LAPORAN RESMI PRAKTIKUM IMUNOLOGI
DISUSUN OLEH : 1. Aji Iin Safitrie (PO 7234008001) 2. Ami Yudhita (PO 7234008002) 3. Andi Budiman (PO 7234008003) 4. Aniek Rosalita (PO 7234008004) 5. Anisa Ulfah (PO 7234008005)
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR JURUSAN ANALIS KESEHATAN TINGKAT II TAHUN 2009/2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan taufiq dan hidayah-Nyalah laporan resmi ini dapat terselesaikan. Dan tak lupa pula shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, karena beliaulah yang menuntun kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang terang benderang dengan limpahan ilmu dan pendidikan seperti saat ini. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada Pembimbing Praktikum mata kuliah Imunologi. Dan tak lupa pula kami sampaikan rasa terima kasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam menyelesaikan laporan resmi ini. Kami menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan lapang dada dan senang hati menerima saran maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami susun ini. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Samarinda,
Juli 2010
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................. ii PRAKTIKUM 1 : PEMERIKSAAN KEHAMILAN DENGAN REAKSI BIOLOGIK (GALLI MAININI) .......... 1 BAB I
PENDAHULUAN ...................................................... 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 3
BAB III
METODE KERJA ....................................................... 9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................... 11
BAB V
PENUTUP ................................................................... 13
PRAKTIKUM 2 : PEMERIKSAAN WIDAL (SLIDE TEST) ........... 14 BAB I
PENDAHULUAN ...................................................... 15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 17
BAB III
METODE KERJA ....................................................... 22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 24
BAB V
PENUTUP ................................................................... 26
PRAKTIKUM 3 : PEMERIKSAAN RHEUMATOID FACTOR (RF) ........................................................................................................ 27 BAB I
PENDAHULUAN ....................................................... 28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 29
BAB III
METODE KERJA........................................................ 35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 38
BAB V
PENUTUP .................................................................... 40
PRAKTIKUM 4 : PEMERIKSAAN ANTI STREPTOLISIN-O (ASTO) ........................................................................................................ 41 BAB I
PENDAHULUAN ....................................................... 42
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 43
BAB III
METODE KERJA........................................................ 50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 53
BAB V
PENUTUP .................................................................... 54 ii
PRAKTIKUM 5 : PEMERIKSAAN C-REAKTIF PROTEIN (CRP) ........................................................................................................ 55 BAB I
PENDAHULUAN ....................................................... 56
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 58
BAB III
METODE KERJA........................................................ 63
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 66
BAB V
PENUTUP .................................................................... 67
PRAKTIKUM 6 : PEMERIKSAAN KEHAMILAN (RAPID TEST) ........................................................................................................ 68 BAB I
PENDAHULUAN ....................................................... 69
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 70
BAB III
METODE KERJA........................................................ 75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 77
BAB V
PENUTUP .................................................................... 79
PRAKTIKUM 7 : PEMERIKSAAN WIDAL (TUBE TEST) ............. 80 BAB I
PENDAHULUAN ....................................................... 81
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 83
BAB III
METODE KERJA........................................................ 88
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 91
BAB V
PENUTUP. ................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
iii
PEMERIKSAAN KEHAMILAN DENGAN REAKSI BIOLOGIK (GALLI MAININI)
1
2
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Arti hamil atau kehamilan adalah bila seseorang wanita mengandung sel
telur yang telah dibuahi atau di hamilkan oleh sperma. Dahulu untuk menguji kehamilan, di gunakan berbagai macam reaksi, antara lain yaitu : a.
Reaksi dari Hogben Untuk reaksi ini diperlukan kodok dari Afrika Selatan, yaitu Xenopus laevis.
b.
Reaksi dari Consulof Untuk reaksi ini digunakan kodok berwarna yang disebu Rana exculenta.
c.
Reaksi dari Friedman Friedman adalah dokter gynacologi dari Jerman. Binatang yang digunakan adalah kelinci betina yang telah diasingkan 3 minggu supaya tidak kawin, karena kelinci tidak akan ovulasi bila tidak berhubungan dengan jantan.
d.
Reaksi Galli Mainini Pada praktikum kali ini akan dilakukan uji kehamilan dengan metode Galli Mainini. Walaupun, pada jaman sekarang ini sudah banyak dilakukan uji kehamilan yang lebih sederhana, mudah, dan lebih modern, tidak ada salahnya kita sebagai mahasiswa mengetahui cara melakukan uji kehamilan secara Galli Mainini.
I.2
Tujuan Uji kehamilan secara biologik dengan reaksi Galli Mainini ni bertujuan
untuk mengetahui apakah seorang wanita yang di periksa urinya sedang hamil atau tidak.
I.3
Manfaat Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan uji kehamilan (Galli
Mainini) dengan menggunakan katak Buffo vulgaris jantan. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam urin perempuan yang sedang hamil terdapat semacam hormon sifatnya menyerupai hormone Gonadotropin (yang berbentuk glikoprotein) dari bagian depan (lobus anterior) kelenjar hypofisis. Hormone ini tidak hanya pada perempuan hamil tetapi juga terdapat pada cancer dan ovarium. Permukaan menopause, kehamilan yang abnormal, abortus mola, tumor dari testis, dan lain sebagainya. (Zr. Cristina Ibrahim, 1971). Tanda – tanda kehamilan ada yang di bagi menjadi dua saja, yaitu :
Tanda–tanda tidak pasti
Tanda–tanda pasti Dan ada pula yang membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
Tanda–tanda tidak pasti
Tanda–tanda kemungkinan
Tanda–tanda pasti
(Zr. Cristina Ibrahim, 1971)
Adapun gunanya mengetahui tanda–tanda kehamilan itu agar benar-benar mengetahui apakah ibu yang perutnya besar itu hamil atau tidak, karena tidak semua ibu yang perutnya besar itu hamil. Perut besar biasa disebabkan karena asitues, ovarial cyste, myoon, tumor dan lain sebagainya.
II.1
Tanda – tanda tidak pasti
a.
Amenorhoe Pendarahan yang disebabkan k arena implantasi dari ovum ke dalam deciduas. Pendarahan ini tidak terlalu banyakdan lama bila dibandingan dengan menstruasi biasa.
b.
Perubahan buah dada
4
c.
perasaan mual di waktu pagi (morning sickness)
d.
Pergerakan janin yang pertama, disebut juga Quickening . quick ini berarti pula hidup, adanya Quickening menandakan adana individu yang hidup.
e.
Sering buang air kemih.
f.
Membesarkan perut.
II.2
Tanda – tanda kemungkinan
a.
Tanda – tanda dari hegar Berdasarkan adanya uterus segmen bawah yang lebih lunak daripada bagian yang lain dan embrio belum mengisi bagian seluruh ruangan uterus, tetapi biasanya bertempat diatas dekat fundus uterine.
b.
Tanda – tanda dari piskacek Berdasarkan adanya tempat yang kosong pada rongg uterus karena embrio biasanya terletak di sebelah atas, sehingga pada pemeriksaan dimanual akan terasa benjolan yang asimetris.
c.
Tanda – tanda Braxton Hicks Berdasarkan adanya kontraksi – retraksi, dan relaksasi pada otot – otot utrus yang sedang membesar.
d.
Tanda – tanda Chadwick Berdasarkan adanya kongesti setempat ialah pada uterus karena uterus sangat banyak membutuhkan darah.
e.
Reaksi biologik - Reaksi Hogben Menggunakan kodok xenopus laevis, disuntikan dengan 2 cc urin wanita yang sedang hamil. Bila reaksi positif maa kodok akan mengadakan ovlasi dengan tanda mengeluarka telur dalam waktu 12 – 24 jam. - Reaksi dari Consulof Menggunakan kodok rana exculenta, sebelum di gunakan kodok ini di ambil kelenjar hypohysenya lebih dahulu hingga warna kodok menjadi pucat. Kemudian kodok ini disuntikan dengan 2,5 cc urin wnta yang
5
sedang hamil, bila setelah disuntik warna kodok tersebut menjai cokelat, maka reaksi kehamilan positif. - Reaksi dari Galli Mainini Menggunakan kodok jantan buffo vulgaris disuntikan 5 c air kemih wanita yang sedang hamil pada bagian bawah kulit peerut kodok. Jika hasil dari uji tersebut adalah positif maka akan di temukan sperma pada air kemih kodok yang telah didiamkan selama 3 jam. - Reaksi Friedman Menggunakan kelinci betina yang telah 2 minggu diasingkan dari jantan. Disuntikan 5 cc air kencing wanita yang sedang hamil intravena pad vena telinga kelinci selama 2 hari berturut – turut. Setelah 24 jam laludilakukan laparotomi, diambil ovarium, diperiksa, bila ada korpus rubra dan lutea maka hasil tersebut adalah positif. - Reaksi Aschiem Zondek Menggunakan 5 ekor tikus betina imatur, pada hari kelima di dakan operasi pada tikus – tikus betina yang telah di suntik itu. Operasi di titik beratkan pada perubahan ovarium tikus putih, apakah ada korpus rubrum. Jika ada maka hasilnya adalah positif, yang menandakan adanya prognandiol dalam air kemih menyebabkan adanya ovulasi pada tikus yang belum dewasa.
f.
Reaksi Imunologik Dasarnya adalah reaksi antigen – antibody, dimana hcg bersifat antigen, sebagai antibody di kenal pregnosticon, gravidex dan qoravis.
II.3
Tanda – tanda pasti
a.
Terdengarnya detik jantung anak
b.
Terabanya bagian – bagian anak
c.
Pergerakan anak
d.
Pemeriksaan roentgen (Zr. Cristina Ibrahim, 1971)
6
II.4
Alat Reproduksi Alat kelamin pada katak jantan terdiri atas satu pasang testis yang
berwarna putih kekuning – kuningan. Disebelah mukanya terdapat badan lemak yang dinamakan korpus adiposum.testis menghasilkaan spermatozoa di keluarkan melalui saluran halus menuju ke ginjal dan dikelarkan bersama – sama air kencing melalui ureter.alat kelamin betina terdiri ats satu pasang ovarium yang terletak pada rongga perut. Pada musim birahi, ovarium ini membesar dan berisi ovum, yang kemudian akan di keluarkan masuk dalam corong oviduct (infundibulum) dan di lanjutkan ke saluran telur (oviduct). Letak corong ovidut yaitu disebelah cranial dari ovarium. Dalam saluran telur itu, ovum di lengkapi dengan selaput telur berbentuk selai yang di keluarkan oleh dinding saluran telur di keluarka pada saat kopulasi. (Soedarjatmo, 1991) Pada laki-laki dan perempuan, gonad memiliki fungsi endokrin dan reproduksi sperma dan ovum berasal dari epitel germinatifum, sedang epitel sekretorik yang secara embriologis berbeda menghasilkan testosteron pada laki – laki, dan estrogen serta progesterone pada laki – laki. (Sacher, 2004) Hormone–hormone hipofisis yang mengatur sekresi endokrin sehingga mempengaruhi fungsi reproduksi. Hormone – hormn tropic ini baik pada laki–laki maupun perempuan, disebut follicle stimulating hormone (FSH) dan lutoinizing hormone (LH). (Sacher, 2004) Hormone gonadotropin chronik (HCG) merupakan hormone glikoprotein yang unik untuk plasenta yang sedang tumbuh. Sebelum immunoassay tersedia paa tahun 1960-an uji–uji kehamilan menggunakan bioassay yang memerlukan hewan (kelinci, tikus, dan katak) untuk membuktkan adanya HCG dalam serum atau urine. Tes yang menggunakan kelinci, tikus, dan katak pada waktu ini telah diganti oleh tes imunologik yang menggunakan antibody terhadap HCG, (Sacher, 2004) Dari kelima reaksi yang dilakukan untuk menguji adantya kehamilan pada seorang wnita, yang banyak di gunakan pada rumah sakit besar maupun kecil adalah reaksi Galli Mainini hal ini disebabkan karena reaksi ini menggunakan kodok yang mudah di dapat. Kodok yang di gunakan adalah kodok biasa yaitu
7
Buffo vulgaris dengan berat katak antaa 25–30 gram yang hidup di padang rumput dekat rumah–rumah, tetapi katak jantan tersebut tidak mempunyai sel mani. Jadi kodok ini sebelum disuntikan dengn urin wanita yang sedang hamil, diperiksa terlebih dahulu urin katak tersebut apakah mengandung sel mani atau tidak mengandung sel mani, lalu urin penderiuta disuntikan pada katak, jika mengandung sel mani berarti menandakan bahwa reaksi kehamilan positif, sehingga dapat di ketahui pregnandiol mempengaruhi keluarnya sel mani. (Zr. Christina Ibrahim, 1971) Telah kita ketahui bahwa dalam melakukan reaksi Galli Mainini harus di gunakan katak Buffo vulgaris jantan. Adapun ciri – ciri dari katak Buffo vulgaris jantan adalah sebagai berikut : 1.
Pada telapak kaki depan terdapat penebalan berwarna hitam.
2.
Pada kulit leher bagian ventral terdapat warna agak merah yang kekuning – kuningan.
3.
Warna tubuh biasanya lebih agak gelap di banding dengan betina.
(http://one.indroskripsi.com/content/uji-kehamilan-Galli-Mainini)
II.5
Ciri-ciri Kelas Amphibia Ciri–ciri dari kelas Amphibia adalah : Kulit selalu basah karena mengandung lendir, kebanyakan tidak bersisik,
kecuali memiliki dua pasang anggota gerak untuk jalan atau berenang,jari kaki 4– 5 atau kurang, tidak berkuku atau cakar, ada yang tidak berkaki, jantung beruang tiga, dua atrium satu ventrikel, sel darah merah bentuknya oval dan memiliki inti sel, bernafas dengan insang, paru – paru, dan kulit atau lapisan dinding rongga mulut. (Soedarjatmo, 1991) Berdarah dingin, suhu tubuh berubah – ubah sesuai suhu di sekitarnya (poikiloterm), fertilisasi umumnya eksternal, tetapi ada yang internal,n kebanyaka ovipar, telur dibungkus lapisan lendir, diletakkan di air, larva hidup di air bernafas dengan insang luar, insang dalam, bentuk ewasa bernafas dengan paru – paru atau kulit dan hidup di air atau termasuk tempat yang lembab di darat. (Soedarjatmo, 1991)
8
Hormone HCG tidak hanya terdapat pad perempuan hamil saja, tetapi terdapat juga pada cancer dari ovarium, permulaan menopause, kehamilan yang abnormal, abnrtus, tumor dari testis, dan lain – lain. Bentuk dari chonon gonadotropin belum begitu jelas, (Anonim, 1989) Penetapan HCG dalam urin sejak lama di pakai sebagai indikator kehamilan. Saat ini uji serologic, HCG dalam cairan tubuh, di samping digunakan untuk kehamilan, juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosis kehamilan I luar kandungan, memperkirakan terjadinya abnotus, tumor tiofoblastik, tumor testicular, bahkan beberapa jenis tumor lain yang tidak berasal dari tiofoblas, (Kresno, 1985)
9
BAB III METODE KERJA
III.1
Waktu dan tempat praktikum Praktikum
pemeriksaan
tes
kehamilan
biologik
(Galli
Mainini),
dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 April 2019. Di Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur.
