LAPORAN AKHIR WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACARA ADAT DAN FESTIVAL ADAT DI KOTA SURAKARTA TAHUN 2015
ENGINEERING CONSULTANT PERENCANAAN - PERANCANGAN - PENGAWASAN KONSTRUKSI SURVEY & PEMETAAN - AMDAL - PENELITIAN
MANAJEMEN
JL. KETILENG INDAH BLOK K - 118, TELP (024) 7473307 SEMARANG
i
KATA PENGANTAR Kota Surakarta adalah sebuah kota budaya yang fenomenal, karena dalam perjalanan sejarah panjangnya yang telah mendapai usia hampir 3 abad masih nyata memperlihatkan wajah budaya lamanya ditengah arus globalisasi yang semakin gencar. Penetrasi budaya manca akibat globalisasi disamping membawa modernitas kehidupan kota, akan tetapi juga membawa berbagai kekawatiran tentang terkikisnya budaya lokal – Jawa – yang memang menjadi bawaan kota Surakarta sejak lahir. Kekawatiran ini sangat beralasan mengingat kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan kota Solo menyimpan banyak sekali warisan budaya baik benda maupun tak benda. Di sisi warisan budaya benda, nampaknya telah terlihat adanya berbagai upaya dari pemerintah kota Surakarta untuk melindungi, mempertahankan, dan melestarikannya. Namun untuk warisan budaya tak benda yang antara lain meliputi berbagai praktik sosial, adat istiadat, ritual adat dan festival adat, nampaknya masih belum banyak upaya nyata yang dilakukan oleh pemerintah kota Surakarta. Hal ini dapat dipahami mengingat warisan budaya tak benda langsung bersentuhan dengan denyut nadi kehidupan masyarakat seharihari – yang notabene berada dalam arus globalisasi. Berangkat dari fenomena di atas, maka kajian mengenai warisan budaya tak benda yang diinisiasi pemerintah kota Surakarta ini mendapatkan urgensinya. Kajian ini diharapkan dapat menjadi basis data dan mahan masukan bagi pemerintah kota Surakarta dalam memformulasikan kebijakan di bidang budaya sehingga dapat menopang menguatan daya saing dan kesejahteraan kota seisinya.
Surakarta, November 2015
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………....
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………..............
iii
DAFTAR TABEL ................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
v
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………
1
A. Latar Belakang ………………………………………….. B. Tujuan Studi ………………………………………….. C. Manfaat Studi ………………………………………….
1 4 4
BAB II. WARISAN BUDAYA TAK BENDA ................................. (INTANGIBLE CULTURAL HERITAGE)
6
BAB III. METODE KERJA ............................................................... A. Desain Studi ………………………………………… B. Cakupan Wilayah Penelitian ...................................... C. Data dan Sumbar Data ................................................. D. Tehnik Pengambilan Data ............................................ E. Tehnik Analisis Data ..................................................
12 12 13 13 13 14
BAB. IV. WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACAR ADAT PERNIKAHAN
15
A. B. C. D. E. F. G. H. I.
Nontoni ……………………………………………… Panembung ………………………………………… Peningset …………………………………………. Siraman ………………………………………….. Paes dan Sengkeran ……………………………….. Midodareni ………………………………………… Langkahan …………………………………………. Nikah/Ijab ………………………………………….. Panggih …………………………………………
15 15 16 18 20 22 24 26 26
iii
BAB. V. WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACAR ADAT KELAHIRAN A. Mitoni ……………………………………………… B. Brokohan ………………………………………… C. Puputan …………………………………………. D. Selapanan ………………………………………….. E. Tedhak Siten ………………………………………… F. Slamêtan Satu Tahun dan Slamêtan Nyapih ……….. G. Têtêsan ……………………………………………… H. Upacara Pasah …………………………………….. I. Upacara Sukêran ……………………………………. J. Upacara Sunatan …………………………………… K. Upacara Tingalan ……………………………………
32
BAB. VI. WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACAR ADAT KEMATIAN A. Pemberitaan Lelayu ………………………………… B. Perawatan Jenazah ……………………………… C. Persiapan Pemberangkatan Jenazah …………….. D. Upacara Pemberangkatan Jenazah …………….. E. Pemakaman Jenazah ……………………………….. F. Slametan …………………………………………
44
BAB. VII. WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACAR ADAT 1 SURO, GREBEK BESAR, GREBEK PASA, DAN GREBEK MULUD A. Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Karaton Surakarta …. B. Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Pura Mangkunegaran.. C. Upacara Grebek di Karaton Surakarta ………………
56
BAB. VIII. WARISAN BUDAYA TAK BENDA: BERSIH DESA UPACAR ADAT KEMATIAN A. Sejarah Tradisi Bersih Desa di Kampung Bibis Kulon B. Upacara Bêrsih désa Ngaglik Wanawasa Mojosongo C. Upacara Bêrsih Désa Di Kampung Sabrang Lor Mojosongo D. Fungsi Upacara Bêrsih Désa …………………………
65
33 35 36 38 40 40 40 41 41 41 42
44 44 46 46 47 48
56 59 61
67 74 75 76
iv
BAB. IX. SEBARAN WARISAN BUDAYA TAK BENDA DI KOTA SURAKARTA GREBEK PASA, DAN GREBEK MULUD A. Kecamatan Banjarsari ………………………………. B. Kecamatan Jebres …………………………………… C. Kecamatan Laweyan ……………………………….. D. Kecamatan Pasar Kliwon ………………………….. E. Kecamatan Serengan ………………………………..
78
BAB. X. STRATEGI KONSERVASI DAN PRESERVASI WARISAN BUDAYA TAK BENDA A. Strategi Konservasi dan Preservasi …………………. B. Potensi Daya Saing Daerah ………………………..
83
BAB. X. KESIMPULAN DAN SARAN
92
A. Kesimpulan ………………………………………. B. Saran ……………………….……………………….. DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………….
78 79 80 81 82
83 90
92 93 95
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1. Perlengkapan upacara Paningsêt ........................................
18
Tabel 4.2. Perlengkapan PAÈS ............................................................
21
Tabel 4.3. Catur Wédha .......................................................................
23
Tabel 4.4. Perlengkapan Langkahan
................................................
24
Tabel 4.5. Perlengkapan Panggih .........................................................
28
Tabel 4.6. Perlengkapan Kacar-Kucur ..................................................
29
Tabel 5.1. Upacara pada Anak-anak dan Remaja ................................
40
Tabel 7.1. Perlengkapan Upacara Kirab 1 Suro .................................
57
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1. Model Analisis Interaktif
............................................
14
Gambar 9.1. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Banjarsari..
78
Gambar 9.2. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Jebres .......
79
Gambar 9.3. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Laweyan....
80
Gambar 9.4. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Pasar Kliwon
81
Gambar 9.5. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Serengan......
82
Gambar 10.1. The Four Re and Trans Srtategy for Conservation and Preservation of Intangible Cultural Heritage
76
vi
LAPORAN AKHIR BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kota Surakarta jauh sebelum menjadi wilayah administratif yang berbentuk kotamadya dan kemudian berbentuk kota, adalah sebuah ibukota sebuah kerajaan Mataram Islam yang dipindahkan dari ibukota lama di Kartasura ke desa Sala, yang lalu diganti namannya menjadi Surakarta - lengkapnya Surakarta Hadiningrat – oleh pendiri Karaton Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakoe Boewono II pada tahun 1745. Peristiwa pindahnya ibukota kerajaan yang cikal bakalnya didirikan oleh Panembahan Senapati tahun 1575 itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1745. Saat yang bersejarah tersebut ditandai oleh sabda Sinuhun Pakoe Boewono II kepada Patih Pringgalaya sesaat setelah prosesi perpindahan Karaton selesai: “Adipati Pringgalaya, karsaningsun ing mêngko désa ing Sala ingsun pundhut jênêngé, ingsun karsakaké dadi negaraningsun, ingsun paringi jénêng nagara Surakarta Hadiningrat” (Adipati Pringgalaya, kehendak saya sekarang desa Sala saya ambil namanya, saya inginkan jadi negara saya, saya beri nama negara Surakarta Hadiningrat). Sejak peristiwa pindahnya Karaton tersebut, Surakarta selajutnya berkembang menjadi tidak hanya pusat pemerintahan saja, akan tetapi juga menjadi pusat perdagangan dan industri, pusat budaya, dan bahkan menjadi sebuah peradaban Jawa baru – Surakarta – yang memiliki berbagai karakteristik yang berbeda dengan peradaban Jawa Ngayogyakarta, yang baru dimulai ketika terjadi peritiwa perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Karaton Surakarta Hadiningrat dan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Peradaban Jawa Surakarta ini kemudian makin berkembang seiring dengan perjalanan sejarah Surakarta. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Surakarta tidak lagi berstatus sebagai ibukota kerajaaan, akan tetapi telah berubah status administrasinya menjadi sebuah kota dengan nama kota Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan kota Solo. Sebagai kota dengan rentang umur lebih dari 250 tahun, kota Solo menyimpan kekayaan budaya baik yang berasal dari budaya Jawa sebagai ‘ibu kandung’nya, maupun budaya manca sebagai bagian dari interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik dikalangan penduduknya. Jejak hasil interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik – terutama dilihat dari konteks budaya – dengan budaya dari manca sangat terlihat dari banyak hal, Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
1
LAPORAN AKHIR mulai dari arsitektur kota, arsitektur bangunan, berbagai praktek sosial, hingga perilaku individu seperti cara berbusana, cara berpesta, dan lain sebagainya. Perjalanan panjang budaya Jawa Surakarta yang telah berinteraksi dengan budaya manca yang membawa modernitas ini telah memunculkan barbagai warisan budaya baik yang bersifat kebendaan maupun warisan budaya tak benda. Warisan budaya benda dapat pula disebut sebagai pusaka ragawi (tangible heritage), sedangkan warisan budaya tak benda dapat disebut sebagai pusaka non ragawi (intangible heritage). Di era globalisasi sekarang ini, penetrasi budaya manca terhadap budaya Jawa khususunya di kota Surakarta semakin intens baik melalui makin derasnya aliran barang dan jasa dari luar negeri, maupun melalui peralatan komunikasi yang semakin canggih dan sudah barang tentu internet. Pengaruh budaya manca terhadap kehidupan masyarakat kota Surakarta tidak hanya dari belahan dunia Barat saja, akan tetapi juga dari belahan dunia Timur, Utara, Selatan, maupun Timur Tengah. Wujud dari dampak globalisasi budaya ini tercermin dalam berbagai bentuk pergeseran dan perubahan pola pikir, norma, nilai-nilai, sikap, perilaku, hingga pada adat istiadat di masyarakat. Pergeseran dan perubahan budaya ini mau tidak mau lambat laun juga akan menggerus berbagai bentuk warisan budaya, terutama sekali warisan budaya tak benda. Visi kota Surakarta menurut Perda No. 10 Th. 2001 adalah “Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan pariwisata”.
Sebagai kota budaya, kota Surakarta sudah barang tentu akan sekuat
tenaga berupaya untuk mempertahankan dan melestarikan berbagai warisan budaya baik yang benda maupun yang tak benda. Hal ini jelas tersirat dari penjelasan visi kota Surakarta yang antara lain disebutkan bahwa: “Surakarta
sebagai Kota Budaya
mengandung maksud bahwa pengembangan Kota Surakarta memiliki wawasan budaya dalam arti luas, dimana seluruh komponen masyarakat dalam setiap kegiatannya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, berkepribadian, demokratis-rasional, berkeadilan sosial, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan menegakkan supremasi hukum dalam tatanan masyarakat yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat Kota Surakarta secara individu memiliki moral dan perilaku terpuji, serta budi pekerti luhur, dan secara sosial memiliki budaya komunikasi yang baik, kekerabatan yang akrab dan wawasan budaya yang luas. Selain itu diupayakan pelestarian budaya dalam arti melestarikan, mempertahankan dan mengembangkan seni dan
budaya
yang telah ada serta
melindungi cagar-cagar budaya.” (Perda No: 2 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Surakarta Tahun 2010 – 2025). Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
2
LAPORAN AKHIR Dari penjelasan visi kota Surakarta di atas jelas bahwa pemerintah kota Surakarta sangat peduli dengan keberadaan berbagai aset seni budaya termasuk warisan budaya benda dan tak bendanya. Hal ini antara lain dibuktikan oleh langkah pemerintah kota Surakarta yang menginisiasi proses terbentuknya Jaringan Indonesia
dan
Pelestarian
Pusaka
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk mendeklarasikan
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia (2003) yang menyepakati bahwa: a) Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana; b) Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa; c) Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka tangible (bendawi) dan pusaka intangible (non bendawi); d) Pusaka
saujana
adalah
gabungan
pusaka
alam
dan
pusaka
budaya dalam kesatuan ruang dan waktu; e) Pelestarian adalah
upaya
penelitian, perencanaan,
pengelolaan
perlindungan,
pusaka
melalui kegiatan
pemeliharaan,
pemanfaatan,
pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan,
keserasian, dan
daya dukungnya dalam menjawab
dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas. Selanjutnya pemerintah kota Surakarta melalui Dinas Tata Ruang Kota juga telah menyusun Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) Kota Surakarta pada tahun 2014. Penyusunan RAKP ini antara lain bertujuan untuk (1) mengidentifikasikan potensi aset/atribut pusaka ragawi dan non-ragawi; (2) mendokumentasikan potensi aset pusaka/atribut pusaka ragawi dan non ragawi; serta (3) menetapkan prioritas kawasan pusaka. Untuk warisan budaya tak benda, tahun 2014 pemerintah kota melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga telah melakukan pemetaan intangible heritage. Namun demikian baik RAKP yang disusun DTRK dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di atas tidak secara detail menyajikan deskripsi yang terperinci mengenai tiap-tiap adat istiadat maupun ritual adat yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat kota Solo. Oleh sebab itu, studi ini akan melengkapi kajian mengenai warisan budaya tak benda yang telah ada dengan menyajikan profil warisan budaya tak benda di kota Surakarta secara lebih rinci dan detail. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
3
LAPORAN AKHIR B. Tujuan Studi 1. Mengidentifikasi berbagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta. 2. Mendeskripsikan profil berbagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta lengkap dengan prosedur dan karateristik yang menyertainya. 3. Menganalisis berbagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta yang berpotensi mampu menjadi penopang daya saing daerah sebagai kota budaya terutama di bidang ekonomi, pariwisatan dan sosial budaya. 4.
Merumuskan
strategi
pengembangan kebijakan
terkait
pelestarian
dan pengembangan warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta untuk mendukung perikehidupan.
C. Manfaat Studi 1. Tersedianya data dan informasi mengenai profil berbagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta
potensi budaya
Kota Surakarta. 2. Teridentifikasikannya karakteristik budaya baik fisik dan non fisik sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang terkandung di dalam berbagai Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
4
LAPORAN AKHIR warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup di kota Surakarta. 3. Teridentifikasikannya berbagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta yang berpotensi mampu menjadi penopang daya saing daerah sebagai kota budaya terutama di bidang ekonomi, pariwisatan dan sosial budaya.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
5
LAPORAN AKHIR BAB II WARISAN BUDAYA TAK BENDA (INTANGIBLE CULTURAL HERITAGE)
Kota Surakarta secara monumental tercatat, pada tanggal 25 Oktober 2008 sebagai
tuan rumah dalam
event Menteri
Kebudayaan
dan Pariwisata
Republik Indonesia dalam kegiatan International Conference on World Historic Cities di Solo mendeklarasikan Jaringan
Kota Pusaka
Indonesia
yang
beranggotakan
para Walikota/Bupati Kota/Kabupaten yang memiliki kesejarahan dan aset-aset pusaka kota yang bernilai tinggi. Sejak kelahirannya
hingga tahun
2011 telah
beranggotakan 33 Kota/Kabupaten. Serangkaian pertemuan dan peningkatan kinerja jaringan maupun sumber daya manusia telah diselenggarakan. Di awali dengan pertemuan koordinasi awal di Kota
Surakarta
(tahun 2009), Pra-kongres di
Kota Jakarta Utara dan Barat (tahun 2009), Kongres pertama di Kota Sawahlunto (tahun 2009) serta Rapat Kerja tahunan 2010 di Kota Ternate, Maluku Utara. Pada tahun 2015 diselenggarakan Rapat Kerja tahunan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Akhir tahun 2010, UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya ditetapkan. Dari sisi aset undang-undang ini memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Cakupannya meliputi Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
bagi
sejarah,
ilmu
kebudayaan. Demikian pula dari sisi
pelestariannya, selain perlindungan yang ditingkatkan semakin luas kemungkinan pengembangan dan pemanfaatannya. Mandat UU No. 11 Tahun 2010: Pengembangan Cagar Budaya Seperti di antaranya pada pasal 78 ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan Cagar Budaya dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan di atas akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan masa depan
pusaka-pusaka perkotaan atau urban heritage yang sering kali ditemui
dalam kondisi tidak terawat, terbiarkan dan ada kecenderungan untuk diganti Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
6
LAPORAN AKHIR dengan konstruksi baru yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Dihancurkannya bangunan- bangunan bersejarah menjadi persoalan besar yang banyak dihadapi di kota-kota pusaka di Indonesia. Padahal sebenarnya minat publik bahkan wisatawan terhadap pusaka-pusaka perkotaan (urban heritage) baik alam maupun budaya tangible dan intangible semakin tinggi. Banyak contoh yang ditunjukkan berbagai kota-kota pusaka di dunia, bagaimana pusaka-pusaka
perkotaannya
mampu
dihidupkan dan menghidupi
kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain pusaka-pusaka tersebut mampu secara
ekonomi menghidupi dirinya sendiri. Bahkan tidak sedikit yang telah menjadi
destinasi wisata yang unggul dan memberikan devisa yang terus meningkat. Apalagi
bila
kemudian telah
UNESCO, urban
heritage
ditetapkan
sebagai
Kota
Pusaka
Dunia
oleh
tourism industry semakin maju pesat. Persoalan di
Indonesia, peluang urban heritage tourism belum dikembangkan secara komprehensif, bahkan banyak kota pusaka justru belum menangkap peluang tersebut. Meskipun demikian untuk
ada
beberapa
kota
yang dalam dekade terakhir ini telah berupaya
meningkatkan aset-aset pusaka perkotaannya sebagai destinasi wisata yang
kompetitif, meningkatkan dan menyeimbangkan kemanfaatan ekonomi pusaka budaya perkotaan tangible dan intangible. Pada perkembangannya monumen bersejarah tidak hanya mengenai bangunan tunggal, tetapi juga suatu lingkungan perkotaan. Kemudian, seperti ditetapkan di dalam Konvensi UNESCO, istilah yang digunakan adalah cultural heritage yang menimbang keberadaan suatu monumen serta lingkungannya dari nilai budayanya. Nilai budaya di sini dilihat dari ekspresi yang merupakan hasil cita rasa dari suatu bangsa. Tidak hanya monumen atau bangunan tunggal tetapi juga permukiman atau kawasan pusaka. Demikian pula dalam sebuah tata ruang yang luas termasuk kota. Oleh karenanya cultural heritage yang didefinisikan UNESCO sebagai hasil cipta, karya, karsa dan rasa dari masyarakat atau kelompok, sehingga keberadaanya mampu memberikan identitas bagi masyarakat atau kelompok tersebut (The Convention for the Safeguarding of the Intangiable Cultural Heritage). UNESCO menetapkan untuk menjadi Pusaka Dunia perlu
memenuhi salah
satu atau beberapa kriteria yang telah ditetapkan yaitu kriteria Outstanding Universal Value/OUV (Nilai Keunggulan Sejagad). Ada sepuluh kriteria yaitu: a) to represent a masterpiece of human creative genius; Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
7
LAPORAN AKHIR b) to exhibit an important interchange of human values, over a span of time or within a cultural area of the world, on developments in architecture or technology, monumental arts, town-planning or landscape design; c) to bear a unique or at least exceptional testimony to a cultural tradition or to a civilization which is living or which has disappeared; d) to be an outstanding example of a type of building, architectural or technological ensemble or landscape which illustrates (a) significant stage(s) in human history; e) to be an outstanding example of a traditional human settlement, land-use, or sea-use which is representative of a culture (or cultures), or human interaction with the environment especially when it has become vulnerable under the impact of irreversible change; f) to be directly or tangibly associated with events or living traditions, with ideas, or with beliefs, with artistic and literary works of outstanding universal significance. (The Committee considers that this criterion should preferably be used in conjunction with other criteria); g) to contain superlative natural phenomena or areas of exceptional natural beauty and asthetic importance; h) to be outstanding examples representing major stages of earth's history, including the record of life, significant on-going geological processes in the development of landforms, or significant geomorphic or physiographic features; i)
to be outstanding examples representing significant on-going ecological and biological processes in the evolution and development of terrestrial, fresh water, coastal and marine ecosystems and communities of plants and animals;
j)
to contain the most important and significant natural habitats for in-situ conservation of biological diversity, including those containing threatened species of outstanding universal value from the point of view of science or conservation.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
8
LAPORAN AKHIR Istilah ‘warisan budaya’ telah berkembang pesat selama beberapa dekade ini, yang sebagian merujuk pada instrumen yang dikembangkan oleh UNESCO. Warisan budaya tidak hanya berhenti pada koleksi benda-benda dan monumen saja.Warisan budaya juga meliputi berbagai tradisi dan ekspresi yang masih hidup yang diwariskan dari para pendahulu kita kepada generasi penerus, seperti tradisi oral (oral tradition), seni pertunjukan (performing arts), berbagai praktek sosial (social practices), upacara ritual (rituals), festival/perayaan (festive events),berbagai praktek dan pengetahuan berkenaan dengan alam dan alam semesta (knowledge and practices concerning nature and the universe or the knowledge), dan keahlian untuk menciptakan kerajinan tradisional (skills to produce traditional crafts). (www.unesco.org.uk/culture/ich/en/ what-is-intangeble-heritage-0003) Warisan budaya tak benda adalah sebuah faktor penting dalam menjaga keanekaragaman budaya dalam menghadapi globalisasi yang sedang bertumbuh. Pemahaman mengenai warisan budaya tak benda dari berbagai komunitas yang berbeda-beda bersama-sama dengan dialog antar budaya, selanjutnya akan mendorong sikap saling hormat pada cara hidup yang berbeda. Warisan budaya tak benda juga penting bukan hanya pada perwujudan budayanya itu sendiri tetapi lebih pada kekayaan pengetahuan dan keahlian yang di transmisikan melalui budaya tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai sosial dan ekonomi dari pewarisan pengetahuan ini akan bermanfaat bagi berbagai komunitas sosial dalam sebuah bangsa, dan penting juga bagi pengembangan bangsa di berbagai. UNESCO mendefinisikan, warisan budaya tak benda adalah: 1. Tradisi, kontemporer, dan yang saat ini berlangsung hidup dalam waktu yang sama: warisan budaya tak benda bukan hanya berupa warisan tradisi dari masa lalu saja tetapi juga berbagai praktek perdesaan dan perkotaan kontemporer dimana berbagai kelompok budaya berinteraksi; 2. Inklusif (inclusive): kita dapat berbagi berbagai ekspresi warisan budaya tak benda yang mirip yang juga dipraktekkan oleh komunitas lain. Apakah warisan budaya tersebut dari desa tetangga, dari sebuah kota di belahan dunia lain, ataupun yang telah diserap oleh orang-orang yang bermigrasi dan bertempat tinggal di wilayah berbeda: warisan budaya tersebut juga warisan budaya tak benda: (karena) warisan budaya tersebut telah melewati satu generasi ke generasi berikutnya, telah berkembang dengan merespon Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
9
LAPORAN AKHIR lingkungannya dan berkontribusi dalam memberikan kepekaan identitas dan kontinuitas (sense of identity and continuity) yang menghubungkan masa lalu, melalui masa kini, menuju masa depan. Warisan budaya tak benda tidak mempersoalkan apakah tradisi tertentu merupakan kekhasan dari sebuah budaya, tetapi warisan budaya tak benda berkontribusi pada keeratan sosial, mendorong kepekaan identitas dan tanggung jawab yang membantu setiap individu merasa menjadi bagian atau bukan bagian dari komunitas, dan merasa menjadi bagian dari masyarakat secara luas; 3. Representatif
(representative):
berdasar
perbandingan,
untuk
nilai
eksklusivitas dan nilai pengecualian, warisan budaya tak benda bukan hanya dinilai sebagai sebuah benda budaya. Warisan budaya tak benda berkembang pada basisnya di komunitas dan tergantung pada pengetahuan akan tradisi, keahlian, dan adat yang disebarkan pada komunitas, dari generasi ke generasi, atau ke komunitas lainnya; 4. Berbasis komunitas (community based): warisan budaya tak benda hanya dapat menjadi sebuah warisan (heritage) ketika warisan budaya tersebut dikenal/diterima menciptakan,
oleh merawat,
komunitas, dan
kelompok,
menyebarkannya
atau –
individu
yang
karena
tanpa
pengenalan/penerimaan maka tidak akan ada komunitas lain yang memutuskan bahwa warisan budaya tersebut memang milik mereka dimana ekspresi dan praktek adat tersebut adalah warisan budaya mereka. Selanjutnya UNESCO menyatakan bahwa praktik sosial, uparaca ritual, dan berbagai perayaan adalah aktivitas perilaku yang menyusun kehidupan kelompok masyarakat maupun komunitas dan dapat ditularkan serta relevan bagi kebanyakan anggota masyarakat tersebut. Berbagai praktik sosial, upacara ritual maupun perayaan tersebut penting karena hal tersebut meneguhkan kembali identitas bagi mereka yang melaksanakannya sebagai sebuah kelompok maupun komunitas baik dipertunjukkan secar umum maupun tidak. Berbagai praktik sosial, uparaca ritual, dan perayaan dapat membantu menandai berlalunya sebuah musim, seperti berbagai perayaan yang berkaitan dengan kalender bercocok tanam maupun siklus kehidupan manusia. Berbagai uparcara dan perayaan tersebut sangat berkaitan dengan persepsi dan pandangan hidup komunitas tersebut tentang sejarah dan memori kolektif mereka. Berbagai upacara, praktik sosial, maupun perayaan dapat mengambil bentuk skala yang kecil hingga yang berskala besar. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
10
LAPORAN AKHIR Berbagai perayaan dan ritual seringkali diselenggarakan pada waktu dan lokasi tertentu dan mengingatkan sebuah komunitas akan berbagai aspek sejarah dan pandangan hidupnya. Dalam beberapa kasus, akses ke upacara hanya terbatas untuk anggota komunitas itu saja. Tetapi beberapa perayaan diselenggarakan sebagai bagian penting dari aktivitas publik dan terbuka bagi semua anggota masyarakat. Praktik sosial membentuk kehidupan keseharian dan dimengerti oleh semua anggota komunitas, bahkan apabila tidak setiap orang ikut didalamnya. Konvensi 2003 memberikan prioritas perhatian kepada praktik sosial yang berbeda-beda terutama yang relevan bagi sebuah komunitas dan membantu rasa identitas dan kontinuitas dengan masa lalu. Sebagai contoh, di banyak komunitas, upacara selamat datang bisa bersifat informal, semaentara di tempat lain lebih kental dan ritualistik, berperan sebagai penanda dari masyarakat. Demikian pula, berbagai pemberian ‘kenang-kenangan’ rentangnya bisa dari event tak resmi hingga berkait dengan makna politik, ekonomi, dan sosial. Perayaan, ritual, maupun praaktik sosial mencakup berbagai bentuk yang menajubkan seperti ritus pemujaan, ritus kelahiran,pernikahan, dan kematian, upacara pengambilan sumpah setia, sistem hukum adat, olah raga dan permainan tradisional, perayaan kekerabatan, pola-pola hunian, tradisi kuliner, perayaan musiman, praktik dan perayaan khusus perempuan, tradisi berburu, memancing dan lain sebagainya. Berbagai upacara tersebut juga mencakup berbagai elemen dan ekspresi fisik seperti: ungkapan kalimat dan bahasa tubuh, bacaan-bacaan khusus, nyanyian, tarian, kostum tertentu, prosesi, pengorbanan binatang, dan makanan khusus. Baik praktik sosial, ritual, maupun perayaan sangat dipengaruhi oleh perubahan berbagai komunitas yang hidup di dunia modern karena berbagai praktik sosial dan ritual sangat tergantung pada partisipasi yang luas dari para pelakunya dan juga tergantung pada orang lain di komunitas itu sendiri. Proses seperti migrasi, individualisasi, pengenalan umum tentang pendidikan formal, pengaruh yang semakin besar dari agama-agama di dunia, serta berbagai pengaruh lain dari globalisasi akan memiliki dampak tertentu pada berbagai praktik sosial, ritualm, dan perayaan-perayaan. Viabilitas pratik sosial, ritual, dan berbagai perayaan juga sangat tergantung pada kondisi soisal ekonomi. Tahap persiapan, produksi kostum dan topeng, serta mengundang peserta seringkali sangat mahal dan dapat tidak dapat berkelanjutan ketika ekonomi sedang mengalami penurunan. Mengupayakan kelestarian praktik sosial, ritual dan berbagai perayaan sering juga membutuhkan mobilisasi massa yang besar baik secara individual, sosial, politik, kelembagaan, maupun menurut tatacara yang ada di masyarakat. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
11
LAPORAN AKHIR BAB III METODE KERJA A. Desain Studi Kajian ini didesain sebagai studi deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif pada dasarnya memiliki karakteristik utama yaitu menggambarkan berbagai situasi ataupun kejadian. Disamping itu kajian deskriptif juga bercirikan berupa akumulasi dari sebuah basis data atau data base yang memang semata-mata deskriptif, sehingga dalam penelitian ini tidak perlu mencari ataupun menjelaskan berbagai hubungan, membuat peramalan, menguji hipotesis, atau bahkan mendapatkan makna dan implikasi, meskipun penelitian dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut lebih jauh dan mendalam dengan menggunakan metode-metode deskriptif. Jadi, pada intinya kajian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan berbagai fakta dan karakteristik dari sebuah populasi tertentu ataupun dari topik yang diteliti, secara sistematik, faktual, serta akurat (Isaac & Michael, 1985). Disamping didesain sebagai studi deskriptif, kajian ini juga merupakan kajian kualitatif karena bertujuan lebih pada upaya (i) menggali informasi yang mendalam; (ii) mendeskripsikan dan menjelaskan; serta (iii) mengeksplorasi dan mengintepretasikan; (Lihat juga Leedy, 1997). Penelitian kualitatif dalam prosesnya antara lain dapat memiliki ciri holistik, variabel-variabelnya belum diketahui, paduan penelitiannya bersifat fleksibel, desain penelitiannya dapat muncul bersama proses, dibatasi konteks, maupun bergantung pandangan personal peneliti. Last but not least,
dalam
mengkomunikasikan hasil penelitian, kajian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan kalimat naratif. Studi ini juga mengarah kepada studi survei mengingat tujuan yang akan dicapai antara lain (i) mengumpulkan informasi faktual secara detail yang menggambarkan fenomena yang diteliti; (ii) mengidentifikasi atau mengobservasi berbagai kondisi dan keadaan yang sedah berlangsung; dan (iii) menentukan langkahlangkah berdasar pada temuan studi guna membuat perencanaan maupun pembuatan keputusan di masa datang.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
12
LAPORAN AKHIR B. Cakupan Wilayah Penelitian Studi ini dilaksanakan dalam lingkup wilayah administratif Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan kota Sala atau kota Solo. Dengan demikian seluruh kajian yang dilakukan berada di dalam lingkup wilayah administratif kota Surakarta saja.
C. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan maupun wawancara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder adalah data yang didapat dari sumber tidak langsung misalnya dari laporan hasil penelitian sebelumnya, berbagai publikasi resmi pemerintah, hasil publikasi jurnalisme, maupun dari laman internet yang reliable.
D. Tehnik Pengambilan Data Basis data yang dijadikan dasar kajian ini adalah studi Pemetaan Intangible Heritage tahun 2014 yang di lakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta. Dalam laporan studi ini telah dipetakan berbagai warisan budaya tak benda yang tersebar di seluruh wilayah kota Surakarta dengan kluster per wilayah kecamatan. Dari 5 (lima) jenis warisan budaya tak benda yang dipetakan – yakni adat, kuliner, seni pertunjukan, kesenian, dan kerajinan – maka kajian ini memanfaatkan basis data adat / adat istiadat. Basis data mengenai adat ini kemudian ditelusuri dengan mengirimkan kuesioner kepada seluruh kepala Kelurahan di kota Surakarta untuk memberikan konfirmasi mengenai masih ada (masih hidup) atau tidaknya sebuah praktik sosial adat istiadat, ritual adat, maupun festival adat yang dikategorikan sebagai warisan budaya tak benda di wilayah kelurahan tersebut. Untuk berbagai adat yang belum terekam di dalam basis data hasil pemetaan tahun 2014, maka di dalam kuesioner dimasukkan berdasarkan informasi dan data yang bersumber dari referensi yang sahih, maupun dari informasi dari masyarakat. Mengingat sebagian besar praktik sosial adat istiadat dan ritual adat di kota Surakarta memiliki kesamaan baik dari sisi esensi, tatacata, maupun perlengkapannya, yang merujuk kepada adat istiadat yang berlaku di Keraton Surakarta, maka basis data untuk kebutuhan deskripsi juga akan diambil dari sumber-sumber primer maupun sekunder yang ada di Karaton Surakarta. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
13
LAPORAN AKHIR E. Tehnik Analisis Data Seperti yang telah dikemukakan dimuka, bahwa kajian ini didesain sebagi studi deskriptif kualitatif dimana titik berat tujuannya adalah (i) menggali informasi yang mendalam; (ii)
mendeskripsikan dan menjelaskan; serta (iii) mengeksplorasi dan
mengintepretasikan. Oleh karena itu, tehnik analisis data yang dapat mendukung tujuan tersebut adalah tehnik analisis model interaktif (Miles and Hubermann, dalam Irawan, 1992). Tehnik analisis ini terdiri atas 4 (empat) tahap yaitu (i) pengumpulan data, (ii) reduksi data, (iii) sajian data, dan (iv) verifikasi. Meskipun terdiri atas 4 tahapan, namun analisis model interaktif ini mensyaratkan dikalukannya analisis dilakukan secara berkelanjutan dari awal pengumpulan data hingga proses verifikasi yang berlangsung mulai dari awal hingga akhir. Proses analisisnya menjadi terinteraksi antar komponen dan antar tahapan. Diharapkan dari tehnik analisis ini akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang telah teruji secara selektif dan akurat.
Gambar 3.1. Model Analisis Interaktif. Pengumpulan Data
P
Reduksi Data
D
D Sumber: Miles and Hubermann, 1992.
Warisan Budaya Tak Benda
e n g u m pR u l a n a t a a t a
Sajian Data
e d u k s Penarikan i Kesimpulan/ Verifikasi D
S
a j i a n D a t a
a t a
Halaman
14
LAPORAN AKHIR BAB IV WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACARA ADAT PERNIKAHAN
A. Nontoni Di jaman dahulu sebelum acara Panêmbung atau Lamaran dilaksanakan, ada yang disebut dengan acara Nontoni. Nontoni ini dilakukan karena di masa lalu laki-kali dan perempuan yang akan dijodohkan belum saling mengenal. Nontoni sebenarnya bukan sebuah upacara dalam rangkaian pernikahan, akan tetapi merupakan tradisi yang telah lama berlangsung sebelum orang tua seorang priya melamar atau nêmbung kepada orang tua seorang perempuan dimana anak perempuannya itu dijodohkan dengan anak laki-laki tadi. Di Karaton Surakarta tradisi ini tidak pernah tercatat dalam tatacara adat pernikahan di Karaton, dikarenakan di lingkungan Karaton masa lalu bahwa Rajalah yang memiliki kewenangan penuh menjodohkan putridalêm kepada laki-laki yang dikehendakinya; atau dalam pelaksanaannya tidak memungkinkan karena di masa lalu putridalêm tidak diperkenankan keluar dari lingkungan Karaton (bahkan Keputrèn) tanpa seijin Raja. Nontoni dilaksanakan oleh orang tua seorang laki-laki biasanya dengan mengirim utusan bersama-sama dengan anak laki-kali yang akan dijodohkan untuk bersilaturahmi berkunjung ke rumah orang tua yang memiliki anak perempuan yang akan dijodohkan. Tujuannya agar si laki-laki dapat melihat dan mengenal perempuan yang akan jadi jodohnya nanti – apabila lamarannya diterima – dan sebaliknya si perempuan juga dapat melihat dan mengenal laki-laki yang akan jadi suaminya kelak. Kemudian setelah sampai rumah yang dituju, di tengah silaturahmi anak perempuan tuan rumah diminta keluar sembari menyajikan minuman dan makanan kepada tamunya. Dengan demikian kemudian bisa di perkenalkan sekaligus saling melihat dan mengenal.
B. Panêmbung Setelah ada kemantapan di pihak keluarga orang tua laki-laki – biasanya juga anak laki-laki yang akan dijodohkan – maka kemudian dilakukan upacara Panêmbung atau Lamaran. Inti dari upacara Panêmbung ini adalah orang tua anak laki-laki nêmbung atau melamar kepada orang tua anak perempuan, menyatakan berniat dan berkeinginan untuk ber-bésan-an. Nêmbung dalam bahasa Jawa berarti meminta atau Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
15
LAPORAN AKHIR dengan resmi menyatakan atau meminta sesuatu menggunakan ungkapan kata-kata. Jadi dalam upacara ini kepentingan orang tua yang akan ber-bésan-an. Meskipun dapat dilaksanakan menggunakan ungkapan kata-kata dari orang tua anak laki-laki secara langsung ataupun melalui utusannya, akan lebih kuat apabila ungkapan kata-kata panêmbung tersebut juga diwujudkan dalam bentuk tulisan dalam sebuah surat Panêmbung atau surat Pênglamar. Dengan adanya surat Panêmbung ini dapat dijadikan dasar bagi orang tua anak perempuan untuk membahas dengan anggota keluarga lain untuk mengambil keputusan. Jadi apabila pihak orang tua menggunakan utusan untuk melakukan lamaran ini, maka disamping menyerahkan surat Pênglamar, sebaiknya utusan tersebut mengutarakan dengan kalimat verbal sesuai isi surat Pênglamar tersebut. Biasanya utusan ini lebih dari 1 orang – bisa 3 orang – dimana seorang sebagai pimpinan rombongan sekaligus yang menyerahkan surat Pênglamar, sedangkan 2 lainnya dapat menjadi saksi atas berlangsungya Panêmbung. Setelah berembug dengan anggota keluarga lainya dan setelah membuat keputusan untuk menanggapi surat Panêmbung, maka selanjutnya orang tua anak perempuan membuat surat balasan yang ditujukan kepada orang tua anak laki-laki. Surat balasan ini kemudian diserahkan kepada orang tua anak laki-laki oleh orang tua anak perempuan itu sendiri, atau dapat pula menggunakan utusan. Di Karaton Surakarta, surat Panêmbung biasanya dihaturkan kepada ISKS Pakoe Boewono melalui Pêngageng Putra Sêntana (dulu Kasêntanan, sekarang Kusuma Wandawa), sedangkan balasannya nanti juga akan diserahkan oleh Pêngageng Putra Sêntana atau yang diutus Hingkang Sinuhun.
C. Paningsêt Upacara Paningsêt adalah upacara yang dilakukan oleh orang tua anak laki-laki setelah lamarannya atau panêmbung-nya kepada orang tua anak perempuan yang ingin dijadikan istri diterima secara resmi. Paningset dari kata singsêt yang berarti kencang, jadi paningsêt berarti pengencang. Maksudnya yang dikencangkan adalah lamaran dari orang tua anak laki-laki yang telah diterima dan disepakati oleh orang tua anak perempuan yang dilamar. Oleh sebab itu upacara Paningsêt ini juga disebut sebagai upacara mengencangkan kesepakatan atau haningsêti rêmbag atau srah-srahan paningsêt atau pasrahan paningsêt . Adapula yang menyebut sebagai upacara asok tukon. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
16
LAPORAN AKHIR Menurut KRMH. Yosodipuro, Juru Penerang Kabudayan Karaton Surakarta Hadiningrat, upacara paningsêt ini didasarkan pada pendapat ISKS Pakoe Boewono V dimana paningsêt itu mempunyai makna mengencangkan kesepakatan (haningsêti rêmbag) yang telah bulat antara para orang tua yang akan ber-besanan dengan menikahkan putra putrinya. Jadi sebenarnya upacara ini bermakna menguatkan niat dan pernyataan yang telah diungkapkan pada saat melamar. Wujud dari paningset ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu (1) Paningsêt; (2) Abon-abon; dan (3) Pangiring. Untuk Pangiring isinya merupakan segala perlengkapan yang berkaitan dengan tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan termasuk perlengkapan yang berkaitan dengan kebutuhan wanita dalam berumah tangga. Isinya antara lain bisa perlengkapan kecantikan, perhiasan, perlengkapan busana wanita, dan lain sebagainya. Hal ini melambangkan tanggung jawab seorang suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan rumah tangga pada umumnya. Upacara Paningsêt atau Pasrah Paningsêt ini biasanya diakhiri dengan tukar cincin, yang melambangkan bahwa anak laki-laki dan perempuan telah ‘resmi’ dijodohkan. Seperti yang telah diutarakan dimuka, bahwa cincin dikenakan pada jari manis sebelah kiri. Dimulai dari calon mempelai priya mengenakan cincin ke calon mempelai wanita dahulu, baru kemudian calon mempelai wanita mengenakan cincin ke calon mempelai priya. Perlu disampaikan disini, bahwa di Karaton Surakarta upacara Paningsêt atau Pasrah Paningsêt tidak dilaksanakan dengan menyerahkan atau menghaturkan ubarampe paningset secara lengkap kepada keluarga Raja, akan tetapi hanya menghaturkan ubarampe berupa pisang ayu – suruh ayu saja sebagai simbol paningsêt, dan yang menyerahkan adalah sesepuh dari keluarga calon mempelai pria kepada pramèswari atau permaisuri Raja, yaitu GKR Pakoe Boewono. Menurut penjelasan GKR. Galuh Kencono, salah satu contohnya tradisi ini pernah dilaksanakan ketika berlangsung pernikahan beliau sendiri, maupun ketika berlangsung pernikahannya GKR. Wandansari. Hanya saja karena GKR. Pakoe Boewono XI sudah wafat, maka yang menerima adalah GKR. Alit (putri tertua dari Sinuhun Pakoe Boewono XII).
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
17
LAPORAN AKHIR Tabel 4.1 Perlengkapan upacara Paningsêt No.
Paningsêt
Abon-abon
1
Kalpika atau Sêsupé Sêsêr (Cincin tanpa batu/permata)
Jêram gulung (jeruk bali)
2
Sêtagèn / Paningsêt
Sêkul golong (nasi yang dibentuk bundar sebesar bola tenis)
3
Sindur atau Slindur
Pisang ayu – Suruh ayu (buah pisang raja dan daun sirih yang matêmu rosé)
4
Sêmêkan atau Kêmbên (kain Batik yang dipakai untuk menutupi tubuh wanita dari pinggul hingga dada)
5
Sinjang Truntum (kain batik motif truntum, yaitu dengan gambar bintang yang bertebaran di angkasa)
D. Siraman Siram adalah bahasa Jawa krama inggil yang artinya mandi. Siraman berarti upacara adat memandikan calon mempelai wanita. Upacara ini dilakukan pagi atu sore menjelang malam Midodarèni. Makna tradisi yang terkandung dalam upacara siraman ini, pertama secara fisik membersihkan badan dari berbagai kotoran badan. Kedua, secara simbolik membersihkan segala kotoran jiwa. Jadi siraman merupakan sarana membersihkan diri lahir batin agar mendapatkan keturunan yang baik lahir batinnya. Para peraga yang diminta untuk memandikan calon mempelai wanita adalah para sesepuh yang dianggap sebagai teladan kehidupan bagi mempelai kelak dan dianggap dapat memberikan doa dan restu kepada mempelai, termasuk orang tua calon mempelai. Jumlah para sesepuh yang memandikan calon mempelai wanita biasanya ganjil, mengambil jumlah 9 (sembilan). Jumlah 9 (sembilan) ini merupakan lambang membersihkan babahan hawa sanga atau sembilan lobang yang ada di badan sebagai piranti fisik manusia menuju kesempurnaan hidup. Namun demikian, ada pula yang mengambil jumlah 5 (lima) dengan dasar simbol dari banyaknya hari pasaran (pancawara), atau 7 (tujuh) dengan dasar simbol dari banyaknya hari dalam satu minggu (saptawara). Baik menggunakan dasar simbol pancawara maupun saptawara, inti makna keduanya adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar calon mempelai mendapatkan kebaikan di setiap rentang waktu yang dijalaninya. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
18
LAPORAN AKHIR Air yang dipakai mandi dalam acara siraman biasanya diambil dari sumber air bersih alami seperti sumur, sêndhang, maupun umbul yang ditaburi dengan berbagai jenis bunga (kêmbang sêtaman) seperti mawar, melati dan lain sebagainya sehingga menjadikan air menjadi harum. Gayung yang dipakai – dahulu kala – menggunakan kelapa yang dibelah dua (Tirisan), jadi bukan cangkang kelapa (bathok) atau gayung cangkang kelapa (siwur). Adapun tatacaranya dimulai dari sesepuh yang dianggap paling tua atau paling dihormati, dan kemudian urutan terakhir oleh bapak dari calon mempelai wanita. Setiap sesepuh mengguyurkan air kepada calon mempelai sebanyak 3 (tiga) gayung. Setelah memandikan calon mempelai wanita, bapak melakukan mêcah kêndhi atau mêcah klênthing. Ini hanya diperuntukkan apabila calon mempelai wanita masih gadis. Kêndhi dan klênthing adalah tempat air yang dibuat dari tanah liat. Makna dari mêcah kêndhi ini adalah simbol bahwa orang tua calon mempelai wanita telah merelakan putrinya melepaskan kegadisannya.
Di Karaton Surakarta, calon mempelai pria juga melakukan upacara siraman. Siraman biasanya dilakukan di Dalêm Sasanamulya tempat dimana calon mempelai pria disêngkêr. Disêngkêr artinya calon mempelai tidak boleh meninggalkan lokasi atau tempat menginap sementara yang disediakan oleh calon mertua hingga seluruh rangkaian upacara pernikahan selesai. Upacaranya namanya Sêngkêran. Adapun air yang dipakai untuk memandikan calon mempelai pria pada dasarnya sama jenisnya dengan yang di pakai siraman calon mempelai wanita, hanya saja ditambahkan air yang diambil dari air yang dipakai siraman calon mempelai wanita. Upacara menambahkan atau mencampurkan air siraman calon mempelai wanita dengan air siraman calon mempelai pria ini namanya ‘Manuhakên’. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
19
LAPORAN AKHIR Setelah siraman, calon mempelai wanita kemudian dihalub-halubi atau dibuatkan cêngkorongan paès, yang artinya dibuatkan semacam pola dasar gambar rias untuk paès pêngantèn. Selanjutnya rangkaian uparaca siraman calon mempelai wanita ini diakhiri dengan tradisi makan nasi tumpang (sêkul tumpang) bersama. Makna dari nasi tumpang ini diambil dari kata tumpang yang berarti ditindih, dimana setelah segala kotoran dan hal-hal yang tidak baik telah dibersihkan atau ditindih, maka segera ditindaklanjuti dengan kebaikan-kebaikan.
E. Paès dan Sêngkêran Paès Pêngantèn atau Paès Pengantin juga disebut Makutha Ratu Putri (Mahkota Ratu Putri) Paès adalah rias wajah di bagian atas hidung dan alis yang seolaholah merupakan bentuk asli rambut pada calon mempelai wanita. Paès sendiri terdiri atas 4 (empat) bagian yaitu (i) Gajah, dibagian tengah dan paling besar; (ii) Pêngapit, di samping kanan kiri Gajah, lebih kecil dari Gajah, pipih dan ujungnya tumpul; (iii) Pênitis, di samping kanan kiri Pêngapit, lebih kecil, pipih, dan ujungnya lancip; (iv) Godhèk, paling samping menjurai di depan telinga, memanjang dan lancip. Paès Pêngantèn memiliki makna simbolis tersendiri dan memiliki rangkaian kelengkapan rias antara lain (i) sanggul yang disebut ukêl bokor mêngkurêp rinajut mêlathi acakrik kawung; (ii) cundhuk mêntul; (iii) kalung yang disebut sangsangan wulan tumanggal; (iv) untaian bunga melati yang disebut sêkar tiba dhadha; dan (v) gambar menyerupai lalat yang disebut pêpêthan lalêr méncok, di sebelah hidung. Tiaptiap kelengkapan rias dapat terdiri dari beberapa item rias, dan memiliki makna simbolisnya masing-masing. Makna simbolis selengkapnya dirangkumkan dalam tabel berikut ini. Sadéyan Dhawêt atau jualan dhawêt adalah salah satu rangkaian upacara yang dilakukan setelah Siraman. Uang yang dipakai untuk membeli dhawêt adalah krèwèng. Krèwèng adalah pecahan dari bahan-bahan yang terbuat dari tanah liat yang masih baru, umumnya pecahan genting yang baru. Makna simbolis dari krèwèng ini adalah mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Kedua, merupakan lambang kebersihan hati dari pemangku hajat dan calon mempelai. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
20
LAPORAN AKHIR Tabel 4.2. Perlengkapan PAÈS No.
Paès Pêngantèn dan kelengkapannya
No.
Paès Pêngantèn dan kelengkapannya
1
Paès Pengantèn (Makutha Ratu Putri)
4
Sangsangan Rêmbulan Tumanggal (Kalung dengan bentuk seperti bulan di tanggal muda)
2
Ukêl bokor mêngkurêp rinajut mêlathi acakrik kawung (Sanggul seperti bokor terbalik yang dtutup anyaman bunga melati dengan motif kawung).
5
Sêkar tiba dhadha (untaian bunga melati menjurai hingga ke dada)
3
Cundhuk mêntul (asesoris dari emas ujungnya berupa hiasan hewan-hewan dalam bentuk yang kecil)
6
Pêpêthan lalêr méncok (gambar menyerupai lalat, di sebelah hidung)
Jualan dhawêt dan melayani pembeli dilakukan oleh ibu dari calon mempelai wanita, sedangkan suaminya dibelakangnya memayungi istri dan bertugas menerima pembayaran krèwèng dari para pembeli. Ini melambangkan kegotong-royongan suami istri. Sedangkan makna simbolis dari dhawêt sendiri adalh sebagai berikut (1) Céndhol atau cendol, wujudnya bundar-bundar yang melambangkan menyatunya tekad dalam menjodohkan putrinya; (2) Rasanya yang manis dan gurih, Melambangkan doa dan permohonan kepada Tuhan YME agar mempelai nantinya dapat mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan hidup berumah tangga. Setelah siraman, maka calon mempelai wanita melakukan upacara sêngkêran. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa disêngkêr artinya calon mempelai tidak boleh keluar dari pêkarangan rumah (lingkungan rumah) hingga seluruh rangkaian upacara pernikahan selesai. Sêngkêran memiliki tujuan agar calon mempelai wanita terjaga keselamatannya hingga upacarara pernikahan berlangsung. Perlu disampaikan disini bahwa sêngkêran atas calon mempelai wanita secara ‘resmi’ dimulai setelah upacara siraman meskipun terdapat tradisi di masa lalu, calon mempelai wanita sebenarnya memang dipingit dimana seorang gadis tidak boleh keluar dari lingkungan rumah sebelum mendapatkan jodoh hingga sampai pada acara Panggih. Sêngkêran calon mempelai pria, biasanya dimulai setelah upacara Nyantri atau Ngèngèr kepada calon mertua dimana calon mempelai pria datang ke rumah calon mertua untuk melaporkan kesiapannya untuk dinikahkan sekaligus untuk ‘magang’ atau Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
21
LAPORAN AKHIR semacam tinggal di lingkungan rumah mertua – biasanya di berikan pondokan tersendiri. Upacara siraman sebagai ‘penanda’ dimulainya
sêngkêran sebenarnya
dilandasi filosofi bahwa setelah siraman, calon mempelai telah bersih lahir batinnya, sehingga perlu dijaga agar tidak mendapatkan pengaruh dari hal-hal yang merugikan pernikahan. F. Midodareni Midodarèni atau Malêm Midodarèni adalah sebutan rangkaian upacara yang diadakan di rumah calon mempelai wanita pada malam hari menjelang upacara nikah dan panggih di esok harinya. Inti dari acara ini adalah malam dimana orang tua memberikan wêjangan kepada calon mempelai wanita mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga dan suami istri. Di masa lalu wêjangan dipaparkan dalam bentuk sanépan atau simbol-simbol. Oleh karena itu biasanya yang hadir di Malêm Midodarèni ini kebanyakan adalah para tamu yang sudah sepuh termasuk para sesepuh. Disamping itu di Malêm Midodarèni umumya dipakai untuk melakukan mengecekan terhadap semua persiapan rangkaian upacara pernikahan. Di Malêm Midodarèni ini juga diadakan (i) upacara Jonggolan, (ii) turunnya Kêmbar Mayang, dan (iii) Majêmukan. Kelengkapan atau ubarampé yang menyertai upacara turunnya Kêmbar Mayang ini adalah (i) Kêmbar Mayang satu pasang; (ii) Cêngkir Gadhing 2 (dua) buah; (iii) Pisang Ayu; (iv) Suruh Ayu. Makna Cêngkir Gadhing sudah dijelaskan di depan, sedangkan Pisang Ayu diambil makna simbolisnya dari Tuntut atau badan bunga yang melambangkan jantung manusia sebagai pusat rasa panêmbah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suruh ayu adalah simbol bersatunya rasa antara laki laki dan wanita, simbol doa permohonan semoga diberi keturunan. Perlu disampaikan disini bahwa dalam upacara adat pernikahan di Karaton Surakarta, hanya dilakukan upacara Jonggolan dan Majêmukan saja, sehingga upacara turunnya Kêmbar Mayang tidak diadakan. Kêmbar Mayang akan diikutsertakan pada upacara Kirab Pengantén yang akan dibawa oleh abdidalem Ngulama yang berjalan di depan Joli Pengantén, dan akan ditempatkan di depan kanan kiri Krobongan atau Pêtanèn. Upacara Tumêdahkipun Kêmbar Mayang ini diakhiri dengan pemberian pitutur atau nasehat oleh orang tua calon mempelai wanita kepada putrinya yang akan dinikahkan dan juga didengarkan oleh calon mempelai pria (karena calon mempelai pria juga hadir dalam rangka upacra Jonggolan). Nasehat tersebut dinamakan Catur Wédha, yang selengkapnya dirangkumkan dalam tabel berikut ini. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
22
LAPORAN AKHIR Tabel 4.3. Catur Wédha No.
