LAPORAN PENELITIAN Analisis Determinan Kepatuhan Dan Pengembangan Strategi Peningkatan Kepatuhan Pembayaran Iuran Pada Peserta JKN Non PBI Mandiri Di Kota Denpasar Sebuah Joint Research Kerja Sama antara
Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Dengan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Disusun oleh:
dr. Ni Made Sri Nopiyani, MPH Putu Ayu Indrayathi, SE., MPH Rina Listyowati, S.Si.T, M.Kes
Tahun 2015
PRAKATA
Penelitian sebagai salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, merupakan salah satu wujud kontribusi akademisi terhadap pembangunan nasional. Penelitian yang berjudul “Analisis Determinan Kepatuhan dan Pengembangan Strategi Peningkatan Kepatuhan Pada Peserta JKN Non-PBI Mandiri di Kota Denpasar” bertujuan untuk memberikan masukan bagi pengembangan program Jaminan Kesehatan Nasional yang saat ini telah memasuki tahun kedua dalam implementasinya. Penelitian ini merupakan penelitian kerjasama antara Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Univesitas Udayana dengan Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan sehingga keberhasilan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari kerjasama yang baik dari kedua belah pihak. Kami tim peneliti berterima kasih kepada BPJS Kesehatan, Universitas Udayana serta seluruh informan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Laporan ini kami buat sebagai salah satu bentuk diseminasi hasil penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih dua bulan di Kota Denpasar. Kami menyadari bahwa laporan ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan dari berbagai pihak. Akhir kata, kami berharap semoga hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Denpasar, Desember 2015
Peneliti
i
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................................................ i DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1 1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 2 1.2. Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 4 2.1. Jaminan Kesehatan Nasional. ......................................................................................... 4 2.2. Peta Jalan Menuju Kepesertaan Jaminan Kesehatan Untuk seluruh Penduduk (Universal Health Coverage) ........................................................................................... 5 2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pembayaran Premi Asuransi Kesehatan .......................................................................................................... 7 BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 9 3.1. Rancangan Penelitian. ..................................................................................................... 9 3.2. Metode Pengumpulan Data ............................................................................................. 9 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................................... 10 3.4. Analisis Data ................................................................................................................. 10 3.5. Etika Penelitian ............................................................................................................. 11 3.6. Kerangka Konsep Penelitian ......................................................................................... 12 BAB 4. HASIL PENELITIAN .............................................................................................. 14 4.1. Hasil Penelitian Kuantitatif. .......................................................................................... 14 4.1.1. Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian.............................................................. 14 4.1.2. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketidakpatuhan Pembayaran Iuran Pada Peserta JKN Non-PBI Mandiri ....................................................................... 16 4.2. Hasil Penelitian Kualitatif. ............................................................................................ 20 4.2.1. Karakteristik Sosio-Demografis Peserta FGD dan Wawancara Mendalam ............ 20 4.2.2. Status Kepesertaan JKN .......................................................................................... 20 4.2.3. Latar Belakang Menjadi Peserta JKN ..................................................................... 21 4.2.4. Cara Pembayaran Iuran ........................................................................................... 23 4.2.5. Pengalaman Utilisasi Layanan Kesehatan Dengan BPJS Kesehatan ...................... 24 ii
4.2.6. Kepatuhan Pembayaran Iuran .................................................................................. 28 4.2.7. Faktor Faktor Penghambat Pembayaran Iuran ........................................................ 29 4.2.8. Strategi Peningkatan Kepatuhan Pembayaran Iuran JKN. ...................................... 33 BAB 5. PEMBAHASAN........................................................................................................ 38 BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 43 6.1. Simpulan. ...................................................................................................................... 43 6.2. Saran ............................................................................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 45 LAMPIRAN ........................................................................................................................... 46
iii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
4.1. Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian....................................................................... 15 4.2. Gambaran Kepatuhan Pembayaran Iuran Subjek Penelitian ............................................ 15 4.3. Gambaran Waktu Mulai Tidak Membayar Iuran Berdasarkan Tingkat Kepatuhan ........ 16 4.4. Hasil Analisis Bivariat Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Pembayaran Iuran Peserta JKN Non-PBI Mandiri ........................................................... 17 4.5. Hasil Analisis Multivariat Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketidakpatuhan Pembayaran Iuran Peserta JKN Non-PBI Mandiri ........................................................... 19
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak 1 Januari 2014 menjadi tonggak penting bagi upaya mewujudkan cakupan kesehatan semesta (universal health coverage) (1, 2). Penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan mampu mengatasi ketimpangan akses layanan kesehatan serta memberikan proteksi finansial dari pengeluaran katastrofik (3). JKN merupakan asuransi sosial yang wajib diikuti oleh seluruh penduduk Indonesia namun upaya untuk memperluas cakupan dilakukan secara bertahap (4). Pada fase awal dari implementasi JKN, sasaran utama adalah penduduk yang bekerja di sektor formal serta penduduk miskin. Meskipun demikian, kepesertaan penduduk dari sektor informal (peserta JKN Mandiri) juga tetap terbuka secara aktif. Hingga bulan Mei 2014 diperkirakan terdapat dua juta pekerja mandiri (bukan penerima upah) yang mendaftar sebagai peserta JKN Non PBI Mandiri, yang harus membayar iuran secara rutin tiap bulan (4). Pada umumnya pekerja mandiri yang mendaftar adalah mereka yang memiliki penyakit kronis, usia tua , atau bahkan yang sudah dijadwal melakukan terapi (4). Hasil penelitian Putra (2014) di Yogyakarta, Kalimantan Timur dan NTT juga menunjukkan bahwa kepesertaan dari Peserta non PBI Mandiri, didominasi oleh mereka yang telah sakit (5). Hal tersebut dikarenakan peserta yang telah terdaftar dapat langsung menggunakan haknya untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan (5). Meskipun potensi kebangkrutan pada skema asuransi sosial sangat kecil, tingginya kejadian adverse selection pada fase awal implementasi JKN berpotensi menimbulkan kerugian sehingga diperlukan dana cadangan dalam jumlah besar (4). Untuk menjamin adekuasi dan sustainabilitas dari pembiayaan JKN maka upaya untuk meningkatkan cakupan peserta adalah sama pentingnya dengan upaya untuk meningkatkan kepatuhan dan keberlanjutan pembayaran iuran oleh peserta. Peserta Non PBI Mandiri memiliki potensi yang lebih besar untuk tidak patuh membayar iuran karena berbeda dengan pekerja sektor formal yang pada umumnya dikelola oleh organisasi dimana mereka bekerja dan
dipotong langsung dari gaji, pekerja sektor informal harus
mengelola pembayaran iurannya sendiri.
1
Hal lain yang mungkin terjadi adalah peserta Non PBI Mandiri hanya membayar iuran saat memerlukan akses terhadap layanan kesehatan dan tidak lagi melanjutkan pembayaran saat mereka tidak lagi membutuhkan layanan kesehatan. Fenomena tersebut tentunya merupakan hal yang perlu disikapi terutama di fase awal dimana cakupan JKN masih rendah dan jumlah dana yang terkumpul belum optimal. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pembayaran iuran oleh peserta non PBI Mandiri masih sangat terbatas dan belum pernah dilakukan di Bali. Penelitian akan dilakukan di Kota Denpasar sebagai Kabupaten yang memiliki jumlah penduduk dan pekerja sektor informal terbanyak di Provinsi Bali. Kerjasama penelitian ini sangat diperlukan untuk memberikan masukan bagi pengembangan kebijakan terkait dengan model strategi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran JKN.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Untuk menganalisis determinan kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar Tujuan Khusus: 1.
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik demografis, kelas kepesertaan, status kepesertaan dan pemanfaatan layanan yang berhubungan dengan kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar
2.
Untuk mengetahui persepsi mengenai faktor-faktor penghambat dan pendukung kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar
3.
Untuk menggali strategi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah bagi pengembangan program JKN khususnya dalam mengembangkan strategi peningkatan kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri di Kota Denpasar. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan di bidang pembiayaan kesehatan. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Jaminan Kesehatan Nasional Prioritas utama reformasi pembangunan kesehatan di Indonesia adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditetapkan dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 (2). Implementasi SJSN melalui penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan wujud reformasi pembiayaan kesehatan yang bertujun untuk mencapai cakupan jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) (6). Menurut Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (6). Upaya yang dilakukan untuk mencapai universal health coverage didasarkan pada Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 25 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan kesehatan yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang mempertegas bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (6). Jaminan Kesehatan Nasional merupakan program yang dirancang untuk mengatasi jaminan kesehatan yang selama ini masih terfragmentasi sehingga dapat meningkatkan pengendalian terhadap biaya dan mutu layanan kesehatan masyarakat (4). Sebagai sebuah program yang bertaraf nasional, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memiliki badan yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 12 tahun 3
2013 pasal 1 ayat (2), badan tersebut ialah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang dikenal dengan istilah BPJS kesehatan. Dengan terselenggaranya Program JKN ini Perusahaan Perseroan Asuransi Kesehatan (ASKES) saat ini melebur menjadi BPJS Kesehatan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 pasal 1A, disebutkan bahwa BPJS kesehatan merupakan badan yang bertanggungjawab kepada presiden. Perlindungan masyarakat melalui asuransi kesehatan sosial atau JKN bertujuan untuk mengurangi pembiayaan kesehatan dengan out-of-pocket payment (6). Hal tersebut karena pembayaran secara out-of-pocket merupakan penyebab rumah tangga mengalami pengeluaran katastrofik, dimana pada gilirannya dapat mendorong mereka dalam kemiskinan (7). Pengeluaran katastrofik (catastrophic expenditure) merupakan suatu keadaan dimana rumah tangga mengurangi pengeluaran dasar mereka selama periode waktu tertentu dalam rangka membayar biaya pengobatan satu atau beberapa anggota keluarga, dengan pengeluaran untuk kesehatan sebesar 40% atau lebih dari kapasitas rumah tangga tersebut untuk membayar (4). Jaminan kesehatan nasional merupakan bentuk asuransi kesehatan sosial sehingga kepesertaan bersifat wajib dan tiap peserta harus membayar iuran. Besaran iuran merupakan kunci dari kesinambungan, kualitas Jaminan Kesehatan, dampak terhadap pemiskinan baru, dan peningkatan produktifitas penduduk. Besaran iuran dalam JKN dibagi menjadi tiga kelas yaitu: Kelas 1 sebesar Rp. 59.500,-; Kelas 2 sebesar Rp. 42.500,- dan Kelas 3 sebesar Rp. 25.500,-. Pembayaran dilakukan dengan menggunakan virtual account yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan yang dibayarkan melalui Bank. Bagi peserta yang memiliki upah/gaji, besaran iuran ditentukan berdasarkan presentase upah/gaji dan dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi peserta yang tidak mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan berdasarkan nilai nominal tertentu, sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran maka iurannya dibayar oleh pemerintah (2).
4
Gambar 2.1. Skema pembayaran iuran peserta JKN (Kemenko Kesra RI, 2013)
Paket manfaat (benefit package) atau layanan kesehatan yang dijamin dirumuskan dalam UU SJSN adalah pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis yang komprehensif mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Pasal 22 ayat 1 UU SJSN menyatakan, “Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan”. Disepakati juga bahwa untuk tahap awal, selama besaran iuran belum sama, maka layanan non-medis berupa tempat perawatan dan kelas perawatan masih dimungkinkan berbeda. Penerima Bantuan Iuran (PBI) berhak mendapat manfaat rawat inap ke kelas III sedangkan yang membayar iuran dirawat dikelas II atau kelas I, tergantung besaran upah atau golongan pangkat pegawai negeri (6).
2.2.Peta Jalan Menuju Kepesertaan Jaminan Kesehatan Untuk Seluruh Penduduk (Universal Health Coverage) Organisasi kesehatan dunia (WHO) merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian universal coverage yaitu (1) seberapa besar prosentase penduduk yang dijamin; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin, serta (3) seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk. Dimensi pertama adalah jumlah penduduk yang dijamin. Dimensi kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, misalnya apakah hanya layanan di rumah sakit atau termasuk 5
juga layanan rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang dijamin. Dapat saja seluruh penduduk dijamin biaya perawatan di rumah sakit, tetapi setiap penduduk harus bayar sebagian biaya di rumah sakit. Perluasan ketiga dimensi sangat tergantung pada kemampuan keuangan suatu negara dan pilihan penduduknya (7).
Gambar 2.2. Dimensi Universal Coverage
Salah satu prinsip penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk didalamnya jaminan kesehatan adalah kepesertaan yang bersifat wajib. Penjelasan pasl 4 UU SJSN menyatakan bahwa prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilakukan secara bertahap. Sedangkan yang dimaksud penduduk adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di dalam maupun di luar negeri dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia untuk masa paling sedikit enam bulan. Hingga pertengahan tahun 2013, mayarakat Indonesia yag telah memiliki jaminan kesehatan berjumlah 176.844.161 jiwa (72%) yang terdiri dari 1) Jamkesmas: 86.400.000 jiwa (36,3%); 2) Jamkesda: 45.595.520 jiwa (16,79%); 3) Perusahaan yang menjamin karyawannya: 16.923.644 (7,12%); 4) Askes PNS: 16.548.283 (6,69%); 5) JPK Jamsostek: 7.026.440 (2,96%); 6) Asuransi kesehatan komersial: 2.937.627 (1,2%) dan 7) TNI/POLRI/PNS KEMHAN: 6
1.412.647 (0,59%). Sebagaimana diatur dalam UU SJSN, perluasan kepesertaan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan kemampuan manajemen (6, 8). Penduduk miskin dan tidak mampu (peserta Jamkesmas dan sebagian peserta Jamkesda) yang mendapat bantuan iuran dari pemerintah yang tadinya dikelola oleh Kemenkes atau Pemda diserahkan pengelolaannya kepada BPJS Kesehatan sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Peserta PBI tidak membayar iuran, tetapi mendapat bantuan iuran dari pemerintah yang dibayarkan kepada BPJS.Pemberi kerja swasta yang sebelumnya mendaftarkan diri dan pekerjanya ke PT Jamsostek, mulai tanggal 1 Januari 2014 mendaftarkan diri ke BPJS Kesehatan (4, 8). Pekerja mandiri (bukan penerima upah) yang mendapatkan penghasilan dari usaha sendiri dapat mendaftrakan diri kapan saja selama tahun 2014 hingga 2019. Hingga bulan Mei 2014, sekitar 2 juta pekerja mandiri sudah mendaftar ke BPJS. Pada umumnya mereka yang mendaftar adalah mereka yang memiliki penyakit kronis, usia tua, atau bahkan yang sudah dijadwal melakukan terapi.Secara konstitusional mereka tidak boleh ditolak Pemerintah, melalui BPJS ,berkewajiban menjaga kesehatan keuangan BPJS dengan menyediakan dana cadangan. Selain itu, BPJS harus terus memacu pekerja penerima upah menjadi peserta untuk menyebar risiko tinggi pekerja mandiri dengan pekerja penerima upah. Pada tahun 2019, tidak boleh lagi ada pekerja mandiri atau penerima upah yang tidak terdaftar dalam JKN. Pencapaian universal coverage jaminan kesehatan ditargetkan dapat tercapai pada akhir tahun 2019 dimana seluruh penduduk Indonesia yang pada waktu itu diproyeksikan berjumlah 257,5 juta jiwa sudah terdaftar menjadi peserta jaminan kesehatan (4, 8).
