KORELASI EKSTRAK BIJI DAN KULIT BIJI MIMBA SEBAGAI ANTI JAMUR ALTERNARIA PORRI Satriyo Krido Wahono, Khoirun Nisa, Ema Damayanti, Anastasia Wheni I., Roni Maryana Staff Peneliti UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia – LIPI Desa Gading Kecamatan Playen Kab. Gunungkidul – Yogyakarta E-mail :
[email protected] Telp/Fax : (0274) 392570
Abstrak Tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) berpotensi sebagai biopestisida karena memiliki senyawa bioaktif azadirachtin. Bagian tanaman mimba yang banyak mengandung azadirachtin adalah bagian biji mimba, sehingga dapat diekstrak sebagai anti jamur Alternaria porri. Proses ekstraksi hanya menggunakan bagian dalam biji dan memisahkan kulit bijinya, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang potensi ekstrak kulit biji mimba serta korelasi antara ekstrak biji dan kulit biji mimba sebagai anti jamur A. porri. Penelitian dilakukan melalui dua tahap yaitu proses ekstraksi dengan metode soxhlet menggunakan pelarut n-hexana, klorofom dan etanol, kemudian dilanjutkan uji invitro menggunakan ekstrak konsentrasi 5000 ppm dengan parameter pertumbuhan diameter koloni jamur. Berdasarkan perhitungan rendemen yang diperoleh dari proses ekstraksi metode soxhlet, diketahui tingkat efisiensi kulit biji mimba sangat rendah dibandingkan dengan biji mimba sebagai penghasil senyawa bioaktif anti jamur A. porri dengan nilai perbandingan 14,14 : 1 untuk n-hexana, 7,73 : 1 untuk klorofom dan 11,97 : 1 untuk etanol. Berdasarkan uji invitro dengan parameter pertumbuhan diameter jamur dan uji statistika One-Way Anova dilanjutkan dengan Duncan Test dengan derajat kepercayaan 95%, diketahui bahwa ekstrak kulit biji mimba memiliki potensi sebagai anti jamur A. porri dan mempunyai tingkat efektifitas daya hambat A. porri sama dengan ekstrak biji mimba untuk masing-masing pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda dengan nilai perbandingan 1,94 : 1 untuk n-hexana, 1,11 : 1 untuk klorofom dan 1,35 : 1 untuk etanol. Kata Kunci : kulit biji mimba, biji mimba, ekstrak, Alternaria porri Correlation Of Neem Seed Kernel Extract and Seed Shell Extract As Anti Fungus Alternaria porri Abstract Neem tree (Azadirachta indica A. Juss) have potent as biopesticide because it contain bioactive compound azadirachtin. Seeds is part of neem tree that contain the highest azadirachtin, so it can be extracted as anti fungus Alternari porri. Extraction process use seed kernel only and separate from seedshell before, so research about the potent of seedshell extract and correlation between neem seed kernel and seedshell extract as anti fungus A. porri is important to do. The research through two steps, the first step is extraction with soxhlet methode using n-hexane, chloroform and etanol as solvent, the second step is in-vitro test using 5000 ppm extract concentration with colony diameter growth of fungi as parameter. Based on calculation of yields from soxhlet extraction methode, showed that efficiency level of seedshell is poorly less than
seed kernel as bioactive compounds producer for anti fungus A.porri with comparison value 14,14 : 1 for n-hexane, 7,73 : 1 for chloroform and 11,97 : 1 for ethanol. Based on invitro test with colony diameter growth of fungi as parameter and statistical test using One-way Anova continued with Duncan Test at confidence degree 95%, showed that seedshell have potent as anti fungus A. porri and have same effectivity level with seed kernel for each solvent with different polarity with comparison value 1,94 : 1 for n-hexane, 1,11 : 1 for chloroform and 1,35 : 1 for ethanol. Keywords : seed shell, seed kernel, extract, Alternaria porri PENDAHULUAN Wacana tentang kesehatan dan lingkungan hidup merupakan salah satu isu yang sedang berkembang di dunia saat ini. Salah satunya adalah tentang penggunaan senyawa kimia sebagai pestisida dalam bidang pertanian