Catur Wédha (bahasa Jawa)
Catur Wédha (bahasa Indonesia)
1
Priya kang wus hangêmong wanodya iku tandang-tanduké kudu wus bènèh lawan nalikané isih jêjaka, mêngkono uga wanodya kang wus kahêmong ing guru laki ing tandang lan pakartiné nêtêpana wanodya kang wus ora lamban.
Seorang laki-laki yang telah menikahi seorang wanita itu sikap dan tingkah lakunya harus sudah berbeda dengan ketika masih lajang, demikian pula seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang laki-laki maka sikap dan tingkah lakunya harus menunjukkan seorang wanita yang sudah tidak sendiri lagi.
2
3
4
Mantèn sakaroné jroning batin sungkêma marang maratua kadidéné marang wong tuwané dhéwé, awit kang padha hamangun bêbésanan pangrêngkuhé mantu uga kaya anaké dhewé. Urip ing bêbrayan agung, wajibé nêtêpi anggêr-anggêring praja pikolèhé pinutra ing Nata miwah kinasih ing sasama, dimèn sinuyudan têmah hanjalari gampang saliring pambudi daya. Ngéstokno dédhawuhé Pangéran lan singkirana pépacuhé. Warahing piyandêl utawa Agama kang dén anut tindhakna ing sadina-dina dimèn ayêm têntrêm miwah rahayu kang pinanggih.
Pengantin berdua dengan tulus hati berbaktilah kepada mertua seperti kalian berbakti kepada orang tua sendiri, karena orang tua yang telah menjadi besan juga merengkuh anak menantu seperti anaknya sendiri.
Hidup di tengah-tengah masyarakat wajib menaati hukum dan peraturan negara agar menjadi dekat dengan pimpinan, dikasihi dan disegani sesama hidup, sehingga akan memudahkan dalam mata pancaharian.
Laksanakan perintah Tuhan dan jauhi laranganNYA. Tuntunan agama yang dianut amalkan dalam kehidupan sehari-hari agar mendapatkan hidup yang aman tenteram serta keselamatan hidup.
Jonggolan berasal dari kata jonggol yang berarti memperlihatkan diri. Upacara Jonggolan ini ditandai dengan kedatangan calon mempelai pria ke rumah calon mertua di Malêm Midodarèni untuk memberitahukan bahwa (i) calon mempelai pria masih dalam kondisi baik dan selamat selama disêngkêr, dan (ii) calon mempelai pria menunjukkan kesiapannya untuk dinikahkan esok harinya. Biasanya dalam acara Jonggolan ini juga dilakukan pengecekan kelengkapan administratif dari perangkat pemerintah yang berwenang. Upacara Majêmukan dilaksanakan tengah malam di Malêm Midodarèni. Wujudnya adalah selamatan (wilujêngan) dan tirakatan. Intinya adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar semua rangkaian upacara pernikahan yang diniatkan pemangku hajat dikaruniai keselamatan dari awal hingga akhir. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
23
LAPORAN AKHIR G. Langkahan Dalam tradisi Jawa jodoh seseorang termasuk hal yang sudah dipastikan ‘pinêsthi’, sehingga datangnya jodoh tidak harus berurutan dari saudara tua terlebih dahulu. Tetapi bisa saja adik yang lebih muda lebih dulu mendapatkan jodohnya. Jika demikian, untuk melakukan pernikahannya sang adik harus menjalankan upacara yang disebut langkahan atau melangkahi atau mendahului kakaknya (Kalinggo, 2001;173). Upacara ini berpedoman dari sabda raja ISKS Paku Buwana V yang bernama “Tutur Sèwu Adi Linuwih’ (petuah seribu kata yang bermakna dalam pernikahan). Pada mulanya upacara ini digelar jika yang dilangkahi adalah hanya kakak perempuan. Tetapi sekarang termasuk kakak laki-laki juga dilakukan upacara langkahan, dengan memakai syarat panêbus kain Liwatan. Upacara Langkahan biasanya dilakukan sebelum Ijab Paningkah. Tabel 4.4. Perlengkapan Langkahan No.
Langkahan dan kelengkapannya
No.
1
Têkên atau Tongkat dari tebu wulung.
5
2
3
4
Panggang ayam yang ditusuk tebu wulung
Bênang Lawé
Rimong Bangun Tulak (Kain selendang bangun tulak )
6
Langkahan dan kelengkapannya Bokor kêmbang sêtaman (Bunga setaman) Tumpêng Sindhula Pêngasih terdiri atas: a) Tumpêng Puput : Tumpeng yang dilengkapi dengan telur ayam. b) Tumpeng Késawa : Tumpeng yang diberi kepala ayam. c) Tumpêng Bêdhah Nagara : Tumpeng berisi parutan kelapa. d) Tumpêng Sangga Langit : Tumpeng berisi ketan merah dan ketan putih yang ditaruh didalam takir. e) Tumpêng Kidang Soka : Tumpeng berisi uang recehan dari nilai kecil hingga besar. f) Tumpêng Pangapit : Tumpeng berisi jenang bubur merah putih dengan hiasan setangkai padi. g) Tumpêng Manggada : Tumpeng berisi nasi loyang. h) Tumpêng Pangruwat : Tumpeng berisi pisang raja dan pisang talun.
Urutan upacara langkahan, pertama Tumpêng Sindhula Pêngasih ditata di lantai melingkar atau berjajar. Disamping digelar rimong atau selendang bangun tulak dan juga disiapkan bokor berisi air bunga setaman. Kedua, calon mempelai pria atau wanita Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
24
LAPORAN AKHIR yang akan melangkahi atau mendahului kakanya
‘sungkem’ atau hormat kepada
kakaknya, dan berucap: ‘Kangmas/Mbakyu...saya hanya sekedar menjalankan kodrat dari Tuhan mendapatkan jodoh lebih dulu, maka saya mohon keikhlasan lahir batin, serta mohon doa restu supaya perkawinan ini dapat mencapai kebhagian dan ketentraman. Kemudian dilanjutkan sarat panêbus atau mas kawin langkahan diserahkan kepada kakaknya. Panebus ini bisa berupa apa saja yang lebih penting adalah barang atau apa saja yang dapat membahagian kakaknya yang dilangkahi. Kakak yang dilangkahi menjawab dengan ketulusan hatinya: ‘Ayo dhi..aku tuntun si Adik naik ke gunung Sindula pangasih, supaya kamu dalam menerima kodrat ini mendapatkan kebahagian dengan perantara Têkên Tongkat Sidadadi (Panggang ayam), sampai di puncak Kumala Jamus, dan menuruni jurang yang bernama Dêrbala anak banyak anak. Calon mempelai yang melangkahi/mendahului kakaknya
dituntun berdiri sambil
berjalan berpegangan benang lawe dibelakang kakaknya atau tutwuri memaki tongkat sidodad’. Kemudian melangkahi bokor yang berisi air bunga satu kali, yang melambangkan luasnya samodra kasih. Dilanjutkan berjalan di atas selendang atau rimong bangun tolak supaya dijauhkan dari segala godaan dan halangan yang melambangkan tolak balak. Kemudian dilanjutkan mengitari tumpeng sindula pengasih tiga kali. Pada saat upacara ini dilaksanakan para orang tua yang dihadirkan pada acara tersebut mengucapkan mantra Sastra Binêdhati yang oleh ISKS Paku Buwana X di sederhanakan memakai bahasa Jawa sebagai berikut:
KANG HANGRÊNCANA, MARIYA LUWIH
KANG HANÊKANI, ILANGA KALUWIHANIRA
KANG AWÈH LUWÉ, HAMARÊGANA
KANG AWÈH MLARAT, HANYUKUPANA
KANG HANYIKARA, MARIYA MANGSAYA
KANG AMÊRANGI, LARUTA KÊKUWATANIRA
KANG PARA CIDRA, KOGÊL WELASA
KANG DADI HAMA, YOGYA ASIHA
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
25
LAPORAN AKHIR H. Nikah / Ijab Upacara Nikah atau Ningkah merupakan upacara baku dalam rangkaian upacara perkawinan adat Jawa untuk melaksanakan tatanan agama yang dianut maupun untuk memenuhi hukum dan aturan negara. Hal ini tujuannya tidak lain agar pernikahan yang dilakukan menjadi resmi sah menurut aturan agama dan juga sesuai hukum dan aturan pemerintah. Di Karaton Surakarta upacara Nikah ini dilaksanakan menurut tatanan agama Islam, dan karena itu sering disebut upara Ijab Panikah.
Setiap agama memiliki aturan dan tatanan sendiri-sendiri, namun meskipun demikian dalam pelaksanaan upacara Nikah dapat dipastikan selalu melibatkan: 1. Petugas dari lembaga pemerintah atau yang resmi ditunjuk oleh pemerintah; 2. Calon mempelai wanita dan calon mempelai pria; 3. Saksi; 4. Orang tua calon mempelai atau wali. Upacara Nikah umumnya dilaksanakan mendahului upacara Panggih. Artinya dapat dalam hari yang sama ataupun pada hari yang berbeda dengan upacara Panggih. Demikian pula mengenai waktu yang dipilih. Dalam kepercayaan Kêjawèn, waktu ijab atau dhaup dalam bahasa Jawa, adalah sebuah saat yang dipandang sangat penting. Oleh sebab itu masih banyak masyarakat yang menggunakan pétungan hari maupun sangat dalam memilih waktu yang tepat untuk acara nikah. Ada pula kepercayaan Kêjawèn yang menyebutkan bahwa waktu yang paling baik untuk melaksanakan ijab atau dhaup itu ketika Matahari mulai terbenam. Saat itulah yang dinamakan panggih atau dhaup.
I.
Panggih
Upacara Panggih adalah puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Jawa. Pada umumnya sekarang ini upacara panggih dibarengkan dengan resepsi pernikahan. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
26
LAPORAN AKHIR Dalam upacara Panggih ini terdapat beberapa kelompok upacara yaitu (i) Panggih; (ii) Krobongan; (iii) Sungkêman; (iv) Tumplak Punjèn – bagi yang mantu terakhir. I.1. Panggih Upacara Panggih diawali dengan mempelai wanita dan mempelai pria berjalan perlahan untuk saling bertemu muka berhadap-hadapan tepat di tengah-tengah pendhapa atau gedung yang dipakai untuk resepsi. Kemudian sudah berjarak sekitar 2 – 3 meter mempelai saling melempar gantalan. Saling melempar gantalan ini dapat dilakukan secara bersamaan ataupun saling mendahului. Setelah benar-benar berhadapan kemudian mempelai pria menginjak telur (midak tigan atau midak wiji dadi), lalu mempelai wanita jongkok untuk membasuh kaki mempelai pria. Menurut penuturan KPH. Brotoadiningrat, ibunda beliau Gusti Panembahan Brotodiningrat mengatakan bahwa sebelum mempelai pria menginjak telur, maka mempelai wanita terlebih dahulu membasuh membersihkan kaki mempelai pria; dan demikian pula sesudahnya. Sebelum dan sesudah membasuh kaki mempelai pria, mempelai wanita memberikan penghormatan berupa sembah atau nyembah. Setelah selesai acara midak wiji dadi, mempelai wanita berdiri lalu sesepuh putri yang memimpin acara panggih menempelkan air kembang yang dipakai membasuh kaki mempelai pria tadi ke tengkuk kedua mempelai. Kemudian mempelai wanita berjalan searah jarum jam mengelilingi mempelai pria dan berhenti setelah sampai tepat di sebelah kiri mempelai pria. Sebelum mulai berjalan menuju pelaminan ibu mempelai wanita melingkupkan kain sindur atau slindur ke punggung mempelai berdua, baru kemudian mempelai berdua berjalan dengan khidmat menuju pelaminan. Sementara itu bapak mempelai wanita mengikuti berjalan dibelakang ibu. Berikut ini berbagai kelengkapan upacara panggih.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
27
LAPORAN AKHIR Tabel 4.5. Perlengkapan Panggih No.
Perlengkapan Panggih
No.
1
Gantalan : dibuat dari daun sirih berjumlah 2 yang diambil yang berasal dari satu ujung cabang (matêmu rosé) dan potongan buah jambé. Daun sirih dijadikan satu, yang satu menghadap ke atas, yang satu ke bawah lalu ditengahnya dipasang jambé lalu digulung, lalu diikat dengan benang. Jumlah Gantalan: bisa 2 atau 4.
3
2
Telur Ayam. Midak tigan atau midak wiji dadi : menginjak telur
Perlengkapan Panggih Sindur atau slindur yang di lingkupkan di punggung kedua mempelai oleh Ibu mempelai wanita. Sindur atau slindur adalah semacam kain seledang dengan panjang sekitar 1 – 1,5 meter dan lebar sekitar 60 cm, di kedua tepi memanjangnya berwarna merah, sedangkan tengahnya berwarna putih.
I.2. Krobongan Krobongan adalah rangkaian upacara yang dilakukan di sesaat setelah kedua mempelai sampai di pelaminan. Disebut dengan krobongan karena jaman dahulu pelaksanaannya dilakukan di depan krobongan. Krobongan atau disebut juga sebagai patanèn atau pêtanèn adalah ruang berujud rumah kecil berukir dengan nuansa romantis untuk suami istri ketika hendak menyatukan rasa/menyalurkan birahi sebagai simbol permohonan untuk mendapatkan keturunan. Upacara krobongan urutannya adalah bobot timbang, kacar-kucur, kemudian dilanjutkan dengan dulangan. Setelah kedua mempelai sampai di pelaminan, sebelum dipersilakan duduk, akan dilakukan upacara Bobot Timbang terlebih dahulu. Upacara bobot timbang ini sebagai simbol dan persaksian bahwa orang tua si mempelai wanita telah menganggap menantunya seperti anaknya sendiri, sehingga dikatakan bobot kasih sayangnya baik terhadap putrinya maupun terhadap menantunya memiliki kesetimbangan atau seimbang atau sama bobotnya. Adapun gambaran pelaksanaannya adalah pertama sebelum kedua mempelai didudukkan di pelaminan, bapak dari mempelai wanita duduk tepat di tengahtengah pelaminan. Kemudian mempelai pria diminta duduk di atas ujung paha dekat tempurung sebelah kanan, lalu mempelai wanita diminta duduk di atas ujung paha dekat tempurung sebelah kiri. Sang ibu mempelai wanita berdiri di depannya sembari bertanya kepada sang bapak : “Berat mana, kakanda?” (“Abot êndi, Bapakké?”), dan dijawab oleh si ibu : “Sama, dinda” (Padha, buné). Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
28
LAPORAN AKHIR
Setelah dilakukan Bobot Timbang, kedua mempelai didudukkan di pelaminan dengan posisi mempelai di sebelah kanan mempelai wanita. Tradisi lama – termasuk yang masih lestari di Karaton Surakarta - kedua orang tua mempelai duduk di sebelah kanan pengantin dengan posisi hadap 900 terhadap pêtanèn dan pengantin. Namun sekarang ini, mengingat resepsi pernikahan diadakan di gedung pertemuan, maka posisi duduk orang tua mempelai wanita berada di sebelah kanan pengantin menghadap ke para tamu. Demikian pula, mengingat juga bésan akan hadir dalam acara resepsi, maka demi penghormatan kepada para tamu sekaligus agar terlihat lebih estetis, bésan didudukkan pada posisi di sebelah kiri pengantin sejajar dengan orang tua mempelai wanita. Sebelum bésan hadir dilakukan upacara Kacar-kucur. Upacara Kacar-kucur memiliki makna simbolis permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar perjodohan ini dapat merekatkan tali kekeluargaan dan persaudaraan antara kedua mempelai dan segenap keluarga besarnya. Adapun ubarampé upacara Kacar-kucur berikut makna simbolisnya ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 4.6. Perlengkapan Kacar-Kucur No.
Perlengkapan Kacar-kucur (Guna kaya)
1
Arta cring (Uang receh atau uang koin)
3
Êmpon-êmpon (berbagai jenis tanaman jamu seperti jahe, kunyit, puyang, dan sebagainya)
2
Bêras kuning
4
Klasa kalpa (tikar kecil dari anyaman daun pandan ukuran sekitar 40 X 50 cm)
No.
Perlengkapan Kacar-kucur (Guna kaya)
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
29
LAPORAN AKHIR Gambaran singkat urutan pelaksanaan upacara Kacar-kucur adalah sebagai berikut: 1. Pengantin pria dan wanita duduknya diarahkan sedikit saling berhadapan. 2. Sindur diletakkan di pangkuan pengantin wanita. 3. Ubarampe Kacar-kucur yang telah dijadikan satu di klasa kalpa dengan setengah dilipat dituangkan ke pangkuan pengantin wanita. 4. Setelah selesai sindur diambil sebagai pembungkus guna kaya yang dituangkan tadi, lalu ditali dan diserahkan kepada ibu pengantin wanita. Ini adalah simbol mohon doa restu serta pengayoman. Saat dilaksanakan upacara Kacar-kucur, para sesepuh yang menyaksikan dalam hatinya mengucap kata-kata “Kacar-kucur rukuna kaya sêdulur, kacang kawak – dhêlé kawak rekêta kaya sanak” (Kacar-kucur semoga rukun seperti saudara, kacang kawak – dhêlé kawak jadilah dekat seperti kerabat) Rangkaian upacara Krobongan berikutnya adalah upacara Dulangan atau ada yang menyebut sebagai Dhahar walimah atau Dhahar kêmbul. Di upacara Dulangan ini, kedua pengantin saling menyuapi makanan berupa sêkul rêndhang (nasi rendhang). Upacara Dulangan ini melambangkan pasangan suami istri yang sedang bersenggama. Oleh karena itu, di masa lalu upacara ini tabu dan tidak dilakukan di depan umum atau di depan para tamu. Namun demikian, dalam perkembangannya upacara ini menjadi salah satu tontonan yang mengandung tuntunan budaya yang adiluhung sehingga kemudian dilaksanakan di depan para tamu. Diharapkan ini dapat menjadi wahana pelestarian budaya Jawa. Adapun pelaksanaannya hampir seperti Kacar-kucur hanya saja masing-masing pengantin menyanggga piring yang berisi sekul rendhang. Dimulai dari pengantin pria terlebih dahulu menyuapi pengantin wanita 3 (tiga) kali suapan tangan, lalu gantian pengantin wanita menyuapi pengantin pria 3 (tiga) kali suapan tangan, kemudian saling menyuapi bersama-sama dengan sekali suapan tangan.
I.3. Sungkêman Di masa lalu, upacara Sungkêman atau ngabêktèn hanya dilakukan pengantin pria dan pengantin wanita kepada bapak dan ibunya pengantin wanita. Demikian pula posisi duduk orang tua pengantin wanita dan besan adalah di sebelah kiri dan kanan depan krobongan atau petanen saling berhadapan. Akan tetapi, saat ini resepsi Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
30
LAPORAN AKHIR pernikahan diadakan di gedung pertemuan dan tidak jarang pelaminan dibuat seperti panggung yang lebih tinggi dibanding tempat duduk tamu undangan, demikian pula diadakan acara Bésan mêrtui atau bésan datang ‘menjenguk’, maka sungkêman juga dilakukan pengantin pria dan wanita kepada bapak ibu pengantin pria. Posisi duduk bapak ibu pengantin wanita dan besan juga ada di sebelah kanan dan kiri pengantin berdua menghadap ke tamu. Urutan sungkêman adalah (i) keris yang dipakai pengantin pria dilepas dari sabuk pengantin pria. Setelah dilepas oleh panitia yang bertugas, cara memegangnya kira-kira di depan dada agak di atas jantung sedikit. Ini hanya etika penghormatan terhadap karya pusaka para Lêluhur; (ii) Pengantin pria melakukan sungkêm kepada bapak mertuanya, lalu kepada ibu mertuanya dan setelah itu diikuti dengan urutan yang sama oleh pengantin wanita; (iii) Pengantin pria melakukan sungkêm kepada bapaknya sendiri lalu kepada ibunya sendiri, kemudian diikuti oleh pengantin wanita dengan urutan yang sama. Makna simbolis dari upacara Sungkêman ini adalah penghormatan dan kepatuhan anak terhadap orang tuanya serta mohon doa restu karena akan berumah tangga. Dan dalam pelaksanaan Sungkêman ini, saat pengantin pria sungkêm kepada bapak mertua dan bapaknya sendiri boleh memegang tempurung-paha-nya, sedangkan saat sungkêm kepada ibunya sendiri maupun ibu mertuanya tidak diperkenankan memegang tempurung-paha-nya.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
31
LAPORAN AKHIR BAB V WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACARA ADAT KELAHIRAN
Upacara adat yang menyangkut proses kehidupan manusia dalam komunitas masyarakat Jawa merupakan salah satu bentuk upacara adat yang masih dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Upacara tersebut dilakukan oleh orang Jawa dalam rangka menjaga keseimbangan antara alam kodrati dan adikodrati. Sistem upacara daur hidup juga berangkat dari religi masyarakat Jawa. Upacara adat dilakukan pada saat seorang ibu mengandung sampai melahirkan anak. Pada masyarakat Jawa terdapat sejumlah upacara ritual yang terkait dengan upacara daur hidup ini. Upacara pertama adalah mitoni, yaitu upacara menyambut kehadiran janin dalam kandungan yang telah berumur 7 bulan. Setelah bayi lahir dilakukan upacara brokohan, yaitu upacara menyambut kehadiran sang bayi di tengahtengah keluarga. Lima hari setelah bayi lahir diselenggarakan upacara sêpasaran yang umumnya diikuti dengan acara pesta dengan mengundang sanak keluarga. Ketika tali pusar bayi sudah putus (kurang lebih dua minggu) diselenggarakan upacara puputan yang berarti bayi tersebut telah puput atau putus tali pusarnya. Tiga puluh lima hari setelah kelahiran bayi masih diselenggarakan upacara lagi yang dinamakan sêlapanan. Akhirnya si bayi sudah dianggap bukan bayi lagi setelah mulai dapat belajar berdiri dan kemudian berjalan. Upacara ini dikenal sebagai upacara têdhak siti atau têdhak sitèn. Upacara “daur hidup” yang diselenggarakan setelah upacara têdhak siti, jaraknya cukup jauh, yaitu setelah anak menginjak usia remaja. Upacara itu adalah khusus untuk anak laki-laki, yaitu sunatan, ada yang menyebut tètakan atau supitan. Upacara selanjutnya adalah upacara pernikahan yang umumnya diselenggarakan setelah si anak mencapai usia akhil balig. Pada saat ini upacara pernikahan umumnya setelah anak-anak mencapai usia 24 tahun untuk wanita dan 26 tahun untuk laki-laki. Memang dengan masuknya pengaruh Barat ada upacara baru yang disebut ulang tahun. Akan tetapi upacara ini tidak semua anggota masyarakat melaksanakannya. Upacara terakhir dalam daur hidup adalah upacara kematian. Seperti halnya dalam upacara menyambut kedatangan manusia di dunia, di sebagian masyarakat upacara kematian juga cukup banyak memakan waktu dan biaya. Di Jawa dikenal adanya upacara nèlung dina (tiga hari), mitung dina (tujuh hari), matangpuluh (empat puluh hari), nyatus (seratus hari), mèndhak pisan (satu tahun), mèndhak pindho (dua tahun) dan nyèwu (seribu hari) (Salamun. Dkk. 2002:43-53). Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
32
LAPORAN AKHIR Upacara yang bersifat individual lain adalah upacara tolak bala. Contoh upacara ini dalam masyarakat Jawa adalah upacara ruwatan bocah sukrêta. Upacara ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa anak yang dianggap terkena sukrêta (membawa nasib sial) akan mengalami nasib sial jika tidak diruwat dengan cara menanggap wayang dengan lakon Murwa Kala. Ada berbagai jenis anak yang dikategorikan sukrêta seperti ontang anting (baik anak laki-laki tunggal atau anak perempuan tunggal), anak laki-laki dua, anak perempuan empat, dan sebagainya. Upacara tolak bala seperti ini semula diselenggarakan secara sendiri-sendiri oleh keluarganya, tetapi untuk menghemat sekarang banyak bermunculan ruwatan bersama atau massal. (Soedarsono. dkk. (ed.),1985).
A. Mitoni Dalam bahasa Jawa, Mitoni berasal dari kata pitu artinya tujuh.Ritual Mitoni ini dilaksanakan pada bulan ke-7 pada kehamilan pertama. Kata pitu juga bisa berarti pitulungan untuk memohon berkah Gusti Allah (Tuhan) untuk keselamatan calon orang tua dan anaknya. Doa dipanjatkan agar sang bayi lahir pada masanya dengan sehat, selamat dan sang ibu juga diharapkan agar melahirkan dengan lancar, sehat dan selamat. Selanjutnya diharapkan seluruh keluarga hidup bahagia. Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu (i) siraman, (ii) memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, (iii) ganti busana, (iv) memasukkan kelapa gading muda, (v) memutus lawé/lilitan benang/janur, (vi) memecahkan periuk dan gayung, (vii) minum jamu sorongan. Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu sênthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
33
LAPORAN AKHIR Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah: 1) Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Siraman juga bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. 2) Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung/jarik) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang. 3) Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi akan lahir dengan mudah tanpa mengalami kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan diatas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. 4) Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kêmbên yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Motif kain tersebut adalah: a) Sidomukti b) Sidoluhur Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
34
LAPORAN AKHIR c) Ttruntum d) Parangrusak e) Sêmèn Rama f) Udan Rris g) Cakar Ayam 5) Upacara memutus lilitan janur/lawé yang dilingkarkan di perut calon ibu. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar. 6) Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah. 7) Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung). Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.
