KRITIK IDEOLOGI MODEL PEMBELAJARAN DIRECT LEARNING DI SEKOLAH DASAR NEGERI MONGGANG, BANTUL
JURNAL SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Mirza Bashiruddin Ahmad NIM 11105241008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MEI 2016
PERSETUJUAN
Artikel Jurnal yang berjudul “Kritik Ideologi Model Pembelajaran Direct Learning di Sekolah Dasar Negeri Monggang, Bantul” yang disusun oleh Mirza Bashiruddin Ahmad, NIM 11105241008 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk dipublikasikan.
Yogyakarta, 28 April 2016 Pembimbing,
Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si NIP. 19600520 198603 1 003
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 1
KRITIK IDEOLOGI MODEL PEMBELAJARAN DIRECT LEARNING DI SEKOLAH DASAR AN IDEOLOGY CRITIQUE OF DIRECT LEARNING MODEL ON ELEMENTARY SCHOOL Oleh : Mirza Bashiruddin ahmad, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan implementasi direct learning, melacak modus operasi ideologi, persebaran bentuknya, derivasi ideologis, praktek dominatif dan hegemonik yang terdapat di dalam model pembelajaran direct learning. Metode penelitian bersifat kualitatif deskriptif. Objek penelitian adalah proses pembelajaran yang melibatkan guru dan siswa kelas 2 SDN Monggang, Bantul. Teknik penelitian berbentuk observasi non partisipasi. Pengumpulan data dilakukan dengan camera and audio recording serta depth interview kepada guru dan siswa. Analisis data menggunakan triangulasi data dan hipotesis kerja. Hasil penelitian memperlihatkan fakta bahwa direct learning yang dilaksanakan tanpa melakukan analisis karakteristik mata pelajaran dan jenis pengetahuan. Direct learning beroperasi pada modus teacher centered approach dengan menggunakan psikologi behaviorisme kaku yang menjadikan guru sebagai subjek pebelajar dan siswa sebagai objek belajar. Hegemoni kekuasaan di kelas sangat terasa dikuasai oleh guru yang dapat dilacak melalui teacher centered approach, dimana guru menjadi penguasa dan pemilik pengetahuan, sosok yang selalu menentukan citarasa dan rational choices siswa. Kata kunci: behaviorisme, guru, penindasan, hegemoni, kekuasaan. Abstract This study aims to describe the implementation of direct learning, tracking mode of operation, distribution forms, derivation, dominating and hegemonic practices contained in the direct learning model of learning. The research method is qualitative descriptive. The object is a learning process that involves teachers and students in grade II Monggang Elementary School, Bantul. Research techniques shaped non-participation observation. The data collection is done with a camera and audio recording as well as depth interviews to teachers and students. Data analyze using triangulation and a working hypothesis. The results showed that direct learning mode operates on teacher centered approach using rigid behaviorist psychology that makes the teacher as the subject of learners and students as learning objects. Hegemony in the class are felt controlled by the teacher that can be tracked through teacher centered approach, where the teacher becomes the ruler and the holders of such knowledge,always determines the flavor and rational choices of students. Keywords: behaviorism, teachers, oppression, hegemony, power.
2
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad)
PENDAHULUAN Para praktisi pendidikan di Indonesia baik
ideologi telah memanifestasikan diri ke dalam pesan,
yang berada di lembaga formal, non-formal maupun
jargon dan slogan masa kini seperti “Menjunjung
popular education banyak yang tidak sadar bahwa
Tinggi Profesionalisme, Transparansi, Efektifitas
mereka tengah berada dalam kontestasi ideologi
dan Efisiensi”. Melalui analisa semiotik Barthes
melalui arena pendidikan. Umumnya orang selalu
mampu membuktikan terdapat ideologi terselubung
mengira bahwa kegiatan / proses pendidikan selalu
yang tersembunyi dibalik pesan, jargon dan slogan
memiliki watak yang mulia dan penuh kebaikan,
yang tak asing di telinga kita. Derivasi ideologi yang telah dianalisa secara
namun jika ditelisik lebih dalam maka dengan segera bisa kita temukan fragmen-fragmen yang saling
semiotik
berkonsolidasi untuk memperkuat poros ideologi.
penjelasan Sargent maupun Mac Intyre benar
Destutt de Tracy (dalam Thompson, 2015:50)
adanya, ideologi bertransformasi dan berdiaspora
menggambarkan bahwa kita tidak dapat mengetahui
kedalam
benda-benda pada dirinya, tapi hanya melalui ide-ide
pembelajaran dalam suatu pendidikan pun juga tidak
yang terbentuk berdasarkan sensasi kita terhadap
luput
benda-benda tersebut.
pembelajaran ataupun pendidikan tidak memiliki
Mac
Intyre
(dalam
O’Neil,
2008:32)
oleh
Barthes
setiap
dari
sendi
ideologi,
pemahaman
yang
penggambaran
diidentikkan
dengan
tertentu
bahwa
kehidupan.
karena
Sistem
tanpanya
baik
landasan yang jelas arah dan geraknya. Dalam
memaparkan bahwa ideologi merupakan upaya karakteristik-karakteristik
membuktikan
lebih
konkrit,
ideologi
(isme)
tertentu,
paham
alam atau masyarakat maupun keduanya, ideologi
beberapa
diantaranya
tidak sekedar memberitahu kita bagaimana dunia ini
liberalisme dan anarkisme.
