KONSTRUKSI RAGI MUTAN sup45-Y410A UNTUK MEMPELAJARI MEKANISME INTERAKSI PROTEIN eRF1-eRF3 Subandi1), Muntholib 2), dan Prima Endang Susilowati 3) 1, 2, 3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kompleks protein eRF1-eRF3, yang masing-masing dikode oleh gen SUP45 dan SUP35, berperan penting dalam proses terminasi translasi organisme eukariot, termasuk ragi S. cerevisiae. Akan tetapi mekanisme interaksi antar kedua protein, termasuk posisi interaksi rinci antar keduanya masih belum jelas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa residu tirosin posisi ke-410 protein eRF1 ragi, terlibat pada interaksinya dengan protein eRF3, dan mutasi tirosin menjadi serin pada posisi itu, mengurangi kemampuan interaksi eRF1 terhadap eRF3. Untuk melihat lebih rinci peran residu protein posisi ke-410 eRF1, perlu dibuat mutan lain pada posisi tersebut dari tirosin menjadi alanin (Y410A). Tujuan penelitian ini adalah mengkonstruksi ragi mutan sup45-Y410A (tahun pertama), kemudian mengkarakterisasi sifat-sifatnya, untuk mengetahui kinerja protein mutan eRF1-Y410A pada proses terminasi translasi di ragi (tahun kedua). Untuk tahun pertama, penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu:1) kloning gen mutan sup45-Y410A ke dalam vektor ekspresi, 2) subkloning sup45-Y410A ke dalam vektor ulang alik (shuttle vector), 3) transformasi dan shuffling vektor ulang-alik yang membawa gen mutan ke dalam ragi, dan uji genotipe serta fenotipe dari ragi mutan yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan genotipe dan fenotipe terhadap ragi mutan hasil konstruksi, konstruksi ragi mutan sup45-Y410A, yang termutasi pada gen sup45 sehingga protein eRF1 yang dikodenya termutasi pada kodon ke-410 dari tirosin menjadi alanin, telah berhasil dilakukan. Uji genotipe dan fenotipe juga menunjukkan bahwa ragi mutan ini berbeda dari ragi wild type asalnya. Keyword: mutan sup45, kompleks eRF10eRF3, terminasi translasi
PENDAHULUAN Dalam organisme eukariot, termasuk ragi Saccharomyces cerevisiae, protein eRF1 berperan pada tahap akhir biosintesis protein, yaitu sebagai salah satu faktor terminasi translasi yang dominan (Mugnier and Tuite, 2001). Disamping itu ada indikasi bahwa protein ini juga terlibat dalam rantai pernafasan melalui interaksinya dengan enzim-enzim pengurai molekul berenergi tinggi, seperti ATPase dan Fosfatase (Shumov, et. al., 2000). Bahkan kehilangan atau kekurangan protein eRF1 pada sel leukosit dapat menyebabkan terjadinya kanker leukemia (Doubourg et al., 2002). Meskipun demikian mekanisme rinci dari peran eRF1 di atas masih belum diketahui. Sebagai faktor terminasi translasi sel eukariot, protein eRF1 baru aktif setelah berinteraksi dengan protein eRF3 membentuk kompleks yang fungsional. Namun dengan SEMNAS MIPA 2010
mekanisme yang bagaimana kedua protein saling mengaktifkan, masih belum jelas. Mekanisme interaksi/pengaktifan tersebut baru bisa dideduksi bila gugus fungsi dan residu yang terlibat pada interaksi di atas diketahui. Penelitian ini berusaha melacak gugus fungsi pada eRF1 yang berperan dalam interaksinya dengan eRF3. Hasil beberapa studi interaksi eRF1eRF3 telah membuktikan bahwa interaksi tersebut terjadi antar ujung C kedua protein (Merkulova et. al, 1999, Frolova et al., 2000, Mugnier and Tuite, 2000 dan Subandi, 2002). Lebih jauh lagi studi terhadap mutanmutan delesi eRF1 manusia (homolog 68% dengan eRF1 ragi, Heumman et al., 1997) telah membuktikan bahwa residu-residu lestari pada motif GILRY (posisi ke-411415), merupakan salah satu diantara dua motif yang bertanggung jawab terhadap interaksinya dengan eRF3 (Merkulova et al., KIM - 1
1999). Sementara itu pada eRF1 ragi, motif yang analog dengan motif GILRY di atas adalah motif AMLRY (residu ke 406-410) sehingga diduga sebagian atau seluruh residu pada motif AMLRY diatas berperan langsung pada interaksi dengan eRF3. Akan tetapi atas dasar struktur rantai sampingnya residu A (alanin), M (metionin) dan L (leusin) mengindikasikan reaktivitas kimia yang rendah, sehingga diduga kurang sesuai sebagai titik interaksi. Sementara di antara dua residu sisanya yang lestari dan cukup reaktif, yaitu R (arginin) dan Y (tirosin), struktur residu tirosin (Y) mengindikasikan reaktivitas kimia yang lebih tinggi dan lebih sering ditemukan sebagai sisi aktif enzim (Miyazaki and Oshima, 1993) dibanding residu arginin. Oleh sebab itu residu tirosin (Y410) pada motif AMLRY eRF1 ragi diduga merupakan titik interaksi eRF1 terhadap eRF3. Mutasi Tirosin (Y) menjadi Serin (S) pada posisi residu ke-410 protein eRF1 menyebabkan berkurangnya kinerja faktor terminasi translasi (komplek eRF1-eRF3) secara in vivo dan kemampuan interaksi eRF1 terhadap eRF3 berkurang 78% dari semula. Jadi residu tirosin pada posisi ke410 (Y410) eRF1 terlibat dalam interaksinya dengan eRF3. Seperti diketahui perubahan residu tirosin ( -C6H4-OH) menjadi serin (OH) merupakan eliminasi gugus –C6H4, padahal, pada interaksinya dengan eRF3, diduga gugus –OH tirosin eRF1 itulah yang berperan. Untuk membuktikan dugaan itu, tim peneliti ini juga sudah berhasil membuat protein mutan eRF1-Y410A, dimana residu tirosin pada posisi ke-410 eRF1 telah diubah menjadi Alanin, berarti gugus –C6H4OH telah diubah menjadi gugus -H (Subandi et al, 2006). Dengan membandingkan kinerja protein mutan eRF1-Y410A terhadap protein eRF1 wild type, akan dapat dideduksi peran gugus –OH dalam C6H4OH tirosin. Untuk itu perlu dilakukan uji interaksi antara protein mutan tersebut dengan eRF3, baik interaksi secara in vitro (tanpa pengaruh komponen-komponen lain di dalam sel) maupun secara in vivo (sesuai dengan kondisi sesungguhnya di dalam sel) Penelitian tentang uji interaksi secara in vitro tersebut, saat ini sedang berlangsung. Sementara uji interaksi secara in vivo akan dilakukan melalui proposal penelitian ini SEMNAS MIPA 2010
dengan judul: KONSTRUKSI RAGI MUTAN sup45-Y410A UNTUK MEMPELAJARI MEKANISME INTERAKSI PROTEIN eRF1-eRF3. Di samping akan memperoleh ragi mutan sup45-Y410A, penelitian ini diharapkan juga memperoleh data perubahan kinerja eRF1 akibat mutasi tirosin menjadi alanin pada posisi eRF1. Data tersebut berupa tingkat gangguan supresi eRF1 terhadap kodon UAA, UAG dan UGA akibat hilangnya gugus OH tirosin 410 eRF1. METODE
Desain Penelitian Rancangan Penelitian Penelitian ini juga telah didisain menjadi dua tahap, yaitu tahap konstruksi ragi mutan dan tahap uji biokimiawi melalui uji allosupresi ragi mutan, masing-masing dengan diagram alir seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2. Sedangkan prosedur rinci pada masing-masing tahapan diuraikan satu persatu pada penjelasan berikutnya. Seperti dapat dilihat pada Gambar 1 konstruksi ragi mutan dimulai dengan konstruksi plasmid pUKC1901 yang berisi mutan sup45-Y410A dari plasmid pUKC630 yang telah diperoleh dari penelitian sebelumnya (Subandi et al., 2006a). Konstruksi tersebut dilakukan dengan penyiapan insert (gen mutan sup45-Y410A) dan vektor dari pUKC1901 non mutan, melalui pemotongan menggunakan enzim Aoc I dan Bam HI, kemudian ligasi dengan Ligation Kit yang dilanjutkan dengan transformasi dan perbanyakan di E.coli. Selanjutnya pUKC1901 mutan yang diperoleh digunakan untuk mentransformasi ragi inang khusus (Tabel 1). Untuk menghilangkan gen sup45 wild type, ragi transforman ditumbuhkan pada media khusus yaitu media selektif yang mengandung 5FOA (Fluoro Orotic Acid), sehingga gen sup45 yang ada pada ragi hanyalah gen mutan sup45-Y410A dalam pUKC1901 mutan. Oleh sebab itu ragi tersebut adalah ragi mutan sup45-Y410A. Pada Gambar 2, penelitian ini dilanjutkan dengan mengkonfirmasi kebenaran genotipe ragi mutan melalui uji genotipe, yang seharusnya sesuai dengan Genotipe LE2[1901: SUP45- Y410A] yang antara lain mampu tumbuh di media KIM - 2
minimal tanpa leusin, sementara ragi inang tidak tumbuh. Selanjutnya ragi mutan yang telah dikonfirmasi kebenarannya diuji sifat allosupresinya. Uji allosupresi secara kualitatif dilakukan dengan menumbuhkan ragi mutan pada media Y8 dan media minimal tanpa Adenin (SM-Ade). Makin putih warna koloni di Y8 dan makin banyak tumbuhnya di SM-Ade, berarti makin tinggi sifat allosupresinya. Hal ini menunjukkan makin parah kerusakan eRF1, atau makin tidak sempurna interaksinya dengan eRF3. Di samping itu juga akan dilakukan pengukuran sifat allusupresi secara kuantitatif dengan uji beta galaktosidase. Melalui uji ini, disamping dapat diketahui tingkat allosupresi secara lebih akurat, juga dapat diketahui terhadap kodon terminasi yang mana (TAA, TAG atau TGA) eRF1 mutan tersebut terganggu kinerjanya. Ragi mutan ditransformasi dengan empat macam plasmid yaitu pUKC815 (tanpa kodon
terminasi: sebagai kontrol), pUKC816 (dengan kodon terminasi TAA), pUKC817 (dengan kodon terminasi TAG), dan pUKC818 (dengan kodon terminasi TGA). Tingkat allosupresi (kerusakan eRF1) dapat diketahui dengan pengukuran aktivitas enzim beta galaktosidase yang diekspresikan masing-masing transforman. Makin banyak enzim beta galaktosidase yang terekpresi, berarti kerusakan eRF1 makin parah terhadap kodon yang bersangkutan, karena makin lemahnya interaksi dengan eRF3. Untuk memperjelas rencana penelitian yang akan dilakukan, juga dicantumkan jenis mikroba dan DNA yang akan digunakan, seperti tercantum pada Tabel 1 dan Tabel 2. Mikroba dan DNA di atas diperoleh dari Lab. Genetika Molekul, Departemen Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB).
Tabel 1. Daftar mikroba yang digunakan beserta genotipe dan fungsinya. Ampr = gen beta-laktamase; No.
Nama
Genotipe Sel inang
1
5 8
9
10
11
E-coli DH5 Ragi LE2[803] Haploid Ragi mutan LE2[1901: sup45T388A] Haploid Ragi mutan LE2[1901: SUP45Y410S] Haploid Ragi mutan sup45-23 haploid Ragi mutan Sal4-22 haploid
SEMNAS MIPA 2010
supE44 lacU169 (Q80lacZ M1) hsdR17 recA1 endA1 gyrA96 thi-1 rei A1 SUQ5, ade2-1, his3-11,15, ura3-1, leu2-1, can1-100, [psi-], SUP45::HIS3 Seperti LE2[803]
Seperti LE2[803]
Mat, SUQ5, ade2-1, his52, lys1-1, can1-100, PNM1, ura3-1, [psi-], sup45-M48I Seperti SUP45-23, tetapi mutasinya: sup45Q46Ochre
Digunakan untuk plasmid Memperoleh dan memperbanyak hasil ligasi [URA 3-1, SUP45+] [LEU2-1, SUP45T388A+] [LEU2-1, SUP45-Y410S+]
Sel inang ragi non mutan
Ragi-ragi mutan pada gen sup45, sebagai pembanding sifat allosupressi ragi mutan sup45Y410A yang akan dikonstruksi pada penelitian ini
KIM - 3
Tabel 2. Daftar DNA plasmid yang digunakan No
Plasmid
Spesifisitas
1
2
Vektor pembawa gen SUP45
pUKC803 pUKC630 mutan sup45-Y410A
Vektor ekspresi di E-coli, membawa gen mutan SUP45-Y410A
3
pUKC1901
7
pUKC815
8
pUKC817
9
pUKC818
10
pUKC819
‘shutle vektor’ (ragi-E. coli), membawa gen SUP45 tanpa kodon terminasi Di antara Dengan kodon promotor dan terminasi TAA Dengan kodon ORF gen Gal terminasi TAG Dengan kodon terminasi TGA
Digunakan untuk Menggantikan gen sup45 (yang telah dirusak) di kromosom ragi inang Sumber gen mutan sup45Y410A mengkonstruksi ragi mutan sup45-Y410A
Untuk kuantisasi tingkat allosuppressi / omnipoten suppressi
Aoc I Bam H I
pUKC630 `mutan`
pUKC1901
HIS LEU
+
pUKC1901 `mutan`
Transformasi
pUKC 803
+
URA
Ragi inang
HIS
Diseleksi di Media 5 FOA
pUKC 803
HIS
Ragi mutan Gambar 3.1 Skema Disain Metode Penelitian Tahun Ke-1 (Konstruksi Ragi mutan sup45-Y410A)
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 4
(a)
UJI GENOTIPE RAGI MUTAN
UJI ALLOSUPRESI (Uji Kinerja kompleks protein eRF1-eRF3 secara in vivo)
UJI KUALITATIF di Media Y8
UJI KUANTITATIF (Uji -Galaktosidase)
(b) -GAT CTA GCT TTG GAT-GAT CTA TAA GCT TTG GAT-GAT CTA TAG GCT TTA AAG GAT-GAT CTA TGA GCT TTA AAG GAT-
(pUKC 815) (pUKC 817) (pUKC 818) (pUKC 819)
Gen -Gal
Uji -Gal
Transformasi
Ragi mutan
Transforman
Gambar 2: Skema Disain Penelitian Tahun Ke-2 (a) dan (b) Uji -Galaktosidase (U Uji Biokimia protein mutan eRF1-Y410A di sel Ragi)
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 5
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Bab ini ditampilkan dan dibahas hasil-hasil penelitian berupa 1) hasil mutasi terarah pada gen SUP45, sehingga diperoleh gen mutan sup45-Y410A, 2) kloning gen mutan sup45-Y410S kedalam vektor ekspresi, 3) subkloning sup45-Y410A kedalam vektor ulang-alik (shutle vector), 4) transformasi dan shuffling vektor ulang-alik yang membawa gen mutan ke dalam ragi. Ukuran teoritis hasil amplifikasi megaprimer dan fragmen gen sup45-Y410A.
Megaprimer PRSUP45-PY410A berukuran 0,5 kb. Amplifikasi menggunakan megaprimer dan PFSUP45, dihasilkan fragmen berukuran 1,8 kb.
A. Hasil mutasi terarah pada gen SUP45, sehingga diperoleh gen mutan sup45;Y410A
B. Kloning gen mutan sup45-Y410S ke dalam vektor ekspresi 1) Konstruksi vektor ekspresi pEPES-Y410A
Gambar 3. Konstruksi Vektor Ekspresi EPES-Y410A 2) Transforman pEPES-Y410A cut enzim restriksi SEMNAS MIPA 2010
KIM - 6
Gambar 4. Transforman pEPES-Y410A Cut Enzim Restriksi Keterangan: 1 2 3 4 5 6 7 8
Y410A uncut Y410A (2)/ HindIII Y410A (3)/ HindIII Y410A (2)/ BglII Y410A (3)/ BglII /HindIII pUKC630 wt/ BglII pUKC630 wt/ HindIII
C. Subkloning sup45-Y410A kedalam vektor ulang-alik (shutle vector) 1) Konstruksi Vektor Ulang Alik untuk Ragi dan E. Coli pUKC1901-Y410A (pSPESY410A)
Gambar 5. Konstruksi Vektor Ulang Alik untuk Ragi dan E. Coli pUKC1901-Y410A (pSPES- Y410A) SEMNAS MIPA 2010
KIM - 7
2) Transforman pSPES-Y410A cut enzim restriksi
K : kontrol; M : marker; 1 : mutan Y410A; 2 :mutan T295S Gambar 6. Transforman pSPES-Y410A cut enzim restriksi D.
Transformasi dan shuffling vektor ulang-alik yang membawa gen mutan kedalam ragi
Konstruksi Ragi mutan dilakukan dengan transformasi ragi inang oleh vektor ulang alik yang membawa gen mutan sup45Y410A, kemudian shuffling melalui seleksi di media 5FOA seperti terlihat pada bagan alir Gambar 7. Ragi mutan LE2(Y410A), dikonstruksi dengan mentransformasi sel ragi LE2(803) dengan plasmid pSPES-Y410A,. Ragi galur LE2(803) telah membawa plasmad pUKC803 dengan marker URA3. Gen SUP45 pada kromosom ragi LE2 telah dirusak dengan cara menyisipkan gen SUP45::HIS3, sehingga protein eRF1 yang disintesis menjadi tidak aktif (Akhmaloka, 1991). Untuk mempertahankan agar galur LE2 tetap mensintesis protein eRF1 aktif maka disisipkan plasmid pUKC803 yang membawa gen SUP45 wild type dalam galur LE2. Plasmid pUKC803 merupakan plasmad kopi tunggal, dan membawa urutan centromere (CEN4), yang menjamin plasmid pUKC803 stabil dalam sel ragi. Plasmid pUKC803 selanjutnya diganti (shuffling) dengan plasmid pSPESY410A, pSPES-T295A, dan pSPES-T295S. Gen SUP45 wild type yang ada dalam ragi galur LE2(803) dikeluarkan dengan cara menumbuhkan ragi pada media yang mengandung 5FOA. Pelepasan plasmid SEMNAS MIPA 2010
pUKC803 dari sel ragi didasarkan atas plasmid pUKC803 membawa gen URA3 yang mengkode enzim orotidin 5’-fosfat dekarboksilase yang diperlukan dalam sintesis urasil, tetapi enzim ini juga dapat mengubah 5FOA menjadi 5’-fluorourasil yang bersifat racun bagi ragi dan menyebabkan sel tidak viable (Chabelskaya et al., 2007). Hal ini menyebabkan plasmid pUKC803 tidak diturunkan pada saat regenerasi sel. Dengan demikian ragi transforman hanya membawa plasmid pSPES-Y410A, (Gambar 7 ). Hasil transformasi dan shuffling menghasilkan 76 koloni ragi mutan seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. 76 koloni ragi mutan sup45Y410A hasil transformasi dan shuffling
KIM - 8
Untuk menguji keberadaaan plasmid pSPES-Y410A, setelah dilakukan shuffling, maka dilakukan uji genotip. Uji genotip terhadap transforman ragi dilakukan dengan menumbuhkan koloni ragi pada media SM yang sesuai. Hasil uji genotip ditunjukan pada Gambar 9.
Gambar 9. Hasil uji genotip ragi mutan pada media SM-Leu +FOA Genotipe ragi LE2(Y410A), LE2(T295A), adalah SUQ5, ade2-1, his311,15, ura3-1, leu2-1, can1-100, [psi-], SUP45::HIS3, [LEU2-1, sup45-Y410A], [LEU2-1, sup45-T295A], [LEU2-1, sup45T295S]. Genotipe ragi LE2(803) adalah SUQ5, ade2-1, his3-11,15, ura3-1, leu2-1, can1-100, [psi-], SUP45::HIS3, [URA3-1] Berdasarkan genotipenya, ragi LE2(Y410A), mampu tubuh pada media SM-Leu dan SM-His, tetapi tidak tubuh pada media SM-Ura, sedangkan ragi LE2(803) sebagai inangnya, mampu tubuh pada media SM-Ura dan SM-His, tetapi tidak tumbuh pada media SM-Leu.
E. Sifat-sifat Galur LE2(Y410A) Untuk menganalisis perubahan fenotipik dan sifat allosupresi ragi akibat mutasi pada gen sup45, telah dikonstruksi ragi galur LE2 (Y410A), yaitu ragi LE2 yang membawa gen sup45 termutasi. Konstruksi dilakukan dengan mentransformasi ragi LE2(803) menggunakan plasmid pSPES-Y410A, Selanjutnya gen SUP45 wild type yang terdapat pada strain LE2(803) dikeluarkan (shuffling) dengan reagen kimia 5-flour orotic acid (5FOA). Galur ragi terakhir siap untuk diuji fenotipik dan sifat allosupresi. Berdasarkan pengamatan kemampuan tumbuh ragi pada berbagai media SM, menunjukan ragi LE2(Y410A), sama dengan ragi inangnya mampu tumbuh pada media SM-His, karena ragi LE2 mempunyai genotipe his3-11. Ragi LE2(Y410A), LE2(T295A), dan LE2(T295S) mampu tumbuh pada media SM-Leu, berbeda dengan ragi inangnya yang tidak tumbuh pada media tanpa leusin. Kemampuan tumbuh ragi mutan dengan inangnya yang berbeda pada media SM-Leu disebabkan ragi LE2(Y410A), sudah membawa plasmid pSPES-Y410A, dengan penanda gen LEU2. Pada media SM-Ura dan SM-tanpa asam amino (non suplemen) ragi LE2(Y410A), tidak tumbuh karena plasmid pUKC830 dengan penanda gen URA3 sudah dikeluarkan dari sel ragi transforman. Hasil pengamatan ini mengkonfirmasi bahwa genotip ragi LE2(Y410A), yang dikonstruksi sudah benar (Gambar 10).
Gambar 7 Skema konstruksi ragi mutan dengan metode plasmid shuffling.
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 9
Pada proses ini gen SUP45 wild type yang ada dalam strain LE2(803) dikeluarkan dengan reagen kimia 5FOA, sedangkan plasmid pSPES-Y410A, dipertahankan.
Gambar 10. Hasil uji auksotropi ragi LE2(Y410A) Keterangan: 1. ragi LE2(803); 2. ragi LE2(SUP45); 3. ragi LE2(Y410S0; 4. ragi LE2(Y410A); 5. ragi LE2(T295S); 6. ragi LE2(T295A)
1) Fenotip Ragi LE2(Y410A), LE2(T295A), dan LE2(T295S) Sifat suatu organisme yang tersimpan sebagai kode genetik di dalam gen disebut genotipe, sedangkan ekspresi dari kumpulan gen biasa disebut fenotip. Agar perubahan genotipe dapat diikuti melalui perubahan fenotipnya, maka sengaja dipilih jenis fenotip, kondisi dan waktu pertumbuhan tertentu bagi organisme sehingga memungkinkan timbulnya fenotip tersebut. Diharapkan akibat mutasi pada asam amino treonin295 dan tirosin-410 diharapkan dapat menyebabkan perubahan fenotip yang dapat teramati, yaitu sensitifitas sel terhadap temperatur, profil pertumbuhan sel dan allosupresi/omnipoensupresi. Adanya fenotipe pertama merupakan sifat khas terjadinya gangguan pada proses terminasi translasi, sementara fenotipe kedua dan ketiga merupakan cara deteksi sederhana untuk mengetahui tingkat kerusakan protein mutan pada suatu mikroorganisme. 2) Sensitifitas Ragi LE2(Y410A), LE2(T295A), dan LE2(T295S) terhadap Temperatur Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari mutan yang meng-
SEMNAS MIPA 2010
alami kerusakan pada gen tertentu dilakukan dengan cara menganalisa mutan-mutan yang bersifat sensitif temperatur. Studi mutan sensitif temperatur yang dilakukan oleh Smirnov et al., 1974), menunjukan adanya kerusakan pada biosintesis protein terutama pada proses terminasi. Dalam percobaan ini ragi diklasifikasikan sensitif temperatur bila tidak dapat tumbuh pada media YPD pada temperatur inkubasi 370C. Hasil pengujian menunjukan ragi LE2(Y410A), LE2(T295A), dan LE2(T295S) dan sebagai kontrol LE2(Y410S) bersifat tidak sensitif terhadap temperatur, karena ragi tersebut mampu tumbuh pada temperatur 370C (Tabel 3). Data ini menyarankan, mutasi protein eRF1 pada residu tirosin (Y410) menjadi alanin maupun mutasi treonin (T295) menjadi serin maupun alanin tidak mempengaruhi struktur protein eRF1 ragi, sehingga fungsi/kinerja protein ini pada proses terminasi translasi tidak terganggu oleh kenaikan temperatur (370C). 3) Profil Pertumbuhan Ragi LE2(Y410A), LE2(T295A), dan LE2(T295S) Pertumbuhan mikroorganisme diamati dengan bertambahnya sel menurut KIM - 10
deret ukur. Siklus pertumbuhan mikroorganisme dalam batch culture dibagi dalam empat fasa, yaitu fasa lag (fasa penyesuaian), fasa logaritma (fasa eksponensial), fasa stasioner dan fasa kematian. Pengamatan pertumbuhan ragi ditujukan untuk mengetahui laju pertumbuhan serta pertumbuhan maksimum. Data laju pertumbuhan dapat digunakan untuk melihat pengaruh mutasi pada protein eRF1 terhadap profil pertumbuhan sel ragi. Pertumbuhan ragi ditentukan verdasarkan bertambahnya jumlah sel sebanding dengan waktu. Pengamatan dilakukan melalui pengukuran kekeruhan (optical density) kultur sel dalam medium SM-Leu pada panjang gelombang 600 nm. Dari pengamatan tersebut diperoleh data laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum. Laju pertumbuhan didefinisikan bertambahnya sel atau kenaikan kekeruhan per jam. Sedangkan pertumbuhan maksimum ditentukan verdasarkan jumlah sel pada saat fasa stasioner. Mikroorganisme akan memasuki fasa stasioner bila nutrisi esensial telah habis dan/atau terjadi akumulasi senyawa beracun. Fasa stasioner ditunjukan oleh adanya penurunan sintesis protein (Watson et al., 1987). Berdasarkan pengamatan pada pertumbuhan galur LE2(Y410A) dan LE2(T295A), ternyata mempunyai laju pertumbuhan serta pertumbuhan maksimum sedikit lebih rendah dibandingkan galur LE2(SUP45) (Tabel 4 dan Gambar 12). Meskipun waktu mulai memasuki fasa stasioner galur LE2(Y410A) sama dengan LE2(SUP45). Hal ini mungkin disebabkan mutasi protein eRF1 pada tirosin 410 dan treonin-295 menjadi alanin, menimbulkan akumulasi senyawa beracun. Sehingga pertumbuhan galur LE2(Y410A) sedikit terganggu. Hasil pengamatan ini berbeda untuk galur LE2(Y410S) dan LE2(T295S), ter-
nyata mempunyai laju pertumbuhan, pertumbuhan maksimum dan waktu memasuki fasa stasioner hampir sama dengan galur LE2(SUP45) (Tabel 4 dan Gambar 12). Hal ini mungkin disebabkan mutasi tirosin pada posisi ke-410 dan treonin pada posisi ke-295 menjadi serin tidak menimbulkan akumulasi senyawa beracun, sehingga pertumbuhan galur LE2(Y410S) dan LE2(T295S) masih sama dengan LE2(SUP45). F. Sifat Allosupresi Ragi LE2(Y410A) Sesuai dengan genotipenya, ragi LE2(Y410A), mempunyai latar belakang supresor SUQ5 pengkode mutan tRNA: ser UAAtRNA . Supresor SUQ5 merupakan supresor lemah, sehingga hanya dapat mensupres (menekan) kodon terminasi UAA dengan bantuan gen allosupresor (penguat supresor) (Stansfield et al., 1995). Selain membawa gen SUQ5, ragi yang digunakan dalam penelitian juga telah mengalami mutasi pada salah satu kodon ade2-1 menjadi kodon terminasi UAA, sehingga biosintesis adenin terganggu (Inge-Vechtomov et al., 2003).Bila kodon UAA mutan pada ade2-1 dibaca sebagai kodon terminasi dapat menyebabkan menumpuknya senyawa antara (amino imidazole ribonucletide) yang selanjutnya diubah menjadi senyawa amino imidazole ribotide yang berwarna merah (Inge-Vechtomov et al., 2003). Penumpukan senyawa ini menyebabkan koloni ragi berwarna merah. Akibat lain dari kerusakan gen ade2 adalah ketidakmampuan ragi untuk mensintesis adenin sehingga ragi tidak dapat tumbuh pada media tanpa adenin. Sintesis adenin dapat kembali berlangsung dan koloni ragi menjadi berwarna putih, bila terjadi supresi pada kodon UAA mutan oleh ser dengan bantuan gen lain yang UAAtRNA bersifat allosupresor.
Tabel 3. Hasil uji sensitifitas ragi terhadap temperatur Ragi
Temperatur inkubasi 0
370C
30 C LE2(Y410S) LE2(Y410A) LE2(T295S) LE2(T295A)
+++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++
Keterangan: (+++) tumbuh subur
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 11
Pada proses supresi terjadi kompetisi perebutan kodon terminasi antara mutan tRNA (melanjutkan pemanjangan rantai peptida) dengan faktor terminasi (eRF1). Berkurangnya kinerja eRF1 karena adanya mutasi, memudahkan mutan tRNA untuk memenangkan kompetisi tersebut, sehingga terjadi peningkatan supresi (IngeVechtomov et al., 2003). Dalam kasus dimana fungsi eRF1 berkurang akan menyebabkan sifat allosupresi semakin kuat. Oleh sebab itu sifat allosupresi dapat dijadikan ukuran berkurangnya kinerja protein eRF1. Pengujian terhadap sifat allosupresi pada penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan kualitatif, dengan mengamati warna koloni ragi yang ditanam pada media padat Y8 (media dengan 8% glukosa) serta kemampuan
tumbuh pada media padat SM-Ade. Kedua, secara kuantitatif yaitu dengan menentukan tingkat allosupresi menggunakan uji betagalaktosidase. Penguji ini dapat mengkuantisasi sifat allosupresi dan omnipotent supresinya yaitu tingkat supresi terhadap ketiga macam kodon terminasi (Akhmaloka, 1991). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan telah berhasil dikonstruksi ragi mutan sup45-Y410A, yang termutasi pada gen sup45 sehingga protein eRF1 yang dikodenya termutasi pada kodon ke-410 dari tirosin menjadi alanin. Uji genotip dan fenotip, menunjukkan bahwa ragi mutan ini berbeda dari ragi wild type asalnya.
Tabel 4. Laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum ragiLE2(Y410A), LE2(T295A), dan LE2(T295S) Laju pertumbuhan (jam-1)
Ragi
Kekeruhan (optical density) maksimum
0,1183 LE2(SUP45) 2,540 0,1216 2.760 LE2(Y410S) 0,0837 2.135 LE2(Y410A) Keterangan: pengukuran kekeruhan kultur sel dilakukan pada panjang gelombang 600 nm
Gambar 11. Profil pertumbuhan ragi LE2(Y410A)
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 6
Gambar 12. Hasil Uji Allosupresi ragi mutan LE2(T295A), dengan ragi wild type LE2(SUP45), dan mutan lain LE2(T295S), sebagai pembanding
DAFTAR PUSTAKA: Akhmaloka (1991), A Molecular Genetic Analysis of the Allosuppressor gene SAL4 in Saccharomyces cerevisiae, Thesis, University of Kent, Centerbury, U.K. Akhmaloka, P. E. Susilowati, Subandi, F. Madayanti (2008) Mutation in AMLRY (GILRY Like) Motif of Yeast eRF1 on Nonsense Codons Suppression and Binding Affinity to eRF3, International Journal of Biological Science, 4(2): 87-95 Chabelskaya, S., Gryzina, V., and Moskalenko, S, (2007) Inactivation of NMD Increases Viability of sup-45 Nonsense Mutans in Saccharomyces cerevisiae, BMC Molecular Biology, 8:71. Dubourg C., B. Toutain, C. Helias, C. Henry, M. Lessard, J.Y. Le Gall, A. Le Treut and L. Guenet (2002), Evaluation of EFTF1/eRF1, mapping to 5q31, as candidat myeloid tumor suppressor gene, Cancer Genet Cytogenet 134(1), 33-37. Eurwilaithr L, Graves FM, Stansfield I, and Tuite MF, (1999), The C Terminus of eRF1 Defines a Fuctinally Impotant Domain for Translation Termiation in Saccaromyces cervisiae. Mol. Microbial, 32, 485-496. Frolova Ly, Tsikoskii, R.Y., Sivolobova, G.F., Oparina, N.Y., Serpinsky, O.I., Blinov, V.M., Tatkov, S.I., and Kisselev L, (1999), Mutations in the Highly Conserved GGQ Motif of Class 1 Polypeptide Release Factors Abolish Ability of Human eRF1 to Trigger Peptidyl-tRNA Ehydrolysis. RNA, 5, 1014-1020. Frolova L. Y., T. I. Merkulova, and L. L. Kisselev (2000), Translation Termination in eukaryote: polypeptide release factor eRF1 is
SEMNAS MIPA 2010
composed of functionally and structurally distinct domains, RNA, 6(3): 381-390. Granas C, Lundholt BK, Loechel F, Pedersen HC, Bjorn SP, Linde V, Krogh-Jensen C, Nielsen EM, Praestegaard M, Nielsen SJ (2006), Identification of RAS-mitogen-activated protein kinase signaling pathway modulators in an ERF1 redistribution screen, J Biomol Screen.11(4): 423-34 Heumann, K., M. Bahr, K. Albermann, D. Frishman, A. Gleibner, M. Gerstner, J. Hani, A. Maierl, F. Pfeiffer, A. Zollner, and H.W. Mewes, (1997) The Yeast Genom on CD, MIPS, the Munich Information Centre for Protein Sequences, Max-Planck-Institut fur Biochemie, 82152 Martinsried, Germany. Inge-vechtomov, S., Zhouravleva, G., and Philippe, M, (2003), Review Eukaryotic Release Factor (eRFs) History, Cell, 95, 195-209. Ito, K., Ebihara, K., and Nakamura, Y, (1998), The Stretch of C-Terminal Acidic Amino Acids of Translational Termination Release Factor eRF1 of Variant-Code Organism and is Modulated by The Interactions of Amino acids Sequences Within Domain1, PNAS, vol 99, no 13, 8494-8499. Jack, P (1989), Errors and Alternatives in Reading the Universal Genetic Code, Microbiological Reviews, vol. 53, No. 3, 273298. Linder, P. (1992), Molecular biology of translation in yeast, in Molecular biology of Saccharomyces cerevisiae, Kluwer Academic Publisher, 47-62
KIM - 13
Merkulova, T.i., Frolova, L., Lazar, M., Carmonis, J., and Kisselev, L.L, (1999(, CTerminal Domains of human Translation Termination Factors eRF1 and eRF3 Mediate their in Vivo Interactions, FEBS Lett, 443, 41-47. Miyazaki K and T. Oshima (1993), Tyr-139 Thermus thermophilus 3-isopropylmalate dehydrogenase is involved in catalytic function, FEBS 332, 37-38. Mugnier, P and M.F Tuite (2001) Mini-Review: Translation termination and its regulation in eukaryotes: Recent insights by studies in yeast, Biokhimiia 64, 1360-1366. Salas-Marco, J., and D. M. Bedwell. (2004) GTP hydrolysis by eRF3 facilitates stop codon decoding during eukaryotic translation termination. Molecular &. Cellular Biology, 24:7769-7778. Shorter, J. and Lindquist, S, (2005), Reviews Prions as Adaptive Conduits of Memory and Inheritance, Genetics, Volume 6, 435-450. Smirnov, V.N., Kreier, V.G., Lizlova, L.V., Andrianova, V.m., and Inge-Vechtomov, S.G., (1974), Recessive Super-Suppressiom in Yeast, Mol. Gen.Genet., 129, 105-121. Shumov, N.N., K.V. Volkov, L.N. Mironova (2000) Interaction of ATP17 gene with SUP45 and SUP35 genes in S. cerevisiae yeast , Genetika 36, 644-650.
Saccharomyces cerevisiae, Hibah Fundamental DP2M DIKTI. Subandi, P.E. Susilowati, Muntholib, Evi Susanti, H. Sutedjo, P. Aditiawati, F. Madayanti and Akhmaloka (2006a), Site Directed Mutagenesis of SUP45 Gene For Interaction Mechanism Study of eRF1-eRF3 Protein, Proceeding of Asean Biochemistry Seminar, Surabaya February 2-7 2006: 222-226. Subandi, P.E. Susilowati, Muntholib, E. Susanti, H. Sutedjo, P. Aditiawati, F. Madayanti and Akhmaloka (2006b), Expression and Purification of Sup45-Y410A Saccharomyces cerevisiae, Proceeding of International Conference on Mathematic and Natural Sciences (ICMN) ITB Nov. 2006 Watson, J.D, Hopkins, N.H, Roberts, J.W, Steitz, J.A and Weiner, A.M (1987) Molecular Biology of The Gen, 4th ed, vol. 1, The Benyamin Cumming Publishing Co. Inc. Menlo Park, California, 573-574
Zhouravleva G, Frolova LY, Le GX, Le Guellec R, Inge-Vechtomov S, Kisselev L, and Philippe M, (1995), Termination of Translation in Eukaryotes in Govermed by Two Interacting Polypeptide Chain Release Factor, eRF1 and eRF3. EMBO J. 14, 4065-4072.
Song, H., P. Mugnier, A.K. Das, H.M. Webb, D.R. Evans dan M.F. Tuite (2000), The Crystal Structure of Human Eukaryotic Release factor eRF1 – Mechanism of Stop Codon Reqognition and Peptidyl-tRNA Hydrolysis, Cell 100, 311 – 321. Stansfield I, Jones KM, Kushnirov VV, Dagkesamanskaya AR, Poznyakovski AI, Pauskhin SV, Nierras CR, Cox BS, Teravanesyan MD, and Tuite MF, (1995), The Products of The SUP45 (eRF1) and SUP35 Genes Interact to Mediate Translation Termination in Saccharomyces cerevisiae. EMBO J., 14, 4365-4373. Subandi (2002), Peran Y410 eRF1 pada Interaksi Protein eRF1-eRF3 Dalam Proses Terminasi Translasi Saccharomyces cerevisiae, Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Subandi, and Muntholib (2008), Uji Interaksi secara Invitro antara Protein Mutan eRF1Y410A dengan eRF3 untuk Mempelajari Mekanisme Interaksi eRF1-eRF3, Hibah Fundamental DP2M DIKTI. Subandi, and Muntholib (2009), Konstruksi dan Uji Biokimia Mutan sup45-Y410A pada Ragi
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 14
AKTIVITAS ANTIKOAGULAN KARAGENAN HASIL ISOLASI DARI Eucheuma spinosum Sutrisno, Parlan, Ikke Puspita Sari, Kartika Sari Jurusan Kimia – Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang 65145 e-mail:
[email protected] Abstrak Salah satu rumput laut yang telah banyak dimanfaatkan adalah alga merah. Bahan kimia yang terkandung dalam alga merah adalah poligalaktan sulfat, yakni agar-agar, karagenan dan alginat. Suatu jenis alga merah dari genus Eucheuma, yakni Euchema spinosum mengandung karagenan yakni polgalaktan sulfat dari D-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan glikosida α-1,3 dan β-1,4. Antikoagulan alamiah yakni heparin secara struktur juga merupakan poligalaktan sulfat. Poligalaktan sulfat dari Codium cylindricum (alga hijau) menunjukkan aktivitasnya sebagai zat antikoagulan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh karakter aktivitas antikoagulan pada karagenan hasil isolasi dari Euchema spinosum. Penelitian dilakukan dengan dua tahap, yakni Pertama isolasi karagenan dari E. spinosum, dan kedua uji aktivitas antikoagulan karagenan hasil isolasi tersebut. Tahap Pertama, isolasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (1) ekstraksi dalam suasana basa, (2) fraksinasi dengan KCl(aq) 2,5%, (3) karakterisasi kadar sulfat total, galaktosa total, abu, abu tidak larut dalam asam, abu tidak larut dalam air, dan kelarutan dalam air, dan (4) identifikasi gugus fungsi secara spektrometri IR. Tahap Kedua, uji aktivitas antikoagulasi karagenan dengan uji APTT dan PT terhadap darah manusia dan dibandingkan dengan Na-sitrat. Hasil isolasi karagenan dari E. spinosum diperoleh kandungan 74% dengan kandungan fraksi larut dalam KCl(aq) 57,32% dan 16,67% sebagai fraksi tidak larut, serta kadar galaktosa total sebesar 62,07%. Karakterisasi karagenan fraksi larut dalam KCl(aq) 2,5% diperoleh kadar, kadar sulfat total sebesar 31,26%, kadar abu total 39,5%, kadar abu tidak larut dalam asam sebesar 3,1%, kadar abu tidak larut dalam air sebesar 1,0% dan kelarutan dalam air 1,26 gram/mL. Karakterisasi fraksi tidak larut dalam KCl(aq) 2,5% menunjukkan kadar sulfat total 25,71%, abu total 25,25%, abu tidak larut dalam asam 1,25%, abu tidak larut dalam air 1,0%, dan kelarutan dalam air 0,01 gram/mL. Berdasarkan hasil karakterisasi dan spektrum IR, maka fraksi larut merupakan -karagenan, sedang fraksi tidak larut sebagai ί-karagenan. Karagenan fraksi larut KCl(aq) 2,5% pada konsentrasi 15µg/mL menunjukkan perpanjangan waktu untuk uji APTT (>300”) dan uji PT (>300”), dan untuk fraksi tidak larut dalam KCl(aq) 2,5% pada konsentrasi 15 g/mL, waktu pengaktifan parsial tromboplastin (APTT) >300”, sedangkan waktu pengaktifan protrombin (PT) 182”. Hal ini, menunjukkan bahwa karagenan fraksi larut dan tidak larut dalam KCl(aq) 2,5% dari E. spinosum mempunyai aktivitas sebagai zat antikoagulan dan memiliki waktu koagulasi lebih lama dibandingkan natrium sitrat 3% yang memiliki waktu untuk uji APTT (32,05”) dan uji PT (25,35”), sehingga diduga dibandingkan dengan natrium sitrat karagenan memiliki aktivitas antikoagulan yang lebih kuat pada konsentrasi yang sama. Keywords: Eucheuma spinosum,
karagenan,
1. PENDAHULUAN Poligalaktosa yang tersubstitusi gugus sulfat dikenal dengan sebutan poligalaktan sulfat. Senyawa golongan ini cukup melimpah di alam dan berpotensi untuk dikembangkan manfaatnya. Heparin, suatu poligalaktan sulfat terdapat dalam hati merupakan antikoagulan alamiah dalam hewan atau manusia. Perilaku heparin sebagai antikoagulan alami ini digunakan
SEMNAS MIPA 2010
karagenan antikoagulan
oleh para ahli untuk meneliti atau mengeksplorasi bahan-bahan alam lainnya, khususnya bahan alam nabati yang mengandung poligalaktan sulfat. Sifat antikoagulan dari rumput laut khususnya dari alga merah dan alga hijau telah dilakukan antara lain dari genus Codium (McLellan, 1992), dari C. fragille ssp. dan C. atlanticum (Jurd, 1995), dan dari C. pugnformis (Matsubara, 2000). Demikian juga Matsubara, dkk. (2001) telah berhasil
KIM - 15
mengisolasi antikoagulan dari rumput laut alga hijau Codium cylindricum. Poligalaktan sulfatnya terutama tersusun dari galaktosa dan sebagian kecil glukosa dengan kadar sulfat mencapai 13,1%. Secara umum aktivitas antikoagulannya merujuk pada heparin, melalui uji APTT (activated partial thromboplastin time), PT (prothrombin time), dan TT (thrombin time) yang dihasilkan oleh plasma manusia. Zat-zat poligalaktan sulfat tersebut mempunyai aktifitas antikogulan yang identik dengan heparin walaupun sistem kerjanya lebih lambat dibanding heparin. Rumput laut dari jenis Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottoni mengandung poligalaktan sulfat karagenan. Kandungan karagenan dalam Eucheuma mencapai 65%. Eksplorasi karagenan dari genus eucheuma dari perairan TalangoSumenep Madura mengandung karagenan 43,13% (untuk Euchema spinosum) dan 65,0% (untuk Euchema cottoni) (Sutrisno, 2003). Karagenan mengandung sulfat yang cukup tinggi dan khas, yakni gugus SO42pada monomernya secara acak. Gugus sulfat dalam rantai polisakarida karagenan ini diduga mempunyai karakter yang identik dengan poligalaktan sulfat lainnya seperti heparin atau poligalaktan sulfat dalam genus Codium. Dengan demikian karagenan diduga dapat digunakan sumber informasi ilmiah untuk memperoleh perilaku reaksi bio-organik khususnya dalam proses biokimiawi dalam organisme, seperti sifat antikoagulan. Pemerolehan informasi baru berbasis pada sifat dari senyawa analognya, akan memperkaya ragam bahan kimia untuk berbagai keperluan dalam mendukung bahan baku industri kesehatan secara mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk menggali bahan kimia hasil-hasil eksplorasi dan eksploitasi bahan alam yang relatif melimpah di Indonesia khususnya dari rumput laut, dan sebagai sumber kajian bahan alam asli Indonesia untuk bidang kefarmasian dan kesehatan. Analisis kadar sulfat dalam karagenan hasil isolasi dari Euchema spinosum diperoleh sebesar 29,28% (Riyani, 2004) dan dari Euchema cottoni sebesar 22,55% (Bahiyah, 2004).
SEMNAS MIPA 2010
1.1 Kimiawi Karagenan Jenis rumput laut di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi alga merah (Rhodophyceae) yang banyak mengandung karagenan dan agar-agar. Kandungan kedua jenis zat tersebut tergantung pada spesiesnya. Kandungan bahan kimia utama alga tersebut merupakan poligalaktan sulfat, yakni polisakarida bermonomer galaktosa dengan sebagian atau seluruh gugus OH tersubstitusi gugus sulfat. Kandungan sulfatnya dapat digunakan sebagai parameter pembeda berbagai jenis poligalaktan sulfat dalam alga merah tersebut. Karagenan merupakan senyawa poligalaktan sulfat dengan kandungan sulfat yang paling tinggi dibanding poligalaktan sulfat lainnya, seperti agar-agar, alginat, dan laminaran. Karagenan merupakan penyusun utama dinding sel alga merah. Struktur dasar karagenan adalah ester sulfat dari kalium, natrium, kalsium, magnesium, atau amonium pada polimer Dgalaktosa dengan ikatan -1,3 dan -1,4 (Sutrisno, 2002). Menurut Booth (1975) struktur dasar karagenan tampak pada Gambar 1. CH2OSO3O H H OH H
CH2OH RO
O O
H H
H O
H H
OR
H H
R = H atau SO 3-
O
OR n
Gambar 1. Struktur dasar karagenan Terdapat lima jenis karagenan, yakni kappa (), iota (), lamda (), mu (), dan nu ()-karagenan. Kelima jenis karagenan ini mempunyai sifat fisika dan kimia yang berbeda. Dalam larutan KCl 2,5%, karagenan dapat dipisahkan menjadi dua fraksi yaitu fraksi larut (-karagenan dan – karagenan) dan fraksi yang tidak larut (karagenan dan pada spesies tertentu terdiri –karagenan dan –karagenan). Secara struktur perbedaan tersebut didasarkan pada kandungan sulfatnya. Struktur dari berbagai jenis karagenan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Karagenan berperan sebagai stabilisator, bahan pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi. Sifat ini banyak
KIM - 16
dimanfaatkan dalam industri makanan, obatobatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi, dan industri lainya. Kombinasi karagenan dengan garam natrium dapat meningkatkan mutu adonan kue atau roti. Penambahan karagenan pada pasta gigi dapat memperhalus tekstur dan memperbaiki sifat busanya. Diduga kandungan sulfat dalam poligalaktan tersebut merupakan pembawa sifat atau karakter karagenan. Karakter dan banyaknya gugus sulfat dalam karagenan membuka peluang untuk mendiversifikasi manfaatnya berdasarkan struktur dan sifat senyawa yang juga mempunyai karakter seperti karagenan. 1.2
Antikoagulan Antikoagulasi
dan
Mekanisme
Antikoagulasi didefinisikan sebagai upaya membuat darah tidak membeku, merupakan modalitas utama pada trombosisi vena dalam, TVD (Sudoyo, 2002). Antikoagulan akan mencegah terbentuknya bekuan dan pembentukan fibrin (Wiranda, 1999). Mekanisme pembekuan dimulai bila terjadi trauma pada dinding pembuluh darah dan jaringan yang berdekatan dengan darah atau berkontaknya darah dengan endotel (lapisan dipermukaan pembuluh darah) yang rusak atau dengan kolagen atau unsur jaringan lainnya di luar sel endotel pembuluh darah. Mekanisme ini yang menyebabkan pembentukkan aktivator protrombin yang mengubah protrombin menjadi trombin. Pembentukkan trombin ini sebagai katalis dari pembentukan fibrin dari fibrinogen yang nantinya akan memicu terjadinya pembekuan darah. Antikoagulan alamiah dalam tubuh antara lain antitrombin III (AT III), protein C, protein S, heparin, dan penghambat jalur faktor jaringan (tissue factor pathway inhibitor, TFPI). Antikoagulan yang paling penting dalam darah adalah antikoagulan yang menghilangkan trombin dari darah. Dua diantaranya yang paling kuat adalah (1) benang-benang fibrin yang terbentuk selama proses pembekuan dan (2) suatu alfaglobulin (AT III) atau kofaktor antitrombinheparin. Suatu bekuan sedang dibentuk, kira-kira 85-90% trombin yang terbentuk dari protrombin diadsorbsi ke dalam benangbenang fibrin begitu fibrin ini terbentuk SEMNAS MIPA 2010
(Guyton, 1993). Hal ini tentunya membantu mencegah penyebaran trombin ke dalam darah di daerah yang lain, sehingga dapat mencegah penyebaran bekuan yang berlebihan. Trombin yang tidak teradsorbsi ke benang-benang fibrin akan segera berikatan dengan AT III, yang menghalangi efek trombin terhadap fibrinogen, dan kemudian menginaktifkan trombin yang terikat tersebut dalam waktu 12-20 menit berikutnya. Heparin (suatu senyawa yang terdapat dalam hati) merupakan antikoagulan klasik (Parker, 2001). Heparin merupakan antikoagulan kuat lainnya dengan kadar dalam darah normal relatif rendah. Namun demikian dalam kondisi fisikologik tertentu mampu berfungsi sebagai antikoagulan yang cukup berarti. Dalam ilmu kedokteran heparin digunakan sebagai pencegah pembekuan intravaskular. Heparin adalah proteoglikan klasik dimana beberapa rantai polisakarida berikatan dengan inti protein. Proteoglikan merupakan polisakarida dengan unit ulang disakarida dari Dglukosamina dan D-galaktosamina. Setiap unit disakarida pada proteoglika mengandung asam uronat, asam Lglukoronat (GlcUA) atau epimer-5-nya, asam L-iduronat (IdUA), D-galaktosamin asetat (GlcNAc), dan D-glukosamin (GlcN). Kecuali asam hialuronat, semua polisakarida proteoglikan (termasuk heparin dan heparin sulfat) mengandung gugus sulfat baik sebagai ester-O atau sebagai sulfat-N (Murray, 2000). Struktur heparin terdapat pada Lampiran 1. Menurut Wiranda (2002), mekanisme kerja heparin terdiri dari tiga tahap. Pertama, heparin berinteraksi pada kaskade pembekuan berkombinasi dengan AT III. Kedua, heparin merangsang aktivitas secara langsung plasminogen activator sehingga meningkatkan pemecahan bekuan fibrin segera setelah terbentuk. Ketiga, heparin berinteraksi dengan mengikat fibroblast growth factor. Kerja utama antikoagulan tergantung pada pengaktifan AT III, yang selanjutnya menghambat protease serin. Bermacam-macam zat yang dapat menurunkan kadar ion kalsium dalam darah dapat digunakan untuk mencegah pembekuan di luar tubuh. Sebagai contoh sejumlah kecil senyawa oksalat yang dicampur dengan darah dapat menyebabkan KIM - 17
pengendapan kalsium oksalat dari plasma, dengan demikian menurunkan kadar ion kalsium, akibatnya tidak terjadi pembekuan. Zat lain yang dapat dipakai untuk mengubah kalsium agar tidak berbentuk ion dan dapat dipergunakan sebagai pencegah pembekuan, yaitu natrium-, amonium-, atau kalium sitrat. Sitrat yang berikatan dengan kalsium dalam darah akan menhasilkan senyawa kalsium yang tidak berbentuk ion, sehingga kekurangan ion kalsium dapat menghambat pembekuan. Antikoagulan sitrat lebih unggul dibandingkan dengan oksalat, karena oksalat lebih bersifat toksik terhadap tubuh, sedang sitrat dalam jumlah sedang dapat disuntikkan secara intravena. Setelah disuntikkan ion sitrat akan dihilangkan dari tubuh dalam beberapa menit oleh hati dan berpolimerisasi menjadi glukosa atau mengalami metabolisme langsung dan menghasilkan energi. Tetapi bila hati rusak atau sejumlah besar darah atau plasma yang mengandung sitrat diberikan terlalu cepat, maka ion sitrat tidak dapat dihilangkan dengan cepat, dan sitrat itu akan sangat menurunkan ion kalsium darah, sehingga timbullah tetani dan kematian dengan kejang-kejang.
Baru-baru ini mekanisme antikoagulasi dari inhibitor spesifik APTT, prolixin-S telah ditunjukkan pada faktor inhibisi IXa dan susunan kompleks X-ase. Mekanisme antikoagulasi bergantung pada struktur polisakaridanya. Poligalaktan sulfat dari C. cylindricum mengandung sulfat (seperti SO3Na) 13,1% dan 7,8% protein. Uji aktivitas antikoagulasi dilakukan dengan menggunakan heparin sebagai pembanding. Sifat antikoagulan zat-zat dari rumput laut (alga merah dan alga hijau) juga telah dilakukan dari genus Codium (McLellan, 1992), antara lain dari C. fragille ssp. dan C. atlanticum (Jurd, 1995), dan dari C. pugnformis (Matsubara, 2000). Secara umum aktivitas antikoagulan tersebut dibandingkan dengan heparin melalui uji kadar APTT, PT dan TT dari plasma manusia. Aktivitas antikoagulannya relatif identik dengan heparin namun sistem kerjanya lebih lambat dibanding heparin. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, karagenan berpotensi sebagai antikoagulan.
2. METODE PENELITIAN 1.3 Karagenan Sebagai Antikoagulan Secara kimia, karagenan mempunyai sifat dan karakter yang identik dengan heparin (keduanya merupakan poligalaktan sulfat). Galaktan sulfat dalam karagenan diduga berkarakter seperti dalam heparin. Hal ini juga sejalan dengan riset tentang sifat antikoagulasi senyawa-senyawa polisakarida tersubstitusi sulfat dari alga yang telah dilakukan. Matsubara, et al. (2001) telah berhasil mengisolasi poligalaktan sulfat dan bersifat sebagai antikoagulan dari Codium Cylindricum (alga hijau). Antikoagulasinya dikarenakan terjadi proses perpanjangan waktu pembekuan dari APTT yang menunjukkan hambatan dari jalur intrinsik dan terjadi proses perpanjangan TT yang menunjukkan hambatan yang terjadi pada aktivitas trombin atau polimerisasi fibrin. Uji PT tidak mengalami perpanjangan waktu hal ini menunjukkan bahwa tidak menghambat jalur intrinsiknya. Mekanisme inhibisi pada C. cylindricum digunakan untuk mencegah polimerisasi fibrin pada jalur intrinsik tanpa kemampuan AT III. SEMNAS MIPA 2010
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorik yang dilakukan dengan dua tahap utama. Tahap Pertama dengan langkah-langkah: (1) penyiapan simplisia E. spinosum, (2) isolasi karagenan, (3) karakterisasi karagenan hasil isolasi (kadar sulfat, kadar abu, kandungan galaktosa total, dan kelarutan dalam air), (4) identifikasi jenis karagenan secara spektrometri IR yang dikombinasikan dengan hasil-hasil karakterisasi. Tahap Kedua adalah uji aktivitas antikoagulan karagenan hasil isolasi. Penelitian ini sebagian besar dilakukan di Lab. Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang, dan Lab. Patologi Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. 2.1 Alat dan Bahan yang Digunakan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: blender, sentrifuge, rotary vaccum evaporator, perangkat gelas, magnetic stirer, spatula, pemanas (hotplate with stirrer), desikator, pH meter, seperangkat alat refluks; furnace, water KIM - 18
bath, neraca analitik, spektronik-20, spektrofotometer IR, dan turbidimeter. Bahan utama yang akan digunakan adalah E. spinosum dari masyarakat pesisir Talango Sumenep Madura. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi karagenan antara lain aquades, NaOH(aq) 2%, NaCl(aq) 10%, EtOH 96%, KCl(aq) 2,5%, HCl(aq) 0,5M, BaCl2(aq) 0,1M, H2SO4(aq)1M, H2O2(aq)30%, HCl(aq) encer, fenol 80%, dan kertas saring (biasa dan Whatman 42). Bahan untuk uji aktivitas antikoagulan adalah darah, Na-sitrat, larutan CaCl2 20 mM, pereaksi PT, TT, HC II, dan AT-III.
pada fraksinasi terhadap fraksi larut dalam KCl 2,5%. Hasil proses ini sebagai karagenan fraksi tak larut dalam KCl 2,5%.
2.2 Eksperimen
a. Kadar sulfat
2.2.1 Isolasi karagenan dari E. spinosum
Kadar sulfat ditentukan secara gravimetri. Sejumlah + 0,2 gram karagenan (fraksi larut maupun tak larut dalam kalium klorida 2,5%) direfluks dalam 100 mL HCl 0,5 M selama 15 jam. Hasil refluks ditambah dengan larutan Ba(OH)2 0,1 M sampai diperoleh endapan. Endapan yang diperoleh disaring dan dikeringkan, sedangkan filtratnya direfluks kembali. Dengan cara yang sama refluks dilakukan secara berulang sampai hasil refluks tidak membentuk endapan (BaSO4) dengan larutan Ba(OH)2. Kadar SO4- dihitung dengan persamaan:
Sampel E. spinosum kering dihaluskan untuk memperoleh serbuk atau simplisia. Sebanyak 15 g simplisia dilarutkan ke dalam 1000 mL air dan ditambahkan larutan NaOH 2% hingga pH 9, diaduk dengan pengaduk magnetik selama tiga jam pada suhu 80oC. Larutan hasil disentrifus pada 3500 rpm selama 30 menit. Sentrat hasil dievaporasi sampai volumenya menjadi sepertiga volume awal. Sentrat kental dituangkan ke dalam EtOH 96% dengan perbandingan 1:2,5 untuk memperoleh endapan. Endapan disaring dan dikeringkan kemudian dihaluskan untuk memperoleh karagenan kasar (crude carrageen).
2.2.3 Pemurnian karagenan Sebanyak 1,0 g karagenan fraksi larut dalam KCl 2,5% ditambah 100 mL air, ditambah larutan H2O2 30% tetes demi tetes sambil diaduk sampai dihasilkan larutan tidak berwarna. Larutan dituangkan ke dalam EtOH 96% untuk memperoleh endapan. Endapan disaring dan dikeringkan. 2.2.4
Karakterisasi karagenan
Kadar sulfat (%) = 2
BM SO 4 / BM BaSO 4 x berat BaSO 4 x 100% Berat Sampel
2.2.2 Fraksinasi karagenan
b. Kadar galaktosa
Karagenan kasar dilarutkan dalam larutan KCl 2,5% (1:100), diaduk selama satu jam dan didiamkan selama 20 jam pada suhu kamar. Pengadukan dilanjutkan lagi selama satu jam, kemudian disentrifuge (3500 rpm selama 30 menit), dihasilkan endapan dan sentrat. Sentrat diuapkan sampai volumenya menjadi sepertiganya, dihasilkan sentrat kental. Sentrat kental kemudian dituangkan ke dalam EtOH 96% (1:2,5). Endapan yang diperoleh disaring, dikeringkan dan dihaluskan. Hasilnya sebagai karagenan fraksi larut dalam KCl 2,5%. Bagian karagenan yang tidak larut dalam larutan KCl 2,5% selanjutnya dilarutkan dalam air dan ditambahkan larutan NaOH 2% hingga pH 9 diaduk dengan pengaduk magnetik selama tiga jam pada suhu 80oC. Langkah selanjutnya seperti
Kadar galaktosa total ditentukan dengan cara sebagai berikut: 10 mg karagenan dilarutkan dalam air sampai volumenya 10 mL. Sebanyak 1 mL dari larutan ini diambil, ditambah 1 tetes fenol 80% dan 5 mL H2SO4 pekat. Selanjutnya larutan dikocok dalam water bath pada suhu kamar. Dengan cara yang dibuat untuk larutan blanko dan larutan standar kemudian masing-masing diukur serapannya dengan Spectronic-20 pada panjang gelombang maksimum ( maks 485 nm).