III.2
Prinsip Jika urin eorang wanita yang sedang hamil di sntikan pada seekor katak
jantan, maka dalam 1 atau 2 jam dalam urin katak tersebut akan di temukan sperma.
III.3
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dipergunakan pada praktikum ini adalah:
a.
Katak bengkerok (Buffo Vulgaris) jantan
b.
Spuit 5 ml
c.
Urin wanita hamil
d.
Tempat katak
e.
Mikroskopik
f.
Objek glass
g.
Lidi kapas
h.
Stopwatch
III.4
Cara kerja
a.
Sediakan 2 ekor katak bengkerok (Buffo Vulgaris) jantan dewasa.
b.
Merangsang dengan menggunakan lidi berbungkus kapas pada bagian kloakanya, kemudian jika keluar sesuatu, menaruhnya pada kaca objek dan memeriksa dengan mikroskop. Jika cairan tersebut sperma maka yang harus dilakukan adalah yaitu membersihkannya terlebih dahulu. 10
c.
Menyiapkan 3 ml urin wanita hamil kemudian gunakan spuiut untuk menyuntikkan urin tersebt secara sub–kutan (di bawah kulit) dengan cara mencubit atau menarik kulit katak kemudian suntikan. Baisanya untuk penyuntikan ini di pilih tempat untuk kulit punggung.
d.
Mengembalikan katak paa tempatnya, kemudian tunggu 1 jam untuk melihat reaksinya. Setelah iutu merangsang bagian kloaka dengan lidi. Jika ada cairan yang keluar, letakan pada kaca objek,. Lihat pada mikroskp jika tidak di temukan sperma, maka di anjurkan untuk melakukan pemeriksaan setelah 2 – 3 jam sampai di temukan adanya sperma.
III.4
Interpretasi Hasil Hasil positif
: Bila pada urin katak di temukan adanya sperma.
Hasil negatif : Bila pada urin katak tidak di temukan adanya sperma.
Positif (+)
Negatif (-)
11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Dari hasil pemeriksaan uji kehamilan cara biologis reaksi Galli Mainini
diketahui bahwa : Kodok 1 : hasilnya positif (ditemukan sperma pada urin katak) Kodok 2 : hasilnya positif (ditemukan sperma pada urin katak)
IV.2
Pembahasan Dalam melakukan praktikum pemeriksaan uji kehamilan cara biologis
reaksi Galli Mainini, bias di peroleh hasil negative palsu, hal ini disebabkan oleh : a.
Urin umur kehamilan yang di pilih kurang sesuai, karena jika umur kehamilan sudah mencapai > 5 bulan, maka HCG yang ada dalam wanita hamilsemakin lama akan semakin berkurang,sehingga menyebabkan berkurangnya rangsangan katak untuk mengeluarkan sperma.
b.
Kurang teliti dalam menyuntikan bagian tubuh katak.
c.
Kurang tepat dalam cara menyuntikan urin, bias jadi pada saat penyuntikan , banyak urin yang tidak masuk atau keluer dari area yang diinginkan.
d.
Kurag tepat dalam menyuntikan jumlah urin, sehingga jumlah urin yang masuk kurang banyak atu berlebihan, sebaiknya jumlah urin yang di suntikan pada katak disesuaikan dngan besarnya kodok..
Dapat diperoleh hasil positif palsu, di sebabkan oleh karena : a.
Pada saat katak belum di suntikan dengan urin orang hamil, pada urin katak tersebut sudah terdapat sperma, sehingga setelah katak di suntikan dengan urin orang hamil, urin dari katak tersebut dapat terlihat sperma juga dan tidak dapat di bedakan, apakah sperma tersebut berasal dari
12
rangsangan HCG yang terdapat dalam urin orang hamil atau sperma karena katak yang sedang birahi karena pada saat meletakan di suatu tempat, katak jantan tersebut tercampur dengan katak betina. b.
Pada praktikum kali ini kita tidak menggunakan katak betina tetapi melainkan katak jantan dengan cirri – ciri sebagai berikut : - Tubuhnya ramping - Tadannya kecil – sedang - Kaki depannya ada kaitnya - Kakinya mencengkram - Kantung suaranya besar, tidak birahi
Produksi HCG meningkat sampai kurang lebih hari ke 60 kehamiln dan untuk kemudian menurun kembali. Satu minggu postpartum HCG tidak di temukan kembali dalam serum dan air kencing. Fungsi dari HCG ini adalah mempertahankan korpus ikteum yang membuat estrogen dan progsteron sampai pada saat plasenta terbentuksepenuhnya dan dapat membuat sendiri cukup estrogen dan progesterone. Pada saat it kadar HCG juga turun , HCG di buat di plasenta. HCG berguna untuk mendeteksi kehamilan sedini mungkin sebaiknya urin yang digunakan untuk pemeriksaan kehamilan adalah urin pertama pagi yang pekat karena mengandung lebih banyak hormone HCG/satuan volume. Karena uji kehamilan ini mnggunakan kadar hormone HC dalam urin untuk mengetahui kehamilan, kadang – kadang memang menunjukan hasil yang negative pada kasusu – kasus tertentu, misalnya pada kehamilan yang terlalu dini. Jika kadar hormone pada urin belum tinggi, otomatis hantya muncul satu garis dan dianggap negatif (pada pemeriksaan strip tes).
13
BAB V PENUTUP
V.1
Kesimpulan Dari pemeriksaan kehamilan reaksi Galli Mainini, di dapatkan kesimpulan
bahwa, urin wanita hamil bereaksi positif, ditandai dengan adanya sel sperma pada urin katak yang di periksa.
V.2
Saran
1.
Pada pemeriksaan kehamlan Galli Mainini sebaiknya menggunaan pagi atau urin yang pekat.
2.
Sebaiknya menggunakan urin orang hamil yang masih berusia 5 bulan karena pada usia tersebut, hormone HCG kadarnya sangat tinggi.
3.
Sebaiknya pada saat melakukan praktikum di gunaka sarung tangan karena urin katak mengandung toksin yang menyebabkan dermatitis pada kulit.
14
PEMERIKSAAN WIDAL (SLIDE TEST)
15
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masuk melalui saluran
cerna kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui darah. Deman tifoid disebabkan oleh bakteri yang disebut Salmonella serovarian dan paratyphi. Terdapat ratusan jenis bakteri salmonella, tetapi hanya 4 jenis yang dapat mengakibatkan penyakit demam tifoid yaitu Salmonella serovarian typhi, paratyphi A, paratyphi B, paratyphi C. Di Indonesia tifus merupakan penyakit endemis yang berarti kasusnya selalu ada sepanjang tahun. Umumnya penderita tifus meningkat terutama pada musim kemarau . pada saat kemarau terjadi kekurangan air bersih dan sumber air yang mudah tercemar. Setiap tahun penderita tifus di daerah perkotaan di Indonesia mencapai angka 700-800 kasus per 100.000 penduduk. Demam
tifoid atau yang sering disebut tifus terjadi bila seseorang
terinfeksi kuman Salmonella, yang pada umumnya melalui makanan dan minuman yang tercemar. Apabila kuman yang masuk kedalam tubuh sangat banyak dan mampu menembus dinding usus serta dapat masuk kealiran darah hingga menyebar keseluruh tubuh. Maka hal ini akan dapat menimbulkan infeksi pada organ tubuh lain diluar saluran cerna. Pada hari pertama, sering kali kesulitan membedakan apakah demam yang timbul disebabkan oleh tifus atau penyebab demam lain seperti demam berdarah umumnya meningkat mendadak dengan suhu sangat tinggi, dan demam akan turun secara cepat dihari ke 5-6. Bila demam sudah berlangsung lebih dari 7 hari, maka sangat memungkinkan demam tersebut disebabkan oleh tifoid bukan karena demam berdarah. Gejala lain yang sering menyertai adalah gejala pada pencernaan seperti mual, muntah, sembelit atau diare. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan untuk mendiagnosa penyakit tifus adalah pemeriksaan widal.
16
I.2
Tujuan Tujuan dari praktikum pemeriksaan widal adalah untuk mengetahui
adanya antibody spesifik terhadap bakteri Salmonella.
I.3
Manfaat Manfaat dari praktikum pemeriksaan widal adalah agar mahasiswa
memahami dan mengetahui cara pemeriksaan widal dan memahami cara interpretasi hasil pemeriksaan widal.
17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Morfologi dan Identifikasi Salmonella sering bersifat pathogen untuk manusia atau hewan
jika
masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Bakteri ni ditularkan dari hewan atau produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteris, infeksi sistemik dan demam enteric. Salmonella merupakan bakteri Gram (-) batang, tidak berkapsul dan bergerak dengan flagel peritrich. (Soemarno, 2000) Panjang Salmonella bervariasi, kebanyakan spesies kecuali Salmonella pullorumgallinarum dapat bergerak dengan flagel peritrich, bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Bakteri ini termasuk asam dan kadang – kadang gas dari glukosa dan maltosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau brilliant, natrium tetratrionat, dan natrium desoksikolat) yang menghambat bakteri enteric lainnya. Oleh karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan
dalam
pembenihan yang dipakai untuk mengisolasi
Salmonella dari tinja. (Jawetz, dkk. 1996) Salmonella tumbuh dengan situasi aerob dengan suhu optimum 36o C. Mac conkey agar
: koloni tidak berwarna, jernih, keping, sederhana, bulat, smooth.
EMB
: koloni tidak berwarna, sedang lebih besar dari MC,
keping. SSA
: koloni tidak berwarna, kecil-kecil, smooth, bulat, keeping.
Desoxycholate Citrate : koloni kecil-kecil, sedang, berwarna, jernih kelabu, smooth, keeping. Endo Agar
: koloni kecil, tidak berwarna atau merah muda, kecilsedang, keeping.
18
Hektoen Enteric Agar : koloni kecil sedang, berwarna hijau biru, dengan atau tanpa warna hitam tengah, koloni bulat, smooth. TSI
: Lereng = alkali/asam Gas = +/-
(Soemarno. 2000)
II.2
Struktur Antigen Meski pada awalnya Salmonella dideteksi berdasarkan sifat sifat
biokimianya, golongan dan spesiesnya harus di identifikasi dengan analisis antigen. Seperti Enterobacteriacea lain, Salmonella
memiliki antigen O (dari
keseluruhan berjumlah lebih dari 60) dan antigen H yang berbeda pada salah satu atau kedua fase. Beberapa Salmonella
mempunyai antigen simpai (K) yang
disebut V1 yang dapat menganggu aglutinasi melalui anti serum O, antigen ini dihubungkan dengan sifat invasif yang dimilikinya. Tes aglutinasi dengan anti serum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda merupakan dasar untuk klasifikasi Salmonella secara serologi. (Jawetz, dkk. 1996)
No
Spesies/ Serotype
1 2 3 4 5 6 7 8
S. paratyphi S. PB (S. schotmulerri) S. thyphimurium S. Pc (S. hirschfedli) S. cholera suis S. doncaster S. djeta S. typhi
O Grup A B B C.1 C.1 C.2 C.3 D.1
Susunan Antigen O H-1 1,2,12 a 1,4(5),12 b 1,4(5),12 i 6,7(V1) c 6,7 (c) 6,8 a 8 b 9,12,(v1) d
H-2 1,2 1,2 1,5 1,5 1,5 1,2 -
(Soemarno. 2000)
II.3
Klasifikasi Salmonella yang dapat dan sebaiknya secara rutin di identifikasi karena
penting dalam klinis yaitu S. typhi , S. choleraeusis,S. parathyphi A, S. paratyphi B. (Jawetz dkk,1996)
19
II.4
Demam Tifoid Demam
tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih di jumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. (http : // www.wido25.blogster.com) Penularannya dapat terjadi melalui kontak antar manusia atau jika makanan dan minuman yang di konsumsi terkontaminasi di karenakan penanganan yang tidak bersih. Selang waktu antara infeksi dan permulaan sakit ( masa inkubasi ) tergantung dari banyaknya bakteri apa yang masuk ke dalam tubuh. Masa inkubasi berkisar antara 8-14 hari. (http://www.prodia.co.id) Penyakit demam tifoid ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk, serta
standar hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
II.5
Penyakit Tifus Gejala Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala mengenai infeksi akut pada
umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, nafsu makan menurun, sakit perut, diare pada anak-anak atau sulit buang air besar pada orang dewasa. Suhu tubuh meningkat terutama pada sore hari dan malam hari. Setelah minggu ke dua gejala menjadi lebih jelas , yaitu demam yang tinggi terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut keriting, bibir kering dan pecah – pecah, lidah di tutupi oleh selaput putih kotor, pembesaran hati dan limfa, serta timbul rasa nyeri bila di raba, dan gangguan kesadaran dari yang ringan, apatis, koma. Penyakit tifus yang berat menyebabkan komplikasi pendarahan, kebocoran usus, infeksi selaput, renjatan bronkopnemonia dan kelainan di otak. Jika terdapat gejala penyakit tifus segera di lakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit tifus, koma. Keterlambatan diagnose dapat menyebabkan komplikasi yang berakibat fatal, sampai pada kematian.
20
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna. Tetapi bisa terjadi komplikasi terutama bila tidak di obati atau pengobatan terlambat berupa: a.
Perdarahan usus (2 % penderita) Perforasi usus (1-2 % penderita yang menyebabkan nyeri perut karena isi usus menginfeksi rongga perut).
b.
Infeksi kantung kemih dan hati
c.
Infeksi darah ( bakterimia) yang kadang menyebabkan infeksi organ tubuh lainnya.
(http:// beingmom.org/ indeks.php/2007/10/26/Demam_Tifoid)
II.6
Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologi Uji serologi di gunakan untuk membantu menegakkan diagnose demam
tifoid dengan mendeteksi anti bodi spesifik terhadap komponen anti gen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologi yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi:
II.6.1 Uji Widal Merupakan suatu metode serologi baku dan rutin. Teknis aglutinasi ini dapat dilakukan dengan uji hapusan atau uji tabung. Uji ini di lakukan dengan mencampur serum yang sudah di encerkan dengan suspensi Salmonella mati yang mengandung anti gen O (somatik) dan H (flagel).
