LAPORAN PENELITIAN
URGENSI PENGATURAN MENGENAI PENYELENGGARAAN PERIZINAN BIDANG PERINDUSTRIAN DI KOTA DENPASAR
Ketua Anggota
Peneliti: : Made Maharta Yasa, SH., MH. : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. M.Hum. A. A, Sri Utari, SH., MH. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. A.A. Gede Duwira Hadi Santosa, SH., M.Hum. I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., M.Hum. LL.M.
BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2014
HALAMAN PENGESAHAN
1
Judul
:
Urgensi Pengaturan Mengenai Penyelenggaraan Perizinan Bidang Perindustrian di Kota Denpasar
2. Ketua Penelitian a. Nama b. Pangkat/Golongan/NIP
: :
Made Maharta Yasa, SH., MH. IIIa/Asisten Ahli Madya/19730415 199802 1 001
c. Jabatan Fungsional d. Fakultas e. Universitas f. Curriculum Vitae 3. Lokasi Penelitian
: : : : :
4. Jangka Waktu Penelitian 5. Biaya Penelitian
: :
Hukum Udayana Terlampir Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Laboratorium Elektronik FH Unud. 3 (tiga) bulan (Juli s/d September 2011) Rp. 9.375.000,-
Ketua Bagian Hukum Internasional
Denpasar, 1 Oktober 2014 Ketua Penelitian
I.G. Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH NIP : 19730528 199802 1 001
Made Maharta Yasa, SH., MH. NIP : 19730415 199802 1 001
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH, MH NIP : 19530401 198003 1 004
KATA PENGANTAR
Sebagai parameter perekonomian nasional maka sektor industri menjadi penting keberadaannya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka itu pemerintah harus memperhatikan perkembangan industri lokal, daerah dan nasional. Industri telah menjadi bagian yang melekat. Terbukti bahwa industri lokal menjadi andalan pertumbuhan ekonomi nasional karena mampu berfungsi menjadi sentra ekonomi. Oleh karena industri menjadi urat-nadi perekonomian nasional maka sudah semestinya azas pembangunan industri lokal dibawa ke dalam skema produktifitas nasional. Selain menyerap tenaga kerja, kegiatan industri lokal nantinya diharapkan menjadi menjadi barometer pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan keadilan lintas generasi sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu perlu adanya perizinan sebagai elemen yang mengatur pola dan arah yang diinginkan oleh pemerintah. Pengaturan perizinan di bidang perindustrian harus mengakomodasi azas demokrasi ekonomi, lingkungan hidup, dan produkifitas, sebagaimana yang tercantum balam Pasal 33 UUD 45 hasil amandemen keempat yang berbunyi “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk: mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna, mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur, mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bidang usaha industri secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk memperkokoh struktur industri nasional pada setiap tahap perkembangan industri. Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Perlu ditekankan bahwa setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh Izin Usaha Industri. iii
Senada bunyi pasal 33 ayat (4) UUD 1945 bahwasannya izin lingkungan juga merupakan hal yang penting dalam aspek perizinan pendirian perusahaan industri selain izin usaha industri. Hal ini menjadi sangat penting karena Aktivitas industri yang dilakukan dalam berbagai bentuk Usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya secara langsung atau tidak langsung akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Sehingga melalui instrumen perizinan diharapkan bahwa setiap pendirian perusahaan perindustrian, pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif oleh pemerintah (pusat maupun daerah) dapat disiapkan sedini mungkin sehingga aspek strategis lainnya tetap terpelihara.
Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan
>> > ii
Kata Pengantar
>> > iii
Daftar Isi
>>> v
BAB I.
PENDAHULUAN
>>> 1
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
>>> 2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
>>> 3
BAB IV
METODE PENELITIAN
>>> 10
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
>>> 11
BAB VI
PENUTUP
>>> 24
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
>>> 28
DAFTAR PUSTAKA
>>> 29
RANCANGAN ANGGARAN DAN BELANJA PENELITIAN
>>> 30
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kota Denpasar (yang menurut UU No 1 tahun 1992 bernama Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar) sudah memiliki peraturan daerah yang mengatur izin industri yaitu Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 12 Tahun 2002 tentang Ijin Usaha Industri. Namun peraturan daerah tersebut saat ini sudah kurang sesuai dengan tuntutan masayarakat, maka perlu diadakan penelitian tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan identifikasi masalah, yaitu : 1.
Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan pengaturan penyelenggaraan perizinan bidan perindustrian di kota Denpasar?
2.
Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pengaturan penyelenggaraan perizinan bidan perindustrian di kota Denpasar?
1
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pengaturan penyelenggaraan perizinan bidan perindustrian di kota Denpasar. 2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pengaturan penyelenggaraan perizinan bidan perindustrian di kota Denpasar.
2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORITIS Sebagai parameter perekonomian nasional maka sektor industri menjadi penting keberadaannya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka itu pemerintah harus memperhatikan perkembangan industri lokal, daerah dan nasional. Industri menjadi bagian yang vital dan menjadi urat-nadi perekonomian nasional, karena industri menjadi penyumbang devisa besar bagi Negara. Dalam hal ini daerahlah yang menjadi sentra pertumbuhan industri yang paling banyak berpartisipasi dalam peningkatan ekonomi nasional. Oleh sebab itu sudah selayaknya daerah diberikan kewenangan yang lebih proporsional dalam menentukan kebijakan perindustriannya masing-masing Secara khusus peraturan yang mengatur mengenai industri adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian. Dalam Undang Undang ini menegaskan bahwa, Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna. Pemerintah juga berupaya mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur, dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri yang memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, untuk mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi atas daerah-daerah propinsi yang didalamnya terdapat beberapa kabupaten dan kota, yang tiap tiap propinsi, kabupaten atau kota tersebut mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengelola wilayahnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa pemerintah daerah sebagai pelaksana penyelenggara pemerintahan tidak boleh mengikari bahwa, setiap tindakan pemerintah bagaimanapun bentuknya merupakan bagian dari adanya kekuaaan vertikal dari pemerintah pusat dan tidak dapat dipisahpisahkan dalam wadah Negara Kesatuan. Terkait dengan kewenangan di bidang perindustrian, bahwasannya pemerintah daerah juga mempunyai kewenangan dalam menetapkan peraturan daerah yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi sebagaimana di dalamnya termasuk kegiatan peridustrian. 3
Kewenangan dalam pembuatan peraturan daerah tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Selanjutnya mengenai kewenangan daerah yang diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undangundang No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan di bidang, Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Agama. Dari konsep pemerintahan daerah tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa, pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan kegiatan perekonomian termasuk didalamnya pengaturan mengenai peraturan perindustrian yang diberikan oleh pasal 18 ayat (6) UUD 1945 (atributif). Hal ini realistik karena yang paling mengetahui situasi serta kondisi mengenai kekayaan dan potensi yang bisa dikembangan sebagai sentra industri adalah daerah (pemerintah daerah). Disamping itu perlu diperhatikan bahwa dalam kegiatan perekonomian, ada prinsipprinsip yang harus diperhatikan sebgaiamana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 45 hasil amandemen keempat yang menyatakan bahwa, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Pasal diatas senada dengan tujuan dari pembangunan industri yang terdapat dalam pasal 3 UU No.5 Tahun 1984 Tentang Perindustian. Sehingga dapat ditarik benang lurus bahwa setiap kegiatan ekonomi yang didalamnya
pembuatan
peraturan
berkaitan
dengan
kegiatan
perindustrian,
harus
memperhatikan prinsip kebersamaan, keadilan, berwawasan lingkungan dan kemandirian sehingga konsep dari pemerataan dan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai Terlepas dari kegiatan perindustrian yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, izin merupakan elemen yang berfungsi untuk mengatur pola dan arah yang didinginkan oleh pemerintah sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan. N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge memberikan pengertian mengenai izin yaitu suatu persetujuan dan penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan.1 Disamping itu menurut Arya Utama bahwa dalam izin dapat ditemukan unsur-unsur yaitu :
1
Spelt, N.M dan Ten Berge J.B.J.M, disunting Philipus M.Hadjn, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika,1993, hal. 2-3.
