LAPORAN PENELITIAN NASKAH AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH TAHUN 2016-2025
OLEH I KETUT SUDIARTA, SH.MH
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015
i
KATA PENGANTAR Setiap
daerah
mempunyai
hak dan kewajiban
mengatur
dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat demikian amant Pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mewajibkan bagi kabupaten atau kota yang menyusun Rencana Peraturan
Induk
Pembangunan
daerah,
diperlukan
kepariwisataan pula
diatur
argumentasi
dalam
tentang
bentuk (urgensi)
membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah
Kabupaten
Wakatobi
tentang
Rencana
Induk
Pembangunan Kepariwsataan Daerah Tahun 2016 - 2025.
Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Judul Penelitian Kata Pengantar Daftar Isi ……………………………………………………………………….. Daftar Tabel…………………………………………………………………….. Daftar Matrik…………………………………………………………………… BAB I
i ii iii iv v
PENDAHULUAN ...........................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang Masalah ............................................... Identifikasi Masalah ..................................................... Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis Metode ....................................................................... 1. Pendekatan ......................................................... 2. Sumber Bahan Hukum ........................................ 3. Pengumpulan Bahan Hukum ................................ 4. Analisis ...............................................................
1 2 4 5 5 7 8 9
BAB II 2.1 2.2
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS .............. Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan ....................... Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan ................ Kajian terhadap Praktik Penyelenggaran, Kondisi Yang ada Serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat .... Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosialbudaya dan lingkungan.. .............................................
10 10
2.3 2.4
BAB III 3.1 3.2.
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ........................... Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Kondisi Hukum yang ada ............................... Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan .....................................
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 4.1 Landasan Filosofis ....................................................... 4.2 Landasan Sosiologis .................................................... 4.3 Landasan Yuridis .........................................................
iii
12 15
27 31 31 49 51 51 53 55
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan..................................... 5.2.
56 56
Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. ..........
69
BAB VI PENUTUP .....................................................................
76
6.1 Kesimpulan .................................................................. 6.2 Saran ...........................................................................
76 76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi.
iv
DAFTAR MATRIK No
Nama Matrik
Hal
1
Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan......................................................................... 31
2
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Yang memuat Kondisi Hukum Yang Ada terkait dengan Kepariwisataan ................... 50
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Secara filosofis Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila. Secara filosofis, pembangunan kepariwisataan Kabupaten Wakatobi dirumuskan dalam visi “Wakatobi sebagai destinasi ekowisata bahari berkelas dunia dan berbasis masyarakat” untuk mengimplementasikannya memerlukan perencanaan induk, yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjamin keberlanjutan penyelenggaraan kepariwisataan. Untuk itu maka penyelenggaraan kepariwisataan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang serasi, selaras dan seimbang. Melalui penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan (RIPPARDA) diharapkan dapat menopang dan menunjang tujuan pembangunan di Kabupaten Wakatobi. Dari aspek sosiologis, paradigma pembangunan kepariwisataan yang bertumpu semata mata pada aspek ekonomis sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pembangunan kepariswisataan yang berbasis pada keserasian antara manfaat ekonomi dengan keseimbangan lingkungan, sosial dan budaya. Paradigma baru memandang kepariwisataan sebagai salah satu sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dengan tidak mengorbankan aspek lingkungan yang bersifat eksploitatif. Pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan yang konprehensif dari hulu, sejak sebelum pembangunan tersebut berpotensi memunculkan dampak negatif, sampai kehilir, yaitu pada fase kepariwisataan tersebut sudah berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat maupun pemerintah. Pembangunan kepariwisataan dengan paradigma baru tersebut dilakukan melalui kegiatan penyusunan rencana induk dan penetapan rencana induk tersebut menjadi peraturan daerah. Penetapan peraturan daerah tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan akan memperkuat paradigma baru pembangunan kepariwisataan yang sejalan dengan konsep pembangunan berlandaskan “Wakatobi sebagai destinasi ekowisata bahari berkelas dunia dan berbasis masyarakat” 1
Dari aspek yuridis Pemerintah Kabupaten Wakatobi sampai akhir tahun 2014 memiliki beberapa ketentuan regulasi terkait dengan keperiwisataan, namun belum memiliki peraturan daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dengan latar belakang pemikiran secara filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut di atas, maka penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan dipandang perlu guna mendapatkan kajian yang mendalam dan konprehensif baik secara teoritik maupun pemikiran ilmiah dalam merumuskan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan.
1.2.Identifikasi Masalah Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu pengaturan menyangkut dua isu pokok, yakni penormaan materi muatan dan prosedur pembentukan. Kajian ini focus pada upaya penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada pada isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai suatu aturan yang mengandung norma hukum. Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni: a) landasan, b) asas-asas dalam pengaturan, c) batas-batas kewenangan pengaturan dan d) ruang lingkup materi muatan pengaturan. Dikaitkan dengan isu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi, maka identifikasi permasalahannya berkaitan dengan persoalanpersoalan dalam bidang: 1. Destinasi diantaranya : a. Belum tertatanya pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata. b. Kurangnya penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing. c. Lemahnya keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan. d. Kurangnya pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk menunjang pergerakan internal dan konektivitas antar wilayah kabupaten. e. Kurangnya pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu
2
gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland khususnya di Provinsi Sultra. f. Kurangnya pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan. g. Kurangnya pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten. h. Kurangnya pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten. i. Kurangnya pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisata. j. Kurangnya pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro. k. Kurangnya pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing. l. Kurangnya pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata m. Kurangnya pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait. n. Kurangnya peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. 2. Industri Pariwisata, diantaranya : a. Lemahnya daya saing fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional. b. Lemahnya pengembangan skema kerja sama antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat. c. Lemahnya bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan. d. Belum berkembang secara mapan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata. 3. Pemasaran diantaranya: a. Lemahnya pemasaran dan promosi untuk mendukung penciptaan destinasi ekowisata. b. Lemahnya pemasaran dan promosi untuk meningkatkan pertumbuhan segmen ceruk pasar. c. Lemahnya promosi berbasis tema ekowisata. 3
4.
d. Belum optimalnya pemasaran wisata konvensi,insentif dan pameran yang bertemakan ekowisata. e. Belum optimalnya pemosisian citra pariwisata termasuk pemosisian citra pariwisata di antara para pesaing didasarkan kekuatan keberadaan TNW sebagai Cagar Biosfer dan ikon utama kepariwisataan kabupaten yang telah dikenal luas baik secara nasional maupun di dunia internasional serta kekuatan keanekaragaman hayati lainnya, budaya dan keramah-tamahan penduduk. f. Lemahnya promosi dan diplomasi guna mengkomunikasikan bahwa Wakatobi sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing. g. Belum optimalnya dukungan, koordinasi dan sinkronisasi terhadap Badan Promosi Pariwisata Daerah dan Forum Tata Kelola h. Lemahnya fungsi dan peran promosi pariwisata di dalam dan di luar negeri. Kelembagaan diantaranya : a. Lemahnya tata kelola organisasi kepariwisataan dalam struktur pemerintahan kabupaten. b. Belum optimalnya kemampuan perencana,pelaksana dan pengawasan program pembangunan kepariwisataan. c. Lemahnya mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi program pembangunan kepariwisataan baik diinternal SKPD yang membidangi pariwisata maupun lintas SKPD. d. Belum terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah. e. Lemahnya struktur dan fungsi Forum Tata Kelola. f. Lemahnya kemampuan dan profesionalitas pegawai bidang kepariwisataan. g. Lemahnya kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan dan latihan bidang kepariwisataan h. Lemahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang memiliki sertifikasi kompetensi i. Lemahnya kemampuan kewirausahaan dibidang kepariwisataan. j. Rendahnya penelitian dalam rangka memperkuat pengembangan desinasi berbasis ekowisata, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan investasi melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, LSM, lembaga riset, TNW dan lembaga-lembaga internasional.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang diungkapkan diatas, tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik dirumuskan sebagai berikut: 1. Tujuan penyusunan naskah akademik ini yakni : 4
a. Untuk merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Wakatobi tentang pembangunan kepariwisataan. b. Untuk merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Wakatobi tentang pembangunan kepariwisataan. 2. Kegunaan penyusuanan naskah akademik ini, yakni : 1. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi pembuat Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang pembangunan kepariwisataan. 2. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Wakatobi tentang pembangunan kepariwisataan. 1.4. Metode Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik yakni penelitian hukum yang berbasiskan metode penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Dalam penyusunan akademik ini dilakukan penelitian hukum dengan metode yuridis normatif dengan melakukan studi pustaka yang menelaah (terutama bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundangundangan dan dokumen hukum lainnya). Dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara, untuk verifikasi bahan hukum primer dan diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Berdasarkan metode penelitian hukum di atas, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain: a. Pendekatan Penelitian hukum mengenal beberapa metode pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach)1 Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ranperda ini adalah pendekatan perundang-undangan ( statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach). 5
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan kepariwisatan antara lain: a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657). b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739). d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966). e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833). h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
6
i. Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi 20122032 (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor 12 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 1). Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan menelaah konsep-konsep para ahli mengenai kepariwisataan, pengelolaan pariwisata dan konsep-konsep lain yang terkait. Pendekatan analitis (analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menguraikan aturan hukum yang terkait dengan pembangunan kepariwsataan sehingga mendapatkan komponen-komponen pengelolaan pariwisata atau unsur-unsurnya untuk dapat ditetapkan dalam suatu persoalan tertentu. Pendekatan filsafat (philosophical approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas yang terkandung dan/atau melandasi kaidah hukum kepariwisataan. b. Sumber Bahan Hukum. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan hukum bahan hukum sekunder2. Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini, bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penyusunan naskah akademik ini terdiri atas: a. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739). c. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966). d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 7
f.
g.
h.
i.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833). Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562). Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi 20122032 (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor 12 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 1).
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperi hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat, baik dari lingkungan Pemerintah Kabupaten Wakatobi maupun para pihak yang membidangi tentang kepariwisataan. Bahan ini digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder. c. Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara: a) Studi dokumenter dan kepustakaan untuk bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. b) Untuk bahan informatif dilakukan dengan studi lapangan yaitu wawancara dan FGD (focus group discussion).
8
d. Analisis Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan interpretasi secara hermeneutikal yaitu: (a) berdasarkan pemahaman tata bahasa (gramatikal) yakni berdasarkan makna kata dalam konteks kalimatnya, (b) aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang sejarah pembentukannya (historikal) (c) dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi hukum positif itu (untuk menemukan ratio legis-nya) dan (d) dalam konteks hubungannya dengan aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal) dan secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup serta nilai-nilai cultural dan kemanusiaan fundamental (philosophical) dalam proyeksi ke masa depan (future logikal)3 .
9
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 2.1.Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Pembangunan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan pengendalian,dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang dikehendaki. Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keaneka ragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pembangunan kepariwisataan nasional meliputi: a. Destinasi Pariwisata; b. Pemasaran Pariwisata; c. Industri Pariwisata; dan d. Kelembagaan Kepariwisataan. Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administrative yang di dalamnya terdapat Daya Tarik Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas,serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya Kepariwisataan. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keaneka ragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata. Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya. Fasilitas Umum adalah sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian. Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus 10
ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi Pariwisata. Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan,menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha Pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang Kepariwisataan. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Pasal 8 menentukan bahwa Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Rencana induk pembangunan kepariwisataan kepariwisataan berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 menyebutkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional yang selanjutnya disebut dengan RIPPARNAS adalah dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan nasional untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2025. RIPPARNAS menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi. RIPPARNAS dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut dengan RIPPARDA Kabupaten adalah dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode 15 (lima belas) tahun.
11
2.2. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan. Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil. Asas pembentukan perundang-undangan yang baik dan bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 (khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur pula dalam pasal 137 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda), “Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan” yang meliputi : a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. Sedangkan asas-asas materiil pembentukan peraturan perundangundangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 (khususnya berkenaan dengan peraturan daerah diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka tunggal ika; g. Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:
12
1. Dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah. 2. Dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik. Relevansi asas-asas formal pembentukan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Pembanguanan Kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Wakatobi bertujuan: 1. meningkatkan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata; 2. mengkomunikasikan Destinasi Pariwisata Indonesia dengan menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan bertanggung jawab. 3. mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan perekonomian nasional; dan mengembangkan Kelembagaaan Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu: a. mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan efisien. b. Ketegasan mengenai larangan dalam pembangunan kepariwisataan. c. Ketertiban dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan. d. Kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi terkait di Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dalam pembangunan kepariwisataan. Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh: Pengaturan Pembangunan Kepariwisataan dengan Peraturan Daerah dilakukan Bupati Wakatobi dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten Wakatobi. Rancangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD Kabupaten Wakatobi, dalam konteks ini Rancangan Perda tentang Pembangunan Kepariwisataan Daerah ini merupakan inisiatif eksekutif. Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan.Pengaturan pembanguanan kepariwisataan diatur dalam Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembangunan kepariwisataan, seperti kajian dalam bab-bab berikutnya dalam kajian naskah akademis ini. Keempat, Asas dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan daerah, harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofi, yakni ada jaminan keadilan dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi; (2) yuridis, ada jaminan kepastian 13
hukum dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Wakatobi, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Wakatobi memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Kelima,kedayagunaan dan kehasilgunaan.Asas ini dapat diwujudkan sepanjang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keenam, kejelasan rumusan.Asas ini dapat terwujud dengan pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi, sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan menjamin kepastian. Ketujuh, keterbukaan.Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan ini. Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dengan pengaturan pembangunan kepariwisataan dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,keadilan.Peraturan Daerah tentang pembangunan kepariwisataan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali.Tuntutan keadilan mempunyai dua arti, dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum.Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Demikian pula dalam penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan dimaksudkan untuk berlaku umum. Agar mendapatkan rumusan norma hukum tentang pembangunan kepariwisataan sesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik. Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan asas ini materi muatan peraturan daerah tentang 14
pembangunan kepariwisataan tidak berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya. Ketiga,ketertiban dan kepastian hukum.Agar peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti.Pertama, kepastian hukum dalam arti kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara.Kedua, kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya.Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan kewajibannya.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti norma hukum pembangunan kepariwisataan harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah daerah serta hakim dapat berpedoman padanya, terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan, termasuk norma hukum tentang sanksi atas pelanggarannya tidak boleh berlaku surut. Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam konteks penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan harus ada keseimbangan beban dan manfaat, atau kewajiban dengan hak yang didapatkannya. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan masyarakat ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.
2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi diantaranya meliputi: 1) Permasalahan yang dihadapi dalam Pembangunan Destinasi Pariwisata. Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan destinasi pariwisata, diantaranya berkaitan dengan:
15
a. Status Kawasan/Wilayah. 1. Tumpang tindih (overlapping) kawasan. Pemekaran Wakatobi menjadi kabupaten telah berimplikasi serius terhadap sistem manajemen Taman Nasional Wakatobi (TNW). Secara yuridis, keberadaan TNW yang kongruen dengan wilayah Kabupaten Waktobi merupakan satu fenomena unik dan menarik, sekaligus menjadi salah satu permasalahan dalam sistem manajemen TNW dan manajemen pemerintahan Kabupaten Wakatobi. Terbentuknya Kabupaten Wakatobi berimplikasi pada pengembangan wilayah dan sosial ekonomi. Sementara wilayah pengembangan sosial dan ekonomi tersebut yang menjadi tumpuan masyarakat merupakan ruang-ruang ekologi yang mempunyai fungsi perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan. Tekanantekanan terhadap integritas kawasan konservasi dan konflik kepentingan tidak terhindarkan antara fungsi konservasi dengan tujuan pengembangan wilayah. 2. Kegiatan wisata belum harmonis dan sinkron dengan sistem zonasi Taman Nasional. Sebagai kawasan pelestarian alam, pengelolaan Taman Nasional didasarkan atas rencana zonasi yang telah ditetapka. Namun demikian, kegiatan wisata sebagai upaya pemanfaatan potensi kawasan belum berjalan harmonis dan sinkron dengan rencana zonasi karena belum optimalkan mengintegrasikan pengembangan wilayah dengan pengelolaan kawasan konservasi. 3. Konflik pemanfaatan ruang laut. Rejim ruang laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources) memunculkan tumpang tindih pemanfaatan dimana beberapa jenis pemanfaatan tersebut tidak bersinergi dan bahkan berkonflik satu sama lainnya. Konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh belum optimalnya pemahaman dan penaatan terhadap peruntukan ruang serta masih lemahnya pengendalian pemanfaatan. 4. Masih tingginya tekanan dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam yang mengarah pada kerusakan ekosistem dan kemerosotan keanekaragaman hayati. Berbagai tekanan terhadap kelestarian ekosistem beserta keanekaragaman hayatinya merupakan perpaduan dari masih tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam tanpa didukung oleh kearifan dalam pemanfaatannya, pemanfaatan yang berlebihan,rendahnya kesadaran masyarakat dan masih terbatasnya kapasitas pengendalian. 5. Kerusakan lingkungan oleh faktor antropogenik. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan maka kebutuhan terhadap ruang dan sumberdaya alam semakin meningkat. 16
Dalam pemanfaatan tersebut masih terdapat praktek-praktek yang menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan, seperti eksploitasi pasir, karang dan material laut lainnya, sertaperluasan lahan penimbunan pantai dan laut yang tidak terencana dan terkontrol. b. Orientasi, Posisi dan Aksesibilitas pariwisata, diantaranya: 1. Pintu gerbang dan pusat pelayanan utama pariwisata belum tertata dan terkesan kumuh. Wajah depan Kota Wangi-Wangi yang bercorak kota maritim dengan beberapa pelabuhan laut dan penyeberangan yang merupakan pintu gerbang utama Kabupaten Wakatobi dan menjadi pusat pelayanan pariwisata kondisinya belum tertata dan menampakkan kondisi yang kumuh. Sebagai pintu gerbang utama melalui laut, kondisi ini kurang mendukung penguatan first impression bagi wisatawan yang berkunjung ke Wakatobi. Kota Wangi-Wangi dan kota-kota kecamatan yang semuanya merupakan kota pelabuhan juga belum memiliki “karakter” khusus yang menjadi pusat dan penanda orientasi yang dapat membentuk dan menguatkan citra pariwisata. 2. Wakatobi secara geografis berada pada posisi yang relatif jauh dari pasar nusantara dan pintu gerbang utama kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Wakatobi berlokasi relatif jauh dari Bali, Jakarta dan Batam yang merupakan pintu gerbang utama wisatawan mancanegara dan pasar nusantara. Jarak yang relatif jauh dengan lama penerbangan lebih dari 1,5 jam dan lama pelayaran lebih dari 10 jam dari Kota Kendari menjadikan Wakatobi relatif sulit dicapai dan harga transportasi yang relatif mahal. Jarak yang relatif jauh juga berpengaruh terhadap minat kunjungan wisatawan karena adanya efek peluruhan minat oleh faktor jarak destinasi. 3. Kondisi landasan pacu Bandara Matahora yang relatif pendek dan frekuensi penerbangan (flight) masih rendah. Bandara Matahora sebagai pintu gerbang Wakatobi dari jalur udara memiliki landasan sepanjang 2500 meterdengan Runway 2000 meter dan Uprond 103 x 73 meter dimana dapat didarati oleh pesawat berbadan kecil dan sedang. Frekuensi penerbangan pun masih sedikit dengan rute terbatas MakassarKendari-Wakatobi dan sebaliknya yang dilayani oleh pesawat jenis ATR72-500 dengan kapasitas 72 penumpang dan Kendari-BaubauWakatobi dengan pesawat Cesna dengan kapasitas 17 orang dengan frekeuensi sekali dalam seminggu. Keterbatasan rute dan kapasitas penerbangan menyebabkan kurang kuatnya konektivitas antara Wakatobi dengan asal wisatawan nusantara, dengan pintu gerbang wisata regional dan/atau nasional dan dengan pasar pariwisata internasional.