II.6.2 Test Tubex Test aglutinasi kompetitif
semikuaantitatif yang cepat dan sederhana
dengan menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan sensitifikasi. Spesifikasi di tingkatkan dengan menggunakan antigen O yang benar – benar spesifik yang hanya di temukan pada Salmonella setogrup D.
21
II.6.3 Metode Enzyme Immunoassay Didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgM terhadap antigen OMP 50 kp. S. typhi. Deteksi IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut, sedangkan IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid fase pertengahan infeksi.
II.6.4 ELISA Dipakai untuk melacak antibody IgG , IgM, IgA terhadap antigen LPS Og, antibody terhadap antigen d (Hd) flagel dan antibody terhadap antigen S. typhi.
II.6.4 Pemeriksaan Dipstik Dikembangkan di Belanda dalam mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap antigen LPS. S. typhi dengan menggunakan membran nitrose lulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti human immobilized sebagai reagen control.
22
BAB III METODE KERJA III.1
Tempat dan Waktu Praktikum Praktikum pemeriksaan Widal “Slide” dilaksanakan
pada hari Sabtu,
tanggal 1 Mei, 2010. Bertempat di Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur.
III.2
Prinsip Uji widal darah adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda beda terhadap antigen somatik (O)dan flagel (H) yang ditambahkan dalam jumlaah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
III.3
Alat Alat yang digunakan untuk pemeriksaan Widal Slide yaitu :
a.
Slide
b.
Mikropipet
c.
Sentrifuge
d.
Rotator
e.
Kaca
f.
Tabung reaksi
III.4
Bahan Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan Widal Slide yaitu :
a.
Antigen Salmonella typhi O
b.
Antigen Salmonella typhi H
c.
Antigen Salmonella paratyphi AO
d.
Antigen Salmonella paratyphi BO
23
III.5
Sampel Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan Widal Slide yaitu serum dari
saudari : Nama
: Aji Iin Safitrie
Umur
: 20 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
III.6
Cara Kerja
1.
Siapkan alat dan bahan yang ingin digunakan.
2.
Dengan mikropipet masukkan serum sebanyak 20 µl ke atas kaca yang telah disiapkan.
3.
Kemudian ditambah 1 tetes antigen, dan homogenkan.
4.
Setelah itu dirotator selama 1 menit.
5.
Perhatikan aglutinasi yang terjadi.
III.7
Interpretasi Hasil
Positif (+)
Negatif (-)
Positif (+)
: Terjadi aglutinasi, berarti terdapat antibodi.
Negatif (-)
: Tidak terjadi aglutinasi, berarti tidak terdapat antibodi.
24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Dari praktikum yang dilakukan yaitu pemeriksaan widal cara slide didapat
hasil: Nama
: Aji iin Safitrie
Umur
: 20 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Hasil pemeriksaan
: Negatif
IV.2
Pembahasan Uji widal adalah suatu pemeriksaan serologi yang berarti bahwa seseorang
pernah terinfeksi kuman Salmonella tipe tertentu. Untuk menentukan seseorang menderita demam tifoid atau bukan, tetap harus didasarkan atas gejala-gejala yang sesuai dengan penyakit tifus. Uji widal hanya dapat dikatakan sebagai penunjang diagnose jika seseorang tanpa gejala dengan uji widal positif tidak dapat dikatakan menderita tifus. Beberapa yang sering disalah artikan dari pemeriksaan widal adalah pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman didalam tubuh. Pemeriksaan widal yang diulang setelah seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil widal positif untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan seseorang. Hasil untuk pemeriksaan widal positif telah mendapat pengobatan tifus, bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bila mana tidak didapatkan lagi gejala yang sesuai. Hasil uji negative dianggap tidak menderita tifus. Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif 5 hari atau lebih setelah infeksi. Karena
itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari sering kali
hasilnya negatif dan baru akan positif bila mana pemeriksaan diulang. Dengan
25
demikian hasil uji widal negatif terutama pada beberapa hari pertama demam belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus. Widal, seperti semua hasil pemeriksaan laboratorium, harus di interpretasikan dengan bijak. Tanda-tanda klinis, penderita terus lebih diutamakan daripada reaksi widal positif. Tifus tidak pernah dimulai dengan demam tinggi pada hri pertama sampai ketiga. Bila demam terus berlanjut dan pada hari 5-6 menjadi lebih tinggi maka barulah tiba waktunya untuk memeriksa widal dan melakukan biakan kuman dari darah. Hasil biakan kuman yang positif merupakan bukti adannya tifus. Kelemahan dari pemeriksaan widal yaitu sensitifitas yang kurang member hasi negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi tifus.
26
BAB V PENUTUP
V.1
Kesimpulan Dari praktikum pemeriksaan widal secara rapid slide test. Terhadap serum
dari Aji iin safitrie, didapatkan kesimpulan bahwa sampel tersebut tidak terdapat antibody Salmonella.
V.2
Saran
a.
Sebaiknya pemeriksaan widal ini saat melaukan pembacaan harus tepat 1 menit. Karena jika < 1 menit akan didapatkan hasil negatif
palsu.
Sedangkan jika > 1 menit maka akan mendapatkan hasil positif palsu. b.
Hal yang terpenting dalam pengobatan tifus adalah medeteksi sedini mungkin sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi.
c.
Perawatan pada penderita tifus dapat dilakukan dirumah yaitu dengan beristirahat, cukup minum dan makan makanan dengan gizi dan protein yang cukup.
d.
Hidari makanan
pedas atau asam karena dapat mengiritasi usus dan
beresiko menimbulkan pendarahan. e.
Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi. Carier atau pembawa kuman dapat dialami pada sebagian kecil penderita yang tidak mendapat pengobatan secara tuntas.
27
PEMERIKSAAN RHEUMATOID FACTOR (rf)
28
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat
progresif, ang mengenai jaringan luna dan cenderung untuk menjadi kronis , yang ditandai dengan adanya inflamsi pada sendi. Inflamasi ini menyebabkan hilangnya bentuk dan fungsi dari sendi, sehingga mengakibatkan nyeri, kaku dan bengkak, yang mengarah pada terjadinya 77 kerusakan dan kehilangan fungsi sendi yang permanen, ciri khusus Rheumatoid Arthritis (RA) adalah kemerahan, nyeri dan terbatasnya gerakan sendi di tangan , kaki, siku, lutut, dan leher. Pada kasus yang lebih berat, RA dapat menyerang mata, paru – paru atau pembuluh darah, RA juga bias memperpendek harapan hidup dengan menyerang system organ. (FKUI, 1982). Penyebab penyakit ini masih belum banyak diketahui, ada yang mengatakan karena mycoplasma, virus, dan sebagainya. Penyakit RA lebih banyak mengenai wanita daripada pria, usia antara 30 – 40 tahun merupakan jumlah yang terbanyak yang menderita RA dan sering di jumpai dan di derita oleh lebih dar 6 juta orang di seluruh dunia.
I.2
Tujuan Uji Rheumatoid Arthritis ini bertujuan untuk membantu menegaka
diagnosa dan menentukan prognosa penyakit Rheumatoid Arthritis dengan menemukan adanya faktor Rheumatoid (suatu auto antibody IgM atau IgG), dalam serum penderita.
I.3
Manfaat Agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan uji Rheumatoid
Arthritis.
29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Arthritis dan Cirinya Arthritis adaalah istilah medis ntuk penyakit dan kelainan yang
menyebaban pembengkakan atau radang atau kerusakan pada sendi. Arthritis sendiri merupakan keluarga besar inflammatory degenerative disease, di mna bentuknya sangat beragam, lebi dari 100 jenis arthritis. (www.kalbefarma.com) Ciri – ciri umumnya adalah kesulitan melakukan kegiatan sehari – hari (seperti naik tangga dan membuka pintu), kaku – kaku, rasa sakit pada send, rasa pegel linu, embengkakan di sekitar sendi dan rasa nyeri yang muncul setelah beristirahat atau berdiam diri beberapa waktu. Kadng kala pada beberapa jenis arthritis peradangan dapat mempengaruhi organ tubuh selain sendi, seperti otot, dan kulit. (www.kalbefarma.com)
II.2
Jenis – Jenis Arthritis Dari 100 lebih jenis arthritis yang ada, para ahli Arthritis menggolongkan
menjadi beberapa golongan besar : a.
Osteoarthritis
b.
Inflammatory arthritis, rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, juvenile arthritis, polymyalgia rheumatica,n psoriatic rthritis, reactive arthritis, seronegative arthritis.
c.
Infections arthritis, hyme disease
d.
Rheumatica disease lain, gout
e.
Kondisi lain yang menyerupai arthritis : bausitis, campal tunnel syndrome, fibromylgia, tendonitis. (www.mediterm.com) Sebagaimna penyakit – penyakit serius lainnya seperti penyakit jantung
dan kanker, arthritis juga terbentuk karena gabungan kompleks dari factor keturunan, biologis, dan lingkungan (www.mediterm.com). 30
II.2.1 Faktor Keturunan Bila didalam keluarga ada tyang menderita Arthritis maka resiko menderitua arthritis menjadi lebih besar di banding dengan mereka yang tidak apalagi untuk kasus osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. (www.mediterm.com)
II.2.2 Faktor biologis Ini adalah istilah luas yang meliputi: umur, jenis kelamin, hormone, berat tubuh, keaktifan atau kegiatan sehari – hari, dan profil genetik. Beberapa dari faktor ini dapat di rubah, perpaduan dari keseluruhan faktor inilah yang membuat karakterisitik khusus untuk tubuh kita untuk rentan terhadap penyakit – penyakit tertentu, termasuk rentan terhadap arthritis.
II.2.3 Faktor Lingkungan Istilah ini berbeda arti dengan lingkungan sehari – hari. Di dalam istilah kesehatan, lingkungan ini berarti apapun yang berada atau berasal dari luar tubuh, seperti diet, kecelakaan sendi terdahulu, infeksi yang pernah diderita, jenis pekerjaan yang pernah dilakukan, dan kegiatan di waktu senggang. Kesemuanya adalah faktor yang sangat mempengaruhi berkembangnya arthritis, terutama bila seara keturunan dan biologis kita mempunyai resiko tinggi. Mereka tyang bekerja di antor mengetik, menerima telepon dengan menjepit di sisi kepala sambil menulis, duduk sepanjang hari dengan posisi yang sama, atau hampir tak beranjak dari kursi untuk menjangkau notebook, atau telepon, mempuntyai resiko tyang tinggi untuk meneriuta muscle steun atau tegang otot atau salah urat yang bias terjadi berkali – kali dapat menjadi pencetus timbulnya arthritis. Namun ini adalah factor yang bias kita ubah menjadi lingkungan yang lebih ramah dalam menghinari arthritis. (www.mediterm.com)
II.3
Rheumatoid Arthritis Arthritis rheumatoid adalah penyakit sistemik, radang kronis terutama
merusa sendi tulang dan kadang – kaddang juga merusak banyak jaringan dan
31
organ – organ lainnya diseluruh tubuh. Lebih spesifik lagi penyakit ini ditandai oleh adanya sinovitis prodiferatif yang nonsupuratif, yang pada saatnya akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan arthritis kelumpuhan yang progresif. Bila organ di luar sendi ikut terlibat. Contohnya kulit, jantung, pembuluh darah, otot paru. RA tidak hanya ada kemiripan dengan penyakit – pentyakit ini kadang – kadang di sebut sebagai “penyakit jaringan ikat“. (Robbins dan Kumar, 1995) Penyakit rheumatoid merupakan penyakit jaringan ikat yang paling sering ditemukan dan merupakan pentyebab yang penting dari ketidakmampuan bergerak. Meskipun gambaran utama adalah dekstruksi polliarthritis yang di tandai dengan infiltrasi dalam sinovial oleh limfosit, sel plasma dan makrofag. Penyakit merupakan efek multi system karenanya kemudian “ penyakit “ rheumatoid merupaka nama yang lebih baik dari rheumatoid “ Arthritis “ karena memberi penekanan bahwa penyakit ini melibatkan multi system. (Underwood, 1999) AR merupakan suatu penyakit auto imun yang timbul pada individu – individu yang rentan setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak di ketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mycoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigen. Biasanya respon antibody awal terhadap mikroorganisme di perantai oleh IgG, walaupun respon ini berhasil menghncurkan mikroorganisme, namun individu yang mengdap AR mulai membentuk antibody lain, biasanya IgG atau IgM, terhadap antibody IgG semula. Antibody yang ditujukan komplemen tubuh ini sendiri ini di sebut Factor Rheumatoid (FR). FR menetap di kapsul sendi dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan. AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun, wanita lebih sering terkena daripada pria. (Corwin, 2003) Arthritis rheumatoid di sebabkan oleh keradangan berkepanjangan yang diakibatkan oleh proses imunologi yang terjadi pada sendi seperti halnya pada hampir semua penyakit autoimun, pencetus yang memulai reaksi imun tidak di
32
ketahui dalam sebagian besar penderita, infeksi pencetus adalah Faringitis Streptococcus (sakit tenggorokan). (Robins dan Kumar, 1995) Reaksi imun humoral maupun yang di perantai sel, keduanya terlibat pada patogenesis arthritis Rheumatoid. Hampir semua pasien memiliki peninngkatan kadar Imunoglobulin serum dan sebenarnya semua pasien memiliki suatu antibodi yang di sebut faktor rheumatoid atau RF yang ditujukan pada FC kepada IgG autolog. IgM merupakan keas immunoglobulin utama yang terdapat pada F, IgG dapat di identifikasi dalam serum sekitar 80 % pasien (penderita seropositif). Di samping IgM, aktivitas RRF juga dapat di temukan dalam hubungan dengan immunoglobulin IgG dan immunoglobulin IgA. Walaupun peranan yang tepat faktor rheumatoid IgM dalam sirkulasi untuk patogenesis suatu arthritis belum di definisikan, karena tidak di temukan di dalam sendi, terdapat korelasi antara titernya dalam serum dengan derajat gambaran klinis. Faktor Rheumatoid IgG sebaliknya, di temukan di alam rongga sendi yang sakiut dan diperlkirakan terlibat dalam patogenesis arthritis. Karena bentuk RF ini sendiri merupakan sebagai molekul IgG maka RF dapat berlaku baik sebagai antigen maupun anti bodi. Ini mengakibatkan pengelompokan diri dari molekul RF dan pembentukan kompleks imun yang dapat mengikat komplemen. Ini mengikuti rangkaian kejadian yang sangat umum terjadi pada hipersensitivitas tipe
III dan tipe Arthritis. Fagositosis suatu kompleks oleh
poliomorf yang di tarik, sel pelapis sinovia dan makrofag mengakibatkan pelepasan enzim lisosom temasuk protease dan koagenase yang netral. Enzim – enzim ini merusak pelapisan sinovia dan tentu saja tulang rawan sendi. Beberapa observasi mendukung mekanisme jejas sendi, kompleks IgG anti IgG secara tetap ditemukan pada ruang sinovia. Kompleks imun dapat di temukan dalam membran sinovia dan konsentrasi komplemen dalam cairan sinovia rendah. Faktor genetik mempengaruhi terjadinya rheumatoid arthritis. (Robbins dan Kumar, 1995) Pemeriksaan
penunjang
tidak
banyak
berperan
dalam
diagnosis
rheumatoid namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien, pada pemeriksaan laboratorium terdapat :
33
1.
