perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KONSTRUKSI PENGETAHUAN REMAJA TENTANG MITOS LUSAN DI PLOSOKEREP, KELURAHAN BENDOSARI, KECAMATAN BENDOSARI, KABUPATEN SUKOHARJO
Disusun Oleh: RIO YULI HARTANTO NIM D 0308052
SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Sosial Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commiti to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitiii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN MOTTO
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs Al-Hasyr Ayat 18 )
Jangan takut untuk bermimpi, karena hidup berawal dari mimpi, dengan tak putus berusaha dan berdoa. Lebih baik kecewa karena gagal daripada menyesal karena tidak berani mencoba.
commitiv to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulis ingin mempersembahkan skripsi ini terutama kepada:
1. Bapak Ngadiman Sutrisno dan Ibu Hartini selaku Orang Tua yang tidak pernah lelah memberikan dukungan, baik secara moral maupun materi. 2. Adek Sarasita Feri Dwi Mayanti dan Adek Aprilia Wahyu Rahmadani yang telah memberikan banyak dukungan dan doa. 3. Sri Wulandari yang telah banyak tanpa lelah mencurahkan waktu dan semangat dalam memberikan doa dan dukungan dari awal sampai skripsi ini berhasil terselesaika n.
commitv to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assallamu’alaikum. Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan kenikmatan dan karuniaNya se hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konstruksi Pengetahuan Rem aja Tentang M itos Lusan Di Plosokerep, Kelurahan bendosari, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo“. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universita s Sebelas Maret Surakarta, dengan kurang dan lebihnya sebaga i buah pilihan, keyakinan, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik. Sebagai buah pilihan, karena pemilihan tema ini berdasarkan dari apa yang telah dialami sendiri oleh penulis. Bisa dibilang, skripsi ini adalah hasil dari apa yang menjadi pertanyaan besar bagi penulis sendiri. Hal ini menjadi pilihan penulis, karena penulis melakukan penelitian tentang konstruksi pengetahuan remaja bukanlah semata-mata awalnya dilandasi oleh niat untuk mengerjakan tugas skripsi. Akan tetapi, penulis lebih menggunakan penelitian skripsi ini dengan sebaik-baiknya sebagai media untuk menjawab pertanyaan penulis sendiri tentang apa itu mitos lusan sebagai bagian dari pengalamn hidup penulis pribadi. Lusan merupakan mitos larangan pernikahan bagi anak pertama dan anak ketiga. Eksistensi m itos lusan di Desa plosokerep merupakan realitas sosial yang harus penulis hadapi ketika dihadapkan pada sebuah pilihan dalam menja lin hubungan. Penulis sebagai orang luar yang secara kebetulan
commitvi to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki kedekatan dengan seorang remaja putri dari Plosokerep. Secara kebetulan pula penulis dan remaja putri tersebut adalah anak pertama dan anak ketiga. Dari sini lah, yang awalnya penulis sendiri sebelumnya sama sekali belum pernah sekalipun mendengar apa itu mitos lusan, kemudian menjadi dipenuhi rasa percaya dan tidak percaya pada kebenaran mitos lusan itu. Bertolak dari pengalaman tersebut, penulis memiliki banyak pertanyaan tentang lusan. Dan ketika harus menyusun skripsi sebagai syarat memperoleh gelar sarjana sosial, penulis menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk melakukan penelitian tentang mitos lusan. Dari apa yang penulis alam i, lusan adalah mitos yang mengikat bagi remaja anak pertama dan ana k ketiga yang sudah matang secara fisik dan belum menika h. Disini remaja sebagai obyek, karena ikatan dan larangan menikah tersebut ditujukan kepada remaja yang belum menikah. Remaja juga sebagai subyek, karena remaja juga lah yang akan menentukan apakah lusan ini akan tetap depercaya, atau hila ng oleh remaja. Oleh karena itu, penulis fokus penelitian ini kepada remaja Desa Plosokerep yang merupakan anak pertama dan anak ketiga terkait dengan mitos lusan yang mengikat mereka. Dalam proses penyusunan skripsi ini, baik dari awal penentuan tema, pada proses pengerjaan, penelitian, dan sampai penelitian ini berhasil dengan maksimal penulis selesaikan, semuanya tak lepas dari pada dukungan dan bantuan berbagai pihak yang sangat-sangat berjasa bagi penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
vii to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebelas M aret Surakarta. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Drs. Sudarsana, PGD.PD selaku Pembimbing Akademik selama penulis berada di bangku kuliah. Siti Zunariyah, S.Sos, M.si selaku Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas semua waktu yang diberikan dan transfer ilmu yang tidak akan pernah habis manfaatnya, serta kesabaran Ibu dalam membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini telah selesai dengan hasil yang maksimal. Selain dari pihal akademisi, penulis juga banyak mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ngadiman Sutrisno dan Ibu Hartini selaku Orang Tua yang tidak pernah lelah memberikan dukungan, baik secara moral maupun materi. Adek Sarasita Feri Dwi M ayanti dan Adek Aprilia Wahyu Rahmadani yang telah memberikan banyak dukungan dan doa. Sri Wulandari yang telah banyak tanpa lelah mencurahkan waktu dan semangat dalam memberikan doa dan dukungan dari awal sampai skripsi ini berhasil terselesaikan. Kepada seluruh staff pengajar Jurusan Sosiologi FISIP UNS atas semua ilmu yang telah penulis dapatkan dari Bapak dan Ibu sekalian. Kepada semua kawankawan Jurusan Sosiologi FISIP UNS Angkatan 2008. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih semuanya. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan bagi penulis agar menjadi lebih
viiito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik. Pe nulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri secara khusus dan bagi pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Surakarta,
oktober 2012 Penulis
Rio Yuli Hartanto
commitix to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Rio Yuli Hartanto. D 0308052. 2012. Konstruksi Pengetahuan Remaja Tentang Mitos Lusan Di Plosokerep, Kelurahan bendosari, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Skripsi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu politik universitas sebelas maret surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konstruksi pengetahuan Remaja tentang mitos lusan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif, dan metode penelitian studi kasus berkenaan dengan pertanyaan penelitian yang berupa Bagaimana dan M engapa. Proses pengumpulan data dengan wawancara semi terstruktur, observasi berpartisipasi, dan melalui dokumen buku dan penelitian terdahulu. Teknik pengambilan sampel purposeful sampling dengan subyek penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian, antara lain: orang tua, dan remaja anak pertama atau anak ketiga terutama yang pernah mengalami lusan. Teori yang digunakan adalah Konstruksi Realitas Peter L. Berger yang menjelaskan konstruksi realitas dapat terjadi dalam proses dialektika yang terjadi dalam tiga momen simultan yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Lusan tetap ada bahkan pada diri remaja sekarang yang modern karena mereka mempercayainya, bukan karena ingin atau tidak ingin percaya, tapi karena mereka dipaksa berada dalam kondisi yang harus mempercayainya. Apa pun yang mendasari mitos lusan tidak mereka langgar, semuanya adalah karena ketakutan mereka terhadap akibat dari mitos tersebut. Dan mitos lusan ada sejak jaman dulu dan sampai sekarang karena masyarakat takut kepadanya. Proses sosialisasi dan pewarisan nilai dalam mitos lusan dari orang tua terhadap remaja dilakukan dengan menanamkan ketakutan dan ancaman. Pada usia 12 sampai 15 tahun, Orang tua memperingatkan bagaimana akibatnya jika lusan dilanggar, tapi mereka belum memberikan ancaman apa pun. Pada usia 15 tahun keatas, proses sosialisasi yang terjadi lebih kepada upaya untuk melarang dengan disertai ancaman diusir dari rumah atau tidak diakui sebagai anak. Pada orang tua yang tidak dibayangi oleh ketakutan ana knya akan melanggar lusan, mereka cenderung kurang memberikan larangan yang memaksa, dan tidak disertai dengan ancaman yang berlebihan. Dan pada orang tua yang memang tidak mempercayai lusan mereka melarang anak untuk percaya pada lusan. Hasilnya adalah pola konstruksi pengetahuan remaja yang berbeda-beda berdasarkan proses sosialisasi mereka yang berbeda dilingkungan sosialnya, dan pola konstruksi pengetahuan tersebut dapat dibedakan, antara lain: 1) Mereka yang mempercayai dan meyakini, 1) M ereka yang tidak percaya, 1) Mereka yang percaya tapi belum takut, ) 3) Mereka yang merasa dan mengaku tidak percaya, 4) M ereka yang ingin melawan, dan 5) adalah Mereka yang sudah tidak berdaya (pasrah). Kata Kunci: Konstruksi Pengetahuan, Remaja, dan Mitos Lusan
commitx to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Rio Yuli Hartanto. D 0308052. 2012. Adolescent’s Knowledge Construction on Lusan Myth in Plosokerep, Kelurahan Bendosari, Bendosari Subdistrict, Sukoharjo Regency. Thesis of Sociology Department of Social and Political Sciences Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. This research aims to find out the adolescent’s knowledge construction on lusan myth using a qualitative research type, and the research method used was a case study relevant to the research problem constituting how and why questions. The process of collecting data was done using semi-structured interview, participatory observation, and book document and previous studies. The sampling technique used was purposive sampling with the subject of research consistent with the objective of research including: parent and the first and the third children adolescents experiencing lusan. The theory used was Peter L. Berger’s Reality Construction Theory explaining that the reality construction can occur in dialectic process occurring in three simultaneous moments: externalization, objectification, and internalization. Lusan kept existing among the present modern adolescents because they believed it, not because they want or do not want to, but because they were compelled to be in the condition that should believe it. They did not break whatever underlying lusan myth, all of which because they were afraid of the consequence of myth. And the lusan myth has been existing since a long time ago and until today because the society is afraid of it. The process of socializing a nd inheriting the value of lusan myth from parent to adolescent was done by instilling fear and threat. In 12-15 age, parents warned their children about the consequence of lusan breach, but they had not given any threat. In 15 and more age, the socialization process occurred more as the attempt of prohibiting and threatening with expelling from home or not recognized as child. The parents who had no fear that their children will break lusan, they tended to give less compelling warning, and no excessive threat. Those who did not believe in lusan even prohibit their children from believing in it. The result was that adolescents’ knowledge construction was different according to their different socialization process in their social e nvironment and the knowledge construction pattern could be divided into: 1) those trusting and believing, 2) those unbelieving, 3) those believing but not afraid of, 4) those perceiving and admitting as not believing, 5) those who want to oppose, and 6) those helpless (submitting to fate).
Keywords: Knowledge Construction, Adolescents, and Lusan Myth
commitxi to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v KATA PENGANTAR ................................................................................. vi ABSTRAK................................................................................................... x DAFTAR ISI ............................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xv DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang....................................................................... 1 B. Rumusan M asalah .................................................................. 10 C. Manfaat Penelitian ................................................................. 10 D. Tujuan Penelitian ................................................................... 10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep .................................................................................. 12 1. Remaja ............................................................................. 12 a. Lingkungan Sosial Remaja ......................................... 14 2. Pengetahuan ..................................................................... 19 3. M itos ............................................................................... 29 b. Mitologi Jawa............................................................. 36 B. Penelitian Terdahulu .............................................................. 41 C. Teori Yang Digunakan ........................................................... 51 1. Teori Konstruksi Realitas Peter L. Berger ........................ 51 D. Batasan Konsep ..................................................................... 57 1. Remaja ............................................................................. 57 2. Konstruksi Pengetahuan ................................................... 58 3. M itos ............................................................................... 59 xii to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Kerangka Berpikir ................................................................. 60 BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...................................................................... 63 B. Metode penelitian .................................................................. 64 C. Lokasi Pene litian ................................................................... 66 D. Sumber Data .......................................................................... 67 E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 68 1. Wawancara Semi Terstruktur ........................................... 68 2. Observasi ......................................................................... 70 3. Dokumentasi .................................................................... 71 F. Teknik Pengambilan Sampel .................................................. 73 G. Validitas Data ........................................................................ 74 H. Analisis Data ......................................................................... 74
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Masyarakat Desa Plosokerep.................................................. 78 B. Mitos Lusan ........................................................................... 82 1. Sejarah M itos Lusan......................................................... 84 2. Pantangan dan Akibatnya Jika Dilanggar ......................... 96 3. Proses Sosialisasi ............................................................. 98 a. Dari Keluarga ............................................................ 99 b. Dari M asayarakat ....................................................... 107 c. Dari Ke lompok Sebaya............................................... 110 C. Kedudukan M itos Lusan Bagi M asyarakat ............................. 114 1. Bagi Orang Tua................................................................ 114 2. Bagi Tokoh Agama .......................................................... 117 3. Bagi Remaja .................................................................... 124 D. Konstruksi Pengetahuan Rema ja Terhadap Mitos Lusan ........ 130 1. Realitas Dalam Kehidupan Sehari –hari remaja ................ 140 2. Realitas Obyektif Hasil Eksternalisasi (Objektivasi) ......... 150 3. Lusan Sebagai Realitas Subyektif (Internalisasi) .............. 160
xiiito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Pola Konstruksi Pengetahuan Remaja .............................. 169 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan............................................................................ 199 B. Implikasi................................................................................ 203 C. Saran ..................................................................................... 209
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH LAMPIRAN
xivto user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir .................................................................... 62 Gambar 3.1 Analisis data model interaktif Miles dan Huberman .................. 75 Gambar 4.1 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun dan Remaja Usia 15 Tahun keatas Dengan Eksternalisasi
di
lingkungan Keluarga ................................................................. 186 Gambar 4.2 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun dan Remaja Usia 15 Tahun keatas Dengan Eksternalisasi
di
lingkungan masyarakat ............................................................. 189 Gambar 4.5 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun dan Remaja Usia 15 Tahun keatas Dengan Eksternalisasi
di
lingkungan Kelompok Sebaya .................................................. 191 Gambar 4.4 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun Tentang Mitos Lusan .............................................................................. 195 Gambar 4.3 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 15 Tahun Keatas Tentang M itos Lusan ................................................................ 200
xv to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel Matrik 4.1 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun dan Remaja Usia 15 Tahun keatas Dengan Eksternalisasi di lingkungan Keluarga ....................................................... 187 Tabel Matrik 4.2 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun dan Remaja Usia 15 Tahun keatas Dengan Eksternalisasi di lingkungan masyara ......................................................... 190 Tabel Matrik 4.3 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 15 Tahun Keatas Tentang Mitos Lusan ....................................................... 192 Tabel Matrik 4.4 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun Tentang Mitos Lusan ....................................................... 196 Tabel Matrik 4.5 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12-15 Tahun dan Remaja Usia 15 Tahun keatas Dengan Eksternalisasi di lingkungan Kelompok Sebaya .......................................... 201
xvito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KONSTRUKSI PENGETAHUAN REMAJA TENTANG MITOS LUSAN DI PLOSOKEREP, KELURAHAN BENDOSARI, KECAMATAN BENDOSARI, KABUPATEN SUKOHARJO
Disusun Oleh: RIO YULI HARTANTO NIM D 0308052
SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Sosial Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
xviito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaranigrat, 1980: 160). Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaanya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Dan segala kejadian yang muncul dalam kehidupan masyarakat selalu berkaitan erat dengan remaja, termasuk tingkah laku remaja. Remaja sebagai generasi yang akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat di masa yang akan datang, dan juga yang akan meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara di masa depan. Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotesis. Pada tahap ini remaja bisa memperkirakan apa yang mugkin terjadi. Dia dapat mengambil kesimpulan dari suatu pertanyaan seperti : kalau mobil A lebih mahal dari mobil B, sedangkan mobil C lebih murah dari mobil B, maka mobil mana yang paling mahal dan mana yang paling murah? Pada masa-masa remaja inilah seseorang dikatakan dapat berpikir secara rasional. Seperti diungkapkan oleh Rousseau dalam empat tahapan perkembangan individu dimana usia 12 – 15 tahun merupakan masa
commit1 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
bangkitnya akal (ratio), nalar (reason), dan kesadaran diri (self consciousness). Dalam masa ini terdapat energi dan kekuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh keingintahuan dan keinginan untuk coba-coba. Umur 15 sampai 20 tahun dinamakan masa kesempurnaan remaja dan puncak perkembangan emosi, terjadi perubahan dari kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada kecenderungan memperhatikan orang la in dan harga diri serta bangkitnya dorongan seks (Sarlito Wirawan Sarwono. 2004 : 23). Semua tindakan remaja dalam masyarakat dapat diterangkan sebagai reaksi terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Tuntutan dari perkembangan zam an yang mengikuti arus globalisasi serta remaja yang cenderung selalu berpikir rasional, salah satunya membawa pengaruh terhadap gaya hidup remaja yang pada umumnya mulai meningga lkan nilai-nilai tradisional karena dianggap kuno dan tidak rasional. Terlebih lagi dengan adaya internet, remaja sekarang ini bisa mendapatkan berbagai informasi dari mana saja, termasuk informasi dari luar negeri. Pengaruh dari informasi yang didapatkannya tersebut akan mempengaruhi pola fikir remaja dan a kan mempengaruhi sikapnya terhadap budaya tradisional. Sebagian besar remaja menganggap bahwa budaya tradisional adalah kuno dan ketinggalan zaman. Dilihat dari sikap, banyak remaja yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek, sebagian besar dari mereka tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Meskipun arus globalisasi mempengaruhi ga ya hidup remaja yang pada umumnya cenderung cuek, tetapi sebagai makhluk sosial remaja selalu berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial di sekitar
sangat
Lingkungan
berpengaruh
sosial
yang
terhadap menentang
pembentukan nilai-nilai
sikap
tradisional
remaja. akan
berpengaruh negatif terhadap sikap pelestarian budaya tradisional. Sedangkan, lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional, akan menciptakan sikap remaja yang positif terhadap pelestarian budaya tradisional. Di lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional terkadang mampu membuat remaja yang harusnya rasional menjadi tidak rasional. Di lingkungan seperti itu pelestarian tradisi bersifat memaksa, tradisi pun sudah diwariskan oleh orang tua bahkan sejak sebelum anak menginjak usia remaja. Terlebih la gi ketika tradisi yang diwariskan berupa mitos-mitos yang berhubungan dengan dunia mistis terutama yang sering ditemui dalam kebudayaan jawa. Dalam mitos-mitos sakral, nilai-nilai dilukiskan bukan sebagai pilihan manusia yang bersifat subyektif melainkan sebagai kondisi-kondisi yang dipaksakan atas kehidupan yang tersirat dalam dunia dengan sebuah struktur tertentu (Clifford Geertz, 1992 : 57). Sejak jaman purba orang jawa telah memiliki pandangan hidup yang mempercayai hal yang ghaib, dalam arti meyakini adanya kekuatan rahasia yang kasat mata dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
dunia ini (Budiono Herusatoto, 2008 : 70). Hal tersebut dapat dilihat dalam mitos-mitos yang masih saja m elekat dalam pribadi orang jawa baik orang tua, remaja atau bahkan anak-anak hingga sekarang. Mitos dalam budaya jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang, terutama dalam tindakan simbolis sehari-hari orang jawa. Sebagai contoh dalam tindakan simbolis dalam religi yang dipengaruhi oleh mitos seperti pemberian sesa ji atau Sesajen bagi sing mbahureksa, yang artinya Si Mbahe atau Dahnyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon-pohon besar yang telah berumur tua, disendang atau tempat mata air, dikuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau, atau tempat-tempat lainya ya ng dianggap keramat dapat dan mengandung kekuatan ghaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Maksud dari sesajen adalah agar makhluk halus yang berdiam
ditempat tersebut agar jangan mengganggu
ketentraman,
dan
kebahagiaan
keluarga
yang
keselamatan,
bersangkutan,
atau
sebaliknya juga untuk meminta berkah dan perlindungan agar menolong menjauhkan dan menghindarkan gangguan dari makhluk halus lainya yang diutus
oleh seseorang
untuk mengganggu
keluarganya.
(Budiono
Herusatoto, 2008 : 156). Pemberian sesajen di tempat-tempat keramat merupakan mitos yang hingga kini masih saja dipercaya oleh masyarakat jawa, dan meskipun para remaja tidak secara langsung ikut melaksanakan ritual sesajen tersebut, namun mereka juga tidak mengingkari bahkan mengakui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
kebenaran adanya mitos tersebut. Lingkungan sosial yang mendukung pelestarian nilai-nilai tradisi berupa mitos dalam kehidupan sehari-hari orang jawa dapat sangat mempengaruhi konstruksi pengetahuan remaja terutama yang tumbuh dalam daerah yang masih memiliki ikatan tradisi dan kepercayaan yang kuat, Kondisi lingkungan sosial yang seperti ini terjadi pada remaja di Plosokerep, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo yang hingga sekarang kini masih mempercayai adanya m itos Lusan. Lusan atau telu pisan adalah mitos yang melarang anak ketiga dan anak pertama untuk menikah. Laranga n menikah bagi laki-laki dan perempuan di dalam kebudayaan jawa sudah ada sejak jaman dulu yang termasuk dalam sistem tindakan simbolis dalam tradisi orang jawa. Sistem hukum yang ada pada mitos-mitos dalam perkawinan juga yang menentukan bahwa dua orang laki-laki dan perempuan boleh atau tidak boleh menikah. Mitos pernikahan yang dilarang dalam kebudayaan jawa antara lain jika mereka saudara kandung, apabila mereka itu adalah pancer lanang, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-la ki, apabila pihak laki-la ki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita. Ada juga perkawinan lain yang tidak dilarang seperti ngarang wulu atau wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Adapun wayuh
adalah
suatu
perkawinan
lebih
Koentjara ningrat, 1976 : 330-331 ).
commit to user
dari
satu
orang
istri
(
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
Mitos-mitos pernikahan dalam budaya jawa memiliki sanksi sosial yang tegas, laranganya pun bersifat memaksa meskipun tidak tertulis, dan biasanya tetap dijaga untuk menghindari musibah yang akan didapati ketika pantanganya diabaikan. Salah satunya dalam mitos lusan di Desa Plosokerep, mitos yang dipercayai oleh masyarakat ketika seorang lakila ki dan perempuan yang merupakan anak pertama dan anak ketiga menikah maka dari salah satu pihak keluarga akan mendapatkan musibah. Mitosnya pun beragam, musibah dapat berupa ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga, datangnya penyakit, atau bahkan berujung pada kematian. Masyarakat me yakini kebenaran mitos lusan dengan melihat dan membuktikanya dengan menghubungkan setiap kejadian musibah yang mereka alami atau mereka lihat disekitar mereka dengan mitos tersebut. Karena dalam kepercayaan dan praktik religius termasuk dalam mitos, pandangan hidup suatu kelompok secara intelektual dan masuk akal dijelaskan dengan melukiskanya sebagai suatu cara hidup ya ng secara ideal disesuaikan dengan permasala han aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu. Sementara itu, pandangan dunia dijelaskan secara emosional dan meyakinkan dengan menjelaskanya sebagai sebuah gambaran tentang permasala han aktual yang khusunya ditata baik untuk me nyelesaikan cara hidup seperti itu. Disatu pihak, hal itu mengobjektivikasikan pilihanpilihan moral dan estetis denga n menggambarkannya sebagai kondisikondisi hidup yang dipaksakan dan yang implisit (mutlak) dalam suatu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
dunia dengan struktur tertentu, sebagai akal sehat belaka yang memberi bentuk tetap pada kenyataan. Di lain pihak, hal itu mendukung kepercayaan-kepercayaan tentang susunan dunia yang diakui ini dengan membangkitkan dan merasakan secara mendalam sentimen-sentimen moral dan estetis sebagai bukti eksperiensial untuk kebenaran pandangan hidup dan pandangan dunia itu (Clifford Geertz, 1992 : 4). Artinya ketika didalam mas yarakat pantangan dari suatu mitos telah dilanggar, maka setiap kejadian-kejadian yang terutama berupa musibah yang dialami oleh orang yang bersangkutan akan selalu dikaitkan dengan mitos, yang tujuanya adalah untuk membuktikan kebenaran bahwa mitos tersebut memang benar-benar terjadi. Kejadian yang sedang terjadi berupa musibah yang dialami oleh orang lain digunakan sebagai pembuktian kebenaran ketika mitos dilanggar maka seperti itu lah akibatnya. Dan terkadang meskipun mitos yang dihubungkan dengan kejadian yang sedang terjadi berbeda dengan mitos lusan, namun masyarakat meyakini ketika terjadi lusan, maka hasilnya akan sama, musibah seperti yang sedang terjadi itu akan bisa menimpa mereka. Seperti yang diungkapkan Clifford Geertz, bahwa simbol-simbol religius merumuskan sebuah kesesuaian dasariah antara sebuah ga ya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika khusus atau mutlak, dan dengan melakukan itu mereka akan mendukung masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain (Clifford Geertz, 1992 : 4). Karena di Plosokerep sendiri lusan memang belum pernah terjadi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
sehingga masyarakat melihat mitos lain yang sudah pernah terjadi pada masyarakat sebagai pembanding untuk mendukung kepercayaan terhadap mitos lusan. Ketakutan terhadap musibah yang akan didapat membuat lusan telah mempengaruhi kesadaran masyarakat, kemudian pernikahan antara anak ketiga dan anak pertama menjadi sesuatu yang diharamkan bagi masyarakat Plosokerep. Kesadaran selalu intensional, ia selalu terarah kepada obyek. Bagaimanapun kita tidak akan dapat memahami apa yang dianggap sebagai semacam substratum (dasar) dari kesadaran itu sendiri, melainkan hanya kesadaran tentang sesuatu. Baik obyek kesadaran itu dialami sebagai sesuatu yang termasuk dalam dunia fisik, lahiriah atau dipahami sebagai unsur suatu kenyataan subyektif batiniah (Peter L. Berger, 1990 : 30). Mitos dalam lusan merupakan obyek kesadaran masyarakat yang menampilkan diri sebagai kenyataan utama yang merupakan kenyataan hidup sehari-hari. Ketegangan kesadaran mencapai tingkat paling tinggi dalam kehidupan sehari-hari, artinya kenyataan utama la h yang dapat mempengaruhi kesadaran dengan cara yang paling massif, mendesak dan mendalam. Tidak mungkin untuk mengabaikanya, bahka n sulit untuk melemahkan kehadiranya yang memaksa (Peter L. Berger, 1990 : 31). Karakteristik mitos yang memaksa, dan kepercayaan yang masih kuat terhadap mitos lusan ditengah seluruh lapisan masyarakat tidak terkecuali remaja, membuat lusan menjadi suatu tradisi yang melekat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
menjadi bagian dari masyarakat Plosokerep. Padahal jika dilihat dari sisi remaja, mereka semua adalah remaja yang berpendidikan, mereka juga mengenal teknologi dengan baik sehingga akses informasi dan pergaulan sangat luas terbuka bagi mereka, mereka pun juga tidak seperti remaja tradisional yang bekerja sebagai petani, atau meneruskan dan mengikuti je jak orang tua, bisa dibilang mereka adalah remaja mandiri yang memiliki lingkungan pekerjaan yang beragam. Sebagian besar yang telah bekerja diluar daerah memiliki peluang untuk mengenal kebudayaan dan tradisi la in yang berbeda. Mereka adalah remaja yang modern dengan pergaulan yang luas, terbuka menerima berbagai masukan dari lingkungan luar. Dengan kata la in mereka pun mengetahui dengan pasti bahwa lusan tidak berlaku dibeberapa daerah lain, larangan menikah bagi anak ketiga dan ana k pertama pun tidak diatur dalam undang-undang pernikahan atau bahkan tidak dilarang oleh agama mana pun. Akan tetapi kenyataanya semua itu tidak membuat mereka begitu saja mengabaikan mitos lusan, mereka tetap menghindari pantanganya, mereka tetap mempercayainya. Karena itu, generasi muda Plosokerep sebenarnya merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji karena merekalah sebagai generasi penerus, mereka adalah subyek sekaligus obyek dari pewarisan nilai dalam mitos lusan. Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap, tingkah laku pada diri mereka akan berdampak besar pada eksistensi dan keperca yaan kepada mitos lusan. Oleh karena itu, penulis m encoba mengkaji dan meneliti secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “Konstruksi Pengetahuan Remaja Tentang M itos Lusan Di Plosokerep, Keluraha n bendosari, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo”
B. Rumusan Masalah 1. Mengapa mitos lusan masih tetap dipercaya hingga sekarang? 2. Bagaimana proses sosialisasi dan pewarisan nilai dalam mitos lusan dari orang tua terhadap remaja? 3. Bagaimana konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui mengapa mitos lusan masih tetap dipercaya hingga sekarang. 2. Untuk mengetahui proses sosia lisasi dan pewarisan nilai dalam mitos lusan dari orang tua terhadap remaja. 3. Untuk mengeta hui konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan.
D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Sebagai kar ya ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi
commit to user
bagi
perkembangan
ilmu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
pengetahuan, khususnya bidang ilmu sosial mengenai mitos lusan. b. Sebagai sumbangan pengetahuan bagi para remaja dalam hidup bermasyarakat, khususnya dalam lingkungan yang memiliki ikatan tradisi dan mitos yang kuat. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk kegiatan penelitian berikutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis, dan pembaca mengenai keberadaan m itos lusan. b. Bagi pembaaca, masyarakat pada umumnya dan khususnya mahasiswa Prodi Sosiologi FISIP UNS agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti berbagai mitos yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Jawa pada khususnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep 1. Remaja Sarlito W irawan S. mendefinisikan remaja sebagai Individu yang telah mengalami perkembangan fisik dan mental dengan batasan usia 1124 tahun dan belum menikah. Batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik). b. Kebanyakan mas yarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh balik menurut adat dan agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). Pada usia tersebut ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa. c. Batasan usia 24 tahun merupakan batasan maksimum untuk memberi kesempatan mereka mengembangkan dirinya setelah sebelumnya masih tergantung pada orang lain. (Sarlito Wirawan S, 1989: 4).
Monks dalam Siti Raha yu Haditono (1991: 216) mendefinisikan bahwa anak remaja sebetulnya tidak mempunya i tempat ya ng jelas. Ia
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak termasuk golongan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih termasuk golongan kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempatnya dalam masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah M enengah atau Perguruan Tinggi Menurut Singgih D. Gunarso (1991: 124) ciri-ciri masa remaja sebagai berikut : a. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa . b. Masa remaja merupakan masa peralihan artinya mengalami perubahan dalam kematangan se ksualitasnya. c. Keberanian yang sering tanpa memperhatikan resiko yang dihadapinya. d. Banyak khayalan merupakan ciri khas remaja. e. Masa remaja me ngalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosional sehingga kadang-kadang timbul emosi yang memuncak.
Rousseau
menyatakan
bahwa
yang
terpenting
dalam
perkembangan jiwa manusia adalah perkembangan perasaanya, perasaa n itu harus dibiarkan berkembang bebas sesuai dengan pembawaan alam (natural development) yang berbeda dari satu individu ke individu yang la inya. Dia membaginya dalam empat tahapan perkembangan yang dimaksud sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
a. Umur 0 - 4 atau 5 tahun adalah masa kanak-kanak (infancy), tahap ini didominasi oleh perasaan senang (pleasure). b. Umur 5 - 12 tahun adalah masa bandel, tahap ini mencerminkan era manusia liar, manusia pengembara dalam evolusi manusia. perasaan yang dominan dalam periode ini adalah ingin main-main, lari-lari, loncat, loncat, dan seba gainya. Kemampuan akal masih kurang. c. Umur 12 - 15 tahun, bangkitnya a kal (ratio), nalar (reason), dan kesadaran diri (self consciousness) Dalam masa ini terdapat energi dan ke kuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh keingintahuan dan keinginan untuk coba-coba. Anak dianjurkan belajar tentang alam dan kesenian, tetapi yang penting adalah proses belajarnya, bukan hasilnya, karena dengan begitu anak akan belajar dengan sendirinya. d. Umur 15 sampai 20 tahun dinamakan masa kesempurnaan remaja dan
puncak
perkembangan
emosi,
terjadi
perubahan
dari
kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada kecenderungan memperhatikan orang lain dan harga diri serta bangkitnya dorongan seks (Sarlito Wirawan Sarwono, 2004: 23).
a. Lingkungan Sosial Remaja Lingkungan merupakan semua kondisi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan karakter atau segala sesuatu yang berpengaruh terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
pertumbuhan
dan
karakter
makhluk
hidup,
semuanya
termasuk
lingkungan. Menurut Sertain yang dikutip M. Ngalim purwanto (1990:3) dalam Tumiyati (2009: 26) lingkungan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Lingkungan alam atau luar (external or physical environtmen) Lingkungan alam atau luar adalah lingkungan yang mempengaruhi manusia secara alami. Lingkungan ini berupa keadaan nyata di sekelilingnya yang dialami manusia dalam kehidupannya. b. Lingkungan dalam (internal environtmen) Lingkungan dalam adalah berupa cairan yang m eresap ke dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan dan minuman yang menimbulkan cairan dalam jaringan tubuh. Lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan seseorang. Apabila cairan yang masuk ke dalam diri seseorang baik, maka akan menghasilkan suatu tenaga yang bermanfaat untuk melakukan aktivitas atau kegiatan. c. Lingkungan sosial atau masyarakat (social environtment) Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang ada dalam masyarakat secara umum. Lingkungan ini berada di sekeliling manusia yang dapat mempengaruhi aktifitas manusia.
Bermacam-macam lingkungan baik lingkungan dalam, fisik, budaya, sosial, sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
karena lingkungan merupakan tempat atau keadaan yang ada di sekitar manusia. Sertain yang dikutip M. Ngalim purwanto (1990: 3) dalam Tumiyati (2009:26) mengemukakan bahwa lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita. Sedangkan Nursid Sumaatmaja (1981: 64) dalam Tumiyati (2009:28) menyata kan lingkungan sosial termasuk semua manusia yang ada di sekitar seseorang atau di sekitar suatu kelompok. Lingkungan sosial ini dapat berbentuk perorangan,
maupun
dalam
bentuk
kelompok,
keluarga,
teman
sepermainan, tetangga, warga desa, warga kota, bangsa dan seterusnya. Masa remaja memang masa yang penuh dengan bergaul. Remaja biasanya lebih suka dengan pergaulan yang bebas dan bergaul dengan teman sebayanya, karena teman sebaya dapat dijadikan teman untuk bicara yang akrab dan teman curhat (curahan hati). Walaupun orang tua juga dapat dijadikan teman untuk bicara, tetapi para remaja lebih suka bercerita dan bergaul dengan temannya, sehingga para remaja harus lebih hati-hati dalam memilih teman. Pergaulan masa remaja terbentuk seiring dengan bertambahnya wawasan remaja terhadap lingkungan pergaulannya. Menurut Simamora Tumiyati (2009: 28) aspek lingkungan pergaulan remaja merupakan tempat sosialisme remaja. Tempat sosialisme remaja meliputi tiga tempat, antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
a. Lingkungan keluarga Lingkungan keluarga merupakan lingkungan sosialisasi atau pergaulan pertama remaja. Lingkungan keluarga sangat penting karena dapat mempengaruhi sikap remaja dalam bergaul di lingkungan luar. Lingkungan pergaulan remaja dalam lingkungan keluarga di sini hubungannya dengan orang tua yang m erupakan lingkungan pergaulan remaja yang paling utama di rumah, adanya kehadiran orang tua dapat mempengaruhi perkembangan anak (remaja), dan saudara yang merupakan orang kedua setelah orang tua dalam lingkungan pergaulan remaja. Saudara disini juga dapat memberikan pengaruh terhadap remaja. b. Lingkungan kelompok sebaya Lingkungan kelompok sebaya merupakan lingkungan pergaulan remaja yang
penting setelah lingkungan keluarga. Lingkungan
kelompok sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja yang bersangkutan. Lingkungan pergaulan remaja dalam lingkungan kelompok sebaya hubungannya dengan teman bermain, teman karang taruna dan masyarakat. c. Lingkungan sekolah Pergaulan di sekolah penting pada masa remaja karena remaja pada umumnya berstatus sebagai pelajar. Pergaulan remaja di sekolah yang m eliputi pergaulan dengan teman sekelas, pergaulan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
lingkungan organisasi sekolah, pegaulan dengan guru merupakan aspek yang penting dalam membentuk perilaku remaja.
Perilaku remaja dapat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Menurut Van der Linden dan Roeders dalam Siti Raha yu Handitono (1991: 272), Remaja memperoleh banyak informasi dan nilai-nilai bukan melalui sekolah sendiri, tetapi juga melalui kontak dengan teman–teman sebaya dari keluarga dan lingkungan yang berlainan. Mengenai hubungan atau sikap individu terutama remaja terhadap lingkungan, yaitu dengan cara: pertama, individu menolak lingkungan, ini terjadi apabila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dengan keadaan yang demikian ini, individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai yang diharapkan oleh individu yang bersangkutan. Contohnya dalam kehidupan bermasyarakat, kadang-kadang orang tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam lingkungannya. Kedua, individu menerima lingkungan, yaitu apabila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut. Ketiga, individu bersifat netral, yaitu bila individu tidak cocok dengan lingkungan, tetapi individu bersikap biasa saja dan tidak mengambil langkah-langka h bagaimana yang akan ia la kukan (M .Ngalim Purwanto, 1990: 30) dalam Tumiyati (2009:45). Dalam setiap masyarakat, dijumpai suatu proses, dimana seorang anggota masyarakat yang baru akan mempelajari norma-norma dan kebuda yaan masyarakat dimana dia menjadi anggota yang mendatangka n
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
interaksi sosial. Adapun yang dimaksud interaksi sosial yaitu hubungan timbal balik antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok (Soerjono Soekanto, 1982: 29). Hati nurani, norma-norma, cita-cita pribadi tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya, oleh karena itu ta npa pergaulan sosial manusia tidak
dapat
berkembang
sebagai
manusia
selengkap-lengkapnya
(Gerungan, 1966: 29).
2) Pengetahuan Notoatmodjo dalam Fadhila Arbi Dyah Kusumastuti (2010: 6) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi
melalui
pancaindera
manusia,
yakni
indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Soerjono Soekonto, pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali
dengan
kepercayaan
(belief),
takha yul
(superstitions)
dan
penerangan-penerangan yang keliru (misinformation) (Soekanto, 1990: 6). Sedangkam menurut Supriyadi, pengetahuan adalah suatu sistem gagasan yang berkesesuaian dengan benda-benda dan dihubungka n oleh ke yakinan, yaitu: a. Pengetahuan
yang
diperoleh
dari
pengamatan
langsung,
Pengetahuan ini dibagi menjadi 2 (dua) jalan yaitu, diperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
dengan persepsi ekstern dan persepsi intern. Persepsi ekstern yaitu dapat mengetahui secara langsung suatu benda yang ada didunia ini, hal ini dapat kita lakukan dengan bantuan alat indera kita. Sedangkan persepsi intern, disebut juga dengan introspeksi yaitu bahwa secara langsung kita dapat mengetahui keadaan diri kita b. Pengetahuan
yang
diperoleh
dari
konklusi,
ditarik
suatu
kesimpulan, sehingga pemikiran kita dapat mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui dengan pertolongan materi atau data yang ada. Materi dan data tersebut diperoleh dari pengetahuan dan pengamatan langsung. c. Pengetahuan
yang diperoleh dari kesaksian
dan authority,
Pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian-kesaksian berarti keterangan yang diperoleh dari seseorang yang dapat dipercaya, seperti halnya yang diperoleh dari petugas kesehatan. Authority yang dimaksud adalah dikehendakinya kepercayaan kekuatan ini dapat dimiliki oleh setiap individu, benda ataupun lembaga. Sehingga
pengetahuan
yang
diperoleh
akan
dalam
Fadhila
lebih
akurat.
