KORELASI TUTUPAN TERUMBU KARANG DENGAN KELIMPAHAN RELATIF IKAN FAMILI CHAETODONTIDAE DI PERAIRAN PANTAI PASIR PUTIH, SITUBONDO Nama NRP Program Studi Dosen Pembimbing
: Indrawan Mifta Prasetyanda : 1505 100 029 : Biologi FMIPA-ITS : Aunurohim, S.Si, DEA Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang berdasarkan tingkat persentase tutupan karang, kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae dan korelasi antara keduanya di perairan pantai Pasir Putih, Situbondo. Penelitian dilakukan dengan mengamati tutupan karang hidup dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tutupan karang di wilayah Karang Mayit dan Kembang Sambi berkisar antara 14,82% – 39,50% dengan kelimpahan ikan berkisar antara 5 – 12 ekor di setiap lokasi. Korelasi antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae didapatkan hasil tidak adanya korelasi dimana kelimpahan ikan tidak dipengaruhi oleh tutupan karang. Kata kunci : tutupan karang, ikan famili Chaetodontidae, korelasi
PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut, sebagai sumber plasma nutfah, serta sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi (Dahuri, 2000). Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di terumbu karang, maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula. Dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang juga akan semakin meningkat yang tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu karang dan biota yang hidup di sekitarnya. Terumbu karang yang telah rusak memerlukan waktu
yang lama sekali untuk kembali kepada keadaan semula (Nybakken, 1988). Salah satu kelompok biota yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang dan memegang peranan penting di dalam ekosistem terumbu karang adalah ikan karang famili Chaetodontidae. Reese (1981) dalam Hukom (2001) menempatkan ikan famili ini sebagai indikator kondisi terumbu karang atas dasar sifat ketergantungan ikan tersebut terhadap polip karang sebagai sumber makanannya. Perubahan yang terjadi pada terumbu karang akan ditunjukkan oleh kelimpahan ikan ini, dimana ikan ini akan berpindah ke terumbu karang yang lebih sehat jika suatu lokasi sudah dianggap tidak representif lagi sebagai tempat tinggalnya. Beberapa studi mengungkapkan bahwa kehadiran ikan famili Chaetodontidae di daerah terumbu karang sangat dipengaruhi oleh variabel biofisik (persentase penutupan karang). Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa sebaran Chaetodontidae berasosiasi kuat dengan persentase penutupan karang yang tinggi
(Anderson et al.,1981; Bouchon-Navaro et al., Adrim et al.,1991), dan jika habitat karang terganggu, kelimpahan ikan famili Chaetodontidae akan berkurang (Sano et al.,1987). Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi terumbu karang dan bagaimana kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae di perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo serta adakah korelasi antara persentase tutupan karang dengan kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae? Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah mengukur tingkat persentase penutupan karang dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) dan mengukur kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae dengan menggunakan metode UVC (Underwater Fish Visual Census). Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terumbu karang berdasarkan tingkat persentase tutupan karang hidup dan untuk mengetahui kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae di perairan Pantai Pantai Pasir Putih, Situbondo serta untuk mengetahui korelasi keduanya. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi kondisi terumbu karang dan kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae yang berasosiasi secara khas dengan terumbu karang di perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo. Selain itu, dalam jangka panjang dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian lanjutan tentang ikan famili Chaetodontidae sebagai bioindikator kondisi terumbu karang di perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo.
TINJAUAN PUSTAKA Menurut keputusan Menteri Lingkungan Hidup no.4 tahun 2001, terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitarnya. Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis Anthozoa dari kelas Scleractinia, yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (CaCO3) (Harley and Miller, 1999). Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang ( coral reef) sebagai suatu ekosistem, termasuk didalamnya organisme-organisme karang (Supriharyono, 2000). Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993). M ereka mendapatkan makanannya melalui dua cara: pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton dan kedua, melalui alga kecil (zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang. Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup di satu jenis karang (Rowan and Knowlton, 1995; Rowan et al., 1997 dalam Westmascott., 2000). Karang dibagi menjadi spesies yang memiliki zooxanthellae (hermatypic) dan yang tidak memiliki (ahermatypic). Dalam hal ini zooxanthellae yang terdapat pada karang hermatypic berperan dalam fiksasi kalsium dan pembuat kerangka karang (Dando et al., 1996).
Terumbu karang akan berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan karang. Beberapa faktor lingkungan yang berperan dalam ekosistem terumbu karang antara lain: 1. Cahaya Dinoflagelata-karang (zooxanthellae) merupakan organisme autotrof, dimana proses biokimia kompleknya sangat bergantung pada cahaya (Tomascik et al., 1997). Karang hanya dapat tumbuh pada perairan dangkal, dimana cahaya masih bisa masuk, karena zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang bergantung pada cahaya. 2. Kedalaman Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam (Supriharyono, 2000). Z ona kedalaman antara 5 sampai 20 meter merupakan zona yang tepat dan produktif untuk pertumbuhan maksimum karang (Dando et al., 1996). 3. Suhu Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23o-35oC. Perairan yang terlalu panas juga tidak baik untuk karang. Batas atas suhu bervariasi, tetapi biasanya antara 30o-35oC (86o sampai 95oF). Salah satu tanda karang mengalami stress karena suhu yang terlalu tinggi adalah karang mengalami pemutihan (coral bleaching), dimana karang mengeluarkan zooxanthellae dari tubuhnya (Castro and Huber, 2005). 4. Salinitas Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal (32-35‰) (Nybakken, 1997). 5. Sedimen Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip karang (Supriharyono, 2000). P engaruh tidak langsung adalah melalui turunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesis alga simbion karang, yaitu zooxanthellae, dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Supriharyono, 1986 dalam Supriharyono, 2000). 6. Gelombang dan Arus Secara umum, pertumbuhan terumbu karang lebih berkembang pada area dengan gelombang dan arus sedang. Koloni karang dengan kerangka – kerangka yang padat dan massif dari CaCO3 tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang bersamaan, gelombang dan arus menyediakan nutrien yang dibutuhkan oleh karang secara berkala, oksigen terlarut dan mencegah sedimen mengendap pada koloni. Gelombang dan arus juga membawa plankton baru untuk makanan polip karang (Nybakken, 1997). 7. Polusi Karang juga sensitif pada beberapa polusi. Bahan kimia dengan konsentrasi rendah seperti pestisida dan limbah industri dapat merusak karang. Nutrien dengan konsentrasi tinggi juga bisa berbahaya pada pertumbuhan karang. Manusia melepaskan nutrien dengan jumlah yang sangat banyak pada kotoran dan pupuk y ang terbilas dari tanah pertanian dan terbawa ke laut. Kenaikan nutrien dapat mengubah keseimbangan ekologi dari komunitas karang. Kebanyakan terumbu karang tumbuh di perairan dengan sedikit nutrien. Pada perairan rendah nutrien, rumput laut tidak tumbuh dengan cepat dan tetap terkontrol. Hal ini menjadikan karang tetap mendapatkan ruang dan cahaya. Saat nutrien bertambah, rumput laut akan tumbuh lebih cepat sehingga menaungi dan menghambat pertumbuhan karang yang lambat (Castro and Huber, 2005).