17
4. Aksesibilitas eksternal dan internal antar pulau-pulau utama melalui jalur laut terkendala kelancarannya oleh cuaca ekstrim. Perairan laut Wakatobi merupakan perairan yang sangat terbuka terutama di bagian timur yang merupakan Laut Banda. Kondisi ini menyebabkan pembangkitan gelombang terjadi pada jarak yang jauh dimana pada saat puncak musim timur terjadi kondisi gelombang ekstrim yang membahayakan pelayaran. 5. Frekuensi pelayaran reguler antar pulau masih rendah. Frekuensi pelayaran antar pulau-pulau hanya sekali dalam sehari. Sementara transportasi menggunakan speed boat carter relatif mahal harganya. Kondisi ini menyebabkan pergerakan internal kurang optimal. 6. Jaringan jalan belum mendukung konektivitas pusat-pusat kota dengan daya tarik wisata dan antar daya tarik wisata. Jaringan jalan yang menghubungkan antar kota-kota kecamatan relatif baik akan tetapi banyak daya tarik wisata potensial belum terbangun jaringan jalannya. Jaringan jalan yang ada sebagian besar dalam kondisinya buruk. 7. Terbatasnya ketersediaan moda transportasi darat sebagai sarana pergerakan internal destinasi. Kabupaten Wakatobi belum memiliki sistem tranportasi publik yang mendukung kemudahan pergerakan wisatawan di internal pulau-pulau utama. Moda transportasi masih terbatas baik jumlah, keragaman jenis maupun trayeknya. Sarana angkutan umum hanya tersedia secara terbatas di Kota Wangi-Wangi dengan jaringan dalam kota. Sarana transportasi yang dapat diakses oleh wisatawan untuk sarana pergerakan adalah mobil carter. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya pilihan moda transportasi yang mudah dan murah yang dapat dimanfaatkan wisatawan untuk mendukung pergerakan. 8. Sistem informasi transportasi yang mudah diakses wisatawan belum tersedia. Untuk mendukung kemudahan wisatawan memperoleh informasi mengenai moda transportasi, rute dan jadwal keberangkatan dibutuhkan pelayanan informasi yang mudah diakses wisatawan. Di pusat-pusat kegiatan pariwisata dan pelabuhan-pelabuhan yang melayani transportasi antar pulau baik internal maupun eksternal belum dilengkapi dengan informasi yang dapat memberikan kemudahan wisatawan menjadwalkan perjalanan dan menentukan pilihan modanya. 9. Secara keseluruhan tingkat kepuasan wisatawan terhadap aksesibilitas dan transportasi masih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kepuasan wisatawan terhadap aksesibilitas yaitu kemudahan pencapaian, terbatasnya pilihan moda transportasi yang
18
terjangkau harganya, jaringan, skedul, kenyamanan dan pelayanan transportasi. c. Daya Tarik Wisata/Atraksi Wisata. 1. Pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata masih fokus pada daya tarik wisata bahari (diving). Wakatobi sangat kaya akan potensi daya tarik wisata selain daya tarik wisata alam bahari yang telah menjadi keunggulannya. Beragam daya tarik wisata alam di daratan dan daya tarik wisata budaya masih relatif sedikit memperoleh sentuhan perintisan dan pengembangannya. Daya tarik wisata alam di daratan seperti panorama puncak dan gua-gua alam serta beragam daya tarik wisata budaya berupa situs, cagar budaya dan peninggalan sejarah, kampung adat, dan kesenian daerah belum dikelola sebagai upaya terpadu dalam peningkatan daya saing destinasi. 3. Aset peninggalan budaya belum terkelola secara memadai. Beberapa peninggalan budaya dalam bentuk situs dan bentengyang sekaligus sebagai aset pariwisata belum dikelola secara baik dalam rangka pelestarian dan pengembangannya sebagai daya tarik wisata. Pengelolaan dimaksud meliputi pengembangan sistem informasi, dokumentasi, manajemen pengunjung dan penyiapan petugasnya. 4. Belum terintegrasinya pembinaan dan pelestarian kesenian tradisional dengan pariwisata. Pelestarian kesenian tradisional saat ini bertumpu pada pembinaan sanggar-sanggar seni yang semakin berkembang jumlahnya baik di sekolah-sekolah maupun masyarakat. Berbagai kesenian tradsional dan tradisi lisan sebagai identitas masyarakat Waktobi belum diarahkan secara optimal upaya pelestariannya secara terintegrasi dengan pambangunan pariwisata Wakatobi. Kesenian tradisional dan tradisi lisan tersebut menyimpan berbagai ingatan kolektif masyarakat, merefleksi kehidupan masa lalu dan memproyeksi masa depan mereka serta mengandung berbagai nilai-nilai moral dan tata nilai dalam kehidupan. Sehingga jika kesenian tradsional dan tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dapat didorong sebagai salah satu kekuatan pariwisata budaya berbasis seni tradisi maka akan dapat mendorong percepatan partisipasi masyarakat dalam industri pariwisata. 5. Fasilitas daya tarik wisata masih terbatas. Secara keseluruhan, daya tarik wisata baik daya wisata alam maupun daya tarik wisata budaya belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menunjang kebutuhan wisatawan dan meningkatkan kualitas pengalamannya. Di laut, hanya sebagian kecil dive site dilengkapi dengan mooring buoys. Daya tarik wisata pantai dan daya tarik wisata alam di daratan lainnya masih 19
terbatas ruang tempat parkir, plaza (meeting point) dan toilet. Daya tarik wisata budaya terutama situs dan cagar budaya serta kampung adat belum dilengkapi dengan fasilitas interpretasi yang memudahkan wisatawan memperoleh informasi dan pemahaman mengenai daya tarik wisata tersebut. d. Prasarana Umum dan Fasilitas Umum 1. Tingkat pelayanan air bersih yang terbatas. Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya air yang memadai untuk dapat didayagunakan bagi penyediaan air publik dan industri pariwisata. Karena keterbatasan pembiayaan, pembangunan sistem jaringan air bersih perpipaan masih terbatas di perkotaan dan jangkauan pelayanannya pada masyarakat masih relatif rendah. 2. Tingkat pelayanan energi listrik masih terbatas. Masih banyak DTW prioritas yang belum terjangkau jaringan dan pelayanan energy listrik PLN, seperti Kapota dan Hoga. Sementara itu di Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko, pelayanan energi listrik PLN belum penuh 24 jam. 3. Akses telekomunikasi masih terbatas. Perkembangan teknologi telekomunikasi dengan pesatnya yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memanfaatkan berbagai sarana telekomunikasi berbasis pada jaringan nir-kabel. Kebutuhan mendasar terhadap layanan telekomunikasi bagi wisatawan di destinasi pariwisata disamping jaringan telepon adalah akses internet. Provider yang melayani akses internet di Wakatobi masih terbatas sehingga masih banyak daerah blank spot. Persepsi wisatawan mengenai kepuasannya terkait layanan telekomunikasi masih rendah. 4. Fasilitas pelayanan kesehatan pariwisata masih belum memadai. Kabupaten Wakatobi telah mempunyai fasilitas kesehatan masyarakat (primer) dan layanan kesehatan rujukan (sekunder) yang memadai. Namun demikian, untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi wisatawan serta pelayanan kesehatan dan keselamatan pariwisata, fasilitas kesehatan yang ada perlu dikembangkan dan dilengkapi. e. Fasilitas Pariwisata 1. Secara umum fasilitas pariwisata masih terbatas jumlah, keragaman dan persebarannya. Fasilitas pariwisata yang telah ada umumnya terpusat di beberapa lokasi dengan jumlah yang sedikit dan pilihan yang terbatas. Usaha pariwisata hanya tersebar di tiga pulau utama, yaitu WangiWangi, Kaledupa dan Tomia. Beberapa usaha pariwisata yang tersedia 20
seperti akomodasi pariwisata, rumah makan/restoran, transportasi pariwisata, perjalanan wisata dan pemanduan wisata. 2. Fasilitas akomodasi pariwisata jumlah dan sebarannya terbatas. Fasilitas akomodasi pariwisata masih terpusat di Wangi-Wangi, sebagian di Tomia dan sedikit di Kaledupa. Sementara di Binongko belum tersedia fasilitas akomodasi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan menginap. 3. Fasilitas rumah makan/restoran jumlah dan sebarannya terbatas. Fasilitas rumah makan/restoran belum tersedia di semua pulau-pulau utama. Wisatawan yang berkunjung ke Kaledupa dan Binongko menghadapi kesulitan memperoleh layanan fasilitas rumah makan. Sementara itu, rumah makan di Wangi-Wangi dan Tomia jumlahnya masih kurang memadai serta menu yang disediakan kurang beragam. Kualitas pelayanan pun belum memenuhi standar pariwisata. 4. Fasilitas pengusahaan daya tarik wisata masih terbatas. Sebagian besar daya tarik wisata belum dikelola oleh suatu organisasi atau lembaga pengelola. Dengan demikian, sebagian besar daya tarik wisata belum dilengkapi dengan fasilitas daya tarik wisata, semisal pos penerimaan pengunjung, toilet, warung souvenir, furniture (tempat duduk), meeting point, bangsal pengunjung, fasilitas interpretasi, rambu-rambu, tempat parkir, tempat sampah, fasilitas keamanan dan keselamatan dan pos jaga. 5. Fasilitas hiburan masih terbatas jumlah dan sebarannya. Fasilitas hiburan hanya terdapat di Wangi-wangi dalam bentuk karaoke. Di pulaupulau lainnya belum terdapat fasilitas hiburan yang memberikan pilihan menikmati hiburan pada malam hari setelah berkunjung atau melakukan atraksi wisata. 6. Fasilitas keuangan dan penukaran uang masih terbatas jumlah dan sebarannya.Keberadaan transaksi keuangan baik bank, ATM dan atau tempat penukaran uang bagi masyarakat dan wisatawan yang datang berkunjung ke Wakatobi sangat penting, karena dengan adanya fasilitas transaksi keungan maka wisatawan yang datang berkunjung tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar ketika datang berkunjung. Disamping itu adanya fasilitas keuangan menjamin wisatawan untuk bertransaksi saat diperlukan. Fasilitas keuangan dan penukaran uang hanya terdapat di Wangi-Wangi sementara di tiga pulau utama lainnya belum tersedia. 7. Fasilitas informasi pariwisata yang mudah diakses belum lengkap. Fasilitas infromasi pariwisata relatif memadai di Wangi-Wangi. Sementara di pulau-pulau lainnya wisatawan menghadapi kesulitan
21
mengakses informasi mengenai daya tarik wisata, paket-paket wisata dan perjalanan pariwisata. 8. Fasilitas keamanan dan keselamatan pariwisata masih terbatas. Tingkat keamanan dan keselamatan pariwisata merupakan salah satu tolak ukur penilaian daya saing destinasi pariwisata. Fasilitas keamanan dan keselamatan pariwisata di Wakatobi didukung oleh fasilitas keamanan yang dimiliki Kepolisian, SAR, dan TNI. Tingkat pelayanan fasilitas keamanan tersebut belum menjangkau wilayah geografis yang luas. Sementara Satuan Polisi Khusus Pariwisata belum tersedia. Untuk menjamin keselamatan atraksi wisata terutama wisata bahari belum didukung oleh keberadaan pos-pos penyelamatan (Balawista) yang memadai. 9. Fasilitas rambu-rambu pariwisata masih terbatas. Fasilitas ramburambu pariwisata seperti peta pariwisata, tanda-tanda petunjuk arah dan petanda telah tersedia tetapi hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu. Sebagian besar wilayah di seluruh pulau-pulau utama belum dilengkapi dengan rambu-rambu pariwisata yang dapat memberikan kemudahan bagi wisatawan mengenali dan mengakses daya tarik wisata yang ada. 10. Fasilitas toko cinderamata masih terbatas jumlah dan sebarannya. Masyarakat Wakatobi memiliki beragam kerajinan tradisional yang bernilai pariwisata yang dapat dipasarkan sebagai produk cinderamata (souvenir). Pemasaran produk-produk kerajinan tradisional sebagai produk cinderamata terkendala oleh belum tersedianya toko/warung cinderamata. Pasar seni pun belum tersedia sebagai jembatan antara pengerajin dengan konsumen (wisatawan). Pada saat ini toko cinderamata hanya terdapat di Wangi-Wangi dengan jumlah yang sedikit. 11. Pembangunan fasilitas pariwisata belum optimal memperhatikan dan mengarusutamakan nilai-nilai kearifan lokal dalam berbagai hal, seperti arsitektur tradisional. Pembangunan fasilitas pariwisata diharapkan dapat dijadikan wahana untuk pelestarian dan memperkaya langgam arsitektur lokal yang sekaligus memperkuat identitas budaya. f. Masyarakat pariwisata dan pemberdayaan masyarakat 1. Masalah sosial budaya dalam hubungannya dengan masyarakat adat. Terdapat masalah pengembangan pariwisata terkait peran adat (sara) pada wilayah adat. Permasalahan ini muncul sejak ditetapkannya Wakatobi sebagai TNW dan berlanjut pada pembentukan Kabupaten Wakatobi. Masyarakat adat Wakatobi yang memiliki hukum adat yang 22
tumbuh dan berkembang di masyarakat memanfaatkan aset-aset sara berupa tanah, hutan dan laut untuk kepentingan masyarakat. Sementara regulasi yang ada berkaitan dengan penetapan status kawasan dan undang-undang pembentukan Kabupaten Wakatobi implementasinya berbeda dengan prinsip-prinsip yang diyakini masyarakat adat. Persoalan perbedaan persepsi yang dipicu oleh ruang/tanah dan nilai-nilai budaya ini merupakan potensi konflik di masa depan mengingat adanya praktek-praktek pemindahan kepemilikan tanah adat kepada pihak perorangan atau pengusaha pariwisata. 2. Wisata kuliner belum berkembang. Masyarakat Wakatobi mempunyai beragaman makanan/kuliner tradisional berbahan baku lokal yang mempunyai cita rasa unik dan khas yang berpotensi sebagai pendukung wisata kuliner. Namun demikian, kuliner-kuliner tersebut masih sulit diperoleh karena belum dikemas dan dipasarkan melalui warung-warung kuliner. 3. Kelompok-kelompok usaha pariwisata berbasis masyarakat belum berkembang optimal. Beberapa masyarakat di desa-desa wisata telah membangun inisiatif membentuk kelompok usaha bersama di bidang pariwisata. Pemberdayaan masyarakat melalui kepariwisataan ini merupakan upaya pendayagunaaan potensi sumberdaya lokal belum dikembangkan secara terpadu dan meluas. 4. Pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata belum terintegrasi dan berkelanjutan. Terdapat banyak inisiatif program-program pemberdayaan masyarakat yang telah diluncurkan oleh berbagai pemangku kepentingan dan lembaga-lembaga yang menaruh perhatian terhadap pembangunan kepariwisataan Wakatobi. Sebagai contoh, Balai Taman Nasional Wakatobi mempunyai program Model Desa Konservasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui COREMAP II mempunyai program 40 desa binaan di Wakatobi, Bank Mandiri dan British Council meluncurkan program Mandiri Bersama Mandiri Pariwisata di lima desa di Wakatobi yang membantu pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata. Demikian pula Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah banyak meluncurkan program-program pemberdayaan misalnya melalui PNPM Mandiri Pariwisata. Swiss Contact mempunyai desa binaan di Kulati, begitu juga LSM-LSM lainnya telah banyak meluncurkan program-program pemberdayaan. Keseluruhan program-program yang diluncurkan tersebut bertujuan meningkatkan keberdayaan masyarakat di bidang kepariwisataan. Namun demikian, program-program pemberdayaan tersebut masih bersifat parsial dan belum terintegrasi, baik integrasi lintas pemangku kepentingan, lintas sektor maupun
23
integrasi dari aspek-aspek kepariwisataan yang tumbuhnya kemandirian dan keberlanjutannya.
