LAPORAN TAHUN TERAKHIR PENELITIAN DISERTASI DOKTOR
MEMBONGKAR IDEOLOGI DI BALIK PRODUKSI DAN IMPLIKASI MEDIA PROMOSI PARIWISATA BUDAYA DI BALI
KETUA A.A Gde Bagus Udayana S.Sn.,M.Si 0004107302
Institut Seni Indonesia Denpasar Juli 2016
2
RINGKASAN Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah terwujudnya media promosi pariwisata budaya Bali yang benar-benar menunjukkan implementasi Tri Hita Karana. Terkait dengan tujuan ini, target khusus yang hendak dicapai adalah gambaran tentang ideologi yang ada di balik marginalisasi ideologiTri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali. Metode yang hendak digunakan dalam rangka mencapai tujuan dan target tersebut di atas adalah metode penelitian kualitatif yang mencakup teknik pengumpulan data berupa teknik wawancara mendalam, pengamatan, dan penggunaan dokumen. Wawancara dilakukan terhadap para pihak terkait, seperti Dinas Pariwisata Provinsi Bali, dan Dinas Pariwisata Kota/Kabupaten Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar, serta perusahaan di bidang pariwisata dan perusahaan di bidang disain grafis di Bali. Pengamatan dan penggunaan dokumen dilakukan dengan mencermati papan reklame terkait pariwisata serta dokumen-dokumen berupa foto, brosur, leaflet, dan iklan tabloid yang mempromosikan pariwisata yang diproduksi oleh para pihat terkait tersebut di atas. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada , ideologi pasar/kapitalisme,yang memarginalkan ideologi Tri Hita Karana pada media promosi pariwisata budaya Bali. Menurut pandangan para pihak yang berkecimpung dalam industri pariwisata, media promosi pariwisata budaya Bali yang dikonstruksi dengan berorientasi pada berbagai ideologi dan kepentingan tertentu telah membawa berbagai implikasi pada pencitraan Bali sebagai daerah pariwisata. Adapun implikasinya itu adalah: Bali sebagai daerah budaya pariwisata Balidalam identitas manusia dan kebudayaan Bali.
Kata kunci : Pariwisata budaya, ideologi, produksi dan implikasi media promosi pariwisata
3
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Shang Hyang Widhi Wasa, atas rahmat dan karunia-Nya yang tidak terhingga penulis dapat menyusun penelitian Disertasi Doktor yang berjudul “Membongkar Ideologi Di Balik Produksi Dan Implikasi Media Promosi Pariwisata Budaya Di Bali”. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar, Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, dan ketua LP2M Institut Seni Indonesia Denpasar yang telah mendorong dan memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian Disertasi Doktor. Kepada para responden dan para nara sumber penelitian inisecara tulus dan terbuka memberikan informasiinformasi yang terkait dengan data-data karya tulis yang dibutuhkan dalam penyelesaian laporan ini. Melalui kesempatan ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, sehingga kebutuhan penelitian terpenuhi. Semoga apa yang telah kita usahakan melalui kesempatan ini, tetap akan memberi manfaat.
Denpasar, Nopember 2016
Peneliti
4
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...............................................................................................1 HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................2 RINGKASAN .............................................................................................................3 PRAKATA...................................................................................................................4 DAFTAR ISI................................................................................................................5 DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................6 DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................7 BAB 1. PENDAHULUAN .........................................................................................8 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................8 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .................................................12 BAB 4. METODE PENELITIAN ..............................................................................12 BAB 5.HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ....................................................14 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................54 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................56 LAMPIRAN 1. Log BookKegiatan .............................................................................58 LAMPIRAN 2. Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian.........................................62 LAMPIRAN 3. Artikel ilmiah (draf) ...........................................................................66
5
DAFTAR GAMBAR
5.1
Pura Tanah Lot dan Keindahan Panorama Alam Setempat .............................. 16
5.2
Keindahan alam pada Media Promosi Royal Pita Maha resort dan Kamandalu resort and spa...................................................................................................... 18
5.3
Penggunaan model wanita asing pada Media Promosi Pariwisata Bali Zoo...... 19
5.4
Pura dan Aktivitas Membajak di Sawah ............................................................ 22
5.5
Media Promosi berupa iklan majalah Alila dan Mozaik Ubud-Bali .................. 25
5.6
Ilustrasi fotografi penari wanita pada Media Promosi Pariwisata Kabupaten Gianyar dan Dinas Pariwisata Privinsi Bali. ...................................................... 26
5.7
Headline yang diletakan di tengah-tengah desain iklan majalah ....................... 29
5.8
Ilustrasi fotografi burung dan pasangan bule pada Billboard Bali Bird Park..... 31
5.9
Ilustrasi fotografi aktivitas memandikan gajah pada Billboard Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud................................................................................... 32
5.10 Mengkomersialkan mahluk hidup pada Iklan Tabloid Alas Kedaton ................ 34 5.11 Media Promosi Pariwisata Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Provinsi Bali ............................................................................... 36 5.12 Pura Agung Besakih ........................................................................................... 39 5.13 Menampilkan visualisasi logo atau lambang dan closing word (kata penutup) pada Media Promosi Pariwisata Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Provinsi Bali ............................................................................... 41 5.14 Ilustrasi fotografi jerapah dan anaknya pada Media Promosi Pariwisata Bali berupa Billboard Bali Safari Marine Park .......................................................... 43 5.15 Media Promosi Pariwisata Kabupaten Badung tahun 2013 ............................... 47
6
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Log Book Kegiatan dan Rincian Penggunaan Dana ............................ 58 Lampiran 2. Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian ...........................................62 Lampiran 2. Draf Artikel Ilmiah ............................................................................... 66
7
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Terkait dengan pengembangan pariwisata di Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, khususnya Pasal 1 angka 14 menegaskan bahwa “Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana”. Ini berarti bahwa semestinya segala aktivitas pengembangan pariwisata budaya di Bali, termasuk promosi pariwisatanya benar-benar menunjukkan aplikasi falsafah Tri Hita Karana. Sebagaimana diketahui, falsafah ini mengidealkan keharmonisan hubungan manusiaTuhan (parhyangan), manusia-manusia (pawongan), dan manusia-lingkungan alam (palemahan) untuk mencapai kesejahteraan. Hasil pengamatan menunjukkan ada permasalahan penting terkait dengan promosi pariwisata budaya Bali, yakni tidak tercerminnya falsafah Tri Hita Karana pada banyak media promosi pariwisata budaya Bali, baik berupa billboard yang terpampang di sudut-sudut kota di Bali maupun brosur, leaflet, folder, iklan tabloid, dan lain-lain. Oleh karena itu, kenyataan tersebut dapat dilihat sebagai tanda termarginalisasinya Tri Hita Karanadalam media promosi pariwisata budaya Bali. Pada gilirannya permasalahan ini bisa menimbulkan berbagai permasalahan, seperti terancamnya identitas pariwisata budaya Bali yang diiringi dengan berkurangnya daya tarik wisata Bali serta menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, dan dengan demikian perkembangan pariwisata budaya di Bali mengalami degradasi. Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengkaji ideologi yang ada di balik media promosi pariwisata budaya Bali yang tidak mencerminkan ideologi Tri Hita Karana tersebut serta sistem produksi dan implikasinya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Ada beberapa hasil penelitian terkait dengan media promosi pariwisata budaya Bali yang kiranya perlu dicermati dalam rangka penelitian ini. Satu di antaranya hasil penelitian Desidan Larry (2009) tentang logo Brandingyang menunjukkan bahwa logo branding Bali telah mencerminkan konsep Tri Hita Karana. Hal ini memberikan dorongan untuk mengkaji lebih jauh mengapa Tri Hita Karana yang sudah tercermin dalam logo branding Bali tersebut justru kurang 8
terimplementasi dalam media promosi pariwisata budaya Bali. Selain itu hasil penelitian Arisandi (2011) juga tidak mencerminkan pemahaman dan implementasi Tri Hita Karana dalam program tayangan Bali TV mengenai pariwisata budaya, padahal program itu memberikan informasi mengernai pariwisata budaya dan adatistiadat di Bali yang pada dasarnya berkaitan erat dengan Tri Hita Karana. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diduga adanya ideologi tertentu yang cukup kuat di balik marginalisasi Tri Hita Karana dalam promosi pariwisata budaya Bali.
2.2 Beberapa Asumsi Teoretis Asumsi teori dalam hal ini hendak digunakan sebagai pegangan dalam mencari pengetahuan tentang ideologi di balik produksi dan implikasi promosi pariwisata budaya Bali yang kurang mencerminkan Tri Hita Karana. Dalam konteks ini, ada dua teori pokok, yakni teori dekostruksidan teori konstruksi sosial yang asumsi-asumsinya dapat dijabarkan sebagai berikut.
2.2 1 Teori Dekonstruksi Istilah dekonstruksi diciptakan dan dipopulerkan oleh Derrida, namun justru Derrida kesulitan dalam menjawab pertayaan apa yang dimaksud dekonstruksi (Lubis, 2014:33). Walaupun begitu berdasarkan pemahamannya terhadap pemikiran Derrida, Lubis (2014: 35) menegaskan dekonstruksi adalah upaya untuk mengkritisi secara radikal dan membongkar berbagi asumsi dasar yang menopang pemikiran dan keyakinan kita sendiri. Asumsi-asumsi dasar yang dibongkar atau didekonstruksi adalah asumsi dasar yang ada di dalam teori strukturalisme sehingga melahirkan poststrukturalisme (Lubis, 2014:85). Oleh karena itu secara teoritis dapat dikatakan bahwa dekonstruksi terkait erat dengan post-strukturalisme. Dalam konteks ini teori poststrukturalisme memang terdiri atas berbagai bagiannya sehingga teori poststrukturalisme tidaklah tunggal. Mengingat bahwa teori post-strukturalisme itu tidak tunggal, maka untuk penelitian ini perlu dipilih teori dekonstruksi yang memang berkaitan erat dengan teori post-strukturalisme. Berkenaan dengan hal ini, Barker (2005: 24) menyatakan bahwa Derrida fokus pada dekonstruksi. Derrida dengan pemikirannya yang besifat dekonstruktif menolak gagasan adanya struktur dalam (underlying structure) yang membentuk makna lewat pasangan-pasangan biner (hitam-putih, baik-buruk). 9
Sehubungan dengan hal ini, Derrida mendekonstruksi oposisi biner ”stabil” yang menjadi landasan strukturalisme. Dalam dekonstruksi itu terjadi peluruhan oposisi konseptual yang hierarkis, seperti tulisan/wicara, realitas/citra, alam/budaya, akal/kegilaan, dan lain-lain yang mengeksklusikan dan meremehkan bagian ”inferior” dari biner itu. Dalam konteks inilah Derrida berargumentasi bahwa tulisan selalu sudah hadir dalam wicara (Barker, 2005: 25). Sejalan dengan hal ini, Baha Lajar (2005: 165) menegaskan bahwa teori postrukturalisme pada dasarnya menekankan bahwa pemikiran dalam teori strukturalisme yang memandang adanya kebenaran tunggal dan sekaligus universal merupakan ide-ide yang menyesatkan, karena situasi dan kondisi sejarah juga mempengaruhi kebenaran. Bahwa dekonstruksi telah dilakukan baik oleh Derrida maupun Foucault hingga lahirlah postruktural. Pemikiran dalam teori dekonstruksi ini tampak relevan untuk mencari jawaban atas rumusan masalah pertama penelitian ini. Relevansinya itu didukung oleh realita bahwa ada berbagai pihak yang terlibat dalam proses konstruksi media promosi pariwisata budaya Bali, sehingga bisa saja masing-masing pihak tersebut memberikan jawaban yang berbeda-beda satu sama lainnya atas pertanyaan mengapa ideologi Tri Hita Karana termarginalkan dalam konstruksi media promosi pariwisata budaya Bali.
2.2.2 Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckman Berger dan Luckmann dalam bukunya berjudul Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan(2012)menegaskan bahwa proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasi ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahapan inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa. Secara singkat gagasan teori konstruksi tersebut menempatkan persepsi seseorang tentang suatu objek akan membentuk tindakannya terhadap objek tersebut. Setiap orang tentu saja bisa mempunyai persepsi sendiri-sendiri sehingga terjadi beragaman persepsi tentang satu objek. Berdasarkan pemikiran ini, maka dapat diduga bahwa atas suatu iklan yang mempromosikan pariwisata budaya Bali dalam media cetak bisa terjadi beragam persepsi dari masing-masing pihak yang terkait, baik secara 10
individu maupun kelompok sesuai dengan ideologi, kepentingan, kekuasaan, dan hasrat yang beragam pula. Dugaan inilah yang kiranya dapat digunakan untuk mencari jawaban atas masalah ketiga penelitian ini, yaitu bagaimana implikasi konstruksi media promosi pariwisata budaya Bali dalam pencitraan pariwisata budaya tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Hamad (2004 : 16), menjelaskan bahwa terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan pekerja media, khususnya oleh para komunikator massa, tatkala melakukan konstruksi realitas, yang berujung pada pembentukan citra : 1) pemilihan simbol (fungsi bahasa) ; 2) pemilihan fakta yang akan disajikan (strategi framing), dan 3) kesediaan memberi tempat (agenda setting). Berdasarkan gagasan di atas, maka dapat diduga bahwa dalam rangka mempromosikan pariwisata budaya Bali, pekerja media yang bersangkutan melakukan konstruksi atas realitas mengenai pariwisata budaya Bali yang hendak diperkenalkan kepada publik. Dalam konteks inilah dilakukan pemilihan teks, baik berupa kata-kata maupun gambar yang kemudian disusun demikian rupa dengan maksud membangun citra agar kalangan publik merasa tertarik dengan realitas yang telah dikonstruksi dan diperkenalkan kepada publik. Selain itu, dapat juga diduga bahwa realitas dan fakta yang kemudian dikonstruksi oleh pekerja media pun dipilih berdasarkan pemikiran tersendiri. Pemikirannya itu dibangun berdasarkan pengetahuan pekerja media mengenai selukbeluk realitas dan fakta-fakta terkait dengan pariwisata budaya Bali yang hendak dipromosikannya. Dengan kata lain, pekerja media telah mempunyai format khusus (strategi framining) untuk menentukan realitas dan fakta-fakta terkait pariwisata budaya Bali yang dipilihnya untuk dikonstruksi dalam rangka mempromosikan pariwisata budaya Bali. Satu dugaan yang dapat juga dirumuskan dalam hal ini, bahwa dalam mempromosikan pariwisata budaya Bali, media cetak yang bersangkutan juga memperhitungkan tempat atau ruang yang perlu disediakan dalam media promosi. Hal ini penting dalam rangka mengatur tata letak teks yang digunakan untuk mempromosikan pariwisata budaya Bali. Dengan demikian produk yang dihasilkan dari konstruksi media promosi pariwisata budaya dengan cara demikian itu adalah sedemikian rupa. Produknya itulah yang kemudian ditanggapi oleh para pihak yang berkecimpung dalam industri pariwisata melalui proses pengamatan, pemaknaan, dan
11
tindakan dengan cara yang sesuai dengan ideologi, kepentingan, dan tujuannya masing-masing.
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Khusus Berdasarkan latar belakang dan permasalahan terurai di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1) Memahami dan mengkritisi pandangan yang ada di balik praktik-praktik pemaknaan yang dilakukan oleh para pihak yang berkecimpung dalam proses produksi media promosi pariwisata budaya di Bali. 2) Memahami
implikasi
media promosi
pariwisata budaya
Bali
yang
memarginalisasi ideologi Tri Hita Karana tersebut, khususnya implikasinya berupa citra daerah pariwisata budaya Bali dilihat dari sudut pandang para pihak yang berkecimpung dalam industri pariwisata budaya di Bali. 3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang hendak mengkaji permasalahan dengan tujuan sebagaimana dipaparkan di atas sangatlah penting, karena akan dapat dimanfaatkan sebagai berikut. 1) Untuk menunjang proses penyelesaian disertasi atas nama peneliti yang berjudul “Dekonstruksi Ideologi pada media promosi pariwisata Budaya Bali”. 2) Untuk menambah pengetahuan tentang media promosi pariwisata budaya Bali yang bermanfaat untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 3) Untuk membangun pemikiran yang dapat disumbangkan kepada para pengambil kebijakan dalam pengembangan pariwisata budaya Bali, terutama melalui
media
promosi
pariwisata
budaya
Bali
yang
benar-benar
beridentitaskan budaya Bali yang dijiwai oleh ideologi Tri Hita Karana. 4) Untuk membangun pemikiran tentang teknik atau cara memproduksi media promosi pariwisata budaya Bali yang lebih ideal.
BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan penekanan pada penggalian, penjelasan, dan pendeskripsian
pengetahuan secara
deskriptif, holistik, dan interpretatif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, 12
Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan karena di daerah tersebut terdapat sejuymlah lembaga yang dipandang memadai untuk menggali informasi terkait tujuan penelitian ini. Informan dalam penelitian ini adalah para partisipan, baik dalam proses membangun gagasan maupun pengerjaan media promosi pariwisata budaya Bali. Langkah awal yang dilakukan dalam hal ini adalah menemui orang yang dalam penelitian ini diposisikan sebagai informan kunci, yaitu orang yang bisa memberikan informasi awal terkait dengan masalah yang dikaji dalam penelitian iniseperti: 1) pemerintah melalui Dinas Pariwisatanya, 2) praktisi pariwisata, 3) desainer/praktisi dibidang desain komunikasi visual, 4) publik/masyarakat/wisatan asing maupun domestik, 5) Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD), dan 6) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali.Informan kunci ini juga diharapkan mampu membantu peneliti dalam hal menghubungi para pihak lain. Demikian seterusnya sehingga terjadi proses pemilihan informan secara beranting yang lazim disebut dengan teknik snowball.
Dengan menerapkan teknik penentuan informan ini
diharapkan diperoleh informan yang representatif, dan dengan demikian dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik wawancara mendalam, pengamatan, dan penggunaan dokumen. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk menggali informasi dari para informan, sekaligus juga untuk menggali gagasan-gagasan yang terkait dengan informasi yang mereka berikan. Pertanyaan-pertanyaan yang diformulasikan atas dasar rumusan masalah dalam hal ini diajukan secara leluasa, dalam arti tanpa terikat oleh suatu daftar pertanyaan yang ketat melainkan hanya berpegang pada pokok-pokok hal yang perlu ditanyakan dan pokok-pokok pertanyaan yang ada pada pedoman wawancara yang disiapkan sebelumnya. Dengan cara ini wawancara diharapkan dapat berlangsung secara fleksibel, dan informan bersikap terbuka, sehingga diperoleh informasi yang cukup banyak dan mendalam serta pembicaraan dalam wawancara tidak begitu terpaku pada satu topik saja serta tidak menjenuhkan, baik bagi informan maupun peneliti. Pengamatan dan penggunaan dokumen dilakukan denganmencermati isi dokumen-dokumen tertentu, seperti foto, brosur, leaflet, dan lain-lain yang bermanfaat untuk penelitian ini.
13
Analisis data dilakukan dengan mengikuti gagasan Taylor dan Bogdan (1984 : 128), yakni berlangsung sejalan dengan proses pengumpulan data yang disebut dengan istilah go hand-in-hand. Secara lebih konkret, hal ini dilakukan dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992 : 19-20) yakni melakukan reduksi data, penyajian data sementara, penafsiran data, dan menarik simpulan.
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI 5.1 Hasil Berkenaan dengan ideologi yang ada di balik media promosi pariwisata budaya Bali, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media promosi Pariwisata berupa brosur, folder, leaflet, iklan tabloid/majalah, dan billboard memang bermuatan ideologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Karl Marx sebagaimana dikemukakan oleh Halim (2013 : 45) bahwa “komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan oleh Karl Marx sebagai ‘ideologi’ yang bersemayam di balik media”. Media dengan muatan ideologinya dapat diposisikan sebagai teks atau wacana yang di dalamnya berisi warna, gambar/ilustrasi, kata/kalimat yang merupakan satu kesatuan dalam media yang bersangkutan. Satu kesatuan tersebut mengandung pesan tertentu yang berintikan jargon atau manuver tertentu. Oleh karena itu, maka untuk memahami ideologi yang ada di balik media, termasuk media promosi pariwisata budaya Bali, komponen-komponen media berupa gambar, warna dan kalimat tersebut perlu dicermati secara seksama. Berdasarkan hasil dekonstruksi, baik terhadap media promosi pariwisata budaya Bali maupun informasi yang diberikan oleh para informan maka dapat diketahui bahwa gambar/ilustrasi, warna, dan kalimat pada media promosi pariwisata budaya Bali terlihat memuat beberapa ideologi. Perlu ditegaskan bahwa tanpa pencermatan secara mendalam atau hanya melalui eksplorasi tampaknya sulit diketahui ideologi apa yang ada dibalik media promosi pariwisata budaya Bali yang ideologi Tri Hita Karananya termarginalkan. Citra Bali sebagai daerah pariwisata budaya menurut para pihak yang berkecimpung dalam industri pariwisata dapat ditelusuri dari pemaknaan yang mereka lakukan melalui persepsi mereka terhadap Bali sebagai daerah pariwisata. Secara lebih mendasar, proses pemaknaannya itu dapat dilihat dalam pembenaran, keyakinan, dan alasan mereka atas citra Bali menurut mereka sendiri. Jika dicermati, tampaklah 14
bahwa implikasi Bali sebagai daerah budaya pariwisata dan bukan pariwisata budaya merupakan implikasi yang sangat mendasar, bahkan berdasarkan implikasi ini muncul implikasi-implikasi lain.
5.1.1 Ideologi Pasar Pengertian ideologi pasar dalam hal ini merujuk pada pendapat para ahli sebagaimana dipaparkan oleh, Atmadja (2010: 75-76) bahwa karakteristik ideologi pasar atau yang disebut juga agama pasar mengacu pada gagasan yang tidak saja berbeda tetapi sekaligus juga bertolakbelakang dengan karakteristik agama Hindu yang merupakan sumber ideologi Tri Hita Karana.
