LA BOLONTIO ABAD XV Pembimbing: Drs. Jonji Apriyanto, M.Hum*, Drs. Surya Kobi, M.Pd** ELI SABAN Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK Eli Saban, 231 409 029. 2014. La Bolontio Abad XV. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. 2014. Dibawah bimbingan Bapak Drs. Joni Apriyanto, M.Hum., dan Bapak Drs. Surya Kobi, M.Pd. Masalah yang ada dalam penelitian ini adalah bagaimana proses masuknya La Bolontio ke wilyah Kerajaan Buton dan bagaimana pengaruh La Bolontio terhadapa wilayah-wilayah pesisir Kerajaan Buton. Hasil Penelitian menunjukan bahwa ada kemungkinan Tobelo lebih dahulu yang memasuki dan mengganggu eksistensi Kerajaan Buton. Setelah melihat berbagai kemungkinan untuk bisa mencaplok Kerajaan Buton, maka hadirlah sosok pemimpin La Bolontio dan Armada Tobelonya yang masuk ke wilayah Kerajaan Buton melalui jalur utara yang jauh lebih aman, jika dibandingkan dengan melewati laut Banda dan laut Flores di bagian timur dan tenggara pulau Buton yang terkenal sangat ganas akan badai dan ombaknya. Pengaruh La Bolontio pada dasarnya bila dianalisis secara mendalam, terbagi dalam empat bidang, yakni: bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial-budaya, dan bidang keamanan. Dalam bidang politik, pengaruh La Bolontio sempat mengganggu hubungan antara Kerajaan Buton dengan Kerajaan-kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Muna, Kerajaan Konawe, Kerajaan Kaledupa dan Kerajaan Selayar. Dalam bidang Ekonomi, hubungan-hubungan perdagangan antar pulau tidak dapat dilakukan karena La Bolontio dan Armadanya tidak segan-segan melakukan perompakkan dan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang. Dalam bidang kehidupan sosialbudaya, karakteristik La Bolontio telah mewariskan cerita sejarah lisan pada generasi-generasi setelahnya. Bidang keamanan, kepanikan yang mengganggu kestabilan masyarakat, termasuk juga keamanan Kerajaan Buton. Kata Kunci: La Bolontio, Abad XV
PENDAHULUAN La Bolontio adalah seorang Kapten Laksamana Laut dari Kesultanan Ternate yang berada di kepulauan Tobelo yang masih merupakan daerah atau wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.La Bolontio diberikan amanat oleh Sultan Baabullah Datu Sah untuk menyebarkan pengaruh dan ajaran Islam di kawasan timur Nusantara termasuk pulau Buton, pulau Muna, Bima, pulau Selayar dan Makassar yang pada saat itu masih kebanyakan kerajaan yang menganut kepercayaan Hindu-Budha1. Disinyalir bahwa kedatangan La Bolontio ke pulau Buton melalui jalur utara yang jauh lebih aman dari pada harus melewati jalur selatan (laut Banda dan laut Flores) di bagian timur atau tenggara pulau Buton yang terkenal ganas dengan badai ombaknya. Kapten Laksamana Laut La Bolontio memipin pasukannya di bawah perintah Sultan Ternate ke-4 Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah kekuasaannya dan juga dalam rangka menyebarkan pengaruh dan ajaran agama Islam dikawasan timur Nusantara. Kedatangan Armada La Bolontio ke pulau Buton berlangsung pada saat Kerajaan Buton masih dipimpin oleh raja ke-5 Raja La Ngujuraja dengan gelar Raja Mulae yang dijuluki dengan nama Sangia Yi Gola (keramat yang manis) sampai pada tahun 14912. Disini terlihat ada perbedaan interval waktu yang sangat jauh antara masa pemerintahan Raja Mulae dengan masa pemerintahan Sultan Baabullah Datuh Syah yang terpaut hampir 90 tahun. Namun jika di konversi ke tahun masa pemerintahan Raja Mulae maka diperoleh kemungkinan kesamaan waktu antara Raja Buton dengan Sultan Ternate pada masa pemerintahan Sultan Ternate yang pertama yakni pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Di mata masyarakat Buton, La Bolontio dikenal sebagai seorang perompak bajak laut bermata satu yang sangat terkenal dengan sosoknya yang bengis dan menakutkan bagi siapa saja yang berpapasan langsung dengannya. La Bolontio mengisi perutnya dengan hasil-hasil bajakan dan rampokannya. Setelah La 1
La Oba. Muna dalam Lintasan Sejarah (Prasejarah-Era Reformasi). (Muna: Sinyo M.P. 2005), hal. 35-36 2 Rusman Bahar. 2010. Konstelasi Sejarah Buton: Masa Lalu dan Masalahnya. Bau-Bau: Bumi Buton, hal. 2
Bolontio berhasil mencapai dan menguasai salah satu daerah dipesisir bagian utara pulau Buton, maka daerah tersebut ia pergunakan sebagai tempat peristrahatan
bersama
rombongannya
dan
membangun
sebuah
markas
perlindungan dari bencana badai laut. Hingga sampai saat ini daerah itu di abadikan namanya dengan sebutan Labuan Tobelo. Labuan Tobelo adalah salah satu tempat berlabuhnya orang-orang yang berasal dari Tobelo. Secara langsung masyarakat Kerajaan Kulisusu yang masih merupakan salah satu daerah barata dari Kerajaan Buton pada saat itu merasakan imbasnya dengan adanya berbagai macam ancaman dan gangguan yang timbul akibat ulah La Bolontio tersebut. Barata merupakan suatu daerah kecil yang dijadikan sebagai daerah pertahanan dan keamanan. Sebelum melakukan serangan ke Kerajaan Buton, La Bolontio bersama pasukannya terlebih dahulu menaklukkan daerah Kendari dan Wawonii serta menguasai perairan mulai dari teluk Kendari, selat Wawonii dan selat Buton3. La Bolontio merompak dan membajak setiap kapal yang