Ikan Karang Dalam penelitian ikan karang, ikan dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yakni: 1. Ikan target: adalah kelompok ikan yang menjadi target nelayan, umumnya merupakan ikan pangan dan bernilai ekonomis. Kelimpahannya dihitung secara ekor per ekor (kuantitatif). 2. Ikan indikator: adalah kelompok ikan karang yang dijadikan sebagai indikator kesehatan terumbu karang yang diwakili oleh famili Chaetodontidae. Kelimpahannya dihitung secara kuantitatif. 3. Ikan major: adalah kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu karang yang tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut di atas. Pada umumnya peran utamanya belum diketahui secara pasti selain berperan dalam rantai makanan. Kelompok ini terdiri dari ikan-ikan kecil yang dimanfaatkan sebagai ikan hias. Kelimpahannya dihitung secara kuantitatif. Akan tetapi untuk ikan lainnya yang mempunyai sifat bergerombol (schooling), kelimpahan dihitung secara taksiran (semi kuantitatif). (Anonim, 2006) Ikan karang sebagai salah satu sumber daya yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang diperkirakan akan berubah apabila habitat tempat hidupnya terganggu. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang perlu dilakukan secara baik guna menjamin kelestarian ikan karang dan biota lain yang hidup di dalamnya.
Ikan Famili Chaetodontidae Klasifikasi dan Morfologi Ikan Famili Chaetodontidae Klasifikasi ikan famili Chaetodontidae menurut Allen (1984) d an Ida (1984): Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Family : Chaetodontidae Ikan famili Chaetodontidae memiliki bentuk tubuh dari oval sampai bulat atau belah ketupat dan pipih. Kepala pada umumnya kecil. Mulut kecil, terminal dan agak tersembul. Moncong dari pendek sampai relatif panjang. Sirip punggung satu dengan dengan 6 – 16 jari – jari keras dan 15 – 31 jari – jari lemah; lekukan kecil terdapat pada bagian jari – jari keras dan lemah. Sirip dubur dengan 3 jari – jari keras dan 14 – 27 jari – jari lemah. Sirip ekor tegak, berlekuk atau bundar (Allen, 1984; Allen, 1997; Ida, 1984; Isa et al., 1998; Mohsin dan Ambak, 1996 da lam Peristiwady, 2006). Kerabat yang terdekat dari ikan ini adalah ikan famili Pomachantidae (Angelfish), yang mempunyai bentuk tubuh hampir sama dari famili Chaetodontidae. Perbedaannya adalah ikan famili Pomachantidae (Angelfish) mempunyai bentuk tubuh yang lebih kokoh dan adanya duri pada bagian bawah penutup insangnya (Allen, 2003).
Gambar 2.1 Ciri – ciri Ikan Famili Chaetodontidae (sumber: modifikasi dari www.underwaterasia.info)
Ekobiologi Ikan Famili Chaetodontidae Salah satu kelompok biota yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang dan memegang peranan penting di dalam ekosistem terumbu karang adalah ikan karang famili Chaetodontidae. Allen (1979) melaporkan sekitar 144 jenis yang ada di seluruh dunia dan 44 jenis ada di Indonesia. Ikan kepe-kepe merupakan spesies yang sangat umum dan mencolok mata di komunitas terumbu karang (Burgess,1978). Ikan kepe-kepe aktif di waktu siang dan ditemukan bernaung dekat dengan permukaan karang di waktu malam. Kebanyakan spesies terbatas pada area karang yang relatif kecil, terisolasi oleh sebagian kecil karang atau lebih sistem karang (Allen et al., 1997 and Randall, 1997 dalam Yusuf, 2000). Banyak spesies ikan ini berpasangan (dalam hal ini para ahli menemukan bahwa pasangan dari ikan ini akan menjadi pasangannya seumur hidupnya) atau bergerombol (schooling) dan pergi di sepanjang area tempat tinggalnya untuk mencari makan. Banyak spesies ikan ini memakan polip karang (pemakan karang obligat) dan yang lain memakan campuran yang terdiri dari invertebrata benthic kecil dan alga (pemakan karang fakultatif). Sedikit spesies, misalnya beberapa Hemitaurichthys spp., memakan zooplankton (Allen, 1997; Kuiter and Debelius, 1997; Randall et al., 1997 d alam Yusuf, 2000).
Gambar 2.2 Beberapa spesies ikan famili Chaetodontidae, Heniachus acuminatus (kiri) dan Chaetodon rafflesii (kanan) (sumber: Randall, J.E.,1997 Randall's underwater photos dalam www.fishbase.org)
Korelasi Ikan Famili Chaetodontidae dengan Terumbu Karang Beberapa studi mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kehadiran ikan (struktur komunitas dan kelimpahan ikan) di suatu komunitas terumbu karang, antara lain tinggi rendahnya persentase tutupan karang hidup (Bell and Galzin, 1984), zona habitat (inner reef flat, outer reef flat, crest, reef base, sand flat) (Green, 1996), da n kondisi fisik, seperti arus, kecerahan dan suhu (Tamimi and Bengen, 1993 dalam Hukom, 1999). Konsep penggunaan spesies kunci tertentu sebagai indikator kondisi ekologis sekarang telah banyak dipakai untuk mendeteksi suatu kondisi lingkungan (Soule & Kleppel, 1998 da lam Maddupa, 2006). Ikan famili Chaetodontidae sangat mungkin untuk menjadi indikator lingkungan terumbu karang karena hubungannya sangat erat dengan substrat karang hidup. Beberapa jenis yang sudah diteliti sebagai indikator perubahan lingkungan adalah Chaetodon multicinctus, Chaetodon ornatissimus, Chaetodon trifasciatus dan Chaetodon unimaculatus (Hourigan et al., 1988). Bouchon-Navaro et al. (1985) dalam Yusuf (2004) mengamati bahwa kelimpahan Chaetodontidae berkorelasi secara signifikan dengan distribusi koloni karang bercabang panjang di ekosistem terumbu karang. Lewis (1997) dalam penelitiannya menemukan bahwa pada area yang terdiri dari patahan karang dan pasir memiliki kelimpahan Chaetodontidae terendah dan sedikit keanekaragaman. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan makanan dan tempat berlindung di daerah tersebut. Studi tentang kerusakan karang juga menunjukkan penurunan jumlah individu dari famili Chaetodontidae ketika daerah tersebut mengalami gangguan. Oleh karena itu, ikan famili Chaetodontidae pemangsa karang merupakan indikator ideal karena ikan ini memangsa karang secara langsung. Lebih lanjut, Crosby & Reese (1996) dalam Maddupa (2006) menjelaskan bahwasanya ikan famili Chaetodontidae menunjukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga akan sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu, karena ikan famili ini sangat teritorial maka akan sangat
mudah memantaunya secara periodik. Ukuran teritori dari ditentukan oleh jumlah makanan karang yang tersedia. Jika ketersediaan makanan karang sedikit di area terumbu karang maka ikan tersebut akan memperluas daerah teritorinya. Perubahan tingkah laku sosial tersebut menyediakan indikasi dini yang sensitif bahwa terjadi ketidakstabilan dan perubahan di dalam ekosistem terumbu karang.
Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat alat selam, GPS (Global Positioning System), rollmeter, clipboard, panduan identifikasi ikan Reef Fish Identification – Tropical Pasific Fishes by Gerald Allen et al. (2003), Marine Fishes by Gerald Allen (2003) serta buku lain yang mendukung, alat tulis, dan kamera bawah air.
METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juni 2011. Pengambilan data dilakukan di perairan Pantai Pasir Putih, Kabupaten Situbondo. Analisis data dilakukan di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Cara Kerja Survey Lokasi Awal Survey secara umum pada lokasi terumbu karang dilakukan untuk menentukan tempat yang representatif yaitu yang bisa mewakili kondisi baik atau buruk pada daerah reef flat.
Gambar 3.1 Peta lokasi pengambilan data tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae di perairan Pantai Pasir Putih (Sumber: modifikasi dari Google Earth) Keterangan: KM3 (Karang Mayit 3 m) KM10 (Karang Mayit 10 m) KS3 (Kembang Sambi 3 m) KS10 (Kembang Sambi 10 m)
: 07o41’01.24”S, 113o50’10.89”E : 07o40’57.29”S, 113o50’11.35”E : 07o40’55.80”S, 113o50’54.50”E : 07o40’53.50”S, 113o50’56.40”E
Metode snorkeling digunakan untuk menentukan lokasi yang tepat. Posisi lokasi dicatat dengan menggunakan GPS (Global Positioning System), keadaan lain juga dicatat seperti tidak adanya bentukan daratan, titik, atau suatu tanda yang dapat digunakan untuk membantu penandaan lokasi transek (English et al., 1994). Setelah diperoleh data atau informasi awal kondisi terumbu karang yang baik dan buruk, m aka selanjutnya bisa dilakukan pengukuran tutupan karang hidup dan kelimpahan relatif ikan famili Chaetodontidae. Pengukuran Tutupan Karang Hidup Pengukuran tutupan karang hidup dilakukan di dua lokasi yaitu terumbu Karang Mayit dan Kembang Sambi dengan asumsi kedua lokasi memiliki tutupan karang yang relatif berbeda. Metode yang digunakan untuk menentukan persentase tutupan karang hidup pada penelitian ini adalah Line Intercept Transect (LIT). Posisi geografis masing-masing titik ditentukan dengan GPS yang telah ditentukan pada saat survey lokasi. Pita berskala (rollmeter) digunakan untuk membuat garis transek dengan ukuran panjang transek 50 meter yang diletakkan pada kedalaman 3 meter dan 10 meter dan sejajar garis pantai. Pada masing – masing lokasi terdapat tiga plot dimana jarak antar plot adalah 20 meter. Pengukuran persentase tutupan karang hidup dilakukan dengan memakai SCUBA (Self Contain Underwater Breathing Apparatus). Semua bentuk pertumbuhan dan jenis karang serta biota lainnya yang berada di bawah garis transek dicatat dengan ketelitian mendekati sentimeter. Dalam pencatatan bentuk pertumbuhan dan jenis karang mengikuti versi Australian Institute of Marine Science (AIMS). Penentuan kondisi terumbu karang berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang berdasarkan KepMen LH no.4 tahun 2001
Pengukuran Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae Jenis dan kelimpahan ikan karang yang diamati dengan metode Underwater Fish Visual Census (UVC) sesuai dengan pengukuran persentase tutupan karang hidup dilakukan sepanjang transek 50 m , dengan lebar 2,5 meter sebelah kiri dan 2,5 meter sebelah kanan garis transek. Pengamatan ini dilakukan dengan memakai SCUBA (Self Contain Underwater Breathing Apparatus) dan dilakukan pada transek garis (LIT) untuk karang. Pengamat menunggu 5-15 menit setelah menyelam di atas transek sebelum menghitung, untuk membiarkan ikan kembali ke aktivitasnya semula (Carpenter et al., 1981 da lam English et al,1994). Pengukuran Parameter Lingkungan Parameter lingkungan yang diukur adalah salinitas, suhu, dan kecerahan. • Salinitas Salinitas diambil pada masingmasing titik pengamatan dan diukur dengan menggunakan hand salino-refractometer @ ATAGO yang memiliki tingkat ketelitian hingga 1 ‰. • Suhu Suhu diambil pada masing-masing titik pengamatan dan diukur dengan menggunakan termometer merkuri yang memiliki tingkat ketelitian hingga 10C. • Kecerahan Kecerahan diambil pada masing – masing titik pengamatan dan diukur dengan menggunakan Sechi disk.
Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Data terdiri atas persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dan korelasi keduanya. Data persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan korelasi diolah dengan analisis statistik Pearson’s Moment Correlation menggunakan program MINITAB 14. Analisa Data Pengukuran Persentase Tutupan Karang Hidup Persentase tutupan karang hidup dihitung dengan rumus:
Total “panjang” kategori karang diperoleh dari jumlah semua kategori yang sama di masing – masing transek. Kemudian dari data persentase tutupan masing – masing kategori, seluruh data persen tutupan disusun dalam tabel sehingga diperoleh jumlah persen tutupan karang hidup keseluruhan 100%. Pengukuran Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae Soekarno (2009) menyatakan dengan metode LIT panjang transek 70 m , maka kriteria kelimpahan ikan karang dikategorikan ”sedikit” apabila jumlah individu ikan target sepanjang transek <70 ekor, ”Banyak” apabila jumlah individu ikan target sepanjang transek antara 70 – 140 ekor, dan ”Melimpah” apabila jumlah individu ikan target sepanjang transek > 140 ekor. Asumsi oleh Soekarno (2009) bahwasanya dalam panjang 1 m terdapat 1 ekor ikan karang. Sehingga dengan panjang transek 50 m maka kriteria kelimpahan ikan karang dikategorikan “Sedikit” apabila jumlah individu ikan karang sepanjang transek <50 ekor, “Banyak” apabila jumlah individu ikan karang sepanjang transek
antara 50 – 100 ekor dan “Melimpah” apabila jumlah individu ikan karang sepanjang transek > 100 ekor. 3.4.3 Korelasi antara Persentase Tutupan Karang Hidup dengan Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae Data persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae diuji dengan uji normalitas (test of norm ality) Anderson – Darling test (Waite, 2000) dengan hipotesis: H0 : data persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae mengikuti distribusi normal H0 diterima jika p – value lebih dari p – 0,05 (data terdistribusi normal) H0 ditolak jika p – value kurang dari p – 0,05 (data tidak terdistribusi normal) Jika H0 diterima (terdistribusi normal), untuk uji korelasi menggunakan Pearson moment correlation (r) de ngan hipotesis: H0 : r = 0 M engimplikasikan tidak ada korelasi antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae H1 : r > 0 M engimplikasikan adanya korelasi positif antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae Uji dilakukan pada α = 0,05 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tentang korelasi tutupan karang dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae di perairan pantai Pasir Putih, Situbondo dilakukan pada tanggal 14 A pril 2011 dan 18 – 19 Juni 2011. Lokasi penelitian adalah Karang Mayit 3 m (KM3), Karang Mayit 10 m (KM10), Kembang Sambi 3 m (KS3), dan Kembang Sambi 10 m (KS10). Pengambilan data untuk KM10 dilakukan pada tanggal 14 April 2011 dan untuk KM3, KS3 dan KS10 dilakukan pada tanggal 18 – 19 Juni 2011. Koordinat lokasi penelitian KM3 terletak pada 07°41'09.5" LS – 113°49' 47.3" BT, KM10 terletak pada 07°41'10.6"