SEMNAS MIPA 2010
c. Uji kelarutan Karagenan dilarutkan dalam air pada suhu kamar sampai diperoleh larutan jenuh. Kemudian dari larutan ini diambil sebanyak 10 mL dan ditambah dengan EtOH 96% sampai diperoleh endapan. Endapan yang
KIM - 19
diperoleh disaring, kemudian dikeringkan. Kelarutan = berat endapan / volume larutan. d. Penentuan kadar abu total Sebanyak 0,2 gram karagenan dimasukkan dalam krusibel yang telah dipijarkan. Pemijaran dilanjutkan sampai arang habis dan menjadi abu, kemudian didinginkan, dan ditimbang sampai bobot tetap, hasilnya merupakan kadar abu total. e. Kadar abu tidak larut dalam air Abu yang didapatkan dari hasil penentuan kadar abu total dididihkan dengan aquades selama 5 menit kemudian disaring. Endapan yang diperoleh dicuci dengan aquades dan dipijarkan, kemudian didinginkan, hasilnya merupakan kadar abu yang tidak larut dalam air. f. Kadar abu tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dari hasil penentuan kadar abu total dididihkan dengan asam klorida 0,5 M selama 5 menit kemudian disaring. Endapan yang diperoleh dicuci dengan air panas dan dipijarkan, kemudian didinginkan, hasilnya merupakan kadar abu yang tidak larut dalam asam. 2.2.5 Identifikasi jenis karagenan Karagenan hasil pemurnian (fraksi larut maupun tak larut dalam larutan KCl 2,5%) diidentifikasi karakter gugus fungsinya secara spektrofotometri IR dengan metode pellet KBr untuk untuk mengetahui jenisnya. 2.2.5 Uji aktivitas antikoagulan Uji aktivitas antikoagulan yang dilakukan dalam penelitian ini mengadopsi seperti yang dilakukan oleh Matsubara, et al (2000). Sebanyak 90 L plasma manusia yang telah tersitratkan dicampurkan dengan 10 L larutan karagenan (0; 0,45; 0,9; dan 4,5 g) diinkubasi selama 1 menit pada 37oC. Selanjutnya sebanyak 100 L pereaksi APTT dicampurkan dan diinkubasi selama 6 menit pada 37oC, ditambahkan 100 L CaCl2 20 mM, kemudian waktu pembekuan (clotting) direkam. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap pereaksi PT, TT, HC II, dan AT-III.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karagenan dari E. spinosum Isolasi karagenan dilakukan terhadap E. spinosum dalam suasana NaOH pH 9 pada suhu 80oC karena dispersi karagenan mengalami stabilitas optimum. Pada pH>9 atau pH<9 dihasilkan rendemen yang relatif lebih kecil, hal ini dikarenakan adanya karagenan yang mengalami hidrolisis selama proses isolasi (Sriatun, 1994). Karagenan setelah diekstrak diendapkan dengan EtOH 96%, hal ini dikarenakan karagenan memisah dengan impuritasnya. Pencucian karagenan tidak dilakukan dengan EtOH < 40% karena karagenan akan larut. Pencucian menggunakan EtOH 96% menghasilkan karagenan kasar berwarna krem (putih kekuningan) berbentuk serat-serat yang elastis. Setelah kering kemudian dihaluskan menjadi serbuk berwarna krem. Dari setiap 15 g E. spinosum rata-rata dihasilkan 9,346 gram (rendemen isolasi ~62,31%). Fraksinasi dengan larutan KCl 2,5%ini dilakukan menurut metode Stancioff dan Stanley. Karagenan kasar hasil isolasi dari E. spinosum ini dapat larut dalam larutan ini dengan larutan berwarna krem pucat. Pengendapan karagenan dengan EtOH 96% dalam larutannya ini membentuk serat-serat elastis dan setelah kering dan dihaluskan diperoleh serbuk berwarna krem. Dari 5 g karagenan diperoleh 4,67 g karagenan fraksi larut dalam KCl 2,% (yield 57,3%). Hasil ini lebih besar dari penelitian yang telah dilakukan oleh Riyani (2004). Selanjutnya dengan perlakuan yang sama dihasilkan karagenan fraksi tidak larut dalam KCl 2,5% dengan kandungan 16,67%. Pemurnian karagenan dengan larutan H2O2 30% bertujuan untuk menghilangkan warna. Karagenan sebelum pemurnian berwarna krem yang mengindikasikan terdapatnya impuritas. Pencucian dengan larutan 50 mL H2O2 30% yang dilanjutkan pengendapan dengan EtOH 96%, dikeringkan dan diserbukkan dihasilkan karagenan berwarna putih. 3.2 Karakterisasi Karagenan Kadar galaktosa total. Penetapan kadar galaktosa dilakukan dengan metode
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 20
Dubois melalui hidrolisis berkatalis asam sulfat. Hasil hidrolisis ini adalah monomer karagenan (suatu koploimer), yakni Dgalaktosa sulfat dan 3,6-anhidro-Dgalaktosa. Hasil hidrolisis direaksikan dengan fenol 80% dan memberi warna kuning pucat pada hasil reaksinya ayng mengindikasikan kandungan galaktosa total. Hasil pengukuran secara spektrofotometri visible pada maks 485 nm diperoleh kadar galaktosa total 62,07%. Kadar sulfat total. Kadar sulfat ditetapkan dengan metode gravimetri. Degradasi karagenan (fraksi larut maupun tidak larut dalam KCl 2,5%) dilakukan dengan cara refluks menggunakan larutan HCl dihasilkan larutan berwarna kuning. Reaksinya dengan barium hidroksida terhadap hasil refluks diperoleh endapan berwarna coklat kehitam-hitaman, selanjutnya disaring. Endapan yang diperoleh ditimbang dan filtratnya direfluks lagi dan ditambah dengan barium klorida. Penambahan larutan barium klorida tidak menimbulkan endapan, hal ini menunjukkan sudah tidak ada kandungan sulfat dalam larutan tersebut. Reaksi keseluruhan yang terjadi adalah: SO42-(aq) + Ba2+(aq) BaSO4(s) Kadar sulfat dalam karagenan untuk fraksi larut dan fraksi tidak larut dalam KCl 2,5% tercantum dalam Tabel 1. Banyaknya gugus sulfat ini yang menentukan jenis atau sifat karagenan, terutama pada susunan Dgalaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosanya. Struktur dasar karagenan merupakan ester sulfat kalium, natrium, kalsium, magnesium dan amonium dari polimer Dgalaktosa yang terikat secara -1,3 dan 1,4. Faktor yang menyebabkan terdapatnya berbagai jenis karagenan dengan sifat fisika dan kimia yang berbeda adalah adanya gugus sulfat yang jumlahnya dan letaknya dapat bervariasi dan juga adanya gugus sulfat yang terikat pada atom C-6 unit ikatan -1,4 yang dapat dikonversikan baik secara enzimatis didalam tanaman itu sendiri maupun secara kimia membentuk . Kadar abu dan Kelarutan. Kualitas karagenan menurut juga ditentukan oleh kadar abu total, kadar abu tidak larut dalam asam, kadar abu tidak larut dalam air, dan kelarutan dalam air (USP, United State Pharmacophea XXI/NF XVI, 1985). Hasil-
SEMNAS MIPA 2010
hasil analisis karakter ini tercantum dalam Tabel 1. Kadar galaktosa total, sulfat total, abu total, kadar abu tidak larut dalam asam, abu tidak larut dalam air, dan kelarutan dalam air dapat digunakan untuk menentukan jenis karagenan (κ-, ί-, λ-, µ-, dan υ-karagenan). Tabel 1. Karakter karagenan dari E. spinosum No 1 2 3 4 5
Karakter/ kadar Sulfat (%) Abu total (%) Abu tidak larut dalam asam (%) Abu tidak larut dalam air (%) Kelarutan dalam air (g/mL)
Fraksi Karagenan (dalam KCl(aq) 2,5%) Larut Tidak larut 31,2 25,71 39,5 25,25 3,1 1,25 1,0
1,0
1,26
0,01
3.3 Identifikasi Karagenan Identifikasi karagenan terhadap fraksi larut dan fraksi tidak larut dalam larutan kalium klorida secara spektrofotometri infrared (IR) diperolah spektra seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2a. Spektrum IR karagenan fraksi larut dalam KCl 2,5%
Gambar 2b. Spektrum IR karagenan fraksi tidak larut dalam KCl 2,5%
KIM - 21
Berdasarkan spektra IR-nya terdapat beberapa pita khas yang mengindikasikan perbedaan jenis karagenan fraksi larutan dan fraksi tidak larut dalam larutan KCl 2,5%. Hasil analisis spektra IR terhadap kedua jenis karagenan ini tidak menggambarkan identitas yang berbeda, yakni keduanya mencirikan jenis karagenan yang sama. Untuk fraksi larut dalam KCl, munculnya pita pada frekuensi 3463,9 cm-1 menunjukkan pita khas untuk vibrasi ulur O–H. Pada daerah serapan 2927,7 cm-1 merupakan vibrasi ulur dari gugus metilen siklik (CH2). Pita khas pada 1234,4 cm-1 mencirikan adanya vibrasi ulur S=O dari ester sulfat. Puncak pada 929,6 cm-1 mencirikan adanya gugus C-O-C 3,6anhidrogalaktosa. Di daerah sidik jari muncul pita 848,6 cm-1 menunjukkan karakter khas galaktosa-4-sulfat sedangkan frekuensi pada bilangan gelombang 802,3 cm-1 mencirikan 3,6-anhidrogalaktosa-2sulfat. Dari puncak-puncak khas yang muncul pada identifikasi karagenan fraksi larut dalam larutan kalium klorida 2,5% pada E. spinosum menunjukkan karagenan jenis ί-karagenan. 3.4 Uji aktivitas antikoagulan Penentuan sifat antikoagulan terhadap kedua jenis karagenan hasil isolasi dari E. spinosum meliputi uji waktu aktivasi parsial tromboplastin (APTT) dan uji pembentukan protrombin (PT) tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji aktivitas antikoagulan Waktu koagulasi (detik) pada berbagai konsentrasi ( g/mL) Uji
15 1,5 3 g/mL g/mL g/mL Karagenan fraksi larut
Sitrat 3%
APTT
> 300
185,7
73
25,3
PT
> 300
240
161
12
Karagenan fraksi tidak larut APTT PT
> 300
108,4
60,5
-
200
180
170
-
Uji aktivitas ini yang digunakan adalah serum dalam darah. Pengambilan serum dari darah dilakukan dengan cara mensentrifuge darah yang diberi larutan karagenan sebagai pengganti natrium sitrat 3%. Tetapi pada sentrifuge darah yang SEMNAS MIPA 2010
terpisah membeku maka dilakukan sentrifuge ulang dengan cara menusuk darah yang telah mengendap kemudian disentrifuge ulang. Pada sentrifuge ada sebagian serum yang berwarna kemerah-merahan, hal ini diduga karena terjadi lisis pada darah. Uji APTT dan uji PT dilakukan dalam waterbath bersuhu 37oC. Pengaturan suhu ini dilakukan untuk menyesuaikan tubuh normal manusia. Serum yang diambil untuk uji APTT dan uji PT berwarna kuning. Pada uji APTT penambahan reagen platelin tidak dapat membuat beku larutan kemudian ditambah larutan kalsium klorida 0,025 M, larutan dikocok dan dihitung waktu koagulasinya. Koagulasi pada larutan tampak seperti gel. Platelin tersusun atas jaringan kaolin dan fosfolipid (tromboplastin parsial). Uji APTT merupakan uji untuk melihat perpanjangan hambatan dari jalur intrinsik, yakni perpanjangan waktu koagulasi yang disebabkan oleh defisiensi faktor VIII dan faktor IX. Proses perpanjangan PT tersebut menunjukkan hambatan yang terjadi pada aktivitas trombin atau polimerisasi fibrin pada sistem ekstrinsik. Pemanjangan waktu protrombin merupakan akibat dari defisiensi pada faktor I, II, V, VII dan X. Pada uji PT yang digunakan untuk uji jalur ekstrinsik, waktu pembentukan protrombin juga menghambat aktifitas X yang secara langsung akan memperlambat proses pembekuan darah selanjutnya. Sebagai pembanding dilakukan perlakuan yang sama pada darah dengan penambahan natrium sitrat 3%. Penggunaan natrium sitrat 3% pada uji APTT menunjukkan waktu pembekuan 25,3 detik dan dengan uji PT waktu pembekuannya 12 detik. Untuk karagenan waktu pembekuan lebih lama dibandingkan dengan sitrat pada uji APTT dan uji PT. Pengaruh adanya antikoagulan E. spinosum sangat terlihat sekali pada uji ini yaitu dengan memanjangnya APTT dan PT karagenan dibanding pada kondisi normal (natrium sitrat). Pada kontrol aktif heparin (1,5g mL-1) waktu APTT lebih lama dibandingkan dengan karagenan. Namun pada Uji PT karagenan memiliki waktu lebih lama dari pada heparin. Pada konsentrasi KIM - 22
yang semakin pekat menunjukkan waktu pembekuan lebih lama. Hal ini hampir sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Matsubara. 4. KESIMPULAN Hasil isolasi dari E. spinosum diperoleh karagenan dengan kandungan 74% dengan kandungan fraksi larut dalam KCl(aq) 57,32% dan 16,67% sebagai fraksi tidak larut, serta kadar galaktosa total sebesar 62,07%. Karakterisasi karagenan fraksi larut dalam KCl(aq) 2,5% diperoleh kadar, kadar sulfat total sebesar 31,26%, kadar abu total 39,5%, kadar abu tidak larut dalam asam sebesar 3,1%, kadar abu tidak larut dalam air sebesar 1,0% dan kelarutan dalam air 1,26 gram/mL. Karakterisasi fraksi tidak larut dalam KCl(aq) 2,5% menunjukkan kadar sulfat total 25,71%, abu total 25,25%, abu tidak larut dalam asam 1,25%, abu tidak larut dalam air 1,0%, dan kelarutan dalam air 0,01 gram/mL. Berdasarkan hasil karakterisasi dan spektrum IR, maka fraksi larut merupakan -karagenan, sedang fraksi tidak larut sebagai ί-karagenan. Karagenan fraksi larut KCl(aq) 2,5% pada konsentrasi 15µg/mL menunjukkan perpanjangan waktu untuk uji APTT (>300”) dan uji PT (>300”), dan untuk fraksi tidak larut dalam KCl(aq) 2,5% pada konsentrasi 15 g/mL, waktu pengaktifan parsial tromboplastin (APTT) >300”, sedangkan waktu pengaktifan protrombin (PT) 182”. Hal ini, menunjukkan bahwa karagenan fraksi larut dan tidak larut dalam KCl(aq) 2,5% dari E. spinosum mempunyai aktivitas sebagai zat antikoagulan dan memiliki waktu koagulasi lebih lama dibandingkan natrium sitrat 3% yang memiliki waktu untuk uji APTT (32,05”) dan uji PT (25,35”), sehingga diduga dibandingkan dengan natrium sitrat karagenan memiliki aktivitas antikoagulan yang lebih kuat pada konsentrasi yang sama.
5. DAFTAR PUSTAKA Bahiyah, K. 2004. Identifikasi Jenis Alga Merah, Rendemen, Karakter, dan Jenis Karagenan dari Alga Merah yang Terdapat di Perairan Bangkalan. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang.
SEMNAS MIPA 2010
Booth, E. 1975. Seaweed in Industri, Vol. 4. England: Academic Press. Guyton & Hall. 1996. Fisiologi Kedokteran. Terjemahan oleh dr. Irawati Setiawan. 1997. Jakarta: EGC. Hidayati, A., L. 2005. Isolasi, karakterisasi, dan Identifikasi jenis Karagenan Fraksi Larut Dalam KCl 2,5% pada Alga Merah Euchema Cottoni dqariPerairan Talango Sumenep Madura. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang. Huges-Jones, N. C. 1991. Lecture Notes On Hematology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Konsensus Nasional. 2001. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Sepsis 2001.(Online).(http;//www.interna.or.id/interna/i ndex.ktd.html, diakses 22 Februari 2005). Matsubara, K. Matsuura, Y. Bacic, A. LongLiou, M. Hori, K. Miyazawa, K. 2000. Anticoagulant Properties of Sulfated Galactan Preparation from a Marine Green Algae, Codium Cylindricum. International Journal of Bilogical Macromoleculer,28 (2001) 395-399. Mubarak, H. 1982. Teknik Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Sub Balai Penelitian Perikanan Laut. Murray, R., K. Granner, D., K. Mayes, P., A. Rodwell, V., W. 2000. Biokimia Harper E/25. Terjemahan oleh Andry Hartono. 2001. Jakarta: EGC. Parker, P., M. 2005. Heparin. (Online). (http;//www.ebsiter.online.dictionary. org/definition/English/he/heparin.html, diakses 22 Februari 2005). Perry, D. J. 1999. Hemostasis and Trhombosis Protocols. New Jersei: Human Press. Price, S. A. 1992. Pathophysiology. Clinical Consepts Of disease Processes. Mosby: Year Book. Riyani, E. Y. 2004. Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi Karagenan pada Alga Merah dari Perairan Talango-Sumenep. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM. Sriatun. 1994. Isolasi dan Karakterisasi dari Alga Merah (Rhodophyceae).Tesis Program Magister tidak diterbitkan. Bandung: Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Susanto, A. B. 1997. Rumput Laut Bukan Sekedar Hidup di Laut. Jurnal Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP. Sutrisno. 2002. Prospek Komersial Bahan Alam Hayati dari Biota Laut. Media Komunikasi
KIM - 23
Kimia. Malang: jurusan Universitas Negeri Malang.
kimia
Wiranda, B., P. 1999. Adhesi Intraabdomen Pasca Operasi, (Online), (http;//www. Interna.or.id/interna/artikel/darurat2002/dar2_06. html, diakses 22 Februari 2005).
FMIPA
Towle, G. A. 1973. Carrageenan. Denmark: The Copenhagen Pectin Factory Ltd.
OSO 3CH2OH
O
O
O O
OH
O
OH
n
-karagenan O
OH CH2OH
- O SOCH 3 2 O
O
OSO 3CH2OH
OSO 3-
- O SOCH 3 2 O
O OH
O
OH (OSO 3- )
O
OH
O
OH
n
OH
n
-karagenan
Struktur ideal -karagenan
-karagenan OSO3CH2OH
O
O
OSO 3CH2OH
O
- O SOCH 3 2
O
O
OSO3-
OH
O
OSO 3-
O
O
OH
O
OH
n
n
-karagenan
Struktur ideal -karagenan
-karagenan
Gambar L1. Struktur dasar berbagai jenis karagenan CH2 OSO3 -
CH2OSO3-
O
O
O
O
O
HNSO3-
CH2OS03O
O O
OH
OH
OH O
O OSO3 -
CO 2-
O
CO2 OH
OH
O HNSO3-
O O
CO2 -
OH
CH2 OSO3 -
OH
HNSO3-
O OH
HNAc
Gambar L2. Struktur dasar heparin
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 24
PENGGUNAAN GELOMBANG ULTRA SONIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI SINTESIS BIODIESEL SKLA GANDA DARI MINYAK SAWIT (CPO) DAN MINYAK JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS OIL) 1) & 2)
Subandi 1) dan Aman Santoso2) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang (UM) Jl. Semarang 5 Malang e-mail:
[email protected]
Abstract Hasil penelitian Tim Peneliti ini tahun sebelumnya, telah menemukan kondisi optimum untuk sintesis biodiesel skala laboratorium dengan bantuan ultrasonik, dari CPO maupun CJCO. Disamping rendemennya meningkat, penggunaan ultrasonik mampu memperpendek waktu sintesis biodiesel dari 1 jam menjadi hanya 5 menit saja. Kondisi optimum yang diperoleh pada penelitian di atas, adalah kondisi optimum sintesis biodiesel skala laboratorium (50-100 mL setiap kali produksi). Oleh sebab itu, sebelum dapat digunakan untuk produksi sesungguhnya dalam industri biodiesel, kondisi optimum yang diperoleh perlu di uji kembali pada skala yang lebih besar, yaitu skla pilot plant (5-50L setiap kali produksi atau minimal sekitar 1000 L perhari/24 jam. Secara umum tujuan penelitian tahun ke dua ini adalah menentukan model sintesis biodiesel yang optimum menggunakan reaktor gelombang ultrasonik pada skala pilot plan (>5 L/sintesis), dari bahan baku minyak sawit (CPO) dan minyak jarak (CJCO), menentukan kualitas biodiesel hasil sintesis, serta kelayakan produksi dengan .reaktor tersebut pada kondisi optimum. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen di laboratorium, menggunakan generator ultrasonic merk Sibata dengan daya 800 Watt dan frequensi 40 KHertz. Tahapan penelitian:1) Rafinasi/ bleaching minyak sawit dengan clay yang diaktifasi, 2) Reaksi esterifikasi minyak jarak yang memiliki kadar ALB lebih dari 3%, 3) Membuat perangkat peralatan ultrasonik untuk sintesis biodiesel skala pilot plant 4) Mencari kondisi optimum perangkat ultrasonic untuk Sintesis biodiesel dengan bahan baku minyak jarak pagar dan minyak sawit pada skala pilot plan, menggunakan data acuan data kondisi optimum skala lab, yang telah diperoleh pada tahun pertama penelitian ini, 5) Karakterisasi sifat fisika dan kimia hasil sintesis biodiesel pada skala pilot plant yang dihasilkan, baik yang berasal dari minyak sawit maupun minyak jarak dan 6) Melakukan analisis feasibilitas keekonomian terhadap produksi biodiesel pada skala pilot plan dari minyak sawit dan minyak jarak dengan gelombang ultrasonik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) perangkat ultrasonik untuk síntesis biodiesel skala pilot plan (skala ganda) terdiri dari unit reaktor transesterifikasi dengan ultrasonik, unit pemisahan, unit pencucian dan unit evaporasi, 2) kondisi optium rafinasi dan bleaching adalah dengan menggunakan clay 2-20%, sedangkan kondisi optimum síntesis biodiesel dengan ultrasonik adalah pada fraksi metanol 1:7 dengan persen KOH sebagai katalis sebesar 0,6, pada suhu 60°C dan penggunaan gelombang ultrasonik selama 5 menit, yang menghasilkan rendemen biodiesel sebesar 93%. 3) Kualitas biodiesel yang dihasilkan dengan kondisi optimum di atas adalah dengan warna kuning kecoklatan jernih dengan viskositas 6,5-7 centipoise dan bilangan asam 0,4, dan 4) analisis fisibilitas secara ekonomi terhadap síntesis biodiesel dengan bantuan ultrasonik menunjukkan bahwa metode ini hanya layak untuk digunakan dalam industri setelah harga solar di pasaran tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. Keywords: Sintesis Biodiesel, ultrasonik, mikrowave, CPO, CJCO
1. PENDAHULUAN Minyak bumi menjadi kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat, namun eksplorasi minyak bumi (BBM) secara terus menerus mengakibatkan cadangan minyak bumi akan habis, maka ketergantungan pada bahan bakar fosil harus dikurangi (Mursanti, 2007). Biodiesel merupakan alternatif untuk
SEMNAS MIPA 2010
menggantikan solar, dan dapat dibuat dari minyak tanaman atau lemak dengan reaksi transesterifikasi (Demirbas, 2007). Karena proses produksinya relatif sederhana maka dimungkinkan untuk dikembangkan oleh industri kecil dan menengah. Ada beberapa keuntungan jika menggunakan biodiesel, yaitu biodegradable, tidak toksik, serta secara spesifik menurunkan kadar CO 65%, KIM - 25
CO2 78%, dan SO2 90% jika dibandingkan bahan bakar fosil (Margaroni, 1998, Knothe and Stanley, 2005 dalam O.J. Alamu, 2007). Berdasarkan struktur kimianya, biodiesel merupakan bentuk ester dari asam lemak dari minyak nabati (trigliserida) yang diperoleh dengan reaksi transterifikasi menggunakan metanol atau etanol dengan katalis asam atau basa. Sebagai negara agraris Indonesia kaya akan sumber minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel, seperti minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak jarak pagar atau Crude Jatropha Curcas Oil (CJCO). Bahkan saat ini Indonesia merupakan salah satu penghasil CPO terbesar di dunia, yang memungkinkan penggunaan kelebihan produksi CPO untuk dikonversi menjadi biodiesel. Sumber minyak lain yang potensial sebagai bahan baku biodiesel adalah biji jarak pagar (Jatropha Curcas L) (Dewi, dkk., 2005), dimana kandungan minyaknya 30-40% dari biji kering (Hariadi, MS. 2005.). Jarak pagar potensial untuk dikembangkan karena dapat tumbuh pada lahan yang kurang subur atau lahan kritis. Minyak CPO atau CJCO kekentalannya tinggi, sehingga tak dapat langsung digunakan untuk bahan bakar mesin diesel. Dengan konversi kedua jenis minyak tersebut menjadi biodiesel viskositasnya akan turun tajam sampai tinggal 15% dari semula (Alamu, 2007 dan Demirbas,2007) sehingga dapat digunakan sebagai pengganti solar (Anonim, Warta pertamina, 2007). Pada sintesis biodisel atau transesterifikasi minyak nabati, dilibatkan dua jenis bahan dengan kepolaran berbeda (minyak di satu sisi dengan alkohol dan larutan basa di sisi yang lain) sehingga reagen tidak mudah untuk bercampur sempurna. Di samping itu, hasil yang diperoleh yaitu biodiesel dan gliserin, agak sulit untuk memisah, sehingga diperlukan waktu produksi yang cukup lama bahkan bisa lebih dari 10 jam. Hasil beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa gelombang mikro (microwave) dan gelombang ultrasonik dapat meningkatkan laju reaksi. Dengan bantuan gelombang mikro dan pada temperatur reaksi yang sama, reaksi organik berlangsung lebih cepat, dan proses reaksi SEMNAS MIPA 2010
berlangsung lebih homogen (Allesio Amore et.al, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada reaksi transesterifikasi, penggunaan gelombang mikro dapat mempercepat reaksi (Bernad, et. al., 2007), dan hasil reaksinya dapat terpisah dengan baik (Widodo, dkk, 2006). Hal itu karena gelombang ultrasonik dapat mengaktifkan tahap penentu reaksi (Stavarache and Vinatoru, 2007), sehingga dapat mempercepat laju dan tercapainya kesetimbangan reaksi (Deshmane, et.al 2008). Bahkan Bambang (2008) mampu mensintesis biodiesel dalam beberapa menit saja, dan dengan rendemen yang lebih tinggi dibanding yang tanpa ultrasonik. Penelitian terkait efisiensi proses dalam membuat biodiesel dari bahan baku minyak sawit, dan minyak jarak pagar belum banyak dilakukan, baik skala laboratorium maupun skala pilot plan. Hasil penelitian Tim Peneliti ini tahun sebelumnya, telah menemukan kondisi optimum untuk sintesis biodiesel skala laboratorium, dari CPO maupun CJCO, baik dengan bantuan microwave atau ultrasonik (Subandi dan Aman, 2009). Dengan bahan baku CPO, kondisi optimum metode konvensional dicapai pada fraksi mol metanol 1:8, katalis KOH 0,8% dan dalam waktu 1 jam dengan rendemen 87%, sedangkan jika menggunakan metode ultrasonik kondisi optimum dicapai pada fraksi mol metanol 1:7, katalis KOH 0,6% dan dalam waktu hanya 5 menit dengan rendemen 91%. Sementara jika menggunakan metode mikrowave, kondisi optimum dicapai pada fraksi mol metanol 1:8, katalis KOH 0,6% dengan waktu reaksi 5 menit, dengan rendemen 89%, Dengan bahan baku minyak jarak pagar (CJCO), metode konvensional mencapai kondisi optimum pada fraksi mol metanol 1:8, katalis KOH 0,5% dan waktu 1 jam dengan rendemen 90%, sedangkan jika menggunakan metode ultrasonik mencapai kondisi optimum pada fraksi mol metanol 1:8, katalis KOH 0,6% dan waktu 5 menit dengan rendemen 92%, dan jika menggunakan metode mikrowave tercapai kondisi optimum pada fraksi mol metanol 1:7, katalis KOH 0,6% dan waktu 5 menit dengan rendemen 90% (Subandi dan Aman, 2009).
KIM - 26
Dengan demikian disamping rendemennya meningkat, penggunaan ultrasonik dan microwave masing-masing mampu memperpendek waktu sintesis biodiesel dari 1 jam menjadi hanya 5 menit saja (Subandi dan Aman S., 2009). Disamping itu, hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa jika CPO dan CJCO masih memiliki viskositas sekitar 34 dan 30 poise, maka biodiesel hasil sintesis menggunakan microwave dari minyak sawit dan minyak jarak memiliki viskositas berturut-turut sekitar 6,6 dan 5,5, sedangkan yang menggunakan ultrasonik viskositasnya 6,4 dan 5,3. Dengan demikian keduanya sudah atau hampir memenuhi standar mutu SNI untuk biodisel, yaitu maksimum 6 (Subandi dan Aman S, 2009) Kondisi optimum yang diperoleh pada penelitian di atas, adalah kondisi optimum sintesis biodiesel skala laboratorium (50-100 mL setiap kali produksi). Oleh sebab itu, sebelum dapat digunakan untuk produksi sesungguhnya dalam industri biodiesel, kondisi optimum yang diperoleh perlu di uji kembali pada skala yang lebih besar, yaitu skla pilot plant (5-50L setiap kali produksi atau minimal sekitar 1000 L perhari/24 jam). Penelitian tentang pemanfaatan gelombang ultrasonik dalam sintesis biodiesel pada skala yang lebih besar (skala pilot plan), dengan model semi continue belum banyak dilakukan, padahal sangat diperlukan model produksi biodiesel yang efisien dengan kualitas yang baik, sehingga nantinya dapat diterapkan pada industri kecil menengah. Oleh karena rendemen sintesis biodisel tertinggi diperoleh dengan metode optimum ultrasonik (Subandi dan Aman, 2009), maka kondisi optimum dengan metode ultrasonik itulah yang akan discale up menjadi skala pilot plan. Dengan demikian masih diperlukan penelitian lanjutan dengan judul: “Optimasi Metode Ultra Sonik Untuk Meningkatkan Efisiensi Sintesis Biodiesel skala pilot Plant Dari
SEMNAS MIPA 2010
Minyak Sawit (CPO) Dan Minyak Jarak Pagar (Jatropha Curcas Oil)” 2. METODE 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen di laboratorium, yaitu optimasi penggunaan ultrasonik untuk sintesis biodiesel dari minyak jarak dan minyak sawit pada skala pilot plan dengan bagan alir seperti Gambar 3.1 dan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Rafinasi/ bleaching minyak sawit dengan clay yang diaktifasi (Prosedur pada Lampiran) 2. Reaksi esterifikasi minyak jarak yang meiliki kadar ALB lebih dari 3% dengan prosedur seperti pada Lampiran 3. Membuat perangkat peralatan ultrasonik untuk sintesis biodiesel skala pilot plant 4. Mencari kondisi optimum perangkat ultrasonic untuk Sintesis biodiesel dengan bahan baku minyak jarak pagar dan minyak sawit pada skala pilot plan, menggunakan data acuan data kondisi optimum skala lab, yang telah diperoleh pada tahun pertama penelitian ini 5. Karakterisasi sifat fisika dan kimia hasil sintesis biodiesel pada skala pilot plant yang dihasilkan, baik yang berasal dari minyak sawit maupun minyak jarak. 6. Melakukan analisis feasibilitas keekonomian terhadap produksi biodiesel pada skala pilot plan dari minyak sawit dan minyak jarak dengan gelombang ultrasonik. Untuk lebih jelasnya rancangan penelitian yang akan dilakukan pada tahun kedua adalah seperti pada Gambar 1. 2.2 Analisis Data Analisis hasil scale up dalam sintesis biodiesel dari minyak jarak dan minyak sawit akan dapat ditabulasikan seperti pada Tabel 1-3.
KIM - 27
Minyak Sawit CPO
Minyak Jarak Pagar (CJCO)
Rafinasi/Bleaching dengan Clay
Esterifikasi, bertahap
Bahan baku biodiesel
Scale Up Produksi Biodiesel (1-10 L sekali produksi)
Kondisi optimum skala Lab
Seting Reaktor
Reaktor ultrasonik (optimasi fraksi methanol, % KOH, waktu reaksi)
Rendemen dan Karakter fisika dan kimia Biodiesel : Berat Jenis Kadar Asam Lemak Bebas Bilangan Penyabunan Bilangan Peroksida
Viskositas Bilangan Asam Bilangan Iod
Analisis feasibilitas sintesis/produksi biodiesel dari minyak jarak dan minyak sawit dengan gelombang ultrasonik pada skala pilot plan
Gambar 1. Rancangan penelitian: optimasi sintesis biodiesel dengan ultrasonik pada skala pilot plan (Prosedur Rinci ada pada Lampiran)
a)
Penanganan bahan baku
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 28
Tabel 1. Kadar FFA (Free Fatty Acid) hasil esterifikasi minyak Jarak Jenis Bahan
Kadar FFA dan sifat fisik lain Sebelum esterifikasi Sesudah esterifikasi
Minyak sawit Minyak Jarak
b)
Optimasi sintesis biodiesel dari minyak jarak dan minyak sawit pada skala pilot Plan Tabel 2. Rendemen biodiesel pada berbagai kondisi minyak jarak Rendemen Perlakuan
Gelombang Ultrasonik (5 menit)
c)
Rendemen biodiesel (%) Pada Fraksi alkohol 1:7 / KOH Fraksi metanol 1:7 0,7% KOH 0,8% 1 2 3 Rerata 1 2 3 rerata
Berat sampel (.......x 1000g) 1 2 3 4
Optimasi sintesis biodiesel dari minyak Sawit pada skala pilot plan Tabel 3. Rendemen biodiesel pada berbagai kondisi dari minyak Sawit Rendemen Perlakuan
Gelombang Ultrasonik ( 5 menit)
Rendemen biodiesel (%) Pada Fraksi alkohol 1:7 / Pada Fraksi metanol 1:7 KOH 0,7% KOH 0,8% 1 2 3 Rerata 1 2 3 Rerata
Berat sampel (......x 1000g) 1 2 3 4
d)
Karakterisasi Hasil Biodiesel Data yang diperoleh dari hasil sintesis pada skala pilot plan baik dari minyak sawit maupun minyak jarak dianalisis sifat fisik dan kimianya yang meliputi : Berat Jenis Viskositas Kadar Asam Lemak Bebas Bilangan Asam Bilangan Penyabunan Bilangan Iod
SEMNAS MIPA 2010
Prosedur selengkapnya dari masing-masing analisis ada pada Lampiran. 2.3. Analisis Feasibilitas Sintesis Biodiesel Analisis feasibilitas pada sintesis biodiesel dengan ultrasonik pada berbagai bahan baku dengan rincian seperti pada Tabel 4. Berdasarkan analisis ini dapat ditentukan dengan kondisi dan bahan baku apakah pembuatan biodiesel dengan ultrasonic yang paling menguntungkan.
KIM - 29
Tabel 4. Analisis kebutuhan biaya dalam sintesis per liter biodiesel Jenis Biaya
Jumlah unit
Harga per unit (Rp.)
Total biaya (Rp.)
Biaya minyak jarak/ minyak sawit (kg) Biaya alat Biaya aditif (metanol) (liter) Biaya katalisator (KOH) liter) Biaya minyak tanah/LPG (liter) Biaya air pencuci (liter) Biaya tenaga kerja Biaya energi listrik Jumlah Biaya Produksi Biodiesel/ liter
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penanganan Bahan baku a) Rafinasi Minyak CPO Minyak sawit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari PT Salim Invomas Pratama di Surabaya yang berasal dari PKS di Kaltim. dan Kalsel. memiliki sifat fisik berbentuk cair dengan kenampakan fisik seperti pada Gambar 2. Minyak sawit (CPO) yang diperoleh seperti pada Gambar 2 berwarna coklat tua kemerahan dengan kadar ALB 2,0-2,5 dilihat dari kadar ALB tidak terlalu tinggi sehingga secara teoritis dapat ditransesterifikasi langsung. Transesterifikasi langsung minyak sawit dengan metanol dikatalis KOH selama 2 jam pada suhu 65 oC memberikan hasil tidak menunjukkan terbentuknya gliserin seperti terlihat pada Gambar 3.
ester (biodiesel) dan gliserol yang memisah dalam dua lapisan dimana lapisan atas sebagai alkil ester dan lapisan bawah sebagai gliserin. Kriteria paling sederhana apakah proses transesterifikasi berhasil atau tidak dapat dilihat dari terbentuk atau tidaknya lapisan gliserol yang berwarna coklat kemerahan (lebih kental) dengan kenampakan fisik seperti pada Gambar 4.
Gambar
3. Hasil transesterifikasi langsung minyak sawit yang belum di pucatkan
Gambar 2. Minyak CPO dari PKS Seperti terlihat pada Gambar 3 hasil transesterifikasi langsung CPO dihasilkan campuran dalam bentuk satu fasa tidak menunjukkan adanya lapisan gliserin. Pembuatan biodiesel dari minyak atau lemak merupakan reaksi antara trigliserida dengan alkohol dikatalis basa, akan dihasilkan alkil SEMNAS MIPA 2010
Gambar 4. Hasil transesterifikasi CPO hasil bleaching dengan clay 3 % Minyak sawit (CPO) meskipun bilangan ALBnya tidak terlalu tinggi, namun warnanya sangat pekat (coklat kemerahan), dan mengandung gum akanmenghalangi
KIM - 30
reaksi tranesterifikasi sehingga harus dilakukan bleaching. Tujuan bleaching untuk menghilangkan pengotor dalam minyak misalnya logam, produk-produk oksidasi, dan pigmen warna dalam CPO. Rafinasi minyak sawit kasar dilakukan menggunakan clay yang diaktivasi,. Warna CPO sangat kuat oleh karena itu diperlukan clay dalam jumlah besar, namun penggunaan absorbent berlebihan akan kurang efisien dan kesulitan dalam pemisahan hasil. Variasi berbagai konsentrasi clay dalam proses bleaching minyak sawit, hasil kenampakan fisiknya seperti terlihat pada Gambar 5 - 9.
tidak berwarna tergantung pada konsentrasi clay yang digunakan. CPO yang telah dipucatkan dengan clay 2-3% telah dapat atau layak ditransesterifikasi, keberhasilan reaksi transesterifikasi dengan kenampakan sederhana terbentuknya gliserin pada lapisan bawah seperti pada Gambar 4. Sifat-sifat fisik lain dari minyak CPO sebelum dan sesudah dipucatkan terlihat seperti pada Tabel 5
Gambar 8. CPO hasil bleaching clay 7 %
Gambar 5. CPO hasil bleaching dengan clay 1 % Gambar 9. CPO hasil bleaching clay 20 %
Gambar 6. CPO hasil bleaching clay dengan 2 %
Gambar 7. CPO hasil bleaching clay 5 %
Minyak sawit kasar meskipun kadar asam lemak bebasnya di bawah 3% tidak berhasil ditransesterifikasi langsung, karena meskipun kadar ALBnya tidak tinggi dalam CPO mengandung pengotor lain seperti gum, pewarna yang kuat sehingga adanya pengotor ini menganggu reaksi transesterifikasi. Clay dari Malang yang telah diaktifasi mempunyai sifat porous sehingga mampu mengikat zat warna, bau serta asam lemak bebas dalam minyak. Konsentrasi clay yang digunakan berpengaruh pada kemampuan adsorbsi terhadap pengotor dalam minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, karena semakin tinggi konsentrasi kemampuan mengadsorbsi pengotor (warna) dalam minyak semakin sempurna. Hal ini terbukti pada hasil rafinasi minyak sawit dengan clay 20%, minyak menjadi jernih tidak berwarna dan tidak berbau, yang artinya pada konsentrasi tersebut telah terjadi pengadsorbsian dengan sempurna.
Seperti terlihat pada Gambar 5-9 konsentrasi clay pada bleaching minyak sawit berpengaruh pada pemucatan warna CPO, hasil bleaching dengan clay konsentrasi 1 % warnanya coklat, 2% warnanya coklat muda, 5% coklat muda lebih terang 7% coklat , 20 % tidak berwarna (jernih). Hasil bleaching minyak sawit warnanya dari coklat muda sampai Tabel 5. Sifat Fisik Minyak Sawit Sebelum dan Sesudah Bleaching. SEMNAS MIPA 2010
KIM - 31
Sifat Warna Bau ALB Berat jenis (kg/l) Viskositas (Brookfield)
Sebelum bleaching
Sesudah bleaching
Coklat kemerahan Seperti karamel 2 – 2,5 % 0,91 33-34 cps
Coklat muda - putih Tidak berbau 1,75-2,0 % 0,90 33-34 cps
b)
Esterifikasi Minyak Jarak Minyak atau lemak mengalami reaksi hidrolisis menghasilkan asam-asam lemak bebas, secara kuantitatif kadar asam lemak bebas dalam minyak dapat dapat dilihat dari bilangan asam lemak bebasnya (ALB). Reaksi hidrolisis minyak dapat terjadi dengan reaksi sebagai berikut: CH2 - O - CO - R1
CH2OH
CH - O - CO - R2 + H O 2
CHOH
CH2 - O - CO - R3
CH2OH
R3 - COOH
gliserol
asam-asam lemak
trigliserida/minyak
air
R1 - COOH
+
R2 - COOH
Seperti terlihat dalam reaksi hidrolisis minyak di atas, satu molekul minyak terhidrolisis menghasilkan satu molekul gliserol dan 3 molekul asam lemak karboksilat (sebagai asam lemak bebas). Tinggi rendahnya jumlah asam lemak bebas dalam minyak menentukan kadar asam lemak bebas (ALB) dari minyak, dan untuk bahan baku biodiesel adanya asam lemak bebas mengganggu proses reaksi pembuatan biodiesel. Minyak jarak pagar hasil pengepresan tradisional memiliki kadar ALB cukup tinggi, oleh karena itu agar dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel harus diturunkan kadar asam lemak bebasnya. Penurunan ALB dalam minyak dapat melalui reaksi esterifikasi, dengan mereaksikan minyak dengan metanol dikatalis asam. Reaksi esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol dikatalis asam seperti dikemukakan Murray (1998) dan Carey (2003) dapat dituliskan sebagai berikut: R1 - COOH
+
CH3OH
H2SO4
R1 - COOCH3
Berdasarkan reaksi esterifikasi di atas menunjukkan bahwa asam karboksilat yang merupakan asam lemak bebas dalam minyak dapat bereaksi dengan metanol dikatalis asam menghasilkan satu molekul metil ester asam karboksilat dan satu molekul air. Bereaksinya asam lemak karboksilat (asam lemak bebas) dapat menurunkan kadar ALB dalam minyak, dengan merubah bentuk asam karboksilatnya menjadi bentuk ester. Penurunan ALB dengan esterifikasi dipengaruhi frekuensi atau jumlah pengesteran yang dilakukan dan lama reaksi berlangsung. Hasil percobaan pengaruh lama reaksi dan jumlah tahapan esterifikasi terhadap penurunan ALB seperti terlihat pada Tabel 6. Seperti terlihat pada Tabel 6 esterifikasi untuk satu tahap dalam waktu 1 jam dan dua jam mampu menurunkan ALB minyak jarak dari 12% menjadi 7,5 dan 4,8%. Sedangkan esterifikasi dengan 1, 2 dan 3 tahapan dengan setiap tahapan 1 jam berturut mampu menurunkan ALB dari 12% menjadi 7,8 ; 3,8 dan 2,5%. Esterifikasi minyak jarak secara langsung selama 2 atau 3 jam, menurunkan ALB minyak dari 12% menjadi 4,8 dan 4,2%. Sedangkan esterifikasi selama 2 atau 3 jam dengan penambahan metanol secara bertahap setiap 1 jam berturut-turut menurunkan kadar ALB dari 12% menjadi 3,8 dan 2,5%.
+ H2O
Tabel 6. Pengaruh Jumlah Tahapan dan Waktu Esterifikasi terhadap Kadar ALB asam karboksilat metanol ester metil karboksilat Minyak Jarak ALB minyak awal (%)
SEMNAS MIPA 2010
Jumlah tahap
Waktu esterifikasi (jam)
ALB setelah esterifikasi
KIM - 32
esterifikasi 11-12 11-12
1 1
11-12
1 2 3
1 2 3 1 1 1
7,5 4,8 4,2 7,5 3,8 2,5
Tabel 7. Validasi Kondisi Optimum Sintesis Biodiesel Skala Laboratorium dari Minyak Jarak dan Minyak Sawit Tehnik Sintesis Bahan baku
Konvensional
Gelombang ultrasonik
Kondisi dan Rerata rendemen (%)
Kondisi dan Rerata rendemen (%)
1:8 ; 0,8 % ; waktu 1 jam 90%
1:7; 0,6 % ; 5 mnt 93%
1:8 ; 0,5 % ; 1 jam 92%
1:8 ; 0,6 % ; 1 jam 94%
Minyak sawit Minyak Jarak
Hasil percobaan esterifikasi minyak jarak dari 12% dengan 1 ; 2 dan 3 tahapan esterifikasi kadar ALB turun menjadi 7,5 ; 3,8 dan 2,5 % . Buasri, (2009) telah melakukan dua kali esterifikasi minyak sawit dengan asam lemak tinggi (8%), menjadi kadar ALBnya 2%. Sehingga berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa reaksi esterifikasi dapat digunakan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dalam minyak, dan esterifikasi secara bertahap lebih efisien menurunkan kadar ALB dari pada esterifikasi secara langsung. 4.2. Sintesis Biodiesel dari Minyak Sawit dan minyak jarak pagar a)
Validasi Kondisi Optimum Sintesis Biodiesel
Berdasarkan kondisi optimum pembuatan biodiesel dari minyak sawit dan minyak jarak secara konvensional, dan ultrasonik berdasarkan hasil percobaan pada skala lab seperti pada Tabel 7. maka dilakukan pengujian ulang untuk memvalidasi maksimalisasi hasil yang diprediksikan dari hasil pada skala lab. Hasil pengujian ulang transesterifikasi minyak sawit maupun minyak jarak dengan cara konvensional, dan gelombang ultrasonik dihasilkan rendemen seperti pada Tabel 7. Seperti terlihat pada Tabel 7 hasil pengujian ulang kondisi optimum sintesis biodiesel dari minyak sawit menunjukkan: SEMNAS MIPA 2010
bahwa pada sintesis biodiesel dari minyak sawit dengan cara konvensional pada fraksi alkohol 1:8 konsentrasi katalis 0,8 dengan rendemen 90%. Sintesis biodiesel dari minyak sawit dengan gelombang ultrasonik pada fraksi alkohol 1:7 konsentrasi katalis 0,6 dengan rendemen 93%. Hasil pengujian ulang pada kondisi optimum sintesis biodiesel dari minyak jarak seperti pada Tabel 7 menunjukkan bahwa: sintesis biodiesel dari minyak jarak secara konvensional pada fraksi metanol 1:8 konsentrasi katalis 0,5% diperoleh rendemen 92%. Sintesis biodiesel dari minyak jarak dengan gelombang ultrasonik mencapai kondisi optimum pada fraksi metanol 1:8 konsentrasi katalis 0,6%, dengan rendemen 94%. Sehingga berdasarkan data tersebut di atas menunjukkan bahwa kondisi optimum konversi biodiesel yang diperoleh telah diuji ulang tetap memberikan rendemen yang maksimum dapat digunakan sebagai acuan untuk memperbesar skala proses produksi biodiesel pada tahap berikutnya (skala ganda). b) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Sawit Pada Skala Ganda Hasil validasi/pengujian ulang kondisi optimum reaksi pembuatan biodiesel dari minyak sawit dan minyak jarak secara konvensional, dengan gelombang mikro atau ultrasonik maka digunakan sebagai dasar untuk melakukan scale up produksi pada KIM - 33
skala ganda. Reaksi umum yang terjadi dalam pembuatan biodiesel dengan reaksi transesterifikasi adalah : CH2 - O - CO - R ' CH - O - CO - R " + 3CH3OH CH2 - O - CO - R'" minyak / suatu trigliserida
R' - COOCH3
CH2OH KOH
CHOH
R " - COOCH3
+
R ''- COOCH3
CH2OH metanol
gliserol
campuran metil ester asam lemak
konvensional, dan ultrasonik berturut-turut adalah 90 dan 93% artinya ditinjau dari rendemen yang dihasilkan tidak banyak berbeda, namun perbedaan yang cukup signifikan adalah waktu yang dibutuhkan dalam reaksi, dimana untuk proses dengan cara konvensional diperlukan waktu optimum 60 menit sedangkan dengan gelombang ultrasonik 2,5menit dan dengan gelombang mikro optimum pada 5 menit. Untuk proses transesterifikasi dengan gelombang ultrasonik untuk sampel skala laboratorium (50-100 g) waktu optimum dapat dicapai dalam 2,5 menit, namun untuk sampel mulai 1 kg waktu yang optimum sekitar 5 menit, karena dengan waktu 2,5 menit pencampuran reaksi kurang sempurna. Perbandingan waktu proses reaksi dan rendemen biodiesel yang dihasilkan untuk masing-masing metode pembuatan biodiesel adalah seperti pada Gambar 10.
Berdasarkan persamaan koefisien reaksinya perbandingan mol minyak dan metanol secara teoritis adalah 1:3 namun karena reaksi tersebut berkesetimbangan maka agar diperoleh hasil metil ester asam lemak yang tinggi maka dibuat reaksi bersegeser kekanan, dalam hal ini adalah dengan memperbesar alcohol (metanol) agar reaksi cenderung bergeser ke kanan. Pembesaran fraksi metanol yang digunakan akan mendorong kesetimbangan ke arah kanan artinya memperbesar produk, namun Seperti terlihat pada Gambar 10 penggunaan yang berlebih juga akan rendemen biodiesel yang dihasilkan pada meperbesar biaya produksi, oleh karena itu proses konversi minyak sawit menjadi harus ditentukan fraksi metanol yang biodiesel antara metode konvensional, dan optimum agar diperoleh hasil yang gelombang ultrasonik tidak banyak maksimal. perbedaan, yaitu sekitar 90-93%. Waktu Pembesaran skala produksi biodiesel proses reaksi dalam pembuatan biodiesel pada skala ganda dari minyak sawit dengan dari minyak sawit pada skala ganda dengan pengaduk mekanis, gelombang mikro atau gelombang mikro atau dengan ultrasonik gelombang ultrasonik telah dilakukan, membutuhkan waktu hanya 5 menit, tetapi dimana terdapat hubungan kondisi reaksi dengan cara konvensional membutuhkan 60 dengan rendemen pada berbagai metode menit, yang hal ini berarti dengan dengan hasil seperti tertera pada Tabel 8. gelombang mikro dan ultrasonik telah dapat Seperti terlihat pada Tabel 8 dalam menurunkan (mereduksi) waktu reaksi sintesis biodiesel dari 1000 g minyak sawit sekitar 90%nya tinggal 5 menit. dihasil rendemen biodiesel untuk cara Tabel 8. Hasil Scale Up Pembuatan Biodiesel dari 1000 g Minyak Sawit Sistem model
Kondisi optimum (fraksi metanol / %Katalis)
Rendemen (%)
Waktu (menit)
Konvensional
1:8 / 0,8
90
60
Gelombang ultrasonik
1:7 / 0,6
93
5
Kualitas hasil V = 6,5-7,0 cps W = kuning kecoklatan jernih Bil. Asam : 0,4 Simpulan : baik V = 6,5-7,0 cps W = kuning kecoklatan jernih Bil. Asam : 0,4 Simpulan : baik
Ket: V = viskositas W = Warna
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 34
Rendemen (%)
93,5 93 92,5 92 91,5 91 90,5 90 89,5 89 88,5 5
60 Waktu (m enit)
Gambar 10. Perbandingan rendemen dan waktu proses reaksi sintesis biodiesel dari minyak sawit metode konvensional dan ultrasonik. Tabel 9. Rendemen Biodiesel dari Minyak Sawit pada Berbagai Metode Skala Ganda Hasil Proses Produksi
Berat minyak Sawit Rerata (%)
Rendemen 1000 2000 3000
Kondisi optimum pada proses konversi minyak sawit pada skala ganda dengan cara konvensional dicapai pada fraksi metanol 1:8 konsentrasi KOH 0,8% dan waktu proses yang dibutuhkan 60 menit dengan rendemen 90%. Sedangkan kondisi optimum konversi minyak sawit pada skala ganda dengan gelombang ultrasonik di capai pada fraksi metanol 1:7 dan konsentrasi KOH 0,6 % dengan waktu proses yang dibutuhkan 5 menit dengan rendemen 93% Pembesaran skala produksi biodiesel dari minyak sawit dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih mendekati kondisi pada skala industri sehingga dapat dilakukan aspek kelayakan usahanya. Hasil rendemen biodiesel pada berbagai berat sampel dalam proses produksi biodiesel pada skala ganda dari minyak sawit dengan cara konvensional, atau gelombang ultrasonik seperti terlihat pada Tabel 9. Seperti terlihat pada Tabel 9 menunjukkan bahwa rendemen produksi biodiesel minyak sawit pada skala ganda dari kapasitas 1 kg//batch dinaikkan sampai 3kg/batch pada proses dengan cara konvensional memiliki rata-rata rendemen sebesar 90%, sedangkan konversi dengan gelombang ultrasonik rendemennya 93%. SEMNAS MIPA 2010
KONV (%) 90,0 90,1 90,1 90,06
US(%) 93 93,1 93,1 93,07
c)
Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jarak Pada Skala Ganda Hasil validasi/pengujian ulang kondisi optimum reaksi pembuatan biodiesel dari minyak jarak pagar dan minyak jarak secara konvensional, dengan gelombang mikro atau ultrasonik maka digunakan sebagai dasar untuk melakukan scale up produksi pada skala ganda. Reaksi umum yang terjadi dalam pembuatan biodiesel dengan reaksi transesterifikasi adalah : CH2 - O- CO-R' CH - O- CO-R"
KOH + 3CH3OH
CH2 - O- CO-R'" minyak/ suatutrigliserida
R' - COOCH3
CH2OH CHOH CH2OH metanol
gliserol
+
R" -COOCH3 R''- COOCH3 campuran metilester asamlemak
Berdasarkan persamaan koefisien reaksinya perbandingan mol minyak dan metanol secara teoritis adalah 1:3 namun karena reaksi tersebut berkesetimbangan maka agar diperoleh hasil metil ester asam lemak yang tinggi maka dibuat reaksi bersegeser kekanan, dalam hal ini adalah dengan memperbesar alcohol (metanol) agar reaksi cenderung bergeser ke kanan. KIM - 35
d) Analisis Kelayakan usaha sintesis biodiesel dengan bantuan perangkat ultrasonic Berdasarkan survey di pasaran dan kebutuhan masing-masing bahan serta energi untuk sintesis biodiesel diperoleh data seperti pada Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa biaya keseluruhan produksi biodiesel dari minyak jarak atau CPO menggunakan perangkat ultrasonic adalah Rp. 6.645,/Liter. Sementara harga biodiesel atau solar
non-subsidi di pasaran adalah Rp. 7500,/Liter, sehingga harga pokok produksi biodiesel dari minyak sawit masih berada di bawah harga solar/minyak diesel non subsidi. Dengan demikian jika produk biodiesel yang disintesis dengan metode ini dengan beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungannya, dijual dengan harga sama seperti harga solar non-subsidi akan diperoleh keuntungan dalam rentangan Rp. 800-850 per Liternya. Sehingga proses produksi biodiesel dari CPO dan minyak jarak dengan gelombang ultrasonic secara ekonomis layak untuk dikembangkan, namun jika harga solar yang ada di pasaran sudah tidak mendapat harga subsidi lagi dari pemerintah, atau dijual ke konsumen industry dimana bahan bakarnya tidak disubsidi pemerintah. 94,5 94
Rendemen (%)
Pembesaran fraksi metanol yang digunakan akan mendorong kesetimbangan ke arah kanan artinya memperbesar produk, namun penggunaan yang berlebih juga akan meperbesar biaya produksi, oleh karena itu harus ditentukan fraksi metanol yang optimum agar diperoleh hasil yang maksimal. Pembesaran skala produksi biodiesel pada skala ganda dari minyak jarak pagar dengan pengaduk mekanis, gelombang mikro atau gelombang ultrasonik telah dilakukan, dimana terdapat hubungan kondisi reaksi dengan rendemen pada berbagai metode dengan hasil seperti tertera pada Tabel 10. Seperti terlihat pada Tabel 10 ditinjau dari rendemennya dalam sintesis biodiesel secara konvensional dan ultrasonic tidak banyak perbedaan yakni sekitar 90-93%. Namun demikian jika ditinjau dari waktu yang dibutuhkan dalam proses produksi, penggunaan gelombang ultrasonic menurunkan waktu proses dari 60 menit menjadi 5 menit saja (terjadi penurunan sekitar 90%).
93,5 93 92,5 92 91,5 91 60
5
Waktu (menit)
Gambar 11. Perbandingan rendemen dan waktu proses reaksi sintesis biodiesel dari minyak Jarak metode konvensional dan ultrasonik.
Tabel 10. Hasil Scale Up Pembuatan Biodiesel pada 1000 g Minyak Jarak Kondisi optimum (fraksi methanol/ %Katalis)
Sistem model
Rendemen (%)
Waktu (menit)
Konvensional
1:8 / 0,5
92
60
Gelombang ultrasonik
1:8 / 0,6
94
5
Kualitas hasil V = 6,5-7,0 cps W = kuning kecoklatan jernih Bil. Asam : 0,4 Simpulan : baik V = 6,5-7,0 cps W = kuning kecoklatan jernih Bil. Asam : 0,4 Simpulan : baik
Tabel 11. Rincian Biaya Produksi Biodiesel dengan Perangkat Ultrasonic No.
Komponen Produksi
SEMNAS MIPA 2010
hitungan biaya/thn
Biaya per Liter Biodiesel
KIM - 36
(Rp)
(Rp)
1.
minyak
1.800.000.000
5.102
2.
metanol
432.000.000
1.224
3.
KOH
50.400.000
143
4.
energi/bahn bakar
8.100.000
23
5.
air
900.000
2,6
6.
listrik
4.437.000
12,6
7.
tenaga
45.000.000
127,6
8.
pemeliharaan alat
2.306.000
6,5
9.
Telepun
1.200.000
3,4
Jumlah total biaya per liter biodiesel
5. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dalam laporan penelitian ini, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perangkat ultarsonik untuk síntesis biodiesel skala pilot plan (skala ganda) terdiri dari unit reaktor transesterifikasi dengan ultrasonik, reaktor 2 untuk pemisahan, reaktor 3 untuk pencucian dan reaktgor 4 untuk evaporasi seperti terlihat pada Lampiran 3. 2. Kondisi optium bleaching adalah dengan menggunakan clay 2-20%, sedangkan kondisi optimum síntesis biodiesel dengan ultarsonik adalah pada fraksi metanol 1:7 dengan persen KOH sebagai katalis sebesar 0,6, pada suhu 60°C dan penggunaan gelombang ultrasonik selama 5 menit, yang menghasilkan rendemen biodiesel sebesar 93%. 3. Kualitas biodiesel yang dihasilkan dengan kondisi optimum di atas adalah dengan warna kuning kecoklatan jernih dengan viskositas 6,5-7 centipoise dan bilangan asam 0,4. 4. Analisis fisibilitas secara ekonomi terhadap síntesis biodiesel dengan bantuan ultrasonik menunjukkan bahwa metode ini hanya layak untuk digunakan dalam industri setelah harga solar di pasaran tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. 6. DAFTAR PUSTAKA Akpan, U.G., Jimoh, A. and Mohamed, A.D., Extraction and Modification of castor
SEMNAS MIPA 2010
6.645
oil. Departemen of Chenical Enginering, Federal University Of Technology, Mina P.M.B. Nigeria Alamu, O.J., Waheed, M.A. and Jekayinfa,S.O.,2007. Alkali-Catalysed Production And Testing Of Biodiesel From Nigerian Palm Kernel Oil, Agricultural Enginering International: The CIGR Ejournal. Manuscript Number EE 07 009. Vol.IX.July. 2007). Bargale, P.C. and Sing, J., 2000 . Oil Expressin Characteristics of rapeseed for a small capacity screw press: Journal of food science technology. V.37. p. 130-134. Beerens, Peter. 2007. Screw pressing of jatropha curcas for fuelling porpuses in less developed countries, Eindhoven University Technology, Departemen Sustuinable Energy Technology Demirbas, Ayhan. 2007. Alternative and Renewable Energy Industries; Energy & Fuel, International Journal of Green Energy. Volume 4. Issue January 2007. Pages 15-26 Dewi, R.G.I., Kurniawan U. Siagan. 2005. The assessment of economic and Enviroment performance of 37lternati production in Indonesia. Proceding international seminar and exhibition on ecological power generation 2005, January 19, 2005. Jakarta. Indonesia Evani, Fuska S., 1 Juni 2008, Minyak Jelantah bisa jadi Bahan Bakar Evani, Fuska S., 2008, Minyak jelantah bias jadi bahan baker, minyak jelantah berbahaya jika digunakan berulang kali,
KIM - 37
namun dapat digunakan menjadi bahan bakar) Forum Bojonegoro, 7 Mei 2007, Budidaya tanaman Jarak Pagar ( Jatropha Curcas) sebagai sumber alternatif biofuel. Grepen. J. Van, B. Shanks, and R. Prushko, Biodiesel Production Technology, National Renewable Energy Laboratory (NREL), Colorado, 2004 Haas, M.J., Mcaloon, A.J., Yee, W.C., Foglia, T.A. 2006, A process model estimate biodiesel production cost. Bioresource Technology, 97:671-678 Haas. M J Schoot, K.M., Flogilla, T.A., W.N. Marmer, 2005, Biodiesel production by direct alkaline transesterification of lipid bearing material, World congress International Society for fat Hanh, H.D., Dong, Nguyen T., Stevarace, C., and Nishimura, R., 2008. Methanolisis trioleein by low frequency ultrasonic irridation, Energy conversion and management. Volume 49. Issue 2. Febrary 2008. P. 276-286 Hariadi, MS. 2005. Budidaya tanaman jarak (jatropha curcas) sebagai bahan alternative biofuel,. Makalah disampaikan dalam Forum Grup Diskusi (FGD) Tema prespektif sumber daya local bioenergi bidang SITEKNAS, Kementrian Riset dan Teknologi, Puspitek Serpong, Tanggal 14125 September 2005. http://www.hielscher.com/ultrasonics/, diakses 10 januari 2009 Heyda, C., Om Tapanes,. A., Donato. Ananda, G., Mesquita, J.W., 2008. Transesterifikasi of jatropha curcas oil gliceride, 38lternative and 38lternative38 studies of biodiesel reaction fuel and energy, Abstracts. January 14, 2008. Hielscher, 2006, Transterifikasi dengan ultrasonic, Ultrasound Technology Jatropha Handbook. Fact Foundation. Kusdiana, Dadan. Shaka, Shiro. 2004. Effect of water on biodiesel fuel production by supercritical methanol treatment. Biouresource Technology. V. 91. Issue 3. Page 289-295 Manurung, Robert. 2005. Minyak jarak Pengganti solar, Kompas, 15 maret 2005) SEMNAS MIPA 2010
Margaroni, 1998, Knothe and astanley, 2005 dalam O.J. Alamu, Development and evaluation of palm oil biodisesl fuel, The pacific Journal of science and technology, Volume 8 Number 2. November 2007) Mulyosuyono, A., 2000. Prospek CPO Parit. Kepala Balai Rekayasa Desain Sistem Tehnologi BPPT. Bandung Mursanti. 2007. Proses produksi dan substitusi biodiesel dalam mensubtitusi solar untuk mengurangi ketrgantungan tehadap solar, Pararel session International Seminar: Natural Resource & Enviroment 13 December 2007. Wisma Makara Universitas Indonesia Naik, Malaya. Meher, L.C., Naik, S.N. and Dos, L.M., 2008. Production of biodiesel from high free fatty acids Karanja (pongamita) oli. Biomassa and bioenergy. Volume 32. Issue 4. April 2008. P. 354357 Noureddini, Hossein, Harky, D., Medikonduru, V. 1998, A Continuous process for conversion of 38lternati oil into methyl esters of fatty oil acids, JAOCS vol 75 no 12 Obunfa., S. Ayo, 1985, Microbiolical and toxicological aspect of fermentation of castor oil seeds for ogirl 38lternativ, Journal of science volume 50, November 1985Folch, J., Lees, M. dan SloaneStanley, G.G. 1997. A simple method for isolation and purification of total lipids from animal tissues. Journal of Biological Chemistry 266: 631-640. Anonim, Permalink, 13 April 2007, Membangun Industri Biodiesel dari Limbah Cairnya Rahmadi, Ali. (….).BRDST BPPT S., Nani. Jaya, S., R. Vambal V., 2007. Optimization of solvent extraction of moringa (Moringa olifera, seed kernel using respone surface 38lternative. Food and bioproduct Processing. Volume 85. Issue 4. Page 328-335 Santoso, Ivan Novan., Still long biofuel to the market, Jakarta post, Nopember 2007 Departemen of agriculture (DEPTAN). 2006. Penyediaan bahan baku biodiesel di
KIM - 38
Indonesia. Indonesia
5-6
September.
Jakarta.
Sharma, Y.C. and Sing, B. 2008, Development of biodiesel from Karanja atree found in rural India, Fuel , Issue 8-9. July 2008. P. 1740-17842 Sharo. C., Nakazato, H I Ogawa and Y Kato, Lipase induced hydrolyzed of castor oil : effect of various metal, Journal of industrial microbiology and biotechnology, Vilume 21 number 6m 1998 Sintawati, Amalia. March 2006. The Prospect of biodiesel & Bioethanol Development as alternative Fuel in Indonesia. Economis Review. No 23. Jakarta. Indonesia Soerawijaya, T.H., dan Tohar, A. 2003 Menggagas kebijakan pengembangan biodiesel di Indonesia, Proceeding peluang bisnis 39lternat hilir kelapa sawit Serpong, hal 1-16 Subair., M, Pengolahan dan pemanfaatan jarak pagar sebagai sumber 39ltern 39lternative, 2007, Batlitbangda Sulawesi Selatan Susilo, B., 2008, Kajian Kinetika reaksi pembuatan biodiesel dengan menggunakan gelombang micro. Disertasi , Unibraw. Subandi dan Aman, S. 2009, Penggunaan Gelombang Mikro Dan Ultra Sonik Untuk Meningkatkan Efisiensi Sintesis Biodiesel Dari Minyak Sawit (CPO) Dan Minyak Jarak Pagar (Jatropha Curcas Oil), Laporan Hibah strategis Nasional FMIPA Lemlit UM, DP2M
SEMNAS MIPA 2010
Tatang, H.S., 2006. Seminar “ Business Oppurtunis of Biodiesel in he fuel market in Indonesia, BPPT, Jakarta. 8 Maret 2006 Martono, Wisnu, 2006, “Biokerosin, FAME dan Biodiesel Jatropha Curcas Oil dan Sawit: Perhitungan cost dan Harga” Jakarta, Kajian Oleh Departemen ESDM. 2006 Warta Pertamina. Edisi No: 5/THN XLI. 2 Mengenal Biodiesel & Crude Palm Oil. Mei. 2006 Wirawan, D.S., 2006. The current status biodiesel development in Indonesia one day seminar on biodiesel. March 2006. BPPT. Jakarta Wirawan, S.S.A., 2004. Reffernce Energy System Biodiesel, BPPT. 2004 Wirawan, Soni S., dan Tambunan, Armansah H., 2006. The Current status and prospects of biodiesel development in Indonesia: Review Presented on third Asia Biomassa Workshop. November 16, 2006, Tsukuda. Japan. Zhu, Z.R., Mannisto, J.A.S., dan Pietinene, P. 1995. Fatty acids composition of breast adipose tissue in breast cancer patient and patients with benign breast disease. Nutr Cancer. 24: 151-160. Quan, Zun-qing and Zhe Jiang, 2001, Studied on 39ethod for aqeous extraction of soyben oil, Journal of Zhe Ziang University Science. V. 2. No. 2. P.209-213 und",
"http://en.wikipedia.org/wiki/Ultraso diakses 10 Januari 2009
KIM - 39
KAJIAN NILAI PLASTISITAS CAMPURAN KAOLIN ABU SEKAM PADI Saiyidatul U., Anton P. dan Himmatul B. Jurusan Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrak: Abu sekam padi merupakan bahan buangan dari padi yang mengandung silika (SiO2). Oleh karena itu abu sekam padi mempunyai peluang sebagai bahan aditif pada pembuatan keramik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas keramik adalah plastisitas. Pada penelitian ini abu sekam padi dibuat pada suhu pengabuan 600 0C, 700 0C dan 800 0C selama 4 jam. Dari uji indeks plastisitas campuran kaolin dan fly ash dengan perbandingan 5 : 50 didapatkan hasil bahwa campuran kaolin dengan fly ash hasil pengabuan 600 0C adalah 21,49, hasil pengabuan pada suhu 700 0C adalah 18,45; dan hasil pengabuan 800 0C adalah 10,77.