melewati atau melintasi selat Buton. Pada waktu itu Kerajaan Buton masih dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja La Ngujuraja dengan julukan Sangia Yi Gola. Sebelum menghadapi serangan La Bolontio, Raja La Ngujuraja beserta para Staf Sara Pangka (eksekutif), Sara Gau (legislatif), Sara Bitara (yudikatif) di Kerajaan Buton melakukan musyawarah terlebih dahulu. Hasil musyawarah itu memutuskan untuk menghadang dan menghadapi La Bolontio dengan pasukannya di daerah pesisir Bone Tobungku (sekarang Kecamatan Kapuntori). Dalam pertempuran tersebut La Bolontio berhasil melumpuhkan dua orang sekaligus dari para kesatria yang ikut dalam sayembara yakni Opu Manjawari dan Raja Betoambari. Setelah melihat keadaan ini, La Kilapontoh langsung bergerak maju untuk melawan La Bolontio dan berhasil mengalahkannya. Setelah La Bolontio tewas terbunuh maka anggota kelompoknya yang masih hidup ditawan 4, dan sebagian lagi pasukannya yang masih hidup berhasil lolos dan melarikan diri kedaerah-daerah sekitar. 3
Ibid., hlm. 52 Prof. H. La Ode Sirajudin Djarudju. Naskah Buton, Naskah Dunia: Prosiding Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau. hal. 141 4
Setelah La Kilaponto membunuh panglima perang La Bolontio kemudian La Kilaponto memenggal kepala La Bolontio yang akan di persembahkan kepada Raja La Ngujuraja dan memotong alat vital (kemaluan) La Bolontio untuk dijadikan sebagai barang bukti yang akan diperlihatkan kepada Raja Buton Raja La Ngujuraja bahwa La Kilaponto telah berhasil membunuh La Bolontio dan pasukannya sudah di taklukkan. Kemudian daripada itu La Kilaponto telah di akui oleh Raja La Ngujuraja dan langsung dikawinkan dengan Boroko Malanga. Akhirnya kepala La Bolontio diserahkan kepada orang Siompu untuk disimpan dalam sebuah gua yang berada di atas batu di kampung Lontoi. Saat pertempuran di Bonena Tobungku, sangat banyak pasukan La Bolontio yang terbunuh, sehingga pasir yang awalnya berwarna putih berubah menjadi merah karena darah yang tertumpah akibat pertempuran yang dilakukan antara Kerajaan Buton melawan Kapten Laksamana Laut La Bolontio bersama pasukan yang dipimpinnya. Namun pasukan La Bolontio yang masih hidup, lari dan meloloskan diri di daerah-daerah sekitar hingga saat ini sudah tidak diketahui lagi keberadaan mereka.
Metode Penelitian Sebagaimana halnya prosedur dalam penulisan sejarah pada umumnya, maka penelitian ini menggunakan metodologi sejarah dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1.1.1
Tahap Heuristik Heuristik merupakan tahap pengumpulan sumber dimana seorang peneliti
sudah mulai secara aktual turun meneliti di lapangan. Pada tahap ini, kemampuan teori-teori yang bersifat deduktif-spekulatif yang di tuangkan dalam proposal penelitian mulai di uji secara induktif-empirik atau pragmatik5. Pada tahap ini, penulis akan mulai dengan mecari sumber-sumber seperti yang telah dijelaskan pada poin tinjauan pustaka dan sumber. Penulis akan berusaha untuk mengidentifikasi sumber-sumber primer seperti arsip baik ditingkatan kabupaten, provinsi ataupun pusat. Menurut metodologi sejarah, 5
Ibid. hal. 51
sumber berupa arsip merupakan sumber yang menempati posisi tertinggi bila dibandingkan dengan posisi yang lainnya (sumber primer) karena arsip diciptakan pada waktu yang bersamaan dengan kejadian. Namun bukan berarti sumber yang lainnya tidak berguna sama sekali. Sumber-sumber yang lainnya merupakan pelengkap sekaligus penopang dalam bangunan rekonstruksi sejarah. Sehubungan dengan jenis penelitian ini, yakni metodologi sejarah maka penulis mencari sumber-sumber yang relevan dengan penelitian ini. Dengan metode sejarah itulah akan dikaji keaslian sumber data sejarah dan kebenaran informasi sejarah. Ada dua sumber yang penulis gunakan yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Data primer merupakan suatu data yang diperoleh penulis melalui wawancara dengan para informan, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tertulis yang berupa buku, artikel, arsip, naskah, majalah, koran dan internet yang berhubungan langsung dengan objek penelitian dan akan digunakan sebagai bahan pendukung dalam melakukan penulisan sejarah. Untuk memperjelas data, penulis melakukan pengumpulan data dilokasi masuknya La Bolontio dan Armada Tobelonya, dan penulis mengambil gambaran lokasi tersebut. 1.1.2
Tahap Kritik Kritik
sumber
ini
adalah
langkah
selanjutnya
setelah
langkah
pengumpulan sumber dilakukan. Kritik sumber adalah upaya untuk mendapatkan otensitas dan kredibilitas sumber dengan cara melakukan kritik. Kritik dilakukan dengan memakai cara kerja intelektual dan rasional serta mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu kejadian. Kritik sumber dapat dikelompokkan pada kritik ekstern dan kritik ikstern. Kritik ekstern merupakan suatu proses untuk melihat keaslian sumber, terutama dilihat dari segi kasat mata, apakah sumber dari foto kopy, tulisan tangan, stensilan, dan atau percetakan, sedangkan kritik intern bertujuan untuk mengkaji keaslian dan kebenaran data. Pada bagian ini proses yang mungkin akan dilakukan adalah dengan melihat ejaan yang digunakan dalam data tersebut.
