KONSTRUKSI IDENTITAS GAMER MMO WEB GAME WARTUNE Studi Etnografi Virtual Tentang Konstruksi Identitas Diri dan Identitas Sosial Gamer Massively Multiplayer Online Web Game Wartune di R2Games Server EST Wawan Wartono (210120100006) Magister Ilmu Komunikasi FIKOM – UNPAD
Abstrak MMOG (massively multiplayer online game) tengah menjadi tren dalam kurun waktu 2 dekade terakhir ini. Beragam jenis MMOG dengan genre dan basis yang berbeda muncul silih berganti. Salah satu jenis MMOG yang tengah marak belakangan ini adalah game-game berbasis web seperti Wartune. Sebagai web game yang tengah populer, Wartune dikelola oleh banyak publisher di berbagai negara dengan berbagai versi bahasa dan nama tersendiri.. Fenomena yang akan diteliti dapat peneliti diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimana konstruksi identitas pribadi gamer MMO Web Game Wartune, 2. Bagaimana konstruksi identitas sosial gamer MMO Web Game Wartune, 3. Bagaimana model identitas gamer MMO Web Game Wartune Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan etnografi virtual. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 3 kategori identitas diri game, yaitu realis, idealis, dan fantasis. Sementara untuk identitas sosial terdiri dari kategori rasionalis, nasionalis, dan oportunis. Kata Kunci : etnografi virtual, kajian-kajian game, dunia virtual
abstract MMOG (massively multiplayer online game) becoming a trend within the past 2 decades. Various types MMOG genre and different bases appear one after another. One type of MMOG is booming these days is web-based games like Wartune. As a web game that was popular, Wartune managed by many publishers in various countries with different versions of the game language and its own name. Phenomenon to be studied can researchers identified as follows: 1. How is the construction of personal identity of MMO Web Wartune Games gamer, 2. How the construction of social identity of MMO Web Wartune Games gamer, 3. How the identity model of MMO Web Wartune Games gamer. To answer this question, researchers use virtual ethnographic approach. The results showed there are 3 categories of identity game, that is realist, an idealist, and fantasis. As for social identity consists of categories rationalists, nationalists and opportunists. Keyword : virtual ethnography, game studies, virtual world
A. Pendahuluan Dunia Virtual telah menjadi sarana untuk bereksperimen dan mengkonstruksi identitas-identitas. Setiap orang yang masuk dan terlibat dalam dunia virtual akan membuat identitasnya sebagai cara untuk merepresentasikan dirinya didalam dunia tersebut. Identitas yang dikonstruksi, baik identitas diri maupun identitas sosial dapat merupakan identitas yang sesuai dengan dirinya di dunia aktual atau sesuai dengan 1
ekspektasinya. Konstruksi identitas telah menjadi kajian yang cukup lama dan dibahas dalam penelitian online dunia virtual, termasuk didalamnya penelitian yang terkait dengan MMOG (Massively Multiplayer Online Game). Para peneliti telah mengamati beragam topik dalam konstruksi identitas, termasuk aspek-aspek representasi diri yang berbeda dari sebuah identitas player/gamer (Blinka, 2008), eksplorasi identitas (Turkle, 1997), penipuan (Donath, 1999), peranan gender dan keluwesan gender (Yee, Ducheneaut,Yao dan Nelson, 2011), etnisitas dan ras dalam konstruksi avatar (Williams, Martins, Consalvo dan Ivory, 2009), bermain peranan/role-playing (Nardi, 2010), formasi identitas komunitas (Ducheneaut, Yee, Nickell dan Moore, 2006), dan presentasi diri ideal melalui karakter dalam game (Bessire, Seay dan Kiesler, 2007). Presentasi diri adalah sebuah cara