Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008
KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh
Ening Ariningsih
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008
KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 (Consumption and Intake Adequacy of Calorie and Protein of Rural Household in Indonesia: Analysis of SUSENAS data 1999, 2002, and 2005) Ening Ariningsih Staf Peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
ABSTRAK Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia, dimana dalam hal ini kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis keragaan konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga di perdesaan. Data yang digunakan adalah data primer Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 1999, 2002, dan 2005. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Tingkat konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan protein seperti ditetapkan pada WNPG VIII tahun 2004. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan. Walaupun demikian, pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi, khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Beras masih menjadi sumber utama energi dan protein rumah tangga di perdesaan, sementara konsumsi protein hewani masih rendah, sehingga masih di bawah konsumsi protein hewani yang direkomendasikan. Dalam upaya mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan konsumsi energi dan protein hendaknya program-program pemerintah diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Kata kunci: energi, protein, protein hewani, konsumsi, kecukupan, perdesaan
PENDAHULUAN
Sampai saat ini Indonesia masih dihadapkan pada masalah kualitas SDM yang rendah, yang tercermin dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia di tahun 2006 masih menduduki peringkat ke-107 dari 177 negara dan berada jauh di bawah negara-negara di Asia Tenggara lain seperti Singapura yang berada di peringkat 25, Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina yang berada di peringkat 90.
1
Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belumlah dapat digunakan sebagai jaminan akan terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi, karena selain ketersediaan, juga perlu diperhatikan aspek pola konsumsi atau keseimbangan kontribusi di antara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga memenuhi standar gizi tertentu. Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum tersebut umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas SDM. Dalam hal ini, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Lebih lanjut Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis keragaan konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga. Fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan (56,88% menurut data SUPAS 2005) dan sebagian besar (63,52%) penduduk miskin berada di perdesaan menunjukkan pentingnya analisis untuk difokuskan pada daerah perdesaan. Dengan demikian, diharapkan dapat diambil langkahlangkah kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kualitas gizi dan SDM masyarakat di perdesaan.
METODE ANALISIS
Data yang digunakan adalah data primer Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999, 2002, dan 2005 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik. Data yang digunakan dalam analisis mencakup data karakteristik rumah tangga (jumlah anggota rumah tangga, jenis kelamin, dan umur), pengeluaran, dan konsumsi energi dan protein untuk tiap-tiap jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga tersebut. Cakupan analisis adalah daerah perdesaan yang dipilah menurut kelompok pendapatan (menurut World Bank: rendah [40%], sedang [40%], dan tinggi [20%]), wilayah (Jawa - luar Jawa), dan jenis pekerjaan (pertanian - non pertanian).
2
Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Untuk tiaptiap rumah tangga dihitung konsumsi energi dan protein perhari dan dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan protein (AKEP) yang telah ditetapkan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 (Hardinsyah dan Tambunan, 2004), namun karena dalam data SUSENAS tidak tersedia data ibu hamil dan menyusui, maka dalam analisis ini tidak diperhitungkan tambahan kebutuhan ibu hamil dan menyusui akan energi dan protein. Angka kecukupan energi dan protein secara rinci untuk masing-masing kelompok umur dan unit ekuivalen dewasa (UED) untuk masing-masing kelompok umur tersebut dapat disimak pada Tabel Lampiran 1. Adapun perhitungan konsumsi dan kecukupan energi dan protein adalah sebagai berikut: Konsumsi energi perkapita = ∑konsumsi energi RT perhari / ∑ART Konsumsi protein perkapita = ∑konsumsi protein RT perhari /∑ART Konsumsi energi per UED energi = ∑konsumsi energi RT perhari / ∑UED energi RT Konsumsi protein per UED protein = ∑konsumsi protein RT perhari /∑UED protein RT Kecukupan energi = Konsumsi energi per UED energi / AKE UED x 100% Kecukupan protein = Konsumsi protein per UED protein / AKP UED x 100% dimana: Angka Kecukupan Energi (AKE) UED = 2350 kkal, Angka Kecukupan Protein (AKP) UED = 60 gram
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Malassis dan Ghersi (1992) seperti dikutip Irawan (2002)). Namun demikian, bukan hanya jumlahnya harus mencukupi, tetapi keanekaragaman pangan sumber energi yang dikonsumsi tidak kalah juga pentingnya. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) secara umum pola pangan yang baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65% : 10-20%: 20-30%. 3
Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan konsumsi energi dan protein dari tahun ke tahun selama periode 1999-2005.
