Laporan Mengenai Tenaga Kerja Muda Di Indonesia data terbaru
1
Copyright © International Labour Office 2004 Pertama terbit tahun 2004 Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. ILO Kantor Perburuhan Internasional, 2004 “Laporan Mengenai Tenaga Kerja Muda di Indonesia: data terbaru” Judul Bahasa Inggris: ”Youth Employment Report in Indonesia: an update” ISBN 92-2-016123-0
Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi-publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas-batas negara tersebut. Dalam publikasi-publikasi ILO tersebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi-publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Menara Thamrin Lantai 22, Jl. M. H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut, atau melalui e-mail:
[email protected] ;
[email protected]. Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id Dicetak di Jakarta, Indonesia
2
Prakata Penganguran kaum muda adalah salah satu masalah serius yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini merupakan suatu tragedi bagi kaum muda, baik perempuan maupun laki-laki, serta bagi negara. Inipun merupakan pemborosan besar terhadap bakat dan kemampuan generasi baru. Ada suatu kebutuhan untuk menemukan peluang baru bagi kaum muda Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan produktif. Tanpa adanya peluang, akan banyak kaum muda yang tidak akan mampu mewujudkan potensi diri mereka. Menjawab tantangan ini, Pemerintah Indonesia, dibawah koordinasi Kementrian Koordinasi Bidang Perekonomian, pada 2002 telah mengajukan diri sebagai salah satu “negara percontohan” dari sepuluh negara didalam Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda. Hal ini diikuti dengan pembentukan Tim Koordinasi Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda, melalui Keputusan Menteri, serta dirumuskannya Rencana Aksi Nasional mengenai Lapangan Kerja bagi Kaum Muda. Rencana Aksi ini disusun oleh Tim Koordinasi melalui melalui berbagai konsultasi dengan individu dan kelompok terkait dan diluncurkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pada Hari Pemuda Internasional, 12 Agustus 2004. Beberapa rekomendasi kebijakan pokok tercantum di dalam Rencana Aksi mencakup menciptakan pendidikan yang terjangkau kaum miskin, mengembangkan kerangka kerja kualifikasi nasional, serta memperkuat jejaring pendidikan keterampilan dan pusat pelatihan berkualitas, mengintegrasikan tujuan penciptaan lapangan kerja bagi kaum muda ke dalam kebijakan makro ekonomi. Rekomendasirekomendasi inipun menjajaki peluang baru dalam sektor-sektor yang baru berkembang, menggalang aksi, mempermuda kaum muda untuk memulai dan menjalankan usaha, menggalang dukungan bagi sektor swasta atas wirausahawan muda, serta mengembangkan jaringan program dukungan antara pengusaha besar dan kecil. Tentu saja ini merupakan suatu langkah penting dalam perumusan Rencana Aksi – namun ini baru merupakan langkah awal! Yang lebih penting lagi adalah komitmen pelaksanaan dan tekad untuk mengerahkan tenaga dan sumber daya dalam menerjemahkan “konsep yang baik ke dalam praktek nyata”. Hal ini akan memerlukan kemitraan yang kuat antara pemerintah, masyarakat bisnis, organisasi pengusaha dan serikat pekerja, bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan pihak lain. Inipun membutuhkan dukungan dan keterlibatan aktif dari kaum muda. Publikasi terbaru ini dipersiapkan sebagai bagian dari kerjasama teknis dari Proyek tentang Mengatasi Tantangan Lapangan Kerja bagi Kaum Muda di Indonesia (INS/02/50M/NET) yang didanai Pemerintah Belanda. Laporan ini bertujuan menumbuhkan kesadaran mengenai masalah ketenagakerjaan muda di Indonesia dan mendukung program-program yang mengatasi masalah ini. Laporan ini merevisi laporan sebelumnya mengenai Lapangan Kerja bagi Kaum Muda di Indonesia yang dipublikasikan tahun 2002. Laporan
3
tersebut berupaya mengidentikasi dimensi-dimensi dan berbagai permasalahan tentang lapangan kerja bagi kaum muda di Indonesia dan merinci sejumlah kegiatan sebelumnya sebagai upaya mendapatkan masukan dan dukungan terhadap program aksi nasional tentang ketenagakerjaan muda. Laporan terbaru ini adalah hasil kolaborasi antara ILO dan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Laporan ini dibagi dalam tiga bab. Bab pertama memberikan gambaran terbaru situasi demografi orang muda di Indonesia, dan menyediakan data statistik yang berkaitan dengan populasi, pendidikan dan ketenagakerjaan kaum muda. Data menunjukkan besarnya tantangan lapangan kerja bagi kaum muda di Indonesia, termasuk dimensi jender. Bab kedua membahas masalah kemiskinan dan keterkaitannya dengan kaum muda. Keterlibatan ILO dalam proses Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia telah mengajarkan kita tentang kemiskinan dan kurangnya kesempatan kerja bagi kaum muda. Laporan ini menyoroti berbagai aspek mengenai kemiskinan kaum muda – pendapatan, akses atas pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan, kerentanan dan ketakberdayaan. Bab terakhir dari laporan ini menganalisa isu kewirausahaan muda, termasuk masalah yang dihadapi kaum muda dalam memulai dan memperluas usaha mereka. Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan laporan ini, baik dari Universitas Indonesia maupun ILO. Kami berharap, laporan ini dapat memberikan kontribusi kepada Pemerintah Indonesia, dan seluruh mitra-mitranya dalam upaya menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik dan lebih besar bagi kaum muda Indonesia. Alan Boulton Direktur Kantor ILO Jakarta Oktober 2004
4
Pengantar Ini merupakan Laporan Final dari LAPORAN MENGENAI TENAGA KERJA MUDA DI INDONESIA yang dikerjakan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO). Atas nama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia dan staf, kami menyampaikan penghargaan kami yang tertinggi kepada Organisasi Buruh Internasional yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini. Jakarta, Desember 2003 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI)
Dr. Muh. Chatib Basri Wakil Direktur untuk Kajian Ekonomi dan Kebijakan
5
6
Daftar Isi Pengantar
i
Daftar Isi
ii
Daftar Tabel dan Figur
iv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Isi Laporan Bab 1: Gambaran Umum Situasi Demografis Kaum Muda di Indonesia Bab 2: Kemiskinan dan Kaum Muda Bab 3: Kewirausahaan Kaum Muda
1 2 2 2 2
BAB 1.: GAMBARAN UMUM SITUASI DEMOGRAFIS KAUM MUDA DI INDONESIA
4
Pendahuluan
4
Jumlah Penduduk Muda Usia dan Jender Pendidikan Kelompok Etnis, Tempat Tinggal Dan Mobilitas
4 7 10 14
Tenaga Kerja Muda Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda Rasio Tenaga Kerja Terhadap Populasi Tenaga Kerja Menurut Status Tenaga Kerja Menurut Jenis Pekerjaan Pengangguran Pengangguran Menurut Jender Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan Persentase Kalangan Muda Pengangguran terhadap Jumlah Pengangguran Secara Keseluruhan Setengah Pengangguran Upah Dan Gaji Tenaga Kerja Muda Dampak-dampak Sosial Pengangguran Muda
19 19 21 23 25 26 27 28
Kesimpulan
38
30 31 34 36
7
BAB 2. KEMISKINAN DAN KAUM MUDA Pendahuluan
40
Gambaran Umum Profil Kemiskinan Di Indonesia
41
Profil Kemiskinan Kaum Muda Pendidikan Pola Konsumsi Rasio Tenaga Kerja Terhadap Orang Muda Miskin Tenaga Kerja Berdasarkan Status Kerja Tenaga Kerja Berdasarkan Bidang Pekerjaan
46 48 49 50 50 52
Kesimpulan
53
BAB 3. KEWIRAUSAHAAN KAUM MUDA
54
Pendahuluan
54
Profil Kewirausahaan Kaum Muda Daerah Pedesaan Dan Perkotaan Jender Pendidikan
55 57 59 60
Wiraswasta Berdasarkan Bidang Kerja
62
Tantangan Kewirausahaan Kaum Muda
64
DAFTAR PUSTAKA
8
40
67
Daftar Tabel dan Figur Tabel 1.1. Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 2000-2005 (di dalam ribuan orang)
5
Tabel 1.2. Persentase anak muda Indonesia dibandingkan dengan Jumlah Penduduk secara Keseluruhan, 1971-2002
6
Tabel 1.3. Persentase Kaum Muda Indonesia berdasarkan Tempat dan Jender, 1971-2002
6
Tabel 1.4. Tingkat Partisipasi Kelompok Muda dan Dewasa di dalam Angkatan Kerja 1971-2002
7
Figur 1.1. Persentase Populasi Kelompok Muda dari Populasi Total
9
Tabel 1.5. Distribusi Penduduk Indonesia berdasarkan Kelompok Usia dan Jender 1971-2002 (%)
9
Tabel 1.6. Distribusi Populasi Kalangan Muda (15-24 tahun) berdasarkan Pendidikan yang Diraih 1971-2002 (%)
10
Tabel 1.7. Distribusi Populasi Kalangan Muda (15-24 tahun) berdasarkan Tingkat Pendidikan yang Diraih serta Jender 1971-2002
11
Figur 1.2. Rasio Orang Muda yang Terdaftar di Sekolah berdasarkan Tempat Tinggal, 1971-2002
12
Figur 1.3. Rasio Orang Muda yang Terdaftar di Sekolah Berdasarkan Jender, 1971-2002
13
Tabel 1.8
Distribusi Populasi Kalangan Muda (15-24 tahun) menurut Kelompok Etnis, 1980-2000
15
Figur 1.4. Persentase Populasi Kalangan Muda Indonesia (15-24 tahun) berdasarkan Tempat, 1971-2002
15
Figur 1. 5. Tingkat Pertumbuhan Populasi Kalangan Muda (15-24 tahun) berdasarkan Tempat, 1971-2002
16
Tabel 1.9
17
Persentase Migrasi di Kalangan Muda Berdasarkan Status Migrasi, 1980-2000
Tabel 1.10 Persentase Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Status Migrasi, 1980-2000 Tabel 1.11 Persentase Alur Migrasi Seumur Hidup Antar Wilayah di Indonesia, 2000
18 18
Figur 1.6. Partisipasi di dalam Angkatan Kerja di Pedesaan menurut Kelompok Usia,
9
1971-2002
19
Figur 1.7. Partisipasi di dalam Angkatan Kerja di Perkotaan menurut Kelompok Usia, 1971-2002
20
Figur 1.8. Tingkat Partisipasi Kaum Muda (15-24 tahun) dalam Angkatan Kerja menurut Jender, 1971-2000
21
Figur 1.9. Rasio tenaga Kerja Kalangan Muda (15-24 tahun) terhadap Populasi menurut Jender, 1971-2002
22
Figur 1.10. Rasio tenaga Kerja Kalangan Muda (15-24 tahun) terhadap Populasi menurut Lokasi, 1971-2002
22
Figur 1.11. Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) menurut Status, 1971-2002
23
Figur 1.12. Persentase tenaga Kerja Dewasa (> 25 tahun) menurut Status, 1971-2002
24
Tabel 1.12 Persentase tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) menurut Bidang Pekerjaan 1985-2002
25
Tabel 1.13 Distribusi tenaga Kerja Orang Dewasa (>24 tahun) menurut Bidang Pekerjaan, 1985-2002 (%)
25
Figur 1.13. Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Tempat, 1971-2002 26 Figur 1.14 Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Jender, 1971-2002
27
Tabel 1.14 Persentase Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Tingkat Pendidikan, 1985-2002
28
Tabel 1.15 Persentase Tingkat Pengangguran Orang Dewasa (>24 tahun) menurut Tingkat Pendidikan, 1985-2002
29
Figur 1.15. Persentase Pengangguran muda (15-24 tahun) terhadap Total Pengangguran (>15 tahun), 1971-2002
30
Figur 1.16. Persentase setengah pengangguran terhadap total pekerja menurut usia, 1985-2002
32
Figur 1.17. Persentase setengah pengangguran terhadap total pekerja menurut Status, 1985-2002
32
Tabel 1.16. Persentase setengah pengangguran Muda (15-24 tahun) terhadap Jumlah Keseluruhan Mereka yang Bekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 1985-2002 33
10
Tabel 1.17. Persentase tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) dan tenaga Kerja Dewasa (>25 tahun) menurut Jumlah Upah/Gaji/Pendapatan Bulanan
35
Figur 1.18. Persentase Pasien Rawat Inap untuk Narkoba kaum muda Muda berdasarkan Kelompok Usia, 1995-1998
36
Figur 1.19 Persentase Pemenjaraan Berdasarkan Kelompok Usia
37
Tabel 1.18. Kerugian Materi, Tindakan, Korban yang diakibatkan Perkelahian Pelajar di Jakarta, 1997-2001
38
Tabel 2.1. Garis Kemiskinan untuk Indonesia (versi BPS), 1996-2002
41
Tabel 2.2. Indikator Kemiskinan untuk Indonesia, 1996-2002
42
Figur 2.1. Persentase Orang Miskin Berdasarkan Usia, 1996-2002
42
Tabel 2.3. Profil Orang Miskin dan Tidak Miskin di Indonesia (%), 2002
43
Figur 2.2. Pengeluaran Rata-rata Bulanan Orang Miskin dan Tidak Miskin, 1996-2002
44
Tabel 2.4. Profil tenaga Kerja Miskin dan Tidak Miskin di Indonesia (%), 2002
45
Figur 2.3. Jumlah Orang Muda Miskin dan Tidak Miskin, 1996-2002
46
Figur 2.3. Jumlah Orang Miskin Muda menurut Tempat, 1996-2002
47
Tabel 2.5. Persentase Orang Miskin Muda menurut Tempat dan Jender, 1996-2002
47
Figur 2.4. Persentase Orang Muda Miskin menurut Tingkat Pendidikan, 2002
48
Tabel 2.6. Persentase Orang Muda Miskin menurut Tempat dan Tingkat Pendidikan, 2002 48 Figur 2.5. Persentase Pengeluaran Rata-rata Bulanan untuk Orang Miskin Muda, 2002
49
Figur 2.6. Rasio tenaga Kerja terhadap Populasi untuk Orang Miskin menurut Tempat, 1996-2002
50
Tabel 2.7. Persentase Orang Muda Miskin menurut Status kerja dan Tempat, 2002
52
Tabel 2.8. Persentase Orang Muda Miskin menurut Bidang Pekerjaan, 1996-2002
52
Tabel 2.9. Persentase Orang Muda Miskin menurut Bidang Pekerjaan dan Tempat, 2002
52
Figur 3.1. Persentase Pekerja Wiraswasta, 1997-2002
55
Tabel 3.1. Persentase Pekerja menurut Status Kerja, 1997-2002
56
Tabel 3.2. Persentase Pekerja Wiraswastawan menurut Usia, 1997-2002
56
Figur 3.2. Jumlah Wiraswastawan Muda di Perkotaan-Pedesaan, 1997-2002
57
Figur 3.3. Komposisi Wiraswastawan Muda di Daerah Pedesaan, 2002
58
Figur 3.4. Komposisi Wiraswastawan Muda di Daerah Perkotaan, 2002
58
Figur 3.5. Persentase Wiraswastawan Muda menurut Bidang Kerja, 1997-2002
59
Figur 3.6. Persentase Wiraswastawan Muda menurut Pendidikan, 2002
60
Figur 3.7. Persentase Wiraswastawan Muda menurut Pendidikan dan Tempat, 2002
62
Tabel 3.3. Persentase Wiraswastawan Muda menurut Bidang Pekerjaan, 1997-2002
63
Figur 3.8. Persentase Wiraswastawan Muda menurut Bidang Kerja dan Tempat, 2002
63
11
12
Pendahuluan Latar Belakang Secara umum, kesempatan kerja dan pengangguran kaum muda sangat dipengaruhi berbagai variasi yang ada dalam pasar kerja dan kondisi perekonomian secara keseluruhan.1 Oleh karena itu, di masamasa krisis seperti yang kini sedang dihadapi Indonesia, tenaga kerja muda yang paling terpukul karena rendahnya kemampuan adaptasi mereka terutama yang menyangkut keterampilan dan modal. Strategistrategi yang diterapkan untuk menangani pengangguran harus mempertimbangkan suatu proses yang menyebabkan sejumlah kelompok penduduk lebih rentan terhadap pengangguran dibandingkan kelompok yang lain. Sangat penting menentukan pola-pola dan fitur-fitur tertentu mengenai tenaga kerja/ pengangguran muda di Indonesia, memahami kelompok-kelompok yang rentan tersebut, serta menciptakan cara-cara dan kesadaran untuk menangani mereka. Laporan ILO tahun 2002 telah memberikan suatu gambaran yang baik mengenai kondisi tenaga kerja muda di Indonesia. Laporan ini akan semakin komprehensif apabila ia tidak hanya mencakup analisa statistik tetapi juga analisa yang berorientasi pada kebijakan. Penelitian yang telah dilakukan di sini akan memperbaharui data dan memperkaya analisa yang sudah ada di dalam laporan tersebut. Selain itu, terdapat dua hal yang ditambahkan untuk melengkapi laporan yang sudah ada, yakni analisa mengenai “Kemiskinan dan Kaum Muda” serta analisa mengenai “Kewirausahaan Kaum Muda”. Hal ini dikarenakan adanya dua kebijakan pemerintah yang akan mulai diterapkan di tahun-tahun mendatang yang berhubungan dengan dua permasalahan tersebut. Dengan demikian, upaya untuk mengaitkan tenaga kerja muda muda dengan kedua isu tersebut akan banyak menghemat sumber daya serta memberikan dampak yang lebih baik.2
Isi Laporan Laporan ini akan didasarkan pada laporan ILO mengenai Kaum Muda dan Kesempatan Kerja di Indonesia, 2002. Pada dasarnya, isi laporan ini sama dengan yang sebelumnya, tapi laporan ini ditambah dengan pemutakhiran data dan masalah-masalah yang dihadapi. Bab Satu akan menjelaskan kondisi tenaga kerja muda; Bab Dua akan menggambarkan kondisi kaum muda dan kemiskinan; sedangkan bab terakhir akan memaparkan analisa mengenai kewirausahaan kaum muda. Sebagian besar data yang digunakan untuk analisisi ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), dan dari sumber-sumber statistik lainnya yang dianggap 1
2
IOE Programme of Action on Youth Employment, Enhancing Youth Employment: Employers ’ Actions (Draft Programme) Geneva, June 1998. Kertas kerja Soeprobo (2002) diterbitkan oleh ILO dan laporan ILO mengenai tenaga kerja muda di Kepulauan Solomon (2002) memberikan analisa lebih lengkap mengenai tenaga kerja muda. Akan tetapi, karena sasaran dari laporan ILO di Indonesia adalah pemerintah, hal-hal di dalam laporan dapat dipersingkat suapaya dapat dipahami oleh pemerintah atau masyarakat umum.