yang dilakukan dalam membentuk identitas. Dalam lingkungan online, presentasi diri dilakukan dengan cara yang berbeda dibanding dengan kehidupan keseharian kita. Presentasi diri dalam lingkungan dilakukan melalui avatar yang kita buat. Avatar adalah representasi digital dari orangorang yang terlibat atau berbagi ruang digital (Konijn, Utz, Tanis dan Barnes, 2008: 7). Melalui avatar kita menampilkan diri, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan orang lain dalam ruang digital dan dunia virtual. Interaksi melalui disebut interaksi parasosial, dan komunikasinya disebut komunikasi parasosial (Konijn, Utz, Tanis dan Barnes, 2008). Parasosial dapat diartikan sebagai satu sisi atau merasakan tanpa menyentuh. Ketika kita sedang chatting, menelpon, BBM-an, atau bersosialisasi dalam dunia virtual seperti game, kita merasa sangat dekat dan seakan-akan bertatap muka dengan lawan bicara kita, artinya kita memiliki kemampuan parasosial. Walaupun, terkadang orang yang memiliki kemampuan parasosial yang terlalu tinggi menjadi asosial, atau dalam bahasa kontemporer (gaul) disebut “autis”. Avatar sebagai presentasi dan identitas diri dalam ruang digital maupun virtual membuat setiap berkreasi menciptakan avatar yang unik. Identitas diri melalui avatar ini memang sudah disediakan oleh pihak developer game (perusahaan yang membuat game) dan dibentuk oleh gamer itu sendiri. Bahkan ada game dimana kita
2
dapat mengkonstruksi avatar atau karakter yang kita mainkan secara bebas bukan hanya terbatas pada jenis kelamin saja, tetapi juga pada raut muka, rambut, warna kulit, bentuk tubuh dan sebagainya. Fitur kreasi avatar lengkap yang ditawarkan oleh pihak developer game, akhirnya membuat para pemain dapat berkreasi membuat identitas diri online mereka.
B. Kajian Literatur Studi-Studi Game (Game Studies) Games studies atau kajian-kajian game, terdiri dari 2 kata kunci, yaitu game dan study. Adanya kata study berarti menekankan bahwa game harus dipahami dan dilihat secara ilmiah, bukan hanya sebagai sebuah permainan belaka. Menurut Mayra (2008: 4), game studies memang termasuk bidang kajian yang masih baru dan terlalu muda.
Gambar 1. Fokus penelitian dalam kajian-kajian game dalam interaksi antara game dan pemain, berkaitan dengan berbagai kerangka kontekstualnya
Sumber: Mayra, Frans (2008: 2) Cyber Space dan Virtual World Cyber space adalah istilah yang menghiasi aktivitas orang-orang di Internet. Istilah yang digagas oleh William Gibson dalam novelnya 31 tahun yang lalu sekarang menjadi sangat populer. Melalui novelnya Neuromancer yang diterbitkan pada 1984, Gibson melontarkan ide yang diilhami dari jaringan superkomputer yang
3
disebut Cyber dari Control Data Corporation. Dalam novelnya, ia menganalogikan konsep dunia non-fisik dari arus informasi. Definisi Cyber Space menurut William Gibson dalam novel Neuromancer adalah sebagai berikut : A conceptual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts. … A graphical representation of data abstracted from the bank of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights receding. (Gibson, 1984: 51).
Namun cyber space tidak sama dengan virtual world, walau banyak pihak yang sering mengaitkan Internet, komputer, dan virtual world dengan cyber space. Segala yang terkait komunikasi bermedia, Internet dan realitas virtual dapat disebut cyber space, tapi belum tentu dapat disebut sebagai virtual world. Virtual world menurut Jakobsson adalah sebagai berikut : A virtual world is a synchronous, multi-user system that offers a persistent spatial environment for iconically represented participants. (Jakobsson, 2006:27).
