Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
KULTUR TERHADAP PRINSIP KEADILAN MELALUI PERILAKU REMAJA SEKOLAH DALAM TREN MEA Nurul Aulia Khoirunnisa1 Nurhaini Hayoto2
STKIP PGRI Jombang
[email protected] ABSTRAK
Budaya di sekolah sangat berpengaruh besar terhadap keperibadian seorang remaja, tentunya ada hubungan langsung yang saling mempengaruhi dalam hal perilaku seorang remaja. Sekolah bisa dijadikan tempat untuk menimbah ilmu pengetahuan dan mengasah keterampilan dengan berdaya guna dan saing yang tinggi. Sekolah juga menempatkan seorang remaja pada tren ekonomis yang menuntut adanya konsumerisme dan konsumtivisme untuk bisa beradaptasi, saling mempengaruhi dan mengikuti peradaban dalam segala bentuk perwujudan economical-adaption baik secara simbiosis mutualism maupun simbiosis individualism sebagai makhluk individu dan sosial. Tren MEA dalam kapasitas remaja sekolah akan melibatkan unsur-unsur dan dinamika yang sifatnya capitalism, culturalism, educationalism, liberalism, bahkan sampai dengan extremism yang menuntut ketidakadilan terhadap obyek yang sesuai dan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki pada kehidupan remaja pada umumnya. Umumnya hal tersebut terjadi pada dinamika sosial yang berkebutuhan, dengan kontribusi yang bervariatif masalah dan konflik sosial. Berbagai masalah dan konflik sosial akan mengembang dan berpacu dengan perilaku penyimpangan yang memunculkan pada kekerasan remaja bahkan tindakan melawan sosial. Budaya adil dalam hal pendidikan remaja sekolah harus ditumbuhkan dengan cara yang kreatif dan inovatif, tanpa dengan menghakimi dan men-justice subjek dengan tindakan penyimpangan yang sudah diperbuat. Bentuk lainnya adalah memberikan rehabilitasi kepada remaja sekolah melalui pembudayaan hasil kreativitas terampil dari remaja sekolah dan IPTEK yang cukup untuk bersaing secara kompetitif dan sehat guna tumbuh dan berkembangnya remaja sekolah dalam tingkatan pendidikan usia dini sampai dewasa. Dengan demikian bisa diandalkan sumber daya manusia yang bisa bergerak maju dan pemikiran yang berperadaban dan berkeadaban. Kata Kunci: Budaya, Prinsip Keadilan, Perilaku Remaja Sekolah, MEA. A. Pendahuluan. Remaja sangat antusias dengan hadirnya MEA ini. Ini diperkuat dengan adanya perilaku remaja yang sangat beragam. Contohnya adalah remaja pada era sekarang ini sudah banyak menggunakan teknologi terbaru yang diproduksi oleh produsen luar negeri, seperti smartphone. Pada era MEA ini para produsen luar negeri lebih gampang untuk mengekspor barangnya ke negara-negara yang ada di Asia Tenggara ini, contohnya Indonesia. Pengaruh remaja di era MEA ini sangatlah beragam. Remaja bisa memajukan sektor ekonomi negara Indonesia. Hal itu diperkuat karena adanya remaja yang sudah bisa membuat OS atau biasa disebut dengan “Online Shop”. Selain itu, remaja bisa bekerja sampingan di tempat-tempat destinasi wisata menjadi guide, atau juga menjadi pengajar bahasa asing anak-anak 1 2
Mahasiswa Program Studi PPKn STKIP PGRI Jombang Mahasiswa Program Studi PPKn STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
usia dini karena tidak banyak yang mau menjadi pengajar untuk anak – anak. Karena bisa melakukan pekerjaan sampingan, mereka bisa mendapatkan penghasilan tersendiri, agar bisa mengurangi beban orang tua mereka. Syarat untuk melakukan pekerjaan tersebut adalah mereka harus bisa menguasai bahasa-bahasa asing. Bahasa asing sekarang sudah bisa mudah dipelajari karena MEA ini. Warga yang berasal dari luar negeri, seperti contohnya Singapura bisa mengajari remaja yang berminat untuk belajar bahasa-bahasa asing, seperti Bahasa Inggris. Mereka bisa mengajarkan hal tersebut dengan membuka tempat kursus bahasa. Dampak-dampak