perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KULI GENDONG PASAR LEGI (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Kota Surakarta Jawa Tengah)
Oleh: WAHYU SARWONO PUTRO NIM K840705
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, 20 Juli 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Basuki Haryono, M.Pd. NIP. 195002251975011002
Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd. NIP. 195308261980031005
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. T. Widodo, M.Pd.
………………
Sekretaris
: Dra. Siti Rochani, M.Pd.
……………...
Anggota I
: Drs. Basuki Haryono, M.Pd.
………………
Anggota II
: Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd.
………………
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
WAHYU SARWONO PUTRO. K8407050, KULI GENDONG PASAR LEGI (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong Pasar Legi Kota Surakarta) Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli 2011. Penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui alasan orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu matapencaharian bagi masyarakat, 2) untuk mengetahui eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan anggota masyarakat, 3) untuk mengetahui pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi. Penelitian ini menggunakan menggunakan metode kualitatif eksplanatif dengan strategi studi kasus tunggal. Sumber data dalam penelitian ini dari; 1) informan, yaitu pengurus SPTI dan anggota (kuli gendong), 2) tempat dan peristiwa di pasar Legi Kota Surakarta. Teknik cuplikan dengan menggunakan purposive dengan teknik snowball. Sedangkan dalam mengumpulkan data menggunakan teknik pengumpulan data observasi berperan pasif dan wawancara mendalam (indepth interviewing). Triangulasi data dan triangulasi metode digunakan dalam teknik validitas data. Untuk teknik analisis data menggunakan teknik interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data (collecting data), reduksi data (reduction), sajian data (display), dan penarikan kesimpulan/verifikasi data. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa 1) latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota; (a) faktor pendorong (berasal dari daerah asal); ketidakberdayaan kuli gendong, minimnya keterampilan yang dimiliki , tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal), (b) faktor penarik (daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani), (c) faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses), (d) faktor nilai (nilai kemanusiaan dan perjuangan hidup), 2) eksistensi kuli gendong sebagai; (a) orang tua, (b) anggota masyarakat, (c) anggota SPTI, 3) pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong di pasar Legi; (a) penghasilan sebagai kuli gendong ratarata mereka mendapatkan penghasilan penghasilan bersih sekitar Rp 29.000,hingga Rp 39.000,- untuk kuli gendong laki-laki setiap harinya. Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan bersih setiap hari Rp 9.000,- hingga Rp 24.000,- (b) pemanfaatan penghasilan, digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian, biaya menyekolahkan anak, biaya transportasi, tempat tinggal atau rumah.
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
WAHYU SARWONO PUTRO. K8407050. CARRYING PORTERS OF LEGI MARKET (Case Study Of Porters Carrying as Informal Sector In Legi Market of Surakarta City) Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, July 2011. This study aims: (1) to learn why people become carrying porters in the market Legi selected as one of the livelihood for the people, (2) to determine the existence of carrying porters as a parent, a member of SPTI, and community members, (3) to knows the use of income derived from the work of carrying porters in Legi market. This study uses qualitative methods explanative with a single case study strategy. Sources of data in this study are: (1) informants; chairman and members of SPTI, (2) places and events in the market Legi Surakarta city. Sample thecnique by using purposive and by snowball. While collecting data using observation data collection techniques play a passive role and in-depth interviews. Triangulation of data and triangulation methods used in data validation techniques. For data analysis techniques using interactive techniques that include four components, namely data collection, data reduction, data presentation (display), and drawing conclusions / verification data. Based on this research can be concluded that 1) the background of the people to be porters carrying who are all factors which affects people migrating into the city (a) the push factors (pushed from the come from area); carrying porters powerlessness, lack of skills possessed, the lack of jobs in the village (area of origin), (b) pull factors (destination); work that is not binding and hopefull larger income than the original work (factory workers or farm laborers), (c) facilities factors (transportation is easily accessible), 2) the existence of porters carrying as: (a) parents, (b) members community, (c) a member of SPTI, 3) use of income derived from work in the market porters carrying Legi (a) income as carrying porters on average they netto income of Rp 29.000,- until Rp 39.000,/day, for male porters carry every day. As for the carrying poter the women have an average netto income of Rp 9.000,- until Rp 24.000,- /day, (b) use of income, used to meet the needs of daily living such as eating and drinking every day, to buy clothes, the cost of sending children to school, transportation, shelter or home.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Q.S. Al-Am Nasyrah: 9)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar Ra’adu: 11)
Dimana ada kemauan, disitu ada jalan (Anonim)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur, cinta, bakti, dan terima kasihku teruntuk: 1. Allah SWT atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan pada hamba. 2. Bapakku Sukimin dan Ibuku Sarjinem tercinta, yang selalu memberi doa dan kasih sayang untukku menikmati hidup. 3. Bapak-ibu dosen Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS atas bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada peneliti selama di bangku kuliah.. 4. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, almamaterku tercinta.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN ..............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................
iii
ABSTRAK ……………………………………………………………..
iv
ABSTRACT ……..……………………………………………………..
v
MOTTO ………………………………………………………………..
vi
PERSEMBAHAN ……………………………………………………...
vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………..
viii
KATA PENGANTAR …………………………………………………
xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………..
xv
I.
II.
PENDAHULUAN ……………………………………………..
1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………
1
B. Perumusan Masalah ………………………………………..
7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………......
7
D. Manfaat Penelitian………….……………………………….
8
LANDASAN TEORI ………………………………………….
9
A. Tinjauan Pustaka ……………………………………………
9
1. Konsep Kebudayaan …………………………………….
9
a) Pengertian Kebudayaan ……………………………..
9
b) Wujud Kebudayaan …………………………………
11
c) Unsur-unsur Kebudayaan …………………………..
13
2. Konsep Mata Pencaharian ………………………………
15
a) Pengertian Mata Pencaharian ……..……………….. commit to user b) Jenis Mata Pencaharian ……………………………..
15
viii
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Konsep Sektor Informal …………………………………
18
a) Pengertian Sektor Informal …...…………………….
18
b) Ciri-ciri Sektor Informal ……………………………
19
c) Bidang-bidang Sektor Informal …………………….
22
d) Munculnya Sektor Informal di Kota ………………..
24
4. Kuli Gendong di Pasar Legi sebagai Sektor Informal ………………………………………….
26
a. Pengertian Kuli Gendong …………………………..
27
b. Kuli Gendong Merupakan Kegiatan
III.
IV.
Sektor Informal …………………………………….
27
c. Migrasi ke Kota Menjadi Kuli Gendong …………...
29
B. Hasil Penelitian yang Relevan ………………………………
33
C. Kerangka Berpikir ………………………………………......
35
METODE PENELITIAN ……………………………………….
38
A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………
38
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ……………………………....
39
C. Sumber Data ………………………………………………..
41
D. Teknik Cuplikan .....................………………………………
43
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………….....
44
F. Validitas Data …………………………………………….....
46
G. Analisis Data ……………………………………………......
47
H. Prosedur Penelitian ………………………………………….
49
HASIL PENELITIAN ………………………………………….
50
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ………………………………...
50
1. Gambaran Umum Pasar Legi ………………………….
50
2. Gambaran Umum Kuli Gendong di Pasar Legi ……….
53
3. Gambaran Umum Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Pasar Legi ………………………………... commit to user
ix
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Deskripsi Hasil Penelitian …………………………………..
57
1. Latar Belakang Orang-orang Menjadi Kuli Gendong …. 59 2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang Tua, Anggota asyarakat, dan Anggota SPTI ………………..
64
3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli Gendong Pasar Legi ………………………..
68
C. Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Teori ……………………………………………….
71
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN …………………….
85
A. Simpulan …………………………………………………..
85
B. Implikasi …………………………………………………..
90
C. Saran ……………………………………………………….
91
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
92
LAMPIRAN …………………………………………………………....
94
V.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan
rahmat
dan
hidayah-Nya
sehingga
peneliti
dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan di lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menghadapi banyak hambatan. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, maka hambatan-hambatan tersebut dapat peneliti atasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, peneliti menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta, 3. Drs. M. H. Sukarno, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Drs. Basuki Haryono, M.Pd, Pembimbing I yang telah memberikan semangat, bimbingan, dorongan, pengarahan, dan saran-saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd., Pembimbing II yang telah memberikan semangat, bimbingan, dorongan, pengarahan dan saran-saran dalam penulisan skripsi ini. 6. Dra. Siti Chotidjah, M.Pd., pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan dalam menyelesaikan kewajiban akademis. 7. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Soiologi Antropologi FKIP UNS yang selama ini telah membimbing dan memberikan ilmu dan pengethuan kepada peneliti selama di bangku kuliah. commit to unit userPasar Legi atas bantuannya. 8. Bapak Wagiman selaku Ketua SPTI
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Ayah dan Ibun tercinta, terima kasih atas bimbingan, do’a dan dukungannya selama ini. 10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih tak terhingga peneliti ucapkan, atas segala kebaikan, dukungan, dan doa pada peneliti, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan. Peneliti berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta bagi yang berkepentingan. Disamping itu peneliti juga mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini.
Surakarta, Juli 2011 Peneliti
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel.1. Waktu Penelitian ……………………………………………....... 38
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan daerah tujuan serta rintangam ………………………………………. Gambar 2. Skema Kerangka Berfikir ……………………………………
30 35
Gambar 3. Model Analisis Interaktif ……………………………………. 48 Gambar 4. Keadaan pasar Legi Nampak depan samping ……………….. 51 Gambar 5. Kuli gendong sedang bekerja …………………………………. Gambar 6. Kartu Tanda Anggota (KTA) SPTI ………………………….
54
Gambar 7. Kantor SPTI unit pasar Legi …………………………………. 55 Gambar 8. Ketua SPTI menunjukkan seragam anggota SPTI …………... 70
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
1. Field note …………………………………………………………… 95 2. Interview Guide …………………………………………………….. 120 3. Denah Gedung Pasar Legi ………………………………………….. 123 4. Peta Lokasi Pasar Legi ……………………………………………… 124 5. Foto kegiatan penelitian …………………………………………….. 125 6. Surat ijin menyusun skripsi kepada PD I ……………………………. 126 7. Surat ijin menyusun skripsi kepada Rektor UNS ……………………. 127 8. SK Dekan FKIP tentang Ijin Penyusunan Skripsi …………………… 128 9. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Dinas Pasar Kota Surakarta …... 129 10. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Kepala Pasal Legi …………….. 130 11. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Ketua SPTI Pasar Legi ………... 131 12. Daftar kelompok kerja kuli gendong pasar Legi …………………....
132
13. Surat keterangan penelitian dar SPTI Pasar Legi ………………….... 133
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KULI GENDONG PASAR LEGI (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Surakarta Jawa Tengah)
SKRIPSI Oleh: WAHYU SARWONO PUTRO NIM K8407050
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki karakteristik tertentu untuk mendefinisikan tingkat ekonomi mereka. Perekonomian pada mayoritas negara berkembang bahkan dibeberapa negara maju dicirikan dari tingginya pertumbuhan penduduk dan banyaknya penduduk yang bekerja di sektor informal, melimpahnya sumber daya alam dan kurangnya modal, industri skala kecil, penggunaan teknologi sederhana, dan lain sebagainya. Sementara itu negara maju diidentikkan dengan kurangnya sumber daya alam, banyaknya ketersediaan modal, industri skala besar, penggunaan teknologi tinggi dalam kegiatannya. Negara berkembang termasuk Indonesia memiliki banyak karakteristik yang menunjukkan tingkat perekonomiannya. Kehidupan sosial ekonomi dibeberapa daerah di Indonesia pada dewasa ini telah mengalami perubahan. Salah satunya ditandai dengan semakin beragam serta banyaknya aktivitas ekonomi baik di sektor formal maupun sektor informal. Salah satu jenis pekerjaan yang banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia adalah sektor informal. Banyaknya keberadaan sektor informal ini didorong oleh tingkat urbanisasi yang cukup tinggi di perkotaan sehingga membuat sektor informal menjadi salah satu pilihan pekerjaan. Baik sektor formal dan informal sama-sama mendukung pertumbuhan perekonomian dalam suatu daerah bahkan dalam suatu negara. Kedua sektor tersebut memiliki peran masing-masing dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Sektor formal dikuasai oleh kapital dimana usahanya teratur, berbadan hukum (ijin usaha), dan ter-audit. Sementara sektor informal lebih bersifat fleksibel, bebas, tanpa ikatan yang tegas, serta lebih merambah sebagian besar kalangan masyarakat, baik marginal maupun urban. Menurut Keith Hart dalam Manning dan Effendi (1996: 78), “Perbedaan commitantara to usersektor formal dan informal pada kesempatan memperoleh penghasilan
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
pokoknya didasarkan atas perbedaan pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri”. Sektor informal yang muncul tidak berdasarkan struktur permintaan yang efektif dan produktif, akan tetapi muncul karena tidak seimbangnya struktur kapitalisme pada saat ini. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi individu - individu tingkat bawah seperti pedagang kecil, industri mikro dan sebagainya dilakukan dalam upaya untuk menegakkan sistem ekonomi yang berlandaskan kerakyatan, kemartabatan dan kemandirian. Sistem perekonomian yang diharapkan dapat membawa perkembangan kehidupan yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan para masyarakat. Sistem perekonomian yang diharapkan berpihak pada rakyat justru terkadang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dalam hal ini adalah masyarakat lapisan bawah terutama para pedagang, petani, dan kuli. Harga-harga kebutuhan pokok yang semakin lama semakin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat terutama rakyat kecil. Mulai dari harga sembako yang melonjak, BBM, listrik, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Belum lagi biaya air PDAM pun tak luput dari kenaikan tarif bagi masyarakat perkotaan. Sama halnya yang terjadi di kota Surakarta (juga disebut kota Solo atau Sala) adalah nama salah satu kota di provinsi Jawa Tengah Indonesia. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi dan Indah. Selain itu Solo juga memiliki slogan pariwisata “Solo the Spirit of Java” yang diharapkan bisa membangun pandangan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Keramahan dan kesopan santunan warganya menjadi pelengkap citra bahwa Surakarta merupakan kota yang berbudaya tinggi. Selain dalam hal budaya, sisi lain yang menarik adalah perekonomian dimana banyak terdapat pasar-pasar sentral yang berada di wilayah Kota Surakarta, diantaranya yaitu; pasar Klewer yang merupakan pusat tekstil dan batik, pasar Kembang yang merupakan pusat bunga hias dan bunga rangkai, pasar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
Gedhe yang merupakan pusat alat dan bahan kebutuhan sehari-hari, dan pasar Legi yang merupakan pusat penjualan dan pembelian hasil bumi. Sebelum berbicara mengenai pasar yang ada di Kota Surakarta lebih lanjut, kita berbicara terlebih dahulu apa itu pasar. Menurut Everes dan Korff terjemahan Zulfahmi (2002: 217) “pasar merupakan memperjual-belikan barangbarang dan tempat produksi serta memproduksi makna dan sekaligus menjadi simbol kehidupan urban”. Dalam pengertian ini, pasar selain memilki peran utama sebagai sarana jual beli atau tempat memperjual-belikan barang-barang sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat sehari-hari, baik kebutuhan pangan, sandang, peralatan, perlengkapan rumah tangga, dan lain sebagainya. Pasar juga merupakan penciptaan makna dan simbol kehidupan urban, maksudnya bahwa pasar dengan adanya pasar dapat menandakan dan mempresentasikan kehidupan urban yang lekat dengan aktifitas ekonomi yang kompleks, dan pola konsumsi masyarakat perkotaan. Sebagaimana pusat konsumsi kolektif memproduksi barang atau jasa tidak secara individual, melainkan secara kolektif sehingga apabila sebuah kota sudah tergolong ke dalam kota yang kapitalistik, maka akan sering terjadi konflik - konflik akibat perebutan konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di lapisan bawah masyarakat perkotaan, mereka melakukan konsumsi kolektifnya dalam sektor informal, konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas untuk perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan dan barangbarang lain untuk konsusmsi langsung. Kondisi demikian merupakan tipe ekonomi bazar yang identik dengan tipikal ekonomi informal. Berbeda di masyarakat rural, sebagian besar mencukupi kebutuhannya dengan produksi sendiri dan subsisten. Namun tidak sedikit pula di daerah tersebut sudah berdiri pasar-pasar meskipun tidak permanen. Pasar merupakan pusat pertemuan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, baik pedagang pembeli berekumpul dalam satu tempat. Di pasar merupakan tempat bertemunya segala lapisan masyarakat, di mana para petani menjual hasil taninya ke pasar dan tengkulak membeli dagangan maupun sebaliknya untuk segala macam komoditi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
maupun kebutuhan, sesama pedagang, sampai perangkat pemerintah setempat. Hal yang demikian merupakan salah satu sektor informal di masyarakat. Damsar (2002: 83), “pasar merupakan salah satu lembaga yang paling penting dalam institusi ekonomi. Di dalam pasar banyak terdapat fenomena ekonomi. Fenomena itu tercermin dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh para pedagang dan pembeli serta para tenaga kerja di dalamnya”. Pasar selain merupakan salah satu lembaga yang penting dalam institusi ekonomi, juga menyatakan bahwa pasar juga terdapat banyak fenomena ekonomi. Banyak terjadi kegiatan ekonomi yang merupakan fenomena ekonomi yang dapat ditemukan di pasar, pembelian, penjualan, tawar-menawar harga, serta karyawan yang bekerja dalam pasar, kuli gendong yang bekerja menawarkan jasa angkut barang dagangan, atau bahkan tukang becak menawarkan jasa dan bersiap di depan pintu pasar. Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang
dagangan pedagang atau pembelian oleh
pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah - rempah, dan sebagainya. Hal ini terjadi setiap hari di pasar Legi. Pasar Legi merupakan sebuah pasar yang merupakan pusat perdagangan hasil bumi. Pasar Legi berada di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan Stabelaan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Pasar Legi dibatasi oleh stasiun kereta api Solo Balapan di sebelah utara, samping barat kantor penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, sebelah selatan keraton Mangkunegaran, dan sebelah timur kompleks pertokoan Widuran dan monument Juang 45 atau monument Banjarsari. Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu to user untuk beristirahat. Bekerja kerascommit berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). Pekerjaan sebagai kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal, yang terkoordinasi, karena dengan adanya organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) yang mengkoordinasi kuli-kuli gendong tersebut. Koordinasi yang dimaksud meliputi
pembagaian wilayah maupun lokasi kerja di pasar,
penyediaan Kartu Tanda Anggota (KTA) kuli gendong pasar Legi, penyediaan kaos atribut bagi kuli gendong yang tertera nama dan bagian wilayah kerja masing-masing, dan
melakukan penarikan iuran kepada tiap kuli gendong
perbulan. Namun bagi kuli gendong laki-laki masih ditambah lagi biaya untuk membeli keanggotaan bagi kuli gendong yang ingin berhenti hingga puluhan juta rupiah. Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan. Bila kita melihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan. Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang yang telah bekerja sebagai kuli gendong untuk berusaha mendapatkan pekerjaan user menjadi karyawan. Dilihat dari yang lebih baik dan penghasilancommit rutin to karena
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendidikan, tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar Legi. Berbicara mengenai penghasilan, sebagai kuli gendong memiliki penghasilan yang sah. Menurut Keith Hart dalam Manning dan Effendi (1996: 79) “kesempatan memperoleh penghasilan yang sah terdiri atas; a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder; pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain. b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar; perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain. c. Distribusi kecil-kecilan; pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain. d. Transaksi pribadi; pinjam-meminjam, pengemis. e. Jasa yang lain; pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan lain-lain. Dari pendapat Hart di atas dapat diketahui bahwa penghasilan dari kuli gendong termasuk ke dalam penghasilan jasa, dimana kuli gendong menjual jasa gendong mereka kepada orang lain di pasar. Ketidakberdayaan
kuli
gendong
dalam
hal
pendidikan
ini
dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Dengan menjadi kuli gendonglah mereka dapat menyambung hidup baik bagi dirinya maupun menghidupi keluarganya. Kehidupan yang dijalani sebagai kuli panggul diharapkan tidak terjadi pada anak-anak mereka. Oleh sebab itu sebagai orangtua, mereka menyekolahkan anak-anak mereka dan memotivasi mereka untuk giat belajar agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orangtua mereka. Dengan demikian para orangtua yang bekerja sebagai kuli gendong memperhatikan masa depan anaknya commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan menyekolahkan anak-anak mereka agar tidak menjadi seperti orang tuanya, dengan harapan memilki kehidupan yang lebih baik.. Meskipun setiap hari mereka harus lebih bekerja lebih keras lagi, dan rela bermukim di kompleks pasar Legi setiap hari, selainitu juga menjalin hubungan baik dengan sesama kuli gendong, kordinator SPTI, petugas pasar, pedagang, dan pembeli di pasar. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai kuli gendong Pasar Legi dalam sebuah penelitian yang berjudul
“Kuli Gendong Pasar Legi (Studi Kasus Kuli Gendong Sektor
Informal di Pasar Legi Kota Surakarta)”
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu mata pencaharian bagi masyarakat?
