LAPORAN AKHIR PENELITIAN
UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI
Oleh: Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati Dr. Ir. Sahat Pasaribu Ir. Rita Indrasti, M.Si Drh. Nata Kusuma, MMA Nyoman Budiana, SPt I Gst. Made Widianta, SP
BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN E. Kebijakan pembangunan pertanian daerah 1. Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pertanian E.1.1. Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALI 2015
Laporan Akhir KKP3SL-2015
i
UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI
NAMA PENELITI UTAMA
: Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna
NIP
: 19590907 198603 1 002
NAMA BPTP
: BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) BALI
INSTITUSI YANG TERLIBAT: 1.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
2.
Balai Besar Pengembangan Pengkajian Tekonologi Pertanian, Bogor
3.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
4.
Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, Bali
5.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
BIDANG PRIORITAS: Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah (E.1.1)
Laporan Akhir KKP3SL-2015
ii
UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Penanggung jawab NIP Nama BPTP Nama Pemda/Stakeholder yang terlibat Nama Pusat/Puslit/BB/Balit yang terlibat Bidang Prioritas
Laporan Akhir KKP3SL-2015
: Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna : 19590907 198603 1 002 : BPTP Bali : Dinas Peternakan Provinsi Bali : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian : Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah (E.1.1)
iii
Lembar Pengesahan KERANGKA ACUAN 7.
Judul Kegiatan
:
8. 9. 10.
BPTP Pengusul Alamat Diusulkan Melalui
: : :
11. 12.
Sifat Usulan Kegiatan Peneliti Utama/ Penanggung jawab 13. Personalia:
:
Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Bali Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Baru
:
Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna
a.
Peneliti/Penyuluh : 4 orang
b.
Pembantu Peneliti : 2 orang
c.
Teknisi
: 1 orang
d.
Adminitrasi
: 1 orang
14. Tahun dimulai kegiatan
:
2015
15. Biaya Kegiatan Th. 2015
:
Rp.131.575.000,-
16. Jangka Waktu Pelaksanaan: 2 (dua) tahun a.
Mulai dilaksanakan
:
2015
b.
Berakhir
:
2016
Disetujui Kepala BPTP
Penanggung jawab Kegiatan
Ir. A.A.N.B. Kamandalu, M.Si NIP: 19591013 198703 1 002
Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna 19590907 198603 1 002
Laporan Akhir KKP3SL-2015
iv
RINGKASAN 1.
Judul
: Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam
Mendukung
Swasembada
Daging
Sapi
Berkelanjutan di Bali. 2.
Unit Kerja
: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
3.
Lokasi
: 8 kabupaten, satu kota di Provinsi Bali
4.
Tujuan
:
a. Tujuan Antara adalah untuk mengetahui: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali. 2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. b. Tujuan jangka panjang: Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani melalui swasembada daging sapi. 5. Deskripsi Penelitian: Penelitian tentang, Upaya mengatasi pemotongan sapi betina produktif untuk mendukung swasembada daging sapi berkelanjutan di Bali, dilakukan selama dua tahun (2015-2016). Penelitian dilakukan di 8 kabupaten dan satu kota di Bali. Tujuan penelitian, adalah untuk menghindari terjadinya pemotongan sapi betina produktif melalui implementasi yang tepat dari kebijakan pemerintah. Sedangkan tujuan akhir dari penelitian adalah peningkatan pendapatan petani, dengan mempercepat pencapaian berkelanjutan swasembada sapi potong. 6. Metode Penelitian: Metode penelitian adalah melalui observasi lapangan, survey, Focus Group Discussion (FGD), interview mendalam. Analisis data dilakukan secara deskriptif, tabulasi silang (Cross Tabulation), Regresi berganda metode Enter dan Stepwise. 7. Keluaran yang diharapkan dari Tahun berjalan: Data dan informasi, tentang jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun, tingkat efektivitas kebijakan pemerintah terhadap pemotongan sapi betina produktif di Bali. 8. Lama penelitian: 2 (dua) tahun
Laporan Akhir KKP3SL-2015
v
9. Biaya penelitian tahun 2015: Rp.131.575,000 (Seratus Tiga Puluh Satu Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah). 10. Hasil Penelitian: Hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor. 2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. a. Faktor Peternak: i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli (saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif
dengan
indicator
tertentu,
yang
dipercaya
kurang
menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali. ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif. b. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi betina khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi betina
Laporan Akhir KKP3SL-2015
vi
afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar tentang kreteria sapi betina produktif. 3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, belum efektif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
vii
SUMMARY 1.
Title
: The Effort to Overcome, Slaughtering of Productive Bali Cow to Supporting Sustainable Beef Catle SelfSufficiency in Bali.
2.
Implementing Unit : Assessment Institute for Agriculture Technology (AIAT) Bali
3.
Location
: 8 Regencies and 1 city at Bali Province
4.
Objectives
:
a. Immediate Objectives: 1) Knowing the amount of productive bali cows slaughtered each year in Bali. 2) Knowing, Factors that cause the slaughtered productive bali cows in Bali. 3) Determine the effectiveness of government policies to overcome the slaughtered productive bali cows in Bali. b. Long Term Objectives: Increased income and welfare of farmers, as well as the achievement of sustainable beef self-sufficiency. 5. Description of Project: Research on, The Effort to Overcome, Slaughtering Productive Bali Cow to Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, conducted for two year (2015-2016). The study located in 8 regencies and one city in Bali. The purpose of research, is to avoid the occurrence of productive bali cow slaughtered, through a proper implementation of government policy. While the ultimate goal of research is the increasing income of the farmers, by accelerating the achievement of sustainable self-sufficiency in beef cattle. 6. Methodology: The research method is through observation, survey, Focus Group Discussion (FGD), in-depth interview. The data were analyzed descriptively, cross tabulation (Cross Tabulation), Multiple Regression with Enter and Stepwise method. 7. Expected Output of Year: Data and information, about the number of productive cows slaughtered each year, the level of effectiveness of government policy on cow slaughtered in Bali. 8. Duration: 2 (two) years Laporan Akhir KKP3SL-2015
viii
9. Proposed Budget in 2015: IDR.131.575,000 (One hundred and Thirty One Million Five Hundrade and Seventy Five Thousand Indonesian Rupiah). 10. The results research of the efforts to avoid slugter of productive cows in Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, among others: 1) The number of productive cows slaughtered each year in Bali, reaching more than 80% of cows slaughtered in the abattoir and TPH. While the number of cows slaughtered in Bali the period from January to August 2015 to reach 11,287 head. 2) Factors that cause the slaughter productive cows in Bali, among others: a. Breeders factors: i. External factors breeders include: (1) bovine growth slow; (2) the opportunities cattle prices are expensive; (3) impulse buyer (merchant or slaughterhouse); (4) trust in the productive cows with a specific indicator, which is believed less profitable for farmers and their families (local wisdom), (5) the cow is considered majir (can not be pregnant), because it is not pregnant after breeding a couple of times. ii. Internal factors of farmers, among others: (1) economic factors: (a) the money for their children in school (b) religious ceremonies; (c) building a house; (d) finance for sick family; (e) pay the debt, (f) maintain more profitable cows. (2) technical factors: (a) it is hard to get a place for breeding; (b) farmers who are old; (c) the difficulty of feed, (d) labor replaceable cow with a tractor. (3) factor of knowledge: (a) lack of knowledge of farmers on productive cows; (b) is not aware of any prohibition of slaughter productive cows. b. Factors slaughterhouse or officer: (1) Lack of government commitment and firmness in applying the applicable law; (b) It is difficult to get cows that are not productive; (c) the price of the bulls is much more expensive than the price of a cow; (d) cut veal cows especially more profitable than cows culled a lot of fat; (e) the lack of understanding about the butchers and merchants criteria productive cows. 3) The government policy to overcome the cutting productive cows in Bali, not yet effective
Laporan Akhir KKP3SL-2015
ix
DAFTAR ISI Lembar Pengesahan …………………………………………………
iv
RINGKASAN ……………………………………………………….
v
SUMMARY…………………………………………………………..
viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………...
x
DAFTAR TABEL …………………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………
xiv
I
PENDAHULUAN …………………………………………………..
1
1.1
Latar Belakang ………………………………………………………
1
1.2
Rumusan Masalah ………………………………………………….
3
1.3
Tujuan Penelitian ……………………………………………..……..
3
1.4
Keluaran yang Diharapkan …………………………………………..
4
1.5
Manfaat dan Dampak ………………………………………………
4
1.5.1 Manfaat …….…………………………………………………
4
1.5.2 Dampak …………………...……………………………………
4
1.6
Lingkup Kegiatan ……………………………………………………
5
II
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….
6
2.1
Karakteristik Sapi Bali ……………………………………………….
6
2.2
Keunggulan Sapi Bali ………………………………………………..
8
2.3
Kelemahan Sapi Bali ………………………………...………………
10
2.4
Pengertian Sapi Betina Produktif ….………………………………...
11
2.5
Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif …………………
13
2.6
Kebijakan pemerintah Pemerintah Tentang Penyelamatan Sapi Betina Produktive ……………………………………………………
13
2.7
Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif ……………………….
14
2.8
Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif …
16
2.9
Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif ……………….
17
2.9.1 Dampak Non Ekonomi ……………… ….……………………
18
2.9.2 Dampak Ekonomi …...…………………………………………
22
Laporan Akhir KKP3SL-2015
x
III
METODELOGI PENELITIAN …………………………………….
26
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………………..
26
3.1.1 Waktu Penelitian …………………………………………….
26
3.1.2 Lokasi Penelitian ……………………………………………
26
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data …………………………
26
3.2.1 Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun ……………..………….…………………………
26
3.2.2 Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ………………………………………
26
3.2.3 Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali
27
IV
HASIL PENELITIAN ……………………………………………….
31
4.1
Karakteristik Peternak Sapi Bibit …………………………………….
31
4.1.1 Umur Peternak dan pengalaman beternak …………..…………
31
4.1.2 Pendidikan Peternak ……………………………..……………
31
4.1.3 Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina ……………………
32
4.1.4 Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit ……………………………………………………………
33
4.1.5 Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit …………………….
35
4.2
Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit ……………….
36
4.3
Harapan Peternak Sapi Bibit …………………………………………
37
4.4
Sikap Peternak ……………………………………………………….
38
4.5
Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali ………………
40
4.6
Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali…………………….
42
4.7
Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali ……
44
4.8
Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ………………………………………………………………..
51
4.8.1 Di tingkat peternak sapi …………………………………..…...
51
4.8.2 Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan ………………
55
Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……………………………
61
Rencana Tindak Lanjut ……………………………………………..
64
3.2
4.9 4.10
Laporan Akhir KKP3SL-2015
xi
V
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………
65
5.1
Simpulan ………………………………………………………….
65
5.2
Saran …………………………………………………………………
66
VI
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..
67
Laporan Akhir KKP3SL-2015
xii
DAFTAR TABEL No
Judul Tabel
1.1
Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun ………………………………………………
21
Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina produktif di Indonesia ………………
23
Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali.
28
4.1
Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit ………
31
4.2
Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali ……………… ………
32
4.3
Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina ………….
33
4.4
Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi …………………
33
4.5
Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive ………
34
4.6
Penting tidaknya memelihara sapi bibit ……………………...
35
4.7
Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit ……….
36
4.8
Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit …………………………………….
38
4.9
Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif ...
40
4.10
Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015 ………………
44
4.11
Penyebaran Jagal di Bali ……………………………………..
50
4.12
Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015 (Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali, 2015) …………………………………………………………..
52
1.2 1.3
Laporan Akhir KKP3SL-2015
Halaman
xiii
DAFTAR GAMBAR No
Judul Gambar
2.1
Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa kelamin …. ……………………………………………………
2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin …… Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata ……… Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata … Dampak pemotongan sapi betina produktif ………………… Analisis impor sapi dan daging sapi …………………………. Lokasi RPH dan TPH di Bali ………………………………… Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan peluang terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya
45
Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal, Badung ………………………………………………………
48
Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten Karangasem ………………………………… ………………..
50
Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina produktif yang akan dipotong di RPH Pesanggaran (Denpasar) ……………………… ……………………………
4.9 4.10 4.11
Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina ………….. Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif … Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi pemerintah …………………………………………………… Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif ……………………………………………………… Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri dari unsur kepolisian, khususnya Polda Bali ………………… Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke konsusmen …………………………………………………….
4.14
24 41
46
Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani ……. Alasan eksternal peternak menjual sapi betina ………………
4.13
7 7 8 8 18
Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya dalam empat tahun berikutnya ………………………………
4.7 4.8
4.12
Halaman
Laporan Akhir KKP3SL-2015
49 51 52 53 53 54 54 55 62
xiv
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Suwono (2011) menyatakan, bahwa 70% kebutuhan daging nasional yang
mencapai sebesar 100 ribu ton per tahun, dipenuhi dari daging impor, hanya 30% yang dipasok dari industri dalam negeri. Salah satu penyebab rendahnya kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, adalah tingginya jumlah pemotongan sapi betina produktif yang mencapai 200 ribu ekor per tahun. Kondisi tersebut diperkirakan sebagai salah satu penyabab tidak tercapainya swasembada daging yang telah diprogramkan sejak 2005. Direktorat Jenderal Peternakan (2010) mencatat bahwa 40% dari 1,7 juta ternak yang dipotong adalah betina. Dari 40% tersebut, sebanyak 25% di antaranya adalah betina produktif. Hal tersebut berarti sekitar 10% dari jumlah sapi yang dipotong adalah sapi betina produktif, atau setara dengan 170 ribu ekor setiap tahun. Apabila kondisi tersebut dibiarkan terus berlangsung maka populasi sapi dalam negeri semakin menurun. Badan Pusat Statistik Bali (2013) menunjukkan bahwa populasi sapi bali pada tahun 2006 adalah sebanyak 257.551 ekor jantan dan 355.690 ekor betina. Pepulasi tersebut menjadi 267.032 ekor jantan dan 384.184 ekor betina pada tahun 2012. Hal tersebut berarti bahwa terjadi peningkatan populasi sapi jantan sebesar 3,68% dan sapi betina 8,01% dalam kurun waktu 5 tahun. Namun dalam waktu setahun (2012-2013) populasi sapi jantan menjadi 185.489 ekor atau menurun sebesar 30,54%. Sedangkan sapi betina menjadi 292.657 ekor atau menurun sebesar 23,82%. Belum ada data yang pasti tentang populasi sapi bali di Bali pada tahun 2014, namun beberapa media telah memberitakan bahwa populasi sapi bali menurun cukup dratis. Penurunan populasi sapi bali di Bali dapat berpengaruh terhadap meningkatnya impor sapi, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap penggunaan devisa Negara. Karena Bali merupakan salah satu provinsi penting sebagai penghasil daging nasional. Sesungguhnya upaya pengendalian pemotongan sapi betina produktif telah dimulai sejak zaman Belanda. Terbukti dari adanya peraturan perundang-undangan pelarangan pemotongan ternak betina produktif yang tertuang dalam Staatblad No. 614 Pasal 2 Tahun 1936. Kemudian dipertegas dengan Instruksi Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 1979 tentang Pencegahan dan Laporan Akhir KKP3SL-2015
1
Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit. Di samping itu dalam Staatblad tahun 1936 dijelaskan juga bahwa dilarang menyembelih atau menyuruh menyembelih ternak besar bertanduk (sapi dan kerbau) yang betina. Bahkan menurut UU No 18 tahun 2009, yang direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahu 2014, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan bahwa pemotongan sapi betina produktif merupakan tindakan yang salah dan pelakunya dapat diancam 6 bulan kurungan. Artinya bahwa yang memotong dan yang menyuruh sama-sama dapat sangsi hukum. Alasan dan tujuan larangan tersebut yaitu untuk mencegah penurunan perkembangan ternak sapi dan kerbau, menjamin kelestarian dan meningkatkan produksi serta mencegah menurunnya jumlah populasi ternak sapi dan kerbau. Secara nasional upaya tersebut hampir tidak memberikan hasil apapun, terbukti masih tingginya indikasi pemotongan sapi betina produktif yang mencpai sekitar 10% dari sapi yang dipotong dan tidak adanya “jagal” atau tukang potong sapi yang dihukum. Di Sumatra Barat, pemotongan sapi betina produktif mencapai 10.000 ekor tahun 2009. Kondisi di Bali tidak jauh berbeda, karena pemotongan sapi betina produktif nampaknya tetap dan terus berlangsung setiap hari. Suci Emilia Fitri (2010), menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia, tidak lebih dari 10% jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan populasi sapi di Selandia Baru yang mencapai 12 juta ekor atau empat kali jumlah penduduknya yang kurang dari 4 juta orang. Kondisi tersebut menyebabkan hingga saat ini, Indonesia masih kekurangan daging sapi, sehingga harus mengimpor sapi hidup maupun daging sapi, untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Gita Wirjawan pada tahun 2011 yang mengatakan bahwa 3-4 tahun mendatang Indonesia akan kehabisan stok sapi jika tidak menggenjot produksi dalam negeri atau impor. Gita memperkirakan stok sapi nasional saat itu hanya berada di angka sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 3-4 juta ekor per tahunnya. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah ternak sapi Indonesia telah berkurang sebanyak 2,4 juta ekor dalam dua tahun terakhir. Penurunan drastis jumlah ternak sapi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh tingginya pemotongan sapi betina produktif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
2
Suardana, dkk. (2013) menyatakan bahwa persentase sapi bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di RPH Mambal, bahwa persentase sapi bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut sebesar 67,49%. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka populasi sapi bali akan cenderung terus berkurang dan suatu ketika, bukan tidak mungkin plasma nuftah sapi bali akan hilang. Padahal sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia, yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan sapi lainnya. Secara umum diperkirakan bahwa penyebab utama terjadinya pemotongan sapi betina produktif, adalah motif ekonomi. Namun belum ada data yang pasti tentang hal tersebut, termasuk solusi untuk mencegah terjadinya pemotongan sapi betina produktif, sehingga pemotongan sapi betina produktif terus berlanjut. Terkait dengan kondisi itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali”. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat serta akademisi, untuk mencapai program PSDS di Indonesia, yang telah diwacanakan sejak 2005 namun hingga kini belum pernah tercapai. 1.2.
