Lebba Pongsibanne, M.Si, dkk.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, dkk.
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, dkk. Autentisitas Budaya Bugis: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I La Galigo —Cet II (edisi Revisi) — Yogyakarta: PT. INCO, Tbk. bekerjasama denganCV. Arti Bumi Intaran, Maret 2010
xviii + 344 hlm.; 16 x 24 cm ISBN: 978-979-15835-9-6 1. Sejarah
I. Judul
@ Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Memfoto copy atau memperbanyak dengan cara apapun sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit, adalah Tindakan tidak bermoral dan melawan hukum. Penulis Lebba Pongsibanne, M.Si, dkk. Editor Lebba Pongsibanne, M.Si Desain Cover Siti Jahroh, S.H.I., M.S.I Desain Isi Studio Arti Penerbit
ii
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I La Galigo
iii
PENGANTAR PENERBIT
Kebudayaan merupakan unsur sejarah yang penting bagi sebuah bangsa. Bangsa yang besar menghargai sejarah kebudayaannya. Kebudayaan Indonesia sangat kaya dan beragam. Sejarah suatu kebudayaan bisa kita pelajari dari naskah yang diwariskan. Dengan perjalanan waktu dan jaman banyak peninggalan bersejarah yang hilang, rusak bahkan terlupakan. Bagaimana dengan situasi dan kondisi naskah atau manuskrip kebudayaan begitu banyak suku bangsa Indonesia? Benarkah lebih banyak naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di luar negeri? Apakah naskah- naskah sejarah yang ada di Indonesia masih tersimpan dan terjaga dengan baik? Bagaimana dengan naskah-naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di Belanda? I La Galigo adalah Epik tertulis yang terpanjang di dunia. Epik ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang berawal dengan seorang raja dunia atas atau raja langit yang bernama La Patiganna. Karya I La Galigo ini merupakan suatu karya sastra yang sangat agung. Bila dibandingkan dengan budaya daerah-daerah lain di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa atau Bali, I La Galigo memiliki keunikan tersendiri yakni dari gaya penyampaian, bahasa, dan formula yang digunakan merupakan campuran tradisi lisan dan tulisan. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwu. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. iv
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Bagi orang yang memahami Epos I La Galigo, tokoh Sawerigading dapat dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya Nusantara. Ini berarti pemahaman kita tentang cikal bakal Nusantara turut bertambah pula, bukan hanya ditemukan dalam Kakawin Negarakartagama yang higga kini dijadikan legitimasi dasar-dasar terbentuknya “nation” yaitu, Indonesia modern. Pemahaman Sawerigading sebagai tokoh pemersatu juga banyak mem- bicarakan masalah kemasyarakatan seperti yang dimuat dalam epos I La Galigo. Konsep integrasi yang merupakan perekat utama “nation” kita bisa ditemukan dalam cerita pengembaraan Sawerigading dalam mengarungi lautan. Begitu pula menyangkut masalah kemasyarakatan, mengatasi/ mengendalikan konflik, toleransi antara penganut agama. Inilah ide dasar yang ingin dimunculkan dalam ulasan buku ini. Selamat Membaca! Yogyakarta 5 April 2009 Tim Redaksi
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
v
PENGANTAR EDITOR
Sawerigading adalah tokoh utama dalam naskah I La Galigo meskipun bukan sebagai tokoh yang paling banyak berperan dalam pengisi alur dari awal sampai akhir dalam epos I La Galigo, tetapi Sawerigading lah awal dari segala penyebab terjadinya semua peristiwa dan kejadian dalam epos tersebut. Berdasarkan silsilahnya, Sawerigading adalah cucu dari Batara guru yang mempunyai nama asli la togeq langiq penguasa bumi. Sedangkan nenek Sawerigading berasal dari kerajaan Buriq Liu (Kerajaan Bawah Laut/Air) Ketika Batara guru pertama kali turun ke bumi ia ditempatkan di atas bamboo Betung. Nah, dari sinilah asal muasal nama Sawerigading yang terdiri dari 2 kosa kata yakni Sawe dan Ri Gading. Sawe artinya ‘menetas’ dan Ri Gading berarti ‘di atas bambu betung’. Jadi, Sawerigading artinya keturunan dari orang yang menetas di atas bambu Betung. Kemudian Batara guru mempunyai anak yang bernama Batara lattuq yakni Bapak Sawerigading yang selanjutnya menjadi cikal bakal raja-raja di bumi (kerajaan luwu/bugis). Nama-nama lain dari tokoh Sawerigading yang sering muncul dalam Epos I La Galigo adalah To Appanyompa (Orang yang disembah), La Maddukelleng, Langiq paewang (sang penggoyah langit), pamadeng lette (Pemadam halilintar), Sawe Ri sompa (Keturunan Orang yang disembah), La Pura Eloq (Orang Yang tak terbantahkan kemauannya), La Datu Lolo (Raja Muda), La Oro Kelling (Orang Oro kelling), La Tenritappuq (orang yang tak terkalahkan). Cerita Sawerigading sangat penting untuk dipahami karena ia tidak hanya dimengerti melalui naskah yang ada dalam epos I La Galigo. Tetapi telah memasuki relung kehidupan manusia Bugis Makassar yang paling dalam berupa legitimasi Ideologi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya berbagai pemahaman sinkritisme antara ajaran Sawerigading vi
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
dengan ajaran Islam.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
vii
Bagi orang yang pernah membaca epos I La Galigo, akan mendapatkan banyak informasi tentang mite Sawarigading. Disebut dalam Surek Galigo, atau Mite La Galigo bahwa PatotoE atau Yang Maha Pencipta, yang berdiam di Bottinglangi, telah mengutus putranya yang bernama Batara Guru untuk turun ke dunia. Setelah tiba di dunia Betara Guru kawin dengan putri dari Paratiwi atau dunia bawah, yang bernama We Nyilik Timo. Dari perkawinan ini telah lahir Betara Lattu. Kemudian Batara Lattu, setelah dewasa kawin dengan Opu Senggeng. Dari perkawinan ini lahirlah dua anak kembar berlainan jenis. Yang putra diberi nama Sawerigading, sedangkan yang putri We Tenriabeng. Sebagaimana adat kebiasaan kaum bangsawan untuk kelahiran anak-anak mereka, telah diadakan upacara oleh orang tuanya. Namun upacara tersebut, Betara Lattu dan permaisurinya raib, naik ke botinglangi atau puncak langit. Kejadian ini menggemparkan penduduk kerajaan. Setelah reda keadaan, para pembesar kerajaan Luwu bersepakat untuk memelihara kedua keturunan Betara Lattu, namun dengan jalan memisahkan mereka, demikianlah sehingga Wa Tenriabeng dibuatkan mahligai, yang letaknya jauh dari tempat pemeliharaan Sawerigading. Sawerigading seorang pelaut yang ulung. Keteguhan hatinya mampu menggiring dia pada kepekaan mengatasi semua kesulitan di laut. Ia memimpin rombongan perahu yang kesemuanya tersebut dari satu batang pohon dengan keterampilan mengarungi laut. Kecerdasan dan ketangkasannya yang luar biasa membuat dia disegani di setiap tempat. Musuhnya di laut ditaklukkan satu persatu. Bila musuhnya menggunakan kesaktian, yakni melayang di atas permukaan laut, ia menantangnya. Karena ia dianggap raja laut, jadi semua aktivitasnya diceritakan tentang kehebatannya menguasai laut. Tidak heran jika pembuat perahu di Ara mengungkapkan bahwa kemahiran dalam pembuatan alat di laut di daerah itu, bersumber dari perahu Sawerigading. Ketika itu Sawerigading menyeberang ke Pulau Selayar, rombongannya diserang badai, angin, dan lebih berbahaya, ialah kala-kala Tanjung Bira, yakni pusaran air laut akibat pertemuan arus bercampur ombak. Perahu rombongan porak poranda, pecah berkeping- keping, kemudian terdampar di pantai Ara, Bulukumba. Kerusakan perahu Sawerigading, menyebabkan rombongan harus tinggal beberapa hari lamanya. Bersama orang Ara, Sawerigading memperbaiki perahu, menyambung kembali papan yang telah terlepas satu dari yang lainnya, hingga utuh kembali menjadi perahu. Kemahiran inilah vii
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
yang diwarisi oleh orang Ara, dan dikembangkan hingga sekarang. Sawerigading dalam konteks
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
ix
peranannya sebagai tokoh. Sebagai pelaut dan sekaligus raja laut. Sawerigading Ini merupakan pencerminan langsung dari semangat bahari manusia Sulawesi yang berjaya di lautan selama berabad-abad. Itulah sebabnya hingga sekarang etos kebaharian masyarakat Sulewesi Selatan merupakan ciri budaya yang paling menonjol dan dikenal. Kekaguman orang luar termasuk bangsa Belanda dan Inggris memberikan penilaian tersendiri terhadap jiwa dan semangat manusia Sulawesi Selatan di lautan. Prestasi yang telah dicapai Sawerigadaing dalam petualangan di lautan yang buktibuktinya terdapat dalam sumber tradisional di semenanjung dan peninggalan cerita rakyat di kawasan lain, telah mengangkat martabat manusia Sulawesi sebagai penguasa di lautan. Kecenderungan Penokohan Sawerigading di berbagai tempat yang ditelah disebutkan di atas tidak lepas dari munculnya teori behavioral tentang kemunculan suatu tokoh. Aliran behavioral itu sangat berpengaruh di dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu politik. Aliran ini berkembang begitu jauh dan begitu pesatnya sehingga dikatakan mencapai kesempurnaan metodologis di dalam pencapaian pemahaman seorang tokoh. Namun parodi konyol dari pendekatan seperti ini sering juga muncul dalam aplikasinya sehari-hari. Kadang-kadang muncul semacam ucapan naif, bahwa tabiat dan tenpramen tokoh-tokoh itulah menentukan corak zaman. Sawerigading misalnya tidak dikenang jika tidak mengisahkan pelayarannya dari luwu ke tanah Cina; tidak dikenang jika ia tidak jatuh cinta pada saudara kembarnya We Tenriabeng, tidak dikenang jika ia tidak mengawini I We Cudai yang cantik jelita; tidak dikenang jika penokohannya hanya di tanah luwu, tetapi ia sampai mengarungi Nusantara seperti tanah Taranati, Maloku, Malaka, Mancapaiq dan Ulio. Tokoh Sawerigading, bukan tokoh simbolik dalam sejarah yang tidak punya kaitan dalam kehidupan dunia realitas masyarakat pendukungnya. Meskipun dia adalah keturunan dewa (Batara Guru), tapi dalam kenyataan Sawerigading telah melebur dalam kehidupan rakyat. Dia, berpola tingkah laku seperti layaknya manusia biasa. Dia mempunyai nafsu, kawin, merantau, jadi pelaut, dan memiliki perasaan rindu terhadap kampung halamannya. Dari ciri sifatnya ini, maka terlihat bahwa dia sebagai pemimpin mempunyai tanggung jawab moral terhadap kampung halamannya dan terhadap rakyat yang dipimpinnya. Tokoh mitos yang digambarkan dalam historiograf tradisional itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia realitas masyarakat pendukungnya. Tokoh mitos itu tetap berada di dunia atas, tidak turun x
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
