LAPORAN PROGRAM ACADEMIC LEADERSHIPS GRANT (PROGRAM 1-1-6)
Formulasi Senyawa Antibakteri Dari Sarang Semut Sebagai Alternatif Obat Alami Penyakit Gigi dan Mulut
Prof. Dr. Mieke H. Satari, drg.,MS Dr. Hendra Dian A. Dharsono, drg.,Sp.KG Dr. Yetty Herdiyati.S,drg. Sp. KGA (K) Dr. drg. Denny Nurdin, MKes Dr. Dikdik Kurnia, M.Sc Meirina Gartika, drg., Sp KGA
UNIVERSITAS PADJADJARAN Januari, 2017
RINGKASAN Penderita penyakit infeksi gigi di Indonesia mencapai 90. Penyakit yang paling banyak diderita yaitu karies gigi dan periodontitis. Penyebab utama terjadinya karies dan periodontitis disebabkan adanya enzim dan toksin yang dihasilkan oleh bakteri diantaranya Streptotococcus mutans, Enterococcus faecalis, Porphyromonas ginggivalis dan Streptococcus sanguis. Saat ini pengobatan menggunakan obat yang ada terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri belum maksimal, ditambah dengan semakin berkembangnya bakteri yang mengalami resistensi terhadap beberapa antibiotic. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang mengarah pada penemuan obat yang poten. Dengan adanya faktor resistensi bakteri membuat pengembangan molekul target dan mekanisme kerja antibakteri semakin meingkat. Salah satu upaya mengatasi bakteri patogen dengan cara pembuatan enkapsulasi senyawa aktif agar senyawa aktif bisa masuk ke bagian terdalam gigi. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa mikrokapsul dapat mengontrol dan memperpanjang waktu release dari obat sodium diklofenak yang dienkapsulasinya serta dapat meningkatkan efisiensi obat hingga 72,99%. Sumber untuk mendapatkan molekul aktif bisa didapatkan dari tumbuhan medisinal. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman hayati yang melimpah. Hal ini merupakan sumber potensi untuk menemukan senyawa alami yang mempunyai aktivitas fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai sumber obat. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan menguji aktivitas suatu senyawa dari tumbuhan Myrmecodia sp atau lebih dikenal dengan nama “sarang semut”. Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap yaitu isolasi dan karekterisasi senyawa dari sarang semut, pengujian senyawa terhadap bakteri patogen, pengujian senyawa terhadap pembentukan biofilm dan pembentukan enkapsulasi senyawa aktif tersebut. Dari penelitian ini didapatkan dua senyawa flavonoid dan dua terpenoid yang memiliki aktivitas antibakteri. Kata kunci: Myrmecodia pendens, Antibakteri, Enkapsulasi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia sangat buruk, hal ini disampaikan oleh Sukmono dkk (2011). Dalam surveinya, Sukmono dkk (2011) memperoleh data 90% dari penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut. Hal ini disebabkan karena perilaku masyarakat Indonesia masih memiliki persepsi yang buruk terhadap kesehatan gigi dan mulut. Penyakit yang paling banyak diderita yaitu karies gigi dan periodontitis. Menurut Samrayanake (2006) dan didukung oleh Marsh dan Martin (2009), penyebab utama terjadinya karies dan periodontitis disebabkan adanya enzim dan toksin yang dihasilkan oleh bakteri diantaranya Streptotococcus mutans (penyebab karies), Enterococcus faecalis (penyebab kegagalan perawatan endodontik), Porphyromonas ginggivalis (penyebab penyakit periodontitis) dan Streptococcus sanguis (penyebab terbentuknya biofilm). Virulensi bakteri dapat menyebabkan tingkat keparahan suatu penyakit. Dalam upaya mengatasi sifat virulensi bakteri, salah satu cara menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut melalui pengobatan terhadap penyakit karies dan periodontitis. Pengobatan yang dilakukan untuk menghambat proses pertumbuhan bakteri ini banyak menggunakan obat-obatan produk sintesis seperti pemberian antibiotik dan antiseptik. Namun saat ini, antibiotik dan antiseptik tersebut sudah banyak yang mengalami resistensi terhadap bakteri penyebab penyakit gigi dan mulut. Oleh karena itu, diperlukan suatu zat yang bisa menjadi alternatif pengobatan. Bahan alam merupakan sumber agen antimikroba baru, namun belum banyak pengetahuan mengenai potensi metabolit sekunder terhadap patogen oral (Ambrosio, 2008). Salah satunya adalah umbi sarang semut (Myrmecodia pendens merr& perry) yang banyak digunakan oleh masyarakat di papua barat sebagai ramuan berkhasiat untuk terapi berbagai penyakit. Tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan dalam obat-obatan herbal modern karena
mereka bisa kemampuannya tumbuh dengan baik sebagai tanaman epifit. Oleh karena itu eksploitasi pada tumbuhan ini tidak akan membahayakan lingkungan (Hertiani dkk., 2010). Saat ini belum ditemukan senyawa aktif tunggal umbi sarang semut yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap S. mutans, S. sanguis, E. Faecalis, dan P. gingivalis. Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa fraksi umbi sarang semut mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, fenolik dan terpenoid (Hamsar & Mizaton, 2012). Penelitian terdahulu melaporkan kemampuan flavonoid bekerja sebagai antimikroba terhadap Staphylococcus aureus, S. epidermidis, E. coli, S. typhimurium dan Stenotrophomonas maltophilia (Chusnie, 2005). Selain itu flavonoid juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antithrombogenik, antivirus, dapat menurunkan kadar kolesterol darah, antiangiogenesis, dan menghambat proliferasi sel. (Akiyama et al., 2002). Bioaktivitas terpenoid juga telah banyak diteliti dalam bidang kedokteran, antara lain sebagai bahan antikanker, anti-HIV, antijamur, antiparasit dan antibakteri (Zwenger & Basu, 2008). Terpenoid mampu merusak dinding sel bakteri dengan cara merusak struktur lemak dan menurunkan tegangan permukaan dinding sel sehingga menyebabkan kandungan intrasel bakteri bocor keluar dinding sel, dan akhirnya sel mengalami lisis. Sampai saat ini, penggunaan obat saluran akar belum mampu menembus lapisan tubuli dentin. Oleh karena itu, karakteristik antibakteri/obat yang digunakan sebagai alternatif pengobatan infeksi gigi ini harus mampu menembus lapisan tubuli dentin agar dapat mengatasi kegagalan perawatan endodontik akibat adanya resistensi E. faecalis. Salah satu cara agar zat obat saluran akar ini mampu berpenetrasi ke tubuli dentin maka diperlukan suatu cara yaitu melalui transport bahan obat melalui mikrokapsul. Pembuatan mikrokapsul ini juga diharapkan dapat dimasukkan ke dalam sulkus gusi untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang hidupnya di dalam sulkus gusi. Salah satu syarat yang harus dimiliki obat saluran akar dan obat sulkus gusi adalah obat tersebut harus stabil dalam larutan dan aktif meskipun terdapat
darah, serum dan derivat protein jaringan (Grossman, 1995). Berdasarkan alasan tersebut, diperlukan upaya melindungi obat saluran akar dan sulkus gusi dari pengaruh lingkungannya dengan cara mengenkapsulasinya. Konsep dari enkapsulasi ini adalah pembungkusan suatu senyawa oleh senyawa lainnya atau proses pembungkusan droplet cairan, partikel padat atau gas dalam kulit yang bersifat inert yang akan mengisolasi dan memproteksi droplet tersebut dari lingkungan luar. Material inti yang biasa dipakai adalah dalam bentuk cairan. (Ghosh, 2006). Mikrokapsul merupakan produk enkapsulasi dan telah diaplikasikan dalam bidang medis seperti drug delivery. Salah satu fungsi dari mikrokapsul ini adalah sebagai controlled release. Menurut Volgeson (2001), teknologi mikroenkapsulasi yang dikembangkan selama dekade terakhir telah terbukti efektif dalam meningkatkan spesifitas obat terhadap target organ, menurunkan toksisitas obat secara sistemik, memperbaiki tingkat penyerapan obat dan melindungi obat terhadap degradasi biokimia. Penelitian yang dilakukan Shivalingam et al. (2010), membuktikan bahwa mikrokapsul dapat mengontrol dan memperpanjang waktu release dari obat sodium diklofenak yang dienkapsulasinya serta dapat meningkatkan efisiensi obat hingga 72,99%. Penghantaran obat dengan controlled release telah terbukti dapat meningkatkan kemampuan terapeutik obat. Polimer merupakan bahan yang penting dalam teknologi controlled release, karena sifat kimia dan fisiknya mudah dikontrol. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mikrokapsul untuk tujuan controlled release obat saluran akar gigi harus bersifat biocompatible dan biodegradable. Salah satu bahan yang memiliki kedua sifat tersebut adalah sodium alginat. Bahan ini umumnya digunakan sebagai zat pesuspensi, disintegran untuk tablet dan kapsul, pengikat untuk tablet dan zat peningkat viskositas. Bahan ini juga telah digunakan untuk mikroenkapsulasi beberapa senyawa obat. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan mikroenkapsulasi obat saluran akar menggunakan penyalut sodium alginat dan kitosan untuk medicament infeksi saluran akar gigi. Selain itu, dari penelitian
ini juga akan dibuat obat kumur maupun gel sebagai obat untuk mengatasi infeksi gigi. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut. 1. Apakah dapat dibuat mikrokapsul sodium alginate beberapa senyawa tunggal dan kombinasi hasil isolasi umbi sarang semut. 2. Apakah mikrokapsul sodium alginate beberapa senyawa tunggal dan kombinasi hasil isolasi umbi sarang semut dapat menurunkan jumlah S. mutans, S. sanguis, E. faecalis dan P ginggivalis. 3. Apakah terdapat efektivitas antibakteri dari senyawa tunggal dan kombinasi hasil isolasi sarang semut
1.3 Tujuan Penelitian 1. Dapat dibuat mikrokapsul sodium alginate beberapa senyawa tunggal dan kombinasi hasil isolai umbi sarang semut. 2. Mengukur penurunan jumlah S mutans, S sanguis, E. faecalis dan P. gingivalis 3. Mengukur efektivitas antibakteri senyawa tunggal dan kombinasi hasil isolasi umbi sarang semut.
