Krisis Global & Rekrutmen Politik Indonesia 2009 Tinjauan Interdisipliner Aktual Ekonofisika Rolan Mauludy [
[email protected]] Dept. Evolutionary Economics Bandung Fe Institute Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
Abstract Indonesia is facing two challenges in the mid of 2009: political for the time for the general election while economically must face the pressure of global crises ahead. Interdependence between countries has brought a financial changes in a country that affect other countries. We build a simple model for composite index to detect the possibility of the financial critical time in the scope of the globe to Indonesian economic substrate by incorporating some indicators reflecting the economical present of the country. Here, some notions and methodologies from econophysics are employed to enrich and sharpen observation, i.e: the financial network model (among stocks traded in the Indonesian Stock Market as well as among currencies in the world) and the log periodic models used to understand the symptoms of market crashes. Those critical situations are eventually related to the task of the general election as Indonesian political recruitment which some ways differs with previously held in 1999 and 2004. The challenges are concluded as well as some recommendations that can be delivered in order to have Indonesian pass the two critical situations. Keywords: econophysics, global financial crisis, stock market, financial tree, log periodic model, general election. 1
1. Pendahuluan Krisis ekonomi selalu menarik untuk dikaji oleh dan bagi siapapun. Investor jelas membutuhkan pemahaman akan krisis untuk menajemen risiko yang dihadapi ketika melakukan investasi [15]. Politisi memerlukan pengetahuan akan krisis demi untuk mengetahui apa dan bagaimana kebijakan dapat diambil demi untuk manajemen risiko posisi politiknya baik dalam rangka mempertahankan maupun untuk merebutnya [4, 14]. Tak kurang krisis juga menarik perhatian psikolog dan sosiolog mengingat banyaknya dampak sosiologis yang tak jarang juga bersumber dari situasi psikologis individu sebagai elemen penyusun masyarakat (misalnya [22]). Budayawan juga bahkan perlu memperhatikan kondisi faktual terkait krisis mengingat banyak transformasi kebudayaan dapat terjadi berkenaan dengan terjadinya krisis ekonomi [23]. Namun yang jelas, pengkaji ekonomi sangat memperhatikan krisis mengingat krisis merupakan sebuah kejadian yang langka dan sangat kompleks dari sisi penyebab, proses terjadinya, hingga dampak dan akibatnya [3]. Upaya untuk menelaah krisis ekonomi global yang terjadi sekarang memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi. Tantangan ini terjadi mengingat tiadanya singularitas yang menyebabkan sekaligus domain dampak dari krisis tersebut. Parameterisasi pengukuran yang digunakan dalam memahami krisis secara komprehensif juga tidak mudah untuk diperoleh. Proposisi kritis dilakukan oleh para ekonom kontemporer maupun ekonofisikawan terkait dengan krisis ekonomi (cf. [2]) karena langkanya metodologi yang komprehensif terkait dengan krisis, bahkan terdapat kecenderungan, kelangkaan kejadian krisis seringkali menjadikan banyak aspek penelitian dan kajian ekonomi konvensional tidak berupaya untuk mendekati apa dan bagaimana terjadinya krisis, atau dengan kata lain melihat krisis cenderung hanya sebagai sebuah kejadian langka (rare events) dan situasi anomali dalam normalitas sistem ekonomi. Hal ini sungguh disayangkan mengingat rekomendasi ekonomi terkait krisis sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan (social policy maker) dalam mempersiapkan langkah‐langkah kebijakan fiskal dan moneter dalam meredam gejolak sosial yang dapat timbul akibat adanya krisis ekonomi. Sains kompleksitas telah memberikan kebijaksanaan untuk tidak melihat krisis tersebut dalam perspektif ekonomi semata [20]. Krisis ekonomi berkaitan dengan berbagai dimensi lainnya, mulai dari permasalan sosial, aspek politik dan lain sebagainya. Pada waktu yang bersamaan dengan ancaman krisis ekonomi global, Indonesia tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum, yang merupakan sebuah proses transisi demokrasi. Di sisi lain, Indonesia memiliki keragaman etnik yang sangat tinggi. Komplikasi tersebut menghadirkan sejumlah tantangan bagi ilmu pengetahuan agar mampu memenuhi tuntutan positif dan normatif di dalamnya. Laporan bertujuan untuk membaca krisis global 2009, dalam konteks Indonesia, berdasarkan tinjauan interdisipliner aktual ekonofisika. Makalah ini dibagi dalam dua bagian besar terkait aktualitas kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Yang pertama diketengahkan adalah tentang krisis keuangan yang mengglobal dan bagaimana situasi yang terjadi di