KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK : ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI JUNI 2008 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh
Febyanti Junaedi NIM 105051102006
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK : ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI JUNI 2008 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh
Febyanti Junaedi NIM 105051102006
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK : ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI JUNI 2008 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I)
Oleh Febyanti Junaedi NIM 105051102006
Di Bawah Bimbingan
Dra. Armawati Arbi, M.Si NIP 19650207 199103 2 002
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Juni 2009
Febyanti Junaedi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di saat seluruh bangsa Indonesia tengah memperingati Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2008, terjadi insiden yang melibatkan dua organisasi massa, yaitu Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di Lapangan Silang Monas. Berbagai spekulasi mengenai penyebab terjadinya insiden yang dikalangan media lebih dikenal dengan nama insiden Monas ini, sempat dilontarkan oleh beberapa pihak. “Ada yang mengatakan, massa AKKBB yang merupakan organisasi massa pro-Ahmadiyah menjelek-jelekkan FPI yang sangat keras menentang dan meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, ada yang mengatakan, kerusuhan itu dipicu oleh sebuah tembakan yang membuat laskar FPI marah.”1 Terjadinya insiden Monas ini sempat menjadi headline di beberapa media massa di Indonesia. Selama sepekan baik itu media elektronik maupun media cetak menayangkan dan menampilkan berita mengenai insiden Monas. Berita mengenai insiden Monas ini adalah salah satu berita dengan sensitifitas yang cukup tinggi. Banyak redaksi baik media cetak ataupun elektronik yang menyatakan bahwa insiden Monas merupakan salah satu isu paling sensitif ketika masuk sidang redaksi. Sensitif dikarenakan berita ini berkaitan dengan persoalan agama, yaitu persoalan yang menyangkut banyak pihak. Sikap masing-masing redaksi dan institusi media terhadap persoalan tersebut pastilah 1
Achmad Setiyaji, Tragedi Monas Berdarah (Bandung : Semesta Ide, 2008), h. v.
berbeda. Peristiwa boleh saja sama, tetapi sudut pandang pastilah berbeda. Pernyataan tersebut dapat digambarkan secara jelas pada dua surat kabar nasional, yaitu Koran Tempo dan Republika. Koran Tempo dan Republika mengambil sudut pandang yang berbeda dalam setiap penulisan berita mengenai insiden Monas. Koran Tempo menyatakan bahwa insiden Monas merupakan peristiwa penyerangan atau aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI kepada AKKBB,
sedangkan Republika
menyatakan
bahwa
peristiwa
tersebut
merupakan bentrokan antara FPI dan AKKBB yang terjadi karena persoalan Ahmadiyah. Koran Tempo (Senin, 2 Juni 2008) menempatkan kasus tersebut pada halaman pertama sebagai Top Headline dengan mengetengahkan judul “Bubarkan FPI”, sedangkan Republika pada hari yang sama menempatkan kasus tersebut juga pada halaman utama dengan mengetengahkan judul “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. Pada hari berikutnya, Koran Tempo (Selasa, 3 Juni 2008) menjadikan kasus ini sebagai Top Headline dengan menampilkan foto Panglima Komando Laskar Islam Munarman sedang mencekik salah seorang anggota yang diduga berasal dari AKKBB, judul yang diambil ialah “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. Di hari yang sama, Republika kembali menempatkan kasus tersebut pada halaman utama dengan judul “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”. Selama bulan Juni 2008, Koran Tempo empat kali menjadikan kasus insiden Monas sebagai Top Headline ditempatkan pada halaman depan, sebelas kali menjadikan kasus tersebut sebagai Headline ditempatkan pada halaman kedua dan juga diberitakan pada rubrik Metro, serta rubrik Nasional. Sedangkan Republika,
tercatat enam kali menempatkan kasus insiden Monas sebagai Headline di halaman depan dan tiga kali menempatkan kasus tersebut bukan di halaman depan. Beberapa judul berita di atas dan juga judul-judul lainnya serta pandangan kedua media cetak tersebut mengenai insiden Monas tampak menarik untuk diteliti. Salah satu fungsi utama dari media massa sendiri adalah memberikan informasi kepada khalayak. Berbagai media massa yang telah ada, dimanfaatkan oleh khalayak untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi yang secara otomatis
akan
lebih
mengembangkan
wawasan
intelektual
mereka.
Menyampaikan berita secara obyektif adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh institusi media dan wartawan. Meskipun mereka telah menyampaikan informasi secara akurat dan aktual namun, pada kenyataannya tetap saja berita yang disampaikan masih jauh dari obyektifitas. Di media massa seperti surat kabar misalnya, pemberitaan yang ada selalu saja dikaitkan dengan beberapa kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun organisasi. Banyak berita di surat kabar tidak dinyatakan secara eksplisit tetapi implisit. “Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia : siapa pahlawan dan siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan) dan pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa yang masuk akal dan tidak; dan solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan.” 2 Konstruksi berita pada dasarnya merupakan sebuah informasi yang disampaikan secara kuantitatif dan kualitatif. Sisi kuantitatif dapat dilihat dari seberapa sering berita tersebut muncul dan jumlah pemakaian istilah dalam 2
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS, 2002), h. x .
berita. Sedangkan sisi kualitatif dapat dilihat berdasarkan unsur objektivitas dan faktualitas. Media memiliki ideologi yang ingin mereka refleksikan melalui berita-berita yang disampaikan, baik ditujukan dalam cara penulisan berita, bentuk penceritaan suatu peristiwa atau penentuan fakta mana yang harus ditekankan atau justru dihilangkan. Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh media dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, di antaranya analisis wacana, analisis framing dan analisis semiotika. Analisis framing merupakan metode yang sesuai digunakan pada penelitian ini, karena dalam perspektif komunikasi analisis ini dipakai untuk mengetahui bagaimana cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana suatu peristiwa atau realitas dibingkai oleh media.3 Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu, peristiwa dipahami dengan bentukan tertentu. Melalui penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut karakter pemberitaan Koran Tempo dan Republika mengenai penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008, dilihat dari proses pembingkaian masalah pada berita-berita yang disampaikan. Dengan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, peneliti merasa tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang berjudul KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK : Analisis Framing Pemberitaan Insiden Monas di Koran Tempo dan Republika Edisi Juni 2008.
3
Ibid, h. 3.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih mudah dan terarah, maka penulisan skripsi ini dibatasi pada analisis tekstual (message) pemberitaan insiden Monas oleh tim redaksi Koran Tempo dan Republika. Khususnya dalam headline berita mengenai penyebab terjadinya insiden Monas yang melibatkan antara FPI dan AKKBB pada kedua harian tersebut. Sedangkan untuk batasan waktu terbitnya, peneliti mengambil berita-berita selama satu bulan yaitu, Juni 2008. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis framing model Robert N. Entman. Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas antara lain : 1. Bagaimana struktur define problems (pendefinisian masalah) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan Republika ? 2. Bagaimana struktur diagnose causes (penyebab masalah) pada beritaberita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan Republika ? 3. Bagaimana struktur make moral judgement (membuat pilihan moral) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan Republika ? 4. Bagaimana
struktur
treatment
recommendation
(menekankan
penyelesaian) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan Republika ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Teoritis Dengan menggunakan analisis framing model Entman, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur define problems (pendefinisian masalah), diagnose causes (penyebab masalah), make moral judgement (membuat pilihan moral) dan treatment recommendation (menekankan penyelesaian) antara Koran Tempo dan Republika dalam pemberitaan insiden Monas yang melibatkan FPI dan AKKBB. b. Tujuan Praktis Mencari hubungan / perbedaan proses framing Koran Tempo dan Republika mengenai insiden Monas. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Sebagai upaya mengembangkan khazanah keilmuan tentang jurnalistik dan memberikan gambaran karakter pemberitaan surat kabar, dalam hal ini Koran Tempo dan Republika mengenai insiden Monas. b. Manfaat Praktis Memberikan kontribusi tentang bagaimana sebuah berita diperoleh, diolah dan disampaikan pihak institusi media kepada khalayak pembaca surat kabar, dalam hal ini Koran Tempo dan Republika terkait dengan insiden Monas. Mengetahui bagaimana Koran Tempo dan Republika mengkonstruksikan sebuah pesan. Juga memberikan pengetahuan
kepada khalayak umum tentang proses framing yang dilakukan oleh kedua surat kabar nasional tersebut.
D. Tinjauan Pustaka Penulisan skripsi dengan judul Konstruksi Realitas Pada Media Cetak : Analisis Framing Pemberitaan Insiden Monas di Koran Tempo dan Republika Edisi Juni 2008 ini terinspirasi dari beberapa penulisan skripsi yang pernah peneliti lihat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Di antara penulisan skripsi tersebut, menggunakan teknik analisis framing yaitu untuk mengetahui konstruksi realitas pemberitaan pada media cetak. Skripsi tersebut antara lain : Skripsi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Andrizal yang berjudul Konstruksi Berita Kontroversi Jamaah Ahmadiyah Indonesia dalam Majalah Forum Keadilan dan Majalah Sabili (Analisis Framing Model William A. Gamson dan Andre Modigliani, dengan pisau analisis model Gamson dan Modigliani. Skripsi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Eri Suhasni Wulandari yang berjudul Analisis Framing Pemberitaan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah di Harian Media Indonesia, dengan menggunakan pisau analisis model Pan dan Kosicki. Skripsi mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Doni yang berjudul Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika), dengan pisau analisis model Pan dan Kosicki. Beberapa skripsi tersebut menjelaskan bagaimana media cetak, baik itu majalah ataupun surat kabar dalam mengkonstruksikan suatu realitas kepada
khalayak melalui teks-teks berita yang berkaitan dengan kasus Ahmadiyah Indonesia, Al Qiyadah Al Islamiyah dan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P. Perbandingan skripsi-skripsi di atas dengan skripsi yang penulis susun, ialah terletak pada berita yang diteliti serta pisau analisis yang digunakan. Peneliti menggunakan pisau analisis framing model Robert N. Entman yang membagi analisisnya terhadap empat elemen, yaitu pendefinisian masalah, sumber masalah, membuat pilihan moral dan menekankan penyelesaian.
E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian ini adalah paradigma konstruksionis yang sering disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Dengan konsentrasi analisis yaitu menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi
dan
dengan
cara
apa
konstruksi
dibentuk.4
Paradigma
konstruksionis memperhatikan interaksi antara komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana seorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masingmasing pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi memproduksi dan mempertukarkan makna.
4
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 37.
Dalam buku “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media”, Eriyanto menyebutkan bahwa, penelitian dengan paradigma konstruksionis memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) Memiliki tujuan untuk menentukan realitas yang terjadi sebagai hasil interaksi antara peneliti dengan objek penelitian 2) Peneliti melibatkan dirinya dengan realitas yang diteliti 3) Makna yang dihasilkan dari suatu teks merupakan hasil negosiasi antara teks dengan peneliti 4) Hasil penelitian merupakan interaksi antara peneliti dan objek penelitian 5) Subjektivitas peneliti menjadi dasar dari proses analisis 6) Empati dan interaksi dialektis antara peneliti dan teks sangat ditekankan dalam rekonstruksi realitas yang diteliti 7) Kualitas dilihat dari sejauh mana peneliti mampu menyerap dan mengerti bagaimana individu mengkonstruksikan realitas 2. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif karena dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan kategori. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Penelitian ini lebih menekankan pada kualitas data bukan kuantitas data.5
5
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 58.
3. Subjek dan Obyek Penelitian Subjek penelitian ini adalah Koran Tempo dan Republika, sedangkan yang menjadi objek pada penelitian ini adalah berita utama atau headline terkait dengan penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding. 1) Data Primer (Primary-Sources) Ialah data tekstual yang diperoleh dari pemberitaan di Koran Tempo dan Republika. Penulis memilih berita yang hanya menyangkut penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008. 2) Data Sekunder (Secondary-Sources) Yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku, tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini dan wawancara dengan pihak dari Koran Tempo dan Republika. 5. Teknik Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis framing. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Data yang ada dikumpulkan, kemudian diolah menggunakan analisis framing dengan merujuk pada model atau kerangka Robert N. Entman, sehingga akan terlihat bagaimana Koran Tempo dan Republika mengemas berita tentang penyebab terjadinya insiden Monas.
Berdasarkan pada rumusan masalah, kerangka Entman tersebut terdiri dari struktur problem identification / define problem menekankan pada bagaimana suatu peristiwa dipahami oleh wartawan, causal interpretation / diagnose causes menekankan pada apa dan siapa yang menjadi sumber dari suatu peristiwa, moral evaluation / make moral judgement dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumen pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat dan treatment recommendation / suggest remedis dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. 6. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah meneliti teks berita, yaitu berita utama / headline yang terdapat pada Koran Tempo dan Republika mengenai penyebab terjadinya insiden Monas, antara lain berita pada Koran Tempo : Bubarkan FPI (2 Juni 2008), Pemerintah Kaji Pembekuan FPI (3 Juni 2008), Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif (3 Juni 2008), Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI (3 Juni 2008), Polisi Ultimatum FPI (4 Juni 2008), Koran Tempo Akan Diserbu (4 Juni 2008), Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah (4 Juni 2008). Berita pada Harian Republika : Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban (2 Juni 2008), Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi (3 Juni 2008), Akar Masalahnya Ahmadiyah (4 Juni 2008), Umat Islam Diminta Bersatu (5 Juni 2008), 14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi (6 Juni 2008), Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil (7 Juni 2008).
7. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini adalah kantor redaksional Koran Tempo yang beralamat di Kebayoran Center Blok A11-A15 Jl. Kebayoran Baru – Mayestik, Jakarta 12240 dan kantor redaksional Republika Jl. Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta Selatan 12510. Serta perpustakaan sebagai tempat pengumpulan dokumen, arsip dan data-data kepustakaan lainnya. Dengan segala pertimbangan dan persiapan yang harus dilakukan untuk penelitian ini maka waktu pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan selama enam bulan, terhitung mulai bulan 31 Desember 2008 sampai dengan 12 Juni 2009. F. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini bersifat sistematis maka dalam penulisannya, penulis berpedoman pada buku yang berjudul Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), karya Hamid Nasuhi, dkk, terbitan Ceqda, Jakarta, 2007. Penulis membagi skripsi ini menjadi (5) lima bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN
membahas
Latar
Belakang
Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan
Pustaka,
Metodologi
Penelitian
dan
Sistematika Penulisan. BAB II
KERANGKA TEORI membahas Konstruksi Sosial atas Realitas, Media Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas, Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas, Berita Sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial atas Realitas, Analisis Framing Model Robert N. Entman dan Kerangka Pemikiran.
BAB III
PROFIL KORAN TEMPO dan REPUBLIKA membahas Sejarah dan Perkembangan Koran Tempo dan Republika, serta Struktur Organisasi Koran Tempo dan Republika
BAB IV
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS membahas Frame Koran Tempo dan Frame Republika, serta Temuan dan Analisis Perangkat Framing Robert N. Entman
BAB V
PENUTUP membahas kesimpulan dan saran, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan penulisan dan saran dari penulis sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.
BAB II KERANGKA TEORI
A. Konstruksi Sosial atas Realitas Istilah konstruksi sosial atas realitas pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger bersama Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge” (1966). Berger dan Luckmann menjelaskan tentang proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger mengutarakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural.6 Proses dialektis ini, menurut Berger dan Luckmann mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia, hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirnya. Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan dunia sosial. Di dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.7 Alasan untuk memberikan perhatian pada berita yang begitu besar dalam kajian media adalah berita
6
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS, 2002), h. 13-19. 7 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 188.
merupakan sumber utama informasi tentang dunia dalam hal geografi dan politiknya.8 Konstruksi realitas merupakan aktifitas manusia sehari-hari ketika menceritakan, menggambarkan, mendeskripsikan peristiwa, keadaan atau benda. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif, realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan, realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Realitas tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa. Selain sebagai alat penggerak, bahasa juga dapat mewujudkan citra mengenai suatu peristiwa.9 Dari sisi konstruksionis, media, wartawan dan berita memiliki keterkaitan antara lain :10 1) Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi karena melibatkan sudut pandang tertentu dari wartawan. Fakta dan realitas bukanlah sesuatu yang tinggal diambil, ada dan menjadi bahan dari berita. Fakta dapat dikonstruksikan. 2) Media merupakan agen konstruksi karena dia bukan saluran yang bebas. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakkannya. Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. 3) Berita bukan refleksi dari realitas, melainkan konstruksi dari realitas tersebut. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan dan media. 4) Berita bersifat subjektif, artinya bahwa opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5) Wartawan merupakan agen konstruksi realitas karena tidak dapat menyembunyikan rasa keberpihakan, etika dan pilihan moral dalam menyusun berita. Dalam hal ini, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita.
8
Graeme Burton, Yang Tersembunyi di Balik Media Pengantar Kepada Kajian Media (Yogyakarta : Jalasutra, 2008), h. 155. 9 http://blogaryandi.wordpress.com/2007/12/22/politisasi-bahasa-sebagai-instrumentpolitik-media/, diakses pada 15 Februari 2009, 21:12 10 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 19-36.
B. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas Penyajian informasi berupa berita kepada khalayak tidak lepas dari peran utama seorang wartawan. Ada polemik yang mempersoalkan apakah wartawan sebuah profesi atau pekerja biasa. Ada yang menganggap wartawan adalah buruh, bahkan lebih ekstrim lagi yaitu menyamakan dengan kuli. Tidak mengherankan bila kemudian muncul istilah kuli tinta atau kuli disket. Namun, sejalan dengan perkembangan dunia jurnalistik yang semakin pesat dan modern, akhirnya wartawan masuk dalam kategori kaum profesional. Wartawan sama dengan kaum profesional lainnya seperti dokter, pengacara, akuntan, dosen, dan lain-lain.11 Wartawan harus memiliki sifat dasar yang dapat memotivasinya dalam bekerja. Sikap dasar yang pertama bagi wartawan ialah rasa ingin tahu yang tinggi terhadap informasi. Sikap dasar berikutnya yang harus dimiliki oleh wartawan ialah menggali informasi seluas-luasnya mengenai kasus yang akan diberitakan.12 Di
dalam
pandangan
konstruksionis,
wartawan
tidak
bisa
menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Fakta tidak diambil begitu saja, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif yang berada di luar diri wartawan. Realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata, melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Praktik membuat liputan berita memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu lebih 11
Zenuddin HM, The Journalist Buku Basic Wartawan, Bacaan Wajib Para Wartawan, Editor dan Mahasiswa Jurnalistik (Jakarta : Prestasi Pustakarya, 2007), h. 17. 12 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Ciputat : Kalam Indonesia, 2005), h. 33-34.
penting dibandingkan pandangan kelompok lain yang oleh pendekatan positivistik dianggap tidak benar, dalam pendekatan konstruksionis dipandang sebagai praktik jurnalistik. Ada dua kriteria atau persyaratan yang dapat dikatakan merupakan tuntutan atau panduan bagi wartawan dalam melakukan proses rekonstruksi realitas. Pertama, kriteria atau persyaratan teknis misalnya, sebuah laporan jurnalisme sebaiknya memiliki kelengkapan 5W+1H (what, who, where, when, why, dan how). Kemudian berkaitan dengan jenis berita apakah hard news, soft news, spot news, developing news atau continuing news. Konstruksi realitas yang disusun oleh wartawan untuk menjadi calon berita ini diharapkan memiliki nilai berita (news value) yang penting dan menarik. Kedua, persyaratan yang berkaitan dengan kualitas atau bobot produk berita. Kualitas atau bobot produk berita ini berarti produk jurnalisme surat kabar atau majalah hendaknya bersifat objektif.13 Wartawan dalam melakukan proses konstruksi realitas masih dipengaruhi oleh dua faktor lagi, yaitu faktor konteks eksternal dan faktor konteks internal yang terdiri dari internal institusi dan internal individu. Faktor konteks eksternal misalnya, sistem politik yang berlaku pada suatu negara dapat pula mempengaruhi institusi surat kabar, khususnya wartawan dalam mengkonstruksi realitas sehingga pada akhirnya dapat pula mempengaruhi penampilan dari isi atau perwajahan sebuah surat kabar. Faktor konteks internal, internal institusi berarti bahwa setiap institusi surat kabar memiliki motif atau kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain sedangkan internal individu berarti bahwa 13
M. Antonius Birowo, ed., Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi (Yogyakarta : Gitanyali, 2004), h. 171-172
individu wartawan sendiri ketika bekerja merekonstruksi realitas bukan merupakan individu yang pasif. Peneliti memahami bahwa dalam aktifitas kreatifnya individu dalam hal ini wartawan mengkonstruksikan masyarakat dan berbagai kenyataan sosial. Aktifitas tersebut menghadapkan wartawan pada dua kenyataan yakni kenyataan subjektif dan kenyataan objektif sebagai bagian dari masyarakat yang pada akhirnya ia menginternalisasikan kenyataan tersebut sebagai bagian dari kesadarannya. Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang bersifat obyektif, benar dan seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya bersifat subjektif yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif wartawan.
