Kumpulan Kisah di Sekolahku
MERAJUT CITA-CITA Jilid 1
Soegini . Djumali Mangunwidjaja . Budi Heriyanto . Haniefudien . A. Isbudiyanto . Khumaedi Soewardi . SB Mayaningsih . Widodo Harjono . R. Niti Arjuno . Frahma Alamiarso . Teguh Wibowo . Eli Mantofani . Nurul Karimah . Slamet Basuki
Forum Ikatan Kadang Temanggungan (FIKT) Mei 2010
DAFTAR ISI
Mari Berprestasi ……………. V Sekapur Sirih ….………. vii Kenangan Indah Masa Sekolah ..………….. 1 Ketika Asa Berpeluh ….………..17 Temanggung Memberiku Kebahagiaan dalam Bermusik …..………35 Aku Pernah Tidak Ingin Lulus SMA …………. 49 ―Mbludus‖ di Mudal ……..…... 59 Memang Hanya Perubahan yang Abadi di Dunia ini ………….. 65 Masa-masa di Temanggung ………..… 73 Hidupku Adalah Perjuangan ………..… 77 Hidup Hanya sekali, Jangan Pernah Engkau Menunggu ………..... 93 Meretas Impian Si Tegar ….……... 117 Mutiara dari Bumi Indrakila ………... 125 Akhirnya Aku Bisa Kuliah di STAN ………... 137 Cita-cita yang Kesampaian ………… 147 Anak Petani yang menjadi Pilot di Luar Negri …………. 151
Mari Berprestasi ! Rintangan dan halangan jadikanlah tantangan untuk ditaklukkan bukan dihindari Yakinlah, Tuhan telah memberi keunggulan kepada semua umatNya, tanpa kecuali
Beberapa dasar pemikiran terbitnya Buku MERAJUT CITA-CITA ini, antara lain: 1. Menyegarkan para alumnus, agar selalu memiliki kecintaan terhadap almamaternya atau sekolahnya, baik itu SD/SR, SMTP atau SMTA-nya 2. Sebagai starting point. Sehingga pihak sekolah dapat memanfaatkannya sebagai pelatuk penggelora semangat para murid untuk gemar membaca dan menulis 3. Sebagai media komunikasi antara guru dengan murid dalam bentuk ―nuansa lain‖. Sebagai upaya pengembangan sikap, kepribadian dan budi pekerti murid 4. Semoga buku ini terus terwujud dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Maka, Kumpukan kisah ini dapat dijadikan dokumen authentic tentang potret evolusi perkembangan pendidikan di sekolah masing-masing khususnya dan potret pendidikan di Kabupaten Temanggung umumnya, sehingga dapat dipakai sebagai referensi oleh yang memerlukan. 5. Buku MERAJUT CITA-CITA ini, semoga menjadi seribu nasihat dan seribu pemacu mimpi kepada adik-adik pelajar tercinta, harapan nusa dan bangsa dimasa mendatang 6. Tidak pernah terbersit sedikitpun, untuk niat ―pamer‖ atau ―umuk‖, selain semangat membimbing, mendorong, mengajak kepada adik-adikku pelajar di Kabupaten Temanggung, untuk terus maju dan berprestasi !
Jakarta, 10 Mei 2010
Salam teramat hangat, Penggagas, R. Niti Arjuno
Sekapur Sirih
Buku kecil ini ini berisi himpunan sejumlah kisah atau cerita mengenai orang Temanggung pada suatu masa dalam penggalan peristiwa, dan ditulis oleh tangan-tangan pelakunya sendiri. Ragam kisah itu dapat menyangkut kisah tentang seorang dengan orang lain, seseorang dengan suatu daerah, atau mengenai tanah kelahirannya atau bahkan sebuah peristiwa. Peran Guru atau Kyai dimata seorang siswa ataupun santrinya, pastilah memberikan arti tidak kecil. Arti sebuah persahabatan bagi kita dan dapat dipandang sebagai untaian mutiara kehidupan. Curahan dan goresan kisah ini dapat dimaknai sebagai salah satu bukti episode seseorang yang sangat berarti baginya, sebagai dua sisi mata uang kehidupan, suka duka, ataupun hubungan dengan orang lain. Menyedihkan, menyenangkan, kegagalan ataupun keberhasilan. Cita-cita, tujuan hidup seseorang tidak teraih secara mendadak. Ada usaha, perjuangan, bahkan dengan segala pengorbanan untuk meraihnya. Ikatan seseorang dengan suatu tempat, tanah kelahiran, sekolah mempunyai arti kenangan tersendiri. Setiap orang pasti juga akan mengalami atau menjumpai keunikan momen pada titik-titik sepanjang hidupnya. Penggalan penggalan itu bagi yang bersangkutan akan menjadi menjadi mozaik yang membentuk lukisan kehidupannya. Namun demikian mozaik, kisah, cerita itu dapat berlipat manfaatnya bagi pihak lain, terutama generasi yang lebih muda untuk dijadikan cermin, sumber gagasan atau pepeling. Kenapa dipilih Temanggung ? Bukan untuk sebuah ke-egoan daerah, melainkan justru untuk menebar ikatan persahabatan, persaudaraan antar sesama warga. Ketika seseorang membaca cerita yang tersaji dalam buku ini, yang berkisah mengenai peristiwa, manusia, obyek, masyarakat, atau yang lain tentang Temanggung, ibaratnya dia sedang berhadapan dengan dunianya, saudaranya, lingkungannya bukan dengan liyan, atau yang asing. Ide awal penulisan dan pengumpulan tulisan ini berasal dari perbincangan, diskusi saling sapa walau melalui media maya, oleh kadang Temanggung di rantauan, secara khusus anggota Forum Warga Temanggung. Sepatutnya kita mengucapkan terimakasih pada prakarsa yang mulia ini. Semoga tujuan dan harapan gagasan tersebut dapat mencapai sasarannya. Sebagai usaha awal, kegiatan serupa dapat dilanjutkan dengan kumpulan mozaik, kisah atau tema lain yang beragam. Tidak berlebihan kiranya, apabila kita juga berharap, kumpulan ini dapat berfungsi sebagai salah satu bacaan yang mengasyikan dan berharga bagi adik adik para siswa atau remaja yang masih punya jalan didepan yang panjang. Benih benih cinta membaca perlu di beri lahan dan pupuk yang subur, sehingga pohonya dapat berbuah menjadi perilaku cendekia. Selamat membaca.
Prof. Djumali Mangunwidjaja
Soegini SR, Ngadirjo, Temanggung (lulus th. 1955) SMP Negri, Temanggung (lulus th. 1958) SMA C Masehi 1, Semarang (lulus th. 1961) ―Tugas apapun jika dikerjakan asal-asalan, asal jadi, asal jalan, pastilah hasilnya tidak sempurna‖. ―Disamping berdo‘a, kita harus berusaha. Setiap kemauan pasti akan ada jalan. Disaat seseorang menemui persimpangan jalan dan salah mengambil arah dan seakan mendapati jalan itu buntu. Maka, janganlah berhenti dengan menyesali diri sendiri. Harus berani berbalik atau belok untuk mencari jalan arah lain yang lebih baik‖.
KENANGAN INDAH MASA SEKOLAH
Tempat kelahiranku Di lereng timur Gunung Sindoro, terhampar luas sawah ladang dan tegalan tempatku dilahirkan. Dibatasi Gunung Sindoro dan Prau di sebelah barat, sederetan pegunungan hijau, Gunung Beser sebagai primadonanya di sebelah utara, Gunung Ungaran, Merbabu dan Merapi disebelah timur, serta Gunung Sumbing di sebelah selatan. Desaku yang subur, air mengalir menggenangi sawah sepanjang tahun. Terdapat beberapa mata air seperti di Kali Lor, Kedung Gupit dan Sewaru. Barisan gunung kecil berjajar menghijau, Gunung Pulih, Gunung Dempet, Gunung Simbungan, Gunung Kembang, Gunumg Celengan, Gunung Dukuh dan Gunung Bontot tempatku bermain sambil mencari kayu bakar. Sebuah Desa kecil, tepat terletak antara Jumo dan Ngadirejo, Desa Barang Wetan, Kecamatan Jumo namanya. Disinilah seorang anak laki-laki lahir dari pasangan suami isteri Yasmorejo seorang petani jebolan Sekolah Rakyat (SR) kelas 5 dan Monah yang sangat mendambakan seorang anak lahir sehat dan hidup, sebab beberapa kali melahirkan selalu meninggal entah masih dalam kandungan atau saat masih bayi. Jalan desaku menjulur membentuk huruf ―U‖ seperti garpu tala. Lalu dipotong horizontal oleh jalan raya dari arah Jumo-Ngadirjo. Di kanan-kiri jalan, tanaman pagar hijau Joko Nantang rimbun mengular indah sekali..indah sekali.. Konon, ketika kedua orang tuaku masih hidup, Bapak dan Simbok yang sering di panggil Mbah Semo dan Mbah Monah, diwanti wanti oleh seorang ―tua‖, bila jabang bayi lahir perempuan berilah nama laki-laki dan bila lahir anak laki-laki berilah nama anak perempuan. Bertepatan
masuknya penjajah Jepang tahun 1942, tepat disaat sang Surya muncul di ufuk timur, lahirlah aku, kemudian diberi nama Soegini, nama yang lebih tepat untuk anak perempuan. Aku dipanggil ―Soe‖ begitu saja. Di dalam sebuah rumah yang berdinding gedhek, beratap genteng, berlantai tanah, disitulah aku dibesarkan. Didesaku, halaman rumahku paling luas. Ditanami beberapa pohon jeruk Bali. Sedang jeruk Keprok ―kembar‖ persis ditanam di depan pintu rumah utama. Disebelah lumbung padi, berdiri dua pohon Kuweni dan Mangga biasa. Kesenian ketika itu Karawitan, Ketoprak, Wayang Kulit, Gambusan dan Slawatan. Selain itu sangat popular Jaran Kepang atau Kuda Lumping dengan Barongan yang pemainnya sering kesurupan alias kemasukan roh halus. Keluargaku besar, semuanya sembilan orang. Soegeng (Alm), dia meninggal saat hampir menyelesaikan sekolahnya di STM Penerbangan Solo. Srimah, yang dinikah oleh H. Soengkono dari Barang Kulon, seorang teman SR. Dia Pensiunan Direktorat Pajak, tugas terakhir di Jakarta, kini menetap di Barang Kulon. Sukiman, Guru SD, menetap di pinggir jalan utama Jumo-Ngadirejo. Ketika kecil paling nakal tetapi paling pandai Ping Pong, dibanding adik adikku yang lain. Lalu, H. Soemardiono, Mantan Kepala Desa 3 windu, sebagian besar umurnya di baktikan kepada warga desanya. Kelima, Ir. Soemadji, yang sejak lahir sampai berjalan menjadi momonganku. Dia paling senang dinaikkan kotak sabun yang diberi roda kayu dan didorong kesana-kemari. Sri Markum, yang dipinang seorang perjaka sekampung tetapi kini suaminya telah meninggal. Soebardjo SH, Sarjana Hukum yang jadi juragan Bakso dan Laundry di Medan. Sumarchoni, adikku yang paling kocak. Baginya semua dibuat mudah. Sewaktu kecil sering nglindur (mengigau). Lebih parah lagi ditengah tidur malamnya dia sering terbangun lalu, keluar kamar, buka pintu, kencing dan masuk ke dalam rumah, menutup dan mengancing pintu kembali tanpa sadar. Selain itu, kalau disuruh memanen lombok yang sudah berwarna merah, justru masih banyak memetik yang berwarna hijau. Ternyata tidak bisa membedakan warna merah dan hijau. Dan Sulis Heriwanto SE, si bungsu yang pendiam. Lulus cumlaude, dan kini bekerja serta menetap di Jakarta.
Masa kanak-kanak yang menyenangkan Seperti halnya anak desa yang lain, masa kecilku penuh kenangan bermain dan pekerjaan rumah dari orang tua. Permainan kesukaanku, diantaranya Gabur. Sebagai Gacuk (kartu yg diadu) aku sengaja menempelkan dua gambar menjadi satu, sehingga bagaimanapun jatuhnya kartu pasti dalam posisi ―menang‖. Setelah taktik ini diketahui teman-teman, akhirnya ―gacuk‖-ku selalu diperiksa
terlebih dulu sebelum bermain. Selain itu, permainan sudah mandah, gobag sodor, kasti dan bermain perang perangan. Masa kecil penuh ketakutan akibat perang Jepang dan masa kemerdekaan. Masih segar dalam ingatanku, aku membeli sepeda roda tiga hasil jerih payah menabung uang sisa jajan dan hasil ngangsag dan nggiles merang. Aku menggilas ulang merang sampai menghasilkan puluhan kilogram. Lalu kujual bersamaan ketika orang tua menjual gabah. Akung, kebiadaban Heiho Jepang, membawa serta sepeda roda tigaku, dirampas dan entah dibuang kemana. Oleh karena itu, Simbok menyimpan perhiasan emas berliannya di tanam di tanah, di dasar kandang ayam.
Sabak dan gerip Waktu kecilku belum dikenal sekolah Taman Kanak Kanak, satu-satunya sekolah yang ada di dekat desaku adalah Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar Karangteja. Tahun 1949, pertamaku masuk di Sekolah Rakyat (SR) Karangteja. Aku berangkat sendiri, tidak ada seragam, tidak ada sepatu. Syarat masuk sekolah sangat sederhana, asalkan ujung jari tangannya mampu mencapai telinga dari arah yang berlawanan. Pak Guru Kumpul, guru pertamaku. Berbadan gemuk putih, berwibawa, berasal dari Karangteja. Data pribadiku hanya dikira-kira, Sugini lahir tanggal 15 Juli 1942. Belakangan aku baru tahu, Surat Kelahiranku yang berbahasa Belanda dengan aksara Jawa dibawahnya, yang aku temukan di dalam bumbung (potongan bambu), tempat dimana Bapak menyimpan surat-surat penting, ternyata namaku Soegini lahir tahun 1942, sedang tanggal kelahian mleset beberapa hari. Sekolah sangat menyenangkan, banyak teman baru dari desa lain. Tetapi bukannya buku yang aku bawa, melainkan sabak (batu tulis) dan gerip (batu runcing untuk menulis). Bentuknya persegi panjang, bisa ditulis di kedua sisinya bolak balik. Seminggu sekali dicuci rame rame dikali, diterusan Kali Deres sebelah selatan Karangteja. Mungkin acara ini hanya sisipan, sedang utamanya gerak jalan untuk mengenal alam. Sebuah lagu anak-anak desa yang sangat mengesankan. Seperti Jamuran dan Cublak-cublak suweng. Akan tetapi diajarkan pula lagu lain, seperti:
Thing thing bele wis muni…jam setengah wolu (thing-thing lonceng sudah berbunyi…jam setengah delapan)
Iku mertandani…murid pada mlebu (itu sebagai tanda…murid harus masuk) Kanthi nggawa piranti…praboting sinau (dengan membawa alat…untuk belajar) Yen wis tata nuli…diwulang Bapak guru (jika sudah siap lalu…dididik Bapak guru)
Udara pagi sangat dingin menyebabkan anak-anak berangkat sekolah tanpa mandi. Kalau bangun kesiangan, sarapanpun sambil jalan, setelah sebelumnya cuci muka di mata air Sewaru. Lauk kegemaranku pete yang dibenamkan abu panas. Jarak kesekolah sekitar 1 Km. Bila musim kemarau panas tak terkira, namun akan hujan terus-menerus bila masuk musim hujan. Berjajar pohon trembesi dan sonokeling di sepanjang jalan, sekaligus sebagai tempat berteduh disaat panas maupun hujan. Payungku ketika itu, adalah daun pisang atau daun senthe. Bapak, seorang petani tetapi memiliki Andong (dokar), sehingga bila berangkat ke sekolah naik Andong. Suara thak-thok tapal kuda dan cethas-cethes bunji pecut masih terngiang jelas ditelingaku. Sampai-sampai lahir sebuah cangkriman (teka-teki) unik: Rantut sirkardai, sirkartut ndortandai, ndortantut rano kangdai (jaran ngentut Kusir dokar kang
nadahi, Kusir dokar ngentut Mandor ratan kang nadahi, Mandor ratan ngentut ora ono kang nadahi: Kuda kentut Kusir dokar yang menangkap, Kusir dokar kentut Mandor Jalan yang menangkap, Mandor jalan kentut tidak ada yang menangkap). Kudaku betina sangat besar berwarna putih, si Bopong namanya. Suatu saat, seorang dari Bongkol, kaki Gunung Sindoro datang naik kuda jantan sangat gagah. Dari hasil perkawinan dengan si Bopong, menghasilkan tiga kuda betina, salah satunya aku beri nama Bathi (untung). Bathi menjadi kawan bermainku sejak kecil. Sampai suatu saat, sesudah kumandikan, Bathi yang sudah dewasa, kunaiki dan melaju pulang menuju ke rumah, namun sesampai di sebuah tikungan mendadak muncul seseorang memakai Kowangan (payung terbuat dari pelepah pohon bambu). Bathi menjingkrak, kaki depannya terangkat tinggi-tinggi, aku terlempar dan nyangsang terkapar di atas pagar hijau. Beruntung Joko Nantang, tanaman pagar yang cukup lebat menjadi ―kasur‖ku. Dari matanya, aku menangkap Bathi tampal sangat menyesal. Dia berdiri terdiam sambil terus melihatku susah payah turun dari pagar hijau. Bangunan sekolahku sangat sederhana, berdinding gedheg beratapkan seng. Di kelas 3 SR mulai diajarkan tulisan-aksara Jawa oleh Pak Sis, guru sudah cukup sepuh dari Ngadirjo. Sosok guru yang sabar tetapi tegas. Jari tangan si anak akan dipukul memakai tuding (bambu untuk menunjuk papan tulis) manakala didapati kuku-nya tampak kotor. Akupun pernah merasakan sekali, bukan main sakitnya. Jajanan di sekolahku hanyalah dawet dan kembang gula (permen). Olah raga paling favorit adalah Kasti. Beruntung, pukulanku hampir dipastikan melambungkan bola jauh membumbung ke udara hingga lawan yang sedang jaga terseok-seok karena kesulitan menangkap bola pukulanku.
Belajar naik sepeda Menginjak kelas 4 SR, aku harus pindah sekolah ke Ngadirejo atau Jumo. Karena Simbok berasal dari Desa Klesem sebelah barat Ngadirejo, akupun memilih sekolah di Ngadirejo. Tempatnya dilereng Gunung Sindoro, lebih kota alias lebih keren dibanding Jumo. Jaraknya sekitar 3,5 Km. Setiap hari aku berjalan kaki nyeker (telanjang kaki) menanjak mendaki lereng menuju arah barat.
Suatu ketika, Bapak memutuskan menjual Andongnya dan membeli sebuah mobil, untuk trayek Braman–Jumo–Ngadirejo yang merupakan trayek unggulan. Hanya sesekali saja ke Parakan. Sesaat sebelum aku naik kelas 5, Bapak membelikan sepeda merek Hima. Sepeda laki-laki untuk orang dewasa, karena ketika itu tidak ada sepeda anak-anak. Tidak sampai sebulan aku sudah bisa mengendarai sepeda. Itu karena jasa baik Kang Suwito yang setia mengajariku berlatih naik sepeda. Kenangan pahit takkan pernah terlupakan sewaktu pulang sekolah. Ketika itu persis ditengahtengah jembatan Kali Deres yang saat itu masih darurat. Dari arah berlawanan munculah sebuah Andong yang kudanya lepas kendali lari kencang bak kuda gila. Sang Kusir hanya melongo tak bisa berbuat apa-apa. Secepat kilat aku harus menghindari roda kayu yang siap menggilas badan kecilku. Secepat itulah aku terlempar dan lagi-lagi nyangsang ditiang bambu tepat di tengah jembatan darurat. Tiang bambu kupegangi sangat erat sambil jantung terasa akan jatuh ke sungai. Bila saja aku terpelanting dan jatuh meluncur sampai dasar Kali Deres, pastilah aku tidak bisa menulis kisah ini. Ketika Simbok mengetahui ceritaku, badan kecilku yang masih gemetar dipeluk erat kedua tangan Simbok sambil menangis. Seingatku, sampai aku kelas 6 SR cukup membawa 2-3 buku tulis, untuk Berhitung dan Bahasa Indonesia. Tidak banyak catatan. Pelajaran hanya direkam di dalam memory di dalam otak. Namun Bapak membelikan buku-buku pelajaran seperti Berhitung dan Ilmu Hayat (buku tentang tumbuh-tumbuhan dan buku tentang tubuh Manusia). Ilmu Pengetahuan Umum aku dapatkan dari membaca buku-buku pinjaman dari Jawatan Penerangan. Informasi tentang Luar Negeri aku dapatkan dari meminta kiriman majalah American Miscelany dari USIS Kedutaan Amerika di Jakarta. Sehingga, meski radio saat itu masih langka dan TV belum ada, namun aku sudah dapat membayangkan indahnya Air Terjun Niagara dan hebatnya Grand Canyon. Sungguh sangat meng-obsesi suatu saat nanti aku dapat melihat dengan mata kepala sendiri. Alhambulillah, ternyata Tuhan mengizinkan aku kesana ketika usiaku sudah 50 tahun lebih. Selama di SR aku tidak punya cita-cita yang muluk. Tetapi sempat mengagumi seorang tentara berpangkat Kopral di Bintara Onder Distrik Militer (BODM). Maka lagu Kopral Jono-pun menambah perasaanku kalau tentara berpangkat Kopral itu hebat betul. Ujian Negara kelas 6 SR (kini menjadi: Ujian Nasional) sebagai ujian akhir diadakan di Ibu Kota Kabupaten yaitu di Temanggung. Berkat belajarku dirumah serius, maka semua soal-soal ujian negara (yang hanya tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Berhitung dan Pengetahuan Umum) tanpa kesulitan yang berarti aku selesaikan dengan mudah. Hasilnya, memuaskan, ―Paling apik‖ (paling baik) se-Ngadirejo, Jumo dan Candiroto. Berdasar nilai rata-rataku 8, beberapa guruku menyarankan agar aku meneruskan ke SMP Pendowo Magelang yang sudah terkenal saat itu. Namun, berkat nasihat famili yang tinggalnya di Magelang, mereka sarankan agar masuk SMP Negri yang ada di Temanggung saja, uang sekolahnya lebih murah.
Semasa SMP Tahun 1955, aku resmi menjadi siswa SMP Negri Temanggung, ruang kelas 1 berjumlah 6 dari A s/d F, beralamat di Jalan Tembarak, depan Sekolah Luar Biasa untuk anak tuna netra. Di SMP Negri ini, hanya aku yang berasal dari Ngadierjo. Belakangan setelah di kelas 3 SMP, bertambah lagi 2 anak dari Jumo, putra Pak Seten dan Pak Mantri Kehutanan yang bertugas di Jumo. Bapak dan terutama Simbok, paling mendukung aku meneruskan sekolah. Sedang Nenek, (aku memanggilnya) Mbah Thikil, tidak setuju karena harus berpisah. Oleh karena itu, satu-satunya yang meneteskan air mata disaat aku berangkat meninggalkan desa menuju Temanggung, hanyalah Mbah Thikil. Kelas 1 di SMP, ketika itu pula aku pertama kali pakai sepatu, walau sepatu lungsuran (bekas) pemberian dari Mas Sayono, Lempuyang, Candiroto, tanpa seragam karena memang belum ada. Aku mondok (indekos) di rumah Pak Sudiro (Pakde Diro) di Jampiroso Lor, pinggir Jalan Raya menuju Magelang. Pakde Diro punya putra seusiaku, Mas Tatag Suhardjono (aku memanggilnya mas Jo) yang sekolah di Sekolah Teknik Menengah Temanggung. Selama 3 tahun di SMP, aku lebih banyak bermain dengan Mas Jo. Lebih sering kluyuran malam dan nonton di Bioskop City dari pada belajar. Kalau belajar ya di ruang tamu, ya di dapur, ya di warung sembako Pakde. Nah, ketika aku ingin konsentrasi belajar, aku memilih belajar diatas pohon klengkeng rindang yang tumbuh di halaman rumah. Suatu saat aku diajak bermain ke Pemandian Pikatan. Mas Jo, tidak tahu jika aku belum bisa berenang, akupun sok jago karena merasa sering ciblon (berenang) di kedung Kali Progo dekat desaku. Karena tidak ada ―ban‖ sebagai pelampung, aku berenang berbekal sepotong papan. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku terlepas dari papan pada saat berada di daerah kolam terdalam (berarti sekitar 3 meter dalamnya). Aku tenggelam sampai dasar. Bersyukur, Tuhan masih melindungi. Berbekal ketenangan dan tidak panik, aku hentakkan kaki dari dasar kolam hingga kepalaku muncul di permukaan air dan berhasil menggapai papan kembali, kemudian menepi dan segera minta pulang. Sebulan sekali aku pulang kampung untuk minta uang kost dan kangen-kangenan dengan Nenek, orang tua dan adik-adikku. Kereta api kayu, setia mengantarku pergi-pulang Parakan-Temanggung. Lokomotif hitam segera berjalan perlahan dan seolah olah bersuara khas ...ojo jajan... ojo jajan ... ojo jajan, jes... ejes... ejes tuiiiiiiiiiit... tuiiiiiiiiiiittttttttt hingga stasiun Parakan. Atau naik Bus jurusan MagelangCandiroto, seperti Adam, Damri, Srie dan Yudistiro. Tak lupa ketika aku pulang ke desa, aku selalu membawakan makanan ringan yang empuk-empuk (lunak) untuk nenek Thikil agar tidak bersedih hati. Menginjak kelas 2 SMP aku mulai berani naik sepeda. Datang ke sekolah, bermacam-macam kendaraannya. Salah satu Guruku SMP, memakai sepeda TOP, Raleigh namanya. Pakai
porsneling, bunyinya ceklik, ceklik, ceklik….. Kawan lain bersepeda torpedo dengan setang polos. Kalau ―ngerem‖ cukup menginjak pedal kebelakang. Tetapi ada satu kawanku Sobari namanya, putra Lurah Tegowano, ke sekolah dia naik kuda besar persis seperti Cow Boy dalam film-film. Jarak dari Temanggung sampai kedesaku lewat Parakan kurang lebih 23 Km. Jalannya naik terus. Maka merupakan beban berat jika pulang ke desa bersepeda, karena lebih banyak menuntun sepeda dari pada menaikinya. Tetapi akan berubah sangat menyenangkan disaat aku kembali ke Temanggung, jalan halus mulus sepi kendaraan, tanpa tanjakan berarti. Ibarat tinggal ningkring diatas sadel, 1 jam kemudian akan sampai di Temanggung. Kalau hari Minggu tidak pulang, aku, Mas Jo dan kawan-kawanku SMP sering bersepeda keluar kota, ke Nguwet kerumah Sumadi salah satu kawan SMP, Pringsurat dan Bedono (sebelum Kopi Eva yang terkenal itu), bahkan sampai ke Borobudur. Pelajaran yang tidak kuminati Bahasa Inggris dan Aljabar, tetapi entah apa sebabnya aku naik ke kelas 2 Bagian B (Bagian Ilmu Pasti). Seluruh kegiatan belajar selama SMP, aku ikuti tanpa beban, tanpa pengarahan, tanpa keharusan ―ini‖ dan ―itu‖ dari orang tua dan tanpa les (belajar tambahan). Semua berlalu hingga aku lulus ujian akhir. Belakangan kusadari, bila sekolah asal jalan, asal lewat, asal lulus begitu saja, akibatnya hasil akhir tidak memuaskan. Nasi telah menjadi bubur, aku terlambat menyesali. Nilai rata-rata-ku 6,3, bahkan mata pelajaran Aljabar yang aku benci nilainya 4. Akhirnya, meski kusesali setengah mati nilai tak akan berubah, dan aku tidak dapat masuk ke SMA B, yang konon akan memudahkan jalur masuk ke Perguruan Tinggi, ke ITB Bandung. Penyesalan panjang tidak akan berarti, semenjak itu aku sadar dan berjanji dalam diri sendiri: ―Aku akan serius dan benar-benar belajar jika bisa masuk SMA nanti‖. Bapak tak pernah mengarahkan agar aku sekolah tinggi-tinggi, tak pernah marah jika tidak belajar, tak pernah repot-repot mengambil rapor maupun menghadiri undangan berbagai pertemuan POM-G segala, melainkan hanya memberi tanda atau awer-awer: Jika sekolahku berhenti di SR akan diwarisi sawah, lembu dan kerbau masing-masing sepasang. Jika sekolahku sampai SMP, maka hanya diwarisi sawah dan kerbau sepasang. Jika sekolahku sampai SMA, hanya diwarisi sawah saja. Dan bila sekolahku sampai di atas SMA, semua disuruh usaha sendiri. Beruntung aku, karena justru dengan awer-awer sangat sederhana itulah, akhirnya aku sadar untuk ikut membantu orang tua menyekolahkan adik-adikku.
Ijazah SMP dengan Nilai yang aku sesali Untuk menghilangkan rasa kecewa, aku ikut kawan-kawan mendaki Gunung Sumbing, tanpa bekal yang seharusnya, hanya bermodalkan nekat. Berangkat pagi, sampai di desa teratas sudah sore, lalu kami menginap semalam dan esok harinya perjalanan dilanjutkan. Karena sampai dipuncak sore hari, pandangan mata sudah terbatas, akhirnya kami tersesat hingga mentok di tebing batu sangat terjal. Persediaan air segera habis, kami memasak air untuk minum dengan mengambil dari parit yang ada dan kebetulan airnya jernih. Akan tetapi, beberapa jam kemudian kami mulai kentut-kentut. Baunya wuhhh….. bau belerang sangat menyengat. Setelah berhasil menaklukkan Gunung Sumbing tanpa persiapan yang benar, semenjak itulah tekadku berubah total dan sadar. Tugas apapun jika dikerjakan asal-asalan, asal jadi, asal jalan, pastilah hasilnya tidak sempurna. Untungnya aku masih diijinkan hidup dan dapat kembali sampai di rumah. Tugas, kewajiban dan keinginan apapun, harus dikerjakan, dikejar sekuat tenaga agar tuntas (lengkap), tatag (konsisten) dan tutug (selesai) dengan hasil optimal dan tidak menyesal di kemudian hari. Apabila hasilnya belum baik, lakukan dan ulangi dengan cara yang lebih baik dan suasana hati yang tetap senang. Jangan pernah menyerah untuk berusaha, sampai diperoleh suatu hasil yang memuaskan, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.
Semasa SMA Karena Nilai Ijazah SMP-ku jelek bahkan ada nilai 4 untuk Aljabar, mengakibatkan aku sulit masuk SMA B (Paspal). Di Semarang aku punya famili, karenanya aku disuruh sekolah di Semarang saja. SMA mana yang akan dituju aku belum tahu. Sesampainya di Semarang barulah disarankan mendaftar di SMA C Masehi I. Sebuah SMA Swasta di Jl. Dr Cipto di depan RS Panti Wiloso, sebelah Pasar Dargo. Konon sekolah terbaik No 2 setelah SMA Loyola. Dirumah famili aku merasa kurang bebas untuk belajar, lalu aku putuskan indekos sendiri bersama-sama kawan SMA-ku, maka berpindahlah kami dari kampung Batik ke Bugangan kemudian ke Redjosari dan terakhir ke Rejomulyo. Hidup didalam rumah kost ternyata lebih susah. Makan dijatah, tidur se-kamar berdua tanpa kelambu, padahal nyamuk Semarang terkenal sangar dan ganas, obat nyamukpun tak mempan. Akhirnya aku justru tidur berkerudung sarung ¡!!. Pernah Bapak datang ke Semarang melihat kondisi tempat kost-ku, setelah melihat makanan jatahku, di malam harinya, setelah belajar, Bapak mengajakku makan singkong goreng dan
minum teh manis di Warteg (Warung Tegal) dekat rumah kost. Bapak tampak iba dan sedih melihat keprihatinanku. Teman sekolahku campuran seperti ketika di SMP. Di SMA ini banyak Guru Tionghoa-nya seperti pak Oei dan Pak Ho Swan Po yang masih aku ingat. Kepala sekolah saat itu Pak Poerbo Soewondo yang berbadan tinggi, besar, angker, berwibawa, dan jarang senyum. Sebulan sekali aku pulang ke Barang Wetan, Desaku, naik Bus ke Magelang dulu, baru kemudian pindah ke jurusan Candiroto, turun di Ngadirejo. Selama di SMA aku benar-benar menekuni pelajaran, jarang menonton, tak pernah kluyuran malam dan tidak mengenal apa yang namanya pacaran. Kegiatan ekstra yang aku ikuti adalah latihan baris berbaris, bela diri dan latihan dasar militer yang diadakan oleh Kodim Semarang di dalam wadah Corps Pelajar Pertahanan Nasional (CPPN). Belakangan aku merasa bahwa kegiatan ini sangat membantu kelanjutan sekolahku selepas SMA. Bagai Pucuk dicita ulam tiba, ketika aku sudah duduk di Kelas III SMA, sesaat sebelum ujian akhir, datanglah pengumuman bahwa pada tahun itu, 1961, Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang membuka kesempatan bagi Lulusan dari SMA C. Tak buang kesempatan, aku dan Winarso kawan akrabku turut mendaftar. Setelah tes saringan tingkat Propinsi lolos, seterusnya Psichotest di Bandung dengan semua biaya ditanggung Negara. Ujian akhir SMA-pun akhirnya tiba. Aku persiapkan dengan maksimal. Banyak belajar dan berlatih mengerjakan soal-soal ujian tahun sebelumnya. Hasil ujian segera keluar, upayaku berhasil mencapai hasil yang lebih baik dibanding ketika SMP. Rata-rata nilainya meningkat, bahkan Pengetahuan Umum dan Hitung dagang mendapat nilai 10, nilai tertinggi dalam sejarah SMA C Masehi I.
Ijazah dan Nilaiku SMA Karena belum ada kepastian diterima atau tidaknya di AMN, aku memutuskan mendaftar di UGM Yogyakarta dan Undip Semarang. Ternyata, di UGM aku tidak diterima, tetapi di Undip diterima di Fakultas Ekonomi. Orang tuaku terutama Simbok mendorong dan sangat merestui, sebab beliau lebih suka aku jadi Sarjana Ekonomi kelak. Daripada masuk sekolah tentara, toh nantinya bakal jadi Kopral seperti di BODM Jumo. Uang kuliah sudah dibayar setahun penuh, perpeloncoan sudah dilaksanakan seminggu dan akhirnya selesai sampai di acara inagurasi. Kuliah sudah berjalan beberapa hari. Tiba-tiba Bapak dari Ngadirjo datang ke Semarang memberikan sepucuk surat. Ternyata surat pemberitahuan sekaligus panggilan diterima di AMN Magelang.
Saat itu aku bimbang, meneruskan ke Undip sesuai keinginan Simbok atau masuk AMN yang aku inginkan ???. Akhirnya, aku minta persetujuan Bapak. Dan Bapak mengizinkan, setelah mendengar beberapa alasanku: -
Sekolah di AMN tidak perlu mengeluarkan biaya
-
Setelah 3 tahun, akan berpangkat Letnan dan sudah jauh lebih tinggi dari Kopral.
-
Dapat meringankan beban orang tua, demi membiayai sekolah adik adikku selanjutnya.
Bapak dan aku sepakat tidak akan memberitahukan kepada Simbok. Bapakpun, langsung pulang, dan esok harinya aku berangkat menuju Magelang memulai babak baru.
Semasa di Akademi Di AMN, empat bulan pertama aku digembleng sebagai Calon Prajurit Taruna (Capratar). Diplonco lebih keras dan lebih berat dari pada perpeloncoan di Undip. Selama itu aku tidak boleh Izin Bermalam (IB), tidak boleh menerima tamu, bahkan surat-menyurat-pun akan ditahan oleh Akademi. Pelajaran baris berbaris, senam militer pakai balok kayu dan senjata, latihan phisik siang malam. Pendidikan masih di lapangan dan jarang diadakan dikelas, latihan renang, latihan loncat dari truck sedang berjalan, latihan halang rintang dan cross country merupakan acara rutin selama itu. Selama perpeloncoan aku harus mengumpulkan tanda tangan senior sebanyak mungkin, padahal untuk mendapatkan satu tanda tangan saja susahnya bukan main. Suatu malam, mata kami ditutup lalu dibawa keluar Komplek. Rupanya ke Makam Giri Loyo depan AMN. Kemudian disuruh jongkok memegang nisan yang ada. Aku sih biasa-biasa saja tanpa ada rasa takut sedikitpun karena di desa sudah biasa malam hari ke kuburan. Tetapi teman-temanku dari kota besar seperti Jakarta, Medan dan Surabaya banyak yang terkencing kencing saking takutnya memegangi nisan kuburan, sementara bau harum bunga dan kemenyan sengaja terus dibakar disana sini. Tidak jarang, untuk satu tanda tangan senior, kami dipukuli ditendang diinjak sampai batas kesombongan dan keangkuhan kami lebur menjadi senasib seperjuangan, menebalkan jiwa karsa dan rasa, setia kawan sesama teman. Penggemblengan Capratar diakhiri dengan Latihan Prajurit Tangkas, disamping latihan serangan dan pertahanan di dalam hutan. Malam hari yang gelap gulita kami dilatih menjadi kurir, mengirim pesan lisan ke Komandan melalui route yang ditentukan, dimana sepanjang route diganggu dan di takut-takuti. Pengalamanku di CPPN Semarang membuatku lebih tenang melewati latihan berat tersebut. Setelah selesai latihan selama empat bulan termasuk Perpeloncoan, kami dilantik menjadi Prajurit Taruna dengan pangkat Pratar.
Selama empat bulan itu berat badanku turun sampai 5 Kg, dan menjadi kurus dengan kulit hitam terbakar matahari. Selama itu pula Simbok hanya tahu bila aku sudah kuliah di Semarang. Uang kost bulanan, Bapak selalu pura pura mengirim lewat Pos Wesel (padahal tidak pernah dikirim !!??). Bapak mengatakan kalau kuliah itu, tidak bisa pulang setiap bulan, Simbok-pun percaya begitu saja. Seiring berjalannya pendidikan, kepada taruna mulai boleh menerima tamu, maka aku mengundang kedua orang tuaku datang ke Magelang. Mulailah Simbok terheran-heran, masak kuliah di Undip Semarang kok diundangnya ke Magelang. Simbokpun mulai curiga kepada Bapak, karena Bapak tampak tenang-tenang saja, padahal seharusnya ikut heran !!!???. Di sebuah kantin yang cukup moderen, tak terhindar lagi, Simbok akan bertemu dengan anaknya yang sekolah prajurit dan bukan kuliah di Undip. Setelah yakin Simbok menemukan anaknya yang kurus dan hitam, tak terbendung lagi, air mata seorang Ibu jatuh terurai menguntai deras bagai bunga surga penuh kasih akung tak berbatas… mengalir membasahi wajahnya … Aku dan Bapak, hanya diam terpaku menyaksikan Simbok mengharu-biru…. Sesaat setelah emosi seorang Ibu mulai reda, Simbok mulai mengamati keadaan sekeliling, suasana Akademi tampak serba mewah dan teratur rapih, sementara beberapa senior berjalan lalu lalang dengan sikap badan tegak dan gagah. Tetapi Simbok masih terus melihat-lihat sekeliling. Aku mendekat, lalu aku bisikkan kepadanya, ―Apabila aku lulus nanti, maka akupun akan menjadi seorang perwira berpangkat Letnan, jauh lebih tinggi dari Kopral…‖, Simbokpun pelan-pelan mulai memahami. Walau kelopak matanya masih basah, akhirnya Simbok merestui. Selanjutnya, hampir setiap Sabtu aku pulang ke Desa Barang Wetan, Ngadirjo, dengan Pakaian Pesiar siang, Baju berwarna coklat muda, Celana coklat tua, Epolet di lidah bahu dan Monogram melati di krag baju. Tak lupa, Topi pet warna hitam telah lengkap menutup rambut kepala Soegini, putra pasangan Yasmorejo dan Monah. Rasa bangga berbalut senang menebar di Desa Barang Wetan. Ngadirjo … Itulah sekilas, kenangan indah masa sekolahku. Suatu keyakinanku dalam hidup ini adalah: Disamping berdo‘a, kita harus berusaha, setiap kemauan pasti akan ada jalan. Disaat seseorang menemui persimpangan jalan dan salah mengambil arah jalan dan seakan mendapati jalan itu buntu. Maka, janganlah berhenti dengan menyesali diri sendiri. Dia harus berani berbalik atau belok untuk mencari jalan arah lain yang lebih baik. Jika didepanmu engkau temui jurang melintang sejauh 50 meter, padahal lebar jembatan gantungnya hanya 1 meter, sedang dibawahnya banyak sekali buaya, tak usah gusar dan panik, hentikan takutmu !, dan lewati saja, engkau pasti bisa.
Sekarang umurku 68 tahun, Pensiun resmi dari 2 (dua) institusi yaitu: TNI dan Perusahaan Swasta PT Astra International. Karena sudah punya cicit, di Forum Kadang Temanggungan aku lebih sering dipanggil Yang Yut.