Indonesia terkait hal ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tentang perilaku berbagai indikator ekonomi terkait krisis yang mungkin akan berimbas pada sistem ekonomi di tanah air dan berbagai metodologi yang kerap di‐inisiasi dalam berbagai kajian ekonofisika. Regenerasi politik terjadi di Indonesia melalui pemilihan umum 2009 dan event besar ini tentu akan memiliki dampak juga dengan kehidupan sosial ekonomi Indonesia. Berbagai pendekatan kompleksitas sosial digunakan untuk membedah hal ini secara komprehensif pada bagian kedua dari makalah ini. Dari kedua hal ini, diharapkan telah diperoleh deskripsi yang dapat memperkaya khazanah diskusi terkait dua momentum penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Makalah ini tentu tidak 2
dimaksudkan untuk memberikan prediksi apapun melainkan sebuah bentuk arahan yang diperoleh dari kajian ekonofisika dan kompleksitas sosial sedemikian sehingga komprehensi dapat diperoleh dalam memahami perilaku sosial di tengah krisis ekonomi ketika masyarakat secara luas juga sedang merayakan rekrutmen politik dalam proses pemilihan umum yang langsung atau tak langsung menempatkan Indonesia berada pada keadaan kritis. Dengan kata lain, kedua momen kritikal ini merupakan dua kenyataan yang mesti dihadapi dan merupakan tantangan untuk menjadikan kedua momentum untuk kehidupan sosial dan masyarakat yang lebih baik. Makalah ini berharap dapat memberi konjektur rekomendasi terkait hal ini. 2. Tentang Krisis Keuangan Global & Perekonomian Indonesia Salah satu pendekatan yang digunakan dalam memahami krisis ekonomi adalah dengan menggunakan data deret waktu (time series data) dari banyak parameter yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan yang umum. Kompleksitas dari krisis ditunjukkan secara jelas dari banyak parameter yang sering digunakan sebagai model peringatan dini akan adanya krisis seperti: modal nasional (national capital account), hutang luar negeri dan penanaman modal (baik asing maupun domestik), situasi mata uang, pertumbuhan pendapatan masyarakat, situasi ekonomi internasional, liberalisasi ekonomi, pasar modal dan pasar tenaga kerja, sektor riil terkait inflasi dan pertumbuhan ekonomi, aspek persebaran (contagion effect), kondisi struktural dan institusional terkait firma dan bank, termasuk kondisi politik nasional terkait perubahan rezim dan kebijakan ekonomi politik [13, 3]. Tabel 1 Indikator‐indikator yang diikutsertakan dalam observasi Pi (N / S) i
*)
1.096774 Pendapatan Domestik Bruto **) 2.444444 Investasi Total Nasional ***) 0.708333 Indeks Harga Properti Residensial ***) 0.22409 Indeks Harga Saham Gabungan ****) 0.242424 Mata Uang Rupiah/USD ***) 0.610619 Pertambahan Kredit Macet ***) Kredit Likuiditas Bank Indonesia 1.033991 *****) 0.344262 Cadangan Devisa *****) 0.794118 Laju Inflasi *) Data mulai dari 1961,
0.333333 0.272727 0.428571 0.62963 0.6 0.378378 0.258065 0.461538 0.25
**) Data mulai dari 1968, ***) Data mulai dari 1997, Sebagaimana dalam beberapa hal ditunjukkan dalam [24], kita dapat menggunakan beberapa parameterisasi untuk mengkalkulasi indeks peluang terjadinya krisis dengan membuat pendekatan sinyal dini akan peluang adanya krisis dengan menggunakan berbagai parameterisasi ekonomi dan situasi faktual yang ada. Misalnya kita memperhatikan parameter‐parameter ekonomi sebagaimana ditabulasi dalam tabel 1. Jika kita nyatakan tiap parameter ekonomi tersebut dengan indeks i , maka
3
untuk setiap parameterisasi ekonomi tersebut, kita dapat membuat indeks biner terkait perubahan kuantitas masing‐masing variabel tersebut sebagai,
⎧ 1, λi (t ) > q Si (t ) = ⎨ ⎩0, lainnya.
(1)
di mana λ merupakan nilai dari besaran indikator yang digunakan dan q sebagai sebuah besaran yang dijadikan nilai ambang (threshold) tertentu. Nilai ambang ini dapat dihitung secara optimum dengan menggunakan persentil ke‐sekian persen dari distribusi data‐data yang kita gunakan dalam observasi. Misalnya, jika kita peroleh q = Q80% , maka untuk tiap nilai λi (t ) > Q80% sebuah sinyal peluang terjadinya krisis dikeluarkan oleh sistem kalkulasi yang dilakukan. Dari sistem tersebut maka kita dapat memperhitungkan sinyal‐sinyal individual untuk tiap indikator yang digunakan yang kemudian kita nyatakan sebagai bentuk komposit yang dapat ditulis sebagai, (2) X (t ) = Si (t )
∑ i
Dapat dibayangkan bahwa tidak semua indikator ekonomi yang digunakan memberikan sinyal yang tepat akan terjadinya krisis, dan sinyal yang diberikan oleh satu indeks individu juga dapat saja memberikan sinyal yang tidak diikuti oleh krisis ekonomi secara faktual. Sebagaimana diusulkan pada [3] untuk melakukan kontrol evaluatif dari performa bagi masing‐masing indeksasi komposit tersebut, kita dapat menggunakan pendekatan rasio sinyal dan derau (noise to signal ratio), ( N / S ) yang didasarkan pada evaluasi yang ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2 Evaluasi atas Observasi dari Data Indikator yang digunakan Terjadi Krisis Tidak Terjadi Krisis α β ∀t , Si (t ) = 1