C. Media Massa Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas 1. Media Massa dalam Pandangan Konstruksionis “Media berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang secara harfiah berarti pertengahan, tengah, pusat.14 Cetak dalam arti harfiah bahasa Indonesia ialah cap, acuan. Dalam bahasa Inggris, cetak yang berkaitan dengan produksi media cetak ialah press.”15 Manusia membutuhkan komunikasi sebagai jembatan yang mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa dan antarras, serta membina persatuan dan kesatuan umat manusia.16 Salah satu fungsi penting dalam komunikasi bagi masyarakat yaitu,
14
Masri Sareba Putra, Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memroduksi (Graha Ilmu, 2007), h. 4. 15 Ibid. h. 5. 16 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 27.
kebutuhan untuk mendapatkan informasi. Fungsi memberikan informasi diartikan bahwa media massa menyebarkan informasi kepada khalayak. Khalayak selalu haus akan informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Semakin berkembangnya teknologi saat ini pun, telah memberikan kontribusi besar dalam penyebaran informasi. Komunikasi media massa semakin canggih dan kompleks serta memiliki kekuatan yang lebih dari masa ke masa.17 Di dalam pandangan kaum konstruksionis, media dilihat bukan sebagai saluran yang bebas seperti yang dipandang oleh kaum positivis. Media ialah subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakkannya. Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Dalam hal ini digambarkan, bagaimana media memahami dan memaknai sebuah realitas dan dengan cara apa realitas itu dibingkai oleh media. Gitlin menyatakan bahwa bingkai media adalah pola yang selalu ada dalam bentuk kognisi, interpretasi dan presentasi dari seleksi, penekanan atau pengucilan. 18 Bingkai media diperlihatkan melalui konsepsi dan skema interpretasi wartawan dalam menyusun, mengisahkan, menulis dan menekankan fakta dari suatu peristiwa tertentu. Setiap berita memiliki bingkai yang menjadi pusat ide. Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Sejumlah pakar komunikasi seperti Gans (1979) dan Gitlin (1980) mengelompokkan sejumlah pendekatan terhadap isi media, di antaranya : 17
Elvinaro Ardianto, dkk., Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 3. 18 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 69.
“Isi merupakan refleksi dari kenyataan sosial dengan sedikit bahkan dengan tidak adanya distorsi, isi media dipengaruhi oleh pengalaman dan wawasan sosial para pekerja media dan sikap-sikap mereka, isi media sangat dipengaruhi oleh kebiasaan wartawan dalam menulis berita atau cara kerja organisasi media, isi media dipengaruhi oleh institusi sosial yang lain dan kekuatan di luar media, isi media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh media tersebut.”19 Realitas pada media tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita (wartawan) dengan fakta. Terjadi proses dialektika antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat oleh wartawan sehingga isi berita merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi kembali. Pembuatan berita pada dasarnya merupakan proses penyusunan atau konstruksi kumpulan realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakna. Media massa sudah menyelimuti setiap aspek kehidupan manusia hingga saat ini. Dapat dikatakan, tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari terpaan berita yang disajikan media massa. Karena sifat dan faktanya, pekerjaan media massa yaitu menceritakan peristiwa sehingga kesibukan utama media massa ialah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disampaikan kepada khalayak.20 Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Wacana yang bermakna itulah, pada akhirnya mampu menentukan citra yang ditampilkan media atas suatu persitiwa. Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang
19 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Dasar-Dasar Jurnalistik Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) (Jakarta : LPJA Press, 2006), h. 115-117. 20 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Jakarta : Granit, 2004), h. 11
beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi.21 1) Level Individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individu melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. 2) Level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. 3) Level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, sebaliknya ia hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. 4) Level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Level ini terdiri dari : a. Sumber berita. Dijelaskan bahwa sumber berita dalam hal ini bukanlah suatu yang netral dan hanya memberikan informasi apa adanya. Dia mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak. b. Sumber penghasilan seperti iklan, pelanggan / pembeli media. Sebuah media itu harus survive dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga memiliki strategi untuk memaksakan versinya kepada media. c. Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Dalam sebuah negera otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan tersebut jelas bertolak belakang dengan media yang berada di bawah sistem negara demokrasi yang lebih menganut paham liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis. d. Level ideologi. Diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. 21
7-13
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta : LKiS, 2001), h.
2. Ideologi Media Sebelum membahas lebih jauh mengenai ideologi media, alangkah lebih baik jika peneliti menjabarkan dahulu beberapa pengertian ideologi. Pemahaman mengenai ideologi pastilah berbeda menurut para ahli, artinya penggunaan kata ideologi memiliki arti yang berbeda dan tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi. Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan logia berarti pengetahuan atau teori. Ideologi menurut arti kata ialah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Menurut Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. James Lull berpendapat, ideologi merupakan ungkapan yang paling tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama, kandidat dan pergerakan politik, dll.22 Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia, arti dari ideologi ialah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup atau cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi kedalam tiga penggunaan utama : 23 1) Ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok atau kelas tertentu. 2) Ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu.
22 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotika dan Framing (Bandung : Rosdakarya, 2004) h. 64-65. 23 Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika),” (Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).
3) Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Penggunaan pertama lebih pada aspek psikologis. Penggunaan kedua, bisa mencakup media ideologis, yakni mencakup sistem-sistem pendidikan, politik, hukum dan media massa. Aspek penggunaan ketiga, lebih menekankan pada istilah yang digunakan untuk melukiskan produk sosial atas makna.
Sphere of Deviance
Sphere of Sphere consensus of legitimate controversy
Gambar 1 Peta Ideologi Pamela J. Shoemaker
Peta ideologi Pamela J. Shoemaker, membagi jurnalistik ke dalam tiga bidang, yakni bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus). Bidang terluar, yakni bidang penyimpangan, di mana dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan atau perilaku (realitas) tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Berisi nilai yang dipahami bersama oleh komunitas. Bidang yang paling tengah, yakni bidang kontroversi, di mana dalam wilayah kontroversi, suatu peristiwa, perilaku, atau gagasan (realitas)
dipandang menyimpang dan buruk. Dalam bidang ini, realitas masih diperdebatkan atau dipandang kontroversi. Sedangkan bidang yang paling luar, yakni bidang konsensus, di mana dalam wilayah konsensus menunjukkan bagaimana realitas tersebut dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.24 Teori ini menjelaskan bagaimana sebuah ideologi yang ada dalam sebuah media massa dapat mempengaruhi bagaimana sebuah peristiwa dibingkai oleh media tersebut. Ideologi sebuah media massa berupa citra ideal yang dikemas oleh media massa seperti fakta dan dipahami sebagai realitas kongkrit. Ideologi media massa menghasilkan wacana media massa berupa konstruk kultural, termasuk berita surat kabar. Ideologi media dapat tercermin dari isis media massa berupak produk dari media massa tersebut. Media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah-milah serta menentukan isu apa saja yang akan ditampilkan dan isu apa saja yang harus disembunyikan. Selain itu juga menentukan isu apa yang harus ditonjolkan, sehingga isu
tersebut dipandang penting oleh khalayak.
Kemampuan media massa yang seperti itulah yang dikenal sebagai kemampuan media massa menjalankan fungsi agenda setting. Teori agenda setting ialah teori yang membahas mengenai dampak media / efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Teori ini dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dengan publikasi pertamanya “The Agenda Setting Function of The Mass Media”. Model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan yang positif antara penilaian yang diberikan 24
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 127-128.
media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak terhadap suatu persoalan. Agenda setting menonjolkan isu apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput dari perhatian masyarakat.25 Ada tiga proses agenda setting26: 1) Media agenda di mana isu didiskusikan dalam media 2) Public agenda ketika isu didiskusikan dan secara pribadi sesuai dengan khalayak 3) Policy agenda pada saat para pembuat kebijakan menyadari pentingnya isu tersebut Realitas yang dihadirkan media massa, harusnya dilihat oleh khalayak sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). Realitas yang diterima khalayak ini bukan realitas yang sesungguhnya, melainkan sesuatu yang dianggap sebagai realitas semu. Fakta semu inilah yang dianggap sebagai fakta oleh publik, sebab publik tidak mungkin melihat langsung fakta sesungguhnya selain yang disajikan oleh media massa. “Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang adalah representasi dari budaya masyarakatnya, maka representasi media massa adalah representasi budaya para redaktur dan desk sebuah media massa dipengaruhi juga oleh kekuasaan kapitalisme termasuk budayanya, sehingga secara langsung nilai kapitalisme ikut mendominasi nilai-nilai yang ada dalam pemberitaan media massa.”27
3. Visi Misi Organisasi Media Massa Thomas S. Bateman dan Scott A Snell mendefinisikan visi sebagai strategic vision yang bergerak melampaui pernyataann misi untuk menunjukkan suatu perspektif tentang arah perusahaan dan ingin menjadi seperti apa perusahaan tersebut. Sedangkan misi didefinisikan sebagai tujuan dasar dan nilai
25
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung : Rosda Karya, 2004), h.
26
http://en.wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting theory diakses pada 9 Mei 2009 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 229.
68. 27
suatu organisasi, sesuai dengan lingkup operasinya.28 Sementara itu, visi dan misi media secara khusus, harus mencakup tiga hal penting, yaitu : 1) Visi Ekonomi Visi ekonomi, yaitu tujuan yang berkaitan dengan posisi keuangan sebuah organisasi media massa dan terfokus pada penerimaan, pengeluaran dan keuntungan 2) Visi Service Visi service, yaitu tujuan yang berhubungan dengan produk jurnalistik yang dapat menarik pembaca dan dapat direspon sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Tujuan ini merupakan bentuk kontribusi dari organisasi media massa tersebut bagi kehidupan masyarakat 3) Visi Personal Visi Personal, yaitu tujuan yang berhubungan dengan individu yang dipekerjakan oleh organisasi media massa tersebut
D. Teks Berita Sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial atas Realitas Istilah / kata berita berasal dari bahasa Sansekerta, yakni vrit yang kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi write, arti sebenarnya ialah “ada” atau “terjadi”. Sebagian ada yang menyebutnya vritta, artinya “kejadian” atau “yang telah terjadi”. Vritta masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi “berita” atau “warta”.29 Secara sosiologis, berita adalah semua hal yang terjadi di dunia.30 Berita menampilkan fakta, tetapi tidak setiap fakta merupakan berita. Berita biasanya menyangkut orang-orang, tetapi tidak setiap orang bisa dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan. Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks dengan menyortir (memilah-milah) dan menentukan peristiwa
28
http://digilib.petra.ac.id/viewer, diakses pada 24 Juni 2009 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004),
29
h. 46. 30
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature (Bandung : Siombiosa Rekatama Media, 2006), h. 63.
dan tema-tema tertentu dalam suatu kategori tertentu.31 Menurut Hikmat dan Purnama Kusumaningrat, “...Berita tidak mudah untuk didefinisikan, namun lebih mudah untuk diketahui...”32. “Berita bukanlah cermin kondisi sosial, tetapi laporan tentang salah satu aspek yang telah menonjolkannya sendiri. Dengan demikian perhatian kita diarahkan pada hal-hal yang menonjol (dan bernilai diperhatikan) sebagai laporan berita dalam bentuk yang sesuai bagi pemuatan terencana dan rutin.”33 Di dalam pandangan konstruksionis,
berita adalah produk dari
profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Berita bukan menggambarkan realitas, tetapi arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas tersebut dijadikan berita, bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan cerminan dari realitas. Berita itu bersifat subjektif, di mana opini itu dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif pertimbangan subjektif.34 Peristiwa lantas tidak dapat disebut sebagai berita, tetapi harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut memenuhi kriteria nilai berita. Peristiwa itu baru disebut memiliki nilai berita dan layak untuk diberitakan kalau peristiwa tersebut memiliki sisi :
31
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 102. Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori & Praktik (Bandung : Rosda Karya, 2005), h. 31. 33 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Jakarta :Erlangga, 1987), h. 190. 34 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 24-27. 32
Tabel 01 Nilai Berita35 Nilai Berita Keluarbiasaan (Unusualiness)
Kebaruan (Newness) Akibat (Impact)
Aktual (Timeless)
Kedekatan (Proximity)
Informasi (Information)
35
Penjelasan News is unusualiness. Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Semakin besar suatu peristiwa, semakin besar pula nilai berita yang ditimbulkannya. Nilai berita peristiwa luar biasa, dapat dilihat dari lima aspek, yaitu lokasi peristiwa, waktu peristiwa, jumlah korban, daya kejut peristiwa dan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. News is new. Berita adalah semua yang terbaru. News has impact. Berita adalah segala sesuatu yang berdampak. Semakin besar dampak sosial budaya ekonomi atau politik yang ditimbulkannya, maka semakin besar nilai berita yang dikandungnya. News is timeless. Secara sederhana aktual berarti menunjuk pada peristiwa yang baru atau yang sedang terjadi. News is nearby. Berita adalah kedekatan. Kedekatan mengandung dua arti, yaitu kedekatan geografis dan kedekatan psikologis. Kedekatan geografis menunjuk pada suatu peristiwa atau berita yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedekatan psikologis lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterikatan pikiran, perasaan atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek berita. News is information. Menurut Wilbur Schramm, informasi adalah segala yang bisa menghilangkan ketidakpastian. Hanya informasi tertentu yang memiliki berita atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, h. 80-92.
Konflik (Conflict)
News is conflict. Berita adalah konflik atau segala sesuatu yang mengandung unsur atau sarat dengan dimensi pertentangan. Orang Penting (Public Figure, News News is about people. Berita adalah Maker) tentang orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Orang-orang penting, orang terkemuka, di mana pun selalu membuat berita. Nama menciptakan berita (names makes news) Kejutan (Surprising) News is surprising. Berita adalah sesuatu yang datangnya tiba-tiba, di luar dugaan, tidak direncanakan, di luar perhitungan, tidak diketahui sebelumnya. Ketertarikan Manusiawi (Human News is interesting. Apa saja yang Interest) dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan naluri ingin tahu, dapat digolongkan ke dalam cerita human interest. Seks (Sex) News is sex. Berita adalah seks. Seks adalah berita. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan perempuan, pasti menarik dan menjadi sumber berita.
Proses kerja dan produksi berita adalah sebuah konstruksi. Sebagai sebuah konstruksi, ia menentukan mana yang dianggap berita dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak. Terdapat standarisasi nilai yang dipakai oleh wartawan dan media untuk melihat realitas. Selain nilai berita, prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa yang disebut sebagai kategori berita. Terdapat lima kategori berita seperti yang diungkapkan oleh Tuchman, antara lain:
Tabel 02 Kategori Berita36 Kategori Berita Hard News
Soft News
Spot News
Developing News
Continuing News
36
Penjelasan Berita mengenai suatu peristiwa tertentu. Kategori berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat diberitakan semakin baik. Bahkan ukuran keberhasilan dari kategori berita ini adalah dari sudut kecepatan diberitakan. Kategori berita ini berhubungan dengan kisah manusiawi. Yang menjadi ukuran dalam kategori berita ini bukanlah informasi dan kecepatan ketika diterima oleh khalayak, melainkan apakah informasi yang disajikan kepada khalayak tersebut menyentuh emosi dan perasaan khalayak. Spot news adalah subklasifikasi dari berita yang berkategori hard news. Dalam spot news, peristiwa yang akan diliput tidak bisa direncanakan. Peristiwa kebakaran, kecelakaan, pembunuhan, gempa bumi adalah jenis-jenis peristiwa yang tidak bisa diprediksi. Developing news adalah subklasifikasi lain dari hard news. Baik spot news maupun developing news berkaitan dengan peristiwa yang tidak terduga. Tetapi, dalam developing news dimasukkan elemen lain, peristiwa yang diberitakan adalah bagian dari rangkaian berita yang akan diteruskan ke esokan atau dalam berita selanjutnya. Continuing news adalah subklasifikasi lain dari hard news. Dalam continuing news peristiwa-peristiwa bisa diprediksikan dan direncanakan. Satu peristiwa bisa terjadi kompleks dan tidak terduga tetapi mengarah pada satu tema tertentu.
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 109-110
Ilmu komunikasi sebagai payung jurnalisme memahami ada dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama, berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu manajemen produksi institusi media cetak surat kabar ataupun majalah. Berita merupakan hasil dari suatu proses kerja manajemen redaksional dengan sejumlah panduan atau kriteria, mulai dari pencarian dan peliputan peristiwa di lapangan oleh reporter, proses editing redaktur dan redaktur pelaksana, kemudian sampai pada proses seleksi layak muat pada sidang meja redaksi. Kedua, berita sebagai hasil konstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna. Bahwa berita yang merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajemen redaksional ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan oleh wartawan dalam diri khalayak pembacanya. Berita tidaklah mencerminkan realitas sosial yang direkamnya. Berita yang ada di media dapat memberikan realitas yang sama sekali baru dan berbeda dengan realitas sosialnya. Berita yang memiliki nilai berita paling banyak dan paling tinggi, semakin besar kemungkinannya menjadi headline, sebaliknya berita yang sedikit atau rendah nilai beritanya, semakin kecil kemungkinannya untuk menjadi headline. Pada akhirnya nilai berita menjadi landasan atau pijakan berpikir bagi wartawan untuk memberikan keputusan realitas mana yang diliput dan mana yang tidak, begitu juga berita seperti apa yang layak muat dan seperti apa pula yang tidak layak muat. Penyampaian sebuah berita menyimpan subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda
dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers, mereka menilai setiap penulisan berita menyimpan latar belakang seorang penulis.
E. Analisis Framing Model Robert N. Entman Analisis framing dapat diartikan secara sederhana sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Analisis framing itu sendiri merupakan metode yang sesuai dengan perspektif komunikasi, analisis ini digunakan untuk membedah ideologi media saat mengkonstruksikan fakta atau suatu peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.37 “Kenapa peristiwa ini diberitakan sementara peristiwa itu tidak diberitakan? Kenapa sisi yang ini diberitakan sementara sisi yang lain luput dalam pemberitaan? Kenapa aspek yang ini ditonjolkan oleh media, sementara aspek yang lain dihilangkan dalam pemberitaan? Kenapa bagian yang ini ditekankan oleh media, sementara bagian yang itu dikaburkan? Semua pertanyaan tersebut mengarah dalam konsep yang disebut sebagai framing.”38 Ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari bidang sosiologi dan psikologi. Pendekatan psikologi melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri atau gagasan tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dari perspektif tertentu, pesan atau realitas cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena
37 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotika dan Framing, h. 162. 38 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 2
orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda. Dalam pendekatan sosiologi, konsep framing secara aktif yaitu dengan mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup agar mempunyai makna. Pada bagian ini, frame di lihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi media dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Framing menentukan apa yang perlu atau harus diperhatikan oleh khalayak, bagaimana mereka mengerti masalah sebagaimana tercermin dalam penilaian dan pilihan jawaban yang diambil. Dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai macam strategi wacana. Framing dapat menyebabkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila masing-masing wartawan memiliki frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam bentuk berita. Robert N. Entman ialah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media, yaitu menekankan pada level makrostruktural dan mikrostruktural. Pertama, level makrostruktural yang dapat kita lihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Kedua, level mikrostruktural yang memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa tersebut yang ditonjolkan dan bagian mana yang dilupakan atau dikecilkan, pembahasannya berkaitan dengan pilihan fakta, sudut pandang dan narasumber. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas media. Entman melihat
framing dalam dua dimensi, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan isu, seperti yang dapat peneliti jelaskan pada tabel di bawah ini : Tabel 03 Perangkat Framing Entman39 Seleksi isu
Penonjolan aspek tertentu dari isu
Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Dalam hal ini dilihat aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan ? Ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga bagian yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. Bagian ini berhubungan dengan penulisan fakta. Dalam hal ini, dilihat bagaimana aspek tertentu ditulis ? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Kedua faktor tersebut dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya dan dibuangnya. Pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian
definisi,
penjelasan,
evaluasi
dan
rekomendasi.
