JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan? Sri Ruwanti (Universitas Maritim Raja Ali Haji)
ABSTRACT Accounting conservatism still has discussed by researchers. The question is whether firm's reasons to apply conservatism. This article was designed as literature study. Many opinions on conservatism accounting have presented. Conservatism was a dilemma within accounting principles due to its function as a tool for management to manage the earning, and in other side it has been perceived as a corporate prudential means. IFRS did not focusing on the conservatism use, but financial statement based on IFRS still remains conservatism... Keywords : Accounting conservatism, IFRS, reliable.
PENDAHULUAN Dunia akuntansi terus mengalami perkembangan dalam rangka memenuhi kebutuhan para stakeholders. Oleh karenanya, informasi yang disajikanpun harus berkualitas. Laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan merupakan informasi yang digunakan oleh stakeholders untuk mengambil keputusan, baik itu keputusan investasi maupun keputusan kredit dan lainnya. Mengingat peran yang sangat penting ini dalam kegiatan bisnis, laporan keuangan harus memiliki kualitas yang baik dan tidak menyesatkan bagi para pengambil keputusan. Laporan keuangan dikatakan memiliki kualitas yang baik jika memenuhi karakteristik kualitatif akuntansi seperti yang disyaratkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK); dapat dipahami, relevan, materialitas, keandalan, penyajian jujur, substansi mengungguli bentuk, netralitas, pertimbangan sehat, kelengkapan dan dapat dibandingkan. Namun dalam kenyataannya akuntansi memberikan ruang bagi penyaji laporan keuangan untuk bertindak lebih fleksibel. Buktinya adalah keleluasaan manajemen untuk menentukan metode dan estimasi apa yang akan digunakan. Laporan keuangan disusun berdasarkan transaksi-transaksi yang terjadi di dalam perusahaan dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan Prinsip akuntansi yang berlaku umum (General Accepted Accounting Principles). Berbagai metode dan pengukuran akuntansi dapat digunakan oleh perusahaan dalam menyajikan informasi keuangan. Prinsip akuntansi yang berlaku umum (Generally
99
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
Accepted Accounting Principles) memberikan fleksibilitas bagi manajemen dalam menentukan metode maupun estimasi akuntansi yang dapat digunakan (Wardhani, 2008). Fleksibelitas inilah yang kemudian memberikan ruang kepada akuntan untuk bersikap konservatif. Dan konservatisme dipandang sebagai hal penting yang extrem dalam ethos dari akuntan (Wolk, Dodd dan Rozycki, 2008). Dalam penelitian akuntansi konservatisme menjadi sesuatu yang sudah cukup lama menjadi perhatian sejalan dengan yang diungkapkan oleh Basu (1997) dalam Krishnan dan Visvanathan (2008) bahwa konservatisme telah mempengaruhi praktik akuntansi paling sedikit selama 500 tahun. Menurut Wolk, Dodd dan Rozycki (2008) konservatisme didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memilih metode akuntansi yang “berterima umum” yang menghasilkan beberapa hal berikut: a. Pengakuan pendapatan yang lebih lambat b. Pengakuan beban yang lebih cepat c. Penilaian aset yang lebih rendah d. Penilaian hutang yang lebih tinggi. Sikap konservatif timbul karena perusahaan dihadapkan pada ketidakpastian. Dalam PSAK kerangka konseptual akuntansi (2009) ketidakpastian tersebut dapat diakui dengan mengungkapkan hakekat serta tingkatnya dan dengan menggunakan pertimbangan sehat (prudence) dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aktiva atau penghasilan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun disisi lain, karakteristik kualitatif akuntansi mensyaratkan bahwa laporan keuangan harus harus bersifat reliable. Reliable dapat diartikan sebagai keandalan. Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakaiannya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Hal tersebut pada akhirnya menjadi kontras dengan sifat yang dibawa oleh prinsip konservatisme. Sifat konservatisme tersebut mengindikasi bahwa manajemen tidak memberikan informasi secara reliabel, dan memungkinkan terjadi asimetri informasi untuk memfasilitasi “tujuan manajemen”. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Syaidah (2005) bahwa konservatisme menunjukkan kegagalan akuntansi konvensional dalam menyajikan angka akuntansi yang mempunyai relevansi nilai tinggi. Regulator pasar modal, badan pembuat standar serta akademisi banyak mengkritik konservatisme karena understatement pada periode saat ini dapat membawa overstatement laba pada periode yang akan datang karena understatement pada beban di masa depan (Watts, 2002). Watts mencotohkan pernyataan ARB No.2 (AICPA, 1939) yang berbunyi:
100
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
“conservatism in the balance sheet is of dubious value if attained at the expense of conservatism in the income statement, which is far more significant.” Pendapat ini didukung oleh pendapat lain yang menyatakan bahwa akhir-akhir ini prinsip konservatisme menjadi perdebatan dalam dunia akuntansi (Hellman, 2008). Ia mengacu pendapat dari Haller (2003) yang melihat kondisi akuntansi di Jerman dan mengungkapkan bahwa prinsip konservatisme tidak dipahami sebagai sub-karakteristik seperti di Amerika Serikat atau Inggris, melainkan sebagai pusat prinsip akuntansi yang secara logis bertujuan untuk perlindungan kreditor. Dari beberapa latar belakang tersebut maka muncul suatu pertanyaan apakah prinsip ini masih tepat digunakan atau justru harus dihilangkan? Sehingga hal tersebut menjadi sesuatu yang dilematis. Artikel ini akan menekankan pada berbagai pandangan tentang konservatisme dan memberikan kesimpulan tentang permasalahan dilematis tersebut. Berbagai pandangan tentang konservatisme bisa digunakan oleh manajemen sebagai petimbangan dalam menyajikan laporan keuangan dan juga bagi penyusun standar.
BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KONSERVATISME Saat konservatisme diterapkan, maka laporan keuangan cenderung bersifat understatement. Hal ini disebabkan karena empat hal yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu: pengakuan pendapatan yang lebih lambat, pengakuan beban yang lebih cepat, penilaian aset yang lebih rendah,penilaian hutang yang lebih tinggi. Sehingga memunculkan sifat pesimistik pada laporan keuangan itu sendiri. Walaupun bersifat pesimis, namun penyajian yang bersifat understatement menunjukkan kehati-hatian perusahaan dalam menyajikan laporan keuangan, agar perusahaan tidak terburu-buru mengakui laba. Karena Sikap optimis menyebabkan overstatement yang dianggap akan lebih berbahaya daripada understatement. Konsekuensi yang timbul dari kerugian atau kebangkrutan akan lebih berbahaya daripada keuntungan (Sayidah, 2005). Konservatisme juga dikaitkan dengan agency theory atau teori keagenan. Permasalahan keagenan atau yang didifinisikan sebagai agency conflicts timbul dari sebuah perbedaan fungsi utilitas antara agent dan principal (Dalton, Daily, Certo, & Roengpitya, 2003; Dalton et al., 1998; Dalton, Hitt, Certo, & Dalton, 2007 dalam Land dan Heracleous, 2010). Dimana principal memiliki tujuan memaksimalkan return on investement dan harga sekuritas, sedangkan agent dalam hal ini adalah manajer, lebih berfokus pada kompensasi dan kebutuhan psikologi (Wolk, Dodd dan Rozycki, 2008). Konflik tersebutlah yang kemudian membuat principal berinisiatif untuk menguranginya melalaui mekanisme pengawasan yang kemudian memunculkan agency cost dan pada akhirnya akan mengurangi insentif yang akan diterima oleh agent. Konflik kepentingan yang timbul
101
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
antara agent dan principal salah satunya karena agent merasa memiliki informasi yang lebih banyak dari pada principal, hal inilah yang kemudian menimbulkan asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi antara pihak dalam perusahaan dan equitas pihak luar dalam hal ini investor menghasilkan konservatisme pada laporan keuangan. Konservatisme mengurangi insentif manajer dan kemampuan untuk mengelola angka akuntansi dan sehingga mengurangi asimetri informasi dan deadweight losses yang merupakan hasil asimetri informasi. Ini meningkatkan nilai perusahaan dan nilai ekuitas (LaFond dan Watts, 2008). Dan Watts (2003) dalam Balkrishna, Coulton, Taylor (2007) juga mengungkapkan bahwa konservatisme dapat dipandang sebagai conditional asymmetry verification yang tinggi untuk pengakuan gain dibandingkan dengan loss. Namun pendapat Watts berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Gigler, Kanodia, Sapra, dan Venugopalan (2008) yang meneliti tentang pengaruh konservatisme akuntansi pada efesiensi kontrak pinjaman. Dimana mereka menemukan bahwa tingkat konservatisme akuntansi sesungguhnya meningkatkan efesiensi kontrak hutang. Hal tersebut dapat dilihat pada perjanjian hutang optimal dan tingkat bunga pada hutang yang berasal dari natural tension antara debt holder dengan pengklaim ekuitas (equity claimants), yang ditunjukkan pada perjanjian optimal yang berubahubah dengan tingkat konservatisme dan diperoleh sebuah efficiency metric yang tergaung pada tingkat konservatisme. LaFond dan Roychowdhury (2007) berpendapat bahwa pemisahan kepemilikan dan pengendalian menimbulkan masalah agency antara manajer dan shareholders. Konservatisme pelaporan keuangan adalah satu mekanisme potensial untuk mengatasi masalah-masalah agency ini. Mereka berhipotesis bahwa turunnya kepemilikan manajerial akan meningkatkan permasalahan agency, sehingga akan meningkatkan tuntutan untuk konservatif. Konsisten dengan hipotesis yang telah mereka buat, mereka menemukan bahwa konservatisme diukur oleh asimetric timeliness dari penurunan laba dengan kepemilikan manajerial. Hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan asimetric timeliness laba adalah robust pada berbagai pengendalian untuk seperangkat kesempatan investasi. Sejalan dengan agency theory yang didasari oleh adanya konflik kepentingan antara pemilik dengan pengelola perusahaan, maka pada praktiknya pengelola perusahaan berusaha untuk memberikan kinerja yang baik terhadap laporan keuangan yang dihasilkannya untuk menghilangkan agency cost sehingga insentif bagi pengelola perusahaan tidak berkurang. Hal tersebutlah yang kemudian memunculkan pertanyaan apakah akuntansi konservatisme dapat digunakan sebagai alat untuk membayar insentif para pengelola perusahaan? Iyengar, Zampelli (2010) menjawab pertanyaan tersebut dengan menguji apakah ada hubungan antara praktik akuntansi konservatif dan sensitifitas dari gaji executive pada kinerja akuntansi? Mereka menggunakan ukuran akrual dari
102
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