1.4 Urgensi Penelitian Keutamaan penelitian ini nampak jelas pada kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak menderita berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme khususnya bakteri sehingga memiliki kondisi yang tidak sesuai dengan standar keamanan dan kesehatan. Proses penyembuhan dengan menggunakan berbagai antibiotik yang sudah tidak sesuai lagi, bukan saja menjadikan penyakit tidak teratasi, akan tetapi akan memperparah penyakit yang diakibatkan oleh meningkatnya resistensi bakteri tershadap obat tersebut. Di lain pihak, tumbuhan umbi Sarang Semut mempunyai potensi besar sebagai
sumber alternatif bahan alami karena telah lama digunakan secara tardisonal untuk pengobatan tradisional. Dengan selesainya riset ini, diharapkan tumbuhan umbi Sarang Semut yang selama ini belum memiliki nilai ekonomi tinggi, digunakan sebagai bahan baku obat alami menggantikan obat antibiotik yang ada. Selain itu terungkapnya potensi kandungan senyawa-seyawa antibakteri baru akan membuka wawasan penelitian senyawa alami medisinal potensial disamping untuk pengembangan potensi budidaya tumbuhan umbi Sarang Semut. Rancangan tahapan penelitian dan rencana penelitian (road map) ini dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Sumberdaya Hayati SARANG SEMUT
Program ALG 2015-2019 Academic Leadership Grant Data Ethnobotani & Ethnofarmakologi (Skripsi S1)
Isolasi Senyawa Terpenoid Antibakteri (Thesis S2 & Disertasi S3)
Studi Struktur & Uji Bioaktifitas Antibakteri (Thesis S2 & Disertasi S3)
Studi Formulasi Antibakteri, Antioksidan & osteoathritis (Thesis S2 & Disertasi S3)
Analisis Fitokimia (Skripsi S1)
Isolasi Senyawa Flavonoid Antibakteri (Thesis S2 & Disertasi S3)
Isolasi Senyawa Flavonoid Antioksidan (Thesis S2 & Disertasi S3)
Persiapan Uji Pra-klinik & Klinik (Thesis S2 & Disertasi S3)
Tahun ke- 1 & 2 Isolasi dan Penentuan Struktur Lead Compunds
Tahun ke- 3 Uji Bioaktifitas Lead Compunds
Tahun ke- 4 & 5 Formulasi & Persiapan Uji Pra-Klinik dan Uji Klinik
Gambar 1 Road Map Penelitian Tahun ke- 1-5
1.5 Luaran yang akan dicapai Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang di bidang kedokteran Gigi khususnya tentang mekanisme kerja dari beberapa sen yawa tunggal hasil isolasi umbi sarang semut sebagai upaya meningkatkan keberhasilan perawatan gigi. 2. Diharapkan dapat menjadi ajuan penggunaan berupa obat kumur, gel, serta mikrokapsul enkapsulasi untuk meningkatkan efektivitas penggunaan obat.
Kandidat Obat Baru Antibakteri
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Flavonoid Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh tumbuhan (Robinson, 1991). Pada tubuh manusia flavanoid berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri, antivirus dan banyak digunakan dalam pengobatan kanker. Flavanoid memiliki efek antibakteri yang bekerja dengan menghambat sinteis dinding sel, menghambat fungsi membran, sitoplasmik serta menghambat sintesis protein (Edewor, 2013). Hal ini didukung oleh Chusnie dan Lamb pada tahun 2005 menemukan mekanisme galangin yang merupakan flavonoid sebagai antibakteri terhadap MRSA yang merupakan bakteri Gram positif adalah menginduksi kerusakan membran sitoplasma pada bakteri yang diketahui melalui pengukuran kebocoran ion logam kalium (K+).
2.2 Terpenoid Terpenoid tersusun dari senyawa-senyawa yang mengandung suatu gabungan kepala ke ekor dan mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C-5 yang disebut unit isopren. Unit C-5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya sama seperti senyawa isopren (Lenny, 2006). Bioaktivitas terpenoid telah banyak diteliti dalam bidang kedokteran. Beberapa diantaranya adalah sebagai bahan antikanker, anti-inflamasi, anti-HIV, antijamur, antiparasit, antibakteri dan masih banyak lagi penelitian bioaktivitas terpenoid. Monoterpen dan diterpen diketahui memiliki aktivitas antibakteri yang sangat kuat (Zwenger & Basu, 2008). Penggunaan terpenoid sebagai senyawa aktif juga meningkat di bidang makanan sebagai essence dan pewangi (Robinson, 1991).
2.3 Bakteri 2.3.1
Streptococcus mutans Streptococcus mutans merupakan bakteri Gram-positif termasuk kelompok
dari Streptococcus viridians, ciri khas organisme ini adalah sifat α-hemolitik tetapi dapat juga non-hemolitik. Salah satu bakteri yang dianggap sangat berperan dalam mekanisme pembentukan plak gigi dan peningkatan kolonisasi bakteri penyebab karies adalah S.mutans. S.mutans terdapat didalam plak sebagai bakteri penghasil asam yang kuat serta sangat resisten terhadap asam. Bakteri S.mutans mampu tumbuh dalam keadaan asam dan dapat menempel pada permukaan gigi karena kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel. Polisakarida ini terdiri dari polimer glukosa yang menyebabkan matriks plak mempunyai konsistensi seperti gelatin, akibatnya bakteri terbantu untuk melekat pada gigi serta saling melekat satu sama lain. Plak makin lama makin tebal, sehingga akan menghambat fungsi saliva sebagai antibakteri dan terjadilah karies gigi (Kidd & Bechal, 1991).
2.3.2
Enterococcus faecalis Enterococcus faecalis termasuk genus bakteri kokoid anaerob fakultatif
Gram-positif, berbentuk ovoid dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau bentuk rantai pendek. (Johnson et al., 2009). Pada periodontitis apikalis persisten, E. faecalis merupakan bakteri predominan yang diisolasi dari saluran akar yang telah dilakukan perawatan endodontik (Haapsalo et al., 2003). E. faecalis dapat berinvasi ke dalam tubuli dentin, berkoloni di dalam saluran akar dan mampu bertahan hidup tanpa dukungan bakteri-bakteri lainnya. E. faecalis resisten terhadap efek antibakteri dari kalsium hidroksida dan resisten terhadap sebagian besar antibiotika. Penggunaan antibiotika akan merubah flora normal dalam saluran akar yang memberikan kondisi yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup E. faecalis (De Paz, 2006). Pada patogenisitas penyakit periodontitis apikalis, E. faecalis dalam tubuli dentin dan saluran akar dilepaskan ke daerah periradikuler yang kemudian menarik leukosit atau menstimulasi leukosit untuk memproduksi mediator inflamasi atau enzim lisis. (De Paz, 2004).
2.3.3
Streptococcus sangunis Streptococcus sanguinis adalah Gram-positif spesies bakteri kokus anerobik
fakultatif dan anggota kelompok Streptococcus viridans. S. sanguinis merupakan penghuni normal dari mulut manusia yang sehat di mana ia ditemukan dalam plak gigi. S. sanguinis diperkirakan dapat masuk kealiran darah ketika dilakukan (pembersihan gigi dan operasi) akan menjajah katup jantung, terutama katup mitral dan aorta, di mana hal tersebut merupakan penyebab paling umum dari sub akut bakteri endokarditis (White & Niven, 1946).