Rumusan Masalah Untuk menetapkan langkah atau upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah
pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka perlu diketahui dengan baik dan benar tentang penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Terkait dengan hal tersebut, maka setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, antara lain:
1) Berapa jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali? 2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali?
3) Bagaimana tingkat efektivitas kebijakan pemerintah selama ini untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, bertujuan untuk mengetahui: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali. Laporan Akhir KKP3SL-2015
3
2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 1.4.
Luaran yang Diharapkan Keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi
Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain data dan informasi tentang: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali. 2) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 1.5.
Manfaat dan Dampak Perkiraan manfaat dan dampak dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi
Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain: 1.5.1. Manfaat a) Manfaat untuk pemerintah: (1) sebagai dasar pertimbangn dalam mengambil langkah kebijakan untuk mengantisipasi pemotongan sapi betina productive di masa mendatang; (2) mempercepat tercapainya program PSDS. b) Manfaat untuk akademinisi: sebagai bahan kajian ilmiah atau penelitian dalam memperluas khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pemotongan sapi betina productive. c) Manfaat untuk peternak: meningkatkan pengetahuan tentang dampak pemotongan sapi betina productive. 1.5.2. Dampak Dampak yang berpeluang akan terjadi dari implementasi hasil penelitian ini antara lain: 1. Berkurangnya pemotongan sapi betina productive; 2. Meningkatnya populasi sapi bali di Bali; 3. Tercapainya program PSDS secara berkelanjutan; Laporan Akhir KKP3SL-2015
4
4. Tercapainya Bali sebagai sumber atau pusat penyedia bibit sapi bali berkualitas baik, secara nasional; 5. Mengurangi penggunaan devisa negara untuk import daging sapi. 1.6.
Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan
Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, meliputi: (1) Perencanaan penelitian; (2) pelaksanaan penelitian, meliputi: (a) Pengambilan data penelitian, (b) Analisis data penelitian, (c) Pelaporan, (d) Seminar hasil penelitian, dan (e ) Publikasi ilmiah.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
5
III. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Sapi Bali Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai masa depan ekonomi yang cerah (a promising economic future) dan telah tersebar di 26 Provinsi (Gunawan, dkk., 2014). Merupakan domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syndicus Bos sondaikus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Karakteristik sapi bali hampir sama dengan banteng (Bos sondaikus). Perbedaannya hanya pada bentuk badan sapi bali yang lebih kecil dibandingkan dengan banteng. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari proses penjinakan, yang menyebabkan bentuk tubuh sapi bali, menjadi lebih kecil, dibandingkan banteng yang asli, yang kini masih banyak hidup liar di Taman Nasional Ujung Kulon, Baluran, dan Alas Purwo. Berat dan tinggi gumba sapi bali menjadi lebih rendah dibandingkan dengan banteng. Semula yang beratnya mencapai 900 kg per ekor menjadi hanya 700 kg per ekor. Demikian pula tinggi gumba yang semula 170 cm, menjadi hanya 145 cm pada sapi bali (Prefer & Sinaga, 1964; Oka, 1991 dalam Gunawan, dkk., 2004). Taksonomi sapi bali termasuk Ordo: Artiodactyla, Kelas: Ruminansia, Family: Bovidae, Genus: Bos dan Species: Javanicus (Berata, 2008). Sapi Bali, yang sering disebut “Balinese Cow”, memiliki berbagai keunggulan, sangat menarik dan potensial untuk dikembangkan (Suharto, 2006). Secara umum ciri sapi bali adalah: warna bulu kuning kemerah-merahan atau merah bata, pendek, halus dan licin sejak lahir. Memiliki bulu berwarna hitam pada pungung yang membentuk garis dari punggung hingga ke pangkal ekor, sehingga sering disebut garis punggung. Ciri yang paling khas adalah cermin atau mirror yaitu bulu berwarna putih pada pantat dan di bawah lutut. Warna putih pada lutut ke bawah, menyebabkan sapi bali sering disebut sapi yang selalu menggunakan “kaos kaki”. Ciri lainnya adalah warna bulu telinga putih, bulu ekor hitam, moncong kehitam-hitaman, tidak berpunuk. Warna bulu sapi bali yang jantan, akan berubah dari merah bata sebelum dewasa (Gambar 2.1) menjadi hitam, ketika sudah mulai dewasa kelamin, sekitar umur 12-18 bulan (Gambar 2.2). Perubahan warna bulu tersebut terjadi secara perlahan, mulai dari kepala menuju ke pangkal ekor sampai pada
Laporan Akhir KKP3SL-2015
6
akhirnya seluruh bulu berwarna hitam pekat, kecuali warna bulu bagian pantat, lutut ke bawah dan telinga.
Gambar 2.1. Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa kelamin
Gambar 2.2. Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin
Warna hitam pada sapi jantan akan berubah kembali menjadi merah, secara perlahan mulai dari pangkal ekor menuju ke arah kepala, apabila sapi tersebut di kastrasi. Namun sekarang sangat jarang peternak melakukan kastrasi, karena nampaknya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Hal tersebut dapat dimengerti karena setelah dikastrasi, kemungkinan besar akan mengalami stress, sehingga mempengaruhi nafsu makan ternak, yang pada akhirnya akan berdampak pada laju pertumbuhan ternak. Dengan demikian nampak jelas bahwa perubahan warna bulu pada sapi bali jantan memiliki hubungan yang erat dengan sistem hormonal sapi bali, khususnya karena tidak diproduksinya hormon testosteron, hormon yang berhubungan dengan reproduksi ternak, yang dihasilkan oleh testis (Haryana, 1989). Sedangkan warna merah bata sapi bali betina tidak mengalami perubahan (warna konstan) selama hidupnya. Warna tersebut merupakan warna standar sapi bali (Oka, 2006), yang tidak akan pernah berubah sejak lahir sampai mati (Gambar 2.3 & 2.4). Selanjutnya pemerintah dalam rangka pelestarian kemurnian sapi bali, menetapkan warna standar sapi bali antara lain (Gunawan, dkk., 2004): (1) Warna putih pada kedua paha belakang; (2) Warna putih pada persendian loncat dari keempat kaki; (3) Garis hitam pada jalur garis punggung dan (4) Warna hitam di bagian ujung ekor. Pada kasus tertentu juga terdapat warna sapi bali yang tidak standar, antara lain: (1) Sapi Injin yaitu sapi baik jantan maupun betina sejak lahir, hingga dewasa berwarna hitam, dan sifat tersebut menurun secara dominan; (2) Sapi poleng, yaitu sapi yang lahir ada Laporan Akhir KKP3SL-2015
7
kelainan pada ekor dengan warna, bercak-bercak putih, juga menurun secara dominan; (3) Sapi cundang, yaitu sapi yang sejak lahir memiliki gugusan warna putih pada bagian muka, yang bersifat dominan; (4) Sapi putih (albino) sering disebut sapi bule, yaitu sapi yang lahir hingga dewasa berwarna putih (albino), bersifat resesif; (5) Sapi gading, yaitu sapi yang sejak lahir hingga dewasa memiliki warna bulu dan kulit yang putih pada bagian moncongnya. Sifat-sifat sapi gading menurun secara resesif; (6) Sapi panjut, yaitu sapi yang sejak lahir, ujung bulu ekornya berwarna putih, namun sifat tersebut tidak menurun; dan (7) Sapi tul-tul yaitu sapi yang sejak lahir berwarna tul-tul atau abu-abu, dan sifat inipun juga tidak menurun.
Gambar 2.3. Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata
2.2.
Gambar 2.4. Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata
Keunggulan Sapi Bali Sapi Bali lebih unggul dibandingkan dengan sapi lainnya, dalam berbagai hal
seperti: 1. Angka kelahiran antara (40-85)%, yang ditunjang dengan calving interval yang relative cepat (379 hari), serta kemampuan menghasilkan embrio (super ovulasi) antara 7-14 buah, sehingga melalui embryo transfer seekor sapi jantan dapat menghasilkan keturunan sebanyak 30 ekor per tahun, sehingga populasi sapi Bali dapat berkembang dengan cepat (Gunawan, dkk., 2004). 2. Induk Sapi Bali memiliki kesuburan yang tinggi antara (82-86)%, terbukti bahwa sapi Bali yang dikirim puluhan tahun lalu ke NTT, NTB dan Sulawesi Selatan dapat berkembang pesat, bahkan populasinya di daerah tersebut melebihi populasi sapi Bali di Bali.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
8
3. Memiliki daya adaptasi terhadap lingkunggan (heat tolerance) yang besar karena memiliki tata lintas air yang kecil dengan daya simpan air yang besar, sehingga daya tahan tubuh menjadi sangat tinggi, tahan terhadap cekaman cuaca panas. 4. Daya cerna unsur N (nitrogen) yang tinggi terutama dalam hijauan bergizi rendah, karena memiliki kadar urea darah yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lainnya. Sapi Bali juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam mencerna pakan berserat kasar tinggi. 5. Memiliki persentase karkas yang mencapai 56,6% dengan rasa daging yang lembut dan gurih, karena kadungan lemak dalam dagingnya relative rendah antara 2-6,9%. Sapi Bali mampu menghasilkan daging dengan kualitas “Prime Karkas” yaitu karkas yang berkualitas prima (Gunawan, 2004). 6. Sebagai ternak kerja, khususnya di bidang pertanian, yang digunakan untuk mengolah lahan sawah maupun lahan kering. Penggunaan sapi Bali sebagai tenagan kerja mengolah lahan umumnya digunakan secara berpasangan dan untuk satu ha lahan tegalan diperlukan waktu sekitar 4 hari. Penggunaan sapi Bali sebagai tenaga pengolah lahan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembalian tenaga kerja, sehingga menjadi lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan tenaga kerja manusia. Selain digunakan mengolah lahan pertanian, di beberapa tempat sapi bali juga sering digunakan untuk menarik gerobak untuk mengangkut hasil pertanian ataupun barang lainnya. Namun dengan perkembangan alat transportasi masa kini, maka penggunaann sapi Bali sebagai tenaga kerja pengangkut barang mulai berkurang. 7. Sebagai “Pabrik Hidup” atau “Bio-Factory” untuk menghasilkan pupuk organik (Wiguna & Inggriati, 2007). Tidak ada duanya di dunia, bahwa ternak termasuk ternak sapi merupakan pabrik hidup dari pupuk organik, karena mampu memproses bahan organik dalam waktu yang ralatif singkat, kurang dari 24 jam menjadi pupuk organik atau setidaknya menjadi bahan pupuk organik yang berkualitas tinggi. Selain itu ternak sebagai penghasil pupuk organik, juga tidak mengenal hari libur apapun, untuk tetap selalu berproduksi. Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lainnya sebagai penghasil pupuk organik, adalah karena kemampuannya mengolah bahan organik berkualitas rendah menjadi sumber pakan sekaligus sebagai sumber bahan baku pupuk organik. Keunggulan lainnya
Laporan Akhir KKP3SL-2015
9
dalam menghasilakan pupuk organik adalah jumlah pakan yang dihabiskan, terutama oleh ternak betina yang mencapai setidaknya 10% dari bobot badannya per ekor per hari. Dengan demikian akan mampu menghasilan bahan baku pupuk organik yang juga cukup banyak, dapat mencapai setidaknya 25-30 kg feses segar per ekor per hari untuk sapi jantan dengan bobot badan sekitar 300 kg. Selain itu sapi juga menghasilkan bahan pupuk organik dalam bentuk cair, berupa urine atau air kencing sapi, yang merupakan bahan baku pupuk organik cair berkualitas prima, karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi terutama N yang sangat dibutuhkan tanaman dan memiliki kandungan hara mikro yang cukup lengkap (Wiguna, dkk., 2007). Karena analisis terhadap bio-urine yang dihasilkan petani mengandung N-NO3 berkisar antara 27,6 dan 60,1 ppm; NH3 antara 68,38 dan 525,36 ppm; total P berkisar antara 8,2 dan 72,8 ppm serta kandungan K+ berkisar antara 1.634,6 dan 1.971,6 ppm. Kualitas bio-urine tersebut tergolong sangat baik, dengan kandungan nitrogen yang tinggi dapat menjadi sumber hara N bagi tanaman, sehingga Bio-urine tersebut berpeluang menggantikan pupuk urea. Pengakuan petani di Subak Wangaya Betan juga menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik padat sebanyak 2 ton per ha dan 600 liter bio-urine, telah cukup memenuhi kebutan tanaman akan hara, sehingga tidak memerlukan tambahan pupuk anorganik baik urea, SP36 maupun KCl. 2.3.
Kelemahan Sapi Bali Perkembangan ambing sapi betina relatif kurang baik. Mungkin hal tersebut
yang menyebabkan sapi Bali bukan sebagai sapi tipe perah atau sapi penghasil susu yang baik. Produksi susu sapi Bali berkisar antara 0,9-2,8 kg per hari, sehingga dapat menyebabkan pedet akan kekurangan air susu, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian, terutama kelahiran pada musim kering (Soehaji, 1991), atau setidaknya akan dapat mengganggu pertumbuhan pedet. Kelemahan lain sapi Bali adalah sifat atau prilaku agresif dari sapi jantan, yang dapat membahayakan. Karena prilaku tersebut terkadang dapat menyebabkan kecelakaan bagi peternak, maupun orang lain, seperti ditanduk, ditendang, yang terkadang dapat menyebabkan kematian. Agresifitas sapi Bali, berkaitan dengan hormon androgen yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig testis sapi jantan dewasa, karena semakin tinggi hormon testosteron yang dihasilkan maka keagresifan sapi Bali akan semakin tinggi (Sayang Yupardi, 2009).
Laporan Akhir KKP3SL-2015
10
Beberapa peneliti menyatakan bahwa ada interaksi antara kualitas pakan dengan tingkat agresifitas sapi. Sapi dengan pakan berkualitas tinggi umumnya lebih agresif dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah. Serangan penyakit cacing hati (Faciola gigantica) merupakan salah satu kelemahan sapi Bali terhadap parasit. Sehingga sangat merugikan, karena dapat menyerang jaringan hati, dan sering menyebabkan penyakit kronis dan mematikan (Sweta, 1982). Selanjutnya serangan penyakit Jembrana, merupakan kelemahan lainnya dari sapi Bali, karena sapi Bali sangat rentan terhadap serangan penyakit Jembrana. Sekalipun penyebab penyakit Jembrana telah ditemukan, namun penyakit tersebut belum tuntas sampai saat ini, karena terhambatnya proses pembuatan vaksin, akibat dari sulitnya menumbuhkan virus Jembrana di luar tubuh sapi (Hartiningsih, 2006). Penyakit lain yang juga rentan pada sapi Bali adalah penyaklit Ingusan, Bali ziekte dan diare. Rendahnya kemampuan sapi Bali mencerna bahan organik, juga merupakan salah satu kelemahan sapi Bali. Selain itu sapi Bali juga sulit hidup dengan baik jika berdampingan dengan domba. 2.4.