adalah
konservatisme,
sebenarnya dan apa yang harus kita lakukan,
Hiruk pikuk kebutuhan zaman tak ayal juga
melainkan ia berkenaan dengan arah yang diberikan
mempengaruhi paradigma pendidikan, dalam satuan
oleh yang satu kepada yang lain. Pada konteks yang
yang lebih kecil yakni paradigma pembelajaran. Ia
sama, Sargent (dalam O’Neil, 2008:33) menjelaskan
berkembang dan bermetamorfosa menjadi beraneka
bahwa ideologi adalah sebuah sistem nilai atau
ragam bentuk dan model pembalajaran. Paradigma
keyakinan
yang
diterima
atau
pembelajaran juga turut terkena imbasnya, sebagai
kebenaran
oleh
kelompok
Ideologi
kepala sebuah lokomotif maka paradigma harus
menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana
disusun sedemikian rupa untuk merespon dan
adanya dan sebagaimana harusnya dunia itu, dengan
menghadapi tuntutan zaman, sehingga fase transisi
melakukan
perubahan
hal
tersebut
sebagai
fakta
tertentu.
maka
ideologi
telah
paradigma
menjadi
titik
kunci
mengorganisir kerumitan (kompleksitas) yang besar
membangun sebuah cara berpikir pada suatu
menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa
permasalahan.
dipahami.
Bahkan
Roland
Barthes
(2009)
menjelaskan bahwa mitos merupakan bagian penting
Pergeseran paradigma tersebut tentu saja
dari ideologi, dan di era pasca Perang Dunia ke-II,
membuat masalah di Indonesia menjadi semakin
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 3
pelik, seringkali permasalahan ini disebut para analis
Berdasarkan realitas di SDN Monggang
pendidikan sebagai –meminjam istilah Mansour
Bantul, model direct learning merupakan salah satu
Fakih; Reformasi Kosmetik Dunia Pendidikan.
yang ingin peneliti sasar dalam refleksi kali ini.
Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
Model ini kerapkali bahkan selalu digunakan
siswa
untuk
diartikan
bebas
sebagai
memperoleh
pengetahuan
sebagai pembenaran atas classroom dominations
pembangunan
infrastruktur
oleh
guru.
Model
ini
merupakan
model
pendukung secara massif dan menjadi prioritas
pembelajaran yang sama saat pemerintah kolonial
utama tanpa mempertimbangkan sisi substansial.
masih memerintah Hindia Belanda dimana guru
Mudah dijumpai pada suatu pembelajaran yang
diposisikan secara overcontrolled sebagai penguasa
didukung fasilitas modern namun secara desain,
atas pengetahuan, sebagai pemilik narasi kebenaran.
bahan ajar dan metode masih menggunakan tipe classical-conditioning-behavioral.
Masa
transisi
Konsep direct learning yang seringkali mengusung
metode
ceramah
hampir
selalu
pada pergeseran paradigma ini kemudian tidak
digunakan dalam setiap pembelajaran di Indonesia
digarap serius baik di level nasional hingga daerah.
pada berbagai jenjang pendidikan tanpa adanya
Tidak heran kemudian kondisi sosiologis peserta
analisis karakteristik mata pelajaran seperti yang
didik yang terlahir pada era ini bingung beradaptasi
peneliti temui di SDN Monggang Bantul dan satu
pada lingkungan yang semakin menuntut rasionalitas
hal yang lebih penting, muatan ideologis apakah
ala positivistik.
yang tercantum didalam syntax model pembelajaran
Tuntutan perubahan zaman di era digital dan
direct learning karena seperti apa yang peneliti
pendidikan
paparkan diatas, bahwa pendidikan merupakan arena
maupun pembelajaran membuat kajian teknologi
kontestasi ideologi. Perihal muatan ideologis yang
pendidikan harus dengan segera diperluas. Sebelum
terselubung di dalam model pembelajaran direct
itu, nampaknya diperlukan sebuah langkah sebelum
learning
maju ke arah pembuatan teori baru yang sesuai
pendidikan Indonesia yang seharusnya berpegang
dengan realitas, tahap tersebut adalah refleksi.
teguh pada dasar negara, yakni pendidikan sebagai
Konsep praxis yang ditawarkan dalam sebuah
ajang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang
transformasi perubahan oleh Freire (1970) adalah
secara kontributif turut mewakili nilai-nilai luhur ke-
memberi titik tekan pada aksi (teori-praktek) dan
gotong-royong-an, kebhinnekaan dan kerakyatan.
potensi
perubahan
sistemik
dalam
merupakan
sebuah
tantangan
bagi
refleksi. Refleksi yang dimaksud adalah pembacaan ulang
atas
kebekuan
totalitas.
Pendidikan
mengemban tugas yang tidak mudah, yakni mampu mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan, artinya
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis
penelitian
ini
adalah
penelitian
ia juga dituntut –meminjam istilah Budi Hardiman;
kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif
saying the unsayable.
adalah metode penelitian yang digunakan untuk menggali pengetahuan khas yang temuan-temuannya
4
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad)
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau
dipelajari,
dan
memutuskan
apa
yang
dapat
bentuk hitungan lainnya
diceritakan kepada orang lain.
Waktu dan Tempat Penelitian
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan
SDN Monggang terletak di Desa Monggang,
Maret 2016 dengan jangka waktu 4 hari dengan
Sewon, Bantul. Sekolah ini telah bertaraf nasional
masa pendekatan selama 2 minggu di bulan Februari
dengan predikat SDSN ( Sekolah Dasar Standar
2016 dan dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri
Nasional) seperti persekolahan pada umumnya di
Monggang, Bantul, Yogyakarta.
