INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
UPAYA MENINGKATKAN KINERJA GURU MELALUI KULTUR SEKOLAH Srinatun1 Abstrak: Perbaikan mutu sekolah perlu memahami kultur sekolah yang bersangkutan. Melalui pemahaman kultur sekolah, berfungsinya sekolah dapat dipahami, aneka permasalahan dapat diketahui, dan pengalaman-pengalamannya dapat direfleksikan. Oleh sebab itu, dengan memahami ciri-ciri kultur sekolah akan dapat diusahakan tindakan nyata untuk peningkatan kualitas sekolah. Adapun masalah penulisan ini adalah (1) Apa dan bagaimana kultur sekolah yang kondusif? (2) Aspekaspek budaya (culture) apa saja yang bersifat positif dan negarif di SMA Negeri 4 Semarang? (3) Bagaimana rancangan tindakan pengembangan kultur sekolah yang dapat ditempuh oleh sekolah untuk meningkatkan kualitas sekolah? Tujuan penulisan ini adalah (1) menjelaskan konsep dasar kultur sekolah, komponen kultur sekolah, karakteristik kultur sekolah yang kondusif dan proses pengembangannya. (2) mengetahui aspek-aspek budaya (culture) apa saja yang bersifat positif maupun negatif di SMA Negeri 4 Semarang. (3) mengeneralisasikan aspek-aspek budaya (culture) SMA Negeri 4 Semarang yang bersifat positif maupun negatif memungkinkan untuk dikembangkan. (4) menjelaskan bagaimana rancangan tindakan pengembangan kultur sekolah yang dapat ditempuh oleh warga sekolah bagi pengembangan sekolah. Kultur sekolah yang kondusif adalah keseluruhan latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim sekolah yang secara produktif mampu memberikan pengalaman baik bagi tumbuh kembangnya siswa yang diharapkan. Aspek-aspek budaya (culture) positif dengan skor rata-rata > 3,5 yang dimiliki SMA Negeri 4 Semarang antara lain adalah aspek akademik yang meliputi prestasi guru, interaksi kepala sekolah dengan guru untuk aspek sosial, interaksi walikelas atau guru dengan orang tua siswa, interaksi guru dengan siswa untuk aspek sosial, interaksi kepala sekolah dengan komite sekolah atau orang tua siswa, dan interaksi kepala sekolah dengan staf tata usaha untuk aspek akademik. Selain aspek-aspek positif yang tersebut di atas SMA Negeri 4 Semarang juga mempunyai kultur senyum, salam, sapa, semangat, sopan santun, dan sportif. Aspek-aspek negatif kultur sekolah di atas SMA Negeri 4 Semarang masih perlu ditingkatkan antara lain kultur atau budaya membaca, disiplin dan efisiensi, dan bersih. Dalam pengembangan kultur sekolah, perlu memperhatikan saran semua pihak dan dibentuk tim pengembang kultur sekolah dengan harapan kultur yang terbentuk merupakan hasil kerja semua warga sekolah yang harus ditaati dan dikembangkan oleh semua warga sekolah. Bagi Pengawas dan Dinas Pendidikan sebagai pengambil kebijakan, sangat diharapkan dalam mengembangkan kultur sekolah terutama aspek akademik di SMA Negeri 4 Semarang dengan mengembangkan perpustakaan dan laboratorium. Untuk melakukan pengembangan kultur sekolah perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut pertama adalah memotret kultur sekolah sehingga diketahui kecenderungan kultur sekolah yang bersifat positif dan negatif. Setelah itu, baru menentukan indikatorindikator yang mempengaruhi kultur tersebut. Langkah berikutnya adalah memonitoring dan mengevaluasi perubahan yang dilakukan untuk kemudian membuat laporan dan memberikan tindak lanjut. Kata kunci: kinerja guru, kultur sekolah 1
Kepala SMAN 4 Semarang
60
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
tenaga guru. LPTK memiliki tanggung jawab dalam menciptakan guru berkualitas dan berdampak kepada pembentukan SDM berkualitas pula. Oleh sebab itu, LPTK memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru yang berkualitas, berwawasan, dan mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertanggung jawab, dan berkepribadian. Harapan ke depan terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnya kinerja yang efektif dan efisien di setiap struktur yang ada di sekolah. Kinerja terbentuk bilamana tiap-tiap struktur memiliki tanggung jawab dan memahami akan tugas dan kewajiban masing-masing. Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik. Titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus. Adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sitawar sidingin di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan. Hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negatif kiranya akan menjadi masukan yang berarti bagi kinerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa dan menjadi kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan
PENDAHULUAN Guru merupakan kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru di dalam pelaksanaan proses pembelajaran sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Walaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi-sisi kelemahan kepada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru dan mungkin ada sistem yang berlaku baik sengaja maupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi. Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita dapat melihat sisi lemah dari sistem pendidikan nasional bergantinya kurikulum pendidikan. Secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis dan mungkin dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal dan tidak demikian halnya guru profesional. Selain itu, kinerja guru sangat ditentukan oleh output dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai institusi penghasil
61
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
