LAPORAN PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN MUNCULNYA ANAK-ANAK JALANAN DAN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM ( STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG)
Oleh Amri Panahatan S,SS,SH.Mhum Dewi Tuti Muryati,SH MH Dharu Triasih,S.H, M.H DIBIAYAI USM /KONTRAK NO : 244. /USM.H4/Q/2009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG 2009
HALAMAN PENGESAHAN 1 Judul Penelitian
:
FAKTOR-FAKTOR YANG
MENYEBABKAN MUNCULNYA ANAK-ANAK JALANAN DAN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM ( STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG
2. Bidang Penelitian : Hukum 3. Ketua Peneliti (a) Nama : Amri PS,SS MHum (b) Jenis Kelamin : Pria (c) NIS : 06557003801025 (d) Pangkat/ Golongan : Penata/IIIc (e) J abatan : Lektor (f) Fakultas Jurusan : Hukum/ Ilmu Hukum 4.Jumlah anggota Peneliti : 1 orang 5. Lokasi Penelitian : Kota Semarang 6. Bila penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan : a. Nama Instansi : b. Alamat : 7. Waktu penelitian : 3 bulan 8. Biaya : Rp. 4.050.000,- (empat juta limapuluh ribu rupiah) Semarang, Juli 2009 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum,
KetuaPenelitian
Efi Yulistyowati, SH.M.Hum
Amri PS, SS MHum
NIS. 06557003801006
.NIS.06557003801025 Menyetujui Ketua LPPM
Indarto,SE.MSi NIS.0655700504065
LEMBAR PENGESAHAN REVIEWER
1.
(a) Judul Penelitian
:
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN
MUNCULNYA ANAK-ANAK JALANAN DAN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM ( STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG)
(b) Bidang Ilmu 2. Ketua Peneliti (a) Nama (b) Jenis Kelamin (c) Golongan/NIS (d) Jabatan Fungsional (e) Fakultas Jurusan 3. Anggota 4. Lokasi Penelitian 5. Lama Penelitian 6. Biaya Penelitian 7. Sumber Biaya Penelitian
: Ilmu Hukum : Amri ,SS MHum : pria : 06557003801025 : Lektor : Hukum/ Ilmu Hukum : ( dua ) orang : Kota Semarang : 3 bulan : Rp. 4.050.000,- (empat juta lima puluh ribu rupiah) : Universitas Semarang
Semarang, Juli 2009
Menyetujui, Reviewer,
Ketua Penelitian
Doddy Kridasaksana, SH.M.Hum
Amri PS,SS,Mhum MH
NIS. 06557003801021
NIS. 06557003801025
1
Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia dan rahmat Nya sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu. Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca guna menambah wacana mengenai
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN MUNCULNYA
ANAK-ANAK JALANAN DAN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM ( STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG )
Kami menyadari bahwa penelitian ini terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Prof. DR. Pahlawansyah H. MM, Rektor Universitas Semarang yang telah berkenan memberikan kepercayaan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
2.
Indarto,SE MSi, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat
Universitas Semarang, yang telah menyeleksi dan menerima usulan penelitian ini 3.
Efi Yulistyowati,SH MHum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang yang selalu memberikan dukungan dan kepercayaan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
4.
Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah mendukung selesainya penelitian ini.
Teriring do’a dan terima kasih, semoga amal baik Bapak / Ibu mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin Kami menyadari bahwa kesempurnaan belum sepenuhnya terwujud dalam penelitian ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan. Semarang, Juli 2009 Tim Peneliti
2
Abstrak
Munculnya anak jalanan di kota Semarang untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil dan mereka diposisikan sebagai tulang punggung keluarga. Umumnya ini terjadi pada anak jalanan dengan keluarga yang mengalami disharmoni dan tidak memiliki sumber-sumber ekonomi. Anak jalanan dengan motif seperti ini umumnya membelanjakan penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga. Permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan di kota Semarang masalah kekerasan. Masalah Drug Abuse( obat bius), pelecehan seksual, prostitusi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan masalah penyakit menular seksual ( PMS/HIV/AIDS). Penanganan anak jalanan di di kota Semarang yang dilakukan pemerintah belum memperhatikan akar persoalan sesungguhnya, programprogram yang dilakukan bersifat partial bahkan tumpang tindih, hampir semua departemen mempunyai program untuk pengentasan anak jalanan tetapi tidak didasari oleh satu jaringan kerjasama yang terkoordinir dengan baik.
Kata kunci : anak jalanan, perlindungan hukum
3
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Dasawarsa terakhir ini isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia. Mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Hal tersebut juga dicerminkan dari banyaknya dokumen Internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Sedikitnya terdapat 16 dokumen internasional yang terkait dengan permasalahan anak, beberapa diantaranya: United Nations Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvenile Justice, Resolusi MUPBB 1985; The Use Of Children In The Illicit Traffi In Narcotic Drugs, Resolusi MU-PBB 1988; Convention On The Right Of The Child, Resolusi MU-PBB 1989; TheEffects Of Armed Conflicts On Children Lives, Resolusi Komisi HAM PBB 1991; The Special Rapporteur On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography, Resolusi Komisi HAM PBB1994. Salah satu isu kesejahteraan anak yang terus berkembang menjadi perhatian dunia adalah masalah anak jalanan. Laporan Dunia tentang Situasi Anak, menyebutkan bahwa terdapat 30 Juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan. Sedang di Asia, saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun mendatang 1. Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota besar terutama setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Hasil
1
Anonimus, Children Jakarta Street’s, Childhope Research No. 3, Manila, 1991, hal 40.
