LAPORAN PRAKTIKUM PROYEK EKOLOGI (BI- 3102) ANALISIS KOMUNITAS PERAIRAN DI KAWASAN KAMPUS ITB JATINANGOR Tanggal Praktikum : 15 September 2015 Tanggal Pengumpulan: 22 September 2015 Disusun oleh : Khanita Aulya (10613002) Maulana Ahsan Busyairi (10613003) Ahmad Ardiansyah (10613007) Sherly Arista Pratiwi (10613028) Cynthia Agustene (10613035) Andini Nurfatimah (10613048) Yukiko Prameswari H (10613064) Restu Annisa R (10612077) Kelompok 1 Asisten: Syifa Nafiah (10612070)
PROGRAM STUDI BIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG BANDUNG 2015
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup untuk menjalankan aktifitasnya, meliputi kegiatan agrikultur, industri, pertanian, perikanan dll. Ekosistem perairan dibagi menjadi air tawar dan air laut. Danau dan sungai merupakan contoh dari ekosistem air tawar (Suriawiria, U.,1996). Ekosistem danau maupun sungai merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri. Dimana aliran sungai atau danau ini selalu mendapat inlet dari aliran air diatasnya. Aliran ini terus mendapatkan material organik yang dapat merubah komposisi hara dan mineral serta menentukan substrat dasar perairan, sehingga apabila terjadi perubahan di ekosistem sungai akan mempengaruhi akan mempengaruhi ekosistem danau (Tjahjo dan Purnamaningtyas, 2010). Jatinangor merupakan suatu kawasan yang terletak dibagian Bandung .. yang kini menjadi pusat pendidikan. Pada awalnya, kawasan ini merupakan perkebunan teh dan perkebunan karet. Untuk kebutuhan air minumnya, warga sekitar bisa langsung mengambil dari mata air atau sumur dangkal di dekat rumah. Mata air ini berasal langsung dari mata air di Gunung Manglayang. Namun, semenjak pembangunan berbagai perguruan tinggi, pasokan air di kawasan ini mulai tercemar dan bahkan mata air nya menjadi hilang. Oleh karena itu, penelitian mengenai analisis kondisi perairan disalah satu Perguruan Tinggi di jatinangor, dalam hal ini ITB dilakukan untuk memberikan informasi mengenai pentingnya peran ekologis komunitas perairan di kawasan Jatinangor ini.
1.2 Tujuan 1. Mendeskripsikan komunitas biotik dan kondisi fisika kimia di kawasan danau sekitar kampus ITB Jatinagor. 2. Mendeskripsikan komunitas biotik dan kondisi fisika kimia di kawasan sungai sekitar kampus ITB Jatinagor.
BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Deskripsi Area Penelitian Penelitian mengenai alanisis kondisi perairan kali ini dilakukan di kawasan kampus ITB Jatinangor dengan titik koordinat (kelompok 1) 107°46’00,3” BT dan 06°55’29,5” LS.
Kampus ITB Jatinangor terletak di
Desa Cikeruh,
Kecamatan Jatinangor, Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 2.1 Peta Kampus ITB Jatinangor (Google Earth, 2015)
2.2 Tata Kerja Penelitian mengenai analisis kondisi perariran di kawasan Kampus ITB Jatinangor dilaksanakan pada tanggal 15 September 2015 pada pukul 09.00-12.00 WIB. Pertama-tama, dilakukan analisis komunitas ekosistem sungai. Data yang diambil di lokasi tersebut yaitu sampel air sungai, cuplikan bentos, dan pengukuran faktor mikroiklimat. Pengambilan sampel air sungai dilakukan dengan cara memasukkan sampel air ke dalam botol mizone dan botol kratingdaeng. Cara pengambilan sampel air yaitu dengan memiringkan mulut botol ke permukaan air agar tidak ada gelembung udara yang masuk. Setelah pengambilan sampel air, setiap botol dibungkus dengan plastik hitam agar sampel
