Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul Salahuddin Husein, Dwikorita Karnawati dan Subagyo Pramumijoyo Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Antonius Ratdomopurbo Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian
SARI: Lebih dari 5700 orang meninggal dan lebih dari 200 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal akibat gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, yang berlangsung selama 57 detik dengan kekuatan 5,9 skala Richter. Selain dipengaruhi oleh kualitas bangunan yang buruk dengan material dan rancangan yang tidak tahan terhadap gempabumi, kondisi geologi tampaknya menjadi faktor utama dalam respon lahan setempat terhadap tingkat kerusakan bangunan. Untuk mempelajari hal itu, Jurusan Teknik Geologi FT UGM melakukan pengukuran mikrotremor pada 243 titik di daerah bencana yang didukung oleh pengukuran magnetotelurik dan pemboran geologi teknik. Obyektif dari penelitian tersebut adalah untuk meneliti berbagai faktor geologi pengontrol sifat respon lahan yang mempengaruhi tingkat kerusakan rumah diatasnya dan untuk selanjutnya dikembangkan menjadi suatu peta zonasi mikro kerentanan gempabumi. Kehadiran peta zonasi mikro tersebut sangat penting untuk mendukung perbaikan kode pembangunan (building code) dan manajemen pemanfaatan lahan di daerah rawan gempabumi. Terdapat 4 zonasi mikro di daerah Bantul yang mengindikasikan berbagai tingkat respon lahan terhadap getaran gempabumi, yaitu zona penguatan sangat tinggi, penguatan tinggi, penguatan sedang dan penguatan rendah. Pengontrol utama tingkat respon lahan adalah kondisi stratigrafi atau urutan vertikal batuan setempat, terutama yang terkait dengan jenis batuan, berat jenisnya serta ketebalannya. Pengontrol lainnya adalah kehadiran sistem-sistem patahan pada batuan dasar. 1
PENDAHULUAN
Pada tanggal 27 Mei 2006, pukul 05.54 WIB telah terjadi gempabumi tektonik dengan kekuatan 5,9 skala Richter atau dengan intensitas VI – VII skala MMI (BMG, 2006). Pusat gempa berada pada kedalaman 11.8 km dan titik episentrum gempa tersebut terletak 37.2 km selatan Yogyakarta pada lokasi 8.03 LS – 110.32 BT (Gambar 1). Getaran gempabumi dirasakan selama 57 detik di seluruh wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, menghasilkan 5.778 orang meninggal, 37.883 orang terluka, 2.111.872 orang menjadi pengungsi, 139.859 rumah roboh, 190.025 rumah rusak berat, 278.124 rumah rusak ringan, 386 fasilitas kesehatan roboh dan rusak, 1.180 tempat ibadah roboh dan rusak, 2.936 sekolah roboh dan rusak, serta 1.368 kantor pemerintahan roboh dan rusak (Bakornas PBP, 2006).
