B E R A N D A Umum di Indonesia Tahun 2014 Leo Agustino, Pemilihan
1
Pengantar
L
ahan gambut di Indonesia merupakan ekosistem yang paling sensitif dan terancam di bumi. Kawasan gambut mengandung stok karbon tinggi dan terbagi secara tidak merata, dibandingkan hutan pada tanah mineral. Karenanya perlindungan lahan gambut merupakan suatu keniscayaan bagi Pemerintah Indonesia jika mengharapkan adanya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dibawah skenario business-as-usual, atau 41% dengan dukungan internasional. Hutan-hutan rawa gambut di Sumatra misalnya, merupakan kawasan yang cukup cepat dan ektensif tingkat konversinya menjadi lahan perkebunan. Sehingga nilai keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk satwa terancam punah (critically endangered) seperti orangutan dan harimau berada dibawah ancaman. Kesemua ini secara langsung berpengaruh terhadap perubahan iklim utamanya dalam masalah pemanasan global. Jurnal LESTARI merupakan media komunikasi, pertukaran pemikiran dan pengalaman berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang merupakan bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. Jurnal ini direncanakan terbit dua kali dalam setahun dan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan pengetahuan dari pelaksanaan Proyek USAID LESTARI. Dengan adanya jurnal ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan bagi semua pihak baik untuk acuan dalam pengambilan keputusan maupun kebijakan serta program tentang pengelolaan sumberdaya alam dan perubahan iklim. Dalam edisi perdana ini mengambil topik bahasan kebakaran dan pengelolaan gambut. Ada 8 artikel yang dimuat yang mencakup 7 artikel utama dan 1 artikel pendukung. Penyajian artikel utama dimulai dari analisis Prof. Susan Page tentang dinamika kebakaran lahan gambut di Indonesia, dilanjutkan dengan Herry Purnomo yang menganalisis ekonomi politik dan jaringan aktor terkait peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kemudian artikel dimensi manusia dalam kebakaran hutan (Cifor) yang ditulis oleh Rachel Carmenta dan Bejo Slamet yang mengkaji masalah hidrologi di lahan gambut. Selain itu terdapat tiga artikel yang merupakan hasil survei tentang dampak kebakaran tahun 2015 dari sisi sosial ekonomi dengan kasus di bentang alam Katingan-Kahayan, Propinsi Kalimantan Tengah dan Pengelolaan Lahan Gambut di Rawa Singkil Aceh. Sementara untuk 1 artikel pendukung adalah kajian dari Aidy Halimanjaya dan Smita Nakhooda yang menulis mengenai alternatif kebijakan pendanaan untuk perubahan iklim Semoga artikel-artikel yang tersaji dalam Jurnal LESTARI ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Redaksi sangat berharap masukan dan kritikan dari semua pembaca guna perbaikan pengelolaan dan penerbitan jurnal nomor selanjutnya. Termasuk mengharapkan sumbangan artikel yang relevan dengan topik yang dibahas. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan khususnya bagi para penulis yang memberikan artikelnya untuk nomor perdana ini dan pihak-pihak lain yang membantu terbitnya edisi perdana ini• Reed Merrill S U R V E I
Daftar Isi MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI INDONESIA
RAWA SINGKIL SUAKA LAHAN GAMBUT PENJAGA EKOSISTEM
Oleh Susan Page hlm 4
Oleh Matthew Linkie et al. hlm 39
SITUS PURBAKALA DI LAHAN GAMBUT
JARINGAN AKTOR DAN REGULASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Oleh Erlinda Ekaputri hlm 14
Oleh Herry Purnomo et al. hlm 55
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN: STUDI ATAS DAMPAK DI KATINGANKAHAYAN Oleh Erlinda Ekaputri hlm 16
Penerbitan Jurnal Lestari dimaksudkan sebagai media informasi dan pertukaran pemikiran dan pengalaman berkenaan dengan masalah pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan berbasis lanskap yang merupakan bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Jurnal ini diterbitkan oleh Proyek USAID LESTARI berisikan tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, dan ide-ide kritis bagi perbaikan kebijakan pembangunan lingkungan hidup. Redaksi mengundang berbagai individu ahli baik sebagai praktisi, akademisi dan birokrasi yang memiliki minat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif seraya berkomunikasi dengan masyarakat luas. Setiap tulisan yang disajikan dalam Jurnal Lestari tidak selalu selaras atau mencerminkan pendapat Jurnal Lestari. Karenanya, Redaksi berhak untuk menyingkat dan memperbaiki setiap tulisan yang dikirimkan dan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi. © Hak cipta dilindungi Undang-undang.
DIMENSI MANUSIA PADA LAHAN GAMBUT: MENENTUKAN PERSPEKTIF PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM BERBAGAI SKALA
MANAJEMEN HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT Oleh Bejo Slamet hlm 101
Oleh Rachel Carmenta et al. hlm 74 MANUSIA DAN KEBAKARAN HUTAN Oleh Agung Wahyu Nugroho hlm 90
PENDANAAN ALTERNATIF PROYEK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA: ULASAN UNTUK DANA PERWALIAN Oleh Aidy Halimanjaya et al. hlm 116
• Penanggungjawab: Reed Merrill • Pemimpin Redaksi: Erlinda Ekaputri • Managing Editor: Anom Astika • Dewan Redaksi: Chris Bennet, Neville Kemp, Suhardi Suryadi, Ufroz Ayyub, Ni Made Chitra Anggraini • Sekretaris Redaksi: Rezki Mulyadi • Produksi: Awan Dewangga. Diterbitkan oleh Proyek USAID LESTARI, Alamat : Wisma GKBI Lantai 12, Suite 1210 Jl. Jendral Sudirman Kav 28, Jakarta, Indonesia. Tlp./Faks 021-5740565/ 021-5740566 Email :
[email protected]; Website: www.lestari-indonesia.org
4
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
J E N D E L A
MEMAHAMI DINAMIKA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI INDONESIA Oleh Susan Page Di Indonesia, dinamika kebakaran lahan gambut pada masa ini merupakan konsekuensi dari eksploitasi lahan yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan berskala luas. Keduanya membawa serta aktivitas pembersihan kawasan hutan dan drainase lahan gambut dengan cakupan yang sama, sehingga kawasan gambut yang lembab dan basah menjadi kering. Ketika situasi ini bercampur dengan iklim musim kering yang panjang melanda, semuanya melahirkan peningkatan kualitas kebakaran sepanjang lima tahun terakhir. Peningkatan intensitas kebakaran juga disebabkan oleh absennya inisiatif-inisiatif kebijakan pemerintah di dalam pengendalian kebakaran (misal, kebijakan larangan drainase dan larangan membakar). Termasuk juga lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran yang telah mendorong terjadinya peningkatan kerentanan dari perubahan lanskap terhadap kebakaran. Kata kunci: Lahan gambut, drainase, api, kebakaran
PENDAHULUAN Tanah Gambut adalah suatu tipe tanah yang terdiri dari material organik yang terdekomposisi sebagian. Material organik itu sebagian besar berasal dari tumbuhan, yang terakumulasi di bawah kondisi jenuh air dan kurang oksigen. Di belahan bumi bagian utara, di mana suhu rendah mengurangi laju dekomposisi, gambut dibentuk dari sisa-sisa berbagai lumut, rumput, dan semak atau tanaman perdu (Gambar 1). Di daerah beriklim tropis, gambut kebanyakan terbentuk dari pohon-pohon di hutan hujan di bawah kondisi kelembaban, curah hujan dan suhu yang hampir konstan (Gambar 2). J E N D E L A
Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut
Lahan gambut adalah bentang alam yang memiliki lapisan-lapisan gambut yang terakumulasi secara alamiah di permukaan tanah. Mengingat gambut memiliki kandungan karbon tinggi, ia merupakan penyimpan karbon (carbon pool) yang penting secara global. Walaupun secara keseluruhan, luas lahan gambut hanya mencakup sekitar 3% dari permukaan lahan di bumi, namun lahan itu mengandung simpanan karbon yang besar dan terkonsentrasi. Jumlahnya diperkirakan antara 500 dan 700 Gt (milyar ton=Pg). Simpanan karbon ini kemungkinan melebihi jumlah yang terkandung dalam vegetasi di bumi (500 Gt) dan mendekati kandungan simpanan karbon di atmosfer (750 Gt). Secara wilayah (3,6 juta km2) dan simpanan karbon (400-600 Gt), lahan gambut paling ekstensif ditemukan di belahan bumi bagian utara (seperti di Eropa dan Asia bagian utara dan Amerika Utara),
5
meskipun juga terdapat deposit yang signifikan di wilayah beriklim tropis. Area ini secara keseluruhan mencakup 0,4 juta km2 dengan total simpanan karbon berkisar antara 80 hingga 100 Gt. Bagian terbesar berada di Asia Tenggara, dengan 57 Gt karbon di lahan gambut Indonesia dan 9 Gt karbon di Malaysia (Page et al., 2011). Kebanyakan dari karbon gambut ini telah terakumulasi dalam jangka waktu lama, yakni ribuan tahun. Tetapi terlepas dari peran lahan gambut sebagai penyerap karbon (carbon sink) selama periode waktu tersebut, karbon yang tersimpan di lahan-lahan gambut di dunia semakin rentan terhadap destabilisasi akibat perubahan tata guna lahan, kebakaran dan perubahan iklim. Hal ini berakibat pada hilangnya simpanan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca (khususnya karbon dioksida), yang berkontribusi pada perubahan iklim global. Tidak ada tempat di belahan bumi ini dimana perubahan lahan gambut sebagai penyerap menjadi sumber karbon terjadi begitu cepat selain di Asia Tenggara, dimana terdapat kombinasi antara tekanan perubahan tata guna lahan dan kebakaran pada ekosistem lahan gambut. Lahan gambut merupakan tipe ekosistem lahan basah, dan oleh karenanya hidrologi (posisi tinggi muka air relatif terhadap tinggi permukaan
Gambar 1: Pemandangan lahan gambut di bagian utara yang didominasi oleh lumut, rerumputan dan tekitekian. Forsinard Bog, Scotlandia bagian utara, UK. (Sumber foto: Susan Page) J E N D E L A
6
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 2: Hutan rawa gambut Sebangau, Kalimantan Tengah Indonesia, Berbeda dengan lahan gambut di wilayah E N D E L A utara, gambut di wilayah tropis dibentuk oleh sisa-sisa pepohonan hutan hujan. (Sumber Foto: Sara JThornton)
Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut
7
Gambar 3: Lanskap yang tertutup gambut di Sumatra. Di sebelah kiri gambar, lahan gambut telah dikeringkan untuk produksi tanaman perkebunan. Lahan gambut yang dikeringkan merupakan sumber emisi gas rumah kaca dari degradasi gambut (sebagai hasil dari dekomposisi mikroba oksidatif pada gambut) dan juga berada pada risiko tinggi kebakaran. (Sumber foto: Agata Hoscilo)
gambut) memainkan peran kritikal dalam fungsi lahan gambut dan siklus karbon. Ini karena posisi tinggi muka air mengontrol laju dimana gambut dan akumulasi karbon dapat berproses. Pada kondisi alamiah, tanpa gangguan, lahan gambut mengakumulasikan bahan organik mati (yaitu, gambut) ketika produksi material tanaman mati (serasah, yaitu daun, tangkai, batang, akar) melebihi laju pembusukan gambut. Di bawah kondisi jenuh air yang bersifat sering atau terusmenerus, maka pembusukan serasah terjadi secara terbatas, dengan demikian lapis demi lapis material organik kaya karbon akan terakumulasi seiring berjalannya waktu untuk membentuk deposit gambut yang semakin tebal. J E N D E L A
Tetapi pada lahan gambut yang sudah mengalami gangguan aktivitas manusia, dan khususnya pembuatan drainase, tinggi muka air mengalami penurunan, seringkali jauh di bawah tinggi permukaan gambut. Kondisi ini memungkinkan oksigen untuk memasuki kolom gambut, mengganggu keseimbangan antara akumulusi gambut dan pembusukan, dan berakibat pada degradasi mikroba gambut dan pelepasan simpanan karbon ke atmosfer, terutama dalam bentuk karbon dioksida (Gambar 3). Diperkirakan bahwa drainase pada lahan gambut tropis bertanggung jawab atas kontribusi hampir 70% (~200 Mt C) emisi gas rumah kaca yang berasal dari drainase dan kebakaran global pada
8
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
tanah organik, dengan 30% berasal dari pengeringan lahan gambut di bagian utara (Biancalani & Avagyan 2014). Selain bahwa drainase menyebabkan degradasi gambut, kondisi ini juga bertanggung jawab atas meningkatnya risiko kebakaran.
MASALAH KEBAKARAN GAMBUT Di Indonesia, dinamika kebakaran gambut pada masa ini merupakan konsekuensi dari melimpahnya bahan bakar dan sumber api. Ketika pembersihan kawasan hutan skala lanskap dan drainase gambut dikombinasikan dengan penggunaan api yang meluas, akibat yang tidak dapat dihindari adalah peningkatan kebakaran yang tak terkendali. Lahan gambut yang mengalami deforestasi dan pengeringan berada pada tingkat risiko kebakaran tertinggi karena permukaan kering dari lahan gambut terdrainase sangat mudah terbakar, menempatkannya pada tingkat risiko signifikan dari pembakaran yang disengaja maupun tidak disengaja. Api mungkin digunakan sebagai alat yang murah, cepat dan efektif untuk membersihkan area hutan yang luas tetapi api ini juga dapat terjebak ke dalam hutan rawa gambut. Apabila vegetasi hutan dibakar sekali, akan mengalami suksesi sekunder dan kembali menjadi hutan tertutup. Tetapi pada kenyataannya, tegakan kayu mati yang tersisa dari kebakaran pertama akan meningkatkan peluang terjadinya kebakaran kedua, menempatkan ekosistem pada suatu trajektori kearah kondisi semak-belukar rentan terbakar dengan
peluang yang sangat kecil untuk pemulihan hutan dan risiko tinggi untuk kejadian kebakaran selanjutnya (Gambar 4). Meskipun kebakaran paling parah pada tahun-tahun belakangan dapat dikaitkan dengan kemarau yang dipicu oleh anomali iklim ENSO (El Niño) (e.g. Page et al. 2002), kondisi cuaca yang abnormal bukan merupakan prasyarat dari kebakaran gambut. Malahan kebakaran sekarang menjadi penampakan yang regular setiap musim kemarau, meskipun kemarau berlangsung dalam J E N D E L A
Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut
9
Gambar 4: Lahan gambut di bekas area Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Lahan gambut yang telah dikeringkan ini sangat rentan terbakar, dimana beberapa lokasi telah terbakar tujuh atau delapan kali berturut-turut.Vegetasi asli dari hutan rawa gambut saat ini telah banyak digantikan oleh pakis dan semak belukar. (Sumber foto: Susan Page)
periode yang singkat (Gaveau et al. 2014), dan lebih merupakan produk dari cepatnya alih fungsi lahan (e.g. Field et al. 2009) dibandingkan dengan variabilitas iklim. Dengan adanya dinamika kebakaran yang baru ini berarti kebakaran gambut di Indonesia tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian yang sesekali terjadi. Pada tiap musim kebakaran, terdapat masalah lingkungan yang intensif dengan implikasi besar pada emisi gas rumah kaca, kualitas udara, kesehatan manusia, mata pencaharian lokal dan ekonomi regional. Masalah berikutnya J E N D E L A
yaitu banyak kebakaran gambut terjadi di lokasi terpencil sehingga sulit dikendalikan dan dipadamkan. Kebakaran dapat berlangsung selama beberapa hari dan kadangkala beberapa minggu, bahkan muncul kembali setelah periode singkat hujan. Kebakaran gambut dapat terdiri dari kobaran api dan bara api. Kobaran api terjadi pada dan diatas permukaan gambut, membakar vegetasi dan serasah tanaman. Sebaliknya, bara api membakar kedalam dan bawah permukaan dan mengonsumsi gambut itu sendiri sebagai sumber bahan bakarnya. Kobaran api dapat menyebar secara cepat melalui vegetasi, tetapi bara api cenderung membakar dengan lambat dan bertahan untuk periode waktu yang lama. Karena bara api terjadi dibawah permukaan tanah di gambut yang telah dikeringkan tetapi masih agak lembab, mereka menerima suplai oksigen yang terbatas. Sebagai akibatnya, mereka bertanggung jawab atas dampak atmosferik dan kualitas udara yang lebih substansial dibandingkan kebakaran vegetasi, termasuk emisi tinggi gas rumah kaca (khususnya karbon dioksida dan metan) dan partikel-partikel kecil menyebabkan asap yang pekat dan beracun (Gambar
10
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 5: Pemandangan di pusat Kota Palangka Raya pada bulan Oktober 2015. Kualitas udara sangat membahayakan sebagai akibat dari campuran gas-gas beracun dan partikel-partikel halus yang datang dari kebakaran gambut di sekitarnya. Banyak anak-anak dan orang dewasa dirawat di rumah sakit karena mengalami masalah pernapasan dan jantung akibat menghirup asap. (Sumber foto: Suzanne Turnock/OuTrop)
5). Hal ini menimbulkan risiko yang besar atas kesehatan manusia baik dalam jarak yang dekat dengan kebakaran maupun jarak yang lebih jauh karena asap dapat menyebar dalam jarak lebih dari puluhan atau ratusan kilometer dari lokasi kebakaran, menimbulkan masalah kesehatan manusia (misal, pernapasan dan jantung) dan berbagai dampak sosial dan ekonomi (misal, penutupan sekolah dan pembatalan penerbangan).
BERGERAK MENUJU SOLUSI KEBAKARAN Kebakaran gambut di Asia Tenggara melibatkan interaksi antara berbagai bentuk kepemilikan lahan yang berbeda, pengelolaan lahan dan tutupan lahan. Di
lanskap yang belum mengalami gangguan, terdapat risiko terbatas untuk terjadinya pembakaran yang tidak disengaja atau penyebaran api karena lanskap yang basah dan tertutup gambut resisten terhadap api. Sebaliknya, lanskap-lanskap baru dari hutan yang telah terfragmentasi dan lahan gambut yang telah dikeringkan sangat rawan kebakaran, tetapi perilaku manusia dan kebijakan perencanaan lahan telah gagal mengenali risiko kebakaran yang tinggi ini. Meningkatnya kejadian kebakaran gambut reguler di wilayah ini selama lebih dari 20 tahun dapat digambarkan sebagai konsekuensi dari aktivitas manusia (misal, alih fungsi lahan, drainase lahan gambut dan meningkatnya akses manusia) dan absennya inisiatifJ E N D E L A
Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut
inisiatif kebijakan yang kuat (misal, kebijakan larangan drainase dan larangan membakar), serta implementasi kebijakan yang efektif yang mengenali peningkatan kerentanan dari perubahan lanskap terhadap kebakaran. Tentu saja, kejadian kemarau panjang yang dikaitkan dengan peristiwa El Niño telah memperparah intensitas kebakaran gambut, akan tetapi peristiwa ini bukanlah akar masalahnya. Hal ini dicontohkan oleh suatu studi peristiwa kebakaran yang barubaru ini terjadi di Indonesia (Page et al., 2016) yang menunjukkan bahwa ada area di lahan gambut yang terbakar pada tahun 2014 (bukan tahun El Niño) yang luasnya sama dengan yang terbakar pada tahun El Niño berikutnya yaitu tahun 2015. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Gaveau et al. (2014) terhadap keparahan kebakaran dan emisi yang terkait pada tahun 2013, yang sekali lagi bukan tahun El Niño. Antara tahun 2014 dan 2015, lokasi kebakaran, dan populasi yang terkena dampak polusi udara, berbeda. Sementara perhatian nasional dan internasional difokuskan pada kebakaran tahun 2015, dampak kebakaran tahun 2014 dan 2013 sesungguhnya juga sangat signifikan. Fakta-fakta tersebut merupakan temuan yang penting yang menggarisbawahi perlunya perubahan fundamental dalam praktikpraktik pengelolaan lahan gambut di Indonesia, terlepas dari variabilitas iklim dari tahun ke tahun. Hasil-hasil tersebut juga menekankan bahwa menangani dinamika kebakaran saat ini akan memerlukan perubahan yang radikal dari perilaku dan praktik-praktik manusia dalam pengelolaan hutan dan lahan J E N D E L A
11
gambut. Banyak aktor yang berperan di dalam dinamika kebakaran Indonesia saat ini: mulai dari perusahaan perkebunan besar sampai petani kecil, dari pembuat kebijakan di Jakarta sampai masyarakat lokal di provinsi-provinsi lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan. Tapi dengan penurunan terus-menerus hutan rawa gambut yang tersisa dari tahun ke tahun dan seiring dengan peningkatan risiko dan keparahan kebakaran gambut, semua aktor perlu dilibatkan tidak hanya dalam upaya pemadaman, tetapi yang paling penting, dalam pencegahan kebakaran. Sementara beberapa perusahaan perkebunan besar telah membuat komitmen untuk ‘zero burning’ (nol kebakaran), ‘no deforestation’ (tidak ada deforestasi), ‘no planting on peatland’ (tidak menanam di lahan gambut), serta bekerja dengan masyarakat lokal untuk mengurangi kejadian kebakaran (Padfield et al. 2016), masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk memusnahkan kebakaran dari lanskap-lanskap yang paling rentan. Sebagian besar lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan saat ini mengalami deforestasi besar-besaran, dikeringkan dan rawan kebakaran. Akan tetapi ada perbedaan-perbedaan besar dalam hal skala dan kondisi fragmentasi dari hutan rawa gambut yang tersisa, berikut kondisi dan pengelolaan kawasan non hutan. Kebakaran pertama dan kedua di hutan rawa gambut adalah sumbersumber terbesar asap dan emisi gas rumah kaca per unit area. Dengan demikian, upaya kuat untuk menyatukan seluruh pihak yang terlibat dalam mengelola lanskap-lanskap rawan keba-
12
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
karan dan melindungi blok-blok hutan yang tersisa dapat memperbaiki perencanaan dan imlementasi kegiatan-kegiatan mitigasi kebakaran. Mungkin tindakan yang paling efektif yang dapat diterapkan oleh Indonesia untuk memitigasi keberlangsungan atau bahkan peningkatan lebih lanjut dari emisi gas rumah kaca yang dipicu oleh kebakaran di lahan gambut, adalah dengan mencegah kebakaran di fragmen-fragmen hutan rawa gambut yang tersisa. Namun demikian juga diperlukan upaya-upaya terpadu untuk merestorasi hidrologi dari area lahan gambut yang terdegradasi karena skala yang besar dari lahan gambut yang dikeringkan menjadi kontribusi utama atas tingginya angka emisi gas rumah kaca tahunan dari kebakaran serta dari degradasi gambut (oksidasi). Solusi-solusi yang berhasil harus difokuskan pada gambut itu sendiri – yakni upaya untuk membuat gambut tetap basah. Ini akan memerlukan intervensi hidrologis pada lahan gambut yang telah dikeringkan, yaitu meningkatkan tinggi muka air, dalam rangka mengurangi risiko kebakaran. Tetapi upaya ini akan memiliki konsekuensi ekonomi yang tidak dapat dihindari bagi para pihak yang terlibat dalam produksi pertanian, karena tingginya muka air akan menurunkan atau bahkan mengurangi hingga separuh produktivitas dari berbagai spesies tanaman perkebunan (misalnya kelapa sawit). Bagaimanapun peluang tetap ada, untuk mengidentifikasi dan mengembangkan spesies tanaman perkebunan alternatif yang tahan terhadap level muka air yang lebih tinggi dan tetap menjanjikan keuntungan
ekonomi: satu contoh mungkin tanaman sagu dan beberapa perusahaan saat ini sedang mengeksplorasi opsi-opsi lain, misalnya spesies pohon akasia yang toleran terhadap level muka air yang tinggi dan masih tetap memproduksi kayu yang sesuai untuk produksi bubur kertas. Meskipun demikian, lebih banyak yang harus dilakukan dalam hal ini, khususnya untuk mendukung para petani kecil yang seringkali tidak memiliki metode lain selain membakar untuk membersihkan lahan agar siap ditanami.
Kesimpulan Saat ini ada sekitar 140.000 km2 lahan gambut kering di seluruh semenanjung Malaysia, Sumatra dan Borneo (Miettinen et al. 2016); dengan demikian skala geografis untuk mengelola lanskap yang sangat berisiko terbakar dan beremisi tinggi tersebut menakutkan. Terdapat tantangan-tantangan teknis dan ekonomi yang harus diatasi untuk menyampaikan pada para pengambil keputusan dan pengelola lahan bahwa tinggi muka air gambut harus dijaga pada level yang cukup tinggi guna mengurangi risiko kebakaran dan emisi oksidatif, juga tantangan-tantangan tata kelola dan politik yang substansial, termasuk implementasi kebijakan yang lemah. Mengatasi dinamika kebakaran Indonesia saat ini akan memerlukan perubahan yang radikal atas perilaku dan praktik-praktik yang dilakukan manusia, dan juga pemahaman yang fundamental bahwa berbagai intervensi akan memerlukan kepemimpinan politis yang kuat dan efektif, investasi finansial, dan komitmen yang J E N D E L A
Susan Page, Memahami Dinamika Kebakaran Lahan Gambut
jujur serta transparan dari tiap orang yang terlibat dalam pengelolaan lahan gambut.
Daftar Pustaka Biancalani, R. & Avagyan, A. (eds) (2014). Towards climate responsible peatland management practices: Part 1. FAO, Rome. Gaveau, D.L.A.et al.(2014). Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Scientific Reports, 4: 6112 doi:10. 1038/srep06112 Miettinen et al. (2016). Land cover distribution in the peatlands of Peninsular Malaysia, Borneo and Sumatra in 2015 with changes since 1990. Global Ecology and
J E N D E L A
13
Conservation, 6: 67-78. Padfield, R. et al. (2016) Landscapes in transition: An analysis of sustainable policy initiatives and emerging corporate commitments in the palm oil industry. Landscape Research. Doi: 10.1080/ 01426397.2016.1173660 Page, S.E. et al. (2002). The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia in 1997. Nature 420: 61-65. Page, S.E. et al. (2011) Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology 17: 798-818 Page, S.E. et al. (2016 – in press) The ring of fire: tackling Indonesia’s peatland fire dynamic. Proceedings of the International Peat Congress, Kuching, August 2016.
14
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
R E H A T
SITUS PURBAKALA DI LAHAN GAMBUT Bumi Indonesia memang sudah sejak lama terkenal oleh karena panorama pemandangan alamnya. Tetapi bukan itu saja, Indonesia pun dikenal sebagai tempat dari situs-situs bersejarah masa lalu. Bahkan situs-situs itu lalu ditemukan di tempat yang tak diduga. Ini terkait dengan cerita tentang lahan gambut yang ternyata tidak selalu identik dengan kebakaran hutan. Jarak setahun berselang di wilayah kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan, ditemukan sebuah situs purbakala. Tepatnya sebuah situs Sriwijaya di Desa Ulak Kendodong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Situs yang ditemukan warga di lokasi terbakarnya lahan gambut tersebut berada di Kanal 12. Lokasi ini masuk dalam konsesi sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Distrik Sungai Ketupak, yang berdasarkan informasi luasnya sekitar 41.067,56 hektar. Bekerja sama dengan Balai Arkeologi Sumatera Selatan, warga setempat
memandu para arkeolog menuju ke situs di Kanal 12. Di sana ditemukan kemudian sejumlah pecahan gerabah dan keramik kuno, fragmen-fragmen kaca impor, kepingan papan perahu kuno dan beberapa butir manik-manik kuno. Tiang-tiang kayu kuno bagian dari bangunan rumah panggung yang awet ribuan tahun dalam tanah rawa gambut. Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang telah mengidentifikasi umur tiang-tiang kayu di situs-situs lahan basah di Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) kawasan Air Sugihan Kiri (Kabupaten Banyuasin) dan Air Sugihan Kanan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Tiang-tiang kayu dibuat dari pohon meranti dan ulin. Berdasarkan analisis carbon dating (C14) tiang-tiang kayu di kawasan situs tersebut berasal dari awal Masehi, jauh sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 di Palembang. Namun arkeolog Nurhadi Rangkuti kemudian menegaskan bahwa, “Dari S U R V E I
Erlinda Ekaputri, Situs Purbakala di Lahan Gambut
sebaran penemuan benda purbakala di lahan konsensi yang terbakar ini, kami sangat yakin dulunya wilayah ini merupakan sebuah pemukiman kuno, dari masa Kerajaan Sriwijaya”. Nurhadi pun berkesimpulan pemukiman di lokasi ini cukup ramai di era Sriwijaya dan menjadi bagian penting dari Jalur Sutera Maritim. Bukti ramainya kehidupan pemukiman kuno ini, dapat dijumpai pula dari banyaknya tiang rumah panggung dari kayu nibung di lokasi situs, kemudian perahu, serta berbagai keramik dari Tiongkok di masa Dinasti Tang, seperti guci, mangkuk, manikmanik kaca, manik-manik batu, manik-manik kaca lapis, kemudian koin-koin Sriwijaya, pin perunggu bergambar burung, cincin emas, termasuk pula alat penumbuk dari kayu, serta batu pipisan (grinding stone) yang digunakan melumat bahan jamu atau obat-obatan. Bahkan ditemukan prasasti pendek berjangka tarikh masehi abad ke-7. S U R V E I
15
Bukan tidak mungkin ada banyak situs purbakala lainnya yang berada di lahan gambut di wilayah Sumatera. Apabila realitas bersejarah ini tidak diperhatikan boleh jadi situs purbakala lainnya akan ikut terbakar bersama lahan gambut. Itu sebabnya menjadi penting kemudian untuk melihat lahan gambut sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas, ekosistem kebudayaan. Mengapa? karena temuan situs purbakala di muka menunjukkan kedekatan masyarakat masa lalu dengan lahan gambut. Bukan tidak mungkin nantinya ditemukan lagi bukti-bukti yang menunjukkan kemampuan masyarakat masa lalu di dalam mengelola lahan gambut, tanpa harus membakar lahan. Keterikatan manusia dengan alam, dengan segala kearifan masyarakat lokalnya, pada akhirnya akan berbuah menjadi sesuatu yang bermanfaat secara berkelanjutan. Erlinda Ekaputri
16
D E N G A R
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
P E N D A P A T
Kebakaran Hutan dan Lahan Studi atas Dampak di Katingan-Kahayan Oleh Erlinda Ekaputri
Kalimantan Tengah mengalami perubahan ekologis dan sosial yang dramatis selama beberapa dasawarsa terakhir. Jutaan hektar kawasan telah dikeringkan dan diubah dari hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Khususnya di lanskap Katingan-Kahayan kawasan ini memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kebakaran tak terkendali, terutama jika curah hujan berada dibawah normal. Sejauh kebakaran ini berlangsung melanda wilayah Kalimantan dari tahun ke tahun belum terdapat sebuah upaya untuk melihat dampak sosial ekonomi dari kebakaran hutan. Melalui kombinasi metode survei kuantitatif dan diskusi kelompok kualitatif, artikel ini berusaha memetakan dampak ekonomi dan kesehatan dari masyarakat di wilayah tersebut. Kata Kunci: Kebakaran hutan dan lahan, titik panas, kabut asap
Pendahuluan
H
ampir setiap tahun semenjak tahun 1996 masyarakat Indonesia dihadapkan pada bencana kebakaran hutan dan lahan menjadi semakin meluas daripada tahun-tahun sebelumnya. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk mencegah bencana tersebut dan salah satunya adalah pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Dalam 5 tahun kedepan, BRG diberi mandat untuk memulihkan kerusakan lahan gambut seluas 2 juta hektar yang tersebar di 7 propinsi. Sehingga dapat mewujudkan komitmen Indonesia pada dunia Internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 26% melalui usaha sendiri dan 41% dengan
bantuan Internasional sampai tahun 2020. LESTARI1—yang merupakan kelanjutan dari proyek USAID IFACS— dirancang untuk membantu pemerintah Indonesia menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksi konservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (LEDS) di lahan lain yang sudah 1
Proyek LESTARI diimplementasikan oleh Tetra Tech bersama mitra konsorsium yang terdiri dari WWF-Indonesia, Winrock International, Wildlife Conservation Society (WCS), Blue Forests, Yayasan Sahabat Cipta, PT Hydro South Pole Carbon, Sustainable Travel International (STI), Michigan State University, dan FIELD Foundation. Proyek LESTARI berlangsung dari Agustus 2015 hingga Juli 2020. D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
terdegradasi. Proyek LESTARI yang berbasis lanskap diharapkan dapat dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci dan praktik sektor swasta dan industri yang ramah lingkungan. Lokasi Proyek LESTARI ini mengambil enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar yaitu di Sumatera di Lanskap Leuser yang mencakup Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sementara di Papua mencakup Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara dan Lanskap Lorentz Lowlands dan Taman Nasional Lorentz, serta Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua.
Kebakaran Hutan dan Lahan di Katingan-Kahayan Lanskap Katingan-Kahayan bertempat di Kalimantan Tengah, provinsi terluas ketiga di Indonesia. Provinsi ini dibagi menjadi tiga kawasan biofisika: hutan mangrove pantai dan lahan gambut yang didominasi oleh rawa-rawa di bagian selatan; dataran dan perbukitan rendah yang sebelumnya tertutup hutan hujan tropis namun sudah diubah menjadi lahan pertanian; serta kawasan bukit dan pegunungan tinggi yang secara D E N G A R
P E N D A P A T
17
umum masih tertutup hutan dan sulit dilalui. Untuk tujuan proyek LESTARI, implementasi program mengambil lokasi Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, dan Gunung Mas serta Kota Palangka Raya. Hampir 31% kawasan Lanskap KatinganKahayan ini tertutup oleh lahan gambut yang kaya akan kandungan karbon. Meskipun tanpa perubahan penutupan lahan, emisi dari lahan gambut yang dihitung dengan metodologi R AN/DGRK mencapai 62% (24,5 juta t.CO2eq) dari seluruh emisi berbasis lahan.2 Lahan gambut di Kalimantan Tengah pada dasarnya telah mengalami perubahan ekologis dan sosial yang dramatis selama beberapa dasawarsa terakhir. Jutaan hektar kawasan telah kering dan diubah dari hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Padahal kawasan semacam ini memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kebakaran yang sulit terkendali, terutama jika curah hujan berada dibawah normal. Di Lanskap Katingan-Kahayan dan wilayah lain di Indonesia, penggunaan api telah lama menjadi bagian terpadu dari praktik-praktik pertanian dan produksi pangan, yang memberikan kesuburan tanah sekaligus membantu pembukaan lahan untuk ditanami. Pembukaan lahan dengan cara membakar juga dilakukan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri kayu. Meskipun demikian, kebakaran yang meluas tanpa terkendali merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan penghidupan masya2
LESTARI Landscape Baseline Analysis (LBA), September 2015.
18
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
rakat serta bagi upaya-upaya konservasi di Indonesia. Selama berlangsungnya El Niño di Indonesia pada tahun 19971998, kebakaran hutan dan lahan gambut berskala besar menyebabkan kabut asap di berbagai wilayah, ribuan orang harus menjalani perawatan, dan kerugian ekonomi di tingkat nasional sebesar 5 sampai 10 milyar dollar AS.3 Pada bulan Juni sampai Oktober tahun 2015, yang juga tercatat sebagai tahun El Niño, lanskap ini kembali mengalami kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan masalah kabut asap. Tacconi4 mencatat bahwa, dalam tahuntahun El Niño, lahan gambut yang terdegradasi bisa jadi merupakan faktor risiko paling signifikan sebagai penghasil kabut asap. Hal ini kemudian berdampak merugikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, melumpuhkan perekonomian daerah, serta menghancurkan kawasan hutan serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, sekaligus memperparah perubahan iklim dalam skala global. Khususnya, di provinsi Kalimantan Tengah, Bank Indonesia mengemukakan gambaran dampak perekonomian dari bencana tersebut pada bulan September 2015: • Dari total kawasan yang mengalami kebakaran seluas 10.015 hektar, 3,21% atau 321,55 hektar diperkira3
4
Early Warning and Response to Peatland Fires in Central Kalimantan, Erica Allis, International Research Institute for Climate and Society, Columbia University, USA. Fires in Indonesia: Causes, Costs and Policy Implications, Luca Tacconi, Occasional Paper No. 38, CIFOR, 2003.
•
•
•
•
•
kan merupakan perkebunan karet dan 2,23% atau 223,52 hektar diperkirakan merupakan perkebunan kelapa sawit. Kerugian ekonomi yang diderita oleh petani kecil dan perusahaan perkebunan mencapai 680.000 dollar AS (9,3 milyar rupiah). Tingkat hunian hotel turun sebesar 10-15%, menyebabkan hilangnya pendapatan hingga 152.000 dollar AS (2,07 milyar rupiah). Pada bulan September 2015, jumlah penerbangan dari dan ke Kalimantan Tengah menurun hingga 43,68% atau 358 penerbangan. Kerugian total bagi industri ini mencapai 50%. BI memperkirakan bahwa polusi kabut asap selama bulan September 2015 menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi tahunan bagi Provinsi Kalimantan Tengah sampai sebesar 0,04 – 0,10%. Dampak lain mencakup 21.905 orang menderita infeksi saluran pernafasan, 8.165 orang menderita diare, dan ditutupnya sekolah-sekolah selama satu setengah bulan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan serta polusi kabut asap di Kalimantan Tengah yang terus berulang mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Meskipun telah ada beberapa publikasi mengenai kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sepanjang tahun 2015, termasuk laporan yang barubaru ini diterbitkan oleh BI untuk Provinsi Kalimantan Tengah, proyek LESTARI masih menganggap penting untuk melakukan studi tambahan D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
•
•
•
karena beberapa alasan berikut: Laporan BI mengenai dampak kebakaran dan kabut asap terbatas pada data dan informasi yang dikumpulkan selama bulan September 2015. Sementara itu, kejadian kebakaran dan kabut asap memburuk selama bulan Oktober 2015. Informasi umum yang dikumpulkan sebelum pelaksanaan studi lapangan mengindikasikan dampak yang lebih besar dari apa yang sebelumnya dilaporkan. Meskipun banyak penelitian yang dipublikasikan mengungkapkan dampak di level makro (nasional, provinsi), belum ada penelitian yang dilakukan untuk memahami dampak negatif di level mikro (pedesaan, rumah tangga). Analisis Data Dasar Lanskap (Landscape Baseline Analysis atau LBA) mendapati bahwa emisi yang diproyeksikan untuk Lanskap KatinganKahayan mencapai 58% dari semua nilai baseline emisi di seluruh lanskap LESTARI. Hal ini berdampak signifikan bagi desain LESTARI di lanskap KatinganKahayan, karena upaya maksimal harus ditempatkan di wilayah dengan proyeksi emisi tertinggi. Dengan demikian, pengelolaan lahan gambut menjadi kunci dan harus mencakup seluruh aspek. Perbaikan pengelolaan lahan gambut melibatkan advokasi kebijakan sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan transformatif yang berkelanjutan. Oleh karena itu, mengumpulkan berbagai bukti tentang dampak kebakaran hutan dan lahan
D E N G A R
P E N D A P A T
19
di lanskap ini menjadi sangat penting agar proyek mampu berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan dengan cara yang konstruktif dan meyakinkan. Tujuan utama studi ini adalah memperkirakan besaran dampak kebakaran hutan dan lahan di Lanskap KatinganKahayan, baik di tingkat lanskap maupun desa/rumah tangga. Meskipun telah dipahami bahwa kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak luas terhadap emisi GRK, keanekaragaman hayati, kesehatan, dan perekonomian, studi ini berfokus pada dampak terhadap penghidupan dari perspektif rumah tangga. Namun demikian, laporan ini juga menyajikan data dan informasi yang terkait dengan dampak kesehatan dan dampak-dampak lain (misalnya, pendidikan, kecelakaan lalulintas, pembatalan penerbangan, dan lain sebagainya) yang diperoleh dari pengumpulan data primer dan sekunder.
Metodologi Metodologi yang digunakan dalam studi ini melibatkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kombinasi pendekatan seperti ini biasanya lebih disukai daripada metode tunggal mengingat kekayaan analisis yang dapat dihasilkan atas suatu fenomena yang diteliti. Untuk itu, studi ini didekati dengan: 1) Survei Kuantitatif dan 2) Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion). Masing-masing pendekatan dijelaskan di bawah ini.
20
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Glover dan Jessup5 mengklasifikasikan dampak kebakaran hutan dan lahan menjadi dua kategori: 1) Kerusakan yang terkait langsung dengan kebakaran (misalnya kehilangan kayu, kerusakan produk pertanian, biaya pemadaman, emisi karbon, kehilangan keanekaragaman hayati, kehilangan manfaat langsung dari hutan, kehilangan berbagai manfaat tidak langsung dari hutan) dan 2) Kerusakan yang terkait dengan kabut asap (misalnya kesehatan, pariwisata, transportasi, kerugian industri, penurunan hasil perikanan). Mengingat beberapa keterbatasan seperti waktu, sumber daya, dan keahlian, maka studi ini membatasi ruang lingkupnya pada dampak terhadap penghidupan yang dilihat dari sudut pandang rumah tangga (level mikro). Tim peneliti mengembangkan hipotesis bahwa rumah tangga menderita kerugian jauh lebih besar akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan jika dibandingkan dengan informasi yang telah dipublikasikan. Asumsi ini didasarkan pada informasi yang didapatkan oleh staf lapangan LESTARI di Kalimantan Tengah dari para petani karet di Desa Buntoi (Kabupaten Pulang Pisau), yang melaporkan bahwa 90% perkebunan karet mereka telah terbakar pada saat kejadian kebakaran baru-baru ini. Meskipun berfokus pada dampak kebakaran hutan dan lahan di tingkat rumah tangga atau desa, studi ini juga mengumpulkan informasi dan data 5
Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, D Glover and T Jessup, Institute of Southeast Asian Studies, International Development Research Centre, Singapore.
sekunder dari kabupaten dan provinsi untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas mengenai dampak yang terjadi. Berbagai lembaga yang relevan telah dikunjungi. Data yang dikumpulkan di antaranya mencakup informasi tentang kesehatan, pembatalan penerbangan, total lahan terbakar, kecelakaan lalu-lintas, harga pasar untuk kebutuhan pangan, dan produksi karet.