(Supriyadi, 1997: 1-2)
Menurut
Notoatmodjo
(2007)
Arbi
Dyah
Kusumastuti (2010: 6), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu: a. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifk dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima b. Memaham i (comprehension), M emahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (application), Aplikasi diarttikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). d. Analisis (analysis), Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponenkomponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (synthesis), Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakka n atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f.
Evaluasi (evaluation), Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan
menurut
Notoatmodjo (2007) dalam Fadhila Arbi Dyah Kusumastuti (2010: 7) yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
a. Sosial ekonomi, Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan
seseorang,
sedang
ekonomi
dikaitkan
dengan
pendidikan, ekonomi baik tingkat pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga. b. Kultur (budaya, agama), budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut. c. Pendidikan, Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. d. Pengalaman, Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.
Pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan dan menyibak tabir yang menutup realitas. Bagi manusia misteri realitas harus terungkap, sebab hanya dengan demikian eksistensi kemanusiaanya menjadi jelas. Manusia dalam mengungkap dan memaham i realitas memiliki alat yang dikatakan
sebagai modal untuk m embangun
pengetahuanya. Sadar atau tidak sadar manusia akan selalu menggunakan alat-alat ini ketika mereka mencoba memahami realitas. Alat-alat yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
yang dibutuhkan manusia untuk membangun atau memahami realitas tersebut antara lain: a. Indera Indera dapat dikatakan sebagai pintu gerbang pertama yang mengantarkan manusia berpengetahuan (Achm ad Charris Zubair, 2002: 19). Sebagai pintu gerbang, indera menduduki peran yang sangat penting, walaupun tentu saja sebagaimana peran pintu, kita harus segera memasuki ruang dalam realitas tidak hanya sekedar mengintip dari pintu. David Hume (1911-1776) dalam Achmad Charris Zubair (2002: 19) membedakan antara quter senses yang identik dengan panca indera dengan inner senses atau indera dalam yang dapat memahami rasa senang dan rasa sedih. Indera memang menjadi alat yang penting bagi manusia untuk mengetahui, namun indera semata-mata tidak dapat dijadikan andala n bagi terwujudnya pengetahuan yang benar. Kebenaran yang dipahami hanya dengan mengandalkan indera, menjadi pengetahuan yang ditangkap oleh limabelas orang buta tentang seekor gajah. Akan ada limabelas persepsi berbeda tentang gajah, tergantung sensasi apa yang ditangkap oleh masing-masing orang. Sebagai manusia, kita tidak akan bisa memperoleh pengetahuan yang be nar jika hanya mengandalkan indera kita. Seperti halnya didalam mitos lusan, masyarakat tidak akan dapat mengetahui kebenaran mitos tersebut jika hanya melihat dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
mendengar m itosnya yang diwariskan oleh orang tua mereka dari mulut ke mulut sejak jaman nenek moyangnya dulu. Karena akan ada banyak versi cerita tentang mitos tersebut, ada yang meyakini kebenaranya dan benar-benar menjauhi pantanganya, dan ada juga yang meragukan kebenaranya, bahkan dengan tegas menolak kebenaran dari mitos tersebut.
b. Naluri Selain indera manusia juga memiliki alat yang bernama naluri.
Naluri
pada
dasarnya
merupakan
kekuatan
untuk
mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupan biologis kemakhlukan. Rasa lapar yang harus dipuaskan dengan makan, rasa dahaga yang harus diimbangi dengan minum, kebutuhan akan hubungan seksual yang harus dipenuhi dengan adanya pasangan je nis. Semua perasaan itu membuktikan bahwa naluri bekerja dalam rangka menjaga agar hidup jasmani dapat berlangsung dengan sempurna. Naluri akan menghimpun sejumlah energi psikis apabila suatu kebutuhan muncul, kemudian naluri akan mendorong individu untuk bertindak kearah pemenuhan kebutuhan. Pada naluri terdapat empat unsur yaitu sumber, upaya, obyek, dan dorongan. Bagi makhluk biologis seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang, naluri menjadi puncak kemampuan untuk hidupnya. Tanpa naluri binatang tidak dapat hidup, karena tugas kodratinya hanya
sebatas
menjaga
kelangsungan
commit to user
hidup
biologisnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
Sedangkan manusia sebagai makhluk mulia tidak cukup hidup dengan nalurinya, karena hidupnya bukan sekedar terlempar kedalam
jurang nasib tak tertolak, namun manusia harus
menggunakan kekuatan yang lainya, hidup manusia adalah bertugas mengembangkan bahkan mengubah nasibnya.
c. Rasio Rasio menjadi kekuatan yang penting bagi hidup manusia, karena menjadi batas pembeda bagi ma khluk tingkat rendah biologis-jasmaniah dengan makhluk manusia. Rasio memiliki kemampuan untuk memaham i sebab-musabab kejadian konkretempirik. Rasio merupakan landasan bagi terbentuknya pengetahuan empirik manusia. Rasio bertugas memaham i hukum alam yang dikembangkan menjadi logika, yang secara prinsip menyebutkan bahwa kesimpulan dapat diambil berdasarkan alasan yang kuat.
d. Imajinasi Imajinasi merupakan kekuatan manusia yang lain yang sering disebut sebagai anugrah alam dan anugrah tuhan. Orang sering meremehkan kekuatan imajinasi ini serta menganggap sebagai pencerminan kemalasan dan bersifat tidak produktif. Tentu saja hal ini sama sekali keliru, sebab hanya manusia yang memiliki anugrah kemampuan ini, makhluk lain sama sekali tidak memilikinya. Imajinasi awal berupa kemampuan fantasi onerik,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
yang dapat menghadirkan gambaran dalam benak, sesuatu yang tidak hadir dalam dimensi konkret. Tentu saja kalau manusia berhenti pada fantasi maka
dia menjadi tidak produktif. Kalau
seseorang sepenuhnya percaya pada khayalanya, maka dia menjadi takhayul dan hidupnya menjadi tidak bermakna. Imajinasi onerik harus tertransendensikan ke dalam tataran estetik, dimana imajinasi dapat hadir dalam komposisi harmoni yang dapat mempengaruhi fantasi estetik individu atau komunitas lain. Imajinasi estetik akan menjadi dorongan bagi meningkatnya imajinasi kreatif, suatu dimensi pemahaman bahwa ilmu pengetahuan bukan semata-mata hasil pengalaman yang diperolehnya melalui pengamatan indera kemudian dianalisis secara rasional, malainkan juga karena daya imajinasinya. Imajinasi kreatif akan meningkat menjadi imajinasi abstraktif, kemampuan untuk menangkap bahasa simbol, satu dasar penting untuk membangun keberagaman.
e. Hati Nurani Hati nurani merupakan kemampuan manusiawi lain yang bertugas mengantarkan pemahaman dan membangun kesadaran akan martabat manusia sebagai makhluk spiritual. Hati nurani lah yang menjadi landasan terbangunya sistem nilai dan norma moralitas. Pada prinsipnya mengukur moralitas keputusan tindakan manusia dapat dilihat dari dua hal penting : pertama, sejauh mana keputusan tindakan manusia tersebut sesuai dengan norma moral
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
yang berlaku dan diyakini kebenaranya dan sejauh mana keputusan tindakan tersebut disetujui atau tidak disetujui oleh hati nuraninya. Tentu saja hati nurani, sebagaimana kekuatan manusia yang lain bisa memiliki kepekaan atau sebaliknya, tergantung bagaimana manusia mengasahnya. Alat yang dipakai untuk memahami kebenaran tidak sekedar berupa rasionalitas manusia. Melainkan seluruh potensi kemanusiaan harus secara sungguh-sungguh dioptimalisasikan. Memang rasio merupakan alat penting
dan menjadi tanda
keteraturan berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan empirik. Namun yang disebut ilmiah, bukan hanya yang bersifat rasional mela inkan juga yang melibatkan imajinasi dan hati nurani. Sudah mulai Nampak kejelasan bahwa kebenaran bukan hanya terbukanya realitas yang dapat dicapai oleh rasio manusia, sebagaimana
yang
disangkakan
paham
modernisme
yang
dipengaruhi oleh positivism (Achmad Charris Zubair, 2002: 29). Pengetahuan
manusia
diperoleh
sesudah
tabir
yang
menutup realitas telah terungkap. Tahapan pengetahuan dapat dimulai dari yang bersifat permukaan dan sederhana sampai dengan pengetahuan ilmiah yang didasarkan atas kaidah-kaidah keilmuan sesuai dengan objek formal (sudut pandang) maupun objek material (bahan kajian) ilmu tertentu. Realitas paling rendah adalah benda-benda yang dapat diserap oleh indera, kendatipun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
baru dalam taraf permukaan, bersifat materi dan terukur secara kuantitatif, aksi reaksinya terduga dan mata rantai logikanya jelas namun
karena
tak
ada
unsur
hayati
maka
pertumbuhan,
perkembangan, dan perubahanya tergantung pada campur tangan eksternal. Tahap rea litas yang selanjutnya adalah realitas hidup ja smani dan psikis atau kejiwaan yang sudah ada unsur pertumbuhan
dan
naluri.
Kemudian
realitas
human
atau
kemanusiaan utuh yang sudah terasa kental unsur spiritualnya. Dan realitas
tertinggi
adalah
realitas transenden
(diluar
segala
kemampuan manusia, luar biasa, utama) sebagai puncak seluruh realitas. Alat-alat penangkap kebenaran manusia secara das sollen merupakan
landasan
bagi
terwujudnya
tata
jenjang
ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia. Struktur alat pada giliranya membawa kita pada pengertian struktur pengetahuan, dimana setiap tingkatan pengetahuan menunjukan tingkatan kuantitas dan kualitas yang berbeda. Pengetahuan yang didapatkan oleh indera merupakan tingkat yang terendah dalam membangun pemahaman ma nusia atas kebenaran, karena hanya mampu menangkap sebagian dari keseluruhan kebenaran realitas. Dan pada tingkatan akal-rasional, manusia telah memiliki kemampuan untuk menata pengetahuannya secara lebih teratur dan oleh karena itu lebih jelas dan lengkap. Kulitas kebenaran yang dapat dicapai oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
manusia tidak hanya tergantung pada pengertian pihak subjek terhadap
pengetahuan inderawi, pengetahuan naluriah, atau
pengetahuan akali, melainkan pemahaman a kan struktur realitas bersama, kebenarnnya tergantung dari pilihan taraf pengetahuan yang ingin dipahami oleh manusia. Sehingga alat-alat tersebut diibaratkan sebagai kunci pembuka ruang realitas (Achmad Charris Zubair, 2002).
3) Mitos Menurut Harry Susanto (1987: 45) dalam April Sani (2005: 8), mitos merupakan dasar kehidupan sosial manusia dan kebudayaan yang melatar belakangi masyarakat yang mendukung eksiste nsinya. Melalui mitos, manusia diharapkan dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam. Fungsi mitos yang utama adalah menetapkan contoh model bagi tindakan manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari. Mitos ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos terbentuk oleh mas yarakat kuno, keberadaan mitos dapat membuat seseorang menjadi patuh terhadap sebuah aturan. Mitos itu memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia (Peursen, 2007: 37). Dalam dekade sekarang ini banyak orang yang menganggap mitos sebagai cerita khayal yang tidak ada artinya sama sekali. Mitos hanya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
dianggap sebagi cerita untuk meninabobokkan anak atau cerita fantastik yang tidak rasional. Akan tetapi sebenarnya harus diakui bahwa mitos dapat mempunyai peranan yang fundamental bagi kehidupan masyarakat. Peranan mitospun kadang-kadang dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang. Seperti dalam mitos lusan yang mitosnya dapat menentuka n nasib pernikahan anak pertama dan dengan anak ketiga. Mitos merupakan salah satu unsur dalam suatu sistem religi yang menjadi dasar kehidupan sosial dan kebudayaan manusia apabila dilihat dari konteks-konteks terte ntu. Menurut Micrea Eliade (Harry Susanto, 1987: 91) dalam Y. Argo Twikromo (2006: 22), mitos berati suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka ya ng paling berharga, karena mempunyai sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh bagi tindakan manusia, memberi makna, dan nilai pada kehidupan ini. Mitos yang hidup dalam masyarakat bukan merupakan cerita khayal atau rekaan, tetapi oleh masyarakat pendukungnya dianggap benar-benar terjadi dan berguna bagi kehidupanya. Sehubungan dengan
beberapa
tipe
mitos,
Harry Susanto (1987: 91) dalam April Sani (2005: 8), menjelaskan bahwa Eliade telah membagi mitos menjadi beberapa tipe : a. Mitos Kosmogoni, yaitu mitos yang mengisahkan terjadinya alam semesta secara keseluruhan. b. Mitos Asal Usul, yaitu mitos yang menceritakan asal mula segala sesuatu, asal mula manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bendabenda, pulau-pulau, tempat-tempat suci dan sebagainya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
c. Mitos-mitos tentang dewa-dewa dan mahkluk-mahkluk Illahi, yaitu mitos yang mengisahkan kehidupan dewa-dewa dan mahkluk Illahi dan peranannya masing-masing. d. Mitos-mitos Androgoni, yaitu mitos yang mengungkapkan suatu keseluruhan, ko-eksistensi dari hal-hal yang bertentangan. Mitosmitos ini selalu dihadirkan kembali secara simbolis dalam sederetan upacara religius. e. Mitos-mitos Akhir Dunia. M itos mengenai akhir dunia merupakan hal yang umum terdapat dikalangan manusia religius, yang mempunyai pandangan bahwa akhir dunia itu sudah terjadi pada masa lampau, tetapi masih akan terulang lagi pada masa akan datang.
Meskipun mitos dianggap sebagai hal-hal yang tidak logis, imajinasi mitis selalu melibatkan tindakan percaya. Mitos dan agama primitif tida k sepenuhnya kacau, tidak kehilangan segi penalaran, namun koherensinya tergantung lebih pada kesatuan perasaan dan bukannya pada aturan-aturan logika, sehingga sekelompok orang tertentu yang memiliki kepercayaan terhadap kebenaran mitos tersebut tetap menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak. Menurut Ernst Cassirer dalam April Sani (2005: 9) mite atau mitos yang hidup dalam suatu masyarakat bukan merupakan cerita khayalan atau rekaan, tetapi oleh masyarakat pendukungnya dianggap benar-benar terjadi dan berguna bagi kehidupannya. Suatu teori tentang mitos, sejak awal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
sudah sarat dengan kesulitan. Sifat dan hakikat mitos memang nonteoritis. Mitos menampik dan menolak kategori-kategori dasar dalam pemikiran manusia. Logika mitos tidak dapat disesuaikan dengan konsepsi manusia mengenai kebenaran empiris dan kebenaran ilmiah. Mitos dalam budaya jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam sega la bidang, hal tersebut dapat dilihat dalam tindakan simbolis sehari-hari orang jawa. Bentuk-bentuk tindakan simbolis orang jawa terbagi dalam tiga macam tindakam simbolis yaitu tindakan simbolis dalam religinya, tindakan simbolis dalam tradisinya, dan tindakan simbolis dalam kesenianya. Yang pertama adalah tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam religi yang dipengaruhi oleh mitos salah satunya adalah pemberian sesaji atau Sesajen bagi sing mbahureksa, yang artinya Si Mbahe atau Dahnyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohonpohon besar yang telah berumur tua, disendang atau tempat mata air, dikuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau, atau tempat-tempat lainya yang dianggap keramat dapat dan menandung kekuatan ghaib atau angker dan wingit atau berbahaya. M aksud dari sesajen adalah agar makhluk halus yang berdiam ditempat tersebut agar ja ngan mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan, atau sebaliknya juga untuk meminta berkah
dan
perlindungan agar menolong menjauhkan dan menghindarkan gangguan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
dari makhluk halus lainya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarganya. Yang kedua adalah tindakan simbolis dalam tradisi atau adat istiadat atau tata kelakuan. Menurut Koenjaraningrat dalam buku Budiono Herusatoto (2008: 164), dapat dibagi dalam empat tingkatan, ya ng pertama tingkat nilai budaya yang merupakan ide-ide yang mengkonsepsikan halhal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. yang kedua adalah system norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkunganya. Yang ketiga adalah tingkat hukum atau sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat jawa m isalnya dalam hukum adat perkawinan orang jawa. Perkawinan dalam adat jawa sangatla h penuh dengan tata cara dan urutan yang sangat me narik. Mulai dari pasang tarub, siraman atau midodareni, akad nikah lan temu, dan ngabekten. Didalam kehidupan masyarakat jawa berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila mereka itu saudara sekandung, apabila mereka itu pancer la nang yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-la ki, apabila mereka itu adalah misan, dan apabila pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita. Yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan yang je las terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat konkret sifatnya, misalnya aturan sopan santun. Tindakan simbolis masyarakat jawa yang ketiga adalah tindakan simbolis dalam seni yang terdiri dari seni rupa, seni sastra, seni suara, seni
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
tari, seni musik, dan seni drama. Dalam budaya jawa terdapat suatu kesenian yang merangkum keenam unsur seni tersebut diatas dalam satu kesatuan seni, yaitu seni pedhalangan wayang kulit purwa. Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapanya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Hal itu disebabkan karena melalui alam seni ini rasa budaya manusia yang tidak dapat
diungkapkan
dalam
pergaulan
sehari-hari
antar
manusia,
dicurahkanya dalam bentuk simbol di dalam alam seninya (Budiono Herusatoto, 2008: 156). Wayang menjadi salah satu simbol bagi orang jawa, terutama didalam islam jawa yang amat kental ketika era wali sanga menyebarkan agama dengan media wayang kulit. W ayang menjadi media dakwah yang menarik dan estetis. Wa yang kulit yang dimainka oleh seorang dalang, dari kata arab dalla yang artinya menunjukan ke jalan yang benar. Dalang adalah simbol seorang ulama, yang bertugas menaburkan kebenaran kepada umat. Terkait dengan tindakan simbolis dalam tradisi dalam mengatur tindakan orang jawa yang akan mempunyai hajat pernikahan, memang harus wajib selalu ada pertimbangan khusus dalam pemilihan jodoh yang disebut pasatawon , yaitu mempersatukan dua unsur dari pihak laki-la ki dan perempuan. Pasatawon dalam pernikahan jawa dapat ditempuh dengan cara-cara yang antara lain: a. Menghitung jumlah neptu (hari kelahiran) ca lon pengantin pria ditambah jumlah neptu calon pengantin wanita lalu dibagi 5, bila
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
hasilnya 1disebut sri (estri), artinya hubungan suami istri akan aman tenteram dan banyak rejeki. Bila sisa 2 dinamakan lungguh, artinya keluarga akan mendapat kedudukan yang istimewa dan berwibawa. Namun biasanya banyak godaan yang menimpa keluarga tersebut. Sisa 3 dinamakan gedhong, artinya keluaraga akan selamat rejeki dan tidak akan jauh dari rumah, begitu pula tempat kerja. Hanya saja jika keduanya bersikap medit akan dibenci tetangga. Sisa 4 disebut lara, artinya salah satu anggota keluarga akan tertimpa penyakit. Sisa 5 disebut pati, yang artinya salah satu anggota keluarga akan cepat mati dengan berbagai sebab. b. Menggunakan perhitungan hari kelahiran pria dan wanita dan aksara jawa. Caranya huruf yang bernilai satu seperti ha, ra, ta, la, ja, ma, tha. Yang bernilai dua ialah na, ka, sa, pa, ya, ga, nga. Yang bernilai tiga ca, da, wa, dha, nya, ba. Hari kelahiran calon suami istri dijumlahkan lalu dibagi tiga-tiga, bila sisa satu sifat nasibnya utama, sisa dua sakit, dan sisa tiga mati. Perhitungan pasatawon aksara jawa juga dapat disiasati dengan dengan memberi nilai angka pada aksara jawa. Caranya adalah, huruf hanga itu bernilai 1-20. Selanjutnya nama laki-la ki dan wa nita dikurangi sembilan, jika sisanya: 1-1(pernikahan abadi), 1-2 (lakila ki bersikap asih, tak berpisah, tulus), 1-3 (tidak lama pernikahan), 1-4 (cepat cerai), 1-5 (langgeng), 1-6 (cerai), 1-7 (cerai), 1-8
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
(punya anak gagah, berbudi luhur), 1-9 (mudah mendapat kedudukan), 2-2 (mendapat rahmat), 2-3 (salah satu mati), 2-4 (bagus), 2-5 (cerai), 2-6 (lama sekali dekatnya), 2-7 (abadi), 2-8 (sentosa), 2-9 (kedudukan), 3-3 (sering pergi), 3-4 (jelek), 3-5 (cerai), 3-6 (selamat), 3-7 (banyak bahaya), 3-8 (cerai), 3-9 (rahmat), 4-4 (bagus), 4-5 (cerai), 4-6 (asih), 4-7 (ada musuh), 4-8 (asih tak putus), 4-9 (jelek), 5-5 (bahaya), 5-6 (cerai), 5-7 (wanita menurut), 5-8 (cerai), 5-9 (nikmat), 6-6 (bagus, abadi), 6-7 (lestari), 6-8 (senang), 6-9 (wanita sering dibicarakan orang), 7-7 (jelek), 78 (laki-la ki diperintah), 7-9 (lama-lama cerai), 8-8 (bagus), 8-9 (rukun), 9-9 (sering bertengkar, cerai) (Suwardi Endraswara, 2012: 112-113) Jika perhitungan pasatowan diatas tidak ditemukan yang menurut orang jawa menguntungkan, biasanya selalu dihindari. Karena orang jawa takut pada akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari. Perhitungan diatas menunjukan bahwa didalam tindakanya orang jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan.
a. Mitologi Jawa Tindakan simbolis orang jawa selalu dipenuhi dengan mitos-mitos karena orang jawa percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal yaitu kesakten, kemudian arwa h atau roh leluhur, dan mahluk-mahluk halus seperti misalnya mahluk halus, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan yang lainya yang menempati alam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
sekitar tempat tinggal mereka. M enurut keperca yaan masing-masing mahluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses-sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, tetapi sebaliknya dapat menimbulka n gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Maka bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, dia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang
melakuka n
perbuatan
dan
makan
makanan
terte ntu,
berselamatan, dan bersaji (Koentjaraningrat, 1976: 340). Dalam tradisi dan tindakanya orang jawa selalu berpegang kepada dua hal. Pertama, kepada pandangan hidupnya dan filsafat hidupnya yang religius dan mistis (percaya pada mitos). Kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajad hidupnya. Mitos dan magi berasal dari zaman prasejarah, dimana orang-orang jawa masih menganut paham mitologi, animisme, dan dinamisme. Mitos tetap lekat dalam pribadi orang jawa walaupun ajaran-ajaran religi atau agama yang murni telah diterima selama berabad-abad lamanya. Ilmu pengeta huan dan filsafat modern dari barat pun tak berpengaruh untuk merubah budaya jawa tradisional itu. Orang Jawa senang melukiskan peristiwa masa lampaunya dengan dipengaruhi oleh sosio kultural yang ada. Hal ini mengakibatkan dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya masih mempertahankan warisan budaya nenek moyangnya yang berupa tradisi, karena tradisi ini sifatnya mengikat dan dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Kebanyakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
orang jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap nerima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Inti pandangan alam pikiran mereka tentang kosmos tersebut, baik diri sendiri, kehidupan sendiri, maupun pikiran sendiri telah tercakup didalam totalitas alam semesta atau kosmos tadi. Itulah sebabnya manusia tidak hidup terlepas dari lain-la inya yang ada di alam jagad. Jadi apabila hal lain itu mengalami kesukaran, maka manusia akan menderita juga. Orang pada hakekatnya adalah masyarakat berketuhanan. Sejarah jawa mencatat, sejak jaman purba orang jawa telah memiliki pandangan hidup yang mempercayai pada hal ya ng ghaib, dalam arti me yakini adanya kekuatan rahasia yang kasat mata dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini (Budiono Herusatoto, 2008: 70). Tindakan-tindakan simbolis orang jawa mengisyaratkan pandangan manusia jawa terhadap dunia, baik dunia yang secara fisik kelihatan maupun dunia yang tidak kelihatan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainya. Pada kenyataanya, tradisi-tradisi religius dalam kebudayaan masyarakat jawa terkait erat dengan mitos. Tradisi-tradisi ini seringkali telah menyatu dalam alam pikiran orang jawa dan berpengaruh dalam
memberi arah bagi
kehidupanya (Budiono Herusatoto, 2008: 70). Sebuah tradisi suatu daerah, tak lepas dari sebuah mitos yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Begitu pula dengan tradisi pernikahan lusan, sebuah konsep kepercayaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
yang terkandung dalam lusan mengandung makna-makna yang mengatur norma-norma masyara kat. Mitos ya ng mewarnai kehidupan orang jawa memang cukup banyak. Pola berpikir mitologis ini tampaknya dipengaruhi oleh paham yang mereka anut. Karena orang jawa sebagaian besar masih mengikuti paham kejawen, mitos yang berkembang dijawa sangat erat kaitanya dengan ke yakina n atau kepercayaan. Ciri mitos yang berkembang dalam kehidupan orang jawa antara lain: 1) Mitos sering memiliki sifat suci atau sakral, karena terkait dengan tokoh yang sering dipuja, misalkan mitos kanjeng ratu kidul. 2) Mitos hanya dapat dijumpai dalam dunia mitos dan bukan dalam kehidupan dunia sehari-hari, atau pada masa lampau yang nyata. 3) Banyak mitos dijawa yang menunjuk pada kejadian-kejadian penting. 4) Kebenaran mitos tidak penting, sebab cakrawala dan zaman mitos tidak terikat pada kemungkinan-kemungkinan atau batas-batas dunia nyata. (Suwardi Endraswara, 2012: 193-194)
Mitos dijawa termasuk genre foklor lisan yang diturunkan dari mulut ke mulut. Mitos dijawa merupakan bagian dari tradisi yang dapat mengungkap sal-usul dunia atau suatu kosmis tertentu. Didalamnya sering terdapat cerita yang merupakan kesa ksian untuk menjelaskan dunia,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
budaya, dan masyarakat yang bersangkutan. Mitos dijawa sangat banya k sekali ragamnya, antara lain: 1) Mitos yang berupa gugon tuhon, yaitu larangan-larangan tertentu. Jika larangan tersebut dilanggar, orang jawa takut menerima akibat yang tidak baik. Contohnya adalah dalam berbagai larangan pernikahan bagi calon pengantin pria dan wanita yang salah satunya adalah lusan, dimana orang jawa melarang anak pertama dan anak ketiga untuk menikah. Jika dilanggar salah satu pihak keluarga akan mengalami kesialan. Orang jawa juga melarang menunjuk kuburan, nanti jarinya bisa patah. Jika terlanjur, maka jari tadi harus diomoti (dikuluh). 2) Mitos yang berupa bayangan asosiatif, mitos ini biasanya muncul dalam dunia mimpi. M isalkan ketika orang jawa mimpi menjadi pengantin, asosiasinya akan dekat masa kematianya. Untuk itu perlu dilakukan selamatan agar tidak segera meninggal dunia, terlebih lagi mati yang tidak wajar. 3) Mitos yang berupa dongeng, legenda, dan cerita-cerita. Misalkan saja mitos terhadap Semar, Dewi Sri, Kanjeng Ratu Kidul, Ajisaka. Tokoh-tokoh mitologis tersebut dianggap memiliki kekuatan supranatural, karenanya perlu dihormati dengan cara-cara tertentu. 4) Mitos yang berupa sirikan (yang harus dihindari). Mitos jawa ini masih bernafas asosiatif, tapi tekanan utamanya pada aspek ora ilok (tak baik) jika dilakukan. Misalkan dalam hajatan pengantin,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
orang jawa tidak akan berani menanggap wayang yang memakai istilah gugur, seperti kumbakarna gugur, abimanyu gugur, dan apalagi yang berhubungan dengan lakon baratayudha. Lakon yang bernuansa sedih harus dihindari agar mempelai tak mengalam i halhal yang sedih. Begitu pula ketika menanggap campur sari, orang jawa juga tidak mau dengan lagu-la gu seperti randha kempling. Kata randha (janda) ditakutkan pengantin akan cepat cerai. (Suwardi Endraswara, 2012: 194-196)
B. Penelitian Terdahulu 1. Penelitian skripsi yang dilakukan M uzakki Zakaria (2009), dengan judul ”M itos Tiba Rampas Dalam Penikahan Jawa (Studi Kasus di Dusun Sembung, Desa Cengkok, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk)”. Didalam penelitianya Muzakki Zakaria membahas tentang perkawina n secara adat yang merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan mengandung nilai tinggi. Nilai-nilai luhur ini diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi seterusnya. Sekalipun kemajuan teknologi sudah demikian pesatnya namun dalam memenuhi kebutuhannya, manusia masih harus menggunakan ilmu perhitungan yang merupakan (mitos) dan warisan para leluhur bangsanya. M etode digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif, sumber data meliputi sumber data primer atau langsung dari sumber
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
pertama dan data skunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan untuk melengkapi data primer, M etode pengumpulan data adalah observasi,
interview,
sementara
analisis
datanya
menggunakan
kualitatif, yang lebih menekankan analisisnya pada penyimpulan induktif. Dengan rumusan masalah antara lain: Bagaimana munculnya mitos tiba rampas? Apa yang masih bertahan dan yang sudah berubah dari mitos tiba rampas? Dan Bagaimana pandangan hukum Islam tentang praktek tiba rampas ? Hasil penelitiannya adalah Pertama, Mitos Tiba Rampas adalah mitos petangan atau pitungan (Perhitungan) dari weton atau neptu (hari
lahir)
seseorang
sebelum
mela kukan
peminangan
atau
perkawina n, yang dalam kepercayaan Jawa mempunya i nilai masingmasing, ketika dijumlahkan dari neptu keduanya kemudian dikurangi 3 dan begitu seterusnya sampai menemukan hasil akhir nol atau kosong. Kedua, sebagian masyarakat Sembung termasuk di dalamnya, tokoh masyarakat
dan
tokoh
agama
masih
mempergunakan
atau
mempertahankan. Keberadaan masyarakat yang masih meyakini kebenaran m itos inilah yang membuat mitos ini masih mempunyai ruang untuk hidup. Mereka mempercayai bahwa jika pasangan menikah mempunyai neptu tiba rampas maka keselamatan dan kesejahteraannya tidak terjam in, akan tetapi proses akulturasi budaya telah mulai melunturkan kepercayaan sebagian masyarakat sehingga keberadaan mitos ini terancam akan hilang di kemudian hari,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
kedatangan orang luar atau pendatang yang kurang mengenal mitos ini, merupakan
tantangan
bagi
mitos
ini
untuk
mempertahankan
keberlangsungannya. Ketiga, dalam ajaran Islam, melaksanaskan sebuah adat adalah hal yang dibolehkan, selama praktek adat tersebut tidak bertentangan dengan syari’at. Dalam melaksanakan adat ada beberapa batasan, Pertama, perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
Kedua, Tidak
bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun AsSunnah. Ketiga, tidak mendatangkan kemadlorotan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera. 2. Penelitian skripsi yang dilakukan Rudi Hermawan (2007), dengan judul “M itos Nikah Pancer Wali (Studi Kasus di Masyarakat Desa Bungkuk Kecam atan Parang Kabupaten M agetan)”. Didalam penelitiannya Rudi Hermawan ingin mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi adanya mitos pancer wali, yaitu pernikahan
antar
kerabat
(sepupu)
dari
keturunan
laki-la ki.
M aksudnya, antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan masih memiliki ikatan kekerabatan dari pihak laki-la ki (ayah mempelai la ki-la ki dan a yah mempelai perempuan, kakak-beradik). Dia sekaligus ingin mengetahui pandangan masyarakat desa Bungkuk kecamatan parang kabupaten Magetan tentang mitos nikah pancer wali tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif deskriptif, dengan pendekatan sosiologis empiris. Dalam pengumpulan data primer yang diperoleh langsung dari lapangan, pene litian ini menggunakan wawancara dengan tokoh masyarakat setempat. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwasannya faktor-faktor yang mendasari adanya kepercayaan tentang mitos pancer wali merupakan keperca yaan yang di warisi mas yarakat setempat dari para le luhur mereka secara turun-temurun, sehingga mereka tidak berani melanggarnya,
di takutkan
tertimpa
musibah.
Dan
mengenai
pandangan masyarakat setempat tentang mitos nikah pancerwa li dapat dikelompokkan sebagai berikut: pertama, golongan yang tidak mempercayai mitos-mitos pancer wali. Kedua, golonga n yang tidak mempercayai mitos pancer wali tetapi tidak melanggarnya. Ketiga, golongan
yang
percaya m itos nikah
pancer
wali dan tidak
melanggarnya. 3. Penelitian skripsi yang dilakukan Siti Nur Khasanah (2007), dengan judul “Tradisi Perkawinan Dandang Sauran Jeneng (Studi pada masyarakat
Kalibatur,
Kecamatan
Kalidawir,
Kabupaten
Tulungagung)”. Didalam penelitiannya Siti Nur Khasanah membahas tentang mitos Dandang Sauran Jeneng yang merupakan suatu tradisi perkawina n yang memperhatikan asal usul nama dari kedua orang tua la ki-la ki dan perempuan yang akan melaksanakan perkawinan. Padahal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
dalam al-Qur'an dan Hadis tidak disinggung, sementara itu masyara kat Kalibatur semua beragama Islam, mereka mempunyai aturan larangan melakukan perkawinan yang tidak diatur dalam Islam. Penelitian
ya ng
dilakukan
oleh
Siti
Nur
Khasanah
menggunakan paradigma naturalistic paradigm atau paradigma alamiah yang bersumber pada pandangan fenomenologis. Da n pendekatannya deskriptif kualitatif, field research sebagai jenisnya, dengan menggunakan sumber data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi dengan diolah melalui tiga tahapan dan dianalisis dengan mengunakan metode deskriptif analitik sebagai sifat dari penelitian ini. Dengan rumusan masalah: bagaimana pandangan
masyarakat Kalibatur
terhadap tradisi tersebut? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan masyarakat Kalibatur? Dan bagaima na tinjauan Urf (adat) terhadap tradisi tersebut? Hasil penelitian ini antara lain: dalam memandang tradisi Dandang Sauran jeneng , terbagi pada dua golongan, yang setuju yaitu dari pihak kaum tradisional (sesepuh desa), dan yang tidak setuju diusung ole h para pemuda desa dengan berbagai alasan yang menjadi dasar dari pendapat mereka, adapun faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tetap me njalankannya secara umum terdapat dua alasan, yang pertama faktor tradisi atau kebiasaan sebagai warisan dari nenek moyang mereka,
yang
kedua faktor kebersamaan
commit to user
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
kemaslahatan bagi kehidupan berkeluarga. Sedangkan secara khusus juga ada dua factor, yang pertama Karena adanya rasa patuh terhadap orang tua atau nenek moyang (para leluhur mereka), yang kedua Karena adanya fakta (kejadian). Secara definitif tradisi Dandang Sauran Jeneng tersebut merupakan adat. Karena ketika ditinjau dari segi obyeknya masuk pada al-‘urf al-lafdzi (adat yang berupa perkataan atau ucapan). Dilihat dari cakupannya masuk pada al-‘urf al-khash (adat yang khusus) yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Sedangkan dilihat dari keabsahannya, maka pada dasarnya tradisi ini bisa dinamakan Al-‘urf alshahih karena hal tersebut adalah suatu kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan, dan tidak pula membawa madarat. 4. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh M iftahul Khoiri (2007), denga n judul “Mitos Telong Jodoh Sak Omah Dan Implikasinya Dalam Pembentukan Keluarga Sakinah, (Studi Kasus di Desa Randuagung Kecamatan Singosari Kabupaten Malang)”. Didalam penelitiannya Miftahul Khoiri membahas tentang pembentukan keluarga ya ng sakinah dengan jalan tidak melanggar aturan mitos ya ng diyakini oleh ma yoritas masyarakat, sebagaiamana yang ada dalam masyarakat Randuagung tentang larangan mitos telong jodoh sak omah yang merupakan laranga n tiga pasang suami isteri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
bertempat tinggal dalam satu rumah, yang mereka yakini lebih dulu dan efektif dalam rangka pembentukan keluarga sakinah dari pada ajaran islam, sehingga membawa mereka kepada kepercayaan terhadap hal-hal yang tidak rasionalis. M iftahul Khoiri berusaha menelusuri bagaimana pemahaman masyarakat Ra nduagung tentang mitos Telong Jodoh sak omah dan bagaimana implikasi mitos tersebut dalam pembentukan keluarga sakinah. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan bagaimana
pemahaman
masyarakat
terhadap
mitos
tentang
menentukan tempat tinggal dan bagaimana sumbangsih mitos terhadap pembentukan keluarga sakinah dalam mas yarakat Randuagung. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan sosiologis dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian tersebut akan dianalisis oleh penulis secara induktif (metode analisis yang bertumpu dari kaedah khusus ke umum). Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa sebagian masyarakat
Randuagung
memahami
mitos
sebagai
ketentuan-
ketentuan dari nenek moyang yang mempunyai nilai kesakralan dan tidak boleh dilanggar karena apabila ada yang melakukannya, berarti pelakunya sudah siap menanggung resiko dampaknya. Dan sebagian yang lain memahami larangan m itos tersebut hanya sebagai wujud keperdulian nenek moyang terhadap kehidupan sosial yang harmonis, dan mereka tidak mempercayai adanya dampak mitos tersebut,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
berlandaskan keyakinan bahwa segala musibah hanyalah dari Allah SWT. Keberadaan mitos Telong Jodoh sak omah, dalam kaitannya dengan pembentukan keluarga sakinah, sangat berfungsi untuk memberikan pemahaman akan pentingnya rumah bagi generasigenerasi muda yang sudah siap untuk membina keluarga, dan turut memberikan sumbangsih terhadap pembentukan keluarga sakinah. 5. Penelitian karya ilmiah San Afri Awang, yang berjudul “Konstruksi Pengetahuan Dan Unit Manajemen Hutan Rakyat”. San
Afri
Awang
fokus
pada
konstruksi
pengetahuan
masyarakat lokal tentang sistem hutan rakyat. Data empiris yang berasal dari keadaan hutan rakyat di desa-desa Girisekar kabupaten Gunung Kidul, Donorejo kabupaten Purworejo, Bogoran kabupaten Wonosobo, dan Sambak Kabupaten Magelang. Semua data empiris tersebut merupakan pengetahuan lokal masyarakat yang dapat menjadi bahan konstruksi pengetahuan sistem hutan rakyat. Hasilnya adalah, masyarakat menanam pohon didalam sistem hutan rakyat berkaitan dengan dua hal pokok yaitu pertimbangan pengetahuan ekologis dan pengetahuan ekonomis yang bersifat rasional dan empirik. Terkait dengan pengetahuan rasional karena pengetahuan ekologis yang ada mengatakan bahwa lahan kritis menghilangkan sumber-sumber mata air, karena kumpulan pohon-pohon sebagai unsur stabilitas sudah tidak ada diatas lahan. Pengetahuan tersebut secara apriori sudah dapat diterima dengan mengatakan bahwa jika lahan kritis ditanami pohon-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
pohon yang cukup, maka sumber mata air akan kembali bermunculan. Artinya tanpa harus melihat dan mencari bukti-bukti dilapangan, maka kebenaran akal budi sudah dapat menerimanya. Sistem hutan rakyat juga memberikan pengetahuan ekonomis, dimana sistem hutan rakyat juga menjadi sumber pendapatan keluarga tani yang cukup layak dan penting, melalui pembuktian data-data empirik. Masyarakat dapat memanfaatkan dan menebang pohonya ketika telah dewasa. Dengan demikian pengetahuan sistem hutan rakyat juga bersifat aposteriori atau berdasarkan data empirik dengan pengamatan dan pembuktian di lapangan. Sehingga dalam kasus tersebut San Afri Awang sepakat dengan pendapat Van Peursen bahwa konstruksi ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan antara pemikiran akal budi (rasional) dan pemikiran indrawi (empirik). Dari beberapa penelitian terdahulu diatas dapat disimpulkan dimana
kedudukan
penelitian
ini
diantara
penelitian-penelitian
tersebut. Dari penelitian yang pertama, M uzakki zakari memfokuskan penelitianya pada Bagaimana munculnya dan apa yang masih bertahan dan yang sudah berubah dari mitos larangan menikah bagi laki-la ki dan perempuan dengan nilai neptu atau weton yang tidak sesuai menurut perhitungan. Yang kedua, Rudi Hermawan memfokuskan penelitianya pada pandangan masyarakat tentang larangan menikah bagi la ki-laki dan perempuan yang masih m emiliki ikatan kekerabatan dari pihak laki-la ki (ayah mempelai laki-la ki dan ayah mempelai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
perempuan,
kakak-beradik).