Wartawan
memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput dan apa yang harus dibuang, apa yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan kepada khalayak.
39
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 187
Tabel 04 Konsepsi Framing Entman Define Problems (Pendefinisian Masalah)
Diagnose Causes (Sumber Masalah)
Make Moral Judgement (Membuat Keputusan Moral)
Treatment Recommendation (Penekanan Penyelesaian / Solusi)
Ialah elemen yang pertama kali kita lihat mengenai framing. Menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bagaimana sebuah peristiwa dilihat ? Sebagai apa ? Atau sebagai masalah apa ? Ialah elemen framing yang digunakan untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what) dan bisa juga berarti siapa (who). Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa ? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah ? Siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah ? Ialah elemen framing yang dipakai untuk memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah ? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan ? Ialah elemen yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah ?
F. Kerangka Pemikiran Tabel 05 Kerangka Pemikiran
Koran Tempo dan Republika
Teks berita penyebab terjadinya insiden Monas
Konstruksi realitas Koran Tempo dan Republika terkait dengan berita penyebab terjadinya insiden Monas
Frame berita mengenai penyebab terjadinya insiden Monas dugaan : 1. Define problems 2. Diagnose causes 3. Make moral judgement 4. Treatment recommendation
Realitas mengenai penyebab terjadinya insiden Monas yang melibatkan dua organisasi massa, yaitu FPI dan AKKBB dijadikan headline / bahasan utama pada Koran Tempo dan Republika. Peristiwa tersebut selanjutnya diliput oleh Koran Tempo dan Republika menjadi teks berita dan disajikan kepada pembaca. Teks berita tersebut merupakan refleksi konstruksi realitas Koran Tempo dan Republika terhadap peristiwa tersebut. Konstruksi realitas tersebut mengungkapkan ideologi dan posisi Koran Tempo dan Republika terhadap realitas insiden Monas yang kemudian peneliti analisis teks berita tersebut dengan merujuk pada model analisis framing Robert N. Entman. Model tersebut
akan menjelaskan bagaimana Koran Tempo dan Republika melihat realitas penyebab terjadinya insiden Monas. Siapa pelaku penyerangan, alasan atau sebab sampai terjadinya peristiwa tersebut, argumen moral yang diajukan dan jalan keluar atau solusi apa yang ditawarkan.
BAB III PROFIL KORAN TEMPO dan REPUBLIKA
A. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo dan Republika 1. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo Tempo lahir dan besar pada zaman Orde Baru, disokong oleh perusahaan yang juga dibesarkan pada masa Orde Baru tahun 1971, tetapi Orde Baru juga yang mematikannya. 40 Tempo lahir dan mati di masa Orde Baru, beberapa pendiri Tempo adalah aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan Soekarno. Tempo luput dari pembredalan dua kali pada masa Orde Baru, tahun 1974 dan 1978. Tahun 1982, terjadi Insiden Lapangan Banteng, menjelang Pemilu 1982 dan dianggap oleh pemerintah mengganggu keamanan. Untuk itu Goenawan Mohammad harus menandatangani kesepakatan dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif, termasuk yang menyangkut keluarga Cendana. Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, untuk itu Tempo merupakan fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Periode ketika Tempo berjaya ialah pada dekade 1980-an, di mana anggaran belanja iklan perusahaan banyak masuk ke media cetak. Jumlahnya mencapai 50 % dari total belanja iklan tersebut. Inilah yang pada akhirnya membuat gaji para wartawan Tempo mencapai puncaknya. Setelah perpindahan Tempo dari kawasan Senen ke kawasan Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian terjadi eksodus puluhan wartawannya. Mereka keluar dari Tempo untuk mendirikan Majalah 40
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul “Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 8 Desember 2008, 22:43
Editor, keluarnya mereka dikarenakan Tempo telah berubah menjadi institusi bisnis, bukan lagi institusi perjuangan dan manajemen sering kali membela pemilik modal dan tidak lagi menganggap wartawan sebagai aset berharga. “Dunia media sangatlah dinamis karena ia juga mewakili dinamika dalam masyarakat secara mikro. Kantor Tempo pertama di Senen banyak menyimpan memori. Kehangatan ruang seperti bedeng justru menimbulkan suasana egaliter; pintu penghubung ruangan yang mirip pintu bar di film-film koboi; perilaku para kolumnis yang kocak-kocak, seperti misalnya: tulisan Ong Hok Ham yang sulit diedit karena satu halaman ketik ketinggalan di rumahnya, atau Abdurrachman Wahid yang bisa menghabiskan dua nasi bungkus sebelum mulai mengetik kolomnya di Kantor Tempo; dan perilaku para wartawannya sendiri yang memang jahil, menyiasati waktu-waktu krisis saat deadline. Situasi ini bergeser ketika kemudian Tempo pindah dari suasana pasar ke situasi perkantoran modern di kawasan Kuningan.”41 Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971 yang merupakan majalah pertama dan tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah. Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan 21 Juni 1994, Tempo kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga menerbitkan majalah dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang bernama Tempo Magazine dan pada 2 April 2001 Tempo juga menerbitkan Koran Tempo. Pelarangan terbit Majalah Tempo pada 1994 bersama dengan Editor dan Detik, tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman, laporan ini dianggap membahayakan stabilitas negara. Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan juga kecewa pada sikap Persatuan 41
Ibid. “Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas”
Wartawan Indonesia (PWI) karena menyetujui pembredelan Tempo, Editor dan Detik yang kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Koran Tempo adalah sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di Indonesia, pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya dikenal dengan Majalah Tempo. Dalam proses pendiriannya Koran Tempo melakukan penjualan saham kepada publik sebanyak 17,6 persen dari dana tersebut hingga akhirnya koran ini bisa beroperasi. Koran Tempo pertama kali diterbitkan di Jakarta, 2 April 2001 dengan sirkulasi sebesar 100.000 setiap hari.42 Pertimbangan mendirikan Koran Tempo secara teknis ialah untuk mewadahi bahan-bahan berita Majalah Tempo yang terbuang percuma, secara idealis Koran Tempo mencoba memunculkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan surat kabar lainnya. Idealisme Koran Tempo sendiri ialah menjadi media massa cetak yang mampu mendorong masyarakat menjadi kritis dalam menerima informasi. Market reader Koran Tempo ialah masyarakat kelas menengah ke atas yang secara ekonomi berkecukupan dan memiliki pendidikan tinggi. Motto yang dianut Koran Tempo adalah “to be concise”, yaitu memberitakan sebuah peristiwa dengan ringkas padat dan jelas sesuai dengan 5 W + 1 H. Motto ini juga yang mendasari desain Koran Tempo yang pendek dan berita tidak bersambung dari satu halaman lain ke halaman lainnya. Pertimbangan lain adalah waktu pembaca surat kabar yang relatif pendek. Saat ini Tempo memiliki labelnya sebagai koran kompak, sebuah pergeseran konsep surat kabar harian broadsheet menjadi format tabloid lima 42
http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo, diakses pada 1 Februari 2009
kolom yang lebih mungil dan ringkas. Harus diakui bahwa Tempo adalah sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di Indonesia yang alumninya diakui di mana-mana. Sebutlah nama-nama petinggi media di Indonesia saat ini, banyak di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut majalah berita, sukar menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di dalamnya. Visi Tempo Inti Media Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat.43 Misi Tempo Inti Media 1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang enampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda 2. Sebuah produk multimedia yang mandir, bebas dari tekanan kekuasaan modal dan politik 3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan visual yang baik 4. Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik 5. Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai kemajuan jaman 6. Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor 7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khasanah artistik dan intelektual 2. Sejarah serta Perkembangan Republika Republika adalah koran nasional yang dilahirkan oleh kalangan komunitas muslim di Indonesia pada 4 Januari 1993. Penerbitan tersebut sebagai upaya panjang kalangan umat Islam, khususnya wartawan profesional muda yang dipimpin oleh ex wartawan Tempo, Zaim Uchrowi. Kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dapat menembus pembatasan ketat pemerintah untuk izin penerbitan saat itu. 43
Lampiran company profile Tempo Inti Media
“Harian Umum Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni bangsa yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain di dunia, memegang nilai-nilai spiritualitas sebagai perwujudan Pancasila sebagai filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945.”44 Nama Republika sendiri merupakan ide dari Presiden Soeharto, pada awalnya harian ini akan diberi nama “Republik”. Penerbitan Republika menjadi berkah bagi umat. Sebelum masa itu, aspirasi umat tidak mendapat tempat dalam wacana nasional. Kehadiran media ini bukan hanya memberi saluran bagi aspirasi tersebut, namun juga menumbuhkan pluralisme informasi di masyarakat. Karena itu kalangan umat antusias memberi dukungan, antara lain dengan membeli saham sebanyak satu lembar saham per orang. PT Abdi Bangsa Tbk sebagai penerbit Republika pun menjadi perusahaan media pertama yang menjadi perusahaan publik. Mengelola usaha penerbitan koran bukan perkara sederhana. Selain sarat dengan modal dan sarat SDM, bisnis inipun sarat teknologi. Keberhasilan Republika menapaki usia 15 tahun merupakan buah upaya keras manajemen dan seluruh awak pekerja di PT Abdi Bangsa Tbk yang dilakukan oleh perusahaan yang menerbitkan koran ini sejak 1993 untuk mengelola segala kerumitan itu. Setelah BJ Habibie tak lagi menjadi Presiden dan seiring dengan surutnya kiprah ICMI selaku pemegang saham mayoritas PT Abdi Bangsa, pada akhir 2000, mayoritas saham koran ini dimiliki oleh kelompok Mahaka Media. Walau berganti kepemilikan, Republika tak mengalami perubahan visi dan misi. Namun, harus diakui ada perbedaan gaya dibandingkan dengan sebelumnya. Sentuhan bisnis dan independensi Republika menjadi makin profesional dan 44
Lampiran company profile Republika
matang sebagai koran nasional untuk komunitas muslim. Mulai tahun 2004, Republika dikelola oleh PT Republika Media Mandiri (RMM). Sementara PT Abdi Bangsa naik menjadi perusahaan induk (Holding Company). Di bawah PT RMM, Republika terus melakukan inovasi penyajian untuk kepuasan pelanggan. Republika pertama kali tampil dengan “Desain Blok”, hingga berhasil memperoleh juara pertama Lomba Perwajahan Media Cetak 1993. Tahun 1995 membuka situs surat kabar pertama di Indonesia. Tahun 1997, menjadi yang pertama mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ). Republika juga sebagai koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Pada 31 Januari 2000, Republika menjadi koran pertama yang melakukan resizing. Pada umumnya koran di Indonesia menggunakan kertas ukuran sembilan kolom, hal ini terlihat tidak ergonomis. Ketika seluruh koran pada 2005 berubah ke delapan kolom, maka 2 Januari 2006 Republika berubah menjadi tujuh kolom. Tahun 2006, mulai edisi September, Republika memberikan sisipan gratis majalah olahraga “Arena”. Republika juga menjadi koran pertama yang sejak awal menjadi perusahaan terbuka dan telah listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Banyak keberhasilan yang telah diraih oleh Republika. Di antaranya melahirkan institusi sosial Dompet Dhuafa Republika, sebuah yayasan mandiri yang bergerak di bidang kemanusiaan. Berdasarkan hasil riset AC Nielsen 2002-2003, mayoritas pembaca Republika adalah kaum muda dan berpendidikan tinggi. Mereka umumnya berasal dari kalangan berpendidikan menengah ke atas (87%), berpenghasilan Rp.1.000.000 (69%) dengan terbanyak rentang di atas Rp.2.000.000 (45%) dengan pengeluaran umumnya di atas Rp.1.000.000. Sejak mulai terbit pada
tanggal 4 januari 1993, oplah penjualan Republika terus meningkat. Sepuluh hari sejak terbit, oplah Republika sudah mencapai 100.000 eksemplar. Padahal rencana awal terbit hanya diperkirakan sekitar 40.000 eksemplar per hari pada semester pertama tahun 1993, berarti oplah Republika meningkat 2,5 kali lipat dari rencana awal. Pada semester kedua, oplah Republika naik menjadi 130.000 eksemplar dan memasuki tahun kedua sudah meningkat menjadi 160.000 eksemplar per hari.45 Visi Harian Republika Menjadikan harian Republika sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas dan profesional, namun mempunyai prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman Rahmatan Lil Alamin. 46 Misi Harian Republika Misi Republika di berbagai bidang kehidupan adalah sebagai berikut: 1. Dalam bidang politik, Republika mendorong demokratisasi dan optimalisasi lembaga-lembaga negara, partisipasi politik semua lapisan masyarakat dan pengutamaan kejujuran dan moralitas dalam politik 2. Dalam bidang ekonomi, keterbukaan dan demokratisasi ekonomi menjadi kepedulian Republika, mempromosikan profesionalisme yang mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dalam manajemen, menekankan perlunya pemerataan sumber-sumber daya ekonomi dan mempromosikan prinsip-prinsip etika dan moralitas dalam bisnis 3. Dalam bidang budaya, Republika mendukung sikap yang terbuka dan apresiatif terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dari manapun datangnya, mempromosikan bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat, mencerdasakan, menghaluskan perasaan, mempertajam kepekaan nurani, serta bersikap kritis terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang cenderung mereduksi 45
Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika),” (Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008). 46 Lampiran company profile Republika & http://republika.co.id
manusia dan mendangkalkan nilai-nilai kemanusiaan 4. Dalam bidang agama, Republika mendorong sikap beragama yang terbuka sekaligus kritis terhadap realitas sosial-ekonomi kontemporer 5. Memprioritaskan pengembangan pemasaran harian Republika di jabodetabek, tanpa harus mematikan di daerah yang sudah ada 6. Merajut tali persaudaraan dengan organisasi Islam di Indonesia 7. Bekerjasama dengan mitra usaha di dalam pengembangan pasar harian Republika di luar pulau Jawa 8. Mengamati peluang pengembangan “Koran Komunitas” seperti misalnya “Bintaro Pos”, “Depok Pos”, “Bekasi Pos” atau jenis koran lainnya 9. Mengelola Kantor Perwakilan sebagai “semi otonomi” 10. Menjadikan PT Republika Media Mandiri sebagai “sister company” yang sehat 11. Menjadikan harian Republika sebagai koran # ONE. B. Struktur Redaksi Koran Tempo dan Republika 1. Struktur Redaksi Koran Tempo Penerbit
: PT Tempo Inti Media Harian
Corporate Chief Editor
: Bambang Harymurti
Pemimpin Redaksi
: S Malela Mahargasari. PJ.
Redaktur Eksekutif
: Gendur Sudarsono
Redaktur Senior
: Diah Purnomowati, Fikri Jufri, Goenawan
Mohammad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus Corporate Secretary
: Rustam F. Mandayun
Redaktur Utama
: Burhan Solihin, Purwanto Setiadi,
Wicaksono Sekretaris Redaksi
: Dyah Irawati Hapsari
Direktur Utama
: Bambang Harymurti
Direktur
: Herry Hernawan, Toriq Hadad
Alamat Redaksi
:
Kebayoran Center Blok A11-A15, Jln.Kebayoran Baru Mayestik
Jakarta 12240 Telphone
: (021) 7255625
Faksimili
: (021) 7255645/50
Email
:
[email protected]
Alamat Perusahaan
:
Jalan Palmerah Barat No. 8 Jakarta 12210 Telphone (021) 5360409 2. Struktur Redaksi Republika Pemimpin Redaksi
: Ikhwanul Kiram Mashuri
Wapemred
: Nasihin Masha
Redaktur Pelaksana
: Agung P. Vazza
Kepala Newsroom
: Arys Hilman
Redaktur Senior
: Anif Punto Utomo
Wakil Redaktur Pelaksana
: Elba Damhuri, Selamat Ginting, S
Kumara Dewatasari Asisten Redaksi Pelaksana
: Nurul S. Hamami (Ekonomi),
Rakhmat Hadi Sucipto (Olahraga, Hiburan, Internasional), Bidramnanta (Special Product), Subroto (Nasional), Nina Chairani (Ahad & Akhir Pekan), Irwan Ariefyanto (Investigasi) Sekretaris Redaksi
: Fachrul Ratzi
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers : SK Menpen No. 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 Alamat
:
Jl. Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta Selatan 12510
Telphone
: (021) 7803747
Faks
: (021) 7983623
E-mail
:
[email protected]
BAB IV KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK : ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS di KORAN TEMPO dan REPUBLIKA EDISI JUNI 2008
A. Frame Koran Tempo dan Frame Republika 1. Frame Koran Tempo Analisis berita insiden Monas di Koran Tempo dilakukan untuk menjawab pertanyaan riset peneliti, yaitu mengetahui penekanan dan seleksi isu yang dilakukan oleh tim redaksi Koran Tempo pada pemberitaan terkait penyebab terjadinya insiden Monas. Di bawah ini adalah uraian dari frame Koran Tempo dalam bahasan utama mengenai penyebab terjadinya insiden Monas : Tabel 06 Koran Tempo : Senin, 2 Juni 2008 “Bubarkan FPI” Problem Identification / Define Problem Causal Interpretation / Diagnoses Cause Moral Evaluation / Make Moral Judgement
Masalah hukum pembubaran FPI
Aksi anarkis FPI a. FPI menodai Pancasila sebagai dasar negara b. FPI menentang kebebasan beragama yang sudah dijamin konstitusi
Treatment Recommendation / Suggest Remedis
Aparat bertindak tegas
Koran Tempo pada edisi Senin, 2 Juni 2008, menyampaikan berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas dengan mengangkat judul “Bubarkan FPI”. Koran Tempo dalam pemberitaannya secara tegas meminta kepada pemerintah untuk segera membubarkan FPI terkait aksi penyerangan kepada AKKBB di Lapangan Silang Monas, 1 Juni 2008.
Koran Tempo mengidentifikasikan
permasalahan ini ke dalam kasus hukum pembubaran FPI terkait dengan aksi anarkis yang dilakukan oleh organisasi masyarakat tersebut kepada AKKBB. Koran Tempo menggambarkan bahwa insiden Monas merupakan aksi kekerasan yang amat keji yang telah dilakukan oleh FPI. Koran Tempo menegaskan bahwa keberadaan FPI menuntut pembubaran Ahmadiyah merupakan ancaman kebebasan beragama di Indonesia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Hal tersebut bisa kita lihat dari pernyataan beberapa tokoh seperti Mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Goenawan Mohamad, budayawan dan tokoh pendiri Tempo hingga juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng. Di antara ketiganya sama-sama menyatakan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan mendefinisikan bahwa keberadaan FPI mengancam kebebasan umat beragama di Indonesia. “JAKARTA – Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengecam aksi penyerbuan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, kemarin. Dia menuntut aparat penegak hukum membubarkan FPI karena dinilai mengancam kebebasan beragama di Indonesia.” 47 “Goenawan Mohamad, budayawan, menyatakan bahwa tindakan FPI menentang Ahmadiyah sama halnya dengan menentang kebebasan beragama yang sudah dijamin konstitusi. “Memang FPI itu ingin mendirikan negara Islam?” katanya.”48 47
“Bubarkan FPI”, Koran Tempo, 2 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat di
lampiran. 48
Ibid, alinea 13. “Bubarkan FPI”.