2.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepatuhan pembayaran premi asuransi kesehatan Iuran dari peserta merupakan salah satu sumber pendapatan untuk pengelolaan skema asuransi kesehatan. Oleh karena itu, kepatuhan peserta asuransi untuk membayar iuran sangat penting bagi keberlangsungan skema asuransi kesehatan tersebut. Penelitian tentang determinan kepatuhan pembayaran iuran masih sangat terbatas. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain penelitian oleh Intiasari (2014) dan Dong dkk. (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Dong dkk. (2009) menunjukkan angka drop-out yang cukup tinggi dari skema asuransi kesehatan berbasis masyarakat di Burkina Faso cukup tinggi 7
yaitu berkisar antar 30,9% hingga 45,7%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa kepala keluarga perempuan, usia yang lebih tua dan pendidikan yang lebih rendah berhubungan dengan peningkatan risiko pemberhentian pembayaran iuran. Selain itu, jumlah kejadian sakit yang lebih sedikit dalam tiga bulan terakhir, jumlah anak-anak dan orangtua yang lebih sedikit dalam rumah tangga berhubungan dengan peningkatan risiko drop-out. Persepsi mengenai rendahnya kualitas layanan yang diterima serta frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan yang lebih rendah berhubungan dengan meningkatnya drop-out dari asuransi kesehatan. Pengeluaran rumah tangga yang lebih besar serta jarak ke layanan kesehatan yang lebih dekat juga meningkatkan drop-out dari skema asuransi kesehatan. Angka drop-out yang tinggi menyebabkan berkurangnya ‘pool’ asuransi. Tingginya angka drop-out pada skema ‘Nouna Health District’ di Burkina Faso diduga berhubungan dengan afordabilitas, kebutuhan dan permintaan kesehatan, kualitas layanan kesehatan, serta karakteristik rumah tangga dan kepala keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Intiasari
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang JKN,
ketersediaan informasi dan keterjangkauan premi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pembayaran iuran pada peserta Non PBI Mandiri di wilayah pedesaan Kabupaten Purbalingga (9). .
8
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan longitudinal retrospektif yang bertujuan untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non PBI Mandiri. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan rancangan deskriptif untuk menggali lebih jauh faktor-faktor penghambat dan pendukung yang ditemukan dari penelitian kuantitatif serta untuk menggali alternatif strategi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan keberlanjutan pembayararan iuran pada peserta Non PBI Mandiri.
3.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mixed method (gabungan metode kuantitatif dan kualitatif): 1.
Metode kuantitatif: Metode pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap data kepesertaan, data klaim dan data pembayaran iuran peserta JKN Non-PBI Mandiri di Kota Denpasar pada periode 1 Januari 2014 hingga 31 Oktober 2015. Data sekunder diperoleh dari Grup Litbang BPJS Kesehatan pada tanggal 9 Desember 2015.
2.
Metode kualitatif: Metode pengumpulan data kualitatif awalnya direncanakan akan dilakukan melalui empat FGD terhadap peserta JKN Non PBI Mandiri di empat kecamatan di Kota Denpasar yaitu: Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Utara dan Denpasar Selatan. Pada tiap kecamatan akan diselenggarakan satu FGD. Masing-masing FGD akan melibatkan delapan orang peserta. Setelah diselenggarakan tiga FGD, dengan peserta berjumlah 25 orang peneliti merasa kurang mendapatkan informasi dari peserta JKN Non-PBI Mandiri yang telah menunggak pembayaran iuran. Mengingat topik ketidakpatuhan pembayaran iuran adalah hal yang sensitif dan kemungkinan tidak secara bebas bisa diceritakan dalam FGD, maka peneliti mengganti FGD yang terakhir dengan wawancara mendalam. Wawancara mendalam telah dilakukan terhadap lima orang peserta yang memiliki tunggakan pembayaran iuran. FGD dan wawancara mendalam dilakukan dengan mengacu pada pedoman yang telah dikembangkan sendiri oleh peneliti. Jalannya FGD akan direkam dengan tape recorder dengan persetujuan dari peserta. Keseluruhan FGD dan wawancara 9
mendalam berlangsung sejak minggu keempat bulan Oktober hingga minggu kedua bulan Desember 2015. Peneliti mengalami kesulitan untuk merekrut informan terutama informan wawancara mendalam. FGD berlangsung sekitar 1 jam sedangkan wawancara mendalam rata-rata berlangsung selama 30 menit.
3.3. Populasi dan sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar. Sampel penelitian untuk penelitian kuantitatif adalah data peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi yaitu telah terdaftar secara resmi sebagai peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar paling lambat pada bulan April 2015. Data yang berhasil disinkronisasi adalah data kepesertaan, klaim dan pembayaran iuran dari 19.496 peserta. Informan FGD adalah peserta JKN Non PBI Mandiri yang bertempat tinggal di Kota Denpasar, melaksanakan pembayaran iuran dan/atau mengetahui bagaimana pembayaran iuran JKN selama ini dilakukan. Informan FGD dipilih secara purposive yaitu dengan memilih peserta yang dianggap mampu memberikan informasi yang komprehensif mengenai faktor-faktor penghambat dan pendukung kepatuhan pembayaran iuran JKN serta mengenai upaya-upaya yang menurut mereka efektif untuk meningkatkan kepatuhan. Perekrutan informan dilakukan dengan teknik snowballing dimulai dari peserta JKN Non PBI Mandiri yang dikenal oleh peneliti dan meminta mereka untuk membantu merekrut peserta yang mereka kenal. Informan wawancara mendalam juga dipilih secara purposive yaitu dengan memilih peserta yang memiliki tunggakan pembayaran iuran JKN.
3.4. Analisis Data
Teknik analisis data kuantitatif Data kepesertaan, klaim dan pembayaran iuran disinkronkan terlebih dahulu sebelum dianalisis. Data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan software STATA versi 12.1. Analisis deskriptif dilakukan terhadap karakteristik sosio-demografik, status kepesertaan, pembayaran iuran dan pemanfaatan layanan di FKTP dan FKTL. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan poisson regression untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan 10
tergantung. Hubungan dikatakan bermakna jika p value <0.05 dan nilai confidence interval dari adjusted risk ratio tidak meliputi 1. Teknik analisis data kualitatif Analisis data dalam penelitian akan dilakukan sepanjang penelitian berlangsung. Teknik analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik (thematic analysis). Rekaman FGD akan ditranskripsi. Hasil analisis data disajikan secara kuotasi, yaitu menyajikan data sesuai dengan pernyataan asli responden sehingga dapat membantu pembaca untuk memasuki situasi dan pemikiran subyek penelitian secara langsung, serta mengaitkannya dengan interpretasi penulis (10).
3.5. Etika penelitian
Proposal beserta instrumen penelitian telah diajukan ke Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan telah dinyatakan laik etik dengan Keterangan Kelaikan Etik Nomor 1738/UN.14.2/Litbang/2015. Penjelasan rmengenai tujuan penelitian, prosedur pengumpulan data, hak responden, risiko dan manfaat keterlibatan responden dalam penelitian ini akan disampaikan kepada responden sebelum meminta persetujuan tertulis responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini (informed consent). Data yang diperoleh dari hasil analisis data sekunder dan FGD akan dijaga kerahasiaannya dan hanya bisa diakses oleh peneliti. Penyajian data hasil penelitian akan menjunjung tinggi asas konfidensialitas dengan cara tidak menyajikan identitas responden.
11
Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik sosio-demografik (umur, jenis kelamin) Kelas kepesertaan Status kepesertaan Penggunaan manfaat JKN di FKTP Penggunaan manfaat JKN di FKTL Pengetahuan tentang JKN
Kepatuhan pembayaran iuran JKN pada peserta Non PBI Mandiri
Ketersediaan informasi Keterjangkauan iuran Persepsi tentang kualitas layanan kesehatan Persepsi tentang risiko sakit /kebutuhan kesehatan Persepsi tentang prosedur pembayaran Faktor-faktor penghambat dan pendukung Gambar 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberlanjutan pembayaran iuran Diadaptasi dari hasil penelitian Intiasari (2014) & Dong dkk. (2009) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan dari keberlanjutan pembayaran iuran pada peserta Non PBI Mandiri. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain penelitian oleh Intiasari (2014) dan Dong dkk. (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Intiasari
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang JKN, ketersediaan informasi dan
keterjangkauan premi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pembayaran iuran pada peserta Non PBI Mandiri di wilayah pedesaan Kabupaten Purbalingga (9). Penelitian yang dilakukan oleh Dong dkk. di Burkina Faso, menyebutkan bahwa tingginya angka drop-out dari skema asuransi kesehatan berbasis komunitas antara lain adalah affordability (keterjangkauan) iuran, kebutuhan kesehatan, kualitas layanan, dan karakteristik rumah tangga (11). Variabel-variabel bebas yang diteliti pada penelitian longitudinal retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari BPJS terdiri dari usia, jenis kelamin, kelas kepesertaan, status kepesertaan, pemanfaatan layanan di FKTP dan FKTL. Sedangkan variabel tergantungnya adalah kepatuhan pembayaran iuran. Faktor-faktor penghambat dan pendukung lainnya yang 12
mempengaruhi kepatuhan pembayaran iuran akan dieksplorasi lebih lanjut dalam FGD dan wawancara mendalam.
13
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Hasil Penelitian Kuantitatif Penelitian ini menggunakan mixed method atau kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif untuk dapat memberikan jawaban mengenai determinan kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri di Kota Denpasar. Metode kuantitatif dilakukan dengan analisis data sekunder yaitu data kepesertaan, klaim dan pembayaran iuran peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar. Data sekunder diperoleh dari Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan pada tanggal 9 Desember 2015. Data yang diperoleh dari Grup Litbang BPJS Kesehatan menunjukkan ada sejumlah 84.959 orang terdaftar sebagai peserta JKN kesehatan Non PBI Mandiri sejak 1 Januari 2014 hingga Oktober 2015. Dari 84.959 peserta yang terdaftar terdapat sekitar 65.391 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu telah terdaftar sebagai peserta JKN paling lambat pada bulan April 2015. Dari 65.391 peserta tersebut, hanya data dari 19.469 peserta yang bisa disinkronkan antara data kepesertaan, klaim dan pembayaran iurannya. Data yang diberikan oleh Grup Litbang BPJS kesehatan terpisah antara data kepesertaan, klaim dan iurannya sehingga perlu disinkronisasi untuk bisa dianalisis.
4.1.1. Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian Sebelum dilakukan analisis terhadap data yang bisa disinkronkan, dilakukan perbandingan karakteristik antara kelompok yang dapat dianalisis dan tidak dapat dianalisis. Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan proporsi antara kelompok yang dianalisis dan tidak dianalisis dari segi karakteristik umur, kelas kepesertaan dan status kepesertaan. Perbedaan tersebut kemungkinan dapat berimplikasi terhadap hasil sehingga interpretasi terhadap hasil perlu dilakukan dengan lebih berhati-hati.
14
Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian Kelompok Karakteristik
Tidak dianalisis n(%) 33,5 + 19,6
Dianalisis n(%) 37,3 + 19,7
Laki laki
33.517 (51,18)
9.608 (49,35)
Perempuan
31.973 (48,82)
9.861 (50,65)
Kelas 1
32.212 (49,19)
11.797 (60,59)
Kelas 2
14.497 (22,14)
3.191 (16,39)
Kelas 3
18.781 (28,68)
4.481 (23,02)
Peserta
21.734 (33,19)
9.931 (51,01)
Istri
14.184 (21,66)
3.642 (18,71)
Suami
726 (1,11)
298 (1,53)
Anak
23.869 (36,45)
4.919 (25,27)
4.977 (7,60)
679 (3,49)
Umur, Rerata + SD Jenis Kelamin
Kelas Kepesertaan
Status Kepesertaan
Tambahan
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan analisis secara deskriptif terhadap kepatuhan pembayaran iuran JKN pada peserta JKN Non-PBI Mandiri. Tabel 4.2 . Gambaran Kepatuhan Pembayaran Iuran Subjek Penelitian Kategori kepatuhan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
(n= 19.469) Tidak ada tunggakan
9.528
48,94
Tunggakan 1-5 bulan
4.775
24,53
Tunggakan ≥ 6 bulan
5.166
26.53
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa lebih dari 50% peserta JKN Non PBI Mandiri memiliki tunggakan pembayaran iuran. Lebih dari seperempat dari peserta bahkan memiliki tunggakan pembayaran selama enam bulan atau lebih yang mengindikasikan tingginya angka ketidakpatuhan dalam 15
pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri. Data-data dari peserta yang memiliki tunggakan lalu dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui lama waktu dalam bulan dari mulai terdaftar sebagai peserta JKN Non PBI
Tabel 4.3. Gambaran waktu mulai tidak membayar iuran berdasarkan tingkat kepatuhan Tingkat Kepatuhan Waktu mulai tidak patuh
Menunggak 1 sampai 5 bulan
Mean +SD (bulan)
12,0 + 6,0
Menunggak > 6 bulan 4,3 + 3,5
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa peserta JKN Non-PBI Mandiri yang memiliki tunggakan iuran selama 1 hingga 5 bulan rata-rata mulai tidak melakukan pembayaran iuran setelah 12 bulan sejak terdaftar menjadi peserta. Sedangkan, peserta JKN Non-PBI Mandiri yang menunggak iuran selama 6 bulan atau lebih rata-rata mulai tidak melakukan pembayaran adalah 4 bulan sejak terdaftar sebagai peserta BPJS. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa peserta yang tidak patuh membayar iuran selama 6 bulan atau lebih biasanya berhenti membayar iuran lebih dini dibandingkan dengan yang tunggakannya lebih sedikit.
