LAPORAN PENELITIAN PENELITIAN PERGURUAN TINGGI TAHUN ANGGARAN 2015
ORIENTASI NILAI BUDAYA MASYARAKAT PADA KONDISI INEQUALITY : Studi Pada Komunitas yang Berpotensi Konflik di Desa Kesuma Seputar Taman Nasional Teso Nilo (Tahun ke 2 dari Rencana 2 tahun)
Ketua : Dr. Hesti Asriwandari, M.Si NIDN : 0009096203 Anggota : Dr. H. Yoserizal, MS NIDN : 0018095901 Drs. Yoskar Kadarisman NIDN : 0029126603 SUMBER DANA :BOPTN 2015 Universitas Riau Nomor Kontrak :
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS RIAU TAHUN 2015 1
2
DAFTAR ISI
HAL
DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL
ii
........................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................... BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................. 1.2 Perumusan Masalah .................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................... 1.4 Metoda Penelitian .......................................................... 1.5 Jadwal Penelitian .......................................................... 1.6 Organisasi Penelitian ........................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
iii
2.1 Inequality dan Munculnya Perilaku Anomi ....................... 2.2 Intervensi dalam Pengembangan Komunitas ..................... BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………….. 3.2 Subjek Penelitian ……………………………………….. 3.3 Jenis dan Sumber Data…………………………………… 3.4 Teknik Analisis Data …………………………………….. 3.5 Jadwal Penelitian ………………………………………... 3.6 Organisasi Penelitian …………………………………….
BAB V
PROFIL KAWASAN PENELITIAN 4.1 Latar Belakang Desa Kesuma ......................................... 4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Desa Kesuma ............................
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Konflik................................................................. 5.2 Sumber dan Pemicu Konflik ......................................... 5.3 Analisis Perilaku Anomi Sosial ………………………….. 5.4 Model Sosialisasi Komunitas ………………………………
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
.........................................
3
LAMPIRAN Foto dan Peta Panduan wawancara DAFTAR PUSTAKA
4
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya semata maka kegiatan penelitian mengenai Orientasi Nilai Budaya pada Komunitas yang Berpotensi Konflik, Studi Pada Komunitas di Kawasan Taman Nasional Teso Nilo, dapat dilaksanakan dengan baik dan selesai tepat pada waktunya. Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan mendapatkan deskripsi mengenai keadaan konflik yang terjadi pada komunitas seputar taman nasional, yang menyimpan keragaman karakter sosial dan budaya. Menarik sebuah analisa mengenai orientasi nilai budaya yang melatarbelakangi sikap dan perilaku konflik yang terjadi, merupakan sebuah studi pendahuluan yang dapat bermanfaat bagi kedalaman analisa selanjutnya mengenai penyelesaian konflik yang diharapkan. Seluruh rangkaian kegiatan ini, merupakan program penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Riau untuk tahun anggaran 2015. Kegiatan penelitian dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang dosen dibantu oleh 3 (tiga) orang mahasiswa sebagai tenaga pengumpul data, dan sebagai luarannya adalah berupa laporan penelitian, artikel yang diseminasi baik nasional maupun internasional, serta dipublikasikan pada jurnal ilmiah, Untuk ini, penulis atas nama Ketua Tim Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor Universitas Riau dan Lembaga Penelitian Universitas Riau yang telah menyediakan dana, sehingga seluruh kegiatan ini dapat dilaksanakan. Sangat disadari bahwa Laporan Penelitian masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta masukan demi perbaikan laporan ini. Demikian, Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi ini disusun, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang terlibat pada kegiatan ini dari awal hingga akhir, diucapkan ribuan terima kasih. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat sekitar.
Desember 2015 Dra. Hesti Asriwandari, M.Si
5
RINGKASAN
Keterbatasan lahan dan pemenuhan keperluan manusia menghasilkan persaingan-persaingan diantara anggota masyarakat. Perubahan lingkungan berakibat pada konflik sosial. Perambahan hutan atau kerusakan pantai misalnya, ialah merupakan fenomena yang muncul oleh karena manusia tidak lagi menemukan lingkungan alam yang masih ramah dengan segala hasil buminya. Ketimpangan sosial, inequality, dan perubahan lingkungan menjadi fenomena yang tidak dapat dipisahkan. Sejak akhir tahun 2008 terjadi peningkatan konflik masyarakat dengan industri perkebunan di beberapa kabupaten di Provinsi Riau. Konflik meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan penduduk, membengkaknya pengangguran, penyempitan areal, keperluan pangan yang meningkat, dan perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi. Salah satu perselisihan yang cukup kuat berpengaruh pada pihak-pihak yang telibat ialah sebuah kasus perluasan hutan yang terjadi di Kabupaten Pelalawan, yang melibatkan pemerintah sebagai pemegang hak atas lahan hutan, Taman Nasional Teso Nilo, mewakili kepentingan konservasi hutan dan satwa langka, dan masyarakat yang mewakili kepentingan pengelolaan lahan hutan. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan subyek penelitian masyarakat desa Kesuma, dan teknik pengumpulan informasi melalui wawancara mendalam dan observasi. Penelitian ini melakukan pengamatan serta pendekatan mendalam kepada instansi-instansi yang terlibat dengan kepentingan perluasan taman nasional, seperti balai taman nasional, dinas kehutanan kabupaten, lembaga adat, WWF. Mengadakan pertemuan-pertemuan yang melibatkan instansi pemerintah daerah dan swasta serta lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, dengan unsur-unsur masyarakat yang mewakili setiap komunitas pada masyarakat kawasan perluasan. Selanjutnya, berdasarkan pengamatan yang dilakukan, dicoba untuk menciptakan sebuah model upaya sosialisasi yang diperlukan dalam komunikasi antara pihak berwenang dengan masyarakat. Rencana selanjutnya dari studi ini ialah melakukan pengamatan mendalam mengenai implementasi konservasi hutan dan perluasan taman nasional Teso Nilo. Berkenaan telah dilakukannya upaya sosialisasi, maka perlu dilakukan pengamatan mendalam mengenai potensi gerakan sosial, sebagaimana demonstrasi menentang perluasan taman nasional yang pernah digerakkan pada bulan September tahun 2011.
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin
perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan penduduk, membengkaknya pengangguran, penyempitan areal, keperluan pangan yang meningkat, dan perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi. Penelusuran fakta dan data mengenai fenomena konflik sosial di Riau memberikan pemahaman bahwa konflik sosial di Riau bukan termasuk pada konflik sosial dengan intensitas yang tinggi, karena terjadi secara spontan dan sporadik di berbagai wilayah. Namun dapat juga dipahami sebaliknya, bahwa konflik sosial di Riau adalah sebagai potensi konflik dengan intensitas tinggi, karena berakumulasinya sebuah sikap melawan pihak dominan, yang menghasilkan perilaku kontradiktif sebagai proses transfer of hate dari pihak industri ke pemerintah pusat dan daerah, atau sebaliknya. Salah satu perselisihan yang cukup kuat berpengaruh pada pihak-pihak yang telibat ialah sebuah kasus perluasan hutan yang terjadi di Kabupaten Pelalawan, yang melibatkan pemerintah dengan masyarakat tempatan. Tercatat pada laporan Badan Kesbangpol Linmas Provinsi, bahwa pada hari Selasa, 13 September 2011, pukul 11.30 Wib, di Kantor Bupati Pelalawan, terjadi unjuk-rasa antara Forum Kerukunan Petani Desa Kusuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan, yang menggerakkan massa sebanyak + 2300 orang. Tuntutan masyarakat yang berusaha disampaikan dalam unjuk-rasa itu ialah : “……1) Mencabut SK Menhut No : SK/663/Menhut-II/2009, ttg perubahan fungsi sebahagian kawasan hutan produksi terbatas kelompok Hutan Tesso Nilo seluas ± 44.492 Ha yg terletak di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau menjadi Taman Nasional sebagai perluasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). ……..2) Menolak rencana perluasan TNTN di wilayah tanah ulayat Pebatinan Batin Hitam Sei Medang, dengan alasan bahwa tanah tersebut telah dikelola warga masyarakat yang merupakan anak kemenakan Batin Hitam baik yang lokal maupun yang datang dari Rantau……3) Jangan jadikan Otonomi daerah sebagai alat kekuasaan yang mendiskreditkan masyarakat. Harapan otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat demi tercapainya kesejahteraan….”
7
Tepatnya tanggal 19 Juli 2006 Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri yang menetapkan Provinsi Riau sebagai pusat konservasi gajah Sumatera melalui Permenhut No. P.54. Melalui Peraturan Menteri ini diharapkan dapat menjawab persoalan konflik manusia-gajah di Riau. Namun kenyataannya, TNTN yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penanganan konflik manusia-gajah hingga kini belum terbebas dari berbagai permasalahan yang mengancam keutuhan kawasan, khususnya sebagai habitat gajah. Penebangan liar, perambahan, dan pembakaran lahan tetap terjadi di kawasan ini. Hutan Tesso Nilo adalah salah satu blok hutan dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Kawasan ini terletak di Provinsi Riau merupakan salah satu dari 200 Ecoregion WWF Global. WWF berjuang untuk melestarikan Hutan Tesso Nilo dan menjadikannya sebagai contoh bentang alam hutan dataran rendah Sumatera yang luas. Hutan Tesso Nilo terbentang di empat kabupaten yaitu Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, dan Kampar. Seluas 38. 576 Ha hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo pada 19 Juli 2004. Pada 19 Oktober 2009, taman nasional tersebut diperluas menjadi + 83.068 Ha. Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo merupakan perwujudan komitmen bersama antara Departemen Kehutanan, pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Pelalawan, yang didukung oleh Forum Masyarakat Tesso Nilo, Yayasan TN Tesso Nilo dan LSM. Kesepakatan ini tercantum dalam “Kesepakatan Bersama mengenai Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Penanganan Illegal Logging, Perambahan dan Kebakaran Hutan dan Lahan di kawasan Tesso Nilo”, yang disahkan pada akhir Agustus 2008 di Pekanbaru. Perluasan TNTN yang diusulkan awalnya mencakup kawasan eks HPH PT. Nanjak Makmur seluas ± 44.492 dan PT. Siak Raya Timber seluas ± 18.812 ha, namun hingga akhir proses perluasan, eks HPH Nanjak Makmur saja yang telah siap untuk perluasan taman nasional tersebut. Awalnya perluasan TNTN direncanakan menjadi ± 100.000 ha namun sejauh ini baru HPH PT. Nanjak Makmur yang telah siap mendukung perluasan TNTN oleh karena itu perluasan baru dilaksanakan di kawasan tersebut. Meskipun demikian kawasan usulan perluasan TNTN yang berada pada konsesi PT. Siak Raya Timber dapat dijadikan daerah penyangga TNTN dan pemegang konsesi tersebut berperan dalam mengamankan kawasan hutan Tesso Nilo agar kawasan
8
itu dapat mengakomodasi kebutuhan habitat gajah. Perluasan TNTN juga merupakan langkah konkrit Kementerian Kehutanan dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.54/Menhut-II/2006 tentang Penetapan Riau sebagai pusat konservasi gajah Sumatera. Unjuk-rasa yang dilakukan pada bulan September tahun 2011 itu, ialah karena warga menolak perluasan kawasan TNTN, dan hendak membatalkan kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh Bupati pada bulan sebelumnya. Ketimpangan sosial (inequality), dan perubahan lingkungan menjadi fenomena yang tidak dapat dipisahkan. Inequality adalah suatu keadaan terjadinya ketidaksamaan antara tujuan budaya dengan cara-cara institusional untuk mencapainya. Keterbatasan lahan dan pemenuhan keperluan manusia menghasilkan persaingan-persaingan di antara anggota masyarakat. Perubahan lingkungan berakibat pada konflik sosial. Perambahan hutan merupakan fenomena yang muncul oleh karena manusia tidak lagi menemukan lingkungan alam yang masih ramah dengan segala hasil buminya. Perluasan lahan hutan lindung akan mengurangi lahan garapan masyarakat, dan hak masyarakat atas tanah yang dilindungi oleh adat tempatan. Fenomena ini mewakili sebuah kesenjangan sosial ekonomi yang dialami oleh masyarakat tempatan, dan menyiratkan sebuah fenomena ketidaksamaan (inequality) antara komunitas di dalamnya. Pada studi terdahulu (Asriwandari 2013) diperoleh hasil bahwa berkembangnya sistem orientasi nilai pada setiap komunitas, memberikan warna pada sikap serta perilaku, baik ketika mereka menghadapi permasalahan hidup bermasyarakat maupun dalam menjalankan mata pencaharian. Beberapa sistem nilai yang bersinggungan dalam hubungan sosial antara komunitas tersebut akan saling menguatkan jika memiliki orientasi nilai yang sama, akan tetapi akan menimbulkan gesekan-gesekan dan perbenturan jika bertemu dengan sistem orientasi nilai yang bertentangan. Kelompok III (Baru) dan IV (Luar) merupakan kelompok yang kontradiktif, yakni selain sebagai pembaharu, pelopor pembukaan lahan, pemimpin pergerakan sosial “penyelamatan hutan”, mereka juga sebagai pelindung serta pendidik komunitas asli yang kurang memiliki keberanian dalam bersikap. Kelompok yang berorientasi progresif merupakan kelompok yang membawa pengaruh dalam menciptakan situasi konflik. Orientasi nilai mereka lebih banyak bersifat progresif dan transisi, ingin mengadakan perubahan-perubahan dengan
9
memanfaatkan hutan dan lingkungan alamiah sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi. Apabila kepentingan penyelamatan lingkungan hendak diutamakan, maka orientasi nilai kearah masa depan harus disosialisasikan, serta menumbuhkan sistem nilai yang diharapkan akan memelihara faktor perekat antar komunitas, memperbaiki alam dan lingkungan untuk dapat meratakan pemanfaatannya kepada seluruh warga komunitas yang bertempat-tinggal di dalamnya. Bukan dengan cara menguasai dan menguras hutan, akan tetapi dengan memelihara keberadaan lahan hutan dan menciptakan lapangan-lapangan kerja pada berbagai bidang. Salah satu pendekatan utama yang digunakan untuk memahami fenomena konflik yang diamati ialah munculnya perilaku anomie dalam masyarakat. Anomie sosial muncul ketika terjadi ketidaksamaan (‘inequality’) antara ‘institutional means’ dengan ‘cultural goals’. Perilaku anomie ialah perilaku yang muncul dalam upaya beradaptasi terhadap situasi inequality. Situasi ini bersifat anomie bagi sebahagian dari populasi dan melahirkan upaya untuk beradaptasi, yang bertujuan mengatasi ketimpangan antara kebersediaan sarana dengan pencapaian tujuan. Disequilibrium ini akan berakibat kepada perilaku devians, sementara angka dan tipe devians atau penyimpangan menggambarkan tingkat anomie sosial sebagai keadaan struktur suatu sistem sosial yang terkena pengaruhnya. Semakin meluas dan penting secara psikologis tujuan budaya pada populasi suatu sistem, dan semakin tidak sama tersedianya cara-cara legal yang disahkan oleh budaya bagi para anggota sistem untuk mewujudkan tujuan ini, semakin besar potensi anomie dan semakin tinggi angka perilaku devians pada sistem tersebut. Tujuan budaya disini misalnya iaitu kekayaan, berhasil dalam pendidikan, dan sebagainya. Cara-cara, fasilitas atau means ialah struktur yang dipandang "layak" atau "sah secara kultural" untuk mewujudkan tujuan-tujuan budaya. Tidak atau kurang tersedianya fasilitas atau means akan menentukan bagian populasi mana yang cenderung menghadapi tekanan anomie, dan dengan demikian cenderung devians. Tidak tersedianya fasilitas dalam sistem, dimana tujuan-tujuan atau goals diterima secara luas dan penting secara psikologis, akan menciptakan keadaan degradasi norma atau anomie bagi mereka. Tidak tersedianya peluang kepada cara-cara atau means yang sah, akan meningkatkan angka devians atau penyimpangan (Merton 1981; Johnson 1986)
10
Agar permasalahan serta konflik yang terjadi antara pihak taman nasional Tesso Nilo dengan masyarakat di kawasan perluasan teratasi, diharapkan terjadi interaksi dan komunikasi yang lebih aktif dan terbuka, dilakukan pembicaraan-pembicaraan sehingga diketahui batasan-batasan kepentingan dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemilik usaha pemegang HPH maupun pihak-pihak lain yang terkait. Sosialisasi dan pendekatan persuasive mengenai status hukum dan kepentingan perlindungan hutan dan satwa oleh pihak-pihak yang berwenang, kepada masyarakat di seputar Taman Nasional sangat diperlukan. Dalam pembuatan produk hukum perlu adanya kajian yang mendasar secara objektif agar dalam pelaksanaan tidak ada pihak yang dirugikan, khususnya dalam pemberian izin lokasi yang menyangkut lahan dimana ada berbagai kepentingan masyarakat yang terlibat. Kerjasama seluruh pihak, pemerintah dan swasta, dengan lembaga adat dan organisasi masyarakat sangat diperlukan.