tidak terpapar langsung dengan sinar matahari. Botol juga di label dengan nama kelompok dan lokasi pengambilan sampel. Selanjutnya untuk pencuplikan bentos menggunakan alat bernama jala surber. Jala surber dibuka dan dihitung luas kotaknya. Alat ini diposisikan melawan arus air sungai agar sampel bentos mudah terambil. Sampel bentos yang diambil hanya yang berada di dalam kotak jala surber. Sampel yang terdapat didalam kotak tersebut berupa batuan yang ada substratnya. Untuk mendapatkan bentosnya, substrat pada batuan ini digosok dengan gosok gigi yang telah disediakan. Hasil pencuplikan bentos disimpan dalam plastik. Plastik di label dengan nama kelompok dan lokasi pencuplikan. Kemudian dilakukan penghitungan mikroklimat dengan parameter yang diukur yaitu temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya. Faktor mikroklimat dihitung, karena ditemukannya spesies yang sangat bervariasi dalam jarak yang pendek pada suatu daerah, tergantung pada kondisi iklim mikro, selain itu interaksi antara iklim mikro dengan vegetasi juga akan memberikan informasi yang penting tentang proses ekologi yang terjadi pada wilayah tersebut (Antonic et al., 1997; Batori et al., 2011; Herrera, 1995). Dalam pengukuran mikroklimat, suhu dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan sling psychrometer, intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux/light meter. Selain itu, dilakukan pengukuran kondisi air sungai yakni warna dan bau air. Hasilnya, warna jernih dan tidak berbau. Setelah melakukan pengambilan data di sungai, selanjutnya dilakukan pengambilan data di danau. Data yang diambil yaitu komunitas plankton, pengambilan sampel air, dan pengukuran faktor mikroiklimat. Pencuplikan komunitas plankton dilakukan dengan menggunakan jala plankton. Cara penggunaan jala plankton yaitu: botol penghimpun yang berupa botol kecil (vial) dibagian ujung kerucut jala plankton dipasang dengan erat dengan memegang ujung talinya, kerucut berikut botol dan lilitan tali dihimpun dibagian dalam logam seluruh bagian tersebut dilemparkan (seperti melempar Frisbee) ketengah kolam talinya segera ditarik secara tegak lurus botol dibagian kerucut dibuka dan cuplikan plankton di pindahkan ke botol film. Pengambilan sampel air di danau dilakukan dengan cara memasukan sampel air ke dalam botol
mizone dan botol kratindeng. Pada saat pengambilan sampel air, mulut botol dimiringkan ke permukaan air agar tidak ada gelembung udara yang masuk. Kemudian, botol di masukan ke dalam plastik hitam agar sampel air tidak terpapar langsung oleh sinar matahari. Botol diberi label nama kelompok dan lokasi pengambilan sampel. Kemudian dilakukan penghitungan mikroklimat dengan parameter yang diukur yaitu temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya. Dalam pengukuran mikroklimat, suhu dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan sling psychrometer, intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux/light meter. Lalu, dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia ekosistem air danau dengan menggunakan alat La Motte yang berfungsi untuk mengambil sampel air di kedalaman tertentu. Sampel air yang diambil harus dijaga agar tidak teragitasi atau mengandung gelembung udara. Cara penggunaanya, tabung diturunkan secara horizontal perlahan-lahan dengan bagian ujung tali dilempar sampai kedalaman yang diinginkan, logam pemacu diluncurkan. Kemudian tabung ditarik ke atas, dan air tabung dialirkan keluar. Selanjutnya, dilakukan pengukuran
derajat
kecerahan
air
menggunakan
keping
Sechi.
Cara
penggunaanya, bagian ujung tali dipegang dan keping Sechi diturunkan secara perlahan tepat pada saat warna putih tidak dapat dibedakan lagi dengan warna hitam, ukuran kedalaman panjang tali yang masuk diukur. Tepat pada saat warna putih timbul, kedalamannya di baca kembali. Angka rata-rata kedalaman menujukan derajat kecerahan. Selanjutnya, dilakukan pencuplikan menggunakan Eckman grab. Alat ini digunakan untuk mencuplik sampel air yang berlumpur. Cara penggunaanya, pegang tali beserta logam pemacunya. Alat diturunkan secara vertikal ke dasar perairan secara perlahan-lahan. Saat menyentuh dasar, logam pemacu dilepas sepanjang tali yang terlentang lurus. Logam itu akan menyebabkan kedua belah pengeruk menutup sehingga substratum perairan beserta semua bentos didalamnya akan terkeruk. Isi kerukan ditumpahkan ke dalam kantong plastik.