Melihat dampak kerusakan sosial-ekonomi yang sangat serius tersebut, Jurusan Teknik Geologi FT UGM dengan dibantu oleh Jurusan Teknik Sipil, Jurusan Teknik Geodesi, Program Studi Geofisika UGM, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, serta Universitas Kyushu dan Universitas Kyoto di Jepang, segera mengambil langkah-langkah kajian ilmiah untuk mendukung program pemulihan dan perbaikan daerah bencana. Kondisi geologi lokal dan pengaruh topografi mengontrol sebaran kerusakan akibat gempabumi. Pada daerah yang berada di suatu lembah perbukitan dan disusun oleh sedimen lunak, penguatan atau amplifikasi getaran gempabumi seringkali terjadi dan menambah tingkat kerusakan yang ada. Sehingga penguatan atau amplifikasi getaran gempabumi oleh kondisi lokal tersebut memiliki implikasi penting dalam penataan ruang dan wilayah. 1
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan sosial-ekonomi yang serius tersebut disebabkan oleh tingkat pemahaman masyarakat terhadap bencana alam gempabumi yang masih rendah. Hampir semua bangunan yang rusak dibangun tidak mengikuti kode pembangunan (building code) untuk daerah rawan gempabumi. Aturan pembangunan yang ada umumnya masih bersifat regional dan berdasarkan pada informasi geologi yang bersifat regional pula. Keragaman tingkat kehancuran yang ada akibat gempabumi Yogyakarta tersebut menunjukkan adanya kontrol geologi lokal. Sehingga penyediaan informasi skala detail mengenai karakteristik lahan dan geologi setempat dimana bangunan tersebut berada menjadi sangat diperlukan. Makalah ini mencoba untuk memaparkan karakteristik lahan dan geologi skala detail untuk Kabupaten Bantul, sebagai upaya untuk memberikan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kode pembangunan (building code) dalam rangka perogram pemuliham kondisi pasca gempa. 2
KONDISI GEOLOGI DAN SEJARAH KEGEMPAAN YOGYAKARTA
2.1
Geologi Yogyakarta
Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi di bagian utara oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan dan bagian baratnya dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta bagian selatannya dibatasi oleh Samudera India (Gambar 2). Batuan berumur Tersier yang ada di Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo terdiri dari serial batuan klastik produk gunungapi purba (Formasi Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Nglanggran, Wuni dan Sambipitu) dengan kisaran umur sekitar 57 – 18 juta tahun lalu, yang ditumpangi oleh serial batuan karbonat produk pengendapan laut dangkal (Formasi Wonosari, Jonggrangan, Kepek dan Sentolo) dengan kisaran umur sekitar 20 – 1.6 juta tahun silam. Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada sekitar 1.6 juta tahun lalu telah menciptakan sebuah cekungan atau depresi diantara keduanya, yang diberinama geografis sebagai Cekungan Yogyakarta. Gunungapi Merapi kemudian muncul di sebe2
lah utara dan mengisi Cekungan Yogyakarta dengan endapan volkaniknya, yang sebagian besar dibawa oleh sungai-sungai yang berhulu di lereng gunungapi tersebut. Ketebalan endapan volkanik Merapi tersebut dapat mencapai lebih dari 100 m (Hendrayana, 1993). Hingga saat ini, proses sedimentasi oleh sungai masih terus mendominasi di Cekungan Yogyakarta, mengendapkan kerikil, pasir, lanau dan lempung di sepanjang lembah alirannya. Di sepanjang pesisir selatan, pasir halus yang kaya unsur besi yang telah dibawa oleh sungai-sungai tersebut ke laut diendapkan kembali oleh angin sebagai gumuk-gumuk pasir. Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan Yogyakarta dan Pegunungan Selatan berhasil dikenali dari survey gaya berat (Untung dkk., 1973). Patahan tersebut dikenal dengan nama Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur (Gambar 2; Rahardjo dkk., 1995). Kertapati dkk. (1992) menginterpretasikan Patahan Opak sebagai patahan aktif namun tidak diketahui jenis pergerakannya. Sudarno (1997) melengkapi sistem Patahan Opak dan mengidentifikasi berbagai patahan berarah utara – selatan dan baratlaut – tenggara di sekitar Patahan Opak. MacDonald & Partners (1984) dengan pemboran geoteknik dan survey geolistrik telah menginterpretasikan sistem patahanyang tertimbun endapan volkanik Merapi yang berarah utara – selatan dan timur – barat yang merupakan kelanjutan dari Patahan Opak ke arah Cekungan Yogyakarta. 2.2
Sejarah kegempaan Yogyakarta
Yogyakarta seringkali mengalami peristiwa gempabumi. Berikut beberapa gempabumi historis yang pernah dicatat oleh BMG (Gambar 3). Pada tanggal 10 Juni 1867 pernah terjadi gempabumi dengan intensitas VIII – IX skala MMI, menyebabkan 5 orang meninggal dan 372 rumah roboh. Titik episentrumnya diperkirakan berada di darat di sekitar Patahan Opak (Visser, 1922). Getarannya terasa sampai Surakarta, Jawa Tengah, dan mengakibatkan runtuhnya tugu Kraton Yogyakarta dan rusaknya kompleks peristirahatan raja di Tamansari. Kediaman Residen Belanda di Gedung Agung juga turut ambruk. Pada tanggal 27 September 1937 terjadi gempabumi dengan intensitas VII – IX skala MMI yang berpusat pada posisi 8.7 LS – 110.8 BT. Akibat gempa ini dilaporkan 2.200 rumah
roboh di Klaten, 326 rumah roboh di Prambanan, banyak rumah yang rusak di Yogyakarta dan seorang menunggal. Dilaporkan getaran gempa ini terasa sampai ke Lombok. Pada tanggal 23 Juli 1943 terjadi gempabumi yang berpusat di 8.6 LS - 109.9 BT pada kedalaman 90 km dengan kekuatan 8,1 skala Richter atau dengan intensitas VII – VIII skala MMI. Getarannya terasa dari Garut hingga Surakarta. Gempa di Samudra Hindia ini menelan korban 213 orang meninggal, 1.842 orang luka berat, 2.096 luka ringan, 12.603 rumah roboh, 166 rumah rusak berat dan 15.275 rumah rusak ringan (van Bemmelen, 1949). Pada tanggal 12 Oktober 1957 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.4 skala Richter atau intensitas VII skala MMI dan berpusat di 8.3 LS – 110.3 BT pada kedalaman 87 km. Getaran gempa terasa di Yogyakarta. Pada tanggal 14 Maret 1981 terjadi gempa berkekuatan 6 skala Richter atau intensitas VII skala MMI. yang berpusat pada 7.2 LS - 109.3 BT di kedalaman 33 km. Gempa tersebut meretakan dinding Hotel Ambarukmo. Pada tanggal 9 Juni 1992 terjadi gempa tektonik berkekuatan 6.5 skala Richter dengan kedalaman 106 km. Kejadian ini berlangsung sekitar satu menit dan sangat terasa di daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, dan Magelang. Pada tanggal 25 Mei 2001 terjadi gempa dengan kekuatan 6.2 skala Richter yang berpusat di 8.62 LS - 110.11 BT dan mengguncang Semarang, Kudus, Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta. Beberapa bangunan di Bantul mengalami keretakan. Pada tanggal 19 Agustus 2004 terjadi gempa tektonik mengguncang wilayah Yogyakarta berkekuatan 6.3 skala Richter yang berpusat 9.22 LS - 109.58 BT dan kedalaman 55 km. Pada tanggal 19 Juli 2005 kembali terjadi gempabumi dengan kekuatan 5.5 skala Richter dengan pusat gempa pada jarak 220 km di selatan Yogyakarta di Samudra Indonesia dengan kedalaman 33 km dengan. Gempa tersebut hanya berlangsung selama 5 detik dan tidak menimbulkan kerusakan berarti. 3