1.2
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan asumsi bahwa keadaan inequality menjadi latar belakang
munculnya perilaku anomie, serta mendorong terjadinya konflik antara komunitas, dan bahwa setiap sikap yang berkembang dilatarbelakangi oleh nilai budaya tertentu, serta perlunya sebuah upaya sosialisasi kepada komunitas yang diamati, maka diajukan beberapa pemasalahan kajian pada penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana analisis perilaku anomi sosial yang berkembang pada setiap komunitas dalam hubungan antar komunitas ? 2. Bagaimana upaya sosialisasi yang harus dijalankan kepada komunitas seputar taman nasional tesso nilo, dengan memperhatikan perbedaan perilaku anomie dan orientasi nilai antar komunitas?
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
NEQUALITY DAN MUNCULNYA PERILAKU ANOMI Beberapa konsep yang digunakan pada kajian ini ialah, komunitas, inequality,
konflik, dan pola perilaku. Komunitas yang dimaksud disini ialah masyarakat desa yang mengalami konflik, yang terbagi secara etnik, ataupun lapisan sosial. Inequality atau ketidaksamaan, dibatasi oleh fenomena perbedaan-perbedaan yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, yang melibatkan masyarakat desa dengan berbagai kepentingan untuk mempertahankan lahan hutannya dari pihak yang lebih berkuasa. Berbagai perbedaan antara komunitas ini kemudian memunculkan konflik serta pertikaianpertikaian, baik yang diungkapkan dalam bentuk unjuk-rasa atau gerakan sosial lainnya, maupun yang tidak diungkapkan, namun akan berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Sedangkan untuk konsep pola tingkah-laku yang dimaksudkan pada kajian ini dibatasi pada skop berikut :
aktivitas bersama dalam aspek ekonomi, sosial, dan
budaya; kesamaan hak atas pelayanan sosial dan ekonomi, termasuk akses ekonomi dan kesempatan kerja ; kesamaan orientasi sosial, ekonomi, budaya ; identifikasi masalah yang dihadapi, di dalam komunitas (internal) dan antara komunitas (external) ; Pola pemecahan masalah (minat dan partisipasi terhadap isu-isu yang berkembang dalam komunitas ; kerjasama dalam pemecahan masalah ; peran pemimpin formal (aparat hukum dan kepolisian, pemerintah desa, dan sebagainya) dan pemimpin informal (pemuka adat) dalam pemecahan masalah. Semua pola tingkah laku ini berkaitan dengan potensi sumber daya alam yang utama pada masyarakat sasaran kajian. Pendekatan utama yang digunakan untuk memahami fenomena konflik yang diamati adalah munculnya perilaku anomi dalam masyarakat. Anomi sosial muncul ketika terjadi ketimpangan (‘inequality’) antara ‘institutional means’ dengan ‘cultural goals’. Fasilitas dan kesempatan untuk mencapai tujuan, yang tidak pernah cukup tersedia untuk semuanya, akan menghasilkan perilaku-perilaku yang anomi, yang mana salah satunya adalah ‘rebellion’ atau memberontak, yang maknanya adalah menggunakan cara-cara yang tidak biasa, termasuk kekerasan, untuk mencapai
12
tujuannya. Perilaku-perilaku seperti ini tentunya akan menimbulkan konflik ketika berhadapan dengan kelompok yang lebih menguasai akses ekonomi atau politik. Komunitas etnis yang merasa tidak mendapat kesempatan yang sama dengan komunitas yang dominan, akan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dominan, dan akan menciptakan sebuah konflik yang sangat intens. Mengikuti para pendahulunya maka Mertonpun menyusun suatu tipologi bentuk adaptasi individual terhadap keadaan disequilibrium atau anomie. Perilaku anomie memiliki lima variasinya, sesuai dengan keadaan anomie yang berlaku pada individu yang berkenaan. Kelima-lima bentuk perilaku tersebut ialah : conformity, innovation, ritualism, retreatism, rebellion.
Perbedaan tingkat keseimbangan antara cultural goals dengan
institutionalized means, menentukan bentuk perilaku anomie yang berlaku. Tipologi bentuk adaptasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Adaptasi terhadap anomie Bentuk Adaptasi I. Conformity II. Innovation III. Ritualism IV. Retreatism V. Rebellion
Tujuan Budaya (‘cultural goals’) + + -+
Sarana Baku (‘Institutionalized means’) + + -+
Sumber : Jonathan H. Turner. 1978. The Structure of Sociological Theory.Illinois : Dorsey Press.
Keterangan : + : penerimaan : penolakan - + : penolakan, dan mengganti dengan nilai-nilai baru
Bentuk adaptasi kesatu bukanlah penyimpangan, tetapi sebaliknya iaitu 'conformity'. Individu menerima tujuan budaya dan menggunakan cara-cara yang sah dalam usaha mewujudkannya. Bagi Merton, penyebab konformiti, secara sederhana merupakan kebalikan dari penyebab anomie dan penyimpangan. Hubungan ini diperinci pada proposisi berikut : “semakin meluas dan penting secara psikologis tujuan-tujuan keberhasilan (sukses) yang ditentukan oleh budaya, semakin sama tersedianya cara-cara 13
yang sah bagi para anggota sistem untuk mewujudkannya, semakin kurang potensi untuk berlakunya anomie dan semakin tinggi angka tingkah laku yang mematuhi aturan (konformiti) di dalam sistem tersebut”. Bentuk adaptasi kedua ialah 'innovation', iaitu keadaan dimana tujuan budaya diterima, tetapi cara-cara tidak tersedia atau ditolak, yang hasilnya ialah cara-cara baru ditemukan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Disebutkan oleh Merton, ada beberapa sebab mengapa perilaku ini berlaku: (1) Merton menegaskan bahawa pengalaman sosialisasi individu, terutama dalam keluarga, ialah sangat penting menentukan kemauan mereka untuk menggunakan cara-cara yang tidak sah dan menanggung beban psikologi dengan tidak berusaha mendapatkan cara-cara yang sah; (2) Di dalam masyarakat dengan nilai-nilai
budaya
yang
menekankan
pencapaian
sukses
individu
(individual
achievements), sebagai lawan dari pencapaian sukses kelompok (collective achievements), tekanan yang sangat besar dialami oleh individu-individu dalam mewujudkan tujuan keberhasilan. Tidak diikutinya tekanan sosial ini menyebabkan seseorang mendapat stigma sebagai pribadi yang gagal, dan kemudian apabila individu tidak berusaha untuk melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah, sementara tingkat pentingnya tujuan keberhasilan tetap tinggi, maka kemungkinan penyimpangan innovation meningkat; (3) Tersirat suatu pernyataan bahawa, karena cara-cara yang tidak sah pernah digunakan pada masa lalu oleh populasi yang mendapat tekanan anomie, maka cara-cara tersebut menjadi lebih mudah dipilih oleh individu-individu yang memerlukannya untuk mengejar keberhasilan, dan yang bersedia melawan cara-cara yang sah. Semua kondisi ini menguatkan adaptasi innovation terhadap anomie, yang lebih formal dijelaskan pada proposisi berikut : “semakin kurang tersedianya cara-cara sruktural yang sah bagi anggota suatu populasi, dan semakin sedikit larangan internal yang melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah, maka semakin meluas berlakunya penyimpangan innovation di dalam populasi tersebut, apabila: (4a) nilai-nilai budaya yang mengharuskan pencapaian keberhasilan individu meluas dan penting, dan (4b) cara-cara yang tidak sah lebih tersedia”. Merton beralih pada bentuk adaptasi ketiga iaitu ritualisme. Ritualisme iaitu suatu keadaan dimana individu-individu tidak ingat, tidak menyadari, bimbang, atau menolak tujuan budaya, akan tetapi cara-cara yang sah diterima dan menjadi sasaran kepatuhan yang
mutlak.
Didalam
menjelaskan
ritualisme,
Merton
menyatakan
bahawa
kecenderungan ini merupakan hasil dari 'status anxiety' (hasrat mengejar status) yang
14
dialami oleh orang-orang yang memiliki akses untuk menggunakan sarana, tetapi yang mengalami kecemasan yang tinggi ketika menggunakan sarana dalam usahanya memperjuangkan keberhasilan, pada budaya yang menekankan 'individual achievements' untuk keberhasilan dan stigma pribadi untuk kegagalan. Sejak individu-individu ini ditempatkan pada posisi dimana terdapat akses kearah sarana-sarana, pengalaman sosialisasi mereka dapat menekankan konformiti pada norma-norma budaya. Individuindividu ini mengatasi 'status anxiety' mereka dengan mematuhi sarana-sarana dan menolak tujuan-tujuan. Pernyataan yang implisit dan kabur ini, disusun secara lebih formal pada proposisi berikut : “semakin tersedianya cara-cara struktural yang sah bagi anggotaanggota suatu populasi, dan semakin besar 'status anxiety' yang dialami oleh anggota populasi ini dalam usaha mengejar tujuan kultural untuk sukses, semakin besar kecenderungan berlakunya perilaku yang ritualistik diantara populasi apabila: (5a) nilainilai kultural yang mengharuskan pencapaian individual meluas dan penting, dan (5b) pengalaman sosialisasi menciptakan kesepakatan psikologis yang kuat pada sarana-sarana yang sah” (Turner 1978). Bentuk adaptasi keempat ialah 'retreatism' (penarikan diri), yang melibatkan penolakan keduanya, cara-cara dan tujuan. Hasilnya adalah individu yang masa bodoh (apatis) didalam suatu sistem sosial. 'Retreatism', ditegaskan oleh Merton, ialah akibat hilangnya atau terbatasnya akses pada cara-cara yang diterima, bersamaan dengan dorongan internal yang kuat melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah. Frustrasi psikologis yang melekat pada situasi ini akan memburuk terutama apabila nilai-nilai budaya yang mengharuskan pencapaian keberhasilan individual terinternalisasi. Bagi individu yang terjebak dalam situasi ini, sikap menarik diri dari kesepakatan pada tujuantujuan kultural dan semua cara-cara, baik yang sah maupun tidak, merupakan adaptasi yang paling mungkin muncul. Proposisi berikut akan lebih formal menjelaskan bentuk adaptasi ini, “kurang tersedianya cara-cara struktural yang sah bagi anggota suatu populasi, dan semakin besar dorongan internal melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah, semakin besar kemungkinan berlakunya perilaku 'retreatism' dalam populasi tersebut, apabila: (6a) nilai-nilai budaya yang mengharuskan pencapaian keberhasilan individu meluas dan penting, dan (6b) pengalaman sosialisasi menciptakan kesepakatan yang kuat terhadap cara-cara yang sah”.
15
Bentuk adaptasi terakhir yang disebutkan oleh Merton adalah 'rebellion'. Perilaku dengan sifat memberontak seperti ini, menurut Merton, sangat mungkin berlaku apabila frustrasi dan deprivasi (kerugian) yang dirasakan akibat kegagalan didalam mewujudkan tujuan melalui saluran-saluran yang sah, meningkat secara dramatis, dan apabila kemudian terdapat kelompok-kelompok yang menyusun ideologi yang mampu menggerakkan deprivasi-deprivasi. Pernyataan yang lebih formal dijabarkan pada proposisi berikut: “semakin anggota populasi mengalami perasaan frustrasi dan deprivasi atas keterlibatannya pada cara-cara struktural yang sah untuk mewujudkan tujuan sukses, dan semakin tersedia bagi anggota-anggota ini pengelompokan-pengelompokan yang mengecam struktur dari sistem tersebut secara ideologis, semakin besar kemungkinan berlakunya tingkah laku yang memberontak didalam populasi tersebut”.
2.2
INTERVENSI DALAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Perilaku individu anggota masyarakat dalam situasi anomie pada beberapa
variasinya akan berwujud sebagai penyimpangan terhadap norma dan tatanan perilaku, serta sebagai tindakan-tindakan yang disintegrative atau kontra integrasi. Kesenjangan dalam komuniti lokal dapat berlaku pada relasi antarpribadi, dan pada keterampilan memecahkan masalah. Hal ini akan memunculkan anomie dan keterasingan (alienasi). Dinyatakan oleh Rukminto Adi (2008), bahawa komuniti lokal sering tertutupi oleh komuniti yang lebih besar (larger community) dan berlaku kesenjangan antara harapan dan realiti. Pada setiap komuniti pasti ada orang-orang yang cuba melakukan pelanggaran atau membelokkan peraturan yang ada agar peraturan tersebut dapat menguntungkan kelompok tertentu. Kondisi Anomie yang meluas tentu menimbulkan keresahan pada masyarakat, oleh karena akan menghasilkan perilaku-perilaku yang tidak adaptive terhadap perubahan dan keterbatasan, yang pada gilirannya akan menciptakan konflik sosial. Perspektif
konflik menyatakan bahawa perbedaan-perbedaan kepentingan sangat
potensial untuk menciptakan konflik sosial dan politik, dan bahawa intensitas konflik bukan disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya, akan tetapi lebih diakibatkan oleh masalah-masalah yang bersifat struktur (Alqadrie 2003). Inequality dan anomie merupakan potensi konflik sosial, dan dalam keadaan demikian community integration dan community capacity akan sukar dicapai.