datang. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu bagaimana guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini. Dengan demikian, akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut. Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya dan indikator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Makin tinggi sumber daya manusia maka makin baik tingkat pendidikan dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu, indikator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru. Bila kita amati di lapangan, guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih. Akan tetapi, ada sebagian guru belum menunjukkan kinerja baik. Hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro. Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggung jawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, dan rasa tanggung jawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitas di dalam menjalankan tugas keguruan di dalam kelas dan tugas kependidikan di luar kelas. Sikap ini akan diikuti pula dengan rasa tanggung jawab mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan termasuk alat media pendidikan yang
akan dipakai dan alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi. Kinerja guru dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru mempunyai komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan dan akan tetap tertinggal akan akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini, kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif. Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen sekolah, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan, maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila diiringi dengan nawaitu yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan ke arah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini. Semua itu dapat tercermin dengan adanya penerapan kultur sekolah bagi semua warga SMA Negeri 4 Semarang. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan studi pustaka. Teknik pengumpulan data melalui data kualitatif yang diperoleh dari observasi, pengamatan, maupun wawancara.
62
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
selanjutnya pada tahun 1970-an istilah serupa “corporate culture” mulai digunakan dan menjadi populer. Kultur organisasi merupakan istilah yang mudah untuk diucapkan tetapi sulit didefinisikan. Dalam mendefinisikan kultur organisasi cendrung dimaknai oleh anggota organisasi sebagai sistem yang dianut yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Jones (1995) memberikan definisi kultur organiasi dan karakteristik budaya organisasi. Menurut Jones kultur organisasi adalah seperangkat nilai yang mengontrol anggota organisasi dalam berinteraksi baik dengan sesamanya maupun dengan orang-orang di luar organisasi. Karakteristik kultur organisasi meliputi nilai-nilai, kontrol koordinasi dan motivasi, etika, dan proses disain organisasi. Nilai dalam hal ini dapat dikategorikan atas nilai: idielogi, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer keamanan dan agama. Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa kultur sekolah sebagai “pola nilai-nilai, norma, sikap, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang suatu sekolah. Sekolah tersebut dipegang bersama oleh kepala sekolah, guru, staf, dan siswa sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah. Dengan kata lain, kultur atau budaya sekolah dapat dikatakan sebagai pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga sekolah yang tercermin dalam semangat, perilaku maupun simbol serta slogan khas identitas mereka.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penilaian, lembar pengamatan, dan angket. Analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yang bersumber dari data primer dan empiris. Melalui analisa data ini, dapat diketahui ada tidaknya peningkatan kinerja guru melalui kultur sekolah. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinjauan Makna Budaya Sekolah Menurut Stolp (2003) definisi budaya sekolah belum diperoleh kesatuan pandangan. Terminologi budaya sekolah masih disamakan dengan “iklim atau ethos”. Konsep budaya sekolah masuk ke dalam pendidikan itu pada dasarnya sebagai upaya untuk memberikan arah tentang efisiensi lingkungan pembelajaran, lingkungan dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal (1) lingkungan yang sifatnya alami sesuai dengan budaya siswa dan guru, (2) lingkungan artifisial yang diciptakan oleh guru atau hasil interaksi antara guru dengan siswa. Konsep kultur dalam dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia industri yaitu situasi yang memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses (baca: pembelajaran) secara efektif dan efisien (Zamroni 2000). Dengan demikian, penerapan istilah kultur atau budaya pada organisasi dalam hal ini termasuk lembaga pendidikan dapat dikatakan relatif baru. Sebelumnya sekitar pada awal tahun 1960-an digunakan istilah “Organizational Culture” yang sinonim dengan “climate”atau suasana yang
63
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
visi, misi, tujuan dan sasaran, (2) kurikulum, (3) bahasa komunikasi, (4) narasi sekolah, (5) narasi tokoh-tokoh, (6) struktur organisasi, (7) ritual, (8) upacara, (9) prosedur belajar mengajar, (10) peraturan sistem ganjaran/ hukuman, (11) layanan psikologi sosial, (12) pola interaksi sekolah dengan orang tua, masyarakat dan yang materiil dapat berupa fasilitas dan peralatan, artifiak, dan tanda kenangan, serta pakaian seragam. Mardapi (2003) membagi unsurunsur budaya sekolah jika ditinjau dari usaha peningkatan kualitas pendidikan adalah sebagai berikut.
