KONTRAK LELUHUR Oleh Ririn Juli Hardianti
Ini tepat sepuluh tahun yang kesepuluh.Seabad yang lalu, tempat itu adalah alas gung liwang liwung. Mbah buyut mereka adalah seorang pendeta dari Arab yang diminta oleh sang raja untuk membangun peradaban di Pulau Jawa. Kesaktian dan ilmu agamanya membuat para leluhur di sana takut. Maka, disepakatilah “kontrak” tersebut. Mbah buyut menikahi putri leluhur. Ya, apa boleh buat. Itu adalah “kontrak” pertama. Pernikahan itu tak hanya menjebrolkanDesa Cogean, akan tetapi setahun kemudian, lahirlah seorang bayi yang digadang-gadang akan menjadi pemimpin selanjutnya. “kontrak,” sepakat, dan istri mbah buyut yang konon bernama Dewi Sri itu pun menjelma menjadi pari. Ia akan menjamin kesejahteraan para warga. “kontrak” kedua pun harus ditaati. Hanya laki-lakilah yang akan memimpin Cogean. Tak lama kemudian, warga baru berdatangan. Entah kutukan atau semacamnya, tapi mereka yang datang semuanya adalah wong wedok, dari mbah-mbah,wong enom, cah cilik, bahkan bayi. Selama ini, hanya ada sepuluh wong lanang yang pernah hidup di sana. Mbah buyut itulah yang pertama. Dalam sepuluh tahun sekali, akan lahir siji bayi lanang. Tak usah lama-lama. Pada usia sepuluh tahun, ia akan memimpin. Jangan menyeringai! Mereka adalah titisan leluhur. Warga tak akan merasa keberatan sedikit pun. Mereka tak ingin kualat. Bardi, pemimpin yang telah berusia dua puluh tahun itu menyerahkan jabatannya kepada Bajang. Tentu saja dalam serah terima jabatan tersebut disertai dengan kelahiransiji bayi lanang. Semua warga menunggui gubuk Yu Royam. Wanita menunggu di dalam sedangkan Bajang dan Bardi menunggu di luar rumah. Duduk di lincak. Pada sepetak kamar yang hanya disinari sentir itulah wong ayu, rondo Tuk Rondi—
1
pemimpin sebelum Bardi tersebut ditemani Mbah Parti, seorang dukun bayi.Berbeda dengan warga yang datang pada siang hari, dukun bayi berusia setengah abad itu menungguinya sejak semalam. Proses penungguan yang panjang. Wanita-wanita itu menghabiskan waktu dengan petan.Tak ada yang lebih menyenangkan selain petan berantai, mengambil tumo yang membuat kepala gatal tak karuan. Tumo tersebut akan digilas dengan kedua kuku jempol atau diletakkan di antara gigi geraham. Gurih. Mereka tetap bersuka cita tanpa menimbulkan kegaduhan dalam menyambut kelahiran calon pemimpinnya. Sedangkan para gadis kecil terengah-engah karena berlari-lari di halaman rumah bermain gobak sodor. Tiba waktunya. Sorenya, jeritan wanita berusia tiga puluh tahun itu berganti dengan tangisan bayi. Warga bersuka cita. Bahkan ada yang meneteskan luh. Dukun bayi itu keluar dari kamar dengan menggendong bayi. Seketika suasana jadi hening. Suka cita itu merupa gelembung yang telah melambung sangat tinggi kemudian pecah begitu saja. Pyarrr. Jangan menyeringai! Mereka tak akan selancang itu, kecewa pada titisan leluhur. Nanti kualat. Mereka hanya bingung, Mbah Parti menggendong dua bayi. Bajang dan Bardi meninggalkan rumah itu begitu saja. Para warga pulang dengan kepala yang tertunduk. Tatapan kosong. Akan tetapi itu segera berlalu. Tak ada yang perlu dirisaukanasalkan menjalankan “kontrak” dengan patuh. Itu yang mereka pikirkan.