Soegini. Kol. CPM (Purn)
Djumali Mangunwidjaja SR N Ngadirjo, Temanggung (lulus th. 1962) SMP N 1, Temanggung (lulus th. 1965) STM N Pertanian Maron, Temanggung (lulus th. 1968) ― …………agar supaya dapat memberikan ilmu kepada banyak pihak yang memerlukan ……, kamu sendiri harus berilmu . ― Jangan segan segan mencari ilmu, dimanapun ilmu itu berada ‖ (mbah Dju, almarhumah)
Ketika Asa Berpeluh Prolog Sore itu – paruh tahun 1962 - kami mempunyai tamu istimewa, ibu Suryati, guru klas 6 SR (sekarang SD) Negeri I Ngadirejo. Apakah ada kaitannya dengan nasib sekolahku ? Dua minggu yl hasil ujian baru saja diumumkan. Dari siswa, sebanyak 25 siswa di nyatakan lulus. Atau jangan jangan tentang kenakalanku ? Tak terbilang berapakali sudah aku dan kawan kawan yang oleh bu Sur disebut Jagoan, membuat bu guru itu menangis. Kami bersepuluh suka bikin onar, rame, suka mengganggu siswa putri. Namun demikian kami bukan siswa kacangan alias bodoh. Rata-rata prestasi sekolah kami adalah baik dan tim inti olaharaga kasti dan kesenian sekolah. Ada Maksum, meski badannya paling kecil, otaknya paling encer dan pandai menggambar. Supono, Supardi, Risantoro tiga serangkai ahli berhitung, sedangkan jagoan lapangan kasti kami punya kuartet Mismi, Solihin , Tri Susilo dan Norman, yang larinya bak kijang dan lemparan bola kasti ke lawan jarang meleset. Sering aku dan kawan kawan berpandangan, bahwa kenakalan kami adalah sebagai bentuk protes dari sikap bu Sur yang kami anggap sebagai guru sangat disiplin, keras, tak segan bahkan untuk menjewer dan men-setrap (memberi hukuman) kepada para siswa. Aku mengintip dari dapur lewat sela pintu, percakapan bu Sur dengan bapak dan emak. ― Bapak dan bu Amat, Djumali memang nakal disekolah, seperti halnya beberapa teman teman yang lain. Namun akung seandainya dia tidak boleh melanjutkan sekolah. Otaknya lumayan encer bu ―
― Bu Sur, Djumali adalah anak kami satu satunya, yang kami pupu – ambil sebagai anak – ketika kedua orang tuanya meninggal dunia ketika masih kecil. Kami sudah menganggap sebagai anak sendiri, dan kami harapkan yang akan meneruskan usaha kami‖, Emak memberi penjelasan, sementara ayah banyak diam. Ayah memang pendiam. ― Bukankah dengan melanjutkan sekolah itu, nanti harapan Bapak dan ibu akan terkabul. Anak bapak dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi entah SMP atau dan selanjutnya SMA pasti akan dapat melakukannya. Beberapa hari yang lalu, sesungguhnya Bapak Ismail tetangga kami yang merupakah tokoh kampong dan juga sebagai guru SD datang kerumah, dan membujuk Bapak agar mengijinkan aku untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Namun bapak dan emak tetap kokoh pendidiriannya, bahwa setelah tamat SD ini aku akan diminta belajar berusaha atau dagang, apakah di warung Emak yang menjual panganan kering, atau usaha Bapak berjualan pakaian di pasar Wage. Aku dengan halus menolak kedua keinginan orangtuaku. Kukakatakan pada beliau bahwa aku masih terlalu kecil dan belum siap terjun menjadi ‗pedagang‘. Aku berjanji nanti setalah cukup umur, harapan bapak dan emak pasti akan kulaksanakan. Sore itu, kedatangan bu Suryati sungguh sangat berarti. Kedua orang tuaku luluh mendengar cerita bu Sur, dan menjadi hari yang paling bahagia bagiku. Bu Sur, yang selama ini kami benci, sore itu bak malaikat turun kebumi menyiram air surgawi kepada orang tuaku. Aku meminta maaf sembari tak kuasa menahan airmata, mencium tangan bu Suryati ― Matur nuwun bu, dan mohon kenakalan kami. ―
maaf ananda yang selama ini membuat lelah ibu dengan
― Kamu sesungguhnya pintar Djum, bahkan sangat pintar. Manfaatkan anugrah itu sebaikbaiknya. Kenakalanmu kamu kurangi, apalagi nanti di Temanggung, jauh dengan orang tua…..‖ Bu Sur menyalamiku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memenuhi harapan bu Sur itu. Dan ketika bapak mengajak sore itu bersembahyang Maghrib di langgar, aku berdoa semoga janjiku tadi dan jalan yang telah terbentang didepan dapat kulalui dengan baik. Amien ya rabbal alamin …
Arc de Triomphe, Paris – musim semi, maret 1983 Gedung gedung itu bangunannya sangat antic dan rapi, bertingkat tiga sampai lima, dengan ketinggian tak lebih dari 100 meteran, tersusun atas bahan bebatuan dengan penampakan alami, kusam. Tanpa seolespun cat. Guratan aus batu dapat diamati dengan mata telanjang. Berdiri kokoh dan berderet rapi dikanan kiri trotoir dari bentangan jalan tidak kurang memanjang empat . kilometer. Sementara ditepian jalan pepohonan maple atau sejenisnya tumbuh rapi ibarat pagar jalan , yang saat itu sudah masih meranggas dedaunannya. Landscape jalan dengan tata bangunan itu mengingatkan pada gambaran pada film-film kolosal Romawi, yang aku
tonton di bioskop di kota kecil Ngadirejo tahun 1960-an ….. Lantas dating beriringan sang pahlawan perang mengendarai kereta berkuda, diiringi perajurit lengkap dengan genderang music kemenangan. Itu salah satu episode film Julius Caesar atau Ben Hur. Sebagai kota pendidikan, nama Sorbonne menjadi incaran ribuan atau jutaan mahasiswa dari seantero dunia – sejak abad ke 13 sampai sekarang – untuk menimba ilmu yang tak pernah kering, terutama dari disiplin ekonomi, social-humaniora dan insinyur. Kita yang pernah belajar Kimia, Biologi atau Matematika di SMA pasti pernah membaca dan menggunakan rumus rumus keseimbangan sebelum dan setelah reaksi kimia dari Lavoisier dan Dalton, kaedah Poincare atau penemuan makhluk hidup renik oleh Louis Pasteur, dan atom yang bermuatan radiokatif, Radium oleh Madame Curie. Perasaanku (yang masih terbawa oleh suasana tropika) mengatakan bahwa hari masih sore, arloji menunjuk pukul 16.00, namun keadaan sekeliling memperalihatkan tanda malam. Beragam lampu jalan dan etalase toko telah menyala dengan terang. Julukan Paris sebagai kota cahaya (ville de la lumiere) termanifestasikan di sini. Monumen dan bangunan penting tersorot dengan cahaya emas kemilau. Selain itu tentu saja, jemari tangan ku sudah mulai kaku membeku, padahal suhu hanya 10 derajad Celcius. Kami berlima sore itu menyusuri jalan sangat terkenal dan teramai di pusat Paris itu dan diujung kami akan menyeberang untuk sampai di bangunan gapura besar , monument terkenal : Arc de Triomphe. ― Voila, madames messieurs votre programme a Paris. Nous vous souhaitons bienvenue en Ftance……….‖ (Demikianlah program ibu dan bapak di Paris. Kami ucapkan selamat dating di Prancis ) nona Catherine mengakhiri penjelasan serasa mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Kami adalah rombongan penerima beasiswa dari Pemerintah Perancis,angkatan keenam (tahun 1983) untuk studi lanjutan yang dirancang untuk sampai ke program S3 (doctor). Selama program bahasa tersebut dan nanti setelah masuk ke perguruan tinggi, urusan administrasi, logistic dan keuangan kami ditangani oleh CNOUS daerah, yaitu CROUS. Sembari mata menatap ke Arc yang sesuai namanya berbentuk melengkung dan didirikan untuk mengenang kebesaran dan perjalanan sebuah bangsa yang besar, bibirku gemetar berucap : ―Subhanallah …Allah Akbar… Mahabesar Allah dengan segala rencana dan suratanMu …‖ Tak terbayangkan sore itu aku berdiri diatas bumi Paris, beribu kilometer jauhnya dari kampong halaman di desa pegunungan di Jawa Tengah, menatap salah satu monument kebesaran Prancis. Bukan untuk berwisata, namun untuk belajar, menimba ilmu sampai ke jenjang paling tinggi. Ibarat musafir dipadang luas, kini terhampar didepannya oase untuk direguk sebagai pelepas dahaga ……― Subhanallah ,,,,,,,,,
Betapa tidak bersyukur ? Boro boro sampai menyebrang lautan, dan melintas benua untuk belajar, selagi mau melanjutkan sekolah dari SD ke SMP pun, terasa mustahil. Lantas setelah jenjang SMP terlampaui dan dengan melalui jalan berliku aku terdampar di STM Pertanian, dengan mengenggam sebuah ijasah, aku malah bergelut dengan lumpur dan air. Menjajakan jasa untuk menggarap lahan untuk persiapan tanam, dari desa ke desa dari sawah satu ke sawah lain……… menyebutkan kami ibaratnya Menjelajah desa menghitung padi, karena upah kami ditentukan dari porsi panenan. Kalau menghasilkan panenan lebih banyak berarti bonus tambahan upah juga lumayan. Ah tiba tiba perasaan melankolis menyusup dihati sekaligus rindu pada sobat Sudin, Legowo, Sugeng dan Teguh. Kami berlima bersama dalam suka dan duka mengisi lembaran hidup sebagai penggarap lahan itu. Dimanakah gerangan Sugeng dan Sudin berkiprah setelah selesai job penggarap sawah ? Sampai tiga tahun lalu aku masih hilir mudik mengarungi jalan nasib antara Yogya dan Temanggung. Di Yogya aku harus rmenguras otak dan menguat kan semangat untuk menempuh ujian akhir di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM yang selama dua tahun berturut turut mental terus alias tidak lulus. Di Temanggung, aku dengan penuh g airah berbagi ilmu dengan para remaja belia di depan klas maupun makmal laboratorium– kerennya sebagai guru – di STM Pembangunan jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Maron. Aktivitas bolak balik ini, hari ini di kampus Bulaksumur, besuk di kampus Maron atau sebaliknya bukan hanya kegiatan sebulan dua bulan, namun telah kujalani selama hampir enam tahun sejak awal tahun 1974. Di Maron, sebuah desa kecil di sebelah utara Temanggung ini bahkan lebih jauh lagi rentang waktunya aku telah menghabiskan hari hari untuk mengais rejeki, menabur mimpi. Separo dari umurku kuhabiskan di bumi Maron ini. Kuliah di perguruan tinggi pun hampir tak pernah singgah dalam mimpiku. Apalagi belajar di luar negeri untuk mengambil program Doktor, gelar akademik tertinggi……… Sesungguhnya, Mimpi dan cita-citaku sangat sederhana. Ketika pada akhirnya orangtuaku menyetujui belajar ke SMP atas desakan dari bu guru, aku lantas membentang cita-cita. Setelah lulus SMP melanjutkan pendidikan yang setelah lulus cepat mendapat pekerjaan. Artinya masuk ke sekolah kejuruan (SK). SK tingkat lanjutan atas waktu itu adalah STM (Sekolah Teknik Menengah), SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas), Di kota besar seperti Yogyakarta, Semarang, atau kota lain juga ada SK yang diselenggarakan oleh Departemen Teknis, seperti SAA (Sekolah Asisten Apoteker), STMA (Sekolah Teknologi Menengah Atas), SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas),SPbMA (Sekolah Perkebunan Atas). Dan setelah bekerja, dapat gaji atau upah, kemudian berumah tangga, untuk membalas budi orang tua. Walaupun aku sadar, balas budi sebesar gunung pun tak kan mampu melunasi limpahan kasih, cinta, dan akung seorang Ibu pada anaknya. Itulah cita-citaku. Tiba-tiba, dalam keremangan nyala sorot cahaya lampu ke dinding Arc de Triomphe, dalam himpitan udara malam yang semakin menggigit tulang, muncul berurutan sederetan wajah wajah
orang yang telah banyak berjasa dan membentukku dari orok yang papa sampai remaja yang hampir patah semangat, dan berlanjut ke masa kini yang akan meneguk ilmu dari sumber nya. Deretan wajah itu panjang sekali, namun pada ujung berturut turut muncul wanita muda belia, walau kusut baju yang dipakai, tetapi tetap sumringah, kemudian seorang nenek bungkuk, namun tajam pancaran matanya tanda kedalaman ilmu, serta perempuan tengah umur yang tegar menatap kedepan. Perempuan perempuan itu adalah Simbok Pardiyah (almarhumah), mbah Dju (almarhumah) dan Emak Tu yang masih sehat di tanah air, Selain itu ada Emak Tua Sri -almarhumaurh yang dipanggil Allah swt tepat ketika aku pamitan mau berangkat ke Prancis, belum sebulan yang lalu. Adakah malam ini merupakan kulminasi dari panggilan atau tepatnya daya bius doa dan harapan Simbok Pardiyah, Kasih Emak Tukirah dan Emak tua Sri, serta tantangan dari simbah Dju ? Simbok telah memberikan sebuah ‗mind-set‘ bekal hidup meski hanya dalam bentuk doa dan harapan lewat senandung lagu. Sebuah kudangan untuk si orok agar kelak menjadi Priyagung, manusia berguna..
― Tak lelo lelo lelo ledhung ….― tak pujo pujo …………..yen gedhe dadio priyagung ― ― .tak lelo lelo lelo ledhung …… tak pujo pujo… yen gedhe dadio priyagung ……….‖ Priyagung yang bagaimana mungkin sudah aku temukan maknanya, atau sebaliknya masih harus aku cari entah sampai kapan. Meski demikian, satu yang aku yakini bahwa aku sungguh sangat beruntung didalam perjalanan hidup yang meski tidak liner, dipertemukan dan dididik dengan dan oleh para Pribadi pribadi Agung. Bapak , Emak dan simbah Dju dan para sanak saudaranya dilingkungan terdekat, serta para Guru di sekolah sejak SR, SMP, STMP bahkan pada tingkat lebih tinggi. Dalam berbagai cara dan bentuk – yang bahkan tidak diberi embel embel formal atau dikemas sebagai matapelajaran – mereka para Guru telah menanamkan makna makna hidup, seperti kejujuran, kerja keras, semangat tak kenal surut, kesetiakawanan, Mereka juga mempunyai kesamaan dalam mengajar: mampu membukakan cakrawala dan horizon pada ‗murid‘nya yang muda belia , bahkan untuk menebar mimpi-mimpi sampai jauh tinggi di bentang lazuardi. Kesadaran ini mungkin baru belakangan aku tangkap atas sebuah lajur kehidupan seseorang. Dan Itu adalah benang merah nasehat atau budipekerti yang diajarkan oleh guruku , di STM Pertanian Maron (1965-1968). Beliau adalah almarhum Bapak R. Soenarto yang juga kepala sekolah itu. Kami tak akan pernah melupakannya, bahkan menghayaati dan mengamalkannya, Intinya sezarah apapun amalan kita, Allah tak akan menyia-nyiakan. Dan Tuhan tidak akan memberikan tanggung jawab kecuali pada hambaNya yang telah disiapkan. Apa yang kita punyai hari ini, sesungguhnya adalah akumulasi dari berjuta zarah amalan kita, bahkan selagi kita masih belia. Ibarat nya ketika asa mulai berpeluh, tersurat juga kemana cita kan berlabuh ……… Zarah zarah itulah yang aku terima ketika belajar di SRN 1 (sekarang SD) Ngadirejo dari Bapak Soekarman, Ibu Soeminah, Ibu Sri, ibu Jariyah, bapak Saasale,sampai ibu Suryati.
Menginjak di pendidikan lanjutan pertama, aku merasakannya di SMPN 1 Temanggung antara lain dari ibu Soetirah, ibu Is, ibu Wahyu, bapak Soedardjo, bapak Gatot, bapak Subari. Tentu saja sederet teman sobat, dengan ragam watak dan sifat masing masing memberi warna dan rona, bahkan memperkaya pribadiku. Di luar sekolah, aku mungkin aku melupakan dan berutang budi pada mbak Sul – petugas perpustakaan Kantor Penerangan Masyarakat di Ngadirejo yang menjadi sobat karib kami ketika berbincang mengenai bacaan, mas Jono - pelukis yang tak segan membagi ilmunya kepada bocah bocah nakal tetangga dan juga pak Su – petugas kantor pos Ngadirejo yang selalu rajin mengantar kiriman majalah luar negeri gratis . Ketekunan dan keaktifan pak Su memacuku menyenangi dunia surat menyurat pada usia dini, tentu saja sekaligus membuka kesukaan baru untuk meminta dan langganan gratis majalah majalah dan bacaan dari berbagai Kedutaan Besar. Di Paris sore hari di awal musim semi 1983 kesadaran dan keyakinan itu semakin membucah dalam sanubari . Ketika asa berpeluh, kemana cita kan berlabuh………. Dan anak gunung ini akan terus melangkah mencari Priyagung…………. Meskipun badan lelah, mataku belum juga mau kupincingkan. Malahan gambaran teman temanku khususnya selama di Maron, satu persatu muncul bahkan pada putaran waktu lebih panjang.
Dari the Green Gold sampai the Srinthil mystery Maron, Oktober 1967 . Meskipun matahari tepat diatas kepala, siang itu – seperti hari hari lain hawa didesa Maron tidak terlalu panas. Hamparan tanah penuh dengan guludan-guludan untuk siap ditanami masih menyisakan debu bertebaran diatasnya, menandakan lahan itu habis dikerjakan. Angin tenggara yang lembab bertiup sepoi memberikan kesan sejuk di ladang itu. Setahun yang lalu, padang seluas kurang lebih 5 ha di desa ini masih berupa hamparan rumput, paling paling dimanfatkan sebagai padang penggembalaan ternak penduduk setempat di sore hari. Kini mulai berubah wajah, secara pelahan. Sepekan dua kali paling tidak sekitar 10 – 15 orang secara bergantian, melakukan aktivitas teratur : dari mencakul, menyiang rumput, membuat guludan. Dan apabila saatnya tiba menanam benih. Remaja dan juga orang tua itu adalah siswa-siswa STM Negeri Pertanian , sekolah kejuruan yang setahun lalu baru beroperasi di Temanggung. Kami adalah siswa angkatan pertama, yang siang itu sedang istirahat seusai mengerjakan tugas membuat guludan untuk persiapan menanam tanaman pokok , kemlamdingan - yang nantinya menjadi tanaman pelindung dan perambat tanaman vanili (Vanilia planipolia ).
Vanili atau panili adalah tanaman kelompok anggrek-anggrekan (Orchideae) yang menghasilkan buah. Buah panili yang telah matang dipetik dan dijadikan bahan dasar menjadi buah panili olahan, yang mempunyai aroma khas. Panili merupakan tanaman perkebunan yang menjadi salah satu andalan daerah Temanggung dan terkenal di sa-antero Indonesia. Panili olahan ini, dikemudian hari akan kami ketahui sebagai vanili fermentasi menjadi komoditas perdagangan dunia yang nilai jualnya lumayan tinggi. Oleh karena harga satu kg buah yang masih hijau melebihi harga 1 g emas, maka panili dijuluki si emas hijau (the green gold). Di daerah Temanggung jumlah tanaman panili yang ditanam oleh petani, dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kekayaan petani tersebut. Lucu juga kalau dipikir-pikir. Betapa tidak ? Resminya jurusan yang dibuka di sekolah kami adalah Processing atau pengolahan hasil, namun kerja praktek yang kami lakukan selama hampir dua tahun ini adalah teknik budidaya pertanian. Oleh karena fasilitas lahan yang ada adalah tanah kering, maka aktivitas pun oleh guru kami – pak Sri Hartono, yang dipinjam dari Dinas Pertanian setempat diarahkan pada budidaya pertanian semusim dan/atau perkebunan. Kami tidak protes, karena menyadari fasilitas itu yang dimiliki sekolah. Untuk praktek teknologi pengolahan memerlukan laboratorium dan peralatan yang lebih kompleks, dan belum disediakan oleh Pemerintah. Gedung pun kami pinjam koq ! Sudaimah, yang kami panggil mbak Nok (Daimah) paling tua diantara enam srikandi STMP selalu bawel dan berani protes kepada pak Kasturi atau pak Mastur, dua guru inti sekolah . ‖ Kalau hanya cangkul mencangkul, tak perlu sekolah disini pak . Di rumah aku sudah wareg (kenyang) dengan belepotan tanah dan lumpur ‖. Apa yang dikatakan oleh mbak Nok tidak mengada-ada. Di desa Lungge, Tembarak , neneknya – dimana dia ikut tinggal – mempunyai sawah dan kebun walau tidak terlalu luas. Dia memang biasa ikut membantu kegiatan pertanian keluarga neneknya. Tidak hanya menyiapkan lahan atau menanam padi yang dia lakukan, memetik buah kelapa dengan memanjat pohon setinggi 20 m pun dia jalani dengan tenang. Ada jiwa keberanian yang tertanam dalam jiwa rekan kami ini. Hampir sekelas kami respek kepadanya, dan kepundak mbak Nok jabatan ketua klas kami percayakan - saat klas 1 dan 2. Pilihan kami tak salah, dia adalah aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia), Temanggung. Seperti hari-hari kemarin, pak Kas atau pak Mastur dengan tenang dan santun menjawab : ‖ ...sabar, kita kan sekolah baru, pelan-pelan.... ada saatnya Insya Allah, nanti harapan ananda dapat direalisasi ....‖ Dan, seperti biasanya, kami pun tidak menuntut lebih jauh, kami kembali lebih asyik dengan obrolan dan canda ria lain. ‖ ..apa ya yang kita terima di sekolah ini ?‖ mbak Pur tanya dengan ketus. ‖ ...kebebasan dan kekeluargan, serta tanggung jawab ....‖ Sito, yang kami juluki borjuis, menimpali dengan tegas. Sito – lengkapnya Marsito Lasono kami sebut demikian karena ayahnya kayaraya, mempunyai dua hektar kebun panili didesanya, Kertosari, Jumo. Kalau ke sekolah, sangat perlente bak mau ke pesta. Meskipun demikian, pribadinya baik, lumer dengan suasana kelas kami sehingga tidak sombong. Sito sangat cerdas, bahasa Inggris nya bagus,
hobi menyanyi, dan kalau menjelaskan sesuatu selalu berbau ‘filosofis‘ (aku menduga itu semua pasti hasil pengalaman sekolah di Yogya) aku sungguh tidak paham kenapa sekolah SMEA di Yogya dia tinggalkan, dan memilih sekolah pertanian baru ini. Ya, kebebasan, kekeluargaan, dan tanggungjawab ..............Pendidikan moral pertama kami terima dan rasakan di sekolah ini. Bukan lewat indoktrinasi, pelajaran formal ataupun ceramah, namun tercipta melalui lingkungan dan suasana harmonis hubungan guru dan murid. Masyarakat luar sering keliru kalau melihat kami bersama-sama. Mana yang murid, mana yang guru. Karena dari umur, bapak dan ibu guru tidak lebih tua dari kami. Bahkan banyak diantara kami, usianya lebih tua dibandingakan guru kami. Beberapa orang siswa pun, dari pengalamannya mungkin lebih kenyang makan garam dibandingkan gurunya. Pak Mastur yang baru bergabung di STM ini pada tahun kedua ini masih bujangan, sedangkan rekan kami : mas Heri, pak Saluki, mas Sukardi sudah berumah tangga dan punya anak. Kejadian lucu beberapa bulan yang lalu masih belum hilang dari ingatan kami. Saat istirahat pukul 15.00 –sekolah kami masuk siang - datang berjalan kaki seorang remaja tidak terlalu tinggi dengan menenteng tas, dan bertanya kepada Musrin rekan kami. ‖ Mas apakah ini sekolah STM Pertanian..., boleh tahu dimana kantornya? sapanya dengan sopan, dan halus menandakan piyantun Yogya. ‖ Betul.... itu sebelah kiri ....‖ Musrin menjawab ‖ mau mendaftar ya ?‖ Teman-teman, terutama siswinya pada bisik–bisik ‖ wah.. bakal tambah teman ‖ Saat lonceng berbunyi tanda masuk kembali, sebelum pelajaran mulai, pak Kasturi masuk bersama mas tadi. ‖Saudara-saudara sekalian, ini kami perkenalkan Bapak Mastur SH guru baru disini‖, Kelas yang semula gaduh, berubah diam seketika. Musrin kelihatan tersipu dengan muka merah padam. Sejenak. ‖ selamat dataaaaaaang seperti koor.
paaaak ......‖ tanpa ada yang mengkomando kami bersama menyahut
‖Mari kenalkan pak‖, ujar mbak Nok tanpa diminta mewakili para siswa. Secara resmi mestinya sekolah ini beroperasi pada bulan Agustus 1965, namun pada kenyataannya baru dilakukan bulan awal tahun 1966. Bisa jadi karena Panitia melakukan persiapan dan konsolidasi, kemungkinan lain sampai hari hari terakhir jumlah calon murid yang mendaftar masih sedikit. Atau sebab lain yang kami tidak tahu. Panitia penerimaan murid untuk sekolah ini ditangani oleh sebuah tim dari Pemerintah Kabupaten Temanggung, dengan menempelkan pengumunan di kantor kecamatan atau kelurahan, serta sekolah menengah pertama. Meskipun waktu pendaftaran sudah terlambat, karena tahun ajaran baru (Agustus) sudah berjalan dan para lulusan SMP sudah pada masuk di SLA, saat hari pertama dimulai, jumlah murid yang masuk dan mendaftar kembali adalah 15 orang. Setiap hari masih ada tambahan satu dua orang, sehingga pada bulan pertama terdaftar 27 orang, sembilan diantaranya adalah perempuan. Selanjutnya tidak bertambah lagi. Lumayan...
Aku mempunyai alasan tersendiri mengapa mendaftar di sekolah baru ini ? Selain daripada menganggur, juga untuk justifikasi pada orang tua terhadap penolakanku atas kehendak beliau. Orang tua (angkat) ku seperti sebagian besar para orang tua di desa aku saat itu masih berpikiran bahwa anak tidak perlu sekolah sampai jenjang yang tinggi. Lulus SR (SD – sekarang ), atau SMP, SMEP, ST cukuplah. Aku berasal dari keluarga bakul atau pedagang kecil. Emak (angkat) berjualan kue basah di kedai kecil, dan bapak (angkat) setiap hari sebagai penjahit pakaian dirumah, dan kalau hari pasaran – Wage, membuka kios pakaian di pasar. Kalau pas hari libur atau Minggu aku ikut membantu ayah di pasar. Sejak aku masih bersekolah di SR, sudah kentara beliau berdua menginginkan agar setelah lulus sekolah SD aku membantu pekerjaan mereka – berjualan. Dan pada saatnya tiba nanti dikemudian hari, harapan beliau, tentu saja aku dapat mandiri. Aku lolos dari paksaan orangtua untuk bekerja, atas jasa guru yang khusus datang kerumah. Bapak Ismail, guru tetangga kami serta bu Suryati, guru klas VI menjelaskan arti penting anak muda untuk dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi. Oleh karena di desa kami, Ngadirejo belum ada SLTP negeri maka oleh sekolah aku dan lima orang siwa lain, Suharto, Risantoro, Muntamah, Ngatinah, Eko Jati didaftarkan di SMP Negeri 1 Temanggung, di kota kabupaten. Tiga tahun di SMP aku jalani dengan lancar. Nah, kejadian tiga tahun lalu bakal menimpaku . Aku harus bekerja, menangani usaha bapak atau warung Emak . Aku belum siap dan masih ingin menambah ilmu. Kompromi antara orang tua denganku, juga lagi lagi dengan bantuan pak Ismail. Kepada kedua orang tua aku katakan: ‖..Insya Allah pak ini sekolahku ini terakhir. Dan agar dalam bekerja dapat baik, aku harus masuk sekolah kejuruan, 3 tahun lamahya.... ‖ Bapak setuju. Paruh tahun 1960-an, dunia elektronika mulai merambah desa. Radio yang saat itu menggunakan blok batere, telah digantikan dengan baterei empat buah. Sistim tabung digantikan oleh transistor. Fenomena ini menggelitikku sejak aku duduk diklas 3 SMP. Bahkan menjadi cita-citaku untuk terjun di bidang teknik listrik. Dua orang obat karibku ikut mamacu untuk merealisasikan cita cita itu. Kami satu klas di klas 3 C. Setiobudi dari Tembarak yang ingin menjadi ahli mesin, serta Rudjito, sawahan Kedu, yang ingin menapakkan karirnya di pelayaran. Bersama dengan sahabat sebangku, kami berdua berangkat dan mendaftar ke STM Jetis Yogya. Setyobudi, sahabat aku diterima di STM N Metalurgi, sedangkan aku di STM N Instruktor Jetis, Yogya – jurusan Listrik. Malu bertanya sesat dijalan. Itulah ternyata yang ku alami. Saat mendaftar dan tes di STM Instruktor aku tidak menanyakan makna arti Instruktor, aku kira tak ada bedanya dengan STM yang lain. Setelah kujalani selama 4 bulan, sampai kuartal pertama, aku baru mengetahui bahwa STM Instruktor ini mendidik calon guru ST (sekolah teknik). Lemaslah badanku, sungguh tak terbayangkan kalau aku harus menjadi guru ...... Aku merasa tidak mempunyai bakat menjadi guru, selain itu juga tidak menyenangi profesi itu.
Pada bulan Desember 1965 mestinya aku harus masuk kembali setelah kuartalan, namun aku putuskan untuk tidak melanjutkan sekolah di STM Instruktor ini. Aku pulang kampung : Ngadirejo. Karena takut dimarahi oleh orang tua, aku minta bantuan, pak Lik yang tinggal di Parakan untuk menjelaskan kepada Bapak. ‖Lantas mau apa ?‖ Itu pertanyaan Bapak. Aku diam, karena memang tidak tahu jawabnya. Mau jadi penganggur ? Selagi pusing mencari jawaban, aku membaca pengumuman di kantor kecamatan mengenai Pembukaan STM baru dan Negeri di Temanggung. Meskipun jurusan yang ditawarkan adalah Pertanian, aku pikir tidak apalah ..... toh sesuai dengan janjiku kepada ayah... sekolah ini adalah kejuruan, sehingga dapat langsung bekerja. Wallahualam. Jadilah aku salah satu dari ke 27 orang : siswa klas 1 STM Negeri 1 Temanggung. Aku dalam dalam hati , dan mungkin rekan lain berkelibat rasa kagum. Betapa tidak ? Sekolah ini baru dibuka, sudah langsung berstatus negeri. Padahal kalau disimak, sekolah ini tidak mempunyai gedung, guru, fasilitas, buku buku. So what ? Modal dasarnya adalah SK Menteri P& K tentang pendirian dan status negeri STM ini, seorang Kepala Sekolah, satu orang guru dan satu orang pegawai tata usaha/administrasi. Modal lainya semangat dan optimisme ........para penggagas dan pendiri sekolah ini yang mengharapkan sekolah ini menjadi pencetak SDM pertanian (Di kemudian hari nanti kami mengetahui salah satu tokoh pendorong berdirinya sekolah ini di Temanggung adalah Bupati Temanggung sendiri saat itu yaitu Bapak Maschun Sofwan, SH) Kegiatan belajar-megajar dilakukan di gedung sosial milik Dinas Sosial Kabupaten, di jalan Kartini - yang terdiri dua ruang klas serta satu ruang pegawai dan administrasi. Dua ruang klas itu digunakan secara bergiliran oleh STMP dan SMAN : pagi digunakan oleh SMAN sebagai klas tambahan dari bangunan utama milik SMA sendiri di lokasi lain, dan siang hari di gunakan oleh kami, STMP. Fasilitas laboratorium belum ada, demikian pun tanah. Bagaimana halnya dengan guru ? Selain kepala sekolah (bapak R Soenarto), dan Bapak Kasturi semua guru yang mengajar di STM yang Negeri ini semua adalah ‘pinjaman‘ dari sekolah lain– dan dinas teknis di Temanggung. Pak Pudjiono, mengajar Aljabar dan Analyt serta bu Tun, Klimatologi, pinjaman dari SMAN, pak Anwar, pak Wahyudi,pak Muchlas dari SMA Muhammadiyah. Juga ada yang dipinjam dari SLTP : pak Mardjono dari ST, serta pak Mujiono – dari SMPN 2. Satu kehormatan bagi kami adalah bapak Bupati dan ibu (Sri Soedewi , SH – kemudian hari menjadi Prof di Fakultas Hukum, UGM) menjadi ‘guru luar biasa‘. Sekali kali memberikan pelajaran, meski dengan cara ceramah tentang topik topik aktual. Pak Maschun pernah memberikan pelajaran mengenai Pembangunan Daerah dan arti Pertanian di ruang rapat Dinas Kabupaten, sedangkan bu Dewi berkaitan dengan Pengembangan PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). PKK yang dikemudian hari dikenalkan di Jawa Tengah oleh Gubernur Munadi, dan selanjutnya di kembangkan secara nasional – kita kenal dengan 10 pokok PKK adalah ide dan godogan dari Ibu Sri Soedewi Maschun Sofwan, SH dengan uji coba terlebih dahulu di desa-desa diwilayah Temanggung, dan kami (STMP) adalah salah satu pelaku ‖agen pembaharuan ‖ ini.
Keadaan dan kondisi awal STMP ini, dari sisi positif sesungguhnya dapat diambil manfaat atau berkah : betapa rasa solider dan saling-bahu membahu antar lembaga di suatu daerah untuk sebuah pengembangan. Seandainya ego-sektoral yang berkembang, tidak tahu apa yang terjadi dengan STMP itu ? Solidaritas dan kerjasama antar berbagai pihak tidak hanya dalam bentuk itu. Pada tahun kedua lahan di Maron oleh Pemda Temanggung resmi diserahkan kepada sekolah. Di sela sela acara peresmian penyerahan, terdengar berita bahwa salah seorang tokoh Temanggung yang berdiam di Jakarta bersedia membangun ruangan belajar di salah satu tapak tanah Maron. Beliau adalah Bapak R Soedardjo, yang asli Maron – kalau tidak salah saat itu salah satu pengelola suratkabar Sinar Harapan. Support dari Bapak Menteri Pertanian, saat itu dijabat Bapak Brigjen (?) Soetjipto memberikan semangat tambah menyala pada diri kami : murid, guru, dan juga masyarakat serta Pemda Temanggung.
Laboratorium masyarakat. Aku tidak tahu konsep itu siapa pencetusnya, namun dalam rangka mengatasi kendala tiadanya fasilitas praktek, khususnya yang berkaitan dengan Teknologi Prosesing/Pengolahan Hasil Pertanian, sekolah berupaya mencari tempat praktek di kegiatan ekonomi yang ada di dearah Temanggung, baik industri menengah, kecil atau rumahan. Dengan kegiatan ini, kami para siswa terdiri atas 1-2 orang melakukan kerja praktek di tempat itu. Bahkan kalau tempat praktek tidak keberatan, siswa dapat melanjutkan sampai magang, dengan waktu lebih lama. Bagaimana mengatur jadwal. Diatur oleh siswa sendiri, termasuk penyesuaian dengan jadwal belajar di sekolah. Ini salah satu yang aku katakan: kebebasan namun bertanggungjawab. Diantara sekian banyak hasil praktek, yang menyedot perhatian adalah kegiatan yang dilakukan oleh rekan Asmono dkk, di desa Lamuk, Bansari lereng tenggara Gunung Sumbing, tentang pengolahan tembakau. Sejawat ini sungguh lucky, beruntung karena dapat mendapatkan dan mengalami sendiri – memetik, mengolah daun tembakau yang bukan sembarang tembakau, namun ‖ the miracle tabacco ‖ yang dimasyarat dikenal sebagai Tembakau Srinthil.
Epilog . Amphitheatre Universitas Nancy, Perancis Musim panas, pertengahan Juli 1988. Amphitheatre atau ruangan seminar kembali diisi oleh hadirin yang sebelumnya rehat selama 20 menit. Banyak orang Indonesia, tua muda bahkan anak anak yang hadir, selain warga asing Prancis, Maroko, India, Brasil, Jerman. Mereka menempati di tempat duduk yang meninggi. Selain masyarakat umum, mereka rata rata adalah mahasiswa, peneliti atau dosen. Sementara dibarisan paling depan duduk lima orang Guru Besar, Prof Bonally, Prof Galzy, Prof Metze, Prof Botton, dan Prof Chrapetier. Sebelum rehat, selama hampir 2 jam lebih berlangsung ujian terbuka atau soutenance. Kelima gurubesar tersebut mencecar pertanyaan, komentar dan sanggahan terhadap penelitan yang disajikan oleh mahasiswa Indonesia.
‖ Mesdames et Messieur, nous vous serions .... , Ibu-ibu dan Bapak bapak terhormat, bersama ini kami para penguji, setelah mendengar penjelasan, sanggahan dan jawaban atas segala pertanyaan kami, dan sanggahan kami, dengan ini kami menyatakan bahwa Saudara Djumali Mangunwidjaja, lahir di Temanggung, Indonesia, lulus sebagai Docteur (Doktor) dengan predikat tres honorable (cum-laude)………… ― Prof GALZY. examinateur (penguji luar ) seorang pakar Genetika Mikroba dari Montpeliier bahkan menyanjung aku dengan pujian bahwa Anda sebagai mahasiswa yang berasal dari Negara non francophone mampu berkomunikasi dengan sangat baik menggunakan bahasa Prancis. ― Votre francais est tres excellente ―, ujar Prof Galzy dengan sangat santun. ― Merci Monsieur le Professeur …….‖ Aku menjawab dengan gejolak rasa haru yang tak dapat dilukiskan. Ruangan sidang masih gemuruh dengan tepuk tangan hadirin, para kolega dan sahabat sahabat. Allah Maha Besar dengan segala kuasa, rahmad dan inayahNya. Berikanlah hambuMu selalu petujuk jalan yang lurus, terangilah Ilmu-ilmu yang Kauberikan, agar bermanfaat untuk ummat………Jagalah kami dengan KasihMu………………….
Budi Heriyanto Lahir 16 Desember 1957. TK Cor Yesu. SD Pangudi Utami (lulus th. 1969) SMP N 1, Temanggung (lulus th. 1972) STM, Temanggung (lulus th. 1975)
―Kita dilahirkan masing-masing dengan komposisi talenta atau bakat yang berbeda, sudah selayaknya kita menyadari dan berusaha mengembangkan‖. ―Terimakasih sekolah dan guru-guruku, lingkungan, kampung yang telah turut menyemaikan minatku pada seni musik sehingga aku menuai kebahagiaan mengiringi jejak kehidupan ini‖.
Temanggung memberiku kebahagiaan dalam bermusik Saat itu lingkungan sekitar rumahku masih sepi, hanya dikelilingi kebun kosong dan rumpun bambu. Kebun panili disebelah kiri rumah cukup luas sekaligus menjadi penghubung ke pekuburan menuju gumuk Lintang. Dikala malam, menjadi semakin sepi, hanya suara binatang malam orong-orong, jangkrik, gangsir, kelepak kelelawar dan sesekali suara burung hantu yang bertengger diatas pohon kelengkeng yang dahannya hahkan menjuntai sampai diatas kamar tidurku. Disela-sela suara-suara tadi, sering sayup-sayup terdengar bunyi seruling bamboo. Peniupnya Yanto temanku, rumahnya persis di kaki Gumuk Lintang. Kami berdua sering membuat seruling sendiri dengan bahan baku bambu yang kami beli di pasar Kliwon Temanggung kemudian dilubangi dengan besi panas. Rupanya experiment membuat seruling ini berkembang sampai mencoba membuat gitar sendiri. Mulainya dari rongsokan gitar yang sudah hancur milik ayahku.
Neck (leher/stang) yang terlihat masih baik, body-nya kami ganti dengan triplek. Kami kesulitan membuat body gitar yang seharusnya berbentuk angka delapan, jadilah gitar pertama buatan sendiri berbentuk kotak, seperti kotak sabun tapi cukuplah untuk berlatih gitar. Rumahku sangat dekat dengan tempatku sekolah, SMPN 1. Pada malam minggu kadang-kadang aku sering menonton guru-guruku latihan Orkes Keroncong, Pak Hadiswoyo, Pak Rusalim, Pak
Ngadimin, sampai suatu saat salah satu dari beliau yang seharusnya bermain gitar berhalangan hadir, aku beranikan diri untuk memainkan gitar, rupanya bapak-bapak guru merasa cocok, sejak itulah aku sering jadi pemain pengganti. Sampai suatu malam, karena udara sangat dingin aku sudah siap-siap tidur, sesaat kemudian terdengar ketukan pintu, rupanya pak Parno karyawan sekolah menjemput, katanya bapakbapak guru mengajak latihan Keroncong. Dengan terkantuk-kantuk aku dibonceng sepeda pak Parno menuju ke sekolah latihan keroncong, agar tidak ngantuk ikut-ikutan minum kopi dan berakhir dengan kliyengan. Musik Keroncong memang sangat dekat dengan suasana kehidupan keluargaku, ayahku pemain biola, ibu sedikit bisa bermain gitar dan hobby berat menyanyi, sehingga koleksi catatan nyanyian yang ditulis tangan cukup banyak, baik lagu-lagu hiburan, seriosa maupun keroncong sehingga saat SMP aku sudah bisa membedakan pakem langgam dan keroncong asli. Dari ayah aku belajar biola sejak kelas lima SD, dan lagu pertama yang berhasil aku mainkan adalah lagu langgam keroncong ―Dibawah Sinar Bulan Purnama‖. Akung, ketika SMP aku tidak sempat membuat kelompok musik dengan teman-teman sekolah, saat itu tugas rutinku memainkan Bass betot bertubuh gembrot dan tinggi sehingga aku harus berdiri jinjit mengiringi teman-teman sekelas pada saat pelajaran menyanyi, sementara pak Hadi guru menyanyi mengiringi dengan gitar, lagu yang sangat kuingat ― Layu Melati‖ dan ― Terang Bulan di Asrama‖. Ada temanku namanya Antonius terkenal sangat bandel, kalau giliran menyanyi kedepan dia bernyanyi dari balik papan tulis, papan tulis waktu itu ada yang tidak menempel di dinding,tapi dengan standard kayu bisa distel ketinggiannya. Setiap ada kesempatan ketika pak Muh ―pak Bon― SMPN I masuk gudang sekolah untuk satu keperluan, aku ikut masuk…… hanya sekedar memegang Piano bekas atau lebih tepat sebagai ―bekas Piano‖ barang mahal yang dibiarkan teronggok tak berdaya di sudut gudang sekolah, sebuah benda istimewa yang tidak mungkin terjangkau. Aku bayangkan betapa bahagianya kakak-kakak kelas dulu yang sempat mengalami masa jayanya Piano ini, mereka berlatih paduan suara dengan iringan dentingan piano. Saat itu tahun 70 an, belum pernah kujumpai sebuah keluarga di Temanggung yang kukenal memiliki piano atau organ. Organ elektronik dan orgel tabung hanya dijumpai di gereja-gereja,
jadi aku menyimpulkan SMPN 1 Temanggung ini luar biasa karena punya tanda-tanda pernah punya Piano. Akhirnya aku berkesempatan mengukur komposisi tuts piano di gudang sekolah tersebut kemudian digambar dalam kertas karton, lembaran karton bergambar tuts piano itu dibuat untuk berlatih piano, tentunya ―tanpa bunyi‖. Aku bayangkan memainkan tangga nada do-re-mi- dalam nada dasar C, kemudian berpindah ketangga nada D dengan pemahaman pasti semua nada akan bergeser kekanan 2 tuts ( dalam gambar karton) seperti rangkaian gerbong kereta yang berpindah jalur dua tingkat begitu seterusnya ke tangga E,F,G,A,B . Aku juga berlatih kecepatan memindahkan komposisi chord di tangan kiri dan melodi di tangan kanan ,dan itu lebih pada proses matematik dan motorik saja tanpa unsur rasa seperti yang seharusnya dilakukan pada saat berlatih musik yang sesungguhnya, sementara bunyi hanya dibayangkan. Tapi ternyata proses itu sangat membantu dalam memahami teori musik sekaligus memperkaya pengetahuan dalam memainkan gitar . Kesempatan mempraktekkan cara belajar melalui karton tadi akhirnya teruji, ketika pada suatu saat seorang teman mengajak mengiringi anak-anak TK siaran di Radio Pemerintah Daerah (RPD) Temanggung. TK tadi mempunyai keyboard sederhana sementara tidak ada guru yang bisa memainkan, jadilah aku memberanikan diri memainkan alat musik tadi dalam siaran langsung mengiringi anak-anak TK yang bernyanyi dengan penuh semangat karena diiringi dengan bunyi instrument lain yang merupakan pengalaman pertama bagi mereka (padahal pengalaman pertama juga bagi aku), untunglah ujian pertama lulus dengan selamat artinya tidak ada nada fals akibat salah pencet, ya namanya lagu anak-anak dengan jangkauan nada yang terbatas dan melodi yang mudah. Dikemudian hari aku selalu diajak untuk mengiringi anak-anak TK tersebut apabila ada kesempatan. Band-band lokal mulai menjamur, Koes Plus, Panbers, Mercys, Rollies, AKA, ditambah band-band barat dan kisah-kisah pemainnya bisa dibaca lewat majalah remaja populer saat itu dan menjadi ―Hero― bagi remaja, gitar listrik menjadi impian.