dapat
menjamin
5. Kesadaran masyarakat dalam mejaga kelestarian lingkungan belum bertumbuh secara optimal.Pemahanan masyarakat tentang arti penting menjaga kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan pembangunan belum tertanam secara menyeluruh di kalangan masyarakat. Kearifan lokal sebagai intisari dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat belum terimplementasi secara optimal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kepariwisataan nantinya dapat memberikan kontribusi dalam membangun kesadaran individu dan kolektif masyarakat karena faktor kelestarian lingkungan merupakan prasyarat mutlak bagi keberlanjutan kepariwisataan pada khususnya dan kehidupan masyarakat pada umumnya. 2). Kelemahan yang Dimiliki dalam Pembangunan Industri Pariwisata, diantaranya: a. Daya Saing Industri Pariwisata 1. Secara keseluruhan daya saing industri pariwisata Wakatobi masih rendah. Faktor-faktor yang melemahkan daya saing industri pariwisata menurut hasil survei wisatawan yaitu aksesibilitas, ketersediaan moda transportasi, jumlah, keragaman dan pelayanan akomodasi pariwisata, jumlah, keragaman dan pelayanan rumah makan/restoran, fasilitas daya tarik wisata, ketersediaan informasi, interpretasi daya tarik wisata, kesesuaian harga (value for money) transportasi, layanan transportasi, keselamatan transportasi, jaringan jalan, fasilitas pejalan kaki, aksesibilitas penyandang cacat, layanan telekomunikasi, kemampuan komunikasi masyarakat, fasilitas dan pelayanan kesehatan pariwisata, tempat belanja dan ragam produk, penukaran uang, peta dan ramburambu pariwisata, dan call center. 2. Kualitas sumberdaya manusia di industri pariwisata masih rendah. Sebagian besar komponen-komponen pelayanan dimana sebagai ujung tombaknya adalah sumberdaya manusia, menunjukkan indeks kepuasan yang rendah dipersepsikan oleh wisatawan, seperti pelayanan akomodasi, rumah makan, transportasi pariwisata dan pemanduan wisata. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM industri pariwisata masih rendah. 3. Sertifikasi kompetensi SDM pariwisata belum berjalan optimal. Sertifikasi kompetensi SDM baru menyasar SDM di bidang pemandu wisata selam dan jumlahnya masih terbatas. Sementara SDM di bidang usaha lainnya belum memperoleh fasilitasi melalui sertifikasi 24
kompetensi. Pelaksanaan sertifikasi kompetensi belum dipandang sebagai kebutuhan dalam peningkatan kualitas pelayanan usaha pariwisata. b. Pengembangan investasi pariwisata 1. Beragamnya hambatan dan tantangan investasi industri pariwisata. Aksesibilitas merupakan hambatan utamanya selain ketersediaan prasarana umum. Di internal kawasan, jaringan jalan masih terbatas menuju daya tarik wisata dan jaringan yang ada pun kondisinya masih jauh dari kondisi ideal. Kondisi ini berpengaruh pada dua hal, yaitu pertama kurang optimalnya pengembangan daya tarik wisata yang ada dalam rangka diversifikasi dan memperlancar pola serta jaringan pergerakan antar daya tarik wisata; kedua, investor harus membangun sendiri aksesibilitas sehingga menghambat pengembangan investasi. Penghantaran wisatawan ke daerah tujuan wisata wisata antar pulau dalam rangka peningkatan lama kunjungan wisatawan juga terkendala dengan terbatasnya aksesibilitas dan konektivitas antar pulau. Kualitas sumberdaya manusia di dunia usaha pariwisata masih kurang memadai ditinjau dari aspek wawasan pariwisata, pelayanan dan kemampuan bahasa asing. 3.Permasalahan yang dihadapi Pariwisata, diantaranya:
dalam
Pembangunan
Pemasaran
a. Strategi Pemasaran 1. Pemasaran belum dikelola secara terpadu, sinergis dan berkelanjutan. Selama ini pemasaran pariwisata berpusat secara sektoral di Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Badan Promosi Pariwisata Daerah belum berfungsi optimal. b. Promosi Pariwisata 1. Ketidakseimbangan antara promosi dengan kesiapan destinasi pariwisata. Gencarnya promosi pariwisata hingga menjadikan Wakatobi demikian populernya sebagai destinasi pariwisata bahari baik di kalangan pasar nusantara maupun mancanegara tidak sebanding dengan realita kesiapan infrastruktur, prasarana umum, fasilitas umum dan fasilitas pariwisata. Hal ini menjadi tantangan ke depannya dimana pemasaran dan promosi pariwisata haruslah dilakukan dengan prinsipprinsip pemasaran bertanggung jawab dan membangun keterpaduan antar sektor dan antar pemangku kepentingan dalam mempercepat pengembangan destinasi seiring tingginya intensitas pemasaran dan promosi yang dilakukan.
25
2. Target promosi pariwisata masih bersifat umum, belum secara spesifik menyasar target pasar yang tepat sesuai dengan keunggulan destinasi. Wakatobi belum secara tegas dan spesifik menetapkan target pasar pariwisata baik pasar nusantara maupun mancanegara yang menjadi prioritas yang disasar dalam promosi pariwisata. Kondisi ini dipandang kurang efektif dampaknya dari pelaksanaan promosi yang dilakukan. 4.Permasalahan dalam Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan, diantaranya meliputi: a. Kebijakan dan Regulasi 1. Keterpaduan antar sektor dalam pembangunan kepariwisataan belum optimal. Pariwisata telah ditetapkan sebagai sektor unggulan pembangunan Kabupaten Wakatobi. Dari aspek kelembagaan pemerintahan dan ketatakelolaan kepariwisataan, pariwisata sebagai sektor unggulan yang bersifat multi-sektor belum optimal dipahami oleh seluruh SKPD terkait. Pembangunan kepariwisataan masih dipandang tugas dan tanggung jawab Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif semata. Kondisi ini menyebabkan koordinasi antar SKPD terkait masih lemah. Pembangunan kepariwisataan yang bersifat multi-sektor membutuhkan kapasitas kelembagaan yang mampu mengkoordinasikan peran, tugas dan tanggung jawab seluruh lembaga/SKPD terkait untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Politik anggaran dalam penganggaran pembiayaan pembangunan daerah juga belum mendukung Kepariwisataan sebagai sektor unggulan. Hal ini menyebabkan beberapa fungsi Dinas pada aspek pengaturan, pembinaan, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian kepariwisataan belum dapat dijalankan secara efektif. 2. Lemahnya keterpaduan program-program pengembangan kepariwisataan antar pemangku kepentingan. Terdapat banyak lembaga pemerintah dan non-pemerintah seperti LSM mempunyai program-program kerja yang mendukung pengembangan kepariwisataan Wakatobi baik dari aspek destinasi, industri, pemasaran maupun kelembagaan. Namun demikian program-program tersebut umumnya dijalankan secara sektoral sehingga kurang efektif dalam mengakselerasi capaian-capaian sesuai dengan tujuan dan sasaran program. Hal ini disebabkan karena pemangku kepentingan utama yaitu TNW, Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi Sultra dan Kabupaten Wakatobi), LSM dan organisasi non-pemerintah lainnya belum bekerja dalam sebuah jejaring (networking) atau membangun aliansi strategis berbasis isu untuk saling menguatkan satu sama lainnya.
26
3. Regulasi untuk mendukung pembangunan kepariwisataan berkelanjutan masih belum lengkap. Pembangunan kepariwisataan membutuhkan dukungan regulasi yang adaptif terhadap perkembangan dan dinamika kepariwisataan tersebut. Demikian juga beberapa permasalahan lingkungan diantaranya bersumber dari belum lengkapnya perangkat regulasi. Dalam rangka pelestarian nilai-nilai sosial dan budaya, pengembangan kepariwisataan juga perlu dukungan regulasi agar pengembangan pariwisata senantiasa selaras nilai-nilai budaya lokal. Sebagai contoh konkritnya, pembangunan fasilitas pariwisata baik dalam tata letak maupun arsitekturnya yang bersifat tangible sanat penting didorong mengakomodasi nilai-nilai, filosofi dan langgam arsitektur lokal. Secara keseluruhan aspek pembangunan kepariwisataan diharapkan dapat secara optimal menjadi wahana memperkuat jati diri atau identitas daerah serta pelestarian budaya. 4. Penegakan hukum belum kuat dan konsisten.Keterbatas kapasitas aparatur dan belum kuatnya komitmen supremasi hukum menyebabkan penegakan hukum belum terimplementasi secara optimal. Kelemahan ini menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan berlangsung dan cenderung memburuk yang dapat menjadi feedback negatif terhadap kepariwisataan. Seiring dengan perkembangan dan dinamika pembangunan serta kehidupan sosial masyarakat maka dibutuhkan komitmen dan implementasi penegakan hukum yang kuat dan konsisten. Penegakan hukum yang kuat dan konsisten untuk memastikan bahwa seluruh tananan kehidupan dan dinamika pembangunan berjalan sesuai koridor hukum sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
2.4. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan. Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan. Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sharpley, 2002). Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, digariskan dengan tegas bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara 27
sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup di masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025, dimana terdapat empat hal pokok yang menjadi perhatian dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, yakni aspek: destinasi; industri; pemasaran dan promosi; serta kelembagaan. Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Perencanan dan pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggulan daya tarik destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik & Teguh, 2012). Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic, Kenjic, & Zrnic, 2010). Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking policies) dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat meningkat kualitasnya (Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008). Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut berkelanjutan secara ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial? Menurut Edgell, S.L,. (2006) jawaban singkatnya adalah sangat mungkin, karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap keberlanjutan masyarakat lokal. Edgell, selanjutnya menguraikan bahwa lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, 28
yakni: (1) memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan, memelihara proses-preses ekologi essential, dan melakukan konservasi terhadap natural heritage dan keragaman biologi; (2) menghargai keaslian nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional, berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan manfaat sosial ekonomi secara layak kepada semua pemangku kepentingan dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya. Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal, pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment, 2003). Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: (1) meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosialbudaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan (5) perbaikan serta inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata (European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik & Teguh, 2012). Berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Wakatobi dengan berbagai manfaat di bidang ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan hidup bagi 29
masyarakat lokal dimana pembangunan tersebut dilaksanakan, maka diperlukan sejumlah kebijakan pemerintah yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Kepariwisataan. Peraturan yang akan disusun diharapkan dapat mencarikan solusi terhadap berbagai isu penting mengenai kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi.
30
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Kondisi Hukum yang ada. Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kabupaten Wakatobi, serta untuk mengetahui posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundangundangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan. Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan perundang-undangan dan rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini Matrik 1. Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan. No 1
Peraturan PerundangUndangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Rumusan Normanya Pasal 18 ayat 6 Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan perundangundangan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
31
Analisis Pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi mempunyai wewenang untuk menetapkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi. Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Wakatobi, mempunyai wewenang untuk menetapkan Peratuuran Daerah
2 Undang-Undang Pasal 5 Nomor 26 Tahun (5)Penataan ruang 2007 tentang berdasarkan nilai Penataan Ruang. strategis kawasan terdiri ( Lembaran atas penataan ruang Negara Republik kawasan strategis Indonesia Tahun nasional, penataan 2007 Nomor 68, ruang kawasan strategis Tambahan provinsi, dan penataan Lembaran Negara ruang kawasan strategis Republik kabupaten/kota. Indonesia Nomor 4725). Pasal 11 (1)Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam enyelenggaraan penataan ruang meliputi: 1. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; 2. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; 3. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan d.kerja sama penataan ruang antar kabupaten/ kota. (2)Wewenang pemerintah 32
tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kabupaten Wakatobi. Berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Wakatobi mempunyai kewenangan untuk melakukan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten. Kegiatan penyusunan RIPPARDA merupakan satu kegiatan yang selaras dengan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten.
daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: A. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/ kota; B.pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan C.pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. (3)Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan: a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. (4)Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman 33
bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya. (5)Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota: a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. (6) Dalam hal pemerintah daerah abupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3
Undang-Undang Pasal 55 Nomor 27 Tahun (1)Pengelolaan Wilayah 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Pengelolaan Kecil pada tingkat Wilayah Pesisir kabupaten/kota dan Pulau-pulau dilaksanakan secara Kecil ( Lembaran terpadu yang Negara Republik dikoordinasi oleh dinas Indonesia Tahun yang membidangi 2007 Nomor 84, kelautan dan perikanan. Tambahan (2)Jenis kegiatan yang 34
Berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 ini, kabupaten mempunyai wewenang untuk mengelola wilayah pesisir yang dilaksanakan secara terpadu oleh dinas
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
dikoordinasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil terpadu; b. perencanaan antarinstansi, dunia usaha, dan masyarakat; c. program akreditasi skala kabupaten/kota; d. rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta e. penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil skala kabupaten/kota. (3)Pelaksanaan kegiatan sebagaimana imaksud pada ayat (2) diatur oleh bupati/walikota. Pasal 8 (1)Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, 35
yang membidanginya.
Undang-Undang No 10 Tahun 2009, memberi kewenangan kepada daerah kabupaten untuk menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Indonesia Nomor 4966 )
dan rencana pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota.
induk
(2)Pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional Pasal 9 (1)Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2)Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi. (3)Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. (4)Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. (5)Rencana induk pembangunan kepariwisataan 36
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan. Pasal 29 Pemerintah provinsi berwenang: 1) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi; 2) mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya; 3) melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata; 4) menetapkan destinasi pariwisata provinsi; 5) menetapkan daya tarik wisata provinsi; 6) memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya; 7) memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi; dan 8) mengalokasikan anggaran kepariwisataan. 5
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Pasal 63 a) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: 37
Salah satu kewenangan Kabupaten yakni menetapkan kebijakan tingkat kabupaten berkaitan dengan pengelolan
Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 ).
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan; j. melaksanakan standar pelayanan minimal; k. melaksanakan 38
lingkungan hidup, pembentukan RIPPARDA Kabupaten, berkaitan dengan kebijakan tingkat kabupaten yang substansi materinya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Dengan demikian UndangUndang Pengelolan Lingkungan Hidup relevan dirujuk sebagai ketentuan mengingat dalam Ranperda RIPPARDA yang akan dibentuk.
kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota. 6
Undang-Undang Pasal 12 Nomor 23 Tahun (1). ... 2014 tentang (2). ... Pemerintahan (3)Urusan Pemerintahan Daerah Pilihan sebagaimana (Lembaran dimaksud dalam Pasal Negara Republik 11 ayat (1) meliputi: Indonesia Tahun a. kelautan dan 2014 Nomor 244, perikanan; Tambahan b. pariwisata; 39
Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).