Test faktor rheumatoid biasanya bositif lebih dari 75 % pasien arthritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya masih dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infektiosa, lues, endocarditis bacterialis, penyakit kolagen, dan sarkadosis.
2.
Protein C – reaktif biasanya positif.
3.
LED meningkat.
4.
Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5.
Anemia normositik hipokrom akbat adanya inflamasi yang kronik.
6.
Trombosit meningkat.
7.
Kadar albumin serum menurun dan globulin naik. (FKUI, 2000)
Diagosa RA dan sekitarna 75 % individu yang mengalami RA juga memiliki nilai RF yang positif. Kelemahan RF antara lain karena nilai RF positif juga terdapat pada kondisi penyakit auto imun lainnya, infeksi kronik dan bahkan terdapat pada 3 – 5 % populasi sehat (terutama individu usia lanjut). Oleh karena itu, adanya penanda spesifik dan sensitif yang timbul pada awal penyakit sangat di butuhkan. Anti – cyclic citrulinated antibodi (anti – CCP antibodi), merupakan penanda baru yang berguna dalam diagnosis RA. Walaupun memiliki keterbatasan, RF tetap banyak di gunakan sebagai penanda RA dan penggunaan RF bersama – sama anti CCP antibodi sangat berguna dalam diagnosis RA. Anti CCP IgG merupakan penanda RA yang baru dan banyak di gunakan dalam kondisi RA antara lain : a. Anti CCP IgG dapat timbul jauh sebelum gejala klinik RA muncul. Dengan adantya pengertian bahwa pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mencegah kerusakan sendi, maka penggunaan anti CCP IgG untuk diagnosa RA sedini mungkin sangat bermanfaat. b. Anti CCP IgG sangat spesifik untuk kondisi RA. Anti bodi ini terdeteksi pada 80 % individu RA dan memiliki spesifitas 98 %. Antibodi ini juga
34
bersifat spesifik karena dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut. c. Anti CCP IgG dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut individu dengan nilai anti CCP IgG positif umumnya di perkirakan akan mengalami kerusakan radiologis yyang lebih buruk bila di bandingkan individu tanpa anti CCP IgG. (www.medicinet.com)
35
BAB III METODE DAN CARA KERJA
III.1
Waktu dan tempat praktikum Praktikum uji Rheumatoid Faktor ini di laksanakan pada hari Jumat,
tanggal 07 Mei 2010 dan bertempat di Laboratorium Kesehatan Kalimantan Timur.
III.2
Prinsip Latex polisteren dicoated gamma globulin di reaksikan dengan serum
penderita rheumatoid, maka akan terbentuk aglutinasi.
III.3
Alat
a.
Slide
b.
Sentrifuge
c.
Rotator
d.
Yellow tape
e.
Pipet tetes atau mikro 50 mikron liter
f.
Tabung reaksi dan raknya
g.
Batang pengaduk
III.4
Reagen
a.
RF Latex
b.
Kontrol Positif Latex
c.
Kontrol Negatif Latex
III.5
Bahan pemeriksaan Bahan yang di gunakan adalah serum dari saudari Aniek Rosalita dan Ami
Yudhita.
36
III.6
Cara kerja
a.
Kualitatif 1. Dibiarkan sampel dan reagen hingga suhu kamar, lalu di ambil sampel 50 mikron liter, di taruh di dalam slide latr belakang hitam. 2. Latexs di campur hingga homogen, kemudian di taruh satu tetes. 3. Di campur hingga homogen antara sampel dan latexs. 4. Di rotator dengan kecepatan 100 rpm selama 2 menit.
b.
Kuantitatif 1. Hasil pemeriksaan sampel positif di lanjutkan dengan pengenceran ber Seri. 2. Diambil NaCl 0,85 % pada tanda lingkaran slide 3. Pada ingkaran pertama di tambah serum 50 μl, dicampur (2x) 4. Lalu ambil 50 μl, ditambah pada lingkaran kedua, di campur (4x) 5. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ketiga, dicampur (8x) 6. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ke empat, (16x) 7. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ke lima, di campur (32x) dan seterusnya 8. Di tambah masing – masing 1 tetes reagen latexs, rotator 100 rpm selama 2 menit 9. Hasil posituif terakhir di kalikn 8 IU/ ml adala di laporkan sebagai titer RF.
37
III.7
Interpretasi hasil
Positif (+)
Negatif (-)
Positif (+)
: Positif control berisi serum RF > 30 IU/ml
Negatif (-)
: Negatif control bersi serum RF < 30 IU/ml
38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Dari hasil praktikum yang di lakukan di dapatkan hasil dari serum pasien :
1.
Hasil pemeriksaan RF terhadap serum Aniek Rosalita adalah negatif.
2.
Hasil pemeriksaan RF terhadap serum Ami Yudhita adalah negatif.
IV.2
Pembahasan Dalam membantu menegakan diagnosa dan menentukan prognosa dari
penyakit rheumatioid arthritis dapat digunakan rose – wealer atau dengan tes aglutinasi latex. Tes rose wealer atau aglutinasi latex adalah suatu tes aglutinasi pasif (suatu antigen yang larut yang di kaitkan pada partikel – partikel besar atau sel di camur dengan anti bodi terhadap antigen tersebut). Untuk menentukan adantya faktor rheumatoid (RF) didalam serum penderita rheumatoid arthritis. RF adalah suatu auto antibodi (IgG / IgM) yang di tujukan terhadap IgGU (anti IgG) dan terbentuk dalam stadium yang agak lanjut. Peyakit rheumatoid arthritis biasanya stelah menderita lebih dari setengah tahun. Walaupun faktor rheumatoid dapat berupa IgG maupun IgM tetapi di dallam tes rose wealer atau aglutinasi latexs, hingga IgM saja yang di tentukan. (Handojo, 1982) Antigen menyebabkan penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan tepat oleh karena itu sering di sebut dengan antigen x. Namun belakangan ini sering di kemukakan bahwa ada hubungan tyang positif antara rheumatoid arthritis dengan infeksi oleh Epstein Barr Virus (EBV). Antigen x yang masuk ke dalam senai akan di proses oleh sel – sel immunokompeten dari synovia sendi sehingga merangsang pembentukan anti bodi terhadap antigen x tersebut. (Handojo, 1982) Antibodi yang di bentuk di dalam sendi ini terutama dari kelas IgG walaupun kelas – kelas antibodi yang lain juga terbentuk. Pada penderit – penderita rheumatoid arthrituis ternyata secara genetik di dapatkan adanya 39
kelainan dari sel – sel limfosit I – supresornya sehingga tidak dapat menekan sel – sel limfosit T – Helperdengan akibatnya timbulnya rangsangan yang berlebih – lebihan pada plasma sehingga terbentuk antibodi yang berlebihan pula. Pada dalam jangka waktuyang lama hal ini dapat menimbulkan terjadinya auto antibodi yaitu yang di kenal sebagai faktor rheumatoid. (IgG dan IgM – anti IgG) Umumnya faktor rheumatoid baru terbentuk setelah penderitua menderitua penyakit selama 6 bulan tetapi dapat pula terjadi lebih awal atau sesudah waktu yang lama. (Handojo, 1982) Sumber kesalahan yang terjadi pada tes aglutinasi late, adalah : 1.
Hasil dari tes harus segera dibaca setelah di rotator, sebab dapat terjadi aglutinasi non spesifik bila campuran mengering.
2.
Serum yang amat lipemik dapat memberi hasil tyang positif semu.
3.
Botol reagensia harus ditutup engan rapat untuk mencegah penguapan dan auto flokulasi.
4.
Reagensia harus di simpan dalam 4˚ C dan harus dikocok dengan baik se belum dipakai.
5.
Pencampuran di rotator tidak boleh lebih dari 1 menit. (Handojo, 1982)
40
BAB V PENUTUP
V.1
Kesimpulan Dari hasil praktikum pemeriksaan RAF di dapatkan hasil bahwa dalam
serum tersebut : a.
Serum dari saudari Aniek Rosalita umur 19 tahun nilai RFnya adalah negatif.
b.
Serum dari saudari Ami Yudhita umur 20 tahun nilai RFnya adalah negatif.
V.2`
Saran
1.
Sebaiknya di lakukan pemeriksaan pembanding seperti CRP dan ASTO, jika di dapatkan hasil negatif, karena pada pemeriksaan RF, belum tentu pasien tersebut bebas dari rheumatoid arthritis karena antibodi baru terbentuk setelah 6 bulan.
2.
Hasil tes harus di baca dlam waktu 5 menit. Sebab akan terjadi aglutinasi non spesifik bila campuran mengerig.
3.
Hindari penggunaan serum yang amat lipemik karena dapat memberi hasil yang positif semu.
41
PEMERIKSAAN anti streptolisin-o (asto)
42
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Di seluruh dunia di huni berjuta-juta manusia yang berinteraksi dengan
flora dan fauna tanpa di sadari, kita telah di papar dengan beberapa kuman pathogen yang memberikan input kepada tubuh kita untuk membentuk antibody, salah satunya streptococcus, hampir setiap manusia pernah terpapar oleh Streptococcus, jadi wajar jika terdapat antibody Streptolisin O dalam serum tubuh kita. Peningkatan titer ASO (Anti Streptolisin O) berfungsi untuk menegakkan diagnosa dari penyakit demam rheumatic dan glomarulonefritis akusta, serta meramalkan kemungkinan terjadinya kambuh pada kasus demam rheumatic. Titer anti Streptolisin O (ASO/ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostic standar untuk demam rheumatic, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptococcus. Titer ASTO di anggap meningkat apabila mencapai 250 unit Tood pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak diatas usia 5 tahun, dan dapat diumpai pada sekitar 70 % sampai 80 % kasus “demam rheumatic akut “. Infeksi Streptococcus juga dapat di lakukan dengan melakukan biakan usap tenggorok. Biakan parasit (+) pada sekitar 50% kasus demam rheumatic akut. Bagaimanapun biakkan yang negative (-) tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi Streptococcus. (http://www.kalbe.co.id) I.2
Tujuan Untuk mendeteksi adanya antibody Streptolisin O yang di sebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes atau β-hemolitik.
I.3
Manfaat Agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui cara pemeriksaaan ASTO/ASO dengan metode aglutinasi lateks.
43
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Anti streptolisin O Anti streptolisin O adalahsuatu antibodi yang di bentuk oleh tubuh
terhadap suatu enzim proteolitik. Streptolisin O yang diproduksi oleh β-hemolitik Streptococcus A group A dan mempunyai aktivitas biologic merusak dinding sel darah merah serta mengakibakan terjadinya hemolisis. Anti streptolisin O adalah toksin yang merupakan dasar sifat β-hemolitik organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang berpotensi mempegaruhi banyak tipe sel termasuk netrofil, platelets dan organel sel, menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya. Anti-Streptolisin O bisa digunakan secara klinis untuk menegaskan infeksiyang baru saja. Streptolisin O bersifat meracuni jantung (kardiotoksik). (http://www.wikipedia.org) Penentuan tes ASTO di gunakan untuk membantu menegakkan diagnosa penyakit demam rheumatic dan glomerulonefritis serta meramalkan kemungkinan terjadinya kambuh pada kasus demam rhuematik. (Handojo,1982)
II.2
Streptococcus Streptococcus adalah bakteri sferis gram positif yang khasnya berpasangan
atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Spesies yang virulen mungkin menghasilkan kapsul yang terdiri dari acid hialuronik danprotein M, habitat dari spesies ini ialah saluran pernapasan atas (rongga hidung dan faring). Antar infeksi-infeksi yang di sebabkan oleh spesies ini adalah demam scarlet, faringitis, impetigo, demam rheumatic, dan lain-lain. Streptococcus dikelaskan berdasarkan morfologi koloni, sifat biokimia, kespesifikan serologi dan sifat hemolisis pada agar darah.
44
Pembagian spesies Streptococcus berdasarkan sifat hemolitiknya : a.
Hemolisa α Kebanyakan terdiri dari kumpulan “viridans“ yaitu Streptococcus hemolisis α tanpa kapsul.
b.
Hemolisa β Paling penting sebab sebagian besar pathogen manusia terdiri dari kumpulan ini.
c.
Hemolisa γ
(http://pkukmweb.ukm.my/)
Beberapa zat antigen yang ditemukan di dalam Streptococcus, yaitu : 1.
Antigen dinding sel spesifik-golongan Terdapat dalam dinding sel pada banyak Streptococcus dan merupakan dasar penggolongan serologic. Spesifik serologic dari karbohidrat spesifik golongan ditentukan oleh gula amino.
2.
Protein M Zat ini adalah faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes golongan A. Protein ini juga memudahkan perlekatan sel pada epitel-epitel inang. Protein ini nampak sebagai bentuk yang mirip rambut pada dinding sel Streptococcus.
3.
Zat T Antigen
ini
tidak
mempunyai
hubungan
dengan
virulensi
Streptococcus. Zat ini diperoleh dari Streptococcus melalui pencernaan proteolitik yang cepat merusak protin M. Zar ini juga tidak tahan terhadap asam dan panas.
4.
Nukleoprotein Ekstraksi Streptococcus dengan basa lemah menghasilkan campuran protein dan zat-zat lain dengan spesifitas serologic yang rendah dan di
45
namakan zat P. Zat ini mungkin merupakan sebagian besar badan sel Streptococcus. (Brooks, 1996)
Toksin yang di hasilkan oleh Streptococcus golongan A lebih dari 20, hasil ekstraselular yang bersifat antigen. Beberapa di antaranya adalah: 1.
Hemolisin Zat beracun yang melewati saringan kuman ada 2 macam yaitu : a.
