Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
KONTRIBUSI PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK Oleh: Asnah1
Abstract Affective learning and assessment in education is not a simple process, because it involves the "values" that are complex and involve "personality" complex which is an active subject who has the will and has the ability to make choices by themselves. Nevertheless, the formation of character must be done, because the character is formed from the process of interaction with the external environment. While personality is as a complex reality in a person and involves many determinants. Therefore, affective learning and assessment in shaping the character needs to be done continuously by developing patterns of learning for the purposes of educational value in order to form the good character. Keywords: Educational value, active learning
1
Penulis Adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruaan IAIN Padangsidimpuan
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
105
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli
2015
Pendahuluan Pendidikan sangat menentukan terhadap pembentukan watak, kepribadian, karakter dan budi pekerti manusia. Hal ini dikarenakan pendidikan mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, berbagai penyelewengan, kejahatan dan perbuatan asusila yang kerap terjadi, mulai dari korupsi, bullying, narkoba, pelecehan seksual di lingkungan sekolah dan lain-lain, dianggap pendidikan yang paling bertanggung jawab. Data dan fakta di atas merupakan bagian dari kemerosotan moral dan karakter yang menunjukkan bahwa ada kegagalan pada pendidikan kita dalam menumbuhkan manusia yang berkarakter dan berakhak mulia atau dengan bahasa sederhana pendidikan kita belum bisa mengubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga dalam berbagai macam posisi di dunia, bangsa Indonesia mengalami kemunduran. Menyadari hal tersebut, pemerintah pada tahun 2010 mengambil langkah dengan mencanangkan visi penerapan pendidikan karakter atau pendidikan nilai-nilai karakter budaya bangsa. Pendidikan karakter harus ditanamkan dan dimiliki oleh setiap manusia, khususnya peserta didik agar berubah sikap dan perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Semua peserta didik harus memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai generasi penerus bangsa. Mardiatmaja dalam Abdul Madjid menjelaskan bahwa pendidikan karakter menjadi sangat penting sebab ia merupakan ruh pendidikan dalam pembentukan manusia.2 Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah adalah mengoptimalkan pembelajaran materi pendidikan agama Islam (PAI). Peran pendidikan agama khususnya pendidikan agama Islam sangatlah strategis dalam mewujudkan pembentukan karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan dalam aspek keagamaan (aspek kognitif), sebagai sarana transformasi norma serta nilai moral untuk membentuk sikap (aspek afektif), yang berperan dalam mengendalikan perilaku (aspek psikomotorik) sehingga tercipta kepribadian manusia seutuhnya. Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan berakhlak mulia, akhlak 2
Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hlm.
4.
106
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan.3 Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Namun, pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung dirasakan kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk berbuat dan berperilaku secara konkret-agamis dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah dikritik karena terlalu menekankan domain kognitif dengan mengorbankan dimensi yang lain seperti afektif. Mulai dari formulasi kurikulum, isi materi, metode pembelajaran, dan evaluasi semuanya lebih menitikberatkan pada aspek kognitif. Komarudin Hidayat sebagaimana dikutip Agus Nuryanto mengkritik pendidikan agama ‚bahwa pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.‛4 Hal ini berarti belajar agama hanya untuk dihafal dan dipahami, bukan untuk diinternalisasi dan diamalkan. Sejalan dengan fenomena ini, Mochtar Buchori menilai kegagalan pendidikan agama disebabkan karena pembelajarannya hanya tertuju kepada aspek kognitif semata dari pada pertumbuhan kesadaran akan nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan ajaran Islam. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dengan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan beragama.5 Pernyataan senada dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh trend Barat yang lebih mengutamakan