4
kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar melaporkan bahwa jumlah anak jalanan sebanyak 39.861 orang dan sekitar 48% merupakan anak-anak yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos mencatat bahwa 60% anak jalanan telah putus sekolah (drop out) dan 80% masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) serta HIV/AIDS.2 Laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1994) memberitakan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Penelitian tersebut menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan berasal dari keluarga tidak mampu. Namun demikian hubungan kemiskinan dengan perginya anak ke jalan bukanlah hubungan yang sederhana. Diantaranya terdapat faktor-faktor intermediate seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak dan langkanya dukungan keluarga (family support) pada saat krisis keluarga di rumah. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan. Keberadaan mereka cenderung ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat. Semarang, Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, yang merupakan kota terbesar kelima di Indonesia, tidak luput dari keberadaan anak jalanan. Keberadaan anak
2
Jefri Anwar dan Irwanto, Analisis. Situasi Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, PKPMDepsos, UNICEF, Jakarta, 1998
5
jalanan di Semarang sudah bisa dijumpai sejak awal tahun 90-an. Pada saat itu hanya ada tiga kawasan yang menjadi tempat kegiatan mereka yang kemudian berkembang menjadi enam kawasan (Pasar Johar, Tugu Muda, Terminal Terboyo, Simpang Lima, Karang Ayu, dan Stasiun Poncol). Pada masa awal terjadi krisis ekonomi, kawasan kegiatan anak jalanan menjadi 20 kawasan3. Pemetaan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan PKPM Atmajaya pada tahun 1999 menunjukkan kawasan kegiatan anak jalanan semakin tersebar luas menjadi 208 titik.4 Perkembangan lokasi kegiatan anak jalanan diakibatkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat. Pendataan yang dilakukan PAJS (Persatuan Anak Jalanan Semarang) pada tahun 1996 memperkirakan jumlah anak jalanan sekitar 500 anak dan pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 700 anak. Pada masa krisis ekonomi, perkiraan jumlah anak jalanan berkisar antara 1,500-2,0005. Data terbaru pada 2008, Yayasan Setara mencatat selama tiga tahun terakhir ini di Kota Semarang terdapat 429 anak jalanan. Dan di tahun 2009 ini, survei terbaru belum dirilis Setara. Namun dikhawatirkan kecenderungannya kembali meningkat. Penyebabnya jelas, dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mempengaruhi meningkatnya harga bahan pokok diyakini juga meningkatkan jumlah keluarga miskin sebagai penghasil anak jalanan. Sampai saat ini penanganan masalah anak jalanan masih terbatas. Tinjauan terhadap berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa secara konseptual penanganan anak jalanan dijamin oleh kebijakan yang ada, namun hasil survei 3
Sunarti, Laporan Penelitian: Profil Anak Jalanan Di Kotamadya Semarang, Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Undip, Semarang, 1998. 4 Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, Laporan Pemetaan dan Survei Anak Jalanan di Kodia Semarang, 1999. 5 Lihat Tabloid Manunggal, edisi V/thn XVII/April-Mei 1998 dan Depsos-PKPM Atmajaya, 1999.
6
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia terhadap 100 anak, menunjukkan hanya 10% anak jalanan yang terjangkau oleh program penanganan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (Publikasi YKAI, 2007). Anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar, ketika ia pergi atau bahkan tinggal di jalan, maka terbayangkah kehidupan yang mereka jalani. Sepintas penglihatan kita ketika bertemu di jalanan, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di perempatan jalan misalnya, sudah mengandung beragam resiko seperti rawan akan kecelakaan atau resiko terkena penyakit akibat kerapkali menghirup racun-racun kendaraan bermotor. Menelusuri lebih jauh menyaksikan kehidupan malam mereka di taman kota, pasar, gedung-gedung kosong, emperan toko, atau gerbong-gerbong kereta di stasiun, mereka bisa terlelap tanpa alas. Bahaya apa yang membayang-bayangi. Terlebih bila anak perempuan juga dijumpai di sana. Beranjak lebih dalam berintegrasi dengan mereka, akan kita ketahui bagaimana pola hubungan antar mereka, dengan orang-orang jalanan, dengan masyarakat umum, aparat negara, dan pihak-pihak lainnya. Terbayangkah posisi mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengan kekerasan dan eksploitasi. Pertarungan demi pertarungan selalu berakhir dengan kekalahan tanpa ada kemenangan dari pihak manapun. Namun ini terus saja berlangsung. Seorang dewasapun belum tentu mampu mengarunginya dengan baik apalagi bagi anak-anak. Menghadapi hal seperti ini pemerintah harus segera tanggap terhadap fenomena yang ada dimana jumlah anak jalanan yang semakin bertambah sedangkan
7
upaya untuk memberikan perlindungan anak jalanan masih kurang optimal. Kondisi tersebut harus segera diatasi untuk menghindari berbagai dampak yang kemungkinan timbul dapat mengganggu perkembangan anak baik secara fisik, mental maupun sosial. B. PERUMUSAN MASALAH Berpijak dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munculnya anak jalanan di Kota Semarang? 2. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh anak jalanan di Kota Semarang? 3. Bagaimanakah pandangan masyarakat tentang penanganan anak jalanan di Kota Semarang? 4. Bagaimanakah
peran
Pemerintah
Kota
Semarang
dalam
memberikan
perlindungan hukum bagi anak jalanan? C. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak sematamata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hakhaknya bahkan sering terlanggar. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan
8
jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Tuhan yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia, terutama di perkotaan, penanganan yang serius terhadap masalah anak jalanan merupakan suatu isu kebijakan yang mendesak. Penanganan tuntas tentunya tidak hanya mencakup upaya-upaya yang bersifat rehabilitatif saja, tetapi juga mencakup usaha yang bersifat pencegahan dan pengembangan. Selain itu, kebijakan yang kurang tepat dan menyederhanakan permasalahan yang sesungguhnya hanya akan membuat usaha penanggulangan anak jalanan menjadi usaha tambal sulam karena kesalahan dalam melihat masalah yang sesungguhnya. Dalam studi kebijakan kondisi ini disebut dengan kesalahan tipe ketiga: memecahkan masalah yang salah6. Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Abraham H. Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh. Namun demikian, pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilakukan 6
William, N. Dunn, Pengantar Analisisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998.
9
oleh anak sendiri sehingga tanggung jawab tersebut menjadi tanggungan orang tua, keluarga masyarakat dan pemerintah (UU No. 4 Tahun 1979). Orang tua dan keluarga memiliki tanggung jawab pertama terhadap kesejahteraan anak karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan anak untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia yang tengah tumbuh dan berkembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal. Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai
10
anak. Meskipun secara konseptual kesejahteraan anak dilindungi undang-undang namun realitas di masyarakat menunjukkan bahwa tidak semua anak mendapatkan haknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Berbagai masalah sosial dan ekonomi menjadi sebab anak tidak memperoleh kesejahteraannya. Termasuk di dalam kategori tersebut adalah anak jalanan seperti yang didefinisikan oleh UNICEF: “Street children are those who have abandoned their homes, schools and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life”.7 Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anakanak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Mereka anak jalanan perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection). Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
7
Anonimus, Op.cit, hal 27.