16
Pendekatan pengembangan masyarakat perlu dilakukan untuk boleh mengamati kohesi sosial lebih dekat. Modal sosial adalah norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada di dalamnya, dan mengatur pola perilaku warga, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antara warga masyarakat, secara internal maupun eksternal. Modal sosial menjadi perekat antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Pemberdayaan masyarakat yang menekankan pada pengembangan komuniti, berorientasi pada perluasan dan pemeliharaan sistem (system maintenance and enhancement),yang bertujuan : 1) Memapankan relasi kerja sama antarkelompok dalam suatu komuniti; menciptakan struktur pemecahan masalah komuniti yang terpelihara secara baik dalam/oleh komuniti tersebut (self maintaining) 2) Menstimulasi masyarakat agar mempunyai minat dan partisipasi yang luas terhadap isu-isu dalam komuniti; mengembangkan sikap dan perilaku suka bekerja sama 3) Meningkatkan peran kepemimpinan yang berasal dari komunitinya (indigenous leadership)
Upaya dijalankan untuk mengintegrasikan masyarakat (community integration), serta mengembangkan kapasitas masyarakat tersebut (community capacity). Pendekatan Kapital Sosial menegaskan bahwa struktur sosial merupakan salah satu sumber kapital sosial yang dapat digunakan bersama kapital-kapital lainnya untuk mengatasi masalah sosial. Bentuk-bentuk interaksi yang muncul boleh berupa bonding capital, modal sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam satu kelompok tertentu; bridging capital, modal sosial yang menghubungkan warga masyarakat dari kelompok yang berbeda ; linking capital, ikatan antar kelompok warga masyarakat yang lemah dengan kelompok warga masyarakat yang lebih kuat (powerfull people). Pola interaksi yang terjadi antara anggota masyarakat akan menemukan sistem norma yang sesuai untuk masyarakatnya. Sistem nilai dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat menjadi modal yang tidak ternilai dalam upaya mempersatukan suatu komuniti. Trust yang ada dalam setiap jalinan interaksi akan melemah apabila masyarakat berpandangan negatif terhadap powerful people yang dianggap memanipulasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dalam perkembangan setiap komuniti pasti ada orang-orang
17
yang cuba melakukan pelanggaran atau membelokkan peraturan yang ada agar peraturan tersebut dapat menguntungkan kelompok tertentu. Inequality dan anomi merupakan potensi konflik sosial, dan dalam keadaan demikian community integration dan community capacity akan sukar dicapai. Berdasarkan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka muncul beberapa pertanyaan berkenaan dengan kondisi inequality dan anomi, dan keterkaitannya pada upaya-upaya integrasi untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah : Apakah benar, dalam kondisi inequality dan anomi, maka struktur sosial akan merupakan faktor yang memunculkan masalah sosial? Lalu faktor perekat apa yang mampu menggerakkan community capacity pada kondisi inequality dan berkembangnya perilaku anomi ?. Pengamatan dan penelitian yang lebih mendalam pada komuniti yang mengalami kurangnya akses pada institutional means diharapkan mampu menjawab permasalahan ini.
2.3. ROAD MAP PENELITIAN Rangkaian peta jalan penelitian yang telah dan akan dilakukan tergambar sebagai berikut:
Tahun 2012
Identifikasi tentang konflik di Provinsi Riau yang meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan penduduk, membengkaknya pengangguran, penyempitan areal, keperluan pangan yang meningkat, dan perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi. Pengamatan terhadap fenomena demonstrasi yang tersebar hampir di semua kabupaten, dengan peringkat teratas dalam frekuensi demonstrasi, yaitu Kabupaten Kampar,
Tahun 2013
Penelitian mengenai bentuk konflik yang muncul serta sumber-sumber konflik dilaksanakan pada komunitas desa Kesuma, sebagai desa yangg terletak pada kawasan perluasan taman nasional Teso Nilo (TNTN)
Melakukan pengamatan lebih dalam terhadap permasalahan yang dihadapi oleh berbagai pihak yang bertanggungjawab terhadap kepentingan konservasi hutan dan taman nasional. Terjadi eskalasi perlawanan dan gerakan sosial oleh masyarakat kawasan perluasan
Melakukan pengamatan terhadap desa-desa lain yang berada di kawasan taman nasional Teso Nilo, dengan warga desa yang memiliki
Tahun 2014 Melakukan penelitian lebih mendalam mengenai komunitas desa Kesuma yang aktif mengadakan gerakan sosial menolak perluasan taman nasional Teso Nilo. Menghasilkan identifikasi komunitas menurut karakter sosial budayanya, serta orientasi nilai masing-masing komunitas. Mengamati lebih mendalam mengenai stereotype yang muncul pada setiap komunitas terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perluasan taman nasional serta konservasi hutan Mengikuti sosialisasi dan dialog yang dilakukan oleh Balai TNTN mengenai rencana pengelolaan taman nasional, kepada seluruh
18
Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Pelalawan.
Identifikasi salah satu perselisihan yang cukup kuat berpengaruh pada pihak-pihak yang telibat, ialah sebuah kasus perluasan taman nasional Teso Nilo yang terjadi di Kabupaten Pelalawan, yang melibatkan pemerintah dengan masyarakat tempatan.
Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai latar belakang konflik masyarakat di kawasan hutan yang mengadakan perlawanan terhadap konservasi hutan
karakteristik berbeda, dan lebih bisa menerima keberadaan taman nasional serta mendukung kepentingan konservasi hutan
kepala desa seputar kawasan taman nasional (22 desa), pihak pemerintah daerah dan swasta yang terkait. Sosialisasi yang lebih personal, dalam lingkup dan sasaran yang lebih kecil sangat diperlukan, agar tujuan sosialisasi tercapai, dan kepentingan konservasi terpenuhi.
Tahun 2015
Rencana ke depan
Melakukan penelitian mengenai perilaku anomi yang muncul pada masing-masing komunitas yang diamati. Pengetahuan mengenai perilaku anomi, orientasi nilai serta stereotype pada masing-masing komunitas, diperlukan untuk menyusun sebuah model upaya sosialisasi yang sebaiknya dijalankan.
Melakukan pengamatan mendalam mengenai implementasi konservasi hutan dan perluasan taman nasional Teso Nilo.
Melakukan pengamatan serta pendekatan lebih mendalam kepada instansi-instansi yang terlibat dengan kepentingan perluasan taman nasional, seperti balai taman nasional, dinas kehutanan kabupaten, lembaga adat, WWF. Mengadakan pertemuan-pertemuan yang melibatkan instansi pemerintah daerah dan swasta serta lembaga-lembaga dan organisasiorganisasi, dengan unsur-unsur masyarakat yang mewakili setiap komunitas pada masyarakat kawasan perluasan.
Berkenaan telah dilakukannya upaya sosialisasi, maka perlu dilakukan pengamatan mendalam mengenai potensi gerakan sosial, sebagaimana demonstrasi menentang perluasan taman nasional yang pernah digerakkan pada bulan September tahun 2011
Menciptakan sebuah model upaya sosialisasi yang diperlukan dalam komunikasi antara pihak berwenang dengan masyarakat
19
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
3.1
MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN Sebagaimana dijelaskan pada masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini
diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan antara lain: 1. Mendeskripsikan dan menganalisis perilaku anomi sosial yang berkembang pada setiap komunitas dalam hubungan antar komunitas. 2. Menemukan upaya sosialisasi yang tepat yang harus dijalankan kepada komunitas seputar Taman Nasional Tesso Nilo, dengan memperhatikan perbedaan perilaku anomie dan orientasi nilai antar komunitas?
3.2
MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini, nantinya paling tidak dapat diambil manfaat antara lain,
sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis a. Kontribusi praktis dalam melakukan sosialisasi dan pendekatan persuasive mengenai status hukum dan kepentingan perlindungan hutan dan satwa sebagai akibat perluasan Taman Nasional Teso Nilo di Kabupaten Pelalawan. b. Input bagi pihak yang berkepentingan (terutama Pemerintah Kabupaten Pelalawan, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Balai Taman Nasional Teso Nilo, WWF dan instansi terkait lainnya di Kabupaten Pelalawan) sebagai upaya pengendalian, pengelolaan, serta penyelesaian pertikaian antara komuniti pada masyarakat yang menyimpan potensi konflik. c.
Input untuk antisipasi dari pembuataan produk hukum khususnya dalam pemberian izin lokasi yang menyangkut lahan karena ada berbagai kepentingan masyarakat yang terlibat.
d. Input untuk upaya peningkatan interaksi dan komunikasi masyarakt yang lebih aktif dan terbuka dengan pemilik usaha pemegang HPH dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan yang menghadapi permasalahan konflik.
20
2. Manfaat Akademis a. Sebagai bahan ajar untuk mata kuliah konflik dan dinamika masyarakat local yang masih sangat terbatas, khususnya kontek daerah Riau. b. Masukan untuk kebijakan penanganan konflik di Kabupaten Pelalawan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan yang menghadapi permasalahan konflik.
3.3
LUARAN Hasil kajian ini akan menghasilkan: a. Dipublikasikan pada Jurnal Nasional Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Volume 12, No.2, bulan Februari 2016, dengan ISSN 1829-8338
21
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian dipilih Desa Kesuma Kabupaten Pelelawan, yang memiliki potensi besar berada pada kondisi konflik dan inequality. Hal ini disebabkan munculnya gejala konflik pemilikan hutan tanah antara warga desa dengan pihak pengelola Taman Nasional maupun Pemerintah serta Industri di wilayah tersebut. 4.2. SUBJEK PENELITIAN Karena penelitian ini merupakan studi kasus dan menggunakan pendekatan kualitatif, maka pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu untuk memperoleh gambaran seluas-luasnya tentang orientasi nilai masyarakat seputar Taman Nasional Teso Nilo. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh masyarakat baik dari kelompok formal-leader maupun informal-leader yang berada pada komunitas yang diamati dan memahami nilai-nilai serta pola perilaku pada komunitas tersebut. 4.3. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Wawancara. Wawancara dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap dapat memberikan informasi akurat mengenai orientasi nilai masyarakat desa Kesuma. Wawancara dilakukan secara berstruktur, dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan kajian awal terhadap kondisi lapangan. (2) Pengamatan lapangan. Pengamatan lapangan dilakukan untuk lebih memahami seluk beluk kehidupan masyarakat sebagai unit analisa. Pengamatan lapangan juga dimaksudkan untuk memeriksa ulang data maupun informasi yang diperoleh dari wawancara dengan kenyataan di lapangan; (3) Studi kepustakaan dokumen formal dilakukan untuk lebih memahami nilai-nilai budaya masyarakat Pelalawan yang bersumber dari catatan-catatan tentang masyarakat adat Petalangan.
22
Metode penggalian informasi atau pengumpulan data berikutnya
yang
digunakan untuk kajian ini berupa Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara. Adapun FGD, secara umum didefenisikan sebagai pertemuan beberrapa individu dari kelompok masyarakat yang berkonflik. FGD dilakukan sebagai instrument untuk menggali informasi tentang upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk upaya sosialisasi yang tepat yang harus dijalankan kepada komunitas seputar Taman Nasional Tesso Nilo, dengan memperhatikan perbedaan perilaku anomie dan orientasi nilai antar komunitas. Sesi FGD dirancang sedemikian rupa agar dalam suasana yang bersifat informal dan rileks, dengan harapan agar peserta dapat secara leluasa mengemukakan pandangan-pandangannya. Peserta FGD berjumlah 40 orang yang dibagi dalam 4 kelompok komunitas yang berkonflik, proses pengumpulan data dilakukan dengan pengisian angket oleh peserta FGD dan dilanjutkan dengan sesi FGD yang rata-rata berlangsung sekitar 2 Jam. Proses FGD didokumentasikan melalui catatan dan rekaman. Selanjutnya dilakukan wawancara terpisah selama sekitar 1 jam dengan masing-masing peserta FGD, hasil pengisian angket, catatan dan rekaman FGD, serta catatan wawancara itulah yang menjadi data primer bagi laporan penelitian ini.
4.4. TEKNIK ANALISIS DATA Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan dasar pemahaman teoritik adalah fenomenologis, yang mencoba memahami kehidupan manusia dari sisi mereka sendiri dalam kaitannya dengan situasi-situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa penelitian mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang ditelitinya. Pengikut fenomenologis menekankan aspek subyektif dari perilaku orang. mereka berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian, fenomenologi membiarkan informan memberikan keterangan atau gambaran serta persepsinya sendiri tentang keadaan yang sedang mereka alami, tanpa dipengaruhi oleh siapapun di luar dirinya. Dengan
23
pendekatan semacam ini, diharapkan hasil penelitian akan mampu memberikan gambaran yang lebih mendekati kenyataan. Sesuai dengan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif, maka teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Telaah Data. Dalam tahap ini peneliti mempelajari semua data yang diperoleh (hasil wawancara, catatan yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, dokumen-dokumen, gambar, foto, dan sebagainya); (2) Reduksi data. Dalam tahap ini peneliti membuat abstraksi dari data-data yang diperoleh di lapangan; (3) Penyusunan ke dalam satuan-satuan.
Setelah membuat
abstraksi maka peneliti menyusunnya ke dalam satuan-satuan; (4) kategorisasi. Setelah disusun kedalam satuan-satuan maka data-data
yang telah dirangkum
lalu
dikategorisasikan, dan dibuat koding; (5) Pemeriksaan keabsahan data. Dalam tahap ini peneliti memeriksa keabsahan data, apakah data yang diperoleh sudah memenuhi syarat penelitian atau belum. Kalau data memenuhi persyaratan, maka siap ditafsirkan. Kalau data belum memenuhi persyaratan, perlu pemeriksaan kembali kebenarannya; (6) Analisis dan penafsiran data. Setelah diperoleh data-data yang absah, maka langkah selanjutnya adalah analisis dan penafsiran data-data. Analisis dan penafsiran data dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang tepat atas penelitian yang dilakukan.
24
BAB V
PROFIL KAWASAN PENELITIAN
5.1. LATAR BELAKANG DESA KESUMA Kawasan penelitian yang ditetapkan ialah Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Desa ini berada pada jarak 58 km dari ibukota Kabupaten Pelalawan, dan berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo tepatnya di Dusun III Bukit Kesuma. Desa Kesuma merupakan daerah dataran rendah sungai Nilo dan anak-anak sungainya yang mengalir membentang sepanjang wilayah desa dengan suhu udara yang dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Pada awalnya desa Kesuma merupakan gabungan dari kampung-kampung kecil yang berdiam di sepanjang sungai Nilo dan anak sungainya. Kampung-kampung tersebut dihuni oleh beberapa keluarga yang bermata pencaharian sebagai nelayan, berburu, dan memanfaatkan hasil alam yang berupa rotan, gaharu, jelutung, minyak kayu. Selain itu mereka juga membuka lahan pertanian untuk bertanam padi dan sayuran untuk memenuhi keperluan hidupnya. Sungai-sungai tersebut memiliki banyak anak sungai dan perkampungan yang berada di hulu sungainya. Kehidupan masyarakat sebelum Indonesia merdeka lebih dikenal sebagai masyarakat lahan berpindah. Kebanyakan mereka hidup ditepi sungai karena sungai merupakan akses transportasi dari kampung satu ke kampung lainnya. Setelah kemerdekaan terjadilah pemusatan penduduk pada titik konsentrasi tertentu seperti Kampung Kuala Napuh, Kampung Pangkalan Pasir (Dusun I) dan Kampung Sungai Medang (Dusun II) Desa Kesuma sekarang ini. Jumlah kepala keluarga yang berada di desa Kesuma pada Dusun I sebanyak 139 kepala keluarga, Dusun II sebanyak 881 kepala keluarga dan Dusun III sebanyak 1. 726 kepala keluarga. Pada awalnya desa Kesuma memiliki 2 dusun (Dusun I Kesuma dan Dusun II Sungai Medang) sedangkan Dusun III Bukit Kesuma merupakan dusun baru dimekarkan. Arus
25
migrasi terjadi sangat pesatnya di Dusun III Bukit Kesuma ini, begitu juga Dusun II Sungai Medang yang pada awal jumlah penduduknya hanya sebanyak 19 kepala keluarga. Luas desa Kesuma ± 51.350 ha yang terdiri dari lahan olahan masyarakat, lahan penyangga sungai, lahan konservasi Taman Nasional, dan lahan yang berada dalam wilayah Perusahaan.
