DANA DIPA UNNES
LAPORAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERITA KRITIS BAGI FUNGSIONARIS BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Oleh
:
Mohamad Ikhwan Rosyidi, S.S., M.A./ NIDN 0006128008 Rini Susanti Wulandari, S.S., M.Hum./ NIDN 0025067406 Afif Alfia Nizar / NIM 2211412066
Dibiayai oleh: DIPA Unnes No. 023-04.2.189822/2014 MAK. 4078.032.012.525112
FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014
ii
RINGKASAN
Tujuan dari Pengabdian ini adalah memberikan pelatihan pengembangan keterampilan menulis kreatif kritis bagi fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang sehingga fungsionaris BEM FBS tersebut dapat terampil menulis cerita kritis di samping mereka juga mengembangkan kreativitas dalam bentuk yang lain. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah metode ceramah, workshop, dan presenting in media. Evaluasi dilakukan dengan indikator bahwa peserta dapat memilih cerita yang berkualitas menurut mereka, dan cerita yang memiliki nilai-nilai yang berguna bagi mereka dan masyarakat, peserta dapat mengkritisi cerita sesuai dengan pembacaan secara kritis, peserta dapat menjadikan cerita tersebut sebagai model menulis kreatif dan kritis, dan peserta dapat menulis cerita sebagai tulisan kreatif dan kritis. Hasil yang dicapai dalam pengabdian ini adalah peningkatan kemampuan menulis kreatif kritis peserta pengabdian dapat diukur dari meningkatnya (1) pengetahuan mereka tentang menulis kreatif kritis berbahasa Inggris adalah dengan penguasaan atau peningkatan kemampuan peserta memunculkan pertanyaan kritis terhadap kandungan yang ada di dalam cerita sebagai penemuan ide-ide kritis kreatif yang dijadikan bangunan dasar dalam menulis kreatif kritis berbahasa Inggris, (2) menggunakan teknik-teknik penulisan kreatif, berbentuk cerita pendek, untuk mengembangkan permasalahan menjadi konflik secara kritis dalam mendeskripsikan dan mendramatisasi cerita melalui model yang diberikan penulis, (3) kemampuan untuk memodifikasi tulisan mereka menjadi karya artistik dan estetik sehingga dapat secara reguler ditampilkan dalam wall magazine di kampus. Hal-hal inilah yang menjadi daya pembeda penuangan kemampuan kritis fungsionaris BEM Fakultasn Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang selama ini banyak dipersepsikan oleh civitas akademika universitas.
iii
TIM PELAKSANA
1. Ketua Tim Pelaksana 1. Nama Lengkap dan gelar Akademik : Mohamad Ikhwan Rosyidi, S.S., M.A. 2. Tempat dan Tanggal Lahir : Semarang, 6 Desember 1980 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Fakultas/Jurusan/Program Studi/Pusat : Bahasa dan Seni/Bahasa dan Sastra Inggris/Sastra Inggris/Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 5. Pangkat/Golongan/ NIDN. : Penata Muda Tk.I/ III/b/ 0006128008 6. Bidang keahlian : Sastra Inggris 7. Kedudukan dalam Tim : Ketua Pelaksana 8. Alamat Kantor : Gedung B-3 Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNNES Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Telepon/Faksimili : Telp: (024) – 8508071 E-mail :Alamat Rumah : Jl. Candi Penataran Timur RT 10 RW 03 Kalipancur, Semarang Telepon/Faksimili : 081326796775 E-mail :
[email protected]. 9. Pengalaman dalam Bidang Pengabdian kepada masyarakat : No. Judul Kegiatan Tahun 1. Pengenalan Drama dengan Cerita Anak 2011 Berbahasa Inggris di RA-TPA Al Hikmah Semarang 2. Peningkatan Keterampilan Mengajar Guru 2011 Bahasa Inggris Sekolah Dasar Se-Kecamatan Pedurungan Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Buku Cerita 3. Pengembangan Keterampilan Membaca Puisi 2012 Berbahasa Inggris bagi Siswa SMA Negeri 2 Semarang 4. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Inggris 2013 dengan Metode Bercerita Bagi Anak-Anak Panti Asuhan Tarbiyatul Yatim Ngemplak Simongan Semarang
iv
Sumber Dana DIPA UNNES
DIPA UNNES
DIPA UNNES
DIPA UNNES
2. Anggota Pelaksana 1 1. Nama Lengkap dan gelar Akademik : Rini Susanti Wulandari, S.S., M.Hum. 2. Tempat dan Tanggal Lahir : Magelang, 25 Juni 1974 3. Jenis kelamin : Perempuan 4. Fakultas/Jurusan/Program Studi/Pusat : Bahasa dan Seni/Bahasa dan Sastra Inggris/Sastra Inggris/Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 5. Pangkat/Golongan/ NIDN. : Penata/III/c/0025067406 6. Bidang keahlian : Sastra Inggris 7. Kedudukan dalam Tim : Anggota Pelaksana 8. Alamat Kantor : Gedung B-3 Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNNES Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Telepon/Faksimili : Telp: (024) – 8508071 E-mail :Alamat Rumah : Jalan Puri V/10 F1 Banyumanik Semarang Telepon/Faksimili : 085876783903 E-mail :
[email protected] 9. Pengalaman dalam Bidang Pengabdian kepada masyarakat : No Judul Kegiatan Tahun 1
Pemberdayaan MGMP Melalui Penerapan Model manajemen mutu bagi peningkatan hasil belajar siswa sma di kabupaten pemalang dan kota tegal provinsi jawa tengah (anggota)
Sumber Dana
2012
Pengabdian Dikti-DIPA Diblitabmas Dikti
2.
pelatihan bahasa inggris program English for rsbi bagi para guru sdnbi kota semarang dalam rangka penguatan academic english (anggota)
2012
Mandiri
3
PENGEMBANGAN KETERAMPILAN MEMBACA DAN MENGINTERPRETASI PUISI BERBAHASA INGGRIS BAGI SISWA SMA NEGERI 2 SEMARANG (anggota)
2012
Dana DIPA UNNES
4
Upaya Pengenalan Bahasa Inggris
2012
Dana DIPA UNNES
v
Melalui Children Games Dan Nursery Rhymes Bagi Guru-Guru Kb Dan Tk It 'Mutiara Hati' Kelurahan Patemon 5
pemanfaatan kotoran kambing sebagai pupuk kompos untuk meningkatkan kebersihan lingkungan di kelurahan mangunsari kecamatan gunungpati kota semarang
2011
Dana DIPA UNNES
6
Peningkatan Pembelajaran Bahasa Inggris Siswa Sekolah Dasar melalui Apreasiasi sastra (ketua)
2010
Dana DIPA UNNES
3. Anggota Pelaksana 2 1. Nama Lengkap dan gelar Akademik : Afif Alfia Nizar 2. Tempat dan Tanggal Lahir : Brebes, 26 Mei 1994 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Fakultas/Jurusan/Program Studi/Pusat : Bahasa dan Seni/Bahasa dan Sastra Inggris/Sastra Inggris/Lembaga Penelitian dan Pengabdia kepada Masyarakat 5. Pangkat/Golongan/ NIM. : -/ 2211412066 6. Bidang keahlian : Sastra Inggris 7. Kedudukan dalam Tim : Anggota Pelaksana 8. Alamat Kantor : Gedung B-3 Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNNES Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Telepon/Faksimili : Telp: (024) – 8508071 E-mail :Alamat Rumah : Jalan Arjuna, RT: 07, RW: 03 Rengaspendawa, Larangan, Brebes Telepon/Faksimili : +6287837386904 E-mail :
[email protected] 9. Pengalaman dalam Bidang Pengabdian kepada masyarakat : No. Judul Kegiatan Tahun Sumber Dana -
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobilalamiin, kami panjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat tahun 2014 yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Menulis Cerita Kritis bagi Fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang” dapat terlaksana dengan baik. Kami menyadari bahwa penelitian ini dapat dilaksanakan dengan bantuan pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan kami menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Fathur Rahman, M.Hum., selaku Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin kepada kami untuk melaksanakan kegiatan penelitian institusional ini, 2. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dirjen Dikti Kemdiknas yang telah mendanai kegiatan ini, 3. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah mengizinkan kami. 4. Prof. Dr. Totok Sumaryanto F., M.Pd. selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada kami, 5. Dr. Issy Yuliasri, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris baru, yang telah memberikan izin dan meluangkan waktu untuk membimbing dan memfasilitasi penelitian ini,
vii
6. Ketua BEM Fakultas Bahasa dan Seni beserta jajaran yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan kepada kami untuk melakukan kegiatan ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris yang telah berdiskusi dan meluangkan waktu untuk membantu dalam kegiatan penelitian ini hingga selesai, 8. Semua pihak yang ikut membantu keberhasilan pengabdian ini. Harapan kami laporan ini memberikan informasi dan gagasan bagi pembaca untuk melaksanakan pengabdian lebih lanjut. Semoga pengabdian ini dapat meningkatkan wacana alternatif bagi pengembangan ilmu sastra di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeris Semarang.
Semarang, November 2014 Ketua Tim Pelaksana,
Mohamad Ikhwan Rosyidi
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..............................................................................................
i
Halaman Pengesahan ....................................................................................
ii
Ringkasan ......................................................................................................
iii
Tim Pelaksana ...............................................................................................
iv
Kata Pengantar .............................................................................................
vii
Daftar Isi ........................................................................................................
ix
Daftar Gambar ..............................................................................................
xi
Daftar Lampiran ...........................................................................................
xii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1
Analisis Situasi ..................................................................
1
1.2
Identifikasi Dan Perumusan Masalah ............................
2
1.3
Tujuan Kegiatan ...............................................................
2
1.4
Manfaat Kegiatan .............................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
4
2.1
Berpikir Kritis ...................................................................
4
2.2
Berpikir Kreatif ................................................................
6
2.3
Menulis Kreatif/Cerita .....................................................
8
2.4
Membaca Sastra ................................................................
10
MATERI DAN METODE PELAKSANAAN ..........................
12
3.1
Kerangka Pemecahan Masalah .......................................
12
3.2
Realisasi Pemecahan Masalah .........................................
13
3.3
Khalayak Sasaran .............................................................
13
3.4
Metode Kegiatan ...............................................................
14
ix
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 4.1
Peningkatan Pengetahuan Menulis Cerita Dalam Bahasa Inggris ...................................................................
4.2
15
15
Peningkatan Penguasaan Teknik Menulis Cerita Bahasa Inggris yang Kritis dan Kreatif ..........................
17
Pemuatan Cerita dalam Media ........................................
20
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................
22
5.1
Simpulan ............................................................................
22
5.2
Saran ..................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
24
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...........................................................................
25
4.3 BAB V
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1:
Penulis mencoba menyimak proses membaca cerita peserta, membetulkan pelafalan bunyi bahasa Inggris sesuai dengan yang distandarkan, dan membantu peserta memahami isi dan jalan cerita
Gambar 2:
Situasi ketika para peserta sedang berdiskusi secara kelompok
Gambar 3:
Hasil tulisan peserta yang ditempelkan pada wall magazine di kampus
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Kontrak Pelaksanaan Pengabdian Lampiran 2: Presensi Kegiatan Lampiran 3: Materi Pengabdian Lampiran 4: Foto-foto Kegiatan Lampiran 5: Artikel Pengabdian
xii
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini disajikan pengantar untuk mencapai permasalahan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Hal-hal tersebut adalah analisis situasi, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan kegiatan, dan manfaat kegiatan. 1.1
Analisis Situasi
Berpikir kritis merupakan orientasi sebuah idealisme. Salah satu manifestasi berpikir kritis adalah adalah mengembangkan berpikir logis. Logika menjadi sebuah muara yang dimunculkan bagi kreativitas bagi setiap manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan pengimplementasian kurikulum KBKK Unnes, yang pada pengembangan
karakter
konservasi
disebutkan
karakter
cerdas
yang
mengindikasikan kreatif dalam mengembangkan model atau cara-cara yang baru (Buku 4 Kurikulum KBKK Unnes). Dengan demikian, setiap elemen dalam Unnes akan terus berusaha mengimplementasikan karakter cerdas yang diaspirasikan oleh Unnes. Bepikir cerdas secara logis merupakan landasan berpikir kritis dan kreatif. Banyak orang mensalahkonsepsikan istilah kritis sebagai hal yang destruktif dan membahayakan. Setiap ada orang yang mulai mengembangkan pikiran kritisnya, di saat itu pulalah ia berusaha “dimatikan” proses berpikirnya. Fenomena ini, tentu saja , tidak lepas dari apa yang dipersepsikan para fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Mereka sering “dilihat” sebagai orang yang cenderung “kritis” dalam konteks destruktif dan membahayakan. Tidak jarang mereka “dimatikan” proses berpikirnya disebabkan persepsi tersebut. Kegiatan-kegiatan yang direncanakan mereka sering dilihat sebagai usaha pemberontakan terhadap pihak-pihak yang berwenang dan pembuat kebijakan. Dengan segala cara, rencana kegiatan yang disusun dicobabekukan agar kegiatan itu sebisa mungkin tidak terlaksana. Berdasarkan fenomena di atas, penulis berusaha mengembalikan proporsi berpikir kreatif dan kritis mahasiswa dalam persepsi dan proporsi yang 1
semestinya. Sebagai fungsionaris, mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang akan “diminta” memikirkan kemajuan dari bangsa ini. Mereka akan terus “dituntut” menggali kedalaman perkembangan fenomena yang terjadi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mereka mampu mengimplementasikan “permintaan” dan “tuntutan” tersebut jika proses berpikir mereka “dibekukan” dari awal. Dengan stimulasi kegiatan berpikir kreatif dan kritis, mereka akan tetap menyelematkan proses berpikir tersebut. Kreativitas tidak akan luntur dari storage mereka karena ide dan gagasan terbaru akan sering muncul. Namun demikian, merefleksikan apa yang dialami mereka, ide dan gagasan kreatif seperti apa yang sebaiknya diimplementasikan. Kemudian, ide dan gagasan kreatif seperti apa yang mendorong munculnya pikiran kritis yang berguna dan konstruktif. Pertanyaanpertanyaan inilah yang menjadi hulu permasalahan dalam pengabdian ini. Bentuk pengabdian ini kemudian telah diimplementasikan penulis dalam bentuk pelatihan guna, pertama, mengembalikan persepsi kritis yang baik bagi fungsionaris, dan kedua, mendalamkan dan melembagakan berpikir kritis dalam bentuk karya kreatif berupa cerita yang bisa dipresentasikan di media, bagi para fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.
1.2
Identifikasi Dan Perumusan Masalah
Berdasarkan analisis situasi di atas, permasalahan yang akan dirumuskan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah “bagaimanakah peningkatan keterampilan menulis cerita kritis bagi fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang?”
1.3
Tujuan Kegiatan
Tujuan kegiatan ini adalah memberikan pelatihan pengembangan keterampilan menulis kreatif kritis bagi fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang sehingga fungsionaris BEM FBS tersebut dapat terampil menulis cerita kritis di samping mereka juga mengembangkan kreativitas dalam bentuk yang lain. Selain itu, kegiatan ini
2
dilaksanakan untuk menggugah dan menggiatkan mereka melakukan kegiatan menulis secara berkelanjutan dan dapat dijadikan bekal mereka dalam menjalankan kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
1.4
Manfaat Kegiatan
Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini antara lain: 1.