Survei Rumah Tangga Studi dampak kebakaran hutan dan lahan ini dilakukan di dua kabupaten dan satu kota di Lanskap Katingan-Kahayan, terdiri dari Kabupaten Pulang Pisau, Katingan, dan Kota Palangka Raya. Perlu dicatat bahwa unit analisis yang digunakan untuk studi ini adalah lanskap. Dengan demikian interpretasi dampak di tingkat provinsi harus dilakukan dengan hati-hati mengingat sampel kabupaten/ kota tidak dipilih untuk mewakili (secara statistik) Provinsi Kalimantan Tengah Beberapa langkah diambil untuk mendapatkan sampel rumah tangga bagi keperluan studi. Pertama, ukuran sampel ditentukan menggunakan data kependudukan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2013, total populasi di kabupaten/kota sasaran adalah 522.900 orang. Besarnya sampel kemudian dihitung dengan mengacu pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan (margin of error) 5%. Kalkulasi ini menghasilkan jumlah sampel sebanyak 390 responden. Pemilihan Desa: Langkah kedua adalah memilih desa sasaran. Mengingat D E N G A R
P E N D A P A T
Gambar 1: Distribusi Titik Panas Di Desa-desa Target Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
D E N G A R
P E N D A P A T
21
22
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 2: Clustering Berdasarkan Jumlah Titik Panas
3. Hasil
Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah dengan jumlah titik panas sedang Wilayah dengan jumlah titik panas tinggi/pusat kebakaran
Tidak ada titik panas yang teridentifikasi di wilayah hijau, namun wilayah ini terdampak kebakaran hutan dan lahan
perbedaaan tingkat kejadian kebakaran di tiga kabupaten/kota, tim peneliti memutuskan untuk membentuk cluster yang didasarkan pada peta titik panas.6 Diidentifikasi terdapat 157 desa dengan titik panas di tiga kabupaten/kota, atau lebih dari 50% dari total 290 desa yang terdapat di ketiga wilayah tersebut. Analisis K-Means Cluster7 kemudian digunakan untuk membagi semua desa kedalam tiga cluster: 1) Merah–desa dengan jumlah titik panas tinggi; 2) Kuning–desa dengan jumlahtitik panas sedang; dan 3) Hijau– desa yang tidak memiliki titik panas, namun wilayahnya 6
7
terdampak oleh kebakaran hutan dan lahan. Gambar 2 menunjukkan pembagian wilayah tersebut.
Data titik panas diperoleh dari MODIS dan menunjukkan jumlah titik panas sampai bulan Oktober 2015 Analisis cluster atau clustering adalah pengelompokkan sekumpulan obyek sehingga obyekobyek yang berada dalam kelompok yang sama (disebut cluster) memiliki banyak kemiripan (dalam satu atau lain hal) dibandingkan dengan obyek- obyek dalam kelompok (cluster) lain.
Hasil survei kuantitatif dan diskusi kelompok kualitatif dipaparkan dalam urut-urutan pembahasan. Pertama-tama, pembahasan atas temuan mengenai dampak ekonomi. Hal ini kemudian diikuti dengan analisis mengenai dampak terhadap kesehatan dan indikatorindikator lain. Terakhir, disajikan satu bagian mengenai penyebab kebakaran dan upaya-upaya penanggulangannya.
3.1. Dampak Ekonomi Total Lahan yang Terbakar Masyarakat setempat melaporkan bahwa kejadian kebakaran dan kabut asap pada tahun 2015 adalah yang terburuk dibandingkan dengan kejadian serupa pada tahun-tahun sebelumnya. Laporan masyarakat ini sesuai dengan hasil analisis terhadap data titik panas yang dihasilkan melalui studi ini. Temuan-temuan tersebut menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah titik panas pada tahun 2015 dibandingkan dengan data yang berhasil diidentifikasi pada tahun 2012-2014. Gambar 3 menunjukkan situasi tersebut Meskipun kejadian kebakaran tersebut luar biasa, tidak mudah untuk mengetahui angka pasti dari total luas wilayah yang mengalami kebakaran. Berbagai kantor pemerintah melaporkan angka yang berbeda-beda. Contohnya, pemerintah provinsi melaporkan bahwa total luas kawasan perkebunan karet D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 3: Jumlah Titik Panas Pada Tahun 2012-2015
D E N G A R
P E N D A P A T
23
24
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Tabel 1: Total Lahan Terbakar Di Kabupaten Pulang Pisau
yang mengalami kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau selama kejadian kebakaran baru-baru ini adalah seluas 428,40 hektar. Namun dinas pertanian di Pulang Pisau melaporkan bahwa luas perkebunan karet rakyat yang mengalami kebakaran pada tahun 2015 adalah 4.364 hektar. Laporan BI yang menggunakan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), menyatakan bahwa total luas wilayah yang mengalami kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah adalah 10.015 hektar, dengan 3,21% merupakan areal perkebunan karet dan 2,23% areal perkebunan kelapa sawit. Namun, informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pulang Pisau menunjukkan bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran di kabupaten ini adalah 15.326 hektar (Tabel 1). Memang, studi ini tidak ditujukan untuk mengkalkulasi berapa angka pasti
total lahan terbakar di kabupaten/kota, melainkan pada sejauh mana kejadian kebakaran hutan dan lahan berdampak terhadap penghidupan di tingkat rumah tangga. Tetapi, kurangnya data spasial yang berkualitas nantinya dapat membatasi efektivitas dari suatu intervensi kebijakan dan program-program penanggulangan kebakaran. Karenanya, diperlukan adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi pemerintah demi kepastian penggunaan metode pengumpulan data yang terstandarisasi dan berkualitas tinggi, serta hanya data konsisten yang digunakan dan disebarluaskan. Data kualitatif dari Desa Gohong di Kabupaten Pulang Pisau mengungkap fakta tentang kebakaran perkebunan karet rakyat seluas 243 hektar yang terjadi baru-baru ini. Kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 250.000 dollar AS (3,4 milyar rupiah). Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) di Gohong juga melaporkan bahwa 30% dari 3.155 D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 4: Total Lahan Terbakar di 3 Kabupaten/Kota
hektar Hutan Desa di daerah mereka terbakar. Karenanya diperlukan analisis lebih lanjut untuk memperkirakan luas wilayah yang mengalami kebakaran. Dari data burnscar yang disediakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terungkap bahwa total luas kawasan terbakar di Lanskap KatinganKahayan adalah 304.113 hektar. Angka tersebut jauh lebih besar daripada informasi yang dipublikasikan. Dari angka tersebut, seluas 290.666 hektar terbagi di 3 kabupaten/kota wilayah studi. Kondisi ini ditunjukkan dalam Gambar 4. Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa total luas lahan terbakar di Blok C (bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar) mencapai 157.311 hektar. Data di muka kian diperkuat dengan laporan dari masyarakat yang tinggal di desa-desa berkategori merah yang menyatakan bahwa sekitar 80 sampai D E N G A R
P E N D A P A T
25
95% lahan mereka terbakar. Lepas dari perbedaan perkiraan luas lahan yang mengalami kebakaran, ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan memang menimbulkan kerusakan parah. Lalu bagaimana situasi ini mempengaruhi rumah tangga di lokasi penelitian? Tentunya diperlukan pemahaman akan situasi rumah tangga sebelum dan sesudah kejadian kebakaran dan kabut asap.
Situasi Rumah Tangga Kondisi kesejahteraan rumah tangga pada masa sebelum terjadi kebakaran dapat dipahami dengan pendekatan garis kemiskinan. Ini mencakup penghitungan pengeluaran bulanan rata-rata per kapita. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan resmi yang dirilis oleh BPS Kalimantan Tengah. Pada bulan September 2015, garis kemiskinan untuk provinsi ini ditetapkan sebesar 26,59 dollar AS (362.729 rupiah) per kapita per bulan (http://kalteng. bps.go.id/Brs/view/id/529). Namun dari studi ini terungkap bahwa dalam situasi normal (tanpa insiden kebakaran), mereka yang tinggal di wilayah berkategori hijau memiliki kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tinggal di wilayah berkategori merah dan kuning. Ini tampak dalam Tabel 2 Rasio Ketergantungan: Selain itu, pemahaman tentang situasi rumah tangga
26
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
diasumsikan lebih rentan terhadap bencana. Dalam berbagai publikasi internasional, penduduk usia non produktif biasanya mencakup mereka yang berusia dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun. Sementara usia produktif mencakup penduduk berusia 15 sampai 64 tahun. Tabel 3 menunjukkan rasio Tabel 3: Rasio Ketergantungan Di Tiap Cluster ketergantungan untuk masing-masing cluster. Rata-rata, satu rumah tangga di lokasi penelitian memiliki empat anggota rumah tangga. Seiring dengan kenaikan rasio ketergantungan, beban ekonomi yang harus ditanggung oleh populasi usia produktif juga Tabel 4: Persentase Murid Vs Penduduk Bekerja meningkat. Data di atas menunjukkan bahwa wilayah berkategori merah memiliki rasio ketergantungan paling tinggi. Lebih jauh lagi, jika dibandingkan dengan cluster lainnya, wilayah berkategori merah juga didekati dengan melihat rasio memiliki persentase siswa tertinggi ketergantungan di wilayah terkait. Rasio dan persentase angkatan kerja ketergantungan adalah suatu angka yang terendah (Tabel 4). Kesimpulannya, menunjukkanbesar beban tanggungan penduduk yang tinggal di wilayah kelompok usia produktif atas penduduk kategori merah lebih rentan daripada usia non produktif. Dalam studi ini, mereka yang tinggal di wilayah lainnya. analisis dilakukan untuk mengidentifikasi Kerentanan ini meningkat seiring wilayah-wilayah yang memiliki rasio dengan dampak kebakaran hutan dan ketergantungan tinggi, dan karenanya lahan yang semakin parah. Tabel 2: Kesejahteraan Rumah Tangga di Lokasi Penelitian
D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 5: Estimasi Kerugian Kebun Karet Di Tiap Wilayah (dalam rupiah)
Dampak Terhadap Penghidupan Dari hasil wawancara terhadap 390 rumah tangga, —yang mencakup 40% rumah tangga di wilayah berkategori merah, 30% di wilayah berkategori kuning, dan 30% di wilayah berkategori hijau— Lebih dari dua pertiga responden memiliki lahan pertanian atau perkebunan. Luas kepemilikan lahan beragam, namun sebagian besar rumah tangga di wilayah berkategori merah dan kuning memiliki lebih dari lima hektar lahan pertanian atau perkebunan. Komoditas utama yang ditanam oleh para petani ini adalah karet (51%), padi (29%), dan kelapa sawit (13%). Perkebunan karet mendominasi wilayah berkategori merah dan kuning. Meski padi adalah komoditas utama bagi rumah tangga di wilayah berkategori hijau, beberapa di antara mereka juga menanam karet untuk sumber penghidupan. D E N G A R
P E N D A P A T
27
Dari total 303 hektar perkebunan karet rakyat yang dimiliki oleh rumah tangga sampel, dilaporkan bahwa 77% atau 143 hektar di antaranya mengalami kebakaran –75 hektar di wilayah berkategori merah, 42 hektar di wilayah berkategori kuning, dan 27 hektar di wilayah berkategori hijau. Seluruh area yang terbakar dilaporkan memiliki pohon karet produktif. Dari olahan data nilai usaha tani, biaya produksi, dan pendapatan bersih, maka potensi kerugian diperkirakan sebesar 60.243 dollar AS (821,65 juta rupiah) atau 220 sampai 550 dollar AS (3 sampai 7,5 juta rupiah) per hektar. Gambar 5 menunjukkan estimasi kerugian kebun karet di masing-masing wilayah. Selain kerugian yang diderita petani kecil, GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia) juga melaporkan penurunan produktivitas sampai 30%. Selain itu, masyarakat di wilayah berkategori merah di Katingan melaporkan bahwa 75% kebun rotan juga terbakar. Komoditas lain yang terbakar meliputi sengon (Albaziafalcataria), petai (Parkiaspeciosa), rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kelapa sawit. Temuan lain menunjukkan bahwa dampak kebakaran tidak hanya diderita
28
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 6: Penurunan Produksi Di Lahan Yang Tidak Terbakar
Gambar 7: Persentase Rumah Tangga Yang Melaporkan Penurunan Pendapatan
oleh mereka yang lahan perkebunan karet ataupun lahan pertaniannya mengalami kebakaran. Para petani kecil yang lahannya tidak terbakar turut melaporkan adanya penurunan produktivitas yang signifikan. Rata-rata, penurunan produksi di lahan yang tidak terbakar mencapai 40%. Meskipun demikian, kebakaran bukanlah satusatunya penyebab situasi ini. Musim kemarau yang berkepanjangan dianggap sebagai penyebab utama rendahnya produktivitas tersebut. Hal ini diperburuk oleh terganggunya proses fotosintesis tumbuhan yang disebabkan oleh kabut asap dan berkurangnya jam kerja karena jarak pandang yang rendah. Gambar 6 menunjukkan persentase penurunan produksi di masing-masing wilayah. Diskusi kelompok yang dilakukan di sejumlah desa juga mengungkapkan dampak-dampak kebakaran lain terhadap penghidupan, seperti penurunan hasil tangkapan ikan, penurunan produksi
sarang burung walet sebesar 25%, serta tingginya tingkat kematian unggas. Pendapatan Menurun, Pengeluaran Meningkat: Tidak ada wilayah yang bebas dari dampak, baik akibat terbakar secara langsung, kabut asap, maupun akibat masalah-masalah lain yang ditimbulkan oleh kebakaran. Meskipun titik panas diidentifikasi di wilayah berkategori merah dan kuning dimana lahan pertanian dan perkebunan mendominasi, dampak kebakaran dan kabut asap terhadap pendapatan rumah tangga tersebar hampir merata di seluruh wilayah. Sebagai contoh, 73,5% rumah tangga di wilayah berkategori hijau—dimana titik panas tidak teridentifikasi—melaporkan bahwa pendapatan mereka mengalami penurunan. Secara rata-rata, lebih dari 75% responden yang diwawancarai sepakat bahwa kejadian kebakaran dan kabut asap memengaruhi pendapatan rumah tangga mereka. Gambar 7 menunjukkan bahwa ada lebih D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
29
Tabel 5: Penurunan Pendapatan vs Garis Kemiskinan
Gambar 8: Kenaikan Pengeluaran Rumah Tangga untuk Kesehatan
banyak rumah tangga di wilayah berkategori kuning yang melaporkan penurunan pendapatan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di wilayah lain. Situasi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa 100% dari mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan di wilayah berkategori kuning mengalami penurunan pendapatan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5. Temuan awal ini tidak berarti bahwa rumah tangga yang hidup diatas garis D E N G A R
P E N D A P A T
kemiskinan memiliki situasi yang lebih baik. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan bulanan rata-rata mulai dari 73 sampai 147 dollar AS (1 sampai 2 juta rupiah), baik di wilayah berkategori merah maupun kuning, mengalami penurunan pendapatan lebih dari 75%. Dengan kata lain, rumah tangga tersebut berpotensi jatuh dibawah garis kemiskinan. Dengan rasio ketergantungan yang tinggi di kedua wilayah, penurunan pendapatan
30
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 9: Indeks Pencemaran Udara
ini sangat mengkhawatirkan. Melalui diskusi kelompok, tim peneliti mempelajari bahwa orang akan melakukan apapun agar dapat bertahan hidup, termasuk menjual perabotan rumah tangga mereka. Meskipun rata-rata penurunan pendapatan di seluruh wilayah mencapai kurang dari 50%, situasi ini tidak boleh diabaikan karena mungkin butuh berbulan-bulan sampai bertahun-tahun agar rumah tangga kembali berada dalam kondisi stabil. Lebih lanjut, studi ini mendapati bahwa persentase penurunan pendapatan yang lebih tinggi dialami oleh rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian/perkebunan.
Seiring dengan penurunan pendapatan, rumah tangga dibebani pula dengan kenaikan pengeluaran. Ini terjadi tidak hanya karena kenaikan hargaharga barang di pasar yang disebabkan oleh terganggunya distribusi barang dan jasa, namun juga karena rumah tangga harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk kesehatan. Menurut data survei, rumah tangga mencatat pengeluaran lebih tinggi untuk keperluan kesehatan, makanan, dan air selama kejadian kebakaran dan kabut asap. Pengeluaran yang berkaitan dengan kesehatan rata-rata mengalami peningkatan sebesar 206,59% di seluruh wilayah, atau tiga kali lebih besar dibandingkan pengeluaran dalam situasi normal. Kenaikan pengeluaran untuk kesehatan hingga lebih dari 300% dialami oleh rumah tangga yang berada di wilayah berkategori kuning, yakni mereka yang mengalami penurunan pendapatan paling besar.
3.2.Dampak Kesehatan Dampak kesehatan dari polusi udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan telah ditelaah melalui sejumlah penelitian di seluruh dunia, baik secara langsung saat kejadian maupun dengan jeda waktu untuk menilai dimensi waktunya. Kabut asap terdiri dari zat partikulat yang dapat dilihat, baik yang padat (PM10) maupun yang halus (PM2.5), jenis partikulat D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
31
Gambar 10: Jumlah Kasus Infeksi Saluran Pernafasan
terakhir ini dapat diserap dengan mudah oleh tubuh manusia, masuk ke dalam paru-paru dan sistem pernafasan. Gas-gas utama yang dihasilkan selama proses terbakarnya biomassa meliputi karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), metana (CH4), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), dan amoniak (NH3). Dampak langsung bagi kesehatan dari gas-gas beracun ini kemungkinan rendah karena konsentrasinya tersebar di udara terbuka. Meskipun demikian, dampak bagi kesehatan dalam jangka panjang karena terpapar karsinogen dari asap yang disebabkan karena kebakaran dapat sangat mengkhawatirkan. WHO memD E N G A R
P E N D A P A T
perkirakan bahwa 3,1 juta kematian di luar ruangan terkait polusi udara di seluruh dunia setiap tahunnya disebabkan karena penyakit jantung iskemik dan stroke (80), penyakit paru obstruktif kronik dan infeksi saluran pernafasan akut (14%), serta kanker paru (6%). Dari jumlah ini, 340.000 di antaranya disebabkan oleh asap kebakaran hutan dan lahan. Lebih lanjut, PM10 dari kebakaran hutan tampaknya memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap kesehatan dibandingkan dengan PM10 di perkotaan. Sebuah penelitian selama 8 tahun yang menelaah tingkat polusi udara, termasuk dari kebakaran semak, dan tingkat hunian rumah sakit menunjukkan
32
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 11: Jumlah Kasus Diare
bahwa kenaikan PM10 sebesar 10 µg/m3 karena kebakaran di hutan (bukan di kawasan perkotaan) berhubungan erat dengan peningkatan signifikan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit yang berkaitan dengan pernafasan. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia telah menyatakan nilai di atas 350 PM berbahaya. Pada tanggal 16 Oktober 2015, nilai PM10 di Kota Palangka Raya tercatat sebesar 1,759 µg/m3. Nilai ini meningkat signifikan hingga 3,700 µg/m3 pada akhir bulan Oktober 2015. Kabut asap begitu tebalnya hingga udara berubah menguning, dan tingkat polusi mencapai 10 kali batas minimal yang dianggap “berbahaya.” Statistik resmi menunjukkan bahwa sejak bulan Juli sampai November
2015, ditemukan 67.582 kasus infeksi pernafasan akut yang tercatat di Kalimantan Tengah. Dari jumlah ini 21.296 kasus tercatat di Lanskap Katingan-Kahayan (Katingan, Pulang Pisau dan Palangka Raya). Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah kasus mengalami peningkatan signifikan pada minggu ke-42 bulan Oktober 2015, terutama di Palangka Raya. Selama diskusi kelompok, masyarakat melaporkan bahwa kaum lanjut usia dan anak-anak lebih rentan terhadap paparan kabut asap. Satu kasus kematian karena infeksi saluran pernafasan juga dilaporkan dalam salah satu diskusi. Kebanyakan orang menyatakan bahwa mereka tidak suka menggunakan masker karena merasa tidak nyaman atau iritasi. Lebih lanjut, data survei rumah tangga menunjukkan D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
33
Gambar 12: Jumlah Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
bahwa kasus infeksi saluran pernafasan tertinggi didapati di wilayah berkategori hijau, dimana rata-rata orang mengalami hari sakit selama 117 hari. Selain infeksi saluran pernafasan, studi ini juga mendapati peningkatan jumlah kasus diare dalam periode yang sama dari bulan Juli-November 2015. Statistik resmi mencatat ada 22.206 kasus diare di Provinsi Kalimantan Tengah. Dari jumlah tersebut, 4.377 kasus ditemukan terutama di Lanskap Katingan-Kahayan, terdiri dari 1.843 kasus di Katingan, 1.287 kasus di Pulang Pisau, dan 1.247 kasus di Palangka Raya. Diasumsikan bahwa kabut asap menyebabkan penurunan kualitas air. Sebagaimana halnya dengan infeksi saluran pernafasan, data survei juga mengungkapkan bahwa kasus diare didapati lebih tinggi di wilayah berkategori hijau. Rata-rata orang mengalami hari sakit karena diare selama 6 hari. Gambar 11 menunjukkan data kasus diare di lokasi studi per kabupaten/ kota. D E N G A R
P E N D A P A T
Secara khusus, keterpaparan terhadap kebakaran hutan memiliki implikasi lebih serius terhadap kesehatan bayi dan anak-anak karena secara fisiologis mereka masih berkembang. Implikasi ini berpotensi memengaruhi masa dewasa mereka. Lebih lanjut, banyak orang juga melaporkan kasus iritasi mata, tenggorokan, dan kulit. Data survei menunjukkan bahwa jumlah kasus tertinggi untuk gangguan kesehatan ini didapati di wilayah berkategori merah. Peningkatan kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penurunan jarak pandang juga dicatat. Sayangnya, tim peneliti hanya dapat mengumpulkan data dari kantor kepolisian daerah di Palangka Raya. Dari bulan Agustus sampai Oktober 2015, kecelakaan lalu lintas menimbulkan 59 korban lukaluka dan 8 kematian. Kantor kepolisian di Palangka Raya memperkirakan potensi kerugian sebesar 7.504,20 dollar AS (102,35 juta rupiah).
34
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 13: Status Penerbangan
3.3. Dampak Lain Aktivitas Belajar Mengajar Aktivitas sekolah di seluruh wilayah survei sangat terpengaruh oleh kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan. Sekolah-sekolah ditutup sampai hampir dua bulan. Saat dibuka kembali, jam belajar diperpanjang untuk mengganti waktu
yang hilang. Situasi ini sangat mengganggu siswa, bukan hanya karena terpapar polusi tetapi juga karena kelelahan fisik akibat jam belajar yang lebih lama. Dampak terhadap Industri Penerbangan Industri penerbangan diketahui sangat terpengaruh dengan rendahnya D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
35
Gambar 14: Penyebab Kebakaran
jarak pandang yang disebabkan oleh kabut asap di Kalimantan Tengah. Tim peneliti mengumpulkan data dari otoritas Bandar Udara Tjilik Riwut di Palangka Raya. Data tersebut menunjukkan bahwa dari bulan Agustus sampai Oktober 2015, hanya 279 dari 1.698 penerbangan yang beroperasi tepat waktu. Situasi ini menyebabkan hilangnya pemasukan sebesar 42% bagi otoritas bandara. Gambar 13 menunjukkan status penerbangan yang dioperasikan oleh Bandara Tjilik Riwut dari bulan Agustus sampai Oktober 2015.
3.4.Penyebab dan Penanggulangan Kebakaran Memahami sikap dan perspektif masyarakat terhadap kebakaran hutan dan lahan di lanskap mereka merupakan dasar untuk merancang dan melaksanakan suatu strategi penanggulangan kebakaran yang efektif dan berkelanjutan. Melalui pemahaman D E N G A R
P E N D A P A T
itu dimungkinkan adanya pengembangan strategi kampanye guna memobilisasi masyarakat dan memastikan keterlibatan mereka. Ada tiga pertanyaan kunci yang diajukan kepada masyarakat terkait penyebab kebakaran dan upaya-upaya penanggulangannya. Pertama, para responden diminta memilih semua faktor yang berperan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. 70% dari responden survei dengan tepat menyatakan kondisi kekeringan, yang disebabkan oleh fenomena cuaca El Niño. Perlu dicatat bahwa hanya 35% responden yang memilih pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai penyebab utama kebakaran. Ini tampak pada Gambar 14. Kedua, responden survei diminta untuk menyusun daftar semua pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas kejadian kebakaran lahan dan hutan. Hasilnya tampak pada Gambar 15.
36
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 15: Pihak-pihak yang Bertanggung Jawab
Sebagian besar responden menuding masyarakat (88%) dan pemerintah daerah (74%) sebagai pihak paling bertanggung jawab. Kurang dari setengah responden yang disurvei (48%) menganggap perusahaan swasta sebagai pihak yang bertanggung jawab. Terakhir, responden survei diminta mengusulkan teknik penanggulangan kebakaran yang paling efektif. Jawaban paling umum adalah melalui kegiatan sosialisasi yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran di antara para pemangku kepentingan utama. Hasil-hasil survei ini memiliki implikasi penting bagi pendekatan IFM LESTARI di Lanskap Katingan-Kahayan. Masyarakat umumnya sadar bahwa kondisi kekeringan memperburuk kebakaran, dan bahwa institusi pemerintah gagal mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang efektif. Meski demikian, masyarakat juga harus menyadari bahwa
perusahaan-perusahaan swasta telah melakukan praktek-praktek konversi lahan yang tidak berkelanjutan, yang berkontribusi secara signifikan terhadap kejadian kebakaran dan krisis kabut asap. Maka dari itu, LESTARI dapat membantu memfasilitasi pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pendekatan “pembagian beban” dalam melaksanakan IFM, mengingat masing-masing pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah, sektor swasta) memiliki peranan dan tanggung jawab dalam mengelola dan menanggulangi kebakaran. Sebagaimana dinyatakan oleh masyarakat yang disurvei bahwa sosialisasi merupakan upaya penanggulangan yang utama, hal ini mencerminkan keterbukaan mereka akan dialog dan dapat menjadi titik masuk utama bagi pekerjaan IFM LESTARI. Dengan memberdayakan masyarakat lewat pengetahuan, LESTARI dapat membantu membangun konsensus dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dengan para pemangku kepentingan lainnya untuk mendukung penanggulangan kebakaran dan praktikpraktik pencegahan yang efektif.
4. Kesimpulan Hasil Studi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan ini menunjukkan bahwa dampak kebakaran dan krisis kabut asap sangat merugikan bagi penghidupan, kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan rumah tangga di Lanskap LESTARI Katingan-Kahayan di Kalimantan Tengah. Lebih lanjut, hasil-hasil ini mendukung hipotesis tim peneliti bahwa kerugian yang diderita rumah D E N G A R
P E N D A P A T
Erlinda Ekaputri, Kebakaran Hutan dan Lahan
37
Gambar 16: Upaya Penanggulangan Yang Diusulkan oleh Masyarakat
tangga akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan lebih besar daripada informasi yang dimuat dalam berbagai bahan publikasi. Penyebab utama dari kebakaran hutan yang merusak ini bukan rahasia lagi. Pembukaan dan pembakaran lahan secara tidak berkelanjutan oleh para petani kecil maupun perusahaan kelapa sawit berskala besar, pengeringan lahan gambut, serta kurangnya kemampuan pemerintah dalam merespon dan mencegah terjadinya kebakaran, sedikit banyak turut bertanggung jawab. Hal ini menekankan bahwa diperlukan adanya respon berskala luas yang menyatukan semua pemangku kepentingan dan memahami kompleksitas dan keberagaman sifat kebakaran. Untuk menjawab tantangan tersebut dan menanggulangi dampak lebih lanjut terhadap kesejahteraan masyarakat, pendekatan IFM menjadi penting. IFM LESTARI terdiri dari empat pilar: Pencegahan, Kesiapsiagaan, Respon, D E N G A R
P E N D A P A T
dan Pemulihan. Pencegahan adalah pilar terpenting, karena ini melibatkan terbangunnya basis dukungan luas dari masyarakat melalui peningkatan kesadaran, pendidikan dan pelatihan, serta pelibatan pemangku kepentingan. Kebanyakan di antara para responden survei dalam studi ini menyarankan dilakukannya kegiatan sosialisasi sebagai salah satu cara penanggulangan kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa titik masuk utama bagi LESTARI adalah menyatukan para pemangku kepentingan, berbagi pengetahuan berbasis bukti, dan memupuk kerja sama dengan cara yang mendukung pendekatan “berbagi beban” bagi IFM. Forum Multi Pihak LESTARI, di tingkat provinsi maupun kabupaten, dapat menyajikan suatu platform ideal melalui dialog terbuka yang membahas masalah kebakaran guna memperoleh komitmen dari para pemangku kepentingan terhadap pemanfaatan lahan secara berkelanjutan.
38
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Secara keseluruhan, studi ini akan digunakan sebagai alat pelibatan yang memberikan bukti-bukti mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan dan memungkinkan proyek LESTARI untuk berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan utama dengan cara yang
konstruktif dan meyakinkan. Studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kerja-kerja advokasi kebijakan LESTARI dimana tujuan akhirnya adalah peningkatan penghidupan masyarakat serta merealisasikan perubahan yang transformatif dan berkelanjutan•
D E N G A R
P E N D A P A T
D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
39
RAWA SINGKIL SUAKA LAHAN GAMBUT PENJAGA EKOSISTEM Oleh Matthew Linkie, Muhamad Muslich, Matthew Leggett dan Willy Marthy
Kawasan hutan rawa gambut Singkil adalah salah satu dari tiga hutan di Aceh yang mengalami degradasi dan konversi lahan berskala luas dan cepat melalui perluasan kebun Kelapa sawit dan eksploitasi oleh para pembalak liar (Singkil dan Kluet). Peningkatan risiko kebakaran berskala luas di sebagian besar kawasan barat dari Ekosistem Leuser telah menyebabkan kerusakan hutan rawa gambut yang kaya karbon Artikel ini berusaha membuat satu model komprehensif untuk melihat valuasi ekonomi dari jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan. Terdapat dua skenario yang dievaluasi: i) Skenario konservasi – dimana seluruh aktivitas ekstraktif dihentikan dan jasa ekosistem hutan dipelihara; dan, ii) Skenario deforestasi –dimana seluruh aktivitas berlangsung seperti biasa (business-asusual) dengan laju deforestasi 1,3% per tahun yang menghasilkan perluasan lahan pertanian tetapi diiringi penurunan hasil pertanian selaras dengan penyusutan jasa ekosistem. Kata kunci: Kebakaran hutan, valuasi ekonomi, jasa ekosistem.
Pendahuluan
L
ahan gambut di Indonesia merupakan ekosistem yang paling sensitif dan terancam di bumi. Kawasan 22 juta hektar ini menyimpan 132 gigaton karbon dioksida yang terbagi secara tidak merata, dibandingkan hutan pada tanah mineral. Simpanan karbon di balik lahan gambut yang sangat asam, berpori, dan terbanjiri secara rutin ini dimungkinkan untuk terlepas ke udara dan memanaskan D E N G A R
P E N D A P A T
bumi, ketika lahan gambut yang sebenarnya tidak sesuai untuk pertanian, dibuka-paksa dan dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, industri pulp dan kertas dengan kecepatan yang tidak proporsional. Metode pengeringan (drainase) lahan gambut yang biasa dipergunakan untuk pembukaan lahan perkebunan berkontribusi hingga 3% pada emisi global karbon dioksida. Lebih-lebih ketika pembersihan lahan gambut terdrainase dilakukan dengan
40
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
cara dibakar, lahan ini melepaskan sejumlah besar kabut asap beracun. Selain itu drainase juga menyebabkan dekomposisi, penyusutan dan subsidensi karena sifat tanah gambut yang tidak stabil. Di Indonesia, subsidensi lahan gambut sebesar 1-2 meter biasanya terjadi setelah lima tahun pertama drainase dilakukan, diikuti dengan subsidensi sebesar 0.3-0.5 cm per tahun sesudahnya. Karena lahan gambut memiliki tinggi muka air yang dekat dengan permukaan, penurunan permukaan tanah tidak hanya menyebabkan peningkatan risiko banjir, tetapi juga menurunkan produktivitas pertanian dan meningkatkan risiko kehilangan lahan akibat perendaman. Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Agustus-November 2015 di berbagai wilayah di Indonesia bukanlah fenomena baru. Selama lebih dari dua puluh tahun, negara-negara di Asia Tenggara menderita akibat asap beracun yang dihasilkan dari kebakaran besar di Indonesia khususnya dari hutan tanah mineral dan lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan. Pembakaran dilakukan dengan sengaja selama musim kemarau oleh petani kecil dan perusahaan sebagai teknik pembersihan dan perluasan lahan pertanian, khususnya kelapa sawit. Pada tahun 2015, musim kemarau berkepanjangan yang disertai badai El Nino menghasilkan peristiwa kebakaran hutan terburuk yang diakibatkan oleh ulah manusia. Diukur dengan metode apapun, angka statistik tentang dampak kebakaran hutan pada tahun 2015 sangat mengkhawatirkan, • Ekosistem dan keanekaragaman hayati: 5,7 juta hektar hutan dan
•
1
2
3
lahan terbuka rusak terbakar1. Meskipun sulit menghitung dampak keanekaragaman hayati, adanya kehilangan habitat hutan secara luas dan asap beracun mengindikasikan bahwa dampak tersebut signifikan, terutama untuk spesies terancam seperti harimau dan orang-utan. Selain itu juga terdapat sejumlah dampak turunan yang potensial. Sebagai contoh, kebakaran yang terjadi pada tahun 1997/1998 menyebabkan kerusakan parah pada populasi serangga dan lebah, sebagai penyerbuk utama, yang kemudian berdampak besar pada suplai makanan dan regenerasi hutan alam2. Asap dan abu kebakaran juga diketahui berdampak signifikan pada ekosistem laut yang rapuh seperti rumput laut dan terumbu karang3. Emisi gas rumah kaca: Dalam dua bulan pertama kebakaran, emisi karbon Indonesia melebihi total output karbon tahunan Jerman dan ketika kebakaran mencapai puncaknya, emisi yang dihasilkan melebihi karbon harian dari seluruh aktivitas ekonomi Amerika (dimana skalanya lebih dari 20 kali aktivitas ekonomi Indonesia). http://www.nytimes.com/2015/10/31/world/ asia/indonesia-forest-fires-wildlife.html?_r=0 Meijaard, E., pers comm (2015) Borneo Futures Initiative. dan Nasi, R., Dennis, R., Meijaard, E., Applegate, G. and Moore, P. (2001) Forest fire and biological diversity. FAO. [http://www.fao. org/docrep/004/y3582e/y3582e08.htm] Abrams, J.F., Hohn, S., Rixen, T., Baum, A. and Merico, A. (2016) The impact of Indonesian peatland degradation on downstream marine ecosystems and the global carbon cycle. Global Change Biology, 22:325-337. D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
•
•
Kesehatan manusia:kebakaran memiliki dampak yang merusak terhadap kesehatan 28 dan 43 juta penduduk Indonesia4, dengan 500.000 kasus infeksi pernapasan akut5 dilaporkan kurang dari dua bulan. Ekonomi: Kebakaran hutan dan kejadian asap tahun ini menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dengan estimasi kerugian mencapai 221 triliun rupiah (atau sekitar 16,8 milyar US dolar) yang merepresentasikan 1,9% dari GDP6. Nilai tersebut lebih dari dua kali biaya rekonstruksi untuk Aceh dan Nias setelah kejadian tsunami tahun 2004. Kerugian akibat kebakaran hutan di tingkat regional diperkirakan mencapai kurang lebih $14bn7.
Pemerintah Republik Indonesia bukannya abai terhadap realitas di muka. Pelbagai regulasi telah diupayakan sebagaimana yang terdapat dalam UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penggunaan api untuk membersihkan
4
5
6
7
Sutopo Puro Nugroho, the spokesperson for the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG) quoted in http://www.theguar dian.com/world/2015/oct/26/indonesias-firescrime-against-humanity-hundreds-of-thousands -suffer http://www.theguardian.com/world/2015/oct/ 26/indonesias-fires-crime-against-humanityhundreds-of-thousands-suffer http://www.worldbank.org/en/news/feature/ 2015/12/15/indonesia-economic-quarterlydecember-2015 Hery Purnomo, CIFOR, quoted in http:// www.nytimes.com/2015/10/31/world/asia/ indonesia-forest-fires-wildlife.html?_r=0
D E N G A R
P E N D A P A T
41
lahan dan membuka lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter tidak diperbolehkan. Ini berarti sebagian besar lahan gambut di Indonesia harus diberi perlindungan karena kedalamannya, tetapi situasi ini jarang terjadi di lapangan seperti ditunjukkan oleh pola kebakaran tahunan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah memperbaharui komitmennya untuk memerangi kebakaran d masa depan, khususnya pada lahan gambut, dengan cara menanggulangi faktor penyebabnya dan beberapa aksi pendukung telah diidentifikasi, termasuk: • Pembentukan Badan Restorasi Gambut nasional –Peraturan Presiden No. 1/2016 untuk mencegah kebakaran hutan, khususnya pada lahan gambut, dan untuk merestorasi kawasan yang rusak karena kebakaran. • Komitmen untuk mengintegrasikan data nasional terkait pemanfaatan lahan gambut dan perijinan yang ada saat ini sebagai referensi bagi tata kelola lahan gambut, melalui inisiatif yang sedang berjalan yaitu Satu Peta (One Map) untuk Indonesia. • Menghentikan penerbitan ijin di lahan gambut, dan mengevaluasi ijin yang saat ini berlaku. • Restorasi dan rehabilitasi lahan gambut kritis dengan teknik restorasi hidrologi. • Melarang penanaman pada lahan gambut yang terbakar dan memberikan mandate untuk restorasi, dengan penekanan pada upaya mengembalikan kawasan terbakar dibawah pengelolaan negara.
42
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Lebih lanjut, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh memberikan otonomi yang lebih tinggi kepada pemerintah propinsi untuk pengelolaan sumber daya alam, yang memungkinkan penerbitan peraturan daerah (qanun). Hal ini berdampak baik, contohnya melalui penerapan moratorium industri kayu komersil di level propinsi. Meskipun demikian, kebijakan itu juga mengarah pada inkonsistensi antara regulasi nasional dan propinsi, seperti yang dapat ditemukan pada rencana tata ruang Aceh. Untuk mencapai pengelolaan hutan gambut yang efektif, dan juga hutan tanah mineral, menjadi sangat penting bagi rencana tata ruang Aceh untuk sepenuhnya mengakui jasa lingkungan yang disediakan oleh berbagai tipe ekosistem hutan ini. Satu cara untuk mencapai hal ini adalah melalui periode review lima tahunan atas rencana tata ruang yang berlaku. Periode ini memungkinkan penyesuaian terhadap rencana tata ruang melalui zonasi beresolusi tinggi mulai dari kawasan lahan negara, swasta sampai ke kawasan perdesaan. Pendekatan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan juga harus dilakukan, sehingga pada waktu bersamaan, berkontribusi terhadap pertumbuhan regional yang berkelanjutan. Efektivitas zonasi kawasan perdesaan akan dapat dicapai ketika hak dan kewajiban masyarakat yang diklarifikasi melalui penataan batas partisipatif diakui secara hukum, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2006. Zonasi tata ruang, yang partisipatif, dapat disahkan melalui peraturan daerah (qanun) - Peraturan
Zonasi–seperti diatur dalam UndangUndang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No 15 Tahun 2010. Delineasi dan definisi zonasi diperlukan dalam proses ini. Oleh karena itu, penghargaan dan pengakuan atas jasa ekosistem hutan dapat dimasukkan kedalam zona peruntukkan diseluruh kawasan hutan negara dan swasta.
Nilai ekonomi dari Pelestarian ekosistem hutan Aceh Hutan-hutan rawa gambut di Aceh terletak di pesisir bagian barat propinsi tersebut. Dalam skala konektivitas yang bervariasi, lahan gambut ini berdampingan dengan hutan tanah mineral dimana sungai-sungai bermuara. Secara keseluruhan, nilai penting jasa lingkungan yang disediakan baik oleh hutan gambut maupun hutan tanah mineral di Aceh diilustrasikan dengan Total Valuasi Ekonomi8. Pada studi ini, satu model komprehensif dibangun menggunakan data tutupan hutan, indikator sosioekonomi dan berbagai jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan. Terdapat dua skenario yang dievaluasi: i) Skenario konservasi – dimana seluruh aktivitas ekstraktif dihentikan dan jasa ekosistem hutan dipelihara; dan, ii) Skenario deforestasi –dimana seluruh aktivitas berlangsung seperti biasa (business-asusual) dengan laju deforestasi 1,3% per 8
van Beukering, P., Grogan, K., Hansfort, S.L. and Seager, D. (2008) An economic valuation of Aceh’s forests: the road towards sustainable development. Technical report for the Government of Aceh, Aceh, Indonesia. D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
43
Tabel 1.Total nilai dan distribusi manfaat diantara sektor untuk kedua skenario, dengan diskonto 3,5%.