γ
∀t , Si (t ) = 0
δ
Dari evaluasi tersebut, kita mendapatkan jumlah sinyal yang benar ( α ) diikuti oleh krisis dalam periode waktu yang kita tetapkan (interval 2 tahun), jumlah sinyal yang tidak diikuti oleh krisis ( β ), dan banyaknya data yang pada dasarnya diikuti oleh krisis namun tidak ada sinyal yang keluar dalam sistem kalkulasi kita ( γ ) dan sejumlah data yang tidak diikuti oleh kejadian krisis dan juga tidak diikuti oleh sinyal ( δ ). Rasio sinyal dan derau untuk indikator i dapat kita tulis,
( N / S )i =
β / (β + δ ) α / (α + γ ) i
(3)
Nilai variabel ( N / S ) tentunya memberikan tingkat akurasi dari tiap sinyal yang dikeluarkan oleh masing‐masing indikator dan dalam hal ini, indeks komposit kita dapat menggunakan variabel tersebut 4
untuk mengukur sejauh mana krisis dapat terjadi dengan memasukkan nilai evaluatif ini pada variabel yang kita hitung pada persamaan (2), sebagai, M
K (t ) = ∑ i
Xi ( N / S )i
(4)
untuk sebanyak M indikator yang kita gunakan. Lebih jauh, untuk observasi dan pantauan dinamik bagi tiap variabel, tabel 2 juga dapat kita gunakan untuk memperhitungkan probabilitas sejauh mana satu indikator dapat memprediksi secara akurat (dalam horizon histori data yang digunakan),
Pi =
α
α +β
(5)
di mana semakin besar nilai Pi maka kekuatan prediktif dari indikator i juga makin kuat. Tabel 1 menggambarkan sejauh mana hal ini dapat digunakan untuk pantauan dinamik dari data indikator yang kita gunakan. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa kurs mata uang memberikan akurasi probabilistik yang paling besar ketika terkait dengan kemungkinan terjadinya krisis yang diikuti dengan cadangan devisa yang tersedia. Penggunaan berbagai variabel sosial lainnya tentu dapat saja digunakan untuk melihat peluang terjadinya krisis yang ada. Gambar yy Gambar 1 Indeks komposit atas beberapa indikator ekonomi (tabel 1) terkait terjadinya Krisis dan beberapa peristiwa krisis yang terjadi secara fundamental dan faktual (garis merah).
Gambar 1 menunjukkan perkembangan jangka panjang dari indeks komposit yang kita kalkulasi yang dikontraskan dengan waktu‐waktu di mana secara fundamental diketahui adanya beberapa episode krisis. Pada tiga krisis awal, yaitu pada bulan Oktober 1978, bulan Maret 1983, bulan Juli 1986, bulan Oktober 1997 sebagai bentuk krisis ekonomi yang paling terasa di Indonesia [24], yang dibarengi momen revolusioner di banyak bidang khususnya pergantian rezim yang kukuh selama 32 tahun, dan akhirnya krisis global yang berawal dari gejolak kemacetan ekonomi di Amerika Serikat sekitar Agustus 2008 dan 5
p dan kedua 2009. Dalam gamb bar terlihat bahwa b belum terratasi secara optimal hinggga kuartal pertama tiga krisis pertama, ind deks kompossit masih terliihat relatif reendah karena memang datta yang digun nakan dalam peerhitungan ko omposit yangg ada hanya satu indikato or. Penggamb baran indekss yang lebih detail diperoleh untuk data‐d data pada akh hir dekade 19 990‐an. 3. Perspektif Ekonofisiika Secara naasional, perge erakan data‐d data ekonomi nasional terrlihat masih p perlu sangat diperhatikan demi tidak terjaadinya dampaak negatif sossial dari krisiss sebagaimana yang terjad di pada krisis m moneter lebih dari satu dekaade sebelum mnya. Secara besaran‐besaran makro o dalam indeeks komposit yang dibangun, perekono omian Indonesia sedang beerada pada peeluang yang ssangat tinggi untuk mendaapatkan imbaas dari krisis glob bal ini. Hal in ni tentu massih dilihat daari beberapa variabel sajaa, mengingatt karakteristikk dari persamaaan (4) yang digunakan, pen nambahan daata hanya akaan mempertin nggi nilai indeeks kompositt yang ada. Denggan mempelaajari tabel 1, kita dapat memperhatikan bahwa duaa aspek yang perlu dikaji d dalam observasi lebih lanjut aadalah perilaku pergerakaan harga di bu ursa saham d dan pergerakaan kurs mata uang Rupiah teerhadap mataa uang lain di d pasar keuangan intern nasional, men ngingat tinggginya peluangg ( Pi ) untuk tiap sinyal yang dikeluarkan oleh indikaator ini. Unttuk itu, kita mengkaji leb bih detail perilaku pergerakaan harga‐hargga saham di Bursa Efek In ndonesia dan n bagaimana konfigurasi kkorelatif kurs mata uang Rupiah dengan berbagai mataa uang lain di dunia. Gambar 2 Goncangaan pada pasar m modal Indonesia ketika rentetan crash dari berbaagai pasar modaal di dunia secaraa global pada kuartal keetiga dan keempat tahun 2008 yang lalu dalam kkorelasi nilai rataa‐rata saham‐saham di Bursa Efek Indonesia.