Selanjutnya penulis akan menelaah dan mengkritik sumber-sumber yang ada. Melakukan tahap penyeleksian sumber-sumber dengan pertimbangan yang berasal dari dalam dan dari luar sumber itu sendiri guna untuk mendapatkan informasi yang lebih sebab informan yang penulis wawancarai berumur lebih dari 50 tahun. 1.1.3
Tahap Interpretasi Interpretasi merupakan penafsiran atau pemberian makna oleh sejarawan
terhadap fakta-fakta (fact) dan bukti-bukti (evidences). Dalam metodologi penelitian sejarah, tahap interpretasi inilah yang memegang peranan penting dalam mengeksplanasikan sejarah. Berbagai sumber sejarah tidak akan bisa berbicara tanpa izin dari sejarawan6. Penulis memahami ada beberapa hal yang harus di catat bahwa dalam melihat objek perlu data yang falid. Penulis mendeskripsikan La Bolontio dan Armada Tobelonya di Kerajaan Buton pada akhir abad ke-XV. Cerita itu turuntemurun dari generasi ke generasi sehingga hanya dapat didengar menjadi dongeng belaka. Penulis membuktikan bahwa kedatangan La Bolontio dan Armada Tobelonya di Kerajaan Buton banyak yang bisa diambil dari peninggalan tengkorak kepala yang disinyalir adalah milik La Bolontio. Proses interpretasi yang terdiri dari dua langkah yaitu analisis atau menguraikan data-data yang telah terverifikasi, dan selanjutnya adalah sintesis atau proses penyatuan data sejarah menjadi sebuah konsep. 1.1.4
Tahap Historiografi Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahap terakhir dari seluruh
rangkaian metode penelitian sejarah, dimana semua sumber yang telah menjadi fakta setelah melalui kritik, kini dieksplanasikan dengan interpretasi penulis menjadi historiografi yang naratif, deskriptif, maupun analisis. Penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana untuk mengkomunikasikan hasil-hasil dari penelitian yang telah di ungkap, diuji (verifikasi) dan interpretasi. Rekonstruksi
6
A. Daliman, Metodologi Penelitian. Op.Cit., hal. 81-82
akan menjadi eksis apabila hasil-hasil dari penelitian tersebut ditulis dalam sebuah buku7. Penjelasan tentang metodologi sejarah yang dipakai penulis di atas hanyalah bersifat teoretis, efektif tidaknya implementasi dari metodologi sejarah di atas akan sangat terlihat pada hasil penelitian dan penulisan sejarah yang lebih akurat dan sangat terpercaya keberadaannya. Tahap heuristik, kritik sumber, serta interpretasi kemudian dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah historiografi. Denga penjelasan ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya dalam menulis sejarah merupakan gabungan dari berbagai teknik penulisan sehingga menghasilkan karya yang menarik sekaligus ilmiah.
PEMBAHASAN A. Proses Masuknya Armada La Bolontio Ke Wilayah Kerajaan Buton Buton merupakan jalur pelayaran yang sangat strategis di Nusantara baik itu pada masa lampau hingga saat ini. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah di kawasan timur dihubungkan oleh Buton dengan para pedagang yang berasal dari kawasan Nusantara bagian barat. Sehingga Buton menjadi salah satu daerah pusat urbanisasi dan pusat perdagangan terbesar di kawasan timur Nusantara. Dengan letak geografisnya yang sangat strategis dijalur pelayaran sehingga Buton menjadi salah satu bandar niaga di Nusantara. Dengan demikian, daerah Buton selalu timbul berbagai gangguan dan ancaman, salah satunya adalah gangguan dari para pembajak rompak laut. Di Buton, pemimpin bajak rompak laut ini dijuluki dengan nama La Bolontio. Seseorang yang digambarkan hitam dan jelek sekali. La Bolontio adalah seorang raja rompak lautan yang sangat pecundang. Untuk melangsungkan kehidupannya, bersama pasukannya merampok dan merampas hak orang lain serta pekerjaan bengis lainnya yang tidak senonoh. Di mata orang-orang Buton, La Bolontio adalah seorang bajak laut yang haus darah dan tidak mengenal segan – mengasihi, tidak hanya pada lawannya saja bahkan pada teman sebajaknyapun tidak diberi pengampunan jika diketahui 7
A. Daliman, Op.Cit., hal. 99
membangkang dan tidak mematuhi perintahnya. Karena penggambarannya yang kontras itu, bahkan hingga sampai saat ini sebagian oran-orang tua masih menggunakan sosok si mata satu itu untuk menakut-nakuti anak-anaknya yang nakal dan tidak mendengar nasehatnya. Tapi di mata Ternate, kelompok yang distigmakan hitam itu justru adalah seorang pahlawan yang sangat gagah dan pemberani. Mereka adalah pengabdi yang setia pada Kesultanan Ternate. Di tangan dan pundak mereka diembankan tugas dan misi perluasan pengaruh dan pengislaman yang dititahkan oleh Kesultanan Ternate. Tidak perduli berat tanggungan resikonya, misi perluasan pengaruh dan pengislaman itu mereka laksanakan dengan penuh kesungguhsungguhan. Misi dan tugas utama mereka yang peling penting yang dititahkan oleh Kesultanan Ternate adalah mencaplok sejauh mungkin kekuasaan Kesultanan Ternate dengan cara pengislaman pada kerajaan-kerajaan