untuk menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman. Penggunaan pestisida tersebut memiliki dampak positif mampu meningkatkan kuantitas produksi hasil-hasil pertanian karena berkurangnya serangan hama dan penyakit, namun di sisi lain penggunaan pestisida kimia tersebut dapat menurunkan kualitas produk yang dihasilkan karena adanya residu yang tertinggal dalam produk pertanian sehingga dapat berpengaruh bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Selain residu pada produk pertanian yang dikonsumsi tersebut, juga ada residu pestisida kimia yang tertinggal dalam ekosistem pertanian tersebut yang sulit terdegradasi menjadi senyawa yang ramah lingkungan sehingga dapat terakumulasi dan merusak ekosistem yang ada. Oleh karena itulah peran pestisida kimia tersebut sudah mulai dikurangi dengan diketemukannya senyawa-senyawa alami yang mempunyai kemampuan sama dengan pestisida kimia dan dikenal dengan nama “Biopestisida”. Terdapat berbagai macam tanaman yang mengandung senyawa-senyawa biopestisida, salah satunya adalah tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss). Tanaman ini berasal dari kawasan Asia Selatan dan saat ini telah tersebar hingga daerah Asia Tenggara serta Afrika Timur, sedangkan di Indonesia tanaman ini banyak dijumpai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Lombok (Sukrasno, 2004). Tanaman ini memiliki banyak kandungan senyawa bioaktif dan yang terbesar adalah golongan triterpenoid, diantaranya yaitu azadirachtin, meliantriol, salanin dan nimbin (Odhiambo, 1989; Ruskin, 1992). Biji mimba memiliki kandungan utama selulosa, amilum, protein serta trigliserida. Bagian ini juga mengandung senyawa aktif triterpenoids, sulfur, fenol, flavonoid dan senyawa-senyawa lain yang belum teridentifikasi (Morgan, 2002). Dari beberapa senyawa bioaktif dalam tanaman mimba, azadirachtin merupakan yang telah terbukti berpotensi digunakan sebagai pestisida alami, senyawa ini banyak terdapat pada bagian biji mimba dan sedikit pada bagian tanaman yang lain (Schmutterer, 1995). Ekstrak biji mimba telah terbukti mampu berperan sebagai fungisida, diantaranya pada tanaman tomat, terung dan padi, untuk Rhizoctonia solani jamur yang menyerang tanaman kentang, Colletotrichum sp dan Alternaria tenuis jamur yang menyerang cabai, Curvularia tuberculata jamur yang menyerang kubis(Sukrasno dan Tim Lentera, 2003), dan Alternaria porri jamur yang menyerang tanaman bawang merah yang menyebabkan penyakit bercak ungu (Indrianingsih dkk, 2006). Namun dalam proses pengambilan ekstrak biji mimba tersebut, biji diperoleh dengan dipisahkan terlebih dahulu dari kulit bijinya, seperti yang terjadi pada penelitian penghambatan A. porri pada tanaman bawang merah. Padahal baik biji mimba atau kulit biji mimba
2
mempunyai potensi sebagai insektisida (Schmutterer, 1995), sehingga dapat diperoleh hipotesis bahwa kulit biji mimba juga mempunyai potensi sebagai fungisida bagi A. porri pada tanaman bawang merah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kulit biji mimba sebagai fungisida serta untuk mengetahui korelasi potensi fungisida antara ekstrak biji dan kulit biji mimba khususnya bagi A. porri pada tanaman bawang merah. METODOLOGI Alat dan Bahan Bahan Biji mimba yang berasal dari Balai Proteksi Tanaman Obat Pasirjati Ujungberung, Bandung) yang akan dipergunakan bagian biji dan kulit bijinya, Jamur Alternaria porri yang diisolasi dari tanaman bawang merah di lahan pasir Sanden, Kabupaten Bantul dan diperbanyak di laboratorium UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta, Bahan-bahan kimia berkualitas analitik yaitu n-heksana (C6 H14), chloroform (CHCl3), etanol (C2H5OH), akuades, PDA (Potato Dextrose Agar), Dimetil Sulfoksida, Silika gel GF254, serium (IV) sulfat, etil asetat. Alat Satu set alat ekstraktor Soxhlet, Autoclave, mikropipet 1000 dan 5000 µL, Rotavapor 2 liter, Desikator, Inkubator, Timbangan