1
EKONOMI PERDESAAN PASCAKONFLIK
LAPORAN PENELITIAN
ANALISIS POLA PERUBAHAN MATA PENCAHARIAN DAN KELEMBAGAAN EKONOMI PASCAKONFLIK DI ACEH
Peneliti Utama
DR. NAZAMUDDIN, MA DR. IR. AGUSSABTI, MSi. Drs. SAIFUL BAHRI, MPd
UNIVERSITAS SYIAH KUALA NOVEMBER 2009
2
ANALISIS POLA PERUBAHAN MATA PENCAHARIAN DAN KELEMBAGAAN EKONOMI PASCAKONFLIK DI ACEH Abstract Nazamuddin, Agusabti, dan Saiful Bahri Tingkat kemiskinan di Aceh sampai saat ini masih di atas rata-rata angka kemiskinan nasional. Setelah masa konflik berbagai uapaya dan bantuan telah dicurahkan dalam upaya memmangkitkan kembali ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dikaji sejauh mana berbagai upaya tersebut tepat sasaran dan mampu menggerakkan ekonomi masyarakat di pedesaan, khususnya wilayah konflik di Aceh. Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi penyebab terjadi perubahan pola pencaharian (livelihood) akibat faktor-faktor yang terkait dengan konflik Aceh, seperti displacement dan migrasi, kehilangan pencari nafkah utama (breadwinner), persepsi atau sikap masyarakat terhadap pola pencaharian yang paling menguntungkan atau paling dibutuhkan, dan perubahan peran perempuan dalam menghidupi keluarga; (2) Mengetahui pola perubahan kelembagaan ekonomi di perdesaan sebagai dampak dari perubahan penghidupan ekonomi dan struktur sosial; (3) mengetahui kecepatan pemulihan penghidupan ekonomi (recovery rate) masyarakat perdesaan pascakonflik; dan (4) mengeluarkan suatu rekomendasi kebijakan tentang strategi peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat perdesaan pascakonflik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei karena mengingat jumlah populasi yang begitu besar. Selain itu juga dilakukan interview mendalam dengan sejumlah “Key Informant” untuk memperoleh dan mampu menterjemahkan data kuantitatif, fenomena, dan informasi yang dibutuhkan guna menjawab tujuan penelitian. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Pidie, Kabupaten Nagan Rayamasing-masing kabupaten, diambil 1 kecamatan yang terimbas konflik. Dari masing-masing kecamatan diambil 2 desa, yang masing-masing desa ditentukan 40 orang responden rumahtangga yang dipilih secara acak (random) sehingga total sampel berjumlah 240 responden. Data yang diperoleh dari lapangan dibuat dalam bentuk data frekwensi dan kemudian dianalisis secara deskriptif, sedang data kuantitatif dianalisis dengan Model LOGIT sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) setiap desa secara umum menunjukkan adanya upaya masyarakat pada masa konflik untuk bermigrasi. Faktor keamanan (merasa terancam) yang menjadi dasar utama alasan masyarakat untuk bermigrasi atau displacement karena mereka tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah sehingga displacement atau migrasi merupakan salah satu faktor penting dalam mewarnai perubahan mata pencaharian yang ditekuni seseorang; (2) terjadi perubahan pencari nafkah utama keluarga antara pada masa konflik dan masa sekarang, meskipun sebagian besar pencari nafkah keluarga masih tertumpu pada suami. Faktor utama penyebab perubahan pencari nafkah utama keluarga adalah akibat terbunuhnya suami sebagai KK pada saat konflik; (3) kontribusi perempuan dalam menunjang pendapatan keluarga sangat besar terutama bagi bagi KK janda; (4) terjadi perubahan penghasilan masyarakat ke arah
3 positif pada masa sekarang dibandingkan dengan masa konflik; (5) Terjadi perubahan mata
pencaharian pokok, terutama pada konsentrasi bidang pertanian sawah ke bidang pertanian perkebunan; (6) tidak terdapat perubahan yang signifkan berkaitan dengan persepsi responden akan pentingnya pengetahuan dan ketrampilan terhadap pilihan pekerjaan yang ditekuni Kepala Keluarga; (7) mulai terjadi adanya perubahan terkait dengan kelembagaan ekonomi masyarakat, meskipun belum signifikan; (8) lebih 80% responden menunjukkan adanya kenaikan pendapatan yang bermakna bahwa sudah pemulihan penghidupan ekonomi masyarakat sebagai insentif terhadap perdamaian; dan (9) berdasarkan interpretasi dari koefisien hasil estimasi menemukan: (a) mereka yang bermigrasi karena konflik cenderung mengubah pencaharian mereka di mana peluang berubah pekerjaan meningkat ketika beranjak ke kelompok pendapatan lebih tinggi kecuali ketika pendapatan berada antara 5-6 juta rupiah (lihat Lampiran 1a); (b) mereka yang mempunyai pengetahuan berbeda antara masa konflik dan masa damai cenderung berubah bidang pekerjaan; dan (c) variabel-variabel lain, displacement dan perubahan pencari nafkah tidak berpengaruh pada perubahan pencaharian. Rekomendasi dari penelitian ini: (1) perlunya pemerintah membangun kembali infrastruktur jalan ke sentra produksi, irigasi dan air bersih dalam upaya mempercepat pembangkitan ekonomi masyarakat; (2) perlunya pemerintah merancang program “home industri” berbasis bahan baku pertanian sehingga peran kaum perempuan dalam kegiatan ekonomi dan pemulihan penghidupan keluarga yang korban konflik; (3) perlunya pemerintah merancang program pemberian bantuan modal usaha yang diikuti dengan: pedampingan input, pedampingan proses, dan pedampingan output; (4) perlunya pemerintah merancang suatu program kampanye tentang pentingnya membangun perdamaian dan menyediakan suasana yang kondusif bagi keberlanjutan; dan (5) perlunya penelitian lanjutan terkait dengan dampak perdamaian terhadap kebangkitan ekonomi masyarakat dan melakukan “action researh” sebagai pilot project ke depan.
4
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak ditandatanganinya perjanjian perdamaian Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, perekonomian Aceh kembali berkembang pada alur pertumbuhan positif. Ditambah lagi dengan mengalirnya dana rekonstruksi dalam jumlah besar dalam rangka pemulihan kehidupan masyarakat akibat bencana tsunami, ekonomi Aceh tumbuh dengan cepat selama beberapa tahun pascakonflik dan pascatsunami. Namun persoalan yang kemudian muncul adalah: apakah pertumbuhan yang cepat itu dapat bertahan (sustainable)?, apakah kesejahteraan masyarakat di perdesaan meningkat?, serta strategi apa yang ditempuh agar terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pascakonflik? Beberapa pertanyaan tadi akan dapat terjawab melalui pemahanan tentang pola perubahan mata pencaharian dan kelembagaan ekonomi masyarakat desa. Memahami kondisi selama konflik dan pascakonflik dapat memberikan pemahaman tentang cepat lambatnya pemulihan dan penyebab-penyebabnya. Perekonomian Aceh di luar sektor minyak dan gas bumi masih bertumpu pada pertanian, Pada tahun 2007, sector pertanian memberi kontribusi 31,69 persen dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nonmigas Aceh. Diantaranya tanaman bahan makanan (food crops) masih merupakan yang paling dominan (13,23 persen), Kecuali tanaman perkebunan yang memberi kontribusi 6,42 persen dalam output regional, sektor-sektor lain (peternakan, kehutanan, dan perikanan) mempunyai peran masing-masing di bawah 5 persen. Kendati pendapatan per kapita penduduk Aceh yang berada pada tingkat Rp 11 juta dan mendekati rata-rata nasional pada tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di Aceh masih tinggi. Pada tahun 2008, angka kemiskinan
5 mencapai 23,5 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional pada tingkat 21,92
persen.
Selama periode 2004-2008, pertumbuhan pertanian hanya 1,6 persen, walaupun PDRB nonmigas Aceh tumbuh rata-rata 3,96 persen. Ini mengindikasikan bahwa pascakonflik, ekonomi perdesaan belum mencapai suatu alur pertumbuhan yang secara signifikan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat desa pascakonflik. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritik dan kebijakan penting sehingga dapat ditemukan formulasi kebijakan dalam peningkatan ekonomi pedesaan pascakonflik di Provinsi Aceh.
1.2. Tujuan Khusus Sehubungan dengan latar belakang di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi penyebab terjadi perubahan pola pencaharian (livelihood) akibat faktor-faktor yang terkait dengan konflik Aceh, seperti displacement, migrasi, kehilangan pencari nafkah utama (breadwinner), persepsi atau sikap masyarakat terhadap pola pencaharian yang paling menguntungkan atau paling dibutuhkan, dan perubahan peran perempuan dalam menghidupi keluarga, dll. 2. Mengetahui pola perubahan kelembagaan ekonomi di perdesaan sebagai dampak dari perubahan penghidupan ekonomi dan struktur sosial. 3. Mengetahui kecepatan pemulihan penghidupan ekonomi (recovery rate) masyarakat perdesaan pascakonflik. 4. Mengeluarkan suatu rekomendasi kebijakan tentang strategi peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat perdesaan pascakonflik. 1.3. Urgensi Penelitian Di satu sisi konflik telah semakin memiskinkan penduduk Aceh, khususnya di perdesaan, di sisi lain begitu banyak kesempatan hilang karena konflik sehingga pascakonflik pun pemulihan kehidupan ekonomi masyarakat dapat terperangkap dalam pertumbuhan yang lamban. Konflik
6 bersenjata pada dasarnya berdampak pada kelembagaan politik, sosial, dan ekonomi yang merupakan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Perubahan kelembagaan ekonomi perlu dianalisis untuk menemukan strategi komprehensif bagi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, khususnya bagi daerah seperti Aceh yang mengalami konflik yang panjang dan sebagian besar masyarakatnya yang masih bergantung pada pencaharian di bidang pertanian tradisional dan bertempat tinggal di perdesaan. Rusaknya infrastruktur perdesaan, pembunuhan, displacement, migrasi ke luar, dan trauma yang ditimbulkan oleh konflik yang panjang bersifat destruktif bagi penghidupan ekonomi dan kelembagaan ekonomi masyarakat. Ini merupakan dampak langsung dari konflik. Dampak jangka panjang dapat berupa perubahan perilaku, preferensi, dan fungsi kelembagaan (lihat Bodea dan Elbadawi, 2008). Perilaku investasi juga berubah dan akibatnya tabungan berkurang, akumulasi modal
manusia (human capital) berkurang dan perilaku berrisiko (Lorentzen,
McMillan and Wacziarg, 2006 dalam Patrick Barron, Enrique Blanco Armas, David Elmaleh and Harry Masyrafah (forthcoming). Distorsi-distorsi seperti digambarkan di atas dapat terus berlanjut dalam masa pascakonflik. Kesulitan-kesulitan dalam reintegrasi mantan kombatan dan masyarakat dalam kelembagaan ekonomi justru dapat menimbulkan hambatan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan secara menyeluruh. Pergeseran kekuasaan politik dari atas hingga ke bawah pada tingkat desa dapat memperlebar kesenjangan di antara penduduk desa sendiri, yang justru pada gilirannya dapat memicu konflik pada tingkat masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, apapun strategi pemberdayaan ekonomi perdesaan akan menghadapi risiko kegagalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pembangunan ekonomi masyarakat desa yang dapat berlanjut dalam jangka panjang, di luar program-program ad hoc seperti kompensasi Diyat dan bantuan pemberdayaan ekonomi dalam rangka reintegrasi, sebagaimana telah ditempuh selama ini.
7
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:
1. Teridentifikasi penyebab terjadi perubahan pola pencaharian (livelihood) pascakonflik Aceh. 2. Terpetakan pola perubahan kelembagaan ekonomi dan kecepatan pemulihan penghidupan ekonomi (recovery rate) masyarakat perdesaan pasca-konflik di Aceh 3. Lahirnya rekomendasi kebijakan tentang strategi peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat perdesaan pascakonflik di Aceh.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Konflik berkepanjangan telah berdampak sangat besar pada keterpurukan kondisi perkonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Aceh. Kondisi ini mengakibatkan jumlah penduduk rentan di ACEH menjadi sangat tinggi, sehingga sedikit saja goncangannya dapat mengakibatkan mereka berada di bawah garis kemiskinan. Hasil penelitian World Bank (2008) bahkan menyebutkan Aceh menempati urutan kedua penduduk termiskin setelah Papua. World Bank juga menyebutkan kemiskinan di Aceh merupakan fenomena pedesaan dengan lebih dari 30 persen rumah tangga di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. The Economist edisi 24 Mei 2003 melaporkan sekitar delapan puluh persen dari semua perang saudara (civil war) yang ada di dunia ini menimpa seperenam dari penduduk termiskin dunia. Sebagaimana konflik internal di belahan dunia lain seperti Congo, Nigeria, Angola, Sierra Leone, Sudan, dan Kolombia, salah satu penyebab utama dan mendasar konflik Aceh yang sudah berlangsung lama itu sebenarnya adalah ekonomi (Nazamuddin, 2004). Konflik menyebabkan kemiskinan meningkat, dan sebaliknya kemiskinan justru memperbesar peluang terjadinya konflik baru. The World Bank (2008) memperlihatkan beberapa angka yang menggambarkan dampak dari konflik Aceh. Salah satu dampak yang menonjol adalah terpisahnya banyak orang dari tempat tinggal mereka. Antara tahun 1999 hingga 2002, sekitar 25 persen dari semua desa di Aceh dilaporkan terkena dampak konflik, dan sekitar 13 persen dari desadesa itu menghadapi konflik kekerasan. Czaika and Kis-Katos (2007 dalam The World Bank, 2008) menyimpulkan bahwa sekitar setengah juta orang terpisah dari tempat
9 tinggal mereka (displaced) karena konflik. Provinsi lain, khususnya Sumatera Utara, Malaysia dan Singapura menjadi tempat pengungsian bagi penduduk Aceh yang menghindar dari konflik. Sebagian lagi pindah ke tempat lain dalam wilayah Aceh sendiri yang dianggap lebih aman. Ada yang pindah desa, pindah kecamatan,pindah kabupaten/kota, atau sekedar dari desa ke kota di wilayah yang sama. Laporan organisasi hak azasi manusia menyebutkan bahwa pada puncak konflik, akhir 2003, UNHCR memperkirakan 8 ribu hingga 9 ribu penduduk Aceh mencari perlindungan di Malaysia. Tidak ada taksiran berapa banyak orang yang mengungsi secara internal dalam wilayah Aceh. Namun satu hal dapat disimpulkan bahwa konflik telah memperburuk kesejahteraan mereka yang terpisah dari tempat tinggalnya, paling tidak untuk jangka waktu tertentu. Mata pencaharian penduduk di daerah konflik biasanya terganggu dalam masa konflik dan tingkat keparahannya tergantung pada derajat konflik suatu wilayah. Dalam masa konflik bersenjata memuncak, di mana keamanan tidak terjamin dan kecurigaan sangat tinggi, pemerasan (extortions), penjarahan (looting), pencurian (stealing), dan pengrusakan aset dapat terjadi tanpa ada yang dapat mencegah. Tanpa ada jaminan asuransi, maka aset yang hilang atau rusak sulit dipulihkan dalam waktu singkat. Akibatnya produksi dan distribusi terkendala dan menutup peluang bagi ekspansi usaha dan kesempatan kerja baru. Keadaan demikian terjadi di wilayah-wilayah konflik di Aceh selama bertahun-tahun, terutama ketika konflik memuncak antara 1998 hingga 2005. Situasi seperti ini juga terjadi di bagian lain di dunia ini di mana konflik bersenjata berlangsung. Penghidupan (livelihoods) banyak penduduk di Darfur, Sudan, mengalami gangguan pada awal konflik, terutama karena meluasnya penjarahan atau destruksi aset
10 serta pergerakan penduduk yang tinggi, semua ini mengubah penghidupan pra-konflik (Buchanan-Smith, Margie, 2007). Sementara itu, konflik juga telah mengubah posisi perempuan sampai derajat tertentu dari posisi ibu rumahtangga menjadi penyedia nafkah keluarga (breadwinner). Kasus-kasus kepala keluarga perempuan pascakonflik di Aceh menjadi lebih lazim. Akibat meningkatnya kejadian konflik yang berlarut-larut dan meningkatnya jumlah rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan, maka peluang ekonomi yang lebih besar mesti disediakan bagi perempuan yang menanggung akibat paling buruk dari konflik, dan yang pada waktu bersamaan mengambil alih tanggungjawab menyediakan dukungan kehidupan bagi keluarga (Avery, 2005). “Teori-teori tentang ekonomi politik kekerasan menyiratkan bahwa aset yang dengannya dibangun sistem penghidupan (livelihoods systems) dalam masa damai malah dapat menjadi hutang (liabilities) yang mengancam kehidupan dan penghidupan. Adaptasi terhadap sistem penghidupan dalam lingkungan konflik menghendaki bahwa para peneliti perlu memandang kekerasan dari perspektif kebijakan, kelembagaan, dan proses. Oleh karena itu kepekaan (vulnerabilitas) mesti dikaji ulang sebagai variabel endogenous terhadap sistem penghidupan dalam lingkungan konflik” (Sue Lautze and Angela Raven-Roberts, 2006). Kekerasan dengan demikian dapat membalik sesuatu yang dianggap harta menjadi seolah-olah kewajiban kepada pihak lain. Penghidupan dalam konflik menanggung risiko yang begitu besar sehingga suatu usaha menjadi tidak layak. Dalam pencarian, dapat saja terjadi tingkat pergantian pekerjaan (turnover) yang tinggi. Jika dalam perekonomian modern, peralihan pekerjaan ini dapat berupa pindah perusahaan, maka dalam ekonomi perdesaan ini dapat berbentuk pindah mata
11 pencaharian, yang sampai batas tertentu dapat juga berarti pindah tempat tinggal atau bahkan peralihan tanggungjawab penghidupan dalam keluarga. Lebih jauh lagi, kepekaan perubahan sangat tergantung pada kebijakan, kelembagaan, dan proses perubahan itu terjadi. Pengalaman di Bangladesh (Rahman, 2006) menunjukkan bahwa konflik dapat dipicu oleh pengenalan suatu kegiatan ekonomi baru (dalam hal ini pembudidayaan udang untuk ekspor), sehingga tidak saja merusak lingkungan, tapi juga menimbulkan konflik sosial karena terganggunya penghidupan sebagian besar penduduk. Dalam konteks konflik Aceh, konflik diperkirakan telah menyebabkan dengan terpaksa beralihnya atau hilangnya mata pencaharian untuk penghidupan (livelihoods) sebagian penduduk. Tapi pascakonflik, belum tentu mereka kembali kepada pekerjaan semula karena berbagai alasan. Konflik horizontal sesama penduduk dalam skala berbeda-beda dapat saja terjadi, akibat perebutan faktor-faktor produksi. Jika kelembagaan ekonomi dan sosial lemah – yang dapat terjadi dalam masa konflik- maka perannya dalam penyelesaian konflik seperti akan sangat minimal. Namun di sisi lain mereka yang terlepas dari mata pencahariannya karena mengungsi atau pindah dan mencari pencaharian baru dapat memperoleh keamanan dalam lingkungan baru karena adanya kegiatan ekonomi yang membantu merajut kembali interdependensi sosial dan ekonomi di dalam dan antar komunitas, dan memulihkan jejaring sosial (social networks) atas dasar pertukaran tenaga, aset dan makanan (Jacobsen, 2002). Kondisi ini dapat terjadi dalam lingkungan baru di mana para migran yang keluar dari wilayah konflik dan menemukan pencaharian baru atau bahkan di wilayah konflik yang sekarang normal kembali.
