LAPORAN KEGIATAN KUNJUNGAN PERTAMA PROVINSI RIAU Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang masih menjadi prioritas untuk ditangani ádalah tingginya kematian ibu dan bayi. Angka tersebut menempati urutan tertinggi diantara negara‐negara berkembang lainnya. Angka kematian ibu di Indonesia 39 kali lebih besar dari negara Singapura, 6 kali lebih besar dari Malaysia, 8 kali lebih besar dari Thailand dan 4 kali lebih besar dari Philipina (Sumber: Bulletin of Regional Health Information, 1989‐1993). Ironisnya, Departemen Kesehatan sampai saat ini tidak mempunyai data jumlah kematian ibu serta penyebab kematian ibu yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem surveilans yang mampu melakukan pengumpulan data khususnya data kematian pada perempuan usia produktif, status kehamilan, dan penyebab kematian secara medis. Dengan terbentuknya sistem surveilans yang baik diharapkan permasalahan tersebut dapat di pecahkan. Proyek Desentralisasi Pelayanan Kesehatan (DHS1‐ADB) yang dimulai sejak tahun 2001 ditujukan untuk menjamin akses pelayanan kesehatan dan keluarga berencana yang bermutu bagi masyarakat khususnya bagi kelompok miskin dan rentan dengan diterapkannya kebijakan pemerintah tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Seiring dengan berjalannya waktu terjadi perubahan fokus kegiatan dengan komitmen nasional untuk menurunkan angka kematian ibu, kematian bayi baru lahir dan kematian anak balita. Selama ini, program‐program kesehatan belum banyak menyentuh program kesehatan ibu dan anak secara langsung sehingga upaya kearah peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas utama dalam proyek DHS1‐ADB mengingat kelompok ini mempunyai nilai strategis dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagai salah satu bagian dari serangkaian kegiatan proyek penguatan sistem surveilans – respons KIA DHS1‐ADB, diselenggarakan sosialisasi kegiatan sekaligus pelatihan untuk staf surveilans dan KIA dari provinsi oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Bentuk pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas petugas dalam sistem surveilans – respons KIA untuk dinas kesehatan provinsi yaitu Training on Trainer (ToT).
Tujuan Tujuan Umum • Menguatkan sistem surveilans – respons KIA di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. • Meningkatkan kepedulian dinas kesehatan provinsi terhadap sistem surveilans – respons KIA. • Membangun komitmen dinas kesehatan provinsi untuk menguatkan sistem surveilans KIA. ‐ 1 ‐
•
Menciptakan tenaga kesehatan yang mampu melaksanakan bimbingan teknis serta pelatihan pengembangan sistem surveilans – respons untuk kabupaten/kota.
Tujuan Khusus • Menciptakan tenaga kesehatan yang mampu menjalankan penguatan sistem surveilans – respons KIA di Dinkes provinsi dan kabupaten/kota. • Meningkatkan kemampuan kepala daerah dan kepala dinkes dalam pemanfaatan data PWS dan AMP untuk pengambilan keputusan, mulai dari penentuan penyakit prioritas sampai pada pengambilan tindakan sebagai respons segera ataupun terencana. • Meningkatkan kemampuan petugas untuk melaksanakan 8 fungsi pokok surveilans dalam bidang KIA. • Mengadvokasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyelenggarakan unit pendukung surveilans. • Mengadvokasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyelenggarakan regulasi terkait sistem surveilans – respons KIA. • Mengadvokasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengoptimalkan alokasi anggaran dari APBD untuk penyelenggaraan sistem‐sistem surveilans. • Menyelenggarakan pelatihan mengenai sistem surveilans KIA di tingkat kabupaten/kota Berikut merupakan laporan kunjungan di Provinsi Riau. Kegiatan ini dilaksanakan selama 3 hari. Dua agenda utama kunjungan ini yaitu sosialisasi proyek penguatan surveilans – respons KIA dan pelatihan staf terkait di dinas kesehatan provinsi Riau dan 2 kabupaten terpilih. 1. Dinkes Provinsi Riau (hari I) 2. Dinkes Kabupaten Kampar (hari II) 3. Dinkes Kabupaten Siak (hari III) A. Dinkes Provinsi Riau Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan selama 1 hari pada tanggal 10 September 2008, pukul 09.00 – 15.30, bertempat di kantor Dinkes Provinsi Riau. Peserta Kegiatan ini dihadiri oleh 19 orang staf Dinkes Provinsi Riau. Adapun yang hadir adalah: 1. Ika Irawati – Dinkes Provinsi Riau 2. Hj. Nurma – Dinkes Provinsi Riau 3. Mailinda S – Dinkes Provinsi Riau 4. dr. Zuainah S – Dinkes Provinsi Riau 5. Yilza Mardhiah, SE – Dinkes Provinsi Riau 6. Leny – Dinkes Provinsi Riau 7. Mahmuda – Dinkes Provinsi Riau ‐ 2 ‐
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
dr. Hartati Rivai, M.Kes – Dinkes Provinsi Riau Norawarman – BKKBN Provinsi Riau Hj. Farida Yacob, Amd.Keb – PD IBI Provinsi Riau Tiramin Purba – PKM Senapelan Hj. Emi Farida – PKM Melur Hj. Dewani – Yankes dinkes Provinsi Riau dr. Riris Fachrina, Sp.A – RSUD Pekanbaru Suhesti S – PKM Simpang Tiga Sri Mulyani – TP PKK Provinsi Riau Rosdi – Bappeda Provinsi Riau Wiwik Puji R – Bappeda Provinsi Riau dr. Dian – Dinkes Provinsi Riau
Sosialisasi Proyek Penguatan Surveilans – Respons KIA Agenda pertama yaitu sosialisasi proyek, dihadiri oleh kadinkes provinsi Riau dr. H. Mursal Amir, SE DHS provinsi Riau FX Soeseno, serta tim UGM. Bu Dewi dari tim UGM memberikan penjelasan singkat mengenai proyek ini, mulai dari pelaksananya, latar belakang dan tujuan diselenggarakan proyek, sampai pada kegiatannya dan hasil yang diharapkan. Kadinkes Provinsi Riau menerima dengan baik dilaksanakannya proyek ini di daerahnya. Kadinkes Provinsi Riau menganggap bahwa masalah surveilans KIA ini sangat penting, dan beliau akan mengerahkan staf‐staf yang terkait untuk berkonsentrasi untuk program pengembangan surveilans KIA jangka panjang yang diusung oleh PMPK FK UGM ini. Kadinkes memaparkan bahwa surveilans KIA belum dilaksanakan secara maksimal di provinsi Riau. Beberapa hambatan yaitu kurangnya kualitas maupun kuantitas SDM pelaksananya serta ketidakakuratan data yang terkumpul. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Dinas Kesehatan dalam Penyelenggaraan Sistem Surveilans – Respons KIA Agenda kedua yaitu pelatihan bagi staf terkait mengenai penguatan surveilans – respons KIA di dinas kesehatan provinsi Riau. Topik‐topik yang diusung dalam pelatihan ini yaitu mengenai surveilans dalam era desentralisasi, penetapan penyakit prioritas dalam surveilans – respons KIA, pelaksanaan 8 fungsi pokok surveilans, dan PWS yang dibawakan oleh drg. Dewi Marhaeni DH, M.Si, serta analisis data dan diseminasi informasi yang dibawakan oleh Raharjo, ST; keduanya dari tim UGM. Dalam agenda kedua ini banyak dilakukan diskusi antara pemateri dan peserta pelatihan, juga antara peserta pelatihan sendiri. Acara pelatihan ini dibuka oleh Kadinkes Provinsi Riau, dr. H. Mursal Amir. Pertama‐tama, Kadinkes Provinsi Riau memaparkan mengenai manfaat‐manfaat surveilans bagi dunia kesehatan masyarakat. Surveilans merupakan kegiatan terpadu mulai pengumpulan sampai analisa data sehingga nantinya data tersebut dapat digunakan untuk menentukan prioritas, kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan penggerakan sumber daya program pembangunan kesehatan, pengambilan keputusan masalah kesehatan, serta prediksi dan deteksi dini kejadian luar biasa. ‐ 3 ‐
Yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai lintas sektor dalam surveilans. Selama ini surveilans yang dilakukan masih terbatas di masing‐masing bidang, dan tidak melibatkan lintas sektoral, padahal untuk mengatasi masalah kesehatan membutuhkan kerjasama lintas sektoral. Di samping itu, surveilans diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang berwenang. Selama ini data‐data yang terkumpul masih membingungkan, dalam artian tidak dapat dijamin validitasnya. Banyak pula pengumpulan data yang tidak perlu, atau sebaliknya, data yang diperlukan justru tidak dikumpulkan. Itulah fungsi surveilans, yaitu untuk memperbaiki dalam hal pengumpulan sampai analisis data, untuk kemudian data tersebut tidak hanya dionggokkan sebagai setumpukan tulisan dan angka, tetapi hasil analisisnya dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di bidang kesehatan. Menurut peraturan terbaru, sekarang ini diharapkan surveilans dijadikan suatu UPT dinas kesehatan, dan tidak terpecah belah seperti sebelumnya yang masih berada di bawah masing‐masing bidang. Dengan ditingkatkannya kualitas surveilans di Indonesia, maka kualitas bidang kesehatan pun semakin baik, begitu pula sumber daya manusia. Pembukaan ini ditutup dengan kutipan dari pernyataan Ibu Menkes “Bagaimana kita mau meningkatkan SDM kalau bidang kesehatan tidak ditangani dengan baik.” Setelah pembukaan oleh Kadinkes Provinsi Riau, acara berlanjut pada pemberian materi yang dibagi menjadi 4 sesi. Sesi I Desentralisasi Kesehatan dan Sistem Surveilans KIA Disampaikan oleh drg. Dewi Marhaeni DH, M.Si Menurunkan angka kematian ibu adalah salah satu dari MDG. Angka kematian Ibu di Indonesia sekitar 300/per 100.000 kelahiran hidup, dan data ini pun tidak akurat, bisa jadi data yang ada selama ini mengurangi atau bahkan melebihi dari kondisi sesungguhnya di lapangan. Untuk itu diperlukan suatu metode pengumpulan data yang lebih akurat, yaitu surveilans. Selama ini yang telah dilaksanakan yaitu sebatas surveilans penyakit menular. Unit surveilans pun masih berada di bawah bidang P2. Maka dari itu perlu dilakukan penguatan surveilans untuk program/bidang KIA. Dalam sesi ini, Bu Dewi menjelaskan mengenai pengaruh desentralisasi terhadap sistem surveilans. Dalam desentralisasi kesehatan, setelah dikeluarkannya PP No 38 yang mengatur masalah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota, muncul suatu masalah besar yang timbul. Ada kemungkinan pemerintah daerah merasa bahwa urusan surveilans adalah urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak memprioritaskan program surveilans dan menganggap surveilans tidak terlalu penting. Persepsi pemerintah daerah seperti ini yang menjadikan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan surveilans sangat rendah. Dari PP No 41, diharapkan dibentuk UPT surveilans di dalam tatanan struktur organisasi dinas kesehatan. UPT ini nantinya yang akan menjadi pintu masuk dari semua data surveilans dari berbagai bidang/program, sehingga data‐data yang terkumpul tidak terpisah‐pisah. Data‐data KIA yang ada merupakan hasil dari pelaporan kabupaten dan kota, data hanya masuk bila mereka melaporkan, dan bila mereka tidak melaporkan maka belum ada cara khusus untuk ‐ 4 ‐
mengupayakan pelaporan data dari kabupaten/kota. Dalam masalah anggaran, untuk surveilans masih murni dari APBN saja, dan ini belum mencakup semuanya. Dalam hal regulasi, belum ada peraturan daerah atau peraturan pemimpin daerah yang mengatur masalah surveilans. Mengenai masalah buletin epidemiologi, di provinsi Riau sendiri belum ada penerbitan rutin buletin epidemiologi. Saat ini tujuan utama proyek ini yaitu untuk menguatkan sistem surveilans yang telah ada dan dilaksanakan selama ini. Setelah pelatihan ini, diharapkan pihak provinsi dapat menjadi fasilitator dan pemberi bimbingan teknis bagi pihak kabupaten/kota. Provinsi harus pintar memilah‐milah intervensi yang sesuai bagi kabupaten/kota yang berada di bawah pimpinannya, disesuaikan dengan output dan outcome dari masing‐masing kabupaten/kota. Begitu pula kabupaten/kota, harus pintar memilih intervensi yang sesuai bagi puskesmas di wilayahnya, yang disesuaikan dengan output dan outcome dari masing‐masing puskesmas. Diskusi Tanggapan dari Bapeda Provinsi Riau Kemampuan fiskal dari provinsi Riau memang tinggi, tapi karena dianggap tinggi itu lah, dari pusat banyak anggaran untuk daerah yang dipotong. Tapi anggaran dari daerah pun belum mencukupi dari yang potongan tersebut, sehingga masih mengalami kekurangan dalam hal anggaran. Pertanyaan dari Bappeda: Apakah surveilans ini untuk UPT nya sudah ada di provinsi? Dan apakah untuk semua jenis penyakit? Jawaban Bu Dewi Selama ini surveilans masih terletak di bawah subdin P2. Dan yang ada di bawah P2 adalah penyakit‐ penyakit menular, jadi surveilans yang dilakukan hanya pada penyakit‐penyakit menular. Untuk penyakit tak menular biasanya pada surveilans gizi. Pertanyaan Menyatakan bahwa unit surveilans sesuai pada PP 41, unit surveilans masih berada di bawah P2. Jawaban bu Dewi Kepmenkes sudah mengeluarkan keputusan no 1116 dan 1479 yang mengatur masalah surveilans, dan itu tidak hanya surveilans penyakit menular, tetapi juga penyakit tak menular, termasuk untuk masalah gizi dan KIA. Tanggaapan dari Pak Suseno Untuk penyakit tidak menular belum ada di surveilans. Masalahnya: secara teknis, pengelola program belum diberikan informasi yang adekuat bagaimana mengenai teknis surveilans di bidangnya tersebut. Sebelumnya juga pernah diperkenalkan community based surveillance dan hospital based surveillance. Tapi yang hospital based surveillance itu tidak berkembang. Jadi masalahnya yaitu, bagaimana supaya hospital based surveilans bisa dikembangkan. ‐ 5 ‐