Sumber: Data diambil dari van Beukering et al. 2008.
tahun yang menghasilkan perluasan lahan pertanian tetapi diiringi penurunan hasil pertanian selaras dengan penyusutan jasa ekosistem. Secara singkat, studi ini menemukan perubahan penting pada komposisi Total Valuasi Ekonomi dari kedua skenario tersebut. Sementara deforestasi mungkin dianggap sebagai cara mudah dan cepat untuk mendapatkan penghasilan, sekali lahan dikonversi menjadi perkebunan, erosi tanah akan segera terjadi dan produksi pertanian pun menurun. Penjualan kayu juga mengalami penurunan seiring dengan pembukaan hutan dan efek dari degradasi jasa ekosistem pun akan mengambil alih. Dalam kerangka waktu lebih dari 30 tahun, skenario konservasi menghasilkan manfaat bersih yang lebih tinggi D E N G A R
P E N D A P A T
(12,9 milyar US dolar) dibandingkan skenario deforestasi (11,6 milyar US dolar; Tabel 1). Kajian ini tidak menginvestigasi secara detil bagaimana manfaat dari jasa lingkungan yang berbeda didistribusikan kepada kelompok-kelompok penerima. Sebagai contoh, skenario deforestasi akan sangat menguntungkan perusahaanperusahaan kayu skala besar. Perusahaan ini akan membayar pajak kepada pemerintah nasional dan/atau propinsi yang kemudian mungkin diterjemahkan dalam bentuk bantuan dana bagi masyarakat pinggiran hutan. Namun, industri kayu akan beroperasi di kawasan hutan dengan elevasi rendah yang juga menjadi wilayah adat bagi masyarakat pinggiran hutan. Sebaliknya, skenario konservasi
44
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 1. Rangkaian citra sejak tahun2005-2014 dari Global Forest Watch menunjukkan kehilangan yang hampir menyeluruh dari hutan rawa gambut di Tripa dan laju kehilangan yang tinggi di perbatasan hutan rawa gambut Aceh yang tersisa, Kluet dan Singkil. Kehilangan hutan di sekitar Singkil telah memecah kawasan hutan yang dalam prosesnya memutus koneksi kawasan tersebut dengan Lanskap Leuser. Pola-pola deforestasi ini diprediksi berdampak signifikan terhadap spesies penjelajah seperti harimau dan lebih lanjut, menurunkan daya hidup populasi dari spesies terancam seperti populasi orang-utan.
akan memastikan bahwa jasa lingkungan paling bermanfaat bagi masyarakat desa (menyediakan suplai air bersih, perikanan dan produk-produk hutan non kayu)dalam jangka panjang.
Hutan rawa gambut di Aceh Aceh memiliki tiga hutan rawa gambut utama. Pertama, Tripa yang menunjukkan bagaimana cepatnya lahan gambut dalam terdegradasi oleh perambahan liar kelapa sawit dan penggunaan api yang sistematis untuk pembersihan lahan berhutan. Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana sulitnya menegakkan aturan untuk mencegah aktivitas ilegal tersebut. Malahan, penerbitan surat perintah pengadilan untuk menghentikan pembersihan lahan memacu perusahaan perkebunan untuk mempercepat kegiatan pembersihan lahan. Hal ini menyebabkan beberapa kejadian kebakaran terburuk di Sumatra
pada tahun 2012. Terdapat dua hutan gambut dalam yang tersisa di kawasan Ekosistem Leuser, yakni Singkil (82.374 ha) dan Kluet (18.000ha; Gambar 1). Singkil dan Kluet keduanya masih relatif utuh, akan tetapi mengalami konversi cepat secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit (Singkil) dan dieksploitasi oleh para pembalak liar (Singkil dan Kluet). Drainase ilegal yang terus berlangsung, degradasi dan konversi yang terjadi di Singkil dan Kluet meningkatkan risiko kebakaran skala luas di sebagian besar kawasan bagian barat dari Ekosistem Leuser sehingga kerusakan hutan rawa gambut yang kaya karbon dan hutan tanah mineral di sekitarnya, tidak terhindarkan. Emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran di dua kawasan ini saja dapat mencapai 7% dari total emisi tahunan Indonesia. Ini situasi yang membahayakan komitmen Indonesia yang tertuang dalam Rencana D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
Kontribusi Nasional (Intended Nationally Determined Contribution) di bawah UNFCCC, dan mengarah pada potensi kehilangan keanekaragaman hayati yang signifikan, belum lagi kerugian yang dialami sektor ekonomi dan kesehatan di Indonesia dan kawasan regional9. Pengalaman dari Tripa menunjukkan bahwa pendekatan proaktif dan preemptive menjadi penting diterapkan untuk menghindari kebakaran. Di bawah ini, disajikan analisis situasi Singkil sebagai informasi bagi penyusunan strategi guna membantu Pemerintah Aceh membangun suatu praktik terbaik (best practice) dan model yang dapat direplikasi untuk melindungi lahan gambut, menghindari emisi gas rumah kaca beracun dan mempertahankan keanekaragaman hayati.
Analisis Situasi Dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil Bagian ini mengkaji status Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dengan fokus utama pada jasa lingkungan (untuk serapan karbon dan keanekaragaman hayati), ancaman-ancaman utama, status pengelolaan dan inisiatif konservasi yang ada saat ini. Sebagian analisis digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan dan hambatan pengelolaan kawasan, yang kemudian digunakan untuk menyusun suatu kerangka kerja aksi. 9
Gaveau D., et al. (2014) Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Scientific Reports, 4:6112.
D E N G A R
P E N D A P A T
45
Nilai serapan karbon
Peta gambut dalam untuk Singkil yang dibuat oleh Wetlands International (2004) dan RePPProT (1988) memperkirakan rata-rata kedalaman masingmasing 1,2 dan 1,9 m. Naumn, perkiraan kasar yang dihasilkan oleh kedua survei tersebut memerlukan studi lapangan yang lebih detil. Untuk itu, pada tahun 2012, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) menugaskan Deltares (perusahaan konsultan) untuk melakukan kajian cepat atas deposit gambut di Singkil, Tripa dan Kluet10. Dari kajian tersebut ditemukan bahwa rata-rata kedalaman gambut di Singkil adalah 3,8 m atau setidaknya dua kali lebih dalam dari perkiraan sebelumnya (Gambar 2). Meskipun demikian, beberapa titik sampel di suatu kubah gambut berukuran 10 x 15 km di dalam kawasan Singkil merekam kedalaman gambut hingga 10 m. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai estimasi saat ini bersifat konservatif dan rata-rata kedalaman lahan gambut Singkil masih lebih dalam, tetapi survei lapangan lanjutan diperlukan untuk mengukur hal ini secara komprehensif. Temuan tentang kedalaman lahan gambut ini signifikan karena menguatkan kebutuhan akan adanya dukungan kebijakan untuk melindungi Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang 10
Deltares (2012). Rapid assessment of peat deposits, carbon stock, CO2 emission reduction/ avoidance quantities and hydrological rehabilitation cost for three peatlands in Aceh. A technical report for Floresta and BPKEL; Deltares project number: 1205000.
46
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 2. Perbandingan dari tiga kajian kedalaman gambut yang dilakukan oleh RePPProt, Wetlands International (WI) dan Deltares (warna merah muda dan hijau menunjukkan kontur ketebalan gambut). Metode kajian cepat yang diterapkan oleh Deltares memperkirakan kedalaman gambut di sebagian besar wilayah Singkil adalah 2-4 meter, akan tetapi angka ini mungkin masih mewakili estimasi yang bersifat konservatif [Petadisalin dari Deltares, laporan tahun 2012].
32/2009 tentang larangan pembukaan gambut dengan kedalaman >3 m. Studi Deltares memperkirakan bahwa Singkil mengandung volume gambut sebesar 3.584 M m3dan simpanan karbon gambut sebesar 541 M t CO2. Studi Deltares menggunakan pendekatan kajian cepat (rapid assessment). Oleh karena itu, kehati-hatian perlu diterapkan karena hasil studi bersifat sangat tentatif dan mengandung ketidakpastian karena keterbatasan data yang digunakan dan keterbatasan waktu pelaksanaan studi. Laporan studi merekomendasikan kebutuhan studi lapangan yang lebih detil untuk mengumpulkan data ketebalan gambut dan elevasi agar pemodelan kedalaman gambut dapat dibuat untuk wilayah Singkil dan, dari sini, proyeksi perubahan yang lebih akurat dapat dihasilkan untuk periode waktu lebih dari 30 tahun.
Nilai keanekaragaman hayati Singkil adalah rumah bagi dua dari empat spesies mamalia utama - orangutan dan harimau (gajah dan badak merupakan dua spesies lainnya). Satwa terancam punah orang-utan sumatra (Pongo abelii) yang diperkirakan berjumlah 14.613 individu liar, sejumlah 11.701 individu berada di Ekosistem Leuser11. Dari jumlah tersebut, 1.269 individu hidup di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Suaka margasatwa ini penting karena memiliki satu dari wila11
Wich, S.A., Singleton,I., Nowak, M.G., Utami Atmoko, S.S., Nisam, G., Arif, S.M., Putra, R.H., Ardi, R., Fredriksson, G., Usher, G., Gaveau, D.L.A. and Kühl, H.S. (2016). Land-cover changes predict steep declines for the Sumatran orangutan (Pongo abelii). Science Advances, 2:e1500789. D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
yah dengan kepadatan populasi orangutan tertinggi (1,75 individu/km2), yang dimungkinkan karena periode kekurangan makanan yang lebih pendek, jarang dan kurang ekstrim di hutan rawa gambut dibandingkan dengan hutan pada tanah mineral. Sebaliknya, hutan rawa gambut tidak mewakili habitat yang optimal bagi satwa terancam punah harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) karena kondisi hutan berawa menyebabkan rendahnya ketersediaan sumber makanan yang berada di tanah (on-the-ground)untuk mangsa harimau, seperti rusa sumatera (Rusa unicolor), muncak (Muntiacus muntjak), beruk (Macaca nemestrina) dan babi hutan (Sus scrofa). Hutan rawa gambut yang terletak di bagian timur Sumatra tercatat memiliki kepadatan populasi harimau yang rendah (0,5 individu/100km2)13tetapi mengingat ukuran populasi yang hanya 500-600 hewan, setiap individu menjadi sangat penting keberadaannya untuk bertahan hidup dalam jangka panjang. Jebakan kamera (camera trapping) yang dilakukan di Singkil pada tahun 2014 oleh LSM Fauna & Flora International mengonfirmasi keberadaan satu dari kucing paling langka di dunia, yaitu kucing hutan kepala datar (Prionailurus planiceps). Dari jebakan kamera yang dilakukan hutan rawa gambut di seluruh Sumatra, Singkil kemungkinan menjadi 13
Sunarto, S., Kelly, M.J., Vaughan, M., Klenzendorf, S., Zulfahmi, Z., Maju, H. and Parakkasi K. (2013) Threatened tigers on the equator: multipoint abundance estimates in central Sumatra. Oryx, 47:211-220.
D E N G A R
P E N D A P A T
47
rumah bagi populasi beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelis marmorata) dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis). Singkil, dan koridor hutan yang dikenal sebagai Trumon, diklasifikasikan sebagai “Important Bird Areas” oleh BirdLife International14, karena memiliki ‘Spesies Terancam Punah Global’, khususnya bangau storm (Ciconia stormi), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus) danmentok rimba (Cairina scutulata)15, dan ‘Biome-restricted species’.
Pembersihan lahan pertanian dan kebakaran Suaka Margasatwa Rawa Singkil terancam oleh deforestasi yang disebabkan aktivitas kelapa sawit yang terjadi di perbatasan dan di lokasi-lokasi dimana perambahan ke dalam kawasan terjadi16 (Foto 1). Citra satelit mengungkapkan bahwa saluran-saluran kanal gambut ilegal dan jalur akses meluas ke dalam kawasan, dari perkebunan legal yang berada di luar kawasan. Jalur ini juga digunakan sebagai akses bagi pembalak liar. Pembangunan ini terkait erat de-
BirdLife International (2016) Important Bird and Biodiversity Area factsheet: Trumon-Singkil. Downloaded from http://www.birdlife.org on 09/02/2016 15 Giesen, W. and van Balen, S. (1992) Several short surveys of Sumatran wetlands. Notes and observation. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 26. Bogor. 16 http://news.mongabay.com/2015/06/illegalforest-clearing-spotted-in-acehs-biggest-peatswamp/ 14
48
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Foto 1. Hutan rawa gambut yang terbakar berlokasi di perbatasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam. Lahan terdegradasi ini akan ditanami kembali dengan kelapa sawit oleh masyarakat setempat. Batas hutan di latar belakang berlokasi di dalam Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dimana suara gergaji mesin dari pembalakan liar terdengar [foto WCS, 2015].
Gambar 3. Analisis sejarah kebakaran hutan di hutan rawa gambut Aceh berdasarkan titik panas MODIS dari tahun 2005 sampai 2016. Peta ini menunjukkan kawasan belukar dari hutan rawa gambut yang rentan terbakar, dengan intensitas api yang tinggi.
D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
49
Gambar 4. Peta titik panas kebakaran yang diperoleh dari MODIS dihitung sejak tahun 2005-2016. Mayoritas kebakaran di wilayah Singkil terjadi di luar kawasan, meskipun tepat di batasnya. Pengalaman dari Propinsi Riau, Jambi dan Sumatra Selatan menunjukkan bahwa angin membuat kebakaran yang terjadi di suatu area dengan cepat menyebar ke area lain di sekitarnya, terutama lahan gambut yang telah dikeringkan yang sangat mudah terbakar.Kebakaran besar di sepanjang daerah selatan menunjukkan kerentanan dari kawasan belukar dan hutan rawa gambut yang tidak terlindung.
Gambar 5. Tren titik panas kebakaran tahunan di seluruh Propinsi Aceh (diambil dari MODIS kebakaran dihitung sejak tahun 2005-2014). Dari 608 titik panas yang terdeteksi, 81% ditemukan terjadi di hutan rawa gambut, karenanya menggarisbawahi status risiko tinggi dari lahan gambut jika pembersihan lahan dilakukan dengan api.
D E N G A R
P E N D A P A T
50
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
ngan kebijakan pemerintah daerah yang mendukung pengembangan kelapa sawit, dikombinasikan dengan buruknya penegakan hukum di lapangan. Luas kawasan yang dikonversi ke perkebunan kelapa sawit atau terdegradasi oleh pembalakan liar diperkirakan antara 1000 dan 2000 hektar, tetapi angka ini mungkin jauh lebih tinggi. Studi penginderaan jauh yang dilengkapi dengan cek lapangan sangat diperlukan untuk menghitung tingkat ancaman ini dan memverifikasi peta batas Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan batas-batas konsesi perkebunan kelapa sawit. Pembakaran adalah metode umum yang biasa digunakan untuk membersihkan lahan gambut guna penanaman tanaman eksotis, khususnya kelapa sawit, begitu pula akasia dan eucalyptus (untuk industri pulp dan kertas). Kebakaran hutan yang terjadi sejak tahun 2005 sampai 2016 jelas menggambarkan tekanan terhadap hutan rawa gambut Aceh, dengan hampir seluruh dari hutan rawa gambut di pantai barat terdegradasi parah karena kebakaran, termasuk kerusakan kawasan Tripa (Gambar 3). Pada tahun 2007, kebakaran pertama di Kluet terjadi dan kejadian ini mengalami peningkatan setiap tahun, tetapi tidak mencapai level keparahan seperti yang dialami kawasan Tripa. Tingkat kebakaran di wilayah Singkil lebih rendah dan tampaknya hampir tidak ada di dalam kawasan suaka margasatwa (Gambar 4). Namun, kebakaran di kawasan penyangga hutan rawa gambut terjadi tepat di batas suaka margasatwa, yang mungkin akan segera menyusut.
Lebih jauh, kanal-kanal drainase baik di dalam dan luar (tetapi tepat di batas kawasan) Suaka Margasatwa merupakan pertanda buruk dimulainya kebakaran dan penyebaran kebakaran yang disengaja. Analisis spasial dari titik panas menyediakan ilustrasi yang jelas tentang pentingnya Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagai ekosistem hutan rawa gambut utama. Meskipun demikian, pola temporal dari kebakaran hutan di Aceh mengungkapkan peningkatan laju kebakaran hutan rawa gambut (Gambar 5).
Pembalakan liar Tingkat pembalakan liar, untuk kayu keras berkualitas tinggi, di Suaka Margasatwa Rawa Singkil belum pernah diukur. Meskipun demikian, dapat dikonfirmasi saat ini dan selanjutnya bahwa skalanya luas berdasarkan kajian lapangan cepat yang dilakukan oleh WCS pada tahun 2015. Kunjungan lapang ini menemukan sejumlah bukti adanya pembalakan liar untuk spesies kayu bernilai tinggi, dan terdapat banyak titik-titik akses ilegal, dimana pembalak menggunakan konstruksi kayu gelondongan (mengambang dan semi mengambang) yang memanjang lebih dari sepuluh kilometer ke dalam kawasan. Temuan ini didukung oleh studi penginderaan jauh yang dilakukan oleh Greenomics pada tahun 201417dan kunjungan lapang WCS lainnya yang merekam pembalak sedang 17
http://news.mongabay.com/2014/08/acehslargest-peat-swamp-at-risk-from-palm-oil/ D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
menggunakan kanal besar yang dibangun di area Soraya dan dibentuk oleh Sungai Soraya.
Status pengelolaan Suaka Margasatwa Rawa Singkildidirikan pada tahun 1998 untuk melindungi hidupan liar, kemungkinan besarditujukan untuk orang-utan dan harimau sumatra, sebagai bagian dari keputusan Lanskap Leuser (Keputusan Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/ 1998). Suaka Margasatwa Rawa Singkil pada awalnya mencakup area seluas 102.500 hektar, tetapi diturunkan menjadi 82.374 hektar (SK No. 865/ Menhut-II/2014) karena perubahan rencana tata ruang. Suaka margasatwa ini meliputi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, dan Subulussalam, tetapi pengelolaannya berada dibawah Badan Konservasi Sumber Daya Alam Propinsi Aceh (BKSDA-Aceh). Batas Suaka Margasatwa Rawa Singkil belum ditetapkan di lapangan. Oleh karena itu, inkonsistensi terjadi dalam penentuan lokasi batas yang tepat dan ada sejumlah klaim masyarakat atas hak tenurial dan akses di area ini, yang menjadi sumber konflik dengan BKSDA/ KPHK Rawa Singkil. Sebagai contoh, masyarakat lokal di Buluh Seuma, Aceh Selatan, secara tradisional memanen madu dari dalam SWR, dengan hasil tahunan berkisar dari 18.000 sampai 540.000 liter18. Dalam kasus ini, peren18
USAID LESTARI. (2016) Buluh Seuma Assessment. Unpublished report for the USAID LESTARI project, Aceh
D E N G A R
P E N D A P A T
51
canaan tata ruang dengan zonasi yang mengakomodir, lebih dari segalanya, pemanfaatan tradisional dari produk hutan non-kayu akan menyediakan peluang untuk mengatasi konflik, khususnya melalui pelibatan masyarakat dalam kemitraan konservasi dengan otoritas pengelola, dimana hal ini juga akan berkontribusi dalam perbaikan nilai METT bagi Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Proses penataan batas saat ini dimulai di lapangan dibawah hibah TFCA yang diberikan untuk Yayasan Leuser Internasional (YLI) bekerja sama dengan BKSDA-Aceh. Penting untuk diingat bahwa proses ini memerlukan koordinasi yang baik antara berbagai institusi seperti yang dimandatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan (P25/Menhut-II/2014). Proses penataan batas harus dipimpin oleh kepala BPKH melibatkan pemerintah tiga kabupaten dan kota, termasuk Dinas Kehutanan Propinsi, Bappeda, Badan Pertanahan, perwakilan dari kepala daerah dan lainnya. Tanpa keterlibatan semua pihak dan proses yang sesuai dengan peraturan, legitimasi dari penetapan batas akan mengundang pertanyaan. Kajian atas Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilakukan oleh KLHK pada tahun 2015 menggunakan Perangkat Pemantauan Efektivitas Pengelolaan (Management Effectiveness Tracking Tool/METT) mencatat poin sebesar 55%. Nilai ini termasuk rendah, mengingat kementerian telah menetapkan target poin sebesar 70%
52
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
untuk seluruh kawasan konservasi, poin yang dianggap memuaskan bagi efektivitas pengelolaan. Namun demikian, skor yang rendah ini tidak mengejutkan mengingat suaka margasatwa ini dikelola oleh Seksi Wilayah IIyang juga mengelola kawasan seluas 227.500 hektar yaitu Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Banyak. Kantor Seksi Wilayah II hanya memiliki staf 11 orang (lima diantaranya pegawai negeri dan sisanya pegawai kontrak) dan ini jelas tidak mencukupi untuk mengelola satu kawasan secara efektif, apalagi dua kawasan. Kantor Suaka Margasatwa Rawa Singkil hampir tidak berfungsi dengan tiga orang staf berbasis di lapangan dan patroli lapangan pada tahun 2015 sebesar 22.000 US dolar, yang dapat mendukung hingga enam patroli, tetapi staf lapangan kekurangan perahu untuk menavigasi sungai dan kanal yang ada di hutan rawa gambut19. Pada tahun 2013, Suaka Margasatwa Rawa Singkil diajukan oleh KLHK (SK 980/Menhut-II/2013) sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (atauKPHK). KPHK terdiri dari tiga resort, dimana kantor-kantor perlu dibangun atau ditemukan di kota Singkil, Subulussalam dan Tapak Tuan. Kantorkantor ini kekurangan anggaran dan kendaraan, jelas menjadi hambatan utama bagi operasi mereka. Hal ini sebagian terkait dengan fakta bahwa KPHK belum menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang(RPJP) mereka. 19
http://news.mongabay.com/2014/08/acehslargest-peat-swamp-at-risk-from-palm-oil/
Suaka Margasatwa Rawa Singkil akan didirikan sebagai KPHK tipe B, yang akan dikepalai oleh staf Eselon IV yang akan mengoordinasikan fungsi ini dengan BKSDA-Aceh.Struktur organisasi KPHKSingkil direncanakan terdiri dari satu Kepala Seksi, tiga Kepala Resort, empat Polisi Hutan, satu PPNS, enam non-PNS dan tiga mitra ranger dari masyarakat. Namun demikian, KPHK diprediksi akan menghadapi kesulitan dalam meningkatkan jumlah sumber daya mereka dengan adanya moratorium nasional tentang perekrutan pegawai negeri sipil. Hutan rawa gambut Singkil membentuk sebagian dari sub-DAS Singkil, yang mencakup 1.388.488 hektar (atau 44%) dari DAS utama Wampu Sei Ular (BPDAS 2015). Sub-DAS Singkil membentang di Propinsi Aceh dan Sumatra Utara, tetapi untuk menyederhanakan koordinasi antar propinsi wilayah ini sepenuhnya dikelola oleh BPDAS Wampu Sei Ular.Seperti yang diatur dalam PP 37/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, DAS masih harus dikelola melalui kolaborasi antar institusi di lapangan, seperti antar dua propinsi, kondisi yang cukup menantang. Suaka Margasatwa Rawa Singkil terletak di Kabupaten Aceh Singkil (2185 km2) dengan populasi 110.706 jiwa dan kepadatan 50,7 jiwa/km2 (BPS, 2014). Kawasan ini dikelilingi oleh Kabupaten Aceh Selatan (3.841 km2; 210.071 jiwa, 54,7 jiwa/km2) dan Kota Subulussalam (1.206 km2; 72.103 jiwa; 59,8 jiwa/km2). Akhirnya, berdasarkan rencana tata ruang yang diajukan oleh D E N G A R
P E N D A P A T
Matthew Linkie et al., Rawa Singkil -Suaka Lahan Gambut Penjaga Ekosistem
Pemerintah Aceh Selatan, kawasan di bagian utara Singkil akan dialokasikan sebagai pemukiman transmigrasi. Disini, pembukaan hutan dimulai dan konektivitas antara Singkil dan TNGL via Koridor Trumon yang berhutan semakin tergerus. Rencana tata ruang mengindikasikan bahwa infrastruktur energi (tenaga listrik bertekanan tinggi) akan dibangun melalui Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dimana perbaikan akses jalan diperlukan dan hal ini memungkinkan terjadinya deforestasi lebih lanjut.
Inisiatif nasional dan daerah LSM lokal Yayasan Leuser Indonesia (YLI) dengan dukungan dari TFCASumatra menempatkan tanda batas di sepanjang Suaka Margasatwa Rawa Singkil sejauh 233 kilometer dan 2 kilometer di Koridor Trumon, yang saat ini dipisahkan oleh jalan aspal. Meskipun demikian, untuk sejumlah alasan kegiatan ini dilakukan tanpa keterlibatan penuh dari BKSDA, selaku otoritas pengelola, yang akhirnya menimbulkan isu apakah tanda batas tersebut akandiakui oleh berbagai stakeholder pemerintah. Keakuratan penempatan tanda batas juga memerlukan verifikasi. Selanjutnya, upaya yang sedang berjalan yang memiliki keterkaitan dengan perlindungan Kluet dan Singkil dari perambahan oleh agribisnis skala besar adalah tuntutan yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap lima perusahaan terbesar yang terlibat dalam pembersihan ilegal di Tripa. Hasilnya, untuk D E N G A R
P E N D A P A T
53
pertama kali dan belum pernah terjadi sebelumnya, Mahkamah Agung Indonesia memerintahkan PT Kalistra Alam membayar denda Rp366 milyar (kurang lebih 28 juta US dolar) dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pada hutan rawa gambut Tripa. Upaya lain untuk memulihkan kerusakan di kawasan Tripa termasuk: Dinas Kehutanan Aceh membangun zona perlindungan di bekas kawasan konsesi PT Kalistra Alam, membendung 18 kanal yang dibangun oleh perusahaan untuk mengeringkan gambut, dan penanaman lebih dari 100.000 pohon. Berkaitan dengan hal ini, Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberikan dukungan dan advis kepada kelompok-kelompok masyarakat dibawah “Gerakan Rakyat Menggugat Rencana Tata Ruang Aceh” untuk mendaftarkan gugatan terhadap pemerintah nasional. Gugatan ini mempertanyakan legalitas dari peraturan zonasi yang disahkan oleh dewan perwakilan rakyat Aceh pada akhir tahun 2013.
Dukungan internasional Terdapat beberapa proyek penting yang didanai secara internasional, yang beroperasi di lanskap target. Masingmasing menawarkan pendekatan yang saling melengkapi melalui dukungan untuk, • Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan restorasi hutan di bagian selatan Aceh (GFA-KfW – German Development Bank, 20132019, 8,5 juta Euro) • Perbaikan tata kelola pemanfaatan lahan, membangun konstituen multi-
54
•
•
•
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
pihak dan memperkuat upaya-upaya penegakan hukum (USAID-LESTARI, Agustus 2015 sampai Juli 2020, 5-10 juta US Dolar dialokasikan hanya untuk Lanskap Leuser) Dukungan bagi perencanaan ruang (termasuk Satu Peta atau One Map), melaksanakan analisis dampak pembangunan jalan dan membentuk unit pengelolaan proyek di tingkat propinsi untuk isu-isu lingkungan (Uni Eropa, 2015-2018, 2-4 juta Euro) Membangun kapasitas institusi penegak hukum untuk perlindungan hidupan liar dan habitat hutan yang lebih efektif (WCS, 2007-sampai sekarang, 300.000 US Dolar/tahun) Analisis peluang integrasi AirPangan-Energi (Water-Energy-Food nexus)kedalam perencanaan guna mendukung pendekatan pembangunan berkelanjutan di Aceh, dan dukungan untuk membangun konstituen konservasi di dewan perwakilan rakyat Aceh (Climate and Development Knowledge NetworkWCS, April 2015 sampai Desember 2016, £78,953).
Kesimpulan Pentingnya Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagai prioritas konservasi nasional dapat dilihat dari begitu banyaknya jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan rawa gambut. Sebagai contoh: i) untuk keanekaragaman hayati,
Singkil adalah rumah bagi populasi spesies penting dunia yakni orang-utan; ii) untuk serapan karbon, Singkil adalah lahan gambut dalam dengan ketebalan rata-rata 3,8m; dan, iii) untuk penghidupan masyarakat desa, banyaknya sungai dan muara menyediakan sumber protein penting berupa cadangan ikan. Sebagai upaya untuk melestarikan Singkil dan jasa ekosistemnya, diperlukan berbagai aksi yang melibatkan mitra pemerintah di berbagai tingkatan. Secara nasional, adalah sangat penting untuk terlibat dengan Badan Restorasi Gambut yang baru didirikan untuk meningkatkan status prioritas dari. Aksi dukungan dari pemerintah nasional yang diperlukan untuk Singkil dan hutan rawa gambut lainnya, termasuk: membuat peta detil lahan gambut Indonesia; peta detil wilayah konsesi bagi kabupaten dan kecamatan berisiko tinggi; memperbaiki panduan teknis untuk tata kelola lahan gambut dan restorasi ekosistem; dan memperkuat sistem monitoring kebakaran berbasis masyarakat. Untuk menjamin keberhasilan di lapangan, upaya-upaya ini harus diikuti dengan aksi-aksi di tingkat sub-nasional yang melibatkan berbagai pendekatan utama, seperti pengelolaan kawasan lindung dan konservasi yang efektif, yang digabungkan dengan skema insentif berbasis masyarakat, seperti penghargaan bagi desa-desa bebas kebakaran dan, khususnya untuk Singkil, mencegah perambahan kedalam batas kawasan•
D E N G A R
P E N D A P A T
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
55
JARINGAN AKTOR DAN REGULASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN* Oleh Herry Purnomo, Ade Ayu Dewayani, Ramadhani Achdiawan, Made Ali, Samsul Komar dan Beni Okarda Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah mengakibatkan kematian, penyakit dan kerugian ekonomi ratusan trilyun rupiah. Namun ada pihak-pihak tertentu yang mendapat keuntungan sangat besar dengan pembakaran yang dilakukan baik di kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL). Pembakar ini berbentuk jaringan yang tidak mudah terdeteksi oleh regulasi yang ada. Tulisan ini bertujuan mengungkap jaringan Karhutla yang berbentuk organisasi kriminal (organized crime) dan mengaitkan dengan regulasi pada bidang lingkungan, perkebunan dan kehutanan. Penelitian dilakukan dengan metode tinjauan (review) atas penelitian sebelumnya, diskusi kelompok terfokus, tinjauan lapangan yaitu di Provinsi Riau dan analisis komponen utama (principle component analysis) hubungan jaringan Karhutla dan regulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga tipe jaringan Karhutla yaitu Korporasi, Cukong dan Individual. Pada tipe Jaringan Korporasi ada tiga sub-tipe yaitu Perusahaan sebagai aktor terpenting, kemudian sub-tipe Koperasi dan Perseorangan. Regulasi-regulasi tertentu bisa dipakai secara lebih spesifik membidik jaringan Karhutla tertentu. Implementasi sungguh-sunguh regulasi-regulasi tersebut dapat mengurangi Karhutla dan menyelamatkan sumber daya alam Indonesia. Kata kunci: kebakaran hutan dan lahan, jaringan, korporasi, cukong, regulasi
PENDAHULUAN
K
ebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah masalah lokal, nasional dan global. Gangguan kesehatan dan ekonomi akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan sangat besar. Kerugian total kebakaran dan asap sepanjang tahun 2015 di seluruh Indonesia diperkirakan 230 trilyun rupiah *
Studi ini didukung oleh DFID-UK Program KNOWFOR 2, dan Pusat Studi Bencana Universitas Riau dan sejumlah pihak yang tergabung dalam FORSIBU (Forum Negeri Bersih Jerebu) Riau.
A R T I K E L
(The World Bank 2015). Lebih dari 43 juta orang terpapar oleh asap. Singapura dan Malaysia telah lama mengeluhkan gangguan kesehatan dan asap dari Indonesia yang menurunkan pariwisata, kesehatan dan ekonomi. Namun demikian keuntungan dari pembakaran ini mencapai lebih dari 100 trilyun rupiah yang dinikmati korporasi, cukong/elit dan masyarakat petani. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK) menyatakan bahwa Karhutla merupakan kejadian yang disengaja.1 Pernyataan senada disam-
56
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
paikan oleh aparat keamanan untuk kebakaran yang terjadi di Riau pada bulan Juni 2016.2 Penggunaan api dalam pengelolaan lahan baik hutan tanaman industri (HTI) maupun kelapa sawit sawit secara legal sudah dilarang. Namun kebakaran tetap terjadi di kawasan tersebut. Beberapa perusahaan diantaranya RPP di Sumatra Selatan, BMH di Sumsel, RPS di Sumsel, LIH di Riau, GAP di Kalimantan Tengah, MBA di Kalimantan Tengah, dan ASP di Kalteng dijadikan tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia.3 Penggunaan api di areal konsesi bisa juga terjadi oleh pemain non-korporat yaitu ketika areal konsesi tersebut tidak bisa diamankan oleh pihak korporasi. Lahan-lahan yang terlantar ini mudah terbakar.4 Konflikkonflik lahan juga bisa menjadi sumber atau alasan pembakaran. Dengan kata lain, tidak serta merta jika aturan dilarang membakar ada maka aturan tersebut akan terlaksana dengan baik. Pemerintah dan masyarakat Indonesia telah mencoba mengatasi Karhutla ini. Presiden Jokowi pada tanggal 16 Januari 2016 telah mengultimatum tentara dan kepolisian Indonesia di seluruh daerah untuk mengatasi keba1
2
3
4
http://industri.bisnis.com/read/20151006/99/ 479488/kebakaran-hutan-dan-lahan-klhk-teliti420-perusahaan http://news.detik.com/berita/3232476/dan satgas-udara-ada-unsur-kesengajaan-dalamkebakaran-lahan-di-riau http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150916_indonesia_tersangka_asap http://www.kompasiana.com/achmadsiddik thoha/mengapa-hutan-dan-lahan-terus-terbakar _ 551744c0a33311b906b65d54
karan ini, kalau tidak mereka akan dicopot dari jabatannya, baik sebagai Pangdam (Panglima Daerah Militer) atau Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) maupun jajaran dibawahnya dimana lokasi kebakaran terjadi.5 KLHK memastikan kebijakan dan aksi penanggulangan kebakaran lewat jajaran birokrasi di pusat maupun daerah, serta mengeluarkan surat edaran pada bulan November 2015 yang melarang membuka lahan gambut.6 Badan Restorasi Gambut (BRG) didirikan lewat Peraturan Presiden No. 1 tahun 20167 untuk mencegah kebakaran dan merestorasi kerusakan lahan gambut seluas 2,2 juta ha. Sektor swasta telah mengumumkan aksi mereka untuk mencegah kebakaran pada tahun 2016. Grup Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (APRIL) menekankan keberhasilan progam Desa Bebas Api (Fire Free Village) yang telah meliputi 20 desa disekitar konsesi HTI mereka.8Asia Pulp and Paper (APP), anak perusahaan Grup Sinarmas, menggandeng Yayasan Belantara, mengabarkan kegiatan pencegahan kebakaran dan pembuatan sekat kanal di Sumatra Selatan.9 Gabungan Pengusaha Kelapa
5
6
7
8
9
https://m.tempo.co/read/news/2016/01/18/ 063737254/kebakaran-hutan-jokowi-ancamcopot-kapolda-dan-pangdam http://industri.kontan.co.id/news/klhk-resmimelarang-pembukaan-lahan-gambut http://175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan /Perpres_Nomor_1_Tahun_2016.pdf http://www.republika.co.id/berita/koran/ industri/16/02/01/o1v2ce7-april-kembaliluncurkan-program-desa-bebas-api http://www.mongabay.co.id/tag/kebakaranhutan/ A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
Sawit Indonesia (GAPKI) berkomitmen untuk mencegah kebakaran.10 Namun demikian apakah kegiatankegiatan tersebut bisa menghentikan Karhutla yang dilakukan oleh beragam aktor.11 Dapatkah program-program dari pihak pemerintah maupun sektor swasta mengurangi api? Artikel ini akan menguraikan tiga hal pokok (a) Tipologi jaringan aktor Karhutla; (b) Regulasi bidang kehutanan, pertanian dan lingkungan dalam mencegah dan menanggulangi Karhutla; dan (c) Efektivitas regulasi tersebut dalam mencegah jaringan aktor Karhutla. Artikel ini diharapkan menjadi masukan untuk peningkatan kapasitas dalam mencegah dan menanggulangi Karhutla. Aktor-aktor harus dibidik secara khusus untuk mencegah kerusakan lingkungan (Purnomo et al. 2013). Perusak lingkungan mempunyai akses terhadap pemegang kekuasaan (Purnomo et al. 2012a).