12 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode survey. Pendekatan metode survey dipilih karena mengingat jumlah populasi begitu besar yang tersebar dalam wilayah penelitian ini, yakni Aceh. Diharapkan melalui pemilihan teknik sampling yang tepat akan dapat diperoleh informasi yang representatif dari populasi tersebut. Di samping itu, juga akan dilakukan interview mendalam dengan sejumlah “Key Informant” untuk memperoleh dan mampu menterjemahkan data kuantitatif, fenomena, dan informasi yang dibutuhkan guna menjawab tujuan penelitian. Survey dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sebagian pertanyaan pada kuesioner yang dipersiapkan tersebut, ada yang bersifat terbuka dan tertutup, sangat tergantung pada informasi yang ingin digali. Sementara itu, interview mendalam (in-depth interview) akan dilakukan melalui wawancara tak terstruktur dengan sejumlah pejabat pemerintah yang berperan pengambil kebijakan pembangunan pedesaan baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota dan bahkan kecamatan dan desa. Dalam hal ini wawancara mendalam akan dilakukan dengan sejumlah tokoh lokal, baik tokoh formal maupun nonformal sehingga dapat diperoleh kelengkapan informasi guna mendukung data dan informasi yang diperoleh melalui survey. Selanjutnya informasi yang diperoleh dari berbagai sumber tadi akan dilakukan cross-check dengan berbagai literatur dan kepustakaan sehingga lebih valid dalam mengambil kesimpulan.
13 3.2 Populasi dan Teknik Sampling Populasi dari penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK) yang menempati wilayah pedesaan di pesisir timur, wilayah tengah, dan pesisir barat dalam Provinsi ACEH. Pengambilan lokasi sampling akan dilakukan secara Purposive sampling (secara sengaja) karena mensyaratkan kriteria tertentu yang merujuk pada pembagian zona dan pertimbangan intensitas konflik di Aceh pada masa lalu. Untuk wilayah pesisir timur akan diambil sampel dari lokasi Kabupaten Pidie. Untuk wilayah tengah Aceh akan diambil sampel dari lokasi Kabupaten Bener Meriah. Untuk wilayah pesisir barat yang akan diambil sampel dari lokasi Kabupaten Nagan Raya. Dari tiap kabupaten akan diambil 1 kecamatan dan dari tiap kecamatan akan diambil 2 desa sehingga secara keseluruhan akan diperoleh sebanyak 6 desa sampel. Pengambilan sampel kabupaten dilakukan secara purposif (purposive sampling) untuk merepresentasikan tiga wilayah konflik yang berbeda dari sudut geografis, kultural, dan sampai batas tertentu tingkat keparahan konflik. Demikian pula, untuk pemilihan kecamatan dan desa hingga responden. Dari masing-masing kabupaten, diambil 1 kecamatan yang terimbas konflik. Dari masing-masing kecamatan diambil 2 desa yang berbeda (satu di pusat kecamatan dan satu jauh dari pusat kecamatan). Dari masingmasing desa, ditentukan 40 orang responden rumahtangga yang dipilih secara acak (random). Secara lebih terperinci wilayah penelitian dan besarnya sampel yang diambil dapat dilihat pada Tabel 1.
14 Tabel 1. Besarnya Sampel Penelitian pada masing-masing wilayah No. Lokasi Jumlah Jumlah Jumlah kecamatan Per Desa per responden kabupaten kecamatan per desa 1.
Kabupaten
2
40
Jumlah responden seluruhnya (KK) 80
1
2
40
80
Nagan 1
2
40
80
Bener 1
Meriah 2.
Kabupaten Pidie
3.
Kabupaten Raya
Jumlah
240
3.3. Metode Pengumpulan data dan Analisis Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara melakukan observasi dan wawancara secara terstruktur dengan sejumlah responden berdasarkan instrument (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya dan ditambahkan dengan pelaksanaan interview secara mendalam dengan sejumlah pejabat pemerintah yang berwenang dalam pengambilan kebijakan pembangunan ekonomi pedesaan dan interview mendalam juga dilakukan dengan sejumlah tokoh masyarakat lokal untuk memperkuat dan melengkapi informasi yang dibutuhkan.
Di samping itu, dilakukan pengumpulan data skunder
berupa kajian terhadap laporan pihak terkait dan studi leteratur guna memperkuat berbagai informasi yang diperoleh dari data primer tadi. Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah responden ditabulasi dan kemudian disajikan dalam bentuk tabelaris. Berdasarkan data primer dan data sekunder yang telah ditabulasi tadi, selanjutnya akan dilakukan analisis secara kuantitatif melalui uji-uji statistik dan ekonometrik. Melalui regresi berganda akan dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mata pencaharian penduduk dengan observasi penduduk
15 responden. Sementara untuk perubahan kelembagaan ekonomi pedesaan, dilakukan analisis deskriptif dari informasi per desa . Selain itu juga akan dilakukan analisis kualitatif untuk memperkuat data dan analisis kuantitatif yang dipaparkan secara deskriptif. Diagram di bawah ini menggambarkan hubungan pengaruh
antar variabel
penelitian. Variabel-variabe eksogen berupa displacement/migrasi, peralihan pencari nafkah keluarga (peningkatan peran perempuan, dan persepsi tentang mata pencaharian (jenis dan status). Jenis pekerjaan berupa pekerjaan
professional, ketatalaksanaan,
klerikal, penjualan, usaha jasa, tenaga pertanian, peternakan, dan perkebunan, tenaga produksi/operator, atau tenaga tdk berpengalaman/unskilled. Status pekerjaan berupa bekerja sendiri (self-employed) atau bekerja untuk pihak lain (employee atau paid labor). Variabel-varibel ini diprediksikan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan pencaharian (sektor pekerjaan, lokasi atau jarak pekerjaan, dan produktivitas/ pendapatan). Kemudian perubahan pencaharian pada gilirannya berpengaruh terhadap perubahan kelembagaan ekonomi (kolektivisme vs individualisme, organisasi/assosiasi, sistem insentif/pasar). Yang terakhir ini juga dipengaruhi secara langsung oleh perubahan-perubahan variabel eksogen. Perubahan kelembagaan dapat diidentifikasi dari keberadaan organisasi atau asosiasi profesi atau pekerjaan dan berapa kuat kekuatan daya tawarnya (bargaining power) karena melemahnya kolektivisme dan menguatnya sistem insentif. Berbagai perubahan ini dianalisis melalui lingkungan sosial dan politik yang berubah, bukan dalam lingkungan yang vakum. Sehingga kecepatan perubahan dapat
16 diidentfisikasi. Pada akhirnya, kebijakan dapat direkomendasikan untuk percepatan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan pascakonflik.
Gambar 1 Hubungan variabel eksogen dan endogen
Variabel eksogen
• • •
Variabel endogen
Perubahan kelembagaan ekonomi (kolektivisme vs individualisme, organisasi/assosiasi, sistem insentif/pasar)
Perubahan pola pencaharian (sektor pekerjaan, lokasi pekerjaan, dan produktivitas/pendapat an)
•
•
Displacement atau Migrasi Peralihan pencari nafkah keluarga Persepsi ttg mata pencaharian
Pengaruh tidak langsung
Pengaruh tidak langsung
Pengaruh langsung
Variabel-variabel Displacement atau Migrasi, Peralihan pencari nafkah keluarga, Persepsi ttg mata pencaharian (lebih baik atau lebih buruk) diasumsikan sebagai variabel dummy dengan nilai 0 dan 1. Variabel-variabel demikian dijadikan alat untuk mengklasifikasi perubahan (berubah atau tidak). Model Analysis of Variance (ANOVA) digunakan untuk membandingkan nilai-nilai mean yang berbeda untuk tiga kabupaten yang berbeda dan dua desa yang berbeda (dekat atau jauh dari pusat konflik). Analisis regresi digunakan untuk mengestimasi model berikut; (1)
Untuk mengestimasi perubahan atau kenaikan produktivitas atau pendapatan digunakan metode OLS dengan regressors seperti pada Diagaram 1.
17 (2)
Untuk mengestimasi perubahan sektor atau bidang pekerjaan dan lokasi pekerjaan, digunakan variabel dummy sebagai regressand. Oleh karena itu, model LOGIT akan digunakan untuk mengestimasi respon kualitatif dari variabel regressor. OLS tidak dapat digunakan dalam hal ini. Regresi linear biasa tidak tepat karena antara lain model dengan mean yang conditonal ini memberi restriksi yang tidak tepat terhadap residual model. Selain itu, the fitted value dari variabel dependen dari regresi linear seperti itu tidak dibatasi nilainya antara nol dan satu.
(3)
Untuk regresi perubahan kelembagaan ekonomi, Model LOGIT yang sama akan juga digunakan, kecuali pada yang terakhir ini diamsukkan variabel instrumental, yakni variabel-variabel eksogen.
Model Logit yang diestimasi adalah sbb; ⎛ P ⎞ Li = ln⎜ i ⎟ = β 0 + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + ....... + β n X n ⎜ 1 − P ⎟ ⎝ ⎠ Logit L bergerak dari −∞ ke +∞. Artinya, walaupun peluang (probability berada antara 0 and 1, nilai logit tidak dibatasi. Pi /(1 − Pi ) adalah peluang atau probabilitas (odds ratio) bahwa variable endogen mencapai nilai yang diharapkan, yakni berpindah bidang pekerjaan atau berpindah lokasi pekerjaan. Sebagai contoh, untuk Logit berpindah bidang pekerjaan; ⎛ 1 ⎞ Li = ln⎜ ⎟ jika responden berpindah bidang pekerjaan pascakonflik ⎝ 0 ⎠ ⎛ 0 ⎞ Li = ln⎜ ⎟ jika responden tidak berpindah bidang pekerjaan pascakonflik ⎝ 1 ⎠ Demikian juga untuk Logit pindah lokasi pekerjaan; ⎛ 1 ⎞ Li = ln⎜ ⎟ jika responden berpindah lokasi pekerjaan pascakonflik ⎝ 0 ⎠
18
⎛ 0 ⎞ Li = ln⎜ ⎟ jika responden tidak berpindah lokasi pekerjaan pascakonflik ⎝ 1 ⎠ Metode yang sama diterapkan untuk melihat peluang terjadinya perubahan kelembagaan ekonomi. Jika nilai Logit, L, adalah positif, ini berarti bahwa jika nilai regressor semakin besar (misalnya semakin memandang bahwa pekerjaan baru lebih baik atau peluang bermigrasi lebih besar atau berganti pencari nafkah), maka semakin besar kemungkinan (probability) berganti bidang pekerjaan atau berpindah lokasi. Demikian pula sebaliknya, jika L negative, maka peluang regressand bernilai 1 menurun ketika nilai X meningkat atau mendekati 1 (untuk dummy).
19 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten (Bener Meriah, Pidie dan Nagan Raya). Masing-masing kabupaten ditentukan satu kecamatan dan dua desa yaitu desa Puja Mulia dan Blang Pulo untuk kecamatan Bandar kabupaten Bener Meriah, desa Kabu Tunong dan Sumber Daya untuk kecamatan Seunagan kabupaten Nagan Raya, dan desa Panton Beunot serta Lhok Igeuh untuk kecamatan Tiro kabupaten Pidie. Sesuai kriteria sampel, sebelum damai seluruh lokasi merupakan daerah konflik yaitu tiga desa dengan konflik yang tinggi (hight conlict) dan tiga desa dengan konflik yang relatif rendah (low conflict). Berikut ini merupakan deskripsi ke enam desa yang dimaksud. Lima dari enam desa sampel ini dilihat dari kepemilikan suku dapat dinyatakan homogen, kecuali masyarakat Puja Mulia Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah yang relatif heterogen yakni terdiri dari suku gayo, jawa dan aceh pesisir secara berimbang. Masyarakat Blang Pulo di Kabupaten Bener Meriah adalah masyarakat transmigrasi pada tahun 1935 yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Begitu pula dengan masyarakat desa Sumber Daya kabupaten Nagan Raya adalah masyarakat transmigrasi pada tahun 1981 yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan Masyarakat desa Kabu Tunong di Kabupaten Nagan Raya dan masyarakat di desa Lhok Igeuh dan Panton Buenot merupakan suku aceh dan penduduk asli (pribumi).Dilihat dari sisi jarak tempuh desa yang dijadikan lokasi penelitian dapat dipandang beragam, dan hal ini berkaitan erat dengan kriteria sampel desa yang dimaksudkan di atas. Ada desa yang berada di pusat kota kecamatan dan ada pula yang jauh dari kecamatan dan kabupaten, seperti yang dicanderakan pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Gambaran Jarak Tempuh Desa ke Kota Kecamatan dan Kabupaten No 1 2 3
Kab./Kec.
Desa
Bener Meriah/ Puja Mulia
Intensitas Konflik Rendah
Bandar
Tinggi
10,00
17,00
Nagan Raya/ Kabu Tunong
Rendah
01,50
06,00
Seunagan
Sumber Daya
Tinggi
05,00
10,00
Pidie/Tiro
Lhok Igeuh
Rendah
00,50
21,00
Panton Beunot
Tinggi
07,00
28,00
Blang Pulo
Jarak ke Kec. (Km) 00,10
Jarak ke Kab. (Km) 07,00
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Sajian pada Tabel 2 itu mengisyaratkan bahwa semakin jauh desa tersebut dari pusat kecamatan dan kabupaten semakin tinggi intensitas konflik yang terjadi, seperti apa yang dinyatakan oleh beberapa responden di setiap lokasi bahwa “karena desa kami ini jauh dari pengamatan pemerintah, maka suasana konflik yang terjadi pada masa itu sangat terasa dan menakutkan”. Pernyataan “sangat terasa dan menakutkan” memiliki makna psikologis yang sangat mendalam dan tentu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat ketika itu, termasuk kehidupan ekonomi. Jumlah kepala keluarga (KK) dan penduduk di setiap desa juga beragam, baik dilihat pada masa konflik (sebelum tahun 2005) maupun pada masa damai (sekarang/tahun 2009). Tabel 3 berikut memberikan gambaran bahwa di daerah tertentu jumlah KK dan penduduk dari masa konflik hingga sekarang ada berkurang, dan ada yang bertambah. Pertambahan jumlah KK dan penduduk merupakan hal yang wajar karena adanya pernikahan dan kelahiran, namun bagi desa Blang Pulo dan Sumber Daya, berkurangnya jumlah KK dan penduduk karena banyak warga yang belum kembali setelah eksodus pada masa konflik (tahun 2001 dan 2002). Khususnya warga desa
21 Sumber Daya di Kabupaten Nagan Raya banyak yang eksodus ke Sumatera Utara, Pulau Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan dan Papua. Tabel 3. Jumlah Penduduk berdasarkan KK dan Jenis Kelamin No 1 2
3
Kab./Kec.