METODOLOGI
Untuk mengetahui kondisi geologi lokal, beberapa metode penyelidikan dipilih. Data amplifikasi lahan diperoleh dengan survei mikrotremor. Data sebaran patahan diinterpretasi dari survei magnetotelurik dan pemboran ge-
ologi teknik. Untuk mendapatkan hasil maksimum tentang geologi Cekungan Yogyakarta, survei mikrotremor dan magnetotelurik dilakukan tegaklurus terhadap orientasi struktur cekungan yang umumnya berarah utara-timurlaut – selatan-baratdaya. Karakteristik sedimen lepas pengisi Cekungan Yogyakarta didapatkan dari data pemboran geologi teknik. 3.1
Mikrotremor
Mikrotremor adalah pengukuran frekuensi resonansi alamiah suatu titik di permukaan bumi. Prinsip dasarnya adalah untuk menjelaskan gejala amplifikasi gelombang gempabumi yang terjebak di dalam perlapisan sedimen lepas. Proses terjebaknya gelombang gempabumi tersebut mengikuti pola resonansi yang frekuensinya adalah sebesar: Vs f = (2n + 1) 4H dimana Vs adalah kecepatan gelombang S dan H adalah ketebalan lapisan sedimen (Gambar 4). Amplifikasi dari amplitudo gempabumi tergantung terutama pada perbedaan atau kontras impedansi (nilai perkalian berat jenis batuan dan kecepatan gelombang S) antara lapisan keras dibawah dengan lapisan sedimen lunak diatasnya. Dalam beberapa kasus, nilai besaran amplifikasi dapat mencapai 20 kali, yang terjadi karena adanya lapisan sedimen sangat lunak yang berada diatas batuan dasar yang sangat keras. Sebuah teknik empiris untuk memperkirakan karakteristik resonansi lapisan sedimen adalah dengan teknik Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) atau sering pula disebut sebagai metoda Nakamura (1989). Teknik ini membandingkan komponen spektrum horisontal terhadap komponen spektrum vertikalnya. Secacara teori, frekuensi resonansi yang diukur nilainya mendekati nilai yang dihitung dari analisa standar rekaman langsung dari gempabumi besar (Lermo dkk., 1988). Namun demikian, faktor amplifikasi dari HVSR cenderung lebih kecil dari faktor amplifikasi sebenarnya dari gempabumi sesungguhnya. Dengan demikian faktor amplifikasi dari HVSR masih dapat dipergunakan sebagai nilai pendekatan minimal terhadap faktor amplifikasi tanah (Ratdomopurbo, 2006). Data diperoleh dari 243 titik yang terletak pada enam lintasan ukur masing-masing sepanjang antara 5 sampai 13 km (Gambar 5). Lintasan tersebut sejajar satu sama lain dalam orien3
tasi barat-baratlaut – timur-tenggara, kecuali lintasan 6a yang berarah tegak lurus terhadap lintasan lainnya. Jarak antar lintasan sekitar 2-3 km. Lintasan 1 berada paling selatan, sekitar 5 km dari garis pantai. Dalam satu lintasan, jarak antara titik ukur adalah sekitar 250 m. Sedangkan perekaman mikrotremor dilakukan sekitar 5 menit dengan menggunakan seismometer L4C-D dan data-logger Datamark LS-7000. Hasil terolah dibagi menjadi empat kelas, yaitu amplifikasi sangat kuat bila terjadi getaran tanah > 7 kali lebih besar daripada getaran di batuan dasar, amplifikasi kuat bila getaran tanah 5 – 7 kali lebih besar daripada getaran batuan dasar, amplifikasi menengah bila getaran tanah 3 – 5 kali lebih kuat daripada getaran batuan dasar dan amplifikasi rendah bila getaran tanah < 3 kali lebih besar daripada getaran batuan dasar (Ratdomopurbo, 2006). 3.2
Magnetotelurik
