LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI AKTIVASI Rizka Ayu Melykhatun*, Ria Ayu Maharani
Lab. Kimia Fisika Jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang Gedung D8 Lt 2 Sekaran Gunungpati Semarang (50229), Indonesia
[email protected], 085728884394 Abstrak Praktikum persamaan Arrhenius dan energi aktivasi bertujuan untuk mempelajari pengaruh temperatur terhadap laju reaksi dan menentukan energi aktivasi dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Percobaan ini menggunakan metode penyamaan temperatur larutan dengan temperatur larutan yang divariasi. Variasi temperatur yang digunakan, yaitu, 10⁰C, 15⁰C, 20⁰C, 25⁰C, 30⁰C dan 35⁰C. pada temperatur tersebut, larutan sistem 1 dan larutan sistem 2 direaksikan hingga larutan berwarna biru untuk pertama kali. Waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi berturut-turut, yaitu, 14 detik,12 detik, 9 detik, 6,6 detik, 5 detik dan 4 detik. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan rumus perbandingan konsentrasi H2O2 yang bereaksi dan konsentrasi H2O2 awal kemudian dikalikan dihubungkan dengan
1 T
1 t . Dari hasil analisis didapatkan nilai ln K yang kemudian
dalam sebuah kurva. Kurva tersebut memiliki persamaan
garis y=-4587,1x+11,202. Persamaan tersebut dianalisis dengan persamaan Arrhenius sehingga didapatkan nilai energi aktivasi sebesar 38,1371494 kJ/mol. Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa semakin tinggi temperatur, energi aktivasi yang dibutuhkan semakin kecil sehingga laju reaksi semakin cepat. Faktor yang dapat memengaruhi energi aktivasi, yaitu, temperatur (T), frekuensi (A) dan katalis. Kata Kunci : energi aktivasi; laju reaksi; larutan; persamaan Arrhenius; temperature.
Abstract Arrhenius equation and the activation energy practicum is aimed to study the effect of temperature on the reaction rate and determine the activation energy using the Arrhenius equation. This experiment using temperature equalization solution with the solution temperature was varied. Temperature variations are used, ie, 10⁰C, 15⁰C, 20⁰C, 25⁰C, 30⁰C and 35⁰C. At this temperature, system 1 solution and system 2 solution reacted until formed the blue color for the first time. The time needed to react in a row, that is, 14 seconds, 12 seconds, 9 seconds, 6.6 seconds, 5 seconds and 4 seconds. The data were analyzed by using a formula that reacts H 2O2 concentration ratio and initial H 2O2 concentration then multiplied by connected to the
1 t . From the analysis ln K value which is then
1 T in a curve. The curve has y = -4587,1x + 11.202. The equations
were analyzed by Arrhenius equation to obtain the activation energy value 38.1371494 kJ / mol. From the lab, it is known that the higher the temperature, the activation energy required so the smaller the faster the reaction rate. Factors that can affect the activation energy, ie, the temperature (T), frequency (A) and catalyst.
Keywords: activation energy; Arrhenius equation; temperature; the rate of reaction; solution. Pendahuluan
Lingkungan sekitar kita terbentuk dari berbagai macam materi. Materi-materi tersebut dapat mengalami perubahan sehingga membentuk suatu materi baru. Peristiwa ini disebut reaksi. Apabila perubahan tersebut merupakan perubahan kimiawi dengan suatu ikatan kimia maka reaksinya disebut reaksi kimia. Contoh reaksi kimia dalam kehidupan sehari-hari adalah peristiwa fotosintesis, pembakaran sampah dan proses pernapasan. Suatu reaksi kimia dapat terjadi apabila terdapat tumbukan antar molekul zat-zat yang bereaksi. Tidak semua tumbukan menyebabkan berlangsungnya reaksi.