Bagi fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan secara umum, kegiatan ini dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan menulis cerita kritis secara konsisten dan berkelanjutan, yang dapat menjadi kontributor dalam kegiatankegiatan seni dan penulisan.
2.
Bagi guru, kegiatan ini mampu memberikan alternatif lain dan model dalam pembelajaran bahasa.
3.
Bagi khalayak umum, kegiatan ini dapat memberikan gambaran dan kontribusi lain dalam berkreasi dan berapresiasi dalam bidang seni, khususnya menulis cerita yang kritis.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Banyak hal yang dapat diketahui dalam membahas topik pengabdian kepada masyarakat ini. Berpikir kritis dan menulis kreatif berupa cerita merupakan kesatuan entitas yang saling melengkapi. Sifat yang demikian ini menyebabkan dinamika-dinamika bahasa yang luas. Bahasan-bahasan tersebut antara lain akan dijabarkan dalam hal-hal berikut:
2.1
Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan sebuah usaha yang sering diinginkan setiap orang. Orang berusaha mengeluarkan biaya untuk belajar bagaimana berpikir kritis. Hal ini, tentu saja, membuat orang harus mengeluarkan ekstra-penganggaran bagi dirinya sendiri. Yang menjadi pertanyaan mendasar orang ingin belajar dan mempunyai pemikiran kritis adalah apa yang menjadi definisi berpikir kritis itu dan bagaimana pengimplementasiannya. Berpikir kritis merupakan kegiatan berpikir secara jelas dan rasional (lihat Lau, 2011:1). Berpikir secara jelas merupakan implementasi dari hasil berpikir secara gamblang. Manusia cenderung akan berpikir berdasarkan subjektivitasnya tanpa melihat objektivitas hal yang dilihatnya. Subjectivitas menjadi sebuah penghalang munculnya kejelasan dari hal yang dilihatnya. Ketidakmunculan kejelasan tersebut, tentu saja, akan memercikkan irasionalitas. Hal ini menjadi penanda ketidakrasionalan cara berpikir manusia. Cara berpikir manusia dipengaruhi oleh kemampuannya untuk berpikir secara tepat dan tanpa bermasalah. Berpikir secara tepat merupakan kebutuhan mendasar berpikir kritis. Setelah manusia mampu memenuhi kebutuhan dasar berpikir tersebut, ia membutuhkan kemampuan berpikir secara sistematis. Artinya, manusia memenuhi kebutuhan berpikirnya dengan melakukan usaha yang dimanifestasikan dalam kegiatan berpikir secara tepat dan sistematis. Selain kedua hal tersebut, berpikir kritis melibatkan kemampuan untuk mengikuti aturan logika dan berpikir secara ilmiah (bdk Lau, 2011:1). Logika merupakan
4
kemampuan berpikir dengan melakukan pemaknaan yang praktis. Logika, menurut Lau (2011:59), mengintikan pada konsistensi dan deduksi. Kedua hal tersebut sangat dibutuhkan dalam berpikir kritis. Konsistensi dalam menjalani pilihan dan pemikiran merupakan satu prasyarat yang ada dalam usaha berpikir kritis. Konsistensi dapat dicapai jika manusia dapat menghindari pernyataan yang bersifat inkonsisten. Pernyataan yang inkonsisten ini sering digunakan orang yang tidak berusaha untuk mengungkapkan arti kata dalam pernyataan yang tidak lengkap. Dengan kata lain, konsistensi dapat diwujudkan jika orang dapat menspesifikasi
setiap
arti
kata
dalam
pernyataannya
sehingga
usaha
mengkategorikan arti kata menjadi jalan ia untuk berpikir secara logis dan konsisten (bdk. Lau, 2011:61). Seorang pemikir kritis setidaknya, menurut Lau (2011:2), memliki kriteria-kriteria sebagai berikut: 1) ia memahami koneksi logis antaride; 2) ia memformulasikan ide secara tepat; 3) ia mengindentifikasi, mengkonstruksi, dan mengevaluasi argumen-argumen; 3) ia mengevaluasi pro dan kontra sebuah keputusan; 4) ia dapat menganalisis masalah secara sistematis; 5) ia mampu mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide; 6) ia dapat merefleksikan dan mengevaluasi keterampilan berpikir dirinya dan orang lain. Dengan kata lain, seorang yang mengaplikasikan berpikir kritis akan menganggap penting kemampuan
ini
dalam
mengkomunikasikan
ide,
membuat
keputusan,
menganalisis, dan menyelesaikan permasalahan. Berpikir kritis juga mampu memberikan kontribusi mutualisme proses refleksi dan transformasi diri. Berpikir
kritis
secara
baik
membutuhkan
dan/atau
merupakan
keterampilan kognitif. Secara umum, mengembangkan keterampilan ini membutuhkan, setidaknya, tiga syarat, yakni: membaca teori berpikir kritis, mengaplikasikan dalam
praktiknya, dan mengadopsi
sikap
yang baik.
Mempelajari teori ini adalah mempelajari aturan-aturan dan fakta-fakta yang harus diketahui untuk memiliki keterampilan tersebut. Mengaplikasikan dalam praktik berarti menyeimbangkan apa yang diketahui dari teori ke dalam praktik berkehidupan sehari-hari. Dan, dari aplikasi tersebut, sikap yang dimunculkan
5
akan menjadi sikap yang terpuji dan berbeda jika aplikasi itu dilakukan secara efektif dan berkelanjutan (bdk. Lau, 2011:3-4). Usaha untuk memiliki keterampilan berpikir kritis ini akan dilakukan secara terus menerus dan menjadikannnya sebuah kebiasaan. Kebiasan yang dilembagakan ini nantinya akan mengarahkan sikap dan perilaku orang untuk memanifstasikan dalam bentuk karya kreatif.
2.2
Berpikir Kreatif
Banyak orang berpikir bahwa kreativitas hanya milik beberapa kalangan. Manusia membutuhkan kreativitas untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam rutinitas berkegiatan dan kesehariannya. Lau (2011:216) mengungkapkan bahwa ide baru tidak begitu saja muncul dengan sendirinya. Kreativitas sebagai manifestasi ide baru
membutuhkan pengetahuan. Kreativitas tidak hadir dari
ruang hampa. Imaginasi manusia bergantung sebagian pada apa yang diketahuinya. Lau (2011:216-7) menambahkan bahwa kreativitas itu didorong oleh peran penting berpikir kritis. Setidaknya, peran penting tersebut adalah, pertama, orang menggunakan berpikir kritis untuk menganalisis masalah dan mengidentifikasi batasan solusi yang ada. Proses kreatif yang aktual melibatkan uji coba. Berpikir kritis yang baik memampukan manusia untuk belajar dari kesalahan mereka dan menyelesaikan permasalahan mereka secara efisien. Banyak manusia berpikir bahwa kreativitas adalah proses menunggu datangnya inspirasi dan biasanya inspirasi itu untuk para jenius bukan orang biasa. Hal ini yang disalahpahami orang. Kreativitas, jika dilihat dari sejarah orang-orang jenius di muka bumi ini, lahir dari kerja keras dan disiplin. Mozart sebagai contoh. Bakat ini tidak lahir dengan sendirinya. Ayahnya sudah mengajarkan ia musik sejak ia masih kanakkanak hingga usia 28 tahun. Tangannya, tentu saja, bukan bakat yang terberikan, tetapi merupakan hasil dari praktik bermain musik dan mencipta lagu yang konstan. Dedikasi dan kerja kerasnya menghasilkan database pengetahuan musik dan ide-ide Mozart yang dapat mencipta dan mencipta musik lagi.
6
Orang kreatif, menurut Lau(2011:217) biasanya rajin, disiplin, dan sangat fokus. Kebanyakan dari mereka adalah mereka yang mempunyai rutinitas bekerja sehari-hari yang dengan sabar harus dijalani. Etis bekerjanya dimotivasi dan diberlanjutkan oleh hasrat bekerja yang dimiliki mereka. Hal ini memunculkan keinginan untuk melakukan apa yang dicintai dan berusaha berada dalam lingkungan yang membuat mereka produktif. Lau (2011:218) menambahkan bahwa ada setidaknya empat prosedur siklus kreativitas yang dapat ditengarai ada di dalam diri manusia, yaitu: 1) Persiapan. Usaha pertama yang dilakukan adalah mulai dari mengumpulkan data. Pada tahap ini, orang bisa pergi ke perpustakaan, berdiskusi dengan teman, mencari di situs, dan sebagainya. Usaha selanjutnya adalah menyimpan data itu di tempat yang mudah diakses kapan saja. Efek dari tahap ini adalah seringnya orang tidak sabar untuk membuat penemuan walaupun data belum begitu cukup. 2) Eksplorasi Pada tahap ini, orang mulai menganalisis dan mendalami apa yang sudah dikumpulkan. Ia mencoba mengklasifikasi material, mengenali mereka, melihat mereka dari sudut pandang berbeda, mencoba menghubungkan ide-ide, dan menarik kesimpulan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menggunakan koneksi untuk memunculkan ide-ide yang baru dan bermanfaat. 3) Inkubasi Tahap ini meminta orang untuk meninggalkan sejenak permalahan yang sedang dihadapi, melakukan relaksasi, melupakan apa yang sedang dilaksanakan, dan hanya menunggu. Hal ini dilakukan karena tidak jarang orang bisa menyelesaikan masalah setelah semalam melupakan sejenak untuk tidur, dan idenya muncul pada pagi harinya. Faktanya, tidur dapat meningkatkan kreativitas. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa tidur memberikan
kesempatan
pikiran
7
bawah
sadar
untuk
berkerja
menyelesaikan
permasalahan
itu.
Selain
itu,
kegiatan
ini
bisa
memunculkan hal yang baru. 4) Verifikasi Ketika orang mendapatkan ide yang menjanjikan, ia perlu mencek apakah ide itu bisa berhasil atau bisa diubah dan diperbaiki di kemudian hari. Hal ini membutuhkan usaha untuk mengkaji kembali apa yang sudah dipikirkan. Walaupun, ketika ia sudah mendapatkan solusi dari permalasahannya, ia tetap harus mereview seluruh proses kreatif untuk melihat bagaimana ia dapat mengulangi sebuah kesuksesan. Siklus inilah yang menstimulasi pikiran untuk terus berkreasi, dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik, jika orang memilih untuk tergesa-gesa memutuskan suatu hal tanpa melihat kembali ide-ide yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Kesabaran menjadi salah satu impliedmeaning yang dicapai dalam menciptakan kreativitas, dan pelembagaan aktivitas ini menjadi sebuah tuntutan.
2.3
Menulis Kreatif/Cerita
Menulis kreatif merupakan usaha untuk menghasilkan produk dari sebuah usaha panjang dan kerja keras yang dilembagakan. Salah satu kegiatan menulis kreatif adalah menulis fiksi. Sumber terbaik menulis fiksi adalah pengalaman. Pengalaman bisa merupakan pengalaman pribadi penulis fiksi maupun pengalaman yang dialami orang lain (lihat Novakovich, 2003:7). Novakovich (2003:7) memberikan contoh penulis Rusia, Nikolai Gogol. Gogol menulis ceritanya yang terkenal, “Overcoat”, berdasarkan sebuah lelucon yang ia dengar dalam sebuah pesta jamuan makan malam. Seseorang yang miskin menabung selama bertahun-tahun untuk membeli senapan berburu, dan sebelum ia dapat menggunakannya untuk berburu, seseorang mencuri senapannya. Gogol, seorang yang rasa humornya lebih tinggi daripada orang lain di pesta itu, satusatunya orang yang tidak tertawa saat mendengar cerita tersebut. Ia merasa tersentuh dan kasihan pada orang itu. Dia pulang dan menuliskan sebuah cerita berdasarkan cerita sedih itu tentang seorang pegawai kantoran yang menabung
8
sedemikian lamanya untuk membeli sebuah jas. Saat ia membeli jas tersebut, jas itu kemudian dicuri orang, dan orang itu sangat terpukul, sementara orang lain tertawa dan mengolok-oloknya. Gogol mengubah sebuah kejadian nyata menjadi fiksi. Ia tidak menggunakan senapan, tetapi menggantinya dengan jas. Ia tidak bercerita tentang kegiatan berburu, tetapi tentang pegawai kantoran. Dia pernah bekerja sebagai kantoran sehingga bisa memasukkan hal-hal realistis ke dalam ceritanya. Olokolok dan hinaan yang muncul dalam ceritanya mungkin diambil berdasarkan perilaku orang-orang dalam pesta tersebut yang menertawakan orang yang membeli senapan berburu itu. Seorang penulis fiksi mampu menggunakan pengalamannya
dan
pengalaman
orang
lain
dalam
karyanya.
Saat
ditransformasikan oleh khayalan penulis, bahkan perincian yang realistis pun, seperti yang diambil Gogol dari pengalamannya saat menjadi pegawai kantoran, dapat menjadi sebuah fiksi (Novakovich, 2003:8). Novakovich (2003:11) menambahkan bahwa akan selalu ada percampuran antara hal yang nyata dan ciptaan dalam menulis fiksi. Tobias Wolff bercerita tentang sumber cerpennya “Firefly”. Ia menceritakan bahwa hal yang mendorongnya untuk menulis cerita ini adalah inti yang emosional, yakni perasaan berada di luar lingkaran cahaya, perasaan yang bukan hanya ia sendiri yang merasakannya. Artinya, Hal ini merupakan perasaan yang, menurut Wolff, sungguh buruk sehingga saat orang berada di tempat yang mereka inginkan, mereka tetap menjauhi keceriaan, mulai merasa ketakutan akan diusir, dan merasa kehilangan. Wolff menggunakan pengalaman emosionalnya sebagai inti sebuah cerita yang bersifat fiksi dalam berbagai hal lainnya. Hal ini merupakan cara baik untuk memadukan fakta dan fiksi. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menulis kreatif bisa dimulai dari saat dan kondisi apa pun, baik yang menjadi pengalaman dan bukan pengalaman dari seorang penulis kreatif. Mereka akan terus menggali, dengan segala cara, bahan yang menstimulasi pikiran kritis dan kreatif mereka, dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk tulisan karya. Kemampuan menulis kreatif ini tidak akan bisa dilepas dari proses pengalaman membaca sastra.