Desa
Jumlah KK Masa Skrg Konflik (2009) 345 336
Laki-Laki Masa Skrg Konflik (2009) 689 699
Perempuan Masa Skrg Konflik (2009) 693 711
Jumlah (L + P) Masa Skrg Konflik (2009) 1.382 1.410
Bener Meriah
Puja Mulia
/Bandar
Blang Pulo
164
162
261
262
264
268
525
530
Nagan Raya/
Kabu Tunong
202
202
319
334
364
378
683
712
Seunagan
Sumber Daya
738
178
1.392
320
1.560
285
2952
605
Pidie/Tiro
Lhok Igeuh
190
241
380
426
393
439
773
865
Panton Beunot
45
52
75
90
72
110
147
200
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala desa (geuchik) Sumber Daya diperoleh informasi bahwa masyarakat transmigrasi dari Pulau Jawa pada tahun 1981 yang melakukan eksodus merasa situasi Aceh hingga saat kini masih belum menentu meskipun sudah damai. Mereka belum berani kembali karena merasa takut dan trauma akan berbagai peristiwa pada masa konflik. Bahkan di antara yang belum kembali ada yang telah menjual tanah rumah dan kebunnya kepada warga lain. Itu artinya, diantara warga yang belum kembali, ada yang tidak akan kembali lagi ke desa Sumber Daya. Dari sisi gender, jumlah penduduk di setiap desa baik pada masa konflik maupun masa damai lebih banyak perempuan tenimbang laki-laki, meskipun perbedaan itu tidak signifikan. Berkaitan dengan jumlah penduduk berdasarkan usia, hampir diseluruh desa sampel tidak memiliki catatan (data) yang tertulis, oleh karena itu deskripsi tentang hal ini tidak ditampilkan. Lebih lanjut, dari perspektif pendidikan, Tabel 4 menunjukka bahwa masyarakat di desa sampel relatif kurang menggembirakan, sebab banyaknya penduduk yang masih memiliki pendidikan rendah bahkan ada yang tidak tamat SD/MI, kecuali pada
22 masyarakat desa Puja Mulia relatif baik tenimbang masyarakat di daerah lain. Secara konseptual, biasanya masyarakat yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mewarnai cara berfikir dan berperilakunya, termasuk dalam bekerja. Pentingnya akan pendidikan tersirat juga dalam wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di lokasi penelitian. Salah satu ungkapan yang disampaikan oleh Sekdes desa Kabu Tunong yaitu “Pane na pak, masyarakat gampong lon nyo sulet that bak ta ajak puebuet hai-hai yang baro, maklom umum jih berpendidikan rendah, han trouh ji semike” (terjemahan bebasnya, masyarakat kampung saya sulit diajak untuk menerima sesuatu yang baru, karena umumnya berpendidikan rendah). Tabel 4. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan No
Desa
Puja Mulia
Blang Pulo
Kabu Tunong
Sumber Daya
Lhok Igeuh
Panton Beunot
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon
2009
Saat Kon
2009
1
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah
103
128
86
87
105
118
706
152
216
231
40
115
2
Tidak Tmt SD
252
284
64
68
15
15
478
117
50
86
60
60
3
Tamat SD/MI
320
300
206
206
135
135
422
203
251
253
37
20
4
Tmt SMP/MTs
288
275
103
103
148
148
738
76
203
231
10
5
5
Tmt SMA/MA
198
200
66
66
275
275
608
51
38
49
-
-
6
Tmt Diploma
142
144
-
-
1
3
-
2
5
5
-
-
7
Sarjana
79
79
-
-
4
18
-
4
10
10
-
-
Jumlah
1.382
1.410
525
530
683
712
2.952
605
773
865
147
200
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Pendidikan merupakan hal yang luar biasa pentingnya bagi sumber daya manusia (SDM), sehingga ia menjadi salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM). Tanpa adanya pendidikan, kehidupan tidak akan mempunyai arti dan nilai martabat dan inilah sebenarnya maksud dasar dari HAM itu sendiri, di mana setiap orang mempunyai hak untuk menjadi seorang manusia seutuhnya.
23 John Stuart Mill dalam karyanya “Principles of Political Economy and Liberty” mengemukakan bahwa pendidikan disadari sangat dibutuhkan oleh setiap anak sebagai bekal kehidupannya kelak, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk menyiapkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan anaknya tersebut. Pendidikan sangat penting bagi anggota masyarakat secara umum di mana mereka akan memperoleh penderitaan yang cukup serius bilamana tidak terdapat kesadaran sesama anggota masyarakat akan arti penting sebuah pendidikan. Bagi Mill, pendidikan bagi lapisan bawah adalah suatu yang sangat esensial untuk peningkatan kemampuan pribadi, mobilitas sosial dan masyarakat, dan merefleksikan rasa kebersamaan sosial dan filosofi dari nilai-nilai demokrasi. (Pan Mohamad Faiz : 2006). Oleh karena itu, memberikan pendidikan yang layak udah seharusnya menjadi suatu kewajiban yang berlipat ganda bagi sang orang tua, baik itu terhadap anak-anaknya maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dari sisi pekerjaan, secara umum masyarakat di daerah lokasi penelitian bekerja sebagai petani, kecuali di desa Puja Mulia, Kabu Tunong dan Lhok Igeuh terdapat sebagian kecil warga yang berkerja pada sektor lain, namun tetap melakukan aktivitas dibidang pertanian (sawah dan perkebunan). Adapun sektor lain dimasud adalah pedagang, pegawai negeri sipil, pekerja jasa (tukang dan buruh bangunan) dan karyawan swasta, (lihat Tabel 5). Apabila data di atas dikomparasikan antara kondisi masa konflik dengan kondisi sekarang, tampaknya pola perubahan bidang pekerjaan tidak terjadi secara berarti. Justeru yang terjadi adalah pola perubahan aktifitas pada masing-masing bidang pekerjaan yang dilakoni oleh setiap kepala keluarga. Pada masa konflik umumnya warga di lokasi penelitian menyatakan mereka tidak dapat bekerja secara optimal, bahkan denyut nadi
24 ekonomi seakan ”mati”. Kebun kopi milik masyarakat desa Blang Pulo dan Puja Mulia; kebun karet dan sawit milik masyarakat desa Kabu Tunong dan Sumber Daya; dan sawah milik masyarakat desa Lhok Igeuh dan Panton Beunot yang telah lama diupayakan harus dibiarkan telantar karena situasi keamanan yang memaksa masyarakat harus memilih menyelamatkan diri. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup paling dasar (needs phisiological) mayarakat harus menjual harta benda yang selama ini disimpan atau dipakai, seperti sepeda motor, emas, mesin gilingan kopi dan lainnya, pokoknya dapat membiayai kehidupan keluarga. Pada masa konflik, hanya pegawai negeri yang mungkin tidak perlu menjual harta benda karena memiliki gaji bulanan. Tabel 5. Jumlah Penduduk (Kepala Keluarga) berdasarkan Lapangan Usaha No
Desa
Puja Mulia
Blang Pulo
Kabu Tunong
Sumber Daya
Lhok Igeuh
Panton Beunot
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
1
Lapangan Usaha Petani
149
147
163
160
142
142
736
178
151
170
45
51
2
Pedagang
61
56
-
-
8
8
2
-
8
10
-
1
3
Pekerja jasa
6
5
-
-
2
2
-
-
-
1
-
-
4
Kary. Swasta
21
20
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
PNS Non Guru
27
27
-
-
10
10
-
-
15
20
-
-
6
PNS Guru
48
48
1
2
40
40
-
-
26
40
-
-
7
TNI/Polri
33
33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jumlah
345
336
164
162
202
202
738
178
190
241
45
52
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Kini dalam situasi damai, masyarakat mulai bangkit kembali, dari hasil amatan tim peneliti denyut kehidupan sebuah masyarakat ”normal” mulai tampak. Umumnya masyarakat mulai bekerja kembali untuk membenahi tatanan kehidupan mereka. Masyarakat Blang Pulo misalnya meskipun dengan hati ”pedih” mereka kembali membuka kebun baru, karena kebun lama sudah menjadi hutan dengan pohon-pohon besar, sedangkan pohon kopi sebagian besar sudah mati. Pedagang di Desa Puja Mulia
25 yang sebelumnya berasal dari aceh pesisir dan umumnya kembali ke kampung halaman, sejak damai dikumandangkan mereka kembali beraktifitas. Salah seorang toke bangku asal dari Lhok Sukon kabupaten Aceh Utara dan telah menetap di Puja Mulia sejak tahun 1978, mengungkapkan dengan bahasa aceh bahwa ”Diele, segolom konflik Insya Allah usaha lon blou-publou engkot cukop maju, tapi konflik bak thon 2000 trouh 2004 ban mandum usaha lon pham-phou. Jino ngon damei Insya Allah ka mebrieng-brieng tema. Ta lake bak Pho damei nyou beu abadi”. Ungkapan dalam bahasa daerah ini mengandung makna bahwa konflik telah menghancurkan usaha perdagangan yang ditekuni masyarakat, dan sebaliknya damai telah mengantarkan kehidupan yang lebih baik. Kondisi alam (geografis) lokasi penelitian umumnya berbentuk perbukitan dan baik untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itu, jika ditelaah dari pemanfaatan lahan oleh masyarakat, maka selain tempat hunian dan fasilitas umum, juga lahan yang luasnya beragam antar desa itu dijadikan tempat berkebun dan bercocok tanam padi. Sebaran luas areal untuk pemanfaatan masing-masing aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kondisi Alam dan Potensi Desa Kab./Kec.
Desa
1
Bener Meriah/ Bandar Nagan Raya/ Seunagan
Puja Mulia
44
Perbukitan
Hunian dan fasilitas umum 40
Blang Pulo
94
Perbukitan
25
75
-
-
Kabu Tunong
96
40
-
60
-
Sumber Daya
1.113
Dataran dan daerah aliran sungai Perbukitan
5
90
-
-
Dataran dan daerah aliran sungai Perbukitan
30
-
70
-
20
60
20
-
2
3
Pidie/Tiro
Luas (ha)
Lhok Igeuh
18
Panton Beunot
58
Kondisi Alam
Potensi Desa dalam % PerPerkebun sawahan an 25 -
No
Sumber : Data Primer (diolah) 2009
Perdagangan 35
26 Hampir seluruh desa penelitian memiliki lahan perkebunan, namun jenis tanaman keras yang diusakan berbeda. Di desa Puja Mulia dan Blang Pulo primadona tanamannya adalah kopi. Desa Sumber Daya tanaman primadonanya kelapa sawit dan sebagian kecil karet. Sedangkan desa Panton Beunot ditanami pohon coklat. Perbedaan tanaman yang diupayakan masyarakat tampaknya berkaitan erat dengan kondisi tanah. Berkaitan dengan lembaga ekonomi, hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pada masa konflik maupun pasca konflik (hingga tahun 2009) belum pernah ada, kecuali di desa Panton Beunot ada dibentuk kelompok tani pada tahun 2005 dan Lhok Igeuh pada tahun 2007. Namun kelompok-kelompok itu tidak berfungsi, karena tidak ada pembinaan dan bantuan dari pemerintah, pada hal Pemda NAD telah memprogramkan penyaluran bibit bagi petani perkebunan (kelapa sawit dan Coklat) sejak tahun 2007. Dengan demikian dapat dinyatakan upaya Pemda untuk memberdayakan ekonomi masyarakat desa melalui program bantuan bibit sawit atau coklat belum menyentuh seluruh desa yang ada di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian ketika dilakukan penelusuran lebih lanjut mengapa pada masa konflik tidak ada lembaga ekonomi di desa mereka?, sementara di provinsi lain sedang giatgiatnya usaha koperasi, UKM dan kelompok tani. Responden menjawab bahwa pada masa konflik masyarakat dilarang untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang menuntut adanya perkumpulan. Salah seorang tokoh masyarakat di desa Kabu Tunong menyatakan seperti berikut “konflik telah meluluh-lantakan seluruh sendi kehidupan masyarakat, termasuk lembaga ekonomi, pada hal sebelum konflik koperasi unit desa (KUD) ada di desa ini……., kelompok tani perkebunan karet juga ada ……,bahkan kelompok tani sawah pun ada…dan semuanya berjalan dengan baik (responden terdiam sesaat), dan
27 kemudian melanjutkan ya….ah ini lah yang terjadi… mudah-mudahan konflik tidak terjadi lag. Tidak jauh berbeda dengan kondisi lembaga ekonomi, lembaga sosial (Pengajian/TPA dan PKK) meskipun ada namun pada masa konlik kurang berfungsi dengan baik, seperti yang ditampilkan pada Tabel 7 berikut. Denyut nadi kehidupan ke dua lembaga tersebut mulai berfungsi sejak tahun 2005 dan kini sudah berjalan dengan baik. Tabel 7. Kondisi Lembaga Sosial Yang Ada di Desa dan Keberfungsiannya No 1
Kab./Kec. Bener Meriah /Bandar
2
Nagan Raya/ Seunagan
3
Pidie/Tiro
Desa Puja Mulia Blang Pulo Kabu Tunong Sumber Daya Lhok Igeuh Panton Beunot
Pengajian (TPA) Masa Konflik Skrg (2009) Ada Ada berfungsi baik berfungsi baik Ada kurang Ada berfungsi berfungsi baik Ada kurang Ada berfungsi berfungsi baik Ada kurang Ada berfungsi berfungsi baik Ada Ada berfungsi baik berfungsi baik Ada Ada berfungsi baik berfungsi baik
PKK Masa Konflik Ada kurang berfungsi Ada kurang berfungsi Ada kurang berfungsi Ada kurang berfungsi Ada kurang berfungsi Ada kurang berfungsi
Skrg (2009) Ada berfungsi baik Ada Berfungsi baik Ada berfungsi baik Ada berfungsi baik Ada berfungsi baik Ada berfungsi baik
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Lain halnya denga lembaga ekonomi dan sosial, pada masa konflik lembaga adat tuha peut (sara opat di Kabupaten Bener Meriah) berfungsi meskipun tidak sebaik pada masa damai (pasca Agustus 2004). Sedangkan lembaga adat lainnya sangat kondisional, tergantung kondisi geografis desa. Tabel 8 merupakan pencanderaan kondisi lembaga adat di setiap desa. Baiknya keberfungsian lembaga adat tuha peut ada kaitannya dengan tuntutan keberfungsian pemerintah desa baik pada masa konflik maupun masa damai, bahkan ada kontrol dari pihak pemerintah agar lembaga adat tersebut berfungsi untuk membantu kepala desa. Sedangkan keberfungsian keujruen blang dan kurang berfungsinya lembaga petua seunebok serta pawang uteun lebih dipengaruhi oleh kondisi keamanan. Keujruen Blang yang berfungsi mengayomi masyarakat sawah, secara geografis lebih aman karena
28 posisinya yang terbuka dan lebih dekat dengan rumah penduduk. Sedangkan perkebunan sebagai wilayah petua seuneubok dan hutan sebagai wilayah pawang uteun lebih rawan apabila dilihat dari perspektif keamanan. Oleh karenanya kedua lembaga ini kurang berfungsi. Tabel 8. Keberfungsian Lembaga Adat Yang Ada di Desa No 1
Kab./Kec. Bener Meriah /Bandar
2
Nagan Raya/ Seunagan
3
Pidie/Tiro
Desa Puja Mulia
Tuha Peut Masa Skrg Konflik (2009) Baik Baik
Keujruen Blang Masa Skrg Konflik (2009) Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada baik baik
Blang Pulo
Baik
Baik
Kabu Tunong
Baik
Baik
Sumber Daya
Baik
Baik
Lhok Igeuh
Baik
Baik
baik
baik
Panton Beunot
Baik
Baik
baik
baik
Petua Seunebok Masa Skrg Konflik (2009) Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Krg Krg bfgs Bfgs
Pawang Uteun Masa Skrg Konflik (2009) Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Tdk ada Krg Krg bfgs Bfgs
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Hal lain yang perlu ditelaah adalah ketiadaan lembaga adat di beberapa desa, khususnya di desa transmigrasi (Pulo Blang dan Sumber Daya), pada hal salah satu keistimewaan aceh adalah persoalan adat istiadat. Seharusnya sesuai dengan kondisi geografis ke dua desa ini harus ada lembaga adat petua seuneubok dan pawang uteuen. Di duga, ketiadaan lembaga adat ini ada kaitannya dengan keterpahaman perangkat desa beserta warganya tentang lembaga adat di aceh dan sampel manfaatnya. Profil lain yang perlu dideskripsikan di desa-desa sampel adalah persoalan fasilitas umum. Tabel 9 menyajikah tentang keberadaan dan
kondisi
fasilitas umum yang
dimaksud. Bagi desa Blang Pulo dan Sumber Daya, persoalan jalan aspal dan tempat pelayanan kesehatan menjadi hal yang sangat dibutuhkan saat. Dari sisi jalan aspal, menurut umumnya responden sebelum konflik ”relatif baik”. Meskipun aspal gongseng, namun mereka dengan mudah (baik dari aspek waktu tempuh,
29 maupun biaya yang dikeluarkan) dapat memasarkan produk pertaniannya (Kopi untuk Blang Pulo dan Sawit atau Karet untuk warga Sumber Daya). Tetapi sekarang mereka harus mengeluarkan biaya dan waktu yang lebih besar tenimbang saat jalan bagus. Begitu pula halnya dengan masalah kesehatan, karena Puskesmas dan Polindes tidak ada di desa, maka saat-saat tertentu misalnya ada warga yang sakit mendadak dan dalam kondisi berat, keluarga warga yang sakit menjadi sangat sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan, meskipun itu menjadi hak mereka. Apalagi jika peristiwa itu dialami pada malam hari. Berkaitan dengan air bersih, meskipun hampir seluruh desa tidak memiliki fasilitas umum, namun mereka dapat menggunakan air sumur sebagai alternatif dan hal itu relatif mudah di peroleh, kecuali masyarakat di Blang Pulo dan Sumber Daya. Bagi masyarakat di ke dua desa ini, sulit mendapatkan air bersih, karena berada di ketinggian. Akibatnya, secara umum masyarakat membuat bak penampungan sebagai wadah untuk menampung air hujan yang akan digunakan secara hemat pada musim kemarau. Lebih lanjut, secara umum desa-desa di wilayah penelitian tidak memiliki akses yang mudah untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi (SMP/MTs dan SMA/MA), karena mereka harus menempuh jarak yang relatif jauh (lebih besar dari 6 km), kecuali masyarakat desa Puja Mulia, Kabu Tunong dan Lhok Igeuh. Selain jauh mereka juga tidak memiliki transportasi umum.
30 Tabel 9. Kondisi Fasilitas Umum Yang Ada di Desa No
Desa
Puja Mulia
Blang Pulo
Kabu Tunong
Sumber Daya
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Saat Kon.