2. Bagaimana eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan anggota masyarakat? 3. Bagaimana pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui alasan orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu matapencaharian bagi masyarakat.
2. Untuk mengetahui eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan anggota masyarakat?. 3. Untuk mengetahui pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi. commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata pelajaran Sosiologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 1.3 Menganalisis struktur sosial dengan mobilitas sosial. b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata pelajaran Antropologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 2. Menganalisis unsur-unsur proses dinamika dan pewarisan budaya dalam rangka integrasi nasional, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 2.1 Mendeskripsikan
unsur-unsur
budaya,
dan
2.2
Mendeskripsikan
hubungan antara unsur-unsur kebudayaan. c. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan dan menambah wawasan, pengalaman, referensi, dan pengetahuan bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya dalam kaitannya Sosiologi Ekonomi. d. Mampu mendorong adanya penelitian sejenis serta bisa digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat.
2. Manfaat Praktis a. Penelitian diharapkan dapat memberikan acuan kepada Pemerintah Kota Surakarta dalam pengelolaan pasar dan
kuli gendong di pasar Legi
Surakarta. b. Dapat memberikan gambaran terkait mengenai sektor informal dan kehidupan kuli panggul di pasar Legi Kota Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka Penelitian yang akan dilaksanakan bertujuan untuk menerangkan fenomena sosial yang dijadikan pusat penelitian, untuk menerangkan fenomena tersebut perlu mengkaji pustaka. Dari pustaka terdapat konsep dan teori yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi peneliti untuk mengungkapkan permasalahan dan mencoba menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Adapun fungsi utama dalam pemilihan teori yang tepat adalah memberi landasan dan acuan agar peneliti tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga peneliti mendapat penjelasan tentang fenomena yang diangkat, dapat melakukan analisis data dan prediksi kesimpulan. Adapun konsep dan teori yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan adalah sebagai berikut; 1. Konsep Kebudayaan Manusia merupakan makhluk yang diciptakan memiliki cipta, rasa, dan karsa sehingga menjadi makhluk yang sempurna ciptaan Allah SWT. Dengan hal tersebut menjadikan manusia lebih dibandingkan makhluk yang lain. Dengan kelebihan inilah manusia merupakan makhluk yang beradab. Berbicara mengenai manusia, tidak terlepas pula kita berbicara mengenai kebudayaan. Di kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan tentang kebudayaan. Di dalam kehidupan sehari-hari orang tidak akan mungkin tidak berurusan
dengan
hasil-hasil
kebudayaan.
Setiap
orang
yang
melihat,
mempergunakan, dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan. Namun apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu sendiri, berikut penjelasannya; a. Pengertian Kebudayaan Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luas seolah - olah tidak ada batasannya. Dengan demikian sukar sekali untuk mendapatkan batasan commit to user atau definisi yang tegas dan untuk mendapatkan pembatasan pengertian
9
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan. Dua antropolog terkemuka yaitu Merville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam Soekanto (2002: 171), mengemukakan bahwa Cultural Determination berarti segala sesuatu terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Kemudian Herskovits mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan superorganic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus. Walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Menurut Soerjono Soekanto (2002: 172), kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Adapun istilah “culture” yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin “colere”. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu “colere” kemudian “culture”, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Seorang antropolog lain, yaitu E.B.Tylor (1871) dalam Soekanto (2002: 172) pernah mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya); “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Dengan kata lain kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. commit to yang user dipelajari dari pola-pola perilaku Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, akan sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan seperti rumah, sandang, jalan, alat komunikasi dan sebagainya. Seorang sosiolog mau tidak mau harus menaruh perhatian juga pada hal tersebut. akan tetapi dia juga akan memperhatikan perilaku sosial, yaitu pola-pola perilaku yang membentuk struktur sosial masyarakat. Jelas bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh peralatan yang dihasilkannya serta ilmu pengetahuan yang dimilki atau didapatkannya. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (2002: 173) merumuskan bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kebudayaan merupakan apa yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berupa semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat yaitu yang kompleks, mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
b. Wujud Kebudayaan Kebudayaan bukan hanya sesuatu yang kasat mata, yang berupa bahasa, adat-istiadat, alat-alat, maupun bangunan yang menjadi bukti suatu peradaban, namun juga bewujud ide, gagasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1987: 2) yang menyatakan bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu; 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratruran, dan sebagainya, 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3) Wujud kebudayaan sebagai commit to userbenda-benda hasil karya manusia (artifact).
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
Dari pendapat di atas dapat dijelaskan betuk-bentuk atau wujud kebudayaan; 1) kebudayaan yang berwujud ide. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, berada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Jika warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka itu dalam tulisan, maka kebudayaan ide sering berada dalam karangan, buku-buku hasil karya para penulis warga yang bersangkutan. Sekarang ini kebudayaan ide juga dapat tersimpan dalam tape recorder, arsip, kartu memori (memory card), recorder digital, dan lain sebagianya. Kebudayaan ide ini dapat kita sebut adat, tata kelakuan, atau secara singkat dalam arti khusus atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan ide itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada tingkah laku dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu, secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak misalnya sistem nilai budaya. Lapisan yang kedua, yaitu sistem norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktifitas aktifitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (misal; sopan-santun), merupakan lapisan adatistiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya. 2) kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. sistem sosial ini berisi tentang aktifitas-aktifitas individu-individu yang berinteraksi (berhubungan antara satu dengan yang lain dalam kurun waktu tertentu yang mengikuti pola-pola tertentu menurut adat tata kelakuan). Sebagai rangkaian dalam suatu aktifitas individu-individu dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. 3) kebudayaan fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas, perbuatan, dan karya commit to user maka sifatnya paling konkret, individu-individu dalam sauatu masyarakat,
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Berbentuk benda-benda yang amat besar seperti pabrik, stasiun; ada bendabenda yang amat kompleks seperti suatu computer berkapasitas tinggi: atau benda-benda besar dan bergerak seperti bus, pesawat: ada benda yang besar dan indah seperti masjid, candi; atau pula benda-benda kecil seperti kain batik; atau yang lebih kecil lagi kancing baju batik. Ketiga wujud kebudayaan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari
tentu tidak terpisah antara satu sama lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya. Dalam hal ini kegiatan sebagai kuli gendong termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari individu-individu yang berada di dalam pasar Legi. Dalam hal ini tentang aktifitas-aktifitas individu-individu sebagai kuli gendong yang berinteraksi baik sesama kuli gendong, koordinator SPTI, pedagang, pembeli di pasar, maupun keluarga dan masyarakat tempat asal mereka.
c. Unsur-Unsur Kebudayaan Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala
kaidah-
kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup di masyarakat dan antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu commit to usermaupun yang telah disusun untuk pengetahuan. Cipta merupakan teori murni,
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
langsung diamalakan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula ke budayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagaian besar atau seluruh masyarakat. Kebudayaan setiap masyarakat itu sendiri terbentuk oleh beberapa unsur-unsur yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang bersifat sebagai satu kesatuan. Beberapa unsur kebudayaan diklasifikasikan ke dalam unsurunsur pokok atau besar kebudayaan yang lazim disebut dengan cultural universal, yang merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun di dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks. C. Khluchon dalam Soekanto (2002: 176) dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture, dimana berisi inti pendapat para sarjana dalam karyanya menunjuk tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu; 1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia, 2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, 3. sistem kemasyarakatan, 4. bahasa (lisan maupun tertulis) 5. kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya) 6. sistem pengetahuan, 7. religi (kepercayaan). Unsur-unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur-unsurnya (unsur-unsur yang lebih kecil). Unsur yang pertama yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia, hal ini dapat dijabarkan lagi menjadi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat tansportasi dan lain sebagainya. Yang kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi dijabarkan lagi menjadi pertanian, peternakan, buruh/kuli, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya. Unsur yang ketiga sistem kemasyarakatan dapat dikerucutkan lagi menjadi sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Unsur yang keempat adalah bahasa baik berupa lisan maupun tertulis, setiap masyarakat baik dalam suku, bangsa, maupun negara memiliki sistem bahasa yang dimiliki oleh masing-masing, dan dengan bahasa mereka dapat berkomunikasi antara individu satu dengan yang lain, kelompok masyarakat satu dengan yang lain, disini bahasa berguna sebagai pengantar komunikasi. Selanjutnya unsur yang kelima adalah kesenian, unsur ini menyangkut tentang keindahan, dimana kesenian dapat dijabarkan lagi menjadi unsur seni yang lain, berupa seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya. Selain
kesenian, suatu kebudayaan dapat diperkuat dengan
unsur sistem pengetahuan, dimana dengan unsur ini dapat digunakan sebagai tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Dan unsur yang terakhir adalah religi atau sistem kepercayaan, dalam unsur ini masyarakat dari kebudayaan yang bersangkutan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan besar yang menciptakan dan mengatur, baik kepercayaan animisme, dinamisme, maupun agama yang mempercayai adanya tuhan. Demikian tujuh unsur kebudayaan universal memang mencakup kebudayaan manusia secara keseluruhan. Kemudian jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan di atas, manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, usaha manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan.
2. Konsep Mata Pencaharian a. Pengertian Mata Pencaharian Untuk mencukupi kebutuhan agar dapat bertahan hidup, manusia akan berusaha untuk mendapatkan pemenuh kebutuhan, salah satunya dengan memiliki mata pencaharian, dimana mata pencaharian bisa juga dikatakan dengan
pekerjaan. Misalnya masyarakat pedesaan yang identik dengan commit to user bidang agraris, keadaan alam yang mendukung untuk menjadi petani.
