ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Korelasi Positif Perubahan Berat Badan Interdialisis dengan Perubahan Tekanan Darah Pasien Post Hemodialisa Purnomo Widiyanto1 , Hamam Hadi2 , Teguh Wibowo3 1, 2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta 3 RSUD Saras Husada Purworejo
Abstrak Berat badan interdialysis digunakan sebagai dasar menentukan ultra filtrasi pada pasien hemodialisa. Ultra filtrasi yang berlebihan dapat mempengaruhi hemodinamik pasien. Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR), pada tahun 2012 sebanyak 11% pasien dengan hemodialisa mengalami hipotensi. Penelitian observasional analitik ini menggunakan design survey cohort bertujuan untuk menganalisis perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah pasien post hemodialisis di RSUD Saras Husada Purworejo. Sebanyak 40 responden dalam penelitian terbagi menjadi dua kelompok dan ditentukan dengan tehnik purposive sampling sesuai dengan criteria inklusi dan ekslusi. Data survey kohort di analisis menggunakan Paired T-Test, Spearman Rank Test dan Chi Square dan didapatkan karakteristik subyek sebagai berikut; jenis kelamin p= 0,736, umur p= 0,744, riwayat DM p=0,311 dan riwayat HT p= 0,185 artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kenaikan BB interdialisis (p>0,05). Hubungan BB interdialisis dengan perubahan TD, RR= 2,750 x²= 3,84 dan p=0,050 (p=0,05) terdapat hubungan yang signifikan dengan arah+ positif. Simpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah. Kelompok terpapar dengan kenaikan BB interdialisis > 8% terjadi hipotensi. Keywords: BB interdialisis, Tekanan darah, Hemodialisis
Positive Correlation of Changing Interdialysis Body Weight with the Changing of Post Dialysis Blood Pressure Abstract Interdialysis body weight is used to determine ultra filtration speed on hemodialisa patients. The overload ultra filtration can influence patients hemodynamic. According to Renal Registry Indonesia, it was 11 percent in 2012 dialysis patients experienced hypotension. This observational analytic study used cohort survey aims to analyse changing of interdialysis body weight and of blood pressure among dialysis patients in RSUD Saras Husada Purworejo. In this research, 40 respondents divided into two groups by purposive sampling based on inclusion and exclusion criteria. Data was analysed using Paired T-Test, Spearman Rank Test and Chi Square and was obtained characteristics subject sexes p= 0.736, p= 0.744 age, history of diabetes p= 0.311 and p= 0.185 HT history means that there were no significant correlation with the increase interdialisis BB. (p>0.05). Correlation interdialisis BB with changing in BP, RR= 2,750 x²= 3.84 and p= 0.050 (p= 0.050) was significantly in positive direction. Conclusion, there was correlation between interdialysis body weight changing with blood pressure elevation. 8% of those who exposed the rise interdialysis body weight was hypotension. Keywords: BB interdialysis, blood preasure, Haemodialisys. Info Artikel: Artikel dikirim pada 11 November 2013 Artikel diterima pada 11 November 2013
Korelasi Positif Perubahan Berat Badan Interdialisis dengan Perubahan Tekanan Darah Pasien Post Hemodialisa Positive
1
Pendahuluan Ginjal berfungsi untuk pengaturan konsentrasi elektrolit dan pH cairan ekstra seluler (CES) dan mengekresikan sampah nitrogen serta produk sampingan metabolisme lainya dalam bentuk urine. Sel ginjal juga membentuk dan mensekresikan dua hormon, kalsitriol dan eritropoetin1. Prevalensi pasien CKD di Amerika Serikat pada akhir tahun 2002, sekitar 345.000 orang terus meningkat dan insiden gagal ginjal didunia juga mengalami peningkatan terus. Dinegara maju, angka gagal ginjal cukup tinggi. Lebih dari 10% atau lebih dari 20 juta, berusia 20 tahun atau lebih tua menderitra Cronik Kidney Disease menurut The National Instittute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease2. Kejadian morbiditas penyakit ginjal di Indonesia juga mengalami peningkatan. Menurut YAGINA (Yayasan Ginjal Indonesia) dalam Sari, 2009 menjelaskan pada tahun 2007 terdapat 6,7 % dari penduduk Indonesia sudah mempunyai gangguan fungsi ginjal dengan tingkat sedang sampai berat. Menurut Indonesian Renal Registry (IRR, 2010) di Indonesia pasien gagal ginjal yang melakukan tindakan Hemodialisa mengalami peningkatan dari tahun 2007 jumlah pasien 6862 orang dan tahun 2009 meningkat menjadi 12800 orang. Tahun 2010 meningkat meningkat menjadi 14833 orang yang menjalani pengobatan hemodialisa3. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah pasien post hemodialisis di RSUD Saras Husada Purworejo. Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survey (observasional) dengan Desain penelitian ini menggunnakan rancangan survei cohort. Dalam penelitian ini pasien dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pasien yang kenaikan berat badan interdialisis >8 % (terpapar) dan pasien yang kenaikan berat badannya <8% (tidak terpapar), kemudian kedua kelompok tersebut diobservasi tekanan darahnya sebelum dan sesudah dialisis. Penelitian ini dilaksanakan di ruang Hemodialisa RSUD Saras Husada Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2013. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling yakni pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu5. Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel, sedangkan kriteria eklusi adalah ciri-ciri 2
anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel4. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien hemodialisa rutin lebih dari tiga bulan, hemodialisa terjadwal frekwensi 2 kali seminggu, durasi HD 4 jam, kesadaran compos mentis, bersedia ikut dalam penelitian, umur 20 tahun sampai 64 tahun. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah penderita anemia berat, pasien yang mengkonsumsi obat antihipertensi sebelum hemodialisa, usia lebih dari 65 tahun. Jumlah sampel 20 pasien pada kelompok terpapar dengan kenaikan berat badan intedialisis > 8% dan 20 pasien pada kelompok yang tidak terpapar dengan kenaikan berat badan interdialisis < 8%. Hasil dan Pembahasan Karakteristik subyek penelitian Dari tabel 1.1. Dapat diketahui hasil dari variabel jenis kelamin dengan p-value = 0,736, umur dengan p value = 0,744, riwayat diabetus melitus (DM) dengan p-value = 0,311 dan riwayat hipertensi dengan p-value = 0,185, artinya dapat disimpulkan tidak mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kenaikan berat badan interdialisis dengan nilai p-value lebih dari 0,05. Analisis Univariat a. Kelompok pasien yang terpapar (kenaikan BB interdialisis > 8% ) Dari hasil analisis didapatkan rata-rata berat badan post HD yang lalu 54,315 kg, Median 51,400 kg, (95% CI: 47,118-1,512) dengan standar deviasi 15,3784 kg. Berat terendah 38,5 kg dan berat tertinggi 114,1 kg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95%diyakini bahwa rata-rata berat badan post hd yang lalu adalah diantara 47,118 kg sampai 61,512 kg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata berat badan pre hd 59,935 kg, median 57,600 kg, (95% CI: 52,280-67,590) dengan standar deviasi 16,3566 kg. Berat terendah 42,6 kg dan berat tertinggi 124,4 kg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata berat badan pre hd adalah diantara 52,280 kg sampai 67,590 kg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata berat badan post hd 54,995 kg, median 52,550 kg, (95% CI: 47,508-62,482) dengan standar deviasi 15,9982 kg. Berat terendah 38,4 kg dan berat tertinggi 118,3 kg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata berat badan post hd adalah diantara 47,508 kg sampai 62,482 kg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah sistole pre HD 164,550 mmHg, median 158,500 mmHg, (95% CI: 156,457 - 172,643) dengan standar
Widiyanto, Hadi, & Wibowo, JNKI, 2014, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 1-8
Tabel 1.1 Karakteristik subyek penelitian pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo tahun 2013 Varibel Jenis kelamin Laki-laki wanita Umur > 51 tahun < 51 tahun Riwayat DM penyakitDM Tidak DM Riwayat Hipertensi penyakit Tidak hipertensi Hipertensi
Kelompok tidak terpapar (kenaikan<8%) n % 13 32,5 7 17,5 13 32,5 7 17,5 8 20,0 15 37,5 15 37,5 5 12,5
Kelompok terpapar (kenaikan BB > 8% ) n % 14 35,0 6 15,0 12 30,0 8 20,0 5 12,5 12 30,0 11 27,5 9 22,5
χ²
P-value
0,114
0,736
0,107
0,744
1,026
0,311
1,758
0,185
Sumber: Data Primer Tabel 2.1. Distribusi frekwensi berat badan dan tekanan darah pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo Tahun 2013
Variabel BB Post HDYang Lalu BB Pre HD BB Post HD TD Sistole Pre HD TD Sistole Post HD TD Diastole Pre HD TD Diastole Post HD
Mean
S.D
54,315 59,935 54,995 164,550 128,700 89,900 74,250
15,378 16,356 15,998 17,291 24,127 10,833 9,329
Median 51,400 57,600 52,550 158,500 125,000 88,500 73,500
Minimal-Maksimal 38,5-114,1 42,6-124,4 38,4-118,3 140,0-197,0 90,0-188,0 74,0-115,0 57,0-102,0
95%CI 47,118-61,512 52,280-67,590 47,508-62,482 156,457 -172,643 177,408-139,992 84,830-94,970 69,884-78,616
Sumber: Data Primer
deviasi 17,2915 mmHg. TD Sistole terendah 140,0 mmHg dan TD sistole tertinggi 197,0 mmHg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah sistole pre hd adalah diantara 156,457 mmHg sampai 172,643 mmHg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah sistole post HD 128,700 mmHg, median 125,000 mmHg, (95% CI: 117,408 - 139,992) dengan standar deviasi 24,1271 mmHg. TD sistole terendah 90,0 mmHg dan TD sistole tertinggi 188,0 mmHg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah sistole post hd adalah diantara 117,408 mmHg sampai 139,992 mmHg. Hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah diastole pre HD 89,900 mmHg, median 88,500 mmHg, (95% CI: 84,830-94,970) dengan standar deviasi 10,8332 mmHg. TD diastole terendah 74,0 mmHg dan TD diastole tertinggi 115,0 mmHg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah diastole pre hd adalah diantara 84,830 mmHg sampai 94,970 mmHg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah diastole post HD 74,250 mmHg, median 73,500 mmHg, (95% CI: 69,884 - 78,616) dengan standar deviasi 9,3295 mmHg. TD diastole terendah 57,0 mmHg dan TD diastole tertinggi 102,0 mmHg. Dari
estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah sistole post hd adalah diantara 69,884 mmHg sampai 78,616 mmHg. b. Kelompok pasien yang tidak terpapar dengan kenaikan BB interdialisis < 8% Dari hasil analisis didapatkan rata-rata berat badan post HD yang lalu 54,695 kg, median 54,350 kg, (95% CI: 50,099-59,291) dengan standar deviasi 9,8206 kg. Berat terendah 35,4 kg dan berat tertinggi 80,5 kg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata berat badan post hd yang lalu adalah diantara 50,099 kg sampai 59,291 kg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata berat badan pre HD 57,420 kg, median 55,950 kg, (95% CI: 52,815-62,025) dengan standar deviasi 9,8387 kg. Berat terendah 37,5kg dan berat tertinggi 84,5kg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata berat badan pre hd adalah diantara 52,815 kg sampai 62,025 kg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata berat badan post HD 54,115kg, median 53,350 kg, (95% CI: 49,512-58,718 ) dengan standar deviasi 9,8344 kg. Berat terendah 35,2 kg dan berat tertinggi 80,2kg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini
Korelasi Positif Perubahan Berat Badan Interdialisis dengan Perubahan Tekanan Darah Pasien Post Hemodialisa Positive
3
Tabel 2.2 Distribusi frekwensi berat badan dan tekanan darah pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo Tahun 2013 Variabel BB Post HD Yang Lalu BB Pre HD BB Post HD TD Sistole Pre HD TD Sistole Post HD TD Diastole Pre HD TD Diastole Post HD
Mean 54,695 57,420 54,115 152,10 134,950 88,250 80,000
S.D 9,820 9,838 9,834 21,581 21,035 13,821 11,783
Median 54,350 55,950 53,350 153,000 140,000 91,500 83,000
Minimal-Maksimal 35,4-80,5 37,5-84,5 35,2-80,2 106,0-197,0 93,0-169,0 58,0-114,0 50,0-98,0
95%CI 50,099-59,291 52,815-62,025 49,512-58,718 141,999-162,201 125,105-144,795 81,781-94,719 74,485-85,515
Sumber: Data Primer Tabel 2.3. Distribusi frekwensi kejadian hipotensi pada pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo tahun 2013 Variabel Hipotensi Tidak hipotensi Jumlah
Kelompok tidak terpapar (kenaikan<8%) n % 9 22,5 11 27,5 20
Kelompok terpapar (kenaikan BB > 8% ) n % 16 40 4 10 20
Total n
%
25 15 40
62,5 37,5 100
Sumber: Data Primer
bahwa rata-rata berat badan post hd adalah diantara 49,512 kg sampai 58,718 kg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah sistole pre HD 152,100 mmHg, median 153,000 mmHg, (95% CI: 141,999-162,201) dengan standar deviasi 21,5819 mmHg. TD sistole terendah 106,0 mmHg dan TD sistole tertinggi 197,0 mmHg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah sistole pre hd adalah diantara 141,999 mmHg sampai 162,201 mmHg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah sistole post HD 134,950 mmHg, median 140,000 mmHg, (95% CI: 125,105- 144,795) dengan standar deviasi 21,0350 mmHg. TD Sistole terendah 93,0 mmHg dan TD sistole tertinggi 169,0 mmHg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah sistole post hd adalah diantara 125,105 mmHg sampai 144,795 mmHg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah diastole pre HD 88,250 mmHg, median 91,500 mmHg, (95% CI: 81,781-94,719) dengan standar deviasi 13,8217 mmHg. TD diastole terendah 58,0 mmHg dan TD diastole tertinggi 114,0 mmHg. Dari estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah hd adalah diastole pre hd antara 81,781 mmHg sampai 94,719 mmHg. Dari hasil analisis didapatkan rata-rata tekanan darah diastole post HD 80,000 mmHg, median 83,000 mmHg, (95% CI: 74,485-85,515) dengan standar deviasi 11,7831 mmHg. TD Diastole terendah 50,0 mmHg dan TD diastole tertinggi 98,0 mmHg. Dari 4
estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata tekanan darah sistole post hd adalah diantara 74,485 mmHg sampai 85,515 mmHg. Distribusi frekwensi kejadian hipotensi Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa pasien dengan kenaikan berat badan interdialisis > 8% sebagian besar pasien mengalami hipotensi yaitu sejumlah 16 pasien atau 40% dan tidak mengalami hipotensi 4 pasien atau 10% Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa pasien dengan kenaikan berat badan interdialisis < 8% yang mengalami hipotensi yaitu sejumlah 9 pasien atau 22,5% dan yang tidak mengalami hipotensi 11 pasien atau 27,5%. Dari keseluruhan jumlah pasien yang diteliti yang mengalami kejadian hipotensi sejumlah 25 pasien atau 62,5% dan yang tidak hipotensi sejumlah 15 pasien atau 37,5%. Dari hasil uji Paired T-Test didapatkan t hitung -12,272, menunjukan bahwa BB post HD yang lalu lebih rendah dari BB pre HD, p-value = 0,000 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 maka Ho ditolak artinya ada beda rata-rata antara BB post HD yang lalu dengan BB pre HD dengan selisih (delta= -4,1725). Dari hasil uji Paired T-Test didapatkan t hitung 13,934, menunjukan bahwa BB pre HD lebih besar dari BB post HD, p-value = 0,000 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 maka Ho ditolak artinya ada beda rata-rata antara BB pre HD dengan BB post HD denganselisih (delta= 4,1225).
Widiyanto, Hadi, & Wibowo, JNKI, 2014, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 1-8
Tabel 2.4. Perbedaan rata- rata berat badan dan tekanan darah pada keseluruhan pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo tahun 2013. Variabel
Mean
SD
BB post hd yang lalu –BB pre hd
54,50 58,67 58,66 54,55 158,32 131,82 89,08 77,13
12,737 13,383 13,383 13,115 20,306 22,565 12,286 10,887
BB pre HD - BB post HD TD Sistole pre HD –TD Sistole post HD TD diastole pre HD –TD diastole post HD
Hasil Paired T-test Delta t -4,1725 -12,272
p- value 0,000
4,1225
13,934
0,000
26,500
8,415
0,000
11,950
6,672
0,000
Sumber: Data Primer
Dari hasil uji Paired T-Test didapatkan p-value = 0,000 dimana nilai tersebut kurang dari 0,5 artinya ada beda rata-rata antara TD sistole pre HD dengan TD sistole post HD dengan delta 26,500 dan t hitung 8,415 dapat diartikan bahwa TD sistole pre HD lebih tinggi dibandingkan TD sistole post HD. Dari hasil uji Paired T-Test didapatkan p-value = 0,001 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 artinya ada beda rata-rata antara TD diastole pre HD dengan TD diastole post HD dengan delta 11,950 dan t hitung 6,672 artinya TD diastole pre HD lebih tinggi dibandingkan TD diastole post HD. a. Korelasi delta (Δ) berat badan interdialisis dan delta (Δ) tekanan darah sistole. Tabel 4.11. Korelasi BB interdialisis dengan tekanan darah sistole pada pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo Tahun 2013 Variabel
Hasil Spearman Rank Test R p- value Delta (Δ) (BB interdialisis 0,478 0,002 - delta (Δ) tekanan darah sistole
Sumber: Data Primer
Dari tabel diatas diketahui nilai r = 0,478 dan nilai p-value = 0,002 dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan berat badan interdialisis dengan tekanan darah sistole menunjukkan hubungan yang sedang, dan berpola positif yang artinya semakin bertambah berat badan maka semakin tinggi terjadi penurunan tekanan darah. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kenaikan berat badan interdialisis dengan tekanan darah sistole dengan p- value 0,002 dimana p< 0,005. b. Korelasi delta (Δ) berat badan interdialisis dan delta (Δ) tekanan darah diastole. Dari tabel diatas diketahui nilai r = 0,220 dan nilai p-value = 0,172 dapat diambil kesimpulan
Tabel 4.12. Korelasi BB interdialisis dengan tekanan darah diastole pada pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo Tahun 2013 Variabel Delta (Δ) (BB interdialisis - delta (Δ) tekanan darah diastole
Hasil Spearman Rank Test R p- value 0,220 0,172
Sumber: Data Primer
bahwa hubungan berat badan interdialisis dengan tekanan darah diastole menunjukkan hubungan yang lemah, dan dari uji statistik didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan interdialisis dengan tekanan darah diastole p-value = 0,172 lebih besar dari 0,005. c. Hubungan antara perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah. Dari hasil uji statistik hubungan antara berat badan interdialisis dengan kejadian hipotensi pada kelompok pasien dengan kenaikan BB >8% sebanyak 16 pasien (80%) dan pada kelompok pasien dengan kenaiakn BB <8% sebanyak 9 pasien (45%). Hasil uji statistik didapatkan p-value = 0,050 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan. Dari hasil analisis diperoleh RR= 2,750 yang artinya pasien dengan kenaikan berat badan interdialisis > 8% mempunyai resiko 2,75 kali untuk mengalami perubahan tekanan darah kearah hipotensi. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 20 pasien pada kelompok terpapar dengan kenaikan berat badan interdialisis > 8% dan 20 pasien tidak terpapar dengan berat badan interdialisis < 8% terhadap perubahan tekanan darah post hemodialisis. 1. Karakteristik Pasien Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin didapatkan p- value 0,736, umur didapatkan p- value
Korelasi Positif Perubahan Berat Badan Interdialisis dengan Perubahan Tekanan Darah Pasien Post Hemodialisa Positive
5
Tabel 4.13. Hubungan BB interdialisis dengan hipotensi pada pasien hemodialisa di RSUD Saras Husada Purworejo Tahun 2013 Kenaikan berat badan interdialisis BB < 8% BB > 8% Jumlah
Perubahan tekanan darah Hipotensi Tidak hipotensi n % n % 9 45 11 55 16 80 4 20 25 62,5 15 37,5
Total n 20 20 40
% 100 100 100
RR
χ²
p-value
2,750 (95% CI:1,0517,197)
3,840
0,050
Sumber: Data Primer
0,744, riwayat penyakit DM didapatkan p- value 0,311 dan riwayat penyakit hipertensi didapatkan p- value 0,185. Hasil penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kenaikan berat badan interdialisis dengan nilai p-value lebih dari 0,05. Dari hasil peneliti ini bahwa faktor jenis kelamin, umur, riwayat penyakit DM dan hipertensi tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik. Hal ini sesuai dengan penelitian Lolyta (2011) bahwa usia, jenis kelamin, penggunaan obat antihipertensi tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap kenaikan berat badan6. Faktor yang berpengaruh terhadap kenaikan berat badan interdialisis antara lain: intake cairan, rasa haus, dukungan sosial dan keluarga, self efficacy, stress. Intake cairan, prosentase air didalam tubuh manusia 60%, dimana ginjal yang sehat akan berfungsi mengeksesi dan mereabsorbsi air untuk menyeimbangkan osmolaritas ginjal. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa mengalami kerusakan dalam pembentukan urin sehingga menyebabkan kelebihan volume cairan dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008). Self Efficacy yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan energi positif melalui kognitif, motivasional, afektif. Self efficacy yang tinggi dibutuhkan untuk memunculkan motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan pengendalian cairan dengan baik, sehingga dapat mengatur peningkatan berat badan interdialisis 7. Rasa haus, pasien gagal ginjal kronik juga mengalami rasa haus yang berlebihan. Merespon rasa haus normalnya dengan minum, akan tetapi pasien CKD tidak diijinkan untuk berespon dengan cara yang normal terhadap rasa haus yang mereka rasakan. Rasa haus dapat disebabkan oleh masukan sodium, kadar sodium yang tinggi, penurunan potasium, angiotensin II, peningkatan urea plasma, hipovolemia post dialisis dan faktor psikologis7. Dukungan sosial dan keluarga, tindakan hemodialisis dapat menimbulkan stress bagi pasien. Dukungan keluarga dapat meningkatkan kualiatas 6
hidup pasien dan berhubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalani terapi (Soninier,2000). Stress. Pada pasien Hemodialisis (HD) dapat menyebabkan pasien berhenti memonitoring asupan cairan, bahkan ada juga yang berhenti melakukan terapi HD, kejadian ini dapat berakibat pada perubahan berat badan interdialisis (Potter & Perry, 2006) 3. 2. Distribusi kejadian Pada semua kelompok yang terpapar dan tidak terpapar yang menjalani hemodialisis yang mengalami kejadian hipotensi sejumlah 25 pasien atau 62,5% dan yang tidak hipotensi sejumlah 15 pasien atau 37,5%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Lolyta (2011) kenaikan berat badan interdialisis berpengaruh terhadap tekanan darah p-value 0,049. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Hudak & Gallo (2010) bahwa kenaikan berat badan interdialisis yang berlebih akan mempengaruhi ultrafiltrasi cairan yang dapat berakibat terjadinya gangguan hemodinamik berupa hipotensi3. Kejadian hipotensi lebih banyak terjadi pada pasien yang terpapar dengan kenaikan BB interdialisis > 8% dikarenakan berhubungan dengan ultrafiltrasi cairan yang lebih besar dengan kecepatan perpindahan cairan dari insterstitial kedalam intravaskuler. Penurunan volume intravaskuler yang terlalu cepat melebihi pergeseran cairan ekstravaskuler ke intravaskuler akan menyebabkan hipotensi. 3. Korelasi berat badan interdialisis dengan tekanan darah sistol Pada tabel 4.12 didapatkan nilai r: 0,478 dan nilai p-value: 0,002 dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan berat badan interdialisis dengan tekanan darah sistole menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan. Nugroho (2003) dalam penelitiannya terdapat korelasi antara status volume dengan delta sistolik didapatkan r = -0,361 dan p-value= 0,036 terdapat hubungan yang bermakna secara statistik. Kelebihan berat badan interdialisis akan meningkatkan
Widiyanto, Hadi, & Wibowo, JNKI, 2014, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 1-8
resistensi vaskuler dan pompa jantung sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah sistole3. 4. Korelasi berat badan interdialisis dengan tekanan darah diastole. Pada tabel 4.13 didapatkan nilai r = 0,220 dan p- value = 0,172 dapat diambil kesimpulan menunjukkan hubungan yang lemah dan tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik. Penelitian ini mendukung penelitian Nugroho (2003) dengan nilai r = -0,394 dan p- value = 0,146, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status volume dan delta tekanan darah diastole. 5. Hubungan antara perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah. Hasil penelitian pada tabel 4.14 didapatkan χ²= 3,84 lebih besar dari χ² tabel dan p-value = 0,050 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah. Hasil analisis diperoleh RR= 2,750 yang berpola positif yang artinya pasien dengan penambahan kenaikan berat badan interdialisis >8% mempunyai resiko 2,75 kali untuk mengalami perubahan tekanan darah kearah hipotensi. Penelitian ini mendukung pada penelitian Agustriadi (2009) tentang hubungan volume darah relatif terhadap episode hipotensi dengan hasil Beta = 0,46, OR = 1,5, IK 95% dan p-value = 0,01 Penambahan berat badan yang signifikan akan berpotensial terjadi hipotensi post dialisis dikarenakan ultrafiltrasi yang tinggi dan cepat. Target dry weight (berat badan kering) terlalu rendah dan fluktuasi kecepatan ultrafiltrasi. Selama ultrafiltrasi , perpindahan cairan dari intravaskuler ke membran dialiser dan dikombinasi penurunan tekanan hidrostastik kapiler memicu perpindahan cairan dari insterstitial kedalam intravaskuler. Penurunan volume intravaskuler yang terlalu cepat melebihi pergeseran cairan ekstravaskuler ke intravaskuler akan menyebabkan hipotensi. Penurunan volume darah akan memicu aktifitas aktivitas saraf parasimpatis mengakibat penurunan curah jantung yang berakibat penurunan tekanan darah. Hipotensi berresiko terjadi penurunan kesadaran, kram otot, pusing, mual, muntah dan rasa tidak nyaman. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, penelitaian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Variabel jenis kelamin, umur, riwayat penyakit DM dan riwayat hipertensi tidak mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kenaikan berat badan interdialisis dengan hasil analisis nilai p-value lebih dari 0,05 yaitu jenis kelamin p-value = 0,736, umur dengan p value = 0,744, riwayat diabetus melitus (DM) dengan p-value = 0,311 dan riwayat hipertensi dengan p-value = 0,185. 2. Terdapat hubungan antara berat badan interdialisis dengan tekanan darah sistole dengan menunjukkan hubungan yang sedang, dan berpola positif yang artinya semakin bertambah berat badan maka semakin tinggi terjadi penurunan tekanan darah dengan hasil analisis diketahui nilai r = 0,478 dan nilai p-value = 0,002 3. Hubungan berat badan interdialisis dengan tekanan darah diastole menunjukkan hubungan yang lemah dengan hasil analisis nilai r = 0,220 dan dari uji statistik didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan interdialisis dengan tekanan darah diastole dengan hasil analisis p-value = 0,172 4. Hubungan peruahan berat badan interdialisis dengan perubahan tekanan darah antara kelompok yang terpapar dan tidak terpapar didapatkan p-value = 0,050, nilai χ²= 3,84 dan nilai RR = 2,750. Kelompok pasien yang terpapar dengan kenaikan berat badan interdialisis > 8% beresiko terjadi perubahan tekanan darah ( hipotensi ) post hemodialisa 2,75 kali dibandingkan kelompok tidak terpapar dengan kenaikan berat badan interdialisis < 8%. Saran 1. Bagi RSUD Saras Husada Purworejo Khususnya unit hemodialisa untuk membuat standar asuhan keperawatan dalam membatasi kenaikan berat badan interdialisis pasien hemodialisa kurang dari 8%. Perawat hemodialisa dapat memberikan edukasi pada pasien dan keluarga tentang resiko penambahan berat badan interdialisis lebih dari 8%. 2. Bagi pasien hemodialisa dan masyarakat umum Hendaknya pasien dan keluarga pasien hemodialisa dapat mengatur kenaikan kenaikan berat badan interdialisis kurang dari 8 %. 3. Bagi peneliti lain Bagi Peneliti selanjutnya hendaknya melakukanpenelitian lebih lanjut dengan variabel berbeda antara lain faktor volume cairan, kadar hematokrit dan albumin, profil ultrafiltrasi dan lainlain yang dapat mempengaruhi kualiatas hidup pasien CKD.