13
relevan dan terkini seperti PODES. Analisis ini juga mengikutsertakan analisis yang berorientasi pada berbagai persoalan dan kebijakan, dengan penekanan pada kemampuan kerja, kewirausahaan orang muda, kesetaraan jender, serta penciptaan lapangan kerja. Isi draft laporan ini masih merupakan analisa awal dan kurang komprehensif. Akan tetapi laporan ini telah memberikan gambaran luas mengenai topik yang disebutkan di atas. Topik mengenai kewirausahaan di kalangan kaum muda belum tercakup di sini dan akan dipaparkan di dalam laporan akhir. Topik-topik di dalam laporan ini secara mendetil dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bab 1: Gambaran Umum Situasi Demografis Kaum Muda Di Indonesia Bab ini akan memperbarui data dan analisa statistik dengan menggunakan data statistik terkini yang sudah tersedia. Gambaran ini terbagi dalam: • Populasi orang muda (berdasarkan jender, pendidikan, tempat, kelompok-kelompok etnis, tempat tinggal dan mobilitas) • Indikator tenaga kerja muda (rasio partisipasi angkatan kerja muda, rasio tenaga kerja terhadap jumlah penduduk, tenaga kerja berdasarkan status dan jenis pekerjaan, pengangguran – berdasarkan jender, pendidikan, perbandingan pengangguran di kalangan orang muda terhadap jumlah pengangguran secara keseluruhan, dan setengah pengangguran) • Dampak sosial pengangguran kaum muda.
Bab 2: Kemiskinan dan Kaum Muda Bab ini akan menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan kaum muda. Ruang lingkup analisis dalam bab ini mencakup: • Suatu kerangka mengenai berbagai bentuk kemiskinan di kalangan orang muda, seperti konsumsi, kemiskinan berdasarkan pendapatan, kemampuan yang terbatas (kurangnya pendidikan dasar, tingkat kesehatan, dll.), kerentanan (adanya risiko bahwa kaum muda dapat dengan mudah keluar masuk dari dan ke jurang kemiskinan), dan ketidakberdayaan (pandangan bahwa orang muda miskin merasa tidak berdaya dan tidak mampu mempengaruhi keadaan-keadaan institusional, sosial dan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari serta masa depan mereka) • Suatu profil nasional mengenai kemiskinan di kalangan orang muda (berdasarkan jender, lokasi pedesaan/perkotaan, berdasarkan pendapatan/konsumsi, dst.)
Bab 3: Kewirausahaan Kaum Muda Bab ini akan membuat suatu estimasi mengenai besarnya jumlah kaum muda yang bekerja secara swadaya atau bekerja di dalam usaha-usaha mikro; profil pengusaha (entrepreneur) muda; kegiatan bisnis yang mereka jalani, serta tantangan-tantangan utama yang mereka hadapi di dalam memulai dan membesarkan usaha mereka, termasuk akses untuk mendapatkan pelatihan, pendanaan, dukungan pelayanan, dan seterusnya.
14
Bab 1
Gambaran umum situasi demografis kaum muda di Indonesia Pendahuluan Untuk memahami secara utuh situasi tenaga kerja muda di Indonesia, bab ini akan memaparkan informasi demografis dan ketenagakerjaan saat ini. Secara khusus akan ditinjau statistik jumlah penduduk usia muda, isu-isu pendidikan dan kesempatan kerja, migrasi serta dampak sosial pengangguran di kalangan kaum muda.
Jumlah Penduduk Muda Kaum muda di Indonesia, seperti yang tercantum di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah mereka yang berada dalam kelompok usia 15-29 tahun. Akan tetapi, GBHN di dalam hal-hal dan berdasarkan alasan-alasan tertentu masih menganggap mereka yang berada di dalam kelompok usia 2529 tahun sebagai orang muda. Berdasarkan pemahaman internasional, kelompok usia yang digunakan untuk mengklasifikasi orang muda adalah remaja (15-19) dan orang dewasa muda (20-24). Proyeksi jumlah penduduk Indonesia 2000-2005 berdasarkan usia dapat kita lihat di Tabel 1.1. Secara jelas terlihat bahwa kelompok usia yang dominan dalam beberapa tahun mendatang adalah anak muda, yang terdiri dari remaja (15-19) dan orang dewasa muda (20-24). Estimasi jumlah orang di tiap kelompok usia tersebut sekitar 20 juta dan 22 juta untuk tahun 2005. Angka ini mewakili hampir 20 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Tabel 1.1. Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 2000-2005 (di dalam ribuan orang) Kelompok Usia 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54
2000
2001
2002
2003
2004
2005
21,591.3 19,226.8 20,764.8 23,135.1 20,592.0 17,469.2 16,060.8 15,157.7 13,711.6 10,986.7 8,214.6
21,797.5 19,355.3 20,183.2 22,641.7 21,169.0 17,945.7 16,307.0 15,387.1 14,115.1 11,526.2 8,612.3
21,928.2 19,636.2 19,625.1 22,145.3 21,710.2 18,483.5 16,564.1 15,580.1 14,452.4 12,049.9 9,056.2
21,980.8 20,073.5 19,308.8 21,644.6 22,193.7 19,069.3 16,812.2 15,718.7 14,700.1 12,537.2 9,528.9
21,951.5 20,673.7 19,203.9 21,155.1 22,620.9 19,709.7 17,058.0 15,826.7 14,854.8 12,986.3 10,039.3
21,834.9 21,448.8 19,162.6 20,674.7 22,978.7 20,419.7 17,303.5 15,876.3 14,922.6 13,403.3 10,609.3
15
55-59 60-64 65-69 70-74 75+
6,719.4 5,748.7 4,483.6 2,838.2 2,845.8
6,923.7 5,898.1 4,685.7 2,975.9 3,055.3
7,140.3 6,026.6 4,855.3 3,131.8 3,227.7
7,352.4 6,114.7 4,972.0 3,300.6 3,340.2
7,562.1 6,160.3 5,035.5 3,455.7 3,388.5
7,785.0 6,188.2 5,059.9 3,660.9 3,386.3
Total
209,546.3
212,578.8
215,612.9
218,647.7
221,682.0
224,714.7
Sumber: Biro Pusat Statistik
Berikut ini merupakan kondisi deskriptif dari kondisi demografis anak muda di Indonesia. Data yang digunakan di dalam penelitian ini diperoleh dari sensus penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 2000, Survei Jumlah Penduduk tahun 1976, 1985 dan 1995, Survei Angkatan Kerja Nasional 2001 dan 2002 serta Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002. Pada tahun 2002, kaum muda, jumlah penduduk yang berada di dalam kelompok usia 15-19 tahun mewakili 9,3 persen dan kelompok usia 20-24 tahun mewakili 8,5 persen dari jumlak penduduk secara keseluruhan. Dengan demikian, jumlah penduduk muda merupakan sekitar 17,8 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Persentase anak muda berusia di antara 15-19 tahun dan 20-24 tahun lebih kecil dibandingkan dengan persentase yang sama pada tahun 2000 (Tabel 1.2). Tabel 1.2. Persentase Anak Muda Indonesia dibandingkan dengan Jumlah Penduduk secara Keseluruhan, 1971-2002 Periode
1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002
Jumlah Keseluruhan Populasi 15-19 tahun
Persentase Kelompok Usia 15-19 Dibandingkan Jumlah Penduduk
11,325,493 13,530,231 15,283,235 16,566,970 18,926,983 20,279,390 21,149,517 19,992,790 20,036,828
9.6 10.7 10.4 10.1 10.6 10.4 10.5 9,4 9.3
Jumlah Keseluruhan Populasi 20-24 tahun
8,031,271 9,882,024 13,000,959 14,287,657 16,128,362 17,150,776 19,258,101 18,036,033 18,392,782
Persentase Kelompok Usia 20-24 Dibandingkan Jumlah Penduduk 6.8 7.8 8.9 8.7 9.0 8.8 9.6 8.5 8.5
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000 Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; Sakernas 2001, 2002
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2002, persentase laki-laki muda yang tinggal di daerah perkotaan mencapai 48,2 persen. Terjadi peningkatan yang tajam jumlah laki-laki muda yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan jumlah kaum perempuan di wilayah yang sama. Peningkatan proporsi jumlah laki-laki muda ini sangat menakjubkan dan hingga kini jumlahnya telah berlipat ganda sejak tahun 1971, sebaliknya jumlah perempuan muda di wilayah perkotaan telah berkurang 23 persen selama 30 tahun terakhir. Di wilayah pedesaan, proporsi laki-laki muda dan perempuan (berusia 15-24 tahun) sejak tahun 1971 sampai dengan 2002 relatif sama. Selama periode ini, persentase perempuan selalu lebih tinggi daripada laki-laki, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
16
Tabel 1.3. Distribusi Kaum Muda Indonesia berdasarkan Tempat Tinggal dan Jender, 1971-2002 (%) Kelompok
Tempat
Jender
1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
15-19 tahun
Kota
Laki-laki Wanita Laki-laki Wanita
49.6 50.4 49.3 50.7
48.3 51.7 48.8 51.2
48.6 51.4 49.4 50.6
49.1 50.9 50.9 49.1
48.4 51.6 51.3 48.7
49.3 50.7 51.6 48.4
49.0 51.0 51.5 48.5
NA NA NA NA
NA NA NA NA
Laki-laki Wanita Laki-laki Wanita
33.8 66.2 43.7 56.3
50.1 49.9 47.7 52.3
4s9.1 50.9 44.8 55.2
46.9 53.1 43.6 56.4
48.4 51.6 46.2 53.8
47.5 52.5 46.4 53.6
48.2 51.8 47.7 52.3
NA NA NA NA
NA NA NA NA
Laki-laki Wanita Laki-laki Wanita
25.0 75.0 45.5 54.5
22.2 77.8 48.5 51.5
27.1 72.9 47.7 52.3
31.9 68.1 47.7 52.3
36.6 63.4 48.8 51.2
41.5 58.5 48.9 51.1
46.8 53.2 49.2 50.8
48.3 51.7 48.7 51.3
48.2 51.8 49.7 50.3
Desa 20-24 Tahun
Kota Desa
Total (15-24 Tahun)
Kota Desa
- not stated in National Labor Forces Survey of 2001, 2002 Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; Sakernas 2001, 2002
Pada tahun 2000, tingkat partisipasi angkatan kerja di anak muda (15-24 tahun) lebih rendah dibandingkan orang dewasa (>25 tahun). Akan tetapi tingkat pengangguran kaum muda lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan sebagian dari mereka yang berada di dalam kelompok 15-24 tahun sedang berada di bangku sekolah. Karena itu, mereka tidak menjadi bagian dari angkatan kerja (Tabel 1.4). Tabel 1.4. Tingkat Partisipasi Kelompok Muda dan Dewasa di dalam Angkatan Kerja 1971-2002 (%) Periode
1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2002
Kelompok Muda (15-24) Tingkat Partisipasi dalam Angkatan Kerja 46.8 60.6 46.3 46.3 49.9 53.8 51.8 53.86
Tingkat Pengangguran 11.9 4.8 3.5 6.9 8.6 20.0 19.9 27.93
Dewasa (>25) Tingkat Partisipasi dalam Angkatan Kerja 63.7 73.8 63.4 69.2 69.0 70.1 73.7 72.6
Tingkat Pengangguran 7.1 0.7 1.0 0.8 1.2 2.9 2.5 4.2
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; dan Sakernas Tahun 2002.
Untuk mencermati lebih jauh populasi kelompok muda di Indonesia, bagian berikut ini memberikan gambaran mengenai kelompok-kelompok usia, kondisi-kondisi jender, pendidikan, etnisitas dan mobilitas selama 30 tahun terakhir.
17
Usia dan Jender Selama 30 tahun terakhir, proporsi populasi kelompok muda di Indonesia, baik remaja (15-19 tahun) maupun orang dewasa muda (20-24 tahun), telah meningkat dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Hal ini seperti yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang di mana populasi kelompok muda (15-24 tahun) pada umumnya merupakan bagian yang besar dari jumlah penduduk. Data mengenai Indonesia mengkonfirmasikan adanya dominasi kelompok muda dengan jumlah yang mencapai sekitar 18 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Dengan demikian, perhatian khusus perlu diberikan karena populasi inilah yang diharapkan menjadi masa depan bangsa di dalam bidang sumber daya manusia. Di bawah ini merupakan pemaparan grafis mengenai persentase populasi kelompok muda dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Figur 1.1. Persentase Populasi Kelompok Muda dari Populasi Total 25.00 20.00
15-19
15.00
%
20-24 10.00
15-24
5.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995: dan Sakernas Tahun 2001, 2002.
Selama 30 tahun terakhir, jumlah perempuan muda di Indonesia sedikit lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Dalam kurun waktu 1971-2002 terlihat bahwa proporsi jumlah perempuan selalu lebih besar dari laki-laki di setiap kelompok usia. Akan tetapi pada tahun 2002 proporsi jumlah perempuan berkurang dari tahun sebelumnya. Selain itu, terdapat pengecualian pada kelompok usia 15-19 tahun di mana dominasi perempuan dari tahun 1971 sampai 1980 digantikan laki-laki pada periode 1985 – 2002 (Tabel 1.5).
18
Tabel 1.5. Distribusi Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Usia dan Jender 1971-2002 (%) Periode 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002
Jender Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Usia
Total ( > 0 )
15-19 tahun
20-24 tahun
15-24 tahun
49.3 50.7 48.7 51.3 49.2 50.8 50.3 49.7 50.3 49.7 50.7 49.3 50.4 49.6 51.0 49.0 51.9 48.1
44.9 55.2 48.3 51.7 45.9 54.0 44.7 55.3 47.0 52.9 46.9 53.1 48.0 52.0 46.2 53.8 47.3 52.7
47.5 52.5 48.5 51.5 47.7 52.3 47.7 52.3 48.8 51.2 48.9 51.1 49.2 50.8 48.7 51.3 49.7 50.3
49.3 50.7 49.5 50.5 49.7 50.3 49.8 50.2 49.9 50.1 49.8 50.2 50.2 49.8 49.5 50.5 49.7 50.3
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; dan Sakernas Tahun 2001, 2002.
Pendidikan Dalam tiga dekade terakhir terjadi penurunan yang signifikan persentase penduduk usia muda (1524 tahun) yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Di daerah perkotaan, jumlahnya turun dari 8,3 persen pada tahun 1971 menjadi tinggal 0,4 persen pada tahun 2002 di daerah-daerah perkotaan dan dari 24,2 persen menjadi hanya 1,5 persen di daerah pedesaan. Di daerah perkotaan, penurunan tersebut dapat dilihat dari mereka yang masuk kategori “Tidak Tamat Sekolah Dasar” dan “Sekolah Dasar”, sedangkan di daerah pedesaan penurunan ini hanya dapat dilihat dari mereka dengan, masuk kelompok “Tidak Tamat Sekolah Dasar”. Di lain pihak, terdapat peningkatan jumlah mereka yang mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, yakni sekolah menengah pertama dan yang di atasnya lagi di perkotaan, serta di sekolah dasar dan yang di atasnya lagi di pedesaan (Tabel 1.6). Lebih jauh lagi, tabel yang sama menunjukan perbedaan-perbedaan proporsi di masing-masing level pendidikan yang diperoleh kelompok muda di wilayah-wilayah perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2002, mayoritas orang muda di wilayah pedesaan telah menempuh sekolah dasar (42,8 persen), sekolah menengah pertama (34,9 persen) dan sekolah menengah atas (12,6 persen), sedangkan untuk wilayah perkotaan sebagian besar telah menempuh sekolah menengah pertama (39,0 persen), sekolah menengah atas (34,9 persen) dan sekolah dasar (20,4 persen). Selama periode 1971-2002, proporsi orang muda yang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan telah mengalami perubahan yang signifikan. Pada saat yang bersamaan, proporsi mereka yang sama sekali tidak sekolah di antara orang muda perkotaan sudah turun pesat, yakni dari 24,2 persen pada tahun 1971 menjadi hanya 1,5 persen pada tahun 2002. 19
Tabel 1.6. Distribusi Populasi Kalangan Muda (15-24 tahun) berdasarkan Pendidikan yang Diraih 1971-2002 (%) Periode
1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002
Tempat
Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan
Pendidikan yang Dicapai Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
SD
SMP
SMU
Perguruan Tinggi
8.2 24.2 7.7 18.8 -* -* 2.4 7.7 1.4 4.9 0.7 2.5 0.5 1.6 0.4 1.4 0.4 1.5
20.8 35.7 39.2 52.1 15.8 30.7 13.5 29.2 7.9 19.8 5.3 14.3 3.1 7.7 3.2 8.0 2.9 7.6
35.8 31.8 24.2 23.1 30.0 39.9 31.3 42.3 28.1 46.1 26.6 48.3 22.1 44.5 20.5 43.3 20.4 42.8
22.8 6.4 13.2 3.5 36.6 26.1 31.1 15.0 34.1 19.9 35.0 24.3 37.9 33.1 37.6 34.6 39.0 34.9
11.4 1.8 15.2 2.5 16.2 2.9 21.0 5.6 27.3 9.0 30.3 10.3 34.3 12.6 35.7 12.2 34.9 12.6
0.9 0.0 0.6 0.0 1.4 0.3 0.6 0.2 1.3 0.3 2.1 0.4 2.3 0.5 1.6 0.4 2.5 0.5
-* Publikasi BPS mengenai Sensus Penduduk tahun 1980, tidak termasuk data untuk kategori tersebut. Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; Sakernas Tahun 2001, 2002
Ketika dipilah berdasarkan jender, tingkat pencapaian pendidikan kaum muda menunjukkan perbaikan yang cukup berarti dan hal ini bisa dilihat dari penurunan jumlah baik laki-laki maupun perempuan muda pada kelompok tingkat pendidikan paling bawah (tidak sekolah atau tidak tamat sekolah dasar) dalam tiga dekade terakhir. Proporsi laki-laki muda yang “tidak sekolah” dan “tidak tamat SD” pada tahun 1971 masing-masing masih 14,1 persen dan 32,1 persen. Tapi, pada tahun 2002, untuk dua kategori tersebut, angkanya tinggal 0,9 persen dan 5,1 persen. Pada kurun waktu yang sama, perempuan muda yang tidak sekolah turun dari 26,9 persen menjadi hanya satu persen, sementara perempuan muda yang tidak tamat SD turun dari 32,9 persen pada tahun 1971 menjadi tinggal 5,5 persen pada tahun 2002. Dari data tersebut terlihat bahwa pencapaian perempuan muda dalam bidang pendidikan lebih baik dibandingkan laki-laki muda. Jumlah perempuan muda yang berhasil menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama secara drastis bertambah 28,2 persen dalam 30 tahun terakhir (7,6 persen pada tahun 1971 dan 35,8 persen pada tahun 2002). Jumlah perempuan yang mampu menamatkan Sekolah Menengah Atas meningkat 20,1 persen (2,7 persen pada 1971 dan 22,8 persen pada 2002). Sedangkan pada kelompok laki-laki muda, jumlah yang mampu menamatkan SMP meningkat 25,4 persen (12,6 persen pada tahun 1971 dan 38,0 persen pada tahun 2002) dan mereka yang menamatkan Sekolah Menengah Atas meningkat dari 5,1 persen pada tahun 1971 menjadi 23,9 persen pada tahun 2002. Angka-angka tersebut juga menunjukkan bahwa pada tahun 2002, persentase perempuan yang mencapai tingkat perguruan tinggi (dua persen) sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki (satu persen) (Tabel 1.7).