yang timbul bagi remaja pada era MEA ini adalah sangatlah beragam. Ada dampak positif, ada juga dampak negatifnya. Dampak positif remaja pada era MEA ini adalah remaja bisa membuka online shop sendiri dan barang-barang mereka bisa diekspor secara mudah ke luar negeri, remaja bisa belajar bahasa asing dengan mudah, remaja bisa berinteraksi dengan warga asing yang sekarang sudah banyak berkunjung ke Indonesia, dan masih banyak lagi dampaknya. Dampak negatif yang timbul bagi remaja pada era MEA ini adalah remaja sudah menerapkan budaya konsumtif (kegiatan konsumsi barang – barang yang tidak terlalu diperlukan atau penting), remaja bisa melupakan bahasa daerahnya sendiri karena mereka bisa senang hanya mempelajari bahasa asing yang menurutnya lebih gaul atau gaptek (gagap teknologi), remaja cenderung fokus pada usaha-usaha yang dibuatnya daripada pelajaran formal, karena usaha-usaha tersebut akan membuatnya berbisnis dengan tujuan mencari uang sebanyak-banyaknya. Masih banyak lagi dampak-dampak yang ditimbulkan bagi remaja pada era MEA ini. Lingkungan sangat berpengaruh besar terhadap kepribadian seorang remaja, tentu saja karena ini merupakan hubungan langsung yang mempengaruhi perilaku seorang remaja. Lingkungan yang paling berhubungan dengan kondisi remaja adalah lingkungan dimana dia tinggal dan bersosialisasi. Tentunya lingkungan di sekitar rumah dan juga sekolahnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang berperan langsung terhadap kondisi remaja saat ini. Lingkungan di sekolahnya adalah tempat sehari-hari di mana dia bersosialisasi bersama teman-temannya, tentunya juga dengan pergaulan yang baik dan buruk. Berada di sisi dan bergaul langsung dengan teman- teman sekolahnya merupakan cara terbaik seorang remaja berkomunikasi, pergaulan mereka pun tentunya di penuhi dengan pergaulan yang negatif dan juga pergaulan yang positif. Salah satu pergaulan positif adalah mereka bisa belajar dan berbagi cerita bersama, tentunya ini akan meningkatkan rasa pertemanan dan juga persaudaraan mereka. Ada kalanya remaja untuk saling berbagi curahan hati, hal ini juga bisa membuat mereka lebih berpikir positif dan juga belajar untuk memberi dan menerima saran dari temannya yang tentu saja dalam hal yang positif.
Pergaulan di lingkungan sekolah tidak selamanya positif, dalam hal negatif, misalnya ada beberapa teman yang sering datang terlambat, tidak mentaati peraturan di sekolah mereka, tidak mengerjakan tugas mereka, dalam hal ujian mereka juga tidak jujur, dan bahkan sampai terjadi perkelahian antar teman di sekolahnya. Hal-hal negatif seperti ini bisa saja menular pada teman- temannya yang lain, dampak negatif yang buruk, yang terkadang ada satu dua remaja yang membawa dampak buruk ini dari luar dan menyebarkan di sekolah. Banyak yang terbawa pergaulan negatif dikarenakan mereka terlalu sering bersama dan bergaul dalam hal tidak baik.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Selain lingkungan sekolah, lingkungan rumah juga berpengaruh sangat pada kepribadian seorang remaja. Keluarga yang harmonis, saling menyayangi, membantu satu sama lain dan mementingkan kepentingan orang lain bisa membawa hal positif bagi perilaku remaja. Sebaliknya suasana di rumah begitu runyam, seringnya terjadi pertengkaran antara orang tua atau bahkan antara sodara mereka sendiri, terkadang hal ini malah membuat remaja menjadi stres dan akhirnya tidak betah di rumah. Jika seorang remaja sudah tidak betah tinggal di rumah, tentu dia akan berkeliaran ke tempat dimana teman-temannya berkumpul. Dewasa ini perkembangan perilaku remaja semakin parah saja, semua itu tidak terlepas dari pergeseran nilai yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Gambaran