konservatisme akuntansi yang sama dengan pengukuran alternatif dari kinerja keuangan, dengan mengestimasi model ekonometrik dari kompensasi CEO yang menggabungkan interaksi dari konservatisme akuntansi dan kinerja akuntansi. Mereka menemukan bahwa sensitifitas dari gaji executive pada kinerja akuntansi adalah tinggi untuk perusahaan yang melaporkan laba akuntansi konservatif. Hasil ini mendukung hipotesis bahwa konservatisme akuntansi, melalui pembatasan kesempatan manajemen laba dan peningkatan reliabilitas pengukuran kinerja akuntansi, membolehkan perusahaan untuk merumuskan kontrak bahwa hubungan kompensasi executive lebih mendekati pada kinerja akuntansi. Dengan adanya motivasi pribadi dari manajemen misalnya untuk mendapatkan bonus yang dihitung berdasarkan laba yang di peroleh perusahaan, yang dapat dijadikan instrumen dalam mengevaluasi kinerja manajemen, sehingga laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen berusaha untuk menunjukkan laba yang tinggi dan tidak berfluktuasi. Angka-angka akuntansi yang mencerminkan kondisi tersebut yang kemudian oleh Wolk, Dodd dan Rozycki, (2008) disebut sebagai “social reality”. Dan motivasi manajemen untuk menyajikan laba yang tidak berfluktuasi tersebut menunjukkan indikasi terjadinya perataan laba (income smoothing). Menurut Richard et al (2003) yaitu: “Income smoothing is the practice of using accounting techniques to reduce the fluctuations in net income over time. One motivation for income smoothing may come from the market’s perception of the riskness of the business being a function of income variability. Another motivation may be incentive rewards to managers based upon income growth”. Income smoothing adalah bagian dari motivasi untuk melakukan manajemen laba (earning management). Definisi manajemen laba diungkapkan oleh Scott (1997) dalam Juniarti dan Corolina (2005) bahwa: “Smothing of income is a way of removing volatility in earnings by levelling off the earnings peaks and raising the valley”. Adapun faktor-faktor pendorong dilakukannya manajemen laba menurut Watt dan Zimmerman (1986) dalam Rahmawati, Suparno dan Qomariyah (2006) yaitu: 1. Bonus Plan Hypotesis Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. 2. Debt Covenant Hypotesis Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
103
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
3. Political Cost Hypotesis Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain. Penelitian yang mengkaitkan antara prinsip konservatisme dan praktik income smoothing dilakukan oleh Gassen,Fulbier dan Sellhorn (2006) yang meneliti faktor-faktor penentu conditional conservatism dan laba yang terkait atribut internasional. Dengan menggunakan data panel, mereka menyelidiki apakah persaingan atribut laba seperti unconditional conservatism dan perataan laba mempengaruhi conditional conservatism dan perbedaan internasionalnya. Mereka menemukan bahwa atribut-atribut ini diduga berkorelasi dengan conditional conservatism. Kemudian menjawab pertanyaan apakah perataan laba dan conditional conservatism atribut laba berbeda secara fundamental? hasil menunjukkan secara teoritis bahwa kedua atribut menghasilkan distribusi laba yang berbeda dan motivasi untuk memproduksi laba memiliki atribut-atribut yang berbeda ini.Pada penelitian yang mereka lakukan juga menemukan bahwa perataan laba menjelaskan perbedaan internasional dalam conditional conservatism.Sehingga, penelitian tersebut menemukan bahwa kedua atribut laba didorong oleh berbagai faktor penjelasan berbeda pada tingkat perusahaan : conditional conservatism meningkat dengan pentingnya pembiayaan utang, sementara perataan laba meningkat dengan pentingnya dividen. Konservatisme juga dapat digunakan untuk mencegah pembayaran deviden yang berlebihan. Overpayment dividend menimbulkan kekhawatiran bondholder bahwa perusahaan tidak akan dapat membayar hutang pada saat jatuh tempo karena lebih memprioritaskan shareholders. Sehingga perusahaan harus berhati-hati dalam menghasilkan laba. Penelitian tentang konflik antara bondholders dan shareholders terkait penerapan konservatisme ini dilakukan oleh Sari (2004) yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara konflik bondholders-shareholders dan penerapan akuntansi konservatif. Adanya hubungan positif antara konflik dan penerapan akuntansi konservatif mencerminkan bahwa konservatisme merupakan salah satu alat yang digunakan perusahaan dalam menghadapi konflik seputar kebijakan dividen. Namun penelitian tersebut gagal menyimpulkan bahwa peringkat obligasi memiliki hubungan positif dengan akuntansi konservatif. Pemeringkatan hutang dilakukan untuk memberikan penilaian kepada perusahaan yang menerbitkan obligasi tentang kemampuan membayar yang dimiliki oleh perusahaan. Manfaat umum dari bond rating adalah (Rahardjo, 2003):
104
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