LS – 113°49'45.7" BT, sedangkan lokasi KS3 terletak pada 07°40'57.1" LS – 113°50'17.8" BT, dan KS10 terletak pada 07°40'56.5" LS – 113°50'17.2" BT. Dalam penelitian yang telah dilakukan diambil beberapa parameter lingkungan antara lain suhu perairan, salinitas, dan kecerahan air. Hal ini bisa dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Parameter Lingkungan pada Lokasi Penelitian Parameter Lingkungan Lokasi Nilai 24º C KM3 KM10 24º C Suhu Perairan 24º C KS3 KS10 24º C Salinitas
KM3 KM10 KS3 KS10
26 ‰ 26 ‰ 26 ‰ 26 ‰
Kecerahan Air
KM3 KM10 KS3 KS10
3m 4m 3m 5m
Beberapa parameter lingkungan yang diambil pada lokasi penelitian erat kaitannya dengan faktor lingkungan pada ekosistem terumbu karang, dimana terumbu karang akan berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan karang. Pada lokasi penelitian suhu perairan adalah sebesar 24oC. Menurut Castro and Huber (2005) perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23o35oC. Perairan yang terlalu panas juga tidak baik untuk karang. Batas atas suhu bervariasi, tetapi biasanya antara 30o-35oC (86o sampai 95oF). Salinitas perairan Pantai Pasir Putih diperoleh nilai sebesar 26 ‰. Baku mutu air laut (KMNLH, 2004) menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) salinitas untuk kehidupan biota laut sebesar ± 10‰ dari nilai salinitas alami sebesar 3334 ‰. Rendahnya salinitas di perairan pantai Pasir Putih diduga karena masih relatif dekatnya lokasi penelitian dengan muara sungai yang bisa mengintrusi air laut
sehingga menyebabkan salinitas perairan menurun. Kecerahan air berhubungan kuat dengan faktor penetrasi cahaya dan kedalaman pada perairan. Kondisi ini sangat dibutuhkan oleh terumbu karang. Terumbu karang hanya dapat tumbuh di perairan dangkal, dimana cahaya masih bisa masuk, karena zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang sangat bergantung pada cahaya. Pada lokasi penelitian KM3 dan KS3, kecerahan air adalah sampai dasar yaitu 3 meter. Sedangkan kecerahan air pada KM10 dan KS10 berturut – turut adalah 4 meter dan 5 meter. Pada penelitian ini, pengamatan tutupan karang dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dilakukan di dua lokasi, yaitu kawasan Karang Mayit dan Kembang Sambi. Masing – masing lokasi di setiap kedalaman (3 dan 10 m eter) terdapat 3 plot dengan jarak antar plot 20 meter. Hasil pengamatan di masing – masing lokasi menunjukkan hasil tutupan karang dan kelimpahan ikan yang bervariasi. Hal ini bisa dilihat pada tabel 4.2. Pada tabel 4.2 bisa dilihat persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan dari masing – masing lokasi. Karang hidup yang dijumpai pada lokasi penelitian meliputi Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS) dan Coral Mushroom (CMR). Persentase tutupan karang hidup pada Karang Mayit kedalaman 3 meter rata – rata sebesar 32,54% de ngan kelimpahan ikan 5 ekor, sedangkan persentase tutupan karang hidup pada Karang Mayit kedalaman 10 meter rata – rata s ebesar 23,60% de ngan kelimpahan ikan 11 ekor. Persentase tutupan karang hidup pada Kembang Sambi kedalaman 3 meter rata – rata s ebesar 14,82% dengan kelimpahan ikan 11 e kor, sedangkan persentase tutupan karang hidup pada Kembang Sambi kedalaman 10 meter rata – rata s ebesar 39,50% de ngan kelimpahan ikan 12 ekor.
Tutupan Karang pada Kawasan Karang Mayit Stasiun pengamatan Karang Mayit kedalaman 3 meter (KM3) terletak pada koordinat 07º41'09.5" LS – 113º49'47.3" BT, sedangkan kedalaman 10 meter (KM10) terletak pada koordinat 07º41'10.6" LS – 113º49'45.7" BT. Tutupan karang pada kedalaman 3 meter berturut – turut adalah 36,96%; 30,98% dan 29,7% sehingga rata – rata tutupannya sebesar 32,54%. Sedangkan tutupan karang pada kedalaman 10 meter berturut – turut adalah 28,88%; 26,02% dan 15,92% sehingga rata – rata tutupannya sebesar 23,60%. B erdasarkan KepMen LH no. 4 tahun 2001, maka tutupan karang pada kedalaman 3 meter termasuk dalam kategori rusak sedang dan pada kedalaman 10 meter termasuk dalam kategori rusak buruk. Pada stasiun KM3, kategori life form yang mendominasi adalah Dead Coral with Algae (DCA). Dari ketiga plot, Dead Coral with Algae (DCA) m erupakan satu – satunya yang dominan di stasiun KM3 dengan persentase masing – masing 58,94% pada plot 1, 52,1% pa da plot 2, da n 59,8% pada plot 3. Setelah itu life form yang cukup banyak dijumpai berturut – turut Coral Encrusting (CE) pada plot 1 dan 3, de ngan persentase 15,38% d an 20,06%; dan Coral Branching (CB) pada plot 2 de ngan
persentase 12,02%. Life coral di kawasan Karang Mayit 3 meter terdiri dari CF, CB, CE, CM, CS dan ACB dengan kategori yang mendominasi secara umum adalah Coral Encrusting (CE) dan Coral Branching (CB). Pada stasiun KM10, kategori life form yang mendominasi adalah Rubble (R) dan Sand (S). Pada plot 1 da n 2 l ife form yang paling mendominasi adalah Rubble (R) diikuti oleh Sand (S). Sedangkan pada plot 3 life form yang paling mendominasi adalah Sand (S) diikuti oleh Rubble (R). Setelah itu life form yang cukup banyak dijumpai berturut – turut Coral Massive (CM) pada plot 1 dengan persentase 12,6%, Coral Encrusting (CE) pada plot 2 de ngan persentase 9,88%, da n Sponge (SP) pada plot 3 dengan persentase 12,82%. Life coral di kawasan Karang Mayit 10 meter terdiri dari CF, CB, CE, CM, CS, CMR, ACT dan ACB dengan kategori yang mendominasi secara umum adalah Coral Encrusting (CE) dan Coral Massive (CM).
