KONTRIBUSI KH. MUHAMMAD SYAFI’I HADZAMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh
Yazid Awlawi NIM 1111011000039 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ABSTRAK
Yazid Awlawi (1111011000039). Kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam. Tujuan peneltian ini untuk mengetahui kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Penelitian ini juga bermanfaat dalam khazanah intelektual Islam dalam mengenal dan mengetahui Ulama-ulama Betawi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan dari sumber data primer, yaitu buku karya KH. M. Syafi’i Hadzami yaitu Taudhihul Adillah. Selain itu sumber sekunder dari buku biografi KH. M. Syafi’i Hadzami yang berjudul Sumur yang Tak Pernah Kering serta buku lain yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya membahas objek penelitian. Dari penelitian didapat kesimpulan bahwa kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam yaitu mengajar ta’lim di berbagai wilayah DKI, mengarang berbagai macam kitab atau karya tulis, merintis lembaga pendidikan, serta mencetak murid-murid yang berkualitas. Sehingga beliau layak dijadikan ulama yang menyandang predikat waratsatul anbiya.
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرّحمن الرّحيم Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala kekurangannya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah keharibaan Baginda Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan kepada zaman terang-benderang. Skripsi yang berjudul “Kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam” ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terlahir dari keluarga Betawi tidak serta membuat penulis merasakan pendidikan agama yang ketat dan super seperti kebanyakan orang Betawi pada umumya. Sekolah negeri di tingkat SD dan SMP tidak cukup menjadikan penulis seorang yang mempunyai minat dalam bidang keagamaan, hingga kebiasaan masyarakat Betawi yang doyan mengaji belum penulis rasakan sampai saat itu. Sosok Mu’allim Syafi’i Hadzami yang menginspirasi penulis menjadikan semangat dalam perburuan menuntut ilmu karena kesempatan mondok aatu nyantren tidak penulis miliki. Oleh karena itu sebagai rasa keta’zhiman penulis walaupun belum pernah bertemu, penulis mengangkat tema tentang Mu’allim Syafi’i Hadzami dengan kontribusinya dalam pendidikan Islam, dengan harapan semoga penulis mendapat cucuran hidayah serta keberkahan dari beliau. Amin. Menyadari bahwa halangan serta rintangan yang begitu berat terhadap suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. ii
Oleh karena itu sudah menjadi kepatutan untuk
penulis sampaikan
penghargaan yang tulus dan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). 2. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya. 3. Bapak Dr. KH. Akhmad Shodiq, MA selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini. 4. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan. 5. Orang tua penulis, Bapak M. Yasin serta Ibu Sumarsih tercinta, yang tidak bosan-bosannya memberi nasihat, do’a yang tulus setiap waktu serta dorongan motivasi kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. 6. Para guru dari penulis yaitu Ustadz Syahrullah, Ustadz Ahmad Wasi’, Ustadz Nazhori Idris, selaku pembiming ruhani yang senantiasa mendo’akan penulis. 7. Para informan yang telah memberikan data penelitian bagi penulis yaitu: Ustadz Hairul (Ilung), Ustadz Suhendi, KH. Fakhruddin alBantani, KH. Bahruddin Pondok Ranji, serta Ustadz Suhendi. 8. Adik-adikku tersayang, Farhan Fuadi dan Wildan Mukarrom yang selalu memberikan semangat kepada penulis, semoga kita bisa menjadi qurrota a’yun bagi kedua orang tua kita. 9. Faisal Abda’u sebagai sahabat senasib seperjuangan yang senantiasa memberikan nasihat kepada penulis serta sabar dalam kebersamaan melaksanakan bimbingan skripsi dengan Abi KH. Akhmad Shodiq.
iii
10. Teman-teman seperjuangan jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat KOPIAH (PAI A) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan terus memberikan semangat kepada penulis. 11. Muhammad
Firdaus
yang
telah
merelakan
waktunya
untuk
mendampingi penulis dalam silaturahmi untuk wawancara ke beberapa murid KH. Syafi’i Hadzami. 12. Bang Amrullah yang senantiasa menyediakan waktu untuk menemani serta menyediakan hidangan untuk penulis menyusun skripsi di kediaamannya daerah Rempoa. 13. Faisal Eka Juliansyah yang telah memberikan tantangan untuk sidang skripsi secepatnya, menjadikan lecutan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi penulis. 14. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan semangatnya untuk penulis, yaitu: Edo Hermawan, Rinastuti Rahayu yang merupakan rekan mengajar di SMP Tri Mulia JakSel. 15. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan Rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn. Jakarta, 30 Desember 2016
Yazid Awlawi
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK ................................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................................ v BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 4 C. Pembatasan Penelitian .................................................................................... 4 D. Perumusan Masalah ....................................................................................... 5 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................. 5 BAB II : KAJIAN TEORI A. Pendidikan Islam ............................................................................................ 6 1. Pengertian Pendidikan .............................................................................. 6 2. Pengertian Pendidikan Islam .................................................................... 7 3. Dasar-dasar Pendidikan Islam .................................................................. 9 4. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ....................................................... 10 B. Pendidikan Islam di Indonesia ....................................................................... 11 1.
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ................................................... 11
2.
Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia ....................................... 12
3.
Tokoh-tokoh (Ulama) Pendidikan Islam di Indonesia ............................ 15
C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya .............................................................. 18 D. Pertumbuhan Etnis Betawi ............................................................................. 21 E. Perkembangan Islam Masyarakat Betawi ...................................................... 23 F. Penelitian yang Relevan ................................................................................. 26
v
vi
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 27 B. Sumber Data ................................................................................................... 28 C. Metode Penelitian ........................................................................................... 30 D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................. 30 E. Teknik Analisis Data ...................................................................................... 33 BAB IV: PEMBAHASAN A. Pengertian Kontribusi..................................................................................... 33 B. Guru, Mu’allim, Ustadz, Sayyid dan Habib ................................................... 33 C. Biografi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ................................................... 35 D. Kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam ...................... 46 1.
Mengajar Ta’lim di Berbagai Wilayah DKI Jakarta ............................... 47
2.
Mengarang Berbagai Macam Kitab ........................................................ 51
3.
Merintis Lembaga Pendidikan ................................................................ 53
4.
Mencetak Murid-murid yang Berkualitas ............................................... 58
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 59 B. Implikasi ......................................................................................................... 60 C. Saran ............................................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 63 LAMPIRAN .............................................................................................................. 66
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Betawi kerap kali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari dahulu hingga kini, karena etnis Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi. Corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi perlu banyak dikaji, karena perhatian lebih banyak difokuskan kepada sejarah sosial, politik, kesenian dan kebudayaan serta kepurbakalaan. Masyarakat Betawi terbentuk relatif baru, yaitu sekitar permulaan abad ke-19 yang merupakan hasil percampuran dari berbagai suku bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar wilayah nusantara.1 Islam dalam masyarakat Betawi mempunyai warna tersendiri dan dalam sejarahnya Islam menjadi salah satu simbol pembeda yang sangat penting bagi orang Betawi dalam menghadapi penetrasi dari kekuatan luar.2 Peran Ulama yang sangat besar pada telah membuat tanah Betawi sangat kental akan keislaman. Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era Penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manaqib Syaikh Saman, maulid Barzanji serta Diba’. Semua merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadu bi anna muslimun (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekspresi teologis yang nyaris sepi dari politik, namun penjajah Belanda dibuat tak berkutik.3 Islamisasi yang terjadi pada masyarakat Betawi berbeda dengan etnis lainnya seperti Sunda atau Jawa yang mengalami proses Islamisasi ketika mereka sudah mapan sebagai suatu komunitas. Sedangkan etnis Betawi mengalami proses
1
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet. ke-1
hal. 2 2
Ibid., hal. 4 Yasmine Zaki Shahab (ed), Betawi dalam Perspektif Kontemporer, Perkembangan, Potensi dan Tantangan, (Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997), hal. 96 3
1
2
Islamisasi berbarengan dengan pembentukan etnisnya. Jadi dua proses (Islamisasi dan pembentukan etnis) terjadi dalam waktu yang sama.4 “Masyarakat Betawi” yang dilukiskan oleh KH. Abdussalam Djaelani adalah masyarakat yang fanatik pada agama Islam, terlebih masyarakat Betawi di wilayah Jakarta Selatan yang fanatik terhadap aqidahnya, prinsip, bukan sekedar ikut-ikutan.5 Wajah Betawi tidak lepas dari sejarah yang melingkupinya, mulai dari peran Ulama yang membetuk identitas kebetawian dan masjid sebagai pusat penyebaran dan pembelajaran agama Islam. Di antara para Ulama Betawi yang terkenal dan memiliki kontribusi besar dalam pendidikan Islam di tanah Betawi adalah KH. Abdul Mughni, KH. Ahmad Marzuqi, KH. Muhammad Mansyur, dll. Di era pembaruan abad ke-20 yang terkenal adalah KH. Abdullah Syafi‟i dengan pesantren Asy Syafi‟iyah, Radio AKPI Asy-Syafi‟iyyah, kemudian KH. Noer Ali dengan Pesantren At Taqwa yang didirikannya. Selanjutnya ada KH. Tohir Rohili yang peduli akan pendidikan orang Betawi dengan mendirikan Universitas At Thahiriyyah, lalu ada KH. Rahmatullah Shiddiq dengan Pondok Pesantren Al Falah, terakhir yang akan menjadi pembahasan penulis adalah KH. Syafi‟i Hadzami dengan mendirikan Perguruan Al „Asyirotus Syafi‟iyyah dan Pesantren Al „Arba‟in. Begitu banyaknya kontribusi para Ulama Betawi untuk pendidikan Islam untuk masyarakat Betawi. Perjuangan mereka yang begitu luar biasa sehingga patut rasanya bagi kita untuk bangga dan tidak melupakan apa yang telah diberikan oleh mereka. KH. Syafi‟i Hadzami adalah Ulama yang luar biasa, beliau tidak mondok ke Timur Tengah atau belajar di pondok pesantren layaknya Ulamaulama Betawi lainnya, tapi kualitas keilmuan beliau tidak bisa dibantahkan lagi kedahsyatannya. Beliau hanya berguru kepada Ulama di wilayah Jakarta seperti Guru Sa‟idan (Kemayoran), Guru Ya‟qub (Kebon Sirih), Guru Kholid (Gondangdia), Guru Madjid (Pekojan). Salah satu guru utama beliau adalah Habib Ali bin Hussein Al Atthas biasa dipanggil Habib Ali Bungur.
4
Abdul Aziz, Op Cit., hal. 3 Tuty Alawiyah AS, (Penyunting), KH. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, (Jakarta: Perguruan Islam Asy-Syafi’iyah, 1999), hal. 28 5
3
Ulama-ulama sekelas Syekh Yasin Al Fadani pun tidak mau menganggap beliau murid karena mereka mengetahui dan menghormati keilmuan beliau yang luar biasa. Beliau mendirikan Yayasan Perguruan Al Asyirotus Syafi‟iyyah yang di
dalamnya
merupakan
sekolah
pendidikan
dari
Ibtidaiyyah
sampai
Tsanawiyyah. Beliau juga mengisi pengajian di masjid-masjid di berbagai wilayah Jakarta, serta pada usia muda sudah dipercaya sebagai pengisi ceramah di Radio Cendrawasih,
serta
menjawab
berbagai
permasalahan
agama,
sehingga
memerlurkan karya kitab Taudhihul Adillah yang terdiri dari 7 jilid, masingmasing jilid terdapat 100 pertanyaan dan jawaban. Kontribusi besar yang sukses beliau ciptakan adalah mendirikan Pesantren Al Arba‟in yang menpunyai visi misi untuk mencetak Ulama-ulama muda. Penerimaannya pun hanya 40 orang sesuai nama pesantren untuk dididik, digembleng serta dimatangkan pengetahuan agama Islamnya. Pesantren tersebut sudah banyak menelurkan Kyai-Kyai dan Ulama-ulama muda yang siap menyampaikan dakwah di tanah Betawi ataupun luar Betawi. Hidupnya benar-benar didedikasikan untuk agama dan umat. Beliau ibarat sebuah universitas yang di dalamnya terdapat beberapa fakultas-fakultas keilmuan. Beliau menguasai segala ilmu dalam bidang agama. Beliau mufassir, ahli ilmu qiraat, ahli grammar, mutakallim, dan berbagai ilmu lain yang terkenal dengan 12 fan ilmu.6 Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KH. Syafi‟i Hadzami merupakan sosok Ulama kharismatik yang berperan sentral dalam pendidikan Islam di tanah Betawi. Beliau merupakan tokoh yuang disegani oleh msyarakat Betawi di Jakarta, khususnya daerah Gandaria, Kebayoran Lama. Para Ulama Betawi dan Ulama Timur Tengah juga segan dan hormat kepada beliau.7
6
Wawancara degan KH. Fakhruddin Al-Bantani, Minggu: 28 Oktober 2016 pukul 15:00 WIB Suatu ketika murid KH. M. Syafi’i Hadzami yaitu Ali Yahya mengalami kesulitan dalam masalah fiqih yang berkaitan dalam masalah haji sewaktu ia di Mekkah. Maka ia menanyakan kepada Kiai Damanhuri, seorang ulama yang tinggal dan menuntut ilmu di Mekkah. Ternyata beliau menjawab, ”Ente kan anak Jakarta. Ente kenal Syafi’i Hadzami dan ente muridnya sebagaimana yang ente katakan. Jangan tanya masalah itu sama saya. Nanti kalau pulang, bawa masalah itu dan tanyakan pada Syafi’i Hadzami. 7
4
Keberhasilannya dalam menuntut ilmu tanpa pesantren atau mondok mematahkan sangkaan kebanyakan orang yang beranggapan bahwa jika mau menjadi seorang Ulama harus melewati pendidikan di pesantren. Hal ini menjadi lecutan semangat bagi para penuntut ilmu khususnya penulis sendiri, bahwa sikap istiqomah dan ta‟zhim kepada gurulah yang menjadikan seorang itu sukses dalam menuntut ilmu. Pengorbanan waktu, tenaga dan kesenangan dunia juga diperlihatkan oleh beliau dalam menuntut ilmu, sehingga menggugah penulis untuk serius dan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menuntut ilmu. Untuk itu penulis sebagai salah seorang yang berdarah Betawi merasa penjelasan tentang kontribusi pendidikan Islam yang diberikan oleh KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami penting untuk dikaji secara akademis dalam skripsi yang penulis beri judul: “Kontribusi KH. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Kurangnya perhatian terhadap kontribusi KH. Syafi‟i Hadzami terhadap pendidikan Islam. 2. Rendahnya minat generasi muda Betawi terhadap Sejarah Para Ulama Betawi yang telah berjasa besar terhadap pendidikan Islam. 3. Masih sedikitnya kajian tentang sejarah intelektual keislaman yang dikaji tentang Betawi.