Hal ini dapat dilihat pada
beberapa hal, yaitu 1) agama Hindu memuja kekuatan adikodrati yang disebut brahman, Tuhan atau dewa sebagai personifikasinya, maupun roh leluhur; sedangkan ideologi pasar atau agama pasar memuja uang; 2) agama Hindu menekankan pada pengendalian nafsu, sedangkan ideologi pasar merangsang nafsu agar terus tumbuh dan berkembang subur; dan 3) dalam agama Hindu, tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kesejahteraan, baik
di alam sini maupun di alam sana sehingga
spiritualitas agama sangat utama; sedangkan dalam ideologi pasar, penekanannya adalah pada kenikmatan duniawi sehingga manusia terjerat pada materialisme, individualisme, sekularisme, otonomisme. Materialisme dalam hal ini dapat diartikan sebagai
gagasan yang mengutamakan materi, termasuk uang dan benda-benda
berharga lainnya. Individualisme diartikan sebagai gagasan yang mengutamakan diri sendiri, baik secara individual maupun kelompok tertentu. Jadi dalam melakukan tindakan, yang diutamakan adalah perolehan materi
bagi pelakunya sendiri.
Selanjutnya, sekularisme kurang mengutamakan spiritualitas agama; dan otonomisme mengacu pada kebebasan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kepentingan diri sendiri. Karakteristik ideologi pasar sebagaimana dipapaprkan di atas bisa terekspresi dalam tujuan yaitu menjual sesuatu produk. Aktivitas menjual bisa dilakukan melalui media promosi, termasuk media promosi pariwisata. Apa yang ditampilkan dalam media promosi itu tidaklah sekadar ditampilkan, melainkan memuat harapan menjual berdasarkan prinsip kapitalisme, yakni memperoleh keuntungan. Prinsip kapitalisme menekankan bahwa apapun adalah barang dagangan, dan karena itu semuanya harus dijual. Jika alam yang ditampilkan dalam media itu, maka alampun sudah bergeser fungsinya menjadi barang komoditas, atau berfungsi sebagi produk yang bernilai 15
tukar untuk memperoleh uang. Begitu pula dengan objek-objek berupa wujud-wujud kebudayaan. Hal ini dapat dicermati pada beberapa media promosi pariwisata budaya Bali berupa iklan tabloid, iklan majalah, brosur. Berkenaan dengan hal ini, iklan tabloid sebagaimana disajikan pada gambar 5.1 di bawah ini menarik untuk dicermati.
Gambar 5.1 : Pura Tanah Lot dan Keindahan Panorama Alam Setempat Sumber: Tabloid Bali Travel News Vol XV No 24.Des 20 2013-Jan 9.2014 hal 22. Objek yang ditampilkan pada media promosi berupa iklan tabloid sebagaimana tampak pada gambar 5.1 adalah Pura Tanah Lot yang berdiri di Pantai Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Pada gambar ini memang secara jelas tampak ada laut, ada pura, dan ada krumunan manusia. Namun nuansa Tri Hita Karana pada iklan tabloid ini tidak nampak. Artinya, krumunan manusia itu adalah para pelancong yang tidak mendasari aktifitasnya dengan Tri Hita Karana. Mereka tidak menjadikan Pura Tanah Lot sebagai media untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, melainkan sebagai tempat rekreasi. Begitu juga dengan laut, para pelancong ini tidak melakukan aktifitas apapun yang berkaitan dengan keharmonisan hubungan mereka dengan unsur alam ini, mereka hanya menikmati keindahan alam yang ditandai dengan ombak, batu karang dan pura yang berdiri diatas batu karang tersebut. Dengan demikian Tri Hita Karana terabaikan dalam gambar 5.1 ini. Sebagaimana diketahui, sistem religi merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Dilihat dari sudut wujud kebudayaan, pura merupakan wujud fisik dari sistem religi, dan dengan demikian, Pura Tanah Lot merupakan wujud fisik
16
kebudayaan. Secara konvensional, pura adalah tempat suci atau ibadah orang Hindu. Ini berarti pura dimaknai sebagai alat untuk menghubungkan diri orang Hindu dengan Tuhannya. Namun dalam konteks media promosi pariwisata berupa iklan tabloid seperti pada gambar 5.3 justru Pura Tanah Lot terlihat dimaknai sebagai objek wisata yang amat penting untuk dijadikan titik fokus dalam tampilan visual iklan tabloid. Mengingat tujuan promosinya itu adalah berujung pada perolehan masukan finansial (uang), maka ini berarti pura itu dimaknai sebagai barang komoditas sehingga dijual melalui media promosi pariwisata. Dengan demikian, ideologi yang ada di balik promosi tersebut adalah ideologi pasar dalam arti sebagaimana telah disebutkan di atas. Jika dilihat dari perspektif ideologi, maka tampaklah pemaknaan pura sebagai tempat suci sebagaimana dipaparkan di atas mencerminkan ideologi agama Hindu yang ada di baliknya. Dengan merujuk pendapat Atmadja (2010 : 75), hal itu terlihat secara jelas bahwa umat Hindu berada pada posisinya sebagai homo religius, yakni melakukan sistem ritual, dalam bentuk perilaku, misalnya sembahyang, bersaji, berdoa, menari, menyanyi dan lain-lain. Melalui doa petisi mereka memohon sesuatu kepada kekuatan adikodrati, misalnya keselamatan dan kesejahteraan. Kesejahteraan itu bisa bersifat jasmaniah termasuk kesejahteraan sosial-ekonomi dan kesejahteraan rohaniah. Sementara itu, gambar Pura Tanah Lot yang ditampilkan pada iklan tabloid sebagaimana tampak pada gambar 5.1 menunjukan adanya ideologi pasar dalam arti sebagaimana disebutkan di atas. Mengingat gambar yang ditampilkan itu dikatakan strategis, yakni (strategis tempat makannya), maka dalam konteks ini, makna istilah strategis itu menarik pula untuk dicermati secara dekonstruktif. Dapat dipahami bahwa tempat makannya itu dipandang strategis dalam arti dapat digunakan sebagai tempat menciptakan kenyamanan wisatawan dalam menikmati panorama yang ditandai dengan pura sebagai wujud kebudayaan Bali yang tradisional dan sunset sebagai wujud alam yang indah. Itulah yang pada dasarnya merupakan alasan atas ditampilkannya ilustrasi foto pura dan alam setempat sebagai yang utama. Alasannya itu menunjuk kepada keyakinannya bahwa dengan cara demikianlah orang akan tertarik datang ke lokasi pura itu secara berulang-ulang. Keyakinannya itulah pada dasarnya berkaitan dengan ideologi pasar, karena berujung pada kehendak untuk memperoleh keuntungan finansial melalui kehadiran wisatawan ke tempat itu.
17
Begitu juga dengan media promosi pariwisata budaya Bali berupa iklan majalah yang ditampilkan pada majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagaimana tampak pada gambar 5.2 di bawah ini.
Gambar 5.2 : Keindahan alam pada Media Promosi Royal Pita Maha resort dan Kamandalu resort and spa. Sumber: Iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” Gambar 5.2 secara jelas, menunjukkan hamparan sawah dan bangunan villa yang ada di sekitar sawah tersebut. Gambar ini dapat dikatakan tidak mencerminkan Tri Hita Karana karena tidak ada manusia di dalamnya, padahal kehadiran manusia dalam konteks ideologi Tri Hita Karana merupakan hal yang mutlak. Dilihat dari sudut fungsinya dalam konteks mata pencaharian, sawah adalah lahan untuk bercocok tanam padi yang merupakan mata pencaharian petani yang bersangkutan. Sementara itu, sawah juga merupakan wilayah yang dimiliki oleh organisasi sosial tradisional para petani yang bernama subak. Sebagai suatu organisasi sosial petani, subak menganut ideologi Tri Hita Karana yang dalam peraturannya (awig-awig subak) biasanya dicantumkan sebagai landasan ideal organisasi subak. Dalam konteks Tri Hita Karana, sawah merupakan wujud dari palemahan atau lingkungan alam yang ada di wilayah subak. Mengingat sawah sebagai bagian dari subak serta sebagai salah satu komponen Tri Hita Karana, maka dapat dikatakan keberadaan sawah itu berfungsi sebagai sarana untuk melakukan kegiatan dalam
18
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani yang bersangkutan. Meskipun sama-sama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, langkah menampilkan sawah yang dikombinasikan dengan villa pada gambar 5.2 ternyata tampilannya itu bukan untuk mewujudkan kesejahteraan petani pemilik sawah yang berangkutan, melainkan bagi pengusaha pariwisata atau yang dikenal sebagai kapitalis. Dikatakan demikian, mengingat tampilan sawah dalam hal ini berkaitan dengan promosi pariwisata. Agar media promosi pariwisata ini menarik bagi wisatawan
maka
tampilan
sawah
yang
merupakan
unsur
tradisional
itu
dikombinasikan dengan tampilan villa yang merupakan suatu produk yang bersifat modern. Ini berarti tampilan yang bersifat kombinantif itu diupayakan agar para wisatawan tertarik untuk berkunjung dan tinggal di villa tersebut. Dengan demikian sawah dan villa itu diharapkan bahkan diyakini akan berfungsi sebagai komoditas yang bernilai jual atau bernilai ekonomis. Dalam konteks inilah ideologi pasar secara implisit terlihat berada di balik media promosi pariwisata dengan tampilan seperti tampak pada gambar 5.2 di atas. Selain tercermin pada gambar 5.2 sebagaimana disajikan di atas, ideologi pasar juga terlihat pada gamabar 5.3 di bawah yang merupakan sebuah iklan majalah yang dibuat oleh Bali Zoo dan ditampilkan pada majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang”. Iklan tersebut memvisualisasikan foto seorang wanita bule sedang memandikan gajah di suatu tempat dekat pura.
Gambar 5.3 : Penggunaan model wanita asing pada iklan Bali Zoo Sumber:iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang”
19
Gambar 5.3 ini menarik untuk disoroti dari perspektif Tri Hita Karana yang di dalam Perda Provinsi Bali no.2 Tahun 2012 tentang Pariwisata Budaya Bali diposisikan sebagai falsafah yang patut diacu dalam pengembangan pariwisata di Bali. Sebab, gambar 5.3 tersebut di atas terlihat tidak mencerminkan identitas Bali yang dilandasi Tri Hita Karana. Hal ini dapat diketahui terutama dari informasi yang diberikan oleh Public Relations Excecutive objek wisata Bali Zoo, Emma Chandra, berikut ini. ”Dalam pemotretan gajah ditemani pawang gajahnya, ada yang pegangi, ada yang ngasi makan, ada kaki diedit sedikit, ada banyak orang di belakang layar, tidak gampang dengan binatang” (wawancara, 21 Nopember 2014). Selain informasi ini informan tadi juga menegaskan bahwa iklan ini dibuat secara sadar dan tidak diilhami oleh Tri Hita Karana, melainkan didasarkan pada potensi pangsa pasar global. Secara lebih lengkap informasinya itu adalah sebagai berikut. ”Model asing digunakan dalam iklan ini karena main market paling banyak Australia, kedua Asian, dan ketiga baru masuk domestik, kenapa kita menggunakan internasional model tujuan agar masuk kesemua. Main market adalah Australia, agar lebih masuk ke main marketnya maka di coba menggunakan model seperti ini. Artwork ini digunakan untuk majalah yang nasional, majalah regional di Asia Pasifik sebagai destination, dan digunakan pada iklan Jet Star in Flight Magazine, artwork seperti ini” (wawancara, 21 Nopember 2014). Berdasarkan gagasan yang tercermin pada petikan informasi ini maka dapat dikatakan bahwa ideologi pasar merupakan salah satu ideologi yang ada di balik termarginalisasinya ideologi Tri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali. Selain itu, petikan informasi tadi juga mencerminkan bahwa pihak Bali Zoo memandang ideologi pasar dijadikan acuan karena lebih menjanjikan ketimbang ideologi Tri Kita Karana dalam konteks pencapaian tujuan promosi objek wisata tersebut. Logikanya adalah bahwa, jika yang disebutnya sebagai ”model internasional” itu digunakan maka kalangan internasional dapat diharapkan merasa terketuk untuk meyakini bahwa objek wisata Bali Zoo tidak hanya disenangi oleh kalangan tertentu saja, melainkan oleh kalangan internasional. Dengan demikian, dapat diharapkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata tersebut meningkat. Namun, sungguhpun demikian, hal itu jelas telah mengabaikan atau meninggalkan budaya Bali sehingga pariwisata di Bali kurang bercorak pariwisata budaya Bali, melainkan lebih bercorak budaya pariwisata, karena selera wisatawan mendominasi corak iklan pariwisata. Hal ini sejalan dengan pendapat Picard (2006), 20
bahwa yang berkembang di Bali bukanlah pariwisata budaya melainkan budaya pariwisata. Hal ini bukanlah merupakan akibat langsung dari pariwisata yang berintikan budaya global, melainkan lebih merupakan akibat dari perbuatan para pihak pembuat iklan yang sudah menganut ideologi pasar, suatu ideologi yang merupakan inti dari globalisasi (Steger, 2006). Jadi ideologi pasar tidaklah bekerja dari luar sana, melainkan dari dalam diri para pembuat iklan dalam promosi pariwisata budaya Bali. Pembuatan iklan yang diilhami ideologi pasar sebagaimana dipaparkan di atas, disadari atau tidak pada dasarnya merupakan penyimpangan terhadap Perda Provinsi Bali no. 2 Tahun 2012. Dengan mengikuti gagasan Piliang (2006), penyimpangan seperti itu bisa terjadi karena pada era globalisasi orang sudah menganut kebudayaan postmodern, sehingga mereka menjadi homo minimalis dengan karakteritik tersendiri, antara lain lebih mengutamakan perolehan ketimbang proses perolehan. Dalam konteks inilah orang bisa melakukan tindakan yang menyalahi aturan atau norma tertentu, asalkan apa yang hendak diperoleh bisa diraih. Hal serupa inilah yang tampak terjadi pula dalam proses pembuatan iklan Bali Zoo tersebut di atas.
Namun
selama
tidak
menimbulkan
masalah
atau
tidak
ada
yang
mempermasalahkannya, maka hal seperti itu akan bisa tetap berlangsung. Dengan demikian, pariwisata yang berkembang semakin jauh dari ketentuan aturan yang dinyatakan berlaku. Lebih dari itu, pengabaian terhadap ideologi Tri Hita Karana juga terlihat dengan jelas pada gambar 5.3 bahwa gajah sebagai representasi lingkungan alam telah tergusur dari habitat aslinya dan menjadi penghuni habitat buatan manusia yang merupakan karantina yang tentu saja memasung kebebasan yang pada dasarnya dimiliki oleh gajah secara alamiah. Jika keharmonisan hubungan manusia-alam (palemahan) merupakan salah satu sila dalam konteks Tri Hita Karana yang dipandang sebagai penyebab kebahagiaan, maka dari perspektif ini, pembuatan iklan pariwisata dengan cara sebagaimana ditampilkan pada gambar 5.3 kurang memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan. Namun dalam kenyataannya justru dengan cara demikianlah para pembuat iklan tersebut memandang atau berharap akan mendatangkan kesejahteraan ekonomi melalui peningkatan masukan finansial yang bersumber dari wisatawan manca negara. Tampaknya harapan itu sebagian atau sepenuhnya telah tercapai, sehingga tidak mengherankan bahwa iklan yang bernuansa
21
ideologi pasar globallah, bukannya iklan yang bernuansa ideologi Tri Hita Karana yang dikembangkan hingga kini.
5.1.2 Ideologi Dualisme Kultural Ideologi dualisme kultural dalam hal ini dipahami sebagai pemikiran para pihak terkait dalam proses produksi media promosi pariwisata budaya Bali yang besifat oposisi biner, yaitu membedakan antara budaya barat yang direpresentasikan oleh wisatawan dan budaya timur yang direpresentasikan oleh para pihak terkait dalam promosi pariwisata budaya Bali. Berdasarkan pemikiran bersifat oposisi biner seperti itu, kemasan media promosi pariwisata budaya Bali disesuaikan dengan citra wisatawan dan citra budaya Bali. Dalam konteks ini wisatawan dicitrakan sebagai sosok modern yang telah biasa mengonsumsi hal-hal modern namun memerlukan halhal yang tradisional. Sehubungan dengan hal inilah kemasan media promosi pariwisata budaya Bali dimuati dengan unsur-unsur budaya Bali (tradisional). Hal ini tampak antara lain dari media promosi pariwisata budaya berupa brosur yang mengilustrasikan aktivitas pertanian yang menggunakan teknologi pertanian tradisional yang terlihat dalam gambar 5.4 sebagai berikut.
Gambar 5.4 : Pura dan Aktivitas Membajak di Sawah Sumber : Folder Media Promosi Pariwisata Budaya Kabupaten Tabanan Gambar 5.4 secara jelas menunjukkan bahwa ada seseorang laki-laki sedang melakukan aktivitas membajak di sawah dengan peralatan berupa bajak dengan sapi sebagai tenaga penariknya (tradisional), dan bukan traktor (modern) yang sesungguhnya kini lazim dipergunakan oleh para petani Bali. Mencermati ilustrasi foto tersebut di atas, tampaklah
bahwa Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab
22
kesejahteraan: keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam tidak tercermin atau termaginalisasikan. Dikatakan demikian karena manusia pada ilustrasi tersebut tidak menunjukan hubungannya dengan Tuhan. Meskipun ada gambar pura tetapi aktifitas petani itu tidak berkaitan dengan pura, melainkan hanya berkaitan dengan sawah dan sapi. Hubungan petani dengan sapi dalam hal ini juga dapat dilihat sebagai tidak mencerminkan keharmonisan hubungan antara keduanya. Hubungan antara keduanya lebih bersifat eksploitatif, yakni manusia meeksploitasi sapi untuk kepentingan manusia sendiri. Selain itu proses pembuatan atau pemilihan foto tersebut tidaklah diilhami oleh konsep Tri Hita Karana. Dengan demikian kiranya fakta-fakta ini sudah cukup untuk digunakan sebagai dasar mengatakan bahwa gambar 5.4 di atas mencerminkan marginalisasi Tri Hita Karana. Dipergunakannya ilustrasi ini untuk mengemas media promosi pariwisata budaya Bali menunjukkan adanya maksud tertentu. Adapun maksudnya dalam hal ini adalah bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat Hindu berbudaya agraris yang bersifat tradisional. Maksud ini juga bermuatan harapan, bahwa unsur budaya agraris yang tradisional ini dapat menarik minat wisatawan sebagai manusia berbudaya modern (barat) untuk berkunjung ke Bali karena di daerahnya sendiri tidak ada budaya tradisional seperti itu. Penjelasan tentang gambar 5.7 dengan cara seperti ini pada dasarnya merupakan apa yang oleh para ahli sebagaimana dikemukakan oleh Atmadja dan Atmadja (2014 : 231) sebagai ”penjelasan disposisi”, yaitu penjelasan yang memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa, khususnya jawaban yang diformulasikan dengan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu pula. Gambar 5.4 menunjukkan seakan-akan letak sawah tersebut berbatasan langsung dengan areal pura. Jika dilihat kenyataannya, gambar pura itu adalah gambar Pura Ulun Danu yang ada di pinggir Danau Beratan, Bedugul. Namun berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa sesungguhnya di lokasi tersebut tidak ada sawah, apalagi orang membajak sawah. Itulah sebabnya gambar 5.4 dikatakan menunjukkan adanya manipulasi kenyataan. Menurut informasi dari Kepala Bidang Promosi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan, yakni Ni Ketut Yuliati dalam wawancara 29 Agustus 2014, hal itu dilakukan “......karena Tabanan merupakan agraris yang ditonjolkan sawah dan purapura. Warna yang dipilih didasari oleh indah dan serasi, yang penting tampilannya serasi”. 23
Jika disimak, tampaklah petikan informasi ini memuat alasan tertentu atas tindakan mengemas media promosi pariwisata dengan mempergunakan ilustrasi pura dan sawah sebagai komponen media tersebut. Alasannya dalam hal ini adalah bahwa Kabupaten Tabanan merupakan daerah agraris atau masyarakatnya berbudaya agraris dengan mata pencaharian pokok bertani dan beragama Hindu dengan tempat ibadahnya adalah pura. Di satu sisi alasan ini mengambarkan citra Kabupaten Tabanan yang sebagaimana diketahui berjulukan sebagai ”lumbung beras”. Namun para petani Bali kini amat jarang mempergunakan bajak tradisional, melainkan kebanyakan mempergunakan traktor (teknologi modern). Dengan demikian, gambar 5.4 merupakan konstruksi realita yang pada dasarnya bertolakbelakang dengan realita yang sesungguhnya. Meskipun bertolakbelakang dengan realitas yang sesungguhnya, tampaknya para pihak pembuat gambar 5.7 di atas tetap berkeyakinan bahwa dengan gambar seperti itu orang akan terdorong untuk datang ke Bali dengan harapan dapat menyaksikan secara langsung kenyataan yang telah diilustrasikan pada media promosi berupa brosur/gambar 5.4 di atas. Sebagaimana disebutkan dalam petikan informasi di atas, dalam proses pembuatan media promosi pariwisata itu disertakan warna pilihan agar menjadi serasi atau indah. Selain itu informan yang bersangkutan juga mengatakan bahwa warna untuk gambar 5.4 di atas diganti-ganti setiap tahun agar tampak bahwa gambar itu tetap menarik untuk dipandang dan tidak mudah menjemukan. Salah satu warna yang dipilih seperti tampak pada gambar 5.4 di atas adalah warna orange, padahal warna orange tidak dapat digunakan sebagai identitas Bali. Bahkan warna orange itu tergolong warna modern, bukan warna tradisional. Hal ini wajar karena orang yang hendak disasar adalah orang yang dipandang modern yaitu para wisatawan dari negara-negara barat agar sesuai dengan kemodernannya sehingga mereka tertarik. Dengan demikian, ideologi keindahan juga diberlakukan sebagai bagian dari jargon untuk menyasar wisatawan asing yang berkebudayaan modern bahkan kebudayaan posmodern, yakni kebudayaan yang memuat unsur modern dan tradisional. Dilihat dari perspektif Tri Hita Karana, hasil manipulasi kenyataan sebagaimana tampak pada gambar 5.4 tidaklah menunjukkan konsep Tri Hita Karana, karena hanya berisi gambar pura dan satu orang membajak sawah yang tidak berkaitan satu sama lainnya. Selain media promosi pariwisata yang menonjolkan citra budaya tradisional Bali, khususnya di Kabupaten Tabanan sebagaimana tampak pada gambar 5.7 di atas, 24
ternyata ada pula media promosi pariwisata yang lebih menonjolkan sifat modern. Hal ini dapat dicermati pada iklan yang ditampilkan pada majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagaimana tampak pada gambar 5.5 di bawah ini.