B. Brokohan Bagi masyarakat di Jawa, brokohan merupakan salah satu ritual tradisional yang dilakukan saat bayi baru lahir. Brokohan itu sendiri termasuk dalam rangkaian upacara kehamilan. Tujuan dari ritual adat ini adalah untuk mensyukuri rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa karena bayi sudah lahir dengan sehat dan selamat. Selain itu upacara ini juga merupakan upacara selamatan atau memohon agar bayi diberi keselamatan dan kelak dapat menjadi anak yang baik. Dalam ritual ini, ada beberapa perlengkapan sajian yang harus disediakan. Sajian untuk bayi laki – laki dan bayi perempuan tidak sama. Untuk bayi laki – laki sajian yang digunakan adalah ayam betina yang belum pernah kawin sedangkan untuk bayi perempuan sajiannya adalah ayam jantan yang belum pernah kawin. Prosesi ritual selamatan ini dilakukan saat bayi berusia satu hari. Kemudian selamatan ini juga dilanjutkan dengan kenduri yang mengundang para tetangga sekitar. Untuk selamatan Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
35
LAPORAN AKHIR ini yang datang hanya kaum wanita saja. Dalam upacara selamatan, dilakukan prosesi pemotongan ayam. Prosesi ritual diatas adalah prosesi brokohan secara umum. Namun sebenarnya perlengkapan upacara brokohan untuk bangsawan dan golongan rakyat biasa berbeda. Untuk golongan bangsawan, perlengkapan yang diperlukan untuk brokohan adalah telur mentah, dawêt, sayur mênir, sêkul ambêng, pêcêl dengan lauk ayam, jêroan kerbau, kembang setaman, beras dan kelapa, sementara itu untuk golongan rakyat biasa, perlengkapan yang dibutuhkan adalah nasi ambêngan yang berisi nasi dan sayur berserta lauk pauknya yaitu pèyèk, témpé, bihun, sambel goreng, pêcêl ayam, dan sayur menir. Upacara permohonan agar bayi kelak menjadi anak yang baik dimulai dengan mengubur air – ari. Setelah bayi lahir ari-ari atau placentanya dibersihkan dan diberi bungabungaan dan syarat-syarat tertentu, kemudian ditanam dengan upacara tertentu. Ditempat penanaman placenta diberi lampu siang malam sampai beberapa hari.Malam harinya diadakan upacara mêlèkan (agar tidak tidur sore hari) dan yang diundang ialah para bapak. Mereka diminta bantuannya untuk menemani orang yang mempunyai anak bayi supaya tidak tidur pada sore hari. Untuk menjaga jangan sampai orang tertidur lalu ada orang yang membacakan nyanyian yang berisi puji-pujian kepada Tuhan. Untuk kegiatan yang mempunyai rumah mempunyai kewajiban moril menyediakan makanan dan minuman. Kemudian pemilik rumah juga menyediakan sajian brokohan yang kemudian dibagikan pada para tetangga sekitar. Brokohan yang diberikan pada tetangga biasanya telur ayam mentah, kelapa setengah buah, gula jawa sêtêngah tangkêp, dawêt, bunga mawar, bunga melati, dan bunga kantil. Ibu yang baru saja melahirkan juga harus menghindari makanan pantangan yaitu sayur bersantan, telur asin, telur ikan tawar, dan sambal.
C. Puputan Kalangan masyarakat Jawa masih melakukan tradisi yang berkenaan dengan pemberian nama. Tradisi inilah yang pada gilirannya membuat nama tidak hanya sekedar sebagai tanda pengenal saja, tetapi juga mengandung arti tertentu agar si pemilik nama selamat-sentosa dalam menjalani kehidupannya. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, pemberian nama yang tidak tepat kepada seorang anak akan mengakibatkan anak yang bersangkutan selalu sakit Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
36
LAPORAN AKHIR atau bernasib sial. Pemberian nama pada masyarakat Jawa umumnya bertepatan dengan upacara selamatan sepasaran si anak yang baru dilahirkan. Pemberian tersebut dapat dilakukan oleh ayah, ibu, nenek, atau boleh juga orang lain (misalnya kyai, dukun bayi atau lurah) dengan persetujuan orang tua bayi. Cuplaknya (lepasnya) tali pusat (pusêr) bayi karena mengering ditandai dengan satu upacara tersendiri. Biasanya terjadi pada hari kelima dari hari kelahiran. Istilah cuplakan disebut juga dengan istilah sepasaran, sepasar artinya 5 hari. Upacara untuk menandai cuplaknya tali pusat si bayi ini disebut cuplakan. Sêpasar adalah perhitungan waktu Jawa yang lamanya 5 hari. Selamatan sêpasaran adalah selamatan yang diadakan pada waktu bayi berumur 5 hari. Namun demikian ada kalanya sementara orang yang mengadakan selamatan sepasaran menunggu apabila tali pusat putus (puput pusêr), yang biasanya terjadi pada waktu si bayi berumur 5 hari. Oleh karena itu sementara orang menyebut selamatan sepasaran itu dengan istilah puputan atau cuplak puser. Bagi orang yang mengadakan jagong bayèn, pada malam sepasaran ini tamu yang datang biasanya lebih banyak daripada malam-malam sebelumnya. Karena malam itu merupakan terakhir daripada serangkaian selamatan jagong bayèn. Pada malam itu, bayi yang diselamati tidak ditidurkan hingga pagi hari melainkan dipangku. Sebab menurut kepercayaan sementara orang, bayi yang baru saja puput, menjadi incaran roh jahat yang biasanya disebut sarap-sawan, oleh karena itu bayi dijaga dengan cara dipangku. Adapun makanan (sajian) untuk keperluan selamatan sepasaran atau puputan ini adalah sebagai berikut: 1) Nasi tumpêng dan nasi golong dengan lauk-pauk yang terdiri dari gudhangan, panggang ayam, telur rebus, lodhèh kluwih. 2) Pisang raja dua sisir (Jawa: sêtangkep). 3) Jajan pasar yang berupa beberapa macam makanan kecil (kue-kue) dan buah-buahan. 4) Bubur merah, bubur putih, jênang sêngkala yaitu bubur merah yang diatasnya diberi bubur putih. 5) Nasi brok yaitu nasi yang ditaruh di dalam satu piring dengan laukpauknya. Sajian tersebut di atas dikendurikan dengan mengundang para tetangga seperti pada waktu selamatan brokohan. Di samping sajian untuk kênduri pada selamatan Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
37
LAPORAN AKHIR sepasaran ada sementara orang yang membuat sajian tulakan yaitu alat untuk menolak bala. Tulakan ini terdiri dari sebungkus kecil nasi dan lauk-pauk serta kue-kue sama seperti untuk kenduri. Kecuali sajian untuk kenduri dan tulakan ada suatu bingkisan yang diberikan kepada dhukun bayi. Bingkisan itu berupa: nasi tumpeng dengan lauk-pauk, pisang dua sisir, kelapa satu biji, gula merah, beras 1 kg, ayam hidup 1 ekor, kêmbang têlon (kêmbang borèh). Bersamaan dengan selamatan sepasaran, si bayi diberi nama. Secara resmi nama diikrarkan (diumumkan) pada waktu ber-langsungnya kênduri sepasaran itu. Pemberian nama ini ada beberapa dasar (pathokannya). Di samping pemberian nama bersamaan dengan upacara sepasaran ini ada sementara orang yang mengadakan upacara tindhik. Tindhik adalah carayang dilakukan untuk memberi lubang pada telinga sebagai tempat meletakkansubang bagi kaum wanita.
D. Sêlapanan Sêlapanan adalah sebuah tradisi suku jawa. Sêlapanan berasal dari kata sêlapan yang berarti 35 hari, maka dari itulah upacara ini dilakukan saat bayi berusia selapan (35) hari. Misalnya bayi yang lahir pada Rebo Pahing (hari kelahiran menurut hitungan Jawa), pada usia ke sêlapan hari bayi tersebut akan mengulang hari kelahirannya, yaitu Rebo Pahing. Perhitungan ini didasarkan pada kelipatan perhitungan hari lahir bayi menurut hitungan jawa (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi), hari penanggalan masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu).karenaitu setiap 35 hari manusia mengulang hari kelahirannya. Dalam praktiknya tidak jarang acara selapanan dilaksanakan bersamaan dengan upacara aqiqah (bagi umat muslim). Meskipun sebagian keyakinan beranggapan bahwa aqiqah hanya dilaksanakan sebelum bayi berusia lebih dari 3 hari, tapi pada sebagian masyarakat jawa lainnya, aqiqah dilaksanakan pada saat bayi berusia 35 hari, sehingga pelaksanaan aqiqah dan selapanan dilaksanakan bersama-sama. Selapanan tak lebihnya acara syukuran atas kelahiran bayi. Acara ini meliputi penyukuran rambut bayi, pemotongan kuku bayi disertai bacaan doa dan sholawat, lalu pembagian bancaan. Acara yang pertama kali dilakukan adalah pemotongan rambut, yang memotong rambut bayi pertama kali adalah orangtua bayi (ayah dan ibunya), lalu diikuti kerabat dan sesepuhnya. Dalam acara sêlapanan adalah rambut bayi dicukur habis, karena rambut bayi yang belum dicukur dianggap masih bercampur dengan air Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
38
LAPORAN AKHIR ketuban. Selain itu alasan lain adalah supaya rambut bayi tumbuh bagus. Namun demikian tidak semua orang tua berani untuk mencukur habis rambut bayinya, karena ubun-ubun bayi di usia ke selapan tersebut masih berdenyut, dan kerangka kepala belum terbentuk secara maksimal. Karena itulah tidak semua masyarakat mencukur habis rambut bayi pada acara sêlapanan ini. Sebagian masyarakat hanya mencukur beberapa helai rambut secara simbolis saja. Setelah pencukuran rambut, acara dilanjutkan ke pemotongan kuku bayi. Pada saat upacara ini diikuti dengan serangkaian doa dan shalawat nabi, memohon perlindungan kepada Yang Maha Esa. Acara selanjutnya adalah pembagian bancaan (tumpeng dan gudangan). Menurut sebagian masyarakat ritual yang disertai dengan penyajian tumpêng dan gudhangan ini tersebut dinamakan bancaan. Bancaan adalah sebuah upacara sederhana tradisi adat masyarakat Jawa yang menyertai sebuah tahapan perkembangan seorang anak. Bancaan biasa dilakukan untuk memperingati hari lahir berdasarkan pada hari pasaran penanggalan Jawa atau wêtonan, kemudian ketika anak baru mulai berhenti menyusu pada ibunya atau masa disapih, dan saat-saat khusus seperti ketika seorang anak sering jatuh sakit serta bila seorang anak harus berganti nama. pihak keluarga membagikan bancaan kepada masyarakat sekitarnya, terutama anak-anak. Hal ini karena bancaan dibuat dalam ukuran kecil, dan dibungkus daun pisang, sehingga sangat cocok untuk diberikan kepada anak-anak kecil. Perasaan gembira seorang anak yang menerima bancaan ini diharapkan memberikan doa pada si bayi agar nantinya kehadirannya membawa kegembiraan pada semua orang. Selain diberikan pada anak kecil, bancaan harus diberikan dalam jumlah yang ganjil, karena angka ganjil dianggap sebagai angka yang membawa keberuntungan. Jadi tradisi bancaan adalah merupakan bentuk simbolisasi rasa syukur dan doa kepada Tuhan yang biasa dilakukan oleh masyarakat tradisional Jawa. Dan sayangnya tradisi bancaan ini sudah mulai kurang di kenal atau dilakukan oleh kalangan masyarakat Jawa sekarang ini, khususnya di kalangan keluarga muda. Bancaan merupakan tatanan serta tuntunan tentang kebersamaan, kerukunan dan kesederhanaan melalui sebuah simbol nasi tumpeng yang dinikmati bersama dan ada doa yang menyertainya. Tradisi adat Jawa bancaan ini dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai bentuk pelestarian budaya, yang mereka harapkan dari bancaan ini lebih kepada pengenalan untuk anak-anak supaya tidak lupa asal usul dan akar budaya mereka.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
39
LAPORAN AKHIR E. Têdhak Sitèn Upacara Têdhak Sitèn menurut Sêrat Tatacara (selanjutnya ST) dilakukan saat bayi berumur 6 lapan atau pitung wêton. Sarana pada slamêtan ini berupa beras kuning yang dicampur dengan uang anggris ‘ringgit’, wukon ‘uang setengan rupiyah, talèn salaka ‘uang 25 sen yang terbuat dari logam berwarna putih’, padi satu gengam, dan kapas satu dhompol. Jika kapas diambil oleh bayi pada saat upacara, diharapkan bahwa bayi kelak dapat menjadi penguasa yang mampu membawahi beberapa wilayah. Jika yang diambil adalah uang ringgit (anggris), maka akan menjadi orang kaya atau orang berada. F. Slamêtan Satu Tahun dan Slamêtan Nyapih Menurut ST Bayi yang berumur satu tahun, harus dibuatkan selamatan. Hitungan satu tahun, tidak mengacu pada nêptu, tetapi hanya berdasarkan hitungan tanggal dan tahun. Menurut ST, waktu yang paling baik untuk menyapih bayi, jika bayi laki-laki ketika berumur 15-16 bulan, jika perempuan 18-19 bulan. Jika melebihi umur tersebut baru disapih, menurut kepercayaan saat dewasa, anak tersebut akan menjadi orang bodoh. Tabel 5.1. Upacara pada Anak-anak dan Remaja No.
Tata Cara/ Upacara
1
Têtêsan
2
Pasah
3
Sukêran
4 5
Sunatan Tingalan
Sarana Plèmèk, daun-daunan, kain, sesajian (suruh ayu dan gêdhang ayu, gambir wutuhan, jambé tangan), uang suwang seperempat, kunyit Kain dodot ngrêné, suruh ayu, gêdhang ayu, kayu dhadhap srêp, wingkal, bêras kencur, Landha mêrang, air asam kawak, jêruk purut, pandan wangi, kêmbang sêtaman, dupa Krobongan, lulur garutan, sujèn, jampi kacèkan Tumpêng, wêdhus tujah, iwak kêbo setunggal G. Têtêsan
Upacara têtêsan merupakan acara yang dilaksanakan pada saat anak perempuan beranjak remaja. Untuk rakyat biasa, upacara têtêsan dilaksanakan pada saat si anak berumur 8 tahun, sedangkan untuk putri-putri dari keluarga bangsawan, upacara ini dilaksanakan saat anak berusia 10 tahun. Karena terdapat pandangan para keluarga bangsawan, bahwa menyelenggarakan upacara têtêsan terlalu dini merupakan hal yang memalukan. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
40
LAPORAN AKHIR H. Upacara Pasah Upacara pasah ‘meratakan gigi taring’ dilaksanakan pada saat remaja. Untuk anak laki-laki dilakukan pada usia 18 tahun, untuk anak perempuan 12 tahun. Untuk anak perempuan, upacara pasah harus dilaksanakan sebelum si anak mendapat menstruasi yang pertama. I.
Upacara Sukêran
Sukêran adalah upacara yang diselenggarakan saat anak perempuan pertama kali mendapat menstruasi. Upacara sukêran dilaksanakan pada saat menstruasi selesai. Selama tujuh hari dari menstruasi yang pertama, si anak tidak boleh menyisir rambut dan mandi, hanya boleh dilulur saja. J. Upacara Sunatan Upacara sunatan menurut ST dilakukan saat anak laki-laki berusia 16 tahun. Sunat merupakan kewajiban bagi para pemeluk agama Islam. Namun ada perbedaan dalam segi umur anak yang akan disunat. Menurut hukum Islam, sunat bagi anak lelaki dilakukan saat bayi berumur 40 hari. Masyarakat Jawa menerima hal tersebut tetapi sekaligus melakukan adaptasi. Umur 40 hari oleh masyarakat Jawa dianggap terlalu dini, sehingga anak-anak dari masyarakat Jawa biasanya disunat pada umur 8-16 tahun. Upacara Sunatan menurut ST dilaksanakan dengan berbagai persiapan. Salah satunya adalah persiapan tempat. Tempat yang digunakan untuk upacara sunatan biasanya dibangun di sebelah timur pendapa berupa krobongan dari bambu wulung yang dipasang pada 4 sisi. Prosesi upacara sunatan dimulai tiga hari sebelum hari H. Prosesi pertama adalah sêngkêran atau pingitan. Selama dipingit, anak ditunggui secara bergantian oleh para sesepuh. Satu hari sebelum hari H, diadakan lèk-lèkan ‘tidak tidur semalam suntuk’ yang dimaksudkan untuk midodarèni sunatan. Pada saat hari H, pukul 4 pagi si anak sudah mandi berendam di kamar mandi. Prosesi ini bertujuan agar daging yang akan disunat menjadi mêngkêrêt, sehingga saat disunat darah yang keluar tidak terlalu banyak. Sesudah berendam dan mandi, si anak kemudian dirias. Si anak juga memakai kain sembagi merah untuk menampung darah yang keluar, agar tidak mengenai kain. Anak tidak diperkenankan memakai baju, badannya dilulur dengan borèh garutan ‘lulur yang terbuat dari garut’, Pada pukul 06.00 pagi anak yang akan disunat kemudian diantar menghadap para tamu untuk meminta doa restu dengan cara pangabêkti ‘menyembah dan meminta doa restu’ secara khusus kepada para tamu agung, anak kemudian diarak menuju Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
41
LAPORAN AKHIR krobongan tempat sunat diikuti para tamu. Tamu-tamu kemudian berdiri di depan krobongan untuk menyaksikan prosesi upacara. Sesudah selesai prosesi keseluruhan, para tamu disuguhi dengan hiburan tayuban sampai dengan sore hari. Malam harinya para tamu datang kembali ke rumah orang tua anak yang ditêtak untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. K. Upacara Tingalan Tingalan adalah upacara yang diadakan untuk memperingati kelahiran seseorang. Tingalan menurut ST diperingati pada saat seseorang berulang tahun, dan penyelenggaraannya dilakukan pada saat wêton orang yang bersangkutan. Sarana upacara tingalan adalah tumpêng dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur orang yang berulang tahun. Dua buah tumpêng dibuat besar, melambangkan laki-laki dan perempuan, kemudian sisanya dibuat dengan ukuran lebih kecil. Selain itu juga harus disediakan wêdhus tujah yaitu kambing yang dua buah kaki depannya berwarna putih. Kambing ini digunakan untuk menangkal pangapêsing wuku ‘kesialan wuku’. Tidak ada prosesi khusus dalam upacara tingalan. Para tamu hanya datang untuk mengucapkan selamat. Tamu-tamu yang datang merupakan mitra orang yang berulang tahun. Keluarga Tangkilan yang menjadi inti cerita dalam ST adalah keluarga bangsawan yang masih melestarikan tata upacara masyarakat Jawa. Namun konteks budaya dalam salah satu upacara yaitu Upacara Tingalan menunjukkan adanya pengaruh budaya Belanda. Hal ini terlihat pada prosesi upacara tingalan. Disebutkan dalam ST bahwa dalam acara ini yang hadir dikhususkan untuk tamu laki-laki. Acara diselenggarakan mulai pukul 20.00 WIB. Para tamu langsung dipersilahkan menikmati hidangan makan malam. Tengah-tengah acara diisi dengan toast cara Belanda. Cara ini diawali dengan pemukulan gelas oleh tuan rumah. Satu kali memukul gelas merupakan isyarat bagi para pelayan untuk mengisi gelas para tamu dengan minuman. Dilanjutkan dengan dua kali memukul gelas yang merupakan tanda bahwa seluruh gelas para tamu sudah terisi. Kemudian gelas kembali dipukul sebanyak 3 kali. Mendengar gelas dipukul 3 kali, para tamu serentak berdiri. Saat para tamu berdiri inilah, tuan rumah memaparkan doa-doa dan harapan-harapan hidupnya. Sebelum mengucapkan harapanharapannya tuan rumah memukul gelas terlebih dahulu sebanyak 3x, kemudian 2x, dan 1x, baru berbicara. Sesudah prosesi toast dan makan malam, para tamu kemudian
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
42
LAPORAN AKHIR dipersilahkan untuk berpindah ke pendapa. Para tamu laki-laki menghabiskan malam di pendapa dengan bermain kartu, menikmati tari Gambyong, dan Tayuban. Uraian di atas merupakan bukti bahwa persinggungan budaya antara bangsawan dan bangsa Belanda memang terjadi. Upacara di atas mengadaptasi tata cara ulang tahun bangsa Belanda, namun hiburan tetap khas Jawa yaitu Gambyong dan Tayuban. Selain susunan acara yang diadaptasi dari bangsa Belanda, hidangan-hidangan pun dalam upacara tingalan juga mengadaptasi hidangan ala barat. Hal ini secara jelas termuat dalam buku Adat-Istiadat Jawa (Hardjowirogo, 1979: 101-104) bahwa hidangan yang tersedia dalam Upacara Tingalan biasanya merupakan campuran dari hidangan ala barat dan Jawa. Beberapa hidangan khas barat antara lain kaas-stangel, birthday cake, sosis, permen keras, buah kaleng, dan lain-lain. Namun hidangan khas Jawa juga tersaji dalam acara ini, seperti lapis legit, nasi opor, sambel goreng, timlo, nasi tumpêng, selada usar, dan sebagainya.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
43
LAPORAN AKHIR BAB VI WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACARA ADAT KEMATIAN
A. Pemberitaan Lêlayu Di dalam masyarakat Jawa ketika ada orang meninggal hal yang pertama kali dilakukan adalah asung panglipur (memberi penghiburan) kepada keluarga bahwa semua ciptaan akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila keadaan keluarga sudah mereda, perhatian segera dialihkan ke jenazah. Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan membujur, menelentang, dan menghadap ke atas. Selanjutnya mayat ditutup dengan kain batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu direndam dengan air, maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau binatang kecil lainnya. Tikar sebagai alas tempat jenazah dibaringkan perlu diberi garis tebal dari kunyit dengan maksud agar binatang kecil tidak mengerumuni mayat. Terakhir adalah membakar dupa wangi atau ratus untuk menghilangkan bau yang kurang sedap. Bersamaan dengan hal tersebut, beberapa orang terdekat bertugas memanggil seorang modin dan mengumumkan kematian itu kepada para sanak saudara dan tetangga. Pemberitaan juga dilakukan dengan bantuan pengeras suara dari masjid terdekat. Setelah kabar tersiar mereka yang mendengar akan berusaha segera datang ketempat itu untuk membantu menyiapkan pemakaman. Bahkan untuk memperjelas pemberitahuan tersebut dibuatlah sêrat lêlayu untuk diedarkan kepada warga sekitar.
B. Perawatan Jenazah Para tetangga terdekat yang telah mendatangi rumah jenazah segera menghibur dan menenangkan hati keluarga yang sedang berduka. Sebagian lainnya membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin banyak orang yang datang. Beberapa orang juga segera mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perawatan jenazah. Pertama, disiapkan
èmbèr sebagai tempat atau wadah air untuk memandikan
jenazah. Èmbèr berjumlah tujuh buah dan masing-masing diisi daun dhadhap (atau daun sirih) dan uang koin dengan diisi air yang tidak terlalu penuh. Fungsi dari daun tersebut adalah sebagai pengharum. Gayung yang digunakan juga harus berjumlah tujuh, sesuai dengan jumlah èmbèr . Kemudian dipersiapkan juga bangku untuk tempat duduk orang yang bertugas memandikan mayat yang diatur sedemikian rupa supaya Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
44
LAPORAN AKHIR memperlancar pekerjaan. Lalu meja kecil untuk meletakkan mangkok berisi bakaran merang atau tangkai padi, sabun mandi yang terpotong-potong secukupnya kemudian dibungkus mori (kain putih) berjumlah lima bungkus, diletakkan di piring kecil (lèpèk). Tangkai padi kering yang dipotong-potong digunakan untuk membersihkan kuku. Sedangkan sobekan mori untuk membersihkan gigi. Selain itu dibutuhkan juga beberapa potong kain penutup yang sama panjangnya (biasanya menggunakan kain batik), agar jenazah tidak dilihat oleh orang yang tidak berkepentingan selama pemandian berlangsung. Tugas yang umumnya dilakukan para pria adalah memasang tenda diatas tempat jenazah yang akan disucikan (dimandikan) agar tidak terlihat dari atas. Disiapkan juga tujuh buah batang pisang yang masing-masing panjangnya kira-kira satu meter, dan disusun rapat berdempetan. Selanjutnya ahli waris yang terdekat sejumlah tiga orang ditugaskan untuk menggotong jenazah dari dalam rumah menuju ke tempat penyucian atau pemandian mayat. Urut-urutan dimulai dari yang tertua di depan dan yang termuda di belakang, begitu pula pada waktu selesai dimandikan digotong dari tempat memandikan ke dalam rumah. Posisi menggotong jenazah adalah: tangan kiri menyanggah sedangkan tangan kanan merangkul dengan penuh hati-hati jangan sampai penutup kain jenazah berubah atau bergeser. Setelah sampai di tempat memandikan, jenazah dibaringkan diatas tujuh buah batang pisang yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah teratur rapi kemudian mulai dimandikan yaitu lima orang mengguyur air dan tiga orang membersihkan dengan sabun. Cara mengguyur air perlahan-lahan dan terusmenerus jangan sampai terputus. dengan disaksikan oleh para anggota keluarga orang yang meninggal. Setelah selesai dimandikan jenazah diserahkan kepada modin untuk disembahyangkan. Perlu diketahui bahwa petugas (modin) yang melakukan perawatan jenazah ini harus berjenis kelamin sama dengan jenazah. Kemudian yang dilakukan modin selanjutnya adalah menutup alat kelamin jenazah dengan sepotong daun pisang dan segala lubang pada tubuh diisi dengan kapas. Setelah wajahnya dirias sedikit, jenazah dibungkus dalam kain putih (mori) yang kemudian diikat di kaki, pinggang, leher, dan di atas kepalanya. Kegiatan ini merupakan tradisi khusus untuk orang yang beragama Islam, yaitu dipocong. Apabila jenazah bukan beragama Islam, umumnya hanya ditangani oleh keluarga dan kerabat jenazah. Jenazah yang sudah dibungkus rapi kemudian diletakkan diruangan tengah dari rumah, diatas usungan yang terbuat dari bambu bernama “bandhusa”. Dengan kepala menghadap kearah Utara. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
45
LAPORAN AKHIR C. Persiapan Pemberangkatan Jenazah Beberapa hal kecil namun sangat besar artinya karena apabila tidak dilakukan akan mengurangi sahnya sebuah makna kematian. Seperti yang dilakukan kaum wanita yang datang melayat ketempat itu, mereka membantu mengerjakan hal-hal kecil seperti menjahit bahan yang akan dipakai untuk menutup keranda, merangkai bunga-bunga yang akan dipakai untuk menghias keranda, dan sebagainya. Sedangkan para kerabat pria mengurus surat-surat yang diperlukan untuk pemakaman jenazah, membeli tanah makam, dan membuat papan kayu (pathok), dimana dituliskan nama orang yang meninggal, tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Hal-hal tersebut mereka kerjakan tanpa ada perintah dan paksaan. Semua berjalan dengan penuh rasa solidaritas dan kemanusiaan yang tinggi.
