hakim Konstitusi Penganut Paham ‘Yuridis Romantis’
T
ak pernah terlintas dalam pikiran Arief Hidayat untuk menjabat sebagai hakim konstitusi. Namun pada Senin pagi tepat pada 1 April 2013, ia berdiri di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucap sumpah jabatan sebagai satu dari Sembilan ‘pilar’ Mahkamah Konstitusi. Tak sampai di situ, Arief pun
12
merasa bangga menggantikan tokoh sekaliber Moh. Mahfud MD. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut mengisahkan tak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya untuk duduk dalam posisinya sekarang sebagai seorang hakim konstitusi. Sedari kecil, ia hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang pengajar. Namun ketika ditanya alasannya mendalalmi ilmu hukum, Arief mengungkapkan sejak SMU,
kecenderungan dalam dirinya tertarik pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial. “Saya selalu tertarik pada kasuskasus penegakan hukum terutama karena saat itu masih ada rezim otoriter. Namanama seperti Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif dan Adnan Buyung menginspirasi saya untuk kuliah fakultas hukum, padahal tadinya saya berniat untuk kuliah di fakultas ilmu politik. Tapi setelah menjadi guru besar, saya memahami kalau
KONSTITUSI juni 2013
ilmu hukum tidak bisa terlepas dari ilmu politik,” kenang pria kelahiran 3 Februari 1956. Arief mengisahkan, lima tahun lalu mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, pernah mendorongnya untuk maju sebagai hakim konstitusi. Namun, karena saat itu dia masih memegang jabatan sebagai dekan, maka dorongan itu tak bisa dipenuhinya. “Menjadi seorang hakim konstitusi merupakan posisi yang mulia dan waktu itu saya belum berani mengambil posisi mulia itu,” ujarnya. Pendidik yang Terjun Menjadi Hakim Konstitusi Sepanjang kariernya, Arief berusaha fokus terjun di dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan generasi muda. Tak hanya itu, ia bercita-cita untuk menyebarkan virus-virus penegakan hukum kepada generasi muda. “Saya memiliki tujuan menyebarkan virus-virus bagaimana mengelola Indonesia dengan baik terutama dalam bidang penegakan hukum, tapi ketika itu saya belum berani menjadi hakim,” terangnya. Dikisahkan Arief bahwa suatu kali ia pernah dipesankan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, jabatan yang telah dipilihnya sebagai dosen memiliki konsekuensi sebagai profesi yang tidak mungkin kaya secara materiil. Namun, lanjut Arief, meski tidak kaya secara materiil, tetapi kaya akan lmu dan penghargaan serta penghormatan dari para mahasiswa. “Dari situ, Prof. Satjipto menjelaskan karier puncak yang harus saya raih adalah menjadi guru besar. Dan saya memperoleh (gelar) Guru Besar dari UNDIP pada 2008. Selain itu menjadi Dekan adalah jabatan puncak lainnya amanah yang harus saya lakukan sebaik-baiknya,” tuturnya. Kemudian, setelah selesai menjabat dekan, dia pun memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur DPR. Keberanian ini diperolehnya berkat dukungan dari berbagai pihak terutama para guru besar Ilmu Hukum Tata Negara, seperti Guru Besar HTN Universitas Andalas Saldi Isra. “Makanya ketika saya mendaftar ke DPR untuk fit and proper test, yang saya bawa adalah dukungan dari fakultas hukum dan pusat studi konstitusi dari berbagai perguruan tinggi,” paparnya. Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk ‘Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK KONSTITUSI juni 2013
terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945’. Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, ia pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR, mengalahkan dua pesaingnya yakni Sugianto (5 suara) dan Djafar Al Bram (1 suara). Menurut Arief, saat ini ia berada dalam proses adaptasi karena menjadi hakim konstitusi adalah hal yang masih sangat baru baginya. “Saya menyadari saat ini masih dalam proses adaptasi sebagai hakim konstitusi. Tapi saya melihat hakim konstitusi yang mempunyai tugas tak hanya mengawal konstitusi (guardian of constitution), namun juga mengawal ideologi negara (guardian of ideology) sehingga posisi inilah yang saya sebut posisi mulia untuk kepentingan bangsa ke depan,” ujarnya. Penganut Yuridis Romantis Bagi Arief, MK bukanlah merupakan lembaga yang asing. Sebagai bagian dari friends of court, dirinya sering terlibat menjadi narasumber maupun menjadi juri dalam setiap kegiatan MK berkaitan dengan penyebarluasan mengenai kesadaran berkonstitusi. “Saya membantu Sekretariat Jenderal MK merumuskan kegiatan yang berkaitan dengan jaringan fakultas hukum di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Sehingga di situ, saya semacam kepala suku yang menggunakan pendekatan yuridis romantis kepada kelompok yang
sebagian besar merupakan guru besar Ilmu Hukum Tata Negara di berbagai fakultas hukum di Indonesia. Saya sampai disebut sebagai pakar yuridis romantis,” terangnya. Disinggung mengenai hal tersebut, Arief mengungkapkan bahwa panggilan itu muncul karena ia kerap kali menjadi penengah antara guru besar yang berpegang pada beberapa pendekatan dalam Ilmu Hukum Tata Negara. Menurutnya, beberapa guru besar membanggakan salah satu pendekatan tertentu daripada lainnya. “Dalam Ilmu Hukum Tata Negara hanya ada pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis, orang yang senang dengan dua pendekatan itu membimbing mahasiswa sering kali bertikai dan merasa bagus salah satunya. Bagi saya, keduanya saling melengkapi dan bagus disesuaikan dengan penelitiannya. Maka supaya tidak bertikai, saya menyebut yang terbagus adalah yuridis romantis,” kelakarnya. Arief menyadari bahwa dirinya bukanlah sosok hakim yang sempurna tanpa cela. Ia berujar bahwa dirinya tidak menilai diri menjadi sosok hakim yang sempurna dan tidak bermasalah. “Saya masih terus belajar dan membutuhkan dukungan dari teman-teman hakim konstitusi. Karena menjadi hakim konstitusi, adalah pekerjaan yang kolegial. Bagi saya menjadi hakim bukan untuk mencari kekayaan, melainkan bagaimana menjaga negara dengan sebaik-baiknya dan menciptakan masyakarat yang adil dan makmur,” tandasnya. Lulu Anjarsari
13
Ruang Sidang
Politik
Ikut Caleg, Mantan Napi Harus Tunggu Lima Tahun Majelis hakim Mahkamah Konstitusi saat sidang pengucapan putusan, Kamis (16/5/2013) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
F
ungsi pemasyarakatan adalah untuk menyiapkan narapidana (napi) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Begitulah ketentuan yang tertuang dalam Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Ketentuan ini dalam pandangan Mahkamah, sama sekali tidak berkaitan dengan pembatasan hakhak konstitusional para Pemohon untuk dicalonkan dan dipilih sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Menurut Mahkamah, apabila frasa “... sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab” dalam Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Pemasyarakatan dimaknai, “... sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, termasuk dipilih sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dan/atau dipilih sebagai anggota DPR, atau DPD, atau DPRD” justru akan membatasi makna kata “bebas” itu sendiri. Sebab, kata “bebas” dalam
14
Humas MK/Annisa Lestari
pasal tersebut bermakna umum dan tidak menunjuk arti tertentu. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU 12/1995 tidak dapat diberikan tafsir secara spesifik,” kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva membacakan Pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan Nomor 79/PUU-X/2012, (16/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah menilai dalil permohonan pengujian konstitusionalitas uji materi UU Pemasyarakatan dan UU Pemilu Legislatif, tidak beralasan menurut hukum. Tak hanya itu, dalil permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 58 huruf f UU Pemda juga dinyatakan ne bis in idem. Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Pemasyarakatan, serta Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif. Sedangkan mengenai permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 58 huruf f UU Pemda, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Permohonan uji materi UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) ini diajukan oleh Sudirman Hidayat dan H. Samsul Hadi Siswoyo. Sudirman Hidayat adalah mantan napi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Bandar Lampung. Ia dibebaskan pada 14 Februari 2009 setelah menjalani pidana penjara 4 tahun 3 bulan karena terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana “turut serta melakukan perbuatan membuat surat palsu atau memalsukan surat” berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor 182/ Pid.B/2006/PN.Kld tanggal4 September 2006. Sedangkan H. Samsul Hadi Siswoyo adalah mantan napi LP Jember. Ia menghirup udara bebas pada 14 Februari 2009 setelah selesai menjalani pidana penjara 6 tahun karena terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana “Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut” berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (Nomor 394 K/PID.SUS/2008, tanggal 9 April 2008, bukti P-91 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 528/ PID/2007/PT.SBY, tanggal 11 Desember 2007 dan Putusan Pengadilan Negari Jember Nomor 477/Pid.B/2007/PN.Jr, tanggal 20 September 2007). Sudirman dan Samsul berdalil, setelah menghirup udara bebas dari LP, semestinya bisa kembali menjalani hidup layaknya warga negara lain,
KONSTITUSI juni 2013
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan. Namun, menurut Sudirman dan Samsul, norma Pasal 3 UU Pemasyarakatan tidak sepenuhnya dapat berlaku. Keinginan dapat berperan kembali di masyarakat masih terhalang oleh ketentuan norma tersebut. Bahkan keduanya merasa mendapatkan hukuman tambahan melalui ketentuan perundang-undangan akibat adanya multitafsir para pembuat UU dalam mengartikan hak mantan napi. Hak Sudirman dan Samsul untuk melakukan segenap kegiatan sosial politik setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Pemasyarakatan, telah dihambat dengan berlakunya Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif. Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Pemasyarakatan pun seolah-olah menjadi pasal yang hilang daya berlakunya dikarenakan ketidakjelasan atau terlalu umum norma yang dianutnya, sehingga membutuhkan tafsir yang tegas guna dapat dioperasionalkan. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan tafsir Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Pemasyarakatan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menurut Sudirman dan Samsul, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bukan Kezhaliman Mahkamah lebih lanjut berpendapat, untuk menduduki jabatan kepala daerah/ wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD, disyaratkan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Persyaratan ini tertuang dalam Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif. Norma yang terkandung dalam pasal UU Pemda dan pasal-pasal UU Pemilu Legislatif tersebut ternyata telah beberapa kali dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh MK. Antara lain, Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007, tanggal 11 Desember 2007 dan Nomor 4/ PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009.
KONSTITUSI juni 2013
Menurut Mahkamah, membedakan kedudukan seseorang yang belum pernah dipidana dan seseorang yang pernah dijatuhi pidana, bukanlah tindakan kesewenang-wenangan (kezhaliman). MK dalam Putusan Nomor 4/PUUVII/ 2009, tanggal 24 Maret 2009, telah menentukan mantan napi dapat mengisi jabatan publik, yaitu lima tahun setelah mantan napi selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan, bahwa: (i) siklus pergantian jabatan publik khususnya melalui pemilihan dilaksanakan lima tahun sekali; (ii) memberikan kesempatan kepada mantan napi untuk kembali menjadi warga masyarakat yang baik; dan (iii) menunjukkan kepada masyarakat bahwa mantan narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya dan menjadi masyarakat yang baik. Selain itu, syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diatur dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif, adalah sama dan
sebangun dengan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Menindaklanjuti putusan ini, Pembentuk UU pun sigap melakukan perubahan ataupun perumusan norma sesuai dengan amar putusan MK. Perubahan dimaksud termuat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf g dan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif yang menyatakan, “Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.” “Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU 12/1995, Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU 8/2012 tidak beralasan menurut hukum dan norma pengujian Pasal 58 huruf f UU Pemda yang dimohonkan oleh para Pemohon pernah diputus oleh Mahkamah,” tandas Hamdan Zoelva. Lulu Anjarsari/Nur Rosihin Ana
Humas MK/Fitri Yuliana
Kuasa hukum Pemohon uji materi UU Pemasyarakatan, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemda, memaparkan perbaikan permohonan dalam persidangan, Selasa (11/9/2013) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
15
Ruang Sidang
Politik
Pemerintah, Bawaslu, dan DPR Sepakat Sifat Putusan DKPP Final dan Mengikat
Humas MK/Fitri Yuliana
Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek, menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang perkara Nomor 31/PUUXI/2013 ihwal uji materi UU Penyelenggara Pemilu, Selasa (7/5/2013), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
D
ewan Kehormatan Penye lenggara Pemilu (DKPP), merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga Dewan Kehormatan (DK). Ketentuan mengenai Dewan Kehormatan, termaktub dalam UU Penyelenggara Pemilu yang lama, yakni Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang menyatakan, “Dewan Kehormatan adalah alat kelengkapan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu yang dibentuk untuk menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.” Posisi DK waktu itu mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi pengawasan kode etik terhadap penyelenggaraan pemilu. Keputusan yang dikeluarkan oleh DK masih jauh dari rasa keadilan masyarakat, sebab, eksekusi terhadap putusan DK sulit dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk menjaga independensi dan netralitas penyelenggara pemilu serta peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu, Pemerintah sangat berkepentingan untuk membentuk DKPP yang independen, dan bukan
16
merupakan alat kelengkapan KPU dan Bawaslu. Ketentuan mengenai DKPP diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu). Kedudukan DKPP menjadi penting dan strategis dalam sistem demokrasi yang dibangun berdasarkan penghormatan terhadap hukum (the rule of law) dan etika (the rule of ethics) secara bersamaan. The rule of law bekerja berdasarkan court of law, sedangkan the rule of ethics bekerja berdasarkan court of ethics yang penegakannya mesti dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (court of ethics) untuk masalah etika. Demikian keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek, dalam persidangan di MK, Selasa (7/5/2013). Sidang perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 ihwal uji materi
UU Penyelenggara Pemilu ini diajukan oleh Ramdansyah. Materi yang diujikan Ramdan yaitu Pasal 28 ayat (3) dan (4), Pasal 100 ayat (4), Pasal 101 ayat (1), Pasal 112 ayat (9), (10), (12) dan (13), serta Pasal 113 ayat (2). Mantan Ketua Panwaslukada Provinsi DKI Jakarta ini diberhentikan oleh DKPP dari jabatannya pada 31 Oktober 2012 lalu. Ramdan merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Menurutnya, kedudukan DKPP dalam UU Penyelenggara Pemilu adalah sebagai lembaga pembinaan eksternal terhadap jajaran penyelenggara pemilu. Lembaga pembinaan eksternal tidak seharusnya diberikan kewenangan mengeluarkan putusan yang bersifat final. Pemerintah lebih lanjut dalam keterangannya menyatakan, DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, KPPSLN, Bawaslu, Bawaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/ kota, Panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan anggota pengawas pemilu luar negeri. Sedangkan keanggotaan DKPP berasal dari unsur KPU, Bawaslu, dan tokoh masyarakat. “Sehingga dalam memutuskan pelanggaran kode etik yang menyangkut penyelenggara pemilu, sudah terwakili dengan kehadiran anggota KPU dan anggota Bawaslu sebagai bagian dari anggota DKPP,” lanjut Reydonnyzar Moenek, yang akrab dipanggil Donny. Jamin Kepastian Hukum Putusan DKPP ditetapkan setelah terlebih dahulu diakukan penelitian dan verifikasi terhadap pengaduan. Kemudian DKPP mendengar pembelaan dan keterangan saksi-saksi serta memeriksa bukti-bukti. Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi, diambil dalam Rapat Pleno DKPP. Sanksi DKPP berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap yang putusannya KONSTITUSI juni 2013
bersifat final dan mengikat, dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. “Putusan DKPP tersebut tidak bersifat ultra petita karena merupakan kewenangan DKPP yang diberikan oleh undang-undang,” terang Donny. Sedangkan mengenai sifat putusan DKPP yang final dan mengikat menurut Pemerintah, adalah untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, untuk memberi peringatan kepada KPU dan Bawaslu agar lebih hati-hati dan dan netral dalam melaksanakan setiap tahapan pemilu.
Menanggapi permohonan Ramdansyah yang menyatakan Putusan DKPP seharusnya bersifat rekomendasi, menurut pemerintah, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat beberapa lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik, antara lain Komisi Yudisial, Majelis Kehormatan Hakim (MKH), Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Etik KPK, Badan Kehormatan DPR, Badan Kehormatan DPD. “Hasil pemeriksaan dari lembaga penegak kode etik tersebut bersifat final dan mengikat,
serta wajib dilaksanakan,” jelas Donny. Pemerintah memandang kerugian yang diderita Ramdansyah akibat diberhentian oleh DKPP, tidak beralasan menurut hukum, karena Ramdansyah adalah penyelenggara pemilu. “Putusan DKPP lebih merupakan permasalahan implementasi dari undang-undang, sehingga akhirnya Pemohon (Ramdansyah) diberhentikan,” dalil Donny. Pemerintah menegaskan, keberadaan DKPP tidak dalam rangka menegasikan fungsi pengawasan dan pembinaan yang
“Legal Policy” Sifat Final dan Mengikat Putusan DKPP
Anggota Komisi III DPR RI Yahdil Harahap.
P
utusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menjamin kepastian hukum dan kepastian waktu penyelesaian perkara, mengingat rangkaian tahapan pemilu memiliki sequence waktu tertentu yang pasti. Objek perkara yang ditangani DKPP adalah setiap perilaku penyelenggara pemilu. Hal ini untuk menjamin integritas dan imparsialitas setiap penyelenggara pemilu. “Oleh karenanya, dalam hal menjamin etika individu selaku penyelenggara pemilu, putusan yang bersifat final dan mengikat akan memberikan kepastian dan kenyamanan penyelenggaraan pemilu yang seyogianya bersih dari praktik-praktik kecurangan,” kata Anggota Komisi III DPR, Yahdil Harahap, saat menyampaikan keterangan DPR dalam sidang lanjutan uji materi UU Penyelenggara Pemilu di MK, Rabu (29/5).
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/GANIE
Putusan DKPP yang memberhentikan anggota Panwaslu suatu provinsi, wajib ditindaklanjuti Bawaslu Pusat dengan menerbitkan surat keputusan pemberhentian yang bersangkutan dari kedudukannya sebagai anggota Panwaslu. Keputusan Bawaslu ini hanya bersifat administratif karena pemberhentian tersebut berlaku sejak putusan DKPP dibacakan dalam Sidang Pleno DKPP yang diselenggarakan secara terbuka untuk umum. Demikian pula apabila yang diberhentikan oleh putusan DKPP adalah anggota KPU atau Bawaslu Pusat, maka surat pemberhentiannya secara administratif harus dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden, dan pemberhentian itu berlaku sejak putusan DKPP dibacakan atau diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum. “Mekanisme penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ini diatur
dengan harapan menjadi sistem dalam penegakan kode etik dan memperoleh kepastian hukum sebagai benteng terakhir bagi mereka pencari keadilan,” lanjut Yahdil. DPR juga berpendapat bahwa UU dapat memberikan kewenangan kepada lembaga mana pun, termasuk DKPP sebagai lembaga kuasi yudisial yang memiliki hak pengadilan secara internal. Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat bukan hanya menghukum orang dan organisasi, tetapi juga memperbaiki proses yang cacat (remedy the process), sebagaimana dilakukan oleh pengadilan kuasi yudisial pada umumnya. “Dalam Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, pembentuk undang-undang memberi kewenangan kepada DKPP sebagai lembaga kuasi yudisial, terutama bidang pelanggaran kode etik untuk membuat putusan yang bersifat final dan mengikat,” terang Yahdil menanggapi argumentasi Ramdansyah dalam posita permohonan yang menyatakan DKPP tidak tepat jika menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Hal tersebut, papar Yahdil, merupakan pilihan kebijakan hukum (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenangwenang dan melampaui kewenangan pembuat UU. “Dengan perkataan lain, kebijakan yang demikian menjadi kewenangan pembuat undang-undang, dalam hal ini Presiden bersama DPR,” dalil Yahdil.
17
Ruang Sidang
Politik
dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, Karena masing-masing lembaga mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda. KPU dan Bawaslu menangani hal-hal terkait penyelenggaraan pemilu. “Sedangkan hal yang ditangani DKPP adalah terkait pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu,” tandas Donny. Berwenang Berhentikan Panwas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) selaku Pihak Terkait dalam masalah ini menyatakan, Bawaslu memberhentikan Ramdansyah pada tanggal 16 November 2012, semata-mata untuk menjalankan putusan DKPP Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012. “Dengan demikian, Bawaslu menjalankan ketentuan Pasal 112 ayat (13) juncto ayat (10) juncto ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang menyatakan bawaslu wajib menjalankan keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” kata anggota Bawaslu Endang Wihdatiningtyas dalam persidangan MK, Selasa (7/5/2013). Endang pun memaparkan kronologi pengaduan terhadap Ramdansyah ke DKPP. Pada 10 Oktober 2011, M. Said Bachri mengadukan Ramdansyah ke DKPP karena dugaan melanggar kode etik penyelenggara pemilu terkait kasus iklan Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia. Singkat cerita, amar putusan DKPP RI Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012 tertanggal 31 Oktober 2012 menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Teradu selaku Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta atas nama Ramdansyah dari keanggotaan Panwaslu Provinsi DKI Jakarta terhitung sejak dibacakannya putusan. Selanjutnya, memerintahkan kepada Bawaslu untuk menindaklanjuti putusan DKPP ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 112 ayat (13) UU Penyelenggara Pemilu disebutkan bahwa KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/ kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, KPPSLN, Bawaslu, Bawaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota, panwaslu kecamatan, PPL, dan PPLN wajib melaksanakan putusan DKPP. Kemudian, berdasarkan Pasal 17 Peraturan Bawaslu Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu menyatakan bahwa penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik dikenai sanksi
18
berupa: teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap. DKPP mengirimkan Surat Nomor 170/DKPP/XI/2012 tertanggal 5 November 2012 kepada Ketua Bawalu perihal Putusan DKPP Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012. Isi surat pada intinya meminta agar Bawaslu melaksanakan Putusan DKPP Nomor 15/ DKPP-PKEI/2012. Menindaklanjuti Putusan DKPP, Bawaslu menggelar rapat pleno yang berujung pemberhentian Ramdansyah dari Anggota Panwaslukada Provinsi DKI Jakarta dengan Surat Keputusan Bawaslu Nomor 712-Kep Tahun 2012 tertanggal 16 November 2012 tentang Pemberhentian Anggota Panwaslu Provinsi DKI Jakarta dalam rangka Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta. “Bawaslu berwenang memberhentikan Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum, dalam hal yang bersangkutan terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu,” tandas Endang.
Sebatas Rekomendasi Ramdansyah saat ditemui Konstitusi usai persidangan, kembali menegaskan keberatan atas pemberhentiannya sebagai ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta. Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan rekomendasi dan bukan sebuah putusan yang sifatnya final dan mengikat sehingga menutup haknya untuk menempuh upaya hukum lanjutan. Ramdan menuding adanya kekeliruan dalam hukum karena DKPP bukanlah lembaga peradilan. Terlebih lagi saat DKPP mengeluarkan putusan yang final dan mengikat yang melebihi kewenangannya. Seharusnya DKPP sebatas mengeluarkan rekomendasi. “Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan rekomendasi dan bukan sebuah putusan final dan mengikat. Jelas saya sangat dirugikan dalam hal ini,” tegasnya mengakhiri sesi wawancara, Selasa (7/5/2013). Juliette/Nur Rosihin Ana
Saksi Pemohon: Putusan DKPP Berlebihan
R
amdansyah pada persidangan kali ini menghadirkan seorang saksi fakta, Denny H. Iskandar dan seorang ahli, Suparji. Keduanya sepakat agar seharusnya DKPP hanya dapat mengeluarkan putusan yang berupa rekomendasi. Deni, rekan Ramdan semasa menjadi aktivis yang juga merupakan mantan anggota tim kampanye pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama, mempertanyakan sikap DKPP yang dinilai terlalu berlebihan dalam mengeluarkan putusan pemecatan terhadap Ramdansyah. “Saat itu kami justru melaporkan Ketua KPUD DKI Jakarta, Dahlia Umar ke DKPP terkait carut marutnya DPT,
dan putusan DKPP hanya berupa peringatan keras namun mengapa pada Ramdansyah harus berupa pemecatan,” tukas Deni di hadapan Majelis Hakim. Menurutnya, sebagai lembaga penjaga integritas dan kode etik penyelenggara pemilu, DKPP hanya dapat mengeluarkan rekomendasi terkait pelanggaran etika, dan tidak patut mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat. “Ini merupakan tindakan yang tidak pantas terhadap penyelenggara pemilu yang telah melakukan tugasnya dengan baik,” ujar Deni mengakhiri keterangannya. Juliette/Nur Rosihin Ana
KONSTITUSI juni 2013
KPU Dinilai Lampaui Kewenangan Soal Verifikasi Syarat Keanggotaan Parpol Pemohon didampingi tim kuasa hukumnya dalam sidang pendahuluan perkara Nomor 45/ PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelenggara Pemilu, Selasa (14/5/ 2013) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
D
ilema melanda 12 anggota DPRD kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2009-2014. Di satu sisi, mereka ingin menjalankan aktivitas sebagai wakil rakyat hingga akhir periode. Di sisi lain, mereka ingin kembali mengabdi sebagai wakil rakyat pada Pemilu Legislatif 2014. Sedangkan parpol pengusung mereka pada Pemilu 2009 lalu, ternyata tidak lolos verifikasi sebagai parpol peserta Pemilu 2014 mendatang. Apabila mereka tetap bertahan sebagai anggota legislatif hingga akhir periode, mereka tidak bisa menjadi caleg karena partai mereka tidak lolos. Jika loncat ke partai lain untuk masuk dalam bursa caleg, maka konsekuensinya harus siap menanggalkan keanggotaan parpol lama sekaligus menanggalkan keanggotaan di lembaga legislatif. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) menyatakan, “Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila: (c) menjadi
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/GANIE
anggota Partai Politik lain.” Kemudian Pasal 16 ayat (3) UU Parpol menyatakan, “Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Selain itu, kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memverifikasi syarat formal keanggotaan partai politik bakal calon anggota legislatif (caleg) peserta Pemilu 2014, dinilai berlebihan karena mendeterminasi kewenangan partai politik (parpol). Kewenangan KPU tersebut berpotensi mengeliminasi hak-hak konstitusional 12 anggota DPRD kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 20092014. Ketentuan dimaksud termaktub dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c UU UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu) yang menyatakan, “Menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR
dan Pemerintah.” “Pada Tahun 2014 mendatang, akan diadakan pemilu legislatif, di mana seluruh Pemohon bermaksud untuk mengikutinya. Namun partai-partai politik pengusung Para Pemohon dalam pemilu Tahun 2009 ternyata tidak lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu Tahun 2014,” kata kuasa hukum para Pemohon, Marthens Manafe dalam persidangan di MK, Selasa (14/5/2013). Sidang perkara dengan Nomor 45/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelenggara Pemilu, serta Pasal 16 ayat (1) huruf c dan ayat (3) UU Parpol terhadap UUD 1945. Permohonan perkara dengan Nomor 45/PUU-XI/2013 ini diajukan oleh 12 anggota DPRD tingkat kabupaten di NTT. Mereka yaitu Sefriths E.D. Nau, Haeril, Abady, Uksam B. Selan, Syarifudin, Jusuf Dominggus Lado, Arifin L. Betty, Soleman Seu, Wa Ode Usnia, Christian Julius Pay, Andi Wadeng, dan H.M Tahir Arifin. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya ketentuan tersebut. Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah, para Pemohon berpotensi tidak dapat menyelesaikan masa baktinya sampai tahun 2014 sebagai anggota legislatif dikarenakan ingin maju sebagai caleg dari partai lain. Lampaui Demarkasi Kuasa hukum para Pemohon, Marthens Manafe, lebih lanjut mendalilkan, berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelenggara Pemilihan Umum, KPU kemudian menetapkan pedoman teknis,
19
Ruang Sidang
Politik
termasuk pedoman teknis pencalonan anggota legislatif yaitu Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013 menyatakan, “(1) Bukti keputusan pemberhentian bakal calon dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf i angka 1, angka 2, dan angka 4, harus disampaikan kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota paling lambat pada masa perbaikan DCS.” “Pasal 21 ayat (1) Pedoman Teknis tersebut menyebabkan para Pemohon berada pada situasi dan kondisi dilematis,” dalil Marthens. Situasi dan kondisi dilematis yang dimaksud Marthens yaitu, para Pemohon tetap melaksanakan masa baktinya sebagai anggota parpol yang tidak lolos verifikasi, atau menjadi anggota parpol lain yang lolos verifikasi agar bisa dicalonkan sebagai anggota DPRD dalam Pemilu Legislatif 2014. Dengan kata lain, tetap menjadi anggota parpol yang tidak lolos verifikasi dalam rangka menunaikan kewajiban konstitusional untuk menyelesaikan masa bakti sebagai wakil rakyat sampai 2014, dengan mengorbankan hak konstitusional untuk mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif 2014. “Atau memilih hak konstitusional tersebut dengan menjadi anggota partai yang lain yang lolos verifikasi dengan mengorbankan kewajiban konstitusionalnya,” terang Marthens. Dilema tersebut, jelas Marthens, bukan yang dihadapi para Pemohon semata. Tapi juga dihadapi oleh anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu Legislatif 2009 yang partai politiknya tidak lolos verifikasi namun masih berminat untuk mengabdi lebih lanjut sebagai anggota legislatif melalui Pemilu 2014. Menurut Marthens kewenangan KPU untuk menetapkan pedoman teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelenggara Pemilu, khususnya ketika dimaksudkan untuk melaksanakan lebih lanjut Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c dan ayat (3) UU Parpol, di satu sisi berpotensi melampaui demarkasi konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Adapun sisi lainnya yaitu menghalangi para Pemohon untuk
20
Humas MK/GANIE
Pemohon didampingi tim kuasa hukumnya menyampaikan perbaikan permohonan perkara Nomor 45/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelenggara Pemilu, dalam persidangan yang digelar pada Selasa (28/5/ 2013) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
memenuhi hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 22E, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon melalui kuasa hukum lainnya, Mabrur Ahmad, menyampaikan permohonan provisi, yakni, meminta MK menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada KPU, KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota se-Indonesia agar menunda pelaksanaan seluruh peraturan teknis penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, hingga keluarnya putusan MK dalam perkara ini. Selain itu, meminta MK mempercepat proses persidangan. “Yang mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan Pemohon, menetapkan acara cepat dalam menyidangkan perkara ini,” pinta Mabrur. Sedangkan dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang mereka ujikan. Mereka meminta Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelenggara Pemilu, bersifat konstitusional bersyarat, yaitu jika satu sisi tidak menghasilkan ketentuan/pedoman teknis yang bersifat ultra vires (melampaui kewenangan) dan di sisi lainnya menjamin terwujudnya cita hukum kepastian hukum yang adil dan bermanfaat sebagai political problem solving. Menyatakan
Pasal 16 ayat (1) huruf c UU Parpol bersifat konstitusional bersyarat, yaitu jika “perpindahan keanggotaan ke partai politik lain tersebut, berlangsung dari satu partai politik peserta Pemilu lainnya dalam periode Pemilu yang sama”. Kemudian, menyatakan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol bersifat konstitusional bersyarat, yaitu jika “pemberhentian sebagai anggota Lembaga Perwakilan Rakyat sebagai akibat perpindahan keanggotaan ke partai politik lain tersebut, berlagsung dari satu partai politik peserta Pemilu ke partai politik peserta Pemilu lainnya dalam periode Pemilu yang sama”. Selain itu, para Pemohon meminta agar dapat menyelesaikan pengabdian mereka sebagai wakil rakyat hingga akhir periode. Menurut mereka, menyelesaikan masa bakti sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat merupakan kewajiban konstitusional-spritiual setiap anggota. “Karena itu, tidak menyelesaikan masa bakti dimaksud, hanya dapat dibenarkan dan diabsahkan berdasarkan alasan-alasan konstitusional pula,” Jelas Mabrur. Nano Tresna Arfana/Nur Rosihin Ana
KONSTITUSI juni 2013
Ahli Pemohon: Ketentuan “Affirmative Action” dalam UU Pemilu Legislatif Kabur Para Pemohon ketentuan affirmative action dalam UU Pemilu Legislatif sedang menyimak keterangan ahli dalam persidangan perkara Nomor 20/PUU-XI/2013 yang digelar pada Kamis (23/5/2013).