Kata Kunci : Abu Sekam Padi, Plastisitas, Kaolin
PENDAHULUAN Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi, yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 % dari bobot padi adalah sekam padi (Hara, 1986) dan 15 % berat abu akan diperoleh dari total berat sekam padi yang dibakar (Chen et al, 1991). Abu sekam padi merupakan bahan buangan dari padi yang mempunyai sifat khusus yaitu mengandung senyawa kimia yang dapat bersifat pozolan, yaitu mengandung silika (SiO2) (Herina, 2005). Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 94 - 96 % dan apabila nilainya mendekati atau di bawah 90 % kemungkinan disebabkan oleh sampel sekam yang telah terkontaminasi dengan zat lain yang kandungan silikanya rendah (Houston, 1972). Senyawa kimia silika (SiO2) adalah suatu senyawa yang sangat luas aplikasinya mulai bidang konstruksi seperti bahan campuran untuk membuat keramik seni, semen, dan beton (Harsono, 2002). Pemanfaatan kandungan silika pada abu sekam padi dapat meningkatkan produksi material keramik tradisional. Dalam pembuatan keramik ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produk salah satu faktor tersebut adalah plastisitas. Jika nilai plastisitas bahan keramik mentah tidak diketahui dengan tepat, maka produk keramik yang halus tidak dihasilkan karena SEMNAS MIPA 2010
adanya keretakan, perubahan bentuk atau aneka cacat pada saat proses pembuatannya (Abdullah, 2004). Plastisitas yaitu kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk atau volume tanpa terjadinya retak-retak yang disebabkan oleh penyerapan air di sekeliling permukaan partikel lempung (Muntohar, 2007). Apabila abu sekam padi yang mengandung silika oksida ditambahkan pada lempung kaolin maka akan mempengaruhi nilai plastisitasnya, sehingga dilakukan kajian penambahan abu sekam padi dari berbagai suhu pengabuan terhadap plastisitas kaolin untuk mengetahui karakterisasi abu sekam padi dari berbagai suhu pengabuan serta untuk mengetahui nilai indeks plastisitas dari kaolin. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan yang digunakan adalah sekam padi diambil dari daerah Sendang Kediri. Lempung kaolin berasal dari pengrajin keramik daerah Dinoyo, Malang dan aquades Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayakan ukuran 40 mesh, desikator, tanur (Thermo Scientific), timbangan analitik, oven, spatula, seperangkat alat atterberg, seperangkat XRD. Prosedur Penelitian KIM - 40
Sekam padi dibersihkan dan dicuci dengan air kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Sekam padi kemudian dioven pada suhu 300 0C selama 30 menit (Harsono, 2002). Arang yang dihasilkan diabukan pada variasi suhu pengabuan 600 0C, 700 ºC, dan 800 0C selama 4 jam (Aina, 2007). Uji plastisitas dari campuran 5 g abu sekam dari hasil pengabuan pada suhu 600 0C, 700 0C dan 800 0C dengan 50 g kaolin dengan metode Atterberg. Uji batas cair dilakukan dengan memasukkan pasta campuran kaolinabu sekam padi dari masing-masing hasil pengabuan ke dalam mangkuk pada alat atterberg, kemudian mengalur dan dihitung jumlah ketukan serta dihitung kadar airnya. Uji batas plastis pada pasta campuran dilakukan dengan mengulung-gulung hingga pasta mengalami retak-retak pada diameter ± 3 mm. Penentuan kristalinitas dari abu sekam padi yang telah diabukan pada variasi suhu pengabuan 600 0C, 700 0C, dan 800 0C menggunkan XRD dengan cara menghaluskan sampel kemudian diletakkan dalam sample holder, kemudian disinari dengan sinar X. HASIL DAN PEMBAHASAN Indeks plastisitas merupakan selisih dari batas cair/LL (liquid limit) dan batas plastis/PL (plastic limit). Plastisitas disebabkan oleh adanya partikel mineral lempung dalam tanah. Plastisitas tanah pada dasarnya disebabkan karena penyerapan air disekeliling partikel lempung ke permukaan partikel. Berdasarkan hasil penelitian didapat indeks plastisitas kaolin dan campuran kaolin-abu sekam padi sebagai berikut: Tabel 1 Hasil Indeks Plastisitas No 1 2 3 4
Sampel Kaolin K-ASP 6000C K-ASP 7000C K-ASP 8000C
LL % 55,67 52,24
PL % 28,18 30,75
PI % 27,49 21,49
46,70
28,25
18,45
37,55
26,78
10,77
Keterangan: K-ASP (Kaolin-Abu Sekam Padi) Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dengan penambahan 5 g atau 10 % abu sekam padi dari hasil pengabuan pada SEMNAS MIPA 2010
suhu 600 0C, 700 0C dan 800 0C indeks plastisitas kaolin mengalami penurunan. Hal ini menurut Yuniarti, dkk (2008: 42) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penambahan abu sekam padi yang mengandung silika dan alumina yang bercampur dengan air akan terbentuk pasta. Sehingga rongga – rongga pori yang dikelilingi bahan tersebut lebih sedikit menyerap air. Pola difraktogram dari abu sekam padi hasil pengabuan pada suhu 600 0C, 700 0C, dan 800 0C ditunjukkan pada gambar dibawah ini:
Gambar 1.1 Difraktogram Abu Sekam Padi Yang Diabukan Pada Suhu 600 0C
Gambar 2 Difraktogram Abu Sekam Padi Yang Diabukan Pada Suhu 700 0C
Gambar 3 Difraktogram Abu Sekam Padi Yang Diabukan Pada Suhu 800 0C
Berdasarkan hasil XRD dapat diketahui bahwa d-spacing dari abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800 0C lebih kecil daripada pengabuan pada suhu 600 0C dan 700 0C sebesar 4.06. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara 2 bidang kisi dari abu sekam padi dari hasil pengabuan 800 0C lebih rapat dan teratur. Teori keplastisan dijelaskan bahwa plastisitas dapat disebabkan oleh susunan butir-butir yang tidak teratur sehingga dapat saling mengunci atau pegang memegang satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan penambahan abu sekam padi dari hasil pengabuan 800 0C plastisitas dari kaolin mengalami penurunan. KESIMPULAN Indeks plastisitas kaolin semakin menurun dengan penambahan abu sekam padi yang KIM - 41
diabukan pada variasi suhu 600 0C, 700 0C dan 800 0C yaitu; 21,49; 18,45; 10,77. Karkterisasi kristalinitas dari abu sekam padi hasil pengabuan pada suhu pengabuan 600 0 C, 700 0C dan 800 0C menunjukkan kristalinitas yang rendah dan cenderung amorf.
DAFTAR PUSTAKA Abdulloh. 2004. Evaluasi Teknik Uji Geser dan Uji Tekan dalam Kajian Pengaruh Kadar Air dan Penambahan Zai Imbuh Terhadap Karakteristik Plastisitas Lempung Asal Dsn. Pandisari Ds Sawo Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Fakultas MIPA ITB. Chen, J-M and Chang, F-W. 1991. The Chlorination Kinetics of Rice Hull, Ind. Eng. Chem. Res. Hara. 1986. Utilization of Agrowastes for Buildinng Materials. Japan: International Research and Development Cooperation Division, AIST, MITI. Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Padi (Syntesis of Amorphous Silicon from Outer Shell of Rice Seeds). Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 3 No.2, 2002: 98-103 98. Herina, S. 2005. Kajian Pemanfaatan Abu Sekam Padi Untuk Stabilisasi
SEMNAS MIPA 2010
Tanah Dalam Sistem Pondasi di Tanah Ekspansif. Kolokium dan Open House. Bandung: Pusat Penelitian dan Perkembangan Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum 8 – 9 Desember 2005. Muntohar, A.S. 2007. Pengantar Rekayasa geoteknik.http://muntohar.files.w ordpress.com/2007/04/samplebab3.pdf.Diakses pada tanggal 31 Juli 2009. Yuniarti, R., Suarini, G.A., Ismawati. 2008. Perbandingan Nilai Daya Dukung Tanah Dasar Badan Jalan yang Distabilisasi Semen dan Abu Sekam Padi. Media Teknik Sipil. Lombok: Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram, Januari 2008.
KIM - 42
Pengaruh perlakuan awal PENGUAPAN DAN PENGUAPANimpregnasi MENGGUNAKAN H2SO4 dan etanol terhadap hasil HIDROLISIS ampas tebu secara enzimatis Evi Susanti1, Neena Zakia1, Sumari1 dan Nurul Izzati2 1)
2)
Dosen Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang Alumni Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang 8 Gedung O2, Malang, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak: Limbah lignoselulosa seperti ampas tebu merupakan bahan baku pembuatan bioetanol yang potensial di masa mendatang. Tahapan umum untuk memproduksi bioetanol dari limbah ampas tebu adalah perlakuan awal, sakarifikasi (hidrolisis), fermentasi dan pemisahan. Perlakuan awal pada ampas tebu diperlukan untuk merusak struktur lignoselulosa agar selulosa dalam limbah ampas tebu mudah dihidrolisis secara enzimatis menjadi glukosa. Perlakuan awal yang mudah, murah dan efektif perlu dikembangkan untuk menurunkan biaya operasional produksi bioetanol dari ampas tebu. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penguapan pada suhu 121oC, penguapan dilanjutkan impregnasi menggunakan H2SO4 dan Etanol terhadap hasil hidrolisis ampas tebu secara enzimatif dan menentukan perlakuan awal yang paling efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perlakuan awal penguapan tidak memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Hasil sakarifikasi ampas tebu tanpa penguapan (kontrol) lebih tinggi dibandingkan dengan penguapan. Hasil sakarifikasi ampas tebu tanpa penguapan, penguapan selama 15 dan 30 menit pada suhu 121oC masing-masing sebesar 6,75; 1,76; dan 3,42%, (2) Jumlah H2SO4 dan etanol yang digunakan untuk impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan selama 15 menit kurang memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Penggunaan H2SO4 0,1; 0,25; dan 0,5 g memberikan hasil ± 7%. Penggunaan etanol 100, 200, dan 250 mL memberikan hasil masing-masing 8,22; 7,92; dan 7,48%, (3) Jumlah H2SO4 yang digunakan untuk impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan selama 30 menit memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis sedangkan jumlah etanol yang digunakan untuk impregnasi kurang memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasinya. Penggunaan H2SO4 0,1; 0,25; dan 0,5 gram memberikan hasil masing-masing 3,39; 17,83; 6,22% sedangkan etanol yang digunakan untuk impregnasi memberikan hasil sakarifikasi yang sangat rendah, masing-masing sebesar 4,60; 5,34; dan 3,19% dan (4) Metode yang paling efektif sebagai perlakuan awal untuk mensakarifikasi ampas tebu secara enzimatis adalah dengan cara diuapkan selama 30 menit kemudian diimpregnasi dengan asam sulfat sebanyak 0,25 gram atau sama dengan asam sulfat 0,01 M sebanyak 255 mL.
Kata-kata kunci: ampas tebu, perlakuan awal, penguapan, hidrolisis
PENDAHULUAN Secara umum bahan baku bioetanol dapat berasal dari glukosa, pati atau selulosa. Potensi selulosa sebagai bahan baku etanol di masa yang akan datang sangat menjanjikan. Selulosa di alam terdapat dalam bentuk lignoselulosa yang keberadaannya sangat melimpah dan selalu dapat diperbaharui (Alam, 2004). Harganya murah bahkan seringkali tidak berharga sama sekali karena dianggap sebagai sampah dan hanya dibakar untuk membuangnya. Limbah lignoselulosa diantaranya jerami, SEMNAS MIPA 2010
sekam padi, bonggol jagung, klobot jagung, ampas tebu, serbuk gergaji, tandan kosong kelapa sawit dan sabut kelapa. Ampas tebu sering digunakan sebagai model dalam penelitian tentang pemanfaatan lignoselulosa. Pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol juga tidak bersaing dengan pemanfaatan lainnya karena pemanfaatan lignoselulosa sangat terbatas yaitu sebagai pupuk maupun pakan ternak (Witono, 2005). Proses konversi lignoselulosa menjadi etanol sedikit berbeda dengan proses konversi glukosa maupun pati KIM - 43
menjadi etanol. Glukosa dapat langsung difermentasi menjadi alkohol. Pati dihidrolisis menghasilkan glukosa, kemudian difermentasi menjadi etanol (Susanti, 2009), sedangkan selulosa harus melalui proses perlakuan awal sebelum dihidrolisis menjadi glukosa. Proses ini dimaksudkan untuk merusak struktur lignoselulosa sehingga komponen lignoselulosa yaitu selulosa, lignin dan hemiselulosa yang awalnya membentuk struktur yang kompak menjadi terurai sehingga selulosa tidak lagi diselimuti oleh lignin. Keadaan ini dapat meningkatkan kemampuan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa (Bon, Elba, 1996). Perlakuan awal yang banyak diteliti adalah dengan metode penguapan pada suhu tinggi yang terkadang dikombinasi dengan metode lain. Penelitian Bon (1996), menggunakan penguapan pada suhu 250oC dalam suatu reaktor sebagai perlakuan awalnya. Penelitian Sendellius (2005) menunjukkan bahwa ampas tebu yang diberi perlakuan awal dengan suhu penguapan di atas 180oC dengan variasi waktu antara 5-10 menit, yang masing-masing dilanjutkan dengan impregnasi dalam berbagai senyawa (asam sulfat, etanol, asam peroksida, atau gas SO2) menghasilkan persen sakarifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan awal. Penggunaan suhu tinggi (>180oC) tentu saja mengakibatkan biaya operasional dan investasi yang besar serta sulit diterapkan pada industri menengah. Pada penelitian ini dipilih perlakuan awal dengan penguapan menggunakan autoklaf (alat untuk sterilisasi basah yang mampu menghasilkan suhu 121oC) tetapi variasi waktu yang digunakan lebih lama yaitu 15 dan 30 menit. Pada penelitian ini juga diteliti perlakuan awal penguapan dilanjutkan dengan impregnasi dengan asam sulfat atau etanol. Penelitian ini diharapkan menghasilkan pengaruh yang sama yaitu dapat meningkatkan hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Dipilih kedua pereaksi tersebut karena beberapa penelitian menunjukkan struktur lignin dapat dirusak dengan kedua pereaksi tersebut, kedua pereaksi tersebut juga relatif tidak mempengaruhi proses berikutnya yaitu sakarifikasi. Proses sakarifikasi selulosa secara enzimatis umumnya berlangsung SEMNAS MIPA 2010
pada pH netral hingga sedikit asam sehingga proses pencucian ampas tebu setelah pemberian perlakuan awal tidak membutuhkan banyak air. METODE PENELITIAN Preparasi ampas tebu. Limbah ampas tebu diperoleh dari PG Kebon Agung. Material tersebut disimpan dalam kantong plastik pada suhu sekitar 5oC. Sebelum diberi perlakuan maka ampas tebu dicuci untuk menghilangkan sisa tanah dan kotoran lainnya, diperas hingga diperoleh ampas tebu kering (48% dari berat sebelum diperas). Optimasi jumlah H2SO4 yang digunakan untuk impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan Ampas tebu yang telah diuapkan dibiarkan hingga dingin, kemudian diimpregnasi dengan H2SO4 sebanyak 0,1 g; 0,25g; dan 0,5 g per 100 gram ampas tebu atau masing-masing dengan 100, 255, dan 510 mL H2SO4 0,01 M selama dua hari dalam wadah plastik yang tertutup. Setelah itu, dicuci dengan akuades panas. Diperas, dicuci kembali dengan akuades panas sebanyak tiga kali pengulangan. Ampas tebu yang telah bersih ditimbang sebanyak 10 g kemudian disakarifikasi selama waktu optimum. Sebagai pembanding digunakan ampas tebu yang telah diuapkan. Optimasi volume etanol yang digunakan untuk impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan Ampas tebu yang telah diuapkan dibiarkan hingga dingin, kemudian diimpregnasi dengan etanol sebanyak 100, 200, dan 250 mL per 100 gram ampas tebu selama dua hari dalam wadah plastik yang tertutup. Setelah itu, dicuci dengan akuades panas. Diperas, dicuci kembali dengan akuades panas sebanyak tiga kali pengulangan. Ampas tebu yang telah bersih ditimbang sebanyak 10 g kemudian disakarifikasi selama waktu optimum. Sebagai pembanding digunakan ampas tebu yang telah diuapkan. Optimasi waktu autoklaf dan konsentrasi H2SO4 pada perlakuan awal . Ampas tebu kering diautoklaf pada
KIM - 44
suhu 121oC selama 15 dan 30 menit, kemudian dicampur H2SO4 dalam wadah plastik. Perbandingan H2SO4 encer dengan ampas tebu kering divariasi 0 g, 0,1 g, 0,25 g, dan 0,5 g H2SO4 per 100 g ampas tebu kering. Wadah plastik ditutup dan impregnasi dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam. Limbah yang telah mendapat perlakuan awal dicuci dengan akuades panas untuk menghilangkan gula terlarutnya, diperas, dicuci kembali dengan air panas. Kemudian dihidrolisis menggunakan enzim selulase standar seperti dijelaskan pada tahap kerja selanjutnya (hidrolisis ampas tebu secara enzimatis). Optimasi waktu autoklaf dan volume etanol pada perlakuan awal. Prosedur kerja mengikuti tahap 3.b hanya pada proses impregnasi yang digunakan adalah etanol teknis dengan variasi perbandingan volume etanol dan berat ampas tebu kering adalah 0 mL, 100 mL, 200 mL dan 250 mL per 100g ampas tebu. Hidrolisis ampas tebu secara enzimatis. Sebanyak 10 g ampas kering hasil perlakuan awal dimasukkan dalam gelas piala, diencerkan dengan buffer fosfat dan larutan enzim standar (mengandung 0,1 g enzim) yang digunakan hingga 2% berat. Campuran diinkubasi dalam penangas air suhu 40oC sambil terus diaduk selama 72 jam. Sebanyak 1 mL sampel diambil pada jam ke-0, 4, 12, 24,36 dan 72 jam untuk ditentukan kadar glukosa yang dihasilkan dengan metode Somogy-Nelson. Penentuan kadar glukosa dengan metoda Somogy-Nelson. Sebanyak 1 mL sampel glukosa yang mengandung 0, 10, 30, 50, 70, 90 dan 110 ppm glukosa, ditambahkan 1 mL pereaksi Nelson aduk homogen. Campuran dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 20 menit. Setelah dingin, ditambahkan 1 mL pereaksi arsenomolibdat dan akuades sebanyak 7 mL. Nilai absorbansi dilakukan pada 540 nm. Data
SEMNAS MIPA 2010
yang diperoleh digunakan untuk menentukan kurva standard glukosa yaitu hubungan antara konsentrasi glukosa dengan nilai absorbansi pada 540 nm. Penentuan kadar glukosa dalam sampel dilakukan dengan memberi perlakuan yang sama. Absorbansi larutan sampel diektrapolasi pada kurva standar glukosa untuk memperoleh nilai kadar glukosa sampel. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis naratif deskriptif dan analisis statistik. Pembahasan pada kedua analisis tersebut sebagai berikut. Analisis Narasi Deskriptif Analisis data yang digunakan adalah analisis narasi deskriptif berdasarkan hasil sakarifikasi yang dihasilkan dari konversi limbah ampas tebu menjadi glukosa. Perlakuan awal optimum ditentukan berdasarkan kadar glukosa yang dihasilkan melalui pengukuran absorbansi sampel dengan menggunakan Spektronik 20 pada panjang gelombang 540. Dari nilai absorbansi, ditentukan konsentrasi sampel melalui kurva standar glukosa yaitu melalui persamaan garis linear. y = a + bx Dimana y adalah absorbansi dan x adalah konsentrasi sampel. Setelah ditentukan konsentrasi sampel, barulah setelah itu ditentukan massa glukosa dengan rumus sebagai berikut : Massa glukosa = konsentrasi sampel x volume sakarifikasi Dari massa glukosa kemudian ditentukan persen sakarifikasi dengan rumus sebagai berikut:
1. Analisis Statistik Untuk mengetahui pengaruh perlakuan awal terhadap hasil sakarifikasi maka dilakukan pengujian dengan metode statistik dengan menggunakan Analisis Variansi Rancangan Acak Lengkap (Anava RAL). Data dianalisis dengan bantuan Minitab 14. Sebelum dilaksanakan analisis data untuk mengetahui pengaruh, maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yang meliputi uji normalitas dan1 uji homogenitas.
KIM - 45
a.
Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahuai apakah data yang dianalisis terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dapat dihitung dengan bantuan Minitab 14 atau dengan menggunakan rumus chi-kuadrat.
(Arikunto, 2002) Keterangan: 2 = chi-kuadrat f0 = frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan fh = frekuensi yang diharapkan dalam populasi (presentase luas tiap bidang dikalikan dengan n). Kriteria Jika 2hitung ≤ 2tabel maka data sampel terdistribusi normal. Jika 2hitung ≤ 2tabel maka data sampel terdistribusi tidak normal. Dalam penelitian ini, untuk uji normalitas menggunakan program Minitab 14 Tahun 2003. Adapun dasar pengambilan keputusan adalah dengan melihat spot-spot yang berada di sekitar garis linear. Jika spot-spot berada di sekitar garis linear maka sebaran data terdistribusi secara normal. Jika spot-spot yang muncul banyak yang jauh dari garis linear maka sebaran data tidak terdistribusi normal. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas diperlukan untuk mengetahui kesamaan ragam semua data. Uji ini menggunakan uji kesamaan tiga varians data. Dalam penelitian ini, untuk uji homogenitas data menggunakan program Minitab 14 Tahun 2003. Pada program ini uji homogenitas yang digunakan adalah Levene’s test for equality of variences (Arikunto, 2002). Adapun dasar pengambilan keputusan adalah jika nilai signifikansi dari uji homogenitas P value > α (P teoritis) maka H0 diterima. H0 menyatakan bahwa varians data ketiga kelas adalah homogen. Jika nilai P value < α maka H1 diterima. H1 menunjukkan bahwa varians data ketiga kelas tidak homogen. Dalam penelitian ini ditentukan nilai α = 0,05 sehingga data hasil uji Levene ini dikatakan homogen jika > 0,05. c. Uji Anava Rancangan Acak Lengkap
SEMNAS MIPA 2010
Uji Rancangan Acak Lengkap diperlukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Ada tujuh kriteria yang perlu diketahui pengaruhnya. 1. Pengaruh antara ampas tebu tanpa perlakuan awal (kontrol) dengan ampas tebu yang telah diuapkan baik selama 15 maupun 30 menit terhadap hasil sakarifikasinya. Dalam hal ini dilambangkan dengan A. 2. Pengaruh impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan terhadap hasil sakarifikasinya. Dalam hal ini dilambangkan dengan B. 3. Pengaruh variasi jumlah H2SO4 atau variasi etanol yang ditambahkan pada tahap impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan terhadap hasil sakarifikasinya. Dalam hal ini dilambangkan dengan C. 4. Interaksi antara ampas tebu yang telah diuapkan dengan pelarut yang digunakan pada tahap impregnasi. Dalam hal ini dilambangkan dengan A*B. 5. Interaksi antara ampas tebu yang telah diuapkan dengan variasi jumlah H2SO4 dan variasi volume etanol. Dalam hal ini dilambangkan dengan A*C. 6. Interaksi antara pelarut yang digunakan pada tahap impregnasi dengan variasi jumlahnya yang dilambangkan dengan B*C. 7. Interaksi antara ampas tebu tanpa perlakuan awal, ampas tebu yang diuapkan dan ampas tebu yang diimpregnasi. Dalam hal ini dilambangkan dengan A*B*C. Untuk mengtahui ketujuh pengaruh tersebut maka dilakukan uji Rancangan Acak Lengkap dengan menggunakan Minitab 14. Variabel dikatakan berpengaruh nyata terhadap persen sakarifikasi jika nilai Fhit lebih besar dari Ftab. Fhit diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan Minitab 14 Tahun 2003 sedangkan Ftab diketahui dari Tabel Nilai Kritik Sebaran F untuk tingkat kepercayaan 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Perlakuan Awal Penguapan dan PenguapanImpregnasi Menggunakan H2SO4 dan Etanol terhadap Hasil KIM - 46
Sakarifikasi pada Ampas Tebu secara Enzimatis Data hasil penelitian memenuhi syarat untuk dianalisis secara statistik menggunakan Anava Rancangan Acak Lengkap melalui program Minitab 14. Hasil analisis tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Anava Rancangan Acak Lengkap untuk Pengaruh Perlakuan Awal Penguapan dan Penguapan-Impregnasi Menggunakan H2SO4 dan Etanol terhadap Hasil Sakarifikasi pada Ampas Tebu secara Enzimatis Variabel
DF
Fhit
Ftab (5%)
A
1
0.52
4.75
B
1
5.77
4.75
C
2
9.31
3.89
A*B
1
18.44
4.75
A*C
2
15.29
3.89
B*C
2
8.67
3.89
A*B*C
2
11.23
3.89
Error
12
Total
23 319.586
Analisis untuk masing-masing perlakuan diuraikan sebagai berikut. Pengaruh waktu penguapan terhadap hasil sakarifikasi diuji pada ampas tebu yang diuapkan selama 15 dan 30 menit pada suhu 121oC dan tekanan 15 psi. Hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.
SEMNAS MIPA 2010
Tabel 2. Hasil Sakarifikasi Ampas Tebu tanpa Perendaman yang Disakarifikasi Selama 16 Jam No 1 2
Perlakuan Tanpa perlakuan Penguapan 15 menit
% Sakarifikasi 6,75 1,76
3
Penguapan 30 menit
2,73
Perlakuan awal diharapkan agar satu kesatuan struktur lignoselulosa terurai sehingga lignin tidak lagi menyelimuti selulosa dan hemiselulosa. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa persen sakarifikasi ampas tebu yang diuapkan lebih rendah dari hasil sakarifikasi ampas tebu yang tidak diuapkan (tanpa perlakuan). Hasil ini menunjukkan telah terjadi perubahan struktur lignoselulosa pada ampas tebu walaupun perubahan tersebut tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Perubahan struktur lignoselulosa akibat proses penguapan diduga terjadi secara acak sehingga ada beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu (1) rusaknya struktur lignoselulosa mengakibatkan selulase lebih mudah mengikat selulosa menyebabkan hasil sakarifikasi meningkat (Bon, 1996) dan (2) selulase menjadi sukar mengikat selulosa karena terjadi redeposisi dari lignin yang semakin menyulitkan akses enzim selulase dalam sakarifikasi selulosa menjadi glukosa sehingga hasil sakarifikasi menurun (Wong et al dalam Isroi, 2008). Dari Tabel 2 juga menunjukkan bahwa hasil sakarifikasi ampas tebu yang diuapkan selama 30 menit lebih tinggi dari hasil sakarifikasi ampas tebu yang diuapkan selama 15 menit. Hal ini diduga bahwa lignoselulosa yang terbuka pada penguapan selama 30 menit lebih banyak dari pada penguapan selama 15 menit. Dengan demikian, akses enzim selulase untuk mensakarifikasi selulosa menjadi glukosa lebih mudah sehingga kadar glukosa yang dihasilkan lebih tinggi. Hasil analisis secara deskriptif seperti yang diuraikan di atas menunjukkan adanya pengaruh perlakuan awal penguapan terhadap hasil sakarifikasi, namun uji statistik yang terdapat pada Tabel 1 menghasilkan nilai Fhit untuk variabel A kurang dari Ftab menunjukkan bahwa penguapan pada suhu 121oC selama 15
KIM - 47
maupun 30 menit tidak meningkatkan hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Berdasarkan hal ini maka metode ini harus dikombinasikan dengan metode lainnya seperti penguapan dilanjutkan impregnasi. Hasil percobaan untuk mengetahui pengaruh impregnasi dengan H2SO4 dan etanol terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Sakarifikasi Ampas Tebu yang Diberi Pelarut (Diimpregnasi) Penguapan (menit) Tanpa penguapan 15 15 30 30
Pelarut
Jumlah % Pelarut Sakarifikasi Tanpa 0 6,75 pelarut 0,25 g 7,00 H2SO4 100 8,22 Etanol mL 17,87 H2SO4 0,25 g 4.60 Etanol 100 mL Hasil sakarifikasi ampas tebu yang diuapkan kemudian diimpregnasi memberikan perubahan. Impregnasi menggunakan H2SO4 menunjukkan hasil sakarifikasi yang lebih tinggi sedangkan impregnasi menggunakan etanol sedikit memberikan peningkatan terhadap hasil sakarifikasinya jika dibandingkan dengan ampas tebu tanpa pelarut. Hasil ini konsisten dengan analisis statistik yaitu Fhit untuk variabel B lebih besar dari Ftab, artinya perlakuan awal penguapan dilanjutkan impregnasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Fhit variabel C menunjukkan nilai lebih besar dari Ftab, artinya jumlah H2SO4 atau volume etanol yang digunakan selama impregnasi mempengaruhi hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Menurut Fessenden (1989), suatu alkil fenil eter seperti anisol jika dipanaskan dengan asam kuat seperti H2SO4 akan menghasilkan alkil sulfat dan fenol. Hal ini dapat dianalogikan dengan struktur lignin. Pada struktur lignin, setiap rantai aromatik dihubungkan dengan rantai karbon yang mengandung gugus eter. Adanya H2SO4 diduga gugus aromatik tersebut menjadi lepas satu sama lain karena atom O pada gugus eter berinteraksi dengan proton dari H2SO4 seperti reaksi berikut: SEMNAS MIPA 2010
Dengan demikian, H2SO4 dapat membuka struktur lignin sehingga akses enzim selulase dalam menghidrolsis selulosa menjadi lebih mudah. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa pengaruh variasi jumlah H2SO4 pada tahap impregnasi terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu yang telah diuapkan selama 15 menit kurang signifikan dan relatif sama. Hasil tersebut diduga karena penguapan selama 15 menit kurang mampu membuka struktur lignoselulosa sehingga selama impregnasi H2SO4 tidak dapat menguraikan lignin secara efektif. Sebaliknya, penguapan selama 30 menit dilanjutkan impregnasi dengan H2SO4. Diduga penguapan selama 30 menit mampu membuka struktur lignoselulosa sehingga penambahan H2SO4 semakin mudah menguraikan lignin dan lignoselulosa menjadi lebih terbuka. Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa hasil sakarifikasi tertinggi terjadi pada ampas tebu yang diimpregnasi dengan H2SO4 sebanyak 0,25 gram. Etanol merupakan pelarut yang kepolarannya lebih rendah dari pada air dan metanol (Fessenden, 1989). Untuk itu, etanol dapat digunakan sebagai pelarut organik yang sifat kepolarannya rendah pula. Karena lignoselulosa memiliki gugus OH, maka akan terjadi ikatan hidrogen dengan etanol sehingga diduga lignin dapat larut dalam etanol. Larutnya lignin mengakibatkan lignoselulosa terbuka sehingga selulosa mudah disakarifikasi. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terbukti bahwa variasi volume etanol memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu namun pengaruh yang terjadi kurang signifikan. Jika diperhatikan Tabel 4, peningkatan hasil sakarifikasi pada ampas tebu yang diimpregnasi dengan etanol baik yang telah diuapkan selama 15 menit maupun 30 menit tidak signifikan. Hal ini diduga bahwa lignin yang larut belum optimum, artinya masih ada lignin yang belum terurai sehingga akses enzim selulase dalam mendegradasi selulosa masih belum sempurna. Dengan demikian, diduga kemampuan etanol sangat terbatas KIM - 48
untuk melarutkan lignin. Fhit A*B, A*C, B*C dan A*B*C lebih besar dari Ftab, menguatkan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara penguapan dengan pelarut yang digunakan pada tahap impregnasi dan variasi jumlah asam sulfat serta etanol yang digunakan pada tahap impregnasi. Dengan demikan, ketiga faktor yang ada yaitu perlakuan awal penguapan, penguapan-impregnasi, dan penguapanimpregnasi yang memvariasikan jumlah pelarut saling berinterkasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan hasil sakarifikasi dengan perlakuan awal hanya akan efektif jika dilakukan perlakuan awal dengan proses penguapan dilanjutkan impregnasi dengan sejumlah pereaksi yang digunakan (H2SO4 dan etanol) Tabel 4.4 Hasil Sakarifikasi Ampas Tebu yang Diuapkan dilanjutkan dengan Impregnasi menggunkan Etanol dan H2SO4 No
Perlakuan
Pelarut
Jumlah Pelarut
1
Penguapan 15 menit
Asam Sulfat
0g 0,1 g 0,25 g 0,5 g 0 mL 100 mL 200 mL 250 mL 0g 0,1 g 0,25 g 0,5 g 0 mL 100 mL 200 mL 250 mL
Etanol
2
Penguapan 30 menit
Asam Sulfat
Etanol
% Sakarifik asi 1,763 7,627 7,001 7,184 1,76 8,22 7,92 7,48 3,415 3,932 17,827 6,223 3,42 4,60 5,34 3,19
Metode yang Paling Efektif sebagai Perlakuan Awal untuk Sakarifikasi Ampas Tebu secara Enzimatis Perlakuan awal ampas tebu dengan cara penguapan dilanjutkan impregnasi menggunakan H2SO4 dan etanol telah diuji hasilnya dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh persen sakarifikasi tertinggi pada masing-masing metode impregnasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.
No 1 2
3
Perlakuan Kontrol (Tanpa Perlakuan ) Penguapan 15 Menit dilanjutkan Impregnasi dengan Etanol 100 mL Penguapan 30 Menit dilanjutkan Impregnasi dengan Asam sulfat 0,25 g
% Sakarifikasi 6,75 8,22
17,83
Tabel 5 menunjukkan persen sakarifikasi tertinggi dalam masing-masing perlakuan. Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa persen sakarifikasi tertinggi diperoleh pada ampas tebu yang diuapkan selama 30 menit kemudian diimpregnasi dengan asam H2SO4 0,25 g atau sama dengan H2SO4 0,01 M sebanyak 255 mL. Hal ini diperkuat dengan terjadinya perubahan struktur permukaan ampas tebu seperti yang terlihat pada Gambar 1 dan 2 yang merupakan hasil uji menggunakan alat Scaning Electron Microscopy (SEM). Gambar 1 menunjukkan bahwa ampas tebu yang tidak diberi perlakuan, pola seratnya masih teratur, tampak jelas dan panjang. Setelah diberi perlakuan yaitu penguapan selama 30 menit dilanjutkan dengan impregnasi H2SO4 sebanyak 0,25 g menunjukkan pola seratnya tidak teratur, acak, dan pendek-pendek (Gambar 2). Penggunaan H2SO4 0,01 M pada tahap impregnasi dinilai sebagai metode yang efektif dalam penelitian ini. Selain karena persen sakarifikasi yang dihasilkan paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya dalam penelitian ini, penggunaan asam sulfat juga cukup hemat karena konsentrasi yang digunakan sangat rendah yaitu sebesar 0,01 M.
B.
Tabel 5. Hasil Sakarifikasi Tertinggi dalam Berbagai Metode Perlakuan Awal
SEMNAS MIPA 2010
Gambar 1. Hasil SEM Ampas Tebu tanpa Perlakuan Awal (Kiri) dan Ampas Tebu yang diuapkan Selama 30 Menit dilanjutkan Impregnasi dengan H2SO4 0,25 Gram (Kanan) KESIMPULAN
KIM - 49
1. Perlakuan
awal penguapan tidak memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Hasil sakarifikasi ampas tebu tanpa penguapan (kontrol) lebih tinggi dibandingkan dengan penguapan. Hasil sakarifikasi ampas tebu tanpa penguapan, penguapan selama 15 dan 30 menit pada suhu 121oC dan tekanan 15 psi masingmasing sebesar 6,75; 1,76; dan 3,42%. 2. Jumlah H2SO4 dan etanol yang digunakan untuk impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan selama 15 menit kurang memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis. Penggunaan H2SO4 0,1; 0,25; dan 0,5 g memberikan hasil ± 7%. Penggunaan etanol 100, 200, dan 250 mL memberikan hasil masing-masing 8,22; 7,92; dan 7,48%. 3. Jumlah H2SO4 yang digunakan untuk impregnasi ampas tebu yang telah diuapkan selama 30 menit memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil sakarifikasi ampas tebu secara enzimatis sedangkan jumlah etanol yang digunakan untuk impregnasi kurang memberikan pengaruh terhadap hasil sakarifikasinya. Penggunaan H2SO4 0,1; 0,25; dan 0,5 gram memberikan hasil masing-masing 3,39; 17,83; 6,22% sedangkan etanol yang digunakan untuk impregnasi memberikan hasil sakarifikasi yang sangat rendah, masing-masing sebesar 4,60; 5,34; dan 3,19%. 4. Metode yang paling efektif sebagai perlakuan awal untuk mensakarifikasi ampas tebu secara enzimatis adalah dengan cara diuapkan selama 30 menit kemudian diimpregnasi dengan asam sulfat sebanyak 0,25 gram atau sama dengan asam sulfat 0,01 M sebanyak 255 mL.
Penulis mengucapkan penghargaan setinggi-tingginya kepada DP2M yang mendanai penelitian ini melalui program Hibah Bersaing tahun 2009-2010 berjudul ”Optimasi Produksi Bioetanol dari Limbah Ampas Tebu Berbasis Sistem Selulase dari Bacillus circulans strain lokal” DAFTAR PUSTAKA Alam, M.Z, Manchur, M.A. dan Anwar, M.N, 2004. Isolation, Purification, Characterization of Cellulolytic Enzymes Produced by the Isolate Streptomyces omiyaensis. Pakistan Journal of Biological Sciences 7 (10): 1647-1653. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Bon, Elba, P. S. (Scientific Coordinator), 1996, Ethanol Production via Enzymatic Hydrolysis of Sugar-Cane Baggase and Straw, Chemistry Institute Federla University of Riode Janeiro, Brazil (online).(http://www.fiesp.com.br/agencianoticia s/2007/05/15/elba.bon.pdf, diakses 10 Januari 2008). Fessenden, Ralp J & Fessenden, Joan S. 1989. Kimia Organik Edisi Ketiga. Bandung : Erlangga Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi, A., Purwianingsih, W., Rochintaniawati, D. 2003. Mikrobiologi. Edisi Revisi JICA-IMSTEP, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sendellius, Johan, 2005, Steam Pretretment Optimisation for Sugarcane Baggase in Bioethanol Production. Thesis. Department of Chemical Engineering, Lund University, Sweden (online) (http://www.chemeng.lth.ie., diakses 19 Januari 2008). Susanti, Evi. 2009.Optimasi Tahap Fermentasi Pada Produksi Bioetanol dari Umbi Ubi Jalar Putih (Ipomoeae Batatas L) Menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomyces cereviciae. Seminar Basic Science VII di Brawijaya Malang. Witono, Johanes Anton, 2005, Produksi Furfural dan Turunanya: Alternatif Peningkatan Nilai Tambah Ampas Tebu Indonesia (Sebuah Wacana Bagi Pengembangan Industri Berbasis Limbah pertanian), Departemen Teknik Gas dan Petrokimia UI
UCAPAN TERIMA KASIH
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 50
CAMPURAN AMONIUM BIKARBONAT - NATRIUM KARBONAT DAPAT MENJADI ALTERNATIF CATCHER FORMALDEHID IMPOR DARMUSHU DALAM PEMBUATAN KAYU LAPIS Muntholib1, Bachtiar Fauzi2, dan Subandi3 1,3
Dosen Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang, 2 Peneliti pada industri perekat PT. PAI Probolinggo
Abstract
Kayu lapis (plywood) yang dibuat dengan menggunakan bahan perekat campuran ureaformaldehida dapat mengemisi formaldehida. Senyawa ini dapat menyebabkan iritasi mata, penyakit saluran pernafasan, gangguan pencernaan, dan bahkan dapat menyebabkan kanker. Emisi formaldehida dapat dikurangi, salah satunya, dengan menggunakan formaldehyde catcher (penangkap formaldehida). Sampai saat ini industri kayu lapis Indonesia masih menggunakan formaldehyde catcher impor Deermushu yang harganya relatif mahal. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa formaldehyde catcher impor terdiri atas campuran senyawa-senyawa yang mengandung gugus karboksil dan gugus amino. Amonium bikarbonat yang mengandung gugus amino dan natrium karbonat yang mengandung gugus karboksil secara sendiri-sendiri telah terbukti dapat bertindak sebagai formaldehyde catcher. Selain itu, diketahui pula bahwa formaldehyde catcher akan bekerja secara efektif apabila diberikan ke kayu lapis yang keluar dari hot press pada saat pembuatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi optimum campuran amonium bikarbonat dan natrium karbonat dalam fungsinya sebagai formaldehyde catcher. Penelitian ini bersifat eksperimental dan dilakukan di PT Palmolite Adhesive Industry (PT. PAI) Probolinggo. Optimasi dilakukan terhadap komposisi campuran amonium bikarbonat dan natrium karbonat. Pemberian formaldehyde catcher dilakukan setelah kayu lapis keluar dari hot press. Tingkat emisi formaldehida diukur dengan spektrofotometer menurut metode JAS. Pengukuran dilakukan terhadap kayu lapis perlakuan, kayu lapis tanpa catcher dan kayu lapis dengan catcher impor sebagai pembanding. Di samping itu juga dilakukan komparasi harga antara catcher yang diteliti dengan catcher Darmushu (impor dari Jepang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran amonium bikarbonat dan natrium karbonat dapat digunakan sebagai formaldehyde catcher guna menangkap emisi formaldehida dari kayu lapis. Komposisi campuran optimum antara larutan amonium bikarbonat (15%) dengan natrium karbonat (15%) adalah 3:7. Campuran optimum ini dapat menurunkan tingkat emisi formaldehida sampai 77,36% dengan nilai Rp 2,32/gram. Penurunan emisi ini adalah 90% dari penurunan emisi formaldehida kayu lapis yang menggunakan catcher impor. Kelebihan catcher ini terletak pada harganya yang hanya 13,33% dari harga catcher impor. Kata kunci: formaldehyde catcher, amonium bikarbonat, natrium karbonat, perekat urea-formaldehida, kayu lapis.
Pendahuluan Kayu lapis merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Pada tahun 2004, ketika produksi kayu lapis Indonesia mencapai puncaknya, pasar kayu lapis dalam negeri mencapai 1,05 juta ton. Sedangkan kebutuhan ekspor mencapai 200 ribu ton. Konsumen kayu lapis yang paling utama adalah sektor kontruksi 58%, disusul sektor industri furnitur 29,5%, dan sisanya industri yang lain. Untuk sektor kontruksi, subsektor
SEMNAS MIPA 2010
perumahan paling banyak menyerap produk kayu lapis (68,2%), kemudian pabrik (10%), pusat – pusat perniagaan (8,7%), perkantoran (4,3%), hotel (2,9%), apartemen (1,2%), dan lainnya (4,7%) (Anonimous, 2005). Kayu lapis dibuat dari veneer dan adhesive. Adhesive berfungsi sebagai binder (pengikat) veneer. Jenis-jenis kayu lapis tergantung pada jenis veneer, komposisi bahan baku serta material tambahan lainnya. Adhesive yang digunakan dalam
KIM - 51
pembuatan kayu lapis berupa resin yang dibuat dari formaldehid. Beberapa resin yang banyak digunakan dalam pembuatan plywood adalah urea-formaldehid, melamin-formaldehid, fenol-formaldehid dan melamin-phenol-formaldehid (Anomimous, 2005). Penggunaan resin formaldehid mempunyai beberapa keuntungan yaitu dari segi ekonomi, harga resin formaldehid tergolong murah dan segi kekuatan dan daya tahan yang cukup baik. Di samping keuntungan tersebut penggunaan resin formaldehid juga menimbulkan kerugian yaitu produk-produk kayu lapis tersebut akan membebaskan sejumlah formaldehid (emisi formaldehid) ke lingkungan sekitar. Uap formaldehid dapat menyebabkan iritasi mata, gangguan sistem pernafasan, rasa mual, sakit kepala dan kesulitan bernafas. Formaldehid juga dapat menyebabkan asma. Studi yang dilakukan oleh EPA menyebutkan bahwa udara yang mengandung 1,3 x 10-5 µg/m3 formaldehid mempunyai kemungkinan timbulnya kanker pada manusia. EPA juga memperkirakan bahwa apabila seseorang menghirup udara yang mengandung formaldehid 0,08 µg/m3 selama hidup secara teori kemungkinan terjangkit kanker semakin besar (Anonimous, 1997). Formaldehid sedikit demi sedikit keluar dari pori-pori ke permukaan plywood dan kemudian lepas ke udara. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat produk-produk plywood digunakan dalam ruangan sehingga resiko menghirup uap formaldehid sangat besar. Beberapa negara berkembang dan maju seperti Amerika, Eropa dan Jepang sudah menetapkan standar untuk emisi formaldehid. Hal ini menjadi acuan industri pengolahan kayu, khususnya industri plywood, untuk mengurangi emisi formaldehid pada produknya jika ekspor menjadi salah satu tujuan pemasaran produk (Neo, 2001). Telah dilakukan penelitian bertahun – tahun untuk mengurangi emisi formaldehid dari material bangunan dan perabotan rumah tangga. Salah satunya dengan menambahkan zat yang disebut sebagai catcher formaldehid. Catcher ini SEMNAS MIPA 2010
mempunyai kemampuan untuk mengikat formaldehid supaya tidak menguap ke udara. Salah satu catcher yang sering digunakan oleh para pengusaha kayu olahan di Probolinggo untuk menurunkan tingkat emisi formaldehid adalah catcher import. Catcher ini paling efektif dalam menurunkan tingkat emisi formaldehid dibanding catcher produk dalam negeri seperti urea dan lain sebagainya. Akan tetapi harganya cukup mahal (sampai 4 kali lipat) dibanding catcher lokal (Fauzi, 2004, pers.com). Sementara secara teoritis ada dua golongan senyawa yang dapat menangkap formaldehid yaitu senyawa yang mengandung gugus amina/amida seperti urea, melamin dan resorsinol, serta golongan senyawa -hidroksi karboksilat. Oleh sebab itu diduga catcher import tersebut kemungkinan juga merupakan golongan senyawa-senyawa di atas, baik sebagai senyawa tunggal maupun campuran. Jika zat aktif dalam catcher import tersebut dapat diidentifikasi, maka kemungkinan akan dapat dibuat atau di’sintesis’ catcher sejenis dengan kemampuan yang relatif sama atau bahkan lebih baik dengan harga yang lebih murah. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Glue Camp Perekat UA-125 sebanyak 100 g dicampur dengan 10 g HU-TBS diaduk hingga homogen menggunakan mixer selama ± 5 menit, kemudian dimasukkan 20 g tepung terigu dan diaduk kembali hingga homogen menggunakan mixer selama ± 3 menit. Selanjutnya ditambah 0.7 g HU-12 diaduk hingga homogen menggunakan mixer selama ± 3 menit. Komposisi pembuatan glue camp dapat dilihat pada Tabel 3.1. Glue camp yang telah jadi di uji viskositasnya setiap 30 menit sekali dengan viskosimeter. 2. Pembuatan Plywood Metode yang digunakan adalah pelapisan kayu setelah masuk hot press. Veneer (1 feet) yang telah kering dan siap digunakan sebagai bahan kayu lapis sisinya KIM - 52
dilapisi glue camp sebanyak 15 gram diratakan dengan rubber scroll kemudian ditutup dengan veneer lain. Hal yang sama juga dilakukan pada sisi lain veneer. Setelah veneer direkatkan, selanjutnya dimasukkan dalam cold press dengan tekanan 9 kg/cm2 selama 30 menit pada suhu ruangan. Selanjutnya masuk pada hot press pada suhu 100o C, tekanan 9 kg/cm2 selama 210 detik. Selanjutnya plywood siap dilapisi catcher. 3. Pelapisan Catcher Campuran pada Plywood Setelah Masuk Hot press Cather yang digunakan adalah campuran 1:1 yaitu campuran 10% Amonium bikarbonat dan 10% Natrium karbonat, 15% Amonium bikarbonat dan 15% Natrium karbonat, 20% Amonium bikarbonat dan 20% Natrium karbonat, 25% Amonium bikarbonat dan 25% Natrium karbonat, 30% Amonium bikarbonat dan 30% Natrium karbonat. Untuk pembuatan Larutan Amonium bikarbonat 10% yaitu 10 g Amonium bikarbonat dilarutkan dalam 90 mL akuades, diaduk hingga larut. Dengan cara yang sama dibuat juga larutan Amonium bikarbonat 15%, 20%, 25%, dan 30%, begitu juga untuk pembuatan larutan Natrium Karbonat. Setelah masuk hot press, plywood siap dilapisi dengan catcher campuran Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat. Masing-masing sisi plywood dilapisi catcher campuran 4 gram. Plywood diletakkan di atas neraca analitik ditambahkan larutan catcher campuran sampai 4 gram dan diratakan dengan rubber scroll, hal ini juga dilakukan pada sisi plywood yang lain. 4. Penentuan LFE (Low Formaldehyde Emission) Plywood yang telah dilapisi catcher masing-masing dipotong dengan ukuran 5 x 15 cm sebanyak 10 buah, kemudian masingmasing dimasukkan dalam desikator yang berbeda yang di bawahnya telah berisi 300 mL akuades selama 24 jam (Standar JAS 2003). Dalam penentuan LFE digunakan metode kolorimetri spektrofotometri. SEMNAS MIPA 2010
Sebanyak 25 ml larutan sampel dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 25 mL reagen JAS, ditutup dan dikocok. Sampel dimasukkan dalam constant bath 60oC selama 15 menit. Absorbansi dari larutan tersebut diukur dengan spektrofotometer spektronik 20 pada λ 412 nm. 5. Optimasi Komposisi Catcher Amonium Bikarbonat - Natrium Karbonat Setelah diperoleh konsentrasi campuran catcher yang efektif, data digunakan dalam optimasi penggunaan cather campuran. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan glue camp, pembuatan plywood, pelapisan catcher dan penentuan tingkat emisi/LFE sama seperti pada Langkah 1 sampai dengan Langkah 4 di atas. Konsentrasi yang paling efektif selanjutnya digunakan untuk variasi volume campuran catcher. Variasi volume yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Variasi Volume Catcher Campuran Perbandingan Bahan Catcher Amonium bikarbonat (mL) Natrium karbonat (mL)
1
2
3
4
5
1 9
3 7
5 5
7 3
9 1
Sebagai pembanding plywood dilapisi dengan darmushu FC-7, selain itu juga digunakan plywood tanpa dilapisi catcher sebagai blanko. Selain uji tingkat emisi, dilakukan juga uji keteguhan rekat cara basah untuk mengetahui kualitas plywood. Kayu lapis dipotong (8 x 2,5) cm, tiap 2,5 cm diberi tempat untuk penarikan. Kemudian plywood dimasukkan dalam constant bath 60o C selama 3 jam. Selanjutnya plywood dibiarkan pada temperatur ruangan. Setelah dingin, plywood siap di uji keteguhan rekatnya dengan uji tarik. 6. Analisis Data a. Penentuan Tingkat Emisi/LFE
KIM - 53
Absorban
Data yang diperoleh berupa nilai absorbansi masing–masing larutan yang diubah dalam konsentrasi (ppm). Kemudian diplotkan dalam kurva kalibrasi yang telah dibuat sebelumnya sehingga diperoleh konsentrasi masing–masing sampel. Kurva kalibrasi dibuat dengan cara mengukur absorbansi larutan standar dengan berbagai konsentrasi sehingga diperoleh kurva seperti pada Gambar 1.
tarik rata-ratanya tidak kurang dari 0,70 N/mm2, apabila kurang dari nilai tersebut berarti perekatannya kurang baik. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penentuan Konsentrasi Amonium Bikarbonat - Natrium Karbonat Konsentrasi amonium bikarbonat dan natrium karbonat yang optimum untuk catcher ditentukan dengan cara memvariasi konsentrasi masing-masing larutan. Untuk itu untuk masing-masing senyawa dipilih konsentrasi 10%, 15%, 20%, dan 25%. Hasil pengujian terhadap konsentrasi-konsentrasi ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. LFE dalam Penentuan Konsentrasi Campuran Amonium Bikarbonat dan Natrium Karbonat
Konsentrasi
Gambar 1. Plot Konsentrasi Formaldehida terhadap Absorbansinya pada Panjang Gelombang 412nm
Dari LFE sampel yang diperoleh untuk masing-masing konsentrasi dibandingkan dengan hasil emisi plywood tanpa pelapisan catcher (blanko) dan terhadap LFE plywood yang dilapisi darmushu FC-7. Hasil LFE masing-masing konsentrasi termasuk hasil LFE darmushu FC-7 dikurangkan dengan hasil LFE plywood blanko, sehingga dapat dilihat penurunan emisinya.
No
Sampel Plywood
A412
[HCOH] (ppm)
1 2 3 4 5 6 7
Blanko DAR C_10.1 C_15.1 C_20.1 C_25.1 C_30.1
0,280 0,090 0,090 0,056 0,115 0,189 0,193
1,75 0,52 0,52 0,26 0,65 1,14 1,17
Keterangan untuk Tabel 2 dan Gambar 2 Blanko : Sampel tanpa dilapisi catcher DAR : Darmushu FC-7 catcher impor dari Jepang C_10.1 : 10% Amonium bikarbonat : 10% Natrium karbonat. C_15.1 : 15% Amonium bikarbonat : 15% Natrium karbonat. C_20.1 : 20% Amonium bikarbonat : 20% Natrium karbonat. C_25.1 : 25% Amonium bikarbonat : 25% Natrium karbonat.
b. Uji Keteguhan Rekat Kayu Lapis (Standar JAS 2003) Keteguhan rekat kayu lapis yang dihasilkan dihitung dengan persamaan berikut:
Keterangan: KR : nilai keteguhan rekat (N/mm2) P : besar tarikan (N) B : panjang area test (mm) H : lebar area test (mm) RHO : koefisien Keteguhan rekat kayu lapis dikatakan baik/memenuhi syarat apabila keteguhan
SEMNAS MIPA 2010
Konversi data Tabel 2 ke dalam grafik ditunjukkan oleh Gambar 2. Grafik Emisi Formaldehida pada Plywood C_30.1
1.17
C_25.1 Sampel
P KR x RHO BxH
Penurunan Emisi (%) 70,29 70,29 85,14 62,85 34,86 33,14
1.14
C_20.1
0.65
C_15.1
0.26
C_10.1
0.52
DAR
0.52
Blanko
1.75 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Emisi Formaldehida (ppm)
Gambar 2. Emisi Formaldehida pada Plywood yang Ditreatment dengan Berbagai Catcher
KIM - 54
Grafik pada Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat emisi sampel blanko cukup tinggi yaitu 1,75 ppm. Sampel kayu lapis yang ditreatment dengan catcher C_15.1 mengemisi formaldehida paling rendah, yaitu 0,26 ppm. Berdasarkan standar emisi JAS 2003, sampel blanko termasuk kelas F* (bintang 1) yang mengemisi formaldehida lebih dari 1,5 ppm, sedangkan C_15.1 termasuk kelas F**** (bintang 4) yang mengemisi formaldehida kurang dari 0,5 ppm. Hal ini berarti bahwa campuran amonium bikarbonat - natrium karbonat dapat menurunkan emisi formaldehida kayu lapis secara luar biasa, mampu memenuhi syarat tingkat emisi kayu lapis yang ditentukan oleh pasar Jepang, yaitu kelas F**** (bintang 4). Penurunan emisi formaldehida pada plywood dimungkinkan terjadi karena reaksi antara formaldehida dengan catcher atau hanya terjadi karena solvasi amonium bikarbonat maupun natrium karbonat terhadap formaldehida. O H 4N
O
O
O OH +
C
H 4N
C H
O
Gambar 5. Kemungkinan Terjadinya Solvasi Formaldehida Oleh Natrium karbonat
NH4
O
+
C OH
O
O
O +
C H
H
H4 NO
C
H O
C
H
H O
Gambar 6. Kemungkinan Terjadinya Solvasi Formaldehida Oleh Amonium Bikarbonat
Konsentrasi yang digunakan pada optimasi pelapisan hanya sampai 20%, hal tersebut disebabkan pada pelapisan di atas 20% yaitu 25% dan 30% menimbulkan bercak putih pada kayu seperti terlihat pada Gambar 7. Selain itu, pada konsentrasi 25% dan 30% mempunyai kelarutan yang cukup sulit. Dalam Merck Index kelarutan Amonium bikarbonat dalam air adalah 14% (10oC), 17% ( 20oC), dan 21,3% (30oC). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembuatan Amonium bikarbonat di atas 20% harus dilakukan pada suhu sekitar 30oC.
OH
C
O
C
H
H
H
Gambar 3. Kemungkinan Reaksi antara Amonium Bikarbonat dengan Formaldehida O
O Na
O
C
O
C
Na +
O
H
NaO
ONa
C
O
C
H
H H
Gambar 4. Kemungkinan Reaksi antara Natrium karbonat dengan Formaldehida
Solvasi dapat terjadi karena atom Natrium dari Natrium karbonat mensolvasi formaldehida yang keluar dari pori-pori plywood (Gambar 4.9). Sedangkan pada Amonium bikarbonat solvasi formaldehida terjadi oleh atom Hidrogen (Gambar 4.10). H
H
H
C O
O
Na+ 2 O
C
+ O
H
O
O
Na+
C H
SEMNAS MIPA 2010
H C O
O
C
Na+ O
Gambar 7. Plywood yang Tidak maupun Dilapisi Catcher dengan Berbagai Konsentrasi
Dari data di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi yang paling efektif terhadap penurunan LFE adalah 15% dan pada konsentrasi tersebut tidak menimbulkan bercak putih pada plywood. 2. Penentuan Komposisi Campuran Catcher Amonium Bikarbonat Natrium Karbonat Penentuan komposisi campuran amonium bikarbonat 15% dan natrium karbonat 15% dilakukan dengan memvariasi volume larutan yang dicampurkan. Itu itu dibuat campuran dengan perbandingan
KIM - 55
volume: 1:9, 3:7, 5:5, 7:3, dan 9:1 berturutturut untuk amonium bikarbonat 15% dan natrium karbonat 15%. LFE masing-masing komposisi ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3. LFE Dalam Mencari Perbandingan Volume Catcher Campuran Amonium Bikarbonat dan Natrium karbonat. No
Sampel Plywood
A412
[HCOH] (ppm)
Rerata [HCOH] (ppm)
1
Blanko
0,250
1,59
1,59
-
DAR
0.050
0,22
0,22
86,16
0,065
0,32 0,41
74,20
0,093 0,053
0,50 0,24 0,48 0,43
77,36
0,089 0,081
0,36
0,50 0,39
70,75
0,090 0,080
0,465 0,515
67,61
0,77
51,57
3
C_1:9
4
C_3:7
5
C_5:5
6
C_7:3
7
0,110 0,110
C_9:1
Grafik Penurunan Emisi Formaldehida
100
0,64 0,64
Penurunan E misi (% )
2
Penurunan Emisi (%)
perbandingan 3:7 mempunyai emisi yang cukup rendah mendekati darmushu FC-7. Berdasarkan standar JAS 2003, emisi formaldehida sebesar 0,36 ppm ini termasuk kategori F**** (bintang 4). Artinya catcher tersebut dapat digunakan sehingga plywood mempunyai nilai emisi yang memenuhi standar kualitas pasar kayu lapis Jepang. Untuk melihat tingkat penurunan emisi formaldehida, grafik Gambar 8 dapat dikonversi menjadi grafik Gambar 9.
80 60 40 20 0 DAR
C_1:9
C_3:7
C_5:5
C_7:3
C_9:1
Sampel
Keterangan Tabel 3, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10 BL : Blanko DAR : Darmushu FC-7 C_1:9 : Catcher Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat 1:9 C_3:7 : Catcher Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat 3:7 C_5:5 : Catcher Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat 5:5 C_7:3 : Catcher Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat 7:3 C_9:1 : Catcher Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat 9:1
Konversi Tabel 3 ke dalam bentuk grafik ditunjukkan oleh Gambar 8. Grafik Emisi Formaldehida pada Plywood C_9:1
0.77
Sampel
C_7:3
0.515
C_5:5
0.465
C_3:7
0.36
C_1:9
0.41
DAR
0.22
BL
1.59 0
0.5
1
1.5
2
Emisi Formaldehida (ppm)
Gambar 8. Emisi Formaldehida pada Plywood
Dari grafik Gambar 8 diketahui bahwa sampel C_3:7 yaitu plywood dengan catcher campuran 15% Amonium bikarbonat dan 15% Natrium karbonat dengan SEMNAS MIPA 2010
Gambar 9. Penurunan Emisi Formaldehida oleh Catcher
Dari grafik pada Gambar 9 dapat diketahui bahwa sampel C_3:7 mempunyai keefektifan paling tinggi dibandingkan sampel yang dilapisi catcher campuran yang lain. Prosentase penurunan emisi tersebut didasarkan pada perbandingan sampel yang dilapisi catcher campuran terhadap sampel blanko (tanpa dilapisi catcher). Sampel C_3:7 dapat menurunkan emisi hingga 77,36% mendekati darmushu FC-7 (86,16%). Catcher optimum yang dihasilkan yaitu pada perbandingan campuran Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat 3:7, maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan konsentrasi Natrium karbonat yang lebih besar dibandingkan Amonium bikarbonat untuk menangkap emisi formaldehida. Hal tersebut dimungkinkan bahwa Natrium karbonat merupakan garam dari basa kuat sedangkan Amonium bikarbonat adalah garam dari basa lemah, sehingga kemampuan ionisasi Natrium karbonat lebih besar dibanding Amonium bikarbonat. Ion Natrium lebih mudah putus dibandingkan ion Amonium yang selanjutnya mensolvasi formaldehida (bila terjadi solvasi) atau berikatan dengan atom
KIM - 56
oksigen dari formaldehida (bila terjadi reaksi kimia). Selain dilihat dari nilai LFE, kualitas plywood juga ditentukan dari kualitas fisis yaitu warna kayu. Dengan pelapisan catcher akan berpengaruh terhadap warna kayu. Warna kayu setelah plywood dilapisi catcher campuran, catcher impor, maupun plywood yang tidak dilapisi catcher ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Plywood yang tidak maupun dilapisi Catcher
Ditinjau dari kualitas fisis warna kayu (Gambar 10), plywood yang mempunyai kualitas baik adalah C_1:9 dan C_3:7. Sedangkan pada sampel C_5:5, C_7:3, dan C_9:1 terdapat bercak hitam pada plywood. Bercak hitam tersebut disebabkan reaksi catcher dengan kayu sengon. Dengan melihat hasil LFE (Low Formaldehyde Emission) maupun warna kayu yang dihasilkan setelah pelapisan catcher maka penambahan catcher yang paling optimum adalah pada sampel C_3:7. Uji keteguhan rekat digunakan untuk menentukan kualitas plywood. Uji ini bertujuan mengetahui kualitas perekat. Walaupun penggunaan Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat sebagai catcher pelapis tidak berpengaruh pada keteguhan rekat, tetapi sebagai syarat uji kualitas plywood maka dilakukan uji tarik. Dari uji keteguhan rekat didapatkan data pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Keteguhan Rekat Maksimal, Minimal, dan Rata-rata Plywood dengan Metode Pelapisan Catcher
SEMNAS MIPA 2010
2
No 1 2 3 4 5 6 7
Sampel Plywood Blanko DAR C_1:9 C_3:7 C_5:5 C_7:3 C_9:1
Nilai Keteguhan Rekat (N/mm ) Maksimal 0,97 (50) 1,07 (60) 1,10 (20) 1,02 (60) 1,13 (30) 1.10 (40) 0,97 (60)
Minimal 0,63 (60) 0,75 (60) 0,66 (100) 0,71 (50) 0,72 (60) 0,78 (40) 0,75 (70)
Rata-rata 0,83 (50) 0,91 (50) 0,88 (40) 0,79 (60) 0,97 (60) 0,94 (50) 0,85 (40)
Dari Tabel 4 diketahui bahwa nilai rata-rata keteguhan rekat masing-masing sampel lebih besar dari 0,70 N/mm2. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari sifat fisik yaitu keteguhan rekat, plywood yang dihasilkan sudah memenuhi mutu plywood yang baik yaitu sesuai standar JAS 2003. Nilai keteguhan rekat minimal yaitu 0,63 (60) dan 0,66 (100) tidak disebabkan oleh kekuatan perekat tetapi disebabkan oleh faktor kekuatan kayu yaitu kerusakan masing-masing 60% dan 100%. 3. Perbandingan Harga dan Efektifitas Catcher Campuran Amonium Bikarbonat - Natrium Karbonat terhadap Catcher Darmushu Untuk bisa menjadi alternatif atau bahkan pengganti suatu produk, produk baru yang ditawarkan harus mempunyai nilai komparatif dibandingkan dengan produk sebelumnya yang ingin diganti. Demikian juga catcher campuran amonium bikarbonat - natrium karbonat ini. Untuk itu, komparasi dilakukan dari empat sisi, yaitu (1) kualitas produk, (2) standar pasar, (3) harga / biaya pengadan, dan (4) kemudahan diperoleh. Dilihat dari parameter kualitas, kemampuan catcher campuran amonium bikarbonat - natrium karbonat ini mendekati kualitas catcher Darmushu, yakni hanya terpaut angka 10% saja (Tabel 5). Namun demikian, apabila dilihat secara prakmatis dari standar pasar catcher campuran amonium bikarbonat - natrium karbonat ini sudah memenuhi standar pasar, bahkan sama-sama duduk di kelas 1 dibandingkan dengan catcher Darmushu. Apabila dilihat dari parameter biaya pengadaan, catcher campuran amonium bikarbonat - natrium karbonat ini hanya dibuat dari amonium bikarbonat teknis dan natrium karbonat kualitas teknis yang murah. Sudah barang tentu, dari parameter KIM - 57
ini catcher campuran amonium bikarbonat natrium karbonat ini sangat unggul dibanding catcher Darmushu (Tabel 5). Biaya penggunaan catcher dihitung dari semua biaya kebutuhan penggunaan catcher tiap sampel. Satu sampel plywood (1feet2) memerlukan catcher 8 g yaitu 4 g untuk masing-masing sisi plywood. Biaya pembuatan catcher ini dihitung dari harga catcher dan kebutuhan akuades untuk pelarutan catcher. Perhitungan harga pembuatan catcher dapat dilihat pada lampiran 9. Perbandingan harga dan efektifitas catcher campuran Amonium bikarbonat dan Natrium karbonat terhadap catcher Darmushu FC-7 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandinga Harga dan Efektifitas Catcher Campuran Amonium Bikarbonat dan Natrium karbonat
No
1 2 3 4 5 6
Sampel Plywood
Catcher/ sampel (g)
Darmush u FC-7 C_1:9 C_3:7 C_5:5 C_7:3 C_9:1
8 8 8 8 8
8
Harga / g (Rp)
Harga/ Sampel (Rp)
Harga Catcher per Darmushu FC-7 (%)
9,90 1,38 1,32 1,26 1,20 1,14
79,20 11,04 10,56 10,08 9,60 9,12
100,00 13,94 13,33 12,73 12,12 11,52
% Penur unan LFE 86,16 74,20 77,36 70,75 67,61 51,57
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa sampel C_3:7 dengan prosentase LFE sebesar 77,36 membutuhkan biaya pembuatan catcher sebesar Rp 10,56/sampel atau hanya 13,33% terhadap biaya catcher impor (Darmushu FC-7). Apabila dilihat dari parameter kemudahan diperoleh, amonium bikarbonat dan natrium karbonat termasuk bahan kimia umum yang sangat mudah diperoleh dipasaran. Dengan empat parameter ini dapat disimpulkan bahwa campuran amonium bikarbonat dan natrium karbonat dapat digunakan sebagai catcher dengan dua kelebihan dibandingkan dengan catcher Darmushu, yakni harganya hanya 13,33% dari padai harga catcher darmushu dan mudah didapat di pasaran. KESIMPULAN 1. Campuran amonium bikarbonat dan natrium karbonat dapat digunakan sebagai formaldehyde catcher guna SEMNAS MIPA 2010
menangkap emisi formaldehida dari kayu lapis. 2. Komposisi campuran optimum antara larutan amonium bikarbonat (15%) dengan natrium karbonat (15%) adalah 3:7. Campuran optimum ini dapat menurunkan tingkat emisi formaldehida sampai 77,36%. Penurunan emisi ini adalah 90% dari penurunan emisi formaldehida kayu lapis yang menggunakan catcher Darmushu (impor dari Jepang). 3. Kelebihan catcher campuran amonium bikarbonat dan natrium karbonat ini terletak pada harganya yang hanya 13,33% dari harga catcher Darmushu dan mudahnya di dapat di pasaran. Di samping itu, emisi formaldehida kayu yang dihasilkan masih memenuhi standar ekspor ke Jepang. Ucapan Terima Kasih Terima kasih peneliti sampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA 2007/2008. Juga Pimpinan Laboratorium PT. PAI Probolinggo yang telah memberikan kesempatan peneliti untuk melakukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Alyssa. 2005. Eco-Friendly Alternatives to Wood-based Particleboard. (on – line) (http://www.forestprod.org/pbrd01abs.pdf) (diakses tanggal 15 Febuari 2010) Anonimous. 1997. Formaldehyde Identified as a Toxic Air Contaminant Under California’s Air Toxic Program, List Summaries (on line). (http://www2.warwick.ac.uk/services/safety/he alth_and_safety/policy/six.pdf) (diakses Tanggal 15 Febuari 2010) Bachtiar, Farid. 2005. PT National Starch and Chemical. (press com). Cameron, Roger. 2001. Formaldehyde: In The Woodbased Panel Industry. Majalah Adhesive. Chem Sources. 2005. Chemical Resource International Inc, (on – line) (http://www.chemsources.com) (diakses tanggal 15 Febuari 2010)
KIM - 58
Hutabarat, Sihol. 2001. Moratorium Ekspor Log, Mengapa tidak. Sinar Harapan (on line). (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0108/30 /opi03.html). (diakses tanggal 15 Febuari 2005)
Sutrisno. 2000. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Malang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.