Walaupun demikian,
nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Di sisi lain, pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi terjadi kelebihan asupan energi maupun protein, sehingga kita dihadapkan pada masalah gizi ganda. Lebih lanjut Tabel 1 dan 2 juga menunjukkan bahwa asupan dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa. Masih melimpahnya sumber makanan di wilayah luar Jawa di satu sisi, serta tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi di Jawa yang dihuni sekitar 59 persen penduduk Indonesia di sisi lain menyebabkan ketersediaan makanan secara keseluruhan (dilihat dari ketersediaan energi dan protein secara total) per kapita lebih tinggi di luar Jawa. Tabel 1. Konsumsi dan kecukupan energi rumah tangga di perdesaan menurut wilayah dan kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002, dan 2005 Cakupan
1999 2002 2005 Konsumsi Konsumsi Konsumsi Kecukupan Kecukupan Kecukupan (Kkal/Kap/Hari) (Kkal/Kap/Hari) (Kkal/Kap/Hari) (%) (%) (%)
Kel. Pendapatan - Rendah - Sedang
1701.51 2194.92
87.67 111.40
1858.35 2400.10
95.70 121.77
1850.56 2453.97
97.30 124.16
- Tinggi
2600.28
129.64
2848.40
142.04
3268.94
155.19
Wilayah - Jawa
1890.16
96.38
2033.17
103.88
2055.95
105.15
- Luar Jawa
2049.03
104.47
2178.32
111.12
2282.16
116.70
Jenis Pekerjaan - Pertanian
1978.67
100.35
2118.49
107.68
2208.54
112.15
- Nonpertanian 1973.46 101.40 2120.00 Total Perdesaan 1976.56 100.78 2119.03 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
109.02 108.16
2162.26 2189.97
111.76 111.99
Apabila dilihat dari jenis pekerjaannya, nampak bahwa konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga yang bermata pencaharian utama sebagai petani lebih rendah daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian. Nampaknya lapangan usaha pertanian relatif kurang dapat menjamin aksesibilitas terhadap pangan dibandingkan lapangan usaha non pertanian. Mentri Pertanian Anton 4
Apriyantono mensinyalir bahwa sekitar 70 persen penduduk miskin di Indonesia adalah petani, terutama buruh tani yang jumlahnya sangat besar dan memang rawan terhadap kemiskinan. Tabel 2. Konsumsi dan kecukupan protein rumah tangga di perdesaan menurut wilayah dan kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 Cakupan
Konsumsi
2002 Kecukupan
Konsumsi
2005 Kecukupan
Konsumsi
Kecukupan
(Gram/Kap/Hari)
(%)
(Gram/Kap/Hari)
(%)
(Gram/Kap/Hari)
(%)
- Rendah - Sedang
42.62 57.36
85.02 111.94
47.53 65.09
94.77 126.82
48.29 67.93
98.00 131.81
- Tinggi
71.89
137.57
82.74
158.23
95.88
174.67
Wilayah - Jawa
49.16
96.06
54.50
106.45
56.70
110.68
- Luar Jawa
52.66
103.96
57.33
113.29
61.34
121.01
Jenis Pekerjaan - Pertanian
50.07
97.76
55.20
108.08
58.83
114.76
- Nonpertanian
52.53
104.17
57.92
114.82
60.37
119.84
Indonesia 51.06 100.36 56.17 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
110.50
59.45
116.80
Kel. Pendapatan
Proporsi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein Berdasarkan acuan dari Depkes (1996) (BKP, 2008), di mana tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein < 70% dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat kecukupan konsumsi antara 70 - <80% sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80 – 90 persen sebagai defisit tingkat ringan maka secara umum Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai defisit energi maupun protein. Akan tetapi, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa masih terdapat rumah tangga yang defisit energi dan protein dalam proporsi yang cukup signifikan, baik dalam kategori ringan, sedang, maupun berat, walaupun selama periode 1999-2005 cenderung menurun. Fokus perhatian hendaknya ditujukan pada rumah tangga yang mengalami defisit energi ataupun protein pada tingkatan berat yang pada tahun 2005 mencapai sekitar 11 persen dari rumah tangga yang ada di perdesaan, atau sekitar 13,35 juta jiwa.