2009
Ada kur. puas
Ada kur. Puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada tdk puas Ada tdk puas
Ada tdk puas Ada tdk puas
Tdk ada
Ada kur. Pua s Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Ada kur. Pua s Tdk ada
Ada kur. puas
Ada puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada kur. puas
Ada puas
Tdk ada
Ada puas
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Ada puas
Ada puas
Ada puas
Ada puas
Ada puas
Ada puas
Ada Kur. puas Ada kur. puas
Ada puas
Tdk ada
Tdk ada
Ada puas
Ada kur. puas
Ada puas
Tdk ada
Ada puas
Tdk ada
Tdk ada
1
Fasilitas Umum Listrik PLN
2
Air Bersih
3
Jalan Aspal
4
Sekolah : TK
Ada Kur. puas
Ada puas 2unit
Tdk ada
SD/MI
Ada puas 2 unit Tdk ada
Ada puas 2unit Tdk ada
Ada kur. puas Tdk ada
Ada puas
Ada puas
Ada Kur. Pua s Ada puas
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Ada kur. Pua s Ada puas
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Ada puas
Ada kur. puas Tdk ada
Ada puas Ada puas
Ada kur. puas Tdk ada
Ada kur. puas Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
SMP/MTs
Ada kur. puas
5
Tempat Pel. Kesehatan
Ada kur. puas
Ada kur. Puas
Tdk ada
Tdk ada
Ada kur. puas
6
Jaringan Telp./Hp
Ada kur. puas
Ada kur. Puas
Ada kur. puas
Tdk ada
7
Mesjid
Ada puas
Ada puas
Tdk ada
Ada kur. Pua s Tdk ada
8
Mushala/ Meunasah
9
Pesantren
Ada puas 3unit Ada puas 2unit
Ada puas 3unit Ada puas 2unit
Ada kur. puas Tdk ada
Ada kur. puas Tdk ada
Lhok Igeuh
Panton Beunot
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 4.2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi informasi dan data yang diperoleh dari lapangan. Oleh karena itu, kajian dan pengenalan terhadap karakteristik responden diperlukan, guna mengembangkan pemahaman secara
31 tepat terhadap informasi dan data berbasis wilayah penelitian. Kondisi karakteristik responden berdasarkan di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Tingkat Pendidikan, dan Jumlah Tanggungan Karakteristik Responden A. Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan B. Usia: < 35 tahun 36-55 tahun > 55 tahun C. Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA PT D. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga ≤ 3 orang 4-6 orang >6 orang
Benar Meriah (N=80)
Nagan Raya (N=80)
Pidie (N=80)
67 13
64 16
57 23
16 51 13
27 39 14
16 42 22
3 38 20 15 4
1 50 10 17 2
21 40 14 5 0
68 11 1
44 32 4
79 1 0
Tabel 10 menunjukkan bahwa hampir di seluruh wilayah penelitian lebih banyak responden laki-laki. Meskipun demikian, persentase proporsi perempuan dinilai telah ada keterwakilan gender yang jumlahnya mencapai sekitar seperlima(sekitar 18%). Dengan demikian, penilaian dan persepsi yang dimunculkan dari hasil penilitian ini juga akan mengurangi kecenderungan bias keterwakilan secara gender. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa rata-rata usia responden berada pada katagori setengah baya dan usia produktif. Pada tingkat usia produktif dan setengah baya, secara logika responden telah memiliki pola fikir yang matang dan pengalaman yang cukup banyak, sehingga penilaian dan persepsi terhadap informasi dan data yang dimunculkan oleh responden akan memenuhi keterwakilan dari persepsi masyarakat banyak. Usia
32 seseorang pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingkat kedinamisannya dalam merespon suatu perubahan. Berdasarkan katagorisasi usia menunjukkan bahwa responden di wilayah penelitian membutuhkan kepastian pekerjaan sehingga bantuan pemberdayaan ekonomi sangat penting untuk penghidupan keluarganya. Dikaitkan dengan tingkat pendidikan responden, Megawangi, et al (1994) mengungkapkan bahwa tingkat tingkat pendidikan suami atau istri berhubungan nyata dan positif dengan kebiasaan merencanakan anggaran biaya keluarga. Pendapat ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan suami atau istri memiliki hubungan dengan perencanaan kehidupan keluarga yang lebih baik di masa depan. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan sampai di Sekolah Dasar (SD), sebagiannya lagi berpendidikan SMP, dan sebagian kecilnya lagi responden berpendidikan SMA. Kondisi pendidikan responden memperlihatkan kondisi yang kurang mengembirakan. Ada beberapa kasus karena suami atau istrinya meninggal akibat konflik, pasangannya menikah lagi dengan orang yang tingkat pendidikannya berbeda, lebih tinggi atau lebih rendah dari pasangan lama atau sebelumnya. Apabila dilihat dari jumlah tanggungan, Tabel 10 memperlihatkan bahwa sebagian besar jumlah tanggungan berada di bawah atau sama dengan tiga. Fonomena ini mengindikasikan bahwa sebagian besar responden masih tergolong dalam usia yang relatif muda. Indikator lain juga mengambarkan bahwa bagi KK janda mengindikasikan ketika mereka ditinggalkan suami saat konflik juga masih berusia muda. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya untuk membuka lapangan pekerjaan baru sehingga penghidupan mereka masyarakat pedesaan pasca-konflik menjadi lebih baik.
33 4.2. Perubahan pola pencaharian (livelihood)
4.2.1. Migrasi dan displacement Pencarian kerja atau mata pencarian merupakan elemen penting bagi kehidupan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Tanpa pekerjaan individu atau kelompok masyarakat akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan kehidupan. Oleh karena itu setiap individu akan berupaya mencari pekerjaan dan kemudian menekuninya. Jika pekerjaan tersebut tidak memberikan harapan untuk kelangsungan hidup individu atau kelompoknya, maka ia akan mencari alternatif pekerjaan yang lain. Sekaitan dengan hal tersebut, kondisi masyarakat pada masa konflik dan pada masa damai (sejak Agustus 2005 s/d sekarang) tentu akan mewarnai mata pencaharian mereka. Sebab, konflik telah berimbas kesetiap relung kehidupan masyarakat. Salah satu imbasnya adalah masyarakat merasa kurang aman, terancam dan takut. Pada hal rasa aman merupakan salah satu kebutuhan anak manusia (Maslow, dalam Hall dan Lindzey, 1985). Untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan menghindari ancaman, individu akan menempuh berbagai upaya. Salah satunya adalah individu akan pindah ke tempat yang lebih aman, baik dalam kurun waktu yang lama (migrasi) maupun sementara (displacement). Tabel 11. Pernah Tidaknya Masyarakat Pindah Tempat Pada Masa Konflik No
1
2 3
Kabupaten/Kecamatan
Bener Meriah /Bandar
Nagan Raya/ Seunagan Pidie/Tiro
Desa
Puja Mulia
Pindah dan kembali ke desa asal Ya Tidak f % f % 27 67,5 13 32,5
F 40
% 100,0
Blang Pulo
37
92,5
3
7,5
40
100,0
Kabu Tunong
17
42,5
23
57,5
40
100,0
Sumber Daya
40
100,0
0
0,0
40
100,0
Lhok Igeuh
35
87,5
5
12,5
40
100,0
Panton Beunot
36
90.0
4
10,0
40
100,0
Sumber : Data Primer (diolah) 2009
Total
34 Temuan penelitian yang didskripsikan pada Tabel 11 di atas, setiap desa secara umum menunjukkan adanya upaya masyarakat pada masa konflik untuk bermigrasi kabupaten dan bahkan provinsi lain hingga masa damai. Ironisnya, sampai saat penelitian ini di lakukan ada keluarga yang belum kembali. Ada pula masyarakat yang pindah sementara ke dusun, desa atau ke kecamatan lain dan kini menetap kembali di desa semula. Adapun tempat migrasi mereka cukup beragam. Bagi masyarakat desa Puja Mulia yang berasal dari Aceh pesisir umumnya mereka bermigrasi kekampung asal, misalnya ke Kecamatan Mutiara, Kembang Tanjung, Beuracan, Ulee Glee, dan Uliem Kabupaten Pidie, Kecamatan Julie,
Peusangan dan Samalanga kabupaten Bireuen.
Sedangkan masyarakat Gayo dan Jawa cenderung memilih tetap di desa Puja Mulia, hanya sebagian kecil yang pindah ke kecamatan lain dalam kabupaten Bener Meriah (Pondok Gajah dan Simpang Tiga), Pulau Jawa, seperti Yogyakarta, Bantul, dan Wono Salam, serta Sumatera Utara. Begitu pula halnya dengan masyarakat desa Lhok Igeueh dan Panton Bunoeut Kabupaten Pidie serta masyarakat desa Kabu Tunong Kabupaten Nagan Umumnya mereka bermigrasi ke kecamatan lain dalam kabupaten yang sama. Beda halnya dengan masyarakat desa Sumber Daya Kabupaten Nagan Raya, pada bulan Juni tahun 2001 secara keseluruhan (sekitar 1.113 KK) mereka meninggalkan desa untuk mengungsi ke desa Ujung Patehah di pusat kecamatan (di pinggir jalan raya Meulaboh-Blang Pidie). Kemudian karena merasa terancam dan trauma, satu-per-satu Kepala Keluarga beserta anggota keluarganya bermigrasi ke luar provinsi lain seperti Sumatera Utara, Pekan Baru Riau, Kalimantan, dan sebagian kembali ke kampung halaman (Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah). Hingga tahun 2005, warga desa ini hanya tinggal 34KK di pengungsian.
35 Alasan keamanan (merasa terancam) yang menjadi dasar utama masyarakat bermigrasi atau displacement, ternyata memiliki dampak ikutan untuk mempercepat proses migrasi itu sendiri. Masyarakat semakin tidak betah untuk tinggal di desa (di wilayah konflik) karena mereka tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah. Harta benda yang dimiliki semakin menipis untuk membiayai kehidupan diri dan anggota keluarga. Keputusan harus dibuat, akhirnya migrasi atau displacement pun dilakukan. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang responden (tokoh masyarakat desa Sumber Daya), ”kami tidak mungkin bertahan dengan situasi yang tidak menentu, beberapa orang warga ada yang mati dibunuh oleh OTK, dan hilang tiada kabar ... (diam sejenak, seakan menahan beban yang berat), ... Kebutuhan hidup, khususnya untuk makan semakin tidak mungkin dipenuhi, karena untuk berkebun sebagai pekerjaan utama kami tidak dapat dilakukan lagi. Akhirnya, meskipun harus meninggalkan rumah dan kebun, kami harus pindah, mengadu nasib di negeri yang lebih aman”. Masyarakat yang memilih menetap atau yang bermigrasi, umumnya kehilangan pekerjaan, kecuali pegawai negeri sipil dan karyawan swasta. Bertani sawah atau berkebun (Kopi, Karet dan Sawit) yang telah ditekuni selama puluhan tahun (turun temurun) merupakan satu-satunya keterampilan yang dimiliki. Konsekuensi dari hal tersebut, demi menafkahi anggota keluarga pada masa konflik sebagian besar dari mereka menjadi buruh bangunan. Lebih lanjut, ada 1 ceritera yang menarik untuk ditelaah secara kualitatif dari seorang Kepala Keluarga di tempat baru semasa konflik (sebelum kembali ke desa asal), yaitu warga desa Sumber Daya yang pindah ke Banjarmasin dengan latar belakang pendidikan PGA menjadi penjaja tanaman berbuah (mangga, jeruk bali, jambu taiwan
36 dan durian) yang diakulasi sendiri. Pekerjaan ini ditekuninya, selain karena ia telah memiliki keterampilan selama di desa asal sebagai petani, juga ia melihat adanya peluang dalam masyarakat baru yang ditemuinya. Menurutnya, pekerjaan tersebut cukup lumayan untuk dapat menafkahi keluarga, meskipun tidak sama dengan hasil perkebunan yang dimikinya. Oleh karena itu masih menurut responden, setelah kebun sawit dan karet yang telah ditinggalkan berfungsi kembali, ia akan berupaya menekuni pekerjaan ini sebagai pekerjaan sampingan di desa Sumber Daya untuk di pasarkan ke Nagan Raya dan Meulaboh Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa migrasi merupakan salah satu faktor penting dalam mewarnai perubahan mata pencaharian yang ditekuni seseorang. Kebutuhan hidup yang mendasar (pangan, papan dan sandang) sangat mendesak di tempat yang baru, membuat seseorang cenderung menggunakan pikirannya untuk mengamati lingkungan dan membaca peluang tentang pekerjaan apa yang harus dilakukan, sering mengabaikan pentingnya
pengetahuan dan keterampilan dalam
bekerja. Dalam kondisi terjepit, justeru yang terpenting bagaimana mendapat pekerjaan sehingga kebutuhan hidup dasar dapat terpenuhi. 4.2.2. Perubahan Pencari Nafkah Utama Keluarga dan Peran Perempuan Dalam masyarakat Aceh pencari nafkah utama dalam keluarga adalah suami (lakilaki), sementara istri (perempuan) umumnya berperan sebagai penunjang keluarga dalam membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun demikian, sebuah rumah tangga ketika suami meninggal atau bercerai, maka istri biasanya mengambil alih tanggung jawab suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
37 Perubahan pencari nafkah keluarga di wilayah penelitian akibat konflik dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perubahan Pencari Nafkah Utama Keluarga No
Wilayah
1 Blang pulo 2 Puja Mulia 3 Kabu tunongan 4 Sumber daya 5 Panton Baunot 6 Lhok Igoeh Jumlah Total
Perubahan Pencari Nafkah Utama Keluarga Suami Istri Anak Masa Masa Masa Masa Masa Masa Koflik Sekarang Konflik Sekarang Konflik Sekarang 36 32 2 6 2 2 29 27 8 11 3 2 33 33 6 6 1 1 38 34 2 4 0 2 33 32 7 8 0 0 29 26 11 13 0 1 198 184 36 48 6 8
Total Responden
40 40 40 40 40 40 240
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Tabel 12 menunjukkan bahwa secara umum pencari nafkah keluarga masih tertumpu pada suami. Namun ada terjadi perubahan pencari nafkah utama keluarga antara pada masa konflik dan masa sekarang. Setelah konflik, perempuan sebagai pencari nafkah utama keluarga cenderung meningkat hampir di seluruh wilayah penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah responden terungkap bahwa umumnya penyebab perubahan pencari nafkah utama keluarga adalah terbunuhnya suami ketika masa konflik. Akibatnya, para istri harus mengambil alih peran kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Perubahan pencari nafkah utama keluarga yang paling besar terjadi di wilayah Puja Mulia, Benar Meriah dan di Lhok Igoeh, Tiro. Hasil wawancara dengan beberapa janda di Lhok Igoeh Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie mengungkapkan bahwa setelah suaminya terbunuh akibat konflik, dia terpaksa berperan sebagai pencari nafkah utama keluarga karena harus bisa menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Salah satu janda menyatakan bahwa untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan menyekolahkan anaknya dia sering dibantu oleh ayahnya, meskipun sering
38 tidak cukup tetapi bisa meringankan hidupnya. Sementara janda lainnya, warga desa Panton Baunot, mengungkapkan bahwa dia bisa bertahan sekarang dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya setelah suaminya meninggal terbunuh karena adanya bantuan anak laki-lakinya tertua. Sementara dia bekerja sebagai buruh tani untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi kehidupan KK janda sangat memprihatikan sehingga mereka hidup memprihatinkan dengan mencukupkan seberapa pendapatan yang diperoleh sehari-hari untuk kebutuhan rumah tangganya. Mereka umumnya mencukup pengeluaran sesuai pendapatan yang mereka peroleh. Apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya, mereka biasanya mengutang atau mencukupkan apa yang ada. Beberapa kasus tadi menungkapkan tadi menunjukkan bahwa peran perempuan sangat besar dalam mencari nafkah keluarga setelah suaminya meninggal.
Namun
demikian, perempuan juga berperan dalam menunjang kebutuhan ekonomi keluarga meskipun suaminya masih hidup. Ada tidaknya kontribusi perempuan dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 2.
Ada Tidaknya Kontribusi Perempuan dalam M emenuhi Kebutuhan Rumah Tangga
120.0
Persentase
100.0 80.0 60.0
77.5 52.5
85.0 77.5
82.5 82.5
97.5 92.5
60.0 55.0
55.0 45.0
Series1 Series2
40.0 20.0 0.0 Blang pulo
Puja Mulia
Kabu tunongan
Sumber daya
Wilayah Penelitian
Panton Beunot
Lhok Igoeh
39 Gambar 2 menunjukkan bahwa adanya kontribusi perempuan dalam menunjang pendapatan keluarga, terutama di wilayah yang tergolong intensitas konfliknya tinggi, seperti Lhok Igoeh (97,5%) dan Panton Beunot (Kecamatan Tiro) serta Kabu Tunongan (Nagan Raya). Apabila dibandingkan masa konflik dan sekarang, hampir di semua wilayah setelah konflik di Aceh peran perempuan dalam menghidupi keluarganya bertambah karena suaminya terbunuh akibat konflik. Namun di wilayah Nagan Raya peran suami (laki-laki) tetap besar karena korban konflik di wilayah ini tergolong rendah. Besarnya peran perempuan dalam menghidupi keluarga hampir sebanding dengan peran suami, meskipun KK-nya laki-laki. Rasio kontribusi laki-laki dan perempuan dalam menghidupi keluarga sekitar 1: 8 bagi keluarga utuh, sedangkan untuk KK janda peran perempuan hampir 100 persen dalam menghidupi keluarganya. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa perlunya program pemberdayaan ekonomi yang memberikan prioritas kepada perempuan untuk dapat mengaksesnya modal dasar dalam mengembangkan usaha keluarga. Besarnya kontribusi perempuan dalam menghidupi keluarganya dapat dilihat pada Gambar 3.