Menyimak pengertian di atas dapat dipahami bahwa konsep budaya sekolah sebagai suatu pendekatan lebih menekankan pada penghayatan segisegi simbolik, tradisi, riwayat sekolah yang kesemuannya akan membentuk keyakinan, kepercayaan diri dan kebanggaan akan sekolahnya. 2. Elemen-Elemen Budaya Sekolah Sebagaimana telah digambarkan dalam pengetian di atas bahwa budaya sekolah terdiri dari sejumlah normanorma, ritual, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan kebiasaan yang terbentuk dalam sekolah. Bentuk budaya sekolah secara intrinsik muncul sebagai suatu fenomena yang unik dan menarik karena pandangan sikap, perilaku yang hidup, dan berkembang dalam sekolah pada dasarnya mencerminkan kepercayaan dan keyakinan yang mendalam dan khas dari warga sekolah. Lebih khusus lagi Hedley Beare mendeskripsikan unsur-unsur budaya sekolah dalam dua kategori yakni unsur kasat mata dan unsur yang tidak kasat mata. Unsur yang kasat mata mempunyai makna jika mencerminkan apa yang tidak kasat mata. Yang tidak kasat mata itu adalah filsafat atau pandangan dasar sekolah mengenai kenyataan yang luas, makna hidup atau yang di anggap penting dan harus diperjuangkan oleh sekolah dan itu harus dinyatakan secara konseptual dalam rumusan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang lebih konkrit yang akan dicapai oleh sekolah sedangkan unsur yang kasat mata dapat termanifestasi secara konseptual yang meliputi (1)
a. Kultur Sekolah Positif Kultur sekolah positif adalah kegiatan-kegiatan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan, misalnya kerja sama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap prestasi, dan komitmen terhadap belajar. b. Kultur Sekolah Negatif Kultur sekolah yang negatif adalah kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya, resisten terhadap perubahan dapat berupa siswa takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa jarang melakukan kerja sama dalam memecahkan masalah. c. Kultur Sekolah Netral Kultur sekolah netral adalah kultur yang tidak berfokus pada satu sisi namun dapat memberikan konstribusi positif tehadap perkembangan peningkatan mutu pendidikan. Hal ini bisa berupa arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa, dan lainlain.
64
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
ruangan, sampai dengan persoalanpersoalan menentukan seperti kebersihan kamar kecil, situasi proses pembelajaran di ruang-ruang kelas. Demikian pula, cara kepala sekolah memimpin rapat bersama staf merupakan bagian integral dari sebuah kultur sekolah (Depdiknas, 2004).