7
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168 ).
c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
Pasal 64
Salah satu daya tarik Kabupaten Wakatobi dari sektor Pariwisata. Pariwisata bagi Pemerintah kabupaten Wakatobi, merupakan salah satu penghasil devisa, dengan demikian salah satu urusan pilihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi adalah urusan pilihan bidang pariwisata. Dengan demikian Undang-undang ini relevan dipergunakan sebagai salah satu ketentuan mengingat dari rencana pembentukan RIPPARDA Kabupaten Wakatobi. Cagar Budaya pemanfaatannya dapat untuk kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau Bupati mempunyai pariwisata. kewenangan 40
Pasal 67 (1)Setiap orang dilarang memindahkan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya. Pasal 72 (1)Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian. (2)Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a. Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih; b.gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau c.bupati/wali kota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah 41
berkaitan dengan pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan pariwisata. Berdasarkan ketentuan ini, maka UU No 11 Tahun 2010, relevan dirujuk sebagai salah satu ketentuan mengingat dalam rancangan perda yang akan dibentuk.
kabupaten/kota. Pasal 109 (2)Setiap orang yang tanpa izin gubernur atau izin bupati/wali kota, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
8
Peraturan Pasal 7 Berdasarkan Pemerintah ketentuan Pasal 7 Nomor 38 Tahun 1. ... ayat (4) Peraturan 2007 tentang 2. ... Pemerintah Nomor Pembagian (3)Urusan pilihan 38 Tahun 2007 Urusan sebagaimana dimaksud telah ditentukan, Pemerintahan dalam Pasal 6 ayat (2) Pariwisata sebagai antara adalah urusan salah satu urusan Pemerintah, pemerintahan yang pilihan. Pemerintahan secara nyata ada dan Dalam menentukan Daerah Provinsi berpotensi untuk Pariwisata sebagai dan meningkatkan urusan pilihan, Pemerintahan kesejahteraan salah satu Daerah masyarakat sesuai kewenangan yang Kabupaten/Kota dengan dimiliki oleh (Lembaran kondisi,kekhasan dan pemerintahan Negara Republik potensi unggulan daerah daerah kabuapten Indonesia Tahun yang bersangkutan. adalah penetapan 2007 Nomor 82, (4)Urusan pilihan kebijakan skala Tambahan sebagaimana dimaksud kabupaten bidang Lembaran pada ayat (3) meliputi: pariwisata. Negara Republik a.kelautan dan Dengan demikian, Indonesia Nomor perikanan; Peraturan 4737); b. pertanian; Pemerintah Nomor c. kehutanan; 38 tahun 2007, d.energi dan sumber relevan 42
daya mineral; e.pariwisata; f. industri; g. perdagangan;dan h. ketransmigrasian. (5).Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tanggal 9 Juli 2007, pada hurup Q diatur pembagian urusan pemerintahan bidang pariwisata. Kewenangan Pemerintahan Daerah kabupaten diatur sebagai berikut : (3) ... (4) ... (5) Sub Bidang Kebijakan Bidang Kepariwisataan. a. Kebijakan 1. Pelaksanaan kebijakan nasional,provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten: 1. RIPP Kabupaten. 2. ... 3. ... 4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten. 4.... 5.Sub Bidang Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. 1. Rencana induk pengembangan 43
dipergunakan sebagai salah satu ketentuan mengingat dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang RIPPARDA Kepariwisataan.
9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.( (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional /provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten. Pasal 4 (1)RIPPARNAS menjadi pedoman bagi pembangunan kepariwisataan nasional. (2)RIPPARNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi. (3)RIPPARNAS dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota. 44
RIPPARNAS dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dipergunakan menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten. Persoalan hukum yang ditemui sampai saat dilakukan kajian ini, Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Tenggara, sampai saat ini belum ditetapkan. Dengan demikian Rencana Induk Pembangunan
10
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21).
Pasal 153 (1)Peraturan zonasi kabupaten/kota merupakan penjabaran dari ketentuan umum peraturan zonasi yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. (2)Peraturan zonasi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota. (3)Peraturan zonasi kabupaten/kota merupakan dasar dalam pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota. Pasal 154 (1)Peraturan zonasi kabupaten/kota memuat zonasi pada setiap zona peruntukan. (2)Zona peruntukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu bagian wilayah atau 45
Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Tenggara, tidak dipergunakan ketentuan mengingat dari Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menetapkan peraturan daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang relevan dirujuk sebagai salah satu ketentuan mengingat dalam Perda RIPPARDA Kabupaten Wakatobi yang akan dibentuk.
kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang untuk mengembankan suatu fungsi tertentu sesuai dengan karakteristik zonanya. (3)Ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ketentuan kegiatan dan penggunaan ruang yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan yang tidak diperbolehkan; b. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang paling sedikit terdiri atas: 1. koefisien dasar bangunan maksimum; b. koefisien lantai bangunan maksimum; c. ketinggian bangunan maksimum; dan d. koefisien dasar hijau minimum. c. ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai kelengkapan dasar fisik lingkungan yang mendukung berfungsinya zona secara optimal; dan a. ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang pada kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana, 46
kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan kawasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4)Selain ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam wilayah kota memuat ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan perkembangan penggunaan lahan campuran, sektor informal, dan pertumbuhan gedung pencakar langit. 11
Peraturan Pasal 4 Pemerintah (1)RIPPARNAS menjadi Nomor 50 Tahun pedoman bagi 2011 tentang pembangunan Rencana Induk kepariwisataan Pembangunan nasional. Kepariwisataan (2)RIPPARNAS Nasional Tahun sebagaimana dimaksud 2010-2025 pada ayat (1) menjadi (Lembaran pedoman penyusunan Negara Republik Rencana Induk Indonesia Tahun Pembangunan 2011 Nomor 125, Kepariwisataan Tambahan Provinsi. Lembaran Negara (3)RIPPARNAS dan Republik Rencana Induk Indonesia Nomor Pembangunan 4562). Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota.
47
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Kabupaten Wakatobi mempunyai wewenang untuk menetapkan Peraturan Daerah berkaitan dengan RIPPARDA Kabupaten.
12
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285).
Pasal 1 Angka 1 Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan. Angka 2 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. Angka 3 Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut UKLUPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. Angka 4 48
Usaha pariwisata merupakan usaha yang menyediakan barang dan /atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Dalam kasus-kasus tertentu, berkaitan dengan usaha pariwisata wajib memperhatikan dan memenuhi Izin Lingkungan. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan relevan dipergunakan sebagai salah satu ketentuan mengingat dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. yang akan dibentuk.
Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup.
19
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi 20122032.(Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 1).
Pasal 2 Penataan ruang Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan tatanan ruang wilayah Kabupaten dalam rangka optimalisasi potensi sumberdaya alam berbasis kelautan-perikanan dan pariwisata secara berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing kabupaten dengan tetap mempertimbangkan daya dukung, daya tampung, karakteristik fisik wilayah dan kelestarian sumberdaya alam.
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi searah dan sejalan dengan Rancangan RIPPARDA Kabupaten Badung yang akan dibentuk.
3.2.Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan. Penelusuran terhadap beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi, yang memuat kondisi hukum terkait dengan kepariwisataan, sejalan dan searah dengan RIPPARDA Kabupaten Wakatobi dapat ditampilkan pada matrik dibawah ini.
49
Matrik 2.Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan. No 1
2
Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kabuten Wakatobi Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Wakatobi (Lembaran Daerah kabupaten Wakatobi Tahun 2008 Nomor 3 Seri D)
Peraturan Daerah Kabuten Wakatobi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi Tahun 20122032(Lembaran Daerah kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor 12 )
Rumusan Normanya Pasal 6 (4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pertanian; c. kehutanan; d. energi dan sumber daya mineral; e. pariwisata; f. industri; g. perdagangan; dan h. ketransmigrasian. (5) Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Wakatobi. Pasal 2 Penataan ruang Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan tatanan ruang wilayah Kabupaten dalam rangka optimalisasi potensi sumberdaya alam berbasis kelautanperikanan dan pariwisata secara berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing kabupaten dengan tetap mempertimbangkan daya dukung, daya tampung, karakteristik fisik wilayah dan kelestarian sumberdaya alam. 50
Analisis Peraturan Daerah Kabuten Wakatobi Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Wakatobi, sejalan dengan RIPPDA yang akan dibentuk.
Tujuan dari Peraturan Daerah Kabuten Wakatobi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012-2032, relevan dengan RIPPDA Wakatobi yang akan dibentuk.
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 4.1.Landasan Filosofis Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 menentukan landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pertimbangan filosofis sebagaimana dimaksudkan diatas, pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yag dibentuk mengacu pada prinsip pembangunan kepariwisataan. Dalam rangka mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayah Kabupaten Wakatobi, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi yang merupakan salah satu Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten Wakatobi, sekaligus sebagai pelaku pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan daerah merumuskan visi“Terwujudnya Wakatobi sebagai Tujuan Ekowisata Dunia 2016”. Dalam visi tersebut terdapat tiga kata kunci (tujuan, ekowisata, dunia) yang masing-masing bermakna sebagai berikut. Tujuan
: Menjadikan Wakatobi sebagai daerah tujuan wisata yang paling diminati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara Ekowisata : Tempat wisata yang nyaman, aman, indah dan ramah lingkungan. Dunia : Wakatobi semakin dikenal diseluruh penjuru dunia sebagai daerah tujuan wisata. Untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan di atas, dengan berpedoman pada tugas pokok dan fungsi dinas yang berperan sebagai regulator dan fasilitator dalam pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang transparan dan akuntabel dengan mengutamakan kepentingan masyarakat, maka dirumuskan langkah-langkah strategis dalam bentuk misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi tahun 20122016 adalah sebagai berikut: 51
1) Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan akuntabel. 2) Meningkatkan pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal di berbagai bidang. 3) Mengembangkan pengelolaan pariwisata ekologi (ecotourism) yang berbasiskemaritiman, budaya dan masyarakat yang bedaya saing global. 4) Meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Untuk melaksanakan misi tersebut, dilakukan dengan cara: a. Penguatan moral lingkungan dan etik sosial secara holistik dalam pembangunan kepariwisataan sebagai destinasi ekowisata bahari dalam memperkuat daya saing destinasi; b. Pengembangan perwilayahan destinasi pariwisata berbasis pada keunggulan potensi kepariwisataan secara merata dan berkeadilan; c. Pengembangan aksesibilitas dan konektivitas destinasi secara internal dan eksternal dalam rangka memperkuat kedudukan, fungsi dan peran destinasi sebagai kawasan strategis pariwisata nasional berkelas dunia; d. Pengembangan industri pariwisata berdaya saing, kridibel, sumberdaya manusia pariwisata berkualitas dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya; e. Penguatan struktur industri melalui pembentukan rantai nilai yang berkualitas antar usaha pariwisata termasuk dengan usaha-usaha masyarakat setempat memperkuat backward linkages terhadap produkproduk dan input-input lokal melalui kemitraan; f. Penguatan citra pariwisata sebagai destinasi ekowisata dengan kemasan pariwisata modern yang disertai dengan pengembangan model pemasaran pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism marketing) baik dalam skala industri maupun destinasi; g. Pengembangan pemasaran pariwsiata yang sinergis, berkesinambungan dan bertanggung jawab melalui jejaring antar pemangku kepentingan berorientasi pada kebersamaan (mutuality); h. Pengembangan kebijakan dan regulasi beserta mekanisme operasional yang efektif dan efisien dalam mendorong terwujudnya kepariwisataan berkelanjutan dan berbasis masyarakat; dan i. Pengembangan dan penguatan organisasi serta SDM pemerintah dan non-pemerintah yang disertai dengan kemitraan yang kuat antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan. Adapun sasaran pembangunan kepariwisataan daerah Wakatobi, diharapkan mencapai sasaran sebagai berikut: a. Terkendalinya pembangunan pariwisata di wilayah Kabupaten Wakatobi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. 52
b.
Terciptanya keserasian antara kawasan atau zonasi lindung dan kawasan– kawasan atau zonasi pemanfaatan atau budidaya. c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di wilayah kabupaten dalam upaya pengoptimalan sumber daya kepariwisataan. d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah Kabupaten Wakatobi. e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan dalam kerangka investasi pariwisata. Untuk mencapai sasaran seperti yang dicanangkan diatas, perlu ditetapkan arah pembangunan kepariwisataan daerah. Arah pembangunan kepariwisataan Kabupaten Wakatobi diarahkan pada Prinsip-Prinsip Ecotourism, yakni: a. Memiliki fokus natural area yang memungkinkan wisatawan memiliki peluang untuk menikmati alam secara personal. b. Menyediakan interprestasi atau jasa pendidikan yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam sehingga mereka menjadi mengerti, lebih mampu berapresiasi serta lebih menikmati. c. Kegiatan yang terbaik yang dapat dilakukan dalam rangka keberlanjutan secara ekologis. d. Memberikan kontribusi terhadap konservasi alam dan warisan budaya. e. Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat local. f. Respek serta peka terhadap nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Wakatobi. g. Secara konsisten memenuhi harapan konsumen. h. Dipasarkan serta dipromosikan dengan jujur serta akurat sehingga kenyataannya sesuai dengan harapan. 4.2. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Fakta empiris yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan dituangkan dalam tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, dan masyarakat Kabupaten Wakatobi pada khususnya. Tujuan Pembangunan Kepariwisataan Daerah meliputi: a. Destinasi Pariwisata.
53
1) Menjaga integritas ekosistem alam baik di perairan maupun di daratan dan pelestarian aset-aset budaya serta keunggulan banding dan saing destinasi ekowisata berkelas dunia. 2) Mengembangkan dan menata struktur kepariwisataan serta perwilayahan destinasi pariwisata sebagai pusat-pusat kegiatan pariwisata yang berkualitas, berwawasan lingkungan dan berorientasi keadilan sosial dalam satu kesatuan yang utuh dengan pengelolaan TN Wakatobi. 3) Mengembangkan aksesibilitas dan konektivitas internal dan eksternal dalam rangka kemudahan pencapaian, pergerakan dan penghantaran wisatawan ke seluruh destinasi pariwisata. b. Industri Pariwisata. 1) Meningkatkan kontribusi kepariwisataan bagi perekonomian nasional dan daerah yang semakin nyata serta kesejahteraan masyarakat setempat sebagai tuan rumah seiring dengan semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. 2) Meningkatkan nilai-nilai sosial, budaya, kearifan lokal dan memajukan kebudayaan daerah dalam kepariwisataan serta meningkatkan keberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat. 3) Meningkatkan keragaman dan daya saing usaha pariwisata yang disertai dengan semakin tingginya kepedulian/tanggung jawab dunia usaha terhadap lingkungan alam dan sosial budaya. 4) Menguatkan struktur industri pariwisata dengan terciptanya keterkaitan yang erat antar usaha pariwisata, dan antara usaha pariwisata dengan produk-produk lokal dalam suatu rantai nilai yang berkualitas dan saling menguntungkan dalam pola kemitraan yang semakin kuat. c. Pemasaran Pariwisata. 1) Mengembangkan kewirausahaan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan dan mendorong tumbuhnya usaha mikro dan kecil dalam kepariwisataan termasuk semakin terhormatnya produk-produk kreatif berbasis budaya lokal dalam kepariwisataan. 2) Meningkatkan dan memantapkan citra pariwisata sesuai dengan karakter destinasi ekowisata berbasis masyarakat. 3) Mengoptimalkan dan mengintensifkan pasar utama ekoturis baik domestik maupun mancanegara serta mengembangkan pasar baru dan pasar berkembang yang didukung pemasaran dan promosi pariwisata inovatif secara terpadu, sinergis, berkesinambungan dan bertanggung jawab.
54
d. Kelembagaan Pariwisata. 1) Mengembangkan kebijakan dan regulasi termasuk perizinan usaha pariwisata yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat. 2) Memperkuat kelembagaan organisasi pemerintah dan nonpemerintah termasuk kelembagaan koordinatif, peran dan tugas masing-masing serta mekanisme koordinasi antar pemangku kepentingan. 3) Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pariwisata baik SDM pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat. 4) Meningkatkan keterpaduan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, antar sektor, antar pemangku kepentingan, antar sains dan manajemen dalam pembangunan kepariwisataan. 4.3. Landasan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 menentukan landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Persoalan hukum tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten Wakatobi yang akan dibentuk, dari sisi landasan yuridis berhubungan dengan kekosongan hukum dan peraturannya memang sama sekali belum ada, dimana Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten Wakatobi diharapkan berfungsi sebagai rencana induk kepariwisataan, belum terbentuk sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3).
55
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. Naskah Akademik ini berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan dibentuk. Sasaran yang akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan ini, terdiri atas tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan daerah Kabupaten Wakatobi. Adapun kebijakan dan strategi pembangunan kepariwisataan daerah yang akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah di Kabupaten Wakatobi ini meliputi: a. Kebijakan berkaitan dengan destinasi pariwisata, kebijakan pengaturannya meliputi: 1) Pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata yang mempunyai keterpaduan yang kuat dengan pengembangan sektor-sektor terkait. 2) Pemantapan, penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing; 3) Peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan. 4) Pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk menunjang pergerakan internal dan konektivitas antar daya tarik wisata di dalam wilayah kabupaten. 5) Pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland khususnya di Provinsi Sultra. 6) Pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan. 7) Pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten. 8) Pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten. 56
9) Pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisata. 10) Pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro. 11) Pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing. 12) Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata. 13) Pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antarusaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait. 14) Peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. 15) Peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait. 16) Peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menggalakkan promosi investasi. Untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan tersebut, ada sekitar dua puluh tiga (23) strategi yang dirumuskan. Strategi-strategi tersebut dikelompokan untuk untuk memudahkan dalam merumuskan norma pengaturannya, diantaranya: 1) Strategi pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata. 2) Strategi pemantapan daya tarik wisata alam. 3) Strategi penataan daya tarik wisata alam. 4) Stategi perintisan daya tarik wisata alam. 5) Strategi pemantapan daya tarik wisata budaya. 6) Strategi penataan daya tarik wisata budaya. 7) Stategi pemantapan daya tarik wisata buatan. 8) Strategi penataan daya tarik wisata buatan. 9) Strategi perintisan daya tarik wisata buatan. 10) Strategi peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan. 11) Startegi pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi. 12) Strategi pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland.
57
13)
14)
15)
16) 17)
18) 19)
20)
21)
22) 23)
Strategi pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan. Strategi pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten.. Strategi pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan. Strategi pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisata. Strategi pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro. Strategi pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing. Strategi pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata. Strategi pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait. Strategi peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. Strategi peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait. Strategi peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menggalakkan promosi investasi.