Jakobsson mengidentifikasikan bahwa ada beberapa syarat sebuah cyber space dapat disebut sebagai virtual worlds yaitu mendukung interaksi multi-user secara synchronous, menawarkan lingkungan ruang yang tetap dengan beberapa jenis representasi ikonik dari partisipan (Jakobsson, 2006: 25 – 27). Sehingga hanya cyber space dengan kriteria tersebut saja yang dapat dikategorikan sebagai sebuah virtual world.
Komunitas Virtual/Online Preece (2000) mengemukakan bahwa komunitas virtual terdiri dari para anggota yang berbagi suatu kepentingan, yang berinteraksi berulang kali, menghasilkan sumber daya bersama, mengembangkan kebijakan yang mengatur, menunjukkan hubungan timbal balik, dan berbagi norma-norma budaya (Daniel,
4
2011: 3). Sementara Howard Rheingold (1993) mengemukakan pendapat yang berbeda. Rheingold mendefinisikan komunitas virtual sebagai berikut : “virtual communities are social aggregations that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling, to form webs of personal relationships in cyberspace” (Rheingold, 1993: 5). Gambar 1.4. Kemajuan Perkembangan Partisipasi dalam Komunitas Online
Sumber : Kozinets, 2010: 28 Partipasi komunitas online dapat membantu kita memberikan pemahaman tentang beberapa bentuk komunitas-komunitas online. Berdasarkan interaksinya, Kozinets (2010) membagi komunitas online ke dalam 4 jenis, yaitu Cruising, Bonding, Geeking, dan Building.
Metode Etnografi Virtual Etnografi virtual adalah sebuah etnografi, di dalam dan melalui Internet yang dapat dipahami sebagai suatu pendekatan adaptif dan sepenuhnya parsial yang mengacu pada koneksi daripada lokasi dalam mendefinisikan objeknya (Hine, 2000: 10). Lebih lanjut, Hine menggarisbawahi bahwa objek dari etnografi virtual adalah sebuah topik dan bukan sebuah lokasi (Hine, 2000: 67). Asumsi Hine bahwa objek dari etnografi virtual hanya topik sangat kontras sekali dengan pendapat Boelsstorff. Boellstorff (2008) mengutip gagasan psikolog DW Winnicott dari "obyek transisi" obyek yang diidentifikasi seperti boneka beruang atau selimut anak yang "menjadi milik mereka pada saat yang sama sekaligus milik dunia luar" (Rudnytsky 1993: xii), berfungsi untuk menciptakan sebuah "ruang potensial antara individu dan lingkungan
5
"yaitu" tempat di mana pengalaman budaya berada "(Winnicott 1993: 8). Di Second Life, itu sendiri merupakan ruang potensial, semua objek adalah obyek transisi. Mereka berfungsi layaknya pengalaman tempat nyata ; seperti objek di dunia nyata, mereka bisa berpartisipasi dalam bentuk aksi sosial dan mengambil dunia mereka "sebagai hadiah atau diberikan" (B. Smith 1996: 195; lihat juga Latour 2005: 70-72) (Boellstorff, 2008: 100). Dalam istilah sederhana, etnografi virtual adalah proses melakukan dan membangun etnografi menggunakan lingkungan virtual online sebagai lokasi penelitian. Namun, penjelasan ini terlalu sederhana, etnografi virtual juga melibatkan penggunaan seperangkat alat yang berbeda untuk pengumpulan data dari etnografi tradisional. Sementara etnografi antropologi yang terjadi "dalam kehidupan nyata" dilakukan untuk menggali pengalaman detail orang-orang di lingkungan budaya tertentu, etnografi virtual lebih terlihat untuk melakukan pekerjaan yang sama, tetapi dalam lingkungan yang cocok untuk berbagai cara pengumpulan data. Secara tradisional, dalam etnografi peneliti akan membenamkan diri dalam masyarakat bahwa mereka ingin belajar, dan menjadi akrab dengan orang-orang dalam komunitas tersebut, dan praktek-praktek yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara dan survei yang sangat penting untuk etnografer dapat digantikan oleh koleksi/arsip yang sudah ada yang berasal dari informasi yang melimpah di lingkungan