“Lembaga kepresidenan juga bereaksi keras atas peristiwa ini. Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan, menegaskan bahwa negara harus melindungi warga negara yang hak konstitusionalnya dilanggar...”49 Bahkan Gusdur menilai kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah menodai Pancasila sebagai dasar negara, dikarenakan peristiwa penyerangan tersebut terjadi pada saat peringatan Hari Lahir Pancasila ke-63. “FPI telah menodai Pancasila sebagai dasar negara yang menjunjung pluralisme bangsa, kata Ketua Dewan Syuro Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.”50 Koran Tempo dalam hal ini menilai FPI sebagai pelaku tindak kekerasan yang amat keji. Di mana pada pemberitaannya, Koran Tempo menggambarkan kronologis kejadian, menuliskan pernyataan korban kekerasan yang semuanya berasal dari anggota AKKBB. Seperti beberapa tulisan yang dimuat oleh Koran Tempo pada edisi ini : “Kemarin siang, Aliansi Kebangsaan menggelar apel memperingati hari kelahiran Pancasila. Kegiatan yang dipusatkan di Lapangan Monas bagian selatan ini diikuti 70 lembaga, antara lain Komunitas Santri, Nahdlatul Ulama, Ahmadiyah, Komunitas Gereja, Penghayat Kepercayaan, Syiah, dan Pesantren Cirebon.”51 “Koordinator Aliansi Kebangsaan, Anik H.T., memberi kesaksian, “Mereka menyabet kami dengan kayu bendera dan pentungan. Mereka menyemprotkan pasir yang diberi bumbu dapur. Perih di mata”.”52 “Kelompok penyerang beraksi brutal. Sasaran mereka bukan hanya laki-laki, tetapi juga ibu-ibu dan anak-anak. “Kami tidak membalas. Kami pilih mundur,” ujar Budi Kurniawan, anggota panitia.”53
49
Ibid, alinea 14. “Bubarkan FPI”. Ibid, alinea 2. “Bubarkan FPI”. 51 Ibid, alinea 3. “Bubarkan FPI”. 52 Ibid, alinea 5. “Bubarkan FPI”. 53 Ibid, alinea 6. “Bubarkan FPI”. 50
Keinginan Koran Tempo agar FPI bertanggung jawab terhadap kekerasan di Monas, terjawab dari pernyataan Panglima Laskar Pembela Islam (LPI), Muhammad Machsuni yang secara tegas menyatakan bahwa LPI bertanggung jawab terhadap kerusuhan di Monas. LPI adalah kelompok paramiliter FPI. Machsuni mengingatkan bahwa yang melakukan tindak kekerasan di Monas adalah LPI bukan FPI. Antara FPI dan LPI memiliki garis komando yang berbeda. Dari pernyataan yang diutarakan oleh Machsuni dan kemudian ditulis oleh Koran Tempo pada pemberitaannya seolah-olah menegaskan bahwa LPI membenarkan perang dan kekerasan dalam menghadapi Ahmadiyah. “Ahmadiyah, menurut Machsuni, telah mencoreng nama umat Islam. Pilihannya hanya ada dua, “tobat atau perang”. Karena itu, dia membenarkan kekerasan fisik yang terjadi di Monas. “Masak, perang hanya dicolek saja,” kata Machsuni.”54 Dalam pemberitaannya, Koran Tempo meminta aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap FPI dan tidak terus melindungi mereka. Seperti yang dikutip dari pernyataan anggota AKKBB : “Itu perbuatan biadab FPI. Saya menuntut aparat bertindak tegas, jangan terus melindungi preman berjubah.”55
54
Ibid, alinea 12. “Bubarkan FPI”. Ibid, alinea 9, baris 3. “Bubarkan FPI”.
55
Tabel 07 Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008 “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI” Problem Identification / Define Problem Causal Interpretation / Diagnoses Cause Moral Evaluation / Make Moral Judgement Treatment Recommendation / Suggest Remedis
Masalah Hukum Pembekuan FPI
Tindakan kekerasan FPI a. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan b. Indonesia bukan negara kekerasan a. Menangkap para pelaku b. Membubarkan FPI
Koran Tempo pada edisi Selasa, 3 Juni 2008, kembali menjadikan berita insiden Monas sebagai bahasan utama pada harian tersebut dengan menempatkan beritanya di halaman depan atau di Koran Tempo dikenal dengan Top Headline, sedangkan untuk berita-berita terkait dengan insiden Monas di tempatkan pada halaman kedua yaitu pada rubrik headline. Koran Tempo memberikan porsi yang lebih banyak untuk berita insiden Monas, yaitu dengan menyajikan sebanyak tiga berita pada hari ini. Koran Tempo pada berita pertama, mengangkat judul “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. Dalam pemberitaannya Koran Tempo kembali menegaskan kepada pemerintah untuk segera membubarkan FPI. Upaya pembubaran FPI sendiri tengah dipelajari oleh pemerintah. Presiden SBY sudah menyerahkan kasus FPI kepada Widodo A.S., Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan serta kementrian terkait. Seperti apa yang ditulis oleh Koran Tempo berikut ini :
“Widodo menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kasus FPI kepadanya dan kementrian terkait. “nanti Departemen Dalam Negeri yang akan mendalami,” kata Widodo seusai rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan kemarin malam.”56 Pembubaran FPI sendiri, menurut Widodo A.S. berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun, mekanisme pembubarannya sendiri masih belum tahu kapan akan dilakukan. Seperti apa yang ditulis oleh Koran Tempo berdasarkan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji : “Jaksa Agung Hendarman Supandji menambahkan, dalam undangundang tersebut diatur, sebelum pembekuan dilakukan, pemerintah akan memberi FPI dua kali peringatan. “Setelah itu baru fatwa Mahkamah Agung (untuk pembekuan),” katanya.”57 Pembubaran FPI semata-mata dilakukan karena FPI telah melakukan tindak kekerasan terhadap AKKBB di Lapangan Silang Monas yang menyebabkan beberapa korban mengalami luka ringan dan berat. Tidak hanya itu, berbagai kecaman juga datang dari beberapa pihak, termasuk Presiden SBY, Wakil Presiden Yusuf Kalla dan Ketua DPR Agung Laksono yang pada intinya mengecam tindak kekerasan tersebut. Seperti tulisan dari Koran Tempo berikut ini : “Presiden Yudhoyono kemarin kembali mengecam dan menyesalkan aksi kekerasan FPI. “Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekerasan,” katanya.”58 “Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta kepolisian bertindak tegas terhadap FPI. “Siapapun yang bertindak anarkistis harus ditindak oleh kepolisian,” katanya.”59
56
“Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, h. 1, alinea 3. Lebih jelas lihat di lampiran. 57 Ibid, alinea 5. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. 58 Ibid, alinea 10. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. 59 Ibid, alinea 11. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”.
“Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono juga mengutuk keras FPI dan menuding aksi itu sebagai tindakan tidak bermoral. “Itu tidak bisa ditoleransi,” katanya.”60 Koran Tempo pada pemberitaannya memberikan solusi untuk segera menangkap pelaku kerusuhan, salah satu diantaranya Panglima Komando Laskar Islam Munarman. Koran Tempo dalam hal ini meminta ketegasan dari pihak kepolisian untuk segera melakukan penangkapan dan ketegasan kepada pemerintah untuk segera membubarkan FPI. Meskipun dalam tulisannya, Ketua FPI Rizieq Shihab menolak permintaan pembubaran organisasinya dan penangkapan terhadap anggota FPI. “Ketua FPI Rizieq Shihab menolak permintaan pembubaran organisasinya. Dia mengklaim desakan pembubaran datang dari segelintir orang saja.”61 “Rizieq tidak akan merelakan satu pun anggota FPI ditangkap polisi. “Kami akan melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan,” katanya.”62 Tidak hanya penyampaian berita pada tulisannya saja, Koran Tempo juga memuat foto yang menggambarkan Ketua Laskar Islam Munarman, sedang mencekik leher salah seorang pemuda berpakaian hitam yang dituliskan pada caption foto tersebut sebagai anggota Aliansi Kebangsaan. Namun, pada kelanjutannya Munarman membantah bahwa pemuda yang ia cekik adalah anggota AKKBB. Munarman menegaskan bahwa pemuda yang ia cekik adalah anggotanya bernama Ucok Nasrullah.
60
Ibid, alinea 12. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. Ibid, alinea 7. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. 62 Ibid, alinea 9. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. 61
Tabel 08 Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008 “Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif” Problem Identification / Define Problem Causal Interpretation / Diagnoses Cause
Korban luka dari pihak AKKBB
Tindakan kekerasan oleh laskar FPI
Moral Evaluation /
Koban tidak berdaya, laskar FPI menyerang
Make Moral Judgement
tidak pandang bulu
Treatment Recommendation /
-
Suggest Remedis
Koran Tempo pada berita selanjutnya, masih di edisi yang sama, kembali membahas mengenai insiden Monas dengan mengangkat judul “Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif”. Koran Tempo membahas mengenai korban luka akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laskar FPI. Koran Tempo mendefinisikan bahwa kekerasan yang telah di lakukan laskar FPI mengakibatkan beberapa orang dari pihak AKKBB terluka. Bahkan ada dua korban luka dengan kondisi cukup parah, yaitu Muhammad Guntur Romli dan Dedi C. Achmad, keduanya adalah korban dari pihak AKKBB. “Para korban adalah aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), yakni Muhammad Guntur Romli, 32 tahun, dan Dedi C. Achmad, 57 tahun. Sedangkan Tahir, 50 tahun, diizinkan pulang kemarin sore. Guntur Romli adalah aktivis Jurnal Perempuan serta pembawa acara kongkow Bareng Gus Dur di Radio Utan Kayu dan radio 68H. Sedangkan Dedi dan Tahir adalah anggota jemaah Ahmadiyah.”63
63
“Dua korban Penyerangan Dirawat Intensif”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, h. 2, alinea 2. Lebih jelas lihat di lampiran.
Koran Tempo menggambarkan secara jelas dari beberapa narasumber tentang aksi brutal yang dilakukan oleh laskar FPI. Bagaimana mereka menyerang?. Siapa yang diserang?. Dengan alat apa mereka melakukan penyerangan?. Seperti tulisan Koran Tempo di bawah ini : “AKKBB diserang di kawasan Monumen Nasional ketika memperingati acara Hari Lahir Pancasila ke-63. Tiba-tiba, sekitar pukul 14.00 WIB, ratusan orang beratribut FPI menyerang dengan menggunakan berbagai benda. Menurut Dedi, laskar FPI menyerang tanpa pandang bulu. Wanita dan anak-anak pun jadi sasaran. “Mereka menyerang sambil meneriakkan ‘Allahuakbar’.”64 Koran Tempo sangat jelas menggambarkan AKKBB sebagai pihak yang dirugikan akibat insiden tersebut, sebagai pihak tertindas, sebagai korban dari tindak kekerasan laskar FPI. “AKKBB mencatat, 27 anggotanya yang menjadi korban dilarikan ke sejumlah rumah sakit, antara lain RSPAD, Tarakan, Abdi Waluyo Menteng, Cipto Mangunkusumo, Jakarta, serta Mitra Internasional. Mereka berasal dari berbagai organisasi. Saidiman, koordinator aksi AKKBB, mengatakan beberapa korban harus menjalani kontrol rutin.”65 Dan sebaliknya laskar FPI digambarkan oleh Koran Tempo sebagai pihak yang harusnya bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut, akibat dari banyaknya korban yang menderita luka ringan bahkan cukup parah dari pihak AKKBB.
64 65
Ibid, alinea 4. “Dua korban Penyerangan Dirawat Intensif”. Ibid, alinea 7. “Dua korban Penyerangan Dirawat Intensif”.
Tabel 09 Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008 “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI” Problem Identification / Define Problem Causal Interpretation / Diagnoses Cause
Masalah hukum Pembubaran FPI
Kekerasan yang dilakukan FPI
Moral Evaluation /
UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Make Moral Judgement
Kemasyarakatan
Treatment
a. Pembubaran FPI
Recommendation /
b. Menangkap para pelaku aksi kekerasan
Suggest Remedis
c. Pemerintah bersikap tegas
Koran Tempo pada berita terakhir terkait insiden Monas edisi Selasa, 3 Juni 2008, mengangkat judul “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”. Berita ini seolah mempertegas berita yang ada pada Top Headline, yaitu “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. Koran Tempo menuliskan dua berita yang saling memiliki keterkaitan ini seolah menginginkan pemerintah benar-benar menjalankan komitmennya, bukan hanya sekedar wacana pembubaran FPI, tetapi ada bukti nyata yang akan dilakukan. Berita ini masih terkait dengan persoalan hukum pembubaran FPI atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Dijelaskan oleh Koran Tempo bahwa pemerintah bisa membubarkan FPI melalui jalur hukum, bisa melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau melalui pengadilan. Sebagaimana tulisan Koran Tempo berikut ini : “JAKARTA – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, meminta pemerintah bersikap tegas terhadap organisasi yang terlibat kekerasan dalam insiden di Monumen Nasional dua hari lalu. Menurut dia, pemerintah bisa membubarkannya. “Caranya, melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau meminta melalui pengadilan,” ujar Adnan Buyung setelah menghadiri pembacaan siaran
pers Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta kemarin. “Pemerintah Harus Tegas.”66 Departemen Hukum dan HAM sendiri mengaku tidak bisa membubarkan organisasi kemasyarakatan FPI, lantaran FPI bukan organisasi berbadan hukum. FPI baru bisa dibubarkan apabila sudah berbadan hukum hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Meskipun begitu, pelaku tindak anarkis pada insiden tersebut harus tetap diproses melalui jalur hukum. Koran Tempo dalam hal ini kembali mempertegas bahwa ia memiliki beberapa tuntutan, yaitu pembubaran FPI dan yang terpenting adalah penangkapan pelaku anarkis pada insiden Monas serta memproses mereka sesuai dengan hukum. Tidak hanya itu, dikatakan bahwa FPI bukan organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yang berarti FPI adalah organisasi masyarakat
yang sifatnya
ilegal. Jika tetap
menginginkan
pembubaran FPI, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan harus direvisi terlebih dahulu. “Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata mengatakan FPI tidak bisa dibubarkan karena bukan organisasi yang berbadan hukum. Departemennya, kata dia, tidak mencatat FPI sebagai organisasi berbadan hukum. “Bisa dibubarkan kalau sudah berbentuk badan hukum,” ujarnya.”67 “Pendapat senada dikemukakan ahli hukum Universitas Indonesia, Rudy Satryo. “Organisasi massa itu tidak bisa dibubarkan,” ujarnya. Itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pembubaran, menurut Rudy, baru bisa dilakukan setelah undang-undang itu direvisi terlebih dahulu. Untuk menyelesaikan kasus penyerangan itu, Rudy menyarankan agar tindakan anarkistis tersebut tetap harus diproses hukum. “Tapi orangnya saja. Lembaganya tidak bisa dikenai sanksi hukum,” ujarnya.”68
66 “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, h. 2, alinea 1. Lebih jelas lihat di lampiran. 67 Ibid, alinea 5. “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”. 68 Ibid, alinea 6. “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”.
Koran Tempo pada bagian akhir alinea pertama menuliskan pernyataan, “Pemerintah Harus Tegas”. Pernyataan yang dilontarkan oleh Adnan Buyung Nasution tersebut secara tersirat menggambarkan keinginan Koran Tempo agar pemerintah bersikap tegas dalam menangani kasus insiden Monas dan tegas terhadap komitmen untuk menindak lanjuti pembubaran FPI. Tuntutan pembubaran FPI tidak hanya menjadi keinginan Koran Tempo, tetapi juga banyak pihak. Dengan banyaknya tuntutan dari berbagai pihak terhadap pembubaran FPI, maka Koran Tempo menginginkan agar pemerintah benarbenar bersikap tegas. Tabel 10 Koran Tempo : Rabu, 4 Juni 2008 “Polisi Ultimatum FPI” Problem Identification / Define Problem Causal Interpretation / Diagnoses Cause
Tuntutan pembubaran FPI
Tindakan kekerasan FPI
Moral Evaluation /
Pembubaran
Make Moral Judgement
membahayakan kepentingan umum
Treatment Recommendation / Suggest Remedis
FPI
dilakukan
jika
terbukti
Pemerintah bertindak tegas dan memproses kasus ini ke jalur hukum
Koran Tempo pada edisi Rabu, 4 Juni 2008, kembali memberitakan kasus insiden Monas sebagai bahasan utama. Pada edisi hari ini Koran Tempo menyajikan empat berita terkait insiden Monas. Satu berita ditempatkan pada halaman depan (Top Headline), dua berita di tempatkan pada halaman kedua (Headline) dan satu berita lagi di tempatkan pada rubrik Metro dengan gaya
penulisan features. Namun, peneliti hanya menganalisis tiga berita yang menjadi bahasan utama. Koran Tempo pada berita pertama edisi ini mengangkat judul “Polisi Ultimatum
FPI”.
Koran
Tempo
mengidentifikasikan
masalah
seputar
pembubaran FPI. Tuntutan pembubaran tersebut dilakukan lantaran tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh organisasi tersebut pada 1 Juni 2008. Namun, pada edisi ini ada perkembangan dari kasusnya sendiri, yaitu upaya polisi yang meminta kepada pelaku tindak kekerasan agar secepatnya menyerahkan diri. Di sini polisi menyatakan apabila para pelaku tidak menyerahkan diri, maka pihak kepolisian melalui pernyataan yang disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Inspektur Jenderal Adang Firman, akan bertindak tegas terhadap pelaku yang keseluruhan adalah anggota Laskar Pembela Islam, organisasi sayap FPI. “JAKARTA - Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Inspektur Jenderal Adang Firman memberi batas waktu kepada para pelaku kekerasan dalam insiden Monas agar menyerahkan diri paling lambat malam tadi. “Jika itu dilanggar, kami akan bertindak tegas,” kata Adang kemarin.”69 “Ia menjelaskan, aparatnya telah mengidentifikasi 10 lebih pelaku dalam peristiwa pada Ahad lalu. Seluruh tersangka merupakan anggota Laskar Pembela Islam, sayap organisasi Front Pembela Islam (FPI).”70 Pembubaran FPI sendiri, seperti yang dituliskan oleh Koran Tempo pada setiap beritanya, merupakan tuntutan banyak pihak. Baik itu tuntutan perorang ataupun tuntutan dari organisasi yang semuanya mengecam tindakan kekerasan FPI. Hampir seluruh isi berita pada judul ini berisikan tuntutan pembubaran FPI. Berikut beberapa tuntutan yang dituliskan oleh Koran Tempo : 69
“Polisi Ultimatum FPI”, Koran Tempo, 4 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat di
lampiran. 70
Ibid, alinea 2. “Polisi Ultimatum FPI”.
“...Ketua Umum Partai Amanat Nasional Sutrisno Bachir mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas. “Bila sudah memenuhi syarat, pemerintah jangan takut membubarkannya...”71 “Syafi'i Anwar, Direktur International Center for Islam and Pluralism, yang turut jadi korban dalam peristiwa itu, menegaskan bahwa dirinya adalah orang Muhammadiyah, yang secara teologi berbeda 200 persen dari Ahmadiyah. Namun, katanya, ia mengikuti aksi bersama Aliansi Kebangsaan karena merasa perlu membela hak hidup para penganut Ahmadiyah. “Saya tidak setuju dengan kekerasan”.”72 “Tuntutan pembubaran FPI juga diusung oleh 15 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Antikekerasan dan Premanisme Berbasis Agama. “Mereka sudah mengancam kedamaian masyarakat,” kata Malik Haromain, juru bicara Aliansi, setelah menemui Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Zuhairi Misrawi dari Baitul Muslimin Indonesia juga menilai kekerasan yang dilakukan FPI telah mengancam kebangsaan dan kebebasan berideologi.”73 “Ketua Umum Garda Bangsa Camelia Puji Astuti Hasip menyerukan hal serupa saat konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa. Organisasi ini juga menginstruksikan agar elemen mereka menuntut pembubaran FPI di seluruh daerah.”74 Tuntutan pembubaran terhadap FPI juga terjadi di Jember, Jawa Timur, bahkan Ketua FPI setempat menyatakan membubarkan diri dan meminta maaf kepada masyarakat. “Di Jember, Jawa Timur, Ketua FPI setempat, Abu Bakar, akhirnya menyatakan membubarkan diri setelah rumahnya didatangi ratusan pendukung mantan presiden Abdurrahman Wahid. “FPI Jember juga meminta maaf kepada masyarakat,” katanya.” Tuntutan pembubaran FPI bisa dilakukan apabila FPI terbukti membahayakan kepentingan umum, seperti yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto. Sehingga pada kesimpulan akhir, Koran Tempo menuntut pemerintah bertindak tegas dan memproses masalah ini ke jalur hukum.