sederhana tampak pada tatacara bergaul dan berpakaian remaja pada umumnya. Pada tahun 80an bergandengan tangan di tengah jalan apalagi berpelukan sementara masih beratribut sekolah merupakan hal yang langka bahkan tabu bagi sebagian besar orang dewasa, tetetapi sekarang fenomena seperti itu menjadi trend. Rasanya belum lepas dalam ingatan ketika Film dengan judul 'Buruan Cium Gue' sangat digandrungi oleh remaja. Tentu bertanya mengapa lantas film seperti itu sangat digemari remaja Indonesia. Jawabannya adalah 'nilai-nilai' yang dikemas dalam film itu telah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Demikian halnya dengan gaya berpakaian remaja putri (ABG) cenderung mengeksploitasi keindahan tubuhnya. Mereka sering terlihat tampil dengan busanabusana minim yang transparan dan ketat. Model rambut yang punky dengan anting yang bersusun bagi remaja putra menjadi hal biasa. Penampilan dan gaya bicara yang artificial sebagai pelengkap dari tongkrongan remaja Indonesia. Mall dan tempat-tempat umum lainnya, seperti pantai, kedai-kedai terbuka di sepanjang pantai, cafe, bahkan diskotik menjadi tempat mangkal mereka. Lebih ironis lagi ketika orang tua memberikan dukungan secara tak langsung alias mentolerir dengan dalih trend hidup remaja. Salah satu permasalahan yang menyita perhatian di dunia pendidikan zaman sekarang adalah kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh remaja sekolah terhadap siswa, maupun oleh siswa terhadap siswa lainnya. Maraknya aksi tawuran dan kekerasan (bullying) yang dilakukan oleh siswa di sekolah semakin banyak menghiasi deretan berita di halaman media cetak maupun elektronik menjadi bukti tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan. Tentunya kasus-kasus kekerasan tersebut tidak saja mencoreng citra pendidikan yang selama ini dipercaya oleh banyak kalangan sebagai sebuah tempat di mana proses humanisasi berlangsung, namun juga menimbulkan sejumlah pertanyaan, bahkan gugatan dari berbagai pihak yang semakin kritis mempertanyakan esensi pendidikan di sekolah dewasa ini. Kekerasan dapat terjadi di mana saja, termasuk di sekolah, tempat bermain, di rumah, di jalan, dan di tempat hiburan. Berdasarkan hasil penelitian Heddy Shri Ahimsa-Putra di enam kota besar di Indonesia, yaitu: Medan, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang, kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak adalah kekerasan fisik dalam banyak bentuk dan variasinya, kemudian disusul kekerasan mental dan seksual. Lokasi kekerasan yang dialami anak sebagaian besar di rumah, kemudian di sekolah, dan selanjutnya di tempat umum. Pelaku kekerasan umumya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berinteraksi dengan anak, seperti orang tua (ibu atau ayah), remaja sekolah, dan teman. Hasil konsultasi Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan anak-anak di 18 provinsi di Indonesia pada tahun 2007 sampai sekarang memperlihatkan bahwa sekolah juga bisa menjadi tempat yang cukup berbahaya bagi anak-anak, jika ragam kekerasan di situ tidak diantisipasi (MG. Endang Sumiarni, 2009). Bahkan Hironimus Sugi dari Plan International menyimpulkan, kasus kekerasan terhadap anak-anak di sekolah menduduki peringkat kedua setelah kekerasan pada anak-anak
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