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
Berbeda lagi untuk masyarakat pesisir (pantai), keadaan geografis yang menjadikan mereka nelayan untuk melaut dan mencari ikan. Dua hal tersebut di atas merupakan contoh mata pencaharian, namun secara definisi dalam arti luas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), “mata pencaharian merupakan pekerjaan atau pencaharian utama (yang dikerjakan untuk biaya hidup sehari-hari)”. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa mata pencaharian merupakan pekerjaan yang utama, sehingga jika seseorang memiliki suatu pekerjaan atau beberepa pekerjaan, yang bisa disebut mata pencaharian adalah pekerjaan yang utama. Istilah pekerjaan dalam arti sempit, digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi. Mata pencaharian merupakan hal yang sangat melekat bagi individu, terutama dalam keluarga mata pencaharian orangtua sangat berperan penting dalam kelanjutan hidup baik anggota-anggota keluarga, maupun orang tua dalam keluarga tersebut.
b. Jenis Mata Pencaharian Dari berbagai macam mata pencaharian atau pekerjaan mulai dari penyemir sepatu, tukang becak, kuli gendong, sampai pengusaha, anggota legislatif bahkan pejabat negara merupakan bagian dari macam-macam pekerjaan, namun dari banyaknya pekerjaan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu; 1) Sektor Formal Sektor formal merupakan salah satu jenis usaha yang resmi, ada ijin atau berbadan hukum, membutuhkan modal besar, memiliki aturan/tata tertib yang jelas, jumlah pekerja berpendidikan dan memilki keahlian, serta jumlah pekerja tetap dan digaji, memiliki batasan waktu kerja yang jelas, dan menggunakan teknologi dalam usahanya. Contoh pekerjaan dalam sektor formal; a) seseorang yang bekerja sebagai PNS, dimana untuk menjadi PNS seseorang dituntut memiliki jenjang commitseleksi to usermasuk yang ketat yang diadakan pendidikan tertentu, mengikuti
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
oleh dinas setempat, bekerja dengan ikatan dinas, jam dan hari kerja jelas, digaji setiap bulan lengkap lengkap dengan tunjangan dan mendapat dana pensiun jika sudah tidak bekerja, memilki tata tertib/ kode etik yang jelas, dan lain sebagainya, b) karyawan pabrik, untuk menjadi karyawan pabrik seseorang melamar di lowongan pekerjaan, melalui beberapa tes, dan membutuhkan syarat-syarat tertentu baik berupa pendidikan, pengalaman kerja di bidang-bidang tertentu dan keahlian khusus. 2) Sektor Informal Sedangkan sektor informal merupakan sektor kebalikan dari sektor formal, dimana tidak perlu ijin dalam melaksanakan kegiatan usaha, modal relatif kecil, tidak ada aturan yang jelas, tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, tanpa batasan waktu kerja yang jelas , serta tidak menggunakan terknologi ataupun menggunakan teknologi sederhana. Contoh pekerjaan dalam sektor informal: a) pedagang kaki lima, merupakan contoh sektor informal yang kerap mendapat perhatian besar karena keberadaannya terutama di kota-kota besar, tanpa perlu pendidikan tinggi untuk menjadi pedagang kakai lima, melainkan keterampilan yang di dapat dari bekerja pada orang lain, dan diterapkan untuk usaha sendiri, biasanya menempati trotoar jalan, pinggir-pinggir jalan, dengan modal tidak besar dan relatif kecil seseorang dapat menjadi pedagang kaki lima, tidak ada ijin yang kuat mengatur berdirinya pedagang kaki lima, kebanyakan pekerjanya adalah anggota keluarga sendiri dan tidak ada aturan kerja yang jelas, dan tempat bekerja (berjualan) bersifat sementara (non-permanen) hal ini dikarenakan mereka menempati tempat-tempat umum, b) kuli gendong (buruh gendong), merupakan salah satu contoh usaha sektor informal yang tanpa mempergunakan modal uang, namun menggunakan modal yang utama yaitu kekuatan atau tenaga untuk menggendong bawaan, namun jika sudah masuk dalam satu wadah paguyuban yang mengoordinasi, maka commit to user juga dikenakan iuran sosial.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Konsep Sektor Informal a. Pengertian Sektor Informal Tadjudin Noer Effendi (1995: 74) memberikan pengertian tentang sektor informal, yaitu sektor yang diartikan sebagai “pekerja yang berusaha sendiri tanpa buruh, berusaha sendiri dengan buruh tak tetap, atau dibantu tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar”. Ini memberikan definisi bahwa sektor informal merupakan suatu jenis usaha mandiri, atau usaha keluarga, tanpa adanya aturan yang tidak tetap. Dipak Mazmundar dalam Manning dan Effendi (1996: 12) memberikan definisi mengenai sektor informal, “sektor informal sebagai pasaran tenaga kerja yang tak dilindungi salah satu aspek penting perbedaan antara sektor informal dan formal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu.” Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 139), tanpa memberikan batasan ilmiah yang jelas tetapi membedakan sektor informal dan formal yang menunjuk pada suatu
sektor ekonomi
masing-masing
dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri.. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerjaan yang permanen, meliputi; 1) sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan dan terjalin dan amat terorganisir, 2) pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, 3) syarat-syarat pekerja dilindungi oleh hukum. Dari pengertian dan ciri-ciri sektor informal yang telah dijelaskan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, sektor informal adalah suatu unit usaha dengan pola kegiatan tidak teratur baik waktu, modal, maupun penerimaannya, hampir tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan dari pemerintah, modal dan pendapatan relatif kecil, peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan sangat sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus dalam menjalankan kegiatannya, dan pada umumnya satuan usaha mempekerjakan tenaga kerja yang sedikit dari lingkungannya, berhubungan commit to user denga keluarga, mudah berganti ke profesi yang lain. Selain itu sektor
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
informal merupakan unit kerja yang mampu menciptakan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan memilki daya serap tinggi bagi angkatan kerja. Sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek sosial, dan budaya. Aspek ekonomi misalnya penggunaan modal yang rendah, pendapatan yang rendah dan skala usaha yang relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan yang rendah, berasal dari kalangan ekonomi lemah. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi di luar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana, tidak terikat oleh waktu kerja. Dengan cara pandang tersebut terhadap sektor informal tentunya lebih menitikberatkan pada suatu proses yang dinamis dan bersifat kompleks.
b. Ciri-ciri Sektor Informal Sektor informal memiliki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal. Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut; 1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, 2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha, 3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja, 4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini, 5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor, 6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional, 7) modal dan putaran usaha relatif kecil, 8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja, 9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga, 10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah. Pendapat Effendi di atas telah dapat mempresentasikan pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh lain mengenai ciri-ciri sektor informal. Dari hal-hal tersebut dapat dijelaskan bahwa kegiatan sektor informal merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, misalnya pedagang kaki lima tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para pedagang kaki lima itu sendiri dalam sebuah paguyuban atau komunitas. Berbeda dengan sektor informal, misalkan PNS, ada organisasi yang konkret yang mengatur dan mengoordinasi terdapat fasilitas-fasilitas yang dapat dipergunakan, baik kantor, tempat kerja, akomodasi, alat transportasi dan lain sebagainya Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha. Jika dalam sektor informal perlu ijin dalam usahanya, contoh membuka pabrik rokok, dokter membuka praktek, dan sebagainya. Untuk usaha dalam sektor informal dilaksanakan dalam lingkup kecil, tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk di dalamnya. Dengan kata lain siapa saja dapat membuka usaha dalam sektor informal. Bahkan ada usaha dalam sektor informal yang justru melanggar hukum dan penghasilan yang tidak sah, seperti copet, penadah barang curian, lintah darat, dan lain sebagainya. Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Maksudnya adalah lokasi atau tempat yang digunakan untuk usaha tidak pasti, berpindah-pindah antara satu tempat ke tempat lain, misal pedagang keliling, dan pedagang asongan. Selain itu tidak ada rentang jam kerja yang jelas pula, kapan harus mulai kerja dan kapan harus selesai kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan commit to user situasi dan kondisi.
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan usaha sektor informal, tidak adanya “tangan panjang” dari pemerintah yang langsung berhubungan dengan usaha tersebut, dan ketiadaan data yang jelas mengenai keberadaan dari usaha sektor informal tersebut sehubungan dengan pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik lokasi maupun jam kerja, sehingga kebijakan dari pemerintah baik aturan maupun bantuan tidak sampai pada sektor ini. Dalam sektor informal, unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor. Tidak adanya batasan dan keterikatan dalam satu subsektor, karena usaha ini milik pribadi dan bebas dalam menetukan jenis usaha apa yang akan dilaksanakan. Perpindahan ini sah-sah saja dalam sector informal. Misal kegiatan primer dan sekunder seperti pertanian perkebunan yang pindah ke sektor jasa yang lain, seperti kuli gendong. Teknologi yang digunakan dalam kegiatan sektor informal bersifat tradisional. Berbeda dengan sektor formal, menggunakan teknologi yang tinggi, sophisticated (canggih), dan mahal, berupa alat-alat berat, komputerisasi, dan lain sebagainya. Untuk sektor informal dalam kegiatannya hanya menggunakan teknologi sederhana, murah, dan dapat dibuat sendiri, berupa alat-alat sederhana. Misalnya pedagang kaki lima dengan menggunakan gerobak, pedagang asongan dengan kotak atau box dagangan, kuli gendong dengan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat barang. Jika dilihat dari segi permodalan, modal dan putaran usaha dalam kegiatan sektor informal relatif kecil, karena jenis usaha juga relatif sederhana, hasil produksi hanya sanggup mencukupi kebutuhan untuk sekitar atau domestik. Sumber dana modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi, misal dari potang (Jawa), yaitu tukang kredit atau lintah darat yang setiap hari memungut angsuran dari commit to user hutang tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Cukup dengan kemauan untuk bekerja dan lama-kelamaan pengalaman serta pengetahuan tentang pekerjaannya dapat didapatkan oleh yang seseorang dalam proses ia bekerja (otodidak), misal tukang cukur dan penyemir sepatu, penjual es potong. Berbeda dengan kegiatan sektor formal yang membutuhkan pendidikan formal, bahkan sampai pendidikan yang tinggi dan disertai keterampilan atau kecakapan khusus khusus untuk bekerja dalam sekor formal, misal untuk menjadi perawat, menjadi manajer perusahaan. Suatu usaha dikatakan usaha sektor informal juga dilihat dapat dilihat bahwa pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga, ada beberapa yang juga termasuk subsisten. Sedangkan hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.
c. Bidang-bidang Sektor Informal Bidang yang ada dalam sektor informal cukup luas. Sektor ini sangat luas baik di tingkat daerah maupun di desa-desa dan daerah perkotaan. Sektor informal yang lahir diperkotaan merupakan hasil dari urbanisasi yang mana perpindahan ini untuk mencari penghasilan. Perkotaan yang persaingannya sangat ketat dan kadang tidak mendapat pekerjaan maka para urban ini membuka lapangan pekerjaan baru dalam perkotaan yaitu yang disebut sektor informal. Menurut Keith Hart dalam Manning dan Tadjudin (1996:79-80) “bidang-bidang dalam sektor informal yang ditinjau dari pendapatan yang sah dan tidak sah sebagai berikut: 1) Sektor informal dengan penghasilan sah a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan yang berorientasi ke pasar, kontraktor to user yang berhubungan dengannya, bangunancommit dan kegiatan
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit, pengusaha bir dan alkohol. b) Usaha tersier dengan modal yang relatif besar: perumahan, transportasi, usaha kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewamenyewa. c) Distribusi kecil-kecilan: pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atau komisi, dan penyalur. d) Jasa yang lain: pemusik, pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara. e) Transaksi pribadi: arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis. 2) Sektor informal dengan penghasilan tidak sah Kegiatan-kegiatan sektor informal tidak hanya yang berkategorikan kegiatan sah, namun juga adapula kegiatan yang tidak sah. Sektor kegiatan informal yang tidak sah antara lain: a) Jasa, merupakan kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya penadah barang curian, lintah darat, pedagang obat bius, pelacur, mucikari, penyelundupan, suapmenyuap, berbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan. b) Transaksi, sebagai contohnya adalah pencurian kecil, pencurian besar, pemalsuan uang dan penipuan. Berdasarkan penjelasan mengenai bidang-bidang sektor informal diatas maka,dapat disimpulkan bahwa kuli gendong pasar Legi Surakarta dapat dikategorikan sebagai kegiatan informal dengan penghasilan sah. Hal ini dapat dilahat dari jenis usaha yang dilakukan oleh para kuli gendong. Jenis kuli gendong adalah menjual jasa mereka. Kuli gendong pasar Legi dikatakan sebagai sektor informal yang berpenghasilan sah karena tidak melanggar
aturan-aturan
hukum,
atau
tidak
melakukan
mengganggu para pembeli dan pedagang di dalam pasar.
commit to user
tindakan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Munculnya Sektor Informal di Kota Tadjudin Noer Effendi (1995: 73) menyatakan bahwa “sektor informal tidak dapat keberadaannya di dalam pembangunan”. Kehadiran sektor
informal
dipandang
sebagai
gejala
transisi
dalam
proses
pembangunan di negara berkembang. Sektor informal harus dilalui dalam menuju tahapan modern, selain itu juga merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakan pembangunan. Konsep
informal
muncul
dalam
keterlibatan
pakar-pakar
internasional dalam perencanaan pembangunan dunia ketiga, gejala ini muncul setelah kelahiran negara maju dan berakhirnya perang dunia kedua. Pada waktu itu muncul gagasan di tingkat internasional maupun nasional untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang dimaksud. Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 138) menyatakan “sektor informal pertama kali diungkapkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dengan menggambarkan sektor informal senbagai bagian dari angkatan kerja yang tidak terorganisir.” Keith Hart merupakan seorang antropolog Inggris yang pertama kali menyatakan gagasan sektor informal. Meskipun sudah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun sejak gagasan mengenai sektor informal dicetuskan oleh Hart hingga kini perdebatan sektor informal masih juga belum mencapai kesepakatan. Pembahasan mengenai kegiatan-kegiatan sektor informal selama ini umumnya terfokus secara ekslusif pada konteks kontemporernya yang diantaranya membahas tingkat penghasilan pedagang, jumlah tenaga kerja, latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. Namun hanya sedikit yang membahas apa yang melatar belakangi kegiatan di sektor informal ini muncul. Sehingga peneliti merasa perlu untuk memberikan ulasan mengenai latar belakang munculnya kegiatan sektor informal ini yang dikaji beberapa ahli. Tumbuhnya sektor informal disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, perpindahan penduduk yang dapat menyebabkan semakin commit to user sempitnya peluang kerja tempat yang didatangi. Seperti yang diungkapkan
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh Rachbini dan Hamid (1994: 13), “perbedaan tingkat upah serta kesempatan kerja di desa dan di kota merupakan faktor yang menstimulasi angkatan kerja untuk pindah ke kota”. Masyarakat umumnya menganggap di kota lebih mudah untuk mencari pekerjaan dan lebih menghasilkan uang. Padahal dengan perpindahan mereka ke kota mengakibatkan semakin sempit pula lapangan pekerjaan yang ada dan pada akhirnya membuka lahan pekerjaan baru di sektor informal. Selain itu tumbuhnya sektor informal juga disebabkan kesenjangan kapasitas keahlian dan tuntutan kerja formal yang modern. Sektor formal menuntut keahlian tinggi dari pekerjanya namun hal tersebut tidak diimbangi oleh keahlian yang dimililki para angkatan kerja. Menurut Mc Gee dalam Rachbini dan Hamid (1994: 26) “Sektor informal tumbuh karena perpindahan, dan penggunaan teknologi modern yang tidak selektif, yang berarti tidak memperhitungkan manfaat sosialnya, akan menciptakan sektor informal”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan teknologi modern berarti banyak manusia yang tergantikan oleh teknologi yang berat kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Akibatnya banyak sektor informal yang tumbuh karena kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Karena sempitnya lahan pekerjaan, serta kurang dibutuhkan tenaga kerja manusia sehingga mengakibatkan munculnya
pengangguran. Faktor tumbuhnya sektor
informal juga disebabkan karena adanya pengangguran. Di sini sektor imformal berfungsi untuk mempertahankan hidup. Kota sebagai suatu pemusatan penduduk di dalam wilayah yang sempit memilki masalah fundamental dalam pemenuhan kebutuhan pokok penduduk-penduduknya, maka kota sebagai pusat konsumsi kolektif memproduksi barang atau jasa tidak secara individual, melainkan secara kolektif sehingga apabila sebuah kota sudah tergolong ke dalam kota yang kapitalistik, maka akan sering terjadi konflik-konflik akibat perebutan konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di lapisan bawah masyarakat commit to user perkotaan, mereka melakukan konsumsi kolektifnya dalam sektor informal,
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas untuk perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan dan barang-barang lain untuk konsusmsi langsung. Sektor
informal
sebagai
identitas
problematika
perkotaan
berkembang di berbagai bidang meliputi bidang industri, perdagangan, jasa, dan sebagainya. Profesi-profesi sektor informal di kota seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, kuli gendong, penyemir sepatu, pelacur, portir, pengemis, pengamen, pengemudi becak, tukang parkir, dan lain sebagainya. Mereka merupakan pedagang kecil, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil dengan pendapatan yang relatif rendah dan tidak tetap. Keberadaan sektor ekonomi informal di perkotaan sangat mudah dijumpai dan dikenali di trotoar-trotoar, alun-alun kota, dan dekat pusat keramaian kota serta ruang-ruang publik di perkotaan. Keberadan pedagang sektor informal ini muncul dan berkembang karena memangg kehadiran mereka merupakan sebuah response atas kondisi yang ada. Pedagang sektor informal merupakan sebuah pilihan dari ketidakberdayaan akan kondisi ini kemunculannya bahkan tidak dikehendaki oleh pelakunya sendiri itu. Saat ini jumlah pekerjaan informal menggelembung sedemikian besar bahkan hampir menyamai jumlah mereka yang bekerja di sektor formal.