Humas MK/GANIE
K
etentuan affirmative action dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) hanya mengaburkan dan mendestruksi pasal yang berada di dalam batang tubuh. Hal ini disampaikan oleh Irmanputra Sidin selaku Ahli Pemohon perkara Nomor 20/PUUXI/2013 pada Sidang yang digelar MK, Kamis (23/5). “Penjelasan tersebut mengaburkan bahkan mendestruksikan ketentuan yang ada dalam pasal di batang tubuh. Padahal penjelasan itu untuk menjelaskan norma dan tidak bisa dijadikan dasar hukum,” urai Irman di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar. Menurut Irman, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menimbulkan ketentuan hukum baru dari norma hukumnya. Dalam penjelasan tersebut, justru mempersempit dari tiga calon menjadi satu calon. Hal ini yang menyebabkan ketentuan tersebut memberikan ketidakpastian hukum. “Aturan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pileg mengaburkan ketentuan pada batang
KONSTITUSI juni 2013
tubuh dan tidak memberikan kepastian hukum yang sesungguhnya sudah diberikan dalam batang tubuh,” paparnya. Sebagaimana diketahui, Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menentukan bahwa di dalam daftar bakal calon yang disusun berdasarkan nomor urut, setiap orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya satu orang perempuan bakal calon. Sementara itu penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya”. Sementara itu, terkait Pasal 215 huruf b UU Pileg, Irman menjelaskan frasa “persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan” konstitusional sepanjang dimaknai keterwakilan perempuan didahulukan dibandingkan dengan jenis kelamin yang berbeda, kecuali dengan jenis kelamin yang sama. Pasal 215 b UU Pemilu Legislatif menyatakan: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta
Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut: ...b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan.” “Frasa ‘persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan’ adalah sebagai konsekuensi politik secara konstitusional jika dimaknai perempuan didahulukan dibanding jenis kelamin yang berbeda, kecuali jika berjenis kelamin yang sama. Hal ini akan memberikan jaminan hukum,” terangnya. Dalam pokok permohonannya, 31 Pemohon yang terdiri atas sembilan organisasi perempuan dan 22 perorangan mengujikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2), dan Pasal 215 UU Pemilu Legislatif. Pemohon mengungkapkan, ketentuan itu setidaknya bertentangan dengan pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1) dan (3); Pasal 28H ayat (2); serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, selain terdapat ketidakjelasan rumusan, juga telah melahirkan perlakuan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan, khususnya hak konstitusional Para Pemohon. Lulu Anjarsari/mh
21
Ruang Sidang
ekonomi
Pemerintah: Pemohon Tak Pahami UU Koperasi
I
mplementasi Undang-Undang Perkoperasian secara konsekuen dan konsisten akan menjadikan koperasi Indonesia semakin dipercaya, kuat, mandiri, dan tangguh, serta bermanfaat bagi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Koperasi dalam mewujudkan misinya senantiasa berusaha mengembangkan dan memberdayakan diri agar tumbuh menjadi kuat dan mandiri, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat. Di samping itu, koperasi berusaha berperan nyata mengembangkan dan memberdayakan tata ekonomi nasional yang berasaskan kekeluargaan dan demokrasi ekonomi dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Untuk mencapai hal tersebut, keseluruhan kegiatan koperasi harus diselenggarakan berdasarkan nilai yang terkandung dalam UUD 1945 serta nilai dan prinsip koperasi. Hal tersebut disampaikan Deputi I Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM RI, Setyo Heriyanto, saat menyampaikan opening statement Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (2/5/2013). Di hadapan Pleno Hakim Konstitusi yang dipimpin ketua MK M. Akil Mochtar. Setyo mengulas tentang definisi koperasi, gaji dan tunjangan untuk pengurus dan imbalan untuk pengawas koperasi, peluang anggota untuk memilih dan dipilih sebagai pengurus koperasi, skema modal koperasi, setoran pokok anggota, jual-beli Sertifikat Modal Koperasi (SMK), modal penyertaan, pembagian Surplus Hasil Usaha (SHU), dan defisit hasil usaha. Persidangan kali ketiga untuk perkara Nomor 28/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) ini beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah. Sedianya persidangan juga mendengarkan keterangan DPR, namun urung karena DPR berhalangan hadir.
22
Humas MK/GANIE
Deputi I Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM RI, Setyo Heriyanto, menyampaikan opening statemen Pemerintah dalam persidangan perkara Nomor 28/PUU-XI/2013 ihwal pengujian materi UU Perkoperasian, Kamis (2/5/2013) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian menyatakan, “Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.” Berdasarkan definisi tersebut, menurut Pemerintah, koperasi sebagai badan hukum, dapat didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum yang dilaksanakan sesuai dengan nilai yang mendasari kegiatan koperasi, yaitu kekeluargaan, menolong diri sendiri, bertanggung jawab, demokrasi persamaan, berkeadilan, dan kemandirian. Dengan demikian, anggapan para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1 menyebabkan koperasi bersifat individualisme, menurut Pemerintah, adalah anggapan yang tidak benar. “Karena koperasi dalam melaksanakan
usahanya mengutamakan kemakmuran anggota pada khsususnya dan masyarakat pada umumnya, bukan kemakmuran orang perseorangan,” kata Setyo. Oleh karena itu, terang Setyo, sangat tidak beralasan jika para Pemohon memersoalkan definisi koperasi dalam Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian. Definisi koperasi tersebut justru memberikan gambaran dan arah yang jelas mengenai tujuan, nilai dan prinsip yang melandasi pendirian koperasi Indonesia. Selanjutnya Setyo menanggapi pengujian Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU Perkoperasian yang berisi ketentuan penetapan gaji dan tunjangan untuk pengurus dan imbalan untuk pengawas. Menurut para Pemohon, ketentuan ini membelenggu hak para Pemohon untuk menjalankan koperasi. Le bih lanjut Setyo menyatakan, pengelolaan koperasi membutuhkan pengorbanan waktu para pengurus dan pengawas koperasi. Sebagai upaya meningkatkan pelayanan secara operasional kepada para
KONSTITUSI juni 2013
anggota koperasi, pengurus mendapatkan gaji dan tunjangan, sedangkan pengawas mendapatkan imbalan. Adapun besaran gaji dan tunjangan setiap pengurus dan imbalan kepada pengawas, ditetapkan dalam rapat anggota sesuai dengan Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (3) UU Perkoperasian. “Dengan demikian, menurut Pemerintah, ketentuan a quo adalah sejalan dengan amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,” terang Setyo. Peluang Lapang Jadi Pengurus Ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian menurut para Pemohon tidak memberi kesempatan pada setiap anggota untuk bisa memilih dan dipilih sebagai pengurus secara langsung dalam rapat anggota, namun harus melalui pintu pengusulan oleh pengawas. Menurut para Pemohon, ketentuan pasal-pasal dimaksud, bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut, Pemerintah menyatakan, pengawas adalah perangkat organisasi koperasi yang dipilih dari dan oleh anggota dalam rapat anggota. Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik anggota maupun nonanggota yang harus memenuhi persyaratan dalam UU Perkoperasian dan persyaratan khusus yang tercantum dalam anggaran dasar masing-masing koperasi. Kewenangan pengawas mengusulkan calon pengurus adalah untuk menjaring dan menyeleksi calon pengurus sebelum dipilih oleh anggota dan ditetapkan dalam rapat anggota (Pasal 50 UU Perkoperasian). Pengawas melaksanakan seleksi awal calon pengurus, yaitu melalui tahap penjaringan calon secara terbuka, baik dari anggota maupun dari nonanggota untuk selanjutnya dilakukan seleksi. Setelah diperoleh calon yang memenuhi syarat, pengawas mengusulkan calon tersebut kepada rapat anggota. Putusan final mengenai pengangkatan pengurus sepenuhnya berdasarkan rapat anggota (Pasal 33 huruf c UU Perkoperasian). Oleh karena itu, tambah Setyo, tidak tepat jika para Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut menghambat peluang setiap anggota koperasi untuk menjadi pengurus koperasi. “Ketentuan a quo hanya mengatur
KONSTITUSI juni 2013
mekanisme pemilihan pengurus melalui pengawas, sehingga sepanjang anggota tersebut memenuhi semua persyaratan, maka setiap anggota berhak memilih dan dipilih sebagai pengurus,” bantah Setyo. Setyo menambahkan, pengurus koperasi ada yang seluruhnya berasal dari anggota. Ada pula pengurus koperasi yang sebagian atau seluruhnya berasal dari nonanggota. Sedangkan pengangkatan pengurus melalui mekanisme pemilihan dalam rapat anggota. Modal Stabil Pemerintah juga menepis dalil para Pemohon ihwal skema modal koperasi. Menurut para Pemohon, skema modal koperasi yang terdiri dari setoran pokok dan Sertifikat Modal Koperasi (SMK) sebagai modal awal, sebagaimana ketentuan Pasal 66 UU Perkoperasian, adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang merupakan ciri utama usaha bersama. Pemerintah menyatakan, nomenklatur dan struktur permodalan koperasi dalam UU Perkoperasian ini merupakan penyempurnaan terhadap UU Perkoperasian sebelumnya yang memiliki kelemahan utama, yaitu tidak stabilnya
modal koperasi. Modal koperasi dalam UU Perkoperasian terkini, mengatur pilihan-pilihan mengenai sumber modal yang lebih stabil dan dinamis, baik modal yang bersumber dari anggota, maupun dari luar koperasi. Dengan modal koperasi yang lebih stabil dan dinamis tersebut, akan mendorong kekuatan modal koperasi sehingga menopang kebutuhan pengembangan usaha koperasi. Mengenai setoran pokok anggota yang tidak dapat diambil kembali sebagaimana diatur Pasal 67 ayat (1) UU Perkoperasian, menurut Pemerintah, setoran pokok adalah syarat menjadi anggota koperasi. Dengan setoran tersebut, anggota koperasi memperoleh pelayanan koperasi, surplus hasil usaha, dan manfaat lainnya. Uang setoran pokok anggota telah berubah menjadi modal atau kekayaan koperasi, bukan lagi sebagai harta pribadi anggota. Oleh karena itu, tidak ada pengambilalihan harta atau kekayaan pribadi oleh anggota koperasi. “Sebab anggota koperasi sudah memperoleh servis dan kemanfaatan lainnya dari koperasi, sehingga setoran pokok tidak dapat diambil kembali,” dalil Setyo.
23
Ruang Sidang
ekonomi
SMK Bukan Penentu Mengenai jual-beli SMK, Pemerintah menegaskan, penerbitan dan penjualan SMK hanya kepada anggota koperasi. Sedangkan kepada nonanggota, diberikan instrumen modal tersendiri seperti modal penyertaan. Modal koperasi yang berasal dari SMK juga tidak menjadi penentu hak suara dalam rapat anggota. Berapa pun kepemilikan SMK oleh anggota, tidak mempengaruhi suara dalam rapat anggota. Hal ini berbeda dengan konsep saham dalam UU Perseroan Terbatas, di mana jumlah kepemilikan saham menjadi penentu hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan mengenai pemindahan kepemilikan SMK kepada anggota lainnya, Pemerintah menyatakan pemindahan SMK berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) UU Perkoperasian merupakan perbuatan perdata yang lumrah dilakukan. Selain itu, pemindahan sertifikat modal koperasi dimaksudkan agar tidak menyebabkan berkurangnya modal koperasi yang berasal dari anggota. Pemindahannya tetap mengacu dan bersesuaian dengan asas kekeluargaan dan prinsip dari anggota, oleh anggota, untuk anggota, serta prinsip satu anggota memiliki satu hak suara. Pengaturan pemindahan sertifikat modal koperasi yang dimiliki oleh anggota koperasi justru telah sejalan dengan prinsip perlindungan terhadap hak milik pribadi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
24
Adapun ihwal modal penyertaan dari nonanggota dalam ketentuan Pasal 75 UU Perkoperasian, Pemerintah menjelaskan, modal pernyertaan merupakan instrumen modal untuk mengembangkan usaha yang berbasis pada potensi dan kelayakan. Penempatan modal penyertaan dilakukan dengan perjanjian antara koperasi sebagai penerima modal penyertaan, dan pihak pemodal yang tidak memiliki hak suara dalam rapat anggota. “Dengan demikian, anggapan Pemohon bahwa modal penyertaan dapat menyebabkan intervensi pihak luar atau nonanggota kepada koperasi dan membuka praktik adanya money laundry, adalah tidak tepat dan tidak berdasar,” papar Setyo. Ketentuan Pasal 78 ayat (2) UU Perkoperasian berisi larangan membagikan kepada anggota Surplus Hasil Usaha (SHU) yang berasal dari transaksi dengan nonanggota. Hal ini menurut para Pemohon telah menyimpangi asas kekeluargaan. Sementara menurut Pemerintah, SHU dari transaksi nonanggota yang tidak dibagikan kepada anggota, tidak akan hilang dari kekayaan koperasi. SHU yang berasal dari transaksi dengan nonanggota, tetap menjadi milik koperasi dan secara tidak langsung menjadi milik para anggota. Saat koperasi simpan pinjam mengalami defisit hasil usaha, anggota wajib menyetor tambahan SMK. Begitulah ketentuan Pasal 80 UU Perkoperasian yang menurut para Pemohon telah menyimpangi hakikat badan hukum.
Menurut Pemerintah, rasio kecukupan modal merupakan indikator penilaian kesehatan koperasi simpan pinjam. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan anggota dan pihak luar terhadap koperasi simpan pinjam sebagai wujud pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudent). “Dengan demikian bila terjadi defisit hasil usaha, maka anggota sebagai pemilik berkewajiban mengatasi defisit tersebut, yakni menyetor tambahan sertifikat modal koperasi (SMK),” terang Setyo. Pemerintah menilai para Pemohon tidak memahami UU Perkoperasian secara komprehensif dan lebih jeli. Akibatnya, dalil-dali permohonan tidak relevan dengan konstitusionalitas materi UU Perkoperasian yang diujikan. Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada MK agar menolak seluruh permohonan. “Menyatakan para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima,” pinta Setyo Heriyanto mengakhiri keterangan Pemerintah. Sidang berikutnya akan digelar pada 4 Juni 2013 dengan agenda mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan para Pemohon. Aan Eko Widiarto selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan pihaknya akan menghadirkan 14 ahli dan 6 saksi untuk memberikan keterangan di persidangan MK. Lulu Anjarsari/Nur Rosihin Ana
●
Perkara Nomor 28/PUU-XI/2013
Pemohon
Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono.
Objek Permohonan
Pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian terhadap UUD 1945.
KONSTITUSI juni 2013
Anggota DPRD Sidoarjo Nilai Anggota DPR RI Tak Layak Terima Dana Pensiun
A
nggota DPR RI yang menjabat selama lima tahun mendapatkan dana pensiun. Bahkan anggota DPR RI yang hanya sebentar menjabat karena meninggal dunia, juga berhak mendapatkan pensiun. Ketentuan mengenai dana pensiun anggota DPR RI ini lahir di masa pemerintahan Orde Baru. Tujuan ketentuan ini adalah untuk “meninabobokan” anggota DPR RI agar mendukung setiap langkah kebijakan pemerintah. “Undang-undang ini adalah produk dari Orde Baru, di mana dia diundangkan pada tahun 1980. Kami memandang undang-undang ini lebih bertujuan meninabobokan Anggota DPR RI supaya mereka tidak bisa kritis terhadap eksekutif,” kata Muhammad Sholeh, kuasa hukum Pemohon, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 41/PUU-XI/2013 di MK, Kamis (2/5). Persidangan pengujian Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara terhadap UUD 1945, ini dimohonkan oleh I Wayan Dendra. Wayan adalah anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, periode 2009-2014. Pasal 12 ayat (2) UU Hak Keuangan menyatakan, “Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan pula kepada Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bukan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang berhenti dengan hormat dari jabatannya.” Menurut Sholeh, anggota DPR RI tidak selayaknya mendapatkan dana pensiun, karena hanya bekerja maksimal lima tahun. Berbeda halnya dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja puluhan tahun, sehingga PNS layak mendapatkan dana pensiun.
KONSTITUSI juni 2013
Pemohon Prinsipal I Wayan Dendra didampingi kuasa hukumnya, Muhammad Sholeh, memaparkan pokok-pokok permohonan di ruang Sidang Panel Gedung MK, Kamis (2/5/2013).
Dana pensiun bagi anggota DPR RI dalam ketentuan UU tersebut, menurut Sholeh, bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tentang APBN yang dimaksudkan untuk kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya, Pasal 12 sampai 21 UU Hak Keuangan justru mengamanatkan penghamburan APBN untuk dana pensiun anggota DPR RI. Ketentuan dalam UU ini juga tidak mengakomodasi alokasi dana pensiun untuk anggota DPD. Padahal, dalam Pasal 2 UUD 1945 disebutkan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu. “Anggota DPD adalah produk reformasi, di mana belum diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 1980, maka dia tidak termasuk di situ,” lanjut Sholeh. UU Hak Keuangan mengatur tunjangan-tunjangan anggota dan Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (DPR/ MPR). Padahal hal tersebut juga diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Dengan demikian maka UU Hak Keuangan sudah tidak relevan mengatur tentang hak protokoler DPR/MPR, sebab kebutuhan gaji plus
Humas MK/GANIE
tunjungan sudah diatur dalam UU MD3 tersendiri. Hak antara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah sama secara politik, sebagaimana diatur dalam UU MD3. “Tidak ada privilege, tidak ada kekhususan, tidak ada keistimewaan terhadap anggota DPR dibanding anggota legislatif yang lain, mulai persyaratan misalkan, proses pemilihan, proses pelantikan, tugas, dan kewenangannya pun sama,” terang Sholeh. Tugas DPRD Lebih Berat Bahkan jika mau jujur, dalil Sholeh, tugas anggota DPRD kabupaten/kota jauh lebih berat dibandingkan anggota DPR RI. Sebab, anggota DPRD kabupaten/ kota setiap harinya berhadapan dengan konstituen. Anggota DPRD Kabupaten/ Kota tidak mengenal istilah reses ketika ada penyampaian aspirasi dari masyarakat. Sebaliknya, anggota DPR RI berhadapan dengan konstituen pada saat reses. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika anggota anggota DPRD provinsi dan DPRD
25
Ruang Sidang
ekonomi
kabupaten/kota juga mendapatkan dana pensiun, seperti halnya anggota DPR RI. Namun, diajukannya permohonan ke MK ini, Pemohon yang notabene anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, tidak bermaksud ingin mendapatkan hak pensiun. Sebaliknya, Pemohon ingin mengembalikan DPR kepada tugas dan wewenangnya. “Bukan semata-mata (untuk) mendapatkan dana pensiun itu,” tegas Sholeh. Oleh karena itu, Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak berkekuatan hukum mengikat.
26
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim, Muhammad Alim menyatakan secara umum permohonan pemohon sudah baik. Namun, Alim meminta Pemohon menjelaskan hubungan pasal yang diajukan untuk diuji dengan pasal yang dijadikan batu uji dalam UUD 1945, terutama kaitannya dengan pemberian pensiun. Alim juga mengingatkan Pemohon untuk memberikan argumentasi terhadap kenyataan bahwa ada perbedaan golongan seperti juga yang terjadi pada anggota DPR dengan DPRD. ”Jadi bagaimana Saudara mengelaborasi itu bahwa itu yang berbeda harus diperlakukan berbeda juga dan yang sama harus diperlakukan sama,” saran Alim. Hakim Anggota Panel Arief Hidayat meminta Pemohon menguraikan dengan tegas kedudukan Pemohon. Sedangkan Hakim Anggota Panel, Ahmad Fadlil Sumadi meminta Pemohon untuk menambahkan argumentasi konstitusional.
Menanggapi nasihat hakim, I Wayan Dendra melalui kuasa hukumnya, Muhammad Sholeh, dalam persidangan kedua, Selasa (21/5) siang, di Ruang Sidang Panel MK, menyatakan telah melakukan perbaikan permohonan. Jika sebelumnya Pemohon menggunakan Pasal 2 dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji, dalam perbaikan permohonan, diganti dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Sholeh juga mempertajam pokok permohonan, khususnya terkait hubungan antara beberapa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dengan pokok permohonan Pemohon. “Kami memandang, UndangUndang 12 Tahun 1980 yang mengatur tentang hak dana pensiun anggota DPR sudah kehilangan legitimasi karena Ketetapan MPR-nya tidak berlaku,” tegasnya. Yusti Nurul Agustin/Dodi/Nur Rosihin Ana
KONSTITUSI juni 2013
Pemerintah: RUU UP Amanatkan Usaha Bersama Menjadi Perseroan Terbatas Sekretaris Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Mulabasa Hutabarat, menyampaikan keterangan Pemerintah dalam pengujian UU Usaha Perasuransian di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, (21/5/2013).
P
emerintah dan DPR saat ini sedang membahas Rancangan UndangUndang Usaha Perasuransian (RUU UP). Dalam RUU UP tersebut tidak mencantumkan badan berbentuk usaha bersama (mutual) sebagai badan yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha perasuransian. Ketentuan peralihan dalam RUU UP tersebut mengamanatkan perubahan bentuk badan usaha AJB Bumiputera menjadi perusahaan terbatas dalam jangka waktu yang akan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “RUU UP ini termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2013, sehingga apabila disahkan, RUU UP ini akan menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992.” Demikian keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Sekretaris Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Mulabasa Hutabarat, dalam sidang
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/GANIE
pengujian materi UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian) di MK, Selasa (21/5/2013). Sidang perkara yang diregistrasi dengan Nomor 32/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh Jaka Irwanta, Siti Rohmah, Freddy Gurning, dan Yana Permadiana. Materi yang diujikan yaitu Pasal 7 ayat (3) UU Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan UndangUndang.” Menurut para pemohon, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Produk Janji Mulabasa menjelaskan, usaha asuransi memiliki karakteristik unik, karena produk yang ditawarkan adalah janji. Perusahaan asuransi
akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung, apabila peristiwa yang dijanjikan terjadi. Perusahaan asuransi menghadapi risiko yang dapat mengakibatkan gagal memenuhi janjinya kepada pemegang polis. Menurut Mulabasa, hal ini terjadi akibat kegagalan pengelolaan aset, ketidakseimbangan antara proyeksi arus aset dan liability, ketidakseimbangan antara nilai aset dan liability dalam setiap jenis mata uang, perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan, ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh, dan terakhir, ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim. Oleh karena itu, regulator perlu memastikan bahwa perusahaan asuransi memiliki sumber keuangan yang cukup agar dapat memenuhi janji kepada pemegang polis. “Perusahaan asuransi harus memiliki modal atau capital sendiri untuk mendukung janji mereka,” dalil Mulabasa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan PP Nomor 81 Tahun 2008, untuk pendirian perusahaan asuransi baru, wajib memiliki modal disetor sekurangkurangnya sebesar Rp 100 miliar. Mulabasa memperkirakan perusahaan asuransi baru tidak akan mampu memenuhi modal disetor sebesar itu. “Dapat diperkirakan tidak akan ada lagi perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang baru karena ketidakmampuan bentuk hukum usaha
27
Ruang Sidang
ekonomi
bersama memenuhi persyaratan modal disetor tersebut,” terang Mulabasa. Kelemahan Usaha Bersama Badan hukum usaha bersama memiliki kelemahan dibandingkan Perseroan Terbatas. Usaha bersama tidak memiliki akses terhadap modal dan sulit melakukan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akuisisi) usaha bersama lainnya, karena usaha bersama tidak dapat menerbitkan saham. Kelemahan pada titik ini mengakibatkan kepentingan pemegang polis tidak dapat terlindungi dengan baik. Apabila terjadi permasalahan keuangan pada perusahaan asuransi yang berbentuk usaha bersama, maka sangat sulit bagi perusahaan tersebut untuk memperbaiki kondisi keuangannya karena tidak adanya kemungkinan bagi perusahaan mendapatkan modal tambahan. “Apabila terjadi kegagalan pada perusahaan asuransi yang berbentuk hukum usaha bersama, maka hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada industri asuransi pada khususnya dan industri keuangan pada umumnya,” jelas Mulabasa. Keunggulan Perseroan Terbatas Perusahaan asuransi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) memiliki sejumlah keunggulan, antara lain, kelangsungan perusahaan lebih terjamin
karena tidak tergantung pada pemilik tertentu. Keunggulan lainnya, perusahaan dapat diperbesar karena adanya tambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Selain itu, Perusahaan asuransi berbentuk PT dapat melakukan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akuisisi) dengan PT lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, regulator berpandangan bahwa bentuk usaha bersama tidak cocok dengan karakteristik usaha asuransi yang selalu menghadapi risiko dan pada suatu waktu membutuhkan tambahan modal. Selain itu, dunia industri asuransi pun menunjukkan bahwa perusahaan asuransi yang berbentuk usaha bersama jumlahnya semakin sedikit. “Berdasarkan data, saat ini telah banyak perusahaan asuransi yang berhasil melakuan demutualisasi, yaitu perubahan bentuk badan hukum perusahaan asuransi dari sebuah usaha bersama yang dimiliki oleh pemegang polis menjadi bentuk perseroran terbatas,” tambah Mulabasa. Mulabasa pun menunjukkan data sejumlah perusahaan asuransi di beberapa negara yang melakukan demutualisasi dan berubah menjadi PT. Misalnya Daiichi Mutual Life Insurance Company, perusahaan asuransi jiwa tertua di Jepang. Perusahaan yang didirikan tahun 1902 ini memiliki sejumlah 8.200.000 pemegang polis. Pada 2010 Dai-ichi melakukan demutualisasi dan berubah menjadi
perseroan terbatas yang terdaftar di Tokyo Stock Exchange. “Saat ini, perusahaan tersebut menjadi perusahaan asuransi jiwa terbesar ketiga di Jepang,” kata Mulabasa menyontohkan. Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pemerintah, anggapan para Pe mohon bahwa usaha bersama (mutual) tidak mungkin menjadi perusahaan terbatas, adalah tidak benar dan tidak terbukti. “Proses demutualisasi pada dasarnya tidak mengurangi manfaat atau benefit yang telah diperjanjikan di dalam polis sehingga tidak merugikan kepentingan pemegang polis,” tegas Mulabasa. Untuk diketahui, Majalah “Konstitusi” edisi Mei 2013 lalu menurunkan berita berjudul “Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 Minta Usaha Bersama Perasuransian Segera Diundangkan”. Masa 21 tahun telah berlalu, namun usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama tak jua diatur dalam UU. Hal ini menurut Zairin mengakibatkan para Pemohon kesulitan untuk mengikuti tender pengadaan barang dan jasa. Sebab, untuk mengikuti tender tersebut, diperlukan status berbadan hukum. “Sementara untuk asuransi ini, sampai sekarang itu undang-undangnya belum ada,” dalil Zairin. Selain itu, Zairin mengatakan pasal tersebut menimbulkan diskriminasi kepada para pemohon sebagai pemegang polis pada badan hukum usaha bersama. Sebab, badan usaha lain sudah memiliki UU khusus yang mengatur kegiatan terkait usaha pada badan hukum dimaksud. Misalnya untuk perseroan terbatas (PT) telah diterbitkan UU Nomor 1 Tahun 1995 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian untuk koperasi, telah diterbitkan UU Nomor 25 Tahun 1992 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. “Sementara itu, untuk usaha perasuransian, sebagaimana yang dijanjikan oleh ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tersebut, sampai saat sekarang tidak kunjung ada,” kata Zairin Harahap, kuasa hukum para Pemohon, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Rabu (3/4). Yusti Nurul Agustin/Nur Rosihin Ana
28
KONSTITUSI juni 2013
Ahli Pemerintah: “Fitness Center”, Lahan Bisnis Menggiurkan Sidang pleno pengujian UU PDRD dengan agenda mendengar keterangan ahli dan saksi, Selasa (28/5/2013) di ruang Sidang Pleno Gedung MK.
P
usat kebugaran (fitness center) dilihat dari prasarana dan sarana olahraga yang tersedia, sebagaian besar untuk kebugaran, bukan untuk prestasi. Mayoritas pengguna jasa pusat kebugaran tidak semata-mata untuk kebugaran, tetapi juga untuk rekreasi. Maka tak heran jika pusat kebugaran di samping menyediakan sarana kebugaran, juga menyediakan sarana lain, misalnya karaoke, mini kafe, sauna, internet, dan lain-lain. Trik ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana rekreasi sekaligus untuk menarik minat para konsumen. Gejala yang cukup menarik belakang ini, pusat kebugaran dikelola secara bisnis. Tumbuh suburnya pusat kebugaran di kawasan bisnis di berbagai kota, meyakinkan Pemerintah bahwa pusat kebugaran merupakan lahan bisnis yang cukup menggiurkan. Jika pusat kebugaran dibebaskan dari pajak hiburan, bisnis usaha ini akan terus berkembang menjadi lahan bisnis bebas pajak yang berlindung di balik tameng pembinaan olahraga. “Sangat mungkin menjadi objek bisnis bebas pajak, sekaligus lahan bisnis bebas pajak berlindung di balik tameng pembinaan olahraga.”
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/Annisa Lestari
Zen Zanibar menyatakan hal tersebut di hadapan sembilah Hakim MK yang diketuai M. Akil Mochtar, Selasa (28/5/2013) di Ruang Pleno Gedung MK. Zen Zanibar merupakan ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam persidangan perkara Nomor 30/PUUXI/2013 ihwal pengujian Pasal 42 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) terhadap UUD 1945. Mengenai Golf, lanjut Zen, jelas berbeda dengan pusat kebugaran karena golf merupakan cabang olah raga untuk mengejar prestasi. Sedangkan pusat kebugaran bukan untuk olahraga prestasi. “Dengan demikian, tidak terdapat perlakuan berbeda antara penyedia fasilitas golf dengan pebisnis pusat kebugaran,” dalil Zen. UU PDRD, terang Zen, dibentuk dan diberlakukan dalam rangka otonomi daerah sebagaimana diatur Pasal 18 UUD 1945. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, pengaturan oleh daerah sangat beragam. Ada daerah yang menetapkan pusat kebugaran dikenakan pajak dan pula yang menetapkan sebaliknya. Prinsip desentralisasi dan otonomi
daerah dalam konstruksi NKRI harus dilihat secara utuh. Sepanjang otoritas daerah sudah terdelegasikan dalam UUD 1945, maka pemerintah pusat hanya membuat regulasi sebagai pedoman. Sedangkan otoritas daerah, pengaturan lebih lanjut menjadi wewenang daerah. “Dalam arti, pusat tidak boleh lagi ikut campur,” papar Zen. Dengan demikian, persoalan kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon, harus dilihat dari sisi kebijakan daerah masing-masing. Jika para Pemohon merasa dirugikan oleh kebijakan daerah melalui peraturan daerah (perda) atau terdapat pertentangan antara perda dengan UU PDRD, maka para Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Zen menjelaskan, UU PDRD menjadi pedoman bagi daerah untuk menetapkan pajak daerah. Pengaturan lebih lanjut mengenai pajak daerah, menjadi wewenang daerah. Daerahlah yang mempertimbangkan untuk menentukan apakah kondisi lapangan mengharuskan daerah menetapkan pajak terhadap pusat kebugaran. Dengan demikian, ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf i UU PDRD tidak serta merta membebankan pajak bagi pelaku dan pengguna pusat kebugaran, karena masih memerlukan pertimbangan tersendiri oleh daerah. Pemerintah berkewajiban men dorong masyarakat berolahraga agar sehat dan membina olahraga untuk berprestasi. Terhadap olahraga untuk kepentingan prestasi, Pemerintah telah menyediakan fasilitasnya bahkan secara khusus dibentuk Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sementara olahraga untuk kesehatan, tergantung pada kemampuan
29
Ruang Sidang
ekonomi
fisik dan minat masing-masing individu, sehingga memerlukan sarana berstandar yang berbeda-beda jenis dan kualitasnya. Untuk olahraga yang berstandar umum, Pemerintah menyediakan bermacammacam fasilitas berupa lapangan olahraga, taman-taman untuk olahraga. Sedangkan olahraga standar khusus untuk kemampuan fisik dan minat masing-masing orang, maka diperlukan alat-alat khusus yang memiliki nilai ekonomi tertentu yang belakangan ini dilirik oleh pengusaha sebagai lahan bisnis yang cukup menggiurkan. ”Yang terakhir ini secara juridis cukup beralasan bagi Pemerintah untuk menetapkan sebagai objek pajak. Hanya saja sekali lagi, terserah kepala daerah untuk mempertimbangkan,” tandas Zen mengakhiri paparannya. Legalitas Formal-Konstitusional Pemerintah pada persidangan kali ini juga menghadirkan Gunadi sebagai Ahli. Gunadi memaparkan, sumber hukum pajak meliputi peraturan perundangundangan, kebiasaan praktik perpajakan, traktat pajak, yurisprudensi, dan doktrin perpajakan. Objek pajak merupakan unsur penting dalam hukum pajak materiil dan merupakan conditio sine qua non pungutan pajak karena pajak hanya dapat dipungut jika terdapat objek atau sasaran pengenaan pajaknya. Objek pajak adalah sesuatu, termasuk keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang dengan UU dapat dikenakan pajak. Kata “dapat dikenakan pajak” bermakna bahwa suatu objek boleh dikenakan atau tidak dikenakan pajak. UU PDRD dibentuk berdasarkan UUD 1945 oleh lembaga legislatif, sehingga telah memenuhi asas legalitas formal dan konstitusional. Oleh karena itu, menurut Gunadi, UU PDRD sah secara hukum dan prosedural, mempunyai daya laku, serta mengikat. Ketentuan Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 UU PDRD telah memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum secara adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemungutan pajak atas dasar penyelenggaraan pusat kebugaran yang dipungut bayaran berdasarkan Pasal Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 UU PDRD, menurut Gunadi, adalah justru dilaksanakan dalam rangka merealisasi
30
tugas Pemerintah untuk mewujudkan kondisi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. “Sebagai bagian dari hukum pajak, Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga memegang teguh prinsip equalitas, netralitas, dan non diskriminasi,” tegas Gunadi. Untuk diketahui, permohonan uji materi UU PDRD ini diajukan oleh tiga pengusaha dan para pengguna fitness center. Ketiga pengusaha dimaksud yaitu, PT. Exertainment Indonesia, PT. Fitindo Sehat Sempurna, dan PT. Adhia Relaksindo. Sedangkan para pengguna yang masuk dalam jajaran pemohon yaitu, Aero Sutan Aswar, Antonius Ferry Rinaldo, Wahyu Widayat Jati, Ramses Sundjojo, Grant Wiryadinata, Fransisca Kallista Arnan, Debby Astari Haryani, dan Dwi Schofiska Pascali N. Para Pemohon mengujikan frasa “pusat kebugaran” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD. Selengkapnya Pasal 42
ayat (2) huruf i UU PDRD menegaskan, “(1) Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran; (2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: ... i. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center),..” Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD mengategorikan usaha dalam industri olahraga yang dilakukan di pusat kebugaran sebagai hiburan. Hal ini menempatkan olahraga yang dilakukan di pusat kebugaran seolah-olah berbeda dengan olahraga yang dilakukan di luar pusat kebugaran. Akibatnya, terjadi pembebanan pajak yang berbeda antara pengusaha pusat kebugaran dengan para pengusaha lainnya yang juga bergerak di bidang penyediaan jasa prasarana dan sarana olahraga. Menurut para Pemohon, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Yusti Nurul Agustin/Nur Rosihin Ana)
meritzhotel.com
KONSTITUSI juni 2013
Dian Puji N. Simatupang:
Inkonsistensi Pengaturan Objek Pajak
P
enetapan pusat kebugaran (fitness center) sebagai objek pajak hiburan, menunjukkan adanya inkonsistensi peng aturan objek pajak dalam UU PDRD, khususnya pada pajak hiburan. Penetapan fitness center sebagai objek pajak hiburan, telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakmanfaatan dalam pengenaan pajak daerah, khususnya pajak hiburan. Karakter politik hukum dalam UU PDRD hanya digunakan untuk memperluas kemampuan pemungutan pajak daerah, khususnya pajak hiburan. Padahal, UU PDRD harusnya menjadi instrumen penting bagi kebijakan ekonomi daerah. “Seharusnya pajak daerah menjadi orientasi bagi keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat daerah. Seharusnya pajak daerah dapat
digunakan untuk menstimulasi aktivitas masyarakat, misalnya aktivitas olahraga sehingga aktivitas masyarakat tersebut dapat mendukung ekonomi dan sosial tertentu sesuai dengan prioritas pembangunan,” kata Dian Puji N. Simatupang saat bertindak sebagai ahli yang dihadirkan para Pemohon dalam persidangan di MK, Selasa (28/5/2013). Dosen di Fakultas Hukum UI ini juga menyatakan, Pajak daerah sebaiknya dikenakan pada objek yang sifatnya langsung menimbulkan hiburan, bukan pada objek yang sifatnya tidak langsung atau bahkan pada sifat yang tidak ada keterkaitan dengan kriteria hiburan. Dian Puji melihat pengenaan pajak hiburan pada fitness center justru mengurangi manfaat masyarakat untuk berolahraga sebagai aktivitas sosial yang dapat mendorong aktivitas ekonomi
Humas MK/GANIE
sosial. Pengenaan pajak hiburan pada fitness center juga dinilai oleh Dian Puji telah menimbulkan ketidakadilan kepada kelompok tertentu untuk beraktivitas olah raga dengan sarana yang lebih baik.