Kakakku yang waktu itu sudah lebih dulu punya band punya ide membuat gitar listrik sendiri, hingga suatu pagi ibu harus kehilangan papan cuci dari kayu jati yang lebar, karena ternyata sudah digergaji kakakku…… menjadi body gitar, bentuknya segitiga…. aneh memang. Berhari-hari kami menyelesaikan pembuatan gitar listrik tadi, bahkan pick up kami buat sendiri dengan menggulung kabel diynamo sedang magnetnya dari bekas dynamo sepeda, sedangkan bungkus pick-up yang harus bebas magnet , kami buat dari alumunium bekas tutup panci. Ilmu elektronik tadi kami dapatkan dari senior kami di kampung ―mas Saktiono‖, yang dedikasi pada remaja kampung kami ―mBendo‖memang luar biasa. Akhirnya gitar listrik ber-cat ungu karya pertama dapat diselesaikan, dan dicoba dibunyikan amplfiernya ……..radio transistor, padahal akhirnya kami tahu kayu jati tidak bisa menghasilkan resonansi yang bagus Gitar listrik karya pertama kemudian disusul berikutnya-berikutnya, dari mulut ke mulut akhirnya datang pesanan dari teman-teman dekat. Saat itu aku sudah masuk STM jurusan Bangunan Gedung,dan kakakku kelas 3 STM jurusan Mesin, banyak teman-teman kami berasal dari Kandangan, Kaloran sekitar kota Temanggung mempunyai group orkes Melayu (ndang dut), merekalah konsumen gitar dan bass listrik buatan kami. Pembagian tugas mulai dilakukan, mulai dari beli kayu (Suren, Mindi, Mahoni) di toko kayu dekat Abatoar, beli potongan formika di toko material A Hok, menyiapkan model,sampai finishing dengan cat semprot yang dipompa dengan pompa sepeda. Aku kebagian bertugas memasang fret dari batang kuningan yang dipasang berjejer-jejer dan bertanggung jawab agar gitar tidak fals. Pengecatan dilakukan bergantian diantara kami, saat itu bergabung temanku sekampung Yanto dan Dewo. Rupanya kegiatan ini cukup lumayan memberi tambahan uang jajan, nonton bioskop, bahkan membantu biaya sekolah. Kemudian di dunia music nasional muncul Trio Bimbo, di luar negeri juga sedang demam Bob Dylan, Joan Baez, Simon Garfunkel, di Temanggung mulai berkembang kelompok Folk Song terinspirasi group-group tadi, termasuk aku juga membentuk group Folk Song (lebih tepat sebagai Vocal Group), terdiri dari aku, Edy (nDemangan), Bambang (Gendengan), Yanto merupakan teman-teman se-STM, kami pernah menjuarai lomba Folk Song pelajar se-Kabupaten Temanggung yang diselenggarakan di SMAN, bahkan kemudian dengan diperkuat mbak Ismiyati ( juara pop singer Temanggung- kakak Edy) dan mas Pung kakakku, kami menjuarai lomba Folk Song untuk umum se-Kabupaten Temanggung di Gedung Sarwo Guno. Saat itu kami
mengusung―Siter‖ buatan sendiri untuk memperkaya aransemen lagu ―Gambang Suling―. Sambutan penonton makin meriah ketika aku memainkan Gergaji yang dijepit diantara paha dan dipukul dengan penggaris kayu, memainkan lagu ―Black Magic Woman‖ nya Santana, rupanya itu memberikan kejutan tidak terduga. Bergabung kemudian vokalis-vokalis dengan usia lebih muda antara lain Isbudyanto juara pop singer Temanggung dari SMAN, jadilah kami sering mengisi acara-acara sekolah, saat itu sepertinya mudah mencari teman-teman berbakat musik, rata-rata mampu membaca not angka. Beberapa kesempatan aku diajak bergabung dengan band nya mas Itok yang saat itu ngetop sebagai band bocah Temanggung, disitu aku menjadi pemain biola dan pernah menjadi pemain bass pengganti, kami main dalam hajatan pengantin maupun pesta perpisahan sekolah antara lain di Parakan dan Muntilan. Rupanya hari-hariku sejak SD hingga STM di Temanggung tidak pernah sepi dari kegiatan bermusik entah sebagai pembuat gitar, bermain Band, berlatih keroncong, mengiringi paduan suara dari TK hingga ibu-ibu, membentuk vocal group , dari kegiatan itu banyak sekali yang kuperoleh terutama percaya diri, karena pada dasarnya aku selalu merasa rendah diri, penakut, dan pemalu (aku tidak pernah berani bernyanyi sendiri ditonton orang tanpa membawa alat musik). Walaupun akhirnya aku memilih bukan jalur musik untuk masa depanku namun dari musik aku banyak belajar arti kesungguhan berusaha, ketekunan, kebersamaan, aku bersyukur Temanggung telah membawa suasana bahagia dan kesempatan untuk bermusik, meskipun akhirnya harus kutinggalkan semua kehangatan tadi termasuk teman-temanku yang selalu kuiingat dalam senyum jenakanya. Menjelang kutinggalkan Temanggung sempat kutulis lagu untuk mengenang semuanya.
―Temanggung Akung‖
Membeku hati dalam perjalanan Tinggalkan kampung halaman Alam yang sejuk penuh kedamaian Kini harus kutinggalkan
Walaupun berat, namun apa daya Temanggung restumu slalu Kupastikan langkah dan tak akan goyah Mencari bekal hidupku Teriring senyum lambaian tangan Handai taulan dalam kenangan Teringat masa kita bersatu Bersama dalam suka duka Temanggung…..Temanggung….sayang….. Kita dilahirkan masing-masing dengan komposisi talenta atau bakat yang berbeda, sudah selayaknya kita menyadari dan berusaha mengembangkan. Terimakasih sekolah dan guru-guruku, lingkungan, kampung
yang telah turut menyemaikan
minatku pada seni musik sehingga aku menuai kebahagiaan mengiringi jejak kehidupan ini.
Temanggung menyelamatkan masa depan Diro Tidak semua dari kita beruntung mendapat anugrah keluarga utuh yang bahagia, namun Sahabat yang aku kisahkan ini dapat melalui ketidak beruntungannya
sampai dia dewasa, berkat
solidaritas lingkungan, kampung maupun sekolah, yang menaruh simpati kepadanya, kita semua dapat saling memberi dan menyayangi. Pohon duren didepan rumah menjadi istana kecilku. Menjelang sore biasanya kupanjat pohon besar itu sampai nyaris keujungnya, disana kuikat kursi kayu dengan tambang ijuk, menghadap keselatan, dari sana kunikmati pemandangan luas berupa hamparan sawah, desa-desa tampak kecil terlihat disela kerimbunan pohon dan hutan bambu, Gunung Sumbing belakang yang indah.
menjadi latar
Hamparan sawah disisi selatan terlihat menurun,
memanjang, merupakan aliran kali Jambe
kemudian setelah kerimbunan pepohonan dan pedesaan, disitulah pemandian ―Pikatan― yang biasa kutempuh bersama teman-teman dengan berjalan kaki melitasi pematang sawah. Sore itu aku naik ke istanaku berbekal buku gambar yang kuselipkan dibelakang celana dan pinsil dikantong, kegemaranku menggambar biasa kutumpahkan disana. Aku mulai membuat sketsa pedesaan dikerimbunan hutan bambu yang aku kenal sebagai desa ―Sroyo‖, sambil mengamati sekumpulan burung bangau terbang melintas ketimur, burung-burung putih itu terlihat jelas dikeredupan matahari menjelang sore. Tiba-tiba terdengar teriakan dari bawah ―oiiii... aku nyusul―, tanpa menunggu jawaban, temanku Diro menyusul memanjat keatas.
―Kok dé-é mau ra mlebu sekolah , Ro ?― (kenapa kamu tadi nggak masuk sekolah ?), tanyaku menyambut kehadirannya. ―Gèk mbengi aku minggat, disenèni Mbah putri terus-terusan, lé turu
awan kebablasen, njuk ora kober golek kayu, kawit sore digumbreng, ha sisan ndene minggat‖ (aku tadi malam minggat, nggak tahan dimarahi mbah putri terus-terusan, tidur siang keterusan, jadi tidak sempat nyari kayu bakar, sepanjang sore aku dimarahi, jadinya minggat sekalian), jawabnya. ―Ngerti ra, dèk mbengi aku ngliyep neng èmpèr toko Aneka, képang nggone bakul gorengan
ngarep Kantor pos tak pindah, tak sèndèkké nèng ngarep toko ben ora anyes, mbasan esuk pak Tulus wong édan kae arep melu, ha ngibrit to aku, nèng kali Kuas adus sisan― (Tahu enggak, semalam aku tidur diemper toko Aneka, kepang bakul gorengan di depan kantor Pos kupindahkan, kusandarkan miring didepan toko untuk menahan dingin, tahunya pagi-pagi pak Tulus wong edan itu mau ikut gabung, lha aku ya bangun lari ketakutan, terus ke kali Kuas sekalian mandi disana). Aku geli sambil kasihan juga mendengar cerita Diro.
―Mengko aku diterke bali yo, kondo mbahe aku nek aku turu nggonmu sinau bareng, terus sisan sekolah‖ (Aku nanti diantar pulang ya, bilang ke mbahku kalau aku tidur dirumahmu belajar bersama gitu, terus langsung sekolah), dia menyambung sambil mematahkan dahan-dahan Duren kering yang memang getas . ―Aku kumpulkan kayu bakar dulu, sekalian blarak kering itu aku minta ya, kalau aku pulang bawa kayu bakar mbah putri mungkin nggak marah lagi ‖.
Sejenak kemudian dia menjatuhkan ranting-ranting kering kebawah.
―Kata orang-orang mbah putriku kandung baik dan penyayang , dia merawat ketika aku bayi, aku hanya ingat capet-capet sebelum dia meninggal‖. Diro terdiam sejenak kemudian bergumam lirih, ―Aku sebenarnya kangen sama bapak, aku pengin nyusul ke Jakarta―, dia menerawang ke selatan ke gumpalan kabut Sumbing yang mulai turun. Akhirnya kuajak dia turun dari pohon Duren istana kecilku. Setelah membantuku mengumpulkan kayu-kayu dan blarak kering, kuantar Diro pulang kerumah, tapi mbah Kakung dan mbah Putrinya masih tidur sore, jadi kutinggal pulang saja, entah kemudian diplomasi apa yang disampaikan Diro kepada mereka. Diro merupakan teman sekolah sekaligus tetanggaku, ketika dia berumur satu tahun orang tuanya bercerai, oleh bapaknya dia ditipkan embahnya di Temanggung, sementara kakaknya yang saat itu berumur tiga tahun dibawa ibunya pulang ke Surabaya kerumah orang tua ibunya.. Bapaknya kemudian merantau ke Jakarta dan menikah lagi, tak lama kemudian mbah putrinya meninggal. Setelah mbah kakungnya menikah lagi, Diro dibesarkan oleh mbah putri tiri, sementara itu dia tidak pernah tahu keberadaan ibu dan kakak kandungnya. Dibayangi dengan cerita sedih keluarganya, Diro justru tumbuh sebagai anak yang seakan-akan selalu gembira, selalu menceritakan lelucon-lelucon yang membuat kami teman-temannya terbahak-bahak dan senang mendengarnya, ibu-ibu tetangga juga senang kepadanya, ringan tangan untuk membantu, boleh dikata ibu-ibu tetangga merupakan ibu pengganti yang memberi nasehat kepadanya. Dia juga senang bernyanyi dan membuat puisi. Kami sering kali membahas cerita yang dimuat dalam majalah ―si Kuncung‖, pengarang yang kami sukai antara lain ,Suyono dengan cerita berlatar belakang ketandusan gunung kidul, atau Yan Armerun, Yulius RS dan
Gerson Poyk
dengan suasana Nusa Tenggara Timur antara lain ―Penyelam Mutiara‖ dan ―Mengejar Pencuri Kuda―. Dia juga sering meminjam buku di taman bacaan, kesukaannya komik petualangan seperti ―Wiro anak Rimba‖, dan komik wayang R.A Kosasih, sampai suatu kali dicari-cari pemilik penyewaan buku karena buku yang dia pinjam tidak kunjung dikembalikan. Sampai pada suatu hari Diro pamit padaku dan teman-teman sekelas dia pindah ke Jakarta dibawa tantenya, menyusul Bapaknya. Rencananya dia akan melanjutkan sekolah kelas 3 SD di
sana. Hari-hari selanjutnya kulalui tanpa Diro, jika aku berada di istana kecilku diatas pohon Duren masih teringat dia menemani sambil menyanyikan lagu ―Burung Berkicau― dibawakan Onny Suryono yang popular lewat radio. Delapan bulan sudah Diro meninggalkan Temanggung, sampai pada suatu siang terdengar kegaduhan diselah rumahku di kebun Panili, tetangga-tetanggaku mengerumuni seorang anak kurus berpakaian kumal ,berjongkok sambil menundukkan kepala.....ya Tuhan....itu Diro. Ibuku dan ibu-ibu tetangga yang lain membujuk, membimbing Diro dan mengantar pulang ke rumah embahnya rupanya dia takut dan malu telah pergi dari bapaknya di Jakarta tanpa pamit. Namun, kemudian ibu-ibu meminta mbah Wiro sekalian mau menerima Diro kembali ke rumah beliau di Temanggung. Hari berganti hari, akhirnya Diro kembali ke sekolahku lagi, guru-guru kami juga bisa menerima kedatangannya lagi, pada hari pertama masuk sekolah dia diminta menceritakan pengalamannya di depan kelas, dalam ceritanya ternyata dia tidak sempat bersekolah di Jakarta, sepanjang hari dia berjualan Koran, dengan kaki-telanjang dia menyusuri gang-gang sekitar daerah Kemayoran dan Pasar Senen,seringkali korannya dipinjam preman-preman pasar dan dia terpaksa menunggu preman-preman tadi selesai membolak-balik membaca
Koran sebelum dikembalikan tanpa
ucapan terimakasih apalagi membayar, jadi dia banyak kehilangan waktu. ‖...Bu guru aku kangen
pulang Ke Temanggung ke sekolah ini, ketemu teman-teman, Jakarta ternyata tidak nyaman seperti di Temanggung yang orangnya baik-baik, jadi aku bertekad kembali ke Temanggung‖. ―Aku nekat pergi ke stasiun Gambir, ketika ada kereta bergerak berangkat ke Yogya, aku melompat keatas, dan bersembunyi di WC, kadang-kadang disambungan gerbong, sarung aku berkibar-kibar seperti Superman...‖, kami tertawa mendengar ceritanya. ―Sampai di Yogya aku mbantu nyuci piring penjual Gudeg, terus dikasih uang buat nge-bis ke Temanggung, aku naik bis Daya Temanggung‖ , demikian Diro menutup ceritanya dan kami seisi kelas bertepuk tangan mendengar penuturannya yang rinci, lucu, dan mengharukan. Bagiku itu luar biasa apalagi Jakarta - Temanggung sangat jauh sekali untuk anak seusia kelas tiga SD yang pergi sendirian tanpa bekal. Karena dia cukup lama meninggalkan bangku sekolah akhirnya dia tidak bisa ikut naik ke kelas empat, sejak itu dia menjadi adik kelasku.
Bakat bertutur dan mengarangnya membuat dia dipercaya menjadi penanggung jawab majalah dinding sekolah sampai dia menyelesaikan SD, kadang-kadang dia
memintaku memperindah
tulisannya dengan gambar vignette. Sekolahku SD memang memanjakan murid-muridnya dengan buku bacaan, termasuk majalah anak-anak antara lain Si Kuncung dan Kemuning waktu itu merupakan bacaan wajib yang harus dibaca dan diceritakan kembali, hal itu meyuburkan bakat sastra yang ada pada Diro, sekaligus memperkaya pengetahuan umum, mungkin itu salah satu alasan mengapa sekolahku selalu mencapai kelulusan 100 % untuk ujian Negara, waktu itu ujian Negara terdiri dari 3 pelajaran, Pengetahuan Umum, Berhitung dan Bahasa Indonesia. Diro ikut gembira dan menceritakan ke teman-teman di kampung ketika aku lulus SD dengan jumlah nilai 29 untuk tiga pelajaran. Pada suatu malam Diro minta diajari nembang Kinanti ke ibuku, dia diberi tugas guru untuk membawakan tembang pembuka dalam Panembromo, biasanya tembang panembromo dibawakan pada saat memulai acara perayaan disekolah dan diawali tembang macapat Kinanti. Ibuku memang ahli mengarang dan nembang Macapat, dari beliau kami belajar nembang mulai Maskumambang, Megatruh,Durma, Kinanti, Pocung. Pada saat itu ibuku mengatakan pada Diro jika ibunya juga pandai nembang , sejenak kemudian dia bertanya pada ibuku ―..Bude apakah bude punya foto ibuku ?, sampai saat ini aku belum
pernah lihat wajah ibuku sendiri―, sejenak ibuku mengingat-ingat, ―Coba kamu ambil album diatas almari itu..‖, Ibuku dan ibu Diro memang pernah se kantor, jadi diantara kegiatan kantor mungkin saja ada foto bersama. Ibuku membolak-balik album tua dengan hati-hati, tiba-tiba
―...nah ini dia ibumu jeng Tuty,
tapi kok ya pas punggungnya saja yang kelihatan ya‖, Ibuku menunjuk foto sesosok Wanita langsing yang hanya terlihat bagian belakangnya saja, baru kali ini aku lihat sorot mata Diro yang aneh, antara gembira dan kecewa. ―...Bu foto ini boleh buat aku ?― pinta Diro, tentunya ibuku tidak bisa menolak dan mengiyakan , dengan hati-hati foto tua hitam putih itu dilepas dari perekatnya,didekap sebentar kemudian dikantongi. Suatu hari aku sempat melihat buku harian Diro, pada salah satu halaman tertempel foto ibunya yang menghadap kebelakang itu, dibawahnya tertulis: ‖...ibu berpalinglah... aku ingin lihat
wajahmu...aku pengin ibu didekatku―.
Tahun berganti tahun Diro tumbuh menjadi remaja yang gagah, jangkung, Diro yang ketika kecil dalam ingatanku adalah anak kumal yang selalu tertawa lebar sambil mengepit kayu bakar sekarang sudah bersekolah di STM, sambil sekolah dia membantu menjadi montir radio di bengkel radio tetanggaku. Tiba pada suatu sore dia datang kerumahku bersama seorang pemuda yang terlihat lebih dewasa , Diro terlihat gembira, ―Nih kenalkan kakak kandungku dari Surabaya―, pemuda tadi memperkenalkan diri ―iya,....aku Nugroho kakak Diro....‖. Bagai ombak menghempas karang, Diro bercerita penuh kegembiraan tentang perjumpaan dengan kakaknya yang sangat diluar dugaan. Rupanya siang tadi ketika dia menyapu halaman rumah, datang seseorang yang menanyakan alamat mbah Wiro, dan Diro menunjuk rumah dia,
―Ya ini rumah mbah Wiro pensiunan mantri hewan, aku kebetulan cucunya―. Pemuda asing tadi kemudian bertanya
―Apakah adik bernama Bambang Sudiro, putra pak
Bowo ?‖, ―Ya betul, mas siapa ?―. Pemuda tadi tidak menjawab namun langsung memeluk Diro sambil terisak ―Kamu adikku........‖. Aku bisa membayangkan reuni kakak beradik yang terpisah karena keadaan selama 17 tahun itu, pastilah
sangat
mengharukan.
Kakaknya
bercerita
bahwa
ibunya
selama
ini
sengaja
menyembunyikan kenyataan bahwa sebetulnya dia punya adik yang ditinggal bersama embah dari pihak bapaknya dan tinggal di Temanggung. Dia sendiri dititipkan dan diasuh dirumah embah dari ibunya di Surabaya, ibunya kemudian merantau sampai ke Hanoi-Vietnam. Namun, akibat perang saudara di Vietnam, ibunya kemudian merantau ke Jerman Barat dan menetap di Kassel, sebuah kota kecil di Jerman Barat hingga saat itu. Reuni kakak beradik Diro dan Nugroho menjadi berita besar dikampungku, semua menyambut gembira, Diro seakan-akan sudah merupakan anak keluarga sekampungku, jadi kesedihan dan kegembiraannya ikut kami rasakan. Namun bagi Diro yang paling penting sejak itu dia sudah bisa berkomunikasi dengan ibunya, sudah bisa melihat wajah dari foto ibunya yang menghadap kedepan. ―Aku harus sekolah yang
pinter, jadi aku nanti bisa nyusul ibuku ke Jerman―, katanya suatu kali, ―Ya, aku di oleh-olehi gitar atau biola Jerman yang bagus ya―, kataku. Hari-hari Diro kemudian dilalui dengan lebih ceria, keberhasilanku melanjutkan kuliah di Yogya mendorongnya untuk turut menyusul, seperti dia dulu selalu ingin menyusul ketika aku naik ke pohon Duren istanaku. Setahun kemudian dia diterima di IKIP negeri Karangmalang Yogya.
Aku berpikir, untung dia dulu minggat dari Jakarta dan kembali ke mBendo. Temanggung, dengan segala keindahan, kesederhanaan dan lingkungan kampung maupun sekolah yang penuh perhatian telah menyelamatkan dia dari masa depan yang gelap. Kami kemudian mengejar impian masa depan di Yogya, walaupun kami sama-sama tinggal di kost-kostan sederhana berdinding bilik bambu yang dilapis kertas semen namun tempat tinggal kami berjauhan, dan dia lebih beruntung karena di kamarnya tergantung lampu listrik 15 watt, sedangkan kamarku masih tertempel lampu teplok, namun kami saling mendorong agar cepat lulus.
Sahabat, kucoba merangkai kisah hidupmu dalam mengejar kasih akung abadi, kini kau telah mendapatkan yang kau damba, kasih akung abadi dari Yang Maha Memiliki, aku selalu berdoa untukmu, sahabatku.
Haniefudien SD Negeri V, Pungkuran, Temanggung (lulus Th. 1966) SMP Negeri I, Temanggung (lulus Th. 1969) SMA Negeri I, Temanggung (lulus Th. 1972) "Keberhasilan kita, tidak lepas dari do'a kedua orang tua kita, jangan sampai orang tua kita menangis karena kelakuan buruk kita, buatlah orang tua kita tersenyum bahagia, walupun untuk itu kita harus menangis".
Aku pernah tidak ingin lulus SMA Aku adalah anak ke lima dari tujuh bersaudara. Bapak adalah Pegawai Kantor Pos, sementara ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa tapi juga aktif di organisasi LSM-Gabungan Organisasi Wanita, yang berhasil mengelola RS Bersalin yang dana operasionalnya diusahakan oleh anggota sendiri dan donatur local. Sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, akupun berkeingininan untuk dapat melanjutkan kuliah di perguruan tinggi selepas bangku SMU (dahulu SMA) sesuai jurusan yang dapat aku capai dibangku sekolah yaitu jurusan Paspal (sekarang jurusan IPA), namun dengan kondisi orang tua yang sudah pensiun pada saat itu, sangatlah tipis untuk dapat melanjutkan ke perguruan tinggi karena kakak-ku yang bekerja baru dua orang, karena kakak kedua sudah meninggal sementara masih ada satu kakak lain yang masih kuliah di suatu perguran tinggi negeri di Jakarta, dan adikku masih duduk dibangku SMP kelas III dan yang kecil masih di SD. Pada suatu hari, kakak pertama yang sudah bekerja di Jakarta pulang kampong. Aku mendengar pembicaraan antara orang tuaku dengan kakak, yang memintanya dapat membantu biaya agar aku dapat melanjutkan pendidikan. Hal itu sejalan rencana orang tuaku yang men-support biaya sepenuhnya untuk kakak yang pertama agar berhasil dalam pendidikan lalu mendapat pekerjaan yang layak sehingga nantinya dapat membantu meringankan beban orang tua untuk menarik adik-adiknya. Dihadapan orang tua, kakak berjanji akan membantu agar aku dapat melanjutkan pendidikan. Namun tidak lama dari pembicaraan tadi, kakak menemuiku dan mengatakan bahwa apa yang dijanjikan didepan bapak-ibu hanyalah sekedar menyenangkan hati kedua orang tuaku, karena sesungguhnya dia tidak sanggup membantu, karena katanya dia sedang menata diri untuk keperluan hidup dan tidak mungkin membantu biaya pendidikan seperti yang dijanjikan. Hancur hati ini mendengar perkataan tadi, hilang sudah harapan untuk dapat melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Yang menjadi hiburan waktu itu hanyalah datang ke sekolah karena memang aku senang sekolah dan dapat bertemu teman-teman, tetapi semangat belajar sudah hilang nggak tahu entah kemana dan masa bodoh dengan catatan sekolah untuk persiapan ujian akhir. Rasa-rasanya aku pingin tetap duduk di bangku SMA dan tidak perlu memikirkan untuk melanjutkan pendidikan, ―Aku tidak ingin lulus SMA…!‖. Beruntunglah aku mempunyai berapa sahabat. Setelah mereka melihat ketidak pedulianku dengan pelajaran sekolah, dia selalu menjemputku untuk belajar dirumahnya karena kebetulan
rumahku memang kurang memadahi untuk belajar. Maklum, listrik belum terpasang dirumahku yang sederhana, yang terbuat dari papan dan belum selesai dibangun semenjak bapak kami pensiun. Akupun belajar sekenanya dari buku-buku sahabatku, yang sebetulnya dia adalah juga pesaingku disekolah. Sebenarnya, hasil nilai pelajaran sekolahku sempat lebih baik dari sahabatku pada awal-awal kelas III SMA. Pada saat pelaksanaan ujian akhir masa bodoh-ku masih berlanjut. Disaat Ketua Pelaksanaan Ujian salah membunyikan tanda berakhirnya ujian (walaupun sesungguhnya waktu yang ada masih setengah jam lagi), dengan terburu-buru beliau mendatangani ruang ujian kami. Beliau ijinkan kami masuk kelas kembali untuk melanjutkan menyelesaikan soal ujian (walaupun sebagian dari kami sudah membuka buku untuk mencocokan dengan apa yang telah diisinya dalam ujian), tetapi aku tetap saja diluar kelas tidak mengacuhkan panggilan pak guru. Alhasil sudah dapat ditebak, nilai hasil ujianku sangat tidak istimewa walaupun dapat dikatakan tidak jelek, walaupun perbedaan dengan sahabat yang juga pesaingku menjadi lebih lebar. Akhirnya, sahabatku, dinobatkan sebagiai siswa dengan hasil nilai ujian terbaik. Setelah hasil nilai dan ijazah sekolah diterima, aku dipanggil ibuku. Beliau hanya memberikan amanat bahwa kedua orang tua hanya dapat memberikan bekal modal ijazah SMA untukku dan selembar ticket bus ke Jakarta untuk menyusul kakakku, ditambah bekal uang saku Rp.500,- dan satu bekal sangat istimewa yaitu doa mereka, doa dari kedua orang tuaku, yang mendoakan keberhasilanku di perantauan. Sejak saat itulah aku berketapan di dalam hati, ―Aku harus dapat berhasil menjadi orang dengan usaha sendiri !‖ Berangkatlah aku ke Jakarta dengan Bus Malam ―Remaja Express‖ kelas Ekonomi dari Magelang menuju Jakarta bersepatukan sandal (karena tidak lagi punya sepatu). Menempel di badanku tas kecil yang hanya berisi sepasang pakaian ganti dan surat-surat yang diperlukan, seperti ―Surat Keterangan Kelakuan Baik‖ dari Polisi dan ―Surat Keterangan Tidak Tersangkut G 30 S/PKI‖ dari Kodim, serta ijazah SMA yang mungkin nanti bermanfaat. Lagi-lagi doa teramat tulus dari Ibu dan bapak melepas kepergianku. Selamat tinggal Temanggung,! Dengan badan bau apek dan basah berkeringat buspun sampai ke terminal Lapangan Banteng Jakarta. Perut sangat lapar, karena selama diperjalanan tidak berani jajan, kawatir bekal uangku tidak cukup untuk membeli makanan, selain itu selama ini aku memang jarang makan diwarung. Apalagi, katanya, warung di pemberhentian bus itu pasti lebih mahal dari warung yang ada di Temanggung. Tetapi beruntung, ternyata aku dijemput kakakku, sehingga aku tidak kebingungan mencari Bus Kota jurusan yang menuju tempat tinggal kakakku di bilangan Tanjung Priok. Rumah kontrakan kakak sangat sederhana. Dindingnya dari gedheg (anyaman bambu) dan belum terpasang listrk, tetapi sangat dekat dengan kantor dimana kakakku bekerja. Akan tetapi, susahnya bila musim hujan tiba, air banjir masuk kedalam rumah. Disitulah kami tinggal dengan tiga kakakku dan dua orang lagi teman kakak. Semuanya bujangan. Tugas pertamaku dirumah kakak, ikut ―membantu‖ pembantu rumah tangga dirumah itu. Dan tugas selanjutnya semuanya diserahkan kepadaku, karena pembantu rumah tangga tadi pulang kampung. Pekerjaanku tidak berbeda dengan pembantu rumah tangga dirumah rumah orang lain, yaitu belanja, memasak, mencuci pakaian dan ngangsu (mencari air) untuk kebutuhan masak, mencuci dan mandi seluruh anggota keluarga. Semua orang tahu, disini, di daerah Tanjung Priuk sangat sulit memperoleh air bersih dari sumur tanah. Melainkan harus beli dari pangkalan air bersih. Repotnya, harus mengambil sendiri dengan ember berdesakan dengan pembantu rumah tangga lain. Tetapi, aku menawar bahwa untuk pekerjaan menyeterika pakaian
,aku tidak sanggup, mengapa ?, karena aku tidak ingin di-―paido‖ (dicibir) kalau hasil seterikanya tidak memuaskan. Ah, sudahlah… aku tidak ingin berpanjang lebar cerita soal pengalamanku menjadi pembantu rumah tangga dirumah kakak sendiri…. Aku mencoba memasukkan lamaran kerja, dengan menitipkan berkas lamaran kepada kakak yang kebetulan berkerja dibidang perkapalan, diperusahaan minyak nasional Indonesia. Dengan ijazah SMA-ku, katanya aku punya peluang untuk menjadi kelasi kapal yang saat itu syaratnya hanya berbadan sehat dan bisa berenang. Selain itu, masih ada kemungkinan untuk mermperoleh sekolah yang tidak bayar (gratis) karena ber-ikatan dinas. Pernah juga aku melamar menjadi pilot Garuda, tetapi akung, aku gugur saat test kesehatan karena kebodohanku sendiri. Padahal test tertulis dapat kulewati dengan baik. Namun, saat test kesehatan, sebenarnya dokter yang memeriksa sudah berpesan agar besuk pagi sebelum di test aku harus sudah makan. Kembali penyakit ndesit-ku (kampong) kambuh. Karena takut bekal uangku tidak cukup untuk makan diwarung, akupun tidak makan pagi, ditambah lagi pertimbangan ―lain‖ apa perlunya untuk test kesehatan harus sudah makan dulu ? Ternyata aku keliru. Untuk test ini setiap orang diperlukan kondisi badan yang siap betul. Testnya adalah, disuruh meniup suatu alat, untuk mendorong air raksa pada ukuran tertentu dan ditahan selama beberapa saat. Hasilnya, aku pingsan !. Padahal kalau test ini berhasil, selanjutnya lebih mudah, dan tinggal di-evaluasi bahasa Inggrisnya. Kalau hasilnya bagus, pendidikan pilotnya di Belgia, tetapi kalau agak kurang pendidikannya di Curug. Gagalah aku untuk menjadi pilot Garuda kerena kebodohan sendiri ! Tetapi Tuhan tidak pernah lupa kepada hambanya yang setia berdoa. Berita baikpun akhirnya tiba. Kakak memberitahu, untukku, ada dua penawaran yaitu menjadi pelaut dengan gaji dollar ? (kebetulan sedang ada kerja sama pengadaan Crew Kapal dengan Shell Tanker) atau menjadi karyawan Hotel yang pembangunan hotelnya memang diperuntukkan untuk melayani anak buah kapal, tetapi gaji-nya kecil karena didarat !. Dengan pertimbangan aku harus melanjutkan pendidikan, maka aku memilih untuk kerja di Hotel yang masih baru (pemiliknya perusahaan perminyaan nasional Indonesia), dengan status ―tenaga lepas‖, karena bidang kerjanya berbeda dengan usaha perusahaan induknya. Setelah melalui pendidikan perhotelan secara singkat, mulailah aku bekerja di Hotel. Karena aku belum punya pengalamanku pengalaman kerja apapun, maka aku dipekerjakan sebagai Room Boy, yang bertugas membersihkan kamar, mengganti perlengkapan tidur ( seprei, sarung bantal, selimut, dsb ) termasuk membersihkan kamar mandi dan WC yang merupakan fasilitas kamar Hotel. Lagi-lagi, ternyata Tuhan mempunyai rencana lain untukku. Sebelum Hotel diresmikan, Manajer dibagianku (Housekeeping) tiba-tiba mengundurkan diri, padahal masih banyak barang-barang kelengkapan Hotel (baik untuk kamar ataupun untuk public area) yang belum diserah terimakan dari pemasok, sedang karyawan (baru) dibagian kami tidak satupun yang berani menanganinya. Berbekal pegalaman aktif di organisasi selama SMA baik organisasi sekolah (sekarang OSIS), Pramuka, Ketua Palang Merah Remaja dan organisasi pelajar lainnya dalam menyelesaikan selukbeluk permasalahan organisasi, maka aku memberanikan diri mengambil alih tanggung jawab serah terima barang-barang tersebut. Bahkan tidak hanya itu, berkat jasa pelajaran ―ekskul‖ (kini: ekstra kulikuler) selama aku belajar di Temanggung, akupun sanggup menyusun jadwal kerja
bagian Housekeeping. Dengan prestasi ini, tidak lama kemudian aku diangkat menjadi Floor Supervisor, memimpin 20 orang dewasa pada umurku yang belum genap 19 tahun. Tahun pertama sebagai karyawan hotel, penghasilaku lebih digunakan untuk memenuhi pelbagai kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu dan lain lain yang selama ini tidak cukup aku miliki, termasuk keinginan anak muda saat itu kepingin punya celana Levis (???!!!). Tahun kedua aku mulai menabung untuk persiapan dana melanjutkan pendidikan seperti yang aku rencanakan. Tetapi ditahun ketiga, adikku dari Temanggung datang ke Jakarta dengan membawa surat dari bapak, isinya agar aku membantu biaya pendidikan adikku. Kakakku yang ada, hanyalah yang pertama yang sudah berkeluarga, sedang keempat yang lain masih kuliah, sementara kakak yang lain sedang berlayar. Tangung jawab ini, memaksaku menunda keiginanku untuk kuliah ditahun itu. Tetapi syukurlah, adikku diterima di suatu Akademi dilingkungan Dep Kesehatan dengan ikatan dinas, sehingga aku hanya support biaya transport dan makan saja. Setelah tiga tahun bekerja, akhirnya aku mendaftar masuk perguruan tinggi negeri dengan seleksi saat itu namanya SKALU, dimana calon mahasiswa diuji secara bersama dan bila lulus berhak mendaftarkan kejurusan yang diinginkan.Ternyata aku lulus ujian masuk, tetapi gagal masuk kejurusan yang kuinginkan karena ―kalah persaingan‖ (untuk menggantikan kalimat ―nilaiku kurang…‖), maklum sudah lama tidak belajar. Akan tetapi, karena tahun itu aku berketetapan harus kuliah, aku coba mendaftarkan menjadi mahasiswa Akademi Statistik, dan berhasil lulus test, tetapi….walaupun kuliahnya gratis dan ada ikatan dinas-nya, tetapi untuk biaya hidup sehari-hari ditambah beberapa tanggunganku, aku harus cari dari mana… ?. Akhirnya aku putuskan untuk mengundurkan diri dari Akademi Statistik dan beralih pikiran masuk jurusan lain yang sebelumnya tidak pernah aku pikirkan (karena aku merasa bahwa aku ini lulusan SMA jurusan IPA maka harus masuk jurusan yang sesuai). Akupun mengambil ketetapan ke jurusan IPS (tetapi harus mempunya nilai jual: artinya mudah mendapat pekerjaan). Dan akupun mendaftar masuk ke Akademi Akuntansi Jayabaya, yang saat itu lulusannya banyak diterima di kantor Akuntan Publik maupun di perusahaan pada umumnya. Beruntung, ternyata tempat kuliahnya tidak terlalu jauh dari Hotel dimana aku bekerja. Walupun disediakan kuliah pada sore hari untuk mahasiswa yang sudah bekerja, tetapi aku sengaja ambil kuliah pagi dengan mengatur giliran kerjaku agar lebih banyak masuk sore dan malam (yang sebetulnya memang tidak disukai), disamping pertimbangan lain karena kalau kuliah pagi ―banyak pemandangan yang indah-indah dan segar-segar…‖ (maklum akupun masih bujang), dibanding kuliah sore yang isinya pekerja dan biasanya usianya sudah agak lanjut. Kuliah sambil bekerja ternyata menghabiskan tenaga dan waktu, tapi herannya aku masih sempat bersosialisasi dibidang lain dengan ikut klub ―Prambors Softball League‖ dan kuliahku-pun berhasil tepat waktu dengan nilai cukup baik dengan memperoleh gelar Bachelor of Accounting. Tapi aku bekerja di Hotel, lalu apa gunanya?. Aku semakin yakin Tuhan tak kan pernah lupa kepada hambaNya yang tekun berdoa dan berusaha. Dosen pembimbing tugas akhir-ku menyarankan agar aku menemui bagian personalia Direktorat Keuangan perusahaan induk, sebuah perusahaan minyak nasional dan kebetulan sangat membutuhkan jenis keahlian seperti kemampuanku. Padahal, saat itupun aku sudah diangkat sebagai pegawai tetap setelah delapan tahun menjadi tenaga lepas. Mulaialah aku bekerja dilingkungan Direktorat Keuangan. Namun akungnya, terdapat kebijakan bahwa seorang karyawan yang selama masa kerjanya menambah jenjang pendidikan, tidak serta
merta mendapatkan penyesuaian berdasarkan pendidikan yang terakhir diperoleh. Jadilah, aku masuk Direktorat Keuangan sebagai lulusan SMA, hanya kesempatan naik pangkatnya lebih baik. Namun dengan berjalannya waktu, persaingan sangat ketat dalam karir terus bergulir, sehingga aku harus menambah jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi (padahal, saat itu aku sudah punya beban keluarga dan anak-anak yang sudah duduk di bangku SMP). Tetapi, aku harus kuliah lagi. Karena aku pernah gagal masuk perguruan tinggi negeri, maka kali ini aku harus masuk ke perguruan tinggi negeri untuk menambah nilai tawar dalam persaingan nanti. Test pertama ternyata gagal karena bahasa Inggrisku kurang baik karena yang ditest adalah kemampuan untuk dapat memahami literature bahasa Inggris, padahal selama ini aku lebih dalam percakapan sehari-hari saja sisa pengalaman selama bekerja di Hotel. Terpaksa, aku harus kursus bahasa Inggris untuk memperbaiki. Test kedua masih gagal lagi, karena kurang diperhatikan dalam test matematika, lebih banyak mengenai matrix, padahal selama di SMA dan kuliah sebelumnya aku belum pernah mendapat pelajaran matrix. Maka akupun harus kursus matematika lagi agar dapat berhasil. Teest ketiga gagal lagi…!, karena disaat mengikuti test kebetulan bersamaan dengan meninggalnya mertuaku, alhasil aku tidak dapat mengikuti test dengan baik. Barulah Test untuk yang ke empat ini, aku berhasil masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Extension. Alhamdulillah, aku berhasil menyelesaikan kuliahku tepat waktunya, pada usiaku sekitar 40 tahun. Dikeluargaku, akulah anak yang terakhir menyelesaikan pendidikan sampai jenjang S1. Saat ini, aku sedang menikmati Masa Persiapan Pensiun, karena sebentar lagi masuk masa pension. Aku berkarir dalam perusahaan selama 36 tahun lebih 8 bulan dengan jabatan terakhir Assisten Manajer dilingkungan Direktorat Keuangan. Jabatan ini, biasanya dijabat oleh karyawan yang dipersiapkan melalui jenjang pendidikan khusus, sementara aku termasuk yang sangat langka, karena duduk dijabatan itu merangkak mulai dari jabatan yang paling bawah…. Alhamdulillah, berkat doa tulus ikhlas dari orang tua, semangat pantang menyerah dan berani mengambil keputusan penting disaat kritis, serta bersedia melakukan perubahan pola pikir, akhirnya aku dapat mengakhiri pengabdianku diperusahaan dengan baik. Tidak terbayang, aku yang pernah ―Tidak ingin lulus SMA‖, melalui perjuangan panjang serta usaha sendiri, akhirnya dapat menjadi ―orang‖ melalui lika-liku hidup meniti jalanan terjal, di atas batu cadas kering nan keras, tetapi atas perkenan serta ridlo Allah Yang Maha Kasih, serta do‘a orang tua, semua itu dapat kulalui dengan baik. Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, anakku yang pertama sudah bekerja setelah lulus menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia, anakku yang kedua juga hampir lulus menyelesaikan pendidikannya di almamater yang sama. Hutang dan ganjalan yang belum terselesaikan, hanyalah keinginanku mengajak istri dan anakanak untuk melakukan ibadah umroh bersama, selain kewajibanku sebagai orang tua. InsyaAllah….