ke dunia bawah, dan tidak pula melebur dalam kehidupan rakyat. Sedang Sawerigading, turun ke dunia bawah, dan melebur dalam kehidupan masyarakat. Tapi yang menarik bahwa Sawerigading merupakan medium dua dunia tersebut. Dia, merupakan wakil dari dunia bawah untuk mengetahui apa yang menjadi perasyarat dunia atas agar segenap manusia terhindar dari bencana. Kontak dunia atas dengan dunia bawah yang dijembatani oleh Sawerigading, menyebabkan kehidupan spiritualisme yang merangsang lahirnya upacara adat berkembang hingga saat ini. Contoh yang aktual dapat dilihat dalam tradisi penghormatan arwah orang tua, memelihara benda pusaka, meneruskan tradisi lisan dari sawerigading, dan lain-lain. Ini semua dapat dijadikan bukti sejarah dalam kaitan menempatkan tokoh Sawerigading sebagai tokoh sentral kebudayaan. Tokoh Sawerigading yang merupakah tokoh sentral dalam masyarakat Sulawesi. Tidaklah memiliki ciri yang memperlihatkan unsur superior yang inferior dalam kehidupan budaya. Sawerigading, justru memperlihatkan konsep kesatuan budaya di kalangan pendukungpendukungnya. Kesamaan ciri budaya yang telihat, baik yang terdapat dikalangan berbagai kelompok etnik di Sulawesi, maupun yang berada di luar Sulawesi, semua menunjukkan sikap terbuka dalam menghadapi kenyataan hidup. Dia, dapat diterima oleh para pendukungnya bedasarkan pola berpikir tradisional, sebaliknya diapun dapat diterima oleh manusia yang telah menerima konsep pemikiran modern. Sawerigading dapat dikatakan peletak dasar integrasi nasional. Wilayah spesial geografi mereka bahkan telah melampaui batas-batas “nation” seperti konsep Indonesia modern kita miliki sekarang ini. Begitupula karya sastra yang penuh dengan nilai ajaran kemasyarakatan sangat kaya bagaikan hutan belantara yang belum tersentuh tangan-tangan manusia. Bukan indikator wilayah geografi dan unsur kebahasaan merupakan unsur utama terbentuknya negara bangsa “nation” yang trend di awal abad ke-20. Jawabnya negara bangsa yang bermunculan di abad itu dibangun di kedua unsur itu, meskipun mereka juga banyak berangkat dari dunia mitos. Mudah-mudahan kehadiran buku ini bisa menambah wawasan nusantara kita. Selamat Membaca![] Yogyakarta, 15 April 2009
viii
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Lebba Pongsibanne Mansur
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
ix
PENGANTAR BUPATI LUWU TIMUR
I La Galigo adalah sebuah karya sastra tulis yang besar yang berisi mitologi suku bangsa Bugis yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan budaya masyarakat Sulawesi Selatan khususnya. Tradisi lisan Ceritera Galigo tidak hanya dimiliki oleh suku bangsa Bugis, tetapi juga oleh berbagai masyarakat dengan bahasa daerah yang berbeda-beda antara lain, seperti Mandar, Enrekang, Toraja, Kaili, dan Gorontalo. Berkat upaya Dr. B.F. Matthes, Dr. J.C.G. Jonker, dan Dr. A.A. Cense, naskah-naskah I La Galigo telah dapat terselamatkan dan kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Negeri Leiden dan di Yayasan Matthes yang kemudian menjadi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Dr. R.A. Kern, yang menerbitkan katalog naskah ceritera Galigo pada tahun 1939, dan Yayasan Matthes yang menerbitkan Ceritera I La Galigo pada tahun 1954 telah mengukir jasa yang sangat besar dalam membantu pemahaman kita mengenai warisan budaya salah satu suku bangsa Indonesia, yaitu suku bangsa Bugis. Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde Leiden menyelenggarakan Seminar Internasional Sawerigading, 10-14 Desember 2003 dengan tema “Dengan semangat Sawerigading dan falsafah dalam Galigo kita membangun Luwu menjadi masyarakat madani”. Untuk mengenal jati diri suku bangsa Bugis maka isi I La Galigo memang harus dimasukkan dalam muatan lokal kurikulum sekolahsekolah di Sulawesi Selatan. Hasil kegiatan Seminar Internasional Sawerigading yang antara lain bertujuan menggali dan memahami x
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
identitas tanah Luwu seperti yang tergambar dalam Sawerigading, menumbuhkembangkan semangat
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
xi
terhadap penghargaan budaya sendiri dan budaya orang lain demi terciptanya pluralisme etnis, menggali dan memahami nilai-nilai juang dan etos kerja yang dimiliki oleh Sawerigading, ingin membangun kembali budaya produktif daerah yang hampir punah, kesemuanya itu dapatlah dirumuskan menjadi muatan lokal kurikulum sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan. Namun persoalannya sekarang adalah masih minimnya bahan ajar dan literatur yang membahas ketokohan Sawerigading itu sendiri. Atas dasar ide kreatif dari saudara Lebba Pongsibanne yang dibantu oleh saudara Mansur, kumpulan makalah dalam penyelenggaraan seminar internasional tersebut kemudian disunting [diedit] menjadi buku ilmiah yang ada di tangan kita semua ini. Kehadiran buku ini sangat penting bagi kita semua terutama dalam mengisi ‘kekosongan’ literatur/bahan ajar dan sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan budaya lokal. Kami sangat berbangga hati atas ide-ide kreatif semacam ini. Dan mudah-mudahan ini menjadi ‘pemicu positif’ bagi perkembangan daerah di masa-masa yang akan datang. Selamat Membaca!
Luwu Timur, 10 Maret 2010 Bupati,
Drs. H. Andi Hatta Marakarma, MP
xii
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
PENGANTAR PT. INCO, TBK
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
xii
xii
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
SEKILAS BIOGRAFI EDITOR
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si. Cendikiawan dan ilmuwan muda ini lahir di KM 04, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 10 Juni 1972. Kemudian pada usia 3 tahun, ia berdomisili di Balambano, Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi Selatan. Karir pendidikannya dimulai dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Tabarano Wasuponda (1985), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Wasuponda (1988), Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Malili (1991), kemudian ia melanjutkan ke Jenjang Perguruan Tinggi (S1) Perbandingan Agama (PA), Fakultas Ushuludin IAIN Alauddin Ujung Pandang (1996), dan setelah itu ia menempuh Jenjang Magister (S2) Program Pascasarjana Antropologi Universitas Hasanudin (UNHAS) Makassar (2004). Karena cintanya akan ilmu pengetahuan ia sekarang sedang menyelesaikan Program Doktor (S3) Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (Masuk Tahun 2008). Pengalaman kerjanya: Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: sejak Tahun 2005Sekarang; Fasilitator Sosialisasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Tahun 2008; Sekertaris Panitia Program Pengembangan Bahasa Asing di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Tahun 2007; Fasilitator Sosialisasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Tahun 2007; Panitia Seminar Nasional RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi: Tahun 2006; Pendamping/Konsultan Relawan Korban Gempa Bumi Daerah Istimewah Yogyakarta dan Jawa Tengah: Tahun 2006; Panitia Seminar Nasional Politik Hukum Islam di Indonesia: Tahun 2006; Panitia Pelaksana Seminar Nasional Hukum Perkawinan: Tahun 2006; Pembimbing dan Pembina Dara dan Daeng Luwu Timur: Tahun 2004; Panitia Pelaksana Seminar dan Festival Sawerigading di Masamba: Tahun 2003; Panitia Pelaksana Seminar dan Festival Lagaligo di Barru: Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
xiii
Tahun 2002; Panitia Seminar Sejarah dan Temu Tokoh di Makassar: Tahun 2002; Duta Wisata
xiv
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Pemilihan Pragawan Indonesia : Tahun 2002; Karyawan Logistik PT. Inco, Tbk (magang): Tahun 1999 – 2000; Karyawan Kontraktor PT. Inco, Tbk (Astaldi & Elin): Tahun 1997 – 1999. Pengalaman ilmiahnya: Peserta Workshop dan Sosialisasi Pembuatan SAP Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Tahun 2008; Peserta Sosialisasi SOP Skripsi Penyelenggaraan Seminar Proposal dan Munaqosah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Tahun 2008; Peserta Workshop Evaluasi Draft Kurikulum Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Tahun 2008; Peserta Diskusi Publik Rancangan UU Keterbukaan Informasi Publik: Tahun 2008; Peserta Sminar Pengembangan Keilmuan Sosiologi: Tahun 2007; Peserta Pelatihan Psikologi Transpersonal: Tahun 2007; Peserta Semiloka Penelitian Kualitatif: Tahun 2007; Peserta Lokakarya Peluang dan Tantangan Penyelenggaraan Program Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Kepenghuluan di Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Tahun 2007; Peserta Seminar Nasional Menyongsong Peran BMT Sebagai Pilar Ekonomi Umat: Tahun 2007; Peserta Seminar Mempersiapkan Penyusunan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Kewarisan: Tahun 2007; Peserta Semiloka Penyusunan Draft RUU Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Kewarisan: Tahun 2007; Peserta Diskusi Panel Mencari Format Praktik Peradilan bagi Masiswa: Tahun 2007; Peserta Seminar Internasional Khilafah vis-à-vis NKRI: Tahun 2007; Peserta Pengembangan Kompetensi Pedagogik: Tahun 2007; Peserta Pelatihan Pengembangan Kompetensi Sosial: Tahun 2007; Peserta Workshop Pengayaan Metodologi Penelitian dan Peningkatan Mutu Bimbingan Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Tahun 2007; Peserta Pelatihan Pengembangan Kompetensi Kepribadian: Tahun 2006; Peserta Pelatihan Sosialisasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Tahun 2006; Peserta Workshop Metodologi Penelitian Agama dalam Pendekatan Interdisipliner: Tahun 2006; Peserta Seminar Sehari Perluasan Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen UU Nomor 7 Tahun 1989: Tahun 2006; Peserta Seminar Nasional Politik Hukum Islam di Indonesia: Tahun 2006; Peserta Seminar Nasional Kontribusi Hukum Islam Terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi: Tahun 2006; Peserta Pelatihan Pengembangan Kompetensi Profesional: Tahun 2006; dan Pelatihan Metode Kualitatif: Tahun 2002. Bukunya yang segera terbit: Islam dan Budaya Lokal (2009). Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, xv
DAFTAR ISI
PENGANTAR ¾ PENERBIT ............................................................................................ iii ¾ EDITOR ................................................................................................ v ¾ BUPATI LUWU TIMUR ................................................................... ix ¾ PT. INCO, Tbk. .................................................................................... xi ¾
SEKILAS BIOGRAFI EDITOR ...................................................... xiii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xv
Bagian 1 MENULUSURI AKAR BUDAYA BUGIS: HEROISME TOKOH SAWÉRIGADING DALAM ALUR TEKS EPIK LA GALIGO — 1 ¾
SAWÉRIGADING DALAM DIASPORA ORANG BUGIS: KASUS BANGKA Oleh: Barbara Watson Andaya
¾
¾
¾
SAWERIGADING SEBAGAI PAHLAWAN BUDAYA; SIMBOL BUDAYA MARITIM DI SULAWESI SELATAN Oleh : Dr. Abu Hamid
19
PELAYARAN SAWERIGADING (Perekat Integrasi N Oleh: Dr. )A. Rasyid A. Sakka Universitas Hasanuddin
29
REKONSTRUKSI BENTUK DAN ORNAMEN BAHTERA SAWERIGADING Oleh: Anwar Thosibo
xvi
3
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
45
¾
SAWERIGADING OPUNNA WARE’ PENDEKAR DARI LUWU Oleh : Sarita Pawiloy
¾
57
SAWERIGADING DAN MASYARAKAT CINAMAKASSAR
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
xvii
¾
¾
Oleh: Shaifuddin Bahrum .................................................................