Yang
ketiga,
Siti
Nur
Khasanah
memfokuskan penelitianya pada pandangan masyarakat dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan mereka pada mitos yang melarang menikah jika nama orang tua laki-laki dan perempuan saling sambung atau tanya jawab, dalam istilah jawa (ngarep mburi). Yang keempat, Miftahul Khoiri mem fokuskan penelitianya pada pemahaman masyarakat mengenai pembentukan keluarga yang sakinah dengan jalan tidak melanggar aturan mitos yang diyakini oleh mayoritas mas yarakat, dimana mitos tersebut melarang tiga pasang suami isteri bertempat tinggal dalam satu rumah. Sedangkan Fokus penelitian ini adalah konstruksi pengetahuan remaja terhadap mitos lusan yang melarang anak pertama dan anak ketiga untuk menikah. M enindak lanjuti dari keempat penelitian terdahulu tersebut, maka meskipun tetap memberikan perhatian pada masyarakat secara umum penelitia n ini lebih fokus pada remaja secara khusus sebagai subyek sekaligus obyek dari mitos lusan terutama pada remaja usia 1124 tahun yang belum menikah, bukan hanya sekedar fokus
pada
masyarakat yang bersifat umum seperti yang sudah dilakukan oleh keempat penelitian terdahulu diatas. Sementara itu kesamaan antara penelitian ini dengan keempat penelitian terdahulu diatas adalah pada fungsi
mitos
dalam
pernikahan,
dimana
ketika
masyarakat
menginginkan kehidupan keluarganya terjaga dan terhindar dari malapetaka maka mereka harus patuh terhadap mitos tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
Sedangkan kedudukan penelitian ini terkait dengan penelitian San Afri Awang yang fokus pada konstruksi pengetahuan masyarakat lokal tentang sistem hutan rakyat, penelitian ini fokus pada konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan. San Afri Awang menemukan adanya kesesuaian antara pemikiran akal budi (rasional) dan pemikiran indrawi (empirik) didalam konstruksi pengetahuan masyarakat lokal tentang hutan rakyat. Sedangkan penelitian ini ingin mengetahui konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan di Desa Plosokerep sebagai hasil dari pemikiran akal budi (rasional) dan pemikiran indrawi (empirik). Sementara itu persamaan antara penelitian ini dengan penelitian San Afri Awang adalah fokus penelitian pada konstruksi pengetahuan tentang suatu obyek tertentu, meskipun obyek yang diteliti sangat lah jauh berbeda.
C. Teori Yang Digunakan 1. Teori Konstruksi Realitas Peter L. Berger Berger dan Luckman (1990: 91), mendefinisikan konstruksi sosial sebagai pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosia l menurut keduanya terbentuk secara sosial. Dalam hal ini pemahaman realitas dan pengetahuan dipisa hkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas
yang
berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangka n pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Realitas tidak dibentuk secara ilmiah, atau diturunkan oleh Tuhan, tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Hasilnya adalah wajah plural dari realitas itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tiap individu dalam mengonstruksi realitas. Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak dipublikasikan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The Social Construction of Reality yang didalamnya digambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya dimana individu
secara intens
menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sesuatu bisa terjadi akibat kita berkomunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu (Tumiyati, 2009: 91). Konstruksi sosial bermula dari filsafat konstrukktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Suparno dalam Luvita Eska Pratiwi (2009: 26), ada tiga macam konstruktivisme, yaitu : a. Konstruktivisme radikal, Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui
apa
yang
dibentuk
oleh
pikiran
manusia,
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebaggai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologis obyektif, namun sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu
konstruksi
harus
dilakukan
sendiri
olehnya
terhadap
pengetahuan itu, sedangkan lingkunga n adalah sarana terjadinya konstruksi itu. b. Realisme
hipotesis,
Dalam
pandangan
realisme
hipotesis,
pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. c. Konstruktivisme
biasa,
mengambil
semua
konsekuensi
konstrukktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari reallitas itu. Kemudian pengetahhuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas obyek dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri realitas yang dilihatnya itu berdasarkan struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, Konstruktivisme macam inilah yang oleh disebut Berger dan Luckman dengan konstruksi social (Berger dan Luckmann, 1990: 1).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
Tiap orang mem iliki frame of reference dan field of experience yang berbeda-beda, sehingga mereka secara bebas memaknai suatu hal dan mengonstruksi realitas yang mereka inginkan berdasarkan kerangka berpikir masing-masing. Konstruksi realitas yang dihasilkan memiliki dasar tertentu yang menyebabkan mereka meyakini kebenaran dari kostruksi tersebut. Berbagai konstruksi realitas yang dibuat individu menghasilkan konstruksi sosial ata s realitas tertentu. Selain itu, konstruksi sosial bersifat dinamis. Di dalamnya terjadi proses dialektis antara realitas subjektif dan realitas objektif. Realitas subjektif berkaitan dengan interpretasi dan pemaknaan tiap individu terhadap suatu objek. Hasil dari relasi antara objek dan individu menghasilkan penafsiran, yang berbedabeda berdasarkan beraneka ragam latar belakang individu tersebut. Dimensi objektif dari realitas berkaitan dengan factor-faktor eksternal yang ada di luar objek, seperti norma, aturan, atau stimulan tertentu yang menggerakkan objek. Berger dan Luckman juga mengatakan bahwa di dalam institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. M eskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasa n berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya (Berger dan Luckmann, 1990: 61). Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaima na ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). M asyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling berdialektika diantara keduanya. Masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Aspek-aspek konstruksi sosial tersebut adalah : a. Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. M anusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. b. Obyektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
c. Internalisasi, Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran (Berger dan Luckmann, 1991: 154-155).
Proses eksternalisasi diperoleh masyarakat melalui lingkunga n bergaul di luar kehidupan keluarga, seperti di tempat menuntut ilmu, di tempat nongkrong dengan teman-teman. Proses eksternalisasi juga dapat melalui media seperti televisi, radio, internet, dan sebagainya. Proses ini memberikan pengaruh yang lebih kuat dikarenakan individu pada umumnya lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan keluarga atau di luar rumah bersama orang lain. Proses eksternalisasi dapat terjadi ketika
individu
tersebut
mendapatkan pendidikan formal maupun non formal. Jika di dalam keluarga, individu hanya mendapatkan pendidikan non formal dan proses internalisasi tersebut terkadang hanya berpengaruh ketika individu di tengah-tengah ke luarga. Sedangkan proses obyektivasi memberi pengaruh kepada pelaku atau seseorang tentang mitos lusan yang didalam konstruksi masyarakat tersebut adalah suatu pantangan menikah bagi anak pertama dan anak ketiga, kemudian pantangan tersebut menjadi pengetahuan yang terkonstruksi didalam pikiran masyara kat di lingkungannya. Proses
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
tersebut telah mengalam i konsensus total di dalam masyarakat, sehingga terbentuklah suatu konsep konstruksi dalam hal ini adalah mitos Lusan yang dikonstruksi oleh masyarakat dalam realitas sosial. Seperti yang telah dijelaskan di atas, konstruksi sosial tentang mitos lusan juga sangat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu. Karena itu, kesadaran adalah bagian yang paling penting dalam konstruksi sosial. Berger dan Luckman mengatakan bahwa M arx perna h menjelaskan beberapa konsep kuncinya, di antaranya adalah kesadaran manusia. Marx menyebutnya dengan “kesadaran palsu” yaitu alam pikiran manusia yang teralienasi dari keberadaan dunia sosial yang sebenarnya dari si pemikir (Berger dan Luckman, 1990: 8). Berger menggambarkan kenyataan sosial sebagai suatu proses dimana melalui tindakan-tindakan dan interaksinya manusia menciptakan terus-menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama. Filsafat Berger menekankan bahwa pengetahuan kita mengenai faktor obyektif dalam dunia kenyataan ditentukan (conditioned ) atau di warnai oleh lingkungan sosial dimana pengetahuan itu di peroleh, di transmisikan, atau di pelajari. Dengan kata lain kita tidak pernah menangkap kenyataan kecuali dalam kerangka proses sosial dimana kita terlibat (Johnson, 1988: 66).
D. Batasan Konsep 1. Remaja Remaja adalah Individu yang telah mengalami perkembangan fisik dan mental dengan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah. Batasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja berdasarkan definisi dari Sarlito Wirawan Santoso, dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya kriteria fisik tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak, dan menurut kriteria sosial dianggap akil baligh balik menurut adat dan agama, sehingga mas yarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak. Pada usia tersebut ada tandatanda penyempurnaan perkembangan jiwa. Sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batasan maksimum untuk memberi kesempatan mereka mengembangkan dirinya setelah sebelumnya masih tergantung pada orang la in. (Sarlito Wirawan S, 1989: 4).
2. Konstruksi Pengetahuan Menurut Soerjono Soekanto, pengetahuan adalah kesan didalam pikiran
manusia,
Notoatmodjo
menjelaskan
bahwa
pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, Achmad Charris Zubair menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan dan menyibak tabir yang menutup realitas, dan ketiganya berpendapat bahwa pengetahuan didapatkan setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera mata dan telinga. Untuk membangun pengetahuanya manusia dalam mengungkap dan memahami realitas selain mengunakan indera, juga menggunakan naluri, rasio, imajinasi, hati nurani, dan akalrasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
Berger dan Luckman, mendefinisikan konstruksi sosial sebagai pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial, dan suparno menyatakan bahwa Pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan
itu,
sedangkan
lingkungan
adalah
sarana
terjadinya
bahwa
konstruksi
konstruksi itu. Dari
uraian
diatas
dapat
disimpulkan
pengetahuan merupakan pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh individu sendiri, yang diperoleh dari hasil pengamatan panca indera di lingkungan sosial individu tersebut.
3. Mitos Van Peursen mendefinisikan mitos sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. M itos terbentuk oleh masyarakat kuno, keberadaan mitos dapat membuat seseorang menjadi patuh terhadap sebuah aturan. Mitos itu memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Menurut Ernst Cassirer mitos menampik dan menolak kategori-kategori dasar dalam pemikiran manusia. Logika mitos tidak dapat disesuaikan dengan konsepsi manusia mengenai kebenaran empiris dan kebenaran ilmiah. Hary Susanto menjelaskan bahwa fungsi mitos yang utama adalah menetapkan contoh model bagi tindakan manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
mitospun kadang-kadang dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mitos adalah sebuah cerita atau aturan yang terbentuk oleh masyarakat kuno, cerita dan aturanya dapat menjadi pedoman yang mengatur kehidupan manusia, bahkan dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang meskipun kebenaranya tidak bisa disesuaikan dengan kebenaran empiris atau logika ilm iah, sehingga sekelompok orang tertentu yang memiliki kepercayaan terhadap kebenaran m itos tersebut tetap menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak.
E. Kerangka Berpikir Konstruksi pengetahuan
remaja tentang mitos lusan dapat
dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal didalam kehidupan remaja itu. Yang paling penting dalam pembentukan konstruksi pengetahuan remaja adalah lingkungan keluarga yang menjadi media sosialisasi primer remaja. Selain itu ada Faktor internal yang dapat membentuk pengeta huan remaja antara lain, yang pertama usia remaja tersebut, karena tingkat penalaran dan perkembangan rasio manusia tergantung pada perkembangan jiwa dan perasaan manusia seperti yang dijelaskan oleh Rousseau (Sarlito W irawan Sarwono, 2004: 23) dalam empat tahapan perkembangan manusia dimana usia 0 - 5 tahun adalah masa kanak-kanak didominasi oleh perasaan senang, usia 5 - 12 tahun adalah masa bandel kemampuan akal masih kurang, usia 12 - 15 tahun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
bangkitnya akal atau rasio, dan usia 15 sampai 20 tahun dinamaka n masa kesempurnaan remaja dan puncak perkembanga n emosi manusia. Yang kedua adalah tingkat pendidikan dari remaja tersebut. Seperti yang dijelaskan Notoatmodjo (2007) dalam Fadhila Arbi Dyah Kusumastuti (2010: 7) bahwa Semakin tinggi pendidikan maka ia a kan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi konstruksi pengetahuan remaja adalah lingkungan sosial remaja tersebut yang meliputi
lingkungan
keluarga,
lingkungan
kelompok
sebaya
dan
lingkungan sekolah. Sikap dan tindakan individu terhadap lingkungan sosialnya akan berbeda satu-sama lainya. Individu akan menolak lingkungan apabila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dengan keadaan yang demikian ini, individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai yang diharapkan oleh individu yang bersangkutan. Contohnya dalam kehidupan bermasyarakat, kadang-kadang orang tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam lingkungannya. Individu dapat menerima lingkungan apabila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut. Sedangkan individu akan bersifat netral ketika individu tidak cocok dengan lingkungan, tetapi individu bersikap biasa saja dan tidak mengambil langkah-langka h bagaimana yang akan ia la kukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
Berdasarkan penjelasan diatas, kerangka berfikir didalam penelitian ini dapat diuraikan dalam gambar berikut ini: Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Usia
Lingkungan Sosial
Tingkat Pendidikan
1.Masyarakat
Keluarga
2. Kelompok sebaya
Konstruksi Pengetahuan Remaja (usia 11-24 tahun, dan belum menikah)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang merupakan suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memaham i suatu fenomena dalam konteks sosial secara alam iah dengan mengedepanka n proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Haris Herdiansyah, 2010: 9). Terkait dengan usaha untuk memahami konstruksi pengetahuan remaja desa plosokerep tentang mitos lusan, terdapat beberapa poin penting yang mendasari penggunaan jenis penelitian kualitatif di dalam penelitian ini. Yang pertama adalah ilmiah, yang berarti bahwa penelitian kualitatif dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya dan dapat dipercaya kesahihanya (validitas dan reliabilitasnya), dapat bersifat obyektif maupun subyektif. Poin yang kedua adalah konteks sosial, yang berarti bahwa didalam penelitian kualitatif, fenomena yang diteliti merupakan satu kesatuan antara subyek dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini mitos lusan merupakan bagian dari masyarakat desa Plosokerep, konstruksi pengetahuan remaja tentang lusan tak bisa terlepas dari lingkungan sosial dimana mereka berada. Tidak mungkin mem isahakan antara subyek dengan lingkungan sosialnya karena keduanya saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Yang ketiga adalah alaimah, yang berarti
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
bahwa sa ngat tidak dibenarkan untuk mengubah ataupun memanipulasi latar ataupun konstruksi ranah penelitian. Biarkan ranah penelitian itu bersifat alami apa adanya. Yang keempat adalah proses interaksi komunikasi antara peneliti dengan fenomena yang diteliti, ha l ini berarti bahwa antara peneliti denga n subyek yang diteliti maupun lingkungan sosialnya harus terjalin hubungan yang baik juga kondusif.
B. Metode penelitian Sedangkan jika dilihat dari fenomena sosial yang akan diteliti, mitos lusan merupakan fenomena kontemporer masa kini yang benarbenar ada di dalam dunia nyata. Fenomena lusan bisa jadi merupakan tradisi dari masa lampau yang masih berharga bagi masyarakat pendukungnya. Sifatnya yang abstrak dan tidak rasional tidak membuat masyarakat tidak meninggalkanya bahkan cenderung mempertahankanya hingga saat ini, meskipun dengan modernisasi dan globalisasi yang sudah merata masuk kedalam desa terutama dikala ngan remaja. Itulah kenapa lusan menjadi fenomena kontemporer masa kini yang memang benarbenar ada di dalam dunia nyata. Kemudian dilihat dari rumusan masalah yang pertama, mengapa mitos lusan masih tetap dipercaya hingga sekarang? Kedua, bagaimana proses sosialisasi dan pewarisan nilai dalam mitos lusan dari orang tua terhadap remaja? Dan ketiga, bagaimana konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan?. Dilihat dari rumusan masalah tersebut, pertanyaan bagaimana dan mengapa akan diarahkan kepada serangkain peristiwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
kontemporer, dimana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Robert K. Yin, 2000: 13). Berdasarkan poin penting diatas maka penelitian ini menggunakan metode atau strategi penelitian studi kasus. Karena studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how (bagaimana) atau why (mengapa), bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitianya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) didalam konteks kehidupan nyata (Robert K. Yin, 2000: 1). Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan (Robert K. Yin, 2000: 18). Penelitian ini menggunakan desain studi kasus tunggal terpancang, studi kasus tunggal karena penelitian hanya terarah pada satu karakteristik atau satu sasaran (satu lokasi atau satu obyek). Satu sasaran atau satu obye k bukan merupakan satu orang, melainkan satu kelompok, satu organisasi, satu wilayah, satu desa
atau
satu
bangsa,
tergantung
kesamaan
karakteristik
yang
dimilikinya. Sebuah studi kasus mungkin menca kup lebih dari satu unit analisis, hal ini terjadi bilamana di dalam kasus tunggal, perhatian diberikan kepada satu, atau beberapa sub unit analisis, desain semacam ini la h yang disebut desain studi kasus tunggal terpancang (Robert K. Yin,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
2000: 51). Sedangkan berdasarkan tujuanya, penelitian ini menggunakan bentuk studi kasus intrinsik (intrinsic case study), studi kasus ini dilakuka n untuk memahami secara lebih baik dan mendalam tentang suatu kasus tertentu. Studi atas kasus dilakukan karena alasan peneliti ingin mengetahui secara intrinsik suatu fenomena, keteraturan, dan kekhususan kasus, bukan untuk alasan eksternal lainya (Haris Herdiansyah, 2010: 79).
C. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Desa Plosokerep, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Desa Plosokerep dipilih berdasarkan keberadaan mitos lusan di Desa tersebut. Plosokerep terdiri dari dua Rukun tetangga dalam satu Rukun Warga. Terletak di ujung Timur perbatasan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, kurang lebih 30 menit dari pusat pemerintahan jika ditempuh denga n kendaraan bermotor. Desa ini memiliki infrastruktur yang memadai, baik ja lan beraspal yang halus, listrik dan penerangan, ketersediaan air bersih, dan jaringan komunikasi lengkap baik televisi, Handphone, maupun internet. Mobilitas warganya baik, mereka bisa keluar masuk dari Desa ke Kota dengan lancar baik di siang hari atau tengah malam sekalipun karena kondisi jalan yang baik, pemukiman penduduk di sepanjang jalan yang berdekatan, dan penerangan yang memadai. Dengan penduduk yang relatif tidak terlalu banyak dan merupakan bagian dari suku bangsa jawa atau bisa dikatakan orang jawa, hanya terdapat satu dua orang warga pendatang karena ikatan pernika han.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
Seperti la yaknya desa jawa pada umumnya, Plosokerep dikelilingi oleh areal persawahan yang cukup luas. Mayoritas penduduknya memiliki la han persawahan, dan mayoritas penduduknya juga bermata pencaharian sebagai petani. Sebagaian besar lainya berada di perantauan seperti Jakarta, Surabaya, tak hanya lintas provinsi, bahkan lintas pulau seperti Sumatra, Kalimantan, sampai Makasar. M ata Pencaharian mereka beragam, ada yang sebagai pegawai kantor, tukang, kebanyakan berdagang, dan banyak pula yang menjadi tukang sol sepatu. Di tanah sendiri mata pencaharian mereka tak kalah beragamnya, selain ma yoritas petani, tukang, ada polisi, pegawai negeri sipil, tentara, dan yang lainya. Jauh dari pusat pemerintahan bukan berarti jauh dari pendidikan formal. Masih dalam satu desa terdapat sebuah Sekolah Dasar, berjalan sedikit lebih jauh terdapat sebuah SMP Negeri. Hampir semua penduduknya berpendidikan layak ada sampai perguruan tinggi, banyak juga masuk SMA maupun SMK favorit di Kabupaten Sukoharjo. Plosokerep merupakan desa yang berkembang dan M asyarakatnya terutama remaja mereka merupakan remaja modern dengan tingkat pendidikan tinggi dan memiliki pekerjaanya yang tidak monoton mengikuti jejak orangtuanya seperti orang desa pada umumnya.
D. Sumber Data Studi kasus bisa didasarkan pada enam sumber bukti atau sumber data yang berlainan, antara lain: dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, observasi partisipan, dan perangkat-perangkat fisik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
(Robert K. Yin, 2000: 101). Sedangkan penelitian ini hanya akan menggunakan tigat sumber bukti atau sumber data diantaranya, yaitu dari dokumen, wawancara, dan observasi partisipan. Sumber-sumber data tersebut dibedakan atas dua tipologi kepentingan, yaitu:
1. Data Primer Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara terhadap informan yang mengetahui juga berkompeten sehubungan dengan tema pene litian ini, dan juga diperoleh dari hasil observasi partisipan yang dilakukan dilapangan.
2. Data Sekunder Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung untuk melengkapi data-data primer yang sudah dukumpulkan. Di dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari penelitian-penelitian terdahulu dan juga dari buku-buku yang relevan dengan tema mitos maupun tradisi dalam masyarakat jawa.
E. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain: 1. Wawancara Tidak Terstruktur Penelitian ini menggunakan wawancara tidak terstruktur karena dengan bentuk pertanyaan ya ng sifatnya terbuka, tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
seperti wawancara terstruktur yang memiliki daftar pertanyaan baku dan kategori jawaban, meskipun didalam wawancara semi terstruktur masih memiliki batasan tema dan alur pembicaraan, akan tetapi pertanyaanya sangat terbuka dan tidak memiliki batasan tema
bahkan
pembicaraanya
terkesan ngalor
ngidul tidak
terkontrol. Dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur pertanyaam yang diajukan adalah pertanyaan terbuka yang fleksibel tergantung situasi kondisi dan alur pembicaraan, berarti jawaban yang diberikan oleh terwawancara pun lebih fleksibel tidak dibatasi, sehingga subyek lebih bebas mengemukakan jawaban apapun sepanjang tidak keluar dari konteks tema dan alur pembicaraan. Ada kebebasan dalam menajukan pertanyaan yang sesuai dengan situasi dan alur alamiah yang terjadi asalkan tetap pada topik-topik yang telah ditentukan. Topik dan tema tersebut dijadikan kontrol pembicaraan dalam wawancara semi terstruktur (Haris Herdiansyah, 2010: 125). Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat open-ended. Seperti yang diungkapkan oleh Robert K. Yin (2000: 108-109), bahwa yang paling umum, wawancara studi kasus bertipe open-ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi, peneliti bahkan bisa mem inta responden untuk mengetengahkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
pendapatnya
tersendiri tentang
peristiwa tertentu
dan bisa
menggunakan dasar proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Sementara itu Haris Herdiansyah (2010: 126), mendefinisikanya sebagai pertanyaan terbuka-pertanyaan tertutup, dimana pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabanya bersifat luas dan memberikan kebebasan kebada subyek untuk memberikan banyak informasi yang mendalam. Dan pertanyaan terbuka biasanya selalu diawali dengan kata bagaimana dan mengapa. Pertanyaan terbuka memiliki banyak kelebihan yang diantaranya, mampu mendorong responden untuk berbicara sebanyak dan sebebas yang diinginkan, dapat memperoleh data yang mendalam, dan dapat mengungkap hal-hal yang sifatnya pribadi seperti perasaan, pengetahuan, persepsi dan prasangka dari responden.
2. Observasi Berpartisipasi Observasi berpartisipasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti terlibat secara langsung didalam kegiatan-kegiatan yang sedang diamati. Dalam hal ini peneliti memiliki peranan ganda, yaitu sebagai peneliti dan pelaku kegiatan (Y. Slamet, 2006: 86). Menurut Robert K. Yin (2000: 113-114), observasi partisipan adalah suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil peran didalam
berbagai situasi tertentu
commit to user
dan berpartisipasi dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Dengan observasi partisipan, peneliti memiliki kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang orang dalam ketimbang orang luar pada studi kasus tersebut. Dengan fokus pada obyek mitos lusan, maka sulit sekali untuk mengumpulkan bukti fisik melalui observasi langsung, dikarenakan
mitos
merupakan
wujud
pengetahuan
yang
terkonstruksi hanya didalam pengetahuan masyarakat yang sifat bentuknya abstrak, sehingga tidak mempunyai bentuk fisik yang bisa diamati secara langsung dengan indra. Dengan demikian digunakanlah
metode
pengumpulan
data
dengan
observasi
partisipan, dimana nantinya peneliti akan memposisikan diri sebagai anak pertama yang menjadi bagian dari keberadaan mitos lusan. Dengan tujuan untuk memperoleh data dengan menyadari realitas dari sudut pandang remaja desa Plosokerep.
3. Dokumentasi Untuk studi kasus, penggunaan dokumen ya ng paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumbersumber lain. Dokumen menbantu penverifikasian ejaan dan judul, atau nama yang benar. Dokumen dapat menambah rincian spesifik la inya guna m endukung informasi dari sumber-sumber lain. Dan inferensi (kesimpulan) juga dapat dibuat dari dokumen-dokumen. Didalam penelitian ini dokumen yang digunakan adalah berupa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
buku-buku tentang mitos dan tradisi masyara kat jawa, juga berupa penelitian-penelitian dokumen-dokumen
terdahulu.
M eskipun
tersebut tidak ada
diantara
yang
diantara
secara khusus
membahas tentang mitos lusan, namun diharapkan dapat juga memberikan gambaran tentang bukti-bukti pendukung keberadaan mitos pernikahan sejenis yang menjadi tradisi masyarakat jawa. Dengan menggunakan strategi studi kasus, sumber data atau sumber bukti dapat dimaksimalkan dengan mengikuti tiga prinsip pengumpulan data. Prinsip-prinsip ini relevan terhadap semua sumber bukti jika digunakan secara semestinya, juga dapat membantu menghadapi persoalan-persoalan validitas konstruk dan reliabilitas studi kasus. Ketiga prinsip pengumpulan data tersebut, antara lain:
1. M enggunakan M ulti Sumber Bukti atau Data Penggunaan lebih dari satu sumber data dilakukan karena konklusi apa pun dalam studi kasus akan lebih meyakinkan dan lebih tepat jika didasarkan pada beberapa sumber informasi yang berlainan, mengikuti bentuk pendukungnya.
2. M enciptakan Data Dasar Studi Kasus Data dasar studi kasus antara lain berupa catatan, dokumen, bahan tabulasi, dan narasi. Menciptakan data dasar dirasa penting karena setiap studi kasus tetap berisi data yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
cukup agar pembaca laporan yang bersangkutan dapat menarik konklusi sendiri mengenai studi kasus tersebut.
3. M emelihara Rangkaian Bukti Prinsip ini dimaksudkan untuk memungkinkan pengamat dalam lingkup ya ng lebih luas pembaca studi kasus m isalnya mengikuti asal muasal bukti sejak dari pertanyaan awal penelitian hingga konklusi akhir studi kasus yang bersangkutan.
F. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposeful sampling, yang merupakan teknik dalam non-probability sampling yang berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subyek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan(Haris Herdiansyah, 2010: 106). Disini peneliti memilih subyek penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian, antara lain: orang tua atau sesepuh desa yang dianggap sebagai orang yang mewariskan mitos lusan kepada generasi-generasi se sudahnya atau anak-anak mereka, kemudian remaja anak pertama atau anak ketiga yang pernah mengalam i lusan. Pemilihan subyek penelitian tersebut dengan tujuan untuk mempelajari atau memahami permasalahan pokok yang akan diteliti. Sedangkan strategi sampling yang akan digunakan adalah typical sampling atau sampling yang digunakan untuk kasus-kasus yang bersifat khas dan unik, atau individu-individu yang memiliki karakteristik unik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
Identifikasi yang dapat dilakukan adalah dengan bertanya langsung kepada individu yang bersangkutan atau dengan menggunakan data demografis atau data survei, tergantung dari kasus yang akan diteliti (Haris Herdiansyah, 2010: 109).
G. Validitas Data Penelitian ini diharapkan dapat mengetengahkan serangkaian pernyataan logis, sehingga untuk itu perlu adanya penetapkan kualitas desain menurut uji logika tertentu. Karena itu, penelitian ini menggunakan salah satu uji yang relevan untuk studi kasus, yaitu uji validitas konstruk. Validitas konstruk dilakukan untuk menetapkan ukuran operasional yang benar untuk konsep-konsep yang akan diteliti dengan cara menggunakan multi sumber bukti, membangun rangkaian bukti, dan meminta informan kunci untuk meninjau ulang hasil laporan studi kasus ini (Robert K. Yin, 2000: 41).
H. Anlisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data model interaktif Miles dan Huberman yang terdiri dari empat tahapan yang harus dilakukan, yaitu tahap pengumpulan data, tahap reduksi data, tahap displa y data, dan yang terakhir tahap kesimpulan atau konklusi. Keempat tahapan analisis data model interaktif Miles dan Huberman dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
Gambar 3.1 Analisis data model interaktif M iles dan Huberman
Pengumpulan data
Reduksi data
Displa y data
Kesimpulan / Verifikasi
(Haris Herdiansyah, 2010: 109). Keempat model interaktif Miles dan Huberman dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Proses pengumpulan data terjadi disaat peneliti melakukan wawancara, observasi partisipan, disaat membuat catatan lapangan, bahkan disaat peneliti berinteraksi dengan lingkungan sosial subyek penelitian. Hasil dari kegiatan itu adalah data yang akan diolah. Sepanjang pene litian berlangsung, sepanjang itu pula proses pengumpulan data dilakukan. Ketika data yang diperoleh telah cukup untuk diproses dan dianalisi, tahap selanjutnya adalah melakukan reduksi data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
2. Reduksi Data Inti dari reduksi data adala h proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis. Hasil dari rekaman wawancara akan diformat menjadi bentuk verbatim wawancara. Hasil observasi dan temuan lapangan diformat menjadi tabel hasil observasi, dan hasil studi dokumen diformat menjadi skrip analisi dokumen.
3. Display Data Setelah semua data di format berdasarkan instrumen pengumpul data dan telah berbentuk tulisan, langkah selanjutnya adalah melakukan display data. Display data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas kedalam suatu matriks kategorisasi sesuai
dengan
tema-tema
yang
sudah
dikelompokan
dan
dikategorikan, serta akan memecah tema-tema tersebut kedalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana yang disebut dengan subtema dan diakhiri dengan memberikan kode.
4. Kesimpulan atau Verifikasi Kesimpulan merupakan uraian dari seluruh subkategorisasi tema yang tercantum pada tabel kategorisasi dan pengodean yang sudah terselesaikan disertai dengan quote verbatim wawa ncara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
Terdapat tiga tahapan
yang harus dilakukan dalam tahap
kesimpulan. Yang pertama, menguraikan subkategori tema dalam tabel kategorisasi dan pengodean disertai denga n kutipan verbatim wawancara. Yang kedua, menjelaskan hasil temuan penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian. Yang ketiga, membuat kesimpulan dari temuan tersebut dengan memberikan penjelasan dari jawaban pertanyaan penelitian yang diajukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Masyarakat Desa Plosokerep Desa Plosokerep merupakan nama salah satu dukuh di Desa Bendosari, tepatnya berada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, dan Kelurahan Bendosari. Plosokerep terdiri dari dua Rukun tetangga dalam satu Rukun Warga. Terletak di ujung
Timur
perbatasan
Kabupaten
Sukoharjo
dan
Kabupaten
Karanganyar, kurang lebih 30 menit dari pusat pemerintaha n jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Dengan penduduk yang relatif tidak terlalu banyak dan merupakan bagian dari suku bangsa jawa atau bisa dikatakan orang jawa. Seperti la yaknya desa jawa pada umumnya, Plosokerep dikelilingi oleh areal persawahan yang cukup luas. Mayoritas penduduknya memiliki la han persawahan, dan mayoritas penduduknya juga bermata pencaharian sebagai petani. Sebagaian besar lainya berada di perantauan dengan mata Pencaharian mereka beragam, ada yang sebagai pegawai kantor, tukang, kebanyakan berdagang. Di tanah sendiri mata pencaharian mereka ta k kalah beragamnya, selain mayoritas petani, tukang, ada polisi, pegawai negeri sipil, tentara, dan yang lainya. Jauh dari pusat pemerintahan bukan berarti jauh dari pendidikan formal. Masih dalam satu desa terdapat sebuah Sekolah Dasar, berjalan
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
sedikit lebih jauh terdapat sebuah SMP Negeri. Hampir semua penduduknya berpendidikan la yak ada sampai perguruan tinggi, banyak juga masuk SMA maupun SMK favorit di Kabupaten Sukoharjo seperti Sri Wulandari yang merupakan seorang a lumni SM K Negeri 1 Sukoharjo Jurusan Teknik Komputer Jaringan yang sekarang ini sangat ma hir dalam tekhnologi komputerisasi dan telah bekerja sebagai staff implementator di sebuah perusahaan software akuntansi ternama di Solo dan Jawa Tengah. Sebuah bukti bahwa jauh dari pusat pemerintahan tak membuat Plosokerep menjadi desa tertinggal, Plosokerep merupakan desa yang berkembang dan Masyarakatnya terutama remaja mereka merupakan remaja modern dengan tingkat pendidikan tinggi dan memiliki pekerjaanya yang tidak monoton mengikuti jejak orangtuanya seperti orang desa pada umumnya. Sebagai Desa
yang terus berkembang dengan
masyarakat
khususnya remaja yang modern dan berpendidikan, Plosokerep juga merupakan Desa yang berbudaya. Adat jawa sangat kental terasa disini. Mulai dari penggunaan bahasa jawa dalam percakapan sehari-hari sesuai dengan aturanya, ketika berbicara dengan teman sebaya biasanya digunakan bahasa ngoko, dengan orang tua ataupun tokoh yang dipandang menggunakan kromo alus. Selain itu berbgai upacara adat masih selalu dilakukan disini seperti kondangan, selamatan, adapun kondangan dan selamatan biasa dilakukan dengan masak besar terdiri dari nasi tumpeng dan lauk-lauk yang ditempatkan di wadah berbentuk lingkaran yang disebut tampah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
Kondangan biasanya dikumpulkan ditempat pamong desa atau di lumbung desa, kemudian makanan tersebut setelah didoakan saling ditukarkan dan dibawa pulang kembali untuk dimakan. Selamatan biasa dilakukan saat menyambut bulan ramadhan, saat malam ke 21 bulan ramadhan, saat malam takbir maupun lebaran dan sebagainya, bahkan menjelang tanam padi maupun menjelang panen seperti umumnya adat orang jawa yang menghormati Dewi Sri yang merupakan Dewi Padi. Bagi orang jawa, selamatan merupakan suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagika n. Selamatan erat kaitanya dengan unsur-unsur kepercayaan dan keyakinan kepada kekuatan diluar alam pikiran manusia, kekuatan sakti ataupun makhluk-makhluk halus. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamtan hidup dengan tidak mengganggu apapun. Didalam adat jawa, terdapat upacara se lamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacar menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat setelah kematian. Ada selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi. Ada upacara selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar islam. Dan ada selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkana an dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalana n jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak baha ya (ngruwat), nazar dan lain-lain. (Koentjaraningrat. 1976: 331)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
Seperti orang Jawa pada umumnya, selain upacara selamatan penduduk disini juga mengenal dan m eyakini mitos-mitos terutama yang berkaitan dengan kehidupan di dunia. Misalkan mitos yang berhubunagn dengan makhluk selain manusia yang mendiami tempat-tempat tertentu. Seperti di perempatan jalan yang diyakini angker karena mitosnya banyak yang ditemui makhluk halus saat lewat tengah malam. Selain mitos semacam ini, banyak sekali mitos yang berhubungan dengan kejadian nyata seharihari, misalkan saja saat terdengar suara burung gagak di malam hari, diyakini setelah itu akan ada orang yang sakit bahkan mungkin meniggal, dan seringkali kejadian tersebut memang benar terjadi adanya. Ada juga yang paling menarik adalah mitos tentang pernikahan. Dimana mitos melarang pernikahan bagi calon pengantin laki-la ki dan perempuan yang merupakan anak pertama dan anak ketiga. Diyakini belum pernah ada ana k ketiga dan anak pertama di desa ini yang melanggar mitos tersebut, namun masyarakat tetap menjaga kebenaranya, mereka tetap berusaha untuk tidak melanggar pantangan mitos tersebut, dan sepertinya mitos pernikahan ini benar-benar melekat dalam pribadi mereka. Paham mitologis yang masih melekat dalam pribadi masyarakat nampaknya memang kental tersasa sebagai karaktersitik orang jawa yang masih menganut paham kejawen, sehingga mitos yang berkembang erat kaitanya dengan keyakinan atau kepercayaan. Mitos yang dipercayai oleh masyarakat Plosokerep sama seperti mitos jawa pada umumnya yang merupakan genre foklor lisan yang diwariskan dari mulut ke mulut. Dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
kadang ceritanya pun bisa menjadi beberapa versi karena tergantung mereka yang memiliki cerita yang terkadang menyampaikanya sesuai sekehendak hantinya. Mitos tersebut bisa dianggap sebagai cerita yang aneh yang seringkali sulit kita paham i maknanya atau diterima kebenaranya karena kisa h didalamnya tidak masuk akal atau tidak sesuai dengan apa yang kita temui sehari-hari. Namun karena itu pula mitos yang seringkali juga dipakai sebagai sumber kebenaran dan menjadi alat pembenaran ini akan sangat menarik untuk dipelajari lebih dalam.