Indonesia, SDN Monggang menggunakan sistem kelas tahun bertingkat mulai dari kelas 1 sampai 6. Sekolah ini memiliki jam belajar pada 07.00 WIB
Target Penelitian Target dari penelitian ini adalah proses
hingga 13.00 WIB pada hari Senin – Kamis.
pembelajaran dan kondisi subjek-objek pebelajar di
Sedangkan pada hari Jumat dan Sabtu persekolahan
kelas II B SDN Monggang, Bantul yang diamati
berakhir lebih awal pada pukul 11.00 WIB. Peneliti
secara acak dalam beberapa proses kegiatan belajar
mendapatkan izin untuk meneliti pada kelas tingkat
mengajar dibeberapa mata pelajaran.
II bagian B. Setelah bel tanda masuk sekolah berbunyi,
Data, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Data yang ingin didapatkan adalah data
siswa
berhamburan
sedangkan peneliti
masuk
ke
dalam
kelas
berada diluar kelas untuk
narasi deskriptif, konfigurasi suasana kelas dan
mengamati dari luar jendela dan telah memasang
pengetahuan
knowledge.
kamera yang diletakkan di dalam kelas untuk
Instrumen wawancara disusun untuk menjadi guides
merekam seluruh aktivitas pembelajaran. Sebelum
in-depth interview. Teknik penelitian berbentuk
guru datang masuk ke kelas, siswa masih asyik
observasi
data
bermain, namun keadaan berubah drastis ketika
dilakukan dengan camera and audio recording pada
salah seorang siswa mengintip kedatangan guru
pengamatan situasi proses pembelajaran di dalam
kelasnya dari pintu. Siswa kembali berhamburan
kelas dan depth interview kepada guru dan siswa.
dengan sigap untuk duduk di kursi masing-masing.
yang
non
bersifat
partisipasi.
tacit
Pengumpulan
Proses pembelajaran diawali dengan duduk rapi Teknik Analisis Data Tahap ini yang dilakukan dengan jalan
dengan
melipat
mengucapkan
tangan
salam
diatas
kepada
meja guru
sembari kemudian
bekerja dengan triangulasi data, mengorganisasikan
menjawabnya dan ketua kelas memimpin untuk
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
memberikan aba-aba membaca doa, kemudian siswa
dikelola,mensintesiskanya, mencari dan menemukan
membaca doa secara serentak dengan nada dan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
intonasi yang sama mulai dari awal hingga akhir.
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 5
Ritus selesai dan kemudian masuk kepada
sungguh di persekolahan namun siswa tidak bisa
proses pembelajaran pertama, pada mapel bahasa
mengikuti kemauan tersebut karena naluri alamiah
Indonesia untuk menerangkan kalimat aktif dan
mereka menyatakan ingin bermain dan bosan
pasif. Dominasi pembicaraan memang dikuasai oleh
dengan pelajaran yang “itu-itu saja”. Siswa juga
guru, ia disana memiliki porsi besar untuk menjadi
mengeluhkan suasana pembelajaran yang monoton
pusat perhatian dan pembicara utama. Dalam
didalam kelas sehingga pada jam istirahat tiba,
beberapa mata pelajaran selanjutnya juga masih
sebagian besar siswa berhamburan keluar sembari
sama, guru tetap memiliki porsi yang besar dalam
membawa bekal makanan dan mainan yang dibawa
menyampaikan
ke sekolah
pelajajaran
(berbicara).
Guru
sesekali dalam berbicara berpindah posisi dari depan
Peneliti juga mendapatkan waktu penelitian
kelas berjalan beberapa langkah ke depan dan
disaat persekolahan melaksanakan Ujian Tengah
samping agar siswa yang tidak fokus bisa kembali
Semester (UTS). Para siswa mengaku sedikit gentar
pada
guru
melaksanakan UTS dikarenakan orangtua mereka
menyampaikan pertanyaan kepada siswa, namun
menuntut mereka bisa mencapai standar minimal
seringkali ditanggapi dingin sehingga terpaksa ia
dalam ujian. Siswa mengaku takut ketika mendapat
sendiri memberikan clue bahkan jawaban sendiri.
soal yang sulit dan tidak ada teman yang membantu,
Peneliti mewawancarai beberapa siswa terkait
namun dalam kenyataannya ada beberapa teman
dengan proses pembelajaran di sekolah dan juga
yang dianggap tidak kooperatif, jenis siswa yang
mengidentifikasi rutinitas siswa mulai dari berangkat
seperti ini (tidak kooperatif) biasanya mendapatkan
sekolah hingga pulang kembali ke rumah. Tujuan
hukuman sosial dari beberapa siswa di kelas dengan
utama melakukan identifikasi pembelajaran di
diejek sebagai pribadi yang pelit dan terkadang juga
sekolah dan rutinitas ini didasari oleh pengalaman
dijauhi secara sosial dalam beberapa saat. Soal UTS
kolektif pada semua orang yang pernah duduk di
yang diberikan kepada siswa dalama semua mata
bangku Sekolah Dasar yang pada umumnya
pelajaran berbentuk multiple choice sehingga siswa
memiliki beberapa persamaan pola dan garis besar.
tinggal memilih salah satu jawaban yang ia anggap
Peneliti
terkait
benar. Terlebih di setiap akhir jam UTS pada
pengamatannya terhadap perilaku guru di dalam
masing-masing mata pelajaran diadakan evaluasi
kelas
mampu
langsung pada hasil akhir jawaban siswa sehingga
menyilangkan dua persepsi dari siswa dan guru itu
setiap siswa langsung mengetahui nilai akhir dari
sendiri.
masing-masing mata pelajaran yang diujikan.
jalurnya.
juga
dan
Beberapa
kali
mewawancarai
sekolah
sehingga
pula
siswa
peneliti
Beberapa siswa menyatakan bahwa motif
Peneliti mewawancarai seorang guru kelas
utama bersekolah adalah karena bosan di rumah dan
pengampu wali kelas II B di SDN Monggang. Guru
ingin
untuk
tersebut mengungkapkan bahwa karakter kelasnya
orangtua
cukup mudah untuk dikendalikan karena distribusi
mereka selalu mendorong untuk belajar bersungguh-
karakter anak dikelasnya cukup heterogen dan tidak
memperluas
bermain.