Dalam teori
tumbukan, diasumsikan bahwa laju reaksi berbanding lurus dengan jumlah tumbukan antar molekul. Hal ini menjelaskan pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi (Chrysand, 2012). Setiap molekul yang bergerak memiliki energi kinetik. Semakin cepat bergerak, semakin besar energi kinetiknya. Ketika molekul bertumbukan, bagian dari energi kinetik diubah menjadi energi getaran. Jika energi kinetik awal besar maka molekul yang bertumbukkkan akan bergetar sangat kuat sehingga mampu memecahkan ikatan kimia. Jika energi kinetik awal kecil, maka molekul hanya akan terpental satu sama lain. Reaksi kimia dapat berlangsung apabila molekul yang bertumbukan memiliki energi kinetik total yang sama atau lebih besar dari energi aktivasi. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar dapat berlangsung (Castellan, 1982). Apabila energi kinetik kurang dari energi aktivasi, molekul yang merupakan reaktan akan tetap utuh dan tidak ada perubahan dari hasil tumbukan. Energi aktivasi pertama kali diperkenalkan oleh Svante Arrhenius. Energi aktivasi mempunyai lambing Ea dengan satuan kilo joule per mol. Tahun 1889, Arrhenius mengusulkan persamaan yang menjelaskan pengaruh temperatur terhadap konstanta laju reaksi. Persamaan tersebut, yaitu: Ea
K= A e RT K
= konstanta laju reaksi
A
= faktor freakuensi
Ea
= energi aktivasi
Dalam bentuk logaritma dapat ditulis : ln K=ln A−(
Ea ) RT
ln K=
−Ea 1 x +ln A RT T
Hubungan antara energi aktivasi, temperatur dan laju reaksi ini dapat dianalisis dalam bentuk grafik hubungan antara 1/T dan ln K dengan gradien –(Ea/RT) dan intersep ln A (Atkins, 1999). Beberapa reaksi terjadi dengan mudah pada temperatur kamar karena partikel yang bereaksi telah memiliki energi aktivasi yang diperlukan pada temperatur tersebut. Reaksi lainnya hanya terjadi ketika dipanaskan karena partikel tidak memiliki energi yang cukup kecuali sumber eksternal panas diberikan pada partikel yang akan memberikan energi kinetik yang lebih besar. Pada praktikum ini, tujuan yang ingin dicapai, yaitu, mempelajari pengaruh temperature terhadap laju reaksi dan menentukan energi aktivasi dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Sedangkan masalah yang berusaha dipecahkan dari praktikum ini, yaitu, 1) bagaimana pengaruh temperature terhadap laju reaksi; dan 2) bagaimana cara menentukan energi aktivasi dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Metode
Praktikum Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi ini dilakukan dengan metode penyamaan variasi temperatur larutan. Praktikum ini diawali dengan pembuatan bahan dan persiapan alat yang akan digunakan. Bahan yang telah dibuat, digunakan untuk membuat larutan sistem 1 dan larutan sistem 2. Larutan sistem 1 terdiri atas hidrogen peroksida dan aquades sedangkan larutan sistem 2 terdiri atas kalium iodida, natrium tiosulfat, aquades dan amilum. Warna larutan di kedua sistem diamati dan dicatat dalam tabel hasil percobaan. Temperatur larutan sistem 1 dan larutan sistem 2 disamakan. Pada praktikum ini digunakan variasi temperatur 10 ℃ , 15 ℃ , 20 ℃ , 25 ℃ , 30 ℃ dan 35 ℃ . Untuk variasi temperatur 10 ℃ , 15 ℃
dan 20 ℃ , temperatur larutan diturunkan
dengan menggunakan termostat. Sedangkan untuk variasi temperatur 25 ℃ , 30 ℃
dan
35 ℃ , temperatur larutan dinaikkan dengan menggunakan waterbath. Larutan sistem 1 dan larutan sistem 2 dicampur di dalam gelas kimia yang temperaturnya juga telah diturunkan dan atau dinaikkan. Warna dan temperatur awal campuran diamati dan dicatat dalam tabel hasil praktikum. Stopwatch dinyalakan hingga