Besarnya Kontribusi Perem puan dalam Mencari Nafkah Di Atas 50%
100
Persentase
80
79
84
87
81
81 72
78 81
79 78
78 79
60
Masa Konflik Masa Sekarang
40 20 0
B lang p ulo
P uja M ulia
K ab u tuno ng an
S umb er d aya
P anto n B auno t
Lho k Ig o eh
Wilayah Penelitian
Gambar 3 menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dirasakan cukup besar dalam menunjang kebutuhan keluarganya. Kontribusi perempuan pada masa sekarang cenderung lebih tinggi dibandingkan masa konflik, terutama bagi mereka yang suaminya telah
40 meninggal dunia. Seorang janda di wilayah Lhok Igoeh Tiro Kabupaten Pidie mengungkapkan bahwa setelah suaminya terbunuh akibat konflik, dia bersama tiga orang anaknya sempat tidak memiliki rumah dan terpaksa menumpang di rumah orang lain. Rumahnya dibakar pada saat konflik. Hal lain sangat menyedihkan bahwa anak laki-lakinya sekarang sudah putus sekolah dan menganggur sehingga dikuatirkan anaknya akan terpen-garuh oleh lingkungan psiko-sosial yang kurang sehat dan akan menjadi penyakit dalam masyarakat. Selain troma psikologis, dampak lain dari konflik paling dirasakan oleh masyarakat adalah sulitnya mencari nafkah pada saat konflik yang akhirnya berakibat pada rendahnya penghasilan. Semua responden mengungkapkan bahwa pada saat konflik mereka tidak bisa bebas pergi ke ladang atau kebunnya untuk mencari nafkah karena takut terperangkap konflik. Akibatnya, sebagian besar perkebunan mereka terbengkalai dan gagal panen. Mata pencaharian yang masih memungkinkan pada saat konflik di wilayah penelitian umumnya adalah pertanian padi sawah. Untuk menghidupi keluarga sehari-hari, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen padi dan tanaman palawija yang dapat ditanam di lahan sawahnya. Kondisi ini menyebabkan penghasilan masyarakat menjadi rendah. Perbandingan penghasilan responden pada masa konflik dan sekarang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perubahan Penghasilan No
Wilayah
Masa Konflik 20 9 8
Masa Sekarang 7 4 7
Penghasilan (Rp/Bulan) >500.000>1000.00001000.000 1500.000 Masa Masa Masa Masa Konflik Sekarang Konflik Sekarang 10 24 5 5 8 13 9 6 21 16 7 9
18
5
19
20
3
10
0
5
35
19
4
17
1
3
0
1
25 115
7 49
11 73
12 102
1 26
10 43
3 26
11 46
≤ 500.000
1 2 3 4 5 6
Blang pulo Puja Mulia Kabu tunongan Sumber daya Panton Baunot Lhok Igoeh Total
Sumber : Data Primer (diolah) 2009
>1500.000 Masa Konflik 5 14 4
Masa Sekarang 4 17 8
41 Tabel 13 menunjukkan bahwa pada masa konflik sebagian besar responden (115 orang atau 47,9%) penghasilannya tergolong paling rendah (Rp ≤ 500.000/bulan). Namun sekarang sebagian besar responden (102 orang atau 42,5%) penghasilannya sudah meningkat dan masuk ke golongan pendapatan antara Rp >500.000-1000.000/bulan dan bahkan ada beberapa responden yang pendapatannya tergolong tidak miskin lagi (Rp >1500.000/bulan). Kondisi ini mengindikasikan besarnya dampak konflik terhadap rendahnya penghasilan masyarakat. Ini bermakna bahwa perdamaian yang telah memberi pengaruh yang sangat positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Salah satunya disebabkan pada masa sekarang masyarakat sudah memanfaatkan kembali lahan-lahan perkebunannya yang dahulu terbengkalai akibat konflik. Apabila dilihat dari pekerjaan pokok responden, dapat dikatakan bahwa perubahan pekerjaan pokok tidak begitu berbeda nyata antara masa konflik dan sekarang. Hal ini terkait dengan rendahnya ketrampilan yang dapat dipertukarkan dalam masyarakat desa. Umumnya masyarakat di daerah penelitian (di desa) tidak memilih pekerjaan pokok, tetapi pekerjaan pokok merupakan pekerjaan warisan secara turun temurun. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, masyarakat sering memiliki pekerjaan sampingan. Ada beberapa sektor pekerjaan pokok yang diperbandingkan antara masa konflik dan sekarang (lihat Tabel 14). Tabel 14 menunjukkan bahwa pada saat konflik sebagian besar (37,92%) pekerjaan pokok masyarakat adalah petani sawah, sedangkan pada masa sekarang sebagian besar (37,50%) pekerjaan pokok masyarakat adalah petani kebun. Sementara pekerjaan lainnya seperti buruh tani, pedagang, PNS tidak begitu jauh berbeda. Salah satu penyebab terjadinya perubahan pekerjaan pokok dari petani sawah ke petani kebun karena pada masa damai sekarang ini tidak ada lagi ketakutan masyarakat untuk kembali berkebun atau ladangnya, bahkan sekarang banyak masyarakat yang secara bersama membuka hutan baru di sekitar
42 desanya untuk mengembangkan lahan perkebunannya. Namun demikian di wilayah Nagan Raya perubahan pekerjaan pokok hanya sedikit sekali terjadi karena memang topografi wilayahnya di pergunungan sehingga hampir semua pekerjaan pokok responden tetap tertumpu pada sektor perkebunan, baik masa konflik maupun sekarang. Tabel 14. Perubahan Pekerjaan Pokok No.
Wilayah
Blang pulo 2 Puja Mulia 3 Kabu tunongan 4 Sumber daya 5 Panton Baunot 6 Lhok Igoeh Jumlah Total 1
Pensiunan PNS MK MS 0 0
Buruh Tani MK MS 3 3
Lainnya
MK 0
Perubahan Pekerjaan Pokok Pedagang/ PNS Wirausaha MS MK MS MK MS 0 0 0 0 0
MK 0
MS 0
17
0
0
13
14
1
1
0
0
6
6
0
0
3
3
0
0
5
6
2
3
0
0
1
1
5
6
1
14
25
0
2
1
0
2
1
0
0
12
11
0
0
29
20
10
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
24
23
1
9
0
0
8
7
2
3
1
1
2
3
2
2
91
78
82
90
0
2
27
28
7
8
1
1
25
25
7
8
Petani sawah MK MS 1 2
Petani Kebun MK MS 36 35
Nelayan
2
2
18
24
21
11
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 4.2.3. Persepsi masyarakat terhadap pola pencaharian kerja Persepsi merupakan kondisi psikis yang dapat diartikan sebagai penilaian yang melibatkan unsur kognisi seseorang terhadap sesuatu stimulus. Sedangkan stimulus itu sendiri bisa berupa lingkungan sosial, pekerjaan, dan berbagai kondisi yang ditimbulkannya. Hal ini biasanya disebut sebagai lingkungan psikososial. James dan Sells (Handayani, 2003) menyatakan ”persepsi terhadap lingkungan psikososial dapat didefinisikan sebagai representasi kognitif dari individu terhadap kejadian-kejadian situasional yang relatif dekat dengan dirinya, yang mengekspresikan pemaknaan psikologis dan signifikasi dari situasi-situasi tersebut bagi individu yang bersangkutan”. Manakala dikaitkan dengan jenis pekerjaan sebagai stimulus yang dihadapkan pada seseorang, maka seseorang akan cenderung memberikan respon yang salah satunya
43 merupakan persepsi atau representasi kognitif terhadap perkerjaan tersebut. Dalam seseorang mempersepsikan pekerjaan secara posisit atau negatif sangat diwarnai oleh pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Artinya, seseorang akan memilih pekerjaan tertentu untuk ditekuni sangat tergantung pada penilaian apakah pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya relevan dengan pekerjaan tersebut atau tidak. Secara umum penelitian ini menemukan bahwa pilihan terhadap pekerjaan yang ditekuni Kepala Keluarga (bisa laki-laki atau perempuan) dan atau anak yang menjadi tulang punggung keluarga, baik pada masa konflik maupun pada masa damai (sekarang), lebih dari sebagian (pada masa konflik 60,8%, dan masa damai) menyatakan pilihan terhadap pekerjaan didasari pada pengetahuan yang dimiliki. Hanya kurang dari sebagian (pada masa konflik 39,2% dan masa damai) yang tidak didasari pada persepsi terhadap perlunya pengetahuan dalam menekuni pekerjaan. Begitu pula pada masa damai 62,1% (berdasarkan pengetahuan) berbanding 37,9% (tidak berdasarkan pengetahuan). Apabila ditelaah berdasarkan desa, maka persepsi masyarakat terhadap pentingnya pengetahuan sebagai representasi kognisinya dalam memilih pekerjaan tidak jauh berbeda. Tabel 15. Memilih Pekerjaan Karena Alasan Pengetahuan Yang Dimiliki No
Kabupaten/Kecamatan
Desa
Puja Mulia
f 31
Saat Konflik Tidak % f % 77,5 9 22,5
Blang Pulo
23
57,5
17
42,5
23
57,5
17
42,5
Kabu Tunong
22
55,0
18
45,0
23
57,5
17
42,5
Sumber Daya
30
75,0
10
25,0
30
75,0
10
25,0
Lhok Igeuh
19
47,5
21
52,5
20
50,0
20
50,0
Panton Beunot
21
52,5
19
47,5
21
52,5
19
47,5
146
60,8
94
39,2
149
62,1
91
37,9
Ya 1 2
3
Bener Meriah /Bandar Nagan Raya/ Seunagan
Pidie/Tiro
Total
Sekarang (2009) Ya Tidak f % f % 32 80,0 8 20,0
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Kondisi serupa juga terjadi pada aspek keterampilan (lihat Tabel 16), dimana sebagian besar responden ( 74,3% pada masa konflik dan 75,8% pada masa damai)
44 menyatakan bahwa mereka memilih pekerjaan yang ditekuni selama ini karena mempersepsikan diri telah memiliki keterampilan pada bidang pekerjaan yang dimaksud. Hanya sebagian kecil responden (25,7% pada masa konflik dan 26,2% pada masa damai) yang menyatakan pekerjaan yang dipilih bukan didasarkan pada persepsi bahwa ianya memiliki keterampilan, tetapi karena ingin mendapatkan hasil yang segera alias ”duit” untuk membiayai kehidupan keluarga. Tentu dengan kesadaran akan pentingnya pengetahuan dan keterampilan ini pula yang menyebabkan mereka setelah konflik kembali ke pekerjaan semula. Jika sebelum konflik warga bekerja sebagai petani sawah, maka masa damai mereka kembali ke petani sawah; yang bekerja sebagai petani kebun (sawit dan atau karet, atau kopi) kembali ke petani kebun. Begitu pula yang bekerja sebagai pedagang pada masa sebelum konflik kembali ke pekerjaan pedagang pada masa damai. Pada hal saat konflik banyak yang bekerja di sektor lain khususnya buruh bangunan. Tabel 16. Memilih Pekerjaan Karena Alasan Keterampilan Yang Dimiliki No
Kabupaten/Kecamatan
Desa
Puja Mulia
F 28
Saat Konflik Tidak % f % 70,0 12 30,0
Blang Pulo
36
90,0
4
10,0
36
90,0
4
10,0
Kabu Tunong
30
75,0
10
25,0
29
72,5
11
27,5
Sumber Daya
30
75,0
10
25,0
33
82,5
7
17,5
Lhok Igeuh
27
67,5
13
32,5
27
67,5
13
32,5
Panton Beunot
28
70,0
12
30,0
28
70,0
12
30
179
74,3
61
25,7
182
75,8
58
24,2
Ya 1 2
3
Bener Meriah /Bandar Nagan Raya/ Seunagan
Pidie/Tiro
Sekarang (2009) Ya Tidak f % f % 29 72,5 11 27,5
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Menurut hasil wawancara dengan beberapa warga di setiap desa, ditemukan bahwa meskipun mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan ada yang tidak tamat SD/MI, namun rutinitas kehidupan mereka selama puluhan tahun dalam bekerja pada bidang pekerjaan yang ditekuni itu merupakan soko guru yang paling berharga
45 dalam menambah pengetahun dan keterampilan mereka. Mungkin keyakinan ini pula yang menurut amatan peneliti sebagai penyebab sebagian besar responden belum memiliki produktifitas kerja yang optimal. Atas dasar kemungkinan itu, tim peneliti menkaji lebih jauh apakah responden memerlukan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan produktifitas kerja mereka pada masa-masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh adalah secara umum (90,0%) mereka menyatakan sangat perlu. Bagi petani berharap mereka mendapat pengetahuan yang luas tentang pembibitan, pemupukan, pengolahan hasil panen dan pemasaran. Sedangkan, bagi pedagang memerlukan pengetahuan tentang ilmu pemasaran dan manajemen. 3. Perubahan kelembagaan ekonomi Lembaga merupakan wadah dan perwujudan yang lebih konkrit dari struktur (status) dan kultur (peran) dalam sebuah masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Thn 2007 menyebutkan bahwa Lembaga Kemasyarakatan merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintahan desa dalam pemberdayaan masyarakat. Di Provinsi Aceh, kelembagaan dalam masyarakat di desa sudah tumbuh dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga menjadi lembaga adat fungsional dalam pemerintahan desa yang bergerak menurut bidang usaha masyarakat, seperti: (1) Kejreun Blang, bergerak untuk mengurus segala hal berkaitan dengan adat pertanian sawah, (2) Panglima Laot, bergerak untuk mengurus segala hal berkaitan dengan adat melaut, (3) Peutua Seunebok, bergerak untuk mengurus segala hal berkaitan dengan adat membuka kebun, (4) Haria Peukan, bergerak untuk mengurus segala hal berkaitan dengan pengaturan pasar desa pada saat hari pekan,
46 dan (5) Syahbanda, bergerak untuk mengurus segala hal berkaitan dengan pengaturan perahu atau bot nelayan setelah pulang melaut. Selain itu, di Aceh juga dikenal beberapa lembaga sosial keagamaan atau ekonomi seperti kelompok pengajian dan muge. Namun setelah diberlakukannya Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang keseragaman struktur pemerintahan desa pada masa Orde Baru, maka lembaga adat fungsional dalam masyarakat Aceh mulai terabaikan dan digantikan dengan lembaga bentukan pemerintah LMD/LKMD, Tim Penggerak PKK desa, Karang Teruna, KUD, Kelompok Tani dan lembaga kemasyarakatan lainnya yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan desa. Pembauran antara lembaga berbasis masyarakat dengan lembaga berbasis negara terus berkembang di Aceh hingga munculnya konflik Aceh GAM-RI yang menyebabkan sebagian besar kelembagaan masyarakat mati-suri (tidak berfungsi). Hasil penelitian menunjukkan semua kelembagaan ekonomi masyarakat, seperti KUD atau kelompok tani pada masa konflik tidak berfungsi dengan baik, meskipun “secara nama” tetap ada. Intensitas kegiatan ekonomi masyarakat yang berbasis kelembagaan cenderung pasif, terutama pada saat peluncuran bantuan pemerintah kepada masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan “key informan” tokoh terungkap bahwa tidak aktifnya lembaga ekonomi pada masa konflik karena masyarakat dilarang untuk berkumpul dalam upaya menghindari keterlibatan masyarakat luas dalam konflik RI-GAM. Masyarakat harus selalu lebih dahulu melaporkan setiap ada kegiatan pertemuan kepada aparat meliter (TNI dan Polisi). Apabila diketahui ada pertemuan tanpa pemberitahuan sebelumnya, maka masyarakat yang terlibat akan mendapat hukuman aparat meliter. Oleh sebab itu, untuk mencegah konflik Masyarakat-TNI maka
47 pada masa konflik
masyarakat enggan membuat pertemuan sehingga kelembagaan
ekonomi pun tidak berjalan. Berkaitan dengan kondisi kelembagaan ekonomi pada masa sekarang (hingga tahun 2009), hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir di semua wilayah kelembagaan ekonomi belum tumbuh, kecuali di desa Panton Beunot ada dibentuk kelompok tani pada tahun 2005 dan Lhok Igeuh pada tahun 2007. Sementara peluncuran bantuan ekonomi melalui program PNPM oleh Pemerintah Aceh juga belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lapis bawah yang sangat membutuhkan bantuan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang janda di desa Lhok Igoeh Tiro, “saya tidak berani pinjam modal bantuan karena takut tidak bisa mengembalikannya”. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa yang meminjam bantuan modal tersebut umumnya mugee berasal dari ekonomi kelas menengah, sementara orang miskin tidak dipercaya akan dapat mengembalikannya sehingga sulit sekali mengakses setiap bantuan modal. Namun demikian, sebagian besar responden mengakui bahwa mereka menerima bantuan dalam bentuk natura lainnya di bidang pertanian seperti: bibit tanaman dan pupuk yang disalurkan melalui kelompok tani atau UKM bentukan, bukan kelompok tani atau UKM yang tumbuh berdasarkan kebutuhan masyarakat lokal. Selain itu, sebagian mereka juga mengakui ada menerima bantuan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang peruntukannya untuk keluarga miskin. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ada perubahan kelembagaan ekonomi yang terjadi antara masa konflik dan masa sekarang meskipun masih kurang signifikan. Hal ini diindikasikan oleh mulai tumbuhnya beberapa kelembagaan ekonomi dalam masyarakat terkait bantuan
48 pemerintah, seperti kelompok tani dan Lembaga Keuangan Mikro (kasus kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie). Selain itu, indikasi lain dapat dilihat dari sifat kerjasama dalam mengembangkan usaha sudah ada peningkatan, meskipun sangat sedikit (lihat Tabel 17). Tabel 17. Sifat Kerjasama dalam Usaha (Individu atau Kelompok) No.
Wilayah
1 Blang pulo 2 Puja Mulia 3 Kabu tunongan 4 Sumber daya 5 Panton Baunot 6 Lhok Igoeh Jumlah Total
Sifat Kerjasama dalam Usaha Individu Kelompok Masa Konflik Masa Sekarang Masa Konflik Masa Sekarang 32 30 8 10 37 36 3 4 40 40 0 0 40 40 0 0 40 39 0 1 39 38 1 2 228 223 12 17
Sumber : Data Primer (diolah) 2009 Tabel 17 menunjukkan bahwa kerjasama dalam usaha sudah menunjukkan ada perubahan dari usaha individu ke usaha kerjasama kelompok meskipun sangat masih sangat sedikit (5 orang). Namun hal ini merupakan indikasi positif karena konflik yang begitu lama di Aceh tidak mudah untuk merubah dalam waktu singkat tumbuhnya rasa percaya diri dan percaya pada sesama seperti pada masyarakat yang hidup normal sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan kelembagaan ekonomi yang lebih berkelanjutan ke depan maka tidak cukup dengan memberikan bantuan modal usaha saja kepada lembaga ekonomi yang ada dalam masyarakat, tetapi dibutuhkan pembinaan terhadap lembaga ekonomi tersebut secara berkelanjutan. 4. Kecepatan Pemulihan Penghidupan Ekonomi Masyarakat Perdesaan Pascakonflik Pemulihan
penghidupan
ekonomi
masyarakat
sebagai
insentif
terhadap
perdamaian adalah kunci bagi bertahannya perdamaian. Masyarakat yang semakin sejahtera dari sudut ekonomi diasumsikan dapat mengurangi peluang kembali ke dalam situasi konflik, paling tidak masyarakat merasa ada manfaat positif dari perdamaian.