Streptolisin
O,
yang
tidak
tahan
terhadap
oksigen
dan
pemanasan,antigen kuat, penting dalam menentukan virulensi. b.
Streptolisin S, tahan terhadap oksigen, tidak bersifat antigenic, terdiri dari serum lipoprotein tidak khas dan mungkin bersifat nefrotoksik.
2.
Toksin Enterogenik Dapat melewati saringan dan tahan terhaap pemanasan. Jika disuntikkan pada orang yang peka secara intradermal dalam dosis yang kecil akan menyebabkan kemerahan pada kulit. Pemberian dosis yang lebih basar akan kemerahan menyeluruh, demam dan kelesuan.Toksin ini berkaitan dengan patogenesis demam skarlatina.
3.
Streptokinase (Fibrinolisin) Dibuat oleh sebagian besar jenis kelompok A, C dan G. Bersifat tahanpemanasan dan antigenic. Dapat menyebabkan kehancuran gumpalan fibrin manusia dengan mengaktifkan precursor plasma. Tampaknya fibrinolisin memiliki peran pada infeksi Sterptococcus dengan memecahkan penghalang fibrin di sekeliling lesi dan menyebarkan infeksi.
4.
Deoksiribinuklease (Streptodornase) Menyebabkan terjadinya depolimerisasi DNA. Zat ini menolong mencairkan nanah kental. Ada 4 Streptodornase, A, B, C, dan D yang telah di temukan. Jenis O lebih bersifat antigenic pada manusia.
46
5.
Hialuronidase Merupakan faktor penyebar yang ada pada filtrate biakan Streptococcus pyogenes. Zat ini memecahkan asam hialuronat jaringan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi sepanjang rongga antara sel. Streptococcus memiliki kapsul atau hialuronat tetapi mengeluarkan hialuronidase, jadi melakukan penghancuran diri. Tetapi jenis-jenis yang membuat hialuronidase dalam jumlah banyak (M jenis 4.22) tidak bersimpai dan karenanya tidak mempunyai asam hialuronat.
6.
Protease Enzim intraselular yang di buat pada pH asam di dalam perbenihan yang di biakkan pada suhu 37º C. Zat ini menghancurkan protein khas jenis M dan juga menghambat produksi fibrin dan hialuronidase. Zat ini di buat di daerah peradangan. Kepentingan biologis dari enzim ini tidak diketahui dengan jelas.
7.
Disfosfopirisin nukleotidase ( DPN ase ) Bersifat antigenic dan di netralkan secara khas oleh antibody yang ada di dalam serum konvalesent. Di duga bersifat leukotoksik. Zat ini bekerja pada koenzim DPN dan melepaskan nikotinamida dari molekul DPN. (Gupte, 1990)
II.3
Patogenesis Suatu infeksi oleh β-hemolitik Streptococcus group A akan marangsang
sel-sel imunokompeten untuk memproduksi antibody-antibodi, baik terhadap produk-produk
ekstraselular
dari
kuman
(streptolisin,
hialuronidase,
streptokinase, DNASE) maupun terhadap komponen permukaan dari dinding sel kuman (cell-surface/membrane antigen-CSMA). Antibodi terhadap CSMA inilah yang diduga menyebabkan terjadinya kelainan pada jantung dari penderita dengan glomerulonefritis. Kelainan pada organ tersebut di sebabkan oleh karena reaksi silang antar antibodi terhadap CSMA dengan endocardium atau glomerulus
47
basement membrane (CMB) atau menimbulkan pembentukan complement. Imun Ab-CSMA yang di emdapkan pada glomerulus atau endocardium dan menyebabkan kerusakan-kerusakan pada bagian-bagian tubuh tersebut. Sebagian basar dari strain-strain serologik dari Streptococcus Group A menghasilkan dua enzim hemolitik yaitu Streptolisin O dan S. Di dalam tubuh penderita, Streptolisin O akan merangsang pembentukan antibodi yang spesifik yaitu anti streptolisin O (ASTO) sedangkan yang dibentuk Streptolisin S tidak spesifik. (Handojo,1982) Reaksi auto imun terhadap Streptococcus secara teori akan mengakibatkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam rheumatic, dengan cara : 1.
Streptococcus group A akan menyebabkan infeksi faring
2.
Antigen Streptococcus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada pejamu yang hiperimun.
3.
Antibodi bereksi dengan antigen Streptococcus dan dengan jaringan pejamu yang secara antigeni sama seperti Streptococcus.
4.
Autoantibodi
tersebut
bereaksi
dengan
jaringan
pejamu,sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan. (Price, 2003)
II.4
Gejala Gejala demam rheumatic dapat terjadi secara mendadak dan secepat kilat.,
dengan demam, takikardi, dan rasa sakit pada sendi yang membengkak atau dapat tersamar dan tidak nyata, hanya bergejala malaise dan demam ringan. Bila di dahului oleh infeksi Streptococcus tersamar secara klinik, biasanya akan mereda sebelum mulai gejala demam rheumatic. Tidak ada gambaran klinik atau laboratorium demam rheumatic yang khas untuk penyakit ini. (Kumar, 1995)
Gejala-gejalanya mencakup: 1.
Riwayat nyeri tenggorokan, positif untuk Streptococcus β-hemolisa grup A apabila di biakkan. Riwayat infeksi biasanya berupa nyeri kepala, demam, pembengkakan kelenjar limpa di sepanjangrahang dan nyeri perut atau mual.
48
2.
Timbul polyarthritis migratonile, termasuk peradangan sendi-sendi di sertai pembengkakan, kemerahan dan kalor (panas). Yang sering terkena adalah sendi-sendi besar di siku, lutut dan pergelangan tangan dan kaki.
3.
Terbentuk nodus-nodus subkutis yang keras dan terletak di atas otot dan sendi-sendi yang terkena. Nodus-nodus ini tidak nyeri dan transient.
4.
Eritema marginatum (suatu ruang transien), terutama di badan, lengan bagian dalam dan paha.
5.
Kore a (gerakan-gerakan cepat menyentak) dapat timbul, di sertai oleh kecanggungan dalam bergerak. (Corwin,2003)
II.5
Pemeriksaan Laboratorium Ada dua prinsip dasar penetuan ASO, yaitu:
1.
Netralisas/penghambat hemolisis Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat menibulkan hemolisis lagi. Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di tambahkan sejumlah streptolisin O yang tetap (Streptolisin O di awetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian di tambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer ASO yang tinggi. (Handojo,1982)
2.
Aglutinasi pasif Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapat menyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O perlu di
49
salutkan pada partikel-partikel tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu pattikel lateks. (Handojo,1982) Sejumlah tertentu Streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di tabahkan pad aserum penderita sehingga terjadi ikatan Streptolisin O – anti Strepolisin O (SO – ASO). Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada partikel – partikel latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikel – partikel latex. (Handojo,1982) Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml. (Handojo ,1982)
50
BAB III METODE KERJA III.1
Waktu dan Tempat Praktikum pemeriksaan Anti Streptolisin O dilaksanakan pada hari Sabtu,
15 Mei 2010 di Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur.
III.2
Prinsip Lateks polisteren yang di liputi oleh Streptolisin O bila di reaksikan
dengan serum yang mengandung Anti Streptolisin O maka akan terbentuk aglutinasi.
III.3
Metode Metode yang di gunakan dalam praktikum ini adalah aglutinasi pasif
menggunakan lateks (slide).
III.4
Alat Alat yang di gunakan dalam praktikum ini adalah:
Slide test dasar hitam
Micropipet dan yellow tip
Pipet tetes
Batang pengaduk
Tabung reaksi
Rotator
Sentrifuge
III.5
Reagen
Reagen ASTO lateks
Reagen control positif ASTO
51
III.6
Bahan Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah serum darah dari:
a.
Nama : Anisa Ulfah Umur : 20 tahun
b.
Nama : Cahyani Rahayu Umur : 20 tahun
III.7
Cara Kerja
a.
Kualitatif 1.
Di biarkan sample dan reagen hingga suhu kamar.
2.
Di ambil sample 50 µl, ditaruh di slide berlatar belakang hitam.
3.
Lateks di campur hingga homogen, kemudian ditaruh satu tetes ke dalam sample.
b.
4.
Di campur hingga homogen.
5.
Di rotator pada kecepatan 100 rpm selama 2 menit.
Semi Kuantitatif 1.
Hasil pemeriksaan positif dilanjutkan dengan pengenceran.
2.
Diambil NaCl 0,85 % sebanyak 50 µl pada 6 tanda lingkaran slide.
3.
Pada lingkaran pertama, di tambah 50 µl serum, lalu campur (2x)
4.
Lalu ambil 50 µl, ditambahkan pada lingkaran kedua, lalu campur (4x)
5.
Lalu ambil 50 µl, ditambahkan pada lingkaran ketiga, lalu campur (8x)
6.
Lalu ambil 50 µl, ditambahkan pada lingkaran keempat, lalu campur (16x) dan seterusnya.
7.
Masing-masing ditambah 1 tetes reagen lateks, di campur dan di rotator 100 rpm selama 2 menit.
8.
Hasil positif terakhir di kalikan 200 IU/ml adalah di laporkan sebagai titer ASTO.
52
III.8
Interpretasi Hasil Adapun interpretasi hasil yang dapat terjadi pada pemeriksaan ini adalah:
Positif (+)
Negatif (-)
1.
Control Positif ASTO berisi > 200 IU/ ml
2.
Control Negatif ASTO berisi < 200 IU/ ml
53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Pemeriksaan Anti Streptolisin O (ASTO) pada serum dari:
1.
Nama : Anisa Ulfah Umur : 20 tahun Hasil
2.
: Negatif (tidak terjadi aglutinasi)
Nama : Cahyani Rahayu Umur : 20 tahun Hasil
IV.2
: Negatif (tidak terjadi aglutinasi)
Pembahasan Pembacaan hasil pada tes aglutinasi lebih dari 5 menit menggunakan
serum yang lipemik, serta penyimpanan reagensia lateks yang salah, dapat menjadi faktor kesalahan dalam pemeriksaan. Paparan Streptococcus hamper terjadi pada setiap orang, kemungkinan seseorang mempunyai antibody Streptolisin O dalam serumnya sangat besar. Karena itu, 200 IU/ml merupakan batas dari normal. Harga normal dari ASTO juga di pengaruhi oleh usia penderita : 1.
Pada bayi yang baru lahir, titer ASTO dalam darahnya umumnya lebih tinggi dari ibunya, tetapi dalam waktu beberapa minggu saja, titer itu menurun dengan tajam.
2.
Pada usia sekolah, titer ASTO mulai naik lagi sampai mencapai titer usia dewasa.
3.
Pada usia lanjut, titer ASTO menurun lagi.
Faktor geografis atau iklim juga mempengaruhi harga normal dari ASTO, yaitu titer normal tersebut menurun makin dekat ke garis khatulistiwa.
54
BAB V PENUTUP V.1
Kesimpulan Dari praktikum pemeriksaan Anti Streptolisin O terhadap serum dari Sdri.
Anisa Ulfah dan Cahyani Rahayu di dapatkan hasil negatif atau tidak terbentuk aglutinasi .
V.2
Saran
a.
Sebaiknya serum yang digunakan untuk pemeriksaan jika baru di keluarkan dari freezer harus di diamkan dulu selama 10-30 menit dalam suhu kamar, karena serum yang masih dingin jika di reaksikan dengan reagen akan memberikan hasil negative palsu.
b.
Sebaiknya hindari serum yamg lipemik karena dapat memberikan hasil positif palsu.
c.
Sebaiknya di lakukan pemeriksaan ulang ASTO (sekali atau dua kali seminggu) untuk menetukan kadar tinggi dari peningkatan titer antibodi serum.
55
PEMERIKSAAN c-reaktif protein (crp)
56
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Protein C-Reaktif adalah bahan yang dihasilkan oleh hati dan dirembeskan
ke dalam aliran darah. Rembesan ini akan bertambah dengan kehadiran keradangan. Keradangan memainkan peranan dalam permulaan dan menghasilkan aterosklerosis, yaitu penyebab utama kepada infeksi miokardial (MI). CRP yang tinggi juga dikaitkan dengan resiko serangan jantung. S (http://www.tifacare.com.my) Penyelidikan mengenai protein ini dimulai pada tahun 1930 ketika Tiller (Prancis) melihat terjadinya presipitasi bila serum penderita Pheumonia dicampur dengan C- Polisakarida dari Pneumococcus. Semula mengira bahwa protein ini zat anti yang timbul sebagai akibat invasi Pneumococcus. Ternyata CRP mempunyai beberapa sifat yang berbeda dengan zat anti, antara lain CRP timbul tidak saja pada invasi kuman. Bukan Pneumococcus tetapi juga pada kerusakan jaringan tanpa infeksi seperti Infarkmiokar. (http://www.kalbe.co.id) Untuk mengetahui dan menilai aktivitas penyakit yang sedang berlangsung maka dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium umumnya bertujuan untuk mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam darah. Pada pemeriksaan CRP memberi petunjuk secara umum ada tidaknya perubahan dari susunan protein plasma yang umumnya terjadi sebagai akibat suatu protein plasma atau kerusakan jaringan.
I.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui titer CRP dalam serum dan
keradangan atau infeksi yang terjadi pada kerusakan jaringan didalam tubuh seseorang.
57
I.3
Manfaat Untuk mengetahui cara kerja metode aglutinasi pasif menggunakan latex.