Tutupan Karang pada Kawasan Kembang Sambi Stasiun pengamatan Kembang Sambi kedalaman 3 meter (KS3) terletak pada koordinat 07º 40' 57.1" LS dan 113º 50' 17.8" BT, sedangkan kedalaman 10 meter (KS10) terletak pada koordinat 07º 40' 56.5" LS dan 113º 50' 17.2" BT. Tutupan karang pada kedalaman 3 meter berturut – turut adalah 16,76%; 10,8% dan 16,92% sehingga rata – rata tutupannya adalah sebesar 14,82. Sedangkan tutupan karang pada kedalaman 10 meter berturut – turut adalah 34,34%; 33,28% dan 50,9% s ehingga rata – rata tutupannya adalah sebesar 39,50%. Berdasarkan KepMen LH no. 4 tahun 2001, maka tutupan karang pada kedalaman 3 meter termasuk dalam kategori rusak buruk dan pada kedalaman 10 meter termasuk dalam kategori rusak sedang. Pada stasiun KS3, kategori life form yang mendominasi adalah Dead Coral with Algae (DCA). Dari ketiga plot, Dead Coral with Algae (DCA) m erupakan satu – satunya yang dominan di stasiun KS3 dengan persentase masing – masing 71,32% pada plot 1, 76,4% pada plot 2, dan 68,34% pada plot 3. Setelah itu life form yang cukup banyak dijumpai berturut – turut Coral Massive (CM) pada plot 1 de ngan persentase 12,14%, s edangkan pada plot 2 dan 3 adalah Sand (S) dengan persentase 12,8,% dan 13,04%. Life coral di kawasan Kembang Sambi 3 meter terdiri dari CB, CE, CM, CS, ACD dan ACB dengan kategori yang mendominasi secara umum adalah Coral Massive (CM). Pada stasiun KS10, kategori life form yang mendominasi adalah Dead Coral with Algae (DCA) dan Acropora Branching (ACB). Dari ketiga plot, Dead Coral with Algae (DCA) da n Acropora Branching (ACB) merupakan yang dominan di stasiun KS10. Setelah itu life form yang cukup banyak dijumpai berturut – turut Coral Encrusting (CE) pada plot 1 de ngan persentase 8,78%, s edangkan pada plot 2 dan 3 a dalah Acropora Branching (ACB) dengan persentase 25,22% da n 37,5%. Life coral di kawasan Kembang Sambi 10 meter
terdiri dari CB, CE, CM, CS, ACD dan ACB dengan kategori yang mendominasi secara umum adalah Acropora Branching (ACB) dan Coral Massive (CM). Perbandingan Tutupan Karang di Lokasi Karang Mayit dan Kembang Sambi Data tutupan karang di dua lokasi pengamatan pada kedalaman berbeda menunjukkan dominansi karang yang berbeda walaupun data fisikokimia (suhu perairan, salinitas, dan kecerahan) yang diperoleh dari lokasi pengamatan tidak terlalu berbeda. Walaupun begitu suhu perairan sebesar 24°C, s alinitas sebesar 26‰ dan kecerahan antara 3 – 5 meter merupakan syarat minimal pertumbuhan optimal karang. Lokasi Karang Mayit pada kedalaman 3 dan 10 meter, dan dari masing – masing tiga kali ulangan, menunjukkan adanya dominansi dari karang encrusting (CE), kecuali pada kedalaman 3 meter plot kedua menunjukkan dominansi dari karang bercabang (CB). Tutupan karang yang didominansi oleh karang encrusting diduga disebabkan oleh gelombang atau arus yang kuat di sekitar lokasi pengamatan dan adanya pemaparan udara. Tekanan hidrodinamis seperti gelombang atau arus akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang akan mengarah ke bentuk encrusting (Supriharyono, 2000). S elain itu adanya faktor pemaparan udara, dimana pada daerah karang tertentu pada saat tertentu, seperti saat surut terendah, airnya surut sekali sehingga banyak karang yang terpapar ke permukaan air. Dan berkaitan dengan tingkat pemaparannya, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pemaparannya maka semakin banyak jenis karang yang berbentuk globuse dan encrusting (Supriharyono, 2000).
Tutupan karang di lokasi Kembang Sambi pada kedalaman 3 meter didominansi oleh karang masif (CM), sedangkan pada kedalaman 10 meter didominansi oleh acropora bercabang (ACB). Dominansi karang masif pada kedalaman 3 meter diduga juga disebabkan oleh adanya pemaparan udara pada daerah tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Victoryus (2008) yang melaporkan bahwa dominansi karang masif di kawasan terumbu karang Teluk Pelita dan Karang Mayit di perairan Pantai Pasir Putih Situbondo pada kedalaman kurang dari 5 meter disebabkan oleh faktor pemaparan udara. Brown et al. (1994) dalam Victoryus (2008) menjelaskan bahwasanya kemampuan karang masif dalam bertahan menghadapi pemaparan udara adalah terkait dengan mekanisme “menarik kembali” (retraction), dimana polip karang masif akan memasukkan jaringan tubuhnya ke dalam rangka kapurnya. Pada lokasi Kembang sambi kedalaman 10 meter yang mendominansi adalah acropora bercabang (ACB). Dominansi acropora bercabang ini diduga disebabkan oleh tingginya sedimentasi di lokasi tersebut. Hal ini dimungkinkan karena kecerahan air hanya mencapai 5 meter saja. Sedimen diketahui dapat menentukan bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi berbentuk foliose, branching dan ramose. Sedangkan di perairan yang jernih terdapat banyak karang berbentuk piring (plate atau digitate plate) (Supriharyono, 2000). Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae di Karang Mayit dan Kembang Sambi Pengambilan data kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dilakukan pada transek yang sama saat pengambilan data tutupan karang. Pengambilan data kelimpahan ikan dilakukan sesaat setelah pengambilan data tutupan karang. Dari tabel 4.3 terlihat kelimpahan ikan paling besar hanya terdapat pada KS10 P2 yaitu sebesar 26 e kor dan paling sedikit
adalah 1 ekor yang terdapat pada KM3 P2. Kelimpahan ikan di setiap lokasi pengamatan Karang Mayit dan Kembang Sambi adalah antara 5 – 12 ekor. Berdasarkan Soekarno (2009) kelimpahan ikan secara keseluruhan di setiap transek pengamatan bisa dikategorikan sedikit karena kelimpahan ikan di setiap transek sepanjang 50 meter kurang dari 50 ekor. Tercatat lima spesies yang diwakili dua genus yang ditemukan, yaitu Chaetodon (3 spesies) dan Heniochus (2 spesies). Chaetodon octofasciatus (total 82 ekor) merupakan spesies yang cenderung selalu ditemukan di setiap stasiun pengamatan di perairan pantai Pasir Putih, Situbondo. Chaetodon octofasciatus ditemukan paling banyak (12 ekor) pada stasiun KM10 P1 dan KS3 P3. Sementara itu pada stasiun KM3 P2 hanya ditemukan 1 ekor Chaetodon octofasciatus. Chaetodon adiergastos, Chaetodon baronessa, Heniochus acuminatus dan Heniochus pleurotaenia ditemukan sedikit di perairan pantai Pasir Putih, Situbondo. Chaetodon adiergastos ditemukan paling banyak (11 ekor) pada stasiun KS 10 P2 dan paling sedikit (1 e kor) pada stasiun KM 10 P3, KS3 P2, dan KS10 P3. Chaetodon baronessa, Heniochus acuminatus dan Heniochus pleurotaenia merupakan spesies yang jarang ditemukan dan hanya ditemukan sedikit (2-3 ekor) pada lokasi penelitian. Kelimpahan C. octofasciatus yang cenderung lebih banyak ditemukan daripada spesies yang lain di setiap transek diduga berkaitan erat dengan sifat spesies tersebut terhadap tutupan karang. Bloch (1787) dalam Yusuf dan Ali (2004) memasukkan C. octofasciatus dalam pemangsa karang yang obligat (obligate corallivore). Pemangsa karang obligat menjadikan polip karang sebagai sumber nutrisi utama dalam makanannya. Tidak semua spesies dari ikan famili Chaetodontidae bersifat pemangsa karang obligat. Banyak penelitian (Harmelin – Vivien & Bouchon – Navaro, 1983; Bouchon – Navaro, 1986; Sano,199l Pitts, 1991; Zekeria et al., 2002 dalam Pratchett,