A Isbudiyanto Asal : Jampirejo 310 Temanggung 1. SD Kanisius Temanggung (lulus th. 1971) 2. SMP Kanisius Temanggung (lulus th. 1974) 3. SMA Negeri-1 Temanggung ( lulus th. 1977)
"Tuhan senantiasa membekali setiap insan ciptaan-Nya dengan kemampuan tertentu. Kita seyogyanya menggali, menemukan dan mengembangkan".
―Mbludhus‖ di Mudal Siang itu, aku diajak keponakanku Koko dan Yanto serta kawanku Jarot untuk berenang di Mudal yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pikatan. Mudal adalah pemandian umum milik Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung yang berjarak sekitar 2 km dari rumahku di Jampirejo. Waktu itu aku berusia sekitar 10 tahun dan merupakan peserta ―ekspedisi‖ terkecil. Dengan bertelanjang kaki (nyeker) kami berjalan menuju Kali Gedhe melewati perkampungan dan sawah. Untuk sampai Mudal, dari desaku harus menyeberang Kali Gedhe. Tidak lupa kami membawa celana rangkap dua. Yang satu untuk berenang dan yang satunya lagi akan kupakai saat pulangnya. Maklum pada waktu itu kami belum terbiasa bercelana dalam. Sepanjang perjalanan kami merasa senang sekali, apalagi baru pertama kali diajak berenang di kolam renang yang sesungguhnya. Tiba-tiba di sebelah pematang sawah muncul se-ekor ular ―Lare angon‖ sebesar ibu jari orang dewasa. Kulitnya berwarna hitam dengan kombinasi warna kuning. Ular itu berenang di sawah, tetapi bibit padinya baru saja di tanam, sehingga airnya terlihat seperti kolam. Tiba-tiba aku mendekati ular itu, dan dengan spontan kujulurkan tanganku ke arah ular sambil memainkan jari tengah ke ibu jari (methethi) gerakan itu mengeluarkan bunyi. Anehnya, ular itu mendekat dan dengan sekali ayun, tanganku menyambar… haaap ....! ular dapat kutangkap kepalanya. Keponakan dan kawanku kagum melihat keberanianku itu. Aku sendiri juga heran dengan aksi nekatku, apalagi hal itu belum pernah kulakukan sebelumnya. Memang aku sudah pernah diberitahu oleh ayahku bahwa ular jenis itu adalah ular yang baik dan menjadi sahabat para petani. Karena teringat petuah ayahku, maka ular ―sahabat petani‖ itu kulepas kembali. Setelah melewati Kali Gedhe yang airnya jernih dan banyak batu besarnya, kami melewati ladang (tegalan), kumpulan rumpun bambu yang sangat rindang, lalu masuk ke perkampungan. Sejurus
kemudian, terlihatlah kompleks Mudal yang di beberapa bagian dibatasi dengan kawat berduri. Kawat berduri itu kami juluki ri brandil. Sesuai rencana, kami akan ―mbludhus‖ alias masuk ke area kolam tanpa membayar. Dengan berdebar-debar takut ketahuan petugas, kami mengendap-endap. Satu persatu menelusuri sungai yang berhubungan dengan kolam renang. Aku di urutan nomor ke tiga sebab paling kecil, jadi maksudnya ditempatkan di antara yang besar. Tinggi air kira-kira sebatas dada saat aku berdiri. Jantungku benar-benar dag-dig-dug tak karuan. Setelah melewati ri brandil , berarti tugas rahasia sudah berhasil dan ―lolos‖ dari pengintaian petugas (padahal petugas karcis biasanya hanya berada di sekitar loket penjualan), maka masuklah kami di area kolam renang. Plooong ….misi ―mbludus‖ telah berhasil !. Perasaan senang bercampur aduk dengan takut ditangkap petugas, segera berlalu.. Aku terkagum-kagum memandangi air yang jernih melimpah. Rupanya Pemandian Mudal dibagi dalam empat kelas, mulai yang paling dangkal (cethek) sampai yang paling dalam (jero). Kolam yang paling dalam tidak terlihat dasar kolamnya. Tanpa membuang waktu kami segera masuk ke kolam renang untuk berenang sepuas hati seperti yang pernah kubayangkan. Selesai berenang kami segera bilas lalu ganti celana yang sudah kami siapkan. Segera kami pulang. Kali ini melewati pintu utama karena sudah tidak diperiksa lagi. Waktu itu kira-kira jam dua siang. Matahari sangat terik menyengat tubuh. Lalu sampailah kami di tengah sawah, tiba-tiba Jarot mengeluarkan celana basahnya untuk dipakai di kepala seperti sedang mengenakan topi. Kami pun mengikutinya karena kata Jarot dapat melindungi kepala dari terik matahari juga sekaligus berguna untuk menjemur celana kami yang basah. Kerongkonganku terasa kering karena haus. Mereka juga mengatakan hal yang sama. Koko keponakanku bilang bahwa di depan sana, dia melihat tanaman mentimun (timun). Serta merta kami mendekat. Benar adanya, banyak sekali timun yang terlihat di sela-sela batang yang merambat dan daun-daun yang terlihat hijau segar. Tidak membuang waktu ―misi rahasia kedua‖ segera digelar, kami mencari sendiri-sendiri timun di sawah entah milik siapa. Kebetulan pada jam-jam itu petani sedang istirahat (laut). Dan biasanya mereka pulang ke rumah. Suasana sawah sangat sepi. Maka kami leluasa ―mencuri‖ timun petani seperti kancil dalam dongeng ibu dalam setiap pengantar tidurku. Tiba-tiba kami dikejutkan suara seseorang menghardik kami sambil berteriak. ―Ojo dho nyolong !‖ (Jangan mencuri). Kami terperanjat setengah mati. Jantungku serasa copot . Dalam hitungan detik, sambil membawa timun sekenanya, kami mengambil langkah seribu alias berlari sekencang-kencangnya tanpa berani menoleh….Sampai di kejauhan, barulah kami berani berhenti berlari. Sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal tak beraturan, aku baru sadar bahwa celanaku yang kupakai sebagai topi sudah tidak ada lagi (???) Malam harinya aku tidak bisa tidur. Ada perasaan takut dan bersalah karena telah mencuri timun. Dan aku berjanji tidak mencuri lagi, karena perbuatan itu berdosa dan merugikan orang lain.
Sejak saat itu, aku sering berenang di Mudal bersama teman-teman. Tetapi lewat pintu depan dan membeli karcis tanda masuk. Lebih sering naik sepeda atau delman (andhong) dari Alun-alun Temanggung yang sekarang sudah menjadi bangunan kantor Bank BCA. Dengan belajar berenang secara sungguh-sungguh dari teman, dalam beberapa bulan aku sudah bisa berenang.
Nasihat Bu Guru ―Ke depan, kita harus lebih keras berlatih dan tekun berlatih. Sebab keberhasilan adalah proses perjuangan yang tidak pernah berhenti. Ibarat kita mendaki tangga, setapak demi setapak hingga mencapai puncak ........‖ ―Siapa yang suka menyanyi ?‖, tanya bu Nuk guru kesenianku di SMP Kanisius Temanggung. Meskipun agak malu, aku segera mengacungkan tangan sebagai tanda bahwa aku suka menyanyi. Setelah melalui serangkaian uji kemampuan, maka sekitar 20 murid terpilih menjadi anggota paduan suara. Di antaranya adalah aku, Imam Supranoto (yang kemudian masuk ITB, dapat beasiswa ke Belanda, bekerja di Nurtanio, namun mendahului kita dipanggil menghadap Sang Kholik), Surawi, Sunar, Michael, Un Giok (istri Oei Gwan Hwie – anak bungsu Om Oei Bie Lay yang punya PO Safari Dharma Raya), dan sang dirijen Ho Pek Hun. Sejak saat itu hobi nyanyiku di kamar mandi mendapatkan ―panggung‖ untuk berekspresi. Paduan suara di sekolahku pun berlatih dengan sungguh-sungguh di jam pelajaran atau sore hari. Pak Giyarto, Kepala Sekolah memberi dukungan yang sangat besar. Antara lain dengan menjalin kerjasama dengan SMP Kanisius Pendowo Magelang yang kebetulan Kepala Sekolahnya, Pak Sudjari adalah kakak sepupuku sendiri. SMP-ku mendatangkan pelatih dari SMP Kanisius Pendowo Magelang. Pak Poer, nama pelatih itu, bersama beberapa murid datang ke sekolahku untuk mengajari bagaimana mengolah vocal, kekompakan, intonasi, artikulasi, dinamika dan teknik menyanyi lainnya. Paduan suara SMP Kanisius Temanggung pun beberapa kali bertandang ke Magelang untuk tujuan yang sama dan menyaksikan bagaimana cara mereka menyanyi dengan sangat baik. Seingatku, tahun 1974 lomba paduan suara pun di gelar di SMP Negeri 1 ―Gumuk Lintang‖ Temanggung. Hampir seluruh SMP di Temanggung mengirimkan wakilnya. Lomba ini juga bersamaan dengan lomba menyanyi tunggal yang waktu itu dimenangi oleh Nanik Latifah dari SMP Negeri 1 Temanggung. Meskipun sang dirijen lupa memberi aba-aba untuk mengulang refrein lagu Indonesia Raya, namun paduan suara SMP-ku menjadi juara pertama. Mungkin karena lagu ―Bandung Selatan‖ dan ―Selendang Sutera‖ dapat kami bawakan dengan kompak dan dengan dinamika yang nyaris sempurna. Ajaibnya, SMP Kanisius Pendowo Magelang pun menjadi juara pertama lomba serupa di kotanya. Kini timbul persoalan baru, semua juara pertama di Tingkat Dua yakni Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Muntilan (mewakili Kabupaten Magelang) dan Kota Madya Magelang harus berlomba di tingkat karesidenan. Artinya kami harus ―bertarung‖ dengan pelatih kami yakni SMP
Kanisius Pendowo Magelang. Uniknya untuk persiapan lomba di tingkat karesidenan, kami masih dilatih oleh calon lawan kami. Latihan difokuskan pada artikulasi (pengucapan) dan mengatur dinamika yang dianggap paling lemah dari paduaan suara kami. Maka jauh-jauh ke Magelang kami hanya dilatih mengucapkan ‖a; i; u; e; o‖ sembari meniti nada ―do, re, mi, fa, sol, la, si, do‖. Saat perlombaan pun tiba. Kali ini Purworejo menjadi tuan rumah. Rombongan paduan suaraku datang dengan naik bus dari Temanggung. Bagi kami, pada waktu itu, pergi ke luar kota dengan naik bus adalah sebuah kemewahan. Seperti halnya saat kami berlatih ke Magelang naik ―montor‖. Pentas pun digelar. Nyanyian merdu dikumandangkan silih berganti hingga peserta terakhir. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yakni pengumuman pemenang oleh Ketua Dewan Juri. Hati kami berdebar. Badanku ikut bergetar, menanti pengumuman. Alhasil, kami diputuskan menempati urutan ketiga setelah SMP Kanisius Pendowo Magelang, dan wakil dari Muntilan. Tentu saja kami kecewa. Usailah sudah lomba paduan suara tingkat karesidenan. Sebuah proses perjuangan yang panjang dan melelahkan sekaligus melegakan. Ibu Nuk guru kesenian kami yang menjadi pendamping mengumpulkan kami untuk berdoa. Sebelum berdoa beliau menyampaikan nasihatnya:
‖Aku mengerti kalian kecewa....karena tidak menjadi juara. Tetapi kalian harus tetap bersyukur kepada Tuhan dan jangan berputus asa, karena sejatinya kita telah menjadi juara di Temanggung. Tidak apa-apa..., kalian telah berusaha keras untuk berlatih dan mempersembahkan yang terbaik buat Temanggung tercinta. Kalian adalah murid-murid tebaik yang membanggakan. Ke depan, kita harus lebih keras berlatih dan tekun berlatih. Sebab keberhasilan adalah proses perjuangan yang tidak pernah berhenti. Ibarat kita mendaki tangga, setapak demi setapak hingga mencapai puncak ........‖ Nasihat itu sungguh mengesankan dan tersimpan rapi di sanubari. Ia mampu mengembalikan kepercayaan diri dan menggerakkan semangatku untuk maju dan terus maju. Seseorang yang dapat membakar semangat berprestasi untuk para murid, tak lain dan tak bukan adalah guru…
Sri Budi Mayaningsih SDN 4, Temanggung, SMP N 1, Temanggung. SMA N, Temanggung ―Memang semua tinggal kenangan. Mengharap perjalanan waktu tanpa perubahan sungguh sangat naif, karena sesungguhnyalah hanya perubahan yang abadi di dunia ini‖.
Memang hanya perubahan yang abadi di dunia ini Siapa yang tidak kaget waktu dengar SMAN 1 Temanggung mau mengadakan reuni akbar atau emas, ulang tahun yang ke 50. Ada sensasi khusus yang lama tidak kurasa. Semangat korps sebagai alumnus SMAN I yang begitu antusias menyeruak di dada:
―Aku harus datang !‖. Hebohlah semua kemudian, saling SMS dan telepon untuk janjian dengan teman-teman sekelas atau seangkatan. Sudah terbayang bakal gojeg lagi seperti jaman sekolah dulu sambil makan makanan khas Temanggung. Hari-hari jadi terasa indah karena ada jadwal yang penuh dengan berbagai harapan. Apakah teman-teman dan guru-guru sudah banyak berubah setelah 30 tahun tidak berjumpa?, itu pasti. Tapi sampai seberapa perubahan tersebut sesuai dengan yang kubayangkan, itu misteri yang menarik. Aku tentu kangen dan kepengin ketemu semua teman sekelas dan seangkatan. Tapi aku juga kepengin ketemu kakak dan adik kelas. Ada kakak kelas beda 2 tahun yang sejak dia lulus tidak terdengar kabarnya. Dia adalah mas Gito, panjangnya Gito Sarjani.. Dulu badannya tegap dan rambutnya yang kriwil... ah, mungkin sekarang sudah meninggalkan dunia hitam, alias kriwilnya sudah berubah putih. Atau mungkin sudah botak, wallahualam.. ternyata ―Sungguh Mati Aku Jadi Penasaran‖ tidak hanya sebuah bait lagu, tapi benar-benar terjadi padaku.. Hari yang kutunggu itupun tiba. Pertama kujejakkan kaki masuk gerbang sekolah aku harap-harap cemas, masih seperti dulukah?. Kulihat buk sudah tidak ada. Buk atau pagar tembok rendah di depan gerbang sekolah, dulu biasa kami duduki sesaat sebelum pulang sehabis kegiatan sore hari, seperti latihan drama, vocal group dan sebagainya. Biasanya kami mampir di buk itu sebentar sambil ngobrol dan bercanda. Kalau sudah begitu rasanya memang jadi males pulang. Kalau sudah kumpul teman, memang jadi lupa rumah. Lagu wajib yang sering dinyanyikan tentu saja Temanggung Akung, ciptaan mas Hery, begitu katanya. Tapi sampai luluspun aku tak pernah ketemu dengan penciptanya. Teman-teman bilang waktu itu kalau yang ngarang lagu itu sudah kuliah di UGM. Begitu seringnya menyanyikan lagu itu baik di sekolah, di tempat camping, dimanapun saat ngumpul, sampai akhirnya baru
merasakan kedahsyatannya tatkala benar-benar harus berpisah dan meninggalkan kota Temanggung. Ternyata lagu yang berasal dari riwayat pribadi pengarangnya, persis terjadi juga pada riwayat pribadi setiap insan Temanggung yang harus meninggalkan kota itu. Lagu itu begitu akurat menggambarkan suasana batinku saat harus berangkat ke Jakarta dengan bus malam OBL untuk melanjutkan kuliah di sana....: ―Kupastikan langkah, dan tak akan goyah, mencari bekal hidupku...‖. Aku melanjutkan langkahku. Agak masuk lagi ke tempat parkir sepeda dan motor masih ada tapi sudah berganti ubin. Di situ dulu aku biasa parkir sepeda bututku... Makin penasaran mataku langsung melanjutkan inventarisasi benda-benda yang begitu lekat dibenakku. Pohon klengkeng yang berada di tengah halaman sekolah, masih ada juga tapi sudah jauh lebih besar ... Lalu sepanjang jalan menuju tempat reuni menjadi begitu panjang karena bertemu dengan teman seangkatan, adik kelas, kakak kelas dan guru-guru yang sebagian besar hampir tidak kukenali lagi. Bersalaman, bertegur sapa, akrab dan riang. Perubahan demi perubahan fisik sekolah kuamati dengan seksama. Tembok yang dulu membatasi sekolah dengan sungai kecil dan sawah sekarang sudah tidak ada lagi. Sawah yang konturnya yang lebih rendah dan dulu sering kulompati pagarnya itu rupanya sudah di beli dan sekarang menjadi bagian dari pelebaran sekolah. Sudah menyatu dengan halaman lama. Sepertinya halaman tambahan itu menjadi tempat olah raga. Tempat itulah yang sekarang digunakan untuk reuni akbar. Aku menuruni tangga untuk menuju tempat pusat keramaian tersebut. Dari jauh sudah terlihat panggung, tenda dan kursi tempat pertemuan serta gubug-gubug yang penuh dengan makanan. Sangat menarik. Tiba-tiba MC menyambut dan menyebut namaku :
―Selamat datang, ibu Maya..‖. Tak sanggup aku berkata-kata. Terharu. Suara itu dulu sering kudengar, dia adalah kakak kelas yang rajin mengajariku membaca puisi. Kami bersalaman, bergandengan sambil tersenyum dan melangkah indah mengikuti irama yang sedang mengalun. Dengan ramah dia mengantarku menuju kursi yang sebagian sudah dipenuhi tamu. Begitu mendapati teman yang se angkatan, langsung jerit itu menggema dimana-mana.Sebuah kangen yang sedang terlepas... Aku jadi ingat lagi sama mas Gito. Lucu banget jaman itu. Dia sering menemuiku saat istirahat. Biasanya kami suka duduk di pinggir bukit bertumbuh aneka pohon bunga. Bukit itu karya teman-teman yang mengikuti pelajaran ekstra melukis asuhan pak Widarto. Salah satu teman yang pandai membuat patung membangun versi kontemporer dan meletakkan disitu. Rupanya bukit itu sekarang sudah tak ada lagi. Patung juga sudah berpindah ke tengah. Mas Gito dulu sering curhat padaku. Segala macam masalah sering ditumpahkan. Sampai terkadang aku berpikir, kenapa dia nggak malu sama sekali kepadaku ya. Mungkin ada teman lain yang mengira kami pacaran, karena begitu seringnya dia mencariku. Tapi teman-teman dekatku tahu persis, kami
layaknya ―kakak-adik‖. Sebuah hubungan yang unik yang ternyata sampai sekarangpun masih sering terjadi diantara remaja. Pengakuan yang lugu dan paling spektakuler terjadi suatu saat selepas jajan : ‖Dik, aku ntes ngabuk...‖, akunya ―Aduh maaaas, nek ra duwe duwit ki mbok ojo jajan to...‖, kataku selalu mengingatkan ―Ngelih dik, ra tahan...‖, jawabnya standard sambil ketawa ringan Dulu aku menganggap hal seperti itu bisa saja. Mungkin mas Gito atau teman cowok lain malah bangga melakukannya. Tapi sekarang kok jadi beda ya. Andai anakku melakukan itu sekarang, pasti aku akan shock dan marah. Apakah ini terjadi karena aku telah berpindah ke dimensi lain dari sebuah generasi?. Sehingga pandangan perpektif jadi berubah drastis?. Aku tertegun sendiri menyadari itu. Jangan-jangan karena kecilnya menganggap peristiwa ―ngabuk‖ itu sebagai sesuatu yang biasa, tanpa ada pengawasan yang ketat terhadap penanaman nilai kejujuran, akhirnya sebuah generasi bisa bertumbuh menjadi suburnya pohon dengan cabang-cabang yang bernama korupsi, manipulasi dan gerombolannya yang sekarang meraja-lela di negeri ini?. Kalau benar, lalu siapakah sebetulnya yang paling bertanggung-jawab dalam hal ini?. Orang tua yang kurang tepat menanamkan nilai agama kepada anaknya?, guru yang kurang gigih mendidk tentang arti kejujuran?, pemerintah yang mencabut kurikulum budi pekerti?, ataukah media yang gencar mengiming-imingi contoh tentang peremehan terhadap nilai kejujuran? Aku lalu membaur dengan teman-teman yang hampir semuanya sudah berubah menua. Ada yang sudah beruban, ada yang jadi botak, ada yang giginya sudah ompong, tapi ada beberapa teman wanita kuperhatikan malah semakin tua semakin cantik. Mungkin karena auranya makin terbentuk dan keluar. Kami tak henti-hentinya mengingat kenakalan masa lalu sambil tertawa geli kemekelen berdera-derai.. Ada yang pacaran tetapi menikahnya dengan orang lain. Ada yang dulu tidak pacaran tapi sekarang malah jadi suami isteri. Ada yang bertahan tetap sendiri. Ada teman wanita yang menikah dengan adik kelas, jauh beda usianya. Lucu-lucu.. Sambil makan seperti orang kelaparan yang sudah seharian puasa, ketemu makanan khas Temanggung jadi kesetanan, rakus bukan main. Ada pecel kenci + mie, ada nasi hitam + urap + tempong, ada kupat tahu, ada bajingan dan banyak lagi berderet-deret. Kepengin semua, akungnya kapasitas perut terbatas. Aku terus mencari mas Gito, kutanyakan ke teman seangkatannya, tidak ada yang tahu. Aku terus memutari arena, berharap barangkali ada mukjizat dan tiba-tiba dia hadir dan ada disitu. Tapi sampai pertengahan acara reuni berlangsung tetap saja belum ada kabar tentangnya. Aku ingat suatu saat kami duduk di belakang laboratorium kimia, menghadap ke sawah yang berujung gunung Sumbing dan Sindoro yang biru. Kenangan terindah dalam hidupku kalau ingat pemandangan itu. Waktu itu, dengan wajah lesu dia menjejeriku.
―Kok loyo sih mas?‖, tanyaku ―Heh...‖, dia tak menoleh sama sekali kepadaku
―Frustasi puncak gunung?‖, tiba-tiba aku ingat judul novel karya Ashadi Siregar yang terkenal waktu itu
―Iyo, aku ki ora tahu pacaran tapi kok patah hati terus ngene ki piye..‖, sahutnya menggumam sendiri.
―Lah? Hahaha...kepriwe to, kok iso?‖, tanyaku ―Lha piye, lagi tak rindik-rindik, durung sempet ngomong, wis digandeng wong liyo...‖, lanjutnya ―Jantan dong mas, jo wedi nembak...!‖, aku menggertak, ―Opo nulis surat lah nek wedi ngomong..‖, lanjutku ―Aku ora iso nulis surat dik...‖, selalu begitu jawabnya. Kini aku terseret dalam dialog batin lagi, berpikir, jangan-jangan kebiasaan sungkan dan malu atau bahkan takut bicara di masa remaja kelak bisa menjadi bibit generasi yang ―yes man‖. Tidak berani mengungkapkan pendapat apalagi keinginan. Kalau kuamati di sekeliling tempatku bekerja, kebanyakan orang kurang berani menolak perintah atasan sekalipun itu tidak benar. Kebanyakan dalam berkomunikasi cenderung passive. Tidak berani menegur atau melaporkan perbuatan menyimpang di sekekelilingnya kepada yang berwajib. Dan malah lebih rela membiarkan kedholiman-kedholiman terjadi seperti yang makin marak terjadi di negeri tercinta ini. Kalaupun ada yang tidak pasif, malah jadi sebaliknya: aggressive, tidak punya kemampuan mendengar dan selalu jadi ―dr. No‖. Memimpin demo menentang dan memaksakan kehendak... Padahal negeri ini membutuhkan rakyat dan pemimpin yang assertive dalam berkomunikasi. Yang memahami lawan bicara dan memberikan masukan, argumen atau lainnya sehingga terjadi dialog dua arah yang konstruktif. Hubunganku dengan mas Gito memang layaknya seorang kakak dan adik. Kami saling mencari dan membutuhkan. Bebas sekali menyampaikan isi hati, tanpa rasa malu, tersinggung apalagi jaga image. Bahkan kadang kami duduk bersama tanpa kata-kata pun sudah membuat hati nyaman. Keberadaan yang damai inilah yang kusadari sungguh tak ternilai. Hanya dengan diam saja sudah berarti. Ini mengingatkan putri bungsuku yang juga menjalin hubungan ―kakak-adik‖ dengan kawan prianya. Aku selalu was-was dan mengecek kebenaran hubungan kakak-adik tersebut. Ingat cerita-cerita di sinetron yang di jaman ini begitu vulgar, apalagi hasil survey tentang kegiatan seksual di dunia remaja sungguh menakutkan. Kadang aku sulit percaya kalau putriku memang cuma sebatas ―kakak-adik‖.
―Bener kok ma, kami hanya kakak-adik, kan lagi nge-trend, gitu loh...‖, jelas putriku yang masih SMP itu.
―Bener ya dik, jangan pacaran dulu.. nanti kalau sudah kuliah baru boleh...‖, kataku tegas. ―Aaaah mama...‖, selalu jawabnya Mungkin yang terjadi dengan putriku itu persis seperti hubunganku dengan mas Gito dulu. Bedanya, dulu belum ada HP sehingga kami tidak bisa SMS. Dulu juga belum ada facebook sehingga kami belum bisa bertukar gambar atau foto. Apalagi Black Berry yang bisa untuk chatting 24 jam dimanapun berada, sambil tiduran, sambil nonton TV, sambil bepergian di atas
mobil. Perbedaan fasilitas dan tehnologi ini yang mengkhawatirkan sekali. Dulu kalau nggak jam istirahat kami tidak bertemu. Bahkan main ke rumahpun jarang karena rumah kami berjauhan. Dan sudah 32 tahun yang lalu sejak dia lulus, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Aku ingin sekali tahu dia menikah dengan siapa akhirnya, berapa anaknya, tinggal dimana dan kerja di perusahaan apa. Tapi selama ini apakah dia tidak kepengin tahu tentang aku? Atau mungkin sudah melupakanku. Sungguh mati aku penasaran.... Acara demi acara berlalu dengan gayeng, dari lagu, dagelan sampai tarian Didik Ninik Thowok, rasanya cepat sekali berlangsung. Aku masih berharap siapa tahu mas Gito tiba-tiba muncul. Tapi sampai detik terakhir acara selesai dia sama sekali tidak menampakkan diri. Sangat kusesali kenapa dulu pas mas Gito lulus kami nggak bertukar alamat. Dia memang pernah main ke rumahku tapi aku sama sekali tidak tahu rumahnya. Aku hanya diberi tahu rumahnya sekitar Kaloran. Begitu saja. Di sebelah mana, aku tidak tahu sama sekali. Tapi apakah keluarga mereka masih ada di sana?. Ayah ibuku pun sudah meninggal semua. Aku pulang untuk reuni ini juga menginap di rumah kakak. Jangan-jangan dia memang sudah tidak pernah pulang ke Temanggung lagi. Atau barangkali sudah meninggal?. Takut sekali aku membayangkan kemungkinan itu. InsyaAlloh masih dengan alamat-alamat yang kudapat masih bisa kumulai pencarian tentangnya. Baru kusadari, ternyata aku sering merasa memiliki seseorang justru setelah kehilangan... Aku melangkah pelan untuk sekali lagi memandang sekeliling, tempat dan benda-benda yang sangat mengingatkan dia, sebelum sekolah itu benar-benar kutinggalkan untuk kembali ke Jakarta lagi. Sulit menjelaskan kerinduan yang terjadi dihatiku. Rindu kepada kakak yang hilang selama 32 tahun. Rindu untuk kembali ke masa lalu yang indah. Memang semua tinggal kenangan. Mengharap perjalanan waktu tanpa perubahan sungguh sangat naif, karena sesungguhnyalah hanya perubahan yang abadi di dunia ini.
Bintaro, 6 Juni 2010
Khuamaedi Soewardi SD Jampirejo, Temanggung (lulus Th. 1972) PGAN Krangan, SMP Mualimin, SMP Tembarak (lulus Th. 1975) STM Doksut, (Lulus Th. 1979) Selalu belajar dan berdoa, berusahalah untuk menjadi yang terbaik dimanapun berada. Hasil yang besar memerlukan upaya yang besar pula. You will get what you pay for.
Apa yang ingin aku ceritakan ini tidak mempunyai tendensi politis maupun ekonomis apapun kecuali sekedar curahan untuk sharing dan apabila kurang bermanfaat jangan ditiru. Aku termasuk orang yang suka membaca dan mendengar kisah sukses baik tokoh terkenal, teman, saudara dll dan berusaha meniru yang baik baiknya saja.
Masa masa di Temanggung Dilahirkan di Temanggung 1960 sebagai anak pertama dari 7 bersaudara pasangan dari Haji Soewardi ( Alm) dan Hajah Kamilatun perantau dari Kartosuro, Solo . Bapak sebagai PNS Pengadilan Agama Temanggung dan Ibu marung Soto Babat dan catering cilik-cilikan. Masa kecil hingga remaja di Temanggung lebih banyak sukanya dari pada dukanya . Selain paksaan ortu untuk Ngaji ke Pak Dahlan dan Pak Kholil, Sebagaimana anak-anak yang lain, aku juga pernah berjamaah untuk mencuri jagung, mangga, timun dan lain lainnya, juga pernah mengenal judi kecil kecilan seperti adu jangkrik, kelereng, gaple, Kiu Kiu, Remi, puteran, Klotok , Adu Jago, Tikpol ( Jentik opo jempol ) dan bahkan ngintip wong adus neng kali barang. Temen kecil yang biasa memiliki ide aneh aneh termasuk Fendy, Giyuk, Bejo, Asnawi dan aku biasanya berada di posisi nomer 3, karena aku bukan Good Starter dalam segala hal, alkhamdulillah di umur 19 tahunan semuanya sudah berhenti. Ganti liyane?? Pada masa itu, karena sekolah di STM Doksut sore hari, mbolos sekolah untuk nonton Bioskop di City merupakan kegiatan rutin mingguan. Karena Keinginan tidak seimbang dengan kemampuan kadang ya mencari celah untuk bisa masuk City dengan cara yang effisien, ya Nyokol. Waktu itu belum merasa dosa ternyata nyokol itu sama dengan nyogok yang sama sama tidak baik. Musik yang paling merakyat waktu itu adalah Ndang Dut ( dh. Orkes Melayu ), dan Jampirejo memiliki group OM Sinar Kemuning. Biar dianggap sebagai pecinta musik, aku selalu memburu dimana keramaian berada , Pertunjukan Ndang Dut ndeso dan Pop singer Temanggung menjadi tontonan yang aku sukai.
Masa Kuliah Di Bandung 79 – 83 Berangkat dari Temanggung menuju Bandung Kuliah di STIPAR sambil bekerja, Selama 6 bulan aku menikmati bekerja sebagai Office Boy/ pesuruh yang bertugas sebagai Tukang Pel / Sapu tanpa mendapatkan gaji tapi mendapatkan makan. Di bulan ke 7 posisi aku naik menjadi Administrator sebuah kursus bahasa Inggris dan tak lama kemudian dipercaya memegang cabang. Mulai di Bandung inilah aku mencoba untuk mencari tahu siapa aku dan jawabannya ternyata aku bukan apa apa dan tidak ada apa apanya dibanding dengan orang orang yang pinter pinter itu. Dan menyadari posisiku, aku selalu bertanya dan belajar kepada siapapun di sekitar aku dan mencoba mengambil manfaatnya. Membaca buku buku motivasi, meminjam dari teman, dan buku buku yang menggairahkan hidup sangat aku sukai. Ketika lulus dan mendapatkan ijasah, dngan bangganya melamar di sebuah instansi, pada saat mau masuk gedung ditegur satpam dan tidak boleh masuk dan lamaran aku tinggal di pos Satpam. Dari situlah mulai berpikir kemampuan apa yang ada pada aku ? Dari pada dibentak bentak satpam lagi apa tidak bisa menggali potensi yang ada?? Akhirnya bersama beberapa teman sepakat mendirikian kursus New Concept Education Centre sampai sekarang.
Pasang Surut Membangun Usaha Mulai umur 35 an mulai berakrobat membangun usaha yang Kadang kadang ingin mencari uang malah menghabiskan uang. Lebih dari 9 bidang usaha sebagian sudah tidak jalan lagi, yang berjalan tinggal beberapa . Sekarang menginjak umur 50 tahun mulai jauh lebih hati hati jika mengambil peluang. Mungkin ini terpengaruh dari kecilnya kenal judi kali ya. Rodo ngawur.
Ngarang lagu dan nulis buku? Karena nekadnya aku berpedoman ― Kalau orang lain bisa Aku harus Bisa‖, dari filosofi itulah hampir semua yang aku inginkan dapat terwujud, walau banyak yang gagal. Alkhamdulilah aku telah menulis buku saku umrah dan haji dalam bahasa Inggris, Arab, dan B Indonesia tahun 2005 dan merelease 4 album dengan label NAGASWARA dengan nama beken MasKum dan KumSoe : Dang dut Kontemporer ( Indonesia Brunei ), Smarty 1 dan 2, International song for children ( NC Idol ) dan Alnbul kompilasi Temanggungan. Dari lagu lagu B Inggris yang aku buat, Insyaallah akan aku bukukan menjadi Buku‖ Teaching English With Songs ― yang diharapkan terbit akhir tahun 2010
Kegiatan Sosial di Lingkungan Tinggal di Komplek DKI Joglo, Jakarta barat sejak 1988 sampai sekarang disamping menjadi wakil Ketua RW 04, Joglo , aku menjadi Ketua Bidang Pendidikan yayasan As Salam yang
membawahi TK As Salam ( TK Pembina Kecamatan Kembangan ), SD, Madrasah, TPA dan TKA. Ya Semoga kegiatan ini menjadi tabungan akherat. amien
Negara yang pernah Dikunjungi Karena nekad dan rasa ingin tahu dan sok tahu aku nekad pergi ke Inggris, Manchester & London 1 ½ bulan untuk Comparative Study, jane yo kursus- ben keren wae, terus mampir Amsterdam, Jeneva, Makkah, madinah dan Asean tentunya. Tujuannya bukan untuk sok sok an melainkan hanya pengen melihat kinerja mereka aja. Ternyata di Negara Negara maju itu jauh lebih teratur dan kepastian hidup lebih jelas. Mereka lebih taat aturan walau kadang banyak yang atheis. Ambil Yang Baik Buang yang Buruk
Widodo Harjono SD Badran, Temanggung (lulus th. 1972) SMP N 2, Temanggung (lulus th. 1975) SMA N 1, Temanggung (lulus th. 1978) ―Tiap pagi memasak nasi sendiri, sepulang kuliah baru membeli sayur untuk makan siang dan malam. Jalan menuju kosku masih berupa tanah coklat, sehingga bila musim hujan sepatuku pasti belepotan tanah. Namun semua itu aku jalani dengan senang hati, karena aku merasa bersyukur, sebab teman-teman kampungku banyak yang tidak bisa kuliah‖.
Hidupku adalah perjuangan Tulisan ini berawal dari keresahan, keragu-raguan, seberapa penting seseorang seperti aku harus menulis pengalaman-pengalamanku ?. Menulis pengalaman pribadi, mungkin untuk orang lain sesuatu yang menyenangkan, tetapi menulis pengalaman pribadi, ternyata merupakan proses yang menyakitkan, memerlukan keberanian dan harus siap menerima resiko cibiran atau bahkan mungkin makian. Sulit raaku aku akan mengawali tulisan ini, seakan-akan ada beban berat yang aku pikul, aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku mencoba mengingat kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu hingga kini, aku berusaha menulis sejujur-jujurnya, tulisanku ini tanpa ―teori menulis‖ tetapi mengalir begitu saja. Kebahagiaanku timbul setiap kali aku pulang ke kampong yang telah kutinggalkan selama 31 tahun silam. Setiap pulang kampung adik iparku selalu menceriterakan bahwa Refi anaknya, sejak kelas IV hingga kelas VI SD telah ikut kursus bahasa Inggris, biarpun mereka tinggal dikampung sedang tempat kursusnya di tengah kota, adik iparku selalu setia untuk antar jemput. Alasanya sangat sederhana ―Agar nantinya bisa seperti Pakde Dodo, bisa ke luar negeri‖. Setiap aku bertemu saudara-saudaraku, mereka selalu berpesan kepada anak-anaknya, agar belajar dengan giat nanti setelah dewasa bisa seperti Pakde Dodo bisa keliling Indonesia dan keliling dunia. Ketika aku melanjutkan sekolah S2, tidak lama kemudian adikku mengikuti jejakku untuk melanjutkan S2 di Jogja dan Bersyukur berhasil. Dalam benak hati kecilku, ternyata aku telah menjadi motivator dan pendorong, minimal untuk keluargaku. Dan hal-hal semacam inilah yang mendorongku memberanikan diri untuk menulis pengalaman-pengalamanku, untuk adik-adikku yang masih belajar di Temanggung, dikotaku tercinta. Adik-adikku, gantungkan cita-citamu setinggi langit !, Tuhan akan mengabulkan...
Masa kecilku Aku orang biasa, dilahirkan di Dukuh Ngepoh, Desa Badran pada hari Rabu 6 Juli 1960. Bapak bernama Kusen Martoharjono dan ibuku Naptiah. Bapak seorang guru, jabatan terakhir adalah penilik sekokah. Pernah betugas di Kecamatan Pringsurat, Tembarak dan Kedu. Sedang ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Waktu itu mungkin aku sedikit beruntung, karena aku sudah dilahirkan di Darmarini sebuah rumah bersalin di Temanggung yang cukup baik, artinya sudah ditangani bidan bukan dukun bayi. Akung, Bapak keburu meninggal tahun 2001 persis ketika anak pertamaku berumur 40 hari, yang membuatku sangat sedih karena Bapak belum sempat melihat anakku yang merupakan cucu pertamanya. Aku anak sulung dari empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Sampai Bapak berpulang, aku lupa menanyakan kepada Bapak kenapa semua putra-putrinya dinamai dengan huruf berawalan ―Wi‖, seperti Widodo, Widiyono, Widayati dan Widiyani. Masa kecilku kuhabiskan di kampung kelahiranku di Dukuh Ngepoh-Badran, kampung yang masih memegang teguh aturan-aturan budaya Jawa. Ibuku mengajarkan, bahwa kita harus saling menghormati, menghargai, saling tolong menolong kepada orang lain, terutama kepada yang lebih tua harus bilang ―mas‖ kepada yang lebih muda harus bilang ―dik‖. Kalau makan tidak boleh ―kecap-kecap‖, apabila menggunakan sendok tidak boleh mengenai piring hingga menimbulkan bunyi dsb. Waktu itu masih sulit untuk mencari mainan, akhirnya aku sering membuat mainan sendiri, mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, kuluk (topi wayang orang) dari daun nangka, membuat wayang dari kardus, bedil-bedilan (senapan) dari carang (bambu), membuat bola dari thebok (kulit pohon pisang) dll. Aku sering bermain layangan di sawah, main benthik, main panggalan, mancing, memet, mandi di sungai Progo, dll. Kalau malam hari pas terang bulan aku sering main Jlumpet, main Gobak sodor dan masih banyak lagi kenangan di kampungku. Sekali-sekali, teman-teman kecilku, sering mengajakku mencuri Mangga, Pepaya, Klengkeng milik tetangga. Sebetulnya aku tidak punya keberaian untuk itu, melainkan hanya ikut-ikutan semata. Selain itu, kesukaanku lainnya sering nonton Wayang kulit, Wayang wong, Ketoprak, Samroh, tak lupa pula nonton nDangdut. Aku termasuk anak yang bongsor (cepat tinggi). Mengingat, waktu itu belum ada Taman Kanakkanak (TK) maka ketika aku berumur 5 tahun dititipkan ke SD Badran. Istilah jaman dulu sebagai ―Anak pupuk bawang‖. Meskipun demikian aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga dari kelas satu hingga kelas enam kujalani dengan normal. Sekolahanku sudah cukup bagus, seingatku dulu bangunan SD lama bertembok tebal beratapkan seng. Karena semakin banyak murid, maka dibangunlah sebuah gedung SD disebelah gedung yang lama.