Pertanyaan dari BKKBN Dari pelatihan ini, dan sesuai dengan peraturan pemerintah, mengharapkan dibentuknya suatu UPT. Bagaimana solusinya seandainya surveilans sebagai UPT ini gagal? Jawaban Bu Dewi Memang di provinsi Riau ini sekarang sudah diputuskan struktur untuk tahun 2008, sehingga tidak bisa dimasukkan UPT surveilans dalam tatanan struktur untuk tahun ini. Maka dari itu, diharapkan selama setahun ini, direncanakan dengan matang rancangan UPT surveilans supaya dapat diputuskan untuk struktur baru di tahun 2009. Tanggapan dari Bu Hartati Di provinsi Riau belum ada UPT. Di puskesmas dan RS sudah ada surveilans, yaitu yang dilakukan dengan SP2TP dan SP2RS. Yang mengalami hambatan dalam pelaksanaannya yaitu di bidang KIA dan gizi. Salah satu hambatan yang utama yaitu program yang ada masih terkotak‐kotak. Misalnya saja untuk program KN1 tinggi, tetapi cakupan hepatitis hari 0‐7 rendah. Padahal cakupan hepatitis ini dapat dioptimalkan dengan KIE serta dilakukan skrining pada KN1. Kondisi ini memerlukan suatu program ataupun komando yang menyatukan kedua hal tersebut. Jawaban Bu Dewi Itulah perlunya surveilans lintas program dan lintas sektor. Kami mengharapkan di lintas sektor dan lintas program ini dapat lebih dikuatkan dengan adanya program penguatan ini. Sehingga lintas program bisa lebih padu, dan hal kesenjangan antar program yang diungkapkan oleh bu Hartati tadi dapat diminimasi. Sesi II Penetapan Penyakit Prioritas, Perjalanan Alamiah Penyakit, Fungsi Pokok Surveilans, Respons Segera dan Terencana Disampaikan oleh drg. Dewi Marhaeni DH, M.Si Pada sesi ini, Bu Dewi memberikan materi dasar tentang surveilans. Dalam penguatan surveilans KIA, perlu ada penetapan masalah prioritas. Di provinsi Riau yang dijadikan masalah prioritas kesehatan ibu yaitu perdarahan, sedangkan untuk kesehatan anak yaitu BBLR. Pemilihan penyakit prioritas ini berdasarkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat kondisi tersebut. Dalam sesi ini juga dibahas mengenai sumber data yang digunakan untuk penilaian kondisi KIA serta alur data yang ada. Di sini ditekankan pentingnya keberadaan data by name bumil risti untuk dimiliki oleh Puskesmas bahkan oleh dinkes Kabupaten/kota, untuk mempermudah dalam pelaksanaan dan implementasi pencegahan primer, serta untuk alokasi anggaran (guna melakukan upaya pencegahan primer). Di samping itu, perlu melibatkan data dari praktek swasta, karena sebagian besar kasus justru ditemukan dari praktek swasta. Pada topik selanjutnya, dijabarkan mengenai perjalanan alamiah penyakit yang tidak dapat bila hanya dipahami setengah‐setengah, supaya dalam menjalankan suatu program, dapat memilih intervensi yang sesuai dengan kondisi yang ada. Satu hal yang amat ‐ 6 ‐
penting yang diharapkan outputnya dapat dievaluasi setelah program penguatan surveilans – respons KIA ini yaitu pembuatan buletin epidemiologi. Dengan adanya buletin diharapkan informasi yang diterbitkan di buletin dapat dilihat oleh banyak pihak, terutama pihak stakeholder dan pihak pemilik dana, supaya dapat memberikan dukungan terutama dalam hal anggaran. Namun perlu pula diingat, bahwa sebelumnya, perlu dilakukan advokasi kepada para stakeholder mengenai pentingnya buletin epidemiologi bagi pelaksanaan kegiatan surveilans yang kontinyu. Dalam topik terakhir pada sesi ini, bu Dewi mengetengahkan mengenai konsep surveilans – respons. Setelah kata surveilans diikuti oleh kata respons. Ini berarti, setelah dilakukan surveilans (proses mulai pengumpulan data, pencatatan, dan analisa data) maka harus ditindaklanjuti dengan respon, dapat respon segera ataupun respon terencana. Respon segera yang dapat dilakukan yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan misalnya: memberi perhatian lebih pada bumil risti perdarahan (dipantau kapan HPL‐nya), mengusahakan ambulans untuk transport bumil risti ke tempat rujukan terdekat, donor darah, dsb. Sedangkan respon terencana itu dapat disusun menggunakan hasil analisis data yang diperoleh. Yang melakukan respon ini tidak hanya dari dinas kesehatan, tetapi juga dari rumah sakit, swasta, LSM, dinas sosial, BKKBN, dan masyarakat. Hal inilah yang perlu kita garis bawahi, bahwa terutama untuk pencegahan primer, bukan hanya peran dari dinkes saja tetapi justru dibutuhkan lebih besar peranan dari lintas sektor dan pihak swasta. Diskusi Masukan dari Subdin P2: Penyakit prioritas di bidang P2 tidak menentu. Masalah itu disini masih terkotak‐kotak. Saya memegang HIV dan flu burung ini dilaksanakan karena bantuan luar negeri. Selama ini program berjalan karena ada bantuan dari global fund, jadi tidak ada prioritas tertentu. Tetapi selama ini, sesuai dengan penyakit utama dari nasional, yaitu untuk penyakit menular: DBD, malaria. Pemilihan ini ditentukan dari KLB nya dan insidensi yang tinggi. Masukan dari Subdin KIA Penyakit prioritas untuk KIA Æ karena perdarahan. Kalau bayi Æ BBLR dan asfiksia Kondisi di provinsi Riau, data by name bumil risti memang tidak ada di provinsi, hanya sebatas jumlahnya. Namun beberapa bulan terakhir ini, dari provinsi meminta setiap ada kematian ibu dan bayi, dikirim data by name dan hasil autopsy. Kalau jumlah bumil risti Æ diasumsikan 24%. Tanggapan dari Bu Hartati: Data‐data yang selama ini dikumpulkan itu tidak benar‐benar dibuat dari kondisi sesungguhnya di lapangan. Data pun asal kirim Æ tidak dengan analisis data terlebih dahulu. Selama ini Puskesmas itu masih kurang berfungsi dalam surveilans ini. Dapat dikatakan surveilans ini titik lemahnya yaitu di Puskesmas. Kendalanya selama ini, kalau melatih orang dari kabupaten, sering tidak sampai ke puskesmas. Masukan dari Bu Mahmuda, Subdin KIA Provinsi Riau: ‐ 7 ‐
Sistem pelaporan di Riau belum terintegrasi. Pernah diadakan pertemuan mengenai penyusunan sistem pencatatan dan pelaporan, tapi sampai sekarang belum ada kesepakatan. Masukan dari Bu Hartati: Sering terjadi right man on the wrong place. Struktur‐struktur organisasi di dinkes kabupaten tidak sesuai dengan fungsinya. Misalnya saja seorang non lulusan kesehatan menjadi kepala bidang, dsb, sehingga program di bidang tersebut menjadi tidak terlalu diperhatikan. Tanggapan dari Bu Dewi: Perlu didiskusikan antara UGM dan depkes mengenai sistem rekrutmen untuk pengadaan tenaga pegawai. Pertanyaan dari Bu Dewi: Bagaimana dengan misalnya kasus BBLR. Dimanakah pencegahan primer seharusnya dilakukan? Di WUS. Apakah ada pendataan WUS di provinsi? Jawaban dari Bu Hartati: Selama ini pengumpulan data WUS, justru PLKB itu mencari data ke puskesmas. Jawaban dari BKKBN: Masih melakukan pendataan WUS di provinsi. Mengenai masalah data, semenjak diserahkan BKKBN dab kota ke pemerintah daerah Æ kekurangan SDM. Ini merupakan salah satu hambatan dalam menjalankan program. Tanggapan dari Bu Dewi: Seharusnya ada pendataan untuk WUS dengan risiko, misal: WUS dengan KEK, WUS dengan anemia. Tanggapan dari BKKBN Lintas sektor ini harus diberi semacam petunjuk teknis, mengenai masalah data, penggunaan data, serta respon yang hendak dijalankan. Masukan dari Bu Mahmuda: Memberikan contoh lintas sektor. Untuk pasangan yang hendak menikah, setelah dari KUA, pihak KUA menganjurkan pasangan calon penganten untuk konsultasi ke bagian caten di puskesmas (ada KIE untuk caten). Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Petanyaan dan tanggapan Bu Hartati: Minta diterangkan contoh konkrit untuk peranan lintas sektor. Secara teori Æ deteksi WUS dengan anemia, bisa dibuat program skrining anemia (cek Hb) di sekolah. Tapi yang terjadi, saat advokasi ke stakeholder, orang yang dituju tidak benar‐benar mengerti esensi dari program yang diajukan. Jawaban dari Bu Dewi ‐ 8 ‐