online seperti situs jejaring sosial dan forum internet. Informasi dapat ditemukan dan diarsipkan dari internet tanpa harus dicatat dan ditulis oleh etnografer tradisional. Hal ini dapat dilakukan tanpa mengorbankan kebutuhan bagi etnografer untuk berpartisipasi dalam lingkungan dan merefleksikan wawasan pengalaman dari masyarakat bahwa pendekatan etnografis tradisional memungkinkan (Evans, 2010: 2). Kozinet memberikan pandangan yang cukup luas untuk melengkapi pendapat Hine dan Boellstorff tentang definisi etnografi virtual. Kozinets mendefinisikan etnografi virtual atau netnografi sebagai suatu bentuk penelitian etnografi yang telah disesuaikan dimana mencakup pengaruh internet terhadap dunia sosial kontemporer
6
(Kozinets, 2010: 1). Impact Internet terhadap dunia sosial merupakan fokus kajian dalam etnografi virtual atau netnografi Kozinets. Netnografi harus dapat mengeksplorasi lebih mendalam tentang seberapa besar, kuat, dan luaskah pengaruh internet dalam mempengaruhi dunia sosial kontemporer kita. Netnografi mengungkapkan dan menganalisis strategi presentasi diri yang digunakan orang untuk membangun sebuah 'diri digital' (Schau dan Gully, 2003). Sebuah netnografi menunjukkan bagaimana videogamers menanggapi penempatan produk dan iklan merek (Nelson et al. 2004). Netnografi lain menggambarkan strategi coping yang digunakan oleh, selain untuk mengelola ambivalensi lintas budaya (Nelson dan Otnes 2005). Netnografi juga telah digunakan untuk mempelajari etika dan persepsi global dari peer-to-peer file-sharing yang ilegal (Cohn dan Vaccaro 2006), untuk menyelidiki aktivisme konsumen (Kozinets dan Handelman 1998), dan untuk menunjukkan bagaimana penciptaan pengetahuan dan pembelajaran terjadi melalui sebuah wacana reflektif pengalam virtual di antara anggota komunitas online yang inovatif (Hemetsberger dan Reinhardt 2006) (Kozinet, 2010: 1-2). Berbeda dengan pemahaman Boellstorff (2008) tentang aplikasi etnografi virtual yang berasumsi bahwa dunia virtual harus dipahami “in their own term”. Boellstorff dalam penelitiannya di Second Life melakukan pengamatan berperan serta, wawancara, dan bahkan focus group di dalam game Second Life itu sendiri untuk memenuhi apa yang dia sebut “in their own term”. Bagi Boellstorf (2008) pengumpulan data penelitian diluar lokasi (dunia virtual) penelitian sama saja dengan melanggar prinsip “in their own term”, karena bagaimanapun juga segala sesuatu memiliki makna dalam konteksnya sendiri. Boelllstorff berpandangan masalah yang diangkat tentang etnografi di dunia virtual umumnya sama seperti penelitian etnografi lainnya. Boellstorff berusaha membandingkan antara penelitian etnografi tradisionalnya tentang kaum gay di Indonesia dengan penelitian etnografi virtual di Second Life. Dia menggambarkan sejelas mungkin bahwa setiap tantangan meneliti budaya online adalah unik untuk konteks online. Misalnya, dalam penelitian tentang kaum gay di Indonesia, baik
7
Boellstorff maupun orang-orang Indonesia cukup tahu bahwa istilah "gay" berasal dari luar Indonesia, tetapi ketika melakukan etnografi di Indonesia dia tidak menghabiskan waktu di San Francisco (tempat asal istilah gay); Dia mempelajari istilah "gay" yang muncul di Indonesia sendiri berdasarkan pandangan setempat. Berbicara Second Life sebagai budaya tidak perlu menyiratkan bahwa itu sesuatu yang terpisah; semua penelitian etnografi memiliki lingkup yang terbatas, dan berbicara dari penduduk "Indonesia" tidak berarti gagal untuk mengambil bentuk interkoneksi laporan (Boellstorff, 2008: 64). Sama halnya ketika kita bicara tentang deskripsi kecantikan. Bagi sebagian besar orang Indonesia mungkin cantik diidentikan dengan kulit yang putih, namun bagi sebagian orang “Barat” justru kulit yang agak gelap dianggap cantik atau tepatnya eksotis. Dalam