4. Kuli Gendong sebagai Kegiatan Sektor Informal Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang
dagangan pedagang atau pembelian oleh
pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah -rempah, dan sebagainya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
a. Pengertian Kuli Gendong Secara umum kuli adalah orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya atau buruh kasar yang menerima upah dari jasa mengangkut barang (www.wikipedia.com). Pekerjaan ini dilakukan oleh lakilaki dan perempuan. Untuk kuli perempuan sering disebut dengan kuli gendong, sedangkan untuk kuli laki- laki sering disebut kuli panggul. Kuli adalah sebuah profesi yang bergerak di bidang jasa (www.kbbi.com). Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk mengganti kata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal. Pengertian tenaga kerja mempunyai makna yang sangat luas yang bersifat umum dan terkadang rancu dengan istilah angkatan kerja. Buruh saat ini identik dengan pekerja level bawah. Orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya atau pekerja kasar (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain).
b. Kuli Gendong Merupakan kegiatan sektor informal Pekerjaan sebagai kuli gendong Pasar Legi memenuhi ciri-ciri daripada sektor informal Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut; 1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, 2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha, 3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja, 4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini, 5) unit usaha mudahcommit keluar masuk to userdari subsektor ke lain subsektor, 6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
7) modal dan putaran usaha relatif kecil, 8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja, 9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga, 10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi, 11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah. Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut; 1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan
usaha tidak
terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa menggunakan teknologi tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak commit to userbesar bagi kuli gendong, cukup mempergunakan modal finansial yang
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.
c. Migrasi ke kota menjadi kuli gendong Secara
sederhana
migrasi
didefenisikan
sebagai
aktivitas
perpindahan. Sedangkan secara formal, migrasi didefenisikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain yang melampaui batas politik/ negara ataupun batas administrasi/batas bagian suatu negara. Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi internasional (migrasi internasional). Sedangkan migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi dalam batas wilayah suatu negara, baik antar daerah ataupun antar propinsi. Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk. Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi keluar (www.depnaker.go.id). Orang-orang rela ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah. commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi
kuli
gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi), tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi. Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal 2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan 3. Rintangan-rintangan yang menghambat 4. Faktor-faktor pribadi Faktor-faktor 1,2 dan 3, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1
o+ o - + o-+-o+-o +-o-o-o - o-+o-
Daerah Asal
Rintangan
+o+-o++o-+-o+ o-+o+-o +o+-o
Daerah Tujuan
Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di Daerah Asal dan Daerah Tujuan serta Rintangan
Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (+), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (-). Selain itu ada pula faktorfaktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (o). Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri. Jika dikaitkan dengan migrasi penduduk ke kota Surakarta yang commit to user menjadi kuli gendong di pasar Legi, ada beberapa hal yang mempengaruhi
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kenapa masyarakat berpindah ke pasar Legi kota Surakarta yang menjadi kuli gendong. Faktor-faktor tersebut adalah; 1) Faktor pendorong (daerah asal) Dalam setiap kegiatan manusia maka akan selalu diiringi dengan dorongan atau motif yang mendasari mereka melakukan kegiatan tersebut. Dorongan atau motif ini akan sangat dipengaruhi beberapa faktor pendorong (push factor), misalalnya adalah aspek ekonomi, sosial, bahkan aspek psikologis. Rendahnya upah tenaga kerja di sektor pertaian dan semakin langkanya lahan-lahan pertanian di pedesaan, maka banyak tenaga kerja yang memelih alternatif lain untuk urbanisasi dan bekerja di sektor non pertanian. Dari proporsi tenaga kerja yang mencari nafkah di berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi, ternyata dari tahun ke tahun penyediaan kesempatan kerja sektor pertanian semakin menurun, sedangkan pada sektor non pertanian menunjukkan kenaikan. Dipak Mazumdar dalam Manning dan Efendi (1996: 113) menjelaskan mengenai faktor dominan yang menjadi pendorong seseorang memasuki sektor informal perkotaan adalah faktor ekonomi. Dorongan dalam faktor ini meliputi 3 hal yaitu: a) adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota b) imbas dari terpusat dan terkonsentrasinya pembangunan yakni menimbulkan kemiskinan di desa. c) perubahan persepsi angkatan kerja yang ada di desa. Adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Sehingga berbagai sumber-sumber skonomi dan sasaran perekonomian terpusat dan terkonsentrasi di kota dibandingkan di desa. Imbas dari terpusat dan terkonsentrasinya pembangunan yakni menimbulkan kemiskinan di desa. Sehingga pembangunan perekonomian di desa kurang diperhatikan menjadikan lapangan pekerjaan tidak dapat menutup jumlah angkatan kerja yang ada di desa. Oleh karena itu mereka melakukan urbanisasi ke kota-kota besar dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan. Perubahan commit to user persepsi angkatan kerja yang ada di desa. Adanya perubahan persepsi,
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
motivasi, dan sikap terhadap sektor pertanian yang ada di desa. Mereka menganggap bahwa pekerjaan di sektor pertanian kurang begitu menjanjikan sehingga mereka cenderung memilai pekerjaan non pertanian, salah satunya adalah pekerjaan di sektor informal. 2) Faktor penarik (daerah tujuan) Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor). Yaitu hal-hal yang menjadi daya tarik kepada calon pendatang untuk datang ke tempat tujuan. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti; a) adanya anggapan orang desa bawah di kota banyak pekerjaan dan penghasilan yang besar, b) di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan, industri, dan usaha lain, c) peredaran uang di kota lebih cepat dan lebih besar, d) sarana pendidikan di kota lebih banyak dan mudah didapat, e) kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan bakat, f) kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan tempat pergaulan dengan segala lapisan masyarakat. 3) Faktor fasilitas yang mendukung Adanya fasilitas-fasilitas yang mendukung perpindahan masyarakat dari daerah asal para kuli gendong ke daerah tujuan yaitu pasar Legi kota Surakarta. Faktor-fakltor tersebuta antara lain; a) lowongan kerja banyak, b) pelayanan masyarakat yang lengkap, seperti kesehatan, keamanan, dan sebagainya,
c)
transportasi
yang
lengkap
dan
mudah
diakses,
mempermudah masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, d) komunikasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang canggih. 4) Faktor nilai Merupakan faktor yang berupa nilai-nilai yang menjadi dorongan dalam bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai kuli gendong pasar Legi sebagai sektor informal memilki banyak kaitan terhadap penelitian-penelitian lain yang relevan mengenai kuli gendong maupun studi kasus mengenai sektor informal. Salah satunya adalah penelitian dari Heni, 2010, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul penelitian “PERAN KULI PANGGUL DI PASAR KLEWER SURAKARTA DALAM PENDIDIKAN FORMAL ANAK TINGKAT SMA”. Penelitian ini berusaha mengungkapkan peranan kuli panggul sebagai orang tua (ayah ibu) bagi anak-anaknya dalam pendidikan formal anak-anaknya pada taraf SMA. Dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa para kuli panggul di Pasar Klewer ini sudah bernaung dalam suatu paguyupan. Penghasilan setiap hari mungkin kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi kalau sudah memiliki anak yang bersekolah. Dengan upah yang tidak terlalu bisa mencukupi semua kebutuhan hidup, orang tua pasti akan berjuang keras untuk memberikan apapun yang terbaik untuk anaknya. Oleh karena itu peran keluarga terutama orang tua (ayah dan ibu) mempunyai arti yang sangat penting terutama dalam pendidikan anak. Karena keluarga merupakan guru atau contoh yang nantinya bakal ditiru oleh anakanaknya kelak, selain keluarga lingkungan juga ikut berperan. Mungkin kalau masih usia anak-anak tidak terlalu berpengaruh akan tetapi jika sudah usia remaja dan dewasa sudah lain ceritanya. Tidak ada orang tua yang mau anaknya bernasib sama dengan dirinya. Orang tua menginginkan anaknya bisa bersekolah setinggitinginya agar dapat meraih mimpi atau cita-cita yang diharapkan. Ayah dan ibu berkewajiban untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anaknya, namun pendidikan di rumah biasanya dibebankan pada ibu karena lebih berperan penting dalam mengasuh anak disbanding dengan ayah. Tetapi pendidikan adalah tanggung jawab kedua orang tua tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak. Namun tidak semua orangtua memiliki kebiasaan dan pola pendidikan yang sama dalam mendidik anak-anaknya, memiliki kesamaan user dalam mengambil keputusan dancommit sikap,tosehingga orang tua kurang dan tidak
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memperhatikan anak karena kesibukannya mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan hidup. Setiap orang tua berjuang keras demi membiayai pendidikan anaknya, walaupun tahu biaya pendidikan jaman sekarang ini tidaklah murah.
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Berfikir
Faktor Pendorong Daerah Asal (Push Factor) Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah asal/desa dll
Faktor Penarik Daerah Tujuan (Pull Factor) Adanya anggapan orang desa bawah di kota banyak pekerjaan dan penghasilan yang besar. Di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan, industri, dan lain-lain. Peredaran uang di kota lebih cepat dan lebih besar. dll
Faktor Fasilitas (Facility Factor)
Komunikasi Transportasi Pelayanan masyarakat dll
Faktor Nilai (Value Factor)
Kemanusiaan Perjuangan hidup dll.
Migrasi
Kuli Gendong Pasar Legi
Pendidikan Anak
Kebutuhan Dasar 1. Pangan, 2. Sandang, 3. Papan, 4. Kesehatan
Kehidupan Sosial Masyarakat
to Kerangka user Gambar commit 2. Skema Berpikir
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari skema kerangka berpikir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; keadaan-keadaan di daerah asal yang mendorong
penduduknya melakukan
urbanisasi, hal ini di sebut faktor-faktor pendorong (push factor), faktor- faktor penarik (pull
factor),
kemudian faktor fasilitas
(facility factor)
yang
mempermudah dalam akses untuk melakukan urbanisasi, dan faktor nilai (value faktor) merupakan faktor dari aspek kemanusiaan. Hal-hal diatas mempengaruhi masyarakat untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota besar, dalam hal ini adalah Kota Surakarta. Karena di kota terdapat banyak pabrik, pusat perbelanjaan, dan pasar serta sektor formal yang lain maka dengan jalan “hijrah” ke kota berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (sektor formal), berpengasilan lebih besar daripada di daerah asal untuk mencukupi segala macam kebutuhan hidup keluarga di rumah. Namun bila dilihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan. Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang yang berasal dari daerah yang biasanya berasal dari perekonomian lemah. Ketidakberdayaan kuli panggul dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, dan sebagainya. Kehidupan yang dijalani oleh kuli panggul sebagai orangtua diharapkan tidak terjadi pada anak-anak mereka, oleh sebab itu mereka menyekolahkan anakanak mereka dan memotivasi mereka untuk giat belajar agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orangtua mereka. Dengan demikian para commit to user orangtua yang bekerja sebagai kuli gendong memperhatikan masa depan anaknya
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan menyekolahkan anak-anak mereka. Selain sebagai orang tua, mereka juga memilki kewajiban memenuhi kebutuhan dasar keluarga, berinteraksi terhadap lingkungan soaial masyarakat daerah rasal, dan tentunya menjalin hubungan baik dengan sesama kuli gendong, kordinator SPTI, petugas pasar, pedagang, dan pembeli di pasar Legi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan salah satu unsur yang penting dalam melakukan suatu penelitian. Menurut H.B.Sutopo (2002: 5), “Metode penelitian merupakan bentuk dan strategi penelitian yang digunakan untuk memahami berbagai aspek penelitian atau pendekatan yang digunakan dalam melaksanakan aktifitas penelitian”. A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian mengenai kuli gendong yang dilihat dari aspek informal ini dilakukan di pasar Legi yang berada di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan Stabelaan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Lokasi ini dipilih karena di pasar ini terdapat kuli gendong dalam jumlah yang banyak, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu lokasi ini dipilih karena tidak terlalu jauh dengan domisili peneliti sehingga dirasa mudah dijangkau dan lebih cepat dalam proses pengambilan data. Proses ricek dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, sehingga validitas data dapat dicapai. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu lima bulan, mulai dari bulan Pebruari sampai dengan bulan Juli 2011. Tabel Waktu Penelitian N
Kegiatan
o
Bulan Peb’11
1.
Penyusunan proposal
2.
Perijinan
3.
Pengumpulan data
4.
Analisis data
5.
Penyusunan laporan
Mar’11
Apr’11
commit to user Tabel.1. Waktu Penelitian
38
Mei’11
Jun’11
Jul’11
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Dalam penelitian ilmiah, metode penelitian dapat dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J. Moleong (2007: 4), ”Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Sedangkan menurut Kirk dan Miller yang dikutip Lexy J. Moleong (2007: 4), “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya”. Denzin dan Lincoln yang dikutip Lexy J. Moleong (2007: 5), menyatakan bahwa “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada”. Dalam penelitian kualitatif, terdapat tiga macam strategi pendekatan, yaitu eksplanatif, eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk menemukan hal-hal baru, sedangkan penelitian eksplanatif bertujuan menjelaskan suatu pegangan atau patokan untuk pembuktian suatu pendapat, dan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan data dengan kata atau uraian dan penjelasan. Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif eksplanatif. Jenis penelitian ini akan mampu menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai kejadian atau potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa adanya di lapangan studinya, menjelaskan fakta-fakta yang tampak dilapangan studinya.
2. Strategi Penelitian Menurut H.B.Sutopo (2002: 112), ”Strategi penelitian digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sehingga dapat menjelaskan bagaimana to user tujuan penelitian akan dicapai dancommit bagaimana masalah akan dikaji dan dipecahkan
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
untuk dipahami”. Sedangkan menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 1), “Strategi penelitian kualitatif dibagi menjadi lima, yaitu: Metode studi kasus, metode eksperimen, metode survei, metode historis dan metode analisis informasi dokumenter”. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Menurut Robert K.Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 18), ”Studi kasus merupakan suatu cara penelitian terhadap masalah empiris dengan mengikuti rangkaian prosedur yang telah dispesifikasikan sebelumnya”. Studi kasus menyelidiki fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata, dengan ketentuan batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan memanfaatkan multisumber bukti. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok dengan pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa dan peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 28), menjelaskan mengenai desain penelitian; ”Desain penelitian adalah suatu rencana yang membimbing peneliti dalam proses pengumpulan, analisis dan intepretasi observasi. Ia merupakan suatu model pembuktian logis yang memungkinkan peneliti untuk mengambil inferensi mengenai hubungan kausal antarvariabel di dalam suatu penelitian. Desain penelitian juga menentukan ranah kemungkinan generalisasi terhadap situasi-situasi yang berbeda”. Desain penelitian studi kasus dibedakan menjadi dua macam menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 28), yaitu: a) Desain kasus tunggal Kasus-kasus tunggal merupakan desain umum bagi penyelenggaraan studi kasus. Syarat penyelenggaraan studi kasus tunggal adalah kasus tersebut mengetengahkan suatu uji penting mengenai teori yang ada; merupakan peristiwa yang langka / unik dan berkaitan dengan tujuan penyingkapan. Tahap penting dalam pendesainan dan penyelenggaraan kasus tunggal adalah menentukan unit analisis. Terdapat beberapa keterkaitan dengan sub – subunit analisisnya, agar desain yang lebih kompleks atau terpancang, commit todapat user berkembang. Subunit seringkali dapat menambah peluang-peluang signifikansi bagi analisis yang
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih luas, yang mengembangkan bagian-bagian kasus tunggal yang bersangkutan. b) Desain multikasus Menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006) menyatakan bahwa penggunaan desain multikasus mengikuti logica replica, bukan replika sampling dan pemilihan kasus harus hati-hati. Kasus-kasus tersebut harus memiliki hasil yang sama (replika literal) atau hasil yang bertentangan (replika teoritis) dengan yang diprediksikan secara eksplisit pada awal penelitiannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini termasuk penelitian kualitatif eksplanatif dengan menggunakan metode penelitian studi kasus tunggal. Menurut H.B.Sutopo (2002: 112), “penelitian studi kasus tunggal terarah pada satu karakteristik karena hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi atau satu subjek)”. Permasalahan atau fokus penelitian sudah ditentukan sebelum peneliti menggali permasalahan di lapangan. Dalam penelitian ini, permasalahan sudah terfokus pada kuli gendong sebagai kegiatan sektor informal di pasar Legi Kota Surakarta.