4.1.2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri Analisis selanjutnya dengan metode poisson regression dengan menggunakan STATA. Dalam analisis tersebut variabel tergantung dibagi menjadi patuh dan tidak patuh. Mengingat dalam aturan kepesertaan JKN, peserta JKN Non-PBI Mandiri yang tidak membayar iuran selama 6 bulan kepesertaannya akan di non-aktifkan, maka variabel tergantung dalam penelitian ini akan dibagi menjadi 2 kategori yaitu patuh jika peserta memiliki tunggakan 0 hingga 5 bulan dan tidak patuh jika peserta memiliki tunggakan 6 bulan atau lebih.
16
Tabel 4.4. Hasil analisis bivariat faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pembayaran iuran peserta JKN Non-PBI Mandiri Ketidakpatuhan Variabel
Patuh n(%)
Tidak Patuh n(%)
RR
95% CI
Nilai p
Laki
6.993 (72,78)
2.615 (27,22)
Ref
Perempuan
7.310 (74,13)
2.551 (25.87)
0.95
0.900-1.003
0.068
38,7 + 19,8
33,5 + 18,8
0,99
0,988-0,991
<0,001
Kelas 1
8.785 (74,47)
3.012 (25,53)
Ref
Kelas 2
2.346 (73,52)
845 (26,48)
1,04
0,960-1,119
0,349
Kelas 3
3.172 (70,79)
1.309 (29,21)
1,14
1,072-1,220
<0,001
Peserta
7.166 (72,16)
2.765 (27,84)
Ref
Istri
2. 856 (78,42)
786 (21,58)
0,78
0,716-0,839
<0,001
Suami
206 (69,13)
92 (30,87)
1,11
0,900-1,365
0,330
Anak
3.551 (72,19)
1.368 (27,81)
0,99
0,936-1,066
0,973
524 (77,17)
155 (22,83)
0,82
0,697-0,964
0,016
Kunjungan FKTP
2,5 + 9,6
1,2 + 4,1
0,96
0,960-0,975
<0,001
Kunjungan FKTL
2,1 + 3,6
0,7 + 1,9
0,77
0,761-0,792
<0,001
Jenis kelamin
Umur (Mean+SD) Kelas kepesertaan
Status kepesertaan
Tambahan Kunjungan (Mean+SD)
Berdasarkan hasil analisis bivariat dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran adalah usia, kelas kepesertaan, status kepesertaan, jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL). Hubungan antara usia dengan ketidakpatuhan ditunjukkan dengan nilai p < 0,001 dan nilai RR sebesar 0,99 yang berarti bahwa dengan meningkatnya usia peserta sebanyak 1 tahun terjadi penurunan risiko ketidakpatuhan sebesar 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko ketidakpatuhan menurun dengan meningkatnya usia sehingga peserta yang berusia lebih tua lebih patuh membayar iuran dibandingkan peserta yang lebih muda.
17
Pada hubungan antara kelas kepesertaan JKN dengan ketidakpatuhan diperoleh nilai p < 0,001 dan nilai RR sebesar 1,14 pada kelompok kepesertaan Kelas 3 dibandingkan dengan kelas 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta JKN Non-PBI Mandiri Kelas 3 memiliki risiko tidak patuh membayar iuran JKN 14% lebih tinggi dibandingkan dengan peserta Kelas I. Hubungan antara status kepesertaan dengan JKN dengan ketidakpatuhan diperoleh nilai p < 0,001. Status kepesertaan istri memiliki RR sebesar 0,78 dibandingkan dengan status peserta. Hal tersebut menunjukkan bahwa status kepesertaan ‘istri’ memiliki risiko ketidakpatuhan 22% lebih rendah dibandingkan dengan yang berstatus ‘peserta’. Selain itu, status kepesertaan ‘tambahan’ memiliki RR= 0,82 yang berarti bahwa peserta dengan status ‘tambahan’ memiliki risiko menjadi tidak patuh membayar iuran 18% lebih rendah dibandingkan yang berstatus ‘peserta’. Hubungan antara jumlah kunjungan peserta ke FKTP dan FKTL dan ketidakpatuhan ditunjukkan dengan nilai p sebesar < 0,001 dan nilai RR masing-masing sebesar 0,97 dan 0,78. Angka tersebut menunjukkan bahwa dengan tiap peningkatan 1 kali jumlah kunjungan ke FKTP dan FKTL terjadi penurunan risiko ketidakpatuhan pembayaran iuran sebesar 3% dan 22%. Setelah analisis bivariat, dilakukan analisis multivariat dengan poisson regression. Hasil analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 4.5. Dari hasil analisis multivariat pada tabel 4.5. diperoleh bahwa variabel usia, kelas kepesertaan, status kepesertaan, kunjungan FKTP dan kunjungan FKTL berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran. Usia berhubungan dengan ketidakpatuhan dengan nilai p < 0,001 dan RR sebesar 0,99. yang berarti bahwa dengan meningkatnya usia peserta sebanyak 1 tahun terjadi penurunan risiko ketidakpatuhan sebesar 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko ketidakpatuhan menurun dengan meningkatnya usia sehingga peserta yang berusia lebih tua cenderung lebih patuh membayar iuran dibandingkan peserta yang lebih muda. Kepesertaan kelas 3 berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran dengan nilai p sebesar 0,007 dan nilai RR sebesar 1,09 yang berarti bahwa peserta JKN Non-PBI Mandiri Kelas 3 memiliki risiko tidak patuh membayar iuran JKN 9% lebih tinggi dibandingkan dengan peserta Kelas I.
18
Tabel 4.5. Hasil Analisis Multivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakpatuhan Pembayaran Iuran Peserta JKN Non-PBI Mandiri Variabel
ARR
95% CI
Nilai p
Umur
0,99
0,984 – 0,988
<0,001
Kelas kepesertaan Kelas 1
Ref
Kelas 2
1,01
0,936 – 1,090
0,796
Kelas 3
1,09
1,024 – 1,168
0,007
Status kepesertaan Peserta
Ref
Istri
0,82
0,747 – 0,891
<0,001
Suami
1,05
0,855 – 1,298
0,626
Anak
0,66
0,606 – 0,714
<0,001
Tambahan
0,81
0,693 – 0,958
0,013
Kunjungan FKTP
0,99
0,986 – 0,997
0,002
Kunjungan FKTL
0,78
0,767 – 0,799
<0,001
Kunjungan
Status kepesertaan sebagai istri, anak dan tambahan berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran JKN dengan nilai p masing-masing sebesar < 0,001; < 0,001 dan 0,013 dan nilai RR sebesar 0,82; 0,66 dan 0,81. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko ketidakpatuhan pada peserta berstatus ‘istri’, ‘anak’ dan ‘tambahan’ lebih kecil berturut-turut sebesar 18%; 34% dan 19% dibandingkan dengan peserta yang berstatus ‘peserta’. Kunjungan peserta ke FKTP berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran JKN dengan nilai p sebesar 0,002 dan nilai RR sebesar 0,99 yang berarti bahwa tiap peningkatan jumlah kunjungan peserta ke FKTP sebanyak 1 kali terjadi penurunan risiko ketidakpatuhan sebesar 1%. Kunjungan peserta ke FKTL juga berhubungan dengan ketidakpatuhan pembayaran iuran dengan nilai p < 0,001 dan nilai RR sebesar 0,78 yang menunjukkan bahwa tiap peningkatan jumlah kunjungan peserta ke FKTL sebanyak 1 kali terjadi penurunan risiko ketidakpatuhan sebesar 22%. 19
4.2. Hasil Penelitian Kualitatif Selain dengan metode kuantitatif, dalam penelitian ini juga digunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui tiga FGD dan lima wawancara mendalam yang dilakukan pada minggu keempat bulan Oktober hingga minggu kedua bulan Desember 2015. 4.2.1. Karakteristik Sosio-Demografis Peserta FGD dan Wawancara Mendalam Dalam penelitian ini dilakukan tiga FGD dan lima wawancara mendalam. Jumlah informan yang diwawancarai berjumlah 30 orang. Sebagian besar informan adalah perempuan dengan jumlah 21 orang (70%) sedangkan laki laki berjumlah 9 orang (30%). Usia informan antara 23 hingga 51 tahun. Tingkat pendidikan informan bervariasi yakni 2 orang yang pendidikannya SD (6,67%), 13 orang berpendidikan SMA (43,33%), 3 orang berpendidikan Diploma (10%) dan 12 berpendidikan Sarjana (40%). Status informan 10 orang belum menikah/kawin (33,33%), 17 telah menikah/kawin (56,67%) dan 3 orang Janda/Duda (10%). Jumlah anak yang dimiliki berkisar antara 1 sampai 4 anak dan jumlah anggota keluarga dalam KK antara 1 sampai 11 orang. Rata rata penghasilan informan berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 3.000.000. Sebagian besar informan merupakan peserta non PBI Mandiri kelas 1 dengan jumlah 19 orang (63,33%), kelas 2 sebanyak 3 orang (10%) dan kelas 3 sebanyak 8 orang (26,67%). Alamat tempat tinggal informan terdiri dari 7 orang tinggal di Denpasar Timur (23,33%), 4 orang di Denpasar Barat (13,33%), 5 orang di Denpasar Selatan (16,67%) dan 14 orang di Denpasar Utara (46,67%).
4.2.2. Status Kepesertaan JKN Sebagian besar telah menjadi peserta JKN sejak tahun 2014. Sebagian besar informan merupakan peserta non PBI Mandiri kelas 1 dengan jumlah 19 orang (63,33%), kelas 2 sebanyak 3 orang (10%) dan kelas 3 sebanyak 8 orang (26,67%). Alasan memilih kelas III adalah karena mereka harus membayar untuk semua anggota keluarga dalam KK. Selian itu juga, mereka telah mengetahui bahwa manfaat medis yang diperoleh oleh peserta JKN adalah sama, tidak tergantung dari besaran iuran yang dibayarkan. Perbedaan dikatakan hanya pada manfaat non medis, misalnya fasilitas kamar untuk rawat inap. Beberapa informan peserta JKN kelas III yang pernah menggunakan JKN untuk rawat inap, menyatakan bahwa mereka meng-upgrade kelas 20
saat mengakses layanan dan membayar cost sharing. Selain keinginan mendapatkan layanan yang berkualitas, kekhawatiran tidak mendapatkan kamar saat rawat inap sebagai alasan memilih kelas I. Beberapa informan berpersepsi bahwa jika memilih kelas III, akan kesulitan dalam mendapat kamar saat rawat inap. Besaran iuran untuk kelas I juga dinilai tidak terlalu besar sehingga masih terjangkau.Sebagian peserta juga mengikutsertakan orangtua dan kakek neneknya sebagai peserta tambahan.
4.2.3. Latar belakang menjadi peserta JKN Alasan yang mendasari keputusan informan untuk menjadi peserta JKN bervariasi. Seluruh informan
menyadari
pentingnya
kepemilikan
asuransi
kesehatan
untuk
memberikan
perlindungan finansial terhadap pengeluaran sakit. Sebagian besar informan memutuskan mendaftar sebagai peserta JKN karena belum memiliki asuransi kesehatan sama sekali. Hanya sebagian kecil peserta yang juga memiliki asuransi kesehatan lainnya, yaitu Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) dan Asuransi Kesehatan Komersial. “Kalau saya ikut ini (JKN) karena saya belum, belum ada asuransi sama sekali. Sama sekali gak ada asuransi” (FGD1_R6) Dengan membayar iuran yang nominalnya relatif kecil, bisa memperoleh perlindungan dari risiko sakit, terutama yang memerlukan rawat inap dan tindakan medis berbiaya tinggi. “Karena memang saya pengen dari dulu punya asuransi yang eee, apa dengan cost yang nilainya tidak besar tapi bisa meng-cover kita.” (FGD1_R2) Pengalaman keluarga atau teman yang pernah mengakses layanan kesehatan berbiaya tinggi dengan BPJS juga menjadi salah satu faktor pendorong untuk menjadi peserta JKN. “Sakit panas aja 300 ribu gitu. Nah, setelah itu dah berpikir aduh gimana nih caranya, masak setiap kali sakit akan begini terus. Terus akhirnya, ada sosialisasi itu (BPJS). Ngobrol sama suami, kebetulan ada ipar yang kena kanker otak, gitu. Terus langsung ikut BPJS itu, kok enak ya? Akhirnya kita ikut.” (FGD1_R7) Sebagian kecil informan memutuskan menjadi peserta JKN karena menderita penyakit yang membutuhkan perawatan atau tindakan medis berbiaya tinggi.