B. Mitos Lusan Mitos dijawa keperc yaan.
Berupa
selalu berhubungan dengan ke yakinan dan cerita
suci
yang
berbentuk
simbolik
yang
mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asalusul dan perubahan-perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewa, manusia, pahlawan, dan masyarakat. Cerita atau aturan yang terbentuk oleh masyarakat kuno, cerita dan aturanya dapat menjadi pedoman yang mengatur kehidupan manusia, bahkan dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang meskipun kebenaranya tidak bisa disesuaikan dengan kebenaran empiris atau logika ilmiah, sehingga sekelompok orang tertentu yang mem iliki kepercayaan terhadap kebenaran mitos tersebut tetap menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak. Mitos dijawa sangat banyak sekali ragamnya, yang pertama ada yang berupa gugon tuhon, mitos yang berisi larangan-larangan terte ntu. Jika larangan tersebut dilanggar, orang jawa takut menerima akibat yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
tidak baik. Contohnya adalah dalam berbagai larangan pernikahan bagi calon pengantin pria dan wanita. Orang jawa juga melarang menunjuk kuburan, nanti jarinya bisa patah. Jika terlanjur, maka jari tadi harus diomoti (dikuluh). Yang kedua ada mitos yang berupa bayangan asosiatif, mitos ini biasanya muncul dalam dunia mimpi. Misalkan ketika orang jawa mimpi menjadi pengantin, asosiasinya akan dekat masa kematianya. Untuk itu perlu dilakukan selamatan agar tidak segera meninggal dunia, terlebih lagi mati yang tidak wajar. Yang ketiga ada Mitos yang berupa dongeng, legenda, dan cerita-cerita. Misalkan saja mitos terhadap Semar, Dewi Sri, Kanjeng Ratu Kidul, Ajisaka. Tokoh-tokoh mitologis tersebut dianggap memiliki kekuatan supranatural, karenanya perlu dihormati dengan cara-cara tertentu. Dan yang keempat ada Mitos yang berupa sirikan (yang harus dihindari). M itos jawa ini masih bernafas asosiatif, tapi tekanan utamanya pada aspek ora ilok (tak baik) jika dilakukan. Misalkan dalam hajatan pengantin, orang jawa tidak akan berani menanggap wayang yang memakai istilah gugur, seperti kumbakarna gugur, abimanyu gugur, dan apalagi yang berhubungan dengan lakon baratayudha. Lakon yang bernuansa sedih harus dihindari agar mempelai tak mengalami hal-hal yang sedih. Begitu pula ketika menanggap campur sari, orang jawa juga tidak mau dengan lagu-la gu seperti randha kempling. Kata randha (janda) ditakutkan pengantin akan cepat cerai. (Suwardi Endraswara, 2012: 193194)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
Banyak mitos yang mudah sekali ditemukan ketika kita ingin mengkaji lebih jauh tentang mitos dijawa. Terutama pada masyarakat plosokerep, mereka mempercayai adanya m itos tentang suara burung gagak yang membawa musibah, pernikahan ngalor ngulon, ada lusan, belum lagi berbagai upacara selamatan yang sering digelar. Semua tak lain tak bukan adalah wujud eksotisnya budaya jawa masyarakat Plosokerep yang sangat kaya akan keyakinan dan kepercayaan bahkan diluar akal sehat. Tak lepas dari keyakinan dan kepercayaan yang diluar akal sehat tersebut, lusan adalah salah satu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Sebagaimana mitos gugon tuhon yang berisi laranga n-larangan yang ketika dilanggar atau tidak dilaksanakan mereka takut akan mendapatkan musibah, akibatnya sangat tidak baik bahkan dipercaya sampai bisa bisa mendatangkan maut. Lusan melarang dua orang calon pengantin pria dan calon pengantin wanita untuk menikah apabila mereka merupakan anak pertama dan anak ketiga. Lusan menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku bagi masyarakat sehubungan dengan pernikahan terutama dalam hal pemilihan jodoh. M asyarakat begitu menjaga agar lusan tetap sebatas mitos yang tidak perlu dibuktikan dengan kejadian nyata. Dalam arti bahwa kebenaran tentang mitos itu tidak penting, mereka tidak akan bersusah payah memahaminya dengan ilmu pengetahuan empiris, yang terpenting adalah tetap menjaga agar pantangan menikah lusan tetap tidak dilanggar dengan berbagai cara apa pun itu. Lusan telah menjadi hukum adat, peraturan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
tidak tertulis yang bagi mereka bahkan lebih mengikat dari Undangundang. Lusan mengaburkan penalaran masyarakat tentang kebenaran empiris. Dan sepertinya sudah menjadi karakteristik logika m itos yang memang ditakdirkan tidak dapat ditelaah dengan akal sehat manusia.
1. Sejarah Mitos Lusan di Plosokerep Mitos lusan merupakan larangan menikah bagi calon pengantin pria dan calon pengantin wanita apabila mereka adalah anak pertama dan anak ketiga. Seperti yang diungkapkan oleh seorang sesepuh Desa: “kados jenengan anak nomer setunggal mboten pareng jodo kalih anak nomer tigo, lan sak walikane. Dados lusan niki nggih saking telu kalih pisan niku”. ( “seperti anda anak nomer satu tidak boleh berjodoh dengan anak nomer tiga, begitu juga dengan sebaliknya. Jadi lusan itu ya asalnya dari tiga dan satu itu” ) Siapa yang menjadi anak pertama laki-la ki atau perempuan, atau siapa yang menjadi anak ketiga si perempuan atau laki-la ki, itu tidaklah penting, dari pihak mana saja, jika mereka adalah anak pertama baik dari la ki-la ki atau dari perempuan dan anak ketiga baik dari perempuan atau la ki-la ki, maka bagi masyarakat yang mempercayai dan meyakini lusan, pernikahan mereka adalah tiket untuk masuk kedalam pintu ruang kesengsaraan yang sudah menanti. Akan tetapi bagi mereka anak ketiga yang merupakan ragil (anak bungsu), mereka tidak perlu takut dan tidak perlu mengontrol perasaan kepada siapa mereka boleh menaruh hati. Seperti seorang remaja yang pernah mengalam i pengalam lusan berkata bahwa:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
“Ya lusan itu ternyata kalau anak ketiga itu masih punya adik, kalau gak punya adik bukan lusan”. Karena anak ketiga yang merupakan anak ragil, posisi mereka sebagai anak terakhir dari orang tuanya telah menyelamatkan mereka dari keharusan menghindari jatuh hati pada anak pertama. Karena mereka kebal dari lusan, lusan hanya berlaku dan melarang menikah denga n ana k pertama bagi mereka yang merupakan anak ketiga dan masih mempunyai adik kandung. Seperti yang diungkapkan seorang sesepuh Desa bahwa: “lusan niku yen kados jenengan ngoten umpamane anak siji tunggal mboten enten jenenge lusan, lha nggih niku syarate jenengan pun mboten gadhah adhi. Lha koyo kadhos Wulan niko nggih ngoten, itungane wulan niku pun ragil, pun mboten gadhah adhi kandung, nggih itungane pun mboten lusan”. ( “lusan itu kalau seperti anda misalkan merupakan anak tunggal tidak ada yang namanya lusan, akan tetapi syaratnya anda tidak memiliki adik. Kalau seperti wulan juga seperti itu, perhitunganya Wulan itu anak terakhir, sudah tidak memiliki adik kandung, jadi menurut hitunganya bukan lusan” ) Bagi mereka anak ragil yang merupakan anak ketiga yang tidak la gi mempunyai adik, maka jika dia menikah dengan anak pertama tidaklah termasuk lusan. Lusan tidak berlaku bagi anak ketiga jika dia ragil, sekali lagi tidak ada penjelasan logis sesuai denga n ilmu pengetahuan empiris manusia. Penje lasan mereka sederhana, lusan adalah larangan menikah bagi anak ketiga dan anak pertama. Yang dimaksud sebagai anak ketiga dalam pandangan mas yarakat atau lebih tepatnya dalam kaca mata lusan adalah seorang anak ketiga yang dilahirkan oleh seorang ibu kandung yang sama meskipun dari Ayah yang berbeda, dan anak tersebut minimal masih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
memiliki seorang adik. Jadi, dalam satu keluarga dengan m inim al empat orang anak atau lebih yang terlahir dari satu ibu kandung meskipun dari ayah yang berbeda, maka anak ketiga dari keluarga tersebut dalam kaca mata lusan dilarang untuk menikah dengan anak pertama. Sehingga dalam satu keluarga dengan tiga orang anak yang terlahir dari satu ibu kandung meskipun dari ayah yang berbeda, maka ana k ketiga dari keluarga tersebut dalam kaca mata lusan tidak dilarang atau diperbolehkan untuk menikah dengan anak pertama. Aturan tentang anak ketiga ragil dan atau yang masih memiliki adik diatas tidak bisa digeser oleh kematian. Seperti yang diungkapkan oleh seorang sesepuh Desa, bahwa: “jenenge mati lan urip ing donya niku kan pun dados rahasianing gusti pangeran. Sanajan to kulo gadhah anak pitu pun mati setunggal, nanging kan pitu-pitune tetep anak kulo. lha nggih sami mawon nek cacahe anak papat, sing nomer siji kalih telu niku nggih lusan, lha sanajan adhine telu mati kabeh niku mboten banjur dados mboten lusan, sing nomer tigo nggih sami mawon, mbok’o sanajan adhine sing nomer papat niku mati trus mboten lajeng dados ragil, itungane niku nggih tetep lusan. Bab ngoten niku mboten saget dipisah kalih pati”. (“yang namanya mati dan hidup di dunia ini sudah jadi rahasianya gusti pengeran. Meskipun saya punya anak tujuh dan meninggal satu, tapi kan semuanya tetep anak saya. Sama saja ketika memiliki anak empat, yang nomer tiga dan nomer satu itu tetaplah lusan, meskipun ketiga adiknya semuanya meninggal tidak lantas menjadikanya tidak lusan, begitu juga dengan yang nomer tiga,meskipun adiknya yang keempat itu meninggal tidak lantas menjadikan dia anak terakhir, dia tetaplah lusan. hal semacam itu tidak dapat dipisahkan oleh kematian” ) Ketika seorang anak yang dilahirkan sebagai anak ketiga dari rahim ibunya dan dia masih mempuyai adik, jika sang anak pertama atau anak kedua dari ibu kandung meninggal, atau kedua-duanya, maka anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
tersebut tidak lantas bergeser poisi menjadi anak pertama atau anak kedua dan terbebas dari lusan, dia tetap terhitung sebagai anak ketiga dan tetap terikat oleh benteng tebal mitos lusan. Begitu juga ketika anak keempat yang meninggal, meskipin dalam kehidupan keluarga dan sosial si anak ketiga menjadi anak terakhir dalam keluarga tersebut, akan tetapi dalam perhitungan lusan si anak ketiga tetap terhitung dalam daftar lusan jika dia menikah dengan anak pertama. Artiya lusan tetap melekat abadi pada anak ketiga dari minimal empat bersaudara dari satu ibu kandung, kematian tidak bisa mengeser posisinya dan melepaskanya dari pantangan menikah dengan anak pertama. Sebelum lebih banyak berbicara tentang lusan, akan lebih menambah cakrawala kita kalau kita tahu, bahwa di Plosokerep, lusan bukanlah satu-satunya mitos yang melarang dua orang yaitu laki-laki dan perempuan untuk menikah. Ada beberapa mitos lain yang tidak bisa menggeser ekistensi lusan, begitu juga sebaliknya lusan tidak bisa membuat masyarakat melupakan mitos-mitos tersebut. M itos mitos tersebut antara lain : yang pertama, adalah m itos ngalor ngulon, seperti yang diungkapkan Sri Wulandari, bahwa: “Itu mitosnya kalau arah rumah kita ngalor sama ngulon itu gak boleh nikah mas”. Mitos ini melarang m enikah bagi dua orang-laki-laki dan perempuan apabila posisi rumah mereka masing-masing menghadap ngalor (utara) dan ngulon (barat). Yang kedua, ada mitos ngidul ngetan, seperti yang diungkapkan Sri Wulandari, bahwa:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
“Ada lagi mas itu mbah-mbah yang sakit struk, katanya sih dulu karena anaknya juga Ngidul ngetan nikahnya”. Mitos ini melarang menikah bagi dua orang-laki-la ki dan perempuan apabila posisi rumah mereka masing-masing menghadap ngidul (Selatan) dan ngetan (timur). Yang ketiga, adalah mitos adu wuwung, seperti yang diungkapkan Sri W ulandari, bahwa: “banyak Mas mitos disini, ada adu Wuwung juga, kalau rumahnya sejajar menghadap arah yang sama itu gak boleh”. Mitos ini melarang m enikah bagi dua orang-laki-laki dan perempuan apabila posisi rumah mereka masing-masing sejajar menghadap arah yang sama. Selain beberapa mitos tersebut, ada beberapa mitos sejenis yang dipercaya dari daerah lain yang sudah pernah diteliti, misalkan: yang pertama, mitos dandang sauran jeneng, dalam penelitian skripsi Siti Nur Khasanah (2007) dari UIN Ma lang, dengan judul “Tradisi Perkawinan Dandang Sauran Jeneng (Studi pada masyarakat Kalibatur, Kecamatan Kalidawir,
Kabupaten Tulungagung)”.
Mitos
ini
dipercayai
oleh
masyarakat Kalibatur, Kecamatan Kalidawur, Kabupaten Tulungagung. Dandang sauran jeneng adalah m itos yang melarang laki-laki dan perempuan menikah jika nama orangtua mereka memiliki kesamaan huruf dalam namanya, misalkan jono dan sarijo, keduanya sama-sama menggunakan lafal huruf J dan J. Yang kedua, ada mitos tiba rampas di Dusu Sembung, dalam penelian skripsi M uzakki Zakaria (2009) dari UIN M alang, dengan judul ”M itos Tiba Rampas Dalam Penikahan Jawa (Studi Kasus di Dusun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
Sembung, Desa Cengkok, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk)”. Mitos Tiba Rampas adalah mitos petangan atau pitungan (Perhitungan) dari weton atau neptu (hari lahir) seseorang sebelum melakukan peminangan atau perkawinan, yang dalam kepercayaan Jawa mempunyai nilai masing-masing, ketika dijumlahkan dari neptu keduanya kemudian dikurangi 3 dan begitu seterusnya sampai menem ukan hasil akhir nol atau kosong. M ereka mempercayai bahwa jika pasangan menikah mempunyai neptu tiba rampas maka keselamatan dan kesejahteraannya tidak terjamin. Yang ketiga, mitos pancr wali di Desa Bungkuk, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan dalam penelitian skripsi Rudi Hermawan (2007) dari UIN Malang, dengan judul “Mitos Nikah Pancer Wali (Studi Kasus di Masyarakat Desa Bungkuk Kecamatan Parang Kabupaten M agetan)”. Pancer wali adalah pernikahan antar kerabat (sepupu) dari keturunan lakila ki. Maksudnya, antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan masih mem iliki ikatan kekerabatan dari pihak la ki-laki. Mitos-mitos tersebut seperti beberapa gunung yang belum terjamah manusia. Bentuk gunung yang satu dan yang lain tidak sama, tingginya tidak sama, apa yang ada didalamnya pun belum tentu juga sama bisa hutan rimba, mungkin ada yang berupa gurun panas, mungkin juga penuh jurang-jurang dan tebing curam, atau ada yang didalamnya menjadi rumah binatang buas atau bahkan makhluk halus. Tidak pasti, tapi deretan pegunungan itu tetaplah tinggi, tetaplah menutupi pandangan kita dari apa yang ada dibalik gunung itu dan tetaplah berbahaya karena tidak tahu apa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
yang ada didalamnya. Membuat kita tidak bisa menyaksikan langsung sesuatu yang ada dibalik gunung itu. Membuat kita harus memutar meskipun lebih jauh, sangat melelahkan dan menguras waktu juga tenaga bahkan mungkin pikiran. Yang terpenting bagi kita bukanlah apa dan sepenting apa yang ada dibalik pegunungan tersebut. Yang ada disana hanyalah tujuan, bisa tempat bisa orang atau apa saja. Yang jelas sepenting apa pun tujuan itu, tidak akan m embuat kita mengambil jalan pintas melewati gunung dengan hutan rimba yang belum pasti apa yang menunggu diasna. Bukan berarti juga karena harus memutar lama dan memakan waktu sangat lama lalu membuat tujuan tersebut tidak penting. Karena yang terpenting adalah mencari selamat untuk sampai pada tujuan itu. Kita tidak tahu apa yang ada didalam gunung itu, apa yang tersembunyi didalam hutan, mungkin binatang buas, atau tempat-tempat keramat dan makhluk halus. Kita juga tidak tahu pasti apa yang aka n terjadi kalau kita mengambil jalan pintas dan melewatinya, apakah kita akan celaka, atau mungkin malah bisa selamat dan sampai tujuan lebih cepat. Tidak ada kepastian, itulah karakteristik m itos. Saat melihat pegunungan itu, jika kita takut, kita tidak akan membahayakan diri untuk melewatinya, kita tidak akan bersusah payah untuk berusaha melewati dan mengetahui apa yang ada didalam gunung-gunung itu, yang terpenting adalah selamat sampai tujuan. Seperti halnya dengan mitos-mitos pernikahan, mitosnya berbeda, laranganya maupun pantanga nya juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
berbeda. Tapi semua mitos-mitos itu sama-sama membatasi orang-orang yang mempercaya inya untuk menikah sesuai dengan pantanganya masingmasing. Mitos-mitos tersebut kita ibaratkan pegunungan, dan menikah adalah tujuanya. Mitosnya tidak sama laranga nya juga, tapi semuanya dipercaya akan mendatangkan musibah jika dilanggar. Sementara sebenarnya tidak pasti apakah benar mereka akan mendapat musibah jika melanggarnya. Sekali lagi inilah karakteristik mitos, tidak ada kepastian tapi tetap dipercaya. Mereka tidak akan bersusah payah mencari tau kepastianya, karena keyakinan dan kepercayaan yang juga ketakutan mereka membuat mitos tersebut sangat kokoh berdiri. Mereka benar-benar tidak akan melanggar pantangan m itos tersebut karena takut akan akibatnya. Meskipun baru dalam taraf kenal atau dekat dengan sesorang lawan jenis, jika mitos melarang, entah karena mitos telong jodoh sak omah, ngalor ngulon, ngidul ngetan, adu wuwung, pancer lanang, dandang sauran jeneng, tiba rampas, atau lusan, apa pun mitos yang mereka percayai maka mere ka akan mulai membatasi diri atau bahkan menjauh agar tidak timbul rasa yang serius untuk menikah. Dan sekalipun telah lama menjalin hubungan, jika m itos melarang mereka lebih memilih mencari pasangan lain, mencari tambatan hati yang lain untuk dinikahi sperti prinsip seorang remaja yang memiliki pengalaman lusan, bahwa: “lebih baik sakit hati sekarang daripada nanti semakain serius dan semakin sakit sakit”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
Dan kesimpulanya, mitos-mitos pernikahan tersebut meskipun larangan-laranga nya berbeda tapi sama-sama berasal dari masa lalu oleh nenek moyang yang entah dimana dan kapan tercipta, akan tetapi meskipun tidak pasti sejarahnya maupun kebenaranya, semuanya tetap sama juga ditakuti oleh orang atau masyarakat yang mempercayainya karena akan mendatangkan musibah jika dilanggar. Sejak jaman purba orang jawa telah memiliki pandangan hidup yang mempercayai hal yang ghaib, dalam arti meyakini adanya kekuatan rahasia yang kasat mata dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini (Budiono Herusatoto, 2008 : 70). Hal tersebut dapat dilihat dalam mitos-mitos pernikahan yang hampir tidak bisa ditelusuri akar se jarahnya, bukan tidak mungkin jika mitos-mitos tersebut memang berasal dari masa lampau yang jauh atau bahkan zaman purba. Harus bertanya kepada siapa, mereka yang mempercayai dan memilikinya pun tidak tau. Inilah masalah yang dihasdapi ketika ingin mempelajari tentang sejarah asal mula mitos lusan, bahka n seorang sesepuh desa pun menjawab seperti ini ketika ditanya oleh seorang Sri Wulandari: “lusan kuwi wis dadi warisane mbah-mbah jaman mbiyen, aku karo kowe tugase mung kari neruske” ( “lusan itu sudah menjadi warisan nenek moyang sejak jaman dahulu, Aku dan kamu hanya tinggal meneruskanya saja”). Sesepuh Desa tersebut dalam kesempatan berbeda mengatakan sendiri kepada penulis, bahwa: “lha niku ki pun warisane kat jaman mbiyen mas, saking jamane simbah-simbah kulo rumiyen nggih anak nomer telu kaliyan anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
nomer siji niku pun dadi lusan. nek kados kulo kalih buyut-buyut kulo mbenjang niku nggih mung kantun neruske mawon sing pun dados warisane leluhur kulo rumiyen”. ( “lha itu sudah menjadi warisan dari jaman dahulu mas, dari jamanya Kakek Nenek Saya dulu ya anak nomer tiga dan anak nomer satu sudah jadi lusan. kalau seperti saya dan buyut-buyut saya nanti itu ya hanya tinggal meneruskan saja yang sudah menjadi warisanya leluhur saya dahulu.) Hampir semua yang ditanya menjawab seperti itu, tidak jauh berbeda dari sisi remaja juga menyatakan bahwa lusan itu berasal dari mbah-mbah jaman dulu. Seperti Sri Wulandari yang mengatakan, bahwa: “Lusan itu sudah ada sejak jaman nenek moyang dulu, katanya orang tua, dulu lusan itu warisanya mbah-mbah jaman dulu, orang tua termasuk kami-kami ini tinggal meneruskanya saja”. Atau juga seperti yang dikatakan oleh Yayin, bahwa: “ya itu kan kepercayaan udah dari jaman nenek moyang dulu mas, udah jadi warisane simbah dari dulu banget”. Apakah menjadi ironi ketika harus mempercayai, meya kini bahkan melaksanakan sesuatu yang tidak jelas sejarahnya kenapa dan kapan terjadinya? Jawabanya jelas tidak bagi masyarakat Plosokerep. Karena kepercayaan ini lah yang mereka yakini akan membawa keslamatan bagi kehidupan mereka. Mungkin tidak pantas jika harus menyebutnya sebuah ironi, karena lusan merupakan tradisi sebuah wujud kebudayaan masyarakat, suatu budaya yang melekat dalam pribadi masyarakat pendukungnya dan benar-benar masih dilaksanakan dan dilestarikan. Tradisi seperti layaknya serangkain tata cara dalam upacara pernikahan jawa, atau budaya seperti layaknya tari-tarian jawa. Hanya saja tidak seperti keduanya yang ketika dilestarikan dan dilaksanakan kita
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
dapat menikmati wujud nuansa budayanya, lusan sifatnya abstrak hanya menjadi sebuah pengetahuan yang terkonstruksi dalam pengetahaun manusia, kita tidak dapat menikmati keindahanya apalagi mengabadikanya dalam sebuah bingkai gambar. Sudah jelas bahwa sejarah asal mula mitos lusan tidak diketahui bahkan oleh sesepuh desa sekalipun. Tidak dapat menelusuri sejarahnya bukan berarti tanpa penjelasan. Penejelasan logisnya karena memang lusan bukan m enjadi satu-satunya milik masyarakat Plosokerep. Dalam artian bahwa Plosokerep bukanla h satu-satunya tempat atau desa yang masyarakatnya mempercayai mitos lusan. Di sebagian daerah Desa Weru, Kecamatan Weru lusan juga menjadi mitos ya ng masih sangat dipercaya, di Desa Kunden, Kecamatan Bulu dan mungkin di beberapa daerah lain di Kabupaten Sukoharjo. Tidak hanya satu Kabupaten lusan juga dipercaya di Desa M ojogedang, Kabupaten Karanganyar, dan mungkin di beberapa daerah lain di Kabupaten Karanganyar, atau bahkan mungkin di beberapa Kabupaten lain di Jawa Tengah, karena lusan bahkan sampai dipercaya oleh sebagian mas yarakat di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Lusan memang bukanlah tradisi lokal masyarakat Plosokerep. Dan mungkin termaafkan kalau memang masyarakat tidak tau asal mula sejarah mitos lusan. Karena lusan dipercaya oleh banyak masyarakat di daerah la in di Jawa Tengah bahkan Jawa Timur. Bisa jadi mungkin sejarah asal mula lusan berasal dari salah satu daerah-daerah tersebut, atau mungkin memang berasal dari jaman purba yang tak seorang pun tau asal mulanya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
seperti yang diungkapkan oleh Budiono Herusatoto bahwa sejak jaman purba orang jawa telah mem iliki pandangan hidup yang mempercayai hal yang ghaib, dalam arti me yakini adanya kekuatan rahasia yang kasat mata dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Yang jelas saat ini adalah bahwa lusan memang merupakan budaya jawa yang menjadi milik semua orang jawa bukan hanya tradisi lokal masyarakat Plosokerep yang kolot dan harus selalu diragukan karena tidak dapat dijelaskan sejarahnya. Lusan adalah budaya masyarakat jawa, dan masyarakat Plosokerep hanyalah sebagian dari wujud kebudayaan jawa tersebut.
2. Pantangan dan Akibatnya Jika Dilanggar Lusan dalam bahasa jawa berarti telu pisan (tiga satu). Lusan tetap bertahan
karena
masyarakat mempercayai dan
benar-benar
tidak
melanggar pantanganya. Pantanga n dari mitos lusan hanya satu, yaitu melarang menikah bagi calon penga ntin pria dean pengantin wanita apabila mereka adalah anak ketiga dan ana k pertama. Akan tetapi pantanganya tidak berlaku bagi anak pertama tunggal dan a nak ketiga ragil atau anak terakhir. Lusan menjadi tradisi yang tetap dijaga karena akibat dari pantanganya jika dilanggar tidaklah ma in-main. Bagi mereka yang melanggar akan tertimpa musibah dan kesengsaraan dalam keluarganya, kehidupan keluarganya tidak akan bahagia, susah rejeki, bahkan sampai kematian. Seperti yang diyakini oleh sesepuh Desa, bahwa:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
“nggih kathah mas, didohne rejekine, salah sijining keluarga mesti bakal ono sing gerah sak bacute mati”. ( “ya banyak mas, dijauhkan rejekinya, salah satu keluarga pasti ada yang akan sakit dan lalu mati” )
Akibatnya bukan hanya diterima oleh kedua orang yang melanggar lusan, keluarganya pun tak akan luput dari musibah terutama orang tua, akan ada yang mengalami sakit parah, bahkan sampai kematian. Sejarah Desa mencatat bahwa belum sekalipun mitos lusan pernah dilanggar oleh masyarakat Plosokerep. Dan secara tidak langsung berarti bahwa belum pernah terbukti kalau
memang
lusan
akan
mendatangkan
musibah
bagi
yang
melanggarnya. Kebenaranya tidak penting bagi ma syarakat, karena kebenaran ini lah yang mereka takutkan. Mereka tidak akan berusaha mencari ta hu kebenaranya dengan membuktikanya secara langsung. Cukup bagi mereka ketakutan itu yang membuat mereka menjaga lusan tidak dilanggar. Akan tetapi tidak mencari tahu atau membuktikan kebenaran lusan secara langsung bukan berarti mereka tidak mencari pembuktian. Mereka tetap bertanya-tanya apakah benar, dan mereka mendapat jawaban pembuktian tersebut dari keadaan dan situasi yang terjadi didalam masyarakat. Salah satu contoh kasus, pada satu keluarga yang melanggar mitos ngalor ngulon. seperti yang diungkapkan Sri Wulandari, bahwa: “Ya itu mas kayak tetangga itu kan ada yang istrinya sakit asma, terus ekonominya ya masih kurang gitu, terus bertengkar terus mas, katanya sih kayak gitu karene mereka dulunya nglanggar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
mitos ngalor ngulon mas. Itu juga udah dicariin setiaran ke orang pinter kemana-mana, terus emang katanya gara-gara mitos itu”. Keluarga tersebut tidak harmonis, hubungan antara mertua dan menantu. Kemudian sang istri juga sering sakit-sakitan. Dan mereka hampir saja bercerai. Sepertinya masalah tidak pernah selesai silih berganti dari keluarga mereka. Pernah terjadi juga pada keluarga yang berbeda yang melanggtar mitos itu, ayah atau orang tua mereka jatuh sakit struk hingga sekarang. Seperti yang juga disebutkan oleh Sri Wulandari: “Ada lagi mas itu mbah-mbah yang sakit struk, katanya sih dulu karena anaknya juga Ngidul ngetan nikahnya”. Masyarakat menganggap kejadian-kejadian tersebut sebagai musibah akibat dari melanggar pantangan dalam mitos tersebut. M asyarakat pun yang mempercayai lusan membuktikan kebenaranya dengan menyatakan bahwa seperti itulah akibatnya jika anak pertama dan anak ketiga berani menikah dan me langgar lusan. Masyarakat meminjam kejadian yang dihubungkan dan dibenarkan dari mitos lain untuk membuktikan kebenaran dari lusan, seperti yang diungkapkan Clifford Geertz, bahwa simbol-simbol religius merumuskan sebuah kesesuaian dasariah antara sebuah ga ya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika khusus atau mutlak, dan dengan melakukan itu mereka akan mendukung masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain (Clifford Geertz, 1992 : 4).
3. Proses Sosialisasi Individu oleh Berger dan Luckman (Burhan Bungin. 2008: 20) dikatakan mengalami dua proses sosialisasi yang merupakan sosialisasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
primer dan sosialisasi sekunder. Pertama, sosialisasi primer dialami individu pada masa kanak-kanak, yang dengan itu dia menjadi anggota masyarakat. Sedangakan kedua sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu kedalam sektorsektor
baru
dalam
dunia
obyektif
masyarakatnya.
Dan
didalam
mengkonstruksi pengetahuanya tentang mitos lusan remaja Plosokerep mengalami sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder yang mereka dapatkan dari berbagai pihak, antara lain:
a. Dari Keluarga Masyarakat
Plosokerep
menjadi
salah
satu
wadah
keberadaan lusan, mitos ini melekat dalam pribadi masyarakat dan mendarah
daging
di dalam
mempercayainya. Keluarga
masing-masing
keluarga
yang
menjadi tempat pertama proses
pelestarian budaya yang menjadi simbol dalam religi sekaligus tradisi. Lusan menjadi tindakan simbolis orang jawa dalam religi karena keperca yaan dan keyakinanya dalam mitos, juga menjadi tindakan simbolis dalam tradsisi orang jawa karena hukum dan aturan adat pernikahan yang melarang anak pertama dan anak ketiga untuk menikah. Karena pernikahan tak pernah lepas dari hubungan keluarga, maka pantas kalau keluarga lah yang berperan penting dalam pelestarian m itos lusan yang menjadi tradisi dan budaya masyarakat Plosokerep.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
Lusan dikatakan mendarah daging dalam keluarga, seperti halnya hubungan darah, lusan diwariskan turun temurun dari orang tua kepada anaknya terus menerus dari jaman dahulu tak pernah putus. Seorang anak akan mewarisi pengetahuan tradisi dan budaya lusan dari orang tuanya. Lusan adalah sebuah tradisi dan juga budaya jawa yang tidak memiliki bentuk kongkrit, dia tidak bisa dipegang dan tidak memiliki ritual khusus, bentuknya hanyalah berupa pengetahuan yang diwariskan secara turun tenurun namun kekuatan adatnya tidak kalah dengan upacara selamatan dan berbagai tradisi maupun budaya yang lain. Seorang anak dikenalkan kepada lusan paling awal setelah mereka menginjak SMP pada usia sekitar 12 sampai 15 tahun. Seperti yang diungkapkan beberapa remaja berikut ketika ditanya kapan pertama kali dilarang atau diberitahu soal lusan: Sri W ulandari: “Lupa mas, tapi SMP kelas 1 apa kelas 3 kayake”. Astuti: “waduh lupa mas, tapi waktu SMP dulu”. Yayin: “sejak dulu mas udah lama banget, pas masih kecil masih SMP padahal kan gak mungkin SMP udah pacaran”. Budi (14 Tahun): “Gek jarene wong tuwo ku yo nek Aku nikah ora entuk nglanggar mitos pokoke ndak koyo ngono kuwi”. (“trus katanya orang tua saya kalau saya nikah tidak boleh melanggar mitos nanti akan jadi seperti itu”)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
Seperti yang Ibu Sum katakan juga ketika ditanya kapan beliau mulai mengenalkan lusan kepada anaknya: “alah lah…duko mas riyen niku.. umur tigo welas nek mboten klentu pat belas, kulo niku nggih mboten ngesir ajeng bocah niku umur pinten trus dikandani, nggih sing genah niku riyen nek wulan kadose pun wayah kenal cah lanang ngoten nggih kedah dielengke mas, kulo lan bapake dados tyang sepuh pripun carane kedah saget ngarahne supoyone bocah niku mboten kedadean nglanggar lusan”. (“tidak tau dulu itu…usia tiga belas kalau tidak salah empat belas, saya itu ya tidak bermaksud kapan mau anak itu umur berapa baru diberitahu, yang pasti dulu kalau wulan kelihatanya sudah mulai mengenal laki-laki maka harus diingatkan mas, saya dan ayahnya menjadi orang tua bagaimana pun caranya harus bisa mengarahkan supaya anak itu tidak sampai kejadian melanggar lusan”) Awalnya tidaklah serius untuk menjurus pada upaya mengikat. Orang tua hanya sekedar bercerita tentang apa itu mitos lusan. Mereka menjelaskan jika anak ketiga tidaklah boleh menikah dengan anak pertama. M ereka membumbui cerita tersebut dengan dongeng dan juga cerita takhayul yang menjadi mitos. Pada saat-saat seperti itu memang cukup lah efektif untuk mengenalkan lusan pada seorang anak. Seperti yang dikatakan Ibu Sum: “sanajan’o tesih bocah dereng wayah rabi sing penting pun kenal riyen kalih adate simbah-simbahe. Kajenge mbenjang niku mboten kaget mas yen sak wayah-wayah gegayuhane bebojoan ora kalaksanan amargo ora entuk lusan”. (“meskipun masih anak-anak belum saatnya menikah yang penting sudah mengenal terlebih dahulu dengan adat simbah-simbahe. Agar nantinya itu tidak kaget mas kalau sewaktu-waktu keinginanya menikah tidak terlaksana karena tidak boleh lusan” )
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
Karena umur 12 - 15 tahun, merupakan masa bangkitnya akal (ratio), nalar (reason), dan kesadaran diri (self consciousness). Dalam masa ini terdapat energi dan kekuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh ke ingintahuan dan keinginan untuk coba-coba, seperti yang telah diungkapkan oleh Rousseau. (Sarlito Wirawan Sarwono, 2004: 23) Mulai memperkenalkan lusan pada usia 13 tahun keatas memang efektif karena bangkitnya akal dan munculnya keinginan coba-coba membuat mereka lebih berani untuk mulai mengenal lawan jenis. Orang tua paham betul untuk menanamka n pola pikir ketakutan pada mitos ini sejak dini. Karena yang mereka jelaskan yang mereka ajarkan bukanlah suatu bentuk tindakan atau upaya nyata untuk menjaga tradisi. Yang mereka ajarkan sejak awal adalah ketakutan untuk membangun kepercayaan anak-anak mereka. Mereka membangun pondasi pengetahuan anak-anak dengan mengajarkan menjelaskan akibat yang akan terjadi jika lusan dilanggar. Musibah, kesengsaraan, penyakit, kematian, semua itu yang selalu mewarnai cerita mereka. Meskipun tidak banyak dan tidak selalu menyinggung soal penyakit maupun kematian ataupun contoh nyata lainya, yang jelas pernyataan tentang akibat yang tidak baik bisa menimpa pengantin dan keluarga adalah kata-kata yang tidak pernah disembunyikan ketika mereka bercerita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
Orang tua tidak banyak menjelaskan apa dan ke napa lusan bisa ada, yang selalu mereka katakan adalah warisan nenek moya ng, sudah ada sejak zaman dulu, dan terbukti semua itu berhasil membuat anak-anak takut. Apalagi cerita-cerita tersebut selalu didukung dengan pernyataan-pernyataan juga cerita-cerita dari mbah (kakek atau nenek) yang dalam otak anak-anak ini sudah terpatri bahwa mbah-mbah adalah orang jaman dulu yang dianggap sebagai orang pintar, pintar dalam arti selalu kental dengan unsur magis dan hal-hal yang berbau mistis. Semakin dalam lah ketakutan itu mengalir dalam darah anak-anak. Ketakutan yang menjadi pondasi awal yang ditanamkan keluarga terutama orang tua dalam proses sosialisasi kepada anak benar-benar telah membawa pengetahuan baru. Pengetahuan yang membuat mereka semakin memandang adat dan tradisi sebagai mitos yang menakutkan. Akan tetapi takut bukan berarti mereka perduli dan memikirkan itu panjang kedepan. Dalam masa -masa tersebut, masa-masa awal proses sosialisai lusan dari keluarga. Ketakutan baru menjadi pengetahuan yang tersimpan dalam. Seperti seekor singa dalam kandang, dia bisa menunjuka n taringnya, cakarnya dan suaranya yang bisa mencabik-cabik apa yang ada di hadapanya. Singa itu membuat semua orang yang melihat taring dan cakarnya merasa takut, tapi tidak akan membuat orang lari karena
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
dia masih didalam kandang. Keganasan singa tersebut hanya menjadi tontonan saat dia didalam ka ndang. Orang-orang hanya berani melihatnya dan tidak berani menyentuhnya. Tapi saat rasa penasaran orang-orang ingin menyentuh lebih dekat singa tersebut dan membuat mereka berani membuka kandangnya, maka singa tersebut akan keluar dari kandang kemudian membuat orang-orang lari ketakutan karena taring dan cakarnya yang berbahaya. Seperti halnya ketakutan yang ditanamkan orang tua tentang lusan. Bagi-anak pada usia seperti itu, memang lusan membuat mereka takut, tapi tidak membuat mereka membatasi diri dalam menyukai lawan jenis. Mereka tidak perduli untuk suka pada anak pertama atau anak ketiga karena pikiran mereka pada saat itu adalah pikiran anak-anak yang masih mencari senang, mereka belum terpikir tentang masa depan panjang apalagi pernikahan. Anak-anak itu takut pada lusan, tapi karena belum adanya keinginan serius untuk
mencari pasangan apalagi menikah
membuat mereka belum memikirkan lusan dan pantanganya. Sehingga lusan masih terpenjara dalam pengetahuan anak-anak itu dan belum bisa mengeluarkan taring ketakutanya. Dan ketika saatnya anak-anak itu semakin tumbuh besar menjadi remaja yang matang, rasa cinta dan memiliki lawan jenis juga keinginan untuk serius mencari pasangan memikirkan masa depan dan m enikah membuat penjara yang mengurung lusan dalam pengetahuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
mereka terbuka. Dan ketakutan akan mitos lusan benar-benar membuat mereka lari menghindari jodoh anak ketiga atau anak pertama. Dengan semakin matangnya perkembangan emosional remaja, upaya mewariskan lusan pada remaja akan ikut berubah berkembang sesuai dengan semakin matangnya emosional remaja. Proses sosialisasi yang tadinya bertujuan untuk mengenalkan dan membuat takut anak perlahan berubah menjadi usaha untuk melarang anak yang semakin matang sebagi remaja. Orang tua tidak lagi sekedar bercerita dan memberi contoh, mereka mulai menggunakan
ancama n untuk
melarang anak-anak mereka.