71
SEBAGAI MODEL TAHAPAN PERKAWINANSUKU BUGIS SAWERIGADING IN LUWU, SULAWESI AND BEYOND: LOCAL AND REGIONAL CULTURAL IDENTITY AND SOCIAL TRANSFORMATION IN EPIC
79
By Prof. Dr. Kurt Tauchmann Department of Cultural Anthropology, University of Köln (Cologne) Germany. 85 ¾
PERANTAU DAN PENEROKA: PARTISIPASI ORANG BUGIS DALAM PEMBINAAN PETEMPATAN DI TANAH SEBERANG SEMENANJUNG MALAYSIA Oleh: Khazin Moh. Tamrin Pusat Pengajian Sejarah, Politik & Strategi Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi 97
Bagian 2 KEBESARAN KERAJAAN LUWU DAN IDENTITAS BUDAYA BUGIS — 123 ¾
WACANA LUWU DALAM TAS PERSPEKTIF SEJARAH
MENCARI
IDENTI
Oleh : La Ode Rabani ........................................................................ 125 ¾
TODDO PULI TEMMALARA: JENDELA DENGAN KACA YANG BENING TENTANG MANUSIA LUWU Oleh: Mashadi Said (Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia) Andi Faisal Bakti (IIAS, Leiden University, the Netherlands) .. 137
¾
KEPAHLAWANAN, KEJUJURAN, KEGAGAHAN, KEBIJAK- SANAAN DAN KEBERANIAN: LAMBANG KEPERBADIAN PEDAGANG-PEDAGANG BUGIS DI SELAT MELAKA Oleh: Dr. Nordin Hussin ................................................................... 153
¾
MENELUSURI KEBERADAAN BISSU (CALABAI) DI KABUPATEN SOPPENG (Telaah Bacaan, Cerita Rakyat dan Proses Perjalanan Calabai) Oleh: H.Hary Sumange & M.E.Fachry* .........................................
xvi
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
163 ¾
MISSING LINK OF LUWU: THE PAST AND PRESENT
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
xvii
By: Hendro Prabowo1& Alwi Foead ............................................... 177 ¾
KAJIAN ETNOGRAFI DALAM KOMUNITAS PADO’E LUWU UTARA Oleh : Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si .......................................... 205
Bagian 3 EPOS I LA GALIGO: REFLEKSI ATAS TERBENTUKNYA KEBUDAYAAN NUSANTARA — 265 ¾
SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF TERHADAP EPOS I LA GALIGO DAN TANTANGAN NILAI BUDAYA MASA Oleh: Ishak Ngeljaratan
¾
THE MEMOIR OF THE MAKOLE MATANO Oleh: Kathryn Robinson
¾
¾
¾
311
INSPIRASI KREATIF DARI KARYA SURE’ GALIGO “Kebijaksanaan Kunci Kehidupan dan Kebijaksanaan” (Dari Epik Odyssey, karya Homer) Oleh : Rahman Arge
¾
283
SEKALI LAGI I GALIGO SEBAGAI SUMBER KAJIAN SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA Oleh: Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A.
¾
277
KEDATUAN CINA MENURUT I LA GALIGO, LONTARAK DAN HASIL PENELITIAN OXIS Oleh : Prof. Andi Zainal Abidin*
¾
267
319
I LA GALIGO: MILIK SIAPA? (Analisis atas Keterkaitannya dengan Saujana Budaya) Oleh: Widya Nayati
325
NILAI RELIGI DAN KEMANUSIAAN DALAM I LA GALIGO Oleh: Hamka Haq
335
NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN
337
LAMPIRAN GALERI ACARA FESTIVAL .................................................................... xvi
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
341
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
xvii
xviii
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I La Galigo
Bagia n
1 MENULUSURI AKAR BUDAYA BUGIS: HEROISME TOKOH SAWÉRIGADING DALAM ALUR TEKS EPIK LA GALIGO
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, dkk.
1
SAWÉRIGAD ING
DALAM DIASPORA ORANG BUGIS: KASUS BANGKA* Oleh: Barbara Watson Andaya Universitas Hawai’i Cerita epik tentang Sawérigading, pahlawan budaya Bugis, tidak banyak diketahui orang di luar Sulawesi, meskipun tentu ada harapan bahwa hal ini bisa berubah.1 Walaupun posisi epik I La Galigo sangat tinggi di hati orang- orang Sulawesi; Sawérigading jarang disebut pada sejarah kerajaan yang menitikberatkan waktu-waktu ‘sejarah’. Namun demikian, seperti telah diingatkan Pelras dan Koolhof, I La Galigo bukanlah sekedar tradisi kerajaan, dan penelitian mutakhir telah menemukan beberapa manuskrip di desa- desa. Pelras mengatakan, misalnya, bahwa bentuk-bentuk lisan tentang I La Galigo dan cerita Sawérigading diketahui telah menyebar sampai Gorontalo, Banggai dan Buton.2 Para sejarawan dunia Melayu menambahkan bahwa wilayah penyebaran cerita lisan tersebut bahkan lebih luas lagi. Daftar rinci namanama yang tercantum dalam teks sejarah Melayu Riau abad ke-19, yaitu Tuhfat Al-Nafis, menunjukkan bahwa setidaknya satu manuskrip
* Tulisan ini pernah disampaikan pada Festival La Galigo and Seminar tentang Sawérigading Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003. 1 Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996), hal. 87-90; Andi Hjramurni, ‘Reviving Glorious Buginese Past’, The Jakarta Post, August 26, 2003. 2 Pelras, The Bugis, hal 89; Sirtjo Koolhof, ‘The “La Galingo”; A Bugis Encyclopaedia and its Growth.’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (selepas ini BKI) 155, 1 (1999): 384.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, dkk.