5.2. KONDISI SOSIAL-EKONOMI DESA KESUMA Desa Kesuma mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan desadesa yang lain, yaitu desa yang berada dekat aliran sungai. Namun karakteristik lokal secara garis besar relatif sama, yakni berada di daerah dataran rendah yang yang dikelilingi oleh kawasan perkebunan/hutan tanaman industri (HGU), perkebunan kelapa sawit, dan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi. Desa Kesuma merupakan daerah dataran rendah dengan sungai Nilo dan anak-anak sungainya yang mengalir membentang sepanjang wilayah desa dengan suhu udara yang dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Desa Kesuma berada pada jarak 80 km dari ibukota Kabupaten Pelalawan dan 18 Km dari ibukota Kecamatan Pangkalan Kuras. Secara geografis Desa Kesuma terletak pada jalur 1,250 Lintang Utara sampai 0,200 lintang Selatan dan antara 100,420 Bujur Timur sampai dengan 103,280 Bujur Timur. Berdasarkan letaknya pada garis lintang, maka desa Kesuma dilalui oleh garis Khatulistiwa. Luas wilayah desa Kesuma sampai sekarang tidak terdapat data yang akurat, baik data yang ada di desa maupun di kecamatan. Keterangan dari beberapa tokoh masyarakat yang ditemui, maka dinyatakan bahwa luas desa Kesuma ± 51.350 ha yang terdiri dari lahan masyarakat, lahan penyangga sungai, lahan konservasi Taman Nasional, dan lahan yang berada dalam wilayah Hak Guna Usaha Perusahaan. Wilayah desa Kesuma berbatasan dengan beberapa desa-desa yang berada di kecamatan lain, bahkan kabupaten lain. Untuk batas wilayah Desa Kesuma adalah : 1. Sebelah utara
: Desa Pangkalan Gondai (Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan), Desa Betung (Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan)
2. Sebelah selatan
: Desa Situgal (Kabupaten Kuantan Singingi)
26
3. Sebelah timur
: Desa Betung, Desa Talau (Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan), Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Air Hitam, Desa Bagan Limau (Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan)
4. Sebelah barat
: Desa Pangkalan Gondai (Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan), Desa Gunung Sahilan (Kecamatan Lipat Kain, Kabupaten Kampar)
Berikut ialah peta provinsi Riau, dengan Kabupaten Pelalawan di bagian tengahnya (berwarna merah muda) :
Gambar : 5.1 Peta Provinsi Riau
Desa Kesuma merupakan desa yang mempunyai laju migrasi yang relatif tinggi, terutama setelah tahun 2000. Hal itu berpengaruh terhadap laju pertumbuhan penduduk, pembagian wilayah dalam struktur desa, dan akulturasi budaya. Berdasarkan data yang penulis kumpulkan dari observasi lapangan pembagian wilayah dalam struktur desa Kesuma terdiri dari 3 dusun, 4 RW, dan 21 RT. Untuk jarak tempuh dari Dusun I ke II dan Dusun III sekitar 42 Km melalui jalan koridor PT. Arara Abadi yang di ukur penulis dari pusat keramaian di dusun I sampai dengan pusat keramaian di dusun III (Pasar Bukit Kesuma).
27
Pengumpulan data jumlah penduduk Desa Kesuma diperoleh dari keterangan ketua RT dan RW melalui seorang subyek dalam kajian ini, karena tidak terdapat catatan formal tentang jumlah penduduk. Maka berikut ialah data mengenai jumlah penduduk di Desa Kesuma :
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Total 1 Dusun I 347 358 705 2 Dusun II 1.767 1.657 3.424 3 Dusun III 3.476 3.380 6.856 Jumlah 5.590 5.395 10.985 Sumber : Hasil Observasi Lapangan tahun 2012 No
Dusun
Selanjutnya untuk tingkat pendidikan masyarakat yang berada di desa Kesuma berdasarkan data yang dihimpun dari observasi lapangan diuraikan berdasarkan tabel berikut :
Tabel 5.2 . Tingkat Pendidikan No 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Tidak Sekolah/ Tidak Tamat SD 1.245 Pra Sekolah 1.550 SD/ Sederajat 2.700 SMP/ Sederajat 2.119 SMA/ Sederajat 3.235 D I/ D II/ D III 10 S1 126 S2 0 S3 0 Jumlah 10.985 Sumber : Hasil Observasi Lapangan Tahun 2012
Persentase 11,33 % 14,11 % 24,58 % 19,29 % 29,45 % 0,09 % 1,15 % 0% 0% 100 %
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa tingkat pendidikan di Desa Kesuma cukup beragam. Keanekaragaman tingkat pendidikan tersebut berdasarkan latar belakang penduduknya. Untuk penduduk dari suku Melayu mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, bahkan angka putus sekolah cukup tinggi. Selanjutnya untuk masyarakat pendatang rata-rata memiliki pendidikan dasar yang cukup, bahkan rata-rata
28
untuk penduduk yang berasal dari suku Batak memiliki pendidikan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi. Begitu juga kesadaran anak-anak dari masyarakat pendatang untuk menempuh pendidikan cukup tinggi.
Penduduk Desa Kesuma merupakan penduduk yang multikultur yang terdiri dari beberapa suku yang berasal dari penduduk tempatan dan pendatang. Berdasarkan observasi penulis, penduduk Desa Kesuma terdiri dari suku Melayu, Jawa, Minang, Batak, Palembang, dan Nias. Mayoritas penduduk Desa Kesuma ternyata adalah masyarakat pendatang, sedangkan etnis melayu hanya sebesar 7,51%. Jumlah ini sangat bermakna dalam analisis tentang munculnya perilaku anomi yang merupakan hasil adaptasi individu terhadap ketidaksamaan di antara mereka. Berikut ialah tabel tentang persebaran etnis di Desa Kesuma tersebut :
Tabel 5.3. Persebaran Etnis No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Suku Jumlah Persentase Melayu 824 7,51 % Jawa 4.967 45,22 % Minang 98 0,89 % Batak 5.036 45,84 % Palembang 35 0,32 % Nias 25 0,22 % Jumlah 10.985 100 % Sumber : Hasil Observasi Lapangan Tahun 2012
Berdasarkan susunan jumlah penduduk, maka persebaran penganutan agama berimbang jumlahnya antara agama Islam dan Kristiani. Pembagian penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.4. Persebaran penduduk menurut Agama No 1. 2. 3. 4. 5.
Agama
Jumlah Persentase Islam 6.336 57,68 % Kristen 4.627 42,12 % Hindu 17 0,15 % Budha 5 0,05 % Kong Hu Cu 0 0% Jumlah 10.985 100 % Sumber : Hasil Observasi Lapangan Penulis
29
Adanya pelbagai macam suku dan agama yang ada di desa Kesuma menimbulkan keragaman budaya, adat, kebiasaan pada masyarakat. Di satu sisi keragaman tersebut merupakan kekayaan yang dapat menjadi modal bagi pembangunan di desa Kesuma, akan tetapi di sisi yang lain keragaman tersebut dapat menjadi celah untuk timbulnya konflik dalam masyarakat. Tingkat ekonomi di desa Kesuma sejak berbaurnya penduduk pendatang dan penduduk tempatan mulai meningkat. Hal itu terlihat dari beragamnya jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan. Penghasilan yang semakin meningkat karena mulai berhasilnya perkebunan sawit dan karet yang mulai dikembangkan sejak tahun 2000. Berikut ialah data jenis pekerjaan masyarakat Desa Kesuma : Tabel 5.5. Jenis Pekerjaan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase Buruh 483 4,39 % Nelayan 175 1,59 % Petani 7.228 65,79 % Wiraswasta 232 2,12 % Pegawai Swasta 53 0,48 % PNS 12 0,11 % Pelajar/ Mahasiswa 2.802 25,52 % Jumlah 10.985 100 % Sumber : Hasil Observasi Lapangan Penulis
Sebagian besar jumlah penduduk Desa Kesuma bermata-pencaharian sebagai petani, dalam hal ini ialah petani pekebun yang membuka hutan dan ditanami kelapa sawit atau karet. Pembukaan lahan tersebut dimulai sejak tahun 2004 dan kini kebun tersebut telah menghasilkan. Hasil perkebunan yang merupakan komoditi andalan yang didukung oleh adanya beberapa pabrik kelapa sawit di kabupaten Pelalawan. Transportasi yang terjangkau untuk membawa hasil perkebunan sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kehidupan ekonomi masyarakat. Kehidupan ekonomi yang meningkat terlihat dari tingkat penghasilan penduduk yang dituliskan pada tabel berikut:
Tabel 5.6. Tingkat Penghasilan 1. 2.
Tingkat Penghasilan < 1.000.000 1.100.000 – 2.000.000
Jumlah 45 534
Persentase 0,41 % 4,86 % 30
2.100.000 – 3.000.000 7.835 3.100.000 – 4.000.000 2.424 4.100.000 – 5.000.000 124 > 5.000.000 23 Jumlah 10.985 Sumber : Hasil Observasi Lapangan Penulis 3. 4. 5. 6.
71,32 % 22,07 % 1,13 % 0,21 % 100 %
Data tentang tingkat penghasilan menunjukkan bahwa tingkat penghasilan masyarakat desa Kesuma cukup tinggi. Hal itu terbukti dengan tingginya persentase penduduk yang mempunyai penghasilan di atas Rp. 2.000.000,00 per bulan. Fasilitas sosial menunjukkan seberapa berkembang sebuah desa, dan apakah tingginya penghasilan pada masyarakat Desa Kesuma disertai oleh ketersediaan sarana dan prasarana fisik masyarakat tersebut. Sarana dan prasarana yang ada di desa kesuma diuraikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5.7. Sarana dan Prasarana No 1.
2.
3.
4.
5.
Sarana dan Prasarana Pemerintahan Kantor Kepala Desa Balai Desa Pos Polisi Pendidikan TK SD SMP/ Mts SMA/ SMK MDA Kesehatan Puskesmas Pembantu
Jumlah
6 unit
Posyandu
Ibadah Masjid Mushala Gereja Umum Lapangan Sepak Bola Pasar
Keterangan
1 unit 1 unit 1 unit 3 unit 5 unit 2 unit 1 unit 2 unit 0 unit Posyandu berada di rumahrumah penduduk
5 unit 8 unit 17 unit 1 tempat 2 lokasi
31
TPU Islam
7 tempat
2 tempat merupakan kuburan lama
3 tempat TPU Kristen 7 unit Pos Siskamling Sumber : Hasil Observasi Lapangan Penulis
Sarana dan prasarana di Desa Kesuma sudah mencukupi jika dipandang dari jumlah penduduk, akan tetapi jika dipandang dari kondisi geografis desa Kesuma dan persebaran penduduknya maka sarana dan prasarana yang ada masih belum berimbang atau masih belum mencukupi.
32
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
6.1.
IDENTIFIKASI KONFLIK
6.1.1 Gerakan Sosial Terhadap Taman Nasional Permasalahan yang berlarut-larut di Desa Kesuma berkaitan dengan TNTN belum dapat diselesaikan dengan baik. Walaupun sudah dibentuk Tim penyelesaian antara Pemerintah Daerah dengan Forum kerukunan Petani Desa Kesuma yang mengatasnamakan masyarakat, akan tetapi persoalan belum dapat diatasi dengan tuntas. Kondisi demikian tidak memberikan tindakan hukum bagi perambah. Ketidakpedulian pemerintah dalam mengatasi hutan terlihat sejak awal berdirinya Kampung Bukit kesuma dan maraknya pembalakan liar yang dilakukan oleh masyarakat ditandai aktiifitas beberapa unit penggergajian kayu (Saw Mill) ilegal dan tidak ada kerjasama yang baik dengan para pemangku adat sebagai penguasa hutan (Menguasai Hak Ulayat) serta tidak ada iktikad baik pemerintah Desa dalam menjaga dan melestrikan hutan. Permasalahan TNTN di desa Kesuma sekarang, tidak lagi berupa perbedaan pandangan namun sudah mengacu kepada tindakan kekerasan. Perbedaan pendapat dan pandangan merupakan konflik yang terselubung (laten) yang pada suatu ketika dapat menjadi tindakan berbentuk kekerasan yang merupakan manifestasi dari konflik yang terpendam sejak lama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan- perbedaan kepentingan, baik itu bersifat individu maupun kelompok. Apabila konflik sudah mengacu tindakan kekerasan akan terjadi disintegrasi sosial yang dapat memecah belah antar individu maupun kelompok itu sendiri, baik secara horizontal maupun secara vertikal dalam sebuah komunitas masyarakat. Terjadinya konflik banyak dipicu adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan. Pada umumnya konflik dapat terjadi selain mempertahankan ideologi juga
33
adanya kecenderungan yang berorientasi terhadap nilai-nilai ekonomi. Manusia setiap harinya tidak luput dari aktivitas memenuhi kebutuhan dalam hidupnya dengan menjalani berbagai usaha. Tidak jarang masyarakat tersebut bersentuhan dengan hukum dalam memenuhi kebutuhan karena telah melanggar hal yang bersifat normatif
yang
dibuat oleh pembuat kebijakan, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga formal lainnya. Konflik kekerasan belum begitu terlihat kerena ada negosiasi antara masyarakat dengan pemegang legalitas kawasan TNTN dalam bentuk pelarangan untuk perluasan perambahan hutan dan masyarakat diharap menahan diri dan tidak melakukan anarkis.untuk sementara waktu Balai TNTN juga terbentur dalam peletakan tata batas kerena adanya ancaman dari masyarakat bahwa Balai TNTN tidak dibolehkan beraktiitas dilokasi. Ini dibuktikan adanya pengrusakan patok batas dan mobil petugas lapangan Balai TNTN. Konflik yang terjadi di desa Kesuma sejauh ini sudah berlangsung
cukup
lama.
Belumnya
ada
kesepakatan
untuk
mengakhirinya
menyebabkan berbagai permasalahan muncul. Salah satu dampak yang diakibatkan oleh konflik adalah dampak politik. Dampak politik dibuktikan dengan adanya demonstrasi yang terjadi.
6.1.2. Stereotype dan Prasangka Antar Komunitas Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan-ketimpangan ekonomi antara kaum pendatang dan penduduk lokal sebelum terjadinya konflik terjadinya dikotomi antara kedua kelompok. Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan tidak mengenal lelah yang kemudian dapat menguasai pasar dan peluang ekonomi sering dilihat sebagai penjajahan ekonomi. Pengalaman selama ini orang asli hanya menjual lahan dan kehidupan orang asli jauh tertinggal dibandingkan pendatang. Kehidupan masyarakat Desa Kesuma khususnya dusun II dan III mayoritas petani, namun setelah terjadinya konflik yang tidak kunjung selesai cukup memberikan imbas kepada taraf perekonomian masyarakat secara keseluruhan terbukti adanya kegelisahan masyarakat untuk mengelolah lahan. Banyak lahan yang kurang terawat dan ada berkeinginan menjual lahan yang telah dikelola.