21
“Itu awalnya kayaknya satu setengah tahun yang lalu karena operasi jadi kan waktu itu masih boleh yang hari ini daftar langsung dipakai. Jadi karena operasi, perawatnya nyaranin pakai BPJS, ya udah jadi kita pakai itu.”(WM_3) Alasan lain beberapa informan menjadi peserta atau mengikutsertakan anggota keluarganya sebagai peserta JKN adalah karena adanya riwayat sakit yang membutuhkan akses layanan yang frekuensinya cukup tinggi. Beberapa informan saat ini sedang memanfaatkan layanan di Rumah Sakit secara reguler. Tidak adanya sanak keluarga yang bisa dihandalkan untuk pembiayaan kesehatan juga menyebabkan kepemilikan JKN menjadi penting “Kalau alasannya kenapa saya make BPJS ini, sebelumnnya pernah dianjurkan sama dokter spesialis sendiri, kalau ada masalah kesehatan seperti ini lebih baik ikut BPJS atau layanan lainnya saja untuk memperingan biaya, seperti itu sih kata dokternya.“(FGD1_R4) “Dulu kan pertama saya sendiri yang ikut BPJS. Setelah itu, karena ibu sakit tak ikutin ibu. (FGD1_R7) “Mbok G bisa masuknya itu karena Mbok G sering pengalamannya itu sering opname. Kayak gitu. Disamping itu juga gak punya, gak ada siapa.” (FGD1_R3) Informan lainnya menyatakan mendaftar sebagai peserta BPJS karena paket manfaat yang dinilai lebih luas dibandingkan dengan asuransi kesehatan lainnya. Jaminan Kesehatan Nasional tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk layanan rawat inap melainkan juga untuk rawat jalan dan penyakit-penyakit yang dinilai ringan. “Kalau saya sendiri, tertarik ikut BPJS karena manfaatnya sendiri. Itu yang saya tahu. Karena kan, eee saya melihat kalau dulu-dulu itu kalau kita punya asuransi kalau begitu opname baru kita bisa meng-cover, kalau BPJS itu kita sakit ringan itu kan bisa dicover.” (FGD1_R4) “BPJS itu kan bisa pada saat kita gak rawat inap itu kan masih bisa kita pakai. Sedangkan P (asuransi kesehatan swasta) kan enggak.” (WM_3) Beberapa orang informan menjadi peserta JKN karena JKN tidak perlu menunggu proses klaim yang lama seperti asuransi kesehatan lainnya. “Ini asuransi(JKN) yang paling cepet dicairin. kemarin di gigit anjing terus bawa ke sanglah buka pintu udah, udah bisa ditangani kan gratis. Kalau asuransi kan isi nunggu proses inilah klaimnya yang lama.” (FGD3_R4) Seorang informan yang bekerja sebagai petugas lapangan yang mendampingi Orang Yang Hidup Dengan HIV&AIDS (ODHA) mengatakan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan 22
kesehatannya, alasannya menjadi peserta JKN adalah untuk memberi contoh kepada komunitas yang dijangkau. “Kalau dari saya memang kebetulan saya kan budies. Budies itu pendamping. Setiap hari berhadapan untuk men-support ODHA. Jadi begitu dia keluar pertama kali, Januari 2014 ya kalau gak salah ya keluarnya. JKN itu lo program nasional, akhirnya itu saya, kalau dari saya pribadi saya mikir gini, kalau bukan saya yang ngasi contoh gimana saya ngomong, bagaimana saya tahu itu manfaatnya. Kalau bukan saya yang mulai dulu, Dan kebetulan saya juga dari komunitas. Kalau dulu, eee pertanyaannya, paling sering muncul awal adalah kita dengan HIV-AIDS, apakah ditanggung oleh BPJS. Makanya karena saya juga dari komunitas, saya memulai itu. Makanya ngasi contoh bahwa saya memulai mendaftar, terus saya make, tidak pernah ada diskriminasi.” (FGD1_R4) Sebagian kecil informan telah memahami prinsip kegotongroyongan dari asuransi kesehatan. Meskipun mereka belum pernah menggunakan asuransi mereka, mereka dapat membantu orang lain yang membutuhkan.
4.2.4. Cara pembayaran iuran Pembayaran iuran antara lain dilakukan melalui transaksi di ATM, autodebit dan SMS banking. Beberapa informan tidak melakukan pembayaran sendiri melainkan menitipkan uang untuk pembayaran iuran pada keluarga atau tetangga mereka. Pembayaran sebagian besar dilakukan lewat ATM karena dinilai praktis dan tersedia dimana-mana. Selain itu, beberapa informan menyatakan tidak mengetahui adanya alternatif lain untuk membayar iuran JKN. Tiga orang informan memiliki keinginan untuk membayar lewat autodebit. Namun mereka tidak mengetahui bahwa pembayaran autodebit bisa dilakukan. Hampir seluruh informan yang membayar iuran JKN melalui ATM menemui kendala dalam proses pembayaran. Pertama, seringkali tidak bisa dilakukan pembayaran karena gangguan (error) pada sistem. “Kalau sistemnya gangguan itu, yang agak-agak, aduh harus ke bank lah kita. Tapi sekarang kan sudah ada alternatif ni kalau error, kalau gak mau ke bank ya udah indomart. Cuma indomart kalau gak salah ya bisa error juga sistemnya.”(FGD1_R2) Kedua, pembayaran sulit dilakukan di siang hari karena sistem menjadi lambat dan jumlah transaksi yang bisa dilakukan terbatas. “Karena kalau siang, disamping.. disamping, lama, lambat sekali sistemnya. Lambat sekali sistemnya. Saya gak enak sama yang nunggu di luar. Jadi saya ambil, setengah 8, 23
jam 8. Itu, sendiri dah di ATM. Dan itu memang jadi lebih cepat dan pasti selesai. Kalau siang itu kadang baru sampai 3, udah gak bisa masuk lagi.”(FGD1_R7) Ketiga, tidak adanya opsi untuk pembayaran secara kolektif di ATM menyebabkan tiap akun virtual harus diproses secara individual. Jika peserta melakukan pembayaran iuran untuk beberapa akun virtual akan dibutuhkan waktu yang cukup lama dan tak jarang menyebabkan antrian yang panjang di ATM. Salah seorang informan yang membayar iuran secara autodebit pernah mengalami permasalahan yaitu terjadi pemotongan untuk pembayaran iuran yang lebih dari seharusnya. “Jadi saya kan ikut empat nih, pernah bulan tertentu saya print itu 5 kali kepotong 25 satu bulan itu. Cuma saya gak permasalahkan. Belum sempat permasalahkan itu. Saya keburu kejadiann ya putuskan berhenti. Belum pernah sih dipermasalahkan ke BPJS-nya. Masalah pemotongan autodebet 5 kali gitu.” (WM_1) Beberapa informan juga memiliki pengalaman pembayaran lewat ATM dimana uangnya sudah terpotong namun struk sebagai bukti pembayaran tidak keluar. “Kadang uang kepotong kitir ga keluar. Sering banget dulu.”(FGD3_R7)
4.2.5. Pengalaman Utilisasi Layanan Kesehatan Dengan BPJS Secara umum, sebagian besar informan yang pernah mengakses fasilitas layanan kesehatan tingkat lanjutan menyatakan puas dengan manfaat medis yang mereka telah mereka terima. Sebaliknya, sebagian peserta mengeluhkan kualitas layanan primer yang pernah mereka terima dengan menggunakan BPJS. Informan mempersepsikan layanan medis yang diterima di Rumah Sakit cukup baik dan kualitas layanan yang diterima oleh peserta JKN sama dengan pasien umum yang membayar secara out of pocket. “Bagus pelayanannya. Karena memang apalagi memang dianjurkan sama rumah sakitnya waktu itu kan. Pelayanannya bagus, seperti orang bayar (pasien umum).“(WM_5) Beberapa
informan
mengungkapkan
adanya
pengalaman
bahwa
kepemilikan
JKN
menghindarkan peserta dari pengeluaran kesehatan dalam jumlah besar.
24
“Tapi untuk BPJS over all sangat berguna sekali karena ipar saya punya eee ibu dulu sebelum meninggal, masuk ke Sanglah, itu total pembayaran itu sekitar hampir 25 juta. Hanya bayar sekitar 5 jutaan saja obat-obatan yang penting. Jadi sudah meng-cover lebih dari 50% kalau saya rasa. Dan itu cukup berguna buat kita.” (FGD1_R2) “Iya, sering opname gitu. Ngabisin sampai 6 juta lebih gitu lima hari opname gitu. Tiga kali udah opname. Terus opname yang ketiga kali udah pakai BPJS. Udah ringan jadinya bebannya. Walaupun gak kerja, udah ada yang nanggung kesannya. Lebih tenang jadinya” (FGD1_R3) Meskipun secara umum, sebagian besar informan merasa puas dengan layanan medis yang mereka terima di FKTL, informan mengeluhkan ketersediaan kamar perawatan di Rumah Sakit. Beberapa informan mengeluhkan bahwa mereka sering mengalami kesulitan untuk memperoleh kamar perawatan yang sesuai dengan haknya. “Masalah pelayanan ya bagus dari awal, kita kalau bilang kartu (JKN) ndak, ndak kena apa memang, cuma permasalahan ketika dia rawat inap. Kamar kita harus turun dulu. Atau enggak, dimana kita ditaruh dulu, baru setelah itu dibilang kalau sudah ada kamar kosong baru kita dimasukkan ke sana.”(FGD2_R2) Beberapa informan menyebutkan bahwa mereka sudah pernah bahkan sering memanfaatkan JKN untuk mengakses layanan kesehatan. “Saya udah pernah menggunakan. Untuk ibu mertua sama anak masuk rumah sakit. Udah dipakai.” (FGD2_7) “Untuk penggunaan BPJS ini pernah digunakan beberapa kali. Terutama untuk anakanak, kan sering ia sakit batuk, pilek, yang gitu-gitu sering kami gunakan untuk ini. Faskes yang udah ditunjuk dari BPJS.” (FGD2_R8) “Nenek saya juga saya ikutkan, sudah pernah menggunakan waktu sedang, waktu eee operasi. Dan kebetulan semuanya ditanggung sama BPJS jadi yang tidak mengeluarkan sama sekali biaya. “(FGD2_R1) “Terus mertua saya karena dia rutin ambil obat eee, obat tensi tinggi itu, dia yang selalu pakai tiap bulan..” (FGD1_R7) “Ya memang setiap bulan saya pake, Ya memang saya harus control setiap bulan, bulan kemarin juga saya pake operasi.”(FGD3_R7) Namun sebagian besar yang pernah memanfaatkan JKN, tidak memanfaatkannya untuk layanan kesehatan primer. Mereka Lebih memilih membayar untuk layanan rawat jalan karena obat yang ditanggung BPJS dinilai lebih rendah kualitasnya dibandingkan obat yang disediakan di layanan yang tidak bekerjasama dengan BPJS. Selain itu, JKN tidak bisa mereka gunakan untuk mengakses layanan rawat jalan di praktik dokter spesialis.
25
“Seringan ke dokter bayar. Lebih gimana obatnya itu. Untuk ke spesialis paru gak pakai BPJS. Lebih bagus rasanya obatnya.” (FGD1_R3) Salah satu informan mengungkapkan kekecewaannya akan laysnan yang ia terima saat mengakses layanan dengan BPJS karena saat itu ia merasa tidak mendapatkan layanan kesehatan berkualitas. Kekecewaan tersebut hampir saja membuat informan menghentikan pembayaran iuran BPJS. “Aku kan jatuh waktu pulang kerja, malam-malam. Hasil rontgennya, gelombang tiga. Di lutut sama kaki itu kan banyak lecet-lecet, saya enggak suka aja dibilangnya cuma dikasi obat parasetamol aja. Di situlah saya sempet mau, ah buat apa bayar BPJS? Cuma dikasi parasetamol. Rp 2000 juga dapat di warung, di Apotik gitukan.” (FGD1_R8) Beberapa responden memiliki pengalaman menghadapi kesulitan untuk mendapat ruang perawatan pada saat rawat inap. Hal tersebut menimbulkan perasaan kurang puas terutama karena mereka telah memenuhi kewajiban membayar iuran. “Sebenarnya sih ada, ada rasa kurang puas. Kita kan istilahnya rutin bayar. Jarang telat. Cuman seketika pelayanan seperti itu kenapa kita tidak didapatkan sesuai hak? Gitu lo. Sedangkan kewajiban kita sudah.” (FGD2_R2) Beberapa informan memiliki persepsi yang negatif terhadap kualitas yang mereka terima untuk layanan rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan menggunakan BPJS. “Cuma yang paling tidak enak itu, itu dah pelayanan itu. Berobat jalannya itu. Itu, itu kesan pertama istilahnya kalau rawat jalan itu. Harusnya itu dibagusin gitu.”(WM_1) Salah satu aspek layanan yang dinilai kurang adalah kualitas obat yang diberikan kepada pasien. Obat yang diberikan dipersepsikan sebagai obat murah yang tidak dapat memberikan kesembuhan pada pasien. “Sebagian besar yang tiang (Bahasa Bali) tanya sih pas ketemu di Klinik gitu waktu meriksa itu, memang dia sih kebanyakan sih yang kecewa dengan ya obatlah. Obatnya kelas, kelas rendah sekali gitu. Kan tubuh kita udah biasalah dengan obat-obat yang menengah gitu. Sekarang dikasi obat kurang itu kok kayaknya gak mempan ya. Gitu istilahnya.” (WM_1) “Gak dipakai untuk rawat jalannya. Padahal ibu saya, apa namanya, ee asam urat. Iya jadi pernah dia pakai. Sampai 10 kali katanya ndak ada perubahan. Jadi ya buat makan obat-obat begitu kalau nda ada perubahan. Makanya sekarang dia milih terapi.”(WM_1) “Dan juga kalau misalnya obat anak-anak itu, kemarin anak saya sakit dikasih obatnya pahit sekali dia gak mau minum kan, akhirnya saya balik lagi ke dokter ini ya, yang spesialis anak itu.” (FGD3_R2) 26
Selain keluhan tentang kualitas obat, peserta yang menggunakan JKN juga mengeluh tentang keterampilan dokter pemberi layanan. “Saya kalau dokter umumnya ya.. baru yang tamat jadi dokter itu yang periksa saya kan, saya pernah dikasih obat ya.. aduh, saya ga punya maag jadi maag saya gara-gara minum obat dari dia.” (FGD3_R2) “Kalau memang ga bisa, kualitas dokternya ditingkatkan gitu. Kualitas dokter ditingkatkan agar dia mengenal penyakit apa dan bagaimana obatnya biar ga itu kan seperti ini salah obat malpraktek gitu.” (FGD3_R6) Salah satu informan ketika mengakses layanan kesehatan di dokter gigi merasa tidk puas karena tidak mendapatkan paket manfaat yang dijanjikan. Ketika awal mengikuti BPJS,ia mendapatkan penjelasan bahwa peserta bisa mengakses layanan scalling di dokter gigi satu kali per tahun. Namun saat ke dokter gigi dengan menggunakan BPJS ia tidak bisa memperoleh layanan tersebut. "Ya, dokter giginya itu. Kalau memang diawal di janjikan skeling, kalau customer-nya minta skeling, ya skeling aja. Toh juga katanya skelingnya setahun sekali. Kalau dia ambil sekarang berarti dia nunggu setahun lagi untuk skeling lagi.”(WM_1) Proses layanan semakin lama, seiring dengan bertambahnya jumlah peserta dinilai semakin rumit oleh peserta. Jika dahulu informan bisa dilayani tiap ada keluhan, saat ini harus menyesuaikan dengan jadwal karena jumlah pasien yang dilayani per hari dibatasi. “Sama aja sih sekarang aja kalau orang BPJS kalau mau kontrol itu kan diginiin jangan modelnya itu persehari praktek cuma tujuh pasien bu dok. Iya jadinya kalau misalnya jadwal saya kan tanggal sepuluh. Kalau lain dari tanggal sepuluh saya kesitu kan otomatis kan “jadwalnya ibu tanggal segini bu jadi ibu ga bisa sekarang gitu” Otomatis kan padahal sebenernya kalau kondisi kaya saya. Taulah bisa paginya saya bagus sorenya saya ngedrop gitu kan. Makanya yang begitu itu jadinya kurang gini. Kurang percaya masyarakat jadinya.”(FGD3_R2) Hasil diskusi dan wawancara menunjukkan masih adanya persepsi tentang adanya diskriminasi layanan yang disediakan kepada pasien yang merupakan peserta BPJS dengan pasien yang bukan BPJS. “Dan mungkin juga salah satunya tadi ada di faktor Faskesnya itu karena kan sekarang ga semua Rumah Sakit sekarang cuma ya kebanyakan yang sering kita denger. Maaf aja biasanya nie kalau dokter Rumah Sakit Umum itu memang pelayanannya kita tahu istilahnya membeda-bedakan gitu karena kita dianggap BPJS itu kita murah makanya kadang orang mikirnya orang dia bayar murah mengapa kita memberikan dia layanan yang terbaik jeleknya gitu.”(FGD3_R5) 27