2007) telah membagi semua karang sebagai satu kategori mangsa dan mengkategorikan ikan famili Chaetodontidae ini sebagai: 1) pemangsa karang obligat, dimana ikan ini memakan polip karang secara eksklusif; 2) pemangsa karang fakultatif, dimana makanan utamanya adalah polip karang, tetapi untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya juga memakan organisme bentik lainnya; 3) pemangsa non – karang, dimana ikan ini tidak pernah atau jarang memakan polip karang. S pesies yang ditemukan pada lokasi penelitian dan bersifat pemangsa karang obligat hanyalah Chaetodon octofasciatus dan Chaetodon baronessa, sementara spesies lainnya bukanlah pemangsa karang obligat. Hourigan (1988) dalam Davies (2006) juga membagi pemangsa karang dari ikan famili ini menjadi dua kategori, yaitu pemangsa karang tertentu dan pemangsa karang umum. Pemangsa karang tertentu memakan karang dengan variasi karang yang tidak terlalu luas walaupun karang tersebut ditemukan dalam jumlah yang sedikit atau jarang, sementara pemangsa karang umum memakan karang dengan variasi karang yang luas bergantung dari kelimpahan terumbu karang di daerah tersebut. Sehingga diduga Chaetodon octofasciatus, yang bisa ditemukan di setiap kedalaman di lokasi pengamatan, dan Chaetodon baronessa, yang walaupun bersifat pemangsa karang obligat, juga bisa dikategorikan dalam pemangsa karang yang umum. Hal ini disebabkan kedua spesies tersebut masih bisa ditemukan dalam jumlah banyak di kawasan yang tutupan karangnya rendah. Dugaan ini dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan Maddupa (2006) dimana dari tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus memangsa berbagai jenis karang – karang yang ada di sekitar areanya, tapi terlihat bahwa ikan ini sangat menyukai karang Acropora. Beberapa spesies dari famili Chaetodontidae pemangsa karang obligat (obligate corralivore) yang bisa ditemukan di Indonesia antara lain C. octofasciatus dan C. baronessa yang bisa ditemukan di lokasi
penelitian, C. meyeri, C. kleinii, C. trifasciatus, C. triangulum dan C. collare yang bisa ditemukan di Pulau Weh, Aceh, dan C. lunulatus yang bisa ditemukan di perairan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (Setiawan, 2010). Sedangkan untuk pemangsa karang fakultatif antara lain C. trifascialis (memakan mucus dan polip karang), C. rafflesi dan C. citrinellus (keduanya memakan polip karang dan cacing Polychaeta) yang ditemukan di Pulau Weh, Aceh. Beberapa spesies juga ada yang memakan selain dari polip karang seperti H. accuminatus dan H. pleurotaenia yang ditemukan di lokasi penelitian merupakan pemakan plankton (planktivore); sementara C. adiergastos merupakan pemakan zoobenthos (Setiawan, 2010). Dalam kajian ekobiologi spesies Chaetodon octofasciatus, berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dalam Maddupa (2006) m enyatakan bahwa kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan. Hal ini dikuatkan oleh Hutomo et al. (1991) da n Mantachitra et al. (1991) dalam Yusuf dan Ali (2000) ba hwa C. octofasciatus dan Chelmon rostratum merupakan spesies yang paling melimpah di area terumbu karang yang dangkal dan keruh. Hukom (2001) j uga menambahkan bahwasanya pada Pulau Panjang bagian barat Propinsi Kalimantan Timur yang mengalami tingkat kekeruhan dan sedimentasi yang cukup tinggi, C. octofasciatus adalah jenis yang utama. Sementara diketahui bahwasanya dengan tingkat kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi karang tidak akan berkembang dengan baik, sehingga hal ini akan berakibat pada tutupan karang yang rendah.
Korelasi Tutupan Karang dengan Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Korelasi antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae diperoleh dengan menggunakan perhitungan koefisien korelasi Pearson. Sedangkan distribusi data tutupan karang dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae diuji dengan menggunakan uji normalitas Anderson – Darling test (Waite, 2000). Jika data terdistribusi normal berarti data yang diperoleh bisa mewakili keseluruhan populasi, dalam hal ini adalah populasi karang dan populasi ikan famili Chaetodontidae. Jika data tidak terdistribusi normal maka data tidak bisa digunakan untuk mewakili keseluruhan populasi. Dari data yang diperoleh didapatkan hasil terdistribusi secara normal (p>0,05), dimana tutupan karang memiliki p-value sebesar 0,471 dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae sebesar 0,176. Hasil analisis dengan mengunakan MINITAB 14, koefisien korelasi Pearson (r) antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae adalah – 0,139 dan tidak signifikan pada p-value = 0,667 (p>0,05). Korelasi Pearson menunjukkan adanya angka negatif antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae, akan tetapi karena data yang didapatkan tidak signifikan (p>0,05) maka bisa dikatakan bahwasanya tidak ada korelasi antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae yang berarti tingginya kelimpahan ikan
famili Chaetodontidae tidak dipengaruhi oleh tingginya tutupan karang. Pada gambar 4.5 bisa dilihat bahwasanya pada tutupan karang yang tinggi yaitu 50,9% ( KS10 P3) didapatkan kelimpahan ikan yang kurang dari 10 e kor. Hal yang sama didapatkan pada KS10 P1 dengan tutupan karang sebesar 34,34% didapatkan kelimpahan ikan hanya 4 ekor saja. Sedangkan pada kawasan yang tutupan karangnya rendah yaitu kurang dari 20% (KS3 P3) justru didapatkan kelimpahan ikan mencapai 15 ekor. Kondisi ini mengarah pada korelasi negatif antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan atau dengan kata lain kehadiran dan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae tidak dipengaruhi oleh tutupan karang yang tinggi. Tidak adanya korelasi antara tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae ini diduga disebabkan pada saat penelitian ikan sedang memperluas daerah teritorinya dari terumbu yang tutupan karangnya rendah ke tinggi karena beberapa spesies yang ditemukan pada lokasi penelitian merupakan pemangsa karang obligat yg menjadikan polip karang pada jaringan karang yg sehat sebagai makanannya. Endean (1988) da lam Yusuf and Ali (2000) melaporkan bahwa kawasan terumbu karang yang diganggu oleh Acanthaster plancii, masih dikunjungi oleh ikan famili Chaetodontidae, tetapi mereka akan meninggalkan area tersebut setelah karang tertutupi oleh alga.