3. Cara Mengubah Kultur Sekolah Untuk dapat mengubah budaya sekolah pertama-tama harus memahami budaya yang ada. perubahan budaya yang ada dimaknai sebagai alternatif variasi interaksi yang seluas-luasnya. Karena interaksi ini dapat dikatakan sebagai inti dari stabilitas sekolah, pembaruan harus didekati melalui dialog peduli kepada orang lain, dan lain-lain. Budaya yang telah rutin dimiliki oleh komunitas sekolah misalnya seremonial, ritual, tradisi, mitos dapat digunakan sebagai titik tolok pembaruan budaya sekolah. Pada prinsipnya upaya memperpendek waktu antara penerapan sistem interaksi baru dengan budaya yang konvensional dilakukan bila guru telah merasa kondusif diterapkan sistem interaksi yang baru itu sehingga sekolah memperolah nilai yang dikehendaki. Menurut Deal dan Peterson (2003), kekuatan yang bisa diraih dari kultur sekolah adalah membangun sekolah menjadi lebih hidup, semangat kooperatif, dan penghayatan akan identitas sekolah. Interaksi antara siswa, orang tua, guru, atau anggota komunitas adalah inti nilai pemberdayaan kultur sekolah. Adapun kepentingan menstandarkan perilaku anggota sekolah merupakan tuntunan akademik. Harapan guru terhadap respon siswa menghadapi perlakuan belajarnya agar menjadi lebih etis misalnya mengendalikan waktu. Hal tersebut dapat melihat dari pancaran matanya, cara bicaranya, cara mengatur parkir kendaraan guru, siswa, dan tamu, cara memasang hiasan di dinding-dinding
4.
Peran Kultur Sekolah dalam Pembentukan Kinerja Guru Dalam terminologi kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau instansi sekolah dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya berlangsung kegiatan tertentu yaitu interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan suatu sistem nilai atau keyakinan, norma juga kebiasaan yang di pegang bersama. Pendidikan sendiri adalah suatu proses budaya. Masalahnya sekarang adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan yang baerbasis mutu itu. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya. Dalam hal ini masih menurut Djemari (2003) karekteristik peran kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga meliputi: a. Bernilai Strategis Bernilai strategis adalah kultur yang dapat berimbas dalam kehidupan
65
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada warga sekolah untuk bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah merupakan milik kolektif bukan milik perorangan, sehingga budaya sekolah dapat dikembangkan dan dilakukan oleh semua warga sekolah. b. Memiliki Daya Ungkit Kultur yang memliki daya gerak akan mendorong semua warga sekolah untuk berprestasi sehingga kerja guru dan semangat belajar siswa akan tumbuh bilamana dipacu dan didorong dengan dukungan budaya yang memiliki daya ungkit yang tinggi misalnya kinerja sekolah dapat meningkat jika disertai dengan imbalan yang pantas, penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas yang seimbang. Demikian pula, siswa akan meningkat semangat belajarnya bila mereka diberi penghargaan yang memadai, pelayanan yang prima, dan didukung dengan sarana yang memadai. c. Berpeluang Sukses Budaya yang berpeluang sukses adalah budaya yang memiliki daya ungkit dan memiliki daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa keberhasilan dan rasa mampu untuk melaksanakan tugas dengan baik misalnya budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan siswa akan dapat mendorong mereka untuk banyak mengetahui tentang berbagai macam persoalan yang mereka pelajari di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru mereka semakin banyak pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin
luas, semua ini dapat berlangsung jika disertai dengan kesadaran bahwa mutu/ kualitas yang akan menentukan keberhasilan seseorang. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa pendekatan budaya sesungguhnya menekankan pada kedalaman yaitu unsur budaya dari organisasi itu, yang memberi petunjuk, warna, dan gaya pada diri setiap individu sekolah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja mereka. Lebih khusus lagi budaya sekolah yang tercermin dalam bentuk mitos, ritual, kebiasaan, simbolisme, kepercayaan, dan sebagainya menjadi pengikat bagi setiap siswa yang akan menimbulkan motivasi dan semangat belajar serta kreativitas mereka. 4. Kinerja Guru Kebaradaan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah mempunyai peranan yang tidak kecil dalam kelangsungan pendidikan di sekolah. Membangun kekuatan pengajaran dan pendidikan di sekolah sama halnya membangun kinerja guru. Upaya-upaya meningkatkan kinerja guru pada proses pembelajaran dirinya sangatlah penting terutama pada hakikatnya merekalah pemilik sekolah. Pembentukan watak dan karakter harus dilakukan secara integratif di semua mata pelajaran. Di samping isi materi pembelajaran, metode, dan cara pembelajran sangat mempengaruhi pembentukan watak dan karakter seseorang. Cara-cara pembelajran yang demokratis, menarik kreatif inovatif akan sangat efektif
