Kota dan Banjir Silvia Carolina, Teguh Utomo Atmoko Program Studi Arsitektur Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Banjir merupakan bencana alam yang makin marak terjadi belakangan ini dan mengakibatkan berbagai macam kerugian. Tidak hanya diakibatkan oleh fenomena alam, ternyata kini pertumbuhan dan perkembangan kota secara fisik juga memiliki keterhubungan yang sangat erat dengan proses terjadinya banjir. Bidang arsitektur dan terapannya menjadi salah satu bidang yang berperan aktif dalam proses tersebut. Ketika pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota menjadi suatu hal yang tidak terelakan, bidang arsitektur dan terapannya harus dirancang dengan setepat mungkin, sesuai dengan karakteristik kawasan tersebut, supaya pertumbuhan dan perkembangannya tetap dapat berlanjut meskipun bahaya banjir semakin sering mengancam. Penjelasan mengenai kota dan banjir serta keterhubungan di antaranya akan dibahas lewat studi literatur dan studi preseden dari beberapa kota di dunia, sehingga akan didapati reaksi-reaksi nyata pada sebuah kota ketika menghadapi banjir untuk terus melanjutkan perkembangan dan pertumbuhan kota tersebut. Karena sesungguhnya bidang arsitektur dan terapannya dapat dimanfaatkan untuk meminimalisir dampak dari banjir, bukan hanya sekadar memperburuk kondisi banjir.
Cities and Flooding Abstract Risks of flooding harm many aspects of human life. Floods are being included as catastrophe, disaster that happens because of nature. But, nowadays, floods happened not only because natural phenomenon but also because of cities development and cities growth. Architecture and its realm became one of many fields in science which is so related with flooding process. When the development and the growth of cities occurred continuously and inevitably, architecture and its realm should be designed as good as possible by concern about city characteristics where the design will be applied. The explaination about flood, cities, and the relation between them will be described by literature studies. And will be made up with precedent studies from cities around the world to learn about their reaction when flood hazard is coming in their development and growth process. Because architecture and its realm rather than make flood hazard worsen, can be used even to minimize the impact of floods. Keywords: city characteristic; development and growth; flood; urban land use
Pendahuluan Banjir lima tahunan dikenal luas oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya sejak tahun 1997 – sekitar Jakarta yang dimaksud adalah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Namun sekarang ini sering dijadikan bahan pembicaraan bahwa kini banjir lima tahunan tidak lagi berlangsung setiap lima tahun sekali melainkan setahun lima kali. Banjir
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
mengakibatkan banyak kerugian, baik secara fisik (material, nyawa, dsb.) maupun non-fisik (dampak psikologis pada korban). Dalam berbagai kesempatan, kalangan media mulai sering menayangkan liputan mengenai banjir ini. Baik berupa wawancara dengan berbagai pihak mulai dari korban, masyarakat sekitar, pemerintah, serta para ahli tata kota, juga berupa fakta-fakta mengenai banjir yang ternyata terjadi tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga di kawasan Indonesia lainnya bahkan negara-negara lain. Pemaparan mengenai banjir tersebut secara umum menjelaskan bahwa elemen-elemen yang berhubungan erat dengan banjir adalah alam dan manusia. Bagi saya sendiri, elemen-elemen ini saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Bagaimana manusia bersikap terhadap alam dapat mengurangi atau malah memperburuk kondisi bencana yang sebenarnya terjadi murni karena alam ini. Dengan latar belakang sebagai mahasiswa arsitektur, saya menilai bahwa arsitektur dan bidang terapannya, tata ruang kota, perancangan urban, dsb., yang merupakan salah satu bentuk sikap manusia terhadap alam, telah ambil bagian yang cukup besar atas terjadinya banjir dan kedepannya dapat ambil bagian juga dalam menyikapi banjir yang telah terjadi dan akan terjadi. Namun bagaimana dan sejauh apa sebenarnya arsitektur dan bidang terapannya berperan dalam fenomena banjir ini? Ketika Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia periode 2004-2009, Rachmat Witoelar, angkat bicara mengenai banjir, beliau mengatakan pembangunan sebuah kota adalah faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya banjir (Climate, 2007). Pembangunan kota terjadi atas kebutuhan manusia untuk mengolah alam menjadi tempat yang lebih layak huni untuk membantu manusia semakin berkembang secara ekonomis. Kota yang semakin terbangun akan mengakibatkan semakin banyak lagi orang yang ingin datang ke kota tersebut untuk mengadu nasib mereka. Jakarta sendiri sekarang telah memiliki tingkat kepadatan 13.756 penduduk/km2 (Pemprov DKI Jakarta, 2008). Pertumbuhan akan pembangunan kota tidak dapat dihentikan untuk bisa mengakomodir penduduk yang sebanyak itu, padahal jumlah lahan terbatas dan memiliki batas ketahanan. Dengan manajemen yang buruk, kawasan-kawasan yang termasuk kawasan rawan banjir semakin lama akan semakin luas. Kawasan rawan banjir adalah kawasan yang, akibat kondisi geografisnya, sangat beresiko terpapar banjir.