D. Upacara Pemberangkatan Jenazah Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam, biasanya dilakukan suatu upacara yang disebut dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua atau keluarga mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia. Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat
itu
harus
berdiri
hingga
jenazah
benar-benar
diberangkatkan.
Upacara brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut: 1) Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai. 2) Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam. 3) Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang. Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anakanaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
46
LAPORAN AKHIR Adapun urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Urutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan. Namun dalam keyakinan orang Jawa, seorang wanita tidak diperkenankan untuk memasuki area pemakaman. Jadi mereka hanya boleh menghantarkan sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang masuk hanyalah kaum pria tanpa memakai alas kaki.
E. Pemakaman Jenazah Setiba di pemakaman, jenazah dikeluarkan dari keranda dan diturunkan kedalam liang kubur dengan bantuan para pekerja pemakaman. Luas sebuah liang untuk orang dewasa adalah kira-kira 1 x 2½ meter, dengan kedalaman kira-kira 2½ meter, dan digali memanjang dari arah utara ke selatan. Sepanjang salah satu sisinya, kurang lebih 2 meter dibawah permukaan tanah, dibuat sebuah lubang yang cukup untuk meletakkan jenazah dalam posisi miring, dengan kepalanya disebelah utara, dan menghadap ke arah barat (kiblat). Untuk menjaga agar jenazah tidak bergeser tempat, maka dikedua sisinya diletakkan batu-batu dan gumpalan-gumpalan tanah. Apabila jenazah sudah selesai dibaringkan, maka modin turun ke dalam liang dan membuka tali-tali pengikat kepala untuk menampakkan pipi dan telinga jenazah, dan meneriakkan kalimat azan serta kalimat syahadat berkali-kali ke dalam telinganya. Setelah itu modin tadi naik lagi dan lubang ditutup dengan papan-papan, yang disusul dengan penutupan seluruh lubang kuburan dengan tanah. Pada saat itu secara simbolik, para sanak saudara memasukkan beberapa gumpal tanah pula. Apabila lubang sudah tertutup, dan tanah di atasnya telah membentuk suatu bukit kecil, maka papan-papan nisan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, ditanam pada kedua ujungnya, yaitu ujung kepala dan ujung kaki. Selanjutnya di atas bukit kecil itu ditaburkan bunga-bunga (yang dibawa tadi), dan pada akhir upacara pemakaman masih diucapkan beberapa pidato oleh seorang wakil keluarga orang yang meninggal, untuk menyatakan terimakasih atas segala ucapan belasungkawa dan bantuan yang telah diberikan dalam hal menyelenggarakan pemakaman itu. Susudah itu semua pelayat pulang ke rumah masing-masing.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
47
LAPORAN AKHIR F. Slamêtan Prosesi berikutnya, yakni pada malam harinya para keluarga mengadakan slamêtan untuk memperingati arwah orang yang meninggal (biasanya tidak disebut slamêtan melainkan sedhekah) dengan mengundang semua orang yang telah memberikan bantuan serta sumbangan berupa apa pun juga. Setiap slamêtan yang diadakan selalu dilakukan dzikir bersama, sehingga slamêtan seperti itu dapat berlangsung sampai dua jam. Hingga empat puluh hari lamanya, dibawah tempat tidur orang yang meninggal diletakkan sajian yang diganti dua hari sekali. Adapun tata cara slamêtan ini pada intinya adalah memohonkan doa bagi arwah yang telah meninggal dan melakukan sedikit jamuan sederhana bagi yang hadir pada acara tersebut (bêrkat). Sedhekah atau slamêtan yang diadakan berhubungan dengan kematian juga diselenggarakan pada hari ketiga (nigang ndintêni), hari keempat puluh (ngawandasa dintên), hari keseratus (nyatus), peringatan setahun meninggalnya (mêndhak sepisan), peringatan dua tahun (mêndhak kaping kalih), dan yang terakhir serta paling sering diperingati dan diselenggarakan adalah pada hari keseribu (nyèwu). Bila yang meninggal anak kecil, maka sedhekah hanya diadakan satu kali saja yaitu “sêdhêkah ngêsah”. Setelah peringatan hari keseribu, maka sedhekah yang diadakan oleh para kerabat orang yang meninggal merupakan kewajiban yang terakhir yang harus dipenuhi. Secara rinci tatacara selamatan dapat diuraikan sebagai berikut. F.1. Ngesur Tanah (Gêblag) Ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga. Bahan yang digunakan untuk kenduri terdiri atas: a) Nasi gurih (sêkul wuduk) b) Ingkung (ayam dimasak utuh) c) Urap (gudhangan dengan kelengkapannya) d) Cabai merah utuh e) Krupuk rambak f) Kedelai hitam Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
48
LAPORAN AKHIR g) Bawang merah yang telah dikupas kulitnya h) Bunga kenanga i)
Garam yang telah dihaluskan
j)
Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran)
F.2. Upacara Nêlung Dina ( Tiga Hari) Nêlung dina merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan kenduri dengan mengundang kerabat dan tetangga terdekat. Bahan untuk kenduri biasanya terdiri atas: a) Takir ponthang yang berisi nasi putih dan nasi kuning, dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah. b) Nasi asahan tiga tampah, daging lembu yang telah digoreng, lauk-pauk kering, sambal santan, sayur menir, jenang merah.
F.3. Upacara Mitung Dina (Tujuh Hari) Mitung dina dilaksanakan untukmem peringati tujuh hari meninggalnya seseorang. Bahan yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas: a) Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan dalam satu . b) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih.
F.4. Upacara Matang Puluh ( Empat Puluh Hari) Matang puluh untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Biasanya peringatannya dilakukan dengan kenduri. Bahan untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari meninggalnya, namun ada tambahan sebagai berikut: Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
49
LAPORAN AKHIR a) Nasi wuduk b)
Ingkung
c) Kedelai hitam d) Cabai merah utuh e)
Rambak kulit
f) Bawang merah yang telah dikupas kulitnya g) Garam h) Bunga kenanga
F.5. Upacara Nyatus (Seratus Hari) Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari.
F.6. Upacara Mêndhak Pisan (Setahun Pertama) Upacara mêndhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari.
F.7. Upacara Mêndhak Pindho (Tahun Kedua) Upacara mêndhak pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan.
F.8. Upacara Nyèwu (Seribu Hari) Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal. Peringatan dilakukan dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan pada malam hari. Bahan yang digunakan untuk kenduri sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari yang ditambah dengan: a) Daging kambing/domba becek. Sebelum dimasak becek, seekor domba disiram dengan bunga setaman, lalu dicuci bulunya, diselimuti dengan mori selebar sapu tangan, diberi kalung bunga yang telah dirangkai, diberi Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
50
LAPORAN AKHIR makan daun sirih. Keesokan harinya domba diikat kakinya lalu ditidurkan di tanah. Badan domba seutuhnya digambar pola dengan menggunakan ujung pisau. Hal ini dimaksudkan untuk mengirim tunggangan bagi arwah yang mati supaya lekas sampai surga. Setelah itu domba disembelih dan kemudian dimasak becek. b) Sepasang burung merpati dikurung dan diberi rangkaian bunga. Setelah doa selesai dilakukan, burung merpati dilepas dan diterbangkan. Maksud tata cara ini adalah juga untuk mengirim tunggangan bagi arwah agar dapat cepat kembali pada Tuhan. dalam keadaan suci, bersih, tanpa beban. c) Sesaji, terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog, clupak berisi minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk, kemenyan, pisang raja setangkep, gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir, sirih dengan kelengkapan untuk menginang, bunga boreh. Semuanya diletakkan di atas tampah dan diletakkan di tempat orang berkenduri untuk melakukan doa. F.9. Kol atau Haul atau Kol Kolan Kol merupakan peringatan yang dilakukan untuk orang yang sudah meninggal setelah seribu hari. Ngekoli diselenggarakan bertepatan dengan satu tahun setelah nyewu. Saat peringatan ini harus bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya. Ngekoli dilakukan dengan kenduri dengan bahan kenduri: kue apem, ketan, dan kolak. Semuanya diletakkan dalam satu takir. Pisang raja satu tangkêp, uang “wajib”, dan dupa. Perlu diketahui bahwa di kota Surakarta terdapat 2 (dua) acara Haul yang relatif besar yaitu Haul Habib Ali dan Haul Kyai Siroj. Haul Habib Ali diselenggarakan di Masjid Riyadh di kampung Gurawan kelurahan pasar Kliwon kecamatan Pasar Kliwon setiap tanggal 20 dan 21 bulan Rabi’ul Tsani atau Rabiul Akhir. Perlu diketahui bahwa Haul di Gurawan ini adalah memperingati wafatnya Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi, seorang ulama, guru besar, dan pendakwah Islam yang berasal dari Yaman dan meninggal sekitar 103 tahun lalu. Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Absyi juga pernah menjadi guru besar di Mekkah. Habib Ali ini kemudian mengutus putranya yang bernama Habib Alwi untuk berdakwah di Indonesia hingga sampai di kota Solo lalu mendirikan masjid kecil di kampung Gurawan dimana pendirian masjid ini juga didukung oleh Karaton Surakarta. Sejak itu Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
51
LAPORAN AKHIR banyak alim ulama dari berbagai penjuru Jawa berguru kepada Habib Alwi, hingga ajaran Habib Ali berkembang pesat di seluruh penjuru negeri hingga ke luar negeri. Sepeninggal Habib Alwi – beliau wafat di Palembang tetapi dikebumikan di belakang masjid Riyadh di Gurrawan – pemangku masjid dilanjutkan oleh putranya yang bernama Habib Anis. Saat ini Habib Anis-pu sudah wafat dan kini digantikan oleh puteranya yang bernama Habib Ahmad bin Muhammad Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Habsyi yang sekarang ini menjadi ketua panitia haul yang diadakan tiap tahun tersebut. Haul ini mulai besar skala penyelenggaraannya sekitar tahun 1980-an. Kini acara Haul Habib Ali ini dihadiri tidak kurang dari 100 ribu peserta yang berasal dari berbagai penjuru baik dari pulau Jawa & Madura, luar Jawa seperti Sumetera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga dari luar negeri seperti Singapura dan Malaysia. Prosesi Haul Habib Ali dimulai sekitar 3 (tiga) hari sebelumnya yaitu diawali oleh para peserta yang membaca buku Diwan, yaitu buku riwayat hidup Habib Ali, dakwah beliau, ajaran-ajaran beliau, teladan-teladan beliau. Pembacaan buku dilakukan setelah sholat Ashar hingga selesai. Pada tanggal 20 mulai jam 09.00 WIB dilakukan pembacaan ayat suci Al’quran hingga Dhuhur, setelah Dhuhur semua peserta dijamu makan siang dengan menu khusus yaitu nasi Kabuli. Setelah itu acara diisi dengan tauziah yang dilakukan oleh mantan murid-murid Habib Alwi yang isinya antara lain amanah Habib Ali yang harus dipegang agar selamat dunia akherat. Tanggal 21 dimulai bakda Subuh yaitu jam 06.00 WIB dilakukan pembacaan kitab Maulid Simtut Duror karya Habib Ali yang isinya bercerita tentang Rasullullah Muhammad SAW, termasuk didalamnya berbagai syair – syair yang dimasukkan untuk menunjukkan kebesaran dari Allah SWT. Dalam kitab tersebut juga diceritakan dimana Allah SWT memberikan suatu penghormatan kepada manusia yang paling IA cintai yaitu Rasullullah SAW. Pagi itu juga ada sajian makanan yang khusus juga yaitu gulai, minuman, roti, dan sayur. Pada setiap malam juga diselingi dengan sajian kesenian Arab yang ditampilkan di aula samping masjid. Acara Haul Habib Ali ini totalnya bisa berlangsung selama 6 (enam) hari meskipun acara intinya hanya 2 (hari). Demikian pula pembiayaan acara ini semuanya ditanggung oleh keluarga bersama para peserta yang memberikan sumbangan sukarela, termasuk masyarakat sekitar yang secara sukarela membantu. Dengan makin besarnya skala peserta yang hadir dan tradisi Haul Habib Ali ini terbukti mendukung budaya dan pariwisata di Kota Surakarta, termasuk juga menggerakkan perekonomian rekyat, maka Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
52
LAPORAN AKHIR sejak 5 (lima) tahun terakhir, Haul Habib Ali ini mendapatkan insentif dana dari Pemerintah Kota Surakarta. Haul Kyai Ahmad Siroj atau sering disebut Mbah Siroj jatuh pada setiap tanggal 27 Muharram menggunakan kalender Hijrah. Kyai Ahmad Siroj atau Mbah Siroj ini dikenal oleh masyarakat muslim sebagai seorang Kyai yang termasyur menerima Karomah dari Allah SWT, banyak sekali, bahkan beliau dianggap sebagai Waliyullah. Mbah Siroj adalah pengikut Thoriqoh Qodariyah-Naqsabandiyah sebagaimana yang diamalkan oleh Syekh Abdul Qodir Jaelani. Semasa muda beliau berguru ke berbagai pesantern antara lain pada Kyai Bahri di Mangunsari Nganjuk, pada KH. Dimyati At-Tirmizi di Tremas Pacitan, dan pada Kyai Sholeh nDarat di Semarang. Penampilan selalu berpenampilan khas yaitu mengenakan iket wulung (hitam kebiruan), berbaju putih dan bergamparan tinggi bila berpergian. Beliau dilahirkan di Sala tahun 1878 dan meninggal di Sala juga tanggal 10 Juni 1961 hingga mencapai usia 83 tahun. Haul Mbah Siroj dimulai sejak tahun 1962 yaitu setiap tanggal 27 Muharram dalam kalender Hijrah bertempat di Jl. Honggowongso. Jalan Honggowongso ini pada saat Haul ditutup mulai dari pertigaan menuju Kalilarangan hingga perempatan Kawatan. Acaranya berlangsung hanya 1 (satu) hari saja biasanya dimulai bakda Ashar sekitar jam 16.00 WIB hingga sekitar pukul 01.00 WIB pagi hari. Haul ini dihadiri tidak kurang dari 5.000 orang jamaah yang memadati jalan Honggowongso. Para jamaah ini umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Semarang, Rembang, Boyolali, Salatiga, Sragen, Wonogiri dan sekitarnya. Sebagian dari mereka ada yang paginya berziarah ke makam Mbah Siroj dahulu baru ke acara Haul, tetapi adapula yang menghadiri pengajian dahulu baru esok paginya melakukan ziarah, meskipun ada pula peserta haul yang tidak melakukan ziarah kubur Mbah Siroj yang dimakamkan di daerah Pajang Surakarta. Acara haul diawali dengan Tahlilan kemudian dilanjutkan dengan acara pengajian yang diisi oleh mantan murid Mbah Siroj maupun mantan para santri – yang sekarang telah menjadi Kyai – yang pernah belajar di Pesantren As-Siroj. Dalam acara Haul juga dibacarakan riwayat Mbah Siroj, teladan-teladan dan kesederhanaan beliau, ajaran-ajaran beliau, Karomah beliau, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan interaksi beliau dengan masyarakat luas yang penuh dengan toleransi dan kasih sayang. Salah satu yang mengisi pengajian dalam acara Haul Mbah Siroj ini adalah Habib Syech dari Surakarta. Pada masa hidupnya Mbah Siroj juga telibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI bersama Laskar Hizbullah di Surakarta. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
53
LAPORAN AKHIR Haul Mbah Siroj ini diselenggarakan oleh panitia yang sifatnya sukarela. Demikian pula biaya penyelenggaraan Haul Mbah Siroj ini juga berasal dari para dermawan dan donatur yang memang secara sukarela membantu demi terselenggaranya acara haul ini. Panitia Haul sangat terbuka menerima bantuan dari manapun baik dalam bantuk uang tunai maupun bahan-bahan makanan maupun minuman. Dan hingga saat ini acara Haul Mbah Siroj ini belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah baik dari pusat, propinsi, maupun dari pemkot Surakarta sendiri. Seperti diketahui bahwa Mbah Siroj memiliki sebuah pondok pesantren yang sangat kecil dan sederhana dengan nama Pesantren As-Siroj yang beralamat di Panularan RT. 04 RW. 08 Jl. Honggowongso 57 Surakarta. Santri di pondoknya Mbah Siroj ini yang belajar dalam jangka lama tidak lebih dari 5 (lima) orang, kecuali pada saat bulan Romadhon pondok pesantren Mbah Siroj ini banyak sekali dikunjungi para santri. Pengasuh pertama Pondok Pesantren As-Siroj ini adalah Mbah Siroj sendiri, kemudian setelah beliau wafat dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu KH. Shimuri Siroj; dan setelah Kyai Shoimuri meninggal tahun 1983 dilanjutkan oleh putranya yang bernama HM. Mubin Shoimuri hingga beliau meninggal pada umur yang relatif muda; dan sekarang yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren As-Siroj adalah kakak HM Mubin Shoimuri yaitu Bapak Ahmad Mujab. F.10. Nyadran Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. Tujuan ziarah ini, tiada lain adalah untuk mengenalkan anak-cucu terhadap alur keturunannya atau silsilahnya. F.11. Niliki Kubur Selama berlangsungnya selamatan nêlung dina hingga nyèwu, fihak keluarga ahli waris pergi ke makam untuk membersihkan rerumputan serta merapikan makam. Hal ini dapat juga diwakilkan orang lain. F.12. Ngijing Makam menurut masyarakat Jawa sebaiknya diberi éyup-éyub atau cungkup agar terhindar dari panas dan hujan. Makam yang masih berujud gundukan tanah, biasanya segera dikijing. Kegiatan ini hanya boleh dilakukan setelah nyewu, fihak keluarga sudah pernah mantu atau tanah kubur sudah matu (membatu, keras).
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
54
LAPORAN AKHIR F.13. Unggah-Unggahan Selamatan Unggah-Unggahan dilaksanakan malam tanggal satu Ramelan (Ramadhan). Adapun ubarampe (bahan) kendhuri berupa apem dan pisang.
F.14. Udhun-Udhunan Selamatan Udhun-udhunan dilaksanakan malam tanggal satu Sawal. Bahan kendhurinya berupa apem dan pisang Sementara itu sisa-sisa terakhir dari ikatan-ikatan emosional dan spiritual yang mungkin masih ada, juga dianggap telah habis. Walaupun demikian banyak keluarga Jawa penganut Agami Jawi masih tetap mengunjungi makam nenek moyang mereka pada kesempatan-kesempatan tertentu, yang disebut nyêkar. Apabila orang ingat terhadap orang yang sudah meninggal, biasanya mereka mengucapkan doa lêpasa parané, jêmbara kuburé.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
55
LAPORAN AKHIR BAB VII WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UPACARA ADAT 1 SURO, GREBEK BESAR, GREBEK PASA, DAN GREBEK MULUD
A. Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Karaton Surakarta Malam 1 Suro dalam kalender tahun baru Jawa atau 1 Muharam dalam kalender tahun baru Islam memiliki makna spritual sebagai perwujudan perubahan waktu yang diyakini akan berdampak pada kehidupan manusia. Di lingkungan kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Karaton Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman, secara-sosiokultural adalah pewaris sah dari dinasti kerajaan Mataram Islam. Maka, tidak mengherankan apabila berbagai kegiatan upacara adat yang berlangsung di karaton merupakan kelanjutan dari kerajaan Islam, termasuk upacara menyambut malam menjelang tanggal 1 Suro setiap tahunnya. Hanya saja, dalam pelaksanaannya cenderung terjadi perbedaan interprestasi dan perlengkapan upacara yang dipersyaratkan mengingat masing-masing kerajaan atau daerah memiliki warisan pusaka sendiri-sendiri. Namun pelaksanaan upacara ritual Suran memiliki esensi yang sama, yaitu memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui persyaratan dan perlengkapan upacara yang berbeda. Di lingkungan Karaton Surakarta, tradisi upacara
ritual 1 Suro dilakukan
dengan prosesi kirab pusaka dari dalem ageng Prabayasa keluar, plataran Karaton keluar melalui kori Srimanganti, terus keluar lagi melalui pintu Kamandungan, terus pintu Brajanala ke Kiri menuju gapura Gladag, keutara kantor pos ke timur, Lojiwetan keselatan, perempatan Baturana ke barat, perempatan Gemblegan ke Utara, perempatan Nonongan ke timur kembali ke Karaton. Sebelum prosesi kirab ini dimulai, biasanya diadakan wilujengan yaitu doa bersama oleh abdidalem Ngulama Karaton. Setelah semua abdidalem yang nanti akan membawa pusaka (mbutar dan ngampil) tertata sesuai urutan kepangkatan yang ada di dalam Karaton Surakarta, sebagai pembawa pusaka setiap abdidalem diharuskan mengenakan ‘gajah ngoling’ suatu asesoris bunga melati dibentuk sedemikian rupa yang dipasang ditelinga kiri dan mengenakan kalung untaian bunga melati. barulah Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwana XIII memerintahkan ‘paring dhawuh’ adik-adik perempuannya dan dibantu oleh abdidalêm putri mengeluarkan pusaka (berupa tombak) keluar dari gedong pusaka ke paringgitan tempat abdidalem pembawa pusaka yang telah tertata menurut urut barisannya. Setelah semua pembawa pusaka tertata rapi dengan pusakanya, dimulailah prosesi kirab urut dari baris pertama keluar dari ‘paringgitan’ suatu tempat dibelakang Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
56
LAPORAN AKHIR Sasana Sewaka keluar menuju halaman Karaton dilanjutkan menuju Kori Sri manganti, kori kamandungan, Kori brajanala ke Utara jalan besar Gladag untuk mengelilingi Karaton Surakarta ke arah kanan (pradaksina). Kirab pusaka Malam 1 Suro adalah upacara adat Karaton yang dilaksanakan secara turun temurun.
Adat Karaton disebut juga adat leluhur, yakni kebiasaan,
perilaku, yang tetap ada di kalangan Karaton, tidak berubah bentuk, macamnya, tatanannya sebagai bentuk peninggalan leluhur Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana, yang bertathta di Karaton Surakarta. Secara normatif, adat Karaton yang berupa kebiasaan, paugêran, kaidah atau tatanan itu mengikat anggota masyrakatnya (KRMH. Surjandjari Puspaningrat, 1996:15), baik dalam lingkup putra dan sentana Karaton maupun dalam lingkup masyarakat di luar Karaton yang mengakui keberadaan Karaton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Pada saat berlangsungnya kirab pusaka, para pembawa ‘pangampil’ yang membawa di depan dan para ‘pambuntar’ yang membawa pusaka di ujung tangkai tumbak, diwajibkan mengenakan samir dan untaian bunga melati ditelinga sebelah kanan yang disebut gajah ngoling. A.1. Perlengkapan atau Alat Upacara Kirab Pusaka Malam 1 Suro Perlengkapan atau Uborampé yang digunakan dan berkaitan langsung dalam pelaksanaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro yang meliputi: (1) peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro, (2) Pakaian yang digunakan dalam pelaksanaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro, (3) Sesaji yang digunakan dalam pelaksanaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro, dan (4) Makanan yang digunakan untuk Wilujêngan dalam pelaksanan upacara Kirab Pusaka Malam 1 Suro Karaton Surakarta. Tabel 7.1. Perlengkapan Upacara Kirab 1 Suro No.
1
2 3
4
Perlengkapan upacara Kirab Pusaka Malam 1 Suro Anglo dan Kemenyan : Anglo adalah tempat untuk membakar arang, kemenyan atau dupa yang terbuat dari tanah liat. Kipas dan Arang Songsong (payung) : digunakan untuk memayungi pusaka-pusaka Karaton yang dikirabkan. Cambuk (pêcut) :digunakan untuk menggala kerbau Kyai Slamêt.
Warisan Budaya Tak Benda
No.
Perlengkapan upacara Kirab Pusaka Malam 1 Suro
5
Pêngaron adalah tempat air untuk minum kerbau Kyai Slamet; dan Rumput untuk makanannya.
6
Lampu Oncor, Ting dan Lampu Pompa : untuak penerangan saat kirab
Halaman
57
LAPORAN AKHIR A.2. Pakaian dalam Upacara Adat Kirab Pusaka Malam 1 Suro Karaton Surakarta. Baju Atasan Warna Hitam. Baju atasan untuk wanita adalah kêbaya hitam, baik model kuthu baru maupun Sikêpan putri. Sedang untuk laki-laki memakai Bêskap untuk para kerabat raja dan model Atella, dan memakai penutup kepala yang namanya Blangkon. Ikêt blangkon Jèbèhan untuk kerabat raja dan Ikê Blangkon Cêkok mondhol untuk golongan abdidalêm. Pria dan wanita wajib mengenakan busana Jawa lengkap. Warna hitam disini melambangkan keagungan dan keabadian serta kesempurnaan. Selain itu warna hitam juga mengandung makna keteguhan hati dan cita-cita untuk ikut melestarikan pelaksanaan Kirab Pusaka yang merupakan warisan dari para leluhur. Kain Jarik. Kain jarik yang digunakan untuk kerabat Karaton adalah kain jarik yang bermotif Parang lèrèng, yang melambangkan keagungan kerajaan Mataram. Untuk masyarakat umum menggunakan motif selain motif Parang lèrèng, yang semua itu merupakan pelengkap pakaian Jawa. Kendati demikian dianjurkan mengenakan kain jarik yang berlatar hitam menyesuaikan makna busana tersebut diatas. Samir. Menurut KRMH Yosodipuro atau lebih dikenal dengan Eyang Yoso seorang Juru penerang Karaton Surakarta, bahwa Samir mengandung pengertian tentang kehidupan manusia yang senantiasa akan menghadapi suatu ‘panggodha’ atau godaan. Godaan ini tidak hanya berujud godaan lahiriah tetapi juga godaan batiniah yang berkaitan dengan kehidupan para makhluk astral atau badan alus yang berada di tempat-tempat keramat. Tempat-tempat keramat tersebut seperti di Pendapa Agêng Sasana Séwaka, Keputrèn, Dalem Agêng Prabayasa, makam raja-raja Jawa, diwajibkan bagi mereka bagi mereka yang masuk tempat-tempat tersebut untuk memakai samir. Gajah Ngoling. Gajah Ngoling adalah rangkaina bunga melati yang dibentuk setengah lingkaran dan dipakai ditelinga bagi yang akan ngampil maupun buntar pusaka. Bunga melati melanbangkan kesucian, dalam upacara kirab Pusaka Karaton Surakarta ini orang yang mengampil maupun buntar pusaka haruslah benar-benar suci, tidak boleh kotor. Orang yang kotor tidak akan kuat membawa pusaka Karaton yang memiliki aura gaib yang besar. Para abdidalêm dan Sêntana dalêm (kerabat raja) mengenakan busana sowan Karaton Jawi Jangkep warna hitam menurut golongannya sebagai berikut:
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
58
LAPORAN AKHIR 1) Golongan Sentana dalem ‘Kerabat Raja” Golongan Sêntana dalêm (kerabat raja) mengenakan bêskap hitam, kain berlatar hitam (latar irêng), dhuwung (keris) warangka gayaman, pakai dhêstar (tutup kepala) jebéhan. Untuk mereka yang berpangkat: (i)
KGPH (Kanjêng Gusti Pangéran Haryo)
(ii)
KPH (Kanjêng Pangéran Harya)
(iii)
KPRP (Kanjêng Pangéran Riya Panji)
(iv)
KPP (Kanjeng Pangeran Panji)
(v)
KP (Kanjêng Pangéran)
(vi)
KRRAP (Kanjeng Raden Riya Arya Panji)
(vii) KRAP (Kanjeng Raden Arya Panji) (viii) KRRA (Kanjêng Radén Riya Arya) (ix)
KRA (Kanjêng Radèn Arya)
2) Golongan Abdidalêm Golongan Abdi dalêm (abdi Kerajaan) mengenakan atéla hitam (Pakaian Krowok yang beniknya ada ditengah), kain berlatar hitam (latar ireng), dhuwung (keris) warangka gayaman, pakai dêstar (tutup kepala) Cêkok Mondhol Kuncung. Untuk mereka yang berpangkat: (i)
KRAT (Kanjêng Radèn Arya Tumênggung)
(ii)
KRMT (Kanjêng Radèn Mas Tumênggung)
(iii) KRT (Kanjêng Radèn Tumênggung) (iv) RMT (Radèn Mas Tumènggung) (v)
RT (Radèn Tumênggung)
(vi) RMng (Radèn Mas Ngabèhi) (vii) Rng (Radèn Ngabèhi) (viii) Mas Ngabèhi (ix) Mas Lurah (x)
Warga Pakasa
B. Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Pura Mangkunegaran Dahulu kala pusaka Karaton dan Pura Mangkunegaran di keluarkan dari gedong pusaka apabila di wilayah tersebut terjadi peristiwa darurat, sehingga hal itu perlu untuk dilakukan misalnya untuk mencegah wabah penyakit, mencegah kebakaran, menolak banjir atau musibah yang lain. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
59
LAPORAN AKHIR Biasanya kirab pusaka Pura Mangkunegaran dilaksanakan pada tanggal 1 bulan Sura, dengan beberapa pusaka pusaka dikirabkan berkeliling mengitarai tembok beteng pura sebanyak satu kali. Setelah itu pusaka dibawa masuk dan disimpan kembali ke gedong pusaka atau kamar kyai. Selain ada pula beberapa pusaka Mangkunegaran yang sampai sekarang disimpan di Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri.