C. Sumber Data Menurut Lofland dan Lofland yang dikutip Lexy J. Moleong (2007: 157) ”Sumber data utama dalam peneltian kualitatif adalah kata-kata, tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Sedangkan menurut HB.Sutopo (2002 : 49) bahwa ” Sumber data kualitatif dapat berupa manusia, tingkah laku, dokumen dan arsip serta berbagai benda lain”. Karena data kulaitatif merupakan data yang abstrak, dimana yang digali adalah apa yang ada dalam alam pikiran manusia, yang terwujud pula dalam tingkah laku dan didukung oleh lingkungan sekitar maka perlu beberapa sumber bukti yang dapat dijadikan fokus pengumpulan data. Menurut Robert K. Yin terjemahan M. Djauzi Mudzakir (2006: 103118), enam sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi pengumpulan data studi kasus adalah: 1. Dokumentasi 2. Rekaman arsip commit to user 3. Hasil wawancara
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Observasi langsung 5. Observasi partisipan 6. Perangkat fisik Dari berbagai sumber data tersebut beragam informasi dapat digali untuk menjawab dan memahami masalah yang telah dirumuskan. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan informan atau narasumber, observasi langsung tempat dan permasalahan.
1. Informan Lexy J.Moleong (2007: 132), menyatakan bahwa ”Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian”. Seorang informan dapat memberikan pandangan tentang objek penelitian. Menurut H.B.Sutopo (2002: 50), “Informan adalah individu yang mempunyai beragam posisi dan memiliki akses informasi yang sesuai dengan kebutuhan peneliti”. Posisi yang beragam tersebut menyebabkan perbedaan kelengkapan informasi yang dimiliki dan diperoleh. Dengan sumber informan ini, peneliti akan memperoleh informasi yang berupa pernyataan, kata-kata, pendapat atau pandangan mengenai objek penelitian. Dari sekian banyak pengurus dan anggota SPTI di pasar Legi, peneliti akan mengambil seorang yang mengetahui secara keseluruhan tentang kuli gendong pasar Legi (key informan) yaitu Ketua SPTI Cabang Unit pasar Legi, kemudian berlanjut ke anggota SPTI yatu para kuli gendong secara langsung, dan pihak-pihak yang akan ditemui pada siklus alur pemilihan informan. Hal tersebut dipilih karena dari informan-informan tersebut akan mewakili populasi kuli panggul di Pasar Legi.
2. Tempat dan Permasalahan Tempat dan peristiwa dapat dimanfaatkan oleh peneliti sebagai salah satu sumber data. Peristiwa atau aktifitas dapat digali secara cermat dari kondisi suatu lokasi untuk mengkaji dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, baik berupa commitperistiwa to user atau perilaku yang terjadi dan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berkaitan dengan sikap dan pandangan seseorang. Tempat dan peristiwa ini terdiri dari lingkungan tempat tinggal penduduk dan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang menunjukkan adanya sutau kondisi atau situasi objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil tempat atau lokasi penelitian di pasar Legi, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta dan permasalahan yang diteliti adalah moral ekonomi kuli gendong pasar Legi.
D. Teknik Cuplikan Menurut H.B.Sutopo (2002: 55), “Teknik cuplikan merupakan suatu bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi”. Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive dengan teknik snowball. Dalam purposive, peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Menurut Basuki Haryono (2008: 31) menyatakan bahwa, “ teknik purposive dipandang lebih mampu mengangkat kelengkapan dan kedalaman data dalam melengkapi realitas yang tidak tunggal.” Menurut Patton yang dikutip H.B.Sutopo (2002: 56), “Dalam pelaksanaan pengumpulan data, pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data”. Dengan kata lain, metode pengambilan cuplikan yang digunakan adalah teknik informasi kunci (key informan) yaitu peneliti mengambil orang-orang kunci untuk dijadikan sebagai sumber data. Teknik purposive dalam penelitian ini adalah peneliti tidak menjadikan semua orang sebagai informan, tetapi peneliti memilih informan yang dipandang mengerti dan cukup memahami tentang objek penelitian serta orang-orang yang dapat diajak bekerja sama seperti orang yang bersikap terbuka dalam menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti. Dalam hal ini, sebagai informan kunci adalah ketua paguyupan Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) wilayah Pasar commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Legi. Karena ketua paguyupan SPTI adalah orang yang paling tahu kondisi dan berbagai hal mengenai kuli panggul yang ada di Pasar Legi Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan juga menggunakan teknik cuplikan snowball, karena setelah mendapatkan data dari key informan data akan dicari dengan petunjuk atau arahan dari key informan atau informan 1 untuk menanyakan hal-hal yang lebih diketahui pihak lain, yaitu, imforman1, informan 2, informan 3, informan 4, dan seterusnya sehingga data jenuh.
E. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi Observasi dilakukan untuk menggali data atau informasi dari sumber data yang brupa tempat atau lokasi, peristiwa, benda dan rekaman gambar baik langsumng maupun tidak langsung. Menurut Spradley yang dikutip H.B.Sutopo (2002: 65), “Observasi dapat dibagi menjadi observasi tak berperan dan observasi berperan yang terdiri dari berperan pasif, berperan aktif dan berperan penuh”. a) Observasi tak berperan Kehadiran peneltii dalam observasi ini tidak diketahui oleh subjek yang diteliti. Observasi ini dapat dilakukan dengan jarak jauh untuk mengamati perilaku seseorang atau sekelompok orang di suatu lokasi tertentu dengan memilih tempat khusus yang berada dilokasi tetapi di luar perhatian kelompok yang diamati. b) Observasi berperan Observasi ini dilakukan dengan mendatangi suatu lokasi atau peristiwa sehingga kehadirannya diketahui oleh pihak yang diamati. 1) Observasi berperan pasif Observasi dapat dilakukan secara langsung dengan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti. 2) Observasi berperan aktif Peneliti memainkan berbagai peran yang memungkinkan berada dalam situasi yang berkaitan dengan penelitiannya. Peneliti tidak hanya berperan dalam bentuk dialog yang mengarah pada pendalaman dan kelengkapan data, juga dapat mengarahkan peristiwa yang sedang dipelajari demi kemantapan data. 3) Observasi berperan penuh Peneliti memiliki peran dalam lokasi studinya sehingga benarcommit to kegiatan user benar terlibat dalam suatu yang ditelitinya dan peran
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peneliti tiak bersifat sementara sehingga peneliti tidak hanya mengamati, tetapi bisa berbuat sesuatu, berbicara dan sebagainya. Dari pendapat tersebut, penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi berperan pasif. Peneliti datang ke lokasi penelitian yaitu di Pasar Legi, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta untuk melihat dan mengamati situasi dan kondisi yang ada untuk mendapatkan kebenaran dan melihat kenyataan yang terjadi.
2. Wawancara mendalam (Indepth Interview) Menurut H.B.Sutopo (2002: 58-59), “Secara umum, teknik wawancara dibedakan menjadi teknik wawancara terstruktur dan wawancara yang tidak terstruktur yang disebut wawancara mendalam”. Wawancara terstruktur merupakan jenis wawancara yan terfokus dan pertanyaannya telah disiapkan oleh peneliti secara pasti. Menurut Patton yang dikutip H.B.Sutopo (2002: 184), “Wawancara mendalam adalah wawancara yang bersifat lentur dan terbuka, tidak berstruktur ketat, tidak dalam suasana formal dan dapat dilakukan berulang kali”. Menurut H. B. Sutopo (2002: 59), “Wawancara dalam penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang open-ended dan mengarah pada kedalaman informasi, dilakukan dengan cara yang tidak secara formal, terstruktur, untuk menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya secara lebih jauh dan mendalam”. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam karena dalam wawancara ini pertanyaan yang diajukan dapat semakin rinci dan mendalam serta dapat mengorek kejujuran informan untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya. Dari sekian banyak pengurus dan anggota SPTI di pasar Legi, peneliti akan mengambil seorang yang mengetahui secara keseluruhan tentang kuli gendong pasar Legi (key informan) yaitu Ketua SPTI Cabang Unit pasar Legi, kemudian berlanjut ke anggota SPTI yatu para kuli gendong secara langsung, dan pihak-pihak yang akantoditemui pada siklus alur pemilihan commit user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
informan. Hal tersebut dipilih karena dari informan-informan tersebut akan mewakili populasi kuli panggul di Pasar Legi.
F. Validitas Data Data yang telah dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian ini harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya untuk menjamin dan mengembangkan kesahihan data. Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara untuk pengembangan validitas data penelitian, antara lain teknik trianggulasi. Menurut Lexy J.Moleong (2007: 330), “Trianggulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”. Sedangkan menurut Patton yang dikutip H.B Sutopo (2002:78), menyatakan bahwa “Ada 4 macam teknik trianggulasi yaitu: (1) trianggulasi data (data triangulation), (2) trianggulasi peneliti (investigator triangulation), (3) trianggulasi metodologi
(methodological
triangulation)
dan
(4)
trianggulasi
teoretis
(theoretical triangulation). Trianggulasi data juga disebut tringgulasi sumber. Trianggulasi data ini digunakan untuk memperoleh data yang sejenis dari sember data yang berbedabeda. Trianggulasi metodologi dilakukan dengan menggunakan metode atau teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan data yang sama atau sejenis. Trianggulasi peneliti merupakan hasil penelitian data atau simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya dapat diuji validitasnya dari beberapa peneliti. Trianggulasi teori yaitu dalam membahas permasalahan yang dikaji peneliti menguraikan perspektif dari beberapa teori. Adapun validitas data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi trianggulasi data dan trianggulasi metodologi. Dengan trianggulasi data peneliti memperoleh data dari narasumber yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam sehingga informasi dari nara sumber yang satu dapat dibandingkan dengan informasi dari nara sumber yang lain. Trianggulasi ini juga commit to dari userhasil pengamatan dan dari sumber diterapkan dengan cara menggali informasi
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang berupa catatan atau arsip dan dokumen yang memuat catatan yang berkaitan dengan data yang dimaksudkan peneliti. Trianggulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode atau teknik pengumpulan data yang berbeda untukk mendapatkan data yang sama atau sejenis yaitu dengan teknik pengamatan langsung (observasi), teknik wawancara mendalam (in-dept interview) dan teknik analisis dokumen.
G. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data model interaktif yang memiliki tiga komponen, yaitu pemilihan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Untuk lebih jelasnya masing-masing tahap (termasuk proses pengumpulan data) dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Pengumpulan data Data yang di dapat berwujud kata-kata yang dikumpulkan dalam aneka cara yaitu observasi, wawancara mendalam serta data dokumentasi, kemudian data yang diperoleh melalui pencatatan di lapangan dianalisa melalui tiga jalur kegiatan yaitu pemilihan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Datadata tersebut diperoleh dari wawancara para informan selaku kuli panggul di Pasar Legi Surakarta.
2. Pemilihan data atau reduksi data Diartikan
sebagai
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul catatancatatan tertulis di lapangan (field note). Pemilihan data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan dan menyatakan bahwa tentang kerangka kerja konseptual, tentang pemilihan kasus, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata cara pengumpulan data yang dipakai pada saat pengumpulan data berlangsung. Pemilihan
data
berlangsung
terus-menerus
selama
penelitian
kualitatif
berlangsung dan merupakan bagian dari analisis. Reduksi data dilakukan agar commit to user data-data yang diperoleh dapat sejalan dengan masalah yang akan penulis sajikan.
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sehingga akan terjadi pengurangan data yang tidak sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
3. Penyajian Data Penyajian data meliputi berbagai jenis gambar atau skema, jaringan kerja, keberkaitan kegiatan dan tabel yang dapat membantu satu per satu informasi yang memungkinkan kesimpulan dapat dilakukan. Hal ini merupakan kegiatan yang dirancang untuk menyusun secara sistematik agar mudah dilihat dan dimenerti sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung.
4. Penarikan Kesimpulan Merupakan proses konklusi yang terjadi selama pengumpulan data dari awal sampai proses pengumpulan data selesai. Untuk lebih jelasnya, proses analisis interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Penyajian data
Pengumpulan data
Reduksi data
Penarikan kesimpulan
Gambar.3. Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 96)
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan suatu proses tahapan/langkah-langkah penelitian yang dimulai dari persiapan sampai dengan pembuatan laporan. 1. Persiapan a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing b. Mengumpulkan bahan atau sumber materi penelitian c. Menyusun proposal penelitian d. Menyiapkan instrument penelitian atau alat observasi. 2. Pengumpulan Data (Observasi) a. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung, wawancara mendalam dan analisis dokumen. b. Membuat field note. c. Memilih dan mengatur data sesuai kebutuhan. 3. Analisis Data a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai dengan proposal penelitian. b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di- recheck-kan dengan temuan di lapangan. c. Melakukan verifikasi, pengayaan dan pendalaman data. d. Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian. 4. Penyusunan Laporan Penelitian a. Penyusunan laporan awal. b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan orang yang memahami penelitian tersebut. c. Melakukan perbaikan laporan dan disusun sebagai laporan akhir. d. Perbanyakan laporan sesuai dengan kebutuhan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Gambaran Umum Pasar Legi a) Sejarah Perkembangan Pasar Legi Pasar Legi didirikan pada masa pemerintahan Mangkunegoro I (Pangeran Samber Nyawa). Berdasarkan foto-foto yang terpajang di dinding kantor pasar Legi dapat dilihat perjalananan sejarah pasar Legi. Pasar yang menghadap ke arah barat ini pada tahun 1930 masih berupa pasar yang masih sangat tradisional dimana para pedagang membuka dasaran di tanah terbuka atau dengan kata lain masih terdiri dari para pedagang oprokan, yaitu pedagang yang menggelar dagangannya diatas alas gelaran atau lesehan. Dibawah pengelolaan Mangkunegaran I, pada tahun 1935 berdiri sebuah bangunan pasar permanen tersusun dari tembok berwarna putih yang bila dilihat dari samping mirip sebuah benteng. Mulai saat itu pasar ini mulai terus berkembang. Namun pasar Legi baru mengalami pemugaran pada tahun 1992 oleh pemerintah kota Surakarta, sehingga menjadi wujud pasar Legi dengan 2 lantai seperti sekarang. Pasar Legi kemudian dibagi menjadi 6 blok, terdiri dari 146 kios, 1016 los, dan 570 pedagang oprokan (gelaran atau lesehan). b) Letak Geografis Pasar Legi Pasar Legi terletak di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan Stabelaan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Pasar Legi mempunyai luas wilayahnya sekitar 16.640 𝑚2 . Wilayah pasar Legi dibatasi oleh perempatan Gilingan di sebelah utara, samping barat kantor penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI) Cabang Surakarta, sebelah selatan keraton Mangkunegaran, dan sebelah timur dibatasi oleh monumen Juang 45 atau monumen Banjarsari dan kompleks pertokoan Widuran. commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
Gambar 4. Keadaan pasar legi nampak depan samping c) Pasar Legi merupakan pusat perdagangan hasil bumi Pasar Legi merupakan sebuah pasar yang merupakan pusat perdagangan hasil bumi, Laboratorium UCYD FISIP UNS menyebutkan bahwa pasar Legi merupakan pusat perdagangan hasil bumi terbesar di Jawa Tengah. Dengan omzet 10 milyar/hari, bahkan hingga 15 milyar lebih pada hari-hari tertentu. Pasar Legi merupakan salah satu penopang utama perekonomian kota Surakarta saat ini dipandang dari sirkulasi uang yang beredar di pasar. Meskipun dikenal sebagai pasar hasil bumi, namun kita bisa menemui beberapa pedagang pakaian dan kelontong, juga barang-barang hasil pabrik yang berhubungan dengan bumbu, seperti gula, vetsin, dan lainlain. Pasar Legi juga merupakan tempat transit bagi pasar-pasar lain seperti pasar Gedhe. Perbedaannya jika di pasar Legi buah-buahan dan sayuran belum disortir, sedangkan di pasar Gedhe sudah disortir berdasarkan kualitas sehingga harganya lebih mahal dari pasar Legi. Hasil bumi yang dijual di pasar Legi tidak hanya berasal dari daerah sekitar Solo saja seperti Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Namun juga berasal dari berbagai daerah lain di luar karesidenan Surakarta. Seperti ikan dari Banjarmasin, Bagansiapi-api dan Nusa Tenggara, sayur dari Kopeng Salatiga dan Dieng, garam dari Madura, Jeruk dari Bali, dan lainlain. Di pasar Legi sebagian pedagang menjual dagangannya dalam partai commit to user besar kepada pedagang untuk kulakan, namun kita masih dilayani oleh
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
beberapa pedagang yang menjual dagangannya secara eceran. Untuk mendapatkan barang yang murah kita harus pandai-pandai menawar sebelum membeli, seperti halnya proses jual beli di pasar-pasar lain di wilayah Surakarta baik kota maupun karesidenan. d) Pasar Legi merupakan “pasar yang tak pernah tidur” Pasar Legi mulai dibuka dan beroperasi dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB atau selama 12 jam, namun dalam kenyataannya pasar ini tidak pernah tidur, maksudnya adalah pasar ini tetap beroperasi selama 24 jam. Terdapat rutinitas rutinitas unik disini, setiap sore sekitar pukul 15.00 WIB ketika pasar didalam bangunan utama sudah mulai berbenah untuk kukut (tutup), berdatangan para pedagang malam yang membuka dasaran di bagain luar bangunan utama, ada yang memang khusus pedagang malam ada juga yang siang hari berdagang di dalam bangunan dan malam hari berdagang di bagian luar bangunan membawa dagangannya ke luar dan berdagang sampai pagi. Hal ini mengakibatkan padagang yang ada dibagian dalam bangunan pada malam hari hanya tinggal beberapa saja. Inilah yang menyebabkan mengapa pasar Legi ini tidak pernah tidur. Dengan omset yang disebutkan di depan (minimal 10 milyar rupiah per hari) maka tidak mengherankan apabila terdapat banyak sekali bank-bank yang beroperasi di sekitar bangunan utama pasar Legi, seperti; BII, BRI, BCA, Bank Bali, Maspion, Bank Buana, Bank CIMB Niaga, Bank Mayapada, Bank NISP, Lippobank, Bank Bukopin, dan beberapa BPR.