Korelasi Positif Perubahan Berat Badan Interdialisis dengan Perubahan Tekanan Darah Pasien Post Hemodialisa Positive
7
Daftar Pustaka 1. Hudak, Carolyn M., Barbara M.Gallo. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed 6. Volume 2. AlihBahasa: Monica Ester, Made Kariasa,Made Sumarwati. Efi Afifah; Editoredisi bahasa Indonesia: YasminAsih, EGC: Jakarta 2010 2. NIDKK (The National Instittute of Diabetesand Digestive and Kidney Disease);diunduh dari http://www.nidkk.nih.gov. Tanggal 19 Mei2013 jam 22.35 wib; 2010 3. Indonesian Renal Registry,. 3 Report Of Indonesian Renal Registry. Pernefri:Jakarta; 2010 4. Notoatmodjo, Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta; 2010 5. Machfoedz, Ircham, Metodologi Penelitian Kuantitatif & Kualitatif (Bidang Kesehatan,
8
Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran). Fitramaya: Yogyakarta; 2010 6. Lolyta, Rika, Ismonah, Achmad Solehan. Analisis Faktoryang Mempengaruhi Tekanan Darah Hemodialisis padaPasien Gagal Ginjal Kronik (Studi Kasus di RS TelogorejoSemarang ). Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. Diunduh dari http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ ilmukeperawatan/article tanggal 25-06-2013 jam 00.45wib; 2011 7. Istanti, Y. P. Faktor-Faktor yangberkontribusi terhadap interdialytic weight gain (IDWG) pada pasien chronic kidney disease (CKD) di Unit Hemodialisis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Universitas Indonesia, http:// www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-125543. pdf. diunduh tanggal 25 Agustus 2013 jam 13.15 wib; 2009.
Widiyanto, Hadi, & Wibowo, JNKI, 2014, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 1-8
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tingkat Pengetahuan tentang Persiapan Kehamilan pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Sedayu Bantul Yogyakarta Siti Nurunniyah1, Mulyanti2, Rita Nur Octafiyani3 1, 2, 3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Persiapan kehamilan harus dilakukan semenjak seorang perempuan masih remaja. Resiko terjadinya anemia, KEK, dan tidak merawat kehamilan sering terjadi akibat kurangnya pengetahuan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional. Sebanyak 118 siswi kelas XI di SMA Negeri 1 Sedayu Bantul Yogyakarta telah menjadi responden yang ditentukan dengan stratified random sampling. Kuisioner persiapan kehamilan digunakan sebagai instrumen pengumpulan data. Analisa univariat menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja terhadap persiapan kehamilan dikategorikan cukup (56%/66 reponden). Indikator tingkat pengetahuan yang meliputi pengertian persiapan kehamilan dalam kategori baik (100%); usia reproduksi sehat dalam kategori cukup (66%/78 responden); imunisasi tetanus toxoid dalam kategori kurang (72%/85 orang); asam folat dalam kategori baik (57%/67 orang); anemia dikategorikan baik sebanyak 85 orang (72%); dan status gizi pada kategori cukup (49%/58 orang). Darimpulan rata-rata tingkat pengetahuan persiapan kehamilan di kategorikan cukup baik, sedangkan tingkat pengetahuan tentang persiapan kehamilan terutama tentang imunisasi Tetanus Toxoid dalam kategori kurang baik. Kata Kunci: Tingkat pengetahuan, Persiapan kehamilan, Remaja putri.
Degree of Knowledge Teen Women Students in Sedayu I Public High School Bantul Yogyakarta on Pregnance Preparation Abstract Pregnancy preparation has to be undertaken since women in teenage. The risk of anemia, KEK, and neglegance of pregnancy causes by poor knowledge. This is a descriptive quantitative research using crosssectional design. It was 118 of Sedayu I public high schools student participating in the research determined by stratified random sampling technique. Questioner of pregnancy preparation used as tool to collect data. Univariate analysis presents that degree of knowledge of preganancy preparation on teen students was average ((56%/66 repondents). Indicators of degree of knowledge include definition in good category (100%); understanding of ideal health reproduction in average (66%/78 respondents); tetanus toxoid immunization in lower category (72%/85 people); understanding of folic acid in average category (57%/67 people); anemia in great category by 85 respondents (72%); and diet status in average category (49%/58 people). Conclusion, the level of knowledge of teen women students on the pregnancy preparation is mostly in good level, while, understanding of tetanus toxoid immunication is low. Keywords: Pregnancy, Preparation Teenage Students
Info Artikel: Artikel dikirim pada 13 November 2013 Artikel diterima pada 13 November 2013
Tingkat Pengetahuan Tentang Persiapan Kehamilan Pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Sedayu Bantul Yogyakarta
9
Pendahuluan Sekitar 2 – 27% dari seluruh kematian perinatal disebabkan karena kelahiran prematur dengan berat lahir rendah (BBLR). Sementara itu prevalensi prematur di Indonesia diperkirakan 7-14% yaitu sekitar 459.200-900.000 bayi pertahun1. Tahun 2005 angka kejadian persalinan prematur di Rumah Sakit Indonesia sebanyak 3142 kasus dan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 3063 kasus2. Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta angka kejadian kelahiran bayi prematur adalah sebesar 33,3% 3. RSU PKU Muhammadiyah Bantul kejadian kelahiran bayi prematur sebesar 6,12%. Perbaikan dalam angka kematian perinatal dapatdicapai dengan pemberian pengawasan antenatal untuk semua wanita hamildengan menemukan dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan janin dan neonatus 4. Di Provinsi DIY, akses ibu hamil terhadap tenaga kesehatan tanpa memandang umur kandungan saat kontak pertama kali (K1) cukup tinggi yaitu 92,7 %, namun cakupan akses ibu hamil yang lengkap (K4) sebanyak 4 kali pada tiap trimester selama kehamilan dengan pola 1-1-2 oleh tenaga kesehatan masih belum optimal yaitu 61,4 %. Khusus untuk daerah Bantul, cakupan pemeriksaan ibu hamil K4 mencapai 85,48% dari target sebesar 95%.
Meskipun demikian, diperlukan perhatian khusus karena penurunan angka kematian bayi masih jauh dari target. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah kualitas layanan ANC untuk memastikan diagnosis dini dan perawatan yang tepat, di samping pendekatan kesehatan ibu hamil yang terpadu dan menyeluruh 6 .Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RS Panembahan Senopati Bantul dari 1 Januari 2011 hingga 29 Februari 2012, proporsi kelahiran bayi prematur dari 2543 orang ibu bersalin adalah 8,13 %. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kunjungan Antenatal Care (ANC) dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Bahan dan Metode Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan rancangan penelitian studi case control. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu dengan bayi prematur di RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta, sedangkan teknik pengambilan sampmenggunakan tehnik acak sederhana (Simple Random Sampling) dengan jumlah 156 orang, yaitu 78 orang responden untuk kasus dan 78 orang responden untuk control di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta.
Tabel 1. Karakteristik Responden (Ibu Hamil) di Kabupaten Bantul No Karakteristik 1.
2.
3.
4.
Umur a. b.
<20 tahun >35 tahun 20 – 35 tahun
Pendidikan a. Rendah (SD) b. Sedang (SMP-SMA) c. Tinggi (PT) Paritas a. ≥ 4 b. < 4 Riwayat Penyakit/penyulit kehamilan a. Sebelumnya 1) Ada 2) Tidak b. Sekarang 1) Ada 2) Tidak Total
Responden Kasus n %
Kontrol n %
P -value
21 57 78
23 73 100
34 44 78
44 56 100
4,746
0,029
15 61 2 78
19,2 78,2 2,6 100
8 6,5 5 78
10,3 83,3 6,4 100
3,543
0,170
69 9 78
88 12 100
13 65 78
17 83 100
80,622
0,0001
35 43
45 55
49 29
73 37
5,056
0,25
27 51 78
35 65 100
54 25 100
69 31 100
18,720
0,001
Sumber: Data Primer 2012
10
x²
Nurunniyah, Mulyanti, & Octafiyani, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 9-13
Hasil Dan Pembahasan
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Waktu Pertama Kunjungan ANC (K1)
Karakteristik Subyek Penelitian Variabel umur menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian prematur (p=0,029). Menurut Departemen Kesehatan RI, umur <20 dan >30 tahun dianggap sebagai faktor risiko yang secara tidak langsung meningkatkan kejadian BBLR dan prematur. Responden dengan pendidikan tinggi berjumlah 7 orang atau 4%, serta responden dengan pendidikan rendah dan sedang masingmasing berjumlah 23 orang atau 15% dan 126 orang atau 81%. Dari hasil analisis tabel diatas dapat dikatakan bahwa variabel pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian premature (p=0.170). Berdasarkan paritas atau jumlah anak yang dilahirkan, responden dengan paritas ≥4 memiliki jumlah lebih besar daripada responden dengan paritas <4. Responden dengan paritas ≥4 berjumlah 82 orang atau 53% dan responden dengan paritas >4 berjumlah 74 orang atau 47%. Analisis tabel diatas dapat dikatakan bahwa paritas memiliki hubunganyang signifikan dengan kejadian prematur (p=0,000). Pada riwayat kehamilan sebelumnya tidak terdapat hubungan yang signifikanantara riwayat kehamilan sebelumnya dengan kejadian prematur (p=0,25). Sedangkan pada riwayat kehamilan sekarang didapatkan bahwa riwayat kehamilan sekarang/ penyulit yang menyertai kehamilan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian prematur (p=0,000). Paritas atau jumlah anak yang dilahirkan berpengaruh dimana paritas lebih dari 3 akanmeningkatkan risiko kelahiran prematur 7. Hasil penelitian dari Christine (2004) menunjukkan bahwa secara signifikan paritas merupakan risiko terhadap kelahiran prematur. 8 Riwayat kehamilan sekarang dapat dikatakan sebagai penyakit atau penyulit yang menyertai kehamilan seperti pendarahan antepartum, preeklampsi dan Ketuban Pecah Dini (KPD), yang akan meningkatkan kejadian prematuritas adalah perdarahan antepartum7. Hal ini dikarenakan perdarahan yang hebat pada ibu sehingga janin harus dilahirkan walaupun usia kehamilan masih premature9.
Waktu Pertama ANC 0-3 bulan 4-6 bulan 6-9 bulan
Responden Kasus N 71 6 1 78
Kontrol
% 91,0 7,7 1,3 100
n 69 9 78
% 88,5 11,5 100
Sumber : Data Primer 2012
Berdasarkan tabel 2. ketahui bahwa seluruh ibu yang melahirkan bayi prematur pernah melakukan kunjungan ANC selama hamil. Sebanyak 71 orang ibu (91%) melakukan ANC untuk pertama kali (K1) pada usia kehamilan 0-3 bulan (trimester I). Hanya 1 orang ibu (1,3%) yang melakukan kunjungan ANC pertama kali pada kehamilan usia 6-7 bulan (trimester III). Tabel 2. juga menunjukkan bahwa sebanyak 69 orang (88,5%) responden yang melahirkan bayi normal, melakukan kunjungan ANC pertama kali pada usia kehamilan 0-3 bulan. Hanya 9 orang (11,5%) responden yang melakukan kunjungan ANC pada usia kehamilan 4-6 bulan. Persentase inilebih rendah dibandingkan dengan persentase K4 Kabupaten Bantul tahun 2010, dimana cakupan K4 pada tahun tersebut mencapai 85,48% 6. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Frekuensi ANC Kunjungan lengkap (K4) ANC N 15 663 78
Tidak K4 K4 Total
Responden Kasus Kontrol % n % 19,2 14 17,9 80,8 64 82,1 100 78 100
Sumber : Data Primer 2012
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 63 orang (80,8%) ibuyang melahirkan bayi prematur, mempunyai riwayat ANC saat hamildan 15 orang (19,2%) ibu yang melahirkan bayi premature tidak melakukan ANC ketika hamil. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 14 orang (17,9%) ibu melahirkan bayi normal
Tabel 4 Tabulasi Silang dan Uji Chi Square Kunjungan ANC Terhadap Persalinan Prematur di Kabupaten Bantul 2012 Karakteristik Tidak K4 K4 Total
Responden f 15 127 78
% 51,7 49,6 100
f 14 64 78
Jumlah % 48,3 50,4 100
f 29 127 156
% 100 100 100
x²
p -value
0,43
0,837
Sumber : Data Primer 2012
Tingkat Pengetahuan Tentang Persiapan Kehamilan Pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Sedayu Bantul Yogyakarta
11
tidakmelakukan kunjungan lengkap ANC (K4) ketika hamil dan 64 orang(82,1%) responden melakukan kunjungan ANC (K4) ketika hamil. Berdasarkan tabel 1.4 diketahui bahwa jumlah responden baik kelompok kasus maupun kontrol yang tidak melakukan ANC (K4) yaitu sebanyak 29 orang. Sebanyak 15 orang (51,7%) mengalami persalinanprematur dan 14 lainnya (48,3%) mengalami persalinan normal. Sedangkan jumlah responden yang melakukan ANC (K4) yaitu sebanyak127 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 63 orang (49,6%) mengalami persalinan prematur dan 64 orang (50,4%) mengalami persalinan normal. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square didapatkan nilai p value sebesar 0,837 (p>0,05). Tebel 5 Koefisien Determinasi dari Variabel Umur, Paritas dan Riwayat Penyakit Sekarang Umur, Paritas, Riwayat Kehamilan Sekarang
R 0,779
R Square 0,607
Sumber : Data Primer 2012
Hubungan variabel umur, paritas dan riwayat penyakit sekarangdengan kejadian prematur menunjukkan hubungan yang cukup kuat (R=0,779). Nilai R Square atau koefisien determinasi yang diperoleh adalah 60,7% yang dapat ditafsirkan bahwa variabel bebas (umur, paritas dan riwayat penyakit) memiliki pengaruh kontribusi sebesar 60,7% terhadap variabel dependent (kejadian prematur)dan 39,3% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar variabel bebas. Tebel 6 Regresi Linier : Hubungan variabel dependent dengan umur, paritas, riwayat penyakit sebelum dan selama kehamilan. No 1 2 3 4
Model Coefficients В T (Constant) 1,007 19,349 Umur 0,013 0,175 Paritas 0,694 11,228 Riw_hml_skrng 0,307 4,837
p–value 0,0001 0,861 0,0001 0,0001
Sumber : Data Primer
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa paritas mempunyai nilai koefisien beta lebih besar dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya yaitu sebesar 0,693. Hal ini menunjukkan bahwa paritas merupakanvariabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian prematur di Kabupaten Bantul tahun 2011-2012. Variabel umur diperoleh nilai probability 0,861 > 0,05, sehingga secara statistik umur tidak memiliki hubungan
12
yang signifikan dengan kejadian prematur. Variabel paritas dan riwayat kehamilan sekarang diperoleh nilai probability 0,000 < 0,05, sehingga secara statistik paritas dan riwayat kehamian sekarang memilikihubungan yang signifikan dengan kejadian prematur. Insiden prematur pada Januari 2011 sampai dengan Februari 2012 di RSUD Panembahan Senopati Bantul adalah 8,13% dari jumlah kelahiran atau 82 orang dalam 1000 kelahiran. Salah satu penyebab kelahiran premature adalah kunjungan ANC. Krisnadi (2009) berpendapat bahwa dengan pemeriksaan kehamilan sesuai standar maka akan terdeteksi kondisi yang dapat menyebabkan bayi dengan risiko lahir prematur10 Standar pelayanan kebidanan menetapkan sedikitnya empat kali pelayanan antenatal selamakehamilan ibu, satu kali kunjungan pada trimester I, satu kali pada trimester II,dan dua kali kunjungan pada trimester III. Pada setiap kunjungan ANC bidan harus menanyakan apakah ibu hamil meminum tabelt besi sesuai dengan ketentuan dan apakah persediaannya cukup11. Dalam penelitian ini diketahui bahwa frekuensi kunjungan ANC tidak berhubungan dengan kelahiran prematur di RSUD Panembahan Senopati Bantul, hal ini dapat disebabkan oleh kualitas pelayanan ANC yang kurang optimal. Dinkes Kabupaten Bantul (2012) menyatakan bahwa kunjungan antenatal yang terpenting adalah kualitasnya bukan kuantitasnya. Hasil penelitian dari Sistriani (2008), bahwa ibu yang memiliki kualitas pelayanan antenatal yang kurang baik mempunyai peluang melahirkan BBLR/prematur 5,85 kali dibandingkan ibu yang memiliki kualitas pelayanan antenatal baik12. Kualitas dari pelayanan ANC yang diberikan kepada ibu hamil yang kurang tepat dapat menyebabkan ibu dengan risiko prematur tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan dengan segera. Persalinan prematur tidak hanya disebabkan oleh faktor kualitas pelayanan ANC yang kurang optimal tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain. Pada penelitian ini didapatkan bahwa faktor yang memberi pengaruh paling signifi kan adalah paritas (p=0,000) dan riwayat kehamilan sekarang(p=0,000). Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Sedangkan paritas adalah jumlah kehamilan yang dilahirkan atau jumlah anak yang dimiliki baik dari hasil perkawinansekarang atau sebelumnya 13. Ketuban Pecah Dini (KPD) juga ikut memberikan pengaruh terhadap tingginya angka prematuritas, sesuai hasil penelitian Andriyani
Nurunniyah, Mulyanti, & Octafiyani, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 9-13
2009 bahwa ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian prematur4. Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah umur, dimana umur ibu yang kurang dari 25 dan lebih dari 35 tahun akan memberikan risiko terhadapmeningkatnya kejadian prematur. Menurut hasil penelitian Chiristine (2004) nunjukkan bahwa faktor lain yang berhubungan dengan kejadian premature adalah riwayat plasenta previa ibu dan kehamilan kembar 8. Varney (2007) menambahkan bahwa setiapwanita yang telah mengalami kelahiran prematur pada kehamilan terdahulu memiliki risiko 20 sampai 40 persen untuk terulang kembali (Varney, 2007).13 Menurut Mochtar (2002) persalinan prematur sulit diduga dan sulit dicaripenyebabnya, sehingga pengobatannya sukar diterapkan dengan pasti 14. Simpulan dan Saran Simpulan Kasus prematur di RSUD Panembahan Senopati Bantul selama periode 1Januari 2011 sampai 29 Februari 2012, ditemukan 207 kasus atau 8,13% ibu yang melahirkan bayi prematur. Sebanyak 80,8% ibu melahirkan prematur melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih dengan pola 1-1-2 tiap semesternya dan sebanyak 82,1% ibu melahirkan normal melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih dan dengan pola 1-1-2 tiap semesternya. Berdasarkan hasil analisis penelitian hubungan frekuensi kunjunganAntenatal Care (ANC) dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul didapatkan nilai p-value sebesar 0,837 (p>0,05). Disimpulkan bahwa secara statistik frekuensi kunjungan ANC tidak berhubungan dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul. Saran Diharapkan kepada ibu hamil untuk menghindari faktor risiko kelahiran prematur diantaranya adalah dengan menjarangkan kelahiran menjadi lebih dari 3 tahun, merencanakan kehamilan pada umur 2035 tahun, memiliki anak tidak lebih dari 4 orang dan sebisa mungkin memilih tempat pelayanan dengan petugas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan ANC dengan kualitas yang baik.
Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 2005. “Kesakitan dan Kematian bayi dalam intisari Depertemen Kesehatan Republik Indonesia” dalam http://www.depkes.go.id. 20 Januari2012. 2. Setyorini, A. 2009. “Preeklampsi/Eklampsia dan Risiko Kelahiran Preterm di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta” dalam Jurnal Kesehatan.7 (2): 74-89. 3. Andriyani, A.D. 2009. Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Partus Prematurus di RSU PKU Muhammadiyah Bantul tahun 2007 – 2008. Karya Tulis Ilmiah Stikes Aisyiyah Yogyakarta. 4. Prawirohardjo, S. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 5. Dinkes Kabupaten Bantul. 2010.Profil Kesehatan Kabupaten Bantul. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 6. Suririnah. 2008. Buku Pintar Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 7. Chiristine, R.E. 2004. Analisis Faktor Resiko dan Hubungannya dengan Kelahiran Preterm (Prematur) di Rumah Sakit Ibu dan Anak Badrul Aini Medan tahun 2002-2003. Skripsi Universitas Sumatra Utara Medan. 8. Manuaba, I. B. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC. 9. Krisnadi, S.R. 2009. “Faktor Resiko Persalinan Prematur” dalam dalam Sofie R.Krisnadi, Jusuf S. Efendi dan Adhi Pribadi. Prematuritas, pp 43-66. Bandung : Refika Aditama. 10. Saifuddin. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Cetakan Ketiga.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka. 11. Sistiarani, Colti. 2008. Faktor Maternal dan Kualitas Pelayanan Antenatal yang Berisiko Terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Tesis Universitas Diponegoro Semarang. 12. Sulistyowati, A. 2008. Hubungan Antara Faktor Determinan Ibu dengan Kejadian Persalinan Prematur di RSU. Dr. Saiful Anwar Malang 2008. Karya Tulis Ilmiah Universitas Airlangga Surabaya. 13. Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC. 14. Mochtar, R. 2002. Syinopsis Obstetri. Edisi II. Jakarta: EGC.
Tingkat Pengetahuan Tentang Persiapan Kehamilan Pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Sedayu Bantul Yogyakarta
13
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas tentang Infeksi Jahitan Perineum di RSUD Panembahan Senopati Bantul Kirnantoro1, Nur Indah Rahmawati2, Iyoy Siti Muharomah3 1, 2, 3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi 359/100.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015, AKI dapat diturunkan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Penyebab langsung kematian maternal di Indonesia adalah pendarahan (28%), eklamsi (24%), infeksi (11%), partus lama (5%) dan abortus (5%). Tujuan penelitian deskriptif kuantitatif ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu nifas tentang infeksi jahitan perineum di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada 14-29 Juni 2014 dengan sample penelitian 38 ibu nifas yang ditentukan dengan tehnik accidental sampling. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa karakteristik ibu hamil sebagian besar responden berumur tidak resiko (20-35 tahun) sebanyak 30 orang (78,94%); berdasarkan karakteristik paritas sebagian besar responden paritas >1 anak 23 orang (60,52%); berdasarkan tingkat pendidikan responden terbanyak berpendidikan SMA sebanyak 23 orang (60,52%); berdasarkan pekerjaan sebagian besar responden IRT sebanyak 32 orang (84,21%); dan berdasarkan tingkat pengetahuan ibu nifas tentang infeksi jahitan perineum dengan pengetahuan baik sebanyak 26 responden (68,42%), pengetahuan cukup sebanyak 11 responden (28,94%), dan pengetahuan kurang 1 responden (2,63%). Kesimpulan bahwa Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Infeksi Jahitan Perineum di RSUD Panembahan Senopati Bantul dalam kategori baik sebanyak 26 responden (68,42%). Kata Kunci : Pengetahuan, Nifas, Infeksi Jahitan Perineum.
Degree of Knowledge Childbearing Mothers on Perineal Suture Infection in Panembahan Senopati Hospital Bantul Abstract Demographic Health Survey Indonesia in 2012, maternal mortality (AKI) is still high 359/100,000 live births, while the target of the MDGs by 2015, AKI can be reduced to 102 per 100,000 live births (SDKI, 2012). The direct cause of maternal mortality in Indonesia is bleeding (28%), eklamsi (24%), infection (11%), birth time (5%) and abort (5%) (Department of Health, 2010). The Purpose of this descriptive quantitative research is to identify the level of knowledge of childbearing mother on perineal suture infection in Panembahan Senopati Hospital, Bantul. This study was conducted at the hospital panembahan senopati bantul on 14-29 June 2014 with 38 samples determined by accidental sampling techniques. Research instrument used in this study was questioner. The result was of 30 respondents unrisk age (78,94%); respondent with the parity more than one children was 23 or 60,52%; mostly respondents were graduated from high school at 23 (60,52%); they were mostly household at 32 people (84,21%); and respondents had good level of knowledge on perineal infection at 26 people (68,42%). Conclusion, postpartum mothers in Panembahan Senopati Hospital have good level of knowledge on perineal suture infection. Keyword: Knowledge, Childbed, Infections, Stitches Perineum. Info Artikel: Artikel dikirim pada 13 November 2013 Artikel diterima pada 13 November 2013
14
Kirnantoro, Rahmawati, & Muharomah, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 14-16
Pendahuluan Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan AKI melahirkan berjumlah 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Hal tersebut sangat jauh dari target pemerintah alam percepatan pencapaian target Millenium Development Goal (MDG), yakni menurunkan AKI menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2015. Menurut DepKes pada tahun 2010, penyebab langsung kematian maternal di Indonesia terkait kehamilan dan persalinan terutama yaitu perdarahan 28%. Sebab lain, yaitu eklampsi 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, dan abortus1 Jumlah AKI kabupaten Bantul pada tahun 2011 berjumlah 15 ibu yaitu dengan kasus hamil 4 ibu ( 26,7%), bersalin (0%), nifas 11 ibu (73,3%), sedangkan tahun 2012 berjumlah 7 ibu dengan kasus hamil (0%), bersalin 3 ibu (42,86%), nifas 4 ibu (57,14%)2 . Dari prosentase tahun 2011-2012 angka kematian ibu nifas masih tinggi, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang kasus nifas. Kematian ibu telah menunjukan penurunan signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Secara nasional angka kematian ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta juga tetap menempati salah satu yang terbaik. Meskipun demikian angka yang dicapai tersebut masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan berbagai wilayah di Asia Tenggara 2 Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan menggunakan 5 pertanyaan diperoleh data yaitu dari 10 ibu nifas, 3 ibu nifas mengetahui tentang infeksi masa nifas dan 7 ibu nifas kurang mengetahui tentang infeksi masa nifas. Bahan dan Metode Penelitian ini menggunakan penelitian Deskriptif Kuantitatif dengan menggunakan metode pendekatan cross sectional di RSUD Panembahan Senopati pada ibu nifas normal dengan jahitan perineum yang rawat inap di RSUD Panembahan Senopati. Teknik pengambilan data Nonprobability Sampling dan analisis data secara univariat yaitu gambaran tingkat pengetahuan ibu nifas tentang infeksi jahitan perineum. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Responden Umur ibu nifas lebih banyak terdapat dalam kategori umur tidak berisiko (20-35 tahun) sebanyak 30 orang (78,94%), sedangkan sisanya dalam kategori umur berisiko (<20 tahun atau>35 tahun) sebanyak
Tabel 1.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, Paritas, Pendidikan, Pekerjaan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2014 No Karakteristik Frekuensi Prosentasi (%) 1. Umur ibu nifas a. Berisiko (>20 8 21,05 th/<35th) b. Tidak Berisiko 30 78,74 Jumlah 38 100 2. Paritas a. 1 anak 15 39,47 b. > 1 anak 23 60,52 Jumlah 38 100 3. Tingkat Pendidikan a. SD 5 13,15 b. SMP 8 21,05 c. SMA 23 60,52 d. PT 2 5,52 Jumlah 38 100 4. Pekerjaan a. Pegawai Negeri 0 0 b. Pegawai Swasta 3 7,89 c. Wiraswasta 3 7,89 d. Ibu Rumah Tangga 32 84,21 Jumlah 38 100 Sumber Data Primer
8 orang (21,05%) 3. Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga, pengatahuan yang diperolehnya semakin membaik. Paritas ibu nifas lebih banyak terdapat dalam kategori paritas >1 sebanyak 23 orang (60,52%), sedangkan sisa dalam kategori paritas 1 sebanyak 15 orang (39,47%). Dikatakan bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi. Tetapi kesemuanya ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut 4. Pendidikan terbanyak yaitu SMA sebanyak 23 orang (60,52%), SMP sebanyak 8 orang atau (21,05%), SD sebanyak 5 orang atau (13,15%) dan PT sebanyak 2 orang (5,26%). Menurut Wawan dan Dewi (2010) Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Pekerjaan lebih banyak terdapat dalam kategori status ibu rumah tangga sebanyak 32 orang (84,21%), wiraswasta sebanyak 3 orang atau (7,89%), pegawai
Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Infeksi Jahitan Perineum di RSUD Panembahan Senopati Bantul
15
swasta sebanyak 3 orang atau (7,89%), pegawai negeri 0 atau (0%). Menurut Wawan dan Dewi (2010) Pekerjaan berhubungan dengan sosial ekonomi seseorang dan sosial ekonomi seseorang berpengaruh kepada pengetahuan. Tingkat Pengetahuan Tabel 1.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan di RSUD Panembahan Senopati Tahun 2014 No 1 2 3
Kategori Baik Cukup Kurang Jumlah
Frekuensi 26 11 1 44
Prosentase (%) 68,42 28,94 26,3 100
Sumber Data Primer
Dari tabel 1.2 diketahui bahwa tingkat pengetahuan paling banyak yaitu pengetahuan baik sebanyak 26 orang (68,42%) dari 38 responden. Tingkat pengetahuan lebih banyak terdapat dalam kategori pengetahuan baik sebanyak 26 orang (68,42%), kategori pengetahuan cukup sebanyak 11 orang (28,94%), dan sisanya kategori pengetahuan kurang sebanyak 1 orang (2,63%). Hasil penelitian Dwi Rahayu (2006) tentang Pengetahuan Ibu Nifas tentang Infeksi Luka Jahitan Perineum di UPTD RSD Kota Surakarta didapatkan pada kategori pengetahuan baik sejumlah 56%, kategori pengetahuan cukup sejumlah 32,35%, dan kategori pengetahuan kurang sejumlah 11,77% 5. Penelitian diatas mendukungdalam penelitian ini dimana hasil penelitian yang didapat sama-sama dalam kategori baik. Hasil penelitian Chris Valentine Ayu Octaviani (2012) tentang Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Infeksi Luka Perineum di RSU Assalam Gemolong Sragen didapatkan pada kategori tingkat pengetahuan baik sejumlah 8 responden (22,2%) 6, kategori tingkat pengetahuan cukup sejumlah 22 responden (61,1%), kategori tingkat pengetahuan kurang sejumlah 6 responden (16,7%). Penelitian diatas tidak mendukung dalam penelitian ini dimana hasil penelitian yang didapat tidak sama. Hasil penelitian Fidiyanti (2013) tentang Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Infeksi Luka Perineum di RSU Assalam Gemolong Sragen didapatkan pada kategori tingkat pengetahuan baik sejumlah 3 responden (10,00%), kategori tingkat pengetahuan cukup sejumlah 25 responden (83,33%), kategori
16
tingkat pengetahuan kurang sejumlah 2 responden (6,67%)7. Simpulan dan Saran Kesimpulan adalah semua ibu nifas rawat inap dengan jahitan perineum di RSUD Panembahan Senopati Bantul berjumlah 38 responden tersebut didapatkan Karakteristik responden ibu nifas berdasarkan umur sebagian besar terdapat kategori umur tidak berisiko (20-35 tahun) sebanyak 30 orang (78,94%), karakteristik responden berdasarkan paritas sebagian besar terdapat kategori paritas >1 sebanyak 23 orang (60,52%), karakteristik responden berdasarkan pendidikan sebagian besar terdapat kategori tingkat pendidikan SMA sebanyak 23 orang (60,52%), karakteristik pekerjaan sebagian besar terdapat kategori status ibu rumah tangga sebanyak 32 orang (84,21%), Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas tentang Infeksi Jahitan Perineum di RSUD Panembahan Senopati Bantul tingkat pengetahuan baik sebanyak 26 responden (68,42%), tingkat pengetahuan cukup sebanyak 11 responden (28,94%), tingkat pengetahuan kurang sebanyak 1 responden (2,63%). DAFTAR PUSTAKA 1. Profil Kesehatan DIY. 2012. Angka Kematian Ibu 2. Profil Kesehatan Bantul. 2013. Angka Kematian Ibu 3. Dewi, M dan Wawan, T. 2011. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika. 4. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka Cipta. 5. Rahayu, D. 2006. Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas tentang Infeksi Luka Jahitan Perineum di UPTD RSD Kota Surakarta, Surakarta, STIKES Kusuma Husada. Karya Tulis Ilmiah. 6. Octaviani, Ayu, V.C. 2012. Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas tentang Infeksi Luka Perineum di RSU Assalam Gemolong Sragen, Surakarta, STIKES Kusuma Husada. Karya Tulis Ilmiah. 7. Fidiyanti. 2013. Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas tentang Infeksi Luka Perineum diRSU Assalam Gemolong Sragen, Surakarta, STIKES Kusuma Husada. Karya Tulis Ilmiah.
Kirnantoro, Rahmawati, & Muharomah, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 14-16
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Perbedaan Pemberian ASI Eksklusif Antara Ibu Rumah Tangga dengan Ibu yang Bekerja di Luar Rumah di BPS Umu Hani Bantul Tahun 2011 Dyah Kartika Sari1, Prasetya Lestari2, Nining Sulistyawati3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta 1, 2, 3
Abstrak Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), 54% penyebab kematian bayi di dunia dipengaruhi oleh faktor gizi yang didalamnya juga dipengaruhi oleh pemberian ASI (Air Susu Ibu). Saat ini terjadi kecenderungan penurunan pemanfaatan ASI pada sebagian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pergeseran paradigma dalam setiap wanita dan meningkatnya pemahaman kaum wanita tentang aktualisasi diri. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan pemberian ASI eksklusif antara ibu rumah tangga dengan ibu yang bekerja di luar rumah di BPS Umu Hani Bantul. Jenis penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional, subyek penelitian adalah dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Data didapat dengan menggunakan kuisioner dan dianalisa melalui tabel distribusi frekuensi subyek, uji statistik dengan menggunakan chi-square. Hasil didapat sebanyak 84% ibu menyusui di BPS Umu Hani menjadi ibu rumah tangga, 15,9% ibu menyusui di BPS Umu Hani bekerja di luar rumah dan sebanyak 68,2% ibu menyusui di BPS Umu Hani memberikan ASInya secara Eksklusif. Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan proporsi pemberian ASI eksklusif pada ibu rumah tangga dan ibu yang bekerja di luar rumah dan dari hasil statistik p < 0, 05, hipotesis diterima. Kata Kunci : ASI Eksklusif, Pekerjaan Ibu.
Comparison of Provision Exclusive Brestfeeding between Household and Worker Mothers at BPS Umu Hani Bantu 2011 Abstract Based on World Health Organization (WHO), The cause of 54% mortality baby in the world is influenced by nitrition factors including affected by granting breast-feeding. Tendency of the use breast feeding in some society is declining. This is due to paradigm shifting in any women because of growing understanding women about self-actualisazion. This research aims to compare providion of exclusive breastfeeding between working mothers and household mothers at BPS Umu Hani Bantul. This observational study used cross-sectional design with consecutive sampling. Data were obtained by using questionnaire and analysed through table a frequency distribution subjects and data statistic was tested by using chi-square. The result were 84% breastfeeding mothers at BPS Umu Hani as housewife, 15.9% of those working outside and at about 68,2% given exclusive breastfeeding. There was significantly distinctive at about p< 0,05 on the proportion of exclusive breast-feeding given by household mothers and housewife mothers. Keywords: Exclusive, Breast-Fed A Mother. Info Artikel: Artikel dikirim pada 11 November 2013 Artikel diterima pada 12 November 2013
Perbedaan Pemberian ASI Eksklusif Antara Ibu Rumah Tangga dengan Ibu yang Bekerja
17
Pendahuluan Kesalahan prosedur pemberian ASI dan kurang tepatnya pemberian makanan tambahan pada bayi menyebabkan Angka Kematian Bayi (AKB) cukup tinggi. Cakupan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2009 adalah 35,28% (12.608), sedangkan jumlah dari bayi di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan yaitu 35.736 bayi dari lima kabupaten atau kota seperti ; kabupaten Kulon Progo yang benar-benar ASI eksklusif yaitu 50,66 %, Kabupaten Gunung Kidul 26,41 %,Kabupaten Sleman 45,52 %, Kotamadya Yogyakarta 30,91 %, dan terakhir Kabupaten Bantul 25,21 % yang merupakan kabupaten yang cakupan ASI eksklusifnya paling rendah1 BPS Ummu Hani merupakan salah satu BPS di Kabupaten Bantul yang masyarakatnya mayoritas bermata pencaharian sebagai pengrajin termasuk ibu rumah tangga juga bekerja, dan di studi pendahuluan yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 13 Februari 2011 didapatkan ibu-ibu melakukan imunisasi di BPS tersebut, ada sejumlah 95 bayi yang usianya sudah 6-12 bulan, dan diambil sample 10 bayi.Yang diberikan ASI eksklusif yaitu ada 3 bayi dan 7 bayi yang tidak ASI eksklusif.
tahun merupakan yang paling sedikit dengan jumlah responden sebanyak 1 orang (2,3%). Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan Pendidikan di BPS UmuHani Bantul 2011 Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah
Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur (Tahun) < 20 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 Jumlah
Frekuensi
Prosentase (%)
4 11 14 14 1 44
9,1 25,0 31,8 31,8 2,3 100
Sumber : Data Primer 2011
Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah yang berumur 25-29 tahun dan 30-34 tahun dengan masing-masing berjumlah 14 orang (31,8%). Sedangkan kelompok umur 35-39
18
Prosentase (%) 25,0 25,0 43,2 6,8 100
Sumber : Data Primer 2011
Pada Tabel 2 menggambarkan tingkat pendidikan pada responden. Didapatkan bahwa lebih banyak responden berpendidikan SMA yaitu sebanyak 19 orang (43,2%). Sedangkan yang paling sedikit adalah Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 3 orang (6,8%). Pekerjaan responden dikelompokkan menjadi dua yaitu menjadi ibu rumah tangga (IRT) dan yang mempunyai pekerjaan diluar rumah. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu Menyusui DiBPS Umu Hani Bantul 2011 Pekerjaan IRT Bekerja Jumlah
Bahan dan Metode Jenis penelitian Observasional dengan pendekatan cross-sectional. Sampel yang digunakan Consecutive sampling yang berjumlah 44 sampel di BPS Umu Hani Bantul Yogyakarta. Penelitian menggunakan instrument berupa kuesioner dengan didukung data primer.