C. Pembatasan Masalah Mengingat banyaknya Ulama Betawi yang berjasa bagi masyarakat Betawi maka penulis membatasi permasalahan untuk berfokus pembahasan Ulama Betawi dikhususkan kepada KH. Muhammad Syafi’i Hadzami. Selanjutnya karena luasnya Tanah Betawi yang ada di Jakarta yang terdiri dari lima wilayah kota administrasi serta satu kabupaten, maka penulis membatasi
5
untuk membahas pada wilayah tempat tinggal Ulama yang akan penulis bahas yaitu daerah Gandaria, Kebayoran Lama dan sekitarnya.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Apa saja kontribusi KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kontribusi KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan informasi tentang apa saja kontribusi KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami dalam pendidikan Islam. 2. Secara teoritis, dapat semakin memperkaya khazanah intelektual Islam pada umumnya dan bagi akademika Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam. 3. Menambah wawasan ilmu pengetahuan Islam serta dapat menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya sehingga proses pengkajian secara mendalam akan terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal. 4. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II
KAJIAN TEORI A. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pergaulan dengan anak-anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).1 Pendidikan bisa berarti pemeliharaan dengan penuh kasih sayang agar dipelihara dapat berkembang dengan baik dan memberi manfaat bagi manusia dan bagi alam itu sendiri, lantaran di antara satu alam dengan lainnya saling membutuhkan dalam ekosistem. Misalnya, air jika dipelihara dengan baik akan memberi manfaat bagi manusia, tumbuhan, binatang dan seterusnya. Pada tingkat operasional pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah, antara lain beliau telah membacakan ayat-ayat Tuhan kepada manusia, membersihkan mereka dari kemusyrikan dan mengajarkan kepada manusia kitab dan hikmah (QS. 62:2). Kata mensucikan pada ayat tersebut menurut M. Quraisy Shihab, dapat diidentikkan dengan mendidik, sedang mengajar, tidak lain kecuali mengisi benak anak-anak dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika dan fisika. Berdasarkan pernyataan di atas, pendidikan berarti berkaitan dengan menyucikan, membentuk perilaku dengan adab sopan santun.2 Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, mendefinisikan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.3
1
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD PRESS, April 2005), hal. 17 Ibid. hal. 186-188 3 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 28 2
6
7 `
Menurut M. Arifin dalam bukunya menjelaskan, “Pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadiannya serta kemampuan dasar anak didik, baik dalam pendidikan formal maupun non formal.”4 Sedangkan menurut Hasan Langgulung bahwa “Pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.”5 Sementara itu, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sistematis dalam membimbing anak manusia yang berlandaskan pada proses individual dan sosialisasi dalam mengembangkan serta memberi pengetahuan ilmu dari segala bidang apapun terhadap seseorang yang belum mengetahuinya atau belum memahaminya. 2. Pengertian Pendidikan Islam Agama Islam adalah agama yang universal, mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.6 Islam adalah damai, sentosa dan aman. Agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan untuk umat manusia, melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW. Tujuan ajaran Islam yaitu untuk mendorong manusia agar patuh dan tunduk kepada Tuhan, sehingga terwujud keselamatan, kedamaian, aman dan sentosa, serta sejalan pula dengan misi ajaran Islam, yaitu menciptakan kedamaian di
4
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. ke-4, hal. 14 5 Abuddin Nata, Loc. cit., hal. 28 6 Zuhairin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 98
8 `
muka bumi dengan cara mengajak manusia untuk patuh dan tunduk kepada Tuhan. 7 Kata “Islam” dalam “Pendidikan Islam” menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam.8 Salah satu di antara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Kerena menurut ajaran Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal kehidupannya. Jika kita memperhatikan wahyu yang pertama kali turun kepad Nabi Muhammad SAW yaitu QS. al-„Alaq:1-5, telah nyata bahwa Allah menekankan perlunya orang untuk belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Urgensi ini bahkan sampai diawali dengan fi‟il amer yang berarti perintah pada kata “Iqro” di awal ayat. Jika disambungkan dengan kaidah Ushul Fiqih maka “alAshlu fil amri lil wujub”, yang artinya asal pada perintah itu menunjukkan kepada kewajiban. Islam di samping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh umatnya
untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi, Islam
mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Melakukan proses belajar dan mengajar
adalah
bersifat
manusiawi,
yakni
sesuai
dengan
harkat
kemanusiaannya, sebagai makhluk homo educandus, dalam arti manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Banyak ayat al-Qur‟an dan hadits yang menjelaskan hal teresebut, diantaranya:9 M. Arifin memandang pendidikan Islam sebagai proses mengarahkan dan membimbing anak didik ke arah pendewasaan pribadi yang beriman, berilmu
7
Abuddin Nata, Op. Cit., hal. 32 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, hal. 24 9 Zuharin, dkk, Op. cit., hal. 98-101 8
9 `
pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam perkembangannya untuk mencapai titik optimal kemampuannya.10 Samsul Nizar mendefinisikan bahwa pendidikan Islam sebagai rangkaian proses yang sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada anak didik, mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik sehingga anak didik mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama (al-Qur‟an dan Hadits) pada semua dimensi kehidupannya.11 Proses kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada di dalam nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlakul karimah.12 3. Dasar-dasar Pendidikan Islam Dasar atau fundamen dari suatu bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya bengunan itu. Pada suatu pohon dasar atau pundamennya adalah akarnya. Fungsinya yaitu mengokohkan berdirinya pohon itu.13 Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas pendidikan. Karena dsar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan landasan pandangan hidup yang kokoh dan komprehensif, serta tidak mudah berubah.14 Menurut al-Syaibany dasar pendidikan Islam adalah identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al10
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bina Aksara, 1991),
hal. 44 11
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2001), hal. 94 12 M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), Cet. ke-1, hal. 13 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma‟arif, 1980), Cet. ke-4, hal. 38 14 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 59
10 `
Qur‟an dan hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk qiyas syar‟i, ijma‟ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan manusia dan akhlak, dengan merujuk kepada kedua sumber asal (al-Qur‟an dan Hadits) sebagai sumber utama.15 4. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam Setiap kegiatan yang dijalankan pasti memiliki tujuan, dan tujuan dari sebuah kegiatan biasanya untuk mencapai sesuatu yang baik, terarah dan mempunyai manfaat. Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam terlihat sangat besar dalam membangun peradaban manusia. Artinya, peradaban dan kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang melalui pendidikan. Menurut Omar al-Toumy al-Syaibani yang dikutip oleh Jalaluddin, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga tercapai tingkat akhlakul karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia agar berakahlak mulia” kemudian akhlak mulia yang dimaksud, diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungan dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.16 Zakiah Daradjat berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT.17 Sedangkan Umar Tirta mengemukakan: “Bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang mempunyai hubungan vertikal (dengan Tuhan), horizontal (dengan lingkungan)
15
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) 16 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 92 17 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hal. 41
11 `
dan konsentris (dengan diri sendiri) yangn berimbang antara duniawi dan ukhrawi.”18 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalam perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik tingkah laku individu maupun kehidupan masyarakat. B. Pendidikan Islam di Indonesia 1.
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Sejarah pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia,
yaitu kira-kira abad ke-10 masehi. Ahli sejarah umumnya sependapat bahwa agama Islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera bagian Utara di daerah Aceh. Dalam mengetahui sejarah masuknya Islam, tahun berapa, dan siapa yang mula-mula memasukkan? Tidaklah dapat jawaban yang pasti dalam sejarah. Namun bukti kuat masuknya Islam sekitar abad ke-10 berdasarkan berdirinya kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu kerajaan Samudra Pasai, yang dalam sejarah tercatat berdiri pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi‟i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.
19
Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan ahli sejarah, bahwa orang Arab atau Islam telah mengenal pulau Sumatera dalam abad ke sembilan. Oleh sebab itu, banyak di antara mereka itu datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau Indonesia yang lain untuk berniaga sekaligus mereka menyiarkan agama Islam kepada penduduk negeri. Secara berangsur-angsur penduduk negeri tertarik kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu tidak heran, bahwa agama Islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad kedua belas.
18 19
Umar Tirta Raharja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rangka Cipta, 1995), hal. 2 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal.135
12 `
2.
Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena
didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama yang diwujudkan adalah kesadaran berorganisasi. Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui media pendidikan namun tidak banyak membawa hasil, justru berakibat sebaliknya makin menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda. Sikap dan rasa nasionalisme tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat melalui pendidikan. Kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh nasionalisme menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Kemudian lahirlah Perguruan-Perguruan Nasional yang ditopang oleh usahausaha swasta (partikelir) menurut istilah waktu itu yang berkembang pesat sejak awal tahun 1900 an. Para pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insyaf bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu: a.
Sesuai dengan haluan politik, seperti: 1) Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta 2) Sekolah Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis 3) Ksatrian Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung. 4) Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung
b.
Sesuai dengan tuntutan/ajaran agama (Islam), yaitu: 1) Sekolah-sekolah Serikat Islam 2) Sekolah-Sekolah Muhammadiyah
13 `
3) Sumatera Tawalib di Padang Panjang 4) Sekolah-Sekolah Nahdlatul Ulama 5) Sekolah-Sekolah Persatuan Ulama Islam (PUI) 6) Sekolah-Sekolah al-Jami‟atul Wasliyah 7) Sekolah-Sekolah Al-Irsyad 8) Sekolah-Sekolah Normal Islam 9) Dan masih banyak sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan kepulauan Indonesia baik dalam bentuk pondok pesantren maupun madarasah. Berikut ini adalah kilasan tentang organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak aktivitas kependidikan Islam, yaitu: a.
Al-Jami‟at al-Khairiyyah Organisasi yang lebih dikenal dengan nama Jami‟at Khair ini didirikan di
Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal-usul. Umumnya anggota dan pimpinannya terdiri dari orangorang yang berada yang memungkinkan penggunaan waktu mereka untuk perkembangan organisasi tanpa mengorbankan usaha pencarian nafkah. b.
Al-Islah wal Irsyad Syeikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912,
seorang alim yang terkenal dalam agama Islam, beberapa lama kemudian meninggalkan Jami‟at Khair dan mendirikan gerakan organisasi sendiri bernama Al-Islah wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme). Pada tahun 1941 berdirilah perkumpulan Al-Islah wal Irsyad, kemudian terkenal dengan sebutan Al-Irsyad, yang terdiri dari golongan-golongan Arab bukan golongan Alawi. Tahun 1951 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu.
14 `
c.
Persyerikatan Ulama Persyerikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di
daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan saudara-saudaranya mempunyai
hubungan yang erat
secara kekeluargaan dengan orang-orang dari kalangan pemerintah. d.
Muhammadiyah Salah sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum
perang dunia II sampai sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan denga tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H, oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. e.
Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (3 Januari
1926) di Surabaya. Yang mendirikannya adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur, di antaranya ialah: 1) KH. Hasyim Asy‟ari Tebuireng 2) KH. Abdul Wahab Hasbullah 3) KH. Bisri Jombang 4) KH. Ridwan Semarang 5) KH. Nawawi Pasuruan 6) KH. R. Asnawi Kudus 7) KH. R. Hambali Kudus 8) Kyai Nakhrawi Malang 9) KH. Doromuntaha Bangkalan 10) KH. M. Alwi Abdul Aziz 11) Dan lain-lain
15 `
f.
Persatuan Islam Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an
ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, meskipun Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini semenjak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah sebuah cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi.20
3.
Tokoh-Tokoh (Ulama) Pendidikan Islam di Indonesia Semakin majunya pendidikan di Indonesia tidak lepas dari peran para tokoh
pemikir pendidikan. Di antara beberapa tokoh pendidikan Islam di Indonesia adalah: a.
KH. Ahmad Dahlan K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama
kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid besar (Jami‟) Kasultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putrid Haji Ibrahim, seorang penghulu.21 Beliau menggantikan kedudukan ayah menjadi khatib masjid besar Kauman Yogyakarta dan dianugrahi gelar Kathib Amin di samping jabatannya yang resmi itu. Pada tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotannya. Dengan jalan ini ia berharap akan dapat akhirnya memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, oleh sebab anggota-anggota Budi Utomo itu pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan juga di kantor-kantor pemerintah.22 Di bidang pendidikan, Ahmad Dahlan berusaha memmberikan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam. Selain mendirikan perkumpulan Muhammadiyah 20
Zuhairin., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PTAI, 1986), hal. 210-215 21 Ibid., hal. 201 22 Ibid., hal. 203
16 `
pada tahun 1912 M, beliau juga membangun sekolah-sekolah formal. Lahirlah kemudian lembaga-lembaga pendidikan modern, yang memadukan antara ilmuilmu agama (Islam) dengan ilmu-ilmu modern. Ahmad Dahlan kemudian melangkah dengan nuansa Islam yang baru. Pikiran-pikiran pembaruan yang disampaikan lewat tablignya banyak memukau kalangan intelektual dan kaum terpelajar Islam di Indonesia. Tidak kurang para aktivis Boedi Oetomo ikut terpesona dan sering mengundang Ahmad Dahlan untuk memberikan ceramahnya.23 b.
K.H. Hasyim Asy‟ari K.H. Hasyim Asy‟ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871 M di
Jombang Jawa Timur, mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy‟ari. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain. Beliau bermukim selam 8 tahun ke Mekkah untuk menuntut agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan membuka ilmu pengetahuaanya, yaitu Pesantren Tebu Ireng di Jombang (pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899 M)24. Selain mengembangkan ilmu di Tebu Ireng ia juga turut membangunkan perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan ia sebagai Syekhul Akbar dalam perkumpulan itu. Selain daripada itu K.H. Hasyim Asy‟ari duduk dalam pucuk pimpinan M.I.A.I. yang kemudian menjadi Masyumi. Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliau mempunyai sandaran hidup sendiri, yaitu beberapa bidang sawah, hasil peniagaannya. Beliau seorah salih, sungguh beribadat, taat dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat dan kursi, baik di zaman Belanda, atau di zaman Jepang. Kerap kali beliau diberi pangkat dan kursi, tetapi ia menolak dengan bijaksana.25 23
Kholid O. Santosa, Manusia Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam, (Bandung: Sega Arsy, 2007), hal. 12-13 24 Deliar Noer, Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal.62 25 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya), hal. 237- 238
17 `
K.H. Hasyim Asy‟ari juga merupakan sosok pengarang produktif yang telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku. Diantara karya K.H. Hasyim Asy‟ari yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al- muta’alim fima yahtaj ila al-muta’allim fi ahwal ta’allum wa ma yataqaff al-muta’allim fi maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu terdiri dari 8 bab, yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus dipedomani oleh guru, etika guru ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan etika terhadap buku.26 c.