Iskandar Zulkarnain:
Kebugaran Perbaiki Kesehatan
O
lahraga adalah salah satu cara untuk memperbaiki metabolisme tubuh sehingga tubuh menjadi lebih sehat dan bugar secara fisik dan spiritual. “Manfaat kebugaran adalah untuk memperbaiki kesehatan secara keseluruhan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan kapasitas intelektual, menangani stress, menghilangkan depresi, dan memperbaiki pola tidur pada malam hari,” kata Iskandar Zurkarnain selaku ahli Pemohon, dalam persidangan MK, Selasa (28/5/2013). Dengan nilai plus itu, saat ini semakin banyak masyarakat yang
KONSTITUSI juni 2013
mencari fasilitas kebugaran yang menyediakan tempat, peralatan, dan instruktur yang kompeten, salah satunya fitness center. Selain menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan berolahraga untuk mencapai kebugaran, fitness center dibutuhkan masyarakat karena memiliki pengembangan program kebugaran yang lebih terarah sesuai kebutuhan masyarakat. Karena ada programprogram yang disediakan fitness center itulah yang membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan akan kesehatannya yang difasilitasi secara professional oleh fitness center,” tukas Iskandar.
Humas MK/GANIE
Yusti Nurul Agustin/Nur Rosihin Ana
31
Ruang Sidang
hukum
Pemerintah dan DPR: Peninjauan Kembali Satu Kali Jamin Kepastian Hukum Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani berjalan menuju ke mimbar untuk menyampaikan keterangan DPR, Rabu (15/5/2013) di ruang Sidang Pleno Gedung MK.
(3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
D
ewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menegaskan bahwa ketentuan yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali, telah sejalan dengan konstitusi. Salah satunya yaitu sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani, batasan pengajuan PK hanya satu kali merupakan bukti bahwa niat pembentukan UU adalah memberikan motivasi kepada Hakim Agung yang memutus perkara PK agar bertindak lebih cermat dan hati-hati dalam pengambilan keputusan karena sangat menentukan nasib seseorang. Ketiadaan pembatasan PK justru sangat merugikan pencari keadilan. Karena, jika dibuka peluang untuk lebih dari satu kali, selain melanggar UU, juga akan mengakibatkan perkara menjadi panjang dan berakhir tanpa ujung. “Pengajuan peninjauan kembali yang tidak dibatasi, justru dapat menimbulkan kerugian pencari keadilan,” ujar Ahmad
32
Humas MK/GANIE
Yani saat menyampaikan keterangan DPR dalam sidang Perkara Nomor 21/ PUU-XI/2013, Nomor 34/PUU-XI/2013, dan Nomor 36/PUU-XI/2013, pada Rabu (15/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara Nomor 21/PUUXI/2013 diajukan oleh Andi Syamsuddin Iskandar dan Boyamin. Andi Syamsuddin Iskandar merupakan adik kandung Andi Nasrudin Zulkarnaen (alm.) Direktur Utama PT Rajawali Putra Banjaran yang menjadi korban pembunuhan di sekitar lapangan golf Modern Land Tangerang, 14 Maret 2009 lalu. Kemudian permohonan Nomor 34/PUU-XI/2013 diajukan oleh Antasari Azhar, sedangkan permohonan Nomor 36/PUU-XI/2013 diajukan oleh I Made Sudana. Menurut Yani, pembatasan hak pengajuan PK dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pembatasan ini justru untuk memberikan kesamaan kedudukan dalam hukum dan kesamaan keadilan dan perlindungan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, DPR berpendirian, pasal-pasal dalam KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat
Keadilan yang Tertunda Sementara itu, Pemerintah dalam keterangannya menyatakan hal senada dengan DPR. Apabila PK tidak dibatasi, maka dapat menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian penyelesaian perkara. “Selain itu juga, menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan, dapat mengakibatkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Sesuai dengan adagium, justice delayed, justice denied.” Kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, menyampaikan keterangan Pemerintah. Mualimin di hadapan sembilan Hakim Konstitusi memaparkan, PK merupakan upaya hukum yang bersifat luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Upaya PK digunakan dalam situasi khusus, karena tidak ada lagi upaya hukum biasa, sehingga pengguna PK pun dibatasi. Persyaratan khusus pengguna PK yaitu dilandasi oleh adanya bukti baru (novum), dan adanya kekeliruan hakim di dalam penerapan hukum, sebagaimana Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun keadaan baru yang dapat dijadikan landasan permintaan PK adalah keadaan yang mempunyai sifat dan kualitas yang dapat dikategorikan menimbulkan dugaan kuat. Antara lain, jika keadaan baru itu diketahui dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, maka dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Keadaan baru KONSTITUSI juni 2013
itu ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, maka dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. “Atau dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan,” jelas Mualimin. Menurut Pemerintah, ketentuan mengenai PK dalam UU yang diujikan para Pemohon, telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuanketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut juga tidak membatasi hak para Pemohon untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup sebagaimana diatur di dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. “Jikalaupun terdapat pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 28C ayat (1)
dan ayat (2), itu adalah semata-mata dalam rangka penghormatan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia,” tambah Mualimin. Ketiadaan pembatasan PK, menurut Pemerintah, dapat menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian mengenai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan. Hal ini menyebabkan perkara menjadi terbengkelai, tak kunjung selesai. Tegaknya keadilan bagi pencari keadilan menjadi tertunda. Selanjutnya, Mualimin menanggapi permohonan para Pemohon agar korban atau ahli warisnya dapat mengajukan PK. Dalam criminal justice system, upaya untuk mencari kebenaran material telah dimulai sejak tahap penyelidikan dan penyidikan. Apabila penyidik telah menemukan tersangka dan disertai alat bukti yang sah, maka akan diajukan kepada jaksa penuntut umum. Kemudian apabila berkas perkara dianggap lengkap, sebagaimana dikenal dengan istilah P-21, baru akan dilimpahkan ke pengadilan
untuk dilakukan proses persidangan. Kedudukan korban dalam hal ini diwakili oleh jaksa penuntut umum yang mewakili negara dalam mendakwa seseorang atas perbuatan yang didakwakan terhadap perbuatan yang dilakukannya. “Menurut Pemerintah, kepentingan Pemohon dalam hukum pidana telah diwakili oleh organ negara yang dalam hal ini polisi maupun kejaksaan,” dalil Mualimin. Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebetulnya secara terang menjelaskan bahwa yang memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan PK adalah terpidana maupun ahli warisnya, karena keduanya sebagai pihak yang dirugikan secara langsung terhadap putusan pengadilan. Kemudian terkait dengan permohonan para Pemohon agar korban atau ahli warisnya dapat mengajukan PK kembali, menurut Pemerintah, hal ini dapat menciderai sistem hukum pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana. Dodi/Nur Rosihin Ana
Yusril Ihza Mahendra:
Keadilan dan Kepastian Hukum Harus Linier
M
antan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, selaku Pemohon perkara Nomor 34/PUU-XI/2013, pada persidangan kali ini menghadirkan Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli dan Sri Bintang Pamungkas sebagai saksi. Yusril menyatakan norma yang dirumuskan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP, juga diatur dalam dua UU lainnya, yakni UU KK dan UU MA. Ketentuan PK dalam UU KK dan UU MA, berlaku bagi semua jenis perkara di pengadilan. Sedangkan permohonan yang diajukan Antasari bersifat spesifik yaitu perkara pidana. “Oleh karena itu, jika seandainya permohonan ini dikabulkan oleh Mahkamah, maka bolehnya PK dimohonkan lebih dari satu kali hanya berlaku untuk perkara pidana saja, tidak untuk jenis-jenis perkara yang lain,” Yusril mengawali keahliannya.
KONSTITUSI juni 2013
Lebih lanjut Yusril memaparkan, seorang ahli filsafat hukum Islam pada abad ke 13 Masehi, Ibnu Hazm AlAndalusi, dalam kitabnya “Al-Muhallâ fi al-Syarh al-Muhallâ bi al-Hujaj wa alAtsar” mengatakan, inti dari syari’ah atau hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, menurut Ibn Hazm, norma hukum yang bertentangan dengan norma keadilan sebagai norma moral dan filosofis, tidak layak dianggap sebagai norma hukum yang berlaku dan mengikat. Berbicara tentang “adil” (al‘adl), terang Yusril, Rasulullah SAW suatu saat ditanya seorang sahabat mengenai apa itu “adil”. Rasulullah menjawab,
33
Ruang Sidang
hukum
keadilan adalah memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya. Yang menjadi pertanyaan Yusril adalah, jika seseorang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan dalam persidangan, kemudian di kemudian hari ditemukan bukti-bukti baru yang jika dikemukakan dalam persidangan, maka Hakim akan memutus yang bersangkutan dengan putusan bebas. Apakah pantas orang tersebut dihukum? “Dikaitkan dengan hadits Rasulullah tadi, orang tersebut berhak untuk dibebaskan karena kebebasan adalah haknya, dan langkah pembebasan adalah keadilan,” dalil Yusril. Yusril mengakui bahwa dalam ilmu hukum dikenal asas lites finiri oportet yang bemakna setiap perkara harus ada akhirnya. Namun, berakhirnya suatu perkara haruslah berdasarkan
keadilan. Norma yang dirumuskan oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang hanya membolehkan PK hanya satu kali dalam konteks perkara pidana, menurut Yusril, bertentangan dengan asas keadilan jika ditemukan adanya novum yang sangat meyakinkan. “Mengapakah kita harus mempertahankan norma yang mengatakan bahwa PK hanya berlaku satu kali dalam perkara pidana?” tanya Yusril. Tujuan peradilan adalah untuk menegakkan keadilan. Norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah memasung Kekuasaan Kehakiman sehingga tidak dapat melaksanakan fungsinya mewujudkan keadilan. Keadilan dan kepastian hukum menurut Yusril, harus berjalan secara linier. Tidak ada kepastian hukum tanpa keadilan, dan tidak akan pernah ada keadilan tanpa kepastian hukum. Kepastian hukum lebih banyak berurusan dengan norma hukum acara atau norma hukum prosedur. Sementara
keadilan berkaitan dengan norma hukum materiil yang bersifat substansial. “Norma hukum materiil mengandung semangat keadilan, norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum tapi kadang-kadang mengabaikan asas keadilan,” jelas Yusril. Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara 18 tahun kepada Antasari, merupakan kepastian hukum. Namun, di balik itu, menurut Yusril, masyarakat di luar pengadilan mengatakan bahwa Antasari Azhar tidak dihukum dengan keadilan, melainkan dengan kezaliman. “Akankah kita membiarkan Saudara Antasari Azhar mendekam 18 tahun di penjara meskipun Beliau mempunyai novum untuk dibawa kembali ke persidangan PK sekali lagi, tapi pintu keadilan tertutup atas nama kepastian hukum?” pungkas Yusril.
Sri Bintang Pamungkas:
“Novum” yang Membebaskan
S
ri Bintang Pamungkas selaku saksi yang dihadirkan oleh Antasari Azhar dalam persidangan mengisahkan pengalamannya dalam menjalani proses hukum. Setidaknya ada tiga perkara yang pernah dihadapinya, yakni didakwa menghina Presiden Soeharto, dakwaan melakukan kegiatan subversif, dan kriminalisasi karena dipecat tidak dengan hormat sebagai PNS. Dia merasa dirugikan karena permintaan PK hanya dapat diajukan satu kali. Bintang dituduh menghina Presiden Soeharto, saat dia berceramah di Technische Universitet Berlin, Jerman, pada 9 April 1995. Pengakuan saksi bernama Soenarto dan Sri Basuki yang hadir dalam ceramah Bintang di Berlin, menyatakan bintang melontarkan kata “diktator” kepada rezim Orde Baru. Bintang pun dipidana penjara 2 tahun 10 bulan. Kolega Bintang, Saleh
34
Abdullah, mengabarkan bahwa saksi yang memberatkan Bintang, yaitu Sri Basuki, ternyata bukan nama sebenarnya. Nama asli Sri Basuki adalah Sri Wedar Sabudiarti. Mendapat informasi tersebut, Bintang lalu mengutus seseorang berangkat ke Jerman untuk menelisik jati diri Sri Basuki atau Sri Wedar Sabudiarti. Saat itu, Bintang ingin mengajukan PK t e r h a d a p kasusnya, namun urung dilakukan. A d n a n B u y u n g Nasution
KONSTITUSI juni 2013
menasihati Bintang agar menunda pengajuan PK selama Presiden Soeharto berkuasa. “Nanti kalau diajukan, paling ditolak. Jadi kami urung mengajukan itu (PK),” kisah Bintang. Bintang baru mengajukan PK pada 8 Mei 2000, dengan mengusung novum yang mempersoalkan saksi Sri Basuki atau Sri Wedar Sabudiarti yang tidak pernah dihadirkan di persidangan. Selain bukan nama sebenarnya, tanda tangan saksi ini juga berbeda dengan tanda tangan dalam surat yang pernah dikirim oleh saksi dari Jerman. Tak hanya itu, adanya materai tempel pada surat tersebut mengundang teka-teki
bagi Bintang. Apakah surat dikirim dari Jerman atau dari Indonesia? “Menjadi pertanyaan kemudian apakah materai tempel itu ditempel di Berlin atau ditempel di Indonesia. Di Berlin tentu saja tidak mungkin, karena di sana tidak ada materai tempel Indonesia. Kalau ditempel di Jakarta berarti harus dimintakan tanda tangan lagi ke Berlin,” terang Bintang. Menurut Bintang, saksi Sri Basuki atau Sri Wedar Sabudiarti merupakan satu-satunya saksi yang di-blow up oleh majelis hakim untuk mem persalahkannya. Maka berangkat dari saksi ini pula Bintang menjadikannya
sebagai alasan untuk mengajukan PK. Alhasil, pada 2006, Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan Sri Bintang Pamungkas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. “Seandainya saya mengajukan PK yang pertama, betul seperti apa yang disarankan oleh Bang Buyung, kemungkinan ditolak. Tapi Novum yang baru yang berbeda dari novum yang pertama itu ternyata kemudian berhasil membebaskan saya,” pungkas Sri Bintang Pamungkas.
Irmanputra Sidin:
PK Satu Kali Bentuk Kemalasan Negara
P
engajuan PK lebih dari satu kali tidak bertentangan dengan Konstitusi. Sebaliknya, PK lebih dari satu kali, sejalan dengan prinsip yang dianut oleh Konstitusi. Karena pada dasarnya, setiap produk kekuasaan kehakiman bisa ditinjau atau diuji kembali, tanpa pembatasan. “Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman tidak boleh mengunci pintu rapat-rapat untuk diajak merenungkan kembali putusannya,” kata Irmanputra Sidin saat menjadi Ahli yang dihadirkan oleh Antasari Azhar dalam persidangan di MK, Rabu (29/5/2013). Di samping itu, Irman juga membandingkan proses pengajuan PK dengan pengujian undang-undang di MK. Menurutnya, Pasal 60 UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi, membuka ruang pengecualian dalam pengujian materi sebuah undangundang meskipun materi tersebut pernah diuji sebelumnya. Di mana, pengecualian atau pengujian sebuah materi undang-undang yang pernah diuji, tidak ada pembatasan untuk diajukan kembali, selama alasan atau batu uji yang mendasarinya berbeda.
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/GANIE
Oleh karena itu, ia berpendapat, pembatasan pengajuan PK yang hanya satu kali saja merupakan wujud kemalasan dan kelelahan negara dalam menangani persoalan warga negaranya. Pembatasan ini, kata dia, tidak cukup kuat jika dilandasi
dengan alasan bahwa demi kepastian hukum, demi untuk tidak berlarutlarutnya perkara, atau demi kehati-hatian untuk mengambil putusan. “Masalah ini sesungguhnya tidaklah berhubungan dnegan prinsip
35
Ruang Sidang
hukum
kepastian hukum, namun lebih kepada prinsip distorsif dari stelsel pasif, yaitu negara menjadi malas, tidak mau sibuk mengurus sesuatu, karena urusannya atau tumpukan perkara yang banyak. Negara lelah atau otoritarian untuk diajak merenung untuk mengoreksi produk kekuasaan atau hanya merenung untuk keadaan baru dari
sebuah keputusan yang dibuatnya,” bebernya. Negara, kata Irman, dalam hal ini seolah-olah melakukan sesuatu yang pasti dan selalu benar demi kepastian hukum. Prinsip bahwa proses hukum harus ada akhirnya (lites finiri oportet), tidak boleh membuat negara tidur. Alih-alih menjamin kepastian hukum,
menurut Irman, pembatasan ini malah menghadirkan anomali. “Negara harus selalu terbuka untuk selalu memberikan ruang kepada warga negara meninjau produk kekuasaannya, maka sistem ketatanegaraan kita pada prinsipnya semua produk kekuasaan bisa dimohonkan perubahan atau peninjauan kembali lebih dari sekali,” tegas Irman.
Chodri Sitompul:
MA Perkenankan PK Diajukan Kembali
T
ujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenar an materiil (objective truth) dan memberikan keadilan kepada tersangka, terdakwa, maupun kepada pihak korban. PK dapat diajukan lebih dari sekali jika didasari pada alasan ditemukannya novum (bukti baru) yang belum ditemukan atau dihadirkan saat PK yang pertama. “Apabila memang keadaan novum-nya itu baru ditemukan di
kemudian hari setelah ada putusan PK, di mana putusan PK pertama diajukan karena bukan novum, misalnya karena ada kekeliruan yang nyata, maka sungguh tidak adil kalau misalnya novum yang baru itu, tidak bisa digunakan sebagai dokumen hukum dalam rangka untuk mencari objective truth,” kata Chordi Sitompul saat menjadi Ahli yang dihadirkan oleh Antasari Azhar dalam persidangan di MK, Rabu (29/5/2013).
Chodri pun mengingatkan bahwa MA pernah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 yang memperkenankan PK dapat diajukan kembali apabila ada dua putusan PK saling bertentangan. “Pemikiran peninjauan kembali bisa diajukan lebih dari satu kali, sebenarnya sudah diterobos dengan SEMA Nomor 10 Tahun 2009,” papar Chodri.
●
Perkara Nomor 21/PUU-XI/2013 Pemohon Andi Syamsuddin Iskandar, dan Boyamin.
Pokok Permohonan Pengujian Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
●
Perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 Pemohon Antasari Azhar.
Pokok Permohonan Pengujian Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
● Perkara Nomor 36/PUU-XI/2013 Pemohon I Made Sudana.
Pokok Permohonan • Pengujian Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945. • Pengujian Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945. • Pengujian Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap UUD 1945.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP menyatakan, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.”
36
KONSTITUSI juni 2013
Pemerintah dan DPR: Pengisian Jabatan Hakim Agung Sesuai UUD 1945
Kepala Balitbang Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi (tengah) menyampaikan pendapat Pemerintah
Humas MK/GANIE
pada Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XI/2013 ihwal uji materi UU MA di ruang Sidang Pleno Gedung MK, Rabu (8/5/2013).
P
emerintah dan DPR menegaskan bahwa pengisian jabatan hakim agung sudah sesuai dengan konstitusi. Pemerintah yang diwakili Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, di hadapan Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, keterangan yang disampaikan Pemerintah pada persidangan kali ini secara keseluruhan adalah sama dengan keterangan Pemerintah pada sidang sebelumnya. “Apa yang sudah disampaikan pada persidangan yang lalu mutatis mutandis, dan menjadi keterangan Pemerintah untuk Perkara Nomor 25/PUU-XI/2013,”
KONSTITUSI juni 2013
kata Mualimin Abdi dalam persidangan di MK, Rabu (8/5/2013). Persidangan kali ketiga untuk perkara Nomor 25/PUU-XI/2013 ini dilaksanakan secara jarak jauh antara MK-Fakultas Hukum Universitas Riau (Unri) dengan menggunakan teknologi video conference milik MK. Syafrinaldi, selaku Pemohon, didampingi kuasanya, Adriansyah, Rosyidi Hamzah, Endang Suparta dan Aryo Akbar, yang berada di Unri, menyimak keterangan Pemerintah dan DPR yang disampaikan dari Ruang Sidang Pleno Gedung MK di Jakarta. Syafrinaldi mengujikan ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat 4 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) yang menyatakan, “1) Hakim Agung ditetapkan oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; 2) Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial; 3) Calon Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan; 4) Pemilihan Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak
37
Ruang Sidang
hukum
tanggal nama calon diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Senada dengan Pemerintah, DPR menyatakan keterangan yang disampaikan pada persidangan kali ini juga sama dengan keterangan DPR pada sidang sebelumnya, yaitu sidang perkara Nomor 27/PUUXI/2013. DPR kembali menegaskan bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA telah sesuai dengan UUD 1945. “DPR mempunyai kewenangan konstitusional untuk menilai dan/atau memilih dan menyetujui menjadi Hakim Agung,” kata Anggota Komisi III DPR RI M. Nurdin. DPR Berwenang Seleksi Pemerintah dan DPR sebelumnya pernah menyampaikan keterangan di persidangan MK dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY terhadap Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pada pada Selasa (23/04/2013) lalu. Permohonan ini diajukan oleh Made Darma Weda, R.M. Panggabean, St. Laksanto Utomo. Ketiganya pernah mengikuti seleksi calon hakim agung (CHA) dan dinyatakan lulus pada berbagai tingkatan seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Namun kemudian, ketiganya kandas dalam proses seleksi di DPR.
Menurut para Pemohon, kewenangan DPR terkait dengan pengisian jabatan hakim agung menurut ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 adalah sebatas memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan KY. Oleh karena itu, DPR tidak berwenang melakukan seleksi yang kemudian memilih calon hakim agung tersebut. Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding yang menyampaikan keterangan DPR saat itu, antara lain menyatakan, ketentuan mengenai “untuk mendapatkan persetujuan DPR” dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, bermakna DPR mempunyai kewenangan konstitusional untuk dapat memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap CHA yang diusulkan oleh KY. “Oleh karenanya terhadap calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak serta-merta harus disetujui oleh DPR. Harus ada proses penilaian, harus ada proses pemilihan untuk dapat disetujui atau tidak dapat disetujui oleh DPR.” Kata Sudding. Sedangkan Mualimin Abdi yang menyampaikan keterangan pemerintah saat itu juga menyatakan bahwa DPR berwenang menyetujui atau menolak terhadap CHA yang diusulkan oleh KY. Kendati demikian, Pemerintah mengakui bahwa ketentuan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak
merinci mengenai mekanisme dan proses yang terkait dengan pengisian CHA. Menurut Pemerintah, “persetujuan” harus dimaknai sebagai proses seleksi. Menurut Pemerintah, hakim agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakkan keadilan. Maka sudah selayaknya jika pengisian jabatan hakim agung memerlukan mekanisme yang cermat dan akurat. “Agar diperoleh hakim agung yang memiliki integritas yang memadai,” terang Mualimin Abdi. Sementara itu, sejumlah Ahli para Pemohon yang dihadirkan dalam persidangan yang digelar MK pada Kamis (16/5/2013), menyampaikan hal yang bertolak belakang dengan keterangan Pemerintah dan DPR. Ahli dimaksud, Syarifuddin Syukur, M. Khusnu Abadi, Saldi Isra, Fajrul Falaakh, dan Zainal Arifin Mochtar. Para Ahli pada intinya menyampaikan bahwa mekanisme rekrutmen hakim agung melalui proses seleksi untuk dipilih di DPR, bertentangan dengan semangat Konstitusi. Sebab UUD 1945 tidak pernah mengamanahkan DPR untuk memilih, melainkan hanya sebatas menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Nano Tresna Arfana/Nur Rosihin Ana
Khusnu Abadi:
Wewenang DPR dalam UU MA Bertambah
K
etentuan pengisian jabatan publik dengan mempergunakan frasa “mendapatkan persetujuan DPR” memberikan pilihan kepada DPR untuk memberikan persetujuan atau menolak. Naskah dalam UUD 1945
38
berkenaan dengan pengisian jabatan publik, sama sekali tidak memuat unsur makna “dipilih Dewan Perwakilan Rakyat”. Perubahan frasa “mendapatkan persetujuan DPR” dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 menjadi “dipilih oleh DPR”
dalam UU MA memiliki akibat hukum berupa penambahan kewenangan pada DPR.“Akibat hukumnya yaitu perubahan dan penambahan kewenangan pada DPR,” kata Khusnu Abadi saat didaulat menjadi Ahli oleh Syafrinaldi, dalam persidangan di MK, Kamis (16/5/2013).
KONSTITUSI juni 2013
Saldi Isra:
Seolah-Olah DPR Perankan Fungsi KY
K
onstitusi hasil perubahan menentukan bahwa untuk menyeleksi CHA dibentuk komisi negara yang disebut dengan Komisi Yudisial (KY). Bebagai macam hal misalnya soal kepribadian, integritas CHA dinilai oleh KY. Dalam konstitusi disebutkan bahwa setelah CHA diproses dan diseleksi oleh KY, kemudian diusulkan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Namun, makna persetujuan dari DPR dimaksud, telah bergeser sedemikan rupa, sehingga seolah-olah DPR memerankan fungsi yang dilakukan oleh KY. “Sehingga seolah-olah DPR kembali memfungsikan dirinya seperti yang dilakukan oleh Komisi Yudisial,” kata Saldi Isra saat menjadi ahli Pemohon perkara Nomor 27/PUUXI/2013, di persidangan MK Kamis (16/5/2013). Persetujuan atau penolakan DPR terhadap CHA usulan KY, tentu harus memiliki pijakan dalil yang andal. Oleh karena itu, fit and proper test yang dilakukan di DPR, penting dilakukan untuk mendapatkan hakim agung yang memiliki pengetahuan
mendalam, track record yang bagus, kepribadian tidak tercela. “Fit and proper test menurut saya, masih mungkin dilakukan sepanjang untuk mendalami pengetahuan calon dan ideologi hukum calon, menurut saya itu penting. Kalau itu tidak dilakukan, DPR menurut saya tidak punya dasar juga untuk setuju atau tidak setuju,” dalil Saldi. Proses seleksi CHA yang selama ini dilakukan di DPR dalam pengamatan Saldi, telah membuat calon-calon hakim terbaik hasil seleksi KY berguguran. Bagi sebagian kalangan, Proses politik yang terjadi di DPR, merupakan proses yang menakutkan. Hal ini menyebabkan orang-orang yang memiliki kemampuan hukum dan integritas yang baik, menjadi enggan mengikuti seleksi CHA karena harus berhadapan dengan proses politik di DPR. “Orang-orang yang punya kemampuan hukum yang baik, memiliki integritas yang baik menjadi takut memasuki proses itu karena dia tidak siap menghadapi proses yang ada di DPR. Kalau objektifitasnya tinggi, itu tidak apa-apa. Tapi, kalau begitu dia masuk ke DPR pasti soal kepentingan menjadi lebih menonjol,” papar Saldi.
Oleh karena itu, Saldi meminta Majelis Hakim MK agar mempertimbangkan untuk mengem balikan rumusan “dipilih DPR” dalam UU MA kepada rumusan yang dikehendaki oleh konstitusi, yakni sebatas memberikan persetujuan. “Kehendak yang ada dalam rumusan konstitusi hanya sebatas memberikan persetujuan, bukan memilih,” pungkas Saldi.
Syarifuddin Syukur:
“Persetujuan” Bukan Berarti “Seleksi”
D
PR memperluas ke wenangannya sedemikian rupa dalam mekanisme rekrutmen hakim agung. Akibatnya, terjadi pengulangan proses yang tidak perlu. DPR telah menjalankan kewenangannya memberikan persetujuan pengangkatan komisioner Komisi Yudisial (KY). Maka selayaknya DPR tidak ikut lagi memroses ulang calon hakim agung yang sudah diseleksi oleh KY. “Kurang tepat jika DPR ikut terlibat dalam proses pengangkatan hakim agung dengan masuk ke ranah substansi dan kompetensi,” kata Syarifuddin Syukur saat didaulat
KONSTITUSI juni 2013
sebagai Ahli di persidangan MK, Kamis (16/5/2013). Syarifuddin dihadirkan oleh Syafrinaldi selaku Pemohon uji materi UU MA dalam perkara Nomor 25/PUUXI/2013. Menurut Syarifuddin, tafsir makna kata “persetujuan” tidak sama dengan kata “memilih”. Kata “persetujuan” lebih merujuk pada esensi makna “kemufakatan”. DPR tidak konsisten menggunakan penafsiran kata “Persetujuan” dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mereka buat. Syarifuddin menyarankan seharusnya kata “persetujuan” memiliki makna tafsir tunggal dalam peraturan perundangan-
undangan dan dipakai dalam konteks yang sama, baik untuk pengangkatan panglima TNI, kepala kepolisian RI, gubernur BI, maupun untuk hakim agung. Kata “persetujuan” yang termuat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 harus dimaknai sebagai kewenangan untuk memberikan persetujuan atau menolak. “Jadi, bukan kewenangan untuk memilih,” tandas Syarifuddin yang menyampaikan keahlian secara virtual melalui video conference dari Universitas Riau.
39
Ruang Sidang
hukum
Fajrul Falaakh:
Politik Rekrutmen yang Menyimpang
S
ejak awal UUD 1945 menegaskan independensi kekuasaan kehakiman, yaitu sebagai kekuasaan negara yang terpisah dari cabang kekuasaan lainnya. Akan tetapi, dewasa ini, politik perekrutan kekuasaan kehakiman (politics of
judicial recruitment) tidak memantulkan independensi dan justru menyimpang dari Konstitusi “Menyimpang dari konstitusi dan berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi para calon hakim agung,” kata Fajrul Falaakh saat menjadi ahli Pemohon perkara Nomor 27/PUU-XI/2013, di persidangan MK Kamis (16/5/2013). Fajrul menuding badan legislasi DPR tidak melakukan fungsi harmonisasi rancangan undang-undang terkait proses rekrutmen hakim agung. Akibatnya proses perekrutan hakim agung tidak konsisten dan menyalahi konstitusi. “Sehingga pengaturan tentang proses perekrutan hakim agung justru tidak konsisten dan menyalahi konstitusi ” kata Fajrul. Inkonsistensi yang berujung pada pelanggaran konstitusi dimaksud yaitu,
Pertama, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU MA yang pada prinsipnya menentukan bahwa DPR memilih calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Tetapi dalam Pasal 71 huruf p UU MD3 dinyatakan bahwa DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Kedua, peran KY berganti menjadi sekadar tukang pos karena hanya mengusulkan pengangkatan calon hakim agung yang dipilih oleh DPR. KY mengusulkan CHA untuk disetujui atau tidak disetujui DPR. Jika CHA usulan KY disetujui DPR, selanjutnya KY mengirimkannya kepada presiden. “Maka KY berganti peran sebagai sekadar tukang posnya DPR,” jelas Fajrul.