5
Tabel 3. Proporsi rumah tangga defisit energi di perdesaan, tahun 1999, 2002, dan 2005 (%) Cakupan
1999 B
S
2002 R
B
S
2005 R
B
S
R
Kel. Pendapatan - Rendah - Sedang
20.51 4.38
19.39 7.31
19.85 11.73
12.98 2.24
14.72 4.63
17.68 7.99
16.89 4.24
13.22 5.40
15.65 8.40
- Tinggi
2.73
3.16
6.50
1.26
2.10
4.76
2.67
2.46
4.58
Wilayah - Jawa
14.53
15.70
17.16
9.62
12.24
15.23
11.48
11.41
14.76
- Luar Jawa
10.99
11.09
14.03
7.40
8.84
12.00
10.68
8.06
10.18
Jenis Pekerjaan - Pertanian
12.94
13.15
15.49
8.47
10.22
13.51
11.54
9.30
11.58
- Nonpertanian
12.10
13.25
15.41
8.01
10.25
12.97
10.21
9.62
12.74
12.60 13.19 15.46 8.30 10.23 B = Defisit berat: < 70% AKE, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKE, R = Defisit ringan: 80% s/d <90% AKE Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
13.32
11.00
9.43
12.05
Indonesia Keterangan:
Tabel 4. Proporsi rumah tangga defisit protein di perdesaan, tahun 1999, 2002, dan 2005 (%) Cakupan
1999
2002
2005
B
S
R
B
S
R
B
S
R
- Rendah - Sedang
26.43 5.15
19.28 7.51
18.67 11.16
15.84 2.02
14.78 3.88
16.80 7.07
18.00 3.42
12.26 3.84
14.32 6.95
- Tinggi
2.10
3.43
5.13
0.93
1.35
2.47
2.15
1.50
3.01
Wilayah - Jawa
17.77
15.14
15.89
10.76
11.48
13.94
11.09
9.78
12.72
- Luar Jawa
14.36
11.65
13.32
9.20
8.88
11.23
11.38
7.18
9.22
Jenis Pekerjaan - Pertanian
17.70
13.53
14.65
10.85
10.53
12.92
12.59
8.56
10.70
- Nonpertanian
13.29
12.82
14.27
8.02
8.88
11.29
9.28
7.76
10.58
9.94
12.33
11.26
8.24
10.65
Kel. Pendapatan
Indonesia Keterangan:
15.92 13.24 14.50 9.84 B = Defisit berat: < 70% AKP, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKP, R = Defisit ringan: 80% s/d <90% AKP Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
Tingkat pendapatan yang semakin tinggi akan semakin menjamin aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan. Namun demikian, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa 6
pendapatan rumah tangga yang relatif tinggi tidak sepenuhnya menjamin kecukupan energi dan protein rumah tangga tersebut. Nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi pun masih terdapat rumah tangga yang tergolong defisit energi dan protein, walaupun dalam proporsi yang sangat kecil dibandingkan rumah tangga berpendapatan rendah. Nampak secara jelas bahwa proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Selain ketersediaan pangan perkapita yang relatif rendah dibandingkan di luar Jawa, Ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif lebih tinggi menyebabkan ketimpangan aksesibilitas terhadap pangan yang cukup tinggi di Jawa. Hal tersebut berakibat tingginya proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di Jawa, relatif terhadap luar Jawa. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein relatif lebih tinggi pada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di bidang pertanian daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian. Hal tersebut menunjukkan perlunya fokus perhatian ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga pertanian. Proporsi Jenis Pangan Terhadap Konsumsi Energi dan Protein Tabel 5 menunjukkan bahwa beras yang merupakan pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di perdesaan, sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubikayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan ‘raskin’. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai gagal karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi konsumsi mie dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mie instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras.