Mahmud Yunus Mahmud Yunus lahir di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10
Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Beliau termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di bidang pendidikan setelah kembali ke Indonesia yaitu memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di sana yang bernama al-Jami‟ah al-Islamiyah, dengan mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu umum yaitu Normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan diutamakan pada metode mengajar bahasa arab. Mahmud Yunus memiliki komitmen dan perhatian yang besar terhadap upaya membangun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Dia ingin lulusan pendidikan Islam mutunya lebih baik dan mampu bersaing dengan lulusan sekolah yang sudah maju, beliau juga menawarkan pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa arab, mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal, cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia dan jenjang
26
Kholid O. Santosa, op.cit., hal. 27-28
18 `
pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi.27 Mahmud Yunus bukan hanya mengajarkan tentang kebahasaannya, tapi juga bagaimana cara mudah dan cepat untuk bisa menguasai bahasa Arab. Pada tanggal 16 Januari 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia di Jakarta.28 d.
Imam Zarkasyi Dilahirkan di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1901 M dan
meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.29 Semasa hidup beliau pernah menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Selain itu, beliau juga orang yang aktif dalam bidang pendidikan, sosial dan politik negara. Imam Zarkasyi juga seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Banyak sekali karyanya yang hingga saat ini dapat dinikmati. Beliau juga rajin menulis beberapa petunjuk teknik bagi para santri dan guru di Pondok Gontor dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangannya hingga kini masih dipakai di KMI Gontor dan pondok-pondok pesantren yang didirikan para alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.30 e.
Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain pendidikan Islam di Indonesia
C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya Kata ulama adalah berasal dari kata Jama’-A’lima yang mempunyai arti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap. 31 Dalam alQur‟an terdapat dua kata “ulama”, yaitu pada surat Fatir:2832 dan surat Asy-
27
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia,( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hal. 57-70 28 Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 90 29 Abuddin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 157 30 Ibid., hal. 195 31 Abdul Qodir Djaelani, Peran Ulama danSantri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia , (Surabaya: PT Bina Ilmu,1990), hal. 3 32 “…. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
19 `
Syu‟ara: 196 - 197
33
. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ulama
adalah seseorang yang memiliki kepribadian akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk, patuh dan “khasyyah” (takut) kepada-Nya. Nabi Muhammad SAW memberikan rumusan tentang ulama itu sendiri yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang berakhlak Qur‟ani yang menjadi warotsatul anbiya (pewaris para nabi), qudwah (pemimpin dan panutan) , khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia.34 Pada masa Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi, seperti ahli fikih disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakalim, ahli tasawuf disebut mutasawif dan ahli tafsir disebnut mufasir. Sementara orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama tetapi ahli di dalam bidangnya masing-masing.35 Di Indonesia, ada beberapa macam istilan atau sebutan ulama. Di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Timur disebut Kiai, di daerah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara disebut Tuan Guru. Adapun ulama yang memimpin tarekat disebut Syaikh.36 Sedangkan ulama di Betawi disebut Guru, Muallim dan Ustadz.37 Dalam konteks kemasyarakatan, status ulama adalah informal leader (pemimpin non formal) yang diangkat dan diakui oleh masyarakat sebagai pemimpin yang disegani, dipatuhi, dijadikan sumber bertanya dan pertukaran 33
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang dahulu. Dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya? 34 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2001), hal. 32-33 35 Ibid., hal. 33 36 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 120-121 37 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: Gunara Kata, 2001), hal. 200-202
20 `
pikiran bagi masyarakat. Oleh karenanya, status ulama sebagai informal leader masih berlaku selama masyarakat yang dipimpinnya masih mengakui atau menerimanya sebagai pemimpin. Kendati sebagai pemimpin non formal, ulama memiliki peranan yang signifikan terhadap perubahan suatu sosial masyarakat.38 Sebagai pewaris para nabi, para ulama menjalankan fungsi-fungsi kenabian, seperti mendidik untuk menyempurnakan akhlak mulia di kalangan masyarakat, berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran dan lain-lain. Ulama juga bertugas menyebarkan pengetahuan dan pengalaman ajaran-ajaran Islam sehingga masyarakat yang dicita-citakan agama terwujud. Ulama di samping memiliki pengetahuan dan ketaatan dalam menjalankan agama, mereka juga harus mempunyai kepedulian terhadap penderitaan manusia, baik moral maupun material dan terhadap orang-orang yang beriman dan jama‟ah binaanya bersikap kasih sayang.39 Mengenai konsep ulama dan tugas yang diembannya, maka tugas-tugas yang mereka emban tidak berubah. Oleh karenanya, peran yang harus dimainkan secara garis besar adalah sama dari masa ke masa. Persoalannya terletak pada pendekatan yang mereka gunakan dan dapat berubah serta berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu dan tuang tertentu. Mengenai perkembangan situasi dan kondisi itu, perubahan juga dapat terjadi pada konsep ulama sebagaimana yang dipahami oleh umat, bukan seperti disebutkan dalam teks suci. Oleh karenanya, konsep ulama di masa lampau bisa berbeda dengan konsep yang dianut pada masa sekarang. Perbedaan konsep itu tentu saja akan menyebabkan perbedaan peran yang mereka mainkan yang secara teknis berbeda.40
38
Ahmad Fadli HS, Organisasi dan Administrasi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2002),
hal. 23 39
Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi, Op Cit., hal. 35 Badri Yatim, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi dalam Abdul Aziz, Islam & Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002), hal. 132 40
21 `
D. Pertumbuhan Etnis Betawi Tidak ditemukan laporan tertulis mengenai kota Jakarta ketika masih bernama Sunda Kelapa dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sejarawan Portugis Baros, yang mencatat peristiwa perjanjian perdagangan antara Portugis dengan Pajajaran pada tahun 1522 memperkirakan jumlah penduduk Sunda Kelapa 15.000 orang. Sementara itu pengunjung Belanda paling awal memperkirakan penduduk Sunda Kelapa 2.000 keluarga atau 10.000 orang, tanpa menyebutkan identitas etnisnya.41 Ketika Sunda Kelapa dikuasai oleh Fadhilah Khan juga tidak ditemukan keterangan apapun
mengenai penduduk atau
kelompok etnis yang mendiami kota itu, melainkan hanya perubahan nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Memasuki abad ke 17, Jayakarta berkembang sebagai pelabuhan dagang dan mulai mengadakan perjanjian perdagangan dengan orang-orang Inggris dan perusahaan Belanda VOC. Pada masa ini pun tidak ada catatan mengenai penduduk dan identitas etnis mereka. Sekitar tahun 1619 terjadi pertikaian antara Jayakarta dan VOC yang saat itu dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen yang berakhir dengan peperangan dan Jayakarta berhasil dikuasai oleh Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Sementara pengikut pangeran Jayakarta melarikan diri, antara lain ke daerah Jatinegara Kaum sekarang. Setelah berhasil membumi hanguskan Jayakarta, VOC membangun kota baru bernama Batavia42, di atas reruntuhan kota Jayakarta yang kemudian dijadikan basis utama VOC. Batavia dibangun dalam bentuk yang berbeda dibanding kebanyakan kota-kota di Jawa. Bentuk kota Batavia itu meniru gaya kota di Eropa, khususnya Belanda dengan ciri utama tembok pembenteng yang mengitari pusat kota dan kali-kali buatan yang membelah bagian kota sekaligus menghubungkan aliran-aliran sungai alamiah. Jumlah penduduk Batavia relatif jarang karena Jan Pieterszoon Coen tidak memberikan kesempatan kepada penduduk pedalaman Jawa untuk bermigrasi ke Batavia dengan alasan keamanan. 41
Abdurrahman Surdjomiharjo, Beberapa Segi Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, hal. 21 42 Nama Batavia ini diberikan oleh seorang pegawai VOC yang bernama Van Raay pada tanggal 12 Maret 1619.
22 `
Namun guna memenuhi keperluan membangun pertahanan dan perdagangan akhirnya Jan Pieterszoon Coen secara terbatas membolehkan orang Cina dari Banten dan Malaka untuk tinggal di Batavia. Selain mendatangkan orang Cina, Jan Pieterszoon Coen juga membolehkan orang-orang Moor43, orang Melayu dan orang Bali untuk menetap di Batavia. Catatan harian yang dibuat Belanda yang berdiam dalam benteng kota Batavia tahun 1673, penduduk Batavia dan sekitarnya kala itu berjumlah 33. 687 orang, sebagian di dalam benteng dan sebagian lagi di luarnya. Tahun 1779, penduduk di dalam benteng tercatat 12.131 orang, sementara di luar benteng 160.968 orang. Tetapi pada tahun 1788 jumlah penduduk berkurang akibat terjangkitnya wabah penyakit. Catatan penduduk di dalam maupun di luar benteng tidak diklasifikasikan berdasarkan etnisitas, agama dan status sosial, sehingga sulit untuk mengetahui, misalnya berapa jumlah pribumi yang beragama Kristen, atau berapa budak yang berasal dari kepulauan Nusantara.44 Pada tahun 1930, terdapat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda berdasarkan etnis yang relatif kategoris. Berdasarkan sensus ini penduduk Batavia telah berlipat ganda dibanding tiga dekade sebelumnya, menjadi 786.800 orang. Dari sensus ini juga diketahui, penduduk yang tinggal di wilayah Batavia dan Mr. Cornelis (sekarang Mester-Jatinegara) yang pada dasarnya merupakan wilayah inti Batavia, tercatat 533.015 oarng.45 Hasil sensus pada tahun 1930, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makassar, Sumbawa, dsb. Tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis penduduk Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat. Sebaliknya, selain muncul kelompok etnis pendatang seperti Minangkabau, Batak dan Madura, juga telah lahir sebuah kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar. Para ahli menyatakan bahwa sebuah kelompok etnis 43
“Moor”, yaitu orang Islam dari India Selatan. Perkampungan orang Moor disebut dengan “Pakojan”. Orang-orang ini juga diduga merupakan keturunan komunitas muslim asal Arab yang telah lama menetap di Gujarat, India Selatan. Dan berasal dari komunitas Khojjah yang kemudian diperkirakan menjadi nama Kampung Pakojan. Lih. Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 13 44 Sobri, KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2006), hal. 11 45 Ibid., hal. 17
23 `
baru yaitu Betawi telah terbentuk secara jelas sekitar pertengahan abad ke-19, sebagai hasil peleburan dari berbagai kelompok etnis.46
E. Perkembangan Islam dan Masyarakat Betawi Disebutkan bahwa fakta sejarah masuknya Islam di Jakarta mulai terjadi pada abad ke 14 Masehi. Masuknya Islam di Batavia (Jakarta)
dirunut dari
berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Waktu itu dikenal seorang Syekh bernama Syekh Quro, yang bernama asli Syekh Hasanuddin, yang kemudian diketahui berasal dari negara Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Pulau Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro urung meneruskan perjalanannya ke Jawa Timur karena dia menikah dengan penduduk setempat dan membangun pesantren di Quro. Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Dalam perkembangannya, seorang santri pesantren Quro, Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Kian Santang yang kelak menjadi penyebar Islam di Pajajaran dan Batavia, sehingga banyak warga Betawi menjadi pengikutnya.47 Pada waktu itu Kerajaan Pajajaran mendudukin wilayah Batavia atau Jakarta yang sebelumnya masih bernama Sunda Kelapa. Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar. Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kian Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, 46
Ibid., hal. 19 http://www.maharprastowo.com/2011/02/perkembangan-islam-di-batavia.html pada 19 Januari 2015 47
diakses
24 `
Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke. Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh datodato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi. Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki „ilmu‟ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan resi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur). Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi „isi‟ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527). Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi. Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan
25 `
atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat. Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi. Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi‟ie, dan KH Tohir Rohili. Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.48 Pembacaan rawi, manaqib, ratib juga banyak dijumpai di penjuru daerah masyarakat Betawi. Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi‟i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama‟ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayyul, bid‟ah, dan khurafat).49
48
https://alwishahab.wordpress.com/2009/12/10/penyebaran-islam-di-betawi-2/ diakses pada 19 Januari 2015 49 Ahmad Fadli, HS, Ulama Betawi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011), hal. 61-63
26 `
F. Penelitian yang Relevan Penulisan kajian tentang kontribusi KH. M. Syafi‟i Hadzami ini memiliki penelitian yang relevan, diantaranya: 1. Ahmad Fadli, HS., sebuah tesis yang berjudul “Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulam Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19”, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia tahun 2006. Tesis ini kemudian dicetak menjadi buku pada tahun 2011 dengan judul “Ulama Betawi” disertai penambahan materi yang tidak ada pada saat berbentuk tesis. Tesis atau buku itu berisi penelitian tentang jaringan ulama Betawi yangn belajar langsung kepada ulama Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah serta upaya pembaharuan keagamaan di Betawi abad ke-19 dan 20. 2. Sobri, sebuah skripsi yang berjudul “KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi”, UIN Syarif Hidaytullah Jakarta, tahun 2006. Pada skripsi ini diuraikan bagaimana biografi, aktivitas serta peranan KH. Thohir Rohili terhadap masyarakat Betawi. 3. Maya Maryati, sebuah skripsi yang berjudul “Peran KH. Ahmad Sanusi dalam Pendidikan Islam”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014. Pada skripsi ini diinformasikan biografi serta peranan KH. Anwar Sanusi dalam pendidikan Islam.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekonstruksi masa lampau dari objek penelitian itu ditempuh melalui metode Historis, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik sejarah, interpretasi: analisa dan sintesis, dan penulisan.1 A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “Kontribusi KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami dalam Pendidikan Islam” ini dilaksanakan di Pesantren Al-„Asyirotus Syafi‟iyyah, tepatnya di daerah Jl. KH. M. Syafi‟i Hadzami, Gandaria, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dalam proses pengumpulan data dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahap persiapan dimulai pada tanggal 28 April 2016. Pada tahap persiapan ini, penulis merinci daftar keluarga KH. M. Syafi‟i Hadzami. Mulai dari istri, anak, sampai murid-murid beliau. Kedua, pada bulan Mei 2016 penulis pertama kalinya berangkat ke Pesantren Al-„Asyirutos Syafi‟iyah di Gandaria yang dibangun oleh KH. M. Syafi‟i Hadzami untuk memperoleh sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari lembaran ataupun buku-buku autobiografi, tulisan tentang beliau ataupun karya-karya beliau. Selain itu penulis silaturahmi ke rumah keluarga KH. M. Syafi‟i Hadzami yang berada di pesantren tersebut guna mendapatkan informasi tentang beliau. Penulis juga memperoleh kutipan yang bersangkutan dari perpustakaan, internet, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan kontribusi KH. M. Syafi‟i Hadzami dalam pendidikan Islam dari beberapa sumber sebagai sumber sekunder. Pada Mei 2016, penulis pun berangkat kedua kalinya ke Gandaria tepatnya pesantren beliau guna mencari dokumentasi yang tersedia sekaligus digunakan untuk penelitian dalam bentuk wawancara dengan salah seorang keluarga dari KH. M. Syafi‟i Hadzami. Setelah didapatkan hasil wawancara dari keluargakeluarga beliau, kemudian penulis mendatangi murid-murid beliau yang umumnya sekarang masyhur menjadi „Ulama penerus beliau di daerahnya 1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hal. 91
27
28
masing-masing. Murid-murid beliau yang penulis datangi diantaranya adalah Ustadz Suhendi (Rawa Belong), H. Basri Muhajir (Cidodol), Ustadz Syahrullah (Kelapa Dua – Kebon Jeruk), KH. Bahruddin (Pondok Ranji - Ponpes Darul Hikam), KH. Fakhruddin Al-Bantani (Bintaro). Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian Library Research (penelitian kepustakaan). Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yakni sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang bersumber dari khazanah kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Semua sumber dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan Ulama Betawi secara umum serta kontribusinya serta tentang KH. M. Syafi‟i Hadzami secara khusus. Penekanan penelitian ini adalah ingin menemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip, pendapat, gagasan dan lain-lain yang dapat di pakai untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang diteliti.2 Jadi, penelitian ini mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan konsep belajar dan kajian aspek psikologisnya. B. Sumber Data Penelitian ini tergolong penelitian pustaka yang bersifat literatur dan menggunakan metode atau cara: membaca, menelaah dan menganalisa sumbersumber literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Oleh karena itu sumber data yang di gunakan adalah sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan penelitian ini. Data primer dalam penelitian ini adalah: a. Taudhihul Adillah (Seratus Masalah Agama) b. Sullamul „Arsy fi Qira‟at Warsy (ilmu qiraat) c. Qiyas Adalah Hujjah Syar‟iyyah (qiyas adalah hujjah syariah) d. Qabliyyah Jum‟at (tentang kesunnahan qabliyah Jum‟at) e. Shalat Tarawih 2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2008), hal. 1
29
f. „Ujalah Fidyah Shalat (membahas tentang khilaf dalam membayar fidyah) g. Mathmah ar-Ruba fi Ma‟rifah ar-Riba (pembahasan tentang riba) 2. Data Sekunder Sumber data sekunder sebagai data pendukung, yaitu berupa data-data tertulis atau sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. Kegunanan dari data sekunder ini adalah untuk menginterpretasi data primer. Dikarenakan penelitian ini adalah mengenai aktivitas hidup serta kontribusi KH. M. Syafi‟i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Beberapa di antara data sekunder penulis adalah: a. Sumur yang Tak Pernah Kering (Biografi KH. M. Syafi‟i Hadzami) oleh Ali Yahya. Jakarta: Yayasan Al „Asyirotus Syafi‟iyyah b. Ulama
Betawi
(Studi
tentang
Jaringan
Ulama
Betawi
dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20) oleh Ahmad Fadli HS. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011 c. Wawancara terhadap orang-orang terdekat KH. M. Syafi‟i Hadzami, seperti anak, cucu, kerabat juga murid-murid beliau. Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah berdasarkan pada asas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data, dan bersedia memberikan informasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi syarat, yang akan menjadi informan narasumber (key informan) dalam penelitian ini adalah: 1) Narasumber mengenal atau paling tidak mengetahui tentang tokoh yang diteliti, 2) Narasumber pernah menyaksikan dan hidup bersama tokoh yang diteliti, 3) Narasumber merupakan orang yang dapat dipercaya kebenarannya dan termasuk orang yang dikenal baik.