34
Kegiatan yang mendukung ekonomi yang bersifat kreatif tidak berjalan dengan baik seperti koperasi petani yang dibentuk tidak berjalan karena keraguan tentang status lahan. Begitu juga jual beli dalam masyarakat melemah. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan konflik lahan juga berdampak pada masalah ekonomi dalam komunitas masyarakat tersebut. Berbagai sikap stereotype terbentuk oleh kondisi ketimpangan ekonomi ini. Khususnya ketika terjadi segregasi tempat tinggal (spacial segregation), yaitu para pendatang bermukim pada suatu kawasan yang diberi nama Bukit Horas pada jalan Koridor PT RAPP (hasil wawancara dengan Bp. Temu, Tokoh Masyarakat, dan Bp. Sudarto, pemilik lahan dan pemukim awal Dusun III Bukit Kesuma). Kesenjangan ekonomi berjalan seiring dengan perbedaan etnis, budaya, agama, dan keadaan ini melatarbelakangi sikap antar komunitas dan perilaku yang mengikutinya, dan menciptakan keadaan anomi sosial. Persaingan ekonomi di desa ini cukup tinggi karena seluruh kegiatan ekonomi dikuasai oleh masyarakat pendatang. Persaingan tersebut terlihat pada aktifitas pasar, dan kegiatan yang berkaitan dengan usaha produktif yang lebih dikuasai oleh pendatang. Pesatnya masyarakat pendatang ke desa ini secara positif memberikan warna tersendiri terhadap desa ini. Namun disamping itu sangat berpengaruh terhadap peradaban masyarakat lokal yang tidak memiliki modal dan keterampilan dalam memenuhi keperluan hidupnya, khususnya dalam usaha-usaha di bidang ekonomi. Para pendatang yang memiliki keterampilan dan penguasaan strategi ekonomi yang lebih maju dibandingkan dengan penduduk asli, memberikan pengaruh yang besar terhadap persaingan hidup. Penduduk pendatang sudah memiliki kesiapan untuk bersaing dalam kehidupan, karena mereka memulai hidup di kawasan baru dan memulainya dari awal. Pengamatan di lapangan memberi informasi bahwa selama ini orang asli kebanyakan hanya menjual lahan, dan kehidupannya jauh tertinggal dibandingkan para pendatang. Ketimpangan dan inequality terjadi antara keempat komunitas tersebut dengan kesempatan dan institutional means yang berbeda serta usaha pencapaian yang juga berbeda. Kondisi inequality ini terlihat dari berbagai parameter, yaitu tingkat pendapatan, tingkat kesejahteraan, penguasaan sumber ekonomi, kondisi rumah, dan sebagainya.
35
6.2
SUMBER DAN PEMICU KONFLIK
6.2.1 Sumber Konflik Sumber konflik adalah suatu kondisi yang menjadi latar belakang munculnya suasana kontradiksi pada sebuah komunitas. Analisis tentang ketidaksamaanketidaksamaan kesempatan dan peluang di antara warga komunitas didalam mencapai tujuan-tujuan budaya, yang dikenal sebagai kondisi inequality, adalah sebuah sumber konflik yang paling signifikan yang menjadi prakondisi atau prasyarat munculnya kontradiksi pada komunitas desa Kesuma. Industrialisasi melahirkan perubahan sosial, dan berpengaruh terhadap pemilikan dan pola penguasaan tanah, intensitas transaksi tanah, pola hubungan kerja, dan pendapatan pertanian di pedesaan. Pasal 6 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) menyebutkan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, yang memuat pernyataan penting mengenai hak atas tanah dalam konsepsi yang mendasari hukum tanah positif yang harus diterima (taken for granted). Sebuah Negara yang tinggi produktivitasnya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Misalnya, pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu tidak mempedulikan dampak terhadap lingkungan. Lingkungan semakin rusak, sumber alam terkuras, sementara kecepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat daripada kecepatan perusakan sumber alam. Keadaan ini secara perlahan akan menurunkan kualitas hidup manusia. Seringkali terjadi pada proses pembangunan yang pesat ternyata tidak memiliki daya kelestarian lingkungan yang memadai. Pembangunan menjadi sebuah proses yang tidak berkelanjutan (unsustainable). Oleh karena itu, harus dipertimbangkan faktor lingkungan sebagai tolok ukur penting terhadap keberhasilan pembangunan, sehingga peringkat keberhasilan pembangunan negara-negara di dunia akan lebih obyektif (Arief Budiman : 1997). Penerapan fungsi sosial atas semua tanah yang berada di bawah wewenang negara telah terkikis secara perlahan oleh kekuatan industrialisasi, dan menjadi kabur oleh pemanfaatan tanah untuk kepentingan industri. (Yusriadi : 2010). Munculnya nilai sosial baru yang berbeda dengan nilai-nilai sosial lama yang dianut dalam UUPA 1960, meyebabkan kepemilikan tanah berubah dari fungsi sosial ke fungsi individu.
36
Kepemilikan atas tanah telah berorientasi pada hak individualnya semata, sehingga kewajiban hukum sebagaimana dimaksud oleh UUPA 1960 sebagai fungsi sosial, telah menipis bahkan nyaris menghilang. Tanah menjadi semakin berdimensi ekonomis, yang ditandai oleh harga tanah yang semakin meningkat tajam, tanah menjadi obyek spekulasi atau sebagai komoditi ekonomi yang dapat diperdagangkan, yang mendasarkan
pada
kepentingan
individual
yakni
mendapatkan
keuntungan
individualnya. Sebagaimana diuraikan oleh Tennas Effendy, banyak hal yang berubah sejak kemerdekaan, yakni dengan perubahan struktur administrasi politik kerajaan Pelalawan menjadi bagian dari sebuah kesatuan politik bangsa negara. Maka struktur nilai yang beorientasi pada hukum dan aturan formal lebih dipentingkan daripada adat-istiadat. Pengaruh industrialisasi tidak dapat dielakkan, telah berpengaruh pada banyak 33 aspek kehidupan manusia. Nilai individualisme dan ekonomi secara perlahan berpengaruh pada cara pandang. Masuknya perusahaan-perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan sangat berperan terhadap perubahan yang terjadi. Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi, dan karena adanya kepentingan konservasi gajah dan harimau, kemudian membatasi perluasan kebun-kebun industri
dengan melindungi
hutan-hutan di hampir semua wilayah di Indonesia. Beberapa kawasan konservasi alam dan hewan lalu dibentuk dan dikuatkan oleh UU.
6.2.2 Pemicu Konflik Rencana perluasan TNTN pada dasarnya mendapat respon yang sangat luas dari sekelompok masyarakat yaitu berupa penolakan terhadap keberadaannya. Permasalahan yang timbul adalah karena kurangnya pengakuan terhadap hak-hak adat. Pada satu sisi hak hak adat diakui secara internal adat itu sendiri. Namun pada sisi lain hak adat itu belum dapat diakomodir oleh pemerintah daerah kerena belum adanya aturan yang mengikat tentang hal itu dan memerlukan kajian secara objektif terhadap hak-hak adat agar tidak terjadi tumpang tindih dengan regulasi yang ada. Kesan dalam unjuk rasa oleh Forum Kerukunan Petani Desa Kesuma, Pemerintah Derah Kabupaten Pelalwan tidak banyak berbuat apa apa. Pemerintah Daerah akan berupaya menjembatani antara masayarakat dengan pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan.
37
Perambahan hutan di Tesso Nilo menjadi ancaman yang sangat serius bagi keutuhan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan usulan perluasannya. Padahal kawasan hutan Tesso Nilo telah lama diusulkan sebagai kawasan konservasi gajah di Propinsi Riau. Dari hasil kunjungan Menteri Kehutanan, M.S Kaban ke Taman Nasional Tesso Nilo pada 29-30 Mei tahun 2006 menyiratkan dukungan pemerintah pusat menjadikan Riau sebagai pusat konservasi Gajah di Indonesia dengan contoh pengelolaan konflik gajah di Tesso Nilo. Seluas 38.576 ha kawasan hutan ini telah ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo pada 19 Juli 2004 tetapi sekitar 132.000 ha hutan disekitarnya masih merupakan konsesi aktif tiga perusahaa. Konsesi tersebut adalah PT. Siak Raya Timber seluas 38.560 ha, PT. Nanjak Makmur seluas 48.370 ha, PT. Hutani Sola Lestari seluas 45. 990 ha. Sebagian kawasan konsesi aktif ini masuk dalam usulan perluasan Taman Nasional Tesso Nilo namun beberapa bagian dari kawasan tersebut telah ditebang secara illegal oleh masyarakat untuk dijadikan pemukiman dan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2005 teridentifikasi 15 kelompok telah merambah kawasan hutan tersebut dengan luasan yang telah dirambah sekitar 2.623 ha. Data terkini pada April 2006 menunjukkan peningkatan menjadi 17 kelompok dengan luasan yang dirambah mencapai 18.162 ha. Jika pada tahun 2005 diindikasikan terdapat 1.022 Kepala Keluarga (KK), dengan peningkatan 100% lebih, maka di tahun 2006 jumlah KK diperkirakan mencapai 2.345. Dalam pengamatan dilapangan perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat pada awalnya dilakukan oleh masyarakat tempatan yang mana mereka mengokuvasi hutan dengan tujuan untuk memenuhu kebutuhan ekonomi. Perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat berimplikasi adanya penguasaan hutan secara adat setempat. Mereka lebih mengenal adanya hak hak adat yang disebut sebagai hak ulayat pebatinan. Pada areal perluasan Taman Nasional Tesso Nilo merupakan hak Ulayat Pebatin Hitam Sungai Medang dan Pebatinan Muncak Rantau. Dengan adanya kekuatan adat dan kurangnya pemahaman hukum formal dalam masyarakat adat , jelas memberikan dampak buruk terhdap kelangsungan keberadaan hutan tersebut. Alih fungsinya hutan menjadi lahan perkebunan merupakan suaktu hal yang patal terhadap kelangsungan
38
hidup manusia. Namun kondisi demikian merupakan sebuah malapetaka yang sulit untuk diurai dan diselesaikan baik secara hukum formal maupun non formal (adat). Rusaknya hutan adalah tanggung jawab oleh semua unsure demi terwujudnya hutan senagai penyangga kehidupan yang kehadirannya tidak dapat gantikan.
6.3 ANALISIS PERILAKU ANOMI SOSIAL 6.3.1 Bentuk Perilaku Anomie Berdasarkan Keadaan Inequality
Analisis mengenai anomie, menurut Robert K. Merton ialah analisis mengenai hubungan antara kultur dan struktur (Ritzer 2004). Definisi kultur menurut Merton iaitu seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang
menentukan perilaku bersama
anggota masyarakat atau anggota kelompok. Sedangkan struktur sosial ialah, seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan pelbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok didalamnya. Dengan memahami pengertian struktur dan kultur tersebut maka selanjutnya Merton menjelaskan, bahawa anomie akan berlaku jika terputus hubungan antara norma kultural dan tujuan, dengan kapasiti anggota kelompok yang terstruktur secara sosial, untuk bertindak sesuai dengan nilai kultur. Artinya, karena posisinya di dalam struktur masyarakat, beberapa orang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif. Kultur menghendaki tipe perilaku tertentu, yang dihalangi oleh struktur sosial (Ritzer 2004). Tujuan budaya (cultural goal) menekankan pencapaian (achievement) pada bidang tertentu, seperti pekerjaan, pendapatan dan pendidikan, lazim menciptakan tekanan psikologis yang kuat pada individu-individu untuk bersaing mendapatkannya, dengan menggunakan cara-cara yang mungkin bagi mereka untuk mewujudkannya (Merton: 1981). Tekanan untuk mencapai kesejahteraan berlaku pada seluruh anggota sistem sosial, namun sarana atau cara untuk mendapatkannya tidak tersedia secara merata. Setiap individu atau kelompok mengembangkan perilaku tertentu sebagai adaptasi terhadap kondisi anomie yang mereka hadapi. Beberapa varian tipe perilaku anomie iaitu
ritualism,
innovation,
retreatism,
rebellion,
dianggap
sebagai
perilaku
menyimpang, karena struktur yang ada menyebabkan digunakannya cara-cara yang
39
tidak diterima oleh kultur. Disamping itu terdapat satu perilaku yang menunjukkan kesesuaian antara struktur dan kulturnya, iaitu tipe perilaku conformity. Tipologi bentuk adaptasi terhadap keadaan anomie sebagaimana dinyatakan pada Tabel 2.1, dijelaskan kembali berikut ini : I.
Bentuk adaptasi Conformity, berlaku apabila individu atau kelompok individu menerima tujuan (cultural goals), dan menerima sarana yang sah untuk mencapainya (institutional means).
II.
Bentuk adaptasi Innovation, berlaku apabila individu atau kelompok individu menerima tujuan (cultural goals), namun tidak menerima atau menolak sarana yang sah untuk mencapainya (institutional means).
III.
Bentuk adaptasi Ritualism, berlaku apabila individu atau kelompok individu tidak menerima atau menolak tujuan (cultural goals), namun menerima sarana yang sah untuk mencapainya (institutional means).
IV.
Bentuk adaptasi Retreatism, berlaku apabila individu atau kelompok individu tidak menerima atau menolak tujuan (cultural goals), dan juga tidak menerima atau menolak sarana yang sah untuk mencapainya (institutional means).
V.
Bentuk adaptasi Rebellion, berlaku apabila individu atau kelompok individu menolak tujuan (cultural goals) atau nilai yang diakui, dan menggantinya dengan nilai yang baru, dan juga tidak menerima atau menolak sarana yang sah (institutional means), dan menggantinya dengan cara-cara lain untuk mencapainya.
Setiap kelompok memiliki ciri-ciri dan latar belakang sosial budaya masingmasing, memiliki sikap, kemampuan serta kehendak yang berbeza dalam berusaha mencapai kesejahteraan. Demikian pula dengan komuniti yang terdapat pada masyarakat Desa Kesuma, berdasarkan kondisi inequality yang dihadapi oleh setiap komuniti, maka berkembang pola perilaku anomie tertentu. Informasi mengenai sikap yang berkembang dalam berhubungan dengan komuniti lain diperlukan juga, untuk melengkapi analisis mengenai sikap yang mendahului fenomena potensi konflik dan kontradiksi. Kelompok komuniti Asli bermukim di dusun I dan II, berjauhan dari kawasan taman nasional, dan tidak terlalu banyak terlibat dengan gerakan sosial di desanya. Banyak diantara mereka bermata-pencaharian sebagai nelayan, dan tidak memiliki lahan. Bukti
40
keberadaan kelompok ini dinyatakan oleh Kin, seorang wartawan media massa yang tinggal di dusun I : “Kita prihatin terhadap masyarakat asli di desa ini yang tarap kehidupannya lemah, terutama dusun I ini. Untuk dusun II, masyarakat asli masih bisa hidup baik, karena mereka masih ada lahan. Lahan desa yang luas ini habis dikuasai pendatang. Terkadang kami tidak mampu berbuat menghadapi oknum. Untuk masyarakat Dusun I, sudah ada rencana masyarakat melaksanakan mitra pembangunan kebun kelapa sawit dengan perusahaan, tapi lahan nya habis dijual oknum dan recana itu gagal”.
Apabila dicuba untuk memasukkan kategori perilaku anomie untuk kelompok yang dideskripsikan, maka perilaku ritualism merupakan kategori yang sesuai. Jumlah penduduk etnis tempatan dari perkampungan lama ini tidak banyak, dan konsentrasi penduduk terdapat di dusun I. Tabel 6.1 ialah penjelasan kondisi anomienya.