e) Keaparatan Pasar Untuk keaparatan sendiri di kantor pasar terdapat 24 orang yang bertugas di pasar Legi, terdiri dari 16 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Dari 24 orang tersebut baru 9 orang yang diangkat sebagai pegawai negeri sipil dan kesemuanya adalah laki-laki. Yang memprihatinkan, 7 orang dari PNS tersebut berpendidikan SD, sedangkan 1 orang lulusan STM, dan yang 1 commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lagi berpendidikan Sarjana hukum, yaitu kepala pasar Legi. Para PNS ratarata sudah lebih dari 40 tahun.
f) Paguyuban di Pasar Legi Kompleknya ragam kehidupan di Pasar Legi juga sedikit banyak menandakan adanya berbagai masalah yang timbul sebagai gejala normal dalam setiap interaksi sosial. Pasar Legi selain memilki aktifitas perdagangan, juga memiliki aktifitas komunitas sesama profesi atau sejenis. Yang berwujud paguyuban-paguyuban. Paguyuban tersebut antara lain yaitu SPTI (Serikat Pekerja Transport Indonesia) yang berperan dalam menjembatani komunikasi kuli gendong, kemudian ada IKAPPAGI (Ikatan Keluarga Pedagang Pasar Legi) yang berperan dalam menjembatani komunikasi pedagang, SATIB (Satuan Ketertiban) sebagai satuan keamanan pasar, selain itu paguyuban lain seperti di kalangan para pengemudi becak terdapat Paguyuban Pengemudi Becak Solo (PPBS) unit Pasar Legi, paguyuban umat muslim KAMUS (Keluarga Muslim), serta paguyuban rohani lainnya.
2. Gambaran Umum Kuli Gendong di Pasar Legi Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang
dagangan pedagang atau pembelian oleh
pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah - rempah, dan sebagainya. Hal ini terjadi setiap hari di pasar Legi.
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
..
Gambar 5. Seorang kuli gendong sedang bekerja Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) SPTI sehingga dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi.
Gambar 6. Kartu Tanda Anggota (KTA) SPTI commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Gambaran Umum Serikat Pekerja Transport (SPTI) Unit Pasar Legi Dari banyaknya kuli gendong yang bekerja di pasar Legi, maka dibentuklah semacam paguyuban yang mewadahi dan menaungi kuli-kuli gendong yaitu dengan terbentuknya Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) yang mengkoordinasi kuli-kuli gendong tersebut. SPTI tidak hanya ada di pasar Legi, namun setiap pasar besar atau pasar di kota-kota besar di Indonesia hampir semuanya terdapat SPTI. Paguyuban ini beranggotakan kuli-kuli gendong yang bekerja dalam satu lingkup wilayah, yakni pasar Legi, misal di pasar Gedhe dan pasar Klewer juga ada SPTI dan sekretariat atau kantornya masing-masing
Gambar 7. Kantor SPTI Unit Pasar Legi a) Sekretariat SPTI unit Pasar Legi Untuk di pasar Legi, kantor atau sekretariat SPTI berada di lantai atas bangunan baru bagian selatan, tepat di pojok tenggara bangunan terdapat satu ruang yang digunakan sebagai kantor SPTI, berhimpitan samping barat dengan kantor salah satu BPR yang ada di pasar Legi, samping timur kantor adalah mushola, dan bagian dengannya adalah los pedagang rempah-rempah dan pedagang makanan, yang menyediakan hidangan-hidangan kuli gendong, Pekerjaan sebagai kuli gendong merupakan informal,
yang
terkoordinasi.
Koordinasi
yang
kegiatan sektor
dimaksud
meliputi
pembagaian wilayah maupun lokasi kerja di pasar, penyediaan Kartu Tanda Anggota (KTA) kuli gendong pasar Legi, penyediaan kaos atribut bagi kuli commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gendong yang tertera nama dan bagian wilayah kerja masing-masing, dan melakukan penarikan iuran kepada tiap kuli gendong perbulan. Paguyuban yang dipimpin oleh seorang ketua, yaitu Pak Wagiman dan dibantu oleh seorang sekretaris Pak Suratmin ini berperan menjembatani komunikasi antara kuli gendong dengan ketua kelompok (mandor), Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dinas Pasar, serta membina rasa kebersamaan dan kekeluargaan sesama kuli gendong. b) Pembagian Kelompok Kerja Kuli Gendong SPTI Pasar Legi Dalam SPTI wilayah kerja dibagi menjadi 18 kelompok, masingmasing kelompok dipimpin oleh ketua kelompok. Pembagian wilayah kerja tersebut berdasarkan langganan masing-masing yang masih dalam lingkup pasar. Setiap ketua kelompok wajib dan bertanggungjawab atas anggota dibawahnya. c) Pengurus SPTI Pasar Legi SPTI Pasar Legi Surakarta baru saja melakukan pemilihan pengurus yang baru. Pemilihan dilakukan setiap 3 tahun sekali dengan melalui pemungutan suara (demokrasi). Adapun orang yang berhak memilih adalah perwakilan dari masing-masing 18 kelompok dan perwakilan dari DPC yang berkantor di Pasar Gedhe. Jumlah peserta yang memenuhi syarat untuk melakukan pemungutan suara adalah jika telah mencapai 70-80 orang. Berikut ini adalah susunan kepengurusan SPTI yang baru periode 2010-2013. Ketua
: Wagiman
Wakil Ketua
: Margono
Sekretaris
: 1. Suratmin Wito Suseno 2. Budi Waluyo
Bendahara
: 1. Warjito 2. Giyono
Humas
: 1. Kardi 2. Ngadimin commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Deskripsi Hasil Penelitian Pada deskripsi hasil penelitian ini merupakan gambaran yang didasarkan pada penemuan data yang dikaitkan pada rumusan masalah penelitian yaitu alasan atau latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu mata pencaharian bagi masyarakat, bagaimana eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI, serta bagaimana pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi. Terdapat 8 informan yang bersedia diwawancarai untuk memberikan gambaran yaitu 2 orang pengurus SPTI Pak Wagiman, Pak Suratmin, dan 6 orang kuli gendong yaitu Bu Ngatiyah, Pak Rohamdi, Pak Warsono, Bu Sukinah, Bu Saminem, dan Bu Situm. Dari jawaban informan-informan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang persoalan yang diangkat dalam penelitian. Sistem perekonomian yang diharapkan dapat membawa perkembangan kehidupan yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan para masyarakat. Sistem perekonomian yang diharapkan berpihak pada rakyat justru terkadang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dalam hal ini adalah masyarakat lapisan bawah terutama para pedagang, petani, dan kuli. Harga-harga kebutuhan pokok yang semakin lama semakin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat terutama rakyat kecil. Mulai dari harga sembako yang melonjak, BBM, listrik, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Belum lagi biaya air PDAM pun tak luput dari kenaikan tarif bagi masyarakat perkotaan. Manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhankebutuhan hidup, usaha dan upaya manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan. Begitu pula dengan apa yang terjadi di pasar Legi kota Surakarta, berbagai upaya dan usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka membuka usaha dagang baik pedagang besar maupun oprokan, jasa angkut kendaraan (motor, mobil, truk), ada yang menjadi commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berupaya menjadi penarik becak, dan bahkan memilih bekerja menjadi kuli gendong. Mereka rela pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah. Kegiatan kuli gendong di pasar Legi dapat dikatakan sebagai kegiatan dalam sektor informal, karena kegiatan kuli gendong memenuhi ciri-ciri; 1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengkoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat “bebas namun terbatas”, maksudnya siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong menggantikan kuli gendong yang akan keluar atau berhenti. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya
pedagang atau pembeli
yang meminta
memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut commit to user5) Tanpa menggunakan teknologi keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya.
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.
1. Latar Belakang Orang-orang Menjadi Kuli Gendong Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan lebih baik. Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan. Bila kita melihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan. Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang yang telah bekerja sebagai kuli gendong untuk berusaha mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan rutin dan dapat mencukupi kebutuhan pokok. a) Ketidakberdayaan kuli gendong 1) Rendahnya pendidikan pendidikan yang “dikenyam” Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini commitpendidikan to user dilatarbelakangi oleh rendahnya yang “dikenyam” oleh orang-
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk bersekolah pada waktu mereka masih muda. Hal ini diungkapkan pula oleh Bu Saminem, “kagem maem saben dinten mawon sampun Alhamdulillah Mas, jaman riyin uripe rekoso. Moboten gadah kepinginan kagem sekolah” (untuk makan setiap hari saja sudah Alhamdulillah Mas, jaman dulu hidup susah. Tidak punya keinginan untuk sekolah). (W/Saminem/21/7/2011) Dari latar belakang inilah yang menjadikan orang-orang memilih untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tidak memerlukan syarat-syarat pendidikan, pekerjaan yang bebas dan yang jelas halal. Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar Legi. 2) Minimnya keterampilan yang dimiliki Selain rendahnya pendidikan yang didapat oleh para kuli gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal ini juga dinyatakan oleh Pak Rohmadi, “Lha ajeng pripun mas, sagede geh nayambut damel ngoten niku, mboten gadah ketrampilan. Paling-paling menawi prei ngoten ten griyo dados tani. Sekedik-sekedik geh gadah sabin lha urip ten dusun mas” (Lha mau bagaimana lagi mas, bisanya juga bekerja demikian, tidak commit to usermempunyai keterampilan. Palingpaling kalau di rumah jadi petani. Meskipun sedikit juga
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki sawah berhubung hidup di desa). (W/Rohmadi/20/ 7/2011) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan kuli gendong yang lain, yang menyatakan tidak memiliki keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki sawah sendiri. Berbeda bagi mereka yang memiliki sawah sendiri, paling tidak ada yang diharapkan sebagai penghasilan.
b) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal) Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor formal yang berdiri. Dan jika adapun, membutuhkan karyawan yang berpendidikan serta berketerampilan ditambah lagi sekarang dibutuhkan yang berpengalaman. Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua memiliki sawah, palingpaling juga menjadi buruh tani, seperti yang diungkapkan Bu Saminem, ”Lha menawi mboten buruh geh mboten saged nyambut damel, lha mboten gadah sabin kok Mas” (Kalau tidak jadi buruh tani ya tidak bisa bekerja, karena tidak memiliki sawah sendiri). (W/Saminem/21/7/2011) Ketiadaan atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa terus berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika tidak musim tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani. c) Fasilitas transportasi yang mendukung akses ke kota Kemjuan dan pembanguan di daerah yang lambat laun semakin commit to di user berkembang, selain pembanguan jalan daerah-daerah baik dari pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
maupun swadaya masyarakat sendiri juga bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Dengan dibukanya jalan-jalan, akses transportasi bisa masuk ke daerah-daerah bahkan di daerah terpencil pun. Hal ini mendorong pengadaan alat transportasi yang memperlancar aktifitas masyarakat. Adanya fasilitas sarana transportasi yang mempermudah akses mobilitas dan migrasi. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang di daerah asal tidak memiliki pekerjaan untuk menuju ke daerah lain demi mencari sebuah pekerjaan atau pengasilan yang lebih baik. Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi menjadi kuli gendong. Hal ini sesuai pernyataan Bu Ngatiyah yang menggunakan angkot dari tempat tinggalnya di Ngemplak Mojosongo cukup dengan membayar Rp 2.000,- beliau dapat diantar ke pasar Legi, pulang pun juga menggunakan angkot dengan kode jurusan yang sama yaitu 07. Hal ini juga didukung penuturan Bu Sukinah yang setiap hari melaju ke pasar Legi dari rumahnya di Kalioso, “Naming tigang ewu men mpun saged dugi Solo, mangkat mulih geh naming nemewu ngangge bis ngangge bis utawi angkutan” (Hanya dengan ongkos tiga ribu sudah bisa sampai Solo, pulang pergi ya cuma enam ribu dengan naik bus atau angkot). (W/Sukinah/21/7/2011) Akses yang cepat karena adanya sarana transportasi yang mudah dan murah untuk dijangkau oleh semua kalangan merupakan fasilitas yang mendukung untuk memilih bekerja ke Solo. Dengan adanya sarana transportasi yang mendukung, menjadikan jam kerja para kuli gendong juga lumayan lama, sekitar pukul 5 pagi atau pukul 6 pagi mereka yang melaju sudah sampai di pasar Legi dan siap bekerja. Dan selesai menggendong untuk pulang sekitar pukul 4 sore mereka sudah pulang dengan jasa bus atau angkot yang ada, seperti yang dipaparkan commit user dan Bu Saminem. oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Buto Sukinah,
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Sedangkan bagi mereka yang mempunyai motor, seperti Pak Wagiman yang setiap hari ke kantor SPTI datang dan pergi tanpa ada kekhawatiran untuk mematok jam menunggu bus. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumahnya yang relatif jauh jaraknya dari pasar Legi hanya demi bekerja sebagai kuli gendong. Seperti yang dialami oleh Bu Situm, yang tidak seperti rekanrekannya setiap hari melaju dari rumah. Bu Situm memilih untuk menginap di pasar Legi dikarenakan jarak rumah yang cukup jauh dan harus oper bus berkali-kali sehingga biaya untuk transport juga tambah mahal. Beliau memilih pulang dua minggu sekali kalau mendapat penghasilan lebih, jika pasar sedang sepi beliau mengumpulkan uang terlebih dahulu dan baru pulang tiga minggu sekali bahkan pernah sebulan sekali baru pulang.
d) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada buruh pabrik Salah satu alasan lagi yang menjadi alasan mengapa orang-orang yang keluar dari pabrik lebih memilih bekerja sebagai kuli gendong di Pasar Legi. Situasi kerja yang terikat dan tidak bebas, menjadikan seseorang menjadi tertekan dan tidak betah dalam bekerja, apalagi upah atau gaji tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini yang dialami pula sebagian para kuli gendong yang semula bekerja sebagai buruh pabrik. Ada yang berpendapat bahwa menjadi kuli gendong lebih baik daripada menjadi karyawan pabrik yang berpenghasilan sedikit selain itu sebagai kuli gendong menjadi memiliki kebebasan untuk bekerja, hal yang sama diungkapkan Pak Wagiman, “Lha menawi wonten pabrik, artane sekedhik mas, mboten bebas kedah mlebet terus, asring ngantos dalu, nanging nggeh mboten angsal bayaran lemburan. Benten menawi dados kuli mas, ajeng mlebet mboten mlebet mboten enten ingkang dukani, nanging geh menawi mboten kerjo terus lha anak bojo dipakani menapa?” (Kalau bekerja di pabrik uang yang didapatkan sedikit mas, tidak bebas dan harus setiap hari masuk terus, sering sampai malam, namun juga dapat uang bayaran lemburan. Beda kalau menjadi kuli gendong, mau masuk kerja atau tidak masuk kerja tidak ada yang memarahi, commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tapi kalau tidak kerja terus anak istri mau diberi makan apa?). (W/Wagiman/20/07/2011) Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Ngatiyah, beliau menuturkan bahwa 10 tahun yang lalu beliau bersama dengan suami bekerja menjadi buruh pabrik. Namun dengan penghasilan yang sedikit, dirasa kebutuhan-kebutuhan tidak tercukupi, maka mereka berdua keluar dari pekerjaan tersebut “menawi ten pabrik naming angsal gaji sedoso ngantos kalih welas ewu sedinten” (kalau di pabrik hanya mendapatkan gaji sepuluh sampai dua belas ribu). (W/Ngatiyah/20/7/2011) Dengan penghasilan yang relatif kecil dan status kerja terikat menjadikan buruh pabrik keluar dari pekerjaannya dan mencoba berusaha mendapat pekerjaan yang dirasa mencukupi, bebas dan tidak terikat namun penghasilannya dapat diharapakan.