Pengertian Sapi Betina Produktif Menurut Undang Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2009 tentang
peternakan dan kesehatan hewan, bahwa yang dimaksud dengan sapi betina produktif adalah ternak sapi yang melahirkan kurang dari lima kali atau berumur di bawah delapan tahun. Undang Undang tersebut juga mengatur mengenai pelarangan terhadap pemotongan sapi betina produktif. Apabila hal tersebut dilanggar, maka ada sangsi dari yang paling ringan yaitu peringatan tertulis, sampai yang terberat yaitu paling sedikit Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan paling banyak 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Ketentuan pelarangan tersebut tidak berlaku apabila ternak betina memiliki kondisi seperti berikut: 1) Berumur lebih dari delapan tahun atau sudah beranak lebih dari lima kali; 2) Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten control teknik reproduksi di bawah penyeliaan dokter hewan; 3) Mengalami kecelakaan yang berat; 4) Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis dan dapat menurun pada keturunannya, sehingga tidak baik untuk ternak bibit; 5) Menderita penyakit menular yang menurut dokter hewan pemerintah harus dibunuh atau dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah penyebaran penyakitnya,
Laporan Akhir KKP3SL-2015
11
atau menderita penyakit yang dapat mengancam jiwa ternak sapi tersebut; 6) Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali). Pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan salah satu upaya untuk mencegah menurunnya populasi ternak sapi, yang dapat mengancam kelestarian sumber bibit sapi. Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi yang dihandalkan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, sehingga pelarangan terhadap pemotongan sapi betina produktif merupakan hal yang sangat penting. Terkait dengan hal tersebut maka pengetahuan pelaku tentang dampak pemotongan sapi betina produktif sangat dibutuhkan agar dapat mentaati pelarangan tersebut. Secara teoritis Bestable dalam Muchlisin (2013) menyatakan, bahwa pengetahuan adalah hasil dari ranah yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa. Sebagian besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga. Pengertian lainnya tentang pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Ahli lain mengatakan pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang karena adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan tersebut meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, kaidah, dan pikiran (Adlany, 2014). Lebih jauh Adlany (2014) juga mengemukakan bahwa dalam pengetahuan terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain: (1) Aspek yang diperoleh, yaitu pengetahuan yang mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemikiran, dan kaidah-kaidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi kehidupan; (2) Aspek realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan diasumsikan sebagai suatu realitas yang senantiasa berubah, dan perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara khusus fenomena yang beragam, kemudian ia membandingkan fenomena tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atas fenomena tersebut, selanjutnya menyiapkan diri untuk mendapatkan pengetahuan baru yang lebih global.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
12
Wikipedea (2014), secara lebih rinci dikemukakan tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, seperti pendidikan, media dan informasi. Pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan seseorang karena pendidikan mampu mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, serta pendidikan juga mampu mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selanjutnya peran media dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang terletak pada jangkauan media seperti televisi, radio, surat kabar yang demikian luas, serta peran media dalam mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa. Selanjutnya peran informasi dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang, terletak pada peran informasi sebagai sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Mengacu pada berbagai definisi tentang pengetahuan, maka pengetahuan pelaku pemotongan sapi betina produktif adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran atau jiwa seorang petenak sapi, yang berkaitan dengan adanya pemotongan sapi betina produktif sebagai bentuk interaksi seorang peternak dengan lingkungan sekitarnya.
2.5.
Dampak Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif. Kondisi ekonomi peternak dalam penelitian ini adalah bagaimana cara
peternak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi keluarga seperti kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, dan untuk anak sekolah, dapat mendorong peternak untuk menjual komuditi yang dimilikinya, termasuk ternak sapi. Kebutuhan yang mendesak dapat menyebabkab peternak harus menjual tenak sapinya, walaupun kondisi sapi tersebut sedang bunting atau masih produktif. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Inggriati (2014) bahwa, faktor ekonomi keluarga berhubungan positif dengan perilaku peternak dalam menerapkan teknis dan manajemen produksi sapi bali perbibitan. Hal tersebut berarti bahwa semakin banyak kebutuhan ekonomi keluarga, maka peternak akan beternak sapi semakin banyak dengan tujuan untuk sewaktuwaktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2.6.
Kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktive Kebijakan pemerintah yang mendukung keberhasilan usaha ternak sapi bali
perbibitan, seperti penyediaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan
Laporan Akhir KKP3SL-2015
13
penyelamatan betina produktif dengan cara memberikan insentif pada peternak sapi sebesar Rp. 500.000,- per ekor sapi bunting milik petani, diharapkan dapat meningkatkan motivasi peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perbibitan Ditjen Peternakan (2010). Semakin kuat motivasi peternak, akan semakin baik perilakunya seperti pengetahuan semakin meningkat, sikap semakin positif, dan keterampilan semakin baik dalam menjalankan usaha ternak (Herzberg dalam Sudrajat, 2008). Perilaku yang semakin baik dalam mengusahakan peternakan sapi bali perbibitan, akan dapat mengurungkan niat peternak untuk menjual sapi betina yang masih produktif, karena diyakini akan melahirkan anak sapi yang dapat dijual sebagai sumber pendapatan keluarga. Perilaku yang baik dalam beternak sapi bali perbibitan di Bali, akan dapat meningkatkan populasi sapi bali, yang pada gilirannya dapat mendukung Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (PSDS). Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif telah diatur dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya pengembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program penyelamatan dan atau penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tetap mencegah terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri. Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat salah satu kriteria penunjang keberhasilan program swasembada daging adalah ketersediaan bibit sapi potong secara berkelanjutan. Namun upaya tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik, karena terbukti pemotongan sapi betina produktif demikian tinggi. 2.7.
Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif Kebutuhan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju
pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, serta meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pemotongan sapi dari berbagai breed juga semakin meningkat. Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa selama Juli-Agustus 2013, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi yang dipotong di 20 buah RPH di Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdapat beberapa jenis sapi lokal yang dipotong di RPH antara lain: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Jawa/Peranakan Ongole (PO), Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan Laporan Akhir KKP3SL-2015
14
Lokal dengan Brahman dan Angus (Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental (SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor adalah ACC (Australia Commercial Cross). Hasil penelitian Rochadi Tawaf, dkk. (2013) juga mendapatkan bahwa sapi yang didistribusikan ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang dipotong selama periode pengamatan terdiri atas 73,59% sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41% sapi impor (2.874 ekor). Selanjutnya juga diketahui bahwa sapi lokal betina umur produktif yang dipotong di 20 RPH tersebut adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08% dari jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Sapi betina yang dipotong tersebut sebanyak 65,29% (1.623 ekor) memiliki bobot antara 117 kg–354 kg dengan umur kurang dari 4 tahun. Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Danny Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), bahwa angka pemotongan sapi betina produktif atau bunting, menjadi salah satu tantangan bagi tekad Pemerintah Provinsi NTT menjadi Provinsi Ternak, karena angka pemotongannya mencapai 65% atau lebih tinggi secara nasional yang hanya sekitar 28%. Lebih jauh ditegaskan bahwa dampaknya adalah hilangnya potensi kesempatan tambahan populasi dan kelahiran sebanyak 60 ekor sapi setiap pemotongan 100 betina produktif. Suardana, dkk. (2013) juga menyatakan hal yang senada bahwa persentase sapi Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif yakni dengan rincian: umur 0-1 tahun (9,45%), umur 1,5-2 tahun (16,92%), umur 2-2,5 tahun (26,87%), umur 3-3,5 tahun (10,91%), umur 3,5-4 tahun (26,87%) dan umur > 4 tahun (1%). Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh Suardana, dkk. (2013) di RPH Mambal, bahwa persentase sapi Bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut sebesar 67,49% dengan rincian: umur 0-1 tahun (13,3%), umur 1,5-2 tahun (15,27%), umur 2-2,5 tahun (11,33%), umur 3-3,5 tahun (8,87%) dan umur 3,5-4 tahun (18,72 %). Dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%) berjenis kelamin jantan.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
15
Wiji Nurhayat (2012) dalam detik.com (12 Nopember 2012) juga mengemukakan bahwa sebanyak 30% sapi betina produktif dipotong di Jakarta. Hal tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI) alias Asosiasi Jagal Indonesia membenarkan isu soal pemotongan sapi betina produktif. Sebanyak 30% dari 1.200 sapi betina produktif dipotong di DKI Jakarta. Selain itu, Abud juga mengatakan bahwa, kondisi lebih parah terjadi di Jawa Timur, karena pemotongan sapi Jawa dan sapi Bali betina produktif mencapai 60%. Sebelumnya Menurut Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor. Memperhatikan dan menyimak data hasil penelitian yang dilakukan para peneliti, menunjukan betapa tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Indonesia. Kondisi tersebut akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Tidak mengherankan jika program pemerintah tentang swasembada daging yang dicanangkan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 tidak pernah berhasil. Persoalan tersebut, tentu tidak akan berhenti sampai di sana, karena dampak yang ditimbulkan demikian luas, baik ekonomi maupun non ekonomi bagi bangsa Indonesia. 2.8.
Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif Puskeswan Padang Panjang (2011) yang menyatakan bahwa adalah sebuah
fakta, pemotongan sapi betina produktif paling sering terjadi pada pelaksanaan Qurban setiap tahunnya. Pada tahun 2010 tercatat pemotongan hewan qurban di Kota Padang Panjang berjumlah 632 ekor dan 80% di antarnya adalah sapi betina produktif. Sedangkan faktor eksternal peternak antara lain: (a) pertumbuhan sapi yang lambat; (b) sapi majir (tidak mau birahi/bunting); (c) sapi sering sakit; (d) sapi cacat fisik; (e) kesempatan karena harga sapi sedang mahal; dan (f) adanya dorongan pedagang sapi (broker). Dua alasan eksternal terakhir (kesempatan karena harga sapi sedang mahal dan adanya dorongan pedagang sapi (broker), nampaknya sangat berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan daging sapi di pasaran. Sejalan dengan pernyataan Abud selaku ketua APPHI dalam detik.com (2012), bahwa meningkatnya kelangkaan daging sapi, untuk memenuhi kuota kebutuhan daging, mau tidak mau pihak penyedia daging memotong sapi betina sebagai alternatif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
16
Alasan lain sebagai penyebab adanya pemotongan sapi betina produktif adalah harga sapi betina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga sapi jantan. Di lain pihak harga daging sapi baik jantan maupun betina relatif sama, sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka pengusaha daging sapi akan cenderung memotong sapi betina. Sejalan dengan Badan Litbang Pertanian (2011) yang menayatakan bahwa Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Lebih jauh Badan Litbang Pertanian (2011) menyatakan bahwa biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH “tidak resmi”. Namun, tidak jarang dapat dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta. Dengan demikian alasan cacat fisik dapat dijadikan pembenar dalam pemotongan sapi betina produktif. Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2010) juga mengemukakan hal yang senada bahwa salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara supplay dan demand sapi potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak. Didukung oleh situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis. Menurunnya populasi ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama untuk menghasilkan. 2.9.
Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pemotongan sapi betina produktif
di Indonesia akan menyebabkan berbagai kerugian. Sebagai ilustrasi dampak akhir dari pomotongan sapi betina produktif adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Namun apabila diteruskan maka tidak tertutup kemungkinannya akan menyebabkan rendahnya prestasi bangsa Indonesia di dunia internasional (Gambar2.5). Dari Gambar 2.5 nampak bahwa setidaknya terdapat dua dampak utama
Laporan Akhir KKP3SL-2015
17
sebagai akibat pemotongan betina produktif, yaitu: (1) Dampak Non Ekonomi dan (2) Dampak Ekonomi.
Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif (Sumber: Wiguna dan Tatik, 2015) 2.10. Dampak Non Ekonomi. Berdasarkan Gambar 2.5 dapat diketahui bahwa dampak non ekonomi yang terjadi sebagai akibat pemotongan betina produktif adalah berkurangnya angka kelahiran ternak sapi. Dapat dipahami dengan baik bahwa setiap ekor sapi setidaknya akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor pada umur produktif 8 tahun. Berkurangnya kelahiran pedet, akan menyebabkan berkurangnya populasi sapi. Buyung Syahyuti (2012) menyatakan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi kenyataan pengurasan ternak sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong yakni
NTT, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di
Sumatera. Data BPS (2007) dalam Buyung Syahyuti (2012) memperlihatkan bahwa dalam periode 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal dengan laju 1,1 persen per tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari pengurasan yang terjadi pada wilayah sentra produksi Jatim, NTB dan Lampung dengan laju penurunan populasi masing-masing 2,8%; 0,3% dan 0,8%. Sedangkan pertumbuhan yang terjadi antara
Laporan Akhir KKP3SL-2015
18
tahun pencanangan swasembada daging sapi hingga 2007 yakni 2 tahun kemudian untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0,004%; 2% dan 0,25% dan Indonesia 2,5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Padahal untuk mencapai tambahan 1.000 ekor sapi diperlukan pertumbuhan sebesar 10,1% per tahun termasuk kematian dan pemotongan. Kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi daging sapi, sehingga kebutuhan daging untuk masyarakat tidak akan terpenuhi. Fenomena tersebut menyebabkan rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Suswono dalam Antara (2010) menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi daging masyarakat Malaysia telah mencapai 30 kg per kapita per tahun, sedangkan Indonesia sangat rendah yaitu hanya 7 kg per kapita per tahun. Khusus untuk konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,72 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan naik menjadi konsumsi 3,72 kg per kapita per tahun pada tahun 2020 (Bagus Fitriansyah, 2011). Rendahnya konsumsi daging di Indonesia menyebabkan rendahnya konsumsi protein hewani. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Antara (2012) menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi protein masyarakat Indonesia menyebabkan banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan negara Asia lain. Minarto dalam Kompas (2012) mengatakan, angka pemenuhan kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100 persen. Gambar 2.5 juga menunjukan bahwa rendahnya konsumsi protein penduduk Indonesia, menyebabkan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia juga rendah. Hal tersebut ditandai dengan rendahnya Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat Indonesia, yang berada pada posisi ke 137 dari 223 negara di dunia (berdasarkan kesatuan) atau pada urutan ke 108 dari 191 negara di dunia (berdasarkan urutan PBB), dengan tingkat UHH 70,76 tahun (World Factbook, 2011). Posisi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Singapore, Philipina dan lainnya.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
19
Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali. Kurang terpenuhinya konsumsi protein hewani, maka prevalensi orang bertubuh pendek dan gizi kurang menjadi tinggi (Minarto, 2012). Data Unicef tahun 2009, menyebutkan bahwa prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi kurang 18 persen dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16 persen dan 7 persen), Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen dan 20 persen). Minarto (2012) mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun 2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen. Sebesar 40 persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di bawah rata-rata nasional. Daerah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Kondisi tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kecenderungan pemotongan sapi betina produktif di daerah-daerah sentra produksi sapi. Selanjutnya Tabel 1 menunjukan bahwa pemotongan sapi betina produktif menyebabkan hilangnya 62 ekor sapi dalam kurun waktu 16 tahun untuk setiap kematian sapi produktif umur 3 tahun (saat dikawinkan pertama kali). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap ekor sapi betina akan melahirkan mulai umur 4 tahun dan selanjutnya akan melahirkan seekor pedet setiap tahun, sehingga seekor sapi induk akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor selama umur produktif 8 tahun. Pedet yang lahir pertama, selanjutnya akan menjadi induk dan dalam masa pruduktifnya (8 tahun) juga akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor. Demikian seterusnya saat anak sapi yang ke-5 melahirkan sebanyak 5 kali (umur 8 tahun), maka anak pertama dari seekor induk juga akan melahirkan anak pertama. Demikian seterusnya, hingga keturunan yang ke3 akan terdapat 62 ekor pedet yang berpeluang lahir dalam kurun waktu 16 tahun (ilustrasi Tabel 1.1). Berdasarkan peluang kelahiran, maka akan terdapat 50% sapi yang lahir adalah betina dan 50% lainnya adalah jantan. Melalui asumsi sederhana dari 62 ekor sapi yang lahir akan terdapat 31 ekor sapi jantan dan 31 ekor sapi betina. Dengan tingkat mortalitas sebesar 4%, maka sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor (masing-masing 30 ekor jantan dan 30 ekor betina). Apabila seekor sapi jantan dipotong dengan berat