yang belum memeluk Islam. Ketika wilayah dibagian utara, tengah dan timur telah mereka taklukkan dan menguasainya, sasaran misi berikutnya yang harus dituju adalah sebuah kerajaan kepulauan yang juga diincar oleh Kerajaan Gowa yang terletak dibagian tenggara kaki pulau besar Sulawesi. Kemudian, setelah selesai menyusun siasat penaklukkan atas kerajaan tersebut, maka bergeraklah armada bajak rompak laut yang dipimpin oleh La Bolontio menuju ke pulau Buton. Mereka memulai berarak di pulau Banggai, melalui selat Wawonii yang sempit kemudian berlabuh disebuah tanjung dibagian utara wilayah kekuasaan Kerajaan Kulisusu (pulau Buton). Tempat armada bajak rompak laut La Bolontio itu berlabuh, kini diabadikan namanya dengan sebutan Labuan Tobelo. Dalam manuskrip Buton tercatat bahwa La Bolontio adalah seorang Kapten Laksamana Laut di Kesultanan Ternate yang berasal dari kepulauan Tobelo. La Bolontio diembani tugas dan misi untuk memimpin pasukan laut Kesultanan Ternate. Stabilitas dan keamanan dalam kehidupan masyarakat mulai terancam akibat adanya gangguan-gangguan dan ancaman yang dilakukan oleh bajak rompak laut La Bolontio yang berasal dari kepulauan Tobelo yang masih
termasuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Masyarakat dibeberapa kerajaan-kerajaan kecil dan pulau-pulau kecil yang telah ditaklukkan ataupun pulau-pulau yang bersedia untuk bergabung bersama Kerajaan Buton sudah mulai resah atas keberadaan bajak rompak laut La Bolontio tersebut. Satu hal yang perlu dianalisis ialah tentang nama La Bolontio. Penamaan terhadap sosok ini jelas bukan nama aslinya. Sampai saat ini, nama yang sebenarnya dari tokoh yang berasal dari kepulauan Tobelo dan menakutkan ini tidak diketahui, tidak tercantum dalam sumber-sumber tertulis ataupun sumbersumber lisan yang berupa cerita di daerah Buton. Penamaan La Bolontio sangat erat kaitannya dengan karakteristik fisik dan psikisnya. Sebagaimana kebiasaan orang-orang Buton dan Muna memberikan nama atau julukan kepada seseorang berdasarkan tanda-tanda fisiologis atau psikologis yang paling dominan pada diri yang akan diberi nama atau julukan tersebut. Kata La dan Bolontio dalam bahasa Wolio dan Muna memiliki pemaknaan yang berbeda. Bentuk La diartikan sebagai bentuk nomina (kata benda) yang merujuk jenis kelamin laki-laki, sebagaimana pemebrian Wa (nomina) yang merujuk pada jenis kelamin perempuan. Kata Bolontio berasal dari bentuk dasar bolo “hitam legam” dan diafiksasi dengan akhiran –ntio yang merujuk pada kata sifat khusus, sehingga dapat dimaknai bahwa La Bolontio merupakan sebuah julukan atau penamaan yang diberikan terhadap tokoh perompak bajak laut terganas yang pernah mengguncang wilayah kekuasaan Kerajaan Buton. Tidak sulit untuk memperoleh deskripsi La Bolontio. Sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat Buton-Muna dan para sejarawan Buton bahwa La Bolontio berkulit hitam legam seumpama seekor kerbau hitam, berbadan besar, kekar, kasar, dan sangat bengis. Sedangkan orang-orang Bugis-Makassar memberikan nama atas sosok tersebut dengan sebutan “La Bolong Tiong” dan memiliki arti tersendiri yakni Si Hitam Pekat. Persoalan kepercayaan sejarah lisan yang berkembang pada masyarakat Buton (oral history) tentang La Bolontio hanya bermata satu dan terletak di antara
kedua keningnya8, atau bisa di perumpamakan seperti makhluk luar angkasa (alien), jelas sangat tidak rasional. Sangat tidak logis dan ilmiah untuk meyakini kebenaran ini sebagai bagian dari fakta sejarah. Sebagaimana bukti fisik adanya tengkorak kepala La Bolontio yang disimpan di Museum Pariwisata Kota BauBau tepatnya berada di dalam benteng Keraton Wolio, tidak ada tanda-tanda bahwa La Bolontio hanya memiliki satu mata saja. Anatomi tengkorak justru menunjukan sebagaimana bentuk tengkorak-tengkorak kepala manusia yang pada biasanya, meskipun ukurannya sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan tengkorak manusia normal lainnya. Ada kemungkinan bahwa munculnya kepercayaan ditengah-tengah masyarakat Buton saat ini tentang mata satu La Bolontio, hanya didasarkan pada adanya fenomena ketakutan dan pengakuan secara berlebih-lebihan terhadap sosok perompak bajak laut yang ganas ini. Ataupun terobsesi dengan sosok bajak laut yang tengah terkenal diberbagai sinema aksi yang diciptakan oleh orangorang mancanegara yang mengisahkan semua bajak laut hanya memiliki satu mata bukan berarti seperti makhluk luar angkasa (alien). Masuknya La Bolontio dan Armada Tobelonya diperkirakan pada akhir abad ke-XV ke wilayah perairan yang dikuasai oleh Kerajaan Buton. La Bolontio dan Armada Tobelonya masuk kewilayah kekuasaan Kerajaan Buton melalui jalur utara yang jauh lebih aman jika dibandingkan harus melewati jalur selatan karena akan melewati Laut Banda dan Laut Flores di bagian timur atau tenggara pulau Buton yang terkenal sangat ganas badai dan ombaknya. Masuknya La Bolontio bersama Armadanya tidaklah serentak. Ada kemungkinan dilakukan secara bertahap, sebagaimana kebiasaan para perompak (bajak laut) yang lebih suka melakukan penyerangan dengan menggunakan armada dengan satuan kecil dan efektif. Kemungkinan ini bisa dipertimbangkan dari segi geografis, terutama perairan laut Banda yang sangat ganas dan terkenal dengan badai ombaknya yang besar, sehingga sulit ditaklukkan oleh kapal-kapal pada waktu itu. Selain itu, La 8