20
Tabel 1.7. Distribusi Populasi Kalangan Muda (15-24 tahun) berdasarkan Tingkat Pendidikan yang Diraih serta Jender 1971-2002 (%) Periode
1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002
Jender
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Pendidikan yang Dicapai Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
14.1 26.8 12.9 23.5 -* -* 3.9 8.0 2.4 4.7 1.3 2.2 0.9 1.2 0.8 1.0 0.9 1.0
32.1 32.9 50.5 49.9 22.7 30.7 20.8 27.2 13.7 17.0 10.2 10.9 5.1 5.9 5.6 5.8 5.1 5.5
35.8 29.7 25.5 19.9 36.7 38.0 39.4 38.2 38.7 40.3 37.9 40.7 32.9 34.9 31.0 33.6 31.0 33.0
12.6 7.6 5.9 3.4 32.1 25.6 23.2 17.4 27.3 22.9 30.1 27.4 36.5 34.2 37.3 34.8 38.0 35.8
5.1 2.7 5.0 3.1 7.9 5.0 12.4 8.8 17.3 5.0 19.5 17.7 23.4 22.2 24.2 23.0 23.9 22.8
0.3 0.1 0.1 0.1 0.6 0.6 0.3 0.3 0.6 0.6 1.0 1.2 1.1 1.5 1.1 1.8 1.0 2.0
-* Publikasi BPS mengenai Sensus Penduduk tahun 1980, tidak termasuk data untuk kategori tersebut. Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; Sakernas Tahun 2001, 2002
Aspek lain yang penting dalam penelitian mengenai pendidikan kaum muda adalah rasio kaum muda yang terdaftar di sekolah, yakni persentase populasi kaum muda yang duduk di bangku sekolah berdasarkan pembagian usia sekolah. Di daerah perkotaan, rasio anak muda yang terdaftar di sekolah untuk kelompok usia setingkat sekolah menengah atas (16-18 tahun) telah meningkat dari 40 persen menjadi sekitar 55 persen dari populasi tersebut dalam kurun waktu 1971-2000. Meski angka tersebut lebih rendah untuk daerah pedesaan (rasio orang yang terdaftar di sekolah tidak sampai 40 persen), hal itu tetap menunjukkan adanya perbaikan selama 20 tahun terakhir (Angka 1.2). Secara umum terlihat adanya jurang yang lebar antara rasio anak muda yang terdaftar di sekolah di wilayah pedesaan dan perkotaan untuk kelompok usia sekolah menengah atas (SMA) dan kelompok usia perguruan tinggi. Jurang yang lebar ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas sekolah dan pendapatan yang rendah di daerah pedesaan. Bila seorang pemuda di daerah pedesaan ingin mendapatkan ijazah SMA atau perguruan tinggi, mereka harus bermigrasi ke daerah perkotaan. Dengan demikian, mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk sekolah serta biaya hidup. Hanya orang kaya di kawasan pedesaan yang mampu mendapatkan ijazah SMA atau perguruan tinggi.
21
Figur 1.2. Rasio Orang Muda yang Terdaftar di Sekolah Berdasarkan Tempat Tinggal, 1971-2002 80,00 70,00 60,00
Urban 16-18
%
50,00
Urban 19-24
40,00
Rural 16-18
30,00
Rural 19-24
20,00 10,00 0,00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
Year Sumer : Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995; Sakernas tahun 2002.
Mengacu pada permasalahan jender, tampak jelas bahwa jurang pemisah antara rasio kelompok laki-laki dan perempuan yang terdaftar di sekolah semakin mengecil. Dapat dikatakan bahwa upaya menyetarakan pendidikan untuk laki-laki dan perempuan telah menunjukkan hasil. Namun demikian, mengecilnya jurang pemisah ini (antara rasio laki-laki dan perempuan yang terdaftar di sekolah) tidak terlihat jika soal ini dilihat dari perspektif perkotaan-pedesaan, di mana masih ada jurang pemisah yang lebar. Ada pendapat bahwa meningkatnya jumlah kaum muda perempuan terdidik dapat mempengaruhi keputusan-keputusan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ekonomi atau tidak. Peluang kaum muda perempuan ikut dalam pasar tenaga kerja juga terlihat di dalam penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di mana dikatakan bahwa alasan terjadinya fenomena ini adalah semakin diterimanya pekerja perempuan di daerah-daerah perkotaan (Tirtosudarmo, 1994). Di lain pihak, data yang ada juga mengindikasikan bahwa rasio kaum laki-laki dan perempuan muda yang terdaftar di sekolah yang tertinggi hanya mencapai 40- 50 persen (1985 dan 1995 untuk kelompok usia 16-18 tahun) (Angka 1.3). Angka untuk kelompok usia 19-24 jauh lebih rendah, tidak pernah mencapai 20 persen dalam 30 tahun terakhir. Meski pendidikan untuk kalangan muda cenderung setara dalam hal jender, kesetaraan ini tampaknya tidak terjadi dalam hal kewilayahan (perkotaan maupun pedesaan).
22
Figur 1.3. Rasio Kaum Muda yang Terdaftar di Sekolah menurut Jender, 1971-2002 60.00 50.00
%
40.00
Male 16-18 Male 19-24
30.00
Female 16-18 Female 19-24
20.00 10.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
Year Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1975, 1985, 1995.
Kelompok Etnis, T empat Tinggal dan Mobilitas Tempat Tabel 1.8 menunjukkan informasi mengenai bahasa yang digunakan kaum muda dalam kehidupan sehari-hari. Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa sebagian besar kaum muda hidup di pedesaan, meskipun jumlahnya kini makin berkurang. Pada saat yang sama, jumlah kaum muda dari berbagai kelompok etnis yang berbeda yang tinggal di daerah perkotaan telah bertambah dalam kurun waktu 1980- 2000. Tabel 1.8 menunjukkan bahwa pada tahun 1980 hampir 80 persen kaum muda Jawa tinggal di pedesaan, tapi pada tahun 2000 angka tersebut tinggal 55 persen. Berkurangnya jumlah penduduk muda Jawa yang tinggal di daerah pedesaan disebabkan oleh urbanisasi massal dan transmigrasi selama dua dekade terakhir. Pada tahun 1990 dan 1995, kelompok etnis Minang (yang berasal dari bagian barat pulau Sumatera) memiliki jumlah kaum muda terbesar yang hidup di daerah perkotaan (35,8 dan 47,5 persen). Akan tetapi pada tahun 2000, kelompok Minang menjadi kelompok terbesar kedua. Pada tahun 1980, angka ini hanya 24 persen. Orang Minang, yang terkenal akan budaya mobilitas mereka, dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, dan banyak terlibat dalam kegiatan perdagangan. Pada tahun 2000, kelompok Bugis dan Madura, secara berturut-turut, memiliki jumlah kalangan muda terbesar yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan (60,7 persen dan 74 persen). Kelompok terbesar kedua untuk kategori daerah pedesaan untuk tahun 2000 adalah kelompok Banjar (sekitar 60 persen). Sebagian besar kelompok etnis asing, seperti Tionghoa, Arab, dan lain-lain tinggal di daerah-daerah perkotaan.
23
Tabel 1.8 Disribusi Penduduk Muda (15-24 tahun) menurut Kelompok Etnis, 1980-2000 (%) Etnis
1980
1990
1995
2000
Kota
Desa
Kota
Desa
Kota
Desa
Kota
Desa
Jawa Sunda Madura Batak Minang Bali Bugis Banjar Lain-lain Asing Tidak Tercantum
21.4 24.0 13.0 14.6 23.6 16.2 15.2 26.6 14.8 7.9
78.6 76.0 86.9 85.4 76.4 83.8 84.8 73.4 85.2 92.1
33.1 33.4 17.3 25.5 35.8 27.9 23.8 31.6 20.9 74.8 34.1
66.9 66.6 82.7 74.5 64.2 72.1 76.2 68.4 79.1 25.2 65.9
38.5 37.9 21.1 31.7 41.9 31.2 24.8 38.7 23.1 71.0 -
61.5 62.0 78.9 68.3 58.1 68.8 75.2 61.3 76.9 28.9 -
44.3 46.9 26.0 47.5 60.7 40.2 61.1 -
55.7 53.1 74.0 52.5 39.3 59.8 38.9 -
TOTAL
27.1
72.9
36.6
63.4
41.5
58.5
42.4
57.6
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; -The survey or census doesn’t report for the category Intercensal Population Survey 1995
Figur 1.4 menggambarkan signifikansi dan kecenderungan penduduk muda yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan. Hal itu mengkonfirmasikan bahwa kecenderungan kaum muda yang tinggal di perkotaan terus meningkat sedangkan kecenderungan untuk tinggal di pedesaan makin berkurang. Pada tahun 1971, kaum muda yang tinggal di perkotaan dan pedesaan secara berturut-turut berkisar 21,5 dan 78,5 persen, sedangkan pada tahun 2002 perbedaan ini mengerucut menjadi hampir 50 persen. Hal ini dipengaruhi urbanisasi massal selama dua dekade terakhir dan berkembangngnya kota-kota baru di Indonesia. Figur 1.4. Persentase Penduduk Muda Indonesia (15-24 tahun) berdasarkan Tempat Tinggal, 1971-2002 90.00 80.00 70.00
%
60.00 50.00
Rural
40.00
Urban
30.00 20.00 10.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
24
Figur 1.5. Tingkat Pertumbuhan Penduduk Muda (15-24 tahun) berdasarkan Tempat Tinggal, 1971-2002 50,00 40,00 30,00
%
Urban Rural
20,00
Urban+Rural 10,00 0,00 1971-76 1976-80 1980-85 1985-90 1990-95 1995-00 2000-01 2001-02 -10,00
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995, dan Sakernas tahun 2001, 2002.
Figur 1.5 menggambarkan tingkat pertumbuhan penduduk muda yang tinggal di perkotaan dan pedesaan selama 1971-2002. Tingkat pertumbuhan populasi kaum muda di pedesaan terus menurun dan bahkan mencapai angka pertumbuhan negatif pada periode 1990-1995 dan 1995-2000. Angka pertumbuhan daerah perkotaan juga menunjukkan kecenderungan menurun, namun angkanya lebih stabil. Pada tahun 2002, tingkat pertumbuhan daerah perkotaan menjadi negatif. Hal ini sesuai dengan temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): selama periode 1980-1990, tingkat pertumbuhan kelompok usia 15-24 di daerah perkotaan berkisar di antara 5-7 persen, sedangkan angka pertumbuhan untuk daerah pedesaan hanya berkisar 1-2 persen (Tirtosudarmo, 1994). Status migrasi merupakan aspek menarik lain yang mempengaruhi populasi kaum muda. Tabel 1.9 menunjukkan jumlah kaum muda laki-laki (15-29 tahun) yang melakukan migrasi terus menerus sepanjang hidupnya dan yang baru saja bermigrasi secara konsisten lebih besar dibandingkan perempuan. Migran baru adalah mereka yang tinggal di provinsi yang berbeda dengan provinsi yang mereka tempati lima tahun yang lalu. Kelompok non-migran baru adalah mereka yang tinggal di provinsi yang sama dengan yang mereka tempati lima tahun lalu. Migran seumur hidup adalah mereka yang menempati propinsi yang bukan merupakan tempat kelahiran mereka, sedangkan para non-migran seumur hidup merupakan mereka yang menempati propinsi dimana mereka dulu dilahirkan. Kondisi migrasi di kalangan muda cenderung menyerupai kondisi migrasi secara umum: peran tradisional laki-laki sebagai pencari nafkah di dalam keluarga merupakan penyebab mereka mencari kesempatan bekerja di tempat-tempat yang berbeda. Sudah seringkali dikemukakan bahwa migrasi sangat selektif berdasarkan jenis kelamin. Data menunjukan bahwa kaum muda laki-laki memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Rogers and Willekens, 1986; Tirtosudarmo, 1994). Persentase migrasi seumur hidup (sekitar 21 persen), lebih tinggi daripada migrasi baru (10 persen), angka ini bisa jadi terkait dengan status kaum muda sebagai tanggungan dari orangtua mereka ketika keluarga tersebut pindah ke tempat baru. 25
Tabel 1.9 Persentase Migrasi Kaum Muda Berdasarkan Status Migrasi, 1980-2000 Kelompok usia 15-29 tahun
1980 Pria
Wanita
P+W
1990 Pria
Wanita
P+W
Migrasi Seumur Hidup
Migran seumur hidup Non-migran seumur hidup
20.8 79.2
19.8 80.2
20.3 79.7
19.0 81.0
18.9 81.1
19.0 81.0
Migrasi Baru
Migran Baru Non-migran Baru
10.5 89.5
10.1 89.9
10.3 89.7
10.4 89.6
10.2 89.8
10.3 89.7
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk 1980, 1990 (seperti dalam Tirtosudarmo 1994)
Dibandingkan jumlah penduduk secara keseluruhan, persentase jumlah migran muda lebih besar dari jumlah migran secara keseluruhan. Pada tahun 1980, jumlah migran baru dan seumur hidup di Indonesia secara berurutan sekitar enam persen dan 2,5 persen. Pada tahun 2000, terjadi peningkatan yang berarti di mana jumlah migrasi seumur hidup dan migrasi baru menjadi 10 persen dan 3,1 persen. Dominasi kaum muda dalam populasi migran ini memperkuat temuan-temuan empiris lainnya bahwa tingkat migrasi mencapai titik tertingginya di kelompok usia muda (Mulder, 1993). Terlebih lagi, sebagaimana dikemukakan oleh Todaro (1997), para migran perkotaan di negara-negara berkembang cenderung terdiri dari laki-laki dan perempuan muda berusia 15-24 tahun. Tabel 1.10 Persentase Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Status Migrasi, 1980-2000
Migrasi seumur hidup
Migran seumur hidup Non-migran seumur hidup
1980 P+W 5.9 94.1
Migrasi baru
Migran baru Non-migran baru
2.5 97.5
1990 P+W 5.4 94.6
2000 P+W 10.1 89.9
2.0 98.0
3.1 96.9
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1980, 1990, 2000
Tabel 1.11 menunjukkan migrasi antar wilayah (alur migrasi seumur hidup) di antara pulau-pulau. Pada tahun 2000, migrasi antar wilayah terbesar terjadi antara Jawa-Bali dan Kalimantan. Lebih dari 10 persen penduduk di Kalimantan berasal dari Jawa-Bali. Migrasi terbesar kedua terjadi antara Jawa-Bali dan Sumatera. Delapan persen dari populasi Sumatera merupakan migran dari Jawa-Bali. Migrasi besarbesaran ini dipengaruhi kebijakan transmigrasi selama 30 tahun terakhir. Di lain pihak, para pendatang di Jawa-Bali didominasi orang-orang dari Sumatera (sekitar 1,26 persen). Jawa-Bali menarik minat para pendatang karena merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi.
26
Tabel 1.11 Persentase Alur Migrasi Seumur Hidup Antar Wilayah di Indonesia, 2000 Tempat Lahir Sumatera
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Maluku, PapuaNusa Tenggara Tidak Disebut/Asing Total
91.16 8.40 0.06 0.28 0.07 0.02 100
Tempat Kediaman Sekarang Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi
1.26 98.18 0.19 0.18 0.16 0.03 100
0.71 10.96 84.98 2.63 0.66 0.06 100
0.25 3.07 0.16 95.46 0.98 0.09 100
Maluku, Papua Nusa Tenggara 0.24 3.16 0.08 1.40 94.82 0.30 100
Sumber: Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Tahun 2000
Tenaga Kerja Muda Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda Secara umum, dalam 30 tahun terakhir, partisipasi angkatan kerja muda di Indonesia semakin meningkat, baik di pedesaan maupun perkotaan, dan peningkatan partisipasi ini terjadi pada semua kelompok usia muda. Seperti dapat kita lihat pada Figur 1.6, untuk setiap kurun waktu, lebih dari 40 persen kaum muda di pedesaan berpartisipasi secara aktif di dalam perekonomian. Hal ini juga dapat dilihat di daerah perkotaan, kecuali kelompok usia remaja (15-19 tahun) – yang jumlahnya 30 persen dari seluruh angkatan kerja (Figur 1.7). Kenyataan ini sungguh memprihatinkan karena mereka seharusnya berada di bangku sekolah, dan bukannya sudah bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Perbedaan tingkat partisipasi dalam angkatan kerja antara remaja pedesaan dan perkotaan seharusnya terkait dengan perbedaan rasio kaum muda yang terdaftar di sekolah di daerah pedesaan dan perkotaan. Hal itu menjelaskan bahwa tingkat partisipasi remaja perkotaan di dalam angkatan kerja lebih rendah dibandingkan pedesaan karena status mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Tingkat partisipasi kelompok usia yang lebih tua (25-29 tahun) seperti terlihat dalam Figur 1.6 dan 1.7 lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda (baik untuk daerah pedesaan maupun perkotaan), sedangkan kelompok usia 15-24 berada di antara keduanya. Pada tahun 2000, partisipasi kelompok-kelompok usia ini dalam perekonomian mencapai titik tertinggi, yakni 70 persen, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
27
Figur 1.6. Partisipasi dalam Angkatan Kerja di Pedesaan menurut Kelompok Usia, 1971-2002 80.00 70.00
%
60.00 50.00
15-19
40.00
20-24
30.00
15-24
20.00 10.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002
Figur 1.7. Partisipasi dalam Angkatan Kerja di Perkotaan menurut Kelompok Usia, 1971-2002 70.00 60.00 50.00 15-19
40.00 %
20-24 30.00
15-24
20.00 10.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
Dilihat dari perspektif jender, tampak jelas bahwa laki-laki muda terus-menerus mendominasi angkatan kerja muda. Figur 1.8 menunjukkan bahwa laki-laki muda yang telah bekerja atau mencari pekerjaan mencapai 60 persen angkatan kerja dalam kurun waktu 1971-2002, sedangkan perempuan hanya sekitar 30-40 persen. Tetapi, jurang pemisah ini semakin mengecil untuk setiap periode sebagai akibat dari meningkatnya partisipasi perempuan dalam perekonomian. Jumlah perempuan yang mencari pekerjaan semakin meningkat, meninggalkan kegiatan-kegiatan tradisional seperti mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Salah satu penjelasan atas fenomena ini adalah meningkatnya pendidikan.