4
a. Adanya suatu tindakan hukum pemerintah berupa suatu penetapan yang merupakan persetujuan membebaskan pemohon dari suatu larangan; b. Adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh si pemohonuntuk adanya pemebebasan; c. Penetapan dilakukan melalui prosedur tertentu.2 Selanjutnya Izin apabila dikaitkan dengan hubungan pelembagaan ia merupakan konsep perizinan. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
3
Adapun tujuan dan motif dari suatu tindakan tertentu melalui
instrumen perizinan menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge ada 5 hal yaitu :4 a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan-“sturen” )aktifitas-aktifitas tertentu; b. Untuk mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan); c. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen); d. Hendak membagi benda-benda sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk); e. Pengarahan, dengan menyeleksi orsang-orang dan aktifitas-aktifitas. Terkait dengan pendirian suatu perusahaan industri, bahwasannya perizinan menjadi instrumen yang sangat penting. Dalam setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya, perusahaan wajib memperoleh Izin Usaha Industri. Pemberian Izin Usaha Industri penting karena terkait dengan pengaturan, pembinaan dan pengembangan industry di suatu daerah. Dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya perusahaan industri wajib menyampaikan informasi industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada Pemerintah. Disamping itu dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya perusahaan industri wajib melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksinya termasuk pengangkutannya. Hal ini diselenggarakan sebagai upaya untuk menciptakan keteraturan, ketertiban dan kesejahteraan bersama.
2
Arya Utama I Made, Hukum Lingkungan “Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Pustaka Sutra, 2007, hal. 90. 3 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1993, Sistem Administrasi Negara Indonesia Jilid II, Jakarta, CV. Haji Masagung, h. 128 4 Spelt, N.M dan Ten Berge J.B.J.M, disunting Philipus M.Hadjn, Pengantar Hukum......., op.cit hal.4-5.
5
Disamping Izin usaha industri, izin lingkungan juga merupakan hal yang penting dalam aspek perizinan pendirian perusahaan industri. Hal ini menjadi sangat penting karena Aktivitas industri yang dilakukan dalam berbagai bentuk Usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya secara langsung atau tidak langsung akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dengan diterapkannya izin lingkungan diharapkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam kegiatan industri, dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas tersebut dapat dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat disiapkan sedini mungkin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui instrumen perizinan dalam setiap pendirian perusahaan, pemerintah (pusat maupun daerah) mempunyai kewenangan dalam membuat regulasi guna mengatur pilihan-pilihan dan mengendalikan tidakan serta prilaku masyarakat. Sehingga dalam kegiatan perusahaan perindustrian tidak hanya mengejar aspek ekonomi semata namun pelesatrian lingkungan, tata ruang dan aspek strategis lainnya tetap terpelihara. B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang telah dipositipkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang berifat formal diatur dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6. Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam penjelasan pasal. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat formal berikut pengertiannya, sebagaimana tampak dalam tabel berikut. Tabel :
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal) Berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya
Pasal 5 UU 12/2011
Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011
Dalam membentuk Peraturan Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 6
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan d. dapat dilaksanakan
e.
kedayagunaan kehasilgunaan
dan
f.
Kejelasan Rumusan
(PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu. bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. bahwa setiap PPu dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan PPu, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan
bahwa dalam Pembentukan PPu mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan PPu. Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya, sebagaimana tampak dalam tabel berikut. Tabel
: Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil Berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan
PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU 12/2011 Ayat (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. Pengayoman bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan (PPu) harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. Kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Kebangsaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan 7
sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan PPu senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan PPu yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. f. bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan PPu harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Keadilan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. h. kesamaan kedudukan dalam bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hukum dan pemerintahan hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. ketertiban dan kepastian bahwa setiap Materi Muatan PPu harus dapat hukum mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. keseimbangan, keserasian, bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan dan keselarasan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2) antara lain: PPu tertentu dapat berisi asas lain a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas sesuai dengan bidang hukum tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan Peraturan Perundang-undangan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; yang bersangkutan. b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan Tiga asas diantaranya yang relevan diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian adalah asas kemanusiaan, asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga asas ini pada dasarnya merupakan hakekat hak asasi manusia, asas yang utama dalam paham hak asasi manusia adalah non diskriminasi, artinya penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus diberikan tanpa diskriminasi.