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Danau Dari praktikum yang sudah dilakukan, dapat diambil data-data tentang mikroklimat dan parameter fisika kimia. Berikut adalah tabelnya yang menunjukkan parameter fisika kimia : Tabel 3.1 Parameter Fisika Kimia Parameter Hasil Pengamatan pH Air
8,27
Suhu Air (0 C)
30,42
Konduktivitas (us/cm)
192,61
Kadar DO
8,75
Turbiditas (NTU)
18,39
Derajat Kecerahan
41,94
0,6 0,5235 0,5 absorbansi absorbansi absorbansi absorbansi absorbansi absorbansi
0,4 0,3 0,2391666667 0,2 0,1
0,18125
0,154
ammonium 0 m ammonium 1 m ammonium 2 m ortofosfat 0 m ortofosfat 1 m ortofosfat 2m
0,1001 0,0546
0
Gambar 3.1 Adsorbansi Ammonium dan Ortofosfat
4
3,5953608247
3,5 3 2,5 2 1,5
1,1481844946
1,1469072165
1
0,7065750736
0,6486254296
0,3385672228
0,5 0
Ammonium 1m Ortofosfat 0m Ortofosfat 2m Ammonium 0m Ammonium 3m Ortofosfat 1m
Gambar 3.2 Konsentrasi Amonium dan Ortofosfat dalam mg/L
Tabel 3.2 TSS dam TDS TDS (mg/l)
TSS (mg/l)
2000
428,571
(n= 9)
(n= 7)
333,33
Tidak ada data
Kedalaman 0
Kedalaman 1
(n= 3) Kedalaman 2
Tidak ada data
Tidak ada data
Dari praktikum yang sudah dilakukan, dapat diambil data-data tentang mikroklimat. Berikut ini pada tabel 3.3 ditampilkan data mikroklimat. Tabel 3.3 Mikroklimat Parameter
Hasil Pengamatan
Suhu Udara (oC)
28.89
Kelembaban Rf Udara (%)
62,28
Intensitas Cahaya (lux)
78296,67
Sesuai dengan data mikroklimat, rona lingkungan pada saat melakukan penelitian di danau kampus ITB Jatinangor air danau tenang, berwarna keruh, lahan kering dan panas tidak tertutup kanopi, banyak herba dan serasah. Menurut PP 82/2001, mutu baku air adalah sebagai berikut :
No
Parameter
Nilai
1.
Suhu
± 3oC suhu udara
2.
Kecerahan
-
3.
DO
4 mg/L
4.
pH
6–9
5.
Ammonium
≤ 0,02 mg/L
6.
Fosfat
0,2 mg/L
7.
Turbiditas
< 5 NTU
8.
Konduktivitas
20-1500 (μs/cm)
9.
TDS
>50 mg/L
10.
TSS
<1000 mg/L
Suhu danau yang didapatkan adalah sebesar 30,42 oC , sedangkan suhu mutu baku air adalah sebesar 25.89 sampai 31.89 oC. Sehingga suhu air di danau
menunjukkan parameter yang baik. Menurut mutu baku air, kandungan oksigen yang terlarut adalah sebesar 4mg/l, sedangkan pada danau sebesar 8.75mg/l. Selisih DO sebesar 4.75mg/l dengan konsentrasi DO di danau jauh lebih tinggi.
Hal ini
menunjukkan tingginya difusi udara yang masuk dari permukaan air dan banyaknya fitoplankton. Fitoplankton tersebut melakukan banyak fotosintesis pada siang hari, sehingga dihasilkan banyak oksigen terlarut (Nybakken, 1998). Nilai pH menurut mutu baku air adalah 6-9, sedangkan pada danau memiliki pH air sebesar 8,27. Hal ini menunjukkan bahwa pH air danau memiliki konsentrasi H+ yang sesuai untuk menunjang kehidupan organisme akuatik. Selanjutnya adalah kandungan ammonium di dalam danau. Kandungan ammonium di dasar danau paling tinggi, kemudian di permukaan danau, dan di kedalaman 1 meter. Kandungan ammonium di dalam danau jauh lebih besar dari nilai baku air yang seharusnya lebih kecil dari 0,02mg/L. Hal ini dapat menunjukkan bahwa siklus yang dialami oleh orthofosfat dan amunium saling berkaitan, dimana ketika kadar orthofosfat tinggi maka nutrisi yang bisa disediakan untuk diberikan kepada fitoplankton akan semakin besar, akibatnya jumlah fitoplankton akan semakin banyak. Namun banykanya jumlah fitoplankton menyebabkan persaingan untuk mendapatkan oksigen terlarut, yang akhirnya beberapa fitoplankton akan terseleksi dan akhirnya mati. Bangkai dari fitoplankton tersebut akan memperbanyak jumlah amonium yang terkandung di dalam dasar danau. (Hutagalung dan rozak, 1997). Parameter selanjutnya adalah turbiditas atau kekeruhan air. Berdasarkan hasil pengukuran, turbiditas yang didapatkan adalah 18,39 NTU. Akan tetapi menurut data mutu baku air di atas, turbiditas air seharusnya kurang dari 5 NTU. Ini menunjukkan bahwa turbiditas air danau di area penelitian sangat keruh. Hal ini berkaitan dengan nilai TSS. Semakin tinggi nilai turbiditas, maka semakin tinggi pula nilai TSS nya. Terbukti dari hasil penelitian, nilai TSS adalah sebesar 428,571. Sedangkan nilai TDS berkaitan dengan konduktivitas. Nilai TDS yang didapatkan adalah sebesar 2000 mg/L untuk kedalaman 0 meter dan 333,33 mg/L untuk kedalaman 1 meter. Menurut data mutu baku air, nilai TDS dan TSS berturut-turut seharusnya adalah lebih dari 50