1. Sistem informasi keterbukaan pasar yang transparan yang menyangkut berbagai produk obligasi akan menciptakan pasar obligasi yang sehat dan transparan. 2. Efisiensi biaya. Hasil rating yang bagus biasanya memberikan keuntungan, yaitu menghindari kewajiban persyaratan keuangan yang biasanya memberatkan perusahaan seperti penyediaan singking fund, ataupun jaminan aset. 3. Menentukan besarnya coupon, semakin bagus rating cenderung semakin rendah nilai kupon begitu pula sebaliknya. 4. Memberikan informasi yang obyektif dan independen menyangkut kemampuan pembayaran utang, tingkat risiko investasi yang mungkin timbul, serta jenis dan tingkatan utang tersebut. 5. Mampu menggambarkan kondisi pasar obligasi dan kondisi ekonomi pada umumnya. Pandangan lain mengatakan bahwa timbulnya berbagai kritik mengenai kegunaan suatu laporan keuangan ketika penyusunannya menggunakan metode-metode yang sangat konservatif, karena laporan yang menggunakan metoda tersebut cenderung bias dan tidak mencerminkan realitas. Pendapat itu dipicu juga oleh definisi akuntansi yang mengakui biaya dan rugi begitu cepat, mengakui pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai yang terendah, dan kewajiban nilai yang tertinggi (Basu, 1997 dalam Wahyuni, 2008). Penyajian laporan keuangan yang konservatif cenderung memberikan informasi yang bias dan tidak relevan. Kondisi tersebutlah yang kemudian dapat memicu terjadinya berbagai skandal yang dilakukan oleh perusahaan ataupun external auditor. Sebagai contohnya skandal yang masih menjadi perbincangan di berbagai publikasi popular ataupun ilmiah akuntansi adalah skandal yang dilakukan oleh Arthur Endersen. Pada akhirnya pada tahun 2002, kongres Amerika menghasilkan Sarbanes Oxley Act (SOX) dimana pada pernyataan ini perusahaan diharapkan lebih “membuka diri”. Peraturan SOX menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang terdaftar di pasar modal yaitu sebagai berikut (Hart, 2009): 1. CEO dan CFO harus menyatakan hasil kuartalan, dengan hukuman pidana jika mereka sadar persetujuan terhadap laporan keuangan yang menyesatkan. 2. Mayoritas anggota dewan harus independen (dan definisi independen cukup ketat). 3. Komite audit dan komite kompensasi harus terdiri dari seluruhnya kompensasi direksi independen. Selain itu, komite audit harus mengandung setidaknya satu direktur yang merupakan ahli keuangan. 4. Auditor perusahaan tidak dapat juga memberikan jasa konsultasi bagi perusahaan. Kejatuhan Arthur Endersen sebagai salah satu big four accounting firm melatar belakangi beberapa peneliti untuk melihat praktik konservatisme akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan
105
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
atau oleh auditor. Salah satu diantaranya yang dilakukan oleh Khrishnan (tanpa tahun) yang menguji apakah konservatisme laba ditingkatkan untuk sampel dari klien Arthur Andersen sebelumnya yang terpaksa menukar auditor pada tahun 2002. Studi ini menemukan bahwa konservatisme laba ditingkatkan pada klien Endersen sebelumnya yang menukar pada auditor kantor akuntan publik big four. Selanjutnya tingkat konservatisme pada tahun 2002 untuk klien Andersen terdahulu lebih tinggi dari pada yang bukan klien Andersen yang tidak merubah auditor. Temuan ini menyarankan bahwa dalam dunia paska Andersen, bahwa auditor big four dan manajer menggunakan konservatisme laba sebagai strategi manajemen risiko. Hal ini memperkuat pendapat bahwa skandal perusahaan dan hasil perjalanan Sarbanes Oxley Act (SOX) pada tahun 2002 secara signifikan mempengaruhi profesi audit. Kualitas laporan keuangan yang diaudit dipertanyakan media serta regulator yang memegang tanggung jawab perusahaan audit (Feldmann dan Read, 2010). Dengan berbagai transaksi yang terjadi di dalam perusahaan mengakibatkan tidak semua transaksi dapat diakui secara sederhana. Tapi ada kondisi yang menyebabkan suatu transaksi yang apabila terjadi akan menimbulkan pilihan alternatif pengakuan yang berbeda di masa depan. Kondisi tersebut tentunya merupakan keadaan signifikan secara ekonomi dan dapat mempengaruhi peristiwa tersebut secara luas. Kondisi tersebutlah yang menyebabkan transaksi menjadi lebih komplek. Misalnya saja untuk transaksi Research and Development (R&D), dimana perusahaan membutuhkan waktu untuk melihat terlebih dahulu apakah riset dan pengembangan yang dilakukan akan berhasil atau tidak. Karena pengakuan atas biaya yang dikeluarkan untuk riset dan pengembangan ini akan berbeda antara yang berhasil dengan yang tidak. Prilaku konservatisme dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang bersifat komplek (complexity event). Pendapat yang lebih ekstrem muncul dari penelitian yang dilakukan Hellman (2008) yang membandingkan antara akuntansi konservatif dengan IFRS (International Financial Report Standards). Penelitiannya dilatar belakangi kerja yang dilakukan oleh IASB dan FASB yang memperbaiki kerangka kerja konseptual dimana mereka berpendapat bahwa kehati-hatian dan konservatisme adalah kualitas yang tidak diperlukan dalam informasi pelaporan keuangan (IASB, 2006a, BC2.22). Namun salah satu inteprestasi dari proposal yang dikerjakan oleh badan-badan tersebut bahwa undervaluation net asset yang konsisten (konservatisme konsisten), yang umum digunakan di bawah GAAPs Eropa Kontinental dan sampai tingkat tertentu berdasarkan US GAAP, tidak dianggap sebagai cara yang memadai untuk menghadapi ketidakpastian. Sehingga Hellman berpendapat bahwa perlakuan akuntansi konservatif secara konsisten akan digantikan dengan metode akuntansi yang meninggalkan lebih banyak kesempatan untuk konservatisme sementara (perubahan dalam estimasi akuntansi yang secara temporari mengecilkan aktiva bersih melalui penciptaan cadangan tersembunyi yang akan datang).