2.3.4
Porphyromonas gingivalis Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri anaerob Gram-negatif yang
tidak berspora (non-spore forming) dan tak punya alat gerak (non motile) (Leslie et al.,1998). Porphyromonas gingivalis terlibat dalam patogenesis periodontitis, suatu penyakit inflamasi menghancurkan jaringan pada gigi yang dapat menyebabkan kehilangan gigi. (Bodet et al., 2007). Kemampuan P.gingivalis sebagai penyebab penyakit periodontitis ditentukan dari faktor virulen. Pembentukan biofilm dan aktivitas bakteri dipeptidal peptidase IV (DPPIV) berkontribusi dalam patogenik yang disebabkan oleh P.gingivalis.
Selanjutnya,
pembentukan
biofilm
mempertinggi
virulensi
P.gingivalis sehingga meningkatkan aktivitas DPPIV (Clais et al., 2014). Sebuah penelitian yang dilakukan Noril et al (1997) mengatakan bahwa P.gingivalis merusak jaringan dengan interaksi langsung antara bakteri dan sel inang. Faktor-faktor virulensi yang terlibat dalam kolonisasi jaringan akan dapat mengubah pertahanan jaringan host (Imamura, 2003). P.gingivalis adalah stimulator poten dari mediator inflamasi seperti Interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin E2 yang dapat menyebabkan resorbsi tulang (Cutler et al., 1995).
2.4
Tinjauan Umum Myrmecodia pendens Tanaman sarang semut merupakan tanaman yang termasuk dalam suku
Rubiaceae dan terdiri dari 5 kelompok marga. Akan tetapi, hanya 2 marga tanaman sarang semut, yakni Myrmecodia dan Hydnophytum yang memiliki asosiasi paling
dekat terkait simbiosisnya dengan kelompok jenis semut yang sama yaitu Ochetellus sp. (Jebb, 2009; Plummer, 2000). Secara empiris rebusan air dari umbi sarang semut dapat mengobati berbagai macam penyakit seperti mencegah penyakit tumor, kanker, jantung, wasir, TBC, rematik, gangguan asam urat, stroke, maag, gangguan fungsi ginjal dan prostat (Subroto & Saputro, 2006). 2.4.1 Taksonomi Myrmecodia sp Taksonomi umbi sarang semut (M. pendans) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies Nama lokal 2.4.2
: Plantae : Tracheophyta : Magnoliopsida : Lamiidae : Rubiales : Rubiaceae : Myrmecodia : Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry : Sarang semut (Papua-Indonesia) (Kusmoro, 2013).
Morfologi Myrmecodia sp
Tumbuhan sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon di pinggir pantai hingga ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Sarang semut banyak ditemukan menempel di beberapa
pohon, umumnya di pohon kayu putih
(Melaleuca), cemara gunung (Casuarina), Kaha (Castanopsis), dan pohon beech (Nothofagus). Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah bagian daging umbi/hipokotil (caudex) yang dapat berbentuk bulat, memanjang bahkan tidak beraturan. Umbi sarang semut rata-rata berdiameter 25 cm dan tinggi 45 cm dengan permukaan bertekstur untuk melindunginya dari herbivora. Dalam umbi sarang semut terdapat labirin yang dihuni oleh semut dan cendawan. Dalam jangka waktu yang lama terjadi reaksi kimiawi secara alami antara senyawa yang dikeluarkan semut dengan zat yang terkandung dalam tanaman sarang semut. Perpaduan inilah yang diduga membuat sarang semut memiliki kemampuan mengatasi berbagai jenis penyakit (Subroto & Saputro, 2006).
(B)
(A)
(C)
(D)
Gambar 2.3 Daun (A), buah (bagian luar) (B), buah (bagian dalam) (C) dan batang (menempel pada tanaman lain) (D) M. pendans. Tanaman sarang semut pada umumnya hanya memiliki satu batang yang jarang bercabang serta mempuyai ruas yang tebal dan pendek. Batang bagian bawahnya secara progresif menggelembung membentuk umbi atau hipokotil (caudex) (Huxley, 1978).
2.4.3
Senyawa Kimia Pada Myrmecodia sp Berdasarkan hasil uji penapisan kimia dari tumbuhan obat sarang semut yang
dilakukan oleh Subroto dan Hendro (2006) menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak merupakan pigmen tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder yang berhasil ditemukan pada tumbuhan sarang semut masih sangat terbatas. Subroto dan Saputro (2008) menemukan alfa tokoferol pada umbi sarang semut. Disamping itu, senyawa golongan glikosida berhasil ditemukan dari fraksi air M. pendans (Bustanussalam, 2010).
HO
OH OH
CH3
HO
O
O
(1)
O
OH OH
OH
(2)
Gambar 2.4 Senyawa dari M. pendans: α-tocoferol (1) dan glukosida (2)
OH
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan dalam empat tahun. Tahun pertama terdiri dari isolasi senyawa tunggal dan uji aktivitas antibakterinya (zona hambat, MIC, MBC). Tahun kedua terdiri dari pembuatan matriks kombinasi senyawa dan uji aktivitas antibakteri. Tahun ketiga terdiri dari pembuatan matriks kombinasi senyawa dan uji aktivitas biofilm. Tahun ketiga terdiri dari pembuatan mikroenkapsulasi obat saluran akar. 3.1 Prosedur Penelitian Tahun I Penelitian ini terdiri dari lima tahap, yaitu: ekstraksi sampel umbi tumbuhan M. pendans, isolasi dan karakterisasi senyawa murni, dan pengujian antibakteri. 3.1.1
Ekstraksi Sampel Sampel berupa umbi sarang semut, dipotong-potong kemudian diekstraksi
dengan cara sokletasi dengan menggunakan pelarut etilasetat. Ekstrak etil asetat yang dihasilkan, diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan tekanan dari vakum pada suhu ± 40°C sehingga diperoleh ekstrak pekat etil asetat. 3.1.2
Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Fraksi etil asetat yang mengandung senyawa aktif diuapkan pelarutnya
hingga didapatkan ekstrak fraksi yang pekat, kemudian fraksi ini dimurnikan dengan metode kromatografi dan fasa diam silika gel 60 (70–230 mesh) dan ODS dengan berbagai kombinasi pelarut yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol. 3.1.3 Karakterisasi Isolat Murni Isolat murni yang diperoleh dari hasil pemurnian senyawa, selanjutnya dikarakterisasi dengan menggunakan metode spektroskopi yang meliputi, spektrofotometri ultraviolet, inframerah, 1H-NMR (hidrogen-nuclear magnetic resonance),
13
C-NMR (karbon-nuclear magnetic resonance), DEPT 135°,1H–1H
COSY, HMQC, HMBC dan MS.
3.1.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri a. Persiapan Biakan Bakteri Uji Bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri S. mutans, S. sanguinis, E. faecalis dan P. ginggivalis. Sebelum digunakan dalam pengujian terhadap isolat senyawa murni dari sarang semut dan antibiotika standar, terlebih dahulu dilakukan peremajaan dengan memperbanyak bakteri yang akan diuji dalam medium nutrisi sehingga bakteri dapat tetap hidup subur. Adapun masing-masing biakan bakteri diambil sebanyak satu ose dan dimasukkan kedalam medium yang telah disterilisasi dengan cara menggores biakan bakteri pada permukaan media, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kapas lidi dicelupkan dalam suspensi bakteri lalu dioleskan
pada
permukaan media padat hingga merata, selanjutnya sebanyak 15 µL sampel, kontrol positif (antibiotik), dan kontrol negatif (metanol) diteteskan pada kertas samir (disk) kemudian diletakkan diatas media padat, diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah 24 jam, diameter zona bening disekitar disk diamati dan diukur menggunakan jangka sorong. b. Penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Metode yang digunakan dalam penentuan MIC ini adalah pengenceran tabung. Uji MIC dalam penelitian ini untuk menentukan konsentrasi minimum suatu ekstrak sarang semut dan senyawa aktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dengan demikian uji sensitivitas dilakukan dari konsentrasi terkecil isolat murni. Uji dilakukan dengan mempergunakan beberapa tabung reaksi dan isolat murni dengan konsentrasi berbeda yang dilarutkan dalam metanol. Pengenceran isolat murni dimulai dari konsentrasi 10000 hingga 0,1 mg/100 ml metanol (pengenceran 10–0,0001 %). Secara aseptik dimasukkan 0,5 ml medium bulyon cair yang telah disterilkan dalam otoklaf dan 0,5 ml isolat sarang semut ke dalam tabung-tabung steril. Suspensi bakteri yang setara dengan larutan Mac Farland 1 (3x108 sel/ml sampel) sebanyak satu ose dimasukkan ke dalam tabung berisi medium dan isolat sarang semut, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam. Sebagai pembanding kekeruhan dibuat tabung kontrol yang tidak diberi ekstrak uji. Konsentrasi terendah ekstrak uji dalam tabung yang menunjukkan kejernihan yang sama dengan tabung kontrol dinyatakan dengan MIC.