8
Asas keterbukaan selain menjadi landasan dalam pembentukan Perda tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian juga sebagai asas yang melandasi pokok pengaturan.
C. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH Pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian akan membawa implikasi pada aspek kehidupan masyarakat, yakni: 1. Adanya pembatasan terhadap perilaku masyarakat, terutama pada pelaku industri, berupa kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. 2. Adanya tuntutan kesadaran hukum pada pemilik usaha industri, untuk memahami jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan masalah hukum berkenaan pelanggaran kewajiban-kewajiban berkaitan dengan Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian. 3. Adanya tuntutan sikap profesional kepada pemerintah dan pemilik usaha industri yang mengemban tugas penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian, dan sikap tidak diskriminatif kepada pengusaha. 4. Adanya
tuntutan
bagi
Pemerintah
yang
mengemban
tugas
pengawasan
penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian untuk mengadakan sosialisasi dan konsultasi
publik
untuk
meningkatkan
kesadaran
hukum
pengusaha
akan
kewajibannya berkenaan dengan Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian. Pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian akan membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, yakni memberikan beban pada APBD dalam rangka melakukan Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian Kota Denpasar.
9
BAB IV METODE PENELITIAN
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-cara sebagai berikut: 1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum.5 2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat peraturan perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian. Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme terkait dengan hermeneutika hukum.6 Hermeneutika hukum pada intinya adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang menampilkan segi tersurat yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan yang ada di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu memahami gagasan yang melatari pembentukan teks hukum dan wawasan konteks kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena itu penting melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep, dan pemikiran para sarjana yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya berkenaan dengan tematik penelitian penyusunan tulisan ini.7 5
Diadaptasi dari Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal …”, Ibid., hlm. 177-178. Lihat Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal …”, Ibid., hlm. 181. 7 Diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 17-18. Hermeneutika tersebut di atas merupakan modifikasi 2 (dua) orientasi hermeneutika. Pertama, Schleiermacher dan Dilthley menarik penafsir (interpreter) ke dalam zaman teks. Gadamer justru menarik teks ke zaman penafsirnya. Dengan perkataan lain, hermeneutika intensionalisme, dituntut memahami teks 6
10
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA Peraturan
Perundang-undangan
yang
menjadi
dasar
hukum
pengaturan
penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian adalah: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465). 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844). 4. Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
5
Tahun
1984
Tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274). 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
sebagaimana yang dikehendaki oleh penulis aslinya. Sebaliknya, hermeneutika dialogis Gadamer terjadi dialog antara penafsir dan teks dalam situasi zamannya dan kemampuannya untuk memaknai teks atas dasar tandatanda yang terdapat dalam teks itu sendiri. H. Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 89-94.
11
6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) 7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737 ). 8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5258) 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Pertama, UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian. Sebagai dasar hukum formalnya adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU 12/2011, “Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 …”. Sebagai arahan substansialnya adalah tidak boleh diskriminatif dalam memberikan pelayanan terkait dengan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian. Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465) 12
selanjutnya disebut UU 1/1992. Pasal 2 UU 1/1992 menentukan “Dengan Undang-undang ini dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali”, dengan urusan rumah tangga daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10: (1)
Pada saat terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar, diserahkan sebagian urusan-urusan pemerintahan sebagai kewenangan pangkal yang meliputi: a.
Pengaturan
dan
penyelenggaraan
kewenangan
untuk
mewujudkan
ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat di daerah yang bersangkutan;
(2)
b.