“Tuk, apa yang terjadi dengan Cogean?” Bajang bertanya pada Bardi saat duduk bersama dilincak pinggir wangan. “Masalah ini harus dipecahkan, Tuk. Sampean pemimpinnya, sekarang.” “Tak ada yang mengusik pohon kelor dan pari itu kan, Tuk?” “Hahaha. Tentu saja tidak akan ada yang berani.”
2
Konon, setelah “kontrak” pertama itu disepakati, leluhur itu menitis menjadi pohon kelor. Putrinya, Dewi Sri menitis menjadi limapari. Pari tersebut akan tetap sama jumlahnya, baik akar, batang, maupun bulir parinya. Tak akan ada yang gabuk. Warga tinggal mengambil lima bulir yang kemudian harus diletakkan dalam kuali semalaman. Paginya, jumlah pari tersebut akan berlipat ganda. Mereka menggunakannya sebagai bibit, disebar pada sawah masingmasing. Begitulah kehidupan mereka. Sekolah formal? Silahkan menyeringai. Alam adalah sekolah terbaik dengan “kontrak” sebagai undang-undangnya. Mereka hanya perlu menghormati leluhur, menghormati alam yang merupakan warisan mbah buyutnya dan leluhur. Semua yang ada di
alam harus dikembalikan ke tempat asalnya.
Dedaunan kering yang rogoldari pohonnya tak boleh dirampas. Sampah itu akan dikumpulkan dan diletakkan di dekat pohon tersebut. Sedangkan jika mereka ingin memetik daun jati, daun pisang, maupun janur, misalnya, tidak boleh berlebihan. Harus diambil secukupnya. Itu milik mbah buyut dan leluhur. Iya, Cogean memang terlihat bodoh. Silahkan menyeringai. Bahkan mereka melakukannya dengan suka rela. Pada musim rendeng maupun ketigo, panen dapat dilakukan. Tak perlu repot-repot mengairi sawah, karena air dengan sendirinya mengalir dari pohon kelor yang sangat besar tersebut. Pari itu juga tak akan pernah habis meski para warga, masing-masing mengambil lima bulir. Tentu saja mereka mematuhi “kontrak” bahwa mereka hanya diperbolehkan mengambil tiga bulan sekali. Ada satu lagi “kontrak” yang harus dijalankan. Tedak Siten. Saat titisan leluhur yang dipanggil Ngger Agung itu berusia tujuh bulan, untuk pertama kalinya kaki mereka akan diinjakkan tanah. Proses awal sebelum mereka dapat berjalan. Ubarampe-nya banyak, ada kurungan ayam, tebu ungu, bubur ketan lima warna, dan simbol-simbol kepemimpinan seperti keris, dami, dan daun kelor.
3
Ritual yang dipimpin oleh Mbah Parti ituberlangsung. Kelima bubur ketan dengan warna hijau, coklat, merah, kuning, dan putih itu diletakkan pada cowekyang ditutupi dengan daun pisang.Cowek-cowek itu disusun memanjang menuju sebuah kurungan. Pada kurungan tersebut bersandar ondo dengan lima tingkat yang dibuat dari tebu ungu. Sedangkan simbol-simbol kepemimpinan diletakkan pada tampahkecilyang ada dalam kurungan. Panji dan Pandu telah dimandikan dengan kembang setaman dan dipakaikan jarik.Giliran pertama adalah Panji. Mbah Parti membopongnya sambil membaca doa dan mengelilingi ubarampetersebut lima kali. Setelah itu, kedua kaki Panji diinjakkan pada masing-masing ketan. Warga yangmenyaksikan sangat antusias. Terlebih saat bocah mungil itu terkekeh saat kakinya menginjak ondo ungu. Maka tibalah Panji pada sesi yang terpenting. Ngger Agungitu dimasukkan ke dalam kurungan. Ia pun mengambil benda-benda itu. Satu per satu. Warga bertepuk tangan, bahkan tak sedikit yang meneteskanluh. Dami
melambangkan
kemakmuran.