30
Dilihat dari segi sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Sumber tertulis lainnya adalah dokumen pribadi, yaitu tulisan tentang diri seseorang yang ditulisnya sendiri.3
C. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research) yaitu penelitaian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.4 Penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan analisis isi (contetnt analysis). Analisis isi merupakan teknik untuk mempelajari dokumen. Dari dokumen yang tersedia, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap ingormasi-informasi yang berguna di bidang masing-masing.5 Menurut M. Nazir dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian” mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.6 Peneliti mencari tulisan-tulisan baik skripsi, buku, majalah yang berkaitan tentang KH. M. Syafi‟i Hadzami terutama pada kontribusinya, juga segala hal yang berbuhungan dengan ulama dan masyarakat Betawi baik dari segi pengertian, hubungan keislaman, dll.
D. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi
3
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011) Cet. 29, h. 159 4 Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), hal. 62 5 M. Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: CV Pustaka Setia 2001), hal. 37 6 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Cet. ke-5 hal. 27
31
Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis. Pengamatan dapat dilakukan secara terlibat (partisipatif) ataupun non partisipatif. Maksudnya pengamatan terlibat merupakan pengamatan yang melibatkan peneliti dalam kegiatan orang yang menjadi sasaran peneliti, tanpa mengakibatkan perubahan pada kegiatan atau aktivitas yang bersangkutan dan tentu saja dalam hal ini peneliti tidak menutupi dirinya selaku peneliti. Untuk menyempurnakan aktivitas pengamatan partisipasif ini, peneliti harus mengikuti kegiatan keseharian yang dilakukan informan dalam waktu tertentu, memperhatikan apa yang terjadi, mendengarkan apa yang dikatakan, mempertanyakan informasi yang menarik dan mempelajari dokumen yang dimiliki.7 2. Wawancara Wawancara atau (interview) merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual, dan adakalanya secara berkelompok.8 Wawancara ini dilakukan dalam bentuk dialog langsung dengan informan yaitu kepada salah seorang keluarga Muallim Syafi‟i Hadzami (anak Muallim yaitu bapak Chudlary), murid-muridnya (Ustadz Hairul, Ustadz Suhendi, KH. Bahruddin, KH. Fakhruddin al-Bantani, dll). 3. Dokumenter Meotode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Sedangkan,
dokumenter
adalah
informasi
yang
disimpan
atau
didokumentasikan sebagai bahan dokumenter seperti, otobiografi, karya-
7
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial (Pendekatan kualitatif dan kuantitatif), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 101. 8 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet ke-9, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hal. 216
32
karya pribadi, surat-surat pribadi, catatan-catan pribadi, data yang tersimpan di website, dll. E. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis isi (content analysis) yang merupakan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, memilih berbagai pengertian hingga ditemukan pengertian yang relevan dengan fokus penelitian.9 Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.
9
Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multi Disipliner, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semester, 2006), hal. 226
BAB IV PEMBAHASAN “KONTRIBUSI KH. M. SYAFI’I HADZAMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM”
A. Pengertaian Kontribusi Kontribusi berasal dari bahasa inggris yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi atau tindakan. Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu memberikan pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi dalam pengertian sebagai tindakan yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu yang kemudian memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap pihak lain. Kontribusi dalam pendidikan Islam berarti kontribusi atau sumbangan tersebut bisa dipakai untuk kepentingan ilmu pengetahuan keislaman. Contoh: KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami telah banyak berkontibusi dalam bidang keilmuan fiqih yang memudahkan masyarakat mengetahui dalil-dalil dalam permasalahan kehidupan sehari-hari.
B. Guru, Muallim, Ustadz, Sayyid dan Habib Masyarakat Betawi mengklasifikasi para ulama dan penganjur agama ke dalam tiga kriteria, pertama adalah Guru, yaitu ulama ang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya menghabiskan seluruh waktunya di masjidnya saja, biasanya di dekat masjidnya itu berdiri komplek madrasah. Guru tidak keluar dari lingkungannya karena masyarakatlah yang mendatanginya. Kriteria berikutnya adalah Mu‟allim. Seorang mu‟allim itu mempunyai otoritas untuk megajarkan kitab tetapi belum memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Seorang mu‟alllim masih aktif mendatangi kelompok-
33
34
kelompok pengajian untuk mengajarkan kitab. Ktiteria ketiga adalah Ustadz yang mengajarkan ilmu pengetahuan dasar agama termasuk membaca al-Qur‟an.1 Selain dari tiga kriteria tersebut, masyarakat Betawi juga memakai istilah Sayyid dan Habib bagi para ulama keturunan Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Hadramaut dan Makkah. Orang-orang Arab yang bermukim di Betawi sebagian besar dari Hadramaut. Hanya satu dua di antara mereka yang datang dari Maskat, di tepian teluk Persia, dari Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika.2 Orang Hadramaut datang ke Betawi secara masal pada tahun terakhir abad ke-18. Mereka kebanyakan tinggal di Pekojan, Tanah Abang dan Krukut. Sayyid secara etimologi berarti “tuan” atau “junjungan”. Dalam msyarakat Arab golongan sayyid adalah mereka yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya, Fatimah az-Zahra dan melalui cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya yang lain, Hasan bin Ali bin Abi Thalib disebut Syarif. Kata Sayyid dan Syarif hanya atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar. Gelar bagi mereka adalah habib (kekasih). Interaksi antara habaib dan ulama di Betawi sangat cair dan harmonis dalam konsep kesetaraan. Begitu pula dengan masyarakat Betawi, penghormatan mereka terhadap habaib sama saja dengan penghormatan mereka terhadap ulama. Misalnya, di rumah-rumah orang Betawi, foto-foto yang terpasang bukan hanya foto para habaib tetapi juga ulamanya. Perayaan haul3 seorang habaib sama ramainya dengan perayaan haul seorang ulama Betawi. Masyarakat Betawi sangat menghormati para ulama-ulamanya, baik yang dipanggil guru, mu‟allim, ustadz maupun habib dan sayyid. Rasa hormat orang 1
Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: Gunara Kata, 2001), hal. 200-202 2 Ahmad Fadli, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20), hal. 68-69 3 Haul yang dalam bahasa Arab berarti tahun, dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seseorang yang ditokohkan dari para wali, ulama atau kyai. Lih. M. Hanif Muslih, Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2006, Cet. I), hal. 1
35
Betawi kepada ulama-ulama dan habaib tercermin dalam setiap pengajianpengajian dan majelis taklim mereka yang kerapkali dikunjungi oleh orang Betawi. Rasa hormat kepada ulama juga ditampilkan orang Betawi yang berprofesi sebagai jagoan atau jawara. Kendati para jagoan dan jawara Betawi memiliki ilmu silat yang mumpuni tetapi jika sudah ketemu ulama dan habib maka mereka akan menghormatinya dengan mencium tangan para ulama dan habib tersebut. Hubungan mu‟allim dan jagoan tidak konfrontatif, bahkan di antara keduanya ada hubungan fungsional. Jagoan membaca doa-doa tertentu untuk meningkatkan kemampuan silatnya. Beberapa senjata jagoan biasanya diberi wifik yang diajarkan oleh mu‟allim. Para mu‟allim memberikan doa-doa kepada jagoan yang pergi ke medan perang. Seperti apapun bengalnya jaogan tetapi mereka tetap menghormati mu‟allim.4 Mu‟allim dan jagoan merupakan ujung tombak kepemimpinan non formal msayarakat Betawi, terutama pada masa revolusi fisik. Seiring dengan makin kompleknya struktur masyarakat Jakarta, figur jagoan tidak lagi menonjol tetapi figur mu‟allim masih tetap diakui oleh masyarakat. Hal itu makin membuktikan kentalnya masyarakat Betawi dengan Islam. C. Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami Muhammad Syafi‟i dilahirkan pada tanggal 12 Ramadhan 1349 H/31 Januari 1931. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. KH. Syafi‟i Hadzami sejak kecil di bawah bimbingan kakeknya, Husin di Batutulis XIII Pecenongan. Di sinilah KH. Syafi'i Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar al Qur‟an hingga fasih beserta tajwidnya. Ia juga belajar ilmu nahwu dan Sharaf. Ketika berusia 9 tahun, ia sudah menghatamkan al Qur'an di bawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas.5
4
Yasmine Zaki Shahab, Betawi dalam Perspektif Kontemporer, Perkembangan, Potensi dan Tantangan, (Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997), hal. 30 5 Ali Yahya, KH. M. Syafi‟i Hadzami, Sumur yang Tak Pernah Kering, (Jakarta: Yayasan Al„Asyirotus Syafi‟iyyah, 1999), hal. 11-12
36
KH. Syafi‟i Hadzami sejak kecil senang melihat orang-orang pintar, terutama para kiai. Ia ingin menyamai mereka. Oleh karenanya saat kecil ia senang berpakaian seperti para ulama. Tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarganya ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kiai. Mungkin didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi‟i kecil ingin menyamai mereka. Keinginan itulah yang menjadikan KH. Syafi‟i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu. Kegigihan ini tidak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya, tak ada satu masapun dalam hidupnya yang kosong dari kegiatan menimba ilmu.6 Luar biasa cintanya pada ilmu, bahkan pada ketika KH. Syafi‟i Hadzami di kemudian hari sudah menjadi seorang pengajar di berbagai wilayah DKI Jakarta, beliau masih menyempatkan diri untuk melakukan muthola‟ah terhadap kitabkitab selama 1-2 jam setiap harinya setelah selesai aktivitas mengajar. Hal itu dilakukannya sekitar pukul 23.00 WIB - 01.00 WIB.7 Dalam menuntut ilmu, Syafi‟i hanya terbatas pada wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan para ulama Betawi lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Ia tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang masih berlangsung di masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi KH. Syafi‟i Hadzami. Namun keyakinan hatinya, ketekunan dan semangat juang yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlak dan kecerdesan otaknya telah menghantarkan KH. Syafi‟i
Hadzami meraih keberhasilan
yang layak
dibanggakan dan setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan KH. Syafi‟i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan ulama abad ke 19-20. 6
Ibid., hal. 14 Wawancara dengan Ustadz Suhendi (murid Mu‟allim Syafi‟i Hadzami yang sekarang menjadi ulama di Rawa Belong, memiliki majelis Darul Musyaffa‟), Jum‟at: 29 Juli 2016, pukul 20.00 WIB 7
37
Dalam biografinya yang disusun oleh Ali Yahya disebutkan, KH. Syafi‟i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuan. Di masa awal setelah mempelajari al-Qur‟an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang dipelajarinya adalah tauhid, fiqih dan ilmu alat (nahwu, Sharaf dan balaghah). Ia menghafalkan berbagai kitab matan terutama yang berbentuk nazham. Ia memberikan perhatian khusus untuk ilmu-ilmu alat. Penguasaan yang mendalam dalam ilmu alat menjadi prioritas utama di masamasa awal. KH. Syafi‟i Hadzami berkeyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat bergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat barulah ia menekuni ilmu lainnya, seperti ilmu ushul fiqih beserta qawaidnya, manthiq, tafsir, ulumul hadist, tasawuf, falak, 'arudh dan lain sebagainya. Beberapa Ulama yang dikunjungi KH. Syafi'i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. KH. Syafi‟i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca zikir di tempat Kiai Abdul Fattah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif alSanusi di Mekah. Dari gurunya ini, ia pernah mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berzikir bersama kelompok tarekat Idrisiyah yang dipimpin Kiai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, KH. Syafi‟i Hadzami yang masih belia pernah mengalami tahap fana' (lupa dan hilang kesadaran diri), karena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak persis bagaimana situasinya saat itu. Maka, kiai pun memberinya sebuah doa khusus menghadap. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kiai. Kiai Abdul Fattah mendoakan Syafi‟i agar kelak menjadi orang baik. KH. Syafi'i Hadzami juga berguru kepada Pak Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Pak Sholihin seperti kakeknya dalam mengajar yang tergolong keras dan disiplin seperti kakek Husin. Sebagai seorang yang telah berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar
38
dinamakan Raudhah al-Sholihin. Beberapa tahun setelah Mu‟allim KH. Syafi‟i Hadzmai belajar kepada Pak Sholihin, hubungan mereka menjadi terbalik. Pak Sholihin justru menjadi murid Mu‟allim dan belajar kepadanya, karena keilmuan Mu‟allim yang lumayan pada saat masih berusia belasan tahun. Ia pun tak tahu kapan mu‟allim belajar kepada orang lain. Setelah mengaji al-Qur‟an kepada guru-gurunya, KH. Syafi'i Hadzami mengaji kepada Guru Sa‟idan di Kemayoran selama lima tahun (l948-1953). Pada gurunya ini ia belajar ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhat alI‟rab dan ilmu fiqih dengan kitab pegangan al-Tsimar al-Yani'ah yang merupakan syarah dari kitab al-Riyadh al-Badi'ah. Guru Sa‟idan pula yang menyuruhnya belajar kepada guru-guru yang lain, seperti Guru Ya'qub Sa‟idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia) dan Guru Abdul Madjid (Pekojan). Salah satu guru utama KH. Syafi‟i Hadzami adalah Habib Ali bin Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. KH. Syafi'i Hadzami belajar kepadanya kurang lebih 18 tahun, mulai sejak 1958-1976. Seperti muridmurid Habib Ali lainnya (K.H.S. Muhammad bin Ali al Habsyi, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, KH. Abdullah Syafl‟i, KH. Thohir Rohili, KH. Ahdurrazaq Ma‟mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), KH. Syafi‟i Hadzami juga datang dengan membaca kitab di hadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan8. KH. M. Syafi‟i Hadzami adalah salah satu murid yang paling disayang dan dicintainya. Sangat wajar karena pada saat mengaji, KH. Syafi‟i Hadzami terlihat begit menonjol dan tampak kecerdasannya. Hingga pada suatu ketika Habib Ali melantunkan sebuah syair yang ditujukan kepada muridnya ini:
ِ َذ ًْشًِ سُوَيْذَ وَ ذَجًِ تِانْؤَوَل# ِيٍَْ نًِ تًِِ ْثمِ سَ ْي ِشكَ ا ْنًُ َزَنم
8
Sorogan adalah sistem pengajian yang disampaikan kepada murid-murid secara individual. Lih. Zamachsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, Jakarta, 1983), hal. 28 Menurut Hasbullah sorogan ialah metode yang santrinya cukup men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibacakan di hadapannya. Lih. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 26
39
“Siapa yang dapat menunjukkan kepadaku seperti perjalananmu yang dimudahkan. Engkau berjalan perlahan-lahan, tetapi engkau sampai terlebih dahulu”9 Ada keistimewaan yang nampak dari KH. Syafi‟i Hadzami yaitu pengakuan seorang gurunya al-Habib Ali bin Husen al-„Attas yang pernah menjadi „umdah (sandaran) para ulama besar di Jakarta. Habib Ali berpesan kepada salah sorang dari kalangan sa‟adah juga, yaitu Habib Ahmad al-„Attas untuk mulazamah (selalu menyertai) KH. M. Syafi‟i Hadzami. Hal ini belum pernah ditemui ulama di Jakarta pada waktu itu bahwa ada seorang habib tekemuka yang merupakan seorang alim „allamah meminta kepada kalangan Sa‟adah „Alawiyyin sendiri untuk menjadi pendamping seorang kiai yang bukan dari golongan „Alawiyyin. Kalau bukan karena potensi besar, kemapanan, dan keshalehan yang ada pada diri seseorang, hal tersebut tidak akan terjadi.10 Ia juga kerapkali mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi Kwitang. Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majelis yang biasa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan dari Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al-Hujjat al-Bayyinah. KH. Syafi'i Hadzami juga berguru kepada KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari kitab-kitab kuning, di antaranya Ihya 'Ulumuddin dan Bujayrimi. Selain KH. Syafi'i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama-ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi‟i, KH. Thabrani Paseban dan lain-lain. Guru KH. Syafi‟i Hadzami yang lain adalah KH. Ya‟qub Sa‟idi di Kebon Sirih. Selama 5 tahun (1950-1955), ia telah mengkhatamkan kitab-kitab Ushuluddin dan Manthiq, seperti kitab ldhah al-Mubham11, Syarh Quwaysini12 9
Ali Yahya, Op. Cit., hal. 43 Ibid., hal. 82 11 Kitab Idhah al-Mubham adalah kitab mantiq karya Syeikh Syihabuddin Ahmad bin 'Abd al-Mun'im al-Damanhuri. 10
40
dan lain-lain. Sedangkan dalam ilmu Nahwu ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah, seperti kitab Kafrawi, Mulhat al-I‟rab dan Asymawi. Beberapa guru KH. Syafl‟i Hadzami lainnya adalah KH. Muhtar Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Sholeh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syekh Yasin al Fadani dan KH Muhammad Thoha.13 Jika melihat deretan nama guru-guru di atas, tampak sekali KH. Syafl‟i Hadzami belajar kepada ulama-ulama yang berada di lingkungan Jakarta, meski ada beberapa ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar biasa. Kendati demikian, KH. Syafl‟i Hadzami memiliki tingkat keilmuan yang tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke 20. Dalam menuntut ilmu KH. M. Syafi‟i Hadzami sangat memperhatikan dan menjaga adab baik kepada ilmu maupun guru. Etika beliau dalam menuntut ilmu sangatlah luar biasa. Keikhlasan dalam menuntut ilmu, menjaga diri dari kemaksiatan, tawadu‟, kesabaran dalam menuntut ilmu, mengoptimalkan waktu dengan muthola‟ah pelajaran yang telah didapat selesai mengaji. Salah satu adab KH. M. Syafi‟i Hadzami kepada gurunya Habib Ali bin Husen al-„Aththas, Bungur saat menjenguknya ketika sedang sakit. Sebagai penghormatan kepada guru dan menjaga adab, ia melepas sandalnya di luar. Habib Ali yang melihatnya menyuruh untuk memakainya. Namun ia tetap menolak untuk memakai sendal karena menghormati gurunya. Tidak lama Habib Ali pun keluar kamar dan mengambil sandal itu dan menyuruhnya untuk memakai kembali. Ia pun terkejut dengan perlakuan gurunya. Hal tersebut sesuai dengan yang tertulis di buku Tips Belajar para Ulama oleh Salafuddin Abu Sayyid dan Jabbir al-Bassam bahwa diantara adab atau etika seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama, bersikap tawadu‟ kepada 12
Salah satu kitab yang membahas tentang fan ilmu mantik, kitab Syarah al-Quwaisini ini dikarang oleh Syekh Hasan ibnu Darwisy al-Quwasini sebagai syarah atas kitab as-Sulam alMunawwaraq karya Syekh al-Khudlori. 13 Ibid., hal. 46-51
41
mereka, memelihara kehormatan mereka dan berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada mereka atau merendahkan kemampuan mereka. Sebab, orang yang berilmu memiliki kemuliaan yang agung dan kedudukan yang besar.14 Ada cerita menarik dibalik nama Hadzami. Nama Hadzami yang melekat di kemudia hari pada nama Mu‟allim KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami bukanlah nama dari sejak lahir, melainkan gelar yang diberikan oleh ulama-ulama senior pada waktu beliau berusia di bawah 30 tahun. Cerita ini didapat dari Mu‟allim sendiri, ketika itu tahun 50-an di daerah Jakarta Kota ada semacam klub para ulama yang biasa mengadakan majelis mubahatsah (diskusi) yang men-tahqiq kitab-kitab ulama. Yang terlibat dalam majelis itu bukan orang-orang yang baru belajar tetapi memang orang-orang yang punya bekal ilmu yang memadai. Pada majelis itu, jika ada perbedaan pendapat dalam membacakan nash-nash atau dalam menggambarkannya, maka penyelesaian akhirnya selalu berada di tangan beliau. Padahal, saat itu beliau masih sangat muda sedangkan peserta yang lainnya banyak dari kalangan ulama senior, termasuk Kiai Muhammad Thoha. Melihat kecerdasan dan penguasaan ilmu yang dimiliki Mu‟allim Syafi‟i, maka dalam suatu kesempatan para peserta forum itu mengukuhkan gelar Hadzami15 kepada Mu‟allim. Yang mengusulkan agar Mu‟allim diberi gelar itu adalah Haji Abdurrahman Samman (kelahiran tahun 1920), seorang kawan kerja Mu‟allim di RRI yang kemudian mengaji kepada Mu‟allim.16 Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. Syafi‟i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsung menolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syariat. Jadi, pembaharuan 14
Abu Huzaifah (ed), Tips Belajar para Ulama, (Solo: Wacana Ilmiah Press), hal. 55 Hadzami adalah nama seorang wanita Arab Yaman yang hidup di masa sebelum Islam yang juga digelari Zarqa‟ al-Yamamah. Ia sering dijadikan suatu contoh (perumpamaan) dalam hal pandangan yang tajam dan informasi yang benar. Seorang penyair berkata: 15
ِ فَإٌَِ انْقَىْلَ يَاقَاَندْ حَزَاو# إِرَا قَاَندْ حَزَاوِ َفصَ ّذِقُىْهَا Artinya: Apabila Hadzami telah berkata, maka benarkanlah. Karena sesungguhnya perkataan yang benar itu adalah apa yang dikatakan oleh Hadzami. 16 Ali Yahya, Op.Cit., hal. 82-83
42
dalam memahami agama bukan suatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan-persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi Muhammad SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharu). Dalam kehidupan beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang membaharui pandanganpandangan agama. Jadi, yang di-tajdid-kan (diperbaharui) bukan agamanya, tetapi pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan obyeknya yang diubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seorang mujaddid. Dalam soal pendidikan bagi kaum wanita, KH. Syafi‟i Hadzami berpandangan bahwa wanita berhak mendapatkan pendidikan yang cukup. Namun, mereka tidak harus berpendidikan terlalu tinggi dan tidak perlu menjadi wanita karir. Yang penting, wanita dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Itu sudah cukup dan itulah yang harus diprioritaskan. Di dalam Islam, patuh terhadap suami, mendidik anak, dan mengurus rumah tangga lebih utama bagi kaum wanita daripada mencari ilmu yang setinggi-tingginya, namun melupakan hal-hal yang pokok. KH. Syafi‟i Hadzami tetap menghargai pendidikan bagi kaum wanita, walau setinggi apapun. Hanya saja, ia berpendapat bahwa yang paling penting adalah bagaimana seorang wanita dapat menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Rumah tangga adalah medan karir yang utama bagi kaum wanita. Ia mengatakan bahwa ulama-ulama di masa dahulu ada yang memakruhkan wanita belajar menulis. Wanita dibolehkan membaca tetapi tidak boleh menulis. Mungkin hal itu merupakan pengekangan sekali. Tetapi, harus dipahami latar belakangnya. Mungkin latar belakangnya adalah pertimbangan terhadap bahaya-bahaya yang dapat muncul di masa itu. Pergaulan wanita yang lebih luas memang akan fatal akibatnya. Tetapi, keadaan sudah jauh berubah. Sekarang tidak lagi mendengar ulama yang melarang wanita untuk belajar menulis. Bahkan, mereka mendorong
43
wanita wanita muslim, asalkan tidak meninggalkan tugas-tugas pokoknya sebagai istri atau ibu. Menurutnya, untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan masyarakat luas, sebaiknya kaum lelaki saja yang mengerjakan. Jadi, ada pembagian tugas antara suami dan istri. Hubungan luar ditangani suami, sedangkan pekerjaanpekerjaan di dalam rumah diurus oleh istri. Tentu saja wanita dibolehkan beraktivitas, asalkan dalam batas-batas yang tidak melanggar aturan syara‟. Berkaitan dengan bagaimana seharusnya peran wanita menurut Islam, ia berpandangan bahwa wanita lebih utama berada di rumah. Jadi wanita melayani suami dan membina keluarga, Hal ini bukan berarti wanita tidak punya peranan sama sekali. Justru, ia sangat berperan dalam membina dan membangun keluarga. Menurutnya wanita boleh dan dianjurkan untuk berperan dalam keluarga, tentunya dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ketentuan syara'. Pada prinsipnya, hal itu bukan untuk memperbodoh wanita, tetapi justru untuk menjaga dan memberdayakannya. Jika pengertian wanita karir itu adalah dalam bidang agama, misalnya seperti aktivitas yang dilakukan Hj. Tutty Alawiyah, menurut KH. Syafi‟i Hadzami boleh-boleh saja asal memenuhi syarat-syarat agama. Tidak boleh saja seenaknya melainkan ada kaidah-kaidahnya, wanita merupakan perhiasan, sehingga harus dijaga. Jika dia berpidato, harus menghadap wanita tidak boleh menghadap laki-laki. Dalam majlis taklim ibu-ibu yang diasuh KH. Syafi‟i Hadzami di rumahnya, digunakan dinding pemisah antara laki-laki dan perempuan. Kitab yang diajarkan adalah kitab kuning yang sesuai dengan kebutuhan mereka, jamaah pengajian ini berasal dari sekitar rumahnya dan kebanyakan mereka sudah berkeluarga. Mereka diajarkan bukan dipersiapkan untuk menjadi pengajar. Apa yang diajarkan untuk mereka terapkan sendiri, baik sebagai peribadi maupun seorang istri atau seorang ibu, kendati begitu ada juga salah satu atau dua orang yang sekarang sudah hampir mengajar mengaji.