Tumbuhan M. pendans - dipotong kecil-kecil - diekstraksi dengan etil asetat - dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40°C
Ekstrak etil asetat pekat - dianalisis kandungan flavonoid dan terpenoid secara kuantitatif
Fraksi target - dipisahkan dangan berbagai teknik kromatografi secara gradien dan isokratik disertai dengan analisis kromatografi lapis tipis yang dipandu dengan lampu UV λ254 dan λ365 nm serta pereaksi penampak noda alumunium(III)klorida 5% dalam etanol dan H 2SO4 10% dalam etanol
Isolat murni - dikarakterisasi dengan metode spektroskopi UV, IR, NMR dan MS
Struktur senyawa terpenoid dan flavonoid - diuji aktivitas antibakteri dengan metode Kirby-Bauer dan MIC & MBC
Senyawa dan aktivitas antibakterinya
Gambar 3.1 Bagan alir penelitian: proses isolasi senyawa, karakterisasi senyawa dan uji aktivitas antibakteri isolate murni dengan metode Kirby-Bauer dan MIC & MBC
BAB IV HASIL YANG DICAPAI
Pada penelitian ini telah didapatkan dua senyawa flavonoid dengan kerangka bifalvonoid dari Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendans.). Kedua senyawa ini dujikan terhadap E. faecalis. Berikut capaian hasil penelitian yang telah dilakukan. Bagan alir isolasi senyawa terpenoid ditunjukkan pada gambar 4.1. Umbi sarang semut (M. pendans) 3000 g - disokletasi dengan etil asetat - diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu ± 40°C.
Ekstrak etil asetat (30 g) dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dengan pelarut bergradien 10% (v/v) (n-heksan & etil asetat)
F1-F7
F9
F8
F10-F11
dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dengan pelarut bergradien 5% (v/v) (n-heksan & etil asetat)
F8-5
F9-6
dimurnikan dengan metode kromatografi fasa terbalik dengan pelarut isokratik (3:7, v/v) (metanol-H2O
Isolat 1 (10 mg)
Isolat 3 (15 mg)
- dikarakterisasi dengan spektroskopi UV, IR, NMR dan massa
Struktur senyawa 1 dan 2
Gambar 4.1 Bagan alir isolasi senyawa 1 dan 2 dari Umbi Sarang Semut
Sebanyak 3 kg bubuk kering diekstraksi dengan cara sokletasi dengan menggunaan pelarut etil asetat redest selama 6 jam pada suhu 40°C. Untuk keseluruhan sampel dilakukan sokletasi sebanyak 10 kali rotasi (0,3 kg).
Penggunaan etil asetat sebagai pelarut pengekstrak karena etil asetat dapat mengambil senyawa flavonoid dalam sampel disbanding pelarut yang lain (Apriyanti, 2015). Ekstraksi dilakukan dengan cara sokletasi dikarenakan metode tersebut merupakan metode dengan hasil yang didapatkan maksimal. Hal ini didasarkan atas beberapa kali pengulangan atau recovery dalam isolasi senyawa target dan senyawa tidak mengalami kerusakan akibat pemanasan pada sokletasi. Pemilihan metode sokletasi sebagai metode ekstraksi dikarenakan operasionalnya yang relatif cepat dan pelarut yang digunakan lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode maserasi. Penggunaan pelarut etil asetat ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya (Dharsono, 2013; Yudha 2014).
Gambar 4.2 Bagan alir isolasi terpenoid A dan B dari Umbi Sarang Semut
Selanjutnya filtrat hasil sokletasi disaring, kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah dan suhu ± 40°C. Ekstrak pekat etil asetat yang diperoleh sebanyak 30,0 g. Teknik penguapan pelarut tersebut dilakukan untuk mendapatkan ekstrak pekat etil asetat dengan cepat dan efektif. Penguapan dilakukan pada suhu ± 40°C bertujuan untuk mencegah dekomposisi senyawa yang terkandung di dalamnya. Evaporator dilengkapi pompa vakum atau
aspirator, sehingga tekanan dalam sistem menjadi rendah. Pada tekanan yang rendah, titik didih suatu senyawa menjadi lebih rendah, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan pelarut menjadi lebih cepat.
4.1 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Flavonoid Ekstrak pekat etil asetat (30 g) dipisahkan komponen senyawa kimia penyusunnya menggunakan metode kromatografi cair kolom terbuka dengan fasa diam silika gel G60 (70-230 mesh), dan fase geraknya adalah n-heksana dan etil asetat, sistem pelarut bergradien dan kenaikan kepolaran sebesar 10% (v/v). Komposisi pelarut dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Komposisi pelarut kromatografi kolom ekstrak etil asetat Fraksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Volume pelarut (mL) n-Heksana Etil asetat 500 0 450 50 400 100 350 150 300 200 250 250 200 300 150 350 100 400 50 450 0 500
Untuk melihat hasil pemisahan, dilakukan analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fasa diam silika gel G 60 F254. Fraksi 8 dan 9 terlihat mengandung flavonoid karena berwarna kuning setelah diberi pereaksi penampak noda AlCl 3 (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Kromatogram fraksi 1-11 dengan pelarut n-heksana-etil asetat (3:7, v/v): dilihat di bawah sinar UV 254 nm (a), dilihat di bawah sinar UV 365 nm (b) dan setelah disemprot dengan larutan penampak noda AlCl3 10% dalam etanol (c).
Selanjutnya fraksi 8 dimurnikan lebih lanjut menghasilkan isolat 1, sedangkan dari fraksi 9 didapatkan isolate 2. Untuk mengetahui kemurnian, ketiga isolat ini dianalisis KLT dengan dua kondisi, KLT fasa normal dan terbalik.
Heksana-EtOAc (3:7) A B C
MeOH-Air (5:5) A B C
Gambar 4.3 Kromatogram KLT isolat 1: fasa normal dengan pelarut n-heksana-etil asetat (3:7) dan fasa terbalik dengan pelarut metanol-air (1:1)
Heksana-EtOAc (2:3) B C A
MeOH-Air (1:4) B C A
Gambar 4.4 Kromatogram KLT isolat 2: fasa normal dengan pelarut n-heksanaetil asetat (2:3) dan fasa terbalik dengan pelarut metanol-air (1:4) 4.2 Karakterisasi Senyawa Senyawa 1 berwujud padatan kuning yang larut dalam metanol. Spektrum ultraviolet senyawa 1 memberikan empat puncak (Gambar 4.17). Puncak 1 (393 nm, ɛ 1105) adalah pita I flavonoid, menunjukan adanya gugus sinamoil. Sedangkan puncak 2 (273 nm, ɛ 801) dan 3 (258 nm, ɛ 765) merupakan pita II yang biasa dimiliki flavonoid. Pita ini adalah khas gugus benzena yang berasal dari transisi dari orbital π ke π*. Transisi elektronik ini berasal dari ikatan rangkap terkonjugasi pada benzena (pita B). Puncak 4 (208 nm) memberikan informasi bahwa senyawa 1 memiliki gugus hidroksi (OH) dan karbonil (C=O) yang merupakan hasil transisi dari orbital n ke π* dari elektron tidak berpasangan pada atom oksigen (pita R). Gugus fungsi ini diperkuat dengan interpretasi dari spektrum IR. Pada spektrum IR senyawa 1 terdapat regang OH pada 3483 cm-1 dan karbonil pada 1597 cm-1 (Gambar 4.6).
Gambar 4.5 Spektrum ultraviolet senyawa 1 (10 ppm dalam metanol)
Gambar 4.6 Spektrum infra merah senyawa 1
Selanjutnya senyawa 1 diukur menggunakan spektrometer NMR (nuclear magnetic resonance) untuk mengetahui jumlah, jenis dan lingkungan proton dan untuk mengetahui jumlah, jenis serta pemecahan sinyal karbon yang tergantung dari jumlah proton yang terikat (metin, metilen, metil dan karbon kuarterner). Data spektrum 13C-NMR pada Gambar 4.7, memperlihatkan adanya 30 sinyal karbon.