9
2.4
Membaca Sastra
Sebuah pertanyaan dasar yang sering muncul adalah mengapa selalu ada karya sastra. Jawaban mendasar dari pertanyaan itu adalah karena karya sastra diperlukan oleh manusia. Seorang pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile, dalam tulisannya berjudul Ars Poetica, yang artinya sastra mempunyai fungsi ganda. Fungsi tersebut adalah sastra itu menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya (lihat Budianta, dkk. 2002:19). Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan, atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, misalnya, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Di sini karya sastra diibaratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan. Akan tetapi, “potret” itu berbeda dengan cermin, karena sebagai kreasi manusia. Di dalam sastra, terdapat pendapat dan pandangan penulisnya, dari mana dan bagaimana ia melihat kehidupan terebut. Gagasangagasan yang muncul ketika menggambarkan karya sastra itu dapat membentuk pandangan orang tentang kehidupan itu sendiri (Budianta, 2002:19-20). Pertanyaan yang selanjutnya, yang sering muncul, adalah mengapa orang membaca sastra. Sastra, berupa cerita, puisi, dan drama, memampukan kita untuk menikmati berbagi pikiran dan pengalaman tokoh-tokoh yang menarik. Tokoh cerita dapat ditemui seperti bertemu dengan orang dalam keseharian manusia. Pembaca bisa diajak berpergian di tempat yang ia belum pernah dikunjungi memalui tokok cerita. Dengan kata lain, melalui sastra, pembaca dapat menikmati petualangan, tantangan, dan kemenangan baru (Enjoying Literature, 1987:1). Orang menulis sastra karena mereka ingin mengungkapkan sesuatu tentang kehidupan. Pembaca membaca sastra sebagai cerminan untuk melihat mereka secara lebih baik dan memahami apa yang diketahui. Dan, pemahaman ini merupakan salah satu sumber penikmatan sastra (Enjoying Literature, 1987:1).
10
Argumentasi, pendapat, bahasan di atas inilah yang menjadi landasan berpikir dan kerangka teoretis untuk menggali lebih dalam pengabdian ini dan sekaligus membatasi ruang lingkup pengabdian kepada masyarakat ini.
11
BAB III MATERI DAN METODE PELAKSANAAN Dalam bab ini, diuraikan materi dan metode pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Materi dan metode pelaksanaan ini menjabarkan kerangka pemecahan masalah, realisasi pemecahan masalah, khalayak sasaran, dan metode pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini. 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah Berdasarkan perumusan masalah di atas, hal yang telah dilakukan adalah pelatihan menulis kreatif kritis. Ada beberapa materi yang telah disampaikan, yakni: bagaimana konsep menulis kreatif/cerita dan kritis, bagaimana teknik menulis cerita dan kritis, dan bagaimana mempresentasikan tulisan dalam media-media yang dapat diakses khalayak ramai. Peserta pelatihan berjumlah keseluruhannya kurang lebih 20 fungsionaris BEM FBS. Alur kerangka dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian ini, yaitu: Pengabdi
Modelling
How to write a story
How to use some techniques on creative and critical writing of story
How to present a writing in media
Fungsionaris BEM FBS Unnes
Presenting Creative and Critical Writing of Story in Media
12
3.2 Realisasi Pemecahan Masalah Realisasi pelaksanaan pengabdian pada masyarakat ini dilaksanakan sesuai dengan urutan kerangka pemecahan masalah. Kegiatan Pengabdian ini dilaksanakan 4 kali, yakni pada tanggal 17 Mei 2014, 24 Mei 2014, 31 Mei 2014, dan 7 Juni 2014. Selama pelaksanaan, tim pelaksana kegiatan juga melakukan evaluasi. Bentuk evaluasi sebagai berikut: 1. Evaluasi dilakukan sebelum, selama, dan setelah kegiatan pengabdian berlangsung 2. Bentuk evaluasi adalah observasi 3. Kriteria keberhasilan kegiatan ini dijabarkan dalam indikator sebagai berikut: a) Peserta dapat memilih cerita yang berkualitas menurut mereka, dan cerita yang memiliki nilai-nilai yang berguna bagi mereka dan masyarakat, b) Peserta dapat mengkritisi cerita sesuai dengan pembacaan secara kritis, c) Peserta dapat menjadikan cerita tersebut sebagai model menulis kreatif dan kritis d) Peserta dapat menulis cerita sebagai tulisan kreatif dan kritis. 3.3 Khalayak Sasaran Khalayak sasaran antara yang strategis dari kegiatan ini adalah para fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang berjumlah kurang lebih 20 orang. Khalayak sasaran antara dipandang perlu untuk mendapatkan pelatihan karena 1.
Berdasarkan relevansi bidang pendidikan bahasa dan sastra, khalayak sasaran menginginkan untuk diberi pelatihan untuk mengembangkan keterampilan menulis cerita kritis mereka dan kualitas diri sebagai generasi penerus bangsa.
13
2.
Berdasarkan survei informal bahwa fungsionaris BEM FBS sering dipandang kreatif dan kritis bukan dalam bidang menulis. Mereka sering mendapatkan cibiran dari bentuk kreativitas dan kekritisan mereka.
3.4 Metode Kegiatan Metode yang telah diterapkan dalam kegiatan ini berupa ceramah, workshop, dan presenting in media. 1. Ceramah Metode ini diterapkan untuk menyampaikan materi kegiatan yang meliputi: 1) How to read an English story as creative writing; 2) How to understand a creative writing; 3) How to build critical thinking; 4) How to write creative and critical writing. 2. Workshop Metode workshop diterapkan untuk memberikan model dan langkahlangkah dalam membaca, memahami, menstimulasi, dan menulis teks cerita kritis sehingga peserta dapat menguasai keterampilan menulis yang kreatif dan kritis. 3. Presenting in media Metode
ini
diterapkan
untuk
memberikan
kesempatan
peserta
mempertunjukkan hasil keterampilan menulis cerita yang kreatif dan kritis dalam media majalah dinding kampus dan/atau media kampus lainnya.
14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan bercerita bahasa Inggris
sesuai
dengan
teknik
bercerita
bahasa
Inggris
(storytelling),
menampilkannya, telah mencapai hasil yang memuaskan. Hasil yang dicapai dapat dikategorikan ke dalam jenis: (1) peningkatan pengetahuan menulis cerita dalam bahasa Inggris, (2) peningkatan penguasaan teknik menulis cerita bahasa Inggris yang kritis dan kreatif, dan (3) pemuatan cerita dalam media. 4.1
Peningkatan Pengetahuan Menulis Cerita Dalam Bahasa Inggris
Setelah dilakukan kegiatan pelatihan, keterampilan menulis kreatif yang kritis fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peserta yang berjumlah kurang lebih 20 orang, sebagian besar di antaranya telah mampu menulis kreatif yang kritis dalam bahasa Inggris. Kemampuan para peserta pengabdian ini dilatih dengan memberikan pengetahuan tentang menulis kreatif yang kritis dalam bahasa Inggris. Pemberian pengetahuan menulis kreatif dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam kegiatan pelatihan ini adalah adalah memberikan model tulisan kreatif, membaca, dan memahami isi tulisan tersebut. Pada awalnya, peserta pengabdian diberikan beberapa model tulisan kreatif berbahasa Inggris. Model-model tersebut diambilkan dari cerita pendek berbahasa Inggris, seperti The Nightingale and the Rose ditulis oleh Oscar Wilde, The Looking Glass ditulis oleh Anton Checkov, and The Story of an Hour ditulis oleh Kate Chopin. Ketiga cerita pendek tersebut diberikan kepada peserta untuk dibaca sebagai usaha brainstorming bagi mereka. Para peserta secara baris per baris diminta membaca cerita tersebut secara bergantian. Ketika mereka membaca, penulis sembari berusaha membetulkan pengucapan pelafalan bunyi bahasa Inggris para peserta. Setelah peserta membaca dengan pelafalan yang benar sesuai dengan pelafalan bunyi bahasa Inggris yang distandarkan, mereka diminta untuk menerjemahkan secara sekilas (at a glance)
15
kata-kata yang dibacanya. Kegiatan ini terkesan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
(Gambar 1: Penulis mencoba menyimak proses membaca cerita peserta, membetulkan pelafalan bunyi bahasa Inggris sesuai dengan yang distandarkan, dan membantu peserta memahami isi dan jalan cerita) Kegiatan untuk memahami isi dan jalan cerita ini membutuhkan waktu satu pertemuan dengan durasi dua jam lebih. Dengan perbedaan kebiasaan membaca cerita pendek berbahasa Inggris ini, penulis ditunjukkan proses pembacaan untuk pemahaman yang bervariasi. Kegiatan ini merupakan kegiatan awal yang dijadikan model menulis kreatif yang kritis. Peserta diajak secara langsung menyelami apa yang terjadi di dalam cerita-cerita tersebut sehingga mereka mendapatkan pesan apa yang ingin disampaikan
oleh
penulis
cerita-cerita
tersebut.
Mereka
kemudian
mendiskusikannya secara berkelompok.
(Gambar 2: Situasi ketika para peserta sedang berdiskusi secara kelompok)
16
Diskusi yang dilakukan peserta ini masih merupakan kegiatan brainstorming. Mereka mendiskusikan pesan dan/atau kandungan yang ada di cerita-cerita tersebut. Aktivitas ini kemudian diakhiri dengan pemaparan hasil pembacaan mereka perkelompok. Peserta saling bertukar pendapat mengenai hasil pembacaan perkelompok mereka masing-masing. Dengan kata lain, hasil pembacaan inilah yang menjadi point to depart mareka untuk mengembangkan ide-ide kreatif dalam penciptaan tulisan kreatif yang kritis. Melalui hasil pembacaan dan diskusi ini, para peserta dipancing dan saling memancing dengan pertanyaan kritis terhadap cerita yang dibaca. Sebagai contoh, ketika mereka membaca The Nightingale and the Rose, mereka saling mendiskusikan why did the nightingale do sacrifice for students?, what was the main reason behind that?, what did it get from the student?, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan hasil dari pemikiran kritis peserta sebagai model untuk membangun ide cerita kritis bagi cerita mereka. Indikator dari meningkatnya pengetahuan mereka tentang menulis kreatif kritis berbahasa Inggris adalah dengan penguasaan atau peningkatan kemampuan peserta memunculkan pertanyaan kritis terhadap kandungan yang ada di dalam cerita sebagai penemuan ide-ide kritis kreatif yang dijadikan bangunan dasar dalam menulis kreatif kritis berbahasa Inggris. Kemampuan bertanya dan mempertanyakan merupakan pemicu awal memunculkan daya kritis pembacaan yang berelasi dengan meningkatnya kemampuan menulis kreatif kritis bagi peserta pengabdian ini, mengingat peserta masih dalam keadaan mengaplikasikan kemampuan keingintahuan yang cukup besar.
4.2
Peningkatan Penguasaan Teknik Menulis Cerita Bahasa Inggris yang Kritis dan Kreatif
Pertemuan kedua merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya. Jika dalam pertemuan pertama, peserta diberikan cerita-cerita pendek berbahasa Inggris, untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis kritis dalam menemukan ide-ide kritis cerita, pada pertemuan ini peserta diberikan
17
pengetahuan mengenai apa cerita pendek itu, elemen-elemen pembentuknya, dan bagaimana menyusun eleman-elemen tersebut menjadi sebuah jalinan cerita. Pada awalnya, peserta diperkenalkan oleh penulis mengenai konsep apa itu short story. Secara definisi, short story merupakan a brief work of fiction where, usually, the main character faces a conflict that is worked out in the plot of the story. Penulis mengajak peserta dengan mencermati secara kritis definisi ini. Sebagai contoh, pada definisi tersebut dituliskan the main character faces a conflict. Penulis mengajak peserta menengarai bahwa di dalam short story tokoh utama menghadapi satu konflik saja. Artinya, secara kritis, penulis mengajak peserta untuk menandai bahwa di dalam membuat sebuah cerita pendek, peserta menentukan sebuah konflik untuk tokoh utama. Dengan kata lain, cerita itu disusun setidaknya ada satu konflik yang harus diselesaikan oleh tokoh utama. Dengan demikian, Daya kritis peserta dipicu dengan menengarai tanda-tanda yang menjadi determiner cerita itu disusun. Setelah peserta dipancing daya kritisnya melalui penandaan secara kritis memahami definisi cerita pendek, peserta diajak untuk mengeksplorasi bagaimana tokoh di dalam cerita dibentuk. Beberapa teknik yang digunakan, antara lain: (1) menyajikan tema yang dielaborasikan; (2) mengenali dan menentukan tipe-tipe tokoh dalam cerita; (3) mengembangkan bagaimana tokoh itu diciptakan dan ditumbuhkembangkan secara langsung maupun tidak langsung oleh penulis cerita; (4) menyuguhkan konflik dan solusinya dan menyusunnya ke dalam sebuah plot; (5) memberikan aktualisasi pemancingan daya kritis pembaca, seperti memberikan bahasa-bahasa majas, simbol, dan citra. Teknik-teknik yang dicobaperkenalkan dalam pembuatan tulisan kreatif kritis para peserta tersebut di atas merupakan teknik mengembangkan cerita. Pada pertemuan selanjutnya, penulis memberikan contoh atau model cerita yang disusun oleh penulis. Berikut ini cerita tersebut.
When The Blood Pressure Attacks Before I learned that I had High-Blood Pressure, I lived my life as if I had all the time in the world to get things done. In fact, my life was a series of unfinished projects. There was a research I had started a year ago. There was not much
18
more to do, just the final third. Yet there was not enough of it completed for me to accomplish. So what if the head of department was furious with me for not completing it? There was no rush. Then, there was a book I had started three years ago. I had finished two years ago but had stopped it for many unimportant reasons and raise a family. I had always planned to finish this book, but I still had not done the analysis and I had always been lazy to search references in the library. There was not any need to rush, I thought. I had all the time in the world. And then, there was the trip I was going to take with my children. I had been thinking about that for two years, but somehow it just never seemed to happen. So what, I thought. There was always next year. When my doctor told me the result of all the tests, I was sure my illness was fatal and certain that I was going to die. He told me, “Sir, I don’t know if I want to say this.” This sentence had killed me, I felt. One of my first realizations was that I would be leaving behind me so much that was unfinished. I told my friends that the inscription on my tombstone should read “Grade of Incomplete”. That summed up my life, and I regretted my delays and excuses. I wished that I had more time to do it all over again the right way. But, deep inside I felt such a wish was useless. I imagined recourse but to spend my remaining months in gradual state of deterioration, too weak, too sick, and too absorbed in my dying to do much else. I cried a lot and felt very sorry for myself. After the therapy to control and decrease the pressure, my therapist told me that I was cured. At first, I did not believe him. I thought he was humoring me, stringing me along because he wanted me to be happy in my final months. Gradually, though, I began to believe that he was telling me the truth and that I did intend have a life ahead of me. Because I did not want my brush with dead simply to become a bad memory, I started to change the way I ran my life. I finished the research project this year. Then, I went to the library to find references to final analyses in my book. Most important of all, my family and I took that vacation we had always talked about. We took another one in the last long school holiday, too. At the end of three years, I realized that I had rebuilt my life’s patterns. Now each day is more fulfilling than the last. That was something I could not say before the day that high-blood pressure struck.
Penulis mencoba memberikan model cerita ini untuk dijadikan bahan imitasi yang akan dikembangkan oleh peserta. Tema yang diajukan untuk menulis kreatif kritis ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman pribadi yang pernah dialami oleh peserta. Pengalaman pribadi itu menjadi bahan dasar menentukan konflik dan pengembangannya. Tokoh yang diciptakan adalah tokoh representasi “aku” peserta masing-masing. Pertemuan ketiga dilaksanakan untuk mengembagkan cerita melalui konflik seperti model di atas. Dalam pertemuan ini peserta diminta menemukan 19
permasalahan-permasalahan yang dialami sebagai pengalaman masa lalunya. Dari permasalahan inilah, konflik cerita secara kritis dikembangkan. Pengembangan konflik ini merupakan ajang awal mengimplementasikan daya kritis peserta. Peserta diminta penulis mengemukakan masalah yang pernah dialami. Sebagai contoh, ada peserta yang menuliskan masalahnya adalah lazy to do what he has planned because something, having no similar perception with his parent, dan feeling
unconfident.