Tak lupa aku selalu hormat kepada ibu Juminten, pak Yono, pak Suparjono, ibu Rowi sebagai Bapak dan ibu Guruku. Aku bersekolah dari kelas satu hingga kelas enam tanpa sandal dan sepatu, karena waktu itu memang masih umum bersekolah ―Nyeker‖ (telanjang kaki). Belum ada listrik, aku masih ingat belajarku menggunakan lampu teplok atau sentir. Tetapi, celakanya setiap bangun pagi hidungku selalu berwarna hitam, karena seluruh rambut hidungku penuh langes (asap teplok). Beruntung, listrik mulai masuk kampungku ketika aku masuk di SMP. Setiap ada pertandingan Kasti aku tidak mau ikut, karena aku tidak bisa lari dan takut dengan bola kasti yang keras. Aku masih ingat betul temanku si jago Kasti, Bakir namanya. Pukulannya keras, lagi jauh, karenanya pasti membuat lawan keponthal-ponthal (terbirit-birit) mengejar bolanya. Banyak kenangan di sekolahku. Aku menjadi ingat, bagaimana menonton TV untuk pertama kalinya, yaitu sekitar tahun 70-an, ya.., di depan SD itu. Warga satu desa belum ada yang punya TV. Nonton pasti rame-rame, TV-nya masih hitam putih. Film idolanya Rintintin, Zoro dan Jeny oh Jeny. Sejak kecil, aku memang sudah senang terhadap pelajaran-pelajaran yang mengandung seni, seperti menggambar, membuat prakarya, dll. Bakat seniku mungkin mewarisi bakat dari Ibu dan Kakek, yang bernama Mbah Daud Djiwomidjojo. Simbah, selain seorang guru juga seorang Dalang. Berdasarkan cerita kakek, beliau berhenti men-dalang karena persaingan dalam dunia per-dalangan semakin tidak sehat. Istilah orang jaman dulu, Kakekku ―digawe‖ oleh pesaingnya, sampai-sampai Kakek tidak dapat berjalan lagi. Selain itu, ibuku yang lulusan SKP ternyata mempunyai jiwa seni. Karya-karya bordirannya sangat menarik. Ibuku juga pandai menjahit. Ketika aku masih kecil, baju dan celanaku juga adik-adikku dibuatkan oleh Ibu. Aku masih ingat betul, celana kesukaanku celana kodok. Akungnya, celana kodok ini menggunakan tali yang melintang dikedua pundak si-anak, sehingga sulit melepaskan bila diperlukan. Nah, oleh ibuku di bagian bawah celana diberi lubang agar aku gampang jikalau pipis. Makanan kesukaanku, lauk ikan asin (orang Jawa menyebutnya ―gereh‖ atau ―tokrik‖) karena belum bisa bicara sempurna aku biasa menyebutnya ―engkik‖. Nah, saking tergila-gilanya aku lauk ―engkik‖, setiap pergi hajat Ibuku selalu membungkus ―engkik‖ di selendangnya. Bapak mendidik kami, aku dan adik-adiku sangat keras, tetapi penuh kelembutan. Bapak jarang sekali marah. Kalau sudah keterlaluan, barulah dijewer. Sejak kecil aku dan adikku dilarang keras merokok. Karena Bapak tidak merokok, akhirnya sampai saat ini aku tidak pernah kenal yang namanya rokok. Sebelum berangkat ke sekolah, aku harus memberi makan ayam terlebih dahulu. Sebab, kami memelihara ayam petelur cukup banyak. Begitu pula setelah pulang sekolah, sebelum main bersama teman-temanku aku harus memberi makan siang dulu ayam-ayamku. Setiap dua-tiga bulan sekali aku harus menyuntik ayam, untuk kesehatannya. Setiap tiga hari sekali Bapak sudah berpesan, sepulang sekolah aku harus menengok air disawah terlebih dahulu. Memang, air sawah
sering habis sehingga tanahnya kering. Agar tidak terjadi, maka disiang bolong dalam terik sinar matahari dan perut dalam keadaan lapar, aku harus tekun untuk menelusuri parit guna mencari sumber air. Karena masih kecil, aku sering punya rasa takut ketika harus menyusuri parit-parit sebab di sepanjang perjalanan yang kulalui masih banyak pohon-pohon besar, dan kata orang-orang tempat seperti itu tempat tinggalnya ‖wewe‖ (setan perempuan berambut panjang). Saking takutnya, agar tidak dimarahi, aku nekat sengaja melumuri kakiku dengan lumpur. Sesampainya di rumah aku tunjukkan kepada Ibu kakiku yang berlumpur… sekedar sebagai ―laporan‖, bahwa aku sudah ―bertugas‖sampai kesawah. Ibu hanya diam. Belakangan aku yakin Ibu pasti tahu ―akal bulusku‖, cuma karena akung kepadaku, maka cukup diam saja. Selain itu, juga harus membantu memetik kopi dan cengkeh manakala sudah saatnya panen. Kenangan semasa SD-ku yang tak pernah terlupakan adalah ketika aku menjadi juara II melukis tingkat Kabupaten Temanggung, pada saat peringatan Hari Pendidikan. Ketika aku diberi tahu oleh guru agar aku mengikuti lomba melukis di Temanggung, selama berhari-hari aku hanya kebingungan, kira-kira aku akan menggambar apa ya ?. Sebab metoda atau cara menggambarku hanyalah autodidak (belajar sendiri). Paling banter mencari inspirasi dengan melihat-lihat foto, gambar dimajalah, buku-buku, atau Koran. Hari ―H‖ perlombaan melukis-pun akhirnya tiba. Aku benar-benar merasa minder karena semua peserta lain membawa berbagai peralatan melukis yang komplit, sedangkan aku hanya membawa peralatan seadanya. Akupun mulai melukis. Aku melukis sebuah meja, diatasnya terdapat seperangkat alat untuk minum, sebuah teko, beberapa gelas dan sebuah sendok. Seusai mengikuti lomba, sebagai upahnya Bapak mengajakku ke warung untuk membeli Kupat tahu. Setelah beberapa hari aku diberitahu bahwa aku terpilih menjadi juara II lomba melukis yang aku ikuti itu. Dengan keberhasilanku menjadi juara, Bapak berjanji membelikan sepatu baru untukku. Berhari-hari aku membayangkan, bagaimana rasanya punya sepatu baru yang telah dijanjikan Bapak. Hingga suatu hari, akupun diajak Bapak pergi ke Temanggung untuk membeli sepatu baru. Sampai saat yang kutunggu-tunggu, semalaman aku tidak bisa tidur. Pertama, karena esok pagi aku menerima Piagam sebagai Juara II lomba melukis, Kedua, aku membayangkan bagaimana rasanya memakai sepatu baru. Pagi hari itu, aku diantar Bapak ke Temanggung untuk menerima piagam. Pada awalnya kakiku tidak terasa apa-apa, namun lama-kelamaan kakiku mulai terasa sakit, e…. ternyata kakiku lecet. Dengan kaki terpincang-pincang karena lecet, akupun menerima piagam itu. Dengan sangat bangga aku mengangkat Piagamku tinggi-tinggi didepan Bapak dan para tamu undangan. Sekian tahun lamanya penuh rahasia, kini, ketika aku sudah meninggalkan desaku puluhan tahun lamanya karena telah menetap di Jakarta, ternyata yang duduk didepanku ketika itu, yang membawa peralatan melukis komplit dan menjadi Juara I itu ternyata Mas Itok. Dulu aku hanya
tahu, bahwa yang menjadi Juara I adalah putra dari Bapak Suminto kepala dinas P dan K Kab. Temanggung. Meskipun aku sudah mempunyai bakat melukis, tetapi orang tuaku masih belum peduli dengan bakatku ini, sehingga teramat sulit bila aku harus meminta dibelikan peralatan melukis. Sehingga tiba-tiba timbul hasratku melukis dengan bahan-bahan seadanya seperti pensil, bolpoint, cat besi, arang kayu, batu-bata, dan apapun yang dapat aku jadikan alat untuk melukis. Tak terkecuali, media melukispun bermacam-macam, kertas, tembok, jendela ataupun pintu. Sepulang warga kampungku menyelenggarakan piknik memakai kendaraan truk ke Borobudur dan Prambanan, aku langsung ter-inspirasi membuat Kepala Kala (kepala raksasa yang berada di atas pintu masuk atau gapura candi). Jadilah, relief Kepala Kala yang aku buat dengan memakai bahan semen seadanya. Aku juga berhasil membuat beberapa relief seperti Kancil dan Arjuna sedang memanah. Suatu ketika aku membaca sebuah Koran. Di Taman Mini Indonesia Indah ada lomba melukis. Tema lukisan bebas, karya bisa dikirim lewat pos. Seketika itu, aku amat sangat ingin mengikuti lomba melukis itu. Akung, aku terbentur pertanyaan yang sulit di jawab, ―Bagaimana caranya ?‖. Lagi-lagi aku tidak mau kehabisan akal dan menyerah begitu saja. Maka, setelah aku menyiapkan kayu untuk bingkai kanvas, terpaksa, selembar Kain (Jarik) milik Ibu, aku potong, aku pasang dibingkai kayu, langsung ku-cat. Jadilah sebuah kanvas. Bagaimana dengan kuasnya ?. terpaksa, rambut bagian belakang adik perempuan aku potong sebagian, aku jadikan sebatang kuas, dan mulailah aku melukis. Media lukisku menggunakan cat besi. Setelah selesai dan benar-benar kering, langsung aku kirim melalui jasa pos dan giro. Tetapi, persoalan mulai timbul ketika ibuku berkehendak mengenakan Kainnya (jarik). Mungkin dalam benak hati Ibuku, ‖Ini Jarik kena apa, kok tinggal separo‖. Segera saja Ibu mencari tahu sambil terus marah-marah. Melihat keadaan seperti itu, akhirnya aku mengaku, bahwa Jariknya sudah aku potong untuk dibuat kanvas. Belum reda Ibu marah-marah kemaren siang, pagi inipun Ibu kembali marah-marah ketika mengetahui bahwa rambut adik perempuanku tampak jelas bekas potongan yang tidak rapih. Melihat keadaan Ibu, akhirnya akupun mengaku lagi telah memotong sebagian rambut adikku untuk dibuat kuas. Lomba lukis di TMII yang telah mengorbankan kain milik Ibu dan rambut adikku, hingga kini, aku tidak tahu kabar beritanya. Kepandaianku melukis ternyata dapat membantu sedikit kepada orang tua. Lumayan. Dapat membantu perekonomian keluarga. Bapakku, disamping sebagai pegawai negeri juga mengolah sawah, sedang untuk mengolah sawah diperlukan banyak sekali tenaga kerja. Ketika kesenian Kethoprak waktu itu sedang ―boom‖, kesempatan emas ini tidak aku sia-siakan. Tenaga sekampung, aku kerahkan untuk ikut mengolah mencangkul lahan milik Bapak. Sedang upahnya, dikumpulkan dan aku buatkan ―Geber‖(layar belakang panggung). Gambarnya-pun macammacam: Lingkungan Keraton, Pemandangan alam atau taman bunga serta gambar Hutan. Warga kampong senang, merekapun giat mengadakan pentas Kethoprak.
Setamat SD aku melanjutkan ke SMPN II Temanggung, prestasiku biasa-biasa saja. Terus terang saja, sewaktu SMP aku lebih banyak diam. Mengapa ?, karena minder dan tidak percaya diri. Setiap menerima raport pasti ada merahnya. Nilai merah langgananku adalah pelajaran eksak dan bahasa Inggris. Dan lagi-lagi pelajaran kesukaanku adalah pelajaran menggambar. Dalam keadaan sulit sarana transportasi, ke sekolah aku naik sepeda. Paling senang bila pulang sekolah, karena dari sekolah jalannya terus turun sampai jembatan Kali Progo. Cukup nangkring di-sadel, angin segar bertiup kencang menambah nyaman perjalanan, sampai pada suatu saat, sepedaku bermasalah dengan remnya. Dalam keadaan gugup dan bingung, terpaksa, kakiku harus menginjak ke arah ban depan sepedaku yang sedang meluncur sangat kencang karena jalan menurun tajam menuju jembatan….. dan dalam hitungan menit… terjungkalah aku bersama sepeda dan barang bawaan yang berantakan kemana-mana…. Dengan badan babak belur dan barang bawaan berantakan, aku hanya mampu terduduk diam sendirian di pinggir tanggul jalan. Kenangan indah (baca: pahit) tidak hanya sampai disitu. Ketika aku duduk dikelas IIIc, aku beserta teman-temanku asyik menikmati istirahat siang di warung ―Mbah Wir‖ dibelakang kelas yang masih banyak ditumbuhi pohon kopi. Tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi, spontan aku beserta teman-teman lari tunggang langgang melewati bawah pohon kopi dan langsung masuk ke dalam kelas. Ketika Guru memasuki kelas langsung berkomentar ―Ini bau apa ya..coba dicari ?‖. Diperiksalah sepatu para murid satu-per-satu…lalu benar saja… salah satu sepatu kawanku Untung namanya, yang rumahnya Paponan, ternyata menginjak kotoran manusia. Tak ada pilihan lain, satu kelas ngepel bersama-sama gara-gara si Untung.
Masa Remajaku Setamat dari SMPN II aku melanjutkan ke SMA Negeri (sekarang SMAN 1). Menyadari aku tidak bisa masuk jurusan eksak akupun mengambil jurusan IPS. Di SMA inipun prestasiku biasa-biasa saja, aku masih sulit menghilangkan rasa minderku, sehingga sampai kelas III-pun aku belum mengenal apa itu arti ―Cinta‖. Aku lebih banyak diam. Untuk menghilangkan rasa minderku, aku berusaha mencari teman di luar kelasku, ternyata teman-temanku baik semua, sampai saat inipun apabila aku pulang kampong, aku masih sering berkumpul dengan mereka. Guruku yang sedikit akrab adalah Pak Widarto, guru menggambarku. Sehingga, ketika Pak Widarto mendirikan sanggar ―Semut‖ (Seniman Muda Temanggung) aku sering ikut kumpul-kumpul disanggarnya. Disisi lain, sampai SMA, aku masih terus membantu orang tuaku memberi makan ayam, memetik kopi, cengkeh, kadang-kadang mencangkul diladang ataupun disawah. Bapak sering mengajariku bagaimana cara mengawinkan panili, menyambung kopi, menyangkok pohon (mangga atau jeruk), namun demikian aku tetap kurang berminat dengan pertanian. Suatu ketika, dimalam hari aku diajak oleh Bapak menyusuri parit guna mencari air untuk mengairi sawah. Malam sungguh gelap, di kanan-kiri jalan hanya tampak sinar gemerlapnya kunang-kunang. Tiba-tiba ditengah jalan kami bertemu dengan seseorang sedang membawa
bungkusan dipundaknya. Aku-pun langsung bertanya, ―Pak tiyang niku sek mbeto nopo nggih ?‖ (Pak, orang itu sedang membawa apa ya ?). Spontan Bapak hanya menjawab ―Husss..kuwi maling !‖ (hus, itu maling)‖, aku diam takut bukan kepalang. Setamat SMA tahun 1979/1980 aku mulai meninggalkan rumah. Dengan modal ijazah nilai paspasan aku berusaha melanjutkan kuliah. Aku tidak tahu harus kemana dan berbuat apa, saudarasaudaraku belum ada yang kuliah, tidak ada tempat untuk berkonsultasi, di universitas apa, jurusan apa, tidak ada pengarahan. Bapak, mendadak ingat kalau punya saudara di Jogja. Dibawalah aku ketempat saudara di Kricak kidul Jogjakarta. Disinilah aku diberi pengarahan oleh saudara-saudaraku. Aku sangat berterima kasih kepada Mas Prapto Saptono yang telah memberi pencerahan. Orang tua manapun sangat bangga kalau anaknya berhasil sekolah di ―Gadjah Modo‖ (UGM). Akupun mencoba mendaftar diri di UGM, akung gagal. Menyadari bakatku menggambar, akupun mencoba mendaftar ke ASRI, akung gagal juga. Akhirnya aku mendaftar ke Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengambil jurusan Seni Rupa, disitu aku diterima. Mulailah aku menyesuaikan diri sebagai anak kuliahan, tempat kuliahku sempat berpindahpindah sebelum menetap di Kentingan, Jebres. Mengingat orang tuaku hanya seorang guru dan harus membiaya 3 adik-adikku, aku memilih tempat kos sangat sederhana, tempat kosk setengah tembok setengah papan, atapnya-pun belum diberi plafon, sehingga bila hujan tempyas dan harus memasang plastik sendiri. Tiap pagi memasak nasi sendiri, sepulang kuliah baru membeli sayur untuk makan siang dan malam. Jalan menuju kosku masih berupa tanah coklat, sehingga bila musim hujan sepatuku pasti belepotan tanah. Namun semua itu aku jalani dengan senang hati, karena aku merasa bersyukur, sebab teman-teman kampungku banyak yang tidak bisa kuliah. Dengan alasan mempermudah transpotasi akupun merayu Bapak agar dibelikan motor. Oleh Bapak, akhirnya akupun dibelikan motor trail. Bagai ―Ali Topan Anak Jalanan‖, dengan bangganya aku kuliah menggunakan motor trail, sesuai ketika itu bahwa anak-anak muda sedang tergila-gila film ―Ali Topan‖. Berbekal T-shirt biru yang dipotong bagian lengan, celana blue jin, sepatu ―Nike‖, rambut gondrong, aku naik motor trail mengitari kampus baru di Kentingan… sangat bahagia luar biasa. Namun, satu minggu kemudian ternyata kebahagiaanku harus pupus. Ketika pulang ke Temanggung motor trail-ku dibawa adik untuk menengok temannya yang terserempet bis Daya Temanggung di Rumah Sakit (RS) Ngesti Waluyo Parakan. Beras telah menjadi bubur, ketika adikku keluar RS, motor trail-ku raib dibawa kabur maling. Aku hanya bengong, kebahagiaanku hancur, batinku ikut menangis. Aku tidak mungkin berani minta dibelikan motor lagi, mengingat Bapak membelikan motor dengan jerih payah luar biasa. Sudahlah …… Sebelum tempat kosk-ku yang terakhir, aku sempat kosk di tempat Pak Akoib di Pabelan. Tempat ini lumayan bagus, disinilah aku kenal banyak orang dari berbagai suku dan berbagai jurusan, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau ada waktu senggang aku dan teman-teman sering kongkow-kongkow ngobrol ngalor-ngidul dari kamar satu ke kamar yang lain. Sampai, suatu
ketika temanku Rambe (anak Batak) jurusan Sospol memintaku membuatkan karikatur Soeharto (Presiden RI ketika itu). Akupun mulai melukis. Aku melukis Pak Harto duduk di sebuah kursi goyang, tangan kanan membawa surat (SK sebelas maret maksudnya), sedang dibawahnya bergambar palu arit. Aku hanya melukis tanpa keperluan apapun, hanya untuk si Rambe. Diambilah karikaturku oleh Rambe. Tanpa aku tahu, ternyata karikaturku dipakai sebagai cover sebuah buku tentang adanya ―Dewan jenderal‖ terjemahan dari bahasa Belanda. Buku itu aslinya berbahasa Belanda di bawa teman Rambe yang sekolah di Belanda bernama Ais Said (putra dari Bapak Ali Said). Setelah diberi cover, buku ini diperbanyak dan disebarkan di kampus UNS… Gemparlah UNS. Akhirnya aku, Rambe dan teman-temanku bertuju dibawa ke Kodim. Aku ditahan dan diinterogasi. Tetapi, karena aku masih kuliah akhirnya dilepas dan dikenai wajib lapor selama 3 bulan. Ternyata permasalahan belum selesai sampai disitu. Dijurusan-pun aku masih diinterograsi, para dosen marah padaku ―Kamu berani-berani ya menghina presiden !‖, Semua orang tahu ketika itu Pak Harto sedang jaya-jayanya. Dosenku bertanya lagi, ―Orang tuamu kerja apa ?‖, aku jawab ―Guru pak‖, Spontan Dosenku berkata ‖Itu…Bapakmu bisa dipecat … tahu ngak…‖. Mendengar perkataan dosen, aku ―down‖, aku tidak menyesal dengan diriku sendiri, tapi seandainya Bapak benar-benar dipecat terus bagaimana nasib adik-adikku. Akupun pulang ke Temanggung dan enggan kuliah sampai berhari-hari lamanya. Aku berdiam diri dirumah, aku sangat sedih. Kepada temanku si Untung dari Paponan, aku berkeluh kesah tentang kesedihanku, dia langsung menjawab ―Wis njo tak je‘i, de‘e men tenang‖ (ayo ikut aku, agar kamu tenang). Dengan membonceng motor trailnya aku tak tau mau diajak kemana. Tahutahu aku diajak menuju kearah Kandangan, masuk sebuah kampung yang aku sendiri tidak tahu kampung apa namanya. Dikampung itu aku diajak pergi ketempat seseorang. Setelah masuk rumah, temanku menyampaikan keluhanku kepada seseorang yang ternyata seorang dukun. Sebetulnya aku sendiri tidak mengenal hal-hal semacam ini. Maka tak ada lagi rute kesana setelah itu. Sampai aku kuliah, aku belum bisa menghilangkan rasa minderku, sehingga aku sangat sulit untuk mengatakan ―cinta‖ kepada seseorang. Sekitar semester 3 aku baru berani mendekati dan menyatakan ―Cinta‖ kepada seorang gadis. Akupun jatuh cinta, setelah aku menyatakan cinta ternyata gadis itu mau menjadi pacarku. Gadis inilah yang membuat ―semangat‖ dan ―penerang hidupku‖, dan karena gadis ini pula aku pernah mendapat bea siswa ditempat kuliahku, dan karena gadis ini pula dari 45 orang siswa aku yang berhasil lulus pertama kali. Karena gadisku itu pula timbul semangat untuk mengadakan pentas-pentas seni pada hari-hari besar di kampungku, seperti pertunjukan teatre yang belum pernah dilakukan di kampungku. Namun, karena sesuatu hal, aku harus putus ditengah jalan… Aku tetap ingin mengucapkan terima kasih kepada mantan gadisku, karena biar bagaimanapun juga kau telah membuat rasa minderku berkurang dan aku lebih percaya diri untuk menatap masa depan. Aku lulus dari perguruan tinggi tahun 1985. Sambil menunggu pekerjaan yang dinginkan aku sempat mengajar menggambar di salah satu SMA suasta di Temanggung, namun karena belum sesuai dengan hati nurani akupun keluar. Untuk menghilangkan rasa jenuh dan mengisi waktu luangku, intercome atau ngebrik salah satu hiburanku.
Berat rasanya sebagai anak pertama. Orang tuaku, terutama Ibu sangat mengharapkan aku menjadi Pegawai Negeri seperti Bapak. Dengan perasaan berat, tahun 1987 aku tinggalkan Temanggung berangkat menuju Jakarta. Bersyukur, di Jakarta aku bertemu mas Putut, Pardiono, Yuniardi dan Ismu yang masih sama-sama mencari pekerjaan. Lagi-lagi untuk mengisi waktu luangku sambil menunggu panggilan kerja, kami sering berkumpul di Cilitan di tempat tinggal Ismu untuk ngobrol ngalor-ngidul atau ―sharing‖ saling tukar informasi. Selama menganggur itu pula, aku mocok (magang) jadi sopir pribadi di daerah Pondog Gede disiang hari dan nyopir angkot Pondog Gede-Pekayon (Bekasi) di malam harinya. Aku tak mau diam begitu saja, dikala libur nyopir aku masih ―nukang‖ membuat taman di perumahan. ―Gusti mboten sare‖, seiring dengan berjalannya waktu, satu per satu, panggilan kerja-pun mulai datang kepada kami semua. Aku, diterima jadi PNS di Museum Nasional, Jakarta.
Masa Tuaku Dalam usiaku yang ke 30 tahun aku jadi PNS. Konon, Bapak bermimpi telah melihat seorang anak laki-laki ―gemelo‖ (anak kecil yang baru saja bisa berjalan) berlarian dalam rumah di Badran. Terpacu oleh harapan Bapak agar aku segera menikah, akhirnya aku memberanikan diri melamar seorang gadis teman sekantorku. Gadis asli orang batak bernama Rodina Satriana Sihombing. Bapaknya ber-marga Sihombing dan Mamaknya ber-marga Siregar. Karena Bapak sudah mulai sakit-sakitan, akhirnya aku harus melamar sendiri gadis itu. Aku pulang ke Temanggung, lalu terpikir ―Tetapi bagaimana caranya ?...‖, aku harus menggaruk berulang kali rambut kepalaku yang sebenarnya tidak gatal tetapi bingung (???). Aku membuat selembar konsep surat, intinya menerangkan bahwa ―Karena dalam keadaan sakit aku (Bapak maksudnya) tidak dapat ke Jakarta. Maka, dengan surat ini aku bermaksud melamar putri Bapak Sihombing‖. Dan segera saja Bapak setuju membubuhkan tanda tangannya. Berbekal ―surat sakti‖, akupun pulang ke Jakarta dengan membawa surat ini. Sampai Jakarta, bersama Mbak Endun, Mbak Mur dan Mas Yono, surat lamaranku-pun langsung aku sampaikan kepada Bapak Wismar Sihombing, (Yes !) lamaranku diterima. Maka, saat itu pula ditentukan hari pernikahanku. Modal pernikahan berupa sebuah sepeda motor RX (bekas motor milik Pardiono sahabatku) yang laku seharga Rp 700.000,-, (tentu saja aku sudah tidak berani minta uang kepada orang tuaku karena sudah sakit-sakitan). Namun entah dari mana, akhirnya Bapak mengirim uang Rp 2.500.000,- tetapi terpaksa masih diambil Rp 200.000,- untuk membeli mesin ketik adik perempuanku yang tinggal skripsi di UNDIP. Aku kumpul-kumpul uang lagi, dan ―total jendral‖ terkumpul sekitar Rp 5.000.000,- itulah modal pernikahan, Uang itu untuk keperluan membayar Penghulu, sewa tempat di masjid Sunda Kelapa, Jakarta dan membeli makanan kecil untuk tamu undangan. Sedangkan baju, jas, dan sepatu yang kupakai pinjam dari kakak iparku. Karena kebetulan kakak ipar baru saja pulang menyelesaikan S3-nya di Australia. Jadilah aku seseorang yang kelihatan perlente. Perkawinanku, tidak pakai cincin kawin,
tidak ada kartu undangan, tidak ada janur kuning, tidak ada tenda biru, tidak ada alunan gending-gending Jawa, Bapak-ibuku juga tidak hadir karena memang sudah sepuh. Perkawinan yang benar-benar ―khidmat‖ karena ―sepi‖, kecuali riuh ramainya keluarga yang hadir bersama anak-anak kecil mereka. Seusai mengucapkan ijab khobul, aku diberi sebuah ulos oleh Mamak. Rasa bahagiaku, ingin segera aku tebarkan dengan ―senyum‖ syukur-ku kepada semua keluarga dan hadirin yang hadir ketika itu. Namun, ketika aku menengok kebelakang, barulah aku sadar, hujan derai air mata dari puluhan pasang mata, meleleh mengalir membasah tak terkira sejak dimulainya acara ijab khobul kami ……
Sebagai PNS yang ditempatkan di Museum Nasional, membuatku bingung sendiri, seumur-umur aku belum pernah masuk museum. Di museum, apa yang harus aku dikerjkan ?. Bapak sempat mengunjungiku pada awal-awal aku menjadi PNS. Bapak pernah cerita kalau sekitar tahun 1960-an, Kakek yang waktu itu menjabat Kepala Desa Badran pernah menyerahkan 4 buah arca yang di temukan dikampungku ke Museum Nasional. Ketika itu masih bernama Museum Pusat. Kini, ketika aku cari arca-arca itu ternyata memang benar adanya bahwa arca-arca itu temuan Kakekku. Salah satu arcanya bernama Kuwera. Apakah ini ―benang merah‖ antara penyerahan arca-arca itu dengan diterimanya aku di museum ini ?... hanya Tuhan yang tahu. Setelah mulai bekerja, ternyata benar sangat mengasyikan dan pas dengan jiwaku. Sejak aku kecil aku senang dengan benda-benda seni, melanjutkan kuliah di Seni Rupa dan bekerja di tempat yang menyimpan benda-benda seni. Aku sangat kagum dengan aneka bentuk karya-karya seni yang diciptakan oleh nenek moyang kita, dari bentuk arca, tekstil, keris, wayang, keramik, mata uang, dan ribuan benda-benda prasejarah lainnya. Lagi-lagi aku merasa minder bekerja di museum dengan gaji pertamaku Rp 83.000,-. Temanteman dan saudara-saudaraku sering men-candaiku. Katanya, bekerja-ku hanya ―Ngelus-elus lumpang karo reca‖(mengurus lumpang dan arca). Minggu berganti minggu, tahun berganti tahun. Setelah aku bisa meresapi dan menghayati pekerjaanku, aku senang dan bangga. Dengan bekerja di museum, akhirnya aku bisa mengujungi hampir semua kepulauan di Indonesia ini. Dari ujung pantai Aceh sampai puncak gunung didaerah Tanah Toraja. Aku menikmati keindahan alam beserta aneka budaya yang ada di Indonesia. Banyak hal-hal membanggakan. Aku pernah medokumentasikan penemuan candi di pedalaman Palembang, mengunjungi orang-orang dayak di pedalaman Kalimatan, mendokumentasikan pemakaman orang terkaya di daerah Tanah Toraja, membuat film di beberapa gua di Pacitan, mendokumentasikan penemuan gua-gua baru di Sulawesi Selatan dan masih banyak lagi kerjaankerjaan yang menyangkut per-museuman. Lebih membahagiakan dan membanggakan, aku diberi kesempatan belajar, pameran dan mengunjungi ke beberapa museum se-antero dunia, di Australia, Eropa dan Asia.
Disaat aku menulis kisah ini-pun, aku sedang mempersiapkan pameran ke Brussel, Belgia dengan tema pameran ―A passage to Asia‖. Pameran dilaksanakan di ―Ravenstein‖ Circuit Center for Fine Arts, berlangsung mulai Tanggal 24 juni -10 Oktober 2010. Untuk itu aku harus berangkat paling lambat Tanggal 17 Juni 2010 ini. Pameran di Galery New Southwiles, Sidney, Australia adalah pengalaman pertamaku ke luar negeri. Ketika itu aku merasa senang, takut dan bangga bercampur aduk menjadi satu. Senang karena mau ke luar negeri dan takut karena aku belum mahir berbahasa Inggris. Dengan modal bahasa Inggris pas-pas-an aku berangkat ke Australia menggunakan pesawat Singapore Airline. Ternyata pesawat tidak terbang direct ke Australia, malainkan transit di Singapura. Saking asyiknya jalan-jalan di bandara Changi Singapua, nyaris ketinggalan pesawat. Ketika aku tanyakan dimana pesawat yang akan terbang ke Australia, penjaga menjawab ―Cepat lari pesawat 5 menit lagi akan terbang !‖. Ternyata benar, sesampainya di dalam pesawat hampir semua penumpang matanya sinis hanya tertuju kepadaku. ―Slamet..slamet..‖ gumamku. Sesampai di Australia mulailah aku bekerja berbekal bahasa Inggris pas-pas-an plus bahasa ala ―tarsan‖. Bersyukur, semua program kerjaku berjalan mulus seseuai rencana. Sekembalinya di Indonesia, aku lebih percaya diri, dan tenyata pergi ke luar negeri itu tidak sulit. Pengalaman mengharukan, ketika aku mengunjungi dan belajar di Rijk Museum vor Volken kunde (RMV) Leiden, Belanda. Di museum ini banyak sekali menyimpan benda-benda budaya warisan nenek moyang kita, mulai dari arca besar yang beratnya 2-3 ton, tekstil, tongkat batak, keris, wayang, model-model perahu Indonesia, dll, semua ada disini. Mungkin akulah salah satu orang sangat beruntung karena diberi kesempatan melihat langsung dan belajar di storage RMV yang letaknya di luar kota Lieden. Sebab, hangar raksasa ini termasuk bangunan vital terlarang yang dijaga ketat oleh pemerintah Belanda. Aku sangat terharu, bahkan ingin menangis. Betapa tidak !, di storage ini segala macam karya seni nenek moyang kita lengkap ada disini. Dari model surau, lukisan-lukisan, topeng, wayang (kulit, golek), aneka payung, mainan anak-anak (kodokkodokan, pliwitan dll), model kapal, aneka alat musik tradisional dan ribuan hasil karya nenek moyang kita, semua tersimpan disini... Bersyukurlah. Kini aku hidup berbahagia dengan isteri dan dua anakku si Dodi Satrio Hutomo dan Wina Aprilia. Namun, perjuangan belum usai. Isteriku anak terkecil dari lima bersaudara. Sejak menikah aku tinggal bersama mertua. Waktu Bapak dan Mamak mertuaku masih hidup, rumah kami dijadikan tempat menginduk sanak-saudaraku. Tetapi, kini mereka telah tiada, akulah generasi penerusnya. Hingga saat ini, rumahku tetap menjadi tempat menginduk saudara-saudaraku, kesemuanya ini aku jalani dengan iklas. Pepatah jawa ―Mikul diwur mendem jero‖ sudah aku jalankan. Sebagai anak tertua yang harus menjaga amanah almarhum Bapak agar membimbing adik-adikku, sudah aku tepati. Terlebih bahagia lagi, adik-adikku sudah selesai kuliahnya. Adikku Widiyono sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya, adikku Widayati sudah menjadi Sarjana Hukum alumni dari Undip, adikku Widiyani bergelar SE dari IKOPIN, Bandung. Selain itu, adik-adik iparku juga telah berhasil menggondol gelar kesarjanaan semua.
Khusus untuk anak-anak Ody, Lia dan keponakanku Nindi, Febi, Aksa, Refi, Janggan, Hafis dan Nora, kalian harus giat belajar, kalian harus bisa melebihi pa‘Demu, Bapak-Ibumu. Aku selalu berdo‘a mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena hanya berkat karunianya kini aku dan keluarga bisa hidup berbahagia…Amin…
Riyanto Niti Arjuno SD Negri 4, Temanggung (Lulus Th. 1974) SMP Negri 1, Temanggung (Lulus Th. 1977) SMA Negri, Temanggung (Lulus Th. 1981) ―Jangan pernah kamu menunggu, lari dan ambilah secepat keinginanmu, kamu akan memperolehnya. Nyawa sebuah keberhasilan, adalah perjuangan panjangmu ketika meraihnya‖. ―Bapak dan Ibu Guruku, tangan-tanganmu adalah pengukir semangat dan cita-cita. Nasihatmu adalah payung pelindung, doronganmu adalah pemacu mimpi, senyumanmu adalah penyejuk hati, ditanganmu mereka berprestasi‖.
Hidup hanya sekali, jangan pernah engkau menunggu Sekolahku di sebelah selatan lapangan upacara, berdampingan dengan Masjid Agung Darussalam dan dekat Alun-alun Bal-bal-an. Sebersit perasaan takut, walau sebenarnya sudah tiga hari susah tidur karena tak sabar ingin memakai sepatu baru di hari senin, hari pertamaku si SDNegri 4, Temanggung. Salah satu tempat favorit bermainku di halaman masjid agung. Dua kolam air yang cukup lebar. Kolam ini memanjang menghias halaman masjid hingga terasa wibawa-nya masjid. Airnya setinggi lutut orang dewasa, sangat bening dan terasa dingin (mak nyess...adem…). Kini, kolam ini sudah berubah menjadi lapangan parkir mobil. Lapangan upacara membentang luas di depan sekolah-ku. Semua upacara hari nasional pasti diadakan di lapangan ini. Bupati Kepala Daerah Tingkat Dua, biasanya bertindak sebagai Inspektur Upacara. Kala itu Bapak Maschun Sofyan SH, sosok Bupati yang memimpin Kabupaten Temanggung berhasil menjadi kota terbersih se-Indonesia, terus menerus. Dua pohon beringin sangat besar tumbuh di depan masjid, jalan aspal melingkari lapangan. Beberapa akar gantung menjulur bebas sampai ke tanah. Aku masih ingat, di bawah pohon ada dua orang tukang cukur, memajang kaca cermin (pengilon) besarnya. Kini, lagi-lagi kedua pohon beringin besar tinggal kenangan. Aku anak terakhir sebuah keluarga besar, jika semua masih ada jumlahnya 14 orang. Tetapi, aku selalu bangga walau ketika seorang wanita cantik melahirkan anaknya yang terakhir, tepat disaat suaminya pension dari tugasnya. Lebih tepat menimang cucu daripada melahirkan anak sendiri. Tetapi itulah kuasaNya.
Disuruh menggambar peta kepulauan Ketika pelajaran menggambar, wali kelas memerintahkan agar semua murid menggambar memakai pulas (pensil warna). Rasa gembiraku memuncak ketika tahu kalau Bapakku membelikan 5 buah pensil berwarna. Merah, Biru, Hijau, Kuning dan Coklat. Tercenung dalam hati, mau menggambar apa ya ???. Karena topic menggambarnya bebas, aku memilih menggambar peta kepulauan Jawa dan Bali. Alasannya jelas, karena di dalam peta banyak garis warna-warni sesuai pensil berwarna pembelian Bapak. Karena gambar aslinya kecil (sebesar halaman buku sekolah), sedangkan harus digambar di atas kertas manila yang lebar, aku bingung, bagaimana membuat gambar kecil menjadi besar ?. Untungnya dalam peta terdapat garis petak-petak. Ketika aku cermati ternyata gambar itu terbagi menjadi tujuh petak ke kanan (kini aku tahu itu sumbu horizontal atau sumbu ―x‖) dan empat petak ke bawah (kini aku tahu itu sumbu vetikal atau sumbu ―y‖). Aku nekat membuat pembagian garis petak yang jumlahnya sama dengan jumlah gambar dibuku, tetapi ukurannya aku besarkan selebar kertas karton manila-ku. Awalnya cuma ngawur dan coba-coba, e… ternyata benar (kini aku tahu itu namanya ―skala‖). Tanpa kesulitan, peta pulau Jawa dan Bali selesai. Berulang kali kupandangi gambar karyaku. Wah…aku mendapat nilai cukup baik, tertera angka sembilan dipojok kanan atas kertas gambarku, nilai tertinggi dikelasku. Gambarku dipajang di dinding kelasku. Wow … aku sangat senang. Mulai saat itulah (ketika kelas 4), aku mulai diminta beberapa guru untuk menyalin gambar dari buku pelajaran dipindah (dibesarkan) di karton manila. Beberapa gambar itu seperti dalam mata Palajaran ilmu hayat (kini: biologi), ya gambar penyerbukan, ya gambar tanaman berkeping satu dan dua, ya tanaman berakar serabut dan berakar tunggang, umbi dan ubi, dan dari pelajaran lain-lainnya. Bebrapa gambarku dipajang dari kelas 3 sampai kelas 6. We…aku senang sekali.
Aku tahu setelah Bu Yam memanggilku Di bawah pohon beringin depan masjid adalah tempat pilihan untuk bermain dikala istirahat. Hawanya sangat sejuk-nyaman. Setelah palajaran pagi, aku berempat memilih bermain di halaman masjid seperti sehari sebelumnya. Aku duduk di pagar kolam depan masjid. Tanpa tahu sebelumnya, tiba-tiba seseorang berbaju coklat mengejutkan-ku.
―Jenengmu sapa ?‖, (siapa namamu). Kalau tidak salah, terdapat tiga orang berseragam lain dan berdiri tidak jauh.
―Riyanto pak‖, jawabku agak kaget. ―Kowe kelas pira ?‖, (kamu kelas berapa),
―Kelas sekawan pak‖, (kelas empat pak). Sambil tangannya tetap memegangi pundakku, bapak ini sesekali berbincang dengan dua bapakbapak yang lain.
―Sekolahmu ono ngendi ?‖,(sekolahmu dimana), ―Teng SD sekawan‖, (di SD 4), sambil jariku menunjuk arah sekolahku. Tanpa sengaja mataku segera menangkap, kalau Bu Yam dan Pak Marheni tampak berdiri di jalan depan masjid, sambil terus mengamatiku.
―Lagi opo kowe ono kene ?‖ (sedang apa kamu disini), ―Sek ngaso‖, (sedang istirahat) jawabku singkat. Bapak berbaju coklat ini menepuk-nepuk lagi pundakku.
―Kowe kudu sregep sinau, manut karo ngendikane wang tuwa lan gurumu‖, (kamu harus rajin belajar, patuh kepada nasihat orang tua dan gurumu),
―Nggih pak‖, (ya pak), aku menjawab lagi. Bapak berseragam coklat ini menepuk-nepuk lagi pundakku, lalu pergi keluar halaman masjid bersama dengan dua temannya yang lain. Ketiga kawanku tidak ambil pusing terhadap kejadian ini. Jangankan kawanku, akupun juga demikian, tak ada yang aneh dengan orang-orang itu. Sebuah kendaraan menderu dan segera meninggalkan masjid melaju entah kemana. Setelah dewasa aku baru tahu kalau kendaraan itu jenisnya Jeep Hardtop merek Toyata, buatan Jepang. Anehnya, setelah itu Bu Yam dan Pak Heni (panggilan akrab Pak Marheni) segera memanggil. Benar juga pikirku, karena bel masuk memang sudah ditabuh beberapa kali.
―Kowe di-dangu apa ?‖, (kamu ditanya apa) Tanpa kesulitan, aku sampaikan kembali semua pembicaraan yang baru saja terjadi dengan bapak berseragam coklat.
―Kowe ngerti sapa sing ndangu ?‖, (kamu tahu siapa yang bertanya), Aku hanya bisa senyum tidak dapat menjawab. Spontan rambut kepalaku diusap-usap tangan kanan Bu Yam, sambil kami berjalan menuju sekolah.
―Sing ndangu kowe mau, Pak Bupati‖, (yang bertanya kepadamu tadi, Pak Bupati).