58
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.1
Definisi C- Reaktif protein adalah salah satu dari protein fase akut yang didapatkan
dalam serum normal walaupun dalam jumlah yang kecil. Pada keadaan-keadaan tertentu dimana didapatkan adanya reaksi radang atau kerusakan jaringan (nekrosis), yaitu baik yang infektif maupun yang tidak infektif. Kadar CRP dalam serum dapat mengikat sampai 1000 kali. (Handojo, 1982) Banyak protein plasma mengikat secara akut sebagai respon terhadap penyakit, infeksi dan nekrosis jaringan. Protein- protein ini mencakup glikoprotein α-1-asam, α-1-anti tripsin, serum plasma haptoglogin. Fibrinogen dan protein C- Reaktif (CRP). Yang paling bermanfaat dari zat-zat tersebut adalah CRP karena berdasarkan cepatnya peningkatan sebagai respon terhadap penyakit akut dan cepatnya pembersihan setelah stimulus mereda. (Sacher, 2004) CRP adalah globula alfa abnormal yang cepat timbul adalah serum penderita dengan penyakit karena infeksi atau karena sebab-sebab lain. Protein ini tidak terdapat dalam darah orang sehat. Protein ini dapat menyebabkan pesipitasi hidrat arang C dari Pneumococcus. (Bonang, 1982) CRP merupakan fase, keadaannya meningkat 24 jam pasca infeksi, peradangan akut kerusakan jaringan. Unsur pokok dari mikroorganisme dan juga struktur sex manusia disebut juga CRP karena mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan C- pneumococcus polisakarida. (Lorenz, 1990)
II.2
Sintesa dan Struktur CRP CRP disintesa didalam hati. Peningkatan sintesa CRP dalam sel-sel
parenkim diinduksi oleh interleukin I. (Lorenz, 1990)
59
CRP meningkat 1000 kali atau lebih berperan pada imunitas non- spesifik yang dengan bantuan Ca2+ dapat meningakat berbagai molekul, antara lain fosforolklorin yang ditemukan pada bakteri atau jamur. Kemudian menggerakkan sistem komplemen dan membantu merusak organisme patogen dengan cara opsonisasi dengan meningkatkan fagositas. (Bratawijaya, 1996) Dalam waktu yang reaktif singkat singkat setelah terjadinya reaksi radang akut atau kerusakan jaringan. Sintesa dan sekresi dari CRP meningkat dengan tajam dan hanya dalam waktu 12-48 jam setelah mencapai nilai puncaknya. Kadar dari CRP akan menurun dengan tajam bila proses peradang atau kerusakan jaringan mereda dalam 24-48 jam telah mencapai harga normalnya kembali. (Handojo, 1982)
II.3
Fungsi Biologi CRP Fungsi dan peranan CRP dalam tubuh (in vitro) belum diketahui
seluruhnya. Banyak hal- hal yang masih merupakan hipotesa- hipotesa meskipun CRP mempunyai beberapa fungsi biologik yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan metabolisme daya tahan tubuh terhadap injeksi. (Handojo, 1982) Beberapa hal yang diketahui mengenai fungsi biologiknya adalah sebagai berikut : a.
Dapat mengikat C-polisakarida dan berbagai laktat melalui reaksi aglutinasi atau presipitasi.
b.
CRP dapat meningkatkan aktivasi dan motalitas sel-sel fagosit seperti granulosit dan monosit makrofag.
c.
CRP dapat mengaktifkan komplemen, baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
d.
CRP dapat menghambat agregasi trombosit, baik yang ditimbulkan oleh adrenalin, ADP ataupun kolagen.
e.
CRP mempunyai daya ikat selektif (selective-bilhding) terhadap limfosit T. Dalam hal ini CRP diduga memegang peranan dalam peraturan fungsi tertentu selama proses keradangan.
60
II.4
Prinsip Dasar Penentuan CRP Pada dasarnya penentuan CRP dapat dilakukan dengan 2 cara :
1.
Tes Presipitasi Sebagai antigennya adalah CRP yang akan ditentukan dan sebagai antibodi adalah CRP yang telah diketahui.
2.
Aglutinasi Pasif Yang disalutkan pada partikel-partikel untuk penentuan CRP adalah antigen. Sedangkan antibodi yang disalutkan pada partikel-partikel digunakan untuk menentukan adanya antigen dalam serum.
II.5
Cara Pemeriksaan dan Harga Normal Terdapat 3 cara pemeriksaan dari CRP, yaitu :
a.
Cara Presipitasi Kapiler Tabung kapiler dimasukkan sebanyak 0,4-0,9 anti CRP sera dan biarkan cairan naik sampai setinggi 3 cm. Tutup ujung atasnya dengan jari dan keluarkan tabung kapiler dan anti sera. Bersihkan ujungnya dengan selulosa tissue dan masukkan ke dalam serum penderita, biarkan serum naik sampai setinggi 3 cm. Tabung kapiler digoyang- goyang secara ringan untuk mencampur serum dan anti sera. Lalu letakkan tabung kapiler tegak pada body plastisin. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kemudian dibiarkan semalaman pada suhu ruangan. Pembacaan tinggi presipitat diukur dalam mm, yaitu : 1 mm : + 1 mm : ++ serum standar : +++ (Handojo, 1982)
61
b.
Cara Aglutinasi Latex Merupakan penentuan CRP secara semikuantitatif. Satu tetes serum dicampur dengan satu tetes reagen latex (CRP) (partikel- partikel latex yang disalutkan dengan anti CRP), diatas kaca benda dengan penganduk dari kaca. (Handojo, 1982) Hal yang sama dikerjakan untuk serum kontrol baik positif maupun negatif. Lempeng kaca kemudian digoyang- goyangkan dengan rotator dan dibaca setelah 3-5 menit. Pembacaan apabila positif, berarti sesuai dengan kadar CRP lebih dari 0,5 mg/ 100 ml atau 5 mg/L dan negative berarti harus diulang dengan pengenceran 1 : 10.
c.
Tes Radial Imunodifusion (RIO) Dimasukkan serum standar dan serum penderita kedalam sumursumur dari plate RIO- CRP. Setelah itu diinkubasi selama 48 jam dan diukur diameter dan cincin presipitasi. Buat kurva standar dengan serumserum penderita dengan menggunakan kurva standar tersebut. (Handojo, 1982)
II.6
Kegunaan Dalam Klinik Kadar CRP serum ini merupakan inkubator non-spesifik yang cukup baik
untuk proses- proses peradangan/ kerusakan jaringan, terutama sebagai cermin dari keadaan akut/aktivitas dari penyakit. Di klinik penentuan CRP sering digunakan untuk : 1.
Test penyaring pada penyakit genetik Peningkatan kadar CRP serum menunjukkan adanya proses peradangan atau kerusakan jaringan yang aktif. Jadi, dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan adanya penyakit organic.
2.
Penentuan aktivitas penyakit pada proses peradangan. Aselaritas dan linearitas yang tajam dari CRP serum pada penyakitpenyakit radang/kerusakan jaringan merupakan kriteria yang sensitif untuk menentukan aktivitas dari penyakit dan untuk menilai hasil pengobatan.
62
Namun, bagaimanapun juga peningkatan CRP serum merupakan suatu reaksi yang tidak spesifik. Jadi, hanya dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis untuk melengkapi data- data klinik. 3.
Membantu diagnosa dan evaluasi hasil pengobatan pada penyakit infeksi. Penentuan CRP serum amat bermanfaat sebagai parameter untuk pengelolaan penderita dengan septicemia dan meningitis pada masa neonates dima pemeriksaan mikrobiologis sukar dikerjakan.
4.
Diagnosa banding beberapa penyakit. Penentuan kadar CRP serum dapat menjadi parameter pembantu dalam diagnose banding beberapa penyakit seperti SLE dan Rhematoid arthritis, atau arthritis lain. Infeksi oleh bakteri dengan infeksi oleh virus dan penyakit lain.
5.
Membantu menegakkan diagnosa bagi mati jantung. Peningkatan kadar CRP berarti infark transmural daripada yang nontransnural. Umumnya kadar CRP serum mencapai puncaknya. Pada waktu 50- 60 jam setelah rasa nyeri yang maksimal. Pada waktu yang mana biasanya telah kembali normal. (Handojo, 1982)
63
BAB III METODE KERJA
III.1
Waktu dan Tempat Pemeriksaan Praktikum pemeriksaan C-Reaktif Protein dilaksanakan pada hari Selasa,
1 Juni 2010 di Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. III.2
Metode Aglutinasi pasif menggunakan latex
III.3
Prinsip Direct aglutinasi antara CRP dengan partikel antibody latex (sebagai
antigen) membentuk kompleks antigen antibody yang membentuk aglutinasi.
III.4
Alat Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1.
Slide test yang dasarnya hitam
2.
Yellow tape
3.
Batang pengaduk
4.
Tabung Reaksi
5.
Sentrifuge
6.
Rotator
7.
Rak tabung reaksi
8.
Pipet mikro
III.5
Bahan
1.
Partikel latex putih ditempel anti kuman C-Reaktif Protein
2.
Natrium azide 0,95 gr/l, borate buffer 100 mmol/l pH 8,2
3.
Negatif kontrol berisi serum CRP ‹ 6 IU/ml
4.
Positif control berisi serum CRP › 6 IU/ml
64
III.6
Bahan Pemeriksaan Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah serum dari:
Nama
: Ami Yudhita
Umur
: 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
III.7
Cara Kerja
a.
Kuantitatif 1.
Dibiarkan sampel dan reagen dalam suhu kamar
2.
Diambil sampel (serum) sebanyak 50 μl dan ditaruh pada slide berlatar belakang hitam
3.
Latex dihomogenkan terlebih dahulu, lalu ditaruh satu tetes kedalam sampel
4.
Dicampur hingga homogen antara sampel dengan latex dengan menggunakan batang pengaduk
b.
5.
Dirotator pada kecepatan 100 rpm selama 2 menit
6.
Diamati hasilnya, apakah terjadi aglutinasi atau tidak
Semi kuantitatif 1.
Bila hasil pemeriksaan sampel postif, maka dilanjutkan dengan pengecetan berseri
2.
Diambil Nacl 0,85% sebanyak 50 µl pada 6 tanda lingkaran slide
3.
Pada lingkaran pertama ditambah 50 µl serum, dicampur (2x)
4.
Lalu diambil sebanyak 50 µl, dan ditambahkan pada lingakaran kedua, dicampur (4x)
5.
Lalu diambil sebanyak 50 µl, ditambahkan pada lingkaran ketiga, dicampur (8x)
6.
Lalu diambil sebanyak 50 µl, ditambahkan pada lingkaran keempat, dicampur (16x)
65
7.
Lalu diambil sebanyak 50 μl, ditambahkan pada lingkaran kelima, dicampur (32x)
8.
Ditambahkan masing- masing 1 tetes reagen latex, dirotator dengan kecepatan 100 rpm selama 2 menit
9.
Hasil positif terakhir dikalikan 6 Iu/ ml dan dilaporkan sebagai titer CRP.
III.8
Interpretasi Hasil
Positif (+)
Negatif (-)
2.
Control Positif C-Reaktif Protein (CRP) berisi > 6 IU/ ml
2.
Control Negatif C-Reaktif Protein (CRP) berisi < 6 IU/ ml
66
BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Pengamatan Dari pemeriksaan yang dilakukan, maka didapatkan hasil :
Nama
: Ami Yudhita
Umur
: 20 tahun
Hasil Pemeriksaan
: Negatif
IV.2
PEMBAHASAN Ada beberapa factor yang dapat menjadi sumber kesalahan pada
pemeriksaan CRP, yaitu : a.
Harus dibaca selambat- lambatnya dalam waktu 5 menit sebab aglutinasi non- spesifik dapat terjadi bila test mongering
b.
Serum yang lipemik dapat menyebabkan hasil yang positif palsu
c.
Reagensia latex CRP harus disimpan pada suhu 4oC dan dikocok dengan baik sebagai dipakai
d.
Botol reagensia CRP harus ditutup rapat, sebab dapat mengakibatkan terjadinya flokulasi reagen mengering. Peningkatan CRP yang tidak spesifik dilakukan untuk menegakkan
diagnosa dan untuk memonitor efek dari terapi CRP meningkat selama infeksi oleh bakteri tetapi bukan infeksi virus. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk membantu dalam diagnostic banding pada pyelonefritis dengan sistisis dan bronkitif akut dengan asam. Secara umum, pemeriksaan CRP digunakan untuk membantu menegakkan diagnose dari keadaan penyakit yang berkaitan dengan proses peradangan dan nekrosis jaringan serta digunakan untuk mengikuti hasil pengobatan dari penyakit dengan peradangan akut atau kerusakan jaringan. CRP adalah non- spesifik tetapi CRP mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan indicator- indicator nonspesifik lainnya. 67
BAB V PENUTUP
V.1
Kesimpulan Dari hasil pemeriksaan CRP dengan metode aglutinasi latex pada sampel
wanita bernama Ami yudhita adalah negative.
V.2
Saran
a.
Pada saat pengambilan darah vena dan dimasukkan dalam wadah perlu dijatuhkan dari panas karena CRP mudah berubah akibat suhu.
b.
Sebaiknya
sebelum
dilakukan
pengambilan
darah,
pasien
harus
ditenangkan terlebih dahulu. c.
Perlu dikenali setiap peningkatan CRP yang berhubungan dengan proses inflamasi akut (misal sakit dan pembengkakan sendi, panas, merah-merah dan meningkatnya suhu tubuh).
68
PEMERIKSAAN KEHAMILAN (rapid test)
69
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Penentuan uji kehamilan dengan menggunakan sampel urine dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara biologik dan cara imunologik. Percobaan biologik ini diantaranya cara Ascheim Zondek, cara Friedman dan reaksi Galli Manini. Sedangkan uji kehamilan secara imunologik dapat dilakukan dengan cara Direct Latex Aglutination (DLA), berdasarkan terjadinya reaksi HCG dalam urine dengan reaksi antibodi HCG. Dapat pula dilakukan dengan cara Latex Aglutination Inhibition (LAI) serta cara Hemaglutination Inhibition (HAI). (Siti BK, 1984) Dalam suatu hubungan perkawinan, anak adalah adalah hal yang dinantikan kebanyakan pasangan. Karena itu banyak pasangan yang ingin memastikan keadaan tersebut. Hal ini membuat test kehamilan menjadi sesuatu yang penting. Dari faktor-faktor tersebut, muncul beberapa jenis test kehamilan. Salah satunya yang akan dibahas disini adalah uji kehamilan dengan cara Rapid Test. (Sacher, 2004)
I.2
Tujuan Mengetahui adanya hormon HCG (Hormone Chorionic Gonadotropin)
dalam urine untuk membuktikan apakah seorang wanita dinyatakan hamil atau tidak.
I.3
Manfaat Agar mahasiswa dapat melakukan uji kehamilan dengan menggunakan
cara Rapid Test.