11
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.8 Dengan berpedoman pada ide perlindungan anak agar mampu hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan mereka sendiri dan bangsa pada umumnya maka hak anak tersebut harus dapat dijamin keberlangsungannya. Sedangkan Perlindungan Khusus (special protection) adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.9 Dengan demikian anak yang berhadapan dengan hukum, anak korban perlakuan salah dan penelantaran termasuk didalamnya anak jalanan harus mendapatkan perlindungan. Berdasarkan kenyataan tersebut, pada kesempatan ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan dan upaya perlindungan hukumnya”, studi kasus anak jalanan di kota Semarang. D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana
8 9
Pasal 1 huruf b UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ibid huruf p.
12
perlindungan hukum bagi anak jalanan di Kota Semarang dan implementasinya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan di Kota Semarang. 2. Permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan di Kota Semarang. 3. Pandangan masyarakat tentang penanganan anak jalanan di Kota Semarang. 4. Peran Pemerintah Kota Semarang dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak jalanan. Sedangkan manfaat yang dapat diberikan sebagai kontribusi dari hasil penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi masyarakat mengenai pentingnya memberikan perlindungan hukum bagi anak jalanan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pemerintah dalam melakukan upaya legislatif administratif, sosial dan pendidikan terhadap anak jalanan guna melindungi anak dari bentuk kekerasan fisik/mental, penelantaran, perlakuan salah, eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual. 3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu merumuskan model kebijakan penanggulangan anak jalanan yang integral dan komprehensif E. SISTIMATIKA PENULISAN Untuk selanjutnya agar lebih mudah dalam memahami keseluruhan dari laporan penelitian ini, maka penulis susun dalam bentuk bab per bab yang terdiri atas lima bab yaitu: BAB I
: Mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah, kerangka pemikiran, tujuan dan manfaat penelitian
13
serta sistematika penulisan. BAB II : Mengenai tinjauan pustaka diantaranya : 1). Tinjauan umum diantaranya meliputi tentang pengertian anak secara umum, pengertian anak secara yuridis dan konsep anak jalanan, 2). Tinjauan umum tentang Konvensi Hak Anak (KHA) diantaranya meliputi tentang sejarah Konvensi Hak Anak, isi Konvensi Hak Anak dan pasal-pasal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, 3). Tinjauan umum tentang perlindungan anak di Indonesia diantaranya meliputi tentang sejarah perlindungan anak di Indonesia, sekilas tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan pasal-Pasal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), dan yang terakhir 4) Tinjauan Khusus diantaranya meliputi tentang peran peradilan dalam penyelenggaraan perlindungan anak, perlindungan anak dibidang Hukum Pidana, perlindungan anak dibidang Hukum Perdata, azaz kepentingan terbaik bagi anak, perlindungan khusus bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, perlindungan khusus bagi anak sebagai korban tindak pidana. BAB III : Mengenai metode penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, spesifikasi penelitian, sumber data, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, metode penyajian data, dan metode analisis data. BAB IV : Mengenai hasil penelitian dan analisis data yaitu tentang faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan di Kota Semarang, permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan di Kota Semarang, pandangan masyarakat tentang penanganan anak jalanan di Kota
14
Semarang dan tentang peran Pemerintah Kota Semarang dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak jalanan. BAB V : Mengenai penutup yang meliputi simpulan dan saran-saran.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.
TINJAUAN UMUM Pengertian Anak Secara Umum Anak adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa yang semenjak awal kehidupannya telah dikaruniai harkat, martabat dan hak-hak asasi. Hak tersebut harus dilindungi sedemikian rupa sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, cakap serta mampu mandiri. Berbicara masalah pengertian anak tentu saja tidak akan lepas dari pembahasan tentang batas umur anak (batas umur untuk disebut seorang anak). Pembicaraan pengertian anak yang menyangkut batas usia anak ini penting, karena untuk
mengetahui
bilamana
seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatannya atau diancam dengan pidana atau tindakan tertentu. Menurut pengertian yang umum, anak adalah keturunan atau manusia yang masih kecil.10 Sebagai keturunan, anak adalah seseorang yang dilahirkan karena hubungan biologis antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan semacam itu telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia, yang menurut agama Samawi diawali dengan diturunkannya Adam dan Hawa di muka Bumi. Menurut Islam batasan Anak adalah mereka yang telah mimpi basah bagi anak laki-laki dan telah datang haid bagi anak perempuan.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, l990, hal. 3l.