Hal tersebut dikarenakan
kehendak Mangkunegara VII yang melaksanakan permohonan masyarakat Nglaroh, sehingga sebagai bukti untuk mengingatkan perjuangan Pangeran Sambernyawa mendapat dukungan dari masyarakat Nglaroh, Wonogiri tersebut.
Pusaka tersebut
adalah waos (tumbak) Kyai Togog dan Kyai Baladéwa serta duwung Kyai Karawêlang. Di Pura Mangkunegaran upacara jamasan telah dilaksanakan secara turuntemurun sejak jaman Mangkunegara I. Sedangkan upacara kirab pusaka dilaksanakan bermula sejak Mangkunegara VII yang mengadakan kesepakatan dengan Paku Buwana X, maka upacara suran tidak hanya menyelenggarakan upacara jamasan atau menyucikan pusaka saja tetapi setelah itu dilanjutkan dengan upacara kirab pusaka. Kirab pusaka pada waktu itu dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan terhindar dari pageblug (wabah penyakit) dan berbagai macam bencana yang banyak terjadi. Kirab
pusaka
dilaksanakan
dengan
Mangkunegaran sebanyak satu kali putaran.
mengelilingi
tembok/beteng
Pura
Pusaka dibawa atau diusung oleh
abdidalem petugas yang ditunjuk serta diikuti oleh iring-iringan peserta kirab yang lain terdiri dari para kerabat, abdidalem dan masyarakat yang berpartisipasi pada ritual tersebut. Para peserta kirab diwajibkan untuk menggunakan busana Jawa lengkap baik pria maupun wanita. Dalam pelaksanaan upacara ritual kirab 1 Sura di Pura Mangkunegaran yang diawali upacara Jamasan pusaka.
Serangkaian persiapan pelaksanaan upacara
diantaranya mempersiapakan uborampe sesaji. Adapun macam sesaji sebagai berikut: a. Sêkul Rogoh Lélé b. Sêkul Golong c. Dhondhang/Jodhang d. Tumpêng Ayam Panggang e. Tumpêng Kêtan f. Tumpêng nasi biasa g. Sêkul punar h. Sêkul uduk Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
60
LAPORAN AKHIR i. Opak angin j. Telor rebus k. Jajan pasar l. Sêkul lêmbaran Pelaksanaan upacara Kirab 1 Sura di pura Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta tidak dalam waktu yang bersamaan.
Karena di pura Mangkunegaran
mempunyai keyakinan bahwa saat yang tepat pergantian hari adalah setelah matahari terbenam.
Sedangkan Karaton Surakarta berkeyakinan bahwa saat yang tepat
pergantian hari adalah tengah malam hari.
Dengan demikian masyarakat dapat
menyaksikan kedua acara tadi hingga dini hari.
C. Upacara Grêbêk Di Karaton Surakarta Karaton Kasunanan Surakarta salah satu pewaris kerajaan Mataram (Panembahan Senopati) yang mempunyai kwajiban melestarikan kebudayaan yang bersifat kejawen maupun Islam. Salah satu paduan antara kejawen dan Islam dalah adat Grêbêg.
Inti upacara Grêbêg adalah selamatan gunungan atau ‘Parêdèn’, yang
merupakan ujud dari sedekah raja kepada rakyatnya, sebagai rasa syukur atas kemakmuran dan keselamatan yang diberikan Nya. Dan merupakan tuntunan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Grêbêg berasal dari kata Ginarêbêg, yang artinya arak-arakan raja atau utusan raja berjalan diiringi banyak orang.
Ini sekaligus menjelaskan mengapa setiap
berlangsungnya Upacara Grêbêg selalu melibatkan sejumlah besar abdidalêm, kerabat raja (sêntana dalêm). C.1. Grêbêg Mulud Upacara tradisi Grêbêg Mulud ini diselenggarakan oleh Karaton Surakarta dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dilaksanakan mulai tanggal 5 sampai 12 bulan Mulud. Rangkaian upacara diawali dengan mengeluarkan gamelan Sekaten dari gedong pusaka dibawa dihalaman masjid Agung Surakarta. Mengarak hajad dalem gunungan atau pareden dan memasukan kembali gamelan Sekaten sebagai pertanda akhir dari prosesi
perayaan Muludan. Grebeg Mulud
merupakan simbol syariat Islam dalam kemasan budaya. Makna sprituala terkandung pada Gamelan Sekaten dan gending-gending yang diperdengarkan. Sekaten dari kata Syahadatain yang mempunyai arti Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
61
LAPORAN AKHIR Mempercayai kebenaran dua perkara, yaitu yakin kepada Allah SWT (Syahadat tauhid) dan mempercayai Muhammad sebagai utusan Allah (Syahadat Rasul). Selama seminggu ditabuh di halaman Masjid Agung dan ada beberapa gending yang dilantunkan secara bergantian dan gendhing Utama adalah Rambu dan Rankung. Rambu berasal dari bahasa Arab Robbuna atau Allah pangeranku, dan Rankung dari kata Roukhun, mengartikan jiwa yang besar atau agung. Sedangkan aspek kultural pada gunungan lanang (laki-laki) serta gunungan wadon (perempuan) yang tak lain merupakan perwujudan lingga-yoni, lambang kesuburan.
Seusai dibacakan doa oleh abdidalem Ulama dari Karaton, gunungan
dibagikan kepada khalayak umum yang sejak pagi telah memadati di pelataran Masjid agung. Sejak dulu upacara tradisi keagamaan ini memang selalu menarik minat banyak orang untuk datang menyaksikan. Mereka bukan saja warga dalam kota , tetapi juga datang dari pinggiran bahkan pelosok pedesaan. Pengunjung memadati halaman masjid sampai meluber ke Alun-alun Utara. Kesempatan ini banyak dimanfaatkan oleh para pedagang, sehingga akhirnya terciptalah semacam pesta rakyat yang kemudian dikenal sebagai perayaan Sekaten. Pelaksanaan Upacara Gunungan atau Parêdèn dalam Grêbêg mulud merupakan satu kesatuan dari kumpulan beberapa unsur-unsur yang masing-masing mengandung makna dan tuntunan hidup manusia , baik dalam kehidupan beragama (ibadah) maupun hidup bermasyarakat (sosial). Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam upacara gunungan grêbêg mulud adalah sebagai berikut: a. Gunungan Jaler (Laki-laki) Gunungan jalêr berbentuk Lingga (runcing) kerucut dan tinggi, ini melambangkan laki-laki, bahwa laki-laki itu mempunyai tanggung Jawab yang tinggi atau besar terhadap kehidupan rumah tangganya.
Bahan
perlengkapan yang digunakan dalam Gunungan Jalêr yang bahan pokok terdiri atas (i) Bendera Merah Putih berjumah 9, (ii) Cokro sebagai puncak dan pangkal berdirinya gunungan, (iii) Kampuh, kain yang berwarna merah putih untuk menutup Jodang (tempat makanan), (iv) Sandang, (v) Entho-êntho, yakni makanan yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras, (vi) Telur asin. Bahan dari sayuran dan perlengkapan lainnya terdiri dari (i) cabe, terong, pisang, wortel, timun, kacang panjang, dan sayuran lainnya; (ii) Dami (batang padi), Jodang, Sujèn, Peniti, Samir, Jarum bundhêl. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
62
LAPORAN AKHIR b. Gunungan Estri (Perempuan) Gunungan Estri terbentuk lebih pendek dari Gunungan Jalêr, berbentuk ‘Yoni’ yang melambangkan ciri seorang perempuan (wadon), dengan berjalan dibelakang Gunungan Jalêr (laki-laki) dan Gunungan Anakan, Gunungan Estri sekaligus sebagai pengawal Gunungan Anakan. Bahan perlengkapan yang digunakan dalam Gunungan Estri antara lain (i) Bendera Merah Putih berjumlah 5, (ii) Etêr atau Tuntut, dimana Etêr ini terbuat dari seng berbentuk jantung manusia, (iii) Kampuh, (iv) Bunga, (v) Rêngginan, makanan terbuat dari beras ketan yang besar, (vii) Jajanan, yang terdiri dari jadah, wajik, jênang dan jajan pasar yang lainnya, (viii) Pelengkap Gunungan Estri yang berupa makanan yaitu: Kècu, Ondé-ondé, dan berupa alat yaitu: Giwangan Bima, Samir Jêné (kuning), Sujèn, daun pisang, tali dan Jodang.
c. Gunungan Anakan (Saradan) Gunungan Anakan ini selalu ada diantara Gunungan Jalêr dan Gunungan Estri, ini sesuai dengan jumlah gunungan besar (gunungan jalêr-èstri). Adapun bahan yang digunakan sebagai berikut: (i) Uang Logam, (ii) Rêngginan Kecil yang berwarna merah, hitam, putih, dan kuning sebanyak empat biji untuk Jaler dan 8 biji untuk estri, (iii) Buntal Buntal sebuah rangkain bunga digunakan untuk hiasan gunungan, (iv) Etêr atau Tuntut Kecil.
d. Ancak Cantoko Ancak Cantoko merupakan wujud selamatan kecil yang berupa tumpengan (gunungan kecil) yang jumlahnya tidak ditentukan. dimaksudkan
Ancak cantoko
dalah sedekah abdidalem dan kerabat Karaton yang
dikeluarkan oleh raja karena mereka ada di lingkungan Karaton yang merupakan kawasan lindungannya. Bahan-bahan yang digunakan didalam Ancak Cantoko antara lain perlengkapan nasi sebagai lambang kemakmuran kehidupan rakyat yang terdiri dari (i) Sega Wuduk (nasi gurih), (ii) Sega Janganan (Nasi sayuran), (iii) Sega Asahan; dan (iv) buah-buahan atau Jajan Pasar.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
63
LAPORAN AKHIR C.2. Grêbêg Pasa Grêbêg Pasa atau grêbêg siyam diadakan pada setiap hari raya I’dul Fitri seusai melaksanakan Sholat Ied. Meski tak semeriah Grêbêg Mulud namun bentuk upacaranya mirip. Perbedaannya terletak pada jumlah gunungan yang dibuat lebih sedikit. Selain makna keagamaan dan budaya, Grêbêg Pasa diwaktu lampau juga mengandung aspek ekonomi, politik maupun sosial. C.3. Grêbêg Besar Grêbêg ini diselenggarakan setiap tanggal 10 bulan Besar untuk memperingati hari raya Iedul adha. Bentuk maupun pelaksanaannya hampir sama dengan dua upacara sejenis yang sudah disebutkan terdahulu.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
64
LAPORAN AKHIR BAB VIII WARISAN BUDAYA TAK BENDA: BERSIH DESA
Kepulauan Nusantara merupakan sebuah kepulauan yang kaya akan budaya tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Salah satu pusat peradaban yang memiliki kekhasan budaya yang unik adalah Pulau Jawa. Salah satu kekhasan kultur Jawa yang bisa kita telaah lebih lanjut adalah kehidupan religi orang Jawa kaitannya dengan alam sekitarnya. Manusia Jawa membangun hubungan baik dengan alam sekitarnya dikarenakan orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan manusia. Kepercayaan kepada kekuatan yang dimiliki alam sekitar, kekuatan itu dianggap hidup dan bergerak, mempunyai kekuatan gaib dan roh yang berwatak baik maupun jahat. Mereka membayangkan bahwa dari semua roh yang ada, tentu ada kekuatan yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Oleh karena ada kekuatan yang berwatak baik maupun jahat, maka untuk menghindarkan gangguan dari roh jahat orang Jawa mengadakan upacara. Salah satu ritus atau upacara tradisional yang masih berlangsung adalah tradisi bêrsih désa. Upacara tradisi bêrsih désa adalah suatu ritual, dimana kegiatan tersebut merupakan refleksi dari wujud rasa syukur masyarakat yang ditujukan kepada nenek-moyang penunggu kampung atau desa tempat mereka tinggal, yang telah memberikan keselamatan dan rezeki pada warga masyarakat selama satu tahun. Upacara bêrsih désa tersebut
dimaksudkan untuk
memberikan sedekah
berwujud sesaji dan ditujukan kepada dhanyang sing bahurêksa atau penunggu desa yang tinggal di sekitar séndhang. Dhanyang sing bahurêkso ini adalah roh yang baik, bukan nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Dhanyang adalah roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat (yaitu desa, dukuh atau kampung), bahurêkso adalah penjaga tempat-tempat tertentu, seperti bangunan umum, suatu sumur tua, suatu tempat tertentu di dalam hutan, tikungan sebuah sungai, sebuah beringin tua, sebuah gua dan sebagainya. Seperti halnya yang dikatakan A.C. Kruyt : “…manusia itu pada umumnja percaja akan adanja suatu djat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banjak hal di dalam alam semesta ini. djat halus itu ada terutama di dalam bagian-bagian tubuh manusia, binatang, dan tumbuhtumbuhan, tetapi sering djuga dalam benda- benda.” (Koentjaraningrat, 1961: 187). Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
65
LAPORAN AKHIR Khusus pada tumbuh-tumbuhan, mereka percaya bahwa zat halus tersebut mendiami pohon yang besar, di dalam suatu mata air, atau pelangi. Bêrsih désa atau bêrsih dhusun dilakukan sekali dalam setahun, dimaksudkan untuk membersihkan diri dari kejahatan ataupun kesengsaraan dalam hidup. Hal ini tercermin dari segala aspek yang terdapat dalam perayaan tersebut. Apabila kita lihat lebih seksama, maka akan dapat kita lihat bahwa upacara tersebut menandakan wujud penghormatan kepada roh nenek-moyang atau penjaga desa tersebut. Pada intinya, upacara ini dilaksanakan adalah untuk meminta kebahagiaan dan dijauhkan dari kesengsaraan dalam menjalani hidup. Upacara
bêrsih
désa
(mêrti
dhusun)
merupakan
upacara
yang
diselenggarakan oleh semua penduduk dalam sebuah wilayah. Dengan kata lain upacara bêrsih désa bukan merupakan upacara untuk kepentingan individu melainkan untuk kepentingan satu kampung, dusun, atau desa. Upacara ini dilaksanakan satu tahun sekali, setiap desa memiliki hari-hari tertentu yang telah disepakati secara turun temurun untuk melaksanakan upacara bêrsih désa. Dengan demikian antara desa/kampung yang satu dengan desa/kampung yang lain dimungkinkan berbeda waktu pelaksanaannya. Masyarakat menyelenggarakan upacara bêrsih désa dengan tujuan untuk membersihkan diri dari kejahatan, dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini tercermin dari berbagai aspek perayaan bêrsih désa yang mengandung unsurunsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Namun demikian ada sisi lain dari penyelenggaraan upacara ini yaitu sisa-sisa peninggalan kebudayaan animisme dan dinamisme yaitu adat penghormatan terhadap roh nenek moyang. Upacara bêrsih désa diselenggarakan di suatu tempat di dekat makam pendiri desa atau tempat-tempat yang dianggap memiliki hubungan dengan kehidupan desa atau kehidupan pendiri desa yang biasa disebut dhanyang atau cikal bakal pendiri desa. Dalam upacara bêrsih désa juga diselenggarakan pertunjukan kesenian. Di daerah pesisir kesenian tayub dihadirkan dalam upacara tersebut, sedangkan di daerah pedalaman biasanya menyelenggarakan wayangan sehari semalam. Di daerah pedesaan yang sebagian besar penduduknya kaum santri kesenian yang dihadirkan adalah sholawatan. Bêrsih désa atau bêrsih dhusun dilakukan sekali dalam setahun, dimaksudkan untuk membersihkan diri dari kejahatan ataupun kesengsaraan dalam hidup. Hal ini tercermin dari segala aspek yang terdapat dalam perayaan tersebut. Apabila kita lihat lebih seksama, maka akan dapat kita lihat bahwa upacara Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
66
LAPORAN AKHIR tersebut menandakan wujud penghormatan kepada roh nenek-moyang atau penjaga desa tersebut. Pada intinya, upacara ini dilaksanakan adalah untuk meminta kebahagiaan dan dijauhkan dari kesengsaraan dalam menjalani hidup. Hal itu pulalah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Surakarta dan masyarakat Kampung Ngaglik Wanawasa Mojosongo, serta Kampung Sabrang Lor Mojosongo hingga sekarang. Masyarakat di ketiga kampung ini masih melaksanakan tradisi bêrsih désa setiap tahunnya. Tradisi
ini
dianggap sebagai warisan secara turun-temurun dari nenek moyang.
Tradisi ini terdiri dari beberapa acara mulai dari upacara bêrsih désa itu sendiri, upacara syukuran dan diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit purwa merupakan acara inti dalam upacara bêrsih désa di Kampung Bibis Kulon dan Kampung Ngaglik serta Kampung Sabrang Lor yang ditujukan kepada dhanyang kampung. Makhluk halus merupakan penjelmaan dari jiwa orang yang telah meninggal, yang menempati suatu tempat di sekitar manusia, misalnya di sumur, di pohon, sungai, dan batu. Tradisi bersih desa merupakan tradisi masyarakat yang senantiasa harus dipatuhi dan dilaksanakan. Masyarakat percaya apabila tradisi bêrsih désa tidak disertai dengan pertunjukan wayang, maka akan terjadi malapetaka, misalnya saja terdapat warga masyarakat yang meninggal secara tiba- tiba karena kecelakaan, bunuh diri, dan keracunan.
A. Sejarah Tradisi Bersih Desa di Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta Tradisi bêrsih désa adalah warisan dari para leluhur, dimana tradisi ini sarat akan makna, pada intinya mengajarkan kebaikan yang harus dilakukan dan keburukan yang harus ditinggalkan. Tradisi bêrsih désa dilakukan setiap satu tahun sekali, dan dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki dan kepada para leluhur yang telah memberikan keselamatan, ketentraman dan kesehatan. Persepsi inilah yang dianut oleh masyarakat Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Surakarta. Meskipun secara geografis atau tata letak, wilayah Kampung Bibis ini dapat dikatakan sebagai wilayah dari perkotaan, tetapi mereka masih mempunyai pola pikir yang sebagian masih mencerminkan pola pikir masyarakat pedesaan. Tradisi bêrsih désa dilakukan dari generasi ke generasi tanpa ada yang berani untuk menghentikan, karena takut akan terkena bala. Persepsi di sini diartikan sebagai proses
memberikan
Warisan Budaya Tak Benda
arti
terhadap
obyek
dari
luar
yang
menjadi
Halaman
67
LAPORAN AKHIR rangsangan kemudian diterima oleh indra yang disampaikan ke otak lalu terjadilah proses kejiwaan yang akhirnya terbentuklah tanggapan terhadap stimulus tersebut. Pada acara tradisi bêrsih désa, semua warga masyarakat kampung terlibat dan saling gotong-royong satu sama lain dalam proses persiapan hingga acara selesai diselenggarakan. Keterlibatan anggota masyarakat merupakan bagian dari partisipasi untuk melestarikan kebudayaan yang dianggap sebagai warisan leluhur. Keterlibatan masyarakat bisa berupa apa saja yang dapat membantu terlaksananya acara ini. Misalnya saja keterlibatan emosional dan keterlibatan mental, keterlibatan material, keterlibatan fisik. Partisipasi masyarakat mungkin akan terjalin, karena adanya rasa keterikatan sebagai warga dari Kampung Bibis Kulon. Baik warga yang masih tinggal di kampung ini ataupun yang sudah pindah ke tempat lain untuk bekerja tetap berpartisipasi dalam acara bêrsih désa. semua hal di atas diterapkan oleh warga masyarakat ke dalam setiap tahap partisipasi, yaitu perencanaan yang meliputi Pengambilan keputusan dalam identifikasi masalah dan identifikasi kebutuhan, dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan dan diakhiri tahap evaluasi beserta tahap pemanfaatan hasil. Kampung Bibis Kulon menyimpan suatu tradisi turun-temurun yang tidak ternilai harganya. Tradisi ini masih rutin dilakukan di kota Solo setiap bulan Sura (Muharram) pada hari Kamis malam Jum’at Kliwon. Menurut beberapa sumber, hari yang ditentukan untuk melakukan tradisi bêrsih désa, yaitu Jum‟at Kliwon pada bulan Sura, selain hari dan bulan yang dikeramatkan oleh orang Jawa, hari tersebut adalah hari kelahiran Tirtowidjojo, bayan Kampung Bibis Kulon yang terkenal pada masa penjajahan Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1937 bayan tersebut pernah bermimpi melihat seorang putri Cina memakai kain kebaya sedang berjalan-jalan dengan membawa beban yang sangat berat, sehingga terbungkuk-bungkuk (miyik-miyik). Akhirnya pundhèn utama Kampung Bibis Kulon dinamakan Mbah Mèyèk Cerita yang beredar di masyarakat adalah sumur Mbah Mèyèk menyimpan misteri. Di kampung terdapat lapangan balap kuda milik Mangkunegaran. Kadangkadang seekor kuda balap lenyap begitu saja besama penunggangnya. Pada waktu itu terdapat kejadian aneh, yaitu pada tahun 1930-an. Seorang lurah yang juga memiliki kuda balap, selama seminggu kuda tersebut tidak mau bergerak. Terdapat mitos bahwa kuda tersebut dipinjam oleh Mbah Mèyèk untuk menemui roh Sultan Gunung Lawu, karena dipercaya bahwa mereka masih mempunyai hubungan keluarga. Lapangan balap itu kemudian diubah menjadi lapangan terbang untuk pesawatWarisan Budaya Tak Benda
Halaman
68
LAPORAN AKHIR pesawat kecil. Pilot-pilot yang tidak mengetahui tentang sumur tersebut terbang terlalu rendah dan mengalami kecelakaan. Banyak orang memakai air sumur tersebut untuk menyembuhkan penyakit. Dikisahkan pada suatu waktu, kerabat lurah ada yang mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh dan hampir meninggal. Kemudian pada suatu hari, lurah tersebut bertemu dengan seorang perempuan tua di dekat sumur dan memberi sejumlah uang untuk membeli bunga guna sesaji. Ketika lurah menyadari bahwa uang yang diberikan terlalu banyak, lurah tersebut berbalik lagi, tetapi perempuan tersebut sudah menghilang. Seorang warga memberi tahu, bahwa perempuan tua tersebut adalah Mbah Mèyèk. Akhirnya lurah tersebut membeli bunga dan meletakkannya di sumur, dan kerabat lurah tersebut sembuh. Pada tahun 1942-1943 yaitu pada zaman penjajahan Jepang, Kampung Bibis Kulon tidak melaksanakan bêrsih désa, karena tidak diperbolehkan oleh tentara Jepang. Akibatnya, Kampung Bibis Kulon banyak terjadi malapetaka dan terserang wabah penyakit. Akhirnya pada tahun 1944 Bayan Tirtowidjojo bersama Demang atau Lurah Gilingan yaitu Demang Pantjanarmada meminta ijin (nyuwun lilah) kepada pemerintah Mangkunegaran untuk melaksanakan kembali tradisi bêrsih désa, dan permintaan tersebut dikabulkan. Sejak tahun itu hingga sekarang, kampung Bibis Kulon selalu melaksanakan upacara bêrsih désa dan masyarakat tidak ada yang berani merubah ataupun menghentikannya karena takut akan terjadi malapetaka atau bala’ . Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda sumur yang dikeramatkan oleh warga pernah ditutup. Awal mula kejadian adalah sebuah pesawat jatuh di dekat sumur dan merusakkan sumur beserta pohon asam yang berada di dalam sumur. Pada waktu itu, masyarakat melihat seekor ular besar keluar dari sumur yang diikuti ular-ular kecil sebesar ibu jari menumpang di punggungnya. Ular itu bernama Mbah Kaji yang dipercaya sebagai pengikut Mbah Mèyèk. Pada tahun 1949, daerah Kampung Bibis diratakan dan dibuat lapangan terbang untuk dipakai perang. Pohon asam dekat sumur ditebang dan sumur ditutup dengan beton. Kemudian Belanda menyerah. Peristiwa penyerahan Belanda dipercaya sebagai akibat penutupan sumur yang dilakukan oleh pihak Belanda. Pada tahun 1950, sumur tersebut dibuka kembali dan sebuah pohon asam kecil tumbuh di dalamnya. Pada waktu itulah, masyarakat melakukan bêrsih désa kembali. Kadang-kadang orang melihat seorang perempuan tua di dekat sumur, hanya sepintas saja, kemudian hilang.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
69
LAPORAN AKHIR Rangkaian upacara bêrsih désa di Bibis Kulon terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu kerja bakti, selamatan pundhèn, kirab wayang, dan selamatan kampung, selengkapnya adalah sebagai berikut: A.1. Kerja Bakti
Rangkaian upacara bêrsih désa di Kampung Bibis Kulon diawali dengan kerja bakti yang dilaksanakan pada hari Kamis Wage pada bulan Sura. Kegiatan kerja bakti merupakan sebuah bentuk kerja sosial yang dilaksanakan warga Kampung Bibis Kulon dengan penuh kesadaran dan tanpa pamrih. Kegiatan kerja bakti yang melibatkan semua warga kampung dilakukan untuk membersihkan lingkungan kampung seperti saluran air, jalan kampung dan tentu saja tempat pundhèn-pundhèn kampung, makam kampung dan membuat panggung untuk pertunjukan wayang kulit. Beberapa tempat pundhèn yang dibersihkan dan selanjutnya dihias dengan janur kuning adalah pundhèn Mbah Mèyèk, Mbah Sumur Bandhung, Mbah Asêm Kaji, dan Mbah Asêm Kandhang. Khusus untuk pundhèn Mbah Mèyèk dan Mbah Sumur Bandhung karena wujudnya berupa sumur sebagai sumber mata air, maka pada saat kerja bakti air di sumur tersebut juga dibersihkan.