70
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Kehamilan Untuk tiap kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan ovum
(konsepsi) dan nidasi hasil konsepsi. Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak zat asam amino dan enzim. Setelah pembelahan ini terjadi pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan lancar. Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang uterus, dekat dengan fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi barulah disebut adanya kehamilan. Kadangkadang pada saat nidasi yakni masuknya ovarium ke dalam endometrium, terjadi pendarahan pada luka desi dua (tanda Hartman). (Winkjosastro, 2005) Lapisan desi dua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kavum uteri disebut desi dua kapsularis, yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus disebut desi dua basalis, disitulah plasenta akan dibentuk korionik gonadotropin, korionik somatomammotropin (plasenta lactogen), esterogen dan progesteron. Korionik trioptrin dan relaksipun dapat diisolasi dari jaringan plasenta. Kemungkinan bahwa masih ada hormon-hormon lain dalam jangka fungsi plasenta, khususnya dalam fungsi hormonal dalam kehamilan. (Winkjosastro, 2005)
II. 2
Faktor Yang Mempengaruhi Kehamilan Infertilitas (kemandulan) terjadi pada sekitar satu dari setiap pasangan
yang berusaha memiliki anak. Evaluasi klinis terhadap gangguan ini ditunjukkan untuk menentukan apakah baik pihak laki-laki maupun perempuan mampu melakukan gametogenesis menyangkut gamet (gamet pada laki-laki, ovum pada perempuan) ke tempat pembuahan dan implantasi telur yang sudah dibuahi ke dalam endometrium. Evaluasi pada laki-laki terutama pada analisis semen untuk mengetahui jumlah, motilitas dan morfologi sperma, disertai volum ejakulat dan
71
pencabirannya. Aspek-aspek kualitatif fungsi sperma dapat dinilai dengan uji penetrasi telur (egg penatration test). (Winkjosastro, 2005)
II.3
Test Kehamilan Penetapan HCG dalam urine sejak lama dipakai sebagai indikator
kehamilan. Saat ini uji serologi HCG dalam cairan tubuh, disamping digunakan untuk menentukan kehamilan juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosis kehamilan di luar kandungan, memperkirakan terjadinya abortus, tumor tropiblastik, tumor testikuler, bahkan beberapa jenis tumor lain yang tidak berasal dari tiofoblast. (Kresno, 1985) Selain HCG, substansi lain yang juga diproduksi pada wanita hamil yang reproduktif adalah FSH dan LH. (Hatta, 1994) a.
FSH (Follide Stimulating Hormone) yang dihasilkan oleh sel-sel basofilik. Hormon ini mempengaruhi ovarium sehingga dapat berkembang dan berfungsi pada saat pubertas. Hormon ini bertanggung jawab akan berkembang dari ovum sebelum terjadi ovulasi.
b.
LH (Luteinizing Hormone) dihasilkan oleh sel-sel asidofilik. Hormon ini bertanggung jawab dalam pelepasan telur yang masak dari indung telur (ovary) yang siap dibuahi.
(Kresno, 1985)
Semua test kehamilan yang ada pada saat ini mendeteksi keberadaan HCG. Deteksi kehamilan ini memungkinkan perawatan dimulai dini. HCG dapat diukur dengan Radio Immunoassay dan dideteksi dalam darah 6 hari setelah konsepsi atau sekitar 20 hari sejak periode menstruasi terakhir. Keberadaan hormon ini dalam urine pada tahap awal kehamilan merupakan dasar berbagai test kehamilan di laboratorium dan kadang kala dapat dideteksi di dalam urine 14 hari setelah konsepsi. Test yang kurang sensitif mungkin tidak akurat 40 hari setelah terlambat haid atau 3 minggu setelah konsepsi. (Babak, 2004) Spesimen urine yang pertama dikeluarkan di pagi hari mengandung kadar HCG yang kira-kira sama dengan kadar HCG di dalam serum. Kadar HCG di
72
dalam serum meningkat secara eksponen antara hari ke-21 dan ke-70. Sampai urine yang diambil acak berusaha biasanya memiliki kadar yang lebih rendah. (Babak, 2004)
II.4
Gejala Kehamilan Pada wanita hamil terdapat beberapa tanda dan gejala, antara lain:
a.
Amenonea (tidak dapat haid).
b.
Nausea (eneg) dan tmesis (muntah).
c.
Mengidam.
d.
Pingsan.
e.
Mammae menjadi tegang dan kasar.
f.
Anoreksia (tidak mau makan).
g.
Sering kencing.
h.
Pigmentasi kulit.
i.
Varises.
(Winkjosastro, 2005)
II.5
Macam-Macam Test Kehamilan
a.
Test Latex Aglutination Inhibition (LAI) HCG merupakan suatu hormon dan hormon adalah protein. Apabila HCG disuntikkan pada kelinci, maka tubuh kelinci akan terangsang untuk antibodi yang ditunjukkan terhadap HCG (anti HCG). Antibodi inilah yang dipakai untuk menentukan kehadiran HCG didalam urine, reaksi yang terjadi adalah kompleks HCG – anti HCG. TestLatex Aglutination Inhibition mudah dilakukan dan hasil diperoleh dalam 2 menit. Test ini akurat pada 4-10 hari setelah terlambat haid. (Anonim, 1989)
b.
Test Hemaglutination Inhibition (HAI) Test ini lebih sensitif daripada test LAI, tetapi memerlukan waktu 1 sampai 2 jam hasil diperoleh. Akan tetapi, Neocept yang memberi hasil akurat sebelum atau pada haid terlambat. Semua test HAI akurat sekitar 4
73
hari setelah terlambat haid, dipasaran juga dijual e.p.t (early pregnano test = test kehamilan dini). Suatu test HAI yang dapat dilakukan di rumah dan dijual di umum. (Babak, 2004)
c.
Radioreceptor Assay Salah satu kategori terbaru test kehamilan. Test serum 1 jam ini memerlukan peralatan yang cukup canggih. Radioreceptor Assay biasanya akibat pada saat terlambat haid (14 hari setelah konsepsi). (Babak, 2004)
d.
Radio Immunoassay Test ini untuk subunit beta HCG memakai tanda berlabel radioaktif sehingga test harus dilakukan di laboratorium. Bergantung pada derajat sensitivitas yang diinginkan, waktu test bervariasi dari 1 sampai 48 jam. Radio Immunoassay merupakan test kehamilan yang paling sensitif. Saat ini kehamilan dapat didiagnosis 8 hari setelah ovulasi atau 6 hari sebelum haid berikutnya. (Babak, 2004)
e.
Enzyme-Link Immuno Sorben Assay (ELISA) Merupakan
test
kehamilan
yang
paling
populer.
Test
ini
menggunakan antibodi monoklonal sfesifik yang dihasilkan oleh cell-line hibrida. Suatu enzim yang bukan merupakan senyawa radioaktif, mengidentifikasi antigen substansi yang akan diukur. Enzim menginduksi reaksi perubahan warna sederhana. Hasil akhir test dapat dibaca dengan mata telanjang atau spektrofotometer. Test ini memiliki banyak kelebihan. Antigen enzim berkonjugasi dengan reagen test stabil. Peralatan yang diperlukan sederhana dan tidak ada produk sampah nuklir. (Babak, 2004)
Dua garis pada alat uji kehamilan, menandakan bahwa masing-masing wanita dinyatakan hamil. Alat uji kehamilan semacam ini biasanya memiliki “jendela” atau garis. Garis yang pertama mengisyaratkan bahwa test dilakukan dengan benar yang biasa disebut dengan garis kontrol. Garis kontrol akan nampak
74
bila test pack mendapatkan cukup air seni untuk diuji. Sementara garis kedua menunjukkan hasil test yang merupakan bagian alat yang memiliki “antibodi” yang bereaksi dengan HCG dan dapat berubah warna bila hormon ini terdeteksi. Setipis apapun garis ini, kemunculannya menunjukkan adanya kehamilan. (Babak, 2004)
75
BAB III METODE KERJA
III.1
Waktu dan Tempat Praktikum Praktikum pemeriksaan Rapid Test dilaksanakan pada hari Selasa, 1 Juni
2010 di Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. III.2
Prinsip Adanya anti HCG dalam Rapid Test ini akan bereaksi dengan HCG dalam
urin ibu hamil. Ini akan membentuk ikatan yang berbentuk garis.
III. 3 Alat Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah : 1.
Strip test
2.
Pipet tetes
3.
Pengaduk
III.4
Bahan Pemeriksaan Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah sampel dari :
Nama : Ny. Mini Umur : 27 tahun
III.5
Cara Kerja
1.
Siapkan urin dalam wadah yang bersih.
2.
Celupkan strip ke dalam wadah tersebut.
3.
Pencelupan sebatas garis di bawah tanda panah. Kemudian angkat setelah beberapa saat.
4.
Strip diangkat, hasilnya terlihat setelah beberapa menit (< 10 menit) bersamaan munculnya garis merah pada alat uji.
76
III.6
Interpretasi Hasil Control Line Test Line
max
Positif (+)
Positif (+)
max
max
Negatif (-)
Marker Line
Invalid (?)
: Jika ada 2 garis berwarna/dadu yang terlihat di areal control dan test.
Negatif (-)
: Jika hanya 1 garis yang terlihat di areal control dan tidak tampak garis pada bagian test.
Invalid (?)
: Jika tidak ada warna pada 2 bagian yang dimaksud. Menunjukkan adanya kekeliruan prosedur dan bahan reagen test telah rusak.
77
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Dari pemeriksaan kehamilan dengan cara Rapid Test didapatkan hasil pada
urine pasien: Nama : Ny. Mini Umur : 27 tahun Didapatkan hasil pemeriksaan berupa munculnya 2 garis merah pada test pack yang berarti positif.
IV.2
Pembahasan Pada pemeriksaan rapid test, bila memang positif hamil sudah bias
diketahui 3-4 hari sebelum terlambat haid. Hormon HCG muncul seminggu setelah pembuahan. Jadi, begitu wanita terlambat haid pada hari pertama konsentrasi HCG sudah mencapai 100 miu/ml. Padahal sensitivitasnya 25 miu/ml yang berarti lebih cepat diketahui kehamilannya. Karena uji kehamilan ini menggunakan kadar hormone HCG dalam urine untuk mengetahui kehamilan, kadang menunjukkan hasil negatif. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a.
Gunakan wadah yang bersih, pastikan tidak mengandung sisa detergen atau bahan kimia lain.
b.
Jangan gunakan alat uji yang kadaluarsa.
c.
Disarankan untuk menggunakan urine pagi
hari karena tingkat
kepekatannya masih tinggi. d.
Memakai contoh urine yang mengandung darah akan mempengaruhi hasil alat uji.
e.
Apapun hasil dari alat uji harus tetap melakukan konfirmasi ke dokter.
78
Pada kasus-kasus tertentu atau pemeriksaan di urine memberikan hasil negatif
tetapi
pemeriksaan
urine
mengisyaratkan
kemungkinan
hamil.
Pemeriksaan harus diulang dalam 2 hari. Sebab lain hasil test menjadi negatif adalah HCG dalam urine wanita hamil muda mungkin mengalami pengenceran oleh besarnya aliran sampai ke kadar yang tidak dapat terdeteksi. Oleh karena itu, hasil HCG yang negatif harus diikuti oleh pengukuran berat jenis untuk menentukan apakah urine sudah cukup pekat. Test urine positif palsu dapat disebabkan oleh proteinuria (3-4) urine berdarah dilihat secara mikroskopik atau puncak tengah siklus hormone luteinisasi. Obat-obatan seperti metadon, klorpozamin, halopendol dan triodazin dapat juga menyebabkan test kehamilan positif palsu. Test ini dapat negatif palsu bila contoh urine mempunyai berat jenis rendah atau bila test dilakukan secara dini dalam kehamilan.
79
BAB V PENUTUP
V.1
Kesimpulan Dari hasil pemeriksaan kehamilan dengan cara Rapid Test pada urine
seorang wanita didapatkan yang hasil positif.
V.2
Saran
a.
Jangan membuka bungkus alat strip test jika tidak langsung digunakan.
b.
Tidak melakukan pembacaan lebih dari 5 menit pada pemeriksaan.
c.
Sebaiknya menggunakan urine pagi karena tingkat kepekatannya masih tinggi sehingga kandungan hormon HCG juga sangat tinggi.
80
PEMERIKSAAN widal (tube test)
81
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Reaksi widal merupakan imunitas yang ditimbulkan oleh kuman
Salmonella typhi atau paratyphi, yaitu kuman yang terdapat di minuman dan makanan kita yang terkontaminasi dengan tinja orang yang sakit tifus. Bila kebetulan jumlah kuman yang tertelan cukup besar mungkin akan timbul penyakit tifus yang terutama di tandai oleh demam berkepanjangan sebagai ciri khas. Namun tidak semua demam adalah tyfus. Tyfus perlu dicurigai bila demam berlanjutnya sedikitnya 6-7 hari. Juga demam tyfus pada hari-hari permulaan hanya ringan, tidak konstan, naik turun dan hanya setelah 5-7 hari juga tetap tinggi disertai badan pegal dan sakit kepala serta kadang-kadang mual dan diare ringan. Diagnosa tyfus bias di curigai setalah demam sekitar seminggu di tambah gejala-gejalatersebut. Secara statistic juga demam tanpa adanya gejala positif yang mengarah ke penyakit lain. (www.iwandanmansja.web.id) Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, uji serologi dan pemeriksaan kuman secara molecular. Uji serologi di gunakan untuk membantu menegakkan diagnose demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen
Salmonella
typhi
maupun
mendeteksi
antigen
itu
sendiri.
(http.blogstes.com) Uji widal tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi yang disebabkan oleh spesies lain atau bioseratipe Salmonella karena kesulitan interpretasi yang di sebabkan oleh reaksi silang serologi. (Sacher,2004)
I.2
Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mendeteksi adanya antibody
terhadap antigen Salmonella typhi atau paratyphi di dalam serum. 82
I.3
Manfaat Manfaat dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara pemeriksaan
widal metode tabung.
83
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tes serologi widal merupakan tes aglutinasi yang menggunakan suspensi Salmonella typhi dan paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibody terhadap Salmonella typhi atau paratyphi di dalam serum penderita. Tes serologi widal di pakai untuk menegakkan diagnose dan menentukan secara kasar prognosa dari penyakit demam typhoid.
II.1
Struktur antigen Salmonella Bagian dari Salmonella typhi yang dapat berfungsi sebagai antigen antara
lain: a.
Simpai Vi polisakarida yang terletak pada lapisan paling luar. Berfungsi untuk menghindari respon imun dan fagositosis.
b.
Lipopolisakarida, yang merupakan suatu factor virulen dan antigen penting Salmonella typhi. Antigen ini yang dikenal sebagai antigen O merupakan suatu endotoksin yang dapat menimbulkan septic shock pada manusia dan binatang. Antibodi terhadap lipopolisakarida antigen O berhubungan erat dengan infeksi sebelumnya, tetapi tidak berkaitan dengan proteksi tubuh terhadap infeksi Salmonella typhi.
c.
Flagel protein yang dikenal sebagai antigen H yang terdapat dalam 2 bentuk yang di sebut sebagai fase 1 dan fase 2. Fase 1 mengandung antigen yang lebih spesifik disbanding fase 2. Flagel ini merupakan struktur kompleks terdiri dari polimerisasi komponen protein yang di sebut dengan flagelin. Flagelin ini bertanggung jawab terhadap aktivitas antigen flagel, tetapi antibody terhadap flagelin tidak dapat melindungi tubuh terhadap infeksi Salmonella typhi.