44
Mengenai kaum wanita 'yang bekerja keluar negeri, pada Prinsipnya KH. Syafi'i Hadzami tidak setuju, wanita hanya dapat melakukannya jika dalam keadaan memaksa (darurat), kalau tidak darurat tidak diperbolehkan. Penyebab ketidak bolehan, menurutnya karena wanita tidak boleh merantau tanpa disertai mahramnya, dengan alasan tersebut KH. Syafi‟i Hadzami tidak menyetujui adanya Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dikirim ke luar negeri. Kalau keadaan darurat, seperti tidak dapat makan di Indonesia dan tidak ada cara lain, baru diperbolehkan. Dalam salah satu penjelasannya yang termuat dalam kitab Taudhih al-adillah jilid 6, KH. Syafi'i Hadzami mengatakan : Mengenai tidak bolehnya wanita bekerja, adalah tergantung pada aktivitas yang ia kerjakan, dan dengan cara bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Karena sebagian besar tubuh wanita itu aurat, maka sebaiknya kalau bisa, janganlah wanita bekerja. Akan tetapi, kalau hal tersebut memang diperlukan, bolehlah wanita menjadi buruh atau karyawati, untuk pekerjaan yang layak dilakukan wanita dan tidak melangar ketentuan -ketentuan syara', serta menjaga auratnya jangan sampai nampak dinikmati lelaki yang bukan mahram di jalan dan tempat ia bekerja. Jadi, kalau memang diperlukan, bolehlah wanita bekerja, asalkan jujur dan jangan melantur.17 Dengan mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, KH. Syafl‟i Hadzami menceritakan bahwa di zaman dahulu ada seorang kisra (Kaisar) Persia yang bernama Anusyirwan. Waktu kaisar itu meninggal, Nabi bertanya pada para sahabat, ”Siapa yang menggantikanya?” Sahabat menjawab bahwa yang menggantikanya adalah putrinya. Mendengar itu, Nabi mengatakan, “Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita.” Inilah yang mendasari pandangan KH. Syafl‟i Hadzami terhadap peran aktif perempuan. Semasa hidupnya, KH. Syafi‟i Hadzami dikenal sebagai ulama yang produktif menuliskan pemikiranya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karyakaryanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan Arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis di era 80-an sebagai 17
Syafi‟i Hadzami, Taudhih al-Adillah, Seratus Masalah Agama Jilid 6, (Kudus: Menara Kudus, 1982)
45
puncak intelektual sang Kiai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang. Meskipun karya-karya KH. Syafl‟i Hadzami terkesan sangat sederhana, baik dari penampilan fisik bukubukunya maupun dari bahasanya, namun materi-materi yang ditulis adalah tematema penting yang sangat dibutuhkan masyarakat luas. Karya-karyanya adalah :18 1. Tawdhih al-Adillah, Seratus Masalah Agama. Buku ini merupakan tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cendrawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negri jiran Malaysia. 2. Sullamu al'Arsy Qira‟at Warsy. KH. Syafi‟i Hadzami menyusunnya di usia muda, yaitu pada usia 25 tahun. Risalah yang setebal 40 halaman ini berisi kaidahkaidah khusus dalam pembacaan al-Qur‟an menurut Syekh Warasy dan terdiri dari mukadimah, sepuluh mahal ‟ (pokok pembicaraan), dan satu khatimah (penutup). 3. Qiyas adalah Hujjah Syar'iyyah. Risalah ini merupakan karya dalam bidang ushul fiqih. Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari al-Qur‟an, hadis dan ijma‟ ulama, yang menunjukan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syariah. 4. Qabliyyah Jum‟at. Risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum Jum'at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash al-Qur'an. hadis, dan para ahli fikih. 5. Shalat Tarawih. Untuk memenuhi kaum muslimin akan penjelasan tentang shalat Tarawih Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah rakaatnya, cara pelaksanaanya, dan lainlain dibahas dalam risalah ini.
18
Ali Yahya, Op. Cit., hal. 107-127
46
6. „Ujalah Fidyah Shalat. Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah (mengeluarkan bahan makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang di masa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu. Risalah ini disusun karena adanya pertanyaan tentang masalah tersebut yang diajukan oleh seorang jama'ah pengajiannya. 7. Mathmah al-Ruba fi Ma‟rifah al-Riba. Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, benda-benda ribawi, jenisjenis riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya. Keunikan yang KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami dari Ulama Betawi yang lain adalah beliau termasuk orang alim yang tidak mondok atau megalami pendidikan pesantren, namun beliau mengaji rapih dari satu fan ilmu ke fan ilmu yang lain dengan mendatangi guru demi guru. Selain itu, beliau menjadi Ulama Betawi pilihan dari Habib Ali Bungur untuk salah sorang dari kalangan sa‟adah, yaitu Habib Ahmad al-„Attas untuk mulazamah (selalu menyertai) KH. M. Syafi‟i Hadzami. Hal ini belum pernah ditemui ulama di Jakarta pada waktu itu bahwa ada seorang habib tekemuka yang merupakan seorang alim „allamah meminta kepada kalangan Sa‟adah „Alawiyyin sendiri untuk menjadi pendamping seorang kiai yang bukan dari golongan „Alawiyyin. Pada hari Ahad, 07 Mei 2006 pukul 08.30 WIB KH. Syafi'i Hadzami berpulang ke rahmatullah. Ratusan ribu ummat Islam dari bebagai penjuru kota Jabotabek berta'ziyah di kediamannya, Pondok Pesantren Al Asyiratu as Syafi'iyyah di Jl. KH. Syafi‟i Hadzami Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Karena banyak para pengunjung, maka shalat jenazah dilakukan dari pagi hingga shalat Maghrib dan jenazah KH. Syafi'i Hazami dimakamkan di pemakaman keluarga di samping mushallanya.
D. Kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam Keistiqomahan KH. M. Syafi‟i Hadzami dalam dunia pendidikan Islam amatlah luar biasa, bahkan bisa dikatakan Beliau mendedikasikan hidupnya untuk
47
dunia pendidikan yaitu belajar, mengkaji dan mengajar. Bahkan saat sakitpun hal yang paling Beliau khawatirkan adalah majelis-majelis yang diasuhnya, karena begitu cintanya pada dunia pendidikan. 1.
Mengajar Ta’lim di Berbagai Wilayah DKI Jakarta Sudah diketahui bahwa Mu‟allim Syafi‟i merupakan seseorang yang
mendedikasikan hidupnya untuk ilmu. Mengajar dijadikan sebagai pilihan hidup Mu‟allim dan benar-benar ditekuninya. Keputusan itu sesuai dengan panggilan jiwanya. Maka sangat pantas bila orang memanggilnya Mu‟allim. Bukan hanya penguasaan ilmu yang sangat luas juga namun kearifan dari pengamalan ilmu yang dipelajari juga dicontohkan olehnya Kepakaran Mu‟allim Syafi‟i Hadzami dalam berbagai ilmu diakui oleh banyak ulama, termasuk para ulama senior yang usianya jauh di atasnya. Walaupun terkesan lebih banyak mengajar bidang fiqih, sesungguhnya keahliannya tidak terbatas pada bidang fiqih saja. Banyak ulama memandang bahwa penguasaan Mu‟allim dalam berbagai cabang ilmu keislaman tidak mudah untuk diimbangi oleh ulama zaman sekarang, khususnya di Jakarta ini. Mengajar bukan hanya sebagai suatu amanah dan kewajiban yang harus ditunaikan. Lenih dari itu, ia sudah merasakan sebagai suatu kenikmatan tersendiri. Bagi Mu‟allim, kenikmatan mengajar itu sukar diceritakan, sebab ia sesuatu yang bersifat pribadi. Karenanya tidak heran bila dalam keadaan sakit pun Mu‟allim tetap merindukan saat-saat berada di tengah-tengah jamaahnya.19 Majelis-majelis taklim rutin yang diasuh Mu‟allim tersebar di lima wilayah ibukota berjumlah tiga puluh lebih.20 Ada pula pengajian sebulan sekali di Mega Mendung, Puncak, Jawa Barat. Jumlah majelis taklim yang beliau asuh bisa 19
Karena begitu menyatunya beliau dengan pengabdiannya dalam membina umat, di suatu ketika beliau pernah “kabur” dari rumah sakit hanya karena merindukan kehadiran di tengahtengah majelisnya untuk mengajar. Mengajar dianggapnya sebagai obat, setelah mengajar beliau kembali lagi ke rumah sakit. 20 Jumlah pengajian Mu‟allim menurut Ustadz Hairul (Ilung) berjumlah kurang lebih 39 Majelis Ta‟lim di lima wilayah kotamadya. Wawancara bersama Ustadz Hairul (murid KH. M. Syafi‟i Hadzami, sekarang kepala sekolah MTs al‟Asyirotusy Syafi‟iyyah), Jum‟at: 29 Juli 2016, pukul 13.30 WIB
48
mencapai 4-5 tempat setiap harinya dan tempatnya saling berjauhan. Berikut adalah daftar majelis-majelis taklim yang diasuh oleh Mu‟allim Syafi‟i Hadzami:
Daftar Majelis-majelis Taklim KH. M. Syafi’i Hadzami No. 1.
Majelis Taklim Al-Himmatul„Aliyyah
Alamat Cempaka Putih XI
Kitab yang Dibaca 1. Bidayatul Mujtahid (fiqih) 2. Syarh al-Hikam (tsf)
2.
Baitul Muta‟ali
Kreo, Cipadu Ciledug, Tagerang
1. Kifayatul Atqiya‟ (tsf)
3.
Al-Barokah
Kepu Dalam IV Kemayoran, Jakpus
1. Sab‟ah Kutub Mufidah (fiqih) 2. Tanbihul Mughtarrin (tsf)
4.
At-Taqwa
Jl. Ketapang, Kemayoran, Jakpus
1. Fathul Mu‟in (fiqih)
5.
Al-Awwabin
Jl. Spoor II Dalam
6.
Ni‟matul Ittihad
Pondok Pinang
7.
Al-Istiqomah
8.
Yayasan At-Taqwa
9.
Sholatiah
Jl. Raya Cempaka Baru Johar Baru III/22 Jakpus Kebon Kosong, Kemayoran, Jakpus
10.
As-Sa‟adah
Simprug Golf, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jaksel
11.
Riyadhul Jannah
Pangkalan Jati, Pdk Bambu Jaktim
12.
Al-Mabruk
Condet, Jaktim
1. 2. 1. 2. 3. 4.
Anwarul Masalik (fiqih) Riyadhus Sholihin (hadits) Tafsir Ibn Kasir (tafsir) Shohih Muslim (hadits) Mughnil Muhtaj (fiqih) Syarh Hidayatul Atqiya‟ (tsf)
1. Minhajut Tholibin (fiqih) 1. Al-Mahalli (fiqih) 1. Fathul Qorib (fiqih) 1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2.
Tafsir an-Nasafi (tafsir) Shohih al-Bukhori (hadits) Kifayatul Akhyar (fiqih) Tarikh Muhammad (siroh) Fathul Wahhab (fiqih) Tanbihul Mughtarrin (tsf) Tafsir Munir (tafsir) Tuhfatuth Thullab (fiqih)
49
13.
Al-Hidayah
14.
At-Ta‟ibin
15.
Az-Zawiyah
16.
Al-Mabrur
17.
Al-„Asyirotus Syafi‟iyyah
Kp. Dukuh, Kby. Lama, Jaksel
18.
As-Surur
Jl. Raya Kb. Jeruk No. 27 Jakbar
19.
Ad-Dirosatul „Ulya Lit-Tafaqquh fidDin
Kp. Dukuh, Kby. Lama, Jaksel
1. 2. 3.
Minhajul „Abidin (tsf) Kifayatul Akhyar (fiqih) Tanbihul Mughtarrin (tsf) Iqozhul Himam (tsf) Fathul Mu‟in (fiqih) Al-Itqon (u.q) Al-Muhadzdzab (fiqih) Sirojul Wahhaj (fiqih) Tanbihul Mughtarrin (tsf) Tafsir Khozin (tafsir) Qolyubi wa „Umayroh (fiqih) Nailul Awthar (hadits) Syarh al-Hikam (tsf) Tausyih (fiqih) Riyadhus Sholihin (hadits) Irsyadul Fuluh (u.f) Al-Miuhadzdzab (fiqih) Iqozhul Himam
20.
Himmatul Masakin
Jl. Bacang I/B, Kby. Baru, Jaksel
1.
Ihya „Ulumuddin (tsf)
21.
An-Nizhomiyyah
Jl. Kebon Mangga, Cipulir, Jaksel
22.
Khoirul Biqo‟
Jl. Pembangunan Dalam, Jakpus
1. 2. 3. 1. 2.
Tafsir Ibn Katsir (tafsir) Tuhfatuth Thullab (fiqih) Tuhfatul Murid (tauhid) Tafsir Jalalain (tafsir) Tanwirul Hawalik (hadits) Sabilul Muhtadin (fiqih) Jam‟ul Jawami‟ (u.f) Syarh Ibn „Aqil (nahwu) Tafsir Munir (tafsir) Nihayatuz Zain (fiqih) Maroqil „Ubudiyyah (tsf) Nuruz Zholam (tauhid) Tafsir Munir (tafsir) Mawahibush Shomad (fiqih) Fathul Mu‟in (fiqih) Asymuni (nahwu) Mukhtasar Abi Jamrah
Kemanggisan Raya, Jakbar Senen Raya IV, Jakpus Rumah KH. Syafi‟i Hadzami Tanah Tinggi, Gg. XII, Jakpus
23.
Al‟Asyirotus Syafi‟iyyah
Kp. Dukuh, Jaksel
24.
Al-Manshuriyyah
Jembatan Lima
25.
Al-Muhsinin
Kp. Kepu, Kemayoran, Jakpus
26.
Al-Ma‟mur
Tanah Abang, Jakpus
3. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2.
3. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2. 3.
50
4.
27.
Jl. Sriwijaya Raya, Kby. Baru, Jaksel
At-Taqwa
Jl. Simprug III/Grogol Jl. Kediman Buntu, Kemayoran, Jakpus
28.
Al-Ma‟ruf
29.
Al-Falah
30.
„Isyatur Rodhiyah
Keterangan:
u.q tsf u.f
Johar Baru, Jakpus
1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 1. 2.
(fiqih) Al-Majalisus Saniyyah (hadits) Fathul Qorib (fiqih) Kifayatul Awwam (tauhid) Kifayatul Atqiya‟ (tsf) Fathul Mu‟in (fiqih) Tanbihul Mughtarrin (tsf) Tafsir munir (tafsir) Tajul „Arus (tsf) Mathla‟ul Badrain (fiqih) Minhajul „Abidin (tsf)
= Ulumul Qur‟an = Tashawuf = Ushul Fiqh
Salah satu ciri dari ulama salaf adalah perhatian mereka yang besar terhadap isnad (silsilah intelektual). Konsep isnad yang merupakan mata rantai yang terus bersambung sampai kepada Nabi sangat dipentingkan di kalangan mereka. Dalam mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya, Mu‟allim selalu mengingatkan betapa pentingnya memelihara isnad dalam menuntut ilmu. Mata rantai tersebut merupakan jaminan keotentikan tradisi. Hal ini dirasakan oleh KH. Bahruddin ketika mondok di Pesantren „Arba‟in. Latar belakang beliau yang merupakan pesantren modern tidak terlalu mementingkan sanad. Namun ia baru sadar betapa pentingnya memelihara sanad ketika bertemu Mu‟allim Syafi‟i Hadzami. Untuk menunjukkan betapa pentingnya isnad tersebut, maka di bagian bawah dari isnad yang Mu‟allim tulis, dinukilkan perkataan Syekh Abdullah bin al-Mubarok yang dikutip oleh KH. Bahruddin:
َإلسَُْادُ يٍَِ انذِيٍِْ نَ ْىنَا انِْإسَُْادُ نَقَالَ يٍَْ شَاءَ يَا شَاء ِا
51
“Isnad itu sebagian dari urusan agama. Bila tidak ada isnad, setiap orang akan mengatakan apa yang diinginkannya.”21
2.