Permasalahan-permasalahan
di
atas
inilah
yang
dikembangkan menjadi konflik dalam sebuah cerita. Tentu saja, pengembangan cerita didramatisasi dengan pemikiran kritis penulis cerita. Sebagai contoh, pengembangan permasalahan di atas adalah I have many planning that I’ve thought it seriously. From planning to bu something, to do anything, to come to friends, to take a journey, until to get a girlfriend. But not all my planning can be completed because I can’t focus to one planning. In my thinking, all of my planning must be completed rightly. Because I thibk that profesionalization is able to do all things. Besides that, somethimes the planning that I’ve thought isn’r correlate with the parent’s will. It very makes me confuse to choose between staying doing my planning or following what my parent’s decision. But, often I stay doing my planning although parent doesn’t agree. Not stopped till that, in some planning or willing, I can’t be confident to do that, somehow I feel less or feel that I can’t do that, or I feel the others are very and many problems make me unconfident. So, I just plan it without do it (M. A. Himawan Akbar). Penggalan tulisan di atas menunjukkan penegembangan ide atau permasalahan secara kritis. Kritis
yang dilakukan peserta tersebut
adalah berusaha
mempertanyakan pemikirannya sendiri dan tidak berusaha menyalahkan orang lain, dalam hal ini orangtuannya. Hal-hal semacam inilah yang menjadi produk dari pengembangan teknik-teknik untuk menulis kreatif yang kritis.
4.3
Pemuatan Cerita dalam Media
Tulisan kreatif kritis yang di buat mereka merupakan hasil penuangan pemikiran kritis para peserta ke dalam tulisan kreatif berbentuk cerita pendek. Tokoh cerita yang diciptakan menggunakan sudut pandang orang pertama. Tokoh “aku” dikembangkan
dalam
menjalani
konfliknya
sampai
pada
mensolusikan
permasalahannya. Tulisan kreatif mereka ini sebagai cikal dasar mengisi kolom20
kolom dalam media. Pertemuan pengabdian terakhir adalah memodifikasi hasil tulisan kreatif kritis mereka menjadi layak tampil di media. Media yang digunakan dalam pengabdian ini, disebabkan keterbatasan pelaksana pengabdian dalam membuat media cetak, adalah media wall magazine (majalah dinding) yang ada di kampus. Peserta berusaha menmodifikasi tulisan mereka menjadi bentuk yang artistik dan estetik yang dapat dipajang di wall magazine.
(Gambar 3: Hasil tulisan peserta yang ditempelkan pada wall magazine di kampus) Media di atas merupakan media komunikasi yang efektif untuk berbagi ide kritis dan penularan kemampuan tersebut bagi khalayak ramai. Peserta menggunakan media ini, untuk ke depannya, melakukan hal tersebut di atas. Secara reguler, peserta diharapkan dapat mengganti isi dari wall magazine tersebut dengan tulisan-tulisan kreatif kritis yang lain. Melalui pemuatan tulisan kreatif kritis dalam media tersebut, peserta ditantang untuk terus berinovasi dalam menelurkan ide-ide kreatif dan mengembangkan kemampuan kritisnya. Mereka akan tertantang untuk membuat pembaruan-pembaruan konten cerita yang bisa diambil dari permasalahan pribadi mereka sampai permasalahan yang dialami orang lain ke dalam bingkai kreativitas menulis. Di samping itu, penulisan hasil galian permasalahan dalam bentuk tulisan kreatif dapat
mengkamuflasekan fakta-fakta
yang diambil
dari
permasalahan orang. Peserta dalam melakukan itu dengan menciptakan tokoh rekaannya.
Namun
demikian,
peserta
terus
melakukan
pengembangan-
pengembangan ide dan alur cerita dengan bertanya secara kritis terhadap permasalahan atau konflik yang diciptakan dalam tulisan kreatif tersebut.
21
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, hal yang dapat disimpulkan adalah peningkatan kemampuan menulis kreatif kritis peserta pengabdian dapat diukur dari meningkatnya (1) pengetahuan mereka tentang menulis kreatif kritis berbahasa Inggris adalah dengan penguasaan atau peningkatan kemampuan peserta memunculkan pertanyaan kritis terhadap kandungan yang ada di dalam cerita sebagai penemuan ide-ide kritis kreatif yang dijadikan bangunan dasar dalam menulis kreatif kritis berbahasa Inggris, (2) menggunakan teknik-teknik penulisan kreatif, berbentuk cerita pendek, untuk mengembangkan permasalahan menjadi konflik secara kritis dalam mendeskripsikan dan mendramatisasi cerita melalui model yang diberikan penulis, (3) kemampuan untuk memodifikasi tulisan mereka menjadi karya artistik dan estetik sehingga dapat secara reguler ditampilkan dalam wall magazine di kampus. Hal-hal inilah yang menjadi daya pembeda penuangan kemampuan kritis fungsionaris BEM Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang selama ini banyak dipersepsikan oleh civitas akademika universitas.
5.2
Saran
Hasil dari pembahasan di atas mengindikasikan bahwa kegiatan pelatihan menulis kreatif kritis bagi fungsionaris BEM Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semrang ini dapat dilaksanakan dan menghasilkan nilai-nilai pembeda terhadap persepsi tentang para fungsionaris. Mereka lebih tertantang untuk terus berkarya dan menampilkannya dalam media sehingga bisa menularkan ide kreatif kritisnya kepada yang lain. Teknik-teknik ini nantinya akan menjadi sarana untuk belajar
22
bahasa Inggris dengan penguasaan teknik bercerita yang kritis. Dengan demikian, disarankan
agar
kegiatan
pelatihan
berkesinambungan.
23
seperti
perlu
dilaksanakan
secara
DAFTAR PUSTAKA Budianta, Melani. 2002. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera Lau, Joe Y.F. 2011. An Introduction to Critical Thinking and and Creativity: Think More Think Better. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Macmillan Literature Series. 1987. Enjoying Literature. New York: Scribner Educational Publishers Macmillan Novakovich, Josip. 2003. Berguru kepada Sastrawan Dunia: Buku Wajib Menulis Fiksi. Terjemahan Fahmy Yamani. Bandung: Kaifa
24
25
Lampiran 1 Surat Kontrak Pengabdian
27
28
29
Lampiran 2 DAFTAR HADIR PESERTA
30
31
32
33
Lampiran 4 MATERI KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Short Story Terms What is a Short Story? • A short story is : a brief work of fiction where,
usually, the main character faces a conflict that is worked out in the plot of the story
Character • •
Character – a person in a story, poem or play. Types of Characters:
• • • •
Round- fully developed, has many different character traits Flat- stereotyped, one-dimensional, few traits Static – Does not change Dynamic – Changes as a result of the story's events
Characterization •
How the author develops the characters, especially the main character.
•
This is done through:
• • •
what the character does or says what others say of and to the character author’s word choice in descriptive passages
Characterization •
Direct characterization
•
The author directly states what the character’s personality is like. Example: cruel, kind
34
•
Indirect characterization
•
Showing a character’s personality through his/her actions, thoughts, feelings, words, appearance or other character’s observations or reactions
Protagonist •
Main character of the story that changes
• • •
(death is not a change) the most important character changes and grows because of experiences in the story
Antagonist • •
A major character who opposes the protagonist
•
the antagonist does not change
Types of antagonists:
• • •
people nature society
Conflict
• A struggle between two opposing forces • Types • •
Internal – takes place in a character’s own mind
•
Man vs. Him(Her)self
External – a character struggles against an outside force
• • • • •
Man vs. Man Man vs. Nature Man vs. technology, progress Man vs. Society Man vs. Supernatural
What is the Plot? •
Plot: Series of related events that make up a story.
Exposition 35
•
Section that introduces characters, the setting, and conflicts.
•
The time and place of the story’s action
• •
Consists of a series of complications.
Setting Rising Action These occur when the main characters take action to resolve their problems and are met with further problems:
• • •
Fear Hostility Threatening situation
Climax •
The turning point in the story: the high point of interest and suspense
Falling Action •
All events following the climax or turning point in the story. These events are a result of the action taken at the climax.
Resolution • •
(Denoument) The end of the central conflict: it shows how the situation turns out and ties up loose ends
Point of View •
Vantage point from which the writer tells the story.
• • •
First person- One of the characters is actually telling the story using the pronoun “I” Third person- Centers on one character’s
thoughts and actions.
Omniscient- All knowing narrator. Can center on the thoughts any actions of any and all characters.
Theme •
The central message or insight into life revealed through a literary work. 36
Flashback •
•
The “main idea” of the story
The present scene in the story is interrupted to flash backward and tell what happened in an earlier time.
Foreshadowing •
Clues the writer puts in the story to give the reader a hint of what is to come.
Symbol •
An object, person, or event that functions as itself, but also stands for something more than itself.
•
Example: Scales function is to weigh things, but they are also a symbol of our justice system.
Figurative Language •
Involves some imaginative comparison between two unlike things.
• •
Simile – comparing two unlike things using like or as.
•
“I wandered lonely as a cloud”
Metaphor – comparing two unlike things (not using like or as)
•
Life is a roller coaster, it has lots of ups and downs.
Figurative Language •
Personification – Giving human qualities to non-human things.
•
“The wind howled”
Irony •
A contrast between expectation and reality
Irony
• Verbal Irony – saying one thing but meaning something completely different.
•
Calling a clumsy basketball player “Michael Jordan”
• Situational Irony – A contradiction between what 37
•
we expect to happen and what really does happen Dramatic Irony – occurs when the reader knows something important that the characters in the story do not know.
Allusion •
Reference to a statement, person, a place, or events from:
• • • • • •
Literature History Religion Mythology Politics Sports
Suspense •
Uncertainty or anxiety the reader feels about what is going to happen next in a story.
Imagery •
Language that appeals to the senses.
• • • • •
Touch Taste Sight Sound Smell
38
Creating a Critical and Creative Story Read and study this text below • •
When High-Blood Pressure Struck
•
When my doctor told me the result of all the tests, I was sure my illness was fatal and certain that I was going to die. He told me, “Sir, I don’t know if I want to say this.” This sentence had killed me, I felt. One of my first realizations was that I would be leaving behind me so much that was unfinished. I told my friends that the inscription on my tombstone should read “Grade of Incomplete”. That summed up my life, and I regretted my delays and excuses. I wished that I had more time to do it all over again the right way. But, deep inside I felt such a wish was useless. I imagined recourse but to spend my remaining months in gradual state of deterioration, too weak, too sick, and too absorbed in my dying to do much else. I cried a lot and felt very sorry for myself.
•
After the therapy to control and decrease the pressure, my
Before I learned that I had High-Blood Pressure, I lived my life as if I had all the time in the world to get things done. In fact, my life was a series of unfinished projects. There was a research I had started a year ago. There was not much more to do, just the final third. Yet there was not enough of it completed for me to accomplish. So what if the head of department was furious with me for not completing it? There was no rush. Then, there was a book I had started three years ago. I had finished two years ago but had stopped it for many unimportant reasons and raise a family. I had always planned to finish this book, but I still had not done the analysis and I had always been lazy to search references in the library. There was not any need to rush, I thought. I had all the time in the world. And then, there was the trip I was going to take with my children. I had been thinking about that for two years, but somehow it just never seemed to happen. So what, I thought. There was always next year..
39
therapist told me that I was cured. At first, I did not believe him. I thought he was humoring me, stringing me along because he wanted me to be happy in my final months. Gradually, though, I began to believe that he was telling me the truth and that I did intend have a life ahead of me. Because I did not want my brush with dead simply to become a bad memory, I started to change the way I ran my life. I finished the research project this year. Then, I went to the library to find references to final analyses in my book. Most important of all, my family and I took that vacation we had always talked about. We took another one in the last long school holiday, too. At the end of three years, I realized that I had rebuilt my life’s patterns. Now each day is more fulfilling than the last. That was something I could not say before the day that high-blood pressure struck.
Identifying the Problems in Writing Story •
Before I learned that I had High-Blood Pressure, I lived my life as if I had all the time in the world to get things done. In fact, my life was a series of unfinished projects. There was a research I had started a year ago. There was not much more to do, just the final third. Yet there was not enough of it completed for me to accomplish. So what if the head of department was furious with me for not completing it? There was no rush. Then, there was a book I had started three years ago. I had finished two years ago but had stopped it for many unimportant reasons and raise a family. I had always planned to finish this book, but I still had not done the analysis and I had always been lazy to search references in the library. There was not any need to rush, I thought. I had all the time in the world. And then, there was the trip I was going to take with my children. I had been thinking about that for two years, but somehow it just never seemed to happen. So what, I thought. There was always next year.
Step 1 •
Make a list of your personal problems that you have ever had. (5 minutes)
40
•
Tell your problems in a story in 10-15 English sentences. (15 minutes)
•
Please avoid the worry on applying grammar. What you need to do is WRITE EVERYTHING THROUGH YOUR HEART AND THOUGHT.
Identifying the Development of Problems •
When my doctor told me the result of all the tests, I was sure my illness was fatal and certain that I was going to die. He told me, “Sir, I don’t know if I want to say this.” This sentence had killed me, I felt. One of my first realizations was that I would be leaving behind me so much that was unfinished. I told my friends that the inscription on my tombstone should read “Grade of Incomplete”. That summed up my life, and I regretted my delays and excuses. I wished that I had more time to do it all over again the right way. But, deep inside I felt such a wish was useless. I imagined recourse but to spend my remaining months in gradual state of deterioration, too weak, too sick, and too absorbed in my dying to do much else. I cried a lot and felt very sorry for myself.
Step 2 •
Make a list of stated problem more complicated and problematic. (20 minutes)
• • • •
Use your imagination freely Think “outside the box” Complicate them just like when you complicate yourself. Please avoid the worry on applying grammar. What you need to do is WRITE EVERYTHING THROUGH YOUR HEART AND THOUGHT.
Identifying the Climax and the Resolution Offered •
After the therapy to control and decrease the pressure, my 41
therapist told me that I was cured. At first, I did not believe him. I thought he was humoring me, stringing me along because he wanted me to be happy in my final months. Gradually, though, I began to believe that he was telling me the truth and that I did intend have a life ahead of me. Because I did not want my brush with dead simply to become a bad memory, I started to change the way I ran my life. I finished the research project this year. Then, I went to the library to find references to final analyses in my book. Most important of all, my family and I took that vacation we had always talked about. We took another one in the last long school holiday, too. At the end of three years, I realized that I had rebuilt my life’s patterns. Now each day is more fulfilling than the last. That was something I could not say before the day that high-blood pressure struck.