2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan Anggota SPTI Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan. a) Kuli Gendong sebagai Orang tua Sebagai orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan papan, kesehatan, kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Kuli gendong merupakan pekerjaan di pasar, namun juga memiliki peran sebagai orang tua di rumah. Jika sudah di rumah mereka kembali ke peran mereka sebagai orang tua dari anak-anaknya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua merupakan pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak-anaknya. Baru setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua orangtuanya yang sebagai kuli gendong. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan para informan yang telah memiliki anak-anak yang disekolahkan. Seperti yang diutarakan oleh Pak Wagiman yang memiliki 4 orang anak yang disekolahkan semua. Anak yang pertama dan kedua disekolahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi, anak yang ketiga lulus SMA, serta yang terakhir masih duduk di bangku SMA. Dari anak yang pertama sampai ketiga sudah bekerja dan hidup mandiri bersama keluarga masing-masing. Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang sama dari ketujuh informan, yang berniat menyekolahkan anak-anaknya demi masa depan mereka lebih baik dibandingkan orang tuanya, terutama Pak Warsono dan Pak Rohmadi memiliki anak yang masih kecil-kecil.
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat Selain bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun hampir sebagian besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari pukul 6 pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu pulang untuk datang dan membantu acara yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini samap dengan yang diutarakan Pak Rohmadi, jika ada kegiatan di sekitar tempat tinggal baik ada tetangga yang mempunyai hajatan, atau gotong-royong bila diberitahu atau dijawab (Jawa) commit user jika ada kegiatan di lingkungan maka tidak berangkat ke pasar Legi,tonamun
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
sekitar dan beliau tidak di beritahu atau dijawab (Jawa), Pak Rohmadi juga tetap bekerja. Hal yang sama diungkapkan pula oleh Bu Sukinah, jika di sekitar rumah ada yang punya hajat, kesripahan (kematian), atau ada kegiatan lain beliau menyempatkan diri untuk datang, dan tidak berangkat kerja. “gesang niku mboten piyambak to Mas, menawi dipun jaluki tulung tangga teparo geh saged mboten saged geh dipun lakoni, mbok bilih sanes wekdhal kula gadahi kaperluan geh betahaken pitulungan sing cedhak-cedhak, napa maleh ten dusun kados kula niki” (hidup itu tidak sendirian mas, kalau dimintai tolong tetangga kanan-kiri ya bisa tidak bisa harus dilaksanakan, mungkin dilain waktu saya punya keperluan juga membutuhkan bantuan orang-orang di sekitar rumah, apalagi hidup di desa seperti saya ini) (W/Sukinah/21/7/2011) Selain bekerja Bu Sukinah juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga beliau mau menyempatkan waktu untuk tidak berangkat ke pasar demi keperluan di tempat tinggalnya.
c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barangbarang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang
dagangan
pedagang atau pembelian oleh pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah - rempah, dan sebagainya. Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap commit to user lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja dengan siapa. Sebagai makhluk sosial, pada kodratinya membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Hal ini juga dapat dilihat bahwa seorang kuli gendong membutuhkan para pelanggan atau pengguna jasa mereka, membutuhkan seorang ketua kelompok, mandor, atau juragan dalam mendapatkan peekerjaan, membutuhkan SPTI untuk ijin kerja di pasar Legi. Begitu pula sebaliknya para pedagang membutuhkan jasa para kuli untuk membawa barang-barang bawaannya, para mandor, juragan dan SPTI membutuhkan pemasukan dari koordinasi kuli-kuli gendong tersebut.
Gambar 8. Ketua SPTI menunjukkan seragam anggota SPTI unit pasar Legi kepada peneliti commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli Gendong Pasar Legi Melihat etos kerja dan semangat kerja keras kuli gendong yang tinggi tak heran penghasilan mereka relatif tinggi namun mungkin tidak sepadan dengan tenaga dan kerja keras yang mereka lakukan. Untuk kuli gendong yang laki-laki penghasilannya lebih besar daripada kuli gendong laki-laki dibandingkan dengan kuli gendong yang perempuan. Faktor kekuatan fisik dan kemampuan mengangkat barang yang membedakan dengan sendiri penghasilan mereka Untuk kuli gendong laki-laki bertugas bongkar muat barang menuju atau dari mobil pick up atau truk dengan muatan yang lebih banyak dan berkali-kali seperti beras, garam, kelapa, sayur-mayur dan lain-lain. Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan menggendong barang bawaan namun dalam permintaan yang relative kecil, misal jeruk satu becak dipindahkan satu kelompok. Sebenarnya mereka bekerja juga sama beratnya baik laki-laki maupun perempuan, tidak sedikit pula yang perempuan ikut bongkar muat barang-barang dari truk menuju ke dalam pasar, bahkan sampai naik ke lantai atas. a) Penghasilan sebagai kuli gendong Dari pekerjaan demikian rata-rata mereka mendapatkan penghasilan sebesar Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari, untuk kuli gendong laki-laki setiap harinya. “Saben dinten nggih kula roto-roto angsal seket“ (Setiap hari ratarata saya dapat lima puluh ribu) (W/Rohmadi/20/7/2011) “roto-roto kulo angsal arto sedinten niku benten kalih Pak Rohamdi, luwih sekedik paling-paling nggih naming sekawan doso ewu” (ratarata saya dapat uang sehari berbeda dengan Pak Rohmadi, lebih sedikit sekitar empat puluh ribu) (W/Warsono/20/7/2011) Untuk upah dari pelanggan tidak dibayarkan langsung ke kuli gendong
yang
bersangkutan,
namun
dibayarkan
ke
mandor
yang
mengkoordinasi dari masing-masing kelompok. Sebelum pada akhirnya diberikan kepada kuli gendong yang bersangkutan berdasarkan frekuensi gendongan, dan masih dipotong commitsebesar to user Rp 5.000,-/orang dalam sekali
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
bongkaran untuk mandor dan sebagian iuran perbulan ke SPTI. Dari penghasilan rata-rata Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari diluramgi ongkos Mandor Rp 5.000,- dan transport tiap hari Rp 6.000,- (PP) menjadi Rp 29.000,- hingga Rp 39.000,- per hari. Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari. Meskipun penghasilan mereka dibilang lebih sedikit dibandingkan kuli gendong lakilaki namun penghasilan mereka sudah “lepas”, maksudnya upah langsung diterima dari pengguna jasa atau pelanggan tanpa potongan untuk mandor atau juragan Dari penghasilan masing-masing dipotong iuran perbulan Rp 2.000,- yang dibayarkan ke SPTI. Belum untuk transport bagi yang laju Rp 6.000,- (PP), sehingga penghasilan bersih setiap hari rata-rata Rp 9.000,hingga Rp 24.000,- per hari.
b) Pemanfaatan Penghasilan Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian terutama jika hari raya Idul fitri tiba bagi mereka yang memilki anak yang masih kecil atau cucu yang masih kecil jika masih ada sisa uang untuk membelikan sesuatu pada anak atau cucunya yang masih kecil, biaya transportasi setiap hari bagi yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, juga harus memikirkan biaya sewa setiap bulannya. Seperti yang dialami oleh Bu Ngatiyah (Bu Sembloh) harus menabung setiap hari untuk membayar biaya sewa kost sebesar uang Rp 75.000,-/bulan. Selain itu bagi yang melaju, penghasilan mereka berkurang untuk biaya transportasi pulang-pergi dari rumah menuju pasar Legi setiap harinya. Seperti yang dialami oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu Ngatiyah, Bu Sukinah, dan Bu Saminem yang setiap hari melaju. Sehingga setiap hari pulang-pergi menghabiskan uang commit to transport user sebesar Rp 6.000,- untuk biaya ongkos (bus/angkot).
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas yang mereka juga memperhatikan pada pendidikan anak-anak. sehingga demi anak sekolah uang sebesar berapapun akan dicarikan meskipun penghasilan yang tidak mencukupi, sampai-sampai mencari hutang pun tak jadi masalah.
commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Kajian Teori Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian mengenai kuli gendong pasar Legi sebagai sektor informal dengan hasil temuan sebagian besar adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan kuli gendong merupakan wujud dan bagian dari unsur-unsur kebudayaan 2. Kegiatan kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal 3. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota a) Ketidakberdayaan kuli gendong 1) Rendahnya pendidikan pendidikan yang “dikenyam” 2) Minimnya keterampilan yang dimiliki b) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal) c) Fasilitas transportasi yang mendukung akses ke kota d) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada buruh pabrik 4. Eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI a) Kuli Gendong sebagai Orang tua b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI 5. Pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi a) Penghasilan sebagai kuli gendong b) Pemanfaatan Penghasilan
Berdasarkan hasil temuan di atas dapat dimasukkan dalam pembahasan teori sebagai berikut: 1. Kegiatan kuli gendong merupakan wujud dan bagian dari unsur-unsur kebudayaan
commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut pendapat Koentjaraningrat (1987: 2) yang menyatakan bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu; 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratruran, dan sebagainya, 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (artifact). Dari pendapat di atas dapat dijelaskan betuk-bentuk atau wujud kebudayaan; 1) kebudayaan yang berwujud ide. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, berada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. 2) kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. sistem sosial ini berisi tentang aktifitas-aktifitas individu-individu yang berinteraksi (berhubungan antara satu dengan yang lain dalam kurun waktu tertentu yang mengikuti pola-pola tertentu menurut adat tata kelakuan).
Sebagai rangkaian dalam suatu aktifitas individu-
individu dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. 3) kebudayaan fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas, perbuatan, dan karya individu-individu dalam sauatu masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ketiga wujud kebudayaan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari
tentu tidak terpisah antara satu sama lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
Kegiatan sebagai kuli gendong jika dilihat dari pendapat di atas termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari individu-individu yang berada di dalam pasar Legi. Dalam hal ini tentang aktifitas-aktifitas individu-individu sebagai kuli gendong yang berinteraksi baik sesama kuli gendong, koordinator SPTI, pedagang, pembeli di pasar, maupun keluarga dan masyarakat tempat asal mereka. Kebudayaan setiap masyarakat itu sendiri terbentuk oleh beberapa unsur-unsur yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang bersifat sebagai satu kesatuan. Beberapa unsur kebudayaan diklasifikasikan ke dalam unsurunsur pokok atau besar kebudayaan yang lazim disebut dengan cultural universal, yang merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun di dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks. C. Khluchon dalam Soekanto (2002: 176) diamana sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture, dimana berisi inti pendapat para sarjana dalam karyanya menunjuk tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu; 1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia, 2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, 3. sistem kemasyarakatan, 4. bahasa (lisan maupun tertulis) 5. kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya) 6. sistem pengetahuan, 7. religi (kepercayaan). Unsur-unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur-unsurnya (unsur-unsur yang lebih kecil). Unsur yang pertama yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia, hal ini dapat dijabarkan lagi menjadi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat tansportasi dan lain sebagainya. Yang kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi dijabarkan lagi menjadi pertanian, peternakan, buruh/kuli, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya. commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Unsur yang ketiga sistem kemasyarakatan dapat dikerucutkan lagi menjadi sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan. Unsur yang keempat adalah bahasa baik berupa lisan maupun tertulis, setiap masyarakat baik dalam suku, bangsa, maupun negara memiliki sistem bahasa yang dimiliki oleh masing-masing, dan dengan bahasa mereka dapat berkomunikasi antara individu satu dengan yang lain, kelompok masyarakat satu dengan yang lain, disini bahasa berguna sebagai pengantar komunikasi. Selanjutnya unsur yang kelima adalah kesenian, unsur ini menyangkut tentang keindahan, dimana kesenian dapat dijabarkan lagi menjadi unsur seni yang lain, berupa seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya. Selain
kesenian, suatu kebudayaan dapat diperkuat dengan
unsur sistem pengetahuan, dimana dengan unsur ini dapat digunakan sebagai tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Unsur yang terakhir adalah religi atau sistem kepercayaan, dalam unsur ini masyarakat dari kebudayaan yang bersangkutan memiliki
kepercayaan terhadap kekuatan besar
yang
menciptakan dan mengatur, baik kepercayaan animisme, dinamisme, maupun agama yang mempercayai adanya tuhan. Demikian tujuh unsur kebudayaan universal memang mencakup kebudayaan manusia secara keseluruhan. Jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan di atas, manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, usaha manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan salah satunya adalah sebagai kuli gendong. Oleh sebab itu kegiatan kuli gendong merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan yaitu sebagai sistem mata pencaharian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
2. Kegiatan kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal Dalam sektor informal memiliki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal. Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut; 1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, 2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha, 3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja, 4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini, 5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor, 6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional, 7) modal dan putaran usaha relatif kecil, 8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja, 9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga, 10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi, 11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah. Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut; 1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan
usaha tidak
terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan commit to user bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa menggunakan teknologi tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan. Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan kuli gendong sebagaian besar memenuhi ciri-ciri kegiatan sektor informal.
3. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota Orang-orang migrasi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung commit to user Indonesia (SPTI) Unit Cabang dalam organisasi Serikat Pekerja Transport
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah. Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi
kuli
gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi), tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi. Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal 2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan 3. Rintangan-rintangan yang menghambat 4. Faktor-faktor pribadi Dari data-data yang ditemukan dalam penelitian dapat dapat diambil faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang melakukan migrasi ke kota Surakarta tepatnya di pasar Legi, yaitu faktor pendorong (berasal dari daerah asal), faktor penarik (daerah tujuan), faktor fasilitas (akses transportasi), dan faktor nilai yang ada dalam melakukan migrasi. a) Faktor pendorong (berasal dari daerah asal) 1) Ketidakberdayaan kuli gendong Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk bersekolah pada waktu mereka masih muda. Dari latar belakang inilah yang menjadikan orang-orang memilih untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tidak memerlukan syarat-syarat pendidikan, pekerjaan yang bebas dan yang jelas halal. Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar Legi. 2) Minimnya keterampilan yang dimiliki Selain rendahnya pendidikan yang didapat oleh para kuli gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal demikian diakui oleh semua informan yang mebyatakan pernyataan yang sama bahwa tidak memiliki keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki sawah sendiri. Berbeda bagi mereka yang memiliki sawah sendiri, paling tidak ada yang diharapkan sebagai penghasilan. 3) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal) Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor formal yang berdiri. Dan jika adapun, membutuhkan karyawan yang berpendidikan serta berketerampilan
ditambah lagi sekarang
dibutuhkan yang berpengalaman. Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua commit to user memiliki sawah, paling-paling juga menjadi buruh tani. Ketiadaan
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa terus berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika tidak musim tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani.
b) Faktor penarik (daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani) Salah satu alasan lagi yang menjadi alasan mengapa orangorang yang keluar dari pabrik lebih memilih bekerja sebagai kuli gendong di Pasar Legi. Situasi kerja yang terikat dan tidak bebas, menjadikan seseorang menjadi tertekan dan tidak betah dalam bekerja, apalagi upah atau gaji tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini yang dialami pula sebagian para kuli gendong yang semula bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh tani. Dengan penghasilan yang relatif kecil dan status kerja terikat menjadikan buruh pabrik keluar dari pekerjaannya dan mencoba berusaha mendapat pekerjaan yang dirasa mencukupi, bebas dan tidak terikat namun penghasilannya dapat diharapakan. Semula menjadi buruh tani yang mendapatkan penghasilan pada musim-musim tertentu, itupun tidak sesuai yang diharapkan. Pada akhirnya mereka memilih pergi ke kota berharap mendapat penghasilan yang rutin dan lebih besar daripada buruh tani. Adanya pendapat bahwa menjadi kuli gendong lebih baik daripada menjadi karyawan pabrik yang berpenghasilan sedikit selain itu sebagai kuli gendong menjadi memiliki kebebasan untuk bekerja dengan harapan berpenghasilan lebih mereka menuju ke kota Surakarta tepanya pasar Legi menjadi kuli gendong, berharap mendapat penghasilan yang lebih besar dan di dapat setiap hari commit to user c) Faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses)
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
Kemajuan dan pembanguan di daerah yang lambat laun semakin berkembang, selain pembanguan jalan di daerah-daerah baik dari pemerintah maupun swadaya masyarakat sendiri juga bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Dengan dibukanya jalan-jalan, akses transportasi bisa masuk ke daerah-daerah bahkan di daerah terpencil pun. Hal ini mendorong pengadaan alat transportasi yang memperlancar aktifitas masyarakat. Adanya fasilitas sarana transportasi yang mempermudah akses mobilitas dan migrasi. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang di daerah asal tidak memiliki pekerjaan untuk menuju ke daerah lain demi mencari sebuah pekerjaan atau pengasilan yang lebih baik. Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi menjadi kuli gendong. Dengan menggunakan angkot dari tempat tinggalnya di dalam lingkup kota Surakarta sendiri cukup dengan membayar Rp 2.000,- sampai Rp 5.000,- sekali jalan sudah dapat menuju ke pasar Legi. Kemudian untuk yang rumahnya jauh atau di luar kota Surakarta, akses sarana transportasi yang cepat, mudah, dan murah untuk dijangkau oleh semua kalangan merupakan fasilitas yang mendukung untuk memilih bekerja ke Solo. Dengan adanya sarana transportasi yang mendukung, menjadikan jam kerja para kuli gendong juga lumayan lama, sekitar pukul 5 pagi atau pukul 6 pagi para kuli gendong yang melaju sudah sampai di pasar Legi dan siap bekerja. Selesai menggendong untuk pulang sekitar pukul 4 sore mereka sudah pulang dengan jasa bus atau angkot yang ada.
d) Faktor Nilai Dari sudut pandang nilai, terdapat hal-hal yang mendorong orangorang bekerja sebagai kuli gendong, yakni nilai kemanusiaan dan nilai commit to user perjuangan hidup. Hal ini dihadapkan pada eksistensi kuli gendong sebagai
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI. Bekerja merupakan sebuah tuntutan hidup, dimana seseorang memilki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Selain itu, nilai kemanusiaan yang ada pada pengguna jasa kuli gendong, unsur kemanusiaan yang muncul apakah sampai hati menggunakan jasa kuli gendong terutama yang sudah berusia senja dengan upah hanya Rp 1.000,-.
4. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan Anggota SPTI a) Kuli Gendong sebagai Orang tua Sebagai orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan papan, kesehatan,
kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun
kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Kuli gendong merupakan pekerjaan di pasar, namun juga memiliki peran sebagai orang tua di rumah. Jika sudah di rumah mereka kembali ke peran mereka sebagai orang tua dari anak-anaknya. Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua merupakan pendidik paling pertama dan paling utama bagi anakanaknya. Baru setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua orangtuanya yang sebagai kuli gendong.
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat Selain bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun commit to user di pasar Legi untuk bekerja dari hampir sebagian besar waktu dihabiskan
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pukul 6 pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu pulang untuk datang dan membantu acara yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Selain bekerja kuli gendong juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga mereka mau menyempatkan waktu untuk tidak berangkat ke pasar demi keperluan di tempat tinggalnya. c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi
kebutuhan
dengan
harapan
memperbaiki
tingkat
kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja dengan siapa. Sebagai makhluk sosial, pada kodratinya membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Hal ini juga dapat dilihat bahwa seorang kuli gendong membutuhkan para pelanggan atau pengguna jasa mereka, commitkelompok, to user mandor, atau juragan dalam membutuhkan seorang ketua
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendapatkan peekerjaan, membutuhkan SPTI untuk ijin kerja di pasar Legi. Begitu pula sebaliknya para pedagang membutuhkan jasa para kuli untuk membawa barang-barang bawaannya, para mandor, juragan dan SPTI membutuhkan pemasukan dari koordinasi kuli-kuli gendong tersebut.
5. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli Gendong Pasar Legi a) Penghasilan sebagai kuli gendong Penghasilan yang didapatkan dalam satu kali gendong untuk kuli gendong perempuan sekitar Rp 2.000,-, namun jua ada yang hanya memberi Rp 1.000,- bagi mereka yang terkadang kurang menghargai kerja keras kuli gendong. Namun untuk kuli gendong laki-laki tidak dihitung per gendongan namun per bongkaran muatan barang. Untuk upah dari pelanggan tidak dibayarkan langsung ke kuli gendong laki-laki, namun dibayarkan ke mandor yang mengkoordinasi dari masing-masing kelompok. Sebelum pada akhirnya diberikan kepada kuli gendong yang bersangkutan berdasarkan frekuensi gendongan, dan masih dipotong sebesar Rp 5.000,-/orang dalam sekali bongkaran untuk mandor dan sebagian iuran perbulan ke SPTI. Dari penghasilan rata-rata Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari dikuramgi ongkos Mandor Rp 5.000,- dan transport tiap hari Rp 6.000,- (PP) menjadi Rp 29.000,hingga Rp 39.000,- per hari. Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari. Meskipun penghasilan mereka dibilang lebih sedikit dibandingkan kuli gendong laki-laki namun penghasilan mereka sudah “lepas”, maksudnya upah langsung diterima dari pengguna jasa atau pelanggan tanpa potongan untuk mandor atau juragan Dari penghasilan masing-masing to user dipotong iuran perbulancommit Rp 2.000,yang dibayarkan ke SPTI. Belum
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk transport bagi yang laju Rp 6.000,- (PP), sehingga penghasilan bersih setiap hari rata-rata Rp 9.000,- hingga Rp 24.000,- per hari.
c) Pemanfaatan Penghasilan Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian terutama jika hari raya Idul fitri tiba bagi mereka yang memilki anak yang masih kecil atau cucu yang masih kecil jika masih ada sisa uang untuk membelikan sesuatu pada anak atau cucunya yang masih kecil, biaya transportasi setiap hari bagi yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, juga harus memikirkan biaya sewa setiap bulannya. Selain itu bagi yang melaju, penghasilan mereka berkurang untuk biaya transportasi pulang-pergi dari rumah menuju pasar Legi setiap harinya. Seperti yang dialami oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu Ngatiyah, Bu Sukinah, dan Bu Saminem yang setiap hari melaju dengan membayar ongkos Rp 3.000,- sekali jalan berangkat dan Rp 3.000, untuk transport pulang. Sehingga setiap hari pulang-pergi menghabiskan uang sebesar Rp 6.000,- untuk biaya ongkos transport (bus/angkot). Selain untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas mereka juga memperhatikan pada pendidikan anak-anak, sehingga demi anak sekolah uang sebesar berapapun akan dicarikan meskipun penghasilan tidak mencukupi, sampai-sampai mencari hutang pun tak jadi masalah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan sajian data dan pembahasan terhadap hasil penelitian tentang studi kasus kuli gendong sebagai sektor informal di pasar Legi, peneliti dapat mengambil simpulan sebagai berikut: 1. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota a) Faktor pendorong (berasal dari daerah asal) 1) Ketidakberdayaan kuli gendong Kuli gendong termasuk kelompok marginal atau miskin yang ditandai dengan ketidakberdayaan dalam segala aspek, termasuk dalam hal pendidikan. Berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan atau tidak lulus SD/ MI. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan orang tua mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk bersekolah pada waktu mereka masih muda. 2) Minimnya keterampilan yang dimiliki Para kuli gendong selain memiliki pendidikan rendah, yang didapat oleh para kuli gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal demikian diakui oleh semua informan yang commit yang to user sama bahwa tidak memiliki mebyatakan pernyataan
85
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki sawah sendiri. Disamping termasuk ke dalam kelompok marginal, mereka juga tidak memiliki sawah hal ini menjadikan mereka beradu nasib ke kota tanpa bekal untuk bertahan hidup. Sehingga dengan terpaksa mereka masuk ke dalam sektor informal sebagai kuli gendong. Sebab, pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keterampilan tertentu kecuali tenaga yang kuat dan badan sehat. 3) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal) Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor formal yang berdiri. Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua memiliki sawah, paling-paling juga menjadi buruh tani. Ketiadaan atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa terus berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika tidak musim tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani.
b) Faktor penarik (daerah tujuan) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani). Para kuli gendong mengadu nasib ke kota karena menurut anggapan mereka daerah perkotaan tersedia berbagai jenis lapangan kerja dan peluang untuk bekerja. Maka, mereka berduyun-duyun ke kota dalam rangka untuk commit tolebih user menjanjikan dibandingkan desa bekerja karena di kota dianggap
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tempat tinggal mereka. Namun anggapan itu tidak semuanya benar karena datang ke kota tanpa mempunyai bekal yang cukup sehingga satu-satunya pekerjaan yang bisa dimasuki adalah sebagai buruh kasar yaitu kuli gendong.
c) Faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses) Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi menjadi kuli gendong. Dengan baiaya yang relative terjangkau dan dekat denganjalan raya sehingga lebih mudah untuk mengakses sarana transportasi.
d) Faktor nilai Adanya nilai kemanusiaan yang muncul dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan merupakan wujud perjuangan hidup. Dimana seorang kuli gendong dituntut peranannya sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI. Selain itu, adanya rasa kemanusiaan bagi pengguna jasa kuli gendong di pasar Legi, apabila yang dimintai jasa gendong adalah kuli gendongt yang sudah tua.
2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan Anggota SPTI a) Kuli Gendong sebagai Orang tua Selaku orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan papan, kesehatan,
kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun
kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka.Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua merupakan to userutama bagi anak-anaknya. Baru pendidik paling pertamacommit dan paling
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua orangtuanya yang sebagai kuli gendong.
b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat Bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun hampir sebagian besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari pukul 6 pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu untuk pulang atau tidak berangkat ke pasar demi datang dan membantu acara yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI Menjadi kuli gendong dan dapat bekerja di pasar Legi ada persyaratan yang harus dilaksanakan, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja dengan siapa. commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli Gendong Pasar Legi a) Penghasilan sebagai kuli gendong Cirri pekerja sektor informal (buruh gendong) yaitu waktu kerja dalam jumlah jam kerja yang panjang dengan tingkat penghasilan yang rendah. Hal ini terjadi pada para kuli gendong pasar Legi dengan sekali menggendong didapatkan upah Rp 2.000,- dalam sekali gendong. Jumlah kuli gendong 675 orang dalam satu pasar membuat saling berebut untuk bisa menjual jasa “menggendong barang-barang belanjaan” akibatnya pendapatan mereka juga terbatas. Mereka mulai kerja dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB (selama 11 jam) pendapatan mereka rata-rata kuli gendong laki-laki mendapatkan penghasilan sebesar Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,/hari, dan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari. Penghasilan tersebut masih dikurangi potongan mandor (kuli gendong laki-laki), iuran perbulan, makan, rokok, transportasi. Sehingga berpenghasilan bersih Rp 25.000,- hingga Rp 35.000,- untuk kuli gendong laki-laki dan Rp Rp 10.000,- hingga Rp 25.000,- untuk kuli gendong perempuan. Belum lagi biaya untuk yang tinggal dikontrakan atau kost perbulannya harus mengumpulkan uang tiap hari.
b) Pemanfaatan Penghasilan Penghasilan tersebut digunakan untuk menopang keluarga, karena pekerjaan utama keluarga adalah dari pekerjaan tersebut. Yaitu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian, biaya transportasi setiap hari bagi yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, commit to setiap user bulannya. juga harus memikirkan biaya sewa
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan data di atas dapat dikaji implikasi teoritis dan implikasi praktis, yaitu; 4. Implikasi Teoritis 1) Dari hasil temuan di atas penelitian ini menggunakan bagian teori migrasi Everett S. Lee, menurut pendapatnya ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu; faktor-faktor yang terdapat di daerah asal,
faktor-faktor yang
terdapat di daerah tujuan, rintangan-rintangan yang menghambat, dan faktor-faktor pribadi. Dari data-data yang ditemukan dalam penelitian dapat dapat diambil faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang melakukan migrasi ke kota Surakarta tepatnya di pasar Legi, yaitu; (1) faktor pendorong (berasal dari daerah asal); ketidakberdayaan kuli gendong baik pendidikan rendah, minimnya keterampilan yang dimiliki, dan tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal), (2) faktor penarik (daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani), (3) faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses). (4) faktor nilai. 2) Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata pelajaran Sosiologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 1.3 Menganalisis struktur sosial dengan mobilitas sosial. 3) Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata pelajaran Antropologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 2. Menganalisis unsur-unsur proses dinamika dan pewarisan budaya dalam rangka integrasi nasional, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 2.1 Mendeskripsikan
unsur-unsur budaya, dan commit to user hubungan antara unsur-unsur kebudayaan.
2.2
Mendeskripsikan
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Implikasi Praktis Penelitian diharapkan dapat memberikan acuan kepada Pemerintah Kota Sursakarta dalam pengelolaan pasar dan kuli gendong di pasar Legi Surakarta, dan dapat memberikan gambaran terkait mengenai sektor informal dan kehidupan kuli panggul di pasar Legi Kota Surakarta.
C. Saran Berdasarkan temuan data di lapangan dan simpulan penelitian ini, maka beberapa saran yang bisa penulis kemukakanadalah sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah Kota Surakarta Pemerintah Kota Surakarta dengan melaui Dinas Pasar hendaknya selain para pedagang juga memperhatikan keberadaan daripada jenis uasahausaha lain di pasar Legi terutama kuli gendong, sektor yang sangat jarang mendapat perhatian selama ini. Sehubungan pasar Legi merupakan tempat mencari nafkah ribuan orang, sehingga diharapkan dapat mendukung kesejahteraan segala elemen yang bekerja di dalamnya.
2. Bagi Pengelola Pasar Legi Bagi pengelola pasar Legi diharapkan hendaknya mengembangkan pasar, agar semua kalangan masyarakat merasa nyaman dan mau untuk berbelanja ke pasar Legi, mengingat arus globalisasi yang berdampak pada modernisasi sehingga bermunculan lokasi-lokasi yang menjadi pusat-pusat perbelanjaan seperti mall, plasa, dan toko swalayan yang dikhawatirkan dapat menggeser pasar-pasar yang ada di kawasan kota Surakarta terutama pasar Legi.
3. Bagi Pengurus SPTI Pasar Legi SPTI di pasar Legi sudah cukup lancar dalam pengelolaannya, akan tetapi hendaknya pengurus SPTI lebih melakukan pendekatan kepada setiap commit to userpaguyuban ini. Mungkin dengan kuli gendong sebagai anggota daripada
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertemuan dengan masing-masing kelompok kerja sebulan sekali, sehingga dapat lebih dekat dengan anggota, dan anggota merasa terayomi dengan adanya SPTI.
4. Bagi Kuli Gendong Pasar Legi Bagi para kuli gendong pasar Legi, hendaknya jika memiliki suatu saran, usul, maupun permasalahan bisa disampaikan ke kantor secara langung, bisa dengan meminta pihak terkait untuk mengadakan pertemuan sebulan sekali dalam satu kelompok, maupun seluruh kelompok kerja meskipun perwakilan dari masing-masing. Sehingga ada komunikasi yang aktif dalam SPTI, baik antara anggota ke anggota, anggota ke ketua kelompok, anggota ke pengurus SPTI dan atau sebaliknya. Sehingga semua pihak merasa diuntungkan dalam bekerja.
commit to user