Penelitian yang dilakukan oleh Endean (1988) bahwasanya kematian karang terdiri dari genus Acropora dan Pocillopora yang mencapai 50%, telah mereduksi 47% kehadiran ikan famili Chaetodontidae yang bersifat pemangsa karang obligat dan spesies pemangsa karang obligat ini akan diganti dengan spesies yg omnivor. Dugaan ini diperkuat dengan adanya dominansi life form Death Coral with Algae (DCA) yang hampir bisa dijumpai di semua transek di lokasi penelitian. Seperti pada KS3 P2 dimana dominansi life form DCA mencapai 76,4% dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae hanya 9 e kor saja ataupun pada KM3 P3 dimana dominansi life form DCA mencapai 59,08% de ngan kelimpahan ikan hanya 4 ekor saja. Faktor lain yang diduga menjadi sebab tidak adanya korelasi adalah variasi alami pada kelimpahan ikan dengan komposisi terumbu karang. Pada lokasi yang berbeda dengan terumbu karang yang berbeda pula, tidak semua ikan famili
Chaetodontidae yang ditemukan bersifat pemangsa karang obligat. Sehingga hanya spesies tertentu saja dari famili Chaetodontidae ini yang bisa dijadikan sebagai ikan indikator kesehatan terumbu karang. Hal ini dikuatkan oleh Bell et al. (1985) dalam Davies (2006) yang setuju bahwa keanekaragaman dan melimpahnya kumpulan ikan famili Chaetodontidae hanya ditemukan di kawasan dengan tutupan karang yang tinggi, akan tetapi hal ini tidak bisa menjelaskan bahwa kelimpahan ikan ini bisa dijadikan indikator kesehatan terumbu karang karena adanya variasi alami pada kelimpahan ikan famili ini dengan komposisi terumbu karang. Roberts & Ormond (1987) d alam Davies (2006) j uga meneliti pengaruh dari beberapa variabel substrat dengan kelimpahan ikan karang dan keanekaragaman spesies dari lima famili ikan. Mereka tidak menemukan korelasi antara persentase tutupan karang dengan keanekaragaman spesies maupun kelimpahan ikan, kecuali korelasi yang
lemah dengan ikan pemangsa karang obligat dari famili Chaetodontidae. Salah satu spesies yang dijadikan bioindikator kesehatan terumbu karang adalah spesies endemik di Hawaii Chaaetodon multicinctus. Seperti dijelaskan Crosby & Reese (2005) dalam Davies (2006) mempublikasikan penelitian mereka tentang spesies bioindikator dari ikan famili Chaetodontidae, Chaaetodon multicinctus, yang memonitor tiga lokasi terumbu karang di Hawaii. Terumbu karang ini menerima masukan sedimen dengan jumlah yang berbeda yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwasanya ada perubahan perilaku dari Chaaetodon multicinctus yang ditunjukkan dengan perluasan daerah teritorinya. Dimana ikan tersebut akan memperluas daerah makannya ke wilayah terumbu karang yang lebih sehat. KESIMPULAN 1. Kondisi terumbu karang berdasarkan tingkat presentase tutupan karang pada perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo di lokasi Karang Mayit dan Kembang Sambi adalah berada di antara rusak sedang – rusak buruk. 2. Kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dengan menggunakan transek sepanjang 50 meter pada perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo di wilayah Karang Mayit dan Kembang Sambi adalah sedikit (kurang dari 50 ekor per transek). 3. Tidak adanya korelasi antara presentase tutupan karang dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae yang ditunjukkan dengan nilai korelasi Pearson sebesar – 0,139 dan tidak signifikan di p – value = 0,667 (p > 0,05). Hal ini berarti kelimpahan ikan famili Chaetodontidae tidak dipengaruhi oleh presentase tutupan karang hidup.
SARAN Perlu adanya penelitian lanjutan spesies pemakan karang obligat lain yang bisa dijadikan bioindikator kesehatan terumbu karang sehingga diharapkan bisa dijadikan bioindikator yang cocok pada perairan di seluruh Indonesia pada umumnya dan perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo pada khususnya. DAFTAR PUSTAKA Adrim, M, M. Hutomo and S.R. Suharti. 1991. “Chaetodon Fish Community Structure and Its Relation to Reef Degradation at Seribu Island Reefs, Indonesia”. Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas. Philipine Allen, G.R. 1979. Butterfly and Angelfish of the World. New York: John Wiley & Sons Allen, G.R. 1984. Family Chaetodontidae in FAO Species Identification Sheets for Fishery Purposes, Western Indian Ocean (Fishing Area 51), Volume I, Fischer, W. and G. Bianchi (eds.) Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome Allen, G.R. 1997. A Field Guide for Anglers and Divers. Marine Fishes of Tropical Australia and SouthEast Asia. Western Australian museum, 292 pp Allen, G.R. 1997. Marine Fish of the Great Barrier Reef and SouthEast Asia. Western Australian Museum Perth Allen, G.R. 2003. Reef Fish Identification – Tropical Pasific. Jackonsville, USA: New World Publications, Inc. Anderson, G.R.V et al. 1981. The Community Structure of Coral Reef Fishes. American Naturalist Anonim. 2006. Manual Monitoring Kesehatan Karang. COREMAP LIPI
Anonim. 2010. I dentification of Butterflyfishes dalam www.underwaterasia.info diakses pada tanggal 27 Desember 2010 pukul 08.05 Bawole, R., E idman M, Bengen DG, Suharsono. 1999. D istribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai Indikator Terumbu Karang di Perairan Teluk Ambon. Jurnal Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, VI(1): hal 1-13 Bell, J, Harmelin – Vivien, M & Galzin, R. 1985. “Large Scale Spatial Variation in Abundance of B utterflyfishes (Chaetodontidae) on P olynesian Reefs”. Proceeding of the 5th International Coral Reef Congress, Tahiti 5 : p.421 – 426 Bouchon-Navaro, Y. 1981. “ Quantitative Distribution of t he Chaetodontidae on A Reef of M oorea Islands (French Polinesia)”. Journal Experimental Marine Biology Ecology 55: p.145 – 157 Bouchon-Navaro, Y., C. Bouchon & M. L. Harmelin-Vivien, 1985. “Impact of Coral Degradation on a Chaetodontid Assemblage”. Proceeding of the 5th International Coral Reef Congress, Tahiti 5 :427 – 431 Bouchon-Navaro, Y. 1986. “Partitioning of Food and Space Resources by Chaetodontid Fishes on Cora l Reefs”. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 103: p.21 – 40 Brown, B. E. dan N. Phongsuwan. 2004. “Constancy and Change on Shallow Reefs Around Laem Pan Wa, Phuket, Thailand Over a Twenty Year Period”. Phuket Marine Biology Cent. Res. Bull. 65 : p.61 -73 Brown, B.E., M.D.A. Le Tissier dan R.P. Dunne. 1994. “Tissue Retraction in The Scleractinian Coral Coeloseris mayeri, Its Effect upon Cora l Pigmentation, and Preliminary
Implications for Heat Balance”. Marine Ecology Progress Series Volume 105 : p.209 – 218 Burgess, WE. 1978. Butterflyfishes of the World: A Monograph of the Family Chaetodontidae. Surrey: T.F.H. Publications Carpenter, K.E., R.I. Miclat, V.D. Albaladejo and V.T. Corpuz. 1981. “The Influence of Substrat Structure on the Local Abundance and Diversity of Philippine Reef Fishes”. Proceedings Fourth Coral Reef Symposium 2: p.497 – 502 Castro, P., M.E. Huber. 2005. Marine Biology 5th Edition. New York: Mc Graw-Hill Crosby, M P & Reese, E S. 2005. “Relationship of Habitat Stability and Intra – specific Population Dynamics of an Obligate Corallivore Butterflyfishes”. Aquatic Conservation – Marine and Freshwater Ecosystems 15: p.513 – 525 Dahuri, R. 2000 . Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: LIPI Dando, M., M. Burchett and G. Walter. 1996. Sealife: A Complete Guide to the Marine Environment. United States of America: Smithsonian Institution Press Endean, R. 1988. “Pollution of the Coral Reef”. 5th FOA/SIDA Workshop on Aquatic Pollution in Relation to Protection of Living Resources, Scientific and Administrative Basis for Management Measures, Manila, 1977: p.343 – 369 English, S.A., C. Wilkinson and V.J. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Sciences (AIMS) Harley, B. and Miller A.S. 1999. Zoology. Fourth Edition. United States of America: Mc Graw – Hill Harmelin – Vivien, M. L. & Y. BouchonNavaro. 1983. Feeding Diets and