16
Istilah anak sering pula dipakai sebagai antonim dari kata "dewasa", yaitu untuk menunjukkan bahwa anak sebagai manusia yang masih kecil atau belum cukup umur. Seseorang disebut dewasa, jika yang bersangkutan telah sanggup bertanggung jawab sendiri dan berdiri sendiri.11 Menurut Kartini Kartono, masa belum dewasa tersebut dapat dibagi dalam beberapa fase yaitu:12 a) Masa bayi 0 - 2 tahun (periode vital). b) Masa kanak-kanak 3 - 5 tahun (periode estatis). c) Masa anak sekolah 6 - l2 tahun (periode intelektual). d) Masa remaja l2 - l4 tahun (periode pueral atau pra pubertas). e) Masa pubertas l4 - l7 tahun. Setiap fase tersebut merupakan fase perkembangan yang masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri.13 Selanjutnya Singgih D. Gunarsa, mengemukakan pendapatnya tentang batas umur anak ini bertitik tolak dari umur remaja. Beliau mengatakan bahwa "remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa, yakni antara l2 - 2l tahun".14 Menurut bahasa, anak diartikan sebagai manusia yang masih kecil, sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, anak dimaknai sebagai manusia yang masih kecil yang belum dewasa15. Menurut Jynboll sebagaimana yang dikutip oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa seseorang masih di bawah umur (minderjaring)
11
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Alumni, Bandung, l986, hal. 238. Ibid., hal. l0-ll. 13 B.Simajuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung, l975, hal. 5l. 14 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Anak dan Remaja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983, hal. 203. 15 J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 45. 12
17
bila ia belum berusia 15 tahun kecuali jika sebelumnya ia sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (gelaschtsrijp), tetapi tidak boleh kurang dari 9 tahun.16 Sedangkan menurut Djajusman, Anak adalah manusia yang berada dalam rentangan masa kanak-kanak awal (2-6 tahun) sampai dengan masa remaja akhir (13-18 tahun)17 Pengertian Anak Secara Yuridis Pengertian anak atau belum dewasa dapat diamati dari berbagai peraturan perundang-undangan antara lain sebagai berikut: a) Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan, "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin". Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa mereka yang belum
berusia 2l tahun dan belum pernah kawin dapat disebut sebagai belum dewasa (anak-anak). Apabila kita kaitkan dengan Pasal 7 Ayat (l) Undang-undang Nomor l tahun l974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa "Perkawinan diizinkan apabila pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai l6 tahun". Pasal ini juga memberikan arti bahwa pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita yang belum mencapai usia l6 tahun dapat disebut belum dewasa (anakanak). b) Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Undang-undang tentang Kesejahteraan Anak
16
Wiryono Projdodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Vorkink-Van Hoeve, Bandung,1998, hal. 65 Djasjusman, Psikologi Perkembangan, Departemen Pedidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung, 1982, hal 36. 17
18
Menurut Pasal l ayat (2) Undang-undang tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan "Anak adalah seseorang yang belum berusia mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin". Undang-undang ini dibuat
khusus
untuk
anak,
yaitu
sebagai
perlindungan
hukum
bagi
kesejahteraannya. Dengan menyadari adanya perbedaan batas umur di dalam perundang-undangan yang berlaku, maka dalam penjelasannya Pasal l ayat (2) dijelaskan bahwa batas umur 2l (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa batas usia 2l (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Batas umur 2l tahun seperti yang dijelaskan oleh Undang-undang Nomor 4 tahun l974 tersebut, adalah karena pertimbangan kepentingan, dan kesejahteraan si anak yaitu orang yang belum dewasa. c) Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Ketentuan mengenai batas umur tidak diatur secara eksplisit dalam KUHP yang sekarang berlaku. Apabila kita lihat ketentuan Pasal 45 KUHP, hanya mengatur bagaimana ketentuan pidananya bila seorang anak yang melakukan tindak pidana masih anak-anak dan belum berumur l6 tahun. Pasal tersebut hanya menyebutkan kata-kata belum dewasa yaitu mereka
19
yang berumur 16 tahun. Ini dapat diartikan bahwa mereka yang belum berumur l6 tahun dapat disebut sebagai anak-anak. d) Menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. e) Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. f) Menurut UU N0. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. g) Konvensi ILO (diratifikasi dengan UU No.1 Tahun 2000) ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour No. C182 (1999) atau Konvensi ILO tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak No. 182 Tahun 1999 mendefinisikan anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Untuk kebutuhan penelitian ini, anak didefinisikan sebagai seorang manusia yang masih kecil yang usianya kurang dari 18 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik
20
yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya. Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Abraham H. Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh. Sebagai manusia yang tengah tumbuh dan berkembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal. Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang
21
termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak. Konsep Anak Jalanan Negarawan Inggris, Winston Churchill, bahwa tidak ada investasi yang lebih baik untuk masyarakat manapun di dunia, kecuali menyediakan susu, pendidikan dan lingkungan yang sehat bagi anak-anak18. Selanjutnya UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menjelaskan bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Namun demikian, pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilakukan oleh anak sendiri sehingga tanggung jawab tersebut menjadi tanggungan orang tua, keluarga masyarakat dan pemerintah (UU No. 4 Tahun 1979). Orang tua dan keluarga memiliki tanggung jawab pertama terhadap kesejahteraan anak karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan anak untuk tumbuh dan berkembang. Di dalam keluarga, penyikapan orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh persepsi orang tua terhadap arti anak. Bagi orang tua, anak dapat dilihat sebagai komoditas rumah tangga (household commodity) yang memiliki tiga fungsi: konsumsi, investasi dan asuransi.19 Meskipun secara konseptual kesejahteraan anak dilindungi undang-undang namun realitas di masyarakat menunjukkan bahwa tidak semua anak mendapatkan 18
Antonius Wibowo, Perlindungan Anak, dalam Respon Vol. 3 No. 3 Atmajaya, Jakarta, 1998, hal 1. Anwar, Evi, Nurvida dan Toro S. Wongkaren, Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi, dalam Prisma No. 2. LP3ES, Jakarta, 1997, HAL 3. 19
22
haknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Berbagai masalah sosial dan ekonomi menjadi sebab anak tidak memperoleh kesejahteraannya. Termasuk di dalam kategori tersebut adalah anak jalanan seperti yang didefinisikan oleh UNICEF: “Street children are those who have abandoned their homes, schools and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life”.20 Menurut M. Ishaq21, ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni : (1) mencari kepuasan; (2) mengais nafkah; dan (3) tindakan asusila. Kegiatan anak jalanan itu erat kaitannya dengan tempat mereka mangkal sehari-hari, yakni di alunalun, bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan mall. Adapun karakteristik anak jalanan menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia adalah: a) Anak-anak yang berusia 6-21 tahun, terutama usia 6-15 tahun, b) meninggalkan keluarganya c) Memiliki kegiatan keseharian tertentu yang rutin d) meninggalkan sekolahnya e) Tinggal di kota 22 Dengan memperhatikan pendapat-pendapat diatas, yang dimaksud dengan pengertian konsep anak jalanan dalam penelitian ini adalah seseorang anak yang berumur kurang dari 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di 20
Anonimus, Op.cit, hal 27. M. Ishaq, "Pengembangan Modul Literasi Jalanan untuk Peningkatan Kemampuan Hidup Bermasyarakat Anak-anak Jalanan". Makalah. Lokakarya Modul Literasi Jalanan di BPKB JayagiriLembang, 24-25 Maret 1998. Yayasan Bahtera-Unicef, Bandung 1998. 22 Anonimus, Op.cit, hal 36. 21
23
jalanan atau di tempat-tempat umum yang melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan di sini adalah menunjukkan pada “jalanan” tempat-tempat lain seperti pasar, pusat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal dan stasiun. Sehingga Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia kurang dari 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Arti anak jalanan disebut juga pekerja anak adalah seseorang yang menghabiskan waktu hidupnya di jalanan tetapi masih pulang kepada keluarga mereka. Anak jalanan adalah anak yang hidup di jalanan dan masih melangsungkan hubungan dengan keluarganya dan ditinggalkan ataupun yang lari dari keluarganya. Anak jalanan, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak jalanan. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta menjadi kering tak menarik. Adapun teori tentang terjadinya anak jalanan dipengaruhi oleh faktor-faktor : 1.Anak Jalanan pada umumnya mempunyai keluarga yang berada di lingkungannya yang biasanya keluarganya adalah keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi
24
2.Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan anak berada dirumah , sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan. 3. Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak. 4. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun kejalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Dinas Sosial. 5. Belum optimalnya social control di dalam masyarakat. 6. Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base. 2.