Mengarang Berbagai Macam Kitab Mu‟allim Syafi‟i termasuk salah satu Ulama yang produktif. Beliau
mengarang berbagai macam kitab dalam bidang keilmuwan dari fiqih, tauhid, sampai qiraat. Diantara kitab-kitab karya beliau adalah: a. Tawdhih al-Adillah, Seratus Masalah Agama. Buku ini merupakan tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cendrawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negri jiran Malaysia. b. Sullamu al'Arsy Qira‟at Warsy. Risalah ini selesai disusun pada tanggal 24 Dzulqa‟idah 1376 H (1956 M). Jadi, KH. Syafi‟i Hadzami menyusunnya di usia muda, yaitu pada usia 25 tahun. Risalah yang setebal 40 halaman ini berisi kaidah-kaidah khusus dalam pembacaan al-Qur‟an menurut Syekh Warasy dan terdiri dari mukadimah, sepuluh mathlab (pokok pembicaraan), dan satu khatimah (penutup). c. Qiyas Adalah Hujjah Syar'iyyah. Risalah ini merupakan karya dalam bidang ushul fiqih. Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari alQur‟an, 543 hadis, dan Ijma‟ ulama ,yang menunjukan bahwa qiyas merupakan salahsatu argumentasi syariah. Risalah ini selesai disusun pada tanggal 13 Shafar 1389 H bertepatan dengan 1 Mei 1969 M. d. Qabliyyah Jum‟at. Risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum Jum'at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash all-Qur'an. hadis, dan para ahli fikih. 21
Wawancara dengan KH. Bahruddin (Pimpinan Ponpes Darul Hikam, Ciputat), murid Muallim Syafi‟i Hadzami. Beliau termasuk salah satu santri angkatan pertama Ma‟had Arba‟in yang merupakan santri terbaik yang mendapat hadiah umroh pada waktu itu. Sabtu, 17 September 2016, pukul 15.30 WIB
52
e. Shalat Tarawih. Untuk memenuhi kaum muslimin akan penjelasan tentang shalat Tarawih Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih. Mulai dari pager-timnya, ikhtilaf tentang jumlah rakaatnya, cara pelaksanaanya, dan lain-lain dibahas dalam risalah ini. f. „Ujalah Fidyah Shalat. Risalah yang dituliskan pada tahun 1977 ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah (mengeluarkan bahan makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang di masa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu. Risalah ini disusun karena adanya pertanyaan tentang masalah tersebut yang diajukan oleh seorang jama'ah pengajiannya. g. Mathmah al-Ruba fi Ma‟rifah al-Riba. Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, benda-benda ribawi, jenis-jenis riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya. Risalah ini selesai ditulis pada tanggal 7 Muharam 1397 H (1976 M). Bukan hanya karangan kitab-kitab namun dalam do‟a akhir majelis yang sering dibaca setiap selesai majelis ta‟lim masyarakat Betawi, enam bait pertama mukaddimah do‟a tersebut disusun oleh Mu‟allim KH.M. Syafi‟i Hadzami dan sampai saat ini selalu dibaca di kalangan masyarakat Betawi setiap akhir majelis ta‟lim. Suatu ketika dalam sebuah majelis ta‟lim beliau, salah seorang jamaahnya bernama Bapak Ismail yang berasal dari Rawabelong, mengatakan kepada beliau, “Mu‟allim, kalau baca do‟a kok kita langsung aje? Enggak pake baca alhamdulillah sama sholawat.” (maksudnya langsung baca ya Rabbana tarafnaa, dan seterusnya). Mu‟allim menjawab, “Ya, memang begitu adanya.” “Enggak enak, Mu‟allim! Tolong deh dibikinin, biar ada alhamdulillah dan shalawatnya.” Begitu permintaan Bapak Ismail. Akhirnya Mu‟allim membuat mukaddimahnya yang susunannya mengikuti do‟a tersebut.22
22
Ibid., hlm. 321-322
53
Do’a yang Dibaca Setiap Akhir Majelis KH. M. Syafi’i Hadzami
حيْمِ بِسْمِ اهللِ الّرَحْمَنِ الّرَ ِ
حًْذُ ِن ْهغَفُىْس َانْ َ ط فًِ اْألُيُ ْىسِ َواْن َف ْش ِ هلل دَوَايَا صالَجُ ا ِ وَ َ عَهًٰ يٍَْ يَجًِ ِإيَايَا أللِ اْن ِكشَاوِ وَعَهً ٰاْ َ فًِ قُذْوَجِ اْن ًَشَاوِ يَا سَتَُاَ اعْ َرشَفَُْا سشَفُْاَ َوإََُِاَ َأ ْ عهَيَُْا ذَىْتَه ة َ فَرُ ْ وَاسْ ُر ْشنَُاَ اْنعَ ْىسَاخِ وَاغْ ِفشْنِىَانِذِيٍَْ َواْألَ ْهمِ َواْإلِخْىَاٌِ مِ رِي يَحَثَه َو ُك ّ سِهًِيٍَْ أَجًَْعْ َواْن ًُ ْ ال وَجُىْدًا يَُّاَ ضً فَ ْ صطَفًٰ ان َشسُىْلِ تِاْنًُ ْ سهَ ْى سَتًِّ ً َو َ صَه َ وآنِ ِه وَانصَحْةِ حًْذُ ِنإلْنهًَِ َواْن َ
♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
نِ ْهعَثْ ِذ رِي اْن ُغشُ ْوسِ حًَاقَ ِح انْحُثُىْسِ وَ َ اليُ ُه َذًَايَا سَ َو َ َونِؤََْثِيَا خِرَايَا ة كَان ُجُىْوِ وَانصَحْ ِ ب َواْألَعْجَاوِ ِن ْه ُعشْ ِ تِؤَََُاَ اقْ َرشَفُْاَ سشَفُْاَ عَهًٰ نَظًٰ َأ ْ م حَىْتَه م ُك َ سُ َذ ْغ ِ َوَأيِيٍِْ انشَوْعَاخِ بِ َويَ ْىنُذِيَُْا سَ ّ َوسَآ ِئ ِش انْخِالٌَِ أَوْجِ ْيشَجٍ أَوْصُحْثَه سًَعْ َأيِيٍَْ سَتِّيَ ا ْ ب يُِّاَ الَتِاكْ ِرسَا ِ َحْظًٰ ِت ُكمِّ سُىْلِ عهَيْهِ عَ َذ انْحَةِّ َ شِ انسُحْةِ عِذَا َد طَ ّ فًِ اْنثَ ْذ ِء وَانرَُاَهًِ Keterangan:
Mukaddimah doa tersebut di atas, yaitu enam bait pertama disusun oleh KH. M. Syafi‟i Hadzami. Merintis Lembaga Pendidikan
3.
Pendirian Yayasan
a.
Pada tahun 1963 sewaktu Mu‟allim Syafi‟i Hadzami baru mengajar pada 14 majelis taklim, terbentuk sebuah badan yang bernama BMMT (Badan Musyawarah Majelis Taklim) yang mengkoordinasikan majelis-majelis itu. Badan ini dibentuk setelah memperhatikan kesungguhan dan ketekunan para jamaah
54
majelis-majelis taklim dalam menuntut ilmu. Ide pendiriannya datang dari Mu‟allim sendiri yang ketika itu berusia 32 tahun sebagai pengasuh majelismajelis taklim teresebut. BMMT tersebut diberi nama Al „Asyirotusy Syafi‟iyyah. Semakin bertambahnya jumlah majelis taklim beliau menjadi 26 buah juga karena semakin berkembangnya kegiatan BMMT, maka untuk melancarkan gerak dan usahanya di bidang sosial, pendidikan/pengajaran, dan lain-lain, pengurus BMMT al „Asyirrotusy Syafi‟iyyah dengan berlandaskan musyawarah mufakat segenap anggota majelis taklim pada tahun 1975 dengan Akta Notaris M.S. Tadjoedin No. 288 tertanggal 30 Juni 1975, lahirlah suatu yayasan yang bernama Yayasan BMMT al Asyirotusy Syafi‟iyyah dengan ketua umum KH. M. Syafi‟i Hadzami. Untuk mewujudkan cita-citanya di bidang sosial, Yayasan BMMT al„Asyirotus Syafi‟iyyah23 bertekad untuk lebih menggiatkan para anggota majelis taklim dalam pembinaan mental (akhlak) Islam dengan bimbingan praktis ke arah terjalinnya kerukunan hidup dan kegotong-royongan di segala bidang kehidupan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Sedangkan citacita dalam bidang pedidikan diupayakan untuk diwujudkan melalui tiga jalan usaha. Pertama, melalui majelis-majelis taklim, yayasan memberikan penyuluhanpenyuluhan lisan dan tulisan bagi jamaah majelis taklim pada khususnya dan warga Ibukota umumnya ke arah kemajuan pengetahuan ilmu agama Islam dan pengembangan jiwa ibadah. Kedua, melalui penyelenggaraan kursus-kursus yang intensif dan terarah, berusaha secepatnya untuk dapat mencetak sebanyak mungkin guru-guru agama, muballigh, dan lainnya, pria maupun wanita, untuk dapat mengisi kekurangan. Ketiga, melalui penyelenggaraan pendidikan pesantren, berusahan untuk turut membangun generasi muda Islam melalui penyediaan fasilitas ruang kehidupan belajar di mana para pemuda dan pemudi Islam dididik sepenuhnya agat menjadi pewaris-pewaris ulama, patriot-patriot dan
23
Al-‘Asyirotusy Syafi’iyyah artinya keluarga besar pengikut madzhab Syafi’i atau Imam Syafi’i. Mu’allim Syafi’i Hadzami merupakan seorang Ulama penganut madzah terseebut dan gurugurunya pun bermadzhab Syafi’i.
55
geneerasi penerus umat Islam yang dinamis, militan, dan dapat diandalkan dalam membangun masyarakat ibukota yang religius.24 b. Jenis-Jenis Pendidikan yang Diselenggarakan 1) Mendirikan TK – Madrasah Tsanawiyyah Perguruan al „Asyirotus Syafi‟iyyah menyelenggarakan pendidikan dari tingkat TK hingga Aliyah. Sejak berdiri perkembangannya cukup pesat bahkan muridnya pernah mencapai 500 murid. Tetapi berangsur-angsur sampai
sekarang
mengalami
penurunan.
Faktor
utamanya
karena
penggusuran rumah di sekitar yayasan, dengan adanya penggusuran otomatis murid-murid berkurang. Di samping juga karena persaingan antar perguruan pun makin meningkat. Sampai saat ini hanya dari TK-Tsanawiyyah sedangkan Madrasah Aliyahnya sudah ditiadakan. 2) Proyek Pesantren Arba‟in Keberhasilan menelurkan sejumlah besar ulama yang berkualitas tinggi adalah berkat metode pendidikan sistem pesantren yang dikembangkan oleh para kiai. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid-murid dengan berbagai pengetahuan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dalam rangka menyiapkan kader-kader ulama yang memiliki bekal yang dapat diandalkan itulah, maka Muallim merencakan membuat sebuah pesantren khusus. Pesantren tersebut direncakan menampung santri sebanyak 40 orang. Nama yang diberikan untuk pesantrennya adalah Ma‟had al„Arba‟in atau lengkapnya Ma‟had al-„Arba‟in al-Islami as-Salafi as-Sunni
24
Ibid., hal. 129-133
56
asy-Syafi‟i. Pesantren bermodel pesantren tradisional yang mempelajari ilmuilmu agama dengan membaca kitab-kitab kuning. Inisiatif dan gagasan mendirikan pesantren datang dari Muallim sendiri. Pembatasan santri sebanyak 40 orang hanya karena pertimbangan lokasi, bukan karena ada maksud apa-apa. Arealnya tidak terlalu besar, sehingga akan kurang memadai bila santrinya banyak. Jika dibatasi 40 orang maka tempat para santri cukup luas. Tempat tidur, tempat belajar dan makan serta ruang-ruang lainnya akan cukup layak. Seandainya nanti yang ingin masuk lebih dari 40 orang, akan diadakan seleksi. Seleksi terhadap para santri yang ingin masuk benar-benar objektif dengan tes membaca kitab-kitab kuning, dan berbagai pertanyaan keagamaan. Tidak melihat latar belakang akademis atau anak dari seorang yang terkenal, jika calon santri tidak lulus tes maka tidak diterima dalam pesantren Arba‟in. Banyak lulusan S-1 IAIN Jakarta yang mengikuti tes pada waktu itu namun hanya beberapa yang lulus dan diterima. Sebagian besar yang diterima lulusan Madrasah Aliyah atau sudah nyantri di pesantren sebelumnya.25 Tradisi-tradisi ulama dalam mengajar ilmu-ilmu agama akan tetap dipertahankan. Kitab-kitab yang dipelajari, metode mengajar, dan nilai-nilai akhlak yang dikembangkan akan tetap mengacu kepada tradisi yang selama ini berlaku di dunia pesantren. Sedangkan pembaharuan juga diterapkan sesuai dengan tuntutan zaman, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip yang dianut. Bagaimanapun kehidupan di masa kini dan mendatang semakin kompleks dan tantangan-tantangan semakin banyak. Misalnya para santri akan dididik untu menguasai beberapa keterampilan seperti menggunakan bahasa Arab dan Inggris secara aktif. Nantinya mereka diharapkan tidak hanya menguasai tata bahasa serta memahami kitab-kitab berbahasa Arab dan buku-buku berbahasa Inggris saja, tetapi juga mampu 25
Wawancara dengan KH. Bahruddin (Pimpinan Ponpes Mahasiswa Darul Hikam, Ciputat), murid Muallim Syafi‟i Hadzami. Beliau termasuk salah satu santri angkatan pertama Ma‟had Arba‟in yang merupakan santri terbaik yang mendapat hadiah umroh pada waktu itu. Sabtu, 17 September 2016, pukul 15.30 WIB
57
berkomunikasi dalam kedua bahasa itu. Hal ini sejalan denga prinsip yang sejak lama terus dipertahankan dalam kehidupan pesantren yaitu almuhafazhoh „alal-qodimish-sholih wal-akhdzu bil jadidil-ashlah atau melestarikan barang lama yang baik dan mengambil barang baru yang lebih baik. Untuk mendidik santri-santri, Muallim dibantu oleh beberapa orang guru. Tetapi yang menangani keseluruhannya tetap beliau. Adapaun guru-guru bantu yang sudah dipertimbangkan oleh Muallim diantaranya adalah muridmurid Muallim yang memenuhi syarat menjadi pengajar, antara lain KH Muhammad Sholeh Zawawi, KH. Sabilar Rosyad, KH. Syaifudin Amsir, dan lain-lain. Juga pengajar-pengajar lain yang merupakan mutakharrijin dari luar negeri diantaranya KH. Syarifuddin Abdul Ghani (keluaran Mekkah dan terkenal sebagai ahli hadits), KH. Luthfi Fathullah (pakar hadits), dan lainlain. Ada yang unik dari pesantren Arba‟in ini. Jika yang masyhur di pesantrenpesantren lain menggunakan kitab Nahwu Alfiyyah ibnu Malik, tapi di kitab Nahwu yang diajarkan di pesantren tersebut justru Syarah al-Kafrawi. Hal ini membuat terkejut para santri dan mendorong rasa ingin tahu mereka akan hal tersebut, karena menurut mereka kitab Kafrawi merupakan kitab Nahwu kelas rendah jika dibanding kitab-kitab Nahwu yang lain seperti Alfiyyah ibn Malik, Syarh Ibn „Aqil, dll. Namun ternyata justru yang memilih Kitab Kafrawi sebagai kitab Nahwu yang diajarkan adalah Muallim sendiri. Muallim mengatakan, “Bahwa kita jangan memandang kecil besarnya kitab tapi kita menandang bahwa semuanya ilmu, mudah-mudahan dari justru dari belajar yang kecil itu Allah berikan pemahaman. Kita jangan suka menghina kitab yang kecil, karena ketika kita nisbahkan atau muqobalahkan dengan kitabkitab yang besar, karena bisa jadi masalah-masalah, hal-hal yang tidak ada pada kitab yang besar tapi ada pada kitab yang kecil”. Hal ini sesuai dengan kaidah:
58
ِيُىْجَ ُذ فًِ ان َُ ْهشِ نَا يُىْجَ ُذ فًِ انْثَحْش “Terkadang ada (ikan) yang bisa ditemukan di dalam sungai tapi tidak ditemukan di dalam laut”. Selain itu alasan mengapa Muallim memilih kitab Kafrawi karena pengalaman beliau ketika itu mengaji Kafrawi termasuk sebab Allah memberikan futuh (pemahaman) ilmu kepada beliau. Artinya Allah memberi futuh tidak harus dari kitab-kitab yang besar tapi bisa jadi dari kitab-kitab yang kecil.26 4.