Zainal Arifin Mochtar:
Bola Liar Seleksi Hakim Agung
P
eran KY dalam seleksi hakim agung sehingga menjadi lebih bermutu tidak dapat dinafikan. KY melakukan tahapan merit CHA, lalu proses politisnya diusulkan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan proses administratifnya
40
diserahkan kepada Presiden dalam bentuk penetapan untuk pengangkatan. Hakim agung antara lain harus memenuhi syarat dalam hal integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Aspek integritas dan kapabilitas dilakukan oleh KY, sedangkan aspek akseptabilitasnya itu diserahkan kepada preferensi politik (DPR). “Konstitusi sudah membangun model seperti itu, membangun model bahwa KY mengerjakan integritas dan kapabilitisanya, sedangkan di ujungnya DPR akan mengerjakan wilayah-wilayah yang lebih berbau pada akseptabilitasnya,” kata Zainal Arifin Mochtar saat menjadi ahli Pemohon perkara Nomor 27/PUU-XI/2013, di persidangan MK Kamis (16/5/2013). Dalam praktik pembentukan UU, terang Zainal, DPR seringkali melakukan penambahan kewenangan, termasuk melalui UU yang tengah diuji di MK
ini. Titik berat pendulum kekuasaan negara telah berayun terlalu jauh menuju ke arah legislatif, sehingga harus diseimbangkan. “Tentu dengan mendudukkannya kembali secara benar dan memberikan porsi secara pas agar pendulum tidak bersalin rupa menjadi bola liar bagi sistem ketatanegaraan, termasuk menjadi bola liar dalam seleksi hakim agung,” terangnya. Bola liar praktik seleksi hakim agung dalam UU MA dan UU KY telah mengakibatkan pergeseran paradigma “persetujuan” dalam UUD 1945 menjadi “pemilihan”. Praktik semacam ini menurut Zainal, harus segera diakhiri, yaitu melalui putusan MK yang menyatakan ketentuan dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. “Harus segera diakhiri dan dibatalkan,” pungkas Zainal. Dodi/Nur Rosihin Ana
KONSTITUSI juni 2013
Pemanggilan Notaris Tak Perlu Persetujuan Majelis Pengawas Daerah
P
emanggilan Notaris untuk kepentingan pemeriksaan pidana tidak perlu mendapat izin dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Demikian inti putusan MK terhadap pengujian Pasal 66 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN). Mahkamah dalam amar putusan Nomor 49/PUUX/2012 yang dibacakan langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU JN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Akil membacakan amar putusan Mahkamah yang dihasilkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) selagi Mahfud MD menjabat sebagai Ketua MK. Permohonan uji materi UU JN ini diajukan oleh Kant Kamal. Kant mengujikan Pasal 66 ayat (1) UU JN khususnya pada frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”. Selengkapnya Pasal 66 ayat (1) menyatakan, “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”
Kuasa Hukum Pemohon, Mangembang Sutasoit (tengah) berbicang dengan para pihak usai menerima berita salinan putusan terkait Pengujian UU Jabatan Notaris di ruang Sidang Pleno Gedung MK, Selasa (28/5/2013).
Kendala Perizinan Kant dirugikan ketentuan tersebut dikarenakan Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya mengalami kendala dalam melakukan proses penyidikan laporan yang dibuatnya. Kendala yang dialami oleh Penyidik Polda Metro Jaya dalam mengungkap pelaku dugaan Tindak Pidana Membuat Keterangan Palsu ke Dalam Akta Authentik, adalah dikarenakan Penyidik tidak mendapatkan izin dari
Perlakuan Setara Ketentuan dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU JN merupakan perlakuan yang berbeda dan dibenarkan sepanjang berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu yang berkaitan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris dalam melaksanakan tugas yang berhubungan dengan moralitas. Menurut Mahkamah, perlakuan yang berbeda terhadap jabatan notaris tersebut diatur dan diberikan perlindungan dalam Kode Etik Notaris.
KONSTITUSI juni 2013
MPD Notaris Cianjur. Hal ini diakui oleh Penyidik Polda Metro Jaya melalui SP2HP ke-3, SP2HP ke-5, dan SP2HP ke-6 yang dikeluarkan oleh Penyidik Polda Metro Jaya sehubungan dengan proses penyidikan Laporan Polisi yang dibuat oleh Kant. Oleh karena yang dipanggil adalah notaris, maka penyidik kepolisian terlebih dahulu harus meminta izin kepada MPD untuk memeriksa notaris dalam perkara pidana. Menurut Kant, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip “persamaan kedudukan di dalam hukum” bagi setiap warga negara Indonesia, tidak terkecuali notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. “Oleh karena itu, keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum,” kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva membacakan pendapat mahkamah dalam putusan ini. Hal tersebut menurut Mahkamah adalah untuk mengindari proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. “Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (justice delayed justice denied),” tegas Hamdan. Yusti Nurul Agustin/Nur Rosihin Ana
41
Ruang Sidang
hukum
Profesi Terancam, Advokat Minta Imunitas Kuasa Hukum Pemohon, Rangga Lukita Desnata, saat sesi tanya jawab dengan saksi yang dihadirkan Pemohon, Palmer Sitomorang, terkait uji materi UU Advokat di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, (14/5/2013).
S
ebagian masyarakat memandang profesi advokat merupakan profesi yang cukup menjanjikan. Hal ini terlihat dari lifestyle para advokat yang bergelimang glamor kemewahan. Namun, di balik itu, profesi advokat juga harus berhadapan dengan risiko yang cukup besar. Tuntutan secara pidana maupun perdata, hingga intimidasi, dialami oleh sebagian advokat. Misalnya apa yang dialami Palmer Situmorang sepanjang kariernya sebagai advokat sejak 1980. Palmer mengaku mendapat tuntutan, hambatan, hingga intimidasi dalam menjalankan profesinya ini. Beberapa waktu yang lalu, Palmer juga pernah ditarget menjadi tersangka. Waktu itu, kisah Palmer, seorang klien datang ke kantornya. Klien ini ingin bersaksi untuk ibunya yang dituduh melakukan pencemaran nama baik. Namun, niat itu dihalangi oleh oknum hakim Pengadilan Negeri (PN). Si klien menduga terjadi persekongkolan antara jaksa dan hakim. Sebab sebelum kejadian, ia mengurungkan niat mengantar uang suap ke pengadilan atas nasihat ibunya. Selaku advokat, Palmer menyarankan kliennya agar menuliskan apa yang dialaminya. “Ini nasihat seorang advokat di luar persidangan, hanya konsultasi hukum,” kata Palmer Situmorang dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/5/2013). Persidangan perkara Nomor 26/PUU-XI/2013 ihwal Pengujian Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan
42
iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Permohonan ini diajukan oleh Rangga Lukita Desnata, Oktavianus Sihombing, dan Dimas Arya Perdana. Nyaris Tersangka Setelah tulisan kliennya tersebut masuk proses persidangan, kliennya dilaporkan ke Mabes Polri dan dijadikan sebagai tersangka. Tak hanya sampai di situ, Palmer pun sempat menjadi target sebagai tersangka. Menurut keterangan polisi, tindakan Palmer berupa memberikan nasihat, menganjurkan orang lain untuk menyatakan sesuatu yang tidak benar di muka umum, telah memenuhi unsur pidana. Bagi Palmer, kejadian tersebut merupakan tekanan sekigus ancaman yang membuat tidurnya tak nyenyak. Padahal kejadian tersebut berlangsung dalam pengadilan. Apakah sebuah nasihat yang diberikan oleh seorang advokat kepada kliennya merupakan perbuatan melanggar kehormatan peradilan dan memenuhi unsur pidana? Pertanyaan ini terus berkecamuk di benaknya. Menurutnya, kejadian ini cukup mengganggu profesi kebebasan advokat, khususnya di dalam memberikan legal opinion. Ancaman Profesi Terlebih lagi jika seorang advokat dituduh sengaja mencegah, merintangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, dan para saksi dalam perkara korupsi, sehingga dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12
tahun dan atau denda paling sedikit 150 juta dan paling banyak 600 juta (Pasal 21 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). “Apakah terhadap profesi advokat, profesi jaksa, profesi polisi di dalam memberikan pendapat harus dipidana? Apa harus mesti di dalam persidangan kita mendapat imunitas dan ketika pekerjaan kita lebih banyak di luar sidang tidak ada imunitas?” tanya Palmer. Tanpa adanya imunitas di luar persidangan, advokat merasa terancam dalam menjalankan profesinya. Padahal 95% pekerjaan advokat adalah di luar pengadilan. Banyak kasus diselesaikan di luar pengadilan melalui musyawarah mufakat. “Alangkah celakanya advokat kalau tidak memiliki imunitas (di luar pengadilan),” dalil Palmer. Advokat dapat terjerat pidana karena mendampingi klien yang nakal. Misalnya klien nakal tersebut menggunakan dokumen palsu sebagai barang bukti. “Unsur perbuatan menggunakan surat palsu terpenuhi seluruhnya, jadilah advokat terpidana dan terancam di dalam menjalankan profesinya,” pungkas Palmer. Agenda persidangan kali keempat ini adalah mendengar keterangan saksi Pemohon dan keterangan Pihak Terkait dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Peradi melalui kuasa hukumnya, Happy S.P. Sihombing, menyatakan belum siap menyampaikan keterangan. Sedangkan Eggi Sudjana dari KAI, sudah siap menyampaikan keterangan di atas mimbar. Namun, usai Eggi mengucapkan salam pembuka, Ketua Pleno Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menegur Eggi karena surat keterangan tertulis yang disampaikan ke hakim, ternyata belum ditandatangani. Akil menyarankan kepada Pemohon dan Pihak Terkait agar tertib dalam beracara di MK. “Diselesaikan dulu (kelengkapan beracara). Kalau belum siap sekarang, enggak apa-apa, kita akan kasih waktu,” nasihat Akil.
KONSTITUSI juni 2013
Putusan Tanpa Perintah Penahanan MK Diminta Tafsirkan Pemohon Taufik Basari memaparkan pokok-pokok permohonan dalam sidang pendahuluan pengujian materi KUHAP di ruang Sidang Pleno Gedung MK, Rabu (15/5/2013).
P
erbedaan penafsiran frasa “ditahan” dan “tahanan” yang terdapat dalam pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang (UU) nomor 8 tahun 1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjadi polemik di kalangan penegak hukum. Polemik justru muncul setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUUX/2012. Hal inilah yang mendorong Taufik Basari yang berprofesi sebagai advokat meminta penafsiran konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kedua frasa tersebut. Perintah menyangkut status penahanan, apakah terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan, menurut Pasal 197 ayat (1) harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyatakan, “Surat putusan pemidanaan memuat: (k) perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.” “Terdapat polemik eksekusi putusan inkracht yang membuat penegakan hukum tidak berdaya,” kata Taufik Basari dalam sidang pendahuluan uji materi KUHAP di MK, Rabu (15/05/2013). Sidang gabungan perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 dan perkara Nomor 53/PUU-XI/2013 ini KONSTITUSI juni 2013
dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua), didampingi dua Anggota Panel Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat. Permohonan perkara yang diregistrasi dengan Nomor 43/ PUU-XI/2013 diajukan oleh Samady Singarimbun, sedangkan perkara Nomor 53/PUU-XI/2013 diajukan oleh Taufik Basari. Taufik Basari menjelaskan, permohonan pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang diajukannya ke MK kali ini, sebelumnya pernah diperiksa dan diputus oleh MK dalam perkara Nomor 69/ PUU-X/2012. “Dimana amar putusannya adalah menolak permohonan Pemohon,” lanjut Taufik. Untuk diketahui, MK pada Kamis (22/11/2012) lalu, mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh H. Parlin Riduansyah. MK dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan Parlin untuk seluruhnya. Selain itu, MK juga memaknai Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Taufik sepenuhnya menyadari ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Pasal 60 UU MK berisi ketentuan mengenai ayat, pasal atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Oleh karena itu, Taufik mencoba meyakinkan Majelis Hakim bahwa permohonan yang diajukannya berbeda dengan permohonan Parlin, sehingga Majelis Hakim tidak memutuskan nebis in idem. Perbedaan yang dimaksudkan Taufik yaitu, permohonan yang diajukannya adalah pengujian frasa “ditahan” dan “tahanan”, sedangkan permohonan Parlin adalah pengujian keseluruhan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. “Pemohon kali ini menguji frasa ditahan dan tahanan. Perbedaannya dengan permohonan Perkara Nomor 69/PUU-X/2012, mereka itu menguji keseluruhan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP,” terang Taufik. Penolakan MK terhadap petitum
43
Ruang Sidang
hukum
permohonan perkara Nomor 69/PUUX/2012 itulah yang melatarbelakangi permohonan Taufik ini. Petitum permohonan Nomor 69/PUU-X/2012 tersebut pada intinya meminta MK agar menyatakan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP konstitusional bersyarat, sepanjang dimaknai pasal tersebut bersifat imperatif dan mandatory pada semua putusan pemidanaan, baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung. Putusan Multitafsir Putusan tersebut menurut Taufik, tidak memberikan pertimbangan hukum yang cukup mengenai alasan penolakan petitum permohonan. Pertimbangan hukum MK justru tertuju kepada alasan pemaknaan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang tidak dimohonkan oleh Parlin. “Lebih banyak memberikan petimbangan mengenai alasan dimaknainya Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang tidak dimohonkan Pemohon,” kritik Taufik. Akibatnya, Putusan Nomor 69/ PUU-X/2012 menyebabkan adanya penafsiran berbeda dari kalangan penegak hukum. Bahkan pihak tertentu memelintir makna pasal 197 ayat (2) huruf k dengan menggunakan putusan MK. Hal tersebut terbukti dari konflik antara Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dalam ini Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar), dalam kasus eksekusi Susno Duadji. Taufik berpendapat frasa “ditahan” dan “tahanan” dalam pasal yang dimohonkan tersebut mengatur soal penahanan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan sidang yang tidak memiliki kaitan dengan pemidanaan, sehingga dirinya meminta kepada MK memberikan tafsir konstitusional agar pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sepanjang frasa “ditahan” dan “tahanan” tersebut ditafsirkan berdasar definisi yang terdapat dalam KUHAP, yaitu untuk kepentingan pemeriksaan sidang. Tafsir Gramatikal dan Sistematis Menurut Taufik, Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP hanya berlaku untuk putusan pengadilan negeri (PN) dan
44
Humas MK/GANIE
Taufik Basari (Pemohon) usai sidang perbaikan permohonan perkara Nomor 53/PUU-XI/2013 ihwal pengujian materi KUHAP di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Rabu (29/5/2013).
pengadilan tinggi (PT), dan tidak berlaku untuk putusan Mahkamah Agung (MA). Karena setelah ada putusan MA sebagai putusan yang final, maka tidak ada lagi penahanan. “Adanya pemidanaan, jika putusannya bersifat pemidanaan,” dalil Taufik. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, jelas Taufik, berbicara tentang penahanan yang tidak berkaitan dengan pemidanaan atau eksekusi terhadap putusan pidana yang telah inkracht. Memperkuat argumentasi ini, Taufik menggunakan dua pendekatan penafsiran, yaitu penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis. Berdasarkan penafsiran gramatikal, Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP harus dibaca satu tarikan nafas dengan pengertian penahanan menurut Pasal 1 angka 21, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 193 dan Pasal 242 KUHAP. Frasa “ditahan” dan “tahanan” keduanya dari akar kata “tahan”. Penafsiran frasa “ditahan” dan “tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, menurut Taufik, harus dicari padanan pengertiannya dalam KUHAP. Istilah penahanan dalam KUHAP, diterangkan dalam Pasal 1 angka 21 yang menyatakan, “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.” Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan mengenai apa itu penahanan. Pasal ini juga mengatur mengenai alasanalasan dikenakannya penahanan. “Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa penahanan dilakukan hanya jika terpenuhinya syarat-syarat tersebut dan tidak berkaitan dengan pemidanaan,” jelas Taufik. Kemudian mengenai jenis penahanan dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu penahanan rumah tahanan Negara (Rutan), penahanan rumah dan penahanan kota. Hal ini berbeda dengan pemidanaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan (LP). KUHAP juga mengatur kewenangan hakim yang mengadili perkara di tiap tingkatan untuk melakukan penahanan guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 26, 27, 28). “Penahanan ini dilakukan untuk sementara waktu selama proses pemeriksaan berlangsung. Sementara rujukan syaratnya, mengacu pada syarat penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP,” papar Taufik. Selain itu, Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ini, juga memiliki kesamaan maksud dengan Pasal 193 ayat (2) dan Pasal 242 KUHAP. Pasal 193 ayat (2)
KONSTITUSI juni 2013
KUHAP menyatakan, “a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu. b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.” Sedangkan Pasal 242 KUHAP menyatakan, “Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.” “Bedanya dengan Pasal 193 untuk Pasal 242 ini, hanya mengatur jika terdakwa dalam tahanan, namun tidak mengatur terdakwa yang tidak sedang ditahan,” tambah Taufik. Jalinan pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa dasar filosofis keberadaan Pasal 193, Pasal 197 ayat (1) huruf k dan Pasal 242 adalah adanya jaminan status penahanan bagi seorang terdakwa ketika sedang menjalani proses pemeriksaan di tiap tingkatan. Ketiadaan jaminan status penahanan ini mengakibatkan putusan batal demi hukum, sebagaimana dimaksud Pasal 197 ayat (2) sebelum adanya Putusan MK Nomor 69/ PUU-X/2012. Berdasarkan penafsiran gramatikal, jalinan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa frasa “ditahan” dan “tahanan” pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengacu pada pengertian penahanan menurut KUHAP. Yakni menempatkan terdakwa pada Rutan, tahanan rumah, atau atau tahanan kota untuk masa tertentu dan terbatas guna kepentingan pemeriksaan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika pemeriksaan telah selesai karena putusan inkracht? Menurut Taufik, tidak ada lagi penahanan, yang ada yaitu pemidanaan bagi putusan yang berisi pemidanaan. “Jadi, perintah ditahan atau tetap dalam tahanan, tidak berkaitan dengan eksekusi pidana,” tegas Taufik. Selain penafsiran gramatikal, berdasarkan penafsiran sistematis, sistematika pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pasal 193 KUHAP
KONSTITUSI juni 2013
diperuntukkan bagi putusan tingkat PN. Pasal 242 KUHAP diperuntukkan bagi putusan PT. Sementara tingkat kasasi, tidak terdapat ketentuan bagi hakim MA untuk memerintahkan supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan. “Dapat disimpulkan bahwa perintah supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan, hanya diperuntukkan bagi putusan PN dan PT dan tidak berlaku bagi putusan MA,” simpul Taufik. Oleh karena itu, untuk menghindari multitafsir Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, Taufik meminta MK agar memberikan tafsir konstitusi terhadap frasa “ditahan” dan “tahanan”. “Dengan adanya tafsir ini, maka tidak terbuka lagi ruang bagi berbagai pihak untuk menghindari eksekusi, dan tidak terbuka lagi potensi konflik antaraparat penegak hukum yang memiliki tafsirnya masingmasing,” pungkas Taufik.
permohonannya, terutama soal argumentasi polemik yang dikemukakan Pemohon, apakah polemik tersebut merupakan polemik hukum hukum ataukah itu memang polemik konstitusionalitas norma yang memang menjadi wewenang MK untuk menyelesaikannya. Usai persidangan Taufik mengungkapkan kemungkinan besar permohonan ini diputus oleh MK tidak dapat diterima, namun dirinya tidak mempersoalkan hal tersebut, karena dengan permohonan ini MK dapat memberikan penjelasan terkait pasal yang dimohonkan olehnya sehinga bisa menghentikan polemik yang terjadi diantara penegak hukum akhir-akhir ini. Ilham/Nur Rosihin Ana
“Polemik” Putusan MK Menanggapi permohonan Taufik Basari, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan putusan MK Nomor 69/ PUU-X/2012 sudah cukup jelas, kendati di dalamnya tidak menyebutkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Menurut Hamdan, putusan pidana pengadilan tetap sah dan tidak batal demi hukum, sehingga perdebatan penafsiran seharusnya sudah selesai. Sementara Akil Mochtar menyinggung permohonan Pemohon yang dipandang mempersoalkan kembali putusan MK. “Saudara memancing kami untuk memperdebatkan putusan MK,” ujar Akil. Menurut Akil, argumentasi yang diajukan Pemohon lebih banyak berkutat pada jaminan kepastian hukum yang adil, dan itu tidak berbeda dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus MK. Akil juga mempertanyakan contoh polemik yang dikemukakan Pemohon. “Apakah benar putusan tersebut menimbulkan polemik? Apakah benar polemik tersebut menimbulkan kerugian konstitusional?” tanya Akil. Menurutnya, setiap putusan MK selalu menjadi kontroversial dan itu hal yang biasa, apa lagi putusan yang menjadi landmark. Akil meminta kepada Pemohon untuk memperbaiki
45
Ruang Sidang
hukum
MK: LSM dan Ormas Dapat Ajukan Praperadilan
S
iapakah yang dimaksud dengan “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam ketentuan Pasal 80 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? KUHAP sendiri tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan”. Ketidakjelasan frasa ini pun memunculkan spekulasi multiinterpretasi. Imbasnya, upaya hukum praperadilan yang diajukan oleh masyarakat umum melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) seringkali ditolak karena tidak memiliki legal standing. Interpretasi frasa “Pihak ketiga yang berkepentingan” dalam ketentuan tersebut dipersempit dan terbatas pada saksi korban atau pelapor. Kini, tiada lagi multiinterpretasi yang berpeluang menghadang langkah LSM atau Ormas untuk mengajukan praperadilan, setelah MK menyatakan frasa tersebut inkonstitusional bersyarat. MK menyatakan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” yang terdapat dalam Pasal 80 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”. Demikian amar putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (21/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dengan adanya putusan ini, maka saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan (Ormas) adalah termasuk dalam pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” sebagaimana diatur dalam Pasal 80 KUHAP, yakni sebagai pihak yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. “Mengabulkan permohonan
46
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman (kiri), berbincang dengan kuasa hukum lainnya menjelang dimulainya sidang pengucapan Putusan Nomor 8/PUU-XI/2013 ihwal pengujian materi UU PTPK Selasa (21/5/2013) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Pemohon; frasa ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ dalam Pasal 80 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan’,” kata Akil membacakan putusan permohonan pengujian materi KUHAP yang diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI). Selain itu, amar putusan MK juga menyatakan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan’”. Selengkapnya, Pasal 80 KUHAP berbunyi, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasannya”.
Interpretasi Pihak Ketiga Putusan uji materi KUHAP yang diajukan oleh MAKI ini berkaitan dengan perkara pengujian UU KUHAP yang diajukan oleh Fadel Muhammad yang telah diputus oleh MK dalam putusan Nomor 76/PUU-X/2012 yang diucapkan pada 8 Januari 2013 lalu. Dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, bahwa dalam putusan MK Nomor 76/PUU-X/2012 walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan”, namun menurut Mahkamah, yang dimaksud dengan “pihak ketiga yang berkepentingan” bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal tersebut tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan
KONSTITUSI juni 2013
yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti LSM atau Ormas lainnya karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana. “Peran serta masyarakat baik perorangan warga negara ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan dalam pengawasan penegakan hukum,” terang Hamdan. Hamdan juga menjelaskan norma yang dimohonkan oleh MAKI dalam perkara tersebut adalah sama dengan norma yang dimohonkan oleh Fadel Muhammad, yaitu permohonan Nomor 76/PUU-X/2012. Hanya saja maksud permohonan dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 adalah untuk mempersempit penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP, sehingga MK menyatakan menolak permohonan Fadel Muhammad. Sedangkan maksud permohonan MAKI ini, lanjut Hamdan, adalah
sebaliknya, yaitu untuk memperluas penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP. Oleh karena maksud permohonan dalam permohonan MAKI sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut di atas, maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUUX/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan MAKI. “Berdasarkan pertimbanganpertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon beralasan menurut hukum,” terangnya. MAKI sebagai aktivis pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum secara umum merasakan adanya kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 80 KUHAP. Kerugian dimaksud khususnya mengenai penafsiran sempit “pihak ketiga berkepentingan” dibatasi saksi korban dan atau saksi korban sudah diwakili oleh aparat negara yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
Pasal ini tidak menjelaskan secara gamblang siapa “pihak ketiga berkepentingan” yang berhak mengajukan praperadilan, dan apa syarat-syarat untuk bisa disebut sebagai pihak ketiga berkepentingan. Pasal ini hanya menjelaskan permintaan pemeriksaan perihal sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dapat diajukan oleh penyidik maupun penuntut umum dan pihak ketiga berkepentingan kepada pengadilan dengan menyebut alasannya. MAKI telah mengajukan praperadilan atas perkara-perkara korupsi sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Namun upaya MAKI tidak diterima dengan alasan hak gugat MAKI selaku pihak ketiga berkepentingan, belum diatur dalam undang-undang serta terdapat ketentuan yang membatasi ruang gerak MAKI untuk turut serta melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum. Lulu Anjarsari/Nur Rosihin Ana
Praperadilan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
P
eran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun, tidak diaturnya hak gugat dan peran serta masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang tidak mau menangani perkara korupsi, menyalahgunakan wewenang bahkan melakukan korupsi, dan menghentikan penanganan perkara secara tidak sah, menyebabkan tujuan pemberantasan korupsi tidak akan tercapai. Misalnya apa yang pernah dilakukan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) saat mengajukan gugatan praperadilan penghentikan perkara korupsi BLBI Syamsul Nursalim. Awalnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang diajukan MAKI. Namun putusan tersebut oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dinyatakan tidak dapat diterima. Alasannya, UU Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tidak mengatur hak gugat LSM/ORMAS untuk mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkaraperkara korupsi.
KONSTITUSI juni 2013
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, usai menerima salinan Putusan Nomor 98/PUU-X/2012 ihwal pengujian materi KUHAP, Selasa (21/5/2013) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Menghadapi kenyataan tersebut, MAKI pun mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) ke
MK yang kemudian diregistrasi dengan nomor perkara 8/PUU-XI/2013. MAKI menganggap telah mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 41 ayat (4) UU PTPK karena tidak
47
Ruang Sidang
hukum
mengatur peran serta masyarakat untuk mengajukan gugatan praperadilan kasus korupsi. Hal ini menurut MAKI, bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 41 ayat (4) UU PTPK menyatakan “Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya” “Mutatis Mutandis” Mahkamah menilai dalil MAKI tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan MAKI berbuah penolakan. “Amar Putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon,” tukas Ketua MK, M. Akil Mochtar didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya, saat sidang pengucapan Putusan Nomor 8/ PUU-XI/2013, Selasa (21/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Kendati Mahkamah menyatakan menolak permohonan MAKI, namun Mahkamah membuat pertimbangan hukum yang perlu digarisbawahi, yakni Mahkamah menyatakan pokok permohonan perkara ini mutatis mutandis (berlaku hal yang sama) dengan permohonan perkara Nomor 76/PUUX/2012 yang dibacakan putusannya pada 8 Januari 2013 dan perkara Nomor 98/ PUU-X/2012 yang dibacakan sebelumnya pada hari ini juga. Permohonan perkara Nomor 76/PUU-X/2012 diajukan oleh Fadel Muhammad. Sedangkan perkara No. 98/
48
PUU-X/2012 juga dimohonkan oleh MAKI. Mahkamah pun berpendapat UU PTPK sejatinya mengatur mengenai hukum pidana korupsi dan hukum acara pidana korupsi. Hukum pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK yang mengatur mengenai perumusan unsur-unsur pidana korupsi dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana korupsi tersebut. Adapun hukum acara pidana korupsi diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 UU tersebut yang mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti, metode pembuktian, proses penyidikan, penuntutan, dan sidang di pengadilan. Namun, hukum acara pidana korupsi tidak hanya diatur dalam UU PTPK, melainkan juga diatur dalam UU lainnya, misalnya dalam KUHAP. “Hukum acara pidana untuk perkara korupsi tidak hanya diatur dalam UU PTPK saja, melainkan juga diatur dalam UU lain. Antara lain, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” jelas Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan Pertimbangan Hukum Mahkamah. Maria pun menjelaskan, UU PTPK sebenarnya sudah menegaskan ketentuan mengenai hal tersebut lewat Pasal 26 UU PTPK yang menyatakan, “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Berdasarkan Pasal 26 UU PTPK, Mahkamah menganggap lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP
juga berlaku untuk pidana korupsi. Praperadilan menurut Penjelasan Pasal 80 KUHAP bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal. Hak Praperadilan Untuk memastikan ada pengawasan agar tidak terjadi tindakan upaya paksa, maka perlu dilakukan pengawasan timbal balik dan pengawasan ganda yang juga diatur dalam Pasal 80 KUHAP yang menyatakan, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.” Pengertian pihak ketiga, lanjut Maria, dapat pula ditafsirkan secara luas mencakup masyarakat luas yang di dalamnya termasuk LSM atau organisasi massa lainnya. Pokok permohonan yang dipersoalkan oleh MAKI adalah mengenai dimungkinkannya LSM/Ormas dapat diberikan hak untuk mengajukan praperadilan terhadap penghentian kasus korupsi oleh penegak hukum. Terhadap hal ini, Mahkamah dalam Putusan Nomor 76/PUU-X/2012 tanggal 8 Januari 2013 telah memberikan hak kepada LSM untuk dapat mengajukan praperadilan. “Pertimbangan Mahkamah tersebut dikutip kembali dalam Putusan Nomor 98/PUU-X/2012, tanggal 21 Mei 2013,” tukas Maria. Yusti Nurul Agustin/Nur Rosihin Ana
KONSTITUSI juni 2013
pendidikan
Ruang Sidang
H.A.R. Tilaar: UU Dikti Singkirkan Mahasiswa Miskin
P
erguruan Tinggi Negeri (PTN) wajib dibiayai sepenuhnya oleh negara sehingga PTN tidak mencari dana sendiri yang berpotensi akan mengikat dan membatasi otonominya. Sedangkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai mitra PTN, mempunyai otonomi akademik dan pengelolaan karena PTS harus menghidupi dirinya sendiri. Pengelolaan biaya akademik dan biaya nonakademik secara terpisah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) berimplikasi tersingkirnya mahasiswa dari kalangan keluarga miskin. Hal ini tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang memberikan hak yang sama kepada semua warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan. “Pengelolaan atas biaya akademik dan biaya nonakademik secara terpisah yang berimplikasi tersingkirnya mahasiswa dari keluarga miskin,” kata H.A.R. Tilaar dalam persidangan perkara Nomor 33/PUU-XI/2013 ihwal uji materi UU Dikti yang digelar pada Kamis (30/5/2013) di Ruang Sidang Pleno MK. Tilaar yang didaulat sebagai ahli oleh para Pemohon, di hadapan sembilan Hakim Konstitusi menyatakan, penerapan pengelolaan pendidikan tinggi dengan prinsip Badan Layanan Umum (BLU) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, akan menutup pintu bagi masyarakat miskin memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakatnya karena prinsip BLU bernuansa komersialisasi pendidikan. Pengelolaan pendidikan dengan prinsip BLU yang berdasarkan prinsip ekonomi dan praktik bisnis yang sehat sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 2 PP Nomor 23 Tahun 2005 tersebut, tidak sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini. Pakar pendidikan ini mengungkap fakta bahwa Indonesia masih merupakan negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi sehingga perlu ada kesempatan yang seluas-luasnya pada semua warga negara untuk mengembangkan bakatnya. Apalagi, pendidikan tinggi merupakan investasi karena mempunyai “rate of returns” yang
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/GANIE
H.A.R. Tilaar (Ahli Pemohon) menyampaikan paparan dalam persidangan perkara Nomor 33/ PUU-XI/2013 ihwal uji materi UU Dikti yang digelar pada Kamis (30/5/2013) di Ruang Sidang Pleno MK.