Memberikan gambaran mengenai program kranisasi di Kota Jogja dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat DBD, merupakan kerjasama dengan dinas PU. Masukan dari Bu Bapeda Untuk perencanaan di daerah, bappeda sudah melibatkan SKPD terkait. Mungkin ke depannya bagaimana masing‐masing SKPD yang vital ini terlatih dalam mengelola anggaran yang besar. Bu Dewi Yang diharapkan yaitu adanya perencanaan anggaran berbasis data Æ pengumpulan data itu supaya ada fungsinya, tidak sekedar menjadi tumpukan data, tetapi untuk kemudian diolah dan dianalisis sehingga dapat menghasilkan informasi, dan informasi tersebut dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam perencanaan anggaran di periode berikutnya. Ibu Bappeda Untuk RKA mungkin bukan tupoksinya bappeda, tapi keuangan. Kalo bappeda itu di perencanaan kegiatan. Dilakukan training untuk bappeda dan dari dinkes. Di dinkes ini seharusnya ada koordinasi untuk kegiatan perencanaan. Sesi III Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Disampaikan oleh drg. Dewi Marhaeni DH, M.Si Pada dasarnya, konsep PWS hampir sama dengan surveilans. Dilakukan pemantauan dengan cara mendengar, melihat, merekam, dan mengamati, kemudian hasil pemantauan itu dianalisis sehingga dihasilkan informasi berupa penyebab dan cara penyelesaiannya, untuk kemudian ditindaklanjuti. Di antara tahun 1990 – 1997 PWS berhasil dijalankan oleh bidang kesehatan, dan sudah digunakan pula oleh dinas lainnya seperti depdagri, BKKBN, dan deptan. Pada 1997 – 2007, setelah terjadinya krisis multidimensi, PWS yang telah berjalan menjadi berantakan. Dan pada tahun 2007 ini kemudian direncanakan suatu penerapan kembali PWS. Yang penting dari penerapan PWS ini yaitu menekankan adanya minilokakarya untuk membicarakan hasil analisis data, untuk menyusun tindak lanjut, dan kemudian dari tindak lanjut itu akan diberikan umpan balik. Hasil pertemuan analisis data dilakukan tiap bulan di tingkat Puskesmas, kemudian hasil pertemuan itu dilaporkan ke dinkes kabupaten/kota dan kepada camat. Maksud dari pelaporan ke dinkes kabupaten/kota yaitu untuk menyelesaikan masalah kesehatan dan ke camat untuk masalah non kesehatan (lintas sektor). Masing‐masing dinkes kabupaten/kota akan membicarakan lebih lanjut pada pertemuan antara dinkes, dokter, dan puskesmas, sedangkan untuk masing‐masing camat untuk dibicarakan dengan kepala desa di bawah pimpinannya. Perbedaan dari PWS yang dulu dan sekarang yaitu pada PWS sekarang ini ada tambahan di peserta KB aktif, kunjungan bayi, dan pelayanan balita. Diskusi Tanggapan ‐ 9 ‐
Camat tidak mengerti untuk apa data PWS ini dikirimkan kepada mereka. Bu Dewi Contoh kasus di Bantul, bupati sangat perhatian dengan masalah kesehatan ibu dan memberikan reward 200juta bagi desa yang bebas 4 masalah kesehatan. Bupati sampai mengecek ke camat apakah dia mengerti kondisi kesehatan di daerahnya. Sehingga menjadi motivasi untuk para camat, untuk lebih aktif dalam mengurus masalah KIA. Ada positifnya, dan ada negatifnya juga Æ pada kasus yang tidak benar‐benar risti, camat seperti mengejar‐ngejar bidan untuk merujuk sang ibu risti tersebut. Padahal persalinan tersebut masih dapat ditolong oleh bidan. Jadi disini ditekankan bahwa peranan dinkes penting dalam mengadvokasi kepala daerah untuk lebih concern dalam masalah kesehatan. Info dari Pak Suseno Di Siak dinilai cukup berhasil dalam program ibu dan anak, sehingga dijadikan salah satu daerah percontohan. Reformasi yang dilakukan di Siak cukup baik untuk masalah kesehatan ibu dan anak. Barangkali kuncinya yaitu pemimpin tertinggi ini mengerti masalah ini dan berkomitmen terhadap masalah kesehatan ibu dan anak. Info dari Bu Hartati Di Siak itu kepala dinasnya asisten satu, sehingga hubungan dengan kepala daerah baik. Sehingga otomatis untuk melobi kepala daerah supaya peduli pada masalah kesehatan cenderung lebih mudah. Info dari Pak Suseno Reformasi di siak sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam konteks ini, yang ingin ditekankan yaitu komitmen dari kepala daerah. Masukan dari BKKBN Kita bisa kembali ke masa lalu, yaitu memberlakukan 8 sukses dari pemerintah daerah. Saat itu semua kepala daerah mengerti benar isi dari 8 sukses itu, dan Perguruan tinggi dapat mengadvokasi ke mendagri supaya 8 sukses diberlakukan kembali. Tanggapan dari Bu Bappeda Setuju dengan pernyataan dari pak Suseno. Yang penting adalah kita mempelajari proses yang berlangsung. Bu Dewi Contoh kasus bumil dengan kelainan darah, yang Hb‐nya 6. Begitu mau melahirkan, suami menginfokan kepada bidan desa, ambulan desa, dsb sehingga akhirnya ibu itu dapat terselamatkan. Ini berkat kesiagaan dari masyarakat serta petugas kesehatan setempat. Masukan dari Bu Hartati ‐ 10 ‐
Bagaimana untuk pelaksanaan AMP untuk tempat‐tempat yang jauh? Bagaimana solusinya? Mestinya disediakan format atau konsep AMP yang dapat dilakukan oleh dokter di Puskesmas yang jauh‐jauh itu. Untuk mengajari dokter tentang konsep AMP,bisa saja, tetapi dalam waktu dekat ini nanti dokternya sudah hilang, karena dokternya kebanyakan dokter PTT, jadi tidak ada regenerasi lebih lanjut. KLB itu pun dananya terbatas. Sesi IV Analisis Data dan Diseminasi Informasi Disampaikan oleh Raharjo, ST Pada sesi ini dipaparkan mengenai pentingnya peranan data dalam surveilans. Data‐data yang ada seharusnya tidak sekedar menjadi tumpukan data, tetapi dapat diolah lebih lanjut dan dianalisis sehingga dihasilkan informasi. Informasi tersebut, yang mungkin selama ini hanya ditempelkan di ruang rapat, atau kantor kepala dinas kesehatan, dapat lebih disebarluaskan dengan buletin epidemiologi. Supaya informasi bisa lebih tersebar luas, dan dengan biaya yang lebih minimal, maka buletin tersebut dapat memanfaatkan fasilitas di dunia maya. Pak Raharjo menampilkan contoh buletin elektronik serta software untuk pengolahan data KIA. Kesimpulan Berikut beberapa kondisi surveilans KIA di provinsi Riau: 1. Unit surveilans dalam struktur kedinasan a. Belum terdapat UPT khusus yang mengurus surveilans di provinsi Riau. b. Selama ini surveilans masih berada di bawah subdin P2M, dan surveilans yang dilakukan sebatas penyakit menular. c. Orang‐orang yang duduk di struktur kedinasan masih dirasa kurang tepat dengan fungsi yang ditempatinya tersebut, sehingga fungsi tersebut belum dijalankan dengan optimal. 2. Anggaran untuk surveilans KIA Provinsi Riau, meskipun dikenal sebagai daerah dengan pendapatan tinggi, belum ada alokasi dari APBD untuk dana surveilans. 3. Pelaksanaan surveilans lintas program dan lintas sektor a. Surveilans yang dilaksanakan masih terkotak‐kotak di masing‐masing program, belum melibatkan lintas program dan lintas sektor. Salah satu contoh yaitu cakupan KN1 tinggi tetapi cakupan imunisasi hepatitis hari 0‐7 masih rendah. b. Lintas sektor dalam KIA, misalnya antara KUA dengan konseling caten sudah tidak berjalan lagi. c. Komitmen dari kepala daerah mengenai masalah kesehatan masih kurang. 4. Penyakit prioritas pada surveilans Penyakit prioritas untuk KIA yaitu perdarahan pasca persalinan dan BBLR. Pemilihan penyakit prioritas berdasarkan angka kesakitan dan kematian yang terbanyak. Penyakit prioritas untuk penyakit menular masih tidak menentu, tergantung di mana ada bantuan anggaran. ‐ 11 ‐