28
Figur 1.8. Tingkat Partisipasi Kaum Muda (15-24 tahun) dalam Angkatan Kerja menurut Jender, 1971-2000 80,00 70,00 60,00
%
50,00
Male
40,00
Female
30,00 20,00 10,00 0,00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
Rasio T enaga Kerja terhadap P opulasi Tenaga Populasi Rasio tenaga kerja terhadap populasi dapat mengindikasikan seberapa besar populasi yang produktif dapat didayagunakan. Untuk kaum muda, rasio ini dibuat melalui perbandingan antara kaum muda yang telah bekerja dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Seperti disebutkan dalam Puguh et al. (2000), rasio dapat menunjukkan sejauh mana penduduk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pasar tenaga kerja. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa 50 persen dari laki-laki muda telah memiliki pekerjaan pada saat studi ini dilaksanakan, dan sebaliknya hanya sekitar 30 persen perempuan muda yang telah bekerja. Kesenjangan antara rasio kesempatan kerja laki-laki dan perempuan muda terhadap jumlah penduduk dalam lima tahun terakhir cenderung menyempit. Seperti dapat kita lihat dalam Figur 1.9, rasio untuk kelompok laki-laki maupun perempuan relatif konstan dan tidak mengalami perubahan drastis selama dua dekade terakhir. Rasio tenaga kerja terhadap populasi pada kelompok usia muda yang konstan ini mencerminkan adanya permintaan tenaga kerja muda di pasar. Namun demikian, semakin tingginya partisipasi angkatan kerja muda di dunia kerja menunjukkan bahwa jumlah orang yang mencari pekerjaan juga semakin banyak. Kurangnya pendidikan dan pengalaman merupakan penyebab terjadinya kondisi seperti itu. Pada tahun 2000, jurang antara laki-laki dan perempuan sudah begitu dekat,tapi pada tahun 2001 dan 2002 jarak antara keduanya semakin membesar.
29
Figur 1.9. Rasio Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) terhadap Populasi menurut Jender, 1971-2002 80,00
70,00 60,00
%
50,00
Male
40,00
Female
30,00
20,00 10,00 0,00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
Rasio tenaga kerja terhadap total populasi berdasarkan lokasi, seperti dapat dilihat pada Figur 1.10, menunjukkan suatu kecenderungan yang relatif stabil selama dua puluh tahun terakhir. Rasio tenaga kerja terhadap jumlah penduduk di daerah pedesaan yang berkisar 50 persen, lebih tinggi 10-20 persen dibandingkan di daerah perkotaan. Pada tahun 2001 dan 2002, perbedaan antara pedesaan dan perkotaan semakin kecil. Figur 1.10. Rasio Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) terhadap Populasi menurut Lokasi, 1971-2002 70,00 60,00 50,00
Rural
30,00
Urban
%
40,00
20,00 10,00 0,00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
Year Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
30
2002
Tenaga Kerja menurut Status Jumlah kaum muda yang bekerja di sektor informal selama 30 tahun terakhir jelas lebih dominan dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal. Karakteristik umum dari pekerjaan sektor formal adalah adanya prasyarat pendidikan, keterampilan, pelatihan dan pengalaman yang jauh lebih tinggi: halhal yang kurang dimiliki kaum muda dibandingkan dengan mereka dari kelompok usia yang lebih tua. Menurut definisi Badan Pusat Statistik, tenaga kerja di sektor informal meliputi: bekerja untuk diri sendiri, bekerja untuk diri sendiri dengan dibantu anggota keluarga, pekerja lepas (freelance) dan bekerja untuk keluarga. Sedangkan tenaga kerja di sektor formal terdiri dari pegawai dan pegawai honorer. Meskipun jumlah kaum muda yang bekerja di sektor informal lebih besar ketimbang mereka yang bekerja di sektor formal, jarak di antara mereka semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kesempatan bagi kaum muda bekerja di sektor formal. Pada tahun 1971, lebih dari 80 persen pekerja muda berada di sektor informal, sedangkan pada tahun 2002 angka tersebut tinggal 62,52 persen. Sementara itu, terdapat 16 persen pekerja muda di sektor informal pada tahun 1971, dan jumlahnya meningkat menjadi 37,48 persen pada tahun 2002. (Figur 1.11). Figur 1.11. Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) menurut Status, 1971-2002 90.00 80.00 70.00
%
60.00 50.00
Informal
40.00
Formal
30.00 20.00 10.00 0.00 1971
1985
1990
1995
2000
2002
Year Sumber: Badan Pusat Statistik: 1971, 1980, 1990 Population Census; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2000, 2002.
Kondisi yang sama juga terjadi pada pekerja dewasa di mana jumlah pekerja informal lebih banyak daripada pekerja formal. Seperti dapat dilihat dalam Figur 1.12, jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor informal cenderung meningkat pada periode 1971-1976, namun mulai menurun pada periode selanjutnya. Selama periode 1976-1995, jarak antara pekerja formal dan informal untuk orang dewasa juga semakin mengecil. Pola ini kemudian berbalik setelah terjadinya krisis pada tahun 2000, di mana pekerja sektor informal kembali meningkat dan sektor formal menurun.
31
Figur 1.12. Persentase Tenaga Kerja Dewasa (> 25 tahun) menurut Status, 1971-2002 80,00 70,00 60,00
%
50,00
Informal
40,00
Formal
30,00 20,00 10,00 0,00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: 1971, 1980, 1990 Population Census; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2000, 2002.
Pada tahun 2000, persentase orang muda yang bekerja di sektor informal menurun, sebaliknya jumlah mereka yang bekerja di sektor formal meningkat. Akan tetapi pada tahun 2002, persentase orang muda yang bekerja di sektor informal meningkat (Figur 1.11). Pola tersebut sedikit berbeda dengan kondisi tenaga kerja dewasa (> 25 tahun). Seperti dapat dilihat pada Figur 1.12, terjadi peningkatan jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor informal dan penurunan di sektor formal dalam periode 1995-2000. Ini dapat dianggap sebagai suatu indikasi terjadinya pergeseran status tenaga kerja dewasa dari sektor formal ke sektor informal akibat krisis 1997-1998. Namun, pergeseran selama periode tersebut tidak terjadi pada kelompok pekerja muda. Selama periode krisis tersebut, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, namun pekerja dewasa yang di-PHK bisa dengan cepat bergeser ke sektor informal karena mereka memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Namun, kondisi berbeda dihadapi para pekerja muda yang di-PHK. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk bergeser ke sektor informal. Tenaga Kerja menurut Jenis P ek erjaan Pek ekerjaan Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kaum muda bekerja di sektor pertanian. Tapi, seiring dengan terjadinya transformasi ekonomi, jumlah orang muda yang bekerja di bidang pertanian semakin berkurang, dari 52 persen pada tahun 1985 menjadi 42 persen di tahun 2000 (Tabel 1.12). Sebaliknya, jumlah tenaga kerja muda yang bekerja di sektor industri —sebagai penyerap tenaga kerja muda terbesar kedua—terus meningkat selama penelitian ini dilakukan. Bidang perdagangan, serta jasa-jasa sosial dan individual, dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda, menjadi lahan lain bagi para pekerja muda.
32
Tabel 1.12. Persentase Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) menurut Bidang Pekerjaan, 1985-2002 Bidang Pekerjaan
1985
1990
1995
2000
2002
Pertanian Industri/Kerajinan Tangan Konstruksi/Pembangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Transportasi, penyimpanan, dan komunikasi Keuangan, Asuransi, Penyewaan, Pelayanan Jasa masyarakat, sosial, individu Lain-lain (pertambangan, listrik, gas, dan air)
52.5 13.4 3.5 12.4 3.2 0.4 13.8 0.8
46.4 18.8 3.9 11.8 3.2 0.9 13.9 1.2
44.7 17.5 4.9 14.4 3.1 0.5 12.9 1.8
41.9 20.3 4.3 19.4 4.4 0.8 8.3 0.7
40.92 21.10 4.80 17.05 4.94 0.86 9.44 0.90
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2002.
Tabel 1.13. Persentase Penyebaran Tenaga Kerja Dewasa (>24 tahun) menurut Bidang Pekerjaan, 1985-2002 Education
1985
1990
1995
2000
2002
Agrikultur Industri/Kerajinan Tangan Konstruksi/Pembangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Transportasi, Penyimpanan dan Komunikasi Keuangan, Asuransi, Penyewaan, Pelayanan Jasa masyarakat, sosial, individu Lain-lain (Pertambangan, Listrik, gas dan air)
54.5 8.1 3.4 15.9 3.2 0.4 13.6 0.8
50.4 10 3.6 17 3.8 0.6 13.4 1.2
47.9 8.9 4.4 17.2 3.9 0.7 14.9 2
45.3 13.0 3.9 20.6 5.1 1.0 10.7 0.6
45.0 11.7 4.6 19.9 5.1 1.1 11.7 0.9
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2002.
Pengangguran Sebagaimana dialami negara berkembang lain, kondisi demografis kaum muda Indonesia menunjukkan ketidakseimbangan dalam soal-soal tenaga kerja perkotaan-pedesaan, tenaga kerja muda dan dewasa, serta tingkat pendidikan. Data mengenai pengangguran yang dipaparkan di sini bersumber pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengadopsi konsep Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengenai pengangguran3. Menurut BPS, pengangguran didefinisikan sebagai: (i) seseorang yang tidak memiliki pekerjaan namun sedang mencari pekerjaan, (ii) seseorang yang tidak bekerja namun telah membangun bisnis baru/firma baru, (iii) seseorang tanpa pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena tidak berharap akan mendapatkannya, (iv) seseorang yang telah membuat kesepakatan untuk memulai bekerja pada tanggal yang ditentukan di kemudian hari. 3
BPS juga mendefinisikan orang yang bekerja sebagai seseorang yang bekerja paling sedikit satu jam per minggu. Dengan definisi luas seperti ini, tingkat pengangguran di Indonesia menjadi sangat rendah. Angka pengangguran di Indonesia dapat dihitung menggunakan definisi ILO dan BPS. Saat ini BPS juga menerapkan definisi ILO yang lebih ‘lugas ’ dalam menghitung tingkat pengangguran di Indonesia.
33
Peningkatan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam angkatan kerja yang tidak diikuti peningkatan kesempatan bekerja telah menciptakan masalah pengangguran kaum muda yang serius di Indonesia. Fenomena ini dapat dilihat dalam Figur 1.13. Dalam Figur 1.13 ini terlihat bahwa tingkat pengangguran kaum muda terus meningkat dalam 20 tahun terakhir, baik di pedesaan maupun perkotaan. Perbedaan tingkat pengangguran di pedesaan dan perkotaan sekitar 10 persen namun selisih tersebut cenderung mengecil karena tingkat pengangguran di perkotaan semakin turun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2002, tingkat pengangguran kaum muda naik secara signifikan. Tingkat pengangguran di daerah perkotaan mencapai 33 persen sedangkan di daerah pedesaan sekitar 23 persen. Situasi seperti ini juga telah diteliti oleh Manning (1998), yang mendeteksi tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan muda perkotaan, yang mencapai 15 sampai 20 persen —sebagian besar berusia 15-24 dan lulus SMP pada tahun 1990-an. Setelah krisis ekonomi, tingkat pengangguran kaum muda sedikit berkurang pada tahun 2000, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sepertinya tenaga kerja muda tidak terlalu terpengaruh oleh dampak negatif krisis. Akan tetapi, sejak 2001, tingkat pengangguran kaum muda cenderung meningkat. Diasumsikan, ada suatu jeda waktu tertentu antara puncak periode krisis dan dampaknya pada tingkat pengangguran kaum muda. Figur 1.13. Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Tempat Tinggal, 1971-2002 35.00 30.00 25.00 20.00
%
Rural
Urban
15.00 10.00 5.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
Pengangguran menurut Jender Berdasarkan jender, tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan muda hampir sama dalam kurun waktu 1971-1985. Sejak 1990 tingkat pengangguran perempuan muda meningkat dan lebih tinggi dibandingkan laki-laki muda, tapi sejak tahun 2000 angkanya kembali hampir sama, yakni di kisaran 20 persen (Figur 1.14). Pada tahun 2002, tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan muda naik drastis dibandingkan tahun 2000. Hasil-hasil ini memperkuat pernyataan Manning (1998) bahwa tingkat pengangguran muda meningkat pada pertengahan 1990-an, terutama perempuan dan lulusan sekolah lanjutan atas.
34
Situasi ini sesuai dengan data mengenai meningkatnya angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja (Figur 1.14), yang menjelaskan fenomena di mana naiknya pasokan tenaga kerja perempuan muda tidak diikuti kesempatan kerja —hal yang tidak terjadi di kalangan tenaga kerja laki-laki. O’Higgins (2001) mengkonfirmasikan tingkat pengangguran perempuan muda yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, terutama di negara-negara OECD, yang menggambarkan bahwa peluang kerja perempuan lebih terbatas daripada laki-laki. Pada tahun 2000, tingkat pengangguran menurun dari 25% menjadi 20% sejak 1995, tapi kemudian cenderung meningkat kembali pada tahun 2001 dan 2002. Pada saat krisis ekonomi, banyak pekerja perempuan yang sebelumnya tidak bekerja, terjun ke pasar kerja untuk membantu perekonomian keluarga. Figur 1.14 Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Jender, 1971-2002 35.00 30.00 25.00
Male
15.00
Female
%
20.00
10.00 5.00 0.00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan, kelompok pengangguran kaum muda yang paling banyak adalah mereka yang tamat SMA dan yang tamat perguruan tinggi (lihat Tabel 1.14). Pada tahun 2002, tingkat pengangguran kaum muda yang sudah menamatkan SMA sebesar 41,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi sekitar 39,4 persen. Tabel 1.14 menunjukkan tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan secara lebih rinci. Tabel 1.14 Persentase Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Tingkat Pendidikan, 1985-2002 Pendidikan
1985
1990
1995
2000
2002
Tidak Sekolah 1.2 2.2 Tidak tamat SD 1.9 2.5 Sekolah Dasar 3.3 3.1 Sekolah Menengah Pertama 9.8 7.8 Sekolah Menengah Atas 31.1 27.3 Perguruan tinggi 20.5 31.4 Total per-kelompok usia 6.9 8.7 Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000; 1985, 1995 Intercensal Population Survey, dan Sakernas tahun 2000, 2002.
7.6 9.6 16.6 33.6 40.8 20.0
3.9 7.4 12.4 18.2 33.9 35.8 16.2
15.1 18.7 21.9 28.0 41.1 39.4 29.0
35
Tabel 1.15 Persentase Tingkat Pengangguran Orang Dewasa (>24 tahun) menurut Tingkat Pendidikan, 1985-2002 Education
1985
1990
1995
2000
2002
Tidak Sekolah Tidak tamat SD Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan tinggi Total per-kelompok usia
0.5 0.9 1.1 4.3 7 11.3 2.2
0.8 0.8 0.9 3.3 7.8 17.2 3.3
2.3 2.8 5.5 12.3 23.1 7.1
0.4 1.8 2.4 8.6 12.4 20.9 7.6
3.8 4.0 3.7 5.0 7.6 8.0 4.9
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2000, 2002.
Tingkat pengangguran kaum muda dengan latar belakang pendidikan tinggi tetap tinggi dan cenderung naik terus. Situasi ini mengindikasikan bahwa terdapat semakin banyak pencari kerja yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pengangguran kaum muda dengan pendidikan tinggi dapat dilihat dari jumlah lulusan baru yang mencari pekerjaan untuk pertama kali (Tirtosudarmo 1994). Tingkat pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di antara para lulusan SMP berada pada tingkat 9,8 persen pada tahun 1985 dan meningkat menjadi 18,2 persen pada tahun 2000. (Tabel 1.14). Penggangguran lulusan SMA dan perguruan tinggi berfluktuasi, masing-masing dari 31,9 sampai 33,9 persen dan 20,5 persen sampai 35,8 persen. Angka-angka ini menunjukkan adanya tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan muda terdidik, namun sebagaimana dikemukakan oleh O’Higgins (2001), bahwa meskipun terdapat tingkat pengangguran yang tinggi yang terkonsentrasi di kalangan orang muda terdidik, ada beberapa hal yang tetap konsisten: • Tingkat Partisipasi dalam Angkatan Kerja cenderung meningkat seiring meningkatnya pendidikan dan juga persaingan menjadi semakin ketat di antara mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. • Tingkat pendidikan penduduk Indonesia di perkotaan dan pedesaan mengalami peningkatan yang pesat selama 30 tahun terakhir. • Meskipun tingkat pengangguran terlihat lebih tinggi di antara kalangan muda dengan pendidikan tinggi, jumlah mereka sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan dengan pengangguran di kalangan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Penelitian yang dilakukan Departemen Tenaga Kerja RI (1999) mengumpulkan data dari lulusan sekolah menengah kejuruan dan umum. Hasilnya menunjukkan bahwa para lulusan ini menghadapi tiga macam kesulitan ketika mencari pekerjaan. Di antaranya: persaingan di antara para pencari kerja (41,4 persen), pendidikan yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang dikehendaki (16,6 persen), dan keterampilan yang terbatas (12,8 persen). Adanya halangan-halangan seperti ini menyebabkan banyak orang muda yang mencari jalan pintas di luar sistem untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikuatkan oleh temuan bahwa sebagian lulusan sekolah menengah mendapatkan pekerjaan tanpa melalui tes (40 persen dari jumlah pekerja).