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan cara (a) Peninjauan (review) hasil penelitian dan investigasi sebelumnya; (b) Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion atau FGD) dengan parapihak di Provinsi Riau dan kunjungan lapangan; (c) Analisis jaringan sosial (SNA); dan (d) Analisis keterkaitan regulasi dan jaringan aktor Karhutla. http://www.antaranews.com/berita/560475/ perusahaan-kelapa-sawit-komitmen-cegahkarhutla 11 http://theconversation.com/playing-with-firethe-economics-and-network-of-fire-and-haze47284 10
A R T I K E L
57
FGD dilakukan pada tanggal 9 Mei 2016 yang dihadiri 20 perwakilan dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pebisnis, masyarakat desa, akademisi dan mahasiswa relawan pencegah kebakaran. Partisipan FGD disajikan temuan-temuan yang telah dilakukan oleh CIFOR, WWF dan Eyes on the Forest tentang tipologi jaringan kebakaran dalam diskusi pleno. Partisipan kemudian dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing mendalami tipe jaringan pembakaran yaitu korporasi, cukong dan invidual. Masingmasing kelompok kemudian menyampaikan kembali dalam rapat pleno dan mendapat masukan dari kelompok lainnya. Tinjauan lapangan dilakukan pada tanggal 10-12 Mei 2016 oleh empat orang, 1 dari CIFOR/IPB, 1 orang CIFOR, 1 orang WWF dan 1 orang JIKALAHARI. Tinjauan lapangan dilakukan di Kabupaten Indragiri Hulu yaitu di Hutan Lindung Bukit Betabuh dan Kabupaten Pelelawan yaitu Kompleks Hutan Tesso Nilo yang meliputi Taman Nasional Tesso Nilio, PT Sola Hutani Lestari dan PT Siak Raya Timber. Tinjauan lapangan dilakukan disertai diskusi dengan pekerja traktor land clearing, tokoh masyarakat setempat dan aparat desa. Wawancara dengan grup responden 1 (SLH) ada di KM 102 Koridor RAPP Baserah. Koridor atau jalan logging ini dibangun PT RAPP dengan total sepanjang 54,1 kilometer, membelah kawasan Tesso Nilo dari Utara ke Selatan, terbagi atas jaringan jalan sepanjang 30 km di sebelah barat
58
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
(Borgatti et al. 2013). Bisa jadi seorang aktor mempunyai kemampuan tinggi dalam analisis atau praksis penanggulangan kebakaran hutan, namun karena dia tidak terkoneksi (terisolasi) dalam jaringan penanggulanan dan pencegahan Karhutla, maka dia tidak punya peran siginifikan. Pemburu rente (rent seeker) sering berada dalam posisi penting dari jaringan aktor yang mengakibatkan Karhutla. SNA dilakukan dengan membuat matriks biner bujur Gambar 1. Peta situasi Kompleks Hutan Tesso Nilo and sangkar berpasangan antar aktor. Hutan Lindung Bukit Betabuh dan lokasi wawancara Matriks ini berisi relasi informasi aktor yaitu ‘1’ jika ada relasi informasi (Koridor Sektor Baserah), dan sepanjang yang signifikan dan ‘0’ jika tidak ada 24,1 km disebelah timur (Koridor relasi informasi yang signifikan. Analisis Sektor Ukui-Gondai). Kedua koridor SNA dilakukan dengan menggunakan logging ini membuka wilayah yang perangkat lunak UCINET 6.559 dan 12 sebelumnya terisolasi. Wawancara NetDraw 2.148. Analisis SNA dilakukan dengan grup responden 2 (STM) yang dengan melihat derajad sentralitas sedang membuka lahan di Hutan Lindung (centrality degree). Simpul atau node yang Bukit Batabuh. Wawancara dengan grup mempunyai konektivitas terbanyak responden 3 (MKL) tokoh masyarakat dalam suatu jaringan akan memiliki Sungai Santan, kecamatan Batang derajad sentralitas tertinggi yang Cebaku, Kab Indragiri Hulu. Gambar 1 direpresentasikan dengan gambar simpul menyajikan peta situasi penelitian dan terbesar (Borgattiet al. 2013). lokasi wawancara. Langkah terakhir adalah mencari Peran aktor Karhutla bisa dipahami keterkaitan antara jaringan aktor secara independen atau dalam relasinya Karhutla dengan regulasi bidang kehudengan aktor lain. Analisis Jaringan tanan, lingkungan dan perkebunan. Sosial (Social Network Analysis atau SNA) Metode statistik Principle Component memahami peran aktor dalam konteks Analysis (PCA) diterapkan untuk menenbagaimana aktor tersebut berrelasi dan tukan bagaimana ragam regulasi ini terkoneksi dengan aktor-aktor yang lain bersesuaian dengan tipe jaringan aktor Karhutla. PCA ini digunakan untuk 12 http://www.wwf.or.id/?5420/PT-RAPP-Cut- transformasi data hubungan jaringan dan Logging-Access-to-Tesso-Nilo regulasi secara linier sehingga terbentuk A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
sistem koordinat baru komponen 1 dan 2 dengan keragaman maksimum.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebakaran Hutan dan Lahan Tranformasi bentang lahan (landscape) dari hutan menjadi perkebunan sedang terjadi. Karhutla menjadi cara murah, buruk dan liar (illegal) untuk transformasi ini. Karhutla terjadi di wilayah konsesi korporasi hutan alam, hutan tanaman industri (HTI) dan kebun kelapa sawit. Titik-titik panas dipakai sebagai perkiraan terjadinya Karhutla dengan tingkat kepercayaan 80% seperti dipakai oleh KLHK. Titik-titik panas selama 15 tahun rata-rata terakhir terjadi pada konsesi korporasi HPH, HTI dan kebun kelapa sawit (KKS) dan di luar konsesi. Rata-rata titik panas sebanyak 45% ada di wilayah izin konsesi (4% di IUPHHK-HA, 23% di HTI, 16% di KKS dan 2% di areal yang tumpang tindih (overlapped) dan 55% di luar wilayah izin konsesi (34% di kawasan hutan dan 21% di APL). Demikin juga pada tahun 2015, titik panas 45% terdapat di wilayah izin konsesi (14% KKS, 25% HTI, 4% HPH dan 2% tumpang tindih) dan 55% di luar wilayah izin konsesi (Purnomo et al. 2015a). Ali (2015) melaporkan bahwa pada 2013 Polda Riau menetapkan API sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan sawit seluas 40 ha di Desa Batang Nilo Kecil, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan. Pada 2014, Polda Riau menetapkan NSP sebagai tersangka pembaA R T I K E L
59
karan hutan dan lahan sagu seluas 3.000 ha di Kepulauan Meranti. Perkara ini dilimpahkan di PN Bengkalis. Pada tahun 2015, JJP didakwa naik ke persidangan di PN Rokan Hilir karena kasus Karhutla. Kebakaran di luar izin konsesi baik di hutan yang dikelola pemerintah seperti taman nasional, hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya disebabkan oleh aktor individual cukong dan pengguna lahan serta korporasi. Sebanyak 230 aktor individual baik cukong maupun pengguna lahan menjadi tersangka dalam Karhutla pada bulan Oktober 2015.13Pada akhir tahun 2015, PN Palembang memenangkan PT BMH, grup Sinarmas, yang dituntut 7,8 trilyun rupiah karena kasus kebakaran 20.000 ha HTI di Kabupaten Okan Komering Ilir (OKI) tahun 2014.14 JIKALAHARI bekerja sama dengan CIFOR melakukan studi lapangan pada tahun 2015 di Hutan Lindung Bukit Betabuh, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Ali (2015) menemukan bahwa beberapa bagian dari hutan yang menjadi koridor harimau dan gajah ini telah dibakar dan diubah menjadi kebun kelapa sawit baik oleh korporasi maupun individual secara ilegal. Laporan investigasi WWF tahun 2013 di Kompleks Hutan Tesso Nilo Riau (WWF 2013) dan laporan investigasi Eyes on the Forest (EOF) di Bukit Betabuh dan Tesso Nilo Riau (EOF 2016) https://m.tempo.co/read/news/2015/10/27/ 063713557/247-orang-jadi-tersangkapembakaran-lahan-dan-hutan 14 http://print.kompas.com/baca/2015/12/30/ Hakim-Menangkan-PT-Bumi-Mekar-Hijau 13
60
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
menyajikan perubahan bentang alam hutan menjadi kebun sawit secara ilegal.
taman nasional maupun lahan konsesi yang dikelola korporasi. Klaim ini dilandasi oleh kebutuhan pokok atas Rente Ekonomi dan Jaringan Aktor lahan yang dipunyai petani skala 2-10 ha, Karhutla maupun ketamakan para cukong yang • Rente Ekonomi Karhutla bisa mengklaim puluhan bahkan ratusan Pembakaran hutan dan lahan berhektar. Klaim lahan sepihak ini karena tujuan untuk mendapatkan rente ekono- rencana tata ruang wilayah (RTRW) mi. Rente ekonomi didefinisikan sebagai yang belum disepakati atau disetujui keuntungan yang luar biasa yang didapat semua pihak. Sebagai contoh, walaupun dengan cara yang merugikan pihak lain, RTRW Riau sudah disetujui lewat surat publik dan lingkungan. Rente ekonomi keputusan (SK) Kemenhut nomor sesungguhnya tidak hanya didapat ketika SK.673/Menhut-II/2014 tanggal 8 membakar hutan dan lahan untuk Agustus 2014. Namun ada lebih dari satu dijadikan kebun, tetapi sejak dari klaim juta hektar yang masih dituntut oleh ilegal hutan dan lahan. Klaim ilegal ini Pemerintah Provinsi Riau untuk dilepas terjadi pada lahan yang dikelola dari kawasan hutan menjadi kebun pemerintah seperti hutan lindung dan sehingga SK tersebut tidak terimplementasi.15 Ini berakibat pada ketidakpastian tata ruang di Gambar 2. Rente ekonomi Karhutla (Purnomo tingkat tapak. et al. 2015b) Klaim hutan dan lahan secara ilegal dan transaksi lahan pada kawasan hutan yang harusnya dikuasai negara marak dilakukan. Hutan lindung yang sudah diklaim dijual seharga Rp 1,5 juta/ha (Responden STM). Responden MKL juga menawarkan lahan yang telah ditebas dengan harga Rp. 8 juta/ha. Harga ini akan naik menjadi Rp 26 juta/ha kalau lahan yang diinginkan dekat dengan jalan utama transportasi tandan buah segar. Purnomo et al. (2015b), dalam studi kasus di Provinsi http://globalriau.com/nasional/SudahSelesai—Berikut-Penuturan-MenteriLHK-yang-Blak-blakan-Soal-RTRWRiau 15
A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
61
Gambar 3. Jaringan kebakaran korporasi 1 (Perusahaan)
Riau, mendapatkan bawah klaim hutan ini kemudian diikuti pembabatan dan penebasan tanaman. Lahan ini bisa dijual lewat pasar gelap dengan harga Rp 8,7 juta/ha. Ketika lahan ini dibakar maka harga lahan menjadi Rp 11,2 juta/ha. Lahan ini kemudian ketika ditanami sawit berumur tiga tahun mempunyai harga Rp 40,0 juta/ha. Gambar 2 menyajikan rente ekonomi Karhutla. • Tipe Jaringan Aktor Karhutla FGD mendiskusikan keterlibatan aktor dalam Karhutla berdasarkan temuan-temuan yang ada. Disepakati bahwa pada umumnya ada tiga tipe jaringan aktor Karhutla yaitu korporasi, cukong dan individual. Korporasi mempunyai badan hukum yang jelas dan skala operasi yang besar. Sedangkan cukong atau elit mempunyai anak buah dan jaringan yang kuat dengan atau tanpa badan hukum seperti korporasi, koperasi maupun perkumpulan. Individual adalah petani pemilik atau penggarap lahan yang menggunakan api dalam mengolah lahannya. A R T I K E L
Jaringan Karhutla berbentuk organisasi kriminal (organized crime) yang secara sengaja membakar hutan dan lahan untuk mengambil keuntungan sebesarnya-sebesarnya dengan merugikan orang kebanyakan. Umumnya jaringan ini berisi para pemburu rente ekonomi dari berbagai kalangan termasuk oknum-oknum pemerintah. Jaringan ini juga memanfaatkan ketidaktahuan beberapa pelaku formal untuk kepentingan mereka. Kebakaran dan dampak asap mulai intensif terjadi sejalan dengan mulai dibukanya lahan gambut pada tahun 1990 oleh korporasi. Cukong pada umumnya membiarkan lahan dalam keadaan kosong sehingga ketika terjadi kebakaran tidak ada yang mengakui siapa yang menyebabkan kebakaran. Padahal berdasarkan peraturan pemerintah, siapapun pemilik lahan memiliki tanggung jawab untuk menjaga lahan tersebut dari bahaya kebakaran. Unsur penyebab kebakaran pada dasarnya adalah kesengajaan dan kelalaian.
62
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 4. Jaringan kebakaran korporasi 2 (Koperasi)
Jaringan Kebakaran Korporasi Dalam korporasi ada tiga sub-tipe yang didiskusikan. Pertama,tata kelola perusahaan buruk.Tipe ini terjadi karena jeleknya manajemen internal korporasi yang berakibat pada kebakaran yang dilakukan oleh staf dan kontraktor kerja mereka. Contoh dari tipe ini adalah kebakaran yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti. Kontraktor mendapatkan kontrak dari perusahaan. Untuk menurunkan biaya pengolahan lahan, maka kontraktor membakar lahan tersebut. Karyawan perusahaan juga membakar lahan untuk mendapatkan lembur pemadaman kebakaran. Gambar 3 menunjukkan tipe 1 kebakaran korporasi. Simpul (node) perusahaan mempunyai ukuran terbesar yang menandakan jumlah koneksi terbanyak dalam jaringan tersebut. Perusahaan mempunyai sentralitas derajad tertinggi dalam tipe ini. Dengan kata lain perusahaan yang paling bertanggung jawab atas tipe jaringan ini.
Kedua, kebakaran yang terjadi dengan melibatkan masyarakat, makelar, koperasi, kepala desa dan perusahaan seperti yang terjadi di Kabupaten Palelawan dan Bengkalis. Makelar membujuk masyarakat lokal atau adat memberikan lahan yang mereka kuasai dalam izin konsesi untuk ditanami sawit atau akasia lewat kerjasama dengan perusahaan. Lahan yang dikuasai masyarakat bisa merupakan area untuk konservasi maupun areal produksi namun tidak mampu dikuasai oleh perusahaan. Makelar dengan kepala desa dan masyarakat membentuk koperasi. Koperasi ini kemudian bekerja sama dengan perusahaan untuk mengolah tanah untuk ditanami sawit atau akasia. Namun demikian koperasi ini bukan koperasi yang didambakan oleh masyarakat. Koperasi ini lebih melayani kepentingan perusahaan dan makelar. Pembakaran dilakukan di lahan kerjasama koperasi dan perusahaan untuk menurunkan biaya pengolahan A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
63
Gambar 5. Jaringan kebakaran korporasi 3 (Perseorangan)
kebun. Gambar 4 menunjukkan bahwa koperasi dan makelar memegang peranan penting dalam Tipe 2 kebakaran korporasi. Ketiga, adalah kebakaran lahan perseorangan yang secara ilegal ada di areal izin konsesi dan di perbatasan antara izin konsesi dan APL (Gambar 5). Lahan perseorangan disini sebenarnya tidak sesuai dengan aturan formal yang ada, karena lahan tersebut sudah dialokasikan pada korporasi. Secara de facto beberapa bagian lahan yang ada di dalam izin konsesi dikuasai dan dikuasai perseorangan. Kebakaran lahan ini dipicu oleh konflik dan kesenjangan sosial. Konflik muncul antara lain karena masyarakat meminta pekerjaan namun perusahaan tidak menyediakan. Kesenjangan upah juga menjadi pimicu konflik, sebagai contoh di masyarakat,upah menanam satu pokok sawit adalah Rp3.000 sedangkan upah yang diberikan perusahaan hanya Rp1.200.Kebakaran ini diperparah dengan ketidaktersediaan sarana pemadaman baik oleh masyarakat maupun perusahaan. A R T I K E L
Jaringan Kebakaran Cukong Cukong menyasar lahan-lahan di hutan lindung, taman nasional dan areal konsesi yang tidak terurus atau open access untuk diperjual-belikan. Tidak sedikit hutan lindung yang tidak dilindungi, ataupun taman nasional yang tidak terjaga dengan baik. Jika pemerintah tidak mampu melindungi hutan lindung dan taman nasional maka areal ini menjadi sasaran pembukaan atau perluasan kebun baik dilakukan oleh perusahaan skala menengah, kelompok tani maupun individual. Demikian juga yang terjadi dengan areal konsesi HPH atau HTI yang tidak terurus dengan baik. Misalnya, secara nasional luas izin HTI adalah 11 juta ha, namun yang tertanami hanya 4,9 juta ha. Sisanya bisa tidak terurus, termasuk 30% areal areal konservasi. Kasus tipikal cukong terjadi di hutan lindung Kabupaten Indragiri Hulu. Dalam kasus ini seorang cukong mengkoordinir kelompok tani. Cukong tersebut mendapat otoritas dari kepala desa. Berbekal izin tersebut hutan
64
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 6. Tipe kebakaran cukong
lindung dirubah menjadi lahan perkebunan. Cukong juga mendapat ‘restu’ dari para tokoh masyarakat yang ingin mengambil keuntungan. Cukong kemudian menjual lahan tersebut pada perusahaan, kelompok tani pendatang dan pemilik individual. Investor, umumnya klas menengah, menanamkan uangnya pada kelompok tani maupun pemilik individual ini. Gambar 6 menyajikan jaringan sosial cukong. Berbeda dengan makelar yang hanya menjadi perantara bagi pihak lain dengan mengharapkan keuntungan, cukong mempunyai modal uang dan kekuasaan untuk menguasai lahan dan menjualnya. Keikutsertaan cukongcukong di tingkat provinsi maupun tingkat nasional terdeteksi. Keuntungan cukong jauh lebih besar daripada makelar. Lahan tidak legal yang diusahakan menjadi kebun sawit ini diolah secara cepat dan murah yaitu dengan membakar. Ketidakpastian
hukum pada lahan tidak legal ini membuat pembakaran sulit dihindari. Pembakaran lahan dilakukan oleh kelompok tani dan pemilik lahan individual yang membeli dari penjual lahan. Kasus cukong terjadi juga di Kabupaten Pelalawan di mana ada keterlibatan batin (kepala suku) dengan ketua RT dalam proses penerbitan izin usaha pada lahan. Kasus cukong terjadi juga di Kabupaten Rokan Hilir dan Dumai. Pada kasus ini cukong menjual lahan pada oknum polisi, oknum DPRD, oknum pengacara dan oknum Kantor Urusan Agama dengan back-up oknum keamanan. Cukong lokal dalam jaringan ini mempunyai derajad sentralitas yang tertinggi yang diikuti oleh penjual lahan. Cukong bisa diperankan oleh tokoh masyarakat, elit lokal, pegawai pemerintah dan polisi, kepala desa, kepala dusun dll. A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
65
Gambar 7. Tipe kebakaran individual
Tipe Kebakaran Individual Kebakaran individual terjadi di APL. Kebakaran ini terjadi karena masyarakat sudah melakukan kegiatan pertanian dengan menggunakan api sejak dari dulu, namun keadaan sekarang lahan sudah semakin mengering karena berbagai faktor sehingga menjadi lebih rawan terhadap api. Kasus terbagi menjadi (a) Petani kecil melakukan kegiatan pertanian dengn luas lahan umumnya 2 ha; (b) Pemilik lahan melakukan pembakaran secara bersama-sama dengan luas lahan mencapai 10 ha; dan (c) Pemilik lahan mengupah pekerja untuk membersihkan lahan, api digunakan oleh pekerja untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja dengan luas lahan bisa mencapai ratusan hektar. Kebakaran tipe individual yang dilakukan sendiri dan bersama-sama terjadi di Kabupaten Rokan Hilir pada kasus SH, SG, HM dan AW. Setiap kasusnya berkisar 2-100 ha. Terpidana pada setiap kasus tersebut dihukum A R T I K E L
kurang dari 1tahun dan denda kurang dari 100 juta rupiah. Gambar 7 menyajikan tipe jaringan kebakaran individual yang terdiri dari tiga sub-jaringan. Pertama adalah pemilik lahan kecil membakar sendiri. Kedua, pemilik lahan kecil ke-1, 2, dan ke-n bersama-sama membakar lahan. Ketiga, mandor yang bekerja pada pemilik lahan besar mengupah para pekerjanya untuk membakar lahan. 3.3. Regulasi dan Jaringan Aktor Perundang-undangan yang banyak terkait dengan kebakaran hutan dan lahan adalah UU 41/1999 tentang kehutanan, UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH), UU 39/2014 tentang perkebunan, UU 18/2013 pencegahan dan pemberantasan perusakan hutandan UU 26/2014 tentang ratifikasi persetujuan ASEAN terhadap polusi asap lintas batas (Tabel 1). UU 41/1999 jelas melarang pembakaran hutan. UU 39/2014
66
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Tabel 1. Undang-Undang melarang pembakaran hutan dan lahan
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-41-1999.pdf http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%2032%20Tahun%202009%20(PPLH).pdf 18 http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2013_18.pdf 19 https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor%2039%20Tahun %202014.pdf 20 http://sipongi.menlhk.go.id/cms/images/files/10257.PDF 21 http://haze.asean.org/?wpfb_dl=32 16 17
A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
melarang pembakaran lahan, yang diatur lagi oleh peraturan menteri. Sedangkan UU 32/2009 memberi celah pada pemerintah daerah untuk memberikan kelonggaran untuk pembakaran skala kecil dan tradisional. Menurut Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, pada pasal 49 disampaikan bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Peraturan Pemerintah No. 4/2001 tentang ’Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan’ Pasal 13 menyatakan bahwa setiap pemegang izin wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan atau atau lahan di lokasi usahanya. Dari kedua regulasi ini Karhutla di wilayah izin konsesi merupakan tanggung jawab pemegang izin. Di Indonesia pada tahun 2015, ada 58 korporasi dilaporkan membakar hutan dan lahan22 dan 16 korporasi dibekukan izinnya pada akhir tahun 2015 karena Karhutla.23 Walaupun UU 39/2014 tentang perkebunan jelas dilarang membakar, tetapi Peraturan Menteri Pertanian No. 47/2014 tentang ‘Brigade dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Serta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun’24 dimungkinkan penggunaan api https://m.tempo.co/read/news/2015/10/27/ 063713557/247-orang-jadi-tersangka-pembakaran-lahan-dan-hutan 23 https://m.tempo.co/read/news/2015/12/07/ 206725713/kebakaran-hutan-16-perusahaanakan-dibekukan 24 http://perundangan.pertanian.go.id/admin/file/ Per mentan%20No.47%20Tahun%202014.pdf 22
A R T I K E L
67
dalam pemanfaatan limbah pembukaan lahan untuk arang. Pembakaran untuk pembuatan arang ini bisa tidak terkendali, tidak sengaja atau disalahgunakan dalam praktiknya. Kasus kebakaran di Gunung Sindoro, Temanggung terjadi karena pembuatan arang.25 Membuat arang di hutan merupakan salah satu penyebab kebakaran.26 Pembukaan gambut untuk pertanian dapat dilakukan lewat Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2009 tentang ‘Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit’.27 Gambut bisa di-drain dan kanalisasi untuk perkebunan sawit. Dengan kata lain, walaupun UU kehutanan dan perkebunan menyatakan dilarang membakar di hutan dan lahan, namun kegiatan baik membakar di lahan limbah pembukaan lahan maupun kanalisasi gambut sangat dimungkinkan dari peraturan menteri pertanian. Peraturan menteri ini jauh lebih operasional daripada undang-undang. Dilain pihak gambut dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.29 Peraturan http://jogja.tribunnews.com/2015/06/17/wargabikin-arang-diduga-picu-kebakaran-hutan-dilereng-sindoro 26 http://www.artikellingkunganhidup.com/5penyebab-kebakaran-hutan-penanganan nya.html 27 http://sawitwatch.or.id/download/Peraturan %20Menteri/129_PERMEN_Pertanian%2 0No%2014%20Th%202009_Pembukaan %20 Kebun%20sawit%20Dilahan%20 Gambut.pdf 28 http://www.kemendagri.go.id/media/documents/ 2014/11/13/p/p/pp_no.71-2014.pdf 25
68
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Tabel 2. Matriks hubungan keberadaan regulasi dan jaringan aktor Karhutla (0=tidak ada hubungan, 1=lemah; 2=sedang; 3=kuat)
A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
pemerintah ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam UU 32/2009 ini pasa pasal 69 ayat 2 mengatakan pemerintah daerah bisa berinisiatif untuk membuat aturan yang sesuai dengan kearifan lokal di daerahnya masingmasing. Dalam penjelasannya disampaikan bahwa pembakaran lahan bisa dilakukan seluar 2 hektar per kepala keluarga dengan jenis lokal dan sekat bakar. Inpres No 16/2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan29yang diperbarui dengan Inpres No. 11/2015 tertanggal 24 Oktober 2015 tentang ‘Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan’30 memerkuat koordinasi antarkementerian dan aksi pengendalian Karhutla di lapangan. Sedangkan Inpres No. 8 Tahun 2015 tentang ‘Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut’ atau bisa disebut Inpes Moratorium banyak membidik penundaan pemberian izin formal bagi perusahaan. Surat edaran No S.494/MENLHKPHPL/2015 tertanggal 3 November 2015 tentang ‘Larangan Pembukaan Lahan Gambut’ dikeluarkan untuk https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/ files/produkhukum/Inpres%2016% 20Tahun% 202011%20Peningkatan%20 Pengendalian%20 Kebakaran% 20Hutan.pdf 30 http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/ lt56a0ab463252d/node/lt511a13750665b/ inpres-no-11-tahun-2015-peningkatan-pengendalian-kebakaran-hutan-dan-lahan 29
A R T I K E L
69
menghentikan konversi gambut oleh korporasi31. BRG dibentuk dengan Peraturan Presiden No. 1 tahun 201632 untuk mencegah kebakaran dan merestorasi kerusakan lahan gambut seluas 2,2 juta ha dalam kurun waktu lima tahun sejak 2016. Surat edaran BRG SE.01/BRG-KB/6/2016 tertanggal 1 Juni 2016 tentang ‘Kesiapsiagaan Menghadapi Musim Kemarau’ bermaksud memastikan bahwa musim kemarau 2016 tidak terjadi kebakaran lagi. Tabel 2 menyajikan sebuah matriks hubungan antara jaringan aktor Karhutla (baris) dan regulasi (kolom). Tiap regulasi membidik (addressing) tipe yang berbeda dari jaringan. Jika bidikannya lemah diskor ‘1’, sedang ‘2’ dan ‘kuat’ 3. Jika tidak ada hubungannya di skor ‘0’. Regulasi yang ada secara rata-rata, dalam hal ini diambil nilai mediannya yang bernilai ‘1’, tidak cukup kuat untuk membidik jaringan aktor kebakaran korporasi, cukong dan individual. Kebakaran tipe korporasi yang dilakukan oleh perusahaan, maka regulasi yang ada punya tingkat ‘sedang (2)’ untuk menanggulanginya. Namun bila itu dilakukan dengan kerjasama lewat kelembagaan koperasi maupun perseorangan maka keberadaan regulasi tidak banyak bisa membidiknya. Sedangkan jaringan kebakaran tipe ‘cukong’ yang sering terjadi di hutan lindung, taman nasional dan areal open access lainnya, keberadaan regulasi ‘lemah (1)’. Demikian http://agroindonesia.co.id/index.php/2015/11/ 17/cegah-kebakaran-gambut-pun-terlarang/ 32 http://175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan/ Perpres_Nomor_1_Tahun_2016.pdf 31
70
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 8. Hasil analisis PCA terhadap jaringan kebakaran dan regulasi (keragaman total 78%)
juga untuk kebakaran lahan individual, banyak regulasi yang tidak menyentuhnya. Sehingga secara umum, median dari semua nilai median jaringan kebakaran, dapat dikatakan bahwa keberadaaan semua regulasi untuk membidik semua tipe jaringan kebakaran adalah ‘lemah (1)’. Namun demikian, kalau dilihat nilai maksimum untuk tiap tipe jaringan kebakaran maka semua mendapatkan nilai ‘kuat (3)’ kecuali tipe individual dengan nilai ‘sedang (2)’. Ini bermakna bahwa ada regulasi, paling tidak ada satu, yang kuat (3) untuk membidik jaringan kebakaran itu. Sebagai contoh UU 18/ 2013 tentang‘Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan’ kuat membidik kebakaran di tipe jaringan korporasi dan cukong. Sedangkan UU 32/2009 tentang‘Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup’ cukup atau sedang (2) untuk membidik tipe kebakaran di lahan individual. Median dari nilai maksimum untuk semua tipe kebakaran adalah kuat (3). Ini berarti bahwa ada regulasi tertentu yang memadai untuk membidiksetiap tipe jaringan Karhutla. Gambar 8 menyajikan hasil analisis PCA terhadap jaringan Karhutla berbasiskan regulasi yang ada. Tampak bahwa UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
Hidup membidik kuat, tapi tidak spesifik ke jaringan tertentu. Namun bila dilihat bagi Jaringan Individual di APL, hanya UU 32/2009 yang cenderung dekat untuk membidiknya. Sementara Jaringan Korporasi Perseorangan dan Korporasi Koperasi memiliki ciri yang mirip, dimana keduanya dibidik oleh aturan yang sama, seperti UU 32/ 2009 dan UU 18/ 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Selain itu UU 18/2013 juga membidik Jaringan Cukong dan Korporasi Perusahaan, ditambah lagi PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan UU 41/1999 tentang Kehutanan juga membidik kuat kedua jaringan ini. Secara umum maka Jaringan Korporasi Perusahaan dan Cukong dibidik kuat oleh tiga instrumen regulasi, kontras dengan Individual di APL yang tidak terlalu kuat dibidik oleh instrumen regulasi tertentu. Tentu saja adanya regulasi tidak menjamin terlaksana dan tegaknya regulasi tersebut.Pelaksana dan penegak regulasi adalah institusi pemerintah (eksekutif) seperti kementerian dan pemerintah daerah serta penegak hukum yang meliputi kepolisian dan kejaksaan serta lembaga yudikatif kehakiman. Sedangkan pembuat aturan adalah lembaga legislatif (DPR dan DPRD) dengan pemerintah. Keseluruhan ini disebut dengan istilah ‘tata kelola’ (governance) yang mengupas bagaimana keputusan dan kebijakan dibuat dan diimplementasikan. Tata kelola hutan dan lahan yang lemah akan mudah terpengaruhi oleh aktor-aktor dalam jaringan kebakaran tersebut. A R T I K E L
71
Keterpengaruhan ini akan melemahkan kemampuan pihak eksekutif dan yudikatif dalam memastikan regulasi itu berjalan. Keterpengaruhan ini terjadi lewat jaringan patronase (patronage network) dimana aktor-aktor Karhutla punya patron di lembaga eksekutif, legistalif dan yudikatif (Varkkey 2013; 2016) Jaringan patronase juga terjadi di tingkat yang lebih tinggi (supra-jaringan). Supra-jaringan menghubungkan perusahaan-perusahaan dengan pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi yang berpengaruh di Indonesia, bahkan di Malaysia dan Singapura. Berberapa perusahaan yang lahannya terbakar seperti SPA dan SGP di Riau dan BMH di Sumatra Selatan terhubung dengan grup raksasa yang mempunyai anggota komisaris elit pemerintah di tingkat nasional dan regional. Masyarakat yang betul-betul membutuhkan lahan untuk bertani, bukan cukong yang menjual lahan, perlu perlakuan khusus dari pemerintah. Akses terhadap lahan disertai dengan kelembagaan yang baik akan meningkatkan ekonomi masyarakat (Purnomo dan Mendoza 2011; Purnomo et al. 2012b). Masalah legalitas lahan harus diselesaikan dengan baik secara spasial maupun temporal. Secara spasial artinya, petani kecil harus mempunyai lahan yang secara legal bisa dijadikan kebun. Petani kecil ini harus mendapat keuntungan dari hutan-hutan produksi konversi, reforma agraria dan rencana pemerintah untuk alokasi 9 juta ha. Secara temporal berati bahwa bisa jadi petani kecil ini yang lahannya sekarang
72
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
ilegal diberi jangka waktu tertentu, satu daur tanaman sawit misalnya, untuk berkebun disitu kemudian harus dikembalikan ke pemerintah untuk dihutankan kembali. Selama periode satu daur tersebut petani harus diberikan kepastian hukum agar bisa meningkatkan produktivitas kebunnya (Reponden 1 SLH). Kolaborasi dengan pihak swasta dalam bentuk plasma juga dimungkinkan untuk meningkatkan pendapatan petani (Purnomo et al. 2013a; 2013b). Legalitas merupan prinsip ke-1 dari ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah untuk mendunia bersanding dengan RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil).
KESIMPULAN Karhutla yang terjadi setiap tahun mengakibatkan kerugian ekonomi, lingkungan dan korban jiwa yang besar. Namun pada saat yang sama menguntungkan beberapa pihak yang terlibat dalam jaringan aktor Karhutla. Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut: 1. Kebakaran hutan dan lahan dilakukan oleh sekelompok orang yang berbentuk jaringan. 2. Jaringan aktor Karhutla beroperasi pada tingkat korporasi, cukong dan individual. Jaringan ini melibatkan aktor ekonomi, oknum pemerintahan dan oknum tokoh masyarakat. 3. Ada regulasi lingkungan, perkebunan dan kehutanan yang memadai untuk membidik tokoh kunci jaringan Karhutla.
4. Eksekusi dari regulasi dengan konsisten menjadi kunci memerangi jaringan Karhutla.
PUSTAKA Ali M. 2015. Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau: Cerita dari ruang sidang hingga reportase lapangan. Laporan internal proyek ‘Ekonomi Politik Kebakaran dan Asap’. CIFOR. Tidak dipublikasikan. Borgatti SP, Everett MG and Johnson JC. 2013. Analyzing Social Networks. Sage Publications UK. Eyes on the Fores (EOF). 2016. Tidak ada yang aman: Kelapa sawit ilegal menyebar melalui rantai pasokan dunia kendati ada komitmen dan sertifikasi kelestarian global http://www.eyesontheforest.or.id/ attachLaporan%20 EoF%20April2016% 20Tak%20ada%20yang%20aman_ FINAL.pdf (19 Juni 2016) Purnomo H, Okarda B, Shantiko B, Achdiawan R, Kartodiharjo H, Dewayani AA. 2015a. Kabut Asap, Penggunaan Lahan dan Politik Lokal. Makalah dipresentasikan pada ‘Diskusi Pakar Kebakaran Hutan dan Lahan dan Bencana Asap di Provinsi Jambi’, Pusat Penelitian Kependudukan - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 3 November 2015. https://www.researchgate.net/ publication/294721462_Kabut_Asap _Penggunaan_Lahan_dan_Politik_ Lokal Purnomo H, Shantiko B, Gunawan H, Sitorus A, Salim MA, Achdiawan R. 2015b. Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah pendekatan analitis. Disajikan pada diskusi terbatas “Mencegah Kebakaran Lahan dan Hutan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Sarana Wana Jaya, tgl 11 Juni 2015, di Gedung Manggala Wana Bakti, Jakarta. https://www.re searchgate.net/publication/294721273 _Ekonomi_Politik_Kebakaran_Hutan A R T I K E L
Herry Purnomo et al., Jaringan Aktor dan Regulasi Kebakaran Hutan
_dan_Lahan_Sebuah_pendekatan_ analitis Purnomo H, Suyamto D, Irawati RH 2013. Harnessing the climate commons: an agent-based modelling approach to making reducing emission from deforestation and degradation (REDD) + work. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 18: 471–489. Purnomo H, Suyamto D, Abdullah L, Irawati RH 2012a. REDD+ actor analysis and political mapping: an Indonesian case study. International Forestry Review. Vol. 14(1): 74-89 Purnomo H, Arum GS, Achdiawan R, Irawati RH. 2012b. Rights and wellbeing: an analytical approach to global case comparison of community forestry. Sustainable Development 5(6): 35. Purnomo H, Mendoza G. 2011. A system dynamics model for evaluating collaborative forest management: a case study in Indonesia. International Journal of Sustainable Development & World Ecology 18(2): 164–176. Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Hakim S,
A R T I K E L
73
Jafar A, Suprihatin. 2003a. Collaborative modeling to support forest management: Qualitative systems analysis at Lumut Mountain Indonesia. Small-scale Forest Economics, Management and Policy 2(2): 259–275. Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Yuliani L, Priyadi H, Vanclay JK. 2003b. Multi-agent simulation of alternative scenarios of collaborative forest management. Smallscale Forest Economics, Management and Policy 2 (2): 277–292. Varkkey H. 2013. Oil palm plantations and trans-boundary haze: Patronage networks and land licensing in Indonesia’s peatland. Wetlands 33:679–90. Varkkey H. 2016. The Haze Problem in Southeast Asia: Palm oil and Patronage. London: Routledge Taylor & Francis Group. World Wildlife Fund (WWF). 2013. Sawit dari taman nasional: Menelusuri TBS ilegal di Riau. http://awsassets.wwf.or.id/downloads/wwf_indonesia__2013__menelusuri_sawit_illegal_di_riau_ final.pdf (19 Juni 2016)
74
D E N G A R
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
P E N D A P A T
DIMENSI MANUSIA PADA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT Menentukan Perspektif Pemangku Kepentingan dalam Berbagai Skala Oleh Rachel Carmenta, Aiora Zabala, Willy Daeli, Jacob Phelps Menghadapi bencana kebakaran yang melanda di sejumlah wilayah, terdapat berbagai macam Inisiatif Penanggulangan Kebakaran (IPK) yang bertujuan mencegah dan menanggulangi kebakaran, serta untuk menghukum pelaku kebakaran. IPK memiliki variasi yang signifikan dalam skala geografis, pemangku kepentingan yang ditargetkan, jangka waktu dan ruang lingkup intervensi berikut keseluruhan pendekatan yang menyertainya. Namun, kebakaran lahan gambut memberikan tantangan tersendiri bagi pengelola sumber daya alam dan IPK yang efektif masih belum ditemukan. Penting kemudian memperhatikan keberhasilan dan kegagalan IPK yang juga akibat dari perbedaan motivasi para pemangku kepentingan terkait pembakaran lahan, dan pilihan solusi yang lebih disukai oleh para pemangku kepentingan tersebut. Artikel ini menguji persepsi dan preferensi yang beragam mengenai kebakaran lahan gambut, termasuk dari penduduk yang sudah lama menetap dan komunitas baru, serta pelaku kebakaran maupun pembuat kebijakan di tingkat daerah, nasional, dan internasional. Kata kunci: inisiatif penanggulangan kebakaran (IPK), respon kebijakan
PENDAHULUAN
K
ebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia, termasuk yang melanda provinsi Riau di Sumatera, adalah salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca global, penebangan hutan, dan kabut asap lintas negara, serta menjadi pemicu ketegangan regional di bidang kesehatan masyarakat, ekonomi, lingkungan, dan hubungan internasional [1-4]. Sejak kebakaran besar-besaran terkait El Niño pada periode 1997-98,
kebakaran lahan gambut berskala luas di Indonesia terus berulang, termasuk di luar tahun-tahun terjadinya anomali iklim, dan kini menjadi peristiwa tahunan [1, 3, 5]. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 disebut-sebut sebagai kejahatan lingkungan terburuk abad ini [2]. Karenanya, kebakaran lahan gambut merupakan wujud pergulatan modern untuk memahami dan menanggulangi perubahan pesat lingkungan yang dipicu oleh manusia dan terjadi secara global. D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
75
Gambar 1. Lahan gambut terbakar di dekat Kota Palangka Raya, Indonesia. Foto oleh Björn Vaughn.
Ketika dihadapkan pada bencana tersebut, berbagai inisiatif penanggulangan kebakaran (IPK) muncul untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran, serta untuk menghukum pelaku kebakaran. IPK memiliki variasi yang signifikan dalam skala geografis, pemangku kepentingan yang ditargetkan, jangka waktu dan ruang lingkup intervensi, serta pendekatan keseluruhan (misalnya fokus pada pemadaman daripada pencegahan, ketergantungan pada sanksi, peran insentif). Namun, kebakaran lahan gambut (Gambar 1) memberikan tantangan tersendiri bagi pengelola sumber daya alam [6-13] dan IPK yang efektif masih belum ditemukan. Kesenjangan yang cukup besar antara kebijakan (de jure) dan praktik (de facto) dalam pengelolaan lahan gambut, seperti halnya di bidang lain dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam, menunjukkan perluD E N G A R
P E N D A P A T
nya pemahaman yang lebih baik tentang mengapa IPK belum berhasil [8, 14-19]. Meski kurang dipahami, kemungkinan IPK belum berhasil karena sejumlah faktor yang saling berhubungan, termasuk lemahnya tata kelola dan kapasitas kelembagaan, ketidaksetaraan kekuasaan dan gagalnya intervensi untuk memanfaatkan norma, praktik, dan kapasitas lokal secara memadai [14, 1820]. Yang tak kalah penting, keberhasilan dan kegagalan IPK juga akibat dari motivasi para pemangku kepentingan yang berbeda terkait pembakaran lahan, dan pilihan solusi yang lebih disukai oleh para pemangku kepentingan tersebut [21]. Oleh karenanya, menjadi penting kemudian untuk menelaah secara khusus persepsi pemangku kepentingan pada ranah lahan gambut Indonesia. Kompleksitasnya terkait dengan perubahan peng-
76
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
gunaan tanah yang cukup signifikan dewasa ini dan melibatkan banyak pelaku. Contohnya, lahan gambut Sumatera bukan hanya telah dilanda kebakaran hebat melainkan juga perubahan drastis dalam penggunaan tanah selama 20 tahun terakhir, yang didorong oleh meluasnya perkebunan akasia dan kelapa sawit [22-24]. Perubahan penggunaan tanah juga terkait dengan perpindahan penduduk yang signifikan ke daerah tersebut (baik secara spontan maupun didukung pemerintah), yang membawa beragam pemangku kepentingan serta pola baru investasi dan pengambilan lahan [25]. Berbagai kelompok pemangku kepentingan (contohnya termasuk pemilik yang tidak menempati tanah, pelaku agrobisnis, dan petani skala kecil) memperoleh keuntungan dan kerugian akibat kebakaran dengan cara berbedabeda. Penting untuk memahami orientasi dan preferensi nilai masyarakat karena hal tersebut pada akhirnya membentuk perilaku pengelolaan tanah [26-30]. Solusi efektif untuk mengatasi kebakaran lahan gambut kemungkinan akan melibatkan pergeseran dari praktik yang ada sekarang ini dan mau tidak mau mereka yang terlibat harus berkompromi. Di tengah usaha untuk menerapkan solusi teknokratik [20, 31, 32], kami berpendapat bahwa evaluasi kritis terhadap belum berhasilnya IPK harus berfokus pada memahami persepsi yang beragam mengenai kebakaran lahan gambut, termasuk dari penduduk yang sudah lama menetap dan komunitas baru, serta pelaku kebakaran maupun pembuat kebijakan di tingkat daerah, nasional, dan internasional [28]. Selain
itu, dengan menganalisis cara-cara berpikir yang berbeda mengenai keuntungan, kerugian, dan solusi untuk kebakaran lahan gambut, dapat dilihat hal apa saja yang disepakati maupun dipertentangkan para pemangku kepentingan, sehingga dapat ditemukan titik dimana adanya kemungkinan penolakan paling sedikit. Analisis semacam ini juga menyoroti kapan dialog diperlukan untuk menyepakati kompromi yang tak terelakkan, menghasilkan legitimasi dan persetujuan, serta bergerak menuju “ruang solusi” bersama. Penelitian kami memberi wawasan baru mengenai ragam persepsi dan preferensi terkait kebakaran lahan gambut di Riau, Sumatera. Kami menemukan adanya kumpulan pendapat serupa di antara kelompok pemangku kepentingan yang berbeda, dan menyoroti poin-poin perselisihan. Analisis tersebut dapat membantu mengenali preferensi untuk solusi, mendiagnosis isu yang dikhawatirkan, dan memandu agar upaya di masa depan lebih fokus. Di tengah perdebatan kebijakan yang panas dan berlarut-larut, data ini juga akan membantu memfasilitasi negosiasi dan diskusi kebijakan yang lebih konstruktif dan terarah, serta membantu memastikan bahwa intervensi yang dilakukan tetap memerhatikan realitas masyarakat di lapangan. Laporan ini menyuguhkan hasil awal yaitu peringkat rata-rata masing-masing pernyataan dari semua responden terkait i) pentingnya keuntungan dan kerugian akibat kebakaran lahan gambut dan ii) keefektifan solusi potensial untuk mengatasi kebakaran lahan gambut. Kami menyajikan ikhtisar D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
singkat berbagai perspektif berbeda mengenai kedua dimensi tersebut. Kami mengaitkan hasil tersebut dengan upaya penanganan kebakaran saat ini dan membahas implikasi temuan kami terhadap kebijakan.
METODE Untuk memahami perspektif yang berbeda di ranah kebakaran dan kabut asap, kami menggunakan metode Q. Dalam pendekatan ini dipilih serangkaian pernyataan yang mewakili seluruh pendapat yang ada mengenai topik tertentu. Responden diminta
memberi peringkat pada pernyataanpernyataan tersebut dalam sistem distribusi paksa (Gambar 2). Data dicatat dan dianalisis menggunakan faktor untuk mengungkapkan perspektifnya secara kolektif (disebut “faktor”) tentang topik tersebut. Penelitian kami melibatkan dua kelompok pernyataan yang masingmasing terdiri dari 30–40 pernyataan. Masing-masing kelompok mencakup satu dari dua isu berikut: 1. Sejumlah kerugian dan keuntungan yang mungkin diperoleh orang terkait kebakaran dan kabut asap, yang diurutkan berdasarkan skala
Gambar 2. Contoh pengurutan Q yang telah selesai, dimana semua pernyataan solusi telah diurutkan berdasarkan skala keefektifan. Penempatan setiap kartu berhubungan dengan semua kartu lainnya. D E N G A R
P E N D A P A T
77
78
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Tabel 1. Daftar lengkap pernyataan keuntungan dan kerugian (himpunan) yang diurutkan berdasarkan skala kepentingan. No.