Gambar 5.5 : Media Promosi berupa iklan majalah Alila dan Mozaik Ubud-Bali Sumber: iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang”
Gambar 5.5 di atas dapat diketahui dengan jelas merupakan iklan yang ditampilkan di sebuah majalah dengan memperlihatkan visualisasi berupa foto meja makan di suatu restoran dengan penataan tersendiri. Unsur-unsur yang ditata berupa gelas, minuman wine, mineral water, serbet, dan lain-lain, lengkap dengan teks berbahasa Inggris. Berdasarkan tampilan iklan majalah ini dapat dipahami bahwa dalam rangka melayani wisatawan yang berkunjung ke Bali, para pihak yang bergerak di bidang usaha pariwisata selain mampu menyediakan pelayanan yang bersifat tradisional juga mampu menyediakan pelayanan yang modern sesuai dengan selera wisatawan asing yang merepresentasikan kebiasaan hidup modern. Dengan pelayanan yang lengkap (tradisional dan modern) seperti itulah diharapkan para wisatawan asing tertarik berkunjung ke Bali dan betah berlama-lama di Bali. Jika disoroti dengan menggunakan perspektif Tri Hita Karana tampaklah pula iklan majalah yang bersifat modern sebagaimana tampak pada gambar 5.5 di atas sama sekali tidak mencerminkan nuansa ideologi Tri Hita Karana. Dikatakan demikian karena tidak ada unsur manusia apalagi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan alam. Tampaknya hal ini
25
terjadi karena para pembuat media promosi pariwisata tersebut berorientasi pada ideologi dualisme kultural dalam arti sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ideologi dualisme kultural tersebut merupakan salah satu ideologi yang memarginalkan ideologi Tri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali.
5.1.3 Ideologi Konsumerisme Ideologi konsumerisme dalam hal ini mengacu kepada pendapat Lull sebagaimana dirujuk oleh Atmadja (2010 : 89), bahwa ideologi konsumerisme merupakan ideologi yang membangkitkan hasrat untuk mengkonsumsi materi yang tersedia di pasar. Hasrat tersebut lebih hebat lagi karena manusia terjerap pada politik konsumsi yaitu dalam arti masyarakat memakai konsumsi sebagai ideologi. Ideologi konsumerisme dalam arti seperti ini dapat dilihat cerminannya pada gambar 5.6 dan petikan hasil wawancara terkait gambar tersebut. Adapun gambar 5.6 adalah sebagai berikut.
Gambar 5.6 : Ilustrasi fotografi penari wanita pada Media Promosi Pariwisata Kabupaten Gianyar dan Dinas Pariwisata Privinsi Bali Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali
Gambar 5.6 ini sesungguhnya terdiri atas dua media promosi pariwisata, yaitu berupa brosur yang dibuat oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar; dan leaflet yang dibuat oleh Dinas Pariwisata provinsi Bali. Keduanya merupakan foto wanita. Nuansa ideologi konsumerisme yang ada di balik foto ini dapat diketahui dari petikan
26
hasil wawancara terkait dengan alasan atas ditampilkannya foto wanita pada media promosi pariwisata. Adapun petikan wawancara itu adalah sebagai berikut. ”……Gianyar buminya seni dan budaya, kalau seni pematung dan pemahat agak mati kalau di pasang. Kalau ini dilihat dapat memberikan daya tarik, foto aktivitas pada waktu melakukan geraknya tari tidak direkayasa, yang cantik supaya menimbulkan daya tarik, menunjukan identitas daerah yaitu daerah seni, warna hijau lebih alami, tulisan kuning keemasan simbol dari kekayaan, karena kekayaan seni dan budaya, gianyar kaya akan alamnya, seni, dan budaya” (wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, A.A Brahmanta, 14 Oktober 2014). Penuturan informan ini menunjukan bahwa penggunaan ilustrasi fotografi berupa seorang wanita cantik yang melakukan aktivitas menari supaya dapat menarik perhatian publik, serta pemilihan warna hijau agar lebih alami, warna kuning keemasan pada teks headline (judul) dan closing word merupakan simbol dari kekayaan. Kesemuanya itu merupakan hasil dari pengalaman yang dimiliki seseorang dalam hal ini Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar dalam menciptakan produk yang indah dan diyakini dapat menimbulkan daya tarik. Daya tarik dalam hal ini diyakini dapat membangkitkan hasrat wisatawan untuk menikmati objek wisata berupa seni tari Bali yang dibawakan oleh wanita cantik dari Kabupaten Gianyar yang dikenal kaya, baik dalam bidang
keseniannya maupun budaya dan keindahan
alamnya. Dengan demikian, pada dasarnya gagasan yang ada di balik gambar tersebut merupakan gagasan yang memuat strategi yang berusaha mengarahkan para wisatawan untuk mempersepsikan Gianyar sebagai daerah pariwisata yang sangat dibutuhkan. Dengan kata lain agar wisatawan merasakan bahwa mengunjungi Kabupaten Gianyar merupakan kebutuhan yang mendesak baginya. Berdasarkan persepsi yang demikian itu diharapkan para wisatawan akan merasa tidak puas jika berkunjung ke Bali tanpa mengunjungi Kabupaten Gianyar. Selain untuk memuaskan diri, wisatawan juga diharapkan tertarik berkunjung ke Gianyar dalam rangka memenuhi hasratnya untuk memiliki citra di hadapan kawan-kawannya. Bahwa wisatawan yang berangkutan merasa mempunyai citra sebagai orang yang pernah berkunjung ke Gianyar, yakni daerah pariwisata budaya Bali yang merupakan pusat kesenian Bali, termasuk seni tarinya. Jika impian itu telah menjadi kenyataan, maka itu berarti para wisatawan telah mengkonsumsi produk seni budayanya Kabupaten Gianyar. Dengan demikian wisatawan tersebut telah mengkonsumsi ideologi yang ada di balik brosur tersebut, yakni ideologi
27
konsumerisme. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya orang yang mengkonsumsi suatu produk berarti mengkonsumsi ideologi yang ada di balik produk tersebut. Begitu juga penggunaan wanita cantik pada leaflet yang diproduksi olreh Dinas Pariwisata Provinsi Bali juga dimaksudkan agar tampilan
media promosi
pariwisata berupa leaflet lebih menarik dan dapat mempengaruhi publik untuk melihatnya. Seperti penuturan Kepala Bidang Promosi Dinas Pariwisata Provinsi Bali, ”agar lebih menarik dalam brosur tersebut kenapa tidak memasang foto wanita cantik, gadis Bali yang cantik. Akhirnya dipilihlah gadis Bali yang cantik” (wawancara dengan Yudiantara, 22 Desember 2014). Hal ini pada intinya menunjukkan bahwa kecantikan wanita merupakan potensi penting untuk menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Menarik minat dalam hal ini dapat disejajarkan dengan upaya membangkitkan hasrat untuk mengkonsumsi objek wisata berupa seni tari Bali yang dimainkan oleh kaum wanita cantik, bukan laki-laki tampan misalnya. Perlu dikemukakan di sini bahwa gambar 5.6 merupakan contoh saja dari media promosi pariwisata budaya Bali yang bernuansa ideologi konsumerisme. Dikatakan demikian, mengingat semua media promosi pariwisata pada dasarnya berusaha membangkitkan hasrat wisatawan untuk mengunjungi objek-objek wisata yang di promosikan. Jadi dilihat dari sudut ideologi, maka ideologi yang ada di balik suatu media promosi pada dasarnya beragam, seperti ideologi pasar, ideologi dualisme kultural, dan ideologi konsumerisme dan lain-lain. Ideologi konsumerisme dalam hal ini mengarahkan orang untuk mengkonsumsi suatu produk secara terus menerus.
5.1.4 Ideologi Komersialisme Pemakaain istilah ideologi komersialisme dalam konteks ini, selain diilhami oleh pengertian ideologi sebagaimana dikemukakan pada uraian mengenai konsep di atas, juga diilhami oleh fakta empirik serta gagasan Supriadi (2013:42) yang menegaskan
bahwa “Iklan komersial adalah iklan yang bertujuan mendukung
kampanye suatu produk atau jasa dan berdasarkan isi pesan atau informasi yang ingin disampaikan kepada konsumen yang beragam”. Jika dikupas, tampaknya maksud Supriadi dalam hal ini adalah bahwa dalam rangka mengenalkan produk atau jasa, serta menyampaikan pesan atau informasi, orang berusaha membuat iklan tentang produk atau jasa, serta menyampaikan pesan atau informasi tersebut dengan strategi yang bertolak dari kenyataan yang dianggap dapat penguatan ingatan, pengetahuan, 28
dan pengalaman pengunjung terkait dengan objek yang dipromosikan. Promosi itu sebenarnya komersialisme karena promosi diproduksi secara massal, mengadung pesan media serta dipergunakan sebagai komuditas tujuannya agar konsumen terhibur dengan harapan membangkitkan selera. Itulah sebabnya uraian ini dijabarkan di bawah sub judul “ideologi komersialisme”, dalam artinya sebagai pandangan atau gagasan yang menganggap atau meyakini betapa pentingnya penyampaian pesan atau informasi pada kampaye produk atau jasa wisata divisualisasikan melalui iklan. Adapun fakta yang menunjukkan ideologi komersialisme ini adalah pesan atau informasi, berupa headline, yaitu “Get Close and Personal with our wildlife” sebagaimana tertera pada iklan berikut ini.
Gambar 5.7 : Headline yang diletakan di tengah-tengah desain iklan majalah Sumber: iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” Tulisan “Get Close and Personal with our wildlife” pada gambar 5.7 di atas menekankan kedekatan hubungan manusia dengan binatang sebagai obyek yang ditampilakn dalam iklan majalah. Ini berarti kedekatan hubungan manusia-binatang itu dilihat sebagai objek yang dapat dijadikan alat untuk memperoleh tujuan berupa masukan finasial. Dengan kata lain hubungan manusia-binatang dalam konteks ini hendak dijual atau dikomersialkan. Dengan demikian dapat dikatakan ideologi dibalik teks atau wacana “Get Close and Personal with our wildlife” adalah ideologi komersialisme. Jika dicermati secara lebih jauh maka dijadikannya gajah dan
29
perempuan sebagai objek di dalam iklan tersebut, menarik untuk dipahami. Supaya tujuan komersialisasi tadi dapat dicapai maka objek yang ditampilkan dalam iklan itu tentu saja harus benar-benar menarik sehingga memikat orang untuk berkunjung. Daya pikat itulah yang mendasari ditampilkannya perempuan pada iklan majalah tersebut. Hal ini memang memungkinkan, karena pada umumnya perempuan tidak lazim menjadi pemelihara gajah. Oleh karena itu perempuan yang ditampilkan sebagai hubungan dekat dengan gajah itu menunjukan suatu keanehan karena bertolak belakang dengan kelaziman. Justru penampilan yang bertolak belakang dengan yang lazim itu menjadi daya tarik tersendiri dalam tampilan iklan. Mengingat ideologi komersialisme yang ada di balik iklan tersebut adalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka tampaklah iklan tersebut lebih menonjolkan hubungan pengunjung (diwakili oleh perempuan asing) dengan gajah, bukan hubungan orang Bali dengan gajah yang merepresentasikan ideologi Tri Hita Karana, khususnya aspek palemahan, yaitu keharmonisan hubungan orang Bali dengan lingkungan alam. Tampaknya hal ini terjadinya lebih disebabkan oleh adanya motivasi untuk merangsang orang agar gemar berkunjung ke objek wisata tersebut, bukan karena ingin menonjolkan keharmonisan hubungan manusia dengan gajah. Dengan demikian, berarti produsen iklan ini memaknai aktivitas pengunjung yang sedang memandikan gajah itu sebagai situasi yang mengutakan pengalaman pengunjung tersebut. Dikatakan demikian karena sebagaimana dikatakan oleh Barker (2014 : 168),
bahwa “….makna terletak dalam sikap, kepercayaan, tujuan,
pembenaran, dan alasan yang digunakan orang sehari-hari. Makna memandu tindakan kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan kita tersebut”. Pengertian makna yang luas seperti itu memungkinkan untuk diacu dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang beragam makna suatu objek. Dilihat dari sikap pembuat iklan yang tercermin pada iklan di atas tampaklah sikapnya itu yang menjadikan sosok perempuan, bukan laki-laki sebagai figur yang digunakan sebagai model dalam iklan tersebut. Tampaknya hal ini berkaitan dengan urusan daya tarik. Sebagaimana diketahui, perempuan, terutama perempuan cantik biasanya merupakan objek yang menarik perhatian banyak orang. Inilah kiranya yang mencerminkan makna yang diberikan oleh produsen iklan itu terhadap iklan yang dibuatnya itu. Hal ini menjadi tampak lebih jelas, jika dicermati bahwa yang ditampilkan sebagai model pada iklan itu adalah perempuan pilihan, yaitu perempuan muda, bertubuh langsing 30
dan padat, lengkap dengan pakaian yang membuatnya tampak seksi sehingga mantaplah daya tariknya di hadapan publik. Dilihat dari perspektif Tri Hita Karana gambar 5.7 di atas memang secara nyata menunjukan foto manusia, binatang, dan pura. Bisa saja berdasarkan gambar di atasdilakukan konstruksi yang menyatakan bahwa gambar tersebut memuat unsur Tri Hita Karana (manusia, binatang, pura). Namun hal ini dibuat tidaklah dalam rangka meekspresikan ideologi Tri Hita Karana yang menekankan keharmonisan hungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam. Dikatakan demikian karena pada gambar itu hanya ada seorang manusia sehingga tidak mungkin terjadi hubungan antar manusia. Aktifitas manusia pada gambar tersebut tidaklah berhungan dengan pura sebagai ikon Tuhan. Sementara itu yang ada hanyalah hubungan seorang manusia dengan seekor gajah dalam aktifitas memandikan gajah. Aktifitas ini sesungguhnya tidak juga dapat diklaim sebagai ekspresi hubungan manusia-binatang yang harmonis, karena gajah peliharaan biasanya dimandikan di sungai atau di kolam meskipun kolam itu merupakan habitat buatan. Sedangkan dalam gambar ini aktifitas memandikan dengan cara menyiram gajah tersebut, sehingga menimbulkan kesan bukan keharmonisan hubungan manusia dengan gajah melainkan gajah telah diperlakukan sebagai mainan. Jikalau saja orang yang melihat iklan ini menganut ekosentrisme, maka tidak heran orang itu bukannya tertarik untuk ikut memperlakukan gajah dengan cara sebagaimana ditampilkan pada gambar 5.7. Tampaknya ideologi komersialisme dalam arti sebagaimana dipaparkan di atas tidak hanya ada di balik media promosi priwisata yang dikembangkan oleh Bali Zoo saja, melainkan juga oleh Bali Bird Park. Hal ini terlihat dari ilustrasi gambar 5.8 di bawah ini.
Gambar 5.8 : Ilustrasi fotografi burung dan pasangan bule pada Billboard Bali Bird Park. Sumber: Billboard yang terpasang di daerah Tohpati tahun 2013
31
Serupa dengan gambar 5.7, Gambar 5.8 ini pun mengandung gagasan komersialisme dengan menjadikan burung (binatang) sebagai objek yang ditampilkan dalam billboard. Agar menarik burung justru dikondisikan supaya jinak dan dapat diperlakukan oleh manusia sesuai dengan kehendaknya. Padahal untuk menikmati pemandangan alam berupa burung itu, tampaknya akan lebih indah jika burung itu menjalani hidup sesuai dengan kodratnya. Misalnya burung sedang bernyanyi bertengger disuatu pohon, berbeda dengan burung yang pasif (tidak bernyayi) bertengger di pundak manusia. Namun karena manusia manusia pada era global sekarang ini mengutamakan citra dirinya, maka tidak heran jika ada juga yang tertarik berkunjung ke kebun burung untuk berfose bersama burung sehingga dapat ditunjukan kepada orang lain, bahwa dirinya adalah seorang wisatawan yang berkesepatan mengunjungi objek wisata terkenal di Bali. Wisatawan yang digunakan dalam foto tersebut adalah orang asing sebagai figur yang dilibatkan dalam tampilan media promosi pariwisata budaya Bali. Dilihat dari figur yang orang asing itu sudah tampak bahwa media promosi pariwisata itu tidaklah mencerminkan hubungan manusia Bali dengan alam yang diwakili oleh sepasang burung. Keharmonisan hubungan manusia Bali dengan binatang itu tidak juga terlihat pada media promosi di Bali Bird Park. Dengan demikian, dalam hal ini ideologi Tri Hita Karana pun tidak tampak. Selain itu, ideologi komersialisme juga tampak dalam tampilan media promosi berupa billboard Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5.9 di bawah ini.
32
Gambar 5.9 : Ilustrasi fotografi aktivitas memandikan gajah pada Billboard Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud. Sumber: Billbaord yang terpasang di daerah Singapadu tahun 2013
Ilustrasi fotografi yang ditampilkan dalam media promosi berupa billboard di atas, berupa aktifitas memandikan gajah. Aktifitas ini merupakan bagian dari aktifitas yang bisa dilakukan oleh wisatawan yang berkunjung ke Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud. Dengan demikian wisatawan yang berkunjung ke Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud dilibatkan secara langsung dalam aktifitas memperlakukan gajah. Aktivitas itu seperti memandikan gajah di danau serta menaikinya, dan mengarahkan gajah untuk melukis, memberi makan, menyentuh tubuh gajah, memotret gajah. Pihak Elephant Safari Park berharap dan berkeyakinan bahwa keselurahan aktifitas tersebut dapat dirasakan pengujung di objek wisata Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud sebagai aktivitas yang mengasikkan, sehingga selalu ada dalam ingatannya dan dengan demikian mereka mau berkunjung lagi atau menceritakan pengalamannya itu kepada orang lain, teman, sahabat koleganya dan lain-lain, sehingga banyak orang tertarik untuk berkunjung ke objek wisata Elephant Safari Park & Lodge Taro-Ubud. Hal ini sejalan dengan istilah ideologi yang disampaikan Takwin (2009:5) bahwa ideologi menjadi kenyakinan (belief) bagi kelompok itu. Ide atau gagasan tersebut ditampilkan dalam media promosi pariwisata budaya Bali digunakan sebagai dasar dalam usaha untuk mengkomunikasikan suatu pesan ke publik secara persuasi. Persuasi dapat diartikan sebagai upaya seseorang mengajak 33
atau memotivasi orang lain untuk melakukan suatu tindakan (Supriadi, 2013:67). Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif ideologi
Tri Hita Karana, maka
tampaklah bahwa ideologi ini belum tercermin dalam media promosi tersebut di atas. Karena tidak menunjukkan hubungan harmonis antara manusia-Tuhan (parhyangan), dan hubungan manusia-manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (palemahan). Begitu juga media promosi berupa iklan tabloid yang dibuat oleh pengelola objek wisata Alas Kedaton seperti gambar 5.10 di bawah ini.
Gambar 5.10. Mengkomersialkan mahluk hidup pada Iklan Tabloid Alas Kedaton Sumber: Iklan Tabloid Bali Travel News,25 Juli-7Agustus 2014, vol.XVI No 14 Gagasan yang sama mengenai ideologi komersialisme juga di tampilkan pada ilustrasi foto iklan objek wisata Alas Kedaton pada gambar 5.10. Mahluk hidup berupa binatang kera atau monyet terlihat ada induknya-induknya berserta anakanaknya, divisualisasikan melalui ilustrasi teknik fotografi. Penuturan pimpinan pengelola objek wisata Alas Kedaton yakni I Gusti Bagus Suryawan mengatakan bahwa ”Keunikan pura di alasa kedaton, Pura itu sendiri kalau dilihat dengan purapura umumnya di Bali terdapat, pura itu terdiri dari tri mandala, ada utama ning mandala, madya ning mandala, nista ning mandala, umumnya yang namanya utama pasti paling tinggi, tapi ini kebalikannya, yang utamanya yang paling rendah, madya sedikit lebih tinggi, nistanya yang paling tinggi”(wawancara tanggal 13 Pebruari 2015).