106
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
Kesimpulan tersebut dibuat dengan memeriksa tiga kasus tentang akumulasi rugi, biaya pengembangan dan kontrak konstruksi, terkait dengan tiga standar yang berbeda (IAS 12, IAS 38 dan IAS 11). Panman dan Zhang (2002) dalam Suaryana (tanpa tahun) menemukan bahwa perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif dan pertumbuhan investasi temporer akan menghasilkan tingkat pengembalian yang temporer atau laba yang berfluktuasi. Selanjutnya kesimpulan dari Suaryana menunjukan bahwa perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif memiliki daya prediksi laba yang lebih rendah dari pada perusahaan yang tidak menerapkan akuntansi konservatif. Penelitian yang dilakukan Balkrishna, Coulton, Taylor (2007) memberikan bukti pada tiga aspek penting dari pelaporan keuangan Australia, yaitu karakteristik kerugian, sejauh mana laba perusahaan Australia bersyarat konservatif (yaitu berita buruk digambarkan pada laba yang lebih cepat daripada berita baik) dan sejauh mana kerugian yang mencerminkan konservatisme bersyarat yang lebih besar. Mereka menemukan bukti bahwa kejadian kerugian di Australia sering terjadi, dengan sekitar 40 persen dari sampel perusahaan-tahun 1993-2003 yang rugi. Kerugian secara terus menerus mengherankan, dan kemungkinan pemulihan kerugian menurun secara monoton sebagai sejarah kerugian yang meluas. Meskipun conditional conservatism juga menjadi aspek yang menembus Prinsip akuntansi yang berlaku umum di Australia, mereka menunjukkan bahwa tia lebih terlihat antar pengamatan rugi. Hasil ini kuat di berbagai metode menangkap konservatisme bersyarat dan mendukung kesimpulan bahwa frekuensi relatif tinggi dari kerugian, setidaknya sebagian, merupakan cerminan dari pelaporan konservatif. Callen, Segal, dan Ole (2010) melihat hubungan antara harga ekuitas dan conservatisme bersyarat dan memperkenalkan ukuran baru konservatisme pada firm-year level. Mereka menunjukkan bahwa sifat asimetris akuntansi konservatif, keberadaan sumber-sumber informasi non-akuntansi, dan sifat dari GAAP terkait dengan menggabungkan item khusus untuk menghasilkan hubungan yang nonlinier antara unexpected equity returns dan berita laba tak terduga (kejutan untuk laba sekarang dan laba masa depan yang diharapkan). Berdasarkan model ini, mereka membangun rasio konservatisme (CR) yang didefinisikan sebagai rasio dari laba kejutan saat ini pada berita laba. CR mengukur proporsi total shock laba yang diharapkan saat ini dan laba yang diharapkan pada masa depan diakui dalam laba tahun berjalan. Peringkat perusahaan menurut CR, menunjukkan secara empiris bahwa perusahaan dengan CR yang lebih tinggi, lebih maksimal, meningkatkan volatilitas returns, lebih menimbulkan kerugian, lebih akrual negatif, meningkatkan volatility dari laba dan akrual, dan penelitian ini konsisten dengan literatur tentang akuntansi konservatif. Perhatian terhadap konservatisme tidak hanya saja difokuskan pada perusahaan yang membuat laporan keuangan. Tapi juga pada
107
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
auditor yang melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Beberapa penelitian mencoba menemukan hubungan antara praktik konservatisme dan hubungan antara auditor dank lien. Salah satu yang melakukan penelitian tersebut adalah Lin (2010) yang memnhipotesiskan hubungan antara konservatisme dan penugasan auditor tidak unik untuk semua perusahaan. Dalam hal ini, Lin membagi antara perusahaan besar dan perusahaan kecil. penelitian ini menemukan bahwa hubungan positif hanya ada bagi perusahaan-perusahaan besar atau perusahaan yang dipantau sangat kuat oleh auditor mereka, sedangkan untuk perusahaan kecil atau perusahaan yang pemantauannya lemah oleh auditor terjadi hubungan yang signifikan negatif antara kedudukan tetap auditor dan konservatisme. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa kepentingan klien memainkan peran penting dalam hubungan jangka panjang auditor-klien. Hubungan jangka panjang auditor-klien merupakan ancaman yang lebih besar untuk independensi auditor untuk klien kecil dimana pengawasan oleh auditor lebih lemah dari pada klien yang lebih besar. Oleh karena itu, penelitian ini memberikan dukungan kepada regulator yang peduli tentang dampak potensial negatif dari jabatan tetap auditor terhadap kualitas audit dan aturan wajib rotasi kantor auditor. Selanjutnya pembicaraan tentang konservatisme dikaitkan dengan relevansi nilai laba. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan non-linear antara pelaporan konservatif dan relevansi nilai laba. Relevansi meningkat ketika bergerak dari perusahaan dengan konservatisme rendah ke perusahaan dengan konservatisme menengah dan menurun ketika bergerak lebih lanjut ke perusahaan dengan konservatisme tinggi (Kousenidis, Ladas, Negakis, 2009). Mereka melakukan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan yang ada di Yunani tahun 1989- 2003 sebagai sampel. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan konservatif telah meningkat setelah krisis pasar tahun 1999, berpotensi sebagai hasil dari peraturan tambahan, yang dikenakan oleh otoritas pasar selama periode pasca-krisis. Penelitian yang mereka lakukan memberikan dukungan pada penelitian yang dilakukan oleh Watts (2003) yang, di satu sisi, laporan beberapa argumen yang mendukung konservatisme tetapi, di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan praktek pelaporan konservatif yang berlebihan menjadi penyebab potensial dari distorsi hubungan earnings-return. Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Kam (1995) dan Qiang (2003) dalam Juanda (2007) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang menyebabkan konservatisme akuntansi ditolak antara lain: (1) Ketidakkonsistenan. Ketika aset dilaporkan terlalu rendah karena digunakan atau dijual, hal ini akan mengakibatkan laba dilaporkan terlalu tinggi. Dalam kasus lain, laba yang yang dilaporkan terlalu rendah pada perioda sekarang akan dilaporkan terlalu tinggi pada perioda berikutnya; (2) Ketidakteraturan. Tingkat konservatisme dalam laporan keuangan berkaitan dengan perihal kebijakan perusahaan. Misalnya, ketika
108
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
mengantisipasi kerugian, mungkin dicatat dan mungkin tidak karena suatu ekspektasi selalu dapat direvisi; (3) Penyembunyian. Investor mengalami kesulitan menentukan dan menemukan jumlah aset yang dilaporkan terlalu rendah, sehingga dalam kasus ini investor dalam posisi tidak diuntungkan dan memberi peluang keuntungan bagi pihak dalam; (4) Kontradiktif. Konservatisme akuntansi bertentangan dengan prinsip akuntansi lainnya antara lain prinsip kos, prinsip penandingan, prinsip konsistensi, dan prinsip pengungkapan; (5) konservatisme akuntansi bertentangan dengan karakteritik kualitatif laporan keuangan antara lain, relevan, reliabilitas, dan komparabilitas. Dilema penggunaan konservatisme akuntansi menjadi lebih menarik untuk dibahas ketika International Financial Reporting Standards (IFRS) di berbagai negara mulai diterapkan. Penerapan IFRS di Indonesia dimulai tahun 2012. Juanda (2012) melakukan penelitian tentang konservatisme pelaporan keuangan dalam standar akuntansi berbasis IFRS menunjukkan hasil bahwa konservatisme akuntansi berperan dalam pengimplementasian IFRS. Standar-standar IASB (IFRS) tidak merujuk secara eksplisit prinsip penerapan konservatisme, karena memang tidak sesuai dengan kerangka teoritis IFRS. Namun konservatisme tidak hilang hanya karena tidak”ditekankan” dalam standar. Penelitian yang dilakukan Bertin dan Moya (2013) pada perusahaan di Chile menunjukkan; “Conditional earnings conservatism is more pronounced under IFRS standards and suggest that the use of IFRS improves the relevance and reliability of the reported accounting information”
PENGUKURAN KONSERVATISME AKUNTANSI Pengukuran konservatisme antara lain: 1. Pengukuran yang digunakan oleh Basu (1997)
Xit/Pit-1 = α0 + α1DRit + β0Rit + β1DRit*Rit + εit Xit adalah laba per sahamperusahaan i pada tahun fiskal t, Pit-1 adalah harga per lembar saham pada awal tahun fiskal, Rit adalah return saham perusahaan i dari 9 bulan sebelum berakhirnya tahun fiskal t sampai tiga bulan setelah berakhirnya tahun fiskal t, DRmt adalah variabel dummy =1 jika Rit <0, dan =0 jika lainnya. Pada pengukuran tersebut pelaporan konservatif ditunjukkan oleh β1 yang positif.
109
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
2. Givoly dan Hayn (2000) menggunakan market to book ratio. Market to book ratio dan kelipatan laba akan cenderung lebih tinggi ketika pengukuran akuntansi lebih konservatif.