Pendekatan yang palin ng primer den ngan kedetaillan yang tingggi dalam mem mperhatikan pergerakan h harga‐ harga sah ham di bursaa efek adalah h pendekatan dengan menggunakan koefisien ko orelasi antaraa satu saham deengan saham m lain. Obserrvasi yang dilakukan pada [13] menu unjukkan bah hwa nilai rataa‐rata koefisien korelasi silan ng data‐data keuangan menunjukkan m adanya polaa keterkaitan yang tinggi antar ersebut yang secara empiiris ditemukan pada situassi terjadinya krisis dalam pasar data‐dataa keuangan te keuangan n, khususnya p pada situasi ccrash pasar m modal. 6
Rata‐rata fungsi korelasi silang antar pergerakan harga saham kita tulis sebagai,
μ=
1 ∑ cij N ( N − 1) / 2 i , j
(6)
di mana cij merupakan fungsi korelasi silang antara pergerakan harga saham untuk sejumlah N saham yang diobservasi. Dibandingkan dengan pengamatan yang dilakukan pada [17] untuk periode 2000‐ 2004, nilai rata‐rata koefisien korelasi silang yang ditunjukkan pada gambar 1 berada pada nilai yang relatif lebih tinggi. Sedikit banyak hal ini menunjukkan adanya keterkaitan pergerakan harga‐harga saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia pada kurun waktu saat ini relatif beberapa tahun sebelumnya. Namun terdapat fenomena yang menarik pada pertengahan bulan Agustus hingga November 2008 di mana koefisien korelasi turun dengan menyolok dan kemudian naik kembali seperti sedia kala. Selanjutnya, sebagaimana ditunjukkan dalam [8], keterhubungan antara satu saham dengan saham lain dapat direpresentasikan dalam ruang ultrametrik sebagai fungsi jarak,
dij = 2(1 − cij )
(7)
Hal ini digambarkan pada bagian tengah gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa keterkaitan pergerakan harga saham‐saham yang ada di Bursa Efek Jakarta menunjukkan pola pengelompokan yang menarik untuk saham dalam sektor yang sama; suatu perilaku yang tidak ditemukan pada penelitian untuk beberapa tahun sebelumnya pasca krisis moneter [17]. Pada gambar tersebut ditunjukkan pengelompokan saham‐saham di sektor keuangan dan perbankan, demikian pula di sektor industri dan pelayanan umum. Anchor pergerakan saham juga ditunjukkan oleh beberapa saham yang berbeda‐beda klasifikasi sektoralnya. Tulang punggung pergerakan harga saham‐saham perbankan, misalnya, terkait pergerakan saham BMRI dan BBNI, sementara saham‐saham lain terkait pergerakan saham yang dikenal aktif dan memiliki likuiditas tinggi seperti ASII, TOTL, ADHI, KIJA, LSIP, UNSP, PTBA, INDF, dan saham‐ saham lain dari berbagai sektor sebagaimana ditunjukkan pada gambar. Secara mendasar hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pasar modal Indonesia telah membaik relatif dari beberapa periode sebelumnya yang seringkali lebih dimotori oleh saham‐saham di satu atau dua sektor saja, misalnya sektor keuangan dan perbankan [17]. Perilaku yang menarik dalam mengamati pergerakan harga saham dengan model jaringan ini adalah pengukuran dengan menggunakan indikator Rasio Kebertahanan Jaringan Keuangan (RKJK, single step survival ratio). Variabel ini diukur dengan parameterisasi seberapa bertahan (stabil) jaringan keuangan yang terbentuk dari pergerakan harga‐harga tersebut secara dinamis per waktu. Hal ini ditulis secara formal sebagai,
σ RKJK
[ E (t ) ∩ E (t + δ t )]T N −1
(8)
di mana E (t ) adalah keterhubungan antara satu saham dengan saham yang lain secara unik dalam periode waktu T untuk sejumlah N obyek keuangan yang diperdagangkan. 7
Mining Companies, Finance,
Property & Real Estate, and Investment, Industries,
Agriculture,
Basic and Chemical Industries, Trading, Services,
Consumption Goods
Miscelaneous Goods Industries.
Gambar 3 Atas: Panjang bentangan model jaringan untuk saham‐saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Tengah: Model Jaringan saham‐saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Terlihat bahwa pengelompokan sektoral telah terjadidan dan anchor perdagangan ditunjukkan oleh saham‐saham yang berbeda sektor (keuangan, industri, dan pertambangan). Bawah: Koefisien Rasio Kebertahanan Jaringan Keuangan (RKJK) dari jaringan keuangan yang terbentuk. Terdapat “goncangan” topologis dari jaringan yang ada ketika terjadi crash pasar modal di Wallstreet dan beberapa pasar modal dunia pada semester kedua tahun lalu. 8
Secara umum, ada dua fakta yang dapat kita dapatkan dari uraian di atas. Pertama, seperti terlihat pada gambar 1, indeks komposit atas beberapa indikator ekonomi secara umum menunjukkan tren yang sangat mengkhawatirkan. Sementara itu fakta kedua, seperti terlihat pada gambar 2 dan 3, menunjukkan bahwa pasar modal masih relatif baik dan belum begitu terpengaruh terhadap goncangan yang terjadi di level ekonomi global. Lalu, kebijaksanaan apa yang bisa kita peroleh dari situasi yang seolah‐olah saling kontradiksi tersebut? Gambar 4 Rasio kredit (Rupiah dan valas) berbanding penghipunan dana pada bank umum (sumber: Bank Indonesia).