Identifying the Climax, Resolution, and Denouement •
State the climax and the turning point of the story. 1-2 sentences (5 minutes)
•
State the resolution(s) based on the problems stated (10 minutes)
•
State the denouement(s) of the story. 2-3 sentences (5 minutes)
Revising the First Draft • • • • •
Reread the story Check the grammar Check the punctuation Rewrite the story. State your Tittle of the Story
Thank you HOPE YOU GET SOMETHING FROM OUR ACTICITIES
42
When The Blood Pressure Attacks Before I learned that I had High-Blood Pressure, I lived my life as if I had all the time in the world to get things done. In fact, my life was a series of unfinished projects. There was a research I had started a year ago. There was not much more to do, just the final third. Yet there was not enough of it completed for me to accomplish. So what if the head of department was furious with me for not completing it? There was no rush. Then, there was a book I had started three years ago. I had finished two years ago but had stopped it for many unimportant reasons and raise a family. I had always planned to finish this book, but I still had not done the analysis and I had always been lazy to search references in the library. There was not any need to rush, I thought. I had all the time in the world. And then, there was the trip I was going to take with my children. I had been thinking about that for two years, but somehow it just never seemed to happen. So what, I thought. There was always next year. When my doctor told me the result of all the tests, I was sure my illness was fatal and certain that I was going to die. He told me, “Sir, I don’t know if I want to say this.” This sentence had killed me, I felt. One of my first realizations was that I would be leaving behind me so much that was unfinished. I told my friends that the inscription on my tombstone should read “Grade of Incomplete”. That summed up my life, and I regretted my delays and excuses. I wished that I had more time to do it all over again the right way. But, deep inside I felt such a wish was useless. I imagined recourse but to spend my remaining months in gradual state of deterioration, too weak, too sick, and too absorbed in my dying to do much else. I cried a lot and felt very sorry for myself. After the therapy to control and decrease the pressure, my therapist told me that I was cured. At first, I did not believe him. I thought he was humoring me, stringing me along because he wanted me to be happy in my final months. Gradually, though, I began to believe that he was telling me the truth and that I did intend have a life ahead of me. Because I did not want my brush with dead simply to become a bad memory, I started to change the way I ran my life. I finished the research project this year. Then, I went to the library to find references to final analyses in my book. Most important of all, my family and I took that vacation we had always talked about. We took another one in the last long school holiday, too. At the end of three years, I realized that I had rebuilt my life’s patterns. Now each day is more fulfilling than the last. That was something I could not say before the day that high-blood pressure struck.
43
The Nightingale and the Rose by Oscar Wilde (1854-1900) "She said that she would dance with me if I brought her red roses," cried the young Student; "but in all my garden there is no red rose." From her nest in the holm-oak tree the Nightingale heard him, and she looked out through the leaves, and wondered. "No red rose in all my garden!" he cried, and his beautiful eyes filled with tears. "Ah, on what little things does happiness depend! I have read all that the wise men have written, and all the secrets of philosophy are mine, yet for want of a red rose is my life made wretched." "Here at last is a true lover," said the Nightingale. "Night after night have I sung of him, though I knew him not: night after night have I told his story to the stars, and now I see him. His hair is dark as the hyacinth-blossom, and his lips are red as the rose of his desire; but passion has made his face like pale ivory, and sorrow has set her seal upon his brow." "The Prince gives a ball to-morrow night," murmured the young Student, "and my love will be of the company. If I bring her a red rose she will dance with me till dawn. If I bring her a red rose, I shall hold her in my arms, and she will lean her head upon my shoulder, and her hand will be clasped in mine. But there is no red rose in my garden, so I shall sit lonely, and she will pass me by. She will have no heed of me, and my heart will break." "Here indeed is the true lover," said the Nightingale. "What I sing of, he suffers what is joy to me, to him is pain. Surely Love is a wonderful thing. It is more precious than emeralds, and dearer than fine opals. Pearls and pomegranates cannot buy it, nor is it set forth in the marketplace. It may not be purchased of the merchants, nor can it be weighed out in the balance for gold." "The musicians will sit in their gallery," said the young Student, "and play upon their stringed instruments, and my love will dance to the sound of the harp and the violin. She will dance so lightly that her feet will not touch the floor, and the courtiers in their gay dresses will throng round her. But with me she will not dance, for I have no red rose to give her"; and he flung himself down on the grass, and buried his face in his hands, and wept. "Why is he weeping?" asked a little Green Lizard, as he ran past him with his tail in the air.
44
"Why, indeed?" said a Butterfly, who was fluttering about after a sunbeam. "Why, indeed?" whispered a Daisy to his neighbour, in a soft, low voice. "He is weeping for a red rose," said the Nightingale. "For a red rose?" they cried; "how very ridiculous!" and the little Lizard, who was something of a cynic, laughed outright. But the Nightingale understood the secret of the Student's sorrow, and she sat silent in the oak-tree, and thought about the mystery of Love. Suddenly she spread her brown wings for flight, and soared into the air. She passed through the grove like a shadow, and like a shadow she sailed across the garden. In the centre of the grass-plot was standing a beautiful Rose-tree, and when she saw it she flew over to it, and lit upon a spray. "Give me a red rose," she cried, "and I will sing you my sweetest song." But the Tree shook its head. "My roses are white," it answered; "as white as the foam of the sea, and whiter than the snow upon the mountain. But go to my brother who grows round the old sun-dial, and perhaps he will give you what you want." So the Nightingale flew over to the Rose-tree that was growing round the old sundial. "Give me a red rose," she cried, "and I will sing you my sweetest song." But the Tree shook its head. "My roses are yellow," it answered; "as yellow as the hair of the mermaiden who sits upon an amber throne, and yellower than the daffodil that blooms in the meadow before the mower comes with his scythe. But go to my brother who grows beneath the Student's window, and perhaps he will give you what you want." So the Nightingale flew over to the Rose-tree that was growing beneath the Student's window. "Give me a red rose," she cried, "and I will sing you my sweetest song." But the Tree shook its head.
45
"My roses are red," it answered, "as red as the feet of the dove, and redder than the great fans of coral that wave and wave in the ocean-cavern. But the winter has chilled my veins, and the frost has nipped my buds, and the storm has broken my branches, and I shall have no roses at all this year." "One red rose is all I want," cried the Nightingale, "only one red rose! Is there no way by which I can get it?" "There is away," answered the Tree; "but it is so terrible that I dare not tell it to you." "Tell it to me," said the Nightingale, "I am not afraid." "If you want a red rose," said the Tree, "you must build it out of music by moonlight, and stain it with your own heart's-blood. You must sing to me with your breast against a thorn. All night long you must sing to me, and the thorn must pierce your heart, and your life-blood must flow into my veins, and become mine." "Death is a great price to pay for a red rose," cried the Nightingale, "and Life is very dear to all. It is pleasant to sit in the green wood, and to watch the Sun in his chariot of gold, and the Moon in her chariot of pearl. Sweet is the scent of the hawthorn, and sweet are the bluebells that hide in the valley, and the heather that blows on the hill. Yet Love is better than Life, and what is the heart of a bird compared to the heart of a man?" So she spread her brown wings for flight, and soared into the air. She swept over the garden like a shadow, and like a shadow she sailed through the grove. The young Student was still lying on the grass, where she had left him, and the tears were not yet dry in his beautiful eyes. "Be happy," cried the Nightingale, "be happy; you shall have your red rose. I will build it out of music by moonlight, and stain it with my own heart's-blood. All that I ask of you in return is that you will be a true lover, for Love is wiser than Philosophy, though she is wise, and mightier than Power, though he is mighty. Flame- coloured are his wings, and coloured like flame is his body. His lips are sweet as honey, and his breath is like frankincense." The Student looked up from the grass, and listened, but he could not understand what the Nightingale was saying to him, for he only knew the things that are written down in books. But the Oak-tree understood, and felt sad, for he was very fond of the little Nightingale who had built her nest in his branches.
46
"Sing me one last song," he whispered; "I shall feel very lonely when you are gone." So the Nightingale sang to the Oak-tree, and her voice was like water bubbling from a silver jar. When she had finished her song the Student got up, and pulled a note-book and a lead-pencil out of his pocket. "She has form," he said to himself, as he walked away through the grove - "that cannot be denied to her; but has she got feeling? I am afraid not. In fact, she is like most artists; she is all style, without any sincerity. She would not sacrifice herself for others. She thinks merely of music, and everybody knows that the arts are selfish. Still, it must be admitted that she has some beautiful notes in her voice. What a pity it is that they do not mean anything, or do any practical good." And he went into his room, and lay down on his little pallet-bed, and began to think of his love; and, after a time, he fell asleep. And when the Moon shone in the heavens the Nightingale flew to the Rose-tree, and set her breast against the thorn. All night long she sang with her breast against the thorn, and the cold crystal Moon leaned down and listened. All night long she sang, and the thorn went deeper and deeper into her breast, and her life-blood ebbed away from her. She sang first of the birth of love in the heart of a boy and a girl. And on the topmost spray of the Rose-tree there blossomed a marvellous rose, petal following petal, as song followed song. Pale was it, at first, as the mist that hangs over the river - pale as the feet of the morning, and silver as the wings of the dawn. As the shadow of a rose in a mirror of silver, as the shadow of a rose in a water-pool, so was the rose that blossomed on the topmost spray of the Tree. But the Tree cried to the Nightingale to press closer against the thorn. "Press closer, little Nightingale," cried the Tree, "or the Day will come before the rose is finished." So the Nightingale pressed closer against the thorn, and louder and louder grew her song, for she sang of the birth of passion in the soul of a man and a maid. And a delicate flush of pink came into the leaves of the rose, like the flush in the face of the bridegroom when he kisses the lips of the bride. But the thorn had not yet reached her heart, so the rose's heart remained white, for only a Nightingale's heart's-blood can crimson the heart of a rose.
47
And the Tree cried to the Nightingale to press closer against the thorn. "Press closer, little Nightingale," cried the Tree, "or the Day will come before the rose is finished." So the Nightingale pressed closer against the thorn, and the thorn touched her heart, and a fierce pang of pain shot through her. Bitter, bitter was the pain, and wilder and wilder grew her song, for she sang of the Love that is perfected by Death, of the Love that dies not in the tomb. And the marvellous rose became crimson, like the rose of the eastern sky. Crimson was the girdle of petals, and crimson as a ruby was the heart. But the Nightingale's voice grew fainter, and her little wings began to beat, and a film came over her eyes. Fainter and fainter grew her song, and she felt something choking her in her throat. Then she gave one last burst of music. The white Moon heard it, and she forgot the dawn, and lingered on in the sky. The red rose heard it, and it trembled all over with ecstasy, and opened its petals to the cold morning air. Echo bore it to her purple cavern in the hills, and woke the sleeping shepherds from their dreams. It floated through the reeds of the river, and they carried its message to the sea. "Look, look!" cried the Tree, "the rose is finished now"; but the Nightingale made no answer, for she was lying dead in the long grass, with the thorn in her heart. And at noon the Student opened his window and looked out. "Why, what a wonderful piece of luck!" he cried; "here is a red rose! I have never seen any rose like it in all my life. It is so beautiful that I am sure it has a long Latin name"; and he leaned down and plucked it. Then he put on his hat, and ran up to the Professor's house with the rose in his hand. The daughter of the Professor was sitting in the doorway winding blue silk on a reel, and her little dog was lying at her feet. "You said that you would dance with me if I brought you a red rose," cried the Student. "Here is the reddest rose in all the world. You will wear it to-night next your heart, and as we dance together it will tell you how I love you." But the girl frowned. "I am afraid it will not go with my dress," she answered; "and, besides, the Chamberlain's nephew has sent me some real jewels, and everybody knows that jewels cost far more than flowers."
48
"Well, upon my word, you are very ungrateful," said the Student angrily; and he threw the rose into the street, where it fell into the gutter, and a cart-wheel went over it. "Ungrateful!" said the girl. "I tell you what, you are very rude; and, after all, who are you? Only a Student. Why, I don't believe you have even got silver buckles to your shoes as the Chamberlain's nephew has"; and she got up from her chair and went into the house. "What I a silly thing Love is," said the Student as he walked away. "It is not half as useful as Logic, for it does not prove anything, and it is always telling one of things that are not going to happen, and making one believe things that are not true. In fact, it is quite unpractical, and, as in this age to be practical is everything, I shall go back to Philosophy and study Metaphysics." So he returned to his room and pulled out a great dusty book, and began to read.
49
THE LOOKING-GLASS by Anton Chekhov NEW YEAR'S EVE. Nellie, the daughter of a landowner and general, a young and pretty girl, dreaming day and night of being married, was sitting in her room, gazing with exhausted, half-closed eyes into the looking-glass. She was pale, tense, and as motionless as the looking-glass. The non-existent but apparent vista of a long, narrow corridor with endless rows of candles, the reflection of her face, her hands, of the frame -- all this was already clouded in mist and merged into a boundless grey sea. The sea was undulating, gleaming and now and then flaring crimson. . . . Looking at Nellie's motionless eyes and parted lips, one could hardly say whether she was asleep or awake, but nevertheless she was seeing. At first she saw only the smile and soft, charming expression of someone's eyes, then against the shifting grey background there gradually appeared the outlines of a head, a face, eyebrows, beard. It was he, the destined one, the object of long dreams and hopes. The destined one was for Nellie everything, the significance of life, personal happiness, career, fate. Outside him, as on the grey background of the lookingglass, all was dark, empty, meaningless. And so it was not strange that, seeing before her a handsome, gently smiling face, she was conscious of bliss, of an unutterably sweet dream that could not be expressed in speech or on paper. Then she heard his voice, saw herself living under the same roof with him, her life merged into his. Months and years flew by against the grey background. And Nellie saw her future distinctly in all its details. Picture followed picture against the grey background. Now Nellie saw herself one winter night knocking at the door of Stepan Lukitch, the district doctor. The old dog hoarsely and lazily barked behind the gate. The doctor's windows were in darkness. All was silence. "For God's sake, for God's sake!" whispered Nellie. But at last the garden gate creaked and Nellie saw the doctor's cook. "Is the doctor at home?" "His honour's asleep," whispered the cook into her sleeve, as though afraid of waking her master. "He's only just got home from his fever patients, and gave orders he was not to be waked."
50
But Nellie scarcely heard the cook. Thrusting her aside, she rushed headlong into the doctor's house. Running through some dark and stuffy rooms, upsetting two or three chairs, she at last reached the doctor's bedroom. Stepan Lukitch was lying on his bed, dressed, but without his coat, and with pouting lips was breathing into his open hand. A little night-light glimmered faintly beside him. Without uttering a word Nellie sat down and began to cry. She wept bitterly, shaking all over. "My husband is ill!" she sobbed out. Stepan Lukitch was silent. He slowly sat up, propped his head on his hand, and looked at his visitor with fixed, sleepy eyes. "My husband is ill!" Nellie continued, restraining her sobs. "For mercy's sake come quickly. Make haste. . . . Make haste!" "Eh?" growled the doctor, blowing into his hand. "Come! Come this very minute! Or . . . it's terrible to think! For mercy's sake!" And pale, exhausted Nellie, gasping and swallowing her tears, began describing to the doctor her husband's illness, her unutterable terror. Her sufferings would have touched the heart of a stone, but the doctor looked at her, blew into his open hand, and -- not a movement. "I'll come to-morrow!" he muttered. "That's impossible!" cried Nellie. "I know my husband has typhus! At once . . . this very minute you are needed!" "I . . . er . . . have only just come in," muttered the doctor. "For the last three days I've been away, seeing typhus patients, and I'm exhausted and ill myself. . . . I simply can't! Absolutely! I've caught it myself! There!" And the doctor thrust before her eyes a clinical thermometer. "My temperature is nearly forty. . . . I absolutely can't. I can scarcely sit up. Excuse me. I'll lie down. . . ." The doctor lay down. "But I implore you, doctor," Nellie moaned in despair. "I beseech you! Help me, for mercy's sake! Make a great effort and come! I will repay you, doctor!" "Oh, dear! . . . Why, I have told you already. Ah!" Nellie leapt up and walked nervously up and down the bedroom. She longed to explain to the doctor, to bring him to reason. . . . She thought if only he knew how dear her husband was to her and how unhappy she was, he would forget his exhaustion and his illness. But how could she be eloquent enough?