larutan campuran mulai berwarna biru untuk pertama kali. Temperatur ketika campuran mulai berwarna biru untuk pertama kali diamati dan dicatat dalam tabel hasil praktikum. Alat-alat yang dibutuhkan pada praktikum ini adalah seperangkat alat gelas dari Pyrex, termometer raksa dari Yenaco, stopwatch dari Diamond dan waterbath dari Memmert. Sedangkan bahan-bahan yang dibutuhkan pada praktikum ini, yaitu, Natrium Tiosulfat for syn dari Merck, Kalium Iodide for syn dari Merck, Amilum for syn dari Merck dan Hidrogen Peroksida dari Merck. Pada praktikum ini, variabel bebas yang digunakan adalah kuantitas bahan yang digunakan dan temperatur. Selain sebagai variabel bebas, temperatur juga sebagai veriabel kontrol yang harus dijaga hingga proses reaksi selesai. Sedangkan variable terikat pada praktikum ini, yaitu, waktu yang dibutuhkan hingga campuran larutan mulai berwarna biru untuk pertama kali. Data hasil percobaan dibuat kurva untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap
laju reaksi. Kurva tersebut merupakan hubungan antara
1 T dan ln K. Data hasil percobaan
juga dianalisis dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Hal ini bertujuan untuk menentukan nilai energi aktivasi yang dibutuhkan dalam reaksi yang terjadi pada praktium. Hasil Dan Pembahasan
Pada praktikum ini, variasi temperatur digunakan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap laju reaksi. Variasi temperatur yang digunakan tidak lebih dari 40 ℃ karena Hidrogen Peroksida dapat mengalami disproporsionasi pada temperatur tinggi. Reaksi disproporsionasi adalah suatu reaksi yang terjadi apabila reaktan berperan sebagai oksidator sekaligus reduktor (David, dkk., 2001). Apabila Hidrogen Peroksida mengalami reaksi disproporsionasi maka akan terurai menjadi air dan oksigen. Hal ini menyebabkan reaksi akan berjalan lambat. Reaksi yang terjadi apabila Hidrogen Peroksida mengalami disproporsionasi, yaitu: H2O2(aq) → H2O(l) + O2(g) Larutan KI yang digunakan pada praktikum ini tidak berwarna. Apabila larutan KI berwarna kuning, berarti larutan tersebut telah rusak. KI bersifat higroskopis, mudah teroksidasi oleh oksigen di udara (Sumardjo, 2009). Reaksi yang terjadi apabila KI teroksidasi oleh oksigen, yaitu:
4H+ + 4I- + O2 → 2I- + 2H2O Proses pemanasan pada pembuatan amilum bertujuan agar amilum lebih cepat larut. Penggunaan Amilum yang masih segar dalam praktikum ini karena amilum yang lama memiliki kemungkinan perubahan struktur. Amilum mudah terurai oleh bakteri di udara bebas. Amilum juga akan terhidrolisis apabila terkena asam. Penurunan dan penaikkan temperatur pada gelas kimia yang digunakan untuk mencampurkan larutan bertujuan untuk menjaga temperatur. Pada praktikum ini, temperatur harus dijaga karena temperatur merupakan variabel kontrol. Apabila temperatur tidak konstan maka reaksi yang berlangsung tidak akan stabil. Larutan sistem 1 dan larutan sistem 2 tidak berwarna. Pada awal pencampuran, larutan juga tidak berwarna. Pencatatan temperature di awal pencampuran bertujuan untuk memastikan bahwa temperatur dalam keadaan konstan hingga raksi berlangsung. Temperatur awal campuran dan warna awal campuran ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Hasil Pencampuran Kedua Larutan Temperatur Awal Campuran Perencanaan (oC)
Temperatur Awal Campuran Praktikum (oC)
Warna Awal Campuran Perencanaan
Warna Awal Campuran Praktikum
10
10,0
Tak berwarna
Tak berwarna
15
15,0
Tak berwarna
Tak berwarna
20
20,0
Tak berwarna
Tak berwarna
25
25,0
Tak berwarna
Tak berwarna
30
30,0
Tak berwarna
Tak berwarna
35
35,0
Tak berwarna