Objek wisata Alas Kedaton memiliki keunikan yang menarik yaitu empat pintu masuk ke dalam pura, dan halaman dalam yang merupakan tempat tersuci justru letaknya lebih rendah dari halaman tengah dan luar. Tempat suci ini dikelilingi oleh hutan yang
34
dihuni kera. Hal serupa juga dikatakan oleh Jro Mangku Sudira (Bali Post, Minggu Kliwon, 11 Januari 2015) bahwa keunikan lain dari pura Dalem Kahyangan Alas Kedaton juga berasal dari Lingga Yoni. Tampilan iklan Alas Kedaton menggunakan ilustrasi dengan teknik fotografi berupa objek wisata alas kedaton dengan visualisasi foto pura yang dikelilingi oleh hutan yang terdapat binatang yaitu keranya yang terletak di desa Kukuh kecamatan Marga-Tabanan-Bali. Ideologi komersialisme lebih dominan hadir dari tampilan visual iklan objek wisata Alas Kedaton tersebut. Kera yang diyakini sebagai milik dewa (sakral) pun dijadikan objek wisata yang ditampilkan pada media promosi pariwisata. Jika sesuatu yang sakral biasanya menjadi tabu untuk dijual, namun kera sakral ini justru telah dijual melaui media promosi.
Inilah
tampaknya
mencerminkan
betapa
dominannya
ideologi
komersialisme dibalik proses pembutan iklan tabloid yang mempergunakan kera sakral sebagai objek. Dilihat dari perspektif ideologi Tri Hita Karana, visualisasi ilustrasi foto-foto yang bernuansa ideologi komersialisme yang bersifat manipulatif di atas tampak mengabaikan nilai keharmonisan yang justru merupakan nilai sentral pada ideologi Tri Hita Karana. Sekadar sebagai contohnya adalah sebagaimana tampak pada gambar 5.10 di atas, bahwa gambar itu hanya memuat foto monyet yang dilatari oleh foto pura tanpa satu foto manusiapun apalagi aktivitas manusia yang menunjukkan keharmonisan hubungannya dengan Tuhan, sesama, dan alam lingkungannya. Dengan demikian, ideologi komersialisme yang bersifat manipulatif tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu ideologi yang ada di balik termarginalisasinya ideologi Tri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali. Berdasarkan paparan mengenai beberapa objek yang ditampilkan pada media promosi
pariwisata, maka dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan ideologi
komersialisme maka berbagai objek telah dimaknai sebagai barang dagangan dan oleh karena itu dikomersialkan.
5.1.5 Ideologi Totalitarianisme Ada media promosi pariwisata di Bali, baik berupa brosur, leaflet, maupun folder. Di antara media promosi pariwisata tersebut ada yang terlihat mencerminkan ideologi totalitarianisme yang diacu oleh para pihak terkait dalam proses pembuatan media promosi pariwisata tersebut, seperti brosur. leaflet, dan folder. Ideologi
35
totalitarianisme dalam hal ini dilihat sebagai suatu ideologi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 390) diartikan sebagai “sistem sosial yang mengagungagungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja”. Jika pengertian ini dipakai acuan dalam menyoroti ideologi yang ada di balik termarginalisasinya ideologi Tri Hita Karana pada media promosi pariwisata budaya di Bali, maka tampaklah secara implisit bahwa ideologi totalitarianisme itu ada dalam pandangan para pihak yang terkait dengan pembuatan media promosi pariwisata tersebut. Pandangannya itu menekankan pentingnya ilustrasi foto para pejabat pada tampilan visual media promosi pariwisata. Totalitarianisme dalam hal ini menempatakan penguasa di Bali menggunakan media promosi itu untuk menunjukan kekuasaannya dengan adanya foto penguasa tersebut. Totalitarianisme menempatkan penguasa pada posisi diatas, serba tahu, kebenaran ada pada dia, di dalam pikirannya dia memposisikan dirinya sebagai atas bawah, dia golongan atas dia yang paling pintar dia berhak menetukan apa yang dijual, bagaiman cara menjual, rakyat hanya diam tidak perlu ikut campur urusan menjual. Hal ini terlihat dari adanya ilustrasi foto pejabat pemerintahan seperti Bupati Tabanan dan Wakil Bupati Tabanan, Walikota Denpasar, Bupati Badung, dan Kepala Dinas Pariwisata Bali pada tampilan media promosi pariwisata di daerah yang bersangkutan. Sebagai contohnya, gambar 5.11 di bawah ini adalah ilustrasi media promosi pariwisata yang menampilkan foto-foto pejabat.
Gambar 5.11 : Media Promosi Pariwisata Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Provinsi Bali
36
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Dinas Pariwisata Kota Denpasar, dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Jika dicermati, gambar-gambar di atas secara jelas mencerminkan pandangan bahwa betapa pentingnya foto-foto pejabat ditampilkan pada media promosi pariwisata. Di satu sisi ilustrasi foto-foto pejabat tersebut mengesankan seolah-olah pejabat-pejabat tersebut secara langsung berperan aktif dalam proses pembuatan media promosi pariwisata di daerah yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya yang berperan aktif dalam hal ini adalah pihak Dinas Pariwisata beserta rekanannya. Sebagaimana informasi yang diperoleh dari
Kepala Bidang Promosi Pariwisata
Kabupaten Tabanan, yakni Ni Ketut Yuliati (wawancara 29 Agustus 2014) yang mengatakan
bahwa “foto-foto diambil oleh rekanan yang sudah ditunjuk untuk
menangani pembuatan media promosi”. Maksudnya adalah bahwa dalam proses pembuatan media promosi pariwisata di Tabanan, ada rekanan yang ditunjuk oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan untuk menangani pembuatan media promosi pariwisata di kabupaten ini. Rekanannya itu dari perusahaan Multi Media yang berkedudukan di Kediri Tabanan di bawah pimpinan Gst Ayu Sri Widari.
Ini berarti bahwa
bukan Bupati dan wakil Bupati yang
merupakan atasan yang secara langsung berperan aktif dalam proses pembuatan media promosi pariwisata tersebut, melainkan pihak bawahannya, yakni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata beserta rekanannya. Dengan demikian, ilustrasi foto bupati dan wakil bupati pada bagian depan brosur sebagaimana tampak pada gambar 5.11 di atas mencerminkan ideologi totalitarianisme. Begitu juga halnya di Kota Denpasar, pada bagian depan brosur pariwisata terpampang foto Walikota Denpasar. Padahal menurut keterangan Kepala Bidang Promosi Pariwisata di Kantor Dinas Pariwisata Kota Denpasar, Ni Putu Riyastiti, yang menggagas tampilan media promosi pariwisata di kota ini bukanlah Walikota Denpasar, melainkan Kepala Dinas Pariwisata Kota Denpasar. Sama halnya dengan di Kabupaten Badung bahwa yang menggagas media-media promosi pariwisata adalah Kepala Dinas berserta Kepala Bagian Promosi, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung. Hal ini dapat diketahui dari penuturan Kepala Bagian Promosi Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, yaitu Kristiani dalam wawancara tanggal 30 Desember 2014 sebagai berikut.
37
”Kita ingin mereka juga tahu bahwa buku ini tidak hanya dinas pariwisata, keseluruhan Kabupaten Badung, ucapan selamat datang dari bupati badung, ide dari bidang promosi. Kalau bupati yang nyambat sara rasanya lebih lain ketimbang kita orang biasa, kebetulan bupati juga konsen dengan pariwisatanya”. Berdasarkan penuturan informan di atas dapat diartikan bahwa pemasangan foto bupati pada brosur dilatari oleh pandangan betapa pentingnya pemasangan foto tersebut. Pentingnya dalam konteks ini adalah bahwa brosur yang merupakan hasil kerja Bidang Promosi yang bekerja sama dengan para relasinya itu telah mendapat legitimasi atau pengakuan dari bupati. Pengakuan tersebut dimaknai oleh informan sebagai kekuatan karismatik yang bersumber dari figur penguasa wilayah Kabupaten Badung. Ini berarti, brosur yang berisi foto bupati tersebut diyakini akan dapat menggugah minat kalangan publik untuk berwisata ke Badung. Dilihat dari sifat pemimpin, pemaknaan seperti ini tampak logis, karena sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1980 : 194), pemimpin yang ideal mempunyai apa yang oleh para ahli sosiologi disebut ”karisma”. Sebagaimana diketahui, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 627), istilah karisma berarti ”keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya”. Oleh karena itu, pemasangan foto bupati pada media promosi pariwisata berbentuk brosur, memang memungkinkan untuk merangsang orang agar menjadi kagum terhadap objek wisata yang ditampilkan dalam media promosi tersebut. Dengan demikian tidak heran jika Bagian Promosi Dinas Pariwisata Kabupaten Badung merasa percaya diri dengan ditampilkannya foto bupati dalam brosur yang dirancangnya. Tampaknya hal serupa ini tidak hanya terjadi di Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, melainkan juga di Dinas Pariwisata Tabanan, Denpasar, bahkan di Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Sebab semua instansi tersebut menampilkan foto pejabat terkait pada media promosi pariwisata berupa brosur dan folder sebagaimana tampak pada gambar 5.11 di atas. Selain menampilkan foto pejabat sebagaimana diulas di atas, para pihak pembuat media promosi pariwisata juga menyertakan teks ”Kata Pengantar” atau teks ”Kata Sambutan” pejabat terkait. Penyertaan kata sambutan dalam hal ini dipandang penting sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bidang Promosi Dinas Pariwisata Provinsi Bali, yaitu Yudiantara, dalam wawancara tanggal 22 Desember 2014, bahwa ”Kalau tidak dicantumkan kata pengantar seperti gambar 5.14 di atas, “ne brousure 38
nyen ne” khan gitu jadinya? Kepercayaan publik juga kepercayaan wisatawan, oh ini dari Bali Goverment Tourism Office, bisalah dipercaya isinya makanya perlu dicantumkan”. Sebagai contohnya, berikut adalah kata sambuan pejabat yang menarik untuk dicermati. ”Ada beberapa pilihan bilamana anda berlibur di Bali. Wisata spiritual yang selaras dengan keyakinan umat dengan beribu pura atau tempat persembahyangan lainnya merupakan cerminan hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan sang penciptanya”(Sumber : Media Promosi Pariwisata Provinsi Bali, 2013 : 7) Teks di atas secara jelas menegaskan bahwa jika orang berlibur di Bali dapat menyaksikan pura yang diklaim sebagai cerminan hubungan harmonis antara masyarakat dengan Tuhan. Jika dilihat dari perspektif ideologi Tri Hita Karana, pernyataan ini jelas merupakan klaim bahwa pura merupakan satu dari tiga sila Tri Hita Karana, yakni sila parhyangan, yang sebagaimana diketahui menekankan pentingnya keharmonisan hubungan manusia-Tuhan. Namun pada media proposi tempat kata sambutan itu disertakan, ternyata ada gambar pura dan para wisatawan, tidak ada masyarakat yang melakukan aktivitas keagamaan di pura tersebut, sebagaimana tampak pada gambar 5.12 di bawah ini.
Gambar 5.12 : Pura Agung Besakih, sering dikunjungi wisatawan Sumber : (Media Promosi Pariwisata Provinsi Bali, 2013 : 80) Dengan demikian tidak dapat ditemukan realitas yang sesuai dengan pernyataan tersebut di atas, yakni cerminan dari keharmonisan hubungan manusia-Tuhan. Tentu saja keharmonisan hubungan manusia-Tuhan yang harus melibatkan manusia yang bersangkutan yang justru tidak tampak pada gambar 5.12 di atas. Ini berarti 39
pernyataan itu sama dengan suatu wacana, yakni tidak menggambarkan realitas sebagaimana adanya. Memang pura adalah tempat suci agama Hindu, atau tempat umat Hindu berusaha sesuai dengan keyakinannya menjalin hubungan harmonis dengan Tuhannya. Namun jika hanya ada pura saja, belum tentu dengan demikian otomatis ada keharmonisan hubungan manusia-Tuhan. Mengingat wacana adalah merupakan ideologi dalam praktik, maka teks atau pernyataan berupa kata sambutan pejabat yang disertakan oleh pembuat media promosi itu dapat dilihat sebagai ideologi totalitarianisme yang berlaku dalam hubungan pembuat media promosi dengan pejabat yang bersangkutan. Penyertaan kata sambutan pejabat pada media promosi pariwisata juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ideologi totalitarianisme
dalam proses
pembuatan media promosi pariwisata. Hal ini terlihat dari penuturan informan tesebut di atas bahwa halaman brosur yang berisikan informasi mengenai kata sambutan disertai dengan foto pejabat dimaksudkan agar dapat memberikan kepercayaan publik bahwa informasi mengenai pariwisata yang terdapat dalam brosur tersebut memang benar merupakan produk instansi yang dipimpin oleh pejabat yang bersangkutan. Padahal dengan menampilkan lambang atau logo yang disertai dengan closing word atau kata penutup yang beirisikan informasi tetang alamat kantor, no telpon, e-mail, dan lain-lain. Keseluruhan itu sudah cukup mewakili akan kepercayaan publik atau kepercayaan wisatawan tentang informasi-informasi yang terdapat dalam brosur dan folder tersebut. Seperti apa yang disampaikan Kusrianto (2007:232-233) bahwa logo atau lambang yang baik dan berhasil dapat menimbulkan sugesti yang kuat, membangun kepercayaan, rasa memiliki, dan menjaga image perusahaan pemilik logo itu. Sehingga ideologi totalitarianisme tercermin dalam diri informan yang diimplementasikan pada visualisasi media brosur pariwisata budaya Bali, padahal dengan menampilkan lambang atau logo dari masing-masing kabupaten seperti tampak pada gambar 5.13 di bawah ini sebenarnya sudah dapat memberikan rasa tanggung jawab serta kepercayaan publik atau wisatawan akan informasi yang disampaikan melalui media-media promosi pariwisata tesebut. Gambar 5.16 menunjukan logo atau lambang dari masing-masing Kabupaten, Kota serta provinsi Bali dan closing word atau kata penuntup yang menunjukan alamat, no telpon, e-mail dan lain-lain.
40
Gambar 5.13 : Menampilkan visualisasi logo atau lambang dan closing word (kata penutup) pada Media Promosi Pariwisata Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Provinsi Bali Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Dinas Pariwisata Kota Denpasar, dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali
Walaupun kata sambutan itu tidak perlu dalam rangka menegaskan bahwa media promosi pariwisata itu memang benar merupakan produk instansi yang bersangkutan, namun hal itu juga bisa dipandang perlu dalam konteks membangun citra bahwa pejabat terkait mempunyai sifat-sifat yang elegan. Melalui penyertaan kata sambutan pejabat itulah tampaknya hendak ditunjukkan sifat elegannya, baik dalam hubungan dengan bawahannya maupun dengan kalangan publik, termasuk wisatawan. Dalam konteks hubungan dengan bawahannya, kata sambutan pejabat tersebut dapat dimaknai sebagai tanda bahwa pejabat tersebut bersifat kooperatif dengan bawahannya. Begitu pula dalam konteks hubungannya dengan wisatawan, kata sambutan pejabat tersebut dapat dimaknai sebagai cerminan dari kesopanannya dalam menyuguhkan informasi pariwisata terhadap wisatawan. Dapat dibayangkan bahwa jika brosur itu tanpa kata sambutan pejabat terkait, mungkin saja akan menimbulkan kesan bahwa brosur itu seakan-akan tanpa tuan. Jika dicermati secara lebih jauh, tampaklah bahwa pemasangan foto pejabat yang mencerminkan adanya ideologi totalitarianisme sebagaimana dipaparkan di atas juga
mencerminkan
hubungan
yang
bersifat
hegemonik
antara
atasan
41
(bupati/walikota) dan bawahan (Kepala Dinas Pariwisata beserta jajaran dan relasinya). Hubungan hegemonik dalam hal ini mengacu kepada konsep hegemoni menurut Gramsci, bahwa ”hegemoni berarti suatu situasi dimana sebuah ’blok historis’ faksi-faksi kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting, persetujuan sadar (consent) (Barker, 2005 : 513). Dalam konteks ini, justru yang terlihat mengehegemoni bukanlah pihak atasan (bupati/walikota) melainkan bawahan (kepala dinas beserta jajaran dan relasinya) dalam pembuatan media promosi pariwisata. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa yang menggagas isi media promosi pariwisata adalah pihak Dinas Pariwisata dan dikerjakan oleh rekanannya. Agar hasilnya menjadi sah maka bupati/wali kota mengijinkan fotonya untuk ditampilkan pada media promosi pariwisata. Seperti telah dikatakan di atas, hal ini mengesankan bahwa bupati/walikota berprean aktif dalam proses pembuatan media promosi pariwisata yang sebenarnya digagas hanya oleh bawahannya yang ternyata kurang sesuai dengan amanat Perda Provinsi Bali nomor 2 Tahun 2012 tentang kepariwisataan budaya Bali yang menegaskan bahwa konsep Tri Hita Karana merupakan acuan penting dalam pengembangan pariwisata di Bali. Ini berarti bupati/walikota tanpa sadar telah terhegemoni untuk bertanggungjawab atas kurang sesuainya media promosi pariwisata tersebut dengan amanat Perda Provinsi Bali nomor 2 Tahun 2012 itu. Selain itu, hubungan hegemonik juga terlihat dalam hubungan antara pihak pembuat media promosi pariwisata dan kalangan publik. Dalam konteks ini kalangan publik terhegemoni bahwa pembuatan media promosi pariwisata itu bupati/walikota terlibat secara aktif. Hegemoni dalam hal ini memang memungkinkan untuk menggugah publik untuk mempercayai bahwa apa yang tergambarkan dalam media promosi pariwisata tersebut benar-benar menunjukkan kenyataan tentang objek pariwisata budaya Bali yang sungguh-sungguh indah dan menarik.
5.1.6 Ideologi Tanggung Jawab Sosial Semu Berdasarkan sumber bacaan yang ada, dapat diketahui bahwa media memang mempunyai tanggung jawab sosial. Berkenaan dengan istilah tanggung jawab sosial, McQuail (1996:116-117) menegaskan bahwa teori tanggung jawab sosial dapat diterapkan secara luas, karena ia meliputi beberapa jenis media cetak privat dan
42
lembaga siaran publik, yangdapat dipertagunggjawabkan melalui berbagai bentuk prosedur demokrasi pada masyarakat. Prinsip utama teori tanggung jawab sosial sekarang dapat disajikan sebagai berikut: (1) Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat. (2) Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan. (3) Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada. (4) Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan dan ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama. Tanggung jawab sosial media promosi dalam arti sebagaimana dipaparkan di atas dapat dilihat sebagai kewajiban para pihak yang bersangkutan, termasuk pihak yang memproduksi media promosi pariwisata. Oleh karena merupakan kewajiban berarti tanggung jawab sosial harus direalisasikan ke dalam tampilan visualnya. Hasil penelitian ini menunjukan beberapa hal yang mencerminkan ideologi tanggung jawab sosial semu media promosi pariwisata. Hal ini dapat dicermati pada gambar 5.14.