Menurut
jaringan pengakuan
pertemanan siswa,
6
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad)
didominasi oleh siswa yang berjenis troublemaker.
Guru menyatakan bahwa dalam pembelajaran di
Sedangkan
setiap hari ia hanya memperhitungkan matriks dan
pada
kelas
II
A
jumlah
siswa
troublemaker lebih banyak dibanding kelas yang
ketercapaian
materi
pembelajaran
pada
setiap
diampunya. Guru mengakui bahwa pembagian kelas
semester, sehingga instrumen desain pembelajaran
ini menggunakan sistem randomize agar terjadi
seperti RPP dan Silabus bukanlah hal yang dibuat
distribusi yang merata di setiap kelas pada setiap
untuk kepentingan teknis lapangan secara riil,
tingkat. Indikator pembagian ini biasanya diruntut
melainkan hanya dibuat untuk formalitas semata
dari prestasi siswa dan karakternya. Tak jarang juga
serta guru juga menyatakan bahwa apa yang ia
antar guru wali kelas harus berkompromi dengan
lakukan di kelas merupakan mengajar dengan
karakter pribadi masing-masing untuk menerima
“insting alamiah” seorang guru dengan ditambahkan
pembagian siswa troublemaker. Guru II B mengakui
improvisasi.
bahwa pembagian siswa troublemaker ini juga
Pelembagaan pendidikan Indonesia tidak
disesuaikan dengan karakter guru, dikarenakan guru
bisa lepas dari akar sejarah yang panjang, mulai dari
II A memiliki karakter yang lebih keras, maka
zaman klasik, kolonial, saat awal berdiri Republik
jumlah siswa troublemaker dikelasnya lebih banyak.
hingga saat ini. Peneliti mencoba menelusuri
Pengendalian siswa troublemaker ini terbilang
beberapa “aroma” yang ikut tercampur ke dalam
susah, karena menurut guru, siswa ini selalu
dunia pendidikan hari ini.
berkeliaran
mengitari
bangku
temannya
dan
mengganggu siswa lain yang sedang fokus belajar. Menurut pengakuan guru, ia sudah berusaha
Pada
zaman
klasik
dunia
pendidikan
tercampur dengan kebutuhan pelembagaan agama terbesar yang pernah hidup, yakni Hindu dan
suatu
Buddha sehingga tujuan utama dari pendidikan saat
pembelajaran di kelas, namun siswa cenderung diam
itu merupakan mengembangkan agama dan ilmu
dan terlihat takut. Sewaktu peneliti bertanya tentang
pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai agama
metode yang sering guru gunakan dalam kegiatan
tersebut. Peneliti mencurigai bahwa aroma yang
pembelajaran, ia menjawab metode ceramah dan
terbawa hingga saat ini adalah aroma kolonial yang
tanya jawab secara langsung dengan siswa. Ternyata
masih melembaga ke dalam kehidupan sosial
“interaktif dan komunikatif” yang guru pahami
maupun kepemerintahan.
interaktif
dan
komunikatif
di
dalam
yang
Rifa’i (2011:58) menjelaskan bahwa sesudah
didalamnya terdapat unsur tanya jawab dan instruksi
VOC gulung tikar pada 1799, Indonesia menjadi
langsung kepada siswa. Konfigurasi tempat duduk
daerah jajahan Belanda dengan nama Hindia-
jarang diubah, namun guru selalu responsif terhadap
Belanda. Pada saat Daendels memerintah, ia
siswa troublemaker, sehingga siswa ini akan secara
menyatakan
langsung dipindahkan tempat duduknya di depan
pendidikan
kelas atau di sekitar jangkauan terdekat guru, agar
memperkenalkan
ketika berulah, guru bisa secara sigap bertindak.
kesusilaan, adat istiadat dan pengertian-pengertian
adalah
sebatas
melakukan
komunikasi
bahwa bagi
perlu anak-anak
kepada
diselenggarakan Jawa
anak-anak
untuk tentang
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 7
agama. Namun niatan tersebut urung dilaksanakan
direct learning yang dikemukakan oleh Slavin
karena
(dalam
terjadi
perpindahan
kekuasaan
Hindia
Student
Achievement,1988).
Artinya
Belanda ke tangan Inggris pada 1811-1816. Baru
penciptaan kondisi dan kesadaran belajar dilakukan
setelah Belanda kembali merebut Hindia Belanda
oleh guru, sehingga siswa secara simultan menjadi
kembali, keluarlah surat keputusan yang isinya
objek
tentang penetapan anggaran belanja pendidikan bagi
(2008:412) memberikan penjelasan bahwa kondisi
orang-orang Hindia Belanda, terutama bagi anak-
belajar menurut kaum liberal adalah kondisi yang
anak pegawai Hindia Belanda. Rifai (2011:59-63)
dialami
juga menjelaskan bahwa konteks pendidikan dan
psikologis, dan kondisi ini didesain sedemikian rupa
pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk
agar
memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-
Meletakkan kondisi belajar pada kondisi psikologis
kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain.
ini juga sejalan dengan apa yang digagas oleh
belajar,
oleh
bukan
individu
pebelajar
subjek
secara
mendapatkan
belajar.
O’neil
emosional
kondisi
dan
belajar.