7
Tabel 5. Konsumsi energi rumah tangga di perdesaan menurut jenis pangan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 Jenis Pangan - Beras - Jagung
Konsumsi (Kkal/Kap/Hari)
2002 Proporsi (%)
Konsumsi (Kkal/Kap/Hari)
2005 Proporsi (%)
Konsumsi (Kkal/Kap/Hari)
Proporsi (%)
1135.12 40.85
57.43 2.07
1115.36 47.28
52.64 2.23
1101.66 42.49
50.30 1.94
56.31 7.71
2.85 0.39
57.47 11.89
2.71 0.56
54.69 35.78
2.50 1.63
736.57
37.26
887.03
41.86
955.35
43.63
Total 1976.56 100.00 2119.03 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
100.00
2189.97
100.00
- Ubi kayu - Mie - Pangan lain
Tabel 6 menunjukkan bahwa beras juga menjadi sumber protein utama bagi rumah tangga di daerah perdesaan, walaupun selama periode 1999 – 2005 proporsinya menunjukkan penurunan dari sekitar 51,98 persen pada tahun 1999 menjadi 43,30 pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi kedelai dan produk-produk olahannya yang merupakan pangan sumber protein nabati pada tahun 2005 sekitar 7,67 persen., meningkat dari tahun 1999 yang hanya sekitar 6,92 persen. Seiring dengan menurunnya proporsi protein yang berasal dari beras, proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani menunjukkan kenaikan, dari sekitar 17,43 persen pada tahun 1999 menjadi 22,54 persen pada tahun 2005, dengan proporsi terbesar berasal dari protein ikan. Jika dilihat proporsinya, maka proporsi protein asal bahan pangan hewani tersebut sudah memenuhi proporsi yang direkomendasikan. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) guna memperoleh mutu protein dan mutu zat gizi mikro yang baik, paling tidak seperlima (20%) AKP dipenuhi dari protein hewani. Walaupun secara umum proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani sudah mencapai angka yang direkomendasikan, namun hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa pada rumah tangga berpendapatan rendah di perdesaan konsumsi protein yang bersumber dari bahan pangan nabati masih dominan. Ditinjau dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap protein nabati kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial protein nabati. Penduduk dengan pola konsumsi pangan tinggi serealia dan kurang beragam, serta konsumsi pangan hewani yang rendah seperti di Indonesia umumnya mengalami defisit beberapa asam amino dalam menu makanannya. Lima asam amino esensial yang sering defisit dalam pola konsumsi pangan di Indonesia adalah lisin, treonin, triptofan, dan asam amino yang
8
mengandung sulfur, yaitu sistin dan metionin. Hal tersebut menjadi masalah karena kekuranglengkapan asam amino esensial dalam pangan akan menyebabkan mutu cerna (digestibility) dan daya manfaat (utilizable) protein yang dikonsumsi menjadi rendah (Muhilal et al., 1993). Di samping itu, sisa-sisa (racun) dari protein nabati yang dikeluarkan oleh ginjal lebih banyak daripada protein hewani, sehingga lebih memberatkan kerja ginjal. Tabel 6. Konsumsi protein rumah tangga di perdesaan menurut jenis pangan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 Jenis Pangan - Beras
2002
2005
Konsumsi
Proporsi
Konsumsi
Proporsi
Konsumsi
Proporsi
(Kkal/Kap/Hari)
(%)
(Kkal/Kap/Hari)
(%)
(Kkal/Kap/Hari)
(%)
26.54
51.98
26.08
46.42
25.74
43.30
- Kedelai - Daging ternak
3.53 0.96
6.92 1.89
4.37 1.51
7.78 2.68
4.56 2.00
7.67 3.37
- Ikan - Telur
6.84 0.89
13.40 1.74
8.23 1.35
14.65 2.40
9.31 1.60
15.66 2.69
0.20 12.10
0.40 23.67
0.32 14.31
0.57 25.50
0.49 15.75
0.82 26.49
56.17
100.00
59.45
100.00
- Susu - Pangan lain
Total 51.06 100.00 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (LIPI, 1994) memberikan rekomendasi bahwa untuk mencapai mutu gizi konsumsi pangan yang baik, dari kecukupan konsumsi protein rata-rata per kapita per hari hendaknya 15 gram diantaranya dipenuhi dari pangan hewani, dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6 gram dari protein ternak. Rekomendasi ini didasarkan pada keunggulan-keunggulan yang dimiliki protein hewani dibandingkan protein nabati, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino yang lebih lengkap, (2) mengandung vitamin yang mudah diserap, (3) mengandung zat besi (haem) yang mudah diserap, dan (4) nilai cerna protein dan zat besi lebih baik daripada bahan pangan nabati. Protein hewani dalam pangan merupakan bagian yang sangat penting karena sifatnya yang tidak mudah diganti (indispersible). Di samping itu, protein hewani bahkan merupakan pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan berperan pula dalam proses perkembangan kecerdasan manusia. Oleh sebab itu, protein hewani dipandang dari sudut peranannya layak dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa, baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang (Soehadji, 1994).