66
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
untuk membantuk watak dan karaktek peserta didik. Perlu juga ditekankan dalam pembentukan watak dan karakter ini adalah masalah kecerdasan emosional. Dengan demikian, pada setiap palajaran dan proses pembelajaran tujuan tidak hanya menguasai emosi diri sendiri dan emosi orang lain serta mampu mengendalikannya. Kecerdasan semacam inilah yang akan terwujud dalam keuletan, motivasi diri dan tangguh dalam menghadapi tantangan. Sekolah yang merupakan tempat mensosialisasikan nilai-nilai budaya, tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan tetapi semua nilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya, dan ini dapat dilihat dari kinerjanya, pengetahuan, cara berpikir, sikap, perilaku dan cara memecahkan masalah yang timbul. Dalam hal ini sebagaimana pendapat Djoyonegoro (Suyanto dan Abbas 2001:148), berbagai perbekalan yang diberikan di sekolah oleh guru pada hakikatnya untuk meningkatkan tiga nilai dasar yaitu: (1) membangun atau membentuk siswa yang memiliki orientasi kedepan dengan ciri-ciri antara lain luwes, tanggap terhadap perubahan, dan memiliki semangat berinovasi, (2) senantiasa punya hasrat untuk mengeksploitasi lingkungan dan kekuatan-kekuatan alam, artinya tidak hanya tinduk pada nasib, sebaliknya senantiasa berusaha memecahkan masalah dan mengasai IPTEK, (3) memiliki orientasi terhadap karya yang bermutu atau punya achievement
orientatian antara lian ditandai oleh penilaian yang tinggi terhadap hasil karya. Untuk menuju internalisasi nilainilai dimaksud siswa harus dipacu motivasinya untuk berprestasi dan semangat belajarnya demi terwujudnya kinerja siswa yang dicita-citakan setiap sekolah. Di SMA Negeri 4 Semarang, peningkatan prestasi dari beberapa sektor jelas terlihat melalui penerapan kultur sekolah di antaranya: a. Prestasi Guru Adanya kultur sekolah yang diterapkan di SMA Negeri 4 Semarang menghasilkan guru prestasi mulai dari tingkat kota sampai tingkat nasional. Terbukti pada tahun 2006 s.d. 2008 di satuan pendidikan mulai diberlakukan guru prestasi di tingkat satuan pendidikan. Kemudian di tahun 2009, SMA Negeri 4 Semarang berhasil menghasilkan guru prestasi juara 2 di tingkat kota, di tahun 2009 bertambah bertambah lagi berhasil meraih juara 1 guru prestasi tingkat kota kemudian melaju lagi menjadi juara 1 guru prestasi tingkat provinsi. Setelah itu, tanggal 11 – 18 agustus 2010 berhasil lagi menjadi juara 1 guru prestasi tingkat nasional. Salah satu guru prestasi yang berhasil mulai dari tingkat satuan pendidikan sampai melaju ke tingkat nasional adalah Sri Wahyuni, M.Pd. selaku guru Bahasa Indonesia. Di bawah ini merupakan salah satu dokumentasi penghargaan sebagai guru prestasi di tingkat nasional.
67
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
Gambar 1. Penerimaan Penghargaan Guru Prestasi Juara 1 Tingkat Nasional (Sri Wahyuni, M.Pd.) dari Menteri Pendidikan Nasional (Bapak Muh. Nuh) b. Sertifikasi Guru Di bidang sertifikasi, guru SMAN 4 Semarang mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Data Guru SMAN 4 Semarang Tersertifikasi Berdasarkan tabel 1 tampak bahwa jumlah guru SMA Negeri 4 Semarang ada 73 orang. Pada tahun 2006, guru
yang tersertifikasi ada 14 orang dan yang belum tersertifikasi ada 54 orang. Pada tahun 2007, guru yang
68
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
tersertifikasi ada 39 orang dan yang belum tersertifikasi ada 34 orang. Pada tahun 2008, guru yang tersertifikasi ada 48 orang dan yang belum tersertifikasi ada 25 orang. Pada tahun 2009, guru yang tersertifikasi ada 58 orang dan yang belum tersertifikasi ada 15 orang. Pada tahun 2010, guru yang tersertifikasi ada 63 orang dan yang
belum tersertifikasi ada 10 orang. Kesepuluh orang ini terdiri dari 6 orang yang memang belum saatnya sertifikasi dan 4 orang masih CPNS. c. Kenaikan Pangkat Kenaikan pangkat guru SMA Negeri 4 Semarang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Tampak pada tabel berikut ini.