Beberapa hal peninggalan penjajahan Jepang
Pavlov, Bandura dan Slavin yang notabene adalah
yang teradaptasi hingga sekarang seperti tradisi
kaum behavioris bahwa untuk mengkondisikan
upacara bendera di hari Senin yang merupakan
kondisi belajar pada siswa maka diperlukan sebuah
adaptasi representatif dari kewajiban upacara di pagi
rangsangan
hari saat zaman penjajahan Jepang, baris-berbaris
tingkah laku dari tidak belajar menjadi kondisi
sebelum masuk kelas sebagai representasi dari salah
sedang belajar, kondisi ini merupakan respon yang
satu bentuk militerisme, adanya organisasi baris-
diharapkan, maka hubungan integralnya adalah tidak
berbaris di sekolah sebagai bentuk representatif dari
belajar –rangsangan –sedang
Seinendan (Barisan Tentara Pelajar) serta kerja bakti
behavioris meyakini bahwa definisi belajar adalah
di hari Jumat / Sabtu yang juga adaptasi representatif
perubahan tingkah laku, dari diam menjadi bergerak,
dari kerja bakti membersihkan jalan dan asrama
dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi
militer di zaman penjajahan Jepang.
pintar.
agar
siswa
mengalami
perubahan
belajar. Kaum
Aroma yang peneliti cium dari zaman
Pada fase orientasi dalam direct learning ini
kolonial ternyata juga berhembus jauh sampai pada
guru memfokuskan diri untuk menentukan dan
realitas yang peneliti amati di SDN Monggang,
mengarahkan setiap tujuan pembelajaran, materi
Sewon, Bantul. Bentuk struktur kelas bertingkat
pembelajaran dan segala hal yang terkait dengan
dengan jenjang 6 tahun, upacara bendera, berbaris
kerangka pembuatan desain pembelajaran. Pada
rapi sebelum masuk kelas, sikap duduk sempurna di
kenyataannya realitas kelas II B di SDN Monggang,
dalam kelas juga masih terjadi hingga saat ini.
guru memang telah membuat segala macam bentuk
Residu-residu yang bermuatan nilai fasisme ini
dokumen
justru terpelihara di alam demokrasi.
pembelajaran yang akan digunakan, namun yang
yang
berkaitan
dengan
desain
Penentuan dan penetapan materi/bahan ajar
terpakai hanyalah matriks materi pembelajaran yang
oleh guru merupakan salah satu ciri utama dari
telah tersusun untuk pembelajaran pada sutu
8
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad)
semester, sehingga RPP dan Silabus dianggap
tanggapan
sebagai dokumen formalitas. Pada fase orientasi ini
perintah kepada anak buahnya, dan komandan
terlihat bahwa model pembelajaran direct learning
perang memberikan komando kepada pasukannya.
memang
didesain
Komunikasi jenis ini biasanya terimplementasikan
pebelajar,
dimana
untuk
mendiskriminasikan
seperti
atasan
sedang
memberikan
objek
pada metode ceramah yang seringkali dipilih oleh
memiliki demarkasi yang jelas sehingga penekanan
guru dalam menyampaikan materi karena semangat
pada peran guru dalam fase orientasi sejujurnya
transfer of knowledge diikuti oleh nilai dominasi
adalah bentuk penguasaan subjek terhadap objek.
komunikasi yang mengesampingkan komunikan.
Guru sebagai subjek berperan sebagai penentu
Sedangkan frekuensi interaksi (dialog) sangat jarang
seluruh kebijakan yang akan diambil, ia adalah
terjadi, data penelitian menunjukkan bahwa dalam
penguasa segala konsepsi yang kemudian akan
sebuah mata pelajaran, frekuensi dialog berkisar
ditransfer kepada si objek.
antara 0 – 1 kali. Hal ini berakibat pada pasifnya
struktur subjek
dan
Fase kedua adalah presentasi, dalam direct
siswa dalam kegiatan pembelajaran dan berimplikasi
learning guru berperan besar sebagai sumber belajar,
lurus
kepada
berkembangnya
gaya
instruksi
pemilik pengetahuan. Berdasarkan data lapangan,
komandan-anak buah (patron-klien) dan matinya
guru mengajar menggunakan metode ceramah dan
rasa ingin tahu siswa. Menurut peneliti, apabila terus
jarang melakukan interaksi dua arah kepada siswa,
berlangsung berulang-ulang kali maka respon yang
bahkan faktanya siswa merasa takut kepada sang
dimiliki oleh siswa adalah menempatkan guru pada
guru karena guru dipersepsikan oleh siswa sebagai
tempat yang Maha Tahu segala pengetahuan,
pribadi yang jahat dan galak. Guru berperan sebagai
sehingga tercipta struktur subjek aktif dan objek
pesan yang akan disampaikan ke siswa setelah
pasif serta menunjukkan kedudukan siapa yang
melalui tahap perancangan (orientasi) oleh guru.
berkuasa dan siapa yang tidak memiliki apa-apa.
Modus operasi dalam presentasi adalah ketercapaian
Konsep pembelajaran seperti ini diungkapkan oleh
dan ketepatan pesan yang tersampaikan kepada
Freire (2008) sebagai Banking Concept. Siswa lantas
siswa, entah bagaimanapun bentuk komunikasi yang
diperlakukan sebagai bejana kosong yang akan diisi,
akan dijalin haruslah berbanding lurus dengan
sebagai sarana tabungan atau penanaman modal
ketepatan pesan yang diterima oleh siswa. Ia
ilmu pengetahuan yang akan dipetik hasilnya kelak.
berperan sebagai bentuk citarasa yang hegemonik
Jadi guru adalah subyek aktif, sedang siswa adalah
kepada si pebelajar.
obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak jenis
berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang
komunikasi yang terjadi dalam data penelitian, ia
diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu
merupakan komunikasi yang berlangsung dari satu
pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran.
pihak saja, yaitu hanya dari pihak komunikator
Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru
dengan
memberi informasi yang harus ditelan siswa, yang
Komunikasi
tidak
komunikan
satu
memberi
untuk
arah
adalah
kesempatan
memberikan
respon
kepada atau
wajib diingat dan dihafalkan.