9
Ditinjau dari acuan tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa walaupun secara total konsumsi protein di Indonesia sudah melampaui jumlah yang direkomendasikan, terlihat bahwa konsumsi protein hewani masih rendah. Dari konsumsi protein hewani sebanyak 15 gram per kapita sehari yang direkomendasikan, pada tahun 1999 hanya sekitar 59,33 persen dari rekomendasi tersebut yang terpenuhi, yang pada tahun 2005 meningkat menjadi 89.33 persen. Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut terkait erat dengan harga pangan hewani yang relatif mahal dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh karena itu, faktor daya beli sangat menentukan tingkat konsumsi pangan hewani, dimana semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan hewani cenderung semakin tinggi. Tabel 7. Konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga di perdesaan menurut wilayah dan kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 Cakupan
Konsumsi (Gram/Kap/Hari)
2002 Kecukupan (%)
Konsumsi (Gram/Kap/Hari)
2005 Kecukupan (%)
Konsumsi (Gram/Kap/Hari)
Kecukupan (%)
Kel. Pendapatan - Rendah - Sedang
5.80 10.96
38.67 73.07
7.79 14.85
51.93 99.00
8.74 16.79
58.27 111.93
- Tinggi
17.60
117.33
24.22
161.47
29.37
195.80
Wilayah - Jawa
5.77
38.47
7.72
51.47
9.59
63.93
11.53
76.87
13.96
93.07
16.02
106.80
Jenis Pekerjaan - Pertanian
8.41
56.07
10.80
72.00
13.01
86.73
- Nonpertanian
9.62
64.13
12.49
83.27
13.98
93.20
11.41
76.07
13.40
89.33
- Luar Jawa
Total 8.90 59.33 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
Apabila dibandingkan antara Jawa dan luar Jawa, nampak bahwa tingkat konsumsi protein hewani di Jawa jauh lebih rendah daripada di luar Jawa. Hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa tingginya konsumsi protein hewani di luar Jawa tersebut bersumber dari tingginya konsumsi ikan. Di Jawa, tingkat konsumsi protein ikan jauh lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara tingkat konsumsi protein hasil ternak (daging, telur, dan susu) lebih tinggi di Jawa. Rendahnya konsumsi ikan di Jawa disebabkan penduduk Jawa menganut tradisi tani yang hampir tak kenal ikan (Hardjana,
10
1994), di samping tingkat ketersediaan ikan di Jawa yang jauh lebih rendah di Jawa daripada di luar Jawa. Konsisten dengan konsumsi total protein yang lebih rendah, konsumsi protein hewani juga lebih rendah pada rumah tangga pertanian dibandingkan rumah tangga non pertanian. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa sebagian besar rumah tangga miskin merupakan rumah tangga pertanian. Upaya Peningkatan Konsumsi Energi dan Protein dan Kaitannya dengan Kualitas SDM Dari uraian di atas nampak bahwa masalah-masalah utama dalam konsumsi energi dan protein adalah tidak tercukupinya standar kecukupan minimum baik energi maupun protein pada rumah tangga berpendapatan rendah, sehingga pada kelompok ini masih terdapat banyak rumah tangga yang defisit energi maupun protein, ketergantungan yang tinggi pada beras sebagai sumber energi maupun protein, dan masih sangat rendahnya konsumsi pangan hewani yang sangat penting peranannya dalam upaya peningkatan kualitas SDM. Kunci permasalahan-permasalahan tersebut terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga., disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di daerah pedesaan, maka penanganan masalah pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu lebih memprioritaskan daerah pedesaan umumnya agar kesenjangan antara kesenjangan desa - kota tidak semakin melebar.