Pernyataan Keuntungan dan Kerugian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kebakaran mengurangi gulma dan hama yang merusak tanaman Kebakaran melemahkan reputasi industri kelapa sawit Indonesia Kebakaran meningkatkan risiko tanah seseorang dapat diduduki karena lahan yang terbakar tampak kosong Kebakaran menyebabkan kabut asap yang membuat transportasi lebih berbahaya Kebakaran digunakan untuk membuka lahan demi memudahkan akses ke lokasi memancing dan berburu Kebakaran mengurangi produksi tanaman pangan untuk menghidupi rumah tangga Pemilik tanah skala kecil kehilangan penghasilan saat kebakaran menghanguskan lahan mereka Perusahaan perkebunan meningkatkan laba saat mereka membuka lahan dengan cara membakar Pemerintah pusat memberikan dana kepada pemangku kepentingan di Riau untuk menanggulangi kebakaran Kebakaran di Indonesia menimbulkan kabut asap yang menyebar ke Singapura dan Malaysia dan menyebabkan gangguan kesehatan di sana Kebakaran di Indonesia menimbulkan kabut asap yang menyebar ke Singapuradan Malaysia dan menyebabkan kerugian ekonomi di sana Kebakaran adalah cara tradisional masyarakat untuk membuka lahan Pemilik tanah skala kecil bisa ikut bercocok tanam karena mereka dapat membuka lahan dengan biaya murah dengan cara membakar Kebakaran menyulitkan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab saat pembukaan lahan dilakukan secara ilegal Kebakaran menimbulkan kabut asap yang membuat orang harus tetap di dalam rumah Kebakaran menimbulkan konflik antarkelompok tentang siapa yang bertanggung jawab atas pembakaran Kebakaran mengakibatkan petani skala kecil dipersalahkan dan dipaksa mengikuti kebijakan Kabut asap akibat kebakaran menyebar hingga ke Singapuradan Malaysia dan menyebabkan ketegangan diplomatik Kebakaran mengakibatkan kerugian pada seluruh perekonomian Riau Kebakaran menimbulkan kabut asap yang menyebabkan gangguan kesehatan di Riau Kebakaran mengurangi keanekaragaman hayati Kebakaran menyulitkan bisnis pertanian karena meningkatnya birokrasi, peraturan, dan penegakan hukum Konflik menyebabkan orang membakar tanah orang lain atau perusahaan Kebakaran membantu orang menunjukkan klaimnya atas tanah Kebakaran menimbulkan risiko merusak tanaman sehingga orang tidak ingin bercocok tanam di tanah mereka Kebakaran mengurangi kenikmatan berekreasi Pemilik tanah skala besar kehilangan penghasilan saat kebakaran menghanguskan lahan mereka Kebakaran mengurangi keasaman lahan gambut dan membuatnya lebih baik untuk bercocok tanam Kebakaran menyebabkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada iklim global Kebakaran memungkinkan pembangunan pertanian yang pesat sehingga rumah sakit, jalan, dan sekolah
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
“kepentingan”. Ini termasuk keuntungan dan kerugian langsung maupun tidak langsung, yang diperoleh pada skala lokal, regional, nasional, dan global (Tabel 1). 2. Berbagai solusi yang memungkinkan untuk menanggulangi kebakaran lahan gambut, mulai dari pemadaman, penegakan hukum, insentif ekonomi, hingga pengelolaan
lahan gambut yang lebih baik (Tabel 2). Diurutkan berdasarkan skala keefektifan. Responden berasal dari berbagai kelompok pemangku kepentingan dari kancah lokal, nasional, dan internasional, dan dimaksudkan untuk menangkap secara penuh beragamnya pemikiran mengenai kebakaran lahan gambut. Secara spesifik para D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
responden terdiri dari: i) pembuat kebijakan di Singapura (n 8); ii) Jakarta (n 9); dan iii) Riau (n 11); iv) tokoh masyarakat setempat (n 15); v) pemilik tanah skala besar (n 15); vi) investor menengah yang tidak menempati tanah (n 15); vii) pelaku pertanian industri (n 30); viii) petani skala kecil (n 42); viiii) pemilik tanah skala menengah (n 34); x) buruh/petani penggarap (Share, n 15) dan xi) warga non-pemilik tanah yang tak berdaya (n 15) dan vii) lembaga swadaya masyarakat (n 10). Untuk keterangan lengkap mengenai metode, lihat Carmenta et al.[33]. Gambar 2. Contoh pengurutan Q yang telah selesai, dimana semua pernyataan solusi telah diurutkan berdasarkan skala keefektifan. Penempatan setiap kartu berhubungan dengan semua kartu lainnya.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AKIBAT KEBAKARAN LAHAN Kami menemukan empat faktor yang menangkap cara berbeda dalam memandang keuntungan dan kerugian akibat kebakaran lahan gambut. Penting untuk dicatat bahwa faktorfaktor ini tidak hanya mencerminkan kerugian akibat kebakaran, melainkan juga pengakuan atas kenyataan bahwa sejumlah keuntungan didapatkan dari kebakaran lahan gambut. Pernyataan yang menggambarkan faktor tertentu ditunjukkan dengan tanda kurung, dimana tanda * menunjukkan pernyataan pembeda. Lihat Tabel 1 untuk daftar pernyataan selengkapnya. D E N G A R
P E N D A P A T
79
Empat faktor yang menggambarkan perspektif mengenai keuntungan dan kerugian terkait kebakaran KK1: Kebakaran merugikan perusahaan Perspektif ini adalah satu-satunya yang memerhatikan kerugian ekonomi (P27*) dan memburuknya reputasi (P02*) yang dialami perusahaan akibat kebakaran. Namun, perspektif ini tidak menganggap pembakaran sebagai cara murah untuk membuka lahan, baik oleh perusahaan (P08) maupun petani skala kecil (P13*). Perspektif ini pun tidak menganggap penting ketidakjelasan tentang pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran (P14*) atau konflik antarpelaku yang timbul karena perselisihan mengenai siapa yang menjadi sumber/bertanggung jawab atas kebakaran (P16*). Perspektif ini tidak memprioritaskan pentingnya kebakaran sebagai hasil dari perselisihan antarpelaku (misalnya tentang hak atas tanah, P23*). Perspektif ini juga memerhatikan dampak negatif kebakaran pada kesejahteraan di daerah, termasuk pada keselamatan transportasi (P04*), rekreasi (P26*), dan ekonomi Riau (P19*). KK2: Kebakaran merugikan petani skala kecil Perspektif ini memerhatikan dampak negatif kebakaran secara langsung maupun tidak langsung pada petani skala kecil, termasuk hilangnya penghasilan (P07) dan tuduhan melakukan pembakaran (P17). Perspektif ini juga sangat memandang penting bagaimana kebakaran berisiko mengurangi manfaat
80
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
pertanian, melalui meningkatnya birokrasi(P22*) dan berkurangnya keinginan orang untuk bercocok tanam (karena terus merugi, P25*). Namun, perspektif ini tidak mementingkan manfaat pembakaran dalam pertanian skala kecil. Yang dianggap paling tidak penting adalah peran pembakaran sebagai cara murah (P13*) dan tradisional (P12*) untuk membuka lahan dan sebagai sarana pengendalian hama (P01*). Perspektif ini relatif tidak menganggap kebakaran sebagai cara untuk meningkatkan kualitas tanah (P28*). KK3: Kebakaran menguntungkan sekaligus merugikan petani skala kecil Perspektif ini berbeda karena menganggap penting manfaat pembakaran sebagai metode pertanian skala kecil yang murah (P13*) dan tradisional (P12*) yang meningkatkan kualitas tanah (P28*) serta mengendalikan hama (P01*). Namun, perspektif ini juga memerhatikan dampak negatif kebakaran pada petani skala kecil, termasuk hilangnya penghasilan (P07) dan tuduhan menyebabkan kebakaran (P17). Perspektif ini pun memerhatikan bagaimana kebakaran memicu konflik antarpelaku mengenai tanggung jawab atas kebakaran (P16*). Perspektif ini paling tidak mementingkan dampak kebakaran di luar negeri, termasuk dalam hal kesehatan (P10*), ekonomi (P11*),dan hubungan bilateral (P18*), serta dampaknya pada pemilik tanah skala besar, termasuk dalam risiko reputasi (P02*) dan kerugian ekonomi (P27*). Perspektif ini menganggap bahwa pembakaran sebagai cara murah bagi
perusahaan untuk membuka lahan (P08*) relatif tidak penting. Demikian pula, perspektif ini paling tidak menganggap penting penerimaan dana pemerintah untuk penanggulangan kebakaran (P09*). KK4: Kebakaran memicu konflik lokal dan dampak di luar negeri Perspektif ini paling memerhatikan dampak negatif kebakaran di luar negeri, termasuk dalam kerugian ekonomi (P11*) dan isu kesehatan (P10*). Perspektif ini pun amat mementingkan dampak pada gas rumah kaca (P29*). Sebaliknya, perspektif ini tidak memprioritaskan risiko yang ditimbulkan kebakaran pada jenis-jenis pemilik tanah yang berbeda. Contohnya, perspektif ini relatif tidak mementingkan kerugian langsung yang ditimbulkan pada penghasilan perusahaan (P27), produksi pangan untuk bertahan hidup (P06*),dan penghasilan petani skala kecil (P07*). Perspektif ini paling tidak mementingkan bagaimana kebakaran berisiko mengurangi manfaat pertanian, melalui meningkatnya birokrasi (P22*) dan berkurangnya keinginan orang untuk bercocok tanam (karena terus merugi, P25*). Namun, perspektif ini menganggap penting pembakaran sebagai cara murah untuk membuka lahan, terutama oleh pemilik tanah skala besar (P08*), dan juga oleh petani skala kecil (P13*). Perspektif ini pun memerhatikan bagaimana pembakaran terkait dengan konflik di antara para pelaku, termasuk sebagai bagian dari konflik yang sudah ada (misalnya tentang hak atas tanah, P23*) dan D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
81
Tabel 2. Daftar lengkap pernyataan solusi inisiatif penanggulangan kebakaran atau IPK (himpunan) yang diurutkan berdasarkan skala keefektifan. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Pernyataan Solusi Meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan daerah Melarang memancing dan berburu Mendukung kelompok masyarakat untuk menciptakan peraturan dan sanksi setempat sendiri terkait kebakaran Meningkatkan penegakan hukum terhadap elit daerah yang memperbolehkan pembakaran Memberikan insentif, misalnya uang, bibit, atau layanan kesehatan dan pendidikan, kepada pemilik tanah secara individu demi mendorong mereka agar mencegah pembakaran Memperbolehkan pembakaran yang berhati-hati dan mematuhi aturan, misalnya dengan tidak membakar saat cuaca sangat kering dan berangin Memperkuat kesepakatan politik dengan negara-negara tetangga terkait pengurangan kebakaran dan kabut asap Melakukan lebih banyak penelitian untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pengelolaan lahan gambut dan penanggulangan kebakaran Meningkatkan penegakan hukum terhadap investor mandiri (bukan perusahaan) dari luar Riau yang memperbolehkan pembakaran di tanah mereka Memperkuat standar lingkungan perusahaan untuk memastikan mereka tidak melakukan, mempromosikan atau memfasilitasi pembakaran Memperkuat upaya pemadaman yang dipimpin pemerintah Membangun kesadaran mengenai berbagai dampak negatif kebakaran RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) memberikan sanksi kepada anggotanya yang melakukan pembakaran Memperkuat upaya anti korupsi terhadap orang yang memperoleh tanah secara ilegal di Riau dengan cara korupsi Menanami lahan segera setelah dibuka daripada membiarkannya kosong, supaya mengurangi kerentanan terhadap kebakaran Meningkatkan penggunaan kanal dangkal sebagai pencegah kebakaran Pemerintah pusat harus memfasilitasi proses pengalihan kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL), supaya orang tidak melakukan pembakaran sebagai alasan demi mendapatkan izin ini Memperkuat kontrol pemerintah pusat atas isu penggunaan lahan dan kebakaran di Riau Perusahaan besar memberikan dukungan kepada kelompok petani plasma untuk membuka lahan tanpa membakar Menggerakkan masyarakat sipil / LSM untuk bertindak dalam penanggulangan kebakaran Meningkatkan penegakan hukum terhadap perusahaan besar yang memperbolehkan pembakaran Pemerintah memberikan dukungan kepada pemilik tanah skala kecil untuk membuka lahan tanpa membakar Meningkatkan penegakan hukum terhadap petani skala kecil yang melakukan pembakaran Pemerintah mencabut izin perusahaan yang melakukan pembakaran secara ilegal Memberikan insentif, misalnya uang dan dukungan teknis, kepada pemerintah daerah Riau demi mendorong mereka agar mencegah pembakaran Memperkuat upaya pemadaman oleh perusahaan Meningkatkan penegakan hukum terhadap buruh yang diupah orang lain untuk membuka lahan dengan cara membakar Membangun kesadaran bahwa membuka lahan dengan cara membakar adalah ilegal Mengairi kembali lahan gambut yang kering Meningkatkan penggunaan teknik pertanian tradisional dan tanaman seperti sagu dan kelapa yang tidak terlalu rentan terhadap kebakaran dibandingkan perkebunan kelapa sawit Memperkuat standar bank agar tidak memberikan pelayanan atau pinjaman kepada orang atau perusahaan yang melakukan pembakaran Menyempurnakan penggunaan teknologi berbasis satelit, pesawat, dan pesawat tanpa awak (drone) untuk mendeteksi kebakaran Menyempurnakan peralatan prediksi kebakaran Mengurangi perpindahan penduduk dari provinsi lain ke Riau Membangun dan memperbanyak staf menara pengawas kebakaran hutan Meningkatkan kualitas peta lahan gambut demi pengelolaan lahan dan pencegahan kebakaran yang lebih baik Membangun kesadaran untuk mengurangi kebakaran yang tidak disengaja karena kompor atau puntung rokok Memperkuat upaya pemadaman di tingkat lokal (misalnya di tingkat kelompok Masyarakat Peduli Api atau MPA) Melarang perluasan kawasan pertanian baru ke hutan pada lahan gambut Meningkatkan kejelasan batas kepemilikan tanah untuk mencegah orang melakukan pembakaran demi menguasai tanah
D E N G A R
P E N D A P A T
82
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
sebagai sumber konflik baru (tentang siapa yang bertanggung jawab, P16*). Menemukan kesepakatan dan ketidaksepakatan secara keseluruhan Beberapa pernyataan dapat didefinisikan sebagai pernyataan konsensus, yang berarti disepakati sebagai positif atau negatif pada semua faktor. Pernyataan ini meliputi kekhawatiran secara umum tentang dampak buruk kebakaran pada kesehatan dan keanekaragaman hayati serta kecenderungan mengkhawatirkan kerugian ekonomi di Riau. Tidak ada kekhawatiran dalam pengambilalihan lahan, akses ke lokasi memancing dan berburu, atau penyediaan pendapatan yang menghasilkan dan memungkinkan pembangunan infrastruktur publik. Beberapa kerugian dan keuntungan cukup kontroversial, contohnya: pemilik tanah skala besar kehilangan pendapatan karena kebakaran, pembakaran adalah cara murah pembukaan lahan yang memungkinkan pemilik tanah skala kecil untuk ikut bercocok tanam, dan kebakaran menimbulkan ketegangan diplomatik.
SOLUSI UNTUK KEBAKARAN LAHAN Kami menemukan lima faktor yang menangkap cara berbeda dalam memandang keefektifan solusi potensial untuk menanggulangi kebakaran lahan gambut. Penting dicatat bahwa faktor-faktor ini mencerminkan perbedaan pilihan antara memadamkan atau mencegah kebakaran, serta antara solusi yang mengharuskan
transformasi signifikan pada praktik modern pertanian lahan gambut di Indonesia atau yang mengharuskan praktik seperti adanya sekarang ini dilanjutkan. Pernyataan yang menggambarkan faktor tertentu ditunjukkan dengan tanda kurung, di mana tanda * menunjukkan pernyataan pembeda. Lihat Tabel 2 untuk daftar pernyataan selengkapnya. Lima faktor yang menggambarkan perspektif mengenai solusi IPK S1: Perkuat upaya pemadaman Faktor ini sangat berfokus pada peningkatan upaya pemadaman oleh instansi pemerintah (P11*) dan di tingkat lokal (P38*). Seiring dengan itu, perspektif ini terutama menyoroti keefektifan peningkatan penggunaan menara pengawas kebakaran hutan (P35*), penyempurnaan teknologi prediksi kebakaran (P33*) dan peningkatan penggunaan kanal dangkal (P16*). Perspektif ini menganggap bahwa usaha untuk membatasi ekspansi pertanian tidak efektif, terutama jika memengaruhi mata pencaharian petani skala kecil. Contohnya, usaha untuk membatasi perluasan kawasan pertanian pada lahan gambut (P39) atau membatasi memancing dan berburu (P02*) dipandang tidak efektif, sementara dukungan pemerintah kepada petani skala kecil untuk bercocok tanam tanpa membakar (P22) dianggap efektif. Perspektif ini menganggap semua solusi berbasis penegakan hukum tidak terlalu efektif, termasuk penegakan hukum terhadap investor (P09*), buruh (P27), petani skala kecil (P23),dan D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
perusahaan (P21*). Namun, perspektif ini memandang bahwa usaha untuk mencabut izin perusahaan yang melakukan pembakaran (P24*) kemungkinan akan efektif. S2: Terapkan tindakan tegas terhadap pelaku skala besar Perspektif ini dicirikan oleh penekanannya pada tindakan tegas terhadap pelaku skala besar, termasuk penegakan hukum terhadap perusahaan (P21*) dan investor eksternal (P09), sertapencabutan izin perusahaan yang melakukan pembakaran (P24*). Perspektif ini juga menyoroti keefektifan standar lingkungan perusahaan (P10) dan pembatasan pinjaman bank untuk perusahaan yang memperbolehkan pembakaran (P31*). Perspektif ini pun memandang positif perlunya menghentikan perluasan kawasan pertanian pada lahan gambut(P39*). Yang dianggap sangat tidak efektif adalah upaya untuk menggalakkan pembakaran secara legal dan berhati-hati(P06*), memfasilitasi proses pengalihan kawasan hutan secara legal menjadi lahan pertanian (P17*), atau meningkatkan penggunaan kanal dangkal untuk pertanian sekaligus untuk mengurangi risiko kebakaran (P16*). Sebaliknya, perspektif ini memandang penegakan hukum terhadap buruh (P27) dan petani skala kecil (P23) tidak efektif. Selain itu, usaha untuk membatasi memancing dan berburu (yang dapat mengakibatkan kebakaran) (P02*) atau membangun kesadaran tentang risiko kebakaran yang tidak disengaja (P37*) dianggap sangat tidak efektif. D E N G A R
P E N D A P A T
83
S3: Bangun kesadaran untuk mencegah kebakaran Perspektif ini dicirikan oleh anggapan bahwa solusi yang membangun kesadaran adalah yang paling efektif. Ini termasuk kesadaran mengenai potensi dampak negatif kebakaran (P12*), kesadaran bahwa pembakaranitu ilegal (P28*), dan kesadaran untuk mencegahmenyebarnya api secara tidak sengaja(P37). Perspektif ini amat menyoroti tidak efektifnya intervensi yang menargetkan masalah mendasar yang umumnya dianggap memicu kebakaran, misalnya tentang kepemilikan tanah (P40*), korupsi (P14*), pengairan kembali lahan gambut (P29*), dan migrasi (sering kali dikaitkan dengan pembakaran) (P34*). Perspektif ini cenderung lebih memilih solusi yang dapat lebih segera dilakukan, termasuk peningkatan penggunaan kanal dangkal (P16*) dan penegakan hukum terhadap perusahaan (P21*). Tidak ada kelompok pemangku kepentingan yang jelas terkait dengan perspektif ini. S4: Terapkan tindakan tegas terhadap semua pelaku Perspektif ini terutama dicirikan dengan fokus pada penegakan hukum terhadap semua pelaku pembakaran, termasuk perusahaan (P21*), elit daerah (P04*), buruh (P27*), petani skala kecil (P23*),dan investor (P09) dan juga termasuk keefektifan pencabutan izin perusahaan yang melakukan pembakaran (P24*). Perspektif ini menganggap upaya memperjelas batas-batas kepemilikan
84
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
tanah sangat efektif (P40*). Perspektif ini menyoroti keefektifan solusi yang menggerakkan masyarakat sipil (P20*) serta memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk mencegah kebakaran (P25*). Upaya untuk merombak model pertanian seperti adanya sekarang ini dipandang tidak efektif, termasuk usaha untuk membatasi perluasan kawasan pertanian pada lahan gambut(P39), intervensi untuk mengairi kembali lahan gambut (P29*), atau untuk menggalakkan penggunaan teknik pertanian tradisional daripada kelapa sawit (P30*). Solusi yang mengandalkan kemajuan teknologi dianggap amat tidak efektif, di antaranya penyempurnaan prediksi kebakaran(P33*) dan deteksi titik api melalui pengawasan udara dan satelit (P32*). S5: Gunakan cara halus untuk meningkatkan kualitas pertanian skala kecil Perspektif ini dicirikan oleh keefektifan solusi berbasis insentif untuk mengurangi kebakaran melalui perubahan praktik pertanian (P05*). Dukungan baik dari pemerintah (P22) maupun perusahaan (P19) kepada petani skala kecil, dan perlunya beralih ke teknik pertanian tradisional (P30*) dipandang efektif. Perspektif ini menganggap upaya untuk melegalkan pembakaran yang berhati-hati sangatlah efektif (P06*). Perspektif ini memandang banyak usaha pemadaman api tidak efektif, terutama peningkatan penggunaan menara pengawas kebakaran (P35*) serta upaya yang dipimpin perusahaan (P26), masyarakat lokal (P38*),dan pemerintah (P11).
Menemukan kesepakatan dan ketidaksepakatan secara keseluruhan mengenai keefektifan solusi Beberapa pernyataan dapat didefinisikan sebagai pernyataan konsensus, yang berarti disepakati sebagai efektif atau tidak efektif pada semua faktor. Pernyataan-pernyataan ini meliputi perspektif yang sama mengenai keefektifan cara halus (baik oleh perusahaan maupun (P19) pemerintah (P22)) kepada pemilik tanah skala kecil untuk memungkinkan pertanian tanpa pembakaran, dan keefektifan peningkatan penegakan hukum terhadap elit daerah (P04). Posisi yang sama tentang solusi yang tidak efektif terdapat pada upaya mengurangi perpindahan penduduk ke Riau (P34) dan memberikan insentifkepada pemerintah daerah untuk mendorong penanggulangan kebakaran yang lebih baik (P25). Sejumlah solusi yang dipandang paling efektif juga merupakan yang paling kontroversial. Contohnya, mencabut izin perusahaan yang melakukan pembakaran (P21), meningkatkan penggunaan kanal dangkal (P16), mengairi kembali lahan gambut (P29), dan melarang perluasan lebih lanjut kawasan pertanian pada lahan gambut (P39), sangat didukung oleh sebagian responden, tetapi ditolak mentah-mentah oleh sebagian yang lain. Solusi yang secara aktif digunakan pemerintah sebagai upaya jangka pendek untuk mengatasi krisis saat ini juga termasuk yang paling kontroversial. Tidak ada kesepakatan mengenai pemangku kepentingan mana (misalnya agroindustri, investor eksternal, pemilik tanah skala kecil) yang mungkin dapat D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
menjadi target paling efektif secara keseluruhan untuk meningkatkan keefektifan solusi.
PEMBAHASAN Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia kini menjadi peristiwa tahunan, yang diperburuk oleh anomali iklim namun tidak terbatas pada tahuntahun terjadinya El Niño. Api dan kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan gambut memicu berbagai dampak kesehatan, sosiopolitik, ekonomi serta lingkungan, dan diperlukan penilaian efektif atas dampak-dampak tersebut. Kebakaran lahan gambut ini memiliki karakteristik masalah lingkungan yang amat pelik, yaitu melibatkan berbagai skala dan beragam pelaku serta merupakan hasil dari gabungan beberapa faktor pendorong. Masalah tata kelola yang pelik semacam ini merupakan salah satu tantangan utama keberlanjutan lingkungan dan menuntut model tata kelola yang tidak sederhana dan juga bukan satu solusi mujarab. Solusi untuk masalah ini kemungkinan berupa pendekatan lanskap yang kompleks dan ditargetkan serta membutuhkan kesepakatan sejumlah pelaku yang memiliki beragam kepentingan dan ketidaksetaraan kekuasaan [34]. Dalam pendekatan semacam ini, persepsi para pemangku kepentingan pertama-tama harus diterangkan dan dipahami secara jelas supaya koalisi dapat dilihat, area konsensus ditentukan, isu perselisihan ditangani dan dialog untuk mencapai kesepakatan dipandu dengan informasi yang cukup [35, 36]. D E N G A R
P E N D A P A T
85
Keragaman perspektif, pemangku kepentingan dan motivasi Meskipun kebakaran lahan gambut sering digambarkan sebagai bencana yang sepenuhnya negatif, berbagai perkembangan menunjukkan bahwa serangkaian dampak positif sekaligus negatif dapat dikaitkan dengan kebakaran. Bencana tersebut dapat disebabkan oleh salah satu dari berbagai alasan orang melakukan pembakaran, mulai dari membakar lahan untuk bertani, untuk mengklaim hak atas tanah, atau untuk membalas dendam masa lalu. Hasil penelitian kami juga menyanggah pendapat umum bahwa kebakaran lahan gambut dapat dihubungkan dengan salah satu dari dua kelompok tertentu, yaitu pemilik tanah skala kecil atau agrobisnis. Sebaliknya, penelitian kami mendukung studi-studi lain [37-39] yang menunjukkan bahwa timbulnya kebakaran lahan gambut terkait dengan kegiatan beragam kelompok pemangku kepentingan, termasuk misalnya investor yang tidak menempati tanah dan elit daerah. Keuntungan dan kerugian akibat kebakaran lahan gambut muncul sebagai 4 perspektif berbeda dan berorientasi preferensi pada jenis pelaku dan skala. Misalnya saja, kekhawatiran tentang kerugian petani skala kecil, atau kerugian agrobisnis, atau dampak negatif di luar negeri. Hanya satu faktor yang mengakui manfaat pembakaran dalam pertanian skala kecil. Keuntungan dan kerugian yang skalanya bervariasi, yang disebabkan oleh sifat asap akibat kebakaran lahan gambut yang dapat menyebar lintas negara, menyuguhkan tantangan tersendiri bagi pihak pengelola.
86
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Menemukan cara untuk maju bersama Kami menemukan beberapa cara pandang berbeda dari para pemangku kepentingan tentang kebakaran lahan gambut serta menyoroti pula poin-poin kesepakatan dan pertentangan yang tampak antarperspektif. Perbedaan ini penting untuk ditangani dan dikelola dengan tepat dalam langkah ke depannya untuk meningkatkan kinerja IPK. Pentingnya negosiasi dan dialog antara para pemangku kepentingan untuk menentukan kompromi yang cocok dan dapat diterima telah diakui oleh komunitas praktisi dan akademik [36, 40, 41]. Konsensus dapat menunjukkan titik awal yang produktif untuk dialog, dapat menghasilkan kesepakatan tentang perlunya tindakan dan perubahan, serta dapat memengaruhi komunikasi guna mendorong perubahan perilaku. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa konsensus lintas faktor tentang keuntungan/kerugian akibat kebakaran berpusat pada tiga dampak negatif utama: kerusakan lingkungan (keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca), kerugian pada perekonomian daerah Riau, dan –yang paling utama –kesehatan masyarakat lokal. Ini menandakan bahwa ketiga poin ini dapat memberi pengaruh paling efektif pada kampanye komunikasi yang berfokus pada perubahan perilaku. Ketiga poin penting inilah yang samasama disetujui para pemangku kepentingan, yang barangkali nyaris tidak memiliki kesamaan dalam hal lainnya. Ini dapat memfasilitasi momentum untuk perubahan dan memberi legitimasi pada strategi yang mengusulkan untuk mengu-
rangi kerugian tersebut, termasuk di antara para pelaku yang memiliki sedikit sekali kepentingan bersama selain ketiga poin di atas. Ada pula opsi-opsi IPK yang lebih memungkinkan pencapaian konsensus antara pemangku kepentingan yang berbeda. Data menunjukkan bahwa terdapat konsensus pada 3 intervensi utama, dua di antaranya menargetkan petani skala kecil melalui pemberian dukungan (misalnya pendidikan dan mesin pertanian) untuk bertani tanpa membakar, khususnya dari pemerintah. Di tengah pertentangan yang luas mengenai keefektifan pendekatan berbasis penegakan hukum untuk menanggulangi kebakaran, tindakan tegas umumnya lebih disukai saat ditujukan pada pemilik tanah skala besar. Tindakan semacam ini, yang sebagian sudah dilakukan berbagai kelompok pemangku kepentingan, kemungkinan dapat menjadi titik awal guna mendapatkan dukungan kebijakan karena keefektifannya diakui semua pihak. Di antara perspektif IPK yang ada ditemukan sejumlah perbedaan fundamental, contohnya dalam preferensi pada: • Pemadaman titik api vs.IPK yang berusaha mencegah kebakaran dengan berbagai cara; • Transformasi besar-besaran di sektor pertanian vs.IPK yang mengatasi risiko kebakaran namun tetap meneruskan praktik pertanian seperti adanya sekarang ini • Tindakan “keras”, terutama penegakan hukum atas pembakaran D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
•
ilegal dan pembatasan pada sektor pertanian vs.cara “halus” seperti peningkatan kesadaran, serta penggunaan insentif dan/atau layanan pendidikan untuk menggalakkan praktik pertanian tanpa membakar. Menargetkan perubahan perilaku di antara pelaku berskala besar/industri vs.IPK yang menargetkan petani skala kecil.
IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN SAAT INI Inisiatif penanggulangan kebakaran yang paling diperdebatkan, yakni mencabut izin perusahaan yang melakukan pembakaran, meningkatkan penggunaan kanal dangkal, mengairi kembali lahan gambut, dan melarang perluasan kawasan pertanian pada lahan gambut, adalah solusi yang digunakan saat ini. Strategi-strategi tersebut tengah digunakan secara aktif untuk menanggapi kebakaran hutan dan lahan gambut besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015. Hasil penelitian kami mengantisipasi tantangan besar pada IPK utama ini, yang termasuk Keputusan Presiden untuk mengairi kembali lahan gambut yang kering/terdegradasi, moratorium lebih ketat yang membatasi konsesi pertanian dan kehutanan baru pada lahan gambut, dan melarang perluasan perkebunan kelapa sawit serta mencabut izin perusahaan nakal yang didapati melakukan pembakaran. Penelitian kami menunjukkan bahwa dibutuhkan rencana implementasi, kampanye komunikasi, serta strategi yang tepat untuk meningkatkan D E N G A R
P E N D A P A T
87
perubahan perilaku, legitimasi, dan persetujuan agar tindakan-tindakan di atas dapat dilakukan pada skala yang diperlukan guna mencegah bencana kebakaran hebat serupa di masa depan.
REFERENSI 1. Gaveau, D., et al., Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Scientific Reports, 2014. 4. 2. Meijaard, E., Indonesia’s Fire Crisis — The Biggest Environmental Crime of the 21st Century, in Jakarta Globe. 2015, Jakarta Globe: Jakarta. 3. Page, S.E., et al., The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 2002. 420(6911): p. 61-65. 4. Van Der Werf, G. Indonesian fire season progression. Global Fire Data updates 2015 October 25 2015 [cited 2015 October 25 2015]; Available from: http://www.globalfiredata.org/ updates.html. 5. Tacconi, L., Fires in Indonesia: causes, costs and policy implications. 2003, CIFOR: Bogor, Indonesia. p. vi, 24p. 6. Barlow, J., et al., The critical importance of considering fire in REDD+ programs. Biological Conservation, 2012. 03(34). 7. Dennis, R.A., et al., Fire, people and pixels: Linking social science and remote sensing to understand underlying causes and impacts of fires in Indonesia. Human Ecology, 2005. 33(4): p. 465-504. 8. Friess, D.A., et al., Payments for Ecosystem Services (PES) in the face of external biophysical stressors. Global Environmental Change, 2015. 30: p. 31-42. 9. Gaveau, D., New maps reveal more complex picture of Sumatran fires, in blog. cifor. org. 2014.
88
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
10. Gaveau, D., et al., Satellites can mislead: Who is responsible for Indonesia’s peatland fires? . [forthcoming]. 11. Kull, C.A., Isle of fire: the political ecology of landscape burning in Madagascar. 2004, Chicago, USA: University of Chicago Press. 12. Dilworth, A., Indonesia on fire: worst environmental disaster this century?, F.o.t. Earth, Editor. 2015, Friends of the Earth: Indonesia. 13. Gaveau, D.L.A., et al., Overlapping land claims limit the use of satellites to monitor No-Deforestation commitments and NoBurning compliance. Conservation Letters, 2016: p. n/a-n/a. 14. Carmenta, R., et al., Shifting cultivation and fire policy: insights from the Brazilian Amazon. . Human Ecology, 2013. 41(4): p. 603-614. 15. Galudra, G., et al., Hot spots of confusion: contested policies and competing carbon claims in the peatlands of Central Kalimantan, Indonesia. International Forestry Review, 2011. 13(4): p. 431441. 16. Jewitt, S.L., et al., Indonesia’s contested domains. Deforestation, rehabilitation and conservation-with-development in Central Kalimantan’s tropical peatlands. International Forestry Review, 2014. 16(4): p. 405-420. 17. Pascual, U., et al., Social Equity Matters in Payments for Ecosystem Services. BioScience, 2014. 18. Vasan, S., Ethnography of the forest guard: Contrasting discourses, conflicting roles and policy implementation. . Economic and Political Weekly, 2002: p. 4125-4133. 19. Chokkalingam, U., I. Kurniawan, and Y. Ruchiat, Fire, livelihoods, and environmental change in the Middle Mahakam peatlands, East Kalimantan. Ecology and Society, 2005. 10(1).
20. Harwell, E., Remote sensibilities: discourses of technology and the making of Indonesia’s natural disaster. Development and Change, 2000. 31(1): p. 307-340. 21. Carmenta, R., et al., Benefits, burdens and solutions of the Sumatran peatland fires: A Q method enquiry into stakeholder subjectivity. in preparation. 22. Miettinen, J., C. Shi, and S.C. Liew, Two decades of destruction in Southeast Asia’s peat swamp forests. Frontiers in Ecology and the Environmen, 2011. 10(3): p. 124-128. 23. Susanti, A. and P. Burgers, Oil palm expansion in Riau province, Indonesia: Serving people, planet, profit? 2011. 24. Miettinen, J., C. Shi, and S.C. Liew, Land cover distribution in the peatlands of Peninsular Malaysia, Sumatra and Borneo in 2015 with changes since 1990. Global Ecology and Conservation, 2016. 6: p. 67-78. 25. McCarthy, J.F., Processes of inclusion and adverse incorporation: oil palm and agrarian change in Sumatra, Indonesia. The Journal of Peasant Studies, 2010. 37(4): p. 821-850. 26. Berkes, F., Evolution of co-management: Role of knowledge generation, bridging organizations and social learning. Journal of Environmental Management, 2009. 90: p. 1692-1702. 27. Bott, S., J.G. Cantrill, and O.E. Myers, Place and the promise of conservation psychology. Research in Human Ecology, 2003. 10(2): p. 100-112. 28. Cheng, A.A., L.E. Kruger, and D.S. E, “Place” as an integrating concept in natural resource politics: Propositions for a social science research agenda. Society and Natural Resources, 2003. 16: p. 87-104. 29. Clement, J.M. and A.S. Cheng, Using analysis of public value orientations, D E N G A R
P E N D A P A T
Rachel Carmenta et al., Dimensi Manusia pada Kebakaran Lahan Gambut
attitudes and preferences to inform national forest planning in Colorado and Wyoming. Applied Geography, 2010. 31: p. 393-400. 30. Smith, J.W., et al., The effects of place meanings and social capital on desired forest management outcomes: A stated preference experiment. Landscape and Urban Planning, 2012. 106(2): p. 207218. 31. Carmenta, R., et al., Understanding human-fire interactions in tropical forest regions: a case for interdisciplinary research across the natural and social sciences. . Ecology and Society, 2011. 16(1). 32. Rajão, R., Representations and discourses: the role of local accounts and remote sensing in the formulation of Amazonia’s environmental policy. Environmental Science & Policy, 2013. 30: p. 60-71. 33. Carmenta, R., et al., Thinking about environmental challenges from across scales: Perspectives on the benefits, burdens and solutions to Indonesian peatland fires. in preparation. 34. Game, E.T., et al., Conservation in a Wicked Complex World; Challenges and Solutions. Conservation Letters, 2014. 7(3): p. 271-277. 35. Bennett, N.J., Using perceptions as evidence to improve conservation and environmental management.
D E N G A R
P E N D A P A T
89
Conservation Biology, 2016: p. n/a-n/a. 36. Biggs, D., et al., The implementation crisis in conservation planning: could “mental models” help? Conservation Letters, 2011. 4(3): p. 169-183. 37. McCarthy, J.F., J. A.C. Vel, and S. Afiff, Trajectories of land acquisition and enclosure: development schemes, virtual land grabs, and green acquisitions in Indonesia’s Outer Islands. The Journal of Peasant Studies, 2012. 39(2): p. 521549. 38. Varkkey, H., Patronage politics as a driver of economic regionalisation: The Indonesian oil palm sector and transboundary haze. Asia Pacific Viewpoint, 2012. 53(3): p. 314-329. 39. Purnomo, H., The Political Economy of Fire and Haze, in Asia Pacific Forestry Week. 2016: Clark, Philipines. 40. Reed, J., Van Vianen, J., Deakin, E. L., Barlow, J., Sunderland, T, Integrated landscape approaches to managing social and environmental issues in the tropics: learning from the past to guide the future. Glob Change Biol, 2016. 22: p. 2540– 2554. 41. Sayer, J., et al., Ten principles for a landscape approach to reconciling agriculture, conservation, and other competing land uses. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2013. 110(21): p. 8349-8356.
90
D E N G A R
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
P E N D A P A T
MANUSIA DAN KEBAKARAN HUTAN Oleh Agung Wahyu Nugroho
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah tahunan yang terjadi di Indonesia. Penyebab utamanya adalah faktor manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Kebakaran hutan akibat intervensi manusia (pembakaran hutan) muncul karena adanya penyebab tindakan ilegal situasional yang meliputi: cara-cara, dorongan/motivasi, dan peluang. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak kebakaran diantaranya adalah: penerapan sistem pembakaran terencana (prescribed burning), mengurangi intensitas pembakaran yang terlalu sering, mengadakan sistem peringatan dini (early warning system), pembukaan lahan dengan teknik tanpa bakar (slash and mulch), perubahan pola pandang tentang api. Manajemen yang adaptif berlandaskan ekologi dan diarahkan untuk menekan potensi penyebab-penyebab kebakaran diperlukan untuk menjamin keberhasilan di dalam perencanaan pengelolaan hutan. Kata kunci: pembakaran, manusia, strategi pencegahan
Pendahuluan
K
ebakaran lahan dan hutan merupakan permasalahan yang rutin terjadi di Indonesia setiap musim kemarau. Sebagian besar (70%) kebakaran lahan terjadi di luar kawasan hutan dan hanya 30% yang terjadi di dalam kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan sebagian besar disebabkan karena ulah manusia yang bersumber dari kelalaian, kecelakaan, dan kejahatan. Ketika jumlah penduduk dan kemampuan teknologi meningkat,
pemanfaatan hutan mulai melebihi kemampuan hutan untuk meremajakan diri dan kerusakan pun tidak dapat dihindarkan. Praktek-praktek kegiatan seperti perladangan berpindah, pembukaan hutan oleh HTI/HPH, dan penyebab struktural (kemiskinan, kebijakan) merupakan awal dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dampak negatif yang ditimbulkan kebakaran hutan cukup besar, mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim D E N G A R
P E N D A P A T
Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan
mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyakarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, laut dan udara. Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan pemerintah, namun belum memberikan hasil yang diharapkan. Upaya tersebut diantaranya: pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan (Brigdalkar) di provinsi rawan kebakaran hutan sebanyak 1.560 personil, 150 di antaranya adalah Satuan Manggala Agni Reaksi Cepat (SMART); pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang telah melatih 4.500 orang di 150 desa rawan kebakaran lahan dan hutan; pembuatan percontohan Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Di samping itu melakukan kerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) dalam pengembangan deteksi dini (early warning system) dengan Uni Eropa dalam pengembangan MPA, dan dengan Jerman dalam pembangunan pusat pengendalian kebakaran di Kalimantan Timur.