Lagi-lagi rambutku diusap-usap tangan Bu Yam, kasih seorang guru sekaligus ibu yang gemati (akung). Mendengar penjelasan Bu Yam aku semakin tidak mengerti apa istimewanya pertemuanku dengan Pak Bupati, wong ngerti saja tidak, lagipula siapa itu Pak Bupati. Ketika sampai di rumah, sambil makan siang aku ceritakan kembali kejadiannya kepada ibuku. Serta merta ibuku bertanya macam-macam. Dan terjadi lagi rambut kepalaku diusap-usap tangan ibuku berkali-kali. Aku hanya berpikir, apa memang begitu ya cara seorang ibu mengusap-usap rambut kepala anaknya ?. Keadaan semakin heboh ketika kakakku yang bekerja di kantor Pemerintah Daerah (Pemda) Bagian Sekretariat mengetahui kejadianku di halaman masjid. Lagi-lagi aku heran mengapa mereka heboh atas kejadianku itu. Setelah dewasa, aku baru tahu Bupati adalah orang nomor satu, seorang Pemimpin tertinggi dari sebuah Kabupaten, wow … orang yang berpangkat paling tinggi di kotaku !....
Aku bertemu Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada Aku sangat senang bila guruku sesekali mau memberikan cerita-cerita disela-sela pelajarannya. Itulah, Pak Marheni. Siang itu, sebelum menutup pelajarannya, dia menjelaskan tentang kerajaan Majapahit. Pak Heni, menjelaskan tentang kejayaan dari kerajaan terbesar dengan memerankan sendiri sebagai Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada, bergantian. Raja Hayam Wuruk, digambarkan sangat tegas, bijak dan arifnya seorang Raja terhadap seluruh rakyatnya. Aku terbawa seakan sedang berkumpul di lapangan besar di depan istana kerajaan. Sikap tenang dan nada bicaranya betul-betul meyakinkan itulah sikap seorang Raja yang Agung dan Bijaksana. Lain ketika Pak Heni memerankan sebagai sosok Maha Patih Gadjah Mada. Dengan dada dilebarkan, digambarkan suara lantang seakan menggema panjang di dalam istana Majapahit, Sang Patih mengucapkan janji setianya kepada seluruh rakyat di Kerajaan Majapahit,
―Aku tidak akan makan buah palapa, jika aku belum berhasil mempersatukan Nusantara !‖… Pak Heni, betul-betul menjadi Rajaku Hayam Wuruk dan Patihku Sang Gadjah Mada. Dadaku membusung sangat bangga, karena seakan-akan menjadi salah satu prajuritnya….Pak Heni, sosok guru idolaku, kelak aku ingin menjadi orang besar !, seperti Maha Patih Gadjah Mada…... Sekarang, ketika aku sudah berada di Jakarta dan bertemu dengan Pak Widodo Harjono, kakak kelasku yang berasal dari Desa Badran dan menjadi Pimpinan Museum Gadjah Jakarta, ternyata sumpah Patih Gadjah Mada itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Sira Gadjah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gadjah Mada: ―Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Beliau Gadjah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gadjah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah aku (baru akan) melepaskan puasa". Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton.
Sekolahku di lereng Gumuk Lintang Dengan perasaan takut dan minder karena belum punya teman, aku memulai hari pertamaku sekolah di SMP Negri 1 Temanggung. Bersepeda onthel merek Simplec sejauh kira-kira 3 Km dari rumahku. Bercelana pendek abu-abu, kemeja putih yang masih ―mambu toko‖ alias baru, aku masuk ke ruang kelas 1A. Setelah beberapa bulan berlalu, aku baru tahu kalau di kelas 1E banyak teman-temanku yang ―pemberani‖ alias ―bicaranya keras‖. Tubuhku yang kecil dan kerempeng, membuatku selalu ―minggir‖ kalau teman-temanku yang ―pemberani‖ itu lewat. Tak berkecil hati, di kelasku 1A aku punya sahabat sebangku, yang juga sebagai ―pemberani‖, namanya Gajah Fuad Syarif. Tingginya sama denganku, kulitnya putih, badannya dempal, tetapi punya nyali ―sundul langit‖ (maksudnya rasa percaya dirinya sangat tinggi). Tak satupun teman ada yang ditakutinya. Dari sahabatku inilah, aku berlatih semakin percaya diri dan tidak minder kepada siapapun. Termasuk kepada teman-temanku dari 1E itu.
Flying fox Gumuk Lintang. Gunung kecil ini betul-betul menambah wibawa sekolahku. Menjulang setinggi 100 meteran dari lantai lapangan basket sekolah. Aku yang mulai mengenal pramuka tidak akan melewatkan arena alam di gumuk Lintang ini. Teman-temanku pramuka waktu itu antara lain: Fandi, Heppy, Toro, Andi, dan masih banyak teman lainnya. Andi, nama lengkapnya M. Andi Rifa‘i yang badannya kekar tinggi lebih banyak memberi ide-ide untukku termasuk inspirasi membuat penjepit setangan leher (jawa: duk) yang terbuat dari Kluwek yang dilubangi dan juga rompi yang memiliki 6 kantong sekaligus. Seusai kegiatan formal berlatih pramuka dengan Pembina mas Maheno dan mas Imam (yang kedua ini justru keponakanku sendiri, putra dari mbakyuku yang nomor dua). Aku, Andi, dan beberapa teman lain naik ke puncak gumuk Lintang sambil membawa seutas tali besar yang biasa dipakai untuk meluncur atau tarik tambang ketika perayaan HUT Kemerdekaan Negara RI. Tali rami ini diikatkan diantara dua pohon Asem Londo (asam belanda). Satu pohon di puncak gumuk dan satu lainnya di lereng bawah. Maka, jadilah jalur meluncur atau kini lebih dikenal dengan sebutan flying fox (seperti banyak ditemui di arena out bound). Setelah selesai
menambatkan tali di kedua batang pohon, Andi dan kawan-kawanku hanya saling pandang, mereka mengisyaratkan agar aku yang mencoba untuk meluncur paling dulu. Dengan perasaan was-was tanpa Pembina pramuka, akhirnya aku tertarik untuk segera mencoba. Dengan seutas tali yang kedua ujungnya sudah aku pegang erat, maka dengan gagah berani aku meluncur dari ujung tali di puncak gumuk. Dengan teriak keras, badanku yang beratnya 35 Kg-an segera saja meluncur sangat kencang…… aaaaa…. suaraku memecah rimbun hijaunya semak belukar gumuk Lintang, dan tak lama kemudian….krosaakkkkkk….blugg !. Aku diam terduduk, kepala kunang-kunang sembari terasa agak pening, sekujur kulit tubuhku perih-perih karena sebagian tergores dan beset-beset akibat dahan dan ranting di-sepanjang lintasan tali luncur. Rupanya badanku membentur tebing, sesaat setelah mendarat ―tidak sempurna‖. Dari atas gumuk Lintang spontan terdengar nyaring teriakan suara Andi,
―Nit, piye wis pas taline ?...‖. Sungguh aku tidak berminat sedikitpun untuk menjawab teriakannya. ―Tela…!, pas apa.. !‖, gumamku dalam hati. Sekejap, Andi sudah turun lewat lereng gumuk. Dengan raut wajah kasihan melihat bajuku yang ijo-ijo-coklat, kotor akibat daun bercampur tanah, dia mendekat, tersenyum seakan memberi semangat dan dukungan. Itulah makna berkawan, biar bagaimanapun keadaan, semua kami nikmati dan kami rasakan bersama-sama dalam suka dan duka. Keberanian, terkadang timbul dan lahir karena dorongan dan dukungan dari sahabat. Setelah mengencangkan tali induk yang ternyata terlalu kendor, tak terhitung lagi, kami meluncur secara bergantian satu persatu dengan rasa aman, sampai sore hari.
Aku sedih semalaman dan berjanji untuk berhenti Semenjak kelas 4 SD aku sudah senang mbedil (menembak) burung. Senapan angin caliber 4,5 mm itu milik kakak yang sudah bekerja di Jakarta. Saking seringnya memakai senapan, sampai ibu dan bapakku mengingatkan kalau kelopak mataku yang sebelah kiri tampak lebih kecil dari yang kanan. Akibat mata kiriku lebih sering memejam ketika membidik sasaran. Jam terbangku dalam buru-memburu memakai senapan angin sudah lumayan banyak. Kini aku sudah kelas 2 di SMPN 1, berarti sudah 5 tahun punya pengalaman menembak. Lokasi berburuku cukup luas, ya kira-kira mencapai radius 4-5 Km dari rumahku di Candisastran, tepatnya di sebelah barat jalan raya Pandean menuju Desa Mungseng, sebelah jembatan kali Jambe sebelum Dinas Perikanan sekarang.
Dulu hanya ada 4 rumah disitu, 1 rumah induk yang ditempati bapak-ibu-aku dan kakak-kakak (sekarang rumah itu urutan ke 4 dari pinggir sungai), dan 3 rumah lainnya milik dua kakakku dan satu rumah Paklek (Paman). Jalan depan rumahku masih tanah, sehingga blethok (berlumpur) ketika hujan dan berdebu kalau musim kemarau. Di sebelah timur terhampar sawah sangat luas. Menara Masjid Agung Darussalam dan Pesantren Mujahidin di Tlasri tampak jelas dari depan rumahku. Daerah berburuku mulai kebun dibelakang rumah, ke arah barat menuju kali Jambe, kuburan Kuwelan, Manding, Tlogo, Sriwungu, Tanjungsari, Kada‘an, Kerok-an, Giyanti, Karanganom, Mungseng, dan Tlasri. Binatang buruanku bermacam-macam. Mulai burung daerah sawah seperti Blekok, Kuntul, Gemek, Jembombrok, kemudian burung yang hidup dipohon sedang seperti Srigunting, Podang, dan Deruk, sampai burung yang hidup dipohon tinggi seperti Jalak, Kuntul, Alap-alap dan Cangak awu. Selain burung juga Bajing atau Tupai yang mudah ditemui di banyak pohon kelapa. Tak ketinggalan akupun sering berburu di malam hari menggunakan senter untuk menembak ikan Kalen (selokan), seperti Lele dan Kotes yang senang bertengger keluar sarang di malam hari. Aku percaya diri sebagai ―penembak jitu‖ sebab, sasarannya bukan lagi mampu menembak buah Kelapa atau buah Jambu Klutuk, melainkan aku sudah mampu menembak tangkai buah Jambu Klutuk atau tangkai buah Kelapa. Untuk Jambu Klutuk sekali tembak jatuh buahnya, tetapi untuk Kepala harus beberapa kali tembak sebab tangkai buah kelapa cukup besar, sebesar pensil, sehingga perlu 3-4 kali tembakan. Suatu sore yang cukup cerah, seperti biasa aku berburu di kebun belakang rumah. Disepanjang hampir 10 meter di pinggir kebun, yang kebetulan tepat dipinggiran kali Jambe, Bapak menanam puluhan pohon salak. Rasa buahnya tidak semanis salak Pondoh, tetapi cukup manis dan masir. Ketika instink-ku menangkap gerakan tupai dipohon, mataku langsung jelalatan mencari dengan cepat sumber gerakan. Tidak terlalu sulit aku langsung menemukan sasaran tembak si Bajing. Dalam hitungan detik, bedilku segera menyalak dan ―pok‖ terdengar peluru tepat mengenai sasaran. Bajing terjun bebas dan… krosakkkk… masuk dalam rimbunnya daun salak. Aku menghampiri. Akung cukup sulit mencarinya, karena banyak duri dan pelepah salak. Tak berapa lama kudapati si Tupai terjepit di antara pelepah salak, tidak dapat bergerak, terjepit dan tertusuk duri. Tetapi matanya masih terbuka lebar. Setelah dengan segala upaya (termasuk memakai kayu) aku tak berhasil menjangkau, aku terus berpikir bagaimana caranya ?, padahal hari semakin sore dan segera akan gelap. Putusanku, menembak lagi si Tupai agar mati sekaligus. E…ternyata busur bedilku tidak dapat mengarah ke tubuh Tupai yang terjepit. Jarak pandang mataku sudah sangat terbatas karena hari mulai gelap. Tidak ada pilihan aku tinggalkan saja Tupai di pelepah pohon salak. Namun entah mengapa, semalaman aku terpikir si tupai yang kesakitan.
Ketika pagi menjelang, buru-buru aku menghampiri. Waduh.. matanya sudah tertutup. Dari jauh tampak beberapa semut merah sudah berkerumun diujung kepalanya… itu tanda dia sudah mati… Hari itu, selama aku bersekolah, aku terus ingat si Tupai malang. Setelah sampai rumah, tiba-tiba hatiku bertekad dan berjanji berhenti menembak. Aku sungguh sadar telah menyiksa seekor Tupai semalaman. Aku juga menjadi sadar, entah sudah berapa banyak burung dan ikan yang mengalami nasib buruk seperti Tupai, kesakitan setelah tertembak dan mati pelan-pelan dalam persembunyiannya … Aku sungguh menyesal, merusak sebagian fauna daerahku … Aku berdoa semoga Tuhan mengampuni. Aku masukkan senapan ke dalam sarungnya. Kusimpan di atas lemari kaca di ruang tengah rumahku. Dan mulai saat itu, siapapun yang mengajakku berburu, aku tidak pernah lagi mau ikut….
Mengenal Irama Kroncong Dugaanku, Pak Hadi Siswoyo, guru kesenianku mungkin telah lama mengamatiku. Aku memang senang kesenian termasuk music. Walau tidak tergolong mahir, tetapi untuk memainkan sebuah gitar, aku tidak canggung. Ketika istirahat, Pak Hadi memanggil, ―Nanti kamu jangan pulang dulu, kumpul sebentar di ruang guru‖. Benar, ketika aku masuk ruangan guru, di dalam sudah menunggu Baskoro, nama lengkapnya Baskoro Iwan Sandjoyo dan beberapa rekan yang lain. Pak Hadi, memberiku sebuah gitar tetapi kecil, ―Apa ya ?‖ bathinku. Senarnya Cuma tiga buah. Selain itu, benda berupa sekeping kulit yang keras berwarna hitam berbentuk segitiga. Pada jaman itu, belum dikenal alat sintetik plastic atau fiberglass yang bentuknya rapih, fleksibel, ringan seperti sekarang ini. Tetapi, bagiku, tidak perlu waktu terlalu lama untuk menyesuaikan kunci-kuncinya, walau ternyata agak beda penempatan jari-jarinya bila dibanding dengan kunci gitar pada umumnya. Sedangkan Baskoro, dilatih memainkan biola. Se-ingatku memang Baskoro-lah yang memiliki biola ketika itu. Akhirnya, Grup Kroncong siswa SMPN 1, binaan Pak Hadi dan Pak Subari ini rutin berlatih. Biasanya setelah pelajaran selesai. Selama beberapa menit sebelum kami pulang. Beberapa buah judul lagu telah kami kuasai. Rasa-rasanya Pak Hadi dan Pak Bari (panggilan akrabnya Pak Subari) sebagai sesama guru kesenian, menilai grup kroncong ini sudah cukup percaya diri bila harus melakukan pertunjukan. Tanpa tahu sebelumnya, ternyata kami dijadwalkan mengisi siaran di Radio Pemerintah Daerah (RPD) Temanggung. Studio radio RPD disamping gedung DPRD lama (satu kompleks dengan rumah dinas Bupati saat ini).
Jadilah aku dan kawan-kawan sebagai Grup Kroncong siswa-siswi SMP Negri 1, dan rutin siaran di RPD Temanggung setiap malam minggu pertama, setelah magrib sampai pukul 08:00 WIB. Aku sangat bersyukur dapat menikmati bagaimana rasanya memainkan salah satu alat music kroncong bernama Cukulele, sebuah gitar kecil bersenar tiga. Kroncong harus dikenalkan kepada murid sejak dini, dari pada dikemudian hari ditinggalkan …
Bersepeda ke Pantai Baron bantul-Yogyakarta
―Kowe kudu tansah nggawa cengkir sewu‖, (kamu harus selalu membawa cengkir seribu). Itulah wejangan dari Bapakku dan persis plek dengan pesan Bapaknya Heppy. Cengkir (kelapa muda) ternyata tidak diartikan dalam kata sesungguhnya (harfiah) melainkan sebuah makna kiasan. Cengkir = Kenceng-e pikir. Teguh dalam pendirian, kuat, semangat, tidak mudah menyerah. Memang, aku tak mau kalah dengan keadaanku (terutama keadaan ekonomi keluarga yang kurang beruntung). Sebab, walau saudaraku banyak tetapi hampir semua kakakku sudah berkeluarga, mereka telah mempunyai beban sendiri-sendiri. Sehingga semua kebutuhan biaya hanay ditopang dari pension Bapak dan seorang Kakak perempuanku yang baru saja menjadi guru. Soal Heppy, namanya Heppy Yulianto. Kebetulan hampir semua kawanku memang memiliki selera hampir sama, ―Tidak mudah menyerah dengan keadaan !, titik‖. Tidak ada kamus ―mundur atau malas‖ demi menggali untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru. Dengan sepeda, aku dan Heppy berangkat pagi jam 7-an menuju Jogya, kira-kira berjarak sekitar 70-an Km jika sampai ke pantai Baron. Padahal jangankan ke Jogya, ke Magelang sendirian-pun aku belum pernah. Namun, berbekal informasi dari tetangga Heppy, aku berhasil menggambar sebuah denah dalam secarik kertas sobekan buku sekripku. Peta itu, tentang bagaimana cara masuk dan keluar kota Jogya kemudian menuju Srandakan-Bantul. Kebetulan Heppy memang punya saudara disana, sekaligus untuk tempat menginap kami nanti. 6 buah arem-arem, beberapa tahu susur (tahu goreng berisi cambah), 2 telur ayam rebus, sebotol air minum, sudah rapi di dalam tas kain hitam dan terikat di boncengan sepedaku. Oya, beberapa peralatan seperti pompa, kunci inggris, drei (obeng), tang, kawat, lem sepeda, juga sudah kusimpan dalam kantong. Kami meluncur penuh suka cita meninggalkan Gendengan rumah Heppy. Angin semilir menyambutku semenjak turunan Kowangan ….wuiihh…sejuk sekali… Lalu, sampailah kami di jembatan kali Progo. Inikah perjalanan yang sesunguhnya ?..., jalan aspal itu kemudian terus menanjak dan menanjak terus menuju Kranggan.
Setelah berhasil membelah kota Jogya bersepeda melawan arus, kami sampai di jalan Malioboro. Wah…ramai sekali… Setelah melewati depan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, mendadak kami berdua benar-benar menjadi PD (percaya diri) penuh 100%, sudah berhasil menaklukan kota Jogya… Setelah istirahat semalam, dalam beberapa hari berikutnya, tanpa ragu lagi kami susuri jalan menuju tempat-tempat seperti: Palbapang, pantai Baron, makam raja-raja di Imogiri, pantai Samas, dan berputar-putar dikota Jogya. Andaikan sepedaku dipasang Speedometer…entah berapa ratus kilometer terbaca disana. Sudah merasa cukup berwisata alam di sekitar kota Jogya, sekitar jam 8 pagi, kami berpamitan sekalius mohon doa dan restu untuk kepulangan kami kembali ke Temanggung. Perjalanan pulang terasa lebih jauh. Kulit wajah dan tanganku hitam busik-busik karena terbakar, sementara tenagaku setiap hari terkuras dan bokong sudah mulai terasa perih-perih. Setelah aku periksa… ternyata bokongku memang mulai lecet-lecet. Inikah perjalanan yang sesungguhnya ? Tetapi ―cengkir sewu‖, menghantarkan perjalalananku yang ratusan kilometer jauhnya, aku lalui tanpa pernah berkeluh kesah..i. Kami sampai di Temanggung pukul 4 sore ….dengan badan lusuh, bau, penuh keringat dan sangat lapar….???.
SMA-ku di Jalan Kartini Setelah penjurusan, ternyata aku masuk di kelas 1 IPA3 di SMA Negri (kini menjadi SMA Negri 1) di jalan Kartini. Karena sekolah kekurangan ruang kelas, maka aku harus sanggup masuk sore mulai pukul 13:00 setelah kelas 1 IPA 1 dan 1 IPA 2 selesai dipagi harinya. Awalnya sangat tidak nyaman, karena sering diejek kawan-kawanku yang masuk pagi, ―Wah kowe SMA senja yo !‖ (wah, kamu SMA senja ya). Hari berganti hari, minggu berganti minggu, akhirnya kami sudah kebal diejek. Kawan-kawanku yang masuk pagipun sudah tidak pernah mengejek. Entah karena bosan atau sudah saling kenal dan saling bersahabat di antara kami. SMA Negri, ketika itu di lobby tamu terpajang alat music Kulintang lengkap. Lapangan tengah sebagai tempat upacara yang konturnya berundak-undak dari atas ke arah bawah, sampai dinding pagar luar di sebelah selatan, sebelum selokan. Terdapat satu bangunan memanjang ke timur, terbagi menjadi beberapa ruang laboratorium.
Telegram yang menyesakkan dada Dari pemberitaan sebuah koran nasional. Satu perguruan tinggi di Jawa barat menantang semua pelajar dalam lomba Konsep Tata Guna Tanah, Bagaimana Mengatur yang Terbaik. Aku tentu tertarik dengan hal-hal menantang seperti ini. Setelah malang melintang mencari dan mengumpulkan petikan pustaka disana-sini, akhirnya konsep tentang Pengaturan Tata Guna Tanah buatanku selesai kususun. Sesuai ketentuan, bundle naskah dapat dikirim langsung melalui pos ke alamat panitia di Isntitut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat. Aku belum pernah ke ITB, maklum tak ada saudara satupun yang berada disana. Setelah sekian lama tidak ada kabar berita tentang lomba itu, aku mulai sadar kalau aku memang berasal dari kota kecil dan tidak cukup pengalaman. Terlebih bahwa lomba ini tingkat nasional, se-Indonesia, pasti saingannya sangat banyak. Aku menerima dengan rendah diri, ―terimalah keadaanmu..‖, demikian kira-kira bunyi suara kering di dalam dadaku. Setelah bel pelajaran selesai tepat pukul 5 sore, salah satu teman memberitahu ―Nit kowe entuk telegram !‖. Tanpa rasa ingin tahu, sambil pulang aku lewat di depan papan informasi, e… ternyata benar aku mendapat telegram. Telegram itu isinya: ―Naskah saudara telah terpilih masuk kategori 5 besar, untuk menentukan pemenang 1,2 dan 3, akan diadakan presentasi oleh masing-masing peserta, pada hari Kamis… tgl… dst‖. Aku hanya berdiri sambil deleg-deleg tidak percaya, sampai semua temanku meninggalkan-ku berdiri sendirian di depan papan pengumuman. Sore ini sudah hari Rabu, seharusnya aku sudah berada di atas bis menuju Bandung, tetapi nyatanya aku masih disini, di depan papan pengumumami …aku terduduk dan lemas… Allah belum mengijinkan aku bertanding di ITB, di depan para juri perlombaan untuk merebut salah satu peringkatnya. Ternyata rasa minder, selalu merasa berasal dari kota kecil, dan segala macam mental pesimistis harus dihilangkan dari hatiku….
―Ooo, kamu … ― Telah sepakat, Toro, Heppy dan aku, Sabtu sore 15:00, berangkat hiking menuju sebuah gumuk di Kedu untuk kemah. Karena sudah 4 bulan lamanya tidak kemah, kami sudah rindu kepada alam. Eko Pujianto yang rumahnya Kedu, kira-kira berjarak 2 Km dari gumuk, akan dihampiri dan diajak serta sore itu. Kemah, sudah menjadi kegiatan rutin minimum dua kali dalam satu semester. Aku pasti melakukan perjalanan alam, hiking, kemah atau sekedar perjalanan bersepeda. Anggota tetapnya, aku, Toro, Heppy, Antak dan David. Sedang Fandi dan Andi, meneruskan SMA-nya di
Jogya. Uniknya, ketika kami berkemah formasi tim ini selalu tidak pernah lengkap, pasti hanya berempat. Pastilah salah satu dari kami tidak ikut karena satu dan lain hal. Beberapa tempat kemah sangat mengesankan antara lain, pantai Sendang Sikucing (Weleri), pantai Celong (Weleri), hutan Jumprit (Ngadirjo), hutan Sumowono, wilayah Rowoseneng dan sekitar lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. David, adik kelasku yang badannya paling kecil. Dia tidak pernah bertugas memikul tenda yang berat karena terbuat dari kain deklit sangat tebal. Tetapi mempunyai tanggung jawab membawa semua perlengkapan memasak, kompor (spt milik tukang martabak), minyak, sutil, dan semua panci. Hingga sepanjang perjalanan dialah yang paling brisik, selain panci atau ketel sudah biasa dipakainya sebagai topi, bunyi krompyang-krampying perabotan dapur selalu terdengar. Jadilah David yang tak pernah kelihatan lengkap mukanya karena selalu tertutup panci atau ketel sampai ke mata-matanya. Oya, kembali soal kemahku di kedu. Setelah mengisi form ijin pulang, wali kelasku tidak langsung memberi tanda tangan, setelah membaca bahwa kolom alasan ijin tertulis ―kemah ke kedu‖. Setelah keluar kelas dan sesaat kemudian masuk kembali, guru wali kelasku berkata ―Kamu dipanggil Kepala Sekolah‖. Wajahku sumringah, ―Pasti lebih cepat prosesnya‖, gumamku. Belakangan aku tahu, rupa-rupanya untuk menakut-nakuti agar aku batal meminta ijin. Karena aku tidak mengenal ―trik‖ seperti itu, maka segera saja aku menuju ruang Kepala Sekolah.
―Ada perlu apa ya ?‖, suara khas sangat santun diucapkan Kepala Sekolah SMA Negri (kini SMA Negri 1) kepadaku.
―Saya yang akan minta ijin pak‖,‖Ooo…kamu..‖, sambutnya heran. Aku disuruh duduk seperti tamu. Setelah mengambil form ijinku, Kepala Sekolah juga duduk di depanku, di kursi tamu depan ruangan-nya. Dengan suara pelan, dia memintaku menjelaskan segala hal berkaitan dengan acara kemahku di kedu. Tanpa buang waktu, aku berusaha menjelaskan selengkap mungkin. Pak Kartono. Kepala Sekolahku, terus memandangiku sembari mendengarkan penjelasanku. Sesaat, keadaan menjadi sunyi karena semua diam. Tak lama berselang, akhirnya aku ditanya lagi,
―Sebetulnya kamu lebih penting sekolah atau kemah ?‖. Dengan nada sopan aku segera menjawab, ‖Kemah pak‖. Tanpa jeda, form ijinku langsung ditanda tangani, dan diberikan kepadaku tanpa pengantar sepatah katapun. Dan akupun segera kabur untuk bergabung dengan kawan-kawanku. Sampai kisah ini aku tulis, aku tidak pernah berani mengira-ira apa yang dipikirkan Pak Kartono kepadaku ketika itu ???... Astagfirullah ….
Mbakyuku selalu menggandeng tangan kananku Ketika aku lahir, Bapak tepat pension dari pegawai Rumah Sakit Temanggung (RSU). Aku berkembang dan besar dengan uang pension Bapak yang tidak seberapa besar. Namun dengan bertambahnya umur dan jenjang sekolahku, maka biaya untuk sekolahku dan biaya lain-lain juga merangkap naik. Aku tidak pernah kecewa menjadi anak pensiunan ?. Namun harus tahu diri bila berhubungan dengan kebutuhan biaya. Semua harus diukur sesuai kemampuan keluargaku. Bapak dan Ibu sudah melatih sejak kecil memahami keadaan ini, sehingga semakin dewasa, aku tidak kaget lagi. Tinggal satu mbakyuku, Mbak Tatik, seorang guru dengan penghasilan pas-pas-an ketika itu. Sedang semua kakakku yang lain sudah memiliki beban tanggungan keluarganya masing-masing. Suatu sore, ibuku memanggil, dan memintaku duduk disampingnya.
―Yan (panggilanku di rumah Yanto), Ibu arep ngendika‖, (Yan, Ibu mau bicara). Aku sering mendapat nasihat dari Ibu dan juga Bapak. Namun kali ini ―kayaknya‖ tidak seperti biasanya. Rasanya Ibu ingin menyampaikan hal sangat penting untukku.
―Nek Ibu mundut-ke cet gambar (cat minyak maksudnya), apa kowe gelem nggambar ?. Apa kowe ya gelem dodol gambarmu menyang pasar ?‖, (Jika Ibu membelikan cat minyak, apa kamu mau melukis ?, apa kamu juga bersedia menjual lukisanmu di pasar ?). Tawaran dari Ibu tidak berlebihan, karena selama aku di SMAN, sudah beberapa lukisan laku terjual, dibeli kenalan, teman kakak atau tetangga. Lumayan, walau tidak serta merta dipatok seperti harga karya pelukis profesional. Aku tidak risau mendengar nasihat Ibu, biasa saja dan hatiku siap sekali. Aku mengiyakan saja dengan ringan. Benak hatiku paham benar harus menjawab apa. Aku jadi ingat beberapa tahun lalu, Bapak juga pernah memberi pilihan,
―Kamu lebih baik sekolah di STM dari pada meneruskan ke SMA. Kamu bisa cepat bekerja bila ijazahmu STM. Sebab kalau lulus SMA itu harus meneruskan kuliah, tidak bisa langsung kerja‖. Demikian nasihat Bapak ketika aku lulus dari SMP Negri 1. Namun, mungkin pilihan Ibu dan Bapak memang bukan pilihanku, sebab Mbakyuku yang satu ini, selalu saja mendorong agar aku terus bersekolah entah mau sampai mana. Walau aku sadar betul, apakah cukup kebutuhan sekolahku dicukupi gaji Mbakyuku, terus kebutuhannya bagaimana ?. Aku selalu tidak berani menerka-nerka juga tidak berani berkomentar, jika berkaitan dengan biaya. Namun Mbakyuku senantiasa menggandeng tangan kananku untuk melangkah, dan terus bersekolah. Mbakyuku, Bidadari pemacu mimpi-mimpiku, Matahari pembakar semangatku, Kawan sahabatku dikala aku murung….
Makan malam satu meja dengan mereka yang memimpin Negara Beberapa waktu berselang, aku membaca sebuah berita di harian Suara Merdeka. ―Tiga orang pemuda Jawa Tengah menuju luar negri‖. Sontak aku teringat guru Fisika, Pak Bianto (Pak Bik). Luar negri, ya, tentang luar negri, seperti apa ya luar negri….aku hanya bisa menerawang kosong…. Aku mengamati dengan seksama siapa sih pemuda hebat yang mampu keluar negri dibiayai Negara ?. Setelah aku cermati lagi nama-nama yang ada di dalam pemberitaan koran, ternyata salah satu namanya beralamatkan di Magelang, Yes !, aku mendapatkan namanya. Tetapi dimana alamat rumahnya ?. Aku berusaha mencari alamat rumahnya karena aku berkeinginan datang dan ingin tahu bagaimana caranya bisa ikut dalam program itu ?. Tak kehabisan akal, kulihat lagi secara seksama artikel di Koran itu, Yes !, aku akan datang ke kantor Depdikbud kodya Magelang bagian Kepemudaan. Mengapa ?, karena tahap seleksinya dimulai dari sana. Berbekal data dari Kantor Depdikbud, suatu sore, aku dan seorang kawan Kodir namanya, sengaja mencari ke alamat rumah yang kuperoleh dari pejabat kantor pendidikan itu.
―Adik mau ketemu siapa ?‖, seorang Bapak membukakan pintu rumah setelah aku ketuk beberapa kali. Tanpa canggung, aku sampaikan lengkap tentang maksud kedatanganku.
―Silakan ditunggu‖, aku duduk sambil hanya tengak-tengok berdua dengan Kodir. Tak kuduga, seorang gadis, cantik, langsing, putih bersih, tinggi semampai keluar dari ruang dalam. Wah…kali ini aku terdiam, aku pasti mendadak gugup bila keadaan seperti itu.
―Waduh !, mateng..‖, gumamku. Untunglah Kodir segera menyampaikan maksud bertamu. Tak kuduga, sambutan mbak Tutik luar biasa ramah dan baik hati. Theresia Hastutiningsih, ya, gadis asli Magelang yang fasih berbahasa Inggris ini sangat menghargai maksud kedatanganku. Gadis cantik yang pasti berotak encer dan canthas ini, akhirnya dengan sangat nyaman menyampaikan banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan seleksi itu.
Cemeplong (lega) rasa hatiku, aku segera tahu semua persyaratan yang dibutuhkan seorang duta bangsa seperti mbak Tutik. ―Cengkir sewu‖ selalu membakar darahku untuk mencoba. Aku tak pernah mau sesuatu berjalan setengah-setengah. Segala kemampuan kupersiapkan sangat serius demi pertarungan dalam seleksi penerimaan calon duta bangsa yang konon sangat ketat seperti kata gadis cantik bernama mbak Tutik. Minggu berganti minggu tak terasa berjalan cepat. Akhirnya sampailah pada saat sangat penting, tahap seleksi di tingkat Kodya Magelang. Alhamdulillah, aku masuk 5 besar.
―Nek kowe pengin lunga menyang luar negri, kudu golek sangu dewe‖, (jika kamu ingin pergi ke luar negri, harus mancari bekal sendiri), demikian kata Ibu beberapa tahun lalu ketika aku cerita tentang ―luar negri‖ menyambung cerita dari guru Fisika-ku Pak Bik kepada Ibu. Perhelatan seleksi belum selesai, melainkan baru tahap awal. Dihari yang sudah kutunggu-tunggu sampailah seleksi akhir di tingkat Propinsi Jateng. Semua bidang uji seperti Bahasa Inggris, Psikotest, Pengetahuan umum sampai cabang kesenian dan olah raga apa yang dikuasai, di ujikan kepada semua peserta satu per satu oleh juri yang memang ahlinya dibidang itu. Pengalamanku menaklukkan alam, gemar membaca berbagai informasi dan pengetahuan, bela diri Silat, menari, bermain gitar, melukis, dan satu bekal penting ―cengkir sewu‖ membuat nyaliku begitu bulat sangat kokoh. Tetapi, mengalahkan peserta se-Jateng sebanyak 62 orang yang mewakili semua Kabupaten dan Kodya se-Jateng adalah hal yang sangat sulit, apalagi hanya akan diambil 1 orang. Semua kemampuanku, aku pertaruhkan. Pertarungan demi pertarungan berjalan di depan juri yang sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Juri bahasa Inggris yang cas-cis-cus, juri kesenian yang mengejar ―apa saja keahlianmu, tolong tunjukkan ?‖, Juri Pengetahuan umum yang mencoba mencecar dengan materi dalam negri dan materi Negara tujuan terus-menerus menghimpit seakan ingin memojokkan, dan sang Psikolog yang mencoba mencari sisi baik dan sisi buruk-nya diri peserta… Sampailah pada tahap hasil seleksi akan segera diumumkan. Para peserta seleksi semakin tegang tat kala Ketua Dewan Seleksi mengulangi pernyataannya,
―Bila nomor ini aku panggil untuk yang ketiga kalinya tidak juga datang pesertanya, maka dewan seleksi menyatakan gugur dan akan memanggil nomor peringkat ke 2 sebagai pemenangnya‖. Lalu diumumkan kembali pemenang peringkat ke 1 hasil seleksi program pertukaran pemuda luar negri untuk yang ketiga kalinya, Alhamdulillah, aku yang memang dari awal sudah duduk dibangku urutan depan, segera berdiri, untuk menerima surat keputusan. Aku melaksanakan pesan Ibuku, ―Nek kowe susah, ojo nganti khilaf, sing sabar, ora perlu tetangisan gero-gero, ojo mutung. Susahmu kuwi coban-ujian soko Gusti Allah‖, (apabila kamu sedih, jangan lupa diri, sabar, tidak perlu menangis melampauhi batas, jangan putus asa). Demikian, sosok seorang Ibu yang selalu menanamkan budi pekerti kepada semua anak-anaknya.
―Semono ugo, nek kowe seneng, ojo nganti khilaf, sing sabar, ora perlu cewawak-an bengakbengok kesenengen‖, (begitu juga apabila kamu senang, jangan lupa diri, sabar, tidak perlu tertawa terbahak-bahak kegirangan). Resmilah aku menjadi wakil dari Propinsi Jawa Tengah untuk pertukaran pemuda luar negri Asean dan Jepang. Walau sebetulnya, terdapat tiga program pemuda, yaitu Indonesia-Australaia, Indonesia-Canada dan Indonesia-Asean-Jepang, maka spontan aku memilih yang ketiga. Sebab, aku akan bertemu dengan banyak suku bangsa…
Sampai tahap ini hanya Mbakyuku, Bidadariku, Matahariku, Sahabatku…yang aku beritahu tentang prestasi ini, sedang Ibu, Bapak dan seluruh keluargaku tidak satupun ada yang tahu. Aku selalu ingat nasihat dan pesan Ibu. Selama satu bulan, semua peserta, wakil dari semua propinsi yang ada di seluruh Indonesia masuk dalam Diklat pramuka di Cibubur. Kami digembleng di bawah instruktur yang biasa membina Pemuda Paskibraka, Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di istana merdeka. Di akhir pendidikan, setelah melakukan pengamatan sangat cermat terhadap fisik dan stabilitas mental dan kemampuan secara terpadu, Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM) sepakat menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan Delegasi Indonesia yang berjumlah 36 pemuda itu, kepada seseorang, pemuda tanggung yang berasal dari Desa Mungseng Temanggung.
―Jaga nama baik bangsa dan negaramu, pimpin kontingenmu sebaik-baiknya‖, pesan sangat jelas dari Pak Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden RI ketika itu, kepadaku. Dengan tangan kanan memegang ujung kain bendera merah putih yang terpasang di tiang keemasan,
―Siap laksanakan !‖, Suaraku, memberi tanda mengalunnya lagu Padamu Negri, menggema diruangan besar sangat megah. Inilah saat pertama kali membuatku merinding. Hatiku segera berteriak sangat keras, Indonesia jiwa ragaku !... Sungguh aku telah terbakar api kebangsaan yang seutuhnya, Darahku mendidih menggelorakan jiwa nasionalis tanpa pamrih, Demi negaraku, aku siapkan jiwa ragaku, Demi negaraku, kubela hingga titik darah penghabisan !, Tak kurelakan satu bangsapun menghina negaraku !, Sampai dengan aku menulis kisah ini, tak satupun kalimat di atas luntur dari jiwa-ragaku !.
Kapal pesiar mewah berbendera Jepang, Nippon Maru, melaju untuk program The Ship for South East Asean Youth Program (SSEAYP). Berturut-turut akan berlayar dan berlabuh ke seluruh Negara ASEAN dan berakhir di Jepang. Kapal berisi 6 suku bangsa itu (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Thailand, dan Jepang) selama berlayarnya, penuh padat dengan jadwal tentang kegiatan kepemudaan. Mulai olah raga, kesenian, diskusi, bahasa sampai beladiri dipresentasikan berurutan bergantian tiap Negara. Tak hanya itu, setiap kabin akan berisi 4 orang pemuda berbeda bangsa.
Kami benar-benar menjadi satu keluarga yang harmonis. Lagi-lagi, aku sangat beruntung karena aktif berorganisasi dan kesenian selama bersekolah, sehingga segala urusan pertemanan lancar akrab dan sangat mengesankan. Disetiap Negara kami akan singgah selama 6-7 hari, untuk mengunjungi perguruan tinggi, lembaga riset dan pengembangan, tempat bersejarah, tempat wisata, home stay dan tak lupa makan makan bersama dengan Kepala Negara/Pemerintahan khusus untuk Ketua Delegasi. Sedang waktu berlayar disusun selama 5-6 hari perjalanan laut. Suatu kehormatan luar biasa bagiku, karena aku diberi kesempatan dapat memberikan ceramah di depan para mahasiswa di National University of Singapore, Chulalongkorn University Bangkok dan Ladkrabang Technology juga di Thailand. Lagi-lagi aku sangat bersyukur karena hanya Youth Leader (Ketua Delegasi) yang berkesempatan untuk makan malam satu meja dengan semua Kepala Negara/Pemerintahan. Dari semua Kepala Negara/Pemerintahan yang menerima makan bersama satu meja, hanya dua Negara yang diwakilkan. Kerajaan Brunei Darussalam, diwakili oleh Menpora karena Sultan Khasanal Bolkhiah sedang pergi keluar negri dan Indonesia diwakili oleh Menkokesra. Sayang sekali, padahal disemua Negara, para Kepala Negara/Pemerintahan bersedia meluangkan waktunya demi para pemudanya, mengapa di Indonesia tidak ?. Bahkan ketika aku bersama Kaisar Akihito, aku sempat berbincang cukup lama. Mungkin beliau menyempatkan diri dalam rangka menghapus luka derita lama penindasan bangsa Jepang kepada bangsa Indonesia melalui persahabatan dengan pemudanya. Alhamdulillah, perjalanan kenegaraan tuntas sudah ke seluruh Negara tujuan. Bandara Narita, Tokyo, Jepang, menjadi saksi bisu haru birunya kami 6 suku bangsa yang sudah merasa bagai sebuah keluarga besar, harus berpisah, pulang ke negara asal masing-masing … Tak ada lagi kata-kata diantara kami, tak ada lagi senyuman diantara kami, selain sesenggukan, karena harus berpisah dan entah kapan akan bertemu kembali … We are one, my brothers, my sisters … Perjuangan, akan selalu menorehkan keberhasilan.
Frahma Alamiarso SDN 4, Temanggung (lulus th. 1981) SMPN 1, Temanggung (lulus th. 1984) SMAN 1, Temanggung (lulus th. 1987) ‖Cita-cita adalah mimpi yang bertanggal, kemudian pastikan bahwa cita-cita itu didukung oleh kemampuan, ketegaran dan kerja keras untuk menjadi kenyataan―.