Magnetotelurik dengan sumber energi buatan (controlled source audio magneto telluric - CSAMT) adalah salah satu metode geofisika untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan, yaitu derajat resistivitas batuan berdasarkan pengukuran medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan oleh sebuah sumber pemancar buatan. Frekuensi audio yang dipergunakan berada pada kisaran 10 – 20.000 Hz. Terdapat 63 titik pengukuran CSAMT yang terbagi dalam 3 jalur dengan orientasi timurtenggara – barat-baratlaut (Gambar 5). Rentang antar lintasan sekitar 5 dan 7 km, dan jarak antar titik ukur dalam satu jalur adalah 1 km. Peralatan yang digunakan adalah Stratagem dari Geometric dengan 2 elektroda medan listrik dan 2 kumparan medan magnet. Lama pengukuran di setiap titik sekitar 30 menit untuk 6 pita frekuensi. Secara umum, batuan sedimen lepas atau batuan yang telah lapuk memiliki nilai resistivitas yang rendah, sebaliknya batuan yang kompak memiliki nilai resistivitas yang tinggi. Sehingga metoda magnetotelurik ini dapat dipergunakan untuk menentukan batas batuan lepas dan batuan dasarnya yang kompak, serta untuk melacak bidang-bidang patahan yang umumnya ditandai oleh perbedaan kontras resistivitas dari dua blok batuan yang bersebelahan. 3.3
4
Pemboran geologi teknik
Pemboran geologi teknik untuk mendapatkan data-data batuan bawah permukaan secara langsung dilakukan di 13 titik yang tersebar di Kabupaten Bantul (Gambar 5). Selain itu, datadata bor yang telah ada juga dikumpulkan untuk dianalisa, mencakup 10 titik dari MacDonald (1984) dan 32 titik dari IWRM (2004) (Gambar 5). Pemboran geologi teknik dalam penelitian ini dilakukan dengan mesin pemboran inti. Kedalaman target adalah mencapai batuan dasar yang keras, atau bila tidak dijumpai dilanjutkan hingga kemampuan maksimum penetrasi 50 m. Selubung pembungkus yang terbuat dari PVC dipergunakan untuk mencegah runtuhnya lubang bor. Contoh inti yang diperoleh disimpan untuk dianalisa sifatsifat fisik dan keteknikannya di laboratorium. Karakteristik tanah dan batuan diidentifikasi secara visual dan data kedalaman muka airtanah diukur secara langsung. Bersamaan dengan proses pemboran, uji penetrasi standar (standard penetration test – SPT) dilakukan pada setiap selang kedalaman 1 m. Hasil uji SPT tersebut juga dipergunakan untuk menginterpretasikan keberadaan batuan dasar yang memiliki nilai SPT jauh lebih besar dibandingkan dengan sedimen lunak diatasnya. 4
HASIL DAN DISKUSI
Batuan dasar di daerah Yogyakarta tersusun dalam bentuk lembah cekungan besar dan dibatasi oleh dua patahan turun yang berarah timurlaut-baratdaya. Patahan turun yang menjadi batas barat membentuk lembah aliran Sungai Progo, sedangkan patahan timur lainnya yang menjadi batas timur membentuk lembah aliran Sungai Opak. Dari berbagai titik pemboran geologi teknik, dapat diketahui bahwa batuan dasar cekungan yang tersusun oleh breksi andesit dijumpai pada kedalaman sekitar 40 m dari permukaan tanah. Batuan dasar breksi andesit tersebut kemudian ditutup oleh endapan lumpur dari rawa purba dengan ketebalan sekitar 2 m. Setelah pengendapan lumpur rawa tersebut, cekungan Yogyakarta kemudian terisi oleh endapan sungai yang bersifat lepas dan tersusun oleh pasir kerikilan dan pasir lempungan dengan diselingi oleh endapan lahar yang tersusun oleh pasir kerikilan masif. Penguatan respon lahan terhadap gempabumi diinterpretasikan dari pengukuran mikrotremor dan hasilnya menunjukkan bahwa proses penguatan tersebut hanya terjadi pada endapan sungai yang bersifat lepas dalam jangkauan kedalaman sekitar 30 m saja.