Api Sebagai Bagian Dari ‘Rezim Gangguan’ Kebakaran terjadi bila ada interaksi antara 3 komponen yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas yang tinggi. Api terjadi ketika bahan yang mudah terbakar dengan suatu persediaan oksigen dan panas yang cukup kemudian bisa menopang suatu reaksi berantai (Gambar 1). Manusia telah memodifikasi rezim api secara signifikan baik melalui perD E N G A R
P E N D A P A T
91
Gambar 1. Kompenen kebakaran
Sumber: www.wikipedia.com)
luasan kebakaran di suatu tempat ataupun memperkecil peluang terjadinya kebakaran di tempat yang lain. Dalam banyak kasus; pertanian sistem tebas dan bakar (skala kecil dan besar), logging, dan proyek pembangunan berskala besar (misalnya: proyek transmigrasi dan proyek pembukaan lahan sejuta hektar); saling berhubungan satu dengan lainnya dalam menciptakan peluang terjadinya kebakaran. Lebih jauh lagi kegiatankegiatan itu menciptakan situasi pendukung bagi peningkatan kejadian dan kerawanan kebakaran, sebagai yang menciptakan siklus umpan balik positif dimana hutan yang pernah terbakar menjadi lebih rawan terhadap kebakaran hutan berulang (Goldammer, 2006; Tacconi et al., 2006 dalam Darmawan, 2008). Penyalaan api (ignition) yang umumnya berasal dari api larian akibat pembakaran tidak terkendali untuk pertanian,
92
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
dalam lingkungan yang mendukung, akan menjalar ke arah bahan bakar yang lebih besar, dalam hal ini hutan. Hutan hujan tropis dalam keadaan tidak terganggu adalah mendekati kondisi ‘tahan kebakaran’. Multistrata dalam lapisan vegetasi hutan menjaga kelembaban lingkungan di dalamnya dan mengeluarkan udara panas dari dalam. Dalam lingkungan ini, kondisi yang mendukung untuk terjadinya kebakaran tidak terjadi. Akan tetapi, ketika tajuk hutan terbuka, misalnya karena kegiatan logging atau pembuatan jalan, sinar matahari dan udara panas akan memasuki hutan, kelembaban menurun, dan biomassa hutan akan mengering. Dalam keadaan yang sama, hutan tidak hanya kehilangan ketahanan alaminya terhadap kebakaran, akan tetapi residu kayu dari logging atau pembukaan hutan akan tertinggal sehingga menjadi bahan bakar potensial untuk kebakaran mendatang. Setelah hutan terbakar, cahaya masuk dan ruang untuk tumbuhnya semak atau alang-alang akan semakin banyak tersedia. Vegetasi ini akan sangat cepat mengering dan terbakar saat musim kemarau, menciptakan suatu siklus dimana hutan akan lebih mudah terbakar. Walaupun peristiwa kebakaran lebih sering dilihat sebagai suatu masalah, api merupakan alat paling efektif dalam teknik perladangan berpindah yang sudah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu oleh suku Dayak dan suku-suku lain di sekitar hutan. Api jelas merupakan cara yang paling murah untuk pembersihan dan penyiapan lahan perkebunan berskala besar. Sepanjang penggunaan api dikendalikan secara
baik, api seharusnya diterima sebagai cara yang paling sederhana dan paling efektif serta efisien dalam proses manajemen sumberdaya lahan. Pun selama kurun waktu berjalan api adalah bagian dari upaya perubahan penggunaan lahan daripada dianggap sebagai masalah yang harus dicegah, diberantas, ataupun diantisipasi. Perladangan berpindah adalah salah satu contoh dari bagaimana kegiatan pertanian dapat dilakukan secara berkesinambungan dan lestari di sekitar lingkungan hutan. Teknik ini didefinisikan sebagai teknik pembersihan dan penyiapan sepenggal lahan hutan dengan cara penebangan dan pembakaran lahan yang kemudian menanami lahan ini dengan tanaman pangan selama satu atau dua tahun sebelum meninggalkan (membera)-nya untuk mencari lahan lain yang sudah tersuksesi sekunder. Setelah panen, setiap lahan akan kembali menjadi hutan sekunder dalam beberapa puluh tahun, sebelum kemudian dibersihkan dan dipersiapkan lagi untuk bercocok tanam di rotasi selanjutnya. Dalam teknik ini hanya tenaga manusia yang digunakan untuk memproduksi pangan tanpa adanya pupuk tambahan untuk tanah. Pada kasus lain, pembakaran lahan (land-clearing) untuk pembukaan perkebunan atau daerah transmigrasi seharusnya bukan menjadi suatu masalah kecuali jika aktifitas ini menghasilkan asap yang mengganggu dan api larian yang bisa menjadi sumber kebakaran hutan, semisal land-clearing di lahan gambut. Pembakaran untuk keperluan perkebunan merupakan contoh yang paling D E N G A R
P E N D A P A T
Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan
Gambar 2. Lingkungan kebakaran
93
nyata dari perlunya mempertimbangkan isu api dalam konteks proses penggunaan lahan. Api digunakan untuk membersihkan lahan yang teralokasikan sebagai kawasan hutan konversi, dimana secara hukum hutan dapat dikonversi untuk peruntukan lain. Dalam kasus ini, api bukanlah merupakan penyebab dari deforestasi melainkan sebagai bagian yang terintegrasi dari manajemen sumberdaya lahan. Seperti halnya kebakaran membutuhkan 3 komponen (bahan bakar, udara, panas tinggi), lingkungan kebakaran juga mempunyai 3 bagian yang menentukan bagaimana perilaku kebakaran (bagaimana terbakar, seberapa cepat penyebarannya, dan intensitasnya). Ketiga bagian itu ialah (1) bahan bakar, (2) cuaca dan (3) kelerengan lahan, membentuk segitiga perilaku kebakaran (Gambar 2).
kebakaran hutan. Bahan bakar yang paling penting ialah yang berada di atas dan di dekat tanah, tetapi perdu dan bahkan tajuk pohon-pohon dapat mendukung bahan bakar untuk menjadi kebakaran hutan berintensitas tinggi. Karakteristik bahan bakar penting yang menentukan perilaku kebakaran adalah kehalusan ukuran bahan bakar, struktur tumpukan bahan bakar (misalnya tinggi, kepadatan, dan kontinuitas sebarannya), jumlah yang siap terbakar (fuel load) dan kadar kelembaban bahan bakar. Jumlah bahan bakar dan ketebalannya mempengaruhi intensitas kebakaran dan tinggi nyala api. Semakin sedikit bahan bakar tertumpuk, semakin kecil peluang terjadinya kebakaran dan semakin kecil intensitas kabakaran. Semakin tipis ketebalan bahan bakar, semakin rendah juga nyala api yang terjadi. Kelembaban bahan bakar meliputi kelembaban, baik bagian tumbuhan yang mati dalam seresah (dead fuel moisture) dan di dalam daun-daun dan batangbatang kecil tumbuhan yang hidup (live fuel moisture). Kelembaban bahan bakar mati menentukan bagaimana mudah/ tidaknya penyalaan terjadi dan bagaimana kebakaran berakhir. Kelembaban bahan bakar mati berubahubah dalam satu hari tergantung dari perubahan suhu dan kelembaban udara. Kelembaban bahan bakar hidup tinggi (biasanya lebih besar 100%) dan harus menjadi kering terlebih dulu oleh nyala api sebelum terbakar.
Bahan bakar (fuel)
Cuaca
Bahan bakar adalah semua komponen yang terbakar dalam
Chandler et al. (1983) dalam Thoha (2001) menyatakan bahwa cuaca dan
D E N G A R
P E N D A P A T
94
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu: 1. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia. 2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran. 3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar. 4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan. Variabel-variabel cuaca yang mempengaruhi sifat (watak) kebakaran hutan adalah radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, presipitasi dan angin.
Kelerengan lahan (terrain) Posisi dan kemiringan lahan menentukan banyaknya radiasi sinar matahari mencapai bahan bakar, yang selanjutnya menentukan kecepatan bahan bakar mengering pada waktu yang berbeda dalam satu tahun. Kemiringan dapat mempengaruhi baik kecepatan dan arah angin. Derajad kemiringan akan mempengaruhi laju kecepatan kebakaran hutan dan intensitasnya dengan jalan memperkecil sudut antara nyala api dan bahan bakar. Menurut Walhi (2003), kebakaran hutan akan memberikan akibat yang luar biasa bagi manusia sendiri maupun lingkungan, diantaranya: 1) dampak terhadap sosial, budaya, dan ekonomi seperti: hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan, terganggunya aktivitas sehari-hari, peningkatan jumlah hama, terganggunya kesehatan, produktivitas menurun, 2) dampak terhadap ekologis dan
kerusakan lingkungan seperti: hilangnya sejumlah spesies, ancaman erosi, perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan, penurunan kualitas air, terganggunya ekosistem terumbu karang, menurunnya devisa negara, sedimentasi di aliran sungai, 3) dampak terhadap hubungan antar negara, dan 4) dampak terhadap perhubungan dan pariwisata.
Manusia Sebagai Penyebab Kebakaran Hutan Pada banyak ekosistem hutan, kerusakan hutan (kebakaran) diperlukan karena berperanan untuk mempertahankan tingkat perkembangan dan fungsi ekosistem atau biodiversitas. Kematian satu atau beberapa pohon dalam hutan alam memberikan peluang pergantian pohon atau regenerasi melalui dinamika rumpang (Pickett dan White, 1985 dalam Sumardi, 2006). Kebakaran pada hutan-hutan Eukaliptus di daerah basah di Australia, walaupun terjadi dalam frekuensi yang jarang, dapat menjaga komposisi hutan dan mencegah introduksi jenis tumbuhan lain (Gill, 1975 dalam Sumardi, 2006). Kondisi ekosistem hutan yang didalamnya terdapat tingkat kerusakan tertentu seperti itu disebut hutan yang sehat. Sebaliknya apabila frekuensi, tipe, dan tingkat keparahan kerusakan (kebakaran) melampaui batas kemampuan ekosistem hutan untuk memulihkan diri, maka disebut hutan yang tidak sehat. Kebakaran hutan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun dan selalu saja D E N G A R
P E N D A P A T
Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan
terulang setiap tahunnya. Diawali dengan musim kemarau pendek (PebruariMaret) dan terus bersambung pada kemarau panjang (Juni-September). Intensitasnya juga semakin bertambah. Bila pada tahun 1992, ketika kebakaran pertama kali dapat terdeteksi, titik api yang muncul masih dalam bilangan puluhan, saat ini titik api serupa sudah muncul di segala tempat yang masih memiliki hutan asli. Jumlahnyapun sudah mencapai angka ratusan. Singapura dan Malaysia pernah melayangkan surat protes bernada keras agar Indonesia mengambil sikap yang tegas terhadap pelaku pembakaran. Brunei Darussalam sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk marah karena kebakaran hutan sudah muncul di Kalimantan. Penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam (Surjohadikusumo, 1997; Danny, 2001). Proses kebakaran alami, bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsoran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan seresah (Soeriaatmadja, 1997). Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari satu persen (1%). Sekitar 90-99 % penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan yang dilakukan manusia, baik itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan (Labay, 2002; Hadi, 2002; Suharjo (1999) dalam Wahana Bumi Hijau (2007)). Kebakaran hutan di D E N G A R
P E N D A P A T
95
Gambar 3. Tiga elemen tindakan ilegal
Sumatera dan Kalimantan menjadi serius akibat kegiatan pembukaan lahan dan pembalakan hutan dan bukannya fenomena El Nino, El Nino hanya memicu dan memperburuk keadaan kebakaran (Kusumaatmadja, 1997). Kebakaran hutan akibat intervensi manusia (‘pembakaran hutan’) muncul karena adanya penyebab tindakan ilegal situasional yang meliputi: cara-cara, dorongan/motivasi, dan peluang (Gambar 3). Tindakan ilegal dimotivasi oleh ketamakan, kebutuhan, keberanian, dan dilakukan menggunakan cara atau alat yang tersedia bagi pelaku untuk memanfaatkan peluang. Cara yang digunakan untuk melakukan tindakan ilegal sangat luas dan tidak hanya menyangkut peralatan teknik tetapi juga meliputi kebijakan, jenis-jenis subsidi, dan lain-lain. Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan seperti perlindungan pasar, subsidi industri, perbankan dapat berkontribusi sebagai instrumen
96
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 4. Sistem Perladangan Berpindah
tindakan ilegal. Dorongan melakukan tindakan ilegal terhadap aset sumber daya hutan juga sangat bervariasi, dan bahkan dapat timbul oleh pengaruh insentif-insentif yang diberikan kepada pengelolaan hutan. Kebutuhan dan ketamakan merupakan dorongan ekonomi dalam laku tindakan ilegal terhadap sumber daya hutan. Dalam kaitan dengan dorongan tindakan ilegal perlu dibedakan antara yang didasarkan atas kondisi kemiskinan dan yang dilakukan oleh kelompok orang kaya dan berkuasa, atau gabungan antara keduanya (Sumardi, 2008). Penyebab kebakaran hutan karena intervensi manusia dapat berawal dari kegiatan sebagai berikut: 1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindahpindah. Perladangan berpindah (swidden cultivation/slash and burn agriculture/shifting cultivation) merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat,
murah, dan praktis. Setelah pembakaran, lahan yang relatif bersih kemudian ditanami tanaman pertanian selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian peladang meninggalkan lahan tersebut karena kesuburan tanahnya yang sudah menurun dan mencari lokasi baru yang masih subur untuk berladang. Setelah sepuluh tahun, peladang akan kembali ke tempat semula yang sudah mengalami perbaikan kesuburan tanah (Gambar 4). Pembukaan lahan untuk perladangan berpindah dengan cara membakar tersebut umumnya relatif terbatas dan lebih terkendali, karena para petani juga mengerti akan arti penting hutan dan mereka telah mengikuti aturan pembakaran hutan secara turun-temurun (Dove, 1988). Dahulu sistem perladangan berpindah merupakan sistem budidaya lahan yang sesuai dengan asas-asas kelestarian dengan jumlah cukup waktu bagi lahan mengembalikan kondisinya secara alami sebelum mendapat D E N G A R
P E N D A P A T
Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan
giliran lagi untuk diusahakan. Tetapi dalam perkembangannya, ketika jumlah peladang bertambah dan melebihi daya dukung lahan, cara budidaya lahan ini menjadi bersifat destruktif dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kerusakan hutan. Aktifitas perladangan berpindah sering dijadikan kedok para penebang liar yang memanfaatkan hak pengusahaan hutan (HPH). Mereka bisa dari kalangan pemegang HPH untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. 2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah, dan cepat. Selain itu, perkebunan besar melakukan pembakaran lahan untuk menaikkan derajat keasaman (pH) tanah. Pembakaran dilakukan pada musim kemarau yang kering, sehingga kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi, dan lahan lainnya. Pencegahan kebakaran menggunakan ilaran api juga tidak banyak dilakukan oleh sebagian D E N G A R
P E N D A P A T
97
pengusaha hutan tanaman. 3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan, dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan, dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya, kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya. Selanjutnya, di sisi lain ditemukan kebakaran hutan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Misalnya memberikan izin atau bekerjasama dengan kontraktor untuk berbuat curang dalam kegiatan reboisasi. Pola yang dipakai yaitu pohon yang ditanam dalam reboisasi usianya dipilih lebih muda dari yang disyaratkan, yang berarti harganya lebih murah serta jarak penanaman pohon juga renggang. Kecurangan ini akan sulit terlacak jika areal tersebut telah terbakar. Tak jarang jika telah terjadi kebakaran hutan ini, antara pemerintah di daerah saling lempar tang-
98
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
gung jawab. Pemerintah daerah menyalahkan pembakar lahan, pembakar lahan menyalahkan pengelola hutan, pengelola hutan menyalahkan balik masyarakat atau instansi tertentu, begitu seterusnya berputar setiap tahun. 4. Kerusakan lingkungan hidup pada umumnya dan hutan khususnya disebabkan Indonesia adalah tergolong negara lunak (soft state). Artinya posisi negara sangat lemah dalam menindak penyebab-penyebab kerusakan hutan. Menurut Gunnar Myrdal (peraih nobel untuk ekonomi tahun 1974), negara lunak adalah negara yang pemerintahannya (baik pusat maupun daerah) seolah-olah segan membebani rakyatnya dengan kewajiban melalui peraturan (hukum) atau kebijakan (beleid) umum. Banyak hal dibiarkan begitu saja dan tidak diatur dengan peraturan yang jelas. Kalaupun ada peraturan, pelaksanaannya tidak ditegakkan. Di negara-negara lunak sangat rendah disiplin sosialnya. Artinya, masyarakat negara-negara tersebut kurang sadar untuk mematuhi peraturan dan menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Relevan dengan teori Gunnar Myrdal, prakteknya di Indonesia adalah lemahnya sanksi hukum terhadap pelaku atau perusak lingkungan hidup (illegal logging, pembakar hutan) yang tidak saja merusak ekosistem hutan, tetapi juga negara mengalami kerugian material yang bernilai triliunan rupiah. Yang mengecewakan adalah
ketidakseimbangan antara banyaknya pelaku pengrusakan yang ditangkap aparat penegak hukum dengan keberhasilan dalam menindaklanjuti proses hukum pelaku perusakan hutan. Umumnya, yang berhasil ditangkap adalah pelaku-pelaku lapangan dan jarang menangkap pelaku utamanya (intellectual actor). Disamping faktor lemahnya law enforcement, juga keterlibatan aparat penegak hukum itu sendiri dan instansi terkait yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan (Suhardin, 2008). 5. Kurangnya koordinasi antar instansi, jumlah personil, dan peralatan yang tersedia. Kebakaran akan semakin meluas disebabkan tidak adanya koordinasi antar instansi terkait (Dinas Kehutanan, Pemda, perusahaan dan lain-lain) dan bahkan timbul saling menyalahkan. Selain itu diperparah dengan jumlah personil dan peralatan pemadam kebakaran yang minim dan kurang terlatih. Jarak yang jauh dari pusat/markas Manggala Agni ke tempat terjadinya kebakaran akan semakin menambah sulitnya tindakan pemadaman kebakaran. 6. Ketidakpekaan tatanan dan aturan pengelolaan hutan. Tatanan dan aturan pemanfaatan hutan yang dibuat pada bentukbentuk pengelolaan hutan sebenarnya merupakan upaya untuk memperkecil peluang terjadinya kebakaran hutan. Ketidakpekaan tatanan dan aturan pengelolaan terhadap ragam ekosistem yang dikelola merupakan penyebab D E N G A R
P E N D A P A T
Agung W Nugroho, Manusia dan Kebakaran Hutan
kegagalan mencapai tujuan kelestarian dan perlindungan hutan. Pengelolaan hutan yang diterapkan tidak mendasarkan keberlanjutan proses-proses fungsional ekosistem dan kelestarian hasil, artinya pengelolaan tidak diarahkan untuk menekan potensi penyebab-penyebab kebakaran hutan.
Penutup Api memiliki peran yang signifikan dalam hubungannya dengan perubahan penggunaan/penutupan lahan di kawasan tropis yang terkait erat dengan isu deforestasi. Kebakaran kerap kali terjadi setiap tahun meskipun dana dan usaha telah terkuras cukup besar untuk mengantisipasinya. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak kebakaran yang berlebihan diantaranya adalah: penerapan sistem pembakaran terencana (prescribed burning) dimana pembakaran dilakukan dengan mengontrol semua kemungkinan perilaku api yang berbahaya, mengurangi intensitas pembakaran yang terlalu sering, mengadakan sistem peringatan dini (early warning system) yang dapat memberi petunjuk kapan pembakaran yang terjadi akan sangat berbahaya dan kapan tidak, pembukaan lahan dengan teknik tanpa bakar (slash and mulch). Selain itu, melakukan perubahan pola pandang tentang api. Selama ini, api dilihat sebagai komponen yang dianggap sebagai masalah yang harus dicegah, diberantas ataupun diantisipasi. Pola pandang ini harus diubah dengan cara menjadikan api sebagai komponen dari D E N G A R
P E N D A P A T
99
proses manajemen lahan dan seiring dengan perjalanan waktu sebagai bagian dari perubahan penggunaan/penutupan lahan. Oleh karenanya, konsep manajemen api yang menyeimbangkan antara pencegahan, persiapan, pemadaman api, dan restorasi kerusakan akibat kebakaran termasuk di dalamnya peranan personil pemadam kebakaran, pembangunan kapasitas yang berbasis masyarakat, penelitian yang mendukung, pengurangan asap dan kabut kebakaran, perbaikan praktek logging, dan perbaikan fungsi kontrol pemerintah perlu satu persatu diimplementasikan. Pengelolaan hutan yang berlandaskan ekologi dan diarahkan untuk menekan potensi penyebab-penyebab kebakaran harus diterapkan sejak awal. Untuk menjamin keberhasilan, manajemen yang adaptif (adaptive management) perlu dimasukkan dalam perencanaan pengelolaan hutan. Artinya, pengelolaan harus tanggap terhadap perubahan lingkungan operasional dengan didasarkan pada prinsip: memfasilitasi, memantau, menelaah dan merivisi. Perencanaan harus menyediakan suatu kerangka dimana ancaman kebakaran dapat diintegrasikan dan dikoordinasikan untuk pemanfaatan pengelolaan hutan dan menghasilkan keluaran yang diinginkan.
Daftar Pustaka Danny, W., 2001. Interaksi ekologi dan social ekonomi dengan kebakaran di hutan Propinsi Kalimantan Timur Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor.
100
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Darmawan, A., 2008. Menelaah kebakaran hutan serta penggunaan/penutupan lahan: Sebuah kajian untuk Kutai Barat Kalimantan Timur. www.beritaiptek. com. Diakses tanggal 16 Juni 2008. Dove, M.R., 1988. Sistem perladangan di Indonesia. Suatu studi kasus dari Kalimantan Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hadi, T.S., 2007. 99 persen kebakaran hutan di Kaltim karena ulah manusia. www. antaranews.com. Diakses tanggal 16 Juni 2008. Kusumaatmadja, S., 1997. Kebakaran hutan angkara manusia. Berita Harian Online. Labay, F., 2002. 90 persen kebakaran hutan di Riau disebabkan manusia. www.kompas.com. Diakses tanggal 16 Juni 2008 Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21. Soeriaatmadja, R.E., 1997. Dampak kebakaran hutan serta daya tanggap pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam terhadapnya. Prosiding Simposium: Dampak kebakaran hutan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Yogyakarta, 16 Desember 1997.
Suhardin, Y., 2008. Negara lunak dan kerusakan hutan. Kedaulatan Rakyat. 25 Juni 2008. Yogyakarta. Sumardi, 2006. Perubahan orientasi perlindungan hutan dalam perkembangan pengelolaan hutan. Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Kehutanan UGM. Tanggal 12 Juni 2006. Yogyakarta. ______, 2008. Kerusakan antropogenik. Bahan Kuliah. Sekolah pasca sarjana program studi ilmu kehutanan. Fakultas Kehutanan UGM. Surjohadikusumo, D., 1997. Manusia penyebab kebakaran hutan.
[email protected]. Diakses tanggal 16 Juni 2008. Thoha, A.S., 2001. Cuaca kebakaran hutan kaitannya dengan upaya pencegahan kebakaran hutan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara. Wahana Bumi Hijau, 2007. Brigade kebakaran hutan desa (BKHD). Walhi, 2003. Kebakaran hutan dan lahan Riau: Kebijakan dan dampaknya bagi kehidupan manusia. www.wikipedia.com. Fire. Diakses tanggal 6 Juni 2008.
D E N G A R
P E N D A P A T
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
101
MANAJEMEN HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT* Oleh Bejo Slamet Fenomena kebakaran dan pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Salah pengelolaan kawasan-kawasan rawa-gambut serta perencanaan tata-guna lahan yang memungkinkan terjadinya pengkonversian kawasan-kawasan tersebut adalah sumber masalahnya. Kebakaran mengikuti dan memperbesar dampakdampak negatif dari drainase (pengeringan air) dan mempercepat degradasi kawasankawasan rawa-gambut. Karenanya diperlukan upaya untuk mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Kata kunci: Kebakaran, sistem drainase, manajemen air, konservasi gambut
Pendahuluan
I
ndonesia memiliki kawasan gambut dan lahan basah air tawar yang sangat luas, yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10 persen dari luas wilayah Negara. Delapan puluh sembilan persen diantaranya berupa lahan gambut, yang sebagian besar terletak di Papua Barat, Sumatra dan Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini secara alami tertutup rapat oleh vegetasi hutan dan seringkali memiliki jenis-jenis kayu bernilai tinggi. Hutan-hutan ini memainkan peranan penting sebagai tempat penyimpan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, dan sebagai pengatur hidrologi. * Dengan sejumlah perbaikan redaksional dan dengan seijin penulis, tulisan ini adalah arsip karya ilmiah Universitas Sumatera Utara (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/971/1/ bejo%20slamet%20132259569.pdf) A R T I K E L
Hutan-hutan ini juga berfungsi sebagai tempat pemuliaan untuk ikan-ikan yang dipasarkan di dalam negeri maupun untuk ekspor. Banyak orang yang bergantung kepada lahan-lahan basah ini untuk mendukung kehidupannya, umumnya dalam kegiatan perikanan, pembalakan dan pertanian (Chokkalingam dan Suyanto, 2004) Tanah gambut telah banyak mengalami perubahan dengan cara direklamasi untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan khususnya lahan-lahan gambut yang terdapat di Malaysia dan Indonesia. Seiring dengan semakin menurunnya lahan-lahan yang baik untuk kegiatan budidaya pertanian, maka tekanan terhadap lahan gambut menjadi tidak terelakkan lagi. Lee (2004) mengemukakan bahwa masalah umum yang dihadapi dalam
102
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
pengembangan perkebunan dan pertanian lainnya di lahan gambut adalah:
•
a. Tahap Persiapan Lahan • Tidak punya aksesibilitas yang baik untuk transportasi alat-alat berat • Batang-batang pohon menghalangi penanaman secara mekanis • Membutuhkan Kapur yang banyak (kondisi tanah sangat asam) • Membutuhkan input pemupukan yang tinggi (kekurangan nutrisi) • Dasarnya adalah tanah sulfat yang masam • Manajemen hidrologinya yang komplek
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jamaludin (2002) yang mengemukakan bahwa hambatan utama dalam pengembangan gambut tropis seperti di Serawak Malaysia dapat disarikan sebagai berikut: • Pemborosan sumberdaya alam gambut sebagai akibat drainase. Dalam hal ini termasuk subsiden selama penyusutan, pemadatan, dekomposisi, leaching, pengeringan yang tak dapat balik/irreversible drying serta kehilangan materi gambut selama proses reklamasi. • Banjir dan bahaya air permukaan yang dangkal oleh karena elevasinya yang rendah, situasi topografi dan hujan yang lebat. • Kapasitas-bawa tanah (soil bearing capacity) yang rendah (hanya 7,7 KN/ m2 di permukaan) dan mempunyai trafficability rendah oleh karena keberadaan dari kayu-kayu yang tidak terdekomposisi atau terdekomposisi sebagaian di dalam tanah, sehingga akan menghambat proses pertanian dengan cara mekanisasi. • Mempunyai kesuburan yang rendah, kondisi kemasaman yang tinggi (pHnya rendah) dan juga masalah sisasisa akar yang tertinggal dari tanaman-tanaman keras musiman.
b. Tahap Pembangunan Kebun Sawit • Mid-Crown Chlorosis (defisiensi tembaga) • Gambut kuning/peat yellow (kekurangan seng) • Pertumbuhan sawit yang lebih lambat mencapai tua (mature) dibandingkan dengan sawit yang ditanam di tanahtanah mineral, selain itu produksinya juga akan terus menerus mengalami penurunan sampai pada tingkat yang tidak ekonomis • Sawit juga akan condong (leaning). c. Ancaman terhadap pengembangan gambut • Pengeringan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan untuk penanaman sawit pada lahan gambut • Akan mempengaruhi regim hidrologi dari kubah gambut (peat dome) dan ekosistemnya • Drainase akan menurunkan air tanah (water table), sehingga tanah
gambut akan menjadi kering dan akan mudah terbakar.
Di Serawak, satu tubuh individu gambut berkisar antara beberapa sampai 100.000 hektar dan pada umumnya mempunyai permukaan yang berbentuk kubah/gundukan (dome-shape). Gambut A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
pada umumnya diklasifikasikan sebagai gambut ombrogen atau gambut penerima hujan dimana gambut tipe ini akan mempunyai kandungan nutrisi yang rendah. Dikarenakan oleh geomorfologi pesisir dan endapan alluvial sering kali gambut ini bentuknya akan memanjang dan irregular/tidak teratur daripada yang berbentuk membulat. Kedalaman gambut akan lebih rendah di daerah dekat pantai/pesisir dan akan semakin meningkat kearah dalam, dan pada lokasi-lokasi tertentu dapat mencapai 20 meter. Air akan memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan dan pemeliharaan gambut tropis (Huat, 2003). Lebih lanjut (Huat, 2003) mengemukakan bahwa keseimbangan antara hujan dan evapotranspirasi adalah hal yang kritis bagi kelestarian gambut. Hujan dan topografi permukaan akan mengatur karakteristik dari keseluruhan hidrologi dari lahan gambut/peat land. Lahan gambut/peatland juga sering dikenal dengan istilah lahan basah/wetland dikarenakan oleh kondisi air tanahnya (water table) yang mendekati atau berada diatas dari permukaan gambut sepanjang tahun dan berfluktuasi seiring dengan intensitas dan frekuensi curah hujan. Dari kacamata sifat-sifat fisikanya, gambut di wilayah tropis pada umumnya adalah non homogen bila dibandingkan dengan gambut dari wilayah temperate. Sifat-sifat fisikanya tergantung dari banyak faktor seperti kandungan kayu, derajat pembusukan/humification, bulk density, porositas, sifat menahan air/ water holding properties, dan hidrologinya (Huat, 2003). A R T I K E L
103
Jinu (2002) mengemukakan bahwa persoalan di tanah gambut yang rata-rata kedalaman 20 meter ke dalam bumi sangat sulit ditumbuhi komoditas keras. Di samping sulit hidup karena kadar tanah sangat asam, juga tanah lemah. Ditiup angin berkecepatan 15 km per jam saja, dipastikan banyak tumbang. Pengalaman pengusaha perkebunan yang beroperasi di Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur, mereka mengeluhkan areal tanah gambut. Sawitnya sulit hidup dan sangat rawan tumbang. Bahkan ada perusahaan perkebunan yang sampai tiga kali merehab kebunnya karena tumbang.
Mengapa Lahan Gambut yang Biasanya Tahan-Api Bisa Terbakar? Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun yang luar biasa keringnya. Hal ini ditunjukkan secara tragis selama terjadinya perang Vietnam, dimana hutan-hutan rawa gambut disemprot oleh bahan-bahan kimia dan dibakar oleh bom napalm. Kebakaran-kebakaran yang terjadi kemudian di’tahan’ oleh rawa-rawa gambut alami yang basah (Burning Issues, 2003). Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasan-kawasan gambut yang dibalak dan dikeringkan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, di kawasankawasan tersebut digali kanal-kanal untuk mengeringkannya, menyediakan akses untuk pembalakan, dan untuk
104
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
meyiapkan lahan bagi usaha-usaha pertanian. Langkah pertama ini bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi/pengairan di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah. Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon dan dengan demikian juga kemampuannya untuk mengatur keluar-masuknya air. Lahanlahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi (Burning Issues, 2003). Saharjo (2003) mengemukakan bahwa karena gambut merupakan bahan bakar yang terdapat di bawah permukaan, maka gambut juga merupakan salah satu bahan bakar yang menyusun bahan bakar bawah. Bahan bakar bawah memiliki kadar air yang tinggi daripada bahan bakar permukaan (serasah, ranting, log) dan bahan bakar tajuk (tajuk pohon, daun, lumut, dan efifit). Bila terjadi kebakaran pada bahan bakar bawah ini, yang biasa dikenal dengan istilah kebakaran bawah (ground fire), maka kebakarannya akan terjadi perlahan-lahan karena tidak dipengaruhi angin (berada di bawah permukaan) sehingga pola penyebarannya tidak menentu serta sukar pula untuk menentukan di mana kebakaran itu sesungguhnya terjadi karena yang tampak adalah hanya asap berwarna putih yang terdapat di atas permukaan. Pola pembakaran ini biasa
dikenal dengan istilah smoldering combustion, pembakaran yang tanpa dibantu oleh oksigen (angin). Tentu saja kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi berawal dari kebakaran yang biasanya terjadi di permukaan. Penetrasi panas akibat dari kebakaran yang terjadi di permukaan akan dialirkan ke bawah permukaan melalui pori-pori gambut, log tertimbun yang terbakar, juga dapat melalui akar semak belukar yang bagian atasnya terbakar. Penetrasi panas bisa dialirkan ke bawah permukaan bila kadar air gambut cukup rendah sehingga memungkinkan combustion terjadi, namun bila kadar airnya tinggi maka penetrasi panas akan terhambat (Saharjo, 2003). Kebakaran permukaan akan berubah menjadi kebakaran bawah bila tingkat permukaan air di bawah permukaan semakin turun akibat berkurangnya cadangan air yang terdapat di gambut. Sehingga bisa dimengerti pada beberapa masyarakat tradisional, mereka enggan membakar di lahan gambut ketika musim kemarau tiba sebab ketebalan gambut yang terbakar akan makin besar dibandingkan dengan kalau mereka bakar pada saat masih turun hujan (namun tidak lebat). Adapun bagi perusahaan perkebunan (sawit) tinggi muka air dapat diatur melalui kanal yang mereka buat (Saharjo, 2003). Untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana pengaruh pembuatan kanal-kanal terhadap kebakaran dapat dilihat dalam beberapa gambar: Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kondisi alamiah yang tidak terganggu, A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
105
Gambar 1. Struktur Hipothetis Dari Peat Dome
maka aliran air di Peat dome akan berada pada kondisi yang setimbang (Equilibrium). Kondisi ini memungkinkan sistem hidrologi lahan gambut untuk dapat mempertahankan kondisi kadar airnya pada tingkatan dimana api sulit untuk bisa membakarnya. Kadar air gambut pada musim kemarau yang cukup panjang pun sebenarnya masih bisa dipertahankan, sebab kehilangan air karena evapotranspirasi dari lahan gambut tidak secepat laju kehilangan air akibat drainase. Oleh karenanya kebakaran yang ada sekarang lebih banyak diakibatkan oleh karena perubahan struktur gambut dan terganggunya sistem hidrologi. Adapun pengaruh dari pembuatan drainase dan penanaman kelapa sawit terhadap sistem hidrologi gambut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika tejadi kanalisasi di bagian bawah kubah maka air akan tertarik keluar dari sistem gambut, gambut akan mengalami A R T I K E L
subsidence, selain itu juga akan terganggunya regim hidrologi. Sedangkan jika pembuatan kanal dilakukan di bagian lereng dome maka dampak negatifnya akan lebih buruk yaitu air akan dengan cepat keluar dari sistem gambut, dome akan mengalami keruntuhan/collapse, dan hilangnya fungsi gambut sebagai pengatur tata air. Oleh karena itu pengeringan lahan gambut dengan pembuatan kanal maupun pembuatan sekat bakar dengan pembuatan parit-parit akan berisiko menimbulkan kebakaran hutan manakala pengaturan airnya tidak dilakukan dengan baik. Pembuatan parit dan kanal pada dasarnya merupakan manajemen yang tepat agar lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian dan perkebunan. Namun skala usaha yang bisa diusahakan seharusnya tidak boleh terlalu luas dan lahan gambutnya masih terpengaruh oleh pasang surut air sungai, sehingga pada kondisi tertentu ketika air
106
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 2. Pengaruh Drainase Terhadap Lahan Gambut
• • •
• • •
Air akan tertarik keluar dari sistem gambut Gambut akan mengalamai subsidence Terganggunya regim hidrologi
Air akan dengan cepat tertarik keluar dari sistem gambut Peat dome akan runtuh (collapse) Hilangnya fungsi alami dari lahan gambut (sebagai pengatur tata air)
sungai pasang air bisa dibendung untuk bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau, selain itu tingkat kesuburannya juga relatif lebih baik dibandingkan gambut di daerah pedalaman sebagai akibat adanya suplai hara dari endapan sungai. Oleh karena itu bisa dimengerti kenapa pembuatan kanal-kanal di lahan
gambut Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta hektar di Kalimantan Tengah mengalami kegagalan dan arealnya sering terjadi kebakaran dikarenakan manajemen hidrologinya yang tidak tepat. Sedangkan gambaran bagaimana drainase yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya kebakaran hutan di A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
107
Gambar 3. Skenario yang umum terjadi dimana drainase yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya kebakaran di lahan gambut (Lee, 2004).
lahan gambut, dapat dilihat pada ilustrasi seperti pada Gambar 3. Terlihat bahwa aspek utama yang menyebabkan kebakaran hutan adalah keluarnya air dari suatu sistem gambut, kemudian terjadi pengeringan dan penurunan kadar air yang pada akhirnya akan memudahkan gambut untuk terbakar. Selain itu kanal-kanal yang digali memberikan akses terhadap kawasankawasan gambut yang dulu tidak tersentuh. Meningkatnya akses manusia memungkinkan terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan, yang akan mengganggu keseimbangan alami dari ekosistem rawa gambut. Jinu (2002) mengemukakan contoh tentang pengaruh dari pembukaan lahan gambut sejuta hektar dan pembuatan kanal-kanal di lahan tersebut, yaitu Sungai Barito (sepanjang 900 km), Sungai Kapuas (600 km), dan Kahayan (600 km), mulai kehilangan A R T I K E L
fungsi ekonomisnya. Masalahnya, permukaan air ketiga sungai tersebut berfluktuasi hanya dengan hitungan jam atau hari. Sungai Kahayan, misalnya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, belum pernah terjadi air kering hanya dalam hitungan hari. Biasanya, kalau terjadi kekeringan ada proses dalam beberapa minggu, tetapi sekarang hanya dalam dua hari, air Sungai Kahayan seperti hilang tersedot. Sebaliknya, air Sungai Kahayan bisa meluap dalam hitungan jam atau hari sehingga membuat porak-poranda warga yang bermukim di tepian sungai tersebut. Tidak ramahnya Sungai Kahayan tersebut sangat boleh jadi akibat pembukaan lahan gambut sejuta hektar di samping eksploitasi hutan secara besar-besaran di bagian hulu sungai. Perubahan itu dirasakan masyarakat setelah mega proyek itu dibuka mulai tahun 1997. Persoalan yang
108
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
terjadi di Sungai Kahayan mewakili persoalan yang terjadi di Sungai Barito dan Kapuas. Dampak lingkungan lainnya, di kawasan PLG itu sendiri sering terjadi banjir besar. Sawah petani yang siap panen, mendadak berubah jadi danau karena banjir. Biasanya, banjir datang sekali dalam setahun, terutama musim hujan. Sekarang kasus bencana banjir bisa terjadi sampai lima kali dalam setahun, seperti yang dialami pada tahun 2001 (Jinu, 2002).
Pemadaman Kebakaran di Lahan Gambut Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka panjang. Gambut terbakar diatas dan dibawah permukaan, dan karena itu sulit untuk dipadamkan. Metode-metode pemadaman kebakaran yang mungkin diterapkan juga mahal. Untuk mengendalikan kebakaran di lahan gambut secara efektif, orang harus menggali gambut yang terbakar atau menggenanginya dengan air. Akan tetapi, dalam musim-musim kering (yaitu ketika kebakaran terjadi), air jarang tersedia dan karena itu menggenangi lahan gambut bukanlah suatu opsi yang dapat dilakukan. Untuk mengatasi kebakaran lahan dan bencana asap tebal yang setiap tahun terjadi di Kalimantan Tengah, kanalkanal pada Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kabupaten Kuala Kapuas dibendung. Pembukaan kanalkanal pada masa Orde Baru yang lebar-
nya 10-30 meter dan panjangnya telah mencapai 4.500 kilometer tersebut, diyakini telah menyebabkan lahan gambut terkelupas, cadangan air pada lahan gambut terkuras dan akhirnya menyebabkan kebakaran. Bendungan atau tabat dalam bahasa Dayak, dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kayu dan ribuan karung tanah. Meski demikian, penabatan yang melibatkan masyarakat lokal ini berjalan efektif karena bendungan atau tabat mampu menahan terkurasnya cadangan air pada lahan gambut agar tidak mengalir ke Sungai Mentangai dan terus ke Sungai Kapuas. Berkat bendung tradisional ini, pada kanal-kanal terbentuk semacam kolam yang panjangnya bisa mencapai enam kilometer dengan kedalaman sekitar satu sampai empat meter itu berfungsi sebagai sekat bakar agar api tidak menjalar dari satu areal ke areal lain (Kompas-Online, 2004). Beberapa teknik yang lain untuk pemadaman kebakaran di kawasan gambut memerlukan adanya penggalian kanal tambahan (sebagai akses ke lokasi kebakaran). Kadang-kadang, air asin juga dipompa masuk untuk menggenangi kawasan tersebut. Kedua teknik tersebut tampaknya menyebabkan degradasi lebih lanjut dari kawasan gambut. Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala dibawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala dibawah permukaan merusak sistem perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensial bagi kebakaran berikutnya. Oleh karena itu, pengaturan air di lahan gambut harus bisa benar-benar dilakukan dan dijaga keseimbangannya. Kelalaian dalam pengaturan kadar air akan dapat menimbulkan bencana yang sangat merugikan baik berupa kebakaran gambut maupun banjir. Banjir bisa terjadi sebagai akibat terbuka dan terbakarnya lahan gambut sehingga siklus hidrologi di lahan gambut menjadi terganggu dimana pada saat musim hujan air tidak bisa disimpan karena ketebalan gambut yang semakin tipis maupun telah hilang sedangkan pada musim kemarau tidak banyak cadangan air tanah yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kondisi gambut supaya tahan terhadap kebakaran.