Tabel 2: Data Kenaikan Pangkat Guru SMAN 4 Semarang Pada tabel 2 tampak bahwa kenaikan guru SMA Negeri 4 Semarang mengalami kenaikan yang sangat signifikan terbukti pada tahun 20092010 yang golongannya menjadi IV c dan IV b ada 1 orang. Selain itu, paling tertinggi ada pada golongan IVa. d. Akreditasi Sekolah Akreditasi sekolah dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Akreditasi SMA Negeri 4 Semarang pun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini tampak pada tabel berikut ini. Tabel 3: Akreditasi SMA Negeri 4 Semarang
Pada tabel 3 tampak bahwa akreditasi SMA Negeri 4 Semarang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Setiap 5 tahun sekali mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dari tabel tersebut tampak bahwa pada tahun 1987-2002 nilai pencapaian akreditasi sekolah 87 atau kategori B. Pada tahun 2002-2006, akreditasi sekolah memiliki nilai 92,97 atau kategori A. Pada tahun 2006-2010, akreditasi sekolah memiliki nilai 95 atau kategori A. Dengan demikian, terdapat perubahan status sekolah yakni yang tadinya pada tahun 2006-2007
69
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
bersangkutan. Prinsip yang akan dikembangkan untuk mencapai ini adalah ing ngarso sung tuludo. Siswa tidak mungkin berdisiplin, kalau gurunya sendiri tidak disiplin, dan guru tidak akan berdisiplin kalau kepala sekolahnya tidak disiplin (Anonim 1994). Berdasarkan kultur di atas, jelas bahwa tujuan tiap sekolah bukan hanya tempat mandapatkan ilmu pengetahuan belaka tetapi sebagai pusat pengembangan sikap dan budaya profesional. Budaya profesional ialah perilaku yang taqwa dan melaksanakan mutu yang mampu bersaing, tahu apa yang harus dikerjakan, tahu mutu pelayanan, tahu dasar kemampuan minimal yang harus dimiliki, dan bagaimana cara mengerjakan dengan sebaik-baiknya, tahu mengerjakan dengan mutu terbaik, tahu mengapa dikerjakan dikerjakan dengan cara seperti itu, tahu melaksanakan kegiatan adminstrasi secara efektif dan efisien (produktif) dan mampu menampilkan sekolah yang tertib, efektif, luwes, efisien dan rapi.