Laporan Akhir KKP3SL-2015
20
badan rataan 300 kg, maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan menyebabkan hilangnya 300 kg x 30 ekor = 9.000 kg sapi hidup. Jika seekor sapi bali mampu menghasilkan 53% karkas (Maria, dkk., 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi bali betina produktif pada umur 3 tahun akan menyababkan kehilangan 4.770 kg karkas. Selain kehilangan daging yang bersumber dari sapi jantan, maka sapi betina yang telah berusia tidak produktif (lebih dari 8 tahun) juga dapat menyediakan daging, karena telah diperkenankan untuk dipotong. Tabel 1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun 1
2 3 Fase Lahir Tumbuh Kawin
TAHUN KE 9 10 11 Melahirkan ke I II III IV V 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V Lahir Tumbuh Kawin I II III IV Lahir Tumbuh Kawin I II III Lahir Tumbuh Kawin I II Lahir Tumbuh Kawin I 4
5
6
7
Lahir
8
12
13
14
15
5 V IV III II
5 V IV III
5 V IV
5 V
IV III II I Kawin
V IV III II I
5 V IV III II
Tumbuh Kawin I II III Lahir Tumbuh Kawin I II Lahir Tumbuh Kawin I Lahir Tumbuh Kawin Lahir Tumbuh
Lahir
Tumbuh Kawin I II III Lahir Tumbuh Kawin I II Lahir Tumbuh Kawin I Lahir Tumbuh Kawin Lahir Tumbuh
Jml. Sapi Lahir (Ekor) 5 5 5 5 5 5 5 JML. SAPI 30 16
5 V IV III JML. SAPI
5 5 5 4 3 22
IV III II I Kawin JML. SAPI TOTAL SAPI
4 3 2 1 10 62
Apabila seekor sapi induk yang telah tidak produktif di potong akan menghasilkan daging atau karkas yang jumlahnya juga sama dengan sapi jantan yaitu 4.770 kg. Dengan demikian pemotongan seekor sapi betina produktif akan menyebabkan kehilangan sebanyak 9.740 kg karkas. Apabila konsumsi daging sapin masyarakat Indonesia yang
diprediksi sebesar 3,72 kg/kapita/tahun (Bagus
Fitriansyah, 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi betina produktif akan menghilangkan peluang atau kesempatan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging sapi sebanyak 2.565 orang selama 16 tahun atau 160 orang setiap tahun. Padahal kenyataan yang ada saat ini konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia hanya 2,72 kg per kapita per tahun, sehingga akan lebih banyak lagi hilangnya peluang masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi daging sapi, sebagai akibat pemotongan seekor sapi betina produktif. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas suberdaya manusia Indonesia. Laporan Akhir KKP3SL-2015
21
2.11. Kerugian Ekonomi Pemotongan sapi betina produktif diyakini akan menurunkan populasi sapi, yang pada akhirnya akan menurunkan ketersediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta jiwa. Melalui perhitungan sederhana yang ditunjukan dalam Tabel 2, bahwa setiap pemotongan sapi betina produktif akan menghilangkan peluang kelahiran sebanyak 62 ekor sapi. Dengan tingkat mortalitas (kematian) sebesar 4% maka peluang sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor. Secara genetik peluang kelahiran berdasarkan jenis kelamin adalah 50% jantan dan 50% betina. Sejalan dengan Berry dan Cromie, (2007) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010) bahwa jenis kelamin anak yang dilahirkan ditentukan pada saat fertilisasi hanya ada kombinasi antara satu gamet maternal dan dua gamet paternal yang menghasilkan kemungkinan 50% jantan dan 50% betina (Krzyzaniak dan Hafez, 1987) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010). Sedangkan hasil penelitian Gatot Prasojo, dkk. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan jumlah kelahiran sebanyak 799 ekor, ternyata pedet jantan sejumlah 445 (55,69%) ekor lebih banyak dibandingkan dengan pedet betina yaitu 354 (44,30%). Mengacu pada peluang tersebut maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan menghilangkan peluang lahirnya 30 ekor sapi betina dan 30 ekor sapi jantan dalam kurun waktu 16 tahun. Berdasarkan perhitungan sederhana seperti Tabel 1.2, maka diketahui bahwa setiap pemotongan seekor sapi betina produksi akan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp.461.280.000,- dalam kurun waktu 16 tahun atau sebesar Rp.28.830.000,- setiap tahun. Mengacu pada laporan Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013) bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun di Indonesia diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor, maka tingkat kerugian yang ditimbulkan akan mencapai antara 4,3 – 5,7 Trilyun Rupiah lebih. Suatu tingkat kerugian secara langsung yang sangat tinggi. Di Provinsi Bali, data pemotongan sapi betina produktif dilaporkan oleh Suardana, dkk. (2013) dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terdapat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%)
Laporan Akhir KKP3SL-2015
22
berjenis kelamin jantan. Selanjutnya dari 201 ekor sapi betina yang dipotong di RPH Pesanggaran terdapat 200 ekor (99,0%) masih produktif. Sedangkan di RPH Mambal sebanyak 157 ekor (67,49%) adalah betina produktif yang berumur kurang dari 4 tahun. Tabel 1.2 Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina produktif di Indonesia Peluang kelahiran
Ekor
1 50% Jantan 30 2 50% Betina 30 Kerugian dalam 16 tahun dari serkor Induk Kerugian per tahun sari seekor induk Secara Nasional Pemotongan per tahun (ekor)
Harga (Rp) Per ekor 5.000.000 10.500.000
150.000 200.000
Total Harga 148.800.000 312.480.000 461.280.000 28.830.000 4.324.500.000.000 5.766.000.000.000
Keterangan: *) dalam waktu 16 tahun setelah seekor sapi betina produktif dipotong
Mengacu pada data pemotongan sapi tersebut maka rataan pemotongan sapi betina produktif di Bali mencapai 83,25% dari total sapi betina yang dipotong. Selanjutnya data pemotongan sapi di Bali pada tahun 2014 menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2015) adalah sebanyak 18.004 ekor. Berdasarkan angka tersebut maka tingkat pemotongan betina produktif adalah sebanyak 83,25% dari 18.004 ekor atau 14.987 ekor pada tahun 2014. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kerugian sebesar lebih dari 432 Milayard Rupiah pada tahun 2014. Sejumlah kerugian yang tidak kecil, yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Kerugian ekonomi lainnya sebagai dampak pemotongan sapi betina produktif adalah meningkatnya import sapi hidup maupun daging sapi, yang sudah pasti memerlukan sejumlah devisa negara. Buyung Syahyudi (2011) menganalis impor sapi dan daging sapi seperti ditunjukan dalam Gambar 2.6. Dari Gambar 2.6 tersebut nampak bahwa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 ada kecenderungan meningkatnya import sapi dan daging sapi.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
23
Gambar 2.6. Analisis impor sapi dan daging sapi (Buyung Syahyudi, 2011) Selanjutnya Rofi Munawar kepada merdeka.com di Jakarta, Sabtu (29 Nopember 2014), mengemukakan bahwa impor sapi yang mencapai 700.000 ekor pada tahun 2014 akan menguras devisa negara sebesar Rp 4,8 triliun hingga Rp 5 triliun. Dana tersebut, apabila dialihkan untuk pengembangan sapi lokal akan sangat bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional. Selain itu penggunaan devisa negara untuk mengimpor sapi dan atau daging sapi, dapat menyebabkan meningkatnya hutang negara dan terganggunya pembiayaan sektor lainnya. Dampak lain yang tegolong dalam dampak ekonomi adalah menurunnya harga sapi lokal karena kalah bersaing dengan sapi import, serta berkurangnya pendapatan peternak, yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan sudah pasti akan membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil. Sangat ironis karena di lain pihak pendapatan negara akan berkurang sebagai dampak kerugian karena pemotongan betina produktif. Kementerian Pertanian (2010) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pemotongan yang setiap tahun mencapai 200 ribu ekor diperlukan dana sekitar Rp1,4 triliun. Namun, kemampuan dana pemerintah saat itu hanya sekitar Rp.350 miliar sehingga masih jauh kebutuhan . Apabila harga seekor sapi betina rata-rata Rp.7 juta, meka pemerintah hanya mampu menyelamatkan 50.000 ekor sehingga masih jauh dari target 200 ribu ekor. Danny Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), Untuk menanggulangi hal ini, butuh kerja sama semua pihak terutama
Laporan Akhir KKP3SL-2015
24
pemangku kepentingan yang berhubungan dengan peternakan, sehingga tidak saling menunggu bahkan melempar tanggung jawab. Peluang kerugian lainnya adalah terjadinya penularaan penyakit destruktif hewan ini menyebabkan kerugian di tingkat petani peternak mencapai nilai 5,5 persen dari produktivitas ternak yang ekuivalen dengan Rp 100 miliar, setiap tahun (Bisnis Bali, 2015).
Laporan Akhir KKP3SL-2015
25
III.
METODELOGI PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian
3.1.1. Waktu Penelitian Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, akan dilaksanakan selama 289 hari, mulai 25 Pebruari 2015 sampai dengan 10 Desember 2015. 3.1.2. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, antara lain Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem dan Kota Denpasar. 3.2.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
3.2.1. Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun. Teknik pengumpulan data untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun, dilakukan dengan jalan inventarisasi jumlah sapi yang dipotong, setiap hari di setiap lokasi (RPH dan TPH). Jumlah sapi yang dipotong akan dibedakan menjadi dua yaitu jantan dan betina dengan umur masing-masing dalam tahun. Data pemotongan sapi di RPH pada setiap kabupaten akan dicatat setiap hari oleh petugas RPH, minimal dalam waktu 6 bulan. Pecatatan dilakukan berdasarkan form isian yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah data tersebut terkumpul, maka yang dipotong akan diklasifikasikan menjadi sapi betina productive dan tidak productive sesuai dengan standard yang ada. Melalui perhitungan sederhana terhadap data primer yang dikumpulkan tersebut, akan diketahui prosentase jumlah sapi betina productive yang dipotong selama enam bulan. Berdasarkan data sekunder (Laporan pemotongan sapi) oleh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota maka akan diketahui jumlah sapi betina productive yang dipotong setiap tahun termasuk sebarannya, di setiap kabupaten/kota di Bali. 3.2.2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. Untuk menganalisis dan mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, akan dilakukan pengumpulan data melalui
Laporan Akhir KKP3SL-2015
26
survey dan Focus Group Discussion (FGD), terhadap: (1) peternak yang terindikasi pernah menjual sapi bentina productif; (2) tukang potong (jagal) baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Melalui analisis deskriptif kualitatif, akan diketahui faktorfaktor yang mendominasi sebagai penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. 3.2.3. Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. Data dikumpulkan melalui survei terhadap peternak yang terindikasi menjual sapi betina produktif dan tukang potong atau “jagal” sapi, tentang pengetahuan, sikap dan faktor ekonomi responden yang mendorong terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. Melalui analisis regresi linier berganda (Rumus 1) akan diketahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pemotongan sapi betina productive di Bali. Dengan mengetahui faktor yang paling berpengaruh atau paling menentukan tersebut maka, langkah antisipasi akan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi permasalahan yang ada di tingkat lapangan. Y = a + b1X1 + b2X2 + …….bnXn Y
=
……………. Rumus 1
variabel terikat (dependent variable) adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi bali betina productive.
a
=
konstanta
b1, b2
=
koefisien regresi
X1…X4 =
variabel bebas (independent variable), antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah dalam memelihara sapi bibit (X4).
Variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang dipengaruhi oleh berbagai factor bebas (independent variable). Variable terikat (Y) dalam penelitian ini adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Sedangkan variable bebas (X1….. X4), antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah dalam memelihara sapi bibit (X4). Jumlah responden adalah sebanyak 90 orang peternak sapi yang pernah menjual sapi betina produktif. Responden tersebut tersebar
Laporan Akhir KKP3SL-2015
27
di 8 kabupaten dan satu kota, dengan rincian seperti Tabel 1.3. Penetapan peternak responden dilakukan secara kuota teracak (quota random sampling). Selanjutnya data peternak dikoleksi melalui survey, dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka data juga dikoleksi dari “jaga” sapi, serta petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Tingkat Kabupaten/Kota yang menangani Rumah Potong Hewan. Data dari “jagal” dan petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota dikumpulkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Melalui FGD terkolekasi informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pemotongan sapi betina produktif. Data atau informasi tersebut antara lain meliputi: (1) jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap hari oleh jagal; (2) factor-faktor pendorong yang menyebabkan adanya pemotongan sapi betina produktif; (3) upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pemotogan sapi betina produktif; dan (4) pengetahuan jagal dan atau petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota tentang sapi beina produktif berdasarkan Undang-Undang No 41 tahun 2014. Tabel 1.3. Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten/Kota
Peternak
Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Bangli Klungkung Karangasem Denpasar
10 10 10 10 10 10 10 10 10
Total
90
Jagal atau RPH Resmi*) Tidak Resmi*) Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus Sensus
Keterangan: *) Seluruh lokasi pemotongan sapi akan di survai (sensus) dan diwakili oleh seorang responden
Laporan Akhir KKP3SL-2015
28
Dalam penelitian ini, khususnya untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: 5) H0 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali belum atau tidak efektif 6) H1 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali telah efektif Untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka analisis dilanjutkan dengan menghitung Koefisien Korelasi Berganda (R) melalui Rumus 2 dan Koefisien Determinasi (R2). Nilai R berkisar antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai R maka hubungan antara variable terikat dengan variable tak bebas adalah semakin kuat. Sedangkan koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui apakah hipotesis yang diajukan diterima, atau apakah hubungan antara dependent variable dan independent variable tersebut nyata atau tidak nyata. Hal tersebut dapat diketahui melalui uji F, dengan Rumus 3.
R=
b1∑X1Y + b2∑X2Y ∑Y2
………………… Rumus 2
R
=
Koefisien Korelasi Berganda
Y
=
variabel terikat (dependent variable) adalah jumlah sapi bali betina produktif yang dipotong
b1, b2
=
X1, X2 = F Hitung =
koefisien regresi variabel bebas (independent variable) R2 (N-k-1) k (1-R2)
………………… Rumus 3
R2
=
Koefisien korelasi berganda
N
=
Jumlah sample (responden)
k
=
Jumlah variable bebas
Selanjutnya F hitung dibandingkan dengan F Tabel, apabila: F Hitung ≥ F Tabel, maka H0 diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
29
F Hitung > F Tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X. Hasil FGD dengan jagal dan petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota akan mempertegas hasil analisis data yang berasal atau dikoleksi dari peternak sapi bibit.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
30
IV.
HASIL PENELITIAN
4.1.
Karakteristik Peternak Sapi Bibit
4.1.1. Umur Peternak dan pengalaman beternak Hasil penelitian menunjukan bahwa umur peternak berkisar antara 32-83 tahun, dengan rataan 52,48 tahun (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa peternak tergolong dalam usia produktif, sesuai dengan UndangUndang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 yang menetapkan penduduk usia produktif adalah antara umur 15 – 64 tahun. Peternak yang masih dalam usia produktif pada umumnya memiliki semangat untuk bekerja, sehingga memungkinkan untuk diberikan inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit. Tabel 4.1 Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit Uraian Umur (tahun) Pengalaman Beternak Sapi (Th) Pengalaman beternak sapi bibit (tahun)
N 90
Minimum 32
Maximum 83
Mean 52,48
Std. Deviation 11,108
90
4
60
28,92
14,561
90
3
60
21,23
14,407
Tabel 4.1 juga menunjukan tentang pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit yaitu berkisar antara tiga sampai 60 tahun, dengan rataan 28,92 tahun (Tabel 4.1). Pengalaman dapat menyebabkan peternak memiliki pandangan (persepsi) tertentu terhadap usaha ternak sapi bibit, yang diikuti oleh keinginan (motivasi) untuk melanjutkan atau menghentikan usaha tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gerungan (1996) yang menyatakan bahwa, pengalaman pada dasarnya melalui proses yang diawali oleh rangsangan-rangsangan dari luar, melalui alat-alat pengamatan, kemudian diteruskan kepada pusat-pusat tertentu di dalam otak, lalu menafsirkan pengamatan tersebut. 4.1.2. Pendidikan Peternak Pendidikan formal peternak cukup beragam yaitu dari tidak pernah sekolah sampai perguruan tinggi. Peternak yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya sebagian kecil yaitu sebanyak 3,3%, sedangkan pendidikan yang paling banyak yaitu 33,3% adalah pendidikan SLTA (Tabel 4.2). Pendidikan formal dapat meningkatkan kemampuan peternak untuk berpikir lebih maju. Hal tersebut sesuai dengan hasil
Laporan Akhir KKP3SL-2015
31
penelitian Inggriati (2014), bahwa pendidikan formal pada peternak sapi bali perbibitan dapat meningkatkan wawasan peternak, sehingga peternak menjadi lebih inovatif. Tabel 4.2 Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali Pendidikan Peternak No
Kabupaten
Total
Tidak Sekolah 50,0%
SD 10,0%
SLTP 0,0%
SLTA 40,0%
Perguruan Tinggi 0,0%
100,0%
1
Badung
2
Bangli
10,0%
20,0%
20,0%
30,0%
20,0%
100,0%
3
Buleleng
0,0%
60,0%
30,0%
10,0%
0,0%
100,0%
4
Denpasar
10,0%
40,0%
40,0%
10,0%
0,0%
100,0%
5
Gianyar
10,0%
60,0%
0,0%
30,0%
0,0%
100,0%
6
Jembrana
0,0%
20,0%
20,0%
50,0%
10,0%
100,0%
7
Karangasem
40,0%
30,0%
10,0%
20,0%
0,0%
100,0%
8
Klungkung
20,0%
0,0%
20,0%
60,0%
0,0%
100,0%
9
Tabanan
0,0%
40,0%
10,0%
50,0%
0,0%
100,0%
15,6%
31,1%
16,7%
33,3%
3,3%
100,0%
BALI
4.1.3. Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina Sebagian besar (98,9%) peternak pernah menjual sapi betina, dan hanya 1,1% yang tidak pernah menjual sapi betina (Tabel 4.3). Berdasarkan wawancara mendalam, bahwa dalam menjual ternak sapi betina, disebabkan karena alas an ekonomi, terutama terkait dengan untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak sekolah, upacara agama. Selain itu peternak juga cenderung menjual sapi betina yang dianggap majir, cacat, atau sudah tua sudah. Sapi betina yang dianggap majir oleh peternak apabila sapi tersebut tidak birahi hingga umur lebih dari 2,5 tahun, atau sapi birahi dan dikawinkan berkali-kali, namun tetap bunting. Selain itu sapi betina juga dianggap majir, walaupun sudah pernah melahirkan namun setelah dikawinkan kembali, juga tidak bunting. Alasan tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar, karena kegagalan kawin dapat disebabkan oleh berbagai factor, seperti wakti perkawinan yang kurang tepat, kualitas sperma yang kurang baik, seperti banyak kasus gagalnya Inseminasi Buatan (IB) pada sapi, yang dialami banyak peternak. Hasil wawancara mendalam dengan peternak sapi di Kabupaten Klungkung mendapatkan bahwa lebih dari 60% sapi yang dikawinkan melalui IB mengalami kegagalan (tidak bunting).