Menjadikan lahan gambut tahan kebakaran Secara ekologi, pembakaran rawagambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Dalam hal ini, pemilahan antara sebab dan akibat harus dilakukan secara hatihati. Sebab-sebab dasar dari reduksi keanekaragaman jenis hayati adalah salah pengelolaan dari kawasan-kawasan rawa-gambut serta perencanaan tataguna lahan yang memungkinkan terjadinya pengkonversian kawasankawasan tersebut. Kebakaran mengikuti A R T I K E L
109
dan memperbesar dampak-dampak negatif dari drainase (pengeringan air) dan mempercepat degradasi kawasankawasan rawa-gambut. Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan cara mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa-gambut harus dicegah. Apabila gambut menjadi kering secara berlebihan, mereka akan kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon dan tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang rumput atau semakbelukar yang mudah terbakar secara teratur dan karenanya menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya. Penggunaan api di kawasan gambut oleh masyarakat lokal hanya dapat dicegah apabila sumber penghidupan alternatif dapat disediakan. Saat ini masih belum jelas apa bentuk sumber penghidupan alternatif tersebut (Burning Issues, 2003). Beberapa negara telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi sehubungan dengan kebakaran di lahan gambut. Mereka secara khusus telah melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun anehnya tetap mengijinkan pengkonversian dan pegembangan kawasan-kawasan
110
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
tersebut. Malaysia dan Indonesia adalah negara-negara dimana hukum yang berlaku melarang sepenuhnya penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun kegiatan-kegiatan pengeringan/drainasi dan pengembangan masih diijinkan. Oleh karena adanya kontradiksi kepentingan tersebut jalan yang terbaik adalah dengan Win-Win Solution antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan lingkungan. Dari aspek hidrologi hal ini bisa dilakukan dengan manajemen hidrologi yang baik.
Praktek-Praktek Pengelolaan yang Lestari Melalui Manajemen Hidrologi Ambak dan Melling (2000) mengemukakan bahwa sebenarnya istilah pertanian yang lestari (sustainable agriculture) kemungkinan tidak akan bisa diterapkan untuk kegiatan pertanian di lahan gambut oleh karena lahan akan menyusut dan mengalami subsiden pada saat kegiatan pertanian dikembangkan. Namun demikian, sebaiknya di bangun suatu cara untuk memperpanjang umur pakai dari gambut dengan meminimalkan laju subsiden yang dapat dilakukan dengan mengadopsi strategi yang tepat melalui manajemen air, tanah dan tanaman. Menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui kondisi dari air tanah (groundwater) dan juga air permukaan, bentuk dan ksaran fluktuasinya, pengaruh dari saluran terhadap daerah di sekitarnya di lahan gambut. Kondisi hidrologi akan memainkan peranan
penting dalam pergerakan banyak substansi, kelestarian dari gambut itu sendiri dan produktifitas pertanian (Inoue, 2000). Berkaitan dengan manajemen hidrologi di kawasan gambut untuk kegiatan pertanian, maka berikut adalah beberapa strategi tentang manajemen air yang bisa dilakukan (Ambak and Melling, 2000):
Manajemen Air Manajemen air adalah faktor yang paling penting dan kritis bagi pertumbuhan dan produksi tanaman di lahan gambut. Hal ini tidak hanya sebatas pada tinggi rendahnya permukaan air tanah namun juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap manajemen tanaman, subsiden gambut dan irreversible drying dari gambut tersebut. Manajemen air yang tidak efisien pada saat ketersediaan air sangat terbatas atau pada saat air berlimpah adalah salah satu dari faktor utama yang membatasi hasil pertanian. Oleh karena itu sistem manajemen air yang baik memerlukan sistem drainase yang berfungsi dengan baik. 1. Drainase dan Drainability Drainase adalah merupakan prasyarat untuk berbagai penggunaan bagi kegiatan pertanian di lahan gambut. Tanpa drainase yang mapan, maka penanaman dengan tanaman yang biasa di tanam di lahan kering akan sulit dilakukan, sebagaimana gambut yang terdapat di Malaysia yang terbentuk di daerah dataran rendah dengan kondisi permukaan air tanah normalnya lebih tinggi dari permukaan tanah serta A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
berfluktuasi tergantung pada hujan. Drainase merupakan aspek yang penting dari manajemen air untuk pengembangan kegiatan pertanian di lahan gambut. Jaringan drainase untuk pertanian di lahan gambut harus bisa lebih rendah dari muka air tanah yang juga bisa dipergunakan untuk mengalirkan air pada saat hujan lebat yang biasanya menimbulkan banjir/ genangan. Hal ini penting untuk menjaga agar tanaman pertanian tidak rusak, karena sebagian besar dari tanamantanaman tersebut tidak bisa terlalu lama tergenang air. Jaringan drainase juga harus bisa dipergunakan untuk mengeringkan air-air genangan dengan waktu yang cepat, sebab keterlabatan pengeringan akan menyebabkan produksi pertanian menurun atau tanaman mengalami sekarat. Sistem drainase terdiri dari jaringan yang menghubungkan antara berbagai petak, saluran pengumpul dan saluran utama (main drains). Intensitasnya tergantung pada kondisi alamiah tanah dan hujan. Sistem drainase harus didesain untuk mengatasi kondisi hujan lebat yang tidak umum yaitu hujan yang bisa mencapai 4000-5000 mm/tahun untuk meminimalisasi efek dari banjir sesaat. Hujan yang demikian tidak tersebar secara merata sepanjang tahun. Karena terdapat musim hujan dan musim kering/kemarau, oleh karena itu sistem drainase juga harus didesain untuk bisa mengatasi hal ini. Sistem drainase juga harus terdiri dari saluran-saluran yang dangkal dan juga dengan jarak yang lebih sempit daripada saluran yang dalam dan A R T I K E L
111
jaraknya lebar (Ritzema et al, 1988 dalam Ambak dan Melling, 2000), sehingga akan lebih mudah untuk membangun bangunan pengatur tinggi muka air yang melintas saluran. Untuk mengatur tinggi muka air dan menjaga masuknya air pasang dari sungai, yang dibeberapa tempat adalah berupa air payau, maka pintu air juga harus dibuat di ujung dari saluran utama menuju ke sungai. Penghilangan lumpur juga perlu dilakukan. Gulma juga merupakan problem utama. Jika gulma-gulma tersebut tidak diperiksa, maka dapat menghambat sistem drainase, yang tentunya akan mempengaruhi kapasitas maupun laju aliran. Oleh karena itu pembabatan rumput diperlukan untuk menjaga saluran tetap dalam kondisi baik. Konsekuensi dari drainase adalah mengeluarkan air dari hutan rawa gambut yang mana air ini merupakan dasar dari keberadaannya. Drainase akan memicu suatu proses yang tidak bisa dielakkan yaitu irreversible subsidence, yang mana hal ini akan bertentangan dan menjadi penghambat bagi kegiatan pengembangan dan penggunaan lahan gambut untuk pertanian (Andriesse, 1988 dalam Ambak and Melling, 2000). Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk menghindari kondisi gambut yang terlampau kering. Pengeringan yang berlebihan akan mengakibatkan subsiden dan banjir, menurunkan water holding capacity, meningkatkan keberadaan tanah-tanah sulfat masam, kebakaran hutan, irreversible drying, serangan hama dan penyakit,
112
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
ketidakseimbangan nutrisi dan penurunan hasil tanaman. Fenomena ini mempunyai dampak terhadap penggunaan yang lestari dari tanah gambut untuk pertanian dan secara nyata akan memperpendek nilai ekononis dari lahan. Dalam perencanaan pembuatan drainase di lahan gambut, penting juga untuk mempertimbangkan potensi drainability dari suatu areal tertentu yang dapat lestari. Dalam konteks ini, drainability yang lestari mengacu pada drainase gravitasi, yang mana hanya akan mungkin dan ekonomis jika lapisan tanah mineral subsoil-nya berada diatas ratarata tinggi muka air dari badan air terdekat dimana air drainase dilewatkan (discharge). Hal ini disebakan oleh karena permukaan tanah masih akan berada diatas ketinggian tersebut meskipun seluruh gambut hilang terdekomposisi. Oleh karena itu drainase dengan gravitasi (gravity drainage) dapat lestari hampir untuk jangka waktu yang tidak tertentu. Namun demikian hal ini bisa menjadi sulit dan tidak ekonomis atau bahkan menjadi tidak mungkin untuk dikembangkan jika gambutnya berada dibawah rata-rata tinggi muka air. Graviy drainage juga akan menjadi sulit manakala lokasinya jauh dari badan-badan air dikarenakan oleh adanya tambahan hydraulic head sekitar 20 cm per kilometer. Jika hal ini terjadi, maka areal tersebut akan tergenang dan pengembangan areal pertanian di tempat tersebut akan gagal kecuali pengukuran dan perhitungan yang mahal terhadap kemungkinan bunding dan pemompaan dilakukan.
2. Water-Table Control Jika drainase merupakan hal penting, maka perawatan agar tinggi air tanah tetap konstan dengan kisaran yang optimal untuk produksi tanaman juga penting. Tinggi air tanah harus dijaga supaya setinggi mungkin dengan menggunakan struktur pengatur tinggi air yang memadai. Sejumlah weirs dibuat melintang saluran penampung (collection drain) di posisi-posisi yang strategis untuk menjaga kebutuhan tinggi air dan juga dapat mengatur tinggi air lebih tinggi selama periode hujan yang rendah yaitu dalam rangka menjaga supaya tidak terjadi over drainage. Sebagai contoh dari sistem manajemen air, didasarkan pada prinsip desain yang sama dapat ditemukan di United Plantation di Perak (Singh et al., 1986 dalam Ambak and Melling, 2000). Di kebun kelapa sawit mereka yang di tanam di lahan gambut, mereka membangun sejumlah bangunan di saluran penampung untuk mengontrol tinggi air dalam blok seluas 50 Ha. Di dalam blok, sistem drainase tersier yang intensif, dengan jarak 30 meter, dijaga kedalaman air tanahnya pada 0,6 sampai 0,9 dibawah permukaan tanah. Kebutuhan akan tinggi muka air berbeda tergantung jenis tanaman yang dibudidayakan. Tinggi muka air yang optimal bervariasi seiring dengan kedalaman dari zona perakaran tanaman. Selain itu juga mempunyai kebutuhan yang bervariasi secara temporal tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan juga aktifitas pengolahan tanah seperti penugalan dan pemanenan. Idealnya, muka air sebaiknya didesain supaya berada sekitar 20 cm dibawah A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
113
Tabel 1. Kebutuhan Tinggi Muka Air Tanaman Yang ditanam di Lahan Gambut (Ambak and Melling, 2000)
zona perakaran tanaman setelah mempertimbangkan laju dari capillary rise (perambatan air kapiler keatas) dan Capillary fringe (perambatan air kapiler ke samping/pinggir) di lahan gambut tersebut. Beberapa rata-rata muka air optimum untuk keragaan terbaik dari beberapa tanaman pertanian dapat dilihat pada Tabel 1. Jatuhnya muka air terlalu rendah di bawah zona perakaran karena subsiden juga akan berdampak pada hasil pertanian yang diusahakan, khususnya selama musim kering. Rendahnya konduktansi aliran air keatas dari gambut juga akan berdampak pada terhambatnya pengisian air di zona perakaran tanaman melalui capillary rise, hal ini akan mengakibatkan tanaman menjadi stress air. Muka air perlu dijaga pada kondisi yang setinggi mungkin namun konsisten dengan pertumbuhan tanaman. Selama musim kering, muka A R T I K E L
air sebaiknya lebih tinggi lagi untuk mencegah terjadinya kebakaran gambut. Pemilihan jenis tanaman yang akan di kembangkan pada suatu lahan gambut yang khusus menjadi sangat penting. Pemilihan ini tentunya akan menentukan kebutuhan dari kedalaman drainasenya. Menjadi sesuatu yang tidak bijaksana manakala mengembangkan tanaman pada lokasi gambut yang sama dengan kedalaman perakaran tanaman akan muka air sedalam 75 cm (misalnya untuk kelapa sawit), jika di perkebunan sekitarnya sedang dicoba untuk menjaga agar tinggi muka air pada kedalaman 30 cm (misalnya untuk sagu). Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik tentang kebutuhan air. Pemiihan tanaman dalam hubungannya dengan lokasi daerah tangkapan juga harus dipertimbangkan dengan baik supaya tidak mempengaruhi fungsi dari rawa
114
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
gambut sebagai sumber pasokan air. Hama seperti tikus (utamanya Rattus tiomanicus) dan rayap (Coptotermes curvignatus) dapat dikurangi atau dicegah dengan muka air yang tinggi serta manajemen air yang baik. Penjagaan muka air setinggi mungkin juga dapat mendorong pertumbuhan Nephrolepsis dengan cepat, yang akan menutup permukaan gambut sehingga permukaan gambut tidak terbuka, selain itu juga akan menjaga lingkungan menjadi lebih dingin. Pemamaparan permukaan gambut di bawah matahari langsung akan mcenderung membentuk organic crusting yang mana hal ini akan berakibat pada semakin menurunnya infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan dan juga tentunya akan meningkatkan erosi gambut. Tanaman penutup legum tidak dianjurkan sebab dapat meningkatkan laju mineralisasi gambut, yang pada akhirnya akan meningkatkan laju subsiden.
tersedia di atas tinggi muka air, jumlah air hujan beserta distribusinya dan evapotranspirasi dari areal tersebut. Harus terdapat pengatur perhitungan yang memadai terhadap suplai air dari sumber-sumber yang ada untuk irigasi balik khususnya pada saat musim kering.
3. Irigasi Manakala tinggi muka air tidak bisa dikontrol dan selalu berada jauh di bawah dari kedalaman yang dibutuhkan, maka irigasi perlu dilakukan, khususnya bagi pertanaman yang berdaur pendek (tanaman semusim). Hal ini penting untuk menjaga suplai air bagi pertumbuhan tanaman sebagaimana juga untuk menjaga pengeringan yang berlebihan di lapisan top soil. Untuk tanaman tahunan, maka perhitungan irigasi harus dipertimbangkan. Jadwal penanaman dan sistem irigasi yang dibutuhkan harus memperhitungkan jumlah air tanah yang
Penutup
4. Banjir (Flooding) Dalam rangka meminimalkan terjadinya subsiden tanah, maka pendekatan yang paling baik adalah dengan cara membanjiri tanah dan mengadopsi penggunaan akuatik dari lahan gambut seperti penanaman dengan tanaman yang Hidrofilik (sukaair) atau tanaman yang tolerant terhadap air dan secara ekonomis juga penting, misalnya Chinese water chestnuts (Eleocharis tuberosa), Chinese spinach (Amaranthus hybridus), Kangkung (Ipomoea aquatica), water cress dan lain-lain.
Manajemen air di kawasan gambut memegang peranan yang sangat penting baik bagi pertumbuhan tanaman maupun bagi usaha pencegahan kebakaran hutan. Semakin baik manajemen air yang diterapkan maka produktifitas hasil pertanian dan perkebunan juga akan semakin baik disamping bahaya kebakaran lahan gambut bisa dihindari. Sebaliknya jika manajemen airnya jelek maka produktifitas pertanian juga akan menurun dan kemungkinan bahaya kebakaran gambut bisa terjadi• A R T I K E L
Bejo Slamet, Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut
Daftar Pustaka Ambak, K and Melling, J. 2000. Management Practices for Sustainable Cultivation of Crop Plants on Tropical Peatland. In Proceedings of the International Symposium on TROPICAL PEATLANDS. Bogor, Indonesia, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian Institute of Sciences. pp. 119-134 (2000) Burning Issues. 2003. Membakar lahan gambut sama artinya dengan membuat polusi asap. Project Officer, Project Fire Fight South East Asia N0. 7 Mei 2003. Chokkalingam, U dan Suyanto. 2004. Kebakaran, mata pencaharian, dan kerusakan lingkungan pada lahan basah di Indonesia: lingkaran yang tiada berujung pangkal. Fire Brief. Nomor 4. Oktober 2004. Huat, B. K. 2003. An Integrated Approach Needed For Peatland Development. Sunday Tribune (9 March 2003). http:/ /www.eng.upm.edu.my/asset2/archives/ 12.Anintegrated approach.htm Inoue, K. Discussion on Rural Development of Peat Swamp Area of Central Kalimantan from Hydrological Aspect. In Proceedings of the International Symposium
A R T I K E L
115
on TROPICAL PEATLANDS. Bogor, Indonesia, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian Institute of Sciences. pp. 145-149 (2000) Jamaludin B. J. 2002. Sarawak: Peat Agricultural Use. STRAPEAT. March 2002. MARDI. Malaysia.. Jinu, A. 2002. Proyek PLG Sejuta Hektar Dari “Lumbung Beras” Berubah Jadi Lumbung Masalah. Kompas-Online, Rabu 20 Pebruari 2002. http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0202/20/daerah/dari 28.htm Kompas-Online, 14 Oktober 2004. Atasi Kebakaran Lahan Gambut, Dibendung Sejuta Hektar Kanal. http://www.kompas. com/kompas-cetak/0410/14/daerah/ 1325305.htm. Lee, D. 2004. Concept Proposal : Reducing Impacts and Enhancing Sustainable Management of Oil Palm. Presentation Matter on 2nd Round Table Meeting on Sustainable Palm Oil. 5-6th October 2004 – Grand Hyatt Jakarta, Indonesia. Saharjo, B. H. 2003. Kebakaran Gambut. Kompas-Online, 21 Juli 2003. http:// www.kompas.com/kompas-cetak/0307/ 21/ilpeng/440416.htm
116
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
P E M B A N D I N G
PENDANAAN ALTERNATIF PROYEK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ulasan untuk Dana Perwalian Oleh Aidy Halimanjaya & Smita Nakhooda Upaya-upaya untuk menghadapi masalah-masalah perubahan iklim di dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang menjadi sebuah ranah kebijakan negara yang bersifat jangka panjang. Indonesia sejak tahun 2007 telah berusaha mempersiapkan sebuah mekanisme pendanaan untuk respon terhadap perubahan iklim. Mekanisme tersebut pada tahun 2009 dilembagakan menjadi Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF), yang juga merupakan bentuk kerjasama Indonesia dengan dunia internasional terkait respon perubahan iklim. Tulisan ini berusaha memberikan penjelasan dan evaluasi terhadap lembaga Dana Perwalian tersebut. Kata kunci: Dana Perwalian, mitigasi, manajemen
Pendahuluan
D
ana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF) –selanjutnya ditulis Dana Perwalian— adalah lembaga nasional dana perwalian milik pemerintah Indonesia, dan merupakan salah satu model percontohan di dunia untuk mekanisme negara berkembang di dalam mendanai respon terhadap perubahan iklim. Lembaga ini didirikan tahun 2009 dengan tujuan mendukung respon perubahan iklim di Indonesia, dalam konteks munculnya komitmen-komitmen kebijakan untuk mitigasi perubahan iklim terkait UNFCCC Bali COP pada tahun 2007. Sampai dengan tahun 2014,
ICCTF dikelola oleh Kementerian Bappenas, bersama dengan UNDP sebagai pimpinan sementara. ICCTF berusaha memobilisasi, mengelola, dan mengalokasikan pendanaan seiring dengan prioritas-prioritas pembangunan Indonesia untuk secara efektif dan efisien berkontribusi pada: 1) implementasi dari tindakan mitigasi emisi GHG dan aktivitas-aktivitas penyesuaian perubahan iklim; dan 2) pengarusutamaan isu perubahan iklim ke dalam perencanaan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten. Kapitalisasi ICCTF sampai dengan tahun 2014 sebesar US$ 11.400.000. IniP E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
sumber yang relatif kecil bagi keuangan di negara yang dapat mengakses ratusan juta dolar yang berasal dari dukungan lunak berbagai donor untuk tujuan perubahan iklim. Pemahaman tentang hal ini penting terkait proses dan konteks evolusi ICCTF, karena memberikan wawasan utama tentang realitas praktis pendirian lembaga dana nasional perubahan iklim. Seiring dengan fase pembentukan ICCTF pada akhir 2014, kami berharap bahwa analisis ini dapat mendukung upaya untuk memperkuat dampak dan efektivitas mekanisme keuangan perubahan iklim. Ketika masyarakat internasional berupaya meningkatkan penyampaian ide tentang pendanaan untuk perubahan iklim, terdapat minat untuk memahami bagaimana cara memanfaatkan secara efektif dana untuk perubahan iklim. Karenanya diperlukan sebuah penilaian yang bertujuan memberikan gambaran faktual dari pelaksanaan dan pencapaian lembaga Dana Perwalian, mengidentifikasi tantangan utama yang dihadapi, dan menggarisbawahi pembelajaran untuk penyampaian ide tentang efektivitas pendanaan perubahan iklim. Makalah ini menyajikan analisis kualitatif mengenai prestasi ICCTF dilengkapi dengan data kuantitatif yang relevan, yang sesuai dengan konteks Dana Perwalian dan berbagai kendala yang dihadapi.
LATAR BELAKANG Pembentukan Dana Perwalian untuk Perubahan Iklim di Indonesia (ICCTF) ,mendemonstrasikan upaya Pemerintah P E M B A N D I N G
117
Indonesia untuk menempatkan perubahan iklim dalam konteks prioritas pembangunan nasional, dengan mengakses keuangan internasional melalui lembaga-lembaga milik nasional. Ada dua proses besar yang mendukung pendiriannya. Pertama, Indonesia sebagai negara penyelenggara konferensi UNFCCC COP 13 di Bali pada tahun 2007, berusaha mempertimbangkan peluang-peluang untuk mengatasi perubahan iklim. Rencana Aksi Bali memperkenalkan gagasan bahwa negaranegara berkembang akan melakukan tindakan mitigasi yang tepat secara nasional dengan dukungan internasional, dalam upaya untuk mengembangkan strategi mitigasi nasional. Pada G20 Summit 2009 di Pittsburgh, Presiden Indonesia dari tahun 2004-2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengumumkan bahwa Indonesia “merancang ... kebijakan ... yang akan mengurangi emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari BAU (Business As Usual). Dengan dukungan internasional ... kita dapat mengurangi emisi sebanyak 41 persen”. Pada tahun 2011, Indonesia mengadopsi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang mengusulkan sebuah pendekatan untuk mewujudkan tujuan tersebut (GOI, 2011). Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) melengkapi RAN GRK dalam rangka membangun tindakan mitigasi terpadu di seluruh wilayah Indonesia. Upaya memproyeksikan berapa banyak biaya yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk mendanai kegiatan yang bertujuan mengurangi 26% emisi
118
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Tabel 1 Perkiraaan Dana yang dibutuhkan untuk mencapai target Pengurangan Emisi
gas rumah kaca itu menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan US$ 81,300,000,000, dan dua kali lipat jumlah ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 41% di semua sektor (Tabel 1). Sejak tahun 1998, Indonesia telah menjadi salah satu penerima terbesar bantuan pembangunan iklim terkait (Halimanjaya, 2013). Proses besar kedua yang mendukung pendirian ICCTF adalah Komitmen Jakarta pada ‘Bantuan Efektivitas Pembangunan - Peta Jalan Indonesia 2014’, yang mengartikulasikan niat Pemerintah Indonesia untuk memperkuat kepemilikan negara atas pembangunan; membangun kemitraan pembangunan yang efektif dan inklusif; serta memberikan penjelasan tentang hasil pembangunan (GOI, 2009). Komitmen Jakarta diadopsi pada tahun 2009 dalam konteks upaya memperkuat efektivitas bantuan untuk pembangunan dengan memberikan kepemilikan yang lebih besar kepada lembaga nasional sebagai hasil dari kerja sama pembangunan. Kontributor juga mengakui perlunya mekanisme yang
akan memperkuat koherensi dukungan untuk agenda perubahan iklim, dan mengurangi fragmentasi (DFID, 2010).
TUJUAN Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ICCTF merupakan perkembangan dari pertemuan perubahan iklim nasional dan agenda efektivitas pembangunan. Bappenas, sebagai badan perencanaan pembangunan Indonesia menjadi inisiator kelembagaan untuk dana perwalian tersebut. Bappenas juga telah dipercaya untuk mengemban dan mengelaborasi strategi untuk merespon masalah perubahan iklim di Indonesia. ICCTF yang diluncurkan bersama oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan, dimaksudkan untuk menyelaraskan dan menyatukan sumber daya keuangan internasional dengan strategi investasi nasional dan anggaran dana dalam negeri secara inovatif, transparan dan akuntabel. Hal ini juga bertujuan untuk memprioritaskan perubahan iklim di dalam perencanaan dan kebijakan P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
119
Gambar 1. ICCTF Saat Ini dan Strategi Pendanaan di Masa Depan
pembangunan nasional dan daerah, dan melaksanakan GRK langkah-langkah mitigasi emisi dan adaptasi inisiatif perubahan iklim. Secara garis besar, ICCTF memiliki tiga jendela tematik: energi; mitigasi berbasis lahan; dan adaptasi dan ketahanan. Ketiga jendela tematik ini mencakup hampir semua prioritas mitigasi Indonesia yang tercantum di dalam dokumen RAN GRK.
EVOLUSI DANA Dana perwalian dioperasionalkan dalam dua tahap untuk memungkinkan investasi awal yang diperlukan dalam pengaturan manajemen fidusia yang kuat dan pengembangan strategi jangka panjang yang efektif. Selama fase PREPICCTF, UNDP berperan sebagai wali amanat untuk ICCTF dan terdapat mekanisme sementara untuk menyalurkan dana kepada kegiatan-kegiatan yang dipimpin oleh pemerintah P E M B A N D I N G
Indonesia. Tahap awal ini juga akan melibatkan investasi jangka panjang dalam operasionalisasi Dana dan kapasitas terkait (UNDP Indonesia, 2009). Tujuannya adalah untuk membentuk dana nasional yang berfungsi, yang melalui prosedur manajemen operasional dan keuangan akan mendapatkan kepercayaan dari negara-negara donor. Prosedur manajemen operasional dan keuangan ini didukung oleh peraturan pemerintah tahun 2011, Keputusan Menteri yang menetapkan dasar hukum ICCTF sebagai Trust Fund Indonesia (GOI-BAPPENAS, 2013). Pada tahap kedua dan ketiga, perangkat modalitas yang lebih luas dieksplorasi melalui inovasi dan transformasi terfokus untuk mengatur strategi pendanaan (lihat Gambar 1). Tahap PREP-ICCTF juga memiliki dimensi pembelajaran praktis. Tahap ini telah menghabiskan dana yang diterima sebagai hibah untuk proyek-proyek
120
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 2. Jumlah Deposit yang Dicairkan Per Maret 2014
Tabel. 2 Dana Hibah untuk ICCTF sejak Tahun 2009
percontohan, yang diusulkan dan dikelola oleh lima kementerian pemerintah, dengan tujuan mendapatkan pengalaman kerja sama antar-lembaga, dan proyek pembangunan kapasitas manajemen dalam pelayanan ini (BAPPENAS-ICCTF, 2011a; ICCTF, 2013c). Ini mengingat ICCTF adalah salah satu dari banyak aktor dan lembaga yang mengakses dan memberikan pembiayaan
perubahan iklim di Indonesia. Sebuah tinjauan baru tentang pendanaan perubahan iklim di Indonesia menemukan sejumlah US$ 324.000.000 dukungan internasional yang diarahkan untuk Indonesia (CPI 2014). Dengan kapitalisasi saat ini yang berjumlah US$ 11.400.000, ICCTF tetap salah satu aktor yang paling kecil di lanskap pembiayaan perubahan iklim dalam negeri. P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
A. Pengeluaran Instrumen Selama dua fase pertama yang diantisipasi, ICCTF hanya dapat menawarkan bantuan keuangan dalam bentuk hibah kepada penerima. Secara hukum, ICCTF hanya berhak menerima hibah. Akibatnya, ICCTF belum bisa mengakomodasi pembiayaan dari donor yang mungkin ingin menawarkan pinjaman atau modal. Penerima diharapkan menerima hibah dari dana perwalian dengan tambahan dana dari sumber yang berbeda, tapi ini bukanlah persyaratan untuk mengakses pendanaan dari ICCTF. Walaupun terbatas secara hukum, visi jangka dana perwalian ini adalah untuk mengakomodasi berbagai jenis instrumen keuangan, termasuk pinjaman, dan melibatkan ragam aktor yang lebih luas, termasuk sektor swasta (Gruning et al. 2012; Thamrin, 2011). 1 Mobilisasi sumberdaya Tiga donor - Inggris, Australia, dan Swedia - telah memberi hibah dengan total sebesar $ 11.400.000 untuk ICCTF sejak tahun 2009. Inggris berkontribusi 86% dari jumlah keseluruhan (Lihat Tabel 2). Semua dana ini ($ 11.400.000) telah diendapkan dan 78% dari total jumlah deposit telah dicairkan per Maret 2014 (Gambar 2). Pemerintah Jerman telah memberikan bantuan teknis untuk operasionalisasi Dana Perwalian melalui agen kerjasama teknis GIZ. Donor lainnya, termasuk Denmark dan Amerika Serikat, telah menyatakan minatnya dalam mendukung ICCTF (Budiarjo, 2013), tetapi pada saat penulisan, reaP E M B A N D I N G
121
lisasi dari kelanjutan minat tersebut belum terjadi (ICCTF, 2014a). Akreditasi ICCTF juga telah diposisikan sebagai entitas pelaksana untuk dana iklim multilateral. Pada tahun 2011, ICCTF Pemerintah menominasikan dana perwalian untuk diakreditasi sebagai Pelaksana Badan Nasional (NIE) untuk Adaptation Fund. Hal ini dilakukan dengan harapan Dana Perwalian bisa mengakses sumber daya tambahan internasional untuk mendukung portofolio luas program adaptasi. Namun, penilaian Adaptation Fund menemukan bahwa perbaikan lebih lanjut diperlukan untuk sistem pengelolaan dana, transparansi dan manajemen keuangan, serta kerangka kerja pengendalian internal. Saat ini, sebagian besar dana yang ada internasional, termasuk Global Environment Facility (GEF), Dana Investasi Iklim (CIF), dan lain-lain yang memiliki program aktif di Indonesia, belum bekerja melalui ICCTF. ICCTF terus menerus memperbaiki sistem untuk memenuhi persyaratan untuk mengakses Adaptation Fund dan juga GEF (ICCTF, 2014a). Pengaturan pendanaan di masa depan Pemerintah Indonesia (GOI) telah berkomitmen untuk membiayai ICCTF langsung dari APBN (ICCTF, 2014). Hal ini juga mungkin karena badan REDD+ Indonesia yang didirikan pada bulan Agustus 2013 melalui keputusan presiden (GOI, 2013), akan menyalurkan sebagian dana melalui ICCTF. Badan REDD+ yang memiliki status sebagai
122
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
badan di bawah kementerian Indonesia, dipercaya untuk mengelola keuangan kegiatan REDD+ (ibid). Karenanya, Bappenas berupaya agar ICCTF menjadi penyalur keuangan internasional di Indonesia: misalnya, potensi ICCTF dalam penyaluran dana bagi Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMA) (ICCTF, 2014a). Dari gambaran di atas tampak jelas bahwa semua instansi pemerintah menyadari akan pentingnya kapitalisasi ICCTF di skala yang memadai. Badanbadan koordinasi pendanaan iklim juga telah mengamati bahwa hibah saat ini tersebar di beberapa instansi, dan bahwa ada kebutuhan untuk pendekatan yang lebih terintegrasi dan strategis untuk mengakses pembiayaan hibah. ICCTF berpotensi memfasilitasi pendekatan yang solid untuk mengelola pendanaan berbentuk hibah. 2 Suara dan administrasi Tata pengambilan keputusan mempengaruhi kepercayaan dalam operasi dana ini (Nakhooda, 2013). Sebagaimana dicatat, tujuan utama pembentukan ICCTF adalah untuk menjadi pedoman pendanaan perubahan iklim bagi lembaga-lembaga nasional dan berada sejajar dengan prioritas pemangku kepentingan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diberi mandat mengkoordinasikan lembaga-lembaga lain dalam kaitannya dengan strategi pembangunan nasional, telah membimbing dan memberikan bantuan strategis, serta mendukung kegiatan koordinasi pengembangan Dana Perwalian. Karenanya, struktur
ICCTF (Gambar 4) akan menjadi semakin berkembang dan inklusif. Manajemen ICCTF menetapkan pengambilan keputusan-keputusan dalam sebuah pleno komite pengarah yang dipimpin oleh Pemerintah Indonesia dan juga melibatkan mitra-mitra pembangunan dan organisasi masyarakat sipil yang terpercaya. Perwakilan lembaga-lembaga internasional, pemerintah daerah, dan badan-badan antar pemerintah bertindak sebagai peninjau. Wakil Menteri Bappenas Pemerintah Indonesia adalah ketua komite pengarah dana perwalian, sedang Wakil Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas berfungsi sebagai sekretaris. Anggotanya meliputi Deputi Bidang Pengembangan Keuangan Bappenas, dan perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Kementerian Kesejahteraan Rakyat, kepala Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Selain itu, perwakilan organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan akademisi atau yang ditunjuk juga duduk di badan dana perwalian. Akhirnya, ada peran untuk tiga pemerintah donor yang berkontribusi pada dana perwalian, yaitu Inggris, Denmark dan Jerman. Dua dari tiga kontributor dana memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pleno pemerintah (ICCTF 2014). Penataan baru ini resmi didirikan melalui KEP.33/M.PPN/HK/ 2014 di bulan Maret 2014. Panitia Teknis yang dipimpin oleh Sekretaris Kepala Bappenas dan perwakilan dari Kementerian Keuangan P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
mengembangkan proposal untuk pendanaan, dengan masukan dari anggota Pleno dan Sekretariat ICCTF. Administrasi Selama tahap pertama dari ICCTF, UNDP ditunjuk untuk berfungsi sebagai sebagai manajer keuangan sementara, sebagian sebagai jaminan untuk pemenuhan standar minimum fidusia. Dalam hal ini UNDP menetapkan biaya pengelolaan dan sebesar 7%. Sejak awal perhatian diarahkan pada apakah kantor UNDP di negara setempat akan memprioritaskan ICCTF; namun ulasan donor kemudian telah menekankan perlunya lebih besar perhatian manajemen senior untuk proses manajemen dana dan operasionalisasi. Strategi ICCTF pada fase berikutnya selalu mempertimbangkan manajemen sepenuhnya berada di tangan insitusi nasional. Untuk tujuan ini, Bank Mandiri dipilih sebagai wali amanat nasional dana perwalian. Selama tahap PREP-ICCTF, UNDP dan Bank Mandiri bersama-sama melayani peran pengelola dana, untuk mengantisipasi transisi penuh ke fase manajemen nasional. Desember 2013, 5% dari dana yang dicairkan telah mendukung pembangunan kapasitas di Sekretariat ICCTF. Biaya overhead Sekretariat ICCTF diperkirakan meningkat di tahun 2014 terkait perluasan struktur manajemen ICCTF yang memasukkan direktur eksekutif, dua wakil direktur, manajer keuangan, serta manajer evaluasi dan pemantauan (ICCTF, 2013c). P E M B A N D I N G
123
Prosedur Pelaporan Pada fase PREP-ICCTF, Dana Perwalian menggunakan sistem pelaporan ganda sesuai dengan persyaratan pemerintah Indonesia, serta standar persyaratan manajemen UNDP. Penerima dana lembaga-lembaga publik melengkapi protokol pelaporan keuangan sesuai sistem UNDP dan juga sesuai sistem keuangan pemerintah yang dikenal sebagai DIPA, atau dihitung sebagai ‘on budget on treasury’ (Brown dan Peskett 2011, p 14.). Sistem ganda ini meningkatkan biaya transaksi dan beban terkait dengan mengakses sumber daya ICCTF. Mereka yang diwawancarai mengemukakan bahwa penyederhanaan terhadap pengaturan ini akan membawa peningkatan efisiensi. Transparansi dan Partisipasi Sampai saat ini, keterlibatan organisasi masyarakat sipil (OMS), sektor swasta, dan lembaga subnasional dalam pengaturan ICCTF sebagian besar masih diskresioner. Namun, pihak Dana Perwalian telah menyelenggarakan sejumlah acara untuk meningkatkan kesadaran berkegiatan dan mencari masukan dari akademisi, instansi pemerintah dan perwakilan CSO (ICCTF, 2010). Selain itu, ICCTF juga berpartisipasi dalam forum-forum kebijakan yang diselenggarakan oleh LSM lokal dan internasional (ICCTF Calendar - website). Upaya sedang dilakukan untuk memperkuat komunikasi publik tentang Dana Perwalian, dengan website khusus yang mempublikasi aktivitas utama dan prestasi (http://www.icctf.or.id). Ini
124
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 3. Struktur tata kelola yang diharapkan dari ICCTF
termasuk juga memutakhirkan informasi ICCTF agar publik dapat mengakses informasi lebih lanjut tentang program dan prioritas tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Inggris (DFID, 2013). Ulasan Adaptation Fund terhadap ICCTF menyoroti kebutuhan untuk memperkuat transparansi, terutama pada manajemen keuangan. Memang kebijakan akuntabilitas ICCTF relatif diskresioner. Kejelasan mengenai langkah meningkatkan akuntabilitas Dana Perwalian ini bisa membantu mendukung pemerintahan yang efektif di samping membangun kepercayaan yang lebih besar dari lembaga-lembaga donor dan dana iklim internasional.