Kantor Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2007. Penyusunan Naskah Sumber Arsip Sejarah Masa Kerajaan/Kesultanan Buton. Kendari
Bolontio dan armadanya jelas sudah mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi seperti jarak tempuh saat hendak mencapai perairan di selat Buton. Bila La Bolontio bersama armadanya masuk dari arah selatan, berarti harus melewati perairan Banda dan laut Flores yang juga sama ganasnya. Rute ini sangat tidak efektif, dan mengandung resiko yang bisa membahayakan aramada La Bolontio. Ada kemungkinan Tobelo lebih dahulu yang memasuki dan mengganggu Kerajaan Buton. Setelah melihat berbagai kemungkinan untuk bisa mencaplok Kerajaan Buton, maka diutuslah Laksamana Kapten Laut dari kepulauan Tobelo sebagai balasan atas kegagalan serangan Tobelo pertama yang dilakukan pada masa kekuasaan Raja Buton ke-IV Raja Tua Rade dengan julukan Sangia I-syara Jawa9. Dengan demikian, maka datanglah La Bolontio yang merupakan sosok pemimpin Armada Tobelo yang sangat ganas, licik, sakti, dan berpengaruh. Pilihan untuk melewati selat Buton (perairan yang memisahkan daratan Buton dan daratan Muna) merupakan keputusan yang dianggap La Bolontio sebagai proses yang paling cepat. Maskipun demikian, La Bolontio tidak sertamerta melakukan serangan kepusat pemerintahan kerajaan, melainkan terlebih dahulu membangun pangkalan kekuatannya di Labuan Tobelo, dengan sesekali mengirim satuan-satuan kecil dari armadanya untuk memantau dan mengganggu kampung-kampung yang berada disepanjang pesisir pantai pulau Buton dan pulau-pulau yang berpenghuni lainya. Tujuan La Bolontio mengirim armadaarmada keci namun dianggap kuat dalam peperangan adalah untuk mencari dan mengumpulkan berbagai informasi penting mengenai peta kekuatan/kekuasaan Kerajaan Buton. Strategi yang diterapkan oleh La Bolontio ialah dengan menerapkan teror kepada masyarakat Buton dan ternyata secara perlahan hamplir meruntuhkan mental dan kekuatan yang dimiliki oleh kerajaan yang dipimpin oleh Raja La Ngujuraja yakni Kerajaan Buton. Hal ini terbukti dengan munculnya sayembara yang diadakan oleh Raja La Ngujuraja untuk mengumpulkan para kesatria atau pendekar untuk membantu pasukan militer Kerajaan Buton dalam menumpas 9
Kantor Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Op.Cit., hal. 18
keganasan La Bolontio dan armadanya. La Bolontio yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia untuk membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah “barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan La Bolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri raja“ yang bernama Wa Tampoidongi. Wa Tampoidongi terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga. Dalam rangka mempertahankan daerah kekuasaannya, Raja La Ngujuraja meminta bantuan kepada kerajaan-kerajaan Barata (daerah penunjang pertahanan Kerajaan Buton yang memiliki raja sendiri) yakni Kerajaan Kulisusu, Kerajaan Tiworo, dan Kerajaan Kaledupa untuk membantu dalam upaya mempertahankan Kerajaan Buton dari serangan La Bolontio dan Armada Tobelonya. Berbagai informasi yang diperoleh La Bolontio kemudian dijadikan sebagai data untuk mencari titik kelemahan, sehingga mampu melumpuhkan Kerajaan Buton dengan kekuatan perang yang dimilikinya. La Bolontiopun kemudian bergerak kearah selatan dengan menyusuri selat Buton dan memusatkan kekuatan pasukannya di daerah Boneatiro. Di perkampungan inilah La Bolontio dan Armada tobelonya berperang melawan armada koalisi Kerajaan Buton yang dipimpin oleh La Kilaponto. Kelak perompak bajak laut La Bolontio dan Armada Tobelonya itu takluk dan kalah di tangan La Kilaponto dalam sebuah pertarungan adu silat di pantai Boneatiro. Peperangan berlangsung cukup lama dan memakan banyak korban dari kedua belah pihak. La Kilaponto berhasil membunuh La Bolontio dengan siasat yang sangat licik. Terkait proses masuknya La Bolontio dan Armada Tobelonya, ada penamaan sebuah tempat di Kecamatan Wakorumba Utara yakni Labuan Tobelo. Nama ini merujuk pada kata Labu (bahasa Wolio/Muna) yang dapat diartikan sebagai “sauh” dan kata Tobelo yang berarti 0rang yang berasal dari kepulauan tobelo. Kata Labu + an merupakan bentuk kata benda yang berarti “tempat berlabuh” dalam bahasa Melayu (pada waktu itu bahasa Melayu menjadi salah satu bahasa pengantar di Kerajaan Buton yang dikenal dengan Pogau Malau),