51
"Go to the Zemstvo doctor," she heard Stepan Lukitch's voice. "That's impossible! He lives more than twenty miles from here, and time is precious. And the horses can't stand it. It is thirty miles from us to you, and as much from here to the Zemstvo doctor. No, it's impossible! Come along, Stepan Lukitch. I ask of you an heroic deed. Come, perform that heroic deed! Have pity on us!" "It's beyond everything. . . . I'm in a fever. . . my head's in a whirl . . . and she won't understand! Leave me alone!" "But you are in duty bound to come! You cannot refuse to come! It's egoism! A man is bound to sacrifice his life for his neighbour, and you. . . you refuse to come! I will summon you before the Court." Nellie felt that she was uttering a false and undeserved insult, but for her husband's sake she was capable of forgetting logic, tact, sympathy for others. . . . In reply to her threats, the doctor greedily gulped a glass of cold water. Nellie fell to entreating and imploring like the very lowest beggar. . . . At last the doctor gave way. He slowly got up, puffing and panting, looking for his coat. "Here it is!" cried Nellie, helping him. "Let me put it on to you. Come along! I will repay you. . . . All my life I shall be grateful to you. . . ." But what agony! After putting on his coat the doctor lay down again. Nellie got him up and dragged him to the hall. Then there was an agonizing to-do over his goloshes, his overcoat. . . . His cap was lost. . . . But at last Nellie was in the carriage with the doctor. Now they had only to drive thirty miles and her husband would have a doctor's help. The earth was wrapped in darkness. One could not see one's hand before one's face. . . . A cold winter wind was blowing. There were frozen lumps under their wheels. The coachman was continually stopping and wondering which road to take. Nellie and the doctor sat silent all the way. It was fearfully jolting, but they felt neither the cold nor the jolts. "Get on, get on!" Nellie implored the driver. At five in the morning the exhausted horses drove into the yard. Nellie saw the familiar gates, the well with the crane, the long row of stables and barns. At last she was at home. "Wait a moment, I will be back directly," she said to Stepan Lukitch, making him sit down on the sofa in the dining-room. "Sit still and wait a little, and I'll see how he is going on."
52
On her return from her husband, Nellie found the doctor lying down. He was lying on the sofa and muttering. "Doctor, please! . . . doctor!" "Eh? Ask Domna!" muttered Stepan Lukitch. "What?" "They said at the meeting . . . Vlassov said . . . Who? . . . what?" And to her horror Nellie saw that the doctor was as delirious as her husband. What was to be done? "I must go for the Zemstvo doctor," she decided. Then again there followed darkness, a cutting cold wind, lumps of frozen earth. She was suffering in body and in soul, and delusive nature has no arts, no deceptions to compensate these sufferings. . . . Then she saw against the grey background how her husband every spring was in straits for money to pay the interest for the mortgage to the bank. He could not sleep, she could not sleep, and both racked their brains till their heads ached, thinking how to avoid being visited by the clerk of the Court. She saw her children: the everlasting apprehension of colds, scarlet fever, diphtheria, bad marks at school, separation. Out of a brood of five or six one was sure to die. The grey background was not untouched by death. That might well be. A husband and wife cannot die simultaneously. Whatever happened one must bury the other. And Nellie saw her husband dying. This terrible event presented itself to her in every detail. She saw the coffin, the candles, the deacon, and even the footmarks in the hall made by the undertaker. "Why is it, what is it for?" she asked, looking blankly at her husband's face. And all the previous life with her husband seemed to her a stupid prelude to this. Something fell from Nellie's hand and knocked on the floor. She started, jumped up, and opened her eyes wide. One looking-glass she saw lying at her feet. The other was standing as before on the table. She looked into the looking-glass and saw a pale, tear-stained face. There was no grey background now.
53
"I must have fallen asleep," she thought with a sigh of relief. NOTES the Zemstvo doctor: the Zemstvo, a district-wide governmental agency, was concerned with health and sanitation and typically had a doctor on staff die: children's deaths were very common before the discovery of innoculations and antibiotics
54
"The Story of An Hour" Kate Chopin (1894) Knowing that Mrs. Mallard was afflicted with a heart trouble, great care was taken to break to her as gently as possible the news of her husband's death. It was her sister Josephine who told her, in broken sentences; veiled hints that revealed in half concealing. Her husband's friend Richards was there, too, near her. It was he who had been in the newspaper office when intelligence of the railroad disaster was received, with Brently Mallard's name leading the list of "killed." He had only taken the time to assure himself of its truth by a second telegram, and had hastened to forestall any less careful, less tender friend in bearing the sad message. She did not hear the story as many women have heard the same, with a paralyzed inability to accept its significance. She wept at once, with sudden, wild abandonment, in her sister's arms. When the storm of grief had spent itself she went away to her room alone. She would have no one follow her. There stood, facing the open window, a comfortable, roomy armchair. Into this she sank, pressed down by a physical exhaustion that haunted her body and seemed to reach into her soul. She could see in the open square before her house the tops of trees that were all aquiver with the new spring life. The delicious breath of rain was in the air. In the street below a peddler was crying his wares. The notes of a distant song which some one was singing reached her faintly, and countless sparrows were twittering in the eaves. There were patches of blue sky showing here and there through the clouds that had met and piled one above the other in the west facing her window. She sat with her head thrown back upon the cushion of the chair, quite motionless, except when a sob came up into her throat and shook her, as a child who has cried itself to sleep continues to sob in its dreams. She was young, with a fair, calm face, whose lines bespoke repression and even a certain strength. But now there was a dull stare in her eyes, whose gaze was fixed away off yonder on one of those patches of blue sky. It was not a glance of reflection, but rather indicated a suspension of intelligent thought. There was something coming to her and she was waiting for it, fearfully. What was it? She did not know; it was too subtle and elusive to name. But she felt it, creeping out of the sky, reaching toward her through the sounds, the scents, the color that filled the air.
55
Now her bosom rose and fell tumultuously. She was beginning to recognize this thing that was approaching to possess her, and she was striving to beat it back with her will--as powerless as her two white slender hands would have been. When she abandoned herself a little whispered word escaped her slightly parted lips. She said it over and over under hte breath: "free, free, free!" The vacant stare and the look of terror that had followed it went from her eyes. They stayed keen and bright. Her pulses beat fast, and the coursing blood warmed and relaxed every inch of her body. She did not stop to ask if it were or were not a monstrous joy that held her. A clear and exalted perception enabled her to dismiss the suggestion as trivial. She knew that she would weep again when she saw the kind, tender hands folded in death; the face that had never looked save with love upon her, fixed and gray and dead. But she saw beyond that bitter moment a long procession of years to come that would belong to her absolutely. And she opened and spread her arms out to them in welcome. There would be no one to live for during those coming years; she would live for herself. There would be no powerful will bending hers in that blind persistence with which men and women believe they have a right to impose a private will upon a fellow-creature. A kind intention or a cruel intention made the act seem no less a crime as she looked upon it in that brief moment of illumination. And yet she had loved him--sometimes. Often she had not. What did it matter! What could love, the unsolved mystery, count for in the face of this possession of self-assertion which she suddenly recognized as the strongest impulse of her being! "Free! Body and soul free!" she kept whispering. Josephine was kneeling before the closed door with her lips to the keyhold, imploring for admission. "Louise, open the door! I beg; open the door--you will make yourself ill. What are you doing, Louise? For heaven's sake open the door." "Go away. I am not making myself ill." No; she was drinking in a very elixir of life through that open window. Her fancy was running riot along those days ahead of her. Spring days, and summer days, and all sorts of days that would be her own. She breathed a quick prayer that life might be long. It was only yesterday she had thought with a shudder that life might be long. She arose at length and opened the door to her sister's importunities. There was a feverish triumph in her eyes, and she carried herself unwittingly like a goddess of Victory. She clasped her sister's waist, and together they descended the stairs. Richards stood waiting for them at the bottom.
56
Someone was opening the front door with a latchkey. It was Brently Mallard who entered, a little travel-stained, composedly carrying his grip-sack and umbrella. He had been far from the scene of the accident, and did not even know there had been one. He stood amazed at Josephine's piercing cry; at Richards' quick motion to screen him from the view of his wife. When the doctors came they said she had died of heart disease--of the joy that kills.
57
Lampiran 5 FOTO KEGIATAN
58
59
ARTIKEL PENGABDIAN
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERITA KRITIS BAGI FUNGSIONARIS BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Mohamad Ikhwan Rosyidi Rini Susanti Wulandari Afif Alfia Nizar Sari Tujuan dari Pengabdian ini adalah memberikan pelatihan pengembangan keterampilan menulis kreatif kritis bagi fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang sehingga fungsionaris BEM FBS tersebut dapat terampil menulis cerita kritis di samping mereka juga mengembangkan kreativitas dalam bentuk yang lain. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah metode ceramah, workshop, dan presenting in media. Evaluasi dilakukan dengan indikator bahwa peserta dapat memilih cerita yang berkualitas menurut mereka, dan cerita yang memiliki nilai-nilai yang berguna bagi mereka dan masyarakat, peserta dapat mengkritisi cerita sesuai dengan pembacaan secara kritis, peserta dapat menjadikan cerita tersebut sebagai model menulis kreatif dan kritis, dan peserta dapat menulis cerita sebagai tulisan kreatif dan kritis. Hasil yang dicapai dalam pengabdian ini adalah peningkatan kemampuan menulis kreatif kritis peserta pengabdian dapat diukur dari meningkatnya (1) pengetahuan mereka tentang menulis kreatif kritis berbahasa Inggris adalah dengan penguasaan atau peningkatan kemampuan peserta memunculkan pertanyaan kritis terhadap kandungan yang ada di dalam cerita sebagai penemuan ide-ide kritis kreatif yang dijadikan bangunan dasar dalam menulis kreatif kritis berbahasa Inggris, (2) menggunakan teknik-teknik penulisan kreatif, berbentuk cerita pendek, untuk mengembangkan permasalahan menjadi konflik secara kritis dalam mendeskripsikan dan mendramatisasi cerita melalui model yang diberikan penulis, (3) kemampuan untuk memodifikasi tulisan mereka menjadi karya artistik dan estetik sehingga dapat secara reguler ditampilkan dalam wall magazine di kampus. Hal-hal inilah yang menjadi daya pembeda penuangan kemampuan kritis fungsionaris BEM Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang selama ini banyak dipersepsikan oleh civitas akademika universitas. Kata Kunci
: Keterampilan Menulis, Kreatif, Kritis, Fungsionaris BEM FBS Unnes
60
I. Pendahuluan Berpikir kritis merupakan orientasi sebuah idealisme. Salah satu manifestasi berpikir kritis adalah adalah mengembangkan berpikir logis. Logika menjadi sebuah muara yang dimunculkan bagi kreativitas bagi setiap manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan pengimplementasian kurikulum KBKK Unnes, yang pada pengembangan karakter konservasi disebutkan karakter cerdas yang mengindikasikan kreatif dalam mengembangkan model atau cara-cara yang baru (Buku 4 Kurikulum KBKK Unnes). Dengan demikian, setiap elemen dalam Unnes akan terus berusaha mengimplementasikan karakter cerdas yang diaspirasikan oleh Unnes. Bepikir cerdas secara logis merupakan landasan berpikir kritis dan kreatif. Banyak orang mensalahkonsepsikan istilah kritis sebagai hal yang destruktif dan membahayakan. Setiap ada orang yang mulai mengembangkan pikiran kritisnya, di saat itu pulalah ia berusaha “dimatikan” proses berpikirnya. Fenomena ini, tentu saja , tidak lepas dari apa yang dipersepsikan para fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Mereka sering “dilihat” sebagai orang yang cenderung “kritis” dalam konteks destruktif dan membahayakan. Tidak jarang mereka “dimatikan” proses berpikirnya disebabkan persepsi tersebut. Kegiatan-kegiatan yang direncanakan mereka sering dilihat sebagai usaha pemberontakan terhadap pihak-pihak yang berwenang dan pembuat kebijakan. Dengan segala cara, rencana kegiatan yang disusun dicobabekukan agar kegiatan itu sebisa mungkin tidak terlaksana. Berdasarkan fenomena di atas, penulis berusaha mengembalikan proporsi berpikir kreatif dan kritis mahasiswa dalam persepsi dan proporsi yang semestinya. Sebagai fungsionaris, mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang akan “diminta” memikirkan kemajuan dari bangsa ini. Mereka akan terus “dituntut” menggali kedalaman perkembangan fenomena yang terjadi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mereka mampu mengimplementasikan “permintaan” dan “tuntutan” tersebut jika proses berpikir mereka “dibekukan” dari awal. Dengan stimulasi kegiatan berpikir kreatif dan kritis, mereka akan tetap menyelematkan proses berpikir tersebut. Kreativitas tidak akan luntur dari storage mereka karena ide dan gagasan terbaru akan sering muncul. Namun demikian, merefleksikan apa yang dialami mereka, ide dan gagasan kreatif seperti apa yang sebaiknya diimplementasikan. Kemudian, ide dan gagasan kreatif seperti apa yang mendorong munculnya pikiran kritis yang berguna dan konstruktif. Pertanyaanpertanyaan inilah yang menjadi hulu permasalahan dalam pengabdian ini. Bentuk pengabdian ini kemudian telah diimplementasikan penulis dalam bentuk pelatihan guna, pertama, mengembalikan persepsi kritis yang baik bagi fungsionaris, dan kedua, mendalamkan dan melembagakan berpikir kritis dalam bentuk karya kreatif berupa cerita yang bisa dipresentasikan di media, bagi para fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Tujuan kegiatan ini adalah memberikan pelatihan pengembangan keterampilan menulis kreatif kritis bagi fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang sehingga fungsionaris