Untuk mengetahui informasi tentang multiplisitas sinyal dari setiap karbon, dapat dilakukan pengukuran
13
C-NMR dengan teknik DEPT 135° atau dengan
pengukuran dua dimensi HMQC. Spektrum DEPT 135° memperlihatkan sinyal karbon metil dan metin ke atas, sinyal karbon metilen ke bawah dan untuk karbon kuratrener tidak muncul. Untuk membedakan karbon metil dan karbon metin dilihat dari jumlah hidrogen atau hidrogen yang terikat pada spektrum HMQC. Intepretasi spektrum NMR dua dimensi HMQC memberikan data korelasi atau hubungan antara suatu proton dengan suatu karbon sebanyak satu ikatan. Spektrum ini untuk menentukan dugaan suatu karbon tertentu yang terikat dengan proton dan berapa jumlah proton yang terikat pada karbon tersebut. Dengan kata lain, dari spektrum HMQC menegaskan data pada spketrum DEPT terutama untuk menentukan jenis karbon metin dan metil. Spektrum HMQC juga bisa menunjukkan jumlah karbon dalam satu sinyal karbon. Hal ini dikarenakan HMQC memuat informasi hubungan antara suatu proton dengan suatu karbon sebanyak satu ikatan. Dengan membandingkan data spektrum 13C-NMR, DEPT dan HMQC diketahui senyawa 1 memiliki lima belas karbon quarterner, empat belas metin dan satu metilen. Berdasarkan rentang pergeseran kimia yang muncul, diduga bahwa senyawa 1 merupakan biflavon (senyawa yang dibentuk oleh dua kerangka flavonoid).
Gambar 4.7 Spektrum 13C-NMR dan DEPT senyawa 1 (125 MHz dalam CD3OD).
Spektrum 1H-NMR menginformasikan jumlah, jenis dan lingkungan dari setiap proton-proton yang terdapat pada suatu senyawa. Pada Gambar 4.9 dan 4.10 dapat diilihat jumlah dan jenis hidrogen yang terdapat pada senyawa 1. Data spektrum 1
H-NMR senyawa 1 pada Gambar 4.9 memperlihatkan tiga sinyal proton alifatik
yaitu δH 5,32 (1H; dd; J = 2,6 & 13 Hz), 3,00 (1H; dd; J = 16,85 & 13 Hz) dan 2,70 (1H; dd; J = 2,6 & 16,85 Hz). Dua proton δH 3,00 dan 2,70 merupakan proton germinal, ini terbukti dengan adanya nilai J = 16,85 Hz (rentang penjodohan proton geminal 16-20 Hz). Selain berjodoh terhadap sesamanya, ternyata proton tersebut berjodoh dengan proton teroksigenasi pada δH 5,32. Nilai J yang dimiliki proton ini (J = 2,6 & 13 Hz) dimiliki juga oleh kedua proton geminal tersebut.
Gambar 4.8 Spektrum HMQC senyawa 1 (500 MHz, dalam CD3OD).
Gambar 4.9 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 MHz dalam CD3OD).
Tiga belas sinyal proton aromatik senyawa 1 ditunjukkan pada Gambar 5.10 Sinyal proton ini terdiri dari 4 buah sistem penjodohan ABX dan satu sinyal proton singlet. Salah satu sistem penjodohan ABX ditunjukkan pada 7,56 (1H; d; 8,45 Hz); 6,49 (1H; dd; 8,45 & 1,3 Hz) dan 6,35 (1H; d; 1,95Hz). Multiplisitas dari sinyal ketiga proton tersebut merupakan ciri adanya sistem ABX aromatik. Proton pada δH 7,56 dan 6,49 mempunyai coupling constant sebesar 8,45 Hz menunjukkan keduanya berposisi orto (nilai Jorto = 8-10 Hz). Sedangkan nilai J = 1,95 Hz pada δH 6,35 dan J = 1,3 Hz pada δH 6,49 ppm menunjukkan bahwa proton tersebut saling berposisi meta (nilai Jmeta = 1-3 Hz). Dengan kata lain proton pada δH 6,49 berposisi orto terhadap δH 7,56 dan berposisi meta terhadap proton δH 6,35 ppm.
Gambar 4.10 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 MHz dalam CD3OD).
Spektrum HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Connectivity) dapat digunakan untuk menentukan korelasi antara proton dan karbon yang jaraknya dua sampai tiga ikatan (2J dan 3J). Spektrum HMBC 1 senyawa 1 menunjukkan korelasi
H-30 (proton metilen) terhadap C-1 yang merupakan karbonil dan C-29 berupa metin teroksigenasi (Gambar 4.11). Korelasi ini membentuk suatu fragmen struktur khas cincin C flavanon (Markam, 1982). Selanjutnya cincin C ini terhubung dengan cincin A, terbukti dengan adanya korelasi H-23 terhadap C-29 (Gambar 5.12). Dua korelasi proton terhadap karbon lainnya menunjukkan korelasi yang terjadi pada cincin B.
Gambar 4.11 Spektrum HMBC 1 senyawa 1
A C
Gambar 4.12 Spektrum HMBC 2 senyawa 1
Potongan struktur cincin A dan C pada kerangka flavonoid yang lain ditunjukkan pada Gambar 4.13 dan 4.14. Dua proton aromatik H-15 dan H-18 dari cincin A berhubungan dengan karbon yang berada pada cincin C yaitu C-8 dan C-24. Selain itu, H-24 berkorelasi dengan C-2 yang merupakan karbonil (tampak pada Gambar 4.15). Berdasarkan data HMBC ini, didapatkan potongan stuktur flavon. Dugaan sementara struktur senyawa 1 adalah kerangka biflavon yang terdiri dari flavon dan flavanon.
A C
Gambar 4.13 Spektrum HMBC 3 senyawa 1
A C
Gambar 4.14 Spektrum HMBC 4 senyawa 1
B
C
Gambar 4.15 Spektrum HMBC 5 senyawa 1
B C B
C
Gambar 4.16 Spektrum HMBC 6 senyawa 1
Kerangka flavon semakin lengkap dengan adanya hubungan H-14 terhadap C-2. Hal ini menunjukkan adanya korelasi proton cincin B terhadap karbonil yang
terletak di cincin C (tampak pada Gambar 4.16). Selain itu juga kerangka flavanon semakin mendekati struktur utuh dengan adanya korelasi H-12 terhadap C-1. Dua spektrum HMBC lain (Gambar 4.17 dan 4.18) memperkuat dugaan struktur dengan menunjukkan korelasi proton ke karbon yang terjadi di cincin A (baik cincin A flavon dan flavanon).
A C
Gambar 4.17 Spektrum HMBC 7 senyawa 1
Gambar 4.18 Spektrum HMBC 8 senyawa 1 Korelasi yang menjadi kunci terhubungnya kerangka flavon dan flavanon diperlihatkan pada Gambar 4.19. Pada spektrum ini tampak hubungan H-19 (proton cincin C dari kerangka flavon) dengan C-7 (karbon cincin C dari kerangka flavanon). Selain spektrum HMBC, spektrum 1H-1H-COSY juga dapat memberikan informasi penting untuk membentuk struktur utuh dengan cara memperlihatkan korelasi proton-poton yang terjadi dengan jarak tiga ikatan. Hubungan protonproton visinal dari H-29 dan H-30 yang sudah dijelaskan pada spektrum HMBC (Gambar 5.11) diperkuat dengan spektrum 1H-1H-COSY (Gambar 4.20). Korelasi lain juga tampak untuk proton-proton aromatik dari cincin C flavon (H-15 & H-19).