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Untuk kawasan Jakarta sendiri, khususnya daerah utara, banyak kawasan yang memiliki level ketinggian tanah di bawah permukaan laut. Meski hal ini sudah diketahui sejak masa pemerintahan kolonial Belanda (Sihombing, 2013), nyatanya hingga saat ini banjir di kawasan Jakarta dan sekitarnya belum teratasi dengan cukup baik. Namun seperti yang telah dikatakan di awal, banjir tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kawasan-kawasan lain di Indonesia bahkan di belahan bumi yang lainnya juga mengalami banjir ini. Upaya-upaya untuk mengatasinya-pun mulai berkembang dan beragam. Setiap kawasan ini mengambil langkah-langkah yang berbeda sesuai dengan karakteristik kawasan. Dari peristiwa pemicu ini saya menilai bahwa pembangunan sebuah kota seolah mata uang yang memiliki dua sisi berbeda, pembangunan kota dan banjir. Di satu sisi pembangunan kota tidak mungkin dapat dihentikan, di sisi lainnya pembangunan kota berdampak pada kondisi alam (khususnya banjir). Memilih salah satu di antara keduanya tidak dapat dilakukan dan bahkan jika dapat dilakukan-pun hanya akan menghasilkan ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan. Arsitektur mengambil peran yang cukup penting untuk bisa mengubah persepsi masyarakat selama ini bahwa arsitektur hanya memperburuk banjir. Lewat penerapan bidang arsitektur yang tepat, peminimalisiran dampak banjir bisa terjadi. Penulisan artikel ini ditujukan untuk mengetahui keterhubungan sebuah kota dengan banjir secara lebih mendalam dan sistematis lewat studi literatur dan studi preseden, sehingga diharapkan dapat membantu proses pembelajaran mengenai bagaimana sebuah kota harus bereaksi ketika menghadapi bahaya banjir dengan pendekatan bidang arsitekur dan bidang terapannya.
Tinjauan Teoritis Banjir Berdasarkan kamus merriam webster, banjir sebagai kata benda berarti sejumlah besar air yang melingkupi suatu kawasan yang biasanya kering. Sedangkan MCT Pareva –Kepala Insinyur Pemerintahan India (n.d.) menyebutkan hal yang sama seperti penjelasan pada kamus tersebut namun menekankan periode dari banjir yang bersifat tidak permanen, dinyatakan sebagai sebuah situasi yang memiliki durasi tertentu. Meski berlangsung pada
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
durasi tertentu, frekuensi dari banjir memungkinkan banjir seolah bersifat permanen. Seperti pada sebagian daerah di Jakarta Utara, banjir rob berlangsung setiap air laut pasang yang disebut dengan banjir rob. Fenomena ini dapat ditemukan diberbagai tempat yang berdekatan dengan laut. Kawasan-kawasan tersebut jarang sekali didapati kering, seolah-olah banjirnya bersifat permanen. Disebabkan oleh alam dan manusia namun dampaknya juga berimbas pada alam dan manusia (Royal Institute of British Architects, n.d.; Polycarpou, 2011; Office of Disaster Preparedness and Emergency Management, n.d.). Banjir yang terjadi dapat dikelompokan sebagai berikut;
Gambar 1. Bagan Ilustrasi Pembagian Jenis-jenis Banjir
Di mana slow-onset flooding adalah jenis banjir dengan durasi yang panjang, proses naiknya air berlangsung lama, rapid-onset flooding memiliki durasi yang lebih pendek karena proses naiknya air berjalan lebih cepat (biasanya akibat akumulasi air dari sedikitnya dua lokasi berbeda yang terkonsentrasi di satu lokasi akibat kondisi topografi lokasi yang berbeda), dan flash flooding adalah banjir yang terjadi dengan durasi yang sangat cepat diakibatkan oleh fenomena alam seperti badai atau tsunami (Floods and, n.d.). Sedangkan coastal flooding adalah banjir yang terjadi di kawasan pesisir pantai (Coastal, 2008), arroyos flooding adalah banjir yang terjadi di daerah yang belum terbangun sepenuhnya, tepatnya di antara pemukiman dengan aliran air (Ponding, 2008), river flooding
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