Struktur tata kelola di masa datang Sebuah tata kelola baru yang menggabungkan Komite Teknis (TC) dan Komite Pengarah (SC), yang dikenal sebagai Majelis Wali Amanah (MWA), diantisipasi dapat meningkatkan tata kelola Dana Perwalian (GOI-Bappenas, 2013 ). Menurut PPN3/2013, MWA akan memiliki struktur voting formal, yang akan digunakan jika keputusan tidak dapat dicapai dengan konsensus. Bappenas sebagai ketua, sekretaris, dan anggota dari ICCTF akan memiliki tiga suara. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan semua akan P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
memiliki satu suara. DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) akan mendapatkan satu suara, sebagaimana juga perwakilan Kamar Dagang atas nama sektor swasta, perwakilan akademisi, dan perwakilan CSO. Mereka dapat memberi tanggapan sekaligus memberikan manfaat koordinasi berupa hubungan yang lebih erat antara DNPI, badan kepemimpinan yang dibentuk untuk mengkoordinasikan tindakan terhadap perubahan iklim, dan ICCTF (DFID, 2013) Perwakilan MWA dari kalangan akademisi akan dipilih oleh Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Bappenas, sedangkan Indonesia Climate Alliance Network (ICAN) menjadi wakil dari CSO. Representasi langsung dan keterlibatan CSO dalam keputusan mengenai alokasi sumber daya dipandang sebagai aspek penting dari upaya mempromosikan kepercayaan masyarakat terhadap integritas operasinya. Selain itu tiga donor terbesar dari ICCTF juga akan mendapatkan masing-masing satu suara. Pengaturan ini pada dasarnya akan membatasi pengaruh donor di dalam menentukan prioritas pengeluaran. Namun dari struktur yang demikian terdapat masalah proses operasionalisasi dana, dan kesepakatan tentang prosedur dan pedoman. Ini berakibat pada proses pengambilan keputusan yang kurang efisien. Keterlibatan perwakilan senior kementerian untuk menandatangani keputusan penting operasional juga mengakibatkan penundaan. Kemampuan dana untuk berfungsi secara efektif dalam jangka panjang akan bergantung P E M B A N D I N G
125
pada peningkatan kapasitas sekretariat ICCTF, yang sejauh pengalaman berbicara telah terhambat oleh sumberdaya yang melampaui batas dan pergantian staf pimpinan. Langkah telah diambil untuk memperkuat Sekretariat melalui perekrutan direktur eksekutif, ahli internasional dalam pengelolaan dana, dan pengenalan struktur tata kelola baru. Dampak praktis dari perubahan ini masih harus dilihat kembali. 3 Strategi Investasi dan alokasi ICCTF menetapkan prioritas pengeluaran didasarkan pada kombinasi dari pedoman kerangka kebijakan nasional dan regional (RAN / RAD GRK), yang ada pada Roadmap Perubahan Iklim sektoral Indonesia (ICCSR), studi terbaru dan pendapat pakar (Bappenas-ICCTF, 2011c) seperti digambarkan dalam Gambar 4. ICCSR mengidentifikasi sumber daya air, kelautan dan perikanan, pertanian dan kesehatan sebagai sektor prioritas untuk adaptasi; dan kehutanan, energi, industri, transportasi dan limbah sebagai prioritas untuk mitigasi. Semua program yang didanai harus memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat lokal; mendorong adanya pelatihan meluas dan atau yang terkait dengan pembangunan kapasitas bagi pemerintah daerah dan / atau fasilitator lokal; untuk membantu menghilangkan hambatan keuangan dan teknologi bagi praktek/teknologi lokal inovatif; serta menjamin integritas dan keberlanjutan lingkungan (BappenasICCTF, 2011c; ICCTF, 2013c). ICCTF juga berusaha memprioritaskan
126
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 4. Prinsip-prinsip strategi investasi ICCTF
program-program yang berpotensi untuk dikembangkan atau direplikasi di daerah lain; dan yang bisa memobilisasi kontribusi keuangan tambahan dari sektor swasta, pemerintah daerah atau masyarakat. Prioritas Strategis Dokumen pertama ICCTF tentang strategi investasi dirancang di tahun 2010 dan telah direvisi dua kali, pada tahun 2012 dan 2013. Perkembangan terakhir pada periode 2013-15 (ICCTF, 2013c) ICCTF memprioritaskan pada strategi pengelolaan berkelanjutan tanah gambut dan pengembangan energi untuk rangka tematik tanah. Rangka tematik energi akan mendukung pengembangan proposal NAMA,terkait efisiensi energi di kota-kota, transportasi darat yang berkelanjutan dan energi terbarukan
biomassa. Adaptasi rangka tematik berfokus pada perikanan dan akuakultur. Pemilihan Program Strategi investasi ICCTF memiliki perangkat prioritas yang relatif organi dan seleksi program didasarkan atas perangkat pedoman yang cukup fleksibel. Untuk saat ini, hanya proyek ‘percontohan’ yang telah disetujui oleh Dana Perwalian. Sebagai bentuk transparansi, program-program yang sebagian besar terlihat memiliki nilai tambah, telah dicatat sebagai prioritas diantara investasi-investasi potensial (DFID, 2013). Tentu saja ini akan menjadi persyaratan penting karena di dalam hal ini Dana Perwalian bergerak di luar program percontohan. Perlu ada penekanan pada kepatuhan proyek dengan Keputusan Presiden PP No. 10/2011, P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
127
Gambar 5A. Proses seleksi Proyek
yang mengharuskan pelaksana untuk memiliki rekam jejak yang lengkap, dan anggaran yang rasional dan efisien. Sebagai manajer investasi interim, UNDP memberikan masukan strategis dan kualitatif untuk meningkatkan kualitas pemilihan proyek dan anggaran terkait pada awal operasi ICCTF di periode 2010-2011. Siklus proyek ICCTF seharusnya memakan waktu sekitar 13 minggu sejak undangan pengajuan proposal diumumkan, sampai ke titik ketika proyek disetujui (Gambar 5C). Namun, dalam prakteknya, persetujuan dapat memakan waktu lebih lama. Hal ini dikarenakan pemilihan proyek terkait penjadwalan pertemuan komite pengarah dan komite teknis ICCTF, dan kemudian menunggu anggota untuk berkomentar dan menyetujui program. (Tabel 3). Proyek normal membutuhkan pendanaan lebih dari US$ 50.000. Pada tahun 2014, Dana juga mendukung proyek-proyek skala kecil (kurang dari P E M B A N D I N G
US$ 50.000), yang memungkinkan untuk mendukung penelitian universitas berbasis dan kegiatan CSO. Proyek hibah kecil (Small Grant Program [SGP]) memiliki mekanisme seleksi khusus yang terdiri dari dua tahap (Gambar 5B). Tahap pertama merupakan penilaian semua proposal berdasarkan persyaratan administrasi. Tahap kedua melibatkan penilaian mendalam dengan berdasarkan kriteria tertentu dan membutuhkan waktu dua minggu. Penerapan kriteria seleksi SGP bisa dianggap agak ketat mengingat proyek-proyek itu tidak berlaku dalam kasus program hibah besar. Pengamatan Faktor kelembagaan telah berperan membentuk portofolio ICCTF, seperti kapasitas Sekretariat untuk mengidentifikasi dan memantau proyek yang didanai. Selain itu, portofolio pada dasarnya dibatasi oleh sumber daya yang tersedia dari donor dan anggaran rumah
128
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 5B. Kecil-hibah proses seleksi Program
Gambar 5C. Proyek matrik ICCTF terkait dengan kebijakan iklim nasional
tangga, yang telah disederhanakan sampai saat ini. Pemangku kepentingan dalam Dana Perwalian juga mengamati bahwa ada peluang Sekretariat ICCTF dan Komite Teknis untuk bekerjasama lebih dekat dengan Sekretariat RAN GRK, yang bertanggung jawab untuk mengembangkan strategi pelaksanaan perubahan iklim nasional, menyetujui
prioritas investasi dan mengidentifikasi proyek-proyek potensial. Meskipun Bappenas menyelenggarakan inisiatifinisiatif tersebut, namun tampaknya Bappenas belum secara eksplisit membentuk kerja sama tersebut. Beberapa kontributor telah mengusulkan bahwa “Bentuk yang tepat dari kerjasama antara RAN GRK dan Sekretariat P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
ICCTF harus diklarifikasi dan ditulis ke dalam rencana bisnis yang direvisi” (DFID, 2013, p. 4). GIZ mendukung ICCTF untuk memperbarui rencana bisnis dan mengembangkan kerangka investasi baru yang menghubungkan RAN/RAD GRK dan RAN API dengan tiga rangka strategis ICCTF (ICCTF, 2014a). Gambar 7 menunjukkan bagaimana rencana aksi nasional ini terkait dengan rangka strategis ICCTF dalam menaungi proyek yang didukung Dana Perwalian. 4 Pencairan dan Manajemen Risiko Dalam tahap awal operasi ICCTF mengandalkan sistem UNDP untuk pengelolaan dana, termasuk pencairan dan manajemen risiko terkait portofolio. Mengingat ketersediaan sumber daya relatif kecil, dan ICCTF saat ini hanya menawarkan hibah, manajemen risiko sebagian besar dikonsentrasikan dalam pemilihan proyek, pemantauan yang memadai dan pelaporan. Daftar risiko dipertahankan untuk setiap proyek. Sekretariat melaporkan tentang meningkatnya jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengidentifikasi pemimpin proyek dengan rekam jejak yang baik, dan melakukan pemetaan pemangku kepentingan di tingkat proyek untuk mengidentifikasi peluang bekerja dengan lembaga-lembaga lokal dan tokoh masyarakat terhormat, seperti koperasi lokal dan ulama (pemimpin agama) yang memiliki pengaruh langsung atas masyarakat di lokasi intervensi (Budiarjo, 2013; Asycarya, 2013). Namun, jika ICCTF berencana untuk mendanai program inovatif dan kemitraan swasta P E M B A N D I N G
129
publik, dengan mengakses dan menawarkan jangkauan yang lebih luas dari instrumen, maka ICCTF memerlukan pendekatan yang lebih canggih dan proaktif untuk manajemen risikonya. Transparansi dan efisiensi pencairan Meskipun ICCTF dikelola sebagai salah satu dana perwalian UNDP, website ICCTF belum menyertakan pemutakhiran data pengeluaran untuk umum . Namun, saat dihubungi secara langsung, kantor ICCTF menyediakan data-data mutakhir status persetujuan proyek dan pencairan. Data mutakhir Dana Perubahan Iklim menunjukkan bahwa pada 10 Maret 2014, ICCTF telah mencairkan $ 8.400.000 atau 88% dari dana yang disimpan. 78% dari total jumlah yang dikeluarkan telah diserap pada periode 2010-2013 (CFU 2014). Artinya, kecepatan pencairan telah meningkat secara signifikan. Mayoritas dana ini telah dialokasikan untuk memberikan hibah kepada enam proyek percontohan yang bertujuan membangun kapasitas pemerintah terkait tiga rangka tematik ICCTF. Menurut pemimpin proyek (project management unit [PMU]), pencairan uang relatif cepat setelah persyaratan proyek sudah terpenuhi. Berdasarkan Prosedur Operasi Standar ICCTF, PMU harus menunjukkan bahwa mereka telah menghabiskan 90% dari tahap sebelumnya dan menyampaikan laporan program dan keuangan triwulanan, termasuk bukti-bukti keuangan seperti kuitansi dan faktur. Pimpinan proyek berpendapat bahwa persyaratan pelaporan ICCTF menjadi lebih ketat dari yang
130
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
dibutuhkan oleh donor lain, atau untuk pengeluaran domestik. Semua pengeluaran diaudit oleh Badan Keuangan dan Pembangunan Pengawas (BPKP), sebuah badan independen yang melapor langsung kepada Presiden Indonesia. Laporan audit BPKP tahunan diterbitkan di situs ICCTF (BPKP, 2010; 2011; 2012), termasuk di dalamnya daftar terinci pencairan dan belanja. Namun informasi itu hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia, sehingga kurang berguna untuk donor internasional. Auditor eksternal, selain BPKP, akan berperan penting ketika CSO mengambil peran sebagai badan pelaksana bawah ICCTF. ICCTF juga mengontrak sebuah perusahaan audit independen untuk memberikan saran terutama untuk kepatuhan pada manajemen dan prosedur administratif. Auditor eksternal ini bertanggung jawab kepada Ketua Komite Teknis dan Komite Pengarah. Dalam fase PREP-ICCTF, semua badan pelaksana berbasis pemerintah dan belum ada kebutuhan untuk audit eksternal non-BPKP. Namun demikian, Komite Pengarah - termasuk donor memiliki hak untuk meminta proyek tambahan audit oleh auditor eksternal jika diperlukan (Bappenas-ICCTF, 2011c). Memang, fokus utama dari sistem dan prosedur ICCTF sejauh ini adalah pada pelacakan pengeluaran aktual keuangan yang dilakukan sesuai dengan kepatuhan pada beberapa kerangka kerja akuntansi. Seperti yang akan dibahas dalam Bagian 5, ada kebutuhan untuk berkembang di luar fokus manajemen keuangan menuju fokus pada dampak dan hasil dari Dana Perwalian.
Perlindungan Prosedur Standar Operasi ICCTF berusaha untuk menjamin kualitas operasi. Terkait tanggung jawab fidusia dan uji tuntas maka ICCTF mengharuskan semua staf dan pihak terkait, termasuk PMU, untuk menandatangani Pakta Anti-Korupsi dan Pakta Integritas (Bappenas-ICCTF, 2011c). Dana juga melakukan pemeriksaan di tempat biasa dan secara rutin melakukan komunikasi dengan PMU. Ketika MWA sudah beroperasi, maka pimpinan yang akan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa baik Sekretariat dan PMU menindaklanjuti hasil audit dan temuan. Inspektorat masing-masing instansi pelaksana juga melakukan internal audit setiap tahunnya, yang berguna untuk tujuan pemantauan dan evaluasi. Namun, efektivitas kegiatan ini dalam mengurangi risiko penipuan dan korupsi, atau dalam meningkatkan akuntabilitas, kurang jelas. Memang kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan dan kurangnya kejelasan tentang proses untuk menangani insiden potensi penipuan adalah salah satu bidang yang menjadi perhatian ditandai oleh komite akreditasi Adaptation Fund. Manajemen resiko Audit internal ICCTF memberikan kesempatan untuk penilaian risiko. Selain itu, kerangka perencanaan ICCTF adalah untuk secara teratur diperbarui dengan menilai faktor-faktor lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek (Budiarjo, 2013). Ini termasuk menempatkan risiko sosial, ekonomi atau politik potensial terkait P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
dengan pelaksanaan proyek, termasuk tata kelola dan hak asasi manusia, seperti akses masyarakat adat untuk kawasan lindung alami. Namun, kerangka itu berhenti menjadi sistem penuh untuk mendukung identifikasi exante terhadap dampak lingkungan dan sosial. Selain itu, pengamat menyoroti kebutuhan ICCTF untuk memperhitungkan dampak lingkungan dalam pengelolaan keuangan dan proses administrasi, seperti pengadaan karbon rendah (Primasari, 2014). Pengamatan Untuk saat ini, program yang didanai melalui ICCTF relatif kecil dan dampaknya cenderung terbatas. Namun, seiring waktu, jika aspirasi masa depan strategi operasionalisasi ICCTF direalisasikan, dampak yang lebih tinggi dimungkinkan. ICCTF perlu menunjukkan kebijakan perlindungan yang memadai jika ingin mengakses dana internasional seperti Adaptation Fund, GEF, atau Green Climate Fund, karena semua badan itu sekarang memerlukan badan pelaksana untuk memenuhi standar kebijakan upaya perlindungan minimum. Indikator ICCTF berpedoman pada proses dan cenderung input driven. Indikator-indikator ICCTF justru berada di luar dari komitmen kebijakan perubahan Iklim Indonesia yang relatif ambisius dan berorientasi pada hasil di mana Dana Perwalian dimaksudkan untuk membantu mewujudkannya. Proses pengembangan RAN / RAD GRK telah menghasilkan hal yang jauh lebih rinci dan teknis untuk potensi mitigasi di P E M B A N D I N G
131
Indonesia. Sejak itu, Bappenas telah mulai bekerja dengan berbagai instansi pemerintah untuk mengembangkan sistem pemerintahan nasional, provinsi dan daerah untuk memantau dan melaporkan pengeluaran aksi mitigasi konstituen dan pada berikutnya pengurangan emisi. Sistem untuk melacak pengeluaran RAN / RAD GRK mempertimbangkan alokasi anggaran, tindakan anggaran, dan pinjaman internasional dan hibah. Namun, fakta menunjukkan bahwa pengeluaran ICCTF disertakan dalam sistem penganggaran nasional dan harus memungkinkan pelacakan. Ini merupakan perkembangan baru yang menjanjikan di tingkat nasional.
B. Hasil Sebagaimana dicatat, lebih dari 80% dari dana yang disalurkan melalui ICCTF telah mendanai enam proyek percontohan. Ini adalah portofolio kecil dan terbatas untuk merefleksikan dampak ICCTF. Namun demikian, mengingat bahwa ICCTF sekarang telah ada sebagai konsep untuk lebih dari lima tahun, maka institusi ini dapat memberikan wawasan ke dalam dimensi kunci untuk meningkatkan efektivitasnya. Portofolio ICCTF Sejak berdirinya ICCTF pada tahun 2009, PREP-ICCTF telah mendanai enam proyek percontohan, mulai durasi dari 16 bulan sampai 2 tahun: dua proyek percontohan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, satu proyek energi efisiensi, satu proyek energi alternatif, satu proyek kampanye kesadaran publik
132
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 6A. Proyek Percontohan ICCTF
Gambar 6B. Alokasi Anggaran ICCTF
dan satu proyek pemetaan kesehatan dan kesadaran (Gambar 6A). Telah ada penekanan kuat pada peningkatan kapasitas pemerintah (39% dari pengeluaran); pengumpulan data, pemodelan dan pengembangan strategi (30%); penyusunan dan penyebaran pedoman dan kebijakan (24%); dan peningkatan pemetaan dan sistem informasi (7%) (Gambar 6B). Sisa dana telah dialo-
kasikan untuk biaya operasional. Selama fase awal, siklus proyek berjalan relatif lambat (DFID, 2012). 5 Skala Dalam mempertimbangkan pendekatan ICCTF untuk mendukung intervensi skala kecil dan besar, makalah ini menganalisa bagaimana ICCTF telah terlibat lembaga sub-nasional dan beP E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
133
Gambar 7. Lokasi Intervensi ICCTF diseluruh Indonesia
kerja pada skala yang berbeda dari pemerintah. Hal ini menjadi sangat penting mengingat keragaman kepulauan Indonesia dan respon pemerintah daerah terhadap perubahan iklim. Lembaga sub-nasional dan lokal yang terlibat dalam enam proyek pilot yang didanai ICCTF. Proyek-proyek tersebut melibatkan 15 dari 33 provinsi di Indonesia. ICCTF PMU telah membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga subnasional dan lokal di lebih dari 30 kabupaten, terutama di barat dan tengah Indonesia (Gambar 7 dan Tabel 3). ICCTF tampaknya mendukung kolaborasi pada perubahan iklim di berbagai tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan Indonesia. Misalnya, ICCTF yang didukung Kementerian Kehutanan untuk melakukan proyek real energi biomassa: program bekerja dengan para pemimpin agama untuk membangun unit pengelolaan hutan dan untuk menghidupkan kembali P E M B A N D I N G
lahan kritis (MOF, 2010). Pengalaman ini telah menggambarkan peran penting juru bicara dan pemimpin lokal yang dihormati, berikut kabupaten bermain di efektif memobilisasi anggota masyarakat untuk mendukung pelaksanaan program. Namun, telah diamati bahwa dalam beberapa tahun terakhir ICCTF telah menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menjangkau pemangku kepentingan di Indonesia dan juga terus menginvestasikan waktu dan usaha dalam proses kebijakan internasional (DFID, 2013). Pada tahun 2014, ICCTF melakukan Media Fellowship Award dalam bentuk pelatihan 10 wartawan guna meliput isu perubahan iklim. Harapannya, ini akan meningkatkan pemahaman dan cakupan ICCTF melalui media dan jejaring sosial (ICCTF, 2014a). Proyek adaptasi di sektor kesehatan telah memberi kesempatan untuk peningkatan komunikasi dan koordinasi antara Kementerian Kesehatan di
134
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Tabel 3. Proyek-proyek ICCTF dan Para Pemangku Kepentingan
P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
tingkat nasional dan unit kesehatan masyarakat di tingkat sub-nasional dan kabupaten di lima provinsi (Tjahjono, 2013). Komisi Nasional Meteorologi, Geofisika dan Meteorologi (BMKG) juga bekerja sama dengan Departemen Pendidikan untuk peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang dampak perubahan iklim dengan aktor lokal, seperti stasiun radio dan kelompok di wilayah pesisir dan pertanian (BAPPENASICCTF, 2011b). Menyediakan dana pada skala yang berbeda Sejauh ini, Dana Perwalian telah mengarahkan dana untuk intervensi pada skala yang lebih besar, dengan anggaran mulai dari US$ 900.000 - US$ 1,5 juta, dengan kerangka waktu proyek dibatasi dari 12-24 bulan (Bappenas-ICCTF, 2011b; MOF 2010; GOI-UNDP, 2010a, 2010b, 2010c, 2010d, 2010e). Ini merupakan jumalh yang besar dari sumber daya yang tersedia untuk Dana Perwalian. Terdapat kesempatan bagi ICCTF untuk memiliki dampak tambahan dengan mendukung program yang lebih kecil dan bekerja secara langsung dengan jangkauan yang lebih luas, ICCTF dapat bekerja secara langsung dengan LSM dan universitas pada inisiatif-insiatif untuk merespon perubahan iklim. 6 Mengaktifkan lingkungan Kebijakan, peraturan dan kerangka kerja tata kelola adalah dasar penting untuk membuat investasi yang rendah karbon. ICCTF merupakan bagian dari kerangka kebijakan tingkat tinggi yang dirancang untuk mendukung kegiatan P E M B A N D I N G
135
perubahan iklim. Dengan demikian, desain dan struktur ICCTF untuk menyalurkan dan merekam belanja merupakan upaya pembangunan institusi yang signifikan. Peraturan pemerintah yang mendasari ICCTF didirikan melalui dua Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, yaitu Keputusan No. KEP. 44/M.PPN/HK/09/2009 dan No. KEP. 59/M.PPN/HK/09/20I0 (UNDP Indonesia, 2012b). Selain Keputusan Menteri ini, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 80/2011 untuk memberikan panduan lebih lanjut tentang dana perwalian. Peraturan Presiden ini ditandatangani dua tahun setelah pembentukan ICCTF pada tahun 2009; Peraturan Presiden ini juga telah membuka pintu bagi pembentukan Dana Perwalian lainnya di Indonesia (DFID, 2013). Peraturan Presiden ini diharapkan dapat meningkatkan kecepatan, volume, keragaman dan transparansi dari kedua transfer keuangan ke Indonesia dan pengeluaran keuangan iklim internasional dan domestik dalam negeri. Namun nyatanya, Peraturan Presiden ini tidak mengatasi kebutuhan untuk mempercepat pengambilan keputusan atas pengadaan. Proses pengambilan keputusan tetap lambat. Surat Keputusan Menteri BAPPENAS resmi membentuk struktur Dewan ICCTF untuk Trustee (MWA) pada 2013 melalui PPN3 / 2013. Sebuah keputusan menteri dari Bappenas merinci semua Dewan yang dicalonkan sebagai anggota Wali Amanat yang menerima tawaran dan
136
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Gambar 8. ICCTF mekanisme penyaluran dana berdasarkan pedoman nasional pada dana perwalian
pemilihan harus diselesaikan sebelum akhir tahun 2014. Adaptasi dari pedoman nasional untuk pengembangan iklim Sebagaimana dicatat, tujuan utama dari program ICCTF sejauh ini untuk memperkuat kapasitas kementerian di seluruh negeri untuk mengatasi perubahan iklim. Administrator dana perwalian dan pelaksana proyek melaporkan bahwa proyek percontohan ICCTF telah mengadaptasi peraturan nasional demi mendukung pelaksanaan pembangunan yang selaras dengan kebutuhan nasional dan dengan kebutuhan dalam merespon perubahan iklim. Departemen Pertanian, misalnya, berencana mengembangkan seperangkat pedoman nasional tentang pengelolaan lahan gambut di Indonesia, berdasarkan penemuan dari dua proyek yang didanai oleh ICCTF. Demikian pula, Kementerian Kesehatan melakukan penelitian tentang distribusi penyakit terkait perubahan iklim
(vector-borne disease), sebagai panduan untuk perencanaan adaptasi nasional dan untuk membantu masyarakat Indonesia yang paling berisiko terkena penyakit tersebut dalam beradaptasi terhadap dalam perubahan iklim. Untuk saat ini, ICCTF mendanai proyekproyek percontohan yang belum menghasilkan peraturan nasional yang baru. Mengkoordinasikan respon terhadap perubahan iklim ICCTF merupakan salah satu aktor dalam perangkat dinamis pengaturan kelembagaan yang mencoba untuk bergulat dengan perubahan iklim di Indonesia. Pelayanan utama ICCTF, melalui Bappenas, telah berperan sentral dalam pengembangan kebijakan iklim terkait. Tapi seperti dicatat, hubungan antara RAN / RAD GRK dan RAN API dan Sekretariat ICCTF, yang semuanya diselenggarakan oleh Bappenas, perlu diperkuat. Selain itu, penyaluran dan pelaksanaan inisiatif ini membutuhkan kebijakan yang subsP E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
tansial, termasuk harmonisasi peraturan dan tata kelembagaan. Bappenas adalah salah satu dari beberapa lembaga di Indonesia yang memiliki mandat untuk melaksanakan peran koordinasi perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, potensi pendanaan ICCTF dapat digunakan lebih strategis untuk membantu lembagalembaga pemerintah untuk bersamasama mencari peluang untuk mencari jalan keluar dari masalah politis kelembagaan. Namun, jika sumber pendanaan ICCTF relatif insignifikan, maka ICCTF mungkin terbatas dalam memberikan insentif untuk membawa pelaku utama ke dalam jejaring ICCTF. 7 Hasil Pengungkit Hasil pengungkit yang dibayangkan dalam desain ICCTF adalah yang mengakui keragaman cara di mana kapasitas investasi dan implementasi dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan yang rendah karbon dan ramah lingkungan. Sayangnya, kemajuan operasionalisasi dana inovasi dan program dana transformasi berjalan lambat. Dana pendamping dan tindak lanjut Program percontohan yang dibiayai dengan dana hibah telah mengambil pendekatan yang berbeda untuk mendorong aksi investasi yang lebih luas terhadap para pemangku kepentingan program. Banyak program yang dikelola oleh departemen pemerintah menerima langsung dana APBN. Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian semuanya telah mulai mengembangkan program P E M B A N D I N G
137
untuk mendapatkan pendanaan dari ICCTF (Asycarya, 2013; Tjahjono, 2013; Mahardika, 2013 ; ICCTF, 2013b). ICCTF mendukung Kementerian Kehutanan dalam mengembangkan program produksi pelet kayu yang berkelanjutan. Ini telah menarik minat dari investor dan pembeli yang mencari dan mengeksplorasi penggunaan pelet kayu sebagai solusi energi alternatif skala besar. Kementerian Kehutanan sendiri dikabarkan mengeksplorasi pendanaan dengan proyek serupa di skala yang lebih besar (Asycarya, 2013). Keterlibatan sektor swasta Beberapa program telah berusaha melibatkan sektor swasta secara langsung: misalnya ICCTF mendanai Kementerian Perindustrian (MOI) dalam mengembangkan sistem informasi audit penggunaan energi dalam mengembangkan dan menerapkan praktik hemat energi. Proyek ini menghasilkan pedoman teknis untuk efisiensi dan konservasi energi untuk industri baja dan pengolahan kertas (GOI-UNDP, 2010b). Beberapa perusahaan yang berpartisipasi dalam program ini, seperti produsen baja PINDAD, mempertimbangkan mengadopsi pedoman yang dihasilkan sebagai bagian dari rencana upgrade fasilitas mereka, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan juga keuntungan perusahaan (ICCTF, 2013b). Membuka investasi skala yang lebih besar Pelajaran penting yang dapat diambil yaitu perlunya koordinasi antara kementerian dalam rangka memperkuat kebijakan mendasar dan dibutuhkannya
138
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
harmonisasi peraturan yang akan membuka investasi skala yang lebih besar. Sebagaimana dicatat, keterlibatan lebih besar dengan investor sektor publik dan swasta akan menjadi kunci utama ICCTF di masa depan. Penekanan pada pendekatan tersebut diantisipasi dalam konsep Program ICCTF, setelah berkembang menjadi stadium III dana “transformasi”. Upaya yang sudah dilakukan adalah untuk mengikutsertakan Bank Mandiri sebagai administrator keuangan. ICCTF, perlu mencari peluang untuk memanfaatkan keahlian Bank Mandiri pada keuangan swasta di Indonesia dalam mencapai tujuannya. Tentu saja, inisiatif tersebut perlu ditangani hatihati, dan dilakukan sebagai bagian dari upaya menjangkau dan berdialog dengan investor kunci dan lembaga keuangan di Indonesia. 8 Inovasi Pembentukan ICCTF ini sendiri merupakan inovasi yang signifikan dalam pembiayaan iklim internasional. Elemen kunci dari inovasi ini telah dibahas terinci secara mendalam di bagian awal tulisan ini. Pada gilirannya, ini telah membantu mendukung pengembangan dua dana lainnya yang terkait dengan perubahan iklim; yaitu, Millennium Challenge Trust Fund dan dana REDD + (FREDDI), yang penetapannya tertunda. Namun, seperti yang akan kita bahas dalam bagian 10, ini menimbulkan beberapa tantangan dalam hal visi asli ICCTF. Inovasi lain dari ICCTF yaitu pengenalan kerangka tata kelola yang membawa pemerintah, pemerintah daerah,
lembaga donor, masyarakat sipil, dan para ahli bersama untuk membicarakan tentang bagaimana berinvestasi dalam solusi perubahan iklim. Beberapa hasil dari inovasi ini adalah pengaturan yang baru mengenai tata kelola multi pihak, sayangnya inovasi ini kurang dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan. Ada beberapa bukti bahwa ICCTF telah berupaya mendukung pendekatan inovatif oleh pemerintah melalui program percontohan yang dipilih. Proyek energi alternatif Departemen Kehutanan menyajikan model penyampaian yang inovatif, yang bekerja melalui kelompok agama yang dapat berfungsi untuk membantu memperkuat hubungan pemerintah dengan masyarakat. Karenanya masih harus dilihat apakah portofolio program skala yang lebih kecil yang didanai oleh ICCTF melalui LSM dan lembaga penelitian akan memiliki fitur yang inovatif. Transisi ke model yang secara eksplisit menekankan pada inovasi juga merupakan bagian dari visi Dana Perwalian untuk masa depan. Maka dari itu penentuan pendekatan yang tepat harus mendapat prioritas selain ditelaah dan dicermati dampaknya. 9 Kepemilikan Nasional dan keberlanjutan Tujuan utama pendirian ICCTF adalah untuk mendukung kepemilikan secara nasional dan berkelanjutan untuk membiayai respon perubahan iklim di Indonesia. Karenanya, pendekatan ini menjadi penting untuk merefleksikan P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
pengalaman Dana Perwalian terkait perkembangan positif dan tantangan yang telah dialami. Di satu sisi, proses operasionalisasi ICCTF merupakan pengalaman belajar yang penting bagi seluruh pemangku kepentingan yang telah terlibat dalam konseptualisasi dan pelaksanaannya, terutama Kementerian Bappenas, yang memiliki pengalaman sebelumnya di dalam mengelola sumber daya internasional. Pengembangan sistem yang memungkinkan pendanaan melalui ICCTF, dilaporkan sebagai bagian dari sistem manajemen keuangan publik domestik, serta memenuhi standar internasional , telah menghabiskan banyak waktu dan usaha. Keberlanjutan pendekatan yang “hybrid”, dengan sistem pelaporan ganda dan inefisiensi yang dihasilkan, masih harus dipertimbangkan. Kepercayaan pemerintah Indonesia terhadap ICCTF ditunjukkan melalui keputusan untuk mencalonkan ICCTF sebagai Pelaksana Badan Nasional (NIE) untuk Adaptation Fund di Indonesia. Walaupun peran ICCTF di dalam menyalurkan pembiayaan iklim internasional dan mendukung prioritas pendanaan iklim di Indonesia telah secara resmi diakui oleh badan pemerintah, hal-hal yang harus dipenuhi untuk keperluan akreditasi sebagai NIE Adaptation Fund masih harus diselesaikan. Bersama ICCTF, Bappenas telah mengembangkan pedoman yang lebih rinci untuk menerapkan respon terhadap perubahan iklim dalam bentuk RAN/ RAD GRK dan RAN API. Investasi P E M B A N D I N G
139
Bappenas dalam dalam RAN GRK dan Sekretariat ICCTF, memberikan kesempatan untuk memperkuat kepemilikan nasional dan sinergitas inisiatif nasional. kepemilikan nasional dari ICCTF ini juga bergantung pada keberhasilan Bappenas dalam menciptakan platform praktis untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. ICCTF berpotensi memberikan ruang strategis pendanaan yang memfasilitasi dan mendukung berbagi informasi dan interaksi aktor- aktor kunci dalam hal ini. Namun operasionalisasi landasan hukum ICCTF telah menjadi proses yang cenderung lambat daripada yang diantisipasi. Jaminan bahwa Dana Perwalian dapat memenuhi standar internasional untuk manajemen fidusia, perlindungan lingkungan dan sosial, dan manajemen hasil merupakan tantangan Dana Perwalian. Dalam prakteknya, sangat sedikit jumlah dana internasional untuk mendukung Indonesia terhadap perubahan iklim yang telah disalurkan melalui ICCTF. Memang program multilateral terbesar di Indonesia sampai saat makalah ini ditulis dilaksanakan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti ADB dan Bank Dunia, dengan partisipasi sedikit atau tanpa keterlibatan dari ICCTF. Ini tidak diragukan lagi merupakan tanggung jawab ganda: di satu sisi, donor dan dana iklim internasional yang ingin terlibat di Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menemukan cara untuk terlibat dengan mekanisme, yang menurut kebijakan resmi pemerintah, diposisikan untuk memainkan peran
140
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
penting dalam internasional pembiayaan iklim. Di sisi lain, para pemangku kepentingan Indonesia, khususnya dalam pemerintahan, juga memikul tanggung jawab untuk mendukung operasionalisasi cepat ICCTF, dan harus menunjukkan kesediaan untuk bekerjasama agar Dana Perwalian mencapai standar internasional yang diakui seluruh pihak. Peran Perubahan Iklim dalam Arsitektur Keuangan Global Model ICCTF telah menjadi sebuah perintis dan pelopor mekanisme keuangan perubahan iklim di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara pertama yang mendirikan lembaga nasional yang didedikasikan untuk merespon perubahan iklim. Model ini telah menarik perhatian internasional. ICCTF telah berusaha untuk merespon berbagai tantangan terkait dengan penyaluran biaya perubahan iklim, termasuk kebutuhan untuk menempatkan multi pihak dalam memimpin dan mengelola keuangannya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk respon terhadap perubahan iklim dan dalam menjawab kebutuhan untuk menciptakan sistem yang memperkuat koordinasi lintas lembaga dan mengurangi fragmentasi. Tata kelola dengan partisipasi multipihak akan memfasilitasi akses ke dana iklim internasional yang ada. Walaupun model dana perwalian nasional sudah banyak diterapkan, ICCTF adalah model pertama dimana dana perwalian dikhususkan untuk isu perubahan iklim dan pendiriannya mendapat perhatian
politik di negara berkembang seperti Indonesia. Banyak negara-negara lain yang berkaca pada Indonesia dalam mendirikan lembaga-lembaga sejenis untuk mengakses dan mengelola pendanaan iklim internasional dan nasional. Namun pengalaman praktis ICCTF ini menunjukkan banyaknya tantangan dalam mendirikan lembaga dana perwalian untuk isu perubahan iklim. Tantangan ini mencerminkan hubungan tak terpisahkan antara pemerintahan, iklim dalam negeri, dan keuangan. Strategi investasi dana perwalian harus fleksibel dalam menanggapi rencana Indonesia untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Selain itu, proses pendirian ICCTF juga menunjukkan kompleksitas koordinasi lembagalembaga nasional sekitar masalah kebijakan terkait perubahan iklim yang melibatkan beberapa pelaku di semua tingkat pemerintahan, serta beragam pemangku kepentingan nonpemerintah. Proses pendirian ICCTF ini telah memakan waktu yang tidak sedikit terutama untuk mengembangkan strategi yang melibatkan aktor-aktor nasional kunci dalam kebijakan iklim pada tingkat implementasi praktis, dan membangun ICCTF sebagai simpul kunci bagi upaya internasional untuk mendukung aksi iklim dalam negeri. Dengan tata kelola yang baru, komunikasi akademik masih harus menelaah apakah ICCTF yang sepenuhnya operasional akan dapat memainkan peran yang lebih sentral dalam mendukung pelaksanaan upaya P E M B A N D I N G
Aidy Halimanjaya &Smita Nakhooda, Pendanaan Alternatif
perubahan respon iklim nasional di masa depan. Fokus ICCTF sampai titik ini menekakan pada manajemen fidusia. Perlu adanya hasil kontribusi nyata dan konkret untuk proses ini. Analisis kami menegaskan bahwa menciptakan dana
P E M B A N D I N G
141
iklim nasional yang efektif merupakan proses yang kompleks yang memerlukan komitmen dari pemangku kepentingan nasional maupun kontributor keuangan dan penyandang dana internasional.•
142
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
Biodata Penulis
Ade Ayu Dewayani, adalah peneliti kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, dengan spesialisasi pada bidang bioteknologi kehutanan dan sekarang bekerja di CIFOR. Agung Wahyu Nugroho, Menempuh pendidikan S1 di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pendidikan S2 ditempuh di universitas yang sama dengan bidang keahlian silvikultur. Kini beliau bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Aidy Halimanjaya, peneliti dan konsultan di bidang keuangan mitigasi perubahan iklim. Beliau menempuh pendidikan S1 di Universitas Parahyangan bidang Business Administration, dan Universitas Padjajaran bidang Ekonomi pada periode tahun 2002-2007. Pendidikan S2 ditempuh beliau di Erasmus University, Rotterdam, Belanda, di periode 2009-2010. Terakhir jenjang S3 ditempuh beliau di University of East Anglia, Norwich, Inggris. Selain itu beliau juga menulis sejumlah publikasi artikel, dan berlibat di berbagai organisasi internasional.
Aiora Zabala, Seorang ilmuwan sosial dan lingkungan yang sedang melakukan analisis dan evaluasi terhadap kebijakan lingkungan yang berkelanjutan. Beliau meraih gelar S1 di bidang ilmu lingkungan di Autonomous University of Barcelona, kemudian S2 di bidang kebijakan lingkungan di University of Oxford, dan S3 di bidang kebijakan lingkungan di University of Cambridge Bejo Slamet, dilahirkan di Temanggung 9 Juli 1975. Penulis adalah dosen di Fakultas Kehutanan USU dengan bidang keahlian Hidrologi Hutan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai sejak tahun 1999. Pendidikan terakhir adalah Doktor dari Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana IPB. Aktifitas saat ini selain mengajar di Fakultas Kehutanan USU, penulis juga terlibat dalam Forum DAS di Sumatera Utara. Penulis juga terlibat dalam penulisan buku tentang pengelolaan DAS terpadu khususnya DAS yang ada di wilayah Sumatera Utara. Benny Okarda, adalah peneliti CIFOR dengan spesialisasi penginderaan jarak jauh dan GIS. B I O D A T A
Biodata Penulis
Erlinda Ekaputri, yang dilahirkan di Bandung 16 Juli 1978 menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor. Beliau memiliki pengalaman panjang di bidang penelitian terkait tema-tema kesejahteraan sosial, baik kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu pengalamannya juga mencakup perancangan dan pengimplementasian kerangka dan evaluasi hasil program, termasuk sebagai spesialis di bidang pemantauan dan evaluasi program. Kini beliau bekerja sebagai Koordinator Pemantauan, Evaluasi, dan Pembelajaran USAID LESTARI, sebuah proyek yang didanai pemerintah Amerika Serikat yang berkonsentrasi pada isu Perubahan Iklim dan Kehutanan. Herry Purnomo, dilahirkan di Lumajang pada tanggal 21 April 1964 menyelesaikan jenjang pendidikan S1 di FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), bidang Agrometeorologi, jenjang S2 di bidang Ilmu Komputer melalui sandwich program Universitas Indonesia dan University of Maryland, dan jenjang S3 di bidang Ilmu Kehutanan di IPB. Puluhan karya tulisnya terkait bidang kehutanan tersebar di berbagai jurnal internasional, dan banyak melakukan riset di bidang tersebut. Kini beliau bekerja di Center for International Forestry Research, dan sebagai guru besar IPB. Jacob Phelps, Seorang peneliti lingkungan dalam Tata Kelola Kehutanan, namun memiliki perhatian luas pada isu penegakan hukum kehutanan, perdagangan kayu/satwa illegal, dan desain pembiayaan layanan ekosistem. Studi S1 nya diselesaikan di Michigan State University, S2 bidang Geografi di University of B I O D A T A
143
Cambridge, dan S3 di bidang biologi melalui University of Singapore. Made Ali adalah wakil koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), yang belakangan melakukan advokasi terhadap kebakaran hutan gambut di wilayah Riau. Matthew Leggett, Regional Technical Advisor untuk Wildlife Conservation Society. Matthew Leggett memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman bekerja di konservasi hutan tropis, terutama di Amerika Latin dan Asia Pasifik, terkait desain dan inisiatif implementasi untuk pengurangan deforestasi. Selain itu beliau juga berfokus pada pengembangan inisiatif konservasi tingkat masyarakat, dan intervensi kebijakan tingkat tinggi, pembiayaan proyekproyek jasa ekosistem/REDD+, pembiayaan inovatif, dan pengurangan dampak dari produksi komoditas sektor swasta di hutan tropis. Matt meraih gelar MSc dari Universitas Edinburgh, dan juga saat ini asosiasi peneliti tamu di University of Oxford. Muhamad Muslich, Koordinator Program Konservasi di Sumatra untuk Wildlife Conservation Society. Muslich menyelesaikan Master di Biologi Konservasi di Universitas Indonesia. Sejak lulus dari jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 beliau memulai kariernya dengan bekerja profesional untuk Lembaga Alam Tropika Indonesia, LSM Nasional, yang bekerja sama dengan masyarakat hutan untuk meningkatkan kapasitas mereka melalui pengembangan
144
Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016
pendekatan manajemen kolaboratif. Sejak tahun 2006, beliau bekerja sama dengan Asosiasi BirdLife Indonesia. Selama hampir tujuh tahun, beliau telah melakukan berbagai hal untuk konservasi. Tahun 2013, oleh karena baktinya dalam bidang konservasi beliau mendapat pengarhataan Pemimpin Muda Lingkungan dari Both Ends, Belanda. Rachel Carmenta, Seorang ilmuwan lingkungan interdisipliner terkait dimensi dimensi pemerintah dan kelembagaan dalam konservasi hutan tropis. Di CIFOR beliau memimpin riset yang berfokus pada dimensi dimensi sosiopolitik dan kelembagaan pada kebakaran lahan gambut di Riau. Rachel menyelesaikan studi S1 nya dalam bidang lingkungan di Universitas East Anglia, Inggris dan meraih doktoralnya di bidang ilmu lingkungan interdisipliner dari Lancaster Environmental Center. Ramadhani Achdiawan, adalah ahli statistik untuk bidang kehutanan dan mata pencaharian dan sedang melanjutkan studi S2 di Royal Roads University, Victoria, British Columbia, Canada. Samsul Komar, petugas WWF untuk program Riau. Susan Page, adalah seorang ilmuwan geografi fisik yang bekerja di Universitas
Leicester, Inggris. Bidang penelitiannya mencakup ekologi lahan gambut dan rawa gambut, karbon gambut, lahan gambut tropis, degradasi hutan, kebakaran lahan gambut, dan restorasi gambut khususnya di wilayah Asia Tenggara. Tetapi beliau juga memberikan supervisi untuk sejumlah penelitian lahan gambut di wilayah Amerika Latin, Afrika Tengah, dan Inggris. William Marthy, bekerja di bidang konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia sejak tahun 1998 dan bekerja di beberapa LSM yang bergerak dalam bidang konservasi di Indonesia sebelum akhirnya bergabung Indonesia Masyarakat Program Wildlife Conservation pada pertengahan 2014. Saat ini beliau mengelola kegiatan konservasi WCSIP di Sumatera yang meliputi pemantauan keanekaragaman hayati, Response Unit Taman yang berkaitan dengan HumanWildlife Konflik (harimau, gajah, orangutan, dan satwa liar lainnya), dan meningkatkan pengelolaan kawasan lindung melalui sistem patroli yang efektif dan efisien (SMART). Program Sumatera WCSIP dilaksanakan di tiga taman nasional yang penting di Sumatera-Indonesia: Leuser, Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas. William menyelesaikan PhD-nya di komunitas burung di hutan dataran rendah sekunder Sumatera di Goettingen University- Jerman.
B I O D A T A