Daun
kelor
melambangkan
kehidupan yang tak sesederhana kelihatannya. Sedangkan keris, melambangkan kearifan dan bijaksanaan. Ngger Agung harus arif dan bijaksana dalam mengasuh Cogean, untuk memakmurkan warganya. Suasana yang riuh tadi berganti menjadi sepi nyet-nyet saat tiba giliran Pandu. Jangan menyeringai.
Mereka tak ingin kualat. Tidak. Mereka juga
mencintainya selayaknya mencintai Panji. Hanya saja, lagi-lagi mereka bingung karena Ngger Agung itu dari hari ke hari kulitnya berubah.Kulitnya yangkuning bersih menjadi hitam. Kini, ia nampak seperti bayi yang dekil. Tibalah pada ritual terpenting. Pandu dimasukkan ke dalam kurungan. Semenit, dua menit, lima menit, sampai sepuluh menit berlalu. Selama itu ia hanya asyik menghisap-hisap jempolnya. Menatap Mbah Parti dengan tertawa, lalu menghisap jempol lagi. Tak ada satu pun benda yang ada dalam genggamannya.
4
“Tuk, kenapa ini bisa terjadi?” “Sampeanharus menyelesaikan masalah ini. Bahkan kalau Ngger Agung Pandu mengambil ketiganya pun, masalah tidak akan selesai.” “Memang, Tuk. Kita tetap akan dibingungkan apakah hanya seorang saja yang akan memimpin seperti sepuluh generasi lalu, atau ada dua yang akan memimpin secara bersamaan.” “Ada lagi satu yang membuat saya gelisah, Tuk. Keris saya yang saya letakkan dalam almari tiba-tiba saja tergeletak di atas tanah.” “Kapan kejadiannya? Ini pertanda buruk.” “Tadi pagi. Semalam pun ada burung gagak yang berkoak di atap gubuk saya, Tuk.” “Itu sangat tidak baik. Saya akan bantu sebisa mungkin, Tuk.” “Biar saya saja, Tuk. Ini tanggung jawab saya sebagai pemimpin.”
Malamnya, Bajang yang jangkung dan tampan itu mandi kembang setaman. Kemudian ia semedi di dekat kelor dan pari keramat tersebut. Kusyu, sampai subuh tiba. Selama proses semedinya yang terbilang singkat itu, kulitnya yang kuning bersih menghitam. Jadi kluwus.Padahal selama sepuluh generasi, pemimpin Cogean pastilah punya wajahbagusdengan kulit kuning bersih. Termasuk Bardi yang badannya lebih berisi daripada Bajang. Sayangnya, warga hanya mengetahui kalau Bajang tiba-tiba menghilang. Tak ada yang tahu keberadaannya. Lima hari kemudian, warga melihat ada kelor kecil yang tumbuh di dekat kelor keramat.Sejak kapan? Lagi-lagi warga bingung.Ah, tapi tak ada yang perlu dirisaukan. Mereka telah melaksanakan kewajiban. Kali ini, kehidupan Cogean memang berjalan menyimpang dari biasanya. Bardi menjabat kembali karena tak ada yang memimpin. Sedangkan Yu Royam yang selama tujuh bulan ini gelisah, sudah tenang. Tak usah risau. Bahkania tak berniat sedikit pun untuk bercerita kepada siapapun bahwa saat kandungannya
5
berusia tiga bulan, Bardi menyusup ke dalam rumahnya. Malam itu, ia melihat pemimpin tersebut menuang cairan dari kendi yang dibawanya ke dalam kuali tempat minumnya. Tidak.Tentu saja Yu Royam tak curiga sedikitpun.Ia takut kualat.Yang perlu ia dan warga Cogean lakukan adalah tetap mematuhi “kontrak” yang telah disepakati oleh mbah buyutnya dengan leluhur. Itu saja.
6