sehingga kata majemuk ini lebih mengarah pada makna tempat berlabuhnya orang-orang yang berasal dari Tobelo. B. Pengaruh La Bolontio terhadap Wilayah-wilayah Pesisir Kerajaan Buton Sangat sedikit sumber literatur yang bisa dipakai dalam merujuk untuj menjelaskan gulitan dari sosok bajak rompak laut La Bolontio. Pelacakan identitas dirinya tidak semudah informasi besarnya pengaruh kekuasaannya di lautan dan penceritaan dahsyatnya jalan perang ketika bajak rompak laut La Bolontio yang berasal dari kepulauan Tobelo ini dalam memimpin armadanya untuk menyerang Kerajaan Buton di penghujung abad ke-XV. Tobelo dan La Bolontio sepertinya dua nama yang saling berkaitan, namun memiliki pengaruh yang berbeda bagi masyarakat Buton hingga sekarang. Tobelo dimaknai sebagai segerombolan bajak rompak laut yang suka mengganggu, merampas, dan melakukan teroro di wilayah-wilayah kekuasaan Kerajaan Buton. Tobelo merupakan sebuah nama etnis yang tinggal di pesisir pantai di Kepulauan Maluku. Aktivitas etnis ini sebagai pasukan pelopor Kerajaan Ternate dalam menjalankan ekspansinya ke daerah-daerah sekitar kawasan laut Sulawesi dan Maluku10. Lain halnya dengan La Bolontio, ia lebih dimaknai sebagai sosok yang sangat menakutkan, sakti, dan bengis dalam memperlakukan orang-orang Buton. Setiap wilayah disepanjang pesisir pantai pulau Buton yang pernah diteror atau diserang oleh Tobelo dan La Bolontio, pasti meninggalkan cerita sejarah lisan yang tidak menyenangkan. Dapat dikatakan pula bahwa sampai saat ini kedua nama tersebut sudah menjadi bagian dari cerita yang kian melegenda, disertai dengan adanya cerita-cerita kepahlawanan dalam melawan aksi-aksi La Bolontio dan Armada Tobelonya. Dari sekian cerita heroik, yang paling terkenal ialah tampilnya sosok La Kilaponto yang mampu menghentikan sekaligus membasmi gerakan yang dilakukan oleh Tobelo dan berhasil membunuh La Bolontio. La Kilapontopun diberi kesempatan untuk menikahi puteri Raja La
10
La Ode Rabani, 2010. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan Kelangsungan. Yogyakarta: OMBAK., hal. 51-52
Ngujuraja yang bernama Wa Tampaydongi (Bhoroko Malanga), dan setelahnya menjadi raja Buton ke-VI dengan gelar Murhum. Pengaruh yang paling dirasakan oleh masyarakat ialah adanya gerakan La Bolontio untuk menghancurkan dan menguasai Kerajaan Buton pada waktu itu. Dalam melakukan infilterasi kekuatannya, La Bolontio melakukan tindakan pembunuhan, perampokkan, dan bahkan sampai memusnahkan kampungkampung yang mencoba melakukan perlawanan terhadapnya. La Bolontio sangat lihai dan licik dalam usahanya untuk mengganggu eksistensi dan kestabilan masyarakat di Kerajaan Buton. Dengan menguasai daerah-daerah kecil dan strategis, La Bolontio kemudian secara bertahap melakukan penguasaan pada wilayah-wilayah yang semakin dekat dengan pusat pemerintahan Kerajaan Buton di Wolio. Pengaruh La Bolontio pada dasarnya bila dianalisis secara mendalam, terbagi dalam empat bidang, yakni: bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosialbudaya, dan bidang keamanan. 1) Bidang Politik Pengaruh La Bolontio dalam bidang politik, sempat mengganggu hubungan antara Kerajaan Buton dengan kerajaan-kerajaan lainnya, seperti hubungan Kerajaan Buton dengan Kerajaan Muna, hubungan Kerajaan Buton dengan Kerajaan Konawe, hubungan Kerajaan Buton dengan Kerajaan Kaledupa dan hubungan Kerajaan Buton dengan Kerajaan Selayar. Meskipun demikian, kerajaan-kerajaan tersebut juga turut merasakan kehadiran La Bolontio dan Armada Tobelonya yang memporak-porandakan dan sangat meresahkan serta mengganggu kestabilan masyarakat dan eksistensi kerajaan. Hal ini kemudian mengilhami kerajaan-kerajaan tersebut untuk berkoalisi dan bekerjasama dengan Kerajaan Buton dalam upaya menghentikan ancamanancaman yang telah dilakukan oleh perompak bajak laut La Bolontio yang berasal dari kepulauan Tobelo bersama pasukannya. 2) Bidang Ekonomi Dalam bidang ekonomi, masyarakat Buton saat mendapat gangguan dari perompak bajak laut La Bolontio dan Armada Tobelonya, dipastikan kehidupan
ekonomi menjadi terhambat. Karena perang yang dilakukan oleh Kerajaan Buton melawan La Bolontio dan Armada Tobelonya merupakan satu-satunya perang terbesar pertama yang pernah dilakukan oleh Kerajaan Buton. Akibat dari peperangan tersebut, tidak hanya tenaga yang dikorbankan melainkan materi untuk membiayai pasukan-pasukan Kerajaan Buton dan juga puteri Raja yang menjadi imbalan dari sayembara. Hubungan-hubungan perdagangan antar pulau mulai terganggu dan bahkan tidak dapat dilakukan, karena perompak bajak laut La Bolontio dan Armada Tobelonya tidak segan-segan untuk melakukan perompakan dan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang11. Secara langsung teror yang dibuat oleh La Bolontio sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi di Kerajaan Buton. 