Laporan Akhir KKP3SL-2015
32
Tabel 4.3 Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina No
Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Badung Bangli Buleleng Denpasar Gianyar Jembrana Karangasem Klungkung Tabanan BALI
Pernah menjual sapi betina Tidak pernah Pernah Total 0,0% 100,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 10,0% 90,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 0,0% 100,0% 100,0% 1,1% 98,9% 100,0%
4.1.4. Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit Hasil Penelitian menunjukan bahwa, sebagian besar peternak (75,6%) menyatakan bahwa untuk memperoleh bibit sapi yang terbaik adalah dengan membeli langsung pada peternak (Tabel 4.4). Tabel 4.4 Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Badung Bangli Buleleng Denpasar Gianyar Jembrana Karangasem Klungkung Tabanan BALI
Cara terbaik mendapatkan sapi bibit Membeli di Membeli di Kelahiran sendiri pasar hewan peternak 0,0% 100,0% 0,0% 0,0% 80,0% 20,0% 30,0% 70,0% 0,0% 40,0% 30,0% 30,0% 30,0% 70,0% 0,0% 10,0% 70,0% 20,0% 0,0% 70,0% 30,0% 0,0% 100,0% 0,0% 0,0% 90,0% 10,0% 12,2% 75,6% 12,2%
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
Cara tersebut dapat dipahami dengan baik, karena peluang peternak saling mengenal cukup besar, terlebih mereka ada dalam satu wilayah. Kondisi tersebut juga memberikan peluang bagi peternak untuk mengenal dengan baik tentang sapi yang akan dibeli. Di antara peternak juga berpeluang terjalin komunikasi yang lebih baik, sehingga beberapa kelemahan terhadap sapi yang akan dibeli, juga akan dapat Laporan Akhir KKP3SL-2015
33
diketahui dengan lebih baik oleh peternak yang akan membeli sapi. Namun cara peternak membeli sapi bibit langsung kepada peternakn juga mengindikasikan rendahnya pengetahuan peternak tentang adanya pusat pembibitan sapi Bali yang ada di Kabupaten Jemberana, yang setiap saat dapat menyediakan bibit berkualitas baik bagi peternak sapi di Bali. 4.1.5. Pengetahuan Peternak Tentang Sapi Betina Produktive Sebagian besar pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif ada dalam katagori sangat rendah (62,2%), sebanyak 25,6% rendah, dan bahkan tidak ada peternak yang memiliki pengetahuan masuk dalam katagori tinggi maupun sangat tinggi (Tabel 4.5). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sosialisasi UndangUndang No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahu 2014, belum dilakukan secara optimal. Rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina productive, dapat menyebabkan rendahnya perhatian peternak dalam menjual ataupun memelihara sapi bibit. Bahkan tidak tertutup kemungkinan peternak akan menjual ternak sapi tanpa memperhatikan apakah sapi tersebut dalam keadaan produktif atau tidak. Tabel 4.5 Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive
No Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Bangli Klungkung Karangasem Denpasar BALI
Pengetahuan Peternak tentang Sapi Betina Produktive Sangat Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi 70,0% 10,0% 20,0% 0,0% 0,0% 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 40,0% 40,0% 20,0% 0,0% 0,0% 70,0% 10,0% 20,0% 0,0% 0,0% 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 60,0% 30,0% 10,0% 0,0% 0,0% 80,0% 20,0% 0,0% 0,0% 0,0% 62,2% 25,6% 12,2% 0,0% 0,0%
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
Untuk itu sosialisasi tentang sapi betina productive sesuai dengan UndangUndang dan atau peraturan yang berlaku perlu ditingkatkan, sehingga pemahaman peternak tentang sapi betina productive dapat ditingkatkan. Selain itu peningkatan pengetahuan juga dapat dilakukan melalui penyuluhan tentang sapi betina produktif
Laporan Akhir KKP3SL-2015
34
secara benar. Sesuai dengan pendapat Mardikanto (1993) yang menyatakan bahwa, melalui proses penyuluhan yang dilakukan pada masyarakat petani, dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada petani terhadap materi yang disuluhkan. 4.1.6. Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit Tujuan peternak melakukan usaha peternakan sapi bali bibit, dapat dilihat dari seberapa besar kepentingan peternak dalam melakukan usaha peternakan sapi bibit. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50,0% peternak menganggap beternak sapi bibit sangat tidak penting dilakukan (Tabel 4.6). Hal tersebut berarti bahwa, peternak memiliki belum tujuan yang jelas dalam berusaha ternak sapi bibit. Peternak yang kurang atau tidak memiliki tujuan yang jelas, akan menyulitkan dalam memberikan inovasi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit. Dedet Zelth (2013) menyatakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai sehingga merupakan sasaran, sedangkan perencanaan adalah alat untuk mencapai sasaran tersebut. Setiap usaha yang baik harus memiliki titik tolak, landasan dan tujuannya. Tabel 4.6 Penting tidaknya memelihara sapi bibit No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Badung Bangli Buleleng Denpasar Gianyar Jembrana Karangasem Klungkung Tabanan BALI
Penting tidaknya memelihara sapi bibit Sangat tidak Tidak Cukup Sangat penting penting penting Penting penting 80,0% 20,0% 0,0% 0,0% 0,0% 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 70,0% 30,0% 0,0% 0,0% 0,0% 20,0% 70,0% 10,0% 0,0% 0,0% 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 60,0% 20,0% 0,0% 10,0% 10,0% 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 50,0% 45,6% 2,2% 1,1% 1,1%
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
Mengacu kepada pengertian tentang tujuan tersebut, maka sesungguhnya peternak menganggap bahwa belum ada sesuatu yang ingin dicapai secara jelas oleh seorang peternak untuk beternak sapi bibit. Namun memperhatikan tentang alasan peternak untuk menjual sapi, maka nampak dengan jelas bahwa tujuan peternak beternak sapi bibit bukanlah untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik, namun Laporan Akhir KKP3SL-2015
35
sebagai alasan ekonomi, agar sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 4.2.
Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit Dukungan pemerintah dalam usaha ternak sapi bibit diperluhan oleh peternak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (70,0%) peternak mengatakan pemerintah kurang mendukung usaha ternak sapi bibit (Tabel 4.7). Bahkan terdapat sebanyak 4,4% petenak menyatakan bahwa pemerintah tidak mendukung peternka dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Hanya 6,7% yang menyatakan sangat mendukung dan 8,9% yang menyatakan mendukung, serta 10,0% yang menyatakan cukup mendukung. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan usaha peternakan sapi bibit, seperti Kredit Usaha Peternakan Sapi (KUPS) belum dirasakan oleh peternak. Selain itu pemerintah daerah Bali juga mengembangkan suatu program yang disebut dengan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), yang dengan jelas mengharuskan ternak sapi bibit adalah salah satu komponen penting dalam program tersebut. Oleh karena itu, maka pemerintah harus berupaya secara terus menerus untuk memberi dukungan berupa pembinaan dan penyediaan sarana produksi untuk meningkatkan usaha peternakan sapi bibit di Bali. Upaya tersebut sangat penting dilakukan dalam mendukung program pemerintah mencapai swasembada daging sapi secara berkelanjutan. Tabel 4.7 Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Buleleng
Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit Tidak Kurang Cukup Sangat mendukung mendukung mendukung Mendukung mendukung 0,0% 80,0% 10,0% 10,0% 0,0%
Total 100,0%
Jembrana
0,0%
80,0%
10,0%
10,0%
0,0%
100,0%
Tabanan
20,0%
80,0%
0,0%
0,0%
0,0%
100,0%
Badung
0,0%
10,0%
10,0%
30,0%
50,0%
100,0%
Gianyar
0,0%
90,0%
0,0%
10,0%
0,0%
100,0%
Bangli
0,0%
60,0%
20,0%
10,0%
10,0%
100,0%
Klungkung
10,0%
50,0%
30,0%
10,0%
0,0%
100,0%
Karangasem
0,0%
90,0%
10,0%
0,0%
0,0%
100,0%
10,0%
90,0%
0,0%
0,0%
0,0%
100,0%
4,4%
70,0%
10,0%
8,9%
6,7%
100,0%
Tabanan BALI
Laporan Akhir KKP3SL-2015
36
Sejalan dengan Anon (2013) yang menyatakan bahwa pengembangan sapi di Indonesia membutuhkan dukungan infrastruktur memadai untuk mempertahankan bobot sapi sebagai bentuk dukungan untuk menyukseskan program swasembada daging sapi 2014. Keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen. Terkait dengan hal tersebut, Presiden RI dalam Anon (2013) menyatakan bahwa dukungannya terhadap program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging, yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan teknologi. 4.3. Harapan Peternak Sapi Bibit Harapan peternak untuk mendapat dukungan dari pemerintah dalam usaha ternak sapi bibit, masih ada yaitu sebanyak 32,2% berharap, dan 20,0% sangat berharap (Tabel 4.8). Hal tersebut menunjukkan bahwa, peran pemerintah cukup besar dalam membantu peternak dalam mengembangkan usaha ternak sapi bibit. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintah Provinsi Bali telah mendukung masayarakat dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk implementasi program SIMANTRI, yang telah dilakukan sejak 3 tahun terakhir. Kelompok ternak sapi bibit diitegrasikan dengan tanaman pertanian. Melalui kelompok SIMANTRI tersebut pemerintah memberikan penyuluhan tentang inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit. Mulai dari pakan, kandang, penanganan penyakit, pemilihan bibit, dan penanganan limbah ternak sapi. Namun di tingkat implementasi cukup banyak SIMANTRI yang tidak atau kurang sesuai dengan harapan. Sejalan dengan pernyataan anggota DPRD Provinsi Bali Nyoman Adnyana telah terjadi beberapa penyimpangan pelaksanaan Simantri. Di di Kabupaten Bangli, setidaknya dia menemukan empat gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang telah menerima dana program Simantri pada tahuntahun sebelumnya, ternyata sapi bantuan dari Provinsi Bali sudah tidak ada lagi di tempat unit Simantri tersebut. Bahkan Adnyana menyatakan untuk di kabupaten asalnya saja sekitar 70% unit Simantri, operasionalnya tidak sesuai dengan pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang ada (Anon, 2015).
Laporan Akhir KKP3SL-2015
37
Tabel 4.8 Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit Harapan peternak terhadap dukungan pemerintah dalam pengembangan sapi bibit No
Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Bangli Klungkung Karangasem Tabanan Rataan BALI
Tidak berharap 0,0% 10,0% 10,0% 0,0% 10,0% 0,0% 0,0% 10,0% 0,0% 4,4%
Kurang Cukup Sangat berharap berharap Berharap berharap 0,0% 0,0% 20,0% 80,0% 50,0% 10,0% 10,0% 20,0% 40,0% 0,0% 10,0% 40,0% 20,0% 20,0% 50,0% 10,0% 40,0% 0,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0% 0,0% 90,0% 0,0% 0,0% 10,0% 60,0% 0,0% 20,0% 10,0% 50,0% 10,0% 40,0% 0,0% 38,9% 4,4% 32,2% 20,0%
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
4.4. Sikap Peternak Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina priduktif dari sangat tidak setuju sampai ragu-ragu. Sebanyak 51,1% menyatakan tidak setuju dengan pemotongan sapi betina produktif, 44,4% menyatakan sangat tidak setuju, dan 4,4% ragu-ragu (Tabel 4.9). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya peternak tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif. Ketidaksetujuan peternak dalam pemotongan sapi betina produktif, sebagai akibat dari penilaian peternak terhadap pentingnya memelihara sapi betina untuk mendapatkan anak sapi yang lebih banyak, untuk bisa dijual pada saat membutuhkan uang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siagian (1988), yang menyatakan bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif dari seseorang terhadap suatu obyek. Usaha peternakan sapi bibit yang dilakukan peternak yang bertujuan atau bermotifkan ekonomi merupakan objek yang selalui dievaluasi oleh peternak. Berdasarkan analisis regresi linier berganda (Siegel, 1997), dengan metode Enter melalui Software Statistical Prgogram for Social Science (SPSS) versi 20.00 ternyata sikap peternak dipengaruhi oleh empat factor antara lain: (1) pendidikan peternak; (2) pengalaman beternak (tahun); (3) tujuan beternak sapi bibit; dan (4) dukungan pemerintah terhadap peternak dalam usaha peternakan sapi bibit. Hasil analisis tersebut menghasilkan model regresi berganda sebagai berikut:
Laporan Akhir KKP3SL-2015
38
Y = 1, 966 – 0,035X1 – 0,003X2 – 0,186X3 + 0,192X4 Y = Sikap peternak X1 = Pendidikan peternak X2 = Pengalaman peternak X3 = Tujuan beternak X4 = Dukungan pemerintah R2 = 0,438 Model regeresi tersebut nyata karena (0,001 < 0,05), dengan demikian secara bersama-sama ke empat factor tersebut (X1, X2, X3 dan X4) berpengaruh nyata terhadap sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Namun setelah analsisi regresi berganda tersebut digunakan metode Stefwise, untuk mengetahui factor mana yang paling berpengaruh terhadap sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif, diketahui bahwa hanya factor dukungan pemerintah (X 4) yang paling berpengaruh, sedangkan factor lainnya tidak berpengaruh. Model regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Y = 2,471 + 0,188X4 R2 = 0,408 Tabel 4.9 Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Bangli Klungkung Karangasem Tabanan BALI
Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktive Sangat Tidak RaguSangat tidak setuju setuju ragu Setuju setuju 70,0% 30,0% 0,0% 0,0% 0,0% 60,0% 40,0% 0,0% 0,0% 0,0% 60,0% 40,0% 0,0% 0,0% 0,0% 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 40,0% 50,0% 10,0% 0,0% 0,0% 40,0% 40,0% 20,0% 0,0% 0,0% 10,0% 90,0% 0,0% 0,0% 0,0% 30,0% 70,0% 0,0% 0,0% 0,0% 44,4% 51,2% 4,4% 0,0% 0,0%
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
Model regresi yang dihasilkan dari analysis tersebut juga dapat dipertanggung jawabkan secara nyata dengan selang kepercayaan 99% karena (0,000 < 0,01). Artinya bahwa model tersebut 40,8% mampu menjelaskan bahwa sikap peternak terhadap
Laporan Akhir KKP3SL-2015
39
pemotongan sapi betina productive sangat dipengaruhi oleh dukungan pemerintah. Peternak semakin tidak setuju adanya pemotongan sapi betina produktif, apabila dukungan pemerintah semakin tinggi kepada peternak untuk mengembangkan usaha peternakan sapi bibit. Namun permasalah di tingkat lapangan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dukungan pemerintah terhadap peternak dalam usaha peternakan sapi bibit sangat rendah. Kemungkinan besar bahwa kondisi tersebut juga menjadi salah satu factor penyebab adanya pemotongan sapi betina productive yang cukup tinggi di Bali. Oleh karena itu hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak yang berkaitan dengan masalah penyelamatan sapi betina productive di Bali. 4.5.
Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali. Pemotongan sapi betina produktif terjadi di seluruh kabupaten di Bali, karena
di setiap kabupaten/kota di Bali memiliki Rumah Potong Hewan (RPH) dan atau Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah RPH di Bali adalah 10 buah, dua RPH diantaranya tidak berfungsi yaitu RPH Temesi (Gianyar) dan RPH Seririt (Buleleng). Sedangkan TPH di Bali sebanyak 17 buah dan terbanyak adalah di Kabupaten Badung mencapai 13 TPH (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Denpasar Bali
RPH (Buah) 2 1 1 1 2 1 0 1 1 10
TPH (Buah) 0 0 2 13 0 0 2 0 0 17
Keterangan 1 RPH tidak berfugsi
1 RPH tidak berfungsi
Demikian banyaknya jumlah TPH di Kabupaten Badung menyebabkan peluang terjadinya pemotongan sapi betina produktif juga semakin tinggi. Peluang tingginya pemotongan sapi di Kabupaten Badung dapat dipahami, karena Kabupaten Badung selain memiliki daerah tujuan wisata dunia seperti Kuta dan Nusa Dua, juga Laporan Akhir KKP3SL-2015
40
sebagai salah satu kabupaten yang dekat dengan kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali. Sebagai sebuah ibu kota provinsi, maka pusat perkonomian akan berlokasi di daerah tersebut, yang menyebabkan tingginya kebutuhan akan daging termasuk daging sapi. Hasil koleksi data dengan menggunakan Global Positioning Satelit (GPS) menunjukan bahwa penyebaran Rumah Potong Hewan (RPH) dan Tempat Pemotongan hewan (TPH) adalah seperti Gambar 4.1. Dari Gambar 4.3 nampak bahwa lokasi atau posisi RPH di setiap kabupaten/kota di Bali, umumnya dekat dengan pusat pemerintah dan perekonomian. Kecuali untuk RPH di Kabupaten Buleleng, yang salah satunya terletak di Kecamatan Seririt, relative jauh dari Kota Singaraja sebagai ibu Kota Kabupaten Buleleng. Selain itu Gambar 4.1 juga menunjukan bahwa Kabupaten Bangli adalah satu-satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki RPH namun kabupaten Bangli memiliki dua buah TPH.