mg/L dan nilai TSS adalah kurang dari 1000 mg/L. Hal ini menunjukkan turbiditas air danau sesuai juga dengan nilai TSS nya kurang jernih. Selanjutnya adalah parameter fisika kimia dibandingkan dengan mikroklimat. Suhu air akan sesuai dengan suhu udara lingkungan. Berdasarkan data, suhu air yang didapakan yaitu sebesar 30,420 C dan sesuai dengan suhu udaranya sebesar 28,890 C. Selain itu, intensitas cahaya akan berpengaruh pada derajat kecerahan. Intensitas cahaya yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebesar 78296,67 lux dan derajat kecerahan adalah sebesar 41,94.
Analisis Komunitas Bentos Berikut adalah grafik kerapatan total bentos pada setiap stasiun
Kerapatan Ind/m2 3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cloeon sp Wattebledia sp Iron sp Tendipes sp Caenis sp Elemidae Ephemerellidae Naedidae Melanoides granifera Melanoides plicaria Macromia sp Geridae Sigara sp Thiara sp Thiara winteri Melanoides sp Geothelphusa dehaani Parathelphusa convexa Tarebia sp Dero 4 sp Anentome sp Thiaridae winteri Filupaludina javanica Coleoptera larvae Coenagrionidae Corbicula sp 1 Corbicula sp 2 Dero 1 sp Thiaride 7
Pada kelompok 1 dan 2 yang berlokasi di hulu terlihat bahwa kerapatan total bentosnya cenderung lebih rendah dibanding kelompok lainnya. Kemudian, pada kelompok 3-8 yang berlokasi di bagian tengah sungai terlihat kerapatan total bentosnya cenderung lebih tinggi dibanding kelompok 1 dan 2 yang berlokasi di hulu,
dengan penonjolan nilai kerapatan di kelompok 6. Kemudian pada kelompok terakhir yaitu 9 dan 10 yang berlokasi di hilir, nilai kerapatannya paling tinggi dibanding yang lainnya dengan penonjolan nilai kerapatan di bagian hilir. Hal ini terjadi karena bentos merupakan organisme yang menempel di dasar perairan dan membutuhkan substrat yang kuat untuk berikatan. Pada bagian hulu, tanah nya mengalami sedimentasi sehingga tekstur tanahnya cenderung rapuh sehingga bentos sulit menempel dengan dasar perairannya. Pada bagian tengah, terutama di lokasi kelompok 6 yang merupakan gorong-gorong, tekstur tanahnya berlumpur dan tergenang air sehingga substrat di bagian dasar lebih banyak mengikat bentos. Selanjutnya pada bagian hilir yaitu lokasi dari kelompok 10, kerapatan total bentosnya merupakan yang paling tinggi karena merupakan muara dari seluruh aliran air dan aliran airnya cenderung tenang
Berikut adalah grafik Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner dari komunitas
bentos
Thiaride 7
Dero 1 sp
Corbicula sp 2
Corbicula sp 1
Coenagrionidae
Coleoptera larvae
Filupaludina javanica
Anentome sp
Thiaridae winteri
Dero 4 sp
Tarebia sp
Geothelphusa…
Thiara winteri
Melanoides sp
Sigara sp
Thiara sp
Geridae
Macromia sp
Melanoides plicaria
Naedidae
Melanoides granifera
Elemidae
Ephemerellidae
Caenis sp
Tendipes sp
Iron sp
Wattebledia sp
Cloeon sp
0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
Parathelphusa…
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
Setelah dilakukan penghitungan,nilai H’ yang didapat adalah 1,716 .Nilai ini menunjukkan tingkat keanekaragaman bentos di kampus ITB Jatinangor adalah sedang.Dan pengukuran dengan Indeks Dominansi Simpson didapat bahwa pi2 tidak ada yang mendekati 1 sehingga tidak ada spesies yang mendominasi.