Ruang lingkup untuk setiap strategi, dirumuskan sebagai berikut: 1. Ruang lingkup strategi pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata meliputi: a. menetapkan pusat pelayanan primer dan sekunder pariwisata secara terpadu dengan pengembangan pusat kegiatan wilayah dan pusatpusat pelayanan kawasan dalam struktur ruang wilayah kabupaten. b. menetapkan Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK), Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Kabupaten dan Kawasan Strategis Pariwisata (KSP) Kabupaten sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki masing-masing kawasan secara seimbang di antara pulau-pulau utama. 58
c. memperkuat keterkaitan antar-KPP, antar-KSP, serta antara KPP dan KSP kabupaten melalui peningkatan keterhubungan, pengengembangan dan pengendalian investasi pariwisata dan pengembangan produk serta paket-paket wisata. 2. Stategi pemantapan daya tarik wisata alam, ruang lingkupnya meliputi: a. meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata alam yang telah berkembang sehingga dapat diandalkan menjadi keunggulan saing bagi destinasi. b. mengendalikan aktivitas wisata alam dalam batas-batas daya dukung. c. Meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati (ekosistem, jenis, dan genetik) yang menjadi daya tarik wisata agar integritas lingkungan tetap terjaga kelestariannya. 3. Strategi penataan daya tarik wisata alam, ruang lingkupnya meliputi: a. menata pola tapak daya tarik wisata alam secara harmonis guna mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata dan konservasi/perlindungan lingkungan. b. mengelola daya tarik wisata alam secara inovatif guna mengoptimalkan fungsi-fungsi pemanfaatan dan konservasi/perlindungan lingkungan. 4. Strategi perintisan daya tarik wisata alam, ruang lingkup meliputi : a. Menggali unsur-unsur keunikan alam untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru. b. Mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata dengan memasukkan daya tarik wisata baru dalam paket-paket perjalanan wisata. 5. Strategi pemantapan daya tarik wisata budaya, ruang lingkup meliputi: a. meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata budaya yang telah berkembang sehingga dapat diandalkan sebagai komplementer keunggulan saing bagi destinasi selain daya tarik wisata alam. b. meningkatkan upaya konservasi warisan budaya (situs/cagar budaya dan peninggalan sejarah) dalam kepariwisataan. 6. Strategi penataan daya tarik wisata budaya, ruang lingkup meliputi: a. menata pola tapak daya tarik wisata budaya secara harmonis guna mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata dan konservasi/perlindungan warisan budaya. b. mengelola daya tarik wisata budaya yang inovatif guna mengoptimalkan fungsi-fungsi pemanfaatan dan konservasi/perlindungan warisan budaya. 7. Strategi pemantapan daya tarik wisata buatan ruang lingkup meliputi : a. meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata buatan sehingga dapat diandalkan sebagai komplementer keunggulan saing bagi destinasi selain daya tarik wisata alam. 59
b. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan daya tarik wisata buatan. 8. Strategi penataan daya tarik wisata buatan ruang lingkup meliputi: a. menata pola tapak daya tarik wisata buatan secara harmonis guna mengintegrasikan fungsinya sebagai daya tarik wisata dan pemanfaatan tadisional. b. pengelolaan daya tarik wisata buatan yang inovatif berbasis masyarakat. 9. Strategi perintisan daya tarik wisata buatan ruang lingkupnya meliputi : a. penggalian unsur-unsur keunikan bangunan-bangunan, pola perkampungan dan elemen-elemen arsitektur tradisional untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru. b. mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata buatan dengan memasukkannya kedalam paket-paket perjalanan wisata. 10. Strategi peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan ruang lingkupnya meliputi: a. mengembangkan keterpaduan antar daya tarik wisata alam, budaya dan buatan dalam paket-paket perjalanan wisata. b. memperkuat konektivitas antar daya tarik wisata alam, budaya dan buatan dalam struktur kepariwisataan kabupaten. 11. Startegi pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi meliputi: a. mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan yang menghubungkan antar pusat-pusat pelayanan pariwisata dan/atau kawasan pariwisata, antara pusat pelayanan pariwisata dan/atau kawasan pariwisata dengan daya tarik wisata dan antar daya tarik wisata. b. mengembangkan dan meningkatkan pedestrian di pusat-pusat pelayanan pariwisata. c. mengembangkan dan meningkatkan dermaga di pulau-pulau kecil. 12. Strategi pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland meliputi : a. mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan kolektor primer dan jalan lingkungan primer di masing-masing pulau. b. mengembangkan kapasitas Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Penyeberangan serta penataannya sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan melalui jalur laut. c. akselerasi pembangunan marina di Wangi-Wangi dan pengembangan dermaga-dermaga khusus pariwisata di masing-masing kawasan pariwisata secara representatif. d. optimalisasi Pelabuhan Laut sebagai pelabuhan kapal cruise dalam rangka meningkatkan intensitas kunjungan kapal cruise. 60
e. mengembangkan kapasitas Bandara Matahora sebagai pintu gerbang utama masuknya wisatawan melalui udara. f. meningkatkan kelas atau status dan/atau mengintegrasikan fungsi Bandara Maranggi di Pulau Tomia sebagai Bandara umum disertai dengan pengembangan kapasitas bandara. 13. Strategi pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan meliputi: a. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi darat sebagai sarana pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan internal sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar dengan memprioritaskan usaha transportasi kerakyatan. b. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi laut dan intensitas pelayaran angkutan niaga dan penyeberangan. c. Meningkatkan ketersediaan sarana pelayaran rakyat dan sarana pelayaran angkutan pariwisata internal sesuai kebutuhan. d. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan sarana trasportasi darat. e. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan sarana angkutan laut internal termasuk pembinaan pelayaran rakyat dan pelayaran angkutan pariwisata internal yang dikelola masyarakat. f. Memfasilitasi penyediaan fasilitas keselamatan pelayaran rakyat dan pelayaran angkutan pariwisata yang dikelola masyarakat. 14. Strategi pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan meliputi : a. Meningkatkan kapasitas ketersediaan air bersih yang mendukung pengembangan pariwisata melalui optimalisasi pengembangan sumber-sumber air yang ada dan pengembangan jaringannya. b. Meningkatan kapasitas ketersediaan energi listrik beserta jaringannya dengan mengembangkan bauran sumber-sumber energi listrik. c. Mengembangkan dan meningkatkan prasarana dan sarana persampahan disertai usaha pengelolaan sampah secara terpadu dan berbasis masyarakat. d. Mengembangkan instalasi pengelolaan air limbah secara komunal di pusat-pusat pelayanan pariwisata. e. Mengembangkan prasarana dan sarana mitigasi bencana dengan mengoptimalkan potensi dan kearifan lokal.
61
15. Strategi pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan meliputi : a. Mengembangkan lembaga pendidikan tinggi setingkat Sekolah Tinggi atau Akademi di bidang pariwisata di bawah Kementerian Pariwisata. b. Mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata. c. Mengembangkan fasilitas kesehatan dan keselamatan wisata selam;dan d. Mengembangkan dan menata pasar-pasar tradisional sekaligus sebagai daya tarik wisata. 16. Strategi pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisata dilakukan dengan mengembangkan dan meningkatkan ketersediaan fasilitas pariwisata dalam kerangka investasi pariwisata berdasarkan perwilayahan pariwisata. 17. Strategi pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro meliputi : a. Mengembangkan fasilitas pariwisata dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, pengembangan desa wisata dan kampung-kampung wisata. b. Mengembangkan pasar seni dan kios-kios cinderamata di pusatpusat pelayanan pariwisata, daya tarik wisata dan desa-desa wisata. 18. Strategi pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing meliputi: a. Mengembangkan fasilitas penunjang pengusahaan dan peningkatan daya tarik wisata yang semakin berkualitas. b. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk menunjang pengusahaan daya tarik wisata dalam rangka pemberdayaan masyarakat. c. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan wisata. d. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan perlindungan lingkungan. 19. Strategi pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata meliputi : a. Memetakan secara partisipatif potensi dan kebutuhan penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan. 62
b. Memberdayakan potensi dan kapasitas masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan. c. Mengembangkan kelembagaan dan menguatkan kelembagaan masyarakat yang telah ada guna mendorong kapasitas dan peran masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan. d. Mengembangkan potensi sumber daya lokal yang ada di masyarakat dan di lingkungan sekitarnya sebagai daya tarik wisata berbasis masyarakat lokal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata; e. Mengembangkan potensi sumber daya lokal melalui desa wisata dan kampung-kampung wisata. f. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan sebagai komponen pendukung produk wisata. g. Meningkatkan kemampuan berusaha pelaku usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil yang dikembangkan masyarakat lokal. h. Mengembangkan regulasi untuk mendorong pemberian insentif dan kemudahan bagi pengembangan industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. i. Mengembangkan regulasi untuk pelindungan terhadap kelangsungan industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. 20. Strategi pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait meliputi : a. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan kemitraan antar usaha kepariwisataan dengan industri kecil/kerajinan dan usaha mikro dan kecil. b. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan dan layanan jasa kepariwisataan yang dikembangkan usaha mikro dan kecil dalam memenuhi standar pasar. c. Meningkatkan kualitas produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam memenuhi standar pasar pariwisata. 21. Strategi peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil meliputi : a. Memperkuat akses dan jejaring industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil dengan sumber potensi pasar dan informasi global. b. Meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam upaya memperluas akses pasar terhadap 63
produk industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. c. Insentif dan kemudahan terhadap akses permodalan bagi usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil dalam pengembangan usaha. d. Bantuan permodalan untuk mendukung perkembangan industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. 22. Strategi peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait meliputi: a. Mengintensifkan komunikasi-informasi-edukasi (KIE) kepada masyarakat guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang sadar wisata dalam mendukung pengembangan kepariwisataan. b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan sadar wisata bagi penciptaan iklim kondusif kepariwisataan setempat melalui kepeloporan tokoh-tokoh setempat. c. Melibatkan masyarakat, tokoh dan generasi muda dalam menciptakan iklim kondusif kepariwisataan. d. Membangun dan meningkatkan kualitas jejaring media dalam mendukung upaya peningkatan kesadaran dan peran masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata. e. Mengembangkan komunikasi-informasi-edukasi mengenai kepariwisataan kepada masyarakat dan sekolah-sekolah. f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas serta penyebaran informasi pariwisata nusantara kepada masyarakat untuk menumbuhkan wawasan kepariwisataan. 23. Strategi peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan serta menggalakkan promosi investasi meliputi : a. Meningkatkan pelayanan perizinan sesuai dengan SOP yang ada melalui pengembangan kapasitas birokrasi. b. Menyempurnakann regulasi yang menghambat investasi. c. Menyediakan informasi peluang-peluang investasi yang mudah diakses. d. Meningkatkan promosi investasi di bidang pariwisata di dalam negeri dan di luar negeri. b. Industri Pariwisata. Ruang lingkup perumusan kebijakan pembangunan industri pariwisata yang akan dituangkan dalam pengaturan norma hukumnya meliputi: a. Peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata. 64
b. Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan lokal. c. Pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat. d. Penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan. Agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, perlu dirumuskan beberapa strategi, seperti: 1. Strategi peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata, meliputi : a. Mengembangkan manajemen atraksi termasuk manajemen berbasis konservasi (alam dan budaya dengan keterlibatan masyarakat di dalamnya). b. Mengembangkan, melengkapi dan memperbaiki kualitas interpretasi daya tarik wisata. c. Menguatkan kualitas produk wisata. d. Meningkatkan pengemasan produk wisata dan diversitas keragaman paket-paket produk wisata. 2. Startegi peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan local meliputi : a. Mendorong dan memfasilitasi penerapan meningkatkan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata melalui penyiapan perangkat-perangkatnya. b. Mengembangkan skema fasilitasi untuk mendorong pertumbuhan usaha pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah. c. Memberikan insentif untuk menggunakan produk dan tema yang memiliki keunikan dan kekhasan lokal. 3. Startegi pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dilakukan dengan menguatkan kerja sama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat. 4. Strategi penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan meliputi : 65
a. Menerapkan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata yang mengacu pada prinsip-prinsip dan standar internasional dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya local. b. Menerapkan sistem yang aman dan tepercaya dalam transaksi bisnis secara elektronik. c. Mendukung penjaminan usaha melalui regulasi dan fasilitasi; d. Mendorong tumbuhnya ekonomi biru (blue economy) di sepanjang mata rantai usaha pariwisata. e. Mengembangkan manajemen usaha pariwisata yang peduli terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. c. Pemasaran Pariwisata. Kebijakan-kebijakan pembangunan pemasaran pariwisata yang dapat atau relevan dirumuskan dalam draft rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk meliputi : 1) Pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata. 2) Pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing. 3) Pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu, sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan. 4) Penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar negeri. Untuk mencapai sasaran dari kebijakan-kebijakan tersebut, strategi yang relevan dirumuskan meliputi: 1. Strategi pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata meliputi : a. Meningkatkan pemasaran dan promosi untuk mendukung penciptaan destinasi ekowisata. b. Meningkatkan akselerasi pemasaran dan promosi pada pasar utama, baru, dan berkembang. c. Mengembangkan pemasaran dan promosi untuk meningkatkan pertumbuhan segmen ceruk pasar. d. Mengembangkan promosi berbasis tema ekowisata. e. Meningkatkan pemasaran wisata konvensi, insentif dan pameran yang bertemakan ekowisata. 2. Strategi pemantapan citra kepariwistaan secara berkelanjutan termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing meliputi : a. Meningkatkan dan memantapkan pemosisian citra pariwisata termasuk pemosisian citra pariwisata di antara para pesaing 66
didasarkan kekuatan keberadaan TNW sebagai Cagar Biosfer dan ikon utama kepariwisataan kabupaten yang telah dikenal luas baik secara nasional maupun di dunia internasional serta kekuatan keanekaragaman hayati lainnya, budaya dan keramahtamahan penduduk. b. Meingkatkan promosi dan diplomasi guna mengkomunikasikan bahwa Wakatobi sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing. 3. Strategi pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu, sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan meliputi: a. Meningkatkan keterpaduan yang sinergis promosi antar pemangku kepentingan. b. Mengembangkan berbagai strategi pemasaran berbasis pada pemasaran yang bertanggung jawab, yang menekankan tanggung jawab terhadap masyarakat, sumber daya lingkungan dan wisatawan. 4. Strategi penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar negeri meliputi : a. Akselerasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah dan mengoptimalkan peran dan fungsi Forum Tata Kelola. b. Menguatkan dukungan, koordinasi dan sinkronisasi terhadap Badan Promosi Pariwisata Daerah dan Forum Tata Kelola. c. Menguatkan fungsi dan peran promosi pariwisata di dalam negeri. d. Menguatkan fungsi dan keberadaan promosi pariwisata di luar negeri melalui fasilitasi program kemitraan antara pelaku promosi pariwisata Indonesia di dalam negeri dengan pelaku promosi pariwisata Indonesia yang berada di luar negeri. d. Kelembagaan Pariwisata. Kebijakan-kebijakan pembangunan kelembagaan pariwisata yang dapat atau relevan dirumuskan dalam draft rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk meliputi : 1) Penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi). 2) Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. 3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan. Untuk mencapai sasaran dari kebijakan-kebijakan tersebut, strategi yang relevan dirumuskan meliputi 1. Strategi penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan
67
yang menangani bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi) meliputi: a. Menguatkan tata kelola organisasi kepariwisataan dalam struktur pemerintahan kabupaten. b. Menguatkan kemampuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program pembangunan kepariwisataan. c. Menguatkan mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi program pembangunan kepariwisataan baik secara internal SKPD yang membidangi pariwisata maupun lintas SKPD. d. Menguatkan struktur dan fungsi organisasi bidang-bidang. e. Memfasilitasi terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah. f. Menguatkan kemitraan antara Badan Promosi Pariwisata Indonesia atau Daerah dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam pembangunan kepariwisataan kabupaten. g. Menguatkan struktur dan fungsi Forum Tata Kelola. h. Menguatkan kemitraan antara Forum Tata Kelola dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam pembangunan kepariwisataan kabupaten. 2. Strategi peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat meliputi : a. Meningkatkan kemampuan dan profesionalitas pegawai bidang kepariwisataan; b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan dan latihan bidang kepariwisataan; c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang memiliki sertifikasi kompetensi; d. Meningkatkan kemampuan kewirausahaan di bidang kepariwisataan e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan kepariwisataan yang terakreditasi; f. Mengembangkan lembaga pendidikan bidang kepariwisataan baik di tingkat SMK maupun pendidikan tinggi;dan g. Mengembangkan lembaga pelatihan dan kursus bidang kepariwisataan. 3. Strategi penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan meliputi : a. Meningkatkan penelitian dalam rangka memperkuat pengembangan desinasi berbasis ekowisata, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan investasi melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, LSM, lembaga riset, TNW dan lembagalembaga internasional. b. Meningkatkan penelitian dalam rangka pengembangan daya tarik wisata, pengembangan pasar baru dan pengembangan produk, pengembangan dan penguatan citra pariwisata, peningkatan daya 68
saing produk pariwisata, penguatan industri pariwisata, pengembangan kemitraan usaha pariwisata, penciptaan kredibilitas bisnis, pengembangan tanggung jawab terhadap lingkungan, pengembangan organisasi kepariwisataan dan pengembangan SDM pariwisata. 5.2.Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. Ruang lingkup materi muatan, arah dan jangkauan pengaturan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi mencakup: 1. Ketentuan umum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II menentukan ketentuan umum tersebut sebagai berikut: a. Ketentuan Umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa. b. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. c. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. d. Ketentuan umum berisi: 1. batasan pengertian atau definisi. 2. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasanpengertian atau definisi. 3. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. a. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. b. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut. c. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan
69
Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur. d. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi. e. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. f. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. g. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran. h. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a) pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus. b) pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu. c) pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan diatas, maka ketentuan umum yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah ini, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Daerah adalah Kabupaten Wakatobi. Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Kabupaten Wakatobi. Bupati adalah Bupati Wakatobi. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wakatobi 5. Satuan Kerja Perangkat Daerah selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Kabupaten Wakatobi. 6. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang selanjutnya disebut RIPPARDA adalah dokumen perencanaan 70
pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode tahun 2016 sampai dengan tahun 2029. 7. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha. 8. Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan pengendalian, dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang dikehendaki. 9. Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat Daya Tarik Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya Kepariwisataan. 10. Destinasi Pariwisata Kabupaten yang selanjutnya disingkat DPK adalah Destinasi Pariwisata yang berskala Kabupaten. 11. Kawasan Strategis Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat KSPD adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata kabupaten yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. 12. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. 13. Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata. 14. Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya. 15. Fasilitas Umum adalah sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian.