Gambar 4.1. Lokasi RPH dan TPH di Bali Hasil pemantauan lapangan menunjukan bahwa, di Bali terdapat empat buah RPH yang cukup modern dilihat dari segi peralatan. Keempat RPH tersebut antara lain: (1) RPH Pesanggaran; (2) RPH Mambal; (3) RPH Temesi dan (4) TPH Tabanan. Namun RPH Tabanan dan RPH Temesi (Gianyar) hampir tidak difungsikan secara optimal. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari Dinas Peternakan Kabupaten
Laporan Akhir KKP3SL-2015
41
Tabanan, diketahui bahwa tidak berfungsinya RPH Tabanan, disebabkan oleh biaya operasional RPH yang relative tinggi, sehingga tidak mampu ditanggung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan. Di lain pihak biaya yang dibebankan kepada jagal untuk memotong sapi hanya sebesar Rp.12.500,- per ekor dan rata-rata pemotongan setiap hari berkisar antara 6-7 ekor. Sedangkan tidak berfungsinya RPH Temesi (Gianyar) disebabkan terbatasnya sapi yang dipotong di Kabupaten Gianyar yang hanya rata-rata 10 ekor per hari, sehingga RPH tersebut menjadi tidak efektif karena tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh RPH tersebut, yang mampu memotong sapi setiap mencapai lebih dari 40 ekor per hari. Kondisi tersebut menyebabkan RPH Temesi hanya diopersionalkan saat hari raya Lebaran Haji yang hanya setahu sekali.
Selanjutnya RPH Mambal (Kabupaten Badung) dan RPH
Pesanggaran (Kota Denpasar) berfungsi cukup efektif. Bahkan untuk RPH Mambal, pemotongan sapi dilakukan sebanyak dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Jumlah pemotongan sapi di Kabupaten Badung, mencapai 25-30 ekor per hari. Ppemotongan sapi di RPH Pesanggaran (Denpasar) rata-rata juga mencapai 25-30 ekor per hari, sehingga ke dua RPH tesebut dapat dinyatakan telah berfungsi dengan cukup optimal, sesuai denga kapasitas yang dimiliki. 4.6.
Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali. Pelaku utama pemtongan sapi betina produktif adalah pedagang atau
pengusaha daging sapi sebagai perencana dalam pemotongan sapi yang dalam hal ini disebut dengan ”jagal”. Umumnya pedagang yang disebut dengan “Jagal” adalah orang yang bertanggungjawab atas keputusan tentang sapi yang akan dipotong. Sedangkan tukang sembelih adalah mereka (individu) yang melakukan penyembelihan atas perintah “jagal”. Keputusan tentang boleh atau tidaknya seekor sapi betina dipotong adalah seorang dokter hewan (Drh) penanggungjawab RPH atau TPH. Mereka adalah petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten atau Kota setempat, yang diberikan tugas khusus sebagai penanggungjawab RPH. Petugas tersebut bertanggung jawab penuh terhadap boleh-tidaknya seekor sapi betina dipotong. Dalam menjalankan tugasnya, seorang penaggungjawab RPH sering mengalami kesulitan, untuk memutuskan hal tersebut. Kesulitan tersebut sangat terkait dengan “keselamatan”. Penanggung jawab RPH sering mengalami ketakutan untuk tidak mengijinkan sapi-sapi betina yang telah
Laporan Akhir KKP3SL-2015
42
masuk RPH atau TPH untuk dipotong. Demi keselamatan nyawa mereka maka dengan sangat terpaksa para penanggungjawab RPH harus memberikan ijin untuk memotong sapi betina produkif. Kondisi tersebut hampir terjadi diseluruh RPH di Bali, bahkan pemotongan sapi di TPH relative tidak terpantau oleh petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten setempat. Kondisi tersebut menyebabkan biasnya data tentang jumlah pemotongan sapi setiap hari di TPH, sehingga relative sulit dipercaya. Petugas hanya menerima apa adanya tentang jumlah sapi yang dilaporkan dipotong di setiap TPH. Bahkan Kabupaten Badung yang memiliki TPH sebanyak 13 buah yang tersebar beberapa lokasi pedesaan, menyebabkan jumlah pemotongan sapi setiap hari sangat sulit terpantau. Kondisi yang hampir sama sesungguhnya juga terjadi hampir di seluruh RPH kabupaten, kecuali untuk kabupaten Badung, Tabanan, Buleleng, dan Kota Denpasar, pemantauan oleh petugas relative berjalan dengan cukup baik. Sedangkan untuk kabupten Karangasem, Klungkung, Gianyar, Jembrana dan Bangli petugas penanggung jawab RPH, lebih banyak hanya menerima informasi atau laporan tentang jumlah sapi yang dipotong setiap hari dari jagal atau waker (penunggu RPH). Selanjutnya data tersebut dikirim melalui “SMS Gate” oleh petugas RPH kepada atasnya di Dinas Peternakan Kabupaten, yang dalam hal ini umumnya adalah Kepala Bidang Kesehatan Hewan. Kondisi tersebut menyebabkan data atau informasi yang dikumpulkan melalui “SMS Gate” diragukan kebenarannya. Menurut penanggung jawab RPH, hal tersebut terpaksa dilakukan karena terbatasnya petugas pengawas RPH serta terbatasnya biaya yang tersedia untuk melakukan pengawasan. Selain itu waktu pemotongan sapi yang umumnya dilakukan tengah malam juga merupakan sebuah hambatan bagi petugas penanggungjawab, yang juga harus masuk kantor seperti biasa setiap hari. Selain itu petugas tersebut umumnya juga tidak mendapatkan insentive apapun terhadap pekerjaan yang harus dilakukan di luar jam kerja sebagai seorang petugas pemerintahan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa jumlah jagal yang ada di Provinsi Bali mencapai 59 orang yang tesebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, dengan rincian seperti Tabel 4.11. Dari Tabel 4.11 nampak bahwa jumlah jagal terbanyak terdapat di Kabupaten Badung yang mencapai 17 orang (28,81%), kemudian disusul oleh Kota Denpasar sebanyak 13 orang (22,03%). Sedangkan jumlah jagal yang paling sedikit terdapat di Kabupaten Bangli yang hanya 2 orang (3,39%). Kondisi tersebut
Laporan Akhir KKP3SL-2015
43
menunjukan bahwa Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Bali, memiliki peluang pasar daging sapi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, merupakan daerah tujuan wisata utama di Bali, di mana terdapat berbagai fasilitas pariwisata seperti hotel dan restaurant yang membutuhkan daging termasuk daging sapi yang jauh lebih banyak dibandingkan kabupaten lainnya. Jumlah hotel berbintang di Bali tahun 2014 sebanyak 249 buah, dan 164 buah (65,86%) di antaranya terdapat di Kabupaten Badung dengan jumlah kamar mencapai 23.172 unit kamar (80,43% dari total kamar hotel berbintang di Bali yang berjumlah 28.811 unit kamar). Selain itu di Kabupaten Badung, juga terdapat hotel non bintang dengan jumlah kamar pada tahun 2013 mencapai 9.797 unit kamar (37,66% dari total kamar hotel non bintang di Bali yang mencapai 26.013 unit). Sedangkan jumlah hotel berbintang tahun 2014 di Kota Denpasar mencapai 33 buah (13,35%) dengan 3.480 unit kamar (12,08% dari seluruh kamar hotel berbintang). Seperti halnya Kabupaten Badung, di Kota Denpasar juga terdapat hotel non bintang dengan jumlah kamar pata tahun 2013 mencapai 5.511 unit kamar (21,19% dari seluruh kamar hotel non bintang di Bali) (BPS Bali, 2014). Table 4.11. Penyebaran Jaga di Bali No
Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9
4.7.
Karangasem Denpasar Klungkung Badung Bangli Buleleng Jembrana Gianyar Tabanan Bali
Jumlah Jagal Orang 3 13 2 17 2 9 6 3 4 59
% 5,08 22,03 3,39 28,81 3,39 15,25 10,17 5,08 6,78 100,00
Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali. Jumlah sapi yang dipotong dalam dua tahun terakhir turun cukup drastis (2013-
2014). Pada tahun 2012, jumlah sapi yang dipotong di Bali sebanyak 51.643 ekor, turun menjadi 44.939 ekor tahu 2013 dan menjadi 28.471ekor tahun 2014 (Gambar 4.2). Diperkirakan jumlah sapi yang dipotong di Bali dalam lima tahun berikutnya,
Laporan Akhir KKP3SL-2015
44
akan cenderung tetap, dengan mengkikuti model Regresi linier sederhana: Y = 43.772 + 47,7X. Namun model tersebut memiliki koefisien determinasi R2 yang sangat rendah yaitu 0,0001. Dengan demikian model tersebut belum cukup kuat untuk menjelaskan kecederungan jumlah sapi yang akan di potong di Bali dalam lima tahun mendatang. Hal tersbut akan terjadi apabila tidak ada upaya-upaya strategis yang dilakukan oleh institusi yang berwenang, khususnya Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bal hingga ke tingkat kabupaten/kota.
Jumlah sapi yang dipotong (ekor)
51,643 47,647 44,938 36,878
38,471
Y = 47,7x + 43772 R² = 0,0001
Th. Th. Th. Th. Th. 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 4.2. Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan peluang terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya Berkurangnya jumlah sapi yang dipotong di Bali sejalan dengan berkurangnya populasi sapi bali di Bali. Pada tahun 2012 populasi sapi di Bali sebanyak 651.216 ekor, berkurang menjadi 478.146 ekor (Gambar 4.3). Penurunan populasi sapi tersebut sangat significant mencapai 36,2% (BPS Prov. Bali, 2014). Dalam empat tahun berikutnya (2014-2017) populasi sapi di Bali akan cenderung terus menurun mengikuti model regresi linier sederhana Y = 763.458 – 60.321X, dengan R2 = 0,7203. Model tersebut nampak cukup kuat untuk menjelaskan kecederunagn penurunan populasi sapi di Bali dalam 4 tahun berikutnya. Oleh karena itu sebaiknya Dinas Peternakan Provinsi Bali, segera mengambil langkah-langkah strategis, untuk mengantisipasinya, seperti: (1) melakukan pengawasan yang ketat tentang peluang adanya pengeluaran sapi secar illegal (menyelundup); (2) menciptakan daya Tarik bagi generasi muda untuk
Laporan Akhir KKP3SL-2015
45
menekuni sector pertanian
termasuk sub sector peternakan, khususnya dalam
pengembangan ternak sapi Bali; (3) mencegah adanya pemotongan sapi betina produktif; (4) mempertegas kembali tentang antar-pulau sapi, khususnya yang dikirim ke Jakarta. Hasil penelitian melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan petugas Dinas Peternakan Kabupaten/ kota, para jagal dan peternak sapi, mendapatkan bahwa penurunan populasi sapi di Bali, disebabkan oleh berbagai factor, antara lain: 1) adanya indikasi penyelundupan sapi dara umur sekitar satu tahun dengan tinggi gumba antara 105-110 cm; 2) semakin terbatasnya lahan untuk memelihara sapi dan penyediaan hijauan pakan ternak; 3) peternak sebagian besar lanjut usia, bahkan ada yang mencapai umur lebih dari 80 tahun, di lain pihak generasi muda kurang atau bahkan tidak tertarik untuk menekuni sector pertanian, termasuk sub sector peternakan; 4) adanya pemotongan sapi betina produktif, yang kurang terkendali; 5) pengiriman sapi secara resmi ke luar Bali, yang terindikasi melanggar perturan, seperti sapi yang memiliki bobot badan kurang dari 375 kg per ekor. Bahkan saat lebaran haji, sapi yang di antar pulaukan cenderung memiliki bobot badan pada kisaran 200 kg per ekor berat hidup.
Gambar 4.3. Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya dalam empat tahun berikutnya Laporan Akhir KKP3SL-2015
46
Relatif sulit mendapatkan data tentang jumlah sapi betina produktif yang dipotong oleh “jagal”. Seorangpun tidak ada yang mau memberikan data melalui Laporan (Form Isian) yang telah disediakan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan inspeksi mendadak (sidak) saat pemotongan dilakukan. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dilakukan setiap hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa setidaknya terindikasi terjadi pemotongan sapi betina produktif yang sangat tinggi di Bali. Di salah satu RPH di Kabupaten Badung, saat inspeksi dilakukan ditemukan RPH tesebut akan memotong 8 ekor sapi, dan 7 ekor (87,5%) di antaranya adalah sapi betina dan hanya 1 ekor (12,5%) sapi jantan. Dari 7 ekor sapi betina tersebut sebanyak 5 ekor (71,4%) adalah betina produktif bahkan seekor (14,29%) di antaranya adalah sapi betina yang sedang bunting. Kunjungan berikutnya di Kabupaten Badung khususnya di RPH Mambal, ditemukan bahwa sebagian besar sapi yang dipotong juga sapi betina, beberapa di antaranya juga sapi betina productive. Namun penanganan untuk menghindari pemotongan sapi betina produktif telah dilakukan dengan cukup baik oleh petugas RPH yang jumlahnya mencapai 6 orang. Setiap sapi yang akan dipotong selalu dilakukan pemeriksaan ante mortem. Jika ditemukan sapi betina productive maka petugas RPH merekomensikan untuk tidak dipotong (ditolak dipotong). Walaupun dalam pelaksanaannya rekomendasi tersebut relative jarang dilakukan oleh jagal. Namun petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jumlah sapi yang dipotong di RPH Mambal sejak bulan Maret hingga bulan September 2015, mencapai sebanyak 1.578 ekor. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.267 ekor (80,29%) adalah sapi betina dan hanya 311 ekor (19,71%) sapi jantan. Dari 1.267 ekor sapi betina yang masuk RPH, berdasrkan Laporan petugas RPH terdapat sebanyak 193 ekor (15,23%) sapi betina produktif yang ditolak untuk dipotong. Selanjutnya dari 193 ekor sapi betina productive yang ditolak untuk dipotong, ternyata terdapat 13 ekor di antaranya juga dipotong oleh jagal. Padahal berdasarkan pengamatan lapangan pasa saat dilakukan inspeksi, ditemukan enam ekor sapi betina telah masuk RPH dan 3 ekor dinataranya terindikasi sapi betina productive (Gambar 4.4)
Laporan Akhir KKP3SL-2015
47
Gambar 4.4. Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal, Badung Selanjutnya kunjungan yang dilakukan di kabupaten Karangasem, juga mendapatkan data yang hampir sama. Dari 12 ekor sapi yang akan dipotong dalam beberapa hari berikutnya ditemukan 11 ekor (91,67%) adalah sapi betina dan 8 ekor (72,73%) di antaranya adalah sapi betina productive (Gambar 4.5). Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di Kabupaten Klungkung, dari 3 ekor sapi yang dipotong, seluruhnya (100%) adalah betina dan dua ekor (66,67%) diantaranya adalah betina productive. Kunjungan di Kabupaten Gianyar juga mendapatkan informasi yang sama persis dengan yang terjadi di Kabupaten Klungkung.
Gambar 4.5. Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten Karangasem (Foto: Widianta, Oktober 2015) Selanjutnya kunjungan ke Kabupaten Buleleng juga mendapatkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Dari 13 ekor sapi yang dipotong, seluruhnya adalah sapi
Laporan Akhir KKP3SL-2015
48
betina dan sebanyak 9 ekor (69,23%) di antaranya adalah sapi betina produktif. Demikian pula hanya untuk Kabupaten Jembrana, ditemukan bahwa dari 7 ekor sapi yang dipotong, terdapat 6 ekor (85,71%) betina dan 4 ekor (66,67%) di antaranya adalah sapi betina produktif. Di Kota Denpasar, juga ditemukan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kabupaten lainnya. Saat investigasi ditemukan bahwa dari 27 ekor sapi yang dipotong, seluruhnya adalah sapi betina dan terindikasi lebih dari 24 ekor (88,89%) adalah betina productive dengan kondisi sapi yang realatif cukup baik (Gambar 4.6). Kondisi yang sangat berbeda ditemukan di Kabupaten Tabanan. Saat investigasi dilakukan ke RPH Tabanan, sama sekali tidak ditemukan adanya sapi betina yang akan dipotong RPH Kabupaten Tabanan. Menurut petugas Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan, bahwa jagal di Kabupaten Tabanan memang sama sekali tidak pernah memotong sapi betina. Hal tersebut terjadi berkat dilakukannya sosialisasi secara berkesinambungan oleh petugas Dinas Peternakan. Kondisi tersebut mngindikasikan bahwa dukungan dan perhatian yang baik dari pemerintah ternyata mampu menghindari adanya pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tabanan.
Gambar 4.6. Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina produktif yang akan dipotong di RPH Pesanggaran (Denpasar) Foto: Widianta (2015) Hasil kunjungan atau investigasi di seluruh Kabupaten di Bali, tersebut sangat berbeda dengan laporan penanggungjawab RPH atau TPH. Sampai dengan bulan Agustus 2015 jumlah sapi yang dipotong di Bali 21.658 ekor yang terdiri dari 10.371
Laporan Akhir KKP3SL-2015
49
ekor (47,89%) jantan dan 11.287 ekor (52,11%) adalah sapi betina (Tabel 4.12 dan Gambar 4.9). Namun sama sekali tidak ada laporan tentang sapi betina yang dipotong apakah produktif atau tidak. Akan tetapi inspeksi yang dilakukan di beberapa RPH menunjukan bahwa jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali adalah cukup tinggi, yang mencapai lebih dari 80%. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ada indikasi terjadinya manipulasi data pemotongan ternak sapi betina produktif di RPH maupun di TPH.