TINJAUAN TENTANG KONVENSI HAK ANAK (KHA) 2.1 Sejarah Konvensi Hak Anak Pada tahun 1923 Eglantyne Jebb membuat rancangan Deklarasi Hak Anak (Declaration of Rights of the Child). Pernyataan Eglantyna Jebb mengenai Hak Anak diantaranya adalah : a) Anak Harus dilindungi tanpa mempertimbangkan ras, kewarganegaraan atau kebangsaan b) Anak harus diasuh demi keutuhan keluarga c) Anak harus berkembang normal baik material, moral dan spiritual d) Anak lapar harus diberi makan, sakit dirawat, cacat mental/fisik dididik yang sesuai, terlantar dan yatim piatu diberi penampungan e) Dalam keadaan bahaya anak yang diutamakan penyelamatannya
25
f) Anak harus memperoleh kesejahteraan dan jaminan sosial, pelatihan untuk hidup, dilindungi dari segala eksploitasi g) Anak harus dididik bakat dan kemampuannya untuk kemanusiaan. Selanjutnya pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak di adopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa, yang dikenal dengan Deklarasi Jenewa, dilanjutkan pada tahun 1948 Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi HAM yang mengatur adanya hak khusus bagi anak. Kemudian pada tahun 1959, PBB mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak yang merupakan deklarasi Internasional kedua. Dalam deklarasi ini ada 10 hal yang harus diperhatikan: a) Anak harus dibesarkan oleh kedua orang tuanya dan orang dewasa. b) Anak harus diberi makan sesuai kebutuhannya c) Kesehatan dan perkembangan anak harus di utamakan d) Anak harus dapat tempat bernaung yang layak. e) Anak harus mendapat sedikitnya pendidikan dasar f) Anak harus berkembang agar menikmati kehidupan g) Anak harus menerima pelatihan dan pendidikan sesuai bakat dan kemampuannya h) Anak harus diberikan kesempatan berpendapat i) Anak harus mudah memperoleh akses pelayanan yang mendasar j) Anak harus mendapatkan untuk mengetahui informasi dan dilindungi hak dan minatnya. Tahun 1979 merupakan tahun Anak Internasional. Pada tahun ini rancangan KHA mulai disusun. Rancangan KHA ini selesai dirumuskan pada tahun 1989 dan langsung diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Pada saat itu juga KHA (Convention on
26
the Rights of the Child) mulai berlaku sebagai hukum internasional. Indonesia mulai meratifikasi KHA pada tanggal 25 Agustus1990, melalui Keppres No. 36.Tahun 1990 sampai akhirnya di bulan Oktober 2002, Indonesia mengesahkan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) dengan UU No.23 Tahun 2002. 2.2 Isi Konvensi Hak Anak Isi Konvensi Hak Anak adalah : a) Langkah-langkah implementasi umum (Pasal 4, 42, 44 ayat (6)) Adalah langkah-langkah umum yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah guna melaksanakan hak-hak anak, yaitu : 1) Melakukan langkah legislatif, administratif dan sebagainya untuk pelaksanaan hak-hak anak (Pasal. 4). 2) Dengan cara upaya menyesuaikan legislasi nasional terhadap prinsip dan ketentuan KHA. 3) Pengakuan atas kehidupan dan jaminan dalam kelangsungan hidup dan perkembangannya (Pasal. 6). 4) Dengan cara upaya merumuskan strategi nasional bagi anak. 5) Sosialisasi ketentuan konvensi (Pasal. 42). 6) Dengan cara menerjemahakan KHA ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Daerah dan menyebarkannya. 7) Penyebarluasan laporan pelaksanaan konvensi (Pasal. 44) dll. b) Definisi anak (Pasal 1) “……setiap orang yang belum berumur 18 tahun kecuali menurut undang-undang
27
yang berlaku, kedewasaan dicapai dalam usia lebih awal”. c) Prinsip-prinsip umum (Pasal 2,3,6,12) 1) Non-diskriminasi: semua anak mempunyai hak yang sama dan harus diperlakukan sama oleh peraturan/ perundangan dan kebijakan Negara. 2) Kepentingan terbaik anak: setiap tindakan oleh kewenangan publik harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. 3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan: anak mempunyai baik hak-hak sipil maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. 4) Partisipasi anak: anak mempunyai hak untuk menyatakan pendapat sesuai tingkat usia dan perkembangannya dan dipertimbangkan pendapatnya. d) Hak dan kebebasan sipil (Pasal 7, 8, 13-17, 37.a) 1) Hak atas nama dan kewarganegaraan 2) Kebebasan berekspresi 3) Kebebasan berpikir dan beragama 4) Kebebasan berserikat 5) Hak atas perlindungan kehidupan pribadi 6) Hak atas informasi 7) Bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. e) Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (Pasal 5, 18 ayat (1) dan (2), 911, 19-21, 27 ayat (4), 39) 1) Hak atas bimbingan dari orang tua 2) Tidak dipisahkan dari orang tua
28
3) Hak untuk dipersatukan kembali dengan orang tua 4) Dilindungi dari kekerasan dan penelantaran orang tua; pemulihan bagi reintegrasi sosial bagi anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran orang tua. Di lingkungan keluarga anak berhak atas : 1) Perlindungan bagi anak yang tidak punya orang tua 2) Adopsi 3) hak untuk ditinjau secara periodik bagi anak yang ditempatkan di lembaga asuhan 4) Jaminan biaya hidup bagi anak yang orang tuanya berpisah f) Kesehatan dan kesejahteraan dasar (Pasal 6,18 ayat (3), 23, 24, 26, 27 ayat (1-3) 1) Hak anak-anak cacat 2) Hak atas kesehatan dan layanan kesehatan 3) Hak atas jaminan sosial dan layanan serta fasilitas perawatan anak 4) Hak atas peningkatan standar kehidupan g) Pendidikan,waktu luang dan kegiatan budaya (Pasal 28, 29, 31) 1) Hak atas pendidikan, terutama pendidikan dasar yang wajib dan gratis 2) Hak untuk dididik agar menjadi manusia yang: -
berkepribadian dan berkembang bakatnya
-
menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain
-
menghormati orang tua dan peradaban
-
bertangggungjawab dan toleran dalam masyarakat yang merdeka
-
menghormati lingkungan alam
29
3) Hak atas waktu luang dan terlibat kegiatan budaya h) Langkah-langkah perlindungan khusus 1) Perlindungan khusus dalam situasi darurat (Pasal 22, 38, 39): -
pengungsi anak
-
situasi konflik bersenjata (termasuk pemulihan dan reintegrasi sosial)
2) Perlindungan khusus bagi anak yang melakukan pelanggaran pidana (termasuk pemulihan dan reintegrasi sosial) (Pasal 40, 37 b dan d, 39) 3) Perlindungan khusus dalam situasi eksploitasi (termasuk pemulihan dan reintegrasi sosial) (Pasal 32 –36, 39) : -