MERETAS IMPIAN SI TEGAR Seperti biasa setiap mudik lebaran, aku selalu bernostalgia di kampung halamanku.Segudang kenangan masih terasa membekas di relung hatiku, yang kadang membuat rindu datang diamdiam untuk sekedar mengingatnya kembali. Sungguh menyenangkan dan menentramkan hati. Pagi itu, saat udara Temanggung masih dingin berselimutkan indahnya rona halimun, kulangkahkan kaki menuju Jl. Kartini. Kubaca lekat – lekat papan nama SMA Negeri Temanggung dengan hati gemuruh, sekolahku semasa SMA dulu. Ada banyak canda dan tawa yang pernah kami ukir di sini. Terlalu banyak, hingga aku tak mampu menghitungnya dengan kepingan katakata ; tentang Kepala sekolah kami pak Darto, yang ceriwis namun penyabar, tentang guru-guru kami, bu Tatik yang lembut dan cantik, pak Rachmad yang selalu necis dengan jambulnya, pak Subur yang kaku namun selalu kocak dengan banyolannya, pak Widarto sang maestro seniman kami yang nyentrik dan masih membujang hingga kini, tentang sahabat – sahabat karibku ; Hari, Edi, Eri yang selalu mengisi lembaran hari-hari indah kami, juga tentang penjaga sekolah kami pak Man dan pak Soprin yang teramat lugu dan jujur, sering dikerjai anak-anak. Jika saja waktu dapat kuputar kembali … ah … ingin rasanya kurajut kembali masa-masa indah dulu, saat celoteh anak muda dengan segala impian besarnya dan kenakalan lucunya, menghiasi sudut-sudut ruang kelas disepanjang Jl. Kartini. Tanpa terasa, anganku melayang jauh menembus ke masa lalu yang sarat dengan ukiran kenangan indah disini …
Joe, si tegar sahabatku Siang itu terpaksa aku pulang agak terlambat, karena harus mempersiapkan pertandingan antar kelas. Maklum, semenjak menjadi ketua OSIS, aku cukup disibukkan dengan berbagai kegiatan. Namun hal ini tidaklah membuatku resah karena teman-teman selalu mendukungku, salah satunya adalah Joe. Dia anak yatim yang hidupnya serba pas-pasan di rumahnya yang sangat sederhana. Semenjak kecil sudah ditinggal oleh ayahnya karena sakit kanker hati. Namun dalam keterbatasan hidupnya, dia tidak pernah mengeluh dan selalu ceria berbaur dengan teman-teman lainnya. Kadang aku dibuat kagum jika melihatnya bermain basket, lincah, gesit dan selalu menjadi jagoan team kami.
Dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, namun dia mampu berlari, berkelit dan menerobos hadangan lawan. Jika bertanding dengan sekolah lain, kami sering menjadi pemenang, terutama karena ada si ―speede‖ Joe, demikian kami menjulukinya. Selain jago main basket, dia juga tergolong anak yang cerdas dan aktif. Setiap kenaikan kelas, nilai rapornya selalu di atas rata-rata kelas. Setelah pulang sekolah hari-harinya banyak diisi dengan kerja sambilan membuka toko service elektronik di depan rumahnya, untuk membantu menghidupi keluarganya ; ibu dan kedua adiknya. Sungguh tidak ringan beban yang harus dipikulnya, selain harus menuntaskan sekolahnya, dia juga bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, terutama untuk biaya pengobatan ibunya yang sudah lama menderita stroke.Tapi, jangan panggil Joe jika dia sedih karenanya. Hari itu aku sengaja mencari Joe, karena team kami mendapat undangan bertanding basket ke Wonosobo, sebuah kota kecil di kaki Gunung Sindoro yang sejuk dan indah. Meski semua ruang kelas sudah kujelajahi, namun Joe tidak kutemukan juga. Ehm … mungkin dia sudah pulang ke rumah, demikian pikirku dalam hati. Sudah dua hari ini Joe tidak kelihatan batang hidungnya, ah ... ada apa gerangan, batinku lirih. Ingin rasanya segera ke rumahnya, namun hatiku berkata lain, tunggu saja sampai besok, mungkin dia sudah masuk kembali. Dan ... saat pulang sekolah itulah, petir terasa menyambar hingga daun–daun jatuh berguguran, ibu menyambutku dengan tatapan sendu, menahan linangan air matanya. ―Ada apa ?!‖, Seperti tahu isi hatiku, ibu memelukku dalam diam. Dalam pelukan ibu, aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Juga kurasakan ada air yang menetes di kepalaku.
―Mengapa Bunda menangis ?‖ ―Joe ... sahabatmu...‖ Ada yang berdetak tak menentu. Firasatku membawaku pada sebuah keadaan yang tak menentu. Sesuatu telah terjadi... pada Joe ... Dan, aku seolah diporak – porandakan oleh sebuah kenyataan memilukan, ketika kudengar kabar ibunda Joe meninggal dunia. Hampa itu kembali mengusik, terasa kosong dan gamang. Namun setidaknya aku tahu, apapun yang terjadi pada Joe dan adik-adiknya, mereka tak akan pernah sendiri, selama masih ada pelangi bernama persahabatan. Beberapa hari kemudian, Joe datang ke sekolah seperti biasa, aku terharu melihatnya, kasihan dia, batinku ... Tapi seolah tak mau dikasihani, ia terus melangkah menghampiriku. ―Bagaimana kabarmu Joe ?‖ Ujarku. Ia menatapku tajam, ―Terimakasih ya atas perhatianmu untuk ibuku selama ini‖ hanya itu yang terucap dari mulutnya yang terasa masih kelu. Dan aku tersenyum bahagia. Ia ikut tersenyum. Aku senang melihat dia bisa tertawa. ―Katanya, mau main basket, yuk !‖ godaku.
―Aku bosan basket ... lain kali saja‖ Ujarnya lirih. Kulihat bola matanya menerawang jauh, menyambar setiap sudut lapangan basket yang dulu pernah menjadi panggung atraksinya. Kupandangi Joe sekali lagi. Sebenarnya, banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya hari ini. Bagaimana keadaan adik-adiknya ? Mengapa kamu tidak pernah bercerita tentang sakit ibumu kepadaku ?. Dan..., pertanyaan-pertanyaan itu menguap begitu saja. Sekalipun tetap ceria seperti biasanya, aku bisa merasakan kesedihan Joe. Sejak dari SMP, kami selalu bersama. Bermain bola, mendaki gunung, mengail ikan dan belut. Begitu banyak hari yang kami lewati bersama. Dan itu cukup membuatku mengerti sifatnya.
―Joe...‖ Ia menghentikan langkahnya. Menoleh padaku.
―Apa ....‖ Ia menggaruk rambutnya.
―Kamu sakit ?!‖ Dan bel berdentang sebelum Joe menjawab pertanyaanku. Kami berlari menuju kelas. Hari ini mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Mata pelajaran yang sangat kami sukai, karena kami akan bertemu dengan bu Dzairoh yang baik hati dan lembut. Aku rasa, kata-katanya seperti salju. Bening dan menyejukkan. Di mataku, bu Dzairoh adalah guru sejati. Jilbab yang menutupi kepalanya seolah menambah pesonanya. Dialah satu – satunya ibu guru di sekolahku yang berjilbab. Umurnya mungkin sekitar 50 tahunan. Entahlah. Tapi, hari ini, wajah yang biasanya lembut dan menyejukkan itu berubah keruh. Berulang kali ditatapnya kami satu per satu, meskipun ia lebih sering menatap Joe yang menunduk dalam – dalam. Kelas kami menjadi hening. Akupun merasakan sesuatu yang lain. Biasanya, setelah kami berdo‘a, bu Dzairoh akan bercerita tentang sejarah sahabat-sahabat nabi yang perkasa dan begitu mulia, atau kisah – kisah yang akan membuat kami seolah dibawa ke sebuah tempat asing dimana cahaya begitu menyala dan bersinar. Sinar itu kemudian bersembunyi di dalam hati dan jiwa kami. Tapi, hari ini, mata itu seolah menyimpan sebuah beban yang amat berat. Aku mengerti … sungguh aku mengerti perasaannya. Ia adalah seorang ibu yang berhati lembut. Dan kami adalah anak-anaknya. Hari ini, seorang anaknya ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya untuk selama-lamanya. Ibu mana yang tak akan sedih ? Setelah lama menahan perasaannya, bu Dzairoh menghampiri Joe. Digenggamnya tangan Joe erat-erat, seolah Joe adalah anaknya yang telah menghilang.
―Kamu baik-baik saja, nak ?‖ suaranya bergetar ketika menanyakan itu. Joe diam saja. Wajahnya masih menunduk. Hatiku teriris rasanya mendengar pertanyaan itu. ―Bunda sudah tiada, Bu...‖ jawabnya singkat. Dan, seperti tak bisa ditahan, guru yang baik hati itu menggigit bibirnya menahan haru, air matanyapun menetes dalam diam. Kami ikut larut dalam suasana duka yang mendalam saat mendengar uraian kisahnya. Joe, saat air mata membasahi relung jiwamu, akan selalu ada seribu tangan di hatimu. Itu adalah tahun terakhir aku bertemu dengan Joe. Akhirnya, kami berpisah karena aku harus melanjutkan kuliah di Yogya, sedangkan Joe kabarnya ikut pamannya tinggal di Bandung. Ah … aku tak akan bertemu lagi dengan Joe, seorang sahabat yang tegar dalam menghadapi kehidupannya. Masih terngiang jelas kata-kata terakhirnya saat perpisahan dulu ―Aku berjanji, suatu hari nanti akan kembali ke sini. Akan kutunjukkan aku mampu menjadi orang tua bagi adik-adikku ‖ ujarnya. Terbanglah tinggi, sahabatku. Jangan biarkan hari-hari kelam itu singgah dalam kehidupanmu. Kami ... akung kamu, Joe.... Sudah 25 tahun lamanya aku tak pernah bertemu lagi dengan Joe, dimanakah dia sekarang ? seperti apakah sekarang ? Sampai suatu hari, di sebuah komplek pertokoan, saat aku mencari lampu hias untuk ruang tamu, aku bertemu dengan seorang lelaki setengah baya. Seorang anak kecil berlari-lari kecil menghapirinya. Sementara seorang pembeli sibuk menawar parabola yang dijual di toko itu. Aku mencermati wajahnya. Menggali ingatan masa kecil yang telah kusam dilumuri waktu. ―Mik ?!‖ Dialah yang terlebih dahulu menyapaku. Ya benar, dia memang Joe. Si tegar yang telah mengajarkan arti ketabahan pada kami, sahabat– sahabatnya. Lama kami saling berceloteh. Mengenang masa ceria saat remaja dulu.
―Ingat ya ... kamu nggak pernah menang main basket melawanku !‖ Dan... kamipun tertawa. Lepas.
―Aku pikir... kita tak akan pernah bertemu lagi, Joe‖ Ia tersenyum, getir. Akupun membingkai seulas senyum, meski patah.
―Allah selalu mempunyai rahasia yang indah ya ?!‖ Ujarku. ―Ya, kamu benar, Mik ! Setelah aku beranjak dewasa, aku baru merasakan telah kehilangan seseorang yang sangat mulia dan aku cintai di dunia ini. Bahkan ... aku pernah hampir bunuh diri !‖ Aku menggumam sambil menyebut nama Allah di hatiku, Subahanaallah .... Aku biarkan dia bercerita tentang kisah perjuangan masa lalunya.
―Hidupku sekelam malam, sangat kelam. Tapi aku tahu ... AKU HARUS BAHAGIA!!!‖ ujarnya.
Aku menatap matanya. Selalu, kutemukan sebuah bening yang nyata di sana. Kebeningan itu bernama semangat dan ketabahan ! Kau tahu ? Cobaan demi cobaan yang menghampiri kulawan dengan perasaan bahagia. Karena disitulah aku belajar untuk menjadi lebih kuat. Semakin kuat. Dan lebih kuat lagi! Alhamdulillah ... ada seorang teman pamanku yang mengajariku berwirausaha, dan akhirnya aku bisa seperti sekarang ini, sambil menoleh kearah mobil Toyota Alphardnya yang diparkir di garasi tokonya. Dan ... ini buah hati kami!‖ Ia tersenyum bangga, membelai rambut anaknya dengan perasaan kasih yang dalam. Semenjak ikut pamannya di Bandung, Joe melanjutkan kuliah di Unpar, mengambil jurusan Tekhnik Arsitektur. Dia memang anak yang cerdas, selain belajar Joe juga bekerja sebagai asisten dosen untuk mata kuliah Teori Arsitektur Modern, sesuai dengan hobi dan keahliannya. Hal ini dia lakukan untuk membiayai kuliahnya. Diluar jam kuliah, bersama teman-temannya dia juga membuka biro konsultan design grafis dan bimbingan belajar untuk anak SMA di Bandung. Sungguh luar biasa semangat dan kerja keras yang dilakukannya. Setelah lulus menjadi Sarjana Tekhnik, Joe memutuskan bekerja di Jakarta. Hampir lima tahun bekerja sebagai Telecommunication Engineering di PT. Telkom, akhirnya dia memutuskan untuk berwirausaha mendirikan perusahaan dibidang telekomunikasi. Lambat namun pasti, usahanya berkembang dengan pesat, sehingga jangkauan bisnisnya sudah merambah kebeberapa kota-kota besar lainnya di Indonesia.
―Joe, kamu pantas menerima semua ini, atas ketegaran dan kerja kerasmu selama ini, aku bangga padamu ― ujarku sambil memeluknya erat-erat. ―Maaf Joe... aku harus pulang ... kami harus segera kembali ke Jakarta‖ Ujarku penuh sesal. ―Mik, terimakasih ya untuk segalanya terutama untuk persahabatan kita ini‖ dan kamipun saling berangkulan melepas kerinduan yang telah bertahun-tahun hilang. ―Ini untuk kamu, dari seorang sahabat lama‖ ia tersenyum sambil menyerahkan sebuah lampu kristal cantik kepadaku. Aku tertawa ― Terimakasih Joe, kenang-kenangan ini sangat berarti bagiku, terutama untuk
persahabatan kita ‖. Dari jauh, kulihat si tegar itu melayani pembeli dengan ramahnya. Aku bahagia melihat Joe mampu mengepakkan akupnya yang rapuh, menepati janjinya menjadi kebanggaan keluarganya. Hatiku riuh dengan do‘a–do‘a. Mengetuk pintu langit untuk sang tegar.
― Ya Allah ... kuatkan hatinya dan hati kami ketika kesedihan menerpa, agar kami semakin bersyukur akan KaruniaMu ―. Ketika tumpukan tanya menjelma selaksa resah yang memuncak, Ketika tiada kata mampu menjabarkan lagi arti kepedihanmu, Biarkan ketegaran menemani meretas mimpimu, Terbang mengangkasa diatas kepakan akupmu. *Medio Juni yang dingin dan membeku : Untuk sebuah persahabatan yang abadi.
Teguh Wibowo MI Muhammadiyah Malebo, Temanggung (lulus th. 1981) SMP Muhammadiyah Malebo, Temanggung (lulus th. 1984) SPG N, Magelang (lulus th. 1987) ―Tak ada kesuksesan yang datang secara tiba-tiba. Ia membutuhkan ketekunan, kerja keras, dan keikhlasan.....‖
Mutiara dari Bumi Indrakila Anda pernah membaca novel atau menyaksikan film Laskar Pelangi? Bagaimana kesan Anda? Pasti kagum dan terpesona ya? Benar, sebagaimana pencinta sastra pada umumnya, aku pun sangat kagum dan terkesima ketika membaca Laskar Pelangi, novel dahsyat yang sangat menggemparkan dunia sastra itu. Yang lebih membuat aku kagum dan menyatu dalam novel Andrea Hirata ini, karena aku seolah-olah menjadi tokoh sentral dalam novel tersebut. Cerita tentang Lintang mengingatkan aku pada masa lalu aku, puluhan tahun silam, ketika aku masih duduk di bangku SD, tepatnya MI atau Madrasah Ibtidaiyah. Kisah tentang kegigihan Bu Mus, ibunda guru yang sabar itu, juga mengingatkan aku pada guru aku di MI waktu itu. Lalu kesederhanaan, kepolosan, dan keceriaan sepuluh anak di novel itu, adalah potret masa lalu aku teman-teman sekolah aku pada waktu itu. Yang membedakan dengan Lintang, aku tidak tinggal di pesisir, sekolah aku tidak jauh, dan yang pasti … aku tidak sebrilian Lintang. Selain itu, sekolah aku bukan SD Muhammadiyah melainkan MI: MI Muhammadiyah. Bedanya lagi, sekolah aku ini sampai sekarang malah makin eksis (jadi banyak ya, bedanya!) Aku begitu ingat bagaimana sehari-hari aku ketika sekolah. Berangkat pagi dengan seragam putih biru (dulu belum ada seragam putih merah), kumal, tanpa tas, dan tanpa alas kaki alias nyeker. Aku juga ingat sekali, dari empat belas warga sekelasku, hanya dua orang yang bersepatu. Lainnya alami, tanpa alas kaki. Tapi teman-teman aku saat itu, sangat hebat. Ada yang cerdas sekali seperti Lintang di Laskar Pelangi, seorang perempuan, namanya Rini Utami, kini menjadi guru di sebuah SMA di Kota Bandung. Ada yang tinggi besar tapi sangat lugu seperti Harun, kami memanggilnya Bagong. Ada juga yang pintar mengaji (bisanya dari Ketuwon, dusun dekat bukit Indrakila). Ada lagi yang badannya kuat dan paling besar, namanya Munfisari tapi orang lebih kenal dengan nama Muntisari (huruf ‗t‘nya dilafalkan ‗th‘). Yang selalu bersepatu dan terlihat klimis, Imbuh. Sementara yang paling kecil dan methesel saat itu, bernama Imron dan
kami sering memanggilnya Imong. Kalau dibandingkan dalam Laskar Pelangi, mungkin aku ini gabungan Mahar, Trapani, dan sedikit Lintang. Aku yakin pembaca tahu maksud aku. He…he… Sebagaimana Lintang yang mengagumi gurunya, aku sangat mengagumi guru aku. Beliau Bapak Muhammad Dahri, guru dan kepala sekolah aku waktu itu. Kekaguman aku pada beliau adalah pada disiplinnya yang tinggi, ketegasannya, serta tulisannya yang sangat indah dan rapi. Tak seorang pun berani membantah ketika diperintah. Tak satu pun mata berani menatap, ketika beliau member nasihat. Tak ada yang berkata-kata ketika beliau di depan kelas. Tak satu pun yang mengalahkan keindahan tulisannya di papan tulis, baik tulisan latin (tegak bersambung), lebih-lebih tulisan Arabnya. Tetapi waktu itu, kami menganggapnya guru yang galak. Aku paling suka pelajaran menyanyi (seperti Mahar kan?) dan paling tidak suka—lebih tepatnya takut—mencongak dan imlak. Maka, kalau ada lomba menyanyi, deklamasi (bukan membaca puisi), atau tilawah, pasti aku yang pertama ditunjuk guru. Pernah juga menjadi wakil lomba cerdas cermat walau aku tidak suka mencongak.
Mencongak adalah berhitung atau
matematika di luar kepala (awangan). Dulu pelajaran mencongak dan imlak ini sering diberikan guru pada jam terakhir dengan iming-iming, siapa yang menjawab paling cepat dan tepat, dia boleh pulang terlebih dahulu. Rupanya, ilmu mencongak sangat baik untuk melatih siswa berhitung tanpa alat hitung. Walaupun aku paling takut dengan kedua pelajaran itu, aku sampai sekarang masih terngiang-ngiang pada saat pelajaran Imlak (masih adakah sekolah yang mengajarkan ilmu ini??). Imlak adalah pelajaran dikte
bahasa Arab atau menulis ayat Alquran yang diucapkan guru.
Waktu itu, aku kelas 6 MI, pelajaran jam terakhir: Imlak! Sebuah pelajaran yang jadi momok. Materinya waktu itu adalah surat at-Takatsur. Begitu Pak Guru Dahri—demikian kami memanggil guru waktu itu—selesai mengucapkan, aku kebagian maju menuliskan ayat pertama. Aku yakin sekali benar. Tapi ternyata salah. Beliau mengatakan bahwa sebelum huruf ha dan kaf, tidak boleh langsung, harus diberi satu tanda gabung. Waktu itu, beliau mengatakan, ― huruf ha karo
kaf ki aja ndleser wae, kudu dilehi rengket siji!‖ ( ingin lebih jelas maksud aku, buka saja surat AtTakatsur tersebut). Ah, kurang tanda sedikit saja jadi masalah, batin aku saat itu. Benar-benar sebuah pembelajaran yang teliti dan cermat, satu hal yang mungkin tidak dimiliki guru-guru zaman sekarang. Tetapi, rupanya, apa yang aku batin waktu itu, sekarang sangat berarti bagi dunia aku. Sebagai guru bahasa Indonesia di sebuah SMA di Temanggung, aku sering dicap sebagai guru yang terlalu teliti dengan tanda baca. Tak heran, banyak murid aku yang sering
cemberut setiap tanda baca menjadi biang kesalahan mereka. ―Tanda baca ibarat nyawa sebuah tulisan!‖ kata aku sekarang setiap ada murid yang protes.
Senthir dan Teplok Bila malam tiba, agenda rutin yang harus aku lakukan bersama teman-teman adalah pergi ke masjid untuk salat magrib dan mengaji hingga isak tiba. Tidak ada listrik waktu itu, jadi kami hanya mengandalkan teplok atau senthir. Kadang-kadang saja ada lampu petromaks. Yang mengajari aku mengaji juga Pak Guru Dahri. Dari makhraj (pelafalan), tajwid (hukum bacaan), hafalan salat (salatan) hingga seni baca Alquran. Metode pengajarannya untuk ukuran zaman sekarang termasuk sangat keras dan tegas. Tidak jarang banyak yang ketakutan, bahkan ada yang sering menangis. Siapa pun belum boleh mengakhiri
membaca, bila belum benar.
Beliau
memang sangat teliti dan telaten. Dan dengan metode seperti inilah, kami menjadi sangat berhati-hati bila membaca ayat demi ayat. Sebenarnya televisi sudah ada juga waktu itu, tetapi pemilik TV masih bisa dihitung dengan jari. Maklumlah, selain belum ada listrik—menggunakan accu sebagai sumber listriknya— TV juga masih menjadi barang mahal. Justru inilah kenangan yang tak pernah terlupakan. Kalau malam Minggu tiba atau Minggu siang, kami harus gerilya untuk menonton TV. Yang paling sering adalah menonton di rumah paman aku, Pak Guru Muh Anwar kami memanggilnya. Kami harus berdesak-desakan duduk di tikar di depan TV hitam putih 14 inci. Memang ada juga yang telah memiliki TV warna. Maksud aku TV berwarna, yaitu sesungguhnya TV hitam putih tetapi diberi kaca pengaman berwarna biru, hijau, dan kuning. Lucunya, bila gambar di TV sudah
pleyat-pleyot menandakan stok stroom accu sudah nyaris habis, kami akan mulai berkemaskemas dan segera regudugan (berbondong-bondong) pindah ke rumah lain yang memiliki TV. Saat itu stasiun TV-nya pun hanya satu saja: TVRI. Namun itu tidak mengurangi kehebohan kami menikmati acara. Yang paling kami sukai adalah film The Six Million Dollar Man, film tentang Steve, manusia hebat dan kuat karena memiliki indera pendengar yang bisa mendeteksi adanya kejahatan. Atau Bionic Woman, seperti Steve tetapi wanita. Bila Minggu siang, tontonan favorit kami adalah film raksasa yang bisa membuat kami tegang dan ndoplong penuh keheranan atau lagu-lagu Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha, dan Chicha Koeswoyo yang bisa membangkitkan kami untuk koor menirukannya. Aku sampai hafal semua lagunya mereka. ―…Burung-burung
bernyanyi riang, hinggap di atas dahan … ― demikian Adi Bing Slamet dengan poninya yang
khas berduet dengan Ira Maya Sopha. Tayangan iklan ―Mana Suka Siaran Niaga‖ pun menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Cara belajar aku waktu itu juga sangat alami. Hampir tidak pernah aku belajar secara khusus. Istilahnya belajar atau sekolah sak mlakune. Mengalir dan natural. Apa yang diucapkan guru pada waktu di kelas itulah yang tersimpan di memori. Sedikit mengenal belajar ketika ujian akhir tiba. Itu pun karena ujian dilaksanakan serentak di satu tempat. Waktu itu, ujian dilaksanakan di MI Tremas Kandangan, kurang lebih 5 km dari rumah dengan jalan kaki. Oh ya, sebelum ujian berlangsung, Pak Guru Dahri mempunyai tradisi foto bersama. Tulisannya pun dari tahun ke tahun selalu sama. Kami berpose di depan sekolah dengan sebuah papan tulis bertuliskan ―14 Peserta Ujian dari MI Muhammadiyah Malebo‖.
―Terpaksa Menjadi Guru‖ Selepas dari MI, aku melanjutkan di SMP Muhammadiyah Malebo. Sebenarnya ini pilihan terakhir karena aku tidak diterima di SMP Negeri Kandangan. Entah mengapa aku bisa tidak diterima sat-satunya SMP negeri di kecamatan Kandangan itu. Padahal aku merasa tidak bodoh sekali (selalu ikut tiga besar di kelas) sedangkan anak-anak yang dari SD dan nilainya lebih rendah bisa diterima di sana. Rasanya seperti terjadi sebuah diskriminasi dalam penerimaan siswa saat itu. Kebetulan, SMP Muhammadiyah ini baru masuk tahun kedua. Bisa dibayangkan, bagaimana sarana yang dimiliki sekolah ini. Gedungnya bergantian dengan MI, jadi kami masuk sore. Gurunya sebagian pinjaman dari SMP Negeri Kandangan dan sebagian lagi adalah para relawan dari Kandangan dan sekitarnya, meskipun hanya lulusan SLTA. Selepas dari SMP, sebagaimana yang lain, aku pun bertekad melanjutkan studi di Temanggung. Cita-cita aku saat itu ingin menjadi dokter, sama dengan cita-cita teman yang lain juga. Aku bertekad melanjutkan di SMA 1 Temanggung. Tapi, takdir berkata lain. Kakak aku mengatakan bahwa aku boleh melanjutkan studi asalkan di kejuruan atau keguruan. Keputusan itu diambil mungkin karena kakak-kakak aku yang lain di sekolah umum, tapi sulit mencari kerja. Akhirnya aku didaftarkan di tiga sekolah sekaligus: SPG Negeri Magelang, STM Pembangunan, dan PGA Negeri Magelang. Pada waktu itu, profesi guru sangat populer di kampung, jadi aku pun terpaksa mengikuti saran kakak aku daripada tidak disekolahkan. Memang sepeninggal ayah, Kakak tertua aku menjadi pengganti figur ayah, dari segala aspek, terutama finansial. Alhamdulillah aku diterima di ketiga sekolah tersebut. Di antara kebingungan aku, aku pun
langsung memutuskan untuk melanjutkan di SPG Negeri Magelang. Di sinilah aku menemukan dunia baru aku. Tinggal di asrama yang menyeramkan (sisa bangunan Belanda), jalan kaki cukup jauh menuju sekolah, memasak dan mencuci baju sendiri, dan jauh dari keluarga. Hari pertama tiba di kota Magelang, adalah hari pertama aku naik bus ke kota. Dan itulah pertama kali melihat Kota Magelang. Sebelumnya aku ini anak rumahan. Bahasa sekarang, aku bukan anak gaul. Jangankan Magelang, kota Temanggung saja mungkin setahun sekali juga tidak tentu. Selain karena tidak pernah punya uang, aku juga mudah sekali mabuk darat. Hari-hari aku lewati bersama teman-teman seasrama. Bila pagi tiba, aku harus memasak
(ngliwet) untuk makan berdua dengan Rosidi (kini teman aku ini telah menjadi pengawas di Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung). Dan untuk makan malam, dia yang gantian harus memasak. Kesederhanaan dalam menu menjadi pemandangan setiap hari. Sayur kubis, bakwan, kacang panjang atau bothok sudah cukup menjadi sajian setiap hari. Karena usia kami yang semega (banyak makan), kadang-kadang makan tanpa lauk pun sudah sangat terbisa. Yang penting ada nasi dan yang lebih penting: kenyang. Seminggu sekali aku pulang, dan setiap pulang, Simbok aku hanya menyiapkan beras untuk aku bawa. Kadang-kadang aku diberi bekal lawuh makan berupa bumbu goreng atau srundeng kelapa bercampur ikan asin, bukan daging. Yang lebih sering adalah peyek ikan asin. Tidak jarang aku harus menahan malu ketika makan bersama teman-teman seasrama karena mungkin lauk yang aku makan sangat tidak layak. Begitulah, hari-hari aku lalui dengan penuh keprihatinan. Selama 3 tahun di Magelang, aku memang jarang sekali jajan. Bagimana mau jajan, sedangkan uang saku juga sangat minim. Jajan hanya berlaku ketika pelajaran olahraga. Di luar itu, aku terbisa dengan perut lapar. Yang luar bisa dari pengalaman aku di SPG Negeri Magelang adalah aku menemukan teman-teman baru yang sangat bersemangat belajar, baik di asrama maupun di sekolah. Pembelajaran yang dilakukan pun sangat pas untuk seorang calon guru. Jarang sekali aku menemukan teman kami yang nakal waktu itu. Rupanya memang penanaman sikap dan kode etik guru, benar-benar menjiwai para siswa SPG. Prestasi aku di kelas juga tidak begitu mengecewakan. Bahkan—menurut guru pembimbing dan kepala SD tempat aku praktik— ketika aku praktik mengajar, cara mengajar aku lebih bagus daripada guru pamongnya. Sejak itu, aku benar-benar mencintai profesi guru, walau berawal dari sebuah keterpaksaan.
Remako: Awal Mengenal Organisasi Seingat aku, dua belas tahun
aku sekolah—dari MI hingga SPG—aku belum pernah
membolos. Terlambat sampai di sekolah pun rasanya belum pernah. Bahkan, saat penyakit langganan aku (bisul/ wudunen) memenuhi tubuh, aku tetap memaksakan diri untuk sekolah. Walaupun jalannya sampai bungkuk-bungkuk karena menahan sakit, rasanya eman-eman meninggalkan pelajaran. Barulah di perguruan tinggi, aku mulai mengenal istilah baru: membolos. Biasanya membolos ini aku lakukan ketika awal semester tiba (belum banyak mahasiswa yang datang) atau ketika pulang kampung. Tetapi itu sangat jarang aku lakukan. Dan demi penghematan, aku pulang sebulan sekali saja, pada minggu pertama tiap bulan. Bukan karena tanggal muda yang identik dengan saat gajian, tetapi karena lebih faktor politik (sebuah istilah yang aku paksakan). Kebetulan di desa, aku memimpin sebuah organisasi remaja bernama Remako yang secara rutin menyelenggarakan rapat pada malam Minggu di minggu pertama tiap bulan. Pelaksanaannya bergilir dari rumah ke rumah. Acaranya sangat sederhana, yaitu pembukaan, sambutan tuan rumah, kultum, musyawarah, dan penutup. Tujuannya juga sederhana: menjadi sarana belajar berbicara di depan publik, berlatih menyelesaikan masalah, berlatih memimpin, berlatih kultum atau dai, meningkatkan jiwa sosial, serta ajang silaturahmi. Tak heran bila malam Minggu di minggu pertama tiap bulan menjadi waktu yang selalu kami nantikan. Remako, kependekan dari Remaja Malebo Kulon ini, merupakan cikal bakal perkenalan aku dengan organisasi yang lebih besar. Aku mengenal organisasi kampung ini sejak bangku MI, tetapi mulai aktif sebagai peserta sejak SMP kelas 3. Awalnya, Remako bernama Karisma (Kelompok Angkatan Muda dan Remaja Islam Malebo) yang mewadahi remaja seluruh desa. Generasi kakak-kakak kami yang merintis dan mengembangkan. Kemudian muncul organisasiorganisasi sempalan di dusun-dusun, maka Karisma kemudian berubah menjadi Karismako (Kelompok Angkatan Muda dan Remaja Islam Malebo Kulon). Kompetisi antarorganisasi kampung ini makin marak, bahkan sempat memanas, terutama jika ada lomba atau kegiatan pertandingan antardusun. Karena waktu itu masih rezim orde baru, setiap organisasi hampir selalu diawasi. Lebihlebih bila aktivitasnya banyak berhubungan dengan pengajian atau keislaman. Kebetulan organisasi kami memakai kata ‗Islam‘, sehingga kami pun sering mengalami kesulitan bila harus
izin untuk kegiatan keagamaan misalnya. Maka, Karismako ini kemudian berganti nama menjadi Remako (Remaja Malebo Kulon), hingga saat ini. Bagi aku, Remako—sebuah organisasi kacangan di kampung—mempunyai arti yang sangat penting. Dari organisasi inilah aku banyak mendapatkan ilmu yang tidak diajarkan di sekolah, yakni belajar memimpin, berorganisasi, dan memanajemen sebuah kegiatan. Kebetulan pada saat itu, kami juga memiliki semangat dan komitmen yang sama dalam upaya memajukan generasi muda. Sampai-sampai aku bersama tiga teman aku seolah-olah menjadi ujung tombak pergerakan organisasi kampung saat itu. Kebetulan kami berempat berhuruf depan sama, yaitu T. Sekarang bila kami bertemu, kami sering berolok-olok sebagai sebuah grup ―Four T‖, yaitu Teguh, Totok (Eli Mantofani yang sekarang di Dirjen Pajak Jakarta), Taufik ( guru di SMK Muhammadiyah Temanggung, pengasuh panti asuhan), dan Taufan ( mantan anggota DPRD Kabupaten, ketua sebuah organisasi politik, dan sekarang kepala sekolah sebuah sekolah favorit di Temanggung). Teman-teman seperjuangan aku ini sekarang sudah sukses dan hebatnya, mereka tetap eksis dalam bidang sosial dan amaliahnya. Alhamdulillah, learning by doing saat remaja dalam sebuah komunitas organisasi kampungan waktu itu, benar-benar
memberikan
semangat luar bisa untuk selalu mengabdi dan berbagi. Kecintaan aku pada organisasi ini mengantarkan aku pada berbagai aktivitas di luar studi, terutama di perguruan tinggi. Berbagai kegiatan kemahasiswaan aku ikuti, dari HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa), UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam), UKM vokal gup, UKM paduan suara kampus, serta KMA-PBS (Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar). Di luar kampus, aku juga aktif di organisasi Pemuda Muhammadiyah. Berbagai organisasi yang aku ikuti ini memberikan inspirasi kepada aku bagaimana memanajemen sebuah kegiatan, memahami perbedaan individu, serta selalu meningkatkan daya kreasi dan imajinasi. Tak dapat disangkal, aku benar-benar menemukan pengalaman luar biasa dari sejarah panjang perjalanan hidup aku. Di sekolah tempat aku mengajar saat ini, aku bisa berbagi terutama dengan anak didik aku tentang arti ketekunan, keuletan, kejujuran, serta keikhlasan. Juga bagaimana setiap orang harus berempati. Tak ada kesuksesan yang datang secara tiba-tiba. Ia membutuhkan ketekunan, kerja keras, dan keikhlasan. Karena itu, aku sangat meyakini paradigma bahwa kesuksesan seseorang itu tidak sekadar berkat kecerdasan intelektualnya tetapi kecerdasan lainnya jauh lebih berpengaruh. Dan salah satu media pengembangan kecerdasan itu adalah lewat berorganisasi. Lewat organisasi, seseorang bisa mengembangkan kecerdasan
emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan linguistik, dan lain-lain. Dengan kata lain pengalaman aku menegaskan penemuan para ahli tentang teori mewujudkan kesuksesan seseorang. Dampak pengalaman masa lalu terhadap profesi aku saat ini begitu besar. Selain selalu berupaya memberikan pembelajaran yang kreatif dan inovatif, aku selalu mendorong anak-anak untuk selalu aktif dalam berbagai kegiatan di luar kelas. Di sekolah inilah aku bisa mentransfer pengalaman aku, baik yang aku peroleh di sekolah, kampus, mapun pengalaman aku di organisasi. Itu semua dengan mudah dan nyaman aku lakukan karena pengalaman aku di masa lalu. Bagaimanapun, siswa adalah pribadi yang unik. Mereka tidak sekadar memerlukan pembelajaran di kelas, tetapi yang jauh lebih penting adalah kedekatan secara emosional, perhatian, serta kepedulian dari guru. Aku sangat yakin bila di sekolah atau kampus saat itu tidak ikut aktivitas kemahasiswaan, kemudian di kampung juga hanya duduk manis di rumah, mungkin aku hanya bisa nyerocos di kelas, tapi tidak memiliki nilai tambah apa pun. Dibandingkan dengan guru-guru aku perjuangan aku belum apa-apa. Dibandingkan dengan Bu Muslimah atau Pak Harfan di Laskar Pelangi, pengalaman mengajar aku mungkin jauh lebih sedikit. Baru belasan tahun. Namun, dunia pendidikan kini telah menyatu pada diri aku. Pengalaman mengabdi ini aku mulai di SMP tempat aku menuntut ilmu: SMP Muhammadiyah. Aku masih ingat, honor mengajar aku waktu itu pernah hanya empat ribu rupiah per bulan. Walaupun demikian aku tetap bertahan hingga sekitar 15 tahun mengabdi. Bila dihitung dari materi, jelas tidak kurup, tetapi pelajaran di MI tetap membekas sampai saat ini, bahwa bekerja apa pun bila diniati ibadah, insya Allah akan membawa berkah. Apalagi kalau teringat sebuah hadis bahwa salah satu amalan yang tetap mengalir walau kita telah mati adalah ilmu yang bermanfaat, semangat mengajar itu tetap berkobar dan terpacu tanpa kenal lelah. Kini hampir tidak ada kata libur untuk belajar dan mengabdi. Bahkan saat ini pun aku mengajar full time. Hari kerja aku 7 hari per minggu, di SMAN 1 Candiroto sebagai sekolah tempat pengabdian utama, hari Minggu berbaur bersama anak-anak di Pondok Modern Assalaam Temanggung. Bila sore hari—di luar jam tatap muka di kelas—aku membimbing siswa dalam kegiatan pengembangan diri, seperti Pramuka, majelis taklim, musik, jurnalistik, serta bimbingan belajar untuk anak-anak SMP/SMA, baik di lembaga pendidikan swasta maupun ‗gratisan‘ di rumah. Bersama sepupu aku, Taufan Sugiyanto, aku juga merintis berdirinya kelompok bermain, yang bernama Kelompok Bermain Surya Cendekia dan juga Balai Pengobatan Muhammadiyah di kampung. Aku sangat bangga menjadi orang kampung. Harapan aku—dan juga teman-teman
sekampung—derajat pendidikan dan kesehatan di Desa Malebo semakin terangkat. Bagi aku, ini sebuah prestasi ketika kita bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Aku tidak pernah menyesal menjadi seorang guru. Bahkan aku begitu bangga dengan profesi ini. Inilah ladang aku bisa berbagi dengan orang lain. Sekecil apa pun artinya, ilmu tetap menyumbangkan tercapainya masa depan seseorang. Semoga aku bisa senantiasa istikomah menjalankan amanah mulia ini. Bagi aku, menjadi guru itu sangatlah gampang. Bahkan hanya dengan membeli ijazah akta mengajar, seseorang bisa saja menjadi guru. Tetapi menjadi guru yang profesional dan bermartabat—guru yang memiliki kompetensi profesional, kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial—membutuhkan ketulusan dan keikhlasan. Ketulusan dan keikhlasan dalam mentransfer ilmu ini akan bisa terwujud manakala kita mensyukuri profesi yang kita jalani dengan besar hati. Semoga aku bisa menjadi generasi Bu Muslimah yang dengan penuh kesabaran mengantarkan kesepuluh muridnya menjadi para juara. Semoga bisa menjadi Pak Harfan yang mulia dan tetap bersahaja. Yakinlah bahwa mendidik dengan hati tak akan pernah mati. Dan aku makin bangga dengan kata bijak ini, ― hanya ada dua pekerjaan di dunia ini: guru dan bukan guru.‖ *** Teguh Wibowo Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Candiroto, tinggal di Malebo, Kandangan, Temanggung
Eli Mantofani Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Malebo, Temanggung (lulus th. 1984) SMP Negri Kandangan, Temanggung (lulus th. 1987) SMA N 2, Temanggung (lulus th. 1990) ―Belajarlah dan berusaha dengan penuh kesabaran seraya memohon kepada yang maha kuasa untuk menjadi manusia terpilih. Allah akan mengabulkan permohonan kita dengan banyak jalan. Aku sadar meski kadang fasilitas sudah tersedia sedemikian rupa, namun jika kita tidak mempersiapkan diri, belum tentu peluang itu dapat kita manfaatkan...‖.
Akhirnya Aku Bisa Kuliah di STAN Kepada para pembaca… Sebelumnya aku mohon maaf kepada para pihak yang mungkin merasa keberatan jika ternyata kisah ini membuka memory menyedihkan yang melingkupi sewaktu menempuh pelajaran masa lalu. Sewaktu aku diminta oleh Penggagas program ini untuk menuliskan tentang kisah inspirasi buat poro pelajar di Temanggung, timbul sebuah keraguan dalam benak kami. Alasan yang mendasari antara lain adalah bahwa masih banyak dise-antero warga Temanggung ini yang tentu mempunyai pengalaman belajar yang lebih berat dari pada yang kami alami. Sarana belajar yang jauh lebih minim dari yang aku dapatkan, serta jarak lebih jauh dan berat yg harus ditempuh demi mendapatkan ilmu yang diharapkan. Dilain pihak dengan fasilitas yg lebih sedikit dari yang aku dapatkan tersebut, hasilnya malah masih ada yang lebih sukses, dan mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan lebih baik. Namun aku teringat sewaktu Dr. Ikhsanudin Usman dosen kami, mengatakan ― Pengalaman adalah Guru yang baik, Namun Guru yang Lebih baik adalah Pengalaman Orang Lain‖. Maka, ijinkanlah aku mengungkapkan beberapa pengalaman kami, semoga dapat berguna. Hal ini karena aku sadar bahwa kita dilahirkan didunia ini tidak dalam keadaan fasilitas yang sempurna. Semoga kita dapat saling menutupi kekurangan kita dengan kelebihan yang kita miliki sehingga dapat digunakan sebagai bekal pembuka jalan untuk bekal masa datang. Cerita pengalaman aku ketika berhasil masuk kuliah di STAN itu... Semoga adik adik kita dapat lebih kreatif mempersiapkan diri jika masuk ke STAN khususnya maupun kuliah pada umumnya...