Joseph C, Touchstone. 1999. Practice of Thin Layer Chromatoghraphy 3 rd Edition. New York. Jhon and Sons Inc. Neo, Dow. 2001. Catch ‘em if you can. Majalah FDM Asia. Subandi dan Fauzi, Bachtiar. 2005. Komposisi Kimia Catcher Impor. Laporan Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang, tidak diterbitkan.
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 59
PENGEMBANGAN TEKNIK PEMISAHAN ION LOGAM DENGAN KROMATOGRAFI KOLOM DALAM MATAKULIAH PRAKTIKUM PEMISAHAN BAGI MAHASISWA BASIC SCIENCE Neena Zakia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang
Abstract
Latar belakang mahasiswa basic science yang berasal dari daerah timur Indonesia, menjadikan alasan untuk pengembangan materi pemisahan dengan kromatografi kolom. Latar belakang pendidikan dan rendahnya minat terhadap ilmu sains salah satu alasan kurangnya pengetahuan mereka di bidang sains. Kondisi tersebut didukung dengan keadaan sebenarnya di daerah asal mereka yang masih minim dengan peralatan laboratorium. Oleh karena itu diperlukan suatu pembelajaran yang inovatif meski dengan cara sederhana, namun dapat digunakan untuk menjelaskan konsep yang terjadi dalam proses pemisahan secara kimia. Materi yang akan dikembangkan adalah pemisahan ion logam Cu(II) dan Fe(III) dengan alasan bahwa analisis dapat dilakukan dengan sederhana tanpa instrumen modern untuk mengenalkan konsep pemisahan terhadap mahasiswa Basic Scince. Ketersediaan instrumen modern mendorong dikembangkannya metode pemisahan ini dengan cara yang sederhana supaya konsep pemisahan dapat dipahami dengan mudah. Pengembangan dilakukan dengan pembuatan kromatogram dari hasil pemisahan ion Cu(II) dan Fe(III), pemilihan reagen pengidentifikasi yang sesuai pada tahap analisis, dan pengkondisian kolom untuk melakukan pemisahan ion yang sama. Hasil dari penelitian ini, diperoleh bentuk kromatogram dari tahap analisis menggunakan reagen K4Fe(CN)6, sehingga dapat digunakan untuk mempelajari konsep pemisahan ion Cu(II) dan Fe(III), kolom dapat digunakan secara berulang untuk pemisahan ion yang sama tanpa melakukan pengkondisian pH kolom. Manfaat yang terpenting adalah pengembangan teknik pemisahan ion Cu(II) dan Fe(III) dengan kromatografi kolom sangat memberikan hasil positif karena dengan pengembangan alat dan analisis yang sederhana maka dapat dipelajari konsep prinsip pemisahan ion logam. Kata kunci: pemisahan ion logam, kromatografi kolom
PENDAHULUAN
Proses pemisahan secara kimia diperlukan di dalam suatu analisis kimia dengan tujuan untuk menghilangkan ion yang dapat mengganggu pada proses penentuannya. Materi pemisahan dipelajari oleh mahasiswa Basic Science pada semester 4 dalam Matakuliah Pemisahan Kimia yang kemudian diimplementasikan dalam Matakuliah Praktikum Pemisahan Kimia. Mahasiswa yang menempuh matakuliah praktikum pemisahan kimia salah satunya berasal dari Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara yang mendapat sebutan mahasiswa Basic Science. SEMNAS MIPA 2010
Latar belakang mahasiswa basic science yang berasal dari daerah timur Indonesia, menjadikan alasan untuk pengembangan materi pemisahan dengan kromatografi kolom. Rendahnya minat dan pengetahuan dasar dari mahasiswa basic science terhadap bidang sains menjadi salah satu alasan kurangnya pengetahuan mereka di bidang sains. Latar belakang pendidikan dari mahasiswa tersebut juga berasal dari bidang yang kurang sesuai yaitu rata-rata berasal dari bidang sosial dan bahasa, sehingga dalam mempelajari materi sains mereka sering menemui kesulitan. Kondisi tersebut didukung dengan keadaan KIM - 60
sebenarnya di daerah asal mereka yang masih minim dengan peralatan laboratorium. Oleh karena itu diperlukan suatu pembelajaran yang inovatif meski dengan cara sederhana, namun dapat digunakan untuk menjelaskan konsep yang terjadi dalam proses pemisahan secara kimia. Materi yang akan dikembangkan adalah pemisahan ion logam Cu(II) dan Fe(III) dengan alasan bahwa analisis dapat dilakukan dengan sederhana tanpa instrumen modern untuk mengenalkan konsep pemisahan terhadap mahasiswa Basic Scince. Setelah proses pemisahan, tahap analisis dilakukan dengan menggunakan instrumen yang tidak sederhana seperti spektrofotometer UV-Vis atau AAS. Umumnya di daerah asal para mahasiswa basic science alat tersebut belum tersedia. Oleh karena itu dikembangkan metode pemisahan ini dengan cara yang sederhana supaya konsep pemisahan dapat dipahami dengan mudah. Teknik kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan pipet tetes sebagai kolom yang berisi alumina sebagai fasa diamnya. Alat tersebut dipilih karena keberadaannya di semua laboratorium kimia mudah dijumpai dan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga akan memudahkan prosedur pengerjaannya. Tahap analisis dilakukan dengan cara konvensional untuk mengatasi kendala dari laboratorium yang tidak memiliki alat instrumentasi seperti spektrofotometer. Dalam penelitian ini, dikembangkan pengaruh pemilihan reagen pengidentifikasi sehingga dapat diketahui jenis reagen yang memberikan hasil baik (yaitu sensitif dan selektif) terhadap kedua ion. Selain itu juga dipelajari penggunaan berulang dari kolom yaitu dengan mengetahui pengaruh kondisi kolom alumina terhadap pemisahan ion Cu(II) dan Fe(III). METODE PENELITIAN Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah statif dan klem, tutup SEMNAS MIPA 2010
dari botol film, pipet tetes, pelat tetes (2), gelas kimia 50 mL dan 100 mL, gelas ukur 10 mL, labu takar 100 mL, kertas lakmus universal, kertas label. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alumina, Larutan CuSO4 0,1 M, Larutan FeNH4(SO4)2 0,1 M, Larutan K4[Fe(CN)6] 1,5%, KSCN 1 M, NaOH 2 M, KCN 1 M, HCl 0,05 M, NH4OH 0,05 M, dan aquades. Semua bahan diperoleh dari Merck dan berderajat p.a (pro analysis). Prosedur Kerja 1. Pembuatan Sampel Sampel merupakan campuran dari ion Fe(III) 0,1 M dan Cu(II) 0,1 M masingmasing sebanyak 5 mL (perbandingan volume 1:1). Larutan dikocok, untuk keperluan pemisahan sampel yang diambil dan dimasukkan kolom adalah sebanyak 1 mL. 2. Pembuatan Kolom Kapas dimasukkan ke dalam pipet tetes, diusahakan tidak terlalu rapat, dan ditambahkan sedikit akuades untuk mengeluarkan udara dari kapas. Alumina dibuat menjadi bubur, kemudian dimasukkan ke dalam pipet tetes sedikit demi sedikit, hingga membentuk kolom yang padat dengan tinggi kolom 4 cm. Kolom dijaga tidak boleh kering, oleh karena itu akuades disisakan kurang lebih 1 cm diatas bubur alumina. 3. Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) Secara perlahan-lahan 1 mL larutan sampel dimasukkan ke dalam kolom alumina. Setelah hampir semua cuplikan meresap ke dalam fasa diam, maka ditambahkan akuades. Larutan yang keluar dari kolom ditampung dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan pengidentifikasi. Catat dan amati yang terjadi, serta dilakukan identifikasi secara kualitatif. Pengembangan Teknik Pemisahan: Sampel campuran ion Cu(II) dan Fe(III) sebanyak 1 mL secara perlahan dimasukkan ke dalam kolom. Saat sampel masuk, fraksi eluat mulai dikumpulkan. Volume tiap fraksi adalah 1 mL (sekitar 20 KIM - 61
tetes). Sebelum dimasukkan eluen, sampel ditunggu hingga hampir masuk semua ke dalam kolom. Selanjutnya eluen atau fasa geraknya yaitu HCl 0,05 M ditambahkan secara perlahan hingga kedua ion terpisah semua dan keluar dari kolom. Kolom diamati selama terjadinya pemisahan, demikian pula dengan warna eluat yang keluar. Fraksi yang telah ditampung selanjutnya dilakukan uji identifikasi secara kualitatif. Uji identifikasi dilakukan dengan cara tiap fraksi diambil sebanyak 2 tetes dan ditempatkan di pelat tetes. Selanjutnya dalam pelat tetes ditambahkan 2 tetes reagen pengidentifikasi. Variasi jenis reagen pengidentifikasi adalah NaOH, K4[Fe(CN)6], KCN, dan KSCN. Pengamatan meliputi warna yang timbul dari tiap fraksi dan intensitas warna yang terjadi. Hasil pengamatan dapat dibuat kromatogram sehingga dapat diketahui pemisahan kedua ion dengan lebih baik. Kromatogram adalah grafik hubungan antara nomer fraksi (sebagai sumbu x) dan tingkat intensitas warna (sebagai sumbu y). Pengembangan yang lain adalah penetapan kondisi dari kolom alumina yaitu pH dari kolom. Sebelum dilakukan pemisahan, dilakukan pengecekan pH kolom melalui eluat yang keluar. Selanjutnya dilakukan 2 kali pengulangan tanpa regenerasi, dengan mencatat pH kolom setelah digunakan pemisahan ion. Kolom yang digunakan adalah sama atau tidak diganti. Kolom setelah digunakan hanya dialiri dengan akuades sebanyak 10 mL. Selanjutnya dilakukan pemisahan seperti cara di atas dengan menggunakan pereaksi identifikasi yang paling baik hasil dari perlakuan sebelumnya. Perlakuan terakhir (perlakuan ke 4) adalah mengkondisikan pH kolom supaya mempunyai pH saat kolom belum digunakan. Caranya dengan menambahkan NH4OH encer sampai diperoleh pH yang sesuai. Selanjutnya dilakukan pemisahan ion Cu(II) dan Fe(III) dengan reagen pengidentifikasi yang paling baik. Dari hasil pengamatan selanjutnya dibuat SEMNAS MIPA 2010
kromatogram dan dilakukan analisis untuk mengetahui hasil pemisahannya jika dibandingkan dengan penggunaan alumina pada pemisahan pertama. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara narasi deskriptif. Hasil penelitian diperoleh kromatogram yang merupakan pengembangan dari praktikum sebelumnya sehingga dapat diketahui profil dari pemisahan ion Cu(II) dan Fe(III) dengan menggunakan alumina sebagai fasa diam. Kromatogram merupakan grafik hubungan antara nomer fraksi sebagai sumbu x dan tingkat intensitas warna sebagai sumbu y. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael Tswest (1906), melalui pemisahan klorofil dan pigmen warna lain dari ekstrak tumbuhan dengan menggunakan serbuk kalsium karbonat sebagai fasa diamnya. Pemisahan dengan cara kromatografi melibatkan perbedaan distribusi suatu komponen sampel diantara dua fasa yaitu fasa diam dan fasa geraknya. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ion-ion logam dapat dipisahkan dengan kromatografi menggunakan alat modern untuk mengatasi jumlah sampel berukuran mikro. Pemisahan dapat dilakukan dengan HPLC (ion pair dan reversed phase) dan kromatografi lapis tipis dengan silika sebagai adsorbennya (Li, 2001 dan Honjo, 1978). Analit yang akan dipisahkan melalui kromatografi kolom akan berkesetimbangan diantara dua fasa yaitu fasa diam dan fasa gerak. Distribusi tiap komponen diantara fasa diam dan fasa gerak berbeda satu dengan yang lain menyebabkan kecepatan migrasinya juga berbeda. Perbedaan kecepatan migrasi tersebut yang menyebabkan terjadinya pemisahan komponen-komponen dalam campuran. Dalam sampel yang mempunyai warna, komponen-komponen yang terpisah akan nampak sebagai pita-pita dalam fasa diam. Selanjutnya, dilakukan suatu elusi dengan KIM - 62
penambahan eluen yang sesuai akan mendorong komponen tersebut keluar dari kolom. Komponen yang keluar disebut dengan eluat, ditampung dan dilakukan analisis. Dalam penelitian ini dilakukan pengembangan yaitu pada tahap analisis dengan cara konvensional yaitu menggunakan suatu reagen identifikasi. Sebelum dilakukan pengembangan, hanya diketahui ion apa yang keluar terlebih dahulu dari kolom, tetapi tidak diketahui saat kapan terjadinya pemisahan. Dengan adanya pengembangan teknik dari penelitian ini, maka dapat diketahui saat mana kedua ion dapat terpisah secara lebih pasti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pada pemilihan reagen pengidentifikasi. Dalam penelitian ini digunakan reagen pengidentifikasi larutan NaOH, K4Fe(CN)6, KCN, dan KSCN. Pemilihan reagen tersebut didasarkan pada sifat dari reagen tersebut yang dapat memberikan reaksi positif terhadap kedua ion yang akan dipisahkan. Reaksi antara ion Cu(II) dengan keempat reagen tersebut masing-masing adalah sebagai berikut:
Cu 2 ( aq ) 2OH ( aq ) Cu (OH ) 2( s ) 2
4Cu
(aq)
4
2[Fe(CN)6 ]
(aq)
Cu
( aq)
2SCN
( aq)
Fe
( aq )
3OH
( aq )
Fraksi
Reagen NaOH
1
Tak berwarn a (t.b)
2 3 4
t.b t.b t.b
5
Biru
1
Coklat kemeraha n
3
6
Biru
3
5
7
Biru + coklat (sedikit)
Biru (2) + cokla t (1)
Coklat kemeraha n Coklat kemeraha n + biru
8
Coklat
1
9 10 11 12 13 14
t.b t.b t.b t.b t.b t.b
15
t.b
16
t.b
17
t.b
18
t.b
19
t.b
20
t.b
21 22 23 24 25
t.b t.b t.b t.b t.b
Cu(SCN) 2(s )
Reaksi antara ion Fe(III) dengan keempat reagen tersebut masing-masing adalah sebagai berikut: 3
Tabel 1. Pengamatan Eluat tiap Fraksi dengan Penambahan Reagen Pengidentifikasi NaOH dan K4[Fe(CN)6]
Cu4[Fe(CN)6 ]2(s)
Cu 2 ( aq ) 2CN ( aq) Cu (CN ) 2( s ) 2
kecoklatan, biru, dan coklat kehijauan. Sedangkan hasil dari reaksi ion Fe(III) dengan NaOH, K4Fe(CN)6, KCN, dan KSCN masing-masing adalah timbul endapan atau warna coklat, biru, coklat kuning, dan merah darah. Warna tersebut spesifik untuk kedua ion tersebut. Hasil pengamatan tiap fraksi dari pemisahan ion Cu(II) dengan Fe(III) dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2, yang diilustrasikan pada Gambar 1, 2, 3, dan 4.
Fe(OH ) 3( s )
4Fe3(aq) 3[Fe(CN)6]4(aq) Fe4[Fe(CN)6]3(s) Fe 3 ( aq ) 3CN aq Fe(CN ) 3( s ) Fe(3aq ) 3SCN (aq ) Fe( SCN ) 3( s ) Hasil positif dari reaksi antara ion Cu(II) dengan NaOH, K4Fe(CN)6, KCN, dan KSCN masing-masing adalah timbul endapan atau warna biru, merah SEMNAS MIPA 2010
Inten sitas
Ket
Reagen K4[Fe (CN)6] Kuning
Kuning Kuning Coklat merah pucat
Cokl at sang at sedi kit Ham pir tida k tam pak
Intens itas
Ket
Kunin g merup akan warna dari K4[Fe( CN)6] 1
Tidak ada endapa n, merup akan warna larutan Merup akan warna endapa n
2+2
Biru
6
Biru Biru Biru Biru Biru Biru pucat Biru pucat Biru pucat Biru pucat Biru pucat Biru pucat Biru pucat Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning
5 4 3 2 1 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
KIM - 63
Tabel 2. Pengamatan Eluat tiap Fraksi dengan Penambahan Reagen Pengidentifikasi KCN dan KSCN Rea gen KC N Tak berw arna (t.b) t.b t.b t.b
Intensitas
Biru mud a, sedi kit hijau
1
6
Biru
3
7
Biru
2
8
Biru
1,5
5
9
t.b
11
t.b
12
t.b
13
t.b
14
t.b
15
t.b
16
t.b
17
t.b
18
t.b
19
t.b
20
t.b
21
t.b
22
t.b
23 24 25
Ket
Pemisahan Cu(II) dan Fe(III) dengan reagen pengidentifikasi K4[Fe(CN)6]
t.b
7 6
Biru
10
Inte nsit as
Biru = warn a posit if Cu(I I) deng an KCN
Cokl at sang at sedik it Ham pir tidak tamp ak
1
t.b t.b Kuning pucat kuning coklat
0,5 3
5 4 Cu(II)
3
Fe(III)
2 1 0 -1 0
5
10
15
20
25
30
Nomer Fraksi
kuning coklat Merah darah
2
Merah darah
7
8
Kemungk inan masih ada Cu(II)
Gambar 2. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(iii) dengan Reagen Pengidentifikasi K4Fe(CN)6 Pemisahan Cu(II) dan Fe(III) dengan reagen pengidentifikasi KCN 3,5 3
Merah darah Merah darah Merah darah Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat Merah pucat t.b t.b t.b
t.b t.b t.b
tk.intensitas
2 3 4
R. KSCN
tk.intensitas
1
Ket
6 5
2,5 2 Cu(II)
1,5
Fe(III)
1 0,5 0 -0,5 0
4
5
10
15
20
25
30
Nomer fraksi
2,5 2
Gambar 3. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) dengan Reagen Pengidentifikasi KCN
1,75 1,5 1 1
Pemisahan Cu(II) dan Fe(III) dengan reagen pengidentifikasi KSCN
1 1
9 8
1
7 tk. intensitas
Fraksi
Gambar 1. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) dengan Reagen Pengidentifikasi NaOH
0,5 0,5
6 5
Cu(II)
4
Fe(III)
3 2 1 0 -1 0
5
10
15
20
25
30
Nomer fraksi
Pemisahan Cu(II) dan Fe(III) dengan reagen pengidentifikasi NaOH
Gambar 4. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) dengan Reagen Pengidentifikasi KSCN
3,5
tk.intensitass
3 2,5 2 Cu(II)
1,5
Fe(III)
1 0,5 0 -0,5 0
5
10
15 Nomer Fraksi
SEMNAS MIPA 2010
20
25
30
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa dengan penambahan reagen NaOH (Gambar 1), Fe(III) tidak tampak terlihat. Reaksi dengan NaOH tidak memberikan hasil yang sensitif terhadap Fe(III). Kromatogram menunjukkan bahwa KIM - 64
Fe(III) hanya teridentifikasi positif di dua fraksi yaitu fraksi 7 dan 8. Intensitas warna yang terlihat juga tidak begitu jelas. Identifikasi menggunakan reagen K4Fe(CN)6 menunjukkan hasil yang bagus bagi kedua ion (Gambar 2). Ion Cu(II) dan Fe(III) terlihat terpisah dengan baik, meski masih ada penumpukan puncak. Namun, dari reagen tersebut baik Cu(II) maupun Fe(III) memberikan respon yang bagus sehingga dapat diketahui dengan pasti pada fraksi berapa kedua ion tersebut dapat terpisah. Reaksi dengan K4Fe(CN)6 memberikan hasil positif pada Cu(II) yang ditunjukkan dengan warna coklat kemerahan, dan Fe(III) memberikan warna biru. Reagen KCN tidak terlalu bagus, bila dilihat dari intensitas dan hasil yang diberikan (Gambar 3). Oleh karena kurang sensitif, maka kurva Cu(II) dan Fe(III) terlihat menumpuk puncaknya, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti fraksi dimana kedua ion terpisah dengan sempurna. Penggunaan reagen KSCN dapat dilihat pada Gambar 4. KSCN sangat sensitif bagi ion Fe(III), namun kurang sensitif untuk ion Cu(II). Warna yang terlihat untuk Cu(II) dengan penambahan KSCN tidak begitu jelas, sehingga sedikit mengalami kesulitan untuk menentukan intensitas warna yang timbul. Dari keseluruhan kromatogram, secara umum profil pemisahan yang diperoleh hampir sama, kecuali pada reagen KCN. Ion Cu(II) keluar terlebih dahulu dibandingkan Fe(III), terlihat dari fraksi 4 sudah memberikan hasil positif terhadap reagen K4Fe(CN)6, sedangkan ion Fe(III) baru keluar pada fraksi 7. Jenis reagen yang paling bagus yaitu bersifat sensitif dan spesifik untuk kedua ion adalah K4Fe(CN)6, karena dari bentuk kromatogram yang dihasilkan terlihat dengan jelas pemisahan dari kedua ion dan intensitas warna yang dihasilkan juga lebih jelas jika dibandingkan dengan ketiga reagen yang lain. Penggunaan dari satu reagen yang spesifik untuk kedua ion, tetapi dapat memberikan hasil reaksi yang berbeda SEMNAS MIPA 2010
cukup menguntungkan, karena tidak dibutuhkan banyak perlakuan. Apabila digunakan kombinasi antara NaOH dan KSCN juga tidak menutup kemungkinan akan memberikan hasil yang bagus, namun dibutuhkan dua reagen untuk mengetahui dengan pasti keberadaan ion yang dimaksud. Pengembangan yang lain adalah penetapan kondisi dari kolom alumina. Pada penggunaan awal, kolom alumina mempunyai pH sekitar 7-8. Dalam penetapan reagen identifikasi yang dilakukan merupakan perlakuan awal sebelum kolom dikondisikan. Setelah terjadi proses pemisahan, kolom digunakan ulang untuk mengetahui keefektifan kolom untuk memisahkan kedua ion tersebut. Pada perlakuan ke-2 dan 3, kolom hanya dibilas dengan akuades sebanyak 10 mL untuk selanjutnya digunakan lagi untuk memisahkan ion yang sama. Setelah pemakaian pertama, pH kolom menjadi sekitar 2-3. Untuk perlakuan terakhir, kondisi kolom dikembalikan pada pH sekitar 7-8 dengan penambahan NH4OH encer. Penggunaan NH4OH encer supaya kolom tidak menyebabkan penggembungan kolom dan tidak merubah struktur alumina secara drastis, sehingga masih dapat digunakan untuk pemisahan ion yang sama. Hasil pengamatan dari pengembangan teknik ini dapat dilihat pada Tabel 3, dan bentuk kromatogram pada Gambar 5, 6, 7, dan 8. Tabel 3. Penggunaan Kolom Alumina dengan dan tanpa Pengembalian Kondisi pH Kolom Fra ksi
pH kolom sekitar 3 (penggunaan ke 2)
K4Fe (CN)6
int ens ita s
KSC N
int ens itas
pH kolom sekitar 7-8
K4Fe (CN)6
1
t.b
2
Coklat merah (end) Coklat merah (end)
2
Kuni ng
1
4
3
Coklat
3
Kuni ng
4
Coklat merah (end) + biru
1+ 2
Kuni ng keco klata n Mera h dara h
8
Coklat + biru
2+ 1
5
Biru
5
Mera h
7
Biru
5
Kuni ng, ada coklat sediki t Cokla t
3
t.b
pH kolom sekitar 3 (penggunaan ke 3) int K4Fe(C en N)6 sit as Kuning Coklat muda
1
Inte nsit as
Kuni ng Kuni ng
0,5
2
KIM - 65
Biru
3
8
9
Biru
2
Biru pucat
1
10
Biru pucat
1
11
Biru pucat
1
12
13
14
15
Biru pucat
0,5
Biru pucat
0,5
Biru pucat
Biru pucat
0,5
0,5
Perlakuan 2 (pH 2-3), reagen K4Fe(CN)6
4
biru
3
Cokla t+ Biru
3+ 1
3
biru
2
Cokla t+ Biru
4+ 2
Cokla t+ Biru
2+ 2
2
1,5
biru
1,5
biru
1
5
Cokla t+ Biru
1+ 2
biru
1
Biru + coklat
2+ 1
0,7 5
biru
0,5
Biru, sediki t coklat Biru pudar
3+ 0,5
Biru pucat
1
0,5
biru
biru
0,5
0,5
16
17
inte nsit as
Biru puc at
0,5
Biru puc at
0,5
KS CN Mer ah puca t Mer ah puca t t.b
0,5
biru
0,5
biru
0,5
0,5
inte nsit as 0,5
pH kolom sekitar 3 (penggunaan ke 3) int K4Fe( ens CN)6 ita s biru 0,5
Biru pucat
5
10
15
20
25
30
Gambar 5. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) Perlakuan 2, dengan Reagen Pengidentifikasi K4Fe(CN)6 Perlakuan 2 (pH 2-3), reagen KSCN 9 8 6 5
Cu(II)
4
Fe(III)
3 1 0 -1 0
5
10
15
20
25
30
Biru pucat
0,5
Gambar 6. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) Perlakuan 2, dengan Reagen Pengidentifikasi KSCN pH kolom sekitar 7-8
perlakuan 3 (pH 2-3), reagen K4Fe(CN)6 6
K4F e(C N)6
Int ensi tas
kunin g
Biru puca t
0,2 5
kunin g
Biru puca t Biru puca t Biru puca t Kuni ng Kuni ng Kuni ng Kuni ng Kuni ng
0,2 5
5 4 3
Cu(II)
2
Fe(III)
1 0
0,5
Kun ing
t.b
kunin g
20
Kun ing
t.b
kunin g
21
Kun ing Kun ing Kun ing Kun ing Kun ing
t.b
kunin g kunin g kunin g kunin g kunin g
25
0
Nomer fraksi
1
0,5
19
24
0
7
Biru puca t
Kun ing
23
Fe(III)
nomer fraksi
18
22
Cu(II)
2
2
pH kolom sekitar 3 (penggunaan ke 2)
K4F e(C N)6
3
1
2
Lanjutan Tabel 3 Fr aks i
4
-1
1
0,5
6
tk.intensitas
7
dara h Mera h dara h Mera h dara h Mera h dara h Mera h puca t Mera h puca t Mera h puca t Mera h puca t Mera h puca t Mera h puca t Mera h puca t
tk.intensitas
4
tk.intensitas
Biru
t.b t.b t.b t.b
0,2 5 0,2 5
-1
0
5
10
15
20
25
30
nomer fraksi
Gambar 7. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) Perlakuan 3, dengan Reagen Pengidentifikasi K4Fe(CN)6 Perlakuan 4 (pH 7-8), reagen K4Fe(CN)6 4,5 4 3,5 tk.intensitas
6
3 2,5
Cu(II)
2
Fe(III)
1,5 1 0,5 0 -0,5 0
5
10
15
20
25
30
Nomer fraksi
Gambar 8. Kromatogram Pemisahan Ion Cu(II) dan Fe(III) Perlakuan 4, dengan Reagen Pengidentifikasi K4Fe(CN)6
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa setelah proses pemisahan pertama SEMNAS MIPA 2010
KIM - 66
tanpa pengkondisian pH (pH kolom 2-3), hasil pemisahan cukup bagus. Namun, pada perlakuan 2 dan 3, ion Cu(II) telah keluar pada fraksi kedua, sedangkan ion Fe(III) mulai keluar pada fraksi 4. Warna fraksi 4 lebih gelap karena merupakan campuran dari sisa ion Cu(II) dan ion Fe(III) yang mulai keluar. Profil kromatogram perlakuan 2 dan 3 adalah sama yang ditunjukkan Gambar 5 dan 7. Jika dibandingkan dengan penggunaan awal atau pemisahan yang pertama, alumina tidak banyak menahan kedua ion, tetapi tahap pemisahannya masih terlihat dengan jelas. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat alumina yang asam, sehingga mempengaruhi kekuatan ion yang diikat. Dari segi penggunaan reagen, ion Cu(II) dengan reagen KSCN kurang terlihat jelas warna dan intensitasnya, namun fraksi yang ditunjukkan (keluarnya ion Cu(II) dan Fe(III)) sama dengan penggunaan reagen K4Fe(CN)6 (Gambar 5 dan 6). Hasil yang tidak terlalu bagus justru diperlihatkan pada perlakuan terakhir dari kolom yang dikondisikan. pH kolom mendekati pH 7-8, tetapi hasil pemisahan tidak sebagus pada perlakuan 2 dan 3 (Gambar 8). Hal tersebut dimungkinkan ada pengaruh pada penggunaan NH4OH sehingga mempengaruhi distribusi ion Cu(II) dan Fe(III) di dalam kolom. Selama proses pemisahan, di dalam kolom juga nampak pelebaran pita dari kedua ion, sehingga kromatogram yang dihasilkan tidak menunjukkan pemisahan yang jelas antara ion Cu(II) dan Fe(III). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dilihat segi kelemahan dan keunggulan dari pengembangan teknik ini. Beberapa kelemahan teknik pengembangan ini adalah terletak pada faktor personal. Ketelitian penglihatan dari setiap individu sangat berperan penting dalam penentuan warna dan intensitas yang ditimbulkan. Intensitas warna yang timbul bukan merupakan ukuran kadar (segi kuantitatif), namun hanya tingkatan intensitas dari tiap warna yang dihasilkan. Skala merupakan perbandingan dari warna yang timbul. SEMNAS MIPA 2010
Selain itu, konsentrasi masih tergolong pada konsentrasi sampel yang makro sehingga dapat memberikan hasil positif pada reagen pengidentifikasi. Sedangkan keunggulan dari teknik pengembangan ini adalah digunakan kolom yang cukup kecil sehingga sampel dan adsorben yang digunakan tidak perlu banyak, alat sederhana, dan tahap analisis dapat dilakukan dengan sederhana pula. Kendala adanya kekurangan instrumen modern dapat diatasi dengan teknik pemisahan seperti ini. Selain itu, dengan teknik pengumpulan fraksi, maka dapat dibuat kromatogram sebagai model seperti pada penggunaan instrumen modern. Penggunaan kromatogram sangat penting karena dapat diketahui dengan pasti terjadinya pemisahan dari kedua ion. Oleh karena itu, pengembangan teknik pemisahan ion logam ini cukup memberikan manfaat terutama dalam hal membantu pemahaman tentang konsep pemisahan ion logam dengan teknik kromatografi kolom. KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Teknik pemisahan ion logam dikembangkan dengan membuat kromatogram dengan pemilihan reagen pengidentifikasi yang sensitif yaitu menggunakan reagen K4Fe(CN)6 2. Untuk memanfaatkan kolom supaya dapat digunakan secara berulang, maka tidak perlu pengkondisian kolom, cukup dengan pembilasan akuades maka kolom dapat digunakan lagi. 3. Pengembangan teknik pemisahan ion logam yaitu ion Cu(II) dan Fe(III) dengan kromatografi kolom dalam matakuliah praktikum pemisahan bagi mahasiswa basic science sangat memberikan hasil positif karena dengan pengembangan alat dan analisis yang sederhana maka dapat dipelajari prinsip pemisahan ion logam. KIM - 67
DAFTAR PUSTAKA
Caldwell, K.W. 1979. Laboratory Experiments in College Chemistry. 4th Edition. New York: Van Nostrand Company Christian, G.D. 1993. Analytical Chemistry. New York: John Wiley & Sons Honjo, T., Honnami, H., Kiba, T. 1978. The Separation of Iron(III), Cobalt(II), Nickel(II), Copper(II), Zinc(II), Mercury(II), Lead(II), Cadmium(II), and Palladium(II) as Their SDBM (3-Mercapto-1,3-diphenyl-2-propen1-one) Complexes by Thin Layer Chromatography on Silica Gel. Bulletin of the Chemical Society of Japan. Vol.51 , No.5(1978): pp.1559-1560
Singapore: Longman Singapore Publishers Ltd Xue, M. dan Nagaosa, Y. 2006. Separation of Cd(II), Pb(II), Zn(II), and Cu(II) by High Performance Centrifugal Partition Chromatography with Di-2methylnonylphosphoric Acid. Journal of Liquid Chromatography. Volume 29, Issue 13 June 2006 , pages 1979 - 1989
Jingdong, P., Shaopu, L., Chuanyue, D., 2005. Separation and Determination of Trace Amounts of Aluminium(III), Vanadium(V), Iron(III), Copper(II) and Nickel(II) with CALKS and PAR by RP-HPLC. Anal Sci Journal. Vol.21;No.3;Page:259262(2005) Li, C.Y., Gao, J.Z., Yu, S.Y., Han, X.Q., Li, B.Y., and Liu, H.T. 2001. Simultaneous Separation and Determination of Cu(II), Fe(III), and Pb(II) by Reversed-Phase Ion-Pair Chromatography withN,N,N , N -ethylenediaminetetrakis(methylenephosphonic Acid). Chromatographia Journal. Volume 54, Numbers 1-2 / July, 2001, Pages114-116 ---------. 2003. The Basics of Chromatography. Biopharm International Guide (diakses online tanggal 29 januari 2010, http://biopharminternational.findpharma.c om/biopharm/data/articlestandard//biopha rm/522003/80026/article.pdf ) Skoog, D.A., West, D.M., Holler, F.J., and Crouch, S.R. 2000. Analytical Chemistry an Introduction. 7th Edition. USA: Saunders College Publiishing. Svehla, G. 1996. Vogel’s Qualitative Inorganic Analysis. Seventh edition. SEMNAS MIPA 2010
KIM - 68
PEMANFAATAN MINYAK GORENG BEKAS UNTUK BIODIESEL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER ENERGI TERBARUKAN Aman Santoso
[email protected] Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang Indonesia
Abstrak Budaya memasak dengan minyak goreng berdampak pada banyaknya limbah minyak goreng di masyarakat kita. Fungsi utama minyak goreng dalam pengolahan bahan pangan sebagai penghantar panas, dan juga meningkatkan nilai rasa dan nilai gizi bahan pangan. Penggunaan minyak goreng secara berulang-ulang menyebabkan kerusakan pada struktur minyak serta dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia, bila dibuang langsung ke lingkungan dapat menyebabkan pencemaran. Limbah minyak goreng dapat dimurnikan (rafinasi) dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Minyak goreng bekas dirafinasi dengan despicing menggunakan air dengan perbandingan (1:1) suhu 100 oC selama 1 jam ; dengan netralisasi KOH 1 % dengan hasil rafinasi berwarna kuning jernih, bau khas (tidak berbau), kadar ALB 1-1,2% dengan rendemen minyak 8890%. Hasil rafinasi dari minyak goreng bekas dapat ditransesterifikasi dengan metanol teknis pada fraksi minyak-metanol (1:7), konsentrasi katalis KOH 0,7% dengan pengaduk mekanis (cara konvensional) menghasilkan campuran metil ester asam lemak dengan rendemen 94-95%. Campuran metil ester hasil tranesterifikasi dari minyak goreng bekas memiliki karakter seperti biodiesel yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber energi terbarukan. Kata kunci: Rafinasi, minyak goreng bekas, biodiesel
LATAR BELAKANG Minyak goreng termasuk sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, namun penggunaan minyak goreng untuk memasak secara berulang-ulang akan memberikan dampak negatif bagi manusia. Pada proses penggorengan bahan pangan, minyak goreng mengalami perubahan fisik maupun kimiawi, karena proses pemanasan yang berkelanjutan menyebabkan sebagian bahan pangan ikut terlarut dalam minyak, serta adanya ikatan rangkap yang terputus menjadi aldehida atau keton, adanya struktur cis dari asam lemak berubah menjadi bentuk trans yang sulit diuraikan oleh tubuh sehingga dapat menyebabkan beberapa penyakit dan juga bersifat karsinogen. Perubahan sifat dari minyak goreng yang telah lama dignakan menjadikan minyak goreng tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai bahan SEMNAS MIPA 2010
makanan, oleh karena itu minyak goreng yang telah dipakai/minyak jelantah (waste cooking oil) menjadi barang buangan atau limbah dari industri penggorengan. Potensi minyak goreng bekas secara nasional dapat mencapai 6 juta ton/tahun (dari 1/3 produk minyak sawit), setelah digunakan penggorengan tinggal 30 persen sebagai sisa menjadi minyak goreng bekas akan setiap tahun dihasilkan sekitar 2 jutan ton minyak goreng bekas. Menurut Riana dan Subandi (2010) menyebutkan potensi limbah minyak goreng bekas dari waralaba dan pedagang kaki lima di Malang mencapai 25.000 L/bulan. Minyak goreng bekas dapat mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit, misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah, kanker dan menurunkan nilai cerna lemak (Ketaren, 1986). Limbah minyak KIM - 69
goreng apabila dibuang langsung ke lingkungan akan menyebabkan permasalahan baru yakni sebagai sumber pencemaran lingkungan. Minyak goreng bekas seperti halnya minyak nabati pada umumnya merupakan trigliseridfa dari asam-asam lemak, asam lemak bebas, hasil oksidasi, bau tidak sedap, dan pengotor partikel padat terlarut. Sebagai minyak nabati minyak goreng bekas dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan yakni yang disebut biodiesel untuk menggantikan solar. Namun karena sebagai limbah bayak terdapat senyawa pengganggu selain trigliserida dalam minyak goreng bekas, oleh karena itu agar dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel minyak goreng bekas harus dirafinasi terlebih dahulu. Beberapa tahapan dapat dilakukan untuk memurnikan minyak goreng bekas antara lain dengan filtrasi, despicing, netraliasasi dengan basa kuat dan adsorbsi dengan arang aktif. Filtrasi minyak bertujuan untuk menyaring partikel padat yang terlarut dalam limbah. Proses despicing dengan air panas bertujuan untuk melarutkan karbohidrat atau protein yang terlarut dalam minyak goreng bekas. Netralisasi bertujuan untuk menurunkan asam lemak bebas, serta juga mengendapkan partikel senyawa polar atau agak polar yang masih tersisa. Adsorbsi arang aktif digunakan untuk menyerap warna dalam minyak goreng bekas. Biodiesel adalah alternatif untuk menggantikan solar yang dapat dibuat dari minyak tanaman atau lemak dengan reaksi transesterifikasi (Demirbas, 2007), dimana produksinya relatif sederhana sehingga memungkinkan dikembangkan oleh industri kecil menengah. Beberapa keuntungan biodiesel menurut Margaroni (1998) dan Alamu (2007) adalah menurunkan efek rumah kaca, biodegradable, tidak toksik, serta secara specifik menurunkan kadar CO 65%, CO2 78%, SO2 90% jika dibandingkan bahan bakar fosil. Biodiesel dibuat dari minyak nabati dengan reaksi transesterifikasi dengan alkohol dikatalis asam atau basa menghasilkan bentuk alkil ester dari asam lemaknya, dengan reaksi tersebut dapat menurunkan viskositas minyak nabati hingga 85% (Alamu, 2007), (Demirbas, 2007), (Subandi, 2009), sehingga dapat digunakan SEMNAS MIPA 2010
bahan bakar mesin diesel pengganti solar (Anonim Warta pertamina, 2006). Biodiesel berdasarkan struktur kimianya merupakan bentuk ester asam lemak dari minyak nabati atau lemak (trigliserida) yang diperoleh dengan reaksi transterifikasi dengan metanol atau etanol dengan katalis asam atau basa. Reaksi kimia yang terjadi dalam sintesis biodiesel adalah reaksi transesterifikasi, yakni merubah dari ester asam lemak dari gliserol menjadi bentuk ester asam lemak dengan reaksi sebagai berikut: CH2 - O - CO - R1
CH2OH
CH - O - CO - R2 + 3CH OH 3 CH2 - O - CO - R3 trigliserida/minyak
metanol
KOH
CHOH
R1 - COOCH3
+
R2 - COOCH3
CH2OH
R3 - COOCH3
gliserol
metil ester asam lemak
Seperti terlihat dalam reaksi diatas trigliserida merupakan struktur umum dari minyak direaksikan dengan alkohol (metanol) menghasilkan 1 molekul gliserol dan 3 molekul metil ester. Metil ester dari asam lemak hasil reaksi tersebut yang disebut sebagai biodiesel. Berdasarkan dari persamaan reaksi tersebut dapat diprediksikan berat molekul metil ester yang dihasilkan sekitar 1/3 dari berat molekul bentuk trigliseridanya, sehingga karena berat molekulnya yang menjadi lebih kecil maka viskositas metil ester (biodiesel) akan jauh lebih rendah dari minyak. Viskositas biodiesel yang rendah dan mendekati minyak diesel ari bahan bakar fosil maka biodiesel dapat digunakan sebagai bahan campuran atau pengganti solar. METODOLOGI 1. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian; Beaker Glass, Heater dilengkapi dengan magnetig stirer, Satif, Pengaduk elektric dengan rpm digital, set alat titrasi, corong pisah, set alat refluks, penyaring. Bahan-bahan yang digunakan Kalium Hidroksida, Indikator pp, kalium phospit, asam sulfat, natrium sulfat anhorous semua bahan digunakan kualitas p.a. Prosedur Penelitian 2. Rafinasi minyak goreng bekas a) Despicing KIM - 70
Sebanyak 100 g minyak goreng bekas dimasukan kedalam Beaker Glass dipanaskan selama 15 menit, kemudian disaring dengan kertas saring. Minyak yang telah di filtrasi di ditambahkan 100 ml air kemudian dipanaskan pada suhu 100 oC selama 1 jam sambil di aduk dengan kecepatan 200 rpm. Campuran dipisahkan dalam corong dan lapisan minyak di cuci dengan 2x50 ml air. Lapisan minyak di evaporasi dalam Beaker Glass.
b) Netralisasi Minyak hasil rafinasi ditambah 4 ml KOH 16% (0,6% berat minyak) diaduk perlahan selama 30 menit sambil dilakukan pengadukan perlahan (100-200 rpm). Campuran di diamkan kemudian endapan yang terbentuk dipisahkan dengan dekantasi dan filtrasi. Minyak yang dihasilkan ditimbang serta ditentukan rendemennya, serta dikarakterisasi kadar asam lemak bebas, bilangan penyabunan, berat jenis, warna, bau dan viskositas. 3. Optimasi sintesis Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas Pembuatan Kalium metoksida: Sebanyak 14 g metanol (1:7) dituangkan kedalam Beaker Glass, kemudian ditambahkan dengan hati-hati 0,5 g Kalium Hidroksida (KOH) untuk katalis 1%. Campuran di aduk dengan pengaduk atau magnetic stirer sampai semua KOH larut dengan sempurna dan terbentuk kalium metoksida. Reaksi transesterifikasi: Sebanyak 50 g minyak goreng bekas yang telah dirafinasi dimasukkan labu alas bulat, dipanaskan pendahuluan pada suhu 60oC selama 30 menit sambil diaduk mekanis, dengan hati-hati ditambahkan larutan Kalium metoksida yang telah dibuat. Selanjutnya diaduk dengan pengaduk elektrik dengan kecepatan 300-400 rpm selama 2 jam, suhu reaksi dipertahankan 60-65oC. Campuran didinginkan, selanjutnya di pindahkan ke dalam corong pisah dan didiamkan selama 2-8 jam. Akan terjadi dua lapisan dimana metil ester berada di lapisan atas dan gliserol serta sisa reaksi yang terletak pada lapisan bawah, dan lapisan bawah dipisahkan. Biodiesel/metil ester yang dihasilkan SEMNAS MIPA 2010
di cuci dengan dengan air sampai netral. Metil ester yang dihasilkan dievaporasi dan ditambahkan natrium sulfat anhidrous. Biodiesel yang diperoleh ditimbang dan ditentukan rendemennya. (Alamu, 2007). Tahapan reaksi di atas diulangi dengan langkah yang sama dengan mengganti konsentrasi katalis KOH dari 1 % menjadi 0,6%, 0,7%, 0,8%. Dengan langkah yang sama dilakukan variasi fraksi metanol dari 1:7 seperti di atas diganti dengan fraksi metanol 1:6 ; 1:8. Selanjutnya karakterisasi hasil meliputi viskositas, bilangan penyabunan, berat jenis, indeks bias, bilangan asam. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rafinasi Minyak Goreng Bekas Tahap pertama dari proses rafinasi adalah dilakukan penyaringan dari partikel zat padat terlarut dimana dari 100 g dari minyak goreng bekas rumah tangga dihasilkan rendemen 99,1 + 0,2%. Despicing minyak goreng bekas salah satunya dipengaruhi oleh kecepatan putar pengaduk yang digunakan, karena laju putar pengaduk berdampak pada kemampuan melarutkan pengotor. Hal tersbut akan berpengaruh pada rendemen yang dihasilkan, dan pengaruh laju putar pengaduk pada berbagai kecepatan putar pada rendemen seperti pada Tabel 1: Tabel 1. Pengaruh Kecepatan putaran dalam despicing terhadap rendemen Kecepatan Pengadukan (rpm)
100
150
200
Rendemen (%)
89
92
99
25 0 69
Seperti terlihat pada Tabel 1, laju putar dalam pengadukan selama despicing mempengaruhi rendemen yang dihasilkan, dimana hasil tertinggi dicapai pada kecepatan 200 rpm dengan rendemen 99%. Putaran pengaduk terlalu rendah dimungkinkan menyebabkan proses pelarutan kurang sempurna, sehingga dihasilkan rendemen yang kurang maksimum dan putaran yang terlalu tinggi dapat menyebabkan sebagian minyak ikut terlarut dalam minyak sehingga menurunkan rendemen yang dihasilkan. KIM - 71
a) Pengaruh konsentrasi NaOH dalam netralisasi terhadap rendemen hasil. Netralisasi pada prinsipnya adalah menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak goreng bekas menggunakan basa (misalnya NaOH). Reaksi yang terlibat adalah reaksi asam basa, namun demikian karena melibatkan basa kuat juga tidak tertutupkemungkinan terjadi reaksi penyabunan. Sehingga konsntrasi NaOh yang digunakan sangat berpengaruh pada rendemen minyak yang dihasilkan. Hasil rendemen netralisai pada berbagai konsentrasiNaOH adalah seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi NaOH dalam netralisasi terhadap rendemen Konsentrasi NaOH Rendemen hasil (%)
0,12
0,24
0,36
0,48
0,60
82,1
92,2
85,8
84,1
83,2
Seperti terlihat Pada Tabel 2 Konsentrasi NaOH yang digunakan dalam netralisai minyak goreng bekas berpengaruh pada rendemen minyak yang dihasilkan. Rendemen tertinggi diperoleh pada konsentrasi NaOH 0,24% dari berat minyak dengan rendemen 92,2%. Semakin tinggi konsentrasi basa yang digunakan akan menaikkan rendemen minyak, namun konsentrasi NaOH yang berlebihan atau terlalu tinggi justru akan menurunkan rendemen yang dihasilkan. Reaksi yang terjadi dalam netralisasi adalah basa kuat dengan asam lemak bebas dalam minyak dan membentuk garam dari asamasam lemak bebas, dengan reaksi sebagai berikut: RCOOH + KOH
RCOOK + H 2O
asam lemak basa
garam
air
Seperti dalam reaksi netralisasi di atas 1 mol asam lemak bebas akan bereaksi dengan 1 mol basa membentuk 1 mol garam dari asam lemak bebas (sabun). Sedangkan garam tersebut bersifat polar sehingga dapat membantu pelarutan partikel polar atau agak polar yang terdapat dalam limbah minyak goreng bekas. Sehingga produk dari netralisasi telah memberikan warna yang kuning SEMNAS MIPA 2010
jernih. Namun demikian adanya basa kuat dan trigliserida memungkinkan terjadinya reaksi penyabunan dari minyak, dengan reaksi:
Semakin besar jumlah KOH yang digunakan menyebabkan adanya kelebihan jumlah mol KOH, adanya sisa basa kuat dalam sistem reaksi akan menyebabkan kemungkinan terjadinya reaksi penyabunan dari minyak akan semakin tinggi. Seperti reaksi di atas menunjukkan reaksi penyabunan dari minyak menghasilkan suatu garam sabun kalium. Jumlah KOH untuk netralisasi yang berlebih akan bereaksi dengan minyak dan membentuk sabun, karena sebagian minyak membentuk sabun menyebabkan penurunan rendmen yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan konsentrasi basa yang optimum dalam proses netralisasi minyak goreng bekas, yang diperoleh pada kontrasi basa sekitar 0,24% dari berat minyak. 1. Sintesis Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas Minyak goreng bekas hasil rafinasi memilki kadar ALB berkisar 1-1,2% sehingga dapat dilakukan tranesterifikasi satu tahap. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam reaksi transesterifikasi adalah antara lain fraksi mol metanol dan konsentrasi katalis yang digunakan. Penentuan kondisi optimum reaksi sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Optimasi kondisi reaksi dalam pembuatan biodiesel dilakukan dengan memvariasi berbagai kondisi atau komposisi reagen yang terlibat reaksi, misalnya dengan memvariasi fraksi mol alkohol, konsentrasi katalis, waktu reaksi. Hasil reaksi transesterifikasi minyak sawit secara konvensional dengan waktu reaksi 60 menit pada berbagai fraksi metanol dan persen katalis KOH seperti terlihat pada Tabel 3.
KIM - 72
Tabel 3. Pengaruh fraksi metanol dan %KOH terhadap rendemen pada sintesis biodiesel dari minyak sawit secara konvensional Fraksi metano l
% Rendemen Biodiesel dari minyak sawit
R = 361 ,3 486 - 78 ,2 267 F - 114,06 7 + 1 8,9 FK + 5,1948 2
1
2
rerata
0.6
77.1
77.3
77.2
0.7
79.55
79.64
79.6
keterangan: F= fraksi metanol K = konsntrasi KOH dan R = Rendemen biodiesel
0.8
78.7
78.9
78.8
0.6
80.8
80.99
80.9
0.7
81.0
81.2
81.1
0.8
81.05
81.11
81.08
0.6
87.83
87.88
87.86
0.7
97.07
97.12
97.1
0.8
97.01
97.03
97.02
% KOH
1;6
1;7
1;8
Berdasarkan data hasil percobaan pembuatan biodiesel seperti pada Tabel 3 menunjukkan pada perbandingan metanol dan persen katalis yang berbeda menghasilkan rendemen yang berbeda pula. Hubungan antara fraksi metanol : persen KOH dengan rendemen yang dihasilkan dapat digambarkan sebagai berikut: Design points above predicted value Design points below predicted value 98
Rendemen
92.75
87.5
82.25
77
0.80
8.00 0.75
7.50 0.70
B: Katalis
Hubungan persen katalis KOH yang digunakan dan fraksi metanol terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan dari hasil transesterifikasi dapat dituliskan dalam bentuk matematis sebagai berikut:
7.00 0.65
6.50 0.60
A: Fraksi metanol
6.00
Gambar 1. Hubungan % KOH dan fraksi metanol terhadap rendemen biodiesel Seperti terlihat pada Gambar 1 terdapat hubungan rendemen dengan fraksi metanol dengan konsentrasi KOH dalam sintesis biodiesel dari minyak sawit dengan cara konvensional, dimana hubungan tersebut dapat digambarkan seperti parabola, yang sesuai untuk persamaan matematis bentuk kuadratik. Daerah warna merah dalam tersebut merupakan daerah kemungkinan komposisi reaktan (fraksi metanol dan katalis) yang diprediksikan akan memperoleh rendemen yang maksimum (hasil optimal).. SEMNAS MIPA 2010
Kondisi optimum sintesis biodiesel dari minyak goreng bekas dengan kriteria rendemen tertinggi dicapai pada fraksi metanol 1:8 dengan katalis KOH 0,7 % dengan rendemen pada kondisi optimum sebesar 97,0%. Kesimpulan 1. Kondisi optimum rafinasi minyak goreng bekas dicapai pada kecepatan putar pengaduk selama despicing 200 rpm selama 1 jam, konsentrasi NaOH untuk netralisasi 0,24 %. Hasil rafinasi minyak goreng bekas berwarna kuning jernih, bau khas (tidak berbau), kadar ALB 1-1,2% dengan rendemen minyak 92,2%. 2. Minyak hasil rafinasi minyak goreng bekas dari rumah tangga dapat ditransesterifikasi dengan metanol dikatalis KOH menghasilkan biodiesel. Kondisi optimum sintesis biodiesel dari minyak goreng bekas dengan cara konvensional tercapai pada fraksi minyak-metanol (1:8), konsentrasi katalis KOH 0,7% rendemen biodiesel sebesar 97,0%. KEPUSTAKAAN Alamu, O.J., Waheed, M.A. and Jekayinfa,S.O. 2007. Alkali-Catalysed Production And Testing Of Biodiesel From Nigerian Palm Kernel Oil, Agricultural Enginering International: The CIGR Ejournal.. Vol.IX. July. 2007 Demirbas, Ayhan. 2007. Alternative and Renewable Energy Industries; Energy & Fuel, International Journal of Green Energy. Volume 4. Issue January 2007. Pages 15-26 Grepen. J. V., Shanks, B., and Prushko, R., 2004, Biodiesel Production Technology, National Renewable Energy Laboratory (NREL), Colorado
KIM - 73
Margaroni, 1998, Development and evaluation of palm oil biodisesl fuel, The pacific Journal of science and technology, Volume 8 Number 2. Subandi dan Santoso, A. 2009. Pemanfaatan gelombang mikro dan ultrasonik untuk meningkatkan efisiensi pembuatan biodiesel dari minyak jarak dan minyak sawit, Laporan Hibah Strategis Nasional, 2009 Riana dan Subandi. 2010. Suvey potensi minyak goreng bekas dari waralaba dan pedagang kaki lima di Malang, Laporan Penelitian DIPA LEMLIT UM, tidak dipublikasikan Math, M.C. and Irfan, G. 2007 . Optimization of restaurant waste oil methyl ester yield, Journal of scientific industrial research , Vol 66 , p771-778 Refaat, A.A., Attia, N.K., Sibak, H.A. Shelwattawy, S.T.E and El Diwani, G.I. 2008. Production optimization and quality assessment of biodiesel from waste vegetable oil, Int.J.Environment Sci. Tech., ISSN 1735-1472. 5(1), p 75-82 Pairintra,T., Letsathapornsuk,V., Krishnangkura,K. and Chindaruksa (….), Direct convesrsion of used vegetable oil to biodiesel and its use as an alternative fuel for compression ignition engine, King Mangkut’s University of Technology Thonbury, Bangkok Thailand, Email
[email protected]
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 74
MENINGKATKAN KUALITAS PROSES DAN HASIL BELAJAR KIMIA KELAS XI-IPA PADA KONSEP ASAM BASA DENGAN PERPADUAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE DAN COOPERATIVE STANDING MOVING Istri Setyowati Guru Kimia SMA Laboratorium UM
Abstrak: Implementasi kurikulum 2006 (KTSP) diarahkan pada pembelajaran yang mengutamakan proses dan berpusat pada siswa (student centered) untuk memberikan pengalaman yang menantang sekaligus menyenangkan. Selama semester I pembelajaran kimia di kelas XI-IPA metode yang digunakan ceramah disertai tanya jawab dan diskusi kelompok. Hasil yang diperoleh selama proses maupun akhir proses sangat rendah baik dari nilai rata-rata kelas maupun persentase siswa yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Untuk itu memasuki semester II guru mencoba menggunakan model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan proses dan hasil belajar. Model pembelajaran yang dipilh adalah Perpaduan Model Pembelajaran Learning Cycle dan Cooperative Standing Moving (LCC Standing Moving) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:1) Keterlaksanaan model pembelajaran LCC Standing Moving pada penyampaian konsep larutan asam-basa, 2) motivasi siswa selama proses pembelajaran, 3) hasil belajar siswa pada konsep larutan asam-basa. Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang berbasis kelas atau sekolah. Penelitian dibagi menjadi 2 siklus dan masing– masing siklus ada 4 tahap yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi serta refleksi. Adapun subyek penelitian yang diambil adalah siswa kelas XI-IPA1, sedangkan teknik analisis data pada penitian ini melaui tahap–tahap: 1) mereduksi data, 2) manyajikan data, 3) menarik kesimpulan dan verifikasi. Untuk mengecek keabsahan data yang diperoleh dilakukan menggunakan teknik 1) ketekunan pengamat, 2) triangulasi, 3) dan pemeriksaan teman sejawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan kualitas proses dan hasil belajar siswa pada setiap siklus . Hal ini dapat dilihat pada peningkatan motivasi belajar siswa dari setiap siklus, dengan indikator persentasi siswa yang mendapat nilai afektif A dan B selalu meningkat. Peningkatan hasil belajar kognitif dapat dilihat dari persentase ketuntasan siswa dan nilai rata-rata kelas dari setiap siklus selalu meningkat. Pada kegiatan pra siklus persentase ketuntasan 13,33% dengan nilai rata-rata 52,82; pada siklus I persentase ketuntasan 30% dengan nilai rata-rata 69,26; dan pada siklus II ketuntasan 80 % dengan nilai rata-rata 83,23. Hasil unjuk kerja yang berupa nilai praktik pada kegiatan pra siklus nilai rata-rata kelas 77, pada siklus I menjadi 82,57 dan pada siklus II menjadai 83,00. Dengan demikian dapat disimpulkan telah terjadi peningkatan kualitas proses dan hasil belajar kimia pada konsep larutan asam basa dengan model pembelajaran LCC Standing Moving. Kata Kunci : Hasil Belajar, Asam-Basa dan Learning Cycle Cooperative Standing Moving
LATAR BELAKANG
Masalah pendidikan tidak akan pernah terlepas dari perhatian pemerintah. Masalah yang selalu menjadi sorotan adalah masalah SEMNAS MIPA 2010
peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas dipandang sebagai hal yang mampu mengangkat derajat suatu bangsa dan negara. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka peningkatan kualitas KIM - 75
pendidikan antara lain dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi, nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan serta nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas nomor 22 dan 23. Keluarnya Permendiknas no 22, 23 dan 24 tahun 2006 tersebut merupakan awal berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Implementasi dari kurikulum 2006 (KTSP) diarahkan pada pembelajaran yang mengutamakan proses dan berpusat pada siswa (student centered) untuk memberikan pengalaman yang menantang sekaligus menyenangkan. Pembelajaran yang mengutamakan proses dan berpusat pada siswa (student centered) tersebut berorientasi pada filosofi kontrukstivisme. Dalam kontruktivisme belajar harus merespon pengalaman-pengalaman panca indera dengan membangun suatu srtuktur kognitif dalam otak siswa. Pengetahuan atau pengertian siswa diperoleh sebagai akibat proses konstruksi aktif yang berlangsung secara terus menerus dengan cara mengatur, menyusun dan menata ulang pengalaman yang dikaitkan dengan struktur kognitif yang dimiliki, sehingga struktur kognitif tersebut dapat dikembangkan. Berdasarkan pandangan konstruktivistik ini maka pembelajaran harus di desain sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya (Rahayu, 2005) . Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh guru untuk menciptakan pembelajaran yang konstruktivistik adalah dengan menggunakan beberapa metode pembelajaran yang konstruktivistik dan inovatif, yang sesuai dengan bidang studi yang diampu. Beberapa metode pembelajaran yang konstruktivistik antara lain learnig cycle, problem posing, problem base learning (PBL) cooperative STAD, JICSAW, TGT dan lain lain. Ilmu kimia pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan SEMNAS MIPA 2010
selanjutnya juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Ilmu kimia mempelajari materi yang beraneka ragam yang meliputi fakta, konsep, aturan, hukum, prinsip, teori dan soal-soal (menurut Kean dan Middlecamp dalam Sulistina. 2008) Berdasarkan karakteristik tersebut dalam ilmu kimia terdapat dua hal yang tidak dapat terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori) dari temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Pembelajaran kimia selama ini didominasi oleh metode ceramah, diskusi dan tanya jawab. Demikian juga pembelajaran kimia di kelas XI-IPA metode yang digunakan ceramah disertai tanya jawab dan diskusi kelompok. Hanya saja pembagian kelompok belum heterogen baik dari segi kemampuan dan jenis kelamin. Penilaian diambil tidak hanya pada akhir proses tetapi selama proses pembelajaran yaitu dengan memberikan skor pada siswa yang aktif selama proses dan kuis. Hal ini dilaksanakan dengan harapan hasil yang dicapai selama proses dan akhir pembelajaran memuaskan. Namun kenyataan yang terjadi di kelas XIIPA1 selama semester I, penilaian yang dilakukan untuk pemahaman konsep selama proses maupun pada akhir proses hasilnya kurang memuaskan. Ini terbukti pada penyampaian materi Kompetensi Dasar akhir semester I yaitu ” Kesetimbangan” dari hasil selama proses dengan melakukan kuis setelah pembelajaran jumlah siswa yang tuntas untuk kuis ke satu hanya 2 siswa (6%) dan kuis ke dua 10 siswa (33 %) serta diakhir proses dengan ulangan harian jumlah siswa yang tuntas hanya 4 siswa (12 %) dengan nilai rata-rata 47,86. Setelah nilai kuis dan ulangan harian digabung diperoleh jumlah siswa yang tuntas tetap, yaitu 4 siswa (12%) dengan nilai rata-rata menjadi 52,85. Rendahnya hasil belajar siswa dan banyaknya jumlah siswa yang tidak tuntas mengharuskan guru untuk melakukan KIM - 76
program remidi pada setiap kompetensi dasar dua sampai tiga kali untuk mencapai standar yang ketuntasan yang ditetapkan sekolah yaitu 75. Rendahnya hasil belajar siswa ini juga disebabkan oleh materi kimia di kelas XI semester I hampir semuanya berupa konsep yang melibatkan perhitungan kimia, sehingga siswa merasa kesulitan untuk mengingat masing-masing konsep yang diterima dari hasil membaca, diskusi dengan teman satu bangku maupun penjelasan guru, karena antara konsep yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Berdasarkan uraian di atas maka untuk membahas materi pada awal semester II yaitu ” Larutan Asam Basa” yang masih juga berupa konsep yang melibatkan perhitungan kimia, perlu kiranya diajukan altenatif strategi pembelajaran yang dapat lebih memotivasi seluruh siswa untuk dapat berperan aktif selama proses pembelajaran sehingga diharapkan dapat meningkatkan proses dan hasil belajarnya. Model pembelajaran yang dipilih adalah perpaduan Learning Cycle dan Cooperative Standing Moving. Alasan guru bidang studi memadukan dua model pembelajaran ini adalah untuk saling menyempurnakan dari kekurangan ke dua model tersebut. Pada saat pembahasan materi yang berupa konsep jika menggunakan model learning cycle saja maka kooperatifnya tidak muncul sehingga dipadukan dengan cooperative standing moving. Pada saat praktikum nampaknya untuk satu konsep jika menggunakan model standing muving juga tidak efektif dari segi waktu, karena itu pada saat praktikum model yang digunakan learning cycle saja . Pada model cooperative standing moving guru bidang studi yang sekaligus sebagai peneliti merancang ada dua kali tahap diskusi dengan topik yang sama. Diskusi pertama dilakukan dalam satu kelompok yang heterogen, sedangkan diskusi yang kedua dilakukan dengan anggota kelompok lain. Tahap diskusi dengan kelompok lain inilah yang dinamakan standing moving.