Dua fakta ini memberikan peringatan yang patut untuk diwaspadai. Sebagaimana kita ketahui, pasar uang dan pasar modal memiliki tingkat fluktuasi yang sangat tinggi, dibandingkan dengan indikator ekonomi lainnya. Nilai tukar dan indeks harga saham gabungan begitu cepat merespon berbagai perkembangan yang terjadi. Pertanyaan adalah seberapa kuat pasar modal kita mampu bertahan di tengah memburuknya beberapa indikator ekonomi secara umum? Mengapa pasar modal? Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menujukkan bahwa hingga 24 Desember 2008, 67% kepemilikan saham dikuasai oleh investor asing atau mencapai 436,3 triliun rupiah1. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan obligasi korporasi oleh investor asing yang hanya sebesar 4% atau sekitar 2,71 triliun rupiah. Dapat dibayangkan seandainya terjadi aksi jual oleh investor asing di Bursa Efek Indonesia. Ia akan berpotensi buruk bagi nilai tukar rupiah. Sementara itu, data Bank Indonesia menyebutkan bahwa nilai cadangan devisa per Januari 2009 hanya sebesar 50,87 Milyar US Dolar. Mengapa hal ini patut untuk dikhawatirkan? Sebagaimana diuraikan dalam [5], [8], [9], dan [10], tentang hipotesis ketidakstabilan keuangan secara teoretis dapat ditunjukkan bahwa situasi ekonomi dapat berbalik arah secara tiba‐tiba. Ekspektasi pasar yang berlebihan akan memicu akselerasi kredit. Pada gambar 4 terlihat bahwa situasi ini terjadi mulai dari bulan Juni 2002 hingga Januari 2009. Ancaman muncul pada saat cash flow tidak lagi mampu mengimbangi biaya dan beban hutang. Penurunan harga dan volume perdagangan internasional akibat krisis global tentu saja akan mengganggu cash flow perusahaan domestik. Pada gambar 5 kita dapat melihat bahwa terjadi penurunan nilai ekspor dan impor yang cukup drastis mulai dari Oktober 2008. Jika situasi ini terus berlanjut ia berpotensi mendatangkan gelombang aksi jual di pasar modal. 1
VIVAnews (2008). “2008, Kepemilikan Saham oleh Asing 67%”. Selasa, 30 Desember 2008. URL: http://bisnis.vivanews.com/news/read/18557-2008__kepemilikan_saham_oleh_asing_67_ 9
Gambar 5 NIlai ekspor dan Impor dalam ribu USD (sumber: Bank Indonesia).
Model jaringan keuangan serupa di atas kita lakukan pula dalam mengamati pergerakan kurs Rupiah terhadap berbagai mata uang lain dengan implementasi pada data‐data kurs mata uang negara‐negara di dunia. Dari sisi nilai rata‐rata koefisien korelasinya, ditemukan bahwa terdapat kecenderungan monotonik naik untuk kurun interval semenjak 2007 hingga sekarang dengan dimensi waktu T = 1000 hari perdagangan. Mata uang yang disertakan adalah nilai tukar mata uang dari berbagai negara di seluruh dunia (kecuali beberapa negara komunis yang menetapkan nilai tetap (hard peg) mata uangnya terhadap USD) terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat. Gambar 6 Rata‐rata korelasi pergerakan 120 mata uang dunia (masing‐masing terhadap USD)
10
Secara kasar, belajar dari observasi yang dilakukan di [12], ini menandakan menguatnya korelasi antar mata uang seluruh dunia ketika berhadapan dengan USD yang menunjukkan adanya pola formasi pergerakan harga masing‐masing secara global dalam tanda‐tanda yang kritikal. Hal ini mungkin tak heran dengan pemberitaan media massa yang memang menggambarkan krisis ekonomi global. Yang menarik adalah bahwa pola ini mulai monotonik bahkan semenjak dua tahun sebelumnya. Koefisien korelasi antar nilai tukar negara‐negara tersebut kemudian kita transformasi ke dalam matriks jarak dalam ruang ultrametrik sebagaimana ditunjukkan pada persamaan 7 dan kita gambarkan pada gambar 7. Pada gambar tersebut ditunjukkan keterhubungan antara nilai tukar mata uang 120 negara dengan pola yang menarik eksplisit di sana. Semakin abu‐abu (hitam samar) warna nexus antara dua noda yang merepresentasi mata uang, semakin kuat korelasinya. Secara global kebanyakan nilai mata uang negara Eropa Barat terkait ke pergerakan harga EURO/USD secara kuat. Hal ini menunjukkan posisi EURO/USD yang sangat kuat terhadap sebagian besar pergerakan mata uang berbagai negara di dunia. Yang menarik untuk dikaji lebih dalam tentunya adalah posisi mata uang Rupiah (IDR). Pada model jaringan keuangan tersebut, terlihat bahwa mata uang Indonesia terkait secara lemah (disimbolkan dengan keterhubungan korelatif yang hitam) dengan mata uang Krone Denmark dan beberapa mata uang Eropa Barat lain terpaut secara korelatif jauh dari mata uang negara‐negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini menunjukkan adanya pola fluktuatif yang unik yang dimiliki oleh IDR relatif terhadap negara‐ negara tetangganya. Secara fundamental, hal ini tentu dapat berarti banyak. Gambar 7 Topologi pergerakan di antara berbagai kurs mata uang dunia (masing‐masing terhadap USD). Semakin tipis warna (hitam) garis yang menghubungkan dua mata uang negara semakin tinggi korelasi antar keduanya.