5. Fungsi pokok surveilans a. Deteksi kasus, registrasi, konfirmasi, pelaporan i. Belum ada data pasti mengenai jumlah bumil risti, selama ini jumlahnya masih merupakan asumsi. ii. Sudah mulai dilakukan pencatatan serta autopsi kasus kematian ibu dan anak selama 6 bulan terakhir, dan data tersebut disimpan oleh dinkes provinsi. iii. Selama ini sebagian data yang dikirim dari kabupaten/kota ke provinsi, maupun dari puskesmas ke kabupaten/kota, bukan merupakan data riil. Pengiriman data masih dengan media kertas dan berupa data mentah yang belum dianalisis. iv. Puskesmas masih dirasakan sebagai titik lemah dalam pengumpulan data. Salah satu kendalanya yaitu pelatihan dan bimbingan teknis yang diberikan dari provinsi ke kabupaten/kota belum tentu dapat disebarluaskan ke seluruh puskesmas. v. Sistem pelaporan di provinsi Riau belum terintegrasi, laporan yang terkumpul pun belum mengikuti format yang telah dibakukan, padahal format baku tersebut sudah disosialisasikan sejak tahun 2007. vi. Pelaporan data yang masuk tidak tepat waktu sehingga menghambat untuk penganalisisannya. vii. Selama ini pelaksanaan pendataan mengenai WUS belum maksimal, salah satu kendalanya yaitu kekurangan SDM di BKKBN. Pendataan WUS berisiko pun belum dilaksanakan. b. Analisis data c. Respon segera i. Selama ini AMP dilaksanakan setahun sekali. Pelaksanaan AMP untuk tempat‐ tempat tertentu mengalami hambatan dalam hal jarak, yang mengakibatkan tidak semua kasus diaudit. d. Respon terencana i. Selama ini belum dilaksanakan musrenbang yang melibatkan kepala puskesmas di tingkat kecamatan. ii. e. Feedback i. Subdin Yankes sudah memiliki buletin elektronik yang berisikan berita‐berita kesehatan, dengan waktu penerbitan yang belum rutin, tetapi minimal enam bulan sekali diterbitkan berita baru. Dinkes provinsi Riau pun sudah memiliki web. 6. Lain‐lain a. Mengenai kebutuhan software KIA, pihak provinsi menyatakan mungkin perlu tetapi hasilnya akan sama saja bila sosialisasi dari provinsi ke kabupaten/kota dan dari kabupaten/kota ke puskesmas tidak berjalan baik. b. Inti permasalahan yaitu motivasi masing‐masing unsur yang terlibat dalam KIA ini untuk melakukan perubahan. ‐ 12 ‐
c. Mengusulkan kepada pihak PMPK UGM untuk advokasi ke depkes mengenai pemberlakuan kembali 8 sukses d. Mengusulkan agar pihak PMPK UGM untuk advokasi ke depkes mengenai format AMP yang dapat dilakukan oleh dokter Puskesmas. Dari tim PMPK FK UGM memberikan rekomendasi langkah yang dapat ditempuh oleh Provinsi Riau sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Surveilans dilakukan secara terintegrasi lintas bidang dan melibatkan peranan lintas sektor. Perlu disusun suatu UPT surveilans di provinsi, dan kabupaten/kota Dibentuk satu tim penyusun buletin epidemiologi, baik untuk tim teknis maupun tim isi. Pengolahan dan analisis data PWS dan AMP ini harus diikuti oleh respon segera dan terencana. Pelaku respon ini tidak hanya dari dinkes, tetapi juga melibatkan lintas sektor. Advokasi kepada pemerintah daerah khususnya kepala daerah merupakan langkah kunci yang dapat membuka jalan dalam hal penguatan surveilans KIA. Provinsi perlu memberikan sosialisasi lagi mengenai sistem surveilans – respons KIA. Peranan provinsi penting dalam memberikan bimbingan teknis kepada kabupaten/kota. Pendataan yang dilakukan harus lebih terperinci, terutama untuk data by name bumil risti, karena dapat bermanfaat guna pemantauan kondisi serta dapat dijadikan acuan dalam pengajuan anggaran.
B. Dinkes Kabupaten Kampar Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan selama 1 hari pada tanggal 11 September 2008, pukul 09.00 – 15.30, bertempat di kantor Dinkes Kabupaten Kampar. Peserta Kegiatan ini dihadiri oleh 19 orang staf Dinkes Provinsi Riau. Adapun yang hadir adalah: 1. Darusman – Kasie KIA Dinkes Kab Kampar 2. Dra. Susi M – Dinkes Kab Kampar 3. Drg. Yusi Prastiningsih – Kepala PKM Kampar 4. Dr. Yessi Jul – Kepala PKM Bangkinang I 5. Nurwati – Puskesmas Kampar 6. Asmiarty – Puskesmas Bangkinang 7. Tin Gustina, SKM, M.Kes – Seksi Surveilans Dinkes Kab Kampar 8. Essy Desmita, SKM – Dinkes Kab Kampar 9. Warmawati – Dinkes Kab Kampar 10. Herlina – Dinkes Kab Kampar 11. Murniwaty – IBI Kab Kampar 12. Dwi Astuti – Disnakerduk Kab Kampar 13. Rinaldi Irwan, Apt – Yankes Dinkes Kab Kampar 14. Herlyn Rahmola, SKM – Kasubdin PK Dinkes Kab Kampar 15. Didi Dwiantoro, B.Sc – Koordinator DHS Kab Kampar ‐ 13 ‐
16. Harun – Staf KIA/DHS Kab Kampar 17. Mega Sabrina, SKM – Staf Seksi KIA KB Kab Kampar 18. Katerina Sebayang – Staf seksi Gizi UKS Kab Kampar Sosialisasi Proyek Penguatan Surveilans – Respons KIA Agenda pertama yaitu sosialisasi proyek, dihadiri oleh Kadinkes Kabupaten Kampar Ahmad Hanevi, SKM, drg. Dewi MDH, M.Si selaku konsultan utama, Raharjo, ST selaku ahli IT, FX Soeseno dari DHS, ibu Dian dan ibu Ika Irawati selaku co‐trainer dari provinsi Riau, dan Likke selaku asisten konsultan. Pertama tama, pak Suseno memberikan penjelasan mengenai program DHS untuk pengembangan surveilans – respons KIA, agenda acara kunjungan pertama ke Provinsi Riau serta proyek ini yang melibatkan kabupaten Kampar dan Siak sebagai daerah percontohan awal. Bu Dewi memberikan penjelasan mengenai proyek DHS dan kaitannya dengan PMPK FK UGM, juga mengenai pentingnya masalah KIA untuk diatasi. Selama ini masalah KIA merupakan salah satu masalah penting dalam dunia kesehatan, namun data yang selama ini diperoleh masih minim, kalaupun telah ada pun diragukan validitasnya. Untuk itu, perlu dilakukan pengumpulan data semaksimal mungkin seperti yang telah diterapkan oleh Depkes yaitu menggunakan PWS dan AMP. Namun tidak sebatas pengumpulan data, data tersebut kemudian dianalisis, hasil analisis dapat dijadikan pedoman dalam melakukan respon segera dan terencana, dan hasil tersebut dapat didiseminasikan dalam bentuk buletin epidemiologi. Sebagai tanggapan terhadap penjelasan dari tim DHS dan tim PMPK FK UGM, Kadinkes kabupaten Kampar memaparkan kondisi surveilans KIA di daerahnya. 1. Dalam struktur kedinasan, surveilans masih berada di bawah bidang P2M 2. Dalam hal anggaran, selama ini sama sekali tidak ada dana untuk surveilans. 3. Pelaksanaan surveilans untuk penyakit menular di kabupaten Kampar belum maksimal, terlebih lagi untuk surveilans KIA. 4. Data mengenai KIA cukup lengkap, dan 75% data dapat dipercaya kevalidannya. 5. Angka kematian ibu selama tahun 2007, jumlah absolutnya < 50, dan bila dikonversi diperoleh AKI 122/100000 kelahiran hidup. Angka tersebut lebih rendah dari target Indonesia yaitu 125. 6. Tren angka kematian ibu cukup variatif, dan tahun 2007 ini meningkat. 7. Budaya masyarakat masih sangat kental, masih banyak yang beranggapan bahwa lebih baik meninggal di rumah sendiri daripada di rumah sakit Æ hal ini mengakibatkan rendahnya tingkat rujukan ke rumah sakit atau sarana yang memadahi. 8. Sudah dilakukan pelatihan untuk bidan dan kader, dalam rangka peningkatan Poskesdes. Setelah memaparkan hal‐hal tersebut di atas, Kadinkes menegaskan bahwa sangat menerima adanya program peningkatan surveilans KIA di kabupaten Kampar. Beliau menyatakan bahwa dalam segi anggaran tidak begitu masalah serta dukungan dari kepala daerah untuk masalah kesehatan pun baik. ‐ 14 ‐