71
Ibid, alinea 4. “Polisi Ultimatum FPI”. Ibid, alinea 5. “Polisi Ultimatum FPI”. 73 Ibid, alinea 7. “Polisi Ultimatum FPI”. 74 Ibid, alinea 9. “Polisi Ultimatum FPI”. 72
Tabel 11 Koran Tempo : Rabu, 4 Juni 2008 “Koran Tempo Akan Diserbu” Problem Identification /
Ancaman penggugatan dan penyerbuan kantor
Define Problem
Koran Tempo
Causal Interpretation /
Pemuatan foto Munarman sedang mencekik
Diagnoses Cause
seorang pemuda
Moral Evaluation /
Pengembalian nama baik dengan menggunakan
Make Moral Judgement
delik pers
Treatment
Koran Tempo kembali menegaskan kepada
Recommendation /
pihak
Suggest Remedis
menindak pelaku kekerasan
kepolisian
untuk
tidak
ragu-ragu
Koran Tempo pada berita kedua, edisi Selasa, 4 Juni 2008 mengangkat judul “Koran Tempo Akan Diserbu”. Koran Tempo menuliskan adanya ancaman yang di sampaikan oleh Munarman untuk menggugat dan menyerbu kantor Koran Tempo karena telah memfitnahnya melalui foto yang dimuat di harian ini, Selasa, 3 Juni 2008. “JAKARTA- Panglima Komando Laskar Islam Munarman mengancam akan menggugat dan menyerbu kantor Koran Tempo, yang dinilai telah memfitnah dirinya. “Jika dalam 1 x 24 jam Goenawan Mohamad (pendiri Tempo) dan Tempo tak minta maaf, saya akan serbu dia,” katanya dalam keterangan pers di markas Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Petamburan III, Jakarta Pusat, kemarin.”75 Foto tersebut menjadi masalah lantaran dalam foto yang dimuat oleh Koran Tempo, Munarwan digambarkan sedang mencekik salah seorang pemuda. Pada caption foto yang ditulis di sebelah kanan, Koran Tempo menuliskan bahwa pemuda yang dicekik oleh Munarman adalah anggota Aliansi Kebangsaan. Namun, pada jumpa pers yang diadakan di markas FPI di daerah 75
“Koran Tempo Akan Diserbu”, Koran Tempo, 4 Juni 2008, h. 2, alinea 1. Lebih jelas lihat di lampiran.
Petamburan, Munarman membantah bahwa pemuda itu adalah anggota Aliansi Kebangsaan. Munarman menyatakan bahwa pemuda yang ada di foto tersebut adalah anak buahnya. “Ancaman itu berkaitan dengan pemuatan foto Munarman yang sedang mencekik seorang pemuda di halaman depan Koran Tempo edisi Selasa. Menurut bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini, pemuda yang ia cekik adalah anak buahnya yang akan bertindak anarkistis.”76 Pemuatan foto yang dilakukan oleh Koran Tempo, bagi FPI dan Munarman adalah fitnah yang telah mencoreng namanya. Sehingga Munarman mengambil langkah untuk menuntut pengembalian nama baik dengan menggunakan delik pers. Namun, ancaman yang disampaikan oleh Munarman, ditanggapi biasa saja oleh Goenawan Mohamad selaku pihak yang dituntut oleh Munarman untuk meminta maaf : “Menanggapi ancaman itu, Goenawan Mohamad berkomentar singkat, “Silakan serbu”.”77 Koran Tempo menuliskan bahwa foto tersebut disebarkan oleh AKKBB dan berdasarkan sumber dari media lain, yakni Detikcom, pemuda yang diketahui bernama Ucok Nasrullah, baru dua bulan bergabung dengan FPI. Hal tersebut bertentangan dengan pernyataan Munarman dan Rizieq Shihab yang menyatakan bahwa Ucok Nasrullah adalah aktivis senior laskar FPI. “Nasrullah alias Ucok, pemuda yang dicekik itu, kemarin ditunjukkan oleh Munarman dan pemimpin FPI, Rizieq Shihab, kepada pers. Nasrullah disebut sebagai aktivis senior laskar FPI. Tapi, kepada situs Detikcom, Nasrullah mengatakan baru bergabung di FPI dua bulan.”78
76
Ibid, alinea 3. “Koran Tempo Akan Diserbu”. Ibid, alinea 2. “Koran Tempo Akan Diserbu”. 78 Ibid, alinea 4. “Koran Tempo Akan Diserbu”. 77
“Nasrullah berada di lokasi ketika massa FPI pada Ahad siang lalu menyerang para aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di lapangan selatan Monumen Nasional, Jakarta Pusat. Dalam serangan itu, belasan orang terluka, empat di antaranya dirawat intensif di rumah sakit. Sehari kemudian, Aliansi mengedarkan foto, termasuk kepada Tempo, yang menggambarkan Munarman sedang mencekik seorang pemuda.”79 Dari kedua alinea tersebut, Koran Tempo berusaha untuk membela diri dan menyatakan bahwa bukan hanya Koran Tempo yang memuat foto tersebut, tetapi ada media lain yang juga memuatnya. Koran Tempo juga menegaskan bahwa yang menyebarkan foto tersebut bukanlah pihaknya, melainkan AKKBB. Di bagian akhir pemberitaan, Koran Tempo melalui kutipan pernyataan tokoh senior Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan mengecam tindak kekerasan FPI. Dan Koran Tempo tidak lupa kembali menegaskan kepada pihak kepolisian untuk tidak ragu-ragu menindak pelaku kekerasan dan menyatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan di Lapangan Silang Monas merupakan aksi damai. Selanjutnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono meminta kepolisian menindak pemimpin FPI jika terbukti memberikan komando penyerangan. Jika benar, polisi harus membawanya ke persidangan. “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono meminta kepolisian menindak pemimpin FPI jika terbukti memberikan komando penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan. “Kalau ternyata ada komando, siapa yang kasih komando? Kalau pimpinannya, semua diseret ke meja hijau,” katanya di gedung DPR kemarin.”80
79 80
Ibid, alinea 5. “Koran Tempo Akan Diserbu”. Ibid, alinea 9. “Koran Tempo Akan Diserbu”.
Tabel 12 Koran Tempo : Rabu, 4 Juni 2008 “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah” Problem Identification / Define Problem
Lemahnya pengamanan polisi
Causal Interpretation /
Penjagaan
polisi
sangat
sedikit
sehingga
Diagnoses Cause
terjadinya penyerangan brutal oleh FPI
Moral Evaluation /
Banyaknya massa hanya dijaga oleh satu kompi
Make Moral Judgement
personel
Treatment Recommendation /
-
Suggest Remedis
Koran Tempo pada berita ketiga edisi Rabu, 4 Juni 2008 mengetengahkan judul “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”. Koran Tempo, berdasarkan narasumber yang diwawancarainya menuliskan bahwa peristiwa insiden Monas bisa sampai terjadi diakibatkan lemahnya penjagaan polisi. Massa melihat hanya ada satu sampai tiga polisi yang berjaga dan mengamankan aksi. “JAKARTA - Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menilai pengamanan oleh polisi sangat lemah sehingga terjadi penyerangan brutal oleh laskar Front Pembela Islam (FPI) pada Ahad lalu.”81 “Anik H.T., Koordinator AKKBB, mengatakan saat itu hanya melihat tiga polisi ketika terjadi penyerangan di lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. “Dua berpakaian polisi, satunya preman,” katanya kepada Tempo setelah kejadian. “Saya tak tahu polisi menjaga kami atau kegiatan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).”82 “Koordinator Media AKKBB Budi Kurniawan juga hanya melihat seorang polisi ketika penyerangan terjadi pada sekitar pukul 13.30 WIB. 81
“Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”, Koran Tempo, 4 Juni 2008, h. 2, alinea 1. Lebih jelas lihat di lampiran. 82 Ibid, alinea 2. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”.
“Berpakaian preman, menggenggam pistol, berusaha mencegah aksi brutal FPI,” katanya di Galeri Nasional sesaat setelah kejadian.”83 Koran Tempo menggambarkan bagaimana riuhnya keadaan saat perayaan Hari Lahir Pancasila ke-63, 1 Juni 2008. Pada hari itu ada beberapa massa yang melakukan aksi, antara lain PDIP yang menggelar acara jalan sehat, Hizbut Tahrir Indonesia, FPN dan buruh yang berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di depan Istana Merdeka, seberang Monas. Selain itu ada massa AKKBB yang hendak melakukan aksi damai dan massa FPI. Riuhnya massa tersebut hanya dijaga oleh satu kompi personel, di mana satu kompi personel terdiri dari tiga pleton, satu pleton terdiri dari 12 orang. Jumlah keseluruhan satu kompi personel adalah 36 orang dan mereka harus menjaga ribuan orang yang melakukan aksi pada hari tersebut. Menanggapi tuduhan tersebut, polisi membantah adanya penjagaan yang lemah dan membiarkan penyerangan terjadi. “Namun, polisi membantah adanya penjagaan yang lemah membiarkan penyerangan terjadi. “Mana ada, sih, polisi yang membiarkan itu terjadi?” ujar Komisaris Besar Budi Winarso, Kepala Biro Operasi Kepolisian Daerah Metro Jakarta, kemarin. Menurut dia, petugas yang berjaga waktu itu dari Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat.”84
2. Frame Republika Analisis berita insiden Monas di harian Republika dilakukan untuk menjawab pertanyaan riset peneliti, yaitu mengetahui penekanan dan seleksi isu yang dilakukan oleh tim redaksi Republika pada pemberitaan terkait penyebab terjadinya insiden Monas. Di bawah ini adalah uraian dari frame Republika dalam bahasan utama mengenai penyebab terjadinya insiden Monas : 83 84
Ibid, alinea 3. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”. Ibid, alinea 7. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah”.
Tabel 13 Republika : Senin, 2 Juni 2008 “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban” Problem Identification / Define Problem
Persoalan Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Ketidaktegasan
Diagnoses Cause
persoalan Ahmadiyah Pemerintah
pemerintah
terlalu
menyelesaikan
berhati-hati
menangani
Moral Evaluation /
masalah Ahmadiyah, sehingga berimplikasi
Make Moral Judgement
terhadap terjadinya bentrokan yang melibatkan FPI dan AKKBB
Treatment
Segera menerbitkan Surat Keputusan Bersama
Recommendation /
(SKB)
Suggest Remedis
Republika pada edisi Senin, 2 Juni 2008, menjadikan peristiwa yang melibatkan antara FPI dan AKKBB di Lapangan Silang Monas sebagai bahasan utama dan mengetengahkan judul “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. Republika dalam hal ini mengidentifikasikan bahwa persoalan Ahmadiyah menjadi pemicu utama penyebab terjadinya insiden Monas. Persoalan Ahmadiyah merupakan persoalan yang sudah lama terjadi namun, pemerintah dalam menangani kasus ini dinilai lamban dan tidak memiliki ketegasan. Republika mengkonstruksikan bahwa penyebab utama terjadinya insiden Monas akibat sikap ketidaktegasan dan ketidaktepatan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. Hal tersebut dapat terlihat dari judul yang diambil. Di mana secara langsung Republika memberikan pernyataan bahwa pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Tidak hanya terlihat dari judulnya saja, selanjutnya kita dapat melihat pada
bagian lead, yaitu berupa lead pernyataan sikap Republika terhadap peristiwa tersebut. “JAKARTA – Bentrokan antara massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI) dinilai merupakan buntut dari lambannya pemerintah menangani masalah Ahmadiyah.”85 Lead tersebut diperkuat dengan beberapa pernyataan dari narasumber yang kemudian oleh pihak Republika dijadikan kutipan untuk lebih memperkuat judul yang mereka ambil. Salah satu narasumber yang diwawancarai oleh Republika adalah Hamdan, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), ia menyatakan bahwa pihaknya sudah mengingatkan pemerintah bahwa sikap pemerintah yang tidak tegas dan tidak tepat dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah, akan menimbulkan bentrokan yang dikhawatirkan tidak hanya terjadi di Jakarta saja tetapi bisa meluas ke daerah-daerah lain di luar Jakarta. “Hamdan menyatakan bahwa pihaknya sudah mewanti-wanti pemerintah bahwa ketidaktegasan dan ketidaktepatan dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah bisa mengakibatkan bentrokan. Hamdan mengaku khawatir bentrokan yang terjadi kemarin tak hanya akan terjadi di Jakarta, tapi juga akan menjalar ke daerah-daerah lain. “Ini bisa makin panas”, katanya.”86 Hal senada juga diungkapkan oleh Kuasa Hukum Forum Umat Islam (FUI), Munarman. Ia menilai bahwa bentrokan terjadi karena langkah tegas pemerintah soal Ahmadiyah tak kunjung diterapkan. Langkah pemerintah yang super hatihati dinilainya membuat situasi masyarakat tak menentu. Republika menilai bahwa pemerintah yang harusnya bertanggung jawab terhadap insiden tersebut. Republika juga mengkonstruksikan melalui kutipan pernyataan Munarman adanya pihak-pihak yang secara sengaja memprovokasi 85
“Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”, Republika, 2 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat di lampiran. 86 Ibid, alinea 2. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
pihak lain dalam insiden Monas dan juga adanya keterlibatan umat agama lain yang turut campur dalam menanggapi persoalan Ahmadiyah, pernyataan tersebut yaitu : “Potensi bentrok semakin terbaca, kata Munarman, karena yang berdemonstrasi mendukung Ahmadiyah seperti yang kemarin terjadi di Monumen Nasional (Monas) – bukan hanya aktivis, tapi juga umat agama lain. Mereka, kata Munarman, bahkan menuding FUI sebagai umat yang kafir. “Disitu marahnya umat,” kata Munarman.” 87 Pada alinea ke enam, Republika menggambarkan secara selintas bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Dengan mengambil kutipan dari salah seorang anggota AKKBB yang menyatakan bahwa polisi bergerak lamban dalam peristiwa tersebut. Namun, pada alinea ke tujuh, Republika memuat keterangan dari Kepala Polres Jakarta Pusat, Komisaris Besar Heru Winarko yang membantah tuduhan salah seorang massa AKKBB tersebut. Ia memaparkan bahwa massa AKKBB telah menyalahi aturan. Pada awalnya mereka hanya berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, namun mereka malah bergerak menuju Monas. “Bentrokan di Monas kemarin terjadi setelah makan mi massal bubar. Tak diketahui pasti apa pemicu bentrokan itu. Salah seorang pendemo dari AKKBB, Yudhi, mengatakan sebanyak 12 orang massa AKKBB lainnya berlari tunggang-langgang. “Polisi geraknya lamban,” Yudhi menyesalkan.”88 “Tapi, Kepala Polres Jakarta Pusat, Komisaris Besar Heru Winarko, menyesalkan massa AKKBB. Pasalnya, mereka mulanya hanya berencana berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. “Ternyata, mereka menuju Monas juga,” sesalnya.”89
87
Ibid, alinea 5. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. Ibid, alinea 6. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. 89 Ibid, alinea 7. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. 88
Menanggapi peristiwa yang terjadi di Monas tersebut, Republika memberikan solusi kepada pemerintah untuk segera menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung. Hal tersebut dapat terlihat pada alinea ke tiga, yaitu berupa kutipan pernyataan Hamdan. “Jika pemerintah sudah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung tentang penghentian kegiatan Ahmadiyah, Hamdan menilai bentrokan tak akan terjadi. Situasi menggantung dinilainya bisa dimanfaatkan untuk memprovokasi masyarakat. Jadi, “sekarang, saatnya ambil keputusan,” tandas Hamdan.”90 Tabel 14 Republika : Selasa, 3 Juni 2008 “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi” Problem Identification / Define Problem
Tuntutan penyelesaian Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Penodaan
Diagnoses Cause
Ahmadiyah
terhadap
agama
Islam
oleh
Ahmadiyah tidak mengakui nabi Muhammad Moral Evaluation /
sebagai nabi terakhir, merupakan penodaan
Make Moral Judgement
agama Islam
Treatment
Surat keputusan bersama (SKB) mendesak
Recommendation /
untuk diterbitkan
Suggest Remedis
Republika pada edisi Selasa, 3 Juni 2008 kembali menjadikan insiden Monas sebagai bahasan utama dengan mengetengahkan judul “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”. Republika mengidentifikasikan insiden Monas yang melibatkan antara FPI dan AKKBB sebagai bentuk dari tuntutan 90
Ibid, alinea 3. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”.
masyarakat kepada pemerintah dalam penyelesaian Ahmadiyah. Republika menilai Ahmadiyah telah melakukan tindakan penodaan dan penistaan agama yang memancing terjadinya bentrok antara kedua ormas tersebut. Masalah Ahmadiyah merupakan hal yang sangat rumit, karena tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Republika menjelaskan melalui kutipan pernyataan Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi dan M. Sholeh Amin, Ketua Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum PBNU, bahwa keyakinan Ahmadiyah adanya nabi terakhir setelah nabi Muhammad SAW merupakan bagian dari penodaan dan penistaan agama, apalagi Ahmadiyah mengklaim dirinya sebagai Islam. “Dia mencontohkan masalah Ahmadiyah yang disebutnya rumit karena tak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, tapi tetap mengklaim sebagai Islam.”91 “...Menurutnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa ada nabi setelah Muhammad SAW merupakan penodaan Islam.”92
Republika kembali menjelaskan melalui pernyataan yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa konflik agama yang terjadi saat ini akibat dari mengekspresi kebebasan yang menggebu-gebu pada setiap individu. “Salah satu penyebab yang melatar belakangi konflik antarumat beragama karena terlalu menggebu-gebu mengekspresikan kebebasan...”93 Perubahan sistem pemerintahan yang pada awalnya bersifat otoriter berdasarkan kekuasaan mantan Presiden Soeharto, akhirnya tumbang pada tahun 1998. Dalam era sepuluh tahun terakhir sistem pemerintahan demokrasi pun kian berkembang di Indonesia. Sistem demokrasi tersebut tidak serta merta 91 “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”, Republika, 3 Juni 2008, h. 1, alinea 7. Lebih jelas lihat di lampiran. 92 Ibid, alinea 8, baris 6. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”. 93 Ibid, alinea 4. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
memberikan kedamaian bagi masyarakat pada umumnya, kebebasan saat ini lebih cenderung kelewat batas dan bersifat provokatif. Sehingga butuh kearifan dalam mengungkapkan kebebasan berekspresi. Seperti apa yang Republika kutip dari pernyataan Jimly Asshiddiqie : “Perubahan demokrasi sepuluh tahun terakhir membutuhkan kearifan dalam mengungkapkan kebebasan berekspresi. “Jadi, kalau mengekspresikan kebebasan yang provokatif, itu juga mengundang reaksi yang tidak perlu, katanya”.”94 Republika juga menyampaikan adanya kekhawatiran isu pembubaran Ahmadiyah menjadi pembubaran FPI. Republika menilai adanya pihak-pihak yang sengaja berusaha untuk mengadu domba antar umat Islam. Namun, isu pembubaran FPI dipertegas dengan pernyataan dari Jimly Asshiddiqie, bahwa penyelesaian konflik dan tuntutan pembubaran FPI harus diselesaikan melalui jalur hukum. Jimly menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan untuk membubarkan organisasi massa seperti FPI adalah Pengadilan, bukan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti pernyataan yang dikutip oleh Republika : “...Kalau yang dibubarkan itu parpol, di MK. Kalau ormas, di pengadilan biasa.”95 Jimly juga mengkhawatirkan akan adanya adu domba pada umat beragama jika pembahasan mengenai penyebab insiden Monas terus berkembang. Ia menilai bahwa persoalan internal umat beragama hendaknya diselesaikan dengan cara dialog. Di lain pihak, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan mengingatkan agar upaya penodaan terhadap agama Islam harus di lawan dan jangan sampai isu penodaan tersebut bergeser menjadi isu kekerasan oleh FPI. “Upaya penodaan agama Islam harus di lawan. Jangan bergeser karena isu kekerasan oleh FPI, kata pimpinan majelis pakar DPP PPP.”96 94 95
Ibid, alinea 3. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”. Ibid, alinea 5, baris 7. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
Isu pergeseran persoalan penistaan agama juga di sampaikan oleh Politikus Partai Golkar, Agun Gunandjar, yang berpendapat bahwa penghormatan terhadap keragaman beragama berbeda dengan persoalan penistaan agama. Ia juga mengingatkan agar masalah tersebut jangan dikaburkan menjadi isu kebhinekaan. Republika memberikan solusi, yaitu dengan meminta ormas AKKBB agar mawas diri dan menghentikan provokasi. Di lain pihak, Republika juga mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) Ahmadiyah. Republika dalam hal ini menghormati kebebasan bagi setiap umat untuk hidup dalam agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi tidak diartikan bahwa kebebasan tersebut dengan melakukan tindakan penistaan terhadap agama lain. Tabel 15 Republika : Rabu, 4 Juni 2008 “Akar Masalahnya Ahmadiyah” Problem Identification / Define Problem
Persoalan Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Ketidaktegasan
Diagnoses Cause
Ahmadiyah
Moral Evaluation / Make Moral Judgement
pemerintah
Masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi penodaan agama Islam
Treatment Recommendation /
Bersikap tenang dan meredam emosi
Suggest Remedis
96
terhadap
Ibid, alinea 9. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”.