dalam keluarga. Padahal, jika siswa kerap menjadi korban kekerasan, mereka dapat memiliki watak kekerasan di masa depan. Hal ini secara kolektif akan berdampak buruk terhadap kehidupan bangsa. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kekerasan (bullying) seolah-olah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak di zaman yang penuh dengan persaingan ini. Kiranya, perlu dipikirkan mengenai resiko yang dihadapi anak, dan selanjutnya dapat dicarikan jalan keluar untuk memutus rantai kekerasan yang saling berkelit-berkelindan tanpa habis-habisnya. Tentunya, berbagai pihak bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak, karena anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh negara, orang tua, remaja sekolah, dan masyarakat. Diperlukan komitmen bersama dan langkah nyata untuk mecegah kekerasan (bullying) di sekolah. Dalam dunia filsafat, nilai keadilan yang menjiwai sebuah aturan sosial, telah muncul sejak zaman klasik, yaitu melalui hasil pemikiran plato dalam bukunya Politea yang menggambarkan sebuah negara yang adil karena adanya pengaturan yang seimbang sesuai bagiannya dalam kehidupan ketatanegaraan, sehingga harapannya dapat dicapai keadilan bagi semua unsur bernegara sebab tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat sesuai dengan tempatnya dan tugasnya. Keadilan berdasarkan Aristoteles terbagai ke dalam dua golongan, yaitu 1). Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota masyarakat. 2). Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini keadilan dalam hubungan antara satu orang dengan orang lainnya yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan dengan apa yang diterimanya. Keadilan hak asasi manusia dimaknai berdasarkan John Rawls sebagai prinsip-prinsip dalam sebuah keadilan antara lain: Pertama, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty), yakni setiap orang memiliki hak atas kebebasan individual yang sama dengan hak orang lainnya. Kedua, prinsip kesempatan yang sama, dalam hal ini ketidakadilan ekonomi dalam masyarakat harus diatur untuk melindungi pihak yang tidak beruntung dengan jalan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang dengan persyaratan yang adil. Berangkat dari penjelasan teori keadilan hak asasi manusia, maka berdasarkan pendapat penulis, urgensi dan korelasi dengan permasalahan ini adalah teori keadilan hak asasi manusia dimasukkan dalam justifikasi dari tanggung jawab negara terutama dalam kerangka pendidikan sekolah pada remaja, karena teori keadilan hak asasi manusia akan melihat sejauh mana hak-hak asasi manusia dapat diwujudkan secara berkeadilan baik individu dan kelompok dalam rangka penerapan dan penegakan kaidah sosial, serta jaminan keadilan benar-benar tercapai untuk kemaslahatan seluruh bangsa. Meskipun demikian secara de facto sering terjadi ketidakadilan hak asasi manusia, seperti yang terlihat di dalam permasalahan remaja sekolah seperti bulliying, kekerasan. Dapat dikemukakan bulliying maupun kekerasan (delliquent) merupakan keadilan hak asasi manusia yang dapat dijustifikasikan sebagai keadilan hak asasi manusia yang bersifat kolektif, karena apabila penulis melihat dari sudut pandang cara dan strategi yang dilakukan oleh pelaku kekerasan dengan cara dan strategi dalam melakukan segala bentuk perbuatan asusila, abmoral dan tidak menghormati keperntingan bersama terutama antar sesame remaja di sekolah. Di lain seharusnya menghormati dan menghargai kelompok lain untuk tidak mengejek dan mengucapkan kata-kata kotor lainnya, sehingga menimbulkan konflik antar remaja di sekolah. Di sinilah letak keadilan hak asasi manusia yang bersifat individu dengan melihat sejauh mana kata-kata lisan yang kotor itu
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
diucapkan, siapa yang melakukannya dan bagaimanakah solusi sosial untuk menjeratnya. Berdasarkan persoalan sosial itulah tentunya tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia harus bisa menempatkan keadilan hak asasi manusia baik bersifat kolektif dan individu, serta menjamin keadilan hak asasi manusia bagi setiap warga negaranya. B.