11
Gambar 8 Evolusi Rasio Kebertahanan Jaringan Kurs Mata Uang Dunia (masing‐masing terhadap USD). Garis putus‐putus menunjukkan nilai rata‐ratanya.
Perubahan jaringan keuangan pohon USD ini lebih menarik lagi ketika diobservasi dengan menggunakan Rasio Kebertahanan Jaringan Keuangan (RKJK) sebagaimana ditunjukkan pada gambar 8. Terdapat perubahan yang sangat besar pada tanggal 16 Juni 2008 dan 19 Desember 2008 di sana. Tanggal‐tanggal ini secara umum terkait dengan hal seputar krisis global terkait penyelesaian kasus kredit macet (subprime mortgage crises) di Amerika Serikat pada akhir 2006 dan awal tahun 2007 ditambah dampak lonjakan harga berbagai komoditas dan minyak dunia hingga paruh kedua tahun 2008 yang disusul oleh jatuhnya nilai indeks harga saham di berbagai tempat di dunia. Negara tetangga kita, Jepang, misalnya, mengalami jatuhan indeks kompositnya, NIKKEI225, yang mengatasi pergerakan bubbling selama 25 tahun. Gambar 9 Pergerakan bubbling IHSG yang dimulai semenjak pasca krisis moneter 1999 dan optimisme pasar yang berangsur naik.
12
Dari uraian sebelumnya telah kita ketahui bahwa pergerakan IHSG memegang peranan yang sangat penting dalam indikasi krisis yang terjadi di Indonesia. Melalui observasi yang kita lakukan berkaitan dengan model pasar yang bubbling sebagaimana diusulkan oleh [21], kita menggunakan pendekatan sebagaimana ditunjukkan dalam [16], dan menemukan bahwa pola bubbling yang berawal dari berakhirnya krisis moneter Indonesia sekitar sepuluh tahun silam (1999). Pendekatan serupa ini pernah disampaikan dalam media populer di [19], untuk menganalisis jatuhan harga pada pertengahan tahun 2006. Pola bubbling ini mengikuti pergerakan log‐periodik sederhana,
y (t ) = a+b t c -t +c t c -t cos {ωlog t c -t } β
β
(9)
dengan tc sebagai titik kritis dari bubbling yang ada. Observasi yang kita lakukan terus‐menerus menunjukkan perilaku pergerakan IHSG dengan pola pergerakan log‐periodik dengan koefisien‐koefisien a=4180, b=-2525, c=-70.72, dengan β = 0.2 dan ω = 10.2 . Hal ini sungguh menarik, mengingat jarangnya pendekatan model ekonometri yang berusaha memodelkan pola bubbling di pasar dan bagaimana secara endogen pasar dapat men‐destabilisasi sedemikian yang memicu adanya crash pada pasar modal. Pola optimisme berlebih pada pasar sebagaimana dicerminkan pada pergerakan IHSG mengalami titik kritis yang menjadi awal bearing pasar sebagaimana ditunjukkan pada gambar 10. Pada gambar tersebut, pola log‐periodik juga dapat ditemui dengan berbagai peluang koefisien yang bermacam‐macam yang memiliki tingkat akar rata‐rata galat yang tinggi ( RMSE > 93% ). Dari observasi ini, perlu diwaspadai pergerakan indeks komposit bursa nasional kita ini pada kurun waktu pertengahan tahun 20092. Gambar 10 Pola jatuhan IHSG yang dimulai pada akhir 2008 dan berlanjut terus dengan beberapa peluang pola log‐periodik sederhana.
2
Perlu dicatat sekali lagi di sini bahwa waktu kritikal tentu bukanlah dimaksudkan sebagai prediksi karena bukan sesuatu yang kita harapkan terjadi mengingat tingginya dampak jatuhan IHSG (pasar modal nasional) terhadap situasi ekonomi secara makro. 13
4. Menjelang Rekrutmen Politik Indonesia Pada waktu yang bersamaan dengan situasi ini, Indonesia tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu), yang merupakan sebuah situasi krisis dalam kehidupan demokrasi. Berbeda dengan pemilihan‐ pemilihan sebelumnya, Pemilu 2009 memiliki ruang cakupan persaingan yang sangat tinggi. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghilangkan faktor “nomor urut” membuat persaingan tidak hanya terjadi antar partai politik tetapi juga membuka potensi terjadi di dalam satu partai politik itu sendiri. Indonesia belum pernah mengadaptasi sistem ini sebelumnya. Sulit untuk memproyeksikan apa yang akan terjadi ke depan. Namun dari pengalaman Pemilu 2004 (gambar 11) ditunjukkan bahwa hasil pemilihan berbasis orang (DPD) cenderung memiliki koefisien hukum pangkat yang lebih kecil dibandingkan pemilihan berbasis partai (pemilihan legislatif): suara akan relatif cenderung tersebar merata [20]. Dengan kata lain, tidak hanya ruang cakupan tetapi juga kerapatan persaingan juga akan meningkat. Gambar 11 Koefesien hukum pangkat data hasil pemilihan DPD (kiri) dan pemilihan legislatif pada pemilu 2004 (kanan).