Pelatihan Peningkatan Kapasitas Dinas Kesehatan dalam Penyelenggaraan Sistem Surveilans – Respons KIA Agenda kedua yaitu pelatihan bagi staf terkait mengenai penguatan surveilans – respons KIA di dinas kesehatan provinsi Riau. Topik‐topik yang diusung dalam pelatihan ini yaitu mengenai surveilans dalam era desentralisasi, penetapan penyakit prioritas dalam surveilans – respons KIA, pelaksanaan 8 fungsi pokok surveilans, dan PWS yang dibawakan oleh drg. Dewi Marhaeni DH, M.Si, serta analisis data dan diseminasi informasi yang dibawakan oleh Raharjo, ST; keduanya dari tim UGM. Dalam agenda kedua ini banyak dilakukan diskusi antara pemateri dan peserta pelatihan, juga antara peserta pelatihan sendiri. Acara pelatihan ini dibuka oleh Wakadinkes Kabupaten Kampar, karena Kadinkes berhalangan untuk hadir. Wakadinkes memaparkan bahwa angka kematian ibu, bayi dan balita merupakan indikator dalam pembangunan di bidang kesehatan. Tahun 2002 pernah mencoba melakukan survey dengan dana DHS Æ angka kematian ibu dan bayi lebih tinggi dari nasional, tapi angka nasional saat itu adalah angka yang tidak update. Dengan adanya proyek penguatan surveilans KIA ini, diharapkan masalah dalam data bisa terpecahkan, data yang diperoleh bisa lebih akurat, dan pada akhirnya diperoleh hasil akhir berupa penurunan angka kematian Ibu, angka kematian bayi dan balita. Diskusi Info dari Bu Yesi Selama ini jika ada kasus, kemudian dirujuk, tapi tidak pernah di follow up hasil dari kasus rujukan itu. Masalah yang ada yaitu jauhnya jarak antara puskesmas dan kabupaten, yang menghalangi proses pengiriman data (kekurangan angggaran. Info dari Pak Darus Selama ini data‐data yang ada itu sudah dipetakan tapi tampilan yang ada itu pada tiap area puskesmas. Misal ada sesuatu kasus pada desa A, mapping yang keluar itu seakan‐akan ada kasus pada seluruh area puskesmas, jadi intervensi yang diberikan kurang bisa terfokus pada desa yang dimaksud. Info dari Bu Nety Gambaran pelaporan data selama ini: W2 Æ laporan bulanan yang dirinci per minggu, harusnya laporan mingguan W1 Æ dilaporkan kalau sudah menjadi KLB Dulu pernah ada siknas dari pusdatin, tapi sekarang sudah rusak. Pertanyaan dari Pak Suseno Menanyakan apakah ada perbedaan antara pencatatan yang dulu dengan yang baru ini? Jawaban Bu Dewi Intinya kalau proses pencatatan sudah jalan, data‐data ini sudah ada, maka dapat diolah sedemikian rupa sehingga menjadi yang informatif. ‐ 15 ‐
Tanggapan Menanyakan laporan ini tujuannya untuk apa. Pernah suatu kasus, laporan itu tujuannya untuk disajikan, tapi bukan pemaparan data riil dan permasalahannya, data dibuat tampak bagus sehingga di daerah tersebut ada kunjungan dari pembuat keputusan. Bu Dian, co‐trainer dari Provinsi Riau Harapan dari provinsi, surveilans dilakukan tidak hanya pada bidang P2M, tetapi juga di bidang KIA. Bu Ika, co‐trainer dari Provinsi Riau Perlu lebih memperketat pengamatan bumil dan anak. Untuk masalah tetanus neonatorum, kabupaten Kampar selama tahun 2007 angka kesakitan karena tetanus neonatorum cukup tinggi. Dan tetap dikhawatirkan ada under‐reporting. Kesimpulan Berikut beberapa kondisi surveilans KIA di kabupaten Kampar: 1. Unit surveilans dalam struktur kedinasan e. Belum terdapat UPT khusus yang mengurus surveilans di kabupaten Kampar. f. Selama ini surveilans masih berada di bawah subdin P2M, dan surveilans yang dilakukan sebatas penyakit menular. g. Pelaksanaan surveilans penyakit menular belum maksimal. Surveilans KIA sama sekali belum dilakukan. 2. Anggaran untuk surveilans KIA Sama sekali tidak ada anggaran khusus untuk surveilans. Dana yang ada dialokasikan per program. 3. Pelaksanaan surveilans lintas program dan lintas sektor a. Surveilans yang dilaksanakan masih terkotak‐kotak di masing‐masing program, belum melibatkan lintas program dan lintas sektor. b. Komitmen dari kepala daerah mengenai masalah kesehatan baik. 4. Penyakit prioritas pada surveilans Penyakit prioritas untuk KIA yaitu perdarahan pasca persalinan dan BBLR. Pemilihan penyakit prioritas berdasarkan angka kesakitan dan kematian yang terbanyak. 5. Fungsi pokok surveilans a. Deteksi kasus, registrasi, konfirmasi, pelaporan i. Sudah ada data KIA yang dianggap valid 75% ii. Belum ada data kematian ibu dan anak di dinkes kabupaten. iii. Selama ini sebagian data yang dikirim dari kabupaten/kota ke provinsi, maupun dari puskesmas ke kabupaten/kota, bukan merupakan data riil. Pengiriman data masih dengan media kertas dan berupa data mentah yang belum dianalisis. iv. Pelaporan mingguan masih belum dikirim rutin per minggu (laporan W1 yang seharusnya dikirim per minggu dikirimkan bulanan yang dirinci tiap minggu) ‐ 16 ‐
v.
b.
c.
d.
e.
Pelaporan data yang masuk tidak tepat waktu sehingga menghambat untuk penganalisisannya. Biasanya pelaporan baru dimasukkan kalau terjadi KLB. vi. Belum ada pendataan mengenai WUS. Analisis data i. Analisis data sudah dilakukan dan dibuat pemetaan, tetapi pemetaan yang ada itu baru sebatas tingkat Puskesmas. Respon segera i. Selama ini AMP dilaksanakan setahun sekali. Pelaksanaan AMP untuk tempat‐ tempat tertentu mengalami hambatan dalam hal jarak, yang mengakibatkan tidak semua kasus diaudit. Respon terencana i. Selama ini belum dilaksanakan musrenbang yang melibatkan kepala puskesmas di tingkat kecamatan. Feedback i. Belum ada buletin epidemiologi. ii. Untuk pembuatan buletin online ini pihak kabupaten Kampar menyatakan memiliki kesulitan dalam hal jaringan internet.
Tim PMPK FK UGM memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
Surveilans dilakukan secara terintegrasi lintas bidang dan melibatkan peranan lintas sektor. Perlu disusun suatu UPT surveilans di provinsi, dan kabupaten/kota Dibentuk satu tim penyusun buletin epidemiologi, baik untuk tim teknis maupun tim isi. Pengolahan dan analisis data PWS dan AMP ini harus diikuti oleh respon segera dan terencana. Pelaku respon ini tidak hanya dari dinkes, tetapi juga melibatkan lintas sektor. Advokasi kepada pemerintah daerah khususnya kepala daerah merupakan langkah kunci yang dapat membuka jalan dalam hal penguatan surveilans KIA. Peranan provinsi penting dalam memberikan bimbingan teknis kepada kabupaten/kota. Pendataan yang dilakukan harus lebih terperinci, terutama untuk data by name bumil risti, karena dapat bermanfaat guna pemantauan kondisi serta dapat dijadikan acuan dalam pengajuan anggaran. Mulai dari bidan desa dapat mulai menyusun perencanaan untuk diajukan ke musrenbang tingkat desa, kepala puskesmas juga menyusun perencanaan untuk diajukan ke musrenbang tingkat kecamatan, dan seterusnya.