Analisis. 1. Karakteristik Budaya Sekolah Budaya sekolah yang baik dan kondusif akan mendukung setiap individu dalam lembaga pendidikan. Budaya sekolah merupakan jalinan relasi dan interaksi antar anggota komunitas sekolah yang melahirkan spontanitas, pembiasaan, perayaan dan tradisi yang membentuk habit perilaku yang stabil bagi tiap anggota dalam lingkungan sekolah (Humpries, dkk., 2000). Menurut Kemendiknas (2010:1920) budaya sekolah adalah kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, remaja sekolah dengan remaja sekolah, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat sekolah. Budaya sekolah terbentuk dari interaksi dan komunikasi antar individu dalam komunitas sekolah. Interaksi dan komunikasi membentuk tatanan dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungan pendidikan. Tata peraturan dan norma sosial ini dibutuhkan karena hubungan dan interaksi dalam lembaga pendidikan lebih ditentukan pada definisi peranan sesuai dengan tata peraturan yang ada. Unsur pertama yang harus menjadi perhatian bagi pengembangan pendidikan karakter di sekolah adalah mengembangkan keutamaan akademis. Semenjak anak masuk sekolah, mulai dari playgroup, TK, SD sampai perremaja sekolahan tinggi, misi utama lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik sebagai pembelajar yang baik (good knower) (River, 2004). Karena itu, mempromosikan keutamaan yang berhubungan dengan pembelajaran yang baik merupakan hal esensial bagi pembentukan karakter. Menumbuhkan dalam diri siswa sebuah keutamaan untuk menjadi pembelajar yang baik adalah dinamika yang seharusnya terjadi dalam lingkungan pendidikan. Sebab inilah misi utama sekolah. Mengembangkan keutamaan akademis harus dipahami dalam arti yang lebih positif dan utuh. Pada masa lalu, masyarakat mendefinisikan kesuksesan dalam kaitan dengan karakter, misalnya apa yang dibela mati-matian oleh seseorang, apa yang ia pertahankan, apa yang ia percayai, dan kondisi hati orang tersebut. Sayangnya, dalam masyarakat saat ini, ukuran kesuksesan telah bergeser dari karakter ke prestasi, kinerja, apa yang dilakukan. Bukan lagi bagaimana isi hati, tetetapi seberapa bagus kinerja kita. Kita kini hidup dalam budaya di mana kita harus memilih antara karakter atau prestasi, dan sebagian besar orang memilih prestasi. Ketika itu terjadi, otomatis ada perubahan dalam etika atau nilai yang ia anut. Secara perlahan tetapi pasti, kita menghapuskan dari pikiran kita apa yang paling kita butuhkan sebagai individu dan sebagai bangsa: karakter. Menurut Borsellino (2006), penulis Pinocchio Parenting, banyak orang dewasa menderita sindroma Pinokio. Mereka bukan pembohong yang telah berkarat, dan hidung mereka tidak tumbuh, tetetapi mereka menggunakan aneka dusta ketika mengajar anak-anak mereka. Hal ini tentu bisa menimbulkan masalah. Apa masalahnya. Jika kita berbohong kepada anak-anak, itu artinya juga berbohong kepada diri sendiri. Remaja sekolah atau orang tua memiliki pilihan saat memutuskan kebajikan apa yang akan mereka ajarkan kepada peserta didik atau anak-anaknya. Ada tiga kebajikan yang harus dimiliki seseorang anak untuk menjadi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
orang yang peduli dan penuh kasih, yaitu empati, hati nurani, dan kontrol diri (Lickona, 1996). 2. Arus dan Kebijakan Kurikulum dalam Dinamika di Indonesia Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum dapat (paling tidak sedikit) meramalkan hasil pendidikan/pengajaran yang diharapkan karena ia menunjukkan apa yang harus dipeserta didiki dan kegiatan apa yang harus dialami oleh peserta didik. Kurikulum memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan, karena kurikulum merupakan penentu arah, isi, dan proses pendidikan serta penentu macam dan kualifikasi lulusan dari suatu lembaga tertentu. Menurut Sukmadinata (1997:4), kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Menurut Johnson (1967:130 dalam Sukmadinata, 1997: 4), kurikulum prescribes (or at least anticipates) the result of instructions)”. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Kurikulum di Indonesia kerap kali mengalami perubahan. Perubahan itu selalu dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta perubahan zaman. Pembaharuan kurikulum perlu dilakukan sebab tidak ada satu kurikulum yang sesuai dengan sepanjang masa, kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang senantiasa cenderung berubah. Menurut Hamalik (1990 : 37), pada umumnya perubahan struktural kurikulum menyangkut komponen kurikulum yakni: Pertama, Perubahan dalam tujuan bernegara. Perubahan ini didasarkan kepada pandangan hidup masyarakat dan falsafah bangsa, terutama kemandirian remaja sekolah dalam melaksanakan kurikulum yang berbasis “kuno” maupun berbasis “Teknologi”. Kedua, Perubahan substansi dan struktur. Perubahan ini meninjau struktur mata peserta didikan-mata peserta didikan yang diberikan kepada peserta didik termasuk isi dari setiap mata peserta didikan, apakah sudah “kuno” alias monoton maupun sudah “modern” dengan meng-update serta menggunakan pembelajaran yang berbasis “Informatif-Teknologi”. Ketiga, Perubahan strategi kurikulum. Perubahan ini menyangkut pelaksanaan kurikulum itu sendiri yang meliputi perubahan teori belajar mengajar, perubahan sistem administrasi, perubahan sistem penilaian hasil belajar. Keempat, Perubahan sarana kurikulum. Perubahan ini menyangkut ketenagaan baik dari segi kualitas dan kuantititas, juga sarana material berupa perlengkapan sekolah seperti laboraturium, perpustakaan, alat peraga dan lain-lain. Kelima, Perubahan dalam sistem evaluasi kurikulum. Perubahan ini menyangkut metode/cara yang paling tepat untuk mengukur/menilai sejauh mana kurikulum berjalan efektif dan efesien, relevan dan produktivitas terhadap program pembelajaran sebagai suatu sistem dari kutikulum. Dalam perkembangannya sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Memperhatikan kondisi tersebut, dan mengamati pelaksanaan kurikulum 2013 yang penerapannya belum konsisten (K 13 dilaksanakan beberapa saat, belum terlihat bagaimana hasilnya munculnya edaran dari Mendiknas untuk menghentikan pelaksanaannya bagi sekolah yang baru melaksanakan satu semester dan melanjutkan terus bagi sekolah-sekolah yang sudah dua atau tiga semester). Lantas bagaimana selanjutnya. Apakah tetap akan melanjutkan kurikulum 2013. Atau kembali ke KTSP lagi. Ada rencana penggantian kurikulum yang dianggap lebih baik lagi untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah di depan mata. Sementara tantangan di hadapan mata juga sudah siap menghantam anak negeri. Apakah kurikulum Indonesia hanya akan menjadi agenda rutin yang memunculkan animo masyarakat bahwa ganti menteri pasti ganti kurikulum. Lantas kapan akan mencetak sumber daya manusia yang siap bersaing di Era masyarakat Ekonomi ASEAN secara regional bahkan bersaing di era globalisasi yang semakin mendesak lagi. 3.
Membangun Karakter Remaja Sekolah Yang Berwawasan Kebangsaan Nasional Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang sangat kompleks, karena diperlukan adanya partisipasi nyata dari masyarakat, terutama remaja sekolah di lingkungan sekolah. Pendidikan juga tidak bisa lepas dari karakter dan budaya. Tataran sekolah adalah sebagai bagian dari membangun karakter dan budaya. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap perkembangan kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan individu. Pendidikan mampu menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan kontribusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation and Character). Adanya tujuan pendidikan nasional diharapkan mampu menjadi satu fokus utama dalam menciptakan pembelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama dapat terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Harapannya, lulusan pendidikan memiliki kepekaan untuk membangun silaturrahmi, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Selain itu juga, pendidikan Indonesia menemukan kembali ideologi pendidikan yang sempat hilang dan tidak terarah, yakni pendidikan demokratis bermoral pancasila sesuai dengan pernyataan pencetus pendidikan karakter yaitu pedagogik Jerman FW Foerster tahun 1869-1966 yang dikutip oleh Elmubarok tahun 2008 pada halaman 104 yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogik ideal-spiritual yang sempat hilang (Masruroh, 2011). Para ahli dan praktisi dalam pendidikan semakin menyadari betapa pentingnya peranan pendidikan afektif dalam pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan tersebut ialah bahwa peserta didik mampu dan mau mengamalkan pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih setelah muncul suatu penemuan bahwa EQ (Emotional quotient) menyambung 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dibandingkan dengan IQ (Intelectual Quotient) yang hanya menyambung 20%. Sehingga menguatkan bahwa “keseimbangan antara zikir (menyadari kekuasaan Allah) dan pikir (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menyintesis dan mengevaluasi) merupakan ajaran Islam yang kebenarannya telah terbukti secara empiris, yakni terbentuknya akhlak mulia dan kecerdasan secara terpadu”(Aqib, 2011).