3
SAWERIGADING SEBAGAI PAHLAWAN BUDAYA; SIMBOL BUDAYA MARITIM DI SULAWESI SELATAN Oleh : Dr. Abu Hamid
Mayoritas penulis menilai bahwa, I La Galigo sebagai sebuah karya sastra yang bersifat mitologis, karena tokoh-tokohnya berperan sebagai dewa atau setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain, tidak seperti dunia yang kita kenal sekarang, terjadi pada masa lampau. Masyarakat pendukung ceritera rakyat, menganggap peristiwa itu benar-benar terjadi dan dianggap suci. Seminar di Palu yang bertemakan “Folk Tale Sawerigading” yang seharusnya disebut folklor, penggagasnya memandang La Galigo/Sawerigading sebagai ceritera biasa saja yang mungkin disamakan dengan legenda. BF. Matthes sendiri sebagai cendekiawan yang pertama kali meneliti sastra Bugis/Makassar menyebutnya “Puisi La Galigo” atau “Syair La Galigo” masyarakat Bugis menyebutnya sebagai “Sure’ Galigo” atau “Sure’ Selleang”, karena lontarak’ Selleang ini dibaca sambil berlagu ketika benih padi akan disemaikan. Adakalanya sure’ Selleang ini disebut “Galigona Meongpalo KarelaE”. Isi sure’ Selleang, hanya mengambil bagian terpenting dari sure’ La Galigo mengandung pokok ceritera tentang kesuburan, yaitu mulai diturunkannya dari langit “Siriatakka, telle-araso” yang dianggap sumber kejadian rerumputan, pohon-pohonan, dan buah-buahan.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
25
PELAYARAN SAWERIGADING (Perekat Integrasi Nusantara)1 Oleh: Dr. A. Rasyid A. Sakka Universitas Hasanuddin Bagi orang yang memahami Epos I La Galigo, tokoh Sawerigading dapat dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya Nusantara. Ini berarti pemahaman kita tentang cikal bakal Nusantara turut bertambah pula, bukan hanya ditemukan dalam Kakawin Negarakartagama yang higga kini dijadikan legitimasi dasar-dasar terbentuknya “nation” yaitu, Indonesia modern. Pemahaman Sawerigading sebagai tokoh pemersatu juga banyak membicarakan masalah kemasyarakatan seperti yang dimuat dalam epos I La Galigo. Konsep integrasi yang merupakan perekat utama “nation” kita bisa ditemukan dalam cerita pengembaraan Sawerigading dalam mengarungi lautan. Begitu pula menyangkut masalah kemasyarakatan, mengatasi/ mengendalikan konflik, toleransi antara penganut agama. Cerita Sawerigading yang digolongkan sebagai cerita rakyat Nusantara, bukan hanya ditemukan di plataran Pulau Sulawesi khususnya tanah Luwuq, tetapi ia telah melintasi pulau-pulau, bahkan luar Nusantara (tanah Melayu). Ia merupakan sebagai alat perekat integrasi, bukan saja dalam artian geografi tetapi juga ajaran-ajaran sosial kemasyarakatannya melalui karya sastra dunia yaitu I La Galigo. Tulisan ini diniatkan untuk membuka benang merah makna
26
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
REKONSTRUKSI BENTUK DAN ORNAMEN BAHTERA SAWERIGADING Oleh: Anwar Thosibo
Situs-situs peninggalan prasejarah di Pulau Sulawesi, khusunya benda- benda dan gambar-gambar yang berhubungan dengan bahtera Sawerigading - yang tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengan dan di tempattempat lainnya - merupakan sebuah kekayaan budaya dan warisan “budaya rupa” (visual culture) yang luar biasa. Akan tetapi, bentuk-rupa mengenai kekayaan budaya tersebut agaknya terlupakan dan seakan-akan tenggelam dalam kegemaran akan pembicaraan mengenai warisanwarisan budaya yang lebih prestise; seperti tradisi lisan, kesusatraan, sejarah lisan dan tulisan mengenai tokoh Sawerigading. Pembahasan dan penggunaan cerita rakyat atau Epos Sawerigading sebagai elemen budaya, inspirasi seni atau identitas budaya tidak lagi menjadi sesuatu yang baru, akan tetapi elemen-elemen dari bentuk artefak budaya perupaannya seakan-akan tidak mendapat tempat untuk itu. Kemungkinan besar ada sebuah alasan penting – disamping berbagai alasan-alasan lainnya – yang menyebabkan bentuk budaya rupa bahtera Sawerigading tidak mendapat tempat semestinya dalam wacana pembicaraan nasional dan internasional, yaitu persoalan “jarak” (distance) atau “penjarakan” (distanciation) antara artefak budaya rupa masa lalu tersebut dan budaya kontemporer (baik jarak waktu, geografi, kultural dan spiritual). Budaya kontemporer membuat jarak dengan budaya prasejarah tersebut,
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
27
SAWERIGADING OPUNNA WARE’ PENDEKAR DARI LUWUQ Oleh : Sarita Pawiloy “Untuk dapat menyelami kebudayaan itu, kita harus lebih dahulu menyelidiki roh manusia. Bukan hanya menerangkan rakitan rohani manusia, melainkan bagaimana memahaminya (“verstehen”). Memahami sejarah bukanlah mencari hubungan sebab-akibat, melainkan mencoba memahami rakitan rohani manusia” (Wilhelm Dilthey; 1833-1911)*
1.
Pendahuluan
Secara apriori isi tulisan ini subyektif, sebab penulisnya mempunyai keterkaitan pribadi dengan pokok yang diuraikan. Dilahirkan di Luwu pedalaman bagian selatan pada sebuah kampung lembah gunung Sitodong aliran sungai Riwang. Kelahiran tahun 1940, dan pada usia anak-anak diberitahu oleh saudara kakak ayah, bahwa kami termasuk “rombena kamummu” atau rumpun Sawerigading. Ditambahkan oleh tante tersebut (ibu Martin Guli Daeng Mallimpo, salah satu tokoh organisasi perjuangan “Sukarno Muda”), kami “maddara takku” (berdarah warna bening atau putih). Namun segera sesudahnya jari tangan tergores irisan bambu, dan darah merahpun mengalir. Oleh ayah diberitahu pul, bahwa maksud “maddara takku” ialah sikap adil, jujur dan benar. Antara percaya dan tidak sebagai keturunan Sawerigading, Opunna Ware’ yang dianggap manusia dewa, sejak kecil (usia sekitar 5 tahun) diberi latihan fisik oleh ayah. Selama dua minggu dipaksa menatap matahari yang baru terbit, hingga tampak sebagai bulan. Sekali seminggu diharuskan menatap ujung badik sampai mata badik hilang dari pandangan. Ayah,
28
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
SAWERIGADING DAN MASYARAKAT CINAMAKASSAR Oleh: Shaifuddin Bahrum1
Pendahuluan Sekalipun orang Cina telah bermukim cukup lama di kota Makassar dan telah berbaur dengan warga masyarakat lainnya, namun dalam pembauran dengan masyarakat setempat, mereka tidak sedikit mengalami kendala dan tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki masalah dengan kaum pribumi. Secara internal mereka senantiasa masih mengalami kendala psikologis. Dalam diri mereka masih terdapat sebuah kesadaran, bahwa dirinya bukanlah orang Makassar asli sekalipun telah lahir dan beranak pinak, karena memang mereka masih terkait keturunan (genelog) dengan moyangnya di negeri Cina. Di sisi lain orang Makassar memandang bahwa meskipun mereka sudah menyatu dengan pribumi, orang Cina tetap sebagai orang asing yang tidak bisa sama dengan mereka yang dari keturunan Makassar atau orang pribumi lainnya di Sulawesi Selatan. Orang Makassar (pribumi) memiliki banyak perbedaan dengan orang Cina yang dengan mudah dapat menjadi pemicu terjadinya konflik social. Selain persoalan suku bangsa, dalam dunia ekonomi tercipta kesenjangan antara orang Makassar dan orang Cina, karena banyak orang
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
29
Daftar Bacaan Abdillah S, Ubed, 2002,Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda, Tanpa Identitas, Tera Indonesia, Magelang. Ambo Enre, Fahruddin, 1999, Ritumpanna Welenrennge, Sebuah Episode, Sastra Bugis Klasik Galigo, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Bahrum, Shaifuddin, 2003, Cina Peranakan Makassar, Pembauran Seutuhnya melalui Perkawinan Antarbudaya, Yayasan Baruga Nusantara, Makassar. Pancana Toa, Arung, 2000, La Galigo Jilid II, Lembaga Penerbitan Univ. Hasanuddin, Makassar. Mattulada (ed), 1990, Sawerigading Folktale Sulawesi, Depdikbud, Direktorat jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Muklis & Kathryn Robinson, 1985, Agama dan Realitas Sosial, Yayasan Ilmu- Ilmu Sosial, LEPHAS, Makassar. Pals, Daniel L.,2001, Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Agama, IRICSod. Yogyakarta. Yuanzhi, Kong, Prof. Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Pustaka Populer Obor.
30
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN SAWERIGADING SEBAGAI MODEL TAHAPAN PERKAWINAN SUKU BUGIS Mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kita, tahapan pelaksanaan acara perkawinan yang banyak kita jumpai di daerah Sulawesi Selatan terutama dikalangan bangsawan Bugis dewasa ini, asalnya dari mana? Mungkinkah mereka mencontoh atau mengambil dari kebiasaan daerah atau suku lain ataukah diciptakan sendiri oleh leluhur mereka. Seperti misalnya yang dapat dilihat dalam sureq I La Galigo. Secara alamiah sesuatu kejadian tentu mempunyai awal, inti dan akhir atau penutup. Dalam hal upacara adat perkawinan orang bugis, tahapannya ialah : 1.
Mappeséq-peséq, yang secara harfiah berarti meraba-raba. Peristiwa ini biasanya bermula pada saat orang tua melihat atau menganggap sudah saatnya anaknya berumah tangga dan menanyakan apakah anaknya itu sudah siap untuk dinikahkan. Jika sudah, apakah ia sudah mempunyai calon istri. Kalau belum, dicarikan bersama-sama di mana ada gadis/wanita yang pantas untuk diperistrikan. Dari sekian banyak yang ditemukan, dipililah yang dianggap paling tepat atau paling sesuai dengan pendapat mereka dan diperkirakan mau menerima, bila ia dilamar.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
31
DAFTAR PUSTAKA Ny. Andi Nurhani Sapada: Tata Rias Pengantin dan Tata Cara Adat Perkawinan Bugis. Makassar. (tanpa tahun dan penerbit) Sureq Galigo, Menreqna Sawerigading Maqbaluq-baluq ri La Tanete (kepunyaan H. Ahmad Rakka Soppeng). Sirtjo Koolhof,2003,” The La Galigo a Bugis Encyclopedia and its Growth” Dalam La Galigo; Menelusuri Warisan Sastra Dunia. Makassar. Pusat Studi La Galigo UNHAS dan Pemda Kab. Barru
32
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
84
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
SAWERIGADING IN LUWU, SULAWESI AND BEYOND: LOCAL AND REGIONAL CULTURAL IDENTITY AND SOCIAL TRANSFORMATION IN EPIC MEMORY* By Prof. Dr. Kurt Tauchmann Department of Cultural Anthropology, University of Köln (Cologne) Germany.