61
BEM FBS tersebut dapat terampil menulis cerita kritis di samping mereka juga mengembangkan kreativitas dalam bentuk yang lain. Berdasarkan analisis situasi dan tujuan di atas, permasalahan yang akan dirumuskan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah “bagaimanakah peningkatan keterampilan menulis cerita kritis bagi fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang?” Berpikir kritis dan menulis kreatif berupa cerita merupakan kesatuan entitas yang saling melengkapi. Sifat yang demikian ini menyebabkan dinamikadinamika bahasa yang luas. Bahasan-bahasan tersebut antara lain akan dijabarkan dalam hal-hal berikut: Berpikir kritis merupakan sebuah usaha yang sering diinginkan setiap orang. Orang berusaha mengeluarkan biaya untuk belajar bagaimana berpikir kritis. Hal ini, tentu saja, membuat orang harus mengeluarkan ekstrapenganggaran bagi dirinya sendiri. Yang menjadi pertanyaan mendasar orang ingin belajar dan mempunyai pemikiran kritis adalah apa yang menjadi definisi berpikir kritis itu dan bagaimana pengimplementasiannya. Berpikir kritis merupakan kegiatan berpikir secara jelas dan rasional (lihat Lau, 2011:1). Berpikir secara jelas merupakan implementasi dari hasil berpikir secara gamblang. Manusia cenderung akan berpikir berdasarkan subjektivitasnya tanpa melihat objektivitas hal yang dilihatnya. Subjectivitas menjadi sebuah penghalang munculnya kejelasan dari hal yang dilihatnya. Ketidakmunculan kejelasan tersebut, tentu saja, akan memercikkan irasionalitas. Hal ini menjadi penanda ketidakrasionalan cara berpikir manusia. Cara berpikir manusia dipengaruhi oleh kemampuannya untuk berpikir secara tepat dan tanpa bermasalah. Berpikir secara tepat merupakan kebutuhan mendasar berpikir kritis. Setelah manusia mampu memenuhi kebutuhan dasar berpikir tersebut, ia membutuhkan kemampuan berpikir secara sistematis. Artinya, manusia memenuhi kebutuhan berpikirnya dengan melakukan usaha yang dimanifestasikan dalam kegiatan berpikir secara tepat dan sistematis. Selain kedua hal tersebut, berpikir kritis melibatkan kemampuan untuk mengikuti aturan logika dan berpikir secara ilmiah (bdk Lau, 2011:1). Logika merupakan kemampuan berpikir dengan melakukan pemaknaan yang praktis. Logika, menurut Lau (2011:59), mengintikan pada konsistensi dan deduksi. Kedua hal tersebut sangat dibutuhkan dalam berpikir kritis. Konsistensi dalam menjalani pilihan dan pemikiran merupakan satu prasyarat yang ada dalam usaha berpikir kritis. Konsistensi dapat dicapai jika manusia dapat menghindari pernyataan yang bersifat inkonsisten. Pernyataan yang inkonsisten ini sering digunakan orang yang tidak berusaha untuk mengungkapkan arti kata dalam pernyataan yang tidak lengkap. Dengan kata lain, konsistensi dapat diwujudkan jika orang dapat menspesifikasi setiap arti kata dalam pernyataannya sehingga usaha mengkategorikan arti kata menjadi jalan ia untuk berpikir secara logis dan konsisten (bdk. Lau, 2011:61). Seorang pemikir kritis setidaknya, menurut Lau (2011:2), memliki kriteria-kriteria sebagai berikut: 1) ia memahami koneksi logis antaride; 2) ia memformulasikan ide secara tepat; 3) ia mengindentifikasi, mengkonstruksi, dan
62
mengevaluasi argumen-argumen; 3) ia mengevaluasi pro dan kontra sebuah keputusan; 4) ia dapat menganalisis masalah secara sistematis; 5) ia mampu mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide; 6) ia dapat merefleksikan dan mengevaluasi keterampilan berpikir dirinya dan orang lain. Dengan kata lain, seorang yang mengaplikasikan berpikir kritis akan menganggap penting kemampuan ini dalam mengkomunikasikan ide, membuat keputusan, menganalisis, dan menyelesaikan permasalahan. Berpikir kritis juga mampu memberikan kontribusi mutualisme proses refleksi dan transformasi diri. Berpikir kritis secara baik membutuhkan dan/atau merupakan keterampilan kognitif. Secara umum, mengembangkan keterampilan ini membutuhkan, setidaknya, tiga syarat, yakni: membaca teori berpikir kritis, mengaplikasikan dalam praktiknya, dan mengadopsi sikap yang baik. Mempelajari teori ini adalah mempelajari aturan-aturan dan fakta-fakta yang harus diketahui untuk memiliki keterampilan tersebut. Mengaplikasikan dalam praktik berarti menyeimbangkan apa yang diketahui dari teori ke dalam praktik berkehidupan sehari-hari. Dan, dari aplikasi tersebut, sikap yang dimunculkan akan menjadi sikap yang terpuji dan berbeda jika aplikasi itu dilakukan secara efektif dan berkelanjutan (bdk. Lau, 2011:3-4). Usaha untuk memiliki keterampilan berpikir kritis ini akan dilakukan secara terus menerus dan menjadikannnya sebuah kebiasaan. Kebiasan yang dilembagakan ini nantinya akan mengarahkan sikap dan perilaku orang untuk memanifstasikan dalam bentuk karya kreatif. Banyak orang berpikir bahwa kreativitas hanya milik beberapa kalangan. Manusia membutuhkan kreativitas untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam rutinitas berkegiatan dan kesehariannya. Lau (2011:216) mengungkapkan bahwa ide baru tidak begitu saja muncul dengan sendirinya. Kreativitas sebagai manifestasi ide baru membutuhkan pengetahuan. Kreativitas tidak hadir dari ruang hampa. Imaginasi manusia bergantung sebagian pada apa yang diketahuinya. Lau (2011:216-7) menambahkan bahwa kreativitas itu didorong oleh peran penting berpikir kritis. Setidaknya, peran penting tersebut adalah, pertama, orang menggunakan berpikir kritis untuk menganalisis masalah dan mengidentifikasi batasan solusi yang ada. Proses kreatif yang aktual melibatkan uji coba. Berpikir kritis yang baik memampukan manusia untuk belajar dari kesalahan mereka dan menyelesaikan permasalahan mereka secara efisien. Banyak manusia berpikir bahwa kreativitas adalah proses menunggu datangnya inspirasi dan biasanya inspirasi itu untuk para jenius bukan orang biasa. Hal ini yang disalahpahami orang. Kreativitas, jika dilihat dari sejarah orang-orang jenius di muka bumi ini, lahir dari kerja keras dan disiplin. Mozart sebagai contoh. Bakat ini tidak lahir dengan sendirinya. Ayahnya sudah mengajarkan ia musik sejak ia masih kanakkanak hingga usia 28 tahun. Tangannya, tentu saja, bukan bakat yang terberikan, tetapi merupakan hasil dari praktik bermain musik dan mencipta lagu yang konstan. Dedikasi dan kerja kerasnya menghasilkan database pengetahuan musik dan ide-ide Mozart yang dapat mencipta dan mencipta musik lagi. Orang kreatif, menurut Lau(2011:217) biasanya rajin, disiplin, dan sangat fokus. Kebanyakan dari mereka adalah mereka yang mempunyai rutinitas bekerja
63
sehari-hari yang dengan sabar harus dijalani. Etis bekerjanya dimotivasi dan diberlanjutkan oleh hasrat bekerja yang dimiliki mereka. Hal ini memunculkan keinginan untuk melakukan apa yang dicintai dan berusaha berada dalam lingkungan yang membuat mereka produktif. Lau (2011:218) menambahkan bahwa ada setidaknya empat prosedur siklus kreativitas yang dapat ditengarai ada di dalam diri manusia, yaitu: 5) Persiapan. Usaha pertama yang dilakukan adalah mulai dari mengumpulkan data. Pada tahap ini, orang bisa pergi ke perpustakaan, berdiskusi dengan teman, mencari di situs, dan sebagainya. Usaha selanjutnya adalah menyimpan data itu di tempat yang mudah diakses kapan saja. Efek dari tahap ini adalah seringnya orang tidak sabar untuk membuat penemuan walaupun data belum begitu cukup. 6) Eksplorasi Pada tahap ini, orang mulai menganalisis dan mendalami apa yang sudah dikumpulkan. Ia mencoba mengklasifikasi material, mengenali mereka, melihat mereka dari sudut pandang berbeda, mencoba menghubungkan ide-ide, dan menarik kesimpulan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menggunakan koneksi untuk memunculkan ide-ide yang baru dan bermanfaat. 7) Inkubasi Tahap ini meminta orang untuk meninggalkan sejenak permalahan yang sedang dihadapi, melakukan relaksasi, melupakan apa yang sedang dilaksanakan, dan hanya menunggu. Hal ini dilakukan karena tidak jarang orang bisa menyelesaikan masalah setelah semalam melupakan sejenak untuk tidur, dan idenya muncul pada pagi harinya. Faktanya, tidur dapat meningkatkan kreativitas. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa tidur memberikan kesempatan pikiran bawah sadar untuk berkerja menyelesaikan permasalahan itu. Selain itu, kegiatan ini bisa memunculkan hal yang baru. 8) Verifikasi Ketika orang mendapatkan ide yang menjanjikan, ia perlu mencek apakah ide itu bisa berhasil atau bisa diubah dan diperbaiki di kemudian hari. Hal ini membutuhkan usaha untuk mengkaji kembali apa yang sudah dipikirkan. Walaupun, ketika ia sudah mendapatkan solusi dari permalasahannya, ia tetap harus mereview seluruh proses kreatif untuk melihat bagaimana ia dapat mengulangi sebuah kesuksesan. Siklus inilah yang menstimulasi pikiran untuk terus berkreasi, dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik, jika orang memilih untuk tergesa-gesa memutuskan suatu hal tanpa melihat kembali ide-ide yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Kesabaran menjadi salah satu impliedmeaning yang dicapai dalam menciptakan kreativitas, dan pelembagaan aktivitas ini menjadi sebuah tuntutan. Menulis kreatif merupakan usaha untuk menghasilkan produk dari sebuah usaha panjang dan kerja keras yang dilembagakan. Salah satu kegiatan menulis kreatif adalah menulis fiksi. Sumber terbaik menulis fiksi adalah pengalaman.
64
Pengalaman bisa merupakan pengalaman pribadi penulis fiksi maupun pengalaman yang dialami orang lain (lihat Novakovich, 2003:7). Novakovich (2003:7) memberikan contoh penulis Rusia, Nikolai Gogol. Gogol menulis ceritanya yang terkenal, “Overcoat”, berdasarkan sebuah lelucon yang ia dengar dalam sebuah pesta jamuan makan malam. Seseorang yang miskin menabung selama bertahun-tahun untuk membeli senapan berburu, dan sebelum ia dapat menggunakannya untuk berburu, seseorang mencuri senapannya. Gogol, seorang yang rasa humornya lebih tinggi daripada orang lain di pesta itu, satusatunya orang yang tidak tertawa saat mendengar cerita tersebut. Ia merasa tersentuh dan kasihan pada orang itu. Dia pulang dan menuliskan sebuah cerita berdasarkan cerita sedih itu tentang seorang pegawai kantoran yang menabung sedemikian lamanya untuk membeli sebuah jas. Saat ia membeli jas tersebut, jas itu kemudian dicuri orang, dan orang itu sangat terpukul, sementara orang lain tertawa dan mengolok-oloknya. Gogol mengubah sebuah kejadian nyata menjadi fiksi. Ia tidak menggunakan senapan, tetapi menggantinya dengan jas. Ia tidak bercerita tentang kegiatan berburu, tetapi tentang pegawai kantoran. Dia pernah bekerja sebagai kantoran sehingga bisa memasukkan hal-hal realistis ke dalam ceritanya. Olokolok dan hinaan yang muncul dalam ceritanya mungkin diambil berdasarkan perilaku orang-orang dalam pesta tersebut yang menertawakan orang yang membeli senapan berburu itu. Seorang penulis fiksi mampu menggunakan pengalamannya dan pengalaman orang lain dalam karyanya. Saat ditransformasikan oleh khayalan penulis, bahkan perincian yang realistis pun, seperti yang diambil Gogol dari pengalamannya saat menjadi pegawai kantoran, dapat menjadi sebuah fiksi (Novakovich, 2003:8). Novakovich (2003:11) menambahkan bahwa akan selalu ada percampuran antara hal yang nyata dan ciptaan dalam menulis fiksi. Tobias Wolff bercerita tentang sumber cerpennya “Firefly”. Ia menceritakan bahwa hal yang mendorongnya untuk menulis cerita ini adalah inti yang emosional, yakni perasaan berada di luar lingkaran cahaya, perasaan yang bukan hanya ia sendiri yang merasakannya. Artinya, Hal ini merupakan perasaan yang, menurut Wolff, sungguh buruk sehingga saat orang berada di tempat yang mereka inginkan, mereka tetap menjauhi keceriaan, mulai merasa ketakutan akan diusir, dan merasa kehilangan. Wolff menggunakan pengalaman emosionalnya sebagai inti sebuah cerita yang bersifat fiksi dalam berbagai hal lainnya. Hal ini merupakan cara baik untuk memadukan fakta dan fiksi. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menulis kreatif bisa dimulai dari saat dan kondisi apa pun, baik yang menjadi pengalaman dan bukan pengalaman dari seorang penulis kreatif. Mereka akan terus menggali, dengan segala cara, bahan yang menstimulasi pikiran kritis dan kreatif mereka, dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk tulisan karya. Kemampuan menulis kreatif ini tidak akan bisa dilepas dari proses pengalaman membaca sastra. Sebuah pertanyaan dasar yang sering muncul adalah mengapa selalu ada karya sastra. Jawaban mendasar dari pertanyaan itu adalah karena karya sastra diperlukan oleh manusia. Seorang pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile, dalam tulisannya berjudul Ars Poetica, yang artinya sastra
65
mempunyai fungsi ganda. Fungsi tersebut adalah sastra itu menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya (lihat Budianta, dkk. 2002:19). Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan, atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, misalnya, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Di sini karya sastra diibaratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan. Akan tetapi, “potret” itu berbeda dengan cermin, karena sebagai kreasi manusia. Di dalam sastra, terdapat pendapat dan pandangan penulisnya, dari mana dan bagaimana ia melihat kehidupan terebut. Gagasangagasan yang muncul ketika menggambarkan karya sastra itu dapat membentuk pandangan orang tentang kehidupan itu sendiri (Budianta, 2002:19-20). Pertanyaan yang selanjutnya, yang sering muncul, adalah mengapa orang membaca sastra. Sastra, berupa cerita, puisi, dan drama, memampukan kita untuk menikmati berbagi pikiran dan pengalaman tokoh-tokoh yang menarik. Tokoh cerita dapat ditemui seperti bertemu dengan orang dalam keseharian manusia. Pembaca bisa diajak berpergian di tempat yang ia belum pernah dikunjungi memalui tokok cerita. Dengan kata lain, melalui sastra, pembaca dapat menikmati petualangan, tantangan, dan kemenangan baru (Enjoying Literature, 1987:1). Orang menulis sastra karena mereka ingin mengungkapkan sesuatu tentang kehidupan. Pembaca membaca sastra sebagai cerminan untuk melihat mereka secara lebih baik dan memahami apa yang diketahui. Dan, pemahaman ini merupakan salah satu sumber penikmatan sastra (Enjoying Literature, 1987:1). Argumentasi, pendapat, bahasan di atas inilah yang menjadi landasan berpikir dan kerangka teoretis untuk menggali lebih dalam pengabdian ini dan sekaligus membatasi ruang lingkup pengabdian kepada masyarakat ini. II. Metodologi Metode yang telah diterapkan dalam kegiatan ini berupa (1) Ceramah, metode ini diterapkan untuk menyampaikan materi kegiatan yang meliputi: 1) How to read an English story as creative writing; 2) How to understand a creative writing; 3) How to build critical thinking; 4) How to write creative and critical writing; (2) Workshop, metode workshop diterapkan untuk memberikan model dan langkahlangkah dalam membaca, memahami, menstimulasi, dan menulis teks cerita kritis sehingga peserta dapat menguasai keterampilan menulis yang kreatif dan kritis; (3) Presenting in media, metode ini diterapkan untuk memberikan kesempatan peserta mempertunjukkan hasil keterampilan menulis cerita yang kreatif dan kritis dalam media majalah dinding kampus dan/atau media kampus lainnya. Kriteria keberhasilan kegiatan ini dijabarkan dalam indikator sebagai berikut: (1) peserta dapat memilih cerita yang berkualitas menurut mereka, dan cerita yang memiliki nilai-nilai yang berguna bagi mereka dan masyarakat, (2) peserta dapat mengkritisi cerita sesuai dengan pembacaan secara kritis; (3) peserta