Frekuensi 11 11 19 3 44
Frekuensi 37 7 44
Prosentase (%) 84,1 15,9 100
Sumber : Data Primer 2011
Pada Tabel 3. menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjadi ibu rumah tangga (IRT) yaitu sebanyak 37 orang (84,1%). Sedangkan yang bekerja diluar rumah hanya 7 orang (15,9%). Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Di BPS Umu Hani Bantul 2011 ASI Eksklusif Ya Tidak Jumlah
Frekuensi 30 14 44
Prosentase (%) 68,2 31,8 100
Sumber : Data Primer 2011
Pada Tabel 4. menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang memberikan ASI Eksklusif yaitu sebanyak 30 orang (68,2%) dan yang paling sedikit adalah responden yang tidak memberikan ASI ekskluif yaitu sebanyak 14 orang (31,8%). Pada Tabel 5. menunjukkan bahwa responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebanyak 37 orang. Dari jumlah tersebut yang memberikan ASI secara eksklusif sebanyak 28 orang (75,7%) dan 9
Sari & Sulistyawati, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 17-20
Tabel 5. Tabulasi Silang dan Uji Chi Square Perbedaan pemberian ASI eksklusif antara ibu rumah tangga (IRT) dan yang bekerja diuar rumah di BPS Umu Hani 2011 Pekerjaan
IRT Bekerja Jumlah
ASI Eksklusif Total x² P Value Ya Tidak f % f % f % 6,02 0,014 28 75,7 9 24,3 16 100 2 28,6 5 71,4 12 100 30 68,2 14 31,8 44 100
Sumber: Data primer 2011
orang (24,3%) yang lainnya tidak memberikan ASI secara eksklusif.Sedangkan jumlah ibu menyusui yang bekerja diluar rumah sebanyak 7 orang. Dari jumlah tersebut yang memberikan ASI secara eksklusif hanya 2 orang (28,2%) dan 5 orang (71,4%) tidak memberikan ASI secara eksklusif. Dengan demikian proporsi pemberian ASI eksklusiflebih besar pada ibu rumah tangga dibandingkan pada ibu yang bekerja. Hasil perhitungan statistik menggunakan uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,014 (p < 0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pemberian ASI eksklusif antara ibu rumah tangga dan yang bekerja diluar rumah di BPS Umu Hani Bantul 2011. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa sebagian besar ibu menyusui tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 37 orang (84,1%). Sedangkan yang bekerja sebanyak 7 orang (15,9%) yaitu sebagai pengrajin dan berdagang. Lokasi BPS Umu Hani berdekatan dengan wilayah pengrajin sehingga mayoritas penduduk bekerja dibidang kerajinan tangan termasuk 7 responden dalam penelitian ini. Menurut Swasono (2005) bahwa pekerjaan perempuan Indonesia mencapai 35,37% dari 100 juta angkatan kerja.2 Hal tersebut karena meningkatnya kebutuhan hidup dan pemahaman kaum wanita tentang aktualisasi diri.3 Kerja dapat memberikan kesibukan jauh lebih besar dibandingkan dengan ibu rumah tangga. Selain itu pekerjaan juga erat kaitannya dalam pembentukan perilaku. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa manusia mempelajari kelakuan ari orang lain ilingkungan sosialnya. 4 Ibu yang bekerja sebagai pengrajin empunyai lingkungan sosial yang lebih luas dibandingkan dengan ibu yanghanya sebagai ibu rumah tangga. Pergaulan sosial yang luas tidak hanyaberdampak pada tingkat perolehan informasi tetapi juga dalam halmenirukecenderungan(trend) yang berkembang dalam lingkungan sosialnya. Misalnya meniru teman kerja atau lingkungan tempat bekerja yangmemberikan susu botol pada anaknya sehingga ibu tidak memberikan ASI ksklusif.
Ibu menyusui di BPS Umu Hani sebagian besar menyusui bayinysecara eksklusif yaitu sebanyak 30 orang (68,2%). Sedangkan 14 orang(31,8%) lainnya tidak memberikan ASI secara eksklusif. Pemberian ASIeksklusif adalah ibu yang hanya memberikan ASI saja sampai usia 6 bulantanpa tambahan apapun kecuali obat dan air putih (satu sendok teh).Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu perilaku kesehatan setelahmelahirkan (pasca melahirkan). Menurut Soi (2006) ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi pada awalkehidupan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal,bagi bayi ASI juga mengandung zat-zat imunologis yang bermanfaat bagi pencegahaninfeksi terutama diare dan infeksi saluran pernafasan akut,bermanfaat sebagainutrisi, daya tahan tubuh bayi dan meningkatkan kecerdasan. 5 Hasilpenelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti(2007) yang menyatakan bahwa faktor pekerjaan ibu berpengaruh terhadappemberian ASI eksklusif sesuai dengan kondisi pekerjaannya.6 Hasilpenelitianini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayuningsih (2006) ang menyatakan bahwa ada hubungan antara pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mempunyai bayi usia 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Mergangsan.7 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif padaibu yang mempunyai bayi usia 6-12 bulan di Desa Srihardono Pundong Bantul. 3 Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Soetjiningsih(1997) yang menyatakan bahwa pekerjaan merupakan salah satu faktor yangdapat mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI eksklusif.8 Simpulan dan Saran Simpulan Sebanyak 84,1% ibu menyusui di BPS Umu Hani Bantul menjadi ibu rumah tangga dan 15,9% ibu menyusui di BPS Umu Hani Bantul bekerja diluar rumah. Sebanyak 68,2% ibu menyusui di BPS Umu Hani Bantul memberikan ASI secara eksklusif. Ada perbedaan yang signifikan proporsi pemberian ASI ekslusif pada ibu rumah tangga dan ibu yang bekerja diluar rumah di BPS Umu Hani Bantul. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, BPS Umu Hani hendaknya memberikan penyuluhan kepada ibu
Perbedaan Pemberian ASI Eksklusif Antara Ibu Rumah Tangga dengan Ibu yang Bekerja
19
yang menyusui dan memeriksakan diri ke BPS Umu Hani untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif di BPS Umu HaniBantul 2011. Pada ibu yang bekerja hendaknya dapat memberikan ASI kepadabayinya dengan cara langsung memberikan ASI sebelum dan setelah bekerja dan menyiapkan ASI. Daftar Pustaka 1. Dinkes DIY.2009.Jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2009. Yogyakarta:Dinkes. 2. Swasono,M.H. (2005).”Hak Menyusui bagi Tenaga Kerja Perempuan” dalam http://umihaafizh. multiply.com/journal/item/13. Jumat. 11 Maret 2011. Pukul 16.09 WIB. 3. Susilawati, Dian. (2008).Hubungan antara status pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mempunyai bayi 6 – 12 bulan di
20
4. 5.
6.
7.
8.
Sari & Sulistyawati, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 17-20
desa Sri Hardono Pundong,Bantul.Poltekkes : Yogyakarta. Notoatmodjo, S . (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Soi, Beatrix. ”Pengaruh status gizi ibu menyusui terhadap eksklusivitas ASI dan pertumbuhan bayi di RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang- NTT”. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 2006.2(3):101-107. Sugiarti, Meli.”Persepsi ibu tentang faktorfaktor yang mempengaruhi lamanya ibu dalam memberikan air susu ibu”. Jurnal Ilmu Keperawatan.2007:02(2):83-88. Rahayuningsih, Lina. (2006). Hubungan antara pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mempunyai bayi usia 9 bulan di wilayah kerja Puskesmas Mergangsan tahun 2006. Poltekkes : Yogyakarta. Soetjiningsih. 1997. ASI: Petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC.
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Perbedaan Kualitas Tidur Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dengan Lansia di PSTW Muhammad Ischaq Nabil1, Wahyu Dewi Sulistyarini2 1, 2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Proses penuaan menyebabkan lansia mengalami perubahan fisik dan fungsi, mental dan psikososial. Kebutuhan tidur pun berubah seiring bertambahnya usia. Kualitas tidur di pengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah lingkungan atau tempat tinggal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen Bantul dengan lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif non eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional. Variabel independen yakni tempat tinggal, variabel dependen yakni kualitas tidur lansia. Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik Chi-Square didapatkan bahwa lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen sebagian besar memiliki kualitas tidur kurang sebanyak 55 orang (49,6%). Lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebagian besar memiliki kualitas tidur kurang sebanyak 41 orang (66,1%). Lansia yang mempunyai kualitas tidur cukup atau baik lebih banyak pada lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen (44,1%) dibandingkan dengan lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur (24,2%). Nilai Chi-square didapatkan nilai χ2 sebesar 6.852 dengan p-value sebesar 0.033. Simpulan penelitian ada perbedaan kualitas tidur lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen Bantul dengan lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta Kata Kunci : Lansia, Tempat Tinggal, Kualitas Tidur
Differences of Sleeping Quality Between Elderly Living with Family and Living in the PSTW Abstract Ageing process has led to physical and functional changing, as well as mental and psychosocial. The sleeping need has also changing as long as ageing. Sleeping quality is influenced by several factors including circumstances and living place. The purpose of this research is to compare sleeping quality elderly living with family at Dukuh Kajen Bantul with those living at PSTW Budi Luhur Yogyakarta. This quantitative non experimental study used cross-sectional design. Independent variable in this research was livin place, while dependent variable was sleeping quality on elderly. Data was tested using chi-square and the result was those who lives with family mostly having less sleeping quality at 55 people (49,6%), whereas, quality of sleeping older people lives in PSTW was 41 people (66,1%). Elders who have categorized as less sleeping quality mostly living with family (44,1%) compared with 24,2% who live in PSTW Budi Luhur Yogyakarta. The value Chi-Square was X2=6.852 with p value= 0.033. Conclusion, there was significant differences on quality of sleeping elderly living with family and living in PSTW Budi Luhur. Keywords: elderly, sleep quality
Info Artikel: Artikel dikirim pada 18 November 2013 Artikel diterima pada 18 November 2013
Perbedaan Kualitas Tidur Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dengan Lansia di PSTW
21
Pendahuluan Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan dan berjalan secara terusmenerus dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. 1 Semakin bertambahnya usia berpengaruh terhadap penurunan dari periode tidur. Kebutuhan tidur akan berkurang dari usia bayi sampai usia lanjut. Orang yang berusia lebih dari 60 tahun sering menyampaikan keluhan gangguan tidur, terutama masalah kurang tidur. 2 Sebagian besar lansia berisiko mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh banyak faktor. Gangguan tidur menyerang 50% orang yang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal di rumah dan 66% orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Gangguan tidur mempengaruhi kualitas hidup dan berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi.3 Tempat tinggal dan lingkungan merupakan hal yang penting karena mempunyai dampak utama pada kesehatan lansia. Keluarga harus terlibat aktif dalam mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan lansia. 5 Namun, Beberapa keluarga mempertimbangkan untuk menggunakan perawatan jompo saat perawatan di rumah dirasakan semakin sulit. 4 Para lansia yang dititipkan di panti pada dasarnya memiliki sisi negative dan positif. Diamati dari sisi positif, lingkungan panti dapat memberikan kesenangan bagi lansia. Sosialisasi di lingkungan yang memiliki tingkat usia sebaya akan menjadi hiburan tersendiri sehingga kebersamaan ini dapat mengubur kesepian yang biasanya mereka alami. Akan tetapi jauh di lubuk hati mereka merasa jauh lebih nyaman berada di dekat keluarganya. 1 Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Dukuh Kajen Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Bantul terdapat 152 orang lansia. Peniliti juga melakukannya di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Yogyakarta Unit Budi Luhur yang masih berada di wilayah Dukuh Kajen dan diketahui jumlah lansia di tempat ini adalah 88 orang. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara study pendahuluan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur menggunakan kuesioner kepada 3 orang lansia yang tinggal di PSTW dan 3 orang lansia yang tinggal bersama keluarga di rumah yang mengikuti program Day Care. Di dapatkan hasil bahwa dari 3 orang responden lansia yang tinggal di PSTW ketiganya memiliki kualitas tidur kurang, sedangkan responden lansia program Day Care, 2 orang memiliki kualitas tidur baik dan 1 orang cukup. 22
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan kualitas tidur lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen dengan lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta. Bahan dan Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif non eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan analisis deskriptif komparatif. Lokasi penelitian dilakukan di Dukuh Kajen Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 hingga Maret 2013. Subyek penelitian ini adalah seluruh lansia di Dukuh Kajen dan lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur yang telah sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik total sampling. Peneliti mengambil sampel dari seluruh lansia yang tinggal di Dukuh Kajen Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul sebanyak 111 orang dan Lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 62 orang. Variabel penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu keluarga dan PSTW dan Variabel dependen yaitu kualitas tidur. Jenis data yang diambil adalah data primer yang diperoleh dari responden melalui wawancara menggunakan kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah PSQI (The Pittsburgh Sleep Quality Index) untuk mengukur kualitas tidur dalam interval satu bulan. Dari metode ini akan didapatkan output berupa sleeping index yang merupakan suatu skor dengan pembobotan tertentu. Index tersebut nantinya akan menggambarkan seberapa baikkah kualitas tidur seseorang. Data penelitian tersebut kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square (x2). Hasil dan Pembahasan Responden dalam penelitian ini adalah lansia di Dukuh Kajen yang berjumlah 145 orang dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur berjumlah 88 orang. Keseluruhan responden disesuaikan dengan kiteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah lansia dengan gangguan kognitif berat yang di ukur menggunakan Short Portable Mental Status Questionairre (SPMSQ) dan lansia yang tinggal di ruang isolasi untuk lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur. Di Dukuh Kajen terdapat 34 orang lansia yang mengalami gangguan kognitif berat dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 14 orang lansia yang mengalami
Nabil & Sulistyarini, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 21-26
gangguan kognitif berat serta 12 orang lansia tinggal di ruang isolasi. Jadi didapatkan sampel penelitian di Dukuh Kajen sebanyak 111 orang dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 62 orang. Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang diuraikan sebagai berikut :
bahwa lansia di Dukuh Kajen sebagian besar adalah laki-laki. Sedangkan di PSTW Yogyakarta Unit Budi sebagian besar merupakan lansia perempuan. Berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mempunyai riwayat pendidikan tidak sekolah, di Dukuh Kajen sebanyak 55 orang (49,5%) dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 29 orang (46,8%). Tabel 2. Distribusi Kualitas Tidur Lansia
Tabel 1. Karakteristik responden Tempat Tinggal Dukuh Kajen PSTW f % f %
Karakteristik Umur 60-74 75-90 > 90 Total Jenis Kelamin Laki-laki perempuan Total Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total
84 27 0 111
75.7 24.3 0 100.0
35 25 2 62
56.5 40.3 3.2 100.0
62 49 111
55.9 44.1 100.0
26 36 62
41.9 58.1 100,0
55 33 7 14 2 111
49.5 29.7 6.3 12.6 1.8 100,0
29 10 9 11 3 62
46.8 16.1 14.5 17.7 4.8 100,0
Sumber : Data Primer 2013
Tabel 1. menunjukkan bahwa berdasarkan umur sebagian besar lansia berumur 60-74 tahun, di Dukuh Kajen sebanyak 84 orang (75,7%) dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 35 orang (56,5%). Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah lansia laki-laki di Dukuh Kajen sebanyak 62 orang (55,9%) lebih banyak dari lansia perempuan sebanyak 49 orang (44,1%), Sedangkan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur lansia perempuan sebanyak 26 orang (58,1%) lebih banyak dari lansia laki-laki sebanyak 26 orang (41,9%). Ini menunjukkan
Tempat Tinggal Dukuh Kajen PSTW f % F 55 49.6 41 49 44.1 15 7 6.3 6 111 100,0 62
Kriteria Kurang Cukup Baik Total
% 66.1 24.2 9.7 100,0
Sumber: Data Primer 2013
Tabel 2. menunjukkan distribusi kualitas tidur lansia, berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia yang memiliki kualitas tidur kurang, di Dukuh Kajen sebanyak 55 orang (49.6%) dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 41 orang (66.1%). Tabel 3. menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan hasil nilai χ2 sebesar 6.852 dengan tingkat signifikansi (p-value) sebesar 0.033. Dengan demikian p < 0,05 sehingga Ho ditolak yang berarti ada perbedaan kualitas tidur lansia yang tinggal di Dukuh Kajen dan lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur, yaitu proporsi lansia yang mempunyai kualitas tidur kurang lebih banyak pada lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur dibandingkan pada lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen. Sebaliknya lansia yang mempunyai kualitas tidur cukup atau baik lebih banyak pada lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen dibandingkan dengan lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur. Distribusi Frekuensi Berdasar Umur Lansia Karakteristik responden berdasar umur menurut hasil penelitian pada table 1. menunjukkan bahwa
Tabel 3. Perbedaan Kualitas Tidur Lansia yang Tinggal di Dukuh Kajen dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Tempat Tinggal Dukuh Kajen PSTW Total
Kualitas Tidur Kurang Cukup f % f % 55 49.6 49 44.1 41 66.1 15 24.2 96 55.5 64 37
Baik f % 7 6.3 6 9.7 13 7.5
Total f 111 62 173
% 100 100 100
X²
p-Value
6.852
0.033
Sumber : Data Primer 2013
Perbedaan Kualitas Tidur Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dengan Lansia di PSTW
23
sebagian besar lansia berusia antara 60-74 tahun, di Dukuh Kajen sebanyak 84 orang (75,7%) dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 35 orang (56,5%). Peneliti mendapatkan keterangan dari lansia, pada umumnya mereka menyadari bahwa kualitas tidur mereka berkurang seiring dengan bertambahnya umur. Sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi relatif tetap. Faktor umur merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Keluhan kualitas tidur seiring dengan bertambahnya umur. 6 Pada kelompok lanjut usia 40 tahun dijumpai 7% kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal yang sama dijumpai pada 22% pada kelompok usia 75 tahun. Demikian pula kelompok lansia lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia 70 tahun yang banyak terbangun di waktu malam hari. Angka ini ternyata tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun.7 Distribusi Frekuensi Berdasar Jenis Kelamin Lansia Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada table 1. menunjukkan bahwa lansia di Dukuh Kajen sebagian besar adalah laki-laki. Sedangkan di PSTW Yogyakarta Unit Budi sebagian besar merupakan lansia perempuan. Berdasarkan data statistik penduduk lansia provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah lansia perempuan sebanyak 249.784 orang lebih banyak dari jumlah lansia laki-laki sebanyak 198.439 orang. 8 Dalam penelitian ini peneliti menemukan jumlah lansia perempuan di Dukuh Kajen lebih sedikit dari lansia laki-laki. Hal ini dapat di karenakan cakupan wilayah yang masih kecil sehingga sebaran lansia di Dukuh Kajen berdasarkan jenis kelamin belum dapat mewakili jumlah prosentase secara keseluruhan dari jumlah lansia di Provinsi DIY. Pada penelitian yang dilakukan oleh Shintya (2012) tentang pengaruh kualitas tidur pada kualitas hidup lansia penderita penyakit kronis pada aspek spiritual berdasarkan jenis kelamin, hasil yang diperoleh menyatakan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin dalam pengaruh kualitas tidur pada kualitas hidup lansia penderita penyakit kronis. 9 Distribusi Frekuensi Berdasar Tingkat Pendidikan Lansia Hasil penelitian pada tabel 1. menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mempunyai riwayat
24
pendidikan tidak sekolah, di Dukuh Kajen sebanyak 55 orang (49,5%) dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 29 orang (46,8%). Lansia di Dukuh Kajen dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebagian besar berasal dari masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah sehingga pada masa sekolah dahulu mereka tidak memiliki biaya untuk sekolah. Tingkat pendidikan ini mempunyai hubungan dengan tingkat pengetahuan, serta tingkat penghasilan seseorang. Orang yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan cenderung akan meningkat penghasilannya sehingga jika mereka sakit akan memilih sarana kesehatan yang lebih baik. Oleh karenanya semua ini akan berdampak terhadap adanya usia harapan hidup yang semakin meningkat. 10 Kualitas Tidur Lansia Hasil penelitian pada tabel 2. menunjukkan bahwa sebagian besar lansia memiliki kualitas tidur kurang, di Dukuh Kajen sebanyak 55 orang (49.6%) dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebanyak 41 orang (66.1%). Siklus tidur pada setiap individu berbeda dan relatif dipengaruhi oleh penuaan. Pada lansia tidur sering kali terlihat gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda, sekitar 15% waktu tidurnya dihabiskan pada fase keempat. Fase keempat biasanya tidak ditemukan pada orang tua. Demikian juga dengan fase REM yang mengalami penurunan, yaitu 28% dari pasca pubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya kesegaran sesuai bertambahnya usia. Pada lansia memiliki pola tidur yang berbeda dengan remaja. Kebutuhan tidur lansia semakin menurun karena dorongan homeostasis untuk tidur pun berkurang. 11 Tingginya masalah tidur yang terjadi pada lansia memerlukan penanganan yang sesuai untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur. Pemenuhan kebutuhan tidur setiap orang berbedabeda dan terlihat dari kualitas tidurnya. Kebutuhan kualitas tidur ada yang terpenuhi dengan baik dan ada yang mengalami gangguan. 2 Perbedaan Kualitas Tidur Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga di Dukuh Kajen Bantul dan Lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia di Dukuh Kajen maupun di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebagian besar memiliki kualitas tidur kurang. Namun perbandingan prosentase antara
Nabil & Sulistyarini, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 21-26
lansia yang memiliki kualitas tidur cukup di Dukuh Kajen dan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur cukup signifikan, yaitu sebanyak 44,1% di Dukuh Kajen dan sebanyak 24,2% di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur dengan selisih prosentase mencapai 19,9%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tidur lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen lebih baik dari lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur. Berdasarkan wawancara peneliti menemukan bahwa perbedaan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tinggal lansia. Lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen cenderung merasa lebih nyaman tinggal di rumah sendiri bersama keluarga sehingga kondisi tersebut mendukung terjaganya kualitas tidur mereka meskipun terdapat pula sebagian kecil lansia memiliki kualitas tidur kurang yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya masalah dengan keluarga, kondisi penyakit yang sedang di alami, serta masalah ekonomi yang menjadi stressor penyebab gangguan tidur. Lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebagian besar merasa kurang nyaman dengan tempat tinggal mereka sehingga berpengaruh terhadap pola tidur dan kualitas tidurnya. Gangguan tidur yang mereka alami sebagian besar berasal dari kondisi tempat tinggal yang kurang nyaman, adanya gangguan atau masalah dari sesama penghuni panti lainnya, kondisi penyakit yang sedang dialami, serta sebagian kecil mengalami kecemasan terhadap keluarga. Tempat tinggal dan lingkungan merupakan hal yang penting karena mempunyai dampak utama pada kesehatan lansia. 4 Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang untuk tidur. Pada lingkungan yang tenang akan memungkinkan seseorang dapat tidur dengan nyenyak. Sebaliknya lingkungan yang ribut, bising dan gaduh akan menghambat sesorang untuk tidur. 12 Lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen cenderung merasa lebih nyaman tinggal di rumah sendiri bersama keluarga, hal ini sesuai dengan pendapat Maryam et al 2008. Bahwa setiap anggota keluarga memiliki peranan penting dalam melakukan perawatan terhadap lansia. Dalam mempertahankan kesehatan lansia, keluarga merupakan support sistem utama. Peranan keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia. Kondisi ini yang nantinya dapat mempengaruhi lansia yang tinggal bersama keluarga untuk mepertahankan kualitas tidurnya.1 Lansia yang tinggal di panti PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebagian besar adalah lansia
terlantar yang memiliki masalah ekonomi dan sosial yang tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal. Perasaan jauh dari keluarga dan rasa terbuang dari orang-orang yang disayangi itulah yang membuat lansia merasa dirinya tersisih. Lansia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat mempengaruhi kondisi ketahanan tubuh lansia yang diterimanya dari lingkungan sekitar, maka tekanan atau stressor pada diri lansia berpengaruh pada pola tidur dan kualitas tidurnya. Stress dan lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Rosita (2012) tentang Stressor Sosial Biologi Lansia Panti Wredha Usia dan Lansia Tinggal Bersama Keluarga di Surabaya menjelaskan bahwa lansia yang di panti dengan lansia yang bersama keluarga memiliki perbedaan karakteristik maupun perilaku dalam kesehariannya. Perbedaan tersebut mengacu pada stressor dari lingkungan internal maupun eksternal yang diterima lansia. Lansia yang bersama keluarga, secara kondisi lingkungan tempat tinggal mempengaruhi timbulnya suatu stressor dan hal tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari para lansia, seperti perasaan marah, kecewa atau tertekan terhadap kondisi yang dialaminya seperti terjadi atau timbulnya masalah di dalam keluarga. Stressor atau tekanan dari lingkungan internal dan eksternal pada lansia di panti ialah lebih kepada hubungan antara penghuni yang tidak cocok dalam bergaul antara satu dengan lainnya, sehingga dapat menimbulkan pertengkaran dengan sesama penghuni panti. Para lansia dapat mengalami ketidakcocokan dengan yang lainnya. Selain itu, para lansia juga dapat berhubungan dengan hamonis pada sesama penghuni. 13 Simpulan dan Saran Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen sebagian besar memiliki kualitas tidur kurang sebanyak 55 orang (49,6%). 2. Lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sebagian besar memiliki kualitas tidur kurang sebanyak 41 orang (66,1%). 3. Lansia yang mempunyai kualitas tidur cukup atau baik lebih banyak pada lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen (44,1%) dibandingkan dengan lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur (24,2%). 4. Ada perbedaan kualitas tidur lansia yang tinggal bersama keluarga di Dukuh Kajen dan lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur.