Sawerigading can be considered as a protagonist for cosmic order in space and through time, connected to the foundation of civilisation and culture as well as Southeast Asian identity in general. Through time he appears as a marine wanderer between the present South of China, Southeast Asia, Southern India, Ceylon and the Maldives, the Arab Peninsula, Madagascar and Africa and even leaving traces in the western Hemisphere of the Greek- Roman world. In different local settings of Sulawesi, as in the whole AustronesianMalaic context, Sawerigading, is remembered in Uya-Uya epic recitations, which in their intonation are carried by the movement of the sea waves. Manifold oral traditions in different local settings and the common epic cannon La Galigo shape the land- and seascape according to his wanderings. While Sawerigading seems to be the descendent of a mythical dragon (Naga) associated with the milky way in the beginning 1, he transforms gradually *
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Internasional Sawerigading di Masamba, 10-14 Desember 2003. 1 Still remembered in the so called kulao (water serpent or Naga) which is also part of the royal insignia of the early ruler of Goa and visible through the Austronesean axis of regions in Sulawesi dividing areas into ri lao and ri aya. See also MLG: sambo = Boot, and
120
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
PERANTAU DAN PENEROKA: PARTISIPASI ORANG BUGIS DALAM PEMBINAAN PETEMPATAN DI TANAH SEBERANG SEMENANJUNG MALAYSIA Oleh: Khazin Moh. Tamrin Pusat Pengajian Sejarah, Politik & Strategi Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi
Mukadimah Pemilihan judul kertas kerja ini adalah dirasakan sangat wajar memandangkan hakikat sejarah orang Bugis yang tercatat dalam sejarah Malaysia. Kajian tentang orang Bugis memang sudah lama diminati oleh para sarjana dari barat dan Timur termasuklah para cendikiawan lokal. Apa yang sesungguhnya menarik tentang orang Bugis-Makasar ini ialah tentang kegigihan, keberanian dan kepahlawanan mereka yang diakui oleh masyarakat antarabangsa sejak sebelum zaman kolonial di Asia. Mereka sesungguhnya mempunyai semangat yang kental, berdaya saing dan mampu menghadapi cabaran demi menegakkan harga dan martabat diri. Sikap inilah yang sebenarnya menjadi asas kepada penanaman patriotisme mereka sebagai sebahagian dari rumpun bangsa Melayu. Budaya siri telah dikenal pasti sebagai suatu yang menjadi perangsang dan pendorong orang Bugis untuk mempertingkatkan diri, memajukan keluarga dan membina tamadun masyarakat sehingga mereka dapat bersaing dengan suku-suku Melayu lain dan juga bangsa lain di dunia. Faktor siri yang memberi motivasi kepada kehidupan orang Bugis sesungguhnya mempunyai ciri-ciri yang positif dan dinamik. Dinamika inilah yang menyebabkan ramai individu dan kumpulan Bugis terlibat aktif dalam kegiatan merantau.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
121
Daftar Pustaka Ambok Masek bin Hj. Abdul Latif, 196, Kenangan 10 Tahun Sekolah Seri Bugis, Pusat Pelajaran Batu Pahat, Johor. Ambok Masek bin Hj. Abdul Latif, 1976, Belajar Tulisan Bugis, Skriptaip. Andaya, L.Y., 1975, The Kingdom of Johor 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Andaya, L.Y., 1995, “The Bugis-Makassar Diaspora”, dalam JMBRAS. LXVIII, Part 1. Andaya, L.Y. dan Andaya B.W., 1982, Sejarah Malaysia, Kuala Lumpur: Macmillan. Andi Zainal Abidin, S.H., 1983, Persepsi orang Bugis, Makasar Tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar, Bandung: Alumni. Arena Wati, 1973, Silsilah Melayu dan Bugis, Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Buyung Adil, 1971, Sejarah Johor, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Errington, S., 1980. “Rumah Orang Bugis Bukan Cuma Tempat Berlindung dari Hujan dan Panas”, dalam Dewan Budaya, Kuala Lumpur. Errington, S., 1982, Meaning and Power in a Southeast Asia Realm, Princeton: Princeton University Press. Hale, A., 1909, The Adventures of John Smith in Malaya: 1600-1605, Leiden. Koentjaraningrat, R.M., 1971, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djakarta: Djambatan. Kuchiba M, Tsuboichi, Y. and Maeda, N. (ed.), 1979, Three Malay Villages: A Sociology Paddy Growers in West Malaya, trans. by Peter and Stephanie Hawkes, Honolulu: Univrsity Press of Hawaii. Lineton, J., 1975, “Pasompe Ugi: Bugis Migrants and Wanderers”, dalam Archipel 10, Paris: SECMI, Gugret. Matheson-Hooker, V. & Andaya, B.W., 1982, The Precious Gift (Tuhfat al- Nafis), Kuala Lumpur: Oxford University Press.
122
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Bagian
2 KEBESARAN KERAJAAN LUWU DAN IDENTITAS BUDAYA BUGIS
124
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: S.Ag., g., M.Si, dkk. S.A Jejak Sawerigading sebagai Perekat BangsaLebba dalamPongsibanne, Epik I La Galigo
123
WACANA LUWU DALAM MENCARI IDENTITAS PERSPEKTIF SEJARAH1 Oleh : La Ode Rabani 2
ulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan mengapa Luwu menjadi kerajaan yang memiliki akar sejarah dan peranan yang dominan dalam percaturan politik, ekonomi, dan sosial di Sulawesi Selatan pada masa awal berdirinya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (abad XII-XIII). Bagaimana Sawerigading dapat dipahami sebagai sosok yang memiliki integritas pribadi sehingga diakui dan dipercaya oleh setiap masyarakat yang pernah disinggahi/ dikunjunginya. Sejauh mana dinamika peran dan ketokohan sawerigading dapat dipahami secara sosial dalam memperkuat identitas historis Luwu seperti tersirat dalam epik I Lagaligo sebagai sebuah wilayah yang otonom. Pembahasan tulisan ini sedapat mungkin menggunakan pendekatan historis. Meskipun tidak semua peristiwa tidak tercover oleh tulisan ini. Namun diharapkan tulisan ini dapat membantu mengingatkan kembali proses perjalanan historis Luwu.
Setting Historis dan Sumber Ekonomi Luwu Kerajaan Luwu adalah salah satu dari tiga kerajaan terbesar yang pernah mencapai kejayaannya di Sulawesi Selatan. Wilayah ini terletak
124
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Daftar Bacaan Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka; A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: KITLV, VKI Nomor 91, 1981. Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XII dan XIII, Bandung: Mizan, 1994 Belshaw, Cyril S., Tukar-Menukar Tradisional dan Pasar Modern, Jakarta: Gramedia, 1981 Braudel, F., The Mediterranean World in the Age of Philip II, Volume I & II, New York, Hogerstown, San Francisco, London: Harper & Row Publisher, 1966 Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Jakarta: Depdikbud-Jarahnitra, 1985 Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1986 Graaf, H.J. de dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, kajian Sejarah Politik abad ke-15 dan abad ke-16, Jakarta, Grafiti Press, 1974 Graaf, H.J., de., Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Grafitipers, 1986 —————————, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Grafitipers, 1987 Harvey, Barbara S., Kahar Muzakar, dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta: Grafiti Press, 1987. Herridge, G. A, The Prahu, Traditional Sailing Boat of Indonesia, Singapore: Oxford University Press, 1985 Knaap, G.J, Trading Compagnies in Asia 1600 – 1830, Utrecht, 1986 Lindblad, Thomas (ed.,), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Kerjasama PSSAT UGM - Pustaka Pelajar, 2002
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
125
TODDO PULI TEMMALARA: JENDELA DENGAN KACA YANG BENING TENTANG MANUSIA LUWU* Oleh: Mashadi Said (Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia) Andi Faisal Bakti (IIAS, Leiden University, the Netherlands)
PENDAHULUAN Jika pada sajian ini digunakan istilah “manusia Luwu”, maka yang perlu dicatat adalah istilah ini tidak bermaksud mendeskripsikan manusia Luwu seadanya (seperti pengamatan seorang sosiolog di lapangan). Deskripsi ini berusaha memberikan suatu konstruk teoretis tentang konsep jati diri manusia Luwu menurut paham Max Weber, yakni “bebas” dari realitas. Jadi, gambaran tentang manusia yang dideskripsikan pada paparan ini adalah sesuatu yang abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga manusia Luwu. Gambaran itu merupakan hasil dari pengalaman, penghayatan, yang selanjutnya dikonstruksikan secara analitik. Konstruk teoretis tentang jati diri manusia Luwu yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan perwujudan dari analisis mengenai kepustakaan Luwu yang disebut Lontara, hasil-hasil analisis para cendekiawan mengenai peradaban Luwu dan Bugis pada umumnya, serta pengalaman yang kami terima sebagai putra luwu, yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah Luwu.
*
Tulisan ini pernah disajikan pada Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading Di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Indonesia Tanggal 10-14 Desember 2003
126
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
KEPAHLAWANAN, KEJUJURAN, KEGAGAHAN, KEBIJAKSANAAN DAN KEBERANIAN: LAMBANG KEPERBADIAN PEDAGANGPEDAGANG BUGIS DI SELAT MELAKA Oleh: Dr. Nordin Hussin* Keunggulan para pedagang Bugis menguasai jaringan perdagangan di gugusan kepulauan Melayu-Indonesia telah tercatat dalam banyak dokumen Belanda serta Inggris. Penguasaannya terserlah dengan banyak bukti serta lapuran yang menyatakan bahawa merekalah pedagang yang melayari Laut Java, kepulauan Borneo, kepulauan Rempah serta Selat Melaka. Disamping penguasaan perdagangan mereka juga telah membuat banyak penempatan-penempatan di kebanyakkan tempat serta pelabuhan yang utama seperti di pulau Java, Riau, Borneo, Melaka, Siak, Trantan, Pulau Pinang, negeri-negeri Melayu serta di Siam. Salah satu kekuatan yang wujud dikalangan pedagang Bugis ini ialah kekuatan tenaga fizikal serta kepandaian pengurusan serta berniaga yang telah membuatkan mereka berjaya sebagai peniaga yang di hormati dikalangan pedagang Eropah. Oleh itu kertas kerja ini cuba mengupas peranan pedagang Bugis serta sifat mereka yang disanjung oleh para pedagang Eropah yang telah menjadikan mereka sentiasa dihormati sebagai kelompok pedagang Melayu nusantara yang bijak berniaga serta amat jujur dalam perniagaannya.