adalah banjir yang terjadi dimulai dari kawasan terdekat dengan sungai (Flooding from, 2008), dan urban flooding adalah banjir yang terjadi di perkotaan (Flooding in, 2008). Dalam satu kejadian banjir, jenis, penyebab, dan efeknya dapat memiliki hubungan yang saling bersinggungan satu sama lain. Misalnya dalam kejadian banjir Jakarta dan sekitarnya (urban flooding) di awal tahun 2014, yang terjadi adalah banjir dengan durasi yang cenderung cepat (rapid-onset flooding) akibat akumulasi hujan (alam) ditambah dengan meluapnya bagian hilir sungai ciliwung (river flooding), kiriman dari hulu sungai yang berada di Bogor. Sungai tidak mampu menampung air salah satunya diakibatkan oleh pendangkalan sungai (manusia). Efek dari banjir dirasakan oleh penduduk kota Jakarta dan sekitarnya (manusia), juga penurunan kualitas air di kawasan tersebut (alam). Urban flooding Alam River flooding Manusia Rapid-‐Onset Flooding
Gambar 2. Keterkaitan Elemen Alam dan Manusia dengan Jenis Banjir Jakarta di Awal Tahun 2014
Selain dari tipe-tipe banjir yang disebutkan di atas, sering kali dibahas mengenai frekuensi datangnya fenomena banjir. Banjir dengan periode waktu tertentu sering dianggap sebagai sebuah jenis dalam pengelompokan banjir, namun nyatanya tidak benar seperti itu. Pengulangan periode datangnya banjir dengan intensitas yang cenderung tinggi disebut reccurence interval (RI). RI ini didapatkan berdasarkan penghitungan akan kejadian-kejadian yang telah terjadi sebelumnya. RI juga menjadi acuan akan kemungkinan/ probabilitas banjir di masa yang akan datang. Probabilitas di sini berarti jika dikatakan banjir 100 tahunan, bukan dalam 100 tahun akan terjadi satu kali banjir dengan intensitas tertentu, melainkan dalam satu tahun ada kemungkinan sebesar 1% terjadi banjir dengan intensitas yang sama (Baer, n.d.).
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Kota Jika sebelumnya telah dijelaskan tentang banjir, berikutnya adalah penjelasan mengenai kota. Kota atau dalam bahasa inggris disebut city berasal dari bahasa latin civitas yang berarti sebuah komunitas yang telah terorganisir dengan baik. Dalam kamus merriam webster kata city diartikan an inhabited place; a place larger than a village or town: a large, prominent or important center of population. Pengertian tersebut saja sudah menunjukan kekompleksan sebuah kota. Dari dua kata place dan population dapat bercabang ke berbagai bidang yang sangat luas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kota merupakan sebuah sistem yang menghubungkan dan mengatur elemen-elemen dalam alam (place) dan manusia (population) tersebut. Perbedaan kata city ini dengan town dan village berada pada pengertian kota sebagai suatu kawasan dengan pembangunan yang tidak terhenti yaitu terus terjadi pertumbuhan baik ekonomi, politik, sosial, dsb. (Cities of Today, n.d.). Dengan kekompleksannya ini kota masih dihadapkan lagi dengan semakin banyaknya kawasan yang berkembang menjadi kota sehingga batas antara satu kota dengan kota yang lainnya menjadi rancu. Terlebih ketika dewasa kini kota tidak lagi dibatasi secara fisik oleh dinding (Cities of Today, n.d.). Berdasarkan pengamatan saya atas teori-teori yang ada mengenai kota, batas dari sebuah kota akan terdefinisikan ketika satu kawasan menjalankan sebuah sistem yang sama untuk tercapainya pengembangan kawasan tersebut. Setiap manusia (secara fisik) menempati ruang. Sedangkan, tempat merupakan ruang yang telah dimaknai oleh perasaan dan interaksi manusia. Kota merupakan salah satu bentuk tempat di mana sekelompok manusia menempati ruang dan memaknainya dengan keberadaan akan dirinya. Kota juga merupakan tempat di mana kegiatan ekonomi dan kekuasaan berpusat. Hal tersebut menjadi daya tarik yang kuat bagi sebagian besar manusia untuk memilih tinggal di kota dibandingkan di desa. Dalam proses pembentukan kota, manusia biasanya melakukan proses perancangan seiring dengan
semakin
kompleksnya
permasalahan
yang
muncul.