Gambar 4.19 Spektrum HMBC 9 senyawa 1
Gambar 4.20 Spektrum 1H-1H-COSY 1 senyawa 1
Gambar 4.21 Spektrum 1H-1H-COSY 2 senyawa 1
Berdasarkan data 1 dan 2D-NMR didapatkan potongan-potongan struktur yang mengerucut membentuk kerangka flavon dan flavanon seperti yang terlihat pada Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Fragmen-fragmen struktur senyawa 1
O
HO
O
OH
O HO
O
OH
O
Gambar 4.23 Dugaan struktur senyawa 1 Tabel 4.2 Data pergeseran kimia 1H-, 13C- dan 2D-NMR Senyawa 1 No. C
Posisi C
δC (ppm)
δH (ppm) (∑H; multiplisitas; J (Hz))
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
4'' 4 7 7'' 8a' 8a 4''' 2 3''' 4' 3' 1''' 5'' 5 6''' 1' 5''' 2' 5' 6' 6'' 4a 2''' 3 4a'' 6 8
193,6 184,1 171,6 170,3 167,2 165,6 149,3 148,2 146,9 146,8 146,6 132,1 129,9 126,8 126,3 125,8 119,3 118,9 116,7 116,3 115,5 114,9 114,8 114,0 113,6 111,9 103,9
7,72 (1H; d; 8,4 Hz) 7,56 (1H; d; 8,45 Hz) 7,22 (1H; d; 8,45 Hz) 6,79 (1H; s) 7,52 (1H; s) 6,83 (1H; d; 8,4 Hz) 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) 6,93 (1H; s) 6,64 (1H; s) 6,49 (1H; dd; 1,3; 8,45 Hz) 6,35 (1H; d; 1,95 Hz)
HMBC 2
J
H-30 H-24 H-28 H-27 H-24 H-23 H-19 H-18 H-19 H-24 -
3
J
H-13 H-14 H-14 H-13 H-19 H-18, H-15 H-18 H-19 H-17 H-18, H-24 H-19 H-23 H-28 H-17 H-26, H-27 H-18 H-20, H-28 H-27 H-26
COSY H-19 H-15 -
28 29
8'' 2''
99,7 81,1
30
3''
45,1
6,60 (1H; s) 5,32 (1H; dd; 2,6; 13 Hz) 3,00( 1H; dd; 13; 16,85 Hz) 2,70 (1H; dd; 2,6; 16,85 Hz)
H-30
H-20 H-23
H-30
-
-
H-30b, H-29
-
-
H-30a, H-29
Penegasan dugaan strutur senyawa 1, didukung dengan data spektroskopi massa. Spektrum massa yang digunakan adalah spektrum massa ion positif, yang artinya bobot molekul yang muncul pada spektrum adalah hasil penambahan 1 nilai dari bobot molekul sebenarnya. Berdasarkan spektrum massa (Gambar 5.24), senyawa 1 memiliki berat molekul 525,2507. Bobot molekul ini sesuai dengan perhitungan bobot molekul dari dugaan jumlah atom senyawa 1 yang terdiri 30 atom karbon, 20 atom hidrogen dan 9 atom oksigen dengan rumus molekul C30H20O9.
Gambar 4.24 Spektrum ES+ MS senyawa 1
Dengan mengetahui dugaan rumus molekul tersebut, maka dapat diperoleh dugaan nilai atau harga (double bond equivalen) DBE dari senyawa 1 dengan rumus sebagai berikut: DBE = Σ atom C –
𝛴 atom H 2
−
𝛴 Halogen 2
+
𝛴 𝑎𝑡𝑜𝑚 N 2
+ 1
Berdasarkan perhitungan rumus DBE tersebut, diperoleh harga DBE senyawa 1 yaitu 21, artinya senyawa 1 diduga memiliki 4 buah cincin benzena, 2 buah karbonil, 1 ikatan rangkap dan 2 buah siklik. Nilai DBE ini sesuai dengan dugaan struktur yang diusulkan pada gambar 4.23. Adapun senyawa yang memiliki kemiripan dengan struktur senyawa 1 adalah 2'',3'' dihidrohinoflavon (Marcia et al., 2002) yang memiliki struktur berikut ini:
Gambar 4.25 Struktur 2'',3'' dihidrohinoflavon
Perbedaan struktur senyawa 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon terletak pada empat hal yaitu C-5, C-5'', C-3''' dan posisi penggabungan dua kerangka flavonoid ini. Pada senyawa 1 tidak terdapat gugus hidroksi pada C-5 dan C-5'' sehingga menyebabkan pergeseran kimia C-5 dan C-5'' pada senyawa 1 lebih kecil dibandingkan dengan pergeseran kimia C-5 dan C-5'' pada 2'',3'' dihidrohinoflavon. Selain itu, pada senyawa 1 terdapat gugus hidroksi pada C-3''' mengakibatkan pergeseran kimianya lebih besar dibandingkan dengan C-3''' pada 2'',3'' dihidrohinoflavon. Posisi penggabungan dua kerangka biflavon ini juga berbeda, pada senyawa 1 penggabungan terjadi antara C-4' dengan C-4''' sedangkan pada 2'',3'' dihidrohinoflavon penggabungan terjadi antara C-3' dengan C-4'''. Keempat
hal ini mengakibatkan perbedaan pergeseran kimia karbon dan proton lainnya. Pergeseran kimia karbon dan proton senyawa 1 dengan 2'',3'' dihidrohinoflavon ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Data pergeseran kimia 1H-& 13C-NMR Senyawa 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon* δC (ppm) Posisi Ref. 1 C Kerangka flavanone 2 148,2 163,9 3
114,0
4 184,1 4a 114,9 5 126,8 6 111,9 7 171,6 8 103,9 8a 165,6 1' 125,8 2' 118,9 3' 146,6 4' 146,8 5' 116,7 6' 116,3 Kerangka flavon 2'' 81,1 3'' 45,1 4'' 193,6 4a'' 113,6 5'' 129,9 6'' 115,5 7'' 170,3 8'' 99,7 8a'' 167,2 1''' 132,1 2''' 114,8 3''' 146,9 4''' 149,3 5''' 119,3 6''' 126,3 * Marcia et al., 2002
δH (ppm) (Int.; Multip.; J) 1
Ref.
182,2 104,2 161,8 99,5 164,6 94,6 157,8 122,7 121,2 142,8 153,8 118,4 125,3
5,32 (1H; dd; 2,6; 13 Hz) 3,00( 1H; dd; 13; 16,85 Hz) 2,70 (1H; dd; 2,6; 16,85 Hz) 7,56 (1H; d; 8,45 Hz) 6,49 (1H; dd; 1,3; 8,45 Hz) 6,35 (1H; d; 1,95 Hz) 7,52 (1H; s) 6,83 (1H; d; 8,4 Hz) 6,62 (1H; d; 9,2 Hz)
5,39 (1H; dd; 6,0; 12,7 Hz) 3,11( 1H; dd; 12,7; 16,6 Hz) 2,66 (1H; d; 16,6 Hz) 6,11 (1H; dd; 2,0 Hz) 6,37 (1H; dd; 2,0 Hz) 7,62 (1H; d; 7,8 Hz) 7,06 (1H; d; 7,0 Hz) 7,71 (1H; dd; 7,8; 2,0 Hz)
78,6 42,3 196,5 102,3 163,4 96,6 167,1 95,6 163,3 132,8 128,8 116,3 158,4 116,3 128,8
6,64 (1H; s) 7,72 (1H; d; 8,4) 6,62 (1H; d; 9,2) 6,60 (1H; s) 6,93 (1H; s) 6,79 (1H; s) 7,22 (1H; d; 8,45 Hz)
. 6,62 (1H; s) 5,81 (1H; d; 2,0 Hz) 5,82 (1H; d; 2,0 Hz) 7,36 (1H; d; 7,8 Hz) 6,83 (1H; d; 7,8 Hz) 6,83 (1H; d; 7,8 Hz) 7,36 (1H; d; 7,8 Hz)
103,9
O 5''
OH HO
O
HO
4' 3'
4''' 3'''
O
O
O 4'''
5
4'
O
OH HO
O
OH O 5''
O 2'',3'' dihidrohinoflavon
3'
OH
5
OH
O Flavonoid 1
Gambar 4.26 Perbedaan struktur flavonoid 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon Pengukuran spektroskopi yang sama dilakukan juga terhadap flavonoid 2, sehingga didapatkan struktur flavonoid 2 sebagai berikut:
Gambar 4.27 Struktur flavonoid 2 Hal yang sama dilakukan penentuan struktur terhadap kedua senyawa terpenoid. Kedua isolate terpenoid yang berhasil diisolasi memiliki dugaan struktur sebagai berikut.
OH HO
HO COOH Terpenoid A
COOH Terpenoid B
Gambar 4.27 Dugaan struktur terpenoid A dan B
OH
5.3 Pengujian Aktivitas Antibakteri Flavonoid (1 & 2) dan terpenoid (A & B) terhadap E. faecalis
5.3.1 Pengujian sensitivitas senyawa terhadap bakteri E. facaelis Pengujian ini dilakukan dengan metode Kirby-Bauer, dimana yang menjadi parameter penentuan aktivitas antibakterinya dilihat dari zona hambat pertumbuhan bakteri yang terjadi. Bakteri yang sudah ditumbuhkan pada media padat diberi larutan senyawa uji dengan konsentrasi 5000 dan 1000 ppm pada paper disk. Klorheksidin digunakan sebagai kontrol positif dan pelarut digunakan sebagai kontrol negatif. Setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37°C, zona bening disekitar daerah paper disk yang sudah diberi larutan uji (senyawa uji, kontrol positif dan kontrol negatif) diamati dan diukur menggunakan jangka sorong. Zona bening ini menunjukkan zona hambat pertumbuhan bakteri yang dilakukan oleh senyawa uji. Pada tabel 5.4 ditunjukkan nilai zona hambat dari keempat senyawa terhadap pertumbuhan bakteri. Pada konsentrasi 5000 dan 1000 ppm, keempat senyawa memiliki zona hambat pertumbuhan bakteri yang hampir sama sekitar 7-8 mm. Oleh karena itu diperlukan penentuan nilai KHM dan KBM dari setiap senyawa ini.