Tabel 6.1 Perilaku adaptasi pada komuniti Asli Komuniti
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Cara yang Diterima (Institutional Means)
I Asli
Ritualism
-Komuniti Asli tidak pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang layak menurut standar budaya
+ Komuniti Asli terus menjalankan cara-cara untuk mencapai kesejahteraan (sebagai nelayan sungai) meskipun tujuan kultur tidak tercapai (tingkat kesejahteraan tetap rendah)
Sumber : Hasil analisis
Kelompok kedua ialah kelompok Dalam, iaitu komuniti di Desa Kesuma, yang mampu mencapai tingkat kesejahteraan yang baik, dengan menggunakan cara-cara yang diterima secara kultur. Melihat parameter perilaku anomie, dan sesuai dengan pemerhatian dan interpretasi hasil temu bual, maka kelompok ini dianggap mewakili perilaku conformity. Pada masyarakat yang berada dalam kondisi inequality dan menyimpan sebuah potensi konflik sekalipun, tetap memiliki bahagian-bahagiannya yang menyokong social order. Komuniti Dalam ialah anggota masyarakat yang menguasai akses ekonomi atau politik dengan baik, sama ada sebagai formal mahupun informal leader. Termasuk di dalamnya ialah penduduk tempatan, etnis Melayu Petalangan yang sebahagian besar
41
tinggal di dusun I dan II. Kelompok yang berkelakuan conformity ini ialah mereka yang atas dukungan strukturnya mempunyai kemampuan untuk mematuhi kultur dan memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan sistem sosial, serta tidak melawan atau merombak struktur. Tabel 6.2 menunjukkan perilaku adaptasi dari pada komuniti Dalam. Tabel 6.2 Perilaku adaptasi pada komuniti Dalam Komuniti
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
II Dalam
Conformity
+ Komuniti Dalam adalah komuniti konformis, yang mampu mencapai kesejahteraan sebagai standar pencapaian budaya. Diantaranya ialah para informal leader, yakni para batin ataupun ninik mamak, serta warga desa biasa
Cara yang Diterima (Institutional Means)
+ Komuniti Dalam menguasai cara dan sarana. Selain pemilik tanah mereka juga memiliki pekerjaan yang memberi kepastian tentang tingkat kesejahteraan.
Sumber : Hasil analisis
Hasil temu bual berikut menunjukkan adanya perilaku conformity : “Menyangkut adanya hak ulayat pebatinan dalam kawasan TNTN, kita menyadari bahwa dalam kawasan TNTN ada hak-hak adat yang perlu kita lindungi. Lestarinya hutan pada kawasan TNTN maka hak-hak adat dengan sendirinya dapat terlindungi. Namun pengaturan yang lebih spesifik terhadap hak–hak adat belum semuanya terakomodir oleh Pemerintah Kabupaten. Buktinya Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan sampai saat ini belum terfikir membuat kebijakan tentang pelindung hak– hak adat itu. Kami sebagai Pengurus Lembaga Adat Petalangan berupaya dengan sungguh-sungguh agar kebijakan perlindungan hak-hak adat segera terwujud. Setidaknya ada Peraturan Daerah yang mengatur “ (Muk - mantan Ketua Lembaga Adat, Pegawai Negeri)
Kelompok conformity tidak mendapatkan tekanan daripada keadaan inequality dan lebih dapat memahami kepentingan konservasi. Meskipun mereka menyatakan dukungan kepada kepentingan kolektif, namun kelompok ini bukan pelaku gerakan sosial, ataupun yang bertindak atas nama kepentingan ekonomi pribadi. Komuniti ini
42
mempunyai kekuasaan atas keyakinan bersama (common belief), iaitu hak-hak adat, yang diperlukan untuk menguatkan kepentingan kolektif dalam menyusun sebuah gerakan sosial.
Komuniti ketiga ialah komuniti Baru, iaitu kelompok yang terdiri dari orangorang tempatan yang mendapatkan tekanan inequality lebih kuat dari pada kelompok conformity, sehingga mempunyai adaptasi perilaku yang berbeza. Menurut parameter anomie, perilaku adaptasi kelompok ini merupakan perilaku yang menyimpang, karena menggunakan cara-cara pencapaian tujuan yang tidak diterima atau diakui secara kultur. Mereka disini ialah penduduk tempatan dengan tekanan struktur sedemikian rupa sehingga menjadi lebih agresif dari komuniti yang lain, untuk dapat lebih banyak menguasai akses ekonomi dan politik. Kelompok ini sebahagian besar tinggal di dusun II Sei Medang, yang berdekatan dengan kawasan perluasan taman nasional, dan berhubungan baik dengan kelompok yang secara intens membentuk sebuah kepentingan kolektif untuk melakukan gerakan sosial. Banyak diantara mereka yang berperan sebagai formal leader serta mempunyai hubungan baik dengan informal leader
Keberadaan kelompok ini dinyatakan oleh beberapa tokoh lembaga adat berikut ini : “Tanah ulayat merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat itu sendiri yang dipelihara dan dijaga oleh pemangku adat (Batin) untuk kepentingan anak kemanakannya. Jika selama ini kesan yang merusak hutan adalah Batin (Ninik Mamak) itu tidak benar, namun yang lebih berperan adalah anak kemenakan dalam perambahan dan penjualan hutan itu sendiri. Maraknya perambahan dan penjualan hutan merupakan kekompakan anak kemenakan baik (baik anak jantan maupun anak betino) dan oknum masyarakat desa itu sendiri. Pemicu terkupasnya hutan di kawasan TNTN karena adanya pembalakan liar sepanjang tahun yang dilakukan oleh masyarakat” (Mun – Ketua Pemangku Adat) “Maraknya penjualan lahan serta perambahan hutan pada Kawasan TNTN, itu dilakukan oleh oknum masyarakat tempatan. Masyarakat yang menempati dan bermukim serta membuka usaha dibidang perkebunan pada kawasan TNTN saat ini, bukanlah Masyarakat Adat (masyarakat tempatan) kalaupun ada persentasenya sangat kecil. Masyarakat yang dominan menduduki kawasan adalah masyarakat pendatang dari berbagai daerah. Sangat sulit bagi kita untuk mendudukannya kembali dalam pengembalian Tesso Nilo kepada Kawasan lindung. Semua ini kita serahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah maupun Pusat untuk mendudukan status lahan kawasan TNTN khususnya lokasi yang berada di Desa Kesuma” (Muk – Pegawai Negeri, mantan Ketua Adat)
43
“Kami merasa sedih hutan habis akibat regulasi pemerintah yang tidak membangun dan tidak ada pengawasan terhadap regulasi tersebut. Pada prinsipnya Hak Hutan Tanah Ulayat Batin Sungai medang habis dirambah bukanlah kebijakan Batin, namun lebih cenderung kebijakan desa setempat (Desa Kesuma) yang membuat hutan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan masyarakat pendatang” (Yun – Wakil Batin Hitam)
Ketiga-tiga tanggapan tersebut dinyatakan oleh tokoh dari lembaga formal dan informal, yang menyebutkan mengenai aktiviti kelompok masyarakat dalam penjualan dan pembelian tanah. Berikut ini ialah pandangan dari tokoh formal yang mendukung aktiviti ekonomi dari pada kelompok Baru ini : “Mereka bermukim dan membuka lahan untuk lahan perkebunan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tentang perluasan kawasan kami tidak mengetahui jelas batas-batas penggunaan lahan yang diberikan pemerintah untuk kawasan TNTN, ketidak jelasan ini tentunya warga merasa diganggu oleh orang yang menjalankan serta yang membuat kebijakan. Lahan yang kami maksud itu adalah hak adat dan juga hak desa, wajar jika mereka manfaatkan untuk kehidupan. ......Kehadiran masyarakat di Bukit Kesuma tersebut dari berbagai daerah, mereka menetap dan bermukim serta membuka lahan perkebunan yang mereka beli dari masyarakat dan Ninik Mamak Pemilik Hutan. Legalitas lahan yang dimiliki oleh penggarap dibuktikan surat keterangan pengelolaan tanah dari ninik mamak. Bentuk keabsahan pemilik lahan sebagai penggarap. Pemerintahan Desa hanya sebatas mengetahui perbuatan atas jual beli lahan yang dimaksud dengan dibuktikan surat keterangan pengelolaan tanah dari ninik mamak” (Mas – Kepala Desa)
Sementara itu ada juga tanggapan seorang penduduk tempatan yang mempunyai aktiviti di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat : “Sulit bagi kita untuk mengungkapkan perilaku yang dilakukan oleh sekelompok orang di desa ini. Cara berfikir singkat, yang penting asalkan dapat senang saja dan tidak berorientasi kemasa depan. Kalau kita fikir tentang penjualan lahan yang dilakukan oleh oknum masyarakat, tidak terhitung banyak nilainya, tapi tidak bermanfaat sama sekali dan kehidupan sama saja dengan kita yang tidak punya apa-apa. Kawasan perluasan TNTN, jika PT. Nanjak Makmur dijadikan target untuk lahan lindung, mengapa dari awal dibiarkan begitu saja. Sehingga terjadi bebasnya pembalakan liar dan perambahan hutan secara besar-besaran, dan mulai dari pemerintahan desa sampai kabupaten seolah lepas tangan. Solusi yang terbaik untuk menyelamatkan hutan, kita serahkan saja kepada hukum agar tidak terjadi silang sengketa antara kita” (Ayb – Asosiasi Petani)
Beberapa tanggapan dari pada kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok Baru ialah sebagai berikut : “Selama kampung Bukit Kesuma ini berdiri boleh dikatakan aman, karena warganya kompak dengan mereka yang sudah lama bermukim. Konflik antara masyarakat itu biasa saja terjadi karena warganya cukup ramai, namun dapat diatasi berkat kerja sama antar warga. Permasalahan yang sangat menonjol adalah tumpang tindihnya lahan, kebanyakan karena lahan tidak memiliki surat yang jelas dan tidak punya tata
44
batas yang jelas. Hal ini dapat diatasi oleh para penjual lahan. Jika tidak dapat diatasi maka terpaksa dicari lahan penggantinya, karena lahan masih luas, dan semua adalah hak ninik mamak beserta tokoh masyarakat yang ada. ...... Bukit Kesuma ini berdiri atas kerjasama warga. Hampir sama sekali tidak ada program pemerintah maupun perusahaan dalam pembangunan desa, kecuali Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang merupakan program Pemerintah. Seluruh fasilitas adalah swadaya masyarakat termasuk jalan dalam kampung. Walaupun berbagai macam etnis namun tetap kompak. Terlihat ketika dusun ini mengalami konflik yang besar masalah lahan kawasan TNTN ” (Tem – tokoh masyarakat desa) “Saya tidak tahu bahwa lahan yang kami olah adalah lahan kawasan TNTN. Sebelum terjadi demo besar-besaran di kantor Bupati, saya tidak mengalami hambatan, walaupun ada hanya pelarangan tidak boleh membuka hutan dan menggarap lahan kawasan TNTN. Tapi saya tidak peduli, duluan kami buka dari TNTN. Saya peroleh tanah ini dari pembagian orangtua untuk digarap dan ditanami. Inipun sudah banyak mengeluarkan biaya karena hama gajah terus masuk ke perkebunan. Atas kekompakan bersama, hama dapat teratasi. Gajah hanya sekali sekali saja masuk ke perkebunan kami itupun cepat dihalau oleh warga masyarakat disini. .... Kalau ada niat pemerintah untuk mengambil alih lahan kami pastilah terjadi bentrok besar-besaran, karena kami sudah banyak menghabiskan biaya untuk membangun kebun. Persatuan masyarakat sangat kuat, dan apabila ada permasalahan serta mencurigakan, masyarakat cepat tanggap. Terutama sekali permasalahan yang menyangkut lahan” (Kad – Petani Penggarap di dusun III) “Sepengetahuan saya, warga memperoleh lahan disini adanya jual beli yang dilakukan oleh masyarakat tempatan, apakah itu ninik mamak, tokoh masyarakat, orang perorangan maupun anak kemanakan dari Pebatinan yang menguasai lahan. Pada awal sejak dusun ini berdiri, tanah disini tidak diperjualbelikan dan kami diberi oleh Kepala Dusun Bukit Kesuma yang waktu itu dijabat oleh Bapak Atik. Masing-masing dengan luas satu pancang atau 2 ha, untuk lahan perkebunan dan untuk perkarangan dan perumahan seluas 2500 M2. Dengan adanya tanah gratis, maka orang berdatangan dari berbagai daerah membuka lahan untuk perkebunan sawit. Tanah di Dusun III Bukit Kesuma ini mulai berharga sejak terbukanya akses koridor PT.RAPP. Jalan koridor memberikan dampak lajunya perkembangan kampung Bukit Kesuma yang dulunya kecil hingga menjadi luas ditandainya ada kampung Kilometer 60 Sei Medang, Bukit Horas dan Toro Jaya” (Mukl – Perangkat Desa)
Tekanan ketidaksamaan (inequality) menyebabkan sekelompok masyarakat mengembangkan perilaku adaptasinya dengan cara mengubah tujuan kultur, dan mencari pengganti cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencapainya. Tabel 6.3 merupakan huraian mengenai bentuk perilaku dari pada kelompok Baru tersebut.
Tabel 6.3 Perilaku adaptasi pada komuniti Baru
45
Komuniti
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Cara yang Diterima (Institutional Means)
III Baru
Rebellion Innovation
+/--
+/--
Komuniti Baru ialah bagian dari masyarakat adat yang menciptakan sendiri standar kesejahteraan yang harus dicapai. Hal ini dapat mereka lakukan karena otoritas yang mereka miliki, yaitu sebagai aparat pemerintah desa, dan sebagai ninik mamak atau pemangku adat lainnya.
Komuniti Baru ialah para pemilik lahan hutan, bagian dari masyarakat adat yang berontak terhadap tatanan, memimpin gerakan sosial (social movement) dan demonstrasi. Hal ini adalah cara yang mereka lakukan untuk melegalkan tindakan dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang mereka tetapkan. Kelompok ini adalah otoritas yang berdiri dibelakang tindakan jual-beli tanah secara liar. Mereka mengganti cara-cara yang sah menjadi cara-cara yang tidak benar
Sumber : Hasil Analisis
Menurut konsep anomie, maka perilaku komuniti Baru ini termasuk pada perilaku rebellion, iaitu perilaku yang mengganti tujuan dan cara yang ada selama ini dengan tujuan dan cara yang lain, yang lebih memenuhi tuntutan kepentingan ekonomi mereka serta mengatasi kondisi inequality yang mereka hadapi. Sikap yang berkembang pada komuniti ini merupakan faktor yang menentukan gerakan sosial terhadap kepentingan yang membatasi dan menghalangi kepentingan ekonomi mereka. Dinyatakan sebagai rebellion karena perilaku ini dilakukan di dalam komunitinya, dengan tujuan serta cara yang tidak dilakukan pada masa sebelumnya. Merujuk kepada sumber-sumber konflik dan kontradiksi, maka kelompok ini sangat berperan dalam membentuk kesadaran terhadap kepentingan kolektif, dan memanfaatkan kekuatan
46
keyakinan bersama, untuk menyusun sebuah kekuatan untuk merubah sistem nilai dari orientasi kultur menjadi orientasi ekonomi. Komuniti keempat ialah Luar, iaitu mencakup warga desa yang berasal dari daerah lainnya, dengan etnis yang berbeza. Kelompok masyarakat ini mulai berdatangan ke Desa Kesuma sejak tahun 1998, apabila pertubuhan-pertubuhan besar mulai membuka jalan koridor. Sebahagian besar daripada mereka tinggal di dusun II dan III, dan bahkan untuk dusun III hampir semuanya ialah penduduk pendatang. Sebagaimana karakter para perantau, maka disini penduduk pendatang memiliki kemandirian serta dorongan untuk maju yang sangat tinggi dibandingkan dengan penduduk tempatan. Dengan tingkat pendidikan yang rata-rata juga lebih tinggi, maka orang-orang pendatang ini banyak berperan dalam gerakan sosial menolak perluasan taman nasional. Meskipun sikap yang menjadi dasar dari tindakan kelompok ini ialah kepentingan ekonomi, namun demikian mereka mampu menggerakkan sebuah kepentingan kolektif yang dilandasi oleh keyakinan bersama, menyatukan kehendak untuk menolak perluasan taman nasional. Gambar 6.1 ialah sebuah papan biro jasa yang terpasang di depan rumah seorang penduduk pendatang yang menerima pengaduan-pengaduan dari masyarakat desa, terutama yang berkaitan dengan kes perluasan Taman Nasional Tesso Nilo.