Untuk
menjalankan
keberlangsungan kota yang berarti menggunakan ruang, lahan kota sebagai salah satu sumber daya milik kota menjadi pembahasan yang tidak dapat dilepaskan ketika membahas kota. Kebijakan dalam penggunaan sumber daya dalam kota yang di sini berfokus pada pemanfaatan lahan akan digunakan baik yang di permukaan, dalam, maupun atas tanah (Chapin dan Kaiser, 1979). Proses perancangan ini terus dikembangkan untuk mencapai keseimbangan dari sebuah kota baik secara ekonomi maupun fisik lewat berbagai upaya (Ratcliffe, 1974).
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Setiap lahan kota harus dialokasikan seoptimal mungkin untuk memfasilitasi manusia sebagai warga kota (Chapin dan Kaiser, 1979). Seoptimal mungkin berarti mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan dengan sesedikit mungkin resiko, mengingat pembangunan kota akan memunculkan berbagai macam permasalahan. Dalam The Housing, Town Planning, etc. Act 1909 dinyatakan akan adanya lahan yang tidak dapat dibangun meskipun pemanfaatan lahan harus seoptimal mungkin (Bentley & Taylor, 1911). Hal tersebut dinyatakan karena nilai lahan tidak hanya sebatas nilainya secara ekonomis dari si pemilik lahan tersebut, namun juga nilainya akibat pengaruh lahan tersebut ke masyarakat luas. Pada awal abad ke-19, hanya ada satu kota di dunia yang memiliki populasi penduduk mencapai 1 juta orang. Di awal abad ke-20, berkembang hingga ada tiga kota memiliki populasi lebih dari 1 juta orang. Dan di awal abad ke-21 sudah ada 281 kota dengan populasi diatas 1 juta orang dan setengah penduduk dunia telah tinggal di kota (Cities of Today, n.d.). Hal tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan kota berjalan dengan percepatan yang sangat tinggi sejak revolusi industri. Dan diperkirakan akan terus semakin cepat. Lahan kota di’paksa’ untuk menampung semua manusia yang datang (urbanisasi). Padahal lahan mempunyai batas ketahanan untuk menampung kepadatan manusia. Keterhubungan kota dengan banjir Dari kedua penjelasan mengenai kota dan banjir di atas, dapat diketahui bahwa keterhubungan antara banjir dan manusia terjadi karena adanya keterkaitan antara banjir dan kota dengan alam dan manusia. Keterhubungannya dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Ilustrasi Hubungan Kota dan Banjir dengan Manusia dan Alam Lewat Arsitektur
Lewat arsitektur manusia mengolah alam untuk mendapatkan kawasan pemukiman yang lebih dapat mengakomodir kebutuhannya. Arsitektur membentuk kota namun memungkinkan
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
terjadinya efek samping berupa banjir. Banjir di perkotaan terjadi ketika sistem drainase sebuah kota tidak dapat mengakomodir air yang ada sehingga air menggenangi kawasan yang biasanya berupa daratan kering. Air yang ada bisa berasal dari air hujan yang lebat, meluapnya air sungai di daerah hilir akibat bertambahnya volume air di daerah hulu, pasangnya air laut, dsb.