TINJAUAN PUSTAKA Pembelajaran Learning Cycle (Daur Belajar)
SEMNAS MIPA 2010
5E
Learning cycle (daur belajar) 5E yang dikembangkan oleh Trowbridge dan Bybee ada 5 fase yaitu, engagement, exploration, explanation,elaboration dan evaluation. Setiap fase memilki fungsi khusus yang dimaksudkan untuk menyumbang proses belajar dikaitkan dengan asumsi tentang akifitas mental dan fisik siswa serta strategi yang digunakan guru. Dalam fase pertama, engagement (undangan), membangkitkan minat dan keingintahuan siswa tentang topik yang akan diajarkan dengan mengajukan pertanyaan dan memperoleh respon siswa tentang topik yang akan memberinya ide tentang pengetahuan awal siswa. Selain itu fase ini merupakan peluang bagi guru untuk mengidentifikasi adanya miskonsepsi siswa. Fase kedua, exploration (eksplorasi), pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru karena guru harus bertindak sebagai fasilitator yang membantu siswa memformulasikan pertanyaan. Siswa diberi kesempatan untuk menguji hipotesis, mencoba altenatif dan mendiskusikan dengan teman sekelompok, mencatat pengamatan dan ide-ide. Fase ketiga, explanation (penjelasan), pada fase ini guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi penjelasan mereka, dan saling mendengar secara kritis penjelasan antar siswa atau penjelasan antar guru. Siswa seharusnya menggunakan pengamatan dan catatan dalam penjelasan mereka. Pada tahap ini guru memberikan definisi dan penjelasan dengan memakai penjelasan siswa terdahulu sebagai dasar diskusi. Fase keempat, elaboration/extention (penerapan), pada fase ini siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru dan menggunakan label dan definisi formal. Guru perlu mengingatkan siswa pada penjelasan altenatif dan mempertimbangkan data/ bukti-bukti. Saat mereka mengeksplorasi situasi baru. Strategi eksplorasi diterapkan juga disini karena siswa menggunakan informasi terdahulu untuk bertanya, mengusulkan KIM - 77
pemecahan, membuat keputusan, melalukan percobaan dan mencatat pengamatan. Fase kelima, evaluation (evaluasi), pada fase ini guru harus mengamati pengetahuan dan ketrampilan siswa, menerapkan konsep baru dan perubahanperubahan dalam pikiran siswa. Siswa harus mengakses belajar mereka sendiri, mengajukan pertanyaan terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti dan penjelasan yag diperoleh terdahulu. Adapun rambu-rambu dari fase 1 samapi 5 dapat digambarkan sebagai berikut: Fase 1: Untuk mengetahui apa yang Yang diketahui siswa Fase 5: Untuk mengevaluasi pemahaman siswa dalam konteks yang baru
Fase 4: Menerapkan pemehaman baru dalam konteks yang berbeda (elaboration)
Fase 2: Untuk mengecek apakah pengetahuan siswa benar, salah atau setengah
Fase 3: Menghubungkan pemahaman baru dengan pengetahuan yang sudah ada atau lama,penjelasan (explanation)
Gambar 1 Learning Cycle 5E (Iskandar, 2005)
Pembelajaran Cooperative Standing Moving Standing moving merupakan salah satu tipe dari pembelajaran cooperative. Oleh karena itu dalam pembelajaran standing moving siswa dibagi dalam kelompokkelompok kecil yang beranggotakan 4-5 orang yang heterogen dalam beberapa hal antara lain kemampuan dan jenis kelamin.
SEMNAS MIPA 2010
Dalam pembelajaran standing moving melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan siswa sebagai tutor sebaya, meningkatkan kemampuan berpikir, bekerja sama dan mejelaskan. Adapaun langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran standing moving secara singkat diuraikan oleh penulis sebagai berikut: 1. Membagi kelas dalam kelompokkelompok kecil yaitu 4-5 orang yang heterogen dari segi kemampuan dan jenis kelamin. 2. Diskusi kelompok Ada dua tahap diskusi yaitu diskkusi awal siswa berada dalam satu kelompok yang heterogen. Diskusi ke dua yaitu pada tahap standing moving dimana anggota kelompok dibagi dua, yaitu dua/tiga siswa sebagai tuan rumah dan dua siswa lain dari masing-masing kelompok bertamu ke kelompok lain untuk mendiskusikan/ mecocokkan hasil dari diskusi pada tahap awal. 3. Klarifikasi masalah dalam diskusi kelas Pada tahap ini masing-masing anggota kelompok yang bertamu kembali pada kelompok awal, jika ternyata tidak ditemukan pemecahan masalah pada tahap standing moving maka guru berperan sebagai fasilitator dalam pemecahan masalah tersebut pada diskusi kelas. Jika pada saat diskusi moving semua masalah sudah dapat diselesaikan maka diskusi kelas tidak perlu dilaksanakan. 4. Evaluasi Evaluasi dapat dilakukan setelah proses dalam bentuk kuis dan pada akhir proses dalam bentuk ulangan harian. 5. Pemberian penghargaan Penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun secara individu. Proses standing movingnya dapat digambarkan dalam bagan berikut:
KIM - 78
Sebagai tuan rumah Kel. I
Kel. II
Kel. III
Sebagai tamu
Kel. IV
Kel. V
Kel. VI
Sebagai tuan rumah
Gambar 2. Pelaksanaan Proses Standing Moving
Perpaduan Model Learning Cycle 5E dan Cooperative Standing Moving (LCC Standing Moving) Perpaduan model Learning Cycle dan cooperative standing moving moving digambarkan sebagai berikut : Engagement
atau LCC standing
Exploration
Explanation
Elaboration
Cooperative standing moving
Evaluation
Gambar 2.3 Model Pembelajaran LCC standing moving Langkah-langkah dalam perpaduan proses cooperative standing movingnya pembelajaran Learning Cycle 5E dan masuk pada fase elaboration. Pada fase coopertaive standing moving berdasarkan exploration dan explanation siswa bekerja Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa dalam diskusi kelompok asal, sedangkan langkah-langkah pembelajarannya seperti pada fase engage dan fase evaluation siswa pada model pembelajaran Learning Cycle bekerja mandiri. Jadi konstruktivisnya 5E hanya saja tahap standing movingnya benar-benar nampak, karena mulai dari awal dilaksanakan pada elaboration saja. Jadi pembelajaran sudah mengkonstruk SEMNAS MIPA 2010 KIM - 79
pemahaman siswa terhadap materi yang akan diajarkan.
METODE Jenis penelitain ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang berbasis kelas atau sekolah, dimana dalam penelitan tindakan kelas terdapat tindakan atau perbaikan kegiatan pembelajaran dan diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar di
kelas yang menuju perubahan yang lebih baik. Penelitian dibagi menjadi 2 siklus yang disesuaikan dengan kompetensi materi yang dipilih yaitu senyawa larutan asam basa. Masing–masing siklus terdiri dari 5-6 pertemuan. Secara operasional prosedur Penelitian Tindakan Kelas yang akan diterapkan dalam penellitian pada masingmasing siklus melalui 4 tahap yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection). Secara singkat dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Rencana tindakan1
Masalah
Pelaksanaan tindakan 1 Siklus 1
Belum terselesaikann
Refleksi 1
Rencana tindakan 2 Selesai
Observasi 1
Pelaksanaan tindakan 2 Siklus 2
Refleksi 2
Observasi 2
Gambar 3 Tahapan dalam Penelitian Tindakan Kelas Siklus ke 2 direncanakan setelah refleksi pada sklus pertama. Adapun tahapan pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Perencanaan Tindakan Rencana tindakan yang dilalukan oleh penilti pada masing-masing siklus meliputi : 1) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan model LCC Standing Moving 2) Membuat Lembar Kegiatan Siswa (LKS) SEMNAS MIPA 2010
3) Membuat lembar observasi untuk penilaian praktikum 4) Membuat lembar observasi untuk penilaian proses diskusi kelompok 5) Membuat lembar observasi untuk aktivitas guru dan siswa disuaikan dengan model LCC Standing Moving 6) Membuat stiker untuk memberikan poin siswa selama proses pembelajaran 7) Membuat format tempat menempel stiker 8) Membuat kisi-kisi soal kuis dan soal ulangan harian serta membuat KIM - 80
soal ulangan kuis dan ulangan harian 9) Membuat format validasi instrumen penelitian 10) Membuat angket respon siswa 11) Membentuk kelompok diskusi ada enam kelompok diskusi masingmasing kelompok terdidri dari lima siswa. Pembentukan kelompok diidasarkan atas nilai harian pada pembelajaran materi sebelumnya yaitu kesetimbangan.
b) Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan tindakan pembelajaran disesuaikan dengan langkahlangkah pembelajaran model LCC Standing Moving. c) Pengamatan (observasi) Observasi ini dilakukan oleh guru sebagai peneliti dan dibantu oleh teman guru sejawat dan mahasiswa PPL kimia dari Universitas Negeri Malang dengan format yang telah disiapkan oleh peneliti. Adapun yang diobservasi selama pembelajaran antara lain kemampuan siswa dalam unjuk kerja saat praktikum, diskusi kelompok, keterlaksanaan pembelajaran model LCC Standing Moving oleh guru dan siswa. d) Refleksi Pada tahap refleksi ini dilakukan kegiatan menganalisis, mensintesis, menjelaskan dan menyimpulkan. Dari dasil refleksi pada tindakan pertama akan dijadikan acuan guna merumuskan/ merencanakan tindakan selanjutnya yaitu pada siklus II. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Tindakan Kelas dilakukan di SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang pada kegiatan pembelajaran di kelas XI-IPA1 dengan jumlah siswa 30. Materi yang diajarakan adalah konsep larutan asambasa. Penelitian dilaksanakan pada mulai bulan Februari 2010. SEMNAS MIPA 2010
Instrumen Penelitian a) Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran Lembar observasi disusun sedemikian rupa sehingga observer hanya memberikan penilaian sesuai dengan aspek yang diamati. Lembar observasi disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran LCC Standing Moving. b) Soal Tes Berupa Kuis dan Ulangan Harian. Soal tes diberikan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap konsep/materi yang telah diajarkan c) Lembar Observasi untuk Penilaian Praktik Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam melakukan kerja di laboratorium maka peneliti menyusun dan mengembangkan lembar observasi untuk penilaian unjuk kerja (praktik) d) Lembar Observasi untuk Penilaian Proses Lembar penilaian proses dibuat untuk mencatat aktivitas siswa secara individu maupun kelompok dan digunakan untuk mengetahui motivasi siswa selama pembelajaran berlangsung. e) Angket Respon Siswa Angket respon siswa ini dibuat untuk mengetahui respon siswa selama mengikuti pembelajaran dengan model LCC Standing Moving. f) Lembar kegiatan siswa Lembar kegiatan siswa disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan memperhatikan kompetensi dasar, indikator dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Validitas Instrumen Penelitian Data yang valid adalah data yang baik sesuai dengan kenyataan (Arikunto, 2002: 64). Agar diperoleh data yang valid dalam suatu penelitian, instrumen penelitian harus valid. Uji valiliditas instrumen yang dilakukan meliputi uji validitas untuk soal kuis, soal ulangan harian, format observasi penilaian praktikum dan Lembar Kegiatan Siswa. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pemberian tes, melakukan observasi, pemberian angket, dan catatan lapangan. KIM - 81
Teknik Analisis Data Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari tiga tahap kegiatan yang dilakukan secara berurutan. Adapun Tahap-tahap analisis data tersebut adalah; (1) mereduksi data, (2) menyajikan data, (3) menarik kesimpulan dan verifikasi data. Adapun untuk pengukurannya dilakukan sebagai berikut. a) Untuk mengetahui pemahaman konsep siswa diperoleh dari nilai kuis dan ulangan harian, dengan ketentuan: NH1 =
K1 K 2 2UH 4
Keterangan : K1 = nilai kuis ke-1 UH= nilai ulangan harian K2 = nilai kuis ke-2 NH1= nilai harian pada siklus 1 Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) = 75 b) Untuk mengetahui persentase peningkatan hasil belajar belajar (P%) sesudah dilakukan tindakan yaitu dengan menggunakan perbandingan jumlah siswa yang mendapat nilai ≥ 75 (X) dengan jumlah siswa keseluruhan dikalikan 100 % . Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: P% = X x 100% (Nana Sujana, 2002) N c) Untuk mengetahui keberhasilan dari nilai praktik , dengan membandingkan nilai rata-rata praktik sebelum diberi tindakan dan nilai praktik sesudah diberi tindakan serta membandingkan jumlah siswa yang mencapai nilai ratarata praktik ≥ 75. Adapun nilai praktik dirumuskan sebagai berikut: NP = P1 + P2 , dan P1 = NUK1 + NL1 2 2 Keterangan : NP = nilai praktik NUK1 = nilai unjuk kerja ke 1 P1 = nilai praktik ke 1 NL1 = nilai laporan praktik ke 1 P2 = nilai praktik ke 2 d). Untuk mengetahui keberhasilan proses belajar siswa, dengan membandingkan jumlah siswa yang memperoleh nilai sikap dan minat (afektif) A, B, C dan SEMNAS MIPA 2010
D pada konsep sebelumnya. Adapun kriteria untuk penilain sikap sebagai berikut: No Skor Nilai Kriteria Sikap (Afektif) 1 1 – 15 D Tidak baik 2 16 – 35 C Cukup baik 3 36 – 45 B Baik 4 46 – 60 A Sangat baik Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik derajat kepercayaan yang dipaparkan oleh Moleong (1991:177-180) yaitu 1) ketekunan pengamat, 2) triangulasi, 3) dan pemeriksaan teman sejawat. HASIL PENELITIAN Keterlaksanaan Model Pembelajaran LCC Standing Moving pada Siklus I dan II Penelitian terdiri dari dua silklus dan masing-masing siklus terdiri dari 5-6 pertemuan dengan rincian pertemuan ke satu sampai dengan ke empat untuk pelaksanaan proses dan pertemuan ke 5 atau ke 6 untuk evaluasi. Pada siklus I dan 2 ini peneliti dibantu oleh 6 observer yang melakukan observasi secara bergantian yaitu 3 oserver dari teman rumpun bidang studi (Bp. Fasril, Ibu Dima, Bp Djarot Mardijanto) . Pada siklus 1 terdiri dari 2 kali pertemuan untuk praktikum dan 2 kali pertemuan dengan materi menghitung pH asam basa. Praktikum kesatu materi membedakan larutan asam-basa dengan indikator kertas lakmus, sayuran kubis merah dan bunga tapak dara, praktikum ke dua mengukur pH larutan asam-basa pada konsentrasi yang berbeda dengan indikator universal. Hasil dari observasi keberhasilan keterlaksanaan pembelajaran Standing Moving oleh guru dan siswa pada siklus I tahapan-tahapan yang ada di RPP pada masing-masing pertemuan dan secara keseluruhan dapat dilaksanakan oleh guru maupun siswa dengan sangat baik . Dengan prosentasi keberhasilan 97,90% untuk guru dan 94,48 % untuk siswa. Hanya saja berdasarkan catatan hasil observasi pada pertemuan ke tiga saat diskusi kelompok KIM - 82
waktu yang dibutuhkan lebih banyak 10 manit dari waktu yang direncanakan. Pada siklus II terdiri dari 2 kali pertemuan untuk praktikum dan dua kali pertemuan untuk materi menuliskan reaksi asam basa dan menghitung pH campuran asam basa. Praktikum ke satu materi praktikum penentuan pH larutan asam basa dengan trayek indicator dan praktikum ke dua menganalisis kadar CO2, O2 dan pH air sungai. Tahapan-tahapan RPP dirancang sama dengan RPP pada siklus I, hanya saja pada tahap pendahuluan sebelum fase engage setiap pertemuan peneliti menambah kegiatan permaianan brain gym dengan waktu ± 5 menit. Permainan yang diberikan berupa permainan untuk melatih keseimbangan kerja otak kiri dan otak kanan serta melatih siswa berkonsentrasi agar hasil yang dicapai selama proses maupun pada akhir proses maksimal. Hasil observasi pada siklus 2 tahapan-tahapan yang ada di RPP secara keseluruhan juga dapat dilaksanakan oleh guru sangat baik dengan persentasi keberhasilan 90,78% dan oleh siswa dengan baik 83,37%. Berdasarkan hasil catatan lapangan waktu untuk diskusi lebih banyak dari yang direncakan dan waktu untuk kuis dilaksanakan diluar jam pembelajaran kimia. Hasil Proses Belajar Proses pembelajaran pada Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan pada tahap pelaksanaan tindakan dan tahap observasi. Dalam proses pembelajaran guru sebagai peneliti menggunakan alat ukur hasil proses belajar dengan penilaian afektif, kognitif dan praktik. Hasil dari pelaksanaan tindakan dan observasi yang berupa nilai afektif, kognitif dan praktik pada masing-masing siklus akan dipaparkan, dianalisis dan dibahas sebagai berikut. a) Siklus 1 Siklus 1 dilaksanakan lima kali pertemuan dengan rincian empat kali untuk proses pembelajaran satu kali untuk ulangan. Pada pertemuan ke satu dan kedua merupakan kegiatan praktikum. Itu itu penilaian yang dilakukan berkaiatan dengan kemampuan siswa untuk melakukan unjuk SEMNAS MIPA 2010
kerja dilaboratorium. Adapun indikator yang dinilai meliputi : ketepatan cara melakukan uji larutan dengan berbagai indikator, ketelitian pengamatan, kebersiahan alat dan tempat selama dan sesudah praktikum dan kerja sama dalam kelompok. Hasil dari nilai praktik setelah dilakukan tindakan diperoleh nilai rata-rata kelas 82,57 dengan rincian 43,33% siswa memperoleh kriteria sangat terampil dan 56,37 % siswa memperoleh kriteria terampil. Sedangkan nilai rata-rata sebelum dilakukan tindakan 77 dengan kriteria 96,67% memperoleh kriteria terampil dan 3,33 % siswa memperoleh kriteria kurang terampil. Ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan melakukan unjuk kerja dilaboratoriumi setelah dilakukan tindakan. Sedangkan kualitas proses ( motivasi siswa) selama pembelajaran dapat dilihat secara individu dengan memberikan reward langsung berupa stiker berpoin maupun keaktifan siswa pada saat kerja kelompok dengan indicator penilaian yang sudah ditentukan. Adapun indikator untuk keatifan siswa meliputi kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan guru/siswa, kemampuan siswa untuk memberikan penjelasan di depan kelas, interaksi dan kerjasama siswa dalam kerja kelompok, efisiensi waktu dalam kerja kelompok. Dari hasil penilaian afektif siswa setelah dilakukan tindakan diperoleh 20% siswa memperoleh nilai A ; 63,33 % siswa memperoleh nilai B; dan 16,67% memperoleh nilai C. Sedangkan nilai afektif siswa sebelum dilakukan tindakan 20% siswa memperoleh nilia A, 56,67% memperoleh nilai B dan 23,33 % memperoleh nilai C. Ini menunjukkan bahwa pada siklus 1 ini untuk motivasi siswa belum ada peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum dilakukan tindakan. Beberapa catatan yang diperoleh dari hasil observasi selama proses pada pengambilan nilai afektif siswa antara lain: Siswa yang berani untuk maju menjawab pertanyaan dan memberi penjelasan pada setiap petemuan hanya didominasi oleh beberapa siswa yang sudah terbiasa sebelum diberi tindakan. KIM - 83
Sebagian besar siswa yang memperoleh nilai C sebelum diberikan tindakan masih bersikap pasif baik pada saat diskusi kelompok maupun pada sa saat diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara individu Pada pertemuan ke tiga dan ke empat pada setiap akhir proses pembelajaran dilaksanakan kuis untuk mengetahui daya serap siswa terhadap materi pembelajaran yang diberikan. Sedangkan untuk mengetahui daya serap tahadap keseluruhan materi pada siklus I dilaksanakan ulangan harian. Dari hasil penilaian kuis dan ulangan harian pada siklus I diperoleh nilai rata-rata kuis 79,18% dengan persentase ketuntasan 63,34% , nilai rata-rata ulangan harian 61,40 dan rata rata nilai harian 69,29 dengan persentase ketuntasan 30%. Sedangkan sebelum dilakukan tindakan nilai rata-rata kuis 57,85 dengan persentase kentutasan 20% , nilai rata-rata ulangan harian 47,86 dan nilai rata-rata harian 52,85 dengan persentase ketuntasan 13,33%. Ini menunjukkan pada siklus I sudah ada peningkatan hasil dibandingkan dengan sebelum dilakuakan tindakan, walaupun peningkatan hasil belum sesui dengan yang diharapkan. Berdasarkan catatan hasil catatan lapangan hal ini disebakan oleh Sebagian besar (± 65%) siswa mempunyai kemampuan lemah pada konsep dasar perhitungan matematiknya. Rumus yang digunakan sudah benar hanya proses akhir perhitungan salah. Refleksi siklus I Bedasarkan hasil observasi ternyata masih terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki pada siklus II agar hasilnya sesui dengan yang diharapkan. Adapun kekurangan yang ditemukan pada siklus 1 antara lain: ● Cara guru untuk memotivasi seluruh siswa belum optimal karena siswa yang aktif dalam diskusi masih didominasi oleh siswa tertentu saja. ● Sebagian besar siswa (± 65%) mempunyai kemampuan yang lemah dalam perhitungan matematik yang berhubungan dengan logaritmik. SEMNAS MIPA 2010
● Hasil proses belajar baik dari nilai afektif maupun kognitif belum mengalami peningkatan yang berarti. Berdasarkan hasil refleksi tersebut maka pada siklus II, perbaikan yang harus dilakukan oleh guru antara lain: ● Lebih optimal mendorong seluruh siswa dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. ● Lebih kreatif memotivasi seluruh siswa dalam mengikuti pembelajaran. ●Memberikan penekanan berulang-ulang tetang konsep yang berhubungan dengan perhitungan logaritmik. b) Siklus 2 Siklus II dilaksanakan 6 kali pertemuan yang terdiri dari lima pertemuan untuk proses pembelajaran dan satu pertemuan untuk ulangan. Praktikum dilakukan 2 kali pertemuan yaitu pada pertemuan ke satu dengan materi praktikum menentukan pH larutan asam basa dengan trayek indikator dan praktikum ke dua dilakukan pada pertemuan ke empat dengan materi praktik menganalisis kualitas air sungai (meliputi pH, CO2, dan O2) yang diambil dari daerah sekitar tempat tinggal siswa. Seperti halnya pada silkus I pada saat praktikum dilakukan penilaian unjuk kerja. Adapun indikator yang diniali untuk praktikum ke satu hampir sama dengan penilaian unjuk kerja pada siklus 1, sedangkan pada praktikum ke dua indikator penilaiannya selain kebersihan alat selama dan sesudah praktikum dan kerja sama dalam kerja kelompok juga dinilai ketepatan pengambilan volume sampel yang akan dititrasi, cara melakukan titrasi, ketepatan dan membaca volume titran. Hasil dari nilai praktik setelah dilakukan tindakan diperoleh nilai rata-rata kelas 83 dengan rincian 33,33 % siswa dengan kriteria sangat terampil dan 66,67% siswa dengan kriteria terampil. Jika dibandingkan dengan nilai praktik pada siklus 1 maka pada siklus 2 nilai praktik relatif tetap, hal ini disebabkan karena pada praktikum yang ke dua yaitu titrasi mempuyai tingkat kesulitan lebih tinggi dbandingkan dengan praktikum sebelumnya. Seperti halnya pada siklus I untuk mengetahui peningkatan kualitas proses KIM - 84
(motivasi siswa) selama pembelajaran dapat dilihat dari keaktifan siswa secara individu maupun dalam kerja kelompok dengan indikator penilaian sama seperti pada siklus 1. Dari hasil penilaian afektif diperoleh 50% siswa memperoleh nilai A dan 50 % siswa memperoleh nilai B. Ini berarti bahwa pada siklus II ada peningkatan yang sangat berarti untuk keaktifan siswa selama mengikuti pembelajaran. Beberapa catatan yang diperoleh dari hasil observasi selama proses pada pengambilan nilai afektif siswa antara lain: Hampir semua siswa berusaha aktif baik pada saat diskusi kelompok, diskusi moving maupun menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa lain secara individu. Pada pertemuan ke satu dan ke dua masing-masing kelompok berusaha melakukan diskusi dengan waktu lebih cepat dari yang ditentukan dan dengan hasil yang benar sehingga ada 4 kelompok mendapatkan reward stiker berpoin 4 dan 2 kelompok memdapatkan reward stiker berpoin 3. Pada pertemuan ke dua tahapan diskusi kelas tidak dilakukan, karena semua kelompok sudah dapat memecahkan masalah pada saat diskusi kelompok dan diskusi moving. Pada presentasi hasil praktikum sebagian besar siswa aktif untuk mengajukan pertanyaan dan sanggahan serta berusaha membantu memberikan bantuan jawaban jika kelompok yang presentasi memerlukan bantuan. Pada akhir proses pertemuan ke dua dan ke tiga diberikan kuis untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang baru dipelajari. Kuis diberikan dalam bentuk soal essay. Sedangkan untuk mengukur daya serap siswa terhadap keseluruhan materi yang telah dipelajari diberikan ulangan/tes dengan bentuk soal pilihan ganda langsung jawab dan pilihan ganda disertai cara mengerjakan. Dari hasil penilaian kuis dan ulangan harian pada siklus 2 diperoleh nilai rata-rata kuis 82,09 dengan persentase ketutasan 76,67 %, nilai rata-rata ulangan harian 83,20 dan nilai rata-rata harian 83,23 dengan persentase ketuntasan 80 %. Ini menunjukkan adanya SEMNAS MIPA 2010
peningkatan hasil belajar siswa pada siklus 2 dibandingkan dengan siklus 1. Refleksi siklus 2 Berdasarkan hasil observasi dan catatan lapangan yang diperoleh selama proses pembelajaran serta hasil analisis nilai praktik, afektif dan kognitif pada siklus II dapat disimpulkan sudah ada peningkatan hasil yang sangat berarti dibandingkan dengan hasil pada siklus I, yaitu ● Guru berhasil memotivasi seluruh siswa untuk aktif selama mengikuti pembelajaran ● Nilai afektif siswa mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu tidak ada siswa yang memperoleh nilai afektif C pada siklus II, dibandingkan silkus I masih ada 23% siswa yang memperoleh nilai C. ● Persentase ketuntasan dan nilai rata-rata kelas untuk nilai kognitif mengalami peningkatan yang signifikan yaitu 30 % siswa tuntas dengan nilai rata-rata kelas 69,29 pada siklus I meningkat menjadi 80% siswa tuntas dengan nilai rata-rata 83,20 pada siklus II. Hasil Angket Siswa Angket respon siswa diberikan dengan tujuan untuk mengetahui respon siswa selama mengikuti pembelajaran dengan model LCC Standing Moving. Adapun hasil analisis angket respon siswa pada masing-masing indikator selama pembelajaran LCC Standing Moving sebagai berikut. Pernyataan yang berhubungan dengan respon siswa terhadap upaya peneliti untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dengan memberikan permainan (brain gym) diluar materi yang akan dipelajari pada awal kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis data di atas bahwa 50 % siswa menyatakan sangat sutuju dan senang dengan permainan yang diberikan diawal pembelajaran dan 70% siswa menyatakann sangat setuju bahwa permainan yang diberikan dapat mencairkan ketengangan otak sebelum mengikuti pembelajaran serta 56,67% siswa menyatakan setuju bahwa permainan yang
KIM - 85
diberikan dapat membuat semangat mengikuti pembelajaran kimia. Pernyataan yang berhubungan dengan respon siswa terhadap upaya peneliti untuk memotivasi siswa mulai berfikir tentang materi yang akan dipelajar. Berdasarkan hasil analisis data diatas bahwa 43,33 sangat setuju dan 46,67 setuju untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru dengan benar. Pernyataan yang berhubungan dengan respon siswa pada saat pelaksanaan diskusi kelompok maupun diskusi moving. Berdasarkan data diatas bahwa sekitar 50%80 % siswa menyatakan sangat setuju dan senang pada saat diskusi karena pada saat diskusi siwa dapat bertukar pikiran dengan teman lain, dapat memberikan penjelasan kepada teman yang mengalami kesulitan, dapat mengemukaan pendapat dan membuat siswa lebih percaya diri. Pernyataan nomor yang berhubungan dengan respon siswa setelah mengikuti proses pembelajaran diberikan reward langsung berupa stiker dan dilakukan kuis dan ulangan. Berdasarkan hasil analisis data diatas bahwa 56,67% siswa sangat setuju dan 43,33% setuju bahwa setiap aktivitas yang dilakuakan oleh siswa selama mengikuti pembelajaran diberikan reward langsung karena dapat membuat siswa lebih temotivasi. Dari kesiapan siswa untuk mengikuti kuis dan ulangan sekitar 36,67% menyatakan sangat siap untuk mengikuti kuis dan ulangan, 60% menyatakan siap setiap megikuti kuis dan ulangan. Dengan demikian berdasarkan analisis data diatas dapat disimpulkan bahwa siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran kimia dengan model LCC Standing Moving. KESIMPULAN . Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: 1. Model pembelajaran Learning Cycle Cooperative Standing Moving tahaptahapan pembelajarannya dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana pembelajaran yang sudah direncanakan. Aktivias siswa pada siklus I terlaksana dengan sangat baik dan pada siklus II SEMNAS MIPA 2010
terlaksana dengan baik. Sedangkan aktivitas guru pada siklus I dan II terlakasana dengan sangat baik. 2. Penerapan model pembelajaran Learning Cycle Cooperative Standing Moving dapat meningkatkan kualitas proses belajar siswa kelas XI-IPA1 SMA Laboratorium UM pada konsep larutan asam basa. 3. Penerapan model pembelajaran Learning Cycle Cooperative Standing Moving dapat meningkatkan hasil belajar belajar siswa kelas XI-IPA1 SMA Laboratorium UM pada konsep larutan asam basa. SARAN Dengan memperhatikan hasil yang diperoleh dalam penelitian Tindakan Kelas ini bahwa penerapan model pembelajaran Learning Cycle Cooperative Standing Moving dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa, maka ada beberapa saran yang diajukan oleh peneliti yaitu: a) Bagi Guru 1. Strategi pembelajaran tersebut dapat diterapkan dalam pembelajaran sehari– hari pada konsep yang berbeda untuk mata pelajaran kimia. 2. Strategi pembelajaran tersebut dapat di coba untuk diterapkan pada bidang studi yang lain. b) Bagi Sekolah Sekolah sangat diharapkan untuk dukungan moril maupun materiil bagi guru–guru SMA Laboratorium yang melakukan Penelitian Tindakan Kelas. Karena semakin banyak guru–guru SMA Laboratorium UM yang melakukan Penelitian Tindakan Kelas semakin banyak pula masalah yang ditemuai pada saat pembelajaran akan dapat diatasi. Sehingga dengan harapan yang sangat besar Penelitian Tindakan Kelas dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan keprofesionalan guru dan sekaligus peningkatan mutu pendidikan di SMA Laboratorium UM. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
KIM - 86
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evalusai Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
BSNP, 2006. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh/Model Silabus SMA/MA. Jakarta: Depdiknas Depdiknas. 2006. Kosep Dasar KBK. (CH: Sosialisasi KTSP, 2006) Iskandar, Srini. 2001.Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Workshop Pembelajaran Konstruktivisme Sebagai Rangkaian Kegiatan Kegiatan Piloting Sekolah Disponsori oleh JICA – IMSTEP FMIPA Malang: Universitas Negeri Malang Iskandar, Srini dan Budiasih. 2004. Daur Belajar Enam Fase (Daur Belajar Johnston). Makalah dalam Workshop Kegiatan Piloting JICA – IMSTEP FMIPA Malang: Universitas Negeri Malang Ibnu, S. 2006. Model-Model Pembelajaran Konstrukrivistik dalam Sains Kimia. Malang: Jurusan Kimia. Arifah, Lina. 2007. Penerapan Model Kooperative Tipe TAI dan Kegiatan Remidi dengan Memperhatikan Modalitas Belajar Siswa Kelas X SMA Laboratorium UM Pada Pokok Bahasan Tata Nama Senyawa dan Persamaan Reaksi . Skirpsi tidak ditrbitkan. Malang: Jurusan Kimia Universitas Negeri Malang. Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pt RemajaRosdakarya. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Setyowati, Istri. 2006. Efektifitas penerapan Perpaduan Model Pembelajaran Kooperatif STAD-JIGSAW dibandingkan dengan Perpaduan Model Pembelajaran Learning Cycle 5E- Kooperatif STAD dan Nodel Cearah – Latihan Soal Terhadap Peningkatan Proses dan Hasil Belajar Siswa SMA Laboratorium kelas X PadaKonsep Tata Nama dan Persamaan Reaksi, Penelitian Eksperimen untuk Pengembangan Pfofesi tidak diterbitkan, Malang: SMA Laboratorium UM Setyowati. Istri, dkk. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan SMA Laboratorium UM. Malang: SMA Laboratorium UM Setyowati, Istri 2008. Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Kelas X3 pada Konsep Kekhasan Atom Karbon dan Hidrokarbon Dengan Strategi Pembelajaran Team Game Tournament Plus. Penelitian Tindakat Kelas tidak diterbitkan, Malang: SMA Laboratorium UM Sudjana, Nana. 2002. Penelitian Hasil Proses Belajar. Bandung: Rosda Sulistina, Oktasia. 2008. Efektivitas Penggunaan metode Pembelajaran Inkuiri Terbuka dan Inkuiri Terbimbing Dalam menigkatkan Hasil dan Proses Belajar. Tesis tidak diterbitkan, Malang: Universitas Negeri Malang. Slavin.1990. Cooperative Learning : Theory, Research and practical ( second edition ). Boston : Allyn and Bacon Wonorahardjo, S. 2006. Model-Model Pembelajaran konstruktivistik dalam Pembelajaran Sains Kimia. Malang: Jurusan Kimia.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. Rahayu dan Prayitno. 2005 Penggunaan Strategi pembelajaran Learning Cycle Cooperativ 5E (LCC 5E) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Di SMA. Makalah Seminar Nasional MIPA danPembelajarannya Exchange Experience of IMTEP, FPMIPA Malang: Universitas Negeri Malang. Setyowati, Istri. 2005. Implementasi Perpaduan Model Pembelajaran Learning Cycle dan Reprocycle Teaching dalam Pembelajaran Kimia SMA Laboratorium UM kelas X-6 Sementer 2 Tahun Ajaran 2004/2005. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya Exchange Experience of IMTEP, FPMIPA Malang: Universitas Negeri Malang
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 87
PENGARUH PENGELOMPOKAN SISWA BERDASARKAN GAYA BELAJAR DAN MULTIPLE INTELLIGENCES PADA MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA SISWA KELAS XI IPA SMAN 3 LUMAJANG Febi Dwi Widayanti1), I Wayan Dasna2) dan Srini Murtinah Iskandar3) Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang 65145 Telp. (0341) 551-312 (psw. 315)/574-388, Telp./Fax. (0341) 551334 (langsung) Website: http://www.pasca.um.ac.id E-mail:
[email protected]),
[email protected])
Abstract Learning style and multiple intelligences (MI) are the internal factors that determine the students’ successful in the teaching learning process. The identification of learning style is used for grouping students in learning so that the determination of the proper way of learning can be applied. Identification of MI can help teachers know which intelligence that students possess. Student with the high level of the MI can be expected to increase the higher order thinking (HOT) ability in chemistry study. Learning model used in this research was the learning cycle (LC). This research aimed to determine the difference of result of chemistry study and HOT ability between students grouping based on learning style and level of MI on LC as learning model with students grouping based on heterogenity and level of MI on LC as learning model in student high school class XI IPA 3 Lumajang. The result showed that result of chemistry study and HOT ability by students grouping based on learning style and level of MI on LC as learning model shows different significantly with students grouping based on heterogenity and level of MI on LC as learning model. Keywords: learning style, multiple intelligences, learning cycle as learning model, the result of chemistry study
PENDAHULUAN Kondisi pembelajaran kimia saat ini masih kurang optimal. Hal ini terbukti dari kualitas pendidikan yang masih sangat rendah. Banyak siswa yang masih belum memahami materi kimia, baik materi berupa konsep, teori maupun fakta ilmiah. Selama ini beberapa perbaikan dalam bidang pendidikan telah banyak dilakukan, misalnya perubahan kurikulum, penggunaan metode pembelajaran dan peralatan serta perangkat yang digunakan dalam menilai tingkat keberhasilan siswa. Akan tetapi, hal ini masih dirasa kurang cukup dalam usaha peningkatan keberhasilan siswa. Ada beberapa faktor internal yang perlu diperhatikan guru dalam usaha peningkatan keberhasilan siswa, seperti gaya belajar dan multiple intelligences yang dimiliki siswa. SEMNAS MIPA 2010
Peran guru di dalam kelas sangat penting dalam menunjang keberhasilan belajar siswa. Beberapa hal penting yang mempengaruhi keberhasilan belajar yang jarang sekali diperhatikan oleh guru adalah karakteristik siswa. Karakteristik siswa berhubungan langsung dengan hasil belajarnya, antara lain kecerdasan, bakat, motivasi, kelas sosial, tingkat aspirasi, persepsi dan sikap. Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda sehingga dalam menerima, mengolah dan mengingat informasi yang diperoleh juga berbeda-beda. Ada tiga jenis gaya belajar (De Porter, 2000), yaitu: (1) gaya belajar visual; (2) gaya belajar auditorial; dan (3) gaya belajar kinestetik. Siswa dengan gaya belajar visual belajar melalui apa yang KIM - 88
mereka lihat, siswa auditorial belajar melalui apa yang mereka dengar dan siswa kinestetik belajar melalui gerak dan sentuhan. Dengan mengetahui gaya belajar siswa, guru dapat membantu siswa belajar sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki siswa sehingga prestasi belajar siswa dapat tumbuh dengan baik melalui pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya. Di samping gaya belajar, usaha lain dalam peningkatkan hasil belajar dapat juga dilakukan dengan mengidentifikasi multiple intelligences yang dimiliki siswa. Setiap siswa dilahirkan dengan memiliki kecerdasan. Akan tetapi, jenis kecerdasan yang dimiliki masing-masing siswa berbeda-beda. Menurut Gardner (2003) ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki siswa yang dikenal dengan teori kecerdasan majemuk, yakni: (1) kecerdasan linguistik; (2) kecerdasan logika matematika; (3) kecerdasan spasial; (4) kecerdasan musikal; (5) kecerdasan badani-kinestetik; (6) kecerdasan interpersonal; (7) kecerdasan intrapersonal; (8) kecerdasan naturalis. Pada umumnya, gaya belajar dan multiple intelligences belum optimal diakomodasikan dalam pembelajaran. Selama ini, sebelum proses pembelajaran berlangsung belum dilakukan identifikasi terhadap gaya belajar dan multiple intelligences. Biasanya ketika dalam kelas dilakukan pengelompokan, guru hanya mengelompokkan berdasarkan heterogenitas siswa, maksudnya dalam kelompok tersebut siswa dikelompokkan dengan melihat keberagaman kemampuan siswa atau bahkan dilakukan secara acak berdasarkan nomor absen siswa. Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam mengelompokkan siswa yaitu pengelompokan berdasarkan gaya belajar siswa. Pengelompokan ini bertujuan agar siswa yang memiliki gaya belajar yang sama dapat berkumpul dengan komunitasnya, sehingga penentuan cara belajar yang tepat dapat dilakukan. Dengan demikian, gaya SEMNAS MIPA 2010
belajar akan berfungsi sebagai penunjuk perbedaan tentang cara yang termudah bagi siswa dalam hal menyerap, mengatur dan mengolah informasi menjadi bermakna. Selain gaya belajar, identifikasi multiple intelligences dapat membantu guru mengetahui jenis kecerdasan yang dimiliki siswanya. Siswa dengan tingkat multiple intelligences yang tinggi dapat diharapkan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi/kemampuan higher order thinking (HOT) dalam belajar kimia. Sehingga siswa diharapkan mampu menyelesaikan soal-soal pada ranah kognitif menganalisa (C4), mengevaluasi (C5) dan menciptakan (C6). Adanya kemampuan HOT akan membuat siswa mampu memandang peristiwa secara lebih cermat sehingga mampu menentukan sikap terhadap peristiwa tersebut sehingga keputusan yang akan diambil didasarkan pada pertimbangan yang matang. Pada pembelajaran di kelas, guru telah menggunakan metode/model pembelajaran untuk menciptakan lingkungan belajar yang konstruktivistik. Makna konstruktivistik difokuskan pada bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajar. Kegiatan pembelajaran konstruktivistik diarahkan pada memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Kegiatan belajar mengajar dilandasi oleh prinsip-prinsip berikut: (1) berpusat pada siswa, (2) mengembangkan kreativitas siswa, (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, (4) mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan (6) belajar melalui berbuat. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran konstruktivistik yaitu model siklus belajar/learning cycle (LC). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan LC 5 fase. Tahap-tahap LC 5 fase (Lorsbach, 2002), yaitu: engagement, exploration, explanation, elaboration dan evaluation. LC merupakan pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada teori Piaget, khususnya terkait dengan perkembangan fungsi KIM - 89
mental. Perkembangan fungsi mental ini sangat bervariasi, tergantung pada adaptasi anak dengan lingkungannya, yang terdiri dari unsur asimilasi, akomodasi, dan organisasi dalam teori belajar Piaget. Fase engagement dalam LC 5 fase termasuk dalam proses asimilasi. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar terhadap hasil belajar dan kemampuan higher order thinking pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang; (2) mengetahui pengaruh tingkat multiple intelligences siswa terhadap hasil belajar dan kemampuan higher order thinking pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang; (3) mengetahui pengaruh pengelompokan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences siswa terhadap hasil belajar dan kemampuan higher order thinking pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang; (4) mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa yang dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dan multiple intelligences pada model pembelajaran LC dengan siswa yang dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dan multiple intelligences pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang; (5) mengetahui perbedaan kemampuan higher order thinking antara siswa yang dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dan multiple intelligences pada model pembelajaran LC dengan siswa yang dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dan multiple intelligences pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang. METODE Penelitian dilaksanakan di SMAN 3 Lumajang pada bulan Nopember s.d SEMNAS MIPA 2010
Desember 2010 tahun ajaran 2009-2010. Sampel penelitian dipilih dengan teknik cluster random sampling terdiri atas 2 kelas yaitu kelas XI IPA 2 (37 siswa) sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 3 (37 siswa) sebagai kelas kontrol. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperimen dengan desain faktorial 2 × 3. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel antara lain (1) variabel bebas yaitu pengelompokan siswa, pada kelas eksperimen dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dengan model pembelajaran LC dan kelas kontrol dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dengan model pembelajaran LC; (2) variabel terikat yaitu hasil belajar dan kemampuan higher order thinking siswa; (3) variabel moderator yaitu multiple intelligences. Instrumen yang digunakan dalam penelitian yaitu angket multiple intelligences, angket gaya belajar dan tes hasil belajar. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan program Statistical Package for Social Sciences versi 16.0 for windows pada taraf signifikan α = 0,05 dengan uji anova. HASIL Deskripsi Keterlaksanaan Pembelajaran Deskripsi persentase keterlaksanaan pembelajaran dihasilkan dari angket lembar observasi yang terdiri dari dua angket yaitu angket refomed teaching observation protocol (RTOP) dan angket kualitas proses. Hasil penelitian yang berupa persentase keterlaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tiap pertemuannya disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Keterlaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Persentase Keterlaksanaan (%) Pertemuan I
Eksperimen V 80,94
A 86,88
K 77,97
Kontrol 74,50 KIM - 90
II
80,94
86,38
80,44
73,77
III
79,71
88,62
79,21
72,53
IV
83,41
86,88
77,97
73,27
V
80,44
89,86
79,21
73,27
VI
80,94 81,06
86,38 87,50 82,45
77,97 78,79
74,50
RataRata Keterangan: Rentangan persentase 0-25% = kurang baik 25-50% = cukup baik 50-75% = baik 75-100% = sangat baik
73,64
Data Hasil Belajar dan Kemampuan HOT Siswa Di bawah ini diberikan data nilai hasil belajar dan kemampuan HOT pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yang tersaji pada Tabel 2 sampai Tabel 7. Tabel 2. Rata-Rata Hasil Belajar Kelas Eksperimen Nilai Kelompok siswa Rata-rata Visual (3 kelompok) 83,25 Auditorial (3 kelompok) 85,52 Kinestetik (1 kelompok) 83,52 Rata-rata 84,09 Tabel 3. Rata-Rata Hasil Belajar Kelas Kontrol Nilai Kelompok siswa Rata-rata Kelompok 1 76,90 Kelompok 2 78,50 Kelompok 3 75,15 Kelompok 4 75.16 Kelompok 5 74,76 Kelompok 6 76,55 Kelompok 7 77,20 Rata-rata 76,31
Kontrol
37 76.31
3.01
68.4 82.25 5
Tabel 5. Nilai Rata-Rata Kemampuan HOT Kelas Eksperimen Nilai Kelompok siswa Rata-rata Visual (3 kelompok) 80,07 Auditorial (3 kelompok) 81,37 Kinestetik (1 kelompok) 80,17 Rata-rata 80,61 Tabel 6. Nilai Rata-Rata Kemampuan HOT Kelas Kontrol Nilai Kelompok siswa Rata-rata Kelompok 1 77,93 Kelompok 2 79,89 Kelompok 3 63,28 Kelompok 4 70,69 Kelompok 5 65,15 Kelompok 6 64,45 Kelompok 7 62,67 Rata-rata 69,15 Tabel 7. Nilai Rata-Rata Kemampuan HOT Siswa Kelas N Mean Std. Dev Min Max Eksperimen 37 80.61 10.94 62.07 93.10 Kontrol 37 69.15 13.33 48.28 89.66 Data Pengujian Hipotesis Berikut ini diberikan uji hipotesis penelitian yang tersaji pada Tabel 8 sampai Tabel 11.
Tabel 4. Deskripsi Hasil Belajar Siswa Kelas N Mean Std. Dev Min Max 79.1 Eksperimen 37 84.09 3.09 90.14 5 SEMNAS MIPA 2010
KIM - 91
Tabel 8. Uji Hipotesis Pengaruh Gaya Belajar terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan HOT pada Kelas Eksperimen Gaya N Mean Fhitung Sig. Belajar Visual 18 83.25 HB Auditorial 15 85.52 21.921 0.00 Kinestetik 4 83.52 Visual 18 80.07 HOT Auditorial 15 81.37 25.607 0.00 Kinestetik 4 80.17 Keterangan: HB = hasil belajar HOT = kemampuan higher order thinking Ftabel = 3,275 Tabel 9. Uji Hipotesis Pengaruh Tingkat Multiple Intelligences terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan HOT pada Kelas Eksperimen Tingkat Mea N Fhitung Sig. MI n Tinggi 11 87.24 HB Sedang 14 84.35 29.166 0.00 Rendah 12 81.26 Tinggi 11 90.28 HOT Sedang 14 83.00 12.925 0.00 Rendah 12 68.96 Keterangan: HB = hasil belajar HOT = kemampuan higher order thinking Ftabel = 3,275 Tabel 10. Uji Hipotesis Perbedaan Hasil Belajar dan Kemampuan HOT antara Siswa Kelas Eksperimen dengan Kelas Kontrol HB HOT Kelas Fhitung Sig. Fhitung Sig. Eksperimen 124.467 0.00 19.241 0.00 Kontrol Keterangan: HB = hasil belajar HOT = kemampuan higher order thinking Ftabel = 3,973
SEMNAS MIPA 2010
Tabel 11. Uji Hipotesis Pengaruh Gaya Belajar dan Tingkat Multiple Intelligences terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan HOT pada Kelas Eksperimen N
Tingk at MI
Gaya Belaj ar
Tinggi
11
Sedang
14
Rendah
12
Visual
18
Auditori al Kinestet ik
15 4
Mea n 87.2 4 84.3 5 81.2 6 83.2 5 85.5 2 83.5 2
HB Fhitung
Sig.
HOT Fhitun
Sig.
g
3.43 3.02 0.048 4 8
0.0 34
Keterangan: HB = hasil belajar HOT = kemampuan higher order thinking Ftabel = 2,714 PEMBAHASAN Pengaruh Gaya Belajar terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan HOT Pada dasarnya siswa yang satu berbeda dengan siswa lainnya dan kemampuan tiap anak dalam menguasai serta memahami suatu bahan pelajaran berbeda-beda pula. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) bahwa siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara belajar dan hasil belajar. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran yaitu dengan memperhatikan gaya belajar siswa dengan cara pengelompokan berdasarkan gaya belajar. Pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai hasil belajar dan kemampuan HOT. Dengan pengelompokan berdasarkan gaya belajar, maka siswa lebih mudah memahami materi sebab siswa belajar sesuai dengan cara/gaya belajar mereka dan mereka dapat berkumpul sesuai dengan komunitas mereka. Pada pembelajaran di kelas, siswa visual, siswa auditorial dan siswa kinestetik saling KIM - 92
berkumpul sesuai dengan gaya belajarnya. Mereka belajar sesuai gaya belajar yang mereka miliki. Kelompok visual, auditorial dan kinestetik memiliki nilai rata-rata hasil belajar yaitu berturut-turut 83,25, 85,52, dan 83,52. Sedangkan untuk kemampuan HOT, kelompok visual, auditorial dan kinestetik memiliki nilai rata-rata yaitu berturut-turut 80,07, 81,37, dan 80,17. Kelompok auditorial memiliki nilai lebih tinggi daripada kelompok yang lain. Ketika proses pembelajaran berlangsung, kelompok auditoral memiliki nilai afektif tertinggi. Hal ini berarti, siswa auditorial lebih aktif selama kegiatan diskusi kelompok dan kegiatan-kegiatan selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa auditorial lebih suka belajar dengan cara mendengarkan, jadi antar sesama kelompok saling menjelaskan. Mereka saling tanya jawab diantara teman-temannya. Untuk kelompok visual, mereka lebih suka belajar dengan cara melihat gambar daripada mendengarkan. Kelompok visual lebih suka membaca yang disertai dengan gambar. Mereka lebih cepat paham jika materi disajikan dalam bentuk visual, misalnya powerpoint dan video. Sedangkan pada kelompok kinestetik, mereka lebih mudah memahami materi dengan cara mempraktikkan teori yang didapat. Jadi, ketika dilakukan percobaan tentang faktorfaktor yang mempengaruhi laju reaksi, kelompok kinestetik ini sangat aktif melakukan kegiatan percobaan. Hal ini dapat dilihat dari nilai psikomotorik kelompok kinestetik memiliki rata-rata nilai yang lebih tinggi daripada kelompok yang lain, yaitu 91,95. Menurut Tubic dan Hamiloglu (2005) bahwasanya penerapan gaya belajar (learning style) yang sesuai akan meningkatkan proses pembelajaran, bahkan ditegaskan pula olehnya jika ada kesesuaian antara model pembelajaran dengan gaya belajar (learning style) maka akan tercipta suasana belajar produktif di dalam kelas. Hasil penelitian yang dilakukan Fitriyah (2007) menunjukkan bahwa identifikasi gaya belajar menunjukkan pengaruh yang SEMNAS MIPA 2010
signifikan terhadap hasil belajar. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Widayanti (2007) menyatakan bahwa hasil belajar kimia siswa dengan memperhatikan gaya belajar menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan hasil belajar tanpa memperhatikan gaya belajar. Pengaruh Multiple Intelligences terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan HOT Multiple intelligences merupakan kecerdasan yang dimiliki siswa sejak mereka dilahirkan. Akan tetapi, setiap siswa memiliki tingkat multiple intelligences yang berbeda-beda. Siswa dengan tingkat multiple intelligences yang tinggi dapat diharapkan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking ability) dalam belajar kimia. Pada penelitian ini, diperoleh data bahwa siswa yang memiliki tingkat multiple intelligences tinggi rata-rata nilai hasil belajar dan kemampuan HOT mereka juga lebih tinggi daripada yang memiliki tingkat multiple intelligences sedang dan rendah. Artinya, siswa yang memiliki tingkat multiple intelligences tinggi maka hasil belajar dan kemampuan HOTnya juga tinggi. Siswa yang memiliki tingkat multiple intelligences tinggi, umumnya mereka memiliki beberapa jenis kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Beberapa jenis multiple intelligences yaitu linguistik, logika matematika, musikal, badani kinestetik, spasial, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Dengan memiliki kecerdasan linguistik, siswa suka sekali mendengarkan, sehingga mereka lebih senang dijelaskan daripada mereka harus membaca. Pada materi laju reaksi siswa-siswa ini memahami materi dengan cara saling bergantian menjelaskan ke sesama anggota kelompoknya dan cara ini berhasil, terbukti dari nilai hasil belajar dan kemampuan HOT mereka. Dalam belajar kimia khususnya pada materi laju reaksi, siswa memerlukan kecerdasan logika matematika dalam memahami materi tersebut, karena dalam materi tersebut terdapat konsep-konsep laju reaksi, serta KIM - 93
perhitungan kimia dalam menentukan orde suatu reaksi. Dengan memiliki kecerdasan logika matematika, maka siswa dapat menjalankan tugas yang lebih luas dalam berpikir dan belajar. Grafik sebagai contoh dapat digunakan untuk menampilkan informasi. Kecerdasan ini melibatkan banyak komponen perhitungan secara matematis, berpikir logis, pemecahan masalah dan ketajaman pola-pola hubungan. Kecerdasan musikal juga dibutuhkan dalam pembelajaran kimia. Siswa yang memiliki kecerdasan musikal akan lebih mudah memahami konsepkonsep laju reaksi dengan menuangkannya dalam sebuah lagu, jadi mereka berkarya menghasilkan sebuah lagu untuk beberapa konsep laju reaksi. Dengan kecerdasan badani kinestetik yang dimiliki siswa, maka siswa akan lebih mudah mengaplikasikan teori-teori dalam materi laju reaksi dalam suatu percobaan, siswa akan dengan terampil mengaplikasikan teori-teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kecerdasan interpersonal, maka siswa akan semakin mudah memahami materi laju reaksi jika mereka dilibatkan dalam sebuah kerja kelompok. Sehingga mereka akan semakin mudah memahami materi dan lebih mudah menyampaikan atau bertukar pendapat dengan teman sesamanya. Siswa dengan kecerdasan intrapersonal akan lebih mudah menguasai diri mereka untuk memperkaya dan membimbing diri mereka sendiri. Mereka adalah siswa yang teguh dalam mengambil keputusan. Siswa dengan kecerdasan naturalis cenderung memudahkan siswa dalam mengamati percobaan dan mengidentifikasi grafik. Menurut Ozdemir, Guneysu dan Tekkaya (2006) menyatakan bahwa keberhasilan belajar siswa dapat ditingkatkan dengan memperhatikan multiple intelligences siswa. Noble (2004) mengungkapkan bahwa ketika proses pembelajaran di kelas berlangsung, teori multiple intelligences dapat diterapkan oleh guru agar siswa dapat mengetahui
SEMNAS MIPA 2010
kemampuannya sehingga belajar siswa dapat tercapai.
keberhasilan
Pengaruh Gaya Belajar dan Multiple Intelligences terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan HOT Pada penelitian ini, siswa dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dengan tingkat multiple intelligences siswa yang berbeda dengan menggunakan model pembelajaran LC. Tingkat-tingkat multiple intelligences yang dimaksud adalah tingkat multiple intelligences tinggi, tingkat multiple intelligences sedang dan tingkat multiple intelligences rendah. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh bahwa ada pengaruh yang signifikan atas pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intteligences siswa terhadap hasil belajar dan kemampuan HOT. Dengan memperhatikan pengelompokan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences siswa maka hasil belajar dan kemampuan HOT siswa dapat ditingkatkan. Pengelompokan berdasarkan gaya belajar akan membantu siswa lebih mudah memahami materi sebab siswa belajar sesuai dengan cara/gaya belajar mereka dan mereka dapat berkumpul sesuai dengan komunitas mereka. Pada pembelajaran di kelas, siswa visual, siswa auditorial dan siswa kinestetik saling berkumpul sesuai dengan gaya belajarnya. Mereka belajar sesuai gaya belajar yang mereka miliki. Penentuan tingkat multiple intelligences siswa digunakan untuk pemetaan terhadap tingkatan kecerdasan siswa. Siswa dengan tingkat multiple intelligences yang tinggi maka diharapkan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking ability) pula. Sehingga siswa mampu menyelesaikan soal-soal pada ranah kognitif menganalisa (C4), mengevaluasi (C5) dan menciptakan (C6). Hal ini dapat dilihat dari uji hipotesis yang menyebutkan bahwa ada pengaruh yang signifikan atas pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intteligences KIM - 94
siswa terhadap hasil belajar dan HOT. Adanya kemampuan berpikir tingkat tinggi/kemampuan higher order thinking (HOT) akan membuat seseorang (siswa) mampu memandang sesuatu (peristiwa, benda, fakta) secara lebih cermat sehingga mampu menentukan sikap terhadap peristiwa tersebut sehingga keputusan yang akan diambil didasarkan pada pertimbangan yang matang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan HOT yang terdiri atas analisis, evaluasi dan kreativitas merupakan suatu proses mental yang terorganisasi dengan baik dan berperan dalam mengambil keputusan untuk memecahkan masalah dengan menganalisis dan menginterpretasikan data dalam kegiatan penelitian ilmiah. Menurut Denig (2004) gaya belajar menekankan pada cara dan proses belajar siswa, sedangkan multiple intelligences menekankan pada kemampuan siswa dalam memahami pelajaran sehingga kedua komponen ini akan saling berpengaruh dalam peningkatan hasil belajar siswa. Perbedaan Hasil Belajar antara Kelas Ekperimen dengan Kelas Kontrol Berdasarkan hasil uji hipotesis perbedaan hasil belajar antara siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences yang dibelajarkan model pembelajaran LC dengan siswa yang dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dan tingkat multiple intelligences yang dibelajarkan model pembelajaran LC. Hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada hasil belajar siswa kelas kontrol yaitu 84,09 dan 76,31. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Seperti halnya kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking ability), hasil belajar siswa juga dipengaruhi oleh kualitas proses belajar siswa karena SEMNAS MIPA 2010
kemampuan higher order thinking siswa merupakan bagian dari hasil belajar siswa. Sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan kemampuan higher order thinking siswa akan diikuti dengan peningkatan hasil belajar siswa. Perbedaan Kemampuan HOT antara Kelas Eksperimen dengan Kelas Kontrol Berdasarkan hasil uji hipotesis perbedaan kemampuan HOT antara siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences yang dibelajarkan model pembelajaran LC dengan siswa yang dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dan tingkat multiple intelligences yang dibelajarkan model pembelajaran LC. Kemampuan HOT siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan HOT siswa kelas kontrol. Kemampuan HOT siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol ditinjau dari kemampuan siswa menganalisa, mengevaluasi, dan menciptakan. Nilai ratarata kemampuan HOT siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol yaitu 80,61 dan 69,15. Adanya kemampuan berpikir tingkat tinggi/kemampuan higher order thinking (HOT) akan membuat seseorang (siswa) mampu memandang sesuatu (peristiwa, benda, fakta) secara lebih cermat sehingga mampu menentukan sikap terhadap peristiwa tersebut sehingga keputusan yang akan diambil didasarkan pada pertimbangan yang matang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan HOT yang terdiri atas analisis, evaluasi dan kreativitas merupakan suatu proses mental yang terorganisasi dengan baik dan berperan dalam mengambil keputusan untuk memecahkan masalah dengan menganalisis dan menginterpretasikan data dalam kegiatan penelitian ilmiah. PENUTUP Kesimpulan KIM - 95
(1) terdapat pengaruh pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar terhadap hasil belajar dan kemampuan higher order thinking pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang yang ditunjukkan dari nilai F yaitu Fhitung(hasil belajar) = 21,921 dan Fhitung(HOT) = 25,607 dengan Ftabel (2;34;0,05) = 3,275 yang artinya Fhitung ≥ Ftabel; (2) terdapat pengaruh tingkat multiple intelligences terhadap hasil belajar dan kemampuan higher order thinking pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang yang ditunjukkan dari nilai F yaitu Fhitung(hasil belajar) = 29,166 dan Fhitung(HOT) = 12,925 dengan Ftabel (2;34;0,05) = 3,275 yang artinya Fhitung ≥ Ftabel; (3) terdapat pengaruh pengelompokan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences siswa terhadap hasil belajar dan kemampuan higher order thinking pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang yang ditunjukkan dari nilai F yaitu Fhitung(hasil belajar) = 3,434 dan Fhitung(HOT) = 3,028 dengan Ftabel(4;28;0,05) = 2,714 yang artinya Fhitung ≥ Ftabel; (4) terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences pada model pembelajaran LC dengan siswa yang dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dan tingkat multiple intelligences pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI IPA SMAN 3 Lumajang yang ditunjukkan dari rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol yaitu 84,09 dan 76,31. Dapat dilihat juga dari nilai signifikansi kurang dari 0,05 yaitu 0,00 dengan nilai Fhitung = 124,467 ≥ Ftabel (3,973). Hal ini berarti pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar dan multiple intelligences pada model pembelajaran LC dapat meningkatkan hasil belajar siswa; (5) terdapat perbedaan kemampuan higher order thinking antara siswa yang dikelompokkan berdasarkan gaya belajar dan tingkat multiple intelligences pada model pembelajaran LC dengan siswa yang dikelompokkan berdasarkan heterogenitas dan tingkat multiple intelligences pada model pembelajaran LC pada siswa kelas XI SEMNAS MIPA 2010
IPA SMAN 3 Lumajang yang ditunjukkan dari rata-rata nilai kemampuan higher order thinking kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol yaitu 80,61 dan 69,15. Dapat dilihat juga dari nilai signifikansi hasil perhitungan analisis kurang dari 0,05 yaitu 0,00 dengan nilai Fhitung = 19.241 ≥ Ftabel (3,973). Hal ini berarti pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar dan multiple intelligences pada model pembelajaran LC dapat meningkatkan kemampuan higher order thinking siswa. Saran (1) pengelompokan siswa berdasarkan gaya belajar dan Multiple Intelligences pada model pembelajaran LC hendaknya dapat digunakan dalam proses pembelajaran kimia atau bidang studi lainnya untuk meningkatkan hasil belajar siswa; (2) melakukan penelitian lebih lanjut tentang identifikasi Multiple Intelligences yang berusaha untuk menggali dan meningkatkan kecerdasan yang ada dalam diri siswa dengan cara mengembangkan berbagai jenis komponen kecerdasan. DAFTAR RUJUKAN Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. Dikti. Denig, S. J. 2004. Multiple Intelligences and Learning Style: Two Complementary Dimensions. Teacher College Record. 106 (1): 96111. DePorter, B., Reardon, M. & Singer-Nourie, S. 1999. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. Terjemahan oleh Ari Nilandri. 2000. Bandung: Kaifa. Fitriyah, L. A. 2007. Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI dan Kegiatan Remidi dengan Memperhatikan Modalitas Belajar Siswa Kelas X SMA Laboratorium UM pada Pokok Bahasan Tata Nama Senyawa dan Persamaan Reaksi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia Universitas Negeri Malang.
KIM - 96
Gardner, H. 2003. Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for The 21st Century. New York: Basic Books. Lorsbach, A.W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. (Online), (http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/2 57lrcy.html, diakses 29 April 2009). Noble, T. 2004. Integrating the Revised Bloom’s Taxonomy with Multiple Intelligences: A Planning Tool for Curriculum Differentiation. Teacher College Record, 106 (1): 193-210. Ozdemir, P., Guneysu S. & Tekkaya C. 2006. Enhancing Learning Through multiple intelligences. Educational Research, 40 (2): 7478. Tubi´c, T., & Hamilo˘glu, K. 2009. Linking Learning Styles and Teaching Styles. Chapter 9: 133-143. Serbia: Faculty of Education, University of Novi Sad. Widayanti, F. D. 2007. Penerapan Kooperatif Model Jigsaw dan Kegiatan Remidi dengan Memperhatikan Modalitas Belajar Siswa Kelas X SMA Laboratorium UM pada Pokok Bahasan Ikatan Kimia. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia Universitas Negeri Malang.