4.2.6. Kepatuhan Pembayaran iuran Sebagian besar informan menyatakan pernah mengalami keterlambatan dalam pembayaran iuran. Sebagian besar dari mereka yang terlambat membayar iuran sebenarnya mengetahui bahwa iuran BPJS paling lambat dibayarkan tanggal 10 setiap bulannya. Pembayaran iuran lebih dari satu bulan menyebabkan risiko lupa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembayaran yang dilakukan tiap bulan. Hal tersebut dikarenakan dalam kitir struk pembayaran dari ATM tidak mencantumkan periode pembayaran yang telah dilakukan. “Saya juga tiga bulan kemarin lupa. Ni udah 3 bulan apa belum ya? Lupa kemarin. Karena kan dia ada pilihan Sekarang baru, nol, satu, berarti 1 bulan aja. Nol bulan sampai dua bulan. Saya nol 3, 3 bulan. Iseng gitu. Biasanya bulan apa ya jatuhnya? Aduh lupa lho. Jadi kita ragu-ragu.” (FGD1_R2) Pembayaran iuran yang tepat waktu biasanya terjadi pada informan yang melakukan pembayaran secara rutin tiap bulan yang dilakukan bersamaan dengan pembayaran tagihan lainnya, seperti tagihan listrik, kartu kredit. “Saya kan kebetulan eee, setiap bulan itu, ada banyak yang harus saya selesaikan, kartu kredit... bayar listrik... jadi sekalian itu saya selesaikan, jadi tiap bulan itu. “(FGD1_R7) Informan lain yang membayar tepat waktu biasanya secara teratur melakukan pembayaran beberapa hari menjelang tenggat waktu pembayaran untuk mengantisipasi kesibukan atau halangan mendadak pada hari tersebut. “Kalau saya sih enggak, kalau saya sih biasanya di bawah tanggal tujuh kan kita mikir dari pada pas waktunya kan takutnya agak gini jadi kita planning dah setiap bulan oh tanggal sekian harus kita bayar dulu artinya kita utamakan gitu. Jangan sampai ya selama ini sih masih begitu gak tahu nanti kalau pas nanti hari-hari sibuk.”(FGD3_R5) Beberapa informan patuh membayar iuran tiap bulan karena mereka memiliki masalah kessehatan yang menyebabkan mereka harus manjalani pengobatan secara rutin ke layanan kesehatan. “Karena memang saya makeknya setiap bulan, karena saya kan harus ngambil obat setiap bulan, jadi saya makeknya setiap bulan, jadi saya mau gak mau memang harus bayar setiap bulan. Gak pernah enggak.”(FGD1_R1) Salah satu informan yang pernah terlambat membayar iuran selama 4 bulan menyatakan alasan keterlambatannya adalah karena tidak pernah menggunakan BPJS untuk mengakses layanan. “Iya, karena BPJSnya gak pernah terpakai. ingetlah sama BPJS.“ (FGD1_R3)
Udah gitu karena opname, akhirnya
28
Sebagian besar informan menyatakan bahwa kekhawatiran untuk tidak membayar iuran adalah bukan karena takut akan terkena denda melainkan karena takut bahwa kepesertaan menjadi inaktif sehingga tidak bisa digunakan saat mereka tiba-tiba perlu mengakses layanan kesehatan. “Kalau misalkan benar-benar drop, nah masuk rumah sakit, gak bisa di pakai nah itu yang ditakutkan. Kalau dendanya sih enggak (ditakutkan) gitu. Cuma takutnya gak bisa dipakai.” (FGD1_R4) “Iya, soalnya pas kita hangus siapa tahu pas kita dapat musibah. Kecelakaan atau apa kan. Jadi kita menyesal kan, nunggak. Mengeluarkan uang banyak jadinya.” (FGD1_R8) Sekalipun, beberapa informan menyatakan ketidakpuasan akan layanan kesehatan yang mereka terima saat menggunakan BPJS, mereka tetap
melanjutkan pembayaran iuran karena
kekhawatiran akan kemungkinan sakit di masa mendatang. “Mau tidak mau artinya, ya kalau kita memang seperti itu kita sesuai dengan kewajiban karena kita sakit kan gak tahu. Artinya kita punya pegangan satu asuransi kesehatan. Gitu. Yang namanya asuransi kesehatan kan kita sakit tu gak tahu ya, bisa besok sakit ya. Artinya adalah kita di saat kita gak punya uang pada saat seperti yang dibilang tadi, kita sudah punya kartu, minimal itu sangat meringankan.”(FGD2_R2) Tidak adanya peringatan yang diberikan kepada peserta yang terlambat membayar iuran menimbulkan kesan manajemen yang kurang optimal. “Harusnya kalau manajemennya dia bagus kita kan database ada di sana. Telepon ada, kalau kita telat bayar harusnya di telepon dong. Gimana ini mau di non aktifkan atau ndak? Atau lupa bayar? Kan gitu istilahnya. Gak ada sama sekali. Dibiarin aja. Kok kayaknya ndak, ndak terurus managemennya gini. Kok ndak tahu ada yang belum lunas, memangnya dia tiap bulan ndak nge-print, siapa yang belum bayar. Kan ditelponin harusnya, mungkin ada keluhan apa. Kan gitu harusnya. CS-nya adalah biasanya. “(WM_1)
4.2.7. Faktor-Faktor Penghambat Pembayaran Iuran Hal yang tercetus dari sebagian besar informan adalah rendahnya pengetahuan informan tentang waktu pembayaran, berbagai metode pembayaran iuran yang tersedia, konsekuensi dari penunggakan pembayaran iuran. Ketidaktahuan peserta mengenai akun virtual menyebabkan mereka tidak melakukan pembayaran iuran. “Saya pernah ada pasien yang bilang kalo dia gak bisa bayar BPJS karena dia gak tahu, dia lupa virtual akunnya.”(FGD1_R5) 29
Selain itu, kurangnya pengetahuan mengenai proses pembayaran iuran juga membuat beberapa informan menunggak pembayaran iuran. Salah seorang informan menceritakan bahwa temannya menunggak pembayaran iuran karena mengira bahwa setelah mendaftar maka secara otomatis iuran akan dipotong setiap bulan dari rekeningnya (autodebit). “Dia tu nunggak sebenarnya dua bulan juga. Dia gak tahu. Di kira langsung di potong. Dik. Dikira dipotong di BRI. Di rekeningnya.”(WM_4) Seorang informan menyatakan bahwa ia tidak membayar iuran selama lebih dari 6 bulan karena sistem yang sering error sehingga menyebabkan gagalnya transaksi. “Kalau gak salah sekitaran itu udah lupa. Sempet juga waktu ini kan mau bayar itu, beberapa bulannya yang lalu ya selalu error dia. Jadi transaksinya kan gagal terus.”(WM_3) Selain itu, tidak adanya pemberitahuan mengenai telah berapa bulan ia belum membayar, kapan ia harus membayar dan bagaimana status kepesertaannya membuatnya tidak melakukan pembayaran iuran hingga sekarang. Tidak adanya notifikasi terhadap peserta yang menunggak membuat
informan
tersebut
merasa
bahwa
BPJS
tidak
mengetahui
atau
tidak
mempermasalahkan keterlambatan tersebut. “Lupa itu aja sih. Kan soalnya kan, ndak ada pemberitahuan bulan kapan kita terakhir gitu.”(WM_3) Beberapa peserta menyebutkan bahwa penyebab seringnya keterlambatan pembayaran iuran adalah karena sikap yang cenderung menggampangkan proses pembayaran iuran serta besaran denda yang dinilai tidak terlalu besar. Sistem yang sering error juga disebutkan oleh peserta sebagai penghambat pembayaran iuran oleh sebagian besar peserta. Beberapa orang informan pernah mengalami tagihan iuran yang lebih besar dari yang seharusnya. Kurangnya kualitas layanan kesehatan yang dirasakan oleh peserta ketika mengakses layanan kesehatan primer
dengan menggunakan BPJS menyebabkan mereka enggan untuk
menggunakan BPJS mereka dan lebih memilih melakukan pembayaran out of pocket. Salah satu informan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembayaran iuran karena merasakan kerugian dengan beban pengeluaran ganda tersebut. “Iya jadi mereka keluarkan 100 ribu per bulan untuk masalah kesehatan, jadi pas anak sakit harus ke dokter umum lagi keluarkan 60 ribu kan double jadinya pengeluarannya. Mending kita tabung aja. Toh sakit juga gak setiap bulan.” (WM_1)
30
Pengalaman mengakses layanan dengan menggunakan BPJS merupakan salah satu faktor yang menentukan kepatuhan dan keberlangsungan pembayaran iuran. Sebagian pasien mengeluhkan tentang layanan yang mereka terima di fasilitas kesehatn tingkat pertama. Kekecewaan karena merasa ‘tidak langsung dilayani’ saat mengalami keluhan kesehatan dan prosedur layanan yang makin sulit dengan makin bertambahnya jumlah peserta juga dapat membuat peserta menjadi enggan untuk membayar iuran. “Tambah banyak yang ikut malah lebih sulit (saya) ada orang kakak saya juga kakak kandung saya “ah males bayar biarin aja ga usah bayar juga kita gak langsung kita ditanganin” gitu dia, ada juga yang ngomong begitu. “(FGD3_R2) Persepsi mengenai risiko sakit dan pengeluaran katatrofik juga mempengaruhi keputusan peserta dalam membayar iuran. Salah satu informan merasa bahwa rawat inap, kecuali karena kecelakaan, bisa dicegah dengan menjalankan pola hidup sehat. Rawat inap dikatakan lebih mungkin terjadi pada orangtua. Persepsi tersebut menjadikan peserta lebih mudah untuk memutuskan menghentikan pembayaran iuran. “Kalau masalah penyakit itu ya. Kalau kecelakaan kita siapa yang bisa menghindar, gitu. Kalau ya rumah sakit sih bisalah kita cegah gitu lho. Ya, pola hidupnya lebih ditingkatin kesehatannya. Makanannya. Pastilah gak mungkinlah sampai opname, kecuali yang tua-tua yang memang lancarlah. Kalau mau nunggu terus rawat inap, gak mungkinlah kita masih muda gini. Kecuali yang kita ceroboh sekali menemukan makanan gitu. Atau kecelakaanlah bilang baru rawat inap. “(WM_1) Salah seorang informan menyatakan berhenti membayar iuran JKN untuk suami dan anaknya karena baru mengetahui bahwa iuran JKN harus dibayar seumur hidup. Informan tersebut tidak memiliki informasi yang cukup tentang JKN karena proses pendaftaran dan pembayaran iuran selama ini dilakukan melalui koperasi. “Dah berjalan 5x denger dah informasi “Milu kene mindan nyidang, bayar seumur hidupne nak mayah” bener ya? (Ikut BPJS apa bisa di masa mendatang bayar, bayarnya kan seumur hidup) Kirain seperti asuransi sudah setahun dua tahun itu kan ada jenjangannya kalau asuransi empat tahun kan bisa berhenti kirain gitu. “(WM_2) Selain kurangnya informasi, rendahnya penghasilan dan kekhawatiran akan keberlangsungan pembayaran iuran karena ketidakpastian dalam pekerjaan dan penghasilan membuat informan tersebut memutuskan untuk berhenti. “Ya gajih kan sedikit dok entar kalau saya berhenti kerja dimana nanti saya nyari duit untuk bayar itu kan. Dibilang seratus lima puluh diem aja dirumah dimana cari uang kan bingung jadinya. “(WM_2) 31
Kepemilikan JKBM membuat salah satu informan merasa tidak perlu untuk melanjutkan pembayaran iuran JKN. Keterbatasan ekonomi dinyatakan sebagai dua orang informan sebagai penyebab penunggakan pembayaran iuran. Kebutuhan lain seperti kebutuhan akan biaya sekolah anak dan kebutuhan pokok lainnya menyebabkan dikesampingkannya kebutuhan akan jaminan kesehatan. “Pas saya kemarin tu, coba bikin. Saya gak kerja anak saya SMP dan SD kelas 1, masuk berbarengan. Terus kalau ini saya bayar, itu nunggak nanti. Itu lho. Apalagi bayar SPPnya ni. Terus bayar SPP semua. Walaupun dia SD, SD negeri, tapi buku yang mempersulit. Katanya ada dana BOS tapi gak keluar. Harus pakai inilah, itulah.Susah saya jadinya. Kalau saya ini (biaya pendidikan anak), saya yang saya utamakan, itu yang bakal macet nanti.” (WM_4) “Uangnya paspasan, dapet gajih segini gimana caranya biar bisa untuk ke dapur ibuk yang urusin nah itu untuk bayar rekening terus anak sekolah suami gitu. Kan bagi-bagi ya kalau dapat segitu sisih tabungin lagi ndak cukup gitu sehari-hari itu kan sukar Dok.” (WM_2) Tidak adanya pemberitahuan dan penagihan kepada peserta yang menunggak dikatakan menimbulkan kesan bahwa pengelolaan pembayaran iuran BPJS tidak berjalan dengan baik sehingga tidak mengetahui siapa saja peserta yang masih menunggak. “Mungkin perlu juga pemberitahuan seperti itu, jadinya istilahnya kayak finance itu ya? Kalau nunggak di bank, atau dimana finance, pasti pak maaf pak jatuh temponya besok, bisa gak? Gitu kan enak ya. Jadinya dia lebih menyadari diri. Sadar diri dia. Kalau sekarang itu dah, seperti tadi Ibu katakan, mungkin gak ada yang nyari. Ndak ada yang nyari untuk bayar. Dimana saya bayar? Itu istilahnya. Kalau misalnya, mungkin kalau seperti yang tiang tadi katakan, mungkin ada pemberitahuan, berarti kita tu bakal nyadar diri. Oh, berarti kita diperhatikan. Gitu. Berarti memang benar-benar jalan gitu lho.” (WM_4) Salah seorang informan menyatakan bahwa terdapat proses notifikasi yang tidak konsisten oleh BPJS. Saat informan menunggak iuran selama 3 bulan, yang bersangkuta memperoleh surat peringatan. Namun ketika hingga saat ini informan telah menunggak selama lebih dari 6 bulan, tiidak ada surat peringatan yang diterima. “Kemarin itu pernah saya ndak bayar 3 bulan, waktu pertama kali itu ya. Saya ada datang pos ke sini, diberikan amplop 6, sesuai dengan nama-nama ini. Tertera. Terus setelah sekarang ini nunggak 7 bulan, kok ndak pernah ada surat? Nah, itu sebagai pertanyaan, gimana itu sebenarnya ya?” (WM_4) Pembayaran iuran JKN dengan menitipkan iuran kepada orang lain dapat menyebabkan tunggakan ketika uang iuran yang dititipkan disalahgunakan. “Karena kan saya sekali bayar, sekalian 4 kali. Karena mungkin adik saya mungkin adik saya juga lambat bayarnya. Karena saya ndak pernah bayar sendiri gitulah. Mungkin adik perlu uangnya ya dia ndak dibayar yang 4 kali itu.” (WM_4) 32
Salah seorang informan mengaku menunggak pembayaran iuran karena suami sebagai tulang punggung keluarga telah meninggal. “Memang belum mau ikut. Suami meninggal dah. Udah biarin dah.” (WM_5) Selain itu, kesalahan persepsi mengenai risiko keterlambatan membayar iuran menyebabkan informan tidak membayar iuran. Ketidaktahuan tentang adanya denda untuk keterlambambatan pembayaran iuran serta prosedur pengurusan kembali setelah BPJS non aktif membuat informan menunda pembayaran iuran. Informan tersebut menyebutkan bahwa ia akan membayar jumlah iuran ynng tertunggak sekaligus jika suatu saat nanti memerlukan akses layanan kesehatan. “Kalau denda gak. ada. Cuma melanjutkan berapa sehasrusnya saya bayar per bulan. Berapa bulan saya gak bayar. Melanjutkan itu saja. Sekalian dibayar. Misalnya saya bayar kan 25 satu orang. Saya bertiga sekarang kan 75 ribu lima ratus. 25.500 bayarnya. Bertiga berarti kan 76.500. Misalnya 10 bulan saya gak bayar, saya harus bayar 765 gitu istilahnya. Gak harus. Gak ada dendanya kalau itu. Dibilang sih begitu. Kalau misalnya gak bayar, berapa kalau memang saya mau melanjutkan berapa bulan saya gak bayar, itu yang harus dilunasi dulu, baru saya bisa pakai lagi.” (WM_5)
4.2.8. Strategi peningkatan kepatuhan pembayaran iuran JKN Seluruh peserta menyatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak informasi mengenai berbagai cara pembayaran iuran BPJS yang tersedia. Selain itu, sebagian besar informan belum mengetahui ketersediaan berbagai fasilitas yang dapat digunakan untuk mengecek pembayaran iuran. Sebagian peserta juga belum mengetahui tentang batasan waktu keterlambatan pembayaran dan konsekuensi dari keterlambatan pembayaran iuran. Informasi-informasi tersebut diharapkan diinformasikan kepada peserta saat peserta mendaftar sebagai peserta sehingga peserta terinformasi sejak awal. “Lewat artinya lewat pendaftaran itu kita bisa langsung disana informasikan bahwa pembayaran BPJS itu lewat gini gini gini jadi kan lebih awal kita tahu, jadi waktu kita daftar itu kita sudah dapet informasi gitu” (FGD3_R5) Informasi-informasi tersebut diharapkan bisa disampaikan melalui media massa seperti iklaniklan pada televisi, radio, koran, Baliho serta melalui media sosial seperti facebook, serta sosialisasi oleh Kepala Desa atau petugas BPJS ke masyarakat.