+ kota +
manusia
+
+ arsitektur + + +
banjir
alam
+
-‐ kota -‐
manusia
-‐
-‐ arsitektur -‐ -‐ -‐
banjir
alam
-‐
Gambar 3. Ilustrasi Intervensi Arsitektur dalam Keterhubungan Kota, Banjir, Manusia, dan Alam
Karena diagram ini terus berjalan secara berkesinambungan seiring dengan pembangunan kota yang seperti dibahas sebelumnya tidak dapat berhenti, ketika arsitektur diintervensi dengan baik, hasil yang baik juga dapat dirasakan oleh keempat elemen lainnya, begitupun sebaiknya. Pembangunan pemukiman informal, sebagai contoh arsitektur yang buruk, terjadi akibat semakin banyaknya jumlah pendatang dari kawasan desa ke kota. Para pendatang melihat kesempatan untuk memperbaiki hidupnya dari segi ekonomi, sosial, dan budaya dengan datang ke kota yang dinilai lebih maju karena keberadaan kota sebagai pusat kekuasaan dan pusat ekonomi. Pada tahun 2000, 54,7% manusia di dunia tinggal di area perkotaan (baik kota dengan skala menengah, besar, maupun megapolitan) dan akan terus bertambah (Gencer, 2013: 11). Hal tersebut berarti ketika bencana terjadi di daerah perkotaan, bahaya yang mengancam akan lebih besar konsekuensinya dibandingkan di daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah. Dengan peningkatan jumlah penduduk berarti peningkatan penggunaan air tanah juga akan terjadi. Penggunaan air tanah oleh penduduk kota juga mengakibatkan penurunan level ketinggian tanah suatu kawasan. Penurunan level ketinggian tanah terkadang bahkan sampai pada level di bawah permukaan air laut. Ketika hal tersebut terjadi, frekuensi dan intensitas dari banjir akan meningkat dibandingkan sebelumnya.
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Di sini seharusnya arsitektur dapat berperan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan karakteristik sebuah kawasan. John Ratcliffe (1974) mengatakan, “It is concerned with providing the right site, at the right time, in the right place, for the right people.” (halaman 3). Kondisi tersebut dapat disesuaikan berdasarkan kondisi alam dan kondisi manusianya. Dari dasar pemikiran ini didapatilah manajemen banjir lewat arsitektur yang dapat dibagi menjadi seperti berikut;
Gambar 4. Ilustrasi Bagan Manajemen Banjir
Arsitektur dapat berperan dari hal kecil seperti penggunaan aspal atau paving block berpori pada jalan sehingga meski dilakukan perkerasan air tetap dapat terserap ke bawah tanah (Wilson, Bray, Neesam, Bunn, & Flanagan, 2009), perbaikan sistem drainase kota, pengadaptasian arsitektur ‘tahan air’, sampai reklamasi yaitu rentetan aktivitas yang dilakukan untuk mengubah kondisi biofisik sebuah ekosistem (Schneekloth, 2004) –biasanya dari laut menjadi dataran. Secara umum manajemen banjir aktif adalah membangun sarana dan prasarana yang dapat melindungi kota dari banjir (Julianery, 2007), sedangkan manajemen pasif adalah hidup harmonis dengan air banjir (Pellow, 2011). Infrastruktur untuk transportasi dari kawasan yang memungkinkan kawasan terselenggara dengan aktivitas yang berjalan normal ketika banjir terjadi juga merupakan poin penting yang harus diperhatikan dalam manajemen banjir pasif. Kemudian manajemen ini dapat dikembangkan lagi sesuai dengan karakteristik kawasan.
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Studi Preseden Manajemen aktif berarti mencegah air menggenangi kota dengan cara pihak-pihak dalam penyelenggaraan kota melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan banjir dengan membuat sebanyak mungkin lahan kota yang rawan tergenang air untuk sebisa mungkin selalu kering. Terbagi atas dua konsep yaitu menjauhkan air dari manusia dengan membangun sarana-prasarana pengendalian banjir dan menjauhkan manusia dari air dengan membuat pengaturan daerah banjir (Julianery, 2007). Untuk manajemen pasif, Royal Institute of British Architect (2007) mengemukakan bahwa pembangunan lahan dan keterbatasannya terus berlanjut sehingga pembangunan ‘terpaksa’ dilanjutkan ke kawasan-kawasan yang rawan banjir. Kawasan rawan banjir-pun telah dan akan semakin luas akibat pemanasan global. Air seolah dianggap