cukup besar sebagai modal kultural, dan modal sosial ekonomi. Pada persidangan kali ketiga ini, para Pemohon juga menghadirkan seorang ahli hukum yaitu Dian Puji Simatupang. Dian dalam keterangannya menyatakan, munculnya status Perguruan Tinggi Badan Hukum seperti yang diatur dalam UU Dikti, menciptakan paradoks rasionalitas yang secara nalar hukum menimbulkan contradictio in terminis. Hal ini diakibatkan oleh Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Padahal, lanjut Dian, sebuah badan hukum mempunyai kepentingan sendiri karena mempunyai kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara. Dalam sidang tersebut, hadir perwakilan perguruan tinggi berbadan hukum, seperti UI, UGM, dan IPB, sebagai Pihak Terkait. Perwakilan UGM membantah permohonan yang disampaikan oleh Pemohon. UGM menilai tidak benar adanya dalil Pemohon yang menyatakan bahwa UU Dikti tidak identik dengan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Sementara itu IPB menilai UU Dikti bukan liberalisasi pendidikan tinggi serta tidak bertentangan dengan konstitusi. Seperti diberitakan sebelumnya, permohonan uji materi UU Dikti ini diajukan oleh dua orang mahasiswa, orang
tua siswa, dan aktivis. Mereka yaitu, Moh. Junaidi, Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Aida Milasari (orang tua siswa), dan Yogo Danianto (aktivis). Para Pemohon melalui kuasa hukum Pratiwi Febri mengungkapkan, norma hukum yang dikandung dalam UU Dikti telah mengatur hingga sampai pada hal-hal teknis, terutama terkait pengelolaan keuangan, yang pada akhirnya menghilangkan tujuan utama atau hakikat (raison de’etre) pendidikan tinggi serta melahirkan ketidakadilan bagi sejumlah anak bangsa. Faktanya, sejak beberapa perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum berdasarkan UU Dikti, seperti Universitas Indonesia (kampus Pemohon I) dan Universitas Gadjah Mada (kampus Pemohon II), telah melahirkan sejumlah kebijakan kampus yang ujungujungnya menambah beban pembiayaan pendidikan kepada mahasiswa. Oleh karena itu, dalam tuntutan atau petitum permohonannya, Para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan seluruh permohonannya. “Menyatakan UndangUndang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan khususnya alinea pembukaan UUD 1945, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Pratiwi. Lulu Anjarsari/Nur Rosihin Ana
49
Ruang Sidang
PHPU
PHPU Kota Palembang Onak Duri Kesalahan Hasil Rekapitulasi
M
edia massa nasional maupun daerah belakangan ini ramai memberitakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Palembang yang dibacakan putusannya, Senin (20/5). Tidak semata akibat putusan MK, media massa gencar memberitakan perkara yang dimohonkan oleh Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Palembang Nomor Urut 2, Romi HertonHarno Joyo itu karena objek sengketanya yang tidak biasa. Bila pada permohonan perkara Pemilukada lain yang masuk ke meja sidang MK lebih banyak mendalilkan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, kali ini Pasangan Romi Herton-Harno Joyo hanya menggugat hasil rekapitulasi KPU Kota Palembang. Pada sidang perdana yang digelar Senin (6/5), Sirra Prayuna selaku kuasa hukum Pasangan Romi Herton-Harno Joyo menyatakan kliennya keberatan dengan hasil rekapitulasi perolehan suara yang diumumkan KPU Kota Palembang. Sebelumnya, KPU Kota Palembang menyatakan Pasangan Calon No. Urut 1, Mularis Djahri-Husni Thamrin memperoleh 97.810 suara. Sedangkan Pasangan Calon No. Urut 2, Romi HertonHarno Joyo dinyatakan mendapat 316.915 suara. Terakhir, Pasangan Calon No. Urut 3, Sarimuda-Nelly Rasdiana dinyatakan memperoleh 316. 923 suara. Dari pernyataan KPU Kota Palembang terkait perolehan suara masing-masing pasangan calon tersebut diketahui antara Pasangan Romi HertonHarno Joyo dan Pasangan SarimudaNelly Rasdiana hanya terdapat perbedaan 8 suara. Usai itu, media massa nasional maupun daerah menggadang-gadang selisih suara sebanyak 8 suara itu hanya terjadi pertama kali di Indonesia, bahkan ada yang berani mengatakan baru pertama
50
Salah satu Kuasa Hukum Pemohon Sirra Prayuna (tengah), saat membacakan pokokpokok permohonan pada sidang perselisihan hasil Pemilukada Kota Palembang di ruang Sidang Pleno Gedung MK.
kali terjadi di dunia. Namun, Pasangan Romi Herton-Harno Joyo tidak puas dengan “pencapaian” tersebut sehingga mereka mengajukan gugatan ke MK. Dalam permohonannya. Pasangan Romi Herton-Harno Joyo bahkan memiliki versi perolehan suara sendiri. Versi perolehan suara menurut Pasangan Romi Herton-Harno Joyo, yaitu 97.810 suara untuk Pasangan Calon No. Urut 1, Mularis Djahri-Husni Thamrin, 316.921 suara untuk Pasangan Calon No. Urut 2 Romi Herton-Harno Joyo, dan 316.897 suara untuk Pasangan Calon No. Urut 3 Sarimuda-Nelly Rasdiana. Pada perolehan suara versi Pasangan Romi Herton-Harno Joyo selaku Pemohon perkara ini, terlihat Pasangan No. Urut 2 itu unggul 24 suara. Artinya, lewat versi tersebut, Pemohon menyatakan dirinyalah yang seharusnya menjadi Walikota dan Wakil Walikota Palembang terpilih, bukan Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana. Perbedaan versi perolehan suara antara KPU Kota Palembang selaku Termohon dengan Pasangan Romi HertonHarno Joyo selaku Pemohon menurut Sirra
Humas MK/GANIE
Prayuna karena terjadinya penambahan suara bagi Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar diberbagai kelurahan. “Ada tiga kategori dalam permohonan kami ini. Pertama, menyangkut terjadinya penggelembungan suara atau penambahan suara. Kedua, berkaitan dengan pengurangan suara. Ketiga, adanya surat suara (surat suara sah untuk Pemohon, red) yang dinyatakan tidak sah oleh anggota KPPS,” ujar Sirra saat sidang perdana yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, M. Akil Mochtar di Ruang Sidang Panel MK, Senin (20/5) . Selanjutnya Sirra mengungkapkan bentuk-bentuk penggelembungan dan penguaran suara yang dimaksud oleh pihaknya. Pengurangan suara milik Pasangan Romi Herton-Harno Joyo, lanjut Sirra, terjadi di TPS 5 Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil sebanyak satu suara yang dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di sana. Selain itu, terjadi pula kekeliruan penghitungan suara dan berupa
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/GANIE
Kuasa Hukum Termohon Alamsyah saat memberikan bantahan dalil-dalil pemohon terkait perselisihan hasil Pemilukada Kota Palembang di ruang Sidang Pleno Gedung MK.
penambahan perhitungan suara kepada Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana. Penambahan suara bagi Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana terjadi saat rekapitulasi di TPS 20 Kelurahan Talang Aman, Kecamatan Kemuning sebanyak lima suara. Kemudian, penambahan suara kepada Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana juga terjadi di TPS 03 Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami sebanyak 20 suara. Penambahan serupa juga terjadi di TPS 13 Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami sebanyak satu suara. “Selanjutnya, berkaitan dengan adanya lima surat suara (milik Pemohon, red) yang dinyatakan tidak sah terjadi dengan tidak diakuinya lima suara milik Pemohon. Hal itu terjadi di TPS 13 Kelurahan Karya Jaya, Kecamatan Kertapati Karena pada saat perhitungan suara, lima surat suara yang dicoblos pada gambar Pasangan Calon Nomor Urut 2 (Romi Herton-Harno Joyo) dengan bolongan atau coblosan terlalu besar yang masih berada di dalam kotak,” papar Sirra. Bantahan Pada sidang kedua, tudingan Pasangan Romi Herton-Harno Joyo selaku Pemohon dibantah mentah-mentah oleh Pihak KPU Kota Palembang selaku Termohon dan Pihak Pasangan SarimudaNelly Rasdiana selaku Pihak Terkait. Alamsyah selaku Kuasa Hukum Termohon membantah tudingan Pemohon dengan menyatakan permohonan
KONSTITUSI juni 2013
Pemohon kabur dan cacat yuridis. Alamsyah membantah hilangnya suara Pemohon dan meyakinkan panel hakim dapat membuktikan suara Pemohon tidak hilang sama sekali. Sedangkan suara untuk Pemohon yang dinyatakan tidak sah sematamata karena surat suara dimaksud rusak. Pada intinya, Alamsyah menegaskan kliennya,, yakni KPU Kota Pelembang sudah bekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Termohon sudah bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku, terbuka untuk umum, merekapitulasi hasil penghitungan suara dari kecamatan selama dua hari dua malam, terbuka untuk umum. Kemudian semuanya itu prosedural, sehingga terdapatlah angka delapan suara perselisihan dari para kandidat. Yang unggul delapan suara itu akhirnya ditetapkan ditetapkan sebagai walikota dan wakil walikota terpilih,” jelas Alamsyah. Pihak KPU Kota Palembang memastikan dirinya sudah bekerja dan menetapkan pasangan calon terpilihsebagai Walikota dan Wakil Walikota Palembang sesuai dengan Pasal 46 Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Panitia Pemilihan Kecamatan, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Komisi Pemilihan Umum Provinsi, serta Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan, dan Pelantikan Komisi Pemilihan Umum.
Pasal dimaksud secara lengkap berbunyi sebagai berikut. Pasal 46 (1) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. (2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih dengan Keputusan KPU Provinsi atau Keputusan KPU Kabupaten/ Kota. Sementara itu, Jamaluddin Karim selaku Kuasa Hukum Pasangan Calon Terpilih Sarimuda-Nelly Rasdiana (Pihak Terkait) juga membantah dalil Pemohon. Menurut Jamaluddin, permohonan Pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan hukum. Bahkan cenderung dipaksakan. “Dalil pemohon sangat mengada-ada dan lemah sekali. Sedangkan keputusan KPU Kota Palembang sudah benar karena berdasarkan data-data dan dokumen yang sah,” ucap Jamaluddin pada persidangan kedua. Kesaksian Anggota KPPS Demi membuktikan dalilnya, Pemohon menghadirkan KPPS yang bertugas untuk memberikan kesaksian bahwa benar telah terjadi penggelembungan suara milih Pihak Terkait dan pengurangan sura miliki Pemohon. Sopa Wancik, Ketua KPPS di TPS 13 Karya Jaya, Kecamatan Kertapati merupakan salah satu petugas yang dihadirkan Pemohon untuk membuktikan dalilnya. Dalam kesaksian di bawah sumpah Wancik mengungkapkan di saat penghitungan suara di TPS 13 tempatnya bertugas memang benar ditemukan surat suara Pasangan Romi Herton-Harno Joyo yang dicoblos dengan bolongan cukup besar sebanyak lima surat suara. Coblosan besar itu terletak di bagian kepala pada gambar pasangan Romi Herton-Harno Joyo yang menyebabkan gambar kepala tersebut hilang. Namun, karena diarahkan oleh PPS dan atas kesepakatan semua anggota
51
Ruang Sidang
PHPU
KPPS, surat suara yang coblosannya besar itu tidak dinyatakan sah. “Kalau memang menurut peraturan sah, ya sah. Cuma itu atas kesepakatan kami anggota KPPS juga arahan dari PPS, apabila pencoblosan itu agak besar, bolongnya besar, maka dinyatakan tidak sah,” ungkap Wancik. Pengakuan serupa juga diungkap oleh Slamet yang bertugas sebagai Ketua KPPS 03, Kelurahan Sukajaya mengatakan ada perbedaan penulisan perolehan suara Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana di TPS-nya dengan rekapitulasi di tingkat kelurahan. Sebelumnya, Pasangan Saimuda-Nelly Rasdiana memperoleh 162 suara, akan tetapi ketika penghitungan di tingkat kelurahan terjadi perubahan menjadi 182 suara. “Untuk penambahan menjadi 182 bukan di TPS kami, Pak. Tapi besoknya di PPS,” ungkap Slamet yang mengatakan waktu ia menandatangani C-1 di TPS jumlahnya 162 suara untuk Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana. Pembukaan Kotak Suara Demi mendapatkan kebenaran terkait tudingan Pemohon mengenai adanya penggelambungan suara Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana dan pengurangan suara Pasangan Romi Herton-Harno Joyo, Panel Hakim Konstitusi membuka lima kotak suara pada sidang yang digelar Selasa (14/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Lima kotak suara yang dibuka adalah kotak suara dari TPS 13 Kelurahan Karyajaya, TPS 5 Kelurahan Talang Semut, TPS 20 Kelurahan Talang Aman, serta TPS 03 dan TPS 13 Kelurahan Sukajaya. “Baiklah, hari ini agenda terakhir dalam persidangan ini. Kita, Majelis Hakim akan meyakinkan dirinya dengan melihat kotak suara yang berisi surat suara dan tentunya lain-lain yang berkaitan dengan alat kelengkapan pemilu yang dipersoalkan oleh para pihak,” tegas Ketua Panel Hakim, M. Akil Mochtar saat itu. Setelah dibuka, terdapat beberapa perbedaan antara data yang dimiliki, baik oleh Pasangan Calon Romi Herton-Harno Joyo, KPU Kota Palembang, maupun Pasangan Calon Sarimuda-Nelly Rasdiana. Beberapa perbedaan yang ditemukan, antara lain terkait angka-angka yang tertera dalam formulir rekapitulasi, tanda tangan, bentuk tulisan, dan beberapa coretan yang didapati pada dokumen. “Formulir model
52
C-1, lampiran ini ada ini. Saya mau lihat dulu, formulirnya kosong-kosong semua, saya periksa dulu isinya. Soal di luar, di dalam, itu soal nanti penilaian Hakim,” ujar Akil mengomentari formulir C-1 yang ada di kotak suara TPS 5 Kelurahan Talang Semut. Saat itu Panel Hakim sempat kesulitan dalam melakukan pengecekan terhadap beberapa kotak suara karena terdapat kotak suara yang hilang kunci gemboknya, ada juga kondisi dokumen dan surat suara yang basah. Putusan Usai melewati serangkaian sidang hingga pembukaan lima kotak suara dari empat kelurahan di atas, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan Perkara Pemilukada Kota Palembang, Senin (20/5). Pada sidang pembacaan tersebut, Mahkamah menyatakan Pasangan Romi Herton-Harno Joyo unggul 23 suara dari Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana yang sebelumnya dinyatakan unggul delapan suara oleh KPU Kota Palembang. Dalam pendapat hukum yang dibacakan Hakim Anwar Usman, Mahkamah berpendapat terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilukada Kota Palembang Tahun 2013. “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut Mahkamah terdapat kesalahan
atau kekeliruan dalam Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilukada Kota Palembang Tahun 2013 yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara dan peringkat perolehan suara masingmasing pasangan calon peserta Pemilukada Kota Palembang Tahun 2013. Salah satu kekeliruan rekapitulasi perhitungan suara dimaksud terjadi di TPS 13 Kelurahan Sukajaya. Karena Mahkamah tidak dapat menemukan dokumen rekapitulasi yang dapat diyakini validitasnya, Mahkamah melakukan penghitungan ulang surat suara TPS 13 Kelurahan Sukajaya tersebut. Usai menghitung ulang, Mahkamah menemukan fakta bahwa terdapat kesalahan rekapitulasi terhadap jumlah suara tidak sah yang menurut dokumen para pihak hanya tercatat sejumlah 10 suara yang tidak sah. Padahal, seharusnya suara tidak sah berjumlah 13 suara yang semula dihitung sebagai milik Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana. “Karena suara yang tidak sah tersebut adalah surat suara yang semula dihitung sebagai milik Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Sarimuda-Nelly Rasdiana, red) maka setelah dikurangi tiga surat suara tidak sah, Pasangan Calon Nomor Urut 3 memperoleh 190 suara, sedangkan Pasangan Calon Nomor Urut 1 tetap memperoleh 3 suara, dan Pasangan Calon Nomor Urut 2 tetap memperoleh 76 suara. Berdasarkan pertimbangan
Salah satu saksi pihak terkait Midianto Anggota PPS saat menyampaikan kesaksiannya terkait perselisihan hasil Pemilukada Kota Palembang di ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Humas MK/GANIE
KONSTITUSI juni 2013
Petugas Persidangan membuka salah satu kotak suara yang dihadirkan pada sidang pembuktian Perkara Pemilukada Kota Palembang di Ruang Sidang Pleno MK.
tersebut di atas, Mahkamah menyatakan telah terjadi kekeliruan dalam rekapitulasi perolehan suara di TPS 13 Kelurahan Sukajaya. Dengan demikian sebagian dalil Pemohon terbukti menurut hukum dan karenanya hasil rekapitulasi TPS 13 Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami harus dibatalkan,” urai Anwar Usman membacakan salah satu kutipan pendapat hukum Mahkamah mengenai adanya kekeliruan rekapitulasi perhitungan suara di TPS 13 Kelurahan Sukajaya. Secara keseluruhan, Mahkamah menyatakan total perolehan suara yang benar, yaitu Pasangan Calon Nomor Urut 1, Mularis Djahri-Husni Thamrin memperoleh 97.809 suara. Kemudian, Pasangan Calon Nomor Urut 2, Romi Herton-Harno Joyo memperoleh 316.919 suara. Dan, pasangan Calon Nomor Urut 3, Sarimuda-Nelly Rasdiana memperoleh 316.896 suara. Dengan begitu, Pasangan Romi Herton-Harno Joyo unggul 23 suara dibanding Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana. Berikut kutipan Amar Putusan Mahkamah yang membatalkan
kemenangan Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana sebelumnya. Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Palembang Nomor 34/Kpts/KPU.Kota-006.435501/2013 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Palembang Tahun 2013 di KPU Kota Palembang bertanggal 13 April 2013, beserta lampirannya, sepanjang perolehan suara pasangan calon di TPS 13 Kelurahan Karya Jaya, Kecamatan Kertapati; TPS 5 Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil; TPS 20 Kelurahan Talang Aman, Kecamatan Kemuning; serta TPS 3 dan TPS 13 Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami. Untuk selanjutnya, putusan ini akan menjadi dasar bagi Komisi Pemilihan Umum Kota Palembang untuk menerbitkan surat keputusan baru terkait hasil Pemilukada Kota Palembang 2013. “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kota Palembang untuk melaksanakan putusan ini,” tukas Akil membacakan poin kesembilan dalam putusan Mahkamah tesebut.
Humas MK/GANIE
Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, masih saja ada pihak yang tidak menghormati keputusan MK terhadap perkara ini. Diberitakan di beberapa media, masyarakat Palembang yang tidak puas dengan keputusan di atas melakukan aksi anarkis dengan membakar toko dan merusak fasilitas publik lainnya. Padahal, bila semua pihak paham, putusan Mahkamah Konstitusi didapat dari serangkaian proses sidang yang demokratis dan terbuka untuk umum. Semua pihak yang terkait persidangan memiliki kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat dan mengajukan bukti-buktinya. Selain itu, sebelum memutus suatu perkara, termasuk perkara ini, Hakim Konstitusi telah melakukan rapat pleno dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Komposisi Hakim Konstitusi yang seimbang mewakili lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif menjamin independensi Hakim Konstitusi. Seharusnya, semua pihak menghormati dan menjalankan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat demi tegaknya supremasi hukum. Yusti Nurul Agustin
KONSTITUSI juni 2013
53
Kilas perkara Uji UU Kawasan Perdagangan Bebas Salah Objek, BP Batam Tetap Beroperasi
Pemohon pengujian UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian), mencabut kembali permohonan yang telah diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 47/PUU-XI/2013. Menanggapi hal ini, pada Selasa (28/5) MK menggelar sidang pengucapan ketetapan. Mahkamah menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materi UU Perkoperasian yang diajukan oleh Perkumpulan Pancur Kasih, Koperasi Credit Union Sumber Kasih, Koperasi Kredit Canaga Antutn, dan Koperasi Kredit Gemalag Kemisiq. “Permohonan Pemohon perihal permohonan pengujian materil Pasal 1 ayat (1) dan ayat (18), Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 55 ayat (1), Pasal 115, dan Penjelasannya UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian ditarik kembali,” ucap Ketua Pleno M. Akil Mochtar yang didampingi para hakim konstitusi lainnya. (Nano Tresna Arfana)
BUMN dan BUMD Bebani APBN Mahkamah Konstitusi memutuskan tidak dapat menerima permohonan LSM Kelompok Diskusi Anti 86 (KODAT 86) yang mempersoalkan keberadaan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) yang menurutnya kerap menimbulkan masalah. MK menilai KODAT telah salah menentukan objek perkara karena pada UU Nomor 44 tahun 2007 tidak terdapat pasal 4, melainkan hanya terdapat 2 pasal. “Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum diatas, MK berkesimpulan Pemohon telah salah dalam menentukan objek perkara sehingga permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Akil Mochtar membacakan amar Putusan Nomor 29/PUU-XI/2013, Selasa, (21/5/2013). Ta’in Komari selaku koordinator LSM ini mendalilkan dalam permohonannya, keberadaan BP Batam lebih merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat yang tidak ingin kehilangan peran strategis dalam mengelola dan mengatur perekonomian Batam yang dikenal sebagai gerbang utama transaksi bisnis dengan negara tetangga, Singapura. Ditemui usai menerima salinan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Komari menegaskan bahwa pihaknya akan kembali mengajukan gugatan dengan memperbaiki objek sengketa yang diajukan. "Saya kira ada 4 pasal, ternyata hanya ada 2. Kami akan ajukan lagi. Masih ada celah," ujarnya singkat. (Juliette)
Permohonan Uji UU Perkoperasian Dicabut
54
Masuknya kekayaan dan pengelolaan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penggunaan APBN untuk kemakmuran rakyat. Argumentasi tersebut menjadi dasar bagi Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 huruf g dan huruf i, UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara ke MK. Dalam sidang perkara Nomor 48/PUU-XI/2013 yang digelar di MK, Rabu (22/2013), CSSUI yang diwakili oleh enam orang dosen dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), yaitu Arifin Soeria Atmadja, Sigid Edi Sutomo, Machfud Sidik, Tjip Ismail, Darminto Hartono, dan Dian Puji Simatupang, kepada majelis hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Anwar Usman, menyatakan, APBN yang dibayarkan oleh warga negara melalui pajak, berpotensi tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, karena digunakan untuk menutup kerugian BUMN, BUMD dan kegiatan usaha lainnya yang mendapatkan fasilitas pemerintah. Sehingga keberadaan norma yang dimohonkan untuk diuji menyebabkan resiko fiskal dan kerugian bagi negara, karena kekayaan dan pengelolaan keuangan BUMN dan BUMD masih dimasukkan dalam APBN. Arifin berpendapat seharusnya pengelolaan keuangan dan kekayaan BUMN serta BUMD dipisahkan dari APBN. (Ilham)
KONSTITUSI juni 2013
MK Tolak Uji Ketentuan “Sidang Terbuka untuk Umum”
MK menyatakan pokok permohonan Pemohon mengenai Pasal 195 sepanjang frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 ayat (2) sepanjang frasa “diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) tidak beralasan menurut hukum. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya, MK dalam Putusan Nomor 78/PUU-X/2012 menyatakan tidak dapat menerima dan menolak permohonan Pengujian KUHAP dan UU KK yang diajukan oleh Muhamad Zainal Arifin selaku advokat, Kamis (30/5). Dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, Mahkamah tidak dapat menerima permohonan Pengujian Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP. Mahkamah juga menyatakan menolak permohonan Pemohon selain dan selebihnya. Dalam putusan ini, Hakim Harjono menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). (Yusti Nurul Agustin)
Mahasiswa Pencuri Pakaian Uji Materi Empat UU
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap UUD 1945, Selasa (14/05/2013). Dalam permohonan perkara dengan Nomor 42/PUUXI/2013 ini, Tonin menilai keempat UU tersebut membuat MA, Kejaksaan, Kepolisian RI, dan Kemenkumham, tidak patuh terhadap nota kesepahaman yang dibuat oleh keempat institusi tersebut berdasar Surat Edaran MA (SEMA) dan Peraturan MA (Perma). Dalam nota kesepahaman SEMA dan Perma tersebut dinyatakan bahwa terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang nilainya di bawah Rp. 2,5 juta termasuk dalam kategori tindak pidana ringan (tipiring). Tonin menyatakan seharusnya kliennya tidak perlu dipenjara selama 3 bulan 15 hari, jika keempat institusi hukum tersebut patuh dalam melaksanakan nota kesepahaman, SEMA dan Perma yang ada yang seharusnya termasuk dalam tipiring. (Ilham)
Terpidana Korupsi Uji UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Suami mendekam di balik jeruji bui Sukamiskin, sementara sang istri berjuang mendapatkan keadilan untuk sang suami melalui jalur peradilan konstitusi. Begitulah upaya yang ditempuh Glori Eva Angliana Brahmana, istri mantan Pegawai Kementerian Koperasi dan UKM, Samady Singarimbun. Samady merupakan terpidana kasus korupsi briket batubara tahun 2006. Eva didampingi kuasa hukum Tonin Tachta Singarimbun untuk kedua kalinya kembali hadir di persidangan MK untuk menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 44/ PUU-XI/2013 yang diajukan Samady, suami Eva, Kamis (16/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Samady kali ini mengujikan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penjelasannya (UU PTPK) beserta Penjelasannya. Sebelumnya, pada Eva dan Tonin pada Rabu (15/5) hadir di persidangan MK untuk menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materi UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Melalui Tonin, Samady mendalilkan bahwa ketentuan dalam pasal ini telah merugikan hak konstitusionalnya, khususnya yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. “Harapan kami, sidang ini bisa membatalkan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Minimal membuat persyaratan kondisional terhadap undangundangnya,” tegas Tonin di hadapan Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel) didampingi dua anggota, Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati. (Dodi)
Fahmi Ardiansyah, mahasiswa yang menjadi narapidana akibat melakukan pencurian pakaian senilai Rp. 400 ribu, memohonkan pengujian empat UU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Fahmi yang diwakili kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun, mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA), UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 16 Tahun KONSTITUSI juni 2013
55
Kilas perkara MK: Sengketa Advokat dengan BPHN Bukan SKLN
Sidang pendahuluan Perkara Nomor 49/PUU-XI/2013 ihwal uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, digelar di MK, Kamis (23/5) siang. Pemohon adalah M. Farhat Abbas dan Narliz Wandi Piliang, dengan kuasa hukumnya Windu Wijaya dkk. Pemohon mengujikan Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menyebutkan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.” Menurut para Pemohon, pimpinan KPK yang bersifat kolektif tersebut kurang efektif dan dapat menghambat kreativitas dan inovasi Ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPk ungkap Pemohon, tidak mengandung asas kejelasan tujuan, jaminan dapat dilaksanakan dan kedayagunaan. (Nano Tresna Arfana)
Tidak Diusung Parpol, Farhat Abbas Uji UU Pilpres Permohonan sengketa kewenangan antara advokat dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian Putusan Nomor 1/SKLN-XI/2013 dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Selasa (28/5). “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Akil di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah berpendapat, Pemohon bukanlah lembaga negara yang dibentuk atau disebut dalam UUD 1945 karena itu tidak pula memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Demikian pula Termohon bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Dengan demikian berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 61 ayat (1) UU MK, Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon. Permohonan ini diajukan oleh Dominggus Maurits Luitnan dan L.A Lada yang mewakili rekan-rekannya selaku advokat, yaitu Suhardi Somomoelyono, Abdurrahman Tardjo, Mansjur Abu Bakar, dan Metiawati. Permohonan ini bermula dari adanya kebijakan BPHN Kemenkumham dengan membuka pendaftaran dan melakukan verifikasi terhadap calon pemberi bantuan hukum. Langkah ini dinilai telah melampaui kewenangannya oleh Para Pemohon. (Lulu Anjarsari)
Kerja Kolektif Pimpinan KPK Dianggap Kurang Efektif
56
Farhat Abbas dan Iwan Piliang yang berniat mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2014 mengajukan Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Kamis (16/5). Dalam permohonannya, Farhat dan Iwan merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 UU tersebut karena menghilangkan kesempatan keduanya mencalonkan diri tanpa diusulkan partai politik. Kuasa Hukum Para Pemohon, Windu Wijaya yang hadir mewakili kliennya menyampaikan pokok-pokok permohonan perkara bernomor 46/PUU-XI/2013 itu di hadapan panel hakim. Windu menyampaikan hak kliennya sebagai warga negara dan hak parpol untuk mencalonkan atau mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden haruslah sama dan seimbang. Hal itu, lanjut Windu, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945. "Memberikan kesempatan warga negara untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa melalui partai politik tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya, menutup kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa melalui parpol seperti yang dilakukan oleh ketentuan Pasal 1, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 adalah inkonstitusional," jelas Windu menguraikan alasan permohonan kliennya. (Yusti Nurul Agustin)
KONSTITUSI juni 2013
Catatan Perkara
Swastanisasi TKI Langgar Konstitusi? Oleh: Nur Rosihin Ana
C
erita tentang derita para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, menambah panjang daftar kelam tentang minimnya perlindungan oleh negara terhadap warganya. TKI sering kali dijadikan objek perdagangan manusia. Kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat serta perlakuan yang melanggar HAM menjadi kenyataan pahit yang harus mereka terima. Hal tersebut dikarenakan negara absen memberikan perlindungan kepada para “pahlawan devisa”. Negara tidak menjalankan amanat konstitusional untuk memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri. Negara justru menyerahkan tanggung jawabnya kepada swasta. Pendelegasian tanggung jawab penempatan TKI oleh negara kepada swasta merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang yang bekerja di luar negeri. Salah satu tugas Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, prinsip perlindungan dan kepastian hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) belum tercermin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Ketidakseriusan negara memberikan perlindungan kepada TKI, tergambar jelas dalam ketentuan UU PPTKILN. Yakni Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN. Ketentuan pasal-pasal UU PPTKILN tersebut diusung ke MK untuk dimohonkan judicial review. Pengusungnya adalah Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja. Para Pemohon yang merupakan buruh migran sekaligus aktivis Yayasan PRO TKI ini meminta MK menyatakan Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan
solopos.com
KONSTITUSI juni 2013
hukum mengikat. Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan para TKI luar di negeri ini dengan Nomor 50/PUU-XI/2013 pada Senin 29 April 2013 pukul 14.00 WIB. Menanggapi permohonan buruh migran tersebut, MK menggelar sidang pendahuluan pada Selasa (28/5). Tanggung Jawab Swasta Dalam permohonan setebal 12 halaman yang dilayangkan ke MK, para Pemohon melalui kuasa hukum Sondang Tampubolon dkk, mendalilkan bahwa Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 10 yang mengamanatkan penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Pemerintah dan swasta. Namun, dalam prakteknya, Pemerintah cenderung memberikan kewenangan pengiriman TKI kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Pasal 10 UU PPTKILN menyatakan, “Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: a. Pemerintah; b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.” Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU PPTKILN memberikakan tanggung jawab penempatan TKI kepada swasta. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Kontrak Mandiri Para Pemohon juga berdalil bahwa pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya oleh PPTKIS, menutup peluang TKI untuk mengurus perpanjangan kontrak secara mandiri. Hal ini merugikan karena tiadanya jaminan para Pemohon akan kembali bekerja pada majikan yang sama. Selain itu, para Pemohon berpotentsi kehilangan pekerjaan sebab fakta selama
57
Catatan Perkara ini, penempatan TKI swasta sering mempersulit pengurusan perpanjangan kerja TKI. Bahkan ditemukan fakta perusahaan penempatan TKI swasta tidak lagi diketahui keberadaannya. Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.” Frasa “oleh dan menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta” dalam ketentuan pasal ini membatasi secara limitatif bahwa yang boleh melaksanakan pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Hal ini menurut para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Begitu pula dengan ketentuan Pasal 59 UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Ketentuan ini menurut para Pemohon juga
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Ketentuan ini mengharuskan TKI pulang ke Indonesia untuk mengurus perpanjangan perjanjian kerja. Ketentuan ini selain tidak efektif, juga berpotensi menyebabkan TKI kehilangan kesempatan untuk bekerja pada majikan yang sama, karena majikan telah memperkerjakan orang lain. UU PPTKILN yang disahkan pada 18 Oktober 2004 ini telah memunculkan adanya penafsiran berbeda dari para pihak, terutama Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Kementerian Luar Negeri terkait keabsahan dan pemberlakuan kontrak mandiri. Multitafsir dimaksud yaitu pada Pasal 60 menyatakan, “Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggung jawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.” Norma Pasal 60 dalam tataran implementasi ditafsirkan berbeda oleh BNP2TKI dan Kemenakertrans. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER.04/KA/ V/2011 tentang Petunjuk Teknis Tenaga
Kerja Indonesia yang Bekerja Secara Perseorangan, menyebutkan bahwa kontrak kerja mandiri/perseorangan hanya dapat dilakukan bagi yang bekerja pada badan hukum. Namun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dijelaskan bahwa kontrak kerja mandiri yang dilakukan oleh TKI secara mandiri diperbolehkan, tanpa membedakan yang bekerja pada badan hukum atau perseorangan. Larangan kontrak mandiri oleh Pemerintah Indonesia di luar negeri sangat merugikan TKI. Pemerintah seharusnya mengaca pada negara lain seperti Filipina, Srilanka, dan Thailand yang membebaskan tenaga kerjanya untuk kontrak mandiri. Norma tersebut pun memunculkan pertanyaan bagi para Pemohon. Apakah perpanjangan perjanjian kerja yang dilakukan oleh TKI yang bersangkutan sah atau tidak sah? Apakah ketentuan tersebut berarti perpanjangan kerja TKI sah, tetapi risiko hukum akibat perpanjangan perjanjian ditanggung oleh TKI yang bersangkutan?
Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn Keluarga Besar MK Turut Berduka Cita Atas Wafatnya
Hj. Noer Asni Binti H. Syukur (Ibunda Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar) Lahir : Bukittinggi, 11 November 1941 Wafat : Bandung, 12 Mei 2013 Semoga Allah swt mengampuni dosa-dosa beliau serta menempatkannya pada tempat yang terbaik di sisi-Nya.