Pariwisata;
c.
Pekerjaan Umum;
d.
Tata Kota dan Pertamanan;
e.
Kebersihan;
f.
Kesehatan;
g.
Pendidikan Dasar;
h.
Pertanian Tanaman Pangan;
i.
Pemadam Kebakaran;
j.
Pendapatan;
k.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penambahan atau pengurangan urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 1 angka 1 UU 1/1992 mengartikan Daerah adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Sebagai Daerah Otonom, maka Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar, yang sekarang adalah Kota Denpasar, mempunyai hak sebagaimana dijamin Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 untuk menetapkan Peraturan Daerah. Berdasarkan atas ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Kota Denpasar mempunyai kewenangan melakukan pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian. Penegasan bahwa UU 1/1992 merupakan dasar hukum pembentukan peraturan daerah dapat disimak dalam Pedoman 39 TP3U, “Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah …, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah …”, yakni UU 1/1992.
13
Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) - selanjutnya disebut UU 32/2004. UU 32/2004 merupakan dasar hukum pembentukan peraturan daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pedoman 39 TP3U, “Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah”. Pasal 14 ayat (2) huruf n UU 32/2004 urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 14 ayat (2) menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata dan bertanggung jawab ada dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pariwisata. Dilanjutkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut PP 38/2007). Ketentuan tersebut diimplementasikan dalamPeraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4) - selanjutnya disebut Perda Denpasar No. 4/2008. Pasal 4 ayat (1) Perda Denpasar No. 4/2008 menentukan Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintahan Kota yang berhubungan dengan pelayanan dasar. Selain dasar kewenangan Kabupaten/kota dalam membuat peraturan daerah terkait pembuatan peraturan perijinan perindustrian, dimesi yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah lingkungan. Sebagaimana kita ketahui, langsung maupun tidak langsung kegiatan perindustrian yang dilakukan oleh suatu perusahaan mempunyai dampak terhadap lingkungan. Dalam Bab VIII Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian menyatakan bahwa perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan pelestarian sumber daya alam serta pencegahan kerusakan lingkungan dari
14
kegiatan industri yang dilakukan, dan pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan pencegahan kerusakan dan pencemaran dari kegitan industri yang dilakukan. Dalam tataran tugas dan wewenang pemerintah daerah kabupaten/Kota di bidang pengendalian lingkungan dalam BAB IX Pasal 63 ayat (3) huruf i dan huruf o, pada pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan serta menerbitkan izin lingkungan. Selanjutnya senada dengan tujuan diterbitkannya izin lingkungan yaitu meningkatkan upaya pengendalian Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup, memberikan kejelasan prosedur, mekanisme dan koordinasi antarinstansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk Usaha dan/atau Kegiatan, dan memberikan kepastian hukum dalam Usaha dan/atau kegitan, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dalam Pasal 2 angka 1 menegaskan bahwa Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki Izin Lingkungan.