Gambar 5.14 : Ilustrasi fotografi jerapah dan anaknya pada Media Promosi Pariwisata Bali berupa Billboard Bali Safari Marine Park. Sumber: Billbaord yang terpasang di seputar pintu keluar bandara I Gst Ngurah Rai Bali tahun 2013 Jika disimak, tampaklah Gambar 5.14 menunjukkan dua ekor binatang (Jerapah), yaitu induk dan anaknya yang sedang mengekspresikan sifat alamiahnya dan harmonis, bahwa induk dan anaknya berada dalam jalinan hubungan yang secara alamiah sangat dekat. Gambar ini memang sengaja dibuat dengan memotret jerapah yang secara alamiah sedang dalam keadaan sebagaimana adanya. Kesengajaan 43
tersebut dilatari oleh gagasan atau ide tersendiri. Ideologi tanggung jawab sosial semu itu dapat diketahui dari informasi tentang alasan atas ditampilkannya gambar ini, sebagaimana dikemukakan oleh Konsultan Humas Bali Safari Marine Park, Gianyar, yaitu Andry Kurniawan (wawancara 29 Desember 2014), yakni sebagai berikut. ”Warna disesuaikan dengan warna Bali Safari sendiri, memilih warna-warna sign nature, lebih ke memilih warna-warna nature. Animal secara natural beracting, atau melakukan pose tidak merekayasa sesuai dengan hewan tersebut, fotografer yang mencari angel”. Maksud teks wawancara ini adalah bahwa warna gambar 5.14 di atas disesuaikan dengan warna Bali Safari, dalam arti bahwa warna itu bersifat sign nature yaitu menunjukkan tanda-tanda alamiah. Tanda-tanda alamiah ini berupa sentuhan wajah induk dan anak jerapah yang memang merupakan fenomena alamiah, bukan direkayasa oleh siapapun. Fotografer yang memotret tanda itulah yang menyesuiakan dirinya dalam melakukan pemotretan dengan cara mencari angel, yaitu posisi, sudut pandang, fokus yang dianggapnya sesuai dengan keinginan menampilkan gambar yang bersifat alamiah. Penonjolan sifat alamiah pada gambar 5.14 di atas dilakukan dalam rangka menarik perhatian publik yang menyaksikan media promosi pariwisata tersebut, karena dengan demikian diyakini akan menimbulkan ketertarikan orang untuk berkunjung ke Bali Safari Marine Park guna menyaksikan kenyataannya secara langsung. Dengan menggarisbawahi keyakinan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ideologi yang ada di balik penonjolan tanda-tanda pelestarian kasih sayang mahluk hidup adalah ideologi tanggung jawab sosial semu. Artinya, bahwa gambar yang menunjukkan sifat alamiah jerapah itu diyakini bisa menimbulkan ketertarikan orang sehingga pantas dan sekaligus diharapkan bisa memenuhi tujuan promosi pariwisata tersebut. Dicermati secara lebih jauh tampaklah ideologi tanggung jawab sosial di atas telah dipakai sebagai alat untuk menciptakan media promosi pariwisata dengan identitas tersendiri. Berdasarkan ideologi tanggung jawab sosial semu tersebut maka jerapah tersebut dihadirkan dan diperlakukan dengan cara demikian rupa di lokasi Bali Safari Marine Park. Ini berarti pemakaian ideologi tanggung jawab sosial yang diacu dalam pembuatan media promosi pariwisata tersebut bernuansa ideologi lain, yaitu ideologi pasar pariwisata. Dengan kata lain, ideologi yang ada di balik gambar 5.14 di atas tidaklah murni merupakan ideologi tanggung jawab sosial saja, melainkan
44
bercampur dengan ideologi pasar pariwisata. Dengan demikian, perlakuan terhadap jerapah tersebut tidaklah sepenuhnya dilandasi oleh ideologi tanggung jawab sosial, melainkan dilandasi pula oleh ideologi pasar pariwisata, sehingga menjadi ideologi tanggung jawab semu. Sungguh pun perilaku dua jerapah itu bersifat alamiah, namun tempat jerapah itu melakukan perilaku alamiah tersebut bukanlah habitat jerapah yang sesungguhnya, kerena jerapah tersebut nyata-nyata didatangkan dari luar. Ini berarti ada pemaksaan atau kekerasan terhadap jerapah, sehingga bertolak berlakang dengan Tri Hita Karana. Secara konseptual hal ini bersifat logis, karena suatu ideologi merupakan hasil perkembangan yang berawal dari wacana, yaitu pernyataan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas yang sebagaimana adanya. Dengan kata lain hal ini dapat dipahami bahwa ideologi tanggung jawab sosial itu pada dasarnya merupakan tanggung jawab semu, karena berupa teks atau wacana yang berbeda dengan realita. Inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa gambar 5.14 di atas tidaklah mencerminkan Tri Hita Karana, tetapi hanya mencerminkan ideologi atau wacana/diskursus tanggung jawab sosial yang tidak sesuai dengan realita. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Marx bahwa ideologi merupakan kesadaran palsu (Takwin, 2003 : 65), sehingga Foucault memilih istilah diskursus untuk mengganti istilah ideologi (Takwin, 2003 : 128). Wacana tersebut dikonstruksi dengan tujuan agar tidak menimbulkan kontroversi sebagaimana yang dikemukan oleh Andry Kurniawan, Konsultan Humas Bali Safari Marine Park (wawancara 29 Desember 2014), berikut ini. “Kita tidak selalu mengikuti Perda, kita yg kontrol sendiri, sejauh ini yg kita tampilkan tidak menimbulkan kontroversi atau apa, isu-isu tertentu. Sejauh ini mengenai animal begitu hewan atau segala macam, lebih kita perhatikan tampilkan gambar apa orang tidak boleh semacam menyakiti. Sejauh ini kita punya tim yang di education yang tahu tentang animal itu sendiri, mereka semacam memonitor sendiri”. Selain itu ada informasi yang seolah-olah dapat dilihat sebagai cerminan ideologi Tri Hita Karana, namun jika dicermati secara seksama ternyata tidak demikian adanya. Informasi itu adalah sebagaimana dikemukakan oleh Andry Kurniawan, Konsultan Humas Bali Safari Marine Park (wawancara 29 Desember 2014), sebagai berikut. ”Pada iklan 2014 ini Bali safari ingin mengangkat lebih ke baby animal, anak-anaknya hewan-hewan itu, dengan tujuan mesagenya adalah bahwa kita sangat mensuport atau konsen mengenai eksistensi daripada hewan-hewan terutama hewan yang langka, yang beberapa diantaranya ada di Bali safari. Messagenya supaya orang-orang atau publik di luar tahu bahwa bali safari tidak memikirkan masalah bisnis dari sisi bisnisnya, tapi juga konsen sama namanya produknya sendiri ya dimana ada beberapa yang baby animal 45
tersebut eksistensinya. Message itu yang ingin disampaikan lebih ke pengembang biakan apa yang beberapa hewan-hewan misalnya hampir punah itu yang ingin messagenya dengan ditampilkan dengan gaya/style yang memang menarik yang memang lebih ke life style, tampilan dibuat semenarik mungkin dimana orang dengan melihatnya lebih visual jadi orang merasa lebih tertarik tanpa banyak tulisan orang sudah mengerti messagenya”. Dengan menggarisbawahi bagian dari informasi ini, yaitu yang menyatakan bahwa Bali Safari Marine Park sangat mendukung (mensuport) eksistensi hewan langka dengan cara memilih anak binatang. Jika dilihat sepintas, pernyataan ini seakan-akan berorientasi pada ideologi Tri Hita Karana, karena mencerminkan rasa sayang terhadap binatang itu sehingga anak binatang yang sedang bersama induknya itu dipotret dan ditampilkan dalam media promosi pariwisata.
Sedangkan Tri Hita
Karana menekankan pentingnya keharmonisan hubungan manusia-alam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), istilah harmoni disejajarkan dengan istilah serasi, sedangkan istilah serasi berarti sesuai. Jadi keharmonisan hubungan manusiabinatang mestinya menunjukkan kesesuaian antara kepentingan manusia dan kepentingan alamiah binatang yang bersangkutan. Kepentingan alamiah jerapah dalam hal ini terntu saja adalah kebebasan hidup di alam terbuka yaitu pada habitat alamiahnya. Lokasi Bali Safari Marine Park tentu saja bukan habitat alamiah jerapah melainkan habitat buatan pihak Bali Safari Marine Park yang dibuat untuk kepentingannya sendiri, bukan kepentingan si jerapah. Mereka berkepentingan untuk memelihara jerapah demi usaha bisnis mereka, bukan sebaliknya bahwa mereka menata lokasi Bali Safari Marine Park untuk membuat habitat jerapah yang lebih alamiah daripada habitat alamiah jerapah di daerah asalnya. Dengan demikian, pernyataan dalam petikan informasi di atas pada dasarnya tidaklah mencerminkan ideologi Tri Hita Karana melainkan ideologi tanggung jawab sosial semu. Jika paparan di atas menunjukan adanya ideologi tanggung jawab sosial semu terkait dengan hubungan pelestarian binatang khususnya jerapah, ternyata ada pula contoh media promosi pariwisata lain yang juga seakan-akan mencerminkan rasa tanggung jawab sosial. Adapun contoh media promosi pariwisata yang lainnya itu adalah sebagaiman disajikan dalam gambar 5.15 di bawah ini.
46
Gambar 5.15 : Ilustrasi fotografi seseorang wanita asing sedang bermain-main dengan salah satu jenis burung di Bali Bird Park. Sumber: Billbaord yang terpasang di seputar pintu keluar bandara I Gst Ngurah Rai Bali tahun 2013
Jika disimak, tampaklah Gambar 5.15 menunjukkan foto seeorang wanita asing dengan menggunakan topi sedang bermain atau bercanda dengan seekor burung. Dengan gambar ini, Bali Bird Park melalui ilustrasi fotografinya ingin memotivasi orang agar tertarik berkunjung ke Bali Bird Park menyaksikan koleksi burung-burung yang dimilikinya. Hal ini terlihat dari pesan berupa headline merupakan teks yang mengajak konsumen untuk berkunjung ke Bali Bird Park dan pada body teks menjelaskan headline tentang terdapatnya 1000 burung, melihat beraneka ragam burung dengan 250 jenis yang berbeda, pada hari-hari besar akan ada pelepasan seekor burung di alam bebas. Pesan ini dikonstruksi dengan berpijak pada gagasan atau ide tersendiri. Ideologi tanggung jawab sosial itu dapat diketahui dari informasi tentang alasan atas ditampilkannya ilustrasi serta pesan teks yang terlihat pada gambar 5.15 di atas, sebagaimana dikemukakan oleh petugas bidang pemasaran (marketing) Bali Bird Park, Gianyar, yaitu I Made Wiranata (wawancara tanggal 05 September 2014), yakni sebagai berikut. ”Burung dikembangbiakan, biaya produksi juga bertambah, misalnya kita punya jalak Bali, jalak Bali tidak kita kembangbiakkan sampai banyakbanyak jutaan misalnya. kita punya setiap lima puluh misalnya, 51, 52 akan kita kembalikan ke habitatnya. Kuota dibatasi 50, tergantung kebutuhan kita, burung-burung yang dibutuhkan apa driki, walaupun tidak sampai lima puluh, kalau memang dibutuhkan untuk habitat itu juga bisa dilepaskan. Toh nanti bisa kita kembang biakan disini. Kita tidak membiarkan burung itu semakin banyak disini, karena kan biaya produksi akan semakin membengkak, biaya maintenance” (wawancara dengan I Made Wiranata tanggal 05 September 2014)
47
Petikan informasi ini pada intinya menyatakan bahwa Bli Bird Park tidak perlu mengembangbiakkan burung hingga banyak populasinya, tetapi disesuaikan dengan kebutuhannya untuk bisnis pariwisata. Jika melebihi 50 ekor akan dilepaskan agar tidak menimbulkan biaya tinggi untuk memeliharanya. Dengan demikian, ideologi di balik aktivitas mereka itu adalah ideologi tanggungjawab sosial semu dalam arti sebagai wacana seakan-akan mereka sangat peduli terhadap burung padahal burung itu dipelihara lebih karena mereka peduli pada bisnis mereka sendiri bukan peduli pada burung itu.
Ini berarti tidak menunjukkan hubungan harmonis melainkan
hubungan eksploitatif antara manusia dengan burung.
5.1.7ImplikasiBali sebagai Daerah Budaya Pariwisata Judul ini dimaksudkan untuk menyatakan media promosi pariwisata budaya Bali yang memarginalkan ideologi Tri Hita Karanaterlihat sebagai media promosi yang mencitrakan Bali sebagai tempat berkembangnya budaya pariwisata, dan bukan pariwisata budaya sebagaimana dikemukakan oleh Picard (2006). Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan pemilik hotel di Sanur berikut ini. “ … karena marketnya sekarang young generation, penikmat hidup, nah itu sekarang kita tidak mau bikin bisnis untuk orang tua, karena mereka berapa tahun sih traveling? itu kacamata bisnis saya tidak mau bikin bisnis untuk bisnis orang tua yang 50 tahun keatas saya tidak mau, selalu yang umur 1820 ….” (wawancara dengan Ida Bagus Agung Parta, 22 Mei 2015) Petikan informasi ini secara jelas menunjukkan pasar sebagai pusat orientasi dalam pembuatan media promosi pariwisata. Hal ini didasari oleh cara pandang atau perspektif (kacamata) yang digunakan adalah perspektif bisnis pariwisata. Mengingat pada masa kini generasi muda (young generation) dipandang sebagai generasi yang dominan di pasar, maka selera generasi muda itulah yang diacu dalam pembuatan media promosi pariwisata. Proses ini memang logis dalam perspektif bisnis pariwisata, namun informasi tersebut tidak menyebut falsafah Tri Hitas Karana sebagai rujukan. Jika dicermati, tampaklah proses pembuatanmedia promosi pariwisata budaya dengan cara yang tidak mencerminkan ideologi Tri Hita Karana sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya merupakan proses konstruksi realitas berdasarkan kepentingan bisnis pariwisata. Mengingat prosesnya itu merupakan proses konstruksi realitas, maka hasilnya tentu saja bersifat imajiner, dalam arti mencerminkan imajinasi atau citra tentang realita yang berlaku sebagai acuan dalam proses 48
pembuatan media promosi tersebut. Ini berarti citra atas realita terkait dengan objek yang dipromosikan telah dibangun melalui pembuatan media promosi pariwisata yang diharapkan dan sekaligus diyakini dapat merangsang kunjungan wisatawan yang semakin banyak. Hasil konstruksinya itu, misalnya berupa brosur, leaflet, folder, billboard, iklan tabloid/majalah dan lain-lain diyakini sebagai cerminan atas kemampuan mereka mencitrakan Bali sebagai objek wisata yang berdaya tarik wisata tinggi. Menurut pasal 1 ayat 5 Undang-Undang RI No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyatakan bahwa “daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan”. Berdasarkan definisi ini maka dapat dikatakan bahwa media promosi pariwisata budaya Bali yang memarginalkan Tri Hita Karana selama ini dipahami sebagai media promosi pariwisata yang telah mencitrakan Bali sebagai daerah wisata yang unik, indah, mempunyai nilai tersendiri tentang beragam kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Namun citra ini dibangun dengan menyesuaikan diri terhadap selera wisatawan atau pasar pariwisata, dan bukannya berdasarkan ideologi Tri Hita Karana. Dengan demikian citra Bali dalam hal ini mengambarkan selera wisatawan bukan menggambarkan budaya Bali. Tampaknya pencitraan yang demikian itu dilandasi pengetahuan, pemikiran, tujuan, dan keinginan serta pembenaran tertentu yang berpusat pada suatu perspektif. Hal ini dapat diketahui dan dicermati pada petikan informasi yang menyatakan “Jadi sekarang ini market tidak usah diajarkan”. Tampaknya pernyataan ini bermaksud bahwa melalui media promosi pariwisata, pasar tidak perlu disuguhi objek yang tidak sesuai dengan selera pasar. Hal ini didasari pengetahuan tentang selera pasar, bahwa selera pasar tidak mengidolakan budaya yang autentik. Oleh karena itu dalam rangka membangun citra Bali melalui media promosi harus dan sudah dilakukan evaluasi untuk menentukan objek apa yang perlu dan/atau tidak perlu digunakan sebagai alat pencitraan Bali melalui media promosi pariwisata. Hasil evaluasinya itu menunjukkan bahwa wisatawan tidak begitu menyukai budaya, sehingga penampilan budaya autentik Bali pun dianggap kurang stretegis dalam rangka mendatangkan wisatawan, karena kurang sesuai selera pasar. Karenanya, berdasarkan perspektif bisnis, pencitraan Bali melalui media promosi pariwisata mesti tidak dilakukan dengan mengikuti keinginan untuk mengorbitkan budaya autentik Bali, melainkan dengan menampilkan gambaran tentang fenomena yang disenangi oleh pasar. Hal ini terlihat 49
dari pernyataan dalam petikan wawancarara bahwa “kita orang istilahnya pembisnis ya, kita terbalik, bukan we are the king, tapi market is the king”. Tanpa demikian, tampaknya diyakini tidak akan bisa meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Keyakinan ini terlihat dari petikan wawancara sebagai berikut. “ …. jadi sekarang kita tebar angket saja di online, sosial group, instragram mana banyak like? oo ternyata lebih banyak suka/like di pantai daripada nonton barong, itu artinya apa? marketnya seperti itu sekarang, bisa kita lihat pertunjukan barong, kecak, orang pake bikini di pantai minum pake cocktail, minum bir di pantai kenyataan orang banyak milih kita…sekali lagi ini masalah bisnis. Jadi media promosi ditentukan oleh market pasar, cara kita menentukan market pasar itu yang young generation” (wawancara dengan Ida Bagus Agung Parta, 22 Mei 2015). Jika dicermati, informasi ini mencerminkan gagasan bahwa situasi pasar sangat penting untuk dijadikan acuan dalam mengemas media promosi. Artinya, kebutuhan pasar dijadikan patokan dalam menentukan objek-objek yang ditampilkan pada media promosi pariwisata. Tanpa demikian, maka media promosi yang disebarkan akan kurang efektif, atau kurang menggelitik wisatawan untuk berkunjung ke objek yang dipromosikan. Hal ini wajar, mengingat promosi tentulah dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan. Petikan informasi di atas tampak lebih mementingkan keuntungan material atau keuntungan ekonomis daripada keuntungan nonmaterial. Kewajarannya itu dapat lebih dimaklumi lagi karena pembuatan promosi ini merupakan kegiatan industri yang berkaitan dengan pariwisata yang berskala internasional,
sedangkan
sebagamana
dikemukan
oleh
R.
Firth
(dalam
Koentjaraningrat, 1990 : 188), selain keuntungan material ada pula keuntungan nonmaterial atau keuntungan sosial-budaya dalam aspek perekonomian. Dalam koteks ini, ekonomi industri dan perdagangan internasional dikatakan lebih mementingkan keuntungan material. Orientasi pada pasar seperti itulah yang mendorong pembuatan media promosi pariwisata budaya yang justru tidak menampilkan objek yang bernuansa budaya Bali, termasuk yang bernuansa Tri Hita Karana. Misalnya objek berupa pentas seni tari barong yang dikatakan kurang digemarti wisatawan dibandingkan dengan objek berupa kegiatan di pantai, seperti kegiatan minum bir, cocktail di pantai ternyata lebih disukai wisatawan, terutama wisatawan dari kalangan generasi muda. Jadi citra pariwisata budaya Bali dalam hal ini dilihat dari kacamata pasar, bukan dari kacamata budaya Bali. Dilihat dari segi kacamatan pasar, tampaklah citra Bali yang promosi
50
pariwisatanya mengabaikan Tri Hita Karana itu sebagai daerah pariwisata yang mampu menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Kemampuan seperti itu lebih memungkinkan untuk memperoleh keuntungan material. Tampaknya pemikiran seperti terurai di atas sudah lumrah di kalangan para pihak yang berkecimpung dalam industry pariwisata di Bali. Kelumrahan itu dapat diketahui berdasarkan informasi berikut ini. “Caranya bagaimana menyampaikannya tergantung pada karakter masyarakat itu sendiri mana yang ditargetkan oleh produk itu sendiri, kalau dia menujunya ke pasar domistik, cirinya domistik supaya bisa komunikasi, kalau dia orang Australia cara-cara berpikir orang Australia apa kesukaan orang Australia, gimana mental-mental orang Australia supaya nyambung itu bisa ditangkap langsung. Tapi kalau ini kita sangkutkan dengan Tri Hita Karana, Tri Hita Karana adalah identitas bukan sebetulnya media kita menyampaikan sesuatu kepada masyarakat itu cuma corak kita saja, identitas saja, kalau kita komunikasi dengan Australia apa cocok Tri Hita Karana kita masukan kesana, mungkin dia tidak nangkap apa maksudnya itu” (Wawancara dengan IB Ngurah Wijaya Ketua Bali Tourism Board(BTB)/Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) tanggal 14 Agustus 2015). Pada intinya petikan informasi ini mencerminkan gagasan bahwa corak media promosi harus sesuai dengan selera wisatawan yang hendak disasar. Secara implisit gagasan ini mengandung pendapat bahwa jika wisatawan yang disasar adalah wisatawan domestik maka media promosi yang digunakan adalah media yang menampilkan objek-objek yang sesuai selera wisatawan domestik. Sebaliknya, jika wisatawan yang hendak disasar adalah wisatawan mancanegara, maka media promosi yang dibuat dan digunakan adalah media promosi yang menampilkan objek-objek yang sesuai selera wisatawan mancanegara. Dalam konteks ini, media promosi pariwisata yang mengedepankan objek bernuansa Tri Hita Karana dianggap kurang relevan untuk menyasar wisatawan mancanegara, seperti wisatawan Australia yang dianggap tidak tahu apalagi tertarik dengan Tri Hita Karana. ”Kalau kita komunikasi dengan Australia apa cocok Tri Hita Karana kita masukan kesana, mungkin dia tidak nangkap apa maksudnya itu.Bali ini mau dijual apanya, kalau kita mau jual budayanya target market kita orang budaya itu yang interest dengan budaya kita, kalau kita targetkan dengan orang yang suka sport sdh tidak nyampe, kalau kita mau menyampekan dengan orang bisnis, sudah tidak nyampe. Itu garis besarnya, jangan sampe kita-kita Tri Hita Karana itu dipake sebagai, market itu harus terima ini, ada orang yang tidak bisa terima, kalau kita inginkan orang-orang yang budaya kemari kita cari market yang berbudaya tersebut, yang cari budaya itu” (Wawancara dengan IB Ngurah Wijaya Ketua Bali Tourism Board(BTB)/Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) tanggal 14 Agustus 2015). 51
Berdasarkan inti petikan informasi yang demikian itu maka dapat dikatakan bahwa informan yang bersangkutan memaknai Tri Hita Karana merupakan identitas budaya Bali yang kurang relevan untuk ditampilkan pada medias promosi pariwisata yang hendak menyasar wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Namun argumentasi atas anggapannya ini adalah karena wisatawan tidak tahu apalagi tertarik dengan Tri Hita Karana. Jadi anggapan ini seakan-akan mengklaim bahwa media promosi pariwisata budaya Bali yang bernuansa Tri Hita Karana tidak memungkinkan untuk menarik perhatian wisatawan. Ini berarti, media promosi pariwisata yang tidak menonjolkan Tri Hita Karana dianggap lebih cocok untuk memangun citra Bali sebagai daerah pariwisata.
Padahal media promosi
pariwisata budaya Bali yang bernuansa Tri Hita Karana bukan berarti ditujukan untuk memahamkan atau mengajarkan Tri Hita Karana kepada wisatawan, melainkan untuk membuat media promosi yang tetap menarik perhatian wisatawan tetapi tetap pula mencerminkan identitas budaya Bali. Lagipula media promosi pariwisata yang berrnuansa Tri HitaKarana bukan tidak mungkin untuk menarik perhatian wisatawan, karena sebagaimana telah dikatakan Tri Hita Karana berintikan keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam. Oleh karena itu, jika media promosi pariwisata budaya Bali bisa dikemas dengan tetap mengandung nilainilai Tri Hita Karanaberarti media promosi itu mencitrakan Bali yang Bali (bersih, aman, lestari, dan indah), karena nilai keharmonisan seperti itulah yang memungkinkan untuk membangun Bali yang Bali. Tentu saja keharmonisan beserta kebersihan, keamanan, kelestarian, dan keindahan didambakan
oleh
siapapun,
termasuk
oleh
seperti ini pada umumnya
wisatawan.