Ancam an yang diberikan bukanlah karena akibat dari mitos jika dilanggar, tapi berupa ancaman apabila anak berani melanggar perintah mereka untuk tidak menikah dengan anak pertama atau anak ketiga. Seperti ancaman yang Ibu Sum berikan kepada anaknya, beliau mengatakan: “njih kulo kandani mas umpami mboten manut kulo nggih pun minggat mawon saking ngomah mriki pun mboten sah tumut kulo melih. Lha nek nekat niku nopo mboten dados malati sak keluarga, nopo bocah niku ajeng nyedakne kalih patine wong tuo. (“ya saya peringatkan mas, misalkan tidak menuruti saya ya sudah pergi saja dari rumah ini sudah tidak usah ikut saya lagi.kalau nekat apa tidak kualat satu keluarga, apa anak tersebut mendekatkan kepada kematian orang tua”) Dan sebenarnya ketakutan orang tua jauh lebih besar dari ketakutan anak-anak mereka. Mereka tidak main-main dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
mengancam anak, mulai dari diusir dari keluarga, tidak diakui lagi sebagai anak. Dan yang membuat seorang anak semakin takut ketika dilulu (seolah-olah diijinkan tapi sebenarnya disalahka n) oleh orang tuanya seperti Sri Wulandari, dia mengatakan pernah diancam oleh orang tuanya seperti ini: “pancene wis dadi kekarepanmu yo ora opo2 kowe nekat, nek pengen nyedakne patine wong tuwo” ( “kalau memang sudah jadi keinginanmu, tidak apa-apa kalau kamu mau nekat, kalau ingin mendekatkan kematian orang tua”.) Dalam suatu percakapan yang memperdebatkan lusan, Ibu Sum mengancam seperti itu untuk melarang Sri Wulandari. Ucapanya seakan-akan mengijinkan, mempersilahkan, dan pasrah jika memang anaknya ingin nekat menikah dengan pilihanya yang merupakan lusan. Tapi sebenarnya dibalik ucapan tersebut orang tua menyalahkan dan menghakim i anaknya untuk musibah yang belum terjadi yang seolah-olah mutlak akan menimpa mereka. Ancam an-ancaman seperti itu lah yang menguatkan keyakinan remaja
untuk
semakin
menghindari
lusan.
Seperti
yang
diungkapakan oleh Burhan Bungin, bahwa: Sosialisasi primer merupakan proses dimana individu terlibat dengan dunia sosial lebih dari sekedar belajar secara kognitif semata-mata. Karena sosialisasi primer berlangsung dalam kondisi yang bermuatan emosi yang tinggi. Hubungan antar individu dengan orang lain dalam kondisi sangat akrab dan berada dalam situasi kelompok primer, dimana anak mengidentifikasikan dirinya dengan anggota keluarga yang mempengaruhi dengan berbagai cara yang emosional. Anak-anak mengoper peran dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
sikap orang tua atau orang-orang berpengaruh (significant others) yang mempengaruhi mereka, artinya anak menginternalisasikan dan menjadikan peran dan sikap orang tua sebagai sikapnya sendiri dan melalui internalisasi semacam ini anak mampu melakukan identifikasi terhadap dirinya sendiri. (Burhan Bungin. 2008: 20) Ketakutan mereka bukanlah mutlak takut pada musibah yang akan menimpa mereka. Orang tua lah yang membuat mereka takut, mereka lebih takut pada ancaman orang tua daripada kepada mitos. Apalagi jika orang tua mereka yang harus mendapatkan celaka karena lusan. Jurus nglulu yang dilancarkan orang tua sepertinya menjadi jurus yang paling ampuh untuk memaksa remaja bukan lagi menakuti mereka. Ketika bercerita dan memberi contoh tak la gi ampuh menakuti mereka, ketika ancaman hanya membuat mereka jauh lebih takut, nglulu ternyata mampu menggetarkan relung hati remaja dan memaksa mereka mengikuti kemauan orang tua, memaksa mereka untuk tidak melanggar pantangan mitos lusan.
b. Dari Masyarakat Proses sosialisasi yang seorang remaja dapatkan dari masyarakat tidak begitu kuat seperti ketika dalam keluarga. Seperti yang diucapkan oleh sala h seorang remaja bahwa orang-orang Plosokerep selalu mengatakan: “lusan kuwi wis dadi adate wong jowo, yen kowe percoyo yo ojo mbok lakoni, tapi nek kowe ora percoyo yo
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
tinggalno. Jenenge adat yen dilanggar mesti enek salah sijine keluarga sing bakal ciloko” (“ lusan adalah adat orang jawa, kalau kamu percaya jangan dilanggar, tapi kalau kamu tidak percaya tinggalkanlah. Yang namanya adat kalau dilanggar pasti salah satu keluarga akan ada yang celaka”.) Sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat hanyalah sekedar cerita dan upaya membuat takut, tidak sampai pada usaha melarang
dan
memaksa.
Karena
masyarakat
tidak
punya
kepentingan apa pun pada masyarakat yang lain. Dalam arti bahwa lusan hanya akan memberi akibat pada keluarga langsung bukan pada masyarakat. Jadi apa pun yang terjadi pada orang lain, apakah mereka melanggar lusan atau tidak, masyarakat tidak akan ikut campur apalagi berusaha untuk melarang. Seperti halnya cerita-cerita takhayul atau mistis yang berkembang dimasyarakat. Lusan dikenalkan dengan cerita oleh masyarakat. Ceritanya hanya berkembang dari mulut ke mulut disaat mereka sedang jagongan (ngobrol). Bisa dimana saja, saat mereka bertemu dijalan, saat bertemu di warung, saat perkumpulan arisan, saat ada orang punya hajat, saat bermain dirumah tetangga, atau bahkan saat tetangga sedang mengalami musibah tertentu yang dikaitkan dengan mitos. Cerita mitos yang diceritakan oleh masyarakat tidak lah ada hanya cerita kosong belaka, sosialisasi dari masyarakat yang paling membuat remaja berpikir adalah kejadian nyata musibah yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
menimpa satu keluarga yang kemudian dihubungkan dengan mitos. Proses sosialisa si seperti itulah yang paling kuat mempengerahui pengetahuan remaja dari masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Sri W ulandari: “Ya itu mas kayak tetangga itu kan ada yang istrinya sakit asma, terus ekonominya ya masih kurang gitu, terus bertengkar terus mas, katanya sih kayak gitu karene mereka dulunya nglanggar mitos ngalor ngulon mas. Itu juga udah dicariin setiaran ke orang pinter kemana-mana, terus emang katanya gara-gara mitos itu. Ada lagi mas itu mbah-mbah yang sakit struk, katanya sih dulu karena anaknya juga Ngidul ngetan nikahnya”. Musibah yang dialami oleh suatu keluarga yang dimitoskan oleh ma syarakat bahwa musibah tersebut adalah akibat dari keluarga tersebut telah melanggar pantangan mitos tertentu. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa sosialisasi dari masyarakat yang seperti ini bersifat mendukung proses sosialisasi yang telah terjadi didalam keluarga. Ancaman dari orang tua dan terutama sikap nglulu mereka membuat remaja telah keta kutan. Secara tidak la ngsung membuat mereka lebih dulu takut kepada orang tua sebelum takut kepada mitos. Dan proses sosialisasi yang didapat dari masyarakat semakin membuat remaja percaya pada mitos lusan. Kejadian nyata tentang musibah yang dialami oleh orang la in
me njadi cermin bagi tindakan remaja.
Cermin
yang
menunjukan pantulan berupa akibat seperti itulah yang akan didapatkan jika melanggar lusan. M embuat ketakutan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
ditanamkan oleh orang tua berubah menjadi sebuah kepercayaan yang didapatkan dari masyarakat.
c. Dari Kelompok Sebaya Lingkungan kelompok sebaya merupakan lingkungan pergaulan remaja yang
penting setelah lingkungan keluarga.
Lingkungan kelompok sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja yang bersangkutan. Lingkungan pergaulan remaja dalam lingkungan kelompok sebaya hubungannya dengan teman bermain, teman karang taruna, teman sekolah dan masya rakat. Perilaku remaja dapat dipengaruhi ole h lingkungan di sekitarnya. Menurut Van der Linden dan Roeders dalam Siti Rahayu Handitono (1992: 272), Remaja memperoleh banyak informasi dan nilai-nilai bukan melalui sekolah sendiri, tetapi juga melalui kontak dengan tem an– teman sebaya dari keluarga dan lingkungan yang berlainan. Meskipun banyak informasi dan nilai-nilai yang mereka dapatkan saat berada di lingkungan pergaulan kelompok sebaya, proses soialisasi yang terjadi dalam pergaulan dengan kelompok sebaya hampir tidak memberikan pengaruh apa pun pada ketakutan ataupun kepercayaan terhadap mitos lusan. Seperti yang dikatakan Yayin ketika ditanya apakah dia terpengaruh terhadap temantemanya yang tidak percaya pada lusan: “enggak mas kan tiap orang itu punya tradisi sama adat kepercayaan yan beda-beda mas, jadi ya biarlah kalau mereka gak percaya itu kan hak nya mereka”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
Dalam lingkungan kelompok sebaya di desa, bagaimana mau memberikan pengaruh, jika hampir semua remajanya takut dan percaya pada lusan. Sosialisasi yang terjadi hanya bercerita dan berbagi pengalaman diantara mereka. Dalam pergaulan dengan kelompok sebaya lain baik di sekolah, ditempat bermain, ataupun lingkungan pekerjaan. Komunikasi tentang pengetahuan lusan hanya terjadi satu arah, jika remaja bercerita pada temanya tentang lusan, hampir semua temanya tidak memberikan umpan balik yang menambah pengetahuan remaja tentang lusan. Yang teman-teman itu tunjukan hanya perasaan heran dan wajah penuh pertanyaan penasaran, kemudian memberikan pertanyaan yang hampir sama seperti kok bisa, kenapa, dan bagaimana. Seperti yang dikatakan oleh seorang remaja: “Kalau temen kampung jarang sih mas Cuma cerita-cerita biasa aja gak pernah ngomongin lusan juga, temen sekolah apalagi temen kerja juga gak perduli gitu sama lusan, tiap kali akau crita nanya sama mereka apa ditempat mereka juga percaya lusan, mereka malah balik nanya lusan itu apa, kok bisa gak boleh anak pertama sama anak ketiga, kenapa, bagaimana kalau dilanggar, ada yang bilang gak masuk akal, bilang katrok, malah ada yang ngatain sirik mas”. Dari lingkungan kelompok sebaya mereka banyak sekali mendapat sanggahan yang meragukan kebenaran lusan. Mulai dari sanggahan yang tidak memiliki dasar seperti menyata kan mitos yang tidak masuk akal, sampai sanggahan yang memiliki dasar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
kuat agama. Masyarakat Plosokorep adalah mas yarakat yang beragama, dan mereka juga masyarakat jawa yang menjunjung tinggi adat. Bagi mereka kebenaran agama dan kebenaran mitos tidak bisa dicampurkan atau dibandingkan. Agama adalah kewajiban kepada sang pencipta yang harus dilaksanakan, dan adat adalah warisan nenek moyang sebagai jati diri orang jawa yang harus dilestarikan agar tidak hilang. Proses sosialisasi yang terjadi didalam kelompok sebaya memang tidak mempengaruhi ketakutan ataupun kepercayaan remaja kepada lusan. Tapi dalam proses sosialisasi tersebut terdapat godaan yang sangat berat yang berpotensi mempengaruhi pemikiran remaja. Godaan tersebut berasal dari lawan jenis atau orang yang disukai yang merupakan anak pertama atau anak ketiga yang mejadikan mereka lusan. Seperti dikatakan oleh Sri Wulandari yang pernah mem iliki pengalaman lusan: “Ya gara-gara pacaran sama anak pertama ini Aku jadi keinget lusan, jadi takut, ya udah jadi gak bisa serius mas. Pernah juga dulu lagi deket-deketnya sama cowok, udah ada rasa, tapi waktu itu saya belum tahu kalau dia anak pertama, begitu tau itu saya gak tau kenapa langsung ngejauh aja mas takut kalau jadi makin suka. ya karena lusan itu mas”. Apalagi jika sudah sampai menjalin hubungan dekat dan serius. Proses sosialisasi dalam hubungan kedekatan dengan orang yang disukai lebih dalam karena melibatkan perasaan yang sulit dijelaskan dengan logika. Jika orang tersebut juga mempercayai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
lusan godaan tidaklah terasa seberat jika dengan orang yang tidak percaya pada lusan. Karena jika sama-sama percaya pada lusan mereka sama-sama mengerti a lasan kenapa tidak bisa bersama. Namun jika orang tersebut tidak mempercayai lusan, akan sulit sekali memberi penjelasan kalau mereka tidak bisa bersama. Terlebih lagi orang tersebut akan selalu memberikan sanggahan tentang lusan. Seperti yang dikatakan oleh Sri Wulandari: “Ya gimana ya mas, soalnya dia itu baru tau yang namanya lusan jadi ya gak percaya, waktu aku bilangin soal lusan itu langsung bilang kalau itu gak bener, Dia tanya-tanya terus lusan itu apa, akibatnya itu apa”. Orang tersebut juga mencoba mempengaruhi pemikiranya dengan selalu memberikan sanggahan-sanggahan dan penolakan seperti yang dikatakan Sri Wulandari berikut: “Emang beneran bakalan kejadian soalnya diluar sana orang yang nglanggar lusan juga banyak yang keluarganya gak harmonis, sakit-sakitan, banyak yang orang tuanya kena struk padahal anak-anaknya udah nikah, dia selalu bilang kalau itu semua takdir. Dia juga bilang kalau diluar sana itu banyak yang anak pertama nikah sama anak ketiga, tapi apa semuanya bakalan sial juga kan enggak. Dia juga bilang kalau di agama aja gak dilarang, jadi semua itu cuma sugesti, kalau percaya ya tiap kejadian buruk pasti di kait-kaitkan, padahal kan musibah itu datangnya dari Allah. Ya gitu mas”. Seperti yang diungkapkan ole h Burhan Bungin (2008: 21) pasca sosialisasi primer berbagai krisis dapat terjadi yang sesungguhnya disebabkan karena timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada, melainkan mempunyai ruang sosial yang sangat khusus, bahkan barangkali
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
hanya suatu dunia yang oleh Berger dan Luckman (1990: 202) dikonotasikan sebagai pejorative (merendahkan). Sanggahan dan pengaruh dari orang yang disukai ini m ampu membuat remaja kembali mempertanyakan kenapa harus ada mitos lusan. Mereka akan senang kalau lusan dihilangkan. Ternyata setelah besar anak tersebut telah mengalami sosialisasi sekunder, dimana pengetahuan yang bertolak belakang dengan m itos telah mereka peroleh dari orang lain selain orang tuanya. Dengan adanya pengetahuan baru tentang mitos yang mereka peroleh dari orang lain selain orang tua yang bertentangan dengan lusa. Pengetahuan tersebut dapat meyakinkan mereka membuat mereka kemudian ingin melawan pengetahuan yang menjadi pedoman orang tuanya. Tapi pada akhirnya mereka lebih takut kepada ancaman orang tua. Dan pengetahuan mereka telah benar-benar terbangun oleh ketakutan dan ancama dari orang tua membuat semua pertanyaan mereka dan keberanian mereka untuk melawan menjadi tidak ada artinya.
C. Kedudukan Mitos Lusan Bagi Masyarakat 1. Bagi Orang Tua Orang tua menjadi pihak yang paling perduli pada kelestarian mitos lusan. Perduli karena kepercayaan mereka yang begitu kuat pada adat membuat mereka begitu takut akan akibat yang dilanggar. Ora ng tua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
sebenarnya yang lebih ta kut kepada mitos ini daripada remaja. Seperti yang dikatakan oleh ibu Sum: “nggih piye carane kedah pisah mas, yen perlu kulo padoske setiaran teng pundi mawon kulo lakoni sing penting niku bocahe saget pisah saget lali. lha umpami kedadean tenan ndadosake cilokone kabeh-kabehane keluarga, nopo kepengen nyawang wong tuwo nyedaki pati”. (“ya bagaimanapun caranya harus pisah mas, kalau perlu saya carikan setiaran(bantuan orang pintar) kemana saja saya jalani yang penting itu anak bisa pisah bisa lupa. Kalau misalkan kejadian beneran menjadikan celakanya semuasemuanya keluarga, apa ingin melihat orang tua mendekati kematian”) Remaja adalah obyek sekaligus subyek dari mitos lusan. Sebagai obyek karena remaja adalah arah, dan tujuan diwariskanya lusan, dan sebagai subyek karena mereka lah yang akan menentukan di masa depan apakah lusan akan tetap dipercaya atau dilupakan. Yang seharusnya takut adalah remaja, tapi pada praktiknya ketakutan lebih besar dirasakan oleh orang tua, dan ketakutan orang tua ini lah yang diwariskan kepada remaja dan membuat remaja tetap patuh pada lusan hingga sekarang. Orang tua takut pada aklibat lusan jika dilanggar. Akibatnya akan berdampak bukan hanya kepada yang melanggar, tapi kepada seluruh keluarga. Bukan hanya anak yang menikah lusan, orang tua, saudara bahkan kakek dan nenek bisa ikut terkena murka mitos yang dilanggar. Ketakutan ini sudah mendarah daging bahkan sejak kakek nenek moyang mereka dulu. Orang tua percaya kalau lusan dilanggar, akibat terutama yang akan diterima oleh orang tua, bukan pada anak. Si anak yang secara la ngsung melanggar lusan memang akan menerima akibat, tapi dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
ucapan “nyedakne patine wong tuo” jelas bahwa menurut pandangan mereka musibah terbesar yang paling ditakutka n adalah menimpa diri mereka sendiri, yaitu kematian yang diakibatkan oleh m itos. Karena hampir setiap kali mereka berusaha melarang anaknya melanggar lusan, setiap kali mereka berusaha mena namkan ketakutan, mereka lebih banyak menekankan bahaya yang akan menimpa diri mereka, lebih daripada musibah yang akan menimpa sang anak. Secara logis masuk akal karena memang seorang anak diberi ketakutan seperti apa pun mungkin bisa tidak mudah percaya, meskipun diterangkan jelas bahwa jika melanggar lusan si anak akan tertimpa musibah, hampir tidak selalu berhasil menakuti anak, dan biasanya seorang anak baru akan merasa takut jika yang mereka la kukan ma lah akan membahayakan orang tua. Bagi orang tua, lusan bukanlah sekedar ketakutan. Seperti halnya mereka menanamkan ketakutan pada anak-anaknya. Dulu sekali para orang tua ini juga mendapatkan ketakutan yang sama dari orang tua mereka (mbah mbah). Bagi orang tua, menjaga hidup sesuai dengan meneruskan adat dan tradisi leluhur agar tidak hilang berarti melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Dan sepertinya lusan memang menjadi adat yang harus dijaga oleh para orang tua, dan ketakutan adalah tradisi yang harus diteruskan pada anak-anak mereka. Semuanya merupakan budaya warisan nenek moyang yang luhur dan melekat dalam kehidupan mereka yang berarti dalam upaya menjaga keselamatan keluarga terutama menjaga anak-anak mereka. Bagi orang tua, remaja
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
menjadi obyek kepercayaan, keyakinan, dan ketakutan mereka kepada lusan. Dan kepercayaan, keyakinan dan ketakutan orang tua itu lah yang membentuk remaja sebagai subyek yang mewariskan mitos lusan.
2. Bagi Tokoh Agama Plosokerep merupakan desa dengan masyarakat yang beragama. Mayoritas muslim dengan kegiatan keagamaan yang dilaksanakan dengan terdapat sebuah Masjid disana. Mereka mem iliki beberapa tokoh agama atau orang yang dikatakan paham agama dan disebut Ustadz maupun Ustadzah. Bagi beberapa tokoh agama ini, lusan memiliki kedudukan yang beragam. Dan peta pemahaman mereka tentang lusan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Membedakan Agama Dan Adat Serta M elaksa nakanya Beriringan Dalam hukum agama islam, laki-la ki dan perempuan dilarang menikah dalam hukum larangan menikah abadi, atau larangan menikah selama nya. Dalam arti bahwa seorang laki-laki dan perempuan sampai semesta kiamat selama nya dilarang untuk menikah. Dan juga hukum larangan menikah sementara, yaitu larangan menikah karena seorang wanita masih dalam keadaan tertentu, dan apabila keadaan itu berubah maka wanita tersebut halal untuk dinikahi. Yang termasuk dilarang untuk nikiahi dalam larangan menikah selamanya adala h Ibu kandung, ana k perempuan kandung,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
saudara perempuan kandung, bibi dari pihak Ibu, bibi dari pihak ayah, dan anak dari saudara kandung. Sedangkan larangan menikah untuk sementara waktu antara lain: apabila menikahi dua wanita kakak beradik secara bersamaan, wanita yang bersuami, wanita yang menerima talak tiga dari suami, wanita yang sedang dalam masa iddah baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati, menikah dengan pezina, me nika h dengan orang yang musrik, dan menikahi istri yang kelima. Akan tetapi larangan menikah tersebut akan hilang apabila kondisi yang ada pada wanita tersebut telah hilang. Larangan-laranga n pernikahan seperti tersebut diatas seperti yang dituliskan dalam skripsi Siti Nur Khasanah (2007: 29-32) adalah larangan menikah yang berlaku dalam hukum agama islam. Laranganya tegas dan hukumnya adalah haram. Bagi orang-orang yang paham akan agama dan sampai dinyatakan sebagai tokoh agama, pemahaman tentang larangan pernikahan dalam hukum agama adalah pengetahuan yang wajib dimiliki. Mereka paham betul hal tersebut, mereka mengerti, dan mereka juga menyadari kalau lusan tidak ada dalam larangan agama tersebut. Tapi bagi mereka lusan adalah wujud kebudayaan suatu budaya yang menjadi adat dan tradisi sejak nenek moyang mereka. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Amir salah seorang tokoh agama: “ya agama itu kan pedoman kita dalam hidup di dunia dan akherat kelak, cara kita berkomunikasi dengan gusti Allah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
SWT. Lha kalau adat ini kan tanggung jawab kita sebagai anak sebagai generaisi penerus yang harus melestarikan adat kebudayaan peninggalan nenek moyang. Jadi keduanya gak boleh disamakan karena memang berbeda. Apalagi untuk adat-adat ini kan nantinya harus kita wariskan pada anak cucu kita, jadi harus kita lestarikan, ada banyak seperti selamatan yang malah ada itu yang mau menghilangkanya, bisa kualat”. Jati diri sebagai orang jawa yang berasal dari leluhur membuat mereka tidak bisa mengingkari lusan meskipun telah memiliki dasar agama yang kuat, seperti halnya orang tua mereka dan para pendahulu mereka. Adat dan tradisi yang diwariskan sejak nenek moyang mereka tidak begitu saja dilupakan. Dengan pemahaman agama yang lebih, dengan predikat sebagai ustadz, tanggung jawab mereka lebih besar dalam membawa pemahaman masyarakat tentang lusan. M ereka adalah panutan dalam hidup beragama. Namun meskipun demikian, mereka tidak dapat banya k mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap Lusan. Percaya atau tidaknya seorang Ustadz kepada lusan tidak banyak
berpengaruh,
masyarakat tetapla h masyarakat
yang
menjunjung tinggi warisan nenek moyang dan tetap percaya pada Lusan. Apala gi jika Ustadz tersebut juga seorang yang ambil bagian dalam pewarisan budaya dari leluhur mereka, dia banyak berperan dalam setiap ritual selamatan sebagai orang yang memimpin doa. Bahkan dia pernah menolak dengan keras ketika adat tersebut ingin dihilangkan. Meskipun tidak banyak berbicara tentang lusan, tapi dia percaya pada warisan nenek moyangnya, dia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
mempercayai adat sebagai bagian dari kehidupanya sebagai orang yang menghormati nenek moyangnya, dan berarti bahwa dia tidak menolak keberadaan lusan.
b. Menolak Sampai Ke akarnya Lusan melarang anak pertama dan anak ketiga untuk menikah, terkecuali jika anak ketiga ragil dan anak pertama tunggal. Sebuah mitos yang tentu saja memiliki kontroversi antara benar, dan tidak benar atau percaya, dan tidak percaya. Selain tokoh
agama
yang ikut melestarikan adat dan mengakui
keberadaan lusan. Terdapat juga anggota masyarakat yang tidak percaya pada lusan meskipun termasuk golongan minoritas. Meskipun bukan dipandang sebagai Ustadz maupun tokoh agama, mereka adalah orang-orang yang paham agama dan terlebih lagi mewarisi pandangan dari salah seorang yang dulu merupakan Ustadz di Desa. Kontroversi lusan memang tidak sampai memanas, tapi je las selalu ada yang percaya dan tidak percaya. Orang-orang yang tidak percaya pada lusan ini tidak banyak berkomentar atau pun mendebatkan tentang lusan dengan mas yarakat yang lain. Mereka tidak percaya pada satu pun adat dan tradisi yang berbau mistis. Sama sekali tidak percaya, dan tidak pernah ikut ambil bagian dalam perayaan ritual adat seperti selamatan. Pantas kalau mereka tidak perca ya dan tidak memilik rasa takut kepada lusan, karena
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
bahkan sampai ke akar adat dan tradisinya pun mereka tidak percaya. Seperti yang dikatakan Ifah anak sala h seorang Tokoh Agama: “gak pernah mas segala macam selamatan saya gak pernah ikut, itu kan tergantung kepercayaanya masingmasing. Kalau buat saya yang percaya silahkan dilakoni kalau enggak juga silahkan yang penting tidak saling menggangu lah. Percaya atau tidak kan urusan pribadinya masing-masing tergantung kepercayaan”. Kepercayaan mereka terhadap agama dan penolakan mereka terhadap adat dan tradisi religus jawa hanyalah bersifat pribadi. Mereka tidak mempermasalahkan hidup rukun dengan masyarakat yang hampir seluruhnya mempercayai tradisi dan adat jawa melaksanakan bahkan menghindari mitos-mitos. M ereka tidak pernah
berusaha
mengusik,
mempertanyakan
ataupun
memperdebatkanya meskipun mereka juga merupakan penduduk asli desa. Karena bagian dari masyara kat asli yang turun temurun tinggal di desa yang sama membuat mereka mengerti bahwa adat dan tradisi itu adalah warisan nenek moyang yang sudah turun temurun, meskipun sejak garis keturunanya dulu dari orang tua memang yang tidak mempercayai lusan, namun mereka tetap menghargai dan mengerti bagaimana adat milik masyarakat dimana tempat mereka tingga l, dan sama sekali tidak berusaha untuk mengahapuskanya seperti dalam kehidupan mereka yang sudah menghapuskan adat dan tradisi bagi mereka. Tidak ada batasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
dalam hubungan mereka yang mempercayai atau pun yang tidak mempercayai lusan di tengah masyarakat.
c. Berusaha Untuk Menghapuskan Golongan masyarakat, atau tokoh agama yang berusaha menghapuskan lusan sebenarna ya bukanlah bagian dari kontroversi masyarakat mengenai lusan. M ereka adalah produk percampuran budaya melalui perkawinan. Datang sebagai warga baru dengan latar adat yang jauh berbeda dari suku yang berbeda namun diakui keberadaanya oleh masyarakat. Dengan latar orang sunda tentu saja yang membawa adat dan tradisi yang berbeda bersamanya, pantas saja kalau mereka tidak percaya pada lusan. Agama menjadi basis mereka untuk menentang dan menghapuskan lusan. Dan tentu saja adat dan tradisi orang sunda yang tidak mengenal mitos lusan yang menjadi dasar pengetahuan mereka. Bukan hanya sekedar tidak percaya, mereka berani mengambil sikap menentang dan menghapuskan adat walau sedikit demi sedikit. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Diah: “saya mah sama adat-adat kayak gitu gak percaya mas. Kayak slametan-slametan kalau menurut saya yah mending dikurangi aja sedikit demi sedikit gitu biar lama-lama bisa hilang. Tapi warga sini mah gak bisa, susah kalau harus ninggalin adat, masih kentel lah mas budaya-budaya yang kayak gituan”. Meskipun dalam tindakanya mereka tidak secara gamblang ingin menhapus lusan. Tapi dalam usahanya yang ingin sedikit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
demi sedikit menhilangkan adat sudah menunjukan bahwa lusan adalah bagian dari adat yang ingin mereka hilangkan. Mereka
mengawalinya
dengan
berusaha
untuk
menghilangkan tradisi selamatan sedikit demi sedikit. Dengan alasanya adalah tradisi tersebut sudah kuno dan tidak sesuai dengan masyarakat jaman sekarang. Namun usa ha dan pendapat tersebut tanpa menunggu, tanpa perdebatan panjang dikembalikan oleh seorang tokoh agama setempat. Dia me njelaskan dengan tegas dan tidak bisa dibanta h bahwa adat tersebut adalah warisan nenek moya ng yang harus dijaga dan tidak boleh dilupakan begitu saja jika ingin selamat dan tidak ingin kualat (kena kutukan). Seperti yang dikatakan oleh Bapak Amir: “ya ada lah mas ustadzah di masjid itu yang sering ngisi TPA buat anak-anak kecil. Dia pernah matur dalam pengajian ibu-ibu waktu itu saya yang ngisi, supaya ya selamatan itu dikurangi sedikit demi sedikit nanti biar bisa hilang karepe. tapi yo ora iso, selamatan kuwi ki wis dadi adate wong kene warisane mbah-mbah sing kudu dijogo lan dilestarekne soko leluhuring kat jaman mbiyen, ora keno diilangke iso kualat ora slamet kabeh-kebehane”. (“ya ada lah mas ustadzah di masjid itu yang sering ngisi TPA buat anak-anak kecil. Dia pernah matur dala m pengajian ibu-ibu waktu itu saya yang ngisi, supaya ya selamatan itu dikurangi sedikit demi sedikit nanti biar bisa hilang maksudya, tapi ya tidak bisa, selamatan itu sudah jadi adatnya orang sini warisanya mbah -mbah yang harus dijaga dan dilestarikan dari leluhur jaman dulu, tidak bisa dihilangkan bisa kualat tidak selamat semuanya”.) Meskipun memiliki dasar agama yang kuat, pendapat dan penentanganya terhadap kepercayaan juga pelaksanaan adat tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
sama sekali mendapat respon positif dari masyarakat, kebanyakan masyarakat tidak mau ambil pusing memperdebatkan hal tersebut. Dan sampai sekarang usaha sang Ustadzah untuk menghapuskan kepercayaan dan pelaksanaan adat serta tradisi yang berarti juga berbagai mitos termasuk lusan, tidak mampu menggetarkan sedikitpun kepercayaan masyarakat.
3. Bagi Remaja Remaja merupakan obyek pewarisan mitos lusan, remaja juga merupakan subyek yang akan membawa mitos lusan akan tetap dihindari atau harus dilupakan. Bagi semua remaja yang didalam keluarganya masih mempercayai lusan, maka mitos itu adalah sebuah ketakutan. Entah percaya atau tidak percaya pada mitos lusan, mereka tetap takut untuk melanggar. Yang mereka takutkan adalah ancaman dari orang tua, terutama ancaman yang bernada pasrah (nglulu). Seperti dalam masyarakat umum, kontroversi lusan pasti tetap ada dalam kalangan remaja. Kebanyakan tidak mau ambil pusing dengan memikirkan benar atau tidak mitos tersebut. Mitos memberikan satu ketakutan yang sama bagi remaja, tapi usia, keluarga, dan rasa cinta juga pengalamanya membentuk pemahaman berbeda bagi setiap remaja terhadap mitos yang membangun pengetahuan mereka. Keluarga membantu remaja mengenal apa itu lusan. Sejak awal seorang anak dike nalkan kepada lusan dengan satu tujuan agar mereka tidak melanggar mitos tersebut. Yang terpenting dalam perkembangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
jiwa anak adalah perkembangan perasaanya, perasaan itu harus dibiarkan berkembang bebas sesuai dengan pembawaan alam (natural development) yang berbeda dari satu individu ke individu yang lainya. Umur 12 - 15 tahun, bangkitnya akal (ratio), nalar (reason), dan kesadaran diri (self consciousness). Dalam masa ini terdapat energi dan kekuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh keingintahuan dan keinginan untuk coba-coba. Anak dianjurkan belajar tentang alam dan kesenian, tetapi yang penting adalah proses belajarnya, bukan hasilnya, karena dengan begitu anak akan belajar dengan sendirinya. Sejak usia dini orang tua tidak berusaha keras memaksa anaknya. M eskipun belum bisa membuat anak mengerti apa yang mereka takutkan, tapi mereka mulai dengan menumbuhkan ketakutan itu, membangun perasaan anak dengan pondasi ketakutan. Benar saja karena pada saat usia awal seorang anak belum benarbenar memperdulikan apa itu lusan. Bukanya tidak takut, tapi mereka belum punya rasa tanggung jawab untuk takut. Karena pada saat itu mereka masih cenderung mementingkan diri sendiri, mereka belum mempunyai keinginan untuk mementingkan ketakutan orang tuanya dalam pemahaman dan sikap mereka. Sehingga pada saat itu ketakutan tentang lusan masih menjadi pengeta huan yang belum ada artinya bagi mereka. Masa-masa SMA pada Umur 15 tahun keatas dinamakan masa kesempurnaan remaja dan puncak perkembangan emosi, terjadi perubahan dari kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada kecenderungan memperhatikan orang lain dan harga diri serta bangkitnya dorongan seks.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
Pada masa ini remaja mulai mengenal cinta bukan untuk kepentingan diri sendiri. Tapi juga lebih kepada kepentingan orang tua. Fenomena yang terjadi pada remaja Desa Plosokerep, masing-masing individu memang memiliki tahapan perkembangan emosional yang berbeda, tapi dari semuanya, mereka mulai merasakan kepentingan orang tua dalam pemilihan jodoh dalam masa-masa mereka duduk di bangku SMA. Seperti yang dikatakan oleh Sri Wulandari: “Waktu aku SMA mas, jadi suka ngingetin trus supaya jangan nikah sama anak pertama, kalau deket boleh tapi jadi sodara aja katanya.” Pada saat itu mereka mulai mengerti ketika dekat dan mulai memiliki perasaan dengan seorang anak ketiga atau anak pertama, mereka menyadari betul bahwa ini adalah lusan, seseorang tersebut tidak bisa menjadi jodohnya. Kalaupun sampai menjalin hubungan (berpacaran) bagi mereka pada saat itu hanyalah sebuah obsesi untuk menuntut kesenangan pribadi. Seperti yang dikatakn oleh Sri Wulandari: “Awalnya sih ya biasa aja saya tau dia anak pertama tapi gak terlalau tak ambil pusing, bagi saya jalani yang penting saya ngrasain seneng,” Hubungan yang bagi mereka merupakan tuntutan m asa remaja yang selalu ingin diperhatikan dalam bentuk status. Mereka belum memikirkan tentang masa depan, bagi mereka yang terpenting pada saat itu adalah kesenanga n dan perhatian yang bisa mereka dapatkan dari status berpacaran tersebut. Hubungan tersebut biasanya selalu berakhir karena sifat mereka yang labil dan mudah tersulut emosi, dan mudah bosan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
namun kebanyakan mereka memang sudah tahu suatu saat harus mengakhiri hubungan tersebut karena lusan. Seperti yang dikatakan oleh Sri W ulandari: “tapi lama-lama jadi keinget kalau kita itu lusan jadi gak bakalan boleh makanya jadi males juga bosen lama-lama..ya akhirnya putus aja. lebih baik sakit hati sekarang daripada nanti semakin serius bisa semakin sakit sakit.” Hubungan-hubungan
tersebut
diawali
dan
diakhiri
tanpa
sepengeta huan orang tua. Dalam usia dan masa seperti ini lah remaja mulai berada dalam kondisi takut dan percaya pada lusan. Kepercayaan mereka sangat dipengaruhi oleh latar belakang tradisi keluarganya yang juga telah tumbuh me njadi kepercayaan mereka. Tidak semua remaja Plosokerep punya pengalaman lusan seperti itu, lebih banyak yang sama sekali belum pernah memiliki kedekatan khusus dengan anak pertama atau anak ketiga karena memang kebetulan bukan sengaja menghindar. Seperti yang dikatakan oleh Astuti: “kalau menghindar sih enggak mas kebetulan aja gak pernah dapet anak ketiga, gak pernah suka juga sama anak ketiga. kebetulan aja mas.” Sebagian yang percaya karena memang dari latar belakang keluarga yang memiliki kepercayaan adat yang kuat dan sosialisasi yang didapatkan dari orang tua memang lebih keras dengan ancaman yang lebih serius meskipun si anak belum mengalami lusan. Seperti yang dikatakan oleh Yayin: “itu kan udah dari nenek moyang dulu, orang tua kan juga nglarang, nanti kalau dilanggar akibatnya fatal, jadi takut aja lah mas kalau mau nglanggar.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
Sebagian lagi yang tidak percaya, karena memang mereka tidak mendapatkan sosialisasi yang keras dan bernada memaksa dari orang tua, ancaman yang dikeluarkan biasa nya juga lebih lunak karena sang anak memang belum mengalami lusan, seperti yang dikatakan oleh Astuti: “Enggak mas, lagian kan juga gak pernah sampai dilaranglarang yang gimana-gimana sama orang tua.” Namun denga n latar belakang keluarga yang juga mempunyai kepercayaan pada mitos lusan sebenarnya membuat mereka tetap tidak bisa menikah dengan lusan meskipun mereka tidak perca ya, dan karena belum pernah memiliki pengalaman lusan, dan belum pernah mendapat larangan keras sampai berupa ancaman yang keras juga yang membuat mereka tidak takut dan tidak percaya. Dan sebagian lagi yang tidak percaya
karena
memang
benar-benar
dari
keluarga
yang
tidak
mempercayai mitos lusan seperti Rian katakan: “Wis ngono kuwi urusane dewe-dewe mas, nek Aku ngono yo wis ra percoyo. Yo karepku dewe mas, wong tuo Ku kan yo ra percoyo” Setiap remaja yang pernah memiliki pengalaman lusan pastilah dia akan ta kut dan percaya pada mitos lusan. Tentu saja jika dia berasal dari keluarga yang masih mempercayainya. Bagi remaja yang belum pernah memiliki pengalaman lusan dan mereka mempercayainya. Keperca yaan mereka akan lebih stabil. Dalam arti bahwa remaja yang mengalam i lusan akan berpotensi menggoyahkan kepercayaan mereka kepada mitos tersebut. Karena pernah dalam satu kasus, seorang remaja yang mengalami lusan, disaat dia mulai merasa serius dengan hubunganya tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
larangan yang tegas dan memaksa dari orang tua membuat dia mempertanyakan kenapa harus ada lusan. Seperti yang dikatakan Sri Wulandari: “Ya Aku jadi mikir-mikir mas apa bener juga yang katanya pacarKu itu. Aku jadi bingung apa bener kejadian-kejadian tetanggaku itu karena mitos apa cuma kebetulan aja lagian di agama kan gak dilarang. Iya kan, Kenapa gitu lho harus ada lusan, rasanya pengen pindah aja dari sini biar bebas soalnya disini apa-apa mitos”. Bukan lagi keyakinan dan kepercayaan bahwa m ereka tidak bisa, tapi berubah menjadi pertanyaan mengapa mereka tidak boleh. Membuat sedikit demi sedikit dia mulai ragu pada lusan dan ingin melawanya. Keyakinanya
pada
saat
itu
berubah
menjadi
keinginan
untuk
memperjuangkan bagaimana caranya hubungannya dapat diperbolehkan, bukan oleh lusan, tapi direstui oleh orang tuanya dengan jalan merubah pemikiran orang tuanya. Seperti yang Sri Wulandari katakan: “Tapi pengen sih gimana caranya orang tua itu bisa luluh mas biar boleh. Tapi kayaknya tetep gak bisa mas.” Namun ketakutan orang tua ternyata lebih besar. Sedikit pun hati orang tua tidak luluh, dan pada akhirnya ancaman dari orang tua yang membuat dia tetap patuh dan tidak melanggar lusan. Ancaman yang berupa sikap nglulu dan pasrah orang tua yang membuat keberanianya untuk melawan runtuh se ketika. Ketika dia mulai meragukan lusan dan ingin melawan, kepercayaanya sedikit demi sedikit mulai hilang dan pada saat itu yang m embuat dia takut adalah ancaman dari orang tua, bukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
pada mitos lusan. Seperti Sri W ulandari katakan ketika ditanya keseriusanya dalam hubungan tersebut: “Insyaallah mas, serius tapi masih takut aja kalau gak direstui orang tua. Soalnya kepercayaan mereka ini kan kuat banget. Apalagi waktu ending-endinge diancem “pancene wis dadi kekarepanmu yo ora opo2 kowe nekat, nek pengen nyedakne patine wong tuwo”. Aku kan jadi takut mas kalau bener gimana terus kalau orang tuaku beneran celaka gara-gara Aku nekat gimana.” Namun kemudian yang membuat dia berhenti untuk melawanya adalah sikap pasrah orang tua pada kematian. Dengan ancaman yang seperti itu membuat dia takut kata-kata orang tuanya menjadi kenyataan. Dia takut orang tuanya akan benar-benar celaka karena dia melanggar mitos lusan. Dan pada saat itu sebenarnya dia telah benar-benar dalam posisi paling takut pada lusan sepanjang hidupnya selama ini. Baginya, pengalaman tersebut membuatnya lebih takut pada lusan. Sekeras apa pun dia meragukanya, bagaimana pun sikap dan tindakanya, jika dia tetap takut pada akibat yang ditimbulkan oleh lusan, maka sebenarnya dia tetaplah percaya pada mitos lusan.