KESIMPULAN Secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan selama periode 1999-2005. Walaupun demikian, pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di 11
luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan energi dan protein
rumah tangga
pertanian lebih rendah daripada rumah tangga non pertanian. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi, khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein lebih tinggi di Jawa daripada di luar Jawa, lebih tinggi pada rumah tangga pertanian daripada rumah tangga non pertanian. Beras masih menjadi sumber utama energi dan protein rumah tangga di perdesaan, sementara konsumsi protein hewani masih rendah, sehingga masih di bawah konsumsi protein hewani yang direkomendasikan. Konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga non pertanian. Kunci permasalahan-permasalahan tersebut terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di daerah pedesaan, maka penanganan masalah pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu lebih memprioritaskan daerah pedesaan umumnya agar kesenjangan antara kesenjangan desa - kota tidak semakin melebar.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67. Ariningsih, E. 2002. Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Sebelum dan Pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Tesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Ketahanan Pangan, 2008. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hasibuan, A.R. 2001. Perilaku Konsumen Mie Instan Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Makanan Pokok Beras di Yogyakarta. agrUMY IX (2): 98-104.
12
Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ”Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Hardjana, A.A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47 [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1994. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Moeloek, F.A. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumberdaya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment, Jakarta. Muhilal, I. Jus’at, H.M. Anwar, F. Djalal, dan Ig. Tarwotjo. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Soehadji. 1994. Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof. Dr. Michael Crawford, Prof. Dr. Boedhi-Darmojo, dan Prof Dr. Soekirman. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
13
Tabel Lampiran 1. Angka Kecukupan Energi dan Protein 2004 dan Unit Ekuivalen Dewasa No.
Umur
Berat (kg)
Tinggi (cm)
Anak: 0-6 bl 6,0 60 7-11 bl 8,5 71 1-3 th 12,0 90 4-6 th 18,0 110 7-9 th 25,0 120 Pria: 6. 10-12 th 35,0 138 7. 13-15th 48,0 155 8. 16-18 th 55,0 160 9. 19-29 th 60,0 165 10. 30-49 th 62,0 165 11. 50-64 th 62,0 165 12. 65+ th 62,0 165 Wanita: 13. 10-12 th 38,0 145 14. 13-15th 49,0 152 15. 16-18 th 50,0 155 16. 19-29 th 52,0 156 17. 30-49 th 55,0 156 18. 50-64 th 55,0 156 19. 65+ th 55,0 156 Hamil: 20. Trimester 1 21. Trimester 2 22. Trimester 3 Menyusui: 23. 6 bl pertama 24. 6 bl kedua Keterangan: AKE : Angka Kecukupan Energi AKP : Angka Kecukupan Protein UED : Unit Ekuivalen Dewasa 1. 2. 3. 4. 5.
AKE (kkal)
UED AKE
AKP (g)
UED AKP
550 650 1000 1550 1800
0,2340 0,2766 0,4255 0,6596 0,7660
10 16 25 39 45
0,1667 0,2667 0,4167 0,6500 0,7500
2050 2400 2600 2550 2350 2250 2050
0,8723 1,0213 1,1064 1,0851 1,0000 0,9574 0,8723
50 60 65 60 60 60 60
0,8333 1,0000 1,0833 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
2050 2350 2200 1900 1800 1750 1600
0,8723 1,0000 0,9362 0,8085 0,7660 0,7447 0,6809
50 57 55 50 50 50 45
0,8333 0,9500 0,9167 0,8333 0,8333 0,8333 0,7500
+ 180 + 300 + 300 + 500 + 550
14