sebagai benda yang sangat berbahaya dan akan mengakibatkan berbagai kerugian. Padahal jika manusia dapat memperlakukan-nya dengan baik, air sebagai benda ilith1 akan membawa begitu banyak keuntungan. Royal Institute of British Architect (RIBA) juga menilai bahwa kondisi ini sebenarnya memberikan kesempatan baru bagi manusia untuk menghadapi tantangan banjir dengan caracara baru seperti tinggal harmonis berdampingan dengan air. Tinggal di kawasan dengan air sebagai ‘tanah’-nya (alas) dinilai sebagai bentuk adaptasi atas kondisi alam tersebut. Infrastuktur dan perancangan ruang yang tepat guna dan sesuai dengan kondisi kawasan sangat diperlukan untuk mencapai tercapainya keharmonisan tersebut. Hidup berdampingan dengan air (banjir) ini termasuk bentuk proteksi kawasan bersifat pasif (Pellow, 2011). Penerapan manajemen-manajemen banjir ini dapat disesuaikan dengan kondisi kawasan atau dapat juga dikombinasikan. Berikut adalah kota-kota di dunia yang saya jadikan studi preseden mengenai menerapan manajemen banjir yang tidak selalu sama di setiap kawasan;
Tabel 1. Penerapan Manajemen Banjir pada Kota-kota di Dunia No. 1
Aktivitas
Kota
Manajemen Banjir Aktif
Keterangan
Jepang (integrasi
• Menjauhkan air dari manusia
kota-kota di Jepang)
• Kepadatan sangat tinggi
1
Istilah ekonomi untuk benda bebas yang jika jumlahnya berlebih akan mengakibatkan bencana
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
• Menjauhkan manusia dari air Gold Coast
• Luas lahan penyerapan dan penangakapan air dipertahankan, hanya keefisienannya yang ditingkatkan • Mempertahankan karakteristik setempat
Arsitektur
New Orleans
khusus yang tergolong tidak sering
amfibi Dhaka
2
• Banjir terjadi ketika ada fenomena alam • Kota miskin, dana penanggulangan banjir terbatas
Kawasan-kawasan di
Manajemen Banjir Pasif Rumah
Indonesia (Sumatera,
• Kondisi banjir semi permanen
Kalimantan, Nusa
• Kelembaban tanah tinggi
Tenggara, Sulawesi)
panggung
• Upaya mencegah terulangnya kerugian akibat Louisiana
badai • Tidak mendapat tanggapan positif dari masyarakat
3
Reklamasi
Singapura
• Keberadaan lahan sangat terbatas • Berada di pinggir laut • Banjir sudah menjadi ancaman dari waktu yang sangat lama (dari perancangan kawasan
4
Kombinasi
Belanda
awal sudah memikirkan tentang kemungkinan banjir yang sangat tinggi) • Kondisi alam semakin memburuk, sehingga adaptasi perlu dilakukan
Kota dengan kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, tidak dapat mengambil penyelesaian masalah yang menghabiskan banyak biaya. Demikian juga dengan kota dengan tingkat sosial yang buruk dan kurang teredukasi akan kesulitan untuk menanamkan kesadaran pribadi untuk melakukan upaya-upaya yang dapat meminimalisir banjir. Seperti di Dhaka, sebagai kota yang terkenal dengan banjir dan kemiskinannya, Kota Dhaka menerapkan manajemen banjir pasif yang disesuaikan dengan kemampuan kotanya dalam membiayai pembangunan bangunan-bangunan amfibi. Pondasi apungnya menggunakan botol air mineral bekas dan dindingnya berasal dari bambu yang cenderung ringan dan memungkinkan diangkat oleh botol-botol air mineral tersebut (Prosun, 2011).
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Sedangkan dari contoh penerapan arsitektur rumah panggung di Lousiana yang tidak mendapat tanggapan positif dari masyarakat sekitarnya dapat menjadi pembelajaran bahwa penerapan manajemen banjir tidak serta merta dapat langsung diterapkan di suatu kawasan, meskipun ada kawasan yang telah berhasil dengan penerapan manajemen banjir tersebut. Di samping membahas preseden-preseden kota di dunia ini, saya juga membahas mengenai penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya sesuai dengan latar belakang di awal mengapa saya membahas topik ini. Banjir di Jakarta telah diprediksi akan terjadi sejak Jakarta masih bernama Batavia pada masa penjajahan Belanda, di akhir abad ke-16 (Sihombing, 2013). Berbeda dengan Belanda yang sudah mengantisipasi dari sekitar seribuan tahun lalu, ketika pembangunan belum ‘terlanjur’ berjalan jauh. Namun berbeda juga dengan