58
KONSTITUSI juni 2013
Catatan Perkara Daftar Putusan Pengujian Undang-Undang (PUU) Sepanjang Mei 2013 No 1
Nomor Registrasi 79/PUU-X/2012
Pokok Perkara
Pemohon
Pengujian UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945 Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945
1. Sudirman Hidayat; 2. H. samsul Hadi Siswoyo
2
98/PUU-X/2012
3
8/PUU-XI/2013
4
29/PUU-XI/2013
5
49/PUU-X/2012
6
37/PUU-XI/2013
Permohonan Pengujian Materiil UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap UUD 1945
7
47/PUU-XI/2013
8
78/PUU-X/2012
Pengujian Materiil UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang 1. Perkumpulan Perkoperasian dan Penjelasannya UU Nomor 17 Tahun Pancur Kasih 2012 tentang Perkoperasian terhadap UUD 1945 2. Koperasi Credit Union Sumber Kasih 3. Koperasi Kredit Canaga Antutn 4. Koperasi Kredit Gemalag Kemisiq Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Muhamad Zainal Arifin Acara Pidana dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945
Pengujian UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 Pengujian UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi UU Menjadi UU terhadap UUD 1945 Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terhadap UUD 1945
Tanggal Putusan 16 Mei 2013
Putusan ditolak dan tidak dapat diterima
Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI)
21 Mei 2013
dikabulkan
21 Mei 2013
ditolak
Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Diskusi Anti 86 (KODAT 86)
21 Mei 2013
tidak dapat diterima
Kant Kamal
28 Mei 2013
dikabulkan seluruhnya
Sri Royani
28 Mei 2013
Ketetapan penarikan kembali permohonan
28 Mei 2013
Ketetapan penarikan kembali permohonan
30 Mei 2013
ditolak
Daftar Putusan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) Sepanjang Mei 2013 No 1
Nomor Registrasi 1/SKLN-XI/2013
KONSTITUSI juni 2013
Pokok Perkara Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
Pemohon 1. Dominggus Maurits Luitnan 2. Suhardi Somomoelyono 3. Abdurahman Tardjo 4. TB Mansjur Abubakar 5. LA Lada 6. Hj Metiawati Terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia in casu Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai Termohon
Tanggal Putusan 28 Mei 2013
Putusan tidak dapat diterima
59
Catatan Perkara Daftar Putusan Perselisihan Hasil Pemilukada Sepanjang Mei 2013 No
Nomor Registrasi
1
36/PHPU.D-XI/2013
2
40/PHPU.D-XI/2013
3
38/PHPU.D-XI/2013
4
35/PHPU.D-XI/2013
5
37/PHPU.D-XI/2013
6
39/PHPU.D-XI/2013
7
41/PHPU.D-XI/2013
8
48/PHPU.D-XI/2013
9
47/PHPU.D-XI/2013
10
45/PHPU.D-XI/2013
11
43/PHPU.D-XI/2013
12
49/PHPU.D-XI/2013
13
44/PHPU.D-XI/2013
14
46/PHPU.D-XI/2013
15
97/PHPU.D-X/2012
16
42/PHPU.D-XI/2013
17
50/PHPU.D-XI/2013
18
51/PHPU.D-XI/2013
19
52/PHPU.D-XI/2013
20
53/PHPU.D-XI/2013
21
54/PHPU.D-XI/2013
60
Pokok Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pulang Pisau Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sukamara Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Murung Raya Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Seruyan Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sinjai Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Deiyai Tahun 2012 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Palembang Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2013
Pemohon
Tanggal Putusan
Putusan
H. Idham, S.H., M.Si dan H. Supardi, S.Sos., MAP (pasangan calon Nomor Urut 2) H. Mohammad Yamin dan Muhammad Nurmadani (pasangan calon Nomor Urut 5) H. Nuryakin dan Sirajul Rahman (Pasangan Calon Nomor Urut 1)
7 Mei 2013
ditolak seluruhnya
7 Mei 2013
ditolak seluruhnya
8 Mei 2013
ditolak seluruhnya
H. Ahmad Ruswandi dan H. Sutrisno, S.H (pasangan calon Nomor Urut 2)
8 Mei 2013
ditolak seluruhnya
Pancani Gandrung dan H. Zain Alkim (Pasangan Calon Nomor Urut 3)
8 Mei 2013
ditolak seluruhnya
H. Rojikinnor dan H.M. Setia Budi (Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati)
8 Mei 2013
tidak dapat diterima
Havter dan M. Tohir Hamzah (Pasangan 8 Mei 2013 Calon Nomor Urut 1)
ditolak seluruhnya
H. A. Muh Anis Asra dan Muh. Yahya 16 Mei 2013 (Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati) Lukman H. Arsal dan H. A. Djamaluddin 16 Mei 2013 (No. Urut 6)
tidak dapat diterima ketetapan
Andi M. Irwan Patawari dan Andi M. Takdir Hasyim (Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati) Andi Seto Gadhista Asapa dan Mochtar Mappatoba (No. Urut 5)
16 Mei 2013
tidak dapat diterima ditolak seluruhnya
M. Amsul Sultan A. Mappasara dan H. Idham Khalid (Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati) H. Mukhlis Isma dan H.A. Musa Rasyid (No. Urut 3)
16 Mei 2013
16 Mei 2013
16 Mei 2013
tidak dapat diterima ditolak seluruhnya
Muchlis Panaungi dan H. Zulfikar (Bakal 16 Mei 2013 Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati) Natalis Edowai, S.E dan Mesak Pakage, 20 Mei 2013 S.Sos (pasangan calon Nomor Urut 6)
tidak dapat diterima putusan akhir
H. Romi Herton dan H. Harno Joyo (Pasangan Calon Nomor Urut 2)
20 Mei 2013
dikabulkan sebagian
H. Atmari dan H. Muhammad Nur (Pasangan Calon Nomor Urut 1)
30 Mei 2013
ditolak seluruhnya
H. Abdul Wahid dan H. Norhakim (Pasangan Calon Nomor Urut 2)
30 Mei 2013
ditolak seluruhnya
H. Amperansyah dan H. Ariansyah (Pasangan Calon Nomor Urut 3)
30 Mei 2013
ditolak seluruhnya
H. Andi Harahap dan. H. Sutiman (Pasangan Calon Nomor Urut 2)
30 Mei 2013
ditolak seluruhnya
Hj. Sandra Puspa Dewi dan Harimuddin 30 Mei 2013 Rasyid (Pasangan Calon Nomor Urut 3)
gugur
KONSTITUSI juni 2013
Jejak Konstitusi
I Ketut Pudja
Kata Tuhan Dalam Pembukaan
B
oleh jadi, I Ketut Pudja adalah sarjana hukum pertama dari Pulau Bali. Berkat latar belakang pendidikan dan jabatannya di pemerintahan, ia terpilih menjadi satu dari 21 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang ditunjuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. Ketut Pudja terpilih untuk mewakili wilayah Sunda Kecil, yang meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Salah satu sumbangan yang diberikan Ketut Pudja dalam perumusan Undang-undang Dasar adalah bunyi paragraf ketiga Pembukaan UUD. Semula, rumusan draf alinea ketiga itu berbunyi, “Atas bekat Rahmat Allah Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ketut Pudja kemudian mengusulkan agar frasa “Atas berkat Rahmat Allah” tersebut diganti dengan “Tuhan Yang Maha Kuasa.” Usul tersebut dilemparkan lagi kepada peserta sidang oleh Soekarno. “Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan ‘atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa’?” ujar Soekarno sebagaimana ditulis dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan Sekretaris Negara RI (1995). Pada saat itu tidak ada perserta sidang yang menyatakan keberatan atas usulan itu. Karena dianggap disepakati, Soekarno kemudian membacakan ulang naskah Pembukaan UUD tersebut dengan
KONSTITUSI juni 2013
I Ketut Pudja
mencantumkan perubahan sebagaimana usul Ketut Pudja. Sesaat kemudian naskah itu disepakati secara aklamasi. Namun, entah kenapa perubahan tersebut tidak tercantum dalam naskah Pembukaan dalam Lembaran Negara RI, yang menjadi rujukan hingga kini. Gubernur Sunda Kecil Dalam sidang Panitia Persiapan yang digelar pada hari Minggu, 19 Agustus 1945, Ketua Sidang, Ir. Soekarno, memberi kesempatan kepada Panitia Kecil yang dipimpin Oto Iskandardinata untuk memaparkan hasil sidang mereka. Hasil sidang Panitia Kecil itu, antara lain merumuskan pembagian wilayah Republik Indonesia ke dalam delapan provinsi. Salah satunya adalah Provinsi Sunda
Kecil yang meliputi Pulau Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa tenggara Timur. Pada saat itu, Panitia Kecil juga sekaligus merekomendasikan penunjukkan Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sebagai seorang gubernur, sebagaimana ditulis Majalah Gatra 22 Agustus 2012, Ketut Pudja mengemban tugas utama untuk menyebarluaskan hasil sidang Pantia Persiapan ke seluruh wilayah yang ia pimpin. Di dalam tugasnya itu, ia harus menemui raja-raja Bali untuk menyosialisasikan Proklamasi Kemerdekaan RI, serta mengumumkan informasi untuk mengambil alih pemerintahan dari penguasa Jepang. Tugas itu tidak mudah, karena Pemerintah Jepang enggan menyerahkan kekuasaannya. Tanpa sepengetahuan Pemerintah Sunda Kecil, Jepang sering melakukan konsolidasi bersama dengan para raja Bali. Akibatnya, Pemerintah Sunda Kecil tidak berjalan efektif. Hingga kemudian, pada 9 Oktober 1945, pecah demonstrasi besar-besaran menantang kekuasaan Jepang. Demonstrasi itu ditandai dengan pengibaran bendera Merah-Putih di Singaraja. Aksi unjuk rasa itu menyebabkan Jepang tak berdaya dan akhirnya menyerah. Sekalipun demikian, ternyata Jepang tidak sepenuhnya menyerah. Mereka mengendus upaya perampasan aset fisik dan persenjataan oleh para pemuda Bali dengan jalan kekerasan. Pejabat militer Jepang membalas aksi kekerasan itu dengan menahan Ketut Pudja dan para pemimpin lainnya. Mereka ditahan selama lebih-kurang satu bulan
61
Jejak Konstitusi sejak 13 Desember 1945. Para pemimpin itu sempat dibebaskan sebelum kemudian diciduk kembali pada Februari 1946. Hampir bersamaan dengan itu, tentara Sekutu tiba di Benoa untuk melucuti dan memulangkan bala tentara Jepang. Sekutu membawa tentara Belanda. Bala tentara itu kemudian menduduki satu per satu wilayah Bali. Ketut Pudja lalu berupaya menegaskan posisi Pemerintah Indonesia di Bali kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang telah menduduki Denpasar, Gianyar, Singaraja, dan Tabanan. Namun, Ketut Pudja dan kawan-kawan malah ditangkap tentara Belanda. Ia dijebloskan ke Penjara Denpasar.
Meester In de Rechten Pertama I Gusti Ketut Pudja lahir di Sukasada, Singaraja, Bali, pada 19 Mei 1908. Ia terlahir dari pasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratnakusuma. Ayahnya adalah seorang Punggawa, yakni jabatan setingkat bupati, di Sukasada. Sedangkan ibunya seorang perempuan berdarah Minang dan Islam. Pasangan ini menikah pada 1900. Mereka dikarunia empat putra dan satu putri. Pudja merupakan bungsu dari lima bersaudara. Kelima bersaudara itu menganut agama ayahnya, Hindu. Di usia belia, ketika keempat kakaknya telah bersekolah, ayah Pudja memanggil mantra candu (opiumregie) untuk mengajarkan baca-tulis dan berhitung pada putra bungsunya. Ketika usianya menginjak 7 tahun, pada 1915, ia bersekolah di Hollandsch Inlansche School (HIS) di Pabean, Singaraja. Pada 1922, ia pindah ke Malang, untuk melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderweijs (MULO) hingga tahun 1926. Ia pindah lagi ke Bandung, untuk menempuh Algemeene Midelbare School (AMS), yang ia selesaikan pada tahun 1928. Lulus dari AMS, Pudja berangkat ke Jakarta untuk sekolah hukum di Recht Hoge School (RHS). Pada 1934, ia berhasil meraih gelar meester in de rechten.
62
Pendidikan modern yang ditempuh Pudja tak lepas dari kedudukan ayahnya yang merupakan punggawa dari kasta kesatria. Sebab, tak semua lapisan masyarakat di Bali maupun di Indonesia bisa sampai pada jenjang pendidikan yang mewah tersebut. Kenyataan itu membuat Pudja menjadi satu-satunya orang Bali pada masa itu yang berpendidikan tinggi dengan gelar meester. Dengan gelar Mr. yang ia sandang tersebut, Pudja dipanggil pulang oleh ayahnya ke Bali. Rupanya, di kampung halamannya itu ia dinikahkan dengan I Gusti Ayu Made Mirah, yang tak lain sepupunya sendiri. Dari hasil perkawinan itu, pasangan Pudja dan Mirah dikaruniai dua putra dan tiga putri. Ketika kembali ke Bali pada Januari 1935 itu, Pudja bekerja sebagai tenaga sukarela di kantor Residen Bali-Lombok di Singaraja. Setahun kemudian ia ditempatkan di Raad van Kerta (Pengadilan Tinggi) Badung. Di sana ia bekerja mempersiapkan revisi putusan Raad van Kerta seluruh Bali. Ia juga mengawasi tanah-tanah bekas Kerajaan Badung, Tabanan, serta Klungkung yang dijadikan tanah bukti untuk para perbekel (lurah). Namun, ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, pemerintahan di Bali mengalami kevakuman. Karena itu, Kapten Nakamura dari angkatan darat Jepang (Rikugun) mengangkat Pudja sebagai Kepala Keresidenan Wilayah Bali-Lombok (Rezikan Dairy). Dengan jabatannya itu ia bertugas mengaktifkan pemerintahan Jepang di sana. Namun, masa jabatan Pudja terbilang singkat. Setelah enam bulan menjabat, jabatannya dialihkan kepada angkatan laut Jepang (Kaigun). Sedangkan Pudja kemudian dipekerjakan sebagai penasihat umum (gyosei komon). Jabatan tersebut ia emban sejak 22 Juli 1942 hingga Januari 1944. Pemerintah Jepang kemudian menunjuk Pudja untuk mewakili wilayah Bali-Lombok dan sekitarnya (Sunda Kecil) sebagai anggota PPKI. Pudja merupakan satu dari tokoh perntis kemerdekaan
yang menjadi saksi perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan di rumah Laksamada Maeda di Jakarta, pada 16 Agustus 1945. Ia juga hadir keesokan harinya ketika naskah Proklamasi dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta. Dari Menteri Kehakiman Hingga Ketua BPK Pada 13 Maret 1948 Ketut Pudja diperbantukan sebagai gubernur di Kementerian Dalam Negeri yang berkedudukan di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk menjadi Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar, walaupun masa jabatannya hanya berumur tiga bulan. Sejak 15 April 1951, Ketut Pudja pindah ke Jakarta. Ia bekerja pada kabinet Perdana Menteri Juanda dengan tugas sebagai penghubung pemerintah dengan parlemen. Pada 1 Juli 1954, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas Keuangan, yang kini bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tak lama kemudian, ia diangkat sebagai wakil ketua. Pada September 1960, ia menjabat sebagai Ketua BPK hingga pensiun. Semasa hidup, Ketut Pudja menerima sejumlah anugerah kehormatan dari Pemerintah Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan 20 Mei 1961, Satya Lencana Karya Satya Kelas II pada 20 Mei 1961, dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama pada 12 Agustus 1992. I Gusti Ketut Pudja wafat pada 4 Mei 1977 di Jakarta dalam usia 69 tahun karena sakit. Jasadnya dikebumikan di pemakaman keluarga Tunon Bajang Ratu, sebelum akhirnya diaben pada 1985. Pada 7 November 2011, Ketut Pudja mendapat gelar pahlawan dari Pemerintah Indonesia. Kini, nama I Gusti Ketut Pudja diabadikan sebagai nama gedung sasana budaya di Kabupaten Buleleng, Bali. Rita Triana
KONSTITUSI juni 2013
KONSTITUSI juni 2013
63
aksi
RDP MK dan DPR
MK Sampaikan Dampak Pemotongan Pada Komisi III DPR
Foto Humas/Hamdi
Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III dihadiri Sekjen Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar beserta Sejumlah pejabat MK di Gedung DPR.
R
apat Dengar Pendapat (RDP) antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Komisi III DPR berlangsung pada Senin (27/5) siang di Gedung DPR, Jakarta. Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar menyampaikan Program Kerja dan Anggaran TA 2013 dan Usulan APBN Perubahan TA 2013. “Silahkan para mitra kerja dan fraksi untuk memberikan pendapat mengenai rapat ini,” kata Pimpinan RDP Gede Pasek Suardika yang juga Ketua Komisi III DPR.
64
Di awal RDP, Ahmad Yani, anggota Komisi III DPR menyarankan agar mitra kerja yang hadir, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komnas HAM, menyampaikan program-program kerja tanpa harus membeberkan anggaran secara rinci. Namun, pimpinan sidang menyatakan tetap perlu diungkapkan rincian anggaran, mengingat hal itu sudah diatur dalam undang-undang. Pada kesempatan itu, Janedjri mengungkapkan jumlah perkara yang diterima MK pada 2013. “Hingga 27
Mei 2013 jumlah perkara yang diterima mencapai 195 perkara,” kata Janedjri kepada para hadirin, di antaranya pejabat dari Mahkamah Agung, Komnas HAM maupun sejumlah anggota Komisi III DPR. Rincian jumlah perkara tersebut, lanjut Janedjri, terdiri atas 130 perkara Pengujian Undang-Undang (66,67%), 1 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (0,51%) dan 64 perkara Perselisihan Hasil Pemilukada (32,82%). “Dari semua perkara itu, yang masih
KONSTITUSI juni 2013
proses persidangan mencapai 76 perkara atau 38,97% dan telah diputus 119 perkara atau 61,03%,” ucapnya. Dampak Pemotongan Disampaikan oleh Janedjri, dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya, pagu anggaran definitif untuk MK sebesar Rp 199.840.650.000 sudah merupakan penurunan sebesar 9.8 persen dari dari pagu indikatif. Selain itu, dibandingkan dengan pagu anggaran tahun sebelumnya, anggaran MK pada tahun ini juga mengalami penurunan atau ekuaivalen sebesar 10 persen, karena alokasi anggaran untuk Program Peningkatan Kesadaran Berkonstitusi untuk TA 2013 sebesar 0,(nol rupiah). Di tengah penurunan anggaran, Janedjri menyampaikan pada tahun 2013 ini ada kebijakan pemotongan anggaran MK sebesar Rp 13.401.612.000 atau 6,7 persen dari anggaran yang dialokasikan untuk MK. Kebijakan itu berdampak terhadap beberapa program MK. Misalnya, Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Teknis lainnya dikurangi, antara lain pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi menyangkut operasional Vicon dan ICT Pusat. Selain itu mengurangi volume Penelitian dan Pengkajian Perkara Konstitusi serta Penyusunan dan Pencetakan Jurnal MK dan Jurnal PKK. Kebijakan pemotongan anggaran MK, sambung Janedjri, juga berdampak terhadap Program Peningkatan Sarana dan
Prasarana Aparatur MK maupun Program Penanganan Perkara Konstitusi. Hal ini sangat berpengaruh secara siginifikan terhadap penanganan perkara konstitusi karena tidak tersedianya anggaran yaitu penanganan perkara PUU, SKLN serta perkara Pemilukada. Usulan Penambahan Anggaran Oleh karena itu, MK mengajukan usulan APBN-P TA 2013 sebesar Rp 47.082.415.000 untuk empat program, dengan kebutuhan riil MK dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya. Antara lain dikemukakan usulan penambahan dalam Program Penanganan Perkara Konstitusi. Penambahan anggaran karena beberapa Pemilukada yang seharusnya dilaksanakan pada 2014 dimajukan pada 2013. Kegiatan ini berhubungan langsung terselenggarannya kewenangan konstitusional MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. MK juga menyampaikan penambahan anggaran karena belum memenuhi kebutuhan riil, terutama kegiatan persiapan menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2014. Selain itu juga karena kebutuhan riil lain untuk terwujudnya peradilan yang modern (e-court), terpercaya, cepat dan murah, serta terpenuhinya akses masyarakat terhadap peradilan dan keadilan (access to court and justice) melalui pengembangan peralatan video conference dan multimedia.
Keluarga Besar Mahkamah Konstitusi Mengucapkan Selamat atas Pernikahan
Novena Jati Nugraha (Penyiap Sarana dan Prasarana Sidang-Rapat serta Dukungan Daya Jasa)
dengan
Dewi Sartika Handayani Jakarta, Minggu, 19 Mei 2013 Semoga menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah Mendapatkan keturunan yang Shalih dan Shalihah
KONSTITUSI juni 2013
Disampaikan pula sesuai analisis kebutuhan, dari pagu indikatif yang ditetapkan untuk tahun 2014 tidak memenuhi kebutuhan. Oleh karenanya, MK mengusulkan tambahan pagu indikatif dengan pertimbangan perubahan susunan organisasi baru dan kegiatan peningkatan Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, serta Pelatihan Hukum Acara MK, serta perlunya kegiatan penyebarluasan informasi penanganan perkara dan putusan MK. Penyandang Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Semarang ini di akhir uraiannya menyampaikan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk MK masih jauh dari kebutuhan riil, apalagi jika dilakukan pemotongan. Untuk itulah MK mengusulkan agar tidak dilakukan pemotongan anggaran. Bahkan, dalam forum ini MK juga menyampaikan permohonan anggaran tambahan MK Tahun 2013 dapat dipertimbangkan untuk disetujui oleh DPR RI. Sebelum mengakhiri RDP, pimpinan sidang menyampaikan terima kasih kepada mitra kerja. “Buat Bapak dan Ibu sekalian, baik dari MK, MA dan Komnas HAM bahwa apa yang telah disampaikan, telah kami terima. Selanjutnya, kami akan olah sedemikian rupa secara politis di lembaga legislatif ini. Apa bentuk hasil kesimpulannya, nanti akan bisa diikuti lebih lanjut,” tandas Gede Pasek Suardik. Nano Tresna Arfana
Keluarga Besar Mahkamah Konstitusi Mengucapkan Selamat atas Pernikahan
Intan Yuri Susanti, BC (Penyusun Program Pendidikan) dengan
Widy Hastowahyudi, S.Kom (Pranata Komputer)
Jakarta, Sabtu, 25 Mei 2013 Semoga menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah Mendapatkan keturunan yang Shalih dan Shalihah
65
aksi
Pimpinan MK
Ketua MK Berikan Materi Sengketa Pemilukada Kepada Anggota KPU Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar didampingi Sigit Pamungkas Anggota Komisi Pemilihan Umum menjadi narasumber mengenai orientasi tugas KPU di Ruang Timur, Hotel Borobudur Jakarta.
K
etua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar memberikan pengarahan di hadapan para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dari seluruh Indonesia. Akil didaulat menjelaskan pentingnya berbagai hal terkait dengan penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang berhubungan dengan pola pelanggaran yang terungkap di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) baik oleh peserta maupun penyelenggara pemilu. “Bagi saya, hal ini perlu untuk diketahui oleh seluruh penyelenggara Pemilu, terutama KPU Provinsi dan terlebih lagi anggota KPU yang baru,” kata Akil mengawali acara “Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi Gelombang I Tahun 2013” pada Sabtu (25/5) malam di Jakarta. Akil menjelaskan mengenai penangananan Pemilukada semula dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun sejak November 2008, penanganan Pemilukada dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan hasil Pemilu. Maka karena pemilihan gubernur, bupati dan walikota merupakan Pemilu, kewenangan memutus PHPU berada di tangan MK. Akil memaparkan sejak
66
Foto Humas/Ganie.
pertama kali memutus perkara perselisihan Pemilukada sampai 23 Mei 2013, secara keseluruhan MK telah menerima sebanyak 551 perkara perselisihan Pemilukada. Dari jumlah tersebut, sebanyak 542 perkara telah diputus dengan rincian 45 perkara dikabulkan, 357 perkara ditolak, 122 perkara tidak diterima, 17 perkara ditarik kembali dan 1 perkara gugur. “Dari statistik tersebut hanya sedikit perkara yang dikabulkan MK. Ini menunjukkan bahwa dalam memutuskan perkara perselisihan Pemilukada, MK selalu cermat dan berhati-hati. Karena itu tidak betul kalau dikatakan MK sembrono, kurang saksama dan tidak konsisten dalam memutus perkara. Perlu ditegaskan, MK tidak mengambil keuntungan dari putusan yang dijatuhkan, namun hanya memberikan kepastian hukum yang berkeadilan,” imbuh Akil. Akil juga memaparkan tiga kategori pelanggaran yang terjadi dalam Pemilukada. Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilukada. Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada. Misalnya, politik uang, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu dan sebagainya.
“Jenis pelanggaran Pemilukada yang ketiga adalah pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Misalnya, syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal,” ucap Akil. Sedangkan berdasarkan pelaku, sambung Akil, pelanggaran Pemilukada bisa dilakukan oleh Penyelenggara Pemilukada yang meliputi kelalaian Penyelenggara Pemilukada, manipulasi suara, keberpihakan Penyelenggara Pemilukada kepada salah satu pasangan calon. Selain itu, pelanggaran Pemilukada bisa dilakukan oleh peserta Pemilukada, misalnya mengenai manipulasi syarat administrasi pendaftaran calon, membeli suara maupun politisasi birokrasi. Lebih jauh, Akil menerangkan beragam varian amar putusan dalam perkara perselisihan Pemilukada. Sekurang-kurangnya ada 4 jenis putusan yaitu memerintahkan KPUD untuk melakukan pemungutan suara ulang, melakukan penghitungan suara ulang, melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap seluruh pasangan calon, hingga mendiskualifikasi salah satu pasangan calon peserta Pemilukada. “Jenis-jenis putusan tersebut dapat saja dikombinasikan. Contohnya di Jawa Timur, MK tidak hanya memerintahkan pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang. Tetapi juga memerintahkan penghitungan suara ulang di Pamekasan,” tandas Akil. Nano Tresna Arfana
KONSTITUSI juni 2013
Kunjungan
aksi
Arief Hidayat: Perubahan UUD 1945 Dilakukan Satu Kali Dalam Empat Tahap Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan pemaparan kepada mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta di Gedung MK.
S
ejumlah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (6/5) siang. Kedatangan mereka diterima oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat di lantai 4 Gedung MK. Dalam pertemuan itu Arief menjelaskan latar belakang terbentuknya MK Republik Indonesia serta hal-hal lainnya yang terkait dengan konstitusi. “Di awal reformasi kita memulai dengan mengubah UUD. Perubahan UUD 1945 dilakukan satu kali namun dengan empat tahap yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Perubahan UUD perlu dilakukan agar jangan sampai muncul penafsiran yang menyebabkan lahirnya kembali pemerintahan yang non-demokratis,” kata Arief kepada para mahasiswa. Arief melanjurkan, konstitusi merupakan hukum dasar. Kalau hukum dasar mudah berubah, hal itu tidak baik. Kalau konstitusi sering berubah, bisa membuat situasi yang tidak menentu, tidak keruan. Berarti kalau UUD terlalu sering diubah, maka peraturan pelaksanaan yang mengikuti juga akan KONSTITUSI juni 2013
Foto Humas/Ganie.
berubah konsekuensinya. “Nah kalau tidak konsisten, yang muncul adalah ketidaktertiban hukum yang bisa menimbulkan suasana chaos,” ucap Arief. Setelah dibentuk MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003, terjadi perubahan mendasar terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan menjadi terpencar, menerapkan sistem checks and balances, kekuasaan tidak terkelompok dan mengelompok pada satu cabang kekuasaan. “Dengan demikian tidak ada lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yang ada adalah lembaga negara di tingkat pusat dan tingkat daerah,” ujar Arief. Lebih lanjut Arief menjelaskan, Pasal 1 UUD 1945 mengalami perubahan agar norma-norma dasar yang tadinya di dalam Penjelasan UUD 1945 yang bernilai konstitusi, sekarang dimasukkan ke dalam pasal secara eksplisit. “Perubahan Pasal 1 UUD 1945 mengatakan bahwa negara Indonesia, di ayat 1 adalah negara yang demokratis. Artinya, kedaulatan ada di tangan rakyat,” imbuh Arief yang juga menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Oleh karena itu, sambung Arief, kalau kita menyebutkan negara Indonesia yang dikaitkan dengan dua variabel tersebut, maka menjadi “negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis”. Bisa juga disebut sebagai “negara demokrasi konstitusional” yang berarti demokrasi berdasarkan konstitusi. “Dulu Indonesia lebih banyak menalurikan sistem hukum yang dibangun negara-negara Eropa kontinental karena hukum kita mengadopsi sistem hukum Hindia Belanda,” terang Arief dalam pertemuan itu. Kini Indonesia merupakan negara hukum Pancasila, tidak meniru negara hukum yang beraliran Eropa kontinental maupun negara hukum beraliran anglo saxon atau Amerika Serikat. Namun, hukum Indonesia saat ini tetap mendapat pengaruh dari dua aliran hukum tersebut. “Bisa mendapat pengaruh dari rechsstaat maupun rule of law. Rechsstaat asas utamanya adalah asas legalitas. Sedangkan rule of law asas utamanya adalah equality before the law,” tandas Arief. Nano Tresna Arfana
67
aksi
Kunjungan
Muhammad Alim Terima Kunjungan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Hakim Konstitusi Muhammad Alim menerima kunjungan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, di Aula Gedung MK.
S
ekitar 120 mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jawa Tengah, didampingi dosennya mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (13/5) Pagi. Kunjungan mereka disambut oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, di Ruang Aula, lantai dasar gedung MK, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Alim menjelaskan sekilas mengenai negara hukum dan kewenangan yang dimiliki MK. Menurutnya, negara Indonesia adalah negara hukum dimana kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, dia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan negara hukum demokratis atau negara demokrasi, yang pelaksanaannya berdasar hukum dan mengutamakan kepentingan umum. Kemudian, Alim juga menjelaskan mengenai kekuasaan kehakiman yang dilakukan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi, lanjut dia, keadilan tidak identik dengan hukum. Hukum itu menyamaratakan, sedangkan keadilan tidak menyamaratakan. ”Menerapkan
68
Foto Humas/Fitri.
keadilan itu tidak boleh menyamaratakan,” ujarnya. Lebih lanjut, Alim memaparkan tentang kewenangan MK. Ada empat kewenangan MK. Pertama, pengujian undang-undang terhadap UUD, disebut pengujian konstitusional (constitutional review). Lalu kewenangan yang kedua, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan undangundang dasar. "Misalnya kalau terjadi sengketa kewenangan antara DPR dan DPD, karena kedua lembaga tersebut kewenangannya diberikan oleh UUD. Dalam setiap perselisihan, semua pihak merasa benar. Meskipun demikian pihak yang benar tidak dapat ditentukan oleh para pihak. Dalam hal itulah MK berperan. Menentukan lembaga mana yang berwenang," papar Alim. Ketiga, kewenangan memutus pembubaran partai politik. Dalam pembubaran partai politik ini, menurutnya harus dimohonkan oleh Pemerintah ke MK. Hal tersebut dikarenakan agar dapat dibuktikan benar atau tidaknya permohonan Pemerintah tentang ideolohgi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai
politik yang bersangkutan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dan yang terakhir, perselisihan hasil pemilihan umum. Namun, kata Alim ada satu kewenangan yang belum pernah masuk di MK hingga saat ini. Kewenangan tersebut adalah mengadili pembubaran partai politik. “Semua kewenangan sudah dilaksanakan, namun untuk kewenangan pembubaran partai politik belum ada perkara yang masuk di MK, karena yang bisa mengajukan hanya pemerintah,” urai Alim dihadapan para peserta yang datang dari Jawa Barat tersebut. Selain kewenangan tersebut, lanjut Alim, terdapat kewajiban yang dimiliki oleh MK, yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Untuk perkara ini, juga belum pernah ditangani oleh MK karena belum ada permohonan seperti itu. Utami Argawati
KONSTITUSI juni 2013
Hamdan Zoelva: Inti Konstitusi adalah Suara Rakyat Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menerima kunjungan Kelompok Studi Hukum FH Universitas Padjadjaran (Unpad), Jumat (17/5) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
H
akim Konstitusi Hamdan Zoelva menerima kunjungan Kelompok Studi Hukum FH Universitas Padjadjaran (Unpad), Jumat (17/5) pagi di lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertemuan itu Hamdan memberikan ‘kuliah singkat’ seputar konstitusi maupun berbagai hal terkait Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Pada kesempatan itu Hamdan menjelaskan, konstitusi diartikan sebagai pokok-pokok norma kehidupan secara umum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Di samping itu, konstitusi adalah suara rakyat yang menempati suatu wilayah dan terorganisir dalam suatu negara. “Suara rakyat yang terakumulasi dalam bentuk tulisan, selalu tumbuh dan berkembang. Kalau kita hanya mendasarkan pada konstitusi tertulis, hal itu bisa menjadi fosil atau barang mati. Itulah yang biasa disebut dengan living constitution atau konstitusi yang hidup. Karena konstitusi mengikuti suara rakyat,” urai Hamdan.
