LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU TAHUN 2016
“MEWUJUDKAN KPI PUSAT DAN KPI DAERAH SEBAGAI REGULATOR PENYIARAN YANG EFEKTIF”
Oleh: Handrini Ardiyanti, S.Sos, Msi.
BIDANG POLITIK DALAM NEGERI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI JAKARTA 2016 1
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Pendahuluan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran sebagaimana ketentuan dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. KPI terdiri dari KPI pusat dan KPID di daerah yang tugasnya bersifat koordinatif, kebijakan secara nasional ditentukan KPI dan sedangkan pelaksanaan ditingkat Provinsi menjadi cakupan KPID. Selain itu anggota untuk KPI Pusat dan anggota KPI Daerah masing-masing anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan KPI Daerah dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Arti penting keberadaan KPI adalah karena spektrum frekuensi radio merupakan kekayaan alam terbatas yang dikuasai oleh negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam International Telecomunication Union (ITU). Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 maka frekuensi wajib untuk dikelola, dimanfaatkan, dan diawasi oleh negara. Guna memastikan bahwa frekuensi dikelola, dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaannya dan pemanfaatannya dan diawasi oleh Pemerintah yang dibantu lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yaitu KPI. Fungsi, tugas dan Wewenangan KPI Daerah (KPID) sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak berbeda dengan KPI Pusat. Pada Pasal 8 ayat (1) UU No.32 Tahun 2002 ditegaskan bahwa fungsi KPID mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Sementara wewenang KPID dalam pasal 8 ayat (2) adalah: menetapkan standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Masih dalam pasal yang sama, pada ayat ke-3, tugas KPID meliputi: menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Saat ini telah terbentuk 33 KPID di seluruh 33 provinsi yang ada di Indonesia. Namun, sejumlah kalangan beranggapan bahwa KPI sudah seperti “macan ompong” manakala televisi swasta melanggar norma hukum penyiaran maupun norma etika, KPI seolah lebih memilih opsi “jalan tengah”. Safety playing seolah menjadi retorika 2
ampuh guna meredam polemik di jagad opini publik. Disisi lain, masih terjadi masih ada dua muara perbedaan pendapat terkait dengan pola hubungan antara KPI Pusat dengan KPI Daerah yang ideal. Karena itu permasalahan yang dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan penyiaran untuk mewujudkan KPI pusat dan KPI Daerah sebagai regulator penyiaran yang efektif. B. Metodologi Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Penelitian dengan menggunakan paradigm kritis mengasumsikan bahwa realitas sosial itu memiliki berbagai macam tingkatan (multilevel layers). Dibalik realitas luar atau permukaan yang mudah diamati dengan mudah, terdapat struktur dan mekanisme “dalam” yang tidak bisa diamati. Peristiwa dan hubungan sosial yang “dangkal” didasarkan pada seberapa dalam struktur-struktur yang “tersembunyi” diamati dalam konteks hubungan sebab-akibat terhadap dua KPID yaitu KPID Lampung berdasarkan saran dari narasumber yang merupakan Komisioner KPI Pusat 2013-2016 saat FGD Proposal Individu dan KPID Sulawesi Selatan dengan alasan pemilihan Makasar sebagai daerah lokasi penelitian adalah Makassar merupakan salah satu Kota di antara 9 kota yang di jadikan tempat survey index kwalitas program penyiaran di Indonesia yang melibatkan 9 kota yaitu Medan, Jakarta, Semarang, IAIN Jogjakarta, Surabaya, Kalimantan Selatan, Makassar, Universitas Bali dan Ambon. Alasan lainnya adalah mewakili Indonesia Timur dan memiliki potensi besar untuk pengembangan konten lokal dalam penyiaran. C. Hasil Penelitian Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pertama, belum ada peraturan pelaksana pengaturan terhadap kelembagaan organisasi KPI yang tuntas dan kuat. Akibatnya masih mensisakan problem kelembagaan yang berdampak pada kinerja KPI yang disebabkan hal-hal sebagai berikut: pertama, pembagian tugas dan kewenangan yang