Perbedaan Kualitas Tidur Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dengan Lansia di PSTW
25
Saran 1. Bagi lansia Lansia perlu mengatur aktivitas yang seimbang dan menghindari hal-hal yang dapat memicu terjadinya gangguan tidur sehingga dapat memperoleh jumlah istirahat yang cukup. Dengan demikian diharapkan kualitas tidurnya menjadi lebih baik dari sebelumnya dan gangguan tidur berkurang. 2. Bagi keperawatan Perawat agar lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan asuhan keperawatan, terutama mengenai kualitas tidur. 3. Bagi Pengurus Panti Khususnya bagi pengurus PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur, sebagai pengganti keluarga hendaknya meningkatkan dalam pemberian dukungan keluarga, seperti memberikan kasih sayang pada lansia, memberikan pujian, membantu kegiatan dalam sehari-harinya. 4. Bagi peneliti lain Perlu dikaji variabel-variabel lain yang berhubungan dengan kualitas tidur, seperti faktor penyakit, latihan dan kelelahan, obat, nutrisi, motivasi, dan stress psikologi. Daftar Pustaka 1. Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika, Jakarta. 2. Hidayat A.A. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Salemba Medika, Surabaya.
26
3. Stanley, Mickey, dan Patricia. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. EGC, Jakarta. 4. Potter, Patricia A. dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, Vol.I, E/4. EGC, Jakarta. 5. Nugroho, Wahjudi. 2006. Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. EGC, Jakarta. 6. Widuri, Hesti. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Lanjut Usia ditatanan Klinik. Fitramaya, Yogyakarta. 7. Bandiyah, Siti. 2009. Lanjut usia dan Keperawatan Gerontik. Nuha Medika, Yogyakarta. 8. BPS. 2010. Statistik Penduduk Lanjut Usia Provinsi DI Yogyakarta 2010. BPS, Jakarta. 9. Shintya, LA. 2012. Pengaruh Kualitas Tidur Pada Kualitas Hidup Lansia Penderita Penyakit Kronis Di Rumah Sakit Advent Manad. Dalam http://igenursing.weebly.com/ uploads/1/4/3/9/14390416/fix_jku_mem_lea.pdf. Jumat, 3 Mei 2013, jam 14.30 WIB. 10. Komnas Lansia, 2011. Lanjut Usia Dan Dampak Sistemik Dalam Siklus Kehidupan. Dalam http:// www.komnaslansia.go.id/modules.php?name= News&file=article&sid=63. Jumat, 3 Mei 2013, jam 13.30 WIB. 11. Putra SR. 2011. Tips Sehat dengan Pola Tidur Tepat dan Cerdas. Buku Biru, Yogyakarta. 12. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Medika, Jakarta. 13. Rosita. 2012. Stressor Sosial Biologi Lansia Panti Werdha Usia dan Lansia Tinggal Bersama Keluarga. Dalam http://journal.unair.ac.id/ filerPDF/04 Rosita ---- Lansia di Panti WerdhaUsia dan Lansia Tinggal Bersama Keluarga.pdf. Jumat, 3 Mei 2013, jam 15.00 WIB.
Nabil & Sulistyarini, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 21-26
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Hubungan Frekuensi Kunjungan Antenatal Care (ANC) dengan Kejadian Prematur Evi Esti Utami1, Susi Ernawati2, Winda Irwanti3 1, 2, 3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Penyebab kematian bayi terbanyak adalah karena gangguan perinatal. Sekitar 2 – 27% dari seluruh kematian perinatal disebabkan karena kelahiran prematur dengan berat lahir rendah (BBLR). Perbaikan dalam angka kematian perinatal dapat dicapai dengan pemberian pengawasan antenatal untuk semua wanita hamil dengan menemukan dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan janin dan neonatus. Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan antara frekuensi kunjungan Antenatal Care (ANC) dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain case control dan menggunakan pendekatan retrospektif. Jumlah populasi adalah 1335 persalinan dan sampel adalah 156 responden terdiri dari 78 responden kasus dan 78 responden kontrol. Hasil uji statistik antara frekuensi ANC dengan kejadian prematur dengan menggunakan chi square didapatkan nilai p-value sebesar 0,837(p>0,05), bahwa secara statistik frekuensi kunjungan ANC tidak berhubungan dengan kelahiran prematur di Kabupaten Bantul. Simpulan (1) Kasus prematur di RSUD Panembahan Senopati Bantul selama periode 1 Januari 2011 sampai 29 Februari 2012, ditemukan 207 kasus atau 8,13% ibu yang melahirkan bayi premature, (2) Sebanyak 80,8% ibu melahirkan prematur melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih dengan pola 1-1-2 tiap semesternya dan sebanyak 82,1% ibu melahirkan normal melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih dan dengan pola 1-1-2 tiap semesternya, (3) Secara statistik frekuensi kunjungan ANC tidak berhubungan dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul.
Correlation Between Frequency of Visiting Antenatal Care (ANC) and Prematurity Incidences Abstract The cause of infant mortality is mostly due to perinatal matters. Almost 2-27% of all perinatal death is caused by prematurity with low birth weight ( BBLR). Reducing mortality rate on perinatal can be achieved by observing all pregnant women and finding as well as addressing influenced factors of neonatal safety. This research aims to identify correlation between frequencies of Antenatal Care (ANC) with incidence of prematurity. This is an observational study with case-control design using retrospective approach. Total population was 1335 and of 156 was choosen as research respondents deviding into 78 as case respondents and 78 as control groups. The result of statistic analysis showed that p value= 0,837 (p>0,05) means frequencies of ANC did not have correlation with prematurity. Conclusion, (1) during the period of 1 January 2011 and 29 February 2012, it found 207 (8,13%) premature baby delivered, (2) at about 80,8% mother who delivered premature baby had normal ANC 4 times or more with the pattern 1-1-2 in every semester, (3) statistically ANC was not having correlation with premature baby. Kata Kunci: Premature, Antenatal care, Bantul. Info Artikel: Artikel dikirim pada 02 Desember 2013 Artikel diterima pada 02 Desember 2013
Hubungan Frekuensi Kunjungan Antenatal Care (ANC) Dengan Kejadian Prematur
27
Pendahuluan
target sebesar 95%. Meskipun demikian, diperlukan perhatian khusus karena penurunan angka kematian bayi masih jauh dari target. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah kualitas layanan ANC untuk memastikan diagnosis dini dan perawatan yang tepat, di samping pendekatan kesehatan ibu hamil yang terpadu dan menyeluruh 6 .Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RS Panembahan Senopati Bantul dari 1 Januari 2011 hingga 29 Februari 2012, proporsi kelahiran bayi prematur dari 2543 orang ibu bersalin adalah 8,13 %. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kunjungan Antenatal Care (ANC) dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul Yogyakarta.
Sekitar 2 – 27% dari seluruh kematian perinatal disebabkan karena kelahiran prematur dengan berat lahir rendah (BBLR). Sementara itu prevalensi prematur di Indonesia diperkirakan 7 – 14% yaitu sekitar 459.200 – 900.000 bayi per tahun 1 .Tahun 2005 angka kejadian persalinan prematur di rumah sakit Indonesia sebanyak 3142 kasus dan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 3063 kasus 2. Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta angka kejadian kelahiran bayi prematur adalah sebesar 33,3% 3 RSU PKU Muhammadiyah Bantul kejadian kelahiran bayi prematur sebesar 6,12%. 4 Perbaikan dalam angka kematian perinatal dapat dicapai dengan pemberian pengawasan antenatal untuk semua wanita hamil dengan menemukan dan memperbaiki faktorfaktor yang mempengaruhi keselamatan janin dan neonatus. 5 Di Provinsi DIY, akses ibu hamil terhadap tenaga kesehatan tanpa memandang umur kandungan saat kontak pertama kali (K1) cukup tinggi yaitu 92,7 %, namun cakupan akses ibu hamil yang lengkap (K4) sebanyak 4 kali pada tiap trimester selama kehamilan dengan pola 1-1-2 oleh tenaga kesehatan masih belum optimal yaitu 61,4 % (Departemen Kesehatan R.I., 2010). Khusus untuk daerah Bantul, cakupan pemeriksaan ibu hamil K4 mencapai 85,48% dari
Bahan dan Metode Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan rancangan penelitian studi case control. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu dengan bayi prematur di RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah tehnik cak sederhana (Simple Random Sampling) dengan jumlah 156 orang, yaitu 78 orang responden untuk kasus dan 78 orang responden untuk control di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tabel 1. Karakteristik Responden (Ibu Hamil) di Kabupaten Bantul No 1.
2.
3.
4.
n
Responden Kasus %
21 57 78
23 73 100
34 44 78
15 61 2 78
19,2 78,2 2,6 100
69 9 78
Karakteristik Umur a. <20 tahun >35 tahun b. 20 – 35 tahun Pendidikan a. Rendah (SD) b. Sedang (SMP-SMA) c. Tinggi (PT) Paritas a. ≥ 4 b. < 4 Riwayat Penyakit/penyulit kehamilan a. Sebelumnya 1) Ada 2) Tidak b. Sekarang 1) Ada 2) Tidak Total
x²
P -value
44 56 100
4,746
0,029
8 6,5 5 78
10,3 83,3 6,4 100
3,543
0,170
88 12 100
13 65 78
17 83 100
80,622
0,0001
35 43
45 55
49 29
73 37
5,056
0,25
27 51 78
35 65 100
54 25 100
69 31 100
18,720
0,001
Sumber Data: Data Primer 2012
28
Utami & Irwanti, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 27-31
Kontrol n %
Hasil dan Pembahasan Variabel umur menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian prematur (p=0,029). Menurut Departemen Kesehatan RI, umur <20 dan >30 tahun dianggap sebagai faktor risiko yang secara tidak langsung meningkatkan kejadian BBLR dan prematur. Responden dengan pendidikan tinggi berjumlah 7 orang atau 4%, serta responden dengan pendidikan rendah dan sedang masingmasing berjumlah 23 orang atau 15% dan 126 orang atau 81%. Dari hasil analisis tabel diatas dapat dikatakan bahwa variabel pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian premature (p=0.170). Berdasarkan paritas atau jumlah anak yang dilahirkan, respondendengan paritas ≥4 memiliki jumlah lebih besar daripada responden denganparitas <4. Responden dengan paritas ≥4 berjumlah 82 orang atau 53% danresponden dengan paritas >4 berjumlah 74 orang atau 47%. analisis tabel diatas dapat dikatakan bahwa paritas memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian prematur (p=0,000). Pada riwayat kehamilan sebelumnya tidak terdapat hubungan yang signifikanantara riwayat kehamilan sebelumnya dengan kejadian prematur (p=0,25). Sedangkan pada riwayat kehamilan sekarang didapatkan bahwa riwayat kehamilan sekarang/ penyulit yang menyertai kehamilan memilikihubungan yang signifikan dengan kejadian prematur (p=0,000). aritas atau jumlah anak yang dilahirkan berpengaruh dimana paritas lebih dari 3 akanmeningkatkan risiko kelahiran prematur 7 Hasil penelitian dari Christine (2004) menunjukkan bahwa secara signifikan paritas merupakan risiko terhadap kelahiran prematur. 8 Riwayat kehamilan sekarang dapat dikatakan sebagai penyakit atau penyulit yang menyertai kehamilan seperti pendarahan antepartum, preeklampsi dan Ketuban Pecah Dini (KPD), yang akan meningkatkan kejadian prematuritas adalah perdarahan antepartum (Rukiyah, 2010). Hal ini dikarenakan perdarahan yang hebat pada ibu sehingga janin harus dilahirkan walaupun usia kehamilan masih prematur9.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Waktu Pertama Kunjungan ANC (K1) Waktu Pertama ANC 0-3 bulan 4-6 bulan 6-9 bulan
Responden Kasus Kontrol n % n % 71 91,0 9 8,5 6 7,7 9 1,5 1 1,3 78 100 78 00
Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan Tabel 2. ketahui bahwa seluruh ibu yang melahirkan bayi prematur pernah melakukan kunjungan ANC selama hamil. Sebanyak 71 orang ibu (91%) melakukan ANC untuk pertama kali (K1) pada usia kehamilan 0-3 bulan (trimester I). Hanya 1 orang ibu (1,3%) yang melakukan kunjungan ANC pertama kali pada kehamilan usia 6-7 bulan (trimester III). Tabel 4.3 juga menunjukkan bahwa sebanyak 69 orang (88,5%) responden yang melahirkan bayi normal, melakukan kunjungan ANC pertama kali pada usia kehamilan 0-3 bulan. Hanya 9 orang (11,5%) responden yang melakukan kunjungan ANC pada usia kehamilan 4-6 bulan. Persentase inilebih rendah dibandingkan dengan persentase K4 Kabupaten Bantul tahun2 010, dimana cakupan K4 pada tahun tersebut mencapai 85,48%6. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Frekuensi ANC Kunjungan lengkap (K4) Responden ANC
Kasus n 5 63 8
Tidak K4 K4 Total
Kontrol % 9,2 0,8 00
n 4 4 8
% 7,9 2,1 00
Sumber: Data Primer 2012
Tabel 3. menunjukkan bahwa sebanyak 63 orang (80,8%) ibuyang melahirkan bayi prematur, mempunyai riwayat ANC saat hamildan 15 orang (19,2%) ibu yang melahirkan bayi prematurtidakmelakukan ANC ketika hamil. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 14 orang (17,9%) ibu melahirkan
Tabel 4. Tabulasi Silang dan Uji Chi Square Kunjungan ANC Terhadap Persalinan Prematur di Kabupaten Bantul 2012 Karakteristik Tidak K4 K4 Total
f 15 127 78
Responden % f 51,7 14 49,6 64 100 78
% 48,3 50,4 100
Jumlah f % 29 100 127 100 156 100
x²
P -value
0,43
0,837
Sumber : Data Primer 2012
Hubungan Frekuensi Kunjungan Antenatal Care (ANC) Dengan Kejadian Prematur
29
bayi normal tidakmelakukan kunjungan lengkap ANC (K4) ketika hamil dan 64 orang (82,1%) responden melakukan kunjungan ANC (K4) ketika hamil. Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa jumlah responden baik kelompok kasus maupun kontrol yang tidak melakukan ANC (K4) yaitu sebanyak 29 orang. Sebanyak 15 orang (51,7%) mengalami persalinanprematur dan 14 lainnya (48,3%) mengalami persalinan normal. Sedangkan jumlah responden yang melakukan ANC (K4) yaitu sebanyak127 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 63 orang (49,6%) mengalami persalinan prematur dan 64 orang (50,4%) mengalami persalinan normal. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square didapatkan nilai p value sebesar 0,837 (p>0,05). Tebel 5. Koefisien Determinasi dari variabel umur, paritas dan riwayat penyakit sekarang Umur, Paritas, Riwayat Kehamilan Sekarang
R 0,779
R Square 0,607
Sumber Data: Data Primer 2012
Hubungan variabel umur, paritas dan riwayat penyakit sekarangdengan kejadian prematur menunjukkan hubungan yang cukup kuat (R=0,779). Nilai R Square atau koefisien determinasi yang diperoleh adalah 60,7% yang dapat ditafsirkan bahwa variabel bebas (umur, paritas dan riwayat penyakit) memiliki pengaruh kontribusi sebesar 60,7% terhadap variabel dependent (kejadian prematur) dan 39,3% lainnyadipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar variabel bebas. Tebel 6 Regresi Linier : Hubungan variabel dependent dengan umur, paritas, riwayat penyakit sebelum dan selama kehamilan No 1 2 3 4
Model (Constant) Umur Paritas Riw_hml_skrng
Coefficients В 1,007 0,013 0,694 0,307
t 19,349 0,175 11,228 4,837
P–value 0,0001 0,861 0,0001 0,0001
Sumber Data: Data Primer 2012
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa paritas mempunyai nilaikoefisien beta lebih besar dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya yaitu sebesar 0,693. Hal ini menunjukkan bahwa paritas merupakanvariabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian prematur di Kabupaten Bantul tahun 2011-2012. Variabel umur diperoleh nilai probability 0,861>0, 05, sehingga secara statistik umur tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian prematur. Variabel paritas danriwayat 30
Utami & Irwanti, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 27-31
kehamilan sekarang diperoleh nilai probability 0,000<0,05, sehingga secara statistik paritas dan riwayat kehamian sekarang memilikihubungan yang signifikan dengan kejadian prematur. Insiden prematur pada Januari 2011 sampai dengan Februari 2012 di RSUD Panembahan Senopati Bantul adalah 8,13% dari jumlah kelahiran atau 82 orang dalam 1000 kelahiran. Salah satu penyebab kelahiran premature adalah kunjungan ANC. Krisnadi (2009) berpendapat bahwa dengan pemeriksaan kehamilan sesuai standar maka akan terdeteksi kondisi yang dapat menyebabkan bayi dengan risiko lahir prematur. 10 Standar pelayanan kebidanan menetapkan sedikitnya empat kali pelayanan antenatal selama kehamilan ibu, satu kali kunjungan pada trimester I, satu kali pada trimester II,dan dua kali kunjungan pada trimester III. Pada setiap kunjungan ANC bidan harus menanyakan apakah ibu hamil meminum tabelt besi sesuai dengan ketentuan dan apakah persediaannya cukup11. Dalam penelitian ini diketahui bahwa frekuensi kunjungan ANC tidak berhubungan dengan kelahiran prematur di RSUD Panembahan Senopati Bantul, hal ini dapat disebabkan oleh kualitas pelayanan ANC yang kurang optimal. Dinkes Kabupaten Bantul (2012) menyatakan bahwa kunjungan antenatal yang terpenting adalah kualitasnya bukan kuantitasnya. Hasil penelitian dari Sistriani (2008), bahwa ibu yang memiliki kualitas pelayanan antenatal yang kurang baik mempunyai peluang melahirkan BBLR/ prematur 5,85 kali dibandingkan ibu yang memiliki kualitas pelayanan antenatal baik. 12 Kualitas dari pelayanan ANC yang diberikan kepada ibu hamil yang kurang tepat dapat menyebabkan ibu dengan risiko prematur tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan dengan segera. Persalinan prematur tidak hanya disebabkan oleh faktor kualitas pelayanan ANC yang kurang optimal tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain. Pada penelitian ini didapatkan bahwa faktor yang memberi pengaruh paling signifikan adalah paritas (p=0,000) dan riwayat kehamilan sekarang(p=0,000). Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Dan paritas adalah jumlah kehamilan yang dilahirkan atau jumlah anak yang dimiliki baik dari hasil perkawinansekarang atau sebelumnya 13 Ketuban Pecah Dini (KPD) juga ikut memberikan pengaruh terhadap tingginya angka prematuritas, sesuai hasil penelitian Andriyani 2009 bahwa ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian premature. 4 Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah umur, dimana umur ibu yang kurang dari 25 dan lebih dari 35 tahun akan memberikan risiko
terhadapmeningkatnya kejadian prematur. Menurut hasil penelitian Chiristine nunjukkan bahwa faktor lain yang berhubungan dengan kejadian premature adalah riwayat plasenta previa ibu dan kehamilan kembar. 8 Varney menambahkan bahwa setiapwanita yang telah mengalami kelahiran prematur pada kehamilan terdahulumemiliki risiko 20 sampai 40 persen untuk terulang kembali. 14 Menurut Mochtar persalinan prematur sulit diduga dan sulit dicaripenyebabnya, sehingga pengobatannya sukar diterapkan dengan pasti15.
2. 3.
4.
Simpulan dan Saran
5.
Simpulan
6.
Kasus prematur di RSUD Panembahan Senopati Bantul selama periode 1Januari 2011 sampai 29 Februari 2012, ditemukan 207 kasus atau 8,13% ibu yang melahirkan bayi prematur. Sebanyak 80,8% ibu melahirkan prematur melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih dengan pola 1-1-2 tiap semesternya dan sebanyak 82,1% ibu melahirkan normal melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau lebih dan dengan pola 1-1-2 tiap semesternya. Berdasarkan hasil analisis penelitian hubungan frekuensi kunjunganAntenatal Care (ANC) dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul didapatkan nilai p-value sebesar 0,837 (p>0,05). Disimpulkan bahwa secara statistik frekuensi kunjungan ANC tidak berhubungan dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul.
7. 8.
9. 10.
11.
Saran Diharapkan kepada ibu hamil untuk menghindari faktor risiko kelahiran prematur diantaranya adalah dengan menjarangkan kelahiran menjadi lebih dari 3 tahun, merencanakan kehamilan pada umur 2035 tahun, memiliki anak tidak lebih dari 4 orang dan sebisa mungkin memilih tempat pelayanan dengan petugas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan ANC dengan kualitas yang baik.
12.
13.
Daftar Pustaka
14.
1. Depkes RI. 2005. “Kesakitan dan Kematian bayi dalam intisari Depertemen Kesehatan Republik
15.