33
“Sekarang kan bisa dibilang dari kecil sampai besar, aa orangtua sudah punya ya facebook tuh pasti punyalah juga saya. Kalau bisa di situ kan minimal, ini kan program pemerintah kan dia pasang iklan kan bisa aja. Sosmed itu.” (FGD2_R2) “Mungkin bisa lewat radio, koran atau dari kepala desanya kita kasi tahu. Habis tu ntar kepala desanya ngasi tahu siapa untuk memberitahu. Membagi informasi ke orangorang.” (FGD2_R5) “Kalau pembayaran iurannya saya rasa, mungkin lebih banyak iklan-iklan dulu. Notifikasinya diperjelas lagi dalam artian, di TV, siaran radio mungkin. Di TV dengan tanggal 1 sampai 10 digencarkan. Lakukan pembayaran BPJS anda.”(FGD1_R2) Menurut informan, hal yang lebih penting untuk meningkatkan kepatuhan peserta membayar iuran adalah dengan memberikan notifikasi atau peringatan, bukan dengan memberikan punishment berupa denda. “Kalau persepsinya mungkin dari BPJS, kalau keterlambatan itu karena ada, ada niatan dari ininya, kayaknya itu juga gak bener juga. Tidak seluruhnya benar kayak gitu. Kalau memang BPJS itu eee, mau supaya anggotanya itu apa namanya, lebih tertib untuk membayar, saya kira eee punishment ya itu yang nomor 2 ya. Yang pertama itu, notifikasi itu sebenarnya menurut saya. Jadi, kayak mungkin untuk seorang ID, ID untuk seorang itu kan bisa lewat aplikasi jadi ada notifikasinya .”(FGD_R1) Seorang informan yang telah menunggak pembayaran selama lebih dari 6 bulan merasakan perlu adanya pemberitahuan kepada peserta yang menunggak mengenai jumlah tunggakan, kapan sebaiknya pembayaran dilakukan dan juga mengenai status kepesertaan mereka. “Pengennya biar ada pemberitahuan. Kan kita tahunya kan dari pemberitahuan. Kapan harusnya kita bayar. Udah lewat atau gimana gitu. Itu aja sih.” (WM_3) Pemberitahuan kepada peserta dapat dilakukan melalui surat maupun SMS. Mayoritas informan menyebutkan pemberitahuan melalui SMS akan lebih efektif dibandingkan pemberitahuan melalui surat karena kemungkinan surat tidak sampai pada yang dituju lebih besar dibandingkan SMS. “Kalau mending sih, eee tergantung. Kalau surat biasanya kan pasti ketinggal. Kalau dia gak tahu pasti gak bakalan dicari lagi. Mungkin kayak yang, kayak ada asuransi kayak Prudential, dia SMS. Kita kan lebih enak, SMS kan selalu pasti. Bawa HP kan? Atau enggak, mungkin udah tua, mungkin anaknya atau gimana, kan masih gampanglah. Kalau misalnya surat, gak tahu ininya, alamatnya pasti gak bakalan nyampek.”. WM_3 Ada dua orang informan yang telah melakukan instalasi aplikasi BPJS di telepon selulernya dan merasa bahwa sebenarnya aplikasi BPJS dapat memberikan notifikasi untuk pembayaran BPJS. Namun informan menyayangkan bahwa aplikasi di satu telepon seluler hanya bisa digunakan untuk 1 peserta, tidak bisa digunakan untuk 1 KK. 34
“Tapi mungkin yang tadi, yang KK itu. Aplikasi di sini tu cuma bisa untuk 1 ID. Jadi, kalau untuk, untuk KK itu ada beberapa orang. Jadinya gak bisa di cek satu per satu. Jadi lebih penting sih, notifikasi itu.” (FGD1_R1) Perlu ada mekanisme untuk mengingatkan peserta dalam membayar iuran agar tidak terjadi lupa atau keterlambatan. Reminder mengenai pembayaran iuran bisa dilakukan melalui SMS yang dikirimkan pada peserta BPJS menjelang tenggat waktu pembayaran iuran. “Berarti kayaknya harus ada ini kali ya. IT untuk di BPJSnya, jadi udah semua KK treeet, gitu aja tinggalkan nomor telepon. Terus semua SMS. Kemenkes gitu atau darimana Kemenkes, silakan bayar BPJS anda, tanggal 1 sampai tanggal 10, diingetin kayak gitu. Kayak misalnya, ada eee sms campaign tuh misalnya dari siapa gitu. Lakukanlah, apa sih kayak... kayak dari menteri-menteri mana gitu kan” (FGD1_R2) “Perlu karena ya tidak semua orang autodebet kan. Kadang autodebet pun kalau lupa isi uang ya, reminder-lah. Telpon atau SMS ajalah. SMS global itu kan murah dia. Central itu, pakai mesin SMS itu murah.” (WM_1) Sebaliknya, satu orang informan menyatakan bahwa peringatan lewat SMS tidak perlu lagi dilakukan karena waktu pembayaran seharusnya sudah diketahui oleh peserta. Peringatan melalui SMS hanya perlu dilakukan jika terdapat banyak peserta yang sering terlambat membayar iuran. “Enggak, masyarakat kan sudah di warning, eee tanggal 1-10 itu sudah cukup panjang sekali, 10 hari. Jadi notifikasi itu ya, eee second option lah. Maksudnya kalau emang banyak yang terlambat.” (FGD1_R2) Dalam bukti transfer pembayaran di ATM idealnya tercantum bulan pembayaran yang dilakukan sehingga peserta tidak lupa. “Pas waktu bayar di ATM atau pembayaran itu. Ada pemberitahuannya untuk bulan kapan. Terakhir kapan. Kayak gitu.” (WM_3) “Atau mungkin di slip cetaknya 6 bulan. Per 6 bulan, slip cetaknya itu harusnya isi. Jadi mulai bayar kembali tanggal sekian. Itu kadang-kadang kita gak isi kan kita gak tahu. Berlaku sampai dengan. Misalnya bayarnya Juli, kita bayar 3 bulan. Agustus, September, berarti berakhir akhir September 2015. Tapi Oktober kita harus harus bayar lagi.” (FGD1_R2) Sistem agar diperbaiki sehingga tidak sering terjadi error. Sistem yang error seringkali menyebabkan keterlambatan pembayaran iuran BPJS pada peserta. “Mungkin sistem pembayarannya. Kalau untuk bayar double, double sering rusak ya mungkin musti dilancarkan lagi.” (FGD1_R2) 35
Dalam melakukan pembayaran diharapkan ada pilihan untuk pembayaran secara kolektif misalnya untuk 1 KK sehingga waktu transaksi bisa dipersingkat. “Kalau saya, karena bayarnya itu rombongan ya, kalau bisa. Kalau di ATM itu jangan per, ada pilihan juga per virtual akun, tapi buatkan pilihan per KK.” (FGD1_R1) “Gini ya boleh gak? Kan kita tu banyak sekali masukin huruf ya kadang salah eh angka itu kadang salah bisa gak diginiin apa KK ini sekian bayarnya langsung kita bayar .”(FGD3_R2) Alternatif lainnya adalah dengan membuat pilihan pembayaran secara kolektif dimana ada opsi untuk memilih beberapa nomor akun virtual secara bersamaan sehingga tidak perlu pengulangan seluruh langkah dalam pembayaran untuk tiap akun. “Ada pilihan, pilihan mau bayar berapa orang. Mencari kode, tapi untuk beberapa orang. Misalnya untuk 3 orang, jadi kita pilih 3 kuantiti orangnya tek baru suruh masukin kodenya.”. (FGD1_R2) Alternatif pembayaran lainnya yang dikemukan oleh beberapa informan yaitu melalui kurir yang mendatangi peserta yang mengalami kesulitas dalam membayar iuran. “Kalau menurut saya sih bagusnya, kenapa dia gak pakai sistem FIF, FIF lo yang perusahan besar. Mereka bisa menawarkan kurir, atau jasa penarikan, apa pengambilan uang. Kalau misalnya pengambilan uang secara langsung ke rumah, nah itu kita gak lupa. Tapi kita kena biaya. Itu yang praktisnya.”. (FGD1_R2) Namun beberapa responden memiliki kekhawatiran untuk melakukan pembayaran melalui kurir karena khawatir bahwa uang yang mereka bayarkan disalahgunakan. Salah satu informan yang menunggak iuran lebih dari enam bulan pernah menitipkan pembayaran iuran pada saudaranya namun uang tersebut tidak dibayarkan ke BPJS sehingga terjadi tunggakan. Upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya pembayaran iuran dan pentingnya kepemilikan asuransi kesehatan secara berkelanjutan meskipun belum pernah atau sangat jarang menggunakan JKN penting dilakukan. “Di BPJS ini kuncinya sampai bersekian tahun gini, mungkin ketika dua tahun mereka tidak-tidak, istilahnya sehat-sehat terus, tidak tahu manfaatnya apa. Tiba-tiba berhenti pembayarannya. Mungkin untuk continue ke depan, sekian tahun ke depan untuk, untuk pembayaran ber skala itu, kadang-kadang kalau mereka gak tahu manfaatnya ah saya stop.” (FGD2_R1) Memperluas jaringan untuk pembayaran iuran sehingga prosedur pembayaran bisa menjadi lebih mudah dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Di Kota Denpasar, masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak bisa menjangkau informasi maupun cara pembayaran iuran 36
BPJS yang saat ini tersedia. Anggota masyarakat yang tidak terbiasa melakukan transaksi Perbankan perlu dijangkau dengan cara pembayaran yang lebih sederhana. Salah satu alternatif yang diusulkan oleh beberapa informan adalah pengembangan kerjasama dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) karena LPD cukup terjangkau oleh kelompok masyarakat yang berusia lanjut dan yang tidak terbiasa bertransaksi Perbankan. “Kalau gak mereka ke bank mereka nganggep yang udah tua renta disuruh ke bank kan susah. Kecuali ada petugas mungkin. Atau bisa bayar di LPD lah. Kalau mungkin ya. Kalau di tingkat desa kan orangtua di LPD. Karena petugas LPD biasanya datang, untuk mencari tabungan. Kenapa ndak?”(FGD2_R2) Sebagian peserta menyatakan tidak mengetahui tentang letak LPD dan tidak pernah mengunjungi LPD setempat sehingga tidak merasa perluasan pembayaran melalui LPD perlu dilakukan. Kartu pembayaran seperti ATM yang mudah dipakai serta pembayaran yang bisa dilakukan dimana saja seperti halnya rekening listrik akan lebih memudahkan peserta dalam melakukan pembayaran. “Iya sama kayak bayar listrik artinya kalau kita telat bayar kita disegel jadi gak bisa makanya pelayanannya ditingkatkan jadi dokter cen gen dadi pakek gitu kan enak jadinya kartunya mendingan berupa kaya ATM aja mendingan kalau kaya gini kan ribet ya, kertas pelastik gitu kalau kaya kartu ATM kan langsung, kalau langsung kita ke dokter mana jret oh dia udah terdaftar kan gitu jadinya. Jadi kaya ATM jadinya oh iya buk silahkan periksa kalau kaya gitu kan enak jadinya, jadinya masyarakatpun seneng bayarnya gitu. Kalau kaya sekarang ini kan oh bukan disini buk ini bukan disini itu disana pindah lagi ngurus jadinya kan males mereka kalau kaya dengan cara listrik itu kan bisa bayar di mana-mana kan enak jadinya, bayar juga enak kita make juga enak kan gitu kalau kaya gitu masyarakat dijamin lah pasti mau.” (FGD3_R8)
37
BAB 5 PEMBAHASAN
Jaminan Kesehatan Nasional merupakan asuransi kesehatan sosial yang kepesertaannya bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. Peta jalan JKN mentargetkan pencapaian cakupan universal pada tahun 2019, dimana diharapkan bahwa seluruh penduduk Indonesia telah tergabung sebagai peserta JKN. Tantangan terbesar dari upaya pencapaian cakupan kesehatan universal adalah upaya untuk memperluas cakupan JKN pada pekerja sektor informal. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada akhir tahun 2014 berjumlah 867.700 orang. Data dari BPJS Kesehatan Divisi Regional XI menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat 681.279 peserta JKN di Kota Denpasar yang terdiri dari 241.863 orang peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan 439.416 peserta Non PBI. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Litbang BPJS Kesehatan, dari Januari 2014 hingga Oktober 2015 terdapat 84.959 peserta JKN Non-PBI Mandiri di Kota Denpasar. Data tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat cukup banyak penduduk di Kota Denpasar yang belum menjadi peserta JKN. Dilihat dari sisi pemanfaatan layanan, 79.236 peserta yang telah memanfaatkan FKTP dan 44.833 peserta yang telah memanfaatkan layanan FKTL dalam periode Januari 2014 hingga Oktober 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cukup banyak peserta yang mendaftar sebagai peserta JKN Mandiri karena menderita penyakit yang membutuhkan perawatan dan tindakan medis yang berbiaya besar. Kebijakan BPJS agar peserta JKN Non-PBI Mandiri mendaftarkan seluruh anggota keluarga dalam KK mampu meningkatkan jumlah peserta dan mengurangi risiko adverse selection. Masalah yang saat ini terjadi adalah rendahnya kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri. Iuran peserta JKN adalah salah satu sumber pembiayaan dari JKN sehingga angka ketidakpatuhan pembayaran iuran yang tinggi dapat menimbulkan risiko finansial yang cukup besar bagi BPJS di tahun-tahun awal implementasi JKN. Hasil analisis data sekunder dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-fator yang berpengaruh terhadap kepatuhan pembayaran iuran adalah usis, kelas kepesertaan, status kepesertaan, pemanfaatan layanan FKTP dan pemnafaatan layanan FKTL. Makin tua usia makin menurun risiko ketidakpatuhan kemungkinan disebabkan karena orang yang lebih tua biasanya memiliki risiko terkena penyakit dibandingkan dengan yang lebih muda. Kelas kepesertaan kelas 38