Ruang cakupan dan kerapatan persaingan pada Pemilu 2004 memiliki potensi konflik yang sangat besar. Di sisi lain, Indonesia memiliki keragaman etnik yang sangat tinggi. Apakah kondisi ini berpeluang menjadi konflik dan kekerasan sosial? Secara sepintas bahkan kita dapat melihat bahwa hampir seluruh konflik sosial yang ada di Indonesia semenjak zaman Orde Baru hingga pasca jatuhnya rezim tersebut, baik konflik antara kelompok (horizontal), maupun antara kelompok sosial tertentu dengan pemerintah (konflik vertikal), pada umumnya dipengaruhi oleh dimensi etnisitas. Seringkali keragaman etnik menjadi salah satu alasan yang cukup dominan dalam memicu terjadinya konflik. Untuk kasus Indonesia, kita menvisualisasikan keragaman etnik yang direpresentasikan dengan besaran indeks fraksionalisasi dengan frekuensi terjadinya insiden kekerasan sosial di beberapa wilayah di Indonesia, seperti terlihat pada gambar 12 [20]. Hal yang cukup menarik, dari gambar 12, adalah kita bisa melihat bahwa pada umumnya konflik sosial terjadi pada propinsi‐propinsi yang memiliki tingkat fraksionalisasi etnik yang tidak terlampau tinggi, seperti Aceh, Maluku dan propinsi‐propinsi di Jawa. Propinsi‐propinsi yang memiliki tingkat fraksionalisasi etnik yang cukup tinggi seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur justru memiliki frekuensi insiden kekerasan sosial yang lebih sedikit relatif terhadap propinsipropinsi lainnya. Penemuan serupa juga didapati dalam penelitian empirik pada tahun 1998 [2], yang melihat bahwa perang sipil antar dua etnik yang berbeda justru terjadi pada wilayah yang memiliki tingkat fraksionalisasi menengah. Ia mengemukakan bahwa perang sipil lebih dikarenakan faktor ketidakpuasan ekonomi dan politik daripada unsur etnik. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya konflik sosial, yang 14
juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tidak disebabkan semata‐mata karena perbedaan etnik melainkan juga melibatkan faktor ekonomi dan politik. Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa faktor ekonomi dan politik berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sementara itu di sisi lain, konflik sosial juga berpotensi memperburuk situasi ekonomi dan politik. Hubungan dua arah dari ketiga aspek tersebut mengakibatkan peluang ancaman dapat bekerja secara sistematik. Gambar 12 Keragaman etnik dan konflik sosial. Ukuran wilayah merepresentasikan jumlah insiden kekerasan sosial, sementara indeks warna menunjukan tingkat fraksionalisasi etnik yang ternormalisasi [cf. 20].
5. Penutup dan Rekomendasi Saat ini, indikator ekonomi secara umum menunjukkan tren yang berpotensi kurang menguntungkan dalam perkembangan perekonomian secara makro akibat tren global yang terjadi. Hal ini terlihat dengan meningkatnya indeks komposit atas beberapa indikator ekonomi terkait terjadinya krisis. Sementara, pasar modal masih relatif baik dan belum begitu terpengaruh terhadap goncangan yang terjadi di level ekonomi global. Dua fakta,yang seolah paradoks ini memberikan peringatan yang patut untuk diwaspadai. Hal ini mengingat sensitivitas pasar modal yang sangat tinggi dalam merespon dinamika yang dapat terjadi di bursa. Dari sisi mata uang global, pola formasi pergerakan juga menunjukan tanda‐tanda yang kritikal. IHSG memegang peranan yang sangat penting dalam indikasi krisis yang terjadi di Indonesia. Pendekatan ekonofisika bahwa terlepas secara fundamental ekslusif rekrutmen sosial dan politik di Indonesia, secara chart IHSG menunjukkan bahwa pertengahan tahun 2009 merupakan periode yang perlu diperhatikan secara seksama bagi pergerakan indeks komposit bursa nasional. Pada waktu yang bersamaan dengan situasi tersebut, Indonesia tengah menggelar Pemilihan Umum, yang memiliki ruang cakupan dan kerapatan persaingan yang sangat tinggi. Kombinasi ini harus diperhatikan secara serius. Komplikasi permasalah politik dan ekonomi pada waktu yang bersamaan tersebut berpotensi menimbulkan sejumlah permasalan sosial. Hubungan dua arah dari ketiga aspek tersebut mengakibatkan peluang ancaman dapat bekerja secara sistematik. 15