5.3.2 Nilai Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum senyawa terhadap pertumbuhan bakteri E. faecalis. Penentuan nilai KHM dan KBM dilakukan dengan metode mikro dilusi. Media cair untuk pertumbuhan bakteri dimasukkan ke dalam sumur-sumur microplate. Microplate yang dugunakan memiliki jumlah sumur 12x8 (8 sumur/baris dan 12 sumur/kolom, Lay Out microplate terdapat pada Gambar 3.1). Kemudian ke dalam sumur kolom pertama pada baris kelompok A (1&2) dan C (5&6) ditambahkan larutan senyawa uji, sedangkan pelarut ditambahkan ke dalam sumur pada baris kelompok B (3&4) dan kelompok D (7&8). Selanjutnya pada sumur kolom pertama baris 5-8 ditambahkan bakteri yang telah ditumbuhkan pada media cair. Dari setiap sumur kolom pertama diambil 100 µL dan dimasukkan ke dalam sumur kolom 2, selanjutnya dilakukan hal yang sama sampai kolom 12. Konsentrasi senyawa uji
yang digunakan adalah 20000 ppm. Sehingga setelah dilakukan pengenceran didapat konsentrasi senyawa uji pada sumur dari kolom ke 1-12 berturut-turut 10000; 5000; 2500; 1250; 625; 312,5; 156,2; 78,1; 39; 19,5; 9,7; 4,8 ppm. Sedangkan untuk klorheksidin menggunakan konsentrasi awal 2000 ppm sehingga didapatkan konsentrasi 1000; 500; 250; 125; 6,25; 3,12; 1,56; 0,78; 0,39; 0,19; 0,97; 0,48 ppm. Hal ini dikarenakan nilai zona hambat klorheksidin terhadap pertumbuhan E. faecalis lebih besar dibandingkan senyawa uji. Setelah semua larutan bercampur dengan baik, microplate ditutup dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kemudian dilakukan pengukuran menggunakan spektrofotometer pada alat ELISA reader. Hasilnya berupa nilai absorbansi yang menunjukkan tingkat kekeruhan larutan pada setiap sumur. Sumur semua kolom pada setiap baris harus memiliki nilai absorbansi yang relatif sama kecuali sumur pada baris kelompok B yang berisi media, bakteri dan senyawa uji. Hal ini menunjukkan tidak adanya kontaminasi selama pengujian dilakukan.
Tabel 5.4 Nilai zona penghambatan, KHM dan KBM flavonoid (1 & 2) dan terpenoid (A & B) terhadap pertumbuhan E. faecalis Zona hambat (mm) pada konsentrasi (ppm) 5000
Senyawa
KHM
1000
KBM
(ppm)
(ppm)
8,15
625
625
8,00
8,05
625
2500
0
0
0
39
0
0
0
0
1250
td
12,9
12,9
12,9
1,95
Ke-1
Ke-2
Rata-rata
Ke-1
Ke-2
Rata-rata
1
8,65
8,60
8,62
7,80
8,50
2
8,70
8,40
8,55
8,10
A
13,5
13,7
13,6
B
0
0
klorheksidin*
td
td
*) kontrol positif td) tidak diujikan
Penentuan nilai KHM dilihat dari perbandingan nilai absorbansi pada baris C (media, senyawa uji dan bakteri) dengan baris D (media, pelarut dan bakteri), contohnya penentuan nilai KHM klorheksidin ditunjukkan pada Gambar 5.28. Nilai absorbansi larutan pada sumur yang ditandai dengan garis warna kuning menunjukkan nilai yang relatif sama. Hal ini menunjukkan jumlah bakteri yang
31,25
tumbuh pada baris C dan D sama. Sedangkan nilai absorbansi larutan pada sumur yang ditandai dengan garis warna merah terdapat perbedaan yang mengindikasikan adanya perbedaan jumlah bakteri yang tumbuh pada C dan D. Sehingga nilai KHM untuk setiap senyawa uji adalah konsentrasi pengujian yang dilingkari dengan warna merah. Penentuan nilai KBM diambil dengan cara melihat pada konsentrasi terendah senyawa uji tersebut dapat membunuh bakteri. Contohnya nilai KBM klorheksidin adalah 31,2 ppm karena pada media dengan konsentrasi senyawa uji lebih telah menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Penentuan nilai KHM dan KBM senyawa uji lain dilakukan hal yang sama seperti penentuan nilai KHM dan KBM pada klorheksidin. Pada penentuan nilai KBM senyawa 1 terdapat kontaminasi dengan tumbuhnya jamur (Tabel 5.7), hal ini disebabkan adanya kurang aseptiknya pada saat pengujian. Oleh karena itu dilakukan perhitungan %kematian bakteri untuk menentukan nilai KBM. Perhitungan terlampir pada lampiran.
Sumur
A
M+S
B
M+P
C
M+S+B
D
M+P+B
Konsentrasi (ppm) 31,25 15,63 7,81
3,91
1,95
0,98
0,49
0.049
0.05
0.048
0.047
0.046
0.05
0.049
0.047
0.047
0.048
0.047
0.047
0.044
0.045
0.045
0.044
0.046
0.046
0.046
0.045
0.045
0.046
0.046
0.045
0.046
0.074
0.057
0.05
0.048
0.048
0.095
0.136
0.132
0.103
0.072
0.054
0.049
0.049
0.048
0.099
0.143
0.14
0.149
0.148
0.149
0.14
0.14
0.146
0.136
0.145
0.146
0.15
0.14
0.139
0.143
0.142
0.143 0.144
0.142
0.143
0.145
0.148
1000
500
250
125
62,5
0.231
0.245
0.155
0.104
0.07
0.055
0.05
0.236
0.257
0.16
0.104
0.07
0.055
0.046
0.047
0.044
0.045
0.046
0.045
0.044
0.046
0.045
0.042
0.265
0.259
0.164
0.107
0.266
0.258
0.16
0.137
0.147
0.15
0.148
D
C
B
A
Gambar 4.28 Penentuan nilai KHM klorheksidin terhadap E. faecalis
Tabel 4.5 Penentuan nilai KBM klorheksidin terhadap E. faecalis Konsentrasi (ppm)
125
Ulangan ke1
2
62,5
31,2
15,7
7,8
3,9
A B C D
A B C D
Konsentrasi (ppm)
Sumur 10.000
5.000
2.500
1.250
625
312,5
156,3
78,13
39,06
19,53
9,77
4,88
1,434
1,331
1,184
0,634
0,337
0,203
0,132
0,095
0,080
0,068
0,060
0,054
1,190
1,423
1,111
0,592
0,323
0,193
0,127
0,092
0,075
0,066
0,060
0,054
0,056
0,047
0,048
0,048
0,047
0,047
0,046
0,046
0,046
0,046
0,046
0,046
0,053
0,047
0,049
0,047
0,047
0,046
0,047
0,046
0,046
0,047
0,046
0,047
1,656
1,677
1,091
0,573
0,327
0,222
0,156
0,162
0,158
0,139
0,134
0,120
1,586
1,694
1,109
0,573
0,323
0,219
0,156
0,155
0,158
0,149
0,135
0,131
0,058
0,061
0,073
0,104
0,110
0,119
0,114
0,116
0,117
0,113
0,113
0,107
0,055
0,059
0,071
0,101
0,110
0,118
0,119
0,116
0,109
0,111
0,112
0,109
10.000
5.000
2.500
1.250
625
312,5
156,3
78,13
39,06
19,53
9,77
4,88
M+S
1.312
1.377
1.148
0.613
0.33
0.198
0.13
0.094
0.078
0.067
0.06
0.054
M+P
0.055
0.047
0.049
0.048
0.047
0.047
0.047
0.046
0.046
0.047
0.046
0.047
M+S+B
1.621
1.686
1.1
0.573
0.325
0.221
0.156
0.159
0.158
0.144
0.135
0.126
M+P+B D % Kematian bakteri
0.057
0.06
0.072
0.103
0.11
0.119
0.117
0.116
0.113
0.112
0.113
0.108
-202
-72.7
-7.94
31.25
37.86
92.86
120.1
117.6
112
116.3
A
M+S M+P
BM + S + B M+P+B
Rata-rata C
15450
2373
Gambar 4.29 Penentuan nilai KHM senyawa 1 terhadap E. faecalis
Tabel 4.6 Penentuan nilai KBM senyawa 1 terhadap E. faecalis Konsentrasi (ppm)
Ulangan ke-
1
2
10000
5000
2500
1250
625
312,5
156,2
Konsentrasi (ppm)
Sumur
M+S
5000
2500
1250
625
312,5
156,3
78,13
39,06
19,53
9,77
4,88
2,44
0.106
0.088
0.077
0.065
0.055
0.051
0.05
0.048
0.047
0.045
0.045
0.045
A
0.106
0.078
0.075
0.062
0.054
0.051
0.049
0.047
0.045
0.045
0.045
0.044
0.043
0.043
0.043
0.044
0.043
0.043
0.044
0.043
0.043
0.043
0.043
0.042
0.043
0.043
0.043
0.042
0.043
0.043
0.043
0.043
0.043
0.044
0.043
0.049
CM + S + B
0.103
0.083
0.079
0.107
0.144
0.155
0.154
0.144
0.169
0.165
0.157
0.159
0.098
0.083
0.078
0.105
0.143
0.156
0.144
0.15
0.16
0.161
0.165
0.168
DM + P + B
0.046
0.045
0.049
0.087
0.132
0.16
0.145
0.152
0.157
0.15
0.159
0.164
0.045
0.048
0.048
0.089
0.135
0.158
0.155
0.157
0.158
0.162
0.159
0.169
B
M+P
A
B
C
D
Gambar 4.30 Penentuan nilai KHM senyawa 2 terhadap E. faecalis
Tabel 4.7 Penentuan nilai KBM senyawa 2 terhadap E. faecalis Konsentrasi (ppm)
Ulangan ke1
2
5000
2500
1250
BAB V RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Pada penelitian selanjutnya akan dilakukan pengujian aktivitas antibiofilm kedua flavonoid dan terpenoid yang telah diisolasi dari sarang semut.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Pada tumbuhan sarang semut terdapat flavonoid yang beraktivitas antibakteri terhadap E. faecalis yaitu biflavonoid (1, KHM 625 ppm) dan 3''-metoksiepikatekin-3-O-epikatekin (2, KHM 625 ppm), terpenoid A (KHM 39 ppm), dan terpenoid B (KHM 1250 ppm). Aktivitas antibakteri dari keempat senyawa ini merupakan informasi yang baru diketahui.