D. Konstruksi Pengetahuan Remaja Tentang Mitos Lusan Dalam penelitian terdahulu tentang konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh San Afri Awang (2007) yang berjudul “Konstruksi Pengetahuan Dan Unit Manajemen Hutan Rakyat”. Dia menjabarkan, yang antara lain: Masyarakat menanam pohon didalam sistem hutan rakyat berkaitan dengan dua hal pokok yaitu pertimbangan pengetahuan ekologis dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
pengetahuan ekonomis yang bersifat rasional dan empirik. Terkait dengan pengetahua n rasional karena pengetahuan ekologis yang ada mengatakan bahwa lahan kritis menghilangkan sumber-sumber mata air, karena kumpulan pohon-pohon sebagai unsur stabilitas sudah tidak ada diatas la han. Pengetahuan tersebut secara apriori sudah dapat diterima dengan mengatakan bahwa jika lahan kritis ditanam i pohon-pohon yang cukup, maka sumber mata air akan kembali bermunculan. Artinya tanpa harus melihat dan mencari bukti-bukti dilapangan, maka kebenaran akal budi sudah dapat menerima, bahwa kumpulan pohon-pohon secara sistematik akan mampu memperbaiki lingkungan hidup yang lebih baik. M asyarakat mengetahui secara langsung, bahwa pohon-pohonan jika ditanam di lahan akan dapat menjadi pelindung, menyimpan air tanah dan menghasilka n iklim mikro, dengan menimbulkan kesejikan pada alam sekitarnya. Selain memberikan pengetahuan ekologis, sistem hutan rakyat juga menjadi sumber pendapatan keluarga tani yang cukup layak dan penting, melalui pembuktian data-data empirik. M asyarakat dapat memanfaatkan dan menebang pohonya ketika telah dewasa untuk kemudian menjualnya sebagi sumber pendapatan keluarga. Secara empirik rakyat memiliki pengetahuan bahwa yang mem iliki sumber daya hutan rakyat yang berisi beragam, kehidupan warga masyarakatnya akan lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah yang kritis tanpa hutan rakyat. jadi hutan rakyat akan menyediakan banya k pengetahuan dilapangan. Pengetahuan tersebut terkumpulkan sedemikian rupa sehingga membentuk ilmu pengetahuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
tentang sistem hutan rakyat. Data dan sistem informasi sistem hutan rakyat terbukti juga juga bersifat aposteriori atau berdasarkan data empirik dengan pengamatan dan pembuktian di lapangan. Dalam kasus ini sepakat dengan pendapat Van Peurson bahwa konstruksi ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan antara pemikiran akal budi (rasional) dan pemikiran indrawi (empirik). San Afri Awang fokus pada konstruksi pengetahuan masyarakat lokal tentang sistem hutan rakyat. Data empiris yang berasal dari keadaan hutan rakyat di desa-desa tersebut yang merupakan pengetahuan lokal masyarakat yang dapat menjadi bahan konstruksi pengetahuan sistem hutan rakyat. Hasilnya adalah, masyarakat menanam pohon didalam sistem hutan rakyat berkaitan dengan dua hal pokok yaitu pertimbangan pengetahuan ekologis dan pengetahuan ekonomis yang bersifat rasional dan empirik. Sedangkan penelitian ini fokus pada konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan. Data empiris berasal keadaan remaja di dalam berbagai lingkungan sosial mereka yang memberikan pengetahuan tentang mitos lusan yang dapat menjadi bahan konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan. Hasilnya adalah kepercayaan remaja terhadap mitos lusan yang ternyata hanya berdasarkan pertimbangan keyakinan dan kepercayaan sebagai pengetahuan yang terbangun oleh ketakutan yang bersifat tidak rasional dan tidak empiris. San Afri Awang menemukan adanya kesesuaian antara pemikiran akal budi (rasional) dan pemikiran indrawi (empirik) didalam konstruksi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
pengetahuan masyarakat lokal tentang hutan rakyat. Sedangkan penelitian ini ingin mengetahui konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan di Desa Plosokerep sebagai hasil dari pemikiran akal budi (rasional) dan pemikiran indrawi (empirik). Dan hasilnya Seperti yang juga dikatakan oleh Ernst Cassirer dalam April Sani (2005: 9), bahwa, mite atau mitos yang hidup dalam suatu masyarakat bukan merupakan cerita khayalan atau rekaan, tetapi oleh masyarakat pendukungnya dianggap benar-benar terjadi dan berguna bagi kehidupannya. Dalam arti bahwa, meskipun tidak rasional, akan tetapi mitos tetaplah hasil dari pemikiran akal budi manusia sejak jaman dahulu. Seperti yang dikatakan oleh Suwardi Endraswara: Mitos merupakan suatu warisan bentuk cerita tertentu dari tradisi lisan yang mengisahkan dewa-dewi, manusia pertama, binatang, dan sebagainya berdasarkan suatu skema logis yang terkandung di dalam mitos itu dan yang memungkinkan kita mengintegrasikan semua masalah yang perlu diselesaikan dalam suatu konstruksi sistematis. Mitos dijawa termasuk genre foklor lisan yang diturunkan dari mulut-ke mulut. Mitos bisa dianggap sebagai cerita yang aneh yang seringkali sulit kita pahami maknanya atau diterima kebenaranya karena kisah didalamnya tidak masuk akal atau tidak sesuai dengan apa yang kita temui sehari-hari. Namun, karena itu pula, mitos yang seringkali juga dipakai sebagai sumber kebenaran dan menjadi alat pembenaran ini, telah menarik perhatian para ahli. (Suwardi Endraswara. 2012: 194) Rasionalitas mitos tetaplah ada bagi masyarakat pendukungnya meskipun hanya sebatas pada apa yang dianggap benar oleh masyarakat penciptanya dan pendukungnya, contohnya pada akibat buruk yang akan diterima jika melanggar lusan. Seperti yang dikatakan oleh Suwardi Endraswara: Ada mitos yang berupa gugon tuhon, yaitu larangan-larangan tertentu. Jika larangan tersebut dilanggar, orang jawa takut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
menerima akibat yang tidak baik. Misalkan saja orang jawa melarang nikah dengan sedulur misan, tumbak-tinumbak, dan geing (kelahiran wage dan pahing), dan sebagainya. Jika dilanggar salah satu pihak keluarga akan mengalami kesialan. Orang jawa juga melarang menunjuk kuburan, nanti jarinya bisa patah. Jika terlanjur, maka jari tadi harus diomoti (dikuluh). (Suwardi Endraswara. 2012: 195) Dan kebenaran empiriknya pun tetap ada meskipun hanya sebatas pemikiran
inderawi
yang
sengaja
dibenarkan
oleh
masyarakat
pendukungnya sebagai mitos, contohnya pada keluarga yang tertimpa musibah yang diyakini oleh masyarakat karena melanggar lusan. Karena itu suatu teori tentang mitos, sejak awal sudah sara t dengan kesulitan. Sifat dan hakikat mitos memang nonteoritis. Mitos menampik dan menolak kategori-kategori dasar dalam pemikiran manusia. Logika mitos tidak dapat disesuaikan dengan konsepsi manusia mengenai kebenaran empiris dan kebenaran ilmiah. Akan tetapi, meskipun mitos tidak sesuai dengan kebenaran pemikiran akal budi yang rasional dan pemikiran inderawi yang empirik, logika mitos akan tetap membentuk konstruksi pengetahuan remaja di lingkungan masyarakat yang mendukung kebenaran mitos terutama dalam hal ini lusan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan mereka sebagai wujud budaya masyarakat masa kini yang berasal dari masa lalu dan tetap mereka jaga seperti halnya orang tua dan nenek moyang mereka dulu. Roberta Rehner Iversen, Kenneth J. Gergen, dan Robert P. Fairbanks II menjelaskan bahwa: These critical movements joined others to create a broad and active dialogue on social construction (Gergen, 1994, 1999;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
Potter, 1996; Billig, 1996). In the field of social work, Witkin (1990, p. 38) described constructionism as a metatheory that attempts to ‘elucidate the sociohistorical context and ongoing social dynamic of descriptions, explanations, and accountings of reality’. As he saw it, constructionism devotes particular attention to the ways in which knowledge is historically situated and embedded in cultural values and practices. As a way of explaining past and present knowledge, emphasis is placed on the linguistic traditions that support, sustain and determine what can be known within cultural parameters (Parton, 2000, 2003) and, concomitantly, professional practices such as assessment (Levine, 1997). (Roberta Rehner Iversen, Kenneth J. Gergen, dan Robert P. Fairbanks II. 2005: 6) (Artinya: Gerakan-gerakan kritis bergabung dengan yang lainya untuk menciptakan dialog yang luas dan aktif pada konstruksi sosial (Gergen, 1994, 1999, Potter, 1996; Billig, 1996). Dalam bidang pekerjaan sosial, Witkin (1990, hal 38.) menggambarkan konstruksionisme sebagai metateori yang mencoba untuk menjelaskan konteks sosio-historis dan deskripsi sosial yang dinamis berkelanjutan, penjelasan, dan Pembukuan realitas. Saat ia melihatnya, konstruksionisme mencurahkan perhatian khusus pada cara-cara di mana pengetahuan historis terletak dan tertanam dalam nilai-nilai budaya dan praktek. Sebagai cara menjelaskan pengetahuan masa lalu dan sekarang, penekanan ditempatkan pada bahasa tradisi yang mendukunganya, mempertahankan dan menentukan apa yang dapat diketahui dalam petunjuk budaya(Parton, 2000, 2003) dan, kebersamaan, praktek profesional seperti penilaian (Levine, 1997) Dari kutipan tersebut, kita dapat menerangkan kurang lebih sama, karena pengetahuan masyarakat Plosokerep terletak pada nilai-nilai budaya mereka, sosialisasi baik dalam keluarga yang memberikan larangan maupun masyarakat yang membenarkan ketakutan merupakan wujud dari praktek pele starian nilai budaya peninggalan nenek moyang mereka dalam larangan mitos lusan. Pembenaran musibah yang dialami oleh sebagian masyarakat sebagai akibat melenggar mitos merupakan penekanan yang dilakukan masyarakat sebagai wujud usaha untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
menjelaskan pengetahuan budaya masa lalu yang tetap harus dipercayai hingga sekarang. Dan penekanan tersebut diberikan kepada tradisi larangan atau pantangan dan akibat yang akan diterima yang semuanya digunakan untuk mendukung kebenara n mitos lusan kepada remaja agar mereka dapat menilai seperti apa yang telah ditekankan kepada mereka. Sehingga pengetahuan masyarakat juga menentukan apa yang dapat diketahui remaja tentang kebenaran lusan. Remaja diibaratkan adalah jembatan yang menghubungkan antara masa lalu dengan masa depan. Masyarakat dan budaya yang berasal dari sisi masa lalu harus melewati remaja untuk sampai pada sisi selanjutnya yaitu
masa depan. Konstruksi bangunan jembatan tersebut akan
mempengaruhi apa yang dibawa dari masa lalu. Jika konstruksi bangunan jembatanya terpelihara dengan kokoh berdiri, maka yang berasal dari masa la lu akan dengan mudah memasuki jembatan kemudian melewatinya dengan selamat dan akhirnya sampai di masa depan dengan kondisi utuh, dan masa depan akan ditempati dengan apa ya ng berasal dari masa lalu. Namun jika konstruksi bangunan jembatanya rapuh, yang berasal dari masa lalu masih bisa masuk kedalam jembatan, dan meskipun rapuh jika konstruksi bangunanya mampu bertahan mungkin dia bisa sampai di sisi masa depan dengan selamat meskipun harus mengalam i banyak ketegangan dan goncangan. Jika sampai ditengah jalan jembatan yang rapuh menjadi rusak dan menimbulakan lebih banyak ketegangan dan goncangan yang lebih keras,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
maka apa saja yang berasal dari masa lalu akan menjadi tidak utuh lagi seperti semula begitu sampai di masa depan. Dan kalau jembatan itu putus ditengah jalan, apa yang berasal dari masa lalu tidak akan sampai di masa depan, bisa saja dia jatuh dan benar-benar tidak bisa terlihat lagi oleh masa depan, bisa saja dia hanya berhenti ditengah jembatan dan meskipun pada akhirnya dia tetap tidak bisa sampai dan menyentuh masa depan, tapi dia masih tetap bisa terlihat dari masa depan. Sesuatu yang ingin dibawa masyarakat dari masa lalu melewati remaja adalah mitos lusan, dan konstruksi pengeta huan remaja akan sangat mempengaruhi apa yang terjadi pada lusan begitu sampai di masa depan, atau bahkan lusan bisa sampai atau tidak di masa depan. Konstruksi pengetahuan merupakan pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh individu sendiri, yang diperoleh dari hasil pengamatan panca indera di lingkungan sosial individu tersebut. Yang berarti bahwa konstruksi pengetahuan remaja merupakan pembentukan pengetahuan oleh remaja itu sendiri berdasarkan hasil pengamatan panca indera di lingkungan sosial dimana dia berada, baik dalam keluarga, di masyarakat desa Plosokerep maupun di lingkungan kelompok sebaya maupun diluar Desa. Berger dan Luckman(Alex Sobur, 2009: 91), mendefinisikan konstruksi sosial sebagai pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu la in yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan se ndiri olehnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138
terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu. Remaja akan mendapatkan pengetahuan setelah m ereka melakukan penginderaan terhadap fenomena yang ada didalam lingkungan sosial dimana dia berada, dan sebagian besar pengetahuan mereka akan diperoleh melalui indera telinga dan mata. Remaja Plosokerep lebih banyak mendapatkan pengetahuan dengan mendengarkan berbagai bentuk cerita yang terutama paling berpengaruh mereka dengarkan dari keluarga, meskipun masyarakat, dan kelompok sebaya juga banyak memberikan sumbangan bagi pengetahuan mereka. Yang mereka dengarkan bukan hanya cerita tentang mitos, tapi juga berupa larangan, ancaman, sanggaha n yang melawan kebenaran m itos, dan juga kenyataan tentang mitos yang digambarkan dalam wujud pengalaman orang lain. Selain mendengarkan mereka juga melihat kenyataan dari pengalaman musibah yang dialami orang lain dalam bentuk tindakan sehari-hari yang sengaja dibenarkan oleh masyarakat sebagai akibat melanggar mitos. Frans M. Parera, (Peter L. Berger. 1990: xx) menjelaskan bahwa Sosiologi pengetahuan seharusnya memusatkan perhatian pada struktur dunia akal sehat (common-sense world) di mana kenyataan sosial didekati dari berbagai pendekatan seperti pendekatan mitologis yang irasional, pendekatan filosofis yang bercorak moralistis, pendekatan praktis yang bersifat fungsional; semua jenis pengetahuan itu membangun struktur dunia akal sehat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139
Pengetahuan dan realitas adalah dua hal yang saling berkaitan namun harus dipisahkan pemahama n mengenai keduanya. Realitas berkaitan dengan fenomena kehidupan sehari-hari remaja yang dia nggap berada diluar kemauan mereka, karena fe nomena tersebut mau tidak mau tidak bisa mereka tiadakan. Sedangkan pengetahuan memberikan kepastian
bahwa
fenomena tersebut nyata
adanya dan memiliki
karakteristik dalam kehidupan mereka sehari-hari. Realitas bukanlah dibentuk secara alamiah, melainkan dibentuk dan dikonstruksi, dan karena terdapat perbedaan dari tiap individu dalam mengkonstruksi realitas, maka hasilnya adalah wajah plural realitas itu sendiri. Frans M. Parera (Peter L. Berger. 1990: xxi), mengatakan bahwa Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali mereka melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Sehingga pasti konstruksi pengetahuan yang dibangun oleh remaja bersifat dinamis, di dalamnya terjadi proses dialektis antara realitas subjektif dan realitas objektif. Realitas subjektif berkaitan dengan interpretasi dan pemaknaan tiap remaja terhadap suatu objek. Hasil dari relasi antara objek dan remaja menghasilkan penafsiran, yang berbedabeda berdasarkan beraneka ragam latar belakang remaja tersebut. Dimensi objektif dari realitas berkaitan dengan factor-faktor eksternal ya ng ada di luar objek, seperti adat, tradisi, larangan, cerita, pengalaman, dan ancaman yang menggerakkan objek.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140
Pengetahuan tentang mitos itu selalu bersifat kontradiksi, selalu ada yang berlawanan antara rasional dan tidak rasional, nyata dan tidak nyata, percaya atau tidak, bahkan takut atau tidak takut. Logis dan non logis adalah logika yang selalu mewarnai pola pikir mereka yang berpijak pada cara berpikir dialektis dimana terdapat tesis, antitesis, dan sintesis. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Frans M. Parera, (Peter L. Berger. 1990: xxi) bahwa Dialektika itu berlangsung dalam suatu proses dengan tiga “momen” simultan, yakni eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Dengan begitu Konstruksi pengetahuan remaja tenta ng m itos lusan merupakan suatu dialektika yang berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen sebagai berikut:
1. Realitas Dalam Kehidupan Sehari-Hari Remaja (Eksternalisasi) Burhan Bungin (2008: 16), mengatakan bahwa, eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosio-kulturalnya. Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola perilaku interaksi, antar individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Proses eksternalisasi ini dimaksud adalah ketika produk sosial telah m enjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141
sosial ini menjadi bagian penting dalam kehidupan sesorang untuk melihat dunia luar. Produk sosial ini bagi remaja Plosokerep adalah keluarga, masyarakat, dan kelompok sebaya. Berger dan Luckman (1990: 75) mengatakan bahwa, produkproduk sosial dari eksternalisasi manusia mempunyai suatu sifat yang sui generis
dibandingkan
dengan
konteks
organismis
dan
konteks
lingkunganya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas di dalam masyarakat. Remaja sebagai subyek dari pewarisan nilai-nilai dalam mitos lusan akan mengalami suatu proses dialektika yang panjang dan terus mengalami eksternalisasi didalam proses sosialisasi mereka. Proses panjang tersebut mereka awali dengan mencurahkan perhatianya dan mengekspresikan dirinya untuk yang pertama kalinya didalam lingkungan keluarga. Keluarga menjadi basis pertama dalam misi pewarisan nilai-nilai mitos lusan kepada remaja. Dalam lingkungan keluarga yang begitu mempercayai lusan, proses sosialisasi yang dilakukan orang tua kepada anak akan berlangsung terus menerus tak akan ada akhirnya. Sampai sebelum seorang anak benarbenar telah menikah, lusan masih memegang peranan sebagai kebetuhan yang mendesak yang yang mengatur kehidupan mereka baik orang tua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142
maupun anak dengan harga mati sehingga sosialisasi yang dilakukan akan lebih keras dan bersifat melarang. Sosialisasi yang terjadi, meskipun dikatakan keras, akan tetapi larangan dan ancaman tetap diberikan dengan cara yang halus dengan menekankan pengertian dari larangan tersebut. meskipun keras secara psikis, akan tetapi dengan kehalusan lisan dan juga tindakan dalam melakukan sosialisasi kepada seorang anak. Itulah yang terjadi pada lingkungan keluarga. Sedangkan di dalam masyarakat, sosialisasi tidak memberikan kekerasan ataupun larangan, masyarakat lebih acuh kepada orang lain yang bukan keluarga terkait mitos ini. Masyarakat hanyalah memberikan cerita-cerita seram yang secara tidak la ngsung dibawa oleh keluarga sebagai pembuktian dengan ketakutan akan musibah jika melanggar m itos. Semua proses sosialisasi yang terjadi merupakan bagian dari adat, dan tradisi masyarakat yang sudah turun temurun. Setelah seorang anak menikah, sosialisasi akan terus berlangsung meskipun tidak sekeras sebelumnya namun sifatnya tetap memaksa dan melarang. Hanya saja setelah itu kali ini yang dilarang bukanlah anak mereka, tapi mereka berusaha membuat anak mereka nantinya meneruskan larangan tersebut kepada anaknya lagi dan begitu seterusnya. Karena itulah mengapa lusan telah menjadi keperca yaan dan ketakutan bagi masyarakat yang benar-benar takut kepadanya. Begitu juga sebaliknya pada keluarga yang tidak mempercayai lusan, sosialisasi yang mereka la kukan adalah membangun pengetahuan tenta ng tidak benarnya lusan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143
Sehingga ketidak percayaan mereka kepada lusan telah diwariskan turuntemurun dan mereka harapkan akan seperti itu seterusnya pada keturunan mereka. Dalam proses eksternalisasi yang berlangsung terus menerus didalam
lingkungan
sosialnya,
bagaimana
seorang
remaja
dalam
mencurahkan perhatianya dan mengekspresikan diri dalam lingkungan sosialnya akan sangat dipengaruhi oleh faktor usia, keluarga, dan kelompok sebaya. Seperti yang diungkapkan ole h Frans M. Parera (Peter L. Berger. 1990: xxiii), bahwa Psikologi sosial membedakan sosialisasi primer, yang dialami individu pada masa kecil (masa pra-sekolah dan masa sekolah) dan sosialisasi sekunder (yang dialami individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik, dunia pekerjaan dalam lingkungan sosial yang lebih luas). Pertama, pada usia 12 sampai 15 tahun sebagai sosialisasi primer, atau pada umumnya adalah masa-masa SMP, seperti yang diungkapkan oleh Rousseau (Sarlito Wirawan Sarwono. 2004: 23) bahwa, seorang remaja akan menempatkan dirinya sebagai seseorang yang masih banyak mencari tahu, masa awal bangkitnya rasio dan nalar menimbulkan sikap keingintahuan dan keinginan untuk coba-coba yang besar. Remaja pada saat itu akan lebih fokus dan memperhatikan pada apa yang mereka dengar dan apa yang mereka ingin ketahui, bukan pada apa yang harus mereka la kukan. Bagaimana orang tua dalam mensosialisasikan lusan juga sangat dipengaruhi oleh faktor usia seorang anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144
Seorang anak ya ng masuk pada fase remaja awal seperti ini bukanlah seorang anak yang sudah mereka tuntut untuk memikirkan apa itu pernikahan. Sosialisasi yang dilakukan lebih bertujuan kepada mengenalkan, menceritakan, menjelaskan, dan melarang, namun dengan larangan yang bersifat memperingatkan bukan memaksa. Pada praktiknya orang tua memang melarang anak berhubungan dengan anak ketiga atau anak pertama, namun mereka tidak akan terlalu kawatir karena pada saat itu seorang anak belum pada usia matang menikah secara psikologis masih terlalu jauh bagi mereka untuk menekan anaknya. Kedua, Proses sosialisasi akan berubah saat remaja masuk pada usia matang sebagai remaja pada usia 15 tahun keatas, dan eksternalisasi yang didapatkan oleh seorang remaja dari keluarga juga akan berubah. Bagi masyarakat dan terutama orang tua, usia seperti itu adalah usia seorang remaja sudah matang secara fisik untuk menikah, dan biasanya intensitas kedekatan dengan lawan jenis jauh lebih serius. Karena itu sebagian masyarakat sebagai orang tua akan lebih memperhatikan dengan siapa anak mereka bergaul terutama pada lawan jenis. M eskipun seorang anak tidak pernah mengalami lusan, atau tidak sedang dekat dengan seseorang yang menjadikanya lusan, orang tua tetap menaruh ketakutan yang begitu besar se hingga larangan yang mereka berikan lebih keras dan disertai dengan ancaman yang biasanya berupa tidak diakui sebagai anak atau diusir dari keluarga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145
Ketiga, Eksternalisasi yang berbeda terjadi ketika orang tua sudah tidak begitu intens memberikan laranga n dan ancaman kepada anak. Terjadi ketika orang tua yakin bahwa anaknya tidak pernah menjalin kedekatan dengan seorang yang bisa menjadikan mereka lusan. Hal itu biasanya karena memang sang anak tidak pernah mengalami lusan. Dan belum pernah ada cerita atau pengalaman dalam keluarga tersebut yang melanggar mitos atau bahkan hampir melanggar mitos. Orang tua menjadi seperti sudah yakin kalau anaknya tidak akan melanggar lusan. Sehingga orang tua menjadi jarang dan bisa terjadi sampai tidak pernah lagi menyinggung tentang lusan, apalagi memberikan larangan dan ancaman. Dalam kondisi seperti ini seorang remaja tidak merasakan lagi bahaya dan ancaman lusan itu nyata. Apalagi remaja yang berada dalam situasi seperti ini memang belum pernah mengalami kedekatan dengan seseorang yang menjadikan mereka lusan karena memang suatu kebetulan, bukan karena mereka menghindarinya. Keempat, Keluarga begitu banyak memberikan pengaruh kepada seorang remaja terutama dalam keluarga yang masih mempercaya i lusan. Keluarga yang pertama kali memperkenalkan remaja ditengah masyarakat, meskipun masyarakat sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi, namun keluarga akan banyak berperan dalam proses sosialisasi yang didapatkan
seorang
remaja
ditengah-tengah
masyarakat.
Didalam
masyarakat pengetahuan tentang mitos lusan sudah ada sejak jaman dulu, asumsi atau pemahaman yang sama tentang akibat yang akan didapati jika
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146
melanggar lusan membuatnya menjadi pengetahuan bersama yang dimiliki masyarakat. Aka n tetapi didalam masyarakat Plosokerep, terdapat beberapa pendapat yang berbeda yang tidak percaya pada lusan dan menciptakan asumsi atau pemahaman yang berbeda pada akibat jika melanggar lusan. Seperti yang ditulis oleh Roberta Rehner Iversen, Kenneth J. Gergen, dan Robert P. Fairbanks II dalam British Journal of Social W ork yang berjudul Assessment and Social Construction: Conflict or Co-Creation, mereka mengatakan bahwa: Social constructionist views of knowledge have a long history, but were ushered into recent prominence with the publication of Kuhn’s The Structure of Scientific Revolutions (1962).2 As Kuhn proposed, knowledge within any discipline depends on a shared commitment to a paradigm. Roughly speaking, a paradigm consists of an array of assumptions about what exists, how it functions, how it may be assessed and how scientific work ought to proceed. The importance of Kuhn’s proposal to our exploration here is twofold. First, a commitment to a paradigm must precede the generation of knowledge. The commitment to an a priori set of assumptions and practices makes knowledge possible. In effect, different paradigms will create different scientific realities, and there is no transcendent position from which to adjudicate among paradigms. Secondly, Kuhn’s arguments trace the production of knowledge to communities—people in relationships—as opposed to ‘individual minds’. Individual knowledge, according to this account, is not an individual achievement, but originates in community participation. (Roberta Rehner Iversen, Kenneth J. Gergen, dan Robert P. Fairbanks II. 2005: 6) ( Artinya: Pandangan konstruksionis sosial tentang pengetahuan memiliki sejarah panjang, tetapi kemudian menonjol baru-baru ini dengan publikasi dari Kuhn Struktur Scientific Revolutions (1962). Seperti Kuhn katakan, pengetahuan dalam setiap disiplin tergantung pada komitmen bersama tentang suatu paradigma. Secara kasar, paradigma terdiri dari berbagai asumsi tentang apa yang ada, bagaimana fungsinya, bagaimana dapat dinilai dan bagaimana karya ilmiah harus melanjutkanya. Pentingnya Usulan Kuhn untuk eksplorasi kami di sini ada dua. Pertama, komitmen untuk paradigma harus mendahului generasi pengetahuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147
Komitmen tentang keadaan yang sebenarnya, asumsi dan praktek membuat pengetahuan itu menjadi mungkin. Akibatnya, paradigma yang berbeda akan menciptakan realitas ilmiah yang berbeda, dan tidak ada posisi di luar batas kewajaran untuk mengadili diantara paradigma tersebut. Kedua, Argumen Kuhn melacak produksi pengetahuan kepada masyarakat-masyarakat dalam hubungan sebagai lawan dari pikiran individu. Pengetahuan individu, menurutnya, bukanlah prestasi individu, tetapi berasal dari partisipasi masyarakat. ) Yang remaja dapatkan dari proses sosialisasinya di dalam masyarakat adalah suatu cerita yang hampir sama seperti mereka dapatkan dari keluarga, yang paling kuat mereka dapatkan dari sosialisasi itu adalah pengalaman-pengalaman masyarakat dalam musibah ya ng dikaitkan dan dibenarkan sebagai akibat dari suatu mitos pernikahan. M eskipun mitos tersebut bukanlah lusan, tapi bagi masyara kat kebenaranya adalah sama, dan seperti itu contoh akibatnya jika melanggar mitos. Pengetahuan yang ada didalam masyarakat berasal berbagai asumsi yang berbeda, yang percaya dan takut pada lusan, atau yang tidak percaya dan tidak takut kepadanya. Akan tetapi asumsi masyarakat yang percaya dan takut pada lusan yang lebih mendominasi, karena pengetahuan tersebut merupakan konstruksi realitas yang dibenarkan bersama oleh masyarakat sejak jaman nenek moyang mereka dulu. Sehingga pengetahuan remaja tentang lusan adalah konstruksi pengetahuan yang terbentuk oleh masyarakat, yang tentu saja diwariskan oleh keluarga secara turun temurun terutama orang tua yang mengenalkan seorang remaja pada apa yang menjadi pengetahuan di dalam masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148
Ada juga bagian dari masyarakat yang tidak percaya pada pembenaran-pembenaran ta khayul, mereka tidak percaya satu pun adat termasuk lusan, tapi mereka tidak banyak berkomentar atau pun ambil sikap dalam segala hal yang berbau adat. Selain itu ada juga bagian dari masyarakat yang bukan hanya tidak percaya, tapi juga menentang lusan. Eksternalisasi yang mereka dapatkan ditengah masyarakat akan banyak berpengaruh bagi pemahaman mereka ketika keluarga ikut campur dalam proses sosialisasi tersebut. Kelima, Selain keluarga dan masyarakat, tempat terakhir sebagai media sosialisasi sekunder yang bisa memberikan pengaruh pada proses eksternalisasi remaja adalah pencuraha n perhatian dan ekspresi diri mereka di lingkungan kelompok sebaya. Proses sosialisasi dalam kelompok sebaya bisa terjadi dalam lingkungan pendidikan, lingkungan kerja,
lingkungan
bermain,
atau
lingkungan
Desa
Plosokerep.
Eksternalisasi dari kelompok seba ya akan berpengaruh ketika mereka mendapatkanya dari seseorang yang mem iliki kedekatan dengan mereka dan menjadikanya lusan, selebihnya yang mereka dapatkan dari orangorang biasa dalam arti hanya orang-orang yang tidak memiliki kedekata n emosional yang memberikan sosialisasi berupa materi tanpa melibatkan perasaan emosional tidak akan berpengaruh pada apa yang sudah didapatkan remaja dari keluarga dan masyarakat. Orang-orang dalam lingkungan kelompok sebaya yang memiliki kedekatan emosional bisa diartikan sebagi pacar atau baru sekedar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149
pendekatan. Yang mereka dapatkan dari orang-orang itu bisa jadi sebuah kesadaran, dan bisa jadi sebuah pertentangan. Proses sosialisasi yang didasari kedekatan emosional sangat sulit dijelaskan arahnya, dalam arti bila kedekatan tersebut tidak menimbulkan keseriusan, maka yang didapatkan dari sosialisasi tersebut adalah sebuah kesadaran tentang kenyataan mitos lusan. Sebaliknya jika kedekatan itu menimbulkan keseriusan dan ikatan yang lebih dalam, maka yang mereka dapatkan dari proses sosialisasi tersebut adalah pertentangan. Sementara itu, apa yang bisa mendasari timbulnya keseriusan dalam suatu hubungan emosional bukanlah sesuatu yang bisa mereka kendalikan. Sehingga setiap hubungan kedekatan yang didasari oleh emosional dengan seseorang yang bisa menjadikan mereka lusan akan memiliki potensi untuk berubah sampai pada tahap serius dan menimbulkan pertentangan. Didalam hubungan yang tidak sampai pada tahap serius, yang mereka ekspresikan pada saat itu hanyalah kesenangan yang berhubungan dengan tuntutan adanya suatu status bagi mereka. Kesenangan tersebut berupa perhatian dan kebanggaan yang hanya bisa mereka dapatkan dari status berpacaran tersebut. Dari sosialisasi dengan pola hubunga n seperti itu, kesenangan itu tak lebih dari pemenuhan sebuah obsesi, obsesi itu bisa dibatasi oleh kesadaran, atau obsesi itu malah yang akan membangkitkan kesadaran mereka. Didalam hubungan yang sampai pada tahap serius, mereka akan lebih mengekspresikan dirinya pada taraf menangkap dan menjawab
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150
pertanyaan dari orang yang menjalani kedekatan denganya. Dalam sosialisasi tersebut mereka mendapatkan banyak pertanyaan yang harus mereka jawab dimulai dari apa itu lusan, kenapa harus ada lusan, kenapa harus percaya, dan bagaimana caranya agar hubungan itu tetap berjalan, sampai pada dorongan untuk tetap mempertahankan hubungan tersebut. Didalam realitas kehidupan sehari-hari yang mereka hadapi, disana mereka akan selalu menemukan berbagai kontradiksi. Akan ada banya k realitas yang saling berlawanan yang melibatkan pemikiran logis dan non logis. Karena seperti yang dikatakan Frans M. Parera (Peter L. Berger. 1990: xix), bahwa pengetahuan dalam dunia sehari-hari seringkali dikacaukan dengan kegiatan-kegiatan efektif yang menyertainya sehingga terjadi distorsi dan penyimpangan-penyimpangan. Berhadapan dengan pengetahuan sosial sehari-hari yang begitu berbeda-beda antara satu sama la in, maka ditemukan secara sah masalah relativisme. Relativisme berarti adalah perbedan kenyataan tentang lusan yang dipahami oleh berbagai pihak didalam eksternalisasi remaja. Sadar atau tidak sadar mereka akan melakukan berbagai upaya untuk memahami berbagai realitas sosial yang ada dihadapan mereka. Upa ya tersebut mereka
lakukan
dengan
jalan
mencurahkan
perhatian
dan
mengekspresikan diri mereka terhadap sega la realitas yang harus mereka hadapi. Lingkungan sosial masyara kat Plosokerep merupakan satu-satunya tempat dimana Remaja akan mendapatkan realitas yang sama mengenai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151
mitos, dalam arti realitas yang mereka hadapi tidak banyak mengalami perubahan jika masyarakatnya pun tidak mengalami perubahan yang signifikan seperti adanya warga pendatang. Sedangkan keluarga dan lingkungan kelompok sebaya yang banyak memberikan perbedaan dalam menunjukan realitas mengenai lusan. Setiap keluarga yang meghindari mitos lusan pasti memiliki kepercayaan yang sama, tapi tiap keluarga akan memiliki tingkat ketakutan yang berbeda juga metode sosialisasi yang berbeda kepada anak. Sehingga setiap anak dari keluarga yang berbeda akan menangkap realitas yang berbeda-beda pula.