49 Gambar 4.1 di bawah memperlihatkan bahwa lebih 80 persen responden menunjukkan adanya kenaikan pendapatan, hanya 7,7 persen responden mengaku pendapatan tidak berubah dan sekitar 11 persen yang menyebutkan pendapatan mereka turun. Penghidupan masyarakat di daerah konflik secara rata-rata semakin baik. Sebagian mereka berubah pekerjaan pokok dan berubah lokasi pekerjaan karena beberapa alasan utama, antara lain ada peluang-peluang baru. Jam kerja per hari rata-rata meningkat dari 5,6 jam per hari (atau 39 jam per minggu) dalam masa konflik menjadi 6,8 jam per hari (atau 48 jam per minggu) dalam masa damai. 56,3 persen responden menganggap bahwa kompetisi dalam mendapatkan pekerjaan sekarang lebih ketat. Alasan utama yang dikemukan mengapa kompetisi meningkat adalah lebih banyak orang yang punya pengetahuan/ketrampilan yang sama untuk suatu pekerjaan di antara mereka, sementara alasan gaji/upah lebih menarik dan usaha yang menyediakan pekerjaan yang sama ebih sedikit relatif kurang penting (lihat Gambar 4.2). Ini mengindikasikan bahwa kompetisi meningkat karena tidak tersedia atau kurang cukupnya pekerjaan adalah tidak benar. Sifat usaha usaha dari pekerjaan yang umumnya ditekuni semasa konflik adalah usaha individu/perseorangan (94,6 persen), dan tidak jauh berubah dalam masa damai, yakni 93 persen. Sementara sisanya adalah mereka yang bekerja dalam bentuk usaha secara kelompok. Keadaan ini menggambarkan tidak ada perubahan dalam kelembagaan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang bekerja pada umumnya adalah pekerja sendiri1, bukan bekerja dalam kelompok atau bekerja dengan upah (wage labor). Alasan yang dikemukakan adalah lebih menguntungkan bekerja sendiri-sendiri daripada bekerja dalam
1
Ini adalah pekerja yang bekerja untuk diri sendiri (self-employed), bukan bekerja untuk suatu badan usaha formal seperti koperasi, perseroan terbatas, atau usaha ekonomi dengan organisasi formal modern.
50 kelompok. Juga tidak ada ikatan kelompok karena tidak ada industri atau usaha pertanian formal yang berskala besar. Umumnya kegiatan ekonomi adalah masih tradisional di bidang pertanian, perkebunan, perdagangan, dan jasa-jasa. Perubahan pendaptan masa konflik dan masa damai 0.9
0.8
0.7
% responden
0.6
0.5 Series1 Series2 0.4
0.3
0.2
0.1
0 Pendapatan tetap
Pendapatan turun
Pendapatan naik
Perubahan pendapatan
Gambar 4.1 Perbahan Pendapatan Alasan mengapa kompetisi meningkat 70.0%
60.0%
% responden
50.0% Lebih banyak orang yang punya pengetahuan/ketrampilan sama Gaji/upah lebih menarik
40.0%
Usaha yang menyediakan pekerjaan yg sama lebih sedikit Tidak menjawab
30.0%
20.0%
10.0%
0.0% 1 Alasan
Gambar 4.2. Alasan Kompetisi Meningkat Estimasi Model Logit dan Interpretasinya
Untuk mengestimasi model Logit, persamaan berikut akan digunakan;
⎛ P ⎞ Li = ln⎜⎜ i ⎟⎟ = β1 + β 2 X i + µi ⎝ 1 − Pi ⎠ di mana Pi adalah peluang (probabiliti) bahwa rumahtangga beralih pekerjaan dan 1- Pi adalah peluang bahwa rumahtangga tidak beralih pekerjaan. . Jika Pi =1, artinya
51 rumahtangga beralih pekerjaan dan dan jika Pi =0 bermakna rumahtangga tidak beralih pekerjaan. Definisi yang sama diberlakukan untuk lokasi pekerjaan. Jika Pi =1, ini bermakna bahwa rumahtangga pindah dan jika Pi =0 bermakna rumahtangga tidak pindah. Kedua variabel dummy ini (yakni beralih pekerjaan dan pindah lokasi/tempat tinggal) dijadikan variabel dependen (lihat Lampiran 1). Sementara variabel independen (lihat Lampiran 2) adalah juga variabel dummy. Dalam hal ini, definisi yang dipakai adalah sbb; •
Untuk variabel displacement, Pi =1 bermakna bahwa rumahtangga displaced dan jika Pi=0 bermakna rumahtangga tidak displaced.
•
Untuk variabel migrasi, Pi =1 bermakna bahwa rumahtangga bermigrasi dan jika Pi =0 bermakna rumahtangga tidak bermigrasi.
•
Untuk variabel perubahan pencari nafkah, Pi =1 bermakna bahwa rumahtangga berubah pencari nafkah dan jika Pi =0 bermakna rumahtangga tidak berubah pencari nafkah.
•
Untuk variabel Pi =1, ini bermakna bahwa rumahtangga berubah tingkat pengetahuan dan jika Pi =0 bermakna rumahtangga tidak berubah tingkat pengetahuan.
Li sebagai variabel dependen adalah estimated logit yang dihitung sebagaimana pada Lampiran 1. Xi merepresentasikan masing-masing variabel independen. Karena ukuran sampel besar, maka untuk mengestimasi persamaan di atas nilai-nilai regresand dikelompokkan (grouped data) sehingga analisis akan dilakukan berdasarkan kelompok. Dalam hal ini pengelompokan dilakukan menurut pendapatan (lihat Lampiran 1). Ini dilakukan karena untuk data individual estimasi OLS tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, Weighted Least Squares akan digunakan. Langkah-langkahnya dijelaskan di
52 sini. Untuk masing-masing kelompok pendapatan, dihitung probability perubahan pekerjaan dan probability perubahahan lokasi pekerjaan. Dalam hal ini dihitung Pi=ni/Ni. Selanjutnya, untuk masing-masing kelompok pendapatan diperoleh logit Li=ln[Pi/(1-Pi)]. Untuk memecahkan masalah heteroscedasticity, dilakukan trasformasi sbb;
wi Li = β1 wi + β2 wi X i + wi µi Perhitungannya dilakukan sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 1. Akhirnya OLS dilakukan terhadap persamaan ini, yang dalam hal ini adalah Weighted Least Squares sbb;
Li = β1 wi + β 2 X i + υi Di mana yang menjadi penimbang (weight) adalah wi = Ni Pi (1 − Pi ) . Hasil estimasi OLS adalah seperti dapat dilihat pada Lampiran 3. Interpretasi dari koefisien hasil estimasi ini adalah sbb; 1. Mereka yang bermigrasi karena konflik cenderung mengubah pencaharian mereka di mana peluang berubah pekerjaan meningkat ketika beranjak ke kelompok pendapatan lebih tinggi kecuali ketika pendapatan berada antara 5-6 juta rupiah (lihat Lampiran 1a). 2. Demikian juga mereka yang mempunyai pengetahuan berbeda antara masa konflik dan masa damai cenderung berubah bidang pekerjaan. 3. Variabel-variabel lain, Displacement dan Perubahan Pencari Nafkah tidak berpengaruh pada perubahan pencaharian Perubahan pencari nafkah dalam rumah tangga mempengaruhi perubahan lokasi pekerjaan, sementara variabel-variabel lain tidak berpengaruh. Artinya, mereka yang
53 karena konflik beralih pencari nafkah keluarga mempunyai peluang besar berpindah ke lokasi lain (ke desa, ke kecamatan, atau ke kota lain). 5. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Bagi Masyarakat Perdesaan Pascakonflik Ekonomi perdesaan di Aceh, khususnya di daerah yang terkena konflik, masih ditandai dengan kegiatan-kegiatan ekonomi primer berbasis sumberdaya alam. Ini tercermin dari produk dan jenis pekerjaan yang digeluti oleh penduduk. Dalam masa konflik, pencaharian masyarakat perdesaan sangat terganggu, sehingga untuk penghidupan mayoritas mereka pindah ke tempat lain, bahkan ke luar kabupaten dan luar provinsi. Sebagian kecil mereka yang tidak kembali, tapi sebagian besar kembali ke tempat semula, kendati tidak selalu ke desa yang sama. Mayoritas mereka terisolasiya dari tempat tinggal yang penuh risiko dan menjadi pengungsi sementara (displaced). Karena desa-desa yang mengalami konflik merupakan desa-desa yang memang sejak awal sangat potensial dan menyediakan penghidupan yang dapat menghidupi, sebagian besar pengungsi kembali. Setelah lebih empat tahun, keadaan ekonomi sudah sangat jauh berubah. Dalam batas tertentu tidak saja intensitas ekonomi meningkat, tapi juga penduduk bertambah akibat migrasi ke dalam,baik secara internal maupun dari luar daerah. Ini merupakan incentive to peace. Oleh karena itu, mempertahankan pertumbuhan ekonomi di perdesaan merupakan strategi untuk di satu sisi sebagai kompensasi terhadap hilangnya peluang semasa konflik, di sisi lain sebagai upaya untuk mencegah konflik berulang di masa depan. Selain itu, proses integrasi secara nyata antar warga masyarakat akan dapat berlangsung secara alami, di mana interaksi ekonomi memberi manfaat sosial yang dapat dirasakan bersama. Manfaat tersebut dapat berupa
54 meningkatnya pendapatan semua orang, menciptakan kesempatan kerja dan usaha baru, dan menghapus kecemburuan. Strategi utama ini dapat ditempuh dalam bentuk kebijakan sbb; 1. Membangun infrastruktur perdesaan (jalan ke sentra produksi) di wilayah konflik untuk menyokong pertumbuhan ekonomi. 2. Menyediakan fasilitas umum (listrik, air bersih, irigasi, dll.) yang tidak saja memberikan pelayanan pada masyarakat perdesaan di wilayah konflik, tapi juga sekaligus mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi. 3. Kaum perempuan mempunyai peran besar dalam kegiatan ekonomi melalui program industri rumahtangga berbasis bahan baku pertanian. Mereka justru menjadi pihak berperan besar dalam pemulihan penghidupan keluarga yang korban konflik, baik di masa konflik maupun masa damai. Melalui peningkatan peran perempuan dalam perekonomian maka penghidupan keluarga menjadi lebih sejahtera, khususnya pada rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki menjadi korban konflik. 4. Kampanye tentang pentingnya membangun perdamaian dan menyediakan suasana yang kondusif bagi keberlanjutan perkembangan dalam masa damai sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan. Ini juga bagian dari upaya integrasi damai. Peran setiap orang dalam masyarakat memberikan eksternalitas positif bagi yang lain sehingga semuanya akan menerima manfaat. 5. Pemberian bantuan modal usaha yang diikuti dengan: (1) pedampingan input, menyediakan bahan baku awal yang memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya; (2) pedampingan proses, menyediakan keahlian/pengetahuan
55 dan ketrampilan yang memungkinkan mereka memiliki keahlian yang dapat dipertukarkan dalam mengolah input menjadi output; dan (3) pedampingan output, pada tahap awal menampung input yang dihasilkan masyarakat dan selanjutnya membangun networking pasar yang memungkinkan masyarakat dapat mengembangkan kemandiriannya.
56 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Secara umum menunjukkan adanya upaya masyarakat di setiap desa pada masa konflik untuk bermigrasi, baik dalam kabupaten yang sama, pindak ke kabupaten, dan bahkan provinsi lain, melalui pola pindah sementara ke dusun, desa atau ke kecamatan lain dan kemudian menetap kembali di desa semula. Sematara bagi sebagian warga di Benar Meriah (suku Jawa), pola migrasi biasanya mereka pindah ke luar provinsi lain seperti Sumatera Utara, Pekan Baru Riau, Kalimantan, dan sebagian kembali ke kampung halaman (Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah) dan setelah masa damai hanya sedikit dia antara mreka yang kembali ke desanya. Faktor keamanan (merasa terancam) yang menjadi dasar utama alasan masyarakat untuk bermigrasi atau displacement karena mereka tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah. Dengan demikian, displacement atau migrasi merupakan salah satu faktor penting dalam mewarnai perubahan mata pencaharian yang ditekuni seseorang. 2. Secara umum terjadi perubahan pencari nafkah utama keluarga antara pada masa konflik dan masa sekarang, meskipun sebagian besar pencari nafkah keluarga masih tertumpu pada suami. Faktor utama penyebab perubahan pencari nafkah utama keluarga adalah akibat terbunuhnya suami sebagai KK pada saat konflik sehingga istri harus mengambil alih tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. 3. Kontribusi perempuan dalam menunjang pendapatan keluarga sangat besar dengan rasio perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 1:8 bagi keluarga lengkap dan hampir 100 persen bagi KK janda. 4. Secara umum sudah terjadi perubahan penghasilan masyarakat ke arah positif jika dibandingkan antara masa konflik dan masa sekarang. Pada masa konflik sebagian besar
57 responden (47,9%) penghasilannya tergolong paling rendah (Rp ≤ 500.000/bulan). Namun pada masa sekarang sebagian besar responden (42,5%) sudah meningkat penghasilannya dan masuk ke golongan pendapatan antara Rp >500.0001000.000/bulan dan bahkan ada beberapa responden yang pendapatannya tergolong tidak lagi miskin (Rp >1500.000/bulan). 5. Terjadi perubahan mata pencaharian pokok masyarakat antara masa konflik dan masa sekarang, meskipun masih dalam sektor yang sama (pertanian sawah ke pertanian perkebunan). Perubahan tersebut terletak pada konsentrasi bidang pertanian sawah dan bidang pertanian perkebunan.
Pada masa konflik mata pencarian pokok
masyarakat sebagian besar (37,92%) tertumpu pada pertanian sawah karena tidak bisa berkebun akibat konflik, sedangkan pada masa setelah damai sebagian besar mata pencarian pokok masyarakat sudah mulai beralih ke pertanian perkebunan (37,50%), namun mereka tetap menggarap pertanian sawah. Jadi perubahan mata pencaharian pokok yang dimaksud lebih bersifat perubahan intensitas kerja yang dulunya fokus pertanian sawah tapi sekarang berkembang ke pertanian perkebunan.
6. Secara umum tidak terdapat perubahan yang signifkan berkaitan dengan persepsi responden akan pentingnya pengetahuan dan ketrampilan terhadap pilihan pekerjaan yang ditekuni Kepala Keluarga (bisa laki-laki atau perempuan). Pada masa konflik sebagian besar responden (60,8% untuk pengetahuan dan 74,3% untuk keterampilan) dan masa sekarang (62,1% untuk pengetahuan dan 75,8% untuk keterampilan) menyatakan pilihan pekerjaan didasari pada pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Meskipun demikian, sebagian besar responden (90%) menyatakan masih sangat memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru untuk meningkatkan produktifitas kerja pada masa yang akan datang.
58 7. Kondisi kelembagaan ekonomi masyarakat mulai terjadi perubahan, meskipun belum signifikan antara masa konflik dan masa sekarang. Hasil penelitian menunjukkan pada masa konflik semua kelembagaan ekonomi masyarakat, seperti KUD, LKM atau kelompok tani tidak berfungsi dengan baik. Sementara masa sekarang sudah ada lembaga ekonomi bentukan pemerintah, seperti kelompok tani dan LKM dari program “Pemakmu Naggroe” dari Pemerintah Aceh dan beberapa kelembagaan bentukan lainnya untuk kepentingan peluncuran bantuan ekonomi yang sifatnya karena desakan pihak luar (pemerintah atau NGO). Namun beberapa kasus dari hasil wawancara terungkap bahwa masyarakat lapis bawah belum merasakan manfaat kelembagaan ekonomi tersebut meskipun dirasakan sangat penting keberadaannya untuk mempercepat kebangkitan usaha dan ekonomi masyarakat. 8. Dilihat dari pemulihan penghidupan ekonomi masyarakat sebagai insentif terhadap perdamaian, hasil penelitian memperlihatkan bahwa lebih 80% responden menunjukkan adanya kenaikan pendapatan. Indikasi ini bermakna bahwa masyarakat yang semakin sejahtera dari sudut ekonomi diasumsikan dapat mengurangi peluang kembali ke dalam situasi konflik, paling tidak masyarakat merasa ada manfaat positif dari perdamaian. 9. Interpretasi dari koefisien hasil estimasi menemukan bahwa: (a) mereka yang bermigrasi karena konflik cenderung mengubah pencaharian mereka di mana peluang berubah pekerjaan meningkat ketika beranjak ke kelompok pendapatan lebih tinggi kecuali ketika pendapatan berada antara 5-6 juta rupiah (lihat Lampiran 1a); (b) mereka yang mempunyai pengetahuan berbeda antara masa konflik dan masa damai
59 cenderung berubah bidang pekerjaan; dan (c) variabel-variabel lain, displacement dan perubahan pencari nafkah tidak berpengaruh pada perubahan pencaharian. 5.2. Saran 1. Pemerintah perlu meningkatkan pembangunan di bandang: (a) infrastruktur perdesaan (jalan ke sentra produksi) di wilayah konflik untuk menyokong pertumbuhan ekonomi; dan (b) menyediakan fasilitas umum (listrik, air bersih, irigasi, dll.) yang tidak saja memberikan pelayanan pada masyarakat perdesaan di wilayah konflik, tapi juga sekaligus mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi. 2. Pemerintah perlu mengembangkan program program “home industri” berbasis bahan baku pertanian sehingga peran kaum perempuan dalam kegiatan ekonomi dan pemulihan penghidupan keluarga yang korban konflik, baik di masa konflik maupun masa damai menjadi lebih optimal, khususnya pada rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki menjadi korban konflik. 3. Pemerintah perlu merancang program pemberian bantuan modal usaha yang diikuti dengan: (1) pedampingan input, menyediakan bahan baku awal yang memungkinkan mereka dapat mengem-bangkan usahanya; (2) pedampingan proses, menyediakan keahlian/pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan mereka memiliki keahlian yang dapat dipertukarkan dalam mengolah input menjadi output; dan (3) pedampingan output, pada tahap awal menampung input yang dihasilkan masyarakat dan selanjutnya membangun networking pasar yang memungkinkan masyarakat dapat mengembangkan kemandiriannya. 4. Pemerintah perlu merancang suatu program kampanye tentang pentingnya membangun perdamaian
dan
menyediakan
suasana
yang
kondusif
bagi
keberlanjutan
60 perkembangan dalam masa damai untuk menumbuhkan rasa kebersamaan. Ini juga bagian dari upaya integrasi damai. Peran setiap orang dalam masyarakat memberikan eksternalitas positif bagi yang lain sehingga semuanya akan menerima manfaat dari kondisi yang damai. 5.