3) Bidang Sosial-Budaya Karakteristik perompak bajak laut La Bolontio yang bermata satu telah mewariskan cerita sejarah lisan pada generasi-generasi setelahnya. Banyak cerita yang berkembang sampai saat ini, karena diceritakan turun-temurun dari generasi ke generasi. Misalnya pada masyarakat, untuk menakut-nakuti anak kecil yang nakal, orang tua biasanya menyisipkan sebuah cerita tentang perompak bajak laut La Bolontio yang bermata satu, adapula penyelenggaraan kegiatan pencak silat dengan tema pertanrungan La Bolontio dan La Kilaponto. Pada masyarakat Siompu, muncul cerita legenda heroik Ma’ Sarataa yang berjuang sendiri dalam menghadapi serangan bajak laut La Bolontio dan Armada Tobelonya. 4) Bidang Keamanan Bidang keamanan jelas dipengaruhi oleh La Bolontio. Peristiwa kepanikan masyarakat Kerajaan Buton dan dipahamai oleh Raja La Ngujuraja dengan mengadakan sayembara terbuka, merupakan ciri atau tanda bahwa La Bolontio bukan hanya memporak-porandakan dan mengganggu kestabilan msyarakat di perkampungan disepanjang pesisir pantai Buton, melainkan juga telah mengganggu keamanan Kerajaan Buton. Uasaha-usaha yang dilakukan oleh Raja La Ngujuraja dengan mengirimkan pasukan penghadang, ternyata selalu berakhir 11
Rabani, La Ode. 2010. Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan Kelangsungannya. Yogyakarta: OMBAK., hal. 55
dengan kegagalan. Eksistensi Kerajaan Buton menjadi lemah, meskipun pada akhirnya kembali bangkit setelah La Kilaponto berhasil membunuh perompak bajak laut La Bolontio di Boneatiro. Sesudah peristiwa tersebut pasukan Ternate datang ke Buton. Mereka tidak langsung mengadakan pertempuran, akan tetapi menunggu komando langsung dari Raja (Sultan Baabullah) yang sementara ditunggu kedatangannya. Panglima perang dan pasukan Ternate berlabuh di suatu teluk yang kelak diabadikan dalam sejarah dengan nama Labuan Tobelo artinya pelabuhan orangorang atau pasukan Tobelo (Ternate). Berselang beberapa lama datang tiga buah kapal tempur Belanda berlabuh di sebuah tempat yang kelak dinamakan Labuan Walanda artinya pelabuhan orang-orang atau pasukan Belanda, dengan tujuan menggempur Buton sebagai balasan atas penyerangan kapal Belanda di Kulisusu serta hendak menyelamatkan orang-orang Belanda yang tertawan. Setelah sampai di Buton Utara (sekitar Kulisusu) mereka menyaksikan armada Ternate telah berlabuh di tempat tersebut, ditandai dengan panji-panji yang ditancapkan di sepanjang pantai tempat mereka berlabuh. Panji kebesaran Ternate di Labuan Tobelo menandakan disana ada panglima besar Ternate. Namun demikian Ternate selalu mengganggu Kulisusu. Artinya pada suatu saat Ternate menjadi sekutu Buton dan saat yang lain Ternate tampil sebagai seteru Buton yang harus dilawan, sasarannya selalu wilayah paling ujung utara Buton, yakni Kulisusu dan Pulau Wawonii. Karena wilayah ini secara langsung berbatasan dengan Kerajaan Ternate. Labuan Tobelo, Labuan Walanda, dan Labuan Wolio adalah daerah-daerah yang berada di daratan bagian barat laut Buton Utara menghadap ke Pulau Wawonii.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulakan beberapa hal sebagai berikut: 1. Posisi astronomi wilayah Buton terletak pada 4,200 Lintang Selatan, sedangkan ujung utara pulau Buton 6,200 Lintang Selatan ujung selatan pulau Binongko, dengan 121,400 Bujur Timur di ujung barat pulau Kabaena dan 124,500 Bujur Timur ujung timur Veldhoen Eiland yang membentang dari arah utara ke arah selatan. 2. Satu hal yang perlu dianalisis ialah tentang nama La Bolontio. Penamaan terhadap sosok ini jelas bukan nama yang sesungguhnya. Sampai saat ini, nama yang sebenarnya dari tokoh yang menakutkan ini tidak diketahui, tidak tercantum dalam sumber-sumber tertulis ataupun sumber-sumber lisan di daerah Buton. 3. Ada kemungkinan Tobelo lebih dahulu yang memasuki dan mengganggu Kerajaan Buton. Setelah melihat berbagai kemungkinan untuk bisa mencaplok Kerajaan Buton, maka hadirlah sosok pemimpin La Bolontio dan Armada Tobelonya yang masuk ke wilayah Kerajaan Buton melalui jalur utara yang jauh lebih aman, jika dibandingkan dengan melewati laut Banda dan laut Flores di bagian timur dan tenggara pulau Buton yang terkenal sangat ganas akan badai dan ombaknya. 4. Pengaruh La Bolontio pada dasarnya bila dianalisis secara mendalam, terbagi dalam empat bidang. Dalam bidang politik, pengaruh La Bolontio sempat mengganggu hubungan antara Kerajaan Buton dengan Kerajaan-kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Muna, Kerajaan Konawe, Kerajaan Kaledupa dan Kerajaan Selayar. Dalam bidang Ekonomi, hubungan-hubungan perdagangan antar pulau tidak dapat dilakukan karena La Bolontio dan Armadanya tidak segan-segan melakukan perompakkan dan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang. Dalam bidang kehidupan sosial-budaya, karakteristik La Bolontio telah mewariskan cerita sejarah lisan pada generasi-generasi setelahnya.