* Jabatan Sejarah, Universiti Kebangsaan Malaysia. Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Internasional Sawerigading, Masamba, Makassar 10-14 December 2003
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
127
Daftar Pustaka
Barbosa, The Book of Duarte Barbosa, An Account of the countries bordering on the Indian Ocean and their inhabitants A.D. 1518. Translated by Mansel Longworth Dames, Part II, London, 2ed. 1918. The Suma Oriental of Tome Pires: An account of the east, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515, Hakluyt Society, London, 1944. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, The Hague, Martinus Nijhoff, 1962. Andaya, Barbara Watson, Perak, The Abode of Grace A Study of an Eighteenth century Malay State, OUP, Kuala Lumpur, 1979. Kathirithamby-Wells, J. and John Villiers, The Southeast Asian Port and Polity Rise and Demise, Singapore University Press, 1990. Warren, J.F., The Sulu Zone, 1768-1898, The Dynamics of external trade, slavery, and ethnicity in the transformation of a Southeast Asian Maritime State, Singapore University Press, 1981. Journal of Indian Archipelago (JIA), vol. 5, 1851, Leith, George, A Short account of thw settlement, produce and commerce of Prince of Wales Islands in the Straits of Melaka, J. Booth, London, 1805. Nordin Hussin, “Melaka and Penang 1780-1830: A Study of two port towns in the Straits of Melaka”, Ph. D. Thesis, Vrije Universiteit Amsterdam, 2001. Vos, Reinout, Gentle Janus: Merchant Prince, KITLV, Leiden, 1993. Sutherland, H, “The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c. 16601790”, JSEAS, vol. 32, no. 3, October 2001, pp. 397-422.
128
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
MENELUSURI KEBERADAAN BISSU (CALABAI) DI KABUPATEN SOPPENG (Telaah Bacaan, Cerita Rakyat dan Proses Perjalanan Calabai) Oleh: H.Hary Sumange & M.E.Fachry*
Abstract Bissu yang disebut dalam naskah Galogi merupakan tambahan nama saudara kembar Sawerigading yaitu WE TENRI ABENG BISSU RILANGI. Pada Kerajaan Soppeng ARAJANG sebagai pemiliki kewibawaan, kekuasaan . Dimana Pemilikan kerajaan dimendatari baik laki-laki maupun perempuan. Pada abad ke 18 Belanda turut menentukan pengangkatan rajaraja Bugis Makassar termasuk Kereajaan Soppeng dan kerajaan Bone. Melalui B.F.Matthes yang menekuni naskah –naskah Kuno Bugis . Memiliki hubungan yang erat dengan Arung Pancana Toa dalam mengumpulkan naskah La Galigo dengan judul ‘ LA PUJI ’E . BF.M at the s me nulis GALIGO COL L I b u ku BOEGI NI S H CRISTOMASI. Dari kedekatan ini BF .Mathhes sebagai barisan terdepan belanda Bebas memasuki istana kerajaan Bugis, mengadakan pendekatan dengan pemangku adat dan raja-raja Bugis termasuk Raja Soppeng. Matoa/Watan ratu sudah merupakan bagian dari kerajaan, namun perannya terbatas sebagi pemeliharaan benda-benda kerajaan dan pemimpin acara-acara ritual. Oleh Belanda Banci (Calabai) merupakan tangan-tangan yang sangat penting dalam proses “ mengatur “ sistem dalam kerajaan Soppeng. Dengan merespon prilaku raja-raja yang berbuat semena-mena terhadap wanita dan harta Arajang , melanggar adat perkawinanan yang dikenal dengan istilah “ Datu mangurek “, maka terbuka kesempatan Belanda untuk mengganti raja dengan Banci Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
129
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, Lontara Attoriolongna Bone (Aksara Bugis) Anonomous, Lontara Gowa (Sultan hasnuddin dan VOC) Anonimous, Lontara Attoriolongna Soppeng (Aksara Bugis) Anonimous, Lontara Attoriolongna Wajo (Aksara Bugis) Anonimous, Kumpulan Bahan seminar Festival La Galigo. Kabupaten Barru 02 Andi Zainal Abidin Farid. DR. SH. Capita Selecta Sejarah kebudayaan Sul- sel Cerita Rakyat (Key Informan di Bila, Lumpulle, Bone,Wajo) Ismail Suny, Dr. SH. 1995. Kebudayaan Sebagai Ilmu Lasiode Dg Tipala. Jilid 1.2.3 Arung Palakka Petta Malampe’E Gemme’na Salam, Baco, Drs. Soppeng Tiga Dimensi Sanusi Daeng Mattala, Luwu Dalam revolusi Sompenna Sawerigading ri Tana Cina Sumange Hary. H. 2002. Sejarah Soppeng (Volklore Watang ratu dan Pong Ratu. Dan sistim Pemerintahan Soppeng)
130
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
MISSING LINK OF LUWU: THE PAST AND PRESENT By: Hendro Prabowo1& Alwi Foead2 Abstract Luwu is one of the six priority areas in South Sulawesi besides Ujung Pandang, Pare-Pare, Bulukumba, Bone, dan Mamuju. The primary sectors in this area are agriculture, plantation, quarry, tourism and agro-industry. Luwuq is going to be special not only because of the natutal resources, but also the phenomenal cultural legacy. By at least the 17th century, Luwu had achieved the reputation of being the source of Bugis high culture, and the most ancient Bugis kingdom. In 1888 Van Braam Morris postulated an “I La Galigo” age for Luwu in its heyday, between the tenth to 14th centuries, with reference to the renowned Bugis cycle of epic poetry named the I La Galigo (Bullbeck and Prasetyo, 1999). The implications are that Luwu had developed as a trade-based polity long before the rise of the agrarian kingdoms (Pelras, 1996). Luwu expanded rapidly to exert political dominance over much of the South Sulawesi peninsula during the 15th century (Bullbeck and Prasetyo, 1999). But nowadays, Luwu becomes more complex of sosial, cultural and economic problematic. Bullbeck and Prasetyo (1999) mentioned Luwu as origins of complex society. During 1990-2001, there were 10 social violence incidents in South Sulawesi. T his is relatively small compare with 1097 incidents all over in Indonesia (Tadjoedin, 2002). However, there were only 5 incidents were in Luwu. In Sulawesi, the Poso (Central Sulawesi) case seems better known. Is there any linkage between Luwu and Poso cases because of the vicinity of location and the similarity of ethnicity? The sosial violence of these regions also created the problem of refugees. This paper will analyse social violence in Luwu (and Poso) based on ethnicity and migration (Prabowo, 2003) by using GIS and psychological perspectives. Keywords: Luwu, Poso, sosial violence, ethnic, migration, GIS. 1 2
Faculty of Psychology, Gunadarma University, Jakarta - Indonesia Mapping Division in Swarna Dasakarya Konsultan (PT Swakon), Semarang – Indonesia
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
131
Pendahuluan Gagasan tentang Seminar Galigo dan Sawerigading yang tidak dapat dipisahkan dengan Luwu (baik wilayah maupun masyarakatnya), adalah salah satu wacana yang dapat dijadikan acuan bagi pengembangan “psikologi yang khas Indonesia”. Paper ini justru akan banyak belajar dari paper-paper lain, sehingga deskripsi yang akan diuraikan dalam paper ini tidak akan menganalisis secara mendalam. Hipotesis-hipotesis yang dicoba untuk dibangun lebih banyak didasarkan pada data-data sekunder. Adapun Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System) lebih digunakan sebagai alat bantu secara deskriptif dan objektif. Paper ini akan banyak membahas sejarah Luwu (yang sebenarnya bukan keahlian penulis) pada masa lalu dan masa kini dengan perspektif psikologi dan beberapa disiplin terkait. Pada bagian awal akan dibahas mengenai proses pencarian psikologi di Indonesia, lalu diikuti dengan sejarah Luwu yang terdiri dari jaman kerajaan, jaman kolonial dan jaman merdeka.
Mencari Psikologi Indonesia Di satu sisi, Nurrachman (2003) mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan dibangun oleh dua sistem kehidupan, yaitu sistem kerajaan dan sistem kolonial dalam kurun waktu yang lama. Keduanya memiliki karakteristik yang sama yaitu feodalistis, suatu sistem politik yang bersifat memberikan kekuasaan besar kepada golongan tertentu. Keduanya juga menganut sistem kekuasaan yang dibangun berdasarkan sifat yang otoriter- sentralistik. Setelah merdeka, kita berupaya agar menjadi masyarakat yang merdeka, demokratis, dan berkeadilan. Namun, usaha untuk mewujudkan cita-cita tersebut dapat dikatakan gagal, karena sistem otoriter-sentralistik masih mendominasi hingga kini. Pada periode tersebut, kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Penyebabnya adalah tarik-menarik antara masyarakat warisan feodal (kerajaan dan kolonial) dengan masyarakat merdeka. Namun, sistem otoriter-sentralistik yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Di sisi lain, Indonesia adalah bangsa yang multietnis, yang terdiri dari sekitar 600 suku bangsa (Hidayah, 1996). Masing-masing kelompok etnis (suku bangsa) tersebut memiliki kebudayaan sendiri, wilayah teritorial sendiri, serta memiliki bahasa yang umumnya tidak dipahami oleh suku bangsa yang lain (Warnaen, 2002). 132
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Daftar Pustaka Altman, I. 1975. The Environment ans Social Behavior: Privacy, Personal Space, Territory, and Crowding. Monterey: Brooks/Cole Pub. Co. Bullbeck and Prasetyo, 1999. 2003. Research Reports Preliminary Results From The 1998-99 Field Seasons In Luwuq By The Oxis Project (Origins O f C o m pl e x S o c ie t y I n So u t h S u la w e si ). D a l am h t t p : / / www.geocities.com/ thai_archaeology/seasia/10/ research5.html Data Kabupate n Provinsi Sulawe si Selatan. 2003. Dalam ht tp :/ / www.otonomnet.com/. Data Kabupate n Provinsi Sulawe si Tengah. 2003. Dalam h tt p :/ / www.otonomnet.com/ Fauzi, N. 2003. Lingkup dan Cakupan Konflik Agraria di Indonesia. Paper dalam Lokakarya Masyarakat Adat dan Penaggulangan Kemiskinan. Jakarta: Depkeh HAM & Bank Pembangunan Asia (ADB). Fontaine dkk. 1996. Dalam Grad, H., Blanco, A. & Georgas, J. 1996. Key Issues: Cross-Cultural Psychology. Lisse: Swets & Zeitlinger Pub. Graham, S. 2002. Priest & Gender in South Sulawesi, Indonesia. Dalam h t t p : / / w e b . h k u . h k / ~ s j w i n t e r / Tr a n s g e n d e r A S I A / paper_priests_and_gender.htm Harahap, N. 1986. Integrasi Penduduk Di Daerah Transmigrasi Kendari: Studi Tentang Aspek-Aspek Kebijaksanaan, Agama, dan Budaya. Thesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM. Holahan, C. J. 1982. Environmental Psychology. New York: Random House. Jaringan Advokasi Tambang. 2003. INCO. Dalam http://www.jatam.org/ indonesia/case/ inco/masyarakat.html Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Mattulada. 1999. Dalam Koentjaraningrat (ed). 1999. Manusia dan
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
133
KAJIAN ETNOGRAFI DALAM KOMUNITAS PADO’E LUWU UTARA Oleh : Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si
A. Pendahuluan Masing-masing suku bangsa atau kelompok etnik telah menempati suatu wilayah pemukiman bersama, seperti Komunitas Pado’E di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Utara. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa setiap jangka wilayah daratan Indonesia yang sudah dihuni terbagi atas wilayah asli sejumlah suku bangsa. Daratan pulau-pulau Indonesia ada yang dilewati rangkaian pegunungan api dan non berapi. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kandungan mineral dalam buminya. Wilayah yang ditinggali oleh Komunitas Pado’E adalah daerah pegunungan yang merupakan wilayah tambang Nikel PT. INCO Tbk. Letak pulau-pulau yang membentang di sekitar khatulistiwa berpengaruh pula pada variasi iklim antar wilayah di Indonesia. Dengan kondisi alam yang demikian, menjadikan Bumi Indonesia memiliki flora dan fauna yang beragam. Kondisi alam ini merupakan ruang tempat tinggal dan tempat aktivitas masyarakat Indonesia, seperti halnya masyarakat Pado’E pada umumnya di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Utara. Perbedaan dan persamaan antar kondisi wilayah budaya suku bangsa di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Keanekaragaman ini menjadi suatu kekayaan bagi bangsa Indonesia.