Gambar 6.1 Papan biro jasa : Bentuk gerakan sosial Sumber : Dokumen pribadi
47
Beberapa hasil temu bual menjelaskan tentang keberadaan komuniti Luar ini. Berikut ialah pernyataan-pernyataan yang dimaksud : “Saya mendapatkan lahan disini sejak tahun 1998, mungkin sayalah pertama kali bermukim disini dengan beberapa orang teman saya. Pada awalnya kami tidak terpikir kampung ini seperti sekarang ini pesat perkembangannya. Saya tinggal dan bermukim disini masih hutan belantara dan bekerja sebagai pembalak. ....Pembuka lahan dengan skala besar disini cukup banyak juga, tapi sulit dipastikan apa milik pribadi atau kelompok keluarga. Kebanyakan orang beli lahan, dibeli oleh satu orang kemudian mereka bagi dengan teman ataupun keluarganya. Tapi yang pribadi itu ada juga seperti H.Sianturi, Candra, TGM, Siahaan, Tambunan, Mangunsong, dan A Sui” (Sud – pemilik lahan, etnis Jawa) “Bagi saya pembukaan lahan yang dilakukan oleh warga merupakan hal yang wajar dan masyarakat butuh hidup yang layak. Perambahan hutan yang dijadikan lahan perkebunan sawit mendapat restu dari Batin Hitam Sei Medang dan beliau mengatakan lahan yang berada di wilayah Bukit Kesuma adalah hak hutan tanah ulayat pebatinan yang dipergunakan untuk kepentingan anak kemanakan termasuk juga bagi orang lain yang membutuhkan .... Menyikapi permasalahan antara masyarakat dengan TNTN, saya rasa tidak ada yang dipermasalahkan, karena dasar hukum TNTN terbit pada tahun 2009. Sedangkan sebelumnya masyarakat telah lebih dahulu mengolah lahan tersebut. Jika ini dipermasalahkan, tolong tinjau ulang kembali melihat kondisi masyarakat yang berusaha disini tidak mudah diusir begitu saja, yang pindah kesini bukanlah orang orang kaya dan telah menjual harta bendanya dikampung halamannya” (Suk – ketua LSM) “Saya memperoleh lahan dari keluarga saya. Kebetulan kami membeli secara kolektif yang diketuai oleh kakak saya. Saya mengolah lahan ini sudah empat tahun dan selama ini kami di ladang aman-aman saja. Tapi baru-baru ini timbul ribut tentang lahan, padahal kita tahu disini ada wilayah pemerintahan desa, lengkap dengan fasilitas umumnya seperti sekolah, polposnya, pasar dan warganya cukup ramai. Saya jadi bingung seharusnya pemerintah harus bertanggung jawab juga atas keberadaan kita disini. Kita bukan orang liar, punya KTP juga disini dan ikut memilih dalam pesta demokrasi. Kalaulah lahan ini milik TNTN, tolong mana batas-batasnya dan bagaimana tentang hak kepemilikan kami, sedangkan semua harta di kampung asal kami sudah dijual. Disinilah hidup mati kami , dan kami sudah menjalin hubungan kekeluargaan dengan batin disini. Untuk lebih amannya cabut izin perluasan TNTN itu” ( Sur – penggarap lahan di Dusun III) “Lahan ini saya peroleh dari pemberian Kepala Dusun Bukit Kesuma dengan persetujuan ninik mamak. Sebelum terbukanya koridor PT. RAAP saya sudah duluan membuka lahan disini. Tanah yang saya kelola sekarang ini bekas pembalakan liar. Saya mengelola lahan sejak tahun 2002, ditanami sawit dengan luas cukup untuk makan. Saya selalu mengalami konflik dengan pihak perusahaan PT. RAPP karena tidak dibenarkan membuat rumah di pinggir jalan ini. Kata perusahaan saya tidak mempunyai hak untuk bermukim di pinggir jalan ini. Tapi saya tidak gentar menghadap mereka, matipun saya mau demi hak saya” (Sam – Pemilik lahan di dusun III)
48
Keempat-empat subyek dan informan tersebut (Sud, Suk, Sur, Sam) dalam pernyatannya menunjukkan bahawa mereka ialah orang-orang yang tangguh dalam berusaha di tempat yang baru, serta memiliki semangat untuk menjaga kawasan yang mereka pijak. Kegiatan membuka tanah untuk pemukiman ataupun untuk perkebunan bukan merupakan tindakan menyimpang dari aturan, semua yang mereka lakukan ialah atas dasar kepercayaan daripada Batin Hitam Sungai Medang. Pernyataan lainnya menunjukkan bahawa mereka selalu menjaga kawasan hutan tempat tinggal mereka, dan siap untuk melawan pihak-pihak yang berusaha menghalangi tujuan ini, karena memang mereka mempunyai hak atas tanah tersebut. Kekuatan kolektifiti semakin besar apabila kelompok pendatang telah melalui sebuah upacara adat untuk diakui sebagai anak-kemenakan. Pengaruh kelompok ini sangat luas terhadap sosialisasi nilai-nilai kolektifiti pada masyarakat Desa Kesuma, dan bahkan salah satu dari pada mereka yang kemudian memimpin demonstrasi penolakan perluasan taman nasional, dan yang juga melindungi kepentingan kolektif untuk hak ulayat atas tanah hutan masyarakat adat. Sesuai dengan kriteria perilaku anomie, maka kelompok Luar ini termasuk ke dalam kategori innovation, iaitu menerima atau mengakui tujuan kultur yang ditetapkan, namun dengan cara-cara yang tidak dibenarkan secara kultur. Tujuan kultur dalam hal ini ialah tujuan yang sesuai dengan kepentingan mereka, iaitu kepentingan ekonomi untuk mencari lahan bermukim dan membuka lahan, yang sama dengan tujuan kelompok Baru. Cara yang digunakan untuk mencapainya ialah cara-cara yang illegal, iaitu pencerobohan, gerakan sosial. Sikap serta munculnya perilaku ini karena sebuah kondisi inequality yang dialami. Struktur sosial yang ada telah memberikan tekanan kultur sedemikian rupa sehingga perilaku innovation ini muncul. Penjelasan yang sistematis mengenai perilaku adaptasi komuniti Luar ada pada Tabel 6.4. Tabel 6.4 Perilaku adaptasi pada komuniti Luar Komuniti
Perilaku Adaptasi
IV Luar
Innovation
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Cara yang Diterima (Institutional Means)
+ Komuniti Luar adalah kelompok pendatang, dari luar daerah dan dari etnis yang berbeda (etnis Batak). Kelompok ini adalah kelompok yang siap
-Komuniti Luar, sebagai kelompok pendatang memiliki karakter pembaharu, yang selalu berupaya menemukan
49
beradaptasi dengan keadaan alam dan sosial yang mereka datangi. Sikap kelompok pendatang adalah sikap menerima tujuan budaya dari masyarakat tempat mereka tinggal, agar mereka diterima di tempat yang baru.
pilihan cara untuk dapat terus beradaptasi dengan tempat yang baru, dan agar dapat selalu meningkatkan kesejahteraannya.
Sumber : Hasil analisis
Identifikasi komuniti yang terdapat di Desa Kesuma telah memberikan huraian serta penjelasan mengenai karakter dari pada perilaku anomie, dalam adaptasi mereka terhadap kondisi inequality yang dihadapi. Karakter setiap komuniti ditentukan melalui interpretasi hasil temu bual, serta observasi terhadap keadaan yang terjadi di sekitar kehidupan sosial pada masyarakat Desa Kesuma. Tentu saja karakter serta kategori perilaku anomie tidak bersifat generalisasi, ataupun representasi dari pada seluruh anggota komuniti, namun merupakan sebuah deskripsi fenomenologis mengenai situasi anomie yang ada pada masing-masing komuniti.
6.3.2
Sikap, Perilaku, Dan Kontradiksi Perbedaan perilaku pada setiap komuniti dilatarbelakangi oleh sikap terhadap
keadaan inequality yang mereka hadapi. Anomie sosial yang muncul disini ditunjukkan dari perbedaan nilai dan tolok ukur dalam tujuan budaya (cultural goals) dan cara-cara untuk mencapainya (institutional means), di antara keempat–empat komuniti di desa Kesuma tersebut. Menurut segitiga Galtung (Attitude, Behaviour, Contradiction - ABC triangle) dalam menjelaskan situasi konflik dan berlakunya kontradiksi dalam masyarakat, maka sikap yang berkembang, sama ada antara komuniti satu dengan yang lain mahupun sikap terhadap keadaan yang mereka hadapi, akan berpengaruh pada perilaku mereka dalam melakukan aktiviti ekonomi dan sosial. Seperti yang telah dijelaskan pada ulasan kepustakaan mengenai teori Galtung, bahwa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total. Struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik berlaku, maka kepentingan pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada. Kemudian
50
pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka. Konflik atau kontradiksi yang diamati disini ialah perlawanan yang terjadi antara kelompok dominan (kepentingan konservasi) dengan kelompok subordinat (kepentingan ekonomi masyarakat Desa Kesuma). Perilaku anomie didahului oleh sikap setiap komuniti menghadapi kepentingan konservasi, yang mana masing-masing komuniti berbeza sesuai dengan kondisi inequality yang dihadapi. Perilaku ini merupakan hasil daripada adaptasi komuniti kepada kondisi ketimpangannya. Perilaku anomie yang berbeza disini menunjukkan, bahawa pada kelompok subbordinat yang menghadapi kelompok dominan, ternyata tidak berada pada satu kondisi struktur sosial yang sama. Kesadaran
atas
kepentingan
kolektif
berhasil
dibangkitkan
sehingga
menghasilkan kekuatan yang seimbang untuk menghadapi kelompok dominan. Berdasarkan analisis pada bahagian sebelumnya kepentingan kolektif ini digerakkan oleh sebuah kekuatan bersama, iaitu kepentingan ekonomi. Penjelasan berikut ini ialah mengenai sikap yang berkembang pada setiap komuniti, yang diamati pada interaksi mereka dengan komuniti lainnya, sama ada pada ikatan bounding, bridging, mahupun linking. Sikap disini memiliki makna sebagai proses mental yang mendahului munculnya perilaku tertentu, merupakan rangkaian cara pandang yang berkembang pada individu atau kelompok individu, terhadap individu atau kelompok individu lainnya. Maklumat tentang karakter hubungan antara komuniti yang diperoleh dari temu bual dengan para responden utama, merupakan pengetahuan mengenai sikap yang berkembang pada komuniti yang berkenaan. Komuniti Asli, yang mengembangkan perilaku ritualism, memiliki sikap: karena tidak menguasai tanah hutan, sehingga tidak peduli dengan situasi konflik yang berkaitan dengan kawasan hutan dan tanah; tidak ada sikap strereotype, namun ingin kesejahteraannya lebih baik. Tabel 6.5 ialah deskripsi perilaku anomie pada komuniti Asli dan sikap dalam berhubungan dengan komuniti lannya.
51
Tabel 6.5 Sikap komuniti Asli menurut perilaku adaptasinya (anomie)
Komuniti
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Cara yang Diterima (Institutional Means)
I Asli
Ritualism
--
+
Komuniti Asli tidak pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang layak menurut standar budaya
Komuniti Asli terus menjalankan cara-cara untuk mencapai kesejahteraan (sebagai nelayan sungai) meskipun tujuan kultur tidak tercapai (tingkat kesejahteraan tetap rendah)
Sikap dalam hubungan dengan komuniti lain Tidak pernah memiliki lahan hutan/ lahan ulayat, sehingga tidak peduli dengan situasi konflik yang berkaitan dengan kawasan hutan dan lahan ; tidak ada sikap strereotype, namun ingin kesejahteraannya menjadi lebih baik
Sumber : Hasil analisis
Komuniti Dalam, yang mengembangkan perilaku conformity, memiliki sikap: termasuk komuniti pemilik lahan hutan, dan mengelolanya untuk memenuhi keperluan hidup. Kelompok ini memiliki stereotype terhadap para informal dan formal leader yang mereka sebut sebagai “oknum” yang menjual tanah dengan harga murah kepada pihak luar. Stereotype terhadap etnis pendatang juga dimiliki oleh kelompok ini. Tabel 6.6 ialah deskripsi perilaku anomie pada komuniti Dalam dan sikap dalam berhubungan dengan komuniti lannya.
52
Tabel 6.6 Sikap komuniti Dalam menurut perilaku adaptasinya (anomie) Komuniti
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Cara yang Diterima (Institutional Means)
II Dalam
Conformity
+
+
Komuniti Dalam adalah komuniti konformis, yang mampu mencapai kesejahteraan sebagai standar pencapaian budaya. Diantaranya ialah para informal leader, yakni para batin ataupun ninik mamak, serta warga desa biasa
Komuniti Dalam menguasai cara dan sarana. Selain pemilik tanah mereka juga memiliki pekerjaan yang memberi kepastian tentang tingkat kesejahteraan.
Sikap dalam hubungan dengan komuniti lain Termasuk komuniti pemilik lahan hutan, dan mengelolanya untuk memenuhi keperluan hidup. Kelompok ini memiliki stereotype terhadap para informal dan formal leader yang mereka sebut sebagai “oknum” yang menjual tanah dengan harga murah kepada pihak luar. Stereotype terhadap etnis pendatang juga dimiliki oleh kelompok ini
Sumber : Hasil analisis
Sedangkan Komuniti Baru, dengan perilaku rebellion, memiliki deskripsi sikap: Kelompok Baru sebagai kelompok masyarakat adat yang menggunakan identiti budayanya untuk mendapatkan keinginan serta memenuhi keperluan hidupnya, dengan cara-cara kekerasan yang dinyatakan oleh Johan Galtung (struktural, budaya, dan 53
langsug). Stereotype yang utama ditujukan kepada pemerintah (daerah dan pusat), Taman Nasional dan WWF, yang melakukan upaya konservasi hutan dan satwa, dan secara tidak langsung menghalangi usaha kelompok ini dalam pemanfaatan dan pembukaan hutan. Tabel 6.7 ialah deskripsi perilaku anomie pada komuniti Baru dan sikap dalam berhubungan dengan komuniti lainnya.