Permendiknas No 22 Tahun 2006, Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Tingkat Dasar dan Menengah, hlm. 2. 4 Agus Nuryatno, Kontribusi Pendidikan Agama Dalam Memperkuat Masyarakat Pluralistik Demokratik (Perspektif Islam) http:// interfidei.or.id/index.php?page=article&id=2, diakses tanggal 8 April 2015. 5 Mochtar Buchori, Pendidikan dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 75. 3
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
107
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli
2015
pengajaran dari pada pendidikan moral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.6 Selain itu Mochtar Buchori juga mengatakan bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.7 Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman perangkat nilai yang kompleks. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Soedjatmoko sebagaimana dikutip Muhaimin bahwa pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama.8 Misalnya, ketika guru agama akan menyampaikan pelajaran tentang iman kepada Allah, sementara Allah itu adalah sesuatu yang gaib, yang tidak dapat ditangkap oleh indra, maka guru tersebut dapat mengingatkan siswa tentang pelajaran fisika mengenai elektron, gelombang radio, dan lainnya yang sulit ditangkap oleh indra tapi diakui keberadaannya, atau pokok bahasan tentang kekuasaan Allah, maka guru agama dapat menghubungkannya dengan pelajaran sains mengenai makhluk hidup dan alam semesta (bumi dan antariksa). Selanjutnya kritik terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah ini datang dari seorang pakar keislaman non-tarbiyah yaitu Amin Abdullah, beliau mengungkapkan sebagai berikut: 1. Pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis; 2. Pendidikan agama kurang konsern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi ‘makna’ dan ‘nilai’ yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa melalui berbagai cara, media dan forum; 3. Metodologi pembelajaran agama tidak kunjung berubah; 4. Pendidikan agama lebih menekankan hafalan-hafalan teks keagamaan yang sudah ada; 5. Sistem evaluasi, menunjukkan prioritas utama pada kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan nilai dan makna spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.9
6
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
428. Mochtar Buchori, Op.Cit., hlm. 77. Muhaimin, Op.Cit., hlm. 89. 9 Amin Abdullah, ‛Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam,‛ dalam Abd. Munir Mulkan, et.al.(ed.), Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 49-65. 7 8
108
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
Berdasarkan kritikan para ahli di atas, dan juga fenomena yang ada, maka perlu dilakukan terobosan-terobosan, perbaikan-perbaikan, dalam rangka mewujudkan cita-cita ideal tujuan pendidikan agama. Untuk itu perlu dikembangkan strategi pembelajaran dan penilaian afektif dalam pembelajaran PAI, sehingga kegiatan pembelajaran dan penilaian yang masih lebih banyak terfokus pada aspek kognitif dapat diubah atau diperbaiki. Strategi pembelajaran afektif ini memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan psikomotorik. Afektif berhubungan dengan nilai yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu memang sikap (afeksi) dapat muncul dalam tingkah laku, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap/karakter sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah. Namun demikian, sebagai tenaga pendidik kita harus terus berupaya mencari solusi dan langkah-langkah konkrit untuk menumbuhkembangkan potensi peseta didik termasuk potensi beragama. Untuk menciptakan manusia beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia tidak terlepas dari upaya membentuk dan membina sikap dan nilai-nilai. Di Indonesia, afektif sebagai salah satu domain pembelajaran masih kurang mendapat perhatian Jika dibandingkan dengan domain kognitif. Padahal penelitian yang dilakukan oleh Goleman tentang Emotional Intelligence menyatakan bahwa antara domain kognitif dan domain afektif memiliki keterkaitan yang sangan erat.2 Konsep Pembelajaran Afektif Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
109
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli
2015
kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor. Kata ‛afektif‛ sudah sangat dikenal di lingkungan pendidikan kita. Pendidikan afektif terkait dengan pengalaman-pengalaman siswa di sekolah10 dan umumnya digunakan untuk menggambarkan program-program yang terkait dengan perkembangan personal sosial. Beberapa contoh definisi pembelajaran afektif adalah sebagai berikut : 1. Pembelajaran afektif berarti pembelajaran untuk pengembangan sosial-individu, perasaan, emosi, moral, etika. Aspek-aspek ini sering terisolasi dalam kurikulum.11 2. Pembelajaran untuk afektif menunjukkan bahwa pendidikan adalah membentuk siswa menjadi manusia, karena inti pendidikan harus dikaitkan dengan afektif, juga tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek lain dalam kurikulum. 3. Perkembangan afektif adalah proses perkembangan individu atau perubahanperubahan internal untuk menjadi individu yang baik dan juga masyarakat sosial yang baik. 4. Pendidikan pengembangan afektif adalah proses pemikiran yang matang tentang intervensi dalam perkembangan siswa, ini meliputi afektif sebagai bagian dari subjek terkecil yang diintegrasikan dalam kurikulum. 5. Domain afektif berarti komponen-komponen perkembangan afektif yang terfokus pada proses atau perubahan-perubahan internal atau kategori tingkah laku dalam pendidikan afektif sebagai sebuah proses atau produk akhir. 12 Domain afektif seringkali disebut dengan kata sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Domain ini merupakan lanjutan dari bidang kognitif. Artinya seseorang hanya akan memiliki sikap tertentu terhadap suatu objek manakala telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Domain afektif memiliki tingkatan yaitu: penerimaan, respons, menghargai, mengatur diri (mengorganisasi) dan karakterisasi nilai. Penerimaan adalah sikap kesadaran atau kepekaan seseorang terhadap gejala, kondisi, keadaan atau suatu masalah tertentu. Merespos atau menanggapi ditunjukan oleh kemauan berpartisipasi aktif dalam kegiatan tertentu seperti kemauan menyelesaikan tugas tepat waktu, kemauan untuk membantu orang lain, C. Ackerson, Affective Objectives: A Discussion of Some Controversies, Instructional Development, 3 (1), hlm. 7-11. 11 J. A Beane, Affect in the Curriculum: Toward Democracy, Dignity, Diversity, (New York: Teachers College, Columbia University, 1990), hlm. 5. 12 Ibid., 10
110
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
kemauan untuk mematuhi perintah dan sebagainya. Menghargai adalah memberikan penilaian atau kepercayaan kepada gejala atau suatu objek tertent. Misalnya menerima akan adanya kebebasan atau persamaan hak, komitmen akan kebenaran yang diyakininya. Mengatur diri (mengorganisasi) yaitu berkenaan dengan pengembangan nilai yang saling berhubungan secara konsisten dan bulat ke dalam diri. Karakterisasi nilai yaitu mensintesis dan menginternalisasi sistem nilai dengan pengkajian secara mendalam, sehingga nilai-nilai yang dibangunnya itu dijadikan pandangan (falsafah) hidup, serta dijadikan pedoman dalam bertindak dan berperilaku.13 Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa untuk membentuk karakter yang baik dan benar memerlukan proses dan berbagai tahapan yang harus dilalui siswa. Hal ini dapat dilakukan dalam pembelajaran afektif. Pembelajaran afektif adalah pembelajaran yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya, yaitu sikap dan nilai-nilai. Pembelajaran afektif memang berbeda dengan pembelajaran kognitif dan psikomotor. Afektif berkaitan dengan sikap dan nilai, mencakup watak dan perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Afektif berhubungan dengan nilai (value) yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran yang tumbuh dari dalam diri siswa. Afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, misalnya dalam metode diskusi, selain dapat mengembangkan kemampuan kognitif diskusi juga dapat menumbuhkan sikap menghargai, rasa tanggung jawab dan kemampuan bekerjasama. Pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi nyata baik berupa alam semesta maupun masalah-masalah yang mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masingmasing. Tujuannya adalah menanamkan nilai-nilai, keyakinan serta kemampuan mengambil sikap secara benar dan tepat. Pentingnya Pembelajaran dan Penilaian Afektif Kenapa pembelajaran dan penilaian afektif perlu diperhatikan? Kita menyadari bahwa antara proses belajar, tingkah laku, pertumbuhan dan 13
Roestiyah N.K, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.130-131.