kurang tegas di UU antara KPI Pusat dan KPI Daerah. Mana yang merupakan tugas dan kewenangan absolut KPI Pusat dan mana yang menjadi tugas dan kewenangan absolut KPI Daerah, dan mana yang bisa menjadi tugas dan kewenangan relatif KPI Pusat dan KPI Daerah. Kedua, desentralisasi regulator di mana KPI Daerah dibentuk oleh pemerintahan provinsi yang berdampak pada lahirnya sejumlah problem: (1) Pertanggungjawaban, (2) pembiayaan, (3) alokasi SDM, (4) struktur organisasi, (5) koordinasi dan komunikasi, (6) ketidakjelasan kedudukan komisioner di daerah. Ketiga, masa tugas KPI yang hanya 3 tahun, minimal 4 tahun (idealnya) yang terbentuk dengan tidak serempak sehingga selalu terjadi variasi kompetensi pelayanan publik dalam kurun waktu yang sedang berjalan. Ada kesan KPI adalah lembaga tempat belajar menjadi regulator terus. Selain itu peraturan perundang-undangan yang ada tidak membedakan secara tegas kewenangan absolut KPI Pusat maupun KPID dan kewenangan serta tugas mana yang sifatnya relatif. Yang dimaksud dengan kewenangan dan tugas yang bersifat relatif adalah kewenangan dan tugas dilaksanakan secara bersama antara 3
KPI Pusat dengan KPI Daerah. Karena itu KPI Pusat sebaiknya mengawasi konten penyiaran di stasiun induk, sedang KPI Daerah mengawasi konten penyiaran lokal. UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berlandaskan prinsip desentralisasi penyiaran. Hal ini antara lain tercermin dari “Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. mekanisme pemilihan Padahal seharusnya tidak karena kondisi ini menyebabkan pola hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah tidak dapat berjalan secara sinergis. Dampak negatif dari di-desentralisasi-kannya urusan penyiaran diantaranya pembiayaan KPI Daerah tergantung pada “kebaikan” pemerintah daerah, yang menjadi salah satu penyebab kurang efektifnya KPID sebagai regulator penyiaran. Di beberapa daerah KPID ditengarai “kurang berjarak” dengan pemerintahan yang berkuasa seperti di Yogyakarta misalnya. Kondisi ini tidak ideal bagi tuntutan profesionalitas KPI maupun KPID yang seharusnya “berjarak” dengan pemerintah maupun lembaga penyiaran. Dengan disentralisasikannya urusan penyiaran maka KPID menjadi badan otonom di daerah. Akibatnya KPI (KPI Pusat dengan KPID) kesulitan berkoordinasi. Dengan kata lain, Pembagian tugas dan kewenangan semacam itu tidak diatur dengan tegas dalam UU, sementara institusi KPI Pusat dan KPI Daerah terpisah secara otonom sehingga sering menimbulkan situasi tumpang tindih, ada ego kelembagaan, authorithy dispute, dan lainnya. D. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada beberapa hal yang menjadi penguat KPID dalam menjalankan tugas dan fungsinya diantaranya adalah: pertama, anggaran yang memadai dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya, terlepas dari sumber asal anggaran tersebut dan konsekuensi yang harus diterima oleh KPID KhusuSnya atas sumber anggaran tersebut. Kedua, pola hubungan KPI Pusat dan KPID perlu di diperjelas khususnya diarahkan kepada pola hubungan yang hierarkis – koordinatif agar hilangnya ketidakjelasan dari berbagai aspek jika pola hubungan koordinatif ini masih diberlakukan. Ketiga, terkait wewenang memberikan sanksi oleh KPID juga perlu di perkuat dan dipertegas dalam rangka memberikan efek jera bagi lembaga penyiaran di daerah khususnya terutama kewenangan membuat rapor tahunan yang menjadi landasan bagi KPID dan pemerintah dalam pemberian izin penyiaran selanjutnya. Karena itu ke depan dalam pengaturan UU Penyiaran dan Peraturan perundangan lainnya, seyogyanya, organisasi KPI adalah badan independen yang bersifat hirarkhis . Selain itu perlu ada kejelasan kewenangan, tugas, dan tanggungjawab KPI Pusat dan KPI Daerah, ada kejelasan mekanisme kerja dan tata hubungan KPI Pusat dan KPI Daerah serta ada kejelasan kedudukan komisioner KPI (KPI Pusat dan KPI Daerah) dalam ranah administrasi negara. Rekomendasi berikutnya adalah perlu adanya kejelasan kedudukan dan organisasi 4
kesekretariatan [sekretaris utama, deputi pemantauan dan pengawasan konten; deputi pengelolaan struktur dan sistem penyiaran.
5