Indonesia” dalam http://www.depkes.go.id. 20 Januari 2012. Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan. Setyorini, A. 2009. “Preeklampsi/Eklampsia dan Risiko Kelahiran Preterm diRumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta” dalam Jurnal Kesehatan.7 (2): 74-89. Andriyani, A.D. 2009. Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian PartusPrematurus di RSU PKU Muhammadiyah Bantul tahun 2007 – 2008. Karya Tulis Ilmiah Stikes Aisyiyah Yogyakarta. Prawirohardjo, S. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Dinkes Kabupaten Bantul. 2010.Profil Kesehatan Kabupaten Bantul. Yogyakarta:Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Suririnah. 2008. Buku Pintar Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chiristine, R.E. 2004. Analisis Faktor Resiko dan Hubungannya denganKelahiran Preterm (Prematur) di Rumah Sakit Ibu dan Anak Badrul AiniMedan tahun 2002-2003. SkripsiUniversitas Sumatra Utara Medan. Manuaba, I. B. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC. Krisnadi, S.R. 2009. “Faktor Resiko Persalinan Prematur” dalam dalam Sofie R.Krisnadi, Jusuf S. Efendi dan Adhi Pribadi. Prematuritas, pp 43-66. Bandung : Refika Aditama. Saifuddin. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Cetakan Ketiga.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Sistiarani, Colti. 2008. Faktor Maternal dan Kualitas Pelayanan Antenatal yang Berisiko Terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Tesis Universitas Diponegoro Semarang. Sulistyowati, A. 2008. Hubungan Antara Faktor Determinan Ibu denganKejadian Persalinan Prematur di RSU. Dr. Saiful Anwar Malang 2008.Karya Tulis Ilmiah Universitas Airlangga Surabaya. Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC. Mochtar, R. 2002. Syinopsis Obstetri. Edisi II. Jakarta: EGC.
Hubungan Frekuensi Kunjungan Antenatal Care (ANC) Dengan Kejadian Prematur
31
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Efektivitas Pelatihan Patient Safety; Komunikasi S-BAR pada Perawat dalam Menurunkan Kesalahan Pemberian Obat Injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Fatma Siti Fatimah1, Elsye Maria Rosa2 1, 2
Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak Pelayanan kesehatan yang diberikan di Rumah Sakit beresiko menimbulkan insiden keselamatan pasien yang merugikan pasien. Insiden yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kesalahan pemberian obat. Insiden dapat dicegah, salah satunya dengan memberikan pelatihan perawat tentang patient safety dengan pendekatan komunikasi S-BAR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelatihan patient safety; komunikasi S-BAR dalam menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Jenis penelitian ini pre-experiment dengan rancangan one group pretest-posttest design. Responden diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu sebanyak 32 orang perawat yang memenuhi kriteria inklusi. Instrumen menggunakan lembar observasi prinsip 10 benar pemberian obat injeksi. Uji analisis menggunakan wilcoxon. Setelah pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR pada perawat diberikan ditemukan ada perbedaan bermakna kesalahan pemberian obat injeksi berdasarkan prinsip benar pasien, rute, obat, waktu, pengkajian, informasi dan evaluasi (p<0,05), namun tidak ada perbedaan bermakna pada prinsip benar dosis, kadaluarsa dan dokumentasi (p>0,05). Kesimpulan dan saran: pelatihan patient safety; komunikasi S-BAR pada perawat efektif menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II berdasarkan prinsip benar pasien, rute, obat, waktu, pengkajian, informasi dan evaluasi. Disarankan Rumah Sakit untuk memberikan pelatihan secara berkala kepada seluruh petugas kesehatan, mengingat terciptanya budaya keselamatan pasien adalah tanggung jawab semua pihak di Rumah Sakit. sehingga produktifitas petugas kesehatan meningkat serta terciptanya budaya patient safety. Kata Kunci : patient safety,komunikasi S-BAR, kesalahan obat injeksi
Effectiveness Patient Safety Training; SBAR Communication in Nursing to Reduce of Error Drug Injection Administration at PKU Muhammadiyah Hospital Unit II Yogyakarta Abstract Health services provided in the hospital are likely to cause patient safety incidents which are adverse patient. The most incidents occurred in Indonesia are errors drug administration. Incidents can be prevented, one of them by training nurses on patient safety with S-BAR approach communications. The study aimed to determine the effectiveness of patient safety training; S-BAR communication in reducing injection drug administration errors in PKU Muhammadiyah Hospital in Yogyakarta Unit II. The type of research pre-experiment with the design of one group pretest-posttest design. Respondents were taken by purposive sampling technique, which total of 32 nurses who fulfilled the inclusion criteria. This study used the observation sheet instruments of 10 true principle of injection drug delivery. Analyzed by Wilcoxon test. After the training of patient safety: the SBAR communication given to nurses, there were significant differences in injection drug administration errors based on the principle really patient, route, medicine, time, assessment, information and evaluation (p <0.05), but no significant differences in principle correct dose, expired and documentation (p> 0.05). Conclusions and suggestions: patient safety training; SBAR communication on nurses wasc reduced injection drug administration errors effectively in PKU Muhammadiyah Hospital Unit II Yogyakarta based on the principle of right of patients, service, medicine, time, assessment, information and evaluation. Suggested
32
Fatimah & Rosa, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 32-41
Hospital to provide periodic training to all health workers, considering the creation of a patient safety culture is the responsibility of all parties in the Hospital. Thus increase the productivity of health workers as well as the creation of a patient safety culture. Keywords: patient safety, SBAR communication, injection drug administration error Info Artikel: Artikel dikirim pada 26 Desember 2013 Artikel diterima pada 02 Januari 2014
Pendahuluan Menurut DepKes setiap tenaga kesehatan di Rumah Sakit termasuk didalamnya perawat wajib menerapkan keselamatan pasien (Patient safety) untuk mencegah insiden keselamatan pasien1. Joint Commission International (JCI) & Wolrd Health Organitation (WHO)2 melaporkan beberapa negara terdapat 70% kejadian kesalahan pengobatan. JCI & WHO melaporkan kasus sebanyak 25.000-30.000 kecacatan yang permanen pada pasien di Australia 11% disebabkan karena kegagalan komunikasi2. WHO menyebutkan pemberian injeksi yang tidak aman yaitu pemberian injeksi tanpa alat yang steril, berkontribusi 40% di seluruh dunia, diprediksikan 1,5 juta kematian di USA setiap tahun disebabkan pemberian injeksi yang tidak aman atau insiden keselamatan pasien (IKP). DepKes1 melaporkan insiden keselamatan pasien paling banyak terjadi di indonesia adalah kesalahan pemberian obat2. Kesalahan pemberian obat di Indonesia tidak jarang menjadi tuntutan hukum1. Data di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dimana IKP paling banyak adalah kesalahan pemberian obat. Survei tanggal 1 Juli 2013 didapat data IKP paling banyak dilaporkan adalah kesalahan pemberian obat dibanding dengan IKP lain, tahun 2012 ada 2 insiden kesalahan pemberian obat oleh perawat di ruang rawat inap, 1 insiden di laboratorium salah pemberian label. Data tahun 2013 bulan Januari sampai Juni juga didapatkan laporan terbanyak IKP yaitu 2 insiden kesalahan pemberian obat di ruang rawat inap, masing-masing 1 kasus insiden pasien jatuh, kejadian nyaris cidera (KNC) salah transfusi darah pada pasien dan salah aff infus. Hal ini menunjukkan masih tingginya IKP terutama kesalahan pemberian obat injeksi, dimana seharusnya kesalahan pemberian obat tidak boleh terjadi. Sistem pelaporan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah baik namun, berdasarkan informasi dari manajer keperawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum pernah memberikan pelatihan terkait patient safety ataupun sejenis latihan lain pada perawat untuk meningkatkan keselamatan pasien.
Faktor penyebab IKP menurut Cahyono adalah kegagalan komunikasi, komunikasi tidak efektif akan berdampak 80% menyebabkan kejadian malpraktek, meningkatkan biaya operasional, biaya perawatan penyembuhan dan menghambat proses pemberian asuhan keperawatan3. Hasil penelitian menyebutkan 50% kejadian medical errors dan sampai 20% kejadian kesalahan pemberian obat disebabkan karena komunikasi tidak efektif 4,5 . Penerapan komunikasi efektif antar perawat dan antar petugas kesehatan menjadi salah satu cara yang terbukti efektif meningkatkan keselamatan pasien di Rumah Sakit didukung Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)6,3. Tujuan dilakukan komunikasi efektif dibutuhkan oleh tenaga kesehatan serta pasien pada umumnya sehingga, perawatan yang paripurna pada pasien dapat tercapai kemudian akan meningkatkan keselamatan pasien3. Didukung penelitian Dewi yang menyebutkan kegiatan timbang terima perawat dengan menerapkan komunikasi efektif yaitu S-BAR (Situation, Background, Assessment and Recommendation) saja, akan meningkatkan identifikasi kebutuhan pasien serta meningkatkan keamanan pasien salah satunya peningkatan keamanan pemberian obat sehingga akan menurunkan kesalahan pemberian obat. Kesalahan pemberian obat dapat terjadi jika petugas kesehatan termasuk perawat tidak menerapkan prinsip benar dalam pemberian obat. Menurut Tambayong8; Berman et al8; Potter & Perry9 pemberian obat ada prinsip 10 benar yaitu obat, dosis, pasien, rute, waktu, informasi, kadaluarsa, pengkajian, evaluasi dan dokumentasi. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam menerapkan prinsip benar ini untuk meningkatkan keselamatan pasien. Upaya untuk menurunkan IKP kesalahan pemberian obat injeksi dapat dilakukan dengan pelatihan patient safety; komunikasi efektif S-BAR pada perawat mengingat, berdasarkan survei pendahuluan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum pernah diberikan pelatihan ini. Melatih seseorang sehingga diharapkan akan
Efektivitas Pelatihan Patient Safety; Komunikasi S-BAR Pada Perawat dalam Menurunkan Kesalahan Pemberian Obat Injeksi
33
meningkatkan seseorang dalam melaksanakan tindakan sesuai dengan standar prosedur operasional (SPO), sehingga memperlancar asuhan keperawatan dan meningkatkan patient safety. Sejalan dengan penelitian Dewi yang menunjukkan hasil signifikan dengan pelatihan timbang terima dan komunikasi S-BAR maka berpengaruh juga terhadap penerapan keselamatan pasien termasuk pemberian obat7. DepKes1 menekankan komunikasi efektif merupakan kunci bagi setiap staf menuju keselamatan pasien di Rumah Sakit. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian “efektivitas pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR pada perawat dalam menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II”. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR pada perawat dalam menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Sedangkan tujuan khususnya yaitu: 1. Mengetahui jumlah kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sebelum dilakukan pelatihan patient safety: komunikasi S-BAR. 2. Mengetahui jumlah kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II setelah dilakukan pelatihan patient safety: komunikasi S-BAR. 3. Mengetahui efektifitas pelatihan patient safety: komunikasi S-BAR dalam menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Bahan dan metode Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, N o t o a t m o d j o 11 m e n y e b u t k a n p e n e l i t i a n i n i menggunakan preexperimental designs, dengan desain penelitian one group pre test-post test. Desain preexperimental ini hanya dilakukan pada satu kelompok yaitu kelompok eksperimen. Sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi ang berjumlah 32 perawat, karena menurut Dempsey & Dempsey12 sampel berjumlah 30 orang dianggap mewakili keakuratan populasi untuk riset eksperimental7. Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ini adalah kriteria inklusi : perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
34
Fatimah & Rosa, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 32-41
Yogyakarta Unit II, pendidikan DIII Keperawatan dan S1 Keperawatan serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Kriteria ekslusi yaitu perawat pelaksana yang sedang cuti, perawat yang mengikuti pendidikan lanjutan yang meninggalkan tugasnya dirumah sakit. Variable independent: Pelatihan Patient safety : komunikasi S-BAR dan variable dependent: Kesalahan pemberian obat injeksi. Pelatihan safety : komunikasi S-BAR adalah suatu proses sistematika pemberian materi pada perawat ruang rawat inap tentang keselamatan pasien dengan pendekatan komunikasi efektif S-BAR di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, materi diberikan selama 120 menit . Dilanjutkan role play selama 120 menit. Kesalahan pemberian obat injeksi adalah Kegiatan perawat dalam melaksanakan tugas memastikan pemberian obat injeksi pada pasien yang tidak menerapkan prinsip 10 benar yaitu benar pasien, rute atau jalur, obat, dosis, waktu, pengkajian, informasi, kadaluarsa, efek samping dan dokumentasi, cara pengukuran dengan menggunakan lembar observasi yang berisi 24 pernyataan dengan jawaban ya dan tidak, skala data yang digunakan adalah nominal. Instrumen karakteristik perawat, meliputi antara lain: Nama, Jenis kelamin, usia, pendidikan dan lama bekerja perawat. Instrumen penelitian tentang kesalahan pemberian obat injeksi diukur menggunakan lembar observasi berdasarkan kriteria standar pelaksanaan pemberian obat yang dikembangkan dari prinsip 10 benar pemberian obat menurut Tambayong8; Berman et ali9; Potter & Perry10 tentang indikator kesalahan pemberian obat dan penelitian Yani13 antara lain; benar pasien, benar rute atau jalur, benar obat, benar dosis, Benar waktu, Benar pengkajian, benar informasi, Benar Kadaluarsa, benar evaluasi dan Benar dokumentasi yang terdiri dari 24 pernyataan antara lain; a) Benar pasien: perawat menanyakan identitas pasien sebelum pemberian obat, memastikan pemberian obat dengan melihat geang identifikasi dan menyimpan obat pasien di kotak penyimpanan obat dan diberi nama pasien. b) Benar rute atau jalur: perawat memberikan obat sesuai dengan instruksi dokter dan memastikan rute obat pada label obat. c) Benar obat: perawat memastikan nama obat pada label, memastikan nama obat sesuai dengan buku injeksi atau rekam medis pasien dan memberikan obat dengan menggunakan label obat. d) Benar dosis: perawat menyiapkan dosis obat sesuai dengan rekam medis dan memberikan obat sesuai dengan dosis
e) Benar waktu: perawat memberikan obat pada pasien tepat waktu sesuai order dokter dan memberikan obat sesuai jadwal atau paling tidak 30 menit sebelum dan 30 menit sesudah jadwal ditetapkan. f) Benar pengkajian: perawat melakukan pengkajian terkait diagnosis klien. g) Benar informasi: perawat memberikan informasi terkait nama obat, menjelaskan cara pemberian obat dan menjelaskan fungsi atau kerja obat. h) Benar kadaluarsa: perawat memastikan tanggal kadaluarsa obat dan memberikan obat pada pasien yang belum kadaluarsa. i) Benar efek samping atau evaluasi: perawat melakukan evaluasi pasien setelah selesai pemberian obat dan memantau reaksi pasien terhadap pemberian obat. j) Benar dokumentasi: perawat mencatat pemberian obat dalam rekam medis sesudah obat diberikan, mencatat waktu pemberian obat, mencatat rute pemberian obat dan memberikan paraf atau nama terang setelah pemberian obat. Analisa data yang digunakan yaitu wilcoxon untuk mengetahui perbedaan kesalahan pemberian obat injeksi sebelum dan sesudah pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR. Hasil dinyatakan bermakna jika P<0,05 dan tidak bermakna jika P>0,05. Etika penelitian yang dilakukan peneliti antara lain: Meminta surat izin penelitian ke Program Studi Magister Manajemen Rumah Sakit Program Pascasarjana, kemudian ke pejabat tempat penelitian. Informed consent, Confidentiality, Anonimity dan Justice. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian a. Pelatihan Patient Safety dan komunikasi S-BAR Pelatihan dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, pada 13 September 2013 sampai 14 September 2013 pukul 08.30 WIB sampai 15.00. Peserta pelatihan adalah perawat dan bidan di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sebanyak 65 perawat dan bidan. Meskipun demikian responden penelitian penelitian ini hanya 32 responden perawat. pelatihan terdiri dari 2 kegiatan yaitu penyampaian materi dan role play. Materi pelatihan terdiri dari patient safety kemudian, komunikasi S-BAR pukul 08.30 WIB sampai 11.30 WIB. Selanjutnya role play waktunya pukul 13.00 WIB – 15.00 WIB, saat role play Peserta dibagi 3 kelompok kemudian, secara berkelompok mempraktekkan komunikasi S-BAR antara dokter dan pada saat operan jaga atau hand over.
b. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen penelitian ini disusun dari Tambayong8; Berman et al 9; The Joint Commission, Potter & Perry10; serta penelitian Yani13 sehingga peneliti tidak melakukan uji validitas dan reabilitas. Peneliti tidak melakukan uji normalitas karena skala data penelitian ini adalah nominal serta hanya menggunakan satu kelompok yaitu kelompok intervensi. c. Analisis Univariat Tabel 1. Gambaran distribusi frekuensi karakteristik responden Karakteristik responden 1. Usia <25 tahun 25-35 tahun 2. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 3. Lama bekerja < 1 tahun 1-5 tahun 4. Pendidikan D3 Ners Total
n
%
14 18
43,8 56,2
3 29
9,3 90,7
22 10
68,8 31,2
27 5 32
84,4 15,6 100
Sumber : Data Primer
Gambar 1 menunjukkan nilai sebelum intervensi paling banyak perawat melakukan kesalahan pemberian obat berdasarkan prinsip benar yang termasuk dalam kategori buruk dimana kesalahan yang dilakukan >50% yaitu dokumentasi 100%, evaluasi 87,5%, pengkajian 71,9%, pasien 59,4% dan informasi 53,1%. Setelah pelatihan diberikan yang melakukan kesalahan dalam kategori buruk yaitu dokumentasi 100% dan evaluasi 53,1%.
Keterangan: 1. Pasien 2. Rute 3. Obat 4. Dosis 5. Waktu
6. 7. 8. 9. 10.
Pengkajian Informasi Kadaluarsa Evaluasi Dokumentasi
Gambar1. Kesalahan pemberian obat sebelum dan sesudah pelatihan (n:32)
Efektivitas Pelatihan Patient Safety; Komunikasi S-BAR Pada Perawat dalam Menurunkan Kesalahan Pemberian Obat Injeksi
35
d. Analisa bivariat Tabel 2. perbedaan angka kesalahan pemberian obat injeksi berdasarkan prinsip 10 benar No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pre test-Post test Benar pasien Benar rute Benar obat Benar dosis Benar waktu Benar pengkajian Benar informasi Benar kadaluarsa Benar evaluasi Benar dokumentasi
n 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
Z -2,714 -2,000 -2,828 -1,414 -2,499 -4,000 -2,121 -1,000 -3,317 0,000
Sig. 0,007 0,046 0,005 0,157 0,014 0,000 0,034 0,317 0,001 1,000
Sumber: Data primer
Tabel 2. Setelah uji wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pelatihan patient safety: komunikasi S-BAR pada perawat dalam menerapkan prinsip benar pasien, benar rute, benar obaat, benar waktu, benar pengkajian, benar informasi, benar evaluasi dengan nilai signifikansi P<0,05. Tidak ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah intervensi pelatihan patient safety: komunikasi S-BAR pada perawat dalam menerapkan prinsip benar dosis, benar kadaluarsa dan benar dokumentasi dengan nilai signifikansi P>0,05. Pembahasan 1.