Eksploitasi ekonomi
-
Penyalahgunaan narkoba
-
Eksploitasi dan kekerasan seksual
-
Penjualan, perdagangan dan penculikan anak
-
Eksploitasi dalam bentuk lain
4) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan masyarakat adat terasing (Pasal 30) 2.3 Pasal-Pasal Yang Berkaitan Dengan Kekerasan Terhadap Anak a) Pasal 19 KHA -
Negara melakukan upaya legislatif administratif, sosial dan pendidikan guna melindungi anak dari bentuk kekerasan fisik/mental, penelantaran, perlakuan salah, eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual.
-
Penetapan program-program sosial guna memberi dukungan bagi anak
-
Menetapkan program pelaporan, rujukan, pemeriksaan untuk kepentingan
30
proses pribadi anak dan proses peradilan. b) Pasal 32 KHA Negara melindungi anak dari tindakan eksploitasi ekonomi dan atas pekerjaan berbahaya
atau menganggu
pendidikan
anak, merugikan kesehatan,
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak. c) Pasal 34 KHA Melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual d) Pasal 39 KHA Mengambil langkah tepat untuk pemulihan fisik, psikologis dan reintegrasi dengan
masyarakat
terhadap
anak
korban
penelantaran,
eksploitasi/
penyalahgunaan, penyiksaan/ setiap bentuk kekejaman tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
3. TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA 3.1 Sejarah Perlindungan Anak di Indonesia Pembuatan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dilatarbelakangi dengan ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Indonesia pada tahun 1990 setelah konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB guna mengatur masalah pemenuhan Hak Anak. Selain itu Indonesia juga mengadopsi Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1999 (UU No. 39 Tahun 1999). Meskipun sudah ada sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak, misalnya UU Kesejahteraan Anak, UU Pengadilan Anak dan lain-lain belum ada undang-undang yang secara utuh dapat mengatasi permasalahan anak.
31
UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dapat dilihat sebagai salah satu produk dari Konvensi Hak Anak yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi anak sehubungan dengan upaya pemenuhan Hak Anak sehingga dapat mengurangi pelanggaran Hak Anak baik yang dilakukan oleh orang tua dalam konteks keluarga, masyarakat maupun negara. Undang-undang Perlindungan Anak dibuat berdasarkan empat prinsip KHA: non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, bertahan dan berkembang, dan hak anak untuk berpartisipasi. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.23 Dengan berpedoman pada ide perlindungan anak agar mampu hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan mereka sendiri dan bangsa pada umumnya maka hak anak tersebut harus dapat dijamin keberlangsungannya. Perlindungan Khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
23
Pasal 1 huruf b UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
32
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 24. Dengan demikian anak jalanan harus mendapatkan perlindungan. Selanjutnya Pasal 64 UU No 23 Tahun 2002 mengatur : 1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum (Pasal 59) meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus. d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Peran strategis ini disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah konvensi
24
Pasal 1 huruf p UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
33
yang intinya
menekankan posisi anak sebagai mahluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children) pada tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak bagi semua anak tanpa kecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak-hak anak jalanan. 3.2 Sekilas Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia Untuk apa KPAI dibentuk? Dalam BAB XI pada Pasal 74 dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Pasal 75 mengatur tentang keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang terdiri dari beberapa unsur yakni ; unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyaraktan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Selanjutnya dalam Pasal 76 mengatur tentang tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia yaitu; 1) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; 2) Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
34
a) Visi dan Misi KPAI adalah : Visi KPAI adalah terjamin, terpenuhi, dan terlindunginya hak-hak anak di Indonesia. Sedangkan misinya adalah : 1) Menyadarkan semua orang terutama orang tua, keluarga, masyarakat dan negara akan pentingnya perlindungan hak-hak anak; 2) Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak - haknya; 3) Menerima pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak. b) Strategi KPAI 1) Pengarusutamaan anak (Child mainstreaming and child friendly) dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. 2) Pemberdayaan masyarakat dan partisipasi anak (community empowerment and child participation) dalam upaya perlindungan anak. 3) Pengembangan mekanisme kerjasama kemitraan (harmoneous partnership) dengan berbagai pihak. 4) Pengembangan kebijakan dan penegakan hukum (law enforcement) dalam rangka perlindungan anak secara adil, konsisten, dan konsekwen. 3.3 Pasal-Pasal Yang Berkaitan Dengan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) a) Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUPA 1) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan : -
diskriminasi
-
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
35
-
penelantaran,
-
kekejaman, kekerasan dan penganiayaan,
-
ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya
2) Jika anak diperlakukan seperti diatas maka diberi pemberatan hukuman b) Pasal 15 UUPA Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari : -
Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
-
Perlibatan dalam sengketa bersenjata
-
Perlibatan dalam kerusuhan sosial
-
Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan,
-
Pelibatan dalam peperangan.