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 9
Jika guru hanya bertindak memaksakan apa
jangkauan
pengamatan
guru.
Siswa
dianggap
yang ingin ia berikan kepada siswa tanpa melakukan
sebagai objek yang harus bisa dikendalikan oleh
dialog terlebih dahulu dengan siswa mengenai apa
guru,
yang mereka butuhkan, apa yang mereka inginkan
titahnya, jika menyimpang maka perlu kalibrasi
maka pendidikan yang terjadi tidak lebih dari
ulang. Gramsci menekankan bahwa kekuasaan
pengulangan cara kerja yang diajarkan oleh guru
hegemonik menentukan segala bentuk perilaku,
kepada siswa. Siswa hanya akan jadi objek peniru
citarasa bahkan pilihan-pilihan rasional kaum yang
bukan subjek yang mempunyai hak untuk ikut
dikuasainya. Di dalam kelas bentuk hegemoni ini
melaksanakan proses pendidikan.
sangat terasa, siswa diajari dan dikonstruksi tentang
Perlu
diketahui
jika ketidakmanusiawan
segala
mampu mematuhi segala perintah
bentuk
perilaku,
citarasa
dan
dan
pilihan
kaum penindas dan kaum tertindas juga sama-sama
rasionalnya, seperti tidak gaduh di dalam kelas,
menggunakan
ilmu
dilarang berlarian di dalam kelas, berpakaian
pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh
seragam harus rapi dan bersih, kuku tidak boleh
kaum penindas bertujuan untuk menjadikan kaum
panjang, rambut tidak boleh gondrong, harus datang
tertindas sebagai benda untuk kepentingan ilmiah
tepat waktu dan lain sebagainya, bahkan guru sendiri
belaka. Oleh karena itu kaum tertindas harus ikut
mengakui bahwa ia dianggap lebih orangtua
terlibat dalam proses praksis politik agar mereka
dibanding orangtua kandung siswa sendiri. Bentuk
tidak dijadikan objek kepentingan ilmiah saja.
hegemoni yang masuk kedalam mentalitas seperti ini
ilmu
pengetahuan.
Tetapi
Harus disadari bahwa daya penindasan itu terjadi secara luas dan mendalam. Bahkan dalam
menyebabkan
tidak
berubahnya
pola
pikir
masyarakat.
banyak hal yang kelihatannya paling netral dalam
Berdasarkan data yang diperoleh, konfigurasi
pendidikan, yakni dalam belajar membaca dan
meja dan tempat duduk anatara guru dan siswa
menulis, penindasan itu telah terjadi. Disana siswa
terbilang klasik, dimana guru berada di depan
sudah ditekan dan diperalat sedemikian rupa seperti
menghadap siswa dan siswa menghadap berjajar
seorang budak yang diperalat oleh kekuasaan
menghadap ke guru. Posisi duduk semacam ini
tuannya untuk menggarap apa yang diinginkannya.
memperlihatkan bagaimana bentuk komunikasi yang
Jadi, yang terjadi bukanlah hubungan belajar
dibangun oleh guru, mempusatkan guru sebagai
mengajar, tetapi pemaksaan dunia mereka yang
subjek pebelajar dan siswa sebagai objek yang pasif.
berkuasa terhadap mereka yang tak berkuasa. Jelas
Gaya semacam ini diilhami oleh Teacher Centered
proses
Approach dimana peran, fungsi dan kedudukan
belajar
mengajar
semacam
ini
telah
disentralkan kepada guru karena penekanan yang
memblokir manusia untuk menjadi manusia. Terkait dengan permasalahan penyimpangan
digunakan adalah transfer of knowledge, siswa
yang disematkan kepada siswa troublemaker, disini
dianggap sebagai objek pasif yang akan menerima
bentuk
pengetahuan, ia diumpamakan sebagai bejana
pengendalian
bentuknya,
meletakkan
benar-benar siswa
menemukan
dekat
dengan
kosong yang siap diisi segala warna cairan. Teacher
10
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad)
Centered Approach juga mendesain guru sebagai
penguasa dikelas. Siswa dijadikannya benda yang
satu-satunya sumber belajar, dimana ia akan menjadi
harus ditaklukan, ruang gerak siswa dibatasi, ketika
pusat perencana materi pembelajaran, penyampai
guru tidak memfasilitasi, siswa bingung tidak tahu
pesan pembelajaran hingga menjadi evaluator, pada
apa yang harus dilakukan, akhirnya menjadikan
intinya guru yang menjadi pengendali di dalam
dirinya kaum tertindas, sadar akan ketertindasannya
kelas. Siswa selalu diposisikan sebagai objek
tetapi tidak tahu mau berbuat apa karena rendah diri
pendengar setia dan pengamat saja.
dan takut.