digital, Jangka sorong, Kertas saring, Laminar air flow, cawan petri, bor gabus, alat-alat gelas. Cara Kerja Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu ekstraksi soxhlet untuk mendapatkan ekstrak biji dan kulit biji mimba yang kemudian ekstrak tersebut dipergunakan pada uji invitro jamur A. porri. Uraian tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut : a. Ekstraksi Soxhlet Ditimbang 40 g serbuk biji mimba kering, kemudian dimasukkan ke dalam labu yang berisi 200 ml pelarut, labu dihubungkan dengan kondensor dan dipanaskan dengan hot plate pada titik didih pelarut, titik didih n-hexana : 69°C, titik didih etanol : 79°C, titik didih kloroform : 62°C, refluks dilakukan selama 5 jam. Larutan hasil refluks dipekatkan dengan rotary evaporator dan hasil ekstrak dipanaskan di oven suhu 40°C, didinginkan di desikator dan ditimbang. Untuk kulit biji mimba juga memperoleh perlakuan yang sama dalam proses ekstraksi soxhlet. Perhitungan rendemen dilakukan dengan rumus : Rendemen =
Berat Ekstrak x 100 % Berat Awal Bahan
3
............... (1)
b. Uji Invitro terhadap Jamur A. porri Ditimbang 50 mg ekstrak biji mimba, dilarutkan dengan 0,2 ml DMSO dan dimasukkan dalam cawan petri yang berisi 9,8 mL PDA sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 5000 ppm. Campuran dikocok dan didiamkan sampai memadat. Miselium jamur A. porri dilubangi dengan bor gabus ukuran 6,6 mm kemudian diinokulasi di tengah media PDA. Setiap sampel ekstrak dilakukan pengulangan tiga kali. Pengukuran pertumbuhan jamur dilakukan dari waktu inokulasi (Ho) sampai hari ke-7 (H7). Untuk kulit biji mimba juga memperoleh perlakuan yang sama dalam proses uji invitro terhadap jamur A. porri. Persentasi penghambatan pertumbuhan jamur dihitung dengan rumus : Persen Hambatan =
( Dc − Di ) x 100 % Dc
............... (2)
Dc : diameter jamur kontrol (DMSO) Di : diameter jamur sampel (ekstrak) (Nwachukwu dan Umechuruba, 2001) HASIL DAN PEMBAHASAN Proses ekstraksi biji mimba dan kulit biji mimba menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya yaitu n-hexana (non polar), kloroform (semi polar), dan etanol (polar). Rendemen hasil ekstraksi tersebut diperoleh dari berat akhir ekstrak yang diperoleh dan berat awal bahan yang diekstrak yang diolah menggunakan persamaan (1), seperti ditampilkan pada tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Rendemen Ekstrak Biji dan Kulit Biji Mimba Rendemen (%) Pelarut
Perbandingan
Ekstrak Kulit Biji
Rendemen
n - Heksana
Ekstrak Biji (Indrianingsih dkk, 2006) 32,53
2,30
14,14 : 1
Kloroform
9,28
1,20
7,73 : 1
Etanol
9,11
0,76
11,97 : 1
Dari tabel 1, diperoleh hasil bahwa rendemen yang paling besar untuk ekstrak biji mimba diperoleh dari pelarut n-heksana, kemudian berturut-turut diikuti oleh kloroform dan etanol, fenomena serupa juga terjadi pada ekstrak kulit biji mimba. Hal tersebut menunjukkan bahwa komposisi senyawa non polar, semi polar dan polar dalam kulit biji mimba sama dengan ekstrak biji mimba dengan komposisi terbesar adalah senyawa non polar karena sifat pelarut yang digunakan adalah mengambil senyawa sesuai dengan sifat kepolarannya. Apabila dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan, maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara rendemen dari ekstrak biji mimba dan rendemen ekstrak kulit biji mimba. Hal ini menunjukkan
4
bahwa tingkat efisiensi kulit biji mimba sangat rendah dibandingkan dengan biji mimba sebagai penghasil senyawa bioaktif anti jamur A.porri. Setiap ekstrak yang diperoleh dari ekstaksi soxhlet tersebut dilakukan uji invitro terhadap jamur A. porri. Hasil uji invitro berupa data persen hambatan yang disajikan seperti pada gambar 1. Pengambilan data tersebut melalui perhitungan diameter koloni jamur setelah perlakuan selama tujuh hari dengan dikurangi diameter kontrol menggunakan DMSO, yang diolah menggunakan persamaan (2).