134
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
Daftar Pustaka A. Haviland, William, 1999, Antropologi ; Edisi Keempat Jilid I. terj. R.G. Soekadijo. Jakarta : Erlangga. Barth, Frederik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya; Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan. terj. Nining I. Soesilo. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Geertz, Hildred, 1981, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, terj. A. Rahman Zainuddin; Pengantar Dr. T Omas Ihromi; Jakarta : Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI. Hadikusuma, Hilman, H. Prof., S.H., 1992, Pengantar Antropologi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Ihromi, T.O., 1987, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta : PT. Gramedia. Ihromi, T.O., 2000, Antropologi dan Hukum, Indonesia.
Jakarta : Yayasan Obor
Ihromi, T.O., 2001, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, terj. Sulistyowati Irianto, Damar Rahardjo, Mien Joebhaar, Anggaraini, T.O. Ihromi, Bambang Budiono; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. J. Colletta, Nat & Umar Kayam, 1987, Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Kata Pengantar; Selo Soemarjan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. J. Moleong, Lexy, Dr., M.A. 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Kaplan, David & Albert A. Manners, 1999, Teori Budaya; Terjemahan The Theory of Culture oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kassam, Yusuf & Mustafa, Kemal, 1988, Riset Partisipatori Riset Alternatif; terj. Participatory Research, disunting oleh Yusuf Kassam, Kemal Mustafa; diterbitkan pertama kali oleh African Adult Education Association, Nairobi, 1982. Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
135
Bagia n
3 EPOS I LA GALIGO: REFLEKSI ATAS TERBENTUKNYA KEBUDAYAAN NUSANTARA
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, dkk.
265
266
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I La Galigo
SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF TERHADAP EPOS I LA GALIGO DAN TANTANGAN NILAI BUDAYA MASA DEPAN Oleh: Ishak Ngeljaratan
Manifestasi Literer dan Genetik Epos I La Galigo hadir di dalam perkembangan budaya masyarakat Sulawesi Selatan sebagai sebuah fiksi agung. Sebagai fiksi agung berupa epos, Lagaligo mencerminkan secara literer dunia pengetahuan atau kesadaran dan pengalaman, juga dunia ilusi dan ironi dalam konteks impian, harapan, kerinduan, dan geliat petualangan batin sebuah komunitas yang diwakili oleh seorang tokoh legendaris, I La Galigo atau Sawerigading. Sang tokoh dan komunitas yang diwakilinya hidup dan berkembang pada suatu belahan bumi di masa silam. Belahan bumi itu ternyata Sulawesi Selatan yang secara geografis menempati posisi sentral dari tanah air Indonesia. Penokohan yang diperankan I La Galigo (Sawerigading) menggambarkan secara literer perwatakan dasar manusia berdasarkan proses penciptaannya. Perwatakan dasar manusia adalah segenap sifat alamiah manusia yang berderivasi atau beremanasi dari sifat-sifat langit dan bumi yang menjadi sumber asal penciptaan manusia. Bagaimanapun adanya keragaman kisah tentang proses penciptaan jagad raya dan manusia yang dituturkan atau dibahasakan oleh bangsa-bangsa di dunia, ada benang merah yang secara sinopsis dapat ditarik sebagai sebuah manolog tentang kehadiran manusia di bumi. Uraian dalam bentuk benang merah itu berwujud telaah atau tafsir Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si, dkk.
268
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
267
THE MEMOIR OF THE MAKOLE MATANO Oleh: Kathryn Robinson*
The region around Lake Matano has been known in both pre-modern and modern times as a source of metal ore. While today the Soroako Nickel project is associated with the development agenda of the New Order, in the pre-modern era this region is linked to the importance of metallurgy in the history of the development of Luwu, and its early preeminence in Sulawesi (as indicated by its centrality to the I la Galligo). A resident of Soroako said to me, in the late 1970s: ‘It is written in the lontara that the kekayaan of Luwu is in Nuha and [the Dutch] came looking for that wealth’. The excavations of the OXIS project (Origins of Complex Society in South Sulawesi) are beginning to shed light on early mining, smithing and trade in metal from the Lake region, and its past political significance. The origins of Luwu are posited as critically related to the control of trade of goods from upland regions through coastal centres. In this paper, I wish to draw on a local historical record in order to develop the narrative of the early history of the region. In 1933, Gamara, a former Pabicara and Mahola (village head) of Matano requested one of his family (Haji Ranggo) to record the traditions of the Makole M,atano in Malay. Haji Ranggo lent me the document to copy, in about 1977. The memoir in many ways echoes the form of a Bugis * Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies Australian National University.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
139
chroncle, beginning with a genealogy of the Makole, setting out origin stories, discussing the rights and obligations of the Makole and his subjects, and also the adat practices of Matano in relation to Luwu. The memoir reflects the importance of iron in the political history of the region. It also reflects the influence of the political organisation of Bugis kingdoms in matters such as: the conceptualisation of the relation between ruler and subjects; the bases of legitimacy of the ruler and its manifestation in ritual; the execution of authority (e.g through the role of the Pabicara).
Genealogy The memoir sets out the genealogy of the Makole Matano (whose full title is Makole wawa inia Rahampu’u Matano); successions, marriages, children—through twelve different incumbents (the last two, however, appointed by the Dutch). Following the custom of Bugis rulers, the death name of each Makole (up to the ninth) is recorded, often reflecting the name of a place that he or his family were associated with. According to the dynastic history, the 6th Makole, La Morani, was also a descendant of the Paduka Datu di Palopo. His mother, Wenselaka, had gone to Palopo to assist at a ritual held by the Datu, and had become pregnant. She returned to Matano and gave birth to La Morani. ‘Itu jugalah mulainya Makole R:Matano mendapat darah Datu’.
The ‘keadilan’ of the Makole. This section of the memoir delivers judgment on the quality of the rule of each incumbent, stressing whether they were just and respected the adat. It reflects the practice found in many Bugis chronices of stressing the democratic aspects of rule, the importance of mutual respect underlying the relation between rulers and ruled. The fifth Makole (La Makandioe, during whose reign Wenselaka became pregnant to the Datu) is specifically mentioned as quickly responding to instructions from the Datu. La Morati is said to have not stayed in Matano keeping the adat. After La Morati, La Ndika has a long reign in Matano but it ends in conflict when a rival (Lambaka, grandfather of La Morani) unsettles his rule with gossip, which ends in La Ndika fleeing to Mori Petasia. He returns with a military force from Mori (the regularity of such battles indicated by the fortifications reported by OXIS in Matano). The conflict results in Mori attacking Matano, which was burned at this time an event that concurs with the oral history of the people of Soroako, that they settled in their present location after a bloody battle in which their village
140
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
KEDATUAN CINA MENURUT I LA GALIGO, LONTARAK DAN HASIL PENELITIAN OXIS Oleh : Prof. Andi Zainal Abidin*
PENDAHULUAN Masih banyak orang di Sulawesi Selatan, yang berpendapat bahwa kedatuan Cina atau Tanah Ugik yang disebut di dalam I La Galigo sebagai tempat Sawerigading memperistrikan I We Codaik Daeng ri Sompa Punna Bolae ri Latanete adalah Tiongkok. Umpaya H.D. Mangemba (1990: 106107) pada Loka Karya Folkate. Sawerigading di Palu pada tahun 1987, dengan alasan bahwa perjalanan Sawerigading ke Cina memerlukan waktu berbulan- bulan, sedangkan Cina (Pammana) yang terletak di Sulawesi Selatan jaraknya dari Luwu tidak terlampau jauh. Alasan kedua ialah cerita tentang Sawerigading terdapat di semenanjung Malaka (Malaysia Barat) yang menandakan bahwa pelayaran Sawerigading ke negeri Cina itu melalui Laut Cina Selatan. Ditinjau dari segi pengaruh kebudayaan, maka terdapat dua kebudayaan yang saling berebut pengaruh di Asia Tenggara; kebudayaan Hindu dan kebudayaan Cina. Kebudayaan Hindu sangat berpengaruh terutama di pulau Sumatera, Jawa dan Bali, sedangkan kebudayaan Cina * Prof. Dr. Lit. Andi’ Zainal Abidin adalah Guru Besar Emeritus UNHAS dan Universitas 45 di Makassar. Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Internasional di Makassar, 8 Desember 2003.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
141
Daftar Pustaka
Andi Amin Rauf, Jamaluddin Latif, M.Salim, M. T. Azis Syah, Sitti Aminah Pabittei & Sitti Rachman (1990), Sawerigading Dengan Tokoh Masyarakat Masa Lampau Dalam Mitologi, Di dalam Sawerigading, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Andi Zainal Abidin (1990) Silsilah Saweregading menurut Sebuah Lontarak Panguriseng Di Wajo’, Di Dalam Saweregading etc. (1973) “A Comparison Between I La Galigo With Foltktales Of Soutjeast Sulawesi, Central Sulawesi and Gorontalo”, Pa pe r Pr e s e n te d at th e Co nf e r e n ce O f O ri e n ta li st s, P ar is Unpublished. (1992) “Hubungan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dedngan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara Menurut Buku I La Galigo dan Dcokumenta Historica DPRD Tk I Sulawesi Tenggara”, Tulisan Pada Seminar Halu oleo di Kendari di Dalam Capita Kebudayaan Sulawesi Selatgan Hasanuddin University Press Makassar. (1999) “ C e r i t a A s a l- M u l a Ta na h U gi k : Adatuangnge ri Cina dan Pammana”, di dalam Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan etc. (1985) Wa jo ’ Pa d a Ab a d XV - X VI : S ua t u Penggalang Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan Dari Lontara’, ALUMNI, Bandung (1983) “The Emergence Of Early Kingdoms In South Sulawesi : A Prelimenary Remark On Govermental Contract From The Thirtteenth To The Fifteenth Century”, In Southeast Asian Studiest, Kyoto, No. 3. Couverier, Gouverneur (t. t.) Nota Over Zuid Celebes, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar (un-published). De Greeve, (1905) Bestuursmemorie Van de Assistent Resident Van Bone, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar ( Unpublished).