Tak berwarna
Temperatur awal campuran pada saat praktikum sudah sama dengan temperatur awal campuran yang direncanakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu, temperatur cempuran larutan pada saat praktikum juga sudah sesuai dengan temperatur yang telah direncanakan. Larutan mulai berwarna biru setelah beberapa detik. Perbedaan temperatur menyebabkan perbedaan pula pada waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi. Pencatatan waktu bertujuan untuk membandingkan pengaruh temperatur terhadap laju rekasi. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 2. Pencatatan temperatur di akhir pencampuran bertujuan untuk memastikan bahwa temperatur dalam keadaan konstan. Tabel 2. Data Hasil Praktikum Temperatur Akhir Campur an Perencanaan (oC)
Temperatur Akhir Campur an Praktikum (oC)
Warna Akhir Campuran Perencanaan
Warna Akhir Campuran Praktikum
W aktu Reaksi (s)
10
10,0
biru
biru
14,0
15
15,0
biru
biru
12,0
20
20,0
biru
biru
9,0
25
25,0
biru
biru
6,5
30
30,0
biru
biru
5,0
35
35,0
biru
biru
4,0
Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa data temperatur awal dan data temperatur akhir pada praktikum ini sama untuk semua variasi temperatur. Ini berarti temperatur larutan pada praktikum ini konstan. Saat larutan mulai berwarna biru untuk pertama kali, berarti larutan sudah bereaksi. Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa warna akhir larutan setelah dicampurkan pada waktu tertentu sama dengan warna akhir larutan yang telah direncanakan. Pada praktikum ini, larutan Hidrogen Peroksida berfungsi sebagai oksidator. Hidrogen Peroksida mengubah ion iodida menjadi I2. Ini berarti ion iodida mengalami oksidasi. Adanya larutan Natrium Tiosulfat menyebabkan I2 berubah kembali menjadi ion iodida. Ion iodida mengalami reduksi. Dalam hal ini, Natrium Tiosulfat berfungsi sebagai reduktor. Setelah ion Tiosulfat habis bereaksi, I2 akan lepas. I2 berikatan dengan I- sehingga terbentuk I3-. Terbentuknya warna biru karena adanya amilum. Pada praktikum ini amilum berfungsi sebagai pendeteksi adanya I2. Warna biru terbentuk ketika I3- mulai berikatan dengan amilum. Apabila amilum yang digunakan telah mengalami perubahan struktur, reaksi pada larutan ini tidak akan menghasilkan warna biru. Reaksi-reaksi yang terjadi pada praktikum ini, yaitu: 2H2O2 + 2I-
2H2O + O2 + I2 + 2e
I2 + 2S2O32-
2I- + S4O62-
I2 + I -
I3-
I3- + amilum
warna biru
Reaksi akan berlangsung lebih cepat apabila temperatur semakin tinggi. Pada Tabel 2 dapat dilihat waktu yang dibutuhkan larutan untuk bereaksi pada temperatur tertentu. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi temperatur maka waktu yang dibutuhkan larutan untuk membentuk warna biru pertama kali semakin cepat. Hal ini sesuai dengan referensi. Semakin tinggi temperatur maka laju reaksi akan semakin cepat (Purba, 2006). Data pada Tabel 2 dianalisis dengan membandingkan konsentrasi Hidrogen Peroksida
yang bereaksi dengan konsentrasi Hidrogen Peroksida awal kemudian dikali
1 t . Dari hasil
analisis didapatkan nilai ln K. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Hasil Perhitungan T Awal (oC)
T Akhir (oC)
T Rata-Rata (oC)
Waktu Reaksi (s)
1 T
10
10
10
14,0
0,003533
15
15
15
12,0
0,003472
20
20
20
9,0
0,003413
25
25
25
6,5
0,003356
30
30
30
5,0
0,003300
35
35
35
4,0
0,003247
Dari data pada Tabel 3, dapat dilihat hubungan antara
harga
1 T
ln K 4,9417 4,7876 4,4999 4,1745 3,9121 3,6889
1 T dan ln K. Semakin kecil
maka nilai ln K akan semakin besar. Untuk mengetahui lebih jelas hubungan
antara temperatur dan waktu dapat dilihat pada Gambar 1.