Dengan
demikian,
persoalannya adalah pada kemampuan membuat media promosi pariwisata budaya Bali yang menarik tetapi bernuansa Tri Hita Karana. Satu informasi menarik lagi adalah informasi dari Kepala Bidang promosi Pariwisata Kabupaten Badung, sebagai berikut. “Arah Tri Hita Karana ada, tapi tidak harus menoton, tdk semua konsep diambil dari sana kalau Semua diikuti terlalu kaku jadinya. Perancangan desain diawali dari cover, yang diangkat objek wisata yang akan dikembangngkan lebih banyak sebagai prioritas, misalnya mekotek: rada baru yang akan kita kembangkan, dari dulu sudah ada tapi tidak masuk dalam agenda yang dipromosikan. Kita merancang di desa ini sebagai objek wisata dengan salah satu ciri khasnya mekotekan ini. Canggu dan munggu, memang ada tradisi mekotekan, sebenarnya upacara. Sama dengan perang 52
tipat kapal” (Wawancara dengan kepala bidang Promosi Kabupaten Badung NI Wayan Kristiani, SH, Tanggal 30 Desember 2014). Dengan menggarisbawahi kata “terlalu kaku jadinya”, maka dapat dikatakan bahwa informan ini memaknai atau memahami Tri Hita Karana sebagai sumber inspirasi yang bisamenjadikan produk media promosi bersifat terlalu kaku. Hal ini menarik karena kelihatannya pemahaman ini berlawanan dengan substansi nilai-nilai Tri Hita Karana, yang pada dasarnya sebagaimana dikemukakan di atas adalah mengutamakan keharmonisan yang secara logika berkaitan dengan pleksibilitas. Dengan kata lain, berdasarkan Tri Hita Karana memungkinkan untuk membuat media promosi yang tidak kaku melainkan yang pleksibel. Jadi berdasarkan pemahaman atas nilai pleksibilitas ini tampaklah pemaknaan oleh informan tadi sebagai sebuah kekeliruan. Berdasasrkan kekeliruannya itulah tampaknya informan tadi secara implisit berpandangan bahwa media promosi pariwisata budaya Bali yang tidak sepenuhnya dilandasi Tri Hita Karana identik dengan media promosi yang tidak kaku, dan dengan demikian akan dapat mencitrakan Bali yang lebih cocok untuk menarik perhatian wisatawan ketimbang media promosi yang menoton bernuansa Tri Hita Karana. Mengingat citra ini dikonstruksi berdasarkan pemahaman yang keliru seperti dikatakan di atas, maka citra yang diidolakannya itu pun keliru pula. ”Konsep yang ditonjolkan adalah objek wisata yang kira-kira masih perlu kita promosikan, misalnya ada objek baru misalnya pantai pandawa masih booming itu kita angkat lebih banyak, pantai kuta dll khan orang-orang sudah kenal, tetap kita muat tapi porsinya lebih sedikit, klu ada hal baru dibuat porsinya lebih banyak, untuk lebih memperkenalkan obyek baru yang kita punya, pantai pandawa, pantai labuhan said, baru kita angkat-angkat lagi, memang sih sudah banyak yang kenal, karena itu adalah objek yang baru harus lebih banyka diperkenalkan lagi” (Wawancara dengan kepala bidang Promosi Kabupaten Badung NI Wayan Kristiani, SH, Tanggal 30 Desember 2014). Selain itu, informasi di atas juga menekankan pentingnya objek wisata baru dan memiliki ciri khasuntuk ditampilkan pada media promosi pariwisata. Objek wisata baru maksudnya adalah objek yang belum pernah ditampilkan dalam media promosi pariwisata, sedangkan yang mempunyai ciri khas adalah misalnya tradisi makotekan di Desa Munggu dan tradisi perang tipat di Desa Kapal. Ini berarti, bahwa jika ciri khas budaya Bali dapat ditampilkan dalam media promosi pariwisata maka citra Bali akan menjadikan para wisatawan tertarik berkunjung ke Bali, khususnya ke Badung. Sungguhpun kekhasan itu bisa mempunyai daya tarik wisata yang tinggi, 53
namun belum tentu yang khas itu menampilkan objek yang bernuansa Tri Hita Karana. Jika kekhasan itu semata-mata merupakan kekhasan alam, maka itu bukan berarti menunjukkan identitas budaya, melainkan identitas alam Bali. Sedangkan idealnya, promosi pariwisata budaya Bali adalah media promosi yang tetap menonjolkan identitas budaya Bali yang bernuansa Tri Hita Karana. Dalam kaitan ini, petikan informasi di atas menunjukkan yang khas itu antara lain adalah pelaksanaan tradisi makotekan di Desa Munggu dan tradisi perang tipat di Desa Kapal. Mungkin saja kedua tradisi ini bernuansa Tri Hita Karana, namun perlu kemampuan untuk mengkemas tampilan nuansa Tri Hita Karana itu dalam membuat media promosi pariwisata budaya Bali. Tanpa demikian bisa saja media promosi yang dihasilkan akan menimbulkan citra Bali sebagai daerah yang masyarakatnya mengutamakan tradisi perang yang berlawanan dengan nilai TriHita Karana. Suatu objek wisata yang dipandang tidak kalah pentingnya juga untuk ditampilkan dalam media promosi pariwisata adalah objek-objek berupa keindahan alam pantai, seperti pantai Pandawa dan
pantai Labuhan Said di Kuta Selatan.
Dianggap penting karena pantai tersebut kini sering dikunjungi banyak wisatawan (booming). Artinya bahwa objek itu dianggap sudah menarik bagi banyak wisatawan, sehingga jika dipromosikan lagi dapat diharapkan akan lebih banyak lagi wisatawan yang tertarik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media promosi pariwisata yang menampilkan objek wisata yang dikunjungi banyak orang merupakan media promosi yang mencitrakan Bali sebagai daerah pariwisata yang cocok untuk mengembangkan industri pariwisata, meskipun media promosi itu tidak menonjolkan nuansa Tri Hita Karana.
5.2 Luaran Penelitian Luaran penelitian iniberupa format penulisan artikel. Adapun draft artikel tersebut berjudul:MEMBONGKAR IDEOLOGI DI BALIK PRODUKSI DAN IMPLIKASI MEDIA PROMOSI PARIWISATA BUDAYA DI BALI
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Pertama, ada beberapa ideologi di balik fenomena marginalisasi ideologi Tri Hita Karana pada media promisi pariwisata budaya Bali. Beberapa ideologi tersebut adalah ideologi pasar, ideologi dualisme kultural, ideologi konsumerisme, ideologi 54
komersialisme, ideologi totalitarianisme, dan ideologi tanggungjawab sosial semu. Beragamnya ideologi yang ada di balik media promosi pariwisata budaya Bali tercermin dari beragamnya produk media promosi pariwisata budaya Bali. Keberagaman produknya itu terlihat dari jenis media promosi (brosur, folder, leaflet, iklan majalah, iklan tabloid, dan billboard); dan elemen-elemen visual seperti logo, warna, teks, ilustrasi atau gambar. Walaupun beragam sesungguhnya yang paling dominan/sentral adalah ideologi pasar. Artinya ideologi selain ideologi pasar sebagaimana disebutkan di atas diilhami oleh ideologi pasar yakni ideologi yang mengutamakan perolehan uang.
Kedua, media promosi pariwisata yang ideologi Tri Hita Karana-nya termarginalisasi berimplikasi dalam pencitraan Bali sebagai daerah pariwisata budaya. Implikasinya itu adalah: (1) Bali sebagai daerah budaya pariwisata (bukan pariwisata budaya). Berdasarkan implikasi seperti itu, maka media promosi pariwisata budaya Bali terlihat kurang mendukung upaya menegaskan identitas pariwisata budaya Bali, yaitu pariwisata budaya yang berbasis Tri Hita Karana. Dalam keadaan demikian, citra Bali terlihat sebagai daerah pariwisata budaya yang dikonstruksi melalui proses pembuatan media promosi pariwisata yang secara signifikan didasarkan pada kepentingan bisnis pariwisata.
6.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran yang dapat diajukan kepada pemerintah, konsultan desain grafis, dan swasta sebagai berikut. Pertama, stakeholder tersebut agar mengikuti amanat Perda Bali Nomor 2 Tahun 2012. Dengan demikian, media promosi pariwisata budaya Bali tetap menunjukkan kekhasan sebagai identitas Bali sebagai daerah pariwisata, namun tetap pula menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Kedua, mengingat aspek promosi pariwisata yang dikaji dalam penelitian ini terbatas hanya mengenai media cetak, maka aspek lainnya yaitu media elektronik misalnya: web-site, cd interaktif, iklan televisi, dan media sosial, menarik juga diteliti dikemudian hari baik oleh peneliti lain maupun sebagai lanjutan penelitian ini.
55
DAFTAR PUSTAKA Alexander, Aur. 2005. “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog antarperadaban”. Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan. Halaman 145-161.Yogyakarta : Kanisius. Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Aminuddin, 2002. “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower”. Dalam Kris Budiman (penyunting), Analisis Wacana dari Linguistik Sampai Dekonstruksi.Halaman 1-53. Yogyakarta : Penerbit Kanal. Arisandi, Ni Gst A.D.P. 2011. “Persepsi Masyarakat Desa Beraban tentang Program Siaran Pariwisata Budaya di Bali TV sebagai Media Informasi dan Promosi”. Tesis Program Studi Magister Pariwisata, Universitas Udayana. Baha, Lajar A. 2005. ”Jaques Derrida dan ’Perayaan’ Kemajemukan”. Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan. Halaman 163175.Yogyakarta : Kanisius. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Berger, Peter L dan Luckmann, 2012. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. (Hasan Basari, Pentj). Jakarta: LP3ES. Desi, I D S dan Larry, J. 2009. Kajian Penerapan Konsep Barnding Bali pada Media Promosi Dinas Pariwisata budaya Bali tahun 2008. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar. Faruk, HT, 2002. “Konsep dan Analisis Wacana Althusserean”. Dalam Kris Budiman (penyunting), Analisis Wacana dari Linguistik Sampai Dekonstruksi.Halaman 135-153.Yogyakarta : Penerbit Kanal. Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta:Granit. ___________.2004. KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DALAM MEDIA MASSA(Studi Pesan Politik Dalam Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999). Jurnal: Makara, Sosial Humaniora, Vol 8, No.1, April. Halaman 21-32. Jakarta:UI. Harker, Richard. t.t. ”Bourdieu-Pendidikan dan Reproduksi”, dalam (Richard Harker, ed.; Pipit Maizier, penerjemah),(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Halaman 109-138.Yogyakarta : Jalasutra. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fak Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI.
56
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Koentjaraningrat. 1980. “Metode Wawancara”. Dalam Koentjaraningrat (ed.). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Halaman 129-157. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Penelitian Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers Mely G. Tan. 1980. ”Masalah Perencanaan Penelitian”. Dalam Koentjaraningrat (ed.) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Halaman 14-43.Jakarta : PT Gramedia. Miles, B.B., dan Huberman A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Denpasar: Provinsi Bali. Plummer, Ken. 2013. Sosiologi the Basic. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama. Pujiriyanto, 2005. Desain Grafis Komputer (Teori Grafis Komputer). Andi: Yogyakarta. Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi : Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta : Jalasutra. Taylor, Steven dan Bogdan Robert, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods. New York : John Wiley & Sons.
57
LAMPIRAN 1
LOG BOOK KEGIATAN DAN RINCIAN PENGGUNAAN DANA PENELITIAN PROGRAM DISERTASI DOKTOR TAHUN ANGGARAN 2016 “MEMBONGKAR IDEOLOGI DI BALIK DAN IMPLIKASI MEDIA PROMOSI PARIWISATA DI BALI” Penanggung jawab Program : A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn., M.Si. Tgl/Bln/Th n
Jenis Kegiatan
No
Kebutuhan
Satua n
Vol
Waktu (hari)
(1) 22-042016 25-042016
(2) Pencairan dana 70% Pertemuan dengan Dinas Pariwisata Provinsi Bali
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1.
Foto copy dukomen
Lbr Orang
27-042016
Studi pustaka dan foto copy dokumendokumen
1.
Pembelian buku untuk menunjang kegiatan Penelitian Foto Copy Kertas A4 70 gram
Paket
Survey I pencarian data dan informasi di Kabupaten Tabanan
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Penggaris
29-042016
2. 3.
2. 3. 4. 5. 6.
104
1
Harga Satuan (Rp) (8)
250
Jumlah (Rp)
Keteran gan
(9) 29.750.000
(10)
260.000
Habis
Jmlh: 7.260.000 1.289.915
Invent
1
1
lbr rim
824 2
1 1
250 40.000
206.000 80.000
Habis Habis
hari
1
1
600.000
Jmlh: 1.575.915 600.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 1
1 1 1 1 1
60.000 10.000 3.000 40.000 7.100
120.000 20.000 6000 40.000 7.100
Habis Habis Habis Habis Invent
Jmlh: 793.100 Tgl/Bln/T hn
Jenis Kegiatan
N o
Kebutuhan
30-042016
Pencarian data dan Informasi di Tanah Lot, Kabupaten Tabanan
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Perekam suara Baterai alkaline, mouse, keybord
Pencarian data dan Informasi di Alas Kedaton, Kabupaten Tabanan
1.
Persiapan Penyusunan hasil survey dan
1. 2. 3.
02-052016
09-052016
2. 3. 4. 5. 6. 7.
2. 3. 4. 5. 6.
Satua n
vol
Waktu (hari)
Hari
1
1
Harga Satuan (Rp) 600.000
Orang Orang Buah Rim Buah buah
2 2 2 1 1 2
1 1 1 1 1 1
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse, keybord
Hari
1
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 2
Internet pencarian pustaka Hardisk Eksternal
Bulan Buah Buah
2 1 10
Jumlah (Rp)
Keteran gan
600.000
Habis
50.000 8.000 3.000 40.000 1.000.000 9.500
100.000 16.000 6.000 40.000 1.000.000 19.000
Habis Habis Habis Habis Invent Habis
1
600.000
Jmlh:1.781.000 600.000
Habis
1 1 1 1 1
60.000 9.000 3.000 40.000 9.500
120.000 18.000 6.000 40.000 19.000
Hahis Habis Habis Habis Habis
143.000 1.300.000 10.000
Jmlh:803.000 286.000 1.300.000 100.000
Habis Invent Habis
1 1 1
58
Studi Pustaka
DVD Blank Jmlh: 1.686.000
Tgl/Bln/T hn
Jenis Kegiatan
N o
Kebutuhan
11-052016
Penyusunan Hasil Survey Tahap I dan Persiapan Survey II:
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kertas A4 70 gram Tinta Printer Epson L 355 Cutter Steples besar DVD Blank Display Book
Rim Buah Buah Buah Buah Buah
2 1 1 1 10 5
1 2 1 1 1 1
40.000 95.000 35.000 75.000 10.000 70.000
84.000 190.000 35.000 75.000 100.000 350.000
17-052016
Survey II Pencarain Data dan Informasi di Kabupaten Badung
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse,
Hari
1
1
600.000
Jmlh: 834.000 600.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 2
1 1 1 1 1
50.000 10.000 3.000 40.000 9.500
100.000 20.000 6.000 40.000 19.000
Habis Habis Habis Habis Habis
Pencarain Data dan Informasi di Kabupaten Badung
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram
Hari
1
1
600.000
Jmlh :785.000 600.000
Habis
Orang Orang Buah Rim
2 2 2 1
1 1 1 1
50.000 10.000 3.000 40.000
100.000 20.000 6.000 40.000
Habis Habis Habis Habis
Pencarian Data dan Informasi di Objek Wisata Sangeh, Kabupaten Badung
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse,
Hari
1
1
600.000
Jmlh : 766.000 600.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 2
1 1 1 1 1
50.000 10.000 3.000 40.000 9.500
100.000 20.000 6.000 40.000 9.500
Habis Habis Habis Habis Habis
Tgl/Bln/T hn
Jenis Kegiatan
N o
23-052016
Studi Pustaka dan Copy Dokumen
1.
18-052016
20-052016
2. 3. 4. 5. 6.
2. 3. 4. 5.
2. 3. 4. 5. 6.
Kebutuhan
Satuan
Satuan
Bulan
2.
Internet untuk penelusuran Pustaka Foto copy Dokumen
Penyusunan Hasil Survey II
1. 2.
Kertas A4 70 gram Tinta Printer L 355
Buah Buah
Persiapan Survey III
1. 2. 3. 4. 5.
Cutter Steples besar DVD Blank Internet. Display Book
Buah Buah Buah Bulan Buah
Vol
Wakt u (Hari)
Vol
Lembar
Wakt u (Hari)
Harga Satuan (Rp)
Harga Satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
Jmlh : 775.500 Jumlah (Rp)
Keteran gan Habis Masih Kembali Kembali Habis Habis
Keteran gan
1
1
286.204
286.204
Habis
120
1
3000
360.000
Habis
2 1
1 1
40.000 95.000
80.000 95.000
Habis Habis
1 1 1 1 1
35.000 75.000 10.000 146.000 70.000
35.000 75.000 100.000 146.000 350.000
1 1 10 1 5
Kembali Kembali Habis Habis Habis
Jmlh:1.527.204 01-062016
Survey III menggalian data dan informasi di Kabupaten Gianyar
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse,
Hari
1
1
600.000
600.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 2
1 1 1 1 1
60.000 15.000 3.000 40.000 9.500
120.000 30.000 6.000 40.000 19.000
Habis Habis Habis Habis Habis
59
Jmlh :815.000
03-062016
Menggalian data dan informasi di Bali Zoo, di Kabupaten Gianyar
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse, keybord
Hari
1
1
600.000
600.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 1
1 1 1 1 1
60.000 15.000 3.000 40.000 9.500
120.000 30.000 6.000 40.000 9.500
Habis Habis Habis Habis Habis
Jmlh: 805.500 Tgl/Bln/T hn
Jenis Kegiatan
N o
Kebutuhan
05-062016
Menggalian data dan informasi di Monkey Forest, Kabupaten Gianyar
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse
Penyusunan hasil survey III
1. 2. 3.
Kertas A4 70 gram Tinta Printer L 355 Internet
Buah Buah Bulan
Persiapan hasil survey IV
1.
DVD Blank
buah
10
Survey IV di Kota Denpasar penggalian dan informasi
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse
Hari
Menggalian data dan informasi ke Gabungan Industri Pariwisata (GIPI)
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse, keybord
06-062016
09-062016
10-062016
2. 3. 4. 5. 6.
Satuan
Vol
Waktu (Hari)
Hari
1
1
Harga Satuan (Rp) 600.000
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 2
1 1 1 1 1
60.000 15.000 3.000 40.000 9.500
Jumlah (Rp)
Keteran gan
600.000
Habis
120.000 30.000 6.000 40.000 19.000
Habis Habis Habis Habis Habis
Jmlh: 815.000 2 1 1
1 1 1
40.000 95.000 143.000
80.000 95.000 143.000
Habis Habis Habis
1
10.000
100.000
Habis
1
1
500.000
500.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 2
1 1 1 1 1
75.000 15.000 3.000 40.000 9.500
150.000 30.000 6.000 40.000 19.000
Habis Habis Habis Habis Habis
Hari
1
1
500.000
500.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 1
1 1 1 1 1
75.000 15.000 3.000 40.000 9.500
150.000 30.000 6.000 40.000 19.000
Habis Habis Habis Habis Habis
Jmlh: 418.000
2. 3. 4. 5. 6.
2. 3. 4. 5. 6.
Jmlh: 745.000
Jmlh: 745.000
Tgl/Bln/T hn
Jenis Kegiatan
N o
Kebutuhan
14-062016
Penyusunan Hasil Survey IV Persiapan survey V di instansi Pemerintah Provinsi Bali
1. 2. 1. 2.
Kertas A4 70 gram Tinta Printer L 355 DVD Blank Display Book
Buah Buah Buah Buah
10 5
1 1
Harga Satuan (Rp) 40.000 95.000 100.000 70.000
Survey V di instansi Pemerintah Provinsi Bali dan Ketua Badan Promosi
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram
Hari
1
1
Orang Orang Buah Rim
2 2 2 1
1 1 1 1
20-062016
2. 3. 4. 5.
Satuan
Vol
Waktu (Hari) 1 1
1 1
Jumlah (Rp)
Keter angan
40.000 95.000 100.000 350.000
Habis Habis Habis Habis
500.000
Jmlh: 585.000 500.000
Habis
75.000 15.000 3.000 40.000
150.000 30.000 6.000 40.000
Habis Habis Habis Habis
60
21-062016
1-07-2016
Pemerintah Daerah
6.
Baterai alkaline, mouse, keybord
Buah
Menggalian data dan informasi ke ketua Badan Promosi Pemerintah Daerah Kab. Badung
1.
Sewa mobil + Sopir Konsumsi (makan) Kudapan Aqua tanggung KertasA4 70gram Baterai alkaline, mouse, keybord
Hari
1
1
500.000
500.000
Habis
Orang Orang Buah Rim Buah
2 2 2 1 1
1 1 1 1 1
75.000 15.000 3.000 40.000 9.500
150.000 30.000 6.000 40.000 9.500
Habis Habis Habis Habis Habis
Penyusunan hasil survey V
1. 2. 3. 1.
Kertas A4 80 gram Tinta Printer L 355 Foto Copy Tinta printer berwarna L 355 Honor Peneliti
Buah Buah lbr Buah
42.000 95.000 200 285.000
Jmlh: 735.500 168.000 95.000 900 285.000
Habis Habis Habis Habis
7.000.000
Habis
Boks
20
1
45.000
Jmlh: 7.548.900 900.000
Habis
Rim
4
1
42.000
168.000
Habis
4.
Kertas Foto print dummy Kertas A4 80 gram Tinta printer berwarna L 355 Internet
Buah Bulan
2 1
1 1
285.000 305.362
570.000 305.362
Masih Habis
Pemeriksaan/Pe nyuntingan Laporan Data Penelitian Penyempurnaan Laporan KegiatanPeneliti an 70%
1. 2.
Kertas A4 80 gram Album Foto
Rim buah
1 1
1 1
42.000 168.519
Jmlh: 1.943.362 42.000 168.519
Habis Invent
1.
Kertas A4 80 gram
Rim
1
1
42.000
42.000
Habis
Foto Copy dan Penjilidan Laporan Penelitian
1.