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 97
MERANGSANG KEMAMPUAN BERBICARA (SPEAKING) MAHASISWA SBI DALAM MENJELASKAN KONSEP-KONSEP KIMIA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TPS Habiddin dan Prayitno Jurusan Kimia, Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang
Abstrak Kemampuan menjelaskan konsep-konsep kimia (speaking) bagi mahasiswa SBI harus dibiasakan. Penelitian ini berupaya mengungkap secara deskriptif, pengaruh pembelajaran kooperatif TPS dalam meningkatkan kemampuan mahaiswa SBI menjelaskan konsep-konsep kimia dalam Bahasa Indggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi bersama pasangannya dalam tahap-tahap TPS (Think Pair Share) meningkatkan dorongan mahasiswa untuk berani mengemukakan pemikirannya. Kata-kata kunci : menjelaskan konsep kimia (speaking), kooperatif TPS
Mata kuliah Kimia Umum disajikan dengan tujuan sebagai sarana penyegaran terhadap materi kimia yang telah dipelajari di Sekolah menengah serta sebagai landasan memahami dan mempelajari kimia lebih lanjut. Khusus kelas SBI Pembelajaran berlangsung dalam bahasa Inggris kecuali untuk hal-hal penting terkait pemahan konsep umumnya ditegaskan dalam bahasa Indonesia. Teaching instrument berupa slide power point, handout dan alat bantu bantu mengajar lainnya disajikan dalam bahasa inggris. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa inggris mahasiswa baik keterampilan membaca (reading), menulis (writing), berbicara (speaking), dan mendengarkan (listening). Sajian perkuliahan dalam bahasa inggris memberi pengaruh terhadap kualitas perkuliahan. Gelaja tersebut teramati dimana mahasiswa cenderung kurang berani untuk mengemukakan pendapat atau memberi tanggapan terhadap stimulus yang diberikan dosen karena merasa canggung dengan kemampuannya menjelaskan konsep kimia dalam bahasa inggris. Fakta lain yang sering teramati adalah mahasiswa kadang kurang memahami penjelasan pada konsepkonsep tertentu bila tidak ditegaskan dalam bahasa Indonesia. Kecanggungan mahasiswa untuk memberikan tanggapan terhadap masalah yang disampaikan dosen terlihat misalnya “for main group elements, in going from top SEMNAS MIPA 2010
to the bottom of a group in the periodic table, the atomic radii of the atoms tend to increase”. Ketika dosen mengundang mahasiswa untuk memberi penjelasan tak seorangpun yang berani mengacungkan tangan. Namun setelah dipersilahkan untuk member penjelasan dalam bahasa Indonesia atau mixing (Indonesia-inggris) banyak yang mengajukan diri untuk memberi penjelasan. Kondisi seperti itu sangat sering terjadi pada awal-awal perkuliahan. Untuk merangsang kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan konsep-konsep kimia (kemampuan speaking), disajikan pembelajaran kooperatif TPS (Think Pair Share) sederhana. Think-pair-share adalah suatu strategi yang dirancang untuk menyediakan siswa "bahan pemikiran" dengan memberi topik, dan memberi peluang kepada siswa untuk merumuskan gagasan-gagasan dan berbagi dengan siswa lain (Lyman,1981). Model TPS (Think-Pair-Share) merupakan jenis metode pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur yang dimaksudkan sebagai alternatif pengganti terhadap struktur kelas tradisional. TPS memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu yang lebih untuk berpikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain. Dalam TPS, guru menantang dengan pertanyaan terbuka dan memberi siswa setengah sampai satu menit untuk memikirkan pertanyaan itu. Hal ini penting karena memberikan kesempatan KIM - 98
siswa untuk mulai merumuskan jawaban dengan mengambil informasi dari memori jangka panjang. Siswa kemudian berpasangan dengan satu anggota kelompok kolaboratif atau tetangga yang duduk di dekatnya dan mendiskusikan ide-ide mereka tentang pertanyaan selama beberapa menit. Fase-fase TPS diharapkan mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mengkomunikasikan konsep-konsep kimia kepada temannya dan akhirnya secara kelas. Kemampuan komunikasi (speaking) diharapkan member kontribusi terhadap kemampuan writing atau kemampuankemampuan berbajhasa inggris lainnya. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut apakah penerapan pembelajaran kooperatif TPS mampu meningkatkan kemampuan berbicara (speaking) mahasiswa dalam mengkomunikasikan konsep-konsep kimia. METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini adalah mahasiswa peserta perkuliahan Kimia Umum Semester ganjil tahun akademik 2009/2010 Jurusan Kimia FMIPA UM Malang. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) karena masalah yang diteliti bersumber dari masalah real yang ditemukan oleh dosen dalam proses perkuliahan. Rustam (2004) mengatakan bahwa guru dalam pembelajaran. Masalah tersebut dapat berupa masalah yang berhubungan dengan proses dan hasil belajar siswa yang tidak sesuai dengan harapan guru atau hal-hal lain yang berkaitan dengan perilaku mengajar guru dan perilaku belajar siswa. Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif.
jawaban terhadap masalah yang diajukan dosen sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Rencana Penyelesaian Mengacu pada masalah yang ditemukan dalam pembelajaran, disusun rencana yang akan ditempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perencanaan tersebut meliputi persiapan pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan pada tahap Think, selanjutnya pertanyaan-pertanyaan tersebut dipecahkan oleh mahasiswa dalam tahap pair dan share. Pelaksanaan dan (4) observasi Fase ini dilakukan dengan tahap-tahap TPS. Dosen memberikan permasalahan kepada mahasiswa, kemudian mahasiswa diberi waktu berpikir secara mandiri (think). Selanjutnya siswa mendiskusikan permasalahan tersebut dengan pasangannya (pair). Hasil diskusi bersama pasangannya maing-masing kemudian dipresentasikan di kelas (share). Ringkasan presentasi mahasiswa atas permasalahan yang diberikan disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Ringkasan presentasi mahasiswa atas permasalahan yang diberikan pada siklus I
1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I (Periodic Properties: Trend of Ionic Radii, Ionization Energy, Electron Affinity, Electronegativity, Metallic Character)
Jawaban yang mahasiswa hasil Think-PairShare Because gas Ionization energy is atoms is free energy required to motion remove an electron from Because atoms a ground state atom (or in gas state is ion) in the gaseous state. far each other Why is the term Because Gases “gaseous atom or ion” can compress specified in this and the shape definition? same with the container
Permasalahan No. diberikan
Temuan Masalah Masalah yang ditemui dalam perkuliahan kimia umum adalah rendahnya kualitas proses perkuliahan sebagai akibat kecangungan mahasiswa untuk mengemukakan pendapat dan memberikan SEMNAS MIPA 2010
KIM - 99
2.
Table 4. 2. Ionization energies of group 1A (1) and Group 2A (2) Elements, kJ/mol. Compare IE1 and IE2 values for the members of either group in table 4.2 !
3.
Based on table 4.2 we know that, the second ionization energy, IE2, is more than three times than the first. Why?
In a group, from top to bottom the first ionization energy and second ionization energy is decrease In a group, from top to bottom Ionization energy is decrease because the atomic number and atomic radii is increase
Mahasiswa kesulitan mempresentasik an jawabannya dengan full English. Mahasiswa menggunakan mixing EnglishIndonesia. Secara konseptual : mahasiswa membandingka n konfigurasi electron unsure netral dan konfigurasi ionnya. Li Li+ Be Be+
Refleksi Permasalahan point pertama, jawaban mahasiswa hasil tahap-tahap berpikir TPS yang paling mendekati secara konseptual adalah “Because atoms in gas state is far”. Jawaban yang diharapkan adalah “The gas particles act independently of one another; there are no attractive or repulsive forces (interaction) between particles”. Namun demikian, jawaban mahasiswa sudah mengarah kepada jawaban yang diinginkan, karena tidak adanya interaksi (gaya tarik dan gaya tolak) antara atom-atom gas SEMNAS MIPA 2010
disebabkan jarak antara atom-atom yang lebih renggang dibandingkan atom-atom dalam fasa cair dan padat, sehingga pengukuran energy ionisasi dilakukan dalam fasa gas. Ditinjau dari kemampuan mempresentasikan jawaban dari aspek ketepatan berbahasa inggris juga cukup baik. Misalnya untuk jawaban pertama “because atoms in gas state is far each other”. Jawaban yang diharapkan adalah “In a gas, the particles of matter are far apart and uniformly distributed throughout the container”. Demikian pula pada jawaban ketiga “Because Gases can compress and the shape same with the container”. Jawaban tersebut akan lebih baik jika setlah modals bentuk pasif ditambah be, dan kata kerja setelahnya bentuk lampau, “Gases can be compressed and have an have an indefinite shape and assume the shape of their container. Permasalahan point kedua, mahasiswa hanya mendeskripsikan konsep berdasarkan tabel tetapi belum menjelaskan konsep. Jawaban kedua “In a group, from top to bottom Ionization energy is decrease because the atomic number and atomic radii is increase” akan lebih simple jika dijawab “The Ionization energy in a group is tend to decrease with increasing atomic number”. Untuk mengundang mahasiswa agar memahami penyebab dari fakta yang teramati dari hasil eksperimen sebagimana disajikan dalam tabel 4.2, diberikan pertanyaan ketiga “Based on table 4.2 we know that, the second ionization energy, IE2, is more than three times than the first. Why?”. Ketika mahasiswa mempresentasikan permasalahan ini, mahasiswa menggunakan mixing Indonesiaenglish. Sebab untuk menjelaskan alasan konseptual permasalahan tersebut membutuhkan penjelasan yang cukup panjang sehingga mahasiswa kesulitan merangkainya dalam full English. Mahasiswa menjelaskan dari gambaran konfigurasi electron yang dituliskan, Li : 1s2 2s1 (energi ionisasi pertama) Be : 1s2 2s2 + 2 Li : 1s (energi ionisasi kedua) Be+ : 1s2 2s1 Selanjutnya mahasiswa menjelaskan bahwa dalam keadaan netral, Litium (Li) KIM - 100
memiliki 1electron pada orbital 2p yakni (2s1), sedangkan berilium (Be) memiliki 2 elektron pada orbital 2p yakni (2s2). Karena electron terluar keduanya berada pada kulit yang sama, maka yang paling berpengaruh adalah gaya tarik inti (proton) terhadap electron terluar atau lebih spesifik muatan inti efektif yang lebih berpengaruh. Banyaknya jumlah proton dalam inti atom Be menyebabkan energy yang dibutuhkan untuk melepaskan satu electron lebih besar dari pada pada Li. Namun ketika masingmasing sudah melepaskan satu eektron, electron terluar dari atom Li ada pada orbital s sedangkan electron terluar pada Be masih berada pada orbital 2p, akibatnya energy yang dibutuhkan untuk melepaskan satu electron pada Li menjadi jauh lebih besar. Siklus II (Molecular Geometry) Pada siklus II, keberanian mahasiswa dalam menjelaskan konsep-konsep kimia semakin baik. Contoh jawaban mahasiswa hasil Think-Pair-Share terhadap masalah yang diberikan disajikan berikut ini. Tabel 2. Ringkasan presentasi mahasiswa atas permasalahan yang diberikan pada siklus II No.
1.
2.
Permasalah an yang diberikan What is a chemical bond?
How does an ionic bond form?
bahasa Inggris. Hal ini disebabkan dorongan atau motivasi yang muncul sebagai hasil interaksi/ diskusi bersama pasangannya memberikan keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya. Miranda, Strategi pembelajaran kooperatif TPS+M secara signifikan lebih berpo-tensi meningkatkan kemampuan metakognitif dibanding strategi pembelajaran lainnya
DAFTAR PUSTAKA Miranda, Y. Pembelajaran Metakognitif Dalam Srategi Kooperatif Think-PairShare Dan Think-Pair-Share + Metakognitif Terhadap Kemampuan Metakognitif Siswa Pada Biologi di SMA Negeri Palangkaraya. http://www.ilmupendidikan.net/2010/ 03/16/pembelajaran-metakognitif.php. diakses 20 juni 2010 Rustam & Mundilarto. Penelitian Tindakan Kelas. Error! Hyperlink reference not valid.. diakses 15 maret 2009
Jawaban mahasiswa hasil Think-Pair-Share attractive force between two or more atoms together Ionic bonding results from electrostatic interactions among ions, which results from the net transfer of one or more electrons from one atom or group of atoms to another.
Efektivitas pembelajaran TPS dalam meningkatkan kemampuan berpikir telah banyak dibuktikan pada peneltian-penelitian sebelumnya. PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembejaran kooperatif tipe TPS mampu merangsang keberanian dan kemampuan mahasiswa SBI dalam menjelaskan konsep-konsep kimia dalam SEMNAS MIPA 2010
KIM - 101
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN MODALITAS BELAJAR SERTA KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL TERHADAP HASIL BELAJAR DAN HIGHER ORDER THINKING ABILITY SISWA KELAS XI IPA MAN SUMENEP Lina Arifah Fitriyah1), Srini Murtinah Iskandar2) dan I Wayan Dasna3) Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang 65145 Telp. (0341) 551-312 (psw. 315)/574-388, Telp./Fax. (0341) 551334 (langsung) Website: http://www.pasca.um.ac.id E-mail:
[email protected]),
[email protected])
Abstract The learning of chemistry covers learning process and product in which learning process is suggested in KTSP. The improving of learning quality which emphasizes on learning process can be done by giving students scientific experience. The scientific experience which is implemented in guided inquiry learning was expected to be able to improve the students’ higher order thinking ability. The trial result of the instruments showed that the content validity of instrument 93,6% and the reliability was 0,899. The data were analyzed by using two way ANOVA. The results showed that there was significant difference between learning outcome and HOT ability on students who were taught in guided inquiry and conventional method by looking at learning style and formal thinking ability. In addition, the result of combination hypothesis testing/interaction of learning outcome and HOT ability within teaching method, learning style, and formal thinking ability showed that (1) there was no significant difference between students’ learning outcomes which were taught in guided inquiry and conventional method by looking at learning style and formal thinking ability, (2) there was significant difference between HOT ability on students who were taught in guided inquiry and conventional method by looking at learning style and formal thinking ability. Keywords: learning style, formal thinking ability, guided inquiry, chemistry learning outcome, higher order thinking ability
PENDAHULUAN Pembelajaran kimia di SMA/MA saat ini masih lebih menekankan pada pemahaman konsep, belum menunjukkan upaya yang secara terencana dan terintegrasi untuk memberdayakan keterampilan berpikir siswa seperti yang tertuang dalam Standar Kompetensi Lulusan SMA/MA/SMA LB/Paket C untuk ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif secara mandiri (BSNP, 2006b). Oleh karena itu guru diharapkan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran mampu mengembangkan keterampilan berpikir siswa disamping pemahaman konsep. Sebagaian besar siswa SMA/MA selama ini beranggapan bahwa kimia merupakan pelajaran yang paling sulit bila SEMNAS MIPA 2010
dibandingkan dengan pelajaran IPA yang lainnya. Hal ini mengakibatkan penguasaan siswa terhadap kimia relatif rendah, ini bisa dilihat dari hasil belajar siswa. Hasil belajar kognitif siswa saat ini belum mengukur kemampuan berpikir siswa karena alat ujinya masih dominan C1 (mengingat) dan C2 (memahami). Kenyataan demikian menuntut setiap guru untuk mengupayakan agar dalam proses pembelajaran siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka dan berusaha agar pembelajaran kimia berjalan menarik tanpa mengurangi kebenaran ide-ide atau konsep kimia. Oleh karena itu dalam pembelajaran kimia perlu mengakomodasi aspek-aspek yang dapat melatih siswa berpikir/mengembangkan kemampuan berpikir. Hasil interview dari beberapa guru kimia pada hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) bahwasanya siswa yang KIM - 102
memperoleh nilai UAN kimia tertinggi belum tentu siswa tersebut mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini disebabkan soal UAN secara umum masih mengukur tingkat ingatan dan pemahaman serta instrumen tersebut tidak bisa mengukur kemampuan higher order thinking ability siswa, selain itu jenis soal yang diberikanpun dalam jumlah yang banyak banyak sehingga untuk menyelesaikan soal tersebut dibutuhkan smart solution dan cara cepat menjawab soal. Instrumen yang berbentuk non objektif yang dapat mendorong siswa untuk higher order thinking ability belum digunakan. Dalam hal ini, bukan berarti instrumen soal yang berbentuk objektif tidak baik dalam mengukur higher order thinking ability siswa. Seorang guru dapat mengukur kognitif siswa selain ada tes objektif juga ada tes non objektif atau dapat pula hanya tes objektif saja tetapi diperlukan penjabaran jawaban dengan menggunakan alasan menjawab jawaban tersebut. Pada dasarnya karakteristik konsep kimia bersifat mikroskopis. Dalam pembelajaran kimia kelas XI IPA SMA/MA ada salah satu materi kimia yang sebagian besar konsep kimianya bersifat mikroskopis yaitu materi laju reaksi, misalnya konsep tentang tumbukan antara pereaksi dan energi pengaktifan. Untuk memahaminya diperlukan kemampuan berpikir formal berdasarkan tingkat perkembangan intelektual Piaget. Mendukung pernyataan ini Ardhana (1983) menyatakan bahwa untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam (ilmu kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam) khususnya ditingkat SMA/MA/SMA LB/Paket C dibutuhkan kemampuan berpikir formal sebab tingkat keabstrakan ilmu pengetahuan alam semakin tinggi. Sering diabaikannya karakteristik siswa (khususnya kemampuan berpikir formal dan modalitas belajar) serta pendekatan pembelajaran kimia yang kurang tepat dianggap sebagai faktor kesulitan siswa MAN Sumenep dalam belajar kimia. Sehubungan dengan itu, untuk memahami kimia maka diperlukan kemampuan berpikir formal, modalitas SEMNAS MIPA 2010
belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Adapun pendekatan pembelajaran yang dapat mengakomodasi kemampuan berpikir formal, modalitas belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah inkuiri terbimbing. Pembelajaran ilmu kimia melalui inkuiri terbimbing diharapkan dapat memotivasi siswa belajar lebih aktif dan terarah dalam penyelidikan dan dapat mengorganisaikan pikirannya dalam usaha menemukan konsep yang dibimbing oleh guru dengan pertanyaan-pertanyaan. Menurut Depdiknas (2006) bahwasanya proses inkuiri bertujuan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta komunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Selain itu Renner (dalam Pavelich dan Abraham, 1977) berpendapat bahwa salah satu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa dalam menemukan konsep yaitu pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, maka kemampuan inkuiri siswa akan terus diasah sehingga siswa menjadi lebih mudah dalam memahami konsep. Penelitian ini selain menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada kelas eksperimen juga menggunakan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Model pembelajaran konvensional atau lebih dikenal dengan metode ceramah lebih disukai oleh siswa dengan modalitas auditorial. Siswa dengan modalitas auditorial mudah belajar dengan cara mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat (De Porter dan Hernacki, 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model pembelajaran konvensional tidak selamanya jelek jika digunakan dalam pembelajaran dan tidak harus ditinggalkan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwasanya pembelajaran kimia perlu mengakomodasi aspek-aspek yang dapat melatih siswa berpikir/mengembangkan kemampuan berpikirnya. Karena karakteristik konsep kimia maka diperlukan kemampuan berpikir formal, modalitas belajar dan KIM - 103
higher order thinking ability. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar kimia siswa dengan mengakomodasi aspek-aspek kemampuan berpikir formal, modalitas belajar dan higher order thinking ability pada siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional. METODE Penelitian dilaksanakan di MAN Sumenep pada bulan Nopember s.d Desember 2009 tahun ajaran 2009-2010. Sampel penelitian dipilih dengan teknik cluster random sampling terdiri atas 2 kelas yaitu kelas XI IPA 1 (41 siswa) sebagai kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan kelas XI IPA 3 (43 siswa) sebagai kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model konvensional. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperimen dengan desain faktorial 2 × 3 × 2. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel yaitu (1) variabel bebas yaitu model pembelajaran terdiri atas model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran konvensional; (2) variabel terikat yaitu hasil belajar siswa dan kemampuan HOT; (3) variabel moderator yaitu modalitas belajar dan kemampuan berpikir formal siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian yaitu tes Burney, angket modalitas belajar dan tes hasil belajar. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan program Statistical Package for Social Sciences versi 16.0 for windows pada taraf signifikan α = 0,05 dengan uji anova dua jalur. HASIL Data Jenis Modalitas dan Tingkat Perkembangan Intelektual Identifikasi modalitas belajar siswa digunakan untuk mengetahui cara belajar siswa. Dengan mengetahui modalitas belajar siswa maka siswa dapat SEMNAS MIPA 2010
dikelompokkan berdasarkan jenis cara belajar (learning style) yang dimiliki masing-masing siswa. Sedangkan, identifikasi tes Burney digunakan untuk pemetaan dalam menentukan tingkat perkembangan intelektual masing-masing siswa sehingga di akhir pembelajaran guru dapat menganalisis siswa dalam hal kemampuan higher order thinking. Data jenis modalitas belajar dan tingkat perkembangan intelektual siswa dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Jumlah Siswa berdasarkan Kelompok Modalitas dan Tingkat Perkembangan Intelektual Kelas Eksperimen Kontrol
Jenis Modalitas dan Tingkat Perkembangan Intelektual Siswa Visual Auditorial Kinestetik K T K T K T 3 14 2 11 3 8 7 9 2 13 5 7
Keterangan: K = konkrit T = transisi Data Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan tingkat perkembangan intelektual, berikut ini data hasil belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki masing-masing kelompok modalitas belajar yang tersaji dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Data Hasil Belajar Tingkat Berpiki r
Nilai Rata-rata Hasil Belajar Eksperimen
Kontrol
V
A
K
V
A
K
Konkrit
77,8 4
82,3 0
76,3 6
76,7 4
79,6 2
75,1 2
Transis i
81,5 6
85,0 3
82,8 2
80,9 9
82,2 1
81,8 5
Keterangan: V = visual A = auditorial K = kinestetik
KIM - 104
Tabel
Tingkat Berpikir
3. Data Kemampuan Tingkat Tinggi
Berpikir
HB = Hasil Belajar
Nilai Rata-rata Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Eksperimen
Kontrol
V
A
K
V
A
K
Konkrit
44,83
82,76
40,23
43,84
53,45
32,41
Transisi
55,17
77,12
64,66
62,45
62,07
55,66
Keterangan: V = visual A = auditorial K = kinestetik Data Pengujian Hipotesis Berikut ini diberikan uji hipotesis penelitian yang tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Data Uji Hipotesis HB Uji Hipotesis
Mod alitas
KBF
Mod alitas dan KBF
Fhit
Ftab
HO T
Sig.
Fhit
Ftab
Si g.
0,001
13,60 3
3,11 3
0,00 0
0,001
9,729
3,96 3
0,00 3
3,11 3
0,03 3
Modalitas Belajar terhadap HB dan HOT
8,37 7
Model Pembelajaran terhadap HB dan HOT
8,50 3
Model Pembelajaran dan Modalitas Belajar terhadap HB dan HOT
0,16 5
0,848
3,566
KBF terhadap HB dan HOT
42,4 14
0,000
19,08 8
Model Pembelajaran terhadap HB dan HOT
4,25 8
0,042
4,618
Model Pembelajaran dan KBF terhadap HB dan HOT
0,13 5
0,714
1,014
0,31 7
Modalitas Belajar dan KBF terhadap HB dan HOT
2,34 3
0,103
3,750
0,02 8
Model Pembelajaran dan Modalitas Belajar terhadap HB dan HOT
0,57 7
Model Pembelajaran dan KBF terhadap HB dan HOT
0,02 3
Model Pembelajaran, Modalitas Belajar dan KBF
0,01 7
3,11 3
3,96 3
3,12 3
3,96 3
0,03 5
3,12 3 0,00 7
0,564
5,260
3,97 3
0,880
1,283
3,97 3
0,26 1
3,12 3
0,984
0,480
3,12 3
0,62 1
Keterangan : KBF = Kemampuan Berpikir Formal, HOT = Higher Order Thinking Ability, SEMNAS MIPA 2010
0,00 0
Fhit > Ftab dan Sig. < 0,05 = H0 ditolak, artinya ada perbedaan secara signifikan Fhit < Ftab dan Sig. > 0,05 = H0 diterima, artinya tidak ada perbedaan secara signifikan
PEMBAHASAN Pengaruh Modalitas Belajar terhadap Hasil Belajar Pembelajaran kimia yang mengakomodasi aspek modalitas belajar pada siswa dapat meningkatkan hasil belajar. Vermunt dan Vermetten (2004) mengatakan bahwa siswa yang memiliki dan mereflesikan modalitas belajar (learning style) akan berprestasi lebih baik daripada tidak memperhatikan modalitas belajar. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dan kontrol dengan memperhatikan modalitas belajar. Pada dasarnya siswa yang satu berbeda dengan siswa lainnya dan kemampuan tiap anak dalam menguasai serta memahami suatu bahan pelajaran berbeda-beda pula. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006) bahwa siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara belajar dan hasil belajar. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran yaitu dengan memperhatikan modalitas belajar siswa dengan cara pengelompokan berdasarkan modalitas belajar. Hasil penelitian yang dilakukan Fitriyah (2007) menunjukkan bahwa identifikasi modalitas belajar menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Widayanti (2007) menyatakan bahwa hasil belajar kimia siswa dengan memperhatikan modalitas belajar menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan hasil belajar tanpa memperhatikan modalitas belajar. KIM - 105
Pengaruh Model Pembelajaran terhadap Hasil Belajar Pada kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing ternyata ada perbedaan hasil belajar. Hal ini disebabkan model inkuiri terbimbing lebih mengasah/memperhatikan kerja kelompok. Melalui inkuiri terbimbing yang terpadu dengan kegiatan laboratorium, siswa memiliki banyak kesempatan untuk memperoleh data secara langsung, menginterpretasi data, membuat hipotesis, menguji hipotesis tersebut serta mendiskusikannya untuk menarik suatu kesimpulan. Jadi model inkuiri terbimbing dapat mengakomodasi siswa berdasarkan modalitas belajar siswa (visual, auditorial dan kinestetik). Sedangkan pada kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model konvensional juga ada perbedaan hasil belajar. Apabila ditilik lebih lanjut mengenai hasil belajar siswa terhadap model pembelajaran yang digunakan pada kurikulum terdahulu (kurikulum 1984 dan kurikulum 1994), pada dasarnya model konvensional/ceramah tidak lebihnya termasuk dalam model pembelajaran yang monoton. Dengan kata lain, pada kurikulum terdahulu model pembelajaran konvensional diminimalisir, bahkan dihapuskan. Hal ini dilakukan karena mereka (pemerhati pendidikan) menganggap bahwa model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran tradisional yang kurang memaksimalkan hasil belajar siswa. Kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional ternyata mampu memberikan hasil belajar yang baik pula. Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran konvensional tidak selamanya buruk terhadap hasil belajar. Interaksi antara Model Pembelajaran dan Modalitas Belajar terhadap Hasil Belajar Tidak ada pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional SEMNAS MIPA 2010
dengan memperhatikan modalitas belajar terhadap hasil belajar karena pada awal proses pembelajaran yaitu pada saat penelitian dengan memperhatikan modalitas belajar yang dikenalkan pertama kali, siswa masih terbiasa dengan pembelajaran sebelumnya yaitu berkelompok secara heterogenitas dan model pembelajarannya pun standar pada metode ceramah secara monoton. Pada pertemuan selanjutnya siswa sudah mulai terbiasa dengan model pembelajaran yang inovatif dengan memperhatikan karakteristik siswa dengan cara berkumpul/berkelompok dengan komunitas belajarnya. Pengaruh Kemampuan Berpikir Formal terhadap Hasil Belajar Berdasarkan hasil uji hipotesis diketahui terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan berpikir konkrit dan transisi. Dengan demikian hasil ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa tingkat perkembangan intelektual merupakan salah satu karakteristik siswa yang akan mempengaruhi pencapaian hasil belajar (Zarotiadou dan Tsaparlis, 2000). Pengaruh Model Pembelajaran terhadap Hasil Belajar Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh model pembelajaran. Model pembelajaran yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan hasil belajar walaupun diberi perangkat pembelajaran, bahan pembelajaran, alat dan bahan praktikum serta alokasi waktu pembelajaran yang sama pula. Hasil belajar yang berbeda ini disebabkan adanya pemberian perlakuan terhadap subyek penelitian yang berbeda yaitu kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model konvensional. Perbandingan nilai rata-rata hasil belajar antara kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri KIM - 106
terbimbing dan kelas kontrol yang dibelajrkan dengan model konvensional maka nilai rata-rata siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing lebih unggul dibandingkan model konvensional yaitu 82,12 untuk ratarata hasil belajar kelas eksperimen dan 80,06 untuk rata-rata hasil belajar kelas kontrol. Faktor penyebab hasil belajar pada kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas kontrol adalah model inkuiri terbimbing menfasilitasi siswa dengan melakukan kegiatan ilmiah dan dalam proses pembelajaran siswa diarahkan untuk melakukan diskusi dengan sesama siswa dan bisa pula diskusi dengan guru. Sedangkan model konvensional tidak menfasilitasi siswa untuk belajar dengan melakukan kegiatan ilmiah dan kegiatan diskusi pada model konvensional dibangun saat kegiatan diskusi data dan penyimpulan.
formal siswa tetapi perangkat pembelajaran berdasarkan modalitas belajar siswa. Tes Burney yang diberikan kepada siswa hanya sebagai pemetaan dan identifikasi awal untuk mengetahui tingkat perkembangan intelektual siswa kelas XI IPA MAN Sumenep.
Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Hasil Belajar Berdasarkan hasil tes Burney bahwa kelas XI IPA MAN Sumenep yang umumnya telah berumur 15 tahun ke atas, belum mencapai tingkat kemampuan berpikir formal. Siswa hanya memiliki kemampuan berpikir konkrit dan transisi. Menurut Piaget (1975) bahwa siswa yang berusia 15 tahun ke atas seharusnya telah memiliki kemampuan berpikir formal. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardhana (1983), MacKinnon (2004), Rosadi (2006) dan Winarti (1998). Tidak adanya pengaruh/ interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional berdasarkan kemampuan berpikir siswa yaitu kemampuan konkrit dan transisi terhadap hasil belajar karena selama proses pembelajaran perangkat pembelajaran (RPP, LKS, dan instrumen penilaian) yang digunakan tidak berdasarkan pada kemampuan berpikir
Interaksi antara Model Pembelajaran dan Modalitas Belajar terhadap Hasil Belajar Tidak ada pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar terhadap hasil belajar karena pada saat penelitian dengan memperhatikan modalitas belajar yang dikenalkan pertama kali, siswa masih terbiasa dengan pembelajaran sebelumnya yaitu berkelompok secara heterogenitas dan model pembelajarannya pun standar pada metode ceramah secara monoton.
SEMNAS MIPA 2010
Interaksi antara Modalitas Belajar dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Hasil Belajar Tidak adanya pengaruh/ interaksi antara pengelompokan berdasarkan modalitas belajar dan kemampuan berpikir siswa (konkrit dan transisi) terhadap hasil belajar karena selama proses pembelajaran guru hanya memperhatikan pengelompokan siswa berdasarkan modalitas belajar yaitu kelompok visual, auditorial dan kinestetik sedangkan tingkat kemampuan berpikir formal siswa tidak diperhatikan tetapi hanya mengetahui hasil skor tes Burney siswa.
Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Hasil Belajar Tidak adanya pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional berdasarkan kemampuan berpikir siswa yaitu kemampuan konkrit dan transisi terhadap hasil belajar disebabkan beberapa faktor yaitu: KIM - 107
1)
2)
Kemampuan berpikir konkrit dan transisi tidak berbeda secara ekstrim. Kedua kemampuan berpikir tersebut sama-sama belum mencapai kemampuan berpikir formal. Pembelajaran kimia umumnya abstrak dan untuk dapat memahami pengetahuan kimia dibutuhkan kemampuan berpikir formal. Namun siswa yang memiliki kemampuan berpikir konkrit dan transisi belum memiliki kemampuan berpikir formal (Yuliati, 2009).
Dengan demikian untuk dapat memperoleh hasil belajar kimia dibutuhkan kemampuan berpikir formal (tidak hanya sebatas kemampuan berpikir konkrit dan transisi). MacKinnon (2004) menyatakan bahwa siswa yang belum memiliki kemampuan berpikir formal (baru mencapai tahap operasional konkrit dan transisi dari konkrit ke formal) akan memiliki kesulitan untuk memahami pembelajaran kimia yang abstrak. Selain itu, salah satu faktor penyebab tidak adanya pengaruh pengelompokan siswa berdasarkan modalitas belajar yang telah maupun belum mencapai tingkat kemampuan berpikir formal terhadap hasil belajar kimia adalah 1) Siswa yang berada pada tingkat kemampuan berpikir konkrit dan transisi membutuhkan waktu agar bisa mencapai kemampuan berpikir formal 2) Tes Burney standar yang digunakan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan pengetahuan fisika. Yuliati (2009) mengatakan bahwasanya untuk mengukur pengaruh kemampuan berpikir pada hasil belajar kimia sebaiknya butir-butir tes Burney dibangun berlandaskan pengetahuan kimia sehingga benar-benar dapat mengukur pengaruh tingkat perkembangan intelektual terhadap hasil belajar kimia. Interaksi antara Model Pembelajaran, Modalitas Belajar, dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Hasil Belajar Tidak ada pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model SEMNAS MIPA 2010
inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar dan kemapuan berpikir siswa (konkrit dan transisi) terhadap hasil belajar karena perlakuan yang diberikan hanya pada model pembelajaran dan modalitas belajar yang berbeda. Hal ini memberi dampak pada perkembangan intelektual siswa. Pengaruh Modalitas Belajar terhadap Kemampuan HOT Cara siswa belajar atau yang lebih dikenal dengan modalitas belajar (learning style) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran dan berdampak pada prestasi akademik siswa di sekolah (Tubic, 2005). Menurut Keefe (1987) (dalam Tubic, 2005) menyatakan bahwa: learning styles are cognitive, affective and physiological personality traits, which represent a relatively permanent indicator of how learners perceive and how they deal with the environment, which serves as a source of knowledge. Definisi tersebut mengasumsikan bahwa modalitas belajar merupakan ciri kognitif, afektif dan kepribadian psikologis yang melambangkan indikator permanen yang relatif dari bagaimana siswa itu merasakan dan berhubungan dengan lingkungannya yang digunakan sebagai sumber pengetahuan. Mengetahui modalitas belajar siswa, guru dapat membangun diskusi dalam suasana menyenangkan. Dengan demikian mengetahui pendekatan yang digunakan siswa dalam pembelajaran maka guru bisa merancang pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi individu (Gibbs, 2007). Adanya pembelajaran kimia yang berdasarkan pengelompokan modalitas dan kemampuan tingkat intelektual yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran akan meningkatkan proses dan hasil belajar. Menurut Tubic dan Hamiloglu (2005) bahwasanya penerapan modalitas belajar (learning style) yang sesuai akan meningkatkan proses pembelajaran, bahkan ditegaskan pula KIM - 108
olehnya jika ada kesesuaian antara model pembelajaran dengan modalitas belajar (learning style) maka tercipta suasana belajar produktif di dalam kelas. Berdasarkan paparan di atas bahwasanya pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan memperhatikan modalitas belajar menghasilkan perbedaan kemampuan HOT secara signifikan. Dengan demikian pengelompokan siswa berdasarkan modalitas belajar berpengaruh tinggi terhadap kemampuan HOT siswa sehingga perlu diperhatikan pengelompokan siswa berdasarkan modalitas belajar untuk menunjang keberhasilan belajar kimia. Pengaruh Model Pembelajaran terhadap Kemampuan HOT Pada kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan model konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar bukan hanya ada perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar tetapi ada pula perbedaan terhadap kemampuan HOT. Bila dibandingkan nilai rata-rata kemampuan HOT pada siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan model konvensional maka nilai rata-rata kemampuan HOT siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing mempunyai nilai rata-rata kemampuan HOT lebih unggul yaitu 62,40 daripada siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional yaitu 54,28. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model inkuiri terbimbing selain dapat mengakomodasi siswa berdasarkan modalitas belajar juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa yaitu kemampuan tingkat tinggi dan kemampuan berpikir formal. Menurut Dimyati (2006) tujuan utama pendekatan inkuri yaitu mengembangkan kemampuan intelektual, berpikir kritis, dan kemampuan dalam memecahkan masalah secara ilmiah. Interaksi antara Model Pembelajaran SEMNAS MIPA 2010
dan Modalitas Belajar terhadap Kemampuan HOT Kemampuan HOT siswa dalam penelitian ini diketahui dari rata-rata skor hasil analisis jawaban tes UH selama pembelajaran. Tes UH yang terdiri 25 soal dengan tipe soal yang disesuaikan dengan tingkat kognitif C4-C6. Menurut Wardani (2006) bahwa tingkatan kognitif C4, C5, dan C6 merupakan kategori kemampuan higher order thinking. Hal ini disebabkan pada 3 tingkatan kognitif (C4-C6) tersebut diperlukan suatu kemampuan untuk menjelaskan suatu sebab akibat, membuktikan suatu konsep, menyusun dan memutuskan suatu pemecahan masalah yang membutuhkan kemampuan HOT. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Susilo (2004) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran konstruktivistik guru dituntut untuk menggunakan pertanyaan yang baik, baik tingkat rendah maupun tingkat tinggi. Pertanyaan yang diajukan oleh guru harus digunakan dengan tepat, karena melalui pertanyaan siswa dapat terlatih untuk kemampuan HOT. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Corebima (2007) yang menyatakan bahwa cara yang paling mudah untuk menantang pola pikir kemampuan HOT adalah dengan pertanyaan. Pertanyaan yang runtut dan terkait dengan kehidupan sehari-hari dapat membantu siswa untuk memahami konsep secara runtut dan membantu siswa untuk membentuk sendiri pengetahuannya. Hasil uji hipotesis menunjukkan ada pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar terhadap kemampuan HOT. Pengaruh Kemampuan Berpikir Formal terhadap kemampuan HOT Berdasarkan hasil uji hipotesis disimpulkan bahwa kemampuan HOT siswa yang mempunyai kemampuan berpikir konkrit dan transisi berbeda secara KIM - 109
signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mencapai kemampuan tingkat tingkat tinggi perlu memperhatikan kemampuan berpikir formal siswa dengan cara menggunakan pendekatan dan memperhatikan perbedaan faktor internal siswa. Pengaruh Model Pembelajaran terhadap kemampuan HOT Hasil uji hipotesis menyatakan bahwa pada kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model konvensional/ceramah dan kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing pada siswa dengan kemampuan konkrit dan transisi memberikan perbedaan signifikan yang lebih baik terhadap kemampuan HOT siswa. Hal ini juga dapat dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Winarni (2006) pada siswa kelas V SD di daerah Bengkulu yaitu terdapat perbedaan yang sigifikan pada sikap ilmiah antara kelompok yang diberi perlakuan menggunakan strategi inkuiri terbimbing dengan kelompok siswa yang diberi perlakuan menggunakan strategi ekspositori. Penggunaan strategi inkuiri terbimbing memberikan pengaruh lebih baik (rata-rata pencapaian sikap ilmiah sebesar 90,83) daripada strategi ekspositori (rata-rata pencapaian sikap ilmiah sebesar 88,04). Interaksi antara Kemampuan Berpikir Formal dan Model Pembelajaran terhadap Kemampuan HOT Seperti halnya pada perbedaan hasil belajar maka kemampuan HOT siswa juga tidak adanya pengaruh/ interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional berdasarkan kemampuan berpikir siswa yaitu kemampuan konkrit dan transisi terhadap kemampuan HOT karena selama proses pembelajaran perangkat pembelajaran (RPP, LKS, dan instrumen penilaian) yang digunakan tidak berdasarkan pada kemampuan berpikir formal siswa tetapi perangkat SEMNAS MIPA 2010
pembelajaran berdasarkan modalitas belajar siswa. Tes Burney yang diberikan kepada siswa hanya sebagai pemetaan dan identifikasi awal untuk mengetahui tingkat perkembangan intelektual siswa kelas XI IPA MAN Sumenep. Interaksi antara Modalitas Belajar dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Kemampuan HOT Adanya pengaruh/interaksi antara pengelompokan berdasarkan modalitas belajar dan kemampuan berpikir siswa (konkrit dan transisi) terhadap kemampuan HOT, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan memperhatikan modalitas belajar siswa dan kemampuan berpikir formal siswa maka akan memberikan hasil pada kemampuan HOT. Interaksi antara Model Pembelajaran dan Modalitas Belajar terhadap Kemampuan HOT Adanya pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar terhadap kemampuan HOT. Hal ini disebabkan siswa yang satu berbeda dengan siswa lainnya dan kemampuan tiap anak dalam menguasai serta memahami suatu bahan pelajaran berbeda-beda pula. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006) bahwa siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara belajar, hasil belajar dan kemampuan HOT. Oleh sebab itu, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran yaitu dengan memperhatikan gaya belajar siswa yang lebih dikenal dengan modalitas belajar (learning style).
Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Kemampuan HOT KIM - 110
Tidak ada pengaruh/interaksi antara siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional berdasarkan kemampuan berpikir siswa yaitu kemampuan konkrit dan transisi terhadap kemampuan HOT karena siswa MAN Sumenep belum mencapai tingkat berpikir formal kemungkinan adalah karena siswa dalam proses belajar kurang menerima stimulasi-stimulasi intelektual sewaktu mereka berada di sekolah menengah pertama dan pada waktu kelas X. Kurangnya stimulasi intelektual ini kemungkinan disebabkan dalam proses pembelajaran guru tidak sepenuhnya menggunakan pendekatan dan ataupun memperhatikan karakteristik perbedaan individual yang mendorong perkembangan kemampuan berpikir formal siswa. Pendekatan yang mampu mendorong kemampuan berpikir formal siswa yaitu pendekatan inkuiri terbimbing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Effendy (1995) dimana perkembangan intelek mahasiswa yang dibelajarkan dengan cara inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada perkembangan intelek mahasiswa yang diajar dengan pendekatan verifikasi. Menurut Winarti (1998), pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri terbimbing yang diintegrasikan ke dalam kegiatan laboratorium diyakini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir formal. PENUTUP Kesimpulan 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar kelas XI IPA MAN Sumenep pada materi laju reaksi. Rata-rata nilai hasil belajar siswa kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model konvensional yaitu 82,12 dan 80,06 SEMNAS MIPA 2010
(signifikansi 0,001 atau kurang dari 0,05 yaitu, Fhitung = 8,503 ≥ Ftabel = 3,963). Dengan demikian siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dengan memperhatikan modalitas belajar dapat meningkatkan hasil belajar. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan kemampuan berpikir formal kelas XI IPA MAN Sumenep pada materi laju reaksi (signifikansi 0,000 atau kurang dari 0,05, Fhitung = 42,414 ≥ Ftabel = 3,963). Siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran (model inkuiri terbimbing dan model konvensional) dengan memperhatikan kemampuan berpikir formal siswa dapat meningkatkan hasil belajar. 3. Tidak terdapat pengaruh gabungan/interaksi hasil belajar siswa antara model pembelajaran (model inkuiri terbimbing dan model konvensional), modalitas belajar dan kemampuan berpikir formal kelas XI IPA MAN Sumenep pada materi laju reaksi. Dapat dilihat dari nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0,984 dengan nilai Fhitung = 0,017 ≥ Ftabel (3,123). 4. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan higher order thinking siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar kelas XI IPA MAN Sumenep pada materi laju reaksi. Ratarata nilai kemampuan higher order thinking siswa kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model konvensional yaitu 62,40 dan 54,28 (signifikansi 0,033 atau kurang dari 0,05, Fhitung = 3,566 ≥ Ftabel = 3,113). Siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dengan memperhatikan modalitas belajar dapat
KIM - 111
meningkatkan kemampuan higher order thinking. 5. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan higher order thinking siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan kemampuan berpikir formal kelas XI IPA MAN Sumenep pada materi laju reaksi (signifikansi 0,000 atau kurang dari 0,05, Fhitung = 19,088 ≥ Ftabel = 3,963). Siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran (model inkuiri terbimbing dan model konvensional) dengan memperhatikan kemampuan berpikir formal siswa dapat meningkatkan kemampuan higher order thinking. 6. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan higher order thinking siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing dan konvensional dengan memperhatikan modalitas belajar dan kemampuan berpikir formal kelas XI IPA MAN Sumenep pada materi laju reaksi (signifikansi 0,028 atau kurang dari 0,05, Fhitung = 3,750 ≥ Ftabel = 3,123). Siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran (model inkuiri terbimbing dan model konvensional) dengan memperhatikan modalitas belajar dan kemampuan berpikir formal siswa dapat meningkatkan kemampuan higher order thinking.
Saran 1.
Saran untuk Pemanfaatan dalam Pembelajaran a. Hendaknya pada setiap permulaan tahun ajaran dilakukan pengukuran terhadap perkembangan intelektual siswa baru. Dengan mengetahui perkembangan intelektual siswa tersebut maka dapat dipilih cara pembelajaran yang tepat. b. Modalitas belajar pada dasarnya mempengaruhi hasil belajar.
SEMNAS MIPA 2010
2.
Disarankan kepada para pembelajar atau guru untuk membantu siswa dalam mengetahui modalitas belajar dan memberikan pengarahan tentang cara belajar yang sesuai dengan modalitas belajar masingmasing untuk meningkatkan prestasi belajar. c. Dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai hasil belajar kimia, disarankan kepada para pembelajar atau guru untuk menggunakan model inkuiri terbimbing dilengkapi dengan perangkat pembelajaran yang dapat menfaktualkan pengetahuan kimia yang sifatnya abstrak dan direncanakan dengan baik. Hal ini dikarenakan model inkuiri merupakan model pembelajaran yang paling sesuai untuk mengakomodasi ketiga modalitas belajar (visual, auditorial dan kinestetik) sehingga siswa dapat melaksanakan eksplorasi dalam gaya-gaya belajar yang paling nyaman untuk diri mereka sendiri. d. Bagi pembelajar atau guru MA/SMA/sederajat yang akan mengimplementasikan model pembelajaran inkuiri dengan pembentukan kelompok berdasarkan modalitas belajar sebaiknya memahami tahap-tahap pembelajaran ini. Saran untuk Penelitian Lebih Lanjut a. Penelitian ini memiliki keterbatasan diantaranya: (1) pokok bahasan yang diteliti adalah laju reaksi. Untuk itu perlu dipikirkan penelitian pada pokok bahasan kimia yang lain; (2) dibutuhkan observer/pengamat untuk membantu peneliti dalam pembelajaran karena sampel yang digunakan dalam penelitian banyak yaitu sekitar 41-43 siswa sehingga dibutuhkan tenaga ekstra dalam mengkondisikan kelas. b. Perangkat pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini hanya terbatas pada RPP, LKS dan tes KIM - 112
kognitif (UH) yang disesuaikan dengan modalitas belajar siswa. Untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran perlu dikembangkan bahan ajar dalam bentuk CD yang disesuaikan dengan modalitas belajar yaitu visual, auditorial dan kinestetik. DAFTAR RUJUKAN Ardhana, I. W. 1983. Kesanggupan Berpikir Formal ala Piaget dan Kemajuan Belajar di Sekolah. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Corebima, A. D. 2007. Pembelajaran Biologi yang Memberdayakan Kemampuan Berpikir Siswa. Makalah disampaikan pada Pelatihan Guru Biologi Se-Kota Malang. Tidak diterbitkan. Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. Dikti. DePorter, B. dan Hernacki, M. 1992. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan oleh Alwiyah Abdurrahman. 2003. Bandung: Kaifa. Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Sekolah Menengah Atas dan Madarasah Aliyah. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang. Effendy. 1985. Pengaruh Pengajaran Ilmu Kimia dengan Cara Inkuiri Terbimbing dan dengan Cara Verifikasi Terhadap Perkembangan Intelek dan Prestasi Belajar Mahasiswa IKIP Jurusan Pendidikan Kimia Tahun Pertama. Tesis tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta. Fitriyah, L. A. 2007. Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI dan Kegiatan Remidi dengan Memperhatikan Modalitas Belajar Siswa Kelas X SMA Laboratorium UM pada Pokok Bahasan Tata Nama Senyawa dan Persamaan Reaksi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia Universitas Negeri Malang. Gibbs, W. J. 2007. Computer-MediatedCommunicatons, Learning Style, and Visualizing
SEMNAS MIPA 2010
Online Educational Conversations. Journal of Computing in Higher Education. 18(2): 42-43. MacKinnon, G.R. 2004. Why Models Sometimes Fail: Eight Suggestions to Improve Science Instruction. Journal of College Science Teacher. 32 (7): 430-435.
Pavelich, .J., & Abraham, M.R. 1977. Guided Inquiry Laboratories for General Chemistry Student. Journal of Chemical Education, 7(1): 23-26. Piaget, J. 1975. The Child and Reality. New York: Penguin Books. Rosadi, F. 2006. Pengaruh Pembelajaran Ilmu Kimia Dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing Terhadap Prestasi Belajar Kimia Siswa SMAN 1 Kutorejo Mojokerto Tahun Pelajaran 2005/2006. Tesis tidak Diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Susilo, H. 2007. Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Assesment dalam Strategi Kooperatif. Makalah Pelatihan Guru Biologi SMA Se-Kota Malang. Tidak diterbitkan. Tubi´c, T., & Hamilo˘glu, K. 2009. Linking Learning Styles and Teaching Styles. Chapter 9 : 133-143. Serbia: Faculty of Education, University of Novi Sad, Novi Sad. Vermunt, J. D., and Vermetten, Y. J. 2004. Patterns in Student Learning: Relationships Between Learning Strategies, Conceptions of Learning, and Learning Orientations. Educational Psychology Review. 16(4): 376-378. Wardani, I. G. A. K. 2006. Berpikir Kritis dan Kreatif Terapannya dalam Pembelajaran. Jurnal Sekolah Dasar, (2): 101-116. Widayanti, F. D. 2007. Penerapan Kooperatif Model Jigsaw dan Kegiatan Remidi dengan Memperhatikan Modalitas Belajar Siswa Kelas X SMA Laboratorium UM pada Pokok Bahasan Ikatan Kimia. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia Universitas Negeri Malang. Winarni, E. W. 2006. Pengaruh Strategi Pembelajaran terhadap Pemahaman Konsep IPA Biologi, Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dan Sikap Ilmiah Siswa Kelas V SD dengan Tingkat Kemampuan Akademik Berbeda di Kota Bengkulu. Disertasi. Tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
KIM - 113
Winarti, A. 1998. Analisis Pemahaman Konsep Asam Basa melalui Penggambaran Mikroskopis dan Hubungannya dengan Kemampuan Berpikir Formal Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia FKIP UNLAM Banjarmasin. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Yuliati, D. 2009. Pengaruh Strategi Pembelajaran Praktikum (Diskoveri Terbimbing dan Konvensional) terhadap Hasil Belajar Kimia Pebelajar Kelas X SMA dengan Tingkat Perkembangan Intelektual Berbeda. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Zarotiadou, E., and Tsaparlis, G. 2000. Teaching Lower-Secondary Chemistry with a Piagetian Constructivist and an Ausbelian Meaningful-Receptive Method: A Longitudinal Comparison. Chemistry Education Research and Practice in Europe. 1 (1): 37-50.
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 114
MENINGKATKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Oktavia Sulistina 1), Novita Resti Suprobowati2), Ida Bagus Suryadharma3)
Jurusan Kimia FMIPA UM Jalan Semarang No. 05 Malang 0341-567382 e-mail:
[email protected])
Abstrak Pembelajaran inkuiri terbimbing memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri, berpikir logis, kritis, dan rasional, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendiskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa yang yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran konvensional. Penelitian dilakukan di MAN Tlogo Blitar, dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XI IPA1 (34 siswa, dibelajarkan dengan konvensional) dan kelas XI IPA2 (35 siswa, dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing). Mata pelajaran yang diteliti adalah Kimia pada topik materi Koloid. Instrumen yang digunakan untuk mengambil data adalah tugas individu dan soal pilihan ganda dan soal uraian dengan tipe soal C2 – C6, dengan kriteria valid dan reliabel. Siswa yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing memiliki kemampuan berpikir kritis (mengenali masalah, menilai informasi yang relevan, memecahkan masalah atau menarik kesimpulan, dan kemampuan menjawab tipe soal C2C6) yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan konvensional. Kata kunci: kimia, inkuiri terbimbing, berpikir kritis
Pendahuluan Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir yang sangat esensial bagi kehidupan, dengan memiliki kemampuan berpikir kritis maka manusia akan selalu tanggap terhadap permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya, kemudian segera dianalisis dan dicari alternatif pemecahannya. Tujuan dari berpikir kritis adalah agar dapat menjauhkan seseorang dari keputusan yang keliru dan tergesa-gesa sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu pengembangan kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik juga menjadi tujuan dari pendidikan nasional. Salah satu tujuan pembelajaran kimia menurut kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) Kimia tahun 2006 adalah memupuk sikap ilmiah ilmiah siswa yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain. Tujuan tersebut dapat tercapai jika pembelajaran yang dilakukan guru berbasis kompetensi, yaitu pembelajaran SEMNAS MIPA 2010
yang berorientasi pada pencapaian kompetensi peserta didik dengan hasil akhir pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Salah satu prinsip pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi (DPSM, 2008). Pembelajaran inkuiri merupakan salah satu pembelajaran yang berprinsip kompetensi. Dalam pembelajaran ini siswa dipandang sebagai pribadi yang unik yang memiliki beragam potensi untuk dikembangkan melalui situasi pemecahan masalah, sehingga guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, motivator, dan narasumber. Pembelajaran inkuiri dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: mendefinisikan dan menyelidiki masalah-masalah, merumuskan hipotesis, KIM - 115
merancang eksperimen, menemukan data, dan menggambarkan kesimpulan masalahmasalah (Sund & Trowbridge (1973); Gulo (2002); Sanjaya (2006)). Secara umum terdapat dua model pembelajaran inkuiri, yaitu inkuiri terbuka dan inkuiri terbimbing. Menurut Sulistina (2009) perbedaan mendasar kedua model tersebut adalah pada besarnya peranan guru dan siswa dalam pembelajaran. Pada model pembelajaran inkuiri terbuka, guru lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator, dan siswa dikondisikan untuk mandiri dalam perumusan masalah, perancangan prosedur percobaan dan dalam hal evaluasi hipotesis. Sedangkan pada model inkuiri terbimbing, peranan guru dalam pemerolehan konsep siswa cukup besar yaitu guru memberikan atau menentukan masalah yang akan dipelajari oleh siswa, merancang prosedur percobaan, dan membimbing siswa untuk memperoleh kesimpulan/pengetahuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penuntun sehingga siswa dapat menganalisis data dan mengevaluasi hipotesis mereka. Pemilihan model pembelajaran inkuiri harus didasarkan atas karakteristik peserta didik, agar perolehan hasil pembelajaran optimal. Hasil penelitian Sulistina (2009) menunjukkan bahwa inkuiri terbimbing lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa SMA Laboratorium Malang dibandingkan inkuiri terbuka. Hal ini disebabkan pembelajaran inkuiri terbuka merupakan kegiatan yang masih baru bagi siswa di sekolah yang diteliti, sehingga mungkin memberikan pengaruh terhadap kurang maksimalnya ketercapaian penggunaan metoda pembelajaran inkuiri terbuka dan pada akhirnya berimplikasi terhadap pencapaian hasil belajar kognitif siswa (Sulistina, dkk (2010). Bagi siswa berpikir kritis dapat berarti: (1) mencari keberadaan bukti terbaik dari subjek yang didiskusikan; (2) mengevaluasi kekuatan bukti untuk mendukung argumen yang berbeda; (3) menyimpulkan berdasarkan bukti-bukti yang telah didapatkan; (4) membangun SEMNAS MIPA 2010
penalaran yang bisa mengarahkan pendengar ke kesimpuan yang telah didasarkan pada bukti-bukti yang dipercaya; (5) memilih contoh yang terbaik dan relevan sehingga dapat menjelaskan makna argumen yang didapatkan; (6) menyediakan bukti-bukti yang mendukung argumen-argumen tersebut (Setiono, 2007). Wade (dalam Achmad, 2007) mengidentifikasi delapan karakteristik berpikir kritis yaitu: (1) kegiatan merumuskan masalah; (2) membatasi permasalahan; (3) menguji data-data; (4) menganalisis berbagai pendapat; (5) menghindari pertimbangan yang sangat emosional; (6) menghindari penyederhanaan yang berlebihan; (7) mempertimbangkan berbagai interpretasi; (8) mentoleransi ambiguitas. The Statewide History-social science Assesment Advisory Commitee (Costa dalam Wahidin, 2008) merumuskan tiga langkah berpikir kritis yaitu pengenalan masalah (defining/ clarifying problems), menilai informasi (judging informations), dan memecahkan masalah atau menarik kesimpulan (solving problems/ drawing conclusion). 12 keterampilan berpikir kritis yang dapat dikembangkan dari ketiga langkah tersebut adalah (1) Langkah mengenali masalah: mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok, membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan, memilih informasi yang relevan, merumuskan/ memformulasi masalah; (2) Langkah menilai informasi yang relevan: menyeleksi fakta, opini, dan hasil nalar, mengecek konsistensi, mengidentifikasi asumsi, mengenali kemungkinan faktor stereotip, mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, dan salah penafsiran kalimat, mengenali kemungkinan perbedaan orientasi nilai dan ideologi; dan (3) Langkah pemecahan masalah/ penarikan kesimpulan: mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data; meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan/ pemecahan masalah/kesimpulan yang diambil (Wahidin, 2008). Tahap - tahap model pembelajaran inkuiri terbimbing dipilih untuk diteliti dalam upaya mendeskripsikan pengaruhnya terhadap pengembangan kemampuan KIM - 116
berpikir kritis siswa MAN Tlogo Blitar berdasarkan karakteristik subyek penelitian, dan iklim pembelajaran di sekolah tersebut, yaitu pembelajaran lebih sering dilakukan dengan model konvensional. Tahap-tahap pembelajaran inkuiri terbimbing yang digunakan meliputi tahap memecahkan masalah, membuat hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan. Tahap-tahapan tersebut menunjukkan suatu proses untuk mengasah kemampuan berpikir kritis siswa. Kegiatan operasional dalam menggunakan kemampuan berpikir kritis meliputi kegiatan mengindentifikasi, membandingkan dan membedakan, membuat urutan, menganalisis, mensintesis, menilai, dan membuat kesimpulan. Maka penelitian kemampuan berpikir kritis siswa diukur melalui kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal tingkatan pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Selain itu, berpikir kritis siswa diukur melalui tugas yang diberikan untuk menganalisis suatu masalah yang pengukurannya berdasarkan 3 tahapan yaitu mengenali masalah, menilai informasi yang relevan, dan pemecahan masalah/ penarikan kesimpulan. Melalui tahapan-tahapan pembelajaran inkuiri terbimbing diharapkan kemampuan berpikir kritis siswa berkembang. Hofstein, et al (2005) siswa SMA yang dibelajarkan dengan inkuiri kemampuan mengajukan pertanyaan tingkat tinggi dan sikap ilmiah siswa lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional. Berdasarkan uraian tersebut diatas tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan apakah kemampuan berpikir kritis siswa MAN Tlogo Blitar yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional. Metode Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan tujuan untuk memaparkan kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan yang dibelajarkan dengan konvensional. Penelitian dilakukan pada tanggal 17 MeiSEMNAS MIPA 2010
01 Juni 2010 bertempat di MAN Tlogo Blitar, Jalan Raya Gaprang Blitar pada kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2. Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2009/2010 dengan lama penelitian 3 minggu (10 jam pelajaran). Subyek penelitian adalah siswa kelas XI IPA1 sebanyak 34 siswa (8 siswa laki-laki dan 26 siswa perempuan) yang dibelajarkan dengan konvensional, dan kelas XI IPA 2 sebanyak 35 siswa (5 siswa laki-laki dan 30 siswa perempuan) yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing. Instrumen yang digunakan untuk mengambil data adalah tugas individu dan soal pilihan ganda (valid, rhitung= 0,576) dan soal uraian (valid, rhitung= 0,499). Penilaian berpikir kritis melalui tugas individu didasarkan pada tiga tahapan yaitu (1) tahap mengenali masalah, (2) tahap menilai informasi yang relevan, (3) tahap memecahkan masalah/menarik kesimpulan. Soal tes pilihan ganda dan uraian digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menjawab tipe soal C2-C6. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan analisis deskriptif dianalisis dengan teknik persentase (tugas dan soal tes), dan uji t dua sampel (soal tes). Hasil dan Pembahasan Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kemampuan berpikir kritis siswa diukur dari kemampuan siswa dalam mengenali masalah, menilai informasi yang relevan, memecahkan masalah/ menarik kesimpulan terhadap tugas yang diberikan, dan ketuntasan mereka dalam mengerjakan soal-soal tes dengan tipe soal dari C2 – C6 untuk soal pilihan ganda dan soal uraian. Tugas yang diberikan berupa artikel yang berisi permasalahan yang terkait dengan fenomena kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan sifat-sifat koloid, siswa diminta untuk membuat sebuah analisis tentang bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi dan berlaku sifat koloid apa pada fenomena tersebut. Kemampuan siswa pada kelas konvensional dan inkuiri dalam tahap KIM - 117
mengenali masalah adalah sama-sama baik (100%), namun pada tahap selanjutnya menunjukkan perbedaan. Pada kelas inkuiri kemampuan siswa pada tahap menilai informasi yang relevan 24,2% lebih tinggi daripada kelas konvensional, dan 6,7% lebih tinggi kemampuannya dalam memecahkan masalah/menarik kesimpulan dibandingkan kelas konvensional. Sehingga berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas inkuiri terbimbing pada tahap menilai informasi yang relevan dan memecahkan masalah/menarik kesimpulan lebih baik dibandingkan kelas konvensional. Kemampuan berpikir kritis siswa akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam mengerjakan soal tipe C2 – C6 yang membutuhkan penalaran dan pemahaman yang lebih mendalam. Analisis uji t dua sampel menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pilihan ganda tipe C2-C6 tidak berbeda secara signifikan antara dua kelas yang diberi perlakuan berbeda (df 67; thitung= -5,017; ttabel= 1,996). Kemampuan baru berbeda secara signifikan ketika mengerjakan soal uraian tipe C2-C6 (df 67; thitung= 9,398; ttabel= 1,996) dimana kelas inkuiri persentase siswa yang menjawab benar soal uraian tipe C2-C6 lebih tinggi dibandingkan kelas konvensional. Secara lengkap data persentase mengerjakan soal pilihan ganda dan uraian secara benar disajikan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Grafik Kemampuan Siswa Kelas Konvensional ( ), Kelas Inkuiri Terbimbing ( ) dalam SEMNAS MIPA 2010
Mengerjakan Ganda
Soal
Pilihan
Gambar 2. Grafik Kemampuan Siswa Kelas Konvensional ( ), Kelas Inkuiri Terbimbing ( ) dalam Mengerjakan Soal Uraian Pembahasan Kemampuan berpikir kritis siswa diartikan sebagai kemampuan siswa dalam memecahkan soal/masalah secara kritis. Berdasarkan data hasil penilaian tugas dan soal tes (soal pilihan ganda dan uraian) siswa, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Perbedaan ini karena antusiasme dan semangat siswa di dua kelas tersebut berbeda dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Untuk siswa kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing cenderung lebih aktif dalam menanggapi masalah yang diberikan. Siswa juga menggunakan beberapa sumber pustaka yag berbeda-beda sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan lebih luas. Untuk kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional dalam mengerjakan tugas tidak memanfaatkan sumber pustaka lain dan hanya menggunakan hands-out yang disediakan oleh guru untuk mencari jawaban yang diberikan, sehingga pengetahuan mereka terbatas hanya pada isi buku tersebut. KIM - 118
Kemampuan siswa dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi, menilai informasi yang relevan, memecahkan masalah/merumuskan kesimpulan sebagai aspek kemampuan berpikir kritis yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini disebabkan oleh tahapan pembelajaran pada kedua kelas berbeda. Pada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing pembelajaran dilakukan melalui lima tahapan yaitu (1) pemberian masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis, (5) merumuskan kesimpulan. Peranan tahap-tahap pembelajaran inkuiri dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama perumusan masalah, kepada siswa diberikan stimulus berupa masalah supaya dapat memiliki kesadaran terhadap masalah, melihat pentingnya masalah dan pada akhirnya dapat merumuskan masalah. Masalah/ pertanyaan ini muncul akibat adanya dorongan rasa keingintahuan tentang suatu fenomena yang terjadi, yang merupakan kodrat manusia sejak ia lahir ke dunia. Sejak kecil hingga dewasa manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui inderanya dan keingintahuan tersebut terus berkembang secara terus-menerus dengan menggunakan otak dan pikirannya. Sehingga pengetahuan tersebut menjadi bermakna (meaningfull) karena didasari oleh keingintahuan. Tahap kedua merumuskan hipotasis, melalui tahap ini siswa mengembangkan kemampuan untuk merumuskan jawaban sementara (hipotesis) yang bersifat rasional dan logis atas permasalahan/ pertanyaan yang dikaji. Tahap ketiga , siswa harus mencari atau mengumpulkan bukti-bukti guna menyelesaikan masalah yang dikaji. tahap ini melibatkan kemampuan memilah, SEMNAS MIPA 2010
mencatat, mengendalikan variabel, mengobservasi, dan mencatat hasil temuan dengan sistematis. Tahap keempat menguji hipotesis, yaitu siswa harus dapat menganalisis data yang diperoleh untuk menguji hipotesis yang mereka ajukan. Dalam tahap ini, kemampuan berpikir rasional, kecakapan menelaah dan membahas data, serta kemampuan komunikasi siswa dengan cara ilmiah dikembangkan. Proses menelaah dan membahas data dapat meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep yang dipelajari siswa. Tahap ini membawa siswa ke dalam pemikiran atau keingintahuan yang lebih dalam tentang topik yang dipelajari dan menuntut ketrampilan berpikir kritis, rasional dan logis siswa dalam menjelaskan fenomena yang terjadi. Di mana pada kegiatan uji hipotesis ini siswa harus mencari literatur yang mendukung hasil analisis data mereka sehingga siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai kajian yang lebih dalam dari rumusan masalah awal dan pada akhirnya siswa akan semakin yakin dengan konsep-konsep yang mereka dapatkan sebagai hasil dari tahap kelima yaitu membuat kesimpulan. Konsep-konsep tersebut akan menjadi pengetahuan yang bermakna bagi siswa karena ditemukan sendiri oleh siswa, sehingga dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran inkuiri ini menekankan self construction pada diri siswa. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini didukung oleh Sanjaya (2006) tentang tujuan dari penggunaan model pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir sistematis, logis, dan kritis sebagai bagian dari proses mental. Dukungan yang sama juga diungkapkan oleh Gulo (2002), Hackett dalam Siringoringo (2004), Siringoringo (2004), Rifai (2006), Laurina (2007), dan Santoso (2007) yang menyatakan bahwa dengan pembelajaran KIM - 119
inkuiri kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa meningkat. Kesimpulan
Siswa Kelas XI.IA.1 SMA Negeri 1 Blitar. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan kemampuan siswa menjawab soal tes (pilihan ganda dan uraian) dan tugas. Soal pilihan ganda kurang tepat untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa, khususnya pada aspek penyelesaian masalah tipe C2-C6. Kemampuan mengerjakan tugas dan menjawab soal uraian kelas inkuiri terbimbing lebih baik, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dapat ditingkatkan dengan memberikan pengalaman belajar siswa melalui tahapantahapan pembelajaran yang merangsang kemampuan berpikir kritis siswa, sehingga siswa mampu mengenali masalah, menilai informasi yang relevan, memecahkan masalah/ menarik kesimpulan yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupannya.
Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Daftar Pustaka
Sulistina, O. 2009. Keefektifan Penggunaan Metoda Pembelajaran Inkuiri Terbuka dan Inkuiri Terbimbing dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran dan Hasil Belajar Kimia Siswa SMA Laboratorium Malang Kelas X. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM.
DPSMA. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Tatap Muka, Penugasan Terstruktur dan Tugas Mandiri Tidak Terstruktur. Jakarta: Depdiknas. Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo. Hofstein, A. Navon, O. Kipnis, M. & Naaman, R.M. 2005. Developing Students’ Ability to Ask More and Better Questions Resulting from Inquiry-Type Chemistry Laboratories. Journal of Research in Science Teaching. 42(7): 791-806. Laurina, D. 2007. Efektifitas Penerapan Model Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritits Siswa Kelas X SMAN Pademawu Pamekasan pada Materi Pokok Reaksi Oksidasi dan Reduksi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Santoso, H. 2007. Pengaruh Pembelajaran Inkuiri dan Strategi Kooperatif terhadap Hasil Belajar Kognitif, Kemampuan Berpikir Kritis, dan Kemampuan Kerjasama Siswa SMA Berkemampuan Atas dan Bawah di Kota Metro Lampung. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM. Achmad, A. 2007. Memahami Berpikir Kritis. (Online), (http://researchengines.com/1007arief3.html, diakses tanggal 05 Oktober 2009). Setiono, A. 2007. Berpikir Kritis. (Online), (Error! Hyperlink reference not valid., diakses tanggal 05 Oktober 2009). Siringoringo, M. 2004. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Inkuiri Vs Ekspositori Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif terhadap Hasil Belajar IPA pada Kelas 5 SD Negeri Menteng 6 Palangkaraya. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM. Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School 2ndEd. Ohio: A Bell & Howell Company.
Sulistina, O. Dasna, I.W., dan Iskandar, S.M. 2010. Penggunaan metode pembelajaran Inkuiri Terbuka dan Inkuiri Terbimbing dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas X SMA Laboratorium Malang. Jurnal Pendidikan & Pembelajaran: 17 (1): 82-88. Wahidin, D. 2008. Pengembangan Berpikir Kritis di Kalangan Mahasiswa. (Online), (http://didinuninus.blogspot.com/2008/03/berpikir-kritisdan-pengembangannya.html, diakses tanggal 24 Maret 2010).
Rifai, E.A. 2006. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Model Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis bagi
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 120
IbM KELOMPOK TANI TOMAT KECAMATAN PUJON MALANG
Darsono Sigit1), Evi Susanti1), Solichin2), Tjahyono3) 1)
2)
3)
Dosen Jurusan Kimia FMIPA UM, Dosen Jurusan Teknik FT UM, Staf Pemkab Malang
Abstrak Kelompok petani sayur tomat yang berada di Kecamatan Pujon selama ini merasakan adanya ketidak mampuannya menghadapi kenyataan produksi yang melimpah, tidak tertampung di pasar dan belum bisa mengolah lebih lanjut menjadi produk olahan. Tim IbM memberikan solosi kepada kelompok tani tomat di Pujon, bahwa limpahan produk/limbah tomat dengan pengadaan mesin: pemarut; fermentasi etanol (I), fermentasi asetat (II) dan biakan Saccharomyces cereviciaea (yeast); Acetobacter aceti, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan tomat dengan teknologi fermentasi menjadi minuman cuka tomat, dan saos tomat sebagai produk sampingannya. Kegiatan IbM ini dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara Tim IbM LPM UM dengan Kelompok Tani Tomat se Kecamatan Pujon, dengan ketua : Amin Afandi alamat Jl. Tawangsari 11 RT 6 RW 1 Desa Ngabab Kecamatan Pujon Kabupaten Malang; Telp.03417747159.E-mail:
[email protected], mulai 1 Februari s/d 30 Oktober 2010. Pelaksanaan program IbM yang dilaksanakan tim LPM UM, diperoleh hasil: 1) Pengadaan mesin pemarut tomat dengan kapasitas 100kg/jam; power listrik , motor listrik 1/4 PK. 2) Pengadaan mesin fermentasi etanol (I) kapasitas 75 Liter, pemanas LPG, termokontrol,power manual. 3) Pengadaan mesin fermentasi cuka tomat (II) kapasitas 75 Liter, pendingin air, power manual. 4) Setiap 50 kg buah tomat diperoleh 40 Liter cuka tomat. Analisa uji kwalitas cuka tomat yang dihasilkan, tingkat kaasaman (pH) 5,0 cuka tomat; likopen 0,056-0,068 gr/ 100 mL; vitamin C; 2,200-3,960 gr/ 100 mL; serat kasar 0,5600,587. gr/ 100 mL . 5) Setiap 50 kg buah tomat, diperoleh 10 ampas sisa penyaringan bubur tomat, dan dapat dibuat saos tomat seberat 12-15 kg. Kata kunci: tim IbM; tomat; cuka tomat; saos tomat
Pendahuluan Pada tahun 2008-2009 diperkirakan produksi tomat di Kecamatan Pujon lebih dari 8500 ton. Biasanya pada musim panenan tomat tahap akhir, masih tersisa 36 % tomat yang tidak sempat terpetik tertinggal di kebon, dikarenakan nilai jualnya tidak sesuai dengan ongkos petik. Sayur tomat yang tidak terjual karena busuk dan rusak sekitar 5-7% selanjutnya dibuang. Sisa tomat yang tidak terpetik di kebon sebesar 3—6, tahun 2008-2009 seberat 255—510 ton dan membusuk di kebun dijadikan pupuk. . Tomat yang bermutu rendah, tidak terjual/ afkir/membusuk sebesar 5—7%, tahun 2008—2009 seberat 425—595 ton dan terbuang sia-sia di pembuangan sampah sub terminal agribis Mantung Pujon. Kelompok petani sayur SEMNAS MIPA 2010
tomat yang berada di Kecamatan Pujon selama ini merasakan adanya ketidak mampuannya menghadapi kenyataan produksi yang melimpah, tidak tertampung di pasar dan belum bisa mengolah lebih lanjut menjadi produk olahan. Tim IbM memberikan solosi kepada kelompok tani tomat di Pujon, bahwa limpahan produk/ limbah tomat dengan pengadaan mesin : pemarut ; fermentasi etanol (I), fermentasi asetat (II) dan biakan Saccharomyces cereviciaea (yeast); Acetobacter aceti, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan tomat dengan teknologi fermentasi menjadi minuman cuka tomat, dan saos tomat sebagai produk sampingannya. Metode KIM - 121
Kegiatan IbM ini dilakukan pada Kelompok Tani Tomat se Kecamatan Pujon, dengan ketua : Amin Afandi alamat Jl. Tawangsari 11 RT 6 RW 1 Desa Ngabab Kecamatan Pujon Kabupaten Malang; Telp. 03417747159. E-mail:
[email protected], mulai 1 Februari s/d 30 Oktober 2010. Kesepakatan bersama antara kelompok tani tomat Pujon dan Tim IbM LPM UM menjadwalkan pelaksanaan kerja sebagai berikut : 1). Pengadaan mesin pemarut tomat. 2) .Pengadaan mesin fermentasi etanol (I). 3). Pengadaan mesin fermentasi cuka tomat (II). 4). Analisa uji kwalitas cuka tomat yang dihasilkan, tingkat keasaman (pH) cuka tomat; kandungan likopen; vitamin C; serat kasar . 5). Pembuatan saos tomat sebagai produk sampingan. Hasil
Telah dibuat mesin fermentor etanol (I) dengan spesifikasi : Bahan : Stainless Steel; Frame: Baja Siku 40x40; Dimensi : 100x50x50 cm; Capasitas : 75 Liter; Pemanas : LPG , Termokontrol; Power : Manual (3) Pengadaan mesin fermentasi cuka tomat (II)
Pelaksanaan IbM kelompok tani tomat Pujon yang dilaksanakan selama delapan bulan telah menghasilkan 5 kegiatan sebagai berikut : 1) Pengadaan mesin pemarut tomat
Telah terbuat mesin pemarut tomat dengan spesifikasi : Bahan : Stainless Steel; Frame: Baja Siku 40x40; Dimensi : 90x50x50 cm; Capasitas : 100kg/jam; Power : Listrik , Motor Listrik 1/4 PK
Telah dibuat mesin fermentasi cuka tomat (II) dengan spesifikasi : Bahan : Stainless Steel; Frame: Baja Siku 40x40; Dimensi : 100x50x50 Cm; Capasitas : 75 Liter; Pendingin : Air; Power: Manual. 4) Analisa uji kwalitas cuka tomat yang dihasilkan, kadar (%) : asam cuka; likopen; vitamin C; serat kasar.
2) Pengadaan mesin fermentasi etanol (I)
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 122
Setiap 50 kg tomat, setelah melalui fermentasi etanol dan fermentasi cuka , didapatkan sebanyak 40 Liter cuka tomat dengan pH 5,0. Uji laboraotorium kandungan: likopen, vitamin C, serat kasar pada “Minuman Cuka Tomat” produk Program IbM Kelompok Tani Pujon dihasilkan seperti pada tabel berikut: Tabel 1. Kandungan Likopen, Vitamin C, Serat Kasar pada “ Minuman Cuka Tomat” Komponen
Likopen (gram/100 mL) Vitamin C (gram/100 mL) Serat Kasar (gram/100 mL) pH cuka tomat (pH 0-14)
Tomat Baik Sebelu Sesuda m h Ferme Ferme ntasi ntasi
Tomat Buruk Sebelu Sesuda m h Ferme Ferme ntasi ntasi
0,067
0,056
0,070
0,068
7,128
3,960
4,570
2,200
0,473
0,587
0,452
0,560
5.0
5.0
5) Prosentase (% berat) saos tomat sebagai produk sampingan.
Setiap 50 kg tomat, didapatkan 10 kg ampas dari bubur tomat . Setiap 10 kg ampas bubur tomat sisa prasan sari tomat dapat dibuat saos tomat dengan menambahkan bahan-bahan : bawang putih (300 gram) ; bawang merah (300 gram); merica (100 gram) ; kayu manis (30 gram); gula (2 kg) ; cabe (100 gram) ; garam (500 gram) ; sodium benzoat (8 gram) ; asam sitrat (133 gram); pengental (pati) (330 gram) ; EDTA (6 gram) ; MSG (100 gram) ; CMC (8 gram) ; SEMNAS MIPA 2010
ar secukupnya. Perolehan saos tomat sebanyak 12 kg s/d 15 kg tergantung kepekatannya. Pembahasan 1. Pengadaan mesin pemarut tomat. Tahapan pembuatan etanol dan cuka dari tomat secara umum sebagai berikut; Pertama kali buah tomat apkir dicuci, ditiriskan,dihancurkan hingga membentuk bubur tomat dengan menggunakan mesin pemarut tomat,. Selanjutnya bubur tomat disaring, disterilisasi dengan cara pasteurisasi yaitu dipanaskan suhu 60-65oC selama 15 menit. 2. Pengadaan mesin fermentasi etanol (I). Sari tomat setelah dipanaskan, selanjutnya didinginkan, dimasukkan ke dalam fermetor I ,didamkan hingga agak dingin, ditambah biakan I yaitu Saccharomyces cereviciaea (yeast) sebanyak 4 Liter, difermentasi selama 2 hari , suhu 37oC disertai pegadukan sehari dua kali. Selanjutnya alkohol tomat dikeluarkan dari kran fermentor I ,dan disaring. 3. Pengadaan mesin fermentasi cuka tomat (II). Alkohol tomat hasil penyaringan dari fermentor I, dimasukkan kedalam fermentor II, ditambahkan biakan II yaitu bakteri golongan Acetobacter, sebanyak 4 Liter, difermentasi selama 7 hari, suhu 27—29oC, disertai pengadukan 2 kali sehari. Selanjutnya akan dihasilkan cuka tomat sebanyak 40 Liter. Setelah dikeluarkan dari fermentor II, cuka tomat dipanaskan dengan suhu 70 o C selama 10 menit. 4. Analisa uji kwalitas cuka tomat yang dihasilkan, tingkat keasaman (pH) cuka tomat; likopen; vitamin C; serat kasar . Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) pada saat segar memiliki komposisi diantaranya : Vitamin C, likopen dan serat kasar... Likopen dalam tomat telah diketahui bersifat antioksidan dengan aktivitas yang tinggi sehingga jika dikonsumsi secara rutin dapat mencegah terjadinya berbagai kanker (bersifat agen kemopreventif). Likopen yang terdapat dalam produk cuka dapat diserap tubuh KIM - 123
lebih banyak daripada likopen dalam tomat segar. Likopen termasuk jenis lipid, selama proses fermentasi senyawa ini dapat terlepas dari membran sel tomat sehingga kandungannya meningkat. 5. Prosentase (% berat) saos tomat sebagai produk sampingan. Bubur tomat dicampur dengan bawang putih, bawang merah, merica, kayu manis, garam, cabe, natrium benzoat.pengental. EDTA , MSG,CMC ditambah air secukupnya. Kemudian diaduk sampai rata. Setelah itu dimasak dan dibiarkan mendidih selama 20 menit dengan api kecil sambil diaduk-aduk. Setelah itu ditambahkan gula pasir. Pendidihan dilajutkan sambil diaduk selama 10 menit. Kemudian pengadukan dan pemanasan diterukan dengan api sangat kecil sekedar mempertahankan bahan tetap panas. Tambhkan asam sitrat dan aduk sampai merata. Pada setiap 50 kg tomat, diperoleh ampas sisa penyaringan seberat 10 kg ampas bubur tomat. Setiap 10 kg ampas saringan bubur tomat dapat dibuat saos tomat sebanyak 12 s/d 15 kg saos tomat.
mesin pemarut. Penggunaan bahan bakar LPG pada mesin fermentor I,II dapat digantikan dengan biogas. Penambahan asam sitrat pada pembuatan saos disarankan dilakukan pencampuran saos dalam keadaan dingin, agar tidak timbul rasa pahit. Daftar Pustaka Andayani, R. Lisawati, Y.maimunah,2008. Penenetuan Aktivitas Antiolisidan, Kadar Fenolat Totaf dan Kadat Likopen pada Buah Tomat (Solanum Lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi,(online), Vol. 13, No.1, (http://ffarmasi.unand. ac.id/pub /JSTF Feb2009%20_regina_.pdf). Kecamatan Pujon, 2009. Musyawarah Pembangunan Kecamatan Pujon : Malang : Kecamatan Pujon. Noname.2009. likopen dalam tomat, (online), (http://www.sinartani. com/ mimbar penyulu Mikopen-dalam-tomat-mencegahkankerprostat-dan-kanker-payudara-1238251300.htm). Pemkab Malang, 2008. Data Potensi Kecamatan Pujon Kabupaten Malang : Pemkab Malang
Kesimpulan dan saran Pelaksanaan program IbM yang dilaksanakan tim LPM UM , diperoleh hasil : 1). Pengadaan mesin pemarut tomat dengan kapasitas 100kg/jam; power listrik , motor listrik 1/4 PK. 2) Pengadaan mesin fermentasi etanol (I) kapasitas 75 Liter, pemanas LPG , termokontrol,power manual. 3). Pengadaan mesin fermentasi cuka tomat (II) kapasitas 75 Liter, pendingin air, power manual. 4). Setiap 50 kg buah tomat diperoleh 40 Liter cuka tomat. Analisa uji kwalitas cuka tomat yang dihasilkan, tingkat kaasaman (pH) 5,0 cuka tomat ; likopen 0,056--0,068 gr/ 100 mL; vitamin C; 2,200-- 3,960 gr/ 100 mL; serat kasar 0,560--0,587. gr/ 100 mL . 5). Setiap 50 kg buah tomat, diperoleh 10 ampas sisa penyaringan bubur tomat, dan dapat dibuat saos tomat seberat 12—15 kg. Disarankan, jika menginginkan ampas saringan tomat sedikit dan tidak diolah menjadi saos tomat, agar menggunakan mesin pelumat bumbu tidak menggunakan SEMNAS MIPA 2010
KIM - 124
STUDI PENGGUNAAN LC-5E BERBANTUAN MEDIA INCOMPLETE POWER POINT PRESENTATIONS UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KEAKTIFAN MAHASISWA DALAM MATA KULIAH KIMIA DASAR Herunata Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang
Abstract Berdasarkan hasil diskusi peneliti dengan observer pada matakuliah kimia dasar, dapat diungkap beberapa hal penting, dintaranya adalah belum maksimalnya hasil belajar mahasiswa dan kurangnya keaktifan mahasiswa. Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa perangkat perkuliahan yang disusun belum optimal karena hanya mengadopsi dari perangkat yang sudah ada. Lebih lanjut diketahui bahwa dosen cenderung untuk hanyut dengan ceramahnya sehingga perannya dalam proses perkuliahan menjadi sangat dominan. Latihan soal dilakukan sesuai sajian buku teks di mana dosen hanya memilih nomor-nomor tertentu. Dengan keadaan ini peneliti menduga telah terjadi pemahaman konsep dalam taraf verbal saja. Keadaan ini diperparah oleh pemakaian bahan ajar yang kurang optimal. Diperlukan pemecahan masalah ini maka digunakan Learning cycle 5 fase (LC-5E), suatu model pembelajaran yang tidak hanya memperhatikan produk (pemerolehan konsep) tetapi juga memperhatikan proses (cara memperoleh konsep dan keaktifan). Selain dengan penerapan LC-5E, upaya meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa yang bersumber dari materi dan penyebab terjadinya kesulitan pada mahasiswa perlu diperhatikan. Maka diperlukan model perkuliahan berbantuan bahan ajar incomplete power point presentations. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana penggunaan model perkuliahan learning cycle 5 fase (LC-5E) Berbantuan Media Incomplete Power Point Presentation dapat meningkatkan: (1) hasil belajar Kimia Dasar mahasiswa pendidikan Kimia offering A; (2) keaktifan belajar Kimia Dasar mahasiswa pendidikan Kimia offering A; Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Rancangan penelitian tindakan terdiri dari tahap perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflection) perkuliahan yang dilakukan dalam penelitian tindakan di kelas. Subyek penelitian adalah mahasiswa peserta matakuliah Kimia Dasar offering A angkatan 2009 jurusan kimia FMIPA UM. Lama penelitian selama 3 bulan. Instrumen penelitian berupa perangkat pembelajaran dan perangkat penilaian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkuliahan matakuliah Kimia Dasar dengan model perkuliahan LC-5E berbantuan media incomplete power point presentations menjadikan: (1) mahasiswa lebih mudah memahami suatu konsep, sehingga hasil belajar mahasiswa lebih baik; (2) mahasiswa lebih aktif baik dalam proses perkuliahan baik secara bersama dalam kelas, dalam kelompok maupun secara mandiri; kesan bahwa ilmu kimia abstrak dan rumit tergantikan kesan bahwa ilmu kimia mudah dipahami. Kata kunci: learning cycle , incomplete power point presentation, hasil belajar kimia, keaktifan
Selepas pembahasan dan tes pokok bahasan atoms, moleculs, and ions yang disajikan di offering A SBI Jurusan Kimia FMIPA UM pada tahun pelajaran 2009/2010 dilakukan evaluasi pelaksanaan perkuliahan yang telah dilakukan. Evaluasi ini dilakukan dalam kerangka evaluasi pelaksanaan Kurikulum PG-SBI Jurusan Kimia FMIPA UM untuk offering A SBI yang baru memulai melaksanakan kurikulum tersebut SEMNAS MIPA 2010
untuk pertama kalinya. Peneliti dan seorang dosen observer tim teaching di Jurusan Kimia FMIPA UM bertindak sebagai pembahas. Pembahasan diarahkan pada keterlaksanaan kurikulum berdasarkan pelaksanaan proses perkuliahan, perolehan hasil belajar mahasiswa, respon mahasiswa, perangkat perkuliahan, ketepatan model perkuliahan yang dipilih, dan perangkat penilaian yang relevan. KIM - 125
Beberapa hal yang relevan dengan topik pembahasan berhasil diungkap dari forum ini. Diantara hal tersebut yang dianggap penting adalah rendahnya hasil belajar mahasiswa dan rendahnya keaktifan mahasiswa. Pada pokok bahasan atoms, moleculs, and ions diperoleh nilai tertinggi 94, terendah 41, sebaran nilai terbanyak (50% modus) di kisaran 61-67, rata-rata 69,09 dan deviasi standar 13,40. Angkaangka statistik ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep atoms, moleculs, and ions yang dimiliki mahasiswa kurang merata, ada yang belum memahami dengan baik dan ada yang sudah. Dengan kata lain sebagian besar mahasiswa masih mengalami kesulitan memahami konsep atoms, moleculs, and ions. Dengan indikator keberhasilan belajar 70 (nilai B) untuk mata kuliah ini, maka hasil belajar mahasiswa ini memaksa sebagian besar mahasiswa untuk mengikuti remidi hingga mencapai standar keberhasilan. Hasil belajar mahasiswa juga berbanding lurus dengan respon belajar mahasiswa yang juga rendah. Respon mahasiswa dalam kaitan ini adalah keaktifan mahasiswa yang menjadi dasar penilaian afektif dan psikomotorik. Keaktifan mahasiswa berhubungan dengan kemauan mahasiswa untuk bertanya, menanggapi/mengapresiasi selama proses perkuliahan, menjawab pertanyaan baik lesan maupun tertulis di papan tulis, dan kemampuan berdiskusi. Dari kegiatan ini diperoleh nilai tertinggi 85,07, nilai terendah 65,41, dan rata-rata 71,24. Berdasarkan penilaian ini dapat diketahui bahwa rata-rata setiap mahasiswa dalam bertanya setiap pertemuan sebanyak 0-1 kali setiap pertemuan, mengapresiasi 0-1 kali setiap pertemuan, dan menjawab pertanyaan 1-2 kali setiap pertemuan. Berdasarkan permasalahan ini tim dosen mencoba menelusuri kekurangankekurangan yang terjadi dalam perkuliahan yang telah berlangsung. Diputuskan untuk meninjau perangkat perkuliahan yang telah disusun, perangkat penilaian, bahan ajar (buku teks), dan media alat bantu semacam work sheet. Perangkat perkuliahan dipilih untuk mengetahui ketepatan metode/pendekatan/model perkuliahan yang dipakai dalam proses perkuliahan termasuk SEMNAS MIPA 2010
urutan kegiatan mahasiswa dan dosen. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa perangkat perkuliahan yang disusun belum optimal karena hanya mengadopsi dari perangkat yang sudah ada. Hasil diskusi menunjukkan bahwa dosen cenderung untuk hanyut dengan ceramahnya sehingga perannya dalam proses perkuliahan menjadi sangat dominan. Latihan soal dilakukan sesuai sajian buku teks di mana dosen hanya memilih nomor-nomor tertentu. Dengan keadaan ini peneliti menduga telah terjadi pemahaman konsep dalam taraf verbal saja. Padahal dalam pokok bahasan atoms, moleculs, and ions banyak terdapat konsep mikrokopis, konsep makroskopis, dan mungkin perhitungan matematis yang tersaji secara integratif. Dalam arti konsep makroskopis sebagai jembatan memahami konsep mikroskopis atau sebaliknya kemudian kedua jenis pemahaman ini digunakan untuk mendukung perhitungan matematis. Dengan demikian telah terjadi ketidaktepatan pemilihan dan pelaksanaan perkuliahan berdasarkan metode/pendekatan/model perkuliahan oleh dosen. Keadaan ini diperparah oleh pemakaian bahan ajar/buku teks yang kurang optimal. Dengan kondisi sosial latar belakang sebagian besar mahasiswa yang berada pada tahap adaptasi di tahun pertama perkuliahan di mana penggunaan waktu belajar dan perkuliahan belum optimal maka sebagaian besar mahasiswa lebih memilih untuk hanya mengerjakan soal-soal work sheet apa adanya daripada membaca buku teks secara intensif. Bahkan ada yang hanya mencontek jawaban soal dari WORK SHEET teman lainnya. Dengan demikian peran buku teks yang relatif tebal, sulit memahami isi bacaannya, dan kurang to the point tidak menunjang pemerolehan konsep yang optimal. Selain pemerolehan konsep yang kurang optimal karena pemilihan metode/pendekatan/model perkuliahan oleh dosen yang kurang tepat, dan bahan ajar yang kurang optimal hal ini juga mengakibatkan atmosfer konduksif yang mendorong keaktifan mahasiswa tidak tercapai. Berdasarkan uraian dibagian akhir ini diperlukan perubahan orientasi belajar. KIM - 126
Perubahan orientasi yang dimaksud adalah dari perkuliahan berorientasi pada dosen (teacher-centered) menjadi perkuliahan berorientasi pada mahasiswa (student-centered). Dengan perubahan orientasi ini, mahasiswa tidak hanya mendengarkan penjelasan dosen tetapi kebutuhan dan minat belajar mahasiswa menjadi luas dan terbuka (Nasution,2003:119). Kebutuhan dan minat diartikan sebagai pentingnya mempelajari ilmu yang diajarkan dan pemerolehan ilmu dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun tanpa kendala ruang dan waktu. Karenanya kepada mahasiswa perlu diperkenalkan model perkuliahan yang relevan. Salah satu model perkuliahan yang tidak hanya memperhatikan produk (pemerolehan konsep) tetapi juga memperhatikan proses (cara memperoleh konsep dan keaktifan) adalah learning cycle (LC). Learning cycle menjadi pilihan karena didalamnya terkandung proses HOTS. HOTS (high order thinking skills) atau ketrampilan berpikir tinggat tinggi dapat dilatihkan dan dicapai oleh mahasiswa jika kepadanya diberikan kesempatan (Iskandar, 2004). Kesempatan yang ada berupa fase-fase belajar yang saling terkait. Fase-fase ini menjadi penting karena berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan konsep Piaget. Learning cycle 5 fase (LC-5E) merupakan salah satu pilihan dari beberapa varian learning cycle yang ada. LC-5E terdiri dari fase-fase: engagement atau invitation, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation atau extention. Fase-fase ini merupakan urutan cara pemerolehan konsep sains. Jadi konsep tidak disampaikan secara verbal begitu saja, seperti yang terjadi selama ini, tetapi mahasiswa betulbetul mendapatkan konsep tahap demi tahap. Selain dengan penerapan LC-5E, upaya meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa yang bersumber dari materi dan penyebab terjadinya kesulitan pada mahasiswa perlu diperhatikan. Diantaranya disebabkan karena karakteristik materi kimia yang spesifik. Sebagian besar materi perkuliahan kimia bersifat abstrak dan SEMNAS MIPA 2010
banyak melibatkan perhitungan matematika (Sastrawijaya, 1988:45) termasuk dalam materi atoms, moleculs, and ions. Sifat abstrak ini biasanya berhubungan dengan keadaan partikulat materi. Keadaan partikulat materi inilah yang disebut dengan sifat mikroskopis. Hal inilah yang antara lain menyebabkan kesulitan yang dialami oleh sebagian besar mahasiswa. Selain kesulitan tersebut, kesulitan juga bersumber dari ciriciri ilmu kimia yang lain, yaitu: (a) konsepkonsep kimia pada umumnya merupakan penyederhanaan dari keadaan yang sebenarnya, dan (b) konsep-konsep kimia berubah dan berkembang dengan cepat (Kean dan Middlecamp, 1985:5-7). Untuk menjembatani karakteristik materi kimia yang spesifik dan kompleks ini peneliti mengajukan incomplete power points presentation sebagai penyaji materi yang terorganisasi di samping work sheet lain yang sudah disediakan dosen pengampu. Pengorganisasian materi didasarkan hasil penelitian Garnett (1988), yang menyatakan terdapatnya lima permasalahan pokok yang menyebabkan kesulitan mahasiswa dalam mempelajari kimia, yaitu: (a) kurang cukupnya pengetahuan atau konsep prasyarat, (b) terjadinya penafsiran bahasa verbal yang salah, (c) penggunaan model dan definisi yang tidak sesuai, (d) kurangnya pemahaman konsep pokok, dan (e) kurangnya pemaparan aplikasi konsep (Garnett, 1990:148). Dengan demikian sistematika penyusunan bahan ajar pembantu yang disusun sesuai pemikiran Garnett dengan mempertimbangkan aspek (a) pengetahuan atau konsep prasyarat, (b) bahasa tidak verbal, (c) penggunaan gambar model dan definisi, (d) pemahaman konsep pokok, dan (e) pemaparan aplikasi konsep. Seluruh bahan ajar pembantu disusun oleh dosen berupa incomplete power point presentations dari buku-buku teks yang dipakai perkuliahan lengkap dengan konsepkonsep kunci dan visualisasi permodelan molekul dalam format microsoft power point. Sebagaian konsep kunci dan visualisasi dihilangkan oleh peneliti dan harus dicari oleh mahasiswa setelah membaca buku teks. Peneliti menyebut KIM - 127
bahan ajar ini dengan incomplete power point presentations. Bahan ajar ini digunakan sebagai sisipan worksheet pada model LC-5E perkuliahan ini. Dengan demikian, metode perkuliahan yang demikian secara lebih tepat disebut model perkuliahan LC-5E berbantuan bahan ajar incomplete power point presentations. Dengan pendekatan ini mahasiswa akan berusaha keras melengkapi bahan ajarnya dengan membaca dan memahami buku teksnya sehingga mahasiswa akan memperoleh pemahaman utuh bagaimana suatu konsep harus dipahami. Perumusan Masalah Berdasarkan masalah yang akan dicari penyelesaiannya dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah penggunaan model pembelajaran learning cycle 5 fase (LC-5E) Berbantuan Media Incomplete Power Point Presentation dapat meningkatkan hasil belajar Kimia Dasar mahasiswa pendidikan Kimia offering A? 2. Apakah penggunaan model pembelajaran learning cycle 5 fase (LC-5E) Berbantuan Media Incomplete Power Point Presentation dapat meningkatkan keaktifan belajar Kimia Dasar mahasiswa pendidikan Kimia offering A? Pemecahan Masalah Sehubungan dengan rumusan masalah yang sudah dipaparkan perlu disampaikan alternatif tindakan yang akan dilakukan. Tindakan ini berupa perlakuan dalam suatu proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5 fase (LC-5E) Berbantuan Media Incomplete Power Point Presentation. Model ini dipilih karena kesesuaiannya dengan karakteristik materi-materi dalam kimia dasar yang berisikan aspek (a) pengetahuan atau konsep prasyarat, (b) bahasa tidak verbal, (c) penggunaan gambar model dan definisi, (d) pemahaman konsep pokok, dan (e) pemaparan aplikasi konsep; yang di dalamnya tercakup perhitungan matematis, konsep makroskopis, dan konsep mikroskopis. Penyajian konsepSEMNAS MIPA 2010
konsep dalam kimia dasar umumnya mencakup tiga macam pemahaman tersebut secara simultan dan terintegrasi. Permasalahan timbul karena perkuliahan selama ini, termasuk di perkuliahan dasar, biasanya cenderung membentuk konsep verbal tanpa pemahaman yang lebih mendalam dengan penekanan pada aspek matematisnya. Padahal aspek matematis lebih mudah dicapai bila siswa sudah memahami konsep yang relevan dengan masalah/soal yang disajikan. Jadi materimateri dalam kimia dasar tidak menghasilkan pemahaman optimal jika hanya disajikan secara parsial. Karenanya diperlukan model pembelajaran yang bisa mengakomodasi kepentingan tersebut. Model pembelajaran learning cycle 5 fase (LC-5E) Berbantuan Media Incomplete Power Point Presentation merupakan salah satu alternatif yang bisa mengakomodasi pemahaman konsep secara matematis, konsep makroskopis, dan konsep mikroskopis. Keberhasilan model pembelajaran ini dapat diukur dengan mengamati hasil belajar siswa di cycle ke 5 (evaluation) dengan tes tertulis dan keaktifan belajar siswa di tiap cycle (sebanyak 5 cycle) melalui observasi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Keberhasilan dan ketidakberhasilan di tiap cycle akan mudah teramati. Ketidakberhasilan yang didapatkan akan digunakan untuk pijakan menyusun hipotesis di siklus pembelajaran berikutnya.
TINJAUAN PUSTAKA Perlunya Pemahaman Konsep Kimia dengan Benar Konsep dalam ilmu kimia merupakan abstraksi atau gagasan tentang materi atau perubahan materi menjadi materi lain (Kean dan Middlecamp, 1985). Pada dasarnya konsep dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu konsep kongkret dan abstrak (Dahar, 1988). Sebagian besar konsep kimia merupakan konsep abstrak (Wiseman, 1981). KIM - 128
Ditinjau dari teori perkembangan intelek Piaget, proses pemerolehan konsep oleh individu dapat terjadi dengan melalui dua cara , yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pemerolehan konsep baru yang memiliki kesesuaian dengan konsep-konsep (struktur kognitif) individu sebelumnya. Misalnya dengan telah menguasai konsep redoks, maka individu dapat mengasimilasikan konsep tentang sel elektrokimia dan sel elektrolisis ke dalam struktur inteleknya. Apabila ciri-ciri konsep baru berbeda dengan konsep dalam struktur kognitif yang dimiliki, individu dapat melakukan perolehan konsep dengan cara akomodasi, yaitu (1) menciptakan struktur kognitif baru, atau (2) mengubah, memperluas, atau menyempurnakan struktur yang ada sehingga konsep baru tersebut dapat diasimilasikan. Pada umumnya dalam proses pemerolehan atau pemahaman suatu konsep kongkret ada kecenderungan bahwa melalui penginderaan konsep-konsep tersebut akan lebih mudah dipahami. Sund dan Trowbridge (1973) dan Herron (1975) menyarankan agar proses pemahaman konsep dimulai dengan membangun persepsi melalui pengalaman-pengalaman kongkret seperti dengan melihat, meraba, mencium, dan sebagainya. Tetapi ini tidak berarti menutup kemungkinan terjadinya kesalahan konsep. Sedangkan untuk konsep-konsep abstrak sperti banyak ditemui dalam ilmu kimia, pemahaman tersebut tampaknya akan dipermudah antara lain melalui model penggambaran mikroskopis. Para ahli pendidikan dari berbagai aliran berpendapat sama bahwa hal terpenting yang dibawa ke ruang kelas oleh setiap mahasiswa sebelum memulai pelajaran adalah konsep-konsep yang telah mereka miliki dan kuasai sebelumnya (Griffith dan Preston, 1992). Itu berarti pemahaman yang benar tentang suatu konsep merupakan hal yang sangat penting, karena pemahaman yang salah memungkinkan terjadinya kesalahan pemahaman pada konsep lain yang berhubungan. Apalagi materi kimia yang terdiri dari fakta, hukum konsep, teori, dan proses merupakan hal yang kompleks oleh karena itu pemilihan model pembelajaran SEMNAS MIPA 2010
yang tepat merupakan salah satu upaya memperkecil kemungkinan terjadinya salah konsep. Pembelajaran Kimia dengan Pendekatan Makroskopis dan Mikroskopis Pembelajaran kimia yang ideal adalah pembelajaran yang mengkaji berbagai aspek dari konsep-konsep yang dipelajari. Karena konsep-konsep dalam ilmu kimia umumnya memiliki dua aspek, mikroskopis dan makroskopis, maka pembelajaran kimia yang ideal adalah yang menggunakan pendekatan mikroskopis dan makroskopis secara optimal, artinya kegiatan ceramah di kelas, praktikum, dan pemanfaatan model penggambaran mikroskopis bersama-sama terintegrasi dalam proses pembelajaran kimia. Dengan dua pendekatan terintegrasi tersebut diduga akan dicapai hasil belajar uang optimal, baik berupa penguasaan konsep maupun perkembangan intelek mahasiswa. Bruner seorang ahli perkembangan psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif mendasrkan eklektik sebagai pendekatan psikologi (Dahar, 1989: 99). Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner beranggapan bahwa belajar merupakan pengembangan kategori-kategori dan pengembangan sistem pengkodean. Berbagai kategori saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga setiap individu mempunyai model yang unik tentang alam. Dalam model ini, belajar baru dapat terjadi dengan mengubah model itu. Hal ini terjadi melalui pengubahan kategori-kategori, menghubungkan kategori-kategori dengan suatu cara baru atau dengan menambahkan kategori-kategori baru. Model belajar sebagai proses kognitif, menyatakan bahwa orang dewasa menggunakan tiga sitem ketrampilan untuk menunjukkan kemampuan-kemampuannya tiga cara penyajian ( modes of presentation). Ketiga cara penyajian itu adalah : cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik secara sempurna. Ketiga sistem ketrampilan itu adalah Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif, artinya seseorang mengetahui aspek dari KIM - 129
kenyataan tanpa menggunakan kata dan pikiran tetapi menggunakan respon motorik. Cara ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh oleh suatu gambar yang mewakili suatu konsep , tetapi tidak mendifinikan konsep ini sepenuhnya. Orang mencapai transisi dari penggunaan cara ikonik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan fleksibel. Cara simbolik menggunakan katakata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan sesorang yang lebih memperhatikan proposisi daripada obyek, memberikan struktur hirarkis pada konsep. Urutan cara penyajian bersifat unik untuk semua orang . Sesuai teori yang dikemukakan oleh Bruner tersebut, pemahaman makroskopis dapat dianggap sebagai cara simbolik untuk mengarahkan siswa menuju pemahaman mikroskopis yang lebih kompleks yang dapat dicapai dengan cara ikonik. Sebagai contoh, dalam mengajarkan konsep elektrokimia pendekatan makroskopis dapat diterapkan terlebih dahulu dengan cara mengkongkretkan konsep makroskopis melalui percobaan elektrokimia dengan mengamati perubahan di anoda dan katoda. Pendekatan mikroskopis disampaikan kemudian dengan cara melatih siswa melalui suatu model penggambaran yang tepat untuk “melihat” bagaimana perjalanan elektron dan ion dalam suatu sel elektrokimia, bagaimana interaksi antara ion dan elektron, bagaimana interaksi ion dalam larutan dengan elektroda, dan efek persaingan antara spesies-spesies dalam reaksi elektrokimia. Melalui penggambaran keadaan makroskopis dan mikroskopis yang disampaikan secara simultan ini, konsepkonsep anoda, katoda, migrasi ion, migrasi elektron, sel elektrokimia, elektrolisis larutan, elektrolisis leburan, dan peramalan hasil elektrolisis dapat dijelaskan dengan lebih nyata sehingga harapan pemahaman siswa yang utuh dan komprehensip akan tercapai. Pembelajaran ilmu kimia yang seperti inilah yang selanjutnya disebut pembelajaran berbasis pendekatan makroskopis -mikroskopis. SEMNAS MIPA 2010
Pembelajaran Kimia Berbantuan Media Incomplete Power Point Presentations Dalam proses pembelajaran kimia diperlukan suatu media pembelajaran, dan salah satunya adalah media bahan ajar. Bahan ajar hendaknya berisi konsep-konsep yang dibahas secara berurutan. Sastrawijaya (1988:177) mengemukakan bahwa buku ajar seharusnya membahas materi mulai dari yang mudah menuju ke yang sukar. Bahan ajar diperlukan karena mahasiswa merasa buku lebih penting daripada model mengajar dosen (Sastrawijaya, 1988:206). Bahan ajar penting karena tanpa bahan ajar diperlukan banyak waktu dalam mengintegrasikan materi, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk latihan soal, aplikasi prinsip dan diskusi materi menjadi kurang (Sastrawijaya, 1988:205). Sedangkan bila menggunakan buku ajar yang sesuai, maka mahasiswa dapat terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar, apalagi jika sebelumnya telah ditugaskan untuk mempelajarinya. Bahan ajar yang baik adalah yang paling mendekati kebutuhan mahasiswa. Siswa akan tertarik dan menyenangi buku yang materinya banyak diwajibkan untuk dipelajari, tidak tebal, dan dilengkapi dengan tugas dari bacaan lain. Bahan ajar yang baik adalah yang sistematis dalam membangun konsep demi konsep, dan diawali dengan pendahuluan serta pembahasan yang mendalam pada bagian selanjutnya (Sastrawijaya, 1988:206). Bahan ajar yang dikaji dalam penelitian ini diistilahkan dengan bahan ajar berbantuan media incomplete power point presentations, yaitu bahan ajar yang tersusun atas konsep-konsep prasyarat, konsep pokok dan aplikasi konsep yang mendukung konsep yang ingin disampaikan dalam bentuk power point presentation yang diadopsi peneliti dari suplemen power point buku teks General Chemistry by Braddy & Sennese. Media ini dipenggal di beberapa bagian konsep dalam bentuk kata dan frasa yang nantinya akan dilengkapi mahasiswa setelah membaca buku teks secara utuh. Selain konsep, beberapa gambar visualisasi juga dihilangkan, terutama yang bersisi pengembangan konsep. Sedangkan gambar visualisasi model yang bersifat mendasar KIM - 130
tetap ada dalam bahan ajar. Selanjutnya bahan ajar ini disebut media bahan ajar. Dalam penelitian ini bahan ajar berbantuan media incomplete power point presentations difungsikan sebagai sisipan materi dari buku teks utama yang dipakai sebagai referensi utama perkuliahan. Dalam mempelajari kimia diharapkan terjadi pemahaman konsep secara benar, karena pemahaman suatu konsep sangat penting untuk memahami konsep lain yang berhubungan. Siswa hanya dapat memahami suatu konsep dengan benar jika konsep yang mendasarinya telah dipahami dengan benar (Fajaroh, 1988:47). Hal ini terkait dengan ciri ilmu kimia yaitu konsepkonsep kimia berkembang melalui suatu seri tingkatan yang berjenjang dari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks (Dahar, 1989:87). Oleh karena itu, dalam bahan ajar yang baik perlu adanya bagian pendahuluan yang berisi konsep-konsep prasyarat yang menjadi dasar pengetahuan sebelum mempelajari konsep pokok yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga siswa bisa menguasai konsep seperti yang diharapkan (Dahar, 1989:90). Selain sifatnya yang berjenjang, konsep kimia tersebut ada yang bersifat konkrit dan ada juga yang bersifat abstrak, sehingga cara mempelajarinya pun berbeda. Konsep kimia yang bersifat konkrit dapat dipelajari melalui proses penginderaan, seperti pengamatan, perabaan, pembauan, dan sebagainya. Kegiatan penginderaan dapat dilakukan melalui kegiatan praktikum. Dengan demikian, siswa tidak hanya mendengar dan membaca materi, tetapi juga dapat melihat dan bekerja dengan menggunakan pikirannya sehingga pengalaman dan ketrampilannya bertambah. Selain melakukan kegiatan praktikum, Sastrawijaya (1989:120) mengemukakan bahwa obyek konkrit dalam ilmu kimia yang berskala mikroskopis dapat diganti dengan model. Sedangkan, untuk dapat mempelajari dan memahami konsep kimia yang bersifat abstrak dibutuhkan suatu alat bantu. Alat bantu tersebut dapat berupa penggunaan model yang menggambarkan konsep-konsep abstrak secara konkrit. Dimana pemanfaatan SEMNAS MIPA 2010
model dalam kimia pada dasarnya merupakan upaya untuk mengkonkritkan konsep-konsep abstrak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model penggambaran mikroskopik. Model penggambaran mikroskopis merupakan suatu upaya mendeskripsikan dan mengilustrasikan suatu konsep yang bersifat abstrak melalui gambar. Dengan model penggambaran mikroskopis, bentuk partikel atau atom dimodelkan agar siswa mudah mengerti dan memahami. Dalam menggunakan pendekatan ini, konsep disampaikan dengan cara ikonik, yaitu sekumpulan gambar digunakan untuk mewakili suatu konsep, meskipun tidak mendefinisikan konsep sepenuhnya (Dahar, 1989:102). Penggunaan model atau gambar tersebut pada umumnya tidak mencakup semua sifat dan ciri benda yang sebenarnya diwakili, tetapi hanya menunjukan ciri-ciri khusus (Sastrawijaya, 1988:175). Hal ini dilakukan agar konsep kimia lebih mudah dipahami. Selain penggunaan model, visualisasi yang berupa gambar, bagan, diagram dan lain sebagainya dapat digunakan untuk menyampaikan konsep kimia yang bersifat abstrak melalui pendekatan mikroskopis. Penggunaan visualisasi yang berupa gambar-gambar tersebut bertujuan agar informasi verbal tampak lebih jelas dan mudah dimengerti siswa. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Herron (dalam Setyaningrum, 2002:21) yang menyatakan bahwa dalam membahas konsep abstrak perlu menggunakan model-model fisik yang dapat mempermudah siswa dalam memahami konsep. Dengan menggunakan visualisasi, siswa diharapkan dapat membayangkan atau menciptakan gambaran mengenai konsep kimia yang abstrak (Sastrawijaya, 1988:174). Hal ini didukung oleh Kean dan Middlecamp (1985:6) yang menyatakan bahwa gambar dapat menolong siswa mengingat-ingat informasi penting yang menjadi pusat kegiatan kimia. Oleh karena itu, visualisasi dalam pembelajaran kimia sangatlah penting, karena dapat membuat daya ingat siswa terhadap konsep lebih KIM - 131
tahan lama dan meningkatkan pemahaman konseptualnya (Herunata, 2003).Dengan penggunaan visualisasi yang berupa gambar, bagan, diagram, model, dan kegiatan praktikum yang sesuai, siswa diharapkan dapat lebih memahami konsep-konsep yang dipelajarinya. Visualisasi yang digunakan akan lebih optimal bila disertai dengan informasi dan kegiatan praktikum. Segala kepentingan yang berhubungan dengan konsep kongkret, konsep abstrak, penggambaran makroskopis, dan visualisasi mikroskopis telah terakomodasi dalam media bahan ajar ini. Pembelajaran Kimia Dengan Metode Pembelajaran Learning Cycle 5 Fase (LC-5E) HOTS (high order thinking skills) atau ketrampilan berpikir tinggat tinggi dapat dilatihkan dan dicapai oleh siswa jika kepadanya diberikan kesempatan (Iskandar, 2004). Salah satu pembelajaran yang melatihkan HOTS adalah learning cycle. Learning cycle menjadi perhatian dan berkembang setelah tahun 1960 diluncurkan oleh program SCIS di Amerika. Pakar-pakar pendidikan selanjutnya mengembangkannya dari 3 fase hingga yang terakhir (saat ini) 6 fase. Fase-fase ini menjadi penting karena berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan konsep Piaget. Learning Cycle 5 Fase (LC-5E) merupakan salah satu hasil pengembangan pakar-pakar pendidikan . Bybee et al (1989, dalam Iskandar,2005:8) menambahkan satu fase di awal dan di akhir daur belajar tiga fase sehingga menjadi lima fase. Fase-fase ini menunjukkan kegiatan siswa di dalam pembelajaran sains. Fase-fase itu adalah: engagement atau invitation, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation. Pada Dasna (2005:5) mengganti kata elaboration dengan extention yang secara teknis berarti sama. Pada uraian lebih lanjut Dasna menguraikan tentang fase-fase Learning Cycle 5 Fase (LC-5E) beserta kegiatan belajar yang dapat diberikan. Dalam fase engagement disebutkan sebagai langkah membantu siswa mengakses pengetahuan awal dengan kegiatan SEMNAS MIPA 2010
demontrasi dan membaca artikel yang relevan. Kegiatan ini selaras dengan media bahan ajar yang memerikan konsep prasyarat sebelum pembahasan konsep utama. Dengan demikian, media bahan ajar dapat disimilasikan dalam fase engagement. Fase exploration memberikan kesempatan pada siswa untuk berpikir, merencanakan, meneliti, dan mengorganisasikan informasi yang dikumpulkan dengan cara membaca sumber pustaka, membuat suatu model, dan melakukan eksperimen. Fase ini selaras dengan bahan ajar terpadu yang menyajikan materi dari sudut makroskopis baik dengan permodela dan visualisasi. Dapat disimpulkan bahwa media bahan ajar dapat diasimilasikan dalam fase exploration. Fase Explanation melibatkan siswa untuk menganalisis pemahamannya dengan klarifikasi dan modifikasi aktifitasnya. Kegiatan yang dilakukan adalah membaca buku pustaka dan melengkapi ide dengan fakta atau kejadian. Fungsi ini salah satunya dapat dipenuhi oleh media bahan ajar yang menyajikan materi dari sifat mikroskopis yang menjelaskan seluruh hasil pengamatan dari permodelan dan visualisasi yang telah dilakukan sebelumnya. Pengamatan mikroskopis ditekankan kepada keadaan partikulat materi. Dengan keterkaitan tersebut media bahan ajar dapat berasimilasi dengan fase explanation. Penekanan fungsi media bahan ajar dalam Learning Cycle 5 Fase (LC-5E) sebagai bahan pelengkap atau pembantu sudah tepat, karena di fase berikutnya extention dan evaluation Learning Cycle 5 Fase (LC-5E) peran media bahan ajar tidak tampak lagi. E. Keaktifan Mahasiswa dalam Pembelajaran Dosen memiliki peranan yang sangat penting di dalam menentukan kuantitas dan kualitas pembelajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, dosen harus memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam meningkatkan keaktifan belajar bagi mahasiswa. Tugas dosen dosen dalam membuat struktur keaktifan pembelajaran yang melibatkan mahasiswa ke dalam KIM - 132
tugas-tugas bermakna merupakan masalah yang kompleks (Rahayu, 1998:154). Oleh sebab itu, dosen harus berusaha semaksimal mungkin agar siswa benarbenar terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan mahasiswa sangat diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar, karena mahasiswa yang seharusnya banyak aktif. Adapun pengertian keaktifan yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah: (1) Menurut Saidiman keaktifan adalah keterlibatan belajar yang mengutamakan keterlibatan fisik maupun mental secara optimal; (2) Pengertian lain dikemukakan oleh Wijaya keaktifan adalah keterlibatan intelektual dan emosional mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar, asimilasi (penyerapan), dan akomodasi (penyesuaian) kognitif dalam pencapaian pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai (Zahera, 2000:27). Jadi keaktifan mahasiswa di sini adalah keterlibatan intelektual, emosional, fisik dan mental, baik melalui kegiatan penagalaman, pengenalisisan, perbuatan, maupun pembentukan sikap secara terpadu sehingga nantinya tercapai keseimbangan dalam pembentukan sikap terpuji yang tercermin dalam keaktifan belajar mereka. Paul B. Diedrich membuat suatu daftar yang berisi 8 macam kegiatan mahasiswa antara lain dapat digolongkan menjadi: 1. Visual activities (misalnya: membaca, memperhatikan gambar, melakukan eksperimen, dan demonstrasi). 2. Oral activities (misalnya: bercerita, tanya jawab, dan diskusi). 3. Listening activities (misalnya: mendengarkan penjelasan dosen/dosen dan pengarahan) 4. Drawing activities (misalnya membuat grafik, diagram, dan pola). 5. Writing activities (misalnya: membuat laporan, menuliskan hasil diskusi, dan membuat rangkuman). SEMNAS MIPA 2010
6. Motor activities (misalnya: melakukan percobaan dan membuat model). 7. Mental activities (misalnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, dan mengambil keputusan). 8. Emotional activities (misalnya: menaruh minat, merasa bosan, gembira, berani, sengan, dan gugup) (Sardiman, 2005:101). Keaktifan mahasiswa yang diamati dalam penelitian ini mencakup kedelapan keaktifan tersebut, namun yang paling banyak dilakukan oleh siswa adalah visual activities, oral activities, writing activities, dan motor activities. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan mutu perkuliahan kimia dasar dengan cara memecahkan masalah yang dialami dosen kimia dasar dalam mengajar di kelas dengan melakukan penelitian tindakan (action research). Rancangan penelitian tindakan terdiri dari tahap perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), evaluasi, dan refleksi (reflection) pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian tindakan di kelas. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Kimia FMIPA UM dalam perkuliahan kimia dasar yang diikuti oleh 21 mahasiswa offering A SBI Angkatan 2009 Jurusan Kimia semester genap pada tahun ajaran 2009/2010. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan melalui 3 siklus sesuai dengan masalah yang dihadapi. Setiap siklus terdiri dari tahap-tahap berikut ini. Pemecahan masalah dimulai dengan tahap perencanaan (planing) berupa kegiatan mengumpulkan data secara langsung melalui pengamatan di kelas pada pokok bahasan sebelumnya (diagnostic) dan merumuskan alternatif pemecahan masalah bersama-sama dosen kimia. Kegiatan dilanjutkan dengan tahap perencanaan tindakan yang meliputi penyusunan KIM - 133
skenario pembelajaran, bahan ajar terpadu, media pembalajaran, serta alat evaluasi dan observasi. Tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan (acting) berupa pelaksanaan pembelajaran untuk bahasan yang telah ditentukan. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan (observation) oleh observer baik terhadap proses kegiatan pembelajaran maupun keaktifan mahasiswa. Tahap terakhir adalah refleksi (reflection), yakni tahap evaluasi pelaksanaan proses pembelajaran secara keseluruhan dan hasil-hasil yang sudah dicapai oleh mahasiswa. Kelemahankelemahan dan kekurangan-kekurangan yang berhasil diidentifikasi pada tahap refleksi siklus I proses pembelajaran, selanjutnya diupayakan penanggulangannya/perbaikannya melalui pelaksanaan rencana pembelajaran selanjutnya dalam siklus II dan siklus III hingga diperoleh hasil optimum. Paparan tahap-tahap penelitian dalam siklus I secara lebih jelas disajikan pada Tabel 3.1. Kriteria keberhasilan setiap siklus ditentukan dari hasil perolehan prestasi mahasiswa adalah minimal 70 atau setara dengan nilai akhir B.
berdasarkan hipotesis
2.
ACTING Proses Pembelajaran
3.
OBSERVING
kurikulum/silabus. Untuk kegiatan ini tim peneliti melakukan pelacakan ketersediaan bahan, media, dan alat yang mungkin dapat dimanfaatkan mahasiswa Menyusun rencana/ skenario pembelajaran yang sesuai dengan model LC-5E berbantuan media incomplete power point presentations. Mengumpulkan bahan-bahan dan media pembelajaran serta merancang perangkat evaluasi yang tepat Melakukan evaluasi hasil pemahaman siswa di siklus I Observer melakukan
Tabel 1 Tahap-tahap Pelaksanaan PTK Siklus I No .
Tahap Kegiatan
1.
PLANNING
Proses
Pengamatan langsung proses pembelajaran di kelas Diskusi antara peneliti dan observer tentang permasalahan yang terjadi di kelas Merumuskan permasalahan yang terjadi Mengidentifikasi permasalahan pokok dan menganalisisnya lebih intensif Menyusun hipotesis pemecahan Tim mendiskusikan b. Menyusun bahan, media, dan instrumen alat pembelajaran rencana yang akan pembelajaran digunakan sesuai a.Diagnostic
SEMNAS MIPA 2010
4.
REFLECTING
pengamatan dan mencatat proses pembelajaran yang terjadi. Mencatat hambatanhambatan dan kelemahan– kelemahan yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung Diskusi antar peneliti dan observer tentang pelaksanaan planning yang telah dilaksanakan menyangkut keterlaksanaan proses pembelajaran (kegiatan evaluasi) Merumuskan dan mengidentifikasi masalah pada pelaksanaan pembelajaran di siklus I Membuat hipotesis baru untuk memecahkan masalah Melengkapi atau merevisi rencana
KIM - 134
pembelajaran sebelumnya untuk persiapan ke siklus berikutnya
Data Penelitian Data penelitian berupa data deskriptif yang dikumpulkan dari hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran di kelas serta data kuntitatif pensekoran. Pelaku tindakan di dalam kelas adalah dosen pengampu mata kuliah kimia dasar yang juga peneliti. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas terdapat dosen observer yang bertindak sebagai pengamat untuk melihat/mengobservasi pelaksanaan proses pembelajaran. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan dalam bulan April-Juni 2010. Data yang akan diperoleh dari penetian ini terdiri dari: Data hasil pengolahan lembar observasi: untuk mengidentifikasi keaktifan siswa selama pembelajaran berlangsung. Data hasil ujian tertulis (written examination): digunakan untuk mengukur outcome pembelajaran berupa pemahaman konsep yang sudah diperoleh siswa sekaligus mendeskripsikan tingkat pemahamannya. Teknik Analisis Data Untuk kepentingan penelitian, parameter dan bobot penilaian setiap macam evaluasi disetting oleh peneliti berdasarkan aspek representasi kegiatan dan sumbangan terhadap keberhasilan pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan. Penekanan aspek penilaian pada keterlaksanaan pembelajaran dengan model LC-5E berbantuan bahan ajar terpadu berbasis pendekatan makroskopismikroskopis. Uraian tentang model assesment dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 2. Asesment yang Digunakan dalam Penelitian Parameter 1. Ujian tertulis/kuis 2. Laporan harian (Worksheet) Total
SEMNAS MIPA 2010
Bobot (%) 70 30 100
Assesment ini dikerjakan di setiap akhir siklus penelitian tindakan sebagai representasi tingkat pemahaman siswa. Skor yang diperoleh akan dibandingkan dari setiap siklus yang berturutan yang mencerminkan indikator keberhasilan penelitian. Analisis Deskriptif Keaktifan Siswa dalam Pembelajaran Untuk mengetahui keaktifan siswa selama pembelajaran dengan model LC-5E berbantuan media incomplete power point presentations digunakan lembar observasi. Lembar observasi berisikan keaktifan siswa sesuai tahap cycle (ada 5) yang dilaluinya. Tahapan di tiap cycle merupakan dasar penyusunan indikator penilaian keaktifan. Analisis data mengenai keaktifan siswa dianalisis dengan teknik analisis deskriptif melalui langkah-langkah sebagai berikut (Arikunto, 1998:242): Memberi skor pada setiap keaktifan yang dilakukan dalam proses pembelajaran dengan model LC-5E berbantuan media incomplete power point presentations. Setiap keaktifan dalam proses pembelajaran mencakup empat pilihan hasil pengamatan keaktifan siswa, yaitu sangat aktif, aktif, kurang aktif, dan tidak aktif. Kategori hasil pengamatan keaktifan siswa tersebut memiliki memiliki bobot masing-masing untuk kriteria sangat aktif = 4; aktif = 3; kurang aktif = 2; tidak aktif = 1. Menetapkan skor maksimum dan minimum yang mungkin diperoleh siswa. Skor maksimumnya adalah 4 x N, yaitu 4 x 9 = 36 dan skor minimumnya adalah 1 x N, yaitu 1 x 9 = 9, dengan N adalah banyaknya butir pernyataan keaktifan. Menentukan skor total siswa dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh siswa pada setiap butir pernyataan. Menentukan kriteria keaktifan siswa berdasarkan rentangan skor, yaitu dengan cara mengurangi skor maksimal dengan skor minimal kemudian KIM - 135
dibagi 4, sehingga diperoleh rentangan skor keaktifan mahasiswa adalah sebagai berikut: Skor 29,25 – 36
sangat aktif
Skor 22,50 – 29,24 aktif Skor 15,75 – 22,49 kurang aktif
Skor 9 – 15,74 tidak aktif Menentukan kriteria keaktifan siswa dengan cara membandingkan skor total yang diperoleh oleh masingmasing siswa dengan rentangan skor keaktifan. Menentukan persentase keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Rumus yang digunakan sebagai berikut:
Hasil Analisis
Hasil Belajar Ionic Bonding Siklus I
Covalent Bonding Siklus II
Moleculer Sructure Siklus III
54
56
74
86
86
93
74
76
86
7,98
7,22
4,58
Nilai Minimal Nilai Maksimal Rerata Standar Deviasi
Persentase keaktifan siswa pada setiap rencana pembelajaran LC-5E berbantuan Incomplete Power Point Presentations ditunjukkan dalam Tabel 2
siswayangmemberi keaktivan x x 100% Px = Banyaknya Jumlah seluruh siswa
Keterangan: Px = % siswa yang memberi memiliki keaktifan x x
=
keaktifan siswa yang terdiri dari sangat aktif, aktif, kurang aktif, tidak aktif
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi data nilai hasil belajar mahasiswa pada materi ionic bonding, covalent bonding, dan moleculer structure ditunjukkan dalam Tabel 3. Data ini diambil dari nilai tes tertulis dengan bobot 70%, dan nilai tugas dengan bobot 30%. Tabel 3 Deskripsi Data Hasil Belajar Mahaiswa Tabel 4 Persentase Keaktifan Mahasiswa di Tiap Siklus dan Tahap LC-5E
Kegiatan
Kriteria
Memperhatikan sajian dosen mengakses pengetahuan awal: pertanyaan konsep dan subkonsep ( melengkapi worksheet dan tanya jawab) Mengorganisasi informasi:
Tahap
I Engagement II
SEMNAS MIPA 2010
Sangat aktif Aktif Kurang aktif
Siklus 1(%) 10 50 30
Siklus 2(%) 20 50 25
Siklus 3(%) 50 30 20
Tidak Aktif Sangat aktif
10 5
5 15
0 45
KIM - 136
Exploration
III Explanation
Menginterpretasi teori (Membaca text book dan melengkapi worksheet) Menganalisis pemahaman: Menyusun rencana visualisasi berdasarkan pemahaman dalam interpretasi teori (Membaca text book dan melengkapi worksheet) Melakukan visualisasi kelompok dan mandiri (melengkapi worksheet dan diskusi kelompok) Menuliskan interpretasi hasil (melengkapi worksheet dan diskusi kelompok)
Menyampaikan laporan hasil diskusi kelompok (diskusi kelas) IV Elaboration Menyampaikan tanggapan terhadap laporan hasil diskusi kelompok lain (diskusi kelas)
V Evaluation
Kegiatan refleksi (tanya jawab)
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus I Siklus I dilaksanakan pada pertemuan ke 4-5 secara berturut-turut. Materi yang dipelajari adalah ionic bonding. Perkuliahan dilakukan dengan pengkajian materi melalui diskusi kelompok dilanjutkan dengan diskusi kelas (buku teks dan median bahan ajar sebagai rujukan). Kegiatan di siklus I ini mengikuti alur learning cycle 5E, yakni melalui tahaptahap engagement, exploration, explaination, elaboration, dan evaluation. Pelaku tindakan adalah dosen pengampu (peneliti) didampingi seorang observer. Hasil belajar mahasiswa direkam melalui tes tertulis sedangkan keaktifan perkuliahan ini dengan lembar observasi. Perkuliahan diawali dengan engagement berupa kegiatan memperhatikan sajian dosen berupa SEMNAS MIPA 2010
Aktif Kurang aktif Tidak Aktif Sangat aktif Aktif Kurang aktif
45 45 5 0 0 60
60 25 0 15 35 20
55 0 0 35 50 5
Tidak Aktif Sangat aktif Aktif Kurang aktif
40 0 0 50
30 10 15 45
10 20 15 40
Tidak Aktif Sangat aktif Aktif Kurang aktif Tidak Aktif Sangat aktif Aktif Kurang aktif Tidak Aktif Sangat aktif Aktif Kurang aktif Tidak Aktif Sangat aktif Aktif Kurang aktif Tidak Aktif
50 0 0 20 80 25 30 15 30 0 5 45 50 10 0 40 50
30 10 15 40 55 25 45 20 10 10 30 45 15 10 30 30 30
25 10 45 40 15 35 40 20 5 40 45 15 0 40 35 25 10
pertanyaan konsep dan subkonsep. Kegiatan ini bertujuan mengakses pengetahuan awal mahasiswa. Topik yang dibahas adalah energi ionisasi, afinitas elektron dan rumus Lewis. Tahap exploratin dilakukan dengan meminta mahasiswa menginterpretasi teori yang relevan berdasarkan konsep dan subkonsep yang ada dalam topik ionic bonding. Kegiatan dilakukan dengan membaca text book dan melengkapi worksheet. Kegiatan ini bertujuan mengorganisasi informasi yang dimiliki mahasiswa. Pemahaman di tahap ini dicek di tahap explanation dengan menganalisis pemahaman yang sudah dimiliki. Kegiatan yang dilakukan adalah diskusi kelompok untuk mengisi worksheet setelah mereka membaca textbook. Penekanan tahap ini adalah kemampuan memvisualisaikan berbagai contoh-contoh senyawa ionic KIM - 137
bonding. Asumsinya mahasiswa yang bisa memvisualisasikan contoh-contoh senyawa ionic bonding memiliki pemahaman teori yang baik. Kenyataannya memang demikian. Hasil pemikiran kelompok ter-elaboration ditahap berikutnya dengan contoh-contoh lain yang disajikan oleh kelompok-kelompok dalam diskusi kelas. Di tahap ini jelas bahwa pemahaman ionic bonding sudah kian jelas. Untuk mengetahui dilakukan tes di tahap evaluation. Hasil tes mahasiswa berkisar antara 54 – 86 dengan standar deviasi 7,98. Hasil belajar pada siklus I ini dapat dikatakan kurang efektif. Kekurangefektifan pelaksanaan siklus I kemungkinan besar disebabkan oleh hal-hal berikut: (1) konsep yang dikaji merupakan konsep yang abstrak dalam pemikiran mahasiswa, (2) kesulitan mahasiswa mengabstraksikan proses terjadinya ikatan, serta (3) kesulitan memahami visualisasi. Rincian keaktifan lebih lanjut dapat dilihat dalam uraian keaktifan mahasiswa di tiap tahap LC-5E. Siklus II Siklus II berlangsung pada pertemuan ke 6-7. Materi yang dipelajari adalah covalent bonding. Aspek tersebut dikaji melalui k ``egiatan visualisasi permodelan terbentuknya ikatan dengan presentasi power point. Seperti halnya pada siklus I, kegiatan di siklus II juga mengikuti alur learning cycle, yakni melalui tahap-tahap engagement, exploration, explaination, elaboration, dan evaluation. Kegiatan di siklus ini disusun berdasarkan hasil refleksi di siklus pertama. Pelaku tindakan adalah dosen pengampu (peneliti) didampingi seorang observer. Hasil belajar mahasiswa direkam melalui tes tertulis sedangkan keaktifan perkuliahan ini dengan lembar observasi. Perkuliahan dilakukan seperti tahap-tahap dalam siklus I dengan topik covalent bonding. Tahap engagement dilakukan dengan me-review pemahaman tentang ionic bonding, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan: apa yang SEMNAS MIPA 2010
terjadi antara dua atom atau lebih yang akan berikatan tetapi atom-atom tersebut masing-masing kekurangan elektron? Kemudian dilanjutkan dengan tahap exploration yang berupa kegiatan visualisasi ikatan antar atom yang samasama kekurangan elektron dalam kegiatan ceramah, membaca text book, dan mengisi worksheet. Di tahap expalanation dalam kelompoknya mereka memperbincangkan lebih mendalam contoh-contoh yang lain senyawa-senyawa yang berikatan kovalen dengan segala aspek teoritisnya. Penekanan diskusi ini adalah bagaimana siswa mampu menyusun langkah-langkah visualisi untuk berbagai contoh senyawa. Kegiatan diteruskan elaboration dan evaluation. Hasil tes mahasiswa berkisar antara 56 – 86 dengan standar deviasi 7,22 Sedikit peningkatan dibanding siklus I, namun demikian belum memuaskan peneliti sehingga perlu dilanjutkan siklus berikutnya. Rincian keaktifan lebih lanjut dapat dilihat dalam uraian keaktifan mahasiswa di tiap tahap LC-5E. Siklus III Siklus III berlangsung pada pertemuan 8-10. Materi yang disampaikan adalah molecular structure. Aspek tersebut dikaji melalui kegiatan visualisasi, yaitu menggunakan media power point presentations. Kegiatan di siklus III juga mengikuti alur learning cycle, yakni melalui tahap-tahap engagement, exploration, explaination, elaboration, dan evaluation yang disusun berdasarkan refleksi di siklus II. Pelaku tindakan adalah dosen peneliti. Tahap engagement diawali dengan review hasil kegiatan yang lalu, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan: bagaimana menggambarkan bentuk molekul berdasarkan teori domain elektron?. Kemudian dilanjutkan dengan tahap exploration yang berupa kegiatan melengkapi incomplete power point presentations dan worksheet. Hasil belajar mahasiswa direkam melalui tes tertulis
KIM - 138
sedangkan keaktifan perkuliahan ini dengan lembar observasi. Di awali dengan engagement, mereview pemahaman mahasiswa terhadap konsep dalam ikatan kovalen dilanjutkan dengan elaboration untuk mengorganisasi pemahaman. Bagaimana memvisualisasikan bentuk-bentuk molekul? Merupakan pertanyaan di akhir tahap ini untuk ditindaklanjuti mahasiswa di tahap explanation. Di tahap ini mahasiswa menyiapkan prosedur bagaimana memvisualisasikan bentukbentuk molekul. Hasilnya, beragam molekul divisualisasikan. Pemahaman ini perjelas saat tahap elaboration dilakukan melalui latihan-latihan menggambarkan bentuk molekul dalam format diskusi kelas. Kegiatan ini di akhiri dengan tes ditahap evaluation. Hasil tes mahasiswa berkisar antara 74 – 93 dengan standar deviasi 4,58. Rincian keaktifan lebih lanjut dapat dilihat dalam uraian keaktifan mahasiswa di tiap tahap LC-5E. Dengan hasil akhir ini telah tercapai indiktor keberhasilan penelitian. Sehingga kegiatan penelitian dihentikan di siklus III. Perkembangan Keaktifan Belajar Mahasiswa di Tiap Tahap LC-5E Dari ketiga siklus yang telah berjalan, tampak keaktifan dan hasil belajar mahasiswa termasuk tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4. Penjelasan tentang keaktifan mahasiswa di setiap siklus belajar dijelaskan berikut ini. Memperhatikan Sajian Dosen: Pertanyaan Konsep dan Subkonsep Pada kegiatan ini Dosen memberikan pertanyaan yang harus dijawab mahasiswa. Pada kegiatan memperhatikan sajian dosen, pertanyaan konsep dan subkonsep, persentase mahasiswa yang sangat aktif secara signifikan sejak siklus I-III. Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa yang sangat aktif dan aktif termasuk tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan dosen menggunakan variasi metode ceramah SEMNAS MIPA 2010
dan tanya jawab, sehingga mahasiswa tertarik memperhatikannya. Menginterpretasi teori Kegiatan ini merupakan bagian dari tahap 2 pembelajaran LC-5E. Pada kegiatan ini mahasiswa diminta untuk menginterpretasi teori yang relevan berdasarkan konsep dan subkonsep yang telah ditentukan pada kegiatan sebelumnya. Pada kegiatan ini persentase mahasiswa juga meningkat dari siklus I-III. Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa sangat aktif mengalami sedikit peningkatan daripada kegiatan sebelumnya, sedangkan mahasiswa aktif mengalami penurunan dan mahasiswa yang kurang aktif semakin meningkat. Kegiatan ini dilakukan berangkaian dengan 2 kegiatan sebelumnya, hal inilah yang diduga menyebabkan mahasiswa sudah merasa nyaman dengan kegiatan pembelajaran yang banyak melibatkan mahasiswa dalam pelaksanaannya. Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa yang tidak aktif relatif sama dengan pada kegiatan sebelumnya. Menyusun Rencana Visualisasi Kegiatan ini merupakan bagian dari tahap 3 LC-5E. Pada kegiatan ini, mahasiswa diminta untuk menyusun prosedur visualisasi sendiri untuk melakukan penelusuran. Karena mahasiswa belum terbiasa menyusun prosedur visualisasi sendiri, dosen membantu dengan cara memberikan prosedur visualisasi yang diacak. Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa sangat aktif dan mahasiswa aktif mengalami peningkatan yang cukup besar baik pada siklus I, II, maupun III, sedangkan mahasiswa kurang aktif mengalami penurunan bahkan tidak ada mahasiswa yang tidak aktif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa mahasiswa sangat antusias pada kegiatan ini. Melakukan Visualisasi KIM - 139
Kegiatan melakukan visualisasi sesuai dengan prosedur yang telah disusun sendiri oleh mahasiswa yang merupakan bagian dari tahap 3 LC-5E. Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa sangat aktif mengalami peningkatan yang cukup besar. Banyaknya mahasiswa yang aktif mengalami penurunan. Begitu juga dengan mahasiswa yang kurang aktif juga mengalami penurunan, sedangkan mahasiswa yang tidak aktif tetap sama dengan kegiatan sebelumnya. Banyaknya mahasiswa yang sangat aktif dan aktif pada kegiatan ini disebabkan banyak melibatkan aktivitas mahasiswa, mulai dari menyusun prosedur visualisasi sendiri sedangkan dosen hanya sebagai pembimbing. Membuat Laporan Hasil Diskusi Kegiatan membuat laporan hasil diskusi visualisasi merupakan bagian dari tahap 4 LC-5E. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya, setiap selesai melakukan visualisasi, setiap kelompok harus membuat laporan hasil visualisasi. Peningkatan setiap siklus menggembirakan.. Hal ini disebabkan banyak mahasiswa yang masih melanjutkan visualisasinya. Selain itu ada mahasiswa yang hanya menyerahkan tugasnya untuk membuat laporan hasil visualisasi kepada temannya yang menjadi ketua kelompok atau pada temannya yang dianggap pintar. Menyampaikan Laporan Hasil Diskusu Kegiatan menyampaikan laporan hasil visualisasi merupakan bagian dari tahap 4 LC-5E. Pada kegiatan ini mahasiswa menyampaikan laporan hasil visualisasi yang telah dibuat berdasarkan data visualisasi . Dalam pelaksanaannya diminta beberapa kelompok menyajikan laporannya di depan kelas. Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa sangat aktif meningkat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa persentase terbesar pada kegiatan ini adalah banyaknya mahasiswa aktif. Hal ini juga teramati pada saat kegiatan ini berlangsung, banyak SEMNAS MIPA 2010
mahasiswa yang laporannya dengan jelas.