Nilai market to book value yang lebih besar dari satu mengindikasikan penerapan akuntansi konservatif, karena perusahaan mengakui nilai buku perusahaan lebih kecil dari nilai pasar perusahaan. 3. Lo (2005) mengembangkan pengukuran konservatisme akuntansi sebagai berikut ini Untuk mengukur konservatisma menggunakan variabel instrumental konservatisma akuntansi (VIKV2_23). VIKV2_23 = VIKV yang dibentuk dari nilai prediksi regresi dengan variabel dependen LBKNBLPJ dan variabel independent INVRPDA, UDA, ULUDA, dan DEPA
LBKNBLPJ = α + β1INVRPDA + β2UDA + β3ULUDA + β4DEPA LBKNBLPJ = kelebihan laba kena pajak di atas laba sebelum pajak penghasilan dibagi aktiva total tahun t-1. INVRPDA = kebalikan piutang dagang abnormal dibagi aktiva total tahun t-1. INVRPDA dihitung dengan mengkalikan PDA dengan -1. INVPDA bertanda positif menunjukkan penyelenggaraan akuntansi konservatif, dan sebaliknya. Piutang dagang abnormal yaitu residuals dari suatu regresi cross-sectional piutang dagang (PDjt) pada perubahan penjualan bersih (ΔPJLNjt) untuk perusahaan j dalam tahun t, dengan menggunakan aktiva total t-1 sebagai deflator (A) sebagai berikut:
UDA = utang dagang abnormal dibagi aktiva total tahun t-1. UDA bertanda positif menunjukkan penyelenggaraan akuntansi konservatif, dan sebaliknya. Utang dagang abnormal yaitu residuals dari suatu regresi cross-sectional utang dagang (UDjt) pada perubahan kos barang dijual (ΔKBDjt) untuk perusahaan j tahun t, dengan menggunakan aktiva total t-1 sebagai deflator (A) sebagai berikut:
110
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
ULUDA = Utang lancar selain utang dagang abnormal dibagi aktiva total tahun t-1. ULUDA bertanda positif menunjukkan penyelenggaraan akuntansi konservatif, dan sebaliknya. Utang lancar selain utang dagang abnormal yaitu residuals dari suatu regresi cross-sectional utang lancar selain utang dagang [(UL-UD)jt] pada perubahan penjualan bersih (ΔPJLNjt) untuk perusahaan j dalam tahun t, dengan menggunakan aktiva total t-1 sebagai deflator (A) sebagai berikut:
DEPA = Biaya depresiasi dan amortisasi abnormal dibagi aktiva total tahun t-1. DEPA bertanda positif adalah indikator akuntansi konservatif, dan sebaliknya Biaya depresiasi dan amortisasi abnormal yaitu residuals dari suatu regresi cross-sectional biaya depresiasi dan amortisasi (DEPjt) pada aktiva tetap bruto (ATBjt) untuk perusahaan j dalam tahun t, dengan menggunakan aktiva total t-1 sebagai deflator (A) sebagai berikut:
Penelitian ini menggunakan biaya depresiasi dan amortisasi abnormal (DEPA) dibagi aktiva total tahun t-1 sebagai proksi tingkat konservatisme akuntansi. DEPA bertanda positif adalah indikator akuntansi konservatif, dan sebaliknya.
KESIMPULAN Dari berbagai pendapat yang telah di jabarkan sebelumnya pada tulisan ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait dengan topik konservatisme, yaitu: 1. Konservatisme masih menjadi sebuah topik yang diperdebatkan pada penelitian-penelitian akuntansi dan keuangan. 2. Perdebatan itu muncul karena berbagai pandangan menganggap praktik konservatisme menjadi memunculkan asimetri informasi karena manajemen memiliki informasi lebih banyak dari pada investor sehingga dapat melakukan manajemen laba dengan caramemilih metode-metode yang dapat membuat pengakuan pendapatan yang lebih lambat, pengakuan beban yang lebih cepat, penilaian aset yang lebih rendah, penilaian hutang yang lebih tinggi.
111
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
3.
4.
Namun disisi lain konservatisme menjadi alat yang bisa digunakan dalam mengurangi cost agency. Karena berbagai perdebatan tersebut, konservatisme dianggap sebagai suatu dilema dalam prinsip akuntansi karena disatu sisi dianggap dapat memfasilitasi manajemen dalam melakukan manajemen laba dan disisi lain dianggap mengedepankan kehatihatian perusahaan. IFRS tidak menekankan penggunaan konservatisme, namun laporan keuangan berbasis IFRS masih memiliki unsur konservatisme.
112
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Balkrishna, Harishankar., Coulton, Jeffrey J dan Taylor, Stephen L. 2007. Accounting losses and earnings conservatism: evidence from Australian Generally Accepted Accounting Principles. Accounting and Finance. 47, pp. 381–400 Ball, Ray., Kothari S.P dan Nikolaev, Valeri. 2010. Econometrics of the Basu Asymmetric Timeliness Coefficient and Accounting Conservatism www.ssrn.com Basu, Sudipta. 1997. The Conservatism Principle and Asymetric Timeliness of Earnings. Journal of Accounting & Economics, 24 (3-37) Bertin, Mauricio Jara & Josĕ Tomăs Arias Moya. 2013. The effect of mandatory IFRS adoption on accounting conservatism of reported earnings: evidence from Chilean firms. Academia Revista Latinoamericana de Administracion. Vol 26 Iss 1 Callen, Jeffrey., Segal, Dan & Ole, Kristian Hope. The pricing of conservative accounting and the measurement of conservatism at the firm-year level. Review of Accounting Studies.15 (1), p.145-178 Feldman, Dorothy dan Read, William J. 2010. Auditor conservatism after enron. Auditing: A Journal of Practice &Theory. 29 (1), pp. 267–278. American Accounting Association Gassen, Joachim., Fulbier, Rolf Uwe dan Sellhorn, Thorsten. 2006. International Differences in Conditional Conservatism–The Role of Unconditional Conservatism and Income Smoothing European Accounting Review. 15 (4), p.527-564 Gigler,Frank., Kanodia, Chandra., Sapra, Haresh., Venugopalan, Raghu. 2009. Accounting Conservatism and the Efficiency of Debt Contracts. Journal of Accounting Research. 47 (3) Givoly, Dan & Carla Hayn. 2000. The Changing Time-Series Properties of Earnings, Cash Flows and Accruals: Has Financial Reporting Become More Conservative?. Journal of Accounting & Economics, 29 (287-320) Hart, Oliver. 2009. Regulation and Sarbanes-Oxley. Journal Of Accounting Research. 47 (2) Hellman, Niclas. 2008. Accounting Conservatism under IFRS. Accounting in Europe. 5 (2), pp.71-100 Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat Iyengar, Raghavan J dan Zempelli, Ernest M. 2010. Does accounting conservatism pay?. Accounting & Finance. 50 (1), pp. 121-142 Juanda, Ahmad . 2012. Kandungan Prinsip Konservatisme Dalam Standar Akuntansi Keuangan Berbasis IFRS (International Financial Reporting Standards). Jurnal Humanity, Volume 7 No 2 . 2007. Perilaku Konservatif Pelaporan Keuangan dan Risiko Litigasi Pada Perusahaan Go Publik di Indonesia.