c) Pasal 16 UUPA -
Berhak mendapatkan perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
-
Memperoleh kebebasan
-
Penangkapan, penahanan atau tindakan penjara anak harus sesuai hukum yang berlaku dan merupakan upaya terakhir
d) Pasal 59 UUPA Pemerintah wajib dan bertanggungjawab memberikan perlindungan khusus kepada: -
Anak dalam situasi darurat,
-
Anak yang berhadapan dengan hukum,
-
Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
36
-
Anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual
-
Anak yang diperdagangkan.
-
Anak yang menjadi korban penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
-
Anak korban penculikan, penjualan, perdagangan.
-
Anak korban kekerasan fisik dan/atau mental
-
Anak penyandang cacat.
-
Anak korban perlakukan salah dan penelantaran.
e) Pasal 78 UUPA Setiap orang yang mengetahui dan sengaja tidak menolong/ membantu anak yang menjadi korban kekerasan, dipidana maksimal 5 (lima) tahun atau denda Rp.100 Juta. f) Pasal 80 UUPA -
Setiap orang yang melakukan kekerasan/ penganiayaan, diancam pidana penjara 3 tahun 6 bulan atau denda maksimal Rp. 72 juta,-
-
Bila luka berat dipidana penjara 5 tahun dan/ atau denda Rp. 100 juta
-
Bila meninggal dunia dipidana penjara 10 tahun dan atau denda Rp. 200 Juta
-
Bila dilakukan orang tuanya ditambah 1/3 dari ancaman.
g) Pasal 81 UUPA Setiap orang yang dengan sengaja melakukan persetubuhan dipidana maksimal 15 tahun dan/ atau denda maksimal Rp. 300 Juta,- dan minimal 3 tahun dan/ atau denda minimal Rp. 60 Juta.
37
h) Pasal 82 UUPA Setiap orang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana maksimal 15 tahun dan/ atau denda maksimal Rp.300 Juta,- dan minimal 3 tahun dan/ atau denda minimal Rp.60Juta. i) Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau dijual dipidana maksimal 15 tahun dan/ atau denda maksimal Rp. 300 juta dan minimal 3 tahun dan/ atau denda minimal Rp. 60 juta. j) Pasal 88 UUPA Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/ atau denda maksimal Rp. 200 juta
2. TINJAUAN KHUSUS 1. Peran Peradilan Dalam Penyelenggaraan Perlindungan Anak Penyelenggaraan Pengadilan Anak mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan anak disamping kepentingan masyarakat. Bahwa Negara Kesatuan RI menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan Hak Asazi Manusia. Sebagaimana kita ketahui bersama, apa yang dimaksud dengan : Hak anak adalah Hak Asazi Manusia dan untuk kepentingan hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan25. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan 25
Pasal 52 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia.
38
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.26. Mengingat ciri khas dan sifat yang khas pada anak yang tidak dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa, lagipula perbuatan anak belum dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum pidana (toerekenvatbaarheid), maka terhadap anak wajib diberikan perlakuan dan perlindungan khusus. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepda anak dalam : -
situasi darurat,
-
anak yang berhadapan dengan hukum,
-
anak dari kelompok minioritas dan terisolasi,
-
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual anak yang diperdagangkan,
-
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
-
anak korban penculikan, penjualan, perdagangan,
-
anak korban kekerasan baik fisik, dan/atau mental,
-
anak yang meyandang cacat, dan
-
anak korban perlakuan salah dan penelantaran
Pengadilan anak berperan melaksanakan Perlindungan Anak di bidang Hukum Pidana maupun dibidang Hukum Perdata.
26
Pasal 1 butir 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
39
2. Perlindungan Anak Dibidang Hukum Pidana Jauh sebelum terbentuknya Undang-undang Perlindungan Anak sudah diatur ketentuan Undang-Undang yang melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana dan pelaksanaannya dilakukan disidang anak di Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum setempat, yaitu: a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 45, 46 dan Pasal 47 yang diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Pasal 45 :
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46 : 1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. 2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 47 : 1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. 2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
40
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan. b) UU Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979 Pasal 1 butir 8 mengatur tentang anak yang mengalami masalah kelakuan yaitu anak yang menunjukkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma kemasyarakatan. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya (Pasal 6 (1). Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut, juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan Hakim (Pasal 6 (2) UU Nomor: 4 Tahun 1979). c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 (3) yang isinya “sidang yang terdakwa anak harus dilakukan tertutup untuk umum”, sedangkan ayat (5) “Hakim dapat menentukan anak yang belum mencapai usia 17 tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang”. d) Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 19 : “tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksa”. Dengan dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yang berlaku tanggal 3 Januari 1998, 1 tahun setelah diundangkan (Pasal 68) perlindungan hukum terhadap anak lebih terjamin baik dari segi Hukum Acaranya maupun Hukum Materiil.