2. Realitas Obyektif Hasil Eksternalisasi (Objektivasi) Dalam
karakteristik
keluarga
yang
mempercayai
lusan,
eksternalisasi pada proses sosialisasi mereka di lingkungan sosial akan menghasilkan realitas obyektif yang bisa berubah sesuai dengan perubahan usia dan lingkungan sosial setiap remaja. Sedangkan pada karakteritik keluarga yang tidak mempercayai lusan¸eksternalisasi hanya akan menghasilkan realitas obyektif yang tidak akan mengalami perubahan meskipun usia bertambah dan lingkungan sosial mereka mengalami perubahan,
realitas
obyektif
yang
mereka
hasilkan
dari
proses
eksternalisasi hanya akan selalu berupa rasa tidak percaya. Mereka akan tetap menga nggap lusan tersebut sebagai cerita mitos dan takhayul belaka yang tidak memiliki bukti kebenaran. Seperti doktrin yang se lalu ditanamkan oleh orang tua mereka ya ng tidak mempercayai lusan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152
Eksternalisasi yang dilakukan remaja dalam lima proses sosialisasi menghasilkan realitas obyektif yang harus dihadapi remaja. Yang pertama, saat usia awal masa remaja, Pada keluarga yang kuat mempercayai lusan, proses sosialisasi yang mereka dapatkan dari keluarga pada masa usia awal remaja antara 12 sampai 15 tahun akan menghasilkan realitas obyektif yang sama pada tiap remaja. Pada usia awal remaja seperti itu, semua orang tua lebih menekankan sosialisasi yang bersifat memperingatkan, bukan pada usaha untuk memaksa. Karena relatif sama pada usia seperti itu remaja masih jauh jika harus berpikir tentang pernikahan. Pada usia 12 sampai 15 tahun remaja-remaja tersebut tidak merasakan teka nan yang berlebihan, yang mereka rasakan hanya lah
perasaan diwanti-wanti
(diperingatkan) oleh orang tuanya. Mereka menangkap cerita dan larangan dari orang tua sebagai sesuatu yang menantang, menarik dan membuat penasaran seperti halnya cerita takha yul maupun donge ng-dongeng. M ereka mampu merasakan kebenaran mitos lusan tersebut dari cerita orang tua. Mereka menangkap kebenaran tersebut sebagi sebuah ketakutan ya ng mengakibatkan sebuah larangan. M ereka mampu merasakan dan mengerti bahwa larangan tersebut ditujukan untuk mereka, namun mereka memahaminya sebagai larangan yang harus mereka patuhi nanti saat mereka ingin menikah. Sehingga bukanya tidak dilarang, mereka merasa belum dilarang dengan siapapun mereka saat ini suka ataupun pacaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153
Kedua, Pada saat usia remaja menginjak 15 tahun keatas, bagi setiap remaja yang berada dalam lingkungan keluarga yang mempercayai lusan. Proses sosialisasi yang diberikan oleh orang tua akan lebih keras dan memaksa. Hasil dari eksternalisasi mereka di lingkungan keluaga pada usia seperti itu adalah kesadaran. M ereka melihat orang tua yang melarang bahkan sampai dengan ancaman sebagai suatu bukti kebenaran kalau kutukan lusan itu memang benar adanya. M eraka merasa kalau larangan dan ancaman orang tua tersebut dilakukan karena melindungi mereka agar tidak sampai celaka karena melanggar lusan. Dan mereka merasakan ketakutan sama seperti ketakutan yang dirasakan oleh orang tua lewat larangan dan ancaman tersebut. Ketiga, dalam kondisi orang tua berbeda akan memberikan eksternalisasi yang berbeda bagi seorang remaja. Kondisi orang tua yang berbeda adalah bentuk kurangnya perhatian mereka terhadap kehidupan pribadi seorang anak, hal itu terjadi karena memang tidak pernah terjadi cerita tentang lusan didalam keluarga mereka juga pada anak-anak tersebut. Sehingga seorang anak tidak akan mendapatkan ancaman dan larangan lagi dari orang tua. Tidak mendapat larangan bukan berarti mereka diperbolehkan, karena meskipun ada larangan hanya dalam bentuk peringatan yang tidak keras. Semua itu karena memang anak tidak pernah memiliki pengalaman tentang lusan dalam kehidupan mereka. Dengan sosialisasi yang tidak lagi keras, tanpa ancaman ya ng tegas, dan kurangnya perhatian orang tua terhadap kehidupan pribadi mereka, membuat mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
mulai merasakan kalau bukanya tidak dilarang, tapi tidak adanya lagi larangan ya ng diucapkan. Hal tersebut dapat dijelaskan sama seperti dalam kutipan berikut ini: In fact, like with many other key ingredients of everyday life, the norms and habits of milk consumption are rarely articulated in language. As also Øllgaard points out in this volume, the knowledge that people have about when and where to do what in their everyday lives is an internalised knowledge which is primarily obtained and expressed through practice (Bourdieu 1990). People consume milk regularly, they make sense of it, but they rarely talk about it. (Lisanne Wilken And Ann-Christina L. Knudsen. 2008: 35) (Artinya: Bahkan, seperti dengan banyak hal penting lainnya dari kehidupan sehari-hari, norma dan kebiasaan konsumsi susu jarang diartikulasikan dalam bahasa. Seperti juga poin utama dalam buku ini, bahwa pengetahuan yang orang miliki tentang kapan dan di mana untuk melakukan apa dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah pengetahuan yang diinternalisasi terutama diperoleh dan diungkapkan melalui praktik (Bourdieu 1990). Orang-orang mengkonsumsi susu secara teratur, mereka menyadari itu, tetapi mereka jarang berbicara tentang hal itu.) Seperti halnya kebiasaan minum susu yang menjadi m itos dan kebiasaan sehari-hari orang-orang dibeberapa negara Eropa. Apa yang dilakukan oleh orang tua dapat diasumsikan sama dengan kebiasaan tersebut. Pengetahuan mereka tentang lusan dan larangan yang diberikan kepada seorang anak tetap menjadi kepercayaan mereka, hanya saja mereka jarang membicarakanya dengan anak-anak mereka. Apa yang menjadi tradisi dan budaya mereka diinternalisasikan kedalam praktek, dimana orang tua harus menjaga tradisi lusan agar anaknya tidak melanggar pantanganya, mereka menyadari akan hal itu, akan tetapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155
mereka jarang berbicara tentang hal itu kepada anaknya, mereka jarang memberikan larangan yang tegas kepada anak-anaknya. Keempat, adalah proses sosialisasi yang mereka dapatkan dari masyarakat. M asyarakat memiliki pengalaman sehari-hari sebagai sarana mensosialisasikan mitos lusan. Masyarakat menggunakan musibah yang dialami seseorang atau keluarga yang berkaitan dengan kehidupan seharihari sebagai pembenaran dari suatu mitos tertentu. Hal tersebut dapat dijelaskan sama halnya dalam kutipan berikut: Our study of peoples’ perceptions of milk is primarily based on narratives about milk. Following Ochs & Capps (1996) we treat narratives as stories people tell in order to make sense of their personal experiences and of the world they live in. By studying what people say about milk and about the situations where milk is or is not consumed, we get access to what we have called “the social construction of milk”, which refer to the ways that people incorporate milk into their daily lives, and the values and meanings they ascribe to it. (Lisanne Wilken And Ann-Christina L. Knudsen. 2008: 35) (Artinya: Studi kami tentang persepsi masyarakat tentang susu terutama didasarkan pada kisah tentang susu. Mengikuti Ochs & Capps (1996) kita menggunakan pengalaman yang orang ceritakan dalam rangka untuk memahami pengalaman pribadi mereka dan dunia dimana mereka berada. Dengan mempelajari apa yang orang katakan tentang susu dan tentang situasi di mana susu dikonsumsi atau tidak dikonsumsi, kita mendapatkan penjelasan pada apa yang kita sebut "konstruksi sosial susu", yang merujuk pada cara-cara orang memasukkan susu ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan nilai-nilai serta makna yang mereka anggap benar seperti itu) Dalam penelitian ini apa yang dikatakan susu diatas sama halnya seperti lusan yang telah menjadi budaya dalam keseharian masyarakat Plosokerep. Kepercayan masyarakat kepada mitos lusan terutama didasarkan pada berbagai kisah dan cerita tentang mitos tersebut, terutama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156
pada bukti jika mitos tersebut dilanggar. Bukti tersebut berupa akibat yang harus dihadapi oleh orang yang melanggar mitos. Meskipun bukan m itos lusan, masyarakat menggunakan pengalaman orang lain yang dianggap mengalami musibah sebagai akibat melanggar mitos untuk memahami bagaimana akibatnya jika lusan dilanggar maka akan sama seperti itu. konstruksi pengetahuan masyarakat tentang lusan merujuk pada cara-cara masyarakat memasukkan lusan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan nila i-nilai serta makna yang mereka anggap benar seperti itu Eksternalisasi yang remaja dapatkan dari Pembenaran yang dilakukan oleh masyarakat akan menimbulkan pertanyaan apakah memang benar hal tersebut. Namun ketika keluarga turut campur dalam penyampaian realitas pengalaman musibah ma syarakat tersebut sebagai contoh untuk usaha membenarkan m itos lusan. Maka akan timbul kepercayaan dalam diri remaja bahwa musibah yang dialami keluarga tersebut benar adanya, dan membuat mereka ikut membenarkan lusan seperti halnya mitos tersebut. Orang tua juga sangat berpengaruh dalam eksternalisasi yang mereka dapatkan dari masyarakat yang tidak percaya, bahkan dari yang ingin menghapuskanya. Karena tekanan yang dberikan oleh orang tua, memberikan rasa takut yang lebih besar dari keinginan untuk berpikir dari sudut pandang orang yang yang tidak percaya pada lusan. Kelima, eksternalisasi yang mereka dapatkan ketika melakukan sosialisasi dengan kelompok sebaya yang lebih didapatkan juga pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157
seseorang yang memiliki kede katan khusus secara emosional, dalam arti sesorang yang baru pada status teman dekat ataupun sudah berpacaran. Tentu saja apabila orang tersebut dapat menjadikan mereka lusan jika berhubungan. Pada kelompok sebaya usia 12 sampai 15 tahun, lingkungan mereka tidak memiliki ketertarikan untuk membahas tentang m itos pernikahan. Seperti jawaban seorang remaja usia 14 tahun ketika ditanya apakah ada diantara teman-temanya yang mengenal lusan di desanya: “ora tau takon e Aku mas, lha wong yo Aku ora nggagas, paling yo do ra percoyo.” (tidak pernah bertanya Mas, Karena Aku memperhatikan, paling ya mereka tidak percaya)
juga
tidak
Sedangkan di lingkungan kelompok sebaya usia 15 Tahun Keatas yang tidak memiliki kedekatan emosional baik dilingkungan sosial manapun, realitas obyektif yang mereka hasilkan dari proses eksternalisasi disana hanyalah berbagai pertanyaan dan pernyataan tidak percaya. Dalam proses sosialisasi yang terjadi dengan seseorang yang memiliki kedekatan khusus namun tidak sampai pada tahap serius, realita s obyektif yang mereka dapatkan adalah sebuah kesadaran mengenai batasan mereka dan apa yang membatasi mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Berger mengenai kesadaran: Kesadaran selalu intensional; ia selalu mengarah kepada objek. Kita, bagaimanapun, tidak dapat memahami apa yang dianggap sebagai semacam substratum (dasar) bagi kesadaran itu sendiri, melainkan hanya kesadaran tentang sesuatu. Hal itu berlaku baik objek kesadaran itu dialami sebagai sesuatu yang termasuk dalam dunia fisik, lahiriah atau dipahami sebagai unsur suatu kenyataan subjektif batiniah. (Peter L. Berger. 1990: 31)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158
Hubungan tersebut yang membangkitkan kesadaran mereka, atau kesadaran mereka yang membatasi m ereka dalam hubungan tersebut, hasilnya sama saja berupa suatu kesadaran bahwa hubungan yang mereka ja lani dilarang, dan tidak boleh sampai pada pernikahan. Kesadaran tersebut seperti halnya yang diungkapkan oleh Franz M . Parera: Pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan menjadi kurang lebih diungkapkan, sedangkan kesadaran menjadikan saya lebih mengenal diri sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu itu. Pengetahuan lebih berurusan antara subjek dengan objek yang berbeda dengan dirinya sendiri, sedangkan kesadaran lebih berurusan dengan subjek yang sedang mengetahui dirinya sendiri. (Peter L. Berger. 1990: xix) Penje lasan tersebut dapat dibuktikan jika kedekatan dengan seseorang itu sampai pada tahap lebih serius, eksternalisasi yang didapatkan
oleh
remaja
menimbulkan
pertentangan
mendapatkan
banyak
dalam dalam
proses diri
sosialisasi mereka.
pertanyaan-pertanyaan
yang
tersebut Karena
akan
mereka
meragukan
dan
dorongan untuk melanggar mitos dari orang tersebut. Hasilnya adalah pengetahuan dari orang lain berupa pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pertentangan didalam diri mereka yang menimbulkan keraguan tentang kebenaran lusan. Muhammad Al Mighwar mengatakan: Tentang pengaruh kelompok sebaya terhadap masa remaja, Horrocks Benimof menegaskan bahwa kelompok sebaya merupakan dunia nyata anak muda, yang menyiapkan panggung tempat dia menguji diri sendiri dan orang lain. Dalam kelompok sebaya dia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, karena dia dinilai oleh orang yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindarinya. Kelompok sebaya memberikan dunia tempat remaja muda bisa melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159
yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditentukan oleh orang dewasa, tetapi oleh teman-teman seusianya. Dengan semikian dalam kelompok sebaya, remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan menemukan dunia yang memungkinya bertindak sebagai pemimpin bila mampu melakukanya. (Muhammad Al M ighwar. 2006: 124) Seperti penjelasan diatas, Eksternalisasi yang mereka dapatkan dari kelompok sebaya tersebut menghasilkan dukungan untuk suatu tindakan atau sikap perlawanan terhadap lusan, namun sebenarnya perlawanan tersebut lebih kepada perlawanan mereka terhadap larangan orang tua. Perlawanan mereka Bukan suatu usaha untuk menyangkal kebenaran lusan, tapi merupakan suatu usaha untuk merubah pemahaman orang tua mengenai lusan. Keyakinanya pada saat itu berubah menjadi keinginan untuk
memperjuangkan
bagaimana
caranya
hubungannya
dapat
diperbolehkan, bukan oleh lusan, tapi direstui oleh orang tuanya dengan ja lan merubah pemikiran orang tuanya.
3. Lusan Sebagai Realitas Subyektif Remaja (Internalisasi) Dimensi obyektif dari realitas berkaitan dengan factor-faktor eksternal yang ada di luar obyek, seperti norma, aturan, atau stimulan tertentu yang menggerakkan obyek. Realitas subyektif berkaitan dengan interpretasi dan pemaknaan tiap individu terhadap suatu objek. Hasil dari relasi antara objek dan individu menghasilkan penafsiran, yang berbedabeda berdasarkan beraneka ragam latar belakang individu tersebut. Dalam proses obye ktivasi, remaja mendapatkan realitas obyektif yang berbedabeda berdasarkan usia, keluarga dan kelompok sebaya. Pertama, realitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160
obyektif yang mereka hasilkan dalam proses eksternalisasi di dalam keluarga pada usia 12 sampai 15 tahun adalah larangan dari orang tua yang bersifat continue, dalam arti bahwa larangan orang tua tetaplah harus ditaati, hanya saja larangan tersebut tidak harus ditaati sekarang pada usia seperti itu. Bukan berarti juga pada usia seperti itu mereka tidak terkena lusan, mereka akan tertap terkena lusan jika berhubungan dengan seseorang yang menjadikan mereka lusan, akan tetapi tidak akan ada akibat apa pun yang ditimbulkan jika tidak sampai menikah. Sehingga yang mereka rasakan adalah hanya sekedar peringatan dari orang tua pada saat itu, bukanya tidak dilarang, tapi belum dilarang. Realitas obyektif yang dihadapi remaja di usia 12 sampai 15 tahun semuanya sama, karena proses sosialisasi dan tekanan yang mereka dapatkan pun juga sama. M uhammad Al M ighwar mengatakan: Pada Remaja awal, kemampuan mental dan kemampuan berpikirnya mulai sempurna. Gejala ini terjadi pada usia 12-16 Tahun. Alfred Binet menjelaskan lebih jauh bahwa pada usia 12 tahun, kemampuan anak untuk mengerti informasi abstrak baru sempurna. Dan pada usia 14 tahun, mulailah sempurna kemampuan untuk mengambil kesimpulan dan informasi abstrak, sehingga remaja awal suak menolak hal-hal yang tidak masuk akal. Bila dipaksa menerima pendapat tanpa alasan rasional, mereka sering menentangnya, baik terhadap orang tua, guru, atau orang dewasa lainya. (Muhammad Al M ighwar. 2006: 69) Dari kutipan diatas, realita dalam kasus remaja usia 12 sampai 15 tahun di Plosokerep, meskipun mereka tidak sampai menentang dengan lugas pendapat atau larangan orang tuanya, akan tetapi realitas obyektif yang
berupa
larangan
lusan
tersebut
membuat
mereka
belum
memperdulikan apa itu lusan, dengan larangan dan akibatnya. Meskipun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161
mereka percaya dan takut pada lusan karena pada saat itu mereka menganalogikan lusan sebagai mitos seperti layaknya c erita takhayul, atau cerita-cerita angker lainya, hanya saja rasa takut dan rasa percaya tersebut mereka tutupi dengan logika berpikir bahwa pernikahan itu masih jauh dari usia mereka, sehingga belum saatnya mereka untuk mematuhi orang tuanya menghindari lusan. Kedua, realitas obyektif yang mereka hasilkan dari proses eksternalisasi didalam keluarga pada usia 15 tahun keatas. Pada sebagia n masyarakat, di usia remaja yang seperti ini orang tua lebih intens dan keras memberikan larangan. Pernah atau tidak pernah anak mereka m engalami lusan, yang penting bagi mereka adalah memastikan a naknya tidak menikah dengan melanggar lusan. Remaja tidak hanya mendapatkan larangan kosong, mereka juga mendapatkan ancaman keras berupa diusir dan tidak dia kui lagi sebagai anak. M ereka tidak sempat berpikir dengan logika apakah benar ancaman tersebut, apakah orang tua mereka benarbenar tega hanya karena sebuah mitos. Keseriusan orang tua dalam melarang yang disertai ancaman keras membuat Remaja sudah cukup ketakutan untuk melanggar mitos. Ketakutan yang diperlihatkan orang tua mebuat mereka takut juga kepada lusan. Dan ketakutan pada lusan membuat mereka menjadi salah satu bagian dari m asyarakat yang mempercayai kebenaran mitos lusan dan akan benar-benar menghindari pantanganya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162
Yang ketiga, realitas obyektif yang didapatkan oleh remaja dalam proses eksternalisasi di dalam keluarga ada yang berbeda meskipun keluarga tersebut juga mempercayai lusan. Soialisasi yang dilakukan orang tua bisa dibilang sedikit mengendur dengan intensitas yang jaranga atau bahkan menjadi tidak pernah sama sekali, karena mereka yakin anaknya tidak pernah melanggar lusan, begitu juga dalam cerita keluarganya belum pernah ada yang melanggar mitos apa pun. Dan kebetulan remaja tersebut, mereka memang tidak pernah memiliki pengalaman kedekatan dengan lawan jenis yang menjadikan mereka lusan, bukan karena mereka sadar tidak boleh melanggar lusan dan sengaja menghindarinya, tapi karena mereka memang kebetulan belum pernah mengalami pengalaman yang seperti itu. Seperti yang diungkapkan oleh M uhammad Al Mighwar (2006: 64) bahwa pada setiap periode transisi, tampak ketidak jelasan status inividu dan munculnya keraguan terhadap peran yang harus dimainkanya. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan bukan juga orang dewasa. Bila remaja bertingkah laku seperti anak-anak, maka dia akan diajari bertindak sesuai dengan usianya. Disisi lain, ketidakjelasan status itu juga menguntungkan kare na memberi peluang kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola tingkah laku, nilai, dan sifat yang paling relevan denganya. Realitas obyektif yang mereka dapatkan kemudian adalah tidak adanya perhatian dari orang tua dalam hal pemilihan jodoh, bukanya tidak dilarang, tapi tidak adanya lagi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163
larangan yang diucapkan, sedikit demi sedikit mereka melupakan ketakutanya, dan berpikir bahwa ternyata kebenaran lusan itu tidak nyata, sehingga munculah keraguan dan rasa tidak percaya kepada lusan. Keempat, realitas obyektif yang remaja dapatkan dari proses eksternalisasi mereka di dalam masyarakat adalah hasil yang telah dipengaruhi oleh campur tangan keluarga. Eksternalisasi yang didapatkan dari masyarakat yang tidak mempercayai lusan, dan bahkan dari masyarakat yang ingin menghapuskanya tidak bisa menghasilkan sesuatu yang mempengaruhi ketakutan mereka, bukanya tidak mempengaruhi pemikiran, karena adanya masyarakat yang tidak percaya bahkan sampai mengambil tindakan ingin menghapuskan lusan bisa membuat mereka berpikir apakah benar mereka harus percaya pada lusan sementara ada sebagian masyarakat yang memiliki dasar agama kuat saja tidak mempercayainya. Akan tetapi meskipun pemiranya dapat dipengaruhi, akan tetapi tidak ketakutan mereka, mereka lebih takut pada ketakutan orang tua lewat larangan dan ancaman mereka, ketakutan tersebut yang mematahkan pertanyaan dalam pemikiran mereka dan membuat mereka tetap takut pada lusan. Sementara eksternalisasi yang didapatkan dari pengalaman seharihari masyarakat yang terkena musibah dan dibenarkan sebagi akibat m itos pernikahan lain oleh masyarakat, yang juga didukung kebenaranya oleh keluarga mereka untuk memberikan contoh pada lusan jika dilanggar, akan membuat remaja semakin yakin pada kebenaran lusan, logika mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164
ikut menjawab dan membenarkan pengalaman musibah yang dialami oleh keluarga tersebut akan terjadi pada diri mereka jika mereka melanggar lusan. Realitas obyektif yang seperti itu menimbulkan keperca yaan mereka terhadap mitos lusan, meskipun saat mereka takut pada lusan sebenarnya mereka telah menjadi percaya pada mitos lusan. Akan tetapi meskipun semuanya adalah ketakutan terhadap akibat yang didapat jika melanggar lusan, tapi realitas obyektif yang didapatkan pada proses eksternalisasi dari orang tua lebih banyak memberikan ketakutan bagi remaja, sedangkan relitas obyektif yang didapatkan dari masyarakat yang lebih mendukung kepercayaan mereka terhadap lusan. Kelima, realitas obyektif yang mereka dapatkan dari proses eksternalisasi pada kelompok sebaya pada usia 12 sampai 15 Tahun hanya akan menghasilkan sikap cuek dari ketidaktertarikan mereka untuk mengetahui keberadaan dan kebenaran mitos lusan bagi teman-teman mereka. Sedangkan kelompok sebaya pada remaja usia 15 Tahun keatas memberikan
realitas
obyektif
yang
berbeda
ketika
eksterna lisasi
didapatkan dari seseorang yang memiliki kedekatan emosional khusus yang dapat menjadikan mereka lusan. kelompok sebaya bukan hanya orang-orang dengan umur yang sama, mereka bisa mendapatkan eksternalisasi dari kelompok sebaya dari lingkungan sosial mana saja, baik dari lingkungan mas yarakat, lingkungan pendidikan, lingkungan bermain, maupun lingkungan kerja. Eksternalisasi yang didapatkan dari kelompok sebaya yang tidak memiliki kedekatan khusus secara emosional, hanya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165
akan menghasilkan realitas obyektif berupa pertanyaan dan sanggahan yang tidak berpengaruh apa pun pada letakutan dan kepercayaa n mereka tentang lusan. Lain jika eksternaliasi didapatkan dari seorang kelompok sebaya yang mem iliki kedekatan khusus ya ng menjadikan mereka lusan, dalam kedekatan emosional yang tidak sampai pada tahap serius, realitas obyektif yang dihasilkan berupa kesadaran bahwa hubungan mereka adalah lusan, hubungan mereka dilarang dan tidak boleh sampai serius pada pernikahan. Kesadaran tersebut muncul karena mereka menjalani hubungan yang menjadikan mereka lusan, dan kesadaran tersebut menimbulkan rasa takut yang membuat mereka semakin percaya pada lusan. Atau kesadaran mereka yang memunculkan rasa kepercayaan dan ketakutan mereka pada lusan membuat mereka membatasi hubungan tersebut. hanya tentang kesadaran mengenai batasan mereka dan apa yang membatasi mereka, karena realitas subyektif yang dihasilkan sam a saja membuat mereka percaya dan takut pada lusan. Realitas
yang
didapatkan
dari eksternalisasi pada seorang
kelompok sebaya yang memiliki kedekatan khusus secara emosional dan sampai pada tahap serius akan menghasilkan realitas obyektif yang berbeda. Seperti yang M uhammad Al Mighwar (2006: 124) katakan bahwa, Pada masa remaja, kuatnya pengaruh kuat teman sebaya atau sesama remaja tidak dapat diremehkan. Ada remaja yang menjalin kuatnya ikatan perasaan, sehingga untuk pertama kalinya mereka menerapkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166
prinsip-prinsip hidup bersama dan bekerja sama. Terbentuklah dalam ja lina n yang kuat suatu norma, nilai, dan simbol tersendiri yang berbeda dengan ya ng ada dirumah mereka. Dalam hubungan
ini melibatkan
kedekatan emosional yang sulit dijelaskan dengan akal sehat karena perasaan dan keseriusan seseorang bukanlah sesuatu yang bisa dia kontrol. Mereka akan menghadapi berbagai pertanyaan dari orang tersebut, seperti: kenapa harus ada lusan, apa benar kalau dilanggar akan celaka, apa lusan itu benar karena agama pun tidak melarang, dan bagaimana caranya agar kita bisa tetap bersama karena lusan itu tidak logis, dan agama pun tidak melarang. Sampai pada pertanyaan terakhir yang bertujuan untuk bertanya, dan menyanggah kebenaran lusan sekaligus memberikan dorongan untuk merubah pemikiranya tentang lusan. Ketika kedekatan mereka menjadi serius, akan timbul perasaan tidak ingin berpisah. Karena keseriusan yang diberikan oleh orang itu juga yang membuat dia memikirkan pertanyaan-pertanyaan orang tersebut dan menimbulkan pertentangan dari dalam dirinya. Kemudian pertanyaanpertanyaan tersebut menjadi pertanyaan-pertanyaanya sendiri yang dia pun ingin
mencari
tau
jawabanya.
Pertanyaan-pertanyaanya
sendiri
menimbulkan pertentangan yang membuat dia ragu pada lusan, membuat kepercayaanya hilang. Dan dorongan dari orang tersebut membuat dia berani melawan lusan, sebenarnya lebih tepatnya ditujukan pada orang tuanya bukan pada lusan, bukan juga melawan, tapi ingin merubah pemikiran orang tuanya tentang lusan. Keyakinanya pada saat itu berubah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167
menjadi
keinginan
untuk
memperjuangkan
bagaimana
caranya
hubungannya dapat diperbolehkan, bukan oleh lusan, tapi direstui oleh orang tuanya dengan jalan merubah pemikiran orang tuanya. Dan pada akhirnya membuat mereka tidak percaya pada mitos lusan, meskipun mereka tetap takut untuk menikah, tapi ketakutanya bukan pada akibat dari lusan, tapi lebih kepada ketakutan mereka pada ancaman orang tua yang akan mengusir mereka juga takut karena tidak direstui oleh orang tua. Remaja itu, dia yang ingin merubah pemikiran orang tuanya untuk mendapatkan restu untuk hubunga nya dengan seseorang yang merupakan lusan. Dia akan mendapatkan pertentangan keras dari orang tuanya. Ancam an yang diberikan menjadi lebih keras dan lebih sering dengan disertai contoh musibah yang dialami oleh masyarakat. Kepercayaanya pada lusan telah hilang karena pengaruh dari realitas obyektif yang meragukan kebenara nya pada lusan dan mendorongnya untuk menunjukan rasa tidak percayanya tersebut dengan perlawanan. Meskipun masih takut menikah sebagai lusan, namun satu-satunya ketakutanya adalah ancaman orang tua yang tidak memberikan mereka restu. Sampai pada saat mereka semakin yakin dan kemaun mereka untuk me ndapat restu semakin kuat, pada saat itu orang tua memberikan ancaman terakhir, ancaman bernada pasrah yang mereka sebut “nglulu”, yang berbunyi: “pancene wis dadi kekarepanmu yo ora opo2 kowe nekat, nek pengen nyedakne patine wong tuwo”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168
Ancam an dengan nada dan intonasi paling halus juga pelan yang pernah dia dengar dari orang tuanya. Orang tua seolah-olah mengijinkan, tapi dengan sikap pasrah yang menyalahkan anaknya yang mendekatkan orang tua pada kematian. Dia akan merasa disalahkan, seolah-olah dia dihakimi untuk kesalahan ya ng belum dia lakukan, bahkan untuk suatu kejadian yang kalau memang akan terjadi tidak ada buktinya kalau itu terjadi karena dia. Ancaman tersebut mampu membuatnya lebih takut dari ancaman-amcaman yang sebelumnya. Ketakutanya berubah dari ketakutan kepada ancaman orang tua, menjadi sebuah kekawatiran kalau sampai itu benar terjadi orang tuanya akan meninggal dikarenakan lusan. pada akhirnya dia tidak meneruskan hubunganya tersebut karena takut orang tuanya yang akan mendapatkan sial sampai dekat pada kematian. Dan secara tidak dia sadari, ketakutanya tersebut merupakan ketakutan pada mitos lusan, dengan begitu dia telah kembali percaya pada mitos lusan. Realitas subyektif yang dihasilkan remaja pada proses interalisasi dari realitas obyektif yang didapatkan dari seseorang yang menjalin kedekatan serius dan menjadikan mereka lusan akan kembali mengalami proses dialektika dalam e ksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi, yang kemudian memberikan perubahan besar pada realitas subyektif remaja itu. Proses eksterna lisasi kembali dia dapatkan melalui sosialisasi di dalam ke luarga, disana dia mendapatkan ancaman berupa nglulu, ancaman yang lebih halus dengan nada pasrah namun mematikan langkah mereka. Orang tua seakan pasrah dan memperbolehkan dia melanggar lusan, tapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169
orang tua menyalahkan mereka yang telah mendekatkan mereka pada kematian. Hasil yang dia dapatkan dari proses eksternalisasi tersebut menjadi realitas obyektif yang berupa ketakutan dan kekawatiran kalau orang tuanya akan celaka jika dia melanggar lusan. Hasil objektivasi tersebut kemudian terinternalisasi menjadi ketakutan mereka untuk melanggar lusan, mereka kembali takut pada lusan, dan menjadi kepercayaan mere ka terhadap mitos lusan sebagai realitas subyektif yang menghadapi mereka. Proses dialektika yang terulang dalam konstruksi pengetahuan remaja tersebut seperti yang telah diungkapkan oleh Frans M. Parera, bahwa: Struktur-struktur objektif masyarakat dalam pandangan sosiologi pengetahuan Berger dan luckmann tidak pernah menjadi produk akhir dari suatu proses sosialisasi, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi yang baru lagi. Itulah perjalanan sejarah perkembangan kehidupan sosial. Perubahan itu tidak akan cepat terjadi apabila ada rasa aman yang dialami individu-individu berhadapan dengan struktur objektif. Rasa aman di sini bukan dalam arti aman secara material, tetapi aman secara rohani, antara lain karena makna kehidupannya dijamin dalam struktur objektif ini. Bila individuindividu kehilangan rasa aman atau mengalami alienasi, maka ancaman terhadap struktur objektif mulai muncul, biarpun hanya dalam taraf kesadaran subjektif. (Peter L. Berger. 1990: xxiii) Perubahan itu yang dialami oleh remaja tersebut dan juga orang tuanya. Remaja merasa teralienasi dari kebebaasanya dalam pemilihan jodoh, sedangkan orang tua merasa terancam oleh ketidakpercayaan anaknya terhadap lusan, sehingga perubahan tersebut melahirkan proses eksternalisasi yang baru lagi dan melahirkan rangkaian proses dialektika yang baru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170
4. Pola Konstruksi Pengetahuan Remaja Konstruksi pengetahuan remaja yang terbangun melalui proses dialektika dalam tiga momen simultan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Karena Berger juga Luckman, (Burhan Bungin. 2008: 18), mengatakan bahwa sejauh yang menyangkut fenomena masayarakat, momen-momen itu tidak dapat dipikirkan sebagaimana yang berlangsung dalam satu urutan waktu. Yang benar adalah mas yarakat dan setiap bagian darinya secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga setiap analisis yang hanya melihat salah satu dari ketiga momen itu adalah tidak memadai. Karena itu, setelah melalui proses dialektika tersebut, sudah
dapat dipahami bagaimana
konstruksi pengetahuan
remaja
Plosokerep tentang mitos lusan. Dimana kenyataan sosial yang objektif tercipta melalui proses eksternalisasi, sebagaim ana kenyataan objektif mempengaruhi kembali mereka mencerminkan
kenyataan
melalui proses internalisasi yang
subjektif,
karaktersitik
remaja
yang
berbeda
pengetahuan
mereka
tentang
yang
kemudian
berdasarkan
mitos
lusan.
menghasilkan
pola
konstruksi
Karakteristik
remaja
berdasarkan pola konstruksi pengetahuan yang berbeda tersebut antara la in: a. M ereka Yang M empercayai Dan Meyakini M ereka adalah remaja pada usia 15 tahun dan seterusnya. Remaja yang mempercayai dan mayakini lusan bisa dipastikan berasal dari keluarga yang mempercayai lusan dengan ketakutan yang begitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171
besar. Realitas obyektif tentang larangan yang keras dan ancaman yang melarang mereka membangun realitas subye ktif mereka dalam ketakutan yang membuat mereka percaya pada lusan. Eksternalisasi yang didapatkan dari masyarakat memberikan realitas obyektif berupa pembuktian lusan dari peritiwa musibah yang dialami suatu keluarga yang oleh mas yarakat dan didukung oleh keluarga dibenarkan sebagai akibat dari melanggar mitos pernikahan la in. Sehingga realitas subyektif yang menghampiri mereka adalah rasa semakin percaya pada kebenaran lusan yang m ereka benarkan juga melalui peristiwa yang dialami orang lain. Mereka yaang mendapatkan eksternalisasi dalam proses sosialisasinya dengan kelompok sebaya yang memiliki kedekatan emosional secara khusus namun tidak sampai pada tahap serius juga adalah kelompok remaja yang mempercayai lusan. realitas obyektif yang berupa kesadaran yang membatasi mereka dalam menjala ni hubungan yang lusan tersebut, ataupun hubungan tersebut yang menjadika n mereka sadar kalau mereka sudah dibatasi oleh lusan terinternalisasikan menjadi ketakutan mereka untuk melanggar mitos lusan, dan ketakutan tersebut yang membangun kepercayaan mereka terhadap mitos lusan.
b. M ereka Yang Tidak Percaya M ereka yang tidak percaya pada lusan adalah remaja yang sejak awal memang orang tuanya tidak mempercayai lusan. dalam eksternalisasinya didalam keluarga dia m enghasilkan realitas obyektif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172
yang berupa doktrin untuk tidak percaya pada lusan karena orang tuanya juga tidak mempercayai lusan, eksternalisasi yang di dapatkan dari masyarakat, dari kelompok sebaya tidak memberikan pengaruh apa pun selain realitas obyektif tentang adanya mitos lusan dan orangorang disekitar mereka yang masih mempercayainya meskipun tidak ada bukti yang mampu membenarka n mitos tersebut. Sehingga realitas subyektif yang bisa mereka ta ngkap adalah rasa tidak percaya juga tidak takut kepada lusan.
c. M ereka Yang Percaya Tapi Belum Takut Semua remaja yang percaya pada lusan pasti berasal dari lingkungan keluarga yang mempercayai lusan, hanya saja untuk meyakini dan tidak tergantung kepada seberapa besar ketakutan keluarga mereka pada lusan. Mereka yang percaya pada lusan namun tidak takut padanya adalah remaja awal yang berusia 12 sampai dengan 15 tahun. Semua remaja pada usia itu mendapatkan eksternalisasi yang sama dari keluarga, realitas obyektif yang bisa mereka tangkap adalah larangan yang harus dipatuhi orang tua nanti pada saat mereka menikah. Dan untuk usia seperti itu larangan itu belum berlaku. Bukanya tidak dilarang, tapi mereka belum dilarang. Realitas subyektif yang dia serap adalah kepercayaan dari orang tua yang harus mereka percaya juga, dan larangan yang harus mereka patuhi nanti saat menikah, sehingga membuat mereka memang mempercayai lusan, tapi membuat mereka tidak takut untuk melanggar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173
laranganya pada saat itu karena mereka masih sangat jauh untuk menikah.
d.