Bekal sekolahku Akhirnya buah perjuanganku berhasil. Tahun 1986, pucuk-pucuk pohon cengkeh Zanzibar yang kutanam dan kurawat mulai berbunga. Sukacita dan senyum sumringah selalu tersungging ketika aku menyambangi kebonku. Cengkeh waktu itu benar-benar menyihir dan menyilaukan para petani karena harga yang sangat tinggi. Lupa sudah kelelahan yang mendera, kami mengingat perjuangan agar pohon pohon yang kami tanam tidak kering layu ketika musim kemarau. Waktu itu aku harus berjalan mondar mandir ke Sungai Groboh mencari air atau menggali sumur dan menyiram ke batang pohon. Ketika musim petik tiba, tidak lupa aku perlakukan pohon itu bak pasangan hidupku saja. Aku memetik cengkeh itu dengan hati hati, jangan sampai daun dan ranting rontok, dengan harapan tahun depan bisa berbunga lagi. ―Ojo dipethik karo gagange yoo..‖, begitu aku selalu mengingatkan kepada orang yang membantu memetiknya. Terlalu khawatir kalau tahun depan tidak berbunga lagi. Sampai dirumah selalu tukang rontok cengkeh berkomentar, ―Iki mesti pethikane Si Eli, wong resik ngene godong lan satange…‖. Harapanku yang setinggi langit akan dapat meneruskan sekolah sampai Universitas dengan tabunganku tinggal sebentar lagi terlaksana. Pikirku… Cita-citaku adalah ahli pertanian. Aku sangat terkesan sekali dengan pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah dan SMP ketika pelajaran praktek biologi. Ingin sekali menjadi ahli. Ingin suatu saat bisa mengembangkan singkong, atau talas dll, yang produktivitasnya tinggi dan diolah menjadi bermacam macam produk makanan. Aku terkesan dengan usaha pemerintah dalam panca Usaha Tani untuk menghailkan produk unggul dan tahan penyakit. Sementara aku akan mengembangkan hasil pertanian ini menadi barang yang tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan konsumsi saja, tetapi akan dikembangkan lebih dulu sehingga tercapai nilai tambah (Added value, seperti yang didengungkan oleh Menteri Penerangan Kita –H Harmoko). Acara TV favourite-ku adalah selain dari desa ke desa atau Indonesia Membangun. Sebuah acara film documenter yang mengupas kegiatan pembangunan di seluruh wilayah Nusantara, dimana pada waktu itu pertanian adalah program utama pembangunan, sampai sampai Indonesia dinyatakan sukses dengan program Swasembada Pangan dari WHO Ternyata Allah SWT berkehendak lain, suka cita itu hanya berlangsung sebentar. Beberapa karung cengkeh yg dipanen kusimpan, kami berencana menjual jika sudah nggak musim panen saat harga tinggi. Sementara kebutuhan sekolah masih bisa dicukupi dengan yang lain. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, alih-alih harga semakin naik, eh.. malah sebaliknya. Kejadian ini menyadarkan aku, bahwa kemungkinan Indonesia sudah terjadi over produksi diatas permintaan industry rokok kretek kebutuhan dalam negeri Itulah yang memukul semangatku waktu duduk belajar di SMA, bingung mau apa ya setelah keluar dari SMA ini jika bekal belajar tidak cukup. Pelajaran menjadi tidak konsentrasi bahkan sampai Sakit Typus. Kejadian itu mungkin yang mengakibatkan nilai pelajaran Fisika, Biologi dan Kimia di SMA jeblog dan terpaksa masuk Jurusan A3 ( Sosial ekonomi), yang sepertinya aku merasa tidak nyaman. Bingung dan hampir frustrasi mau melanjutkan kemana setelah SMA ini,
apa perlu mutik ( keluar dari sekolah ) terus masuk lagi mendaftar ke sekolah kejuruan biar mempunyai ketrampilan sesudah lulus, kog sepertinya malu, dan sudah hilang waktu setahun. Akhirnya di kelas dua SMA itu, kegiatan sekolah yg kulalui dengan setengah hati dengan hasil akhir rangking 9... Bisa dibilang bocah pupuk bawang (anak bukan siapa siapa/hanya memenuhi ruangan kelas saja) sampai sampai Guru Sosiologi (Ibu Liestyowati) sering mengomentari, ―El.., kamu ini panitia HER pelajaranku yaa...kog tiap Ujian Semester pasti ikut..malas sekali pelajaran hafalan ya..!‖. Sebenarnya bukan malas belajar hafalan tapi mungkin belum mengetahui metode yang tepat saja. Kesannya waktu itu, anak-anak jurusan ini senengnya Cuma main main, luntanglantung, gangguin cewek, merokok dan, hura-hura. Nggak punya masa depan…. Sampai suatu saat ketika beberapa pamanku bareng-bareng menengok Mbah Salik (seorang Sesepuh Ulama di desa yang sangat dihormati baik kalangan NU atau Muhammadiyah) mengajakku. Waktu saat itu aku agak berat hati karena sudah janji mau diajak nonton Film layar tancap dengan judul ―Durjana Pemetik Bunga‖ oleh kakak sepupu. Film yang cukup membuat heboh karena konon ada beberapa adegan vulgar, membuatku yang baru menginjak remaja tentu penasaran untuk menontonnya. Tetapi demi menghormati ajakan dari pakde-pakde, aku putuskan untuk membatalkan saja ajakan kakak sepupuku, dan memilih mengikuti ajakan beliau. Sesampai di rumah mbah Salik, kita masuk ke peraduannya. Kami menyalami beliau dan menanyakan kabar. Ketika giliranku menyalami, beliau bertanya,
―Iki sopo…?‖ (ini siapa), salah satu pakde menjawab ―Iki anak dik Dardiri, alm.…‖ (ini anak dik Dardiri, alm),‖ Oh oh oh…Kog wis gede ya..‖( oh kok sudah besar ya). Lama dan kuat sekali beliau memegang erat tanganku. Bersamaan dengan itu air matanya pun berlinang meleleh…. Seraya berkata,
―Bapakmu wis kepenak nang suwarga, muga-muga aku bisa ketemu Bapakmu‖ (Bapakmu sudah nikmat di surga, semoga aku dapat bertemu Bapakmu). Tak kuasa aku menjawabnya… hanya terdiam dan mencium tangan saja. Tak lama kemudian beliau berucap,
―Mugo mugo kowe dadi bocah sing sholeh lan mulyo‖(semoga kamu menjadi anak sholeh dan makmur), sambil mengusap-usap tanganku… Hanya sepatah kata yang kucapkan…. ―Matur Nuwun‖ (terima kasih), tidak bisa kulanjutkan, mulut seraya terkunci menahan sesak perasaanku.. Akhirnya kami duduk mengelilingi peraduan beliau, dan malah menceritakan masa muda Bapakku…, seperti mengingatkan agar aku mencontoh apa yg telah dibuat atau diperjuangkan Bapak. Begitu pulang, sepanjang perjalanan sampai dirumah campur aduk perasaanku mengingat beliau bercerita. Dalam hati aku bergumam…, Alhamdulillah aku tidak nonton layar tancep murahan itu, dan justru ketemu dengan orang yang sangat aku hormati, didoakan pula. Beliau sendiri menghormati bapakku,….semoga aku dapat menjalankan amanahnya.
Sesampai dirumah aku flasf back merenungkan perjalanan. Sekolah dasarku adalah MI Muhammadiyah, (sama dengan Mas Teguh Wibowo kakak kelas kami tiga tahun, yang kemudian akrab dalam diskusi remaja kampung). Sekolah partikelir yang mana segala fasilitas belajar berasal dari sumbangan warga masyarakat, serta bantuan pemerintah kemudian melanjutkan ke SMP Negeri kandangan, Tentu pembaca dapat membayangkan lingkungan sekolah dan kehidupan desaku. Alhasil meski di kedua sekolah itu dapat nilai yang cukup baik, Tapi ya isih cah ndesa (tapi yang masih anak desa), pengalaman masih minim ora ngerti opo-opo (tidak tahu apaapa). Aku teringat Pak Dahri Guru Kelas-6 kami dalam sebuah pelajaran Aqidah Ahlaq. ―Samakah orang yang beriman dan berilmu dengan yang tidak…, manusia yg tidak beriman dan berilmu akan selalu diwarnai perasaan hampa tanpa harapan dan selalu bimbang tanpa tujuan. Kunci untuk mengatasinya adalah dengan ilmu yang harus kita peroleh dan diperjuangkan. Tidak ada yang diperoleh secara percuma, hanya orang yang berusaha keraslah yang akan mencapai keberhasilan, Setelah itu berharap hanya kepada Allah saja‖. Dua ayat Alqur‘an yang aku rangkai Allahu Shomad (Surah Al-Ikhlas ayat -2) dan Wa ila Robbika farghob (Surah Al-Insyirah ayat 8) Allah tempat bergantung dan kepadanya kita berharap. Itu saja pegangan kami. Ketika berdoa setelah tahajud-tahajud yg kami lakukan seraya memohon pertolongan untuk ditunjukkanlah jalan. Ditunjukkan Jalan Ditengah kegalauan hati akan masa depanku, terdengar seniorku tetangga sebelah rumah mendaftar di STAN... Namanya Mas Yogo Sulistiyono (Alumni SMAN 1, th 1989). Tapi akung, beliau tidak beruntung, sehingga melanjutkan kuliahnya ke UNSOED. Itu kali pertamaku mendengar sekolah kedinasan di Departemen Keuangan. Berhasrat ―Ngangsu kawruh‖ (menimba ilmu) aku berkunjung kerumahnya menanyakan seluk beluk sekolah itu... Bagaimana karir nanti, termasuk menanyakan bagaimana tes masuk, dan apa yang harus disiapkan... Ini yang membuatku tertarik... Dik Eli STAN itu lembaga pendidikan kedinasan yang dibantu oleh Bank Dunia kalau masuk ke situ, nanti uang kuliah tidak ada, buku-buku dikasih dan bisa langsung kerja di instansi pemerintah (Departemen Keuangan, Bapeka, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dll ), otomatis bisa dibayar gaji pegawai negeri meski tugasnya belajar. Hah… boleh juga nich kataku dalam hati. Terus kalau bosen bekerja di instansi hanya diwajibkan mengembalikan uang kuliahnya selama 6 kali masa pendidikan, Tapi kalau gagal sewaktu belajar bisa di DO. Aku tanyakan berapa nilai NEM dan Ijazah bisa masuk... Yah rata rata untuk Ijazah bernilai rata rata 7 dan NEM rata rata 6,5... Dalam hati berfikir oke-lah aku perjuangkan, kalau bisa, aku akan menghasilkan nilai NEM dan Ijazahku lebih tinggi, agar dapat diterima. Aku mulai giat menekuni pelajaran ekonomi, akuntansi. Semakin menarik juga ilmu ekonomi ini, apalagi jika belajarnya berbarengan dengan matematika ekonomi masalah logika matematika. Sepertinya mata pelajaran momok umumnya para pelajar itu ternyata diaplikasikan dalam pelajaran akuntansi, dan
mendukung. Semakin paham dan semakin menantang ilmu ekonomi ini. jika sambil belajar logika matematika sebelumnya dalam hati aku berfikir ini tidak ada hubungannya. Masuk ke kelas tiga baru aku serius belajar. Aku bertekad untuk meningkatkan nilai, baik dalam NEM dan Ijazahku dengan cara yang baik. Tidak pernah terlintas dalam bayanganku untuk mencurangi aturan pelajaran dengan menyontek dan lain-lain. Aku ingat Guru Fisika di SMP.. ibu Sri Hartudiyah mengatakan ― Apalah arti nilai raport 10, kalau emang bodo, karena itu hanya polesan angka dirapor. Kita tidak tahu, karena waktu masuk ke sekolah atau lapangan kerja yang dinilai adalah kemampuannya‖. Buku buku pelajaran yang meski hanya standar yang dahulu malas malasan kubuka, mulai kubuka pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, dan di kelas tinggal meningkatkan pemahaman dari yang telah aku baca. Begitu tekun kulakukan hingga hasilnya cukup menggembirakan. Perlahan lahan nilai ulanganku semakin baik, dan semakin percaya diri di kelas jurusan social ekonomi itu. Aku menjadi berketetapan hati, ingin melanjutkan pelajaran pada bidang ekonomi akuntansi ini. Dan lembaga pendidikan yang kutuju adalah STAN. Mulai saat itulah aku meminta kepada kakak di Jakarta untuk mencarikan soal-soal ujian masuk dari beberapa tahun. Soal-soal itu aku kerjakan dirumah. Akhirnya aku dapat merasakan apa yang harus aku persiapkan untuk menembus ujian saringan masuk. Tanpa kuduga, eh… kebetulan, datanglah kakak senior Keluarga Mahasiswa Temanggung yg bersekolah di STAN (Mas Budi Irwanto, dan Mas Johannes Mariadi) untuk promosi sekolah ini. Kesempatan itu aku pergunakan untuk menanyakan dengan lebih jelas atas informasi yang selama ini aku ketahui, sampai sampai teman dikelas menanyakan kayaknya kamu mau masuk kesana yaa…, Aku Jawab Insya allah.. Benar saja nilai ulangan dan ujianku lumayan meningkat. Melihat nilai NEM nya dalam hati berpikir aku ada peluang untuk diterima... Ternyata paparan mahasiswa itu cukup menarik minat teman-teman untuk melanjutkan kuliah di STAN. Waktu itu ada 5 orang sekelas ramai-ramai mendaftar dan yang berhasil masuk sebanyak 4 orang... Tahun-tahun sesudahnya banyak yg mengikuti jejak kami, sekarang teman sekelas, yg bekerja di Dept Keuangan ini sudah ada 4 orang.. Sekolah yang Berintegritas Aku cukup bangga dengan sistem rekruitmen/penerimaan sekolah tinggi ini. Banyak orang orang menanyakan sistem koneksi (kolusi) yang melingkupi lembaga sekolah ini, berapa uang yang dikeluarkan untuk bisa masuk.. Namun aku sendiri merasakan dan berani berkesimpulan bahwa sekolah ini bersih dari praktek kotor seperti itu. Begitu hari H ujian saringan, terasa gampang mengerjakan soal soal, serta yakin kalau akan masuk. Beberapa waktu telah berselang. Setelah lulus aku bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, suatu saat aku mendengar penjelasan atasanku di Kantor Pemeriksaan Pajak Banjarmasin yang kebetulan sebelumnya adalah dosen aku dan menjabat dewan pengajar.
Beliau bilang… Li.. Sistem seleksi penerimaan di STAN dilakukan oleh lembaga yang independen tanpa campur tangan pejabat, baik di Departemen Keuangan maupun dilingkungan STAN sendiri. Kebijakan itu membawa korban juga, contohnya adalah putra Direktur STAN (Drs. T Sembiring ) sendiri yang sudah berkali-kali mau masuk tidak dapat diterima... Padahal dengan kekuasaannya bisa saja memasukkannya, begitu pikir aku. Kebetulan untuk mata kuliah perdagangan, Direktur STAN sendiri yang memberikan kuliah. Aku mendapatkan kesan bahwa dari cara beliau mengajar kepada kami kita dapat berkesimpulan bahwa beliau ini seorang yang berintegritas tinggi. Beliau menerangkan paradigma akuntan, yang akan semakin penting dimasa depan. Aku dapat membayangkan bagaimana beliau merencanakan dan menempatkan sarana dan prasarana belajar dengan baik, mengisi dengan dosen-dosen yang pintar, cerdas dan berintegritas. Hal itu cukup membuat kemi lebih giat dalam belajar. Syukur Setekah lulus dan mengabdi Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan ini… Angan anganku sering terbang ke lereng Bukit Indrakila, tempat aku berladang mempersiapkan bekal dengan penuh kesabaran, Mungkin Allah menjawab usaha keras dan doaku untuk melanjutkan kuliah, meski bukan dengan uang saku hasil cengkeh yang kami tanam, tetapi dengan sekolah gratis. Aku jadi teringat dalam sebuah pengajian ―Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang merubahnya‖. Usaha keras dan penuh kesabaran itu sepertinya yang meringankan langkahku untuk masuk di sekolah yang aku inginkan. Indrakila, 8 Juni 2010 Eli Mantofani lahir di Malebo Kandangan Temanggung, 3 Juli 1971. Teman temanku dikampung memanggilnya Totok, di bangku SMP dan SMA-2 sampai tempat kerja dipanggil Eli…. Yah udahlah sekedar nama, dan tidak menghilangkan jati diriku. Tempat tinggalku di Jl. Puter 6 No. 24 Bintaro Jaya Sektor 5 Jurang mangu Timur Pondok Aren Tangerang. Telp. 021-7358869, HP. 0811-971352. Bersama pendampingku yang setia Eny Khanawati, dikarunai dua orang Putra yang kuberi nama Alvian Iacocca dan Muhammad Farras Kini: Pemeriksa Pajak Direktorat Jenderal Pajak dari tahun 1993- sekarang
Nurul Karimah
SD N 5, Parakan (lulus th. 1975) SMP Al-Iman, Parakan (lulus th. 1979) SMA N 1, Temanggung (lulus th. 1982)
― Allah memberikan kita sesuatu yang luar biasa, otak, mata, telinga, hati dan sebagainya. Tidak ada anak yang bodoh, masing-masing memiliki potensi. Bila kalian semua memiliki mimpi, yakinlah, bahwa kita pasti bisa dan harus bisa meraih mimpi itu, asal dengan kesungguhan. Aku harus bisa !, kata ini sebagai kekuatan untuk meraih mimpi-mimpimu…Selamat berjuang!‖.
Cita-cita Yang Kesampaian Sejak kelas tiga SD aku bercita-cita jadi guru.
Aku sendiri tidak tahu, mengapa menjadi guru menjadi impian besarku. Barangkali karena aku mengidolakan guruku saat itu. Bu Yati yang cantik sabar dan telaten mengajari kami berhitung, menulis indah, menyanyi dan menari. Beliau mengajar tidak hanya berdiri di depan kelas, tetapi mengunjungi kami dari meja ke meja. Waktu itu aku sering berangan-angan….seandainya aku jadi guru…berdiri di depan kelas…. menyapa murid-muridku …betapa bahagianya aku….Aku ingin menjadi guru seperti Bu Yati yang dirindukan kehadirannya oleh murid-muridnya. Saat aku kelas enam SD keingianku menjadi guru semakin kuat. Pak Beto, guruku saat itu juga menjadi guru idolaku. Pak Beto sering membawa kami ke luar kelas…belajar di luar kelas. Sekolah kami di kelilingi sawah dan ladang. Kami mengamati tumbuh-tumbuhan, hewan, lingkungan sekitar sekolah. Membandingkan daun dikotil dan monokotil. Mengamati pertumbuhan kecebong di kolam belakang sekolah. Mengamati serangga, menghitung jumlah kaki, ruas tubuh bentuk akup dan sebagainya. Belajar menjadi hal yang sangat menyenangkan. Di SMP impianku masih tetap sama…menjadi guru. Guru idolaku di SMP adalah Pak Hasyim Afandi (Kini: Bupati Temanggung). Beliau mengajar sejarah dan PMP, kami tidak pernah diberi tugas mencatat atau meringkas, karena saat itu ada buku paket yang dipinjami sekolah. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan pembelajaran sangat memukau, terutama untuk pelajaran sejarah seperti mendongeng saja. Selain Pak Hasyim, guru idolaku adalah Pak Radyo. Beliau menjabat kepala sekolah dan mengajar Bahasa Inggris. Dari beliau aku belajar kejujuran, kedisiplinan dan kebersahajaan. Pak Radyo hafal nama semua muridnya dari kelas satu sampai kelas tiga yang terdiri masing-masing dua kelas. Setiap pukul 06.30, Pak Radyo sudah siap di depan sekolah dan berkeliling dari kelas ke kelas untuk mengingatkan muridnya yang piket kebersihan. Beliau memberi contoh dengan
perbuatan. Namun, impianku menjadi guru hampir kandas, ketika lulus SMP. Ibu memintaku untuk berhenti sekolah, karena tak ada biaya. Semalaman aku menangis, kupandangi ijazahku…nilaiku bagus, akan sia-sia jika aku tak melanjutkan sekolah. Hanya kakek dari ibu yang tahu kesedihanku, beliau juga tahu keiinginannku menjadi guru. Lalu kakek bilang akan membiayai sekolahku sampai menjadi guru. Tetapi karena adik-adik ibuku juga masih banyak yang sekolah, maka aku harus prihatin.Tidak ada anggaran untuk beli buku, maka aku harus berupaya sendiri. Akhirnya aku diterima di SMAN Temanggung. Aku senang sekali bisa sekolah. Di SMP teman-temanku dari lingkungan sekitar dan anak-anak desa. Di SMA teman-temanku dari berbagai kalangan. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas. Aku minder dengan keadaanku. Terutama dengan anak-anak dari SMP 1 dan SMP 2, selain mereka status sosialnya baik juga mereka tentu pinter. Ayahku penjahit dan guru ngaji di pesantren Zaidatul Maarif. Untuk menopang ekonomi keluarga, ibu membuat bermacam-macam kue untuk dijual, dititipkan di warung. Aku anak pertama dari sepuluh bersaudara. Untuk menghilangkan rasa keminderanku, aku belajar dengan keras. Ohya, saat itu aku tinggal di rumah kakek. Tiap pulang sekolah aku harus belanja ke pasar dan memasak untuk keluarga besar kakekku. Selain memasak, aku juga membantu Bulik Ifah di salon kencantikan bila sedang ramai. Aku senang bila salon ramai, karena aku bakal dapat uang untuk membeli buku dan keperluan sekolah lainnya. Ketrampilanku menjadi kapster di salon berawal saat salon kecantikan Bulik Ifah ramai dan membutuhkan orang untuk membantunya. Saat itu salon masih jarang dan mencari orang yang terampil untuk kerja di salon juga masih sulit. Bulik Ifah menawariku untuk membantunya dengan dikursuskan lebih dulu. Meskipun waktu itu aku baru kelas tiga SMP, tawaran itu kuterima dengan senang hati. Aku harus bisa mengatur waktu. Perasaan minder masih sering menyelinap, tapi rasa minderku ini memacu semangat belajarku. Satu peristiwa yang selalu kuingat dan menghilangkan rasa minderku adalah saat pertama ulangan fisika di kelas satu SMAN. Pak Rochi guru fisika menyediakan waktu dua jam pelajaran untuk ulangan. Dalam waktu satu jam pelajaran aku dapat menyelesaikan semua soal dan langsung dikoreksi hasilnya. Ketika teman-temanku masih berjuang untuk menyelesaikan soal-soal fisika, Pak Rochi memamerkan nilaiku di depan kelas. ―Sepuluh bulat‖ kata Pak Rochi menunjukkan angka sepuluh yang dilingkari dengan spidol merah. Dari sembilan kelas paralel saat itu, hanya aku yang mendapat nilai 10, sedang kawan-kawanku yang lain memperoleh nilai di bawah 6. Alhamdulillah …
Slamet Basuki SD N Plumbon (lulus th. 1984), SMP N 1, Secang (lulus th. 1987), SMA N 2, Temanggung (lulus th. 1990) Yang menjadi tantangan:
―Apakah adik-adik berani mencoba, mau mendaftarkan diri, tidak minder dan tidak takut gagal ???‖.
Anak Petani yang menjadi Pilot di Luar Negeri
Aku, Slamet Basuki (teman-teman memanggilku Basuki). Usiaku saat ini 38 tahun, Alhamdulillah sudah berkeluarga dan dikaruniai dua anak (perempuan 8 tahun dan laki-laki 4 tahun). Saat ini aku dan keluarga menetap di kota Abu Dhabi yang merupakan ibukota Uni Emirates Arab (UEA), berjarak sekitar 100 km dari kota Dubai yang merupakan salah satu negara bagian dari UEA. Saat ini aku bekerja sebagai penerbang/pilot di Etihad Airways, merupakan perusahaan penerbangan nasional UEA (The National Airlines of United Arab Emirates). Mungkin orang lebih mengenal Emirates Airlines yang berdiri terlebih dahulu dan berkedudukan di Dubai, sedangkan Etihad Airways baru didirikan sejak tahun 2003 dan berkedudukan di Abu Dhabi. Aku lahir di Desa Plumbon, Kecamatan Tembarak (sekarang menjadi wilayah kecamatan Selopampang), Kabupaten Temanggung dari keluarga petani. Sampai saat ini orang tua masih tinggal di Desa Plumbon, untuk itu aku dan keluarga berusaha untuk menyempatkan diri menengok mereka paling tidak setahun sekali. Pendidikan dasarku di SD Negeri Plumbon, lulus tahun 1984, meneruskan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Secang, lulus tahun 1987 dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Temanggung, lulus tahun 1990. Pendidikan di perguruan tinggi, sempat menjalani pendidikan di Program Diploma III, Keuangan Bea Cukai dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1991, walau akhirnya lebih memilih untuk menjalani pendidikan calon penerbang (Flying School) di Australian Aviation College yang bertempat di kota Adelaide (South Australia), lulus tahun 1992. Program pendidikan ini merupakan program bea siswa dari perusahaan penerbangan Merpati Nusantara Airlines, selanjutnya penerbang/pilot yang lulus dari akademi ini terikat untuk bekerja di PT. Merpati Nusantara Airlines selama 10 tahun.
Setelah bergabung sebagai pilot Merpati, bersyukur aku mendapatkan berbagai kursus penerbangan (aviation course) baik didalam negeri maupun luar negeri. Didalam negeri, antara lain: Garuda Training Center, Jakarta dan Merpati Training Center, Surabaya. Sedangkan diluar negeri, antara lain: Lufthansa Training Center, Frankfurt (Jerman); European Aviation Training Center, Brussels (Belgia); dan Airbus Training Center, Toulouse (Perancis). Sambil menjalani profesi pilot di Merpati, aku menyempatkan diri untuk belajar di Universitas Indonesia, Fakultas Psikologi dari tahun 1996 sampai dengan 2003. Sempat menyelesaikan sampai dengan semester akhir tetapi belum menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Karirku sebagai pilot dimulai setelah lulus dari pendidikan penerbangan (flying school) tahun 1992, kemudian bergabung dengan perusahaan Merpati Nusantara Airlines. Selama di Merpati, aku sempat menerbangkan pesawat jenis DC-9 dari tahun 1992 s/d 1994, jenis Boeing B 737 seri 200 tahun 1995 s/d 1996, Airbus A300 seri 600 & A310 seri 300 dari 1997 s/d 1998 dan Fokker F-27 seri 500 dari tahun 1999 s/d 2003. Posisiku di Merpati sebagai Kapten pilot Fokker F-27, setelah sebelumnya posisi sebagai ko-pilot (first officer) di pesawat DC-9, B737, A300 & A310. Kesibukan lain selain terbang, aku sempat bergabung sebagai pengajar (ground instructor) Crew Resource Management di Merpati Training Center dari tahun 1998 s/d 2004. Pada pertengahan tahun 2004, aku memutuskan untuk meninggalkan Merpati karena Merpati mengalami krisis keuangan dan adanya ketidakseimbangan antara jumlah pilot dengan jumlah pesawat yang ada. Kemudian aku bergabung dengan Air Hongkong Ltd, sebuah perusahaan penerbangan kargo Hongkong, bersama keluarga tinggal di Singapura sebagai basis tempat tinggal. Di perusahaan Air Hongkong, aku menerbangkan pesawat jenis Airbus A300 seri 600 khusus mengangkut kargo special dari perusahaan DHL. Perusahaan Air Hongkong merupakan join venture antara perusahaan penerbangan Cathay Pasific dan perusahaan kargo DHL. Penerbangan kargo ini berpusat di bandara Internasional Hongkong sebagai kota penghubung dari kota-kota seperti Singapura; Bangkok (Thailand); Penang (Malaysia); Taipei (Taiwan); Seoul (Korea Selatan); Beijing & Shanghai (China); Tokyo, Osaka, Nagoya (Jepang). Selain kegiatan terbang, aku juga ikut bergabung sebagai tim pengajar di Air Hongkong. Setelah tiga setengah tahun di perusahaan kargo Air Hongkong, aku memutuskan untuk pindah ke perusahaan penerbangan lain karena keinginan menerbangkan pesawat jenis terbaru dalam hal ini jenis airbus. Aku bergabung dengan Etihad Airways sejak awal tahun 2008 dan saat ini aku menerbangkan pesawat jenis Airbus A330 seri 200 & 300 dan A340 seri 500 & 600. Alhamdulillah dengan menerbangkan jenis pesawat ini, aku berkesempatan mengunjungi berbagai kota dari berbagai negara dan dari berbagai benua, misalnya: benua Amerika (kota New York & Chicago); benua Eropa (kota London, Manchester, Paris, Brussels, Frankfurt, Munich, Milan & Geneva); benua Australia (kota Brisbane, Melbourne & Sydney); benua Afrika (kota Johannesburg & Khartoum) dan benua Asia, kota-kota di India, Pakistan, Bangladesh, Cina, Jepang, Malaysia, Singapura dan Indonesia.
Keuntungan lain yang aku dapatkan dengan bergabung dengan perusahaan Etihad Airways, aku berkesempatan bekerja dengan teman-teman dari berbagai negara dengan perbedaan budaya dan kebiasaan yang akan lebih menambah pengetahuan dan pengalaman sebagai seorang professional. Sekaligus pada saat yang sama, keluarga aku bisa ikut tinggal di Abu Dhabi dengan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan anak-anak dapat bersekolah di sekolah Internasional yang sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan. Yang sangat kucintai dan kuakungi adik-adikku semua pelajar di Temanggung. Apa yang aku raih saat ini, sungguh tidak pernah aku bayangkan atau aku cita-citakan sewaktu aku kecil. Mengingat latar belakangku sebagai anak petani yang tinggal didesa jauh dari kota, termasuk kota Temanggung. Saat itu, setiap berangkat sekolah aku harus berjalan kaki sejauh 2 km, dilanjutkan naik angkutan umum mencapai tujuan di SMA Negeri 2 Temanggung. Aku hanya bercita-cita setelah lulus SMA, janganlah jadi pengangguran melainkan semoga dapat meneruskan pendidikan lebih tinggi secara mandiri (kuliah tanpa biaya dari orang tua). Aku sadar, orang tuaku adalah petani biasa. Kini tiba saatnya aku harus berani berjuang mandiri. Alhamdulillah aku diterima di STAN, Program Diploma III, Keuangan Bea Cukai yang sekolahnya gratis dan bahkan bisa jadi pegawai departemen keuangan setelah naik ke tingkat dua. Setelah aku pindah ke Jakarta dan menjalani pendidikan di sekolah tinggi ini, ternyata banyak informasi tentang pendidikan-pendidikan lain dari berbagai profesi. Karena merasa kurang optimal dengan apa yang jalani di pendidikan Program Diploma III Keuangan Bea Cukai ini, aku mencoba mendaftarkan diri diberbagai sekolah tinggi yang yang berbasis bea siswa, termasuk sekolah calon penerbang dari Merpati. Sekali lagi, aku bertekad harus mampu mandiri. Setelah melewati berbagai tahapan seleksi dan bersaing dengan seribuan lebih peserta, Alhamdulillah aku terpilih sebagai siswa sekolah calon penerbang yang dikirim ke Australia. Sungguh aku tidak mengira kalo aku akan mendapatkan kesempatan sekolah di luar negeri, apalagi sekolah untuk menjadi seorang pilot. Karena waktu itu, aku hanya tahu bila akan menjadi pilot hanyalah lewat jalur militer baik angkatan udara maupun angkatan darat, tentunya harus mendaftarkan untuk menjadi taruna Akabri. Aku pernah mencoba setelah lulus SMA, tetapi gagal pada saat seleksi awal. Belakangan aku baru tahu, ternyata untuk menjadi pilot (pesawat sipil), bisa melewati jalur militer dan sekolah penerbangan sipil, antara lain: PLP Curug (Curug, Serang, Jawa Barat), Sekolah penerbangan di Halim Perdana Kusuma (Halim, Jakarta Timur), Sekolah penerbangan Juanda (Surabaya, Jawa Timur). Tetapi informasi ini baru aku dapatkan setelah tinggal di Jakarta pada waktu itu, dan iklan pendaftaran sekolah penerbangan inipun hanya ada di media cetak (koran) di Jakarta. Mudah-mudahan kurangnya informasi ini sekarang sudah tidak menjadi kendala karena teknologi internet sudah sampai didaerah-daerah termasuk di Temanggung.
Yang menjadi tantangan berikutnya adalah apakah adik-adik berani mencoba, mau mendaftarkan diri, tidak minder dan tidak takut gagal ???. Selama menjalani pendidikan disekolah penerbangan, banyak tantangan harus aku hadapi bersama teman-teman satu angkatan dari Indonesia. Saat itu kami berjumlah 16 orang angkatan pertama yang dikirim dari Indonesia dan hanya 13 orang yang mampu menyelesaikan pendidikan. Selama satu tahun penuh tanpa boleh pulang ke Indonesia, kami harus menguasai materi-materi ilmu penerbangan didalam kelas dan praktek pada saat menerbangkan pesawat dengan bimbingan para instruktur dari Australia. Kendala utama tentunya pada awalnya komunikasi bahasa Inggris, karena komunikasi dikelas maupun dalam kehidupan sehari-hari kami harus menggunakan bahasa Inggris kecuali sewaktu istirahat bersama teman-teman dari Indonesia. Pada awal tiga bulan pertama yang menjadi tantangan terbesar bagi kami karena selain kami dalam tahap menyesuaikan diri dilingkungan siswa-siswa calon pilot yang kebanyakan dari Australia dan New Zealand (Selandia Baru), kami juga harus mampu menyelesaikan ujian-ujian teori penerbangan dengan nilai lulus minimal 80 persen untuk mata pelajaran dan hanya diperbolehkan untuk mengulang satu kali bila hasilnya kurang. Tetapi aku dan teman-teman mendapatkan tips yang sangat bermanfaat dari salah satu instruktur kami untuk mengusai bahasa Inggris dengan baik, yakni berbahasa dalam bahasa Inggris, memikirkan dalam bahasa Inggris dan melakukannya dalam bahasa Inggris (Speaking in English, thinking in English, and do it in English). Intinya kami tidak dianjurkan untuk menerjemahkan dalam bahasa Indonesia istilah-istilah yang baru kami dapatkan tetapi mencoba memahaminya tetap dalam bahasa Inggris dengan istilah yang sudah kami kuasai. Tahapan untuk dapat menerbangkan pesawat terbang, kami harus menguasai teori penerbangan, antara lain: matematika dasar; navigasi (ilmu dalam menerbangkan pesawat dari posisi tertentu ke posisi yang lain); meteorologi(ilmu tentang pengaruh cuaca dan pengaruhnya dalam penerbangan); air law (hukum dalam penerbangan); radio telephony (cara-cara berkomunikasi didalam pesawat terbang dengan pihak pengawas udara dan dengan pesawat lain), aerodinamika (ilmu dasar berkaitan dengan pesawat terbang); performance (ilu tentang kemampuan pesawat terbang pada saat melaju di landasan maupun pada saat terbang) dan weight balance (ilmu tentang keseimbangan pesawat terbang dan pengaruhnya terhadap pada saat masih didarat maupun saat mengudara). Setelah kami lulus teori-teori diatas, kami diberikan surat ijin menerbangkan pesawat untuk pertama kalinya yang disebut SPL (Student Pilot License). Dengan SPL ini kami diijinkan untuk latihan terbang dengan didampingi oleh instruktur sampai kami dinyatakan kami dapat menerbangkan pesawat sendiri atau yang dikenal terbang solo. Biasanya rata-rata siswa penerbang membutuhkan sekitar 10-20 jam terbang untuk dapat melakukan terbang solo, tergantung dari kemampuan masing-masing siswa dalam menguasai instruksi yang diberikan para instruktur. Tentunya semakin cepat seorang siswa pilot untuk terbang solo akan lebih baik karena biaya sewa untuk menerbangkan pesawat dihitung per jam. Biaya sewa pesawat terbang
terhitung sangat mahal karena selain biaya pembelian yang mahal, tetapi juga biaya pemeliharaan dan bahan bakar pesawat yang relative mahal. Setelah seorang siswa dinyatakan telah benar-benar mampu terbang solo dan lulus tes ujian praktek, dia akan mendapatkan surat ijin terbang yang disebut PPL (Private Pilot License), dia diperbolehkan menerbangkan jenis pesawat yang dia kuasai hanya untuk keperluan pribadi kalo mengangkut penumpang dalam jumlah terbatas dan tidak untuk tujuan komersial (mendapatkan bayaran dari penumpang yang dia angkut). Dengan surat ijin terbang PPL, kami memperdalam ilmu-ilmu teori penerbangan dan menambah jumlah jam terbang untuk mendapatkan surat ijin yang lebih tinggi yang disebut CPL (Commercial Pilot License). Tentunya setelah lulus ujian teori dan praktek, dengan CPL seorang pilot boleh menerbangkan pesawat jenis tertentu yang dia kuasai untuk mengangkut penumpang dengan tujuan komersial. Dengan surat ijin CPL inilah syarat utama untuk bergabung dengan perusahaan penerbangan. Seperti aku dan teman-teman setelah lulus dari sekolah penerbangan dan mendapatkan surat ijin terbang CPL, kami siap bergabung dengan Merpati Airlines dengan menerbangkan jenis pesawat yang dimiliki Merpati untuk tujuan komersial. Setelah berpengalaman bekerja sebagai pilot komersial di perusahaan penerbangan atau airlines, setelah memperdalam ilmu penerbangan yang lebih luas dan kami mampu lulus ujian dari otoritas penerbangan Nasional, maka kami dinyatakan layak untuk mendapatkan surat ijin terbang tertinggi yang disebut ATPL (Airlines Transport Pilot License). Dengan memiliki surat ijin terbang ATPL ini, kami mempunyai kesempatan untuk menjadi Kapten pilot pesawat jenis tertentu dari perusahaan penerbangan. Perbedaan utama dari surat ijin mengemudi (SIM) dengan surat ijin terbang, baik dari SPL sampai dengan ATPL adalah kami dinyatakan layak menerbangkan pesawat hanya jenis tertentu yang tertulis dalam surat ijin terbang ini dan lulus ujian secara teori dan praktek selama kurung waktu tiap 6 bulan sekali, serta dinyatakan sehat mental dan jasmani oleh dokter penerbangan selama kurung waktu antara tiap 6 s/d 1 tahun sekali tergantung dari negara dimana surat ijin terbang ini dikeluarkan. Sebagai contoh aku memiliki surat ijin terbang ATPL dari Indonesia, aku harus melakukan cek kesehatan setiap enam bulan sekali. Sementara surat ijin terbang ATPL aku yang dikeluarkan dari negara Hongkong dan Uni Emirates Arab, cek kesehatan dilakukan untuk setiap satu tahun sekali. Surat ijin terbang dari negara tertentu hanya boleh digunakan untuk menerbangkan pesawat dari negara tersebut, sebagai contoh saat aku di Indonesia aku menggunakan surat ijin terbang dari Indonesia yang dikeluarkan oleh pihak otoritas penerbangan Indonesia yang dikenal DSKU (Dirjen Seritifikasi Keselamatan Udara) dibawah Dirjen Perhubungan Udara, dilingkungan Menteri Perhubungan. Sedangkan saat aku menerbangkan pesawat Hongkong aku menggunakan surat ijin terbang yang dikeluarkan dari otoritas pemerintah Hongkong. Begitupun saat ini, aku menerbangkan pesawat milik Etihad Airways dari negara Uni Emirate Arab, maka aku menggunakan surat ijin terbang yang dikeluarkan pihak otoritas pemerintah Uni Emirate Arab.
Adapun hal lain yang membuatku selalu merasa bersyukur selama menjalani profesi pilot selama hampir 19 tahun ini, semua yang aku raih ini merupakan hasil kerja keras dan do‘a, tanpa ada unsur KKN. Selain itu, dalam menghadapi persaingan dengan pilot-pilot luar negeri, kemampuan komunikasi dalam bahasa Inggris sebagai bahasa internasional menjadi faktor yang utama selain faktor kecakapan (skill), kesehatan dan sikap (attitude) kita dalam bekerja. Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang ingin aku sampaikan kepada adik-adik pelajar, baik pengalaman selama pendidikan maupun selama bekerja baik didalam maupun luar negeri. Mudah-mudahan ada kesempatan lain untuk bisa melanjutkan tulisan ini. Aku berharap ada adikadik dari Temanggung yang bisa menjadi pilot yang handal, yang dapat memberikan kebanggaan bagi orang tua, sebagai orang Temanggung dan untuk negeri tercinta Indonesia. Untuk informasi lain yang berhubungan dengan profesi pilot atau ilmu penerbangan, adik-adik bisa menghubungi di alamat email ini:
[email protected], InsyaAllah aku akan memberikan keterangan lebih lengkap untuk menjawab pertanyaan sesuai pengetahuanku. Mudah-mudahan naskah ini bermanfaat dan bisa memberikan inspirasi bagi adik-adik pelajar di Temanggung. Kepada para pembaca lain, bukakan pintu maaf bila ada yang tidak berkenan atas kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini. Koreksi dan kritikan akan membuat tulisan ini lebih baik. Abu Dhabi, 9 Juni 2010 Wassalam, Basuki
Kepada Yang Terhormat Bapak dan Ibu Guru, Yang tercinta adik-adikku semua.
Kami mohon masukan dan saran demi penyempurnaan buku ini pada edisi selanjutnya. Pergunakan media ini untuk berkomunikasi kepada para alumnus dari sekolah ini, yang sudah tersebar dimana-mana, baik didalam negri ataupun diluar negri. Sebagai harapan, semoga kumpulan kisah dari kakak-kakak kelasnya ini, dapat menginspirasi dan membuka cakrawala seluas-luasnya kepada seluruh murid yang saat ini sedang belajar, demi mencapai cita-cita terbaiknya. Alamat group Kadang Temanggungan: 1.
[email protected] 2. Bapak Soegini:
[email protected]
Berkobarlah api semangat membangun !
Nuwun, Penggagas