Benar pasien Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II merupakan rumah sakit yang menerapkan prinsip 5 benar dalam pemberian obat antara lain: benar obat, benar dosis, benar pasien, benar waktu dan benar cara. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan prinsip 10 benar. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,007 (P<0,05). Persentase penerapan prinsip benar pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sebelum pelatihan adalah dalam kategori buruk, kesalahan perawat >50%, setelah pelatihan menjadi kategori baik yaitu <50%. Dalam pelaksanaan masih ada perawat yang tidak mencocokkan nama pasien dengan gelang identitas klien. Hanya saja perawat telah melakukan klarifikasi nama pasien dengan menanyakan pada pasien atau anggota keluarga dicocokkan dengan nama dilabel obat serta perawat sudah menyimpan obat pasien sesuai nama identitas pasien atau nomor kamar pasien. 36
Fatimah & Rosa, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 32-41
Menurut potter and Perry10 salah satu langkah dalam memberikan obat adalah dengan cara memastikan identitas pasien dengan memeriksa (gelang identitas, papan identitas di tempat tidur)8. Teori yang mendukung hasil ini adalah teori kongnitif yang di kembangkan Reason, Ramsmussen dan jense 3 dan model perubahan yang didasari oleh konsep kognitif. Model perubahan ini menyebutkan proses terjadinya pengambilan keputusan terjadi dalam 3 dasar yaitu skill based level (didasari ketrampilan) terjadi secara spontan tanpa proses berfikir, rule based level (didasari peraturan) yang terjadi secara rutinitas yang tersimpan sebagai memori dan konwladge based level (didasari pengetahuan) terjadi pengambilan keputusan berdasarkan informasi dan pengetahuan. Penelitian sebelumnya Yulia menyebutkan pelatihan keselamatan pasien pada perawat dapat meningkatkan pemahaman dan penerapan keselamatan pasien, dimana hasilnya perbedaan bermakna pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah pelatihan P=0,000 (P<0,05) 14. 2. Benar rute atau jalur Hasil observasi menunjukkan sebelum pelatihan sebanyak 18,8% perawat ruang rawat inap di PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II melakukan kesalahan benar rute kemudian menjadi 6,2% perawat yang salah. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,046 (P<0,05). Perawat telah menerapkan prinsip benar rute ini dengan baik karena kesalahan <50% baik sebelum dan sesudah pelatihan. Perawat memastikan rute pemberian obat dengan melihat label yang ada dalam label obat serta memastikan instruksi dokter di rekam medis. Penting diperhatikan benar jalur dengan cara, melakukan persiapan yang benar terlebih dahulu, karena dampak akibat yang mungkin ditimbulkan akibat keselahan jalur tejadi efek secara sistemik. Perawat dalam menerapkan prinsip benar rute diharapkan selalu berkonsultasi pada pemberi resep jika tidak ada petunjuk rute pemberian obat. Pada pemberian injeksi perawat harus yakin pemberian obat dilakukan dengan cara injeksi (Institude for Safety Medication Practise (ISMP)10. penelitian sebelumya Fitria yang menunjukkan dengan pelatihan komunikasi S-BAR maka motivasi dan psikomotor perawat meningkat15. Dewi (2012) menyebutkan setelah dilakukan pelatihan tentang operan jaga dan komunikasi S-BAR maka penerapan patient safety semakin baik. Sehingga secara tidak langsung pelatihan yang diberikan pada perawat
hasilnya akan meningkatkan keselamatan pasien di Rumah Sakit. 3. Benar obat Hasil penelitian menunjukkan 31,2% perawat salah melaksanakaan benar obat sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan menjadi 6,2%. Berarti pelaksanaan pemberian obat injeksi yang dilakukan perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah baik. Hasil analisis ada perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,005 (P<0,05). Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II juga menggunakan prinsip benar obat ini, dapat dilihat dari perawat telah menerapkan prinsip benar obat ini dengan baik karena, kesalahan <50% baik sebelum dan sesudah pelatihan. Pelaksanaan pemberian obat berdasarkan benar obat di ruang rawat inap telah memastikan nama obat dengan label obat, memastikan nama obat sesuai dengan rekam medis atau buku injeksi dan telah mengunakan label obat pada spuit yang akan digunakan untuk injeksi. Hanya saja, antara perawat yang menyiapkan obat dan yang akan memberikan terkadang berbeda sehingga beresiko jika terjadi kesalahan. Namun hal tersebut dapat diatasi dengn cara setiap perawat akan memberikan obat terlebih dahulu memastikan nama obat sesuai dengan order dokter. Prinsip benar obat sangat penting dilakukan The Joint Commission (TJC) 10 menyebutkan hal yang diperhatikan dari prinsip benar obat antara lain: meyakinkan informasi pengobatan kapanpun terhadap obat baru atau obat yang diresepkan, maksudnya ketika perawat tidak yakin nama obat pasien maka perawat harus mengklarifikasi pada dokter pemberi resep. jika memberikan obat kepada pasien perawat harus periksa kembali label pada saat memberikan obat dan memastikan seluruh obat yang diberikan pada pasien sesuai dengan catatan rekam medis pasien atau buku injeksi. didukung penelitian dewi7 dan Fitria15 setelah pelatihan pada perawat maka motivasi, psikomotor dan keselamatan pasien meningkat. Hal ini juga didukung oleh proses dari pelatihan itu sendiri. merupakan bagian proses pendidikan yang bertujuan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan khusus. Pelatihan menekankan pada kemampuan melaksanakan tugas yang seharusnya dikerjakan (job orientation), pada umumnya pelatihan menekankan pada kemampuan psikomotor, meskipun demikian tetap didasari pengetahuan dan sikap16. Peneliti berpendapat bahwa perubahan yang terjadi pada perawat karena ada proses transfer
informasi yang diberikan pada saat pelatihan dilakukan. Informasi yang diterima akan direkam perawat sehingga, sehingga motivasi perawat akan meningkat seiring bertambahnya informasi atau pengetahuan dan akan memdorong perawat untuk melakukan kegiatan berdasarkan informasi yang diperoleh. Didukung Iqbal & Simanjuntak yang menyebutkan manfaat pelatihan sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan termasuk Rumah Sakit dapat diukur dari perubahan kemampuan dan perilaku karyawan selain itu dapat mempengaruhi kinerja perusahaan ke arah yang lebih baik17. 4. Benar dosis Hasil observasi menunjukkan 6,2% perawat salah menerapkan benar rute sebelum dilakukan pelatihan, kemudian berubah 0% perawat yang salah atau 100%. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,157 (P>0,05). Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II menggunakan prinsip benar dosis ini, dapat dilihat dari perawat telah menerapkan prinsip benar obat ini dengan baik sebelum dan sesudah pelatihan. Pelaksanaan pemberian obat berdasarkan benar dosis di ruang rawat inap perawat telah menyiapkan obat sesuai dosis di rekam medis atau order dari dokter dan perawat memberikan obat sudah sesuai dengan dosis yang seharusnya pasien dapatkan. Hasil observasi menunjukkan kesalahan yang dilakukan perawat pada saat memberikan obat injeksi bukan disengaja karena perawat melakukan kesalahan. Hanya saja saat obat diberikan infus pasien macet sehingga, setelah obat diberikan perawat harus membongkar infus untuk membersihkan sumbatan infus. Prinsip benar dosis ini penting mengingat efek obat yang akan didapat pasien tergantng benar atau sesuai dosis yang dibutuhkan, karena setiap pasien berbeda beda. Sebelum memberikan obat perawat harus memastikan dosisnya, jika ada yang meragukan perawat harus berkonsultasi dengan dokter pemberi resep atau dengan apoteker8. Peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta secara statistik tidak signifikan. Namun, perawat telah melakukan dengan sangat baik. 5. Benar waktu Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan pemberian obat injeksi yang dilakukan perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah baik dimana 96,9% sudah melaksanakan benar waktu setelah pelatihan dilakukan. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan
Efektivitas Pelatihan Patient Safety; Komunikasi S-BAR Pada Perawat dalam Menurunkan Kesalahan Pemberian Obat Injeksi
37
bermakna kesalahan pemberian obat berdasarkan prinsip benar waktu antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,014 (P<0,05). Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II juga menggunakan prinsip benar waktu, dapat dilihat dari perawat telah menerapkan prinsip benar waktu ini dengan baik karena, kesalahan <50%. Pelaksanaan pemberian obat berdasarkan benar waktu antara lain: ada perawat yang memberikan obat tidak tepat waktu lebih 30 menit atau 1 jam sebelum waktunya diberikan namun, untuk sihf pagi waktu pemberian obat tepat sesuai jadwal pemberian obat. Perawat harus mengetahui jadwal pemberian obat dalam setiap hari. Sebagai contoh, perawat dapat memberikan antibiotik sesuai jadwal yang benar untuk mempertahankan efek teraupetik dalam darah, rentang waktu pemberian obat dilakukan dalam 60 menit sesuai jadwal atau 30 menit sebelum atau 30 menit setelah jadwal pemberian obat (Institude for Safety Medication Practise (ISMP)10. Umar18 menyebutkan pentingnya dilakukan pelatihan pada karyawan adalah untuk menjamin stabilitas karyawan sehingga karyawan lebih meningkatkan produktivitas kerjanya. 6. Benar pengkajian Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,000 (P<0,05). Berdasarkan benar pengkajian di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sebelum pelatihan adalah dalam kategori buruk >50% perawat melakukan kesalahan. Setelah pelatihan menjadi <50%. Meskipun demikian namun dalam menerapkan prinsip benar pengkajian, masih ada perawat yang langsung memberikan obat tanpa melakukan pengkajian terlebih dahulu, terkait dengan keluhan yang dirasakan pasien. Berdasarkan observasi pengkajian lengkap dilakukan pada saat pasien baru masuk ke ruang rawat inap atau pada pasien baru. Menurut Tambayong8 perawat harus melakukan pengkajian secara menyeluruh (head to toe), kemudian menentukan diagnosa keperawatan yang terkait dengan masalah kesehatan, kemudian menentukan terapi yang akan diberikan. Keberhasilan terapi tergantung dari kebenaran masalah yang diperoleh dari data pengkajian. Didukung penelitian sebelumnya yang dilakukan 7 Dewi dan Fitria15 dengan pelatihan maka penerapan patient safety akan meningkat sehingga, secara tidak langsung pemberian obat akan semakin baik karena termasuk dalam sasaran keselamatan pasien di rumah sakit yakni keamanan pemberian obat.
38
Fatimah & Rosa, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 32-41
7. Benar informasi Hasil observasi menunjukkan, sebelum pelatihan 53,1% perawat salah menerapkan benar informasi kemudian, menjadi 34,4% setelah pelatihan. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,034 (P<0,05). Pelaksanaan pemberian obat berdasarkan benar informasi sebelum pelatihan antara lain: banyak perawat yang memberikan obat tidak menyebutkan nama obat dan fungsi dari obat. Untuk cara memberikan perawat selalu memberitahu pasien yaitu paling sering dengan mengatakan “disuntik”. Setelah pelatihan diberikan pelaksanaan pemberian obat injeksi berdasarkan benar informasi berubah menjadi kategori baik dimana kesalahan yang dilakukan responden penelitian yaitu perawat <50%. Pelaksanaan prinsip benar informasi setelah dilakukan pelatihan antara lain perawat banyak yang sudah menyebutkan nama obat, fungsi dari obat dan cara rute obat perawat selalu memberitahu pasien. Meskipun belum dilakukan 100% karena dari hasil observasi masih ada perawat yang tidak menyebutkan nama obat. Pada saat pelatihan dilakukan, perawat terlihat antusias berpartisipasi dimana perawat ada yang memberikan pernyataan terkait kejadian yang menyangkut patient safety dan pertanyaan tentang penerapan komunikasi kepada pasien atau keluarga pasien. Menurut Hariandjo & Ladiwati 19 prinsip belajar dalam pelatihan yang dianggap penting dan efektif menggunakan prinsip sebagai berikut: Participation, Relevance, Transference dan Feedback. Dalam pelatihan keterlibatan peserta dalam kegiatan pelatihan secara aktif dan langsung sangat mempengarui keberhasilan pelatihan, sama halnya dalam penelitian ini, partisipasi responden penelitian, dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik dan sulit dilupakan. Peneliti menggambil kesimpulan dengan pelatihan patient safety dan komunikasi S-BAR yang diberikan pada perawat dapat menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi dalam menerapkan prinsip benar informasi. 8. Benar kadaluarsa Hasil menunjukkan 12,5% perawat salah menerapkan benar kadaluarsa sebelum pelatihan, kemudian menjadi 9,4% setelah pelatihan. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,317 (P>0,05). Berdasarkan hasil persentase penerapan prinsip benar kadaluarsa di ruang rawat inap Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan adalah dalam kategori baik dimana kesalahan perawat <50%. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan masih ada perawat yang tidak memeriksa tanggal kadaluarsa obat walaupun persentasenya sedikit. Benar expired pada prinsipnya, perawat harus memperhatikan tanggal kadaluarsa obat kemudian, perubahan warna, perubahan bentuk10. Meninggat, Efek berbahaya dari obat kadaluwarsa salah satunya efek terhadap tubuh manusia. Perubahan yang terjadi ada hambatanya. Dimana, perawat merasa tugas untuk mengecek tanggal kadaluarsa telah dilakukan oleh apoteker. Namun, harus diingat skreaning obat harus tetap dilakukan sampai obat diterima pasien termasuk pemeriksaan expired obat. Peneliti menggambil kesimpulan, pelatihan patient safety dan komunikasi S-BAR tidak efektif menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi dengan prinsip benar evaluasi. Namun, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah melaksanakan benar kadaluarsa obat dengan sangat baik. 9. Benar evaluasi Hasil menunjukkan 87,5% perawat salah melaksanakaan prinsip benar evaluasi sebelum pelatihan dan menjadi 53,1% sesudah pelatihan. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 0,001 (P<0,05). Sebelum pelatihan pelaksanaan pemberian obat injeksi berdasarkan prinsip benar evaluasi di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dikatakan buruk karena kesalahan >50%. Hal ini memberitahukan bahwa perawat tidak melakukan evaluasi secara benar, perawat banyak yang tidak mengevaluasi pemberian obat efek samping yang ditimbulkan dari obat yang diberikan. Setelah pelatihan maka diperoleh perbedaan dimana perawat telah melaksanakann benar evaluasi meskipun memang masih dikategorikan buruk >50% perawat melakukan kesalahan. Perawat masih banyak juga yang tidak mengevaluasi efek samping pemberian obat setelah obat diberikan. Evaluasi penting dilakukan oleh perawat setelah pemberian obat, evaluasi terhadap efek pemberian obat biasanya 30 menit setelah pemberian obat perawat kembali lagi ke kamar pasien untuk mengevaluasi efek pemberian obat. Perawat harus mengetahui efek samping obat sehingga, perawat dapat menentukan asuhan keperawatan kepada pasien kemudian, jika efek samping obat muncul dapat diminimalkan8,10,20.
Menurut peneliti masih ada kesalahan karena, faktor padatnya kegiatan perawat setelah jadwal pemberian obat seperti: mengantar pasien operasi, menjemput pasien operasi, menyiapkan kamar untuk pasien baru atau menyiapkan persiapan pasien pulang. Menyebabkan kegiatan evaluasi tidak dapat dilakukan langsung atau paling tidak 30 menit setelah obat diberikan hanya saja, perawat tetap melakukan evaluasi meskipun waktunya disesuaikan dengan kegiatan yang ada di ruang perawatan. 10. Benar dokumentasi Hasil menunjukkan 100% perawat salah melaksanakaan prinsip benar dokumentasi sebelum dan sesudah pelatihan. Hasil analisis tidak ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai signifikansi 1,000 (P>0,05). Sistem dokumentasi yang dilakukan perawat untuk pengobatan yang diperoleh pasien telah berjalan meskipun belum lengkap. Dalam dokumentasi setelah perawat memberikan obat pasien perawat langsung memdokumentasikan dalam buku injeksi dan jarang yang langsung ke rekam medis pasien. Ada perawat yang mendokumentasikan pemberian obat sebelum obat diberikan pada pasien. Rekam medis telah ada catatan waktu, rute, dengan sangat jelas. Namun, dalam melakukan dokumentasi terkadang bukan perawat yang melakukan tindakan melainkan didokumentasikan oleh perawat lainnya. Lebih banyak lembar dokumentasi yang tidak diberi paraf meskipun ada paraf yang melakukan paraf terkadang bukan perawat yang bersangkutan. Tambayang8 menjelaskan setelah obat diberikan kepada pasien perawat yang bersangkutan segera menulis dosis, rute,waktu dan paraf atau nama terang. Kegiatan perawat dalam dokumentasi seperti diturunkan dari perawat lama ke perawat baru dalam hal siklus cara pendokumentasian. Robbins dan Judge20 menyebutkan ada korelasi positif antara masa kerja dengan pegalaman kerja perawat, karena responden dalam penelitian ini mayoritas adalah pegawai baru maka semua intervensi yang akan diberikan akan banyak belajar atau dipengaruhi oleh rekan kerja yang lebih lama masa bekerjanya. Dokumentasi pemberian obat sesuai standar Medical administration record (MAR) yang harus dilakukan: menulis nama lengkap pasien, waktu pemberian, dosis obat yang dibutuhkan, cara pemberian obat frekuensi, respon pasien setelah pemberian obat dan jika ada efek obat maka harus didokumentasikan waktu, tanggal dan nama petugas yang memberikan dan yang menulis resep dalam catatan rekam medik pasien8 dan Institude for Safety Medication Practise
Efektivitas Pelatihan Patient Safety; Komunikasi S-BAR Pada Perawat dalam Menurunkan Kesalahan Pemberian Obat Injeksi
39
(ISMP)10,20. Peneliti mengambil kesimpulan pelatihan patient safety dan komunikasi S-BAR tidak efektif menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi berdasarkan prinsip benar dokumentasi. Simpulan dan Saran Simpulan 1. J u m l a h p e r s e n t a s e k e j a d i a n k e s a l a h a n pemberian obat injeksi sebelum pelatihan patient safety: komunikasi S-BAR di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, berdasarkan kesalahan penerapan prinsip 10 benar yaitu pasien 59,4%, rute 18,8%, obat 6,2%, dosis 6,2%, waktu 21,9%, pengkajian 71,9%, informasi 53,1%, kadaluarsa 12,5%, evaluasi 87,5% dan dokumentasi 100%. 2. Jumlah persentase kejadian kesalahan pemberian obat injeksi setelah pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, berdasarkan kesalahan penerapan prinsip 10 benar yaitu pasien 31,2%, rute 6,2%, obat 6,2%, waktu 3,1%, pengkajian 21,9%, informasi 34,4%, kadaluarsa 9,4%, evaluasi 53,1% dan dokumentasi 100%. 3. Adanya efektifitas pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR pada perawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dalam menurunkan kesalahan pemberian obat injeksi berdasarkan prinsip benar pasien, rute, obat, waktu, pengkajian, informasi dan evaluasi. Saran 1. Perawat diharapkan menerapkan komunikasi S-BAR dalam melaksanakan proses asuhan keperawatan. 2. Rumah Sakit diharapkan mempertimbangkan untuk menggunakan prinsip 10 benar dalam pmberian obat. 3. Rumah Sakit diharapkan memberikan pelatihan pada seluruh petugas kesehatan. 4. Peneliti selanjutnya, diharapkan peneliti tidak ikut dalam kegiatan observasi langsung saat pengambilan data sehingga, akan mengurangi bias penelitian.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. Daftar Pustaka 1. DepKes, RI. 2008. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety). ed: 2. Jakarta. 2. World Health Organization & Joint Comission International. 2007. Communication during patient
40
Fatimah & Rosa, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 32-41
14.
hand-overs. Diakses pada tanggal 22 Mei 2013. Dari: http://www.who.int/patientsafety/solutions/ patientsafety/PS-Solution3.pdf. Cahyono. 2008. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran. Yogyakarta: Kanisius. Carolyn, M. & Clancy, M.D. 2006. Medication reconciliation: progress realized, challenges ahead. Diakses pada tanggal 22 Mei 2013. Dari: www.psqh.com/julaug06/ahrq.html. Muhajirin, Fuad, A & Hasanbasri, M 2007. Komunikasi anatar shif di instalasi rawat ianap RSUD dr. H. M. Rabain Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. direkomendasi oleh Distant Learning Resauce Center Magister KMPK UGM. Diakses pada tanggal 8 Februari 2013. Dari: http://lrc-kmpk.ugm.ac.id. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) . (2011). Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Diakses pada tanggal 5 Mei 2013. dari: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_ permenkes/PMK%20No.%201691%20ttg%20 Keselamatan%20Pasien%20Rumah%20Sakit. pdf. Dewi, M. 2012. Pengaruh pelatihan timbang terima pasien terhadap penerapan keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RSUD Raden Mattaher Jambi. Jurnal Health & Sport, Vol. 5, No. 3. Tambayong, J. 2005. Farmakologi untuk keperawatan.Ed: Ester, M. Jakarta: Widya Medika. Berman, A., Snyder, S., Kozier, B. & Erb, G. 2009. Buku ajar praktik keperawatan klinis. ed: 5. Penj: Meiliya, E., Wahyuningsih, E. & Yulianti, D. Ed: Ariani, F. Jakarta: EGC. Potter, P.A. & Perry, A.G. 2009. Fundamental of nursing fundamental keperawatan.trans: Nggie, A.F. & Albar, M. Ed: Hartanti. ed: 7. Jakarta: Salemba Medika. Dempsey,P.A.,& Dempsey,A.D. 2002. Riset keperawatan buku ajar & latihan. ed: 4. Jakarta: EGC. Dempsey,P.A.,& Dempsey,A.D. 2002. Riset keperawatan buku ajar & latihan. ed: 4. Jakarta: EGC. Yani, S. 2012. Evaluasi penerapan pemberian obat secara parenteral dalam menyelenggarakan patient safety di instalaasi rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul. Yogyakarta: Program Pascasarjana Magister Manajemen Rumah Sakit. Yulia, S. 2010. Pengaruh pelatihan keselamatan pasien terhadap pemahaman perawat pelaksana
mengenai penerapan keselamatan pasien di RS Tugu Ibu Depok. Universitas Indonesia. 15. Fitria, C. 2011. Efektivitas pelatihan komunikasi SBAR dalam meningkatkan motivasi dan psikomotor perawat ruang medikal bedah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Yogyakarta: Program Magister Manajemen Rumah Sakit. 16. Notoatmodjo, S. 2009. Metodologi Pendidikan Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 17. Iqbal, M. & Simanjuntak, K.M.M. 2004. Solusi jitu bagi pengusaha kecil dan menengah pedoman
18. 19.
20.
21.
menjalankan usaha. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Umar, H. 2002. Evaluasi kinerja perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hariandjo, M.T.C. & Ladiwati, Y. 2002. Manajemen sumber daya manusia. Ed: Hardiwati, Y. Jakarta: PT. Grasindo. Institute of medicine (IOM). 2012. Health IT and patient safety building safer sysyems for better care. Wangsington DC: The National Academies. Robbins, P.S., & Judge, T.A. (2008). Perilaku organisasi. ed:12. Jakarta: Salemba Medika.
Efektivitas Pelatihan Patient Safety; Komunikasi S-BAR Pada Perawat dalam Menurunkan Kesalahan Pemberian Obat Injeksi
41
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Surveillance Kejadian Phlebitis pada Pemasangan Kateter Intravena pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih Wahyu Rizky1, Supriyatiningsih2 1, 2
Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak Kejadian phlebitis menjadi indikator mutu pelayanan minimal rumah sakit dengan standar kejadian ≤1.5%. Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih masih tinggi berkisar antara 10% s/d 16%. Angka kejadian phlebitis tertinggi pada bulan April sebesar 16%. Surveillance adalah suatu kegiatan yang penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi dan praktek-praktek pengendalian infeksi. Penelitian observasional dengan pendekatan descriptive analitik non-eksperimental menggunakan rancangan penelitian kuantitatif dengan pendekatan kohort prospektif bertujuan untuk mengetahui angka kejadian phlebitis pemasangan kateter intravena, mengetahui faktor pendukung penyebab terjadinya phlebitis pemasangan kateter intravena, dan mengetahui jenis kuman penyebab terjadinya phlebitis pada pasien rawat inap di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2013 di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Populasi adalah seluruh pasien rawat inap yang terpasang kateter intravena. Besar sampel yang didapatkan sebanyak 17 orang yang mengalami phlebitis. Dari hasil penelitian didapatkan persentase angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabmulih pada bulan Juni 2013 adalah sebesar 333.33%. Angka kejadian phlebitis banyak terjadi di usia 31 - 50 tahun yaitu sebesar 41.2%. Angka kejadian phlebitis banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 64.7%. Jenis mikroorganisme yang ditemukan pada penderita phlebitis, yaitu: staphylococcus, E coli dan staphylococcus aureus. Faktor pendukung yang dapat menimbulkan terjadinya phlebitis, yaitu: jenis cairan yang digunakan, jenis kuman terutama jenis kuman gram positif, dan prinsip sterilisasi pemasangan terapi intravena oleh petugas kesehatan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih pada bulan juni 2013 sebesar 333.33 % jauh lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu ≤1.5%. Kata Kunci: Surveillance - Pemasangan Kateter Intravena - Phlebitis
Surveillance Incidence of Phlebitis on Intravenous Procedure for Hospitalized Patient at Ar. Bunda Prabumulih Hospital Abstract Incidence of phlebitis is an indicator of the quality of hospital services with minimal rate of ≤1.5% standard. The incidence of phlebitis in Hospital AR. Bunda Prabumulih is still high ranging from 10% to 16%. Highest incidence of phlebitis is in April amounted to 16%. Surveillance is an important activity for the planning, implementation, evaluation and infection control practices. This was an observational study with a descriptive analytic approach, while for non-experimental research design was a prospective cohort quantitative approach. The aim was to know the incidence of intravenous catheter phlebitis, knowing the factors supporting the cause of intravenous catheter phlebitis, and to understand what kind of germs that cause the occurrence of phlebitis in patients hospitalized in AR. Bunda Prabumulih Hospital. Large samples obtained were 17 people who had phlebitis. From the results, the percentage of incidence of phlebitis in Hospital AR. Bunda Prabmulih in June 2013 amounted to 333.33‰. The incidence of phlebitis was happeningmostly in age of 31 - 50 years at 41.2%. The phlebitis occured in women at 64.7%. Types of microorganisms found in phlebitis patients, namely: staphylococcus, E.coli and staphylococcus aureus. Factors which may cause the occurrence of phlebitis were the type of fluid used, types of bacteria, especially species of gram-positive bacteria, and the principle of sterilization during intravenous procedures by health workers. Additionaly, The incidence of phlebitis in Hospital AR. Bunda Prabumulih in June 2013 amounted to 333.33‰ much larger than the standard set by the Depkes RI is ≤1.5%.