36
Lebih jauh lagi, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa sumber-sumber informasi mengenai adanya suatu kesempatan kerja berasal dari anggota keluarga (47 persen), karyawan perusahaan (20 persen), dan perusahaan itu sendiri (14,9 persen). Surat lamaran kerja diperoleh langsung dari perusahaan (67,7 persen) atau melalui anggota keluarga (16,6 persen). Persentase Pengangguran Muda terhadap Pengangguran Secara Keseluruhan Meningkatnya permintaan tenaga kerja di kalangan kaum muda tampaknya lebih tinggi dibandingkan kelompok umur lain. Figur 1.15 menunjukkan meningkatnya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan total pengangguran di antara mereka yang berusia di atas 15 tahun. Di daerah pedesaan, peningkatan angka pengangguran di kalangan orang muda dibandingkan dengan jumlah pengangguran secara keseluruhan relatif tinggi, yakni dari 30 persen menjadi 70 persen selama 30 tahun. Di lain pihak, pada periode yang sama, angka untuk daerah perkotaan meningkat dari 40 persen menjadi 60 persen. Tingginya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan jumlah pengangguran secara keseluruhan mencerminkan betapa sulitnya para pencari kerja muda mendapatkan pekerjaan. Lebih lanjut lagi, O’Higgins (2001) mengemukakan bahwa tenaga kerja muda lebih mudah dipengaruhi oleh benturanbenturan yang terjadi di pasar tenaga kerja dibandingkan pekerja dewasa. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1.14 dan Tabel 1.15, berdasarkan persentase di setiap kelompok usia, pada tahun 2002, persentase pengangguran di kalangan orang muda secara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan persentase pengangguran di kalangan orang dewasa, yakni masing-masing 29 persen dan 4,9 persen. Orang muda dengan kualifikasi yang rendah memiliki kesulitan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang tetap. Selain itu, tidak ada kontak yang bagus antara sekolah dengan dunia usaha, dan akibatnya persyaratan (kualifikasi) dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri tidak dipelajari oleh kaum muda yang sedang duduk di bangku sekolah. Figur 1.15. Persentase Kaum Muda Pengangguran (15-24 tahun) dari Total Pengangguran (>15 tahun), 1971-2002 90,00 80,00 70,00
%
60,00 50,00
Rural
40,00
Urban
30,00 20,00 10,00 0,00 1971
1976
1980
1985
1990
1995
2000
2001
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.
37
Setengah Pengangguran Seringkali niat kaum muda berpartisipasi aktif dalam perekonomian terbentur oleh hambatanhambatan seperti ketersediaan pekerjaan yang cocok dengan kualifikasi yang mereka miliki. Mereka yang tidak memiliki banyak pilihan dan terpaksa menerima pekerjaan apapun yang tersedia akan menghadapi permasalahan yang lebih banyak di masa yang akan datang. Data yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 30 persen dari mereka yang bekerja, hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Penelitian ini menggunakan batas kurang dari 35 jam untuk mendefinisikan setengah pengangguran. Pada tahun 1985, lebih dari 60 persen kaum muda (15-19 tahun) dan 35 persen dari mereka yang berusia 20-24 tahun bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Angka ini berkurang dalam dua dekade terakhir dan pada tahun 2002 menjadi 44 persen untuk kelompok usia 15-19 tahun dan 31 persen untuk kelompok usia 20-24 tahun (Figur 1.16). Figur 1.16. Persentase Setengah Pengangguran Muda dibandingkan Total Pekerja menurut Kelompok Umur, 1985-2002 70.00 60.00
%
50.00
15-19
40.00
20-24
30.00
15-24
20.00 10.00 0.00 1985
1990
1995
2000
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2002.
Dua kelompok usia yang lebih tua memiliki kecenderungan yang sama, tapi dengan jumlah yang kurang signifikan. Tingkat setengah pengangguran dan pengangguran di kalangan anak muda yang tinggi merupakan masalah besar. Pada periode 1985-2000, kaum muda yang bekerja pada keluarganya menempati proporsi tertinggi (di atas 60 persen) yang masuk kategori setengah pengangguran.
38
Figur 1.17. Persentase Setengah Pengangguran Muda dibandingkan Total Pekerja menurut Status, 1985-2002 80.00 70.00 60.00
Own Account Worker Employer
%
50.00 40.00
Employee
30.00
Family workers
20.00 10.00 0.00 1985
1990
1995
2000
2002
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: 1990, 2000 Population Census; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas 2002.
Meskipun jumlah kaum muda yang masuk kategori status pekerja selama 15 tahun pengamatan menurun, tapi selama periode 1995-2002 jumlah mereka yang berstatus majikan meningkat. Kendati demikian, jumlah orang muda dengan status pegawai yang merupakan bagian terkecil dari kelompok setengah pengangguran menurun dari 20 persen pada tahun 1985 menjadi 13 persen pada tahun 2002. Tabel 1.16 menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh, makin rendah proporsi setengah pengangguran di kalangan kaum muda. Dalam masa pengamatan setiap tahunnya, kecuali tahun 1985, mereka yang tidak pernah duduk di bangku sekolah merupakan bagian terbesar dari kelompok setengah pengangguran ini. Pada tahun 1985, sekitar 41 persen pekerja muda berpendidikan akademi dan universitas perguruan tinggi menjadi setengah pengangguran, dan pada tahun 2000 angkanya masih sekitar 20 persen. Tabel 1.16. Persentase Setengah Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) dibandingkan Jumlah Keseluruhan Mereka yang Bekerja berdasarkan Tingkat Pendidikan, 1985-2002 Pendidikan
1985
1990
1995
2000
2002
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Perguruan Tinggi
57,4 44,9 53,3 60,9 43,2 41,1
42,5 38,6 35,6 28,3 27,9 35,8
48,8 46,1 43,7 27,8 30,6
58.6 44.7 43.2 39.0 24.6 19.7
55,96 46,30 36,61 27,95 18,62 22,52
Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; and dan Sakernas tahun 2002.
39
Upah dan Gaji T enaga Kerja Muda Tenaga Pada tahun 2001, lebih dari 50 persen tenaga kerja muda (15-24 tahun) menerima upah/gaji/ pendapatan sekitar Rp 100.000-399.999 setiap bulan. Kondisi ini berbeda dengan pekerja dewasa, di mana 50 persen dari mereka menerima upah/gaji Rp 100.000-499.999. Tabel 1.17 memperlihatkan persentasenya secara lebih detil. Tabel 1.17. Persentase Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) dan Tenaga Kerja Dewasa (>25 tahun) menurut Jumlah Upah/Gaji/Pendapatan Bulanan Upah/Gaji/ Pendapatan per Bulan
15-19
2000 20-24 15-24
>25
15-19
2001 20-24 15-24
>25
15-19
2002 20-24 15-24
>25
<100,000 100,000-<199,999 200,000-<299,999 300,000-<399,999 400,000-<499,999 500,000-<599,999 600,000-<699,999 700,000-<799,999 800,000-<899,999 900,000-<999,999 1,000,000+
7.7 31.4 30.2 19.1 7.6 2.0 1.4 0.3 0.0 0.2 0.2
5.4 16.3 25.2 25.7 14.1 5.1 2.9 2.7 1.5 0.3 0.8
6.1 21.3 26.8 23.5 12.0 4.1 2.4 2.0 1.0 0.3 0.6
6.48 14.19 14.93 15.18 11.89 7.92 8.33 6.64 5.73 2.91 5.79
9.5 21.7 24.9 20.7 12.9 4.2 3.2 0.9 0.7 0.6 0.7
4.3 11.8 18.9 20.5 20.2 8.2 6.9 3.4 2.1 1 2.6
6 15.1 20.9 20.5 17.8 6.9 5.7 2.6 1.7 0.9 2
5.1 11.7 11.8 13 12.1 7.3 7.9 6.3 5.3 4.7 14.8
5.1 11.7 11.8 13 12.1 7.3 7.9 6.3 5.3 4.7 14.8
5.7 18.9 21.8 20.5 15 7.6 5.9 2.4 0.9 0.8 0.5
3.3 9.6 13.4 18.6 18.4 11 11.2 6 3.7 1.8 3.1
3.9 10.6 10.9 13.4 12.3 8.1 9.3 6.7 5.2 4 15.5
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: Badan Pusat Statistik: dan Sakernas tahun 2000, 2001, 2002.
Pada tahun 2002, upah/gaji/pendapatan rata-rata baik untuk tenaga kerja muda maupun dewasa meningkat. Pendapatan rata-rata pekerja di Indonesia cenderung meningkat setelah puncak krisis ekonomi di mana pemerintah dengan bersemangat menetapkan kebijakan upah minimum. Tingkat upah minimum regional telah meningkat secara signifikan setelah krisis. Terlebih lagi, dengan diterapkannya kebijakan desentralisasi pada tahun 2001, wewenang menentukan upah minimum telah dialihkan dari pemerintah pusat ke daerah. Terdapat berbagai indikasi bahwa pengalihan ini dapat mempercepat peningkatan upah minimum di sejumlah daerah (SMERU, 2001).4 Studi ini juga mengindikasikan bahwa seiring dengan kenaikan upah minimum selama 1990-an, kepatuhan terhadap peraturan tersebut juga meningkat, dan hal ini berakibat pada perubahan dalam distribusi upah pekerja sektor formal di daerah perkotaan. Analisa statistik memperlihatkan bahwa kenaikan upah minimum mendorong upah pekerja kerah biru (blue collar). Hasil-hasil ini juga menunjukkan adanya kaitan yang positif antara upah minimum dan upah rata-rata dari kelompok pekerja lainnya (pekerja perempuan, pekerja muda, kurang terdidik, dan pekerja kerah putih). Namun demikian hubungan ini tidaklah signifikan secara statistik.
4
Kertas Kerja Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari USAID/PEG, Oktober 2001, Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labor Market, SMERU, 2001.
40
Dampak Sosial Pengangguran Muda Terbatasnya kesempatan kerja dan pasokan pekerja muda yang berlebih menyebabkan pengangguran serta setengah pengangguran muda. Meningkatnya pengangguran di kalangan kaum muda dapat memperburuk situasi di mana terdapat banyak orang muda yang gagal mencari pekerjaan. Mereka yang terjebak dalam situasi tidak menguntungkan seperti ini dapat mencari cara-cara lain untuk menyalurkan potensi mereka dan tidak ada jaminan bahwa potensi ini tidak disalurkan melalui kegiatan-kegiatan yang tidak sehat atau merugikan masyarakat luas. Perilaku menyimpang di kalangan muda, penyalahgunaan narkoba dan tingkat kejahatan telah meningkat. Pada tahun 1998, lebih dari 40 persen pasien muda berusia di antara 20-24 tahun yang rawat inap mempunyai masalah dengan narkoba (Figur 1.18). Kelompok usia sekolah menengah atas menunjukkan derajat penyalahgunaan obat yang signifikan (lebih dari 30 persen) sejak 1995. Meskipun angka ini tidak memperhitungkan mereka yang tidak dirawatinap atau mereka yang tidak terdaftar sebagai pengidap narkoba, angka ini tetap harus ditafsirkan sebagai suatu peringatan kepada masyarakat bahwa hal ini merupakan dampak pengangguran di kalangan kaum muda. Jika orang muda yang tidak bekerja tidak dapat mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat, mereka bisa jatuh ke lembah kejahatan. Figur 1.18. Persentase Pasien Rawat Inap Narkoba Kaum Muda berdasarkan Kelompok Usia, 1995-1998 50.00
40.00
15-19
30.00
%
20-24 25-29
20.00
10.00
0.00 1995
1996
1998
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: 1998 Children and Youth Welfare.
Dampak sosial ini dapat bersumber baik dari kesenjangan antara mereka yang berpendapatan rendah dan tinggi, kesenjangan antara yang kaya dan miskin, dan kesenjangan antara warga asli dan pendatang. Mereka yang berpendapatan rendah ingin hidup seperti mereka yang berpendapatan tinggi. Karena tekanan sosial, beberapa di antara mereka bisa terdorong melakukan tindak kejahatan agar dapat memenuhi kebutuhan/keinginan mereka. Orang muda biasanya lebih mudah dipengaruhi untuk melakukan kejahatan. Figur 1.19 di bawah ini menunjukkan data mengenai lamanya hukuman penjara. Selama periode 1991-1997, angka kelompok muda berkisar 20 persen.
41
Figur 1.19 Persentase Pemenjaraan Berdasarkan Kelompok Usia 80,00 70,00
%
60,00 50,00
Children
40,00
Youth
30,00
Adult
20,00 10,00 0,00 1995
1996
1998
Year
Sumber: Badan Pusat Statistik: Indikator Kesejahteraan Sosial 1991, 1994, 1997.
Di kota besar seperti Jakarta, kejahatan kaum muda tidak selalu berkaitan dengan kejahatan kecil atau narkoba. Sebagai contoh, perkelahian antarpelajar yang kerap membawa korban seringkali menjadi berita halaman depan media massa. Beberapa tahun belakangan, perkelahian tidak hanya terjadi di kalangan pelajar SMP atau SMA tetapi juga di antara mahasiswa. Dampak perkelahian pelajar antara lain kematian, korban luka, kemacetan lalu lintas, rusaknya properti dan dampak-dampak sosial lainnya. Perkelahian pelajar sering sudah menjadi suatu tradisi tersendiri bagi para pelajar. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Adiningsih (2001) menemukan bahwa di Jakarta selama periode 1994-1997, perkelahian pelajar melibatkan 10 persen Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan terjadi di 137 sekolah. Pada tahun 1989, enam orang pelajar meninggal, 29 luka parah dan 136 luka ringan. Sembilan tahun kemudian 15 pelajar meninggal, 34 luka parah, dan 108 luka ringan. Lebih jauh lagi, dalam kurun waktu 1999 - Maret 2000, 26 pelajar meninggal, 56 luka parah dan 109 luka ringan. Perkelahian di jalanan ini melibatkan 1.369 pelajar, yang merupakan 0,08 persen dari 1.685.084 pelajar yang ada di Jakarta. Data dari tahun 1995 menunjukkan bahwa dari 1.245 pelajar yang terlibat dalam perkelahian dan ditahan polisi, hanya 50 siswa yang dibawa ke pengadilan. Menurut peraturan yang baru, pelajar yang terbukti terlibat di dalam perkelahian di jalan dapat dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Mereka yang terbukti membawa benda-benda tajam seperti pisau dapat dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Jika tidak ditangani secara serius, persoalan di kalangan muda ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi masa depan mereka secara umum. Kebijakan-kebijakan yang secara khusus diarahkan untuk kaum muda harus dibuat, tidak hanya untuk mengurangi tingkat pengangguran dan setengah pengangguran, tetapi juga untuk memperbaiki struktur sosial budaya, sehingga tercipta lingkungan yang aman di mana mereka dapat tumbuh berkembang, belajar dan berpartisipasi dalam pembangunan negara.
42
Tabel 1.18. Kerugian Materi, Tindakan, Korban yang diakibatkan Perkelahian Pelajar di Jakarta, 1997-2001 Klasifikasi
1997
1998
1999
2000
2001
Jumlah Kasus
140
230
193
197
123
Jumlah Orang Ditangkap Ditahan
2.106 1.987
1.894 1.866
2.083 2.083
1.505 1.461
503 501
Tindakan Perusakan Penganiayaan Perampokan Perkelahian Lain-lain
28 16 5 64 25
21 25 7 115 51
12 45 16 151 36
8 28 5 175 33
11 38 18 105 53
Korban Luka-luka Luka parah Meninggal
51 40 13
108 34 15
121 71 32
42 22 28
39 32 23
Kerugian Materi Bis Non-bis Bank/Sekolah Lain-lain
569 19 3 1
490 15 5
461 17 2 4
175 -
-
Sumber: Badan Pusat Statistik: Indikator Kesejahteraan Anak-anak 2001
Kesimpulan Pada tahun 2002, populasi laki-laki dan perempuan muda yang berusia 15-19 tahun dan 20-24 tahun masing-masing mencapai 20 juta dan 18,3 juta. Jumlah kaum muda (berusia 15-24 tahun) pada tahun yang sama mencerminkan 17,8 persen dari total penduduk Indonesia Sekitar 48 persen dari jumlah ini tinggal di perkotaan. Populasi orang muda yang tinggal di perkotaan telah berlipat ganda selama 30 tahun terakhir, sedangkan populasi di pedesaan terus menurun. Kesenjangan antara kaum muda berpendidikan di perkotaan dan pedesaan makin mengecil. Perempuan dan laki-laki muda di Indonesia harus menghadapi rangkaian tantangan sosial ekonomi yang bertubi-tubi, termasuk di dalamnya peningkatan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran. Sejak era 1980-an angka pengangguran di kalangan muda terus meningkat, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan dan masing-masing telah mencapai 33 persen dan 24 persen. Dalam waktu 10 tahun terakhir, tingkat pengangguran kaum perempuan dan lulusan perguruan tinggi naik secara signifikan. Angka pengangguran tidak menggambarkan betapa serius masalah-masalah tenaga kerja muda yang sesungguhnya karena sebagian besar dari mereka tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya sumber penghasilan. Sebaliknya, kurangnya kesempatan kerja terlihat dalam bentuk kesempatan kerja tidak terikat, pergantian sementara yang terus-menerus, pengaturan hubungan kerja yang tidak terjamin dan
43
pendapatan yang rendah. Di Indonesia, setengah pengangguran sangat tinggi di kalangan kaum muda yang berpendidikan yang terbatas Porsi terbesar mereka ini adalah orang muda yang bekerja pada keluarga mereka sendiri (sekitar 40 persen). Kondisi ini masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 2000 di mana angka mereka yang bekerja pada keluarga sendiri mencapai 60 persen. Pengangguran dan setengah pengangguran kaum muda menciptakan suatu lingkaran setan kemiskinan dan keterpinggiran. Ketiadaan pekerjaan untuk kaum muda dan disparitas pendapatan dapat dikaitkan dengan masalah-masalah pribadi dan masalah sosial seperti kesehatan, kejahatan, vandalisme dan narkoba. Ini tidak saja mengkhawatirkan, namun juga berakibat pada hilangnya bakat-bakat kreatif kaum muda yang mestinya dapat menciptakan kontribusi inovatif bagi angkatan kerja dan masyarakat.
44
Bab 2 Kemiskinan dan Kaum Muda Pendahuluan Berdasarkan laporan penelitian yang dibuat SMERU5, untuk setiap kenaikan upah minimum riil sebesar 10 persen, akan terjadi pengurangan tenaga kerja secara keseluruhan sebesar satu persen. Hal itu juga mempengaruhi faktor-faktor lain yang mempengaruhi tenaga kerja seperti pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang bekerja. Secara signifikan, efek negatif pengaturan upah minimum paling dirasakan kelompok-kelompok yang paling rentan terhadap perubahan di dalam pasar kerja seperti perempuan, pekerja muda, dan pekerja berpendidikan rendah, yang sesungguhnya merupakan bagian terbesar pekerja sektor formal dan informal. Demikian juga, krisis ekonomi juga mengakibatkan dua hal terhadap tenaga kerja muda, yakni pengangguran serta upah yang lebih rendah. Kedua hal ini akan meningkatkan kemiskinan di kalangan kaum muda. Bab ini akan memaparkan karakteristik kaum muda yang kurang beruntung dan hubungannya dengan profil kemiskinan. Bab ini akan menggambarkan kondisi orang miskin berdasarkan berbagai karakteristik, seperti lokasi, jender, pendidikan, pola konsumsi dan tenaga kerja. Deskripsi dalam bab ini akan terfokus pada orang muda, yakni mereka yang berusia 15-24 tahun. Terdapat beberapa keterbatasan di dalam mencermati data kemiskinan dan tenaga kerja di Indonesia. Database yang umumnya digunakan untuk menganalisa kondisi sosial ekonomi dan kemiskinan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tiga tahun. Pada sisi lain, data statistik mengenai pasar kerja dan tenaga kerja yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilakukan setiap tahun. Secara umum, untuk mengukur tingkat kemiskinan suatu negara perlu dihitung jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Terdapat berbagai definisi mengenai garis kemiskinan yang dapat digunakan untuk menetapkan indikator kemiskinan di Indonesia. Indikator itu antara lain dikeluarkan oleh BPS, LPEM FEUI dan Bank Dunia. Kalkulasi dalam makalah ini menggunakan garis kemiskinan dari BPS untuk tahun-tahun 1996, 1999 dan 2002. Garis kemiskinan biasanya diperoleh dengan menggunakan modul konsumsi dalam data SUSENAS, sehingga garis kemiskinan itu mencerminkan rata-rata konsumsi bulanan minimum untuk tiap orang.6 Garis-garis kemiskinan ini dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
5
6
Kertas Kerja Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari USAID/PEG, Oktober 2001, Wage and Employment, Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labor Market, SMERU, 2001. LPEM FEUI telah melakukan penelitian mengenai penghitungan garis kemiskinan di Indonesia dan tingkat kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan metode yang berbeda-beda: “Menghitung Kembali Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1990-1999”, LPEM FEUI, belum diterbitkan, 2000; “The Indonesian Poverty Profile”, unpublished research paper, 2001.