(www.kalbefarma.com)
84
II.2
Patogenesis Bila Salmonella typhi atau paratyphi dalam dosis yang infektif (>105)
masuk ke dalam saluran pencernaan dari seorang penderita yang tidak mempunyai daya tahan terhadap kuman tersebut, maka kuman ini akan menembus sel-sel epitel usus dan masuk ke dalam kelenjar-kelenjar limpa dari mesentrium. Kumankuman ini akan berkembang biak, kemudian melalui ductus thoracicus akan masuk ke aliran darah untuk selanjutnya menyebar ke organ-organ seperti hati, kandung empedu, limpa, ginjal dan sum-sum tulang. Dalam organ-organ ini kuman-kuman tersebut akan berkembang biak lagi dan menimbulkan keradangan. Proses ini akan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya kuman-kuman tersebut akan menyebar kedalam aliran darah dan menimbulkan bakteremia untuk kedua kalinya. (Handojo,1982) Dalam stadium bakteremi kedua ini, Salmonella typhi akan melepaskan endotoksinnya yang di duga sebagai penyebab dari timbulnya gejala-gejala klinik demam typhoid. Tubuh berusaha untuk menetralkan efek dari endotoksin ini (Ag O) dengan menggunakan jalur alternative dari system komplemen. Salmonella typhi amat sukar untuk di fagositosis oleh sel-sel makrofag karena terlindung oleh kapsulnya (Ag Vi). Baru setelah kuman-kuman ini agak lama berada dalam peredaran darah ( kira-kira 1 minggu), sel-sel fagosit atau makrofag berhasil memfagositosis kuman-kuman tersebut. Untuk ini penderita harus mengerahkan semua sel-sel makrofag yang terdapat dalam jaringan RES seperti hati dan limpa. Sehingga seringkali sampai meninbulkan pembengkakan dari organ-organ tersebut di atas. (Handojo,1982) Sebagai hasil dari fagositosis ini maka umumnya pada akhir minggu kedua, dapat dikatakan sudah tidak di temukan Salmonella typhi lagi dalam darah dan pembentukan antibodi (Aglutinin O kemudian di susul oleh H dan Vi) mulai terjadi lebih aktif. Bila kemudian oleh karena pengobatan penderita sembuh, maka kadar Ab dalam darah akan di pertahankan selama beberapa bulan, untuk selanjutnya menurun secara perlahan. Biasanya agglutinin O menghilang terlebih dahulu yang diikuti oleh agglutinin H dan Vi. (Handojo, 1982)
85
II.3
Gejala Klinis Pada umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang di tandai
dengan demam yang tidak turun selama lebih dari satu minggu terutama sore hari. Pada demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi, tetapi bertahap seperti anak tangga (strepladder). Sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan (anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan peningkatan suhu tubuh , debar jantung relatif lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteurismas), radang paru(pneumonie) dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa. Penyakit lain yang dapat terjadi adalah peradangan usus, dinding usus besar (perfurasi), radang selaput perut (peritonitis) serta gagal ginjal. (www.abclab.co.id)
II.4
Pemeriksaan Serologi Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi atau paratyphi. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi, karena itu antibody jenis ini di kenal sebagai febrik aglutinin.
II.4.1 Tes Aglutinasi Cara Slide Pada tes ini semua yang diketahui dengan kultur yang tidak diketahui di campur diatas sebuah slide, akan terjadi gumpalan dapat dilihat dalam beberapa menit. Tes ini khususnya berguna untuk pengidentifikasian kultur awal secara cepat.
Ada
alat
komercial
yang
mungkin
untuk
mengaglutinasi
dan
mengelompokkan serum Salmonella dengan antigen O, A, B, C, C2, D & E. (www.abclab.co.id)
II.4.2 Tes Aglutinasi Cara Tabung Serum aglutinasi akan meningkat dengan cepat selama minggu kedua dan ketiga pada infeksi Salmonella. Paling tidak dua contoh serum di capai dalam interval
7-10 hari di butuhkan untuk membuktikan adanya peningkatan titer
86
antibodi. Proses pengenceran berurutan dari serum yang tidak di ketahui di tes terhadap antigen dari Salmonella yang representatif, hasilnya diartikan sebagai berikut:
Tinggi atau meningkatnya titer O (> 1:160), menyatakan bahwa infeksi akut terjadi.
Titer H tinggi (> 1:160), menyatakan adanya imunisasi atau infeksi terdahulu.
Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada beberapa carrier (pembawa) penyebab.
(Brooks,2005)
II.4.3 ELISA Salmonella typhi / paratyphi IgG atau IgM Diagnosis demam typhoid/paratyphoid di nyatakan:
Bila IgM positif menandakan fase akut
Bila
IgG
positif
menandakan
pernah
kontak/pernah
terinfeksi/reinfeksi/daerah endemic. ( www.abclab.co.id)
II.5
Kondisi dan Keadaan yang harus di waspadai pada penderita yang sedang mengalami “ OVER DIAGNOSIS TIFUS”
a.
Hasil pemeriksaan widal yang sangat tinggi pada hari ke 3-5 saat demam.
b.
Dalam lingkungan satu rumah terdaat penderita demam inggi dalam waktu yang hamper bersamaan.
c.
Penderita divonis gejala tifus atau tyfus ringan.
d.
Demam di sertai gejala batuk dan pilek pada awal penyakit.
e.
Penderita yang sering mengalamiinfeksi berulang (sering demam, batuk dan pilek)
f.
Penderita alergi yang disertai GER (Gastroesephageal refluks) atau sering muntah.
g.
Penderita tyfus berulang atau penderita yang di vonis tifus lebih dari sekali. 87
h.
Peningkatan nilai widal H
i.
Penderita demam berdarah
j.
Penderita berusia kurang dari 2 tahun Bila penderita mengalami hal tersebut maka sebaiknya harus cermat
menerima diagnosis tyfus penyakit demam yang di sebabkan karena infeksi virus yang di sertai dengan kondisi tersebut sering mengalami peningkatan nilai widal. (http.blogster.com)
88
BAB III METODE KERJA
III.1
Waktu dan Tempat Praktikum pemeriksaan widal metode tabung dilaksanakan pada hari
Jumat dan Sabtu, tanggal
18 dan 19 Juni 2010 di Laboratorium Kesehatan
Provinsi Kalimantan Timur.
III.2
Metode Metode yang di gunakan adalah uji widal metode tabung (Tube
Aglutination Test).
III.3
Prinsip Pemeriksaan reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang
telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
III.4
Alat Alat alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain:
Tabung reaksi
Rak tabumg
Mikropipet
Yellow dan blue tape
Sentrifuge
Rotator
Incubator
89
III.5
Reagen Reagen yang diperlukan dalam uji ini adalah:
NaCl 0,9 %
Antigen Salmonella paratyphi A-O
III.6
Bahan Bahan yang diperlukan dalam uji ini adalah sample dari serum pasien.
III.7
Cara Kerja
1.
Disiapkan 7 tabung reaksi dan letakkan di rak tabung.
2.
Pada tabung pertama, di isi 1000 µl NaCl 0,9 %, lalu di buang 100 µl.
3.
Pada tabung 2-7 di isi 500 µl NaCl 0,9 %.
4.
Pada
tabung pertama
di
tambahkan
100
µl
serum,
kemudian
dihomogenkan. 5.
Di ambil 500 µl larutan dari tabung pertama, kemudian masukkan pada tabung 2, lalu homogenkan dan ambil 500 µl dari tabung 2 dan masukkan ke dalam tabung 3 dan seterusnya hingga tabung 6.
6.
Di ambil 500 µl dari tabung 6 lalu di buang.
7.
Di tambahkan 1 tetes reagen widal pada semua tabung, lalu homogenkan.
8.
Lalu di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C, lihat adanya aglutinasi.
90
III.8
Interpretasi Hasil
Positif (+)
Negatif (-)
Positif (+)
: Aglutinasi menyebar, berarti terdapat antibodi
Negatif (-)
: Aglutinasi tidak menyebar, berarti tidak terdapat antibodi
91
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Hasil Antigen Salmonella paratyphi
Pengenceran
IV.2
A-O
1/10
Positif (+)
1/20
Positif (+)
1/40
Positif (+)
1/80
Positif (+)
1/160
Negatif (-)
1/320
Negatif (-)
Control
Negatif (-)
Pembahasan Nilai klinik dari suatu test di katakana baik bila tes tersebut memberi hasil
yang negatif atau titer yang amat rendah pada orang normal (tak sakit) memberikan kenaikan titer yang linear dengan derajat penyakit pada penderitapenderita yang sedang sakit dan menjadi negatif kembali/memberikan penurunan titer yang tajam segera setelah penderita sembuh. Nilai klinik tes widal tidak begitu tinggi. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penuruan titernya dan banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat di temukan, baik pada hasil test yang positif maupun yang negatif. (Kusworini,2003) Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dapat menarik kesimpulan hasil tes widal yaitu : 1.
Dari hasil satu kali tes saja belum dapat ditarik kesimpulan yang berari kecuali titernya amat tinggi, untuk mendapatkan interpretasi hasil yang baik tes widal perlu dilakukan beberapa kali (setidaknya 2 kali) dengan
92
jangka waktu 5-7 hari dalam hal ini amat perlu di perhatikan adanya kenaikan titer dari aglutinasi. 2.
Vaksinasi Vaksin dapat mempengaruhi titer aglutinin dari tes widal baik aglutinin H maupun O akan meningkat sesudah vaksinasi dengan chotypa, tetapi aglutinin O akan turun lebih dahulu dan umumnya menjadi negatif setelah beberapa bulan, sedangkan aglutinin H biasanya dipertahankan selama beberapa tahun.
3.
Stadium penyakit Pengambilan serum yang dilakukan pada stadium amat dini dari penyakit misalnya sejak minggu pertama sejak di mulainya febris dapat memberikan hasil tes widal yang negatif atau masih dalam batas normal. Umumnya aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita demam selama satu minggu dan mencapai puncak pada minggu kelima atau keenam sejak mulainya demam. Kadang-kadang aglutinin di jumpai setelah penderita sembuh, terutama pada anak-anak, oleh karena itu hasil tes widal yang negatif atau positif dengan titer yang rendah pada stadium dari penyakit tidak menyingkirkan diagnosa demam typhoid.
4.
Pemakaian obat-obatan “ immunosuppressive “ seperti kortikosteroid dapat menekan pembentukan aglutinin.
5.
Keadaan atau penyakit tertentu seperti penyakit keganasan (leukemia, karsinoma yang lanjut) dapat pula memberikan hasil yang negatif semu.
6.
Infeksi campuran dengan kuman-kuman lain seperti TBC miliar, dapat menekan pembentukan agglutinin dan memberikan hasil yang negatif semu.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan antara lain: 1.
Antigen a)
Strain Salmonella yang dipakai untuk membuat antigen bila dibuat dari strain yang bukan dari atau tidak berasal dari daerah yang
93
endemis, maka dapat memberikan hasil yang negative semu, disamping itu reaksi silang juga dapat terjadi dengan spesies-spesies Salmonella enteritidis dan lain-lain. Sehingga dapat memberikan hasil yang positif semu. b)
Kekuatan dari suspense antigen Suspensi antigen suspense yang encer hanya menunjukkan kekeruhan yang ringan dan menghasilkan titer aglutinasi yang lebih tinggi daripada suspensi antigen yang pekat.
2.
Kadar Antibodi (aglutinin) dalam serum Kadar aglutinin yang sangat tinggi dalam serum penderita dapat menimbulkan fenomena “prozone” dan dapat menyebabkan kesalahan dalam pembacaan hasil tes widal.
3.
Cara pembacaan tes hasil widal Pembacaan aglutinasi dilakukan dengan mata telanjang sehingga memberikan hasil yang amat subjektif dengan posisi yang kurang baik.
4.
Warna aglutinasi Aglutinin yang terjadi umumnya tidak terlalu kelihatan, sehingga sering kali memberikan kesukaran pada pembacaan hasil dari tes. Apabila pembacaan hasil tes widal cara tabung inkubasinya kurang dari 24 jam maka: reaksi antara antibody dan antigen belum sempurna dan akan menghasilkan hasil yang negatif palsu.
( Handojo,1982 )
94
BAB V PENUTUP
V.1
Kesimpulan Berdasarkan pemeriksaan widal metode tabung didapatkan titer 1/80, yang
artinya titer dalam serum masih dalam batas normal.
V.2
Saran Untuk menarik kesimpulan pada pemeriksaan widal tes, tidak dapat
dilakukan hanya sekali saja, perlu dilakukan pemeriksaan berulang, sehingga mendapatkan interpretasi hasil yang baik.
95
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1989. Serologi. Jakarta : Pendidikan Tenaga Kesehatan RI. Babak, Lowdermilk Jansen. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Brooks, Geo. F, dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika. Corwin, J. Elizabeth.2000. Patofisiologi. EGC : Jakarta. FKUI. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 1 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius. FKUI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius. Handojo, indro. 1982. Diktat Kuliah FK Unair Serologi Klinik. Surabaya : Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNAIR. Handojo, Indro. 1982. Serologi Klinik. Surabaya : Fakultas Kedokteran. UNAIR. Hoffman, Si. 1991. Typhoid Fever Edisi 7. Philadelphia : WB. Saunders. Ibrahim. Zr. Christina.S. 1971. Perawatan Kebidanan I. Jakarta : Bhratara. Jawetz, Ernest. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Kee, Joyce Lecever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 2. Jakarta : EGC. Kresno, Siti Boerding. Imunologi Penuntun Praktikum Imunologi Serologi, Jakarta : FKUI. Pawitro VE, dkk. 2002. Demam Tifoid. Jakarta : Salemba Medika. Price, A. Sylvia, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
1
Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC. Sacher, Ronald A. Richard, A.Mc Pherson.2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 2. Jakarta : EGC. Soedarjatmo, dkk. 1991. Biologi. Klaten : Intan Pariwara. Soemarno. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinis. Yogyakarta: Akademi Analis
kesehatan
Yogyakarta
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Sudoyo A.W. et. al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Tumbelaka AR. 2005. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid pada Anak. Malang : IDAI. Underwood, J.C.E.1999. Patofisiologi Umum dan Spesifik Edisi 2. Jakarta : EGC.
http://beingmom.org/2007/10/demam-tifoid http://one:indoskripsi.com/content/Uji-Kehamilan-Galli-Mainini http://www.kalbe.co.id http://www.kalbefarma.com http://www.lifacare.com.my http://www.medicinet.com http://www.mediterm.com http://www.prodia.co.id http://www.wido25.blogster.com
2