Hasil penelitian menunjukkan secara umum zona tanah yang sensitif merespon terhadap getaran berada pada kedalaman kurang dari 30 m, dan wilayah Bantul terbagi menjadi empat zona penguatan atau amplifikasi (Gambar 6) dengan tingkatan yang bervariasi, meliputi: 1) zona amplifikasi sangat tinggi. 2) zona amplifikasi tinggi. 3) zona amplifikasi menengah. 4) zona amplifikasi rendah. Zona dengan amplifikasi sangat tinggi merupakan zona dengan kondisi lahan yang paling kuat dalam merespon getaran gempabumi. Zona amplifikasi sangat tinggi dijumpai di wilayah Bantul timur, terutama di sepanjang Sungai Opak, misalnya sebagian Kecamatan Kretek bagian timur-tenggara, sebagian Kecamatan Pundong memanjang dari selatan hingga utara dan sebagian kecil Kecamatan Imogiri bagian barat-baratlaut, sebagian besar Kecamatan Jetis memanjang di bagian tengah dari bagian selatan hingga timurlaut, sebagian Kecamatan Pleret memanjang dari bagian baratdaya hingga timurlaut, sebagian kecil Kecamatan Piyungan bagian baratdaya dan sebagian kecil Kecamatan Banguntapan bagian tenggara, serta Kecamatan Pandak bagian barat daya-barat-barat laut. Sangat tingginya tingkat amplifikasi ini dikontrol oleh kombinasi beberapa faktor berikut : 1. Jenis tanah yang merupakan endapan sungai Opak saat ini yaitu pasir kerikilan, yang bersifat lepas-lepas dan tebal. Tanah dengan sifat lepas-lepas cenderung tidak memiliki kohesi (ikatan antar butir) yang kuat, sehingga sangat mudah bergetar saat dilalui gelombang gempa. 2. Kehadiran zona patahan, yang sensitif untuk turut bergetar ketika gelombang gempa melalui zona patahan tersebut. Zona amplifikasi tinggi dijumpai di sebagian wilayah Bantul timur, terutama yang berdekatan dengan kaki perbukitan, serta di sebagian wilayah Bantul utara bagian tengah, misalnya meliputi wilayah : sebagian besar Kecamatan Imogiri (kecuali di bagian timur), sebagian kecil Kecamatan Panggang bagian utara, sebagian Kecamatan Pleret dari bagian tenggara hingga baratdaya, sebagian kecil Kecamatan Banguntapan bagian selatan, sebagian Kecamatan Jetis memanjang dari bagian selatan hingga timurlaut, sebagian kecil Kecamatan Pundong di bagian timur yang memanjang dari bagian selatan hingga utara,
sebagaian kecil Kecamatan Kretek bagian timurlaut memanjang dari bagian tengah hingga timurlaut dan di bagian baratlaut, sebagian kecil Kecamatan Sanden bagian timurlaut, serta sebagian kecil Kecamatan Bambanglipuro di bagian baratdaya hingga timurlaut, sebagian besar Kecamatan Sewon memanjang dari bagian baratdaya hingga timurlaut dan sebagian kecil Kecamatan Kasihan memanjang dari bagian tengah hingga utara. Di wilayah Kodya Yogyakarta adalah sebagian kecil di Kecamatan Purbayan, Kecamatan Giwangan, Kecamatan Sorosutan, Kecamatan Brontokusuman, Kecamatan Mantrijeron, Kecamatan Suryodiningratan di bagian selatan. Tingginya tingkat amplifikasi di daerah tersebut karena akibat kondisi tanahnya yang berupa pasir lepas. Namun endapan pasir ini merupakan endapan sungai purba, sehingga relatif lebih kompak dan lebih padat daripada endapan pasir Sungai Opak saat ini yang dijumpai di zona kerentanan sangat tinggi. Posisi wilayah-wilayah tersebut di atas yang relatif masih dekat dengan zona patahan juga mengontrol tingginya tingkat amplifikasi. Zona dengan amplifikasi menengah, dijumpai di sebagian kecil wilayah Kecamatan Kasihan bagian baratlaut dan memanjang di bagian timur dari timurlaut hingga selatan, dijumpai di sebagian kecil Kecamatan Pajangan bagian timur, sebagian besar Kecamatan Bantul bagian tengah memanjang dari bagian selatan hingga utara, sebagian besar Kecamatan Pandak bagian baratlaut dan di bagian selatan, timur hingga utara, hampir seluruh Kecamatan Bambanglipuro, sebagian kecil Kecamatan Sanden bagian utara dan timurlaut, sebagian Kecamatan Kretek bagian timurlaut hingga baratlaut, sebagian Kecamatan Pundong bagian barat, sebagian kecil Kecamatan Jetis bagian baratdaya, barat, dan baratlaut, sebagian kecil Kecamatan Pleret bagian tengah memanjang dari bagian baratdaya hingga timurlaut. Endapan tanah pada zona ini merupakan pasir sungai purba yang relatif lebih padat daripada endapan pasir sungai purba di zona dengan amplifikasi tinggi. Frekuensi patahan pada batuan dasar relatif lebih rendah. Kombinasi antara kondisi kepadatan tanah dan jarangnya dijumpai patahan pada batuan dasar mengakibatkan zona amplifikasi menengah ini kurang kuat dalam merespon terhadap getaran gempa apabila dibandingkan dengan zona dengan amplifikasi yang lebih tinggi.