7.2 Saran 1. Perlu dilakukan pencarian flavonoid lain dari M. pendans yang beraktivitas antibakteri terhadap E. Faecalis. 2. Perlu dilakukan pengujian flavonoid terhadap bakteri patogen gigi yang lain untuk melihat potensi flavonoid yang telah diisolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama K, Matsuoka H, Hayashi H. Isolation and identification of a phosphate deficiency-induced C-glycosylflavonoid that stimulates arbuscular mycorrhiza formation in melon roots. Mol Plant Microbe Interact. 2002; 15: 334-40. Ambrosio, S.R., Furtado, N.A.J.C., de Oliviera, D.C.R., da Costa, F.B., Martins, C.H.G., de Carvalho, T.C., Porto, T.S. Veneziani, R.C.S. 2008. Antimicrobial Activity of Kaurane Diterpenes against Oral Pathogens. Z. Naturforsch. 63c, 326-330. Bodet, C., F. Chandad, and D. Grenier. (2007). “Pathogenic potential of Porphyromonas gingivalis, Treponema denticola and Tannerella forsythia, the red bacterial complex associated with periodontitis,” Pathologie Biologie. 55(3-4), pp. 154–162. Bustanussalam. (2010). Penentuan Struktur Molekul dari Fraksi Air Tumbuhan Sarang Semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) yang Beraktivitas Sitotoksik dan Sebagai Antioksidan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Clais, S., G. Boulet, and M. Kerstens. (2014). “Importance of biofilm formation and dipeptidyl peptidase IV for the pathogenicity of clinical Porphyromonas gingivalis isolates,” Pathogens and Disease. Cushnie, T.P.T., and A.J. Lamb. 2005. Antimicrobial activity of flavonoids. International Journal of Antimicrobial Agents. 26: 343–356. Cutler, C. W., J.R. Kalmar, and C.A. Genco. (1995). Pathogenic Strategies of Oral Anaerob Porphyromonas ginggivalis. Trends Microbiol. 3:45. 4556-4567. De paz, C. (2004). Gram-positive organism in endodontic infection. Endo topics. Denmark. Blackwell Munksgaard, p.79-96. Edewor, K. T. (2013). A Review on Antimicrobial and Other Beneficial Effects of Flavonoids. Int J Pharm Sci. 21(1):20–33. Ghosh, S.K. 2006. Fungtionals Coatings and Microencapsulation: A General Perspective. Wiley_VCH Verlay Gmbh & Co. Grossman, Laisn, I., Oliet & Del Rio, C.E. 1995. Endodontic Practice 11th Edition: lea & Febijer. 263-285. Hamsar, M.N. & Mizaton, H.H. 2012. Potential of Ant-Nest Plants as an alternative cancer treatment. Journal of Pharmacy Research, 5 (6): 3063-3066. Haapsalo, M., Udnaes, T., Endal, U. (2003). Persistent, recurrent, and acquired infection of the root canal system post-treatment. Endo topics. Denmark. Blackwell Munksgaard, p.29-56. Hertiani, T., Sasmito, E., Sumardi & Ulfah, M. 2010. Preliminary Study on Immunomodulatory Effect of Sarang-Semut Tubers Myrmecodia tuberosa and Myrmecodia pendens. Journal of Biological Science. 10 (3), 136-141. Huxley, C. R. (1978). Ant-Plant Myrmecodia and Hydnophytum (Rubiaceae), and Relationships Between Their Morphology, Ant-Accupants, Physiology and Ecology, New Phytologist. 80(1): 231.
Imamura, T. (2003). In novel gingipain of periodontal disease pathogenic. J Periodontol. 74: 111-8. Jebb, M. (2009). A Revision of The Ant-plant Genus Hydnophytum (Rubiaceae).iNationaliBotaniciGardenIIreland.http://www.botanicgardens.i e/herb/research/hydnophytum.html. Jhonson, W.T., Noblet, W.C. (2009). Cleaning and Shaping. Dalam: Torabinejad M, Walton RE, editor. Endodontic Principles and Practice.St.Louis. Saunders Elsevier, p.262-264. Kayouglu, G. & Østarvik D. (2004). Virulance factor of enterococcus faecalis: relationship to endodontic disease. Crit Rev Oral Bio Med., 15(5); p.308320. Kidd, E.A.M. dan S. J. Bechal. (1991). Dasar-Dasar Karies, Penyakit Dan Penanggulangannya, Cetakan I. EGC, Jakarta. Kusmoro, J. (2013). Lembar Identifikasi Tumbuhan. Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi UNPAD. Jatinangor. Lenny, S. (2006). Senyawa Terpenoida dan Steorida. F-MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan. Leslie, C., et al., (1998). Topley Wilson’s Microbiology and microbial infection: Systematic bacteriology 9th ed.Oxford University Press, Inc., New York. Noril, Y., Ozaki, K., Nakae, H., Matsuo, T., Ebisu, S. (1997). Imunohistochemistry experimental study of localized Porphyromonas gingivalis, Campylobacter rectus, and Viscisus actinomyces in periodontal pocket. J Periodontol.32:598-607. Plumer, N. (2000). Cultivation of The Epiphytic Ant-Plants Hydnophytum and Myrmecodia. Cactus and Succulent Journal. 72, 142-147. Marsh, P.D & Martin, M.V. 2009. Oral Microbiology, 5th edition. Edinburgh: Churchill Living stone. Robbinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung. Samaranayake, L.P. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. Churchill Livingstone, Churchill. Shivalingam, M.R., Kumaran, K.S.G.A., Jeslin, D., Reddy, Y.V.K., Tejaswini, M., Rao, Ch.M., Tejopavan, V. 2010. Cassia Roxburghii Seed GalactomannanA Potential Binding Agent in The Tablet Formulation. Journal Biomedical Science and research, Vol 2 (1), 18-22. Subroto, M.A dan Saputro, H. (2006). Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut. Penebar Swadaya, Jakarta. Vogelson, C.T. 2001. Advances in Drug Delivery System. White, J. C., and C. F. Niven, Jr. (1946). Streptococcus S.B.E.: a streptococcus associated with subacute bacterial endocarditis. J. Bacteriol. 51:717-722. Yosephine, A.D., Wulanjati, M.P., Saifullah, T.N., and Astuti, P. 2013. Mounthwash formulation of Basil oil (Ocimum basilium L.) and invitro antibacterial and antibiofilm activities agains Streptococcus mutans. Trad. Med.J, 18 (2): 95-102. Zwenger, S. & Basu, C. 2008. Plant Terpenoids: Application and Future Potensials. Biotechnology and Molecular Biology Review. 3(1): 1-7.