bersatus KBK, kemudian tahun 20072008 berstatus RSKM, dan tahun 2010 sampai sekarang berstatus RSBI. 5. Pendekatan dalam Kultur Organisasi Sekolah Kultur organisasi menggunakan dua pendekatan: (1) variabel kultur dan (2) pembentukan rasa. Pendekatan variabel kultur ialah pendekatan yang menggunakan atribut-atribut kultur kunci dari organisasi yang mempengaruhi hasil organisasi. Atribut ini antara lain gaya kepemimpinan, iklim oganisasi, dan konflik. Pendekatan pembentukan rasa ialah pendekatan kultur sebagai esensi organisasi yaitu kultur yang anggotanya memiliki kebersamaan interprestasi kolektif terhadap realitas sosial. Kerangka interprestasi yang ada dalam kultur organisasi bersama-sama membentuk tema-tema ini mempengaruhi sikap dan nilai-nilai anggotanya. Perilaku anggota dalam organisasi tersebut diarahkan oleh kulturnya, sebagai contoh di dunia pendidikan, sebagai pusat pengembangan kultur profesional dengan membiasakan anggota organisasinya agar terbentuk perilaku sekolah yang berkarateristik: (a) berdisiplin tinggi, (b) melaksanakan pekerjaan dengan mutu yang testandar (tidak asal jadi, (c) melaksanakan kegiatan administrasi secara efektif, (d) penampilan sekolah yang bersih, rapi, indah dan menraik (e) setiap siswa harus bangga dengan sekolahnya, dan setiap guru bangga dengan profesinya sebagai guru di sekolah yang
SIMPULAN Kultur sekolah merupakan tradisi sekolah yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan spirit dan nilai-nilai yang dianut sekolah. Tradisi itu mewarnai kualitas kehidupan sebuah sekolah. Tradisi itu dilakukan dengan menerapkan kultur sekolah. Kultur sekolah yang kondusif mensyaratkan adanya partisipasi seluruh warga sekolah dan pemangku kepentingan pendidikan. Secara manajerial, kepala
70
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
sekolah yang bertanggung jawab tetapi secara operasional menjadi tugas seluruh warga sekolah termasuk pemangku kepentingan pendidikan. Implikasinya, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, keterbukaan, disiplin diri, dan tanggungjawab, harus senantiasa mewarnai pembentukan struktur organisasi sekolah, penyusunan deskripsi tugas, prosedur kerja, kebijakan, aturan-aturan, tata tertib sekolah, hubungan vertikal dan horisontal antar warga sekolah, acaraacara ritual dan seremonial sekolah. Keseluruhannya secara kooperatif akan menentukan bentuk perilaku sistem sekolah, perilaku kelompok atau perorangan warga sekolah, yang meliputi latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim (Depdiknas, 2004). Di samping itu, dalam kegiatan menciptakan kultur sekolah tidak dapat dipisahkan dengan upaya menegakkan budaya mutu. Oleh Depdiknas (MPMBS, 2001) di ungkapkan bahwa budaya mutu harus memiliki elemen-elemen sebagai berikut. 1. informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, tidak untuk menakut-nakuti, menegur, apalagi mengadili kekurangan atau kelemahan bawahan 2. kewenangan seseorang harus sebatas deskripsi tugasnya, sehingga jelas siapa berposisi apa, bertanggungjawab kepada siapa, dan berhak memerintah siapa 3. hasil kinerja harus diikuti rewards atau punishments, dengan tujuan demi membangun keseimbangan,
meskipun tidak akan mudah menetapkannya dengan berkeadilan. 4. kolaborasi dan sinergi bukan kompetisi penuh, harus merupakan basis kebersamaan untuk kinerja 5. setiap warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, tidak waswas di-PHK dan sejenisnya 6. atmosfer fairness harus dimainkan, imbal jasa sepadan dengan kedudukan, nilai, dan kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok 7. setiap warga sekolah merasa memiliki sekolah dengan segenap komponennya. Apabila hal tersebut di atas berhasil diwujudkan oleh kepala sekolah, sebagian tugas dan tanggung jawabnya telah terpenuhi dan sebagai bukti terciptanya budaya mutu dalam kultur sekolah adalah terbentuknya warga sekolah yang berperilaku profesional, bermartabat, dan merasa puas dengan kesejahteraannya. DAFTAR RUJUKAN Anonim. 1994. Kultur Sekolah. Jakarta. Davis, Gary A. and Thomas, Margaret A. 1989. Effective Schools and Effective Teacher. Massachussets: Allyn and Bacon. Depdiknas. 2009. Pengembangan Kultur Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Dasar dan Menengah. Direktorat
71
INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Pengembangan Kultur Sekolah di Universitas Negeri Yogyakarta.Edwar Sallis. 1993. Total Quality Management In Education . London. Mulyasa. E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Doni, Koesoema A. 2010. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Cetakan kedua, edisi revisi dari 2007). Jakarta: Grasindo. Deal, T.R & K.D. Peterson. 2003. Shaping School Culture. Artikel Diambil tanggal 25 April 2005. Djemari, Mardapi. Pengembangan
Sastrapratedja. 2001. Budaya Sekolah dan Dinamika Pendidikan. Jakarta.
2003. Kultur
72