45
Tabel 2.1. Garis Kemiskinan untuk Indonesia (versi BPS), 1996-2002 Tahun 1996 1999 2002
Kota
Garis Kemiskinan (Rp/bulan/orang) Desa
Total
42,032 92,409 130,499
31,366 74,272 96,512
36,059 82,252 111,466
Sumber: BPS
Ada sejumlah keterbatasan bila kita menggunakan modul konsumsi SUSENAS untuk menganalisa kemiskinan berdasarkan kondisi tenaga kerja karena data yang ada mengklasifikasikan tiap rumah tangga menurut pekerjaan utama kepala rumah tangga. Praktek ini mengesampingkan kemungkinan adanya diversifikasi pekerjaan dalam rumah tangga dan tidak memperhatikan adanya kemungkinan bahwa ada anggota keluarga itu (termasuk kepala keluarga) dapat memiliki lebih dari satu pekerjaan di sektorsektor atau status pekerjaan yang berbeda. Dalam rangka memperoleh profil data secara individual, kita harus mengkombinasikan data SUSENAS dan SAKERNAS. Namun karena kedua survei tersebut menggunakan kerangka dasar (baseline) yang berbeda, angka-angka yang diperoleh mungkin kurang akurat Terlepas dari segala keterbatasannya, klasifikasi ini sangat berguna untuk mengaitkan kemiskinan dengan kondisi tenaga kerja, baik secara umum maupun di kalangan kaum muda. Terlebih lagi, data proporsi yang ada masih valid untuk menggambarkan kondisi kemiskinan dan tenaga kerja muda.
Gambaran Umum Profil Kemiskinan di Indonesia Kemiskinan di Indonesia bertambah sejak krisis ekonomi tahun 1997. Sebelum terjadi krisis, pada tahun 1996, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di daerah perkotaan mencapai 13,39 persen dan di pedesaan sekitar 20,17 persen dari jumlah penduduk keseluruhan, seperti dapat dilihat Indek Kemiskinan (Headcount Index/HCI) di tabel berikut. Akan tetapi, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat pada tahun 1999 menjadi 18,60 persen di perkotaan dan 27,66 persen di pedesaan. Pada tahun 2002, pola ini menjadi terbalik, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun dari 24,09 persen pada 1999 menjadi 17,61 persen di tahun 2002. Jumlah orang miskin di tahun 2002 diperkirakan mencapai 35,7 juta orang. Sebagaimana dapat dilihat dalam indikator-indikator kesenjangan kemiskinan, pola kemiskinan mengalami perubahan sejak tahun 1999. Sebelum tahun 1999, tingkat kemiskinan mulai memburuk, tapi kemudian terbalik pada periode 1999-2002, di mana index kemiskinan turun dari 4,67 menjadi 3,01. Turunnya index ini lebih signifikan di daerah pedesaan dibandingkan dengan di daerah perkotaan. (Lihat Tabel 2.2) Tabel 2.2. Indikator Kemiskinan untuk Indonesia, 1996-2002 Tahun 1996 1999 2002
Kota
Indek Kemiskinan Desa
Total
Kota
13.39 18.60 14.42
20.17 27.66 20.16
17.72 24.09 17.61
2.40 3.58 2.59
Sumber: LPEM FEUI, BPS
46
Indek Kesenjangan Kemiskinan Desa Total 3.57 5.52 3.35
3.15 4.76 3.01
Berdasarkan klasifikasi usia, persentase orang miskin dalam kelompok usia 15-24 tahun sebesar 16,6 persen di tahun 1996 dan meningkat menjadi 18,1 persen di tahun 1999 dan 2002. Seperti dapat dilihat dalam Figur 2.1, proporsi tertinggi dari orang miskin berusia di bawah 10 tahun, diikuti oleh kelompok 30-44 tahun dan 10-14 tahun. Pola ini tetap sama dalam periode 1996-2002. Di tiap klasifikasi usia, jumlah orang miskin meningkat tajam di tahun 1999 dibandingkan dengan 1996. Akan tetapi angka ini turun di tahun 2002. Jumlah orang muda (15-24 tahun) di tahun 2002 mencapai 38 juta orang dengan 21,3 persen di antara mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Figur 2.1. Persentase Orang Miskin Berdasarkan Usia, 1996-2002 16,000 14,000 thousand people
12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0 <10
10-14
15-19
20-24
25-29
30-44
45-59
<= 60
Age classfication 1996
1999
2002
Sumber: SUSENAS 1996-2002
Profil orang miskin dibandingkan dengan orang tidak miskin pada tahun 2002 dapat dilihat dalam Tabel 2.3. Proporsi laki-laki dan perempuan secara relatif sama, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, untuk orang miskin dan tidak miskin. Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase dari orang yang menyelesaikan pendidikan tinggi (SMA, perguruan tinggi) lebih tinggi untuk orang tidak miskin yang tinggal di daerah perkotaan dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan untuk orang miskin presentase dari mereka yang berpendidikan sekolah dasar (tamat atau tidak) relatif tinggi yakni 60 persen. Persentase ini lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan. Tabel 2.3. Profil Orang Miskin dan Tidak Miskin di Indonesia (%), 2002 Kota Klasifikasi Usia <10 10-14 15-19 20-24 25-29 30-44 45-59 <=60
17.4 9.0 10.1 10.3 9.7 24.0 12.7 6.6
Tidak Miskin Desa Total 18.7 10.3 9.4 8.2 8.5 22.1 14.0 8.7
18.1 9.7 9.8 9.2 9.0 23.0 13.4 7.7
Kota
Miskin Desa Total
Kota
Semua Desa
Total
22.4 12.3 11.6 8.5 7.0 20.3 10.7 7.2
24.4 13.3 10.0 6.9 6.7 20.6 11.0 7.2
18.4 9.7 10.4 10.0 9.1 23.3 12.3 6.7
20.1 11.0 9.5 7.9 8.0 21.8 13.3 8.3
19.3 10.4 9.9 8.8 8.5 22.5 12.9 7.6
23.6 12.9 10.6 7.5 6.8 20.5 10.9 7.2
47
Total
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
Jender Laki-laki Perempuan Total
49.9 50.1 100.0
50.3 49.7 100.0
50.1 49.9 100.0
49.8 50.2 100.0
49.8 50.2 100.0
49.8 50.2 100.0
49.9 50.1 100.0
50.2 49.8 100.0
50.1 49.9 100.0
Tingkat Pendidikan Tidak Menjawab Kurang dari SD Sekolah Dasar Sekolah Menegah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi Total
14.3 18.2 20.7 16.1 23.6 7.1 100.0
20.7 28.1 31.0 11.7 7.2 1.3 100.0
17.8 23.5 26.2 13.7 14.8 4.0 100.0
21.8 28.1 27.4 13.2 8.8 0.6 100.0
26.9 33.0 29.8 7.5 2.6 0.2 100.0
24.9 31.1 28.9 9.7 5.0 0.3 100.0
15.7 20.1 22.0 15.6 20.8 5.8 100.0
22.2 29.3 30.7 10.7 6.1 1.0 100.0
19.3 25.2 26.8 12.9 12.6 3.2 100.0
Sumber: SUSENAS 2002
Untuk pola konsumsi, sebagaimana dapat dilihat pada Figur 2.2, tingkat konsumsi rata-rata bulanan orang miskin jauh lebih rendah daripada orang tidak miskin. Perbedaan ini sangat terlihat pada tahun 2002, di mana konsumsi rata-rata bulanan dari orang miskin mencapai Rp. 90.000 dan orang tidak miskin sekitar Rp. 220.000. Berdasarkan data dari tahun 1996-2002, 65 persen dari konsumsi orang miskin adalah untuk makanan. Sedangkan orang yang tidak miskin hanya mengalokasikan 50 persen untuk konsumsi makanan.
1996
1999
2002
Figur 2.2. Pengeluaran Rata-rata Bulanan Orang Miskin dan Tidak Miskin, 1996-2002
Poor Non Poor Poor Non Poor Poor Non Poor 0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Rupiah
Food
Non Food
Sumber: SUSENAS 1996-2002
Bila kita memilah kemiskinan berdasarkan status pekerjaan dan sektor kerja maka akan diperoleh hasil-hasil yang menarik (lihat Tabel 2.4). Pada tahun 2002, sebagian besar dari orang miskin bekerja sebagai majikan (23,7 persen), pekerja tidak dibayar (22,3 persen), dan bekerja untuk diri sendiri dengan
48
pembantu paruh waktu (21,3 persen). Di lain pihak, 35 persen dari orang tidak miskin bekerja sebagai majikan dan 20,7 persen bekerja untuk diri sendiri tanpa asisten. Hal yang menarik lainnya adalah perbandingan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Sekitar 40 persen orang miskin yang bekerja sebagai majikan tinggal di daerah perkotaan dan hanya 14 persen yang tinggal di daerah pedesaan. Di lain pihak, 29 persen orang miskin bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar di daerah pedesaan, dan hanya sembilan persen yang tinggal di daerah perkotaan. Tabel 2.4. Profil Tenaga Kerja Orang Miskin dan Tidak Miskin di Indonesia (%), 2002 Tidak Miskin Kota Desa Total
Kota
Miskin Desa Total
Kota
Semua Desa Total
Kesempatan Kerja menurut Status Kerja Bekerja Sendiri Bekerja sendiri dengan asisten sementara Pengusaha dengan asisten tetap Pegawai Buruh lepas bidang pertanian Buruh lepas bukan pertanian Pekerja tidak dibayar Total
21.4 9.4 3.9 55.3 1.3 2.1 6.6 100.0
20.1 26.1 2.9 19.9 6.0 2.1 22.9 100.0
20.7 19.0 3.3 35.0 4.0 2.1 15.9 100.0
25.9 11.6 2.2 40.4 6.0 4.9 9.0 100.0
16.3 26.6 1.6 14.5 9.5 2.1 29.6 100.0
19.7 21.3 1.8 23.7 8.2 3.1 22.3 100.0
22.2 9.8 3.6 52.7 2.1 2.6 7.0 100.0
19.3 26.2 2.6 18.7 6.7 2.1 24.4 100.0
20.5 19.4 3.0 32.7 4.8 2.3 17.2 100.0
Kesempatan Kerja menurut bidang pekerjaan Pertanian Pertambangan Industri Peralatan Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa lainnya Total
10.2 0.8 19.6 0.4 5.3 30.7 7.9 3.3 21.8 100.0
64.3 0.9 8.2 0.1 3.4 12.4 3.7 0.4 6.7 100.0
41.2 0.9 13.0 0.2 4.2 20.2 5.5 1.6 13.1 100.0
27.9 0.9 18.1 0.2 8.5 23.7 8.4 0.7 11.5 100.0
77.3 0.7 7.1 0.0 2.7 6.8 2.2 0.1 3.1 100.0
59.8 0.8 11.0 0.1 4.8 12.8 4.4 0.3 6.1 100.0
13.3 0.8 19.3 0.4 5.8 29.5 8.0 2.9 20.0 100.0
67.2 0.9 7.9 0.1 3.2 11.2 3.4 0.3 5.9 100.0
45.0 0.9 12.6 0.2 4.3 18.7 5.3 1.4 11.7 100.0
Sumber: SAKERNAS - SUSENAS 2002
Seperti terlihat dalam Tabel 2.4, baik orang miskin maupun tidak miskin, sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan presentase 60 persen dan 41 persen berturut-turut. Sektor tertinggi kedua adalah perdagangan, baik untuk orang miskin maupun tidak miskin, dengan presentase lebih tinggi untuk orang tidak miskin (20 persen dibandingkan 13 persen untuk orang miskin). Bila kita membagi data menurut perkotaan-pedesaan, hampir tiga perempat dari orang miskin bekerja di sektor pertanian. Di lain pihak, 28 persen orang miskin di perkotaan bekerja di bidang pertanian dan 24 persen bekerja di sektor perdagangan.
49
Profil Kemiskinan Kaum Muda Bagian berikut ini akan memfokuskan diri pada gambaran orang miskin muda berusia 15-24 tahun. Seperti dapat kita lihat dalam Figur 2.1, jumlah orang miskin muda telah meningkat dari tahun 1996 sampai 1999. Seiring dengan bertambahnya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1999, jumlah orang muda yang hidup di bawah garis kemiskinan pun meningkat. Walaupun terdapat suatu periode di mana jumlah pengangguran di kalangan muda bertambah (Figur 1.13 dan 1.14), pendapatan bulanan mereka (dengan menggunakan pengeluaran rata-rata bulanan sebagai perhitungan) masih di bawah pendapatan bulanan rata-rata minimum (yang diwakili oleh garis kemiskinan). Data ini juga menunjukkan bahwa selama krisis jumlah orang muda yang berpartisipasi di dalam angkatan kerja meningkat. Sepertinya orang muda yang sebelum krisis tidak berpartisipasi dalam angkatan kerja kemudian harus bekerja untuk membantu keluarga mereka. Jumlah orang muda miskin turun pada tahun 2002 dibandingkan dengan jumlah keseluruhan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti dapat dilihat dalam Figur 2.3, persentase orang muda yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun dari 29 persen (11,3 juta orang) di tahun 1999 menjadi 21 persen (8,1 juta orang) di tahun 2002. Figur 2.3. Jumlah Orang Muda Miskin dan Tidak Miskin, 1996-2002
thous a nd pe ople
40,000 35,000
8,551
11,292
8,113
28,274
30,043
30,000 25,000 20,000 15,000
27,984
10,000 5,000 0
1996
1999
2002
year Non Poor
Poor
Sumber: SUSENAS 1996-2002
Berdasarkan tempat tinggal, karakteristik orang muda miskin serupa dengan karakteristik orang miskin secara nasional. Berdasarkan data 1996-2002, sebagian besar orang muda miskin hidup daerah pedesaan. Secara rata-rata, sekitar 60 persen orang miskin muda hidup di daerah pedesaan dan 40 persen di daerah perkotaan.
50
Figur 2.3. Jumlah Orang Miskin Muda menurut Tempat Tinggal, 1996-2002
12,000,000 10,000,000
people
8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 0 1996
1999
2002
year Urban
Rural
Sumber: SUSENAS 1996-2002
Jender Berdasarkan jender, jumlah laki-laki dan perempuan miskin muda secara relatif sama, baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Sejak 1996, presentase laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan perempuan miskin muda, namun perbedaan ini tidaklah terlalu signifikan. Di tahun 2002, 51 persen orang muda miskin adalah laki-laki dan 49 persen perempuan (lihat Tabel 2.5). Tabel 2.5. Persentase Orang Miskin Muda menurut Tempat dan Jender, 1996-2002 Tempat
Jender
1996
1999
2002
Kota
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
51.8 48.2 50.6 49.4 50.6 49.4
49.5 50.5 50.8 49.2 51.2 48.8
50.2 49.8 50.7 49.3 50.9 49.1
Desa Total Sumber: SUSENAS 1996-2002
Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar kaum muda miskin pada tahun 2002 telah menyelesaikan sekolah dasar (47 persen) dan sekolah menengah pertama (30 persen). Lulusan perguruan tinggi hanya mewakili 0,3 persen jumlah orang muda miskin secara keseluruhan (lihat Figur 2.4).
51
Figur 2.4. Persentase Orang Muda Miskin menurut Tingkat Pendidikan, 2002
Completed senior high school 10.3%
Completed college or university 0.3%
NA 2.0%
Not completed elementary school 11.3%
Completed elementary school 46.7%
Completed junior high school 29.5%
Sumber: SUSENAS 2002
Dengan menganalisa tingkat pendidikan orang miskin berdasarkan tempat pada Tabel 2.6, kita dapat melihat bahwa orang muda miskin di daerah perkotaan relatif memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan mereka dari pedesaan. Pada tahun 2002, persentase orang yang tinggal di perkotaan dan telah tamat SMP hampir 36 persen dibandingkan dengan 25 persen di pedesaan. Terlebih lagi, persentase orang yang tinggal di daerah perkotaan dan telah tamat SMA mencapai 16,5 persen dibandingkan 5,5 persen di daerah pedesaan. Tabel 2.6. Persentase Orang Muda Miskin menurut Tempat dan Tingkat Pendidikan, 2002 Tingkat Pendidikan
Kota
Desa
Total
Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Tidak Jawab Total
8.26 38.30 35.47 16.51 0.54 0.93 100.00
13.62 53.09 24.93 5.50 0.10 2.75 100.00
11.30 46.70 29.49 10.26 0.29 1.96 100.00
Sumber: SUSENAS 2002
Pola Konsumsi Berdasarkan pola konsumsi, yang kurang lebih sama dengan pola orang miskin secara umum, sebagian besar pengeluaran bulanan digunakan untuk membeli makanan. Rata-rata, selama periode 1996-2002, sebanyak 65 persen pengeluaran orang muda miskin adalah untuk membeli makanan. Di lain pihak, orang muda yang tidak miskin hanya menggunakan 47 persen dari pengeluaran bulanan mereka untuk makanan. Seperti dapat dilihat dalam Figur 2.5, pada tahun 2002, konsumsi makanan untuk orang miskin muda sebesar 67,4 persen, diikuti pengeluaran untuk peralatan dan keperluan rumah tangga sebesar
52
15,4 persen. Pengeluaran bulanan untuk kesehatan dan pendidikan secara relatif rendah, yakni berturutturut hanya 3,4 persen dan 2,6 persen. Figur 2.5. Persentase Pengeluaran Rata-rata Bulanan untuk Orang Miskin Muda, 2002
Housing & household facilities 15.4%
Goods and services 3.6%
Education 2.6%
Health 3.4%
Clothes, shoes, head covers 4.7%
Durable goods 1.2% Food 67.4%
Ceremonial expenditures 1.6%
Tax and insurance 0.3%
Sumber: SUSENAS 2002
Rasio T enaga Kerja di Kalangan Orang Muda Miskin Tenaga Rasio tenaga kerja terhadap jumlah penduduk dapat mengindikasikan peluang dipekerjakannya penduduk yang secara potensial produktif. Untuk orang miskin muda, rasio ini dikembangkan dengan memperbandingkan jumlah semua orang miskin yang bekerja dengan jumlah keseluruhan orang miskin dalam kurun waktu tertentu. Hasilnya menunjukkan pola yang menarik, di mana secara rata-rata, rasio tenaga kerja untuk orang miskin muda cenderung turun dari tahun 1996 sampai 2002 dengan rasio ratarata sebesar 45 persen. Pada tahun 2002, dari jumlah kaum muda miskin sebanyak 8,1 juta orang, hanya 42 persen yang memiliki pekerjaan atau hanya 3,4 juta orang. Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, kecenderungan penurunan ini hampir sama dengan rasio tenaga kerja kaum muda terhadap jumlah penduduk. (lihat Figur 1.9 dan 1.10). Berdasarkan tempat tinggal, rasio tenaga kerja di daerah perkotaan secara relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan. Di tahun 2002, rasio di di pedesaan sebesar 47,5 persen, sedangkan untuk perkotaan hanya sebesar 34,5 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang muda miskin di daerah perkotaan tidak terlibat secara aktif di dalam bursa kerja.