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
111
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli
2015
perkembangan manusia dan bagaimana pemikiran kita dan perasaan kita saling berhubungan dan sangat berpengaruh dalam penentuan keputusan. Kita juga membutuhkan generasi yang produktif dan juga sehat secara mental, jujur dan dapat menjaga diri. Maraknya kembali pendidikan afektif di Amerika disebabkan kian meningkatnya penyalahgunaan obat, kehamilan remaja, kekerasan antar geng, kriminal, perceraian, dan masalah sosial yang lain. Di sekolah konflik interpersonal meningkat drastis, dan hilangnya kedisiplinan di sekolah.14 Di Indonesia, masalah serupa juga sedang merajalela, seperti banyaknya kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan obat terlarang. Di lingkungan lembaga pendidikan terjadi kemerosotan moral siswa, ketidakdisiplinan dan kurangnya motivasi belajar. Selain beberapa alasan di atas penelitian Goleman juga mengatakan bahwa otak terbagi atas dua komponen, emosional dan rasional. Jika dua komponen ini bekerja seimbang dia akan menjadi sosok yang mudah mandiri. Pusat emosional dalam otak adalah hal pertama yang berkembang atau bekerja untuk membuat keputusan atau menghadapi masalah. Ini artinya dalam pendidikan siswa harus belajar dan diajar untuk memanfaatkan emosi mereka atau dikenal dengan emotional intelligence. Dengan mengajarkan metode untuk mengatur perasaan, siswa akan menjadi waspada, meningkatkan keterampilan sosial dan kognitif dan menjadi lebih empatik. Selain pembelajaran, penilaian juga sangat penting dalam proses pendidikan. Dengan mengacu kepada klasifikasi tujuan pendidikan menjadi tiga domain tersebut (kognitif, afektif, dan psikomotor), maka evaluasi pendidikan yang ideal (seharusnya) mencakup ketiga domain tersebut secara komprehensif. Realitas menunjukkan bahwa evaluasi belum dilaksanakan secara komprehensif karena masih didominasi pada evaluasi pada domain kognitif. Sehingga ukuran keberhasilan belajar siswa diukur dari penguasaannya terhadap materi pelajaran tanpa dipertimbangkan bagaimana sikap, perilaku dan persepsinya terhadap nilainilai. Maka tidak heran ketika kita melihat orang-orang yang berpendidikan tetapi sikapnya terlihat seperti orang yang tidak terdidik. Realitas menunjukkan bahwa masih banyak yang mereduksi evaluasi sebagai kegiatan tes. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan evaluasi yang menonjol di lembaga dan satuan pendidikan adalah pelaksanaan tes yang dilaksanakan setelah 14
D. W. Johnson & R. T. Johnson, (1996), "Conflict Resolution and Peer Meditation Programs in Elementary and Secondary Schools: A Review of the Research", Review of Educational, 66 (4), hlm. 459-506.
112
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
penyelesaikan materi pokok tertentu (kompetensi dasar tertentu) serta tes yang diselenggarakan di akhir jenjang pendidikan tertentu dalam bentuk ujian akhir sekolah dan ujian nasional. Dari seluruh tes yang dilaksanakan sebagian besar dalam bentuk tes tertulis. Padahal tes tertulis hanyalah salah satu bentuk tes (di samping tes lisan dan tindakan). Tes hanyalah salah satu dari teknik evaluasi (di samping teknik non tes/alternatif tes). Tes tepat dipakai untuk mengukur pencapaian domain kognitif, tetapi tidak tepat untuk mengukur pencapaian ranah afektif. Padahal cakupan tujuan pendidikan, baik skala nasional, jenjang pendidikan, satuan pendidikan, bahkan hingga tujuan mata pelajaran (standar kompetensi mata pelajaran) meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan demikian, ironis memang sebuah proses pembelajaran yang panjang (3 sampai dengan 6 tahun), terkadang ditentukan oleh hasil tes tertulis yang dilaksanakan beberapa jam pada mata pelajaran tertentu. Pengukuran domain afektif tidak semudah mengukur domain kognitif. Pengukuran domain afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku siswa dapat berubah sewaktuwaktu. Pembentukan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Sebagaimana diketahui bahwa dalam skala nasional (dengan mengacu kepada tujuan pendidikan nasional) domain atau ranah afektif memiliki cakupan lebih banyak dibandingkan dengan domain atau ranah kognitif dan psikomotor. Penjabaran tujuan pendidikan nasional ke dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan, kelompok mata pelajaran hingga tujuan mata pelajaran, tidak terlepas dengan tujuan pendidikan nasional, hanya proporsi dari masing-masing domain tersebut tidak sama untuk masing-masing mata pelajaran.15 Sudah barang tentu kelompok mata pelajaran pendidikan agama dan PPKN memiliki porsi lebih banyak domain afektifnya dibanding kelompok mata pelajaran yang lain. Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan incidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematis, dan berdasarkan atas tujuan yang jelas. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 89-144. 15
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
113
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli
2015