71
16. Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi Pariwisata. 17. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran, kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memajukan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan melalui kegiatan Kepariwisataan. 18. Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya. 19. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha Pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata. 20. Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang Kepariwisataan. 21. Organisasi Kepariwisataan adalah institusi baik di lingkungan Pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan Kepariwisataan. 22. Sumber Daya Manusia Pariwisata yang selanjutnya disingkat SDM Pariwisata adalah tenaga kerja yang pekerjaannya terkait secara langsung dan tidak langsung dengan kegiatan Kepariwisataan. 23. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. 24. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan dan pengelolaan Kepariwisataan. 25. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. 26. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. 27. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. 72
28. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata. 29. Perwilayahan pembangunan kepariwisataan daerah adalah hasil pewilayahan pembangunan kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk kawasan pariwisata daerah, kawasan pembangunan pariwisata daerah, dan kawasan strategis pariwisata daerah. 30. Kawasan pariwisata daerah adalah kawasan pariwisata yang merupakan keterpaduan sistemik antar kawasan pembangunan pariwisata dalam skala daerah. 31. Kawasan pembangunan pariwisata daerah adalah kawasan geografis di dalam destinasi pariwisata yang memilikitema tertentu, dengan komponen daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. 32. Infrastruktur pariwisata adalah semua fasilitas yang memungkinkan semua proses dan kegiatan kepariwisataan dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat memudahkan wisatawan memenuhi kebutuhannya. 33. Ekowisata adalah pariwisata yang bertanggungjawab di daerah alami atau yang dikelola dengan kaidah alam, memeliki komitmen terhadap kelestarian lingkungan, memberikan manfaat ekonomi terutama kepada masyarakat lokal dan diselenggarakan sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat 34. Ekowisata berbasis masyarakat adalah usaha ekowisata yang dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat setempat yang memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. 35. Standarisasi kepariwisataan adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak guna menjamin kualitas dan kredibilitas usaha di bidang kepariwisataan. 36. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja. 37. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.
73
b. Materi Pokok Yang Diatur. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II menentukan materi pokok yang akan diatur disusun dengan berpedoman pada kriteria sebagai berikut: 1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. 2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. 3. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 4. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. 5. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. Berdasarkan pada pedoman kriteria diatas, materi pokok yang diatur dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten Wakatobi terdiri dari :
No Bab Tentang 1 I Ketentuan Umum 2 II Pembangunan Kepariwisataan Daerah 3 III Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Pariwisata Daerah 4 IV Rencana Pembangunan Perwilayahan Pariwisata 5 V Rencana Program Pembangunan Pariwisata 6 VI Indikasi Program Pembangunan Kepariwsaitaan 7 VII Pengawasan Dan Pengendalian 8 VIII Ketentuan Penutup
Pasal 1 2- 12 13 - 43 44 - 56 57 - 60 61 62 63
RIPPARDA Kabupaten Wakatobi mempunyai kedudukan sebagai berikut : 1. Merupakan penjabaran dari visi dan misi pembangunan Daerah serta kebijakan pembangunan yang berlaku. 2. Sebagai dasar hukum dan dasar pertimbangan di dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah dan Panjang Bidang Pariwisata dan Rencana Strategis Dinas Pariwisata Daerah. 3. Sebagai dasar perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian pembangunan kepariwisataan Daerah. 74
c. Ketentuan Sanksi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II khususnya berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana menentukan jika diperlukan. Hal ini berarti pengaturan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah tidak bersifat mutlak, tergantung dari kebutuhan. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang akan dibentuk tidak memerlukan pengaturan tentang sanksi pidana. d. Ketentuan Peralihan. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum. b.menjamin kepastian hukum. c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. d.mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Berdasarkan kajian pada landasan yuridis, ditemukan bahwa belum ada pengaturan berupa Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. Dengan tidak adanya peraturan daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan, maka tidak ada kajian berupa penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Daerah lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru. Dengan demikian, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah ini tidak mengatur tentang Ketentuan Peralihan.
75
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan kajian yang telah di lakukan, dapat ditarik kesimpulan; a. Bahwa Kabupaten Wakatobi belum mempunyai Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. b. Berdasarkan keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek empiris, maka perlu disusun Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. c. Dasar kewenangan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah diatur dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur, Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah juga ditentukan secara tegas dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. 6.2. Saran 1. Menyiapkan segera Peraturan Daerah yang mengatur tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. 2. Menyiapkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang Rencana jangka pendek, Rencana jangka menengah dan Rencana jangka panjang beserta Peraturan Bupati sebagai bentuk pendelegasian kewenangan mengatur. 3. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah,sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Pasal 354 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2014, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk : a. konsultasi publik. b. Musyawarah. c. Kemitraan. d. penyampaian aspirasi. e. Pengawasan. f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
76
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. http. Retrieved December 15, 2013, from www.ret.gov.au/tourism /decuments/tourism industri development_ best_practice_destination _manag ement-planning_framework. Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hukum normative” analisis penelitian philosophical dan dogmatical”, dalam Soelistyowati Irianto dan Sidharta, eds., 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. C.F.G Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2, Alumni, Bandung. Damanik, J., & Teguh, F. 2012. Manajemen Destinasi Pariwisata: Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: Kepel Press. Edgell, D. L., Allen, M. D., Smith, G., & Swanson, J. R. 2008. Tourism Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow. Great Britain: Elsevier Inc. Edgell, S. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the Future. Binghamton, NY: The Haworth Hospitality Press. European Communities, 2003. A Manual for Evaluating the Quality Performance of Tourist Destinations and Services. Enterprise DG Publication, Luxembourg. Kim, D. K., & Lee, T. H. 2004. Public and Private Partnership for Facilitating Tourism Investment in the APEC Member Economies. Seoul: Korea Asia-Pacific Economic Coorporation. Osmanovic, J., Kenjic, V., & Zrnic, R. 2010. Destination Management: Concensus for Competitiveness. Tourism & Hospitality Management Organisation Conference Proceedings. Peter Mahmud Interpratama Offset.
Marzuki;
2005,
Penelitian
Hukum,
Jakarta
LAMPIRAN 1. KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN PARIWISATA (RIPPARDA) KABUPATEN WAKATOBI.
77
LAMIRAN KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN PARIWISATA (RIPPARDA) KABUPATEN WAKATOBI.
BUPATI WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR ... TAHUN…. TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2016-2025
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WAKATOBI, Menimbang
:
a.
b.
bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggungjawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan daerah; bahwa Kabupaten Wakatobi merupakan kabupaten kepulauan berbasis budaya maritime dan kawasan konservasi yang memiliki potensi dalam pengembangan kepariwisataan dan telah ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional yang diharapkan dapat menjadi lokomotif dan penggerak pembangunan kepariwisataan yang tidak hanya penting bagi Kabupaten Wakatobi sendiri tetapi juga dalam skala Provinsi Sulawesi Tenggara dan nasional;
78
Mengingat
:
c.
untuk melaksanakan ketentuan pasal 9 ayat (3) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi Tahun 2016-2025;
1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Wakatobi di Propinsi Sulawesi Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 144 tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4339 );
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5262).
79
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN WAKATOBI dan BUPATI WAKATOBI
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2016-2025
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
Daerah adalah Kabupaten Wakatobi. Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Bupati adalah Bupati Wakatobi. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wakatobi Satuan Kerja Perangkat Daerah selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Kabupaten Wakatobi. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang selanjutnya disebut RIPPARDA adalah dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode tahun 2016 sampai dengan tahun 2025. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha. Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan 80
9.
10. 11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
pengendalian, dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang dikehendaki. Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat Daya Tarik Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya Kepariwisataan. Destinasi Pariwisata Kabupaten yang selanjutnya disingkat DPK adalah Destinasi Pariwisata yang berskala Kabupaten. Kawasan Strategis Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat KSPD adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata kabupaten yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Perwilayahan Pembangunan DPD adalah hasil perwilayahan Pembangunan Kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPD, dan KSPD. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata. Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya. Fasilitas Umum adalah sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian. Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi Pariwisata. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran, kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memajukan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan melalui kegiatan Kepariwisataan. Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha Pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
81
21. Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang Kepariwisataan. 22. Organisasi Kepariwisataan adalah institusi baik di lingkungan Pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan Kepariwisataan. 23. Sumber Daya Manusia Pariwisata yang selanjutnya disingkat SDM Pariwisata adalah tenaga kerja yang pekerjaannya terkait secara langsung dan tidak langsung dengan kegiatan Kepariwisataan. 24. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. 25. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan dan pengelolaan Kepariwisataan. 26. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. 27. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. 28. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. 29. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata. 30. Perwilayahan pembangunan kepariwisataan daerah adalah hasil pewilayahan pembangunan kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk kawasan pariwisata daerah, kawasan pembangunan pariwisata daerah, dan kawasan strategis pariwisata daerah. 31. Kawasan pariwisata daerah adalah kawasan pariwisata yang merupakan keterpaduan sistemik antar kawasan pembangunan pariwisata dalam skala daerah. 32. Kawasan pembangunan pariwisata daerah adalah kawasan geografis di dalam destinasi pariwisata yang memilikitema tertentu, dengan komponen daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. 33. Infrastruktur pariwisata adalah semua fasilitas yang memungkinkan semua proses dan kegiatan kepariwisataan dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat memudahkan wisatawan memenuhi kebutuhannya. 34. Ekowisata adalah pariwisata yang bertanggungjawab di daerah alami atau yang dikelola dengan kaidah alam, memeliki komitmen terhadap kelestarian lingkungan, memberikan manfaat ekonomi terutama kepada masyarakat lokal dan diselenggarakan sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat 82
35. Ekowisata berbasis masyarakat adalah usaha ekowisata yang dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat setempat yang memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. 36. Standarisasi kepariwisataan adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak guna menjamin kualitas dan kredibilitas usaha di bidang kepariwisataan. 37. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja. 38. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.
BAB II PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH Pasal 2 (1)
Pembangunan kepariwisataan daerah meliputi: a. Destinasi pariwisata; b. Pemasaran pariwisata; c. Industri pariwisata; dan d. Kelembagaan kepariwisataan.
(2)
Pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan RIPPARDA.
Pasal 3 RIPPARDA memuat : a. b. c. d. e.
Visi; Misi; Tujuan; Sasaran; dan Arah pembangunan kepariwisataan daerah dalam kurun waktu tahun 2016 sampai dengan tahun 2025.
83
Pasal 4 Visi pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a adalah “Terwujudnya Wakatobi sebagai destinasi ekowisata bahari berkelas dunia dan berbasis masyarakat.
Pasal 5 Misi pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b diwujudkan dengan: a. Penguatan moral lingkungan dan etika sosial secara holistik dalam pembangunan kepariwisataan sebagai destinasi ekowisata bahari dalam memperkuat daya saing destinasi; b. Pengembangan perwilayahan destinasi pariwisata berbasis pada keunggulan potensi kepariwisataan secara merata dan berkeadilan; c. Pengembangan aksesibilitas dan konektivitas destinasi pariwisata secara internal dan eksternal dalam rangka memperkuat kedudukan, fungsi dan peran destinasi sebagai kawasan strategis pariwisata nasional berkelas dunia; d. Pengembangan industri pariwisata berdaya saing, kridibel, sumberdaya manusia pariwisata berkualitas dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya; e. Penguatan struktur industri melalui pembentukan rantai nilai yang berkualitas antar usaha pariwisata termasuk dengan usaha-usaha masyarakat setempat memperkuat backward linkages terhadap produkproduk dan input-input lokal melalui kemitraan; f. Penguatan citra pariwisata sebagai destinasi ekowisata dengan kemasan pariwisata modern yang disertai dengan pengembangan model pemasaran pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism marketing) baik dalam skala industri maupun destinasi; g. Pengembangan pemasaran pariwsiata yang sinergis, berkesinambungan dan bertanggung jawab melalui jejaring antar pemangku kepentingan berorientasi pada kebersamaan (mutuality); h. Pengembangann kebijakan dan regulasi beserta mekanisme operasional yang efektif dan efisien dalam mendorong terwujudnya kepariwisataan berkelanjutan dan berbasis masyarakat; dan i. Pengembangan dan penguatan organisasi serta SDM pemerintah dan nonpemerintah yang disertai dengan kemitraan yang kuat antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan.
84
Pasal 6 Tujuan pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c meliputi: a. Menjaga integritas ekosistem alam baik di perairan maupun di daratan dan pelestarian aset-aset budaya serta keunggulan banding dan saing destinasi ekowisata berkelas dunia; b. Mengembangkan dan menata struktur kepariwisataan serta perwilayahan destinasi pariwisata sebagai pusat-pusat kegiatan pariwisata yang berkualitas, berwawasan lingkungan dan berorientasi keadilan sosial dalam satu kesatuan yang utuh dengan pengelolaan TN Wakatobi; c. Mengembangkan aksesibilitas dan konektivitas internal dan eksternal dalam rangka kemudahan pencapaian, pergerakan dan penghantaran wisatawan ke seluruh destinasi pariwisata; d. Meningkatkan kontribusi kepariwisataan bagi perekonomian nasional dan daerah yang semakin nyata serta kesejahteraan masyarakat setempat sebagai tuan rumah seiring dengan semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan; e. Meningkatkan nilai-nilai sosial, budaya, kearifan lokal dan memajukan kebudayaan daerah dalam kepariwisataan serta meningkatkan keberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat; f. Meningkatkan keragaman dan daya saing usaha pariwisata yang disertai dengan semakin tingginya kepedulian/tanggung jawab dunia usaha terhadap lingkungan alam dan sosial budaya; g. Menguatkan struktur industri pariwisata dengan terciptanya keterkaitan yang erat antar usaha pariwisata, dan antara usaha pariwisata dengan produk-produk lokal dalam suatu rantai nilai yang berkualitas dan saling menguntungkan dalam pola kemitraan yang semakin kuat; h. Mengembangkan kewirausahaan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan dan mendorong tumbuhnya usaha mikro dan kecil dalam kepariwisataan termasuk semakin terhormatnya produk-produk kreatif berbasis budaya lokal dalam kepariwisataan; i. Meningkatkan dan memantapkan citra pariwisata sesuai dengan karakter destinasi ekowisata berbasis masyarakat; j. Mengoptimalkan dan mengintensifkan pasar utama ekoturis baik domestik maupun mancanegara serta mengembangkan pasar baru dan pasar berkembang yang didukung pemasaran dan promosi pariwisata inovatif secara terpadu, sinergis, berkesinambungan dan bertanggung jawab; k. Mengembangkan kebijakan dan regulasi termasuk perizinan usaha pariwisata yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat; l. Memperkuat kelembagaan organisasi pemerintah dan non-pemerintah termasuk kelembagaan koordinatif, peran dan tugas masing-masing serta mekanisme koordinasi antar pemangku kepentingan; 85
m. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pariwisata baik SDM pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat; dan n. Meningkatkan keterpaduan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, antar sektor, antar pemangku kepentingan, antar sains dan manajemen dalam pembangunan kepariwisataan.
Pasal 7 Sasaran pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf d adalah : a. Terkendalinya pembangunan pariwisata di wilayah Kabupaten Wakatobi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat; b. Terciptanya keserasian antara kawasan atau zonasi lindung dan kawasan – kawasan atau zonasi pemanfaatan atau budidaya; c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di wilayah kabupaten dalam upaya pengoptimalan sumber daya kepariwisataan; d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah Kabupaten Wakatobi; dan e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan dalam kerangka investasi pariwisata.
Pasal 8 Arah pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 3 huruf e meliputi pola pengembangan kepariwisataan Wakatobi diarahkan pada Prinsip-Prinsip Ecotourism, yakni: i. j.
k. l. m. n. o. p.
Memiliki fokus 'natural area' yang memungkinkan wisatawan memiliki peluang untuk menikmati alam secara personal; Menyediakan interprestasi atau jasa pendidikan yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam sehingga mereka menjadi mengerti, lebih mampu berapresiasi serta lebih menikmati; Kegiatan yang terbaik yang dapat dilakukan dalam rangka keberlanjutan secara ekologis; Memberikan kontribusi terhadap konservasialam dan warisan budaya; Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat local; Respek serta peka terhadap nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Wakatobi; Secara konsisten memenuhi harapan konsumen;dan Dipasarkan serta dipromosikan dengan jujur serta akurat sehingga kenyataannya sesuai dengan harapan.