3 memiliki risiko yang lebih tinggi daripada kelas 1 kemungkinan karena peserta yang memilih kelas 3 pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan peserta kelas 1. Pada saat ada kebutuhan lainnya yang mendesak maka peserta kelas 3 kemungkinan besar akan menunda pembayaran iuran dan memprioritaskan pengeluaran yang mendesak tersebut. Status kepesertan sebagai istri, anak dan tambahan memiliki risiko yang lebih rendah untuk menajdi tidak patuh. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dong dkk. (2009) di Burkina Faso. Status sebagai istri menunjukkan bahwa yang menanggung adalah peserta laki-laki. Hasil penelitian tersebut kemungkinan disebabkan karena karir laki-laki cenderung lebih tetap sehingga pembayaran iuran istri juga cenderung tetap. Status kepesertaan sebagai anak memiliki risiko lebih rendah untuk menjadi tidak atuh membayar iuran karena pada umumnya orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anak mereka, termasuk dengan menyediakan jaminan kesehatan sehingga anak akan tetap bisa mengakses layanan saat dibutuhkan. Status kepesertaan tambahan berarti peserta JKN di luar keluarga inti, namun namanya tercantum dalam KK. Keluarga yang juga mengikutsertakan kerabat di luar keluarga inti merupakan keluarga yang sadar akan pentingnya asuransi sehingga risiko ketidakpatuhannya lebih rendah. Risiko ketidakpatuhan menurun dengan meningkatnya jumlah kunjungan ke FKTP dan FKTL karena peserta yang menderita penyakit atau masalah kesehatan yang harus mendapat layanan di fasilitas kesehatan akan lebih rajin membayar iuran sehingga mereka dapat terus menerus memanfaatkan JKN untuk mengakses layanan kesehatan tanpa dikenakan biaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pembayaran iuran JKN antara lain kurangnya pengetahuan tentang keterbatasan ekonomi dan adanya prioritas non-kesehatan, ketidakpuasan akan kualitas layanan kesehatan yang diterima dengan menggunakan BPJS, kurangnya pengetahuan tentang pembayaran iuran dan konsekuensi ketidakpatuhan pembayaran iuran, tidak adanya notifikasi atau reminder mengenai pembayaran iuran, sistem pembayaran iuran yang sering bermasalah, masih adanya tanggungan Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), persepsi tentang rendahnya risiko sakit dan risiko pengeluaran katastrofik. Keterbatasan ekonomi membuat manusia harus membuat skala prioritas. Ancaman akan penyakit dan masalah kesehatan lainnya bersifat tidak pasti sehingga kebutuhan seperti kebutuhan akan pangan dan biaya pendidikan yang ancamannya lebih nyata menjadi lebih diprioritaskan dibandingkan dengan pembayaran iuran. Keterbatasan ekonomi yang menyebabkan pembayaran 39
iuran untuk kesehatan tidak menjadi prioritas dibandingkan dengan pemenuhan kebuthan seharihari juga ditemukan pada penelitian Triratnawati pada masyarakat miskin di Desa Rapalauk, Madura Tahun 2014. Ketidakpuasan akan kualitas layanan kesehatan merupakan permasalahan klasik yang menjadi penghambat untuk meningkatkan cakupan kepesertaan jaminan kesehatan serta merupakan penyebab dari rendahnya angka utilisasi jaminan kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah menunjukkan adanya persepsi negatif mengenai kualitas layanan yang diterima oleh pengguna jaminan kesehatan. Hasil 56 FGD dan 32 wawancara mendalam yang dilakukan Jannatul dkk. terhadap masyarakat miskin dan hampir miskin yang memiliki jaminan kesehatan (baik Jamkesmas maupun Jamkesda) yang berkunjung ke fasilitas kesehatan di 4 kabupaten di Jawa Timur menyebutkan adanya kekhawatiran masyarakat terhadap mutu layanan kesehatan dengan menggunakan Jamkesmas. Masyarakat mempersepsikan bahwa obat yang diberikan untuk pasien Jamkesmas adalah obat murah yang berkualitas kurang baik sehingga pasien tidak cepat sembuh. Oleh karena itu, masyarakat memilih untuk membayar sendir untuk mendapatkan obat yang “lebih bagus”. Persepsi lain terhadap Jamkesmas adalah adanya perbedaan layanan antara pasien Jamkesmas dengan Pasien Non-Jamkesmas. Pasien Jamkesmas dianggap akan menerima layanan yang kurang berkualitas dibandingkan pasien Non-Jamkesmas. Hasil penelitian perbedaan
juga menunjukkan adanya pengalaman responden yang mengalami
layanan
di
fasilitas
kesehatan
menyebabkan
turunnya
kepercayaan
untuk menggunakannya kembali (12). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jannatul dkk. dan menunjukkan bahwa persepsi yang negatif terhadap kualitas layanan yang diterima mempengaruhi kemauan peserta untuk melanjutkan pembayaran iuran JKN. Kecenderungan peserta JKN Non-PBI Mandiri untuk tidak menggunakan JKN untuk mengakses layanan rawat jalan sejalan dengan hasil penelitian oleh Radja (2014) dan Mansur dkk. (2014). Penelitian oleh Radja (2014) dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey di Indonesia Timur (IFLS East) tahun 2012 menunjukkan bahwa 51,1% pemilik Jamkesmas di Indonesia Timur tidak menggunakan jaminannya untuk pelayanan rawat jalan. Mereka lebih memilih membayar langsung daripada pelayanan gratis (13). Penelitian oleh Mansur dkk (2014) menunjukkan bahwa hanya 89,05% dari 2.549 pemilik jaminan kesehatan di NTT dan 59,23% dari 1.447 pemilik jaminan kesehatan di Jawa Timur memanfaatkan jaminan kesehatan ketika
40
mengunjungi fasilitas kesehatan karena kekhawatiran akan kualitas layanan kesehatan serta administrasi yang berbelit-belit (14). Lebih dipilihnya pembayaran secara out of pocket oleh peserta JKN Non PBI Mandiri dalam mengakses layanan di FKTP sejalan dengan hasil penelitian Triratnawati (2014) yang menyebutkan
bahwa
masyarakat
miskin
di
Desa
Rapalauk,
Madura
lebih memilih apabila sakit akan membayar dokter dan biaya perawatan, meski harus berhutang, daripada harus mengiur secara rutin dengan sejumlah uang (15). Berdasarkan atas hasil-hasil penelitian tersebut diatas, upaya untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, terutama layanan kesehatan primer dan upaya untuk menghapus persepsi negatif tentang jaminan kesehatan merupakan permasalahan krusial yang perlu dilakukan oleh BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Kurangnya
pengetahuan
peserta
mengenai
pembayaran
iuran
termasuk
konsekuensi
ketidakpatuhan pembayaran iuran merupakan faktor penghambat keberlanjutan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri yang juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Intiasari di Purbalingga pada tahun 2014 (16). Selain pengetahuan tentang JKN, ketersediaan informasi juga merupakan determinan dari kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri di Purbalingga yang juga ditemukan dalam penelitian ini. BPJS Kesehatan sebenarnya telah berupaya untuk menyediakan informasi mengenai pembayaran iuran kepada peserta misalnya melalui website BPJS. Hanya saja, informasi tersebut disampaikan melalui media yang tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya untuk menyebarkan informasi mengenai berbagai metode pembayaran iuran yang tersedia, cara mengecek status pembayaran iuran serta konsekuensi keterlambatan pembayaran iuran perlu dilakukan oleh BPJS melalui media yang lebih dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat misalnya melalui iklan layanan masyarakat di televisi, radio serta melalui media sosial seperti facebook. BPJS Kesehatan telah mengembangkan media bagi peserta JKN untuk mengecek status pembayaran iuran mereka sehingga tidak terjadi keterlambatan maupun penunggakan pembayaran iuran seperti melalui aplikasi BPJS mobile, SMS gateway dan pengecekan melalui website BPJS. Namun, ketersediaan media tersebut belum banyak diketahui oleh peserta. Peringatan pembayaran dirasa perlu oleh peserta sehingga tidak terjadi keterlambatan pembayaran iuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peserta mengharapkan 41
adanya reminder atau peringatan melalui media SMS sehingga bisa diakses oleh hampir seluruh peserta. Metode pembayaran yang paing sering diakses oleh peserta adalah pembayaran melalui ATM karena keterbatasan penegtahuan peserta mengeni cara pembayaran JKN yang tersedia. Reliabilitas dari pembayaran via ATM dinilai kurang oleh peserta sehingga peserta sering mengalami kesulitan bahkan kerugian. BPJS Kesehatan diharapkan untuk lebih memperluas jejaring untuk pembayaran iuran sehingga masyarakat menjadi lebih dimudahkan dan tidak terjadi keterlambatan atau tunggakan karena kendala pada sistem pembayaran. Selain JKN terdapat skema jaminan kesehatan daerah berupa Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang diperuntukkan bagi penduduk Provinsi Bali yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Pada tahun 2014 pemerintah Kota Denpasar terdapat 415.125 orang peserta JKBM dan 263.989 orang menggunakan JKBM tersebut untuk mengakses layanan kesehatan. Kepemilikan JKBM juga menjadi faktor yang menyebabkan peserta menjadi merasa aman untuk tidak lagi melanjutkan pembayaran iuran. Sosialisasi mengenai integrasi JKBM dan JKN yang menyebabkan masyarakat harus mendaftar sebagai peserta JKN perlu dilakukan. Persepsi tentang rendahnya risiko sakit dan risiko pengeluaran katastrofik mempengaruhi kepatuhan pembayaran iuran. Hal tersebut disebabkan karena jika peserta merasa dirinya tidak pernah sakit dan tidak pernah memanfaatkan layanan, mereka akan merasa enggan untuk melakukan pembayaran iuran. Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tenatng pentingnya perlindungan terhadap risiko finansial perlu dilakukan oleh BPJS bekerjasama dengan pemangku kepentingan terakit lainnya misalnya pihak universitas. Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah banyaknya data sekunder yang belum bisa disinkronkan sehingga tidak semua data peserta dapat dianalisis. Perbedaan karakteristik antara kelompok data yang dianalisis dan tidak dianalisis menyebabkan generalisasi hasil penelitian harus dilakukan dengan hati-hati.
42
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
1.
Angka ketidakpatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non-PBI Mandiri cukup tinggi yaitu sebesar 26,53%. Peserta yang tidak patuh membayar iuran rata-rata mulai tidak membayar iuran 4 bulan setelah mulai terdaftar sebagai peserta.
2.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pembayaran adalah usia, kelas kepesertaan, status kepesertaan, jumlah kunjungan ke FKTP dan FKTL. Semakin tua usia dan semakin banyak jumlah kunjungan ke FKTP dan FKTL maka risiko ketidakpatuhan pembayaran iuran lebih rendah. Peserta JKN kelas 3 memiliki risiko ketidakpatuhan yang lebih tinggi dibandingkan peserta kelas 1. Status kepesertaan istri, anak dan tambahan memiliki risiko ketidakpatuhan yang lebih rendah dibandingkan peserta.
3.