‐ 17 ‐
C. Dinkes Kabupaten Siak Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan selama 1 hari pada tanggal 12 September 2008, pukul 09.00 – 15.00, bertempat di kantor Bupati Siak. Peserta Kegiatan ini dihadiri oleh 20 orang staf Dinkes Kabupaten Siak, serta lintas sektor terkait. Adapun yang hadir adalah: 1. dr. Apdani Sophya – Puskesmas Dayun 2. dr. Formatiur – Puskesmas L. Dalam 3. Elwithra – TP PKK Kab Siak 4. Rozana – Dinkes Kab Siak 5. Febita W, Amd.Keb – Puskesmas Bt. Hilir 6. Dewi Sahita – Dinkes Kab Siak 7. Khairani Hasyim, SKM, M.Si – Dinkes Kab Siak 8. Dr. Margareta – Dinkes Kab Siak 9. Sri Hermiyanti – Dinkes Kab Siak 10. Amsirniah – Dinkes Kab Siak 11. R. Juarisman – Bappeda Kab Siak 12. Adi Rusmanto – Dinkes Kab Siak 13. Dr. Munadirin – Dinkes Kab Siak 14. Khamariah – IBI Kab Siak 15. Wahyuddin – Dinkes Kab Siak 16. Defry Arya Guna – Dinkes Kab Siak 17. Badarian – Puskesmas Siak 18. Dr. Erwin, Sp.OG – POGI Kab Siak 19. Dr. Didin K – RSUD Kab Siak 20. Tina Haryani – Puskesmas Siak Sosialisasi Proyek Penguatan Surveilans – Respons KIA Agenda pertama yaitu sosialisasi proyek, oleh Kadinkes Kabupaten Siak, drg. Dewi MDH, M.Si selaku konsultan utama, dan FX Soeseno dari DHS. Pada kunjungan ke kabupaten Siak ini, turut serta 2 orang co‐trainer dari Provinsi Riau yaitu dr. Hartati dan ibu Ika Irawati. Bu Dewi memberikan penjelasan mengenai proyek DHS dan kaitannya dengan PMPK FK UGM, juga mengenai pentingnya masalah KIA untuk diatasi. Selama ini masalah KIA merupakan salah satu masalah penting dalam dunia kesehatan, namun data yang selama ini diperoleh masih minim, kalaupun telah ada pun diragukan validitasnya. Untuk itu, perlu dilakukan pengumpulan data semaksimal mungkin seperti yang telah diterapkan oleh Depkes yaitu menggunakan PWS dan AMP. Namun tidak sebatas pengumpulan data, data tersebut kemudian dianalisis, hasil analisis dapat dijadikan pedoman dalam melakukan respon segera dan terencana, dan hasil tersebut dapat didiseminasikan dalam bentuk buletin epidemiologi. ‐ 18 ‐
Pelatihan Peningkatan Kapasitas Dinas Kesehatan dalam Penyelenggaraan Sistem Surveilans – Respons KIA Agenda kedua yaitu pelatihan bagi staf terkait mengenai penguatan surveilans – respons KIA di dinas kesehatan provinsi Riau. Topik‐topik yang diusung dalam pelatihan ini yaitu mengenai surveilans dalam era desentralisasi, penetapan penyakit prioritas dalam surveilans – respons KIA, pelaksanaan 8 fungsi pokok surveilans, dan PWS yang dibawakan oleh drg. Dewi Marhaeni DH, M.Si, serta analisis data dan diseminasi informasi yang dibawakan oleh Raharjo, ST; keduanya dari tim UGM. Dalam agenda kedua ini banyak dilakukan diskusi antara pemateri dan peserta pelatihan, juga antara peserta pelatihan sendiri. Acara pelatihan ini dibuka oleh Kabupaten Siak merupakan salah satu kabupaten percontohan untuk program kemitraan bidan – dukun. Maka dari itu, adanya program penguatan surveilans – respons KIA ini dirasakan bersesuaian jalan dengan kondisi KIA di kabupaten Siak. Diharapkan dengan surveilans KIA yang baik, kondisi KIA di kabupaten Siak akan bertambah baik pula. Berikutnya dipaparkan mengenai kondisi KIA di kabupaten Siak. Program unggulan KIA di kabupaten Siak yaitu kemitraan bidan dan dukun dalam pertolongan persalinan. Tingkat persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan juga meningkat dari 69,8% di tahun 2003 menjadi 88,8% di tahun 2007. Jumlah kasus kematian ibu yaitu 13, 16, 15 dan 11 di tahun 2004 – 2007. Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab terbanyak kasus kematian ibu. Namun demikian, angka ini masih meragukan, diperkirakan masih banyak lagi kasus kematian yang tidak dilaporkan karena persalinan ditolong oleh dukun. Dari angka tersebut, ada 2 kasus kematian dengan penolong perawat. Hal ini perlu evaluasi mengenai kompetensi tenaga kesehatan yang dapat melakukan pertolongan persalinan. Angka kematian bayi berturut‐turut 44, 60, 30, 61 di tahun 2004 – 2007. Penyebab terbanyak kematian bayi yaitu BBLR dan lahir mati. Untuk kasus BBLR ini dari kabupaten Siak telah mengadakan program pemberian susu untuk bumil KEK. Setelah pembukaan oleh Kadinkes Provinsi Riau, acara berlanjut pada pemberian materi yang dibagi menjadi 4 sesi. Diskusi Bu Khaerani Di Siak sudah ada alokasi anggaran dari APBD untuk surveilans, kalau untuk KIA baru ada dana untuk surveilans gizi. APBD mengalokasikan 3,8% untuk bidang kesehatan, dengan nilai 55,4 milyar. Selama ini puskesmas masih 1 RKA, diharapkan tahun 2010 sudah jadi KPA. Untuk Puskesmas diberikan 10 milyar. Pusk ranap 12 juta/bulan, pusk non ranap 10 juta/bulan. Tapi dana ini masih dinilai tidak cukup. Pak Surveilans Di kabupaten Siak masih memprioritaskan untuk DBD. Penyakit tropis seperti filariasis dan TBC juga masih tinggi. Untuk KIA penyakit utama yaitu perdarahan dan BBLR. ‐ 19 ‐
Bu Khaerani Sebagian bidan praktek swasta di Siak sudah melakukan pelaporan. Dinas kabupaten belum memiliki by name risti, hanya rekapan jumlahnya saja. Tapi untuk AMP by name sudah ada. Untuk ke propinsi juga baru memiliki rekap jumlah risti. Bu Khaerani Data yang dipaparkan bu Rani diperoleh dari laporan bulanan, PWS, otopsi kematian. Dari rumah sakit pemerintah juga ada laporan, walaupun tidak langsung, tapi laporan tersebut dari kantong‐kantong persalinan. Begitu pula di rumah sakit swasta, data diperoleh tidak langsung dari kantong‐kantong persalinan (dari bidan yang awalnya melakukan pertolongan persalinan). Tiap kasus kematian ibu, dilakukan AMP, oleh bidan yang bertanggung jawab di daerah tersebut. Kasus AMP didiskusikan tiap setahun sekali, melibatkan dokter spesialis obsgyn dan anak. Bu Dewi Seharusnya AMP itu berupa respon segera, jadi harus dilakukan langsung setiap ada kasus kematian. Informasi dari Kasi Surveilans Di Siak ini ada sudah ada tim DTPS yang merupakan gabungan dari bapeda, dinas, dan dokter ahli. Bu Khaerani Untuk komitmen, Siak menyatakan siap untuk mau menguatkan sistem surveilans respons KIA. Pak Surveilans Selama ini sudah dikembangkan software. Tapi untuk mapping terbentur hanya sampai kecamatan, dan sulit untuk melakukan pemetaan sampai ke desa‐desa Pak Surveilans Selama ini data yang dilaporkan sebenarnya bukan data riil, tapi masih merupakan asumsi. Kesulitan di Siak tingkat pendatang sangat tinggi. Kadang hanya beberapa bulan. Sering datang tidak lapor. Dan justru di daerah tersebut banyak kasus‐kasus kesakitan dan kematian. Bu Hartati Salah satu kendala yang terjadi di lapangan yaitu bidan desa bekerja seperti praktek dokter, hanya menunggu pasien, tidak mendatangi satu persatu dari rumah ke rumah. Seharusnya bidan desa lebih aktif turun ke masyarakat. Bu Rani Sekarang ini ada P4K, dimana kalau ada bumil harus langsung dicatat. ‐ 20 ‐