142
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
SEKALI LAGI I GALIGO SEBAGAI SUMBER KAJIAN SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA1 Oleh: Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A2. I Penghargan yang tinggi kita berikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Luwuq Utara yang bersama-sama dengan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land, en Volkenkunde Leiden menyelenggarakan Seminar Internasional Sawerigading, 10-14 Desember 2003 dengan tema “Dengan semangat Sawerigading dan falsafah dalam Galigo kita membangun Luwuq menjadi masyarakat madani”. Sawerigading adalah ayah tokoh La Galigo dan I La Galigo adalah judul mahakarya suku bangsa Bugis yang sebagaimana diutarakan oleh Panitia Seminar “Cerita La Galigo disadari atau tidak telah membentuk sebuah peta batin yang telah menjadi roh untuk membangun kerukunan dan membina persaudaraan di beberapa daerah yang mengenalnya”.
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
143
INSPIRASI KREATIF DARI KARYA SURE’ GALIGO* “Kebijaksanaan Kunci Kehidupan dan Kebijaksanaan”. (Dari Epik Odyssey, karya Homer) Oleh : Rahman Arge
Odysseus tokoh utama dalam karya epik Yunani kuno oleh Homer, meradang di depan gelombang laut yang menggunung, ketika ia membawa pasukannya ke dalam kemenangan melawan pasukan Troya. Raja dari Ithaca itu, dalam pesta kemenangan, menantang Poseidon, Dewa Laut, dengan berseru ke tengah gelombang: “Akulah manusia merdeka yang menciptakan nasib-nya sendiri diluar campur tangan para Dewa!” Dari tengah gelombang membayang Poseidon dengan wajah murka: “Kukutuk kamu Odysseus, kuhadang kamu dengan kegelapan, sehingga tak kunjung kamu menemukan jalan pulang ke Athena!”. Tersesatlah Odysseus dengan pasukannya di atas perahu, terombang-ambing dengan berbagai cobaan mengerikan selama 20 tahun. Akhirnya pulang dengan sakit, tatkala Poseidon memberinya fatwa: “Kamu takkan aku bunuh, Odysseus, tapi kutegaskan, tanpa dewa-dewa manusia tak punya arti!”. Pulanglah Odysseus sendirian sebab seluruh pasukannya ditelan laut (dunia bawah), dan kepulangannya (setelah kesombongannya disucikan),- berhasil membawa harta amat berharga sebagai manusia, yaitu: “Kebijaksanaan”.
* Makalah ini untuk festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading di Masamba (10 – 14 Desember 2003)
144
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
I LA GALIGO: MILIK SIAPA?
(Analisis atas Keterkaitannya dengan Saujana Budaya) Oleh: Widya Nayati Abstrak I La Galigo dikenal oleh banyak orang di dunia. Banyak orang yang membaca dan memahami isI I La Galigo dengan baik. Akan tetapi, siapakah pemilik I La Galigo? Tulisan ini akan membahas permasalahan ini dengan memperhatikan keterkaitannya dengan Saujana Budaya (Heritage yang terdiri dari manusia-alam-dan hasil budayanya). Berdasarkan jenis huruf dan bahasa yang digunakan dapat disimpulkan bahwa I La Galigo menyiratkan identitas kelompok etnis Bugis. Hanya saja, cakupan wilayah pemilik ini sangat luas. Berdasarkan pemahaman atas sebaran temuan (Sulawesi dan luar Sulawesi), dapat dipahami bahwa ada dua kelompok besar pengguna I La Galigo, yaitu kelompok pembaca yang memahami isI I La Galigo tapi tidak hidup dalam kebudayaan warisan I La Galigo, dan kelompok pelaku (sebagian) isi I La Galigo—yang hidup dengan (sebagian) warisan budaya dan alam yang tersirat dalam I La Galigo. Kelompok pertama memang memiliki teks I La Galigo—mungkin lebih banyak daripada yang dimiliki oleh kelompok kedua— hanya saja, mereka tidak mewarisi Alam dan kebudayaannya. Tinjauan berdasarkan nilai kesejarahan, nilai sosial, pemahaman atas simbol- simbol yang ada, serta keterkaitannya dengan alam dan budaya yang mendukungnya, disimpulkan bahwa I La Galigo merupakan milik kelompok Bugis—ataupun yang medapatkan pengaruh warisannya— akan tetapi warisan ini bebas untuk dapat dipahami oleh siapapun.
*** Hasil budaya yang diwariskan ke generasi yang akan datang memiliki berbagai bentuk, baik berupa artefak, ekofak, bangunan, juga catatan sejarah, tulisan, legenda, upacara, memori/ingatan termasuk pengetahuan tentang keadaan masa lalu (Harrison 1994; Fentress dan Wickham 1992; Koolhof
Lebba Pongsibanne, S.Ag., M.Si,
145
DAFTAR PUSTAKA
Aplin, Graeme 2002. Heritage: Identification, Conservation, and Management. London: Oxford University Press. Bold, John. 1994. Defining and recording the resources: the built environment, dalam Richard Harrison (ed.). Manual of Heritage Management. Oxford: Butterworth Heinemann., pp: 58-67. Bradley, Richard 2003. The Translation of Time, dalam Ruth M. van Dick d a n S u sa n E . A l c oc k (e d s . ), A rch a e ol o g i e s o f M e m or y , Oxford:Blackwell, halaman 221-227. Carman, John 2002. Archaeology and Heritage: an Introduction . London:Continuum. Dahles, Heid (ed.) 2001. Tourism, Heritage and National Culture in Java: Dilemmas of a Local Community. Richmon: Curzon Press. Fentress, James dan Chris Wickham (eds.) 1992. Social Memory, Oxford: Blackwell. Harrison, Richard (ed.). 1994. Manual of Heritage Management. Oxford: Butterworth Heinemann Koolhof, Sirtjo 1999. ‘The I La Galigo: a Bugis Encyclopedia and its growth’ dalam BKI 155-3, halaman 362-387. Middleton, Victor. 1994. Vision, strategy and corporate planning: an overview, dalam Richard Harrison (ed.). Manual of Heritage Management. Oxford: Butterworth Heinemann., pp: 3-11. Orser Junior, Charles E. 1996. Images of the Recent Past. Dalam Charles E. Orser Jr (ed.), Images of the Recent Past: Reading in Historical Archaeology. Walnut Creek: Altamira Press. halaman 9-13. Pelras, Christian 2002. Ancestors’ Blood: Gene alogical Memory, Geneaological Amnesia and Hierarchy among the Bugis, dalam’ Henri Chambert-Loir dan Anthony Reid (eds.), The Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia, Crows Nest (NSW): Allen and Unwin, halaman 117-131. 146
AUTENTISITAS BUDAYA BUGIS: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I
NILAI RELIGI DAN KEMANUSIAAN DALAM I LA GALIGO Oleh: Hamka Haq
Seperti pada umumnya karya sastra besar dunia, selalu saja menyajikan goresan rasa keindahan, sebagai layaknya sebuah karya seni sastra. Di balik rasa keindahan itu, sebuah karya sastra dapat menjadi cerminan secara utuh dari suatu kebudayaan di era tertentu dari suatu bangsa. Demikianlah I La Galigo, sebuah karya sastra besar dunia yang lahir dari sebuah peradaban anak bangsa, yang kini dikenal sebagai suku Bugis, tidak hanya dikenal karena indahnya serta panjangnya alur cerita yang disajikannya, tetapi juga karena sarat dengan sejumlah nilai budaya. Di antara sekian nilai yang menjadi semangat I La Galigo, penulis memfokuskan pada dua sisi, yakni sisi religi dan sisi kemanusiaan. Pada sisi religi, tak diragukan lagi, I La Galigo tampaknya menganut paham monoteisme. Dia bercerita tentang dewa-dewa, tetapi semua dewa tunduk pada suatu kehendak yang bersumber dari Sang Pencipta, yang disebut To Palanroe. Namun, Galigo tidak menyebut secara jelas konsep tentang To Palanroe tersebut, kecuali hanya disebutnya sebagai Sang Pencipta.