41
Hal-hal baru tentang pemidanaan yang dituangkan dalam Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, antara lain : a) Batas usia minimum seorang anak dapat diajukan ke persidangan b) Laporan penelitian kemasyarakatan (LITMAS) merupakan hal yang wajib diajukan dipersidangan dengan ancaman putusan batal demi hukum bila tidak dipertimbangkan hakim. (Pasal 59 ayat 2). c) Tindak pidana yang dilakukan bersama dengan orang dewasa atau anggota Angkatan Bersenjata RI, maka berkas perkaranya dan acara pemeriksaan dipersidangan harus dipisahkan. d) Tentang Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal selain pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda dimungkinkan untuk dijatuhkan pidana pengawas. Selain Pidana Pokok terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi (Pasal 23 ayat 3). e) Pidana denda dapat dijatuhkan maximum ½ ancaman pidana denda orang dewasa, bila tidak dapat dibayar diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 40 hari kerja tidak lebih dari 4 jam sehari disiang hari, dimaksudkan sebagai pengganti denda yang sekaligus untuk mendidik anak pidana agar memiliki keterampilan yang dapat bermanfaat bagi dirinya. (Pasal 28). f) Adanya hal-hal baru tentang ancaman pidana penjara terhadap anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 huruf a, paling lama setengah dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat 1). g) Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 huruf a
42
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat diancamkan pada anak tersebut paling lama sepuluh tahun (Pasal 26 ayat 2). h) Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 huruf a belum berumur 12 tahun melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dijatuhkan tindakan untuk (Pasal 24 (1) b). Tindakan (maatregel) yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : -
Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
-
Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, latihan kerja ;
-
menyerahkan kepada Departemen Sosial, Organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja .
-
Tindakan sebagaimana dimaksud diatas khususnya butir a dan b dapat disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim (Pasal 24 ayat 2).
i) Macam pidana lain yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana adalah pidana pengawasan yang khususnya dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a UU Pengadilan Anak) paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Apabila terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana yang dimaksud diatas, maka anak tersebut ditempatkan dibawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan
43
(Pasal 30). Sampai sekarang belum ada Peraturan Pemerintahnya (PP) j) Perhitungan penahanan terhadap anak dikurangi setengah bagian dari maksimum tahanan dewasa, sehingga sebagai perbandingan dapat dikemukakan disini terhadap anak dapat ditahan selama-lamanya 200 hari sedangkan untuk orang dewasa dapat ditahan 400 hari (Pasal 44-50). k) Bantuan hukum yang diberikan kepada anak diatur dalam Pasal 51 merupakan Hak bagi Anak disetiap tingkat pemeriksaan. 3. Perlindungan Anak Dibidang Hukum Perdata Dalam bidang hukum perdata seorang anak di bawah umur belum dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, karena belum dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, maka masih dalam keadaan ombekwaam karenanya perlu diberikan perlindungan hukum oleh orang tuanya atau walinya yang sah atau orang yang merawat, memelihara, mendidik dan membesarkan. Dari Segi Hukum Perdata banyak ketentuan perundang-undangan yang tumpang tindih mengatur perlindungan anak antara lain : a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Buku I b) Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979 c) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1975 d) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia 1991 e) Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 f) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
44
Misalnya : -
Identitas Anak
-
Kuasa Asuh
-
Anak Luar Nikah
-
Perwalian
-
Pencabutan Kuasa Asuh
-
Pengangkatan Anak Hal baru dari segi hukum perdata yang diatur dalam UU Perlindungan Anak
antara lain : a) Pengasuhan anak b) Hak Sipil c) Penghargaan terhadap Pendapat Anak d) Hak untuk berekreasi e) Perlindungan Khusus Anak dalam situasi darurat : pengungsi f) Bantuan Rehabilitasi, vokasional g) Kewarganegaraan h) Wali Pengawas (BHP) i) Anak Terlantar 4. Azaz Kepentingan Terbaik Bagi Anak Yang dimaksud dengan Azas Kepentingan Terbaik bagi Anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan yudikatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
45
Dalam hal menjamin dan menghormati hak anak negara dan pemerintah tidak dibenarkan melakukan diskriminasi/ membedakan suku, agama, ras, golongan dll, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 mengingat Penyelenggaraan Perlindungan Anak harus berasaskan Pancasila dan UUD 1945 dan prinsip dasar Konvensi Hak Anak (CRC) yang meliputi : a. Non diskriminasi b. Kepentingan yang terbaik bagi anak. c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta d. Penghargaan terhadap anak. 5. Perlindungan Khusus Bagi Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (2) butir a s/d g juncto Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum dilaksanakan melalui : a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; 1) Pasal 16 (1): “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”. 2) Pasal 17 ayat (1) a: “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa”. b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; 1) Pasal 17 ayat (1) b: “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : -
Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
46
-
Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum”.
Yang dimaksud dengan bantuan lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa. 2) Pasal 18: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidkan. c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus 1) Pasal. 22: “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak”. 2) Pasal 17 ayat (2): “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 1) Pasal 14: “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. 2) Pasal 16 ayat (1): -
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
47
-
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
-
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
3) Pasal 17 ayat (1) c: “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak”. e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; 1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 6, 7, 8, 9, 15, 21, 41, s/d 63. 2) KUHAP Pasal 153 (3) dan (5) 3) Kep.Men.Keh. RI. No. M.02.PW.07.10 Tahun 1997 tentang : Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib Ruang Sidang tanggal 24-12-1997 4) Instruksi Men.Keh. RI No. M.01-UM.08.10 tahun 1996 tentang : Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum bagi Golongan Masyarakat yang kurang Mampu melalui LBH tgl. 21-11-1996. f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; Pasal 14: “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
48
g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 1) Pasal. 17 (2): “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. 2) Pasal 27 -
Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
-
Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akte kelahiran.
-
Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
-
dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukan.
6. Perlindungan Khusus Bagi Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perlindungan Anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, antara lain dalam bidang hukum, baik Perdata maupun Pidana. Perlindungan hukum terhadap Anak korban kekerasan dan perlakuan salah seyogyanya sudah dapat dilaksanakan, bukan merupakan angan-angan saja karena merupakan Hak Anak yang harus diterima oleh yang bersangkutan. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus bagi anak sebagai korban tindak pidana dilaksanakan melalui : a) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
49
1) Pasal 18 : Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Penjelasan : Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan. 2) Pasal 66 ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 3) Pasal 66 ayat (2) : Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui : -
penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
-
pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
-
pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
4) Pasal 67 ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 5) Pasal 68 ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
50
dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 6) Pasal 69 ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 7) Pasal 71 ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. b) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi 1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 8 2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 17 ayat (2) 3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal10 (c). c) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; 1) UU No. 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 13, 14, 15, 16, 20, 22 dan 27 2) RUU Perlindungan Saksi dan Korban
51
d) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara 1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal. 14 ayat (2), Pasal 17 dan 18 ayat (4) 2) UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 25 3) RUU Perlindungan Saksi dan Korban
52
53