Faktor-faktor penghambat kepatuhan pembayaran iuran berdasarkan persepsi peserta antara lain antara lain kurangnya pengetahuan tentang keterbatasan ekonomi dan adanya prioritas non-kesehatan, ketidakpuasan akan kualitas layanan kesehatan yang diterima dengan menggunakan BPJS, kurangnya pengetahuan tentang pembayaran iuran dan konsekuensi ketidakpatuhan pembayaran iuran, tidak adanya notifikasi atau reminder mengenai pembayaran iuran, sistem pembayaran iuran yang sering bermasalah, masih adanya tanggungan Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), persepsi tentang rendahnya risiko sakit dan risiko pengeluaran katastrofik.
4.
Beberapa alternatif peningkatan kepatuhan pembayaran iuran peserta antara lain dengan meningkatkan sosialisasi mengenai berbagai alternatif cara pembayaran iuran JKN serta konsekuensi dari keterlambatan pembayaran iuran, meningkatkan upaya untuk reminder dan notifikasi pembayaran iuran peserta JKN Non-PBI Mandiri, meningkatkan kualitas sistem pembayaran iuran sehingga tidak sering terjadi error, mensosialisasikan berakhirnya JKBM, meningkatkan upaya edukasi masyarakat tentang risiko sakit dan pengeluaran katastrofik, menggiatkan upaya untuk meningkatkan kualitas layanan penyedia layanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, terutama Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, meningkatkan upaya koordinasi dengan pemerintah untuk memastikan bahwa anggota masyarakat yang miskin dan tidak mampu memperoleh akses sebagai peserta JKN PBI. 43
6.2. Saran
1.
Pihak BPJS Kesehatan sebaiknya meningkatkan upaya sosialisasi mengenai berbagai alternatif cara pembayaran iuran JKN, cara pengecekan status pembayaran iuran dan konsekuensi dari keterlambatan pembayaran iuran melalui media yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.
2.
Pihak BPJS Kesehatan sebaiknya mengembangkan upaya untuk memberikan notifikasi pembayaran iuran kepada peserta melalui media yang dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat, misalnya melalui SMS.
3.
Pihak BPJS Kesehatan hendaknya berkoordinasi dengan pihak Bank untuk memastikan sistem pembayaran yang lebih sederhana dan lebih reliabel. Opsi untuk pembayaran iuran secara kolektif serta pencantuman periode bulan yang dibayarkan pada tanda bukti pembayaran merupakan alternatif yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pembayaran melalui ATM.
4.
Pihak BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan hendaknya meningkatkan upaya sosialisasi mengenai integrasi JKBM dengan JKN pada tahun 2016.
5.
Pihak BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Institusi pendidikan kesehatan dan pemangku kepentingan terkait untuk meningkatkan upaya edukasi masyarakat mengenai risiko pengeluaran katastrofik sehingga masyarakat menjadi semakin menyadari pentingnya kepemilikan asuransi kesehatan secara berkelanjutan.
6.
Pihak BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan hendaknya menggiatkan upaya untuk meningkatkan kualitas layanan penyedia layanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, terutama Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
7.
Pihak BPJS Kesehatan berkoordinasi dengan pemerintah untuk memastikan bahwa anggota masyarakat yang miskin dan tidak mampu memperoleh akses sebagai peserta JKN PBI.
44
Daftar Pustaka 1.
2.
3. 4. 5.
6. 7. 8.
9.
10. 11. 12.
13.
14.
15.
16.
Trisnantoro L, Susilowati T, Meliala A, Hendrartini Y, Kurniawan MF, Putra WDR. Skenario Pelaksanaan Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional: Apakah ada potensi memburuknya ketidakadilan sosial di sektor kesehatan: Studi awal dalam monitoring JKN di 12 Propinsi: Periode Monitoring I: bulan Januari-Juni 2014. Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM, 2014. Kemenkes RI. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. In: Indonesia KKR, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. Thabrany H. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada; 2005. Thabrany H. Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Jakarta; 2014. Putra WDR, editor. Analisa Hubungan Masyarakat Dengan BPJS Kesehatan Dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 2014 24-25 September 2014; Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Kemenkes RI. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. WHO. The World Health Report 2008: Primary Health Care Now More Than Ever. In: Organization WH, editor. Geneva: World Health Organization; 2008. Kemenko Kesra RI. Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019. In: Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, editor. Jakarta: Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia; 2012. Intiasari AD, editor. Determinan Keberlanjutan Pembayaran Premi Non PBI Mandiri Pada JKN di Wilayah Pedesaan kabupaten Purbalingga. Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 2014; Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD. Green J. Generating best evidence from qualitative research: the role of data analysis. Australian and New Zealand Journal of Public Health. 2007;31(6):545. Dong H, De Allegri M, Gnawali D, Souares A, R S. Drop-out analysis of community-based health insurance membership at Nouna, Burkina Faso. Health Policy 2009;92(2-3):174-9. Jannatul N, Mansur F, Purwaningrum D, Sapardi H. Masyarakat Meragukan Mutu Layanan Kesehatan Gratis: Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Jaminan Kesehatan Masyarakat di Jawa Timur. Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September 2014; Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. p. 36. Radja II. Jaminan Kesehatan Masyarakat di Indonesia Timur: Benarkah Bermanfaat? Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September 2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. p. 32. Mansur F, Purwaningrum D, Jannah N, Sapardi H, Padmawati S. Layanan Gratis Pun Ditolak Masyarakat Miskin: Pemanfaatan Kartu Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Daerah di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. p. 43. Triratnawati A. Program BPJS: Terlalu Mahal Bagi Orang Madura. Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September 2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014. p. 41. Arih Diyaning Intiasari Determinan Keberlanjutan Pembayaran Premi Non PBI Mandiri Pada JKN di Wilayah Pedesaan Kabupaten Purbalingga. Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia; 24-26 September 2014; Bandung. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014.
45
LEMBAR INFORMASI ANALISIS DETERMINAN KEPATUHAN DAN PENGEMBANGAN STRATEGI PENINGKATAN KEPATUHAN PEMBAYARAN IURAN PADA PESERTA JKN NON PBI MANDIRI DI KOTA DENPASAR Anda diundang untuk berpartisipasi dalam diskusi kelompok terfokus sebagai bagian dari penelitian berjudul “Analisis Determinan Kepatuhan dan Pengembangan Strategi Peningkatan Kepatuhan Pembayaran Iuran Pada Peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar” yang diselenggarakan oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Latar Belakang dan Tujuan Penelitian Kepatuhan pembayaran iuran JKN pada peserta JKN Non PBI Mandiri merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan program JKN. Namun kepatuhan pembayaran iuran JKN dan strategi untuk meningkatkan kepatuhan belum pernah digali. Penelitian ini bertujuan untuk menggali kepatuhan pembayaran iuran, faktor-faktor yang mempengaruhi serta strategi untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran JKN pada peserta Non PBI Mandiri di Kota Denpasar. Kemungkinan keuntungan dan kerugian Keuntungan yang dapat anda peroleh melalui partisipasi Anda pada penelitian ini adalah anda dapat berkontribusi terhadap pengembangan strategi untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran pada peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar. Tidak ada risiko kerugian yang diakibatkan oleh keterlibatan Anda dalam penelitian ini. Apa yang dibahas dalam diskusi kelompok terfokus? Diskusi akan membahas pendapat, persepsi dan pengalaman anda terkait dengan pembayaran iuran JKN. Diskusi akan berlangsung sekitar 60 hingga 90 menit dan akan direkam dengan persetujuan anda, untuk bisa menangkap informasi secara mendetail. Anda berhak untuk tidak menjawab pertanyaan yang tidak ingin anda jawab. Privasi dan Kerahasiaan Informasi Keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat sukarela. Kesediaan Anda untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sangat diharapkan namun anda berhak untuk mengatakan “tidak” jika Anda tidak bersedia. Ketidakmauan Anda untuk berpartisipasi tidak akan mendatangkan konsekuensi apapun pada anda. Informasi yang diperoleh dalam diskusi ini akan dijaga kerahasiaannya. Informasi yang didapatkan akan disimpan dalam format digital dan hanya bisa diakses oleh tim peneliti. Hasil Penelitian Penelitian ini akan diselesaikan pada bulan November 2015. Hasil penelitian akan disampaikan kepada BPJS sebagai dasar bagi pengembangan program dan kebijakan serta akan dipublikasikan pada jurnal ilmiah. Informasi lebih lanjut Jika anda memiliki pertanyaan atau membutuhkan informasi lebih lanjut terkait penelitian ini, silakan menghubungi dr. Ni Made Sri Nopiyani, MPH; HP: 081236327788, Email:
[email protected]. Terimakasih.
46
Lembar Persetujuan Analisis Determinan Kepatuhan dan Pengembangan Strategi Peningkatan Kepatuhan Pembayaran Iuran Pada Peserta JKN Non PBI Mandiri di Kota Denpasar
Berilah tanda silang pada kotak yang sesuai! Ya 1.
Saya telah membaca, mendapat penjelasan dan saya telah memahami informasi yang tercantum dalam lembar informasi penelitian ini.
2.
Saya memahami bahwa keikutsertaan saya bersifat sukarela dan saya dapat menarik diri kapan saja dari penelitian ini tanpa konsekuensi apapun.
3.
Saya memahami bahwa informasi yang saya berikan dalam wawancara akan dijaga kerahasiaannya.
4.
Saya setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
5.
Saya setuju untuk dilakukannya perekaman terhadap wawancara.
6.
Saya setuju bahwa informasi yang saya berikan akan disajikan dalam laporan secara anonim.
7.
Saya setuju bahwa data penelitian ini akan disimpan dalam tempat yang aman dalam bentuk digital dan kemungkinan digunakan untuk penelitian di masa mendatang.
Nama peserta:
Tanda tangan peserta:
Nama pewawancara:
Tanda tangan pewawancara:
Tidak
Tanggal Terimakasih atas partisipasi Anda. 47
Pedoman FGD & Wawancara Mendalam Peserta JKN Non-PBI Mandiri Topik
Pertanyaan
Identitas
Nama? Usia? Pekerjaan? Status perkawinan? Jumlah anak? Sejak kapan menjadi peserta JKN? Bagaimana ceritanya hingga Anda memutuskan untuk menjadi peserta JKN? Bagaimana status kepesertaan JKN Anda?
Kepesertaan JKN
Pemanfaatan layanan
Iuran JKN
Bagaimana pengalaman pemanfaatan layanan dengan BPJS? Bagaimana pendapat anda tentang kualitas layanan yang anda terima? Jika layanan yang anda terima kurang memuaskan, apakah berpengaruh terhadap pembayaran iuran JKN anda? Bagaimana pendapat Anda tentang besaran iuran JKN yang harus dibayarkan?
Bagaimana cara Anda melakukan pembayaran iuran JKN?
Bagaimana pengalaman Anda dalam melakukan pembayaran iuran JKN? Adakah permasalahan yang
Probing
Kesadaran sendiri? Dorongan orang lain? Mengalami permasalahan kesehatan? Memerlukan akses ke layanan kesehatan? Kelas berapa? Apakah seluruh anggota keluarga dalam KK Anda sudah terdaftar sebagai peserta JKN? Jika belum, mengapa? Apakah pernah memanfaatkan layanan? Di faskes mana? Masalah kesehatan apa? Seberapa sering? Memuaskan/tidak memuaskan? Jika tidak memuaskan, aspek layanan apa yang masih kurang? Iya/tidak? Jika iya, bagaimana pengaruhnya?
Mahal/cukup/murah? Sesuai/tidak dengan paket manfaat yang akan diterima? Besaran iuran relatif terhadap pendapatan per bulan? Apakah anda membayar iuran sendiri atau membayar iuran seluruh anggota keluarga dalam KK? Apakah membayar sendiri atau dibayarkan orang lain? Pembayaran dilakukan lewat mana? Bank (BNI/Mandiri/BRI/BTN)? Lewat Indomaret? Autodebet? SMS Banking? Internet Banking? Teller BNI/Mandiri/BRI/BTN? Kantor pos? Cara pembayaran lain? Apakah mudah atau sulit? Jika sulit, apa yang menjadikan sulit? Jika ada? Permasalahan apa? 48
Kepatuhan pembayaran iuran
Anda jumpai saat melakukan pembayaran iuran? Bagaimana ketepatan waktu dalam melakukan pembayaran iuran? Jika selalu tepat waktu, bagaimana strategi Anda agar bisa selalu membayar tepat waktu? Jika pernah terlambat, bagaimana ceritanya?
Tanggal berapa biasanya Anda melakukan pembayaran iuran? Apakah selalu tepat waktu? Apakah pernah terlambat? Reminder? Auto debet? Cara lainnya?
Mengapa terlambat? Berapa lama keterlambatannya? Apakah sering terlambat?
Apakah Anda mengetahui apa konsekuensi yang akan Anda hadapi jika Anda terlambat membayar iuran?
Jika iya, apa yang anda ketahui? Misalnya: setelah berapa lama tidak membayar akan terkena denda/kepesertaan dihentikan? darimana Anda memperoleh informasi tsb?
Bagaimana pendapat Anda tentang denda yang dikenakan untuk keterlambatan?
Apakah menurut Anda denda tsb cukup besar? Apakah denda tsb. menimbulkan rasa jera? Jika tidak, berapa sebaiknya denda yang dikenakan bagi keterlambatan? Jika tahu, darimana anda mendapatkan informasi tersebut?
Apakah anda mengetahui bahwa BPJS menyediakan fasilitas untuk mengecek status pembayaran iuran JKN Anda? Apakah anda pernah memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh BPJS untuk mengecek status pembayaran iuran anda? Menurut Anda, strategi apa yang harus dikembangkan oleh BPJS untuk meningkatkan kepatuhan peserta JKN untuk membayar iuran?
Website resmi di check pembayaran iuran/ untuk android download app BPJS Kesehatan/SMS gateway Jika pernah, bagaimana pendapat anda tentang layanan tsb? Apakah bermanfaat? Jika tidak pernah, mengapa? Misalnya: Memperbanyak variasi tempat pembayaran? Meningkatkan denda? Layanan mobile utk pemungutan iuran? Lain-lain?
Terimakasih atas partisipasi Anda
49
Dokumentasi Pengumpulan Data
FGD 1 (Tanggal 3 November 2015 di Yayasan Kerti Praja Denpasar)
FGD 2 (Tanggal 13 November 2015 di Gedung Timur FK Unud Denpasar)
50
FGD 3 (Tanggal 20 November 2015 di Banjar Tapak Gangsul, Denpasar Utara)
51
DOKUMENTASI KEGIATAN
PERTEMUAN DISEMINASI HASIL JOINT RESEARCH Ruang Sidang Lantai IV, Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Jln. P.B. Sudirman, Denpasar 15 Desember 2015
Persentasi hasil penelitian
52
Peserta Pertemuan Diseminasi Joint Research
53