KONSTITUSI juni 2013
Oleh karena itu, lanjut Hamdan, penafsiran konstitusi dari satu era ke era yang lain bisa berbeda. Lantas apa penyebabnya? Karena inti dari konstitusi adalah suara rakyat (the voice of people). “Namun karena suara rakyat begitu beragam di Indonesia, terjadi pertentangan, hingga dicari titik temu dan nilai-nilai kesamaannya yang bersumber dari penafsiran atas konstitusi,” imbuh Hamdan. Lebih lanjut Hamdan menerangkan, saat terjadi penyimpangan UUD 1945, tidak ada yang bisa meluruskan kecuali penguasa pada masa itu. Pada masa Presiden Soeharto, dialah yang paling berkuasa menafsirkan konstitusi. “Apa yang konstitusional dan inkonstitusional sangat bergantung pada apa kata Pak Harto. Demikian pula pada masa Presiden Soekarno, siapa yang berbeda pendapat dengan Soekarno, akan dipenjara. Termasuk founding fathers pernah masuk penjara,” jelas Hamdan. Selanjutnya, berkembang pemikiran bahwa perlu ada lembaga peradilan yang
akan menjadi penafsir terakhir melalui dasar hukum. Hingga dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003. “Mahkamah Konstitusi adalah polisinya konstitusi atau pengadilannya konstitusi, yang mengawal konstitusi agar konstitusi berjalan secara benar dalam koridor yang disepakati bersama. Karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut dengan the guardian of constitution,” tambah Hamdan. Itulah sebabnya, kata Hamdan, apa yang menjadi fungsi dan tugas Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengawalan norma-norma konstitusi. Kalau ada undang-undang yang melenceng dari konstitusi, setiap warga negara berhak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, untuk membatalkan undangundang tersebut. “Hal itu termasuk luar biasa. Di berbagai negara hanya lembaga negara yang boleh melakukan pengujian undang-undang. Tapi di Indonesia, seluruh warga negara boleh melakukan pengujian undang-undang,” ungkap Hamdan. Nano Tresna Arfana
69
aksi
Kunjungan
Maria Farida Beri ‘Kuliah Singkat’ Mahasiswa Magister Hukum UGM Yogyakarta Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati temui Mahasiswa FH UGM Yogyakarta pada Senin (20/5).
H
akim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kunjungan para mahasiswa Magister Hukum Ligitasi FH Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin (20/5) siang di lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi. Pada kesempatan itu Maria memberikan “kuliah singkat” dengan memaparkan panjang lebar, mulai dari sejarah pengujian UU di dunia hingga wewenang yang dimiliki MK di Indonesia. “Sejarah terjadinya judicial review bermula dari Kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803. Selain itu dipengaruhi gagasan dari Hans Kelsen, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi di Austria sebagai Mahkamah Konstitusi pertama di dunia,” ujar Maria. Sedangkan di Indonesia, lanjut Maria, usulan perlu adanya pengujian undang-undang pernah diusulkan salah seorang founding fathers Indonesia. Adalah Moh. Yamin yang mencetuskan ide tersebut. Namun ide tersebut ditentang Soepomo. Salah satu alasannya, karena di masa itu belum begitu banyak sarjana
70
Humas MK/Andhini SF
hukum di Indonesia. Bertahun-tahun kemudian, usulan perlu adanya judicial review di Indonesia juga dilontarkan Ikatan Sarjana Hukum, melalui Ketetapan MPR, sampai akhirnnya pada pasca reformasi dilakukan perubahan UUD 1945 dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Itulah mula pertama adanya pengujian UU di Indonesia. Maria melanjutkan, wewenang utama MKRI adalah pengujian UU terhadap UUD 1945. Pengujian UU bisa bersifat materil dan formil. Pengujian materil adalah melihat sejauhmana subtansi UU yang diujikan bertentangan atau tidak dengan UUD. Kalau ada ayat, pasal, bagian UU yang bertentangan dengan UU, maka Pemohon dapat mengajukan gugatan ke MK. “Sedangkan pengujian formil, terkait proses pembentukan UU yang diujikan,” kata Maria kepada para mahasiswa. Kewenangan MKRI lainnya, lanjut Maria, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk perselisihan pemilihan umum kepala daerah. Selain itu MKRI wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut Maria menguraikan mengenai hakim konstitusi yang disebutkan dalam Pasal 24C UUD 1945. Bahwa MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang oleh Presiden. “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Selain itu hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara,” tandas Maria. Nano Tresna Arfana
KONSTITUSI juni 2013
Fadlil Sumadi: MK Tempat Memulihkan Hak Konstitusional
Humas MK/Agung
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi jelaskan kewenangan MK pada mahasiswa FISIP UNS pada Senin (20/5).
M
ahkamah Konstitusi (MK) menjalankan fungsi sebagai lembaga peradilan jika ada warga negara yang mengadu hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945 dilanggar dengan berlakunya suatu undang-undang. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi ketika menerima kunjungan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Senin (20/5) di Gedung MK. “MK berfungsi seperti pengadilan jika ada orang yang hak konstitusionalnya terlanggar kemudian mengajukan ke MK. Misalnya orang yang tidak bisa mencari makan karena aturan dalam suatu UU, maka hak itu terlanggar,” urainya di hadapan sekitar seratusan mahasiswa. Fadlil menjelaskan, sebagai pengadilan MK tidak bisa ‘meminta’ kepada setiap warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan untuk KONSTITUSI juni 2013
mengajukan permohonan, tetapi mereka yang dirugikan itulah yang datang ke MK. “Pemohon-lah yang mengajukan agar hak konstitusionalnya dipulihkan. Untuk membuktikan pelanggaran hak konstitusionalnya, pemohon bisa mengajukan ahli dan saksi. Barulah MK akan memutuskan apa benar hak konstitusional pemohon terlanggar atau tidak,” urainya. Disinggung mengenai putusan MK terbanyak, Fadlil mengungkapkan MK paling banyak memutus perkara mengenai pengujian undang-undang. Menurut Fadlil, negara diberi kewenangan untuk membentuk hukum dalam upaya untuk mengatur hak dan kewajiban setiap negara. “Di situlah celah paling banyak antara hubungan negara dan rakyat, tapi yg dirugikan selalu rakyat. Jadi rakyat boleh protes dan mengggugat ke MK. Dulu ada
prinsip UU tidak boleh diganggu gugat dan dianggap benar, padahal UU yang membuat adalah manusia. Sekarang prinsip itu dibuang dan diganti,” paparnya. Sementara itu, mengenai kewenangan MK untuk membubarkan partai politik, ada syarat bagi MK memutuskan parpol untuk dibubarkan. “Namun MK belum pernah melakukan kewenangan ini karena yang berhak mengajukan permohonan adalah Pemerintah,” sahutnya. Usai Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan oleh MPR. Fadlil memaparkan kedaulatan diberikan kepada rakyat dan dilaksanakan sesuai UUD 1945. Kedaulatan, lanjut Fadlil, merupakan kekuasaan tertinggi di suatu negara. “Negara yang menganut kedaulatan rakyat adalah negara demokrasi dan dilaksanakan sesuai undang-undang dasar,” katanya. Lulu Anjarsari
71
aksi
Kunjungan
Ketua MK Terima Kunjungan The Wahid Institute Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar (kanan) menerima Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid (tengah) dan Direktur Eksekutif Anita Hayatunnufus (kiri) di ruang Delegasi Lt.15 Gedung MK.
Foto Humas/Ganie
D
irektur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid beserta rombongan berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (29/5) siang. Kunjungan mereka diterima langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar yang didampingi Sekjen MK Janedjri M. Gaffar di lantai 15 Gedung MK. “Kunjungan kami ke MK sebagai sowan, sekaligus menindaklanjuti pertemuan-pertemuan terdahulu dengan Pak Mahfud mengenai beberapa program. Gagasan yang sudah dijalankan adalah seminar mengenai toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia,” kata Yenny pada kesempatan itu. Program berikutnya, lanjut Yenny, rencana menerbitkan buku saku tentang agama-agama resmi di Indonesia, terkait putusan MK terhadap UU No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. “Kita akan mengangkat masalah itu dan kita berinisiatif untuk menerbitkan. Tentu kalau hanya mendasarkan pada rujukan sendiri, buku ini menjadi kurang lengkap referensinya,” kata Yenny.
72
Oleh karena itu, Yenny meminta masukan kepada Ketua MK agar buku itu nantinya memiliki nuansa yang lebih serius sehingga akan menjadi bahan kajian bagi banyak pihak. Menurut Yenny, buku saku itu penting diterbitkan. Karena memang banyak masyarakat, termasuk para pejabat perlu mengetahui putusan MK beberapa waktu lalu terkait kebebasan beragama di Indonesia. “Masih banyak kerancuan dan diskriminasi terhadap para pemeluk agama karena masih mendasarkan pada undangundang yang lama,” jelas Yenny. Mengenai rencana penerbitan buku saku tersebut, ungkap Akil Mochtar, pada dasarnya MK menyambut baik gagasan itu dan nantinya akan dibicarakan kerja sama menerbitkan buku saku itu. “Masalah pembuatan buku saku itu kami serahkan kepada Sekjen MK, bisa dibicarakan lebih teknis apa-apa yang bisa dirancang dan digarap secara bersama. Termasuk mengenai putusan MK terkait UU Penodaan Agama, soal sosialisasinya dan sebagainya. Mengenai Follow upnya, forum-forum apa yang bisa kita manfaatkan, misalnya apakah peluncuran bukunya, sosialisasinya, distribusinya dan
sebagainya akan dibicarakan nantinya,” tambah Akil. Dikatakan Akil lagi, hak untuk berkeyakinan pada suatu agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dikurangi. Konsepsi-konsepsi dasar seperti itu tidak saja memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Tetapi juga menyampaikan dalam konteks yang lebih luas melalui politik. “Kalau MK secara kelembagaan tidak bisa berbicara lain kecuali dalam konteks putusan. Putusan MK untuk semuanya, termasuk lembaga negara juga diberikan,” ujar Akil kepada para tamu yang hadir. Akil melanjutkan, Ketua MK maupun para hakim konstitusi sebenarnya sudah ikut bersosialisasi mengenai putusan MK. Namun, kata Akil, melalui kerja sama rmenerbitkan buku saku mengenai agamaagama resmi di Indonesia, akan jauh lebih leluasa. Mengingat, salah satu problem masyarakat Indonesia saat ini, bagaimana melindungi kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan. “Terutama kelompok masyarakat yang secara personal maupun keyakinannya minoritas,” tandas Akil. Nano Tresna Arfana
KONSTITUSI juni 2013
penghargaan
aksi
Akil Mochtar Putra Terbaik Kalbar Ketua MK M. Akil Mochtar menerima Penghargaan Kehormatan Universitas Tanjung Pura pada Senin (20/5).
K
etua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar menerima “Penghargaan Kehormatan Universitas Tanjungpura (Tanjungpura University Royal Award)” pada Senin (20/5). Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh rektor Universitas Tanjungpura
KONSTITUSI juni 2013
Humas MK/Ilham
Prof. Dr. Thamrin Usman di Auditorium Kampus Universitas Tanjungpura (Untan), Kalimantan Barat. Penghargaan Kehormatan Untan tersebut diberikan kepada alumni Untan dan putra-putri terbaik Kalimantan Barat atas prestasi dan karyanya bagi kemajuan bangsa.
Akil Mochtar, pria kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat, 18 oktober 1960 itu, dinilai telah banyak menorehkan prestasi, baik di dunia hukum maupun kancah perpolitikan Indonesia. Sebelum menjabat sebagai hakim konstitusi, Akil Mochtar mengawali karirnya sebagai pengacara. Namanya menjadi populer setelah menangani kasus “SengkonKarta jilid II”. Sedemikian populernya kasus tersebut, kemudian kasus tersebut diangkat menjadi sebuah buku berjudul “Jalan Sumir Menggapai Keadilan”. Akil Mochtar juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004, anggota DPR/ MPR 2004-2009, Wakil Ketua Komisi III DPR RI 2004-2006, anggota panitia Ad Hoc I MPR. Penghargaan ini diberikan Untan, atas prestasi Akil Mochtar dalam membangun dan mengharumkan Kalimantan Barat. Ilham
73
aksi
Sekjen MK
Sekjen MK Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum Janedjri M. Gaffar menerima tanda kelulusan sebagai Doktor dalam Ilmu Hukum dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH. M. Hum
S
ekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar, memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang dalam ujian promosi doktor yang digelar Sabtu pagi (18/5) di Auditorium Imam Barjo, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. Janedjri memproleh prestasi cumlaude dengan nilai Indeks Prestasi 3,85. Janedjri M. Gaffar mengajukan disertasi berjudul “Rekontruksi Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Penanganan Perkara Pemilihan Umum untuk Mewujudkan Pemilihan Umum yang Demokratis dalam Perspektif Hukum Progresif”. Dalam pemaparannya, Janedjri menjelaskan bahwa disertasi ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pemilu merupakan suatu instrumen yang diperlukan dalam demokrasi perwakilan. Sebagai mekanisme utama dan prasyarat demokrasi, pemilu harus dilaksanakan secara demokratis. “Terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis, keberadaan Mahkamah konstitusi, diletakkan sebagai instrumen pengawasan pelaksanaan pemilihan umum,
74
Foto Humas/Ganie.
sekaligus sebagai forum hukum untuk menyelesaikan perkara pemilihan umum, melalui kewenangan dalam memutus konstitusionalitas undang-undang pemilu, serta perselisihan hasil pemilihan umum,” paparnya. Di depan ratusan tamu undangan yang memadati gedung Auditorium UNDIP, Janedjri memaparkan berbagai hal terkait dengan peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga demokrasi. Dijelaskannya bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara pemilu, baik melalui kewenangan memutuskan perkara pengujian undang-undang (PUU), maupun memutuskan perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) telah melahirkan prinsipprinsip hukum baru. “Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, merefleksikan semangat dan karakter hukum progresif, sehingga perlu ditindaklanjuti dengan rekontruksi kewenangan MK dalam menangani perkara pemilu sehingga pemilu yang demokratis akan semakin terwujud,” tegasnya. Adapun tim penguji dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor tersebut yakni Ketua Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH,M. Hum, Sekretaris Prof. Dr. Fx Adji Sumekto
SH, M.Hum, dan anggota Prof. Dr. Moh. Mahfud MD. SH (Promotor), Prof. Dr. Arief Hidayat. SH (Co-Promotor), Prof. Dr. Saldi Isra S.H, Dr. Harjono S.H., MCL dan Prof. Dr. Yusriadi. MS. Hadir pula dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi, dan beberapa tokoh penting lainnya. Dalam sambutannya, Ketua MK Akil Mochtar menyampaikan bahwa prestasi yang diraih Sekjen MK merupakan sebuah kebanggaan bagi Mahkamah Konstitusi. “Mudah-mudahan prestasi yang dicapai oleh Janedjri ini dapat ikut mendorong suksesnya pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi, tentunya gelar akademik tidak mempunyai nilai apa-apa kalau tidak bisa dikontribusikan dengan baik, ilmu ini merupakan tambahan bagi Janedjri untuk apa yang dicapai saat ini, agar ke depannya menjadi lebih baik”, tutup Akil. Dedy Rahmadi
KONSTITUSI juni 2013
RAT Koperasi MK
aksi
Koperasi Konstitusi Selenggarakan Rapat Anggota Tahunan 2013 Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achamad Sodiki memberikan pengarahan sekaligus membuka Rapat Anggota Tahunan (RAT) Koperasi Konstitusi Tahun 2013 di ruang Aula Lt. Dasar Gedung MK.
K
operasi Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) III tahun 2013 di Aula Gedung MK, Minggu (26/5), yang diikuti oleh segenap karyawan MK. RAT Koperasi Konstitusi 2013 ini secara resmi dibuka oleh Wakil Ketua MK Ahmad Sodiki. Di dalam sambutannya Sodiki mengingatkan kepada segenap pengurus dan anggota Koperasi Konstitusi tentang pentingnya kejujuran dalam mengelola koperasi. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu, masalah kejujuran tidak dapat dikesampingkan. “Masalah kejujuran itu haruslah menjadi bagian yang tidak bisa dikesampingkan, lebih-lebih lagi, usaha apa saja yang sudah mengingkari kejujuran itu tunggu waktunya saja untuk hancur,” ujar Sodiki. Sodiki mengingatkan, kekuasaan yang tidak diawasi berpotensi untuk terjadi korupsi, dan ini harus dijadikan pegangan bersama. Sodiki juga mengingatkan kepada para peserta rapat yang hadir KONSTITUSI juni 2013
Foto Humas/Ganie.
tentang kepercayaan dalam melakukan usaha "kalau sudah tidak ada kepercayaan, tentunya akan menjadi bagian yang sangat mengkhawatirkan,” ujarnya. Dirinya mengajak para peserta rapat untuk menjaga kejujuran dan kepercayaan, karena ketidakjujuran dan pelanggaran terhadap kepercayaan maka akan menutup pintu-pintu rezeki. Sodiki berharap koperasi ini akan tumbuh besar dan mampu membawa kesejahtaraan bersama. Agenda RAT 2013 ini sendiri adalah untuk membahas evaluasi kinerja Koperasi Konstitusi pada tahun 2012 dan Rencana Kerja Tahun 2013 yang dilakukan oleh komisi I, pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Koperasi tahun 2013 dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) oleh komisi II, serta pembahasan Penetapan Manajemen Kinerja Koperasi Konstitusi, oleh komisi III. Dari RAT tersebut, anggota Koperasi Konstitusi sepakat untuk menerima laporan pertanggung jawaban tahun 2012, dan berhasil merumuskan Rencana Program Kerja, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Koperasi tahun 2013. Dalam kesempatan tersebut juga dilaksanakan pemilihan Ketua dan Pengurus Koperasi Konstitusi untuk periode 2013-2016. Terpilih sebagai Ketua yaitu Tatang Gardjito, Rimas Kautsar sebagai Sekertaris, Syarif Hidayatullah Az Zaky sebagai Bendahara Umum, Fransisca Farouq sebagai Ketua Divisi Bidang Usaha, Arvie Dwi Purnomo menempati jabatan Kepala Bidang Organisasi dan Sumber Daya Manusia, serta Renal sebagai ketua Dewan Pengawas. RAT tersebut ditutup oleh Ketua Penasehat Koperasi Konstitusi, yaitu Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar. Dalam sambutannya, Janedjri mengingatkan kepada para anggota Koperasi untuk ikut serta mengawasi dan memberikan kontribusi dalam pelaksanaan usaha Koperasi Konstitusi, karena keberhasilan usaha koperasi bukan ditentukan oleh pengurus saja, melainkan juga oleh seluruh anggota. Ilham
75
cakrawala
Sala Constitucional Republica de Costa Rica
Terdiri 7 Hakim, 14 Hakim Alternatif, dan 6 Sumber Yurisdiksi
K
osta Rika adalah negara terkecil kedua di Amerika Tengah yang berbatasan dengan Nikaragua di sebelah utara, Panama di selatan-tenggara, Samudra Pasifik di barat dan selatan, dan Laut Karibia di timur. Kosta Rika merupakan negara pengonsumsi gula terbanyak di dunia. Tahun 1980, konsumsi rata-rata per jiwa lebih dari 65 kg yang berarti tiap orang makan 1,7 ons gula per hari. Negara ini memiliki tingkat politik paling aman di kawasannya. Dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lainnya, Kosta Rika unggul dalam pendapatan per kapita. Hasil utama negara yang
76
wilayahnya 51.100 km² ini ialah kopi. Kosta Rika di bagi menjadi tujuh provinsi, kemudian dibagi lagi 81 kanton (“cantón” dalam bahasa Spanyol, jamak dari “cantones”). Berikut daftar provinsinya: Alajuela, Cartago, Guanacaste, Heredia, Limón, Puntarenas, dan San José. Sala Constitucional Untuk memahami betapa pentingnya Mahkamah Konstitusi (Sala Constitucional) dalam sistem peradilan Kosta Rika, dibuatlah perjalanan sejarah yang disebut kontrol konstitusional. Ini adalah mekanisme hukum yang menjamin kepatuhan terhadap aturan yang ditetapkan dalam Konstitusi. Di mata para intelektual, perkembangan sejarah Sala Constitucional dapat dibagi menjadi empat tahap.
Tahap pertama dimulai pada tahun 1812, dengan Konstitusi Cadiz dan meluas dengan diberlakukannya Undang-Undang Organik Pengadilan 1887 yang mulai berlaku pada tahun 1888. Pada saat itu, mereka adalah badan politik (legislatif dan Dewan Perwakilan atau Kekuatan Konservatif) manajer untuk menjamin supremasi norma konstitusi. Tahap kedua dimulai pada tahun 1888 dan meluas ke 1937. Periode ini ditandai dengan adanya dua sistem kontrol paralel. Yang pertama adalah legislative. Sistem kedua dimulai dari Law Courts (1888), yang mendirikan sebuah sistem kontrol peradilan berdifusi, tegas menyatakan bahwa pejabat peradilan tidak bisa menegakkan hukum, tata cara atau perjanjian pemerintah bertentangan
KONSTITUSI juni 2013
dengan Konstitusi, dan judicial review untuk menilai setiap kasus. Tahap ketiga dimulai dari tahun 1938, dengan reformasi Hukum Acara Perdata, 1933. Dengan Konstitusi 1949, diberikan kontrol aturan konstitusional ke Mahkamah Agung, di bawah aturan yang ditetapkan dalam Hukum Acara Perdata. Tahap keempat dimulai dengan diundangkannya UU No 7128 pada 18 Agustus 1989, amendemen Pasal 10, 48, 105 dan 128 Konstitusi. Di sinilah awal mula terbentuknya Mahkamah Konstitusi Kosta Rika (Sala Constitucional Costa Rica). Mahkamah Konstitusi dan kerangka peraturan dalam yurisdiksi UU Konstitusi adalah produk dari proses diskusi yang sangat luas, terdiri dari sejumlah besar proyek, saran spesialis, komisi khusus dan pernyataan dari Kendali Pengadilan yang berlangsung sepanjang tahun 1980an. Meskipun upaya-upaya besar yang dibuat oleh komite bersama anggota parlemen dan pengacara, Chamber dan yurisdiksi tidak dirancang dengan baik untuk pelaksanaannya, tapi sampai Presiden waktu itu, Dr Oscar Arias Sanchez mengeluarkan dekrit Eksekutif (DE: 18703 Desember 13, 1988), ditunjuk sebuah komite untuk tujuan menganalisa kebutuhan untuk lulus undang-undang kepentingan peradilan, untuk merekomendasikan perubahan yang
KONSTITUSI juni 2013
diperlukan untuk memperbarui proyek dan untuk merampingkan administrasi peradilan. Komisi ini terdiri dari dua hakim Peradilan, Alejandro González Vega Rodríguez dan Daniel Alvarez, dua deputi, Fernando Monge Volio Jimenez dan Carlos Rodriguez, Presiden Agung Mahkamah Pemilihan Gonzalo Brenes Camacho, Jaksa Agung Republik Luis Fernando Solano Carrera, Presiden Asosiasi Pengacara Franco Enrique Rojas, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kosta Rika Bernardo van rusa Laat Echeverria, Rodolfo E. Piza Escalante sebagai koordinator pengacara dan Luis Paulino Mora sebagai Menteri Kehakiman dan Kehormatan. Tujuan dari proyek adalah untuk menciptakan lembaga yang akan melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan dan menghidupkan kembali aturan konstitusi. Ide-ide ini tercermin dalam perubahan bagian 10, 48, 105 dan 128 Konstitusi (UU 7128 18 Agustus 1989), reformasi kreatif Mahkamah Konstitusi dan dua bulan setelah berlakunya UU Yurisdiksi Konstitusi dimaksud, khususnya kerangka regulasi dalam sistem peradilan. (UU 7135 dari tanggal 11 Oktober 1989). Untuk menjelaskan alasan reformasi konstitusi yang mengakibatkan penciptaan Mahkamah Konstitusi, harus membuat
perjalanan sejarah yang dimulai dalam arsip Mahkamah Agung, yang akan dihubungkan dengan catatan legislatif Nomor 10401 UU 7128. Data statistik menunjukkan bahwa tidak ada kebutuhan untuk menciptakan pengadilan baru untuk bekerja. Pada tahun itu, 1980, Sekretariat Peradilan menerima surat perintah konstitusi. Pada tahun 1979, pengadilan pidana di seluruh negeri hanya menerima 16 aplikasi dan 140 habeas corpus (orang yang dibawa ke peradilan). Proses dan keputusan habeas corpus sangat cepat. Pada 11 Oktober 1989, Presiden Republik dan Menteri Kepresidenan dan Keadilan dan telah menandatangani Yurisdiksi Hukum Konstitusi. Saat ini, lebih dari 150 staf yang bekerja di Hall dan ratusan menyelesaikan masalah. Komposisi dan Organisasi Mahkamah Konstitusi Kosta Rika terdiri dari tujuh hakim dan 14 alternatif hakim pengganti. Mereka dipilih oleh DPR dengan suara lebih dari dua pertiga anggotanya. Periode nominasi calon hakim konstitusi adalah 8 (delapan) tahun dengan otomatis pemilihan ulang, jika DPR tidak menganggap sebaliknya. Untuk penunjukan alternatif adalah 4 tahun. Untuk menjadi hakim konstitusi, syaratnya adalah warga negara Kosta Rika berdasarkan kelahiran atau naturalisasi,
77
cakrawala bertempat tinggal di Kosta Rika tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun. Untuk Ketua Hakim, wajib kelahiran Kosta Rika. Syarat lain adalah menjadi warga negara yang aktif, memiliki gelar sarjana hukum yang dikeluarkan atau diakui secara hukum di Kosta Rika dan telah bekerja setidaknya selama sepuluh tahun, kecuali dalam kasus yudisial praktek peradilan tidak kurang dari lima tahun. Legislatif terbuka sebelum pemilu dan membentuk komite legislatif untuk mewawancarai para kandidat dan meninjau catatan profesional mereka. Kemudian, komite yang sama membuat rekomendasi yang dihargai oleh pleno legislatif terdiri dari 57 legislator. Rekomendasi ini memenuhi syarat atau memilih salah satu calon dari daftar peserta. Dengan mayoritas terbatas dari dua-pertiga dari semua anggotanya, DPR
menunjuk hakim, untuk memastikan bahwa itu adalah orang yang dipilih secara profesional dan bukan oleh alasan politik. Dalam kasus substitusi, ketentuannya mengikuti prosedur yang sama. Kewenangan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Kosta Rika adalah untuk mengatur Mahkamah Konstitusi yang bertujuan untuk menjamin supremasi aturan dan prinsipprinsip konstitusi, hukum internasional yang berlaku di Republik (interpretasi dan aplikasi), serta hak dan kebebasan yang tercantum dalam Konstitusi atau dalam instrumen hak asasi manusia internasional di Kosta Rika. Untuk mencapai tujuan tersebut, Yurisdiksi Konstitusi menetapkan 6 sumber: habeas corpus, amparo, tindakan inkonstitusionalitas, konsultasi legislatif,
konsultasi hukum dan konflik yurisdiksi. Untuk konsultasi legislatif, anggota parlemen tak kurang dari 10 orang dapat berpendapat di Mahkamah Konstitusi sebelum rancangan undang-undang dan memiliki kewajiban untuk berkonsultasi dengan Dewan. Ada dua macam konsultasi legislatif konstitusional: wajib dan opsional. Yang pertama disajikan oleh Dewan Majelis Legislatif pada rancangan reformasi konstitusi, amandemen UU Yurisdiksi Konstitusi dan persetujuan perjanjian internasional atau perjanjian. Opsional diajukan oleh sekelompok setidaknya sepuluh anggota. Abdullah Yazid
Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Kostarika h t t p : / / s i t i o s . p o d e r- j u d i c i a l . g o . c r / salaconstitucional/
Keluarga Besar Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Mengucapkan
Selamat & Sukses Kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi
Janedjri M. Gaffar Atas Pengukuhan Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang
78
KONSTITUSI juni 2013
ragam tokoh
Zaini Abdullah
Bendera Aceh Bukan Bendera Kedaulatan
G
ubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Zaini Abdullah bantah bendera Aceh sebagai bendera kedaulatan, Selasa (30/4). Pernyataan Zaini dilontarkan dalam kesempatan jumpa pers usai lakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), M. Akil Mochtar. Dalam kesempatan itu Zaini membantah anggapan bahwa bendera di Aceh sekarang merupakan bendera kedaulatan. Zaini menegaskan hal Itu tidak pernah terjadi sejak konflik Aceh selama 30 tahun usai lewat Perjanjian Helsinki. “Dengan adanya perdamaian, artinya bahwa bendera kedaulatan adalah bendera Republik Indonesia, MerahPutih. Tidak ada maksud Aceh keluar dari Indonesia. Saya kira, beda persepsi inilah yang kami harapkan mendapat solusi yang bijaksana,” ucap Zaini. Menanggapi pertanyaan bahwa pemerintah pusat mempermasalahkan pemakaian bendera Aceh yang sama dengan bendera GAM, Zaini menerangkan untuk menjawab hal tersebut bukanlah kewenangannya. “Saya kira begini, kalau ditanya soal itu kepada saya, sebagai gubernur saya tidak bisa menentukan itu. Karena domain-nya ada di DPR sebagai wakil rakyat yang menetapkan suatu UU atau qanun yang disebut di Aceh,” tegas Zaini. Nano Tresna Arfana/Yusti Nurul Agustin
Sergey M. Shahray MK Rusia Pernah Bolehkan Kekerasan
M
antan Wakil Perdana Menteri Rusia yang juga Presiden Kerja Sama Persahabatan Indonesia-Rusia, Sergey M. Shahray mengunjungi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Selasa (14/5). Kunjungan Sergey disambut langsung oleh Ketua MK, M. Akil Mochtar. Dalam kunjungannya yang kedua kalinya ini, Sergey sempat menyatakan MKRI merupakan lembaga sejenis Mahkamah Konstitusi yang paling berwibawa di dunia. Dalam kesempatan yang sama, Sergey memaparkan kewenangan MK di Rusia. Sergey mengungkapkan MK Rusia yang memasuki usia ke-20 tahun pada tahun ini telah memiliki peranan penting dalam kehidupan bertata negara di Rusia. “MK Rusia memainkan peranan penting tidak hanya dalam bidang hukum, tapi juga tata negara Rusia yang baru,” jelasnya. Kemudian, Shahray menjelaskan mengenai kewenangan MK Rusia, antara lain dapat menafsirkan konstitusi dan membatalkan atau memutuskan kebijakan dari pusat maupun daerah. “MK Rusia sudah menyidangkan 36 kali perkara antara pemerintah federal dan daerah dan lebih dari 10 kali menyelesaikan sengketa daerah,” paparnya. Selain itu, Shahray menjelaskan putusan MK Rusia juga dapat membantu dalam proses pembentukan hukum selanjutnya. Dalam kasus lain, MK Rusia pernah membolehkan presiden menggunakan kekerasan untuk membela wilayah Rusia. Lulu Anjarsari/Yusti Nurul Agustin
KONSTITUSI juni 2013
79
konstitusiana
Berbagai Fakta Unik Dalam Pemilukada
P Kemacetan Lalu Lintas Mirip dengan Kebebasan Beragama
P
ertemuan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar dengan Direktur Wahid Institute Yenny Wahid, Rabu (29/5) di lantai 15 Gedung MK berlangsung serius membahas rencana menerbitkan buku saku mengenai agama-agama resmi di Indonesia. Namun, sebelum mengakhiri acara itu, tiba-tiba saja Akil menganalogikan kemacetan lalu lintas di Jakarta dengan kebebasan beragama di Indonesia. “Mengurangi kemacetan di Jakarta sama dengan menguraikan kebebasan agama di Indonesia yaitu negara sering enggak hadir. Begitu juga dalam kemacetan, itu polisi kemana?” ujar Akil setengah berkelakar. Karuan saja, mereka yang hadir dalam acara itu, termasuk Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, beberapa pejabat MK dan para anggota The Wahid Institute tertawa riuh mendengar ucapan Ketua MK. Pada kesempatan itu, Akil juga menuturkan pengalamannya terjebak macet beberapa tahun lalu. Ketika itu ia melihat ‘polisi cepek’ yang biasa mengatur kendaraankendaraan di tengah kemacetan. Menurutnya, hal yang biasa kalau ada pengendara mobil memberikan kepada ‘polisi cepek’ itu uang Rp 1000. “Saya pernah lihat ada pengendara mobil memberi uang Rp 10 ribu kepada ‘polisi cepek’ itu. Lantas orang itu jadi lebih nekat beraksi, berani menghadang mobil secara terbuka,” katanya tertawa mengenang pengalaman tersebut.
emilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) yang terjadi di sejumlah daerah Indonesia, memang menjadi fakta tersendiri sebagai bagian dari demokrasi. Termasuk hal-hal yang merupakan pelanggaran dalam Pemilukada, yang terkadang terkesan unik. Di Madura misalnya, pernah terungkap petugas penyelenggara Pemilukada mencoblos sendiri surat suara. Pencoblosan surat suara itu dilakukan pada malam dan pagi hari sebelum pemungutan suara. “Ketua KPPS memerintahkan untuk melakukan penghitungan suara, padahal faktanya tidak ada masyarakat yang datang ke TPS untuk memberikan suara. Hal inilah yang disebut dengan manipulasi suara,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar dalam acara “Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi Gelombang I Tahun 2013” yang berlangsung Sabtu (25/5) di Jakarta. Jenis pelanggaran Pemilukada lainnya, lanjut Akil, mengenai keberpihakan penyelenggara Pemilukada kepada salah satu pasangan calon. MK pernah menemukan adanya indikasi KPUD yang berpihak pada salah satu pasangan calon, KPUD bertendensi menghalang-halangi terpenuhinya syarat bakal pasangan calon atau sebaliknya berupaya meloloskan bakal pasangan calon yang tidak memenuhi syarat jadi peserta Pemilukada. “Ini seperti yang dijumpai dalam Putusan MK No.115/PHPU. D-VIII/2010 dalam perkara PHPU Kota Jayapura,” ungkap Akil. Selain pelanggaran yang dilakukan penyelenggara Pemilukada, juga ada pelanggaran yang dilakukan peserta Pemilukada. Misalnya, melakukan manipulasi syarat administrasi pendaftaran calon. Pelanggaran ini biasanya dilakukan sebelum proses pemilihan, yakni saat pendaftaran pasangan calon di KPUD. “Salah satunya terjadi pada Pemilukada Kota Tebingtinggi. Calon terpilih dalam Pemilukada Kota Tebing Tinggi sejak awal seharusnya sudah dinilai tidak sah dan tidak memenuhi syarat administrasi pencalonan. Alasannya, dia terbukti pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama lima tahun,” papar Akil. Nano Tresna Arfana
Nano Tresna Arfana
beritabulukumba.com
80
KONSTITUSI juni 2013
pustaka klasik
Syarat Pemimpin dalam Pandangan Soekarno Miftakhul Huda Redaktur Majalah Konstitusi
U
saha memahami hakikat dan isi sila Pancasila banyak dilakukan. Soekarno dalam beberapa forum bahkan memberikan materi, terutama yang mengkhususkan diri memaparkan kenapa Pancasila menjadi dasar negara Indonesia, hakikat dan isi sila-sila dalam Pancasila. Pandangan itu tetuang dalam buku Pantja Sila sebagai Dasar Negara yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Prapantja. Materi Proklamator bangsa Indonedia ini adalah bernilai sejarah yang dikemukakan pada 26 Mei, 5 Juni, 16 Juni, 22 Juli, 3 September 1958 dan Kuliah Umum pada Seminar Pancasila di Yogyakarta pada 21 Februari 1959. Isi buku ini merupakan dokumen historis yang secara khusus Pancasila disampaikan penggalinya setelah Soekarno menyampaikan pertama kali pada 1 Juni 1945, yang melengkapi pemahaman mengenai Pancasila secara utuh di tengah simpang siur dan usaha masing-masing orang mengkalim kebenaran tafsirnya. Usaha melakukan kajian setelahnya banyak dilakukan misalkan Notonagoro, Nasroen, dan Soediman dan ahli lainnya. Notonagoro misalkan dengan melihat Pancasila berdasarkan pandangan filsafat dan ilmu hukum, Pancasila adalah merupakan norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) sesuai teori Nawiasky. Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi falsafah bangsa Indonesia dilakukan oleh Nasroen dan Soeadiman Kartohadiprodjo dengan menyelami kebudayaan yang ada di Indonesia. Keduanya membentangkan bahan-bahan falsasah dari bangsa
KONSTITUSI juni 2013
Indonesia. Bedanya Soediman banyak berkaca dan mengemukakan pada adat Jawa, sedangkan Nasroen kepada adat Minangkabau. Pemersatu dan Leitstar Ada hal yang menarik dari buku ini. Soekarno mengatakan untuk mendirikan negara diperlukan sebuah dasar. Dasar tersebut tidak hanya sebagai dasar yang statis, tetapi juga bisa menjadi leitstar dinamis, atau bintang pemandu yang mengarahkan sebuah negara. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan para pemimpin
Judul : Pancasila sebagai Dasar Negara Pengarang : Soekarno Penerbit : Badan Penerbit Prapantja Tahun : tanpa tahun.