Analisis Parameter Fisika dan Kimia Sungai Nilai TSS (Total Suspended Solid) berbanding lurus dengan tingkat kekeruhan (turbiditas). Semakin besar nilai TSS air semakin keruh (Akrimi dan Subroto, 2002). Pengukuran nilai TSS di hulu dilakukan secara duplo oleh 2 kelompok (kelompok 1 dan 2) dengan jarak yang saling berdekatan. Nilai TSS secara berurutan dari posisi paling hulu adalah 1000 mg/L dan 1400 mg/L. Sedangkan nilai TSS yang diperoleh dari cuplikan sungai bagian tengah di kelompok 5 sebesar 600 mg/L. Nilai TSS yang besar ini menunjukkan bahwa kondisi perairan di lokasi tersebut tidak memenuhi baku mutu (<50 mg/L menurut Kriteria Kelas Air PP No. 82 Th. 2001). Nilai TSS pada bagian sungai tengah yang lebih kecil dibanding bagian hulu disebabkan karena morfologi sungai di hulu yang memiliki kedalaman sangat rendah (sekitar 10-15 cm) dan keadaan sedimen di dasar sungai yang berupa pasir halus. Hal ini menyebabkan sungai cenderung sangat mudah keruh jika ada gangguan fisik (berupa guncangan atau sedikit adukan). Keadaan ini menyebabkan partikel-partikel sedimen di dasar sungai ikut terbawa masuk ke dalam botol sampel “mizone” dan “kratingdaeng” dan menyebabkan nilai TSS menjadi besar. Nilai TSS pada keempat lokasi lain telah melampaui batas baku mutu air sungai, dengan nilai tertinggi ditemukan pada lokasi 3. Nilai TSS dan kekeruhan dipengaruhi oleh tingkat sedimen yang tersuspensi dalam perairan. Sedimentasi yang tinggi di sekitar DAS, masuknya limbah industri sawit, serta tingginya aktivitas warga di sekitar DAS berpengaruh erat terhadap penurunan kualitas fisik perairan sungai.
Dari 10 sampel untuk pengukuran nilai Padatan Terlarut Total (TDS) hanya 1 yang dapat digunakan, karena 9 sampel lainnya menunjukkan hasil yang tidak dapat digunakan karena kesalahan dalam metode penimbangan. Nilai TDS yang terukur
sebesar 2300 mg/L. Kisaran nilai TDS tersebut tidak sesuai dengan baku mutu kualitas air(<1000 mg/L berdasarkan Kriteria Kelas Air PP No.82. 2001). Artinya banyak partikel yang terlarut di air.
Besarnya nilai konduktivitas air dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan suatu perairan. Jika nilai konduktivitas tinggi, kemungkinan pada daerah pengamatan terdapat banyak bahan organik dan mineral yang masuk sebagai limbah ke sungai. Pada kondisi normal, perairan memiliki nilai konduktivitas yang berkisar antara 201500 μS/cm (Soraya et al., 2014). Nilai tertinggi konduktivitas yang terukur adalah 230 μS/cm diperoleh di bagian hilir sedangkan terendah adalah 177,3 μS/cm di bagian tengah aliran sungai. Di bagian hulu terukur sekitar 207,55 μS/cm. Nilai konduktivitas di hilir tinggi diperkirakan karena sungai telah tercemar karena adanya inlet. Nilai konduktivitas di bagian hulu lebih tinggi dibandingkan dengan bagian bagian tengah karena nilai konduktivitas tinggi berbanding lurus dengan nilai TSS yang tinggi (Putra dan Adrian, 2014).
Konduktivitas 250 200 150 100
Konduktivitas
50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kelompok
Hubungan ortofosfat dan amonium disungai dimana ortofosfat yang menyediakan sumber makanan bagi plankton yang berada di permukaan air. Karena kelimpahan sumber makanan menyebabkan reproduksi plankton meningkat dan terjadi seleksi alam dimana plankton saling berkompetisi untuk mendapatkan oksigen. Bangkai-
bangkai plankton yang telah mati, akan jatuh menuju dasar sungai dengan (kedalaman tertentu) yang menyebabkan kadar amonium naik. Jadi, kandungan amonium semakin tinggi sejalan dengan kedalaman sungai (Hutagalung dan Rozak, 1997). Nilai ortofosfat tertinggi terdeteksi di hulu sungai, dengan nilai 1,02. Hal tersebut diperkirakan terjadi karena kandungan ortofosfat yang ada di hulu belum mengalami proses degradasi lebih lanjut.