penelitiannya,
Boellstorff
membuat
istilah
tersendiri
untuk
menggambarkan perbedaan dunia virtual dan dunia dimana kita hidup yang sering disebut sebagai real world dengan istilah actual world. Virtual berasal dari bahasa Latin virtus yang mengacu pada kelaki-lakian dan secara etimologis terkait dengan pengertian tentang keutamaan, kepiawaian, dan kejantanan. Gagasan virtual diambil dari oposisi klasik mind versus body, objek versus esensi, dan struktur versus lembaga. Dalam bahasa Inggris kontemporer sehari-hari, arti terkenal dari "virtual" adalah "hampir", seperti ketika seseorang mengatakan “she is virtually my sister” untuk merujuk kepada seorang teman dekat (Levy 2001: 56). Makna paling penting dari virtual berkaitan dengan dunia virtual; virtual memiliki konotasi mendekati yang aktual tanpa datang disana. Kesenjangan antara virtual dan aktual sangat penting; tidak ada dunia virtual tanpa dunia aktual, dan sebaliknya. Ini pada akhirnya merupakan rekonfigurasi binarisme antara nature dan culture, dan pembatasnya adalah perbedaan antara "online" dan "offline (Boellstorff, 2008: 18-19). Binerisme virtual / aktual merupakan aspek yang menonjol berdasarkan pengalaman budaya online, bukan hanya sebuah terminologis yang teliti (Zhai 1998). Ya / tidak, atas / bawah, on / off - semua bahasa manusia sangat dibentuk oleh binerisme, bahkan pada tingkat fonologi. Binerisme yang ditafsirkan dan
8
ditransformasikan, tetapi jarang sekali binerisme menghilang. Misalnya, beberapa ilmuwan telah berusaha untuk mempersoalkan binarisme nature / culture ketika menekankan kehadirannya dalam kehidupan manusia (misalnya, Haraway 1997; Latour 2005; Ortner 1974, 1996). Tidak tepat untuk mengasosiasikan virtual dengan culture dan aktual dengan nature. Manusia membuat budaya dalam konteks virtual dan aktual; karena manusia adalah bagian dari nature, dan virtual adalah produk dari intensionalitas manusia, virtual sealamiah seperti sesuatu yang manusia lakukan di dunia aktual. (Boellstorff, 2008: 19). Walaupun virtual sealamiah seperti aktual, akan tetapi sosialitas dunia aktual tidak dapat menjelaskan sosialitas dunia virtual. Sosialitas dunia virtual dibangun pada istilahnya sendiri; merujuk pada dunia aktual tapi bukan secara sederhana sebagai turunannya. Peristiwa-peristiwa dan identitas-identitas di dunia virtual mungkin idenya berdasarkan rujukan dari dunia aktual (dari gender, ras, dan sebagainya) dan dapat menunjuk pada isu-isu dunia aktual (dari ekonomi sampai kampanye politik), akan tetapi rujukan dan index ini mengambil tempat di dunia virtual. Cara orang Korea berpartisipasi dalam Second Life mungkin berbeda dari cara orang
Swedia lakukan. Tetapi jika orang Korea dan Swedia benar-benar
berpartisipasi dalam Second Life secara berbeda, perbedaan itu akan muncul dalam Second Life sendiri; itu akan memungkinkan penyelidikan etnografi di dalamnya. Perbedaan ini cukup penting untuk membedakan dengan etnografi dan metodologi yang mencari perspektif luar pada budaya. Sebuah perkumpulan politik untuk John Edwards di Second Life pada tahun 2007 mungkin telah merujuk pada kampanye di dunia aktual, tetapi bahkan jika video dari sebuah pertemuan dunia aktual itu sampai ke perkumpulan, perkumpulan itu sendiri berlangsung di dunia virtual (Boellstorff, 2008: 63). Memahami dunia virtual dalam istilahnya sendiri tidak berarti mengabaikan beribu cara bahwa ide-ide dari dunia aktual mengusik atasnya; telitilah persimpangan tersebut saat mereka terwujud dalam dunia virtual, untuk memahami bagaimana penghuni mengalaminya ketika mereka berada didalamnya (dunia virtual).