A.2. Selamatan Pundhèn Selamatan pundhèn adalah upacara yang bertujuan untuk memohon keselamatan dari gangguan roh jahat. Masyarakat Kampung Bibis Kulon memiliki kepercayaan dengan melaksanakan selamatan pundhèn maka roh jahat tidak akan mengganggu kehidupan warga Kampung Bibis Kulon. Upacara selamatan pundhèn dilaksanakan pada hari Kamis Wage bertempat di pundhèn utama yaitu pundhèn Mbah Mèyèk. Dalam upacara ini terdapat berbagai jenis sesaji untuk selamatan, yaitu: 1.
Sêkul golong
2.
Sêkul wuduk
3.
Satu takir kedelai goreng
4.
Satu takir rambak goreng
5.
Satu takir cabe merah, bawang merah, dan garam
6.
Pisang ayu setangkep
7.
Satu bungkus kêmbang sêtaman
8.
Satu bungkus suruh ayu
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
70
LAPORAN AKHIR 9.
Jajan pasar
10. Ingkung ayam Selamatan pundhèn diwujudkan dengan doa bersama dipimpin oleh kaum atau pemuka agama Islam di wilayah Bibis Kulon. A.3. Kirab Wayang Kirab wayang merupakan rangkaian upacara bêrsih désa di Kampung Bibis Kulon. Kirab wayang dilaksanakan pada hari Kamis Wagé sekitar jam 15.00. Kirab wayang merupakan penanda bahwa pada malam Jum’at Kliwon serta keesokan hari di Kampung Bibis Kulon ada pertunjukan wayang kulit sebagai rangkaian upacara bêrsih désa. Wayng yang dikirab adalah tokoh-tokoh wayang dalam pergelaran wayang di Kampung Bibis Kulon. Tokoh wayang yang dikirab dibawa oleh sesepuh Kampung Bibis Kulon yang berbusana kejawèn jangkêp atau batik lengan panjang. Kirab wayang berangkat dari pundhèn Mbah Mèyèk berjalan menuju ke timur sampai perbatasan Kampung Bibis Kulon dan Bibis Wetan, kemudian belok ke selatan sampai pundhèn Mbah Asêm Kandhang kemudian ke arah barat menuju pundhèn Mbah Asêm Kaji (Mbah Asêm Ageng), selanjutnya ke timur laut menuju pundhèn Mbah Sumur Bandhung dan akhirnya kembali ke utara ke pundhèn Mbah Mèyèk. Di setiap pundhèn yang disinggahi, tokoh wayang yang dibawa oleh sêsêpuh dicondongkan ke depan sebagai bentuk penghormatan kepada pundhèn kampung. A.4. Selamatan Kampung Selamatan kampung merupakan bagian penting yang selalu ada dalam rangkaian upacara bêrsih désa. Di Kampung Bibis Kulon upacara selamatan kampung diselenggarakan pada hari Kamis Wagé sekitar jam 17.00 setelah kirab wayang. Dalam upacara selamatan kampung terdapat beberapa jenis sesaji, diantaranya adalah: a)
Sêkul gurih sebanyak 9, terdiri dari 9 ancak nasi gurih, 9 ingkung ayam jantan, 9 takir berisi kedelai goreng, 9 takir berisi rambak goreng, 9 takir berisi cabe merah, garam, dan bawang merah, 9 pasang pisang raja, 9 bungkus kêmbang sêtaman, 9 bungkus suruh ayu.
b)
Sêkul asahan sebanyak 9, terdiri dari 9 ancak nasi putih lengkap dengan lauk pauk seperti rêmpèyèk, gêrèh gorèng, tempe goreng, telur goreng, kerupuk, asem-asem, rempah dan sate sapi), 9 pisang raja, 9 bungkus jajan pasar, 9 bungkus iwak kêbo siji, setiap bungkus terdiri dari kikil, sarèn, daging dan jerohan yang dimasak.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
71
LAPORAN AKHIR A.5. Partisipasi Masyarakat Bibis Kulon Tradisi bêrsih désa adalah warisan dari para leluhur, dimana tradisi ini sarat akan makna, pada intinya mengajarkan kebaikan yang harus dilakukan dan keburukan yang harus ditinggalkan. Tradisi bêrsih désa dilakukan setiap satu tahun sekali, dan dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki dan kepada para leluhur yang telah memberikan keselamatan, ketentraman dan kesehatan. Persepsi inilah yang dianut oleh masyarakat Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Surakarta. Meskipun secara geografis atau tata letak, wilayah Kampung Bibis ini dapat dikatakan sebagai wilayah dari perkotaan, tetapi mereka masih mempunyai pola pikir yang sebagian masih mencerminkan pola pikir masyarakat pedesaan. Tradisi bêrsih désa dilakukan dari generasi ke generasi tanpa ada yang berani untuk menghentikan, karena takut akan terkena bala. Persepsi di sini diartikan sebagai proses memberikan arti terhadap obyek dari luar yang menjadi rangsang kemudian diterima oleh indra yang disampaikan ke otak lalu terjadilah proses kejiwaan yang akhirnya terbentuklah tanggapan terhadap stimulus tersebut. Pada acara tradisi bêrsih désa, semua warga masyarakat kampung terlibat dan saling gotong-royong satu sama lain dalam proses persiapan hingga acara selesai diselenggarakan. Keterlibatan anggota masyarakat merupakan bagian dari partisipasi untuk melestarikan kebudayaan yang dianggap sebagai warisan leluhur. Keterlibatan masyarakat bisa berupa apa saja yang dapat membantu terlaksananya acara ini. Misalnya saja keterlibatan emosional dan keterlibatan mental, keterlibatan material, keterlibatan fisik. Partisipasi masyarakat mungkin akan terjalin, karena adanya rasa keterikatan sebagai warga dari Kampung Bibis Kulon. Baik warga yang masih tinggal di kampung ini ataupun yang sudah pindah ke tempat lain untuk bekerja tetap berpartisipasi dalam acara bêrsih désa. Semua hal di atas diterapkan oleh warga masyarakat ke dalam setiap tahap partisipasi, Tradisi bêrsih désa tetap dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Kampung Bibis Kulon adalah untuk melestarikan tradisi bersih desa, di mana istilah yang biasa disebut oleh masyarakat Masyarakat
setempat
adalah
nguri-uri
budaya
Jawi.
kampung berusaha untuk tetap menjaga keberadaan tradisi bersih
desa, karena tradisi tersebut adalah warisan dari nenek-moyang mereka. Bagi masyarakat, tradisi bêrsih désa adalah suatu ciri khas di mana daerah lain belum tentu memilikinya. Pada saat banyak wilayah di Jawa meninggalkan tradisi bêrsih désa, kampung bibis kulon tetap mempertahankan tradisi yang menjadi salah satu program unggulan yang dimiliki oleh Kota Solo. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
72
LAPORAN AKHIR Dapat dikatakan masyarakat Kampung Bibis Kulon melakukan tradisi bêrsih désa adalah untuk melestarikan budaya Jawa, atau biasa disebut dengan istilah ”nguriuri budaya Jawi”. Tradisi yang diwariskan nenek moyang dari generasi ke generasi adalah salah satu kebudayaan Indonesia, dan kebudayaan itu adalah salah satu kekayaan bangsa yang harus tetap dijaga keberadaannya. Selain itu, tradisi dilakukan adalah sebagai wujud rasa terimakasih masyarakat atas keselamatan, kesehatan, dan rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan selama setahun, dan merupakan pengharapan agar tahun depan segala sesuatu menjadi jauh lebih baik, yang dikenal dengan istilah ngalap bêrkah. Sebagian masyarakat kampung percaya apabila tradisi bêrsih désa ditinggalkan, maka akan terjadi musibah atau bala’, sehingga tidak ada orang yang berani untuk menghentikan tradisi tersebut. Masyarakat tetap melestarikan tradisi bersih desa adalah karena pertama tradisi bêrsih désa merupakan warisan dari nenek-moyang sehingga wajib dilestarikan, di mana masyarakat kampung mengenal dengan istilah nguri-uri budaya Jawi. Kedua yaitu, sebagai media antara manusia dan Tuhan dalam rangka mengucapkan terimakasih atas berkah yang diberikan selama satu tahun terakhir, berupa kesehatan, keselamatan, dan rezeki. Ketiga adalah mengambarkan suatu pengharapan, agar kehidupan jauh lebih baik dengan berkah yang diterima, yang dikenal dengan istilah ngalap bêrkah. Masyarakat kampung percaya apabila melaksanakan tradisi bêrsih désa secara rutin, maka kampung akan terhindar dari segala kejadian yang merugikan, dan apabila dilanggar maka akan mendapatkan suatu bala’. Partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan tradisi bêrsih désa ada tiga macam. Pertama adalah berbentuk materi, berupa uang yaitu iuran para warga masyarakat dan berupa barang seperti kopi powder, rokok, tahu, tempe, bawang merah, dan bawang putih. Bentuk partisipasi kedua adalah berupa fisik atau tenaga. Bentuk partisipasi ini tidak bisa dinilai dengan uang, yang dibutuhkan pada saat menguras sumur atau sêndhang, memasak guna keperluan kondangan dan kenduri, membangun panggung untuk pertunjukan wayang. Selain itu tenaga juga dibutuhkan untuk mengumpulkan iuran serta sumbangan dari para donatur. Bentuk partisipasi yang ketiga adalah keterlibatan secara mental dan emosional, yang ditunjukkan masyarakat dengan ikut berpartisipasi tanpa ada paksaan. Dukungan diperoleh penuh dari seluruh masyarakat untuk menyelenggarakan tradisi, yang dibuktikan dengan eksistensi tradisi bêrsih désa yang dilakukan rutin setiap tahun sekali tanpa pernah terlewatkan.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
73
LAPORAN AKHIR B. Upacara Bêrsih désa Ngaglik Wanawasa Mojosongo Upacara mêrti désa Wanawasa selalu rutin dilaksanakan setiap tahun, tepatnya setiap bulan Besar/Dzulhijjah pada hari Jumat Pahing. Masyarakat Dusun Ngaglik memiliki kepercayaan bahwa dengan menjalankan upacara bêrsih désa maka kehidupan masyarakat menjadi guyup rukun, ayêm têntrêm, murah sandang pangan dan terhindar dari segala marabahaya dan pagêbluk. Bêrsih désa dilaksanakan oleh masyarakat Ngaglik secara gotong royong sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan berharap Tuhan memberikan perlindungan dan keselamatan bagi masyarakat Ngaglik. Warga desa Ngaglik mengatakan bahwa dulu bêrsih désa dilaksanakan setelah musim panen sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki yang diberikan kepada masyarakat Ngaglik. Namun demikian seiring dengan berkurangnya lahan pertanian di wilayah Ngaglik, maka bêrsih désa hanya dilaksanakan sekali dalam satu tahun. Masyarakat Ngaglik memiliki kepercayaan bahwa bêrsih désa harus dilaksanakan untuk menghindari pagêbluk. Beberapa nara sumber menyatakan bahwa bêrsih désa pernah berhenti selama dua tahun, akibatnya Ngaglik dilanda pagêblug. Sebagian besar warga masyarakat
terserang penyakit dan kekurangan sandhang
pangan. Wilayah desa Wanawasa merupakan daerah hutan belantara. Wilayah tersebut merupakan wilayah kekuasaan Kraton Surakarta Hadiningrat yang dihibahkan kepada seorang warga desa. Warga desa tersebut berinisiatif membabat alas dan dan dijadikan pemukiman. Warga desa yang melakukan pembabatan hutan tersebut akhirnya dipercaya sebagai cikal bakal desa Ngaglik dan mendapat sebutan Mbah Lurah. Mbah lurah dikenal karena banyak hewan peliharaan yang berupa kerbau. Untuk merawat kerbau-kerbaunya, Mbah Lurah memiliki 2 santri pangon (penggembala) yang bertugas merawat dan mengembalakan kerbau. Singkat cerita, suatu hari santri pangon menggiring kerbau-kerbau peliharaannya ke sungai Kedung Pungkul untuk dimandikan. Tapi tak seperti biasanya, setelah sampai ditepi sungai, kerbau tersebut mendadak menjadi liar dan berlari tunggang langgang. Santri pangon yang kaget dan ketakutan berlari pulang dan melapor kepada Mbah Lurah. Sesudah diceritakan panjang lebar kepada Mbah Lurah, Mbah Lurah dan santri pangon kembali ke sungai dan menyelidiki apa yang terjadi. Mereka mengamati ada apa di sungai tersebut, ternyata ditengah sungai tersebut ditemukan bayi laki-laki yang masih ada ari-arinya mengambang dipermukaan sungai Kedung Pungkul tersebut. Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
74
LAPORAN AKHIR Dengan segera, Mbah Lurah mengambil bayi tersebut. Setelah diambil oleh Mbah Lurah, ternyata bayi tersebut sudah meninggal dunia. Mbah Lurah iba dengan bayi tersebut, dia pun membawa pulang dan ngrukti (merawat) bayi tersebut serta menguburkannya. Sebelum dikuburkan, bayi tersebut diberi nama Gus Rêbo, karena ditemukan di sungai pada hari rabu. Singkat cerita, beberapa lama kemudian Mbah Lurah mendapatkan mimpi yang aneh. Dalam mimpinya, ada seorang anak yang berkata kepada Mbah Lurah bahwa dia adalah bayi yang ditemukan di Kedung Tungkul tersebut. Sang anak berjanji akan ikut keturunan mbah lurah sampai 7 turunan dan akan melindungi warga desa tersebut dari marabahaya. Sampai saat ini, ada tanah yang meninggi dan diyakini sebagai makam dari Gus Rêbo masih dipercaya warga sebagai pepundhèn desa Wanawasa tersebut. B.1. Kerja Bakti Rangkaian upacara bêrsih désa di Kampung Wanawasa diawali dengan kerja bakti yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan bêrsih désa, tepatnya lima hari sebelum upacara bêrsih désa dilaksanakan yaitu pada hari Minggu Pahing. Kegiatan kerja bakti dilaksanakan oleh masyarakat Desa Wanawasa diwujudkan dengan kegiatan membersihkan lingkungan kampung, membersihkan saluran air, dan membuat panggung pertunjukan wayang kulit. B.2. Selamatan Kampung Kegiatan selamatan kampung dilaksanakan pada hari Jum’at Pahing pagi hari. Selamatan kampung dilaksanakan di panggung yang akan digunakan untuk pertunjukan wayang kulit. Selamatan kampung diselenggarakan oleh warga masyarakat Desa Wanawasa untuk memohon keselamatan bagi warga masyarakat Wanawasa serta keselamatan Desa Wanawasa.
C. Upacara Bêrsih Désa Di Kampung Sabrang Lor Mojosongo Bagi masyarakat Kampung Sabrang Lor bersih desa merupakan perwujudan rasa syukur atas limpahan karunia Tuhan pada tahun itu serta memohon agar tahun depan terhindar dari musibah. Aneh mungkin bagi orang yang tidak percaya. Namun bagi masyarakat Kampung Sabrang Lor yang meyakini dan mempercayai manfaat upacara bêrsih désa hal tersebut bukan merupakan sebuah keanehan. Masyarakat Kampung Sabrang Lor mensyukurinya dengan cara memasak nasi dan lauk-pauknya dalam jumlah yang besar kemudian dibawa ke tempat berlangsungnya upacara bêrsih Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
75
LAPORAN AKHIR désa atau panggung wayang kulit untuk di do’akan kemudian dimakan bersama dan sisanya dibagikan kepada seluruh warga. Tradisi bêrsih désa mempunyai dua makna yaitu, pertama sebagai gerakan kebersihan yang dikerjakan oleh masyarakat setempat secara bergotong- royong, kedua sebagai persembahan terhadap para dhanyang atau pundhên serta ibu pertiwi yang telah memberikan kesejahteraan. Kegiatan upacara bersih desa tidak lepas dari interaksi sosial masyarakat karena interaksi sosial melibatkan banyak orang sehingga mempunyai hubungan timbal balik antara pelaku dan upacara yang akan dilakukan serta unsur-unsur yang mendukungnya. Bêrsih désa bagi masyarakat Kampung Sabrang Lor memiliki makna yang luas. Bêrsih désa merupakan warisan dari nilai-nilai luhur yang menunjukkan bahwa manusia jadi satu dengan alam. Ritual ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan masyarakat terhadap alam yang menghidupi mereka. Bêrsih désa di Kampung Sabrang Lor berlangsung satu kali dalam setahun. Acara ini dibagi dalam serangkaian acara dengan acara utama yaitu kondangan dan pertunjukan wayang kulit sehari semalam. Upacara bêrsih désa di Kampung Sabrang Lor juga menyertakan sesaji sebagai kelengkapan upacara. Sesaji tersebut terdiri atas nasi gurih, ingkung, jajan pasar, pisang raja, nasi ambêngan, jênang abang putih, tumpêng, dan kêtan kolak apêm. Bêrsih désa di Kampung Sabrang Lor telah berlangsung sejak tahun 1945-an, dengan demikian sampai saat ini upacara tersebut telah berlangsung selama tujuh dekade.
D. Fungsi Upacara Bêrsih Désa Upacara bêrsih désa dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat yang hidup rukun dan mampu melestarikan alam serta seni budaya tradisional, adalah merupakan perintisan kehidupan masyarakat gotong royong. Dalam upacara bêrsih désa ini, terdapat upacara slamêtan atau wilujêngan yang merupakan upacara pokok dalam rangkaian upacara bêrsih désa. Slametan atau wilujengan merupakan upacara pokok atau terpenting dalam hampir semua kegiatan ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agami Jawi khususnya seperti yang telah dinyatakan juga oleh C. Geertz (1960: 11-15, 30-37). Upacara tradisi bêrsih désa merupakan upacara yang diadakan dalam rangka upacara yang berkaitan dengan ritus-ritus kesuburan, upacara-upacara sepanjang lingkaran kegiatan pertanian untuk mendapatkan panen yang lebih baik. Selain itu, Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
76
LAPORAN AKHIR upacara tradisi bêrsih désa di wilayah yang memiliki lahan pertanian luas juga bisa bermanfaat sebagai sarana untuk menghalau penyakit dan wabah, serta membasmi hama tanaman. Upacara ini biasanya dilangsungkan dengan mengadakan pertunjukan wayang kulit. Tradisi
bêrsih
désa
merupakan
manifestasi
wujud
rasa syukur
sekelompok manusia yang ditujukan kepada segala sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan lebih daripada manusia, dalam hal ini adalah Tuhan Yang Maha Esa serta simbol kesuburan yaitu Dewi Sri, dewi kesuburan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, dan juga ditujukan kepada roh-roh halus atau dhanyang yang dipercaya sebagai pembuka desa dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat desa dari roh-roh jahat. Tradisi bêrsih désa tidak hanya dilakukan oleh perorangan, karena terdapat kesamaan kepentingan satu komunitas. Bagi masyarakat yang melaksanakan upacara bêrsih désa, mereka meyakini beberapa nilai yang dipahami oleh masyarakat tersebut. Nilai yang dipahami oleh masyarakat dari upacara adat bêrsih désa antara lain: a)
Nilai kebersamaan sosial yaitu masyarakat secara bersama-sama kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar, makam pundhèn, membuat panggung wayang kulit serta membuat umbul-umbul untuk menghias kampung atau desa sehingga kebersamaan antar anggota masyarakat tetap terjalin dengan baik.
b)
Nilai religi yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dapat terjalin dengan baik jika mereka menjalankan agama dan tradisi upacara bêrsih désa setiap tahunnya.
c)
Nilai keamanan yaitu masyarakat bisa terbebas dari pagebluk dan seluruh desa akan merasa aman.