guru dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu perlu perencanaan dan pengamatan yang cermat terhadap setiap perubahan sikap dan perilaku siswa. Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Afektif dalam Pembentukan Karakter Kata karakter diambil dari bahasa Inggris Character dan juga berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‚to mark‛ atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.16 Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter cenderung disamakan dengan personalitas atau kepribadian. Orang yang memiliki karakter berarti memiliki kepribadian. Keduanya diartikan sebagai totalitas nilai yang dimiliki seseorang yang mengarahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Totalitas nilai meliputi tabiat, akhlak, budi pekerti dan sifat-sifat kejiawaan lainya.17 Hal senada disampaikan oleh Shimon Philips, bahwa karakter diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan.18 Perilaku tertentu seseorang, sikap atau pikirannya yang dilandasi oleh nilai tertentu akan menunjukkan karakter yang dimilikinya. Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya. Apa yang seseorang pikirkan dan perbuat sebenarnya merupakan dorongan dari karakter yang ada padanya. Dengan adanya karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena yang muncul dalam diri ataupun hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya. Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholdersnya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pembentukan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk Fathul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011), hlm.162. 17 Abdul Madjid, Op. Cit., hlm. 11. 18 Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter: Strategi mendidikan anak di Zaman Global , (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 80. 16
114
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Oleh karena itu, pembentukan karakter tidak bisa hanya mentransfer pengetahuan atau melatih suatu keterampilan tertentu. Penanaman karakter perlu proses, contoh keteladanan, dan pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat termasuk lingkungan exposure media massa. Pembentukan karakter melalui lingkungan sekolah harus dilakukan oleh seluruh personil, terutama guru. Guru memiliki peluang yang besar untuk membentuk karakter peserta didik. Melalui pembelajaran dan penilaian afektif, karakter dapat dibentuk tergantung bagaimana cara guru melakukannya. Untuk itu terdapat tiga tahapan yang harus dilalui agar pembelajaran dan penilaian afektif dapat mencapai tujuannya, yaitu: 1. Moral Knowing, tahap ini adalah langkah pertama dalam pembentukan karakter. Dalam tahap ini diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara doktrin. 2. Moral Loving, merupakan penguat aspek emosi manusia untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empaty, cinta kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau akal. 3. Moral Doing/Acting, merupakan outcome dan puncak keberhasilan peserta didik dalam pembentukan karakter. Wujud dari tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari.19 Melalui ketiga tahapan tersebut, diyakini pembelajaran dan penilaian afektif dapat memberikan kontribusi dalam membentuk karakter peserta didik, khususnya untuk mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan, karena memang misinya mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata 19
Abdul Madjid, Op.Cit., hlm. 113.
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
115
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli
2015
pelajaran tersebut nilai karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pembangunan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring berkembannya karakter dalam diri peserta didik. Penutup Pembentukan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter yang dibangun melalui pembelajaran dan penilaian afektif bersifat inside out, dalam arti perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik, terjadi karena adanya dorongan dari dalam bukan adanya paksaan dari luar. Pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian atau karakter tidak dapat diajarkan hanya dalam bentuk pengetahuan saja, tetapi perlu adanya pembiasaan dalam perilakunya sehari-hari. Setelah menjadi teladan yang baik, guru harus mendorong siswa untuk selalu berperilaku baik dalam kehidupan seharhari. Oleh karena itu selain menilai, guru juga menjadi pengawas terhadap perilaku siswa sehari-hari di sekolah, dan disinilah pentingnya dukungan dari semua pihak. Karena di dalam metode pembiasaan siswa dilatih untuk mampu membiasakan diri berperilaku baik dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Referensi Abdul Madjid. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya, 2011. Agus Nuryatno. Kontribusi Pendidikan Agama Dalam Memperkuat Masyarakat Pluralistik Demokratik (Perspektif Islam) http:// interfidei.or.id/index.php?page=article&id=2, diakses tanggal 8 April 2015. Amin Abdullah. ‚Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam,‛ dalam Abd. Munir Mulkan, et.al.(ed.). Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. C. Ackerson. Affective Objectives: A Discussion of Some Controversies, Instructional Development, 3 (1). 116
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 03, No. 02 Juli 2015
D. W. Johnson & R. T. Johnson. "Conflict Resolution and Peer Meditation Programs in Elementary and Secondary Schools: A Review of the Research", Review of Educational, 66 (4). Doni Koesuma A. Pendidikan Karakter: Strategi mendidikan anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, 2010. E. Mulyasa. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Fathul Muin. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik. Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011. Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995. J. A Beane. Affect in the Curriculum: Toward Democracy,Dignity, Diversity. New York: Teachers College, Columbia University, 1990. Mochtar Buchori. Pendidikan dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. Permendiknas No 22 Tahun 2006. Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Tingkat Dasar dan Menengah. Roestiyah N.K. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Kontribusi Pembelajaran dan Penilaian Efekti................Asnah
117