B. KETERKAITAN PENGATURAN PENYELENGGARAAN PERIZINAN BIDANG PERINDUSTRIAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN Norma hukum positif terkait yang dipaparkan berikut adalah yang terdapat dalam Bidang Hukum Hak Asasi Manusia, Bidang Hukum Penataan Ruang, Bidang Hukum Lingkungan Hidup, dan Bidang Hukum Penyelenggaraan Negara. a. Bidang Hukum Hak Asasi Manusia. Norma hukum positif terkait yang terdapat dalam Bidang Hukum Hak Asasi Manusia adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik; dan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak. b. Bidang Hukum Penataan Ruang. Norma hukum positif terkait yang terdapat dalam Bidang Hukum Penataan Ruang adalah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
15
Pasal 11 (1) Wewenang pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan
penataan
ruang meliputi: a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan
ruang wilayah Kabupaten/Kota dan kawasan strategis Kabupaten/Kota; b. pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota; c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota; dan d. kerja sama penataan ruang antarKabupaten/ Kota. (2) Wewenang pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten/ Kota; b. pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota; dan c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota. (3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah Kabupaten/Kota melaksanakan: a. penetapan kawasan strategis Kabupaten/Kota; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota; dan d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota. (4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah Kabupaten/Kota mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya. (5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah Kabupaten/Kota:
16
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota; dan b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. (6) Dalam hal pemerintah daerah Kabupaten/Kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. c. Bidang Hukum Penyelenggaraan Negara. Norma hukum positif terkait yang terdapat dalam Bidang Hukum Penyelenggaraan Negara adalah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; dan Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal. d. Bidang Hukum Lingkungan Hidup. Norma hukum positif terkait yang terdapat dalam Bidang Hukum Lingkungan Hidup adalah: a. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam BAB IX Tugas Dan Wewenang Pemerintah Dan Pemerintah Daerah. Mengenai tugas dan wewenang pemerintah daerah Proponsi serta Kabupaten/Kota dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 63 ayat (3) : (3)
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
17
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan; j. melaksanakan standar pelayanan minimal; k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dalam Pasal 2 angka 1 menyebutkan “Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan” C. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS PENGATURAN
Validitas oleh Hans Kelsen diartikan sebagai eksistensi spesifik dari norma-norma. Mengatakan suatu norma
adalah valid, sama halnya
mengakui
eksistensinya atau
menganggap norma itu mengandung “kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut8. Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang
menyatakan norma-norma
hukum itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum. Suatu norma hanya dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma. Berkenaan dengan validitas, Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut
untuk
memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum9.
8
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 40 9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 19
18
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas hukum dengan nilainilai dasar hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian hukum Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie, 10 Bagir Manan11, dan Solly Lubis12. Pandangan ketiga sarjana itu dapat disajikan dalam tabel berikut. Tabel
: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia13
LANDASAN
JIMLY
BAGIR MANAN
M. SOLLY LUBIS
Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara.
ASSHIDDIQIE Filosofis
Bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Contoh, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai “staatsfundamentalnorm”.
Mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.
Sosiologis
Mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum. [Juga dikatakan, keberlakuan sosiologis berkenaan dengan (1) kriteria pengakuan terhadap daya ikat
Mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalahmasalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian.
10
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 169-174, 240-244 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hlm. 1417. 12 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hlm. 6-9. 13 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit., hlm. 38. 11
19
norma hukum; (2) kriteria penerimaan terhadap daya ikat norma hukum; dan (3) kriteria faktisitas menyangkut norma hukum secara faktual memang berlaku efektif dalam masyarakat]. Yuridis
Norma hukum itu sendiri memang ditetapkan (1) sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (2) menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; (3) menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; dan (4) oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu.
Politis
Harus tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 sebagai politik hukum yang melandasi pembentukan undangundang [juga dikatakan, pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen].
Keharusan (1) adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan; (2) adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundangundangan dengan materi yang diatur; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.
Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan, yaitu: (1) segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan untuk membuat peraturan tertentu; dan (2) segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu.
Garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaankebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan. Misalnya, garis politik otonomi dalam GBHN (Tap MPR No. IV Tahun 1973) memberi pengarahan dalam pembuatan UU Nomor 5 Tahun 1974.
20
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan tersebut menunjukan: 1.
Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks landasan keabsahan peraturan perundang-undangan, yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2.
Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3.
Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR, yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis, sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut: Tabel : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan14 LANDASAN Filosofis
Sosiologis
Yuridis
14
URAIAN Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee). Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan. Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang memerlukan penyelesaian. Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan. Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid., hlm. 29.