42
Rizky & Supriyatiningsih, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 42-49
Keywords: Surveillance - Installation of Intravenous Catheter - Phlebitis Info Artikel: Artikel dikirim pada 02 Desember 2013 Artikel diterima pada 02 Desember 2013
Pendahuluan Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih merupakan salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kota Prabumulih. Persaingan ketat antar rumah sakit yang ada di Kota Prabumulih saat ini, mengharuskan setiap manajemen rumah sakit untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit khususnya keselamatan pasien rawat inap yang baik sehingga bisa memenangkan persaingan. Hal ini didukung oleh adanya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia No. 1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang keselamatan pasien (Patient safety) di rumah sakit dan salah satu sasarannya, yaitu: pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan yang dijelaskan bab IV pasal 8.1 Tabel 1. Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih tahun 2010 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Jumlah pasien yang di pasang infus 122 175 199 188 219 195 163 167 236 130 184 160
Jumlah pasien phlebitis 12 22 23 30 23 26 23 25 23 16 18 18
% phlebitis 10 % 13 % 12 % 16 % 11 % 13 % 14 % 15 % 10 % 12 % 10 % 11 %
Sumber: Data Primer
Angka kejadian phlebitis turun naik tetapi pada bulan April 2010 jumlah pasien yang phlebitis sebesar 16%, angka ini lebih besar dari bulan yang lainnya. Penilaian phlebitis dilakukan dengan melihat tandatanda kejadian phlebitis pada pasien seperti terasa nyeri, panas, kemerah-merahan dan terdapatnya edema (bengkak) pada permukaan kulit, dengan metode perawatan infus yang sama. pada tahun 2011 dan 2012 sudah dilakukan surveillance tetapi data yang didapat masih berupa data mentah dan belum dihitung secara komputerisasi. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian ini tentang
surveillance kejadian phlebitis pada pemasangan kateter intravena pada pasien rawat inap di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut dan dengan memperlihatkan fakta-fakta yang ada dapat dirumuskan pertanyaan permasalahan, yaitu: a. Berapakah angka kejadian phlebitis pada pemasangan kateter intravena pada pasien rawat inap di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih? b. Apakah faktor pendukung penyebab terjadinya phlebitis pada pemasangan kateter intravena pada pasien rawat inap di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih? c. Apakah jenis kuman penyebab terjadinya phlebitis pada pasien rawat inap di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih? Bahan dan Metode Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan descriptive analitik non-eksperimental sedangkan untuk rancangan penelitiannya adalah kuantitatif dengan pendekatan kohort prospektif .2 Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah pasien rawat inap yang menggunakan kateter intravena di ruang perawatan Ibnu Sina (bedah), Musdalifah (penyakit dalam), Al-Warda (ruang perawatan klas III dewasa), dan Al-Wildan (ruang perawatan anak) Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Kriteria Inklusi: a. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan b. Pasien rawat inap yang menggunakan kateter intravena di ruang perawatan Ibnu Sina (bedah), Musdalifah (penyakit dalam), Al-Warda (ruang perawatan klas III dewasa), dan Al-Wildan (ruang perawatan anak) Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. c. Pasien bersedia menjadi responden. Sedangakan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien rawat inap yang tidak menggunakan kateter intravena di ruang perawatan Ibnu Sina (bedah), Musdalifah (penyakit dalam), Al-Warda
Surveillance Kejadian Phlebitis Pada Pemasangan Kateter Intravena
43
(ruang perawatan klas III dewasa), dan Al-Wildan (ruang perawatan anak) Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Populasi, Sampel, dan Sampling Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap yang menggunakan kateter intravena di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Sampel penelitian ini menggunakan accidental sampling yaitu pengambilan sampel di lakukan dengan kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian.3
2
3
4
5
Definisi Operasional Kateter intravena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien. Phlebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Pengukuran untuk variabel phlebitis menggunakan lembar observasi untuk screening sedangkan untuk menilai skor visual untuk phlebitis menggunakan VIP score (Visual Infusion Phlebitis Score) yang telah dikembangkan oleh Andrew Jackson. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa lembar observasi untuk screening sampel pada hari pemasangan infus dengan memberi jawaban pada kolom pengamatan sesuai hasil pengamatan dan lembar observasi penilaian untuk melihat kejadian phlebitis mulai hari pertama pemasangan infus sampai dengan infus dilepas atau pasien pindah ruangan atau pulang atau pasian meninggal, dengan memberi tanda pada kolom “ya” atau “tidak” sesuai kriteria yang telah ditentukan dan memberi jawaban pada kolom pengamatan sesuai hasil pengamatan dan catatan keperawatan pada hari tersebut. Untuk menilai skor visual untuk phlebitis peneliti menggunakan VIP score (Visual Infusion Phlebitis Score) yang telah dikembangkan oleh Andrew Jackson. Tabel 1. Visual Infusion Phlebitis Score SKOR 0 1
44
KEADAAN AREA PENUSUKAN Tempat suntikan tampak sehat Salah satu dari berikut jelas: a. Nyeri area penusukan b. Adanya eritema di area penusukan
PENILAIAN Tidak ada tanda phlebitis Mungkin tanda dini phlebitis
Dua dari berikut jelas: a. Nyeri penusukan b. Eritema c. Pembengkakan Semua dari berikut jelas: a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema c. Indurasi Semua dari berikut jelas: a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema c. Indurasi d. Venous chord teraba Semua dari berikut jelas: a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema c. Venous chourd teraba d. Demam
Stadium dini phlebitis Stadium moderat phlebitis Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis Stadium Lanjut thrombophlebitis
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap yang terpasang kateter intravena yang mengalami phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih dengan jumlah 17 dari 191 total subjek penelitian. Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar responden berada dalam kelompok usia 31 - 50 tahun yaitu sebesar 41.2% dan jumlah responden paling sedikit pada kelompok usia ≤10 tahun yaitu sebesar 11.8%. Dalam penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 64.7%, sedangkan untuk responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 35.3%. Jenis cairan Otsu RL yang dapat paling banyak menimbulkan phlebitis yaitu sebesar 29.4%, sedangkan untuk jenis cairan yang paling sedikit menimbulkan phlebitis yaitu jenis cairan Asering dan KA-EN 3A masing-masing sebesar 5.9%. Ukuran kanula 22G paling banyak menimbulkan phlebitis yaitu sebesar 76.4%, sedangkan untuk ukuran kanula yang paling sedikit menimbulkan phlebitis yaitu ukuran kanula 18G dan 20G masing-masing sebesar 5.9%. Sebagian besar tempat penusukannya di vena yaitu sebesar 100.0%. Sebagian besar gejala klinis phlebitis ditandai dengan nyeri atau panas ≥38°C ditempat penusukan yaitu sebesar 64.7%, sedangkan gejala klinis yang paling sedikit atau tidak ada yaitu garis kemerahan di saluran vena sebesar 0.0%. Sebagian besar diagnosa medis dispepsia yang menimbulakan phlebitis ditempat penusukan yaitu sebesar 17.6%, sedangkan diagnosa medis yang paling sedikit yaitu cephalgia, diabetes mellitus, diarrhea, kelenjar tiroid, post partum, dan PEB (Pre Eklamsia Berat) masing-masing sebesar 5.9%
Rizky & Supriyatiningsih, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 42-49
Tabel 2. Karakteristik pasien berdasarkan kelompok usia yang mengalami phlebitis pada bulan Juni 2013
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Usia Percent Valid Percent ≤10 tahun 11.8 11.8 11 - 30 tahun 29.4 29.4 31 - 50 tahun 41.2 41.2 51 - 70 tahun 17.6 17.6 Total 100.0 100.0 Jenis kelamin Frequency Percent Valid Percent Laki-laki 6 35.3 35.3 Perempuan 11 64.7 64.7 Total 17 100.0 100.0 Jenis cairan Frequency Percent Valid Percent Otsu RL 5 29.4 29.4 RL 3 17.6 17.6 Otsu D5 3 17.6 17.6 Wida RL 2 11.8 11.8 Asering 1 5.9 5.9 KA-EN 3A 1 5.9 5.9 KA-EN 3B 2 11.8 11.8 Total 17 100.0 100.0 Ukuran kanula Frequency Percent Valid Percent 18 G 1 5.9 5.9 20 G 1 5.9 5.9 22 G 13 76.4 76.4 24 G 2 11.8 11.8 Total 17 100.0 100.0 Tempat penusukan Frequency Percent Valid Percent Vena 17 100.0 100.0 Dll 0 0.0 0.0 Total 17 100.0 100.0 Gejala klinis phlebitis Frequency Percent Nyeri atau panas ≥38°C 11 64.7 Kemerahan 4 23.5 Edema (bengkak) 2 11.8 Garis kemerahan 0 0.0 Total 17 100.0 Diagnosa medis Frequency Percent Cephalgia 1 5.9 Diabetes mellitus 1 5.9 Diarrhea 1 5.9 Dispepsia 3 17.6 Dispnue 2 11.8 GEA (Gastroenteritis Akut) 2 11.8 Hipertensi 2 11.8 Kelenjar tiroid 1 5.9 Post partum 1 5.9 PEB (Pre Eklamsia Berat) 1 5.9 Tiphus/tipes 2 11.8 Total 17 100.0 Frequency 2 5 7 3 17
Cumulative Percent 11.8 41.2 82.4 100.0
Cumulative Percent 35.3 100.0
Cumulative Percent 29.4 47.0 64.6 76.4 82.3 88.2 100
Cumulative Percent 5.9 11.8 88.2 100.0
Cumulative Percent 100.0
Cumulative Percent 64.7 88.2 100.0
Cumulative Percent 5.9 11.8 17.7 35.3 47.1 58.9 70.7 76.6 82.5 88.4 100.0
Sumber: Data primer
Surveillance Kejadian Phlebitis Pada Pemasangan Kateter Intravena
45
Surveillance angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih dilakukan di empat ruang perawatan, yaitu: ruang perawatan Ibnu Sina (bedah), Musdalifah (penyakit dalam), Al-Warda (ruang perawatan klas III dewasa), dan Al-Wildan (ruang perawatan anak). Analisis data penelitian ini menggunakan rumus proporsi sebagai berikut:
X 1000 Berikut adalah analisis data kejadian phlebitis di masing-masing ruang perawatan Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Tabel 3. Angka kejadian phlebitis di masing-masing ruang perawatan Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih pada bulan Juni 2013 Ruang perawatan Ibnu Sina (bedah) Musdalifah (penyakit dalam) Al-Warda (ruang perawatan klas III dewasa) Al-Wildan (ruang perawatan anak)
Angka kejadian phlebitis n f ‰ 88 7 333.33 52 5 333.33 26
3
333.33
25
2
333.33
Sumber: Data primer
Tabel 3. menunjukkan angka kejadian phlebitis yang paling banyak di ruang perawatan ibnu sina (bedah) yaitu sebanyak 7 pasien. Sedangkan angka kejadian phlebitis yang paling sedikit diruang perawatan al-wildan (ruang perawatan anak) sebanyak 2 pasien. Tabel 4. Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih pada bulan Juni 2013 Angka kejadian phlebitis Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih
n
f
‰
191
17
333.33
Sumber: Data primer
Tabel 4. menunjukkan angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda pada bulan Juni 2013 yaitu 333.33‰. Setelah dilakukan observasi selama 30 hari dari 17 pasien yang terkena phlebitis, ada lima pasien yang di lakukan kultur pada bagian yang terlihat tanda dan gejala phlebitis. Hasil dari kultur kuman yang sering dijumpai pada pemasangan kateter intravena adalah staphylococcus, E coli, dan staphylococcus aureus. 46
Pembahasan Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden phlebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula yang dimasukkan, pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan.4 Daya tahan tubuh pada usia lanjut menjadi kurang efektif. Usia yang sudah lanjut perubahanperubahan dalam sistem kekebalan tubuh terjadi terutama pada sel T-limfosit sebagai hasil dari penuaan. Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada usia lanjut (>60 tahun) vena akan menjadi rapuh, tidak elastis, dan mudah hilang atau kolaps, pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat mengakibatkan kateter intravena bergeser sehingga akan menyebabkan phlebitis.5 Penelitian yang dilakukan oleh Darmanto (2008, hlm. 38) yang berjudul hubungan pemasangan infus dengan kejadian phlebitis pada pasien berbagai tingkat usia diruang Cempaka RSUD Sunan Kalijaga Demak diperoleh dari 33 responden, usia 31 – 40 tahun yang mengalami phlebitis sebesar 12.1% dan sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati (2010) hasil penelitiannya menyebutkan bahwa umur responden yang lebih banyak terkena phlebitis adalah usia antara 41 - 60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara usia responden dengan kejadian phlebitis karena phlebitis dapat terjadi pada siapa saja tanpa batas usia, walaupun kejadian phlebitis sering terjadi pada pasien yang berusia diatas 40 tahun.6 Berdasarkan hasil karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, kejadian phlebitis lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 64.7%, sedangkan untuk responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 35.3%. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Campbell (1998) yang diperoleh hasil bahwa pasien yang mengalami phlebitis lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 58% dibandingkan dengan berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dikemukakan juga oleh Tully, et al. (1981); Tiger, et al. (1993); Maki and Ringer (1991); Dibbel, et al. (1991) dalam Campbell (1998) menemukan bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap kejadian phlebitis, jenis kelamin
Rizky & Supriyatiningsih, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 42-49
perempuan meningkatkan resiko terjadinya phlebitis. Hal ini mungkin terjadi karena pada pasien perempuan akan cenderung mobilisasi tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal inilah yang meningkatkan resiko phlebitis lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2010) menyebutkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar mengalami phlebitis dibandingkan dengan yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 40.50% dan perempuan hanya sebesar 35.20%. Hasil ini menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian phlebitis. Perempuan yang menggunakan kontrasepsi kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron, oral, dan suntikan) mudah untuk mengalami.4 Selain itu struktur kulit laki-laki dan perempuan pada umumnya sama, dari anatomi kulit manusia yang terdiri dari epidermis, dermis, dan hipodermis dan organ didalamnya juga sama yang membedakannya hanya hormonal. Pada laki-laki terdapat hormon androgen yang berfungsi untuk merangsang kelenjar minyak lebih aktif sedangkan pada wanita tidak mempunyai hormon androgen.7 Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan. pH darah normal terletak antara 7.35 – 7.45 dan cenderung basa. pH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7.00 yang berarti netral sesuai dengan pH darah normal. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstosa dalam sterilisai autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid bersifat flebitogenik. Osmolalitas dapat diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H2O. Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 - 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isotonik
akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi.5 Distribusi responden berdasarkan ukuran kanula yang menimbulkan phlebitis. Penelitian ini terlihat bahwa ukuran kanula 22G paling banyak menimbulkan phlebitis yaitu sebesar 76.4%, sedangkan untuk ukuran kanula yang paling sedikit menimbulkan phlebitis yaitu ukuran kanula 18G dan 20G masingmasing sebesar 5.9%. Ukuran kanula nomor 16G biasanya digunakan untuk bedah mayor atau trauma, ukuran kanula nomor 18G digunakan untuk transfusi darah. Ukuran kanula nomor 20G – 22G digunakan untuk cairan intravena dan kebanyakan pasien, tetapi ukuran kanula nomor 22G digunakan untuk anakanak dan orang dewasa sedangkan untuk ukuran kanula nomor 24G digunakan pada pasien pediatrik dan neonatus.8 Ukuran kateter dengan ukuran jarum yang cukup besar dapat menimbulkan phlebitis dikarenakan adanya persinggungan pembuluh darah secara berlebihan.9 Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi intravena. Vena di daerah ekstermitas dipilih sebagai lokasi perifer dan pada mulanya merupakan tempat satu-satunya yang digunakan perawat. Terdapat beberapa jalur penusukan yang biasa dilakukan oleh perawat, yaitu: lengan, punggung tangan dan punggung kaki. Penggunaan vena didaerah kaki biasanya digunakan pada pasien anak-anak tetapi pada orang dewasa juga dapat digunakan pada kasus-kasus tertentu seperti resiko tromboemboli. Vena-vena yang biasa dihindari adalah vena dibawah infiltrasi vena sebelumnya atau dibawah area yang terkena phlebitis, vena yang sklerotik atau bertrombus, lengan dengan pirai arteriovena atau vistula, lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit, lengan yang mengalami mastektomi. Idealnya, kedua lengan dan tangan harus di inspeksi dengan cermat sebelum melakukan fungsi vena. Lokasi dipilih, lokasi yang tidak mengganggu mobilisai fisik. Lokasi yang dipilih adalah yang paling distal dari lengan dan tangan.10 Distribusi responden berdasarkan gejala klinis yang menimbulkan phlebitis. Penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar gejala klinis phlebitis di tandai dengan nyeri atau panas ≥38°C ditempat penusukan yaitu sebesar 64.7%, sedangkan gejala klinis yang paling sedikit atau tidak ada yaitu garis kemerahan di saluran vena sebesar 0.0%. Hal tersebut menunjukkan mungkin tanda dini terjadinya phlebitis dengan skor visual 1. Hal ini sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2011) yang berjudul hubungan antara lokasi penusukan infus dan tingkat usia dengan kejadian phlebitis diruang rawat inap
Surveillance Kejadian Phlebitis Pada Pemasangan Kateter Intravena
47
dewasa RSUD Tugurejo Semarang yang hasil penelitiannya bahwa untuk skala phlebitis yang paling sering muncul adalah skala 2 sebanyak 21.4%, yaitu dengan tanda dan gejala adanya nyeri penusukan, eritema, dan pembengkakan. Dalam hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Aryani, et al., (2009, hal. 129) kejadian phlebitis dengan skala 2 memiliki tanda gejala nyeri penusukan, eritema, dan pembengkakan. Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah. Penilaian skala skor phlebitis dipengaruhi oleh tanggung jawab perawat dalam melakukan pendeteksian secara dini perkembangan phlebitis di setiap rumah sakit. Distribusi responden berdasarkan diagnosa medis yang menimbulkan phlebitis. Penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar diagnosa medis dispepsia yang menimbulakan phlebitis ditempat penusukan yaitu sebesar 17.6%, sedangkan diagnosa medis yang paling sedikit yaitu cephalgia, diabetes mellitus, diarrhea, kelenjar tiroid, post partum, dan PEB (Pre Eklamsia Berat) masing-masing sebesar 5.9%. Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis, misalnya pada pasien Diabetes Millitus (DM) yang mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi.11 Angka kejadian phlebitis yang paling banyak diruang perawatan ibnu sina (bedah) yaitu sebanyak 7 pasien. Sedangkan angka kejadian phlebitis yang paling sedikit diruang perawatan al-wildan (ruang perawatan anak) sebanyak 2 pasien. Hal menunjukkan bahwa pasien dengan kasus bedah biasanya membutuhkan jenis obat yang banyak dan jenis cairan yang beraneka ragam yang kemungkinan sebagai faktor pendukung terjadinya phlebitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih pada bulan Juni 2013 menunjukkan angka kejadian phlebitis yaitu 333.33‰. Angka tersebut jauh lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu ≤1.5%. Sementara angka kejadian phlebitis pada tahun 2010 rata-rata sebesar 13%. Perbedaan angka dalam penelitian dengan angka resmi yang dilaporkan rumah sakit dapat disebabkan karena adanya perbedaan rumus yang digunakan dalam penilaian terhadap kejadian phlebitis. Rumus penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Sementara rumus yang digunakan oleh rumah sakit adalah x 100% Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Pujasari dan Sumarwati (2002) yang menyatakan bahwa angka kejadian phlebitis di Indonesia umumnya berkisar 10%. Pendapat yang berbeda juga yang dikemukakan oleh Champbell (1998) yang mengatakan angka kejadian phlebitis berkisar antara 20 – 80%. Sementara hasil yang dilakukan oleh Gayatri dan Handiyani (2008) mendapatkan kejadian phlebitis sebesar 35.8%. Berdasarkan hasil kultur kuman dari 17 pasien yang terkena phlebitis, jenis kuman yang sering dijumpai pada pemasangan kateter intravena adalah staphylococcus, E coli dan staphylococcus aureus. Kebanyakan infeksi terkait dengan nonepidemic perfusi disebabkan selama atau setelah insersi dikarenakan adanya kontamiasi kateter oleh organisme dari kulit pasien sendiri. Bakteri gram positif seperti staphylococus aureus yang koagulase staphylococus termasuk staphylococus epidermis para enterecocus dan spesies candida bertanggung jawab besar dalam meningkatkan proporsi infeksi yang berhubungan dengan infus.4 Berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter-related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan kateter infus adalah staphylococus dan bakteri gram negatif, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri, antara lain: 1. Tehnik cuci tangan yang tidak baik. 2. Te h n i k a s e p t i k y a n g k u r a n g p a d a s a a t penusukan. 3. Tehnik pemasangan kateter yang buruk. 4. Pemasangan yang terlalu lama. Prinsip pemasangan terapi intravena (infus) memperhatikan prinsip sterilisasi, hal ini dilakukan untuk mencegah kontaminasi jarum intravena (infus). Simpulan
X 1000
48
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa angka kejadian phlebitis di Rumah
Rizky & Supriyatiningsih, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 1, Tahun 2014, 42-49
Sakit AR. Bunda Prabumulih pada bulan juni 2013 sebesar 333.33°/ jauh lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu ≤1.5%, angka kejadian phlebitis banyak terjadi di usia 31 - 50 tahun yaitu sebesar 41.2% dikarenakan usia yang sudah lanjut adanya perubahan-perubahan dalam sistem kekebalan tubuh, terutama pada sel T-limfosit sebagai hasil dari penuaan, dan angka kejadian phlebitis banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 64.7%. Hal ini mungkin terjadi karena pada pasien perempuan akan cenderung mobilisasi tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal inilah yang meningkatkan resiko phlebitis lebih tinggi pada perempuan dibanding lakilaki. Selain itu disebabkan karena perempuan yang menggunakan kontrasepsi kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron, oral, dan suntikan) mudah untuk mengalami phlebitis. Daftar Pustaka 1. Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia No. 1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang keselamatan pasien (Patient safety) di rumah sakit 2. Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2010). Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: CV Sagung seto.
3. Smeltzer & Bare, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &Suddarth. Edisi 8.Jakarta: EGC. 4. Brunnert & Suddart, (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi.8. Vol.1. Jakarta, EGC. 5. Hankins, Lansway, dkk, (2001). Infusion Terapi In Clinical Practice. Philadelphia, W.B Saunders Company. 6. Bakta, M (2007). Trombosis dan Usia Lanjut, Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran RS Sanglah Denpasar. ejournal.unud.ac.id/.../6_ thrombosis%20dan20usia%lanjut.pdf diambil 28 Juli 2013. 7. Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba. 8. Rocca, JC dan Otto, SE. (1998). Terapi Intravena, Alih Bahasa Aniek Maryuni, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 9. Hadaway, L.C. (2001). You Role in Preventing Complications of Peripheral I.V Therapy. Springhouse Corporation. 10. Sudijono, A. (2010). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 11. Potter, P.A & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. EGC, Jakarta.
Surveillance Kejadian Phlebitis Pada Pemasangan Kateter Intravena
49