kota-kota di Amerika Serikat yang baru belakangan ini dikhawatirkan akan perubahan iklim bumi. Pada masa penjajahan Belanda sebenarnya telah direncanakan berbagai solusi untuk mengatasi permasalahahan banjir ini, namun ketika Belanda mundur dan digantikan oleh Jepang, solusi-solusi yang belum terlaksana tidak lagi dilanjutkan, bahkan Jepang memperburuk kondisi dengan melakukan penebangan pohon untuk keperluan perangnya (Julianery, 2007). Salah satu proyek yang sudah terlaksana sejak lama adalah banjir kanal barat (BKB). Sedang banjir kanal timur (BKT) baru dimulai tahun 2003 dan selesai pada tahun 2007. Keterlambatan
pembangunan
BKT
disebabkan
oleh
ketidakcukupan
dana
untuk
melaksanakan proyek. Padahal penundaan pelaksanaan sebuah proyek yang berlarut-larut hanya akan memakan lebih banyak biaya, antara lain kerugian yang terus terjadi ketika banjir, nilai ganti rugi lahan yang terus naik, dan uang yang terbuang dalam proses pelaksanaan yang hanya setengah jalan. Proses pelaksanaan yang baru berjalan setengah jalan dan terhenti karena tidak ada anggaran bahkan bukan hanya membuang uang tetapi juga menambah ‘sampah’ saluran drainase (Hill, 2013). Sampai saat ini konsep dari manajemen banjir di Jakarta dan sekitarnya adalah manajemen aktif dengan prinsip menjauhkan air dari manusia. Namun di samping upaya yang belum berjalan dengan sempurna, masyarakatnya sendiri juga tidak mendukung prinsip tersebut dengan ‘mendekatkan’ diri ke air, mendirikan pemukiman-pemukiman di bantaran sungai. Perencanaan jangka panjang manajemen banjir Jakarta
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Untuk perencanaan jangka panjang 50-500 tahun ke depan Dedi Supriadi Priatna, Kepala Bappenas Bidang Sarana dan Prasarana, menyatakan Jakarta telah merancang mega proyek National Capital Integrated Coastal Development (Jakarta Top Sector Water, n.d.). National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) adalah sebuah proyek kerja sama dengan negara Belanda untuk membangun tanggul atau dinding raksasa di utara Jakarta dengan, namun tidak hanya sekadar itu, NCICD juga merupakan kawasan kosmopolitan waterfront baru dengan sketsa desain berbentuk garuda yang terintegrasi ke pusat Jakarta, bandara, Jawa Barat, dan Jawa Timur dengan jalan raya dan jalur kereta. Dari Jakarta, dapat dipelajari bahwa sudah ada begitu banyak rancangan yang akan diterapkan dan telah disesuaikan sepenuhnya dengan kondisi Jakarta. Namun, segala program dalam manajemen banjir yang tengah dikerjakan dan tengah direncanakan saat ini oleh Pemprov DKI Jakarta belum sepenuhnya dirasakan oleh Jakarta (kota Jakarta dan isinya). Manajemen banjir tersebut baru dapat membuahkan hasil yang baik jika terdapat kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintah dengan mengikuti arahan yang diberikan oleh pemerintah dan pemerintah juga dapat memegang kepercayaan yang diberikan masyarakat tersebut dengan komitmen yang tinggi tanpa melakukan penyelewengan di sektor-sektor yang ada (Julianery, 2007).
Kesimpulan Kota dan banjir saling terkait karena keterhubungan keduanya dengan alam dan manusia. Yang dapat digambarkan sebagai hubungan sebab-akibat seperti pada diagram berikut; Alam Kota
Banjir
Manusia
efek kausal
Gambar 5. Ilustrasi Hubungan Efek-Kausal Kota dengan Banjir oleh Manusia dan Alam
Karakteristik kota mempengaruhi reaksi sebuah kawasan dalam menghadapi banjir, sehingga penanganan (manajemen) banjir di kota yang berbeda juga sangat mungkin berbeda. Sehingga
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
secara umum manajemen banjir dibagi menjadi dua, yaitu manajemen banjir aktif dan manajemen banjir pasif. Pada pelaksanaannya, manajemen pasif dapat lebih hemat biaya, namun kota-kota di dunia secara umum lebih menerapkan manajemen banjir aktif. Hal ini dikarenakan konsep hidup harmonis dengan air belum biasa dan perlu perubahan secara menyeluruh. Manajemen apapun yang diambil tanpa komitmen dari seluruh pihak yang terlibat, baik pemerintahan maupun penduduk sipil, tidak akan berjalan dengan lancar.