113
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
Naskah Publikasi Penelitian Dasar Keilmuan. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang Juniarti & Corolina. (2005). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perataan laba (income smoothing) pada perusahaan-perusahaan go public. Jurnal akuntansi dan keuangan. 17 (2). Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Petra Khan, Mozaffar dan Watts, Ross L. 2009. Estimation and Empirical Properties of a Firm-Year Measure of Accounting Conservatism. http://ssrn.com/abstract=967348 Krishnan, Gopal. Tanpa tahun. Did Earnings Conservatism Increase for Former Andersen Clients? Journal of Accounting, Auditing & Finance Krishnan, Gopal dan Visvanathan, Gnanakumar. 2008. Does the SOX Definition of an Accounting Expert Matter? The Association between Audit Committee Directors' Accounting Expertise and Accounting Conservatism. Contemporary Accounting Research, 25(3), pp. 827-57 Kousenidis, Dimitrios V., Ladas Anestis C dan Negakis, Chistos I. 2009. Value relevance of conservative and non-conservative accounting information. International Journal of Accounting. 44 (3), p.219-238 Lafond, Ryan dan Roychowdury, Sugata. 2007. Managerial Ownership and Accounting Conservatism. http://ssrn.com/abstract=929693 Lafond, Ryan dan Watts, Ross L. 2008. The Information Role of conservatism. Accounting Review. 83 (2), pp. 447-478 Lan, Luh Luh dan Heracleous, Loizos. 2010. Rethinking Agency Theory; The View From Law. Academy of Management Review. 35 (2), pp. 294-314 Li, Dan. 2010. Does auditor tenure affect accounting conservatism. Journal of Accounting & Public Policy. 29 (3), p.226-241 Lo, Eko Widodo. 2005. Pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Perusahaan Terhadap Konservatisme Akuntansi. Seminar Nasional Akuntansi VIII. Solo Lu, Tong dan Sapra, Haresh. 2009. Auditor Conservatism and Investment Efficiency. The Accounting Review. 84 (6), pp. 1933-1958. American Accounting Association Rahardjo, Sapto. (2003). Panduan Investasi Obligasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Rahmawati., Yacob Suparno., Nurul Qomariyah. (2006). Pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan publik yang terdaftar di bursa efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang Rivard, Richard J., Bland, Eugene., Morris, Gay B Hat Field. (2003). Income smoothing behaviour of U.S banks under revised international capital requirements. IAER. November. 9 (4) Sari, Chiytia dan Adhariani, Desi. Tanpa tahun. Konservatisme Perusahaan di Indonesia dan Fakto-Faktor yang Mempengaruhinya. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
114
JEMI, Vol.5, No.2, Desember 2014
Sari, Dahlia. 2004. Hubungan Antara Konservatisme Akuntansi dengan Konflik Bondholders-Shareholders Seputar Kebijakan Dividen dan Peringkat Obligasi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. 1(2), pp-63-88. Departemen Akuntansi FEUI Sayidah, Nur. 2005. Sifat-sifat Time series dari Angka Akuntansi dan Konservatisme Industri Manufaktur. JAAI. 9 (2), pp. 143157 Wahyuni, Nuning. 2008. Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Perusahaan Terhadap Akuntansi Konservatif (Studi Kasus Pada Perusahaan Property di BEJ). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Wardhani, Ratna. 2008. Tingkat Konservatisme Akuntansi di Indonesia dan Hubungannya Dengan Karakteristik Dewan Sebagai Salah Satu Mekanisme Corporate Governance. Seminar Nasional Akuntansi ke-11 Watts, Ross L. 2002. Conservatism in Accounting. The Bradley Policy Research Center Financial Research and Policy. Working Paper No FR 02-21. Simon School of Business, University of Rochester Wolk, Harry I., Dodd, James L & Rozycki, John J. 2008. Accounting Theory: Conceptual Issues in Political and Economic th Environment. 7 Edition. Sage Publication
115
Konservatisme Akuntansi: Masihkah Menjadi Dilema Pelaporan Keuangan
116