Ortofosfat 1,2 1 0,8 0,6 Ortofosfat
0,4 0,2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
Kelompok
Amonium 0,3 0,2 0,1 0 1
2
3
4
5
6
-0,1 -0,2 -0,3
1.2
Kelompok
7
Amonium
Parameter Mikroklimat
Nilai
Suhu Udara
28,98 0C
Kelembapan Relatif Udara
68,08 %
Intensitas Cahaya
58147,33 lux
Organisme perairan dapat hidup karena air memiliki oksigen terlarut. Oksigen terlarut (DO) dapat berasal dari difusi oksigen yang terkandung di udara maupun karena aktivitas fotosintesis dari fitoplankton. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, nilai baku mutu kelas satu minimum DO yang diperbolehkan adalah 6 mg/L sedangkan nilai baku mutu kelas dua 4 mg/L.
DO 9 8,8 8,6 8,4 8,2 8
DO
7,8 7,6 7,4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kelompok
Semua nilai yang terukur di sepanjang aliran sungai lebih dari nilai baku mutu kelas satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak oksigen yang terkandung di sepanjang aliran sungai yang diamati. Menurut Effendi (2003), aktivitas fitoplankton akan bertambah seiring dengan semakin besarnya kandungan oksigen terlarut. Rata-rata suhu udara di sungai yang terukur 28,98 0C, kelembapan relatif udara 68,08 %, dan intensitas cahaya 58147,33 lux. Keadaan yang optimum bagi kelangsungan hidup fitoplankton yaitu antara 20 0C-300C (Effendi, 2003). Dengan suhu di lokasi
pengamatan yang termasuk ke dalam keadaan optimum tersebut, fitoplankton dapat hidup dan menjadi makanan bagi organisme air. PH air semakin ke hulu semakin besar, data disajikan di lampiran. Plankton dan organisme perairan berkembang baik pada kisaran pH yang cenderung netral berkisar antara 7-8,5(Effendi 2003). Dengan nilai PH yang termasuk kategori normal, organisme air dan plankton dapat hidup.
PH 8,5 8 7,5 7 6,5 6 1
2
3
4
5
6
Kelompok
DAPUS
7
8
9
10
BAB IV KESIMPULAN 1. Komunitas bentos di kawasan kampus ITB jatinangor dari hulu ke hilir semakin meningkat nilai keanekaragamannya.
Daftar Pustaka 1. Suriawiria, U. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. Penerbit Alumni. Bandung. 2. Tjahjo, DWH., Purnamanigtyas, SE. 2010 Biolimnologi Waduk Kaskade Sungai Citarum Jawa Barat. Limnotek 17 (2): 147-157. 3. Antonic, O., Kusan V., and Hrasovec, B.1997: Microclimatic and topclimatic differences between the phytocenoses in the Viljka Ponikva Sinkhole, Mt. Risnjak, Croatia. Hrvatski meteoroloski casopis 32, 37-49 4. Batori, Z., galle R, erdos, L, and Kormoczi, L. 2011; Ecological condition, flora and vegetation of a large doline in the Mescek Mountain(South Hungary). Acta Bot Croat 70, 147-155. 5. Nybakken, J.W.1998. Marine Biology and Ecology Approach, Gramedia. Jakarta:459 p 6. Herrera, CM. 1995: Microclimate and Individual Variation in Pollinator: Flowering plants are more than their flowers. Ecology 76, 1516-1524 7. Akrimi, dan Subroto. 2002. Pengantar Limnologi. Jakarta : Gramedia. 8. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. 9. Putra, D.S., Adrian, Putra. 2014. “Analisis Pencemaran Limbah Cair Kelapa Sawit berdasarkan Kandungan Logam, Konduktivitas, TDS, dan TSS”. Jurnal Fisika Unand Vol 3 No.2. 10. Soraya, Zazili, H., Yuanita, W. 2014. “Analisis Fisik Kimia Perairan untuk Memdeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir Sumatra Selatan”. Jurnal Biospesies Vol. 7 No.2 11. Hutagalung, H.P & A. Rozak. 1997 Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota.” Buku 2. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI 12.