Tabel 4.12 Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015 (Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali, 2015) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BULAN JANUARI PEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER JUMLAH
JTN
SAPI (Ekor) BTN
JML
JTN
Sapi (%) BTN
JML
1.452 1.268 1.358 1.327 1.391 1.415 1.339 821 *) *)
1.224 1.229 1.422 1.531 1.439 1.531 1.576 1.335 *) *)
2.676 2.497 2.780 2.858 2.830 2.946 2.915 2.156 3.163 2.924
54,26 50,78 48,85 46,43 49,15 48,03 45,93 38,08 *) *)
45,74 49,22 51,15 53,57 50,85 51,97 54,07 61,92 *) *)
100 100 100 100 100 100 100 100
10.371
11.287
21.658**)
47,89
52,11
100
Keterangan: *) Belum ada data **) Data sampai dengan Agustus 2015 Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan penanggung jawab RPH, bahwa hal tersebut terpaksa dilakukan, karena adanya rasa takut dari petugas RPH, terhadap Undang Undang yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif. Pada pasal 66A menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menganiaya dan/ atau menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang. Selanjutnya Pasal 95, dipertegas bahwa setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Laporan Akhir KKP3SL-2015
50
66A ayat (l) dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 66A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) (Undang Undang No 41 tahun 2014). 4.8.
Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.
4.8.1. Di tingkat peternak sapi Telah dilakukan survei terhadap 90 orang peternak sapi bibit di seluruh Bali, untuk mendapatkan informasi yang benar tentang factor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua factor utama sebagai penyebab terjadinya peluang pemotongan sapi betina produktif di tingkat petani. Kedua factor tersebut adalah factor internal dan factor eksternal. Faktor internal peternak nampaknya merupakan factor penyebab utama, yang bermotifkan ekonomi. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50% peternak sapi menyatakan bahwa beternak sapi betina sangat tidak penting (Gambar 4.7). Hanya 1% yang menyatakan bahwa beternak sapi betina penting dan sangat penting serta 46% yang menyatakan beternak sapi betina tidak penting. Sebanyak 2% lainnya menyatakan beternak sapi betina cukup penting. Kondisi tersebut menunjukan bahwa beternak sapi betina di kalangan petani peternak, dirasa kurang menguntungkan, serta kemungkinan kurangnya pemahaman peternak tentang pentingnya peternakan sapi bibit dalam penyediaan daging sapi di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Gambar 4.7. Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani
Laporan Akhir KKP3SL-2015
51
Selain itu hasil penelitian juga mendapatkan bahwa setidaknya terdapat dua alasan utama, yang menyebabkan peternak sapi menjual sapi betina. Alasan tersebut dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu alasan eksternal peternak dan alasan internal peternak. Alasan ekternal peternak meliputi: (1) umur sapi yang sudah tua; (2) sapi telah melahirkan lebih dari 5 kali; (3) warna bulu sapi yang diinginkan peternak tidak sesuai; (4) sapi majir; (5) sapi sakit; (6) sapi lambat tumbuh; (7) sapi cacat fisik; (8) adanya dorongan pembeli dan (9) karena adanya kesempatan harga sapi yang mahal. Dari 9 alasan eksternal tersebut maka factor atau alas an sapi majir merupakan alas an yang paling banyak dikemukakan peternak, yaitu mencpai 82,2%, sedangkan karena umur sapi yang tua serta melahirkan lebih dari 5 kali dikemukakan oleh masingmasing 70,0% peternak. Adanya dorongan pembeli, yang menyebabkan peternak menjual sapi betina dikemukakan hanya oleh 5,6% peternak (Gambar 4.8).
Gambar 4.8. Alasan eksternal peternak menjual sapi betina Selain alasan eksternal, maka beberapa alasan internal peternak yang menyebabkan peternak menjual sapi betina, paling dominan dikemukakan peternak karena adanya kebutuhan uang untuk anak sekolah oleh 61,1% (Gambar 4.9). Alasan berikutnya adalah adanya keperluan untuk upacara agama yang dikemukakan oleh 40,0% peternak sapi. Beberapa hal lain yang juga menjadi alasan bagi peternak antara lain: untuk membangun, keluarga yang sakit, bayar utang, sulit mendapatkan tempat untuk beternak, perternak sudah tua, sulit mendapatkan pakan dan sapi betina ditukar dengan sapi jantan.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
52
Gambar 4.9. Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina Sekalipun usaha peternakan sapi bibit kurang diminati peternak, namun hasil penelitian menunjukan bahwa 51,1% peternak tidak setuju adanya pemotongan sapi bentina produktif, bahkan 44,3% yang menyatakan sangat tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif (Gambar 4.10). Kondisi tersebut sesungguhnya menunjukan adanya pengetahuan peternak tentang pentingnya penyediaan bibit sapi.
Gambar 4.10. Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif
Selanjutnya Gambar 4.11 menunjukan bahwa adanya keinginan masyarakat agar pemotongan ternak sapi harus diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa ssebanyak 38% peternak sangat setuju dan 57% setuju apabila pemotongan ternak sapi diawasi secara ketat oleh pemerintah, hanya 5% yang menyatakan cukup setuju. Kondisi tersebut menunjukan
Laporan Akhir KKP3SL-2015
53
bahwa selama ini masyarakat menganggap pemotongan sapi betina belum atau kurang diawasi oleh pemerintah.
Gambar 4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi pemerintah Terkait dengan kondisi tersebut maka peternak memberikan beberapa saran untuk menghindari atau memperkecil terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Dari 90 orang responden, yang memberikan saran sebanyak 59 orang atau 65,56%. Dari jumlah saran yang dikemukakan peternak, maka saran yang masuk dalam katagori penyuluhan adalah saran terbanyak yang dikemukakan petani, yaitu mencapai 40%. Selanjutnya disusul dengan saran tentang pengawasan (17%), pemberian insentive oleh 12%; perbaikan pelayanan inseminasi buatan 7%; bantuan kepada peternak secara tepat oleh 7%, pelayanan kesehatan ternak oleh 7% peternak; pemberian kredit murah oleh 5%; perbaikan kualitas bibit sehingga tidak majir oleh 2%; sosialisasi peraturan oleh 2% dan yang terkait dengan kebijakan impor oleh 1% peternak (Gambar 4.12).
Gambar 4.12. Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif
Laporan Akhir KKP3SL-2015
54
4.8.2. Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan Untuk mendapatkan informasi, khususnya dari kelompok jagal tentang pemotongan sapi betina produktif, maka dilakukan diskusi secara terfokus atau Focus Group Discussion (FGD) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Kegiatan FGD di tingkat Provinsi, selain dihadiri oleh jagal, juga penanggung jawab RPH atau TPH, petugas Dinas Peternakan atau SKPD yang menangani peternakan, kalangan akademisi, peneliti dan penyuluh serta dari unsur kepolisian Polda Bali (Gambar 4.13).
Gambar 4.13. Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri dari unsur kepolisian, khususnya Polda Bali Hasil FGD menunjukan bahwa beberapa alasan jagal untuk memotong sapi betina produktif antara lain: 1. Ada kecenderungan yang hampir dapat dipastikan bahwa telah terjadi penyelundupan sapi dara ke luar Bali, yang jumlah relative sangat besar, namun belum ada data yang pasti tentang hal tersebut. Kondisi tersebut terindikasi dengan banyaknya pembeli sapi dara umur satu tahun atau dengan tinggi gumba antara 105-110 cm. Para pembeli sapi dara tersebut selalu hadir dan membeli sapi dara dengan harga yang relative lebih mahal dibandingkan pembelian oleh jagal. Kondisi tersebut selain menyebabkan berkurangnya populasi sapi di Bali, juga menyebabkan jaga juga ikut serta untuk membeli sapi dara atau sapi betina productive untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
55
2. Sapi jantan penggemukan sulit dicari dan mahal. Harga sapi betina berkisar antara Rp.30.000,- s/d 31.000/kg berat hidup, sedangkan sapi jantan antara Rp.40.000 s/d Rp.41.000/kg, bahkan kondisi bulan Nopember 2015 harga sapi jantan mencapai lebih dari Rp.42.000,- per kg berta hidup. Sedangkan harga daging sapi di pasaran adalah sama yaitu antara Rp.85.000 - Rp.90.000/kg. Tidak membedakan harga antara daging sapi jantan dan betina. Dengan harga daging Rp.85.000 Rp.90.000/kg, dan harga sapi jantan hidup Rp.42.000/kg maka jagal akan rugi, karena BEP nya Rp. 36.000/kg hidup. Harga daging sapi di Bali terendah dibandingkan dengan daerah lainnya Indonesia, dan harga tersbut tetap sejak 3 tahun terakhir. 3. Preferensi pasar lebih bagus sapi muda, yang tua alot, baik untuk “sate” maupun “lawar”. Walaupun sesungguhnya jagal sadar kualitas, kadar lemak, persentase karkas (jantan 50%, betina 40%) lebih baik jantan dibandingkan sapi betina. 4. Petani sering membawa sapi produktif ke RPH atau langsung ke Jagal, sehingga jagal tidak ada alas an untuk tidak membeli, karena secara bisnis, kondisi tersebut jelas cukup menguntungkan. Terkait dengan hasil FGD tersebut maka para jagal juga memberikan beberapa saran agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif, antara lain: 1. Penghentian sapi betina produktif diantar pulaukan, sehingga populasi naik, stok sapi jantan naik. 2. Pelarangan sapi jantan 200 kgs/d 300 kg untuk kurban menjelang Idul Adha. 3. Subsidi harga sapi ke petani, atau bansos penggantian betina produktif jangan di kelompok tani, tetapi untuk penggantian sapi produktif di RPH 4. Sosialisasi dan penyuluhan kepada para jagal 5. Sapi produktif yang masuk ke RPH, di beli ke pemerintah di pelihara ke sistem Simantri 6. Sebaiknya sapi dipotong di Bali, dan daging yang diantar pulaukan seperti dikirim ke Jakarta, maupun daerah lainnya. Hasil FGD yang dilakukan oleh kelompok petugas Dinas Peternakan dan Penanggungjawab RPH, mengemukakan beberapa alasan adanya pemotongan sapi betina produktif, antara lain:
Laporan Akhir KKP3SL-2015
56
1. Sapi betina lebih murah harganya, tetapi harga daging antara jantan dan betina sama 2. Sapi betina mudah didapatkan 3. Peternak yang dihadapkan masalah ekonomi sehingga menjual sapi betina yang produktif 4. Petani cendrung memelihara sapi jantan karena harga jual sapi jantan lebih tinggi sehingga sapi betina agak kurang diminati untuk dipelihara peternak. 5. Pemotongan/jagal banyak yang memerlukan sapi ukuran kecil sesuai kemampuan mereka menjual daging 5. Pengetahuan peternak tentang pentingnya pemeliharaan sapi betina masih kurang 6. Pengetahuan peternak tentang deteksi dini gangguan produksi masih kurang sehingga sapinya cepat dijual 7. Pemanfaatan sapi betina sebagai tenaga kerja (membajak sawah) jauh berkurang karena tergantikan dengan traktor. 8. Diperlukan alat pendeteksi USG dan SDM disetiap di RPH Selanjutnya mereka memberikan beberapa solusi, untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif, antara lain: 1. Diperlukan tim terpadu untuk pengawasan dari instansi terkait 2. Sosialisasi tentang larangan pemotongan sapi betina produktif lebih ditingkatkan berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 2014. 3. Pemerintah menyiapkan dana talangan untuk penyelamatan sapi betina produktif Hasil FGD yang dilakukan di kabupaten Karangasem, Buleleng, Klungkung dan Badung yang dihadiri oleh jagal, peternak dan petugas dari Dinas Peternakan setempat mendapatkan antara lain: 1. Pemahaman jagal, peternak, dan petugas Dinas Peternakan tentang sapi betina productive berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 2014, relative sangat terbatas. Hampir seluruh peserta di semua kabupaten dimana FGD dilaksanakan, tidak mampu menyebutkan tentang indicator sapi betina productive. Kondisi tersebut menunjukan bahwa lemahnya sosialisasi Undang-Undang No 18 tahun
Laporan Akhir KKP3SL-2015
57
2009 yang direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahun 2014 tentang penyelamatan sapi betina productive. 2. Alasan utama yang menyebabkan para jagal melakukan pemotongan sapi betina productive antara lain: 1) Kurangnya komintmen dan tingkat ketegasan pemerintah dalam menerapkan dan mensosialisasikan Undang-Undang yang berlaku, sehingga jagal juga mengabaikan terhadap larangan pemotongan sapi betina yang produktif. 2) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif dan harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina. 3) Alasan ekonomi sebagai prinsip bisnis jagal, sehingga jagal berpikir bahwa yang penting bisa mendapatkan sapi untuk dipotong guna memenuhi kebutuhan pelanggan, tidak peduli apakah sapi tersebut produktiv atau tidak. 4) Sapi betina yang tidak productive karena usianya yang sudah tua, umumnya memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi, sehingga jagal akan memilih sapi yang muda yang masih usia productive. 5) Jagal membeli sapi sesuai kebutuhan pelanggan, yang sebagian besar hanya menginginkan daging segar dalam jumlah terbatas, bukan daging beku. 6) Setiap hari jagal di tuntut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan/konsumen. 7) Tulang sapi jantan lebih besar, di lain pihak dagingnya sedikit dan harganya lebih mahal dari sapi betina, walaupun kuaalitas daging lebih baik namun harga dagimg di pasaran adalah sama. 8) Tidak adanya kesepakatan standard harga daging sapi dari pemerintah. 9) Jagal, selain membeli sapi langsung ke peternak untuk mendapatkan harga sapi yang lebih murah, maka jagal juga membeli sapi melalui saudagar sapi yang sudah menjadi langganan, sehingga tidak peduli tentang sapi yang dibawakan oleh saudagar, apakah sapi betina productive atau tidak. 10) Rendahnya pemahaman saudagar tentang kreteria sapi yang produktif, namun yang penting mendapatkan sapi yang akan dijual kepada jagal sebagai pelanggannya. 3. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh peternak
melalui FGD, sebagai
penyebab terjadinya populasi sapi menurun karena pemotongan sapi betina productive antara lain:
Laporan Akhir KKP3SL-2015
58
1) Petani lebih suka memelihara sapi jantan dibandingkan sapi betina karena beranggapan bahwa memelihara sapi jantan lebih menguntungkan, sehingga cenderung untuk menjual jika memiliki sapi betina. Umumnya sapi betina tersebut dibeli oleh jagal, karena peternak lainnya juga lebih memilih untuk memelihara sapi jantan. 2) Rendahnya minat genrasi muda untuk menajadi petani termasuk untuk memelihara sapi di desa, sehingga jika punya sapi, lebih baik mereka jual. 3) Kurang perhatian pemerintah untuk mengecek keberadaan sapi yang dimiliki petani, sehingga petani cenderung tidak mengetahui sapinya masih produktif atau tidak. 4) Desakan ekonomi seperti: kebutuhan untuk anak sekolah, keluarga yang sakit, upacara ngaben, membangun rumah dan lainnya. 5) Petani sudah tidak mampu memelihara sapi yang lebih banyak karena sudah tua, sehingga sapinya cenderung untuk dijual. 6) Petani kesulitan mencari pakan hijauan terutama pada saat musim kering, sehingga cenderung untuk menjual sapi miliknya. 7) Petani cenderung menjual sapi yang memiliki ciri-ciri yang tidak baik seperti sapi panjut (bulu ujung ekor sapi berwarna putih), ekor legok (terdapat cekungan antara tulang ekor dan tulang pantat), sapi betina hitam, sapi kaki hitam, lidah sapi loreng atau putih, sapi usehan tunggir (ada pusaran di bagian punggung) yang diyakini kurang menguntungkan atau bahkan dapat menyebabkan mala petaka bagi keluarga. Fenomena ini dapat dikatagorikan sebagai sebuah local wisdom. 8) Petani akan menjual sapinya apabila dikawinkan 2 kali tidak bisa bunting dan digantikan bibit baru atau membeli sapi jantan. 9) Petani akan menjual sapinya apabila dinilai sudah majir, karena gannguan alat reproduksi, atau sapi yang mengalami cacat fisik. 4. Beberapa masukan atau saran yang dkemukakan jagal, terkait dengan pemotongan sapi betina productive, antara lain: 1) Pemerintah dan atau petugas terkait di tingkat lapangan agar lebih proaktif terutama untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman
Laporan Akhir KKP3SL-2015
59
tentang ciri-ciri sapi bali yang produktif dan non produktif, baik kepada petani ternak, jagal, dan saudagar sapi. 2) Diharapkan pemerintah terkait lebih jujur dan transparan dalam mendata pemotongan sapi dilokasi RPH, agar data lebih akurat tidak ada rekayasa. 3) Memberikan pemahaman tentang pentingnya mempertahankan budaya memelihara sapi dan mengembangkan populasi sapi bali disemua sektor yang terkait, seperti petani, jagal atau saudagar sapi agar saudagar sapi mencarikan sapi yang non produktif untuk para jagal. 4) Menciptakan suatu paket teknologi tentang untuk mengatasi kandungan lemak pada sapi yang sudah afkir (tidak productive). 5) Melakukan tindakan hukum sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku terkait dengan pemotongan sapi. 6) Melakukan pengawasan yang lebih ketat dan ketegasan hukum terhadap oknum yang menyeludupkan sapi keluar daerah ataupun pada jagal yang memotong sapi betina yang masih produktif. 7) Bemberikan upaya yang terbaik bagi para jagal dan para petani ternak agar mampu bersinergi dalam melakukan penyelamatan terhadap sapi betina produktif, baik di pihak jagal ataupun di tingkat petani. 8) Diharapkan para jagal mau memelihara sapi yang masih produktif dan baru dipotong setelah tidak produktive. 9) Memberikan Insentif bagi petani yang tidak menjual sapinya yang masih produktif, dan memberikan identitas semacam tanda tato pada sapi yg dimilikinya. 10) Memberikan pemantauan yang ketat di lokasi pasar hewan agar sapi-sapi produktif yang dijual kepeda jagal dapat diketahui dan didata berapa yang produktif dan berapa yang tidak produktif. 11) Agar pemerintah menyiapkan dana talangan untuk membeli sapi betina productive yang dijual peternak, sehingga masalah ekonomi yang dialami peternak dapat teratasi. 12) Pengiriman kebutuhan daging keluar daerah khususnya di kota Jakarta, tidak berupa pengiriman sapi hidup, tetapi daging sapi segar atau beku.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
60
13) Diharapkan dari pihak petani peternak untuk tidak menjual sapinya yang masih produktif ke penjagal atau kesaudagar sapi, tetapi diusahakan terlebih dulu pada petani ternak. 14) Diharapkan pemerintah membuat Asosiasi Jagal se Bali agar standar harga daging sapi stabil. 4.9.
Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. Mekanisme terjadinya pemotongan ternak sapi di RPH, ditunjukan dalam
Gambar 4.14. Dari Gambar 4.14 nampak bahwa setidaknya terdapat tiga jalur agar ternak sampai di tangan jagal, antara lain: (1) peternak langsung menjual sapi kepada jagal; (2) peternak menjual sapi kepada saudagar, kemudian saudagar menjual kepada jagal; dan (3) peternak menjual sapi ke pasar hewan, kemudian bisa langsung dibeli oleh jagal atau dibeli oleh saudagar, kemudian saudagar menjualnya ke jagal. Selanjutnya jagal akan menempatkan ternak sapi yang mau dipotong di kandang yang disediakan oleh RPH. Petugas atau penangguangjawab RPH akan memeriksa sapi secara ante mortem. Terdapat dua rekomedasi hasil pemeriksaan yaitu: (1) Sapi layak dipotong atau (2) sapi ditolak untuk dipotong, dengan beberapa alas an, antara lain: sapi betina produktif, sapi bunting, sapi sakit menular. Berdasarkan pengakuan petugas RPH di seluruh kabupaten, bahwa pemeriksaan ante mortem selalu dilakukan, namun tidak pernah ada sapi yang ditolak untuk dipotong, kecuali untuk RPH Mambal di Kabupaten Badung. Sekalipun direkomendasikan untuk tidak dipotong, namun jika tetap dipotong oleh jagal, maka petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti yang terjadi di RPH Mambal dari 193 sapi betina produktif yang ditolak untuk dipotong, ternyata 10 ekor di antaranya tetap dipotong. Berdasarkan UU No 18 tahun 2009 yang direvisi menjadi UU No 41 tahun 2014, sapi betina produktif yang ditolak dipotong hendaknya dibeli oleh pemerintah dan dipelihara oleh pemerintah. Kenyataan di lapangan hingga saat ini Pemerintah Provinsi Bali, belum pernah menyediakan dana talangan untuk membeli sapi betina productive hasil pemeriksaan petugas RPH. Kondisi tersebut juga menyebabkan kurang taatnya para jagal terhadap UU dan atau pertauran tentang penyelamatan sapi betina productive. Sapi yang telah dipotong, juga dilakukan pemeriksaan post mortem, untuk mengetahui kondisi bagian dalam dari seluruh ternak yang dipotong. Hasil Laporan Akhir KKP3SL-2015
61
pemeriksaan merekomendasikan daging yang layak dikonsumsi dan daging yang tidak layak dikonsumsi. Daging yang tidak layak akan dimusnahkan, sedangkan yang layak dikonsumsi akan dijual ke konsumen, melalui dua jalur yaitu: (1) langsung ke konsumen dan (2) melalui pasar umum.
Keterangan:
Gambar 4.14. Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke konsusmen Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, dilihat dari dua aspek, yaitu aspek peternak dan jagal termasuk petugas pemerintah. Untuk aspek petani, indicator yang digunakan adalah pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif dan sikap peternak tentang pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan peternak sapi bibit tentang sapi betina produktif ada dalam katagori sangat rendah sebanyak 62,2%; rendah 25,6% dan sedang hanya 12,2%. Rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif, dapat menyebabkan peternak kurang atau bahkan tidak memperhatikan kondisi sapi yang dijual, apakah masuk dalam katagori sapi produktif atau tidak. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengatasi pemotongan sapi betina produktif di Bali tidak efektif. Padahal Undang-Undang tentang penyelamatan sapi betina produktif telah lahir sejak
Laporan Akhir KKP3SL-2015
62
tahun 2009, melalaui UU No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi UU No 41 tahun 2014. Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukan bahwa sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif (Y), berkaitan dengan empat factor, antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan peternak beternak sapi bibit (X3) dan (4) dukungan pemerintah terhadap peternak untuk beternak sapi bibit (X4). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara bersama-sama keempat factor tersebut menunjukan pengaruh yang nyata. Akan tetapi berdasarkan analisis regresi berganda dengan metode Stepwise, ternyata hanya factor dukungan pemerintah berpengaruh nyata terhadap sikap peternak sapi bibit, terkait dengan pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa apabila ada dukungan pemerintah maka sikap peternak semakin tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam hal menyelamatkan sapi betina produktif akan dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Seperti: (1) sosialisasi tentang UU No 41 tahun 2014, secara optimal sehingga mampu meningkatkan pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (2) melakukan tindakan nyata terhadap pelanggaran UU No 41 tahun 2014; (3) mengoptimalkan peran pemerintah, terkait dengan palaksanaan UU tersebut, seperti penyediaan dana talangan untuk membeli sapi betina produktif yang mau dipotong oleh jagal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah terkait dengan penyelamatan sapi betina produktif, juga dilihat dari aspek jagal dan pemerintah. Indicator yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi betina produktif; (2) tingkat pemotongan sapi betina produktif; dan (3) alasan jagal untuk melakukan pemotongan sapi betina produktif. Data yang dikoleksi melalui FGD menujukan bahwa tingkat pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi betina produktif cukup memperihatinkan, karena hanya sebagian kecil jagal dan petugas pemerintah yang mampu menyebutkan dengan benar tentang indicator sapi betina produktif. Salain itu pemotongan sapi betina produktif di seluruh RPH, relative cukup tinggi, mencapai rata-rata lebih dari 60%. Terdapat bebagai alasan jagal untuk
Laporan Akhir KKP3SL-2015
63
melakukan pemotongan terhadap sapi betina produktif, antara lain: (1) kurang tegasnya pemerintah untuk melaksanakan UU tentang penyelamatan sapi betina produktif; (2) kadar lemak sapi betina afkir (telah melahirkan dan berumur labih dari 9 tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dara maupun sapi jantan; (3) harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan sapi betina (produktif maupun tidak produktif), sedangkan harga daging sapi di pasaran sama, sehingga secara ekonomis pemotongan sapi betina produktif lebih menguntungkan; (4) jagal lebih mudah mendapatkan sapi betina dibandingkan dengan sapi jantan, karena sapi jantan banyak yang dijual ke luar Bali, khususnya Jakarta. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktif cenderung belum efektif.
4.10.
Rencana Tindak Lanjut Rencana tindak lanjut hasil penelitian ini, antara lain: (1) melanjutkan koleksi
data di tingkat saudagar sapi; (2) melakukan diseminasi tentang upaya penyelamatan sapi betina produktif, kepada petani, jagal dan saudagar sapi serta kepada petugas pemerintah sebagai penanggungjawab RPH dan TPH; (3) sosialisasi tentang pemotongan sapi untuk mendapatkan daging sapi yang sehat (hygein), karena sebagian besar RPH di Bali, kurang memenuhi standard kesehatan; (4) melakukan penelitian dan atau pengkajian tentang pengurangan kandungan lemak sapi betina afkir dan (5) mempublikasikan hasil penelitian melalui juournal ilmiah.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
64
V.
SIMPULAN dan SARAN
5.1.
Simpulan Penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive
dalam
Mendukung
Swasembada
Daging
Sapi
Berkelanjutan
di
Balil,
menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor. 2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. a. Faktor Peternak: i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli (saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali. ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif. iii. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi betina khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi betina afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar tentang kreteria sapi betina produktif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
65
3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, belum efektif. 5.2.
Saran Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian antara lain: 1) Merevisi Undang-Undang No 41 tahun 2014, dengan memasukan sapi bali betina usia produktif, namun dipercaya peternak kurang mengguntungkan (local wisdom), karena adanya kelainan tertentu. 2) Mengembangkan sebuah model kelembagaan yang dikaitkan dengan usaha peternakan sapi bibit, sehingga mampu secara langsung mengatasi masalah ekonomi peternak. 3) Mengembalikan budaya pengolahan lahan sawah dengan sapi. 4) Mengembangkan sebuah model peternakan sapi bibit yang mampu menarik minat generasi muda untuk beternak sapi bibit. 5) Memberlakukan Undang-Undang dan peraturan tentang penyelamatan sapi betina produktif secara tegas. 6) Sosilisasi kepada peternak, jagal dan saudagar tentang penyelamatan sapi betina produkif, sesuai dengan UU dan Peraturan yang berlaku. 7) Mengembangkan teknologi untuk memacu pertumbuhan sapi betina, teknologi untuk mengatasi sapi majir, teknologi mengurangi prosentase lemak sapi betina afkir.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
66
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Adlany. 2014. Definisi Pengetahuan. http://www.alhassanain.com/indonesian/ articles/articles/Philosophy_and_gratitude_library/definisi_pengetahuan/001 .html. Diunduh 15 Peb 2014 Alton. 1823 dalam Berata, JK. 2008. “Sapi Bali: palsma Nutfah yang Terancam”. Wahana No. 62 Tahun XXIV-Agustus 2008. Anon. 2013. Pentingnya Dukungan Infrastruktur dalam Program Swasembada Daging http://beritadaerah.co.id/2013/11/18/pentingnya-dukungan-infrastrukturdalam-program-swasembada-daging/ Anon. 2015. Gubernur Pastika Berang Dikibuli Simantri. http://bali.bisnis.com/read/ 20150423/15/51162/gubernur-pastika-berang-dikibuli-simantri Asosiasi Peternak Sapi Kerbau Indonesia (APSKI) mengkhawatirkan. 2015. http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/13/ 08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-kembali-resah Buyung Syahyudi. 2015. Populasi Sapi di Indonesia. https://plus.google.com/ 115419385625597755980/posts Badan Litbang Pertanian (2011) Edisi 30 Maret - 5 April 2011 No.3399 Tahun XLI Agroinovasi Bambang Soejosopoetro (2011) Studi Tentang Pemotongan Sapi Betina Produktif Di RPH Malang. Jurnal Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011 Bagus Fitriansyah. 2011. Statistik Produksi dan Konsumsi Daging di Indonesia Serta Peluang Usaha. Http://Be-Ef.Blogspot.Com/2011/02/Statistik-Produksi Dan-Konsumsi-Daging.Html Bisnis
Bali, 2015. Pemotongan Sapi Produktif NTT Lebih Nasional http://bali.bisnis.com/read/20150503/15/51390/pemotongan-sapi-produktifntt-lebih-nasional
Dedet Zelth. 2013. Pengertian, Tujuan Dan Fungsi Perencanaan http://dedetzelth. blogspot.co.id/2013/02/pengertian-tujuan-dan-fungsi-perencanaan.html Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi Betina Produktif Tahun 2010. Kementerian Pertanian RI. Http:// Ednadisnak.Blogspot.Com/2011/05/Pedoman-Pelaksanaan-PenyelamatanSapi.Html (Unduh 13 Agust 2015) Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian
Laporan Akhir KKP3SL-2015
67
Gerungan, W, A. 1996. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco Gunawan, Dicky Pamungkas dan Lukma Affandhy. 2004. Sapi Bali, Potensi dan Nilai Eknomi. Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Cet. 6. Gatot Prasojo, Iis Arifiantini dan Kusdiantoro Mohamad. 2011. Korelasi Antara Lama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 41-45. ISSN : 1411 – 8327.4. Herdaru Purnomo. 2014. Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar. http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/ 2517461 /4/negaradengan-penduduk-terbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar Haryana, R. 1989. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Sapi Bali Jantan Muda. Disertasi. Program Doktor, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. 1989 Hartiningsih, N. 2006. Pengembangan Penelitian Penyakit Jembrana. Vaksin Rekombinan sebagai kandidat Vaksin untuk Pencegahan Penyakit Jembrana pada sapi Bali’. Lab. Bioteknologi. BPPV Regional VI Inggriati, T, NW. 2014. “Perilaku Peternak Sapi Bali Perbibitan dalam Sistem Penyuluhan di Bali” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Masudana, IW. 1990. Perkembangan Sapi Bali dalam Sepuluh Tahun Terakhir (19801990). Seminar Nasional Sapi Bali, FAPET UNUD, Denpasar, Bali. Oka, IGL. 2006. “Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali Sebagai Asset Tenak Nasional”. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV., Denpasar, Bali, 24 Juni 2006. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Maria Yosita, Undang Santosa, Endang Yuni Setyowati. 2011. Persentase Karkas, Tebal Lemak Punggung dan Indeks Perdagingan, Sapi Bali, Peranakan Ongole dan Australian Commercial Cross. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Sumedang Muchlisin, R. 2013. Pengertian, Tingkatan dan Cara Memperoleh Pengetahuan. http://www.kajianpustaka.com/2013/05/pengertian-tingkatan-dan-cara.html. Diunduh 15 Peb 2014. Nugraha Setiawan. (“tt”). Perkembangan Konsumsi Protein Hewani di Indonesia: Analisis Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional 2002-2005. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Laporan Akhir KKP3SL-2015
68
Puskeswan Padang Panjang. 2011. Pemotongan Sapi Betina Produktif pada saat Qurban. http://www.puskeswanpadangpanjang.com/2011/10/pemotongan sapi-betina-produktif-pada.html Republika. 2013. Populasi Ternak \Merosot, Peternak Indonesia Kembali Resah. http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australianetwork/13/08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesiakembali-resah Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah. 2013. Pemotongan Sapi Betina Umur Produktif dan Kondisi RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Workshop Nasional: Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal Fakultas Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013 Rofi Munawar. 2014. Impor Sapi Australia Bakalan Rusak Swasembada Pangan Jokowi. Merdeka.com (29 November 2014. http://www.merdeka. com/uang/impor-sapi-bakalan-australia-rusak-swasembada-panganjokowi.html Soehaji, H. 1991. “Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia”. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali, 2-3 September 1991. Fak. Peternakan, UNHAS, Ujung Pandang. Pp.1-32. Sayang Yupardi. 2009. Sapi Bali: Mutiara dari Bali. Udayana Universty Press. Kampus Universitas Udayana, Sudirman, Denpasar, Bali. Sweta, IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh cacing hati pada sapi Bali sebagai implikasi dan lingkungan hidup pada Ekosistem Pertanian di Pulau Bali. Disertasi Univ. Pajajaran, Bandung Siagian, S.P. 1988. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Bina Aksara Suharto. 2006. Manajemen Agribisnis dan Teknmologi Pengolahan Limbah Ternak Sapi Bali. Limbah Hijau M Sehari Multifarm-Research Station, Solo, Indonesia. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV., Denpasar, Bali, 24 Juni 2006. Sudrajat, A. 2008.Teori-Teori Motivasi.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/06/teori-teori-motivasi/ (diunduh 8 Oktober 2012) Suwono. 2011. http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php? module= detailberita&kid=10&id=31865 Syahyuti. 2010. Pupulasi Sapi Nasional. Data dan Fakta Daging. https://plus. google. com/115419385625597755980/posts
Laporan Akhir KKP3SL-2015
69
Suardana, I Made Sukada1, I Ketut Suada1, Dyah Ayu Widiasih2. 2013. Analisis Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah. Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. Jurnal Sain Veteriner. ISSN : 0126 – 0421. JSV 31 (1), Juli 2013 Undang Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009. Tentang: Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Wiguna A.A. & Tatik Inggriati. 2007. Pengembangan Agribisnis Pengolahan Pakan & Limbah Peternakan di Kabupaten Tabanan. Laporan Akhir Wiguna A.A dkk. 2007. Trasformasi Inovasi Teknologi Pertanian pada Ekosistem Subak di Bali. Laporan Hasil Pengkajian, Kasus Subak Wangaya Betan, Mengesta, Penebel Tabanan, Bali. Wikipedia the free encyclopedia ”t.t”. Agricultural Extension.http://en. wikipedia.org/wiki/Agricultural extention.Diunduh tanggal 14 Pebruari 2012. World Factbook, 2011. Wikipedia. Daftar Negara Menurut Angka Harapan Hidup https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_angka_harapan_hidup
Laporan Akhir KKP3SL-2015
70