Bidang keamanan, kepanikan yang mengganggu kestabilan masyarakat, termasuk juga keamanan Kerajaan Buton. B. Saran Mengacu pada kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Guna menciptakan kestabilan masyarakat yang berada dijalur perdagangan yang dengan sangat strategis, maka disarankan untuk menjaga keamanan dari segala ancaman dan gangguan yang akan terjadi baik dari dalam maupun dari luar. 2. Seseorang yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya diberikan nama dan julukan berdasarkan tanda-tanda fisiologis atau psikologis yang paling dominan. 3. Guna menjaga keselamatan dalam melakukan pelayaran, maka dipandang perlu untuk mengetahui situasi dan kondisi terlebih dahulu sebelum melakukan suatu perjalanan khususnya untuk mengarungi lautan dan ataupun samudera. 4. Bagi
bajak
laut
ada
dua
alternatif
yang
harus
dilakukan
untuk
mempertahankan eksistensinya yakni bekerjasama dengan kekuatan yang lebih besar atau berpindah ketempat lain.
Daftar Rujukan Alimudi, Muhammad. 2012. Mengenal dan Memahami Nilai-Nilai Sowite. Raha: Wuna Culture Bahar, Rusman. 2010. Konstelasi Sejarah Buton: Masa Lalu dan Masalahnya. Bau-Bau: Bumi Buton Daliman. A. 2012.“Metode Penelitian Sejarah”, Yogyakarta: OMBAK Djarudju, Sirajudin. 2007. Naskah dan sejarah Kerajaan Buton. Bau-Bau: Universitas Dayanu Ikhsanuddin Hardjasaputra, A. Sobana. 2006. Penelitian dan Penulisan Sejarah. Bandung: Granesia Hasruddin.2010. Jejak Peradaban Bahari Kesultanan Buton (Armada Laut Kesultanan Buton). Bau-Bau: Universitas Dayanu Ikhsanuddin Kantor Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2007. Penyusunan Naskah Sumber Arsip Sejarah Masa Kerajaan/Kesultanan Buton. Kendari Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Lapian, A.B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut (Sejarah Kawasan Laut Sulawesi). Jakarta: Komunitas Bambu Oba, La.2005. Muna dalam Lintas Sejarah (Prasejarah-Era Reformasi). Sinyo.M.P. Bandung Poelinggomang, E.L. 2012. Sejarah Maritim Dunia. Makassar: Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP) Universitas Hasanuddin Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi III, Catatan Ke-4. Jakarta: Balai Pustaka, PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Pranoto, Suhartono W. 2010. “Teori dan Metodologi Sejarah”. Yogyakarta: Graha Ilmu Rismiyadi.2011. Benteng Keraton Sebagai Jejak Peradaban Bahari Kesultanan Buton. Universitas Lambung Mangkurat Rabani, La Ode. 2010. Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan Kelangsungannya. Yogyakarta: OMBAK.
Said.2006. Menelusuri Lahirnya Kota Bau-Bau:Dalam Perspektif Sejarah Kesultanan Buton. Bau-Bau:Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sjamsudin, Helius. 2012. “Metodologi Sejarah”. Yogyakarta: OMBAK Susanto Zuhdi, Didik Pradjoko dan Agus Setiawan. 2009. Diaspora Orang Buton Sebagai Faktor Integrasi Bangsa. Laporan Penelitian Hibah Riset Strategis Nasional. Kepada DRPM-Universitas Indonesia
Zuhdi, Susanto dkk.1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta: Dep. Dikbud Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Wana Labu Rope. Jakarta, Penerbit Rajagrafindo Persada Sumber Internet Azulfachri. 2011. Bone Melai: Pasir Merah http://azulfachri.wordpress.com/2011/03/14/bone-malei-pasir-merah-ceritarakyat-wolio-kota-bau-bau/ Diakses tanggal 16 April 2014, pukul 10:21 wita La Yusrie Mendogu. 2013. Prahara di Boneatiro. http://layusriemendogu.blogspot.com/2013/02/prahara-di-boneatiro.html diakses pada tanggal 14 Oktober 2013, Pukul 09:34 http://bumibuton.blogspot.com/2011/03/sejarah sultan murhum diakses pada tanggal 03 November 2013, Pukul 12:01 http://orangbuton.wordpress.com/2008/08/06/sejarah-kesultanan-buton/ diaksespada tanggal 05 November 2013, Pukul 19:15 http://www.osiymobau-bau.com/doc/30235151/Sejarah-Dan-an-Kerajaan-Buton diakses pada tanggal 14 Desember 2013, Pukul 10:08