Pihak akademisi perlunya melakukan penelitian lanjutan terkait dengan dampak perdamaian terhadap kebangkitan ekonomi masyarakat dan melakukan “action researh” hasil penelitian sebagai pilot project yang dapat dijadikan rekomendasi untuk pembangunan ekonomi masyarakat di wilayah pasca-konflik pada masa mendatang.
61 DAFTAR PUSTAKA Avery, Lisa, Georgetown (2005). Journal on Poverty Law & Policy; Summer 2005, Vol. 12 Issue 2, p205-240 Bodea, Christina and Ibrahim A. Elbadawi (2008). “Political Violence and Economic Growth.” Policy Research Working Paper No. 4692. Washington, D.C: World Bank. Buchanan-Smith, Margie (2007). Disasters; Mar2007 Supplement, Vol. 31, p57-76 Karen Jacobsen (2002), “The Pursuit of Livelihoods in Conflict: Livelihoods by Refugees and the Impact on the Human Security of Host Communities”, International Migration Vol. 40 (5) SI 2/2002 Nazamuddin (2004). Konflik Aceh Dari Perspektif Ekonomi, Makalah dibawakan pada Workshop I “Study Group and Book Publication About Aceh Conflict”, Universiti Sains Malaysia, Penang, 15-16 Juli 2004. Patrick Barron, Enrique Blanco Armas, David Elmaleh and Harry Masyrafah (forthcoming), Aceh’s growth diagnostic: identifying the binding constraints to growth in a post-conflict and post-disaster environment, The World Bank. Rahman, Matiur (2006), “Livelihood Dislocation and Social Conflicts in Bangladesh: Need for an Integrated Conflict Resolution and Development Approach”. Conference Papers -- International Studies Association; 2006 Annual Meeting, p1 Sue Lautze and Angela Raven-Roberts (2006), “Violence and complex humanitarian emergencies: implications for livelihoods models”, Disasters, 2006, 30(4): 383−401. The World Bank (2008). “The Impact of the Conflict, the Tsunami and Reconstruction on Poverty in Aceh: Aceh Poverty Assessment 2008”, The World Bank Office Jakarta.
62 LAMPIRAN Lampiran 1a Kelompok pendapatan dan probaliti perubahan pekerjaan Kelompok pendapatan (dlm juta rupiah) <1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8
Jlh RT 108 93 24 10 1 2 1 1
Jlh RT dengan pekerjaan sama 92 80 22 10 1 1 1 1
Jlh RT dgn pekerjaan tidak sama (n) 16 13 2 0 0 1 0 0
prob. Pekerjaan sama (p) 0.15 0.14 0.08 0.00 0.00 0.50 0.00 0.00
prob. Pekerjaan tidak sama (1p) 0.85 0.86 0.92 1.00 1.00 0.50 1.00 1.00
Proses data untuk estimasi Model Logit Probabiliti perubahan pendapatan terhadap peluang perubahan pekerjaan Median Pendapatan (dlm Juta) (X)
Jlh Kel (N)
n
P
(1-P)
P(1-P)
P/(1-P)
Ln(P/(1P)=Z
0.5
108
16
0.15
0.85
0.1262
0.173913
1.5
93
13
0.14
0.86
0.120245
0.1625
-1.7492 1.81708
2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5
24 10 1 2 1 1
2 0 0 1 0 0
0.08 0.00 0.00 0.50 0.00 0.00
0.92 1.00 1.00 0.50 1.00 1.00
0.076389 0 0 0.25 0 0
0.090909 0 0 1 0 0
-2.3979 #NUM! #NUM! 0 #NUM! #NUM!
w (N*P(1P)
w^2
w
13.62963
3.691833
6
11.1828
3.344069
6
1.833333 0 0 0.5 0 0
1.354006 0 0 0.707107 0 0
3
63 Lampiran 1b Pendapatan dan Probabiliti Lokasi Tempat Tinggal sama atau tdk sama semasa konflik dan masa damai # Kelompok # responden Pendapatan responden tinggal di Probabiliti rumahtangga tinggal di lokasi lokasi tmt (dlm juta Jlh lokasi tidak tinggal rupiah) Rumahtangga sama sama sama <1 108 79 29 0.27 1-2 93 68 25 0.27 2-3 24 19 5 0.21 3-4 10 7 3 0.30 4-5 1 0 1 1.00 5-6 2 0 2 1.00 6-7 1 1 0 0.00 7-8 1 1 0 0.00
Probabiliti lokasi tempat tinggal tidak sama 0.73 0.73 0.79 0.70 0.00 0.00 1.00 1.00
Proses data untuk estimasi Model Logit Probabiliti perubahan pendapatan terhadap peluang pindah lokasi tempat tinggal Median Pendapat an (dlm Juta) (X)
Jlh Kel (N)
n
P
(1-P)
P(1-P)
P/(1-P)
Ln(P/(1P)=Z
w (N*P(1P)
w^2
w^2Z
0.5
108
29
0.268519
0.731481
0.196416
0.367089
-1.00215
21.21296
4.605753
4.615
1.5
93
25
0.268817
0.731183
0.196555
0.367647
-1.00063
18.27957
4.275461
4.278
2.5
24
5
0.208333
0.791667
0.164931
0.263158
-1.335
3.958333
1.989556
2.656
3.5 4.5 5.5 6.5 7.5
10 1 2 1 1
3 1 2 0 0
0.3 1 1 0 0
0.7 0 0 1 1
0.21 0 0 0 0
0.428571 #DIV/0! #DIV/0! 0 0
-0.8473 #DIV/0! #DIV/0! #NUM! #NUM!
2.1 0 0 0 0
1.449138 0 0 0 0
1.227 #DIV/ #DIV/ #NUM #NUM
Lampiran 2a Pendapatan dan probabiliti displacement
64
Kelompok pendapatan RT (dlm juta rph) <1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8
Jlh RT 108 93 24 10 1 2 1 1
Jlh RT tidak pindah 24 14 11 3 0 0 1 1
Jlh RT pindah sementara dan kembali 84 79 13 7 1 2 0 0
Probality pindah sementara dan kembali 0.78 0.85 0.54 0.70 1.00 1.00 0.00 0.00
Prob. Tidak pindah (sementara) 0.22 0.15 0.46 0.30 0.00 0.00 1.00 1.00
Proses data untuk estimasi Model Logit Probabiliti perubahan pendapatan terhadap peluang pindah sementara
Median Pendapatan (dlm Juta) (X) 0.5 1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5
Jlh Kel (N) 108 93 24 10 1 2 1 1
n 84 79 13 7 1 2 0 0
P 0.777778 0.849462 0.541667 0.7 1 1 0 0
(1-P) 0.222222 0.150538 0.458333 0.3 0 0 1 1
P(1-P) 0.17284 0.127876 0.248264 0.21 0 0 0 0
Lampiran 2b Kelompok pendapatan dan probabiliti migrasi
P/(1-P) 3.5 5.642857 1.181818 2.333333 #DIV/0! #DIV/0! 0 0
Ln(P/(1P)=Z 1.252763 1.730391 0.167054 0.847298 #DIV/0! #DIV/0! #NUM! #NUM!
w (N*P(1P) 18.66667 11.89247 5.958333 2.1 0 0 0 0
w^2 4.320494 3.448547 2.44097 1.449138 0 0 0 0
65
Kelompok pendapatan RT (dlm juta rupiah) <1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8
Jlh RT 108 93 24 10 1 2 1 1
Jlh RT tidak migrasi
Jlh RT bermigrasi 26 30 9 3 1 1 0 0
82 63 15 7 0 1 1 1
probability migrasi 0.24 0.32 0.38 0.30 1.00 0.50 0.00 0.00
probabiliti tidak migrasi 0.76 0.68 0.63 0.70 0.00 0.50 1.00 1.00
Proses data untuk estimasi Model Logit Probabiliti perubahan pendapatan terhadap peluang bermigrasi Median Pendapatan (dlm Juta) (X)
Jlh Kel (N)
0.5
108
26
0.240741
0.759259
0.182785
0.317073
1.5
93
30
0.322581
0.677419
0.218522
0.47619
2.5
24
9
0.375
0.625
0.234375
0.6
Ln(P/(1P)=Z 1.14862 0.74194 0.51083
3.5 4.5 5.5 6.5 7.5
10 1 2 1 1
3 1 1 0 0
0.3 1 0.5 0 0
0.7 0 0.5 1 1
0.21 0 0.25 0 0
0.428571 #DIV/0! 1 0 0
-0.8473 #DIV/0! 0 #NUM! #NUM!
n
P
(1-P)
P(1-P)
P/(1-P)
Lampiran 2c Kelompok pendapatan dan probabiliti perubahan pencari nafkah
w (N*P(1P)
w^2
19.74074
4.443055
20.32258
4.508057
5.625
2.371708
2.1 0 0.5 0 0
1.449138 0 0.707107 0 0
66
Kelompok pendapatan RT (dlm juta rph) <1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8
Jlh RT 108 93 24 10 1 2 1 1
Jlh RT pencari nafkah tidak berubah 91 84 22 9 0 2 1 1
Jlh RT pencari nafkah berubah 17 9 2 1 1 0 0 0
probabiliti pencari nafkah berubah 0.16 0.10 0.08 0.10 1.00 0.00 0.00 0.00
probabiliti pencari nafkah tidak berubah 0.84 0.90 0.92 0.90 0.00 1.00 1.00 1.00
Proses data untuk estimasi Model Logit Probabiliti perubahan pendapatan terhadap peluang perubahan pencari nafkah Median Pendapatan (dlm Juta) (X)
Jlh Kel (N)
n
P
(1-P)
P(1-P)
P/(1-P)
Ln(P/(1-P)=Z
w (N*P(1-P)
w
0.5 1.5
108 93
17 9
0.157407 0.096774
0.842593 0.903226
0.13263 0.087409
0.186813 0.107143
-1.67765 -2.23359
14.32407 8.129032
3. 2.
2.5
24
2
0.083333
0.916667
0.076389
0.090909
-2.3979
1.833333
1.
3.5 4.5 5.5 6.5 7.5
10 1 2 1 1
1 1 0 0 0
0.1 1 0 0 0
0.9 0 1 1 1
0.09 0 0 0 0
0.111111 #DIV/0! 0 0 0
-2.19722 #DIV/0! #NUM! #NUM! #NUM!
0.9 0 0 0 0
0.
67 Lampiran 2d Kelompok pendapatan dan persepsi perubahan pengetahuan Kelompok pendapatan (dlm juta rph) <1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8
Jlh RT 108 93 24 10 1 2 1 1
Jlh RT dgn pengetahuan sama 104 88 23 10 0 2 1 1
Jlh RT dgn pengetahuan berubah 4 5 1 0 1 0 0 0
probabiliti perubahan pengetahuan 0.04 0.05 0.04 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00
probabiliti pengetahuan tidak berubah 0.96 0.95 0.96 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00
Proses data untuk estimasi Model Logit Probabiliti perubahan pendapatan terhadap peluang perubahan pekerjaan Median Pendapatan (dlm Juta) (X)
Jlh Kel (N)
n
P
(1-P)
P(1-P)
P/(1-P)
Ln(P/(1P)=Z
w (N*P(1P)
w^2
w
0.5
108
4
0.04
0.96
0.035665
0.038462
-3.2581
3.851852
1.962614
6
1.5
93
5
0.05
0.95
0.050873
0.056818
4.731183
2.175128
6
2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5
24 10 1 2 1 1
1 0 1 0 0 0
0.04 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00
0.96 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00
0.039931 0 0 0 0 0
0.043478 0 #DIV/0! 0 0 0
-2.8679 3.13549 #NUM! #DIV/0! #NUM! #NUM! #NUM!
0.958333 0 0 0 0 0
0.978945 0 0 0 0 0
3
#
68 Lampiran 3a Estimasi OLS Perubahan Pekerjaan (PERPEKR) atas Pendapatan Median (MEDPEND), Displacement (DISPLC), Migrasi (MIGRASI), Perubahan Pencari Nafkah (PERPNAFK), dan Perubahan Perubahan Pengetahuan (PERPENGTH) Dependent Variable: PERPEKR Method: Least Squares Date: 11/06/09 Time: 20:00 Sample: 1 8 Included observations: 8 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C MEDPEND DISPLC MIGRASI PERPNAFK PERPENGTH
1.052535 -0.163129 -0.535611 0.951761 -0.769445 1.200452
0.454706 0.076886 0.191222 0.085480 0.332517 0.147665
2.314759 -2.121691 -2.800982 11.13432 -2.314001 8.129567
0.1467 0.1679 0.1073 0.0080 0.1467 0.0148
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.994056 0.979195 0.299465 0.179359 3.839728 66.89148 0.014795
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.767015 2.076167 0.540068 0.599649 0.138217 1.812036
Lampiran 3b Estimasi OLS Perubahan Lokasi Pekerjaan (PERLOKS) atas Pendapatan Median (MEDPEND), Displacement (DISPLC), Migrasi (MIGRASI), Perubahan Pencari Nafkah (PERPNAFK), dan Perubahan Perubahan Pengetahuan (PERPENGTH) Dependent Variable: PERLOKS Method: Least Squares Date: 11/06/09 Time: 20:05 Sample: 1 8 Included observations: 8 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C MEDPEND DISPLC MIGRASI PERPNAFK PERPENGTH
-0.653875 0.101342 -0.029002 0.029968 1.609150 -0.021768
0.282481 0.047765 0.118795 0.053103 0.206572 0.091735
-2.314759 2.121691 -0.244140 0.564326 7.789771 -0.237296
0.1467 0.1679 0.8299 0.6294 0.0161 0.8345
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.998691 0.995420 0.186039 0.069221 7.648053 305.2612 0.003268
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
CURRICULUM VITAE
2.345243 2.748910 -0.412013 -0.352432 -0.813864 1.812036
69
Personal Background • Name: • Address: Aceh
•
•
Telephone: 651- 24735 (Home) E-mail:
Nazamuddin Basyah Said Jl. Hasan Saleh No. 51
Neusu
Banda Aceh, 23244 Indonesia (+62)-651-7552500 (Home)
(+62)-
(+62)811685051 (Mobile)
[email protected]
Education • Ph.D., Colorado State University, 1996. • MA, School of Economics, University of the Philippines, 1989 • SE, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 1986 Employment • Education Finance Specialist, Education Rehabilitation in Aceh Program (AusAID funded), September 2007 – December 2008 • Director of Planning and Budgeting, BRR (Aceh and Nias Reconstruction Agency), June 2006 – August 2007 • Economic Adviser to BRR Reconstruction Oversight Body (Dewan Pengawas BRR), Jan 2005-June 2006 • Economic Adviser to the Governor of Aceh, Jan 2006-Feb 2007 • Economic Adviser to BAPPEDA (Aceh Planning Board), Sept. 1997-Dec. 2003 • Lecturer and Researcher, Fakultas Ekonomi - Syiah Kuala University, October 15, 1986 to present • Executive Director, The Center for Aceh’s Economic Information and Research (PIKE-ACEH), Jan. 2008 - present Major Publications and Research (in reverse chronological order): • Economic Injustice: cause and effect of the Aceh Conflict, London Accord (http;//www.c-r.org), September 2008 • A Just Natural Resource Governance, Chapter, Sejarah Penyusunan UndangUndang Pemerintahan Aceh, 2008 • Economic Potentials and Limitations of Aceh and Nias: Focused on Social Integration, paper presented at Caritas Germany Seminar, Medan, 2008 • Education Investment and its effect on Aceh’s economic growth (2008), The Aceh Institute • The Economic Modernization and its effects on the Social System of Aceh, Coauthor, 2008 • High Cost Economy as an Obstacle to Economic Growth : A case of Aceh Province, sponsored by the Aceh Institute, Banda Aceh, 2007
70 • •
• • • • • • •
• • •
• •
• • • • • • •
Education Investments in NAD Province, Chapter in Majelis Pendidikan Daerah Lima Belas Tahun (1990-2005), 2005 Education Financing at Local Government Level under Special Autonomy: A case of Efficiency and Effectiveness of Public Expenditures in NAD Province, LPEM-FEUI, 2005 Identification and Estimation of Child Labor Abuse in Sumatera and its Policy Recommendations, funded by Directorate of Higher Education, MONE, 2005. Aceh Recovery Survey, funded by LPEM-FE University of Indonesia, 2005. The Indentification and Estimation of Child Labor in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam, funded by MONE, 2005 The Economy of Aceh: Its Resources and Gaps, Basic Data Collection, funded by ILO, 2005. Economic Mapping of Post-tsunami Aceh, in collaboration with Bank IndonesiaMedan Office (May 2005) Investments in Education in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam (June, 2005 Jurnal Pendidikan) The Decentralization of Education Financing at District Level and Its Impacts on Public Services in the Era of Special Autonomy in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam, funded by LPEM-FEUI in collaboration with Open Society Institute (OSI)-Hungary, July 2005. Economic Injustice and Its Influence towards Conflict Dynamics in Aceh, The Aceh Institute, 2005 A VAR Dynamic Analysis and Variance Composition of the Rupiah Exchange Rate (March 2004, Monmata Journal) An Analysis of the Employment Multiplier in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam (with Ardi), Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 2(2), August 2003, pp. 319335 Aceh Regional Public Expenditure Review, Funded by The World Bank, 2003 Education Finance in Decentralizing Indonesia, Seminar Proceedings, International Seminar, Syiah Kuala University and University Kebangsaan Malaysia, October 2002 The Financing of Education in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam, Giralda, Vol. VII, No. 18, June 2002. The Empowerment of Local Business in the Development of Sabang Free Port and Commercial Zone, Ekonomi dan Pembangunan, Vol VI No. 2, June 2002 Structural Model of Inflation and Regional Economic Growth of North Sumatera, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 1(1), April 2002, pp. 84-109 Vision, Mission, and Projection of the Economy of Aceh for 2020, LPEMUniversity of Indonesia, 1999 Two Theories of Wage and their Macroeconomic Implications, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 1(1), May 1998, pp.18-29 Structural Change and Unemployment in Indonesia, Ph. D. Dissertation, Colorado State University, 1996 Household Demand for the Quantity and Quality of Children and Labor Skill Content of Indonesian Trade, MA Thesis, University of the Philippines, 1989
71 •
The Change in Occupational Status and Employment Structure in Relation to Economic Development in Aceh Province, BA thesis, Syiah Kuala University, 1986
Trainings 1. Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, USA, Summer 2002 (July 15-31) 2. Public Budgeting and Fiscal Management, Andrew Young School of Policy Studies, GSU, Atlanta, USA, Summer 2002 (August 5-16). 3. Training of Trainers for Functional Planners, LPEM-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia in cooperation with BAPPENAS, 20-30 Sept. 2004. 4. Training of Trainers and Workshop on Participatory Local Social Development (PLSD), The Center for Policy Studies and Development Management, Hasanuddin University, Makassar, 1-10 August 2005. Professional Memberships and Organizations 1. Indonesian Economist Association (ISEI)-Aceh chapter, Vice Chairman, 20032007 2. Aceh Recovery Forum, Co-Founder, 2005-present 3. The Aceh Institute, Co-Founder, 2005-present 4. Center for Acehnese Economic Information and Research, Founder, 2008-present Awards 1. Outstanding Student of Syiah Kuala University, Department of Education and Culture, August 1984 2. High Scholastic Achievement in the Field of Economics, Omicron Delta Epsilon International Honor Society in Economics (USA), December 1993 3. Model Lecturer, Second Place, Syiah Kuala University, August 2000 Other Experiences 1. Active in Aceh peace process, post-tsunami recovery assistance and providing advice to DPRA (Aceh Council) and governments in Aceh in various regulations (qanuns) development. 2. Indonesia – Australia Youth Exchange, Group Leader, Sept. 1985- Jan. 1986 June. 2009
72 DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Nama lengkap
: Dr. Ir. Agussabti, Msi
2. Tempat dan Tanggal lahir
: Alue Lhok (Aceh Timur)/ 8 April 1968
3. Jenis Kelamin
: Laki-laki
4. Fakultas/Jurusan/ Program Studi/Pusat: Pertanian/ Sosial Ekonomi Pertanian/ Agriibisbis 5. Pangkat/ Golongan/NIP
: Penata TK I/IIId (Lektor Kepala IVb)/ 132 049
498 6. Bidang Keahlian
: Pembangunan Masyarakat
7) Alamat Kantor
: Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Unsyiah, Darussalam Banda Aceh : 0812 692 5780 :
[email protected]
Telpon/Fax E-Mail 8) Riwayat Pendidikan No. 1.