Bu Hartati Yang penting monitoring dari yang di atas terhadap jalannya bidan desa, tidak ada reward dan punishment. Data yang diserahkan diambil dari data lurah. Jadi intinya, data itu harus dibenahi dari sekarang. Bu Rani Yang ditampilkan oleh Pak Raharjo sangat dibutuhkan, dan kami ingin melakukan hal seperti itu. Apakah disini akan diberikan software itu juga? Pak RSUD Pangkal pokok masalah yaitu masalah data. Pak Suseno Bila kita memiliki data yang akurat, Bila masalah yang kita temukan itu kita tidak mendapatkan perhatian dan respon yang cukup, sama saja tidak ada gunanya. Jadi jangan lupakan masalah respon yang dapat dilakukan. Pak Surveilans Apa yang UGM bawa bukan di awang2. Di sini adalah daerah pemekaran, sehingga ingin mengejar supaya cepat berkembang. Kesulitannya yaitu, keluaran dari puskesmas itu dalam bentuk manual, dan di tingkat lebih atas lagi harus memasukkan data manual juga. Bu Ika Siak memiliki peluang bagus untuk dikembangkan sistem surveilans KIA. Semoga dapat di compile dengan P4K, dsb. Siak memang sering dijadikan percontohan dalam KIA. Bu Rani Langkah pertama apa yang harus dilakukan oleh pihak Siak? Kesimpulan 1. Unit surveilans dalam struktur kedinasan a. Belum terdapat UPT khusus surveilans. b. Selama ini surveilans masih berada di bawah subdin P2M. 2. Anggaran untuk surveilans KIA a. Di Siak sudah ada alokasi anggaran dari APBD untuk surveilans, kalau untuk KIA baru ada dana untuk surveilans gizi. b. APBD mengalokasikan 3,8% untuk bidang kesehatan, dengan nilai 55,4 milyar. 3. Pelaksanaan surveilans lintas program dan lintas sektor ‐ 21 ‐
a. Surveilans lintas program: antara BBLR dan Gizi menerapkan mengenai pemberian PMT untuk bumil KEK. b. Surveilans lintas sektor: belum ada c. Komitmen dari kepala daerah mengenai masalah kesehatan sangat baik. 4. Penyakit prioritas pada surveilans Penyakit prioritas untuk KIA yaitu perdarahan pasca persalinan dan BBLR. Pemilihan penyakit prioritas berdasarkan angka kesakitan dan kematian yang terbanyak. 5. Fungsi pokok surveilans a. Deteksi kasus, registrasi, konfirmasi, pelaporan i. Sebagian bidan praktek swasta di Siak sudah melakukan pelaporan. ii. Dinas kabupaten belum memiliki by name risti, hanya rekapan jumlahnya saja. Tapi untuk AMP by name sudah ada. Untuk ke propinsi juga baru memiliki rekap jumlah risti. iii. Sudah ada data KIA yang cukup valid. iv. Selama ini sebagian data yang dikirim dari kabupaten/kota ke provinsi, maupun dari puskesmas ke kabupaten/kota, bukan merupakan data riil. Pengiriman data masih dengan media kertas dan berupa data mentah yang belum dianalisis. v. Pelaporan data yang masuk tidak tepat waktu sehingga menghambat untuk penganalisisannya. Biasanya pelaporan baru dimasukkan kalau terjadi KLB. vi. Belum ada pendataan mengenai WUS. vii. Data yang dipaparkan bu Rani diperoleh dari laporan bulanan, PWS, otopsi kematian. viii. Dari rumah sakit pemerintah juga ada laporan, walaupun tidak langsung, tapi laporan tersebut dari kantong‐kantong persalinan. ix. Begitu pula di rumah sakit swasta, data diperoleh tidak langsung dari kantong‐ kantong persalinan (dari bidan yang awalnya melakukan pertolongan persalinan). x. Selama ini data yang dilaporkan sebenarnya bukan data riil, tapi masih merupakan asumsi. xi. Kesulitan di Siak tingkat pendatang sangat tinggi. Kadang hanya beberapa bulan. Sering datang tidak lapor. Dan justru di daerah tersebut banyak kasus‐kasus kesakitan dan kematian. xii. Salah satu kendala yang terjadi di lapangan yaitu bidan desa bekerja seperti praktek dokter, hanya menunggu pasien, tidak mendatangi satu persatu dari rumah ke rumah. Seharusnya bidan desa lebih aktif turun ke masyarakat. xiii. Sekarang ini ada P4K, dimana kalau ada bumil harus langsung dicatat. b. Analisis data i. Analisis data sudah dilakukan dan dibuat pemetaan, tetapi pemetaan yang ada itu baru sebatas tingkat Puskesmas. c. Respon segera i. Tiap kasus kematian ibu, dilakukan AMP, oleh bidan yang bertanggung jawab di daerah tersebut. ‐ 22 ‐
ii.
Kasus AMP didiskusikan tiap setahun sekali, melibatkan dokter spesialis obsgyn dan anak. d. Respon terencana i. Selama ini belum dilaksanakan musrenbang yang melibatkan kepala puskesmas di tingkat kecamatan. ii. Di Siak ini ada sudah ada tim DTPS yang merupakan gabungan dari bapeda, dinas, dan dokter ahli. e. Feedback i. Belum ada buletin epidemiologi. ii. Selama ini sudah dikembangkan software. Tapi untuk mapping terbentur hanya sampai kecamatan, dan sulit untuk melakukan pemetaan sampai ke desa‐desa iii. Sudah ada web kabupaten Siak, dinas kesehatan dapat memanfaatkan adanya web tersebut untuk kemudian diterbitkan buletin epidemiologi melalui web tersebut. 6. Lain‐lain i. Tanggapan: Apa yang UGM bawa ini dapat direalisasikan. Di sini adalah daerah pemekaran, sehingga ingin mengejar supaya cepat berkembang. Tim PMPK FK UGM memberikan rekomendasi sebagai berikut: Rekomendasi 1. Diharapkan di Siak ini, karena konsep di kesehatan masih dalam proses, dan dengan dukungan optimal dari pemerintah daerah, dapat dibentuk suatu UPT surveilans. Surveilans dijadikan dalam satu UPT, tidak terpecah‐pecah pada masing‐masing program. 2. Surveilans dilakukan secara terintegrasi lintas bidang dan melibatkan peranan lintas sektor. 3. Advokasi kepada kepala dinas kesehatan. Untuk itu tim KIA dan surveilans harus menyamakan persepsi dan komitmen dalam mengembangkan sistem surveilans KIA. 4. Sosialisasi kembali ke Puskesmas mengenai masalah surveilans. 5. Mengoptimalkan pengumpulan data yang ada yaitu dari PWS dan AMP. Pendataan yang dilakukan harus lebih terperinci, terutama untuk data by name bumil risti, karena dapat bermanfaat guna pemantauan kondisi serta dapat dijadikan acuan dalam pengajuan anggaran. 6. Pengolahan dan analisis data PWS dan AMP ini harus diikuti oleh respon segera dan terencana. Pelaku respon ini tidak hanya dari dinkes, tetapi juga melibatkan lintas sektor. 7. Pembuatan buletin, data yang dibutuhkan sudah ada, hanya tinggal diolah dan dianalisis sehingga menghasilkan informasi. 8. Memanfaatkan web milik kabupaten Siak untuk menampilkan buletin. 9. Dana untuk surveilans dari APBD diharapkan dapat dioptimalkan.
‐ 23 ‐