Republika pada edisi Rabu, 4 Juni 2008 masih menjadikan insiden Monas sebagai bahasan utama dengan mengangkat judul “Akar Masalahnya Ahmadiyah”. Pada edisi ini, secara tegas Republika mendefiniskan masalah terhadap persoalan Ahmadiyah. Republika menilai persoalan Ahmadiyah yang tak kunjung diselesaikan dan pada akhirnya memicu konflik antarumat beragama. Pernyataan Ketua DPR Agung Laksono, seperti yang dikutip oleh Republika menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Monas harus diselesaikan secara hukum dan aparat diminta untuk bersikap adil. Di lain pihak ia juga menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kerusuhan tersebut adalah permasalahan Ahmadiyah yang harus diselesaikan secepatnya. “Para pelaku kerusuhan Monas harus dihukum, tapi masyarakat jangan melupakan akar masalah, yakni Ahmadiyah yang hingga kini belum dibubarkan. “Ini penyebab utamanya menyangkut Ahmadiyah. Harus segera diselesaikan Ahmadiyahnya, sementara pelaku kriminal diproses secara hukum,” kata Agung, Selasa (3/6).”97 Republika melalui kutipan pernyataan salah satu narasumbernya menilai bahwa penyebab tidak terselesaikan masalah Ahmadiyah, dikarenakan sikap ketidaktegasan pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut terutama tak kunjung keluarnya surat keputusan bersama (SKB) Ahmadiyah. “Akar masalah insiden Monas, diakui Ketua FPDIP, Tjahjo Kumolo, adalah ketidaktegasan pemerintah menyikapi keberadaan Ahmadiyah. Pembiaran Ahmadiyah memicu keresahan karena surat keputusan bersama (SKB) soal Ahmadiyah terus diulur-ulur.”98 “Sayangnya, komitmen itu tak pernah muncul. Harusnya pemerintah tegas dan tidak ragu-ragu, katanya.”99
97 “Akar Masalahnya Ahmadiyah”, Republika, 4 Juni 2008, h. 1, alinea 2. Lebih jelas lihat di lampiran. 98 Ibid, alinea 4. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”. 99 Ibid, alinea 5. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”.
“Hasyim menyesalkan sikap pemerintah yang tak tegas terhadap Ahmadiyah. “Pemerintah lebih banyak berwacana daripada melakukan tindakan preventif dan represif”.”100 Republika kembali menegaskan bahwa persoalan Ahmadiyah bukan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan penodaan terhadap agama tertentu, dalam hal ini Islam. “Sebenarnya masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi penodaan agama tertentu, dalam hal ini Islam.”101 Republika menghendaki agar semua pihak bersikap tenang dan meredam emosi. Tidak terpancing oleh isu-isu seperti tuntutan dari gerakan GP Ansor untuk membubarkan FPI secara paksa yang dapat membuat memanasnya situasi. “Menyikapi memanasnya situasi, pemimpin pondok pesantren AlMizan, Jatiwangi, Majalengka, Maman Imanulhaq Faqieh, meminta semua pihak meredam emosi. Menurut Maman yang menjadi salah satu korban kasus Monas, pesantren mengajarkan damai dan menghargai rasionalitas serta perbedaan.”102 “Kami akan meredam massa di bawah, kata Maman. Kekerasan, tegasnya harus dihentikan kepada siapa pun dan atas nama siapa saja.”103
100
Ibid, alinea 8. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”. Ibid, alinea 7. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”. 102 Ibid, alinea 13. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”. 103 Ibid, alinea 14. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”. 101
Tabel 16 Republika : Kamis, 5 Juni 2008 “Umat Islam Diminta Bersatu” Problem Identification / Define Problem Causal Interpretation / Diagnoses Cause Moral Evaluation / Make Moral Judgement Treatment Recommendation / Suggest Remedis
Ajang adu domba sesama penganut Islam
Persoalan Ahmadiyah
GP Ansor & FPI sama-sama penganut Islam
Umat diminta bersatu dan desakan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Republika pada edisi Kamis, 5 Juni 2008 masih menjadikan insiden Monas sebagai bahasan utama, yaitu dengan mengangkat judul “Umat Islam Diminta Bersatu”. Republika sebagaimana yang tertulis pada bagian lead menjelaskan bahwa situasi saat ini dinilai menjadi ajang adu domba sesama penganut Islam. “JAKARTA – Umat Islam diminta waspada terkait situasi pascakerusuhan di Monas, Ahad (1/6) lalu. Situasi saat ini dinilai sudah begeser menjadi ajang adu domba sesama penganut Islam.”104 “Anggota Forum Peduli Umat dan Bangsa (FPUB), Ferry Nur, berharap umat cerdas agar tidak mudah tersulut provokasi yang merugikan...”105 Republika kembali menegaskan bahwa persoalan utama terjadinya bentrokan adalah persoalan Ahmadiyah yang belum juga terselesaikan. Beberapa pihak merasa kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak tegas dan terkesan adanya perbedaan perlakuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Monas dan Ahmadiyah.
104
“Umat Islam Diminta Bersatu”, Republika, 5 Juni 2008, h. 1, alinea 1. Lebih jelas lihat
di lampiran. 105
Ibid, alinea 2. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
“Koordinator FPUB, KH Fikri Bareno, merasa heran perbedaan perlakuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Monas. “Saya bangga setelah insiden Monas, Presiden berpidato dengan gagah, menyesalkan kejadian itu. Tapi, mengapa Presiden tak berpidato segagah dan setegas itu dalam hal pembubaran Ahmadiyah?”.”106 Republika kembali menuliskan pernyataan KH. Hasyim Muzadi yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat dan menyimpang dari ajaran Islam, seperti yang ia nyatakan pada edisi Rabu, 4 Juni 2008. “Sebenarnya masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi penodaan agama tertentu, dalam hal ini Islam.” Pada edisi Kamis, 5 Juni 2008 ini, Republika seakan mempertegas kembali penyataan
Hasyim
Muzadi
dengan
menyatakan
bahwa
Ahmadiyah
menyimpang. “Hasyim juga tidak menampik bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat yang menyimpang dari Islam. “Yang penting itu caranya. Dia (Ahmadiyah) kan masih nongkrong di kaum Muslimin. Tentu harus dihadapi dengan dakwah. Karena keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan kekerasan,” katanya.”107 Agar pergesaran isu menjadi ajang adu domba tidak semakin memanas, Republika, melalui pernyataan beberapa narasumbernya meminta agar umat bersatu, menjaga ukhuwah dan merapatkan barisan. Umat diminta untuk tidak mudah terprovokasi yang pada akhirnya akan merugikan banyak pihak. “...siapa yang untung dari pertikaian antara Ansor dan Front Pembela Islam (FPI). Ansor penganut Islam, FPI juga Islam. Mereka jangan mau di adu domba oleh pihak lain, kata Fery, Rabu (4/6).”108 “Daripada saling serang, Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA) ini mengimbau umat bersatu dan menjaga ukhuwah.“FPUB menyeru umat merapatkan barisan”.”109
106
Ibid, alinea 4. “Umat Islam Diminta Bersatu”. Ibid, alinea 6. “Umat Islam Diminta Bersatu”. 108 Ibid, alinea 2. baris 5. “Umat Islam Diminta Bersatu”. 109 Ibid, alinea 3. “Umat Islam Diminta Bersatu”. 107
Republika juga meminta kepada pemerintah agar bersikap tegas dengan segera menerbitkan surat keputusan bersama (SKB). Namun, menanggapi penerbitan SKB tersebut, juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng menjelaskan bahwa penerbitan SKB masih dalam proses dan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan karena menyangkut masalah sensitif. “Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, menjelaskan, SKB Ahmadiyah masih dalam proses. “Ini menyangkut masalah sensitif”.”110 Republika menjelaskan pada bagian akhir tulisan pada edisi ini, kutipan pernyataan juru bicara Depdagri, Saut Situmorang yang menegaskan bahwa Mendagri telah mengirimkan surat teguran ke FPI dan AKKBB. FPI ditegur karena penyerangannya mengganggu ketertiban umum, sedangkan AKKBB ditegur karena apel akbar yang dilakukannya memicu penyerangan. Tidak hanya itu, Republika dalam tulisannya seolah menolak penetapan tersangka kepada pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab oleh polisi. Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan pernyataan pengacara FPI, Mahendradatta yang menyatakan bahwa status tersangka itu belum sah dikarenakan berita acara pemeriksaaan (BAP) belum selesai.
Republika juga mengklarifikasi tudingan yang
disampaikan oleh berbagai pihak yang menyatakan bahwa Munarman, Panglima Komando Laskar Islam, pergi melarikan diri. Seperti yang terlihat melalui penulisan kutipan pernyataan Munarman, bahwa : “Saya belum datang ke Polda agar hukum berjalan lebih adil dan seimbang.”111
110 111
Ibid, alinea 10. “Umat Islam Diminta Bersatu”. Ibid, alinea 15. “Umat Islam Diminta Bersatu”.
Tabel 17 Republika : Jumat, 6 Juni 2008 “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi” Problem Identification / Define Problem
Persoalan Ahmadiyah
Causal Interpretation /
Pemerintah
lamban
mengambil
keputusan
Diagnoses Cause
tentang Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Pro-kontra Ahmadiyah adalah rekayasa politik
Make Moral Judgement
pemerintah
Treatment Recommendation /
Pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif
Suggest Remedis
Republika pada edisi Jumat, 6 Juni 2008, menjadikan insiden Monas sebagai bahasan utama dengan mengangkat judul “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”. Pada pemberitaannya Republika memuat pernyataan 14 Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP) yang tergabung dalam Forum Pemuda Mahasiswa Islam (FPMI). Dalam pemberitaan ini, Republika lagi-lagi mengidentifikasikan permasalahan Ahmadiyah sebagai pemicu terjadinya insiden Monas. Dalam pemberitaannya, Republika memposisikan pemerintah sebagai aktor yang harus bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut. Pemerintah dinilai lamban dalam menanggapi persoalan Ahmadiyah, terutama dalam penerbitan surat keputusan bersama (SKB) tentang Ahmadiyah. Banyak pihak yang menilai jika pemerintah bertindak tegas terhadap permasalahan Ahmadiyah dan segera menerbitkan SKB, insiden Monas tidak akan mungkin terjadi.
“FPMI menganggap ketidaktegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah merupakan pemicu bentrokan. “Kalau pemerintah cepat mengambil keputusan soal Ahmadiyah, insiden tak akan terjadi,” imbuh Syahrul.”112 Republika juga mempertanyakan tanggung jawab pemerintah terhadap permasalahan Ahmadiyah. Seperti yang dikutip dari wawancara dengan KH Didin Hafidhuddin, sebagai berikut : “Kelambanan pemerintah membubarkan Ahmadiyah justru menjadi pangkal masalah. “Pemerintah berkali-kali janji (soal Ahmadiyah). Pemimpin yang memberi pernyataan dan tak mewujudkannya, bagaimana bisa dipercaya?”.”113 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa pemerintahan saat ini tidak dapat dipercaya, karena berulang kali janji menyelesaikan persoalan ahmadiyah, tetapi tidak pernah diwujudkan secara nyata. Republika melalui pernyataan Amien Rais menyatakan bahwa pro-kontra Ahmadiyah sebagai pemicu insiden Monas merupakan rekayasa politik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat. “Di Yogyakarta, mantan ketua MPR, Amien Rais, meminta masyarakat menahan diri. Akar kerusuhan Monas, yaitu pro-kontra Ahmadiyah adalah rekayasa politik. “Rezim yang gagal menyejahterakan rakyat, menambah pengangguran dan kemiskinan, pasti akan mencari isu untuk mengalihkan perhatian rakyat”.”114 Pemerintah lagi-lagi dituduh oleh Republika sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden Monas. Terlepas dari beberapa pernyataan yang Republika kutip, dalam pemberitaan ini Republika meminta kepada pemerintah untuk mencermati akar permasalahan pemicu bentrokan dan pemerintah diminta untuk bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam penyelesaian insiden Monas. 112
“14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”, Republika, 6 Juni 2008, h. 1, alinea 4. Lebih jelas lihat di lampiran. 113 Ibid, alinea 8. “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”. 114 Ibid, alinea 10. “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi”.
Tabel 18 Republika : Sabtu, 7 Juni 2008 “Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil” Problem Identification /
Penegakan
Define Problem
Indonesia
Causal Interpretation / Diagnoses Cause
hukum
pembubaran
Ahmadiyah
Lambatnya penerbitan SKB Ahmadiyah
Moral Evaluation /
Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 tentang Pencegahan
Make Moral Judgement
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Treatment
a. Segera
Recommendation / Suggest Remedis
menerbitkan
SKB
dan
bubarkan
Ahmadiyah b. Umat Islam bersatu, pemerintah bersikap adil
Republika pada edisi Sabtu, 7 Juni 2008, yang mana merupakan edisi terakhir harian ini menjadikan insiden Monas sebagai bahasan utama. Pada edisi ini Republika mengangkat judul “Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil”. Republika mengidentifikasikan penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah Indonesia. Karena dalam bahasan utama sebelumnya, Republika menilai pemerintah telah gagal mencermati akar permasalahan insiden Monas dan bertindak tegas terhadap persoalan Ahmadiyah. Republika secara tegas mengidentifikasikan penegakan hukum terhadap pembubaran Ahmadiyah Indonesia. Penerbitan SKB Ahmadiyah bagi Republika sangatlah mendesak. Menanggapi perkembangan penerbitan SKB tersebut, Jaksa Agung, Hendarman Supandji mengungkapkan bahwa SKB Ahmadiyah tidak dapat membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dikarenakan tidak adanya instruksi pembubaran, sesuai Pasal 2 UU PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ustadz Jeffry Al Buchori dalam menanggapi insiden Monas, meminta umat Islam memperkuat persatuan dan jangan mau diadu domba. Kepada umat non-Islam, Uje meminta kepada mereka untuk bersikap bijaksana dan memberikan kesempatan kepada umat Islam sendiri yang menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk pemerintah sendiri, Uje meminta pemerintah bersikap adil. “Dengan kejadian itu, umat Islam harus memperkuat persatuan dan jangan mau diadu domba. Kepada masyarakat non-Islam, ustadz Jeffry juga mengimbau agar bersikap bijaksana. “Biarkan kami menyelesaikan urusan agama kami,” tegasnya.”115 Selain meminta agar umat Islam tetap bersatu, Republika juga meminta penerbitan segera SKB dan membubarkan Ahmadiyah secepatnya. Karena, keberadaan Ahmadiyah dan terlambatnya penerbitan SKB merupakan akar masalah terjadinya insiden Monas.
B. Temuan dan Analisis Perangkat Framing Robert N. Entman Peneliti akan menjabarkan beberapa hasil temuan dari headline berita Koran Tempo dan Republika terkait dengan penyebab terjadinya insiden Monas. Peneliti akan menjabarkan sesuai dengan perangkat model framing yang peneliti gunakan, yaitu framing model Robert N. Entman yang terdiri dari empat struktur, antara lain : Pertama, problem identification / define problem (pendefinisian masalah). Kedua, causal interpretation / diagnose causes (sumber masalah). Ketiga, moral evaluation / make moral judgement (membuat
115
Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil, Republika, 7 Juni 2008, h. 1, alinea 3. Lebih jelas lihat di lampiran.
keputusan moral). Keempat, treatment recommendation / suggest remedis (solusi). Tabel 19 Problem Identification / Define Problem Koran Tempo dan Republika No Koran Tempo Masalah hukum pembubaran FPI 1.
No Republika Persoalan Ahmadiyah 1. Tuntutan Penyelesaian
2.
Masalah hukum pembekuan FPI
2.
3.
Korban luka dari pihak AKKBB
3.
4.
Masalah hukum pembubaran FPI
4.
5.
Tuntutan pembubaran FPI
5.
Ancaman 6. 7.
penggugatan
Persoalan Ahmadiyah Ajang
dan
penyerbuan kantor Koran Tempo
Ahmadiyah
adu
domba
sesama
penganut Islam Persoalan Ahmadiyah Penegakan hukum pembubaran
6.