66
dapat menjadikan cerita tersebut sebagai model menulis kreatif dan kritis; (4) peserta dapat menulis cerita sebagai tulisan kreatif dan kritis. III. Hasil dan Pembahasan Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan bercerita bahasa Inggris sesuai dengan teknik bercerita bahasa Inggris (storytelling), menampilkannya, telah mencapai hasil yang memuaskan. Hasil yang dicapai dapat dikategorikan ke dalam jenis: (1) peningkatan pengetahuan menulis cerita dalam bahasa Inggris, (2) peningkatan penguasaan teknik menulis cerita bahasa Inggris yang kritis dan kreatif, dan (3) pemuatan cerita dalam media. 3.1 Peningkatan Pengetahuan Menulis Cerita Dalam Bahasa Inggris Setelah dilakukan kegiatan pelatihan, keterampilan menulis kreatif yang kritis fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peserta yang berjumlah kurang lebih 20 orang, sebagian besar di antaranya telah mampu menulis kreatif yang kritis dalam bahasa Inggris. Kemampuan para peserta pengabdian ini dilatih dengan memberikan pengetahuan tentang menulis kreatif yang kritis dalam bahasa Inggris. Pemberian pengetahuan menulis kreatif dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam kegiatan pelatihan ini adalah adalah memberikan model tulisan kreatif, membaca, dan memahami isi tulisan tersebut. Pada awalnya, peserta pengabdian diberikan beberapa model tulisan kreatif berbahasa Inggris. Model-model tersebut diambilkan dari cerita pendek berbahasa Inggris, seperti The Nightingale and the Rose ditulis oleh Oscar Wilde, The Looking Glass ditulis oleh Anton Checkov, and The Story of an Hour ditulis oleh Kate Chopin. Ketiga cerita pendek tersebut diberikan kepada peserta untuk dibaca sebagai usaha brainstorming bagi mereka. Para peserta secara baris per baris diminta membaca cerita tersebut secara bergantian. Ketika mereka membaca, penulis sembari berusaha membetulkan pengucapan pelafalan bunyi bahasa Inggris para peserta. Setelah peserta membaca dengan pelafalan yang benar sesuai dengan pelafalan bunyi bahasa Inggris yang distandarkan, mereka diminta untuk menerjemahkan secara sekilas (at a glance) kata-kata yang dibacanya. Kegiatan ini terkesan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Kegiatan untuk memahami isi dan jalan cerita ini membutuhkan waktu satu pertemuan dengan durasi dua jam lebih. Dengan perbedaan kebiasaan membaca cerita pendek berbahasa Inggris ini, penulis ditunjukkan proses pembacaan untuk pemahaman yang bervariasi. Kegiatan ini merupakan kegiatan awal yang dijadikan model menulis kreatif yang kritis. Peserta diajak secara langsung menyelami apa yang terjadi di dalam cerita-cerita tersebut sehingga mereka mendapatkan pesan apa yang ingin disampaikan oleh penulis cerita-cerita tersebut. Mereka kemudian mendiskusikannya secara berkelompok. Diskusi yang dilakukan peserta ini masih merupakan kegiatan brainstorming. Mereka mendiskusikan pesan dan/atau kandungan yang ada di cerita-cerita tersebut. Aktivitas ini kemudian diakhiri dengan pemaparan hasil pembacaan mereka perkelompok. Peserta saling bertukar pendapat mengenai hasil pembacaan perkelompok mereka masing-masing. Dengan kata lain, hasil
67
pembacaan inilah yang menjadi point to depart mareka untuk mengembangkan ide-ide kreatif dalam penciptaan tulisan kreatif yang kritis. Melalui hasil pembacaan dan diskusi ini, para peserta dipancing dan saling memancing dengan pertanyaan kritis terhadap cerita yang dibaca. Sebagai contoh, ketika mereka membaca The Nightingale and the Rose, mereka saling mendiskusikan why did the nightingale do sacrifice for students?, what was the main reason behind that?, what did it get from the student?, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan hasil dari pemikiran kritis peserta sebagai model untuk membangun ide cerita kritis bagi cerita mereka. Indikator dari meningkatnya pengetahuan mereka tentang menulis kreatif kritis berbahasa Inggris adalah dengan penguasaan atau peningkatan kemampuan peserta memunculkan pertanyaan kritis terhadap kandungan yang ada di dalam cerita sebagai penemuan ide-ide kritis kreatif yang dijadikan bangunan dasar dalam menulis kreatif kritis berbahasa Inggris. Kemampuan bertanya dan mempertanyakan merupakan pemicu awal memunculkan daya kritis pembacaan yang berelasi dengan meningkatnya kemampuan menulis kreatif kritis bagi peserta pengabdian ini, mengingat peserta masih dalam keadaan mengaplikasikan kemampuan keingintahuan yang cukup besar. 3.2
Peningkatan Penguasaan Teknik Menulis Cerita Bahasa Inggris yang Kritis dan Kreatif Pertemuan kedua merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya. Jika dalam pertemuan pertama, peserta diberikan cerita-cerita pendek berbahasa Inggris, untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis kritis dalam menemukan ide-ide kritis cerita, pada pertemuan ini peserta diberikan pengetahuan mengenai apa cerita pendek itu, elemen-elemen pembentuknya, dan bagaimana menyusun eleman-elemen tersebut menjadi sebuah jalinan cerita. Pada awalnya, peserta diperkenalkan oleh penulis mengenai konsep apa itu short story. Secara definisi, short story merupakan a brief work of fiction where, usually, the main character faces a conflict that is worked out in the plot of the story. Penulis mengajak peserta dengan mencermati secara kritis definisi ini. Sebagai contoh, pada definisi tersebut dituliskan the main character faces a conflict. Penulis mengajak peserta menengarai bahwa di dalam short story tokoh utama menghadapi satu konflik saja. Artinya, secara kritis, penulis mengajak peserta untuk menandai bahwa di dalam membuat sebuah cerita pendek, peserta menentukan sebuah konflik untuk tokoh utama. Dengan kata lain, cerita itu disusun setidaknya ada satu konflik yang harus diselesaikan oleh tokoh utama. Dengan demikian, Daya kritis peserta dipicu dengan menengarai tanda-tanda yang menjadi determiner cerita itu disusun. Setelah peserta dipancing daya kritisnya melalui penandaan secara kritis memahami definisi cerita pendek, peserta diajak untuk mengeksplorasi bagaimana tokoh di dalam cerita dibentuk. Beberapa teknik yang digunakan, antara lain: (1) menyajikan tema yang dielaborasikan; (2) mengenali dan menentukan tipe-tipe tokoh dalam cerita; (3) mengembangkan bagaimana tokoh itu diciptakan dan ditumbuhkembangkan secara langsung maupun tidak langsung oleh penulis cerita; (4) menyuguhkan konflik dan solusinya dan menyusunnya ke dalam sebuah plot;
68
(5) memberikan aktualisasi pemancingan daya kritis pembaca, seperti memberikan bahasa-bahasa majas, simbol, dan citra. Teknik-teknik yang dicobaperkenalkan dalam pembuatan tulisan kreatif kritis para peserta tersebut di atas merupakan teknik mengembangkan cerita. Pada pertemuan selanjutnya, penulis memberikan contoh atau model cerita yang disusun oleh penulis. Penulis mencoba memberikan model cerita ini untuk dijadikan bahan imitasi yang akan dikembangkan oleh peserta. Tema yang diajukan untuk menulis kreatif kritis ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman pribadi yang pernah dialami oleh peserta. Pengalaman pribadi itu menjadi bahan dasar menentukan konflik dan pengembangannya. Tokoh yang diciptakan adalah tokoh representasi “aku” peserta masing-masing. Pertemuan ketiga dilaksanakan untuk mengembagkan cerita melalui konflik seperti model di atas. Dalam pertemuan ini peserta diminta menemukan permasalahan-permasalahan yang dialami sebagai pengalaman masa lalunya. Dari permasalahan inilah, konflik cerita secara kritis dikembangkan. Pengembangan konflik ini merupakan ajang awal mengimplementasikan daya kritis peserta. Peserta diminta penulis mengemukakan masalah yang pernah dialami. Sebagai contoh, ada peserta yang menuliskan masalahnya adalah lazy to do what he has planned because something, having no similar perception with his parent, dan feeling unconfident. Permasalahan-permasalahan di atas inilah yang dikembangkan menjadi konflik dalam sebuah cerita. Tentu saja, pengembangan cerita didramatisasi dengan pemikiran kritis penulis cerita. Sebagai contoh, pengembangan permasalahan di atas adalah I have many planning that I’ve thought it seriously. From planning to bu something, to do anything, to come to friends, to take a journey, until to get a girlfriend. But not all my planning can be completed because I can’t focus to one planning. In my thinking, all of my planning must be completed rightly. Because I thibk that profesionalization is able to do all things. Besides that, somethimes the planning that I’ve thought isn’r correlate with the parent’s will. It very makes me confuse to choose between staying doing my planning or following what my parent’s decision. But, often I stay doing my planning although parent doesn’t agree. Not stopped till that, in some planning or willing, I can’t be confident to do that, somehow I feel less or feel that I can’t do that, or I feel the others are very and many problems make me unconfident. So, I just plan it without do it (M. A. Himawan Akbar). Penggalan tulisan di atas menunjukkan penegembangan ide atau permasalahan secara kritis. Kritis yang dilakukan peserta tersebut adalah berusaha mempertanyakan pemikirannya sendiri dan tidak berusaha menyalahkan orang lain, dalam hal ini orangtuannya. Hal-hal semacam inilah yang menjadi produk dari pengembangan teknik-teknik untuk menulis kreatif yang kritis. 3.3 Pemuatan Cerita dalam Media Tulisan kreatif kritis yang di buat mereka merupakan hasil penuangan pemikiran kritis para peserta ke dalam tulisan kreatif berbentuk cerita pendek. Tokoh cerita
69
yang diciptakan menggunakan sudut pandang orang pertama. Tokoh “aku” dikembangkan dalam menjalani konfliknya sampai pada mensolusikan permasalahannya. Tulisan kreatif mereka ini sebagai cikal dasar mengisi kolomkolom dalam media. Pertemuan pengabdian terakhir adalah memodifikasi hasil tulisan kreatif kritis mereka menjadi layak tampil di media. Media yang digunakan dalam pengabdian ini, disebabkan keterbatasan pelaksana pengabdian dalam membuat media cetak, adalah media wall magazine (majalah dinding) yang ada di kampus. Peserta berusaha menmodifikasi tulisan mereka menjadi bentuk yang artistik dan estetik yang dapat dipajang di wall magazine. Media di atas merupakan media komunikasi yang efektif untuk berbagi ide kritis dan penularan kemampuan tersebut bagi khalayak ramai. Peserta menggunakan media ini, untuk ke depannya, melakukan hal tersebut di atas. Secara reguler, peserta diharapkan dapat mengganti isi dari wall magazine tersebut dengan tulisan-tulisan kreatif kritis yang lain. Melalui pemuatan tulisan kreatif kritis dalam media tersebut, peserta ditantang untuk terus berinovasi dalam menelurkan ide-ide kreatif dan mengembangkan kemampuan kritisnya. Mereka akan tertantang untuk membuat pembaruan-pembaruan konten cerita yang bisa diambil dari permasalahan pribadi mereka sampai permasalahan yang dialami orang lain ke dalam bingkai kreativitas menulis. Di samping itu, penulisan hasil galian permasalahan dalam bentuk tulisan kreatif dapat mengkamuflasekan fakta-fakta yang diambil dari permasalahan orang. Peserta dalam melakukan itu dengan menciptakan tokoh rekaannya. Namun demikian, peserta terus melakukan pengembanganpengembangan ide dan alur cerita dengan bertanya secara kritis terhadap permasalahan atau konflik yang diciptakan dalam tulisan kreatif tersebut. IV. Simpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, hal yang dapat disimpulkan adalah peningkatan kemampuan menulis kreatif kritis peserta pengabdian dapat diukur dari meningkatnya (1) pengetahuan mereka tentang menulis kreatif kritis berbahasa Inggris adalah dengan penguasaan atau peningkatan kemampuan peserta memunculkan pertanyaan kritis terhadap kandungan yang ada di dalam cerita sebagai penemuan ide-ide kritis kreatif yang dijadikan bangunan dasar dalam menulis kreatif kritis berbahasa Inggris, (2) menggunakan teknik-teknik penulisan kreatif, berbentuk cerita pendek, untuk mengembangkan permasalahan menjadi konflik secara kritis dalam mendeskripsikan dan mendramatisasi cerita melalui model yang diberikan penulis, (3) kemampuan untuk memodifikasi tulisan mereka menjadi karya artistik dan estetik sehingga dapat secara reguler ditampilkan dalam wall magazine di kampus. Hal-hal inilah yang menjadi daya pembeda penuangan kemampuan kritis fungsionaris BEM Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang selama ini banyak dipersepsikan oleh civitas akademika universitas. Hasil dari pembahasan di atas mengindikasikan bahwa kegiatan pelatihan menulis kreatif kritis bagi fungsionaris BEM Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semrang ini dapat dilaksanakan dan menghasilkan nilai-nilai pembeda terhadap persepsi tentang para fungsionaris. Mereka lebih tertantang
70
untuk terus berkarya dan menampilkannya dalam media sehingga bisa menularkan ide kreatif kritisnya kepada yang lain. Teknik-teknik ini nantinya akan menjadi sarana untuk belajar bahasa Inggris dengan penguasaan teknik bercerita yang kritis. Dengan demikian, disarankan agar kegiatan pelatihan seperti perlu dilaksanakan secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA Budianta, Melani. 2002. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera Lau, Joe Y.F. 2011. An Introduction to Critical Thinking and and Creativity: Think More Think Better. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Macmillan Literature Series. 1987. Enjoying Literature. New York: Scribner Educational Publishers Macmillan Novakovich, Josip. 2003. Berguru kepada Sastrawan Dunia: Buku Wajib Menulis Fiksi. Terjemahan Fahmy Yamani. Bandung: Kaifa
71