d)
Nilai ekonomi yaitu dengan tetap melaksanakan upacara masyarakat akan lebih mudah dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
77
LAPORAN AKHIR BAB IX PETA SEBARAN WARISAN BUDAYA TAK BENDA DI KOTA SURAKARTA
A. Kecamatan Banjarsari Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
78
LAPORAN AKHIR Gambar 9.1. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Banjarsari B. Kecamatan Jebres
Gambar 9.2. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Jebres
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
79
LAPORAN AKHIR
C. Kecamatan Laweyan
Gambar 9.3. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Laweyan Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
80
LAPORAN AKHIR
D. Kecamatan Pasar Kliwon
Gambar 9.4. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Pasar Kliwon Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
81
LAPORAN AKHIR
E. Kecamatan Serengan
Gambar 9.5. Sebaran Warisan Budaya Tak Benda di Kec. Serengan
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
82
LAPORAN AKHIR
BAB X STRATEGI KONSERVASI DAN PRESERVASI WARISAN BUDAYA TAK BENDA
A. Strategi Konservasi dan Preservasi Setelah mendeskripsikan berbagai ragam kekayaan warisan budaya tak benda yang ada di kota Surakarta, maka perlu dipaparkan pula gagasan dan konsep mengenai strategi konservasi (conservation) dan preservasi (preservation) atau pelestarian warisan budaya tak benda yang berupa praktik-praktik sosial upacara adat termasuk ritual adat, serta festival/perayaan adat. Istilah konservasi dan preservasi sebenarnya berasal dari ranah ilmu ilmu lingkungan dimana konservasi berarti mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara berkesinambungan. Konservasi mencakup pengertian melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam, serta pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya alam secara bertanggung jawab agar tidak terjadi pemborosan dan agar masih dapat dinikmati di masa depan. Preservasi di lain pihak mencakup pengertian menjaga agar sumberdaya alam berada dalam keadaan seperti aslinya/apa adanya atau dalam keadaan yang baik, termasuk menjaga dari berbagai macam kerusakan, kehilangan, dan penghancuran. Kedua terminologi tersebut kemudian diadopsi oleh bidang kajian budaya. Dalam konteks warisan budaya tak benda, konservasi memiliki pengertian upaya melindungi warisan budaya tak benda agar masih dapat dijalankan dengan baik, dimanfaatkan dan dikembangkan demi kemajuan kebudayaan; sedangkan preservasi atau pelestarian dimaknai sebagai upaya menjaga agar warisan budaya tak benda tetap dalam keadaan yang baik dan terjaga keasliannya (atau paling tidak dalam kondisi yang ada pada saat ini), serta menjaga dari berbagai macam kerusakan, kehilangan, dan penghancuran. Baik konservasi dan preservasi sama sekali tidak menolak adanya upaya pengembangan budaya selama pengembangan budaya tersebut tidak membawa dampak yang merugikan warisan budaya itu sendiri tetapi justru akan membawa kemajuan kebudayaan di masa depan. Strategi konservasi dan preservasi warisan budaya tak benda untuk kota Surakarta yang ditawarkan dalam kajian ini di namai sebagai The Four Re and Trans Strategy for Conservation and Preservation of Intangible Cultural Heritage atau Strategi Empat Re dan Trans untuk Konservasi dan Preservasi Warisan Budaya Tak Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
83
LAPORAN AKHIR Benda. Strategi ini mencakup 5 (lima) tahapan strategi, yaitu (1) Reidentifikasi; (2) Reintepretasi; (3) Resosialisasi; (4) Revitalisasi; dan (5) Transformasi. Masing-masing tahapan strategi dijabarkan menjadi beberapa isu yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam membuat kebijakan taktisnya maupun program pelaksanaannya. Konsep strategi The Four Re and Trans ini merupakan konsep yang terbuka untuk dikritisi dan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, termasuk sesuai dengan perkembangan ilmu dan tehnologi. Jabaran selengkapnya dari konsep strategi ini dipaparkan dalam seksi berikut ini. A.1. Reidentifikasi Reidentifikasi ini mencakup tindakan observasi dan pencatatan semua bentuk praktek sosial, ritual dan perayaan-perayaan yang masuk dalam kriteria warisan budaya tak benda, maupun yang secara potensial dapat dimasukkan sebagai warisan budaya tak benda. Observasi dan pencatatan ini tidak hanya terbatas pada nama (penanda) dan prosedur acaranya saja, akan tetapi juga mencakup penggalian informasi tentang autentisitas tradisi tersebut, aspek kesejarahan, nilai-nilai yang diwariskan maupun keberagaman yang ada di kota Surakarta. Sebuah tradisi maupun ritual perlu ditelusuri autensititasnya. Hal ini penting mengingat di wilayah Tengah khususnya banyak praktek-praktek tradisi yang hampir sama jenis dan pelaksanaannya. Oleh sebab itu aspek autentisitas menjadi penting agar sebuah tradisi maupun perayaan atau warisan budaya tak benda lainnya bisa mendapatkan basis budaya untuk diunggah sebagai milik sebuah komunitas maupun masyarakat. Penelusuran askpek historis dari sebuah warisan budaya tak benda juga merupakan bagian dari tahap reidentifikasi. Berbagai adat tradisi yang ada umumnya berlangsung turun termurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan tidak disertai pemahaman mengenai sejarah asal muasal tradisi tersebut. Tradisi lesan seperti itu tidak jarang menyebabkan sebuah adat tradisi dalam perkembangannya justru menyimpang dari asal muasal sejarahnya. Dari sudut pandang ini, maka penelusuran fakta sejarah terkait dengan sebuah tradisi merupakan bagian integral dari upaya reidentifikasi ini. Aspek historis dari sebuah tradisi juga dapat menjadi basis dalam memperkuat identitas dan hubungan sosial kemasyarakatan. Erat kaitannya dengan aspek historis ini adalah aspek autensitas, dimana ketika sebuah tradisi menemukan akar sejarahya, maka akan kelihatan bahwa tradisi tersebut memiliki autentisitasnya. Aspek autensitas ini akan sangat bermanfaat ketika sebuah Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
84
LAPORAN AKHIR tradisi maupun perayaan akan dijadikan sebuah atraksi wisata atau event pariwisata. Seperti diketahui bahwa autentisitas merupakan prasyarat penting dalam menciptakan sebuah event pariwisata. Autentisitas menjadi faktor daya tarik yang menjadikan sebuah event pariwisata berbeda dengan event pariwisata atau atraksi wisata lainnya, sehingga produk pariwisata menjadi terdiferensiasi. Selanjutnya diferensiasi produk wisata ini yang akan menarik segmen wisatawan yang akan mengunjungi sebuah destinasi wisata dimana warisan budaya tak benda menjadi daya tarik wisatanya. A.2. Reintepretasi Tahapan berikutnya setelah dilakukannya reidentifikasi adalah tahapan reintepretasi. Reintepretasi berarti pemaknaan kembali, dimana yang dimaksud dengan pemaknaan kembali adalah menemukenali makna yang tersurat maupun makna yang tersirat yang terkandung di dalam sebuah warisan budaya tak benda. Makna yang tersurat adalah makna yang ditunjukkan oleh tatacara, benda-benda, busana, maupun atribut fisik yang dibawa oleh ssebuah tradisi, sedangkan makna yang tersirat adalah makna simbolis atau filosofis yang terkandung di dalam sebuah tradisi. Makna yang tersurat maupun yang tersirat dari sebuah tradisi dapat pula ditemukan dari penelusuran naskah–naskah lama, arsip sejarah, sejarah lesan, maupun tradisi lesan. Upaya menemukenali makna tersurat dan makna simbolis di atas seyogiyanya dilakukan dengan mangadakan penelitian maupun kajian ilmiah yang mendalam, agar berbagai makna yang ditemukan kemudian dapat dijadikan basis untuk upaya-upaya pengembangan dan pelestarian warisan budaya tak benda itu sendiri ke depannya. Riset dan kajian ilmiah juga sangat dibutuhkan ketika hasil temuan berbagai makna tadi kemudian berhadapan dengan realitas kekinian yang telah berubah. Sampai pada taraf ini urgensi reintepretasi menjadi esensial, karena berbagai makna yang tersurat maupun makna simbolis akan dihadapkan pada masalah relevansi berkait dengan kemanfaatan berbagai makna tersebut di jaman sekarang bagi masyarakat luas. Isu relevansi inilah yang nantinya akan menjadi semacam ‘menu’ baik bagi komunitas yang menjalankan tradisi itu sendiri, maupun bagi kelompok sosial yang lain untuk menentukan pilihan dalam menjalankan tradisinya itu di tengah jaman yang selalu berubah. Oleh karenanya reintepretasi sebenarnya sebuah proses yang perlu dilakukan secara berkesinambungan dari waktu ke waktu, dan dari generasi ke generasi.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
85
LAPORAN AKHIR Terkait erat dengan reintepratasi ini adalah kandungan nilai dalam makna yang tersurat maupun yang simbolis. Seperti yang telah dikemukakan dimuka bahwa konten nilai dalam sebuah warisan budaya tak benda ini penting mengingat nilai itulah yang akan wariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisan nilai dalam sebuah tradisi juga merupakan perekat sosial yang ampuh dalam masyarakat yang menjalankan tradisi tersebut. Aspek nilai juga penting agar komunitas atau masyarakat yang menjalankan tradisi tersebut memahami dan menjiwai apa yang dijalankannya sehingga tidak hanya menjadi tradisi yang tanpa makna. A.3. Resosialisasi Meskipun makna tersurat dan makna simbolis berikut berbagai nilai yang terkandung dalam sebuah tradisi telah ditemukenali, akan tetapi ketika itu semua hanya tersimpan dalam bentuk dokumentasi saja, maka komunitas atau masyarakat yang menjalani tradisi tersebut juga akan sulit melakukan upaya pelestarian maupun pengembangan warisan budaya tak benda yang dimilikinya. Tanpa memahami makna dan nilai yang terkandung di dalam warisan budaya tak benda, sebuah masyarakat hanya terkesan sekedar melaksanakan ritual saja. Hal ini akan menyebabkan lambat laun komunitas pemangku tradisi makin lama makin pudar dan makin menurun pendukungnya. Oleh karena itu setelah warisan budaya tak benda tersebut teridentifikasi dan ter-reintepretasi dengan lengkap, maka dibutuhkan langkah resosialisasi. Resosialisasi ini dimaknai dengan menyampaikan kembali berbagai konten warisan budaya tak benda yang berupa makna tersirat, makna simbolis, maupun nilainilai kepada komunitas pelaku tradisi atau pemangku warisan budaya tak benda tersebut. Penyampaian kembali hasil reintepretasi dari sebuah warisan budaya tak benda juga perlu diperluas jangkauanya kepada khalayak yang lebih luas agar mereka dapat mengetahui, menghargai, serta memahami tentang apa-apa yang dijalankan oleh sebagian masyarakatnya. Lebih dari itu resosialisasi dapat berarti menggunggah memori kolektif bangsa akan kekayaan budaya yang mereka miliki agar selanjutnya bangsa tersebut dapat belajar apa-apa yang tersimpan dari warisan budayanya, melestarikannya, serta mengembangkannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dari generasi ke generasi berikutnya. Secara tehnis, resosialisasi dapat dilakukan melalui banyak jalur, antara lain melalui kebijakan pemerintah terutama kebijakan di bidang sosial budaya dan pendidikan. Di bidang sosial budaya, dan pariwisata, pemerintah dapat membuat Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
86
LAPORAN AKHIR kebijakan dalam bentuk program sarasehan, dialog budaya, pemberian insentif untuk pelaksanaan adat dan tradisi maupun perayaan yang menjadi warisan budaya tak benda, pemberian insentif bagi event-event pariwisata yang berbasis warisan budaya tak benda, publikasi buku mengenai adat tradisi yang masih hidup di wilayah kota Surakarta yang disebarkan ke perpustakaan-perpustakaan baik perpustakaan pemerintah, sekolah, maupun milik komunitas. Publikasi ini bisa juga dilengkapi dengan membuatan film dokumentasi mengenai sebuah tradisi maupun perayaan adat. Film ‘dokumenter’ ini kemudian bisa dibuat dalam bahasa asing sehingga dapat pakai sebagai souvenir maupun disebarluaskan melalui media internet, dan lain sebagainya. Dalam hal ini resosialisasi dapat dilakukan melalui media, terutama internet. Resosialisasi juga dapat dilakukan menggunakan jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Dari jalur pendidikan formal, resosialisasi dapat dilakukan dengan antara lain memasukkan konten adat tradisi yang menjadi warisan budaya tak benda ke dalam muatan mata pelajaran pada kurikulum pendidikan; sedangkan dari jalur pendidikan non formal, pemerintah dapat menggunakan politik anggaran untuk menstimulan berbagai kelompok budaya, paguyuban, kursus-kursus pambiwara, sarasehan budaya, dan sebagainya agar adat tradisi tetap dapat berlangsung lestari dan berkembang. Pemanfaatan jalur pendidikan formal dan non formal juga dapat dikombinasikan dengan memaparkan film dokumentasi di sekolah-sekolah maupun di berbagai sarasehan maupun paguyuban budaya.secara berkala, sehingga masin banyak khalayak yang terpapar mengenai warisan budaya tak benda ini. Disamping melalui berbagai kelompok budaya, resosialisasi juga dapat dilakukan melalui organisasi sosial kemasyarakatan sebagai pengkayaan pemahaman mengenai adat tradisi yang masih berlangsung sehingga dapat dijadikan bekal dalam melakukan kegiatan di komunitas yang masih melaksanakan adat tradisi tersebut.
A.4. Revitalisasi Revitalisasi berarti melakukan upaya untuk menjadikan warisan budaya tak benda semakin mapan dalam komunitas pemangkunya. Mapan dalam arti warisan budaya tak benda yang berupa adat tradisi yang masih dimiliki komunitas tertentu makin terjaga, makin dipahami, makin berkembang dan lestari di masyarakat. Upaya revitalisasi ini juga sangat membutuhkan sebuah keamuan politik yang kuat dari pemerintah, baik di tingkat pusat, regional, maupun di tingkat kabupaten/kota. Kemauan Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
87
LAPORAN AKHIR politik pemerintah ini dapat diwujudkan melalui pembuatan peraturan perundangan yang akan dijadikan basis legalitas dalam menjaga, merawat, melestarikan, serta mengembangkan warisan budaya tak benda. Dengan adanya peraturan perundangan yang jelas, maka pemerintah juga akan dapat melindungi warisan budaya tak benda yang ada, untuk kemudian menjamin keberlangsungan warisan budaya tak benda tersebut, dan selanjutnya melayani masyarakat yang masih menjalankan berbagai tradisi yang ada. Peraturan perundangan juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat pemangku adat sebagai pegangan yang memiliki kepastian hukum, sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam menjalankan adat tradisi yang dipunyainya. Upaya revitalisasi juga dapat menggunakan event pariwisata sebagai kemasan maupun sebagai bentuk kreatifitas dan inovasi budaya. Panggunaan event pariwisata dapat berasal dari pengembangan tradisi yang telah ada maupun menciptakan sebuah event yang relatif baru. Semua itu bertujuan agar masyarakat pemangku tradisi makin terlibat secara aktif dalam upaya revitalisasi ini. Dari event-event tersebut diharapkan pula kontribusi yang lebih besar tidak hanya dari komunitas pemangku adat, akan tetapi juga dariu masyarakat luas yang merasa turut memiliki sebuah warisan budaya tak benda. Disamping dari sisi internal merupakan upaya revitalisasi, penggunaan event pariwisata juga memiliki efek eksternal yang berupa sebuah atraksi wisata yang dapat dinikmati oleh wisatawan yang notabene bukan masyarakat lokal sekaligus juga sosialisasi seperti yang telah dikemukakan di atas. Penguatan kelembagaan juga merupakan bagian dari upaya revitalisasi warisan budaya tak benda. Penguatan kelembagaan dalam konteks komunitas pemangku adat atau tradisi dapat berbeda-beda dalam perlakuannya. Hal ini disebabkan antara lain ada komunitas yang relatif telah mapan maupun turun temurun yang memiliki aturan adat tersendiri, namun ada pula yang sifatnya tidak permanen dan lebih terbuka. Dalam hal komunitas yang telah mapan disarankan agar lebih membuka komunikasi dengan khalayak yang lebih luas agar mendapatkan berbagai pandangan dan masukan mengenai bagaimana memperkuat kelembagaan yang telah ada. Dalam hal komunitas yang relatif terbuka perlu menjalin hubungan dan kerjasama dengan komunitas lain agar terjadi saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, sehingga akan mendatangkan kemajuan bagi lembaga dan pengelolaan warisan budayanya. Pergaulan antar komunitas ini diharapkan juga akan membantu proses regenerasi di dalam kelembagaan tersebut. Bagaimanapun upaya revitalisasi warisan budaya tak benda melalui penguatan
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
88
LAPORAN AKHIR kelembagaan akan lebih berarti apabila proses regenerasi dalam komunitas pemangku tradisi berjalan dengan baik.
A.5. Transformasi Perlu dipahami bahwa setelah tahapan reidentifikasi, reintepretasi, resosialisasi, dan revitalisasi dapat dilakukan, maka tahap berikutnya adalah tahap transformasi. Transformasi yang dimaksud disini adalah mengambil berbagai hal baik yang tersirat maupun yang simbolis, yang verbal maupun yang visual, untuk dimanfaatkan sebagai wahana dalam memajukan dan menyejahterakan kota dan masyarakatnya. Warisan budaya tak benda dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motivasi. Banyak sekali hal misal saja dari nilai, benda-benda upacara, batik, pola kepemimpinan, jiwa saling menolong, kegotong-royongan, dan lain sebagainya yang bisa menginspirasi kreatifitas dan kehidupan masyarakat, termasuk memotivasi agar masyarakat menjadi lebih baik dalam berkehidupan sebagai warga kota. Transformasi barbagai kandungan dari warisan budaya tak benda juga bisa dimanfaatkan untuk memperkuat identitas baik individu maupun identitas komunal. Dalam konteks penguatan identitas ini juga erat terkait dengan antara lain ‘branding’ maupun pembuatan slogan. Sekarang ini banyak sekali produk yang dengan mengambil inspirasi dari adat tradisi, katakanlah motif batik – misalnya T-shirt, kemeja, jaket, dan sebagainya - kemudian ditujukan pasarnya secara eksklusif untuk konsumen perorangan. Penanda komunal juga banyak yang mengambil dari konten sebuah warisan biudaya tak benda. Identitas komunal antara lain dapat berupa kostum, slogan, lagu, simbol, dan lain sebagainya. Selanjutnya, transformasi kandungan dari warisan budaya tak benda juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana membangun karakter bangsa, dimana banyak sekali pelajaran, nilai, makna, atau apapun yang dapat diunggah menjadi materi dalam membangun karakter bangsa. Mulai dari nilai-nilai budi pekerti yang luhur, kebersamaan,
kegotong-royongan,
kepemimpinan,
keteladanan,
hingga
tingkat
hubungan interpersonal. Upacara-upacara dan berbagai perayaan trasdisi sesungguhnya sarat dengan pesan, pelajaran dan makna kehidupan yang disampaikan dari generasi terdahulu. Semuanya itu bertujuan untuk mengembangkan karakter generasi berikutnya agar generasi berikutnya dapat meningkatkan kualitas hidupnya baik lahir maupun batin. Oleh sebab itu transformasi ini juga berarti mentransformasikan jiwa dan karakter yang membangun dari para pendahulu ke generasi saat ini dan mendatang.
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
89
LAPORAN AKHIR Transformasi kandungan warisan budaya tak benda ke dalam kehidupan nyata kekinian dapat difasilitasi menggunakan berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada konservasi dan pelestarian budaya. Salah satu contoh konkrit antara lain kebijakan Pemerintah kota Surakarta yang mewajibkan busana Jawa setiap hari Kamis. Ada lagi berbagai kata-kata mutiara dalam bahasa Jawa yang dituliskan di beberapa taman di kota Surakarta. Masih banyak lagi peluang dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah kota yang pro budaya untuk melakukan transformasi kandungan warisan budaya tak benda ke dalam kehidupan nyata kekinian. Meskipun proses transformasi tersebut tidak melalui tahapan 4-Re (reidentifikasi, reintepretasi, resosialisasi, dan revitalisasi), namun tahapan transformasi akan lebih matang dilakukan apabila didahului oleh tahapan 4-Re di atas. Selanjutnya konsep strategi The Four Re and Trans ini digambarkan sebagi berikut.
Gambar 10.1. The Four Re and Trans Strategy for Conservation and Preservation of Intangible Cultural Heritage
B. Potensi Daya Saing Daerah Salah satu tujuan dalam kajian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) yang berupa praktik-praktik sosial Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
90
LAPORAN AKHIR upacara adat termasuk ritual adat, serta festival adat yang masih ada dan hidup sebagai kearifan lokal (local wisdom) di kota Surakarta yang berpotensi mampu menjadi penopang daya saing daerah sebagai kota budaya terutama di bidang ekonomi, pariwisata dan sosial budaya. Potensi warisan budaya tak benda sebagai penopang daya saing daerah yang didasarkan pada urgensi ekonomi antara lain dilihat dari seberapa besar keterkaitan (termasuk dampak) ekonomi yang diciptakan oleh sebuah perayaan adat atau praktik sosial. Makin banyak pelaku bisnis baik yang besar, menengah, maupun kecil yang terlibat dalam sebuah perayaan adat, maka makin besar pula keterkaitan ekonomi baik ke depan maupun ke belakang yang dapat diciptakan. Ini berarti terdapat potensi yang besar pula dalam menciptakan dampak ekonomi bagi masyarakat. Dari sisi pariwisata, sebuah warisan budaya tak benda – misalnya sebuah perayaan adat – akan memiliki potensi sebagai daya tarik wisata yang berupa atraksi wisata apabila perayaan adat tersebut dalam sejarah pelaksanaannya mampu menarik banyak orang termasuk pengunjung dari luar kota yang menghadiri perayaan tersebut, baik sebagai partisipan maupun sebagai penonton. Sebagai atraksi wisata sebuah perayaan adat juga harus memiliki keunikan dan autentisitas yang dikandung didalamnya. Dari sisi sosial budaya, sebuah perayaan adat akan memiliki dampak sosial budaya yang luas ketika perayaan adat tersebut mulai dari perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan mampu melibatkan masyarakat dari berbagai lapisan. Keterlibatan aktif masyarakat tersebut menjadi penanda terdapatnya kesadaran, kepedulian, rasa memiliki, solidaritas, semangat gotong royong, serta kepemimpinan yang kuat dalam masyarakat tersebut. Keterlibatan masyarakat juga dapat menjadi indikasi tingginya derajat toleransi dan keeratan hubungan sosial dalam konteks kebhinekaan dalam masyarakat kota Surakarta. Berdasarkan penjelasan di atas dan ditopang oleh pengamatan lapangan, maka kajian ini menemukan setidaknya 5 (lima) warisan budaya tak benda yang berupa perayaan adat/tradisi/ritual dan praktik sosial yang memiliki potensi yang besar untuk menjadi penopang daya saing daerah sebagai kota budaya terutama di bidang ekonomi, pariwisata dan sosial budaya. Kelima warisan budaya tak benda tersebut adalah: 1. Perayaan Memperingati 1 Suro (Kirab Pusaka Karaton Surakarta dan Pura Mangkunegaran). 2. Grêbêg atau Garebek Mulud (Perayaan Sekaten) di Karaton Surakarta. 3. Haul Habib Ali di Gurawan Kecamatan Pasar Kliwon. 4. Haul Kyai Siroj di Panularan Kecamatan Laweyan Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
91
LAPORAN AKHIR 5. Merti Desa (Bersih Desa) di Kecamatan Banjarsari dan Mojosongo.
BAB XI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Warisan budaya tak benda yang berupa praktik-praktik sosial (adat, tradisi), perayaan ritual, maupun event perayaan lainnya ternyata masih eksis hidup di kota Surakarta dengan tersebar di semua wilayah kelurahan di kota Surakarta. Berbagai praktik sosial (adat, tradisi) terdiri atas adat dan tradisi kelahiran, perkawinan, kematian, perayaan adat di Keraton dan Pura Mangkunegaran, serta merti desa (bersih desa).
2. Wujud dari praktik sosial (adat, tradisi), maupun event perayaan lainnya yang masih eksis hidup di kota Surakarta antara lain upacara adat perkawinan Jawa, yaitu antara lain nontoni, Lamaran, Kumbokarnan, Peningsêt, Wilujengan, Nyêkar Lêluhur, Bucal-bucali (sajèn), Ngunggahake Blêkêtépé, Adang sêpisanan, Siraman, Siraman, Midodarèni, Bubakan (Bubak Kawah), Jonggolan, Majêmukan (Wilujêngan), Langkahan, Ijab Panikah, Panggih Pêngantèn, Sêpasaran Mantèn, Ndhunduh Mantu; upacara adat kelahiran antara lain: Tingkêban, Procotan, Graulan, Puputan, Sêlapanan, Têdhak sitèn, Têtêsan, Supitan, Wiyosan (Wêtonan); upacara adat sripah antara lain Layatan, Brobosan, Telungdinanan, Pitungdinanan, Patangpuluhdinanan, Satusinanan, Mendhak Sepisan, Mendhak Pindho, Sewudinanan, Kolkolan (Haul)/Tahlilan, Sadranan; serta Perayaan adat lainnya seperti Kirab Pusaka 1 Sura di Karaton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran, Tingalan Jumenengandalem di karaton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, Grêbêg Pasa, Grêbêg Mulud, Sekaten, Grêbêg Besar, Selikuran (keempat perayaan terakhir adalah di Karaton Surakarta); juga Merti Desa atau Bersih Desa.
3. Potensi warisan budaya tak benda sebagai penopang daya saing daerah antara lain didasarkan pada (i) urgensi ekonomi, yaitu seberapa besar keterkaitan (termasuk Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
92
LAPORAN AKHIR dampak) ekonomi yang diciptakan; (ii) dari sisi pariwisata, yaitu kemampuan menarik pengunjung maupun partisipan; dan (iii) dari sisi sosial budaya, yaitu kemampuan melibatkan masyarakat dari berbagai lapisan mulai dari perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan. Kemudian berdasarkan ketiga urgensi tersebut dan ditopang oleh pengamatan lapangan, maka kajian ini menemukenali setidaknya 5 (lima) warisan budaya tak benda yang berupa perayaan adat/tradisi/ritual dan praktik sosial yang memiliki potensi yang besar untuk menjadi penopang daya saing daerah sebagai kota budaya terutama di bidang ekonomi, pariwisata dan sosial budaya.
Kelima warisan budaya tak benda tersebut adalah (i) Perayaan
Memperingati 1 Suro (Kirab Pusaka Karaton Surakarta dan Pura Mangkunegaran); (ii) Grêbêg atau Garebek Mulud (Perayaan Sekaten) di Karaton Surakarta; (iii) Haul Habib Ali di Gurawan Kecamatan Pasar Kliwon; (iv) Haul Kyai Siroj di Panularan Kecamatan Laweyan; serta (v) Merti Desa (Bersih Desa) di Kecamatan Banjarsari dan Mojosongo. serta
4. Strategi konservasi dan preservasi warisan budaya tak benda untuk kota Surakarta yang ditawarkan dalam kajian ini di namai sebagai The Four Re and Trans Strategy for Conservation and Preservation of Intangible Cultural Heritage atau Strategi Empat Re dan Trans untuk Konservasi dan Preservasi Warisan Budaya Tak Benda. Strategi ini mencakup 5 (lima) tahapan strategi, yaitu (1) Reidentifikasi; (2) Reintepretasi; (3) Resosialisasi; (4) Revitalisasi; dan (5) Transformasi. Masingmasing tahapan strategi dijabarkan menjadi beberapa isu yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam membuat kebijakan taktisnya maupun program pelaksanaannya. Konsep strategi The Four Re and Trans ini merupakan konsep yang terbuka untuk dikritisi dan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, termasuk sesuai dengan perkembangan ilmu dan tehnologi.
B. Saran 1. Pemerintah kota Surakarta disarankan untuk segera mendiseminasikan hasil kajian ini terutama mengenai strategi The Four Re and Trans Strategy for Conservation and Preservation of Intangible Cultural Heritage atau Strategi Empat Re dan
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
93
LAPORAN AKHIR Trans untuk Konservasi dan Preservasi Warisan Budaya Tak Benda, agar supaya konsep strategi tersebut mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan.
2. Setelah mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan, disarankan agar The Four Re and Trans Strategy tersebut segera dapat diintegrasikan dengan dokumen perencanaan pembangunan (RPJM dan RPJP) maupun diinternalisasikan dalam berbagai kebijakan tehnis yang menyangkut warisan budaya tak benda agar strategi tersebut dapat diimplementasikan di lapangan.
3. Dengan menentukan skala prioritas, dalam jangka pendek sebaiknya pemerintah kota Surakarta dapat menindaklanjuti studi ini dengan kebijakan yang riil berbasis tahapan pertama dari The Four Re and Trans Strategy tersebut yaitu reidentifikasi – terutama – terhadap praktik-praktik sosial (adat, tradisi), perayaan ritual, maupun event perayaan lainnya ternyata masih eksis hidup di kota Surakarta yang telah ditemukenali oleh hasil kajian ini. Tahapan dari reidentifikasi ini sebaiknya dilakukan secara detail, tuntas serta komprehensif. Reidentifikasi dapat diperluas kepada jenis warisan budaya tak benda yang lain secara bertahap dan berkesinambungan sambil menunggu selesainya desiminasi dari konsep The Four Re and Trans Strategy di atas.
4. Apabila tahapan reidentifikasi di atas untuk warisan budaya tak benda yang dideskripsikan dalam kajian ini telah selesai dan dengan melihat potensi yang ada, maka sesegera mungkin pemerintah kota dapat melakukan seleksi terhadap berbagai praktik sosial, upacara adat, perayaan tradisi yang telah teridentifikasi dannetapkan warisan budaya tak benda terseleksi untuk diajukan kepada pemerintah pusat – untuk kemudian diteruskan ke UNESCO – agar dapat diusulkan menjadi warisan budaya tak benda dunia.
5. Kajian ini telah menemukenali 5 (lima) warisan budaya tak benda – yang disebutkan di kesimpulan nomor 3 – yang memiliki potensi yang besar untuk menjadi penopang daya saing daerah sebagai kota budaya terutama di bidang ekonomi, pariwisata dan sosial budaya. Oleh karena itu pemerintah kota Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
94
LAPORAN AKHIR seyoginyanya segera menyusun rencana strategis untuk mendorong, memfasilitasi, serta mengupayakan merealisasikan potensi tersebut menjadi realitas di lapangan.
•••
DAFTAR PUSTAKA Adhitia, Resty. 2009. Partisipasi Masyarakat Dalam Tradisi Bersih Desa (Studi Kasus Di Kampung Bibis Kulon Kelurahan Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta). Skripsi. FKIP. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Adnan, A Hakim. 1989. Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj/Sala. Sala: Pondok Pesantren As-Siroj. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago Press: University Of Chicago Geertz, Clifford.1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:Pustaka Jawa. Gustiarto, Gana. 2012. Tradisi Upacara Bersih Desa Mbah Meyek Di Kampung Bibis Kulon Sebagai Potensi Wisata Budaya Di Kota Surakarta. Skripsi. Fakultas Sastra. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Harmanto,dkk. 1994. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa. Hersapandi,dkk. 2005. Suran, antara Kuasa Tradisi dan ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Irawan, Bambang BRM., Suseno. 2015. Tata Upacara Adat Pernikahan Ageng Wayah Dalem, Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Sinergi Mediawisata. Isaac, Stephen; Michael, William B. 1985. Handbook In Research And Evaluation. Second Edition. San Diego, California: Edits Publishers. Kamajaya. 1992. 1 Sura Tahun Baru Jawa, Perpaduan Jawa Islam. Yogyakarta: UP Indonesia. Kartodirdjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium, jilid 1. Jakarta: Gramedia, Koentjaraningrat. 1984., Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat.Yogyakarta: Tiara wacana, Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
95
LAPORAN AKHIR Leedy, Paul D. 1997. Practical Research: Planning And Design. Sixth Edition. New Jersey: Merill, an imprint of Prentice Hall. Miles, B. & Hubberman, A. 1992. Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moeliono,dkk.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka Mulder, Neils. 1984. Kebatinan dan Hidup sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Padmasusastra. 1898. Layang Bauwarna Padmasusastra. 2602. Serat Tatacara Poerwandarminto, SJS.1939. Baoesastra Djawa. Groningen – Batavia: JB wolter Uitgever – Maatchkappiy. NV. Sarwanto. 2008. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Dalam Ritual Bersih Desa: Kajian Fungsi dan Makna. Surakarta: ISI Press, CV Cendrawasih, Pasca Sarjana ISI Surakarta. Tanojo, R. ______ . Primbon Jawa Petung Kuna Tatatjara Kasripahan.
http://santya69.blogspot.co.id/2011/01/upacara-kematian-dalam-tradisi-jawa.html www.meriam-webster.com/dictionary/conservation www.sustainable-environment.org.uk/Earth/Conservation_and_Preservation.php www.unesco.org.uk/culture/ich/en/what-is-intangeble-heritage-0003
Warisan Budaya Tak Benda
Halaman
96