21
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU 12/2011) mengadopsi validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang, yang memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan15 dan teknik penyusunan naskah akademik16 yang diadopsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No 12/2011), ketiga aspek dari validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut: Tabel : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN
URAIAN
Filosofis
Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundangundangan. Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan. Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur. Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Sumber: Diolah dari berbagai sumber
15 16
Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
22
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia; ke -4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2) memajukan kesejahteraan umum. Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya sumber daya alam dan
lingkungan
hidupPerlindungan
tersebut
diarahkan
dalam
rangka
memajukan
kesejahteraan umum, yang juga merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian adalah: a. untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia; b. pengaturan perizinan di bidang perindustrian harus mengakomodasi azas demokrasi ekonomi, lingkungan hidup, dan produkifitas; c. dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah, perlu dilakukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan terpadu;
23
BAB VI PENUTUP
A. Rangkuman Landasan yuridis pengaturan Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Kota Denpasar sudah memiliki peraturan daerah yang mengatur izin industri yaitu Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 12 Tahun 2002 tentang Ijin Usaha Industri. Landasan Sosiologis, Kota Denpasar tidak memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian, namun di sisi yang lain kebutuhan hukum masyarakat tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian sangat diperlukan sehingga memerlukan Peraturan Daerah yang dapat menjamin bahwa penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian dapat terlaksana dengan baik. Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian dalam Peraturan Daerah adalah Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal dan yang materiil. Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian adalah: 1. Asas kejelasan tujuan. Pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang 24
diatur dalam penyelenggaraan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kota untuk menyelenggarakan perizinan di bidang perindustrian, sehingga tujuan negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai. 2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan bersama DPRD Kota Denpasar. 3. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Pemerintah penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian. 4. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian, termasuk subsansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah kota maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. 5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian di Kota Denpasar. 6. Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian esuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian menjamin kepastian. 7. Asas keterbukaan. Pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk
25
terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kota memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan. Asas materiil Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian: 1. Asas keadilan. Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut norma hukum dalam Pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar norma hukum dalam pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. 2. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Materi muatan pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian tidak berisi ketentuanketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya. 3. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Materi muatan pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian dituntut dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti. Dalam artian, norma hukum penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian, termasuk norma hukum penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh berlaku surut. 4. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Norma hukum dalam pengaturan penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian harus mengandung keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban membayar penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian dengan hak yang didapatkannya dengan membayar penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian. B. Rekomendasi Rekomendasi
yang dapat
diajukan dalam
rangka pembentukan
pengaturan
penyelenggaraan perizinan di bidang perindustrian, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya, adalah: 26
1. Agar segera disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian. 2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perindustrian, sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 139 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah 2004.
27
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ………, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah keduakalinya dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. …….., Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bruggink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996). Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, (Gramedia, Jakarta, 1987). Friedmann, W., Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990). Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950). Hamid S. Attamimi A., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990). ..........., ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000). Van Der Vlies, I.C., Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005.
29
RANCANGAN ANGGARAN DAN BELANJA PENELITIAN
1.
2.
3.
4.
Persiapan a.
Mengadakan penjajagan awal
Rp
800.000,00
b.
Menentukan desain penelitian
Rp
200.000,00
c.
Menyusun format penelitian
Rp
200.000,00
2.500.000,00
Biaya Operasional a.
Pengumpulan sumber pustaka: buku dan jurnal
Rp
b.
Pengumpulan data melalui : internet, koran, dan wawancara
Rp
1.300.000,00
c.
Analisa Data
Rp
1.000.000,00
d.
Surat menyurat
Rp
600.000,00
Biaya Penyusunan Laporan a.
Menyusun konsep laporan
Rp
850.000,00
b.
Honor penulisan laporan
Rp
800.000,00
Penggandaan Laporan a.
Pengetikan
Rp
275.000,00
b.
Penggandaan laporan
Rp
800.000,00
c.
Pengiriman laporan
Rp
100.000,00
Rp
9.375.000,00
Rekapitulasi Biaya Penelitian
Jadwal Pelaksanaan Jadwal Pelaksanaan/ Bulan Tahapan-tahapan Pelaksanaan Juli
Agustus
September
1. Perencanaan Penelitian
Menyusun kuesioner
Mengurus ijin
Menyiapkan bahan dan alat
2. Pengumpulan Data 3. Analisis Data 4. Penulisan Laporan 5. Pengiriman Laporan
30