9
Mengeksplorasi hubungan ini tidak untuk menetapkan bahwa setiap proyek penelitian tentang dunia virtual harus memiliki sebuah komponen dunia aktual. Second Life memiliki pohon, yang merujuk pohon di dunia aktual, tapi jika harus mempelajari pohon di Second Life tidak akan selalu diperlukan bahwa harus mengambil sampel dari kulit pohon di dunia aktual (Boellstorff, 2008: 64).
Profil Informan Utama Berikut adalah profil informan gamer MMO web game Wartune No
Nama Karakter
Gender Profesi / Karakter Kelas Karakter
Guild
Usia Gamer
Asal / Kewarganegaraan Dunia Aktual
1
MsDonna
Resistance
30an
Amerika Serikat
2
Elmo
Femal Knight e Femal Archer e
19
Turki
3 4
Priest Male JoelanCroepuk Male
27 35
Amerika Serikat Jambi, Indonesia
5
SpringSun™
Femal Knight e
30an
Tangerang, Indonesia
6
JrsGirl
Femal Mage e
Warden Resistance ToXiC Unforgiven Resistance Reflect Resistance Reflect Unforgiven Warden Resistance ToXiC Unforgiven Resistance
23
Amerika Serikat
Mage Mage
Sumber : Hasil penelitian; per April 2015 Hasil Penelitian Dalam konteks observasi dan wawancara online, peneliti berasumsi bahwa mengenalkan identitas avatar adalah cara retoris dalam mengenalkan diri seseorang. Avatar merupakan representasi diri seseorang dalam ruang digitial atau dalam hal ini Wartune sebagaimana yang Konijn, Utz, Tanis dan Barnes (2008: 7) paparkan. Sebuah avatar mengindikasikan bahwa ada orang yang aktual; sang pemilik avatar (gamer), yang mempresentasikan diri dan terlibat secara aktif dalam dunia yang penuh fantasi; seseorang yang punya kisah-kisah yang bernilai untuk diceritakan. Untuk memilah beberapa cara-cara berbeda dari pengenalan avatar yang digunakan oleh gamer, peneliti menggunakan kategori-kategori dari Van Leeuwen (2008) untuk merepresentasikan aktor-aktor sosial. Avatar dapat ditunjukkan, dalam hal ini dipresentasikan melalui namanya yang unik (nama yang berikan oleh gamer)
10
atau dapat dikategorikan dalam identitas-identitas dan fungsi-fungsi yang dibagikan seorang gamer dengan gamer lainnya. Pemilihan kelas/profesi, gender, dan pembuatan nama karakter adalah hal-hal yang pertam-tama harus dilakukan oleh setiap gamer yang bermain Wartune. Dalam melakukan hal tersebut, setiap gamer mempunyai cara dan rujukan yang berbeda. Nama karakter, Gender, kelas/profesi, dan aksesoris merupakan bagian dari identitas avatar seorang gamer dalam Wartune. Setiap gamer memilih gender, penampilan dan kelas/profesi, dirinya
didalam
game.