86
Pasal 9 Pelaksanaan RIPPARDA diselenggarakan secara terpadu oleh pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. Pasal 10 (1)
RIPPARDA menjadi pedoman bagi pembangunan kepariwisataan daerah.
(2)
RIPPARDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi salah satu pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Kebijakan Umum Anggaran, Prioritas Plafon Anggaran Sementara, selanjutnya dijadikan pedoman dalam penyusunan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait. Pasal 11
Indikator sasaran pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 12 Arah pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi dasar arah kebijakan, strategi, dan indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah dalam kurun waktu tahun 2016 sampai dengan tahun 2025 yang meliputi Pembangunan: a. b. c. d.
Destinasi pariwisata daerah; Industri pariwisata daerah; Pemasarapariwisata;dan Kelembagaan kepariwisataan; BAB III KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PARIWISATA DAERAH Bagian Kesatu Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Daerah Pasal 13
Kebijakan pembangunan destinasi pariwisata daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a meliputi: a.
b.
Pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata yang mempunyai keterpaduan yang kuat dengan pengembangan sektor-sektor terkait; Pemantapan, penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing; 87
c. d.
e.
f.
g.
h.
i. j. k. l.
m. n.
o. p.
Peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan; Pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk menunjang pergerakan internal dan konektivitas antar daya tarik wisata di dalam wilayah kabupaten; Pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland khususnya di Provinsi Sultra; Pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan; Pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten; Pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten; Pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisata; Pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro; Pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing; Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata; Pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antarusaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait; Peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil; Peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait; dan Peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menggalakkan promosi investasi. Bagian Kedua Strategi Pembangunan Destinasi Pariwisata Pasal 14
Stategi pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a meliputi :
88
a. Menetapkan pusat pelayanan primer dan sekunder pariwisata secara terpadu dengan pengembangan Pusat Kegiatan Wilayah dan Pusat-Pusat Pelayanan Kawasan dalam struktur ruang wilayah kabupaten; b. Menetapkan Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK), Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Kabupaten dan Kawasan Strategis Pariwisata (KSP) Kabupaten sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki masingmasing kawasan secara seimbang di antara pulau-pulau utama; dan c. Memperkuat keterkaitan antar-KPP, antar-KSP, serta antara KPP dan KSP kabupaten melalui peningkatan keterhubungan, pengengembangan dan pengendalian investasi pariwisata dan pengembangan produk serta paketpaket wisata. Pasal 15 (1) Stategi pemantapan daya tarik wisata alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata alam yang telah berkembang sehingga dapat diandalkan menjadi keunggulan saing bagi destinasi; b. Mengendalikan aktivitas wisata alam dalam batas-batas daya dukung;dan c. Meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati (ekosistem, jenis, dan genetik) yang menjadi daya tarik wisata agar integritas lingkungan tetap terjaga kelestariannya. (2) Stategi penataan daya tarik wisata alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Menata pola tapak daya tarik wisata alam secara harmonis guna mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata dan konservasi/perlindungan lingkungan; dan b. Mengelola daya tarik wisata alam secara inovatif guna mengoptimalkan fungsi-fungsi pemanfaatan dan konservasi/perlindungan lingkungan. (3) Stategi perintisan daya tarik wisata alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Menggali unsur-unsur keunikan alam untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru; dan b. Mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata dengan memasukkan daya tarik wisata baru dalam paket-paket perjalanan wisata.
89
(4) Strategi pemantapan daya tarik wisata budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata budaya yang telah berkembang sehingga dapat diandalkan sebagai komplementer keunggulan saing bagi destinasi selain daya tarik wisata alam; dan b. Meningkatkan upaya konservasi warisan budaya (situs/cagar budaya dan peninggalan sejarah) dalam kepariwisataan. (5) Strategi penataan daya tarik wisata budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Menata pola tapak daya tarik wisata budaya secara harmonis guna mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata dan konservasi/perlindungan warisan budaya;dan b. Mengelola daya tarik wisata budaya yang inovatif guna mengoptimalkan fungsi-fungsi pemanfaatan dan konservasi/perlindungan warisan budaya. (6) Stategi pemantapan daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : c. Meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata buatan sehingga dapat diandalkan sebagai komplementer keunggulan saing bagi destinasi selain daya tarik wisata alam; dan d. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan daya tarik wisata buatan. (7)Strategi penataan daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Menata pola tapak daya tarik wisata buatan secara harmonis guna mengintegrasikan fungsinya sebagai daya tarik wisata dan pemanfaatan tadisional; dan b. Pengelolaan daya tarik wisata buatan yang inovatif berbasis masyarakat. (8) Strategi perintisan daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. Penggalian unsur-unsur keunikan bangunan-bangunan, pola perkampungan dan elemen-elemen arsitektur tradisional untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru; dan b. Mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata buatan dengan memasukkannya kedalam paket-paket perjalanan wisata.
90
Pasal 16 Strategi peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, meliputi : a. Mengembangkan keterpaduan antar daya tarik wisata alam, budaya dan buatan dalam paket-paket perjalanan wisata; dan b. Memperkuat konektivitas antar daya tarik wisata alam, budaya dan buatan dalam struktur kepariwisataan kabupaten. Pasal 17 Startegi pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d meliputi: a. Mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan yang menghubungkan antar pusat-pusat pelayanan pariwisata dan/atau kawasan pariwisata, antara pusat pelayanan pariwisata dan/atau kawasan pariwisata dengan daya tarik wisata dan antar daya tarik wisata; b. Mengembangkan dan meningkatkan pedestrian di pusat-pusat pelayanan pariwisata; dan c. Mengembangkan dan meningkatkan dermaga di pulau-pulau kecil. Pasal 18 Strategi pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland sebagai dimaksud dalam Pasal 13 huruf e meliputi : a. Mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan kolektor primer dan jalan lingkungan primer di masing-masing pulau; b. Mengembangkan kapasitas Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Penyeberangan serta penataannya sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan melalui jalur laut; c. Akselerasi pembangunan marina di Wangi-Wangi dan pengembangan dermaga-dermaga khusus pariwisata di masing-masing kawasan pariwisata secara representatif; d. Optimalisasi Pelabuhan Laut sebagai pelabuhan kapal cruise dalam rangka meningkatkan intensitas kunjungan kapal cruise; e. Mengembangkan kapasitas Bandara Matahora sebagai pintu gerbang utama masuknya wisatawan melalui udara; dan f. Meningkatkan kelas/status dan/atau mengintegrasikan fungsi Bandara Maranggi di Pulau Tomia sebagai Bandara umum disertai dengan pengembangan kapasitas bandara.
91
Pasal 19 Strategi pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f meliputi : a. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi darat sebagai sarana pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan internal sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar dengan memprioritaskan usaha transportasi kerakyatan; b. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi laut dan intensitas pelayaran angkutan niaga dan penyeberangan; c. Meningkatkan ketersediaan sarana pelayaran rakyat dan sarana pelayaran angkutan pariwisata internal sesuai kebutuhan; d. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan sarana trasportasi darat; e. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan sarana angkutan laut internal termasuk pembinaan pelayaran rakyat dan pelayaran angkutan pariwisata internal yang dikelola masyarakat; dan f. Memfasilitasi penyediaan fasilitas keselamatan pelayaran rakyat dan pelayaran angkutan pariwisata yang dikelola masyarakat.
Pasal 20 Strategi pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupatensebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf g meliputi : a. Meningkatkan kapasitas ketersediaan air bersih yang mendukung pengembangan pariwisata melalui optimalisasi pengembangan sumber-sumber air yang ada dan pengembangan jaringannya; b. Meningkatan kapasitas ketersediaan energi listrik beserta jaringannya dengan mengembangkan bauran sumber-sumber energi listrik; c. Mengembangkan dan meningkatkan prasarana dan sarana persampahan disertai usaha pengelolaan sampah secara terpadu dan berbasis masyarakat; d. Mengembangkan instalasi pengelolaan air limbah secara komunal di pusatpusat pelayanan pariwisata;dan e. Mengembangkan prasarana dan sarana mitigasi bencana dengan mengoptimalkan potensi dan kearifan lokal.
92
Pasal 21 Strategi pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupatensebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h meliputi : a. Mengembangkan lembaga pendidikan tinggi setingkat Sekolah Tinggi atau Akademi di bidang pariwisata di bawah Kementerian Pariwisata; b. Mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata; c. Mengembangkan fasilitas kesehatan dan keselamatan wisata selam;dan d. Mengembangkan dan menata pasar-pasar tradisional sekaligus sebagai daya tarik wisata. Pasal 22 Strategi pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisatasebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dilakukan dengan mengembangkan dan meningkatkan ketersediaan fasilitas pariwisata dalam kerangka investasi pariwisata berdasarkan perwilayahan pariwisata. Pasal 23 Strategi pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikrosebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf j meliputi : a. Mengembangkan fasilitas pariwisata dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, pengembangan desa wisata dan kampung-kampung wisata; dan b. Mengembangkan pasar seni dan kios-kios cinderamata di pusat-pusat pelayanan pariwisata, daya tarik wisata dan desa-desa wisata. Pasal 24 Strategi pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saingsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf k meliputi: a. Mengembangkan fasilitas penunjang pengusahaan dan peningkatan daya tarik wisata yang berkualitas; b. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk menunjang pengusahaan daya tarik wisata dalam rangka pemberdayaan masyarakat; c. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan wisata; dan d. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan perlindungan lingkungan.
93
Pasal 25 Strategi pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisatasebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf l meliputi : a. Memetakan secara partisipatif potensi dan kebutuhan penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan; b. Memberdayakan potensi dan kapasitas masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan; c. Mengembangkan kelembagaan dan menguatkan kelembagaan masyarakat yang telah ada guna mendorong kapasitas dan peran masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan; d. Mengembangkan potensi sumber daya lokal yang ada di masyarakat dan di lingkungan sekitarnya sebagai daya tarik wisata berbasis masyarakat lokal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata; e. Mengembangkan potensi sumber daya lokal melalui desa wisata dan kampung-kampung wisata; f. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan sebagai komponen pendukung produk wisata ; g. Meningkatkan kemampuan berusaha pelaku usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil yang dikembangkan masyarakat lokal; h. Mengembangkan regulasi untuk mendorong pemberian insentif dan kemudahan bagi pengembangan industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil; dan i. Mengembangkan regulasi untuk pelindungan terhadap kelangsungan industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. Pasal 26 Strategi pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkaitsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf m meliputi : a. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan kemitraan antar usaha kepariwisataan dengan industri kecil/kerajinan dan usaha mikro dan kecil; b. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan dan layanan jasa kepariwisataan yang dikembangkan usaha mikro dan kecil dalam memenuhi standar pasar; dan c. Meningkatkan kualitas produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam memenuhi standar pasar pariwisata.
94
Pasal 27 Strategi peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecilsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf n meliputi : a. Memperkuat akses dan jejaring industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil dengan sumber potensi pasar dan informasi global; b. Meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam upaya memperluas akses pasar terhadap produk industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil; c. Insentif dan kemudahan terhadap akses permodalan bagi usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil dalam pengembangan usaha; dan d. Bantuan permodalan untuk mendukung perkembangan industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil. Pasal 28 Strategi peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta pemangku kepentingan terkaitsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf o meliputi: a. Mengintensifkan komunikasi-informasi-edukasi (KIE) kepada masyarakat guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang sadar wisata dalam mendukung pengembangan kepariwisataan; b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan sadar wisata bagi penciptaan iklim kondusif kepariwisataan setempat melalui kepeloporan tokoh-tokoh setempat; c. Melibatkan masyarakat, tokoh dan generasi muda dalam menciptakan iklim kondusif kepariwisataan; d. Membangun dan meningkatkan kualitas jejaring media dalam mendukung upaya peningkatan kesadaran dan peran masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata; e. Mengembangkan komunikasi-informasi-edukasi mengenai kepariwisataan kepada masyarakat dan sekolah-sekolah;dan f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas serta penyebaran informasi pariwisata nusantara kepada masyarakat untuk menumbuhkan wawasan kepariwisataan. Pasal 29 Strategi peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menggalakkan promosi investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf p meliputi : 95
a. Meningkatkan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan yang ada melalui pengembangan kapasitas birokrasi; b. Menyempurnakann regulasi yang menghambat investasi; c. Menyediakan informasi peluang-peluang investasi yang mudah diakses; dan d. Meningkatkan promosi investasi di bidang pariwisata di dalam negeri dan di luar negeri. Bagian Ketiga Kebijakan Pembangunan Industri Pariwisata Daerah Pasal 30 Kebijakan pembangunan industri pariwisata daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, meliputi: a. Peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata b. Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan lokal; c. Pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat;dan d. Penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan. Bagian Keempat Strategi Pembangunan Industri Pariwisata Daerah
Pasal 31 Strategi peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a meliputi : a. Mengembangkan manajemen atraksi termasuk manajemen berbasis konservasi (alam dan budaya dengan keterlibatan masyarakat di dalamnya); b. Mengembangkan, melengkapi dan memperbaiki kualitas interpretasi daya tarik wisata; c. Menguatkan kualitas produk wisata;dan
96
d. Meningkatkan pengemasan produk wisata dan diversitas keragaman paketpaket produk wisata. Pasal 32
Startegi Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan localsebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b meliputi : a. Mendorong dan memfasilitasi penerapan meningkatkan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata melalui penyiapan perangkat-perangkatnya; b. Mengembangkan skema fasilitasi untuk mendorong pertumbuhan usaha pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah; dan c. Memberikan insentif untuk menggunakan produk dan tema yang memiliki keunikan dan kekhasan lokal. Pasal 33 Startegi pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c dilakukan dengan menguatkan kerja sama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat. Pasal 34 Strategi penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 huruf d meliputi : a. Menerapkan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata yang mengacu pada prinsip-prinsip dan standar internasional dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal; b. Menerapkan sistem yang aman dan tepercaya dalam transaksi bisnis secara elektronik; c. Mendukung penjaminan usaha melalui regulasi dan fasilitasi; d. Mendorong tumbuhnya ekonomi biru (blue economy) di sepanjang mata rantai usaha pariwisata; dan e. Mengembangkan manajemen usaha pariwisata yang peduli terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.
97
Bagian Kelima Kebijakan Pembangunan Pemasaran Pariwisata Pasal 35 Kebijakan pembangunan pemasaran pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c meliputi : a. Pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata; b. Pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing; c. Pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu, sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan; dan d. Penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar negeri
Bagian Keenam Strategi Pembangunan Pemasaran Pariwisata Pasal 36 Strategi pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a meliputi : a. Meningkatkan pemasaran dan promosi untuk mendukung penciptaan destinasi ekowisata; b. Meningkatkan akselerasi pemasaran dan promosi pada pasar utama, baru, dan berkembang; c. Mengembangkan pemasaran dan promosi untuk meningkatkan pertumbuhan segmen ceruk pasar; d. Mengembangkan promosi berbasis tema ekowisata; dan e. Meningkatkan pemasaran wisata konvensi, insentif dan pameran yang bertemakan ekowisata. Pasal 37 Strategi pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b meliputi : 98
a. Meningkatkan dan memantapkan pemosisian citra pariwisata termasuk pemosisian citra pariwisata di antara para pesaing didasarkan kekuatan keberadaan TNW sebagai Cagar Biosfer dan ikon utama kepariwisataan kabupaten yang telah dikenal luas baik secara nasional maupun di dunia internasional serta kekuatan keanekaragaman hayati lainnya, budaya dan keramah-tamahan penduduk; dan b. Meingkatkan promosi dan diplomasi guna mengkomunikasikan bahwa Wakatobi sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing.
Pasal 38 Strategi pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu, sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan sebagai dimaksud dalam Pasal 35 huruf c meliputi : a. Meningkatkan keterpaduan yang sinergis promosi antar pemangku kepentingan; dan b. Mengembangkan berbagai strategi pemasaran berbasis pada pemasaran yang bertanggung jawab, yang menekankan tanggung jawab terhadap masyarakat, sumber daya lingkungan dan wisatawan. Pasal 39 Strategi penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar negerisebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d meliputi : a. Akselerasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah dan mengoptimalkan peran dan fungsi Forum Tata Kelola; b. Menguatkan dukungan, koordinasi dan sinkronisasi terhadap Badan Promosi Pariwisata Daerah dan Forum Tata Kelola; c. Menguatkan fungsi dan peran promosi pariwisata di dalam negeri;dan d. Menguatkan fungsi dan keberadaan promosi pariwisata di luar negeri melalui fasilitasi program kemitraan antara pelaku promosi pariwisata Indonesia di dalam negeri dengan pelaku promosi pariwisata Indonesia yang berada di luar negeri.