Foto Copy dan penjilidan Laporan Plaster kertas untuk penjilidan
Lembar
1
200
Jmlh: 452.519 1.339.000
1
24.000
480.000
Pembahasan Analisa Data
2. 3. 4. 5. 6.
2.
02-072016
07-07-216
13-072016
Penyusunan Laporan Data Penelitian
1. 2. 3.
2.
1
1
9.500
9.500 Jmlh: 735.500
Orang
Buah
4 1 5
1 1 1 1
1 1
140
20
50.000
Jmlh: 1.819.000 22-072016
Habis
Penyetoran Laporan Penelitian
Lapor an Lapor an Penye toran Lapor an
Catatan: Dana penelitian yang diterima Tahap I (70%): Rp.29.750.000 Dana yang telah digunakan Rp.29.750.000 (habis).
Denpasar, 22 Juli 2016 Penanggung Jawab Penelitian
A.A. Gde Bagus Udayana, S.Sn., M.Si. NIP. 197310041999031002
61
Lampiran 2
62
63
64
Lampiran 3
MEMBONGKAR IDEOLOGI DI BALIK PRODUKSI DAN IMPLIKASI MEDIA PROMOSI PARIWISATA BUDAYA DI BALI A.A Gde Bagus Udayana, FSRD Institut Seni Indonesia Denpasar. E-mail:
[email protected] Abstrak Peraturan daerah Provinsi Bali nomor 2 Tahun 2012 memposisikan Tri Hita Karana sebagai entitas penting dalam kepariwisataan budaya Bali. Oleh karena itu media promosi pariwisata idealnya bernuansa ideologi Tri Hita Karana. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah terwujudnya media promosi pariwisata budaya Bali yang benar-benar menunjukkan implementasi Tri Hita Karana. Terkait dengan tujuan ini, target khusus yang hendak dicapai adalah gambaran tentang ideologi yang ada di balik marginalisasi ideologiTri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali. Metode yang hendak digunakan dalam rangka mencapai tujuan dan target tersebut di atas adalah metode penelitian kualitatif yang mencakup teknik pengumpulan data berupa teknik wawancara mendalam, pengamatan, dan penggunaan dokumen. Wawancara dilakukan terhadap para pihak terkait, seperti Dinas Pariwisata Provinsi Bali, dan Dinas Pariwisata Kota/Kabupaten Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar, serta perusahaan di bidang pariwisata dan perusahaan di bidang disain grafis di Bali. Pengamatan dan penggunaan dokumen dilakukan dengan mencermati papan reklame terkait pariwisata serta dokumen-dokumen berupa foto, brosur, leaflet, dan iklan tabloid yang mempromosikan pariwisata yang diproduksi oleh para pihat terkait tersebut di atas. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada, ideologi pasar/kapitalisme, yang memarginalkan ideologi Tri Hita Karana pada media promosi pariwisata budaya Bali. Menurut pandangan para pihak yang berkecimpung dalam industri pariwisata, media promosi pariwisata budaya Bali yang dikonstruksi dengan berorientasi pada berbagai ideologi dan kepentingan tertentu telah membawa berbagai implikasi pada pencitraan Bali sebagai daerah pariwisata. Adapun implikasinya itu adalah: Bali sebagai daerah budaya pariwisata Bali dalam identitas manusia dan kebudayaan Bali.
Kata kunci : Pariwisata budaya, ideologi, produksi dan implikasi media promosi pariwisata 1. PENDAHULUAN Terkait dengan pengembangan pariwisata di Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, khususnya Pasal 1 angka 14 menegaskan bahwa “Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana”. Ini berarti bahwa semestinya 65
segala aktivitas pengembangan pariwisata budaya di Bali, termasuk promosi pariwisatanya benar-benar menunjukkan aplikasi falsafah Tri Hita Karana. Sebagaimana diketahui, falsafah ini mengidealkan keharmonisan hubungan manusiaTuhan (parhyangan), manusia-manusia (pawongan), dan manusia-lingkungan alam (palemahan) untuk mencapai kesejahteraan. Hasil pengamatan menunjukkan ada permasalahan penting terkait dengan promosi pariwisata budaya Bali, yakni tidak tercerminnya falsafah Tri Hita Karana pada banyak media promosi pariwisata budaya Bali, baik berupa billboard yang terpampang di sudut-sudut kota di Bali maupun brosur, leaflet, folder, iklan tabloid, dan lain-lain. Oleh karena itu, kenyataan tersebut dapat dilihat sebagai tanda termarginalisasinya Tri Hita Karanadalam media promosi pariwisata budaya Bali. Pada gilirannya permasalahan ini bisa menimbulkan berbagai permasalahan, seperti terancamnya identitas pariwisata budaya Bali yang diiringi dengan berkurangnya daya tarik wisata Bali serta menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, dan dengan demikian perkembangan pariwisata budaya di Bali mengalami degradasi. Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengkaji ideologi yang ada di balik media promosi pariwisata budaya Bali yang tidak mencerminkan ideologi Tri Hita Karana tersebut serta sistem produksi dan implikasinya.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan penekanan pada penggalian, penjelasan, dan pendeskripsian
pengetahuan secara
deskriptif, holistik, dan interpretatif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan karena di daerah tersebut terdapat sejumlah lembaga yang dipandang memadai untuk menggali informasi terkait tujuan penelitian ini. Informan dalam penelitian ini adalah para partisipan, baik dalam proses membangun gagasan maupun pengerjaan media promosi pariwisata budaya Bali. Langkah awal yang dilakukan dalam hal ini adalah menemui orang yang dalam penelitian ini diposisikan sebagai informan kunci, yaitu orang yang bisa memberikan informasi awal terkait dengan masalah yang dikaji dalam penelitian iniseperti: 1) pemerintah melalui Dinas Pariwisatanya, 2) praktisi pariwisata, 3) desainer/praktisi dibidang desain komunikasi visual, 4)Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD), dan 66
6) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali.Informan kunci ini juga diharapkan mampu membantu peneliti dalam hal menghubungi para pihak lain. Demikian seterusnya sehingga terjadi proses pemilihan informan secara beranting yang lazim disebut dengan teknik snowball. Dengan menerapkan teknik penentuan informan ini diharapkan diperoleh informan yang representatif, dan dengan demikian dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik wawancara mendalam, pengamatan, dan penggunaan dokumen. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk menggali informasi dari para informan, sekaligus juga untuk menggali gagasan-gagasan yang terkait dengan informasi yang mereka berikan. Pertanyaan-pertanyaan yang diformulasikan atas dasar rumusan masalah dalam hal ini diajukan secara leluasa, dalam arti tanpa terikat oleh suatu daftar pertanyaan yang ketat melainkan hanya berpegang pada pokok-pokok hal yang perlu ditanyakan dan pokok-pokok pertanyaan yang ada pada pedoman wawancara yang disiapkan sebelumnya. Analisis data dilakukan dengan mengikuti gagasan Taylor dan Bogdan (1984 : 128), yakni berlangsung sejalan dengan proses pengumpulan data yang disebut dengan istilah go hand-in-hand. Secara lebih konkret, hal ini dilakukan dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992 : 19-20) yakni melakukan reduksi data, penyajian data sementara, penafsiran data, dan menarik simpulan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Ideologi Pasar Pengertian ideologi pasar dalam hal ini merujuk pada pendapat para ahli sebagaimana dipaparkan oleh, Atmadja (2010: 75-76) bahwa karakteristik ideologi pasar atau yang disebut juga agama pasar mengacu pada gagasan yang tidak saja berbeda tetapi sekaligus juga bertolakbelakang dengan karakteristik agama Hindu yang merupakan sumber ideologi Tri Hita Karana.
Hal ini dapat dilihat pada
beberapa hal, yaitu 1) agama Hindu memuja kekuatan adikodrati yang disebut brahman, Tuhan atau dewa sebagai personifikasinya, maupun roh leluhur; sedangkan ideologi pasar atau agama pasar memuja uang; 2) agama Hindu menekankan pada pengendalian nafsu, sedangkan ideologi pasar merangsang nafsu agar terus tumbuh 67
dan berkembang subur; dan 3) dalam agama Hindu, tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kesejahteraan, baik
di alam sini maupun di alam sana sehingga
spiritualitas agama sangat utama; sedangkan dalam ideologi pasar, penekanannya adalah pada kenikmatan duniawi sehingga manusia terjerat pada materialisme, individualisme, sekularisme, otonomisme. Materialisme dalam hal ini dapat diartikan sebagai
gagasan yang mengutamakan materi, termasuk uang dan benda-benda
berharga lainnya. Individualisme diartikan sebagai gagasan yang mengutamakan diri sendiri, baik secara individual maupun kelompok tertentu. Jadi dalam melakukan tindakan, yang diutamakan adalah perolehan materi
bagi pelakunya sendiri.
Selanjutnya, sekularisme kurang mengutamakan spiritualitas agama; dan otonomisme mengacu pada kebebasan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kepentingan diri sendiri. Karakteristik ideologi pasar sebagaimana dipapaprkan di atas bisa terekspresi dalam tujuan yaitu menjual sesuatu produk. Aktivitas menjual bisa dilakukan melalui media promosi, termasuk media promosi pariwisata. Apa yang ditampilkan dalam media promosi itu tidaklah sekadar ditampilkan, melainkan memuat harapan menjual berdasarkan prinsip kapitalisme, yakni memperoleh keuntungan. Prinsip kapitalisme menekankan bahwa apapun adalah barang dagangan, dan karena itu semuanya harus dijual. Jika alam yang ditampilkan dalam media itu, maka alampun sudah bergeser fungsinya menjadi barang komoditas, atau berfungsi sebagi produk yang bernilai tukar untuk memperoleh uang. Begitu pula dengan objek-objek berupa wujud-wujud kebudayaan. Hal ini dapat dicermati pada beberapa media promosi pariwisata budaya Bali berupa iklan tabloid, iklan majalah, brosur. Berkenaan dengan hal ini, iklan tabloid sebagaimana disajikan pada gambar 3.1 di bawah ini menarik untuk dicermati.
Gambar 3.1 : Keindahan alam pada Media Promosi Royal Pita Maha resort dan Kamandalu resort and spa. Sumber: Iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” 68
Gambar 3.1 secara jelas, menunjukkan hamparan sawah dan bangunan villa yang ada di sekitar sawah tersebut. Gambar ini dapat dikatakan tidak mencerminkan Tri Hita Karana karena tidak ada manusia di dalamnya, padahal kehadiran manusia dalam konteks ideologi Tri Hita Karana merupakan hal yang mutlak. Dilihat dari sudut fungsinya dalam konteks mata pencaharian, sawah adalah lahan untuk bercocok tanam padi yang merupakan mata pencaharian petani yang bersangkutan. Sementara itu, sawah juga merupakan wilayah yang dimiliki oleh organisasi sosial tradisional para petani yang bernama subak. Sebagai suatu organisasi sosial petani, subak menganut ideologi Tri Hita Karana yang dalam peraturannya (awig-awig subak) biasanya dicantumkan sebagai landasan ideal organisasi subak. Dalam konteks Tri Hita Karana, sawah merupakan wujud dari palemahan atau lingkungan alam yang ada di wilayah subak. Mengingat sawah sebagai bagian dari subak serta sebagai salah satu komponen Tri Hita Karana, maka dapat dikatakan keberadaan sawah itu berfungsi sebagai sarana untuk melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani yang bersangkutan. Meskipun sama-sama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, langkah menampilkan sawah yang dikombinasikan dengan villa pada gambar 3.1 ternyata tampilannya itu bukan untuk mewujudkan kesejahteraan petani pemilik sawah yang berangkutan, melainkan bagi pengusaha pariwisata atau yang dikenal sebagai kapitalis. Dikatakan demikian, mengingat tampilan sawah dalam hal ini berkaitan dengan promosi pariwisata. Agar media promosi pariwisata ini menarik bagi wisatawan
maka
tampilan
sawah
yang
merupakan
unsur
tradisional
itu
dikombinasikan dengan tampilan villa yang merupakan suatu produk yang bersifat modern. Ini berarti tampilan yang bersifat kombinantif itu diupayakan agar para wisatawan tertarik untuk berkunjung dan tinggal di villa tersebut. Dengan demikian sawah dan villa itu diharapkan bahkan diyakini akan berfungsi sebagai komoditas yang bernilai jual atau bernilai ekonomis. Dalam konteks inilah ideologi pasar secara implisit terlihat berada di balik media promosi pariwisata dengan tampilan seperti tampak pada gambar 3.1 di atas. Selain tercermin pada gambar 3.1 sebagaimana disajikan di atas, ideologi pasar juga terlihat pada gamabar 3.2 di bawah yang merupakan sebuah iklan majalah yang dibuat oleh Bali Zoo dan ditampilkan pada majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 69
Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang”. Iklan tersebut memvisualisasikan foto seorang wanita bule sedang memandikan gajah di suatu tempat dekat pura.
Gambar 3.2 : Penggunaan model wanita asing pada iklan Bali Zoo Sumber:iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” Gambar 3.2 ini menarik untuk disoroti dari perspektif Tri Hita Karana yang di dalam Perda Provinsi Bali no.2 Tahun 2012 tentang Pariwisata Budaya Bali diposisikan sebagai falsafah yang patut diacu dalam pengembangan pariwisata di Bali. Sebab, gambar 3.2 tersebut di atas terlihat tidak mencerminkan identitas Bali yang dilandasi Tri Hita Karana. Hal ini dapat diketahui terutama dari informasi yang diberikan oleh Public Relations Excecutive objek wisata Bali Zoo, Emma Chandra, berikut ini. ”Dalam pemotretan gajah ditemani pawang gajahnya, ada yang pegangi, ada yang ngasi makan, ada kaki diedit sedikit, ada banyak orang di belakang layar, tidak gampang dengan binatang” (wawancara, 21 Nopember 2014). Selain informasi ini informan tadi juga menegaskan bahwa iklan ini dibuat secara sadar dan tidak diilhami oleh Tri Hita Karana, melainkan didasarkan pada potensi pangsa pasar global. Secara lebih lengkap informasinya itu adalah sebagai berikut. ”Model asing digunakan dalam iklan ini karena main market paling banyak Australia, kedua Asian, dan ketiga baru masuk domestik, kenapa kita menggunakan internasional model tujuan agar masuk kesemua. Main market adalah Australia, agar lebih masuk ke main marketnya maka di coba menggunakan model seperti ini. Artwork ini digunakan untuk majalah yang nasional, majalah regional di Asia Pasifik sebagai destination, dan digunakan
70
pada iklan Jet Star in Flight Magazine, artwork seperti ini” (wawancara, 21 Nopember 2014). Berdasarkan gagasan yang tercermin pada petikan informasi ini maka dapat dikatakan bahwa ideologi pasar merupakan salah satu ideologi yang ada di balik termarginalisasinya ideologi Tri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali. Selain itu, petikan informasi tadi juga mencerminkan bahwa pihak Bali Zoo memandang ideologi pasar dijadikan acuan karena lebih menjanjikan ketimbang ideologi Tri Kita Karana dalam konteks pencapaian tujuan promosi objek wisata tersebut. Logikanya adalah bahwa, jika yang disebutnya sebagai ”model internasional” itu digunakan maka kalangan internasional dapat diharapkan merasa terketuk untuk meyakini bahwa objek wisata Bali Zoo tidak hanya disenangi oleh kalangan tertentu saja, melainkan oleh kalangan internasional. Dengan demikian, dapat diharapkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata tersebut meningkat. Namun, sungguhpun demikian, hal itu jelas telah mengabaikan atau meninggalkan budaya Bali sehingga pariwisata di Bali kurang bercorak pariwisata budaya Bali, melainkan lebih bercorak budaya pariwisata, karena selera wisatawan mendominasi corak iklan pariwisata. Hal ini sejalan dengan pendapat Picard (2006), bahwa yang berkembang di Bali bukanlah pariwisata budaya melainkan budaya pariwisata. Hal ini bukanlah merupakan akibat langsung dari pariwisata yang berintikan budaya global, melainkan lebih merupakan akibat dari perbuatan para pihak pembuat iklan yang sudah menganut ideologi pasar, suatu ideologi yang merupakan inti dari globalisasi (Steger, 2006). Jadi ideologi pasar tidaklah bekerja dari luar sana, melainkan dari dalam diri para pembuat iklan dalam promosi pariwisata budaya Bali. Pembuatan iklan yang diilhami ideologi pasar sebagaimana dipaparkan di atas, disadari atau tidak pada dasarnya merupakan penyimpangan terhadap Perda Provinsi Bali no. 2 Tahun 2012. Dengan mengikuti gagasan Piliang (2006), penyimpangan seperti itu bisa terjadi karena pada era globalisasi orang sudah menganut kebudayaan postmodern, sehingga mereka menjadi homo minimalis dengan karakteritik tersendiri, antara lain lebih mengutamakan perolehan ketimbang proses perolehan. Dalam konteks inilah orang bisa melakukan tindakan yang menyalahi aturan atau norma tertentu, asalkan apa yang hendak diperoleh bisa diraih. Hal serupa
71
inilah yang tampak terjadi pula dalam proses pembuatan iklan Bali Zoo tersebut di atas.
Namun
selama
tidak
menimbulkan
masalah
atau
tidak
ada
yang
mempermasalahkannya, maka hal seperti itu akan bisa tetap berlangsung. Dengan demikian, pariwisata yang berkembang semakin jauh dari ketentuan aturan yang dinyatakan berlaku. Lebih dari itu, pengabaian terhadap ideologi Tri Hita Karana juga terlihat dengan jelas pada gambar 3.2 bahwa gajah sebagai representasi lingkungan alam telah tergusur dari habitat aslinya dan menjadi penghuni habitat buatan manusia yang merupakan karantina yang tentu saja memasung kebebasan yang pada dasarnya dimiliki oleh gajah secara alamiah. Jika keharmonisan hubungan manusia-alam (palemahan) merupakan salah satu sila dalam konteks Tri Hita Karana yang dipandang sebagai penyebab kebahagiaan, maka dari perspektif ini, pembuatan iklan pariwisata dengan cara sebagaimana ditampilkan pada gambar 3.2 kurang memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan. Namun dalam kenyataannya justru dengan cara demikianlah para pembuat iklan tersebut memandang atau berharap akan mendatangkan kesejahteraan ekonomi melalui peningkatan masukan finansial yang bersumber dari wisatawan manca negara. Tampaknya harapan itu sebagian atau sepenuhnya telah tercapai, sehingga tidak mengherankan bahwa iklan yang bernuansa ideologi pasar globallah, bukannya iklan yang bernuansa ideologi Tri Hita Karana yang dikembangkan hingga kini.
3.2 Ideologi Dualisme Kultural Ideologi dualisme kultural dalam hal ini dipahami sebagai pemikiran para pihak terkait dalam proses produksi media promosi pariwisata budaya Bali yang besifat oposisi biner, yaitu membedakan antara budaya barat yang direpresentasikan oleh wisatawan dan budaya timur yang direpresentasikan oleh para pihak terkait dalam promosi pariwisata budaya Bali. Berdasarkan pemikiran bersifat oposisi biner seperti itu, kemasan media promosi pariwisata budaya Bali disesuaikan dengan citra wisatawan dan citra budaya Bali. Dalam konteks ini wisatawan dicitrakan sebagai sosok modern yang telah biasa mengonsumsi hal-hal modern namun memerlukan halhal yang tradisional. Sehubungan dengan hal inilah kemasan media promosi pariwisata budaya Bali dimuati dengan unsur-unsur budaya Bali (tradisional). Hal ini tampak antara lain dari media promosi pariwisata budaya berupa brosur yang
72
mengilustrasikan aktivitas pertanian yang menggunakan teknologi pertanian tradisional yang terlihat dalam gambar 3.3 sebagai berikut.
Gambar 3.3 : Pura dan Aktivitas Membajak di Sawah Sumber : Folder Media Promosi Pariwisata Budaya Kabupaten Tabanan Gambar 3.3 secara jelas menunjukkan bahwa ada seseorang laki-laki sedang melakukan aktivitas membajak di sawah dengan peralatan berupa bajak dengan sapi sebagai tenaga penariknya (tradisional), dan bukan traktor (modern) yang sesungguhnya kini lazim dipergunakan oleh para petani Bali. Mencermati ilustrasi foto tersebut di atas, tampaklah
bahwa Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab
kesejahteraan: keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam tidak tercermin atau termaginalisasikan. Dikatakan demikian karena manusia pada ilustrasi tersebut tidak menunjukan hubungannya dengan Tuhan. Meskipun ada gambar pura tetapi aktifitas petani itu tidak berkaitan dengan pura, melainkan hanya berkaitan dengan sawah dan sapi. Hubungan petani dengan sapi dalam hal ini juga dapat dilihat sebagai tidak mencerminkan keharmonisan hubungan antara keduanya. Hubungan antara keduanya lebih bersifat eksploitatif, yakni manusia meeksploitasi sapi untuk kepentingan manusia sendiri. Selain itu proses pembuatan atau pemilihan foto tersebut tidaklah diilhami oleh konsep Tri Hita Karana. Dengan demikian kiranya fakta-fakta ini sudah cukup untuk digunakan sebagai dasar mengatakan bahwa gambar 3.3 di atas mencerminkan marginalisasi Tri Hita Karana. Dipergunakannya ilustrasi ini untuk mengemas media promosi pariwisata budaya Bali menunjukkan adanya maksud tertentu. Adapun maksudnya dalam hal ini adalah bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat Hindu berbudaya agraris yang bersifat tradisional. Maksud ini juga bermuatan harapan, bahwa unsur budaya agraris
73
yang tradisional ini dapat menarik minat wisatawan sebagai manusia berbudaya modern (barat) untuk berkunjung ke Bali karena di daerahnya sendiri tidak ada budaya tradisional seperti itu. Gambar 3.3 menunjukkan seakan-akan letak sawah tersebut berbatasan langsung dengan areal pura. Jika dilihat kenyataannya, gambar pura itu adalah gambar Pura Ulun Danu yang ada di pinggir Danau Beratan, Bedugul. Namun berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa sesungguhnya di lokasi tersebut tidak ada sawah, apalagi orang membajak sawah. Itulah sebabnya gambar 3.3 dikatakan menunjukkan adanya manipulasi kenyataan. Menurut informasi dari Kepala Bidang Promosi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan, yakni Ni Ketut Yuliati dalam wawancara 29 Agustus 2014, hal itu dilakukan “......karena Tabanan merupakan agraris yang ditonjolkan sawah dan purapura. Warna yang dipilih didasari oleh indah dan serasi, yang penting tampilannya serasi”.