serta membuat nama karakter
Bagaimana
seorang
gamer
sebagai identitas
ingin
dikenal
dan
mempresentasikan dirinya adalah melalui cara-cara tersebut. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 3 kategori identitas diri, yaitu realis, idelias, dan fantasis. Realis artinya identitas diri gamer dalam Wartune sangat sesuai atau sama dengan identitas dirinya di dunia aktual. Idealis artinya identitas diri gamer dalam Wartune merupakan cermina dari diri gamer di dunia aktual, dan fantasis artinya identitas diri gamer dalam Wartune merupakan hasil transformasi dari fantasi gamer di dunia aktual. Sementara untuk identitas sosial terdapat 3 kategori, yaitu nasionalis, rasionalis, dan oportunis.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Para gamer mengkonstruksi identitas diri mereka melalui avatar berdasarkan pada jatidiri, pengalaman dan harapan mereka di dunia aktual. Nama karakter di dalam game merujuk pada nama, julukan, tokoh idola, maupun imajinasi mereka di dunia aktual. Gender yang dipilih sebagian besar sesuai dengan gender mereka di dunia aktual, kecuali untuk beberapa gamer. Sebagian gamer memilih gender yang berbeda dengan gender mereka di dunia aktual lebih dikarenakan pengalaman masa lalu mereka dan untuk tujuan melindungi
11
diri. Kelas/profesi karakter yang dipilih merupakan refleksi diri, imajinasi dan harapan dari gamer di dunia aktual maupun efektivitas di dalam game. 2) Para gamer mengkonstruksi identitas sosial mereka secara situasional. Pada saat terkena ketika terjadi rivalitas diantara guild, identitas sebagai anggota sangat menonjol. Tapi pada saat terjadi konflik seperti permasalahan penggunaan bahasa selain bahasa Inggris, identitas sosial mereka berubah. Mereka mengkonstruksi identitas sosial mereka bukan pada status sebagai anggota lebih tapi pada status di dunia aktual mereka sebagai warga negara atau orang yang menggunakan bahasa tertentu dalam kehidupan mereka di dunia aktual.
Saran Dari kesimpulan diatas, kiranya peneliti dapat memberikan saran berikut ini : 1) Penelitian ini dilakukan pada satu game online tertentu (Wartune), tepatnya di salah satu dari sekian publisher wartune, yaitu R2Games dan hanya terbatas pada server EST (eastern standard time), bukan pada keseluruhan server wartune yang dikelola R2Games. Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian pada game online yang lain atau game yang sama tapi dengan provider dan server yang berbeda untuk mengetahui apakah gamer pada game online atau publisher dan server tertentu memiliki cara yang berbeda dalam mengkonstruksi identitas diri dan identitas sosialnya 2) Penelitian yang bertema game studies ini hanya dilakukan pada konstruksi identitas gamer game online, perlu juga dilakukan peneliti pada game offline atau stand alone secara field research, bukan online research. 3) Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi virtual yang termasuk baru serta memiliki banyak perspektif dan cakupan aspek penelitian yang cukup luas dari sebuah ruang digital yang kecil sampai ruang yang digital yang besar seperti dunia virtual, perlu dilakukan banyak diskusi maupun seminar metodologis mengingat pendekatan ini belum begitu dikenal di Indonesia
12
Referensi Boellstorff, Tom. 2008. Coming of age in second life : an anthropologist explores the virtually human. New Jersey: Princenton University Press. Bowman, Sarah Lynne. 2010. The Function of Role Playing Games: How Participant Create Community, Solve Problem and Explore Identity. North Carolina: McFarland & Company, Inc. Daniel, Ben Kei. 2011. Introduction to this Volume. Dalam Daniel, Ben Kei. Methods and Techniques for Studying Virtual Communities: Paradigms and Phenomena. Hershey: Information Science Reference – IGI Global. Donath, J., Identity and deception in the virtual community. Communities in cyberspace, 1999, 29–59. Douglas, D. Jack ( editor ). 1998. Understanding Everyday: Toward Reconstruction of Sociological Knowladge. Chicago: Aldine Downing, Steven. 2010. Online Gaming and the Social Construction of Virtual Victimization. Eludamos: Journal for Computer Game Culture Vol.4 No.2 2010. Evans, Leighton. 2010. Authenticity Online: using webnography to address phenomenological
concerns
diperoleh
melalui
http://www.inter-
disciplinary.net/wp-content/uploads/2010/02/evanspaper.pdf Gibson, William. 1984. Neuromancer. New York: Ace Books. Hine, Christine. 2010. Virtual Ethnography. London: SAGE Publications. Retrieved from http://sisifo.fpce.ul.pt/pdfs/sisifo03ENGconfer.pdf Jakobsson, Mikael, 2006. Virtual Worlds & Social Interaction Design. Umea – Swedia: Umea University Konijn, Elly A, Sonja Utz, Martin Tanis dan Susan B. Barnes. 2008. Mediated Interpersonal Communication. New York: Routledge. Kozinets, Robert V. 2010. Netnography: Doing Etnographic Research Online. London: SAGE Publications.