99
Bagian Ketujuh Kebijakan Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan Pasal 40
Kebijakan pembangunan kelembagaan kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d meliputi: a. Penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani bidangbidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi); b. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; dan c. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan. Bagian Kedelapan Strategi Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan Pasal 41 Strategi penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a meliputi: a. Menguatkan tata kelola organisasi kepariwisataan dalam struktur pemerintahan kabupaten; b. Menguatkan kemampuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program pembangunan kepariwisataan; c. Menguatkan mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi program pembangunan kepariwisataan baik secara internal SKPD yang membidangi pariwisata maupun lintas SKPD; d. Menguatkan struktur dan fungsi organisasi bidang-bidang; e. Memfasilitasi terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah; f. Menguatkan kemitraan antara Badan Promosi Pariwisata Indonesia atau Daerah dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam pembangunan kepariwisataan kabupaten; g. Menguatkan struktur dan fungsi Forum Tata Kelola; dan h. Menguatkan kemitraan antara Forum Tata Kelola dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam pembangunan kepariwisataan kabupaten.
100
Pasal 42 Strategi peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan pemerintah, dunia usaha dan masyarakatsebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b meliputi : a. Meningkatkan kemampuan dan profesionalitas pegawai bidang kepariwisataan; b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan dan latihan bidang kepariwisataan; c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang memiliki sertifikasi kompetensi; d. Meningkatkan kemampuan kewirausahaan di bidang kepariwisataan e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan kepariwisataan yang terakreditasi; f. Mengembangkan lembaga pendidikan bidang kepariwisataan baik di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun pendidikan tinggi;dan g. Mengembangkan lembaga pelatihan dan kursus bidang kepariwisataan.
Pasal 43 Strategi penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung pembangunan kepariwisataansebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c meliputi : a. Meningkatkan penelitian dalam rangka memperkuat pengembangan desinasi berbasis ekowisata, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan investasi melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, LSM, lembaga riset, TNW dan lembaga-lembaga internasional;dan b. Meningkatkan penelitian dalam rangka pengembangan daya tarik wisata, pengembangan pasar baru dan pengembangan produk, pengembangan dan penguatan citra pariwisata, peningkatan daya saing produk pariwisata, penguatan industri pariwisata, pengembangan kemitraan usaha pariwisata, penciptaan kredibilitas bisnis, pengembangan tanggung jawab terhadap lingkungan, pengembangan organisasi kepariwisataan dan pengembangan SDM pariwisata.
101
BAB IV RENCANA PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN PARIWISATA
Bagian Kesatu Struktur Perwilayahan Pariwisata
Pasal 44
Struktur perwilayahan pariwisata daerah meliputi: a. b. c. d.
Destinasi Pariwisata Kabupaten ( DPK ); Kawasan pengembangan pariwisata (KPP) Daerah; Kawasan Pariwisata (KP) dan Kawasan daya tarik wisata (KDTW); dan Daya tarik wisata (DTW). Pasal 45
Destinasi pariwisata (DPK) meliputi : a. b. c. d.
DPK DPK DPK DPK
Wangi-Wangi dan sekitarnya; Kaledupa dan sekitarnya; Tomia dan sekitarnya; dan Binongko dan sekitarnya. Pasal 46
Destinasi Pariwisata Kabupaten ( DPK )Wangi-Wangi dan sekitarnya mencakup: a. b. c. d. e. f.
Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan
Pengembangan Pariwisata (KPP) Sombu – Waha dan sekitarnya; Pengembangan Pariwisata (KPP) Patuno dan sekitarnya; Pengembangan Pariwisata (KPP) Kota Wangi-Wangi dan sekitarnya; Pengembangan Pariwisata (KPP) Liya Togo dan sekitarnya; Pengembangan Pariwisata (KPP) Kapota Tolo dan sekitarnya; dan Pengembangan Pariwisata (KPP) Tindoi dan sekitarnya.
102
Pasal 47 Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK) Kaledupa dan sekitarnya mencakup: a. b. c. d. e.
Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan
Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata
(KPP) Pulau Hoga dan sekitarnya; (KPP) Sambano dan sekitarnya; (KPP) Pajam dan sekitarnya (KPP) Langge dan sekitarnya (KPP)Ambeua dan sekitarnya
Pasal 48 Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK) Tomia dan sekitarnya mencakup: a. b. c. d.
Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan
Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata Pengembangan Pariwisata
(KPP) (KPP) (KPP) (KPP)
Pulau Tolandono dan sekitarnya; Waha dan sekitarnya; Kulati dan sekitarnya; dan Puncak Kahianga dan sekitarnya.
Pasal 49 Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK) Binongko dan sekitarna mencakup: a. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Runduma dan sekitarnya b. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Wali dan sekitarnya; dan c. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Popalia dan sekitarnya.
Pasal 50 (1) Struktur pelayanan pariwisata kabupaten terdiri atas: a. Pusat pelayanan primer; b. Pusat pelayanan sekunder; c. Pusat pelayanan tersier; dan d. Sistem jaringan aksesibilitas. (2) Pusat pelayanan primersebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai kawasan perkotaan yang memiliki fasilitas pelayanan utama terhadap fungsi kepariwisataan Kabupaten Wakatobi. Pusat Pelayanan Primer berada di Kawasan Perkotaan Wangi-Wangi, meliputi Kawasan Perkotaan Wanci dan Mandati.
103
(3) Pusat pelayanan sekunder sebagaimana dmaksud pada ayat (1) merupakan kawasan perkotaan yang memiliki fasilitas pelayanan pendukung untuk fungsi kepariwisataan Kabupaten Wakatobi. Pusat Pelayanan Sekunder tersebar di masing-masing pulau utama selain Pulau Wangi-Wangi yaitu Perkotaan Ambeua di Pulau Kaledupa, Perkotaan Waha di Pulau Tomia dan Perkotaan Rukuwa di Pulau Binongko. (4) Pusat pelayanan tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1)merupakan pos pelayanan wisata yang mendukung Pusat Pelayanan Sekunder. Pusat Pelayanan Tersier berada di Kapota, Sambano, Pulau Hoga, Langge, Kulati, Usuku, Bente dan Popalia. (5) Sistem jaringan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)merupakan pintu gerbang utama kepariwisataan Wakatobi bertumpu pada peningkatan prasarana transportasi udara dan prasarana transportasi laut.Prasarana transportasi udara adalah Bandara Matahara yang didukung oleh pengembangan kapasitas dan fungsi Bandara Maranggo di Tomia Timur. Prasarana transportasi laut sebagai pintu gerbang utama kedatangan wisatawan yaitu Pelabuhan Pangulubelo Wangi-Wangi, Pelabuhan Penyeberangan Wangi-Wangi dan pengembangan marina/pelabuhan pariwisata di Wangi-Wangi.
Bagian Kedua Rencana Kawasan Pengembangan Pariwisata Pasal 51 Tema pengembangan produk wisata kabupaten adalah: a. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Sombu – Waha dan sekitarnya dikembangkan untuk wisata pantai; b. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Patuno dan sekitarnya dikembangkan Daya dikembangkan wisata pantai dan taman bawah laut. c. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Kota Wangi-Wangi dan sekitarnyapengembangan pariwisata perkotaan dengan mengandalkan potensi daya tarik di sekitar pelabuhan, marina dan water front city yang ditunjang oleh pengembangan kuliner. Pengembangan fasilitas pariwisata diarahkan pada akomodasi kelas menengah ke bawah, fasilitas wisata bahari, informasi pariwisata, toko/pasar seniserta pusat pergelaran seni dan pameran.
104
d. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Liya Togo dan sekitarnya pengembangannya diarahkan sebagai desa wisata berbasis budaya yang dilengkapi dengan fasilitas pariwisata seperti akomodasi pariwisata yang dapat dikelola masyarakat seperti homestay dan pondok wisata. e. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Kapota Tolo dan sekitarnya; Pengembangan KPP ini bertemakan wisata pulau kecil dengan suasana perdesaan dan lingkungan alamnya yang masih asri. f. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Tindoi dan sekitarnya; Pengembangan KPP ini diarahkan pada ekowisata terestrial (wana wisata), landskap, agrowisata, dan adventure tourism. g. KPP Pulau Hoga dan sekitarnya sebagai kawasan pengembangan pariwisata terbatas berbasis ekowisata. h. KPP Sambano dan sekitarnya; KPP ini dikembangkan dengan tema wisata pantai yang didukung oleh beberapa daya tarik wisata bahari dan telaga alam. Pengembangan fasilitas pariwisata khususnya akomodasi pariwisata dapat diarahkan pada pengembangan hotel berkelas. i.
KPP Pajam dan sekitarnya; Tema pengembangan kawasan pengembangan pariwisata ini adalah wisata budaya dan landscape.
j.
KPP Langge dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pada pengembangan tema ekowisata mangrove dan petualangan pulau-pulau kecil di Pulau Darawa dan pulau-pulau kecil sekitarnya.
k. KPP Ambeua dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pada pengembangan tema wisata budaya dan wisata perdesaan. Pengembangan wisata perdesaan ini sangat kuat diintegrasikan dengan sektor pertanian dan kerajinan rumah tangga. l.
KPP Pulau Tolandono dan sekitarnya; KPP ini merupakan kawasan yang telah berkembang sebagai dive resort. Tema khusus ini tetap dipertahankan dalam pengembangannya.
m. KPP Waha dan sekitarnya; KPP ini merupakan perpaduan pengembangan pariwisata perkotaan Waha dengan panorama bentang pesisir pantai bertebing di sekitar Waitii Barat, Woha dan Kolosoha. KPP ini mempunyai keterkaitan erat dengan pengembangan daya tarik Benteng Patuha yang diarahkan sebagai salah satu pusat pengembangan kebudayaan Wakatobi. n. KPP Kulati dan sekitarnya; KPP ini dikembangkan dengan tema khusus desa wisata yang didukung oleh keindahan alam pantai, bawah laut dan tebing105
tebing pantai berpanorama indah di wilayah Huntete. Pada KPP ini dapat diarahkan pula bagi pengembangan resort pantai berkualitas tinggi. Pengembangan lebih eksklusif dengan fasilitas hotel berbintang. o. KPP Puncak Kahianga dan sekitarnya KPP ini diarahkan pengembangannya dengan tema wisata panorama dengan mengandalkan keindahan alam puncak Kahingga dengan pandangan 360 o. Pengembangan wisata panorama ini dipadukan dengan wisata budaya dan perdesaan. p. KPP Runduma dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pengembangannya sebagai wisata pesisir pantai, terutama pengembangan Pantai Palahidu yang diintegrasikan dengan wisata budaya. q.
KPP Wali dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pengembangannya dengan tema desa wisata berbasis budaya dengan fasilitas akomodasi pariwisata setingkat homestay dan pondok wisata.
r.
KPP Popalia dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pengembangannya dengan tema wisata petualangan bahari dan resort berkelas. Pasal 52
(1) Jenis wisata unggulan yang dikembangkan di kawasan strategis pariwisata adalah: a. KSP Matahora dan sekitarnya mengembangkan wisata alam, wisata budaya dan buatan; b. KSP Kapota mengembangkan produk wisata pulau kecil, wisata bahari,pantai,lingkungan alam daratan, telaga dan perdesaan dengan beberapa peninggalan sejarah; c. KSP Hoga dan sekitarnya mengembangkan panorama bawah laut. d. KSP Tolandono mengembangkan wisata pantai dan laut; e. KSP Huntete mengembangkan wisata pantai Huntete; dan f. KSP Palahidu mengembangkan wisatalaut dan pantai Palahidu. (2) Jenis wisata pendukung yang dikembangkan di kawasan strategis pariwisata antara lain: a. KSP Matahora dan sekitarnya mengembangkan Goa alam,Hutan Puncan dan hutan mangrove; b. KSP Hoga dan sekitarnya mengembangkan beberapa goa alam dengan stalakmik dan telaga. c. KSP Tolandono mengembangkan wisata terumbu karang yang indah dan ikan karang yang beraneka ragam, dan wista diving; 106
d. KSP Huntete mengembangkan wisata puncak Kahianga Goa pinggir laut; dan e. KSP Palahidu mengembangkan wisata budaya dan buatan. Pasal 53 Target pasar wisatawan pariwisata kabupaten adalah wisatawan berkualitas baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik.
Pasal 54 Peningkatan kualitas daya tarik wisata dilakukan melalui: a. pembangunan dan perbaikan fasilitas pendukung yang berstandar internasional dengan memperhatikan aspek konservasi alam dan budaya serta daya dukung lingkungan; b. peningkatan tata kelola, kompetensi sumber daya manusia, dan peranserta masyarakat setempat; dan c. revitalisasi potensi budaya lokal. Pasal 55 Pengembangan fasilitas pariwisata kabupaten dilakukan dengan: a. selektif dan terbatas dengan prioritas pengembangan usaha kecil dan menengah; b. mempertimbangkan daya dukung (carrying capacity); dan c. menciptakan iklim persaingan usaha pariwisata yang kondusif untuk keberlanjutan usaha pariwisata. Bagian Ketiga Rencana Kawasan Strategis Pariwisata Pasal 56 (1) Kawasan Strategis Pariwisata (KSP) Kabupaten adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata kabupaten yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. (2) Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 6(enam) Kawasan strategisnPariwisata terdiri atas : 107
a. b. c. d. e. f.
KSP KSP KSP KSP KSP KSP
Matahora dan sekitarnya; Kapota dan sekitarnya; Hoga dan sekitarnya; Tolandono dan sekitarnya Huntete dan sekitarnya; dan Polahidu dan sekitarnya.
BAB V RENCANA PROGRAM PEMBANGUNAN PARIWISATA Bagian Kesatu Program Pembangunan Destinasi Pariwisata
Pasal 57 (1)Program pembangunan destinasi pariwisata daerah meliputi: a. Pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi pariwisata yang mempunyai keterpaduan yang kuat dengan pengembangan sektor-sektor terkait; b. Pemantapan, penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing; c. Peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan; d. Pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk menunjang pergerakan internal dan konektivitas antar daya tarik wisata di dalam wilayah kabupaten; e. Pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland khususnya di Provinsi Sultra; f. Pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan; g. Pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan kabupaten; h. Pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung peningkatan investasi pariwisata; i. Pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro; j. Pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing; 108
k. Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata; l. Pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait; m. Peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil; n. Peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait; dan o. Peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menggalakkan promosi investasi. (2) Program pembangunan destinasi pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I, dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua Program Pembangunan Industri Pariwisata Pasal 58 (1) Program pembangunan industri pariwisata Daerah meliputi: a. Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan lokal; b. Pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat; c. Penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan;dan d. Peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata. (2) Program pembangunan industri pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini
109
Bagian Ketiga Program Pembangunan Pemasaran Pariwisata Pasal 59 (1) Program pembangunan pemasaran pariwisata meliputi: a.
b.
c.
d.
Pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata; Pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing; Pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu, sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan;dan Penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar negeri.
(2) Program pembangunan pemasaran pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran. I dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini
Bagian Keempat Program Pembangunan Kelembagaan pariwisata
Pasal 60 (1) Program pembangunan industri pariwisata daerah meliputi: a. Penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi); b. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat;dan c. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan. (2) Program pembangunan pemasaran pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran.I dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. 110
BAB VI INDIKASI PROGRAM PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH
Pasal 61 (1) Indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah dilaksanakan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek. (2) Dalam pelaksanaan indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi urusan kepariwisataansebagai penanggungjawab didukung oleh instansi terkait, dan dapat didukung oleh dunia usaha dan masyarakat. (3) Indikasi program pembangunan kepariwisataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rinciannya dilampirkan dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB VII PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 62 (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan RIPPARDA. (2) Pengawasan dan pengendalian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63 (1) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
111
(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Ditetapkan di Wakatobi pada tanggal........ BUPATI WAKATOBI TTD ...........................
Diundangkan di Wakatobi pada tanggal ...... SRKRETARIS DAERAH KABUPATEN WAKATOBI TTD ..........................
112
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI
NOMOR : …………………..
TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH TAHUN 2016-2025
I. UMUM Mengacu pada Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bahwa Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan merupakan bagian integral dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang maka Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi sesuai dengan jangka waktu RPJPD Kabupaten Wakatobi yaitu sampai tahun 2025. Dalam pembangunan kepariwisataan Kabupaten Wakatobi dikembangnkan berdasarkan prinsip-prinsip; berkelanjutan, keterpaduan, akselerasi, konsistensi dan kesinambungan, kepastian hukum, kemitraan, berbasis ilmiah dan ilmu pengetahuan, partisipasi masyarakat, membangun kapasitas lokal,keterbukaan,adil dan merata,kekeluargaan,demokratis,keseimbangan, dan akuntabilitas.
113
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Yang dimaksud dengan keunggulan banding adalah… Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Yang dimaksud dengan Ecotourism adalah … Yang dimaksud dengan natural area adalah…
Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas
114
Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup j elas Ayat (4) Yang dimaksud dengan warisam budaya termasuk didalamnya situs atau cagar budaya dan peninggalan sejarah. Ayat (5) Cuku jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas
115
Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas
116
Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas
Pasal 38 Cukup jelas
Pasal 39 Cukup jelas
Pasal 40 Cukup jelas
Pasal 41 Cukup jelas
Pasal 42 Cukup jelas
117
Pasal 43 Cukup jelas
Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45 Cukup jelas
Pasal 46 Cukup jelas
Pasal 47 Cukup jelas
Pasal 48 Cukup jelas
Pasal 49 Cukup jelas
Pasal 50 Cukup jelas
Pasal 51 Cukup jelas
Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas 118
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 53 Cukup jelas
Pasal 54 Cukup jelas
Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas 119
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (30 Cukup jelas
Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 63 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR .....
120
121
122
123