Realitas di SDN Monggang-pun demikian,
Rendah diri adalah sikap utama yang
proses dehumanisasi –meminjam istilah Freire,
membuat kaum tertindas semakin tenggelam dalam
pembelajaran yang hegemonik dan proses produksi-
kubangan penindasan. Dalam pandangan kaum
reproduksi nilai terus menerus berlangsung dalam
tertindas, mereka menganggap dirinya sebagai benda
setiap menit hingga pergantian di setiap tahun
yang artinya dimiliki oleh kaum penindas. Kaum
tingkatan jenjang, proses penilaian hasil belajar juga
tertindas
didesain
terus
penindas, sikap inilah yang nantinya menciptakan
melanggengkan keselarasan tatanan sosial yang
perilaku nekrofilis: perusakan kehidupan. Kesadaran
dikehendaki oleh penindas.
harus mulai dibentuk dalam diri kaum tertindas,
sedemikian
rupa
untuk
Sifat anti-dialogis merupakan salah satu
secara
emosional
tergantung
pada
perjuangan ini harus dimulai dari kesadaran bahwa
sikap penindasan, dimana yang ciri-cirinya adalah
mereka
penaklukan dan memanipulasi. Guru tak boleh
dihancurkan. Dialog yang ajeg antara penindas dan
bertindak layaknya penguasa, menjadikan siswa
kaum tertindas, serta keikutsertaan aktif serta
sebagai benda yang ia miliki. Layak ditaklukan dan
bersama-sama mengamati realita. Pemikiran kritis
dimanipulasi.
sifat
harus dilakukan ketika memperoleh pengetahuan
antidialogis ini berkembang, tak ubahnya pendidikan
tentang realitas yang terjadi dan juga dalam tugas
adalah sebuah ajang tindas-menindas antara guru
menciptakan kembali pengetahuan itu. Nantinya,
dan siswa.
mereka akan menyadari dirinya sebagai pencipta
Jika
dalam
pendidikan
selama
ini
telah
dengan
sengaja
Guru bercerita kepada siswa, siswa dengan
kembali pengetahuan yang tetap. Kehadiran kaum
patuh mendengarkan dan dipaksa menghapal tanpa
tertindas dalam perjuangan terhadap pembebasannya
memahami
akan
makna
dari
‘kenapa
saya
harus
menghapalnya’, pengetahuan yang didapat hanyalah
sesuai
dengan
yang
diharapkan,
yaitu
keterlibatan aktif dan pasti bukan semu.
pengetahuan ‘kosong melompong’, pengetahuan
Humanisasi merupakan fitrah manusia, fitrah
tanpa dasar konsep. Tentu saja pengetahuan itu akan
inilah yang sering terlupakan dan dengan sengaja
cepat hilang dan tidak ada bekasnya, sedangkan
ditiadakan. Terlupakan dalam bentuk pengingkaran
konsep hadap-masalah agaknya belum berkembang
tersebut, justru humanisasi diakui dalam bentuk-
di tubuh pendidikan Indonesia, penyebabnya tentu
bentuk perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan,
saja ego guru yang mengakui dirinya adalah
dan kekejaman kaum penindas yang nantinya
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 11
memunculkan perjuangan para kaum tertindas untuk
tentang bentuk imaji pemandangan yang sama
menemukan kembali harkat kemanusiaan mereka
terhadap bumi oleh siswa, semua siswa akan
yang hilang. Perlakuan tidak manusiawi dari kaum
menggambarkan gunung, matahari dan sawah.
penindas akan mendorong para kaum tertindas untuk
Disinilah bentuk kriminalitas yang sesungguhnya,
bertindak dalam perjuangan melawan penindasan.
dimana semua mimpi dibentuk seragam, yang
bagaimana
berbeda adalah salah. Bentuk fakta penyeragaman
menciptakan suatu kondisi yang tidak membuat pola
ini pun cenderung sama di setiap kelas yang peneliti
sesat ini terulang untuk sekian kalinya, dimana kaum
temui, dalam hal ini di SDN Monggang, bentuk
tertindas yang nantinya bebas dari penindasan malah
evaluasi dalam setiap pembelajaran akan selalu
berbalik menjadi penindas. Manusia baru hasil dari
berbentuk paper and pencil test dan multiple choice.
situasi ini adalah penindas, mereka yang awalnya
Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh
tertindas memiliki pola pikir yang cenderung telah
Gramsci, bahwa penguasa juga akan membentuk
dibentuk oleh kontradiksi dalam situasi nyata yang
“mana yang benar” diantara pilihan-pilihan rasional
telah mereka alami. Pola kontradiksi antara penindas
kita.
Masalah
utamanya
adalah
dan kaum tertindas inilah yang harus diubah, tujuan
Ulangan harian, ulangan pengayaan, ujian
kaum tertindas adalah menjadi manusia seutuhnya,
tengah semester, ujian akhir semester dan segala
dengan hanya membalik posisi kontradiksi yang ada
jenis ujian lainnya merupakan bentuk tindakan
antara penindas-tertindas bukanlah tindakan yang
preventif
benar untuk mencapai tujuan menjadi manusia
ketimpangan rational choice siswa. Segala macam
seutuhnya.
bentuk pengetahuan yang sudah diberikan akan di-
Pada tahap penilaian hasil belar ini segala macam bentuk persepsi, kognisi, mentalitas yang
sekaligus
represif
guru
terhadap
crosscheck ulang sehingga alam berpikir siswa bisa sesuai dengan tujuan pembelajaran.
tidak sesuai dengan orientasi akan di kalibrasi ulang,
Begitu juga dengan improvisasi tindakan di
dipotong dan dikonstruksi sedemikian rupa. Fase
tengah proses pembelajaran seperti memarahi,
evaluasi merupakan fase reinforcement dalam
menegur bahkan memindahkan tempat duduk siswa
behaviorisme,
stimulus
yang dianggap mengganggu jalannya pembelajaran
penguat untuk mendapatkan respon yang sesuai
merupakan bentuk kuasa atas kepemilikan siswa.