Hubungan antara 1/T dan ln K 0 0
0
0
0
0
0
0
0
-1 -2 ln K -3 -4
f(x) = - 4692.17x + 11.56 R² = 0.99
-5 -6 1/T
Gambar 1. Hubungan antara
1 T dan ln K
Dari Gambar 1 dapat memperjelas pengaruh temperatur terhadap laju reaksi. Semakin
kecil harga
1 T
maka nilai ln K akan semakin besar. Dengan kata lain, semakin tinggi
temperatur maka laju reaksi akan semakin cepat. Semakin tinggi temperatur, molekulmolekul yang bereaksi akan mempunyai energi kinetik yang semakin besar pula. Hal ini menyebabkan pergerakan partikel untuk saling bertumbukan semakin besar sehingga reaksi berlangsung lebih cepat. Semakin besarnya energi kinetik ini karena adanya tambahan energi dari luar sistem. Pengaruh temperatur terhadap laju reaksi ini dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi aktivasi yang dibutuhkan pada reaksi dalam percobaan ini (Chrysand, 2012). Kurva pada Gambar 1 berbentuk linear dengan persamaan y = -4587,1 x + 11,202 dan R² = 0.9909. Ini berarti hasil praktikum mendekati sempurna. Persamaan y = -4587,1 x + 11,202 ini dianalisis dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Dari hasil analisis didapatkan harga energi aktivasi pada reaksi yang terjadi dalam praktikum ini, yaitu, sebesar 38137,1494 J/mol atau sama dengan 38,1371494 kJ/mol dengan nilai ln A = 11,202. Pada tanggal 24 Oktober 2012, Ani Kurniawati, seorang mahasiswa Unnes, melakukan praktikum ini. Harga Ea yang didapatkan dalam praktikum tersebut, yaitu,
48.786552 kJ/mol. Apabila dibandingkan, selisih harga Ea yang didapatkan sangat jauh, yaitu ± 10 kJ/mol atau ± 10.000 J/mol. Selisih nilai Ea yang sangat jauh ini disebabkan karena beberapa faktor. Salah satu faktor yang mungkin memengaruhi selisih nilai Ea tersebut adalah perbedaan tekanan udara sekitar pada saat dilakukannya praktikum. Apabila tekanan udara lebih rendah, maka temperatur pada ruangan tersebut akan lebih rendah pula. Sesuai dengan referensi, temperatur berbanding terbalik dengan energi aktivasi. Semakin tinggi temperatur maka energi aktivasi akan semakin kecil. Berdasarkan referensi, faktor yang dapat memengaruhi energi aktivasi, yaitu, temperatur (T), frekuensi (A) dan katalis (Sridianti, 2014). Sedangkan hubungan antara energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dengan metode penyamaan tempertaur larutan dengan variasi temperatur, dapat diketahui bahwa temperatur berbanding terbalik dengan energi aktivasi. Sedangkan hubungan antara energi aktivasi dan laju reaksi berbanding terbalik pula. Semakin tinggi temperatur, energi aktivasi yang dibutuhkan semakin kecil sehingga laju reaksi semakin cepat. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi energi aktivasi, yaitu, temperatur (T), frekuensi (A) dan katalis. Dari hasil praktikum diperoleh kesimpulan, yaitu: 1) Kenaikan temperatur menyebabkan laju reaksi semakin cepat; dan 2) Energi aktivasi yang dibutuhkan agar reaksi dalam percobaan ini dapat berlangsung, yaitu sebesar 38,1371494 kJ/mol. Daftar Pustaka
Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. Edisi ke-2. Kartahadiprodjo Irma I, penerjemah; Indarto Purnomo Wahyu, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physichal Chemistry. Castellan, Gilbert W. 1983. Physical Chemistry 3rd Edition. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. Oktarian, Chrysand. 2012. Teori Tumbukan dan Energi Aktivasi. Diunduh http://indoherbals.co.id/demo/skripsikimia/page/detail/37/72/teori-tumbukan-dan-energiaktivasi.html pada tanggal 10 Oktober 2014.
di
Oxtoby, David w., dkk. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Edisi ke-4. Norman H. Narchtib, Alih Bahasa; Suminar Setiati Achmadi, Editor. Jakarta: Erlangga. Sridianti. 2014. Pengertian Energi aktivasi. Diunduh di http://www.sridianti.com/pengertian-energiaktivasi.html pada tanggal 10 Oktober 2014. Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.