M ereka Yang M erasa dan Mengaku Tidak Percaya M ereka adalah remaja usia 15 tahun keatas, berasal dari keluarga yang juga mempercayai lusan. Eksternalisasi yang mereka dapatkan dari keluarga menghasilkan realitas obyektif yang berupa kurangnya perhatian orang tua dalam hal pemilihan jodoh anak, karena memang belum pernah ada cerita lusan didalam keluarga mereka, dan anak juga tidak pernah mengalami pengalaman lusan, sehingga larangan dan ancaman tidak terlalu keras dan intensitas semakin berkurang sampai pada tidak pernah sama sekali. Hal tersebut membuat sedikit demi sedikit mereka melupakan ketakutan lusan, sampai pada akhirnya tidak adanya tekanan yang berarti dari orang tua membuat mereka tidak percaya lagi pada lusan. Sebenarnya lebih tepatnya adalah mereka mengaku dan merasa tidak percaya pada lusan, akan tetapi kepercayaan orang tua tetap masih kuat, ketakutan mereka pada lusan juga tidak berubah. Hal tersebut sama dengan yang dijelaskan oleh Lisanne Wilken and Ann-Christina L. Knudsen: Interestingly, some of our informants appeared to find it embarrassing to talk publically about milk, exempli-fied well in the study of milk drinking habits among teenagers in a Dutch school class. Here the interviewers experienced that when teenagers were talking in front of their classmates they would deny ever drinking milk, despite the fact that in the questionnaires filled in a little earlier, the same teenagers had indicated drinking milk regularly, and despite the fact that milk is consid-ered a stable in Dutch households (ES 2007: 100).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174
This correlates well with the shyness found in a study of Danish teenagers, pointing out that milk is in some places seen as a private drink (Explora 2006). (Lisanne Wilken and Ann-Christina L. Knudsen. 2008: 36) (Artinya: Menariknya, beberapa informan kami tampaknya menemukan bahwa memalukan untuk berbicara didepan publik tentang susu, contohnya dalam studi kebiasaan minum susu di kalangan remaja di sekolah Belanda. Berikut pewawancara mengalami bahwa ketika remaja sedang berbicara di depan teman-teman sekelas mereka, mereka akan menyangkal pernah minum susu, meskipun fakta bahwa dalam kuesioner diisi lebih awal dalam minum susu, para remaja yang sama telah menunjukan minum susu secara teratur, dan meskipun fakta bahwa susu dianggap yang stabil dalam rumah tangga Belanda (ES 2007: 100). Hal ini berkorelasi baik dengan rasa malu ditemukan dalam studi remaja Denmark, menunjukkan bahwa susu di beberapa tempat dipandang sebagai minuman pribadi (Explora 2006). Sama seperti kutipan diatas, remaja seperti malu mengakui kalau mereka harus percaya dan takut pada lusan. M eskipun mereka mengatakan tidak percaya dan tidak takut melanggarnya, akan tetapi pada kenyataanya mereka tetap tidak mungkin bisa melanggranya. Jadi meskipun mereka merasa tidak percaya pada lusan, mereka tetap tidak punya kesempatan untuk melanggarnya jika masih menuruti orang tua. Jadi rasa tidak percaya mereka terhadap mitos lusan tak lebih hanya sekedar realitas subyektif yang tidak merubah kedudukan mereka.
e. M ereka Yang Ingin Melawan M ereka adalah remaja dengan usia 15 tahun keatas yang berasal dari keluarga yang mempercayai dan juga meyakini lusan, namun eksternalisasi dalam proses sosialisasinya dengan kelompok sebaya yang memiliki kedekatan emosional se cara khusus dan sampai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175
pada
tahap
serius
telah
memberikan
realitas
obyektif
yang
menimbulkan pertanya an-pertanyaan kenapa harus ada lusan, apa benar kalau dilanggar akan celaka, apa lusan itu benar karena agama pun tidak melarang, dan bagaimana caranya agar kita bisa tetap bersama karena lusan itu tidak logis, dan a gama pun tidak melarang. Sampai pada pertanyaan terakhir yang bertujuan untuk bertanya, dan menyanggah kebenaran lusan sekaligus memberikan dorongan untuk merubah pemikiranya tentang lusan dalam diri mereka. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari orang la in, namun perasaan emosional yang didorong oleh keseriusan orang la in tersebut yang membuat pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi milik mereka. Dan ketika mereka menyerap realitas obyektif tersebut, hasilnya adalah pertentangan dalam dirinya yang membuatnya ingin melawan, bukan melawan lusan, tapi melawan keyakinan orang tuanya agar bisa merubah pemikiran orang tua dan memberikan restu pada hubungan mereka meskipun itu harus melanggar lusan. Pada saat timbul keinginan untuk merubah pemahamn orang tuanya, pada saat itu juga kepercayaan mereka pudar, yang tersisa bukanlah ketakutan untuk melanggar mitos lusan karena akibat yang akan didapatkanya, tapi ketakutan yang lebih diakibatkan pada ancaman orang tua.
f. M ereka Yang Sudah Tidak Berdaya (Pasrah) Awalnya mereka adalah remaja yang mempercayai lusan, namun kepercayaan mereka berubah menjadi keinginan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176
melawan ketika realitas subyektif mereka dipengaruhi oleh realitas obyektif yang mereka dapatkan dari orang yang memiliki kedekatan khusus secara emosional dan sampai pada tahap serius. Perubahan terajadi karena realitas obyektif yang mereka dapatkan memberikan rasa tidak aman yang membuat mereka merasa teralienasi dari kebebasan mereka sebagai manusia yang bebas untuk memilih jodohnya selama tidak dilarang oleh agam a. Realitas obyektif tersebut mempengaruhi realitas subyektif mereka dan menimbulkan usaha perlawanan untuk mengubah pemikiran orang tua tentang lusan agar hubungan mereka direstui. Akan tetapi bukanya restu yang didapat, tapi ancaman ya ng bersifat nglulu dan sikap pasrah yang mereka dapatkan, orang tua menjadi pasrah jika harus celaka karena dia. Internalisasi yang m enghasilkan perlawanan dan rasa tidak percaya melahirkan kembali proses eksternalisasi yang harus dia dapatkan dari keluarga. Eksternalisasi tersebut menghasilkan rasa takut yang berupa kekawatiran kalau orang tua mereka yang akan ce laka karena mereka melanggar lusan. Dia takut kalau orang tuanya benarbenar mengalami kematian dan itu karena dia m elanggar lusan. Dia tidak mau mengambil resiko untuk membuktikan kebenaranya, ketakutan
dan
kekawatiran
tersebut
membuatnya
kembali
mempercayai lusan bahkan lebih dari sebelumnya. Perasaan bersalah atas sesuatu yang belum dia lakukan membuatnya lebih takut, jauh lebih takut dari sebelumnya. Kebenaran mitos lusan menjadi seperti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177
perjudian, dan dia tidak akan melanggarnya jika yang harus dipertaruhkan adalah nyawa orang tuanya. Karena itu lah, kekawatiran pada orang tua membuat dia tidak akan pernah melanggar lusan lagi meskipun dia menginginkanya, dia lebih baik menghindari untuk dekat dan menaruh perasaan kepada seseorang jika itu menjadikan mereka lusan, atau bahkan dia lebih mem ilih sakit hati dan kecewa daripada harus mempertaruhkan nyawa orang tuanya. Konstruksi pengatahuan remaja terbangun melalui proses yang panjang. Proses tersebut tidak pernah berhenti pada satu hasil akhir, karena proses internalisasi akan selalu melahirkan proses eksternalisasi yang baru lagi. Frans M . Parera (Peter L. Berger. 1990: xxv), menje laskan bahwa, dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan itueksternalisasi, objektivasi dan internalisasi-serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang kita namakan kenyataan sosial itu merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa depan. Dan bukanya tidak mungkin kalau karakteristik remaja yang dihasilkan oleh konstruksi pengetahuan remaja itu dapat berubah kembali di masa depan. Yang jelas adalah, konstruksi pengetahuan remaja telah terbentuk melalui usaha mereka sendiri. Dan konstruksi pengetahuan tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196
Tabel Matrik 4.4 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 12 sampai 15 Tahun
1.
Mitos
Sebuah cerita atau aturan yang terbentuk oleh masyarakat kuno, cerita dan aturanya dapat menjadi pedoman yang mengatur kehidupan manusia, bahkan dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang meskipun kebenaranya tidak bisa disesuaika n dengan kebenaran empiris atau logika ilmiah, sehingga sekelompok orang tertentu yang memiliki kepercayaan terhadap kebenaran mitos tersebut tetap menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak.
2.
Lusan
Dari kata telu pisan, yaitu larangan menikah jika pengantin pria dan wanita adalah anak pertama dan anak ketiga.
3.
Konstruksi Pengetahuan
Pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh individu sendiri, yang diperoleh dari hasil pengamatan panca indera di lingkungan sosial individu tersebut.
4.
Eksternalisasi
Usaha untuk pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik.
5.
Objektivasi
Hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi.
6.
Internalisasi
Penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.
7.
Remaja Awal Usia 12 sampai Bangkitnya akal (ratio), nalar (reason), dan 15 Tahun kesadaran diri (self consciousness) Dalam masa ini terdapat energi dan kekuatan fisik yang luar biasa serta tumbuh keingintahuan dan keinginan untuk coba-coba.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197
8.
Realitas Obyektif
berkaitan dengan factor-faktor eksternal yang ada di luar objek, seperti norma, aturan, atau stimulan tertentu yang menggerakkan objek.
9.
Realitas subyektif
berkaitan dengan interpretasi dan pemaknaan tiap individu terhadap suatu objek. Hasil dari relasi antara objek dan individu menghasilkan penafsiran, yang berbeda-beda berdasarkan beraneka ragam latar belakang individu tersebut.
10.
Keluarga Yang mempercayai keluarga yang mempercaya i lusan adalah Lusan terutama orang tua yang memiliki kepercayaan yang kuat terhadap lusan, kepercayaan dan ketakutan untuk melarang anak agar tidak melanggar lusan.
11.
Dilarang tapi belum dipaksa (Realitas Obyektif)
saat usia 12 -15 tahun seorang anak hanya diberi larangan yang sifatnya mengingatkan untuk dipatuhi saat mereka menikah nanti. Sehingga pada saat usia seperti itu, laranga orang tua belum bersifat memaksa, hanya mengingatkan.
12.
Belum lusan
harus
menghindari kepercayaan dari orang tua yang harus mereka percaya juga, dan larangan yang harus mereka patuhi nanti saat menikah, (Realitas Subyektif) sehingga membuat mereka memang mempercayai lusan, tapi membuat mereka tidak takut untuk melanggar laranganya pada saat itu karena mereka masih sangat jauh untuk menikah.
13.
keluarga yang mempercayai lusan
tidak
terutama orang tua yang tidak percaya dan tidak takut kepada akibat lusan
14.
Tidak ada larangan dan ancaman (Realitas obyektif)
remaja sejak kecil tidak pernah mendapatkan larangan apalagi ancaman yang melarang mereka melanggar lusan, meskipun hanya sekedar cerita yang mengingatkan.
15.
Tidak takut dan tidak perca ya (Realitas subyektif)
tidak adanya larangan ataupun cerita memberikan rasa takut untuk mengingatkan membuat mereka cenderung tidak mengerti apa itu lusan, membuat mereka tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198
percaya dan tidak mem iliki ketakutan pada lusan. 16.
Masyarakat
M asyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama
17.
Pembenaran Mitos
Musibah yang dialami oleh suatu keluarga yang dibenarkan oleh masyarakat bahwa musibah tersebut adalah akibat dari keluarga tersebut telah melanggar pantangan m itos tertentu.
(Realitas obyektif)
18.
Semakan perca ya kebenaranya (Realitas subyektif)
pada meskipun bukan mitos lusan, pembenaran mitos tertentu yang dilakukan oleh masyarakat memberikan gambaran akibat pada remaja jika mereka melanggar lusan akibatnya akan sama, membuat mereka semakin percaya pada kebenaran lusan.
19.
Kelompok Sebaya
Lingkungan kelompok sebaya merupakan lingkungan pergaulan remaja yang penting setelah lingkungan keluarga. Lingkungan kelompok sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja yang bersangkutan. Lingkungan pergaulan remaja dalam lingkungan kelompok sebaya hubungannya dengan teman bermain, teman karang taruna dan mas yarakat.
20.
Tidak ada perhatian pada tidak adanya ketertarikan untuk membahas mitos (Realitas Obyektif) tentang mitos pernikahan lusan didalam lingkungan kelompok sebaya.
21.
Tidak Ingin Mencari Tahu Tentang Lusan
22.
Remaja yang percaya tapi konstruksi pengetahuan remaja yang belum takut terbentuk dari proses eksternalisasi dari keluaraga yang mempercayai lusan pada usia 12-15 tahun akan menghasilkan pola konstruksi pengetahuan remaja yang percaya tapi belum takut untuk melanggar
Remaja tidak ingin m engetahuai apakah teman-teman mereka mempercayai lusan atau bahkan ada atau tidak lusan di tempat asal mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199
lusan. 23.
Remaja yang tidak percaya
konstruksi pengetahuan remaja yang terbangun dari proses eksternalisasi dari keluarga yang tidak mempercayai lusan membentuk pola konstruksi pengetahuan remaja yang tidak percaya pada lusan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201
Tabel Matrik 4.5 Konstruksi Pengetahuan Remaja Usia 15 Tahun Keatas
1.
Mitos
Sebuah cerita atau aturan yang terbentuk oleh masyarakat kuno, cerita dan aturanya dapat menjadi pedoman yang mengatur kehidupan manusia, bahkan dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang meskipun kebenaranya tidak bisa disesuaika n dengan kebenaran empiris atau logika ilmiah, sehingga sekelompok orang tertentu yang memiliki kepercayaan terhadap kebenaran mitos tersebut tetap menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak.
2.
Lusan
Dari kata telu pisan, yaitu larangan menikah jika pengantin pria dan wanita adalah anak pertama dan anak ketiga.
3.
Konstruksi Pengetahuan
Pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh individu sendiri, yang diperoleh dari hasil pengamatan panca indera di lingkungan sosial individu tersebut.
4.
Eksternalisasi
Usaha untuk pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik.
5.
Objektivasi
Hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi.
6.
Internalisasi
Penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.
7.
Remaja usia 15 Tahun keatas
Dinamakan masa kesempurnaan remaja dan puncak perkembangan emosi, terjadi perubahan dari kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202
kecenderungan memperhatikan orang lain dan harga diri serta bangkitnya dorongan seks 8.
Realitas Obyektif
berkaitan dengan factor-faktor eksternal yang ada di luar objek, seperti norma, aturan, atau stimulan tertentu yang menggerakkan objek.
9.
Realitas subyektif
berkaitan dengan interpretasi dan pemaknaan tiap individu terhadap suatu objek. Hasil dari relasi antara objek dan individu menghasilkan penafsiran, yang berbeda-beda berdasarkan beraneka ragam latar belakang individu tersebut.
10.
Keluarga mempercayai lusan
keluarga yang mempercaya i lusan adalah terutama orang tua yang memiliki kepercayaan yang kuat terhadap lusan, kepercayaan dan ketakutan untuk melarang anak agar tidak melanggar lusan.
11.
Larangan dan ancam an
larangan akan diberikan oleh keluarga terutama orang tua yang mempercayai lusan kepada remaja, karena ketakutan orang tua pada lusan yang membuat mereka juga memberikan ancaman kepada remaja seperti tidak dianggap lagi sebagai anak dan diusir.
(Realitas Obyektif)
12.
Takut melanggar lusan
larangan melanggar lusan disertai ancaman pengusiran dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh orang tua membuat remaj takut untuk melanggar lusan.
(realitas subyektif)
13.
Tida ada larangan dan ancaman (Realitas Obyektif)
keluaraga terutama orang tua yang mempercayai lusan tidak memberikan larangan yang kera s kepada remaja, juga tidak memberikan ancaman karena mereka yakin anaknya tidak sedang atau tidak akan melanggar lusan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203
14.
Tidak takut melanggar lusan (Realitas Subyektif)
15.
keluarga yang mempercayai lusan
16.
Tidak boleh percaya
tidak
Tidak takut dan tidak percaya (Realitas Subyektif)
terutama orang tua yang tidak percaya dan tidak takut kepada akibat lusan pada keluarga terutama oleh orang tua yang tidak mempercayai lusan, mereka melarang anaknya untuk tidak percaya pada lusan dengan dasar agama.
(Realitas Obyektif)
17.
karena belum pernah memilki pengalam dengan lusan, dan tidak adanya larangan keras yang disertai ancaman dari orang tua membuat remaja tidak takut melanggar lusan.
remaja menjadi tidak takut dan tidak percaya pada lusan karena latar belakang orang tua mereka.
18.
Masyarakat
M asyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama
19.
Pembenaran Mitos
Musibah yang dialami oleh suatu keluarga yang dibenarkan oleh masyarakat bahwa musibah tersebut adalah akibat dari keluarga tersebut telah melanggar pantangan m itos tertentu.
(Realitas obyektif)
20.
Semakan perca ya kebenaranya (Realitas subyektif)
21.
Kelompok Sebaya
pada meskipun bukan mitos lusan, pembenaran mitos tertentu yang dilakukan oleh masyarakat memberikan gambaran akibat pada remaja jika mereka melanggar lusan akibatnya akan sama, membuat mereka semakin percaya pada kebenaran lusan. Lingkungan kelompok sebaya merupakan lingkungan pergaulan remaja yang penting setelah lingkungan keluarga. Lingkungan kelompok sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja yang bersangkutan. Lingkungan pergaulan remaja dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204
lingkungan kelompok sebaya hubungannya dengan teman bermain, teman karang taruna dan mas yarakat. 22.
Memiliki kedekatan khusus
dapat diartikan dalam hubungan saling menyukai, berpacaran, atau sekedar menyukai lawan jenis.
23.
Kesadaran tentang lusan
remaja menyadari jika hubungan yang mereka jalani dilarang karena lusan. bisa jadi setelah menjalani hubungan tersebut mereka teringat dan sadar jika dilarang, atau kesadaran tentang lusan yang membatasi mereka dalam hubungan tersebut.
(Realiras Obyektif)
24.
Tidak ingin melanjutkan hubungan (realitas subyektif)
25.
Memiliki kedekatan khusus dalam hubungan berpacaran yang dan serius. menjadikanya lusan, membuatnya menanggapi dan menjalani hubungan tersebut dengan lebih serius. Dalam konteks arahnya ada niat menuju pernikahan bahkan meskipun masih jauh.
26.
Pertentangan kebenaran lusan
tentang
hubungan yang serius dengan seseorang yang cenderung tidak terikat budaya lusan menimbulkan berbagai pertanyaan dan pertentangan yang diajukan oleh pasangan, dan membuat pertentanga n tersebut mempengaruhinya dalam pertentangan antara benar dan tidaknya lusan.
Ingin merubah pemikiran orang tua (Realitas subyektif)
pertentangan a ntara benar tidaknya lusan menimbulkan keraguan pada dirinya, semata-mata karena niat seriusnya dalam menja lani hubungan yang dikatakan lusan membuat dia berani mengambil sikap agar
(Realitas Obyektif)
27.
menyadari jika hubungan yang mereka jalani dilarang karena lusan membuat mereka tidak serius dalam menjalani hubungan dan cenderung ingin mengakhiri hubungan tersebut dengan prinsip, lebih baik sakit hati sekarang daripada nanti akan terasa semakin sakit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205
mendapatkan restu dari orang meskipun mereka lusan.
tuanya
28.
Yang mempercayai Meyakini
dan
konstruksi pengetahuan remaja yang terbentuk dari proses eksternalisasi di lingkungan keluarga yang mempercayai lusan dan memberikan larangan dan ancaman, dari lingkungan masyarakat, dan dari lingkungan kelompok sebaya yang memiliki kedekatan khusus membentuk pola konstruksi pengetahuan reamaja yang percaya dan meyakini lusan.
29.
Yang Merasa dan mengaku tidak percaya
konstruksi pengetahuan remaja yang terbentuk dari proses eksternalisasi di lingkungan keluarga yang mempercayai lusan namun orang tua tidak memberikan larangan dan ancaman membentuk pola konstruksi pengetahuan reamaja yang merasa dan mengaku tidak perca ya pada lusan.
30.
Yang tidak percaya
konstruksi pengetahuan remaja yang terbentuk dari proses eksternalisasi di lingkungan keluarga yang tidak mempercayai lusan membentuk pola konstruksi pengetahuan remaja yang tidak percaya pada lusan.
31.
Yang ingin melawan
konstruksi pengetahuan remaja yang terbentuk dari proses eksternalisasi di lingkungan kelompok sebaya yang memiliki kedekatan khusus dan serius membentuk pola konstruksi pengetahuan remaja yang ingin merubah pemikiran orang tuanya agar diberikan restu meskipun lusan.
32.
Orang Tua
(Proses eksternalisasi yang kembali terjadi pada remaja setelah internalisasi mereka menghasilkan realitas subyektif remaja yang ingin merubah pemikiran orang tuanya membuat realitas obyektif tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206
ketakutan lusan terancam) 33.
Dilulu sikap pasrah orang tua merupakan ancaman bernada halus dan pada kematian berupa sikap pasrah jika memang seorang anak ingin mendekatkan orang tuanya pada kematian. (Realitas Obyektif)
34.
Takut Orang tua meninggal (Realitas Subyektif)
merupakan perasaan takut ketika dilulu orang tua, membuat mereka takut kalau sampai perkataan orang tua menjadi kenyataan jika karena mereka melanggar lusan membuat orang tua harus kehilangan nyawanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Mitos lusan masih tetap dipercaya hingga sekarang, karena masyarakat dari sejak nenek moyang mereka dulu hingga sekarang masih tetap takut kepadanya. Ketakutan tersebut ada dan berkembang subur di dalam masyarakat lewat cerita-cerita mistis, dan ketakutanya mengendap di dalam keluarga yang mempercayainya sebagai aturan wajib bagi anakanak
mereka.
Bagi
remaja
yang
berasal
dari
keluarga
yang
mempercayainya, larangan lusan menjadi salah satu aturan adat yang akan mengikuti dimanapun mereka berada, kapan pun mereka pergi, dan berapa pun usia mereka. Lusan tetap ada bahkan pada diri remaja sekarang yang modern karena mereka mempercayainya, bukan karena ingin atau tidak ingin percaya, tapi karena mereka dipaksa berada dalam kondisi yang harus mempercayainya. Ketakutan akan akibatnya jika dilanggar adalah satu-satunya yang memaksa mereka pada kondisi tersebut. Ketakutan tersebut bukanla h sesuatu yang diungkapka n atau diekspresikan, melainkan sesuatu yang mereka hasilkan dari proses sosialisasi didalam keluarga. Mereka bisa mengatakan tidak melanggar lusan dengan berbagai alasan, seperti menjaga melestarikan adat turun temurun dan meneruskan tradisi, atau mereka tidak berani melanggarnya karena larangan orang tua. Tapi yang dimaksud meneruskan tradisi dan mele starikan adat lusan adalah agar
commit to user 208
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
208
tidak sampai terkena akibat buruk, mereka tidak berani melanggar larangan orang tua karena takut akan menjadi kenyataan. Pada akhirnya apa pun yang mendasari mitos lusan tidak mereka langgar, semuanya adalah kare na ketakutan mereka terhadap akibat dari mitos tersebut. Dan mitos lusan ada sejak jaman dulu dan sampai sekarang karena mas yarakat takut kepadanya.
2. Proses sosialisasi dan pewarisan nilai dalam mitos lusan dari orang tua terhadap remaja dilakukan dengan menanamkan ketakutan dan ancaman. Pada usia 12 sampai 15 tahun, Orang tua mulai memberikan larangan bagi seorang
remaja
agar
tidak
melanggar
lusan.
Orang
tua
akan
memperingatkan bagaimana akibatnya jika lusan dilanggar, tapi mereka belum memberikan ancaman apa pun. Pada usia 15 tahun keatas, proses sosialisasi yang terjadi lebih kepada upaya untuk melarang dengan disertai ancaman diusir dari rumah atau tidak diakui sebagai anak. Berbeda pada orang tua yang masih mempercayai lusan akan tetapi tidak dibayangi oleh ketakutan anaknya akan melanggar lusan, mereka ce nderung kurang memberikan lara ngan yang m emaksa, tidak sekeras pada orang tua yang benar-benar takut, dan tidak disertai dengan ancaman yang berlebihan. Dan pada orang tua yang memang tidak mempercayai lusan, di usia remaja 12-15
tahun mereka tidak pernah
menyinggung
ataupun
membicarakan tentang lusan kepada anak-anaknya. Sedangkan ketika anak mencapai usia 15 tahun keatas mereka melarang anak untuk percaya pada lusan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
209
3. Konstruksi pengetahuan seorang remaja terhadap mitos lusan akan terbentuk melalui rangkaian proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi didalam proses sosialisasi mereka. Konstruksi pengetahuan mereka dibangun oleh eksternalisasi yang mereka lakukan didalam lingkungan sosia l keluarga, masyarakat dan kelompok sebaya, yang menghasilkan realitas obyektif berupa berbagai larangan, ancaman, maupun keadaan disekitar mereka yang kemudian terinternalisasi menjadi realitas subyektif mereka tentang m itos lusan. Konstruksi pengetahuan mereka terhadap mitos tersebut menghasilkan karaktersitik remaja yang berbeda-beda dalam menanggapi mitos lusan, antara lain: a. Mereka Yang M empercayai dan M eyakini berasal dari keluarga yang mempercayai lusan dengan ketakutan yang begitu besar. b. Mereka Yang Tidak Percaya, yang sejak awal memang orang tuanya tidak mempercayai lusan. Konstruksi pengetahuan mereka yang terbangun dalam eksternalisasinya didalam keluarga menghasilkan realitas obyektif yang berupa doktrin untuk tidak percaya pada lusan karena orang tuanya juga tidak mempercayai lusan.. c. Mereka Yang Perca ya Tapi Belum Takut adalah remaja awal yang berusia 12 sampai dengan 15 tahun. Bukanya tidak dilarang, tapi mereka belum dilarang. Realitas subyektif yang dia serap adalah kepercayaan dari orang tua yang harus mereka perca ya juga, dan larangan yang harus mereka patuhi nanti saat menikah, sehingga membuat mereka memang mempercayai lusan, tapi membuat mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
210
tidak takut untuk melanggar laranganya pada saat itu karena mereka masih sangat jauh untuk menikah. d. Mereka Yang Merasa dan M engaku Tidak Percaya Konstruksi pengetahuanya mereka terbangun dari eksternalisasi yang mereka dapatkan dari keluarga yang menghasilkan realitas obyektif yang berupa kurangnya perhatian orang tua dalam hal pemilihan jodoh anak, karena memang belum pernah ada cerita lusan didalam keluarga mereka, dan anak juga tidak pernah mengalam i pengalaman lusan, sehingga larangan dan ancaman tidak terlalu keras dan intensitas semakin berkurang sampai pada tidak pernah sama sekali. e. Mereka Yang Ingin Melawan Konstruksi pengetahuan mereka yang terbangun dari eksternalisasi dalam proses sosialisasinya dengan kelompok sebaya yang memiliki kedekatan emosional secara khusus dan sampai pada tahap serius telah memberikan realitas obyektif yang menimbulkan pertentangan dalam dirinya yang membuatnya ingin melawan, bukan melawan lusan, tapi melawan keyakinan orang tuanya agar bisa merubah pemikiran orang tua dan memberikan restu pada hubungan mereka meskipun itu harus melanggar lusan. f. Mereka Yang Sudah Tidak Berdaya (Pasrah) Karena kekawatiran pada orang tua membuat dia tidak a kan pernah mela nggar lusan lagi meskipun dia menginginkanya, dia lebih baik menghindari untuk dekat dan menaruh perasaan kepada seseorang jika itu menjadikan mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
211
lusan, atau bahkan dia lebih memilih sakit hati dan kecewa daripada harus mempertaruhkan nyawa orang tuanya.
B. Implikasi 1. Implikasi Teoritis Konstruksi pengetahuan remaja tentang lusan terbentuk dalam proses sosialisasi yang panjang. Sosialisasi yang mereka dapatkan tidak hanya dari keluarga, akan tetapi berasal juga dari masyarakat, teman kelompok sebaya, dari berbagai media, pendidikan dan lain sebagainya. Teori konstruksi realitas Peter L. Berger dalam penelitian ini sudah mampu untuk menjelaskan bagaimana pola konstruski pengetahuan remaja. Dengan me nggunakan aspek-aspek konstruksi realitas yang terjadi dalam
proses
dialektika
melalui
eksternalisasi,
objektivasi,
dan
Internalisasi, telah mampu untuk memetakan bagaimana konstruksi pengetahuan remaja yang terbentuk dari ketiga proses simultan tersebut. Melalui eksternalisasi, dapat dilihat bahwa remaja mendapatkan sosialisasi tentang lusan dari berbagai sumber. Eksternalisasi tersebut mereka dapatkan dari proses sosialisasinya didalam keluarga, masyarakat, dan kelompok sebaya. Melalui objektivasi, dapat diketahui darimana saja konstruksi pengetahuan mereka terbangun. Dengan adanya objektivasi sangat memudahkan untuk mengetahui apa saja yang dihasilkan dari proses eksternalisasi remaja. Dapat diketahui bahwa konstruksi pengetahuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
212
remaja terbangun dari proses eksternalisasi yang mereka dapatkan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan kelompok sebaya. Sedangkan tingkat pendidikan maupun terpaan media tidak banyak memberikan sumbangan bagi konstruksi pengetahuan mereka. Melalui internalisasi, dapat dipahami bagaimana pola konstruksi pengetahuan remaja. Pola konstruksi pengetahuan remaja terbentuk oleh konstruksi
realitas
yang
didapatkan
dari objektivasi.
Objektivasi
menghasilkan realitas obyektif yang berupa larangan, ancaman, opsi tidak percaya, kesadaran, pertentangan, atau bahkan ketidak pastian. Berbagai realitas objektif yang berbeda-beda dihadapi oleh setiap remaja kemudian ditangkap sebagai realitas subyektif yang menjadi pola konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan. Dalam penelitian ini, penggunaan teori Berger dengan konstruksi realitas memang cukup bisa dalam menjelaskan bagaimana konstruksi pengetahuan remaja tentang mitos lusan. Akan tetapi jika dihadapkan pada fenomena mitos lusan yang merupakan pengetahuan yang dikonstruksi, teori konstruksi realitas Berger tidak akan cukup memadai untuk menjelaskan fenomena tersebut, karena Berger dalam konstruksi relitas sangat menekankan aspek realitas, atau rasionalitas dalam pengetahuan yang dikonstruksi oleh individu. Sedangkan fenomena mitos, dimanapun dan apa pun itu pasti selalu berhubungan dengan pemikiran maupun tindakan yang irasional. Sehingga untuk penelitian selanjutnya yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
213
sejenis, akan lebih baik jika mempertimbangkan penggunaan paradigm a AGIL. Paradigma AGIL adalah
salah satu
teori Sosiologi yang
dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika, Talcott Parsons. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yang stabil. Paradigm a AGIL terdiri dari Adaptation yaitu kemampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka, dalam kaitanya dengan mitos adalah bagaimana seorang masyarakat menempatkan diri di dalam lingkungan yang percaya pada mitos. Goal-Attainment` adalah kecakapan untuk mengatur dan menyusun tujuan-tujuan masa depan dan membuat keputusan yang sesuai dengan itu, terkait dengan bagaimana dia bersikap terhadap lingkungan dimana dia berada dengan latar belakang mitos. Integration atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial setelah sebuah general agreement mengenai nilai-nilai atau norma pada masyarakat ditetapkan, Latency (Latent-Pattern-Maintenance), adalah memelihara sebuah pola, dalam hal ini nilai-nilai kemasyarakatan tertentu seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya.
2. Implikasi Metodologis Secara keseluruhan, metode penelitian studi kasus sangat tepat digunakan dalam penelitian ini, dimana peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang diselidiki, dan fokus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
214
penelitianya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) didalam konteks kehidupan nyata. Dengan wawancara tidak tersruktur, peneliti tidak terpancang pada teks, sehingga wawancara menjadi lebih kepada kegiatan ngobrol santai, sehingga banyak sekali data-data diluar perkiraan yang bisa peneliti dapatkan, dan data tersebut tentu saja bermanfaat dalam penelitian ini. M eskipun kesulitan dalam mendapatkan data dari dokumendokumen baik buku-buku ataupun tulisan ilmiah dan hasil penelitian yang mengangkat lusan. Akan tetapi data-data terkait bisa peneliti dapatkan dari buku dan penelitian skripsi, meskipun tetap tidak mendapatkan data tentang lusan, akan tetapi dari dokumentasi peneliti mendapatkan data yang dapat digunakan sebagai pembanding dan pendukung keberadaan mitos lusan. Sedangkan
observasi
berpartisipasi
yang
sangat
banyak
memberikan sumbangan data. Karena disini peneliti terlibat langsung sebagai bagian dari remaja ya ng harus terikat oleh lusan. Pengalaman sebagai remaja yang dilarang lusan tersebut memberikan banyak sumbangan data berguan yang sangat mendukung hasil penelitian ini. Selebihnya, berbagai pendekatan dalam metode penelitian yang digunakan sangat membantu dalam penelitian ini. Di dalam penelitian ini, studi kasus sudah cukup mewakili apa yang ingin didapatkan dalam pene litian, terkait dengan fenomena yang unik dan khas dari suatu kasus. Akan tetapi ada baiknya jika dalam penelitian lanjutan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
215
terkait mitos lusan atau sejenis untuk menggunakan metode penelitian etnometodologi. Dengan studi kasus, fenomena yang diteliti hanyalah berkisar pada fenomena kontemporer yang nyata masa kini, sehingga untuk menggali lebih dalam tentang budaya adat maupun tradisi, dan keunikan suatu fenomena historis akan lebih tepat jika digunakan etnometodologi yang bertolak dari tradisi fenomenologis, yaitu social phenomenology yang dikembangkan Schultz, etnometodologi m engembangkan diri melalui jalur analitik dari hukum2 dasar, kemudian mengalami pengayaan di berbagai konstruksi, yang meliputi analisis percakapan dan kaidah interpretative. Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis, ketimbang olem pemanfaatan logika formal. Etnometodologi ditafsirkan sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbagan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. M asyarakat seperti ini bisa mencari jalan dan befrtindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan dirinya sendiri. (Agus Salim, 2006: 198)
3. Implikasi Empiris Secara garis besar, apa yang diharapkan dari penelitian ini sudah dapat tercapai. Mengapa mitos lusan masih dipercayai, dan bagaimana konstruksi pengetahuan remaja Plosokerep tentang mitos lusan sudah dapat peneliti jelaskan dengan maksimal didalam penelitian ini. Aka n tetapi kenyataan di lapangan belum berhasil menemukan bagaimana sejarah mitos lusan ini dulu terbentuk. Karena memang budaya tulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
216
masyarakat dulu yang rendah, sehingga tidak ada catatan sejarah tertulis tentang mitos ini, semua hanya berkembang secara lisan dari mulut ke mulut. Data yang berhasil didapatkan hanya menjelaskan bahwa lusan merupakan warisan masa lalu, berasal dari nenek moyang jaman dulu yang mereka sendiri kesulitan jika harus menelusurinya. Kelemahan bukanlah pada metode ataupun teori yang digunakan, akan tetapi memang pada keterbatasan data yang ada dilapanga n. Kenyataan di lapangan memanglah seperti itu, tidak ada sejarah yang mereka dapatkan kecuali penjelasan dan penegasa n lusan sebagai warisan ne nek moyang mereka sejak jaman dahulu yang harus dijaga dan dilestarikan. Kenyataan dilapangan juga menunjukan bahwa remaja yang modern tidak selalu membuktikan kalau mereka berpikir dan bertindak secara rasional berdasarkan fakta dan bukti empiris. Dan juga tingkat pendidikan yang tidak dapat mempengaruhi bagaimana konstruksi pengetahuan mereka tentang mitos lusan. Studi kasus pada remaja Plosokerep menunjukan bahwa usia, keluarga, masyarakat, dan kelompok sebaya adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana konstruksi pengetahuan remaja yang menjadikan mereka percaya atau takut pada mitos yang tida k berdasarkan pada fakta dan bukti empiris.
C. Saran 1. Penelitian ini mem iliki banyak kekurangan dalam hal data yang diperoleh. Terutama berkaitan dengan data yang bisa mengungkap bagaimana sejarah mitos lusan. Hal itu dikarenakan mitos yang sudah diwariskan turun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
217
temurun ini bukan hanya m ilik warga mas yarakat Desa Plosokerep. Dibeberapa daerah lainya di Jawa Tengah bahkan Jawa Timur ada yang juga mengenal mitos lusan. Sehingga dimungkinkan lusan bukan berasal dari Plosokerep, yang mereka tahu adalah lusan sudah menjadi warisan nenek moyang sejak jaman dahulu, sehingga sangat sulit menemukan akar sejarahnya. Karena itu ada baiknya bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis agar lebih bisa fokus dalam mencari data yang berhubungan dengan sejarah. Terutama dalam meneliti mitos yang menjadi kepercayaan banyak daerah. Hal itu dapat dilakukan dengan mencurahkan lebih banyak waktu dan tenaga serta materi yang memungkinkan agar dapat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari masing-masing daerah tersebut guna menghasilkan data yang maksimal untuk mengungkapkan sejarah suatu mitos.
2. Bagi remaja Desa Plosokerep Khususnya dalam menanggapi mitos lusan yang mereka hadapi. Ada baiknya jika menanggapi mitos ini dengan logika yang berada diluar akal yang memperdebatkan antara rasional dan tidak rasional. Dalam arti jangan hanya mempertanyakan benar atau tidak, jangan hanya berpikir antara masuk akal atau tidak. Cobalah menggunakan logika berpikir yang menempatkan diri sebagai seorang anak. Seorang anak adalah harapan terbesar orang tua, meskipun kita tidak percaya pada mitos
lusan,
janganlah
mengambil
tindakan
tergesa-gesa
untuk
melanggarnya dan tidak menghiraukan larangan maupun ancaman dari orang tua. Saran ini bukanlah menganjurkan remaja untuk percaya pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
218
lusan, atau bahkan untuk tidak percaya. Akan tetapi lebih kepada saran untuk lebih berhati-hati dalam bertindak agar tidak meyakiti dan mengecewakan orang tua. Cobalah mengerti bahwa bukanlah akibat dari mitos lusan yang harus kita pertanyakan benar tidaknya, akan tetapi mendapatkan restu dari orang tua adalah suatu hal yang harus benar-benar menjadi prioritas dalam logika berpikir kita. Hal tersebut juga menjadi pembelajaran yang dapat penulis petik secara khusus dalam penelitian ini.
3. Bagi
pembaca pada
umumnya,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan wawasan yang bermanfaat dan menarik mengenai mitos lusan. Akan tetapi perlu diingat, janganlah menghakimi masyarakat yang mempercayai mitos sebagai masyarakat kuno, tertinggal, primitif, dan sebagainya. Janganlah juga menilai masyarakat desa yang masih kental dengan adat dan tradisi mistis maupun mitos sebagai masyarakat yang tidak rasional. Lihatlah masyarakat itu sebagai bagia n dari kebudayaan jawa yang menjadi ciri khas orang jawa yang berbudaya dan menghargai serta mencintai leluhur ne nek moyang mereka. Percaya atau tidak, jangan melihat lusan sebagai mitos yang tidak masuk akal, bukan berarti tidak mau melihat dari sisi kebenaran agama. Akan tetapi lihatlah lusan sebagai warisan leluhur masyarakat yang mempercayainya, sebagai wujud kebuda yaan jawa yang masih menjadi budaya dan tradisi masyarakat Plosokerep,
dan
masyarakat
di
daerah
manapun
yang
masih
memepercayainya. Hal tersebut juga menjadi pembelajaran yang dapat penulis petik secara khusus dalam penelitian ini.
commit to user