Mencetak Murid-murid yang Berkualitas Cita-cita serta niat yang tulus serta dari Muallim untuk mencetak generasi-
generasi muda penerus dakwah Islam merupakan perhatian yang luar biasa terhadap kelangsungan dakwah. Pembangunan pesantren al-„Arba‟in merupakan salah satu wujud realistis dari harapan beliau. Rencana yang matang serta keikhlasan beliau dalam mencetak muballigh-muballigh muda dituangkan seluruhnya di dalam pesantren tersebut. Muallim turun langsung untuk mengajar santri-santri, selain itu beliau memilihkan guru-guru terbaik dan berkualitas untuk mengajar para santri al-„Arba‟in agar mendapatkan hasil yang maksimal. Selain di dunia pesantren ada juga beberapa yang meminta mengaji khas kepada Mu‟allim, mengikuti majelis ta‟lim yang diasuhnya secara rutin hingga ke berbagai tempat-tempat Muallim mengajar. Kualitas keilmuan Mu‟allim inilah yang menjadikan murid-murid beliau senantiasa mengikuti kemanapun beliau mengajar. Diantara murid-murid beliau yang sekarang berhasil meneruskan perjuangan dakwah dan masyhur adalah:
26
Wawancara dengan KH. Bahruddin (Pimpinan Ponpes Darul Hikam, Ciputat), murid Muallim Syafi‟i Hadzami. Beliau termasuk salah satu santri angkatan pertama Ma‟had Arba‟in yang merupakan santri terbaik yang mendapat hadiah umroh pada waktu itu. Sabtu, 17 September 2016, pukul 15.30 WIB
59
a. KH. Saifuddin Amsir27 b. Mu‟allim Bunyamin (Kelapa Dua)28 c. Mu‟allim Ubaidillah Hamdan29 (Jurangmangu) d. KH. Fakhruddin al-Bantani (Bintaro)30 e. KH. Haris Hakam (Parung)31 f. KH. Bahruddin (Pondok Ranji, Ciputat)32 g. KH. Shofwan Nizhomi33 h. dan lain-lain
27
Salah satu murid Mu‟allim Syafi‟i yang tertua. Beliau merupakan ahli fikih dan termasuk dalam salah satu Rais Syuriah PBNU sampai periode 2015. Beliau juga mendirikan Ponpes yang diberi nama al-„Asyirah al-Qur-aniyyah juga pendiri Ma‟had Zawiyah Jakarta. 28 Sebelum meninggal Mu‟allim Syafi‟i berpesan jika beliau sudah tidak ada umur, maka murid-murid beliau disarankan mengaji kepada Mu‟allim Bunyamin. Mu‟allim Bunyamin lebih condong kepada ilmu tasawwuf. Banyak yang menyebutnya ia sebagai seorang sufi. 29 Kiai Betawi ini merupakan lulusan pesantren al-„Arba‟in angkatan pertama. Beliau sekarang menjadi muballigh dan mendapat sebutan Mu‟allim karena kualitas keilmuannya. Ulama kharismatik ini mendirikan Pondok Pesantren Darul Mushtofa. 30 Murid Mu‟allim yang cerdas dan berwibawa ini adalah Pimpinan Majelis Ta‟lim alBantani. Mengajar di puluhan Majelis Ta‟lim yang tersebar di berbagai wilayah Jakarta. Pesantren nya saat ini sedang tahap pembangunan dengan nama Ponpes Ghoutsul „Ibad. 31 Merupakan murid Mu‟allim Syafi‟i Hadzami dari masih usia muda. Beliau sekarang menjadi muballigh yang masyhur dan sering mengisi acara ta‟lim yang ditayangkan beberapa stasiun televisi. Beliau juga mendirikan pesantren Persilaan as-Safinah di daerah Parung. 32 Beliau termasuk salah satu santri angkatan pertama Ma‟had Arba‟in yang merupakan santri terbaik yang mendapat hadiah umroh pada waktu itu. Beliau juga pendiri sekaligus pimpinan Ponpes Darul Hikam, Ciputat. 33 Beliau saat ini menjadi muballigh terkenal di kalangan masyarakat Betawi khususnya Jakarta Selatan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam pendidikan Islam adalah: a.) Mengajar ta’lim di berbagai wilayah DKI, diketahui bahwa jadwal majelis taklim Muallim Syafi’i Hadzami mencapai 39 Majelis Taklim di seluruh wilayah DKI Jakarta. b.) Mengarang berbagai macam kitab, diantaranya: Tawdhih al-Adillah (seratus masalah agama yang terdiri dari 7 jilid), Sullamu al'Arsy Qira’at Warsy (kitab tentang kaidah-kaidah khusus dalam ilmu qira’at menurut Syekh Warasy), Qiyas Adalah Hujjah Syar'iyyah (kitab ushul fiqih), Qabliyyah Jum’at (tentang kesunnahan Qabliyyah Jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya), Shalat Tarawih (penjelasan tentang shalat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf jumlah raka’atnya, cara pelaksanaannya, dll), ‘Ujalah Fidyah Shalat (membahas khilaf dalam membayar fidyah untuk seorang Muslim yang telah meninggal dunia yang semasa hidup pernah meninggalkan beberapa shalat fardhu), Mathmah al-Ruba fi Ma’rifah al-Riba (membahas hal yang berkaitan dengan riba seperti hukum riba, benda-benda ribawi, jenis-jenis riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya). c.) Merintis lembaga pendidikan, yaitu: 1) Pendirian yayasan al’Asyirotusy Syafi’iyyah dari mulai TK-Madrasah Tsanawiyyah, 2) Mendirikan pondok pesantren al’Arba’in d.) Mencetak murid-murid yang berkualitas, seperti KH. Saifuddin Amsir, Mu’allim Bunyamin, Mu’allim ‘Ubaidillah Hamdan, KH. Fakhruddin alBantani, KH. Haris Hakam, KH. Bahruddin, dll.
60
61
B. Implikasi Implikasi yang didapat dari penelitian yang penulis lakukan bahwa untuk menjadi orang yang sukses dalam menuntut ilmu haruslah memiliki niat dan tekad yang kuat dalam menuntut ilmu, keikhlasan hati dan istiqomah dalam belajar, cinta terhadap ilmu. Semua itu diiringi dengan etika terhadap guru sebagai aplikasi dari pengamalan ilmu yang dimiliki. Cara-cara dan kunci kesuksesan menuntut ilmu telah diajarkan oleh para ulama seperti yang ada pada kitab ta’lim al-muta’allim, telah dilakukan oleh KH. M. Syafi’i Hadzami untuk mencapainya. Hal yang dialami KH. M. Syafi’i Hadzami menjadi ibrah bagi pemuda Islam bahwa tidak mesti mondok di pesantren jika ingin menjadi seorang yang tafaqquh fiddin, semua itu bisa dicapai jika kita melakukan apa yang telah dicontohkan oleh beliau.
C. Saran Sesuai dengan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapatkan penulis pada penelitian ini, penulis akan mengemukakan masukan atau saran, antara lain sebagai berikut: 1. Bagi seluruh penuntut ilmu yang tidak memiliki kesempatan untuk bisa nyantren, hendaknya melakukan apa-apa yang telah dicontohkan oleh KH. M. Syafi’i Hadzami untuk kesuksesan dalam menuntut ilmu. 2. Kepada para pengajar hendaknya kita mencontoh KH. M. Syafi’i Hadzami yang menjadikan mengajar sebagai amanah dan pilihan hidup, karena keikhlasan akan membuat apa yang kita lakukan akan menjadi lebih bermakna dan memberikan kenyamanan dalam menjalani kehidupan. 3. Hendaknya
kita selaku murid
memperhatikan
isnad
(silsilah
keguruan). Agar ilmu yang kita dapatkan adalah benar dan sesuai dengan ajaran dari Rasulullah Saw.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multi Disipliner. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semester, 2006. Alawiyah, Tuty. KH. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985. Jakarta: Perguruan Islam Asy-Syafi’iyah. 1999. Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD PRESS. 2005. Arifin, M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga Sebagai Pola Pengembangan Metodologi. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-4, 1987. -------. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, Cet. ke-1, 1987. -------. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bina Aksara, 1991. Aziz, Abdul. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. ke1, 2002. Dasuki, Hafidz. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. Djaelani, Abdul Qodir. Peran Ulama danSantri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu,1990. Fadli, Ahmad. Ulama Betawi. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2001. Fadli, Ahmad. Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2002. Hadzami, Muhammad Syafi’i. Taudhih al-Adillah, Seratus Masalah Agama Jilid 6. Kudus: Menara Kudus, 1982. Jalaluddin,. Said, Usman. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 1995. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif, Cet. ke-4 1980. Mohammad, Herry. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
62
63
Moleong, Lexi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, Cet. 29, 2011. Nata, Abuddin. Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. -------. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005 -------. Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005. -------. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2010. Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. ke-5, 2003. Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya media Pratama, 2001. Noer, Deliar. Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013. Raharja, Umar Tirta. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rangka Cipta, 1995. Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya. Jakarta: Gunara Kata, 2001. Santosa, Kholid O. Manusia Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan TokohTokoh Islam. Bandung: Sega Arsy, 2007. Shahab, Yasmine Zaki. Betawi dalam Perspektif Kontemporer, Perkembangan, Potensi dan Tantangan. Lembaga Kebudayaan Betawi. 1997. Sobri, KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi. Jakarta: Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, 2006. Subana, M,. Sudrajat. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001. Surdjomiharjo, Abdurrahman. Beberapa Segi Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. ke-7, 2007.
64
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 1997. Wawancara bersama Ustadz Hairul, pada tanggal 29 Juli 2016, pukul 13.30 WIB Wawancara dengan Ustadz Suhendi, pada tanggal 29 Juli 2016, pukul 20.00 WIB Wawancara dengan KH. Bahruddin, pada tanggal 17 September 2016, pukul 15.30 WIB Wawancara degan KH. Fakhruddin Al-Bantani, pada tanggal 28 Oktober 2016 pukul 15:00 WIB Yahya, Ali. Sumur yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotus Syafi’iyyah, 1999. Yatim, Badri. Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos, 2002. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2008. Zuhairin. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PTAI, 1986. -------. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara 2009.
LAMPIRAN – LAMPIRAN
1. Gambar KH. Muhammad Syafi’i Hadzami
2. Gambar Makam Almaghfurlah KH. Muhammad Syafi’i Hadzami
Makam Almaghfurlah Mu’allim KH. Syafi’i Hadzami (hitam), disampingnya adalah makam istrinya Almh. Siti Khiyar.
3. Gambar Madrasah (MI, MTs) Masjid Al-‘Asyirotus Syafi’iyyah
4. Guru-guru KH. Syafi’i Hadzami
Guru Sa’idan (wafat 1976) Salah satu guru terdekat Mu’allim Syafi’i Hadzami. Mu’allim belajar kepadanya di daerah Kemayoran. Kepada beliaulah Mu’allim mulai mengaji kitab-kitab kuning
KH. Mahmud Romli Salah satu guru utama Mu’allim Syafi’i Hadzami. Mu’allim mengaji bertahun-tahun kepadanya hingga beliau wafat pada tahun 1976.
Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur) Salah satu guru Mu’allim Syafi’i Hadzami yang paling utama. Mu’allim mengaji kepadanya hingga beliau wafat tahun 1976.
5. Informan Wawancara
Ustadz Suhendi (Rawa Belong) Murid Mu’allim Syafi’i Hadzami, pendiri MT. Darul Musyaffa.
Ustadz Hairul/H. Ilung (Parung) Murid Mu’allim, Kepala Sekolah MTs. Al’-Asyirotus Syafi’iyyah.
KH. Fakhruddin al-Bantani (Bintaro) Murid Mu’allim, pimpinan Majelis alBantani.
KH. Bahruddin (Pondok Ranji) Murid Mu’allim, salah satu santri terbaik angkatan pertama pesantren al-’Arba’in. Pendiri pesantren mahasiswa Darul Hikam, Ciputat.
6.
Aktivitas
Hari-hari Mu’allim lebih banyak dihabiskan untuk membaca karena membaca adalah kegemarannya yang 7. lebih 30 tahun) paling utama. Pada usia muda (kurang koleksi kitabnya telah banyak.
Mengajar adalah pilihan hidupnya, hidupnya pun didedikasikan untuk ilmu. Gambar Mu’allim sedang mensyarahkan kitab dalam sebuah pengajian.
7. Bersama Para Tokoh 8.
Silaturahmi Habib Umar bin Hafidz (kiri) dari Hadharamaut, Yaman ke Yayasan al’Asyirotus Syafi’iyyah bertemu Muallim KH. Muhammad Syafi’i Hadzami (kanan).
Muallim Syafi’i Hadzami bersama dengan Syekh Yasin al-Fadani. Paling kanan adalah KH. Thohir Rohili, sedangkan paling kiri adalah KH. Ayatullah.
KH. Zainuddin MZ menghadiri acara peringatan Maulid Nabi Saw. di Perguruan al-‘Asyirotusy Syafi’iyyah.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI: Nama Lengkap
: Yazid Awlawi
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 18 Oktober 1993
Alamat
: Jl. Sawo No. 10 RT 05/01 Kelapa Dua Kebon Jeruk Jakarta Barat
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Kewarganegaraan
: Indonesia
No. Handphone
: 089630069633
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN: 1999-2005
SDN Kelapa Dua 01 Pagi
2005-2008
SMPN 189 Jakarta
2008-2011
MA Al-Falah VI Jakarta
2011-2017
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, S1 Jurusan PAI
RIWAYAT ORGANISASI: 2014-2015
Anggota Bidang Keagamaan BEM-J PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2015-2017
Kabid Pengkaderan Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi PW Tangsel