53
Figur 2.6. Rasio Tenaga Kerja terhadap Populasi Orang Miskin menurut Tempat, 1996-2002
60%
54.7%
50.9%
47.5%
50%
37.9%
Percentage
40%
33.0%
34.5%
30% 20% 10% 0% 1995
1997
1999
2001
2003
Year Urban
Rural
Sumber: SUSENAS 1996-2002
Tenaga Kerja Berdasark an Status P ek erjaan Berdasarkan Pek ekerjaan Dilihat dari status pekerjaan, sebagian besar orang miskin yang bekerja berada di sektor informal, meskipun kondisi ini cenderung turun dalam kurun waktu 1996- 2002. Definisi sektor informal yang digunakan di sini berasal dari BPS, yaitu sektor informal terdiri dari mereka yang bekerja sendiri tanpa adanya bantuan, bekerja sendiri dengan bantuan sementara, pekerja lepas dan pekerja tanpa dibayar. Di lain pihak, sektor formal terdiri dari pegawai dan pemberi kerja dengan bantuan tetap. Karena orang muda miskin tidak memiliki pendidikan yang tinggi (sebagian besar tidak tamat atau hanya tamat sekolah dasar), sangatlah sulit bagi merela memasuki sektor formal yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan tinggi. Dalam angka berikut ini, rata-rata orang miskin muda yang bekerja di sektor informal selama 19992002 mencapai sekitar 65 persen. Terdapat kenaikan sedikit dari tahun 1999 (63,1 persen) ke tahun 2002 (65,8 persen). Pola ini berbeda dengan orang muda tidak miskin di mana rata-rata mereka yang bekerja di sektor informal sebesar 53 persen selama 1999-2002 dan jumlah ini relatif stabil selama periode tersebut. Bila kita mencermati secara lebih rinci, pada tahun 2002 sebagian besar orang muda miskin bekerja sebagai pegawai dan pekerja tidak dibayar, dengan presentase sebesar 33,4 persen dan 39,23 persen dari jumlah keseluruhan orang miskin muda (Tabel 2.7). Bila kita bandingkan dengan profil orang miskin secara umum maka jumlah ini menunjukkan pola yang sama. Menurut tempat, orang muda miskin yang bekerja sebagai pegawai di daerah perkotaan mewakili 58 persen dari jumlah keseluruhan orang muda miskin yang bekerja Di lain pihak, di daerah pedesaan, 52,3 persen orang miskin yang bekerja merupakan pekerja tidak dibayar. Data ini menunjukkan indikasi bahwa untuk daerah pedesaan yang didominasi sektor pertanian, sebagian besar orang muda yang hidup di bawah garis kemiskinan bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar.
54
Figur 2.7 Persentase orang muda miskin menurut status kerja, 1999-2002
Sumber: SUSENAS 1996-2002
Tabel 2.7. Persentase Orang Muda Miskin menurut Status kerja dan Tempat, 2002 Status Kerja
Kota
Desa
Total
Bekerja sendiri tanpa bantuan Bekerja sendiri dengan bantuan sementara Bekerja sendiri dengan bantuan tetap Pegawai Pekerja lepas sektor pertanian Pekerja lepas non-pertanian Pekerja tidak diupah Total
13.27 2.40 1.23 58.02 3.79 5.79 15.51 100.00
9.61 6.35 0.68 19.76 8.73 2.57 52.30 100.00
10.91 4.94 0.87 33.38 6.97 3.72 39.21 100.00
Sumber: SAKERNAS & SUSENAS 2002
Tenaga Kerja berdasark an Bidang P ek erjaan berdasarkan Pek ekerjaan Sebagian besar orang muda bekerja di bidang pertanian, pola ini pun terlihat di kalangan muda miskin yang bekerja. Lebih dari 50 persen orang muda miskin yang bekerja berada di sektor pertanian dalam kurun waktu 1996- 2002. Sektor terbesar berikutnya yang menjadi tempat orang miskin muda bekerja adalah bidang industri dan perdagangan dengan tingkat rata-rata masing-masing 16 persen dan 11 persen selama periode 1996-2002 (Tabel 2.8).
55
Tabel 2.8. Persentase Orang Muda Miskin menurut Bidang Pekerjaan, 1996-2002 Bidang Pekerjaan Pertanian Pertambangan Industri Utilitas Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa lain Total
1996
Tidak Miskin 1999
2002
1996
Miskin 1999
2002
38.00 0.92 19.02 0.40 5.28 16.20 4.18 0.73 15.27 100.00
38.23 0.83 18.53 0.27 3.83 19.96 4.71 0.77 12.88 100.00
37.67 1.05 21.64 0.13 4.08 18.31 5.17 1.25 10.69 100.00
58.14 0.91 15.72 0.24 5.54 9.12 2.58 0.17 7.59 100.00
56.80 0.84 15.98 0.08 4.09 11.81 3.45 0.29 6.66 100.00
54.81 0.77 16.69 0.05 5.50 12.71 3.84 0.32 5.31 100.00
Sumber: SAKERNAS & SUSENAS 1996-2002
Bila kita cermati data tahun 2002, sebagian besar orang muda miskin di daerah perkotaan bekerja di bidang industri dan perdagangan, diikuti sektor pertanian. Di lain pihak, untuk daerah pedesaan, 74 persen orang muda miskin bekerja di sektor pertanian. Sekali lagi, profil yang ada di sini mirip dengan profil kemiskinan secara keseluruhan yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Tabel 2.9. Persentase Orang Muda Miskin menurut Bidang Pekerjaan dan Tempat, 2002 Bidang Pekerjaan
Kota
Desa
Total
Pertanian Pertambangan Industri Utilitas Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa lain Total
19.98 0.91 29.45 0.08 9.36 24.19 6.50 0.74 8.79 100.00
74.00 0.69 9.65 0.04 3.37 6.39 2.38 0.08 3.40 100.00
54.81 0.77 16.69 0.05 5.50 12.71 3.84 0.32 5.31 100.00
Sumber: SAKERNAS & SUSENAS 2002
Kesimpulan Data menunjukkan bahwa jumlah orang muda miskin telah meningkat secara signifikan dari tahun 1996 sampai 1999, mengikuti jumlah keseluruhan orang miskin selama periode itu yang juga meningkat. Tapi, pada tahun 2002, jumlah orang miskin berkurang, begitu pula jumlah orang muda miskin. Persentase orang muda miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan turun dari 29 persen pada tahun 1999 menjadi 21 persen pada tahun 2002. Profil orang muda miskin sesungguhnya paralel terhadap profil orang miskin secara umum. Sebagian besar orang muda miskin tinggal di daerah pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah (biasanya
56
tidak melampaui sekolah dasar) dan mengalokasikan sebagian besar pengeluaran bulanan mereka untuk makanan. Dari sudut pandang tenaga kerja, rasio tenaga kerja terhadap orang muda miskin cenderung turun dari tahun 1996 sampai 2002. Pada tahun 2002, dari 8,1 juta orang muda miskin, hanya sekitar 42 persen (3,4 juta orang) yang bekerja. Rasio tenaga kerja di perkotaan relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar orang muda miskin di perkotaan tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan bursa kerja. Sebagian orang muda miskin bekerja di sektor informal, meski jumlah ini cenderung turun dari tahun 1996 sampai 2002. Karakteristik utama orang muda miskin yang memiliki tingkat pendidikan rendah menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan yang lebih tinggi. Dalam kurun waktu 1996-2002, lebih dari 50 persen orang muda miskin bekerja di sektor pertanian. Sektor-sektor terbesar yang mengikutinya adalah industri dan perdagangan dengan persentase masing-masing 16 persen dan 11 persen selama periode 1996-2002.
57
58
Bab 3 Kewirausahaan Kaum Muda Pendahuluan Kewirausahaan merupakan salah satu pilihan yang dapat diambil kaum muda untuk bisa berpartisipasi dalam pasat tenaga kerja dan mencari mata pencaharian. Di Indonesia, jumlah orang muda yang bekerja di sektor informal relatif tinggi, mendekati rata-rata 65 persen dalam kurun waktu 1990-2002. Lebih jauh lagi, hampir 20 persen orang muda yang memiliki pekerjaan bekerja sendiri, yang terdiri dari bekerja untuk diri sendiri tanpa bantuan, bekerja untuk diri sendiri dengan bantuan sementara dan bekerja untuk sendiri dengan bantuan tetap. Sebagai tambahan, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa orang muda yang paling rendah tingkat pendidikannya bekerja di bidang informal sebagai wirausaha karena mereka tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi untuk menembus bidang kerja formal.7 Angka-angka ini mengindikasikan bahwa kewirausahaan merupakan salah satu pilihan agar kalangan muda dapat memiliki pekerjaan yang layak. Orang muda yang memulai usaha mereka sendiri kemungkinan besar akan menghadapi berbagai rintangan. Meski kewirausahaan tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, ia tetap membutuhkan berbagai keterampilan tertentu. Sebagian besar dari permasalahan ini akan ditemui oleh siapapun yang memulai usaha baru, tapi beberapa di antaranya terkait dengan usia sang wirausaha yang masih terlalu muda. Orang muda biasanya memiliki jaringan dan hubungan usaha yang terbatas dibandingkan mereka yang lebih tua. Satu masalah mendasar adalah ketidakmampuan memperoleh dana awal yang dapat mengarah pada kekurangan modal (memulai suatu usaha tanpa dana yang mencukupi). Masalah-masalah lain yang sering ditemui adalah pengelolaan arus kas, terutama dalam menangani kredit macet dan pembayaran yang telat; menghadapi stres, terutama tanpa dukungan teman-teman yang memahami tuntutan tenaga kerja yang memulai usaha sendiri. Setelah usaha sendiri mulai dijalankan, masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan manajemen usaha seperti pengembangan usaha, bagaimana mempekerjakan orang yang tepat dan bagaimana mengelola orang lain untuk pertama kalinya. Mengingat kewirausahaan dapat menjadi salah satu pilihan untuk mengurangi pengangguran di kalangan muda, sangat disarankan agar pemerintah, sektor swasta, lembaga non-pemerintah dan masyarakat lokal dapat dengan cara mereka sendiri mendorong upaya-upaya untuk mendukung orang muda memulai usaha mereka. Bab ini akan memperkirakan seberapa besar jumlah orang muda yang bekerja sebagai wiraswasta atau di dalam usaha-usaha mikro; profil wirausahawan muda; jenis usaha yang mereka tekuni dan tantangan-tantangan utama yang dihadapi orang muda dalam memulai dan mengembangkan usaha mereka. Sumber data yang digunakan dalam studi ini adalah SAKERNAS dari BPS selama periode 1997-2002. 7
Gyorgy Sziraczki and Annemarie Reerink, “School-to-work Transition in Indonesia, ILO, 2003.
59
Profil Kewirausahaan Kaum Muda Besaran wiraswastawan dapat diukur dari jumlah tenaga kerja berdasarkan status kerja. Melalui analisa ini, definisi dari seorang wirausahawan adalah orang yang bekerja sebagai wiraswasta tanpa bantuan, wiraswasta dengan bantuan sementara dan wiraswasta dengan bantuan tetap. Menurut definisi tersebut, persentase dari pekerja wiraswasta relatif lebih rendah dibandingkan dengan bukan wiraswasta. Secara rata-rata, 44 persen pekerja merupakan wiraswasta, sedangkan 56 persen bukan wiraswasta. Jumlah ini relatif stabil selama periode 1997-2002. Seperti dapat dilihat dalam Figur 3.1, terdapat sedikit peningkatan jumlah pekerja wiraswasta dari tahun 1997 sampai 1999. Ini dapat mengindikasikan suatu pergeseran status kerja dari nonwiraswasta menjadi wiraswasta akibat krisis ekonomi di mana banyak orang kehilangan pekerjaan mereka dan memulai usaha sendiri. Figur 3.1. Persentase Pekerja Wiraswasta, 1997-2002
56.7
60.0 50.0
43.3
57.1
53.9 46.1
42.9
55.6 44.4
40.0 % 30.0 20.0 10.0 0.0
1997
1999
2001
2002
Year
Self Employed
Non-Self Employed
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Tabel 3.1 menunjukkan deskripsi lebih detil mengenai pekerja berdasarkan status kerja. Persentase wiraswastawan di daerah pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan, terutama wiraswastawan dengan bantuan tenaga sementara. Di lain pihak, persentase wiraswastawan tanpa bantuan lebih tinggi sedikit di perkotaan. Baik di daerah perkotaan dan pedesaan, persentase wiraswastawan yang dibantu tenaga tetap secara relatif kecil. Hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa sebagian besar wiraswastawan bergerak di sektor informal dan hanya sedikit yang berada pada sektor formal.