81
dalam tahun 1945, sehingga diusulkan Pancasila yang kemudian diterima. “Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, leitstar dinamis,” terang Soekarno. Dalam usaha mencari dasar yang mengumpulkan dan menyatukan semua dan mencari leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kata Soekarno harus digali sedalam-dalamnya di dalam jiwa bangsa masyarakat sendiri. Karena tidak mungkin meletakkkan jiwa bangsa lain sebagai dasar negara karena akan mengalami penolakan. Berdasarkan jiwa bangsa lain tersebut itu juga tidak akan sehat dan bersenyawa dengan harapan menjadikan dasar tersebut sebagai pemersatu dan sebagai bintang pemandu. Soekarno menjelaskan lima sila dalam Pancasila itu sebagai dasar yang sesuai. Contoh yang dikemukakan Soekarno, mengenai ditemukakannya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan melakukan penelusuran sampai kepada zaman sejak sebelum masuknya Islam di Indonesia, yaitu sampai zaman Hindu dan Pra Hindu. Dari berbagai zaman itu terdapat sesuatu yang sama. “Bahwa bangsa Indoensia selalu hidup didalam alam pemujaan daripada sesuatu hal yang kepada hal itu menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya,” jelasnya. Jadi pada umumnya orang percaya kepada Tuhan, meskipun bukan tiap-tiap orang mesti percaya. Karena dapat saja terdapat orang yang tidak percaya kepada apapun, termasuk Tuhan. “Sila-sila ini adalah grootste gemene delar dan kleinste
82
gemene veelvoud,” sambung Soekarno. Termasuk dalam buku ini dijelaskan sejarah daripada kemudian muncul silasila lain dalam Pancasila dengan panjang lebar. Pancasila dalam bayangan Soekarno sebelum menyampaikan di BPUK adalah merupakan dasar yang dapat mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara tersebut harus direalisasikan agar rakyat dengan alat yang dinamakan negara dapat mencapai apa yang menjadi cita-cita. Elemenelemen yang digali Soekarno dari tanah air sendiri, sehingga dapat menjadi pemersatu dan sekaligus menggerakkan mencapi cita-cita bersama dalam pancasila. Tiga Syarat Soekarno juga membahas tidak hanya dasar negara yang seharusnya mampu menyatukan dan mampu menggerakkan, tetapi harapan sebuah masyarakat yang mau berkorban dan berjuang dengan dasar tersebut. Dasar negara ini sekaligus merupakan cerminan bagaimana yarat seorang pemimpin yang tidak hanya mampu menyatukan tetapi juga menggerakkan. Tidak mudah membangunkan kesadaran rakyat, apalagi mengumpulkan keinginan ini menjadi tekad, bahkan menjadi kerelaan berkorban. Menurut Soekarno, syarat pertama seorang pemimpin adalah orang yang bisa menggambarkan dan membentangkan leitstar. “Didalam sejarah dunia saudara akan melihat bahwa pemimpin-pemimpin besar yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin
yang bisa melukiskan cita-cita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi didalam segala lapangan.” Mengimingimingi disini bukan dalam hal mengimingimingi sesuatu yang bohong. Soekarno memberikan contoh sejarah Nabi dan tokoh-tokoh besar lain yang menunjukkan seorang pemimpin harus memapu melukiskan dan menggambarkan cita-cita yang akan diraih. Kemudian yang kedua, seorang pemimpin harus bisa memberikan rasa mampu kepada rakyat apa yang dicitacitakan. Rakyat harus merasa mampu dan kemampuannya terbangun. Mungkin banyak orang yang mampu membentangkan cita-cita, tetapi tidak memiliki kamampuan untuk membangunkan rakyat sebagai orang yang mampu untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan. Kemampuan untuk mencapai cita-cita tersebut harus tertanam kepada orang lemah sekalipun. Dan, yang ketiga adalah syarat bahwa seorang pemimpin bukan saja mampu menanamkan keyakinan atau rasa mampu dari rakyat, tetapi menanamkan kemampuan yang sebenar-benarnya. Menanamkan kemampuan, memberi kepada rakyat de werkelijk kracht dengan cara mengorganisir rakyat. “Kalau sekedar dua: dapat mengiming-iming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi saudara tidak bisa memberi tenaga, buah diatas pohon itu tidak bisa diterpetik,” lanjut Soekarno. Seorang pemimpin mesti melatih seseorang untuk mampu memetik buah yang ada diatas pohon. Inti dari syarat ketiga ini yang tidak dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini.
KONSTITUSI juni 2013
pustaka
Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan Alia Harumdani Widjaja Peneliti pada Hakim Konstitusi A. Fadlil Sumadi Pusat Penelitian Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI
U
ndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam perubahan ketiga telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan menegaskan pula bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang independen dan imparsial. Penegasan yang demikian menandakan adanya perkembangan tekad, antara lain, untuk menjadikan supremasi hukum di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta tekad untuk menjadikan kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial sebagai pilarnya. Fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam rangka melindungi masyarakat melalui mekanisme peradilan berdasarkan hukum dan keadilan di dalam negara hukum yang demokratis. Independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman itu sendiri di dalam perjalanan sejarah penormaannya mengalami pasang-surut seiring dengan perkembangan dinamika sosial politik yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai kini, yaitu ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengalami perubahan. Ketika UUD 1945 belum diubah, pengorganisasian kekuasaan negara adalah dengan membagi dan membentuk lembaga pemegangnya sesuai dengan trias politika, yaitu membagi kekuasaan negara menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial. Hal demikian telah membentuk sebuah bangunan sistem yang mengunggulkan kekuasaan legislatif sebagai pembentuk dan pengubah undangundang dasar serta kekuasaan eksekutif tertinggi yang berada di tangan Presiden, yang menurut sistem pemerintahan negara
KONSTITUSI juni 2013
sebagai penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majelis. Hal yang tak jauh berbeda pun berlaku bagi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur secara konstitusional hanya dalam dua pasal, kini diatur dalam empat pasal, yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C UUD 1945. Pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung adalah Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945. Pasal 24 UUD 1945, yang kini terdiri atas tiga ayat, pada pokoknya merumuskan tentang pengertian dan karakter kekuasaan kehakiman serta menentukan lembaga pelaku kekuasaan kehakiman atau penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi, serta badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Pasal 24A UUD 1945 mengatur secara khusus mengenai Mahkamah Agung yang terdiri atas lima ayat. Ayat terakhir, yaitu ayat (5) mengamanatkan supaya susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undangundang. Demikian pula syarat-syarat untuk diangkat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim diatur dengan undangundang. Amanat tersebut dilaksanakan dengan membentuk undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman dan undang-undang yang mengatur mengenai badan peradilan. Dari masa ke masa, independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman khususnya Mahkamah Agung dalam lintasan sejarah ketatanegaraan Indonesia senantiasa tidak dapat dilepaskan dari situasi politik yang melingkupinya. Pada masa orde lama dan orde baru, kemandirian sebagai mahkota kekuasan kehakiman
yang diperankan oleh Mahkamah Agung, tak pernah dapat diwujudkan. Dalam perkembangan selanjutnya, dimulai pada saat datangnya era reformasi pada tahun 1998 yang ditandai oleh persitiwa perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1995 yang menyatakan peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung (one roof system). Kemudian setelah itu, diikuti dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999-2002 hingga sekarang ini.
Judul Buku : Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Fungsi Manajemen Mahkamah Agung Terhadap Pengadilan Di Bawahnya Setelah Perubahan UUD 1945 Pengarang : Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. Editor : Achmad Edi Subiyanto & Anna Triningsih Penerbit : Setara Press, Intrans Publishing Group Terbitan : April 2013 Tebal : xviii + 1 – 350
83
pustaka Secara normatif, independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman dijamin, namun penulis mengungkapkan bahwa independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung pun tak kunjung dapat diwujudkan dengan mulus. Berbagai macam pendekatan kekuasaan pemerintahan secara sistematis dan dengan berbagai dalih berupaya untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman, baik melalui mekanisme pengaturan perundang-undangan maupun dengan cara lembaga eksekutif mengintervensi secara langsung terhadap proses peradilan yang dijalankan oleh lembaga yudisial. Bertitik tolak dari catatan sejarah mengenai kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman itulah, pertimbangan mengenai diperlukannya peran pengawasan dan pembinaan pengadilan serta hakim menjadi suatu keharusan dalam menjaga independensi hakim. Buku ini mengupas secara tuntas dan detil mengenai bagaimana independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman itu sangat mempengaruhi pandangan publik mengenai kehormatan dan keluhuran martabat hakim sebagai suatu jabatan yang mulia (nobile officium). Buku ini juga sangat sistematis menguraikan substansinya yang dimulai dari organisasi kekuasaan negara yang mendistribusikan kekuasaan negara dalam 3 (tiga) kekuasaan besar yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan ekesekutif, dan kekuasaan yudisial sampai dengan pembahasan mengenai arti pentingnya pengawasan dan pembinaan pengadilan itu sendiri. Ulasan menitikberatkan pada kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman yang dimulai dari sejarahnya dalam dinamika politik ketatanegaraan, hubungan antarlembaga negaranya, hingga pada Mahkamah Agung dan perannya sebagai pengadilan negara tertinggi dalam memelihara dan menegakkan kehormatan hakim. Perubahan pada organisasi negara relatif lebih cepat jika dimulai pada aras manajemen dibandingkan jika diubah pada tingkatan dasar hukumnya terlebih dahulu. Hal ini disebabkan, manajemen
84
dalam organisasi negara pada umumnya tidak secara kaku diatur oleh undangundang, melainkan diatur oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, atau bahkan hanya diatur oleh peraturan internal. Terkait dengan fungsi pengawasan dan pembinaan oleh Mahkamah Agung, penulis menganjurkan agar lebih baik reformasi hukum di Mahkamah Agung itu sendiri dimulai dari internal audit. Sebab, dalam perspektif manajemen, Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang berkedudukan sebagai atasan memang mempunyai fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pengadilan di bawahnya yang lebih mengarah kepada pengawasan dan pembinaan internal. Hal inilah yang membedakannya dengan Komisi Yudisial, yang notabene merupakan lembaga negara nonkekuasaan kehakiman, di mana fungsi pengawasan yang diembannya bersifat eksternal, bahkan spesifik hanya terhadap perilaku hakim saja. Desain konsep hukum (ius constituendum) tentang pengawasan dan pembinaan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi terhadap pengadilan di bawahnya, yang mengalokasikan secara proporsional antara kepentingan-kepentingan yang antinomik dalam perspektif prinsip manajemen dan prinsip pengadilan dalam negara hukum yang demokratis harus didasarkan kepada ukuran efektivitas penyelenggaraan peradilan yaitu “saksama dan sewajarnya” serta ukuran efisiensinya yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hakim merupakan anggota dari komunitas yang didalamnya terdapat keanggotaan yang sejajar (community of equal) yang kepemimpinannya primus inter pares. Pengaturan dan pengawasan manajerial terhadap pengadilan dan hakim harus tetap dapat menjamin independensi dan imparsialitas, primus inter pares sebagai karakternya, sehingga merupakan implementasi dari pengawasan yang khas terhadap pengadilan dan hakim. Pembinaan hakim merupakan forum interaksi antara senior dan yunior
dalam rangka transfer ilmu pengetahuan, keahlian dan etika. Pengawasan dan pembinaan peng adilan yang ideal harus ditata secara komprehensif berdasarkan suatu grand design yang meliputi substansi hukum yang mengaturnya, struktur hukum yang menjalankannya dan kultur hukum yang mendukungnya. Oleh karena itu prinsipprinsip transparansi dan akuntabilitas haruslah benar-benar diimplementasikan dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan, terutama dalam merespon keluhan (complaint) masyarakat mengenai penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan peradilan, baik terkait dengan hukum maupun kode etik dan perilaku hakim (unprofessional conduct). Buku ini berisi lima bab yang dimulai dengan uraian tentang Dinamika Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Kemudian dalam bab pertama tentang Negara Hukum, Organisasi dan Manajemen. Kedua, Kekuasaan Kehakiman Dalam Perubahan Sistem Ketatanegaraan. Ketiga, Mahkamah Agung Dalam Perubahan Sistem Kekuasaan Kehakiman. Keempat, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan oleh Mahkamah Agung. Adapun bab kelima tentang Pengaturan Pengawasan dan Pembinaan Terhadap Pengadilan. Akhir kata, buku ini merupakan salah satu bentuk pengabdian dari penulis terhadap dunia peradilan. Selain itu, topik mengenai fungsi pengawasan dan pembinaan pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap pengadilan di bawahnya terkait dengan karakter hakim yang independen dan imparsialitas hakim merupakan topik yang sangat berkaitan dengan reformasi penegakan hukum sekarang ini. Buku ini sangat informatif dan sangat dianjurkan untuk dibaca terutama oleh mahasiswa dan masyarakat yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dunia peradilan di Indonesia.
KONSTITUSI juni 2013
PUSTAKA
kamus hukum
Kamus Hukum
Putusan Batal Demi Hukum
A
dministrasi negara yang banyak mengadopsi ilmu hukum perdata sebuah ketetapan atau keputusan bisa dibuat secara sah dan tidak sah. Tidak hanya ketetapan yang dibuat badan administrasi negara, dokumen hukum bisa berbentuk UU atau peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian atau kontrak dan dokumen hukum lainnya. Semua dokumen hukum yang dibuat lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif ini bisa dibuat secara tidak sah. Sebuah ketetapan yang tidak sah menurut Utrecht (1963), mengenal tiga macam, yakni 1) batal (nietig/absoluut nietig), 2) batal demi hukum (nietigheid van rechtswege), dan 3) dapat dibatalkan (verniegbaar). Ketetapan yang batal (nietig/ absoluut nietig) berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Bagi hukum, akibat perbuatan hukum itu tidak ada sejak semula. Sedangkan batal karena hukum atau batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu. Untuk dapat dibatalkan (verniegbaar). berarti bagi hukum bahwa perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten
KONSTITUSI juni 2013
(pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya dan oleh sebab itu segala akibat yang ditimbulkan antara waktu mengadakannya sampai sampai waktu pembatalannya, menjadi sah (terkecuali dalam hal undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan—bila mungkin— diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus. Namun ada yang mengganggap bermacam ketetapan hanya dua bentuk, yakni batal dan dapat dibatalkan, sedangkan batal demi hukum dianggap tidak diperlu, dikarenakan pembatalan ketetapan yang tidak sah hanya dapat dilakukan oleh hakim atau instansi administrasi yang lebih tinggi atau lembaga yang kompeten. Artinya tidak dimungkin sebuah ketetapan batal dengan sendiri tanpa pernyataan batal dengan akibatnya. Memang antara batal demi hukum dan batal memiliki banyak kesamaan bahwa perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada, baik sebagian atau keseluruhan. Pada dasarnya dalam sistem hukum kita tidak mengenal ketetapan batal demi hukum dalam arti bahwa perbuatan dianggap tidak ada tanpa pembatalan yang dilakukan pengadilan atau instansi yang kompeten. Contohnya sebuah kontrak yang dianggap tidak memenuhi kausa yang halal adalah batal demi hukum, namun tanpa permohonan dan pernyataan pengadilan bahwa kontrak itu batal demi hukum maka kontrak itu belum batal demi hukum. Artinya ketetapan batal
demi hukum memerlukan pembatalan oleh pengadilan. Begitu pula sebuah peraturan perundang-undangan yang tidak sah adalah memerlukan pembatalan baik melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi atau dicabut sendiri oleh lembaga yang mengeluarkan ketetapan tidak sah tersebut, meskipun sebuah UU atau peraturan perundang-undangan tidak memenuhi syarat tertentu sehingga batal demi hukum. Termasuk tidak ada batal demi hukum sebuah putusan pengadilan yang tidak sah tanpa melalui proses banding, kasasi atau upaya hukum lain datau upaya hukum luar biasa lainnya. Putusan pengadilan sebelumnya melalui upaya hukum yang lebih tinggi dapat dianggap benar atau justru dibatalkan atau diubah. Kemudian dalam hal apa putusan pengadilan dapat dianggap batal demi hukum? Sebagaimana sesuai sistem hukum kita tidak mengenal ketetapan yang nietigheid van rechtswege. Sebuah peraturan perundang-undangan yang tidak sah tidak dapat serta merta batal demi hukum tanpa pernyataan pembatalan oleh hakim oleh pengadilan atau oleh instansi yang berwenang. Termasuk sebuah putusan dari pengadilan yang seharusnya batal demi hukum memerlukan pernyataan pembatalan. Putusan pengadilan dapat batal demi hukum sebagaimana menurut Pasal 13 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.” Ayat
85
kamusPUSTAKA hukum (2) menyatakan “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.” Selanjutnya ayat (3) menyatakan “Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.” Batal demi hukum sebuah putusan demikian tidak dapat terjadi dengan sendirinya sesuai dengan ajaran nietigheid van rechtswege. Sebagaimana sesuai ajaran nietigheid van rechtswege atau null and void yang tidak murni, putusan pengadilan yang tidak terbuka untuk umum perlu upaya pembatalan dan pernyataan resmi bahwa putusan pengadilan batal demi hukum. Adapun dalam hukum acara pidana juga dikenal sebuah surat putusan pemidanaan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan Pasal 197 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan yang tidak dimuat ini membuat batal demi hukum yaitu: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA’; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
86
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; dan l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; Sesuai pasal-pasal dan penjelasan Pasal 197 KUHAP bahwa apabila terjadi sebuah kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan putusan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan yang tidak menyebabkan putusan batal demi hukum yakni ketentuan dalam huruf b, c, d, g, i, j, k dan l, yakni antara lain ketika tidak mencantumkan nama lengkap, dakwaan, pertimbangan dan sebagainya. Sedangkan ketentuan pada huruf a, e, f dan h meskipun terdapat kekhilafan dan atau kekeliruan menyebabkan putusan batal demi hukum, yakni antara lain tidak memuat kepala putusan, tuntutan pidana, pasal peraturan yang menjadi dasar pemindanaan, dan pemidanaan itu sendiri. Dengan demikian, menurut ketentuan penjelasan Pasal 197 KUHAP bahwa putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” karena kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan putusan atau pengetikan putusan tidak membuat dan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sampai batas mana kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan putusan? Menurut Yahya Harahap, ditolerir kekeliruan penulisan status penahanan. Apabila dalam amar putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” tidak termasuk dalam kekhilafan dan kekeliruan penulisan putusan. Pihak yang menyatakan tanpa status penahanan tidak membuat putusan batal demi hukum itu tidak benar apabila membaca KUHAP dengan utuh. Dengan tidak mencantumkan status penahanan
maka dengan sendirinya tiada kehilafan dan kekeliruan sama seperti kesalahan membuat putusan tapi tiada putusan yang tidak dibuat sehingga tiada yang khilaf dan keliru. Dari hal ini mestinya yang bisa ditolerir adalah yang menyangkut kesalahan ketik (clerical error), sedangkan jika tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” tidak termasuk dalam kategori yang membuat putusan batal demi hukum. Dengan Putusan MK No.69/PUU-X/2012, pada 22 November 2012, MK telah memaknai Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP bahwa surat putusan pemidanaan yang tidak memuat status penahanan tidak menjadikan sebuah putusan pemidanaan batal demi hukum, dengan demikian tidak mencantumkan ketentuan huruf k yakni “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” tidak membuat putusan batal demi hukum. Selanjutnya apakah putusan batal demi hukum ini berlaku dengan sendirinya tanpa pernyataan atau pembatalan? Siapa yang berwenang menyatakan batal demi hukum? Menurut Yahya Harahap (2000), berdasarkan ajaran null and void putusan batal demi hukum tidak mutlak. Sekalipun UU mengatakan putusan batal demi hukum, namun keadaan batal demi hukum tdk terjadi dengan sendirinya dengan keharusan dinyatakan resmi. Yang menyatakan resmi putusan batal demi hukum jika putusan pengadilan negeri maka yang menyatakan adalah pengadilan banding, jika putusan batal demi hukum dilakukan pengadilan banding maka pernyataan pembatalan dilakukan oleh MA, sedangkan jika putusan batal demi hukum dilakukan MA dalam tingkat kasasi dengan demikian MA yang berwenang menyatakan secara resmi karena tidak mungkin pengadilan lain dibawah MA atau pembatalannya dilakukan oleh MK. Sedangkan jika putusan MK yang batal demi hukum mestinya pernyataan pembatalan tersebut dilakukan oleh MK sendiri. Miftakhul Huda
KONSTITUSI juni 2013
PUSTAKA
catatan MK
Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar
S
Rekonstruksi Kewenangan MK
ebagai sebuah ritual demokrasi, pemilihan umum (pemilu) akan kembali digelar di Indonesia pada 2014. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pemilu telah dilaksanakan beberapa kali dengan karakter berbeda-beda. Pemilu pertama dilaksanakan pada 1955, di era demokrasi liberal, sekaligus satusatunya pemilu yang terselenggara selama pemerintahan Orde Lama. Walaupun dipandang sebagai pemilu demokratis, Pemilu 1955 melahirkan instabilitas politik yang justru berujung lahirnya otoritarianisme pada masa demokrasi terpimpin. Berbagai masalah juga dihadapi pada masa Orde Baru. Akibatnya, dari enam kali pemilu Orde Baru, tidak ada satu pun yang memenuhi kualifikasi sebagai pemilu demokratis. Pada masa Orde Baru, pemilu hanya menjadi alat untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Hans Antlov menyatakan, pemilu di masa Orde Baru memiliki makna demokrasi sangat sedikit, tetapi memiliki arti politik dan simbolik yang sangat penting. Di era reformasi, dengan demokratisasi sebagai arus utama, pelaksanaan pemilu juga masih menemui sejumlah masalah. Di awal era ini, muncul KONSTITUSI juni 2013
penolakan hasil Pemilu 1999 dari peserta pemilu yang menganggap ada kecurangan. Berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi pada saat kampanye, politik uang, verifikasi, hingga penetapan juga ditemui dalam pelaksanaan pemilu. Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membawa perkembangan baru terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Peradilan menjadi lembaga yang dipercaya mampu menyelesaikan perkara pemilu. Keberadaan MK melengkapi komponen yang diperlukan dalam pemilu yang demokratis. Robert A. Carp, Ronald Stidham, dan Kenneth L. Manning menyatakan, peradilan memiliki peran signifikan dalam membenahi sistem politik karena kemampuannya melindungi demokrasi. Konstruksi Normatif Kewenangan MK Terkait dengan penanganan perkara pemilu, MK berperan melalui dua kewenangan, yaitu menguji undangundang (UU) terhadap UUD 1945 (judicial review) dan memutus perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU). Melalui judicial review, sebagai negative legislator, MK berperan memastikan bahwa ketentuan UU yang terkait dengan pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Adapun kewenangan MK memutus perkara PHPU
terkait langsung dengan penyelenggaraan dan hasil pemilu. Sebelum ada MK, hasil pemilu yang ditetapkan penyelenggara pemilu tidak dapat diganggu gugat, walaupun ada pihak-pihak yang mengemukakan adanya kecurangan dan kesalahan perhitungan. MK telah menjalankan kewenangannya pada pemilu nasional 2004 dan 2009 serta sejumlah pemilu kepala daerah (pemilukada) sejak 2008 hingga kini. Pada awalnya, kewenangan MK adalah memutus perselisihan hasil perhitungan suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden. Kewenangan ini bertambah luas dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan UU tersebut, kewenangan memutus sengketa pemilukada beralih dari MA ke MK. Ketentuan itu selaras dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang memasukkan pemilukada sebagai bagian dari rezim pemilu. Persoalan Hukum Ketentuan Pasal 24C UUD 1945 merumuskan bahwa kewenangan MK, antara lain, adalah ‘’menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar’’
87
catatan MK dan ‘’memutus perselisihan tentang hasil Pemilu’’. Persoalan hukum yang muncul dari rumusan kewenangan ‘’memutus perselisihan tentang hasil Pemilu’’ adalah sejauh mana ruang lingkup kewenangan tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan putusan MK dalam perkara PHPU. Apakah kewenangan itu hanya memutus terkait kesalahan perhitungan suara atau juga terkait dengan keseluruhan proses penyelenggaraan pemilu. Pada awal pembentukan MK, ruang lingkup kewenangan ini dipahami hanya meliputi perselisihan hasil perhitungan suara yang ditetapkan penyelenggara pemilu yang mempengaruhi perolehan kursi atau terpilih-tidaknya calon. Perselisihan dibatasi pada persoalan kesalahan perhitungan yang dilakukan penyelenggara pemilu sehingga merugikan peserta pemilu. Meski demikian, konstruksi kewenangan MK dalam menangani perkara pemilu di dalam peraturan perundang-undangan, khususnya dalam memutus perkara PHPU, belum mampu mewujudkan pemilu yang demokratis. Sebab kewenangan tersebut hanya terbatas pada perselisihan perbedaan perhitungan hasil suara antara penyelenggara pemilu dan peserta pemilu atau hanya terkait dengan kesalahan perhitungan yang dilakukan penyelenggara pemilu. Konstruksi itu mengandung tiga kelemahan. Pertama, hanya merupakan bagian kecil dari electoral process, padahal tahap lain juga harus dilaksanakan berdasarkan prinsip pemilu yang demokratis. Pelanggaran di semua tahap dapat mempengaruhi hasil pemilu. Kedua, konstruksi ini tidak sesuai dengan hakikat keberadaan MK sebagai pengawal konstitusi. Jika hanya mengadili kesalahan perhitungan, MK tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi karena tidak dapat menilai konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Ketiga, dengan konstruksi sebagai peradilan matematis, MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman akan terbelenggu dan tidak dapat menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan. Jika hanya memeriksa dan memutus perhitungan suara hasil pemilu, MK tidak dapat bergerak apabila terjadi pelanggaran pada tahap sebelumnya yang nyata-nyata melanggar prinsip nomokrasi, prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan
88
hak konstitusional warga negara serta mempengaruhi hasil pemilu. Di sini, MK tidak dapat diharapkan menegakkan keadilan dan demokrasi substantif. Berdasarkan analisis penelitian, konstruksi yuridis dalam UUD 1945 tidak membatasi ruang lingkup kewenangan MK dalam memutus perkara PHPU hanya terbatas pada perselisihan yang berkaitan dengan perhitungan perolehan suara yang mempengaruhi hasil pemilu. Hal ini sesungguhnya sesuai dengan landasan pemikiran pembentukan MK sebagai peradilan konstitusi, yang fungsi utamanya mengawal konstitusi dalam semua perkara yang menjadi kewenangannya. Karena itu, kewenangan memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilu, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, pada hakikatnya adalah perkara memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Rekonstruksi Kewenangan MK Rekonstruksi terhadap kewenangan MK dalam menangani perkara pemilu, khususnya perkara PHPU, ditujukan untuk memenuhi jati diri MK sebagai peradilan konstitusi dan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diamanatkan Pasal 24 UUD 1945 serta untuk mendorong terwujudnya pemilu yang demokratis. Rekonstruksi merupakan kewajaran dalam perspektif hukum progresif, yang melihat hukum selalu dalam proses menjadi, mengabdikan untuk kepentingan manusia, dan menolak status quo. Pemikiran hukum progresif, yang dicetuskan Satjipto Rahardjo, berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah sarana mengekspresikan nilai dan moral. Di sisi lain, hukum dalam arti peraturan bukanlah sesuatu yang netral. Sesuai dengan tujuan rekonstruksi dan berdasarkan perkembangan putusanputusan perkara PHPU, ada empat hal yang harus direkonstruksi. Pertama, substansi atau sifat perkara PHPU tidak lagi mengadili perbedaan hasil perhitungan suara antara penyelenggara pemilu dan peserta pemilu atau sekadar mengadili kesalahan perhitungan suara yang dilakukan penyelenggara pemilu, melainkan harus merupakan peradilan yang memutus perkara konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Kedua, cakupan perkara PHPU yang menjadi kewenangan MK meliputi semua jenis pemilu, termasuk pemilukada,
sepanjang tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ketiga, ruang lingkup perkara PHPU meliputi semua tahap pemilu. Dari sisi objek, yang dapat diajukan tidak hanya perselisihan hasil pemilu, melainkan juga pelanggaran-pelanggaran di semua tahap pemilu yang melanggar prinsip nomokrasi, prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan hak konstitusional warga negara dapat diajukan ke MK sepanjang dapat mempengaruhi hasil pemilu. Pihak yang memiliki legal standing tidak terbatas pada peserta pemilu yang telah ditetapkan penyelenggara pemilu, bakal calon juga dapat diberi hak untuk mengajukan permohonan perkara PHPU kepada MK. Keempat, putusan perkara PHPU harus direkonstruksi. Harus ditegaskan kewenangan MK membuat putusan sela yang berisi perintah untuk mengembalikan pemilu sesuai dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi. Hal lain yang perlu direkonstruksi adalah memperkuat kedudukan putusan MK dengan menegaskan bahwa yang harus melaksanakan putusan MK bukan hanya penyelenggara pemilu, melainkan semua pihak, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku umum (erga omnes). Hal ini juga terkait dengan prinsip-prinsip hukum dalam putusan PHPU yang bersifat pseudo-judicial review. Kajian ini membuktikan bahwa hukum, khususnya dalam arti putusan pengadilan, telah mempengaruhi kehidupan politik. Selain itu, kajian ini membuktikan manfaat pendekatan hukum progresif dalam penerapan hukum yang berorientasi pada nilai dan tujuan yang bersifat substantif. Dari sisi praksis, kajian ini membawa implikasi perlunya perubahan konstruksi kewenangan MK dalam menangani perkara pemilu, khususnya dalam memutus perkara PHPU. Hal itu perlu dilakukan dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan MK dalam menangani perkara pemilu yang hendaknya mengadopsi prinsip-prinsip hukum baru yang telah dibentuk dan diterapkan dalam putusan MK. *Disarikan dari disertasi doktoral penulis di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Janedjri M. Gaffar, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.
KONSTITUSI juni 2013
Catatan mk
KONSTITUSI juni 2013
89
90
KONSTITUSI juni 2013