Jika disimak, tampaklah petikan informasi ini memuat alasan tertentu atas tindakan mengemas media promosi pariwisata dengan mempergunakan ilustrasi pura dan sawah sebagai komponen media tersebut. Alasannya dalam hal ini adalah bahwa Kabupaten Tabanan merupakan daerah agraris atau masyarakatnya berbudaya agraris dengan mata pencaharian pokok bertani dan beragama Hindu dengan tempat ibadahnya adalah pura. Di satu sisi alasan ini mengambarkan citra Kabupaten Tabanan yang sebagaimana diketahui berjulukan sebagai ”lumbung beras”. Namun para petani Bali kini amat jarang mempergunakan bajak tradisional, melainkan kebanyakan mempergunakan traktor (teknologi modern). Dengan demikian, gambar 3.3 merupakan konstruksi realita yang pada dasarnya bertolakbelakang dengan realita yang sesungguhnya. Meskipun bertolakbelakang dengan realitas yang sesungguhnya, tampaknya para pihak pembuat gambar 3.3 di atas tetap berkeyakinan bahwa dengan gambar seperti itu orang akan terdorong untuk datang ke Bali dengan harapan dapat menyaksikan secara langsung kenyataan yang telah diilustrasikan pada media promosi berupa brosur/gambar 3.3 di atas. Dilihat dari perspektif Tri Hita Karana, hasil manipulasi kenyataan sebagaimana tampak pada gambar 3.3 tidaklah menunjukkan konsep Tri Hita Karana, karena hanya berisi gambar pura dan satu orang membajak sawah yang tidak berkaitan satu sama lainnya.
74
Selain media promosi pariwisata yang menonjolkan citra budaya tradisional Bali, khususnya di Kabupaten Tabanan sebagaimana tampak pada gambar 3.3 di atas, ternyata ada pula media promosi pariwisata yang lebih menonjolkan sifat modern. Hal ini dapat dicermati pada iklan yang ditampilkan pada majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagaimana tampak pada gambar 3.4 di bawah ini.
Gambar 3.4 : Media Promosi berupa iklan majalah Alila dan Mozaik Ubud-Bali Sumber: iklan majalah ”10 Years 11-12 Oct 2013 Ubud Writers & Readers Festival Through Darkness to Light, Habis Gelap Terbitlah Terang” Gambar 3.4 di atas dapat diketahui dengan jelas merupakan iklan yang ditampilkan di sebuah majalah dengan memperlihatkan visualisasi berupa foto meja makan di suatu restoran dengan penataan tersendiri. Unsur-unsur yang ditata berupa gelas, minuman wine, mineral water, serbet, dan lain-lain, lengkap dengan teks berbahasa Inggris. Berdasarkan tampilan iklan majalah ini dapat dipahami bahwa dalam rangka melayani wisatawan yang berkunjung ke Bali, para pihak yang bergerak di bidang usaha pariwisata selain mampu menyediakan pelayanan yang bersifat tradisional juga mampu menyediakan pelayanan yang modern sesuai dengan selera wisatawan asing yang merepresentasikan kebiasaan hidup modern. Dengan pelayanan yang lengkap (tradisional dan modern) seperti itulah diharapkan para wisatawan asing tertarik berkunjung ke Bali dan betah berlama-lama di Bali. Jika disoroti dengan menggunakan perspektif Tri Hita Karana tampaklah pula iklan majalah yang bersifat modern sebagaimana tampak pada gambar 3.4 di atas sama sekali tidak mencerminkan nuansa ideologi Tri Hita Karana. Dikatakan demikian karena tidak ada unsur manusia apalagi hubungan manusia dengan Tuhan,
75
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan alam. Tampaknya hal ini terjadi karena para pembuat media promosi pariwisata tersebut berorientasi pada ideologi dualisme kultural dalam arti sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ideologi dualisme kultural tersebut merupakan salah satu ideologi yang memarginalkan ideologi Tri Hita Karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali.
3.3 Implikasi Bali sebagai Daerah Budaya Pariwisata Implikasi ini dimaksudkan untuk menyatakan media promosi pariwisata budaya Bali yang memarginalkan ideologi Tri Hita Karanaterlihat sebagai media promosi yang mencitrakan Bali sebagai tempat berkembangnya budaya pariwisata, dan bukan pariwisata budaya sebagaimana dikemukakan oleh Picard (2006). Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan pemilik hotel di Sanur berikut ini. “ … karena marketnya sekarang young generation, penikmat hidup, nah itu sekarang kita tidak mau bikin bisnis untuk orang tua, karena mereka berapa tahun sih traveling? itu kacamata bisnis saya tidak mau bikin bisnis untuk bisnis orang tua yang 50 tahun keatas saya tidak mau, selalu yang umur 1820 ….” (wawancara dengan Ida Bagus Agung Parta, 22 Mei 2015) Petikan informasi ini secara jelas menunjukkan pasar sebagai pusat orientasi dalam pembuatan media promosi pariwisata. Hal ini didasari oleh cara pandang atau perspektif (kacamata) yang digunakan adalah perspektif bisnis pariwisata. Mengingat pada masa kini generasi muda (young generation) dipandang sebagai generasi yang dominan di pasar, maka selera generasi muda itulah yang diacu dalam pembuatan media promosi pariwisata. Proses ini memang logis dalam perspektif bisnis pariwisata, namun informasi tersebut tidak menyebut falsafah Tri Hitas Karana sebagai rujukan. Jika dicermati, tampaklah proses pembuatanmedia promosi pariwisata budaya dengan cara yang tidak mencerminkan ideologi Tri Hita Karana sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya merupakan proses konstruksi realitas berdasarkan kepentingan bisnis pariwisata. Mengingat prosesnya itu merupakan proses konstruksi realitas, maka hasilnya tentu saja bersifat imajiner, dalam arti mencerminkan imajinasi atau citra tentang realita yang berlaku sebagai acuan dalam proses pembuatan media promosi tersebut. Ini berarti citra atas realita terkait dengan objek yang dipromosikan telah dibangun melalui pembuatan media promosi pariwisata yang diharapkan dan sekaligus diyakini dapat merangsang kunjungan wisatawan yang 76
semakin banyak. Hasil konstruksinya itu, misalnya berupa folder, billboard, iklan dan lain-lain diyakini sebagai cerminan atas kemampuan mereka mencitrakan Bali sebagai objek wisata yang berdaya tarik wisata tinggi. Menurut pasal 1 ayat 5 UndangUndang RI No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyatakan bahwa “daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan”. Berdasarkan definisi ini maka dapat dikatakan bahwa media promosi pariwisata budaya Bali yang memarginalkan Tri Hita Karana selama ini dipahami sebagai media promosi pariwisata yang telah mencitrakan Bali sebagai daerah wisata yang unik, indah, mempunyai nilai tersendiri tentang beragam kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Namun citra ini dibangun dengan menyesuaikan diri terhadap selera wisatawan atau pasar pariwisata, dan bukannya berdasarkan ideologi Tri Hita Karana. Dengan demikian citra Bali dalam hal ini mengambarkan selera wisatawan bukan menggambarkan budaya Bali. Tampaknya pencitraan yang demikian itu dilandasi pengetahuan, pemikiran, tujuan, dan keinginan serta pembenaran tertentu yang berpusat pada suatu perspektif. Hal ini dapat diketahui dan dicermati pada petikan informasi yang menyatakan “Jadi sekarang ini market tidak usah diajarkan”. Tampaknya pernyataan ini bermaksud bahwa melalui media promosi pariwisata, pasar tidak perlu disuguhi objek yang tidak sesuai dengan selera pasar. Hal ini didasari pengetahuan tentang selera pasar, bahwa selera pasar tidak mengidolakan budaya yang autentik. Oleh karena itu dalam rangka membangun citra Bali melalui media promosi harus dan sudah dilakukan evaluasi untuk menentukan objek apa yang perlu dan/atau tidak perlu digunakan sebagai alat pencitraan Bali melalui media promosi pariwisata. Hasil evaluasinya itu menunjukkan bahwa wisatawan tidak begitu menyukai budaya, sehingga penampilan budaya autentik Bali pun dianggap kurang stretegis dalam rangka mendatangkan wisatawan, karena kurang sesuai selera pasar. Karenanya, berdasarkan perspektif bisnis, pencitraan Bali melalui media promosi pariwisata mesti tidak dilakukan dengan mengikuti keinginan untuk mengorbitkan budaya autentik Bali, melainkan dengan menampilkan gambaran tentang fenomena yang disenangi oleh pasar. Hal ini terlihat dari pernyataan dalam petikan wawancarara bahwa “kita orang istilahnya pembisnis ya, kita terbalik, bukan we are the king, tapi market is the king”.
77
Tanpa demikian, tampaknya diyakini tidak akan bisa meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Keyakinan ini terlihat dari petikan wawancara sebagai berikut. “ …. jadi sekarang kita tebar angket saja di online, sosial group, instragram mana banyak like? oo ternyata lebih banyak suka/like di pantai daripada nonton barong, itu artinya apa? marketnya seperti itu sekarang, bisa kita lihat pertunjukan barong, kecak, orang pake bikini di pantai minum pake cocktail, minum bir di pantai kenyataan orang banyak milih kita…sekali lagi ini masalah bisnis. Jadi media promosi ditentukan oleh market pasar, cara kita menentukan market pasar itu yang young generation” (wawancara dengan Ida Bagus Agung Parta, 22 Mei 2015). Jika dicermati, informasi ini mencerminkan gagasan bahwa situasi pasar sangat penting untuk dijadikan acuan dalam mengemas media promosi. Artinya, kebutuhan pasar dijadikan patokan dalam menentukan objek-objek yang ditampilkan pada media promosi pariwisata. Tanpa demikian, maka media promosi yang disebarkan akan kurang efektif, atau kurang menggelitik wisatawan untuk berkunjung ke objek yang dipromosikan. Hal ini wajar, mengingat promosi tentulah dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan. Petikan informasi di atas tampak lebih mementingkan keuntungan material atau keuntungan ekonomis daripada keuntungan nonmaterial. Kewajarannya itu dapat lebih dimaklumi lagi karena pembuatan promosi ini merupakan kegiatan industri yang berkaitan dengan pariwisata yang berskala internasional,
sedangkan
sebagamana
dikemukan
oleh
R.
Firth
(dalam
Koentjaraningrat, 1990 : 188), selain keuntungan material ada pula keuntungan nonmaterial atau keuntungan sosial-budaya dalam aspek perekonomian. Dalam koteks ini, ekonomi industri dan perdagangan internasional dikatakan lebih mementingkan keuntungan material. Orientasi pada pasar seperti itulah yang mendorong pembuatan media promosi pariwisata budaya yang justru tidak menampilkan objek yang bernuansa budaya Bali, termasuk yang bernuansa Tri Hita Karana. Misalnya objek berupa pentas seni tari barong yang dikatakan kurang digemarti wisatawan dibandingkan dengan objek berupa kegiatan di pantai, seperti kegiatan minum bir, cocktail di pantai ternyata lebih disukai wisatawan, terutama wisatawan dari kalangan generasi muda. Jadi citra pariwisata budaya Bali dalam hal ini dilihat dari kacamata pasar, bukan dari kacamata budaya Bali. Dilihat dari segi kacamatan pasar, tampaklah citra Bali yang promosi pariwisatanya mengabaikan Tri Hita Karana itu sebagai daerah pariwisata yang
78
mampu menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Kemampuan seperti itu lebih memungkinkan untuk memperoleh keuntungan material. Tampaknya pemikiran seperti terurai di atas sudah lumrah di kalangan para pihak yang berkecimpung dalam industry pariwisata di Bali. Kelumrahan itu dapat diketahui berdasarkan informasi berikut ini. “Caranya bagaimana menyampaikannya tergantung pada karakter masyarakat itu sendiri mana yang ditargetkan oleh produk itu sendiri, kalau dia menujunya ke pasar domistik, cirinya domistik supaya bisa komunikasi, kalau dia orang Australia cara-cara berpikir orang Australia apa kesukaan orang Australia, gimana mental-mental orang Australia supaya nyambung itu bisa ditangkap langsung. Tapi kalau ini kita sangkutkan dengan Tri Hita Karana, Tri Hita Karana adalah identitas bukan sebetulnya media kita menyampaikan sesuatu kepada masyarakat itu cuma corak kita saja, identitas saja, kalau kita komunikasi dengan Australia apa cocok Tri Hita Karana kita masukan kesana, mungkin dia tidak nangkap apa maksudnya itu” (Wawancara dengan IB Ngurah Wijaya Ketua Bali Tourism Board(BTB)/Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) tanggal 14 Agustus 2015). Pada intinya petikan informasi ini mencerminkan gagasan bahwa corak media promosi harus sesuai dengan selera wisatawan yang hendak disasar. Secara implisit gagasan ini mengandung pendapat bahwa jika wisatawan yang disasar adalah wisatawan domestik maka media promosi yang digunakan adalah media yang menampilkan objek-objek yang sesuai selera wisatawan domestik. Sebaliknya, jika wisatawan yang hendak disasar adalah wisatawan mancanegara, maka media promosi yang dibuat dan digunakan adalah media promosi yang menampilkan objek-objek yang sesuai selera wisatawan mancanegara. Dalam konteks ini, media promosi pariwisata yang mengedepankan objek bernuansa Tri Hita Karana dianggap kurang relevan untuk menyasar wisatawan mancanegara, seperti wisatawan Australia yang dianggap tidak tahu apalagi tertarik dengan Tri Hita Karana. ”Kalau kita komunikasi dengan Australia apa cocok Tri Hita Karana kita masukan kesana, mungkin dia tidak nangkap apa maksudnya itu.Bali ini mau dijual apanya, kalau kita mau jual budayanya target market kita orang budaya itu yang interest dengan budaya kita, kalau kita targetkan dengan orang yang suka sport sdh tidak nyampe, kalau kita mau menyampekan dengan orang bisnis, sudah tidak nyampe. Itu garis besarnya, jangan sampe kita-kita Tri Hita Karana itu dipake sebagai, market itu harus terima ini, ada orang yang tidak bisa terima, kalau kita inginkan orang-orang yang budaya kemari kita cari market yang berbudaya tersebut, yang cari budaya itu” (Wawancara dengan IB Ngurah Wijaya Ketua Bali Tourism Board(BTB)/Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) tanggal 14 Agustus 2015).
79
Berdasarkan inti petikan informasi yang demikian itu maka dapat dikatakan bahwa informan yang bersangkutan memaknai Tri Hita Karana merupakan identitas budaya Bali yang kurang relevan untuk ditampilkan pada medias promosi pariwisata yang hendak menyasar wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Namun argumentasi atas anggapannya ini adalah karena wisatawan tidak tahu apalagi tertarik dengan Tri Hita Karana. Jadi anggapan ini seakan-akan mengklaim bahwa media promosi pariwisata budaya Bali yang bernuansa Tri Hita Karana tidak memungkinkan untuk menarik perhatian wisatawan. Ini berarti, media promosi pariwisata yang tidak menonjolkan Tri Hita Karana dianggap lebih cocok untuk memangun citra Bali sebagai daerah pariwisata.
Padahal media promosi
pariwisata budaya Bali yang bernuansa Tri Hita Karana bukan berarti ditujukan untuk memahamkan atau mengajarkan Tri Hita Karana kepada wisatawan, melainkan untuk membuat media promosi yang tetap menarik perhatian wisatawan tetapi tetap pula mencerminkan identitas budaya Bali. Lagipula media promosi pariwisata yang berrnuansa Tri HitaKarana bukan tidak mungkin untuk menarik perhatian wisatawan, karena sebagaimana telah dikatakan Tri Hita Karana berintikan keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam. Oleh karena itu, jika media promosi pariwisata budaya Bali bisa dikemas dengan tetap mengandung nilainilai Tri Hita Karanavberarti media promosi itu mencitrakan Bali yang Bali (bersih, aman, lestari, dan indah), karena nilai keharmonisan seperti itulah yang memungkinkan untuk membangun Bali yang Bali. Tentu saja keharmonisan beserta kebersihan, keamanan, kelestarian, dan keindahan didambakan
oleh
siapapun,
termasuk
oleh
seperti ini pada umumnya
wisatawan.
Dengan
demikian,
persoalannya adalah pada kemampuan membuat media promosi pariwisata budaya Bali yang menarik tetapi bernuansa Tri Hita Karana.
4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Pertama, ada ideologi pasar di balik fenomena marginalisasi ideologi Tri Hita Karana pada media promisi pariwisata budaya Bali. Ideologi pasar yang ada di balik media promosi pariwisata budaya Bali tercermin dari beragamnya produk media promosi pariwisata budaya Bali. Keberagaman produknya itu terlihat dari jenis media promosi (folder, iklan majalah, dan billboard); dan elemen-elemen visual seperti logo, warna, teks, ilustrasi atau gambar. Walaupun beragam sesungguhnya yang paling 80
dominan/sentral adalah ideologi pasar. Artinya ideologi selain ideologi pasar sebagaimana disebutkan di atas diilhami oleh ideologi pasar yakni ideologi yang mengutamakan perolehan uang. Kedua, media promosi pariwisata yang ideologi Tri Hita Karana-nya termarginalisasi berimplikasi dalam pencitraan Bali sebagai daerah pariwisata budaya. Implikasinya itu adalah: (1) Bali sebagai daerah budaya pariwisata (bukan pariwisata budaya). Berdasarkan implikasi seperti itu, maka media promosi pariwisata budaya Bali terlihat kurang mendukung upaya menegaskan identitas pariwisata budaya Bali, yaitu pariwisata budaya yang berbasis Tri Hita Karana. Dalam keadaan demikian, citra Bali terlihat sebagai daerah pariwisata budaya yang dikonstruksi melalui proses pembuatan media promosi pariwisata yang secara signifikan didasarkan pada kepentingan bisnis pariwisata.
4.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran yang dapat diajukan kepada pemerintah, konsultan desain grafis, dan swasta sebagai berikut. Pertama, stakeholder tersebut agar mengikuti amanat Perda Bali Nomor 2 Tahun 2012. Dengan demikian, media promosi pariwisata budaya Bali tetap menunjukkan kekhasan sebagai identitas Bali sebagai daerah pariwisata, namun tetap pula menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Kedua, mengingat aspek promosi pariwisata yang dikaji dalam penelitian ini terbatas hanya mengenai media cetak, maka aspek lainnya yaitu media elektronik misalnya: web-site, cd interaktif, iklan televisi, dan media sosial, menarik juga diteliti dikemudian hari baik oleh peneliti lain maupun sebagai lanjutan penelitian ini.
REFERENSI Alexander, Aur. 2005. “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog antarperadaban”. Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan. Halaman 145-161.Yogyakarta : Kanisius.
Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Aminuddin, 2002. “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower”. Dalam Kris Budiman (penyunting), Analisis Wacana dari Linguistik Sampai Dekonstruksi.Halaman 1-53. Yogyakarta : Penerbit Kanal. 81
Arisandi, Ni Gst A.D.P. 2011. “Persepsi Masyarakat Desa Beraban tentang Program Siaran Pariwisata Budaya di Bali TV sebagai Media Informasi dan Promosi”. Tesis Program Studi Magister Pariwisata, Universitas Udayana. Baha, Lajar A. 2005. ”Jaques Derrida dan ’Perayaan’ Kemajemukan”. Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan. Halaman 163175.Yogyakarta : Kanisius.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Berger, Peter L dan Luckmann, 2012. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. (Hasan Basari, Pentj). Jakarta: LP3ES.
Desi, I D S dan Larry, J. 2009. Kajian Penerapan Konsep Barnding Bali pada Media Promosi Dinas Pariwisata budaya Bali tahun 2008. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.
Faruk, HT, 2002. “Konsep dan Analisis Wacana Althusserean”. Dalam Kris Budiman (penyunting), Analisis Wacana dari Linguistik Sampai Dekonstruksi.Halaman 135-153.Yogyakarta : Penerbit Kanal. Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta:Granit. Hamad,
Ibnu.2004. KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DALAM MEDIA MASSA(Studi Pesan Politik Dalam Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999). Jurnal: Makara, Sosial Humaniora, Vol 8, No.1, April. Halaman 21-32. Jakarta:UI.
Harker, Richard. t.t. ”Bourdieu-Pendidikan dan Reproduksi”, dalam (Richard Harker, ed.; Pipit Maizier, penerjemah),(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Halaman 109-138.Yogyakarta : Jalasutra. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fak Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
82
Koentjaraningrat. 1980. “Metode Wawancara”. Dalam Koentjaraningrat (ed.). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Halaman 129-157. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Penelitian Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers Mely G. Tan. 1980. ”Masalah Perencanaan Penelitian”. Dalam Koentjaraningrat (ed.) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Halaman 14-43.Jakarta : PT Gramedia. Miles, B.B., dan Huberman A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Denpasar: Provinsi Bali.
Plummer, Ken. 2013. Sosiologi the Basic. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama. Pujiriyanto, 2005. Desain Grafis Komputer (Teori Grafis Komputer). Andi: Yogyakarta. Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi : Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta : Jalasutra. Taylor, Steven dan Bogdan Robert, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods. New York : John Wiley & Sons.
83
84