Daftar Referensi Buku: Bentley, E. G., & Taylor, S. P. (1911). Housing town planning etc. Act 1909: a practical guide in the preparation of town planning scheme. California: University of California. Chapin, F. S., & Kaiser, E. J. (1979). Urban land use planning (3rd ed.). US: University of Illinois. Gencer, E. A. (2013). The interplay between urban develpoment, vulnerability, and risk management: a case study of Istambul metropolitan area. Berlin: Springer Science and Business. Julianery, B. E. (2007). Kajian upaya pengendalian banjir di DKI Jakarta: rencana dan realisasi pembangunan banjir kanal timur. Depok: Universitas Indonesia. Pareva, M. C. (n.d.). Urban flooding and its management. New Delhi. Pellow, L. (2011). Amphibious architecture for flood prone communities in Ontario. Ontario: University of Waterloo. Prosun, P. (2011). The LIFT House: an amphibious strategy for sustainable and affordable housing for the urban poor in flood-prone Bangladesh. Ontario: University of Waterloo. Ratcliffe, J. (1974). An introduction to town and country planning (1st ed.). London: Hutchinson & Co Ltd. Schneekloth, L. H. (2003). Urban waterways. Dalam D. Watson, A. Plattus, & R. Shibley (Penyunt.), Time saver standards for urban design (hal. 746-759). New York: McGraw-Hill. Wilson, S., Bray, B., Neesam, S., Bunn, S., & Flanagan, E. (2009). Sustainable drainage. Cambridge: Environment and Planning Cambridge City Council.
Video: Jakarta Top Sector Water (Producer). (n.d.). Jakarta, a new perspective. [Videotape].
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Artikel/Majalah: Climate change blamed for Jakarta floods. (7 Februari 2007). The Sydney Morning Herald. Sihombing, A. (Januari-Febuari 2013). Banjir Jakarta, kiriman dari Bogor? Alumni –Majalah Alumni Universitas Indonesia.
Website: (n.d.). Diambil kembali dari Merriam Webster: an encyclopedia Britannica company: http://www.merriam-webster.com/ Baer, E. M. (n.d.). Teaching recurrence intervals. Diakses 1 April 2014 dari Teaching Quantitative Skills in the Geosciences: http://serc.carleton.edu/quantskills/methods/ quantlit/RInt.html Cities of today, cities of tomorrow. (n.d.). Diakses 5 April 2014 dari United Nation cyberschoolbus: https://www.un.org/cyberschoolbus/habitat/index.asp Coastal flooding. (2008). Diakses 30 Maret 2014 dari FLOODsite: http://www.floodsite.net/juniorfloodsite/html/en/teacher/thingstoknow/hydrology/coastalflood s.html Flooding from rivers overtopping their banks or breaking through dikes . (2008). Diakses 30 Maret 2014 dari FLOODsite: http://www.floodsite.net/juniorfloodsite/html/en/teacher/thingstoknow/hydrology/riverfloods. html Flooding in urban areas. (2008). Diakses 30 Maret 2014 dari FLOODsite: http://www.floodsite.net/juniorfloodsite/html/en/teacher/thingstoknow/hydrology/urbanfloods .html Floods and a flood in Australia. (n.d.). Diakses 30 Maret 2014 dari Skwirk: http://www.skwirk.com/p-c_s-16_u-307_t-753_c-2831/floods-and-a-flood-inaustralia/nsw/floods-and-a-flood-in-australia/australia-s-physical-environment/natural-hazards Hill, E. (19 Desember 2013). Ambitious plans to reduce Jakarta flooding. Diakses 6 Februari 2014 dari Floodlist: http://floodlist.com/asia/plans-reduce-jakarta-flooding Office of Disaster Preparedness and Emergency Management. (n.d.). Learn more about floods. Diakses 11 Maret 2014 dari http://www.odpem.org.jm/DisastersDoHappen/ TypesofHazardsDisasters/Floods/LearnMoreAboutFloods/tabid/259/Default.aspx Pemprov DKI Jakarta. (1 Januari 2008). Diakses 13 Maret 2014 dari Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta: http://www.jakarta.go.id/ Polycarpou, L. (23 Februari 2011). Flood impacts: don’t forget other factors. Diakses 11 Maret 2014 dari State of the Planet: http://blogs.ei.columbia.edu/2011/02/23/flood-impactsdon%E2%80%99t-forget-other-factors/
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014
Ponding. (2008). Diakses 30 Maret 2014 dari FLOODsite: http://www.floodsite.net/juniorfloodsite/html/en/teacher/thingstoknow/hydrology/ponding.ht ml Royal Institute of British Architects. (n.d.). Flooding. Diakses 15 Februari 2014 dari http://www.architecture.com/FindOutAbout/Sustainabilityandclimatechange/Flooding/Floodi ngExplained.aspx
Kota Dan..., Silvia Carolina, FT UI, 2014