Significance of Coral Feeding among Chaetodontid Fishes in Moorea (French Polynesia). Coral Reefs, 2: p.119 – 127 Hourigan, TF., T.C. Tricas and E.S. Reese. 1988. “Coral Reef Fishes as Indicators of Environmental Stress in Coral Reefs”. In: Marine Organisms as Indicators (Ed. By Soule, D F, & Kleppel, G S), p. 107 – 135. New York: Springer – Verlag Hukom, F.D. 1999. “ Ekostruktur dan Distribusi Spasial Ikan Karang (Famili Labridae) di Perairan Teluk Ambon”. Prosiding Lok. Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia. Hal 134 – 145 Hukom, F.D. 2001. “Asosiasi Antara Komunitas Ikan Karang (Family Chaetodontidae) dengan Bentuk Pertumbuhan Karang di Perairan Kepulauan Derawan Kalimantan Timur”. Jurnal Pesisir dan Pantai Indonesia VI. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI Hutomo, M, S. R. Suharti & I. H. Harahap, 1991. ”Spatial Variability in Chaetodontid Fish Community Structure of S unda Straits Reefs”. Proceeding of the Regional Symposiums On Living Resources in Costal Areas, Manila: p.151-161 Ida, H. 1984. Family Chaetodontidae in The Fishes of the Japanese Archipelago. Masuda, H., K. Amoka, C. A raga, T. Uyeno and T. Yoshino (eds.) pp. 182 – 186. Tokyo, Japan: Tokai University Press Isa, M.M et al. 1998. Field Guide to Important Commercial Marine Fishes of the South China Sea. Marine Fisheries Resources Development And Management Department. South-East Asia Fisheries Development Center. SEAFDEC MFRDMD/SP/2, 287 pp. 358 figs. Kuiter, R.H. and H. Debelius. 1997. Southeast Asia Tropical Fish
Guide. Frankfurt, Germany: IKANUnderwasserarchiv Lewis, A. R., 1997. “ Effect of Experimental Coral Disturbance on the Structure of Fish Communities on Large Patch Reef”. Mar. Ecol. Prog. Ser. 161: p.37-50 Maddupa, H.H. 2006. Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) Dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Mantachitra, V., S. Sudara & S. Satumanapatman, 1991. “ Chaetodon octofasciatus as Indicator Species for Reef Condition”. Proc. of the Reg. Symp. On Living Resources in Costal Areas, Manila: p.135-139 Mayor, A.G. 1915. “ The Lower Temperature at Which Reef Corals Lose Their Ability to Capture Food”. Marine Biology. Carnegie. Instn. Wash., 14: p.212 Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 4 Tahun 2001, Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Mohsin, A.K.M. and M.A. Ambak. 1996. Marine Fishes And Fisheries of Malaysia and Neighbouring Countries, University Pertanian Malaysia Press, 744 pp. 495 figs Muscatine, L. 1990. “The Role of Symbiotic Algae in Carbon and Energy Flux in Reef Corals”. In Z. Dubinsky (ed.) Coral Reefs: Ecosystems of the World, Volume 25. Elsevier Science, Amsterdam: p.75 – 87
Nybakken, James. 1997. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia Peristiwady, T. 2006. Ikan – ikan laut ekonomis penting di Indonesia: Petunjuk Identifikasi. Jakarta: LIPI Pitts, P.A. 1991. ”Comparative Use of Food and Space by Three Bahamian Butterflyfishes”. Buletin of Marine Science, 48: p.749 – 756 Pratchett, M.S. 2007. ”Dietary Selection by Coral – Feeding Butterflyfishes (Chaetodontidae) on the Great Barrier Reef, Australia”. The Raffles Buletin of Zoology. Supplement No.14: p.171 – 176 Randall, J.E., G.R. Allen and R.C. S teene. 1997. Fishes of the Great Barrier Reef and Coral Sea. Periplus Edition (HK) Ltd. Randall, J.E. 1997. Ra ndall’s Underwater Photos dalam www.fishbase.org diakses pada tanggal 16 Desember 2010 pukul 12.44 Reese, E.S. 1981. “ Predation on Cora l by Fishes of the Family Chaetodontidae, Implication and M anagement of Coral Reef Ecosystem”. Bull. Marine Science 31: p.594-604 Rowan, R. a nd Knowlton, N. 1995. “Intraspecific Diversity and Ecological Zonation in Coral Algal Symbiosis”. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 92 (7): p.2850–2853 Rowan, R., Knowlton, N., Baker, A. and Jara, J. 1997. “Landscape Ecology of Algal Symbionts Creates Variation Within Episodes of Cora l Bleaching”. Nature 388 (6639): p.265–269 Sano, M., M. Shimizu anad Y. Nose. 1987. “Long Term Effect of Distruction of Hermatypic Corals by Achantaster plankii Infestation on Reef Fish Community at Iriomote Islands, Japan”. Marine Ecology Program Ser. 37: p.191-199
Sano, M. 1989. Feeding Habits of J apanese Butterflyfishes (Chaetodontidae). Environmental Biology of Fishes, 25: p.195 – 203 Setiawan, F. 2010. Panduan Lapangan Identifikasi Ikan dan Invertebrata Laut. Wildlife Conservation Society Sorokin, Y.I., 1993. Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. S pringerVerlag Soekarno. 2009. “ Penentuan Kriteria Kelimpahan Ikan Terumbu Karang”. CRITC COREMAP LIPI dalam www.coremap.lipi.go.id diakses pada tanggal 27 Oktober 2010 pukul 11.49 Soule DF., Kleppel GS. 1988. Marine Organisms as Indicators. New York: Springer Verlag. 342pp. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan Tamimi, M. and D.G. Bengen. 1993. Spatial Variability and Interaction Between Habitat and Fish Species on Skepal Island and Blebuh Beach (South Lampung). Makalah dibawakan pada Seminar Internasional Ikan Karang di Maumere, 13 hal. Tomascik, Tomas et al. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas Part One. Periplus Editions (HK) Ltd. Yusuf, Y. and A.B. Ali. 2000. “Butterflyfish (Chaetodontidae) of P ulau Payar Marine Park”. Proceedings of National Symposium on Pulau Payar Marine Park. Malaysia Yusuf, Y. and A. B. Ali, 2004. “The use of butterflyfish (Chaetodontidae) as bioindicator in coral reef ecosystems”. p 175- 183 in Phang, S., -M. and M. T. Brown (eds.). Biomonitoring of tropical coastal ecosystems. University of Malaya Maritime Research Center (UMMReC), Kuala Lumpur Victoryus, A. 2008. “ Korelasi Densitas Diadema dengan Tutupan Karang
Hidup di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo”. Tugas Akhir Waite, S. 2000. Etatistical Ecology in Practice : A Guide to Analysing Enviromental and Ecological Field Data. Prentice Hall, Malaysia Wells, J.W. 1957. “ Coral Reefs. In The Treatise on Marine Ecology and Paleoecology”. Vol. I, Ecology. Geol. Soc. of A mer. Memoir 67, p.609 – 631 Westmacott, S., Teleki, K., Wells, S. dan West. J. M. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang Yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. vii + 36 pp Zekeria, Z.A., Y. Dawit, S. Ghebremedhin, M. Naser & J.J. Viedler. 2002. Resource Partitioning among Four Butterflyfish Species in the Red Sea. Marine and Freshwater Research, 53: p.163 – 168