Tabel 6.7 Sikap komuniti Baru menurut perilaku adaptasinya (anomie) Komuniti
III Baru
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Rebellion +/-Innovation Komuniti Baru ialah bagian dari masyarakat adat yang menciptakan sendiri standar kesejahteraan yang harus dicapai. Hal ini dapat mereka lakukan karena otoritas yang mereka miliki, yaitu sebagai aparat pemerintah desa, dan sebagai ninik mamak atau pemangku adat lainnya.
Cara yang Diterima (Institutional Means)
+/-Komuniti Baru ialah para pemilik lahan hutan, bagian dari masyarakat adat yang berontak terhadap tatanan, memimpin gerakan sosial (social movement) dan demonstrasi. Hal ini adalah cara yang mereka lakukan untuk melegalkan tindakan dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang mereka tetapkan. Kelompok ini adalah otoritas yang berdiri dibelakang tindakan jual-beli tanah secara liar. Mereka mengganti cara-cara yang sah menjadi cara-cara yang tidak benar
Sikap dalam hubungan dengan komuniti lain Kelompok Baru ini adalah kelompok masyarakat adat yang menggunakan identiti budayanya untuk mendapatkan keinginan serta memenuhi keperluan hidupnya, dengan cara-cara kekerasan yang dinyatakan oleh Johan Galtung (struktural, budaya, dan langsung). Stereotype yang utama ditujukan kepada pemerintah (daerah dan pusat), Taman Nasional dan WWF, yang melakukan upaya konservasi hutan dan satwa, dan secara tidak langsung menghalangi upaya kelompok ini dalam pemanfaatan dan perambahan hutan
54
Sumber : Hasil analisis Terakhir, iaitu Komuniti Luar, dengan tipe perilaku adaptasi innovation, memiliki deskripsi sikap : Komuniti Luar ialah kelompok dengan karakter innovation, yang selalu mencari cara baru agar dapat tetap beradaptasi dengan lingkungan alam dan sosial yang baru. Kelompok ini menjalin hubungan baik dengan komuniti Baru, untuk mendapatkan kekuatan dan authority agar tujuannya sebagai pembaharu dan pembuka kesempatan ekonomi terwujud. Hubungan ini saling mendukung (simbiosis mutualisma) dalam melakukan gerakan sosial, berupa protes dan demonstrasi, terhadap kebijakan konservasi hutan dan satwa, dalam hal ini ialah perluasan dan penetapan batas Taman Nasional Tesso Nilo. Tabel 5.8 ialah deskripsi perilaku anomie pada komuniti Luar dan sikap dalam berhubungan dengan komuniti lannya.
Tabel 6.8 Sikap komuniti Luar menurut perilaku adaptasinya (anomie) Komuniti
Perilaku Adaptasi
Tujuan Budaya (Cultural Goal)
Cara yang Diterima (Institutional Means)
IV Luar
Innovation
+
--
Komuniti Luar adalah kelompok pendatang, dari luar daerah dan dari etnis yang berbeda (etnis Batak). Kelompok ini adalah kelompok yang siap beradaptasi dengan keadaan alam dan sosial yang mereka datangi. Sikap kelompok pendatang adalah sikap menerima tujuan budaya dari masyarakat tempat mereka tinggal, agar mereka diterima di tempat yang baru.
Komuniti Luar, sebagai kelompok pendatang memiliki karakter pembaharu, yang selalu berupaya menemukan pilihan cara untuk dapat terus beradaptasi dengan tempat yang baru, dan agar dapat selalu meningkatkan kesejahteraannya.
Sikap dalam hubungan dengan komuniti lain Komuniti Luar adalah kelompok dengan karakter innovative, yang selalu mencari cara baru agar dapat tetap beradaptasi dengan lingkungan alam dan sosial yang baru. Kelompok ini menjalin hubungan baik dengan komuniti Baru, untuk mendapatkan kekuatan dan otoritas agar tujuannya sebagai pembaharu dan pembuka kesempatan ekonomi terwujud. Hubungan ini saling mendukung (simbiosis
55
mutualisma) dalam melakukan gerakan sosial, berupa protes dan demonstrasi, terhadap kebijakan konservasi hutan dan satwa, dalam hal ini adalah perluasan dan penetapan batas Taman Nasional Tesso Nilo
Sumber : Hasil Analisis 6.4
MODEL SOSIALISASI KOMUNITAS Berdasarkan analisis permasalahan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional
Tesso Nilo bersama pelbagai pihak terkait, dirumuskan sebanyak 14 permasalahan pokok dalam pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo, iaitu : 1
Penetapan batas kawasan taman nasional dan pengakuan secara aktual oleh masyarakat sekitarnya.
2
Pemekaran desa baru sekitar taman nasional, dusun Bagan Limau menjadi desa, yang 95% wilayahnya berada dalam kawasan taman nasional.
3
Kurangnya koordinasi pelbagai pihak dalam penyelesaian masalah
4
Manajemen internal taman nasional belum optimal (database/sistem informasi, sumberdaya manusia, fasiliti penujang tugas)
5
Rendahnya ekonomi masyarakat sekitar taman nasional
6
Belum efektifnya strategi komunikasi dan sosialisasi tentang fungsi Taman Nasional Tesso Nilo kepada pihak-pihak terkait
7
Tumpang tindih pemanfaatan lahan dengan beberapa perusahaan
8
Pembalakan atau penebangan liar (illegal logging) oleh masyarakat sekitar, sebagai akibat dari pada tingginya permintaan kayu, rendahnya pengawasan dan penegakan hukum, serta kemiskinan di sekitar kawasan.
9
Pemanfaatan hasil hutan non-kayu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.
10 Perburuan satwa secara liar untuk pelbagai kepentingan, sama ada oleh pemburu liar atau komuniti sekitar.
56
11 Perambahan kawasan hutan untuk kepentingan pemukiman maupun membuka atau meluaskan lahan kebun sawit 12 Kurangnya sosialisasi tentang fungsi kawasan konservasi kepada masyarakat 13 Konflik manusia dengan gajah, akibat lajunya pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian, perkebunan, pemukiman, jalan, dan lain-lain. 14 Kebakaran hutan, akibat pembukaan lahan dengan cara membakar.
6.9 Tabel Upaya Sosialisasi berdasarkan Tipe Komunitas
Tipe Komunitas
Asli
Perumusan Masalah yang dihadapi Komunitas
Identifikasi Prilaku Community (Adaptasi)
Kepemilikan lahan minim
Ritualism
Kepedulian terhadap konflik kawasan hutan rendah
Upaya Sosialisasi kesepakatan sikap komunitas (internal /bonding):FGD Tahap 1 Pendekatan informal dengan community leader
FGD yang terdiri dari beberapa klp (1 klp 5-7 org)
Upaya Sosialisasi menjembatani sikap antar komunitas (bridging): FGD Tahap II
Rekomendasi Sikap dan Kebijakan (Linking)
1.FGD dilakukan dengan bauran dari 4 community yang dibagai berdasarkan topik diskusi 2. FGD dilanjutkan dengan mempertemukan peserta dalam forum utama 3.Mengidentifikasi fenomena yang dapat menjadi sumber dan rentan konflik 4. Menemukan solusi dan mendapatkan kesepakatan bersama dalam mencegah terjadinya konflik 5. Menjembatani
Perlunya penguatan kelembagaan yang secara internal mampu mencegah terjadinya jual beli lahan secara illegal dan terjadinya konflik Dibentuknya lembaga yang berisikan perwakilan tipe-tipe community yang secara berkelanjutan melakukan pertemuan dalam mencegah timbulnya
57
Keinginan kepemilikan lahan tinggi tapi tidak diikuti dengan akses, sikap dan etos kerja
Menjawab pertanyaan : Kenapa tingkat kepedulian community terhadap konflik lahan rendah?
Tidak ada sikap streotype hanya ingin kesejahteraan yang lebih baik
Dalam
Kepemilikan lahan sedang
Pengelolaan untuk kebutuhan hidup
Memiliki keterikatan dan akses yang lebih baik dengan “oknum” penjual lahan (informal & formal leader) Menguasai cara dan sarana sehingga mampu berkembang
Conformity
pandangan dari 4 tipe community terutama antara community asli dalam vs baru luar 6. Keterlibatan pengambil kebijakan (pemerintah daerah dan balai TNTN) dan lembaga masyarakat
konflik lahan Membangun komunikasi antar community dan keterbukaan informasi tataguna lahan Kebijakan konservasi tata guna lahan yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat
Pendekatan informal dengan community leader FGD yang terdiri dari beberapa klp (1 klp 7-10 org) dengan moderator dari community dan membaginya berdasarkan kelompok usia,jenis kelamin dan pekerjaan Menjawab pertanyaan : bagaimana pandangan community terhadap pendatang ?
Menjadikan community type ini sebagai basis dalam mengatasi konflik dan jual
58
Baru
dibandingkan community asli Streotype terhadap etnis pendatang Memiliki Rebellion otoritas innovation sebagai bagian dari masy. Adat ataupun aparatur pemerintah desa Masyarakat adat yang berontak dalam mencapai tujuan dengan melegalkan tindakan jual beli lahan Menggunakan identitas budaya sebagai pembenaran dengan pendekatan kekerasan
Streotype ditujukan terhadap pemerintah dan kebijakan konservasi yang menghalangi tujuan community ini
Luar
Adapatasi
innovation
beli lahan secara ilegal
Pendekatan formal dan informal dengan community leader
FGD yang terdiri dari beberapa klp (1 klp 7-10 org)
Menjawab pertanyaan : bagaimana pandangan community terhadap jual beli lahan secara illegal dan kebijakan lahan yang ditetapkan pemerintah? Pendekatan FGD difokuskan kepada upaya pencegahan penyalahgunaan otoritas dan sanksi hukum. Menjadikan community ini sebagai kelompok yang paling berperan dalam konflik lahan Pendekatan
59
tinggi
Menjalin hubungan baik dengan community baru untuk memperoleh kekuatan dan otoritas dalam mencapai tujuan
Streotype : melakukan demonstrasi dan protes terhadap kebijakan konservasi (simbiosis mutualime dengan community baru)
informal dengan community leader FGD yang terdiri dari beberapa klp (1 klp 7-10 org) dengan moderator dari community dan membaginya berdasarkan kelompok usia,jenis kelamin dan pekerjaan Menjawab pertanyaan : bagaimana pandangan community terhadap kebijakan konservasi ?
Gambar 6.2 Model Upaya Sosialisasi
60
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
KESIMPULAN Berkembangnya sistem orientasi nilai pada setiap komunitas, memberikan warna
pada sikap serta perilaku, baik ketika mereka menghadapi permasalahan hidup bermasyarakat maupun dalam menjalankan mata pencaharian. Beberapa sistem nilai yang bersinggungan dalam hubungan sosial antara komunitas tersebut akan saling menguatkan jika memiliki orientasi nilai yang sama, akan tetapi akan menimbulkan gesekan-gesekan dan perbenturan jika bertemu dengan sistem orientasi nilai yang bertentangan. Kelompok III (Baru) dan IV (Luar) merupakan kelompok yang kontradiktif, yakni selain sebagai pembaharu, pelopor pembukaan lahan, pemimpin pergerakan sosial “penyelamatan hutan”, mereka juga sebagai pelindung serta pendidik komunitas asli yang kurang memiliki keberanian dalam bersikap. Kelompok yang berorientasi progresif merupakan kelompok yang membawa pengaruh dalam menciptakan situasi konflik. Orientasi nilai mereka lebih banyak bersifat progresif dan transisi, ingin mengadakan perubahan-perubahan dengan memanfaatkan hutan dan lingkungan alamiah sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi. Apabila kepentingan penyelamatan lingkungan hendak diutamakan, maka orientasi nilai kearah masa depan harus disosialisasikan, serta menumbuhkan sistem nilai yang diharapkan akan memelihara faktor perekat antar komunitas, memperbaiki alam dan lingkungan untuk dapat meratakan pemanfaatannya kepada seluruh warga komunitas yang bertempat-tinggal di dalamnya. Bukan dengan cara menguasai dan menguras hutan, akan tetapi dengan memelihara keberadaan lahan hutan dan menciptakan lapangan-lapangan kerja pada berbagai bidang.
61
7.2
SARAN
Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan berdasarkan data temuan penelitian, dan berkenaan dengan permasalahan yang terjadi, adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah melakukan konsolidasi politik kepada masyarakat maupun para pemilik lahan usaha serta izin pengelolaan lahan, dalam upaya pengendalian konflik antara warga desa dengan pihak Taman Nasional. 2. Masyarakat melakukan interaksi dan komunikasi yang lebih aktif dan terbuka melakukan
pembicaraan-pembicaraan
sehingga
diketahui
batasan-batasan
kepentingan dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemilik usaha pemegang HPH maupun pihak-pihak lain yang terkait. 3. Kerja sama antara semua stakeholder terkait sepanjang 2005-2012, antara lain bersama Dinas Kehutanan Propinsi Riau, BKSDA Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Lembaga Konservasi Nasional dan Internasional, Pihak Perusahaan (HPH PT. Nanjak Makmur, PT. RAPP) melakukan pembahasan secara intensif guna mencapai penyelesaian dan mengkaji kembali perizinan agar tidak terjadi sengketa. 4. Sosialisasi dan pendekatan persuasive mengenai status hukum dan kepentingan perlindungan hutan dan satwa oleh pihak-pihak yang berwenang, kepada masyarakat di seputar Taman Nasional. 5. Dalam pembuatan produk hukum perlu adanya kajian yang mendasar secara objektif agar dalam pelaksanaan tidak ada pihak yang dirugikan, khususnya dalam pemberian izin lokasi yang menyangkut lahan dimana ada berbagai kepentingan masyarakat yang terlibat. Kerjasama seluruh pihak, pemerintah dan swasta, dengan lembaga adat dan organisasi masyarakat sangat diperlukan.
62
DAFTAR PUSTAKA
Alo Liliweri, 2009, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKiS Dahrendorf, Ralf, 1986, Klas dan Konflik Klas dalam Masyarakat Industri, Jakarta: Rajawali Harry Hikmat, , 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama Press I Ngurah Suryawan., 2010, Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern, Bara di Bali Utara, Jakarta : Prenada Kamaruddin M. Said, 2002, Etnisiti atau Anomie? Analisis Sosiologikal Peristiwa Pergaduhan Beramai-ramai di Petaling Jaya Selatan, dalam Akademika Jurnal Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, bilangan 60 Januari 2010 Robert M.Z. Lawang, 2005, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Suatu Pengantar, Jakarta : FISIP-UI Press Merton, Robert K.,1981, Social Theory and Social Structure, New Delhi : Amerind Publishing Co, Novri Susan, 2009,Sosiologi Konflik, Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group Poloma, Margaret, 1999, Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Gramedia Ritzer, George, Sociological Theory 2nd ed, 1988, New York : Albert A Knopf, Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta : Juxtapose Research Rukminto Adi, Isbandi,2008, Intervensi Komuniti. Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta : Rajawali Suwarsono dan Alvin Y., 1991,So, Perubahan Sosial Dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: LP3ES, Syarif Ibrahim Alqadrie., 2003. Otonomi dan Multikulturalisme, Makalah Seminar Nasional “Pendidikan Multikulturalisme dan Revitalisasi Hukum Adat” Diselenggarakan oleh Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jakarta 18 – 20 Desember 2003. Turner, Jonathan H, 1978, The Structure of Sociological Theory, Illinois : The Dorsey Press,
63