60
Tabel 3.1. Persentase Pekerja menurut Status Kerja, 1997-2002 Status Kerja
1997 Kota Desa
1999 Kota Desa
2001 Kota Desa
2002 Kota Desa
Wiraswasta Wiraswasta dibantu tenaga sementara Wiraswasta dibantu tenaga tetap Total Wiraswasta Pegawai Pekerja tidak diupah Pekerja lepas Total Non Wiraswasta Total
22.9 11.5 2.3 36.8 54.7 8.5 0.0 63.2 100.0
25.0 11.4 3.2 39.6 51.2 9.2 0.0 60.4 100.0
21.8 11.0 3.7 36.5 50.2 8.8 4.6 63.5 100.0
22.5 11.0 3.8 37.4 47.6 8.3 6.8 62.6 100.0
23.0 25.5 1.4 49.8 24.9 25.3 0.0 50.2 100.0
23.7 26.3 2.6 52.6 22.8 24.7 0.0 47.4 100.0
17.5 29.2 2.6 49.3 16.0 26.6 8.1 50.7 100.0
17.1 31.9 2.5 51.5 14.2 24.2 10.1 48.5 100.0
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Tabel berikut ini menunjukkan persentase total wiraswastawan berdasarkan kelompok usia. Jumlah wiraswastawan berusia 30-44 tahun paling banyak dibandingkan kelompok usia lain, diikuti kelompok usia 45-59 tahun. Di lain pihak, hanya sedikit wiraswastawan yang berasal dari kelompok usia 15-24 tahun. Rata-rata selama periode 1997-2002, hanya delapan persen wiraswastawan berusia di antara 1524 tahun. Jumlah ini sedikit berkurang menjadi tujuh persen pada tahun 2001 dan 2002. Data menunjukkan bahwa tidak banyak orang muda yang memulai usaha mereka sendiri dan menjadi wirausahawan. Hambatan dalam memulai usaha sendiri, mempertahankan usaha yang sudah ada, dan mengembangkannya dirasakan lebih sulit dilakukan oleh orang muda. Di lain pihak, untuk orang dewasa yang sudah memperoleh modal yang cukup (modal SDM, keuangan dan jaringan) serta pengalaman memadai, halangan-halangan seperti itu secara relatif lebih mudah dilampaui. Penurunan jumlah wiraswastawan muda di tahun 2001 dapat mengindikasikan bahwa para wirausahawan muda tidak dapat mempertahankan usaha mereka setelah krisis ekonomi merebak. Tabel 3.2. Persentase Wiraswastawan menurut Usia, 1997-2002 Usia <15 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 44 45 – 59 >60 Total
1997
1999
2001
2002
0.48 2.67 5.77 10.71 40.32 26.85 13.21 100.00
0.55 2.93 5.88 10.70 40.36 27.25 12.33 100.00
0.21 1.87 5.02 11.12 41.87 27.71 12.21 100.00
0.26 2.18 5.26 10.58 41.74 27.88 12.09 100.00
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Daerah P edesaan dan P erk otaan Pedesaan Perk erkotaan Dalam melakukan analisa berdasarkan tempat tinggal, kita menemukan bahwa sebagian besar wiraswastawan muda berada di pedesaan. Berdasarkan data tahun 1997- 2002, rata-rata sekitar 72 persen dari mereka berada di pedesaan sementara hanya 28 persen yang tinggal di perkotaan. Di tahun 2002,
61
jumlah wiraswastawan muda mencapai 3,2 juta orang, dengan hampir 2,3 juta di antaranya tinggal di pedesaan (lihat Figur 3.2). Figur 3.2. Jumlah Wiraswasta Muda di Perkotaan-Pedesaan, 1997-2002
4,000 3,500
thousand people
3,000 Rural
2,500 2,000
Rural
Rural
Rural
1,500 1,000 500
Urban
Urban
Urban
Urban
0 1997
1999
2001
2002
Year
Sumber: SAKERNAS 2002
Bila kita lihat secara lebih detil, pada tahun 2002, para wiraswastawan muda di daerah pedesaan terdiri dari 50,4 persen wiraswastawan dengan bantuan sementara, 45,7 persen wiraswasta tanpa bantuan, dan hanya empat persen wiraswasta dengan bantuan tetap (lihat Figur 3.3). Komposisi ini sedikit berbeda dengan yang ada di perkotaan. Dari jumlah keseluruhan wiraswastawan muda di perkotaan, hampir 77 persen merupakan wiraswastawan tanpa bantuan, 17,5 persen wiraswastawan dengan bantuan sementara, dan hanya enam persen sebagai wiraswastawan dengan bantuan tetap (Figur 3.4). Data ini mengindikasikan bahwa untuk memulai usaha di daerah perkotaan secara relatif lebih sulit terutama untuk orang muda sehingga menyebabkan jumlah orang muda yang terjun ke dalam kewirausahaan relatif sedikit di wilayah perkotaan. Figur 3.3. Komposisi Wiraswastawan Muda di Daerah Pedesaan, 2002 Rural
Self Employed with temporary workers 50.4%
Sumber: SAKERNAS 2002
62
Self Employed with permanent workers 3.9%
Self Employed 45.7%
Figur 3.4. Komposisi Wiraswastawan Muda di Daerah Perkotaan, 2002 Kota Bekerja Sendiri dengan Asisten Sementara 17.5%
Bekerja Sendiri 76.7%
Bekerja Sendiri dengan Asisten Tetap 5.8%
Sumber: SAKERNAS 2002
Sesuai dengan gambaran nasional, persentase wiraswastawan dengan bantuan tenaga tetap sangat kecil. Dalam rangka membangun usaha di sektor formal yang memerlukan tenaga tetap yang kurang diminati baik di perkotaan maupun pedesaan. Ada beberapa alasan untuk ini, di antaranya biaya untuk membangun dan melakukan usaha di sektor formal relatif lebih tinggi daripada sektor informal. Dengan mempekerjakan tenaga yang tetap, usaha ini akan terikat oleh berbagai ketentuan dan persyaratan yang dibuat pemerintah, seperti upah dan tunjangan karyawan, pajak dan biaya lain. Dengan demikian para wirausahawan perlu memiliki modal uang yang memadai untuk membentuk usaha formal. Persyaratanpersyaratan ini berat, tidak hanya untuk para wirausahawan muda tetapi juga oleh mereka yang dewasa. Terlebih lagi, para wiraswasta dengan tenaga tetap biasanya membutuhkan kualifikasi lebih tinggi dalam hal pendidikan formal. Menarik untuk diperhatikan, terdapat perbedaan signifikan antara jumlah orang muda yang menjadi wiraswastawan tanpa bantuan dan wiraswastawan dengan bantuan tenaga tidak tetap di daerah pedesaan dan perkotaan. Sebagian besar wiraswastawan muda di pedesaan mempekerjakan tenaga kerja tidak tetap, sedangkan di daerah perkotaan kebanyakan dari mereka tidak mempekerjakan pekerja. Di daerah pedesaan, di mana mayoritas orang bekerja di sektor pertanian dan mayoritas tinggal di dekat keluarga dan kerabat masing-masing, para wiraswastawan dapat menggunakan para pekerja keluarga yang tidak dibayar untuk membantu usaha yang sepertinya berkaitan dengan pertanian. Sedangkan di daerah perkotaan, di mana lebih banyak orang yang bekerja di industri atau perdagangan, untuk mempekerjakan tenaga tidak tetap lebih mahal dan sulit, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kerabat dekat atau jaringan. Dengan demikian, jumlah wiraswastawan muda di daerah perkotaan relatif lebih tinggi. Jender Berdasarkan pembagian jender, selama periode 1997-2002, jumlah laki-laki muda yang bekerja sebagai wiraswastawan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan perempuan muda yang berwiraswasta. Secara rata-rata, 70 persen dari semua wiraswastawan adalah laki-laki. Seperti telah digambarkan dalam
63
Bab I, kendati laki-laki muda terus mendominasi angkatan kerja kalangan muda, kesenjangan jender ini terus menyempit. Hal ini menunjukkan bahwa makin banyak perempuan muda yang berpartisipasi dalam bursa kerja. Akan tetapi, jauh lebih sedikit perempuan muda yang memilih jadi wiraswastawan dibandingkan dengan laki-laki muda. Figur 3.5 Persentase Wiraswasta Muda menurut Bidang Kerja, 1997-2002
3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000
Perempuan Laki-laki
1,500,000 1,000,000 500,000 0 Kota
Desa
Kota
1997
Desa 1999
Kota
Desa 2001
Kota
Desa 2002
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar wiraswastawam muda telah menamatkan SMP, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Figur 3.6 menggambarkan persentase wiraswasta muda berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2002. Sekitar 70 persen wiraswastawan telah tamat dari SMP, diikuti 12 persen tamat SMA. Kurang dari dua persen tidak tamat sekolah dasar pada tahun 2002. Figur 3.6 Persentase Wiraswasta Muda menurut Pendidikan, 2002
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
64
Bila dibandingkan dengan daerah pedesaan, persentase wiraswasta yang memiliki tingkat pendidikan tinggi relatif lebih besar di daerah perkotaan. Pada tahun 2002, sekitar 11 persen wiraswastawan di perkotaan memiliki ijazah perguruan tinggi, sedangkan persentase tersebut hanya sebesar tiga persen untuk daerah pedesaan. Secara umum, dibutuhkan tingkat pendidikan tertentu agar dapat menjadi seorang wirausahawan. Tidak cukup pengetahuan dan keterampilan untuk menciptakan barang atau jasa, diperlukan juga adanya keterampilan dalam hal pengelolaan dana, sumber daya manusia dan seterusnya. Oleh sebab itu, sebagian besar wiraswastawan di perkotaan relatif memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang ada di pedesaan (Figur 3.7). Figur 3.7 Persentase Wiraswasta Muda menurut Pendidikan dan Tempat, 2002
College or university Senior high school Junior high school
Urban
Elementary school
Rural
0 00 2,5
,00 00 2,0
,00
0
0 1,5
00
,00
0 ,00 00 1,0
50
0,0
0
00
No elementary school
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Wiraswasta berdasarkan Bidang Kerja Gambaran lebih lanjut mengenai wiraswastawan muda dapat dianalisa berdasarkan bidang pekerjaan. Menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar wiraswastawan muda bergerak di sektor pertanian, diikuti perdagangan, industri dan jasa transportasi. Tabel 3.3 di bawah ini menjabarkan persentase wiraswastawan muda menurut bidang pekerjaan dalam kurun waktu 1997-2002. Selama periode 1997-2002 tersebut, persentase wiraswastawan muda di sektor pertanian sekitar 44 persen. Jumlah ini memuncak pada tahun 1999 dan 2000 pada tingkat 50 persen. Di bidang perdagangan, rata-rata jumlah wiraswastawan muda sekitar 25 persen. Persentase ini menurun pada tahun 1999 dan 2002 menjadi 21 persen pada tahun 2002. Tabel 3.3. Persentase Wiraswasta Muda menurut Bidang Pekerjaan, 1997-2002 Bidang pekerjaan
1997
1999
2001
2002
Pertanian Pertambangan Industri Umum Konstruksi Perdagangan Transportasi
39.8 1.7 11.5 0.0 2.0 26.5 11.1
48.1 1.5 9.7 0.0 1.3 24.0 9.5
36.1 1.4 10.9 0.0 2.0 29.6 11.8
49.8 0.9 8.3 0.0 1.8 21.0 12.1
65
Keuangan Jasa-jasa lain Total
0.1 7.3 100.0
0.0 5.8 100.0
0.2 8.0 100.0
0.1 5.9 100.0
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Terdapat perbedaan signifikan antara wiraswastawan muda perkotaan dan pedesaan menurut bidang pekerjaan. Di perkotaan, sebagian besar wiraswastawan muda berada di sektor perdagangan, sedangkan di daerah pedesaan sektor pertanian lebih dominan. Seperti dapat dilihat pada Figur 3.6 di bawah ini, pada tahun 2002, di daerah perkotaan 41 persen wiraswastawan muda berada di sektor perdagangan dan 21 persen di sektor transportasi. Di lain pihak, untuk daerah pedesaan, 64 persen wiraswastawan muda berada di sektor pertanian dan hanya 13 persen yang berada di sektor perdagangan. Figur 3.8. Persentase Wiraswasta Muda menurut Bidang Kerja dan Tempat, 2002 70%
Agriculture Mining
60%
Industry
50%
Utilities 40%
Construction
30%
Trade
20%
Transport Finance
10%
Other services 0% Urban
Rural
Sumber: SAKERNAS 1997-2002
Tantangan Kewirausahaan Kaum muda Memasuki pasar tenaga kerja untuk pertama kalinya biasanya merupakan tahap yang sulit bagi setiap orang. Berdasarkan diskusi kualitatif yang telah dipresentasikan dalam laporan ILO sebelumnya (2002), kaum muda di Indonesia akan menemui berbagai halangan dan rintangan dalam memasuki pasar kerja. Di antaranya, kesempatan kerja yang terbatas, persaingan yang agresif dan pengaruh kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Di lain pihak, mencari pekerjaan yang layak, terutama di sektor formal, bukanlah suatu pilihan yang mudah bagi orang muda, terutama bagi mereka dengan tingkat pendidikan rendah. Halangan utama bagi orang muda dalam mencari pekerjaan yang layak terutama pendidikan/keterampilan yang tidak mencukupi, tidak adanya pengalaman kerja dan kurangnya pekerjaan yang tersedia. Sebagian besar orang muda mendapatkan informasi mengenai pekerjaan melalui jaringan-jaringan informal, iklan, agen kerja swasta dan jasa penyalur kerja.
66
Dalam laporan ILO (2003)8, orang muda ditanya bagaimana mereka melakukan pencarian untuk pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang paling banyak ditemui adalah melalui jaringan-jaringan informal (teman dan keluarga: 47 persen), diikuti iklan (20 persen).9 Laporan ini juga mempresentasikan hasilhasil survei yang menanyakan para pemberi kerja mengenai praktek rekrutmen mereka. Untuk pekerjaan administratif dan profesional, 61 persen pemberi kerja menggunakan iklan, 56 persen menggunakan metode informal, dan 39 persen menggunakan promosi internal. Sedangkan untuk pekerjaan tangan dan produksi, 77 persen menggunakan metode informal diikuti dengan promosi internal (24 persen) dan iklan (23 persen).10 Seperti telah digambarkan dalam bagian sebelumnya, jumlah kaum muda yang terlibat dalam sektor informal relatif tinggi, di mana di sana terdapat lebih banyak kesempatan kerja, salah satunya adalah menjadi wirausahawan. Namun demikian, kalangan muda dihadapkan pada berbagai permasalahan ketika akan memulai usaha mereka sendiri. Masalah-masalah yang sering dihadapi oleh wiraswastawan muda antara lain yang berkaitan dengan sumber keuangan, dana, SDM, pengalaman dan jaringan kerja. Terlebih lagi, untuk menjadi seorang wirausahawan tidak saja dibutuhkan latar belakang pendidikan dan keterampilan, hal-hal lain yang diperlukan adalah: semangat positif, pemikiran orisinil, motivasi diri, kemandirian serta kemampuan untuk membangun usaha yang produktif dan berguna bagi masyarakat. Indonesian Youth Employment Network (I-YEN) saat ini sedang melakukan kegiatan fasilitasi dalam mempersiapkan Rencana Aksi Tenaga Kerja bagi Kaum Muda Indonesia, yang direncanakan sudah siap pada akhir kuartal pertama 2004. Rancangannya didasarkan pada empat pilar, yakni: (1) Penciptaan Kesempatan Kerja, (2) Kewirausahaan, (3) Kesempatan yang sama, dan (4) Kemampuan kerja. Menurut laporan ini, hambatan-hambatan utama terhadap kewirausahaan di kalangan muda antara lain: • Sikap budaya: terdapat berbagai sikap negatif terhadap kewirausahaan, korupsi yang meluas dan pemikiran bahwa para wirausahawan melulu terkait dengan ekonomi informal. • Pendidikan: kurangnya pendidikan yang layak, kurangnya pengembangan bagi guru, kurangnya pembelajaran melalui pengalaman. • Pelatihan keterampilan: adanya kekeliruan dalam keterampilan yang diajarkan dan kebutuhan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja serta kurangnya jasa pelayanan karir. • Dukungan usaha: Orang muda tidak mampu mendapatkan dukungan usaha atau nasehat, memiliki rencana bisnis yang tidak matang, menghadapi hambatan dalam mempertahankan kelangsungan usaha mereka, kurang memiliki akses terhadap lembaga-lembaga pendukung usaha, menghadapi hambatan dalam melakukan akses terhadap peluang usaha serta kurangnya ruangan kerja yang memadai. • Pengaturan: birokrasi, tantangan dari peraturan yang ada, aturan pajak yang tidak mendukung, aturan hak cipta dan paten yang kurang ramah. • Keuangan: kesulitan dalam mendapatkan modal awal, kalangan muda dianggap sebagai investasi berisiko tinggi, halangan dalam mengakses jaringan pendanaan, dan tantangan dari sumber kredit yang mapan. 8
9 10
Gyorgy Sziraczki and Annemarie Reerink, “School-to-Work Transition in Indonesia”, ILO Report, edited version 31th October 2003. Lihat Angka 8 di dalam Laporan ILO. Lihat Angka 9 dan 10 di dalam ILO.
67
Ada beberapa pendekatan yang diusulkan, di antaranya: • Perubahan persepsi terhadap kewirausahaan, memerangi korupsi dan menciptakan insentif untuk menempatkan sektor informal dalam arus utama perekonomian. • Meningkatkan keterampilan dan sikap, memberdayakan guru dan menyediakan pembelajaran melalui pengalaman. • Memberdayakan pelatihan kejuruan dan mengadakan kursus kejuruan bagi orang muda. • Mendorong kalangan usaha untuk menjadi mentor dan membentuk lembaga pendukung untuk mengadakan pelatihan yang layak. • Memudahkan peraturan dan birokrasi didalam sektor usaha terutama untuk para wirausahawan muda. • Dan yang paling penting, memperluas akses terhadap pendanaan untuk para wirausahawan muda baru. Menurut laporan ILO (2003)11, kalangan muda membutuhkan informasi yang lebih baik mengenai bursa kerja dan program pelatihan yang terarah. Sebagian besar dari wiraswasta ingin mendapatkan latihan kewirausahaan serta modal untuk mengubah usaha mereka menjadi bisnis yang maju, yang dapat berkembang serta menciptakan nilai dan pekerjaan bagi orang lain. Dorongan sosial dan ekonomi untuk membangun suatu budaya kewirausahaan dan bantuan segera untuk kalangan muda yang menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi wirausahawan juga dibutuhkan dalam pembentukan usaha-usaha kecil yang kelak dapat mempekerjakan tenaga muda lainnya. Departemen Tenaga Kerja telah mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk mengembangkan kewirausahaan. Salah satunya berjudul “Tenaga Kerja Mandiri Profesional” (TKPMP) – Supriadi (2000). Kebijakan ini bertujuan menciptakan kesempatan usaha dengan memotivasi mereka yang memiliki komitmen. Target program ini adalah kalangan muda terdidik yang memiliki bakat, semangat kewirausahaan dan komitmen untuk berwirausaha, orang muda yang memiliki latar belakang bisnis keluarga atau memiliki fasilitas bisnis dan memiliki potensi untuk menciptakan suatu usaha; serta untuk mereka yang tidak tamat sekolah di daerah pedesaan namun memiliki keinginan untuk memperbaiki hidup dan pendapatan mereka. Kewirausahaan merupakan salah satu cara untuk menghapuskan pengangguran dan menyediakan kesempatan bagi kaum muda. Program kewirausahaan merupakan salah satu alternatif untuk menciptakan kesempatan kerja. Pemerintah dapat mengembangkan berbagai program untuk tingkat pendidikan dan tempat yang berbeda-beda, melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Peran pemerintah dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan di antara wirausahawan muda yang potensial serta kebutuhan-kebutuhan mendasar mereka dalam berwirausaha, seperti: (i) memperbaiki keterampilan teknis dan manajemen wirausaha untuk angkatan kerja muda; (ii) meningkatkan kemampuan untuk menjadi mandiri dan bertahan dalam menciptakan dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang produktif; serta (iii) menciptakan usaha produktif yang kecil untuk orang muda berpendidikan yang menawarkan kesempatan kerja bagi orang lain.
11
Ibid
68
daftar pustaka Adiningsih, Neni Utama. 2001, August 25th. Media Indonesia” Anakku Sayang, Mengapa Tawuran? 11 Tahun Ratifikasi Hak Anak”. Jakarta. Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. 2000. Pedoman Dasar Karang Taruna dan Forum Komunikasi Karang Taruna. Jakarta. Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia dan SMERU Research Institute. 2001. Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta. Badan Pusat Statistics (BPS) Indonesia. Populasi Indonesia: 1971, 1976, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000. Jakarta. _______.Indikator Kesejahteraan Anak dan Kalangan Muda 1998. Jakarta. _______.Indikator Kesejahteraan Anak 1994, 1999,2001. Jakarta. _______.Sue=rvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS): 1996,1999, 2000, 2001,2002. Jakarta. _______.Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS): 1996,1995, 2000, 2001, 2002. Jakarta. _______.Indikator Kesejahteraan Kerja: 2000, 2001, 2002. Jakarta. _______.Statistik Kalangan Muda: 1985, 1995, 2000. Jakarta. Cartherwood, Vince. 1985. Young People, Education and Employment. New Zealand Planning Council. Wellington. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. 1995. Penelitian Penyediaan Ekspor Jasa Tenaga Kerja. Jakarta. _______.1996. Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan. Jakarta. _______.1999. Pedoman Pembinaan Lembaga Pelatihan Kerja Swasta. Jakarta. _______.1999. Penelitian Penelusuran Lulusan SMU dan SMK di Pasar Kerja. Jakarta. _______.2000. Situasi Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja di Indonesia: Suatu Tinjauan yang Dilaksanakan pada tahun 1998/1999. Jakarta. _____________________________________________. 2000. Perencanaan Tenaga Kerja Nasional. Jakarta. Economic and Social Committee of the European Communities. 1983. Youth Employment. Brussels. European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions. 1990. The Path of Young People Towards Autonomy: Report of A Seminar. Luxemburg. International Labor Organization (ILO). 2002. Youth Employment in Indonesia. ILO Jakarta Office. ---------------------------------_______. June 1998. ILO Programme of Action on Youth Employment, Enhancing
69
Youth Employment: Employers Actions (Draft Programme). Geneva. _______.December 2003. I-YEN Roadmap for Youth Entrepreneurship. ILO-LPEM-FEUI. Jakarta. LPEM FEUI. 2000. Menghitung Kembali Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1990-1999.. Laporan Penelitian. Jakarta. _______. 2001. The Indonesian Poverty Profile. Unpublished Research Report. Jakarta. _______. 2002. Analisis Peringkat Pemerintah Daerah dalam Menanggulangi Kemiskinan. Unpublished Research Report. Jakarta. SMERU Research Institute (with support from USAID/PEG). October 2001. Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labor Market. Jakarta. Supriadi. 2000. Program on Employment Creation and Income Generation. The Indonesian Ministry of Manpower. Jakarta. Sziraczki, Gyorgy and Annemarie Reerink. October 2003. School-to-Work Transition. ILO-Jakarta.
70
71
72