5
Zona dengan amplifikasi rendah dijumpai di hampir seluruh Kecamatan Pajangan, sebagian kecil Kecamatan Sedayu bagian tenggara, sebagian kecil Kecamatan Pandak memanjang di bagian utara dari bagian utara hingga tengah dan di bagian selatan, sebagian kecil Kecamatan Bantul bagian barat dan di bagian tengah, dan sebagian kecil Kecamatan Sanden bagian utara, sebagian kecil Kecamatan Sewon bagian tenggara, dan sebagian kecil Kecamatan Pleret bagian barat. Kondisi tanah pada zona ini relatif kompak dan posisinya relatif lebih jauh dari patahan di batuan dasar.
PENUTUP
5
Terdapat 4 zonasi mikro di daerah Bantul yang mengindikasikan berbagai tingkat respon lahan terhadap getaran gempabumi, yaitu zona penguatan sangat tinggi, penguatan tinggi, penguatan sedang dan penguatan rendah. Pengontrol utama tingkat respon lahan adalah kondisi stratigrafi atau urutan vertikal batuan setempat, terutama yang terkait dengan jenis batuan, berat jenisnya serta ketebalannya. Pengontrol lainnya adalah kehadiran sistemsistem patahan pada batuan dasar. Peta zonasi mikro respon amplifikasi lahan dan sebaran patahan tertimbun yang dipaparkan dalam makalah ini berfungsi sebagai parameter yang harus dipertimbangkan dalam menyusun peta zonasi mikro tingkat kerentanan terhadap gempabumi (microzonation map for earthquake susceptibility). Parameter lainnya yang harus dimasukkan adalah kedalaman muka airtanah dan jarak terhadap sumber gempabumi. Sehingga peta zonasi mikro tingkat kerentanan terhadap gempabumi tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk memperhitungkan potensi tingkat kerusakan bangunan saat terjadi gempabumi, dan dimanfaatkan sebagai acuan rekonstruksi pembangunan di wilayah tersebut. Hingga saat ini, analisa untuk peta kerentanan tersebut masih mempergunakan sumber gempa 27 Mei 2006 saja. Lebih lanjut, Teknik Geologi UGM juga telah mengembangkan peta bahaya gempabumi skala besar (earthquake hazard microzonation map) yang mempertimbangkan kemungkinan gempabumi dari patahan-patahan aktif lainnya, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan umum untuk pembangunan jangka panjang. REFERENSI
6
Badan Meterologi dan Geofisika. 2006. Berita Gempabumi No. : 66 /NSC/V/2006, 27 Mei 2006. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 2006. Buletin Laporan Perkembangan Penanganan Bencana Gempa Bumi Di Jogjakarta dan Jawa Tengah, No. 32, 3 Juli 2006, 13 halaman + lampiran. Hendrayana, H., 1993. Hydrogeologie und Grundwasssergewinnung im Yogyakarta – Becken, Indonesien. Doktors der Naturwissenschaften genehmigte Dissertation, Technischen Hochschule Aaachen, 117 hal. Kertapati, E. K., Soehaemi, A. dan Djuhanda, A., 1992. Peta Seismotektonik Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Lermo, J., Rodriguez, M. dan Singh, S.K., 1988. Natural Periods of Sites in the Valley of Mexico from Microtremor Measurements and Strong Motion Data. Earthquake Spectra, 4-4, hal. 805-814. Nakamura, Y., 1989. A Method for Dynamic Characteristics Estimation of Subsurface Using Microtremor on the Ground Surface. QR of R.T.R., Vol. 30, No.1, hal. 25-33. Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi H. M. D., 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Ratdomopurbo, A., 2006. Laporan Survei Mikrotremor Pengukuran Amplifikasi Lahan di Wilayah Bantul, Jogjakarta. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. 22 hal. MacDonald, Sir M., dan Partners., 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study - Vol 2 Hydrology. Report of Groundwater Development Project (P2AT), Directorate General of water Resources Development, Ministry of Public Works, Government of the Republic of Indonesia, Sir M MacDonald & Partners in association with Binnie & Partners, Hunting Technical Services Ltd. Suantika, G. dan Surono, 2006. Aftershock and Deformation Research of Yogyakarta Earthquake May 27, 2006. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Geologi Indonesia: Dinamika dan Produknya. Bandung, 5 Desember 2006. Sudarno, Ign. 1997. Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya. Thesis Magister Program Studi Geologi, Institut Teknologi Bandung, 167 p. Untung, M., Ujang K. dan Ruswandi E. 1973. Penyelidikan gaya berat di daerah YogyakartaWonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3, Direktorat Geologi Bandung UNOSAT. 2006. Preliminary Damage Assessment – Java Earthquake. http://unosat.web.cern.ch/unosat/asp /prod_free.asp?id=21. Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Martinus Nijhoff, The Haque. Visser, S., 1922. Inland and Submarine Epicentra of Sumatra and Java Earthquakes. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, 9, hal. 1-14.
Gambar 1. Titik episentrum gempabumi 27 Mei 2006 (bintang merah; BMG, 2006) dan peta intensitas gempabumi dalam skala MMI (garis merah; Suantika and Surono, 2006) untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya, serta peta sebaran kerusakan fisik sementara (poligon berwarna; UNOSAT, 2006). Garis hitam tebal adalah sebaran patahan (Rahardjo dkk., 1995) dan garis hitam putus-putus adalah sebaran patahan tertimbun (MacDonald, 1984). Daerah dengan kerusakan paling parah dan daerah dengan intensitas paling tinggi terletak di sepanjang zona Patahan Opak yang berarah timurlaut – baratdaya.
Gambar 2. Diagram 3 dimensi kondisi geologi Yogyakarta (dimodifikasi dari Rahardjo dkk., 1985). Garis putus-putus merupakan batas administratif Provinsi Yogyakarta. Garis tebal adalah patahan, dimana garis tebal putus-putus adalah Patahan Opak. 7
Gambar 3. Sebaran episentrum gempabumi yang pernah terjadi di Yogyakarta dan pesisir selatan Jawa Tengah 1867 – 2006 (sumber data dari BMG; kecuali garis episentral tahun 1867 dari Visser, 1922).
Gambar 4. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya satuan sedimen yang berada diatas batuan dasar (basement) dengan perbedaan berat jenis ρ serta kecepatan Vs dan Vo yang mencolok (Ratdomopurbo, 2006). Frekuensi resonansi banyak ditentukan oleh fisik dari lapisan sedimen, yaitu ketebalan h dan kecepatan gelombang Vs.
8
Gambar 5. Lokasi survei mikrotremor, survei magnetotelurik dan pemboran geologi teknik.
Gambar 6. Sebaran tingkat amplifikasi lahan terhadap gempabumi dan sebaran patahan pada batuan dasar yang tertimbun sedimen lepas Merapi.
9