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Di fase ini
Freire menyebutnya sebagai pembendaan siswa,
hanya terdapat dua opsi yakni siswa yang benar
sedangkan bagi siswa guru dipersepsi sebagai
adalah yang memiliki respon yang sesuai dengan
monster yang jahat dan galak, dalam bahasa
tujuan pembelajaran dan siswa yang salah adalah
Gramsci, ia menyebutnya sebagai kondisi yang telah
siswa yang memiliki respon menyimpang dengan
ter-hegemonik.
ia
diciptakan
sebagai
tujuan pembelajaran. Bentuk kalibrasi seperti ini
Sedikit meminjam pisau analisa Althusser
membuat semua siswa memiliki bentuk imaji yang
(2008:31-35) tentang Ideological State Apparatus
sama terhadap sebuah presentasi, semisal anekdot
(ISA), ISA mengarah pada ideologi itu sendiri yang
12
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad)
masuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Ideologi
akademik dari psikologi behaviorisme yang kaku
ini terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan,
sehingga persebaran bentuk dari direct learning
hukum,
serta
terdeteksi oleh ciri transfer of knowledge,
moralitas. Pada sisi ini, Althusser menekankan sisi
pengendalian materi pembelajaran, instruksi,
produksi dan reproduksi material dalam ideologi.
represi, penekanan pada penguasaan konsep dan
Produksi tidak mungkin ada tanpa reproduksi karena
perubahan tingkah laku yang artifisial serta
proses pembentukan memerlukan sesuatu untuk
manajemen pengelolaan kelas yang menjadikan
dibentuk. Hubungan antar manusia menjadi basis
guru sebagai subjek pebelajar dan siswa sebagai
penting dalam ideologi, bukan hanya sekedar
objek belajar.
keluarga,
politik,
komunikasi,
pemilik modal dan buruh, melainkan juga antara
3. Hegemoni kekuasaan di kelas sangat terasa
pemilik kuasa ideologis dan sasaran ideologis itu
dikuasai oleh guru yang dapat dilacak melalui
sendiri. Setiap ada proses produksi ideologis, maka
teacher centered approach, dimana guru menjadi
disitu pula ada reproduksi ideologis yang digunakan
penguasa dan pemilik pengetahuan, siswa dan
untuk melanggengkan ideologi itu sendiri. Dengan
kelas. Sedangkan praktek dominatif juga dimiliki
demikian, bukan hanya sikap antar manusia yang
oleh guru yang dipersepsikan oleh siswa sebagai
menjadi fokus dari ideologi, melainkan juga tatanan
sosok yang selalu menentukan citarasa dan
sosial
rational choices siswa.
yang
terus-menerus
membentuk
ulang
ideologi itu. SARAN 1. Berkaitan dengan pendidikan bagi anak manusia
KESIMPULAN 1.Model pembelajaran Direct Learning dilaksanakan
dalam menjalani proses untuk “menjadi” ini,
di SDN Monggang tanpa melakukan analisis
tentu pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
karakteristik
jenis
persoalan sosial yang sedang terjadi. Pendidikan
pengetahuan, sehingga model direct learning
yang hanya membekali peserta didik dengan
diimplementasikan pada semua mata pelajaran.
pengetahuan yang tidak mencerahkan terkait
Guru menyusun Rencana Program Pembelajaran
kehidupan sosial atau justru malah membuat
dan
belaka
kemanusiaan tertindas secara sosial semestinya
dokumen
ditinggalkan. Inilah hal penting dari pendidikan
mata
Silabus
dikarenakan
pelajaran
sebagai
semakin
dan
formalitas
memperumit
sebagai proses yang membebaskan. Sebuah
administrasi yang harus ia kerjakan. 2. Direct learning merupakan derivasi ideologis dari
proses pendidikan yang meninggalkan cara dan
liberalisme pendidikan yang berpegang teguh
aktivitas yang sesungguhnya justru dehumanisasi
pada keyakinan bahwa kondisi belajar merupakan
menuju cara dan aktivitas pendidikan yang penuh
ranah emosional dan psikologis. Direct learning
dengan proses humanisasi. Justru menjadikan
beroperasi
pada
centered
pendidikan sebagai cara dan aktivitas yang penuh
approach
dengan
keyakinan
dengan proses humanisasi, hal ini sesungguhnya
modus
teacher
menggunakan
Kritik Ideologi Model (Mirza Ahmad) 13
telah menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses transformasi sosial menuju perubahan ke arah kemajuan di tengah masyarakat. Proses pendidikan ini ditandai dengan adanya peralihan situasi dari: proses yang tidak mengenal dialog menuju
hubungan
yang
penuh
dialogis,
kehidupan masyarakat yang tertutup menuju kehidupan
masyarakat
yang
terbuka,
dan
masyarakat yang jauh dari pengetahuan menuju masyarakat yang sadar serta membutuhkan ilmu pengetahuan.
Dengan
demikian,
pendidikan
merupakan suatu sarana untuk memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaannya. Terkait dengan pendidikan sebagai sarana untuk memproduksi kesadaran untuk mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaannya, maka pendidikan harus bisa berperan membangkitkan kesadaran kritis para peserta didik. Ini adalah sebagai prasyarat penting menuju pembebasan. Terkait dengan masalah ini, salah satu tugas penting pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi yang dominan dan menguasai masyarakat pada umumnya. Refleksi kritis ini dilakukan dalam rangka untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju kehidupan masyarakat yang berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA Althusser, Louis.2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Barthes, Roland. 2009. Mitologi. Bantul: Kreasi Wacana. Freire, Paulo. 1970. Cultural Action for Freedom. Massachusettes: Harvard Educational
Review and Center for Study of Development and Social Change. Freire, Paulo. 2004. Politik Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. Hardiman, Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Diakses dari www.books.google.co.id. pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 19.00 WIB. Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. Mansour Fakih. 2001. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Read Book. O’Neil, William F. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Thompson, John B. 2015. Kritik Ideologi Global. Yogyakarta: IRCiSoD.