60
Perbandingan Daya Hambat Ekstrak Biji dan Kulit Biji Mimba Terhadap Jamur A. porri 54.03
50 Hambatan (%)
41.62
39.90
37.58
40 30
24.28
20 12.51
10 0 n - Hexana
Kloroform
Etanol
Fraksi Pelarut
Kulit Biji
Biji
Grafik 1. Perbandingan Persen Hambatan Ekstrak Biji dan Kulit Biji Mimba terhadap Jamur A. porri Dari grafik 1, dapat diketahui bahwa ekstrak kulit biji mimba yang memiliki persen hambatan terhadap A.porri yang terbesar adalah etanol, kemudian diikuti klorofom dan n-hexana, fenomena yang sama juga terjadi pada ekstrak biji mimba. Hal ini dimungkinkan terjadi karena senyawa bioaktif azadirachtin sebagai senyawa antifungi utama dalam tanaman mimba merupakan senyawa polar (Schumutterer, 1995), sehingga banyak terdapat pada komposisi ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol. Sedangkan pada ekstrak menggunakan pelarut klorofom dan n-hexana tetap memiliki sifat antifungi namun masih di bawah ekstrak dengan pelarut etanol karena terdapat senyawa bioaktif yang lain yaitu meliantriol, salanin, nimbin dan senyawa lain yang belum teridentifikasi (Morgan, 2002). Apabila dilihat dari nilai persen hambatan antara ekstrak kulit biji dan biji mimba dapat dilihat bahwa ekstrak kulit biji lebih rendah hambatannya jika dibandingkan ekstrak biji. Untuk mengetahui adanya signifikansi perbedaan nilai persen hambatan terhadap jamur A. porri antara ekstrak biji dan ekstrak
5
kulit biji mimba, maka uji statistika One-Way Anova dilanjutkan dengan Duncan Test dengan derajat kepercayaan 95%, seperti ditampilkan dalam tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Persen Hambatan Ekstrak Biji dan Kulit Biji Mimba terhadap Jamur A. porri Hambatan (%) Pelarut
Perbandingan
Ekstrak Kulit Biji
Hambatan
n - Heksana
Ekstrak Biji (Indrianingsih dkk, 2006) 24.28 ab
12.51 a
1,94 : 1
Kloroform
41.62 bc
37.58 bc
1,11 : 1
Etanol
54.03 c
39.90 bc
1,35 : 1
Dari tabel 2, dapat diketahui bahwa untuk ekstrak kulit biji mimba terdapat perbedaan yang signifikan apabila menggunakan pelarut n-hexana terhadap pelarut klorofom dan etanol, namun antara klorofom dan etanol tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Sedangkan untuk ekstrak biji mimba, terdapat perbedaan yang signifikan apabila menggunakan pelarut etanol terhadap pelarut klorofom dan n-hexana, namun antara klorofom dan n-hexana tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila ditinjau hubungan antara ekstrak biji dan kulit biji mimba berdasarkan parameter masing-masing pelarut, maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan (tidak beda nyata). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit biji mimba mempunyai efektifitas daya hambat A. porri sama dengan ekstrak biji mimba untuk masing-masing pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstrak kulit biji mimba mempunyai potensi sebagai anti jamur A. porri. Selain itu, ekstrak kulit biji mimba mempunyai korelasi dengan ekstrak biji mimba yaitu mempunyai tingkat efektifitas yang sama sebagai anti jamur A. porri, namun tingkat efisiensi kulit biji mimba sangat rendah dibandingkan dengan biji mimba sebagai penghasil senyawa bioaktif anti jamur A.porri. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung terselesaikannya penulisan ini, khususnya kepada UPT BPPTK LIPI Yogyakarta yang telah memfasilitasi terlaksananya penelitian ini dan Team Mimba LIPI Yogyakarta atas kerjasamanya dalam mewujudkan penulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Indrianingsih, A. W. dkk., 2006, Efektivitas Fraksi N-Heksana, Kloroform Dan Etanol Ekstrak Biji Mimba Sebagai Biopestisida Untuk Jamur Alternaria porri,
6
Prosiding Seminar Nasional Kimia Pengembangan Bahan Kimia Berbasis Alam dalam Mendukung Kemandirian Bangsa, Jurusan Kimia PSa MIPA UNSOED, Purwokerto. Morgan, ED. 2002. The Chemistry of Neem Limonoids. Proceedings of the World Neem Conference May 2001. University of British Columbia, Vancouver. Edited by H.M. Behl, Neem Foundation, Mumbai. Nwachukwu, E. O. dan Umechuruba, C. I., 2001, Antifungal Activities of Some Leaf Exstracts on Seed-Borne Fungi of African Yambean Seeds, Seed Germination and Seeding Emergence, J. Appl, Sci. Environ. Mgt. Vol 5(1) Odhiambo, T. R. 1989. Insect Science and Its Application. The International Journal of Tropical Insect Science. Nairobi, 10 (6). Ruskin, F. R. 1992. Neem a Tree for Solving Global Problems. National Academy Press, Washington D.C. Schmutterer, H., 1995, The Neem Tree, Weinheim: VCH Verlagsgesellschaft mbH. Sukrasno, 2004, Mimba Tanaman Obat Multifungsi, AgroMedia Pustaka, Jakarta. Sukrasno & Tim Lentera. 2003. Mimba, Tanaman Obat Multifungsi. Agromedia Pustaka, Jakarta.
7