Education PhD Program (S3)
2.
Magister Program (S2)
3.
Graduated Program (S1)
: Major/Place Extention Development, IPB Extention Development, IPB Social Economic, Unsyiah
Year 2002 1997 1991
9) Pengalaman penelitian: Identifikasi Karakteristik dan Kebutuhan Rumah Tangga Miskin Berbasis Topologi Wilayah di Provinsi NAD. Dikti Depatemen Pendidikan. Jakarta. Team Leader. April 2009. Survey Baseline Socio-econimic Masyarakat Korban Konflik di Kabupaten Pidie Jaya dan Bener Meriah. Patnership Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dengan GITEC Jerman. Team Leader. April-Agustus 2008. Survey Socio-Economic on Tsunami Victims in Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Utara, and Sabang. Patnership American Redcross (ARC) and Syiah Kuala University, Member Team. February-Maret 2008 Survey Socio-Economic on Tsunami Victims in Banda Aceh and Aceh Besar, Patnership Nagoya University and Syiah Kuala University, Member Team. December 2007 Policy note Aceh economic sustainable, CSIRO-WorldBank. Member Team. December 2007-February 2008
73 Strengthening of Clinic (Puskesmas) Management in Aceh Province, Jointly Partnership between BRR and Unsyiah, Co Team Leader, (proposal process) Assessment of Social Aspects for Feasibility Study of Water Front City (Banda Aceh and Aceh Besar District). Partnership with Badan Rehabilitasi dan Rekonstuksi (BRR) Aceh and Nias. Team Leader for Social Aspects. March-April 2007. Assessment On The Effectiviness Of British Redcross (BRCS) Livelihoods Program at Aceh Besar and Aceh Jaya. Partnership with Center Agriculture and Rural Development Studies (CARDS). TA National. September-October 2006. Assessment On The Effectiviness Of ERTR Project Under Its Component That Directly Relate to Beneficeries in Nanggroe Aceh Darussalam Partnership Research Institution of Syiah Kuala University-Banda Aceh and UNDP. TA National. JuniAugust. 2006. Analysis of Social Conditions and Poverty in Aceh. Aceh Public Expenditure Analysis (APEA) Partnership Research Institution of Syiah Kuala University-Banda Aceh and World Bank. Team Member. April-Juni. 2006. Need Assessment Social Economic for Reintegration. Partnership Research Institution of Syiah Kuala University-Banda Aceh and JICA. Team Leader. January-March. 2006 Annual Report One Year of Tsunami In Aceh. Partnership Research Institution of Syiah Kuala University-Banda Aceh and World Bank. Team Member. Nov 2005-Dec. 2005. Refraction Gender in Women Empowerment Pasca-tsunami in Ache Besar Regional (Research Institution of Syiah Kuala University-Banda Aceh). Team Member . AprilOctober 2005. Need Assesment of Marginal Communities in West Coastal Area. (Patnership Research with Mr. Oyvin-Nerwegian). Team Leader. February2005-March 2005. Seuneubok as a System Regional Management Base Local Wisdom (Grounded Research. DIKTI, National Education Department, Jakarta). Team Leader . April 2005 October 2005. Feasibility Study Palm oil Development for Vulnerable Communities in Ache Barat Daya District (Patnership Research with Dinas Perkebunan Ache Province). Team Member. February 2004-March 2004. Developing and Maintaining Forestry Through Local Wisdom in an Around The Ecosystem Leuser (districts: Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, and Aceh Singkil). (Patnership Research with Unit Management Leuser -UML, Medan). Team Leader January2004- May 2004. Feasibility Study of Promotion and Zoning of Agribusiness Commodity of Gayo Lues District” (Patnership Research with Gayo Lues Governance District). Team Member Nov. 2003 – Feb 2004. Feasibility Study of Krueng Tripa Irrigation Development (Social economic aspect) in Nagan Raya District” (Partnership Research with Center Agriculture and Rural Development Studies- CARDS). Team Member .August 2003 – Nov 2003. Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA). Banda Aceh City. Partnership Research with Center Agriculture and Rural Development Studies- CARDS. Ford Fundation. Researcher. Period I: Feb 2002-Mai 2002.
74 Farmers Outonomy in Decision Making of Adoption of Innovation (Case Study in West Java). IPB University. DIKTI: Educational Department (Research at PhD Program). Researcher. June2000-February 2002. Implementasi of Market Operation (Provinsi D.I. Aceh). Partnership Research Institution of Syiah Kuala University-Banda Aceh with BAPENAS. Team Member. November 1999- Februari 1999 Farmers Motivation In Using of Coconut Land In Aceh Timur District. IPB University. DIKTI: Educational Department (Research at Magister Science Program). Researcher Februari-Juni 1997. Book Writing: Lauser: In Local Community Conception, Unit Management Leuser, Medan. 2004. Funding by Uni Europe Comission. Aceh Cultural, Historical Dynamic, and Globalization, 2005. Syiah Kuala University Press, Banda Aceh. Patnership Unsyiah and Aceh Government. Membangun Masyarakat Aceh 2020. 2007. Syiah Kuala. University Press. Banda Aceh Achievement : The best researcher at national level in Grounded Research, Dikti 2005. Title: “Kajian Seuneubok Sebagai Sistem Pengelolaan Kawasan Berbasis Adat”. Pengalaman Kerja dan Training: Lecturer at Agriculture Faculty, Syiah Kuala University, Banda Aceh. Responsibility: Agricultural Extension, Rural Sociology, Management, Research Method, Cooperation and Rural Credit, Human Resource Development, Community Development, and Organization Behaviour and Leadership. 1993-Present Lecturer at Economic Faculty, Syiah Kuala University, Banda Aceh. For PhD Program Responsibility: Economic and development Planning: Social Planning. 2003-Present. Lecture at TMPP Program for BAPEDA Staff In Sumatera Regional . Partnership between Economic Faculty, Syiah Kuala University and BAPPENAS. Responsibility: Institution Building and Participation. 2003-Present. External Resittlement Monitoring (ERM) ADB Team Leader: Responsible to manage team and make the report to ADB dan BRR related to evaluation of ETESP-ADB Project, especially road, bridge, irrigation, housing, and power. July 2007-March 2008. Spatial Village Planning, MACON-ADB Communication Specialist: Responsible for Building Communication Internal and External Team. March 2006-March 2007 Community Based Recovery Program-SPD/USAID (Support for Peaceful Democratization) –Tsunami in Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. DAI-USAID
75 Regional Coordinator : Responsible for empowering Seventeen rural communities affected by the earth quake and Tsunami 26 December 2005 to progress from recovery toward sustainable self-development. April 2005 to February 2006 Agriculture Development Program in Bireun District, Patnership between Agriculture Department and Local Community Institution, to develop corn crop by partnership between community, bisnismen, and government. Team Leader . August 2004 to December 2004 Team Consultant Agricultural Extension for Aceh Province, Ir. Azman, Responsibility: supplement police for Government of Aceh in field Agricultural Extension and Development. Member Team. February 2002- Dec 2004 Helping for Community Program in Pidie District, Patnership between Agriculture Department and Local Community Institution, to develop local institution by provided capital and empowerment to the community. Team Leader . March 2003 to July 2004 To Develop and Maintain Forestry Through Local Wisdom of Gayo Lues District Responsibility: Formulation of Local Wisdom in Project Location and Make final report of result of project for funding (UML). Team Leader . February 2003-June 2003 Community Rehabilitation Impacted Aceh Conflict Program in Pidie DistrictUSAID/OTI, to recovery community livelihood through Agribisness and Agricultural Development . Team Leader. August 2002 to October 2003. Farmer Empowerment through Direct Aids for Community Program in Pidie District (Patnership with Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Ache Province). Team Member June 2002 – Des 2003 Projects Evaluation in Village Development for Community Properous in Leuseur Eko-sistem (Provinsi D.I. Aceh), Responsible: Evaluating projects and make final report of result of project for funding (UML). Team Member. November 1997-Oct 1998. Training Experience: • • • • •
18-25 July 2005, TOT Training, “Participatory Local Social Development”, in Makassar 6-9 Juni 2005, Team Building Training, in USAID-Dai Oficce, Banda Aceh. 9-14 Mei 2005, OPERACY Training, “Personal Empowerment and Leadership”, Economic Faculty of Syiah Kuala University 15-21 Juni 2000, Participatory Rural Appraisal (PRA), in IPB Bogor. 2-8 August 1998, TOT Training in PALAGUNG Program, Ciserua-Puncak, Bogor.
Other Skills: 1. Usually and able to work in team 2. Good comunication and sosialitation 3. Easy to adaptation in office and work team 4. Able to use and operate computer (Ms.Office dan hardware)
76
Banda Aceh, Mei/24/2009 Dr. Ir. Agussabti, M.Si
77
CURRICULUM VITAE Nama Lengkap
Syaiful Bahri, Drs. M.Pd
Lahir
Aceh Timur, 19 Desember 1960
Jabatan
Kabid Bidang Kerjasama Pusat Pelayanan Psikologi dan Konseling Unsyiah
Bidang Keahlian
Bimbingan dan Konseling
Unit Kerja
Universitas Syiah Kuala
Alamat a.
Kantor
b.
Rumah
Darussalam, Banda Aceh , Telepon (0651) 53498 Jalan Peurada Utama, Lr. Mutiara No. 9 Ds. Lamnyong Desa Lamgugob Banda Aceh Hp. 081360403063
c. Riwayat Pendidikan
a. SD IDI tamat 1973 b. SMP N. 1 Langsa tamat 1976 c. SPGN Takengon tamat 1980 d. Sarjana Pendidikan FKIP Unsyiah tamat 1985 e. Pascasarjana (S-2) IKIP Bandung tamat 1994
Kursus-kursus
a Sertifikasi Tes Untuk Konselor Pendidikan, tahun 1996 b. Supervisi Pendidikan Untuk Program Diploma (D-II) PGSD, tahun 1997 c. Pemberdayaan Kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air, tahun 1998 d. TOT Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irrigáis, 1999 e. TOT Konseling Trauma, tahun 2001 dan 2002
Pengalaman Pekerjaan
1. Instruktur Peningkatan Kinerja Guru Pembimbing di SLTP dan SLTA, Januari 1995 s/d Semarang Konsultasi Publik berkenaan dengan program PKPI tahun 2000 dan 2001. 2. Konsultasi Publik berkenaan dengan proyek SPL-OECF- INP22, Dinas Perkebunan Propinsi NAD, tahun 2001. 3. Konsultasi Publik berkenaan dengan proyek NSIASP tahun 2002 4. Rekrutmen TPP dan KTPP berkenaan dengan program PKPI tahun 2000 5. Pelatihan dan Operasaional TPP dan KTPP berkenaan dengan proyek PKPI, tahun 2000 dan 2001 Pelatihan dan Operasaional TPP dan KTPP berkenaan dengan proyek Operasional dan Pemeliharaan Irigasi pada Subdin OP Dinas SDA Propinsi, tahun 2001 dan 2002 6. Ketua rekrutmen Kepala Sekolah Dasar (SD), tahun 1998 s/d 2000
78 7. Rekrutmen TPP dan KTPP berkenaan dengan proyek Operasional dan Pemeliharaan Irigasi pada Subdin OP Dinas SDA Propinsi, tahun 2001 dan 2002Instruktur Pelatihan kepala Sekolah Januari 1997 s/d sekarang 8. Anggota Jaringan Penelitian Pendidikan pada Bappeda Prop. D.I. Aceh, tahun 1995 s/d 1999. 9. Community Organizer pada Proyek Penguatan Kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air Keujruen Blang , Maret 1997 s/d Desember 1997. 10. Community Organizer pada Proyek Konsultasi manajemen dan Monitoring (MMC) SPL-OECF-INP22 Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Horticultura di Aceh, Juli 1998 s/d Maret 1999. 11. Community Organizer pada proyek Implemantasi Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigási, April 1999 s/d Nopember 2000. 12. Community Organizer pada proyek Pemberdayaan Kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air Keujruen Blang, Januari 2003 s/d Desember 2003. 13. Ketua Rekrutmen Calon Guru Yayasan Pendidikan Arun (YAPENA), Tahun 2000 dan 2003 14. Training of Trainners (TOT) bagi guru MI/SD dan SMP/MTs pada program konseling trauma bagi siswa Kerjasama dengan Education Internasional, Bulan Juli tahun 2005. 15. Konsultan Monev Program PKPS-BBM Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi NAD Juli – Desember 2006. 16. Konsultan Manajemen Program PKPS-BBM Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi NAD Januari – Juni 2007.
79 Pengalaman Penelitian/Karya Tulis Ilmiah (6 Tahun terakhir)
1. Kontribusi Pola Asuhan terhadap Perilaku Agresi (penelitian tahun 2001) 2. Tingkat Kepedulian Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak Ditelaah dari Tingkat Pendidikan dan Status Pekerjaannya (Penelitian tahun 2001). 3. Model Kerjasama SMK dengan Dunia Usaha (Penelitian tahun 2001) 4. Dampak Penataran Terhadap Kinerja Guru (Penelitian tahun 2002) 5. Survey Kebutuhan Biaya Operasional proses Pembelajaran pada tingkat SD, SLTP, dan SMU di Aceh (Penelitian tahun 2002). 6. Iklim Globalisasi dan Peran Agama serta Pendidikan Dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia (Makalah tahun 2002) 7. Survey Pemanfataan Irigasi oleh Petani di Daerah Irigasi jambo Aye, tahun 2001 8. Pendidikan dan tantangan Global (Makalah, 2003) 9. Layanan Konseling Kelompok bagi Klien Posttraumatic Stress Disorders (makalah tahun 2003). 10. Terapi Keluarga Bagi Klien PTSD : Pendekatan Behavioral (Makalah tahun 2004). 11. Statistika Dalam Perspektif Penelitian (Makalah, tahun 2004)
12. Pendekatan Konseling Integratif (makalah tahun 2004 13. Pendekatan Konseling EMDR Berbasis Lintas Budaya dan Kekalutan Ketegangan Pasca Trauma (Publikasi Dalam Buku Pendidikan dan Konseling di Era Global, tahun 2005) 14. Peran Keujruen Blang dalam Pemberdayaan Petani Pemakai Air Irigasi (Suatu Penelitian Aspek Sosiobudaya), tahun 2006 15. Dampak Trauma terhadap Kehidupan Anak dan Orang Dewasa (Makalah, tahun 2006). 16. Profil Perempuan Korban Konflik Ditelaah Dari Aspek Sosial Psikologis dan Ekonomi, (Penelitian Tahun 2006). 17. Asesmen Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan Berbasis Hukum Adat (Penelitian Tahun 2007) 18. Asesmen Dampak Program Kerjasama IOM-POLRI di Nanggroe Aceh Darussalam (Penelitian tahun 2008) 19. Evaluasi Kompetensi dan Perilaku Hasil Didik SPN Seulawah Polda NAD (Penelitian tahun 2009) Banda Aceh, 16 Juni 2009 Drs. Syaiful Bahri, M.Pd
80