Ahmadiyah
Lemahnya pengamanan polisi Pada struktur pertama framing Robert N. Entman ini, antara Koran Tempo
dan Republika memiliki pendefinisian masalah yang sama terkait dengan insiden Monas, yaitu permasalahan hukum. Hanya saja terdapat perbedaan yang terletak pada objek permasalahan. Dari tujuh berita mengenai insiden Monas dan ditempatkan pada bahasan utama, Koran Tempo empat kali melihat ini sebagai masalah hukum pembubaran FPI terkait kekerasan yang dilakukan oleh FPI kepada AKKBB. Permasalahan kekerasan tersebut dijadikan isu utama oleh Koran Tempo untuk menuntut pembubaran FPI. Bagi Koran Tempo, keberadaan FPI terutama tuntutan untuk membubarkan Ahmadiyah disertai dengan aksi anarkis yang terjadi di Monas, telah mengancam kebebasan umat beragama di Indonesia. Tidak hanya menjadikan persoalan insiden Monas sebagai masalah hukum pembubaran FPI, tetapi Koran Tempo juga mendefinisikan adanya
kelengahan dari pihak kepolisian dalam menjaga massa yang pada 1 Juni 2008, banyak melakukan aksi di sekitar Monumen Nasional. Koran Tempo bahkan memuat berita berkaitan dengan akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh FPI, yaitu berita berisi jumlah korban luka ringan dan parah yang semua korbannya berasal dari AKKBB. Koran Tempo juga menyampaikan berita terkait dengan pernyataan sikap dari harian tersebut terhadap ancaman Panglima Komando Laskar Pembela Islam (LPI) Munarman, yang mengancam akan menyerbu kantor Koran Tempo terkait pemuatan foto dirinya dengan gambar sedang mencekik salah satu anggota yang dituliskan berasal dari Aliansi Kebangsaan. Berdasarkan dari analisa yang telah peneliti lakukan pada berita utama terkait dengan insiden Monas di Koran Tempo. Dengan merujuk pada elemen pertama model framing Robert N. Entman, dapat peneliti tegaskan bahwa tim redaksi Koran Tempo lebih banyak menekankan isu tuntutan pembubaran FPI ketimbang isu lain seperti isu persoalan Ahmadiyah. Dalam setiap bahasan utamanya, Koran Tempo selalu menyatakan sikap menuntut kepada pemerintah secepatnya membubarkan FPI karena dinilai telah melakukan tindakan anarkis dan mengancam kebebasan umat beragama di Indonesia. Peneliti juga melihat dari beberapa kutipan narasumber yang diambil oleh Koran Tempo, hampir keseluruhan narasumbernya berasal dari orang-orang yang pro terhadap Ahmadiyah, orang-orang yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melindungi Ahmadiyah dan orang-orang yang pro terhadap pembubaran FPI. Sebagai contoh kutipan pernyataan dari Gusdur, Goenawan Mohammad, dan beberapa tokoh AKKBB lainnya. Sedangkan kutipan dari pihak FPI atau LPI hanya sedikit saja dituliskan oleh Koran Tempo. Namun, pada wawancara
yang peneliti lakukan dengan Redaktur Eksekutif Koran Tempo, Gendur Sudarsono, ia menyatakan bahwa Koran Tempo tidak menuntut pembubaran FPI, berikut kutipan wawancaranya : “Sebenarnya Koran Tempo tidak menuntut pembubaran. Pembubaran itu hanya statement dari sebuah sumber, seorang yang mengatakan begitu. Tetapi, sikap Koran Tempo sendiri konsisten bahwa kita tidak bisa sembarangan membubarkan organisasi, karena kita juga menghargai kebebasan orang untuk berserikat dan berkumpul.”116 Pernyataan di atas bertentangan dengan apa yang peneliti pahami dan analisa terhadap berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas. Dari uraian mengenai frame Koran Tempo, justru peneliti melihat Koran Tempo lebih banyak memaparkan tulisan terhadap tuntutan pembubaran FPI. Berdasarkan pemahaman peneliti, bagaimana penulisan judul berita, lead, penentuan siapa yang menjadi narasumber, secara tidak langsung menggambarkan apa sebenarnya yang menjadi sikap institusi media terhadap suatu peristiwa. Peneliti sendiri menemukan pernyataan Koran Tempo terkait tidak menuntut pembubaran FPI dan menyatakan bahwa hal tersebut dapat melanggar kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, yaitu pada Koran Tempo edisi Sabtu, 7 Juni 2009. Di mana berita tersebut dimuat satu minggu setelah insiden Monas terjadi. Pada edisi tersebut, Koran Tempo mengetengahkan judul “Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”. Dalam edisi tersebut, Koran Tempo mengutip pernyataan Goenawan Mohamad, yaitu : “Adapun tuntutan pembubaran FPI harus disikapi dengan kritis. “Saya pribadi mengimbau agar kita tetap memperhatikan hak untuk menyatakan pendapat dan berorganisasi,” katanya. “Sangat berbahaya bila pemerintah mengambil posisi gampang melarang organisasi. Ini seperti 116
Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
pengalaman kesewenang-wenangan di masa demokrasi terpimpin dan Orde Baru.”117 Sedangkan Republika dalam hal ini, sama seperti Koran Tempo, mendefinisikan kasus insiden Monas sebagai permasalahan hukum. Bukan terkait dengan kekerasan yamg dilakukan oleh FPI, melainkan masalah penegakan hukum terhadap pembubaran Ahmadiyah. Persoalan Ahmadiyah bagi Republika menjadi pemicu utama terjadinya insiden Monas. Republika memberikan tambahan pada pendefinisian masalahnya bahwa keberadaan Ahmadiyah bukanlah tentang kebebasan beragama, melainkan mengenai penistaan atau penodaan agama yang dilakukan oleh Ahmadiyah, yaitu terhadap agama Islam. Penistaan agama tersebut dikarenakan Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Ditambah lagi pernyataan Republika yang mengidentikkan adanya pergeseran isu pembubaran Ahmadiyah menjadi pembubaran FPI dan adanya dugaan adu domba pada insiden Monas, 1 Juni 2008. Republika menilai, seharusnya yang menjadi perhatian utama dari pemerintah ialah permasalahaan Ahmadiyah, bukan soal pembubaran FPI. Dalam hal ini, Republika menyatakan bahwa pernyataan dan tuntutan pembubaran FPI itu sendiri datang dari segelintir orang saja. Yang memang mereka pada dasarnya menginginkan FPI untuk dibubarkan. Republika sendiri melihat adanya indikasi upaya adu domba yang sengaja dilakukan dan dapat memicu konflik horisontal.
117
“Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”, Koran Tempo, 7 Juni 2008, alinea 5.
Republika memandang persoalan Ahmadiyah adalah persoalan yang krusial. Ahmadiyah jelas menyimpang secara akidah dan syariat Islam. Seperti diketahui bahwa Ahmadiyah terdiri dari dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qadian dan di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Parung, Bogor serta Ahmadiyah Lahore dan di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Yogyakarta. Ahmadiyah Qadian mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi. Ahmadiyah Lahore yang secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam. Dari kedua aliran tersebut, yang jelas-jelas menyimpang adalah JAI, selain mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, aliran ini juga meyakini bahwa semua muslim menurut mereka adalah kafir hingga mereka mau masuk ke kelompok Ahmadiah Qadian, haram menikahi pasangan yang tidak segolongan dengan mereka, meyakini Nabi Muhammad bukan Nabi akhir zaman bahkan nabi tetap diutus bila diperlukan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang utama dari sekalian nabi-nabi, meyakini bahwa kitab mereka diturunkan oleh Allah namanya Alkitabul Mubin, meyakini bahwa desa Qadian, adalah seperti madinah Al Munawwarah, dan tanahnya sama seperti tanah Haram Berdasarkan dari analisa yang telah peneliti lakukan pada berita utama terkait dengan insiden Monas di harian Republika. Dengan merujuk pada struktur pertama model framing Robert N. Entman, dapat peneliti tegaskan bahwa tim redaksi Republika lebih banyak menekankan isu tuntutan penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah ketimbang isu lain terkait masalah kekerasan
yang dilakukan oleh FPI sebagaimana yang dituliskan oleh Koran Tempo pada setiap bahasan utamanya. Republika dalam setiap bahasan utamanya lebih sering menuliskan dan menegaskan bahwa persoalan Ahmadiyah lah yang menjadi akar masalah terjadinya insiden Monas, hingga Republika menuntut pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah. Sama halnya seperti yang dilakukan oleh Koran Tempo dalam pemilihan narasumber, Republika juga menuliskan pernyataan beberapa narasumber yang kontra terhadap Ahmadiyah dan pro terhadap pembubaran Ahmadiyah. Tabel 20 Causal Interpretation / Diagnoses Cause Koran Tempo dan Republika No 1.
Koran Tempo Aksi anarkis FPI
No
Republika Ketidaktegasan pemerintah
1.
menyelesaikan persoalan Ahmadiyah
2.
Tindakan kekerasan FPI
2.
3.
Tindakan kekerasan laskar FPI
3.
4.
Kekerasan yang dilakukan FPI
4.
5.
Tindakan kekerasan FPI
5.
Pemuatan foto Munarman 6.
sedang mencekik seorang pemuda
7.
6.
Penodaan terhadap agama Islam oleh Ahmadiyah Ketidaktegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah Persoalan Ahmadiyah Pemerintah lamban mengambil keputusan tentang Ahmadiyah Lambannya penerbitan SKB Ahmadiyah
Penjagaan polisi sangat sedikit
Terjadinya insiden Monas bagi Koran Tempo disebabkan karena aksi kekerasan FPI. Dari tujuh berita yang ada, Koran Tempo lima kali menjadikan aksi kekerasan FPI sebagai penyebab utama terjadinya insiden Monas. Di
samping itu Koran Tempo juga menilai lemahnya penjagaan polisi pada saat terjadinya aksi anarkis, disebut-sebut ikut menjadi sumber masalah. Bukan pertama kali FPI melakukan aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, ini sudah ke sekian kalinya FPI melakukan kekerasan. Sebelumnya FPI pernah menyerbu markas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung, Bogor, Jawa Barat. Sempat juga melakukan perusakan tempat peribadatan orang Ahmadiyah di beberapa daerah. Dan puncaknya adalah ketika massa AKKBB yang dituliskan oleh Koran Tempo sedang melakukan aksi damai, tiba-tiba diserang oleh massa FPI. Berikut alasan Koran Tempo menyajikan berita terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh FPI. “Apakah kekerasan itu diperbolehkan di negara demokrasi. Dengan alasan apapun apakah boleh kekerasan itu dilakukan. Apakah boleh berdakwah dengan cara kekerasan. Bolehkah orang hidup di Indonesia memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Bolehkan di negara ini ada organisasi yang lebih berkuasa dibandingkan pemerintah. Apa yang akan terjadi jika ada organisasi yang melakukan tindakan apapun semaunya. Yang terjadi adalah pemerintah tidak memiliki kuasa. Jika pemerintah tidak memiliki kuasa, maka yang terjadi adalah anarki. Semua hal memiliki aturan dan prinsip tersebut yang pertama harus kita tegakkan. Hal tersebut menjadi landasan Koran Tempo menyajikan berita tersebut.”118 Berbeda halnya dengan Republika yang menilai bahwa sumber masalah penyebab terjadinya konflik antara lain, ketidaktegasan dan ketidaktepatan pemerintah
menyelesaikan
permasalahan
Ahmadiyah,
mengekspresikan
kebebasan yang menggebu-gebu dan lambannya penerbitan SKB. Menurut Republika,
pemerintah
seakan
ragu-ragu
dalam
menangani
persoalan
Ahmadiyah yang secara jelas telah melakukan tindakaan penodaan dan penistaan terhadap agama Islam. Republika sendiri, melalui wawancara dengan
118
Ibid.Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
Redaktur Investigasi, Irwan Ariefyanto menyatakan bahwa peristiwa insiden Monas
terjadi
karena
adanya
pancingan
dari
pihak-pihak
yang
mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM). Republika secara tegas menuntut pembubaran Ahmadiyah : “kami termasuk koran yang mendesak pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah.”119 Berdasarkan dari analisa yang peneliti lakukan terhadap berita insiden Monas di Koran Tempo dan Republika. Dengan merujuk pada struktur kedua framing model Robert N. Entman, peneliti menegaskan bahwa Koran Tempo berulang kali memberikan tekanan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan FPI sebagai sumber masalah utama. Koran Tempo lebih melihat akibat yang ditimbulkan dari insiden Monas tersebut. Sedangkan Republika berulang kali memberikan tekanan bahwa ketidaktegasan pemerintah, kebebasan yang menggebu-gebu dan lambannya penerbitan SKB dianggap sebagai sumber masalah. Dalam hal ini Republika lebih melihat kepada pangkal permasalahan sampai terjadinya insiden Monas. Hal tersebut dapat terlihat dari pemilihan narasumber. Koran Tempo dan Republika, dalam satu edisi tertentu mengambil narasumber yang sama terhadap persoalan insiden Monas, tetapi dengan kutipan pernyataan yang berbeda. Seperti contohnya kutipan pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Agung Laksono : (Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”) “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono juga mengutuk keras FPI dan menuding aksi itu sebagai tindakan tidak bermoral. “Itu tidak bisa ditoleransi,” katanya.”120
119 120
Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Jakarta, 23 April 2009. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, alinea 12
(Republika : Rabu, 4 Juni 2008. “Akar Masalahnya Ahmadiyah”) “Para pelaku kerusuhan Monas harus dihukum, tapi masyarakat jangan melupakan akar masalah, yakni Ahmadiyah yang hingga kini belum dibubarkan. “Ini penyebab utamanya menyangkut Ahmadiyah. Harus segera diselesaikan Ahmadiyahnya, sementara pelaku kriminal diproses secara hukum,” kata Agung, Selasa (3/6).”121 Dari pemuatan tulisan tersebut, jelas terlihat sudut pandang yang digunakan oleh Koran Tempo dan Republika. Koran Tempo mengutip pernyataan Agung Laksono yang menyatakan mengutuk keras aksi FPI dan menilai aksi tersebut sebagai tindakan tidak bermoral. Sedangkan Republika mengambil pernyataan Agung Laksono bahwa penyebab utama dari insiden Monas adalah persoalan Ahmadiyah dan meminta pelaku kriminal diproses secara hukum. Dari apa yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, terlihat jelas bahwa Koran Tempo lebih menekankan isu pada aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI, sedangkan Republika lebih menekankan pada persoalan Ahmadiyah tetapi, tidak juga memberikan dukungan kepada pelaku aksi kekerasan. Tabel 21 Moral Evaluation / Make Moral Judgement Koran Tempo dan Republika No
Koran Tempo No a. Kekerasan FPI menodai Pancasila
1.
sebagai
dasar
negara b. FPI menentang kebebasan beragama
yang
Republika
1.
Pemerintah terlalu berhati-hati
sudah
dijamin konstitusi 2.
a. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
121
2.
Keyakinan Ahmadiyah yang tidak mengakui Nabi
“Akar Masalahnya Ahmadiyah”, Republika, 4 Juni 2008, alinea 2
Kemasyarakatan
Muhammad sebagai nabi
b. Indonesia bukan negara
terakhir, merupakan penodaan
kekerasan
terhadap agama Islam Masalah Ahmadiyah bukan soal
3.
Korban tidak berdaya, laskar FPI menyerang tidak pandang bulu
3.
kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi penodaan agama Islam
UU Nomor 8 Tahun 1985 4.
tentang Organisasi
4.
Kemasyarakatan Pembubaran FPI dilakukan jika 5.
terbukti membahayakan
5.
kepentingan umum
GP Ansor & FPI sama-sama penganut Islam
Pro-kontra Ahmadiyah rekayasa politik pemerintah Pasal 2 UU PNPS No. 1/1965
6.
Pengembalian nama baik dengan menggunakan delik pers
6.
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
7.
Banyaknya massa hanya dijaga oleh satu kompi personel
Koran Tempo pada struktur ketiga framing Robert N. Entman memberikan argumentasi yang dapat terlihat dari kutipan beberapa narasumber seperti yang sudah peneliti jabarkan pada sub bab bagian pertama. Menjelaskan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah mengancam kebebasan beragama di Indonesia, apalagi kebebasan beragama itu sudah diatur dalam konstitusi. Tindakan kekerasan yang dilakukan FPI pada saat peringatan Hari Lahir Pancasila, bagi Koran Tempo merupakan tindakan penodaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara yang menjunjung kebebasan beragama. Indonesia bukanlah negara kekerasan, hingga Koran Tempo benar-benar mengecam dan
mengutuk tindakan kekerasan FPI terhadap AKKBB. Beberapa pasal yang menyatakan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan antara lain: “Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu.” 122 “Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat pada UUD 1945 dan UU tersebut, menjadikan acuan bagi Koran Tempo bahwa sesungguhnya kebebasan beragama itu sudah dijamin dalam konstitusi dan menyatakan bahwa Ahmadiyah sebagai warga negara juga memiliki hak yang sama terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Koran Tempo melalui bahasan utama mengenai penyebab terjadinya insiden Monas, memberikan keputusan moral bahwa aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI merupakan bukti nyata ancaman terhadap kebebasan
122
“Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP”. Artikel diakses pada 21 Juni 2009, 00:562 dari www.ditpertais.net/annualconference/.../Makalah%20Rumadi.doc
beragama dan berkeyakinan bagi warga negara Indonesia. Koran Tempo sendiri menilai tindak kekerasan yang dilakukan oleh FPI merupakan pelanggaran terhadap kebebasan umat beragama di Indonesia sebagaimana telah di atur dalam konstitusi. Ahmadiyah bagi Koran Tempo merupakan umat beragama yang harus dilindungi haknya. “Kita hidup di negara Indonesia dengan dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen. Tetapi, tetap saja mengenai kebebasan beragama ada di dalam UUD 1945, bahkan diperkuat dengan adanya beberapa pasal di dalamnya, untuk menjamin kebebasan orang menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Hal tersebut harus kita hargai dan itu yang menjadi titik poin Koran Tempo. Jadi, dalam hal ini Tempo hanya menjalankan apa yang sebenarnya menjadi dasar negara juga menjamin hal yang sama. Kita sebagai warga negara menjalankan hal itu, menjalankan komitmen bersama untuk kita menghargai kebebasan beragama, kemudian juga menjalankan keyakinan masing-masing dan itu hak paling mendasar sekali.”123 Sebenarnya pada edisi Senin, 2 Juni 2008, Koran Tempo menuliskan bahwa yang bertanggung jawab terhadap aksi kekerasan di Monas adalah Laskar Pembela Islam (LPI), namun pada pemberitaan selanjutnya justru Koran Tempo lebih menyudutkan FPI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya insiden Monas, FPI sebagai pihak yang melakukan tindakan kekerasan secara brutal, keji dan tidak pandang bulu. Dalam hal ini, AKKBB dinilai sebagai korban dari tindak kekerasan FPI, dengan banyaknya jumlah anggota AKKBB yang terluka. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI sendiri berdampak pada tuntutan pembubaran oganisasi masyarakat tersebut di berbagai daerah. Koran Tempo menilai UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan bisa dijadikan dasar untuk membubarkan FPI.
123
Ibid. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
Dalam perkembangannya, UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menurut pakar hukum harus direvisi terlebih dahulu jika ingin membubarkan ormas FPI. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, mengatakan FPI tidak bisa dibubarkan karena bukan organisasi yang berbadan hukum. Seperti dituliskan pada Koran Tempo edisi Selasa, 3 Juni 2008, “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”, disebutkan bahwa FPI bukan organisasi kemasyarakatan yang berbentuk badan hukum, sehingga upaya untuk membubarkan atau membekukan FPI tidak dapat dilakukan. Yang bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah menangkap para pelaku tindakan anarkis pada insiden Monas. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sendiri pada Bab VII, Pembekuan dan Pembubaran, Pasal 13, menjelaskan bahwa : Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan : a. Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; b. Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah; c. Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara. Republika dalam hal ini memandang bahwa pemerintah terlihat bersikap hati-hati dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah hingga berakibat pada terjadinya insiden Monas. Ahmadiyah merupakan aliran sesat yang telah melakukan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam karena tidak menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi Republika bukan berarti bebas melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama lain, dalam hal ini agama Islam. Republika menggunakan Pasal 2 Undang-Undang PNPS No. 1/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai dasar untuk membubarkan Ahmadiyah. Berdasarkan rekomendasi dari Bakorpakem, pemerintah diminta untuk menjalankan perintah Pasal 2 ayat 1 dan 2 undangundang tersebut sebagai follow up dari Pasal 1 UU PNPS No.1/1965, yaitu berisi : “Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undangundang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka “Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”124 Berdasarkan dari analisa yang peneliti lakukan terhadap berita insiden Monas di Koran Tempo dan Republika. Dengan merujuk pada struktur ketiga framing model Robert N. Entman, peneliti menegaskan bahwa Koran Tempo dalam hal ini melegitimasikan aksi kekerasan FPI sebagai aksi mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sudah diatur dalam konstitusi. Sedangkan Republika dalam hal ini melegitimasikan bahwa keberadaan Ahmadiyah adalah penodaan dan penistaan terhadap agama Islam. 124
“SKB Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 21:24 dari http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/.
Tabel 22 Treatment Recommendation / Suggest Remedis Koran Tempo dan Republika No Koran Tempo 1. Aparat bertindak tegas
No Republika 1. Segera menerbitkan SKB
a. Menangkap para pelaku 2.
2.
kekerasan
SKB mendesak diterbitkan
b. Membubarkan FPI 3.
-
3.
Bersikap tenang dan meredam emosi
a. Pembubaran FPI 4.
b. Menangkap para pelaku aksi kekerasan
4.
Umat diminta bersatu dan segera menerbitan SKB
c. Pemerintah bersikap tegas 5.