13
Lim, Francis. 2008. Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Adat. Yogyakarta: Kanisius. Majewski, Jakub. 2003. Theorising Video Game Narrative. Tesis Master. Bond University. Mayra, Frans. 2008. An Introduction to Game Studies: Games and Culture. London: SAGE Publications. Nardi, B., My life as a night elf priest: An anthropological account of World of Warcraft. Univ. of Michigan Press, 2010. Pearce, Celia. 2006. Playing ethnography: A study of emergent behaviour in online games and virtual worlds. Disertasi Doktor. London: University of The Arts London. Rheingold, H. (1993). The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier. Reading, MA: Addison-Wesley. Schroeder, Ralph, Noel Heather, and Raymond Lee. 1998. The sacred and the virtual: Religion in multi-user virtual reality. Journal of Computer Mediated Communication. 4(2). Seay, A. Flaming. 2006. Project Massive: The Social and Psychological Impat of Online Gaming. Disertasi Doktor. Carnegie Mellon University. Silberman, Lauren. 2009. Double Play: Athletes’ Use of Sport Video Games to Enhance Athletic Performance. Tesis Master. Massachusetts Institute of Technology. Smith, Roger D. 2008. Investigating The Disruptive Effect of Computer Game Technologies on Medical Education and Training. Disertasi Doktor. University of Maryland. Stern, Susannah R. 2004. “Expressions of Identity Online: Prominent Features and Gender Differences in Adolescents’ World Wide Web Home Pages.” Journal of Broadcasting and Electronic Media 48: 218–243.
14
Thomas, Douglas dan John Seely Brown. 2007. The Play of Imagination: Extending the Literary Mind dari Games and Culture Journal Volume 2 No. 2 April 2007. Diperoleh dari http://gac.sagepub.com/cgi/content/refs/2/2/149 Tichsen, Anders et al. 2007. Player-Character Dynamics in Multi-Player Role Playing Games. Situated Play, Proceedings of DiGRA (Digital Game Research Association) 2007 Conference. Turkle, S., 1997. Life on the screen: identity in the age of the Internet, Simon & Schuster Ward, K. (1999). The Cyber-Ethnographic (Re)Construction of Two Feminist Online Communities. Sociological Research Online, 4(1). doi:10.5153/sro.222 Warner, Dorothy E. dan Mike Raiter. 2005. Social Context in Massively-Multiplayer Online Games (MMOGs): Ethical Questions in Shared Space. International Review of Information Ethics Volume 4. Diperoleh dari www.i-r-i-e.net. Wiener, Norbert .1948. Cybernetic: Or Control and Communication in the Animal and the Machine. New York: Wiley. Woolley, B. (1992) Virtual Worlds. Cambridge, MA: Blackwell Publishers.
15