menyampaikan
Menyampaikan Tanggapan terhadap Laporan Hasil Diskusi Kegiatan menyampaikan tanggapan terhadap hasil visualisasi kelompok lain merupakan rangkaian dari kegiatan sebelumnya . Pada kegiatan ini banyaknya mahasiswa aktif semakin meningkat daripada kegiatan sebelumnya. Banyak mahasiswa yang antusias menanggapi laporan yang disampaikan oleh kelompok lain. Refleksi Kegiatan refleksi merupakan rangkaian akhir kegiatan dalam pembelajaran LC-5E dalam perkuliahan. Pada kegiatan ini mahasiswa diharapkan memperoleh pengetahuan baru setelah melakukan visualisasi. Pada kegiatan ini disediakan worksheet yang berisi pertanyaan yang berhubungan dengan visualisasi dan konsep-konsep yang harus dijawab mahasiswa dan diberi penilaian sebagai nilai tugas. Dalam pelaksanaannya di kelas, dilakukan tanya jawab. Pada kegiatan ini diperoleh data bahwa banyaknya mahasiswa sangat aktif relatif kecil. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil pnelitian ini adalah: 1. Model perkuliahan LC-5E berbantuan media incomplete power point presentations menjadikan mahasiswa lebih aktif baik dalam proses perkuliahan melalui kegiatan visualisasi baik secara bersama dalam kelas, dalam kelompok maupun mandiri. kesan bahwa ilmu kimia abstak dan rumit tergantikan kesan bahwa ilmu kimia mudah dipahami. 2. Model perkuliahan LC-5E berbantuan media incomplete power point presentations menjadikan mahasiswa lebih mudah memahami suatu konsep, KIM - 140
sehingga hasil belajar mahasiswa lebih baik. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian tindakan kelas serupa lebih lanjut dengan permodelan yang lebih manipulatif untuk mahasiswa. 2. Perlu dilakukan penelitian tindakan kelas dengan konsep yang berbeda tetapi dengan visualisasi yang lebih baik.
Understand. Journal of Chemical Education. 58 (3). Jusniar. 1998. Penggunaan Strategi Konflik Kognitif Sebagai Upaya Memperkecil Kesalahan Mahasiswa dalam Memahami Konsep-konsep Termokimia. Tesis tidak diterbitkan . Malang: PPS UM Karplus, R. 1977. Scince Teaching and Developmet of Reasoning. Journal of Research in Science Teaching. 14 (2).:169-175
Daftar Pustaka
Kavanaugh, Robert D., and Moomaw, William R. 1981. Inducing Formal Trough in Introductory Chemistry Students. Journal of Chemical Education. 58 (3).
Bent, H. A. 1984. Uses (Aid Abuses) Models in Teaching Chemistry. Journal of Chemical Education. 61 (9).
Kean, E & Middlecamp. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: Gramedia
Berg, E.V. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Sebuah pengantar berdasarkan lokakarya di Universitas Kristen Satya Wacana, 7-10 Agustus 1990. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Bodner, G.M. 1986. Contrutivism A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education. 63 (10) : 833 – 877. Bodner, G.M. 1986. Why Changing the Curriculum May not Enough. Journal of Chemical Education. 69 (3) : 186 Brown, D.E. 1992. Using Example and Analogy to Remediate Misconcenption in Phisics. Journal of Research and Science Teaching. 29 (1): 17 – 33. Brown, LeMay, Bursten. 2000. Chemistry is Central Sceince. New Jersey: Prentice-Hall International Inc. Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga Garnet, P.J., Treagust, D.F. 1992a. Conceptual Dificulties Experience by Senior High School Students of Electrochemistry: Electrochemical (Galvani) and Electrolytic Cells. Journal of Research in Science Teaching. 29 (2). Griffith, Allan K. and Preston, K.R. 1992. Grade Student Misconception Relating to Fundamental Characteristic of Atom and Molecul. Journal of Research in Science Teaching. : 611 -- 618. Herron, Dudley J. 1975. Piaget for Chemist, Explaining what Good Student Cannot
SEMNAS MIPA 2010
Lawson, A.E. & Wollman, W.T. 1975. Phisics Problem and the Process of Self Regulation. ThePhyisics Teacher. 470 – 475. Nakleh, Mary B. 1994. Student’s Model of Matter in the Contex of Acid-Base Chemistry. Journal of Chemical Education. 71(6): 495 – 499. Niaz, M. 1995. Cognitif Conflict as aTeaching Strategy in Solving Chemistry Problems: A Dialectic-contructivist Perspective. Journal of Research in Science Teaching. 32 (9): 959-970. Petrucci & Harwood. 1997. General Chemistry: Principles and Modern Aplications (7th ed). New Jersey: Prentice-Hall International Inc. Pikoli, Masrid. Analisis Kesalahan Konsep dalam Ikatan Kimia pada Mahamahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia IKIP Negeri Gorontalo dan Upaya Memperbaikinya dengan Strategi Konflik Kognitif. Tesis tidak diterbitkan . Malang: PPS UM Sadia, I.W. 1996. Pengembangan Model Kontruktivis dalam Perkuliahan IPA di Sekolah Pertama. Disertasi tidak diterbitkan . Bandung: PPS IKIP Bandung Sihaloho, Mangara. 2001. Analisis Pemahaman Konsep Larutan Elektrolit Melalui Penggambaran Mikroskopis Mahasiswa dan Dosen di SMUN Kotamadia Gorontalo. Tesis Tidak Dipublikasikan. Malang: PPS UM Smit, K.J., Metz. P.A. 1996. Evaluating Student Understanding of Solution Chemistry Trough Microscopic Representation. Journal of Chemical Education. 73 (3).
KIM - 141
Sudirman. 1998. Kesalahan Konsep dalam Materi Sel Galvani dan Sel Elektrolisis pada Mahasiswa Kelas III IPA SMU di KotaUjung Pandang. Tesis S-2 tidak dipublikasikan. PPS IKIP Malang. Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisisus Suparno, P. 2001. Konstruktivisme dalam Pendidikan Matematika. Makalah disajikan dalam Workshop Widyaiswara BPG di Yogyakarta, 2-5 April 2001. Sund, R.B., Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. 2nd Ed. Ohio: Charles E., Merril Pub. corp. Taber, K.S. 1994. Misunderstanding The Ionic Bond. Journal of Chemical Education. 31 (6) : 100-103 Winarti, Atiek. 1998. Analisis Pemahaman Konsep Asam Basa Melalui Penggambaran Mikroskopis dan Hubungannya dengan Kemampuan Berpikir Formal Mahamahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unlam Banjarmasin. Tesis s-2 tidak dipublikasikan. PPS IKIP Malang. Wiseman, Frank L. 1981. The Teaching of College Chemistry Role of Student Development Level. Journal of Chemical E
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 142
PERILAKU ANAK SEKOLAH TERHADAP MAKANAN JAJANAN YANG DIPERDAGANGKAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR DI KOTA MALANG Rina Rifqie Mariana1), Subandi 2) 1)
Fakultas Teknologi Industri Universitas Neger Malang 2)
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Neger Malang
Abstract Makanan jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian masyarakat khususnya orang tua, pendidik, dan pengelola sekolah karena makanan dan jajanan sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis, fisik atau kimiawi yang banyak mengganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang anak sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prilaku siswa yang menyangkut kebiasaan makan, kebiasaan jajan, jenis jajanan yang paling disukai, dan alasan mengapa mereka memilih makanan trsebut Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah 200 siswa kelas V SD yang tersebar di wilayah kota Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata uang saku yang mereka terima dari orang tua sebesar RP 2000,00 – Rp 5.000,00.dan habis dalam satu hari. Jenis jajanan yang paling disukai adalah makanan yang menggunakan saus merah seperti Cilok, tempura, yang mereka beli dari pedagang yang berada di luar pagar sekolah pada saat istirahat ke dua atau pulang sekolah. Alasan mereka memilih makanan favoritnya karena makanan tersebut enak, tanpa menghiraukan makanan itu sehat atau tidak. Temuan tersebut, tentu saja memprihatinkan karena banyak penelitian yang menunjukkan jajanan seperti cilok, tempura, saus merah, bukan termasuk katagori makanan sehat bahkan beberapa penelitian membuktikan cilok yang di jual pedagang jalanan banyak yang mengandung borax. Mengingat betapa pentingnya masalah keamanan pangan khususnya bagi konsusmsi anak-anak di sekolah , perlu segera ada penanganan berkesinambungan dari berbagai pihak. Pemerintah segera untuk melakukan penanganan terhadap pedagang jalanan yang biasa berjualan di luar pagar sekolah dengan melakukan pembinaan ,penyuluhan, tentang pengolahan, penyajian, dan penjualan makanan yang sehat dengan segala fasilitasnya. Pihak sekolah dan UKS selalu memberikan pemahaman kepada siswa untuk dapat memilih makanan yang sehat. Memantau dan memberikan pembinaan pada para pedagang di lingkungan sekolah. Para orang tua semakin intensif mengawasi dan memantau makanan anak, terutama makanan yang dibeli di luar rumah Kata kunci: Prilaku anak, makanan jajanan.
LATAR BELAKANG MASALAH Makanan dan jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian masyarakat khususnya orang tua, pendidik, dan pengelola sekolah karena makanan dan jajanan sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak mengganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang anak sekolah. Penelitian Badan pengawas Obat dan Makanan di Jakarta menemukan kenyataan SEMNAS MIPA 2010
bahwa dri 800 pedagang yang berjualan di 12 sekolah, 340 menjual jajanan yang mengandung zat kimia berbahaya. Survei lain yang dilakukan oleh BPOM pada tahun 2005 melibatkan ratusan sekolah dasar di seluruh Indonesia dan menampung sekitar 550 jenis makanan yang diambil dari sample pengujian. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa 60% jajanan sekolah tidak memenuhi standar mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56% sample mengandung rhodamin dan 33% mengandung borax. Pada KIM - 143
tahun 2007, POM melakukan survey kembali dengan melibatkan 4500 sekolah di Indonesia dan membuktikan bahwa 45% jajanan anak berbahaya. Begitu pula temuan penelitian Nunung nurjanah (2009) juga ditemukan bahwa makanan jajanan yang diperdagangkan di lingkungan Sekolah Dasar (SD) di kota Malang 100% menggunakan Bahan Tambahan Pangan (BTP) seperti pewarna, penambah rasa (MSG), penambah rasa pedas, pemanis, pengenyal, penggumpal, dan pengawet. Bahkan ada beberapa produk yang menggunakan 2-4 macam BTP sekaligus yang standar dosis pemakaiannya belum dapat dipertanggung jawabkan. Hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa pewarna yang biasa digunakan oleh para pedagang jajanan di SD Kota Malang umumnya menggunakan pewarna “merk jinggo” yang ternyata pewarna tersebut adalah pewarna untuk industri. Pewarna ini fungsinya untuk pewarna cat harga/sachet Rp 200 – 500. Penyalahgunaan pemakaian zat pewarna non pangan jelas berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat warna terebut (Cahyadi: 2008). Terkait dengan masalah makanan jajanan yang diperdagangkan di lingkar sekolah, pada pertengahan Desember 2008 sekitar 79 siswa Sekolah Dasar Negeri Penaruban, Kaligondang, Purbalingga – Jawa Tengah, mengalami gejala mual dan muntah-muntah setelah mengkonsumsi makanan jajanan (snack) yang dibeli di sekitar sekolahnya. (Jawa Pos, 15 Desember 2008). Ada dugaan kuat bahwa keracunan yang dialami oleh siswa Sekolah Dasar tersebut dikarenakan pengolahan makanan jajanan tersebut tidak memperhatikan aspek kesehatan, dan bahan dasar pembuatan makanan jajanan tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan. Masih dalam kasus yang sama, kurang lebih satu minggu sebelum terjadi peristiwa di Purbalingga, sejumlah besar siswa Sekolah Dasar di Surabaya menderita gejala yang sama seperti siswa Sekolah dasar di Purbalingga setelah mengkonsumsi minuman susu yang dijual oleh pedagang di sekitar sekolahnya. Dua peristiwa yang memilukan tersebut barangkali merupakan potret kecil dari sejumlah peristiwa yang serupa di tempat lain yang tidak SEMNAS MIPA 2010
terekpos, sehingga keberadaannya seperti “gunung es” yakni realitas yang nampak dipermukaan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan peristiwa sejenis yang tidak tampak. Momen tersebut juga menjadi salah satu bukti bahwa masalah makanan jajanan yang memenuhi standar kesehatan masih belum menjadi skala prioritas untuk mendapatkan perhatian bersama. Dengan banyaknya makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya di pasaran, kantin-kantin sekolah, dan penjaja makanan di sekitar sekolah merupakan agen penting yang bisa membuat siswa megkonsumsi makanan tidak sehat. Indikasi peristiwa tersebut di atas memberikan sinyal bahwa pengetahuan dan kesadaran para pedagang makanan jajanan di lingkar sekolah relatif rendah terhadap prototype makanan yang sehat bagi anak, sebab diduga insiden tersebut terjadi karena perilaku pedagang dalam menggunakan zat tambahan makanan (food additive) secara sembarangan dan pengolahan makanan yang tidak memperhatikan hygiene sanitasi makanan. Disamping itu, diduga anak-anak sekolah juga tidak memahami bahayanya makanan yang mereka konsumsi, karena makanan jajanan yang diperdagangkan di lingkungan sekolah memang mampu menjawab tantangan sebagai makanan murah meriah dan variatif dan relatif disukai oleh anak-anak. Melihat kenyataan bahwa sebagian besar anak sekolah jajan di kantin sekolah atau di penjual makanan di lingkar sekolah, peneliti ingin melihat gambaran produsen makanan tentang; pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam membuat dan menjajakan dagangannya. Disamping itu peneliti juga ingin melihat gambaran prilaku jaja anak sekolah. Hal ini penting sekali karena kebiasaan anak jajan makanan yang tidak sehat akan mengganggu kesehatan di masa depan. Bahaya yang senantiasa mengancam kesehatan anak usia sekolah karena prilaku makan adalah merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah, produsen pangan, orang tua dan guru, pemerintah daerah khususnya departemen pendidikan dan departemen kesehatan harus mulai mengKIM - 144
ambil langkah cepat berkoordinasi untuk melakukan upaya perbaikan. Penegasan komitmen ini didasarkan pada kondisi keamanan pangan di negara kita masih ketinggalan dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju. Atas dasar itulah perlu dilakukan riset dasar dan terapan terkait dengan keamanan pangan khususnya keamanan pangan di lingkungan sekolah secara tuntas yang diharapkan dapat menunjang kepentingan semua fihak. Berangkat dari pemikiran tersebut, perlu dipikirkan bagaimana memberdayakan para pedagang makanan di lingkar sekolah tersebut, agar mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran tinggi tentang perlu membuat makanan sehat yang memenuhi selera anak dan memenuhi kecukupan gizi yang diperlukan bagi perkembangan anak sekolah. Penelitian ini akan mencoba menjawabnya melalui serangkaian kegiatan penelitian yang komprehensif, yaitu diawali dengan studi empiris untuk memperoleh gambaran awal tentang jenis dan karakteristtik makanan jajanan yang dijual pedagang di lingkar sekolah dasar, menggali data tentang jajanan yang paling disukai oleh konsumen (anak sekolah), dan berapa rupiah rata-rata anak sekolah menghabiskan anggaran untuk jajan di sekolah.
No
1
2
3
4
5
Nama Wilayah Kecamatan Kecamatan Klojen
Kecamatan Blimbing
Kecamatan Kedung Kandang
Kecamatan Lowok Waru
Kecamatan Sukun
Nama Sekolah
SDN Bareng 1 SDN Klojen SDN Muhamadiyah 9 SDN Gading Kasri SDN Blimbing 4 SDN Bunul Rejo 3 SDN Bunul Rejo 2 SDN Purwantoro 1 SDN Kartika IV6 SDN Model SDN Sawojajar 2 SDN Madyopuro 1 SDN Sumber Sari I SDN Tunggulwulung 1 SDN Tunjung Sekar 3 SDN Tlogo Mas 2 SDN Sukun I SDN Kebonsari 2 SDN Mulyorejo 2 SDN Tunjungrejo 2 Jumlah
Jumlah Konsumen (Siswa kelas V SD) 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 200
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah: Siswa siswi SD, dari 5 kecamatan yakni: Kecamatan Blimbing, Klojen, Lowok Waru, Sukun, dan Kedung Kandang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dimana pada setiap sekolah diambil 1 kelas (kelas V) secara acak dari masing-masing kelas diambil 10 orang, sehingga jumlah sampel secara keseluruhan ada 200 orang. Alasan utama memilih sampel kelas V adalah karena mereka sudah cukup lama mengenal lingkungan sekolahnya. Selengkapnya distribusi sampel sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Sampel Penelitian SEMNAS MIPA 2010
HASIL PENELITIAN
Penyebaran angket dilakukan kepada 200 Siswa kelas V, dari 20 sekolah (5 kecamatan yang ada di wilayah kota Malang). Teknik penyebaran angket dilakukan di dalam kelas dan dipandu dibacakan satu persatu oleh peneliti dan siswa melingkari jawaban sesuai petunjuk., maka dari 200 angket berhasil dikumpulkan 100%. Tabel 2. Frekwensi Latar Belakang Responden ( n= 200) Jenis Kelamin Jumlah % Laki-laki 81 40,5 Perempuan 119 59,5 Jumlah 200 100 Usia 8 – 9 tahun 16 8 9 – 10 tahun 98 49 KIM - 145
Tabel 2 menunjukkan dari jumlah 200 responden, lebih dari separuhnya adalah siwa perempuan. (59,5 %) dan usia responden mengelompok pada 9 sd. 10 tahun, (49 % ) dan 10 s.d 11 tahun ( 40 %), pengelompokkan pada usia ini disebabkan karena peneliti menyebarkan kuesioner ini pada anak-anak yang berada di kelasn V, sisanya 6 orang berusia 11-12 tahun, ada kecenderungan mereka pernah mengulang kelas sebelumnya
penelitian ini adalah siswa kelas V SD, yang memiliki jam tambahan pelajaran sampai pukul 15.00. Disamping itu menurut pengakuan penanggung jawab UKS setiap sekolah, himbauan untuk membawa bekal ke sekolah hampir selalu dilakukan pada setiap upacara khususnya bagi kelas atas (kelas V dan kelas VI) karena jam pelajaran lebih panjang. Namun demikian masih ada sebagian kecil 11,5 % yang mengku tidak pernah membawa bekal ke sekolah, dan 34,5 % mengaku jarang membawa bekal. Untuk mengurangi rasa lapar biasanya jajan di kantin sekolah banyak juga siswa yang jajan di luar pagar sekolah.
Tabel 3. Kebiasaan Siswa sarapan sebelum berangkat sekolah
Tabel 5. Besaran nominal Uang Saku yang Diterima
10 – 11 tahun 11 – 12 tahun Jumlah
80 6 200
Kebiasaan sarapan pagi Selalu Sering Jarang Tidak pernah Jumlah
40 3 100
Jumlah 86 93 17 4 200
% 43 46,5 8,5 2 100
Jumlah uang saku < Rp 1000,00 Rp. 2000,00 – Rp 3000,00 Rp. 3000,00 – Rp. 5000,00 Rp 5000,00 – Rp 10.000,00 Diatas Rp 10.000
Jumlah Tabel 3 .menunjukkan bahwa pada umumnya responden melakukan sarapan pagi pada setiap harinya., dan hanya 8,5% yang menjawab jarang, dan 2% yang menjawab tidak pernah. Responden yang tidak pernah atau jarang sarapan di rumah pada umumnya mereka jajan makanan berat disekolah, sesuai yang disampaikan oleh beberapa penjual kantin sekolah, jajanan berat seperti nasi goreng, mie goreng, bihun goreng 20 – 30% terjual pada pukul 9.00 saat istirahat pertama, pada umumnya yang membeli adalah siswa yang tidak sarapan di rumahnya. Tabel 4. Kebiasaan membawa bekal ke sekolah Kebiasaan membawa bekal Selalu Sering Jarang Tidak pernah Jumlah
Jumlah 32 76 69 23 200
% 16 38 34,5 11,5 100
Berdasarkan tabel 4 nampak bahwa responden pada umumnya membawa bekal ke sekolah, hal ini karena responden dalam SEMNAS MIPA 2010
Jumlah 3 68 73 42 14
% 1,5 34 36,5 21 7
200
100
Besaran uang jajan yang diterima responden pada umumnya ada pada kisaran Rp 2000,00. s.d. Rp 5000,00. 36,5% ada pada kisaran Rp. 3000,00 s.d Rp 5000,00, dan 34 % yang membawa uang saku Rp 2000,00 s.d. Rp 3000,00. Ada juga yang membawa uang saku di atas Rp 10.000,00 walau jumlahnya kecil (7%) Peneliti sempat bertanya pada siswa yang membawa uang saku di atas Rp. 10.000,00, Mereka pada umumnya membelanjakan uang tersebut selain untuk membeli makanan ringan juga untuk membeli nasi karena tidak membawa bekal ke sekolah. Tabel 6. Frekwensi Menghabiskan Uang Jajan Tiap Hari Kebiasaan sarapan pagi Selalu habis Sering habis Jarang habis Tidak pernah habis Jumlah
Jumlah 124 38 26 12 200
% 62 19 13 6 100
KIM - 146
Pada umumnya (62%) responden menghabiskan uang saku dalam setiap harinya, dan hanya 6 % yang mengaku tidak pernah habis membelanjakan uang sakunya karena disisihkan untuk menabung. Hal ini menunjukkan bahwa jajan di sekolah merupakan bagian yang sangat penting bagi siswa-siswi sekolah dasar baik untuk memenuhi rasa lapar, atau hanya merupakan kebiasaan saja. Sehingga jenis jajanan yang dijual di lingkungan sekolah juga merupakan bagian yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena siswa hanya dapat membeli jajanan yang di jual di sekitarnya. Jika jenis jajanan yang dijual berkualitas baik maka siswa pun akan mendapat asupan makanan yang berkualitas baik dan sebaliknya. Tabel 7. Tempat Jajan yang Paling Sering Dikunjungi/ Favorit Responden Tempat jajan favorit di Sekolah Kantin Sekolah ( di dalam sekolah) Di luar pagar sekolah Di Tempat lain Jumlah
Jumlah
%
73
36,5
102 15 200
51 7,5 100
Suatu temuan yang cukup mengejutkan, walaupun hampir semua sekolah selalu menghimbau dan mengingatkan para siswa untuk tidak jajan di luar namun tabel 7 menunjukkan lebih dari separuh (51%) siswa lebih menyukai jajan di luar pagar sekolah, kemungkinan besar ini dilakukan pada saat pulang sekolah atau pada saat istirahat ke 2 pada saat adik kelasnya pulang sekolah (pukul 12.00 – 13.00). Tabel 8. Jajanan yang paling disukai responden Jajanan yang paling disukai Makanan Kemasan (biskuit, ciki, macaroni, dll) Makanan berat (nasi dan lauk pauk) Makanan berat lain ( mie baso, mie goreng, roti dll) Makanan yang
SEMNAS MIPA 2010
Jumla h 47
% 23,5
24
12
27
13,5
86
43
menggunakan saus merah ( cilok, tempura, dll) Kue basah ( risoles, lemper, kue lumpur, dll) Jumlah
16
8
200
100
Jenis jajanan yang paling disukai ternyata jenis jajanan yang menggunakan saus merah seperti cilok, tempura ( 43%) yang keberadaannya memang berada di luar pagar sekolah. 23 % siswa menyukai jajanan yang menggunakan kemasan seperti ciki, macaroni, biscuit dan lain-lain, yang pada umumnya di jual di kantin sekolah. Jenis jajanan kemasan ini berdasarkan pengamatan peneliti 100 % ada di kantin sekolah. Sesuai dengan pengakuan pedagang kantin, makanan kemasan dari pabrik home industri ini menempati urutan pertama jenis jajanan yang paling disukai siswa. Jenis jajanan yang paling tidak disukai adalah kue basah (8%) sehingga banyak sekolah yang pada ahirnya tidak menjual jenis jajanan ini, karena tidak laku. Tabel 9. Alasan menyukai dan membeli
jajanan Alasan memilih jajanan Karena makanan tersebut bergizi Karena rasanya enak Karena harganya murah Karena warnanya menarik Karena hal lain Jumlah
Jumlah 30 114 35 9 12
% 15 57 17,5 4,5 6
200
100
Alasan utama responden memilih jajanan, ternyata karena alasan rasanya yang enak (57 %). Pilihan tersebut ada kecenderungan responden mengabaikan hal lainnya, seperti apakah makanan itu bergizi dan bermanfaat. Hal ini sesuai tabel 9 responden memilih jajanan dengan alasan karena tahu bahwa makanan tersebut bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan hanya 15%. Harga murah pun ternyata bukan menjadi pertimbangan yang utama dalam memilih jajanan (17,5) walaupun uang saku yang mereka dapat dari orang tuanya tidak terlalu banyak.
KIM - 147
Tabel 10. Kebiasaan Mencuci Tangan sebelum Makan Jajanan di sekolah Kebiasaan Mencuci tangan Selalu Sering Jarang Tidak pernah Jumlah
Jumlah 9 28 69 94 200
% 4,5 17 34,5 47 100
Kebiasaan cuci tangan sebelum mengkonsumsi jajanannya ternyata hanya dilakukan oleh sebagian kecil siswa (4,5%), selebihnya mengatakan sering (17%), jarang(34,5%). Bahkan presentasi yang paling tinggi yang menjawab tidak pernah (47 %) alasan mereka tidak mencuci tangan karena lupa, dan malas ke kamar mandi karena lokasi kantin dan kamar mandi cukup jauh. Berdasarkan pengamatan peneliti di sekolah-sekolah tersebut memang hampir tidak ada yang menyediakan wastafel di lokasi kantin dann sekitarnya. KESIMPULAN DAN SARAN
Perilaku jajanan anak perlu mendapat perhatian khusus, karena anak sekolah merupakan kelompok yang rentan terhadap penularan bakteri dan virus yang disebarkan melalui makanan, atau biasa disebut dengan Food borne and diseases. Dengan maraknya isu berkaitan dengan campuran kimiawi makanan jajanan yang sangat mempengaruhi kesehatan seseorang, peneliti ingin mengetahui gambaran pola perilaku jajan anak sekolah di lima kecamatan Kota Malang. Temuan dalam penelitian ini adalah : Rata-rata uang saku yang diterima oleh siswa SD Kota Malang pada umumnya ada pada kisaran Rp.2000,00 s.d. Rp. 5000,00, jumlah itu sebetulnya cukup untuk memenuhi rasa lapar di sekolah. Hanya kualitas dan kuantitas jajanan yang dibeli siswa tergantung dari jenis makanan apa saja yang dijual di sekolah. Temuan lain menunjukkan bahwa ternyata jajanan yang paling disukai oleh siswa adalah makanan yang menggunakan saus merah yang dijual SEMNAS MIPA 2010
di luar pagar sekolah. Walaupun sudah ada upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah yaitu menutup pagar sekolah di saat istirahat dan menghimbau supaya siswa untuk dapat memilih makanan yang baik, hal tersebut tidak membuat siswa meninggalkan kesukaannya untuk membeli makanan yang disinyalir kurang sehat, karena alasan utama mereka membeli jajanan karena rasanya enak, dan harganya murah dengan mengabaikan apakah makanan tersebut berbahaya atau tidak. Untuk mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang tidak sehat dan tidak aman, perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orang tua, murid, serta pedagang. Sekolah dan pemerintah perlu menggiatkan kembali UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Materi komunikasi tentang keamanan pangan yang sudah pernah dilakukan oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan dapat ditingkatkan penggunaannya sebagai alat bantu penyuluhan Keamanan pangan di sekolahsekolah. Perlu diupayakan pemberian makanan ringan atau makan siang yang dilakukan di lingkungan sekolah. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar anak tidak sembarang jajan. Koordinasi oleh pihak sekolah, persatuan orang tua murid dibawah konsultasi dokter sekolah atau Pusat Kesehatan Masyarakat setempat untuk dapat menyajikan makanan ringan pada waktu keluar istirahat yang bisa diatur porsi dan nilai gizinya. Upaya ini tentunya akan lebih murah dibanding anak jajan diluar disekolah. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Soemita. 1977. Buku Penuntun Ilmu Gizi Umum. Jakarta: Dirjen PKM Depkes RI. Bellaart, A.C. 1979. Ikhtisar Ringkas Vitamin dan Hormon Terpenting. Jakarta: Jambatan. Notoatmodjo, Soekidjo 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Suhardjo, 1989. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Bogor: IPB
KIM - 148
Wardhani, S. R.1999. Hubungan Konsumsi Rhodamine B dalam Makanan Jajanan dengan Kelainan Faal Hati Siswa SDN Madyopuro II. Surabaya: Tesis Program Pascasarjana Unair. Widyaningsih, Retno 2000. Sulit Makan Pada Anak. Temu muka dan Konsultasi Kiat Mengatasi Ksulitan Makan Pada Anak. Jakarta, 16 Juli 2000. World Health Organization1986. Environmental Health Criteria 57: Principle of Toxicokinetic Studies. Yosoprawoto, Mardhani 1992. Penyebab Tidak Suka Makan Pada Anak. Makalah Ceramah Ilmiah Populer Berkala Ilmu Kesehatan Anak. Malang: Ikatan Dokter Anak Indonesia
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 149
MENINGKATKAN KUALITAS PROSES DAN HASIL BELAJAR KIMIA DENGAN MENGIMPLEMENTASIKAN MODEL BELAJAR LEARNING CYCLE BERBANTUAN PETA KONSEP PADA SISWA KELAS X-7 DI SMA NEGERI 4 PASURUAN Trisnurini Tantrianingrum SMAN 4 Pasuruan Jl. Hasanudin No. 76 Pasuruan e-mail:
[email protected]
Abstract Selama pembelajaran kimia untuk pembelajaran konsep guru lebih banyak menggunakan model konvensional. Pada materi larutan elektrolit dan reaksi redoks siswa yang mencapai nilai ketuntasan minimum 65 masih rendah (37,84%). Hasil identifikasi masalah diketahui (1) rendahnya hasil belajar siswa disebabkan pemahaman siswa masih rendah terhadap materi larutan elektrolit dan reaksi redoks (2) siswa cenderung pasif, kurang berani mengajukan pertanyaan dan kurang berani menjawab pertanyaan (3) sebagian besar siswa belum dapat menghubungkan konsep konsep materi yang sedang dipelajari (4) metode mengajar yang digunakan guru belum dapat mendorong siswa berpikir (5) metode mengajar guru perlu diubah ke arah pembelajaran inovatif. Untuk mengatasi masalah tersebut peneliti memilih model pembelajaran Learning Cycle berbantuan Peta Konsep. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar larutan elektrolit dan reaksi redoks pada siswa kelas X-7 di SMA Negeri 4 Pasuruan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang di bagi menjadi 2 siklus dan masing-masing siklus ada 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 26 Februari sampai 23 April 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) implementasi model learning cycle berbantuan peta konsep telah dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dimana telah dapat melibatkan sekitar 85% siswa untuk berpartisipasi aktif selama proses pembelajaran, dan (2) implementasi model learning cycle berbantuan peta konsep telah dapat meningkatkan hasil belajar siswa dimana pada siklus I siswa yang tuntas 20 dengan prosentase ketuntasan 54,05% dan nilai rata-rata kelas 67,51. Pada siklus II siswa yang tuntas 29 dengan prosentase ketuntasan 78,38% dan nilai rata-rata kelas 71,05. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disarankan bahwa model belajar learning cycle berbantuan peta konsep dapat digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya kualitas pembelajaran kimia untuk materi pokok larutan elektrolit dan reaksi redoks Kata-kata kunci : Learning Cycle, Peta Konsep, Hasil Belajar, Kimia SMA
Selama pembelajaran kimia semester I tahun pelajaran 2008/2009 guru dalam pembelajarannya lebih banyak menggunakan model konvensional, ini diterapkan karena dianggap sangat efektif untuk menyampaikan informasi pada siswa. Namun kenyataannya setelah dilakukan evaluasi yang dikerjakan siswa pada akhir kompetensi untuk materi struktur atom dan sistim periodik diketahui siswa kelas X-7 yang mencapai nilai ketuntasan minimum 65 pada ulangan harian hanya 14 dari 37 siswa dengan nilai rata rata 57,38 Berdasarkan identifikasi hasil belajar dapat disimpulkan bahwa : (1) rendahnya hasil belajar siswa (khususnya siswa kelas SEMNAS MIPA 2010
X-7) disebabkan oleh pemahaman siswa masih rendah tentang materi yang dipelajari, (2) siswa cenderung pasif, kurang berani mengajukan pertanyaan dan kurang berani menjawab pertanyaan (3) sebagian besar siswa belum dapat menghubungkan konsep konsep yang sedang dipelajari, (4) metode mengajar yang digunakan guru belum dapat mendorong siswa berpikir, masih sebatas menghafalkan materi untuk diterapkan pada soal (penyelesaian soal soal) (5) metode mengajar guru perlu di ubah ke arah pembelajaran inovatif.(6) pembelajaran kimia yang dilaksanakan di kelas tersebut menunjukkan kualitas proses dan hasil belajar yang masih rendah. KIM - 150
Untuk memecahkan masalah tersebut peneliti melakukan kajian , kurang aktifnya siswa dikelas dapat terjadi karena belum adanya rangsangan yang mendorong siswa berperan aktif, Guru masih dominan sehingga pembelajaran berpusat pada guru bukan pada siswa. Dari analisis hasil ulangan siswa diketahui bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan menghubungkan konsep konsep pada materi sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. akar masalah rendahnya proses pembelajaran di kelas X-7 berasal dari metode yang digunakan guru masih konvensional. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif metode yang digunakan dengan ciri ciri : dapat mendorong siswa belajar, mengandung hubungan antar konsep, memberikan tahap tahap konstruksi konsep dari fakta, teori dan penerapan konsep Pada penelitian ini dipilih model Learning Cycle (LC) berbantuan peta konsep karena pembelajaran dengan model LC memungkinkan guru dalam menjelaskan suatu konsep (Larutan elektrolit dan reaksi redoks) melalui tahapan-tahapan (fase-fase) yaitu : (1) kegiatan awal (engagement), (2) eksplorasi, (3) pengenalan konsep, (4) elaborasi, dan (5) evaluasi. (Lorbach,2007) Pada fase kegiatan awal, engagement, guru berusaha mendapatkan perhatian siswa, mendorong kemampuan berpikirnya, dan membantu mereka mengakses pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Kegiatan ini dapat membantu siswa menghubungkan konsep-konsep yang telah dimiliki dengan materi yang akan dipelajari. Kemudian siswa melakukan kegiatan eksplorasi dimana pada kegiatan ini siswa diberikan kesempatan untuk berpikir, merencanakan, meneliti, mengorganisasikan informasi yang telah dikumpulkan. Setelah mengumpulkan data pada kegiatan eksplorasi, siswa memasuki tahap eksplanasi dimana siswa dilibatkan untuk menganalisis hasil eksplorasinya. Pada tahap ini sangat penting siswa memahami hubungan antar konsep yang dipelajarinya sehingga sangat tepat bila pada fase ini diterapkan teknik peta konsep. Dengan teknik peta konsep, siswa dapat memantapkan pengetahuannya melalui hubungan antar konsep. Pada fase elaborasi siswa diberikan kesempatan untuk SEMNAS MIPA 2010
mengembangkan (extend) dan memantapkan pemahamannya terhadap konsep yang dipelajari dan menerapkannya dalam situasi baru. Dengan demikian penelitian ini bertujuan memecahkan masalah tentang masih rendahnya kualitas proses dan hasil belajar larutan elektrolit dan reaksi redoks di SMA Negeri 4 Pasuruan dengan menggunakan model learning cycle berbantuan peta konsep yang dapat dinyatakan dengan judul penelitian “Meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia dengan mengimplementasikan model Learning Cycle berbantuan peta konsep pada siswa kelas X-7 di SMA Negeri 4 Pasuruan” METODE Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Reaseach) dengan 2 siklus, masing masing siklus terdiri dari empat langkah (Kemmis dan Mc Taggart, 1988) berikut : perencanaan, yaitu merumuskan masalah, menentukan tujuan dan metode penelitian serta membuat rencana tindakan b) tindakan yang dilakukan sebagai upaya perubahan yang dilakukan, c) observasi, dilakukan secara sistimatis untuk mengamati hasil atau dampak tindakan terhadap proses belajar mengajar, dan d) refleksi yaitu mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau dampak yang dilakukan Siklus I 1) Perencanaan Peneliti merencanakan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Beberapa perangkat yang disiapkan dalam tahap ini adalah: silabus, RPP , lembar kegiatan siswa, lembar diskusi siswa, lembar evaluasi dan lembar observasi. 2) Pelaksanaan Pelaksanaan tindakan siklus I direncanakan 2 kali pertemuan, masing-masing terdiri dari 3 x 45 menit, pelaksanaan tindakan yang dimaksud yaitu penerapan model pembelajaran LC berbantuan peta KIM - 151
konsep. Berikut adalah uraian secara rinci tahapan proses pembelajaran, Guru memberi penjelasan tentang pembelajaran Learning Cycle (LC) dan peta konsep beserta komponen komponennya. Siswa dibagi ke dalam 7 kelompok berdasarkan pertimbangan kemampuan akademik dan jenis kelamin Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang akan dipelajari. Siswa ditugaskan untuk bergabung dengan kelompok masing masing. Guru memulai pembelajaran dengan fase engagement dengan memberikan masalah yang berhubungan dengan konsep yang telah dimiliki dan sebagai pengantar masuk pada konsep yang akan dipelajari . Siswa diminta membuat peta konsep tentang pengetahuan awal yang telah dimiliki Guru memberi penghargaan (stiker) kepada siswa yang aktif dalam pembelajaran (aktif bertanya, menjawab dan menanggapi) Guru menjelaskan kedudukan konsep yang akan dipelajari dengan bagian peta konsep pengetahuan awal yang telah dibuat siswa. Menugaskan siswa melakukan kegiatan eksplorasi dengan melakukan pratikum dan mendiskusikan hasil pratikum dengan menjawab pertanyaan yang ada pada lembar kerja siswa Guru melakukan observasi, membimbing jalannya pratikum dan diskusi. Setelah kegiatan kelompok selesai, dilanjutkan dengan diskusi kelas yang dipandu oleh guru untuk membahas hal hal yang tidak/belum terselesaikan dalam kegiatan kelompok. Siswa mengembangkan peta konsep tentang materi yang dipelajari dan hubungannya dengan materi sebelumnya. Menugaskan siswa untuk mengkaji masalah yang berhubungan dengan terapan konsep yang dipelajari. Melakukan evaluasi pelaksanaan fase fase LC dan memberi penilaian peta konsep yang dibuat siswa. SEMNAS MIPA 2010
3) Pengamatan Tahap ini dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan, Pada tahap ini guru melakukan observasi terhadap kegiatan siswa pada masing-masing fase LC, diskusi penyusanan peta konsep, dan ketrampilan proses siswa selama pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. 4) Refleksi Analisis hasil observasi mengenai: Keaktifan siswa melakukan eksplorasi, partisipasi dalam kelompok, dan menerapkan konsep. Hasil kegiatan kelompok Hasil kuis dan kaitannya dengan hasil kegiatan kelompok. Kualitas peta konsep yang dibuat siswa Siklus II 1) Perencanaan Pada siklus kedua dilakukan tahapantahapan seperti pada siklus pertama tetapi didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada siklus pertama, sehingga kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus pertama tidak terjadi pada siklus kedua Beberapa alternatif peningkatan kualitas Learning Cycle berbantuan peta konsep akan diterapkan pada siklus kedua untuk mengoptimalisasikan keterlaksanaan metode. Alternatif tersebut antara lain menerapkan penggunaan peta konsep pada awal pembelajaran dan dilengkapi lagi pada akhir pembelajaran untuk menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan yang mereka pelajari setelah akhir pelajaran. Beberapa indikator keberhasilan pada siklus II diharapkan dapat lebih baik dibanding siklus I. A. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: lembar observasi, kuisener tebuka, lembar penilaian peta konsep, kuis atau tes prestasi belajar, dan catatan guru/jurnal. Instrumen observasi disusun berdasarkan komponen dasar pembelajaran learning cycle dan peta konsep, Kuisener terbuka digunakan untuk KIM - 152
mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran learning Cycle dan peta konsep, dan kuis atau tes prestasi belajar digunakan untuk mengetahui kualitas hasil belajar. B. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi dan tes. Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan masing masing siswa sebagai dasar pembagian kelompok. Teknik observasi digunakan untuk merekam kualitas proses belajar mengajar berdasarkan instrumen observasi dengan memberikan gambar stiker kepada siswa yang mengajukan pertanyaan, menjawab/menanggapi dan digunakan camera untuk merekam kegiatan siswa, sedangkan tes digunakan untuk mengetahui kualitas hasil belajar. Data hasil observasi, catatan guru, kuisener terbuka dianalisis secara diskriptif untuk mengetahui kualitas proses belajar mengajar, Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa diperlukan analisis hasil evaluasi setiap akhir tindakan dan ulangan harian. Seorang siswa dinyatakan telah tuntas belajar kimia bila telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yaitu ≥ 65. Adapun untuk pengukurannya dilakukan sebagai berikut : Untuk mengetahui persentasi peningkatan hasil belajar (P%) sesudah dilakukan tindakan yaitu dengan menggunakan perbandingan jumlah siswa yang mendapat nilai ≥ 65 (X) dengan jumlah siswa keseluruhan (N) dikalikan 100% Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: P% =
X N
x 100%
(Nana Sujana,2002)
Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan prosentase keberhasilan materi sebelumnya dengan karakter materi yang sama yaitu nilai ulangan harian I pada materi struktur atom dan sistim periodik unsur unsur. HASIL DAN PEMBAHASAN SEMNAS MIPA 2010
Pelaksanaan penelitian dilakukan dua siklus. Pelaksanaan masing – masing siklus mencakup empat tahap kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Pada siklus I perencanaan dilakukan setelah melakukan kajian terhadap masalah pembelajaran di kelas X-7 SMAN 4 Pasuruan. Paparan berikut menyajikan hasil penelitian pada masing masing siklus A. Analisis Data Siklus I 1. Perencanaan Pemecahan masalah dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle yang dipadukan dengan penerapan peta konsep. Perencanaan Pembelajaran pada siklus I mencakup penyiapan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) menyiapkan alat evaluasi, materi ajar dan perangkat pembelajaran lain untuk kegiatan pratikum. Perangkat pembelajaran yang disiapkan disajikan pada lampiran I. Pelaksanaan siklus I dilakukan selama 2 kali pertemuan yaitu tanggal 26 februari dan 5 maret 2009. Masing masing pertemuan 3 x 45 menit. Materi yang disajikan pada pertemuan I adalah larutan elektrolit. Untuk mengetahui dampak pembelajaran terhadap hasil belajar peneliti menetapkan hasil ulangan harian pada materi struktur atom dan sistim periodik unsur unsur ( materi pokok sebelum larutan elektrolit dan konsep redoks) pada siswa kelas X-7 sebagai bekal awal belajar siswa karena materi ini mempunyai tingkat kesulitan yang sama dengan materi yang akan disajikan. Bekal belajar awal siswa digunakan sebagai dasar pada penentuan dampak pembelajaran. Hasil belajar awal siswa kelas X-7 disajikan pada gambar 4.1. Berdasarkan data pada gambar tersebut diketahui bahwa dari 37 orang siswa hanya 14 orang (37,84%) yang mencapai ketuntasan belajar 65 (standart sekolah ). Sebagian besar siswa (62,16%) masih belum tuntas, dengan tahap penguasaan materi pada skor 26 – 64. Pembelajaran pada tahap ini dilakukan secara konvensional dengan bantuan buku ajar kimia SMA X, pengarang Michael Purba (penerbit Erlangga). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kualitas hasil belajar siswa masih rendah. Keadaan KIM - 153
tersebut diperbaiki pada penelitian ini dengan menerapkan metode Learning Cycle berbantuan peta konsep. Gambar Hasil belajar awal
Gambar 4.1 hasil belajar awal siswa kelas X-7
2. Pelaksanaan Pada pertemuaan pertama siswa melakukan kegiatan yang ada dalam Lembar Kerja Siswa untuk melakukan percobaan mengamati daya hantar listrik pada air dan larutan, sebelum siswa melakukan percobaan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan menyampaikan pertanyaan yang mendorong siswa berpikir tingkat tinggi, apakah yang kamu ketahui tentang larutan? Kegiatan pembelajaran selanjutnya adalah kegiatan pratikum, guru membagikan LKS kepada siswa dan meminta siswa melengkapi data pada LKS, sebelum pratikum dimulai guru meminta salah satu siswa untuk memperagakan cara kerja alat uji elektrolit Kegiatan pratikum berlangsung sekitar 30 menit ,selama kegiatan pratikum guru menghampiri tiap-tiap kelompok untuk memberikan bantuan dan mengamati kegiatan siswa, kemudian guru mempersilahkan salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil percobaannya dan kelompok yang lain menanggapi. Pada bagian pembahasan guru mengajak siswa membuat peta konsep tentang apa yang mereka pelajari, pada kegiatan ini ternyata waktu yang diperlukan tidak sesuai dengan yang direncanakan sehingga pembelajaran pada pertemuan ini belum sampai pada kesimpulan, dan menutup pelajaran dengan menugaskan pada siswa untuk melanjutkan diskusi pada hari kamis, tanggal 5 Maret 2009. SEMNAS MIPA 2010
Pada pertemuan kedua, kegiatan pembelajaran dimulai dengan membuka pelajaran. Kemudian guru membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dari pembelajaran pada pertemuan sebelumnya, kegiatan ini memerlukan waktu 20 menit, selanjutnya guru memulai pembelajaran pertemuan kedua dengan memberikan pertanyaan untuk menggali pengetahuan yang sudah dimiliki siswa tentang larutan elektrolit kuat, elektrolit lemah dan larutan non elektrolit dan mengajukan pertanyaan untuk menggali informasi awal yang sudah dimiliki siswa tentang senyawa ion dan senyawa kovalen, guru meminta siswa duduk pada kelompoknya masing-masing untuk membahas masalah elektrolit senyawa ion dan elektrolit senyawa kovalen melalui diskusi kelas. Pada diskusi tersebut masing masing kelompok dapat menjelaskan pemecahan masalah dengan baik, kegiatan diskusi berlangsung selama 35 menit. Guru kemudian meminta salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok yang lain menanggapi. Pada bagian pembahasan guru menugaskan siswa membuat peta konsep tentang apa yang mereka pelajari kemudian guru membimbing siswa untuk menarik kesimpulan tentang elektrolit senyawa ion dan elektrolit senyawa kovalen. Guru menutup pelajaran tetapi untuk tes formatif pada 45 menit terakhir yang sudah direncanakan tidak bisa terlaksana dan dilaksanakan pada pertemuan berikutnya, Hasil belajar disajikan pada bagian observasi. 3. Hasil Observasi Temuan temuan pada proses pembelajaran siklus I diamati dari tahap tahap siklus belajar 5 fase yaitu engagement, eksplorasi, penerapan konsep dan evaluasi, Hasil pengamatan yang dibantu oleh observer dirangkum pada tabel 4.1 Hasil belajar awal dan akhir siklus I
KIM - 154
Gambar 4.2 Hasil belajar awal dan akhir siklus I Data pada gambar 4.2 menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah siswa yang ada pada kelompok skor 0 – 25 dan 26 – 50. Artinya siswa yang memperoleh skor pada katagori tersebut berkurang jumlahnya atau mereka memperoleh skor yang lebih tinggi. Hal tersebut nampak pada kelompok skor 51 – 64 dan jumlah siswa yang memperoleh skor diatas 65 meningkat. Perubahan penting yang tampak adalah jumlah siswa yang mencapai KKM adalah 20 siswa (54,05).Siswa yang memperoleh skor katagori 76 – 100 mencapai 12 siswa (32,43%) sehingga tampak terjadi peningkatan yang sangat berarti. Secara keseluruhan, skor rata rata siswa sebelum pembelajaran adalah 57,24 sedangkan pada akhir siklus I naik menjadi 67,51 Refleksi siklus I Paparan pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa RPP yang direncanakan telah dapat dilaksanakan dimana penyajian konsep larutan elektrolit dipaparkan melalui kegiatan awal (engagement), eksplorasi, eksplanasi (penjelasan konsep) elaborasi ( penerapan konsep) dan evaluasi. Dari kedua pertemuan yang dilaksanakan waktu pembelajaran pada masing masing tahap kegiatan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Kegiatan belajar yang berhubungan dengan diskusi selalu memerlukan waktu lebih lama dibanding yang ditetapkan pada RPP. Keadaan ini terjadi karena pada pembelajaran sebelumnya siswa jarang melakukan kegiatan pembelajaran dengan diskusi dan membuat peta konsep , Namun demikian suasana kelas tampak lebih aktif disbanding dengan sebelumnya, apalagi guru memberikan gambar stiker kepada siswa yang berani mengajukan,menjawab pertanyaan dan menanggapi jawaban guru dan temannya. Refleksi siklus I adalah, (1) guru masih cukup mendominasi dalam kegiatan belajar mengajar dimana guru kurang sabar menunggu argumen siswa baik dalam hal mengemukakan dugaan maupun dalam meminta siswa menanggapi jawaban dari SEMNAS MIPA 2010
siswa lain, (2) guru masih belum memberi penegaskan kepada siswa tentang konsep konsep apa saja yang ada dalam materi untuk dihubungkan menjadi sebuah peta konsep (3) beberapa penguatan dari jawaban siswa telah diberikan guru tetapi belum menggali lebih jauh dengan pertanyaan lebih jauh sehingga penguatan yang diberikan guru pada tiap tahap konstruksi konsep perlu ditingkatkan, (4) guru masih belum membimbing siswa dalam menerapkan konsep yang dipelajari pada situasi baru. B. Analisis Data siklus II 1.Perencanaan Peneliti memperbaiki RPP yang telah dibuat sesuai dengan hasil refleksi pada siklus I. RPP disusun untuk 4 kali pertemuan dengan pertimbangan waktu yang cukup untuk diskusi dan presentasi hasil kerja dan guru perlu memberikan waktu tunggu yang cukup untuk siswa bekerja dalam kelompok. Pada perencanaan ini guru perlu memberikan penjelasan kepada siswa dalam melakukan eksperimen dan yang harus diamati pada saat melakukan kegiatan eksperimen. Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanggapi pekerjaan teman temannya. 2. Pelaksanaan Pada pembelajaran pada siklus II dilaksanakan selama 4 kali pertemuan. Materi yang diajarkan adalah reaksi oksidasi reduksi. Pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama adalah percobaan untuk mengamati reaksi oksidasi dilanjutkan dengan diskusi kelas tentang perkembangan reaksi oksidasi reduksi ditinjau dari konsep oksigen, konsep elektron dan konsep bilangan oksidasi. Pada pertemuan ke dua membahas konsep bilangan oksidasi dan siswa diminta mendiskusikan tentang suatu reaksi merupakan reaksi redoks atau bukan redoks. Pada pertemuan ketiga mendiskusikan oksidator dan reduktor dalam persamaan reaksi berdasarkan konsep bilangan oksidasi. Pada pertemuan keempat menyimpulkan reaksi redoks dan bukan redoks berdasar hasil percobaan dan satu jam terakhir dilaksanakan tes akhir siklus ke dua. Hasil KIM - 155
belajar siklus II dibanding siklus I disajikan pada gambar 4.3. Rekaman keaktifan siswa dan proses pembelajaran pada siklus ke dua disajikan pada bagian observasi. 3.Hasil Observasi Hasil pengamaatan keterlaksaan pembelajaran pada siklus II disajikan pada tabel 4.1 Perbandingan Hasil Belajar Siklus I dan II 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
siklus 1 siklus 2
0 -25
26 - 50
51-64
65 - 75
76 - 100
Gambar 4.3 Perbandingan Hasil Belajar Siklus I dan II Data yang dipaparkan diatas menunjukkan penerapan model LC efektif untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam mempelajari larutan elektroit dan reaksi redoks. Ditinjau dari kualitas proses pembelajaran keaktifan siswa meningkat dari siklus 1 ke siklus 2. Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran diketahui dari siswa yang bertanya, menanggapi , dan menjawab pertanyaan guru dan guru memberikan stiker point untuk meningkatkan keaktifan siswa. Tabel 4.1 Rekaman keaktifan siswa dalam diskusi kelas SIKL US
Rata-rata keaktifan siswa selama pembelajaran ∑siswa Berta Menja menang yang nya wab gapi terlibat
SIKLU S1
4
13
2
51,3%
SIKL US II
9
15
5
77,3%
serta memberikan komentar pada hasil kerja kelompok lain. Keadaan demikian belum ditemukan pada pembelajaran konvensional yang diterapkan guru sebelum siklus I berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi yang diciptakan guru dimana siswa memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau mengajukan pertanyaan telah dapat mengaktifkan siswa. Keadaan tersebut merupakan dampak pengiring dari dampak instruksional penarapan model learning cycle dan peta konsep yang diterapkan guru. Dari kualitas hasil belajar (data pada Gambar 4.3) menunjukkan jumlah siswa yang memperoleh skor diatas skor ketuntasan minimal 65 lebih banyak dibanding siklus I. Fakta tersebut mengindikasi bahwa disamping kualitas proses pembelajaran pada siklus II meningkat, hasil belajar siswa juga meningkat. Ada indikasi diskusi peta konsep yang dilakukan secara intensif pada siklus II dapat meningkatkan pemahaman siswa. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model learning cycle berbantuan peta konsep dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Pembahasan Penggunaan model Learning cycle berbantuan peta konsep pada penelitian ini telah dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa dalam mempelajari ilmu kimia. Dampak instruksional dari implementasi model pembelajaran ini telah dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang ditunjukkan oleh meningkatnya ketuntasan siswa dari 37,84% sebelum penerapan model menjadi 54,05% pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 78,38% pada siklus II demikian pula dengan kualitas proses belajar siswa meningkat dibanding sebelum penerapan model A. Kesimpulan
Refleksi Siklus II
Kualitas proses pembelajaran dan keterterapan RPP pada siklus II lebih baik dibandingkan dengan siklus I. Pada proses pembelajaran, guru telah memberikan kesempatan pada siswa untuk mengemukakan pendapat, menanggapi pertanyaan guru atau pertanyaan temannya, SEMNAS MIPA 2010
Hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa implementasi model belajar Learning Cycle berbantuan peta konsep dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dimana penggunaan model tersebut telah dapat melibatkan sekitar 85% siswa untuk berpartisipasi aktif selama proses pembelajaran dan dapat KIM - 156
meningkatkan kualitas hasil belajar siswa dimana pada akhir siklus II sebanyak 78,38% siswa telah dapat mencapai skor ketuntasan belajar minimum (65) dalam mempelajari materi pokok larutan elektrolit dan reaksi redoks, dengan nilai rerata 71,05. B.Saran
Berdasarkan hasil-hasil penelitian ini, maka dapat disarankan kepada guru bidang studi kimia bahwa model Learning Cycle berbantuan peta konsep dapat digunakan secara efektif untuk memecahkan masalah rendahnya kualitas proses dan hasil belajar kimia khususnya dalam mempelajari materi pokok larutan non elektrolit dan elektrolit serta reaksi oksidasi reduksi. Metode yang diterapkan pada penelitian ini dapat dicobakan untuk memecahkan masalah pembelajaran kimia pada materi pokok lain yang mempunyai karakter yang sama yaitu melibatkan kegiatan pratikum dan memiliki konsep-konsep yang saling berhubungan.
Lorbach, A.W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planing Science Instruction. Online(http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorba ch/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2007).
Setyowati, Istri. 2008 Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas X-3 Pada Konsep Kekhasan Atom Karbon Dan Hidrokarbon Dengan Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournamen (TGT). Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Malang: SMA Laboratorium UM. Sudjana, Nana. 1990. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Susilo, H.,Chotimah,H., Sari, Y.D., 2009. Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Sarana Keprofesionalan Guru Dan Calon Guru, Malang, Bayumedia Publishing. Wardati, Heni.2008. Pembelajaran Menggunakan Peta Konsep.Dalam Kumpulan: Model Peembelajaran Inovatif Untuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Malang: Lembaga Cakrawala Indonesia (LCI)
DAFTAR PUSTAKA Dasna, IW, Rohmah,A, Utariningsih, I. 2005. Pengaruh penggunaan model pembelajaran learning Cycle terhadap prestasi belajar materi pokok Koloid pada siswa SMAN I Tumpang. Laporan Penelitian. Malang: Jurusan Kimia FPMIPA UM. Dasna, IW., Fajaroh, F. Kodim, M., Narulitawati, D.R. 2004. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif dalam Bahan Makanan pada Siswa Kelas II SMA Negeri I Tumpang Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Volume 11, no.2. pp. 112–122. Fajaroh,F. 2001. Penggunaan Peta Konsep Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Mol Siswa Kelas I SMU Laboratorium Universitas Negeri Malang. Media Komunikasi Kimia. Edisi bulan Pebruari, halaman 59-70 Kartini, dkk, 2009. Model Pembelajaran Inovatif Untuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Malang: Lembaga Cakrawala Indonesia (LCI). Kemmis, S. & Mc Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. Third Edition. Victoria: Deakin University Press.
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 157
SEMNAS MIPA 2010
KIM - 158