Pemerintah bertindak tegas dan memproses ke jalur hukum Koran
6.
menegaskan
Tempo
kembali
kepada
pihak
kepolisian untuk tidak ragu-ragu menindak pelaku kekerasan
7.
5.
Pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif a. Segera menerbitkan SKB dan
6.
bubarkan Ahmadiyah b. Umat Islam bersatu, pemerintah bersikap adil
-
Pada bagian akhir struktur framing model Robert N. Entman, antara Koran Tempo dan Republika memberikan kesimpulan yang berbeda. Hal itu dapat kita lihat dari konstruksi realitas yang disajikan oleh kedua surat kabar tersebut dari awal pemberitaan mengenai kasus ini. Koran Tempo lebih menekankan pada isu kekerasan yang dilakukan oleh FPI, bukan kepada apa yang menyebabkan FPI melakukan aksi kekerasan tersebut seperti yang dilakukan oleh Republika. Tidak mengherankan manakala Koran Tempo memberikan solusi kepada pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku kekerasan pada insiden Monas serta
memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Koran Tempo juga menuntut kepada pemerintah untuk bersikap tegas terhadap penanganan kasus ini dan bersikap tegas terhadap komitmen untuk membubarkan FPI. Berbeda halnya dengan Republika yang memberikan solusi kepada pemerintah agar segera menerbitkan SKB, penerbitan SKB merupakan sesuatu yang amat mendesak untuk dilakukan, karena terkait dengan penegakan hukum mengenai Ahmadiyah. Pemerintah juga diminta untuk bersikap represif, preventif, adil dan tidak diskriminatif. Untuk masyarakat, Republika meminta masyarakat bersatu dan tidak mudah diadu domba oleh isu apapun terkait dengan insiden Monas. Republika menghargai kebebasan beragama setiap individu tetapi, kebebasan beragama tersebut bukan berarti dilakukan dengan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam. Penangkapan terhadap pelaku aksi kekerasan sendiri sudah dilakukan oleh polisi, yaitu pada Rabu, 4 Juni 2008. Polisi melakukan penangkapan besarbesaran di markas FPI, di kawasan Petamburan, Jakarta Barat. Polisi berhasil menangkap 59 orang termasuk Habib Rizieq Shihab. Munarman sendiri, yang sempat dinyatakan buron, akhirnya menyerahkan diri pada Senin, 9 Juni 2008, sekitar pukul delapan malam. Munarman menyerahkan diri setelah pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Senin sore. Isi dari SKB tiga menteri yang ditanda tangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tersebut antara lain125 :
125
“Isi SKB Menteri Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 18:09 dari http://id.wordpress.com/tag/menteri-agama/.
1. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No. 1 PNPS 2005 tentang pencegahan penodaan agama 2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluru penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad saw. 3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundangan 4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI 5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku 6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini 7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008 Menteri Agama Muhammad M Baysuni Jaksa Agung Hendarman Supandji Menteri Dalam Negeri H Mardiyanto Isi dari SKB tiga menteri tersebut tidak serta-merta membubarkan Ahmadiyah, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Justru yang ditekankan pada SKB ini ialah penghentian kegiatan JAI yang menyimpang dari ajaran agama Islam pada umumnya. Dari ketujuh poin isi SKB, hanya dua poin yang ditunjukkan langsung kepada JAI, tiga poin lainnya ditunjukkan kepada warga negara Indonesia, satu poin ditunjukkan kepada aparat pemerintah untuk melakukan pengamanan dan pengawasan serta pelaksanaan isi SKB tersebut. Ini adalah upaya terbaik yang dilakukan oleh pemerintah untuk meredam emosi masyarakat terhadap keberadaan JAI. Juga sebagai upaya untuk meredam aksi
kekerasan yang ditunjukkan kepada JAI, seperti banyak terjadi di berbagai daerah. Pada poin keempat, SKB tersebut mengingatkan kepada warga untuk tidak melakukan perbuatan anarki kepada JAI, jika melanggar mereka akan diberikan sanksi sesuai dengan perundangan. Dalam hal ini, isi atau substansi dari SKB tersebut ditangani langsung oleh Menteri Agama, sedangkan untuk pengamanan dan pengawasan terhadap isi dari SKB tersebut dilakukan oleh Jaksa Agung, dan pengawasan internal pemerintahan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Penerbitan SKB sendiri, dipandang berbeda oleh Koran Tempo dan Republika. Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan pihak Koran Tempo, Gendur Sudarsono, menanggapi dikeluarkannya SKB, ia berkomentar bahwa : “Kita sendiri tidak setuju dengan SKB. SKB adalah Surat Keputusan Bersama, karena berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar. Dalam tata negara, susunan produk perundang-undangan kita ada : UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang, kemudian peraturan pemerintah. Makin ke bawah sebaiknya bukan mengatur hal-hal yang mendasar. Jadi, kalau UUD dan UU sudah mengatur kebebasan kehidupan beragama, kemudian ada SKB tiga menteri yang aturannya bersifat mengatur, justru kontraproduktif menurut kami.”126 Sedangkan Republika sendiri memandang bahwa : “SKB sendiri belum tegas. Permintaan kami sangat jelas, Ahmadiyah harus dibubarkan. Setiap agama memiliki persoalan yang sama mengenai masalah aqidah dan dialog merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, dalam hal ini pemerintah dari awal tidak memiliki ketegasan hingga terjadilah peristiwa di Monas.”127
126 127
Ibid. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009. Ibid. Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Jakarta, 23 April 2009.
Koran Tempo dan Republika dalam keseluruhan beritanya mengambil garis yang berbeda. Koran Tempo mengambil sudut pandang pemberitaannya pada aksi anarkis yang dilakukan oleh FPI, yaitu lebih menekankan pada akibat atau dampak dari aksi kekerasan FPI yang terjadi di Monas. Sedangkan Republika mengambil sudut pandang terhadap persoalan mendasar yang menyebabkan terjadinya insiden Monas atau dalam hal ini Republika lebih menekankan pada akar masalah sampai terjadinya insiden Monas, yaitu persoalan Ahmadiyah. Perbedaan sudut pandang yang diambil oleh Koran Tempo dan Republika, atau dalam hal ini perbedaan ideologi yang digunakan, dapat terlihat dari visi misi kedua surat kabar nasional tersebut. Berdirinya suatu media selain sejarah dan latar belakang pendiriannya, juga memiliki dasar-dasar yang dijadikan acuan dalam pendiriannya. Yang pada akhirnya juga menjadi acuan bagi para wartawan yang bekerja di media tersebut dalam melakukan proses konstruksi realitas. Dalam hal ini, segmentasi pembaca pun menjadi sangat penting. Koran Tempo sebagai bagian dari Tempo Inti Media, sebagai media yang memiliki visi, yaitu kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat. Dalam memandang penyebab terjadinya insiden Monas, menjadi hal yang wajar ketika Koran Tempo menanggapi kekerasan yang dilakukan oleh FPI terhadap Ahmadiyah sebagai ancaman kebebasan beragama sebagaimana telah diatur dalam konstitusi. Bukan soal Ahmadiyah yang menjadi isu utama Koran Tempo menyajikan berita terkait insiden Monas. Tetapi, akibat dari insiden Monas itulah yang oleh Koran tempo dijadikan isu
utama. Sehingga terlihat ada kesan, Koran Tempo memiliki keberpihakan kepada AKKBB sebagai korban dari peristiwa tersebut. Di sisi lain, Koran Tempo terlihat sangat menyudutkan FPI dalam peristiwa tersebut. Selintas membaca berita-berita terkait insiden Monas, peneliti melihat Koran Tempo lebih banyak mengutip pernyataan anggota AKKBB dalam pemberitaannya, dari tujuh berita yang dianalisis oleh peneliti hampir keseluruhan terdapat kutipan pernyataan dari AKKBB. Koran Tempo mengkaitkan antara kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan keberadaan Ahmadiyah kepada konstitusi. Republika memandang persoalan Ahmadiyah sebagai pemicu terjadinya insiden Monas, menurut peneliti adalah suatu pandangan yang wajar. Mengingat Republika sebagai surat kabar berhaluan Islam dengan segmentasi pembaca utamanya ialah komunitas muslim. Tetapi, dalam hal ini Republika tidak juga memberikan dukungan atau keberpihakan kepada Front Pembela Islam (FPI) sebagai ormas Islam, sebaliknya Republika justru meminta kepada pemerintah untuk menindak para pelaku kekerasan di Monas secara hukum. Bagi Republika, persoalan Ahmadiyah sesuatu yang sangat penting dan seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Dan kekerasan yang terjadi di Monas, merupakan akibat dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. Berita yang disajikan oleh media dan hadir di masyarakat bukanlah berita yang apa adanya. Artinya, bukanlah berita yang hanya menampilkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta itu tetap ada, tetapi dibalik itu semua ada suatu proses pada media yang lebih dikenal dengan proses konstruksi (pertukaran makna) yang melibatkan antara wartawan, idelogi media dan fakta dari suatu
peristiwa. Melalui proses konstruksi itu lah yang menjadikan sebuah berita bersifat subjektif bukan objektif, seperti yang seharusnya dilakukan oleh sebuah media dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Sebelum dikeluarkannya SKB, catatan perjalanan tentang upaya menentang ajaran Ahmadiyah, yaitu dengan ditetapkannya konsep 12 Butir Penjelasan
Ahmadiyah
yang
digodok
oleh
Departemen
Agama
dan
Bakorpapem. Butir-butir penjelasan itu, substansinya antara lain adanya instrumen pengawasan selama tiga bulan. Selanjutnya, apabila tidak sesuai dengan kesepakatan itu, akan dilakukan langkah-langkah tegas. FUI menyatakan bahwa pernyataan 12 butir yang dibacakan Abdul Basith tertanggal 14 Januari 2008 adalah rumusan kompromi untuk meredam kemarahan umat Islam. Juga menyelamatkan muka pemerintah dari rakyat yang menuntut dibubarkan Ahmadiyah oleh pemerintah sesuai dengan bunyi fatwa tahun 1980 dan fatwa MUI tahun 2005. Fatwa tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. Pelaksanaan 12 penjelasan ternyata tidak dijalankan dengan konsisten oleh Ahmadiyah. Mereka tetap menjalankan ajaran yang selama ini dianggap sesat oleh kalangan umat Islam. Menyangkut ketidakkonsistenan ini, dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI), dipertegas kembali bahwa ajaran Ahmadiyah menyesatkan serta berada di luar Islam. Fatwa tersebut didasarkan dalam surah Al-Ahzab 40 yang dengan tegas mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan rasulullah dan nabi terakhir. MUI berpedoman pada keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi
Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 dalam Muktamar II di Jeddah Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 tentang aliran Qadiyaniyah yang menyatakan Aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad saw dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir.128 Dalam pandangan peneliti, keberadaan Ahmadiyah jelas menyimpang secara akidah dan syariat. Apa yang sudah ditetapkan dalam al-Quran tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Seorang muslim ialah yang mempercayai dan meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah
(La
Ilaha
illallah
Muhammadur
Rasulullah).
Pada
perkembangannya, upaya dan tindakan tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah sangat perlu dilakukan oleh pemerintah. Jangan sampai aksi kekerasan yang pernah terjadi, seperti pembakaran masjid Ahmadiyah, kekerasan fisik kepada anggota Ahmadiyah terjadi kembali. Kekerasan secara brutal kepada anggota Ahmadiyah jelas bertentangan dengan konstitusi yang mana dalam konstitusi tersebut, sebagai warga negara setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif, hak untuk tidak disiksa, hak untuk hidup, dll. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah yang diterbitkan oleh pemerintah memang telat diterbitkan. Tetapi, setidaknya ada upaya nyata yang telah dilakukan oleh pemerintah. Dan penerbitan tersebut setidaknya bisa meredam emosi massa terhadap keberadaan JAI, walaupun tidak semua pihak setuju dengan diterbitkannya SKB.
128
Ibid. Achmad Setiyaji, Tragedi Monas Berdarah. h. 102-104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Sasaran akhir sebuah penelitian adalah menjawab pertanyaan dari perumusan masalah. Berdasarkan hasil dari penelitian terhadap bahasan utama / headline Koran Tempo dan Republika terkait penyebab terjadinya insiden Monas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Perbedaan penekanan isu yang dilakukan oleh Koran Tempo dan Republika di dalam berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas ini, disebabkan karena ideologi yang terlihat pada visi misi serta segmentasi pembaca kedua institusi media tersebut yang berbeda. Peristiwa bisa saja sama, waktu peliputannya sama, narasumbernya sama, tetapi karena perbedaan ideologi yang mereka miliki pada akhirnya menjadikan sebuah berita itu berbeda dari segi sudut pandang yang disajikan. Kedua media tersebut mengkonstruksikan realitas yang terjadi sesuai dengan nilai-nilai ideologinya. Koran Tempo dalam hal ini lebih melihat pada akibat dari terjadinya insiden Monas. Dalam setiap pemberitaannya, Koran Tempo memberikan penekanan isu terhadap aksi kekerasan FPI terhadap AKKBB. Hal tersebut dapat terlihat dari pemilihan narasumber berita yang keseluruhan mengatakan mengecam aksi kekerasan FPI. Sedangkan Republika dalam hal ini lebih melihat pada akar permasalahan terjadinya insiden Monas, yaitu persoalan Ahmadiyah. Dalam setiap pemberitaannya, Republika lebih memberikan penekanan isu terhadap persoalan Ahmadiyah
yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah. Sama seperti Koran Tempo, hal tersebut dapat peneliti lihat dari pemilihan narasumber berita yang keseluruhan mengatakan bahwa Ahmadiyah sebagai akar masalah penyebab terjadinya insiden Monas. 2. Dari segi struktur framing Robert N. Entman (define problems, diagnose causes, make moral judgement, treatment recommendation) terdapat perbedaan antara Koran Tempo dan Republika. a. Koran
Tempo
mendefinisikan
masalah
pada
masalah
hukum
pembubaran FPI. Pendefinisian itu terkait dengan aksi kekerasan yang dilakukan FPI kepada AKKBB sebagai sumber masalah utama terjadinya insiden Monas. Koran Tempo melegitimasikan bahwa kekerasan FPI adalah ancaman kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang telah di atur dalam konstitusi. Hingga pada bagian solusi, Koran Tempo memberikan solusi agar segera menangkap pelaku kekerasan di Monas serta memproses mereka ke meja hijau. b. Republika mendefinisikan masalah penyebab insiden Monas ke dalam penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah. Pendefinisian masalah itu terkait persoalan Ahmadiyah, di mana Republika menilai kelambanan pemerintah menangani persoalan Ahmadiyah dinilai sebagai penyebab utama terjadinya insiden Monas. Republika melegitimasikan bahwa keberadaan Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Republika menilai Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, karena telah melakukan penistaan dan penodaan, yaitu dengan tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Hingga pada
bagian akhir, Republika memberikan solusi kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penghentian kegiatan Ahmadiyah dan jika perlu membubarkan Ahmadiyah.
B. Saran 1. Peneliti menyadari adanya bias dalam mengkonstruksikan berita di media massa. Berita tidak terbentuk begitu saja, berita merupakan hasil konstruksi antara institusi media dan wartawan. Media dan wartawan hendaknya memiliki pegangan bagi apa yang disampaikan kepada khalayak. Antara lain bersikap akurat, tidak arogan, kecepatan dan jujur terhadap kebenaran. Akurat berarti, seorang wartawan atau sebuah institusi media haruslah mendapatkan informasi yang pasti dan tidak bisa dibantah. Harus disadari bahwa mengira dan menduga akan berakibat pada tuntutan hukum serta hilangnya kredibilitas dan prestige (nama baik / kehormatan) suatu media. Alangkah lebih baik ketika media dan wartawan berhati-hati dalam menyampaikan berita, karena bias yang ditampilkan media massa dalam mengkonstruksi realitas bisa saja berakibat pada konflik. Kecepatan dan persaingan bukanlah hal yang baru bagi sebuah media maupun wartawan. Seorang wartawan harus mampu menghasilkan tulisan yang dapat dipercaya dalam keadaan tekanan waktu, harus pandai dan tenang dalam menghadapi berbagai tekanan, wartawan harus menghasilkan berita dengan kecepatan kilat yang isinya seakan-akan tidak dibuat dengan terburu-buru. Jujur
terhadap kebenaran ialah jujur dalam mengumpulkan dan menyajikan fakta dan informasi, tidak bohong dan tidak menjiplak. 2. Kepada khalayak pembaca atau pun penikmat berita, hendaknya menerima informasi tidak hanya dari satu sumber berita saja. Tidak hanya membaca satu surat kabar saja, tidak hanya menonton atau mendengarkan berita dari satu program berita saja, tetapi mencari lebih banyak lagi sumber informasi dari surat kabar lain serta program-program berita yang ada di televisi atau radio.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
Ardianto, Elvinaro. dkk. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2005. Birowo, M. Antonius, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Gitanyali, 2004. Burhan, Bungin. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006. Burton, Graeme. Yang Tersembunyi di Balik Media. Yogyakarta : Jalasutra, 2008. Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Eriyanto. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta : LKiS, 2002. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta : Granit, 2004. HM, Zainuddin. The Journalist Buku Basic Wartawan, Bacaan Wajib Para Wartawan, Editor dan Mahasiswa Jurnalistik. Jakarta : Prestasi Pustakarya, 2007. Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi.. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006. Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. Jurnalistik Teori & Praktik. Bandung : Rosda Karya, 2005. McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga, 1987. Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta : Ceqda, 2007.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Rosda Karya, 2004. Sareba Putra, Masri. Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memproduksi. Graha Ilmu, 2007. Setiyaji, Achmad. Tragedi Monas Berdarah. Bandung : Semesta Ide, 2008. Sobur, Alex. Analisis Teks Media : “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung : Rosda Karya, 2004. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKiS, 2001. Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat : Kalam Indonesia, 2005. Wibowo, Indiwan Seto Wahju. Dasar-Dasar Jurnalistik Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara. Jakarta : LPJA Press, 2006. Media Online : “Agenda setting theory.” Artikel diakses pada 9 http://en.wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting theory
Mei
2009
dari
“Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP”. Artikel diakses pada 21 Juni 2009, 00:562 dari www.ditpertais.net/annualconference/.../Makalah%20Rumadi.doc Haryanto, Ignatius. “Enak dibaca Tetapi Harus dari Atas”. Artikel diakses pada 8 Desember 2008, 22:43 dari http://www.kompas.com/kompascetak/0509/17/pustaka/2053888.htm “Isi SKB Menteri Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 18:09 dari http://id.wordpress.com/tag/menteri-agama/. “Politisasi Bahasa.” Artikel diakses pada 15 Februari 2009, 21:12 dari http://blogaryandi.wordpress.com/2007/12/22/politisasi-bahasa-sebagaiinstrument-politik-media/ Sejarah Koran Tempo. Artikel diakses pada 1 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo Sejarah Republika. Artikel dari http://republika.co.id
“SKB Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 21:24 dari http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/ http://digilib.petra.ac.id/viewer, diakses pada 24 Juni 2009 Artikel Koran
:
“Bubarkan FPI.” Koran Tempo, 2 Juni 2008. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI.” Koran Tempo, 3 Juni 2008. “Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif.” Koran Tempo, 3 Juni 2008. “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI.” Koran Tempo, 3 Juni 2008. “Polisi Ultimatum FPI.” Koran Tempo, 4 Juni 2008. “Koran Tempo Akan Diserbu.” Koran Tempo, 4 Juni 2008. “Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah.” Koran Tempo, 4 Juni 2008. “Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”, Koran Tempo, 7 Juni 2008. “Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban.” Republika, 2 Juni 2008. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi.” Republika, 3 Juni 2008. “Akar Masalahnya Ahmadiyah.” Republika, 3 Juni 2008. “Umat Islam Diminta Bersatu.” Republika, 5 Juni 2008. “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi.” Republika, 6 Juni 2008. “Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil.” Republika, 7 juni 2008.
Lain-Lain : Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika).” Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Company Profile Republika. Company Profile Tempo Inti Media
Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto. Jakarta, 23 April 2009. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono. Jakarta, 2 Juni 2009.