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Pendidikan karakter bangsa ini urgen dan diajarkan dan dijadikan teladan. Peserta didik tidak hanya harus dicerdaskan secara intelektual dan emosional, namun karakternya perlu dibangun agar nantinya tercipta pribadi yang unggul dan berakhlak mulia. Pendidikan sangatlah penting, maka dari itu pemerintah sejak awal telah mewajibkan belajar 9 tahun. Pelaksanaan pendidikan, salah satunya pendidikan karakter, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) mencantumkan pendidikan karakter yang bisa membangun bangsa untuk masa depan Indonesia (Sofan, 2011). Tujuan pendidikan karakter adalah sebagai peningkatan wawasan, perilaku, dan ketrampilan, dengan berdasarkan 4 pilar pendidikan. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya insan yang berilmu dan berkarakter, namun pendidikan karakter belum menunjukkan hasil yang mengembirakan. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh pemahaman orang tua yang masih minim, lingkungan anak didik yang tidak kondusif bagi tumbuh kembang emosi dari psikologisnya, dan situasi negara yang menumbuh-suburkan jiwa korupsi. Degardasi moral anak bangsa semakin memprihatinkan. Karakter telah pertaruhkan dalam tempat yang tidak semestinya. Jika tidak hati-hati, bangsa ini menuju pada apa yang dinamakan The Lost Generation. Semua patut bersyukur banyak pihak yang menyadari kondisi tersebut. Kesadaran itu membawa diskursus dalam banyak kesempatan dan muaranya adalah revitalisasi character building. Meskipun diskursus pendidikan karakter marak dibicarakan, ada yang pro dan ada yang kontra, hal ini wajar dalam dinamika kehidupan nalar masyarakat, dan itu menandakan adanya kehidupan berpikir, dengan kata lain diskursus pendidikan karakter telah masuk dalam pikiran masyarakat (Barnawi, 2012). Kelihatannya masyarakat Indonesia belum dapat berlapang dada, karena pada kenyataannya pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada masalah pokok sistem pendidikan nasional, salah satunya menurunnya akhlak dan moral peserta didik dan manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, serta sumber daya manusia yang kurang profesional. Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Kearifan lokal secara dominan masih diwarnai nilai-nilai adat seperti bagaimana suatu kelompok sosial melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen dan eksploitasi sumber daya alam. Perwujudan bentuk kearifan lokal yang merupakan pencerminan dari sistem pengetahuan yang bersumber pada nilai budaya di berbagai daerah di Indonesia, memang sudah banyak yang hilang dari ingatan komunitasnya, namun di sebagian kalangan komunitas itu, walaupun sudah tidak lengkap lagi atau telah berakulturasi dengan perubahan baru dari luar, masih tampak ciri-ciri khasnya dan masih berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat. Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa, sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus yang berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntunan tersendiri bagi eksplorasi khasanah budaya bangsa pada umumnya. Keunggulan lokal merupakan segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, komunikasi, ekologi, agama, dan lain-lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah (Ahmadi, 2012). (Mulyasa, 2012:9) Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
akhlaq mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga turut membentuk karakter peserta didik. Inilah bukti nantinya remaja sekolah mempunyai karakter itu sebagai agen perubahan (agent of change) dalam perwujudan sikap karakter yang nantinya mencetak pada peserta didik baik dalam soft skills and hard skills bisa diandalkan dalam pengembangan pemikiran terhadap IPTEK. Tentunya harus dimulai sejak keberadaannya di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai dengan tingkatan yang lebih tinggi yakni perremaja sekolahan tinggi. Pendidikan karakter yang dilaksanakan oleh remaja sekolah akan diarahkan kepada pendidikan yang berwawasan kebangsaan dalam penanaman nilai-nilai yang berkarakter bangsa Indonesia. Tentunya sebagai penyangga negara, yang pada akhirnya