Proses rekrutmen politik yang terjadi di level legislatif (maupun nantinya diikuti dengan level eksekutif) semestinya benar‐benar mendapatkan perhatian yang serius, karena buruknya keterlaksanaan yang ada sangat rentan untuk menjadi konflik yang secara sederhana dapat memberikan umpan balik positif atas kesulitan ekonomi sebagai akibat imbas krisis global yang terjadi. Peluang perbaikan ekonomi justru dapat terjadi jika kepercayaan investor dipertahankan dengan lancarnya proses rekrutmen sosial politik tersebut. Di sisi lain, konflik yang terjadi seputar rekrutmen politik ini juga tentu akan menyedot banyak perhatian termasuk pembelanjaan dalam rangka arbitrase. Penghematan perlu dilakukan di sana‐sini terkait perpindahan birokrasi pemerintahan ini. Secara terpisah, pemerintah (baik yang sekarang maupun yang akan memenangkan pemilihan umum) perlu memperhatikan cadangan devisa negara karena hal ini terkait pada krisis secara umum. Cadangan devisa yang tinggi merupakan salah satu indikator yang penting dalam deteksi krisis keuangan baik langsung ataupun tidak langsung. Di sepanjang tahun 2009, pengambil kebijakan perlu sangat memperhatikan situasi perekonomian terkait sektor makro maupun perdagangan efek yang diharapkan dapat menunjang sektor riil yang tentunya juga mesti senantiasa diperhatikan. Baik sektor ekonomi maupun sektor politik bukanlah dua hal yang terpisah secara makro, melainkan kait‐mengkait satu sama lain. Saat ini situasi perekonomian Indonesia cukup unik dibanding banyak negara lain dalam artian positif dan hal ini tentu perlu dipertahankan di samping penuntasan tugas‐ tugas yang ter‐amanatkan melalui pemilihan umum yang dilakukan. Pengakuan Penulis berterimakasih kepada Surya Research International atas dukungan penuh dalam penelitian ini, kepada rekan Zaid Perdana Nasution atas dorongan moral, serta rekan Lolita Morena atas bantuan data. Karya Yang Disebut [1]
Colander, D., Föllmer, H., Haas, A., Goldberg, M., Juselius, K., Kirman, A., Lux, T., & Sloth, B. (2009). " The Financial Crisis and the Systemic Failure of Academic Economics". Discussion Papers University of Copenhagen No. 09‐03. URL: http://econpapers.repec.org/paper/kudkuiedp/0903.htm
[2]
Collier, P. and Hoeffler, A. (1998). “On the economic causes of civil war”. Oxford Economic Papers 50: 563–73. Kaminsky, G. L., Graciela, L., & Reinhart, C. M. (1999). “The Twin Crises: The Causes of Banking and Balance‐of‐Payments Problems”. American Economic Review 89 (3): 473‐500.
[3] [4]
[5] [6]
Kelly, P. F. (2001). "Metaphors of meltdown: political representations of economic space in the Asian financial crisis". Environment and Planning D: Society and Space 19(6): 719 – 742. Keen, S. (2002). Debunking Economics: The Naked Emperor of The Social Science. Pluto Press. Krugman, P. (1979). “A Model of Balance‐of‐Payments Crises”. Journal of Money, Credit, and Banking 11: 311‐325.
16
[7]
Mantegna, R. N. & Stanley, H. E. (2000). An introduction to econophysics: correlations and complexity in finance. Cambridge UP. [8] Minsky, H. (1992). “The Financial Instability Hypothesis". Working Paper of The Jerome Levy Economics Institute of Bard College 74. [9] Minsky, H. (2004). Induced Investment and Business Cycles. Edward Elgar Press. [10] Minsky, H. (2008). John Maynard Keynes. Mc Graw Hill. [11] Naylor, M. J., Rose, L. C., & Moyle, B. J. (2006). Topology of Foreign Exchange Markets using Hierarchical Structure Methods. Available at SSRN. URL: http://ssrn.com/abstract=923308 [12] Onnela, J‐P., Chakraborti, A., Kaski, K., Kertész, J., and Kanto, A. (2003). ”Dynamics of Market Correlations: Taxonomy and Portfolio Analysis”. Physical Review E 68:056110. [13] Pesaran, M. H. & Pick, A. (2006). "Econometric Issues in the Analysis of Contagion". Journal of Economic Dynamics & Control 31: 1245‐77. [14] Remmer, K. L. (1991). "The Political Impact of Economic Crisis in Latin America in the 1980s". American Political Science Review 85 (3): 777‐800. [15] Scholes, M. S. (2000). "Crisis and Risk Management". American Economic Review 90 (2): 17‐21. [16] Situngkir, H. (2004). "Mungkinkah muncul Anti‐Lonjakan Harga Minyak Dunia?: Analisis Log‐Periodik Lonjakan harga September‐Oktober 2004". BFI Working Paper Series WPU2004. [17] Situngkir, H. & Surya, Y. (2005). "On Stock Market Dynamics through Ultrametricity of MInimum Spanning Tree". BFI Working Paper Series WPH2005. [18] Situngkir, H. & Surya, Y. (2005). "Tree of Several Asian Currencies". BFI Working Paper Series WPI2005. [19] Situngkir, H. & Sembel, R. (2006). “Di balik lonjakan IHSG”. Kolom Majalah pada Bussiness Review Mei 2006. [20] Situngkir, H. & Surya, Y. (2008). Solusi Untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisik/Kompleksitas. Penerbit Kandel. [21] Sornette, D. & Johansen, A. (2001). "Significance of Log‐Periodic Precursors to Financial Crashes". Quantitative Finance 1: 452‐71. [22] Wee, C. J. W. ‐L. & Alatas, F. (2002). Local Cultures and the "New Asia": The State, Culture, and Capitalism in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. [23] Yeung, H. W. (2000). "Economic Globalization, Crisis and the Emergence of Chinese Business Communities in Southeast Asia". International Sociology 15 (2): 266‐87. [24] Zhuang, J. & Dowling, M. (2002). “Causes of the 1997 Asian Financial Crisis: What can An Early Warning System Model Tell Us?”. ERD Working Paper 26. Asian Development Bank. 17