melaksanakan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam aktivitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui pembentukan dasar negara. Nilai demokrasi dan moralitas bagian dari perwujudan nilai karakter bangsa Indonesia yang memiliki sifat keterbukaan dan sikap saling menghargai dan menghormati antar negara satu dan negara lain, antar suku bangsa, dan yang memiliki watak khas dan etos kebudayaan dalam kesatuan yang utuh dan berbhinneka dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengedepankan sebuah tatanan nilai-nilai Pancasila. C. Simpulan Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para guru dan peserta didik tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-nilai yang baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan nilai-nilai tersebut tetap tertanam dan menyatu dalam pikiran serta tindakan. Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis dan sosiologisnya. MEA adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dianut dalam Visi 2020, yang didasarkan pada konvergensi kepentingan negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang ada dan baru dengan batas waktu yang jelas, dalam mendirikan MEA, ASEAN harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip terbuka, berorientasi ke luar, inklusif, dan berorientasi pasar ekonomi yang konsisten dengan aturan multilateral serta kepatuhan terhadap sistem untuk kepatuhan dan pelaksanaan komitmen ekonomi yang efektif berbasis aturan. Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Dalam rangka penyiapan yang optimal menghadapi MEA 2015 dan kegalauan terhadap karakter mahasiswa saat ini, maka pembelajaran pendidikan kewarganegaraan akan mengakomodasi budaya dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
kearifan lokal dalam memperkuat karakter dan tingkat kesiapan memasuki pasar bebas, terutama aspek pendidikan.
D. Daftar Pustaka Assegaf. 2002. Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. Laporan Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ------------2003. Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi, Kasus, dan Konsep. Yogyakarta : Tiara Wacana. Camara, Dom Helder. 2000. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Insist Press. Huijbers, Theo., 1995., Filsafat Hukum., Kanisius., Yogyakarta Duswara Machmudin, Dudu., 2001., Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa., Rafika Aditama., Bandung Fuady, Munir., 2007., Dinamika Teori Hukum., Ghalia Indonesia., Bogor Humpries, M. L., Parker, B. L., dan Jagers, R. J. 2000. Predictory of Moral Reasoning Among African American Children: A Preliminary Study. Journal of Black Psychology, Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemendiknas. Borsellino, C. 2006. Pinocchio Parenting: 21 Outrageous Lies We Tell Our Kids. New York. Howard Books. Lickona, T. 1996. Teaching Respect and Responsibility. Reclaiming Children and Youth Journal. Aqib, Z., 2010., Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa., Yrama Widya., Bandung. Barnawi et al., (2012)., Strategi & Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter., Ar-Ruzz Media., Yogyakarta. Hamalik, Oemar., (1990)., Pengembangan Kurikulum, Dasar-dasar dan Pengembangannya., Mandar Maju., Bandung. Ahmadi, Abu., (2012)., Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumber Daya Air., Kompas., Jakarta. Amri, Sofan., (2011)., Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Strategi Analisis Dan Pengembangan Karakter Siswa Dalam Proses Pembelajaran. Prestasi Pustakaraya., Jakarta. Masruroh, F., (2011)., Implementasi Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar Sebagai Upaya Pengembangan Kepribadian Siswa (Studi Berdasarkan Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar Anak Sholeh Di Malang). Tesis S2 Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan tidak dipublikasikan: Universitas Muhamadiyah Malang (UMM). Mulyasa, H.E. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Bumi Aksara., Jakarta. Mulyasa., (2010)., Implementasi Kurikulum Teori dan Praktek., Remaja Rosdakarya., Bandung. Sukmadinata, Nana Syaodih., (1997). Pengembanhgan Kurikulum Teori dan Praktek., Remaja Rosdakarya., Bandung.